Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 26
SETELAH Neneng Salmah pergi, Ki Subali melanjutkan ceritanya tentang anaknya. "Menurut keterangan Anakmas Jatmika, dia bertemu dengan Sulastri yang sedang dikeroyok orang-orang jahat. Anakmas Jatmika membantunya dan berhasil mengalahkan para pengeroyok. Ketika berkenalan, Sulastri sudah tidak ingat lagi akan nama dan masa lalunya. Agar tidak membingungkannya, Anakmas Jatmika lalu memberi nama Listyani dengan panggilan Eulis kepadanya. Akan tetapi kemudian, mereka berdua bertemu dengan Anakmas Aji yang memberitahu Anakmas Jatmika agar mengantarkan Sulastri pulang ke sini. Nah, demikianlah, Anakmas, sampai sekarang Sulastri berada di sini, akan tetapi belum juga ia dapat mengingat masa lalunya."
"Dan siapa Neneng Salmah itu, Paman?" Tanya Muryani.
"Ah, ia bersama ayahnya datang dari Sumedang dan sekarang tinggal bersama kami di sini. Ia akrab dengan Sulastri. Mereka seperti kakak beradik saja. Neneng Salmah itu dahulu menjadi waranggana yang amat terkenal di Sumedang."
Suami isteri itu mengangguk-angguk. "Paman, sebagai kakak seperguruan Sulastri saya merasa prihatin sekali melihat keadaannya. Oleh karena itu, kalau paman mengijinkan, saya akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya dari keadaan hilang ingatan masa lalunya."
Ki Subali dan isterinya gembira sekali mendengar itu. "Ah, sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih. anakmas! Tentu saja kami setuju sekali!"
Sementara itu, Neneng Salmah berlari-lari ke tepi sungai di mana Eulis sedang mandi. Ia telah selesai mencuci pakaian, juga cucian Neneng Salmah telah ia lakukan. "Wah, cucianku sudah kau kerjakan, Eulis?"
"Sudah, hayo mandilah!" kata Eulis sambil menyiramlan air ke arah Neneng Salmah.
Sambil tertawa Neneng Salmah lalu menanggalkan pakaian, hanya bertapih pinjung lalu turun ke dalam air. Sambil mandi ia lalu berkata gembira. "Eulis, Kakangmas Parmadi itu benar-benar kakak seperguruanmu!"
"Hemm, bagaimana engkau bisa begitu yakin?"
"Mereka tadi bercakap-cakap dan aku mendengarkan. Ketahuilah Eulis, Kakangmas Parmadi, Kakangmas Lindu Aji, Kakangmas Jatmika yang kau ceritakan itu, dan engkau sendiri masih saudara-saudara sepeguruan. Guru-guru kalian ada tiga bersaudara. Yang pertama adalah Resi Tejo Wening yang menjadi guru Kakangmas Parmadi, lalu Ki Tejo Langit yang menjadi gurumu dan juga menjadi kakek dari Kakangmas Jatmika, dan yang ketiga adalah Ki Tejo Budi yang menjadi guru Kakangmas Lindu Aji. Mari kita cepat mandi, Eulis, engkau harus cepat pulang menemui Kakangmas Parmadi dan isterinya."
"Akan tetapi aku tidak ingat sama sekali tentang guruku. Wajahnyapun sudah tidak kuingat lagi."
"Eulis, Kakangmas Parmadi sanggup untuk mengobatimu. Mari kita cepat pulang! Siapa tahu dia benar-benar dapat mengembalikan ingatanmu masa lalu itu. Alangkah akan senangnya!"
"Jangan tergesa-gesa! Nanti dhangkalmu (debu yang menempel di kulit) tidak bersih!" Eulis menggoda.
"Ihh! Memangnya dhangkalku berapa tebalnya sih?" mereka tertawa-tawa sambil menyiramkan air. Dua orang gadis itu memang akrab dan rukun sekali, saling menyayang. Setelah mandi, mereka lalu berganti pakaian kering dan pulang. Setibanya di serambi rumah, Ki Subali segera menyambut anaknya dengan berkata.
"Eulis, cepat memberi hormat kepada kakak seperguruanmu Anakmas Parmadi dan isterinya!"
Biarpun tidak ingat siapa gurunya, namun dari keterangan Lindu Aji, Jatmika, dan kini Parmadi yang sudah ia ketahui kesaktiannya yang jelas menguasai Aji Sonya Hasta dan Margopati, Eulis percaya bahwa kenyataan kalau Parmadi adalah kakak seperguruannya agaknya tidak dapat dibantah lagi. Maka dengan senyum malu-malu mengingat akan sikapnya yang keras tadi, iapun menghampiri Parmadi dan Muryani, menyembah dengan merangkap kedua tangan di depan dada, agak membungkuk dan berkata dengan suara lirih.
"Kakangmas Parmadi, Mbakayu Muryani, maafkan sikapku tadi." Muryani segera menghampiri dan merangkulnya.
"Aih, tidak perlu minta maaf. Kesalah pahaman tadi sudah wajar karena kita tidak saling mengenal."
Melihat keramahan Muryani, Eulis merasakan ini dan ia menjadi gembira sekali. "Adi Sulastri, maaf kalau aku memanggilmu Sulastri, diantara kita memang tidak perlu minta maaf. Engkau adalah adik seperguruanku sendiri, karena itu maukah engkau kalau aku berusaha mengobatimu agar engkau sembuh dan dapat mengingat kembali masa lalumu?" Tanya Parmadi sambil tersenyum.
Eulis atau Sulastri merasa heran mengapa hatinya tidak merasa tidak enak atau tidak senang dengan sebutan nama yang asing baginya itu. Padahal, dulu ia tidak suka kalau Jatmika menyebutnya Sulastri. Ada sesuatu dalam suara Parmadi yang menandung wibawa amat kuatnya. Ia tersenyum dan mengangguk.
"Tentu saja aku akan senang sekali kalau dapat mengingat kembali masa laluku, Kakang Parmadi." Ia tidak ragu-ragu menyebut pria itu kakang saja, sebutan akrab seorang adik terhadap kakaknya.
Setelah menikmati sarapan pagi yang dihidangkan oleh Eulis dan Neneng Salmah, Parmadi berkata kepada Eulis. "Adik Sulastri, sudahkah engkau siap untuk membiarkan aku berusaha untuk mengobatimu?"
Eulis tersenyum. "Tentu saja aku siap, kakang. Aku sudah siap sejak tadi karena akupun ingin sekali dapat segera mengingat semua masa laluku itu."
"Justeru itulah pantangannya, adikku. Engkau sudah menguasai Aji Sonya Hasta, tentu sudah tahu bagaimana harus mengosongkan dirimu, bukan? Jangan ada keinginan apapun, harapan apapun kecuali hanya menyerah sepenuhnya lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah karena hanya Gusti Allah yang akan mampu memperbaiki segala macam kerusakan. Engkau bersama aku, disaksikan oleh diajeng Muryani dan Neneng Salmah yang juga pernah mempelajari cara mengosongkan diri dengan penyerahan mutlak, harus berada di dalam ruangan tertutup."
Lalu Parmadi menoleh kepada Ki Subali. "Paman, apakah dapat disediakan sebuah kamar di mana kami berempat dapat berdiam tanpa gangguan dari luar?"
"Oh, ada. anak mas. Eulis, pergunakan kamarmu sendiri. Bukankah kamar kalian berdua cukup luas?" kata Ki Subali.
"Baik, ayah. Mari, Kakang Parmadi, Mbakayu Muryani, dan neneng. Kita ke kamar!"
Mereka berempat lalu memasuki kamar di mana biasanya Eulis dan Neneng Salmah tidur. Sebuah kamar yang cukup luas. Sebelum menutup daun pintu kamar, Parmadi memesan kepada Ki Subali agar jangan ada yang mengganggu mereka yang berada dalam kamar itu dan jangan heran dan kaget kalau Ki Subali dan isterinya mendengar suara alunan seruling dari dalam kamar. Setelah menutup daun pintu, Parmadi dan Muryani duduk bersila di atas sebuah amben (dipan) kayu yang biasa ditiduri Eulis. Parmadi minta kepada mereka untuk menenangkan diri, melepaskan semua ketegangan, membuat diri lahir batin menjadi kosong dan menanti apa yang akan terjadi tanpa penolakan.
"Adi Sulastri, apa saja yang kauterima, rasakan dan terima saja sebagai kekuasaan Gusti Allah dan apapun yang terjadi para dirimu, serahkan sepenuhnya kepadaNya.
"Baik, Kakangmas Parmadi." Mereka berempat duduk dengan tenang dan santai.
Setelah merasakan getaran memenuhi dirinya, dengan gerakan perlahan, matanya terpejam, Parmadi lalu mengambil serulin gading dari ikat pinggangnya, lalu meniup suling itu. Itulah yang oleh Resi Tejo Wening disebut Sunyatmaka (Berjiwa Bebas). Terdengar suara suling yang lembut sekali, lembut mendayu-dayu penuh getaran yang aneh. Biarpun suara suling tidak melagukan tembang tertentu, namun bagi telinga Neneng Salmah terdengar demikian merdu dan indah dan tanpa dikehendakinya lagi, kedua lengannya bergerak-gerak lembut, menari-nari!
Muryani yang sudah terbiasa dengan suara suling yang aneh ini, tanpa disengaja lagi merangkap kedua tangan ke depan dahi dalam sembah dan seluruh dirinya terasa dibawa melayang-layang oleh suara itu. Eulis atau Sulastri juga merasakan getaran hebat. Suara seruling itu seperti menyusup ke dalam dirinya, menjalari seluruh tubuhnya, terasa ada denyutan-denyutan aneh yang mula-mula terasa di kedua telinganya yang mula-mula menangkap suara itu, kemudian perlahan-lahan ke seluruh tubuh, berdenyut-denyut, terutama dikepalanya. Dirinya benar-benar kosong, tidak ada sama sekali ulah hati akal pikiran, yang ada hanya rasa menerima yang membuat dirinya sepeti pintu terbuka yang dapat menerima dengan pekanya.
Tiba-tiba ia merasa seperti ada ledakan-ledakan kecil dikepalanya dan perasaannya menangkap bayangan-bayangan aneh. Ia seolah melihat dirinya disambar anak panah yang menancap dipundak kirinya, terasa nyeri dan perih. Akan tetapi yang membuat ia merasa ngeri adalah ketika ia melihat dirinya terjungkal dan jatuh ke dalam tebing yang amat curam, lalu kepalanya terbentur sesuatu yang keras dan segalanya lalu menjadi gelap! Eulis atau Sulastri terkulai di atas pembaringan dan pingsan!
Pada saat itu, beberapa detik sebelum gadis tu roboh pingsan, suara suling itu tiba-tiba terhenti karena daun pintu kamar itu terbuka keras oleh tenaga dari luar, berbareng dengan terdengarnya jerit Nyi Subali. Karena itu, maka Parmadi terpaksa menghentikan tiupan sulingnya sebelum dapat menyembuhkan Sulastri dengan tuntas. Dia dan Muryani maklum bahwa terjadi sesuatu yang tidak baik. Karena mengira ada bahaya mengancam Ki Subali dan isterinya, apalagi daun pintu terbuka secara kasar dari luar, mereka berdua segera berkelebat cepat sekali keluar dari kamar itu. Mereka melihat Ki Subali dan isterinya berlari masuk ke dalam rumah dan Ki Subali berkata gugup. "Di luar... ada tiga orang..."
Parmadi dan Muryani tidak menunggu keterangan lebih lanjut dan mereka berdua cepat melompat ke luar rumah. Sementara itu, Ki Subali dan Nyi Subali memasuki kamar anaknya. Mereka melihat Sulastri terkulai dan dirangkul oleh Neneng Salmah yang mengguncang-guncang pundak Sulastri dan mencoba menyadarkannya dengan memanggil-manggil namanya.
"Eulis...! Eulis...! Sadarlah, bangunlah...!" Nyi Subali merangkul puterinya dan menangis.
"Anakku...! Eulis... engkau kenapa, nak?"
Neneng Salmah bertanya kepada Ki Subali setelah menyerahkan Eulis dalam rangkulan Nyi Subali. "Paman. apa yang telah terjadi?"
"Di luar, ada tiga orang yang dengan kasar minta agar aku menyerahkan engkau kepada mereka, Neneng." kata Ki Subali.
"Mereka tadi yang menyebabkan pintu-pintu dalam rumah ini terbuka semua, mungkin dengan ilmu sihir mereka!"
Mendengar ini, Neneng Salmah terkejut. "Dan di mana Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani?"
"Mereka berdua keluar untuk menghadapi tiga orang itu."
Mendengar ini Neneng Salmah cepat berlari keluar untuk melihat siapa tiga orang yang minta agar Ki Subali menyerahkan dirinya kepada mereka. Sementara itu, Parmadi dan Muryani sudah tiba di luar rumah. Mereka melihat ada tiga orang berdiri di pekarangan, di depan serambi rumah. Mereka cepat keluar dari serambi dan menghampiri tiga orang itu. Mereka itu adalah seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian seperti seorang bangsawan, pesolek dan mewah, tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya tampan, namun sikapnya congkak sekali.
Dia berdiri bertolak pinggang dengan kedua kaki terpentang. Di samping kanannya berdiri dua orang kakek. Yang seorang berusia sekitar enam puluh tujuh tahun, kepalanya kecil botak, sedikit rambut di sisi keriting dan berwarna dua. Mukanya licin tanpa kumis atau jenggot, hidungnya pesek mulutnya kecil. Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan tangan kanan memegang sebatang tongkat ular kobra. Adapun kakek yang ke dua berusia kurang lebih enam puluh tahun, tubuh yang juga tinggi kurus itu agak bungkuk dan punggungnya berpunuk, mukanya seperti muka kuda, matanya sipit.
Pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung. Lengannya juga mengenakan akar bahar dan jari-jari tangannya penuh cincin-cincin bermata akik yang besar-besar. Kakek inipun memegang sebatang tongkat dari seekor ular kering. Dua orang kakek aneh ini memiliki sinar mata yang tajam dan berpengaruh sekali. Melihat dua orang kakek ini, Parmadi dan Muryani terkejut dan segera mengenal mereka. Kakek pertama yang berkepala botak itu adalah Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten. Adapun kakek kedua yang bermuka kuda itu adalah Aki Somad, pertapa dari Nusakambangan. Kedua orang ini dikenal suami isteri itu sebagai tokoh-tokoh yang beberapa tahun lalu membantu Madura dan Surabaya.
Setelah Madura, Surabaya dan Giri ditundukkan Mataram, mereka berhasil lolos. Parmadi tahu benar bahwa dua orang datuk ini adalah orang-orang yang membenci Mataram. Akan tetapi suami isteri itu tidak mengenal orang muda berpakaian bangsawan itu. "Hemm. kiranya Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad yang datang! Apakah yang andika berdua kehendaki datang berkunjung ke rumah orang tanpa sopan santun?" Parmadi menegur, walaupun suaranya lembut.
Dua orang datuk itu juga merasa terkejut bukan main ketika mereka mengenal Parmadi dan Muryani, dua orang yang beberapa tahun yang lalu membantu Mataram dalam perang melawan Madura, Surabaya dan Giri. Mereka juga maklum bahwa Parmadi merupakan seorang yang sakti mandraguna dan Muryani, walaupun tidak setinggi suaminya kepandaiannya, namun merupakan lawan yang cukup berbahaya. Akan tetapi karena mereka datang berdua, bahkan masih ditemani pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Banten, Raden Jaka Bintara yang juga murid Kyai Sidhi Kawasa, maka berbesar hati dan tidak menjadi gentar.
"Oho!" kata Kyai Sidhi Kawasa dan berkata dengan suaranya yang lembut. "Adi Somad, tentu andika masih mengenal orang-orang Mataram ini, bukan?"
"Heh-heh, tentu saja, Kakang Sidhi Kawasa. mereka adalah musuh kita. Kalau tidak salah ingat, namanya Parmadi dan yang perempuan ini... eh... siapa lagi namanya..."
"Muryani, namanya Muryani." kata Kyai Sidhi Kawasa. Kemudian dia berkata kepada suami isteri itu. "Kalian disini? Kebetulan sekali, ada kesempatan bagi kami untuk membalas dendam. Akan tetapi karena sekarang tidak ada perang lagi, dan kami tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, kami dapat memaafkan dan melepaskan kalian kalau kalian cepat menyuruh Neneng Salmah keluar dan menemui kami!"
"Tidak semudah itu, Kyai Sidhi Kawasa! Apa urusannya maka andika menghendaki agar Neneng Salmah keluar menemuimu?"
Tiba-tiba Jaka Bintara membentaknya, "Tidak perlu andika mencampuri urusan pribadi kami!" Jaka Bintara ini memang berwatak sombong. Mungkin karena dia merasa sebagai seorang pangeran yang biasanya ditaati semua orang. Selain itu, dia sama sekali tidak mengenal nama Parmadi dan Muryani sehingga tentu saja memandang rendah seperti yang biasa dia lakukan. Apalagi saat itu dia ditemani dua orang datuk sakti mandraguna, maka ketinggian hatinya meningkat.
Tiba-tiba Neneng Salmah muncul dari pintu dan melihat Pangeran Jaka Bintara, ia keluar dari serambi dan langsung menudingkan telunjuknya kepada pangeran dari Banten itu. "Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani, inilah Pangeran Jaka Bintara dari Banten yang jahat dan dulu pernah menculikku di Sumedang!"
Kiranya ketika dulu Neneng Salmah berhasil lolos dari Sumedang bersama ayahnya dan dikawal Lindu Aji, Jaka Bintara tidak terima dan bersama Kyai Sidhi Kawasa lalu melakukan penyelidikan. Akhirnya mereka dapat mendengar bahwa gadis itu telah melarikan diri dengan kereta dikawal oleh Lindu Aji. Mereka mencari kusir kereta dan memaksa dia mengaku kemana gadis ledek yang membuat pangeran dari Sumedang itu tergila-gila pergi. Si kusir takut akan ancaman dan mengaku bahwa Neneng Salmah bersama ayahnya kini tinggal di rumah Ki Subali di Dermayu. Jaka Bintara yang sudah tergila-gila dan merasa penasaran kalau belum mendapatkan diri Neneng Salmah, membujuk gurunya untuk menyusul ke Dermayu.
Namun Kyai Sidhi Kawasa agak gentar menghadapi Lindu Aji yang diperkirakan melindungi gadis itu, maka dia lalu mencari Aki Somad untuk diajak menemani mereka. Demikianlah, tiga orang itu akhirnya tiba di rumah Ki Subali, sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan bertemu dengan Parmadi dan Muryani, musuh lama mereka. Mendengar teriakan Neneng, Raden Jaka Bintara memandang. Begitu melihat gadis yang denok ayu itu, dia girang sekali dan segera dia menghampiri dengan langkah lebar sambil tersenyum.
"Aduh, jantung hatiku, betapa rinduku kepadamu! Marilah ikut denganku, kuboyong engkau ke Banten dan hidup bahagia denganku di sana, cah ayu!" Setelah berkata demikian, dia menubruk hendak merangkul. "Ehh??" Jaka Bintara terkejut karena dengan lincahnya Neneng Salmah mengelak dan sudah terhindar dari tubrukannya. Dia cepat menubruk lagi ke kanan, kini bergerak cepat agar gadis itu tidak dapat meloloskan diri. Akan tetapi kembali dia kecelik karena gadis itu sekali lagi dapat mengelak dengan gerakan lincah dan ringan. Gerakannya indah seperti kalau sedang menari, namun lincah sekali, bahkan ketika Jaka Bintara menubruk untuk ketiga kalinya, Neneng Salmah tidak hanya mampu mengelak, bahkan tangan kirinya menampar dan mengenai pipi laki-laki itu.
"Plakk...!" Sayang bahwa Neneng Salmah hanya baru menguasai kelincahan gerak silat Sonya Hasta, belum menguasai pengerahan tenaga saktinya sehingga tamparannya tidak terasa terlalu keras bagi Jaka Bintara yang memiliki tubuh yang kuat. Namun hal ini cukup mengejutkan Jaka Bintara disamping rasa penasaran. Maka dia lalu berusaha sekuatnya untuk menangkap dan meringkus gadis itu. Tentu saja menghadapi serangan Jaka Bintara yang digdaya itu Neneng Salmah mulai terdesak hebat. Ilmu silat yang dipelajarinya dari Eulis belum terlatih baik sehingga ia hanya mampu bergerak cepat kesana-sini untuk menghindarkan diri dari jangkauan kedua tangan pangeran dari Banten itu.
Sementara itu, tanpa banyak cakap lagi Kyai Sidhi Kawasa sudah menggerakkan tongkat ular kobranya untuk menyerang Parmadi dan Aki Somad juga sudah menggerakkan tongkat ular keringnya untuk menyerang Muryani. Parmadi sudah mencabut seruling gadingnya dan menyambut serangan. Muryani sudah mengerahkan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya dapat bergerak seperti seekor burung walet dan dengan tangan kosong ia menyambut serangan Aki Somad. Terjadilah pertandingan yang amat seru antara suami isteri melawan dua orang datuk itu.
Nyi Subali masih merangkul puterinya dan menangis sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu. "Eulis... Eulis... sadarlah, anakku...!" Ibu itu menangis dan air matanya menetes, membasahi muka Eulis.
Sebetulnya, kalu saja tiupan seruling gading tadi tidak terganggu, tentu ia kini telah sembuh dan sadar sepenuhnya. Akan tetapi gangguan munculnya tiga orang yang menyerang ke dalam membuka pintu-pintu membuat tiupan seruling gading terhenti dan gadis itu jatuh pingsan. Kini, agaknya tetesan air mata ibunya ditambah seruan suara ibunya memanggil-manggilnya, agaknya menyadarkan Eulis dari pingsannya. Ia membuka kedua matanya dan seperti orang terkejut ia bangkit duduk. Nyi Subali dan Ki Subali menjadi girang.
"Eulis...!" Nyi Subali merangkul.
"Eulis, bagaimana perasaanmu? baik-baik saja, bukan?" Tanya si ayah.
"Eulis...?" Gadis itu berkata heran. "Oh... ya benar, belakangan ini aku diberi nama Eulis... oleh kakangmas Jatmika... ahh... aku ingat semua sekarang... bapa... ibu... aku ingat semua sekarang!" ia memandang ke kanan kiri. "Eh, di mana Kakangmas Parmadi, Mbakayu muryani dan Neneng?"
Tiba-tiba ia mendengar berdencingnya senjata beradu di luar rumah. "Apa itu? Siapa yang berkelahi?"
Nyi Subali merasa girang bukan main. "Sulastri...! Akhirnya engkau mendapatkan kembali ingatanmu!"
"Lastri, Anakmas Parmadi bersama isterinya dan Neneng Salmah berada di luar menghadapi tiga orang yang aneh dan kelihatannya tidak berniat baik terhadap Neneng..."
"Apa?" Sulastri yang sudah mendapatkan kembali ingatannya itu melompat turun dari atas pembaringan dan cepat ia mengambil pedang pusakanya, yaitu Pedang Naga Wilis yang dulu oleh Lindu Aji dikembalikan kepada Ki Subali dan ketika Sulastri pulang, Ki Subali menyerahkan pedang pusaka itu kepada anaknya. Sulastri senang memilikinya dan merasa cocok walaupun ia tidak ingat lagi akan pedang pusakanya itu. Dengan pedang pusaka Naga Wilis terhunus di tangan, Sulastri melompat dan tubuhnya berkelebat cepat keluar dari rumah.
Ki Subali dan Nyi Subali dengan khawatir mengikuti keluar rumah. Setelah tiba di pekarangan ia melihat Parmadi sedang bertanding melawan seorang kakek kurus botak yang tidak dikenalnya. Akan tetapi ketika ia melihat kakek yang dilawan Muryani, ia segera mengenal kakek bungkuk berpunuk itu yang bukan lain adalah Aki Somad yang dulu pernah memusuhi pamannya, yaitu Ki Sumali yang tinggal di Loano. Ketika itu Aki Somad kewalahan melawan Lindu Aji dan sekarang kakek itu melawan Muryani yang memiliki ilmu silat yang amat ganas.
Melihat ini, ia hendak membantu Muryani, akan tetapi ketika menoleh ia melihat Neneng Salmah sedang kewalahan didesak oleh seorang laki-laki berpakaian bangsawan yang gagah. Jaka Bintara semakin penasaran karena belum juga mampu meringkus gadis yang membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi setelah tahu bahwa Neneng Salmah hanya pandai mengelak saja akan tetapi tenaganya lemah, dia merasa yakin bahwa sebentar lagi dia akan mampu mendekap dan memondong tubuh yang denok itu.
"Neneng Salmah, manisku, mari biarkan dirimu kupondong. Aku rindu sekali padamu, sayang." katanya sambil menubruk lagi. Neneng Salmah mengelak, akan tetapi ujung bajunya dapat tertangkap. "Bretttt...!" Baju itu robek dan Neneng Salmah menjerit, Jaka Bintara tertawa bergelak.
"Wuuutttt... dessss...!" Jaka Bintara cepat menangkis datangnya tamparan itu, akan tetapi dia terpaksa membuang diri ke belakang dan bergulingan karena tamparan yang ditangkisnya itu ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali. Ketika dia melompat bangun dia sudah berhadapan dengan seorang gadis yang cantik jelita, akan tetapi sepasang matanya mencorong marah dan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang bersinar kehijauan!
Melihat bahwa penyerangnya hanya seorang gadis cantik, watak Jaka Bintara yang congkak itu muncul lagi. Dia tersenyum dan memandang dengan mata nakal. "Aih, manis, apakah engkau hendak menemani Neneng Salmah ikut bersenang-senang dengan aku ke Banten? Mari-mari...!"
"Eulis, inilah jahanam pangeran dari Banten itu!" Neneng Salmah berseru.
"Neneng, aku sekarang bernama Sulastri, aku sudah ingat semuanya. Jangan khawatir, aku yang akan membasmi jahanam busuk ini!"
Setelah berkata demikian, Sulastri sudah menerjang dengan cepat sekali. Tampak gulungan sinar hijau mnyambar-nyambar ke arah tubuh Raden Jaka Bintara, pangeran dari Banten itu. Jaka Bintara terkejut bukan main. Akan tetapi dia masih memandang ringan. Sambil mengelak ke sana-sini diam-diam dia mengerahkan Aji Hastanala dan sambil melompat ke samping untuk mengelak sambaran sinar hijau, dia mendorong dengan tangan kanan, menggunakan Aji Hastanala (Tangan Api) yang ampuh dan mengeluarkan hawa panas itu.
Akan tetapi Sulastri menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kirinya menggunakan Aji Margopati (Jalan Maut). "Wuuuutttt... dessss...!!" Jaka Bintara terdorong ke belakang. Keduanya maklum akan ketangguhan lawan.
Jaka Bintara kini tidak berani memandang ringan lagi dan dia sudah mencabut pedangnya. Begitu dia memutar pedang itu, tampak sinar kehitaman bergulung-gulung. sulastri juga tidak mau membuang waktu lagi. "Haaiiitttt... singgggg...!" Sinar hijau berkelebat dan ia sudah menggerakkan pedangnya menyerang. Jaka Bintara juga menggerakkan pedangnya menangkis. sinar hitam berkelebat menyambut sambaran sinar hijau. "Singggg ... trangggg!!"
Tampak bunga api berpijar. Dua orang itu cepat melompat ke belakang untuk melihat pedang masing-masing. ternyata pedang mereka tidak rusak. Mereka mejadi hati-hati karena maklum bahwa pedang lawan juga merupakan pedang yang ampuh. Sulastri sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya sehingga kedua orang itu sudah saling serang. Bayangan mereka lenyap terselubung dua gulungan sinar pedang hijau dan hitam. Hanya tampak kaki mereka saja yang berloncatan ke sana-sini.
Sementara itu, pertandingan antara Parmadi dan Kyai Sidhi kawasa juga terjadi seru, Beberapa kali Kyai Sidhi Kawasa mengeluarkan aji-aji kesaktiannya yang hebat seperti Aji Analabanu (Sinar Api), Aji Hastanala (Tangan Api) dan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Namun semua itu dapat ditandingi Parmadi. Bahkan permainan tongkat ular kobra yang amat dahsyat itu setelah bertemu dengan gerakan seruling gading yang lembut, menjadi hilang daya serangnya. Mulailah Kyai Sidhi Kawasa terdesak mundur. Juga Aki Somad mengalami kesukaran untuk mendesak Muryani. Ketika pertapa dari Nusakambangan ini menggunakan Aji Tapak Geni, kedua telapak tangan mengeluarkan uap panas dan ia menyerang dengan kedua telapak tangan itu sambil berseru. "Aji Tapak Geni..." telapak tangannya bernyala!
Namun Muryani tidak menjadi gentar. Ia memiliki aji yang serupa ia menyambut serangan lawan itu dengan teriakan nyaring. "Aji Brama Latu!"
"Wuuuutttt... blaaaarrrrr...!" Dua tenaga yang sama-sama mengandung hawa panas itu bertemu di udara dan akibatnya, baik Aki Somad maupun Muryani terdorong ke belakang dan menahan pernapasan untuk mengerahkan tenaga menguasai tubuhnya yang terasa panas seperti dibakar. Namun keduanya tidak terluka. Aki Somad menjadi penasaran dan marah, lalu menggerakkan ular kering yang menjadi senjata tongkat untuk menyerang.
Muryani memang tidak suka mempergunakan senjata, namun dari mendiang Nyi Rukma Petak ia memperoleh ilmu-ilmu yang hebat. Aji Wiso Sarpo membuat dua telapak tangannya mengandung bisa ular yang amat berbahaya, dan pukulan jarak jauh dengan Aji Gelap Sewu juga dahsyat sekali. Ilmu-ilmu pukulan ini bahkan lebih berbahaya dari senjata apapun, dan kedua tangannya juga tidak takut menangkis tongkat ular kering yang beracun itu.
Dua orang datuk itu mulai khawatir, apalagi melihat betapa Pangeran Jaka Bintara agaknya juga kewalahan menghadapi sepak terjang Sulastri yang mengamuk dengan pedang pusaka Naga Wilis. "Kyai Sidhi Kawasa, bantu aku...!" Aki Somad berkata kepada kawannya sambil melompat ke belakang. Kemudian, dibantu oleh Kyai Sidhi Kawasa yang juga mengerahkan ilmu sihirnya, Aki Somad mengerahkan Aji Gineng Soka Weda. Tiba-tiba udara menjadi gelap diliputi halimun tebal. Jaka Bintara yang sudah terdesak menggunakan kesempatan ini untuk mundur dan berdiri di dekat dua orang datuk itu.
Dari kegelapan itu terdengar bermacam suara yang menyeramkan, ada suara menggereng, merintih, tertawa dan sebagainya. Menyeramkan, seperti suara setan-setan gentayangan dan muncullah berbagai macam bentuk mengerikan. tengkorak-tengkorak, ada pula kepala banaspati yang mulutnya menyemburkan api. Bahkan Muryani dan Sulastri, dua orang wanita sakti itu merasa seram dan cepat mereka mendekati Parmadi. Parmadi lalu meniup seruling gading. Suara seruling melengking dan mendayu-dayu.
Pemandangan yang menyeramkan itu, tengkorak, kepala setan dan lain-lain itu seperti terpental dan terserang oleh suara seruling yang melengking. Gerengan-gerengan, tawa dan suara-suara mengerikan itupun berubah menjadi suara tangis dan ketakutan, makin lama semakin perlahan dan semua pemandangan aneh itupun menjadi kabur. Juga perlahan-lahan kabut yang menggelapkan sekitar pekarangan itu menipis dan akhirnya hilang. Akan tetapi ketika Muryani, Sulastri, Neneng Salmah, juga Ki Subali dan isterinya yang muncul di ambang pintu dengan ketakutan memandang, ternyata ketiga orang tadi sudah hilang. Agaknya mereka merasa kewalahan dan menggunakan kesempatan dalam kegelapan itu untuk melarikan diri meninggalkan pekarangan rumah Ki Subali.
Parmadi menghentikan tiupan serulingnya, menghela napas dan berkata, "Sungguh jahat dan berbahaya mereka itu. sekarang sudah aman, mereka sudah pergi..."
Nyi Subali menghampiri Sulastri dan merangkul anaknya. "Sulastri, engkau sudah waras, ingatanmu sudah pulih sekarang! Terima kasih kepada Gusti Allah!"
Sulastri balas merangkul ibunya dan merasa berbahagia sekali, lalu menoleh kepada Parmadi dan berkata. "Ibu, kita harus berterima kasih kepada Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani, Kakangmas Parmadi yang telah memulihkan ingatanku dengan seruling gadingnya!"
"Engkau keliru, Adi Sulastri dan ibumulah yang benar. Kita harus berterima kasih kepada Gusti Allah karena sesungguhnya, sang Maha Penyembuh itu hanya Gusti Allah! Gusti Allah yang menyembuhkanmu, dengan peantaraan aku dan serulingku." kata Parmadi.
"Akan tetapi kalau aku harus berterima kasih kepadamu, Kakangmas Parmadi, Mbakayu muryani dan eulis... eh, Sulastri. Karena kalau tidak ada andika bertiga yang mengusir tiga orang jahat tadi, entah bagaimana dengan nasibku. Aku pasti telah mereka tawan dan bawa pergi." kata Neneng Salmah dengan terharu.
"Sama saja, Neneng." kata Muryani. "Engkaupun wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah yang sudah mengatur sedemikian rupa sehingga ketika hal itu terjadi, kebetulan sekali kami berdua berada di sini dan Sulastri sudah sembuh."
Pada saat itu, Ki Salmun datang berlarian. ketika dia sedang bekerja di ladang, dia mendengar dari seorang tetangga bahwa di pekarangan rumah Ki Subali terjadi perkelahian. Dia cepat pulang dan mendapatkan Ki Subali sekeluarga dan dua orang tamunya sedang bercakap-cakap di serambi rumah. Dia segera mendengar semua yang telah terjadi dari Neneng Salmah dan kini Ki Salmun merasa lega puterinya terlepas dari ancaman bahaya, bahkan juga Sulastri telah sembuh dan pulih ingatannya!
"Mari kita semua masuk dan bicara di dalam. Lastri, Neneng, cepat membuat hidangan untuk menghormti kedua orang tamu kita. sembelih dua ekor ayam!" perintah Ki subali dengan gembiara. mereka semua masuk kedalam dan dua orang gadis itu dengan gembira. mereka segera sibuk di dalam dapur, akan tetapi Neneng Salmah melihat Sulastri terkadang seperti orang melamun, terkadang mengerutkan alisnya seperti orang murung.
"Hei, Lastri, kenapa engkau melamun saja?" Neneng Salmah menepuk pundaknya menggoda. Sulastri menggeleng kepala lalu mencubit lengan Neneng Salmah.
"Ih, cerewet amat sih kamu! Nanti saja kita ngomong-ngomong, sekarang bukan waktunya ngobrol, pekerjaan banyak. Hayo cepat sembelih dua ekor ayam itu!"
Neneng Salmah bergidik. "Wah, aku tidak tega, Lastri. selama hidup belum pernah aku menyembelih ayam. Biasanya yang melakukan itu adalah bapaku. Aku mana berani?"
Sulastri tertawa. "Heh-heh, engkau tidak menyadari bahwa kini engkau bukan Neneng Salmah sang waranggana yang lemah gemulai lagi! Engkau bahkan dapat membela diri dari serangan pangeran banten yang cukup digdaya tadi."
"Wah, orang jahat itu!" dengus Neneng, akan tetapi segera disambungnya sambil tertawa. "Nah, sekarang engkau malah yang memperpanjang obrolan. Hayo kerja, engkau yang memotong ayam, aku nanti yang membersihkannya. Sekarang aku memasak air, mengupas terong dan memotong sayur dan menyiapkan bumbu!"
Dua orang gadis itu segera sibuk bekerja. akan tetapi diam-diam perasaan Sulastri mengalami goncangan hebat. Seolah ia teringat akan semua masa lalunya, banyak hal yang membuat ia merasa risau, gelisah, duka, dan bingung. Pertama tentu saja kedukaan teringat bahwa Ki Ageng Pasisiran, kakek yang menjadi gurunya dan amat ia hormati dan kasihi itu, telah tewas terbunuh orang. Tadinya sebelum ia teringat, mendengar hal itu ia hanya merasa kasihan saja.
Akan tetapi sekarang ia ingat akan keadaan gurunya, wajahnya, wejangan-wejangannya, dan hubungan akrab antara mereka sebagai guru dan murid, sehingga ia merasa berduka dan juga marah sekali kepada Hasanudin seorang murid pula dari Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit, yang baru satu kali pernah dijumpainya, dan kepada Raden Banuseta yang katanya dia yang membawa pasukan Kumpeni dan melakukan penyerbuan ke rumah Ki Ageng Pasisiran dan menyebabkan tewasnya Ki Ageng Pasisiran dan puteranya Ki Sudrajat.
Dia juga teringat kepada Jatmika, putera Ki Sudrajat, yang menyatakan cinta kepadanya. Teringat kepada pemuda ini, ia menjadi bingung.Lalu ia teringat kepada Lindu Aji! Jantungnya berdebar ketika teringat kepada pemuda yang sejak remaja menjadi sahabat yang dekat dengannya, teringat betapa kini pemuda itu telah menjadi seorang yang sakti mandraguna dan masih ada ikatan saudara seperguruan dengannya karena Lindu Aji menjadi murid Ki Tejo Budi yang menjadi adik seperguruan Ki Tejo Langit.
Namun begitu ia teringat akan pengakuan Neneng Salmah betapa gadis yang disayangnya seperti saudara sendiri itu jatuh cinta kepada Lindu Aji! Ia menjadi gelisah, duka, penasaran, dan bingung. Akan tetapi semua itu dipendamnya dalam hati dan ia menyibukkan diri dengan pekerjaan dapur. Ki Subali dan isterinya, Ki Salmun dan Neneng Salmah dengan sangat membujuk Parmadi dan Muryani agar menginap di rumah mereka. tadinya suami isteri itu hendak melanjutkan perjalanan mereka, akan tetapi karena pihak tuan rumah sekeluarga menahan mereka dengan berbagai bujukan, akhirnya mereka mangalah juga dan bersedia menginap semalam di rumah itu.
Ki Subali menyerahkan kamarnya kepada mereka. Dia sendiri tidur bersama Ki Salmun, dan Nyi Subali mengungsi tidur di kamar Sulastri dan Neneng Salmah. Malam itu sehabis makan, mereka semua bercakap-cakap di ruangan dalam. Banyak sekali cerita tentang pangeran dari Banten yang tadi datang bersama dua orang datuk. Neneng Salmah menceritakan asal mula pertemuannya dengan Raden Jaka Bintara di Sumedang dan betapa ia diculik oleh pangeran itu akan tetapi diselamatkan oleh Lindu Aji dan disuruh melarikan diri, mengungsi ke Dermayu, dan kini mondok di rumah Ki Subali. Sulastri juga "ditanggap", yaitu dihujani banyak pertanyaan tentang pengalamannya.
Sulastri juga banyak bercerita tentang perjalanannya bersama Lindu Aji, pengalamannya melawan para mata-mata Kumpeni Belanda sampai ia terjatuh ke bawah tebing yang curam. Kemudian pengalamannya bersama Jatmika. Semua orang merasa kagum akan semua pengalaman yang aneh, berbahaya dan hebat dari gadis perkasa itu. "Sekarang kami harap agar Kakang Parmadi suka menceritakan riwayat kalian berdua sehingga sampai tiba di sini." kata Sulastri.
Parmadi menghela nafas. "Kami sebetulnya tidak sengaja ke dermayu. Akan tetapi ternyata beginilah jadinya dan ini sudah diatur oleh kekuasaan Gusti allah sehingga kami dapat bertemu denganmu, Adi Sulastri. Kami tinggal di kadipaten Pasuruan dan kami berdua mendengar bahwa Gusti sultan Agung sudah mengadakan persiapan untuk mengirim bala tentara, hendak menyerang Kumpeni Belanda di Jayakarta lagi sebagai penyerangan kedua. Karena penyerangan kedua inipun agaknya menghadapi pertahanan Belanda yang amat kuat, maka kami berdua mengambil keputusan untuk membantu Mataram. Akan tetapi kami tidak masuk menjadi perajurit dan ingin membantu secara sukarela, maka kami mendahului pasukan Mataram. Kami menuju ke Jayakarta atau Batavia dan hari ini kebetulan sekali kami lewat di dermayu ini dan bertemu dengan Adi Sulastri."
"Jadi Anakmas Parmadi sekarang hendak pergi ke Batavia untuk ikut berjuang melawan Kumpeni?" Tanya Ki Subali.
"Hemm, aku ingat sekarang! Aki Somad tadi, kakek bungkuk berpunuk yang ikut datang menyerang ke sini, adalah seorang antek Kumpeni Belanda pula! Ketika melakukan perjalanan bersama Mas Aji... eh, maksudku Lindu Aji, aku biasa menyebutnya Mas Aji. Ketika itu Aki Somad bersama Ki Harya Baka Wulung, Nyi Maya Dewi dan juga Banuseta yang ternyata telah membunuh Eyang Guru Tejo Langit!"
Muryani berkata marah. "Mereka itu memang orang-orang jahat yang menjadi antek Kumpeni Belanda dan yang pantas kita basmi!" Parmadi menyambung ucapan isterinya. "Setelah mendengar akan kematian Paman Guru Ki Tejolangit dan puteranya di tangan Banuseta yang dibantu oleh Hasanudin, maka kami berdua juga ingin mencari mereka yang telah menjadi antek Kumpeni untuk membasmi mereka. Kami akan melanjutkan perjalanan ke Jayakarta besok pagi, paman." kata Parmadi kepada Ki Subali.
"Bagus! memang telah menjadi kewajiban bagi setiap orang kawula untuk membela Negara dan bangsa yang terancam oleh siapa saja, terutama oleh bangsa lain! kata Ki Subali dan Ki Salmun juga mengangguk angguk membenarkan. Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Parmadi dan Muryani meninggalkan rumah keluarga Ki Subali untuk melanjutkan perjalanan mereka, diantar oleh seluruh anggota keluarga itu sampai ke depan pintu pekarangan.
Semenjak mendapatkan ingatannya tentang masa lalunya, Sulastri banyak melamun. Hal ini terutama sekali diketahui benar oleh Neneng Salmah yang setiap hari hampir selalu berdekatan dengannya, bahkan setiap malam tidur sekamar. Akan tetapi kalau ditanya dan didesak, Sulastri hanya menggeleng kepalanya dan menjawab bahwa ia baik-baik saja dan tidak ada apa-apa. Atau ia sering menggunakan alasan bahwa kematian Ki Tejo Langit yang membuat ia sering melamun dan berduka. Padahal bukan hanya itu yang membuatnya gelisah, melainkan terutama sekali kalau ia teringat kepada Lindu Aji dan Jatmika! Pada suatu malam, Neneng Salmah yang merasa rindu kepada Lindu aji, mengungkapkan perasaan hatinya kepada Sulastri.
"Lastri, dimana ya kira-kira sekarang ini Kakangmas Lindu Aji?" Mereka berdua sudah rebah di tempat tidur masing-masing yang berjajar di kamar itu. mendengar pertanyaan ini, Sulastri lalu miringkan tubuhnya menghadap ke arah Neneng.
"Ah, maksudmu Mas Aji? Agaknya engkau sudah rindu sekali padanya, ya?" Neneng tersipu. Ia tersenyum dengan kedua pipi berubah kemerahan. Sulastri harus mengaku dalam hatinya betapa ayu manis bekas waranggana dari Sumedang ini. Tidaklah mengherankan kalau Mas Aji jatuh cinta padanya, pikirnya.
"Ah, Lastri... aku hanya teringat kepadanya. Sudah agak lama kami saling berpisah"
Sulastri bangkit lalu duduk bersila, menghadap ke arah Neneng. "Neng, akuilah terus terang. Kita sudah seperti saudara, bukan? Ingat, aku mengenal baik Mas Aji... sudah... seperti saudara sendiri, bahkan dia adalah masih saudara seperguruanku. Katakanlah engkau benar-benar mencinta Mas Aji?"
Neneng Salmah juga bangkit dan duduk menghadapi Sulastri. Matanya yang indah kini menatap wajah Sulastri dan biarpun tampak malu-malu, namun wajahnya berseri dan sinar matanya cerah. "Lastri, aku pernah mengaku kepadamu bahwa aku sungguh amat mencinta Kakangmas Lindu Aji. Aku mencintanya, aku memujanya, aku mengaguminya. Kalau saja dia sudi menerima, aku mau menjadi hambanya, menjadi budaknya, untuk mencucikan pakaiannya, memasakkan makanannya. Aku... aku memujanya, Lastri, aku ingin selalu dekat dengannya, selalu melayaninya, aku ingin membahagiakannya, aku... ah, aku... akan tetapi aku seorang gadis hina, hanya seorang ledek dan dia... ah, dia seorang pendekar, seorang ksatria, seorang pahlawan, aku begini rendah dan dia begitu tinggi..."
Gadis itu menggunakan punggung tangannya untuk menyeka beberapa butir air mata yang menuruni pipinya. Sulastri merasa hatinya seperti diremas. Ia juga mencinta Lindu Aji. Hal ini sekarang teringat olehnya. Sejak dulu sejak remaja, ia telah jatuh hati kepada Lindu Aji. Akan tetapi sekarang, mendengar pengakuan Neneng Salmah yang mencinta Aji sedemikian rupa, ia menjadi terharu dan juga menjadi gelisah dan bingung. Ia tidak dapat marah kepada Neneng, tidak dapat cemburu kepadanya. Ia terlalu menyayang gadis itu. Dan ia yakin benar gadis yang hebat, baik budi pekertinya, bijaksana, cantik jelita, lemah lembut.
Seorang gadis pilihan, seorang seniwati tulen. Sudah sepantasnyalah kalau gadis sehebat ini menjadi calon isteri Lindu Aji! Akan tetapi Sulastri merasa hatinya tertusuk, pedih dan perih yang membuatnya hampir menjerit menangis. Akan tetapi ditahannya dan untung baginya bahwa sinar lampu di atas meja itu tidak cukup terang sehingga wajahnya yang berubah pucat itu tidak tampak oleh Neneng Salmah.
"Hemm, jangan berkata begitu, Neng. Mas Aji adalah seorang yang bijaksana, tidak mungkin dia memandang rendah pekerjaanmu. Memang banyak waranggana yang tersesat dan menyeleweng daripada pekerjaannya sebagai seorang seniwati. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang bersusila dan berbudi. Dan aku yakin mas Aji juga mengetahuinya."
Neneng Salmah menghela napas panjang. "Mudah-mudahan apa yang kau katakan itu benar, Lastri." Neneng lalu merebahkan diri kembali dan kini ialah yang melamun, melamunkan betapa akan bahagianya kalau pendapat Sulastri itu kelak menjadi kenyataan.
Kini Sulastri juga merebahkan diri telentang dan melamun lagi. Kini ia melamunkan kenangannya ketika melakukan perjalanan bersama Lindu Aji. Pengalaman dan bahaya yang mereka hadapi bersama. Betapa pemuda itu membela dan melindunginya mati-matian. Juga kalau kini ia kenang kembali, ia dapat menangkap gerak-gerik pemuda itu, pandang matanya, senyumnya, kelembutan kata-katanya, semua itu membayangkan bahwa pemuda itu menyayanginya, mencintainya! Dan ia sendiri... ia harus mengaku dalam hatinya bahwa ia juga amat tertarik, kagum dan sayang kepada pemuda itu. Ia tahu bahwa ia jatuh cinta kepda Lindu Aji.
Mereka saling mencinta, walaupun tidak pernah terucapkan dalam kata-kata. Semakin perih rasa hatinya kalau ia mengingat akan hal ini dan cepat-cepat ia mengalihkan perhatiannya dan lamunannya untuk mengenang Jatmika. Jatmika sudah jelas mencintanya, bahkan pemuda itu yang juga masih terhitung saudara sepeguruannya itu terang-terangan menyatakan cintanya dan hendak melamarnya kalau tugasnya sudah selesai! Jatmika juga seperti Lindu Aji, membela dan melindunginya dengan taruhan nyawa! Akan tetapi ketika ia mengamati hati sendiri, ia hanya mempunyai perasaan kagum dan suka kepada Jatmika. Ia tidak yakin apakah ia juga mencinta Jatmika.
Neneng Salmah sudah tidur pulas. Hal ini diketahui Sulastri dari pernapasannya yang teratur dan panjang. Ia menengok dan tersenyum. Ia melihat gadis itu tidur miring menghadapinya dan tampak mulutnya yang mungil itu tersenyum manis dalam tidurnya. Mungkin ia sedang mimpi bertemu dengan Lindu Aji yang dicinta dan dipujanya! Sulastri mengalihkan lagi renungannya. Bermunculan bayangan-bayangan itu. Terbunuhnya Ki Ageng Pasisiran! Lalu terbayang wajah para pembunuhnya.
Hasanudin yang pernah dijumpainya di pondok gurunya. Dan wajah Banuseta yang pernah dilihatnya ketika ia dan Lindu Aji menjadi tawanan Nyi Maya Dewi dan teman-temannya. Kemudian ia teringat kepada Lindu Aji, Jatmika, juga Parmadi dan Muryani. mereka semua pergi untuk mencari para pembunuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, juga mereka hendak membantu Mataram dalam perjuangannya melawan Kumpeni Belanda. Tiba-tiba saja ia menjadi bersemangat dan bangkit duduk. Ia mengerutkan alisnya. mengapa tidak? Bagaikan kilat sebuah gagasan memasuki benaknya. Mengapa ia diam saja? Iapun murid tersayang dari Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit.
Dan semenjak melakukan pejalanan dengan Lindu Aji yang menjadi senopati muda Mataram, berarti iapun sudah menjadi kawula Mataram yang membela Negara dan bangsanya. Ia telah berkali-kali bermusuhan dengan para antek Kumpeni! Mengapa ia tidak ikut seperti mereka, pegi ke barat, membantu gerakan pasukan Mataram yang hendak menyerbu Jayakarta? Dan dalam perjalanan yang searah itu besar sekali kemungkinan ia akan bertemu dengan Lindu Aji, Jatmika, juga dengan Parmadi dan Muryani. Kalau sudah bertemu mereka, terutama bertemu Lindu Aji dan Jatmika, baru ia dapat mengambil keputusan tentang Cinta segi tiga antara Lindu Aji, Neneng Salmah dan ia sendiri!
"Aku harus pergi menyusul mereka, harus membantu Mataram. Harus...!" Ia berbisik dan mengepal tinju membulatkan tekadnya. Akan tetapi, tiba-tiba ia tampak lesu dan kepalan tangannya terbuka lagi. Ia menghela napas panjang berulang kali. Ia teringat kepada ibunya. Ibunya sudah pasti keberatan dan tidak akan mengijinkan kalau berpamit untuk pergi membantu Mataram. Baru saja pulih ingatannya. Baru saja ibunya seolah menemukan ia kembali dan baru beberapa hari saja ia sudah berpamit hendak pergi. Pasti ibunya akan melarangnya dan ia merasa tidak tega kalau membantah ibunya.
Sulastri menjadi bimbang. Akan tetapi tiba-tiba ia memandang kepada Neneng Salmah yang masih tidur pulas dan senyum mengembang di bibirnya, matanya bersinar kembali dan wajahnya menjadi cerah. Ah, di sini ada Neneng, pikirnya dan ia tahu, Neneng adalah seorang gadis yang amat baik dan menyayang ibunya, juga disayang ibunya. Kalau ia pergi, setidaknya di situ ada Neneng yang menemani ibunya! Sulastri mulai berkemas dengan gerakan perlahan agar jangan sampai menggugah Neneng Salmah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, pada saat terdengar keruyuk jago (ayam jantan) menyambut munculnya sinar fajar, seperti biasa Neneng Salmah terbangun dari tidurnya. Ia bangkit duduk, menggeliat, menguap dan mengusir sisa kantuknya, lalu ia bangkit berdiri. Ia menoleh dan melihat pembaringan Sulastri kosong. Ah, rajin benar, sepagi ini sudah keluar kamar, pikirnya sambil tersenyum. Kasihan sibuk sendiri, mungkin sedang memasak air di dapur, harus kubantu! Neneng bergegas menuju dapur.
Akan tetapi tidak ada Sulastri di situ, bahkan belum ada nyala api untuk memasak air. Menyapu di pekarangan? Ia cepat keluar. akan tetapi di pekarangan juga tidak ada Sulastri, masih sunyi, hanya terdengar suara sapu lidi membersihkan pekarangan di rumah tetangga. Apakah mandi sepagi ini? Tak mungkin sepagi ini pergi ke sungai. Mungkin mencuci muka saja dibelakang, di mana memang disediakan sebuah gentung air besar. Ia segera berlari ke belakang lagi. Akan tetapi kamar mandi kecil itupun kosong, Sulastri tidak berada di situ. Suasana masih sepi. Yang terdengar hanya keruyuk ayam jago dan suara sapi menguak dan kambing mengembik. Sulastri tidak ada dimana-mana.
Tiba-tiba Neneng Salmah terkejut karena ia teringat betapa pintu samping yang menghubungkan rumah dengan pelataran samping tadi, ketika ia melewatinya dan keluar, tidak terkunci, hanya ditutupkan begitu saja! Hal ini berarti bahwa dari dalam rumah sudah ada yang keluar sebelum dia. Ke manakah perginya Sulastri sepagi ini? Pakaian kotor dalam keranjang masih terletak di ruang belakang, berarti Sulastri belum pergi mencuci pakaian dan mandi di sungai. Dengan jantung mulai berdebar tegang, Neneng Salmah kembali ke kamarnya. Masih gelap di kamar, hanya remang-remang.
Lampu di atas meja telah dipadamkan dan sinar matahari fajar masih terlampau lemah. Ia segera menyalakan lampu dan memandang ke sekeliling kamar. Pembaringan Sulastri tampak rapi, tidak kusut, berarti memang sudah dirapikan. Akan tetapi tidak tampak ada pakaian di gantungan pakaian, juga di sini jantungnya semakin berdebar, Pedang pusaka Naga Wilis yang biasa tergantung di dinding, di atas pembaringan Sulastri, tidak tampak lagi!
Dengan cepat Neneng berlari menghampiri peti pakaian. Dibukanya dan ia terbelalak. Pakaian Sulastri tidak berada di situ! Ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Sulastri telah pergi. Neneng Salmah mencari-cari dengan pandang matanya dan ia melihat sebuah corat-coret di atas meja. Tadi ketika ia menyalakan lampu, ia tidak melihat ini. Ia menghampiri meja dan di situ jelas terdapat coretan-coretan pendek.
"AKU PERGI BERJUANG. MINTAKAN MAAF KEPADA IBU!"
Neneng Salmah terbelalak. Tak dapat diragukan lagi. Sulastri tentu telah pergi mengejar Parmadi dan Muryani, yaitu untuk mencari pembunuh gurunya dan juga untuk membantu Mataram menghadapi Kumpeni! Ia berlari ke kamar Ki Subali dan mengetuk daun pintu kamar itu.
"Tok-tok-tok! Paman...! Bibi...! Bangunlah...!" Ia mengetuk lagi dan Nyi Subali yang membukakan daun pintu.
"Siapa itu? Ah, Neneng, ada apakah?" Ki Subali juga menhampiri pintu.
"Paman, bibi, maafkan kalau saya mengganggu. saya... saya..."
"Neneng, ada apakah? Kenapa engkau begini gugup? Apa yang terjadi?" tanya Nyi Subali sambil memegang lengan gadis itu.
"Bibi, Sulastri... ia... ia pergi malam tadi ketika aku tidur..."
"Pergi? Ke mana?" tanya Ki Subali.
"Mana ia? Mana anakku Sulastri?" Nyi subali mengguncang tangan Neneng.
"Tenanglah, paman dan bibi. Mari ikut saya ke kamar." Neneng mengajak mereka.
"Tenanglah, bune, bagaimanapun juga, Lastri bukan anak kecil dan kini ingatannya telah sembuh." Ki Subali menghibur isterinya yang mulai menangis. Mereka mengikuti Neneng pergi ke kamar yang menjadi kamar dua orang gadis itu. Sebuah daun pintu terbuka dan Ki Salmun muncul. Dia sudah terbangun dan keluar ketika mendengar suara ribut-ribut itu.
"Ada apakah?"
"Sstt, bapa, mari ikut dan bapa akan mengerti." kata Neneng perlahan. Ki Salmun juga mengikutinya. Empat orang itu memasuki kamar yang lampu mejanya masih menyala. "Ketika bangun pagi-pagi tadi, saya tidak melihat Lastri. Sudah saya cari kemana-mana tidak ada dan pakaiannya juga tidak ada. pedang Naga Wilis juga tidak ada dan saya menemukan tulisan ini di atas meja." Neneng menunjuk ke arah cotretan-coretan huruf yang agaknya dibuat dengan goresan pedang di atas meja itu.
Ki Subali mendekat dan membaca agak keras agar isterinya yang tidak pandai membaca dapat mendengarkan. "AKU PERGI BERJUANG. MINTAKAN MAAF KEPADA IBU! Dia membaca dan ketika dia berhenti membaca, terdengar tangis Nyi Subali.
"Aduh, Anakku Sulastri... ke mana lagi engkau pergi..." ibu ini mengeluh, Neneng Salmah merangkulnya dan menuntunnya duduk di atas pembaringan Sulastri.
"Bibi, harap bibi jangan khawatir. Sulastri tentu pergi menyusul Kakangmas Permadi dan Mbakayu muryani, juga ia tentu akan bertemu dengan Kakangmas lindu aji dan Kakangmas Jatmika dan bersama mereka berjuang membantu Mataram menghadapi Kumpeni. Sulastri adalah seorang yang sakti mandraguna, bibi, harap bibi tenangkan hati." Neneng Salmah menghibur.
"Apa yang dikatakan Neneng itu benar, bune. Sudahlah, jangan menangis. Anak kita melakukan tugas yang suci, membela Negara dan bangsa, Kita patut merasa bangga dan mari kita doakan saja agar Gusti Allah selalu melindunginya." kata Ki Subali.
Setelah dihibur oleh suaminya dan terutama oleh Neneng Salmah yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Nyi Subali lambat laun dapat merelakan kepergian Sulastri. Beberapa hari kemudian ia telah tenang dan pulih kembali.
Sultan Agung di mataram memang merasa penasaran sekali setelah setahun yang lalu serangan pertamanya ke Batavia gagal dan dia kehilangan banyak perajurit dan senopati. Karena itu, setahun lebih kemudian setelah kekalahan itu, dia menyusun lagi kekuatan yang lebih besar untuk mengirim bala tentara ke Batavia dan menyerang pertahanan Kumpeni Belanda. Sesungguhnya, Belanda inilah yang menjadi sasaran utamanya untuk dimusuhi karena dia mengerti bahwa Kumpeni merupakan ancaman besar bagi negara dan bangsanya.
Belanda memiliki kapal-kapal perang yang besar, lengkap dengan meriam-meriam besarnya, dan walaupun pasukannya tidak berapa besar namun pasukan itu diperkuat dengan meriam-meriam, granat dan bahan peledak lain termasuk bedil-bedil yang dapat membunuh orang dari jarak jauh. Untuk keperluan penyerbuan kepada Kumpeni inilah Sultan Agung mempersatukan seluruh daerah sebelah barat sampai ke timur Nusa Jawa, kalau perlu dengan kekerasan sehingga semua daerah tunduk dan dapat dipersatukan guna menghimpun pasukan besar.
Pada suatu hari Sultan Agung mengumpulkan seluruh senopati dan adipati dan mengangkat para adipati dan senopati untuk memimpin bala tentara menyerang Batavia. Karena itu merupakan penyerangan kedua, Sultan Agung tidak ingin serangannya gagal dan dia mengangkat orang-orang yang sungguh-sungguh dapat dipercaya akan dapat memberi semangat kepada semua perajurit. Dia mengangkat tiga orang bangsawan untuk menjadi pimpinan. Pertama-tama dia mengangkat Kyai Adipati Jumina untuk memimpin barisan yang datang menyerang dari arah barat. Orang kedua adalah Kyai Adipati Puger yang memimpin pasukan yang menyerang dari arah selatan. Kedua bangsawan ini adalah pamannya sendiri, saudara dari mendiang Panembahan Seda Krapyak.
Adapun orang ketiga adalah adiknya sendiri, yaitu Adipati Purbaya. Tentu saja tiga orang bangsawan ini hanya untuk memberi semangat saja kepada para perajurit dan yang betul-betul memimpin pasukan adalah para pembantu mereka. Adipati Jumina dibantu oleh Tumenggung Singoranu dan Raden Arya Wira Natapada yang mengepalai beberapa orang Senopati muda Mataram. Sedangkan Adipati Puger dibantu oleh Adipati Singenep (Sumenep) dan Tumenggung Madiun. Adipati Pubaya memimpin pasukan khusus datang menyerang dari arah timur, dibantu beberapa orang Senopati. Diantara para panglima yang membantunya terdapat Dipati Ukur, adipati yang diangkat oleh Sultan Agung untuk menjadi wakilnya di Jawa Barat.
Pasukan-pasukan dari daerah banyak yang memperkuat barisan Mataram, diantaranya dari Surabaya, Pasuruan, Kediri, Wonosobo, Ponorogo, Madiun, Sampang dan bahkan juga Dipati Ukur sudah siap membantu dengan pasukannya dari Sumedang yang sudah menanti di daerah itu untuk bergabung kalau Mataram lewat. Mataram mengerahkan tenaganya. meriam-meriam yang dulu didapatkan melalui perdagangan hasil bumi dari orang-orang Portugis dan juga dari Belanda sendiri, diangkut untuk memperkuat pasukan Mataram.
Banyak pula perajurit yang membawa bedil, walaupun senjata-senjata api itu model kuna dan jauh ketinggalan jaman kalau dibandingkan dengan persenjataan Kumpeni Belanda. Semangat para perajurit menggebu-gebu, terutama sekali karena kali ini yang memimpin mereka adalah tiga orang keluarga dekat Sultan Agung sendiri! Akan tetapi di jaman apapun, dalam suatu perjuangan selain bermunculan para pendekar, pahlawan patriot bangsa, sebagai bandingannya muncul pula pengkhianat bangsa yang rela menjadi antek musuh.
Belanda amat pandai membujuk orang-orang pandai yang jiwanya lemah untuk menjadi telik sandi mereka, Bahkan banyak yang rela membantu mereka melawan Mataram. Juga Belanda pandai menggunakan taktik mengadu domba, memecah belah, dengan omongan manis dan menjatuhkan hati mereka dengan pengaruh harta, wanita, atau tahta (kedudukan). Demikianlah jauh hari sebelum balatentara Mataram bergerak ke barat untuk menyerang Batavia. Kumpeni telah mendengar dari para telik sandi (mata-mata) mereka. Tentu saja mereka telah membuat persiapan sebaiknya, memperkuat diri dan bukan itu saja, mereka juga mengetahui akan kelemahan-kelemahan Mataram.
Kelemahan ini selain dalam persenjataan, juga terutama sekali tentang penyediaan ransum. Daerah-daerah sekeliling Jayakarta sudah dipengaruhi oleh Kumpeni Belanda yang seolah menyebar kemakmuran sehingga rakyatnya bersifat tak acuh terhadap perjuangan Mataram mengusir Belanda. Mereka menganggap Belanda sebagai sahabat dalam perdagangan yang menguntungkan rakyat. Karena itu, balatentara Mataram jelas tidak memperoleh dukungan penyediaan ransum dari rakyat sekitar daerah Jayakarta. Demikian pula kerajaan Banten tidak mendukung Mataram dan seolah tidak ingin mencampuri permusuhan antara Mataram melawan Kumpeni.
Langkah penting yang dilakukan Jenderal Jan Pieters Zoon Coen dalam melemahkan balatentara yang mengancam itu adalah menghancurkan gudang-gudang ransum (beras dan padi) yang diadakan Mataram sebagai persediaan bagi balatentaranya. Suatu malam di Tegal. Sejak sebulan yang lalu, orang-orang membawa beras dan padi ke sebuah gudang besar yang dibangun di kadipaten itu, Mataram mendirikan gudang ransum yang besar di kadipaten tegal. Seorang laki-laki tinggi besar mondar mandir di depan gudang itu. Beberapa kali dia mendekat ke pintu gudang yang lebar dan memandang ke dalam gudang di mana ratusan karung beras dan beberapa gunungan padi bertumpuk-tumpuk.
Setelah gudang itu penuh dengan ransum yang ditumpuk selama kurang lebih sebulan itu semua pekerja keluar dan daun pintu ditutup. Ada lima orang tetap menjaga di pintu gudang. Laki-laki tinggi besar itu menemui seorang diantara pekerja dan bertanya perlahan. "Sudah penuhkah?"
"Sudah." Jawab pekerja yang bertubuh pendek gendut itu.
"Penjaganya hanya lima orang itu?"
"Ya." Tanya jawab singkat ini dilakukan sambil berjalan berdampingan dengan suara berbisik.
"Tengah malam nanti." kata laki-laki tinggi besar itu ketika mereka hendak berpisah. Dua orang itu sama sekali tidak menyadari bahwa sejak tadi gerak gerik si tinggi besar, dari mulai dia mondar mandir di depan gudang, sampai dia bertemu dan bicara dengan pekerja gemuk pendek itu, selalu dibayangi, diawasi dan didengarkan oleh seorang pemuda. Pemuda itu adalah Jatmika...
"Dan siapa Neneng Salmah itu, Paman?" Tanya Muryani.
"Ah, ia bersama ayahnya datang dari Sumedang dan sekarang tinggal bersama kami di sini. Ia akrab dengan Sulastri. Mereka seperti kakak beradik saja. Neneng Salmah itu dahulu menjadi waranggana yang amat terkenal di Sumedang."
Suami isteri itu mengangguk-angguk. "Paman, sebagai kakak seperguruan Sulastri saya merasa prihatin sekali melihat keadaannya. Oleh karena itu, kalau paman mengijinkan, saya akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya dari keadaan hilang ingatan masa lalunya."
Ki Subali dan isterinya gembira sekali mendengar itu. "Ah, sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih. anakmas! Tentu saja kami setuju sekali!"
Sementara itu, Neneng Salmah berlari-lari ke tepi sungai di mana Eulis sedang mandi. Ia telah selesai mencuci pakaian, juga cucian Neneng Salmah telah ia lakukan. "Wah, cucianku sudah kau kerjakan, Eulis?"
"Sudah, hayo mandilah!" kata Eulis sambil menyiramlan air ke arah Neneng Salmah.
Sambil tertawa Neneng Salmah lalu menanggalkan pakaian, hanya bertapih pinjung lalu turun ke dalam air. Sambil mandi ia lalu berkata gembira. "Eulis, Kakangmas Parmadi itu benar-benar kakak seperguruanmu!"
"Hemm, bagaimana engkau bisa begitu yakin?"
"Mereka tadi bercakap-cakap dan aku mendengarkan. Ketahuilah Eulis, Kakangmas Parmadi, Kakangmas Lindu Aji, Kakangmas Jatmika yang kau ceritakan itu, dan engkau sendiri masih saudara-saudara sepeguruan. Guru-guru kalian ada tiga bersaudara. Yang pertama adalah Resi Tejo Wening yang menjadi guru Kakangmas Parmadi, lalu Ki Tejo Langit yang menjadi gurumu dan juga menjadi kakek dari Kakangmas Jatmika, dan yang ketiga adalah Ki Tejo Budi yang menjadi guru Kakangmas Lindu Aji. Mari kita cepat mandi, Eulis, engkau harus cepat pulang menemui Kakangmas Parmadi dan isterinya."
"Akan tetapi aku tidak ingat sama sekali tentang guruku. Wajahnyapun sudah tidak kuingat lagi."
"Eulis, Kakangmas Parmadi sanggup untuk mengobatimu. Mari kita cepat pulang! Siapa tahu dia benar-benar dapat mengembalikan ingatanmu masa lalu itu. Alangkah akan senangnya!"
"Jangan tergesa-gesa! Nanti dhangkalmu (debu yang menempel di kulit) tidak bersih!" Eulis menggoda.
"Ihh! Memangnya dhangkalku berapa tebalnya sih?" mereka tertawa-tawa sambil menyiramkan air. Dua orang gadis itu memang akrab dan rukun sekali, saling menyayang. Setelah mandi, mereka lalu berganti pakaian kering dan pulang. Setibanya di serambi rumah, Ki Subali segera menyambut anaknya dengan berkata.
"Eulis, cepat memberi hormat kepada kakak seperguruanmu Anakmas Parmadi dan isterinya!"
Biarpun tidak ingat siapa gurunya, namun dari keterangan Lindu Aji, Jatmika, dan kini Parmadi yang sudah ia ketahui kesaktiannya yang jelas menguasai Aji Sonya Hasta dan Margopati, Eulis percaya bahwa kenyataan kalau Parmadi adalah kakak seperguruannya agaknya tidak dapat dibantah lagi. Maka dengan senyum malu-malu mengingat akan sikapnya yang keras tadi, iapun menghampiri Parmadi dan Muryani, menyembah dengan merangkap kedua tangan di depan dada, agak membungkuk dan berkata dengan suara lirih.
"Kakangmas Parmadi, Mbakayu Muryani, maafkan sikapku tadi." Muryani segera menghampiri dan merangkulnya.
"Aih, tidak perlu minta maaf. Kesalah pahaman tadi sudah wajar karena kita tidak saling mengenal."
Melihat keramahan Muryani, Eulis merasakan ini dan ia menjadi gembira sekali. "Adi Sulastri, maaf kalau aku memanggilmu Sulastri, diantara kita memang tidak perlu minta maaf. Engkau adalah adik seperguruanku sendiri, karena itu maukah engkau kalau aku berusaha mengobatimu agar engkau sembuh dan dapat mengingat kembali masa lalumu?" Tanya Parmadi sambil tersenyum.
Eulis atau Sulastri merasa heran mengapa hatinya tidak merasa tidak enak atau tidak senang dengan sebutan nama yang asing baginya itu. Padahal, dulu ia tidak suka kalau Jatmika menyebutnya Sulastri. Ada sesuatu dalam suara Parmadi yang menandung wibawa amat kuatnya. Ia tersenyum dan mengangguk.
"Tentu saja aku akan senang sekali kalau dapat mengingat kembali masa laluku, Kakang Parmadi." Ia tidak ragu-ragu menyebut pria itu kakang saja, sebutan akrab seorang adik terhadap kakaknya.
Setelah menikmati sarapan pagi yang dihidangkan oleh Eulis dan Neneng Salmah, Parmadi berkata kepada Eulis. "Adik Sulastri, sudahkah engkau siap untuk membiarkan aku berusaha untuk mengobatimu?"
Eulis tersenyum. "Tentu saja aku siap, kakang. Aku sudah siap sejak tadi karena akupun ingin sekali dapat segera mengingat semua masa laluku itu."
"Justeru itulah pantangannya, adikku. Engkau sudah menguasai Aji Sonya Hasta, tentu sudah tahu bagaimana harus mengosongkan dirimu, bukan? Jangan ada keinginan apapun, harapan apapun kecuali hanya menyerah sepenuhnya lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah karena hanya Gusti Allah yang akan mampu memperbaiki segala macam kerusakan. Engkau bersama aku, disaksikan oleh diajeng Muryani dan Neneng Salmah yang juga pernah mempelajari cara mengosongkan diri dengan penyerahan mutlak, harus berada di dalam ruangan tertutup."
Lalu Parmadi menoleh kepada Ki Subali. "Paman, apakah dapat disediakan sebuah kamar di mana kami berempat dapat berdiam tanpa gangguan dari luar?"
"Oh, ada. anak mas. Eulis, pergunakan kamarmu sendiri. Bukankah kamar kalian berdua cukup luas?" kata Ki Subali.
"Baik, ayah. Mari, Kakang Parmadi, Mbakayu Muryani, dan neneng. Kita ke kamar!"
Mereka berempat lalu memasuki kamar di mana biasanya Eulis dan Neneng Salmah tidur. Sebuah kamar yang cukup luas. Sebelum menutup daun pintu kamar, Parmadi memesan kepada Ki Subali agar jangan ada yang mengganggu mereka yang berada dalam kamar itu dan jangan heran dan kaget kalau Ki Subali dan isterinya mendengar suara alunan seruling dari dalam kamar. Setelah menutup daun pintu, Parmadi dan Muryani duduk bersila di atas sebuah amben (dipan) kayu yang biasa ditiduri Eulis. Parmadi minta kepada mereka untuk menenangkan diri, melepaskan semua ketegangan, membuat diri lahir batin menjadi kosong dan menanti apa yang akan terjadi tanpa penolakan.
"Adi Sulastri, apa saja yang kauterima, rasakan dan terima saja sebagai kekuasaan Gusti Allah dan apapun yang terjadi para dirimu, serahkan sepenuhnya kepadaNya.
"Baik, Kakangmas Parmadi." Mereka berempat duduk dengan tenang dan santai.
Setelah merasakan getaran memenuhi dirinya, dengan gerakan perlahan, matanya terpejam, Parmadi lalu mengambil serulin gading dari ikat pinggangnya, lalu meniup suling itu. Itulah yang oleh Resi Tejo Wening disebut Sunyatmaka (Berjiwa Bebas). Terdengar suara suling yang lembut sekali, lembut mendayu-dayu penuh getaran yang aneh. Biarpun suara suling tidak melagukan tembang tertentu, namun bagi telinga Neneng Salmah terdengar demikian merdu dan indah dan tanpa dikehendakinya lagi, kedua lengannya bergerak-gerak lembut, menari-nari!
Muryani yang sudah terbiasa dengan suara suling yang aneh ini, tanpa disengaja lagi merangkap kedua tangan ke depan dahi dalam sembah dan seluruh dirinya terasa dibawa melayang-layang oleh suara itu. Eulis atau Sulastri juga merasakan getaran hebat. Suara seruling itu seperti menyusup ke dalam dirinya, menjalari seluruh tubuhnya, terasa ada denyutan-denyutan aneh yang mula-mula terasa di kedua telinganya yang mula-mula menangkap suara itu, kemudian perlahan-lahan ke seluruh tubuh, berdenyut-denyut, terutama dikepalanya. Dirinya benar-benar kosong, tidak ada sama sekali ulah hati akal pikiran, yang ada hanya rasa menerima yang membuat dirinya sepeti pintu terbuka yang dapat menerima dengan pekanya.
Tiba-tiba ia merasa seperti ada ledakan-ledakan kecil dikepalanya dan perasaannya menangkap bayangan-bayangan aneh. Ia seolah melihat dirinya disambar anak panah yang menancap dipundak kirinya, terasa nyeri dan perih. Akan tetapi yang membuat ia merasa ngeri adalah ketika ia melihat dirinya terjungkal dan jatuh ke dalam tebing yang amat curam, lalu kepalanya terbentur sesuatu yang keras dan segalanya lalu menjadi gelap! Eulis atau Sulastri terkulai di atas pembaringan dan pingsan!
Pada saat itu, beberapa detik sebelum gadis tu roboh pingsan, suara suling itu tiba-tiba terhenti karena daun pintu kamar itu terbuka keras oleh tenaga dari luar, berbareng dengan terdengarnya jerit Nyi Subali. Karena itu, maka Parmadi terpaksa menghentikan tiupan sulingnya sebelum dapat menyembuhkan Sulastri dengan tuntas. Dia dan Muryani maklum bahwa terjadi sesuatu yang tidak baik. Karena mengira ada bahaya mengancam Ki Subali dan isterinya, apalagi daun pintu terbuka secara kasar dari luar, mereka berdua segera berkelebat cepat sekali keluar dari kamar itu. Mereka melihat Ki Subali dan isterinya berlari masuk ke dalam rumah dan Ki Subali berkata gugup. "Di luar... ada tiga orang..."
Parmadi dan Muryani tidak menunggu keterangan lebih lanjut dan mereka berdua cepat melompat ke luar rumah. Sementara itu, Ki Subali dan Nyi Subali memasuki kamar anaknya. Mereka melihat Sulastri terkulai dan dirangkul oleh Neneng Salmah yang mengguncang-guncang pundak Sulastri dan mencoba menyadarkannya dengan memanggil-manggil namanya.
"Eulis...! Eulis...! Sadarlah, bangunlah...!" Nyi Subali merangkul puterinya dan menangis.
"Anakku...! Eulis... engkau kenapa, nak?"
Neneng Salmah bertanya kepada Ki Subali setelah menyerahkan Eulis dalam rangkulan Nyi Subali. "Paman. apa yang telah terjadi?"
"Di luar, ada tiga orang yang dengan kasar minta agar aku menyerahkan engkau kepada mereka, Neneng." kata Ki Subali.
"Mereka tadi yang menyebabkan pintu-pintu dalam rumah ini terbuka semua, mungkin dengan ilmu sihir mereka!"
Mendengar ini, Neneng Salmah terkejut. "Dan di mana Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani?"
"Mereka berdua keluar untuk menghadapi tiga orang itu."
Mendengar ini Neneng Salmah cepat berlari keluar untuk melihat siapa tiga orang yang minta agar Ki Subali menyerahkan dirinya kepada mereka. Sementara itu, Parmadi dan Muryani sudah tiba di luar rumah. Mereka melihat ada tiga orang berdiri di pekarangan, di depan serambi rumah. Mereka cepat keluar dari serambi dan menghampiri tiga orang itu. Mereka itu adalah seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian seperti seorang bangsawan, pesolek dan mewah, tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya tampan, namun sikapnya congkak sekali.
Dia berdiri bertolak pinggang dengan kedua kaki terpentang. Di samping kanannya berdiri dua orang kakek. Yang seorang berusia sekitar enam puluh tujuh tahun, kepalanya kecil botak, sedikit rambut di sisi keriting dan berwarna dua. Mukanya licin tanpa kumis atau jenggot, hidungnya pesek mulutnya kecil. Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan tangan kanan memegang sebatang tongkat ular kobra. Adapun kakek yang ke dua berusia kurang lebih enam puluh tahun, tubuh yang juga tinggi kurus itu agak bungkuk dan punggungnya berpunuk, mukanya seperti muka kuda, matanya sipit.
Pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung. Lengannya juga mengenakan akar bahar dan jari-jari tangannya penuh cincin-cincin bermata akik yang besar-besar. Kakek inipun memegang sebatang tongkat dari seekor ular kering. Dua orang kakek aneh ini memiliki sinar mata yang tajam dan berpengaruh sekali. Melihat dua orang kakek ini, Parmadi dan Muryani terkejut dan segera mengenal mereka. Kakek pertama yang berkepala botak itu adalah Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten. Adapun kakek kedua yang bermuka kuda itu adalah Aki Somad, pertapa dari Nusakambangan. Kedua orang ini dikenal suami isteri itu sebagai tokoh-tokoh yang beberapa tahun lalu membantu Madura dan Surabaya.
Setelah Madura, Surabaya dan Giri ditundukkan Mataram, mereka berhasil lolos. Parmadi tahu benar bahwa dua orang datuk ini adalah orang-orang yang membenci Mataram. Akan tetapi suami isteri itu tidak mengenal orang muda berpakaian bangsawan itu. "Hemm. kiranya Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad yang datang! Apakah yang andika berdua kehendaki datang berkunjung ke rumah orang tanpa sopan santun?" Parmadi menegur, walaupun suaranya lembut.
Dua orang datuk itu juga merasa terkejut bukan main ketika mereka mengenal Parmadi dan Muryani, dua orang yang beberapa tahun yang lalu membantu Mataram dalam perang melawan Madura, Surabaya dan Giri. Mereka juga maklum bahwa Parmadi merupakan seorang yang sakti mandraguna dan Muryani, walaupun tidak setinggi suaminya kepandaiannya, namun merupakan lawan yang cukup berbahaya. Akan tetapi karena mereka datang berdua, bahkan masih ditemani pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Banten, Raden Jaka Bintara yang juga murid Kyai Sidhi Kawasa, maka berbesar hati dan tidak menjadi gentar.
"Oho!" kata Kyai Sidhi Kawasa dan berkata dengan suaranya yang lembut. "Adi Somad, tentu andika masih mengenal orang-orang Mataram ini, bukan?"
"Heh-heh, tentu saja, Kakang Sidhi Kawasa. mereka adalah musuh kita. Kalau tidak salah ingat, namanya Parmadi dan yang perempuan ini... eh... siapa lagi namanya..."
"Muryani, namanya Muryani." kata Kyai Sidhi Kawasa. Kemudian dia berkata kepada suami isteri itu. "Kalian disini? Kebetulan sekali, ada kesempatan bagi kami untuk membalas dendam. Akan tetapi karena sekarang tidak ada perang lagi, dan kami tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, kami dapat memaafkan dan melepaskan kalian kalau kalian cepat menyuruh Neneng Salmah keluar dan menemui kami!"
"Tidak semudah itu, Kyai Sidhi Kawasa! Apa urusannya maka andika menghendaki agar Neneng Salmah keluar menemuimu?"
Tiba-tiba Jaka Bintara membentaknya, "Tidak perlu andika mencampuri urusan pribadi kami!" Jaka Bintara ini memang berwatak sombong. Mungkin karena dia merasa sebagai seorang pangeran yang biasanya ditaati semua orang. Selain itu, dia sama sekali tidak mengenal nama Parmadi dan Muryani sehingga tentu saja memandang rendah seperti yang biasa dia lakukan. Apalagi saat itu dia ditemani dua orang datuk sakti mandraguna, maka ketinggian hatinya meningkat.
Tiba-tiba Neneng Salmah muncul dari pintu dan melihat Pangeran Jaka Bintara, ia keluar dari serambi dan langsung menudingkan telunjuknya kepada pangeran dari Banten itu. "Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani, inilah Pangeran Jaka Bintara dari Banten yang jahat dan dulu pernah menculikku di Sumedang!"
Kiranya ketika dulu Neneng Salmah berhasil lolos dari Sumedang bersama ayahnya dan dikawal Lindu Aji, Jaka Bintara tidak terima dan bersama Kyai Sidhi Kawasa lalu melakukan penyelidikan. Akhirnya mereka dapat mendengar bahwa gadis itu telah melarikan diri dengan kereta dikawal oleh Lindu Aji. Mereka mencari kusir kereta dan memaksa dia mengaku kemana gadis ledek yang membuat pangeran dari Sumedang itu tergila-gila pergi. Si kusir takut akan ancaman dan mengaku bahwa Neneng Salmah bersama ayahnya kini tinggal di rumah Ki Subali di Dermayu. Jaka Bintara yang sudah tergila-gila dan merasa penasaran kalau belum mendapatkan diri Neneng Salmah, membujuk gurunya untuk menyusul ke Dermayu.
Namun Kyai Sidhi Kawasa agak gentar menghadapi Lindu Aji yang diperkirakan melindungi gadis itu, maka dia lalu mencari Aki Somad untuk diajak menemani mereka. Demikianlah, tiga orang itu akhirnya tiba di rumah Ki Subali, sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan bertemu dengan Parmadi dan Muryani, musuh lama mereka. Mendengar teriakan Neneng, Raden Jaka Bintara memandang. Begitu melihat gadis yang denok ayu itu, dia girang sekali dan segera dia menghampiri dengan langkah lebar sambil tersenyum.
"Aduh, jantung hatiku, betapa rinduku kepadamu! Marilah ikut denganku, kuboyong engkau ke Banten dan hidup bahagia denganku di sana, cah ayu!" Setelah berkata demikian, dia menubruk hendak merangkul. "Ehh??" Jaka Bintara terkejut karena dengan lincahnya Neneng Salmah mengelak dan sudah terhindar dari tubrukannya. Dia cepat menubruk lagi ke kanan, kini bergerak cepat agar gadis itu tidak dapat meloloskan diri. Akan tetapi kembali dia kecelik karena gadis itu sekali lagi dapat mengelak dengan gerakan lincah dan ringan. Gerakannya indah seperti kalau sedang menari, namun lincah sekali, bahkan ketika Jaka Bintara menubruk untuk ketiga kalinya, Neneng Salmah tidak hanya mampu mengelak, bahkan tangan kirinya menampar dan mengenai pipi laki-laki itu.
"Plakk...!" Sayang bahwa Neneng Salmah hanya baru menguasai kelincahan gerak silat Sonya Hasta, belum menguasai pengerahan tenaga saktinya sehingga tamparannya tidak terasa terlalu keras bagi Jaka Bintara yang memiliki tubuh yang kuat. Namun hal ini cukup mengejutkan Jaka Bintara disamping rasa penasaran. Maka dia lalu berusaha sekuatnya untuk menangkap dan meringkus gadis itu. Tentu saja menghadapi serangan Jaka Bintara yang digdaya itu Neneng Salmah mulai terdesak hebat. Ilmu silat yang dipelajarinya dari Eulis belum terlatih baik sehingga ia hanya mampu bergerak cepat kesana-sini untuk menghindarkan diri dari jangkauan kedua tangan pangeran dari Banten itu.
Sementara itu, tanpa banyak cakap lagi Kyai Sidhi Kawasa sudah menggerakkan tongkat ular kobranya untuk menyerang Parmadi dan Aki Somad juga sudah menggerakkan tongkat ular keringnya untuk menyerang Muryani. Parmadi sudah mencabut seruling gadingnya dan menyambut serangan. Muryani sudah mengerahkan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya dapat bergerak seperti seekor burung walet dan dengan tangan kosong ia menyambut serangan Aki Somad. Terjadilah pertandingan yang amat seru antara suami isteri melawan dua orang datuk itu.
Nyi Subali masih merangkul puterinya dan menangis sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu. "Eulis... Eulis... sadarlah, anakku...!" Ibu itu menangis dan air matanya menetes, membasahi muka Eulis.
Sebetulnya, kalu saja tiupan seruling gading tadi tidak terganggu, tentu ia kini telah sembuh dan sadar sepenuhnya. Akan tetapi gangguan munculnya tiga orang yang menyerang ke dalam membuka pintu-pintu membuat tiupan seruling gading terhenti dan gadis itu jatuh pingsan. Kini, agaknya tetesan air mata ibunya ditambah seruan suara ibunya memanggil-manggilnya, agaknya menyadarkan Eulis dari pingsannya. Ia membuka kedua matanya dan seperti orang terkejut ia bangkit duduk. Nyi Subali dan Ki Subali menjadi girang.
"Eulis...!" Nyi Subali merangkul.
"Eulis, bagaimana perasaanmu? baik-baik saja, bukan?" Tanya si ayah.
"Eulis...?" Gadis itu berkata heran. "Oh... ya benar, belakangan ini aku diberi nama Eulis... oleh kakangmas Jatmika... ahh... aku ingat semua sekarang... bapa... ibu... aku ingat semua sekarang!" ia memandang ke kanan kiri. "Eh, di mana Kakangmas Parmadi, Mbakayu muryani dan Neneng?"
Tiba-tiba ia mendengar berdencingnya senjata beradu di luar rumah. "Apa itu? Siapa yang berkelahi?"
Nyi Subali merasa girang bukan main. "Sulastri...! Akhirnya engkau mendapatkan kembali ingatanmu!"
"Lastri, Anakmas Parmadi bersama isterinya dan Neneng Salmah berada di luar menghadapi tiga orang yang aneh dan kelihatannya tidak berniat baik terhadap Neneng..."
"Apa?" Sulastri yang sudah mendapatkan kembali ingatannya itu melompat turun dari atas pembaringan dan cepat ia mengambil pedang pusakanya, yaitu Pedang Naga Wilis yang dulu oleh Lindu Aji dikembalikan kepada Ki Subali dan ketika Sulastri pulang, Ki Subali menyerahkan pedang pusaka itu kepada anaknya. Sulastri senang memilikinya dan merasa cocok walaupun ia tidak ingat lagi akan pedang pusakanya itu. Dengan pedang pusaka Naga Wilis terhunus di tangan, Sulastri melompat dan tubuhnya berkelebat cepat keluar dari rumah.
Ki Subali dan Nyi Subali dengan khawatir mengikuti keluar rumah. Setelah tiba di pekarangan ia melihat Parmadi sedang bertanding melawan seorang kakek kurus botak yang tidak dikenalnya. Akan tetapi ketika ia melihat kakek yang dilawan Muryani, ia segera mengenal kakek bungkuk berpunuk itu yang bukan lain adalah Aki Somad yang dulu pernah memusuhi pamannya, yaitu Ki Sumali yang tinggal di Loano. Ketika itu Aki Somad kewalahan melawan Lindu Aji dan sekarang kakek itu melawan Muryani yang memiliki ilmu silat yang amat ganas.
Melihat ini, ia hendak membantu Muryani, akan tetapi ketika menoleh ia melihat Neneng Salmah sedang kewalahan didesak oleh seorang laki-laki berpakaian bangsawan yang gagah. Jaka Bintara semakin penasaran karena belum juga mampu meringkus gadis yang membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi setelah tahu bahwa Neneng Salmah hanya pandai mengelak saja akan tetapi tenaganya lemah, dia merasa yakin bahwa sebentar lagi dia akan mampu mendekap dan memondong tubuh yang denok itu.
"Neneng Salmah, manisku, mari biarkan dirimu kupondong. Aku rindu sekali padamu, sayang." katanya sambil menubruk lagi. Neneng Salmah mengelak, akan tetapi ujung bajunya dapat tertangkap. "Bretttt...!" Baju itu robek dan Neneng Salmah menjerit, Jaka Bintara tertawa bergelak.
"Wuuutttt... dessss...!" Jaka Bintara cepat menangkis datangnya tamparan itu, akan tetapi dia terpaksa membuang diri ke belakang dan bergulingan karena tamparan yang ditangkisnya itu ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali. Ketika dia melompat bangun dia sudah berhadapan dengan seorang gadis yang cantik jelita, akan tetapi sepasang matanya mencorong marah dan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang bersinar kehijauan!
Melihat bahwa penyerangnya hanya seorang gadis cantik, watak Jaka Bintara yang congkak itu muncul lagi. Dia tersenyum dan memandang dengan mata nakal. "Aih, manis, apakah engkau hendak menemani Neneng Salmah ikut bersenang-senang dengan aku ke Banten? Mari-mari...!"
"Eulis, inilah jahanam pangeran dari Banten itu!" Neneng Salmah berseru.
"Neneng, aku sekarang bernama Sulastri, aku sudah ingat semuanya. Jangan khawatir, aku yang akan membasmi jahanam busuk ini!"
Setelah berkata demikian, Sulastri sudah menerjang dengan cepat sekali. Tampak gulungan sinar hijau mnyambar-nyambar ke arah tubuh Raden Jaka Bintara, pangeran dari Banten itu. Jaka Bintara terkejut bukan main. Akan tetapi dia masih memandang ringan. Sambil mengelak ke sana-sini diam-diam dia mengerahkan Aji Hastanala dan sambil melompat ke samping untuk mengelak sambaran sinar hijau, dia mendorong dengan tangan kanan, menggunakan Aji Hastanala (Tangan Api) yang ampuh dan mengeluarkan hawa panas itu.
Akan tetapi Sulastri menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kirinya menggunakan Aji Margopati (Jalan Maut). "Wuuuutttt... dessss...!!" Jaka Bintara terdorong ke belakang. Keduanya maklum akan ketangguhan lawan.
Jaka Bintara kini tidak berani memandang ringan lagi dan dia sudah mencabut pedangnya. Begitu dia memutar pedang itu, tampak sinar kehitaman bergulung-gulung. sulastri juga tidak mau membuang waktu lagi. "Haaiiitttt... singgggg...!" Sinar hijau berkelebat dan ia sudah menggerakkan pedangnya menyerang. Jaka Bintara juga menggerakkan pedangnya menangkis. sinar hitam berkelebat menyambut sambaran sinar hijau. "Singggg ... trangggg!!"
Tampak bunga api berpijar. Dua orang itu cepat melompat ke belakang untuk melihat pedang masing-masing. ternyata pedang mereka tidak rusak. Mereka mejadi hati-hati karena maklum bahwa pedang lawan juga merupakan pedang yang ampuh. Sulastri sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya sehingga kedua orang itu sudah saling serang. Bayangan mereka lenyap terselubung dua gulungan sinar pedang hijau dan hitam. Hanya tampak kaki mereka saja yang berloncatan ke sana-sini.
Sementara itu, pertandingan antara Parmadi dan Kyai Sidhi kawasa juga terjadi seru, Beberapa kali Kyai Sidhi Kawasa mengeluarkan aji-aji kesaktiannya yang hebat seperti Aji Analabanu (Sinar Api), Aji Hastanala (Tangan Api) dan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Namun semua itu dapat ditandingi Parmadi. Bahkan permainan tongkat ular kobra yang amat dahsyat itu setelah bertemu dengan gerakan seruling gading yang lembut, menjadi hilang daya serangnya. Mulailah Kyai Sidhi Kawasa terdesak mundur. Juga Aki Somad mengalami kesukaran untuk mendesak Muryani. Ketika pertapa dari Nusakambangan ini menggunakan Aji Tapak Geni, kedua telapak tangan mengeluarkan uap panas dan ia menyerang dengan kedua telapak tangan itu sambil berseru. "Aji Tapak Geni..." telapak tangannya bernyala!
Namun Muryani tidak menjadi gentar. Ia memiliki aji yang serupa ia menyambut serangan lawan itu dengan teriakan nyaring. "Aji Brama Latu!"
"Wuuuutttt... blaaaarrrrr...!" Dua tenaga yang sama-sama mengandung hawa panas itu bertemu di udara dan akibatnya, baik Aki Somad maupun Muryani terdorong ke belakang dan menahan pernapasan untuk mengerahkan tenaga menguasai tubuhnya yang terasa panas seperti dibakar. Namun keduanya tidak terluka. Aki Somad menjadi penasaran dan marah, lalu menggerakkan ular kering yang menjadi senjata tongkat untuk menyerang.
Muryani memang tidak suka mempergunakan senjata, namun dari mendiang Nyi Rukma Petak ia memperoleh ilmu-ilmu yang hebat. Aji Wiso Sarpo membuat dua telapak tangannya mengandung bisa ular yang amat berbahaya, dan pukulan jarak jauh dengan Aji Gelap Sewu juga dahsyat sekali. Ilmu-ilmu pukulan ini bahkan lebih berbahaya dari senjata apapun, dan kedua tangannya juga tidak takut menangkis tongkat ular kering yang beracun itu.
Dua orang datuk itu mulai khawatir, apalagi melihat betapa Pangeran Jaka Bintara agaknya juga kewalahan menghadapi sepak terjang Sulastri yang mengamuk dengan pedang pusaka Naga Wilis. "Kyai Sidhi Kawasa, bantu aku...!" Aki Somad berkata kepada kawannya sambil melompat ke belakang. Kemudian, dibantu oleh Kyai Sidhi Kawasa yang juga mengerahkan ilmu sihirnya, Aki Somad mengerahkan Aji Gineng Soka Weda. Tiba-tiba udara menjadi gelap diliputi halimun tebal. Jaka Bintara yang sudah terdesak menggunakan kesempatan ini untuk mundur dan berdiri di dekat dua orang datuk itu.
Dari kegelapan itu terdengar bermacam suara yang menyeramkan, ada suara menggereng, merintih, tertawa dan sebagainya. Menyeramkan, seperti suara setan-setan gentayangan dan muncullah berbagai macam bentuk mengerikan. tengkorak-tengkorak, ada pula kepala banaspati yang mulutnya menyemburkan api. Bahkan Muryani dan Sulastri, dua orang wanita sakti itu merasa seram dan cepat mereka mendekati Parmadi. Parmadi lalu meniup seruling gading. Suara seruling melengking dan mendayu-dayu.
Pemandangan yang menyeramkan itu, tengkorak, kepala setan dan lain-lain itu seperti terpental dan terserang oleh suara seruling yang melengking. Gerengan-gerengan, tawa dan suara-suara mengerikan itupun berubah menjadi suara tangis dan ketakutan, makin lama semakin perlahan dan semua pemandangan aneh itupun menjadi kabur. Juga perlahan-lahan kabut yang menggelapkan sekitar pekarangan itu menipis dan akhirnya hilang. Akan tetapi ketika Muryani, Sulastri, Neneng Salmah, juga Ki Subali dan isterinya yang muncul di ambang pintu dengan ketakutan memandang, ternyata ketiga orang tadi sudah hilang. Agaknya mereka merasa kewalahan dan menggunakan kesempatan dalam kegelapan itu untuk melarikan diri meninggalkan pekarangan rumah Ki Subali.
Parmadi menghentikan tiupan serulingnya, menghela napas dan berkata, "Sungguh jahat dan berbahaya mereka itu. sekarang sudah aman, mereka sudah pergi..."
Nyi Subali menghampiri Sulastri dan merangkul anaknya. "Sulastri, engkau sudah waras, ingatanmu sudah pulih sekarang! Terima kasih kepada Gusti Allah!"
Sulastri balas merangkul ibunya dan merasa berbahagia sekali, lalu menoleh kepada Parmadi dan berkata. "Ibu, kita harus berterima kasih kepada Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani, Kakangmas Parmadi yang telah memulihkan ingatanku dengan seruling gadingnya!"
"Engkau keliru, Adi Sulastri dan ibumulah yang benar. Kita harus berterima kasih kepada Gusti Allah karena sesungguhnya, sang Maha Penyembuh itu hanya Gusti Allah! Gusti Allah yang menyembuhkanmu, dengan peantaraan aku dan serulingku." kata Parmadi.
"Akan tetapi kalau aku harus berterima kasih kepadamu, Kakangmas Parmadi, Mbakayu muryani dan eulis... eh, Sulastri. Karena kalau tidak ada andika bertiga yang mengusir tiga orang jahat tadi, entah bagaimana dengan nasibku. Aku pasti telah mereka tawan dan bawa pergi." kata Neneng Salmah dengan terharu.
"Sama saja, Neneng." kata Muryani. "Engkaupun wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah yang sudah mengatur sedemikian rupa sehingga ketika hal itu terjadi, kebetulan sekali kami berdua berada di sini dan Sulastri sudah sembuh."
Pada saat itu, Ki Salmun datang berlarian. ketika dia sedang bekerja di ladang, dia mendengar dari seorang tetangga bahwa di pekarangan rumah Ki Subali terjadi perkelahian. Dia cepat pulang dan mendapatkan Ki Subali sekeluarga dan dua orang tamunya sedang bercakap-cakap di serambi rumah. Dia segera mendengar semua yang telah terjadi dari Neneng Salmah dan kini Ki Salmun merasa lega puterinya terlepas dari ancaman bahaya, bahkan juga Sulastri telah sembuh dan pulih ingatannya!
"Mari kita semua masuk dan bicara di dalam. Lastri, Neneng, cepat membuat hidangan untuk menghormti kedua orang tamu kita. sembelih dua ekor ayam!" perintah Ki subali dengan gembiara. mereka semua masuk kedalam dan dua orang gadis itu dengan gembira. mereka segera sibuk di dalam dapur, akan tetapi Neneng Salmah melihat Sulastri terkadang seperti orang melamun, terkadang mengerutkan alisnya seperti orang murung.
"Hei, Lastri, kenapa engkau melamun saja?" Neneng Salmah menepuk pundaknya menggoda. Sulastri menggeleng kepala lalu mencubit lengan Neneng Salmah.
"Ih, cerewet amat sih kamu! Nanti saja kita ngomong-ngomong, sekarang bukan waktunya ngobrol, pekerjaan banyak. Hayo cepat sembelih dua ekor ayam itu!"
Neneng Salmah bergidik. "Wah, aku tidak tega, Lastri. selama hidup belum pernah aku menyembelih ayam. Biasanya yang melakukan itu adalah bapaku. Aku mana berani?"
Sulastri tertawa. "Heh-heh, engkau tidak menyadari bahwa kini engkau bukan Neneng Salmah sang waranggana yang lemah gemulai lagi! Engkau bahkan dapat membela diri dari serangan pangeran banten yang cukup digdaya tadi."
"Wah, orang jahat itu!" dengus Neneng, akan tetapi segera disambungnya sambil tertawa. "Nah, sekarang engkau malah yang memperpanjang obrolan. Hayo kerja, engkau yang memotong ayam, aku nanti yang membersihkannya. Sekarang aku memasak air, mengupas terong dan memotong sayur dan menyiapkan bumbu!"
Dua orang gadis itu segera sibuk bekerja. akan tetapi diam-diam perasaan Sulastri mengalami goncangan hebat. Seolah ia teringat akan semua masa lalunya, banyak hal yang membuat ia merasa risau, gelisah, duka, dan bingung. Pertama tentu saja kedukaan teringat bahwa Ki Ageng Pasisiran, kakek yang menjadi gurunya dan amat ia hormati dan kasihi itu, telah tewas terbunuh orang. Tadinya sebelum ia teringat, mendengar hal itu ia hanya merasa kasihan saja.
Akan tetapi sekarang ia ingat akan keadaan gurunya, wajahnya, wejangan-wejangannya, dan hubungan akrab antara mereka sebagai guru dan murid, sehingga ia merasa berduka dan juga marah sekali kepada Hasanudin seorang murid pula dari Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit, yang baru satu kali pernah dijumpainya, dan kepada Raden Banuseta yang katanya dia yang membawa pasukan Kumpeni dan melakukan penyerbuan ke rumah Ki Ageng Pasisiran dan menyebabkan tewasnya Ki Ageng Pasisiran dan puteranya Ki Sudrajat.
Dia juga teringat kepada Jatmika, putera Ki Sudrajat, yang menyatakan cinta kepadanya. Teringat kepada pemuda ini, ia menjadi bingung.Lalu ia teringat kepada Lindu Aji! Jantungnya berdebar ketika teringat kepada pemuda yang sejak remaja menjadi sahabat yang dekat dengannya, teringat betapa kini pemuda itu telah menjadi seorang yang sakti mandraguna dan masih ada ikatan saudara seperguruan dengannya karena Lindu Aji menjadi murid Ki Tejo Budi yang menjadi adik seperguruan Ki Tejo Langit.
Namun begitu ia teringat akan pengakuan Neneng Salmah betapa gadis yang disayangnya seperti saudara sendiri itu jatuh cinta kepada Lindu Aji! Ia menjadi gelisah, duka, penasaran, dan bingung. Akan tetapi semua itu dipendamnya dalam hati dan ia menyibukkan diri dengan pekerjaan dapur. Ki Subali dan isterinya, Ki Salmun dan Neneng Salmah dengan sangat membujuk Parmadi dan Muryani agar menginap di rumah mereka. tadinya suami isteri itu hendak melanjutkan perjalanan mereka, akan tetapi karena pihak tuan rumah sekeluarga menahan mereka dengan berbagai bujukan, akhirnya mereka mangalah juga dan bersedia menginap semalam di rumah itu.
Ki Subali menyerahkan kamarnya kepada mereka. Dia sendiri tidur bersama Ki Salmun, dan Nyi Subali mengungsi tidur di kamar Sulastri dan Neneng Salmah. Malam itu sehabis makan, mereka semua bercakap-cakap di ruangan dalam. Banyak sekali cerita tentang pangeran dari Banten yang tadi datang bersama dua orang datuk. Neneng Salmah menceritakan asal mula pertemuannya dengan Raden Jaka Bintara di Sumedang dan betapa ia diculik oleh pangeran itu akan tetapi diselamatkan oleh Lindu Aji dan disuruh melarikan diri, mengungsi ke Dermayu, dan kini mondok di rumah Ki Subali. Sulastri juga "ditanggap", yaitu dihujani banyak pertanyaan tentang pengalamannya.
Sulastri juga banyak bercerita tentang perjalanannya bersama Lindu Aji, pengalamannya melawan para mata-mata Kumpeni Belanda sampai ia terjatuh ke bawah tebing yang curam. Kemudian pengalamannya bersama Jatmika. Semua orang merasa kagum akan semua pengalaman yang aneh, berbahaya dan hebat dari gadis perkasa itu. "Sekarang kami harap agar Kakang Parmadi suka menceritakan riwayat kalian berdua sehingga sampai tiba di sini." kata Sulastri.
Parmadi menghela nafas. "Kami sebetulnya tidak sengaja ke dermayu. Akan tetapi ternyata beginilah jadinya dan ini sudah diatur oleh kekuasaan Gusti allah sehingga kami dapat bertemu denganmu, Adi Sulastri. Kami tinggal di kadipaten Pasuruan dan kami berdua mendengar bahwa Gusti sultan Agung sudah mengadakan persiapan untuk mengirim bala tentara, hendak menyerang Kumpeni Belanda di Jayakarta lagi sebagai penyerangan kedua. Karena penyerangan kedua inipun agaknya menghadapi pertahanan Belanda yang amat kuat, maka kami berdua mengambil keputusan untuk membantu Mataram. Akan tetapi kami tidak masuk menjadi perajurit dan ingin membantu secara sukarela, maka kami mendahului pasukan Mataram. Kami menuju ke Jayakarta atau Batavia dan hari ini kebetulan sekali kami lewat di dermayu ini dan bertemu dengan Adi Sulastri."
"Jadi Anakmas Parmadi sekarang hendak pergi ke Batavia untuk ikut berjuang melawan Kumpeni?" Tanya Ki Subali.
"Hemm, aku ingat sekarang! Aki Somad tadi, kakek bungkuk berpunuk yang ikut datang menyerang ke sini, adalah seorang antek Kumpeni Belanda pula! Ketika melakukan perjalanan bersama Mas Aji... eh, maksudku Lindu Aji, aku biasa menyebutnya Mas Aji. Ketika itu Aki Somad bersama Ki Harya Baka Wulung, Nyi Maya Dewi dan juga Banuseta yang ternyata telah membunuh Eyang Guru Tejo Langit!"
Muryani berkata marah. "Mereka itu memang orang-orang jahat yang menjadi antek Kumpeni Belanda dan yang pantas kita basmi!" Parmadi menyambung ucapan isterinya. "Setelah mendengar akan kematian Paman Guru Ki Tejolangit dan puteranya di tangan Banuseta yang dibantu oleh Hasanudin, maka kami berdua juga ingin mencari mereka yang telah menjadi antek Kumpeni untuk membasmi mereka. Kami akan melanjutkan perjalanan ke Jayakarta besok pagi, paman." kata Parmadi kepada Ki Subali.
"Bagus! memang telah menjadi kewajiban bagi setiap orang kawula untuk membela Negara dan bangsa yang terancam oleh siapa saja, terutama oleh bangsa lain! kata Ki Subali dan Ki Salmun juga mengangguk angguk membenarkan. Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Parmadi dan Muryani meninggalkan rumah keluarga Ki Subali untuk melanjutkan perjalanan mereka, diantar oleh seluruh anggota keluarga itu sampai ke depan pintu pekarangan.
********************
Semenjak mendapatkan ingatannya tentang masa lalunya, Sulastri banyak melamun. Hal ini terutama sekali diketahui benar oleh Neneng Salmah yang setiap hari hampir selalu berdekatan dengannya, bahkan setiap malam tidur sekamar. Akan tetapi kalau ditanya dan didesak, Sulastri hanya menggeleng kepalanya dan menjawab bahwa ia baik-baik saja dan tidak ada apa-apa. Atau ia sering menggunakan alasan bahwa kematian Ki Tejo Langit yang membuat ia sering melamun dan berduka. Padahal bukan hanya itu yang membuatnya gelisah, melainkan terutama sekali kalau ia teringat kepada Lindu Aji dan Jatmika! Pada suatu malam, Neneng Salmah yang merasa rindu kepada Lindu aji, mengungkapkan perasaan hatinya kepada Sulastri.
"Lastri, dimana ya kira-kira sekarang ini Kakangmas Lindu Aji?" Mereka berdua sudah rebah di tempat tidur masing-masing yang berjajar di kamar itu. mendengar pertanyaan ini, Sulastri lalu miringkan tubuhnya menghadap ke arah Neneng.
"Ah, maksudmu Mas Aji? Agaknya engkau sudah rindu sekali padanya, ya?" Neneng tersipu. Ia tersenyum dengan kedua pipi berubah kemerahan. Sulastri harus mengaku dalam hatinya betapa ayu manis bekas waranggana dari Sumedang ini. Tidaklah mengherankan kalau Mas Aji jatuh cinta padanya, pikirnya.
"Ah, Lastri... aku hanya teringat kepadanya. Sudah agak lama kami saling berpisah"
Sulastri bangkit lalu duduk bersila, menghadap ke arah Neneng. "Neng, akuilah terus terang. Kita sudah seperti saudara, bukan? Ingat, aku mengenal baik Mas Aji... sudah... seperti saudara sendiri, bahkan dia adalah masih saudara seperguruanku. Katakanlah engkau benar-benar mencinta Mas Aji?"
Neneng Salmah juga bangkit dan duduk menghadapi Sulastri. Matanya yang indah kini menatap wajah Sulastri dan biarpun tampak malu-malu, namun wajahnya berseri dan sinar matanya cerah. "Lastri, aku pernah mengaku kepadamu bahwa aku sungguh amat mencinta Kakangmas Lindu Aji. Aku mencintanya, aku memujanya, aku mengaguminya. Kalau saja dia sudi menerima, aku mau menjadi hambanya, menjadi budaknya, untuk mencucikan pakaiannya, memasakkan makanannya. Aku... aku memujanya, Lastri, aku ingin selalu dekat dengannya, selalu melayaninya, aku ingin membahagiakannya, aku... ah, aku... akan tetapi aku seorang gadis hina, hanya seorang ledek dan dia... ah, dia seorang pendekar, seorang ksatria, seorang pahlawan, aku begini rendah dan dia begitu tinggi..."
Gadis itu menggunakan punggung tangannya untuk menyeka beberapa butir air mata yang menuruni pipinya. Sulastri merasa hatinya seperti diremas. Ia juga mencinta Lindu Aji. Hal ini sekarang teringat olehnya. Sejak dulu sejak remaja, ia telah jatuh hati kepada Lindu Aji. Akan tetapi sekarang, mendengar pengakuan Neneng Salmah yang mencinta Aji sedemikian rupa, ia menjadi terharu dan juga menjadi gelisah dan bingung. Ia tidak dapat marah kepada Neneng, tidak dapat cemburu kepadanya. Ia terlalu menyayang gadis itu. Dan ia yakin benar gadis yang hebat, baik budi pekertinya, bijaksana, cantik jelita, lemah lembut.
Seorang gadis pilihan, seorang seniwati tulen. Sudah sepantasnyalah kalau gadis sehebat ini menjadi calon isteri Lindu Aji! Akan tetapi Sulastri merasa hatinya tertusuk, pedih dan perih yang membuatnya hampir menjerit menangis. Akan tetapi ditahannya dan untung baginya bahwa sinar lampu di atas meja itu tidak cukup terang sehingga wajahnya yang berubah pucat itu tidak tampak oleh Neneng Salmah.
"Hemm, jangan berkata begitu, Neng. Mas Aji adalah seorang yang bijaksana, tidak mungkin dia memandang rendah pekerjaanmu. Memang banyak waranggana yang tersesat dan menyeleweng daripada pekerjaannya sebagai seorang seniwati. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang bersusila dan berbudi. Dan aku yakin mas Aji juga mengetahuinya."
Neneng Salmah menghela napas panjang. "Mudah-mudahan apa yang kau katakan itu benar, Lastri." Neneng lalu merebahkan diri kembali dan kini ialah yang melamun, melamunkan betapa akan bahagianya kalau pendapat Sulastri itu kelak menjadi kenyataan.
Kini Sulastri juga merebahkan diri telentang dan melamun lagi. Kini ia melamunkan kenangannya ketika melakukan perjalanan bersama Lindu Aji. Pengalaman dan bahaya yang mereka hadapi bersama. Betapa pemuda itu membela dan melindunginya mati-matian. Juga kalau kini ia kenang kembali, ia dapat menangkap gerak-gerik pemuda itu, pandang matanya, senyumnya, kelembutan kata-katanya, semua itu membayangkan bahwa pemuda itu menyayanginya, mencintainya! Dan ia sendiri... ia harus mengaku dalam hatinya bahwa ia juga amat tertarik, kagum dan sayang kepada pemuda itu. Ia tahu bahwa ia jatuh cinta kepda Lindu Aji.
Mereka saling mencinta, walaupun tidak pernah terucapkan dalam kata-kata. Semakin perih rasa hatinya kalau ia mengingat akan hal ini dan cepat-cepat ia mengalihkan perhatiannya dan lamunannya untuk mengenang Jatmika. Jatmika sudah jelas mencintanya, bahkan pemuda itu yang juga masih terhitung saudara sepeguruannya itu terang-terangan menyatakan cintanya dan hendak melamarnya kalau tugasnya sudah selesai! Jatmika juga seperti Lindu Aji, membela dan melindunginya dengan taruhan nyawa! Akan tetapi ketika ia mengamati hati sendiri, ia hanya mempunyai perasaan kagum dan suka kepada Jatmika. Ia tidak yakin apakah ia juga mencinta Jatmika.
Neneng Salmah sudah tidur pulas. Hal ini diketahui Sulastri dari pernapasannya yang teratur dan panjang. Ia menengok dan tersenyum. Ia melihat gadis itu tidur miring menghadapinya dan tampak mulutnya yang mungil itu tersenyum manis dalam tidurnya. Mungkin ia sedang mimpi bertemu dengan Lindu Aji yang dicinta dan dipujanya! Sulastri mengalihkan lagi renungannya. Bermunculan bayangan-bayangan itu. Terbunuhnya Ki Ageng Pasisiran! Lalu terbayang wajah para pembunuhnya.
Hasanudin yang pernah dijumpainya di pondok gurunya. Dan wajah Banuseta yang pernah dilihatnya ketika ia dan Lindu Aji menjadi tawanan Nyi Maya Dewi dan teman-temannya. Kemudian ia teringat kepada Lindu Aji, Jatmika, juga Parmadi dan Muryani. mereka semua pergi untuk mencari para pembunuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, juga mereka hendak membantu Mataram dalam perjuangannya melawan Kumpeni Belanda. Tiba-tiba saja ia menjadi bersemangat dan bangkit duduk. Ia mengerutkan alisnya. mengapa tidak? Bagaikan kilat sebuah gagasan memasuki benaknya. Mengapa ia diam saja? Iapun murid tersayang dari Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit.
Dan semenjak melakukan pejalanan dengan Lindu Aji yang menjadi senopati muda Mataram, berarti iapun sudah menjadi kawula Mataram yang membela Negara dan bangsanya. Ia telah berkali-kali bermusuhan dengan para antek Kumpeni! Mengapa ia tidak ikut seperti mereka, pegi ke barat, membantu gerakan pasukan Mataram yang hendak menyerbu Jayakarta? Dan dalam perjalanan yang searah itu besar sekali kemungkinan ia akan bertemu dengan Lindu Aji, Jatmika, juga dengan Parmadi dan Muryani. Kalau sudah bertemu mereka, terutama bertemu Lindu Aji dan Jatmika, baru ia dapat mengambil keputusan tentang Cinta segi tiga antara Lindu Aji, Neneng Salmah dan ia sendiri!
"Aku harus pergi menyusul mereka, harus membantu Mataram. Harus...!" Ia berbisik dan mengepal tinju membulatkan tekadnya. Akan tetapi, tiba-tiba ia tampak lesu dan kepalan tangannya terbuka lagi. Ia menghela napas panjang berulang kali. Ia teringat kepada ibunya. Ibunya sudah pasti keberatan dan tidak akan mengijinkan kalau berpamit untuk pergi membantu Mataram. Baru saja pulih ingatannya. Baru saja ibunya seolah menemukan ia kembali dan baru beberapa hari saja ia sudah berpamit hendak pergi. Pasti ibunya akan melarangnya dan ia merasa tidak tega kalau membantah ibunya.
Sulastri menjadi bimbang. Akan tetapi tiba-tiba ia memandang kepada Neneng Salmah yang masih tidur pulas dan senyum mengembang di bibirnya, matanya bersinar kembali dan wajahnya menjadi cerah. Ah, di sini ada Neneng, pikirnya dan ia tahu, Neneng adalah seorang gadis yang amat baik dan menyayang ibunya, juga disayang ibunya. Kalau ia pergi, setidaknya di situ ada Neneng yang menemani ibunya! Sulastri mulai berkemas dengan gerakan perlahan agar jangan sampai menggugah Neneng Salmah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, pada saat terdengar keruyuk jago (ayam jantan) menyambut munculnya sinar fajar, seperti biasa Neneng Salmah terbangun dari tidurnya. Ia bangkit duduk, menggeliat, menguap dan mengusir sisa kantuknya, lalu ia bangkit berdiri. Ia menoleh dan melihat pembaringan Sulastri kosong. Ah, rajin benar, sepagi ini sudah keluar kamar, pikirnya sambil tersenyum. Kasihan sibuk sendiri, mungkin sedang memasak air di dapur, harus kubantu! Neneng bergegas menuju dapur.
Akan tetapi tidak ada Sulastri di situ, bahkan belum ada nyala api untuk memasak air. Menyapu di pekarangan? Ia cepat keluar. akan tetapi di pekarangan juga tidak ada Sulastri, masih sunyi, hanya terdengar suara sapu lidi membersihkan pekarangan di rumah tetangga. Apakah mandi sepagi ini? Tak mungkin sepagi ini pergi ke sungai. Mungkin mencuci muka saja dibelakang, di mana memang disediakan sebuah gentung air besar. Ia segera berlari ke belakang lagi. Akan tetapi kamar mandi kecil itupun kosong, Sulastri tidak berada di situ. Suasana masih sepi. Yang terdengar hanya keruyuk ayam jago dan suara sapi menguak dan kambing mengembik. Sulastri tidak ada dimana-mana.
Tiba-tiba Neneng Salmah terkejut karena ia teringat betapa pintu samping yang menghubungkan rumah dengan pelataran samping tadi, ketika ia melewatinya dan keluar, tidak terkunci, hanya ditutupkan begitu saja! Hal ini berarti bahwa dari dalam rumah sudah ada yang keluar sebelum dia. Ke manakah perginya Sulastri sepagi ini? Pakaian kotor dalam keranjang masih terletak di ruang belakang, berarti Sulastri belum pergi mencuci pakaian dan mandi di sungai. Dengan jantung mulai berdebar tegang, Neneng Salmah kembali ke kamarnya. Masih gelap di kamar, hanya remang-remang.
Lampu di atas meja telah dipadamkan dan sinar matahari fajar masih terlampau lemah. Ia segera menyalakan lampu dan memandang ke sekeliling kamar. Pembaringan Sulastri tampak rapi, tidak kusut, berarti memang sudah dirapikan. Akan tetapi tidak tampak ada pakaian di gantungan pakaian, juga di sini jantungnya semakin berdebar, Pedang pusaka Naga Wilis yang biasa tergantung di dinding, di atas pembaringan Sulastri, tidak tampak lagi!
Dengan cepat Neneng berlari menghampiri peti pakaian. Dibukanya dan ia terbelalak. Pakaian Sulastri tidak berada di situ! Ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Sulastri telah pergi. Neneng Salmah mencari-cari dengan pandang matanya dan ia melihat sebuah corat-coret di atas meja. Tadi ketika ia menyalakan lampu, ia tidak melihat ini. Ia menghampiri meja dan di situ jelas terdapat coretan-coretan pendek.
"AKU PERGI BERJUANG. MINTAKAN MAAF KEPADA IBU!"
Neneng Salmah terbelalak. Tak dapat diragukan lagi. Sulastri tentu telah pergi mengejar Parmadi dan Muryani, yaitu untuk mencari pembunuh gurunya dan juga untuk membantu Mataram menghadapi Kumpeni! Ia berlari ke kamar Ki Subali dan mengetuk daun pintu kamar itu.
"Tok-tok-tok! Paman...! Bibi...! Bangunlah...!" Ia mengetuk lagi dan Nyi Subali yang membukakan daun pintu.
"Siapa itu? Ah, Neneng, ada apakah?" Ki Subali juga menhampiri pintu.
"Paman, bibi, maafkan kalau saya mengganggu. saya... saya..."
"Neneng, ada apakah? Kenapa engkau begini gugup? Apa yang terjadi?" tanya Nyi Subali sambil memegang lengan gadis itu.
"Bibi, Sulastri... ia... ia pergi malam tadi ketika aku tidur..."
"Pergi? Ke mana?" tanya Ki Subali.
"Mana ia? Mana anakku Sulastri?" Nyi subali mengguncang tangan Neneng.
"Tenanglah, paman dan bibi. Mari ikut saya ke kamar." Neneng mengajak mereka.
"Tenanglah, bune, bagaimanapun juga, Lastri bukan anak kecil dan kini ingatannya telah sembuh." Ki Subali menghibur isterinya yang mulai menangis. Mereka mengikuti Neneng pergi ke kamar yang menjadi kamar dua orang gadis itu. Sebuah daun pintu terbuka dan Ki Salmun muncul. Dia sudah terbangun dan keluar ketika mendengar suara ribut-ribut itu.
"Ada apakah?"
"Sstt, bapa, mari ikut dan bapa akan mengerti." kata Neneng perlahan. Ki Salmun juga mengikutinya. Empat orang itu memasuki kamar yang lampu mejanya masih menyala. "Ketika bangun pagi-pagi tadi, saya tidak melihat Lastri. Sudah saya cari kemana-mana tidak ada dan pakaiannya juga tidak ada. pedang Naga Wilis juga tidak ada dan saya menemukan tulisan ini di atas meja." Neneng menunjuk ke arah cotretan-coretan huruf yang agaknya dibuat dengan goresan pedang di atas meja itu.
Ki Subali mendekat dan membaca agak keras agar isterinya yang tidak pandai membaca dapat mendengarkan. "AKU PERGI BERJUANG. MINTAKAN MAAF KEPADA IBU! Dia membaca dan ketika dia berhenti membaca, terdengar tangis Nyi Subali.
"Aduh, Anakku Sulastri... ke mana lagi engkau pergi..." ibu ini mengeluh, Neneng Salmah merangkulnya dan menuntunnya duduk di atas pembaringan Sulastri.
"Bibi, harap bibi jangan khawatir. Sulastri tentu pergi menyusul Kakangmas Permadi dan Mbakayu muryani, juga ia tentu akan bertemu dengan Kakangmas lindu aji dan Kakangmas Jatmika dan bersama mereka berjuang membantu Mataram menghadapi Kumpeni. Sulastri adalah seorang yang sakti mandraguna, bibi, harap bibi tenangkan hati." Neneng Salmah menghibur.
"Apa yang dikatakan Neneng itu benar, bune. Sudahlah, jangan menangis. Anak kita melakukan tugas yang suci, membela Negara dan bangsa, Kita patut merasa bangga dan mari kita doakan saja agar Gusti Allah selalu melindunginya." kata Ki Subali.
Setelah dihibur oleh suaminya dan terutama oleh Neneng Salmah yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Nyi Subali lambat laun dapat merelakan kepergian Sulastri. Beberapa hari kemudian ia telah tenang dan pulih kembali.
********************
Sultan Agung di mataram memang merasa penasaran sekali setelah setahun yang lalu serangan pertamanya ke Batavia gagal dan dia kehilangan banyak perajurit dan senopati. Karena itu, setahun lebih kemudian setelah kekalahan itu, dia menyusun lagi kekuatan yang lebih besar untuk mengirim bala tentara ke Batavia dan menyerang pertahanan Kumpeni Belanda. Sesungguhnya, Belanda inilah yang menjadi sasaran utamanya untuk dimusuhi karena dia mengerti bahwa Kumpeni merupakan ancaman besar bagi negara dan bangsanya.
Belanda memiliki kapal-kapal perang yang besar, lengkap dengan meriam-meriam besarnya, dan walaupun pasukannya tidak berapa besar namun pasukan itu diperkuat dengan meriam-meriam, granat dan bahan peledak lain termasuk bedil-bedil yang dapat membunuh orang dari jarak jauh. Untuk keperluan penyerbuan kepada Kumpeni inilah Sultan Agung mempersatukan seluruh daerah sebelah barat sampai ke timur Nusa Jawa, kalau perlu dengan kekerasan sehingga semua daerah tunduk dan dapat dipersatukan guna menghimpun pasukan besar.
Pada suatu hari Sultan Agung mengumpulkan seluruh senopati dan adipati dan mengangkat para adipati dan senopati untuk memimpin bala tentara menyerang Batavia. Karena itu merupakan penyerangan kedua, Sultan Agung tidak ingin serangannya gagal dan dia mengangkat orang-orang yang sungguh-sungguh dapat dipercaya akan dapat memberi semangat kepada semua perajurit. Dia mengangkat tiga orang bangsawan untuk menjadi pimpinan. Pertama-tama dia mengangkat Kyai Adipati Jumina untuk memimpin barisan yang datang menyerang dari arah barat. Orang kedua adalah Kyai Adipati Puger yang memimpin pasukan yang menyerang dari arah selatan. Kedua bangsawan ini adalah pamannya sendiri, saudara dari mendiang Panembahan Seda Krapyak.
Adapun orang ketiga adalah adiknya sendiri, yaitu Adipati Purbaya. Tentu saja tiga orang bangsawan ini hanya untuk memberi semangat saja kepada para perajurit dan yang betul-betul memimpin pasukan adalah para pembantu mereka. Adipati Jumina dibantu oleh Tumenggung Singoranu dan Raden Arya Wira Natapada yang mengepalai beberapa orang Senopati muda Mataram. Sedangkan Adipati Puger dibantu oleh Adipati Singenep (Sumenep) dan Tumenggung Madiun. Adipati Pubaya memimpin pasukan khusus datang menyerang dari arah timur, dibantu beberapa orang Senopati. Diantara para panglima yang membantunya terdapat Dipati Ukur, adipati yang diangkat oleh Sultan Agung untuk menjadi wakilnya di Jawa Barat.
Pasukan-pasukan dari daerah banyak yang memperkuat barisan Mataram, diantaranya dari Surabaya, Pasuruan, Kediri, Wonosobo, Ponorogo, Madiun, Sampang dan bahkan juga Dipati Ukur sudah siap membantu dengan pasukannya dari Sumedang yang sudah menanti di daerah itu untuk bergabung kalau Mataram lewat. Mataram mengerahkan tenaganya. meriam-meriam yang dulu didapatkan melalui perdagangan hasil bumi dari orang-orang Portugis dan juga dari Belanda sendiri, diangkut untuk memperkuat pasukan Mataram.
Banyak pula perajurit yang membawa bedil, walaupun senjata-senjata api itu model kuna dan jauh ketinggalan jaman kalau dibandingkan dengan persenjataan Kumpeni Belanda. Semangat para perajurit menggebu-gebu, terutama sekali karena kali ini yang memimpin mereka adalah tiga orang keluarga dekat Sultan Agung sendiri! Akan tetapi di jaman apapun, dalam suatu perjuangan selain bermunculan para pendekar, pahlawan patriot bangsa, sebagai bandingannya muncul pula pengkhianat bangsa yang rela menjadi antek musuh.
Belanda amat pandai membujuk orang-orang pandai yang jiwanya lemah untuk menjadi telik sandi mereka, Bahkan banyak yang rela membantu mereka melawan Mataram. Juga Belanda pandai menggunakan taktik mengadu domba, memecah belah, dengan omongan manis dan menjatuhkan hati mereka dengan pengaruh harta, wanita, atau tahta (kedudukan). Demikianlah jauh hari sebelum balatentara Mataram bergerak ke barat untuk menyerang Batavia. Kumpeni telah mendengar dari para telik sandi (mata-mata) mereka. Tentu saja mereka telah membuat persiapan sebaiknya, memperkuat diri dan bukan itu saja, mereka juga mengetahui akan kelemahan-kelemahan Mataram.
Kelemahan ini selain dalam persenjataan, juga terutama sekali tentang penyediaan ransum. Daerah-daerah sekeliling Jayakarta sudah dipengaruhi oleh Kumpeni Belanda yang seolah menyebar kemakmuran sehingga rakyatnya bersifat tak acuh terhadap perjuangan Mataram mengusir Belanda. Mereka menganggap Belanda sebagai sahabat dalam perdagangan yang menguntungkan rakyat. Karena itu, balatentara Mataram jelas tidak memperoleh dukungan penyediaan ransum dari rakyat sekitar daerah Jayakarta. Demikian pula kerajaan Banten tidak mendukung Mataram dan seolah tidak ingin mencampuri permusuhan antara Mataram melawan Kumpeni.
Langkah penting yang dilakukan Jenderal Jan Pieters Zoon Coen dalam melemahkan balatentara yang mengancam itu adalah menghancurkan gudang-gudang ransum (beras dan padi) yang diadakan Mataram sebagai persediaan bagi balatentaranya. Suatu malam di Tegal. Sejak sebulan yang lalu, orang-orang membawa beras dan padi ke sebuah gudang besar yang dibangun di kadipaten itu, Mataram mendirikan gudang ransum yang besar di kadipaten tegal. Seorang laki-laki tinggi besar mondar mandir di depan gudang itu. Beberapa kali dia mendekat ke pintu gudang yang lebar dan memandang ke dalam gudang di mana ratusan karung beras dan beberapa gunungan padi bertumpuk-tumpuk.
Setelah gudang itu penuh dengan ransum yang ditumpuk selama kurang lebih sebulan itu semua pekerja keluar dan daun pintu ditutup. Ada lima orang tetap menjaga di pintu gudang. Laki-laki tinggi besar itu menemui seorang diantara pekerja dan bertanya perlahan. "Sudah penuhkah?"
"Sudah." Jawab pekerja yang bertubuh pendek gendut itu.
"Penjaganya hanya lima orang itu?"
"Ya." Tanya jawab singkat ini dilakukan sambil berjalan berdampingan dengan suara berbisik.
"Tengah malam nanti." kata laki-laki tinggi besar itu ketika mereka hendak berpisah. Dua orang itu sama sekali tidak menyadari bahwa sejak tadi gerak gerik si tinggi besar, dari mulai dia mondar mandir di depan gudang, sampai dia bertemu dan bicara dengan pekerja gemuk pendek itu, selalu dibayangi, diawasi dan didengarkan oleh seorang pemuda. Pemuda itu adalah Jatmika...
********************