Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 24
EULIS masih berdiri memandang sampai bayangan pemuda itu menghilang di sebuah tikungan. Ia masih tertegun mendengar ucapan pemuda itu dalam kalimat terakhir. Menjadi isterinya? Menjadi isteri Jatmika? Hal ni sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Memang dengan terang harus ia akui bahwa ia kagum dan suka kepada Jatmika yang selalu sopan, lembut dan halus budi. Apa lagi pemuda itu selalu menolongnya, bahkan untuk membelanya pemuda itu rela mempertaruhkan keselamatan nyawanya? Sama sekali belum pernah terpikirkan dan pernyataan Jatmika tadi bagaikan halilintar menyambar dan membuatnya sadar sepenuhnya bahwa pemuda itu mencintanya!
"Eulis...!"
Eulis menoleh dan ia melihat Nyi Subali menghampirinya perlahan-lahan. Eulis tersenyum. Ia merasa suka sekali kepada wanita ini. Pandang matanya yang demikian lembut dan mengandung kasih sayang yang terasa sekali olehnya, wajahnya yang baginya tampak cantik sekali. "Bibi...!" katanya dan balas merangkul ketika Nyi Subali merangkulnya.
"Bocah nakal!" kata Nyi Subali sambil mencium pipi gadis itu. "Kenapa masih memanggilku bibi? Bukankah engkau kini telah menjadi anakku? Anakku yang tersayang? Engkau telah menjadi anakku, Eulis, karena itu sebut aku ibu, jangan bibi!"
Eulis tersenyum dan mereka bergandengan tangan memasuki rumah. "Eh, maaf, aku lupa... ibu."
Nyi subali menahan tangisnya. suara itu! Masih suara Sulastri. Aneh mendengar anaknya sendiri menyebut ibu kepadanya dengan malu-malu. Padahal itu suara Sulastri, seperti dahulu kalau menyebut ibu kepadanya lembut dan manja! Sinar matanya membayangkan kebandelan. "anak nakal! Nyi Subali mempererat gandengannya dan tertawa.
Eulis merasa dimanja dan iapun tertawa senang. Demikianlah, mulai hari itu Eulis tinggal di rumah Ki Subali dan isterinya. Ia bukan seorang gadis bodoh. Sama sekali bukan. Ia bahkan seorang gadis yang cerdik sekali. Karena itu, iapun menemukan keanehan-keanehan dalam dirinya. Ia merasa amat dekat dengan "orang tua angkatnya", ia merasa akrab dengan segala sesuatu yang berada dalam rumah itu, pelatarannya, kebunnya, bahkan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar rumah. Lebih-lebih lagi, ia menemukan pakaian-pakaian dalam sebuah kamar yang diberikan kepadanya, dan semua pakaian itu cocok dan pas bagi tubuhnya. Kamar tidur itu, dengan pembaringan, dengan meja kursinya, semua itu sama sekali tidak asing baginya. Akan tetapi ia sama sekali tidak ingat pernah bertemu dengan Ki Subali dan Nyi Subali.
Setelah beberapa hari tinggal di situ, dekat dengan Ki Subali dan Nyi Subali, kecerdikan akalnya membuat ia yakin akan keadaan dirinya. Ia merasa yakin bahwa Ki Subali dan isterinya adalah ayah ibunya, dan bahwa benar ia anak tunggal mereka yang bernama Sulastri. Ia dapat menduga bahwa ia tentu telah kehilangan ingatannya dan menurut keterangan pemuda yang bernama Lindu Aji itu, seperti juga diceritakan Jatmika kepada Ki Subali dan isterinya, ia telah terjatuh dari tebing yang tinggi. Kenyataannya ia tidak mati, akan tetapi kehilangan ingatannya. Hal ini membuat ia menduga bahwa tentu kejatuhan dari tebing yang tinggi itulah yang telah membuat ia kehilangan ingatan!
Samar-samar ia dapat ingat bahwa ia terjatuh ke tangan gerombolan penjahat, melawan mereka yang dibantu Jatmika. Itulah saat-saat ia dapat ingat dan sebelum itu, ia tidak ingat apa-apa. Kini ia percaya bahwa ia adalah Sulastri, anak tunggal Ki Subali dan isterinya. Akan tetapi, semua itu hanya dugaan yang muncul dari penalaran. Ingatannya belum kembali dan ia belum dapat ingat akan gurunya, Ki Ageng Pasisiran. Untung bahwa semua ilmu yang pernah ia pelajari telah mendarah daging, telah menyatu dengan dirinya sehingga walaupun ia tidak ingat akan teorinya, ia masih dapat memainkannya dengan baik.
Ki Subali dan Nyi Subali maklum akan keadaan diri puteri mereka itu. Suami isteri ini adalah orang-orang bijaksana dan amat mengasihi anak tunggal mereka. Mereka juga dapat menduga bahwa anak mereka itu tentu mengalami cidera ketika terjatuh dari tebing curam sehingga kehilangan ingatannya. Dengan sabar dan telaten mereka menuntun ingatan Eulis untuk kembali ke masa lalu. Mereka menceritakan keadaan gadis itu ketika masih kecil, kenakalan-kenakalannya sampai ia tumbuh dewasa dan menjadi murid Ki Ageng Pasisiran.
Eulis kini mulai hafal akan cerita tentang pengalaman-pengalamannya sejak kecil, akan tetapi hal ini tidak memulihkan ingatannya. Ia hanya tahu akan keadaan dirinya sendiri dari cerita kedua orang tua itu. Betepapun juga, ia masih tetap ingin disebut Listyani atau Eulis. Nama ini sudah melekat dalam hatinya, terutama sekali karena nama itu pemberian Jatmika, pemuda yang telah menolong dan menyelamatkannya.
Dan Ki Subali beserta isterinya yang bijaksana dan sabar itupun tidak memaksakan nama Sulastri kepada anak mereka. Mereka dengan hati tulus menyebutnya Eulis, merasa seolah kini puteri mereka itu telah berganti nama! Belasan hari telah berlalu. Ki Subali dan isterinya merasa lega dan berbahagia. biarpun Sulastri atau Eulis belum menemukan kembali ingatannya, namun gadis itu tidak kehilangan kelincahannya. Masih lincah genbira dan bandel nakal seperti dulu!
Pada suatu hari Sulastri duduk seorang diri di pendopo rumahnya. Ia duduk termenung. Tiba-tiba terdengar suara kucing. "Meyoooongggg...!" Sulastri atau Eulis sadar dari lamunannya. ia memandang ke bawah dan melihat seekor kucing mendekatinya lalu kucing itu dengan manja membelai-belai kaki Eulis dengan leher dan perutnya. Eulis tertawa, membungkuk dan mengangkat kucing itu lalu dipangkunya dan dibelai kepala kucing dengan tangannya. Kucing itu dengan manja memejamkan mata dan menggeliatkan badannya.
"Candra, agaknya engkau masih mengenal aku. Ayah dan ibu menceritakan bahwa dulu engkau adalah kucing kesayanganku." kata Eulis lirih dan kucing itu mengeong lirih pula.
Seekor kucing yang indah bulunya. Bulu halus tiga warna dan kucing itu, menurut Nyi Subali, dulu ditemukan Eulis di dalam hutan, dibawa pulang dan diberi nama Candramawa. Kucing ini memiliki wibawa seperti harimau. Kalau ia lapar, dengan mengarahkan pandang matanya yang hijau mencorong itu ke arah seekor cecak yang sedang merayap di atas dinding, cecak itu akan jatuh dan menjadi mangsanya. Demikian pula, kalau ia mengejar tikus, tikus itu akan demikian ketakutan sehingga tidak mampu lari lagi, tinggal tubruk saja!
Eulis tidak ingat lagi akan semua itu, akan tetapi cerita ibunya membuat ia merasa sayang kepada kucing itu. Suara derap kaki kuda dan roda kereta membuat Eulis mengangkat muka memandang ke arah jalan di depan rumahnya. Ia melihat sebuah kereta berhenti di tepi jalan raya di depan pekarangan. Dua orang turun dari atas kereta, seorang laki-laki setangah tua dan seorang wanita muda. Wanita itu cantik manis dengan tubuh yang luwes dan ramping. Kedua orang itu lalu memasuki pekarangan. Eulis memandang penuh perhatian. Ia tidak merasa kenal kepada dua orang itu, akan tetapi karena mereka itu agaknya hendak berkunjung dan bertamu, Eulis lalu bangkit berdiri menyambut setelah melepaskan kucingnya ke atas lantai.
"Puuuunten...!" kata laki-laki itu dan gadis manis itupun memberi hormat dengan membungkuk.
"Maaaangga!" jawab Eulis mempersilakan.
"Maafkan kami, nona. Kami ingin bertanya, apakah benar di sini rumah Ki Subali?" tanya laki-laki itu yang bukan lain adalah Ki Salmun bersama anaknya Neneng Salmah.
Eulis mengangguk. "Benar, paman" Wajah Ki salmun tampak gembira. Akhirnya sampai juga dia ke tempat tujuan.
"Dapatkah saya bertemu dan bicara dengan dia, nona? Kami datang dari Sumedang, dan menjadi utusan Anakmas Lindu Aji."
Mendengar nama ini, Eulis menjadi girang. Lindu Aji adalah pemuda sakti mandraguna yang telah menolong ia dan Jatmika, bahkan pemuda itu masih terhitung saudara seperguruan karena guru pemuda itu dan gurunya sendiri masih bersaudara. "Ah, tentu saja, paman. Silakan andika berdua duduk menanti di sini, saya akan memberitahu bapa."
Setelah mempersilakan dua orang tamunya duduk, Eulis lalu masuk ke dalam rumah dan menemui ayahnya yang berada di bagian belakang rumah bersama ibunya. 鈥淏apa di luar ada dua orang tamu yang mengaku sebagai utusan Kakangmas Lindu Aji, ingin bertemu dan bicara dengan bapa. Mereka seorang laki-laki setengah tua dan seorang gadis cantik." Mendengar ini, Ki Subali dan isterinya lalu bangkit dan menuju keluar, diikuti Eulis yang ingin tahu siapa dua orang yang mengaku diutus Lindu Aji itu. Setelah mereka tiba di luar, dua orang tamu itu bangkit berdiri dan Ki Subali memandang heran karena dia tidak mengenal tamu itu. Ki Salmun memberi hormat dan bertanya.
"Apakah andika yang bernama Ki Subali?" Ki Subali membalas penghormatan itu dan menjawab, "Benar, kisanak. Saya bernama Ki Subali, ini isteri saya dan ini anak saya Eulis Listyani."
"Saya bernama Ki Salmun dan ini anak saya Neneng Salmah. Kami datang dari Sumedang dan menjadi utusan Anakmas Lindu Aji untuk menyerahkan surat ini kepada andika." Setelah berkata demikian, Ki Salmun mengambil surat dari balik bajunya dan meneyerahkan kepada Ki Subali.
Ki subali menerima surat itu, lalu berkata dengan ramah. "Silakan duduk, kisanak. Hemm, puterimu ini bernama Neneng Salmah? Bukankah ia waranggana yang terkenal dari Sumedang itu?"
Ki Salmun dan Neneng Salmah duduk kembali, berhadapan dengan Ki Subali dan anak isterinya. Mendengar pertanyaan itu, Ki Salmun menghela napas panjang. "Benar, dan justeru karena ia menjadi waranggana itulah yang kini mendatangkan bencana atas diri kami!" Kembali Ki Salmun menghela napas panjang. "Untunglah bagi kami bahwa pada saat berbahaya muncul Anakmas Lindu Aji menyelamatkan anak saya."
"Hemm, apakah yang telah terjadi, paman?" Tiba-tiba Eulis bertanya.
"Nanti dulu, Eulis. Biar kubaca dulu surat dari Anakmas Aji ini, mungkin dia memberi penjelasan akan apa yang telah terjadi." kata Ki Subali dan Eulis lalu berdiam diri, memandang ketika ayahnya membuka surat dan membacanya. Setelah membaca surat itu dengan saksama, Ki Subali mengangkat muka memandang kepada Ki Salmun dan berkata, "Ki sanak, dalam suratnya ini anakmas Lindu Aji hanya memberitahu bahwa andika dan puteri andika terancam bahaya besar dan harus meninggalkan Sumedang dan untuk sementara waktu menyingkir jauh dari Sumedang. Selain itu, dia minta kepada kami agar kami dapat menerima andika berdua tinggal di sini untuk sementara waktu."
"Sesungguhnya, kisanak, kami tidak mempunyai keluarga di luar Sumedang dan kami tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Kami hanya menaati pesan Anakmas Aji yang menjadi penyelamat dan penolong kami, karena itu hari ini kami datang ke hadapan andika. Akan tetapi, kisanak, harap andika jangan memaksakan diri menerima kami berdua hanya karena ada surat dari anakmas Aji. Kalau sekiranya andika sekalian merasa keberatan menampung kami, katakanlah saja. Kami tidak akan merasa menyesal dan kami akan mencari tempat pemondokan sedapatnya."
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara menggetar namun penuh kejujuran seorang seniman. Ki Subali sendiri seorang dalang, sasterawan, seorang seniman. Diapun menjawab sejujurnya. "Rumah kami cukup besar dan kami selalu siap untuk menolong orang yang patut ditolong. Karena itulah mungkin maka Anakmas Aji mengirim kalian berdua ke sini. Akan tetapi sebelum kami memutuskan apakah andika berdua patut ditolong atau tidak, ceritakanlah terlebih dahulu apa yang andika berdua alami di Sumedang."
"Nanti dulu, paman!" tiba-tiba Eulis berkata kepada Ki Salmun. "Jangan paman ceritakan dulu tentang itu, tunggu saya akan mengambilkan suguhan minum lebih dulu. Saya harus ikut mendengarkan!" Setelah berkata demikian Eulis bangkit dari duduknya.
Neneng Salmah ikut berdiri. "Bolehkah saya membantumu, Neng Eulis?" tanyanya dengan bahasa yang halus. Eulis tersenyum.
"Aeh, mengapa pakai sebutan neng (nona) segala? Sebut saja aku Eulis, Neneng Salmah."
"Terima kasih, Eulis, Nah, aku boleh membantumu, bukan?" Dua orang gadis itu lalu bergandeng tangan dan menuju ke dapur di bagian belakang rumah.
Tak lama kemudian mereka sudah keluar membawa minuman air teh. Sementra itu Ki Salmun benar saja tidak menceritakan tentang malapetaka yang menimpa dia dan puterinya, hanya menceritakan tentang keadaannya, bahwa dia seorang duda bahwa pekerjaannya adalah sebagi tukang kendang dan selalu menemani puterinya kalau ditanggap. Kini Neneng Salmah ditarik oleh Eulis dan duduk disebelahnya, keduanya tampak akrab sekali. Tadi ketika menyiapkan minuman di dapur, keduanya saling bicara dan kini mereka mengetahui akan keahlian masing-masing yang membuat mereka saling merasa kagum.
Ki Salmun lalu bercerita, dimulai dari ditanggapnya rombongan keseniannya di rumah Tumenggung Jayasiran. Ia menceritakan tentang keributan yang terjadi karena adanya pertandingan rebutan ledek sampai munculnya Raden Jaka Bintara dari Banten yang bengis, kejam dan sombong itu. Kemudian muncul Lindu Aji yang mengalahkan Jaka Bintara sehingga melegakan hati para penduduk Sumedang yang merasa tersinggung oleh ulah pemuda Banten yang sombong itu. "Kami tidak menyangka bahwa peristiwa itu berekor panjang dan mendatangkan malapetaka bagi kami. Malamnya, datang pasukan pengawal Tumenggung Jayasiran yang memaksa Neneng Salmah untuk berkunjung ke tumenggungan. Karena yang memanggil sang tumenggung, kami tidak berani membangkang dan Neneng Salmah dibawa ke sana."
"Hemm, engkau dibawa dengan paksa ke rumah Tumenggung Jayasiran itu, Neneng? Lalu apa yang terjadi denganmu? Ceritakanlah kepadaku!" kata Eulis tak sabar.
Sepasang mata bening Neneng Salmah menjadi basah dan beberapa butir air mata menitik keluar ke atas pipinya. "setelah tiba di sana, aku dikeram dalam sebuah kamar dan tak lama kemudian muncul pemuda bangsawan dari Banten yang kejam itu"
"Hemm, yang namanya Bintara itu?" Tanya Eulis. "Mau apa dia?"
"Dia... dia hendak... memaksa dan memperkosaku..."
"Jahanam busuk! Keparat! Jangan takut, Neneng. Aku akan pergi ke Sumedang mencari dia! Akan kuhancurkan kepala jahanam itu!" kata Eulis dengan marah sekali.
"Sabarlah, Eulis. kita dengarkan dulu cerita mereka." kata Ki Subali menyabarkan anaknya
Eulis sadar akan sikapnya yang terburu nafsu. "Neneng, selanjutnya bagaimana?"
"Pada saat yang amat berbahaya itu, muncullah Kakangmas Lindu Aji dan dia yang menyelamatkan aku, menolongku dan mengalahkan Jaka Bintara dan gurunya. Kemudian Kakangmas Lindu Aji mengantarkan aku pulang dan pada keesokan harinya dia mengusulkan agar aku dan bapa melarikan diri dari Sumedang dengan berkereta. Dia mengantarkan kami sampai cukup jauh dan aman keluar dari Sumedang dan menitipkan surat untuk Paman Subali."
"Ya, demikianlah keadaan kami, Saudara Subali. Kami menaati petunjuk Anakmas Aji karena kami memang tidak mempunyai keluarga di sini, akan tetapi kamipun merasa sungkan dan tidak enak sekali kalau harus mengganggu andika sekeluarga."
"Bapa, aku ingin agar Neneng Salmah tinggal bersama kita di sini. Aku ingin mempelajari tarian dan nyanyian darinya." tiba-tiba Eulis berkata kepada ayahnya. ia merangkul pundak Neneng Salmah.
"Dan akupun ingin sekali belajar aji kanuragan dari Eulis, Bapa." kata Neneng Salmah kepada ayahnya.
Ki Subali tertawa dan menoleh kepada isterinya, "Bune, bagaimana pendapatmu?"
Nyi Subali adalah seorang wanita yang berwatak lembut dan mendengar peristiwa yang menimpa diri Neneng Salmah, ia sudah menaruh hati iba sekali. Apa lagi melihat waranggana, yang cantik manis itu begitu akrab dengan puterinya. "Aku sih tidak keberatan menampung mereka, kalau saja Neneng Salmah dan ayahnya sudi tinggal di rumah kita yang buruk ini."
"Nah, kalian mendengar sendiri, Adi Salmun. sebaiknya aku memanggilmu adi saja karena bagaimanapun juga aku tentu lebih tua daripada andika. Anak kami Eulis sudah setuju, ibunya juga sudah setuju dan aku akan senang sekali kalau andika berdua tinggal di sini. Kebetulan sekali aku sendiri senang akan kesenian. Dengan keahlianmu menguasai semua permainan gamelan, dan puterimu yang ahli tembang dan tari, kita dapat membentuk sebuah kelompok seni kerawitan di Dermayu ini."
"Ah, terima kasih banyak, Kakang Subali. Terima kasih, Mbakyu!" Ki Salmun memberi hormat dengan sembah yang dibalas oleh suami isteri itu.
Sedangkan Eulis menjadi girang sekali dan ia saling berpelukan dengan Neneng Salmah. Mereka semua lalu mengatur tempat untuk Neneng Salmah dan ayahnya. Neneng Salmah tentu saja tinggal sekamar dengan Eulis, dan hanya perlu disediakan sebuah kamar sederhana saja untuk ayahnya, Kisalmun lalu memberitahu kusir kereta bahwa mereka sudah tiba ditempat yang dituju dan kusir kereta boleh kembali ke Sumedang. Demikianlah, mulai hari itu, Neneng Salmah dan ayahnya tinggal di rumah Ki Subali dan mereka berdua merasa bahagia sekali karena mereka diterima dan diperlakukan sebagai keluarga sendiri.
Merekapun tahu diri, tidak mau tinggal menganggur melainkan membantu segala pekerjaan yang dilakukan keluarga tuan rumah. Karena kedua pihak dapat membawa diri, maka pergaulan mereka semakin akrab, terutama sekali Eulis dan Neneng Salmah. Demikian akrabnya pergaulan antara Eulis dan Neneng Salmah, sehingga dalam waktu singkat saja mereka sudah menceritakan keadaan diri dan hati masing-masing, membuka rahasia hati yang tidak diceritakan kepada orang lain. Keduanya adalah anak tunggal, maka mereka merasa seperti menemukan seorang saudara.
Eulis bercerita tentang dirinya, tentang keadaannya yang kehilangan ingatan sehingga sampai kini belum juga ingat akan ayah ibunya sendiri. Biarpun ia amat mencinta mereka, namun ia tetap menganggap mereka itu sebagai orang tua angkat karena ia masih belum dapat mengingat kembali masa lalunya, sudah lupa sama sekali bahwa Ki subali dan isterinya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri.
"Apakah engkau mengenal Kakangmas Lindu Aji, Eulis?" Tanya Neneng Salmah yang tak pernah dapat melupakan pemuda itu.
"Ah, dia? Baru satu kali aku bertemu dia, itu menurut ingatanku. Akan tetapi menurut ceritanya, aku dan dia pernah melakukan perjalanan bersama dan bersama-sama pula menghadapi para penjahat, sampai aku terjatuh dari tebing yang curam. Akan tetapi semua itu sama sekali tidak kuingat lagi. Padahal menurut penuturannya, antara kami masih ada ikatan tali persaudaraan seperguruan. Entahlah, aku sudah lupa sama sekali. Bagaimana dengan engkau, Neneng? Bagaimana hubunganmu dengan Kakangmas Lindu Aji itu?"
Wajah Neneng Salmah menjadi merah dan sejenak ia menundukkan mukanya. Mereka berdua sedang mencuci pakaian di anak sungai yang mengalir tak jauh dari rumah mereka, sekalian mandi pagi. "Ah, bagaimana, ya? Dia adalah penyelamatku, penolong kami"
"Aih, engkau tidak dapat menyembunyikan kedua pipimu yang kemerahan, senyummu yang malu-malu dan kedua matamu yang bersinar-sinar kalau kita bicara tentang dia, Neneng! Hayo, mengaku sajalah!" Eulis menggunakan tangan memercikkan air ke arah muka Neneng Salmah sambil tertawa.
Neneng Salmah membalas dan memercikkan air ke arah muka Eulis. "Hayo, mengaku saja! Engkau mencinta Kakangmas Aji, bukan?" Eulis mendesak, memercikkan air makin gencar sehingga Neneng Salmah gelagapan.
"Baiklah, baiklah, aku mengaku. memang. aku memujanya, aku... aku..." Neneng Salmah tergagap karena malu.
"Aku apa? Hayo mengaku saja kamu! Engkau mencinta Kakangmas Lindu Aji, bukan? Kalau tidak mau mengaku, akan kusirami air lagi!" Sambil tertawa Eulis mendesak.
Neneng Salmah juga tertawa dan mukanya berubah kemerahan. "Ya-ya, aku mencintanya." akhirnya ia mengaku, akan tetapi wajahnya menjadi muram.
Eulis melihat perubahan muka yang cantik itu, yang tadinya cerah gembira ketika bergurau dan kini tampak diliputi mendung kesedihan. "Eh, engkau kenapakah, Neneng? Kenapa engkau kelihatan bersedih setelah mengaku bahwa engkau mencinta Kakangmas Lindu Aji?"
Ditanya demikian, Neneng Salmah mengusap dua titik air mata yang keluar dari pelupuk matanya, tidak ingat bahwa dalam keadaan basah karena siraman-siraman tadi, kalaupun ia mengeluarkan air mata juga tidak akan kentara. "Ah, Eulis, aku seperti seekor pungguk merindukan bulan." katanya dengan suara sedih.
"Ehh?" Eulis memandang kawannya dengan heran. "Apa maksudmu?"
"Eulis, aku mau berterus terang saja kepadamu karena aku merasa dekat dan akrab sekali denganmu, seolah engkau merupakan saudaraku sendiri."
"Kita memang telah menjadi saudara, Neneng dan aku berbahagia sekali mempunyai seorang saudara seperti engkau."
"Terima kasih, Eulis. mengenai perasaanku terhadap Kakangmas Lindu Aji aku merasa seperti pungguk merindukan bulan."
"Engkau seekor pungguk? Pungguk itu semacam burung hantu itu, bukan? Aeh, engkau bukan burung hantu, engkau sepatutnya adalah seekor burung merak yang indah, Neneng."
"Bagaimana mungkin aku dapat disejajarkan dengan Kakangmas Lindu Aji? Dia terlampau tinggi bagi orang seperti aku. Dengarkan, Eulis!" Neneng menghentikan Eulis yang hendak membantah. "Siapa Kakangmas Lindu Aji? Dia seorang pendekar, seorang pahlawan yang gagah perkasa dan berbudi tinggi mulia! Dan aku, siapakah aku ini? Anak seorang penabuh gamelan, dan aku sendiri hanya seorang ledek yang dipandang hina dan rendah oleh semua orang, dianggap sebagai perusak pagar ayu! Bagaimana mungkin seorang seperti aku ini mengharapkan balasan cinta kasih seorang yang begitu tinggi martabatnya seperi Kakangmas Lindu Aji?"
"Wah-wah, engkau menyeret dirimu sendiri serendah-rengahnya, Neneng! Kalau engkau menjadi waranggana, itu menandakan bahwa engkau seorang seniwati ahli bertembang dan menari. kepandaian itu amat tinggi nilainya! Sekarang begini, coba kau jawab pertanyaanku, sejujurnya kalau memang engkau menganggap aku seperti saudara sendiri. Nah, aku bertanya kepadamu, apakah selama ini engkau pernah merusak pagar ayu? pernah merayu dan mengadakan hubungan gelap dengan laki-laki, baik yang belum beristeri ataupun yang sudah berkeluarga? Hayo jawab sejujurnya walaupun aku sudah dapat menduganya!"
Neneng Salmah menggeleng kepalanya yang indah itu kuat-kuat. "Demi Gusti Allah, Eulis. Tidak pernah aku melakukan perbuatan sehina itu! Semoga Gusti Allah selalu menjauhkan aku dari perbuatan rendah semacam itu. Bapaku selalu menemani aku kalau aku ditanggap, dan selain aku sendiri tidak sudi berbuat seperti itu, bapaku juga tentu akan melarang dan mencegahnya. Biarpun kami orang rendah dan miskin, namun kami masih menjaga kehormatan dan memiliki harga diri, Eulis!"
"Tepat, memang demikian dugaanku. Lalu mengapa engkau menganggap dirimu begitu rendah? Apa perdulimu dengan persangkaan orang lain? Yang penting, Gusti Allah dan engkau sendiri mengetahui bahwa engkau tidak melakukan perbuatan hina itu. Sangkaan orang seduniapun tidak ada urusannya denganmu. Yang jelas, engkau seorang gadis seniwati yang bersih dan terhormat, derajat dan martabatmu tidak lebih rendah daripada siapapun juga, dan tidak lebih rendah daripada Kakangmas Lindu Aji!"
"Ah, kalau saja semua orang memiliki pandangan dan pendapat seperti itu, Eulis. Akan tetapi kalau aku sudah berada di panggung, bernyanyi dan menari, semua laki-laki agaknya tergila-gila kepadaku sehingga semua orang, terutama para wanitanya, menyangka bahwa aku yang sengaja memikat mereka."
"Hi-hi-hi, para wanita itu iri, Neneng! Terutama mereka yang pacarnya atau suaminya tergila-gila kepadamu. Kalau banyak laki-laki tergila-gila kepada seorang wanita, mengapa wanitanya yang disalahkan? Kenapa bukan si laki-laki yang memangnya mata keranjang? Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita secantik engkau? Kalau ada laki-laki tidak suka melihat seorang gadis sebaik dan secantik engkau, maka hal itu berarti dia tidak waras atau pandang matanya sudah kurang awas!"
"Akan tetapi Mas Aji tidak cinta kepadaku!" kata Neneng Salmah memelas.
Eulis tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Neneng, aku berani bertaruh apapun juga bahwa biar Kakangmas Lindu Aji sekalipun, dia pasti suka sekali kepadamu. Engkau seorang gadis ayu merak ati, baik budi pula, tidak ada alasan untuk tidak menyukaimu. Akan tetapi, neneng, kurasa suka itu belum tentu berarti cinta. Rasa cinta itu..." Eulis bingung sendiri. "Ah, bagaimana, ya? Akupun tidak dapat mengatakan bedanya, akan tetapi aku yakin ada bedanya!"
Kini Neneng Salmah yang tersenyum dan timbul kembali kegembiraannya. Ia memercikkan air ke muka Eulis. "Lagaknya seperti ahli, tak tahunya diri sendiri juga tidak tahu! Atau, agaknya engkau sudah memiliki banyak pengalaman tentang hal ini, ya?"
"Mengalami cinta? Ah, belum pernah! Kalau mengalami suka sih sudah." katanya singkat.
"Akan tetapi, siapa tahu engkau pernah jatuh cinta sebelum engkau melupakan masa lalumu?"
"Entahlah. Semua sudah tidak teringat lagi. Rasanya sih belum pernah." jawab Eulis sambil mengerutkan alisnya.
"Hemm, kalau begitu, aku juga berani bertaruh bahwa saat ini tentu ada seorang pria yang kau... sukai. Benarkah? Dan engkau sendiri ragu apakah engkau hanya suka kepadanya ataukah mencintanya."
"Eh? Bagaimana kau bisa tahu... eh, maksudku, bisa menyangka begitu?" Tanya Eulis sambil memandang heran. Memang, ketika bicara tentang suka atau cinta itu, otomatis ia teringat kepada Jatmika!
Neneng Salmah tersenyum manis sekali. "mudah saja! ketika engkau bicara tentang suka dan cinta, engkau tampak begitu sungguh-sungguh dan ini hanya bisa terjadi kalau hal itu menyangkut dirimu sendiri. Hayo, mengakulah saja, Eulis, atau akan kusirami engkau sampai basah kuyup!" kembali Neneng Salmah mengancam sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam air.
Eulis tertawa. Ia merasa suka dan cocok sekali dengan Neneng Salmah yang dapat menyesuaikan diri dengan wataknya yang centil, padahal ia tahu benar bahwa Neneng Salmah adalah seorang gadis yang berwatak amat lembut. "Baiklah, baiklah! Aku mengaku, gusti puteri! Ada seorang pemuda bernama Jatmika..."
"Waduh, namanya saja begitu indah. Orangnya tentu juga amat jatmika (tenang, sopan dan waspada)!" puji Neneng Salmah.
"Memang dia amat sopan, baik budi, sakti mandraguna dan sudah seringkali dia menyelamatkan aku, menolongku ketika aku terancam bahaya di tangan orang-orang jahat."
"Dan diapun tentu seorang pemuda ganteng dan tampan!" tambah Neneng Salmah. Eulis mengangguk.
"Dia tampan, setampan Kakangmas Lindu Aji."
"Dan engkau tentu amat mencintainya seperti dia juga amat mencintaimu, bukan?" Eulis menghela napas, wajahnya yang biasa cerah penuh senyum itu menjadi serius.
"Itulah, Neneng, seperti kukatakan tadi, aku tentu saja amat kagum dan suka kepadanya. Segalanya yang terbaik dari seorang pria berada dalam dirinya. Akan tetapi, ketika dia menyatakan cintanya..."
"Nah, kelepasan nih! Ketahuan, ya bahwa dia mencintaimu?"
"Memang benar. Dia cinta padaku dan dia menyatakan hal itu kepadaku."
"Wah, kalau sudah begitu apa lagi persoalannya?"
"Persoalannya, aku tidak tahu apakah aku mencintanya, Neneng. Aku suka kepadanya, akan tetapi aku tidak suka apakah aku mencintanya. Aku sering kali pusing memikirkan hal ini."
Melihat Eulis kini sudah kehilangan tawanya, Neneng Salmah teringat akan keadaan diri sendiri dan memang pada dasarnya ia seorang yang tidak selincah Eulis, iapun menghela napas panjang. "Keadaanmu sungguh merupakan kebalikan dari keadaanku, Eulis. Dia mencintamu dan engkau masih belum dapat menjawab cintanya. Sebaliknya, aku mencintanya akan tetapi dia masih belum menerimanya." Kini kembali suaranya mengandung kesedihan sehingga Eulis melupakan persoalannya sendiri dan merasa iba kepada Neneng Salmah.
Ia mendekat dan merangkul leher yang berkulit mulus itu. "Neneng, jangan putus harapan. Aku yakin bahwa Kakangmas Lindu Aji pasti suka kepadamu, kalau tidak, tentu dia tidak akan minta kepada ayah untuk menampung engkau dan ayahmu."
"Memang, dia juga mengatakan bahwa dia suka kepadaku, akan tetapi dia tidak dapat menerima cintaku."
"Bukan tidak dapat, melainkan belum, Neneng. Engkau tentu sangat ingin untuk menjadi isterinya, bukan?"
"Tentu saja, Eulis. Jangankan menjadi isterinya, bahkan menjadi hambanyapun aku akan merasa berbahagia sekali, asal aku dapat selalu hidup dekat dengannya, melayaninya dengan penuh kasih sayang." Ucapan yang penuh keyakinan dan kelembutan ini menyentuh perasaan Eulis dan ia mencium pipi Neneng Salmah. Tiba-tiba Eulis menjadi lincah kembali. "Wah, sekarang aku tahu bedanya antara suka dan cinta!" teriaknya dan mengguncang kedua pundak temannya. Karena girangnya, ia lupa untuk mengendalikan kekuatannya.
"Aeh-aeh...!" Kau mau mengoyak-koyak pundakku?" teriak Neneng Salmah dan Eulis lalu merangkulnya.
"Aduh maaf! Aku sampai lupa. sekarang aku mengerti dan dapat melihat perbedaan antara suka dan cita."
"Benarkah? Hayo katakan, apa perbedaannya itu." desak Neneng Salmah.
"Kakangmas Jatmika mencintaku dan ingin berjodoh denganku, demikian pula engkau, Neneng. Engkau mencinta Kakangmas Lindu Aji dan engkau ingin menjadi isterinya. Itulah cinta! Cinta membuat orang lain ingin mengikatkan diri dalam perjodohan! Sebaliknya, Kakangmas Lindu Aji suka kepadamu dan hanya ingin bersahabat, demikian pula aku suka Kakangmas Jatmika dan ingin menjadi sahabat baiknya. Itulah rasa suka! Suka kepada seseorang membuat orang ingin mengikat persahabatan dengan orang yang disukai. Itulah jawabannya!" Neneng Salmah termenung. Eulis juga termenung. Kedua orang gadis itu seperti lupa bahwa mereka sedang mandi. mereka duduk di atas batu sambil termenung. Mereka tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Tiba-tiba terdengar suara wanita, "Aeh, kalian berdua ini mencuci pakaian atau berjemur diri?"
Dua orang gadis itu sadar dari lamunan dan ternyata Nyi Subali telah berdiri di belakang mereka. Mereka berdua tertawa dan baru ingat bahwa sejak tadi mereka hanya duduk melamun, tidak sadar bahwa matahari mulai naik tinggi. "Wah, Neneng kita keenakan melamun di sini. Bukankah hari ini engkau sudah berjanji akan mengajarkan sebuah tarian kepadaku?"
"Benar, Eulis. dan sore nanti engkau akan mengajarkan aku gerakan silat agar aku dapat membela diri dari tangan-tangan usil."
Keduanya lalu membawa keranjang pakaian yang sudah dicuci dan bersama Nyi Subali mereka kembali ke rumah. Demikianlah kedua orang gadis itu bergaul akrab sekali. Eulis mulai belajar bertembang dan menari, akan tetapi karena pada dasarnya ia seorang yang sejak kecil mempelajari ilmu silat, tubuhnya sudah terbiasa dengan gerakan tangkas, maka akhirnya ia pandai menari dengan tarian yang berubah sifatnya menjadi tangkas. Keindahan gerak tari yang mengandung ketangkasan dan kegagahan. Sebaliknya, Neneng Salmah yang sudah terbiasa dengan gerakan tari yang lembut dan indah, mulai dapat menguasai ilmu pencak silat yang sifatnya lembut dan gerakannya indah sekali. Setelah mempelajari tembang, ternyata suara Eulis juga cukup merdu.
Tidak seperti yang diduga semula, Aji dapat memasuki Jayakarta atau yang oleh Kumpeni Belanda disebut Batavia dengan mudah. Tidak ada penjagaan ketat di pintu gapura kota dan yang terjaga oleh serdadu Kumpeni Belanda hanyalah benteng Belanda yang dikelilingi tembok tebal dan tinggi. Memang ada patroli sepasukan serdadu Belanda membawa bedil, akan tetapi mereka tidak tampak mengganggu orang-orang yang keluar masuk gapura sambil membawa barang dagangan. Akan tetapi, Aji dapat merasakan dan menduga bahwa banyak sekali mata tersembunyi yang mengawasi gerak-gerik setiap orang yang memasuki pintu gapura, terutama sekali orang-orang yang tidak dikenal seperti dirinya.
Dia dapat menduga bahwa kumpeni tentu melakukan penjagaan dan pengawasan secara tersembunyi dan menyebar telik sandi untuk melakukan pengawasann dan penyelidikan. Dan di dalam benteng besar itu tentu terdapat banyak sekali serdadu Belanda yang siap untuk menumpas setiap gerakan pemberontakan. Selain itu, juga kapal-kapal besar Belanda siap di pelabuhan, dengan segala perlengkapannya. Di atas benteng besar itupun tampak moncong meriam-meriam berjajar menyeramkan. Belanda amat kuat, terutama sekali karena kekayaan dan kemakmuran semu yang disebarkan membuat banyak pemuka masyarakat menjadi mabok menganggap Belanda sebagai penolong yang mendatangkan kesejeahteraan!
Tanpa mereka sadari, kekayaan hasil bumi rakyat disedot oleh Belanda dan menjadi barang dagangan yang mendatangkan keuntungan besar baginya. Karena maklum bahwa dia berada di daerah musuh yang menjadi pusat kekuatan Belanda dan dapat menduga pula bahwa di situ terdapat banyak mata-mata Belanda, Aji bersikap waspada dan hati-hati sekali. Dia menyembunyikan keris Kyai Nagawelang pemberian Sultan Agung karena banyak orang mengetahui bahwa keris ini merupakan hadiah dari Sultan agung kepada para senopati yang dipercayainya.
Pakaiannya yang sederhana membuat dia tampak seperti seorang pemuda petani dusun yang baru saja menjual hasil buminya dan sedang melihat-lihat keindahan kota itu. Seperti diceritakan di bagian depan, tadinya Aji berniat pergi melakukan penyelidikan tentang Raden Banuseta pembunuh ayahnya dan tentang putera ayahnya, atau kakak tirinya yang bernama Hasanudin. Kedua orang ini telah dijumpainya dalam perjalanannya. Juga tadinya dia hendak pergi ke Banten untuk mencari putera kandung Ki Tejobudi yang bernama Sudrajat, dan orang inipun sudah dijumpainya, bahkan Ki Sudrajat meninggal dunia dalam rangkulannya.
Sekarang, tugas pribadinya hanyalah menemukan Raden Banuseta, pembunuh ayahnya yang juga pembunuh Ki Sudrajat. Bahkan menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda. Raden Banuseta orang jahat dan pengkhianat bangsa yang harus ditentangnya. Selain itu, dia juga harus menemukan kakak tirinya, Hasanudin, yang agaknya terkena bujukn Raden Banuseta sehingga ikut-ikutan menjadi antek Belanda, sama sekali tidak tahu bahwa justeru Raden Banuseta yang telah membunuh ayah kandungnya. Dia harus dapat menyadarkan Hasanudin, selain agar tahu bahwa Banuseta adalah musuh besarnya, juga agar menyadari bahwa membantu Belanda melawan Mataram berarti mengkhianati bangsa dan tanah air.
Sebelum memasuki Batavia, Aji sudah menghubungi para telik sandi Mataram yang bertugas melakukan penyelidikan dan berada di luar kota. Dengan adanya keris Kyai Nagawelang, Aji diterima dengan hormat oleh para telik sandi. Dari mereka dia tahu bahwa para tokoh pengkhianat yang menjadi antek Kumpeni Belanda kini telah berkumpul di Batavia, di antara mereka adalah nama-nama yang sudah dikenalnya dengan baik, seperi Raden Banuseta, Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Kyai Sidhi Kawasa, Aki Somad, Ki Warga dan masih banyak lagi. Karena itu, maka Aji bertindak hati-hati. Banyak tokoh antek Kumpeni yang telah mengenalnya dan kalau sampai dia ketahuan, tentu dia menghadapi bahaya besar. Karena itu, setelah merasa cukup melihat-lihat keadaan dalam kota Batavia, Aji mulai berjalan memasuki daerah sepi di pinggir kota.
Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita di antara derap kaki kuda dan roda kereta, akan tetapi hanya satu kali jerit itu terdengar lalu sunyi. Dia melihat kusir kereta terlempar dari atas kereta dan tak bergerak lagi. Dua orang sudah menguasai kereta itu. Seorang yang tadi merobohkan kusir kini duduk di tempat kusir, sedangkan seorang lagi berada di dalam kereta. Aji teringat akan pertemuannya dengan para telik sandi Mataram di luar kota. Mereka itu tentu melaksanakan rencana mereka seperti yang pernah dia dengar, yaitu mengadakan kekacauan di dalam kota sebelum tentara Mataram yang sudah mulai meninggalkan Mataram tiba di situ. Diantara rencana tindakan pengacauan adalah menculik puteri seorang perwira Belanda.
Sebetulnya Aji merasa tidak setuju dengan tindakan yang dia anggap curang ini, akan tetapi karena dia seorang pendatang baru, diapun merasa sungkan untuk mencela. Kini melihat ada orang yang membunuh kusir kereta yang agaknya merupakan sebuah kereta bangsawan, dia menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi mendengar jerit wanita tadi, dia mengeritkan alisnya. Hatinya yang selalu condong untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya dan menentang siapa saja yang melakukan kekerasan, terutama terhadap wanita yang lemah membuat Aji tidak dapat menahan kedua kakinya untuk tidak membayangi kereta yang melarikan cepat menuju ke arah timur. Ketika kereta tiba di dalam sebuah hutan, terdengar seruan dari dalam kereta yang tertutup.
"Bang Sikun, berhenti dulu!" Kusir yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan yang berkumis panjang itu menahan kendali dua ekor kuda yang menarik kereta, Dua ekor kuda berhenti dan kusir itu melompat turun. Pintu kereta terbuka dan seorang laki-laki gendut pendek keluar dari kereta itu.
"Bagaimana dengan noni (nona) itu? Kau apakan dia? Mengapa tidak ada suaranya?" tanya si muka panjang yang bernama Sikun itu kepada si gendut pendek.
"Ah, tidak kuapa-apakan. Tadi menjerit, maka kuikat kedua tangannya dan kuikatkan saputangannya di depan mulutnya agar ia tidak berteriak lagi. Tanpa persetujuanmu, mana aku berani berbuat yang tidak-tidak!" kata si gendut sambil menyeringai.
"Awas, Mang Kosim, kalau engkau ganggu gadis Belanda itu, akan kulaporkan dan engkau akan dihajar." kata Sikun sambil membuka pintu kereta.
Aji yang mengintai tak jauh dari situ melihat seorang gadis bule duduk didalam kereta, Kedua tangannya terbelenggu, juga mulutnya tertutup kain yang diikatkan di kepalanya, rambutnya awut-awutan dan matanya yang bundar lebar itu terbelalak ketakutan. Pakaiannya kusut dan rambutnya yang panjang terurai. Rambut itu berwarna keemasan dan kulitnya putih kemerahan, halus mulus. Wajah yang cantik itu masih muda, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Sikun memandang dan pandang matanya berhenti agak lama pada belahan dada membusung dari balik gaun yang agak kusut tertarik ke bawah itu lalu pandang mata itu seolah menggerayangi seluruh tubuh gadis Belanda itu dari kepala sampai kakinya yang bersepatu boot. Melihat betapa Sikun melahap lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan itu, Kosim mendekat dan terkekeh.
"Heh-heh-heh, Bang Sikun, bahenol sekali noni ini, ya? Apa salahnya kalau kita bersenang-senang sejenak dengannya? Di sini sepi, tidak akan ada orang lain melihatnya dan ia masih dapat kita hadapkan nanti kepada Bang Samiun dalam keadaan utuh." Sikun menelan ludah, kumisnya bergerak-gerak.
"Tetapi..." katanya ragu.
"Tetapi apa lagi, Bang Sikun? Hayolah, engkau kebagian lebih dulu, baru nanti aku." desak si gendut Kosim.
"Tapi... engkau jaga baik-baik agar jangan sampai ada orang melihatnya, ya?" Sikun agaknya tak dapat menahan gairah nafsunya.
"Hayo turun kau!" Dia menjulurkan tangannya, menangkap tangan yang terikat itu dan menarik wanita kulit putih itu keluar dari kereta. Gadis remaja itu terpaksa terseret keluar dan hampir jatuh ketika ia turun dari kereta. Sikun merenggut lepas saputangan yang menutupi mukanya.
"Jangan... jangan ganggu aku...!" Gadis Belanda itu meratap dan Aji merasa heran karena gadis itu dapat berbahasa daerah dengan jelas dan baik.
"Jangan banyak bicara kalau engkau tidak ingin aku menggunakan kekerasan." kata Sikun dan sekali dorong.
Gadis Belanda itu terjengkang dan jatuh telentang ke atas rumput. Akan tetapi ia cepat bangkit duduk dengan sukar karena kedua tangannya masih terbelenggu. "Dengar, kisanak. Biarpun aku puteri Kapten De Vos, akan tetapi aku selalu menentang sikap ayahku. Aku tidak setuju dengan politik Kumpeni Belanda. Aku membela bangsa ibuku. Aku bukan musuh kalian."
"Ha-ha-ha, Abang Sikun, siapa dapat percaya omongan gadis bule itu? Hayo cepat lakukan dan jangan dengarkan ocehannya!" kata si gendut Kosim.
Sikun menghampiri gadis itu yang menjadi semakin ketakutan. "Jangan... demi Tuhan, jangan..." ia mengeluh dan air matanya mulai mengalir disepanjang kedua pipinya yang menjadi pucat. Akan tetapi Sikun menyeringai. Dia seperti sudah kemasukan iblis sehingga makin ketakutan gadis calon korbannya itu, semakin senang dan bangga rasa hatinya. Perlahan-lahan dia menghampiri dan hendak merenggut pakaian gadis itu.
Pada saat itu, Aji tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia melompat keluar dan membentak, "Kisanak, apa yang kau lakukan ini adalah perbuatan yang amat keji dan jahat!"
Si gendut Kosim yang bertugas jaga menjadi marah melihat ada orang mengganggu kesenangan mereka. "Bang Sikun, lanjutkan bersenang-senang, biar aku yang membunuh orang jahil ini!" katanya sambil mencabut sebatang parang dari pinggangnya dan tanpa banyak cakap dia sudah melompat dan menerjang ke arah Aji, membacokkan parangnya dengan keyakinan bahwa sekali serang dia akan dapat merobohkan pemuda yang menjadi penghalang itu.
"Wuuutttt... sing... dessss!!" Bukan tubuh Aji yang terluka sambaran parang, melainkan tubuh Kosim yang terpelanting jatuh, parangnya terlempar jauh dan si gendut itu tidak dapat segera bangkit karena merasa pinggulnya nyeri bukan main dan dadanya sesak! Melihat ini, Sikun yan tadinya hendak merenggut lepas pakaian gadis Belanda itu, menjadi terkejut dan marah. Dia segera memutar tubuhnya dan melompat ke depan, menghadapi Aji dengan mata melotot.
"Keparat! Siapa engkau berani mengganggu kami orang-orang Mataram?" bentaknya, menggunakan nama Mataram untuk menggertak. "Kami adalah pejuang-pejuang Mataram, tahukah engkau?"
Aji tersenyum. "Pejuang-pejuang Mataram tidak akan sudi melakukan perbuatan seperti yang hendak kau lakukan itu!"
Tiba-tiba gadis Belanda yang kedua tangannya masih terikat itu dan yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersimpuh di atas rumput berkata, "Tepat sekali apa yang kau katakan itu, sobat. Ibuku juga selalu bilang bahwa pejuang Mataram adalah ksatria yang gagah perkasa dan berbudi luhur!"
Sikun marah sekali dan bertolak pinggang sambil memandang kepada Aji. "Manusia lancang! Apakah engkau hendak membela seorang gadis Belanda, musuh besar bangsa kita? Kalau engkau tidak memusuhinya, bahkan hendak membelanya, maka itu hanya berarti bahwa engkau adalah seorang antek Belanda!"
"Hemm, manusia yang sudah buta oleh nafsu! Musuh kita memang Kumpeni Belanda yang hendak mencengkeram tanah air kita, dan dalam perang kita harus membunuh setiap orang serdadu Belanda. Akan tetapi semua itu kita lakukan demi mempertahankan tanah air dan membela bangsa. Kalau engkau diperintah atasanmu untuk menculik puteri perwira Belanda demi kepentingan perjuangan Mataram melawan Belanda, hal itu masih dapat dimengerti dan diterima. Akan tetapi engkau menodai tugasmu sebagai pejuang dengan perbuatan hina! Engkau hendak memperkosa gadis ini dan itu sama sekali bukan tugas seorang pejuang, melainkan perbuatan seorang manusia jahat yang kemasukan iblis! Engkau bahkan mencemarkan kesucian perjuangan membela Negara dan bangsa!"
"Jahanam keparat! Siapakah engkau yang berani lancang menghina kami para pejuang Mataram yang gagah?" bentak Sikun yang kehabisan akal karena ucapan Aji itu tidak dapat dibantahnya sehingga membuat dia merasa malu dan marah.
Dengan tenang Aji mengeluarkan keris pusaka Nagawelang dari balik bajunya. "Lihatlah ini! Kalau engkau tidak mengenal ini, berarti bahwa engkau seorang telik sandi Mataram yang palsu!" kata Aji sambil menghunus keris dan mengangkatnya ke atas.
Melihat keris pusaka itu, sepasang mata Sikun terbelalak dan mukanya berubah pucat. "Keris pusaka Nagawelang...! Andika ut... utusan... Kanjeng Gusti Sultan Agung...!" Sikun tergagap dan sikapnya berubah sama sekali. Juga Kosim yang tadi tertendang roboh sudah merangkak bangun dan berdiri di samping Sikun sambil membungkuk-bungkuk ketakutan.
"Ampunkan kami, raden..." kata mereka hampir berbareng.
"Dalam tugas, aku disebut Alap-alap Laut Kidul, kalian tidak perlu menyebutku Raden. Sekarang, ingat baik-baik. Para pejuang kawula Mataram yang melakukan perjuangan membela nusa bangsa menghadapi kumpeni yang angkara murka, adalah ksatria utama. Perjuangan membela nusa bangsa adalah tugas yang suci dan sekali-kali jangan dicemarkan oleh perbuatan jahat yang mementingkan diri sendiri dan diperhamba oleh nafsu. Mengganggu wanita dari kalangan dan bangsa apapun juga merupakan perbuatan biadab yang pantang dilakukan para ksatria juga bertindak kejam dan merampok hak milik orang lain. Kalau pantangan ini dilanggar, maka perjuangan takkan diridhoi dan diberkahi Gusti Allah dan dapat menjadi gagal. Gusti Sultan Agung sendiri pasti tidak suka melihat pebuatan jahat seperti itu dan kalau perbuatan kalian ini diketahui, kalian pasti akan dihukum berat!"
"Ampunkan kami..."
"Sudah, pergilah dan laporkan kepada atasanmu bahwa aku tidak setuju dengan tindakannya menculik wanita. Hal ini hanya akan membuat kumpeni menjadi marah dan mereka akan lebih siap siaga sehingga akibatnya malah merugikan kita sendiri."
"Baik, kami menaati perintah. Akan tetapi nona ini...?"
"Akan kuantarkan ia kembali ke rumahnya. " kata Aji.
Dua orang itu saling pandang dengan bingung, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Aji merasa bahwa kalau dia dan gadis Belanda itu naik kereta, pasti akan menarik perhatian para petugas Kumpeni, maka dia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Kepada dua orang itu dia berkata. "kalian boleh membawa kereta dan kudanya, serahkan kepada atasan kalian agar dapat dimanfaatkan."
Dua orang itu tampak kegirangan sekali. Mereka membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Akan tetapi sebelum mereka menghampiri kereta, Aji berkata kepada mereka dengan suara membentak. "Lihat ini." Dua orang itu terkejut dan menoleh, memandang kepada Aji yang menghampiri sebatang pohon cemara yang besarnya sama dengan pinggang orang dewasa. Dia mengayun tangan kanannya ke arah batang pohon itu.
"Wuuuttt... krakkkk!" Pohon cemara itu tumbang dengan suara gaduh. "Nah, kalau kelak aku mendengar kalian masih suka mengganggu wanita dan memperkosa, kaki kalian akan kupatahkan seperti batang pohon ini!"
Dua orang itu terbelalak dan wajah mereka pucat, tubuh mereka menggigil. "kami tidak berani... tidak berani..." kata mereka tanpa berani melangkahkan kaki mereka.
"Nah, pergilah!" bentak Aji.
Barulah mereka berani naik ke kereta kemudian membalapkan kereta meninggalkan tempat itu. Aji mendengar suara orang bergerak di sebelah kirinya. Dia melihat gadis Belanda itu mencoba untuk bangkit bediri, akan tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang tubuhnya, maka gerakan bangkit berdiri ini agak sukar. Melihat ini, Aji cepat menghampiri dan gadis itu terbelalak, lalu mencoba untuk bergerak menjauh, masih bersimpuh.
"Tidak...! Jangan... jangan sentuh aku...!"
Aji tersenyum, "Jangan takut, nona. Aku tidak ingin mengganggumu, aku hanya ingin membebaskanmu dari ikatan tangan itu." Aji mendekat dan sekali tangannya bergerak, tali yang mengikat pergelangan kedua tangan gadis itu terlepas. Gadis itu bangkit berdiri, menggosok-gosok pergelangan kedua tangannya dan memandang kepada Aji, masih ragu dan takut. "Nona, sekali lagi, jangan takut, aku tidak akan mengganggumu. Aku bahkan ingin mengantarmu pulang ke Jayakarta."
Melihat Aji benar-benar tidak mengganggunya dan bersikap sopan, gadis Balanda itu mulai percaya. Apalagi dia tadi melihat sendiri betapa pemuda itu mengalahkan dan mengusir dua orang penculik yang tadi akan memperkosanya. "Sobat, kalau engkau benar hendak mengantar aku pulang, kenapa engkau memberikan kereta itu kepada mereka?" tanya gadis itu dengan hati-hati.
"Mereka itu jahat sekali, kenapa malah diberi hadiah kereta?"
"Nona, ketahuilah bahwa memang perbuatan dua orang tadi sungguh jahat. Akan tetapi bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk membela tanah air dan bangsa." Biarpun merasa rikuh mengingat akan perbuatan dua orang tadi, Aji tetap membela mereka terhadap gadis Belanda ini. "Aku sengaja menyerahkan kereta dan kuda agar dapat dipergunakan untuk keperluan perjuangan. Pula, aku hanya dapat mengantarmu pulang ke Jayakarta kalau kita berjalan kaki. Kalau kita naik kereta, tentu akan ditangkap oleh pasukan Belanda."
"Sobat, benarkah engkau seorang utusan Mataram? Engkau seorang panglima Mataram?" Gadis itu kini memandang penuh perhatian, sepasang mata yang kebiruan itu memancarkan kekaguman.
"Aku hanya seorang pejuang biasa saja."
"Akan tetapi, kenapa engkau menolongku? Engkau seorang Mataram, dan aku adalah puteri seorang panglima Kumpeni Belanda. Bukankah aku musuh yang harus kau bunuh?"
Aji tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Kalau engkau seorang perwira atau perajurit Kumpeni Belanda, mungkin aku akan membantu mereka untuk menangkapmu. Akan tetapi kulihat engkau seorang gadis biasa yang tidak ada sangkut pautnya dengan perang. Apalagi aku mendengar tadi engkau mengatakan bahwa engkau dan ibumu tidak menyetujui sikap Kumpeni Belanda."
"Ah, sobat. Engkau sungguh bijaksana, lain daripada orang-orang yang pernah kukenal dan kutemui. Kalau begitu, maukah engkau menjadi sahabatku, biarpun aku puteri seorang perwira tinggi Belanda?"
Bagaimana Aji mampu menolak ajakan seorang gadis untuk bersahabat? Biarpun gadis ini seorang asing, namun ia dapat bicara bahasa daerah dengan amat baiknya seperti gadis-gadis pribumi, dan ucapannya juga menunjukkan bahwa ia seorang gadis bijaksana. Karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab.
"Tentu saja aku mau menjadi sahabatmu."
Gadis itu tersenyum lebar dan Aji melihat wajah yang manis itu tampak cerah dan begitu wajar seperti wajah kanak-kanak. "Engkau baik sekali. Nah, perkenalkan, namaku Karen, lengkapnya Karen Van De Vos. Dahulu aku tinggal di Cirebon dengan ayahku, Kapten Van De Vos. Ibuku seorang wanita pribumi dari Tegal dan ibulah yang menyadarkan aku bahwa kumpeni menjalankan politik yang jahat terhadap Nusa Jawa dan ibu selalu mengatakan bahwa para pejuang yang membela Mataram adalah ksatria-ksatria yang gagah perkasa."
Aji tersenyum mendengar gadis ini memperkenalkan diri dengan keterangan panjang seperti air dari pancuran. Setelah gadis itu berhenti dan agaknya henedak disambung terus, dia cepat berkata untuk memperkenalkan diri. "Aku bernama Lindu Aji. Ibumu benar, nona..."
"Panggil saja aku Karen." potong Karen cepat.
"Baiklah, Karen. Ibumu benar. Kami para pejuang membela Mataram berarti membela bangsa dan tanah air dengan taruhan nyawa. Bagaimanapun juga, kami adalah manusia-manusia biasa yang tidak luput daripada cacat. Oleh karena itu, kalau ada satu sua orang yang menyeleweng daripada jalan yang benar seperti dua orang tadi, harap dimaklumi."
"Tentu saja, aku sudah melupakan hal itu. dengan adanya seorang ksatria seperti engkau yang telah menolongku, maka mudah saja aku memaafkan dua orang tadi. aku percaya bahwa mereka melakukan hal itu hanya karena aku seorang gadis puteri panglima Belanda. mereka menganggap bahwa berbuat keji terhadap anak musuh buka perbuatan jahat."
"Ah, engkau memang seorang gadis yang bijaksana, Karen. Engkau tadi mengatakan bahwa engkau tinggal di Cirebon bersama orang tuamu. Kenapa sekarang berada di Jayakarta?"
"Tadinya ayah bertugas di Cirebon, akan tetapi sekarang dia dipanggil oleh Gubernur Jenderal untuk bertugas di Batavia, mungkin dengan adanya berita bahwa Mataram hendak menyerang Batavia lagi. Kau tahu, ayahku adalah panglima yang mengepalai para telik sandi yang disebar kumpeni di seluruh Nusa Jawa."
"Aku sudah tahu..." Aji menahan kata-katanya yang sudah terlanjur keluar.
"Ah, engkau telah mengenal ayahku. Aji?" Gadis itu menatapnya tajam dengan matanya yang kebiruan.
Karena sudah terlanjur bicara, terpaksa Aji mengaku. Gadis ini telah bersikap jujur, menceritakan keadaan yang sebenarnya. Juga sudah tahu bahwa dia seorang pembantu Sultan Agung. Mungkin dari gadis ini dia akan bisa mendapatkan keterangan penting tentang keadaan di Batavia. "Aku memang pernah bertemu dengan Kapten De Vos, ketika aku ditawan para mata-mata Kumpeni."
"Ohh...! Akan tetapi engkau masih hidup dan sehat! Aji, maukah engkau menceritakan peristiwa itu kepadaku? Aku ingin sekali mengetahui."
Gadis itu lalu duduk di atas batu dan Aji duduk pula di depannya. Tidak ada salahnya menceritakan peristiwa itu kepada Karen. Siapa tahu hal itu akan memperkuat kepercayaan Karen kepadanya dan gadis itu mau menceritakan hal-hal penting tentang kumpeni kepadanya. "Ketika itu, aku dan Sulastri bertemu dengan gerombolan kaki tangan kumpeni, yaitu Maya Dewi..."
"Huh, perempuan genit tak tahu malu itu? aku benci padanya! Ayahpun tidak suka, akan tetapi karena ia cerdik dan pandai, maka terpaksa ayah menjadikan ia pembantu." kata Karen.
"Ada pula Ki Harya Baka Wulung datuk dari Madura, Aki Somad tokoh Nusakambangan dan Banuseta. Kami berdua dikeroyok dan karena Sulastri tertawan, terpaksa aku menyerah karena mereka mengancam akan membunuh gadis itu. Kami berdua menjadi tawanan..."
"Nanti dulu, Aji. Siapa gadis yang bernama Sulastri itu?"
"Sulastri? Ia seorang pendekar wanita muda dari Dermayu. Kami berkenalan ketika saling bertemu membantu pamannya yang diserang orang-orang jahat, diantaranya Nyi Maya Dewi dan Aki Somad yang menjadi kaki tangan Kumpeni itu. Lalu kami melakukan perjalanan bersama dan seperti kuceritakan tadi, kami berdua ditawan oleh gerombolan kaki tangan Kumpeni."
"berapa usianya?" kembali Karen memotong dengan penuh keinginan tahu, dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan yang lain.
"Usia Sulastri atau usia siapa?"
"Naturlijk (tentu saja) usia Sulastri itu!" kata Karen tidak sabar.
Aji merasa heran mengapa gadis Belanda ini memperhatikan Sulastri? "Usianya? Hemm, kalau tak salah kurang lebih delapan belas tahun."
"Sebaya denganku kalau begitu, hanya selisih sedikit. Bagaimana wajahnya?"
"Wajahnya? Bagaimana, ya? Kalau tidak salah bulat... eh, bulat telur mungkin, ahh... aku tidak dapat menggambarkan wajah orang."
"Ben je zo dom, Aji? (begitu bodohkah kamu, Aji?)" saking jengkelnya, Karen sampai lupa dan berkata dalam bahasa Belanda. "Hee, apa... apa yang kau katakan itu, Karen?"
"Oh, anu, Aji. Aku tidak minta engkau menggambarkan bagaimana wajah Sulastri. Aku hanya ingin tahu apakah ia cantik?" "Oh, begitu? Kalau tentang cantik, ya, memang ia gadis yang cantik sekali." kata Aji terus terang karena memang dia menganggap bahwa Sulastri adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia baginya.
"Oya? Coba engkau pandang aku, Aji dan katakan, siapa yang lebih cantik antara aku dan Sulastri?"
Aji memandang wajah gadis Belanda itu. Rambut gadis itu berwarna kuning emas berombak dan panjang sampai ke punggung. Alisnya agak gelap warnanya, kehitaman, sepasang matanya berwarna kebiruan dan indah sekali, hidungnya tidak semancung orang Belanda, juga bibirnya memiliki keindahan seperti bibir gadis pribumi. Kulitnya memang putih mulus, akan tetapi juga tidak bule seperti kulit orang Belanda. Gadis berayah Belanda dan beribu Jawa ini memang manis sekali.
"Eulis...!"
Eulis menoleh dan ia melihat Nyi Subali menghampirinya perlahan-lahan. Eulis tersenyum. Ia merasa suka sekali kepada wanita ini. Pandang matanya yang demikian lembut dan mengandung kasih sayang yang terasa sekali olehnya, wajahnya yang baginya tampak cantik sekali. "Bibi...!" katanya dan balas merangkul ketika Nyi Subali merangkulnya.
"Bocah nakal!" kata Nyi Subali sambil mencium pipi gadis itu. "Kenapa masih memanggilku bibi? Bukankah engkau kini telah menjadi anakku? Anakku yang tersayang? Engkau telah menjadi anakku, Eulis, karena itu sebut aku ibu, jangan bibi!"
Eulis tersenyum dan mereka bergandengan tangan memasuki rumah. "Eh, maaf, aku lupa... ibu."
Nyi subali menahan tangisnya. suara itu! Masih suara Sulastri. Aneh mendengar anaknya sendiri menyebut ibu kepadanya dengan malu-malu. Padahal itu suara Sulastri, seperti dahulu kalau menyebut ibu kepadanya lembut dan manja! Sinar matanya membayangkan kebandelan. "anak nakal! Nyi Subali mempererat gandengannya dan tertawa.
Eulis merasa dimanja dan iapun tertawa senang. Demikianlah, mulai hari itu Eulis tinggal di rumah Ki Subali dan isterinya. Ia bukan seorang gadis bodoh. Sama sekali bukan. Ia bahkan seorang gadis yang cerdik sekali. Karena itu, iapun menemukan keanehan-keanehan dalam dirinya. Ia merasa amat dekat dengan "orang tua angkatnya", ia merasa akrab dengan segala sesuatu yang berada dalam rumah itu, pelatarannya, kebunnya, bahkan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar rumah. Lebih-lebih lagi, ia menemukan pakaian-pakaian dalam sebuah kamar yang diberikan kepadanya, dan semua pakaian itu cocok dan pas bagi tubuhnya. Kamar tidur itu, dengan pembaringan, dengan meja kursinya, semua itu sama sekali tidak asing baginya. Akan tetapi ia sama sekali tidak ingat pernah bertemu dengan Ki Subali dan Nyi Subali.
Setelah beberapa hari tinggal di situ, dekat dengan Ki Subali dan Nyi Subali, kecerdikan akalnya membuat ia yakin akan keadaan dirinya. Ia merasa yakin bahwa Ki Subali dan isterinya adalah ayah ibunya, dan bahwa benar ia anak tunggal mereka yang bernama Sulastri. Ia dapat menduga bahwa ia tentu telah kehilangan ingatannya dan menurut keterangan pemuda yang bernama Lindu Aji itu, seperti juga diceritakan Jatmika kepada Ki Subali dan isterinya, ia telah terjatuh dari tebing yang tinggi. Kenyataannya ia tidak mati, akan tetapi kehilangan ingatannya. Hal ini membuat ia menduga bahwa tentu kejatuhan dari tebing yang tinggi itulah yang telah membuat ia kehilangan ingatan!
Samar-samar ia dapat ingat bahwa ia terjatuh ke tangan gerombolan penjahat, melawan mereka yang dibantu Jatmika. Itulah saat-saat ia dapat ingat dan sebelum itu, ia tidak ingat apa-apa. Kini ia percaya bahwa ia adalah Sulastri, anak tunggal Ki Subali dan isterinya. Akan tetapi, semua itu hanya dugaan yang muncul dari penalaran. Ingatannya belum kembali dan ia belum dapat ingat akan gurunya, Ki Ageng Pasisiran. Untung bahwa semua ilmu yang pernah ia pelajari telah mendarah daging, telah menyatu dengan dirinya sehingga walaupun ia tidak ingat akan teorinya, ia masih dapat memainkannya dengan baik.
Ki Subali dan Nyi Subali maklum akan keadaan diri puteri mereka itu. Suami isteri ini adalah orang-orang bijaksana dan amat mengasihi anak tunggal mereka. Mereka juga dapat menduga bahwa anak mereka itu tentu mengalami cidera ketika terjatuh dari tebing curam sehingga kehilangan ingatannya. Dengan sabar dan telaten mereka menuntun ingatan Eulis untuk kembali ke masa lalu. Mereka menceritakan keadaan gadis itu ketika masih kecil, kenakalan-kenakalannya sampai ia tumbuh dewasa dan menjadi murid Ki Ageng Pasisiran.
Eulis kini mulai hafal akan cerita tentang pengalaman-pengalamannya sejak kecil, akan tetapi hal ini tidak memulihkan ingatannya. Ia hanya tahu akan keadaan dirinya sendiri dari cerita kedua orang tua itu. Betepapun juga, ia masih tetap ingin disebut Listyani atau Eulis. Nama ini sudah melekat dalam hatinya, terutama sekali karena nama itu pemberian Jatmika, pemuda yang telah menolong dan menyelamatkannya.
Dan Ki Subali beserta isterinya yang bijaksana dan sabar itupun tidak memaksakan nama Sulastri kepada anak mereka. Mereka dengan hati tulus menyebutnya Eulis, merasa seolah kini puteri mereka itu telah berganti nama! Belasan hari telah berlalu. Ki Subali dan isterinya merasa lega dan berbahagia. biarpun Sulastri atau Eulis belum menemukan kembali ingatannya, namun gadis itu tidak kehilangan kelincahannya. Masih lincah genbira dan bandel nakal seperti dulu!
Pada suatu hari Sulastri duduk seorang diri di pendopo rumahnya. Ia duduk termenung. Tiba-tiba terdengar suara kucing. "Meyoooongggg...!" Sulastri atau Eulis sadar dari lamunannya. ia memandang ke bawah dan melihat seekor kucing mendekatinya lalu kucing itu dengan manja membelai-belai kaki Eulis dengan leher dan perutnya. Eulis tertawa, membungkuk dan mengangkat kucing itu lalu dipangkunya dan dibelai kepala kucing dengan tangannya. Kucing itu dengan manja memejamkan mata dan menggeliatkan badannya.
"Candra, agaknya engkau masih mengenal aku. Ayah dan ibu menceritakan bahwa dulu engkau adalah kucing kesayanganku." kata Eulis lirih dan kucing itu mengeong lirih pula.
Seekor kucing yang indah bulunya. Bulu halus tiga warna dan kucing itu, menurut Nyi Subali, dulu ditemukan Eulis di dalam hutan, dibawa pulang dan diberi nama Candramawa. Kucing ini memiliki wibawa seperti harimau. Kalau ia lapar, dengan mengarahkan pandang matanya yang hijau mencorong itu ke arah seekor cecak yang sedang merayap di atas dinding, cecak itu akan jatuh dan menjadi mangsanya. Demikian pula, kalau ia mengejar tikus, tikus itu akan demikian ketakutan sehingga tidak mampu lari lagi, tinggal tubruk saja!
Eulis tidak ingat lagi akan semua itu, akan tetapi cerita ibunya membuat ia merasa sayang kepada kucing itu. Suara derap kaki kuda dan roda kereta membuat Eulis mengangkat muka memandang ke arah jalan di depan rumahnya. Ia melihat sebuah kereta berhenti di tepi jalan raya di depan pekarangan. Dua orang turun dari atas kereta, seorang laki-laki setangah tua dan seorang wanita muda. Wanita itu cantik manis dengan tubuh yang luwes dan ramping. Kedua orang itu lalu memasuki pekarangan. Eulis memandang penuh perhatian. Ia tidak merasa kenal kepada dua orang itu, akan tetapi karena mereka itu agaknya hendak berkunjung dan bertamu, Eulis lalu bangkit berdiri menyambut setelah melepaskan kucingnya ke atas lantai.
"Puuuunten...!" kata laki-laki itu dan gadis manis itupun memberi hormat dengan membungkuk.
"Maaaangga!" jawab Eulis mempersilakan.
"Maafkan kami, nona. Kami ingin bertanya, apakah benar di sini rumah Ki Subali?" tanya laki-laki itu yang bukan lain adalah Ki Salmun bersama anaknya Neneng Salmah.
Eulis mengangguk. "Benar, paman" Wajah Ki salmun tampak gembira. Akhirnya sampai juga dia ke tempat tujuan.
"Dapatkah saya bertemu dan bicara dengan dia, nona? Kami datang dari Sumedang, dan menjadi utusan Anakmas Lindu Aji."
Mendengar nama ini, Eulis menjadi girang. Lindu Aji adalah pemuda sakti mandraguna yang telah menolong ia dan Jatmika, bahkan pemuda itu masih terhitung saudara seperguruan karena guru pemuda itu dan gurunya sendiri masih bersaudara. "Ah, tentu saja, paman. Silakan andika berdua duduk menanti di sini, saya akan memberitahu bapa."
Setelah mempersilakan dua orang tamunya duduk, Eulis lalu masuk ke dalam rumah dan menemui ayahnya yang berada di bagian belakang rumah bersama ibunya. 鈥淏apa di luar ada dua orang tamu yang mengaku sebagai utusan Kakangmas Lindu Aji, ingin bertemu dan bicara dengan bapa. Mereka seorang laki-laki setengah tua dan seorang gadis cantik." Mendengar ini, Ki Subali dan isterinya lalu bangkit dan menuju keluar, diikuti Eulis yang ingin tahu siapa dua orang yang mengaku diutus Lindu Aji itu. Setelah mereka tiba di luar, dua orang tamu itu bangkit berdiri dan Ki Subali memandang heran karena dia tidak mengenal tamu itu. Ki Salmun memberi hormat dan bertanya.
"Apakah andika yang bernama Ki Subali?" Ki Subali membalas penghormatan itu dan menjawab, "Benar, kisanak. Saya bernama Ki Subali, ini isteri saya dan ini anak saya Eulis Listyani."
"Saya bernama Ki Salmun dan ini anak saya Neneng Salmah. Kami datang dari Sumedang dan menjadi utusan Anakmas Lindu Aji untuk menyerahkan surat ini kepada andika." Setelah berkata demikian, Ki Salmun mengambil surat dari balik bajunya dan meneyerahkan kepada Ki Subali.
Ki subali menerima surat itu, lalu berkata dengan ramah. "Silakan duduk, kisanak. Hemm, puterimu ini bernama Neneng Salmah? Bukankah ia waranggana yang terkenal dari Sumedang itu?"
Ki Salmun dan Neneng Salmah duduk kembali, berhadapan dengan Ki Subali dan anak isterinya. Mendengar pertanyaan itu, Ki Salmun menghela napas panjang. "Benar, dan justeru karena ia menjadi waranggana itulah yang kini mendatangkan bencana atas diri kami!" Kembali Ki Salmun menghela napas panjang. "Untunglah bagi kami bahwa pada saat berbahaya muncul Anakmas Lindu Aji menyelamatkan anak saya."
"Hemm, apakah yang telah terjadi, paman?" Tiba-tiba Eulis bertanya.
"Nanti dulu, Eulis. Biar kubaca dulu surat dari Anakmas Aji ini, mungkin dia memberi penjelasan akan apa yang telah terjadi." kata Ki Subali dan Eulis lalu berdiam diri, memandang ketika ayahnya membuka surat dan membacanya. Setelah membaca surat itu dengan saksama, Ki Subali mengangkat muka memandang kepada Ki Salmun dan berkata, "Ki sanak, dalam suratnya ini anakmas Lindu Aji hanya memberitahu bahwa andika dan puteri andika terancam bahaya besar dan harus meninggalkan Sumedang dan untuk sementara waktu menyingkir jauh dari Sumedang. Selain itu, dia minta kepada kami agar kami dapat menerima andika berdua tinggal di sini untuk sementara waktu."
"Sesungguhnya, kisanak, kami tidak mempunyai keluarga di luar Sumedang dan kami tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Kami hanya menaati pesan Anakmas Aji yang menjadi penyelamat dan penolong kami, karena itu hari ini kami datang ke hadapan andika. Akan tetapi, kisanak, harap andika jangan memaksakan diri menerima kami berdua hanya karena ada surat dari anakmas Aji. Kalau sekiranya andika sekalian merasa keberatan menampung kami, katakanlah saja. Kami tidak akan merasa menyesal dan kami akan mencari tempat pemondokan sedapatnya."
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara menggetar namun penuh kejujuran seorang seniman. Ki Subali sendiri seorang dalang, sasterawan, seorang seniman. Diapun menjawab sejujurnya. "Rumah kami cukup besar dan kami selalu siap untuk menolong orang yang patut ditolong. Karena itulah mungkin maka Anakmas Aji mengirim kalian berdua ke sini. Akan tetapi sebelum kami memutuskan apakah andika berdua patut ditolong atau tidak, ceritakanlah terlebih dahulu apa yang andika berdua alami di Sumedang."
"Nanti dulu, paman!" tiba-tiba Eulis berkata kepada Ki Salmun. "Jangan paman ceritakan dulu tentang itu, tunggu saya akan mengambilkan suguhan minum lebih dulu. Saya harus ikut mendengarkan!" Setelah berkata demikian Eulis bangkit dari duduknya.
Neneng Salmah ikut berdiri. "Bolehkah saya membantumu, Neng Eulis?" tanyanya dengan bahasa yang halus. Eulis tersenyum.
"Aeh, mengapa pakai sebutan neng (nona) segala? Sebut saja aku Eulis, Neneng Salmah."
"Terima kasih, Eulis, Nah, aku boleh membantumu, bukan?" Dua orang gadis itu lalu bergandeng tangan dan menuju ke dapur di bagian belakang rumah.
Tak lama kemudian mereka sudah keluar membawa minuman air teh. Sementra itu Ki Salmun benar saja tidak menceritakan tentang malapetaka yang menimpa dia dan puterinya, hanya menceritakan tentang keadaannya, bahwa dia seorang duda bahwa pekerjaannya adalah sebagi tukang kendang dan selalu menemani puterinya kalau ditanggap. Kini Neneng Salmah ditarik oleh Eulis dan duduk disebelahnya, keduanya tampak akrab sekali. Tadi ketika menyiapkan minuman di dapur, keduanya saling bicara dan kini mereka mengetahui akan keahlian masing-masing yang membuat mereka saling merasa kagum.
Ki Salmun lalu bercerita, dimulai dari ditanggapnya rombongan keseniannya di rumah Tumenggung Jayasiran. Ia menceritakan tentang keributan yang terjadi karena adanya pertandingan rebutan ledek sampai munculnya Raden Jaka Bintara dari Banten yang bengis, kejam dan sombong itu. Kemudian muncul Lindu Aji yang mengalahkan Jaka Bintara sehingga melegakan hati para penduduk Sumedang yang merasa tersinggung oleh ulah pemuda Banten yang sombong itu. "Kami tidak menyangka bahwa peristiwa itu berekor panjang dan mendatangkan malapetaka bagi kami. Malamnya, datang pasukan pengawal Tumenggung Jayasiran yang memaksa Neneng Salmah untuk berkunjung ke tumenggungan. Karena yang memanggil sang tumenggung, kami tidak berani membangkang dan Neneng Salmah dibawa ke sana."
"Hemm, engkau dibawa dengan paksa ke rumah Tumenggung Jayasiran itu, Neneng? Lalu apa yang terjadi denganmu? Ceritakanlah kepadaku!" kata Eulis tak sabar.
Sepasang mata bening Neneng Salmah menjadi basah dan beberapa butir air mata menitik keluar ke atas pipinya. "setelah tiba di sana, aku dikeram dalam sebuah kamar dan tak lama kemudian muncul pemuda bangsawan dari Banten yang kejam itu"
"Hemm, yang namanya Bintara itu?" Tanya Eulis. "Mau apa dia?"
"Dia... dia hendak... memaksa dan memperkosaku..."
"Jahanam busuk! Keparat! Jangan takut, Neneng. Aku akan pergi ke Sumedang mencari dia! Akan kuhancurkan kepala jahanam itu!" kata Eulis dengan marah sekali.
"Sabarlah, Eulis. kita dengarkan dulu cerita mereka." kata Ki Subali menyabarkan anaknya
Eulis sadar akan sikapnya yang terburu nafsu. "Neneng, selanjutnya bagaimana?"
"Pada saat yang amat berbahaya itu, muncullah Kakangmas Lindu Aji dan dia yang menyelamatkan aku, menolongku dan mengalahkan Jaka Bintara dan gurunya. Kemudian Kakangmas Lindu Aji mengantarkan aku pulang dan pada keesokan harinya dia mengusulkan agar aku dan bapa melarikan diri dari Sumedang dengan berkereta. Dia mengantarkan kami sampai cukup jauh dan aman keluar dari Sumedang dan menitipkan surat untuk Paman Subali."
"Ya, demikianlah keadaan kami, Saudara Subali. Kami menaati petunjuk Anakmas Aji karena kami memang tidak mempunyai keluarga di sini, akan tetapi kamipun merasa sungkan dan tidak enak sekali kalau harus mengganggu andika sekeluarga."
"Bapa, aku ingin agar Neneng Salmah tinggal bersama kita di sini. Aku ingin mempelajari tarian dan nyanyian darinya." tiba-tiba Eulis berkata kepada ayahnya. ia merangkul pundak Neneng Salmah.
"Dan akupun ingin sekali belajar aji kanuragan dari Eulis, Bapa." kata Neneng Salmah kepada ayahnya.
Ki Subali tertawa dan menoleh kepada isterinya, "Bune, bagaimana pendapatmu?"
Nyi Subali adalah seorang wanita yang berwatak lembut dan mendengar peristiwa yang menimpa diri Neneng Salmah, ia sudah menaruh hati iba sekali. Apa lagi melihat waranggana, yang cantik manis itu begitu akrab dengan puterinya. "Aku sih tidak keberatan menampung mereka, kalau saja Neneng Salmah dan ayahnya sudi tinggal di rumah kita yang buruk ini."
"Nah, kalian mendengar sendiri, Adi Salmun. sebaiknya aku memanggilmu adi saja karena bagaimanapun juga aku tentu lebih tua daripada andika. Anak kami Eulis sudah setuju, ibunya juga sudah setuju dan aku akan senang sekali kalau andika berdua tinggal di sini. Kebetulan sekali aku sendiri senang akan kesenian. Dengan keahlianmu menguasai semua permainan gamelan, dan puterimu yang ahli tembang dan tari, kita dapat membentuk sebuah kelompok seni kerawitan di Dermayu ini."
"Ah, terima kasih banyak, Kakang Subali. Terima kasih, Mbakyu!" Ki Salmun memberi hormat dengan sembah yang dibalas oleh suami isteri itu.
Sedangkan Eulis menjadi girang sekali dan ia saling berpelukan dengan Neneng Salmah. Mereka semua lalu mengatur tempat untuk Neneng Salmah dan ayahnya. Neneng Salmah tentu saja tinggal sekamar dengan Eulis, dan hanya perlu disediakan sebuah kamar sederhana saja untuk ayahnya, Kisalmun lalu memberitahu kusir kereta bahwa mereka sudah tiba ditempat yang dituju dan kusir kereta boleh kembali ke Sumedang. Demikianlah, mulai hari itu, Neneng Salmah dan ayahnya tinggal di rumah Ki Subali dan mereka berdua merasa bahagia sekali karena mereka diterima dan diperlakukan sebagai keluarga sendiri.
Merekapun tahu diri, tidak mau tinggal menganggur melainkan membantu segala pekerjaan yang dilakukan keluarga tuan rumah. Karena kedua pihak dapat membawa diri, maka pergaulan mereka semakin akrab, terutama sekali Eulis dan Neneng Salmah. Demikian akrabnya pergaulan antara Eulis dan Neneng Salmah, sehingga dalam waktu singkat saja mereka sudah menceritakan keadaan diri dan hati masing-masing, membuka rahasia hati yang tidak diceritakan kepada orang lain. Keduanya adalah anak tunggal, maka mereka merasa seperti menemukan seorang saudara.
Eulis bercerita tentang dirinya, tentang keadaannya yang kehilangan ingatan sehingga sampai kini belum juga ingat akan ayah ibunya sendiri. Biarpun ia amat mencinta mereka, namun ia tetap menganggap mereka itu sebagai orang tua angkat karena ia masih belum dapat mengingat kembali masa lalunya, sudah lupa sama sekali bahwa Ki subali dan isterinya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri.
"Apakah engkau mengenal Kakangmas Lindu Aji, Eulis?" Tanya Neneng Salmah yang tak pernah dapat melupakan pemuda itu.
"Ah, dia? Baru satu kali aku bertemu dia, itu menurut ingatanku. Akan tetapi menurut ceritanya, aku dan dia pernah melakukan perjalanan bersama dan bersama-sama pula menghadapi para penjahat, sampai aku terjatuh dari tebing yang curam. Akan tetapi semua itu sama sekali tidak kuingat lagi. Padahal menurut penuturannya, antara kami masih ada ikatan tali persaudaraan seperguruan. Entahlah, aku sudah lupa sama sekali. Bagaimana dengan engkau, Neneng? Bagaimana hubunganmu dengan Kakangmas Lindu Aji itu?"
Wajah Neneng Salmah menjadi merah dan sejenak ia menundukkan mukanya. Mereka berdua sedang mencuci pakaian di anak sungai yang mengalir tak jauh dari rumah mereka, sekalian mandi pagi. "Ah, bagaimana, ya? Dia adalah penyelamatku, penolong kami"
"Aih, engkau tidak dapat menyembunyikan kedua pipimu yang kemerahan, senyummu yang malu-malu dan kedua matamu yang bersinar-sinar kalau kita bicara tentang dia, Neneng! Hayo, mengaku sajalah!" Eulis menggunakan tangan memercikkan air ke arah muka Neneng Salmah sambil tertawa.
Neneng Salmah membalas dan memercikkan air ke arah muka Eulis. "Hayo, mengaku saja! Engkau mencinta Kakangmas Aji, bukan?" Eulis mendesak, memercikkan air makin gencar sehingga Neneng Salmah gelagapan.
"Baiklah, baiklah, aku mengaku. memang. aku memujanya, aku... aku..." Neneng Salmah tergagap karena malu.
"Aku apa? Hayo mengaku saja kamu! Engkau mencinta Kakangmas Lindu Aji, bukan? Kalau tidak mau mengaku, akan kusirami air lagi!" Sambil tertawa Eulis mendesak.
Neneng Salmah juga tertawa dan mukanya berubah kemerahan. "Ya-ya, aku mencintanya." akhirnya ia mengaku, akan tetapi wajahnya menjadi muram.
Eulis melihat perubahan muka yang cantik itu, yang tadinya cerah gembira ketika bergurau dan kini tampak diliputi mendung kesedihan. "Eh, engkau kenapakah, Neneng? Kenapa engkau kelihatan bersedih setelah mengaku bahwa engkau mencinta Kakangmas Lindu Aji?"
Ditanya demikian, Neneng Salmah mengusap dua titik air mata yang keluar dari pelupuk matanya, tidak ingat bahwa dalam keadaan basah karena siraman-siraman tadi, kalaupun ia mengeluarkan air mata juga tidak akan kentara. "Ah, Eulis, aku seperti seekor pungguk merindukan bulan." katanya dengan suara sedih.
"Ehh?" Eulis memandang kawannya dengan heran. "Apa maksudmu?"
"Eulis, aku mau berterus terang saja kepadamu karena aku merasa dekat dan akrab sekali denganmu, seolah engkau merupakan saudaraku sendiri."
"Kita memang telah menjadi saudara, Neneng dan aku berbahagia sekali mempunyai seorang saudara seperti engkau."
"Terima kasih, Eulis. mengenai perasaanku terhadap Kakangmas Lindu Aji aku merasa seperti pungguk merindukan bulan."
"Engkau seekor pungguk? Pungguk itu semacam burung hantu itu, bukan? Aeh, engkau bukan burung hantu, engkau sepatutnya adalah seekor burung merak yang indah, Neneng."
"Bagaimana mungkin aku dapat disejajarkan dengan Kakangmas Lindu Aji? Dia terlampau tinggi bagi orang seperti aku. Dengarkan, Eulis!" Neneng menghentikan Eulis yang hendak membantah. "Siapa Kakangmas Lindu Aji? Dia seorang pendekar, seorang pahlawan yang gagah perkasa dan berbudi tinggi mulia! Dan aku, siapakah aku ini? Anak seorang penabuh gamelan, dan aku sendiri hanya seorang ledek yang dipandang hina dan rendah oleh semua orang, dianggap sebagai perusak pagar ayu! Bagaimana mungkin seorang seperti aku ini mengharapkan balasan cinta kasih seorang yang begitu tinggi martabatnya seperi Kakangmas Lindu Aji?"
"Wah-wah, engkau menyeret dirimu sendiri serendah-rengahnya, Neneng! Kalau engkau menjadi waranggana, itu menandakan bahwa engkau seorang seniwati ahli bertembang dan menari. kepandaian itu amat tinggi nilainya! Sekarang begini, coba kau jawab pertanyaanku, sejujurnya kalau memang engkau menganggap aku seperti saudara sendiri. Nah, aku bertanya kepadamu, apakah selama ini engkau pernah merusak pagar ayu? pernah merayu dan mengadakan hubungan gelap dengan laki-laki, baik yang belum beristeri ataupun yang sudah berkeluarga? Hayo jawab sejujurnya walaupun aku sudah dapat menduganya!"
Neneng Salmah menggeleng kepalanya yang indah itu kuat-kuat. "Demi Gusti Allah, Eulis. Tidak pernah aku melakukan perbuatan sehina itu! Semoga Gusti Allah selalu menjauhkan aku dari perbuatan rendah semacam itu. Bapaku selalu menemani aku kalau aku ditanggap, dan selain aku sendiri tidak sudi berbuat seperti itu, bapaku juga tentu akan melarang dan mencegahnya. Biarpun kami orang rendah dan miskin, namun kami masih menjaga kehormatan dan memiliki harga diri, Eulis!"
"Tepat, memang demikian dugaanku. Lalu mengapa engkau menganggap dirimu begitu rendah? Apa perdulimu dengan persangkaan orang lain? Yang penting, Gusti Allah dan engkau sendiri mengetahui bahwa engkau tidak melakukan perbuatan hina itu. Sangkaan orang seduniapun tidak ada urusannya denganmu. Yang jelas, engkau seorang gadis seniwati yang bersih dan terhormat, derajat dan martabatmu tidak lebih rendah daripada siapapun juga, dan tidak lebih rendah daripada Kakangmas Lindu Aji!"
"Ah, kalau saja semua orang memiliki pandangan dan pendapat seperti itu, Eulis. Akan tetapi kalau aku sudah berada di panggung, bernyanyi dan menari, semua laki-laki agaknya tergila-gila kepadaku sehingga semua orang, terutama para wanitanya, menyangka bahwa aku yang sengaja memikat mereka."
"Hi-hi-hi, para wanita itu iri, Neneng! Terutama mereka yang pacarnya atau suaminya tergila-gila kepadamu. Kalau banyak laki-laki tergila-gila kepada seorang wanita, mengapa wanitanya yang disalahkan? Kenapa bukan si laki-laki yang memangnya mata keranjang? Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita secantik engkau? Kalau ada laki-laki tidak suka melihat seorang gadis sebaik dan secantik engkau, maka hal itu berarti dia tidak waras atau pandang matanya sudah kurang awas!"
"Akan tetapi Mas Aji tidak cinta kepadaku!" kata Neneng Salmah memelas.
Eulis tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Neneng, aku berani bertaruh apapun juga bahwa biar Kakangmas Lindu Aji sekalipun, dia pasti suka sekali kepadamu. Engkau seorang gadis ayu merak ati, baik budi pula, tidak ada alasan untuk tidak menyukaimu. Akan tetapi, neneng, kurasa suka itu belum tentu berarti cinta. Rasa cinta itu..." Eulis bingung sendiri. "Ah, bagaimana, ya? Akupun tidak dapat mengatakan bedanya, akan tetapi aku yakin ada bedanya!"
Kini Neneng Salmah yang tersenyum dan timbul kembali kegembiraannya. Ia memercikkan air ke muka Eulis. "Lagaknya seperti ahli, tak tahunya diri sendiri juga tidak tahu! Atau, agaknya engkau sudah memiliki banyak pengalaman tentang hal ini, ya?"
"Mengalami cinta? Ah, belum pernah! Kalau mengalami suka sih sudah." katanya singkat.
"Akan tetapi, siapa tahu engkau pernah jatuh cinta sebelum engkau melupakan masa lalumu?"
"Entahlah. Semua sudah tidak teringat lagi. Rasanya sih belum pernah." jawab Eulis sambil mengerutkan alisnya.
"Hemm, kalau begitu, aku juga berani bertaruh bahwa saat ini tentu ada seorang pria yang kau... sukai. Benarkah? Dan engkau sendiri ragu apakah engkau hanya suka kepadanya ataukah mencintanya."
"Eh? Bagaimana kau bisa tahu... eh, maksudku, bisa menyangka begitu?" Tanya Eulis sambil memandang heran. Memang, ketika bicara tentang suka atau cinta itu, otomatis ia teringat kepada Jatmika!
Neneng Salmah tersenyum manis sekali. "mudah saja! ketika engkau bicara tentang suka dan cinta, engkau tampak begitu sungguh-sungguh dan ini hanya bisa terjadi kalau hal itu menyangkut dirimu sendiri. Hayo, mengakulah saja, Eulis, atau akan kusirami engkau sampai basah kuyup!" kembali Neneng Salmah mengancam sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam air.
Eulis tertawa. Ia merasa suka dan cocok sekali dengan Neneng Salmah yang dapat menyesuaikan diri dengan wataknya yang centil, padahal ia tahu benar bahwa Neneng Salmah adalah seorang gadis yang berwatak amat lembut. "Baiklah, baiklah! Aku mengaku, gusti puteri! Ada seorang pemuda bernama Jatmika..."
"Waduh, namanya saja begitu indah. Orangnya tentu juga amat jatmika (tenang, sopan dan waspada)!" puji Neneng Salmah.
"Memang dia amat sopan, baik budi, sakti mandraguna dan sudah seringkali dia menyelamatkan aku, menolongku ketika aku terancam bahaya di tangan orang-orang jahat."
"Dan diapun tentu seorang pemuda ganteng dan tampan!" tambah Neneng Salmah. Eulis mengangguk.
"Dia tampan, setampan Kakangmas Lindu Aji."
"Dan engkau tentu amat mencintainya seperti dia juga amat mencintaimu, bukan?" Eulis menghela napas, wajahnya yang biasa cerah penuh senyum itu menjadi serius.
"Itulah, Neneng, seperti kukatakan tadi, aku tentu saja amat kagum dan suka kepadanya. Segalanya yang terbaik dari seorang pria berada dalam dirinya. Akan tetapi, ketika dia menyatakan cintanya..."
"Nah, kelepasan nih! Ketahuan, ya bahwa dia mencintaimu?"
"Memang benar. Dia cinta padaku dan dia menyatakan hal itu kepadaku."
"Wah, kalau sudah begitu apa lagi persoalannya?"
"Persoalannya, aku tidak tahu apakah aku mencintanya, Neneng. Aku suka kepadanya, akan tetapi aku tidak suka apakah aku mencintanya. Aku sering kali pusing memikirkan hal ini."
Melihat Eulis kini sudah kehilangan tawanya, Neneng Salmah teringat akan keadaan diri sendiri dan memang pada dasarnya ia seorang yang tidak selincah Eulis, iapun menghela napas panjang. "Keadaanmu sungguh merupakan kebalikan dari keadaanku, Eulis. Dia mencintamu dan engkau masih belum dapat menjawab cintanya. Sebaliknya, aku mencintanya akan tetapi dia masih belum menerimanya." Kini kembali suaranya mengandung kesedihan sehingga Eulis melupakan persoalannya sendiri dan merasa iba kepada Neneng Salmah.
Ia mendekat dan merangkul leher yang berkulit mulus itu. "Neneng, jangan putus harapan. Aku yakin bahwa Kakangmas Lindu Aji pasti suka kepadamu, kalau tidak, tentu dia tidak akan minta kepada ayah untuk menampung engkau dan ayahmu."
"Memang, dia juga mengatakan bahwa dia suka kepadaku, akan tetapi dia tidak dapat menerima cintaku."
"Bukan tidak dapat, melainkan belum, Neneng. Engkau tentu sangat ingin untuk menjadi isterinya, bukan?"
"Tentu saja, Eulis. Jangankan menjadi isterinya, bahkan menjadi hambanyapun aku akan merasa berbahagia sekali, asal aku dapat selalu hidup dekat dengannya, melayaninya dengan penuh kasih sayang." Ucapan yang penuh keyakinan dan kelembutan ini menyentuh perasaan Eulis dan ia mencium pipi Neneng Salmah. Tiba-tiba Eulis menjadi lincah kembali. "Wah, sekarang aku tahu bedanya antara suka dan cinta!" teriaknya dan mengguncang kedua pundak temannya. Karena girangnya, ia lupa untuk mengendalikan kekuatannya.
"Aeh-aeh...!" Kau mau mengoyak-koyak pundakku?" teriak Neneng Salmah dan Eulis lalu merangkulnya.
"Aduh maaf! Aku sampai lupa. sekarang aku mengerti dan dapat melihat perbedaan antara suka dan cita."
"Benarkah? Hayo katakan, apa perbedaannya itu." desak Neneng Salmah.
"Kakangmas Jatmika mencintaku dan ingin berjodoh denganku, demikian pula engkau, Neneng. Engkau mencinta Kakangmas Lindu Aji dan engkau ingin menjadi isterinya. Itulah cinta! Cinta membuat orang lain ingin mengikatkan diri dalam perjodohan! Sebaliknya, Kakangmas Lindu Aji suka kepadamu dan hanya ingin bersahabat, demikian pula aku suka Kakangmas Jatmika dan ingin menjadi sahabat baiknya. Itulah rasa suka! Suka kepada seseorang membuat orang ingin mengikat persahabatan dengan orang yang disukai. Itulah jawabannya!" Neneng Salmah termenung. Eulis juga termenung. Kedua orang gadis itu seperti lupa bahwa mereka sedang mandi. mereka duduk di atas batu sambil termenung. Mereka tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Tiba-tiba terdengar suara wanita, "Aeh, kalian berdua ini mencuci pakaian atau berjemur diri?"
Dua orang gadis itu sadar dari lamunan dan ternyata Nyi Subali telah berdiri di belakang mereka. Mereka berdua tertawa dan baru ingat bahwa sejak tadi mereka hanya duduk melamun, tidak sadar bahwa matahari mulai naik tinggi. "Wah, Neneng kita keenakan melamun di sini. Bukankah hari ini engkau sudah berjanji akan mengajarkan sebuah tarian kepadaku?"
"Benar, Eulis. dan sore nanti engkau akan mengajarkan aku gerakan silat agar aku dapat membela diri dari tangan-tangan usil."
Keduanya lalu membawa keranjang pakaian yang sudah dicuci dan bersama Nyi Subali mereka kembali ke rumah. Demikianlah kedua orang gadis itu bergaul akrab sekali. Eulis mulai belajar bertembang dan menari, akan tetapi karena pada dasarnya ia seorang yang sejak kecil mempelajari ilmu silat, tubuhnya sudah terbiasa dengan gerakan tangkas, maka akhirnya ia pandai menari dengan tarian yang berubah sifatnya menjadi tangkas. Keindahan gerak tari yang mengandung ketangkasan dan kegagahan. Sebaliknya, Neneng Salmah yang sudah terbiasa dengan gerakan tari yang lembut dan indah, mulai dapat menguasai ilmu pencak silat yang sifatnya lembut dan gerakannya indah sekali. Setelah mempelajari tembang, ternyata suara Eulis juga cukup merdu.
********************
Tidak seperti yang diduga semula, Aji dapat memasuki Jayakarta atau yang oleh Kumpeni Belanda disebut Batavia dengan mudah. Tidak ada penjagaan ketat di pintu gapura kota dan yang terjaga oleh serdadu Kumpeni Belanda hanyalah benteng Belanda yang dikelilingi tembok tebal dan tinggi. Memang ada patroli sepasukan serdadu Belanda membawa bedil, akan tetapi mereka tidak tampak mengganggu orang-orang yang keluar masuk gapura sambil membawa barang dagangan. Akan tetapi, Aji dapat merasakan dan menduga bahwa banyak sekali mata tersembunyi yang mengawasi gerak-gerik setiap orang yang memasuki pintu gapura, terutama sekali orang-orang yang tidak dikenal seperti dirinya.
Dia dapat menduga bahwa kumpeni tentu melakukan penjagaan dan pengawasan secara tersembunyi dan menyebar telik sandi untuk melakukan pengawasann dan penyelidikan. Dan di dalam benteng besar itu tentu terdapat banyak sekali serdadu Belanda yang siap untuk menumpas setiap gerakan pemberontakan. Selain itu, juga kapal-kapal besar Belanda siap di pelabuhan, dengan segala perlengkapannya. Di atas benteng besar itupun tampak moncong meriam-meriam berjajar menyeramkan. Belanda amat kuat, terutama sekali karena kekayaan dan kemakmuran semu yang disebarkan membuat banyak pemuka masyarakat menjadi mabok menganggap Belanda sebagai penolong yang mendatangkan kesejeahteraan!
Tanpa mereka sadari, kekayaan hasil bumi rakyat disedot oleh Belanda dan menjadi barang dagangan yang mendatangkan keuntungan besar baginya. Karena maklum bahwa dia berada di daerah musuh yang menjadi pusat kekuatan Belanda dan dapat menduga pula bahwa di situ terdapat banyak mata-mata Belanda, Aji bersikap waspada dan hati-hati sekali. Dia menyembunyikan keris Kyai Nagawelang pemberian Sultan Agung karena banyak orang mengetahui bahwa keris ini merupakan hadiah dari Sultan agung kepada para senopati yang dipercayainya.
Pakaiannya yang sederhana membuat dia tampak seperti seorang pemuda petani dusun yang baru saja menjual hasil buminya dan sedang melihat-lihat keindahan kota itu. Seperti diceritakan di bagian depan, tadinya Aji berniat pergi melakukan penyelidikan tentang Raden Banuseta pembunuh ayahnya dan tentang putera ayahnya, atau kakak tirinya yang bernama Hasanudin. Kedua orang ini telah dijumpainya dalam perjalanannya. Juga tadinya dia hendak pergi ke Banten untuk mencari putera kandung Ki Tejobudi yang bernama Sudrajat, dan orang inipun sudah dijumpainya, bahkan Ki Sudrajat meninggal dunia dalam rangkulannya.
Sekarang, tugas pribadinya hanyalah menemukan Raden Banuseta, pembunuh ayahnya yang juga pembunuh Ki Sudrajat. Bahkan menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda. Raden Banuseta orang jahat dan pengkhianat bangsa yang harus ditentangnya. Selain itu, dia juga harus menemukan kakak tirinya, Hasanudin, yang agaknya terkena bujukn Raden Banuseta sehingga ikut-ikutan menjadi antek Belanda, sama sekali tidak tahu bahwa justeru Raden Banuseta yang telah membunuh ayah kandungnya. Dia harus dapat menyadarkan Hasanudin, selain agar tahu bahwa Banuseta adalah musuh besarnya, juga agar menyadari bahwa membantu Belanda melawan Mataram berarti mengkhianati bangsa dan tanah air.
Sebelum memasuki Batavia, Aji sudah menghubungi para telik sandi Mataram yang bertugas melakukan penyelidikan dan berada di luar kota. Dengan adanya keris Kyai Nagawelang, Aji diterima dengan hormat oleh para telik sandi. Dari mereka dia tahu bahwa para tokoh pengkhianat yang menjadi antek Kumpeni Belanda kini telah berkumpul di Batavia, di antara mereka adalah nama-nama yang sudah dikenalnya dengan baik, seperi Raden Banuseta, Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Kyai Sidhi Kawasa, Aki Somad, Ki Warga dan masih banyak lagi. Karena itu, maka Aji bertindak hati-hati. Banyak tokoh antek Kumpeni yang telah mengenalnya dan kalau sampai dia ketahuan, tentu dia menghadapi bahaya besar. Karena itu, setelah merasa cukup melihat-lihat keadaan dalam kota Batavia, Aji mulai berjalan memasuki daerah sepi di pinggir kota.
Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita di antara derap kaki kuda dan roda kereta, akan tetapi hanya satu kali jerit itu terdengar lalu sunyi. Dia melihat kusir kereta terlempar dari atas kereta dan tak bergerak lagi. Dua orang sudah menguasai kereta itu. Seorang yang tadi merobohkan kusir kini duduk di tempat kusir, sedangkan seorang lagi berada di dalam kereta. Aji teringat akan pertemuannya dengan para telik sandi Mataram di luar kota. Mereka itu tentu melaksanakan rencana mereka seperti yang pernah dia dengar, yaitu mengadakan kekacauan di dalam kota sebelum tentara Mataram yang sudah mulai meninggalkan Mataram tiba di situ. Diantara rencana tindakan pengacauan adalah menculik puteri seorang perwira Belanda.
Sebetulnya Aji merasa tidak setuju dengan tindakan yang dia anggap curang ini, akan tetapi karena dia seorang pendatang baru, diapun merasa sungkan untuk mencela. Kini melihat ada orang yang membunuh kusir kereta yang agaknya merupakan sebuah kereta bangsawan, dia menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi mendengar jerit wanita tadi, dia mengeritkan alisnya. Hatinya yang selalu condong untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya dan menentang siapa saja yang melakukan kekerasan, terutama terhadap wanita yang lemah membuat Aji tidak dapat menahan kedua kakinya untuk tidak membayangi kereta yang melarikan cepat menuju ke arah timur. Ketika kereta tiba di dalam sebuah hutan, terdengar seruan dari dalam kereta yang tertutup.
"Bang Sikun, berhenti dulu!" Kusir yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan yang berkumis panjang itu menahan kendali dua ekor kuda yang menarik kereta, Dua ekor kuda berhenti dan kusir itu melompat turun. Pintu kereta terbuka dan seorang laki-laki gendut pendek keluar dari kereta itu.
"Bagaimana dengan noni (nona) itu? Kau apakan dia? Mengapa tidak ada suaranya?" tanya si muka panjang yang bernama Sikun itu kepada si gendut pendek.
"Ah, tidak kuapa-apakan. Tadi menjerit, maka kuikat kedua tangannya dan kuikatkan saputangannya di depan mulutnya agar ia tidak berteriak lagi. Tanpa persetujuanmu, mana aku berani berbuat yang tidak-tidak!" kata si gendut sambil menyeringai.
"Awas, Mang Kosim, kalau engkau ganggu gadis Belanda itu, akan kulaporkan dan engkau akan dihajar." kata Sikun sambil membuka pintu kereta.
Aji yang mengintai tak jauh dari situ melihat seorang gadis bule duduk didalam kereta, Kedua tangannya terbelenggu, juga mulutnya tertutup kain yang diikatkan di kepalanya, rambutnya awut-awutan dan matanya yang bundar lebar itu terbelalak ketakutan. Pakaiannya kusut dan rambutnya yang panjang terurai. Rambut itu berwarna keemasan dan kulitnya putih kemerahan, halus mulus. Wajah yang cantik itu masih muda, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Sikun memandang dan pandang matanya berhenti agak lama pada belahan dada membusung dari balik gaun yang agak kusut tertarik ke bawah itu lalu pandang mata itu seolah menggerayangi seluruh tubuh gadis Belanda itu dari kepala sampai kakinya yang bersepatu boot. Melihat betapa Sikun melahap lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan itu, Kosim mendekat dan terkekeh.
"Heh-heh-heh, Bang Sikun, bahenol sekali noni ini, ya? Apa salahnya kalau kita bersenang-senang sejenak dengannya? Di sini sepi, tidak akan ada orang lain melihatnya dan ia masih dapat kita hadapkan nanti kepada Bang Samiun dalam keadaan utuh." Sikun menelan ludah, kumisnya bergerak-gerak.
"Tetapi..." katanya ragu.
"Tetapi apa lagi, Bang Sikun? Hayolah, engkau kebagian lebih dulu, baru nanti aku." desak si gendut Kosim.
"Tapi... engkau jaga baik-baik agar jangan sampai ada orang melihatnya, ya?" Sikun agaknya tak dapat menahan gairah nafsunya.
"Hayo turun kau!" Dia menjulurkan tangannya, menangkap tangan yang terikat itu dan menarik wanita kulit putih itu keluar dari kereta. Gadis remaja itu terpaksa terseret keluar dan hampir jatuh ketika ia turun dari kereta. Sikun merenggut lepas saputangan yang menutupi mukanya.
"Jangan... jangan ganggu aku...!" Gadis Belanda itu meratap dan Aji merasa heran karena gadis itu dapat berbahasa daerah dengan jelas dan baik.
"Jangan banyak bicara kalau engkau tidak ingin aku menggunakan kekerasan." kata Sikun dan sekali dorong.
Gadis Belanda itu terjengkang dan jatuh telentang ke atas rumput. Akan tetapi ia cepat bangkit duduk dengan sukar karena kedua tangannya masih terbelenggu. "Dengar, kisanak. Biarpun aku puteri Kapten De Vos, akan tetapi aku selalu menentang sikap ayahku. Aku tidak setuju dengan politik Kumpeni Belanda. Aku membela bangsa ibuku. Aku bukan musuh kalian."
"Ha-ha-ha, Abang Sikun, siapa dapat percaya omongan gadis bule itu? Hayo cepat lakukan dan jangan dengarkan ocehannya!" kata si gendut Kosim.
Sikun menghampiri gadis itu yang menjadi semakin ketakutan. "Jangan... demi Tuhan, jangan..." ia mengeluh dan air matanya mulai mengalir disepanjang kedua pipinya yang menjadi pucat. Akan tetapi Sikun menyeringai. Dia seperti sudah kemasukan iblis sehingga makin ketakutan gadis calon korbannya itu, semakin senang dan bangga rasa hatinya. Perlahan-lahan dia menghampiri dan hendak merenggut pakaian gadis itu.
Pada saat itu, Aji tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia melompat keluar dan membentak, "Kisanak, apa yang kau lakukan ini adalah perbuatan yang amat keji dan jahat!"
Si gendut Kosim yang bertugas jaga menjadi marah melihat ada orang mengganggu kesenangan mereka. "Bang Sikun, lanjutkan bersenang-senang, biar aku yang membunuh orang jahil ini!" katanya sambil mencabut sebatang parang dari pinggangnya dan tanpa banyak cakap dia sudah melompat dan menerjang ke arah Aji, membacokkan parangnya dengan keyakinan bahwa sekali serang dia akan dapat merobohkan pemuda yang menjadi penghalang itu.
"Wuuutttt... sing... dessss!!" Bukan tubuh Aji yang terluka sambaran parang, melainkan tubuh Kosim yang terpelanting jatuh, parangnya terlempar jauh dan si gendut itu tidak dapat segera bangkit karena merasa pinggulnya nyeri bukan main dan dadanya sesak! Melihat ini, Sikun yan tadinya hendak merenggut lepas pakaian gadis Belanda itu, menjadi terkejut dan marah. Dia segera memutar tubuhnya dan melompat ke depan, menghadapi Aji dengan mata melotot.
"Keparat! Siapa engkau berani mengganggu kami orang-orang Mataram?" bentaknya, menggunakan nama Mataram untuk menggertak. "Kami adalah pejuang-pejuang Mataram, tahukah engkau?"
Aji tersenyum. "Pejuang-pejuang Mataram tidak akan sudi melakukan perbuatan seperti yang hendak kau lakukan itu!"
Tiba-tiba gadis Belanda yang kedua tangannya masih terikat itu dan yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersimpuh di atas rumput berkata, "Tepat sekali apa yang kau katakan itu, sobat. Ibuku juga selalu bilang bahwa pejuang Mataram adalah ksatria yang gagah perkasa dan berbudi luhur!"
Sikun marah sekali dan bertolak pinggang sambil memandang kepada Aji. "Manusia lancang! Apakah engkau hendak membela seorang gadis Belanda, musuh besar bangsa kita? Kalau engkau tidak memusuhinya, bahkan hendak membelanya, maka itu hanya berarti bahwa engkau adalah seorang antek Belanda!"
"Hemm, manusia yang sudah buta oleh nafsu! Musuh kita memang Kumpeni Belanda yang hendak mencengkeram tanah air kita, dan dalam perang kita harus membunuh setiap orang serdadu Belanda. Akan tetapi semua itu kita lakukan demi mempertahankan tanah air dan membela bangsa. Kalau engkau diperintah atasanmu untuk menculik puteri perwira Belanda demi kepentingan perjuangan Mataram melawan Belanda, hal itu masih dapat dimengerti dan diterima. Akan tetapi engkau menodai tugasmu sebagai pejuang dengan perbuatan hina! Engkau hendak memperkosa gadis ini dan itu sama sekali bukan tugas seorang pejuang, melainkan perbuatan seorang manusia jahat yang kemasukan iblis! Engkau bahkan mencemarkan kesucian perjuangan membela Negara dan bangsa!"
"Jahanam keparat! Siapakah engkau yang berani lancang menghina kami para pejuang Mataram yang gagah?" bentak Sikun yang kehabisan akal karena ucapan Aji itu tidak dapat dibantahnya sehingga membuat dia merasa malu dan marah.
Dengan tenang Aji mengeluarkan keris pusaka Nagawelang dari balik bajunya. "Lihatlah ini! Kalau engkau tidak mengenal ini, berarti bahwa engkau seorang telik sandi Mataram yang palsu!" kata Aji sambil menghunus keris dan mengangkatnya ke atas.
Melihat keris pusaka itu, sepasang mata Sikun terbelalak dan mukanya berubah pucat. "Keris pusaka Nagawelang...! Andika ut... utusan... Kanjeng Gusti Sultan Agung...!" Sikun tergagap dan sikapnya berubah sama sekali. Juga Kosim yang tadi tertendang roboh sudah merangkak bangun dan berdiri di samping Sikun sambil membungkuk-bungkuk ketakutan.
"Ampunkan kami, raden..." kata mereka hampir berbareng.
"Dalam tugas, aku disebut Alap-alap Laut Kidul, kalian tidak perlu menyebutku Raden. Sekarang, ingat baik-baik. Para pejuang kawula Mataram yang melakukan perjuangan membela nusa bangsa menghadapi kumpeni yang angkara murka, adalah ksatria utama. Perjuangan membela nusa bangsa adalah tugas yang suci dan sekali-kali jangan dicemarkan oleh perbuatan jahat yang mementingkan diri sendiri dan diperhamba oleh nafsu. Mengganggu wanita dari kalangan dan bangsa apapun juga merupakan perbuatan biadab yang pantang dilakukan para ksatria juga bertindak kejam dan merampok hak milik orang lain. Kalau pantangan ini dilanggar, maka perjuangan takkan diridhoi dan diberkahi Gusti Allah dan dapat menjadi gagal. Gusti Sultan Agung sendiri pasti tidak suka melihat pebuatan jahat seperti itu dan kalau perbuatan kalian ini diketahui, kalian pasti akan dihukum berat!"
"Ampunkan kami..."
"Sudah, pergilah dan laporkan kepada atasanmu bahwa aku tidak setuju dengan tindakannya menculik wanita. Hal ini hanya akan membuat kumpeni menjadi marah dan mereka akan lebih siap siaga sehingga akibatnya malah merugikan kita sendiri."
"Baik, kami menaati perintah. Akan tetapi nona ini...?"
"Akan kuantarkan ia kembali ke rumahnya. " kata Aji.
Dua orang itu saling pandang dengan bingung, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Aji merasa bahwa kalau dia dan gadis Belanda itu naik kereta, pasti akan menarik perhatian para petugas Kumpeni, maka dia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Kepada dua orang itu dia berkata. "kalian boleh membawa kereta dan kudanya, serahkan kepada atasan kalian agar dapat dimanfaatkan."
Dua orang itu tampak kegirangan sekali. Mereka membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Akan tetapi sebelum mereka menghampiri kereta, Aji berkata kepada mereka dengan suara membentak. "Lihat ini." Dua orang itu terkejut dan menoleh, memandang kepada Aji yang menghampiri sebatang pohon cemara yang besarnya sama dengan pinggang orang dewasa. Dia mengayun tangan kanannya ke arah batang pohon itu.
"Wuuuttt... krakkkk!" Pohon cemara itu tumbang dengan suara gaduh. "Nah, kalau kelak aku mendengar kalian masih suka mengganggu wanita dan memperkosa, kaki kalian akan kupatahkan seperti batang pohon ini!"
Dua orang itu terbelalak dan wajah mereka pucat, tubuh mereka menggigil. "kami tidak berani... tidak berani..." kata mereka tanpa berani melangkahkan kaki mereka.
"Nah, pergilah!" bentak Aji.
Barulah mereka berani naik ke kereta kemudian membalapkan kereta meninggalkan tempat itu. Aji mendengar suara orang bergerak di sebelah kirinya. Dia melihat gadis Belanda itu mencoba untuk bangkit bediri, akan tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang tubuhnya, maka gerakan bangkit berdiri ini agak sukar. Melihat ini, Aji cepat menghampiri dan gadis itu terbelalak, lalu mencoba untuk bergerak menjauh, masih bersimpuh.
"Tidak...! Jangan... jangan sentuh aku...!"
Aji tersenyum, "Jangan takut, nona. Aku tidak ingin mengganggumu, aku hanya ingin membebaskanmu dari ikatan tangan itu." Aji mendekat dan sekali tangannya bergerak, tali yang mengikat pergelangan kedua tangan gadis itu terlepas. Gadis itu bangkit berdiri, menggosok-gosok pergelangan kedua tangannya dan memandang kepada Aji, masih ragu dan takut. "Nona, sekali lagi, jangan takut, aku tidak akan mengganggumu. Aku bahkan ingin mengantarmu pulang ke Jayakarta."
Melihat Aji benar-benar tidak mengganggunya dan bersikap sopan, gadis Balanda itu mulai percaya. Apalagi dia tadi melihat sendiri betapa pemuda itu mengalahkan dan mengusir dua orang penculik yang tadi akan memperkosanya. "Sobat, kalau engkau benar hendak mengantar aku pulang, kenapa engkau memberikan kereta itu kepada mereka?" tanya gadis itu dengan hati-hati.
"Mereka itu jahat sekali, kenapa malah diberi hadiah kereta?"
"Nona, ketahuilah bahwa memang perbuatan dua orang tadi sungguh jahat. Akan tetapi bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk membela tanah air dan bangsa." Biarpun merasa rikuh mengingat akan perbuatan dua orang tadi, Aji tetap membela mereka terhadap gadis Belanda ini. "Aku sengaja menyerahkan kereta dan kuda agar dapat dipergunakan untuk keperluan perjuangan. Pula, aku hanya dapat mengantarmu pulang ke Jayakarta kalau kita berjalan kaki. Kalau kita naik kereta, tentu akan ditangkap oleh pasukan Belanda."
"Sobat, benarkah engkau seorang utusan Mataram? Engkau seorang panglima Mataram?" Gadis itu kini memandang penuh perhatian, sepasang mata yang kebiruan itu memancarkan kekaguman.
"Aku hanya seorang pejuang biasa saja."
"Akan tetapi, kenapa engkau menolongku? Engkau seorang Mataram, dan aku adalah puteri seorang panglima Kumpeni Belanda. Bukankah aku musuh yang harus kau bunuh?"
Aji tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Kalau engkau seorang perwira atau perajurit Kumpeni Belanda, mungkin aku akan membantu mereka untuk menangkapmu. Akan tetapi kulihat engkau seorang gadis biasa yang tidak ada sangkut pautnya dengan perang. Apalagi aku mendengar tadi engkau mengatakan bahwa engkau dan ibumu tidak menyetujui sikap Kumpeni Belanda."
"Ah, sobat. Engkau sungguh bijaksana, lain daripada orang-orang yang pernah kukenal dan kutemui. Kalau begitu, maukah engkau menjadi sahabatku, biarpun aku puteri seorang perwira tinggi Belanda?"
Bagaimana Aji mampu menolak ajakan seorang gadis untuk bersahabat? Biarpun gadis ini seorang asing, namun ia dapat bicara bahasa daerah dengan amat baiknya seperti gadis-gadis pribumi, dan ucapannya juga menunjukkan bahwa ia seorang gadis bijaksana. Karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab.
"Tentu saja aku mau menjadi sahabatmu."
Gadis itu tersenyum lebar dan Aji melihat wajah yang manis itu tampak cerah dan begitu wajar seperti wajah kanak-kanak. "Engkau baik sekali. Nah, perkenalkan, namaku Karen, lengkapnya Karen Van De Vos. Dahulu aku tinggal di Cirebon dengan ayahku, Kapten Van De Vos. Ibuku seorang wanita pribumi dari Tegal dan ibulah yang menyadarkan aku bahwa kumpeni menjalankan politik yang jahat terhadap Nusa Jawa dan ibu selalu mengatakan bahwa para pejuang yang membela Mataram adalah ksatria-ksatria yang gagah perkasa."
Aji tersenyum mendengar gadis ini memperkenalkan diri dengan keterangan panjang seperti air dari pancuran. Setelah gadis itu berhenti dan agaknya henedak disambung terus, dia cepat berkata untuk memperkenalkan diri. "Aku bernama Lindu Aji. Ibumu benar, nona..."
"Panggil saja aku Karen." potong Karen cepat.
"Baiklah, Karen. Ibumu benar. Kami para pejuang membela Mataram berarti membela bangsa dan tanah air dengan taruhan nyawa. Bagaimanapun juga, kami adalah manusia-manusia biasa yang tidak luput daripada cacat. Oleh karena itu, kalau ada satu sua orang yang menyeleweng daripada jalan yang benar seperti dua orang tadi, harap dimaklumi."
"Tentu saja, aku sudah melupakan hal itu. dengan adanya seorang ksatria seperti engkau yang telah menolongku, maka mudah saja aku memaafkan dua orang tadi. aku percaya bahwa mereka melakukan hal itu hanya karena aku seorang gadis puteri panglima Belanda. mereka menganggap bahwa berbuat keji terhadap anak musuh buka perbuatan jahat."
"Ah, engkau memang seorang gadis yang bijaksana, Karen. Engkau tadi mengatakan bahwa engkau tinggal di Cirebon bersama orang tuamu. Kenapa sekarang berada di Jayakarta?"
"Tadinya ayah bertugas di Cirebon, akan tetapi sekarang dia dipanggil oleh Gubernur Jenderal untuk bertugas di Batavia, mungkin dengan adanya berita bahwa Mataram hendak menyerang Batavia lagi. Kau tahu, ayahku adalah panglima yang mengepalai para telik sandi yang disebar kumpeni di seluruh Nusa Jawa."
"Aku sudah tahu..." Aji menahan kata-katanya yang sudah terlanjur keluar.
"Ah, engkau telah mengenal ayahku. Aji?" Gadis itu menatapnya tajam dengan matanya yang kebiruan.
Karena sudah terlanjur bicara, terpaksa Aji mengaku. Gadis ini telah bersikap jujur, menceritakan keadaan yang sebenarnya. Juga sudah tahu bahwa dia seorang pembantu Sultan Agung. Mungkin dari gadis ini dia akan bisa mendapatkan keterangan penting tentang keadaan di Batavia. "Aku memang pernah bertemu dengan Kapten De Vos, ketika aku ditawan para mata-mata Kumpeni."
"Ohh...! Akan tetapi engkau masih hidup dan sehat! Aji, maukah engkau menceritakan peristiwa itu kepadaku? Aku ingin sekali mengetahui."
Gadis itu lalu duduk di atas batu dan Aji duduk pula di depannya. Tidak ada salahnya menceritakan peristiwa itu kepada Karen. Siapa tahu hal itu akan memperkuat kepercayaan Karen kepadanya dan gadis itu mau menceritakan hal-hal penting tentang kumpeni kepadanya. "Ketika itu, aku dan Sulastri bertemu dengan gerombolan kaki tangan kumpeni, yaitu Maya Dewi..."
"Huh, perempuan genit tak tahu malu itu? aku benci padanya! Ayahpun tidak suka, akan tetapi karena ia cerdik dan pandai, maka terpaksa ayah menjadikan ia pembantu." kata Karen.
"Ada pula Ki Harya Baka Wulung datuk dari Madura, Aki Somad tokoh Nusakambangan dan Banuseta. Kami berdua dikeroyok dan karena Sulastri tertawan, terpaksa aku menyerah karena mereka mengancam akan membunuh gadis itu. Kami berdua menjadi tawanan..."
"Nanti dulu, Aji. Siapa gadis yang bernama Sulastri itu?"
"Sulastri? Ia seorang pendekar wanita muda dari Dermayu. Kami berkenalan ketika saling bertemu membantu pamannya yang diserang orang-orang jahat, diantaranya Nyi Maya Dewi dan Aki Somad yang menjadi kaki tangan Kumpeni itu. Lalu kami melakukan perjalanan bersama dan seperti kuceritakan tadi, kami berdua ditawan oleh gerombolan kaki tangan Kumpeni."
"berapa usianya?" kembali Karen memotong dengan penuh keinginan tahu, dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan yang lain.
"Usia Sulastri atau usia siapa?"
"Naturlijk (tentu saja) usia Sulastri itu!" kata Karen tidak sabar.
Aji merasa heran mengapa gadis Belanda ini memperhatikan Sulastri? "Usianya? Hemm, kalau tak salah kurang lebih delapan belas tahun."
"Sebaya denganku kalau begitu, hanya selisih sedikit. Bagaimana wajahnya?"
"Wajahnya? Bagaimana, ya? Kalau tidak salah bulat... eh, bulat telur mungkin, ahh... aku tidak dapat menggambarkan wajah orang."
"Ben je zo dom, Aji? (begitu bodohkah kamu, Aji?)" saking jengkelnya, Karen sampai lupa dan berkata dalam bahasa Belanda. "Hee, apa... apa yang kau katakan itu, Karen?"
"Oh, anu, Aji. Aku tidak minta engkau menggambarkan bagaimana wajah Sulastri. Aku hanya ingin tahu apakah ia cantik?" "Oh, begitu? Kalau tentang cantik, ya, memang ia gadis yang cantik sekali." kata Aji terus terang karena memang dia menganggap bahwa Sulastri adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia baginya.
"Oya? Coba engkau pandang aku, Aji dan katakan, siapa yang lebih cantik antara aku dan Sulastri?"
Aji memandang wajah gadis Belanda itu. Rambut gadis itu berwarna kuning emas berombak dan panjang sampai ke punggung. Alisnya agak gelap warnanya, kehitaman, sepasang matanya berwarna kebiruan dan indah sekali, hidungnya tidak semancung orang Belanda, juga bibirnya memiliki keindahan seperti bibir gadis pribumi. Kulitnya memang putih mulus, akan tetapi juga tidak bule seperti kulit orang Belanda. Gadis berayah Belanda dan beribu Jawa ini memang manis sekali.