Alap Alap Laut Kidul Jilid 20

Cersil online karya kho ping hoo
Sonny Ogawa
Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Alap Alap Laut Kidul

Jilid 20

SEMUA orang menanti di tempat persembunyian masing-masing dengan hati tegang dan tidak bersuara, bahkan nafaspun ditekan agar jangan bersuara keras. Matahari telah naik tinggi dan mendatangkan siang yang panas, akan tetapi mereka yang mengatur baris pendam di hutan itu merasa sejuk karena pohon-pohon besar dengan daunnya yang rimbun bagaikan payung-payung raksasa melindungi mereka dari sengatan sinar matahari. Sejam lebih mereka menunggu, sejam yang rasanya lama sekali menimbulakan perasaan jemu, ragu-ragu, dan semakin tegang. Akhirnya terdengar suara gaduh, suara banyak orang datang ke arah tempat itu.

Semua perajurit pengawal Sumedang cepat mendekam dan bersembunyi. Tak lama kemudian muncullah rombongan itu. Tumenggung Jaluwisa dan Aki mahesa Sura berjalan di depan dan di antara mereka berjalan Jatmika dan Eulis. Di sepanjang perjalanan mereka bersikap waspada. Ketika mereka tiba di situ, tiba-tiba di depan, agak jauh tampak sebuah kereta meluncur perlahan. Tumenggung Jaluwisa segera mengenal kereta yang biasa dipakai Adipati Pangeran Mas Gede itu.

"Itu keretanya! Wah, mereka tentu berada di sini. Jatmika dan Listyani, cepat kalian sergap kereta itu dan bunuh penumpangnya. Kami yang akan menghancurkan pasukan pengawalnya!" kata Tumenggung Jaluwisa yang memberi isyarat kepada lima puluh anak buahnya.

Mereka lalu berpencar dan siap dengan bedil mereka. Pada saat itu, orang-orang sudah diberi petunjuk Aji menarik-narik tali, membuat beberapa semak belukar dan pohon-pohon kecil bergoyang-goyang. Melihat ini, tanpa diperintah lagi, anak buah Jaluwisa segera memberondongkan peluru bedil mereka ke arah sasaran itu. Terdengan bunyi ledakan-ledakan bergemuruh dan tampak asap mengepul dari moncong-moncong senapan.

Sementara itu, Jatmika dan Eulis sudah cepat berlari ke depan, menuju arah kereta. "Nimas, jangan bunuh orang! Kita hanya pura-pura membantu mereka." kata Jatmika ketika mereka berdua berlari cepat.

Pada saat itu mereka tiba di dekat kereta, sesosok bayangan berkelebat turun dari atas kereta dan terdengar suara bayangan itu. "Jatmika dan Sulastri, cepat lari bersembunyi ke belakang kereta!" Suara itu demikian kuat wibawa dan pengaruhnya sehingga Jatmika dan Eulis tanpa ragu lagi cepat berlompatan ke belakang kereta dan ikut mendekam di samping Aji.

"Hei, kalian berdua pengkhianat rendah!" terdengar Tumenggung Jaluwisa berteriak marah ketika melihat dua orang muda yang tadinya diharapkan akan menyerang dan membunuh sang adipati yang berada di dalam kereta, kini malah berlompatan dan berlindung di belakang kereta.

"Aki, kita bunuh mereka!" Tumenggung Jaluwisa mencabut dua buah pistolnya dan membidik ke arah kereta. "Dar!! Dar!!"

Bidikannya ternyata memang tepat sekali. Terdengar suara kuda meringkik dan dua ekor kuda yang menarik kereta itupun roboh, berkelojotan sebentar lalu mati karena kepala mereka telah tertembus peluru pistol. Pistol itu masih meledak beberapa kali dan beberapa butir peluru menyambar ke arah kereta, tentu dimaksudkan untuk menyerang orang yang berada dalam kereta. Tentu saja peluru-peluru itu terbuang sia-sia karena dalam kereta itu tidak ada siapapun.

"Kalian jangan bergerak dulu. Dua buah pistol itu berbahaya, terisi peluru perak dan emas, dapat menembus semua aji kekebalan. Aku akan berusaha untuk menyingkirkan dua buah pistol itu lebih dulu!" kata Aji dan diapun cepat berkelebat meninggalkan Jatmika dan Eulis.

Pemuda dan gadis itu memandang dengan kagum dan heran. Jatmika tidak mengenalnya dan pemuda itu menyebut Eulis dengan sebutan Sulastri! "Nimas, engkau mengenalnya?" bisik Jatmika kepada Eulis. Gadis itu mengerutkan alisnya dan menggeleng. Ia memang sama sekali tidak ingat lagi kepada Aji.

Tumenggung Jaluwisa dan Mahesa Sura berlari menghampiri kereta itu. "Jatmika dan Listyani, hayo keluar dari tempat persembunyian kalian! Kalian tidak dapat lolos dari tanganku!" bentak Jaluwisa.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi pekik burung alap-alap setelah berondongan tembakan dari para anak buah pemberontak itu berhenti. Tiba-tiba dari berbagai jurusan, menyambar puluhan batang anak panah. tentu saja banyak anak buah pemberontak yang menjadi korban. mereka menjerit dan mengaduh. Mendengar ini, Jaluwisa dan Mahesa Sura kaget dan menengok. Mereka melihat banyak anak buah mereka roboh, akan tetapi anak buah yang lain sudah sempat mengisi bedil dan mulai memberondong ke arah dari mana datangnya anak-anak panah tadi. Melihat ini, Aji menggunakan kepandaiannya untuk melompat keluar ke depan kereta dan memperlihatkan diri kepada Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura.

"Heh kalian anjing-anjing peliharaan Kumpeni Belanda! Tidak malukah kalian mengkhianati tanah air dan bangsa? Dosa kalian sudah bertumpuk, hayo cepat menyerah!"

Tumenggung Jaluwisa tidak mengenal Aji. Dia marah sekali dan dua buah pistol di kedua tangannya meledak-ledak, akan tetapi bayangan Aji sudah lenyap lagi. Kembali terdengar pekik burung alap-alap dan hujan anak panah menyerang para anak buah gerombolan pemberontak. Terdengar pekik kesakitan dan beberapa orang roboh pula menjadi korban hujan anak panah. Mereka yang masih belum terluka cepat menembakkan senapan mereka ke arah dari mana datangnya anak panah. Dari teriakan yang terdengar dapat diketahui bahwa setidaknya tentu ada beberapa orang anak buah pasukan pengawal yang terkena tembakan.

Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura menjadi marah sekali. Aki Mahesa Sura lalu menerjang ke arah semak belukar. Banyak anak panah menyerangnya. Akan tetapi kakek itu tidak memperdulikan serangan itu dan tetap maju dan memutar tongkat ularnya. banyak anak panah terpental oelh putaran tongkat ular itu dan beberapa batang anak panah mengenai pundak dan dadanya, akan tetapi anak-anak panah itu seperti mengenai batu karang saja dan runtuh tanpa meninggalkan bekas luka, kecuali merobek baju kakek itu.

Pada saat itu, Jatmika yang sejak tadi bersembunyi di belakang kereta bersama Eulis, tak dapat menahan diri lagi untuk tidak keluar. Dia melompat keluar. "Kakangmas Jatmika, hati-hati...!" Eulis juga ikut melompat ke luar.

Tumenggung Jaluwisa yang masih mencari bayangan Aji, cepat membalikkan tubuhnya dan mengangkat kedua tangannya. "Dar...! Darr...!" Dua moncong pistolnya menyemburkan api dan asap.

Jatmika dan Eulis yang sudah diperingatkan Aji tentang keampuhan pistol-pistol perak dan emas itu, cepat membuang diri ke atas tanah dan bergulingan ke belakang batu-batu besar sehingga mereka terhindar dari sasaran pistol. Kemarahan Tumenggung Jaluwisa memuncak melihat pemuda dan gadis tawanannya itu ternyata tidak membantunya. Dan kemarahannya semakin berkobar ketika dia melihat kegagalan tembakannya. Dengan alis berkerut dan mata mencorong dia berlompatan untuk mencari dua orang itu yang tadi bergulingan ke belakang batu-batu.

Tiba-tiba ada angin menyambar dari arah belakangnya. Tumenggung Jaluwisa terkejut, maklum bahwa ada yang menyerangnya dengan kekuatan besar. Dia cepat membalik dan mengangkat kedua tangan, siap menembak. Akan tetapi tiba-tiba dua buah tangan menyambar dan tepat mengenai kedua pergelangan tangannya. "Aduh...!" Tumenggung Jaluwisa berseru kaget, merasa kedua tangannya seperti patah dan kedua pistol yang digenggamnya terlepas dari kedua tangannya dan terlempar jauh!

Jaluwisa ternyata tangguh juga. Pukulan yang tepat mengenai kedua pergelangan tangannya itu hanya mampu membuat dua buah pistolnya terlempar, akan tetapi tidak melukainya. Cepat tubuhnya melompat ke belakang. Ketika dia mengangkat muka hendak melihat siapa penyerangnya, Aji sudah melompat, tubuhnya berkelebat dan dia telah meninggalkan Jaluwisa karena dia melihat amukan Aki Mahesa Sura yang merobohkan beberapa orang perajurit pengawal.

Amukan Aki Mahesa Sura memang menggiriskan. Dengan tongkat ularnya, kakek ini menerjang puluhan orang perajurit pengawal. Melihat kakek ini tidak dapat terluka oleh anak panah mereka, para perajurit sudah menjadi panik. Mereka mencabut golok dan ada yang menggunakan tombak menyerang kakek tua renta itu, namun mata golok dan tombakpun tidak mampu melukai kulitnya. Sambil tertawa-tawa kakek itu menggerakkan tongkat ularnya dan banyak perajurit roboh bergelimpangan sambil menjerit-jerit kesakitan, tubuh mereka berkelojotan dan bekas bagian tubuh yang terkena sambaran tongkat ular, kulitnya berubah menghitam yang makin lama menjadi semakin lebar.

Ternyata senjata tongkat ular itu mengandung bisa yang amat ampuh! Dalam waktu beberapa menit saja, belasan orang perajurit pengawal berjatuhan dan berkelojotan dalam sekarat! Tiba-tiba ada angin menyambar dari samping. Kakek yang berpengalaman ini maklum bahwa ada serangan orang sakti. Dia melompat menghindar dan memutar tubuh. Kiranya yang menyerangnya dengan tamparan kuat itu hanyalah seorang pemuda tampan berpakaian sederhana, akan tetapi bukan Jatmika. Pemuda itu adalah Aji.

"Munding Hideung dan Munding Bodas adalah orang-orang sesat, akan tetapi ternyata gurunya bahkan lebih jahat lagi. Aki Mahesa Sura, andika yang sudah tua renta kenapa tidak mencari jalan terang agar kelak kepulanganmu ke alam baka tidak akan tersesat ke neraka jahanam?" kata Aji sambil memandang dengan sinar mata mencorong.

Melihat kakek itu menghadapi pemuda yang tadi memimpin mereka dan mengatur siasat, para perajurit pengawal timbul kembali keberanian mereka. Dua orang melompat dan menubruk dari belakang, menusukkan tombak mereka ke arah punggung Aki Mahesa Sura. "Asrrgghh...!" Kakek itu mengeluarkan gerangan seperti seekor binatang buas, tubuhnya membalik, tongkatnya menyambar dan dua batang tombak itu kini bertemu dengan dadanya dan kdua senjata itu patah! tongkat ular menyambar mengenai dua orang penyerangnya yang segera terpelanting roboh dan berkelojotan!

Semua mundur, serbu anak buah gerombolan pemberontak. Biar aku yang melawan kekek ini!" bentak Aji dan para perajurit itu sadar bahwa mereka bukanlah tandingan kakek itu. Kembali mereka menyusup mencari perlindungan ketika sisa anak buah gerombolan menembaki mereka. Kini tanpa dikomando, para perajurit pengawal mengerti bagaimana caranya menghadapi musuh yang bersenjata api itu.

Pada saat letusan berhenti dan musuh sibuk mengisi peluru, mereka menyerang dengan anak panah. Bahkan kemudian setelah dekat, mereka menyerbu dengan senjata tombak dan golok. Terjadi pertempuran berdarah. Anak buah gerombolan kini tidak sempat lagi menggunakan bedil. Merekapun mencabut golok dan melawan dengan senjata itu, namun, jumlah mereka jauh berbeda. Kalau pasukan pengawal masih memiliki sisa anak buah sebanyak enam puluh orang, pihak pemberontak kini tinggal dua puluh orang saja!

Melihat Aji melompat pergi, Tumenggung Jaluwisa cepat melompat ke arah di mana dua buah pistolnya terlempar. Akan tetapi ketika dia tiba di situ, dua buah pistolnya itu telah diinjak oleh dua orang yang bukan lain adalah Jatmika dan Eulis! "He, pengkhianat pemberontak, kamu mencari ini?" Eulis hendak membanting kakinya untuk menginjak hancur pistol yang berada di bawah kakinya.

"Jangan injak, nimas!" Jatmika memperingatkan sehingga gadis itu terkejut dan tidak jadi membanting kaki ke atas pistol itu. Jatmika takut kalau-kalau pistol yang diinjak itu akan meledak. Dia lalu membungkuk dan memungut dua buah pistol itu, tersenyum mengejek kepada Tumenggung Jaluwisa.

"Senjata jahanam pemberian Belanda inikah yang kau cari, Tumenggung Jaluwisa?" setelah berkata demikian, Jatmika mengerahkan tenaga dan melontarkan dua buah pistol itu ke arah sungai yang berada di bawah tebing.

"Keparat!" Tumenggung Jaluwisa marah bukan main melihat dua buah pistol kesayangan dan andalannya dibuang dan lenyap ke bawah tebing. Dia mencabut goloknya yang mengkilat saking tajamnya. "Kalian telah mengkhianatiku! Sekarang aku menyesal mengapa tidak dari kemarin kalian kubunuh. Akan tetapi aku belum terlambat. Bersiaplah kalian untuk mampus! Haaaiiitt...!!"

Tumenggung itu melompat seperti seekor singa kelaparan, menerkam dan menerjang kedua orang muda itu dengan sambaran goloknya yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Namun, Jatmika dan Eulis sudah siap siaga. mereka melompat ke belakang sehingga sambaran golok itu luput. Melihat keris pusakanya Kyai Cubruk kini terselip di pinggang Tumenggung Jaluwisa, Jatmika berseru nyaring.

"Manusia curang! Kalau engkau memang gagah perkasa, kembalikan keris pusakaku kepadaku, baru kita bertanding sampai seorang diantara kita mati!"

Akan tetapi seruan Jatmika ini seperti mengingatkan tumenggung itu akan pusaka yang dirampasnya dan yang kini berada dipinggangnya. "Ha, kau menginginkan keris ini? Baik, siapkan dadamu dan keris ini akan kukembalikan padamu!" Tangan kirinya mencabut keris pusaka itu dan kini dengan buas dia menggerakkan golok dan keris untuk menyerang kalang kabut!

Tadi Jatmika dan Eulis sudah memungut sepotong ranting kayu sebesar lengan mereka, sepanjang kurang lebih satu meter dan dengan senjata sederhana ini mereka menghadapi serangan golok dan keris itu. Tentu saja pemuda dan gadis perkasa itu bersikap hati-hati sekali, tidak membiarkan senjata mereka bertemu langsung dengan golok lawan karena kalau hal itu terjadi, tentu ranting kayu di tangan mereka akan terpotong! Mereka berdua lebih banyak mengandalkan kelincahan gerakan mereka yang ditunjang ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti.

Terjadilah perkelahian yang seru, akan tetapi kini Jatmika dan Eulis lebih banyak menyerang dengan tongkat ranting kayu mereka. Biarpun hanya ranting kayu, namun karena ditunjang tenaga sakti yang amat kuat, maka senjata sederhana itu menjadi senjata yang ampuh sekali. Tumenggung Jaluwisa maklum akan hal ini, maka diapun berusaha keras agar jangan sampai terkena senjata dua orang pengeroyoknya. Apalagi ketika Jatmika dan Eulis menyeling serangan tongkat mereka dengan pukulan Aji Margopati (Jalan Maut) yang dahsyat bukan main, tumenggung yang tangguh itu terkejut dan mulailah dia terdesak hebat.

Sementara itu Aji sudah saling berhadapan dengan Aki Mahesa Sura. Tidak ada seorangpun dari kedua pihak berani membantu. Mereka berdua berdiri saling pandang. Kakek itu bertopang pada tongkat ularnya dan sepasang alis putih yang tipis itu berkerut-kerut, hidungnya kembang kempis karena kakek tua renta itu tadi mengamuk sehingga napasnya memburu. Mulut dengan bibir yang tebal itu agak menyeringai, dan dari sepasang matanya menyambar sepasang sinar yang amat berwibawa dan berpengaruh.

Di lain pihak, berdiri dalam jarak dua meter, Aji berdiri dengan tegak dan kedua tangannya tergantung santai di kanan kirinya, sepasang matanya juga memandang wajah kakek itu dan menyambut "serangan" sinar mata lawan itu dengan berani. Ya, biarpun kedua orang itu hanya berdiri saling pandang tanpa bergerak atau mengeluarkan kata-kata, namun sebenarnya mereka sedang mengadu kekuatan melalui sinar matanya!

Sepasang mata seekor kucing Candramawa mampu menjatuhkan seekor cecak yang sedang merayap di atas dinding atau mampu membuat seekor tikus yang tengah berlari menjadi lumpuh hanya dengan pandang matanya, maka Aki Mahesa Sura inipun mampu menyerang dan melumpuhkan lawan hanya dengan kekuatan sinar matanya yang lebih dahsyat daripada sinar mata seekor kucing Candramawa!

Begitu bertemu dan beradu pandang Aji sudah merasakan serangan dahsyat melalui sinar mata itu. Namun dia bersikap tenang saja dan memperkuat penyerahannya kepada kekuasaan Gusti Allah. Penyerahan total ini mendatangkan Kekuasaan Gusti Allah yang melindungi jiwanya dan menyebar ke seluruh tubuhnya sehingga sebuah kekuatan mujijat terbentuk. Aji hanya tinggal mengerahkan kekuatan ini melalui pandang matanya menyambut serangan sinar mata Aki Mahesa Sura.

"Uuhhhh...!!" Kakek itu mengeluh dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk memperkuat serangan sinar matanya. Akan tetapi dia merasa seolah kekuatan sihir matanya itu bertemu dengan kekuatan yang maha dahsyat.

Hal ini tidaklah aneh karena dia menentang sumber dari segala kekuatan yang telah menyusup ke dalam diri Lindu Aji, Kakek itu seperti kebanyakan orang sakti mandraguna yang lain, memperoleh kekuatan ajaibnya melalui segala cara, penyiksaan diri, penyembahan berhala, dan segala macam cara sesat lain lagi. Karena itu seperti kebanyakan orang, dia mendapatkan aji-ajinya dari kekuasaan gelap sehingga ilmu-ilmunya adalah ilmu hitam yang berasal dari kekuatan iblis dan setan.

Memang bagi manusia biasa, kekuatan yang berasal dari kuasa gelap ini luar biasa dan dahsyat sekali sehingga menakutkan. Ilmu-ilmu hitam ini biasa dipergunakan oleh manusia sesat untuk sarana mencapai semua keinginannya, memuaskan semua gejolak nafsunya, dan akibatnya biasanya hanya menguntungkan diri sendiri merugikan orang lain, atau menyenangkan diri sendiri menyusahkan orang lain. Ilmu hitam dari kekuasaan gelap atau iblis inilah yang menjadi sumber dari segala macam kejahatan seperti santet, tenung, sihir dan segala macam ilmu aneh yang menjadi alat bagi manusia sesat melakukan perbuatan jahat.

Kekuasaan gelap ini pula yang terkadang dimiliki beberapa orang dukun. Mereka ini menggunakan kekuatan yang timbul dari kekuasaan gelap untuk membantu orang-orang, denngan imbalan yang menyenangkan tentu saja, untuk mencari pesugihan, kenaikan pangkat, atau untuk memikat seorang wanita yang diinginkannya dan banyak lagi perbuatan-perbuatan sesat yang haram dilakukan manusia baik-baik karena semua perbuatan itu tujuannya hanya memuaskan nafsu sendiri dengan merugikan orang lain.

Manusia yang suka mencari kesenangan melalui cara ini akhirnya akan terjerumus ke dalam perangkap iblis, menjadi budak setan. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa nafsu keinginannya yang bersifat kedagingan dan duniawi itu dapat diperoleh, akan tetapi mungkin di luar kesadarannya, dia telah terikat dan dijadikan budak iblis. Iblis tidak pernah memberi anugerah. Yang dapat diberikannya hanyalah semacam JUAL BELI dan setiap orang yang telah memanfaatkan JASANYA sudah pasti harus membelinya dengan pengorbanan tertentu. Dan biasanya, pengorbanan yang diberikan itu tidak sepadan dengan yang diterimanya.

Pengorbanannya jauh lebih hebat dan mengerikan. Berbeda dengan kekuatan yang didapatkan manusia dengan penyerahan diri kepada Gusti Allah. Apa yang didapatkan ini merupakan anugerah, merupakan tuntunan, bimbingan, suatu anugerah karena manusia itu telah mencapai tingkat keimanan yang paling dalam yaitu penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan dengan tawakal, ikhlas dan taat.


Demikianlah, tidak mengherankan ketika Aki Mahesa Sura mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya, dia merasa seolah sinar lampu bertemu sinar matahari, seperti air bertemu samudra. Dia tidak tahan lagi dan melangkah mundur sambil memejamkan matanya. Kekuatan sinar matanya yang dipergunakan untuk menyerang tadi terasa seperti membalik dan menghantam dirinya sendiri.

Terpaksa Aki Mahesa Sura memejamkan kedua matanya dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Namun karena dia memang sakti dan kuat, dia dapat memulihkan keadaannya. Tidak, dia sama sekali tidak merasa kalah. Orang seperti kakek ini yang merasa telah memiliki kedigdayaan, mempunyai kemampuan tinggi dan merasa dirinya sakti mandraguna, tidak mengenal perasaan mengaku kalah atau mengaku salah. Dia merasa dirinya paling pintar!

Ini merupakan kelemahan kebanyakan manusia, yakni merasa dirinya paling pintar. Padahal, mengaku diri pintar adalah suatu kebodohan besar, karena pengakuan atau perasaan diri sendiri pintar ini menutup semua kemungkinan untuk mencapai pengertian lebih banyak. Seolah sebuah gelas yang sudah penuh, bagaimana dapat menampung air dari luar. Beruntunglah dia yang dengan tulus ikhlas mengaku dirinya masih bodoh, bagaikan gelas yang masih belum penuh sehingga dapat menerima pengisian dari luar sehingga ISINYA bertambah-tambah.

Orang yang mengaku dirinya pintar, sesungguhnya hanyalah keminter (sok pintar). Cobalah tanya kepada orang yang sok pintar itu, berapa helai sih jumlah kumis atau jenggotnya? Dia tidak akan mampu menjawab. Menghitung jenggot sendiri saja tidak mampu kok berani mengaku pintar! Menggelikan dan lucu yang membuat kita senyum masam. Seperti juga tidak ada manusia sempurna, juga tidak ada manusia pintar. Mungkin dia pintar dalam satu hal, akan tetapi bodoh dalam lain hal. Yang Maha Pintar hanyalah Gusti Allah. Yang Maha Sempurna hanyalah Gusti Allah. Bahkan sekelumit KEPINTARAN yang dimiliki manusia juga anugerah Gusti Allah!


Aki Mahesa Sura tidak merasa kalah, bahkan menjadi penasaran dan marah bukan main. Mana dia kalah oleh seorang pemuda INGUSAN? Akan tetapi dia ingin tahu juga siapa pemuda yang mampu menahan serangan sinar matanya itu. "Huh, bocah keparat yang berani melawan Aki Mahesa Sura! Mengakulah, siapa namamu agar jangan engkau mati tanpa meninggalkan nama!"

"Aki Mahesa Sura, orang tuaku memberiku nama Lindu Aji." jawab Aji sejujurnya tanpa maksud merendahkan atau mengagungkan diri dengan nama itu.

Akan tetapi jawaban yang jujur itu malah membuat kakek itu membelalakkan matanya dengan jantungnya berdebar keras. Teringat dia akan mendiang gurunya, Resi Mahesa Badag yang pernah memperingatkannya. "Awaslah kalau engkau bertemu seorang manusia yang namanya menggetarkan bumi, karena dia itu memiliki ANINDYAGUNA (keunggulan sempurna) dan karenanya dia ANIWIRYA (tidak dapat dilawan), memiliki siyung (taring) Sang Batara Kala. Maka, jauhilah dan jangan dilawan."

Dasar manusia yang sudah menjadi budak nafsu, Aki Mahesa Sura yang sombong dan merasa diri sendiri terpandai itu sama sekali tidak terpengaruh pesan gurunya itu. Dia tetap tidak sudi mengaku kalah terhadap seorang pemuda kencur! Sepandai-pandainya pemuda itu, bagaimana mungkin dapat mengalahkannya? Waktu yang dia pergunakan untuk berjerih payah mempelajari dan mengumpulkan semua ilmu itu, masih lebih banyak dari pada usia bocah di depannya itu! Karena itu dia merasa yakin bahwa dia pasti akan dapat menglahkan dan membunuh pemuda yang lancang berani menentangnya itu.

"Lindu Aji, engkau lihat, apa yang kupegang ini?" bentaknya sambil mengangkat tongkat ularnya ke atas.

Aji merasa betapa dalam suara kakek itu terkandung getaran yang amat kuat maka maklumlah dia bahwa kakek itu hendak menyerang melalui suaranya yang mengandung hawa sakti. Dia masih bersikap tenang ketika memandang tongkat itu dan berkata tanpa nada mengejek, "Aki Mahesa Sura, aku melihat engkau memegang sebuah bangkai ular kering yang kau jadikan tongkat."

"Uwah! sudah butakah matamu? Pusaka Sarpasakti ini memiliki kesaktian Kalabahnisanghara (penumpasan dengan api maut), siapa berani melawan akan dihancur binasakan! Karena itu aku perintahkan kamu, hei Lindu Aji! Berlututlah dan menyembahlah engkau agar terbebas dari kehancuran!" Dalam suara Aki Mahesa Sura, terutama sekali dalam kalimat terakhir, terkandung getaran yang teramat kuat, yang seolah mendatangkan tangan tak tampak yang menekan dan memaksa Lindu Aji untuk bertekuk lutut.

Namun, segera pemuda yang merasakan pengaruh sihir itu berzikir menyebut nama Allah berulang-ulang sesuai dengan detak jantung dan pernapasannya. Muncullah kekuatan baru dalam dirinya dan rasa tertekan tadipun lenyap, bahkan dia mengangkat muka memandang Aki Mahesa Sura yang masih mengangkat tongkat ularnya ke atas dan memandang kepadanya sambil menggerak-gerakkan tongkat itu yang seolah menjadi hidup kembali.

"Hentikan badutanmu itu, Aki. Tidak ada gunanya sama sekali." kata Aji dengan tenang.

Aki Mahesa Sura kembali tertegun. Pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh! Sedikitpun tidak. Heran sekali dia. Padahal, belum pernah ada orang yang mampu menolak serangan sihir melalui suaranya itu semudah itu!

"Hemmm, engkau berani, ya? Lihat sekarang serangan halilintar dari tongkat pusakaku!" Dia mengangkat tongkat itu ke atas. kepala ular kering itu berada di atas dan ekornya di bawah. "Hyaaaahhhh...! Kakek itu mengeluarkan teriakan melengking dan tiba-tiba dari moncong ular kering yang terbuka itu menyambar keluar sinar kehijauan, meluncur ke arah kepala Aji!

Pemuda ini sudah siap, baik batiniah maupun lahiriah. Jiwanya menyerah sepenuhnya kepada Kekuasaan Gusti Allah sedangkan raganya selalu siap untuk menjaga diri, berusaha sekuat kemampuannya untuk menyelamatkan dirinya. Memang demikianlah yang selalu diajarkan oleh mendiang gurunya, Ki Tejo Budi dahulu.

Manusia hidup haruslah memenuhi dua kelengkapan itu agar dapat disebut manusia seutuhnya. Secara rohani, dia harus selalu dekat selalu ada kontak dan komunikasi, selalu di JUMENENGI Roh Allah yang Maha Suci dalam arti kata, Kekuasaan Gusti Allah selalu manunggal (bersatu) dalam dirinya. Dan secara jasmani, dia harus selalu mempergunakan semua anugerah Gusti Allh berupa badan dan hati akal pikiran ini untuk berikhtiar, berusaha untuk keselamatan jasmaninya, untuk kesejahteraan hidupnya di dunia dan terutama sekali, untuk membantu pekerjaan Gusti Allah, yaitu membangun kehidupan manusia di dunia yang penuh kedamaian, penuh kesejahteraan, penuh kasih sayang antara manusia.

Dalam keadaan seperti itulah Aji menghadapi serangan tongkat pusaka di tangan Aki Mahesa Sura. Didasari iman penyerahannya kepada Gusti Allah, Aji lalu menyambut sinar hijau itu dengan dorongan telapak tangan kirinya sambil mengerahkan Aji Surya Chandra. Sinar hijau yang keluar dari moncong ular kering menyambar dahsyat, bertemu dengan telapak tangan kiri Aji yang dikembangkan. Sinar itu seolah terpental membalik dan menyambar kepala ular kering itu sendiri.

"Uhhh...!!" Kembali Aki Mahesa Sura terhuyung, terbawa oleh tongkatnya sendiri yang seperti terserang sinar hijau yang keluar dari moncongnya. Agaknya telapak tangan Aji tadi bekerja seperti sebuah cermin dan ketika sinar hijau menyambarnya, maka sinar itu seperti bertemu dengan cermin dan bayangannya terpantul membalik dan menyerang sumber sinar hijau itu sendiri.

Aki Mahesa Sura menjadi semakin marah dan penasaran. Dua macam serangan mempergunakan kekuatan sihir melalui mata dan suaranya telah digagalkan, bahkan serangan ketiga melalui tongkat ular juga terpantul membalik. Namun dia belum juga jera. Dia telah bertahun-tahun mempelajari ilmu-ilmu dari Pajajaran, maka kini dia mengerahkan semua kekuatannya untuk menyerang dengan sihir ilmu hitam yang dianggap paling ampuh.

Tiba-tiba dia menancapkan tongkat ularnya ke atas tanah setelah itu dia mengeluarkan suara menggereng yang amat kuat sehingga menggetarkan sekeliling tempat itu, kedua tangannya diangkat ke depan dada dan membentuk cakar harimau, menggetar penuh tenaga dahsyat dan bergerak-gerak saling menyilang, kemudian dia berjungkir balik tiga kali dan tubuhnya berubah menjadi seekor harimau yang amat besar!

Harimau sebesar kerbau itu memandang Aji dengan sepasang mata bersinar-sinar mencorong, moncongnya mengeluarkan suara menggereng, mengaum dan bibirnya tertarik-tarik memperlihatkan taring dan gigi yang putih mengkilap dan runcing mengerikan, kedua kaki depannya menggaruk-garuk tanah dan apabila kuku-kukunya itu ada yang menggurat batu, maka terperciklah bunga api!

Aji menghadapi harimau itu dengan tenang. Dan maklum sepenuhnya bahwa mahluk yang berada di depannya itu adalah seekor harimau jadi-jadian. Pernah dia berhadapan dengan Munding Hideung dan Munding Bodas, murid-murid kakek ini dan dua orang pemimpin gerombolan itupun pernah mempergunakan ilmu hitam yang serupa, yaitu mereka menjadi dua ekor harimau jadi-jadian.

Namun dia dapat memunahkan sihir mereka itu dengan Aji Tirta Bantala (Ilmu Air dan Tanah). Kekuatan mujijat yang muncul karena iman dan penyerahannya kepada Gusti Allah dapat memunahkan ilmu hitam kedua orang pimpinan gerombolan itu. Dan sekarang dia berhadapan dengan harimau jadi-jadian buatan Aki Mahesa Sura yang tentu jauh lebih dahsyat dan berbahaya dibandingkan dua orang muridnya!

Timbul keinginan dalam hati Aji untuk menguji kemampuan dirinya sendiri melawan harimau jadi-jadian itu dengan ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang Ki Tejo Budi. Bagaimanapun juga, dia memiliki pegangan batin yang amat kuat, yaitu keyakinannya bahwa kepasrahannya kepada Gusti Allah. Kalau sudah begitu, apa yang perlu ditakuti lagi? Apapun yang terjadi dengan dirinya, sepenuhnya menurut kehendak Gusti Allah dan akan diterimanya dengan penuh rasa syukur karena apapun yang ditentukan Allah, betapa burukpun dalam pandangan manusia, sesungguhnya adalah yang terbaik baginya!

Dalam menghadapi segala hal, dia harus berikhtiar berusaha sekuat tenaga untuk melindungi dirinya. Ikhtiar, usaha atau bekerja adalah wajib di samping iman penyerahan diri sepenuhnya yang merupakan keharusan manusia. Bekerja saja tanpa dilandasi adanya bimbingan Gusti Allah dapat menyesatkan, membuat kita lupa diri dan hanya mengejar hasil pekerjaan itu tanpa perduli apakah cara bekerja itu diridhoi Gusti Allah atau tidak.

Sebaliknya, hanya bimbingan kepada jiwa kita saja oleh Gusti Allah tanpa mengerjakannya dengan jasmani kita, juga membuat kita tidak mungkin dapat hidup di dunia ini. Keduanya, olah kerja dan iman penyerahan haruslah sama-sama kuat. Dengan demikian, hidup akan menjadi seutuhnya sebagai seorang manusia.


"Haunnggg.... grrrrr... !!" Tiba-tiba harimau sebesar kerbau itu melompat dan menubruk, menerkam dengan dahsyatnya kepada Aji. Pemuda ini sudah siap dan waspada. Dia segera mengerahkan kelincahan berdasarkan Aji Bayu Sakti dan menggerakkan tubuhnya, bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Bagaikan seekor kera, atau lebih tepat lagi, bagaikan gerak gerik sang Hanoman dalam kisah wayang Ramayana, dia telah menyusup di bawah terkaman harimau jadi-jadian itu sehingga terkaman itu luput.

cerita silat online karya kho ping hoo

Akan tetapi ketika Aji membalikkan tubuh dan berada di belakang harimau itu, tiba-tiba harimau itu menggerakkan ekornya yang panjang dan bagaikan ssebatang toya (tongkat) baja ekor itu menyambar dan menghantam kuat sekali ke arah pinggang Aji! Pemuda itu terkejut juga, tidak pernah menduga akan serangan yang mendadak itu. Karena untuk mengelak dia sudah tidak mempunyai kesempatan lagi, maka Aji lalu menyalurkan tenaga dari Aji Surya Chandra ke lengan kirinya dan menangkis sambaran ekor yang lebih besar daripada lengannya itu.

"Wuuuttt... dukkk!!" Aji merasa betapa tubuhnya tergetar saking kuatnya sambaran ekor harimau jadi-jadian itu. Akan tetapi harimau itupun menggereng dan ekornya terpental ketika bertemu lengan Aji. Harimau itu cepat sekali sudah memutar lagi tubuhnya dan cakar kananya menyambar dengan kecepatan kilat ke arah leher Aji. Pemuda itu masih dapat mengelak dengan miringkan tubuhnya, akan tetapi dengan cekatan cakar harimau itu dapat mengejar dan mengenai pundaknya.

"Brettt....!" Baju di pundak Aji robek, akan tetapi kuku-kuku rincing itu hanya mendatangkan guratan pada kulit pundaknya, tidak melukainya sama sekali karena tubuh Aji terlindung oleh kekuatan mujijat yang membuatnya kebal. Sekali lagi harimau raksasa itu membuat lompatan menerjang dan menerkam. Namun Aji dapat mengelak dengan lebih cepat lagi. Harimau itu mengamuk, menerkam dengan kedua cakar depannya dan berulang-ulang memukul dengan ekornya.

Namun semua serangan itu dapat dihindarkan Aji dengan elakan dan kalau perlu serangan itu dipatahkan dengan tangkisan lengannya. Pertarungan sengit terjadi. Beberapa kali Aji terkena hantaman ekor akan tetapi pukulan itu hanya membuat dia terguncang sedikit dan ekor yang memukul itupun terpental. Sebaliknya beberapa kali tamparan tangan Aji mengenai tubuh binatang jadi-jadian itu. Akan tetapi tubuh harimau itupun kuat dan kebal sekali. Harimau itu terkadang terpelanting oleh pukulan tangan Aji, akan tetapi seperti tidak merasakan nyeri, binatang itu sudah bangkit dan menyerang lagi.

Setelah cukup lama berkelahi dan belum juga dapat mengalahkan pemuda itu, harimau jadi-jadian itu menjadi kesetanan. Matanya mencorong seperti berapi dan moncongnya mengeluarkan uap panas. dengan gerengan yang menggetarkan jantung kini harimau itu menerkam lagi dengan lompatan tinggi. "Wiiii...!" Aji cepat menyusup ke bawah perut mahluk jadi-jadian itu seperti ketika ia menyerang pertama kali.

Secara tiba-tiba dia membalik ketika berada di belakang harimau dan sekali sambar, tangan kanannya sudah menangkap ekor harimau itu. Harimau itu meronta, namun Aji sudah mengerahkan tenaga dan mengayun lalu memutar-mutar tubuh harimau yang besar itu ke atas kepalanya. Harimau itu mengaum-aum marah akan tetapi tak mampu melepaskan diri dan diputar-putar cepat sekali seperti kitiran lalu mengayun dan melontarkan tubuh harimau besar itu sambil membentak.

"Pergilah kau!" Tubuh harimau raksasa itu terlempar melalui pohon-pohon menuju ke arah sungai dan tak tampak lagi. Aji cepat mencari Sulastri dan Jatmika. Setelah memutar tubuhnya, dia melihat Jatmika dan Sulastri sedang bertarung melawan empat orang lawan yang tangguh. Masing-masing dikeroyok dua orang lawan dan mereka bertanding mati-matian.

Tadi, setelah Aji berhasil memukul lepas dua buah pistol dari tangan Tumenggung Jaluwisa, senopati Sumedang ini segera dikeroyok dua oleh Jatmika dan Eulis. Mereka berkelahi dengan seru dan biarpun tumenggung itu seorang yang digdaya, namun menghadapi pengeroyokan Jatmika dan Eulis, dia kewalahan juga dan mulai terdesak.

Memang, senjata di tangan dua orang muda itu hanya ranting kayu, namun di tangan mereka ranting itu menjadi senjata yang ampuh. Apalagi mereka menyelingi serangan ranting itu dengan tangan kiri yang melancarkan pukulan dengan Aji Margopati yang dahsyat dan ampuh. Biarpun Tumenggung Jaluwisa mengamuk dengan golok di tangan kanan dan keris Kyai Cubruk milik Jatmika di tangan kiri, namun tetap saja dia terdesak larena dua ujung ranting itu dapat mematahkan semua serangannya, dan pukulan Margopati itu menyambar-nyambar dahsyat.

"Kena...!!" Tiba-tiba Jatmika membentak dan ujung ranting di tangannya, dengan telak sekali menusuk pergelangan tangan kiri tumenggung itu. Tumenggung Jaluwisa terkejut, walaupun pergelangan tangannya tidak terluka namun sedetik tangan itu seperti kaku dan lumpuh sehingga keris rampasan yang dipegangnya terlepas.

Dengan gerakan cepat Jatmika menyambar keris pusakanya yang terjatuh di atas tanah itu. Eulis cepat memutar rantingnya ketika Tumenggung Jaluwisa hendak menghalangi Jatmika memungut keris pusakanya sehingga pemuda itu akhirnya berhasil mengambil Keris Kyai Cubruk. Kini dengan keris di tangan kanan dan ranting di tangan kiri, Jatmika menyerang dengan hebat, dibantu oleh Eulis yang tingkat kepandaiannya tidak terpaut banyak dibandingkan tingkat kepandaian Jatmika.

Tadi saja tumenggung itu sudah terdesak. Apa lagi sekarang. Dia memutar-mutar goloknya sehingga senjatanya itu berubah menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai melindungi dirinya. Namun, tetap saja dia terdesak dan kerepotan. Tumenggung itu berulang kali mengeluarkan teriakan sebagai isyarat kepada para pembantunya. Tiba-tiba muncul tiga orang yang memegang golok dan serentak mereka menyerbu dan membantu sang tumenggung.

Mereka itu bukan lain adalah Munding Beureum, Munding Koneng, dan Munding Hejo. Tadi, tiga orang ini memimpin anak buah melawan para perajurit pengawal dan dengan adanya mereka bertiga yang mengamuk, biarpun jumlah anak buah itu tidak banyak dibandingkan pasukan pengawal, mereka mampu mendesak. Akan tetapi tiga orang itu mendengar isyarat tumenggung yang minta bantuan. Maka mereka meninggalkan anak buah mereka dan membantu Tumenggung Jaluwisa.

Munding Beureum dan Munding Koneng mengeroyok Eilis, sedangkan Munding Hejo membantu sang tumenggung mengeroyok Jatmika. Keadaan menjadi terbalik. Kalau tadi Tumenggung Jaluwisa yang terus terdesak, sekarang Jatmika dan Eulis yang terdesak dan terpaksa mereka harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti untuk bergerak cepat mengelak dari hujan serangan para pengeroyok.

Aji yang sudah kehilangan lawan, melihat keadaan Jatmika dan Sulastri, melompat dan langsung dia menerjang ke arah Munding Beureum yang mengeroyok Sulastri. "Nimas Sulastri, jangan khawatir, aku datang membantumu!" Setelah berteriak demikian Aji lalu menampar ke arah pengeroyok yang ikat pinggangnya berwarna merah, yaitu Munding Beureum. "Wuuuutttt...!" Munding Beureum terkejut bukan main melihat datangnya angin pukulan yang dahsyat. Dia terpaksa melemparkan tubuhnya ke samping, lalu menjatuhkan diri dan sambil bergulingan dia membabatkan goloknya ke arah kaki Aji.

Gerakannya memang cekatan sekali. Sambil bergulingan goloknya menyambar-nyambar secara bertubi ke arah kedua kaki Aji. Aji berloncatan menghindar, akan tetapi ketika golok itu menyambar berulang-ulang, dia menggunakan kaki kanannya untuk memapaki dan menendang sambil mengerahkan tenaga.

"Dess... sing...!" Golok itu terlepas dari tangan Munding Beureum dan meluncur ke arah Eulis atau Sulastri. Gadis itu menyambar dengan tangan kirinya dan ia sudah berhasil menangkap golok itu pada gagangnya. Melihat tubuh Munding Beureum masih bergulingan dan mendekatinya, ia lalu meluncurkan tongkat ranting kayunya ke arah tubuh yang bergulingan itu, sambil mengerahkan tenaga.

"Wirrr... capp!" ranting kayu itu menancap ke dada Munding Beureum sampai hampir tembus! Orang itu mengeluarkan teriakan parau dan tewas tak lama kemudian. Eulis atau Sulastri girang bukan main mendapatkan pertolongan walaupun ia terheran-heran mendengar pemuda itu menyebutnya Nimas Sulastri! Sebutan nama ini terasa akrab di telinganya, juga rasanya ia tidak asing dengan wajah dan suara pemuda itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana dan bilamana pernah berjumpa dengan pemuda itu. Ia tidak dapat banyak berpikir karena kini Munding Koneng yang melihat saudara seperguruannya tewas, menjadi marah dan menyerangnya dengan ganas sekali. Eulis menangkis dengan golok rampasannya.

"Cringgg...!" Bunga api berpijar ketika dua batang golok bertemu. Namun kini Eulis memperlihatkan kehebatannya. Ia dahulu memang mahir dan sudah terbiasa bersilat pedang. Maka kini, memegang sebatang golok, ia dapat memainkannya dengan dahsyat sehingga Munding Koneng segera terdesak. Melihat keadaan Sulastri kini hanya menghadapi seorang lawan dan mampu mendesaknya, Aji lalu membantu Jatmika yang masih dikeroyok dua oleh Tumenggung Jaluwisa dan Munding Hejo. Dia menerjang ke arah pengeroyok yang sabuknya berwarna hijau dan yang memainkan sebatang golok.

"Wuuuttt...!" Tamparan tangan Aji ampuh sekali dan mendatangkan angin pukulan dahsyat. Munding Hejo terkejut dan dia membabatkan goloknya untuk menyambut tamparan tangan itu dengan maksud agar tangan yang menamparnya itu terbabat buntung oleh goloknya. "Dessss... krek...!!"

Hebat sekali pertemuan dua tenaga itu. Golok itu patah dan tubuh Munding Hejo terlempar seperti daun kering disapu angin. Dia terlempar dan jatuh terguling-guling dekat dengan beberapa orang pasukan pengawal. Melihat musuh roboh terguling-guling, lima orang perajurit pasukan menghujani tubuh Munding Hejo dengan tusukan tombak dan bacokan golok. Getaran pukulan Aji tadi membuat Munding Hejo tidak mampu lagi mengerahkan aji kekebalannya sehingga tubuhnya rusak dan nyawanya melayang karena hujan serangan itu.

Pada saat itu tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ke dekat lima orang perajurit yang membacoki dan menusuki tubuh Munding hejo yang sudah tak bernyawa lagi. "Heeeeiiiitttt... arrrggghhh...!" Terdengar bentakan dan gerengan dahsyat dan orang itu mendorongkan kedua tangannya ke arah lima orang perajurit itu. Angin yang amat kuat menyambar dan lima orang perajurit itu berpelantingan roboh dan tidak mampu bangkit lagi karena mereka semua tewas!

Aji terkejut dan cepat menghampiri. Ternyata dia berhadapan dengan Aki Mahesa Sura yang berdiri memegang tongkat ularnya dengan pakaian basah kuyup. Agaknya ketika dia menjadi harimau jadi-jadian dan dilemparkan Aji tadi terjatuh ke sungai akan tetapi tidak terluka dan dia dapat keluar dari sungai dengan tubuh dan pakaian basah kuyup. Tadi melihat betapa seorang muridnya, Munding Hejo dibantai, dia menjadi marah dan sekali serang dia telah membunuh lima orang perajurit pengawal!

Sementara itu, semua anak buah pemberontak telah dapat dirobohkan dan sebagian lagi melarikan diri. Para perajurit pengawal yang masih hidup kini hanya menjadi penonton bersama Adipati Pangeran Mas Gede, tidak berani mendekati pertempuran hebat antara Eulis atau Sulastri melawan Munding Koneng, Jatmika melawan Tumenggung Jaluwisa, dan Aji yang kini saling berhadapan dengan Aki Mahesa Sura.

"Babo-babo, Lindu Aji! Penghinaan ini harus kautebus dengan nyawamu!" Wajah kakek itu tampak bengis dan menyeramkan, seperti wajah iblis sendiri karena mengandung hawa amarah yang memuncak. Sinar matanya penuh ancaman maut, tongkat ular di tangan kanannya menggigitl saking kuatnya emosi menguasainya.

Aji bersikap tenang. "Aki Mahesa Sura, cobalah renungkan lagi. Siapa yang menghina dan siapa yang menyulut api permusuhan dan pertempuran ini? Masih belum terlambat kalau andika menyadari kesalahan, bertaubat dan mengubah jalan hidupmu agar mendapatkan penerangan sejati dan menuntunmu ke jalan kebenaran."

"Aaahhh!" Seperti iblis sendiri kakek itu menjadi marah mendengarkan ucapan itu, ucapan yang sama sekali berlawanan dengan keinginan hatinya. "Tak perlu berkhotbah di sini! Sekarang tinggal engkau atau aku yang menang atau mati!" Setelah berkata demikian, kakek itu mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah Aji sambil berteriak lantang. "Aji Bajra Kalantaka! Mampuslah!!" Hebat dan dahsyat bukan main Aji Bajra Kalantaka (Kilat Dewa Maut) ini.

Dari tangan kiri itu menyambar sinar yang menyilaukan mata, yang mencuat bagaikan sambaran halilintar ke arah Aji. Aji cepat merangkap kedua tangan di depan dada, melebur diri ke dalam kekuasaan Gusti Allah dan otomatis tangan kanannya mendorong ke depan. Tidak tampak apapun dari telapak tangan kanannya. Akan tetapi sinar kilat yang menyambar dari telapak tangan kiri kakek itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan tertahan oleh sesuatu yang tidak tampak namun yang kuat sekali.

Tejadilah adu kekuatan. Kakek itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong kekuatan yang menghalang itu. Sampai mulutnya mengeluarkan suara bekah-bekuh, tubuhnya gemetar dan keringatnya mulai membasahi mukanya, napasnya mulai terengah dan sinat kilat mulai terdesak mundur dan kembali ke telapak tangannya. Sejenak tangan kiri kakek itu terkulai lemas. Untung bahwa Aji tidak mendesaknya, kalau hal itu dilakukan, tentu kakek itu akan roboh.

Namun, biar kakek itu sudah tua renta, semangatnya menggebu-gebu, dia tidak mau kalah dan merasa kuat. Apalagi dia sedang marah dan penasaran. Semangatnya ini yang membuat dia tiba-tiba dapat menguasai dirinya kembali dan kini dia mengeluarkan pekik menyeramkan. "Auuurrrggghhh...!" Tubuhnya menerjang ke depan, tongkat ularnya diputar cepat sehingga berubah menjadi gulungan sinar hitam dan kini dia menggunakan ilmu silat yang cepat dan kuat untuk menyerang Aji.

Menghadapi serangan cepat dan kuat yang amat berbahaya ini, Aji juga cepat bergerak lincah dan cekatan bagaikan seekor kera. Dan memainkan ilmu silat yang disebut Aji Wanara Sakti, mengelak dengan cepat dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan adu ilmu silat yang seru, cepat dan mengeluarkan angin berdesir desir. Tubuh mereka lenyap bentuknya, berubah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di antara gulungan sinar hitam tongkat itu. Dan ternyata ilmu silat yang dimainkan Aki Mahesa Sura itu memang hebat bukan main sehingga Aji sendiri kewalahan menghadapi sinar bergulung-gulung dan berkelebatan menyambar-nyambar seperti kilat itu.

Hanya dengan kelincahan Aji Wanara Sakti saja dia masih mampu berkelebatan mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran tongkat maut. Sementara itu, pertandingan antara Jatmika melawan Tumenggung Jaluwisa juga berlangsung dengan hebat dan seru. Tumenggung itu adalah senopati Sumedang, bahkan tangan kanan Pangeran Mas Gede, maka ilmu silatnya juga amat dahsyat. Dengan golok besarnya, dia berusaha keras untuk merobohkan Jatmika yang melawan golok itu dengan keris pusakanya Kyai Cubruk.

Namun, senjatanya itu, biarpun merupakan pusaka ampuh, merupakan senjata yang pendek sehingga jangkauannya kalah jauh dibandingkan golok di tangan sang tumenggung. Oleh karena itu, dia harus bergerak dengan hati-hati dan menggunakan semua kelincahannya untuk menandingi lawan. Mereka saling serang dengan seru dan mati-matian. Hanya pertandingan antara Eulis melawan Munding Koneng yang agak berat sebelah.

Biarpun Munding Koneng juga seorang digdaya, merupakan seorang di antara Panca Munding murid-murid Aki Mahesa Sura, namun melawan Eulis yang tingkat kepandaiannya setingkat dengan Jatmika, dia kewalahan sekali. Dara perkasa yang kini bersenjatakan sebatang golok rampasan itu memiliki kecepatan gerakan yang membuat Munding Koneng repot sekali. Kadang pandang matanya kabur melihat dara itu berkelebatan di sekitarnya dan golok di tangan mungil itu menyambar-nyambar dan sinarnya bergulung-gulung menyilaukan mata.

"Trang-trang-trang...!" Bertubi-tubi golok mereka bertemu ketika Munding Koneng menangkis serangan yang datang dengan gencar itu. Tiba-tiba Eulis mengeluarkan bentakan melengking dan kembali goloknya menyambar dari atas, membacok ke arah kepala lawan. Munding Koneng kembali menangkis dengan sekuat tenaga. Harapan satu-satunya hanyalah mengadu tenaga dengan harapan tangkisannya akan membuat golok di tangan dara itu patah atau terlepas dari pegangan karena dalam hal kecepatan dia kalah jauh sehingga dia terus terdesak.

"Singgg... trakkkk!" Dua batang golok bertemu dan saling melekat! Kesempatan yang hanya beberapa detik ini dipergunakan oleh Eulis untuk memukul dengan tangan kirinya. "Syuuuttt... plakk!" dada Munding Koneng terkena pukulan Margopati tangan kiri Eulis. "Aduhhhh...!"

Tubuh laki-laki itu terjengkang dan dia terbanting keras, tak dapat bangun lagi karena pukulan ampuh dan dahsyat itu telah merusak isi rongga dadanya. Eulis menoleh, memandang ke arah Jatmika yang masih bertanding dengan seru dan berimbang melawan Tumenggung Jaluwisa. Tanpa ragu-ragu lagi Eulis melompat dan langsung menyerang senopati Sumedang itu dengan goloknya. "Wirrrr...!" Jaluwisa terkejut dan cepat melompat ke samping mengelak. Akan tetapi Jatmika sudah menyerangnya dan Eulis juga sudah menerjang lagi. Tumenggung Jaluwisa dikeroyok dua dan sekarang keadaan berubah. Senopati Sumedang yang memberontak itu mulai kewalahan dan dia hanya dapat mengelak dan menangkis dihujani serangan golok dan keris. Pertandingan berat sebelah ini tidak berlangsung lama.

Setelah bersusah payah mempertahankan diri, Jaluwisa menjadi nekad. Dia ingin mengadu nyawa. Biar dia roboh asal dapat merobohkan pula Jatmika. Setelah didesak terus, akhirnya dia membalas, menyerang dahsyat sekali ke arah Jatmika, membacokkan goloknya ke arah leher pemuda itu dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Jatmika terkejut dan cepat menangkis dengan kerisnya.

"Trangggg...!!" Jatmika tergetar dan terhuyung, akan tetapi pada saat itu, sinar golok di tangan Eulis menyambar tepat mengenai lambung Jaluwisa yang tak terlindung. "Cratttt...!" Darah muncrat dan Jaluwisa terhuyung, tangan kiri mendekap lambungnya yang terluka parah. Jatmika menggunakan kesempatan itu untuk menerjang dan keris pusakanya menyambar dan menusuk ke atah leher senopati Sumedang itu. Jaluwisa mengeluarkan teriakan lemah dan robohlah dia dalam gelimangan darahnya sendiri.

Jatmika dan Eulis kini memandang ke arah Aji yang masih bertanding seru melawan Aki Mahesa Sura. Tanpa diperintah, seperti sudah bersepakat saja, sepasang orang muda ini sudah menerjang maju dan mengeroyok Aki Mahesa Sura. Kakek itu terkejut sekali karena dapat merasakan bahwa tingkat kepandaian dua orang muda yang maju membantu Aji itupun memiliki tingkat kesaktian yang sudah kuat sekali sehingga dia terdesak hebat. Tadi, ketika bertanding melawan Aji, kakek itu sudah merasa betapa sukarnya mengalahkan pemuda itu.

Aji yang diserang tongkat ular yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung itu telah mencabut keris pusaka Kyai Nogowelang dan melakukan perlawanan mati-matian. Pemuda inipun maklum betapa saktinya kakek yang dihadapinya. Ketika Jatmika dan Sulastri atau Eulis datang membantunya, dia merasa girang dan dia mempercepat gerakan kerisnya untuk mendesak kakek yang sakti mandraguna itu, Ketika golok di tangan Eulis dan keris di tangan Jatmika kembali menyerang dari depan dalam saat yang berbareng, kakek itu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya dan menggunakan tongkat ularnya untuk menangkis, sementara itu tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke arah Aji, didorongkan dan dari telapak hitam itu keluar asap hitam.

Melihat serangan ini, Aji cepat mendorongkan tangannya untuk menyambut sambil mengerahkan tenaga sakti dari Aji Suryo Candra. "Trangg-trangg...!" Jatmika dan Eulis tergetar dan terhuyung oleh tangkisan tongkat Aki Mahesa Sura dan kakek itu hanya bergoyang tanda bahwa pertemuan senjata itupun menggoyahkannya. Pada saat itu, dua tenaga sakti bertemu di udara, antara dorongan tangan kakek itu yang bertemu dengan dorongan tangan Aji.

"Wuuuttt.... desss...!" Sebetulnya kakek itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali. akan tetapi pada saat itu, tenaganya terbagi. Sebagian tadi untuk menangkis golok Eulis dan keris Jatmika, dan sebagian lagi untuk menyerang Aji. Tangkisan terhadap dua senjata itu sudah membuat kakek itu tergetar dan sisa tenaganya yang dipakai untuk menyerang Aji yang menggunakan Aji Surya Chandra. Aki Mahesa Sura terkejut dan dari mulutnya keluar keluhan panjang, tubuhnya terhuyung ke belakang seperti terbawa angin.

Melihat keadaan kakek ini, Jatmika dan Eulis tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mereka berdua menerjang ke depan. Keris pusaka Kyai Cubruk di tangan Jatmika dan golok di tangan Eulis berkelebat. "Cratt-cratt!" kakek itu tidak sempat melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan karena dia sudah terguncang oleh pertemuan tenaga saktinya dengan sambutan Aji tadi. Perutnya terobek pedang dan ulu hatinya tertikam keris!

Dia roboh, akan tetapi dapat bangkit kembali dan dengan wajah menyeramkan, dia lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Jatmika dan Eulis. Asap hitam mengepul dari kedua telapak tangannya dan asap itu menyambat ke arah Jatmika dan Eulis. "Awas...!" Aji berseru khawatir, maklum betapa hebat serangan kakek yang sudah terluka parah itu. Jatmika dan Eulis tak sempat mengelak lagi. mereka berdua, seperti sudah bersepakat, menekuk lutut dan keduanya mendorongkan telapak tangan mereka ke depan, menyambut pukulan dahsyat kakek itu dan mengerahkan Aji Margopati.

"Wuuuttt... bressss...!!" Tubuh Jatmika dan Eulis terpental dan terbanting roboh, dan tubuh kakek itupun terjengkang dan roboh tak bergerak lagi. Aji terkejut dan cepat menghampiri Jatmika dan Eulis yang terbanting roboh. Dua orang itu sudah bangkit duduk bersila dan mengatur pernapasan. Aji merasa lega bahwa mereka berdua ternyata hanya terguncang saja dan tidak menderita luka berat. Dia melihat bahwa kakek itu telah tewas pula seperti para muridnya, Juga dia melihat bahwa anak buah Tumenggung Jaluwisa telah tewas semua, menjadi korban amukan para perajurit pengawal.

Pertempuran benar-benar telah selesai dan biarpun di pihak pasukan pengawal banyak juga yang roboh dan tewas terkena tembakan, namun pihak para pemberontak itu telah terbasmi, tidak ada yang lolos. Adipati Sumedang, Pangeran Mas Gede, menghampiri Aji. Kini Jatmika dan Eulis juga sudah bangkit berdiri dan kesehatan mereka sudah pulih kembali. "Aduh, anakmas Lindu Aji, kami merasa bersyukur dan berterima kasih sekali kepada andika. Kalau tidak ada andika yang memperingatkan kami dan tidak membantu merobohkan pengkhianat Jaluwisa dan para pembantunya, entah apa yang akan terjadi dengan kami." kata sang adipati dengan terharu.

"Sesungguhnya yang menyelamatkan paduka adalah Gusti Allah, sedangkan kami bertiga ini hanya melaksanakan tugas kami saja." kata Aji dengan rendah hati.

"Andika sungguh seorang muda yang bijak, anakmas Aji. Dan siapakah pemuda dan dara ini? Kami juga harus mengucapkan terima kasih kepada meraka." kata pangeran Mas Gede.

"Mereka ini adalah saudara-saudara seperguruan saya, bernama Jatmika dan Sulastri." Aji memperkenalkan.

"Bukan, aku bukan Sulastri. Namaku Listyani dan biasa disebut Eulis!" kata Eulis smbil mengerutkan alisnya dan memandang heran kepada Aji. Pangeran Mas Gede tersenyum.

"Siapapun juga namamu, nini, andika tetap merupakan seorang dara yang telah menolong kami. Nah, sekarang kami mengundang andika bertiga ke Kadipaten Sumedang sebagai tiga orang tamu kehormatan kami. Kami ingin menjamu andika bertiga untuk menyatakan syukur dan terima kasih kami."

Aji terkejut dan heran bukan main ketika tadi mendengar bantahan Sulastri yang tidak mengakui namanya, bahkan mengatakan bahwa namanya Listyani atau Eulis. Saking herannya dia hanya berdiri memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ketika mendengar ucapan sang adipati yang mengundang mereka bertiga untuk ikut ke Kadipaten Sumedang, Aji cepat berkata dengan sikap hormat.

"Harap paduka maafkan bahwa kami terpaksa tidak dapat memenuhi undangan paduka karena kami masih mempunyai urusan penting sekali yang harus kami selesaikan. Biarlah lain kali kalau semua sudah beres, kami berkunjung ke Sumedang dan menghadap paduka."

Adipati Sumedang mengangguk-angguk. "Baiklah dan selamat tinggal, Anak mas Lindu Aji. Kami hendak kembali secepatnya ke kadipaten." Dia memerintahkan sebagian perajurit untuk mengurus semua mayat yang bergelimpangan dan mengurus teman-teman yang terluka, sedangkan sebagian lagi mendapat tugas untuk mengawalnya pulang ke kadipaten.

"Mari kita meninggalkan tempat ini aku mau bicara dengan andika berdua." kata Aji kepada Jatmika dan Sulastri. Jatmika yang juga ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya pemuda perkasa yang telah menolong dia dan Eulis itu mengangguk kepada Eulis yang tampak ragu. Mereka lalu mengikuti Aji meninggalkan tempat bekas pertempuran dimana banyak perajurit pengawal sibuk mengurus para teman yang terluka dan jenazah-jenazah uang berserakan...


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.