Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 22
KINI BADRUN sudah berhadapan dengan Jaka Bintara. Badrun tidak mengenal pemuda jangkung itu walaupun tadi dia tahu bahwa pemuda itupun merupakan seorang tamu undangan, bahkan yang duduknya dekat Tumenggung Jayasiran. Dia mengerutkan alisnya memandang dengan marah. "Kisanak!" Tegurnya. “Kalau andika ingin memperebutkan penari selendang merah itu, tandingilah aku, bukan menyerang secara menggelap seperti tadi!"
Jaka Bintara tersenyum mengejek. "Kalau tadi aku menyerangmu engkau tentu sudah mampus! Aku hanya ingin menghentikan perbuatanmu tak tahu malu."
Mendengar logat bicara pemuda jangkung itu asing, Badrun yang dijuluki Maung (Harimau) Sumedang itu menjadi marah. "Hemm, kisanak, Andika tentu bukan orang Sumedang dan tidak mengenal aku, maka berani bertindak lancang. Heh, ki sanak, karena andika seorang asing biarlah aku memaafkan perbuatanmu dan mundurlah sebelum aku bertindak kasar."
"Hemm, aku tidak pernah takut menghadapimu. Biarlah ada sepuluh orang macammu, aku tidak akan mundur."
Marahlah Badrun. “Babo-babo, keparat! Katakan siapa namamu, aku Si Maung Badrun tidak suka merobohkan lawan yang tidak bernama."
"Namaku Raden Jaka Bintara dari Banten. Nah, bersiaplah engkau untuk menggelundung keluar dari panggung!" kata Jaka Bintara dan dia sudah memberi isyarat kepada para penabuh gamelan.
Tumenggung Jayasiran yang ingin pula memamerkan kesaktian tamunya yang berasal dari daerahnya, segera memberi isyarat pula kepada para penabuh gamelan. Segera terdengar bunyi gamelan dipukul dengan gencarnya, memainkan lagu perang yang tepat untuk mengiringi sebuah pertandingan silat. Badrun yang amat percaya akan kemampuan sendiri, sudah cepat menari dan membuka pasangan kuda-kuda yang gagah. Tidak percuma dia memakai julukan harimau karena memang dia mengandalkan pencak silat yang di namakan Aji Sardula Bhairawa (Harimau Dahsyat), sebuah ilmu silat yang mendasarkan gerakannya pada gerakan seekor harimau!
Ilmu silatnya ganas bukan main, mengandalkan kekuatan otot yang amat besar. Bahkan jari-jari tangan Badrun, kalau sudah mempergunakan aji kesaktian ini, menjadi sedemikian kuatnya sehingga mampu merobek-robek kulit tubuh lawan, seperti cakar harimau! Kini Badrun sudah membuat gerakan kembangan, memasang kuda-kuda yang gagah, kedua kaki terpentang kokoh, kedua lengan membuat gerakan di depan dada, kadang menyilang dan kedua tangan itu membentuk cakar, tergetar getar dipenuhi tenaga dahsyat! Pandang matanya yang besar itu bersinar-sinar seperti mata harimau, bibirnya bergerak-gerak meringis seperti bibir harimau dan dari tenggorokannya keluar suara menggereng-gereng. Semua orang yang menonton merasa seolah mereka melihat seekor harimau terlepas dan hendak mengamuk.
Akan tetapi Jaka Bintara tersenyum mengejek melihat sikap lawan yang mengerikan itu. Dia adalah murid Kyai Sidhi Kawasa yang telah meguasai aji-aji kesaktian dari gurunya dan sikap lawannya itu baginya seperti permainan kanak-kanak saja. Jaka Bintara mulai menari pula, membuat kembangan-kembangan silat sambil menggeser kaki mendekati lawan. Badrun juga bergerak dan keduanya seperti dua ekor ayam jago yang sedang siap berlaga, bergerak saling mengelilingi seolah hendak mengukur kekuatan lawan melalui pandang mata dan juga mengintai untuk menemukan kelemahan dalam pertahanan lawan.
"Hayo maju dan seranglah, jangan hanya memamerkan cakar kucingmu itu. engkau hendak bertanding atau mau membadut?" ejek Jaka Bintara.
Marahlah Badrun. Tadinya dia memang bersikap dengan hati-hati setelah mendengar bahwa lawannya datang dari Banten dan dia tahu bahwa daerah itu memiliki banyak jagoan. Kini kemarahannya membuat dia tidak sabar lagi. Tiba-tiba dia membuat gerakan menerjang ke depan, kedia lengannya bergerak cepat dan kedua tangan itu telah menyambar dengan cengkeraman ke arah muka dan dada Jaka Bintara dan dari mulutnya terdengar bentakan nyaring.
"Haaarrrggghhh...!" Namun dengan gerakan yang cepat dan indah, Jaka Bintara sudah menggerakkan tubuh ke belakang, kakinya melangkah ke kanan dan tangan kirinya menampar dari kanan ke arah lambung lawan.
"Hyaaattt...!" Sambaran tangan itu mendatangkan angin yang dahsyat dan Badrun terkejut bukan main. Cepat dia memutar tubuh dan menggunakan tangan kiri memotong tangan lawan dengan tangkisannya.
"Wuuuuttt... dukkk!" Dua lengan bertemu dan mengeluarkan suara nyaring bagaikan dua potong besi bertemu. Bukan main kagetnya hati Badrun ketika merasa betapa lengannya nyeri bagaikan mau patah dan dia terdorong mundur sampai tiga langkah! Padahal dia terkenal bertenaga besar akan tetapi sekali ini, pertemuan kedua lengan itu membuat tulang lengannya terasa hendak patah. Akan tetapi dasar orang yang tak tahu diri, menganggap orang lain rendah dan dirinya sendiri paling hebat, dia tidak menyadari bahwa ilmunya kalah jauh bahkan dia menjadi penasaran dan marah. Kembali Badrun mengeluarkan gerengan menyeramkan, lalu dia menubruk dengan loncatan ke depan, gayanya seperti seekor harimau yang menerkam kelinci.
Akan tetapi sekali ini, Jaka Bintara yang diterkam itu sama sekali tidak mengelak bahkan kedua tangannya bergerak cepat menyambar kedua tangan berbentuk cakar itu dan mengangkat kedua tangannya ke atas. Tubuh Badrun tinggi besar, akan tetapi tubuh Jaka Bintara biarpun kurus lebih jangkung sehingga kini tubuh Badrun tergantung! Badrun meronta dan mengerahkan tenaga untuk melepaskan kedua pergelangan tangan yang dipegang lawannya itu, namun usahanya sia-sia. Cengkeraman tangan Jaka Bintara pada pergelangan kedua lengannya itu seperti jepitan baja! Jaka Bintara mengerahkan tenaga dalamnya dan Badrun membelalakkan matanya dan berteriak kesakitan.
"Krek-krekk! Aduuuuhhhh...!" Tulang pergelangan kedua tangan Badrun patah dan Jaka Bintara membanting tubuh lawannya ke atas lantai panggung. "Brukkkk...!" Badrun mengeluh kesakitan sambil merangkak. Akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Jaka Bintara menendang, tepat mengenai dadanya.
"Dessss...!" Tubuh Badrun terlempar ke bawah panggung dan dia pingsan seketika. Dua batang tulang rusuknya patah seperti kedua pergelangan tangannya. Beberapa orang temannya lalu menggotongnya pergi dari situ di bawah tepuk sorak para penonton yang mengagumi kegagahan Jaka Bintara yang luar biasa tangguhnya itu. Bayangkan saja! Dalam dua gebrakan saja Badrun yang ditakuti orang itu roboh pingsan dengan tulang-tulang patah.
Gamelan ditabuh lembut mengisyaratkan kepada penari untuk mulai menari lagi. Si selendang merah yang tahu bahwa Jaka Bintara keluar sebagai pemenang dan berhak berjoget dengannya, segera bangkit menghampiri pria jangkung itu sambil menari dan mulutnya tersenyum senang karena ia terbebas dari gangguan Badrun yang kurang ajar tadi. Akan tetapi, Jaka Bintara mengeluarkan sepotong uang reyal dari kantungnya dan sekali lempar, sekeping uang perak itu berputaran di udara lalu melayang turun dan meluncur ke atas dada ledek berselendang merah dan dengan tepat uang itu memasuki celah antara sepasang payudara ledek itu.
Tentu saja perbuatan ini memancing sambutan tepuk tangan para penonton. Aji yang menonton sejak tadi juga kagum. Jaka Bintara ini ternyata seorang yang sakti dan telah mampu mengendalikan tenaga saktinya secara hebat. Akan tetapi, Aji melihat bahwa pemuda jangkung itu memiliki watak yang kejam bukan main. Pada hal, melihat tingkatnya, dengan mudah saja dia akan dapat mengalahkan Badrun tanpa membuatnya cidera sedemikian rupa. Biarpun dia juga tak senang melihat kesombongan Badrun dan sudah sepatutnya orang sesombong itu mendapatkan hajaran keras, akan tetapi tidak sampai mematahkan kedua pergelangan tangan dan tulang-tulang rusuknya!
Mendapatkan hadiah satu reyal secara luar biasa itu, ledek selendang merah juga merasa ngeri. Bayangkan saja, sekeping uang perak itu seperti hidup saja, dapat menyusup ke dadanya! Akan tetapi ledek ini lalu menyembah dan menekuk sedikit kedua lututnya dengan gerakan lemah gemulai sambil berkata lembut, "Terima kasih, raden!"
Raden Jaka Bintara melambaikan tangannya kepada penari itu dan berkata, "Sudahlah, engkau mengasolah dan suruh Neneng Salmah menggantikanmu. Aku ingin berjoget dengannya!"
Si selendang merah berseri wajahnya mendengar ini. Biarpun laki-laki muda ini cukup tampan dan gagah berpakaian mewah, akan tetapi ada sesuatu pada sikap dan pandang matanya yang dingin itu membuatnya merasa ngeri, apalagi kalau ia teringat akan penyiksaan terhadap Badrun tadi. Ia cepat-cepat kembali ke tempat duduk di tengah-tengah para penabuh gamelan dan berbisik kepada Neneng Salmah bahwa Raden Jaka Bintara ingin berjoget dengannya. Karena dua orang ledek yang lain sudah berjoget dan ia tahu bahwa kemunculnnya dinantikan penonton, Neneng Salmah lalu bangkit berdiri dan dengan lenggangnya yang seperti macan kelaparan itu ia menuju ketengah panggung.
Semua penonton, terutama kaum mudanya, menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorak sorai gembira. Neneng Salmah tersenyum dan semua orang ikut tersenyum dengannya. Untuk ukuran ledek, harus diakui bahwa Neneg Salmah memiliki daya tarik yang luar biasa. Memang kecantikannya tidaklah luar biasa, akan tetapi justeru karena ia tidak terlalu merias diri, bedaknya juga tipis tidak seperti rekan-rekannya, maka daya tariknya semakin menonjol dan kuat sekali.
Senyumnya merekah, sepasang bibir itu terbuka sedikit memperlihatkan kilauan giginya yang berderet rapi dan putih, lesung pipit di sebelah kiri bibirnya, kerling matanya yang bagaikan mengandung besi sembrani, lalu tubuhnya yang padat ranum, dengan lekuk lengkung sempurna, terutama sekali di bagian dada dan pinggul, pinggangnya yang ramping, langkahnya yang tidak dibuat-buat namun tampak demikian lemah gemulai, kulitnya yang putih kekuningan dan mulus bersih, semua itu mengandung daya tarik yang membuat hati semua pria yang memandangnya berdebar penuh gairah.
Akan tetapi. berbeda pula dengan para rekannya, Neneng Salmah terkenal sebagai penari dan penyanyi yang sopan dan pandai menjaga kehormatannya. Bahkan dalam usia sembilan belas tahun itu masih disandangnya julukan perawan dalam arti yang seluasnya. Ia memang ramah, manis budi, pandai dan murah hati memberikan senyum manis dan kerling tajam memikat kepada setiap laki-laki, akan tetapi hanya itulah yang diberikan dengan rela hati. Ia tidak mau menyerahkan tubuhnya, untuk disentuhnyapun ia tolak, apalagi diciumi seperti ledek-ledek lain, sama sekali ia tidak mau.
Banyak orang hartawan atau bangsawan yang menawarkan uang yang banyak sekali untuk membeli dirinya, namun semua itu ditolaknya dengan halus. Sikap ini mendapat dukungan kuat dari ayahnya, Ki Salmun yang sudah menjadi duda dan bekerja sebagai tukang kendang dalam rombongan anaknya. Ayah yang bijaksana dan tidak gila harta ini sama sekali tidak mau menyerahkan puterinya untuk dibeli kehormatannya dengan harta betapapun banyaknya. Dia memberi kebebasan kepada Neneng Salmah untuk memilih sendiri siapa yang kelak akan menjadi suaminya. Akan tetapi selama ini, belum ada seorangpun pria yang berhasil mendapatkan cinta kasihnya.
Mungkin Neneng Salmah terlalu mencintai pekerjaannya sebagai penari dan penyanyi sehingga kadang ia merasa ragu dan khawatir bahwa kalau ia menjadi istri orang, ia akan kehilangan jati dirinya sebagai seorang seniwati. Bukan pria biasa saja yang gandrung (tergila-gila) kepadanya, bahkan secara diam-diam karena merasa malu kalau ketahuan orang, Pangeran Mas Gede sendiri, Adipati Sumedang, pernah mengirim utusan membujuk Neneng Salmah agar menjadi seorang selir, atau setidaknya melayani hasrat kerinduan dan kegairahannya! Akan tetapi, dengan sikap ramah dan hormat sehingga tidak menyinggung hati, Neneng Salmah menolaknya secara halus. Inilah sebabnya maka nama Neneng Salmah. Sebagai ledek yang terkenal bersuara emas dan pandai menari seperti bidadari, terutama sebagai seorang ledek perawan yang merupakan hal yang langka pada waktu itu, terkenal bukan saja di Sumedang dan sekitarnya, bahkan terkenal sampai ke Cirebon!
Setelah berhadapan dengan Raden Jaka Bintara, Neneng Salmah tetap tersenyum dengan ramah dan sopan, lalu memberi hormat dengan sembah. Gamelan memainkan lagu joget yang seronok dan halus dan Neneng Salmah mulai menari, lembut dan indah sekali. Biarpun ia menari dengan sepenuh jiwanya sehingga seakan-akan setiap bagian tubuhnya menari, pundaknya, dada dan pinggangnya, goyang pinggulnya sampai langkah kaki dan gerakan jari kakinya, gerakan lengan dan jari tangannya. Semua, semua bagian tubuh Neneng Salmah menari-nari, bahkan gumpalan rambut yang terurai di dahi dan pelipisnya, sinom halus itu, ikut pula bergoyang menari! Akan tetapi, walaupun kepala, pundak dan pinggulnya membuat gerakan-gerakan yang amat indah, namun gerakannya tidak mengandung kecabulan.
Pinggulnya memang bergoyang manis, namun tidak seperti gerakan pinggul para rekannya yang seolah-olah menggapai menantang dan membangkitkan gairah laki-laki manapun juga. Aji yang menonton merasakan ini dan diam-diam memandang penari itu dengan sinar mata kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Seorang seniwati yang menghayati seni tariannya dan ketika bertembang tadi, suaranya juga merdu sekali. Bahkan sikap yang manis tapi penuh susila ini juga dapat dirasakan Jaka Bintara sehingga pemuda bangsawan Banten ini juga menari dan berupaya untuk dapat menari sebaik dan segagah mungkin. Dia merasa bahwa kalau tangannya usil, menowel, mencubit atau menggerayangi maka hal itu akan tampak janggal sekali dan melenyapkan keindahan gerak tari mereka.
Dari pandang mata yang jeli indah itu saja Jaka Bintara merasa bahwa sedikitpun tidak ada niat merayu atau memikat dalam hati ledek luar biasa ini. Akan tetapi hal ini membuat dia merasa kecewa. sejak tadi sebelum Neneng Salmah menari, dia sudah tergila-gila kepada ledek ini, sudah timbul gairahnya, dan tadi dia ingin sekali berdekatan, berjoget bersama, bahkan menyentuhnya, merangkulnya dan bercumbu dengannya. Akan tetapi kenyataannya sekarang, biarpun sudah berjoget bersama, dia sama sekali tidak berani menyalurkan semua gairahnya itu! Dia merasa jengkel dan untuk melampiaskan kejengkelannya, dia lalu memutar tubuh menghadapi para penonton, bahkan juga kearah para tamu undangan lalu menantang.
"Heh, para penonton dan para tamu semua. Kini Neneng Salmah sudah berjoget dengan aku. Siapa di antara kalian yang ingin berjoget bersamanya? Siapa yang ingin mencoba-coba untuk merebutnya dari tanganku? Kalau ada yang berani, ke sinilah, kita main-main sebentar. Sebaliknya kalau tidak ada yang berani, terpaksa kelak akan kuceritakan kepada para jawara (pendekar) di Banten bahwa di Sumedang tidak ada pendekarnya. Dan kalau tidak ada yang maju berarti Neneng Salmah menjadi milikku!"
Neneng Salmah memang merupakan seorang yang memiliki daya tarik amat kuat. Mungkin namanya yang terkenal itupun menambah kuatnya daya tarik dirinya. Mulai banyak pendekar yang terusik hatinya. Bertanding di atas panggung tayuban seperti itu, biasanya merupakan kejadian biasa saja. Paling sial orang dikalahkan dan terpaksa mundur, mengaku kalah dan mengurungkan niatnya untuk berjoget dengan Neneng Salmah yang dirindukannya setiap hari. Tidak ada yang aneh dalam pertandingan macam itu. Memang tadi mereka melihat betapa sadis dan kejamnya pemuda bangsawan dari Banten itu. Akan tetapi hal itu adalah karena kesalahan Badrun sendiri, karena kesombongannya. Kalau dalam pertandingan biasa memperebutkan kemenangan agar dapat berjoget dengan seorang ledek, biasanya cukup asal dapat menjatuhkan lawan saja, dan itu cukup sebagai bukti kemenangan.
Tiba-tiba dari rombongan penonton di bawah panggung melompat seorang pemuda. Tubuhnya sedang akan tetapi agak kerempeng sehingga baru penampilannya saja sudah memancing suara tawa penonton. Akan tetapi bagi mereka yang mengenal Sudarman, tidak tertawa. Mereka tahu bahwa pemuda berusia dua puluh lima tahun yang bertubuh kerempeng namun berwajah ganteng itu adalah seorang pemuda yang pandai pencak silat. Sudah lama Sudarman gandrung kepada Neneng Salmah, bahkan pernah orang tuanya berkunjung ke rumah Ki Salmun dan dengan tata cara umum mengajukan pinangan untuk menjodohkan Sudarman dengan Neneng Salmah. Akan tetapi, karena Neneng Salmah menolak, maka pinangan itu tak dapat diterima dengan hormat dan dengan kata-kata yang tidak menyinggung.
Hal ini tentu saja membuat Sudarman semakin rindu kepada ledek itu dan sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan untuk mencoba agar dapat berjoget dengan perawan yang digandrunginya itu. Biarpun tidak dapat menjadi suami Neneng Salmah, akan tetapi kalau dapat berjoget bersama, tentu sudah merupakan hiburan yang menyenangkan. Begitu melihat Sudarman melompat naik ke panggung, Neneng Salmah mengenal pemuda yang pernah meminangnya itu. Ia menjadi malu-malu tersenyum dan melirik kepada pemuda itu, lalu mengundurkan diri duduk bersimpuh di pinggiran seperti biasa dilakukan ledek yang sedang diperebutkan, membiarkan dua orang laki-laki itu berhadapan dan bertanding.
Gamelanpun untuk sementara dihentikan agar para penonton dapat mendengar apa yang akan dikatakan kedua orang jagoan yang sudah saling berhadapan itu. Jaka Bintara yang bertubuh kurus, akan tetapi bertulang besar dan tidak kelihatan kerempeng. Ketika melihat bahwa yang melompat naik ke atas panggung adalah seorang pemuda yang kerempeng, dia tersenyum mengejek. Matanya mengamati Sudarman dari kepala sampai ke kaki penuh selidik.
"Orang muda." kata Jaka bintara dengan logat bicaranya yang terdengar asing dan kaku, "andika berani menyambut tantanganku untuk memperebutkan Neneng Salmah? Hemm, katakanlah dulu siapa nama andika. Kalau andika belum mengetahuinya, aku adalah Raden Jaka Bintara dari Banten."
Sudarman tadi sudah mendengar nama pemuda bangsawan Banten itu. Dia tersenyum dan melirik ke arah Neneng Salmah yang kebetulan juga sedang memandang kepadanya, Jaka Bintara juga menoleh dan melihat betapa Neneng Salmah tersenyum memandang pemuda kerempeng itu dia mengerutkan alisnya dan hatinya panas oleh cemburu.
"Raden Jaka Bintara," kata Sudarman dengan sikap ramah dan lembut. "Saya bernama Sudarman, penduduk sini saja, karena itu tanpa bertandingpun saya mau mengaku kalah. Akan tetapi karena andika sudah cukup lama berjoget dengan Neneng Salmah, maka kalau boleh saya menggantikan andika, saya mau memberikan pusaka saya ini kepada andika." Sudarman mencabut sebatang Kujang (semacam keris) dan menyerahkannya kepada Jaka Bintara.
Para penonton yang mendengar ini merasa heran. Sudah lajim kalau orang mengajukan permintaan menggantikan pemenang untuk berjoget dengan sang penari dengan cara memberi semacam hadiah, akan tetapi biasanya orang memberi hadiah dalam bentuk uang. Kalau ada orang menyerahkan pusakanya, maka hal itu dianggap terlalu merendahkan diri. Neneng Salmah memandang dan merasa terharu juga. Ia merasa betapa besar cinta Sudarman kepadanya sehingga pemuda itu rela merendahkan diri, menyerahkan pusakanya hanya untuk dapat berjoget dengannya!
Jaka Bintara menerima kujang itu, mengamatinya sebentar, lalu tertawa mengejek dan dengan kedua tangannya dia menekuk senjata itu sambil mengerahkan tenaga saktinya. "Krekkk!" Kujang itu patah menjadi dua dan sambil tertawa Jaka Bintara membuang potongan senjata itu ke bawah panggung. "Ha-ha-ha, senjata pisau pemotong bawang seperti itu, satu reyalpun aku dapat membelinya sepuluh batang! Siapa sudi menerimanya? Heh, Sudarman, kalau engkau memang berani, kalahkan dulu aku dalam pertandingan baru andika berhak joget dengan Neneng Salmah. Kalau andika tidak berani, hayo cepat turun dan jangan mengganggu aku yang sedang asyik berjoget!"
Wajah Sudarman menjadi pucat, lalu merah. Apa lagi mendengar suara beberapa orang mentertawakannya. Seorang laki-laki boleh saja mengalah seperti yang diperlihatkan dari sikapnya tadi, akan tetapi tidak ada laki-laki jantan yang membiarkan dirinya diperhina. Kalau perlu dia siap untuk mempertahankan kehormatannya dengan taruhan nyawa. Sudarman membusungkan dadanya yang tipis, matanya bersinar-sinar karena marah dan dia menatap wajah Jaka Bintara dengan tajam.
"Jaka Bintara, andika telah mematahkan pusakaku. Ini berarti andika telah menghinaku dan mau tidak mau terpaksa aku harus menyambut tantanganmu untuk bertanding!"
Pada saat itu, Sudarman bertemu pandang mata dengan Neneng Salmah dan wanita muda itu merasa khawatir akan nasib pemuda itu menggeleng kepalanya. "Akang Darman, harap jangan berkelahi..."
Sudarman memandang ledek itu dan mengerutkan alisnya. Kalau dia mundur hanya karena Neneng Salmah yang memang sudah dikenalnya itu mencegahnya, dia tentu disangka takut dan akan menjadi bahan tertawaan semua penduduk Sumedang. Dia juga tahu bahwa gadis itu mencegah perkelahian bukan karena cinta kepadanya, melainkan hanya takut akan terjadinya keributan karena penghinaan itu tentu memancing perkelahian, bukan sekedar bertanding mengadu kepandaian untuk dapat keluar sebagai pemenang dan berjoget dengan Neneng Salmah.
Sementara itu, mendengar ucapan Neneng Salmah, Jaka Bintara menjadi semakin cemburu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa di antara dua orang itu memang ada hubungan persahabatan biasa, dan tidak tahu pula bahwa pemuda itu pernah mengajukan pinangan kepada gadis itu namun ditolak. Kalau dia mengetahuinya, tentu tidak akan cemburu.
"Ha-ha, benar ucapan Neneng Salmah, Sudarman. Kalau engkau berkelahi denganku, tentu engkau akan mampus. Maka, sebaiknya cepat menyembah kepadaku dan minta ampun lalu mengundurkan diri, baru selamat!"
Sudarman tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Penghinaan demi penghinaan dilontarkan orang dari Banten itu. "Jaka Bintara, jangan mengira bahwa aku takut bertanding melawanmu. majulah!" katanya sambil memasang kuda-kuda, kaki kanan di depan, terbuka dengan telunjuk di atas, tangan kiri menyingsingkan paha celananya.
Jaka Bintara menoleh kepada para penabuh gamelan dan memberi isyarat dengan tangannya agar para penabuh gamelan membunyikan gamelan mereka untuk mengiringi pertandingan itu. Gamelan segera dipukul nyaring dan Jaka Bintara menhadapi Sudarman, lalu membentak nayaring. "Pecah kepalamu!" Tangan kanannya yang terbuka menghantam ke arah kepala Sudarman dengan tamparan yang mengeluarkan angin pukulan dahsyat.
Aji yang menonton dari bawah panggung terkejut karena dia mengenal pukulan ampuh yang mengandung tenaga sakti yang dahsyat. Dia mengkhawairkan nasib pemuda kerempeng itu. Akan tetapi ternyata Sudarman memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat. Dia mampu menghindarkan diri dari pukulan itu dengan elakan yang gesit, kemudian cepat membalas dengan pukulan dari samping yang mengarah lambung lawan. "Dukkk!" Jaka Bintara menangkis dan tangkisan itu membuat Sudarman terhuyung. Jelas sekali bagi Aji bahwa biarpun Sudarman memiliki gerakan ringan dan cepat, namun dalam hal tenaga sakti dia kalah jauh.
Pertandingan itu tidak akan berlangsung lama, pikirnya dan hatinya merasa bingung. Dalam hati dia ingin melindungi Sudarman yang terancam bahaya, akan tetapi bagaimana dia dapat melakukannya? Perbuatannya itu tentu akan menimbulakan keributan dan celaan karena bukankah meraka bertanding dengan adil di atas panggung? Kalah menang dalam sebuah pertandingan pencak silat adalah hal yang wajar dan mencampurinya merupakan pelanggaran yang tidak pantas. karena itu, dengan hati berdebar tegang Aji mengikuti jalannya pertandingan.
Seperti telah diketahui Aji sebelumnya, pertandingan itu ternyata berat sebelah. Jaka Bintara terus mendesak lawannya yang kini tidak dapat membalas lagi dan hanya main elak mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya, bahkan menangkispun dia tidak berani karena tadi pernah Sudarman menangkis sebuah pukulan dan akibatnya, lengan kirinya terasa patah tulangnya dan nyerinya bukan main. Tiba-tiba Jaka Bintara menghentikan desakan dan serangannya, bahkan mundur tiga langkah. Kesempatan ini dipergunakan Sudarman untuk menyerang karena sejak tadi dia diserang terus dan sudah kewalahan.
Aji bergerak hendak mencegah pemuda itu menyerang, akan tetapi dia teringat lagi dan menahan diri. Apa lagi karena tendangan kaki kanan Sudarman telah dilakukan. Kaki kanan itu mencuat dan cepat sekali menyambar ke arah dada Jaka Bintara. Ini memang yang dikehendaki pemuda bangsawan Banten itu dan Aji mengetahui hal ini namun tak berdaya. Ketika kaki itu sudah menyambar dekat Jaka Bintara mengerahkan tenaga sakti untuk membuat kebal dadanya. Kaki itu dengan tepat bertemu dada. "Bukkk!" Jaka Bintara tidak bergeming sedikitpun.
Sudarman terkejut akan tetapi terlambat dia menarik kembali kaki kanannya karena tangan kanan Jaka Bintara telah menyambar dan menghantamkan tangan yang terbuka dengan gaya membacok ke arah tulang lutut. "Krakk!" sudarman mengeluh dan roboh, tulang lutut kaki kanannya patah! dan pada saat itu tubuh sudarman sudah menggeletak itu, ketika dia dengan susah payah bangkit dan merangkak, Jaka Bintara menggerakkan kedua kakinya, berulang-ulang menendangi kaki dan lengan pemuda yang bernasib malang itu. Terdengar bunyi "krek-krek-krek" tiga kali dan kini kedua tulang kaki dan lengan Sudarman patah-patah! Sekali lagi sambil tertawa Jaka Bintara menendang dan tubuh sudarman yang sudah tidak dapat bergerak itu terlempar ke bawah panggung. Terdengar jeritan suara Neneng Salmah diikuti tangisnya, dan banyak penonton berseru kaget melihat peristiwa itu.
Tiba-tiba dari bawah panggung berkelebat sesosok bayangan orang dan tahu-tahu di atas panggung sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, berjenggot panjang dan kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Jaka Bintara. "Manusia kejam tak berperikemanusiaan!" Kakek itu menegur. "Pertandingan memperebutkan ledek merupakan perayaan dan pesta, mengapa engkau begitu kejam terhadap lawan yang sudah kalah?"
Jaka Bintara memandang wajah kakek dan tersenyum mengejek. "Aki tua, siapakah engkau?" tanyanya dengan nada suara memandang rendah.
"Jaka Bintara, aku adalah Ki Bajra, guru Sudarman.” “Ha-ha, bagus! Jadi engkau hendak membela muridmu yang tolol itu? Majulah!" Biarpun mulutnya menantang begitu, akan tetapi sebelum Ki Bajra menyerang maju, Jaka Bintara sudah mendahuluinya dengan serangan kilat. Ini menunjukkan betapa liciknya pemuda bangsawan Banten ini. Licik dan juga sakti. "Hyaaahhh....!"
Kekek itu mengelak dengan mudah dan ternyata dia memiliki gerakan yang lincah sekali. Aji mengangguk-angguk. Ternyata kakek tua itu seorang yang ahli dalam aji meringankan tubuh sehingga gerakannya amat cepat seperti seekor burung srikatan. Pantas saja tadi Sudarman juga bergerak amat cepatnya. Kakek ini ternyata lebih cepat lagi gerakannya dan sambil mengelak diapun dapat mengirim serangan balasan kilat. Agaknya tadi ketika muridnya menghadapi Jaka Bintara, Ki Bajra sudah mempelajari gerakan pemuda bangsawan Banten itu dan maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Karena itu dia tahu bahwa untuk mengatasi lawan, dia hanya dapat mengandalkan kecepatan gerakan dan tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk dapat memukulnya. Siasatnya ini memang tepat.
Jaka Bintara terkejut dan juga penasaran sekali karena semua serangannya dapat dielakkan lawan dengan mudah dan gerakan kakek ini ternyata lebih cepat daripada gerakan Sudarman yang tadipun membuat dia pusing karena sukar untuk dapat memukulnya. Kalau dilanjutkan, dia sendiri yang akan kehabisan tenaga dan nafas. Dan serangan balasan kakek itu cepat sekali datangnya. Baiknya dia telah melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan yang amat kuat sehingga beberapa pukulan kakek itu yang mengenai tubuhnya, tidak merobohkannya. Sejak tadi gamelan telah dipukul bertalu-talu mengiringi petandingan yang tampaknya seru sekali ini. Dan agaknya sekali ini Jaka Bintara bertemu tanding yang amat tangguh.
Setelah lewat tiga puluh jurus, dia sudah terkena pukulan empat kali walaupun pukulan itu bertemu kekebalannya dan tidak membuat dia jatuh atau nyeri. Sebaliknya, semua terjangannya selalu mengenai tempat kosong. "Kakek itu agaknya tangguh sekali, sebaiknya kalau kuhentikan saja pertandingan itu." kata Tumenggung Jayasiran perlahan kepada Kyai Sidhi kawasa yang duduk di sebelahnya.
Kakek yang menjadi datuk persilatan di Banten itu terkekeh dan suaranya yang lemah lembut itu terdengar meyakinkan. Dia tahu bahwa Tumenggung Jayasiran yang berasal dari Banten tentu saja tidak suka melihat jagoan Banten dikalahkan orang Sumedang maka hendak menghentikan petandingan untuk mencegah kekalahan Jaka Bintara. "Heh-heh, anakmas Tumenggung, jangan andika khawatir. Muridku tidak akan kalah. Lihat saja nanti, he-he-he!"
Mendengar ini tentu saja sang tumenggung merasa kega dan diapun menonton lagi pertandingan itu dengan penuh perhatian. Dia melihat kini Jaka Bintara melompat ke belakang, menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan sang tumenggung terbelalak kagum melihat asap mulai mengepul dari antara kedua tangan itu! Aji juga melihat hal ini dan dia terkejut sekali. Itulah semacam aji yang amat hebat dan dahsyat, mungkin semacam aji pukulan yang mengandung hawa panas atau api! Ki Bajra juga maklum akan hal ini dan dia sudah siap untuk menjaga jarak agar dapat menhindarkan diri dari serangan lawan. Jaka Bintara lalu menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan mendorong ke depan dan ke manapun tubuh lawan berkelebat, selalu disusulnya dengan pukulan jarak jauh yang amat ampuh itu. Itulah aji pukulan Hastanala (Tangan Berapi) yang dahsyat sekali. Beberapa kali Ki Bajra masih mampu menghindar, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan yang mengandung hawa berapi itu menerpanya.
"Auhhhh...!" Dia memekik dan tubuhnya terdorong lalu jatuh ke bawah panggung dengan baju dan kulit dada hangus seperti dibakar! Kakek itu pingsan dan seperti halnya Sudarman tadi, diapun lalu diangkat oleh beberapa orang muridnya. Semua orang merasa ngeri melihat akibat pukulan itu dan mereka memandang kepada Jaka Bintara yang tertawa bergelak itu dengan mata terbelalak merasa takut dan ngeri. Bahkan Neneng Salmah yang juga melihat pertandingan itu dari jarak dekat, sambil meneteskan air mata lalu nekat mencela pemuda bangsawan dari Banten itu. "Raden, andika sangat kejam, terlalu kejam...!"
Jaka Bintara menoleh kepada Neneng Salmah dan mengerutkan alisnya. "Hayo bangkit dan layani aku bejoget!" Dan diapun memberi isyarat kepada para penabuh gamelan untuk memainkan lagu pengiring tarian. Para penabuh tidak berani membantah dan segera bunyi gamelan berubah, beralun lembut. akan tetapi Neneng Salmah tetap duduk bersimpuh sambil menyusut air matanya dengan ujung selendangnya yang berwarna merah muda. Melihat gadis penari itu tetap duduk bersimpuh, Jaka Bintara menjadi marah.
"Neneng Salmah, hayo bangkit dan layani aku berjoget!" katanya lagi agak ketus. Neneng Salmah tetap menundukkan mukanya dan ia menjawab dengan gelengan kepalanya.
Semua penonton terbelalak. Ini luar biasa. Seorang ledek berani menolak diajak berjoget oleh seorang jawara yang telah mengalahkan beberapa orang dalam sebuah pertandingan! Juga Tumenggung Jayasiran mengerutkan alisnya. Ledek itu tidak menghormati tamu agungnya, berarti tidak menghormati dia yang menanggapnya! Jaka Bintara menjadi merah mukanya. Penolakan Neneng Salmah di depan begitu banyak orang sungguh merupakan penghinaan baginya. Dia lalu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sepuluh potong uang reyal dan melemparkan uang itu ke atas papan panggung, di depan gadis penari itu.
"Engkau ingin uang? Nah, ini, simpanlah dulu, nanti kutambah lebih banyak lagi kalau engkau memuaskan hatiku!" katanya sambil tersenyum lebar dengan bangga. Jarang ada pria yang berani mengeluarkan sepuluh reyal sebagai "uang muka".
Akan tetapi alangkah heran dan juga malunya ketika dia melihat Neneng Salmah tetap menggeleng kepla bahkan kini Neneng Salmah bangkit berdiri dan hendak lari kembali ke tempat dua orang rekannya duduk. Akan tetapi tiba-tiba Jaka Bintara membentaknya.
"Berhenti!" Neneng Salmah terkejut dan berhenti sambil memutar tubuh menghadapi Jaka Bintara. "Berani engkau membikin malu padaku? Akupun dapat membikin malu padamu di depan semua orang dengan menelanjangimu!"
Tiba-tiba tangannya bergerak ke arah gadis itu. Jarak antara mereka sekitar dua depa, akan tetapi ada angin menyambar dan tiba-tiba saja kemben yang melingkari pinggang ramping itu terlepas dan kain yang membungkus tubuh Neneng Salmah bergerak melorot. Neneng Salmah menjerit dan cepat menggunakan kedua tangannya untuk menahan kainnya sehingga ia tidak sampai telanjang di depan umum!
Pada saat itu, sesosok nayangan orang berkelebat dan tahu-tahu Aji telah berdiri di depan Jaka Bintara dan dengan suara lembut namun penuh teguran Aji berkata. "Jaka Bintara, sebagai seorang yang memiliki aji kedigdayaan dan bersusila, sungguh tidak patut dan memalukan sekali apa yang andika lakukan terhadap gadis penari ini. Ia berkata benar, andika memang seorang yang kejam dan keji, tak berperikemanusiaan dan sewenang-wenang!"
Jaka Bintara terbelalak dan mukanya menjadi merah kehitaman saking marahnya. Sementara itu, melihat muncul seorang pemuda yang membelanya, Neneng Salmah sambil memegangi kainnya dan mengambil kembennya, berjalan ke arah rekan-rekannya sambila menangis. Setelah tiba di antara dua rekannya, Neneng Salmah lalu membereskan pakaiannya, dibantu dua orang ledek yang lain. Sementara itu, para penabuh gamelan sudah menghentikan tabuhan mereka. Jaka Bintara bertolak pinggang dan menatap wajah Aji dengan melotot.
"Babo-babo, keparat! Lancang benar ucapanmu! engkau berani mencampuri urusanku. Siapakah engkau dan apa maumu?"
"Namaku Lindu Aji dan aku naik ke panggung ini selain untuk membela Neneng Salmah agar tidak kau perhina, juga untuk menandingimu dalam mengadu kedigdayaan."
"Babo-babo, keparat jahanam sombong! Engkau sudah bosan hidup agaknya!" bentak Jaka Bintara marah.
Aji tersenyum dan dia memberi isyarat kepada penabuh gamelan. Karena para penabuh gamelan merasa tidak suka kepada Jaka Bintara yang tadi menghina Neneng Salmah, maka mereka dengan penuh semangat memenuhi permintaan Aji. Mereka mengharapkan pemuda tampan yang baru datang ini, walaupun pakaian dan sikapnya sederhana dan senyumnya penuh percaya akan diri sendiri, akan mampu menghajar Jaka Bintara yang sombong dan kejam itu.
"Jaka Bintara, memang selalu mudah menemukan cacat orang walau sekecil semut sekalipun, akan tetapi menemukan cacat sendiri, biar sebesar gajah, amatlah sulit. Engkau mengatakan aku sombong dan sama sekali tidak menyadari bahwa yang sombong setengah mati adalah engkau sendiri. Sadarlah bahwa engkau telah melakukan kejahatan. Sebagai seorang tamu yang datang dari Banten tidak sepatutnya engkau menyiderai orang-orang seperti yang kau lakukan tadi, ditambah lagi hendak memaksa dan menghina seorang penari."
"Keparat jangan banyak mulut! Bersiaplah menerima hajaran dariku!" Bentak Jaka Bintara dan karena dia sudah marah sekali, hendak merobohkan orang yang berani menentang dan mencelanya sedemikian rupa di atas panggung, merobohkannya secepat mungkin dengan pukulan yang diandalkan, yaitu dengan Aji Hastanala. Kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu mengepulkan asap, kini lebih tebal daripada tadi ketika dia merobohkan Ki Bajra sehingga semua orang memandang dengan hati tegang, pemuda yang bernama Lindu Aji itu tentu akan roboh dan tewas!
Bagaimanapun juga, sebagian penonton mulai timbul perasaan tidak suka kepada Jaka Bintara karena kesombongannya, tidak memandang kepada orang-orang Sumedang. Juga mereka merasa marah melihat perlakuan Jaka Bintara terhadap Neneng Salmah yang amat menghina. Maka kini sebagian besar dari mereka condong untuk memihak Lindu Aji, walaupun mereka belum mengenal siapa pemuda itu dan sampai di mana kemampuannya. Mampukah pemuda asing ini menandingi pemuda bangsawan dari Banten itu yang sedemikian sakti mandraguna?
Melihat lawannya sudah menggosok-gosok kedua tangannya yang mengepulkan asap hitam, Aji lalu melangkah maju dan berkata dengan sikap tenang sekali. Di antara bunyi gamelan, terdengar suara Aji tegas. "Jaka Bintara, aku sudah siap sejak tadi, Mulailah!"
"Pecah kepalamu!" bentak Jaka Bintara sambil menyerang dengan pukulannya yang ampuh. Pukulan itu mengandung Aji Hastanala, dapat merobohkan lawan tanpa menyentuhnya, hanya mengandalkan angin pukulannya saja. Apa lagi kalau sampai tangan yang seperti membara itu mengenai kepala lawan, tentu akan pecah dan hangus! "Heiiiitttt...!" Aji menggeser kakinya dan melompat ke kiri, sehingga pukulan dahsyat itu luput. Akan tetapi Jaka Bintara sudah menyusulkan serangan berikutnya secara bertubi-tubi, menggunakan kedua tangan terbuka yang mengepulkan asap.
Namun, tiba-tiba dia tertegun. Lawannya itu bergerak aneh dan luwes, seperti seekor kera menari-nari, akan tetapi hebatnya, semua serangannya tak pernah mengenai lawan. Bahkan hawa pukulan jarak jauh itupun tidak pernah mengenai atau mempengaruhi lawan. Aji memang mempergunakan ilmu silat Wanara Sakti sehingga dia mirip peran Hanoman dalam kisah Ramayana, berlompatan ke kanan kiri, kadang melambung ke atas kadang berjongkok dan bergulingan, berjungkir balik akan tetapi selalu dapat lolos dari serangan lawan.
Para penonton merasa tegang. mereka mengira bahwa Aji ketakutan dan hanya mengelak ke sana sini saja, seperti dua orang lawan terdahulu yang akhirnya roboh juga oleh pukulan sakti pemuda Banten itu. Suasana menjadi sunyi dan menegangkan, hanya suara gamelan yang dipukul bertalu-talu. Ki Salmun, ayah Neneng Salmah yang menjadi tukang kendangnya dan tentu saja berpihak kepada Aji yang membela puterinya, memainkan kendangnya dengan indah sekali, disesuaikan dengan gerak-gerik Aji yang mirip tarian kera itu menjadi "hidup".
Makin lama, Jaka Bintara menjadi semakin penasaran agak pening juga dia harus berputar-putar mengejar tubuh Aji yang seolah berubah menjadi bayangan yang gesit sekali. Dia lalu hendak menggunakan siasat ketika tadi merobohkan Sudarman, yaitu dengan memancing agar lawan menyerangnya sehingga dia dapat merobohkannya dengan pukulan mautnya. Maka, dia lalu berseru lantang.
"Heh, keparat! Kalau andika bukan pengecut, hayo balas seranganku, jangan hanya mengelak seperti seekor munyuk monyet!"
Semua orang yang mendengar ini, diam-diam ikut mengharapkan agar Aji membalas karena mereka ingin melihat jagoan Banten itu terkena pukulan. "Hemm, begitukah kehendakmu? Nah, rasakan ini!" Tiba-tiba tubuh Aji berkelebat. Sebelum Jaka Bintara dapat berbuat sesuatu, tangan kiri Aji ditamparkan ke arah tengkuk lawan. Gerakannya cepat, namun Aji tidak ingin mencelakai orang, hanya sekedar hendak memberi pelajaran maka dia tidak mengerahkan tenaga sakti terlalu kuat.
"Plakkk!" Tamparan itu tepat mengenai tengkuk dan tubuh Jaka Bintara terputar, akan tetapi dia dapat bertahan, masih berdiri sambil menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya yang terasa berpusing, kedua matanya dipejamkan! Tepat ketika tamparan Aji itu mengenai tengkuk, dengan cermat sekali Ki Salmun si tukang kendang memukul kendangnya sehingga terdengar suara berdentam keras seolah pukulan itu yang mengeluarkan suara!
Penonton bersorak! Jelas tampak oleh mereka betapa tamparan itu mengenai tengkuk dan melihat pula betapa tubuh Jaka Bintara terputar lalu berdiri sambil memejamkan mata dan memegangi kepalanya. Tentu saja Jaka Bintara menjadi marah bukan main. Biarpun dia telah terkena pukulan, namun dia masih memandang rendah karena pukulan itu tidak sampai merobohkannya dan dia mengira bahwa lawan sudah mengerahkan seluruh tenaga sehingga berarti bahwa lawannya hanya memiliki ilmu silat yang amat cepat namun tidak memiliki tenaga yang mengkhawatirkan. Kalau tenaga lawan hanya sebegitu, biarpun dia dipukul lima kali, dia tidak akan roboh, akan tetapi sekali saja dia dapat membalas, pasti lawan akan roboh dan mampus!
"Ambrol dadamu!" Dia membentak lagi dan kini dia menyerang dengan tendangan kakinya yang panjang. namun, seperti tadi, Aji hanya mengelak dan cepat sekali tangannya menyambar, menangkap tumit kaki yang menendang dan sekali mengerahkan tenaga, dia melontarkan tubuh lawan dengan mendorong ke atas. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Jaka Bintara terlempar ke atas, namun dia dapat berjungkir balik mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting jatuh, dapat turun ke atas papan panggung dengan kedua kaki lebih dulu.
Namun tetap saja dia terhuyung-huyung. Kembali terdengar sorak-sorai, kini lebih genpita daripada tadi. Orang-orang mulai merasa lega, senang dan gembiara, maklum bahwa pemuda asing itu benar-benar mampu mengatasi jagoan Banten itu. Jaka Bintara merasa seolah kulit mukanya ditoreh. Dia merasa malu dan karenanya lalu menjadi marah yang membuat kedua matanya seolah berubah merah dan mulutnya seperti berbusa. Dia memandang Aji yang berdiri santai di depannya dengan sinar mata seolah hendak membakarnya dengan sinar matanya.
"Keparat rasakan pembalasanku!" Dia merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, mulutnya berkemak kemik membaca mantera, kemudian menggosok-gosok lagi kedua tangannya dan sekali ini bukan asap hitam saja yang tampak di antara kedua tangannya, melainkan nyala api! Lalu dia menekuk kedua lututnya, mendorongkan kedua tangan yang sudah bernyala ke arah Aji. "Aji Analabanu...!!" Nyala api yang bersianr-sinar menerpa ke arah Aji.
Akan tetapi sejak tadi Aji sudah siap siaga, maklum bahwa lawan menggunakan aji pukulan yang ampuh. Maka diapun menyambut dengan dorongan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sakti Surya Chandra. "Wuuuttt... bresss.... !!" Tubuh Jaka Bintara tersentak ke belakang dan terlempar sampai keluar dari panggung, jatuh ke bawah panggung. Aji menggunakan kekuatan untuk bertahan dan lawannya itu terpental oleh tenaganya sendiri yang membalik. Jaka Bintara muntah darah, terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik.
Melihat ini, Tumenggung Jayasiran cepat menyuruh perajurit pengawal untuk menolong pemuda itu dan memapahkan ke tempat duduknya. Tepuk tangan dan sorak sorai menyambut kemenangan Aji. Akan tetapi pada saat itu, Kyai Sidhi Kawasa telah berada di atas panggung berhadapan dengan Aji.
"Hemm, Lindu Aji, andika telah berhasil mengalahkan muridku. Sekarang lawanlah gurunya. Kalau andika mampu mengalahkan aku, barulah andika patut disebut seorang muda yang sakti mandraguna!" Ucapan Kyai Sidhi Kawasa itu terdengar lemah lembut.
Aji memandang kakek itu dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang tua yang berilmu tinggi. Maka dia lalu menyembah dan memberi hormat. "Maaf, eyang. dengan siapakah saya berhadapan?"
"Heh-heh, orang muda, andika belum mengenal aku? Sudah sepantasnya karena aku bukan orang sini, melainkan datang dari Banten. Namaku adalah Kyai Sidhi Kawasa."
Diam-diam Aji terkejut. Dia pernah mendengar nama datuk dari Banten ini. "Ah. kiranya eyang adalah Kyai Sidhi Kawasa yang terkenal sakti mandraguna itu. Saya tidak mempunyai persoalan dengan eyang, mengapa eyang menantang saya?"
"Tidak mempunyai persoalan? Andika telah merobohkan muridku Raden Jaka Bintara. Sudah sepatutnya aku sebagai gurunya membelanya dan menebus kekalahannya."
"Maaf, eyang. Saya yakin bahwa eyang adalah seorang yang bijaksana sehingga mengetahui bahwa murid eyang telah melakukan kekejaman. Semestinya eyang sendiri yang turun tangan memberi ingat dan memberi hukuman kepadanya agar nama besar eyang tidak terseret ke dalam kecemaran. Saya hanya membela mereka yang diperlakukan sewenang-wenang oleh Jaka Bintara, harap eyang dapat memakluminya."
Ucapan yang halus dan merendah dari Aji ini oleh Kyai Sidhi Kawasa dianggap sebagai tanda rasa takut. Dia mengedikkan kepalanya yang kecil dan botak, lalu berkata lantang. "Heh, Lindu Aji, kalau engkau merasa bersalah, berlututlah dan mohon ampun kepadaku."
Aji berkata dengan tenang. "Maaf, eyang. Saya tidak dapat minta ampun karena saya tidak merasa bersalah."
"Hemm, kalau begitu tidak ada jalan lain. Andika harus nertanding dengan aku untuk menentukan siapa yang lebih sakti!"
"Saya tidak bermusuhan dengan eyang, akan tetapi kalau eyang memaksa saya bertanding, apa boleh buat. Akan saya layani."
"Bagus, bersiaplah andika, Lindu Aji!" kata kakek itu.
"Tahan, harap jangan bertanding!" Tiba-tiba terdengar suara dan Tumenggung Jayasiran berlari-lari ke tengah panggung melerai mereka yang hendak bertanding.
"Anakmas Tumenggung, kenapa menghalangi saya yang hendak memberi hajaran kepada bocah sombong ini?" Tanya Kyai Sidhi Kawasa penasaran.
"Maaf, paman. Baru saja saya tahu bahwa anakmas Lindu Aji ini bukan orang lain, bukan musuh." lalu tumenggung itu menghadapi Aji dan bertanya, "Bukankah andika yang telah menyelamatkan Gusti Adipati Pangeran Mas Gede?"
Ternyata tadi ketika tumenggung itu mendengar nama Lindu Aji, dia teringat akan berita yang terdengar olehnya tentang pemberontakan Tumenggung Jaluwisa yang gagal karena sang adipati diselamatkan oleh seorang pemuda bernama Lindu Aji bersama dua orang kawannya. Setelah bertanya-tanya kepada beberapa orang pengawal akhirnya dia yakin bahwa pemuda itulah penolong sang adipati, maka cepat-cepat dia melerai pertandingan antara pemuda itu dan Kyai Sidhi Kawasa.
Aji mengangguk dengan hormat. Dia tahu bahwa tumenggung ini adalah tuan rumah dan dia lalu menjawab, "Benar, paman tumenggung."
"Ah, kalau begitu maafkan bahwa tidak sejak tadi aku menyambutmu, anakmas. Dan lebih menyesal lagi aku tidak mencegah pertandingan ini. Anakmas Lindu Aji, silakan duduk di atas dan kalau andika ingin berjoget dengan Neneng Salmah, silakan. Kami akan menyuruh ia datang melayani andika berjoget."
Aji tersenyum. "Tidak perlu, paman. Saya tidak ingin berjoget, hanya tadi tidak tahan melihat perlakuan sewenang-wenang. Sesungguhnya saya merasa heran sekali mengapa paman membiarkan penyiksaan dan penghinaan itu terjadi?"
Tumenggung Jayasiran tersenyum rikuh. "Ah, maafkan anakmas. Tadipun saya kira mereka itu hanya bertanding seperti biasa saja, tidak tahunya menjadi sungguh-sungguh. Saya merasa menyesal sekali dan akan menghentikan petandingan ini. Cukup dengan berjoget saja, secara bergiliran, tanpa pertandingan. Silakan masuk, anakmas."
Aji menggeleng kepalanya. "Terima kasih, paman tumenggung. Saya akan pergi untuk mencari tempat penginapan."
"Ah, kalau ingin menginap, kenapa harus mencari tempat lain? Menginaplah saja di sini, anakmas! Andika adalah penyelamat gusti adipati, sudah sepantasnya kalau kami menyambutmu dengan segala senang hati dan kehormatan. Kami ikut berterima kasih atas pertolonganmu itu."
"Terima kasih, paman. Saya mencari penginapan di luar saja. selamat malam!" Aji memandang ke arah wajah Kyai Sidhi Kawasa dan melihat betapa sinar mata kekek itu ditujukan kepadanya dengan penuh rasa dendam. Dia maklum bahwa selanjutnya dia harus berhati-hati karena dendam seorang seperti kakek ini amatlah berbahaya. setelah memberi hormat kepada tumenggung itu, diapun melompat turun dari panggung dan meninggalkan tempat itu. Selagi Aji berjalan untuk mencari tempat penginapan, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua menghadangnya dan bertanya dengan suara lembut dan ramah.
"Apakah denmas mencari tempat penginapan?
Aji mengangkat muka memandang. Sinar lampu gantung di depan sebuah rumah tak jauh dari situ cukup menerangi wajah orang itu. Seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian seperti petani sederhana dan sikapnya lugu, sama sekali tidak mencurigakan. "Benar sekali, paman. Akan tetapi jangan sebut aku denmas karena aku bukan seorang priyayi. Apakah paman mengetahui di mana ada tempat penginapan di kadipaten ini?"
"Den... ah, anakmas. Kalau anakmas sudi, silakan bermalam di rumah kami. Kami akan senang sekali kalau anakmas sudi bermalam di rumah kami yang buruk."
Lindu Aji menjadi tertarik dan dia mengamati wajah orang itu penuh selidik. "Paman siapakah dan mengapa paman yang belum mengenalku sudah begitu baik hati menawarkan untuk aku bermalam?"
Mendengar nada suara Aji, orang itu cepat menjawab. "Harap jangan curiga, anakmas. Aku sudah mengenal Anakmas Lindu Aji dengan baik, sejak di tempat pesta tadi. Aku biasa dipanggil Mang Engkos, dan aku adalah ayah dari Sudarman yang malang, yang menderita cidera karena kekejaman orang Banten tadi. Karena anakmas telah menghajar jagoan Banten tadi, maka kami berterima kasih sekali dan mendengar anakmas membutuhkan tempat bermalam, maka aku cepat mengejarmu dan menawarkan rumah kami sebagai tempat bermalam."
Aji mengangguk-angguk, mengerti dan dia merasa senang untuk bermalam di rumah keluarga Sudarman, pemuda tampan kerempeng yang tadi dengan gagah berani melawan Jaka Bintara. "Terima kasih atas kebaikan hatimu, paman... eh, Mang Engkos. Bagaimana dengan keadaan Sudarman sekarang?"
"Marilah kita pulang, anakmas dan andika dapat melihat sendiri keadaannya. Menurut ahli pengobatan yang memeriksanya, dia mengalami patah tulang kaki tangan, akan tetapi dia akan sembuh. Yang lebih parah keadaannya adalah Ki Bajra. Dia juga berada di rumah kami, sedang dirawat ahli pengobatan itu."
Aji mengerti. Dia tadi melihat betapa Sudarman hanya patah tulang tangan dan kakinya, akan tetapi gurunya, Ki Bajra, terkena pukulan berhawa panas yang ampuh sekali. Aji mengikuti mang Engkos ke rumah keluarga itu yang berada dipinggir kota, di bagian yang sunyi karena rumah itu agak terpencil. Sebuah rumah yang cukup besar walaupun sederhana. Ternyata di rumah itu hanya tinggal Mang Engkos yang sudah menduda dan putera tunggalnya, yaitu Sudarman dan beberapa orang keponakan laki-laki yang suka datang untuk membantu pekerjaan Mang Engkos di sawah ladang.
Para keponakan inipun menjadi murid Ki Bajra yang sudah beberapa tahun tinggal di rumah Mang Engkos karena kakek ini seorang perantau yang tidak mempunyai keluarga. Aji memeriksa keadaan Sudarman yang rebah di dalam sebuah kamar di atas tempat tidur kayu. Pemuda itu tersenyum ketika diperkenalkan kepada Aji. Dia sudah mendengar dari saudara-saudara seperguruannya betapa Aji telah menghajar keras jagoan dari banten itu dan menyelamatkan Neneng Salmah dari penghinaan.
"Andika hebat sekali dapat mengalahkan Jaka Bintara yang digdaya itu!" kata Sudarman sambil memandang dengan sinar mata kagum. Kaki dan tangannya dibalut kuat-kuat dan biarpun dia menderita nyeri yang cukup hebat, namun wajahnya tersenyum dan sedikitpun tidak tampak menderita!
"Bagaimana Darman? Apakah tidak terasa nyeri lagi?" tanya ayahnya sambil duduk di tepi pembaringan.
"Tentu saja nyeri, bapa. Panas, berdenyut-denyut dan seperti ditusuk-tusuk." jawab Sudarman, akan tetapi sambil tersenyum memandang ayahnya.
"Akan tetapi, kulihat wajahmu sama sekali tidak tampak menderita, Darman! Bagaimana mungkin itu? Engkau malah tersenyum-senyum seolah merasa enak saja!" kata Mang Engkos dengan heran.
Sudarman memandang kepada Aji yang masih berdiri di situ dan tersenyum lebar. "Lalu bagaimana, bapa? Apakah aku harus menjerit-jerit dan menangis? Itupun tidak akan mengurangi rasa nyeri. Yang patah adalah tulang kaki tangan saya, yang nyeri adalah kaki dan tangan itu, bukan aku, bapa." kata pemuda itu sambil menunjuk dada sendiri.
"Hemm, bagaimana ini? Aku tidak mengerti, Darman. Kalau engkau merasa nyeri, bagaimana wajahmu dapat tersenyum dan berseri-seri seperti ini?" Tanya Mang Engkos smbil mengeleng-geleng kepalanya.
"Ha-ha, bapa. Inilah satu diantara ilmu-ilmu yang kupelajari dari Bapa Guru. Aku yakin ki sanak yang sakti mandraguna ini dapat menjelaskannya kepadamu."
Mang Engkos menoleh kepada Aji yang masih berdiri dan mendengarkan percakapan antara anak dan ayah itu sambil tersenyum. "Anakmas Lindu Aji, benarkah andika mengerti apa yang diucapkan anakku tadi? Jangan-jangan dia itu bicara ngaco karena nyeri dan demam!"
Aji mengangguk. “Aku mengerti, paman. Begitulah kalau sang rasa sudah masuk ke dalam nyeri sehingga menjadi satu, tidak ada perpisahan antara nyeri dan rasa sehingga orangnya tidak tahu lagi apakah yang dirasakan itu nyeri ataukah nikmat."
"Eh? Bagaimana ini? aku menjadi tambah tidak mengerti!" kata Mang Engkos.
"Sudahlah, bapa. hal itu tidak akan dimengerti oleh yang belum menguasai ilmu itu. Pokoknya, kita terima tanpa perlawanan, tanpa keluhan, menerimanya tidak sebagai kenyerian, melainkan sebagai sesuatu yang wajar. Eh, kisanak, aku tadi mendengar tentang pertandingan melawan Jaka Bintara. hebat sekali! Siapakah namamu tadi?"
"Namaku Lindu Aji."
"Andika masih muda sekali namun sudah sakti mandraguna, Akimas Aji. Sekarang aku minta agar andika tidak kepalang tanggung menolong dan menyelamatkan orang."
Aji memandang pemuda yang rebah telentang di atas pembaringan itu dengan sinar mata bertanya. "Menolong dan menyelamatkan siapakah, Kakangmas Sudarman?"
"Siapa lagi kalau bukan Neneng Salmah? Tolong selamatkan ia, dimas. Ia seorang gadis yang baik sekali, walaupun bekerja sebagai seorang ledek."
"Akan tetapi... ia kenapa?" tanya Aji.
"Ah, setelah peristiwa tadi, aku merasa gelisah sekali, dimas. Aku sendiri dan bapa guru sudah tidak berdaya, dan Neneng Salmah tidak mempunyai pelindung. Pada hal peristiwa tadi.. ah, aku yakin bahwa ia berada dalam bahaya besar."
"Bahaya besar? Bahaya apa dan siapa yang akan mengganggunya?"
"Siapa lagi kalau bukan orang Banten itu? Aku melihat sikapnya dan orang seperti itu tentu tidak akan mau berhenti sebelum niat busuknya terlaksana. Dan Tumenggung Jayasiran agaknya amat menghormatinya. Dengan campur tangan sang tumenggung, tidak mungkin Neneng Salmah akan dapat lolos dari cengkeraman orang Banten itu, kecuali kalau andika mau menolongnya."
"Akan tetapi bagaimana caranya, kangmas Sudarman?"
"Begini, dimas. Malam ini biar andika diantar bapa berkunjung ke rumah Ki Salmun, yaitu ayah Neneng Salmah. Biar Bapa yang menerangkan bahwa sebaiknya andika bermalam di sana untuk menjaga kalau-kalau ada bahaya mengancam gadis itu. Andika tentu bersedia menolong, bukan?"
Aji mengerutkan alisnya. "Tentu saja aku selalu siap sedia menolong siapapun juga. Akan tetapi kalau aku bermalam di sana, apa akan kata orang? Tentu akan menjadi bahan pergunjingan bahwa ada apa-apa yang tidak pantas antara aku dan Neneng Salmah."
"Perduli apa dengan gunjingan orang, dimas? Yang penting kan kita tidak melakukan hal tidak pantas! Kalau andika menolak lalu besok mendengar bahwa Neneng Salmah mengalami bencana, apakah andika tidak akan menyesal?" kata Sudarman dengan suara mendesak.
Jaka Bintara tersenyum mengejek. "Kalau tadi aku menyerangmu engkau tentu sudah mampus! Aku hanya ingin menghentikan perbuatanmu tak tahu malu."
Mendengar logat bicara pemuda jangkung itu asing, Badrun yang dijuluki Maung (Harimau) Sumedang itu menjadi marah. "Hemm, kisanak, Andika tentu bukan orang Sumedang dan tidak mengenal aku, maka berani bertindak lancang. Heh, ki sanak, karena andika seorang asing biarlah aku memaafkan perbuatanmu dan mundurlah sebelum aku bertindak kasar."
"Hemm, aku tidak pernah takut menghadapimu. Biarlah ada sepuluh orang macammu, aku tidak akan mundur."
Marahlah Badrun. “Babo-babo, keparat! Katakan siapa namamu, aku Si Maung Badrun tidak suka merobohkan lawan yang tidak bernama."
"Namaku Raden Jaka Bintara dari Banten. Nah, bersiaplah engkau untuk menggelundung keluar dari panggung!" kata Jaka Bintara dan dia sudah memberi isyarat kepada para penabuh gamelan.
Tumenggung Jayasiran yang ingin pula memamerkan kesaktian tamunya yang berasal dari daerahnya, segera memberi isyarat pula kepada para penabuh gamelan. Segera terdengar bunyi gamelan dipukul dengan gencarnya, memainkan lagu perang yang tepat untuk mengiringi sebuah pertandingan silat. Badrun yang amat percaya akan kemampuan sendiri, sudah cepat menari dan membuka pasangan kuda-kuda yang gagah. Tidak percuma dia memakai julukan harimau karena memang dia mengandalkan pencak silat yang di namakan Aji Sardula Bhairawa (Harimau Dahsyat), sebuah ilmu silat yang mendasarkan gerakannya pada gerakan seekor harimau!
Ilmu silatnya ganas bukan main, mengandalkan kekuatan otot yang amat besar. Bahkan jari-jari tangan Badrun, kalau sudah mempergunakan aji kesaktian ini, menjadi sedemikian kuatnya sehingga mampu merobek-robek kulit tubuh lawan, seperti cakar harimau! Kini Badrun sudah membuat gerakan kembangan, memasang kuda-kuda yang gagah, kedua kaki terpentang kokoh, kedua lengan membuat gerakan di depan dada, kadang menyilang dan kedua tangan itu membentuk cakar, tergetar getar dipenuhi tenaga dahsyat! Pandang matanya yang besar itu bersinar-sinar seperti mata harimau, bibirnya bergerak-gerak meringis seperti bibir harimau dan dari tenggorokannya keluar suara menggereng-gereng. Semua orang yang menonton merasa seolah mereka melihat seekor harimau terlepas dan hendak mengamuk.
Akan tetapi Jaka Bintara tersenyum mengejek melihat sikap lawan yang mengerikan itu. Dia adalah murid Kyai Sidhi Kawasa yang telah meguasai aji-aji kesaktian dari gurunya dan sikap lawannya itu baginya seperti permainan kanak-kanak saja. Jaka Bintara mulai menari pula, membuat kembangan-kembangan silat sambil menggeser kaki mendekati lawan. Badrun juga bergerak dan keduanya seperti dua ekor ayam jago yang sedang siap berlaga, bergerak saling mengelilingi seolah hendak mengukur kekuatan lawan melalui pandang mata dan juga mengintai untuk menemukan kelemahan dalam pertahanan lawan.
"Hayo maju dan seranglah, jangan hanya memamerkan cakar kucingmu itu. engkau hendak bertanding atau mau membadut?" ejek Jaka Bintara.
Marahlah Badrun. Tadinya dia memang bersikap dengan hati-hati setelah mendengar bahwa lawannya datang dari Banten dan dia tahu bahwa daerah itu memiliki banyak jagoan. Kini kemarahannya membuat dia tidak sabar lagi. Tiba-tiba dia membuat gerakan menerjang ke depan, kedia lengannya bergerak cepat dan kedua tangan itu telah menyambar dengan cengkeraman ke arah muka dan dada Jaka Bintara dan dari mulutnya terdengar bentakan nyaring.
"Haaarrrggghhh...!" Namun dengan gerakan yang cepat dan indah, Jaka Bintara sudah menggerakkan tubuh ke belakang, kakinya melangkah ke kanan dan tangan kirinya menampar dari kanan ke arah lambung lawan.
"Hyaaattt...!" Sambaran tangan itu mendatangkan angin yang dahsyat dan Badrun terkejut bukan main. Cepat dia memutar tubuh dan menggunakan tangan kiri memotong tangan lawan dengan tangkisannya.
"Wuuuuttt... dukkk!" Dua lengan bertemu dan mengeluarkan suara nyaring bagaikan dua potong besi bertemu. Bukan main kagetnya hati Badrun ketika merasa betapa lengannya nyeri bagaikan mau patah dan dia terdorong mundur sampai tiga langkah! Padahal dia terkenal bertenaga besar akan tetapi sekali ini, pertemuan kedua lengan itu membuat tulang lengannya terasa hendak patah. Akan tetapi dasar orang yang tak tahu diri, menganggap orang lain rendah dan dirinya sendiri paling hebat, dia tidak menyadari bahwa ilmunya kalah jauh bahkan dia menjadi penasaran dan marah. Kembali Badrun mengeluarkan gerengan menyeramkan, lalu dia menubruk dengan loncatan ke depan, gayanya seperti seekor harimau yang menerkam kelinci.
Akan tetapi sekali ini, Jaka Bintara yang diterkam itu sama sekali tidak mengelak bahkan kedua tangannya bergerak cepat menyambar kedua tangan berbentuk cakar itu dan mengangkat kedua tangannya ke atas. Tubuh Badrun tinggi besar, akan tetapi tubuh Jaka Bintara biarpun kurus lebih jangkung sehingga kini tubuh Badrun tergantung! Badrun meronta dan mengerahkan tenaga untuk melepaskan kedua pergelangan tangan yang dipegang lawannya itu, namun usahanya sia-sia. Cengkeraman tangan Jaka Bintara pada pergelangan kedua lengannya itu seperti jepitan baja! Jaka Bintara mengerahkan tenaga dalamnya dan Badrun membelalakkan matanya dan berteriak kesakitan.
"Krek-krekk! Aduuuuhhhh...!" Tulang pergelangan kedua tangan Badrun patah dan Jaka Bintara membanting tubuh lawannya ke atas lantai panggung. "Brukkkk...!" Badrun mengeluh kesakitan sambil merangkak. Akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Jaka Bintara menendang, tepat mengenai dadanya.
"Dessss...!" Tubuh Badrun terlempar ke bawah panggung dan dia pingsan seketika. Dua batang tulang rusuknya patah seperti kedua pergelangan tangannya. Beberapa orang temannya lalu menggotongnya pergi dari situ di bawah tepuk sorak para penonton yang mengagumi kegagahan Jaka Bintara yang luar biasa tangguhnya itu. Bayangkan saja! Dalam dua gebrakan saja Badrun yang ditakuti orang itu roboh pingsan dengan tulang-tulang patah.
Gamelan ditabuh lembut mengisyaratkan kepada penari untuk mulai menari lagi. Si selendang merah yang tahu bahwa Jaka Bintara keluar sebagai pemenang dan berhak berjoget dengannya, segera bangkit menghampiri pria jangkung itu sambil menari dan mulutnya tersenyum senang karena ia terbebas dari gangguan Badrun yang kurang ajar tadi. Akan tetapi, Jaka Bintara mengeluarkan sepotong uang reyal dari kantungnya dan sekali lempar, sekeping uang perak itu berputaran di udara lalu melayang turun dan meluncur ke atas dada ledek berselendang merah dan dengan tepat uang itu memasuki celah antara sepasang payudara ledek itu.
Tentu saja perbuatan ini memancing sambutan tepuk tangan para penonton. Aji yang menonton sejak tadi juga kagum. Jaka Bintara ini ternyata seorang yang sakti dan telah mampu mengendalikan tenaga saktinya secara hebat. Akan tetapi, Aji melihat bahwa pemuda jangkung itu memiliki watak yang kejam bukan main. Pada hal, melihat tingkatnya, dengan mudah saja dia akan dapat mengalahkan Badrun tanpa membuatnya cidera sedemikian rupa. Biarpun dia juga tak senang melihat kesombongan Badrun dan sudah sepatutnya orang sesombong itu mendapatkan hajaran keras, akan tetapi tidak sampai mematahkan kedua pergelangan tangan dan tulang-tulang rusuknya!
Mendapatkan hadiah satu reyal secara luar biasa itu, ledek selendang merah juga merasa ngeri. Bayangkan saja, sekeping uang perak itu seperti hidup saja, dapat menyusup ke dadanya! Akan tetapi ledek ini lalu menyembah dan menekuk sedikit kedua lututnya dengan gerakan lemah gemulai sambil berkata lembut, "Terima kasih, raden!"
Raden Jaka Bintara melambaikan tangannya kepada penari itu dan berkata, "Sudahlah, engkau mengasolah dan suruh Neneng Salmah menggantikanmu. Aku ingin berjoget dengannya!"
Si selendang merah berseri wajahnya mendengar ini. Biarpun laki-laki muda ini cukup tampan dan gagah berpakaian mewah, akan tetapi ada sesuatu pada sikap dan pandang matanya yang dingin itu membuatnya merasa ngeri, apalagi kalau ia teringat akan penyiksaan terhadap Badrun tadi. Ia cepat-cepat kembali ke tempat duduk di tengah-tengah para penabuh gamelan dan berbisik kepada Neneng Salmah bahwa Raden Jaka Bintara ingin berjoget dengannya. Karena dua orang ledek yang lain sudah berjoget dan ia tahu bahwa kemunculnnya dinantikan penonton, Neneng Salmah lalu bangkit berdiri dan dengan lenggangnya yang seperti macan kelaparan itu ia menuju ketengah panggung.
Semua penonton, terutama kaum mudanya, menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorak sorai gembira. Neneng Salmah tersenyum dan semua orang ikut tersenyum dengannya. Untuk ukuran ledek, harus diakui bahwa Neneg Salmah memiliki daya tarik yang luar biasa. Memang kecantikannya tidaklah luar biasa, akan tetapi justeru karena ia tidak terlalu merias diri, bedaknya juga tipis tidak seperti rekan-rekannya, maka daya tariknya semakin menonjol dan kuat sekali.
Senyumnya merekah, sepasang bibir itu terbuka sedikit memperlihatkan kilauan giginya yang berderet rapi dan putih, lesung pipit di sebelah kiri bibirnya, kerling matanya yang bagaikan mengandung besi sembrani, lalu tubuhnya yang padat ranum, dengan lekuk lengkung sempurna, terutama sekali di bagian dada dan pinggul, pinggangnya yang ramping, langkahnya yang tidak dibuat-buat namun tampak demikian lemah gemulai, kulitnya yang putih kekuningan dan mulus bersih, semua itu mengandung daya tarik yang membuat hati semua pria yang memandangnya berdebar penuh gairah.
Akan tetapi. berbeda pula dengan para rekannya, Neneng Salmah terkenal sebagai penari dan penyanyi yang sopan dan pandai menjaga kehormatannya. Bahkan dalam usia sembilan belas tahun itu masih disandangnya julukan perawan dalam arti yang seluasnya. Ia memang ramah, manis budi, pandai dan murah hati memberikan senyum manis dan kerling tajam memikat kepada setiap laki-laki, akan tetapi hanya itulah yang diberikan dengan rela hati. Ia tidak mau menyerahkan tubuhnya, untuk disentuhnyapun ia tolak, apalagi diciumi seperti ledek-ledek lain, sama sekali ia tidak mau.
Banyak orang hartawan atau bangsawan yang menawarkan uang yang banyak sekali untuk membeli dirinya, namun semua itu ditolaknya dengan halus. Sikap ini mendapat dukungan kuat dari ayahnya, Ki Salmun yang sudah menjadi duda dan bekerja sebagai tukang kendang dalam rombongan anaknya. Ayah yang bijaksana dan tidak gila harta ini sama sekali tidak mau menyerahkan puterinya untuk dibeli kehormatannya dengan harta betapapun banyaknya. Dia memberi kebebasan kepada Neneng Salmah untuk memilih sendiri siapa yang kelak akan menjadi suaminya. Akan tetapi selama ini, belum ada seorangpun pria yang berhasil mendapatkan cinta kasihnya.
Mungkin Neneng Salmah terlalu mencintai pekerjaannya sebagai penari dan penyanyi sehingga kadang ia merasa ragu dan khawatir bahwa kalau ia menjadi istri orang, ia akan kehilangan jati dirinya sebagai seorang seniwati. Bukan pria biasa saja yang gandrung (tergila-gila) kepadanya, bahkan secara diam-diam karena merasa malu kalau ketahuan orang, Pangeran Mas Gede sendiri, Adipati Sumedang, pernah mengirim utusan membujuk Neneng Salmah agar menjadi seorang selir, atau setidaknya melayani hasrat kerinduan dan kegairahannya! Akan tetapi, dengan sikap ramah dan hormat sehingga tidak menyinggung hati, Neneng Salmah menolaknya secara halus. Inilah sebabnya maka nama Neneng Salmah. Sebagai ledek yang terkenal bersuara emas dan pandai menari seperti bidadari, terutama sebagai seorang ledek perawan yang merupakan hal yang langka pada waktu itu, terkenal bukan saja di Sumedang dan sekitarnya, bahkan terkenal sampai ke Cirebon!
Setelah berhadapan dengan Raden Jaka Bintara, Neneng Salmah tetap tersenyum dengan ramah dan sopan, lalu memberi hormat dengan sembah. Gamelan memainkan lagu joget yang seronok dan halus dan Neneng Salmah mulai menari, lembut dan indah sekali. Biarpun ia menari dengan sepenuh jiwanya sehingga seakan-akan setiap bagian tubuhnya menari, pundaknya, dada dan pinggangnya, goyang pinggulnya sampai langkah kaki dan gerakan jari kakinya, gerakan lengan dan jari tangannya. Semua, semua bagian tubuh Neneng Salmah menari-nari, bahkan gumpalan rambut yang terurai di dahi dan pelipisnya, sinom halus itu, ikut pula bergoyang menari! Akan tetapi, walaupun kepala, pundak dan pinggulnya membuat gerakan-gerakan yang amat indah, namun gerakannya tidak mengandung kecabulan.
Pinggulnya memang bergoyang manis, namun tidak seperti gerakan pinggul para rekannya yang seolah-olah menggapai menantang dan membangkitkan gairah laki-laki manapun juga. Aji yang menonton merasakan ini dan diam-diam memandang penari itu dengan sinar mata kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Seorang seniwati yang menghayati seni tariannya dan ketika bertembang tadi, suaranya juga merdu sekali. Bahkan sikap yang manis tapi penuh susila ini juga dapat dirasakan Jaka Bintara sehingga pemuda bangsawan Banten ini juga menari dan berupaya untuk dapat menari sebaik dan segagah mungkin. Dia merasa bahwa kalau tangannya usil, menowel, mencubit atau menggerayangi maka hal itu akan tampak janggal sekali dan melenyapkan keindahan gerak tari mereka.
Dari pandang mata yang jeli indah itu saja Jaka Bintara merasa bahwa sedikitpun tidak ada niat merayu atau memikat dalam hati ledek luar biasa ini. Akan tetapi hal ini membuat dia merasa kecewa. sejak tadi sebelum Neneng Salmah menari, dia sudah tergila-gila kepada ledek ini, sudah timbul gairahnya, dan tadi dia ingin sekali berdekatan, berjoget bersama, bahkan menyentuhnya, merangkulnya dan bercumbu dengannya. Akan tetapi kenyataannya sekarang, biarpun sudah berjoget bersama, dia sama sekali tidak berani menyalurkan semua gairahnya itu! Dia merasa jengkel dan untuk melampiaskan kejengkelannya, dia lalu memutar tubuh menghadapi para penonton, bahkan juga kearah para tamu undangan lalu menantang.
"Heh, para penonton dan para tamu semua. Kini Neneng Salmah sudah berjoget dengan aku. Siapa di antara kalian yang ingin berjoget bersamanya? Siapa yang ingin mencoba-coba untuk merebutnya dari tanganku? Kalau ada yang berani, ke sinilah, kita main-main sebentar. Sebaliknya kalau tidak ada yang berani, terpaksa kelak akan kuceritakan kepada para jawara (pendekar) di Banten bahwa di Sumedang tidak ada pendekarnya. Dan kalau tidak ada yang maju berarti Neneng Salmah menjadi milikku!"
Neneng Salmah memang merupakan seorang yang memiliki daya tarik amat kuat. Mungkin namanya yang terkenal itupun menambah kuatnya daya tarik dirinya. Mulai banyak pendekar yang terusik hatinya. Bertanding di atas panggung tayuban seperti itu, biasanya merupakan kejadian biasa saja. Paling sial orang dikalahkan dan terpaksa mundur, mengaku kalah dan mengurungkan niatnya untuk berjoget dengan Neneng Salmah yang dirindukannya setiap hari. Tidak ada yang aneh dalam pertandingan macam itu. Memang tadi mereka melihat betapa sadis dan kejamnya pemuda bangsawan dari Banten itu. Akan tetapi hal itu adalah karena kesalahan Badrun sendiri, karena kesombongannya. Kalau dalam pertandingan biasa memperebutkan kemenangan agar dapat berjoget dengan seorang ledek, biasanya cukup asal dapat menjatuhkan lawan saja, dan itu cukup sebagai bukti kemenangan.
Tiba-tiba dari rombongan penonton di bawah panggung melompat seorang pemuda. Tubuhnya sedang akan tetapi agak kerempeng sehingga baru penampilannya saja sudah memancing suara tawa penonton. Akan tetapi bagi mereka yang mengenal Sudarman, tidak tertawa. Mereka tahu bahwa pemuda berusia dua puluh lima tahun yang bertubuh kerempeng namun berwajah ganteng itu adalah seorang pemuda yang pandai pencak silat. Sudah lama Sudarman gandrung kepada Neneng Salmah, bahkan pernah orang tuanya berkunjung ke rumah Ki Salmun dan dengan tata cara umum mengajukan pinangan untuk menjodohkan Sudarman dengan Neneng Salmah. Akan tetapi, karena Neneng Salmah menolak, maka pinangan itu tak dapat diterima dengan hormat dan dengan kata-kata yang tidak menyinggung.
Hal ini tentu saja membuat Sudarman semakin rindu kepada ledek itu dan sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan untuk mencoba agar dapat berjoget dengan perawan yang digandrunginya itu. Biarpun tidak dapat menjadi suami Neneng Salmah, akan tetapi kalau dapat berjoget bersama, tentu sudah merupakan hiburan yang menyenangkan. Begitu melihat Sudarman melompat naik ke panggung, Neneng Salmah mengenal pemuda yang pernah meminangnya itu. Ia menjadi malu-malu tersenyum dan melirik kepada pemuda itu, lalu mengundurkan diri duduk bersimpuh di pinggiran seperti biasa dilakukan ledek yang sedang diperebutkan, membiarkan dua orang laki-laki itu berhadapan dan bertanding.
Gamelanpun untuk sementara dihentikan agar para penonton dapat mendengar apa yang akan dikatakan kedua orang jagoan yang sudah saling berhadapan itu. Jaka Bintara yang bertubuh kurus, akan tetapi bertulang besar dan tidak kelihatan kerempeng. Ketika melihat bahwa yang melompat naik ke atas panggung adalah seorang pemuda yang kerempeng, dia tersenyum mengejek. Matanya mengamati Sudarman dari kepala sampai ke kaki penuh selidik.
"Orang muda." kata Jaka bintara dengan logat bicaranya yang terdengar asing dan kaku, "andika berani menyambut tantanganku untuk memperebutkan Neneng Salmah? Hemm, katakanlah dulu siapa nama andika. Kalau andika belum mengetahuinya, aku adalah Raden Jaka Bintara dari Banten."
Sudarman tadi sudah mendengar nama pemuda bangsawan Banten itu. Dia tersenyum dan melirik ke arah Neneng Salmah yang kebetulan juga sedang memandang kepadanya, Jaka Bintara juga menoleh dan melihat betapa Neneng Salmah tersenyum memandang pemuda kerempeng itu dia mengerutkan alisnya dan hatinya panas oleh cemburu.
"Raden Jaka Bintara," kata Sudarman dengan sikap ramah dan lembut. "Saya bernama Sudarman, penduduk sini saja, karena itu tanpa bertandingpun saya mau mengaku kalah. Akan tetapi karena andika sudah cukup lama berjoget dengan Neneng Salmah, maka kalau boleh saya menggantikan andika, saya mau memberikan pusaka saya ini kepada andika." Sudarman mencabut sebatang Kujang (semacam keris) dan menyerahkannya kepada Jaka Bintara.
Para penonton yang mendengar ini merasa heran. Sudah lajim kalau orang mengajukan permintaan menggantikan pemenang untuk berjoget dengan sang penari dengan cara memberi semacam hadiah, akan tetapi biasanya orang memberi hadiah dalam bentuk uang. Kalau ada orang menyerahkan pusakanya, maka hal itu dianggap terlalu merendahkan diri. Neneng Salmah memandang dan merasa terharu juga. Ia merasa betapa besar cinta Sudarman kepadanya sehingga pemuda itu rela merendahkan diri, menyerahkan pusakanya hanya untuk dapat berjoget dengannya!
Jaka Bintara menerima kujang itu, mengamatinya sebentar, lalu tertawa mengejek dan dengan kedua tangannya dia menekuk senjata itu sambil mengerahkan tenaga saktinya. "Krekkk!" Kujang itu patah menjadi dua dan sambil tertawa Jaka Bintara membuang potongan senjata itu ke bawah panggung. "Ha-ha-ha, senjata pisau pemotong bawang seperti itu, satu reyalpun aku dapat membelinya sepuluh batang! Siapa sudi menerimanya? Heh, Sudarman, kalau engkau memang berani, kalahkan dulu aku dalam pertandingan baru andika berhak joget dengan Neneng Salmah. Kalau andika tidak berani, hayo cepat turun dan jangan mengganggu aku yang sedang asyik berjoget!"
Wajah Sudarman menjadi pucat, lalu merah. Apa lagi mendengar suara beberapa orang mentertawakannya. Seorang laki-laki boleh saja mengalah seperti yang diperlihatkan dari sikapnya tadi, akan tetapi tidak ada laki-laki jantan yang membiarkan dirinya diperhina. Kalau perlu dia siap untuk mempertahankan kehormatannya dengan taruhan nyawa. Sudarman membusungkan dadanya yang tipis, matanya bersinar-sinar karena marah dan dia menatap wajah Jaka Bintara dengan tajam.
"Jaka Bintara, andika telah mematahkan pusakaku. Ini berarti andika telah menghinaku dan mau tidak mau terpaksa aku harus menyambut tantanganmu untuk bertanding!"
Pada saat itu, Sudarman bertemu pandang mata dengan Neneng Salmah dan wanita muda itu merasa khawatir akan nasib pemuda itu menggeleng kepalanya. "Akang Darman, harap jangan berkelahi..."
Sudarman memandang ledek itu dan mengerutkan alisnya. Kalau dia mundur hanya karena Neneng Salmah yang memang sudah dikenalnya itu mencegahnya, dia tentu disangka takut dan akan menjadi bahan tertawaan semua penduduk Sumedang. Dia juga tahu bahwa gadis itu mencegah perkelahian bukan karena cinta kepadanya, melainkan hanya takut akan terjadinya keributan karena penghinaan itu tentu memancing perkelahian, bukan sekedar bertanding mengadu kepandaian untuk dapat keluar sebagai pemenang dan berjoget dengan Neneng Salmah.
Sementara itu, mendengar ucapan Neneng Salmah, Jaka Bintara menjadi semakin cemburu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa di antara dua orang itu memang ada hubungan persahabatan biasa, dan tidak tahu pula bahwa pemuda itu pernah mengajukan pinangan kepada gadis itu namun ditolak. Kalau dia mengetahuinya, tentu tidak akan cemburu.
"Ha-ha, benar ucapan Neneng Salmah, Sudarman. Kalau engkau berkelahi denganku, tentu engkau akan mampus. Maka, sebaiknya cepat menyembah kepadaku dan minta ampun lalu mengundurkan diri, baru selamat!"
Sudarman tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Penghinaan demi penghinaan dilontarkan orang dari Banten itu. "Jaka Bintara, jangan mengira bahwa aku takut bertanding melawanmu. majulah!" katanya sambil memasang kuda-kuda, kaki kanan di depan, terbuka dengan telunjuk di atas, tangan kiri menyingsingkan paha celananya.
Jaka Bintara menoleh kepada para penabuh gamelan dan memberi isyarat dengan tangannya agar para penabuh gamelan membunyikan gamelan mereka untuk mengiringi pertandingan itu. Gamelan segera dipukul nyaring dan Jaka Bintara menhadapi Sudarman, lalu membentak nayaring. "Pecah kepalamu!" Tangan kanannya yang terbuka menghantam ke arah kepala Sudarman dengan tamparan yang mengeluarkan angin pukulan dahsyat.
Aji yang menonton dari bawah panggung terkejut karena dia mengenal pukulan ampuh yang mengandung tenaga sakti yang dahsyat. Dia mengkhawairkan nasib pemuda kerempeng itu. Akan tetapi ternyata Sudarman memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat. Dia mampu menghindarkan diri dari pukulan itu dengan elakan yang gesit, kemudian cepat membalas dengan pukulan dari samping yang mengarah lambung lawan. "Dukkk!" Jaka Bintara menangkis dan tangkisan itu membuat Sudarman terhuyung. Jelas sekali bagi Aji bahwa biarpun Sudarman memiliki gerakan ringan dan cepat, namun dalam hal tenaga sakti dia kalah jauh.
Pertandingan itu tidak akan berlangsung lama, pikirnya dan hatinya merasa bingung. Dalam hati dia ingin melindungi Sudarman yang terancam bahaya, akan tetapi bagaimana dia dapat melakukannya? Perbuatannya itu tentu akan menimbulakan keributan dan celaan karena bukankah meraka bertanding dengan adil di atas panggung? Kalah menang dalam sebuah pertandingan pencak silat adalah hal yang wajar dan mencampurinya merupakan pelanggaran yang tidak pantas. karena itu, dengan hati berdebar tegang Aji mengikuti jalannya pertandingan.
Seperti telah diketahui Aji sebelumnya, pertandingan itu ternyata berat sebelah. Jaka Bintara terus mendesak lawannya yang kini tidak dapat membalas lagi dan hanya main elak mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya, bahkan menangkispun dia tidak berani karena tadi pernah Sudarman menangkis sebuah pukulan dan akibatnya, lengan kirinya terasa patah tulangnya dan nyerinya bukan main. Tiba-tiba Jaka Bintara menghentikan desakan dan serangannya, bahkan mundur tiga langkah. Kesempatan ini dipergunakan Sudarman untuk menyerang karena sejak tadi dia diserang terus dan sudah kewalahan.
Aji bergerak hendak mencegah pemuda itu menyerang, akan tetapi dia teringat lagi dan menahan diri. Apa lagi karena tendangan kaki kanan Sudarman telah dilakukan. Kaki kanan itu mencuat dan cepat sekali menyambar ke arah dada Jaka Bintara. Ini memang yang dikehendaki pemuda bangsawan Banten itu dan Aji mengetahui hal ini namun tak berdaya. Ketika kaki itu sudah menyambar dekat Jaka Bintara mengerahkan tenaga sakti untuk membuat kebal dadanya. Kaki itu dengan tepat bertemu dada. "Bukkk!" Jaka Bintara tidak bergeming sedikitpun.
Sudarman terkejut akan tetapi terlambat dia menarik kembali kaki kanannya karena tangan kanan Jaka Bintara telah menyambar dan menghantamkan tangan yang terbuka dengan gaya membacok ke arah tulang lutut. "Krakk!" sudarman mengeluh dan roboh, tulang lutut kaki kanannya patah! dan pada saat itu tubuh sudarman sudah menggeletak itu, ketika dia dengan susah payah bangkit dan merangkak, Jaka Bintara menggerakkan kedua kakinya, berulang-ulang menendangi kaki dan lengan pemuda yang bernasib malang itu. Terdengar bunyi "krek-krek-krek" tiga kali dan kini kedua tulang kaki dan lengan Sudarman patah-patah! Sekali lagi sambil tertawa Jaka Bintara menendang dan tubuh sudarman yang sudah tidak dapat bergerak itu terlempar ke bawah panggung. Terdengar jeritan suara Neneng Salmah diikuti tangisnya, dan banyak penonton berseru kaget melihat peristiwa itu.
Tiba-tiba dari bawah panggung berkelebat sesosok bayangan orang dan tahu-tahu di atas panggung sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, berjenggot panjang dan kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Jaka Bintara. "Manusia kejam tak berperikemanusiaan!" Kakek itu menegur. "Pertandingan memperebutkan ledek merupakan perayaan dan pesta, mengapa engkau begitu kejam terhadap lawan yang sudah kalah?"
Jaka Bintara memandang wajah kakek dan tersenyum mengejek. "Aki tua, siapakah engkau?" tanyanya dengan nada suara memandang rendah.
"Jaka Bintara, aku adalah Ki Bajra, guru Sudarman.” “Ha-ha, bagus! Jadi engkau hendak membela muridmu yang tolol itu? Majulah!" Biarpun mulutnya menantang begitu, akan tetapi sebelum Ki Bajra menyerang maju, Jaka Bintara sudah mendahuluinya dengan serangan kilat. Ini menunjukkan betapa liciknya pemuda bangsawan Banten ini. Licik dan juga sakti. "Hyaaahhh....!"
Kekek itu mengelak dengan mudah dan ternyata dia memiliki gerakan yang lincah sekali. Aji mengangguk-angguk. Ternyata kakek tua itu seorang yang ahli dalam aji meringankan tubuh sehingga gerakannya amat cepat seperti seekor burung srikatan. Pantas saja tadi Sudarman juga bergerak amat cepatnya. Kakek ini ternyata lebih cepat lagi gerakannya dan sambil mengelak diapun dapat mengirim serangan balasan kilat. Agaknya tadi ketika muridnya menghadapi Jaka Bintara, Ki Bajra sudah mempelajari gerakan pemuda bangsawan Banten itu dan maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Karena itu dia tahu bahwa untuk mengatasi lawan, dia hanya dapat mengandalkan kecepatan gerakan dan tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk dapat memukulnya. Siasatnya ini memang tepat.
Jaka Bintara terkejut dan juga penasaran sekali karena semua serangannya dapat dielakkan lawan dengan mudah dan gerakan kakek ini ternyata lebih cepat daripada gerakan Sudarman yang tadipun membuat dia pusing karena sukar untuk dapat memukulnya. Kalau dilanjutkan, dia sendiri yang akan kehabisan tenaga dan nafas. Dan serangan balasan kakek itu cepat sekali datangnya. Baiknya dia telah melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan yang amat kuat sehingga beberapa pukulan kakek itu yang mengenai tubuhnya, tidak merobohkannya. Sejak tadi gamelan telah dipukul bertalu-talu mengiringi petandingan yang tampaknya seru sekali ini. Dan agaknya sekali ini Jaka Bintara bertemu tanding yang amat tangguh.
Setelah lewat tiga puluh jurus, dia sudah terkena pukulan empat kali walaupun pukulan itu bertemu kekebalannya dan tidak membuat dia jatuh atau nyeri. Sebaliknya, semua terjangannya selalu mengenai tempat kosong. "Kakek itu agaknya tangguh sekali, sebaiknya kalau kuhentikan saja pertandingan itu." kata Tumenggung Jayasiran perlahan kepada Kyai Sidhi kawasa yang duduk di sebelahnya.
Kakek yang menjadi datuk persilatan di Banten itu terkekeh dan suaranya yang lemah lembut itu terdengar meyakinkan. Dia tahu bahwa Tumenggung Jayasiran yang berasal dari Banten tentu saja tidak suka melihat jagoan Banten dikalahkan orang Sumedang maka hendak menghentikan petandingan untuk mencegah kekalahan Jaka Bintara. "Heh-heh, anakmas Tumenggung, jangan andika khawatir. Muridku tidak akan kalah. Lihat saja nanti, he-he-he!"
Mendengar ini tentu saja sang tumenggung merasa kega dan diapun menonton lagi pertandingan itu dengan penuh perhatian. Dia melihat kini Jaka Bintara melompat ke belakang, menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan sang tumenggung terbelalak kagum melihat asap mulai mengepul dari antara kedua tangan itu! Aji juga melihat hal ini dan dia terkejut sekali. Itulah semacam aji yang amat hebat dan dahsyat, mungkin semacam aji pukulan yang mengandung hawa panas atau api! Ki Bajra juga maklum akan hal ini dan dia sudah siap untuk menjaga jarak agar dapat menhindarkan diri dari serangan lawan. Jaka Bintara lalu menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan mendorong ke depan dan ke manapun tubuh lawan berkelebat, selalu disusulnya dengan pukulan jarak jauh yang amat ampuh itu. Itulah aji pukulan Hastanala (Tangan Berapi) yang dahsyat sekali. Beberapa kali Ki Bajra masih mampu menghindar, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan yang mengandung hawa berapi itu menerpanya.
"Auhhhh...!" Dia memekik dan tubuhnya terdorong lalu jatuh ke bawah panggung dengan baju dan kulit dada hangus seperti dibakar! Kakek itu pingsan dan seperti halnya Sudarman tadi, diapun lalu diangkat oleh beberapa orang muridnya. Semua orang merasa ngeri melihat akibat pukulan itu dan mereka memandang kepada Jaka Bintara yang tertawa bergelak itu dengan mata terbelalak merasa takut dan ngeri. Bahkan Neneng Salmah yang juga melihat pertandingan itu dari jarak dekat, sambil meneteskan air mata lalu nekat mencela pemuda bangsawan dari Banten itu. "Raden, andika sangat kejam, terlalu kejam...!"
Jaka Bintara menoleh kepada Neneng Salmah dan mengerutkan alisnya. "Hayo bangkit dan layani aku bejoget!" Dan diapun memberi isyarat kepada para penabuh gamelan untuk memainkan lagu pengiring tarian. Para penabuh tidak berani membantah dan segera bunyi gamelan berubah, beralun lembut. akan tetapi Neneng Salmah tetap duduk bersimpuh sambil menyusut air matanya dengan ujung selendangnya yang berwarna merah muda. Melihat gadis penari itu tetap duduk bersimpuh, Jaka Bintara menjadi marah.
"Neneng Salmah, hayo bangkit dan layani aku berjoget!" katanya lagi agak ketus. Neneng Salmah tetap menundukkan mukanya dan ia menjawab dengan gelengan kepalanya.
Semua penonton terbelalak. Ini luar biasa. Seorang ledek berani menolak diajak berjoget oleh seorang jawara yang telah mengalahkan beberapa orang dalam sebuah pertandingan! Juga Tumenggung Jayasiran mengerutkan alisnya. Ledek itu tidak menghormati tamu agungnya, berarti tidak menghormati dia yang menanggapnya! Jaka Bintara menjadi merah mukanya. Penolakan Neneng Salmah di depan begitu banyak orang sungguh merupakan penghinaan baginya. Dia lalu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sepuluh potong uang reyal dan melemparkan uang itu ke atas papan panggung, di depan gadis penari itu.
"Engkau ingin uang? Nah, ini, simpanlah dulu, nanti kutambah lebih banyak lagi kalau engkau memuaskan hatiku!" katanya sambil tersenyum lebar dengan bangga. Jarang ada pria yang berani mengeluarkan sepuluh reyal sebagai "uang muka".
Akan tetapi alangkah heran dan juga malunya ketika dia melihat Neneng Salmah tetap menggeleng kepla bahkan kini Neneng Salmah bangkit berdiri dan hendak lari kembali ke tempat dua orang rekannya duduk. Akan tetapi tiba-tiba Jaka Bintara membentaknya.
"Berhenti!" Neneng Salmah terkejut dan berhenti sambil memutar tubuh menghadapi Jaka Bintara. "Berani engkau membikin malu padaku? Akupun dapat membikin malu padamu di depan semua orang dengan menelanjangimu!"
Tiba-tiba tangannya bergerak ke arah gadis itu. Jarak antara mereka sekitar dua depa, akan tetapi ada angin menyambar dan tiba-tiba saja kemben yang melingkari pinggang ramping itu terlepas dan kain yang membungkus tubuh Neneng Salmah bergerak melorot. Neneng Salmah menjerit dan cepat menggunakan kedua tangannya untuk menahan kainnya sehingga ia tidak sampai telanjang di depan umum!
Pada saat itu, sesosok nayangan orang berkelebat dan tahu-tahu Aji telah berdiri di depan Jaka Bintara dan dengan suara lembut namun penuh teguran Aji berkata. "Jaka Bintara, sebagai seorang yang memiliki aji kedigdayaan dan bersusila, sungguh tidak patut dan memalukan sekali apa yang andika lakukan terhadap gadis penari ini. Ia berkata benar, andika memang seorang yang kejam dan keji, tak berperikemanusiaan dan sewenang-wenang!"
Jaka Bintara terbelalak dan mukanya menjadi merah kehitaman saking marahnya. Sementara itu, melihat muncul seorang pemuda yang membelanya, Neneng Salmah sambil memegangi kainnya dan mengambil kembennya, berjalan ke arah rekan-rekannya sambila menangis. Setelah tiba di antara dua rekannya, Neneng Salmah lalu membereskan pakaiannya, dibantu dua orang ledek yang lain. Sementara itu, para penabuh gamelan sudah menghentikan tabuhan mereka. Jaka Bintara bertolak pinggang dan menatap wajah Aji dengan melotot.
"Babo-babo, keparat! Lancang benar ucapanmu! engkau berani mencampuri urusanku. Siapakah engkau dan apa maumu?"
"Namaku Lindu Aji dan aku naik ke panggung ini selain untuk membela Neneng Salmah agar tidak kau perhina, juga untuk menandingimu dalam mengadu kedigdayaan."
"Babo-babo, keparat jahanam sombong! Engkau sudah bosan hidup agaknya!" bentak Jaka Bintara marah.
Aji tersenyum dan dia memberi isyarat kepada penabuh gamelan. Karena para penabuh gamelan merasa tidak suka kepada Jaka Bintara yang tadi menghina Neneng Salmah, maka mereka dengan penuh semangat memenuhi permintaan Aji. Mereka mengharapkan pemuda tampan yang baru datang ini, walaupun pakaian dan sikapnya sederhana dan senyumnya penuh percaya akan diri sendiri, akan mampu menghajar Jaka Bintara yang sombong dan kejam itu.
"Jaka Bintara, memang selalu mudah menemukan cacat orang walau sekecil semut sekalipun, akan tetapi menemukan cacat sendiri, biar sebesar gajah, amatlah sulit. Engkau mengatakan aku sombong dan sama sekali tidak menyadari bahwa yang sombong setengah mati adalah engkau sendiri. Sadarlah bahwa engkau telah melakukan kejahatan. Sebagai seorang tamu yang datang dari Banten tidak sepatutnya engkau menyiderai orang-orang seperti yang kau lakukan tadi, ditambah lagi hendak memaksa dan menghina seorang penari."
"Keparat jangan banyak mulut! Bersiaplah menerima hajaran dariku!" Bentak Jaka Bintara dan karena dia sudah marah sekali, hendak merobohkan orang yang berani menentang dan mencelanya sedemikian rupa di atas panggung, merobohkannya secepat mungkin dengan pukulan yang diandalkan, yaitu dengan Aji Hastanala. Kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu mengepulkan asap, kini lebih tebal daripada tadi ketika dia merobohkan Ki Bajra sehingga semua orang memandang dengan hati tegang, pemuda yang bernama Lindu Aji itu tentu akan roboh dan tewas!
Bagaimanapun juga, sebagian penonton mulai timbul perasaan tidak suka kepada Jaka Bintara karena kesombongannya, tidak memandang kepada orang-orang Sumedang. Juga mereka merasa marah melihat perlakuan Jaka Bintara terhadap Neneng Salmah yang amat menghina. Maka kini sebagian besar dari mereka condong untuk memihak Lindu Aji, walaupun mereka belum mengenal siapa pemuda itu dan sampai di mana kemampuannya. Mampukah pemuda asing ini menandingi pemuda bangsawan dari Banten itu yang sedemikian sakti mandraguna?
Melihat lawannya sudah menggosok-gosok kedua tangannya yang mengepulkan asap hitam, Aji lalu melangkah maju dan berkata dengan sikap tenang sekali. Di antara bunyi gamelan, terdengar suara Aji tegas. "Jaka Bintara, aku sudah siap sejak tadi, Mulailah!"
"Pecah kepalamu!" bentak Jaka Bintara sambil menyerang dengan pukulannya yang ampuh. Pukulan itu mengandung Aji Hastanala, dapat merobohkan lawan tanpa menyentuhnya, hanya mengandalkan angin pukulannya saja. Apa lagi kalau sampai tangan yang seperti membara itu mengenai kepala lawan, tentu akan pecah dan hangus! "Heiiiitttt...!" Aji menggeser kakinya dan melompat ke kiri, sehingga pukulan dahsyat itu luput. Akan tetapi Jaka Bintara sudah menyusulkan serangan berikutnya secara bertubi-tubi, menggunakan kedua tangan terbuka yang mengepulkan asap.
Namun, tiba-tiba dia tertegun. Lawannya itu bergerak aneh dan luwes, seperti seekor kera menari-nari, akan tetapi hebatnya, semua serangannya tak pernah mengenai lawan. Bahkan hawa pukulan jarak jauh itupun tidak pernah mengenai atau mempengaruhi lawan. Aji memang mempergunakan ilmu silat Wanara Sakti sehingga dia mirip peran Hanoman dalam kisah Ramayana, berlompatan ke kanan kiri, kadang melambung ke atas kadang berjongkok dan bergulingan, berjungkir balik akan tetapi selalu dapat lolos dari serangan lawan.
Para penonton merasa tegang. mereka mengira bahwa Aji ketakutan dan hanya mengelak ke sana sini saja, seperti dua orang lawan terdahulu yang akhirnya roboh juga oleh pukulan sakti pemuda Banten itu. Suasana menjadi sunyi dan menegangkan, hanya suara gamelan yang dipukul bertalu-talu. Ki Salmun, ayah Neneng Salmah yang menjadi tukang kendangnya dan tentu saja berpihak kepada Aji yang membela puterinya, memainkan kendangnya dengan indah sekali, disesuaikan dengan gerak-gerik Aji yang mirip tarian kera itu menjadi "hidup".
Makin lama, Jaka Bintara menjadi semakin penasaran agak pening juga dia harus berputar-putar mengejar tubuh Aji yang seolah berubah menjadi bayangan yang gesit sekali. Dia lalu hendak menggunakan siasat ketika tadi merobohkan Sudarman, yaitu dengan memancing agar lawan menyerangnya sehingga dia dapat merobohkannya dengan pukulan mautnya. Maka, dia lalu berseru lantang.
"Heh, keparat! Kalau andika bukan pengecut, hayo balas seranganku, jangan hanya mengelak seperti seekor munyuk monyet!"
Semua orang yang mendengar ini, diam-diam ikut mengharapkan agar Aji membalas karena mereka ingin melihat jagoan Banten itu terkena pukulan. "Hemm, begitukah kehendakmu? Nah, rasakan ini!" Tiba-tiba tubuh Aji berkelebat. Sebelum Jaka Bintara dapat berbuat sesuatu, tangan kiri Aji ditamparkan ke arah tengkuk lawan. Gerakannya cepat, namun Aji tidak ingin mencelakai orang, hanya sekedar hendak memberi pelajaran maka dia tidak mengerahkan tenaga sakti terlalu kuat.
"Plakkk!" Tamparan itu tepat mengenai tengkuk dan tubuh Jaka Bintara terputar, akan tetapi dia dapat bertahan, masih berdiri sambil menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya yang terasa berpusing, kedua matanya dipejamkan! Tepat ketika tamparan Aji itu mengenai tengkuk, dengan cermat sekali Ki Salmun si tukang kendang memukul kendangnya sehingga terdengar suara berdentam keras seolah pukulan itu yang mengeluarkan suara!
Penonton bersorak! Jelas tampak oleh mereka betapa tamparan itu mengenai tengkuk dan melihat pula betapa tubuh Jaka Bintara terputar lalu berdiri sambil memejamkan mata dan memegangi kepalanya. Tentu saja Jaka Bintara menjadi marah bukan main. Biarpun dia telah terkena pukulan, namun dia masih memandang rendah karena pukulan itu tidak sampai merobohkannya dan dia mengira bahwa lawan sudah mengerahkan seluruh tenaga sehingga berarti bahwa lawannya hanya memiliki ilmu silat yang amat cepat namun tidak memiliki tenaga yang mengkhawatirkan. Kalau tenaga lawan hanya sebegitu, biarpun dia dipukul lima kali, dia tidak akan roboh, akan tetapi sekali saja dia dapat membalas, pasti lawan akan roboh dan mampus!
"Ambrol dadamu!" Dia membentak lagi dan kini dia menyerang dengan tendangan kakinya yang panjang. namun, seperti tadi, Aji hanya mengelak dan cepat sekali tangannya menyambar, menangkap tumit kaki yang menendang dan sekali mengerahkan tenaga, dia melontarkan tubuh lawan dengan mendorong ke atas. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Jaka Bintara terlempar ke atas, namun dia dapat berjungkir balik mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting jatuh, dapat turun ke atas papan panggung dengan kedua kaki lebih dulu.
Namun tetap saja dia terhuyung-huyung. Kembali terdengar sorak-sorai, kini lebih genpita daripada tadi. Orang-orang mulai merasa lega, senang dan gembiara, maklum bahwa pemuda asing itu benar-benar mampu mengatasi jagoan Banten itu. Jaka Bintara merasa seolah kulit mukanya ditoreh. Dia merasa malu dan karenanya lalu menjadi marah yang membuat kedua matanya seolah berubah merah dan mulutnya seperti berbusa. Dia memandang Aji yang berdiri santai di depannya dengan sinar mata seolah hendak membakarnya dengan sinar matanya.
"Keparat rasakan pembalasanku!" Dia merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, mulutnya berkemak kemik membaca mantera, kemudian menggosok-gosok lagi kedua tangannya dan sekali ini bukan asap hitam saja yang tampak di antara kedua tangannya, melainkan nyala api! Lalu dia menekuk kedua lututnya, mendorongkan kedua tangan yang sudah bernyala ke arah Aji. "Aji Analabanu...!!" Nyala api yang bersianr-sinar menerpa ke arah Aji.
Akan tetapi sejak tadi Aji sudah siap siaga, maklum bahwa lawan menggunakan aji pukulan yang ampuh. Maka diapun menyambut dengan dorongan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sakti Surya Chandra. "Wuuuttt... bresss.... !!" Tubuh Jaka Bintara tersentak ke belakang dan terlempar sampai keluar dari panggung, jatuh ke bawah panggung. Aji menggunakan kekuatan untuk bertahan dan lawannya itu terpental oleh tenaganya sendiri yang membalik. Jaka Bintara muntah darah, terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik.
Melihat ini, Tumenggung Jayasiran cepat menyuruh perajurit pengawal untuk menolong pemuda itu dan memapahkan ke tempat duduknya. Tepuk tangan dan sorak sorai menyambut kemenangan Aji. Akan tetapi pada saat itu, Kyai Sidhi Kawasa telah berada di atas panggung berhadapan dengan Aji.
"Hemm, Lindu Aji, andika telah berhasil mengalahkan muridku. Sekarang lawanlah gurunya. Kalau andika mampu mengalahkan aku, barulah andika patut disebut seorang muda yang sakti mandraguna!" Ucapan Kyai Sidhi Kawasa itu terdengar lemah lembut.
Aji memandang kakek itu dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang tua yang berilmu tinggi. Maka dia lalu menyembah dan memberi hormat. "Maaf, eyang. dengan siapakah saya berhadapan?"
"Heh-heh, orang muda, andika belum mengenal aku? Sudah sepantasnya karena aku bukan orang sini, melainkan datang dari Banten. Namaku adalah Kyai Sidhi Kawasa."
Diam-diam Aji terkejut. Dia pernah mendengar nama datuk dari Banten ini. "Ah. kiranya eyang adalah Kyai Sidhi Kawasa yang terkenal sakti mandraguna itu. Saya tidak mempunyai persoalan dengan eyang, mengapa eyang menantang saya?"
"Tidak mempunyai persoalan? Andika telah merobohkan muridku Raden Jaka Bintara. Sudah sepatutnya aku sebagai gurunya membelanya dan menebus kekalahannya."
"Maaf, eyang. Saya yakin bahwa eyang adalah seorang yang bijaksana sehingga mengetahui bahwa murid eyang telah melakukan kekejaman. Semestinya eyang sendiri yang turun tangan memberi ingat dan memberi hukuman kepadanya agar nama besar eyang tidak terseret ke dalam kecemaran. Saya hanya membela mereka yang diperlakukan sewenang-wenang oleh Jaka Bintara, harap eyang dapat memakluminya."
Ucapan yang halus dan merendah dari Aji ini oleh Kyai Sidhi Kawasa dianggap sebagai tanda rasa takut. Dia mengedikkan kepalanya yang kecil dan botak, lalu berkata lantang. "Heh, Lindu Aji, kalau engkau merasa bersalah, berlututlah dan mohon ampun kepadaku."
Aji berkata dengan tenang. "Maaf, eyang. Saya tidak dapat minta ampun karena saya tidak merasa bersalah."
"Hemm, kalau begitu tidak ada jalan lain. Andika harus nertanding dengan aku untuk menentukan siapa yang lebih sakti!"
"Saya tidak bermusuhan dengan eyang, akan tetapi kalau eyang memaksa saya bertanding, apa boleh buat. Akan saya layani."
"Bagus, bersiaplah andika, Lindu Aji!" kata kakek itu.
"Tahan, harap jangan bertanding!" Tiba-tiba terdengar suara dan Tumenggung Jayasiran berlari-lari ke tengah panggung melerai mereka yang hendak bertanding.
"Anakmas Tumenggung, kenapa menghalangi saya yang hendak memberi hajaran kepada bocah sombong ini?" Tanya Kyai Sidhi Kawasa penasaran.
"Maaf, paman. Baru saja saya tahu bahwa anakmas Lindu Aji ini bukan orang lain, bukan musuh." lalu tumenggung itu menghadapi Aji dan bertanya, "Bukankah andika yang telah menyelamatkan Gusti Adipati Pangeran Mas Gede?"
Ternyata tadi ketika tumenggung itu mendengar nama Lindu Aji, dia teringat akan berita yang terdengar olehnya tentang pemberontakan Tumenggung Jaluwisa yang gagal karena sang adipati diselamatkan oleh seorang pemuda bernama Lindu Aji bersama dua orang kawannya. Setelah bertanya-tanya kepada beberapa orang pengawal akhirnya dia yakin bahwa pemuda itulah penolong sang adipati, maka cepat-cepat dia melerai pertandingan antara pemuda itu dan Kyai Sidhi Kawasa.
Aji mengangguk dengan hormat. Dia tahu bahwa tumenggung ini adalah tuan rumah dan dia lalu menjawab, "Benar, paman tumenggung."
"Ah, kalau begitu maafkan bahwa tidak sejak tadi aku menyambutmu, anakmas. Dan lebih menyesal lagi aku tidak mencegah pertandingan ini. Anakmas Lindu Aji, silakan duduk di atas dan kalau andika ingin berjoget dengan Neneng Salmah, silakan. Kami akan menyuruh ia datang melayani andika berjoget."
Aji tersenyum. "Tidak perlu, paman. Saya tidak ingin berjoget, hanya tadi tidak tahan melihat perlakuan sewenang-wenang. Sesungguhnya saya merasa heran sekali mengapa paman membiarkan penyiksaan dan penghinaan itu terjadi?"
Tumenggung Jayasiran tersenyum rikuh. "Ah, maafkan anakmas. Tadipun saya kira mereka itu hanya bertanding seperti biasa saja, tidak tahunya menjadi sungguh-sungguh. Saya merasa menyesal sekali dan akan menghentikan petandingan ini. Cukup dengan berjoget saja, secara bergiliran, tanpa pertandingan. Silakan masuk, anakmas."
Aji menggeleng kepalanya. "Terima kasih, paman tumenggung. Saya akan pergi untuk mencari tempat penginapan."
"Ah, kalau ingin menginap, kenapa harus mencari tempat lain? Menginaplah saja di sini, anakmas! Andika adalah penyelamat gusti adipati, sudah sepantasnya kalau kami menyambutmu dengan segala senang hati dan kehormatan. Kami ikut berterima kasih atas pertolonganmu itu."
"Terima kasih, paman. Saya mencari penginapan di luar saja. selamat malam!" Aji memandang ke arah wajah Kyai Sidhi Kawasa dan melihat betapa sinar mata kekek itu ditujukan kepadanya dengan penuh rasa dendam. Dia maklum bahwa selanjutnya dia harus berhati-hati karena dendam seorang seperti kakek ini amatlah berbahaya. setelah memberi hormat kepada tumenggung itu, diapun melompat turun dari panggung dan meninggalkan tempat itu. Selagi Aji berjalan untuk mencari tempat penginapan, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua menghadangnya dan bertanya dengan suara lembut dan ramah.
"Apakah denmas mencari tempat penginapan?
Aji mengangkat muka memandang. Sinar lampu gantung di depan sebuah rumah tak jauh dari situ cukup menerangi wajah orang itu. Seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian seperti petani sederhana dan sikapnya lugu, sama sekali tidak mencurigakan. "Benar sekali, paman. Akan tetapi jangan sebut aku denmas karena aku bukan seorang priyayi. Apakah paman mengetahui di mana ada tempat penginapan di kadipaten ini?"
"Den... ah, anakmas. Kalau anakmas sudi, silakan bermalam di rumah kami. Kami akan senang sekali kalau anakmas sudi bermalam di rumah kami yang buruk."
Lindu Aji menjadi tertarik dan dia mengamati wajah orang itu penuh selidik. "Paman siapakah dan mengapa paman yang belum mengenalku sudah begitu baik hati menawarkan untuk aku bermalam?"
Mendengar nada suara Aji, orang itu cepat menjawab. "Harap jangan curiga, anakmas. Aku sudah mengenal Anakmas Lindu Aji dengan baik, sejak di tempat pesta tadi. Aku biasa dipanggil Mang Engkos, dan aku adalah ayah dari Sudarman yang malang, yang menderita cidera karena kekejaman orang Banten tadi. Karena anakmas telah menghajar jagoan Banten tadi, maka kami berterima kasih sekali dan mendengar anakmas membutuhkan tempat bermalam, maka aku cepat mengejarmu dan menawarkan rumah kami sebagai tempat bermalam."
Aji mengangguk-angguk, mengerti dan dia merasa senang untuk bermalam di rumah keluarga Sudarman, pemuda tampan kerempeng yang tadi dengan gagah berani melawan Jaka Bintara. "Terima kasih atas kebaikan hatimu, paman... eh, Mang Engkos. Bagaimana dengan keadaan Sudarman sekarang?"
"Marilah kita pulang, anakmas dan andika dapat melihat sendiri keadaannya. Menurut ahli pengobatan yang memeriksanya, dia mengalami patah tulang kaki tangan, akan tetapi dia akan sembuh. Yang lebih parah keadaannya adalah Ki Bajra. Dia juga berada di rumah kami, sedang dirawat ahli pengobatan itu."
Aji mengerti. Dia tadi melihat betapa Sudarman hanya patah tulang tangan dan kakinya, akan tetapi gurunya, Ki Bajra, terkena pukulan berhawa panas yang ampuh sekali. Aji mengikuti mang Engkos ke rumah keluarga itu yang berada dipinggir kota, di bagian yang sunyi karena rumah itu agak terpencil. Sebuah rumah yang cukup besar walaupun sederhana. Ternyata di rumah itu hanya tinggal Mang Engkos yang sudah menduda dan putera tunggalnya, yaitu Sudarman dan beberapa orang keponakan laki-laki yang suka datang untuk membantu pekerjaan Mang Engkos di sawah ladang.
Para keponakan inipun menjadi murid Ki Bajra yang sudah beberapa tahun tinggal di rumah Mang Engkos karena kakek ini seorang perantau yang tidak mempunyai keluarga. Aji memeriksa keadaan Sudarman yang rebah di dalam sebuah kamar di atas tempat tidur kayu. Pemuda itu tersenyum ketika diperkenalkan kepada Aji. Dia sudah mendengar dari saudara-saudara seperguruannya betapa Aji telah menghajar keras jagoan dari banten itu dan menyelamatkan Neneng Salmah dari penghinaan.
"Andika hebat sekali dapat mengalahkan Jaka Bintara yang digdaya itu!" kata Sudarman sambil memandang dengan sinar mata kagum. Kaki dan tangannya dibalut kuat-kuat dan biarpun dia menderita nyeri yang cukup hebat, namun wajahnya tersenyum dan sedikitpun tidak tampak menderita!
"Bagaimana Darman? Apakah tidak terasa nyeri lagi?" tanya ayahnya sambil duduk di tepi pembaringan.
"Tentu saja nyeri, bapa. Panas, berdenyut-denyut dan seperti ditusuk-tusuk." jawab Sudarman, akan tetapi sambil tersenyum memandang ayahnya.
"Akan tetapi, kulihat wajahmu sama sekali tidak tampak menderita, Darman! Bagaimana mungkin itu? Engkau malah tersenyum-senyum seolah merasa enak saja!" kata Mang Engkos dengan heran.
Sudarman memandang kepada Aji yang masih berdiri di situ dan tersenyum lebar. "Lalu bagaimana, bapa? Apakah aku harus menjerit-jerit dan menangis? Itupun tidak akan mengurangi rasa nyeri. Yang patah adalah tulang kaki tangan saya, yang nyeri adalah kaki dan tangan itu, bukan aku, bapa." kata pemuda itu sambil menunjuk dada sendiri.
"Hemm, bagaimana ini? Aku tidak mengerti, Darman. Kalau engkau merasa nyeri, bagaimana wajahmu dapat tersenyum dan berseri-seri seperti ini?" Tanya Mang Engkos smbil mengeleng-geleng kepalanya.
"Ha-ha, bapa. Inilah satu diantara ilmu-ilmu yang kupelajari dari Bapa Guru. Aku yakin ki sanak yang sakti mandraguna ini dapat menjelaskannya kepadamu."
Mang Engkos menoleh kepada Aji yang masih berdiri dan mendengarkan percakapan antara anak dan ayah itu sambil tersenyum. "Anakmas Lindu Aji, benarkah andika mengerti apa yang diucapkan anakku tadi? Jangan-jangan dia itu bicara ngaco karena nyeri dan demam!"
Aji mengangguk. “Aku mengerti, paman. Begitulah kalau sang rasa sudah masuk ke dalam nyeri sehingga menjadi satu, tidak ada perpisahan antara nyeri dan rasa sehingga orangnya tidak tahu lagi apakah yang dirasakan itu nyeri ataukah nikmat."
"Eh? Bagaimana ini? aku menjadi tambah tidak mengerti!" kata Mang Engkos.
"Sudahlah, bapa. hal itu tidak akan dimengerti oleh yang belum menguasai ilmu itu. Pokoknya, kita terima tanpa perlawanan, tanpa keluhan, menerimanya tidak sebagai kenyerian, melainkan sebagai sesuatu yang wajar. Eh, kisanak, aku tadi mendengar tentang pertandingan melawan Jaka Bintara. hebat sekali! Siapakah namamu tadi?"
"Namaku Lindu Aji."
"Andika masih muda sekali namun sudah sakti mandraguna, Akimas Aji. Sekarang aku minta agar andika tidak kepalang tanggung menolong dan menyelamatkan orang."
Aji memandang pemuda yang rebah telentang di atas pembaringan itu dengan sinar mata bertanya. "Menolong dan menyelamatkan siapakah, Kakangmas Sudarman?"
"Siapa lagi kalau bukan Neneng Salmah? Tolong selamatkan ia, dimas. Ia seorang gadis yang baik sekali, walaupun bekerja sebagai seorang ledek."
"Akan tetapi... ia kenapa?" tanya Aji.
"Ah, setelah peristiwa tadi, aku merasa gelisah sekali, dimas. Aku sendiri dan bapa guru sudah tidak berdaya, dan Neneng Salmah tidak mempunyai pelindung. Pada hal peristiwa tadi.. ah, aku yakin bahwa ia berada dalam bahaya besar."
"Bahaya besar? Bahaya apa dan siapa yang akan mengganggunya?"
"Siapa lagi kalau bukan orang Banten itu? Aku melihat sikapnya dan orang seperti itu tentu tidak akan mau berhenti sebelum niat busuknya terlaksana. Dan Tumenggung Jayasiran agaknya amat menghormatinya. Dengan campur tangan sang tumenggung, tidak mungkin Neneng Salmah akan dapat lolos dari cengkeraman orang Banten itu, kecuali kalau andika mau menolongnya."
"Akan tetapi bagaimana caranya, kangmas Sudarman?"
"Begini, dimas. Malam ini biar andika diantar bapa berkunjung ke rumah Ki Salmun, yaitu ayah Neneng Salmah. Biar Bapa yang menerangkan bahwa sebaiknya andika bermalam di sana untuk menjaga kalau-kalau ada bahaya mengancam gadis itu. Andika tentu bersedia menolong, bukan?"
Aji mengerutkan alisnya. "Tentu saja aku selalu siap sedia menolong siapapun juga. Akan tetapi kalau aku bermalam di sana, apa akan kata orang? Tentu akan menjadi bahan pergunjingan bahwa ada apa-apa yang tidak pantas antara aku dan Neneng Salmah."
"Perduli apa dengan gunjingan orang, dimas? Yang penting kan kita tidak melakukan hal tidak pantas! Kalau andika menolak lalu besok mendengar bahwa Neneng Salmah mengalami bencana, apakah andika tidak akan menyesal?" kata Sudarman dengan suara mendesak.