Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 27
SEPERTI telah diceritakan di bagian depan, Jatmika mengantar Eulis atau Sulastri ke rumah orang tuanya di Dermayu, lalu dia pergi meninggalkan Dermayu untuk mencari para pembunuh ayah dan kakeknya. Disamping itu dia juga ingin membantu Mataram yang dia dengar hendak mengulang usahanya setahun yang lalu menyerang Kumpeni di Jayakarta. Ketika keluar dari Dermayu dia bingung karena tidak tahu ke mana harus mencari para pembunuh ayah dan kakeknya, terutama sekali Hasanudin dan Banuseta seperti yang diceritakan Aji kepadanya.
Akan tetapi dia teringat akan cerita Aji bahwa Raden Banuseta yang memimpin pasukan Kumpeni menyerang ke padepokan eyangnya itu pernah menawan Aji dan Sulastri dan membawa mereka ke Tegal! Siapa tahu dia akan dapat menemukan Banuseta dan Hasanudin di sana. Pikiran inilah yang membawa dia ke Tegal dan di kadipaten ini dia menyaksikan kesibukan orang-orang yang mengumpulkan ransum ke dalam sebuah gudang besar.
Ketika mendengar bahwa penumpukan ransum ini untuk keperluan balatentara Mataram, Jatmika merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk ikut mengawasi dan mengamat-amati kalau-kalau akan terjadi gangguan pihak musuh terutama sekali kalau-kalau akan muncul Banuseta dan Hasanudin. Dia melakukan penjagaan secara diam-diam dan pada malam itu dia melakukan pengamatan sampai gudang itu penuh dan ditinggalkan para pekerja. Dalam kegiatan inilah dia melihat laki-laki tinggi besar itu dan merasa curiga lalu mengintainya dan mendengarkan percakapan antara laki-laki tinggi besar itu dengan seorang diantara pekerja.
Tentu saja di merasa curiga dan diam-diam membayangi laki-laki tinggi besar itu. Laki-laki itu memasuki sebuah rumah. Jatmika dengan hati-hati memasuki pekarangan rumah itu dengan cara melompati pagar samping. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di Tegal berkeliaran banyak mata-mata Kumpeni dan ketika dia membayangi tadi, dia ketahuan oleh seorang mata-mata lain yang diam-diam memberi isyarat ketika berpapasan dengan laki-laki tinggi besar sehingga mata-mata ini sudah mengetahui bahwa dia dibayangi orang!
Di dalam rumah, laki-laki itu disambut oleh Ki Harya Baka Wulung, Nyi Maya Dewi dan seorang raksasa kulit putih yang bukan lain adalah Hendrik De Haan, jagoan anak buah Kapten De Vos! Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat ketika laki-laki tinggi besar itu menceritakan tentang gudang ransum yang sudah penuh dan tentang orang yang membayanginya.
"Hemm, biar aku yang membereskan orang itu. Tentu dia telik sandi Mataram. Engkau, Nyi Maya Dewi, dan tuan Hendrik De Haan, lanjutkan rencana kita. Malam ini juga gudang itu harus dibakar habis. Wira, kau pancing telik sandi Mataram itu keluar kota sebelah selatan. Aku yang akan membunuhnya!"
Mereka mengatur siasat. Maya Dewi dan Hendrik bersiap-siap. Mata-mata tinggi besar yang bernama Wira itu lalu keluar dari rumah dan berjalan menuju ke selatan. Jatmika yang mengintai tak melihat petemuan tadi karena mereka melakukannya di ruangan tertutup. Ketika Jatmika melihat orang yang dibayangi itu keluar rumah itu, diapun segera membayangi. Orang itu ternyata keluar kota menuju ke selatan. Malam itu bulan yang hampir bulat terang sekali sehingga dengan mudah Jatmika dapat membayangi Wira. Akan tetapi setelah tiba di jalan yang sunyi, Wira berhenti, memutar tubuh dan berseru galak.
"Hei, pengecut! mau apa engkau mengikutiku? Kalau berani ke sinilah!"
Jatmika terkejut. Kiranya orang itu sudah tahu bahwa dia membayangi. Dia lalu melompat keluar dari balik pohon dan menghampiri orang itu. "Kisanak, andika memata-matai penyimpanan ransum di gudang itu! Siapa andika dan apa maumu?" bentak Jatmika.
Akan tetapi Wira malah mencabut goloknya dan membentak. "Engkau telik sandi Mataram, mampuslah!" goloknya berkelebat menyambar.
"Wusss...!" Dengan mudah saja Jatmika mengelak ke samping lalu secepat kilat menyambar tangan kirinya bergerak ke arah lengan lawan yang memegang golok. "Krekk...!" Wira menjerit, goloknya terlepas dari pegangan dan lengan kanannya terkulai, tulangnya patah! Jatmika melanjutkan gerakannya, kaki kanannya menyambar. "Wuuuttt... krakk!" Wira mengaduh lagi dan terpelanting roboh, kaki kirinya terkena tendangan dan tulang betisnya juga patah! Dia mengaduh-aduh, meggunakan tangan kiri untuk memijit-mijit lengan kanan dan kaki kiri bergantian yang dirasa amat nyeri.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan menyeramkan, seperti suara binatang buas atau setan. "Aurrgghh !!" Angin pukulan dahsyat menyambar dari belakang. Jatmika terkejut, mengenal aji pukulan ampuh sekali. Dia cepat memutar tubuhnya dan tangan kanannya membuat gerakan berputar untuk menangkis pukulan dahsyat itu.
"Wuuuttt... blarrr !" Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan tanah sekitar tempat itu seperti tergetar! Ki Harya Baka Wulung terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali kalau orang yang dicurigai sebagai telik sandi Mataram ini demikian kuatnya sehingga mampu menangkis pukulan mautnya! Di lain pihak, Jatmika juga terkejut. Ternyata penyerangnya, seorang kakek seperti raksasa brewok dan kuat bukan main sehingga ketika tangan mereka saling bertemu, tubuhnya tergetar hebat. Dua orang itu kini berdiri saling berhadapan dengan sikap hati-hati.
"Siapa engkau?" tanya Harya Baka Wulung.
"Namaku jatmika. dan andika siapa? Mengapa menyerangku?"
"Engkau tentu telik sandi mataram!" "Dan andika tentu mata-mata Kumpeni Belanda! Tak tahu malu menjadi antek musuh Negara dan bangsa!"
"Babo-babo, keparat Jatmika! Aku sejak dulu adalah musuh besar Mataram!"
Setelah berkata demikian tiba-tiba kakek itu membuat gerakan berjongkok lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Jatmika, dari perutnya yang gendut, melalui mulut, mengeluarkan suara berkokok seperti bunyi katak budug yang besar. "Kok-kok-kok... wuuuttt... !!" Itulah Aji Cantuka Sakti yang amat dahsyat. Jatmika cepat membuat gerakan mengelak dan menangkis dari samping. Biarpun dia tidak menerima pukulan telak, tetap saja tenaga getaran Aji Cantuka Sakti itu membuat dia terhuyung!
"Mampus kau!" Harya Baka Wulung mengulangi serangannya. "Kok-kok-kok... wussss!"
Karena kini dia tahu betapa kuat dan berbahayanya aji pukulan lawan itu, Jatmika tidak mau sembarangan menangkis melainkan cepat menghindar dengan elakan cepat. Harya Baka Wulung menjadi penasaran sekali karena pukulannya selalu dielakkan dan lawannya yang masih muda itu ternyata gesit bukan main. Dia lalu mencabut kerisnya yang besar panjang berluk sembilan dan menerjang maju sambil berteriak panjang.
"Haaaiiik...!" Keris itu meluncur dan menusuk ke arah dada Jatmika.
"Cringgg... tranggg...!!" Ternyata Jatmika dapat bergerak. Dia tadi sudah mencabut pula senjatanya Kyai Cubruk, yaitu kerisnya yang bergagang kayu cendana dan berpamor emas itu, lalu menangkis. Dua kali dua batang keris itu bertemu dan bunga api berpijar menyilaukan mata.
Harya Baka Wulung menggereng dan tangan kirinya bergerak mendorong. Tampak asap hitam meluncur dari telapak tangannya. Itulah Aji Kukus Langking (Asap Hitam). Jatmika terkejut dan melompat ke samping menghindar. Akan tetapi kakek itu mengejar dengan serangan kerisnya. Demikianlah, Jatmika terdesak oleh serangan keris dan pukulan berasap hitam yang datangnya bertubi secara bergantian itu. Masih untung baginya bahwa Ki Harya Baka Wulung kini sudah tua, usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, gerakannya kurang gesit sehingga Jatmika yang lebih gesit dapat menghindarkan diri dari desakan kakek itu. namun tetap saja dia terdesak terus karena dia masih kalah kuat dalam hal tenaga sakti.
"Haaaiiitt !!" Kembali keris kakek itu menyambar disusul pukulan berasap hitam.
Jatmika yang sudah terdesak terpaksa menyambut pukulan itu dengan Aji margopati. "Wuuuttt... dess !!" Tubuh Jatmika terjengkang ke belakang akan tetapi pemuda itu dapat bergulingan sehingga tidak sampai terbanting.
Tiba-tiba ada tangan menangkap lengannya. "Kakangmas Jatmika, engkau tidak terluka?" Tanya seorang wanita.
Jatmika melompat berdiri. "Eulis...!"
"Namaku Sulastri, kakang!" Kata Sulastri lalu menuding ke arah kakek yang memandang kepada mereka dengan marah. "Dia itu adalah Ki Harya Baka Wulung yang dulu pernah kulawan bersama Mas Aji. Hayo kita basmi antek Belanda ini! Kita persatukan Aji Margopati!"
Sementara, melihat Sulastri, Ki Harya Baka Wulung teringat dan dia menjadi marah akan tetapi juga terkejut sekali karena dia ingat betapa gadis itu dahulu mempunyai kawan, yaitu Lindu Aji yang amat sakti mandraguna sehingga dia sendiri kewalahan melawannya, jangan-jangan Lindu Aji juga ikut datang! Maka, dalam usahanya menyelamatkan diri, dia mendahului dan sambil berteriak keras dia menerjang ke arah dua orang muda itu dengan keris dan pukulan mautnya!
Kerisnya menghunjam ke arah Jatmika dan pukulan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Sulastri. Dua orang muda itu cepat melompat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh harya Baka Wulung untuk berusaha melarikan diri. Akan tetapi Sulastri sudah menduga akan hal ini. Gadis ini sudah mencabut pedang Naga Wilis dan ia melompat dengan amat cepatnya, menghadang di depan Harya Baka Wulung dan pedang pusakanya menyambar, berubah menjadi sinar hijau.
"Tua Bangka jahat, hendak lari kemana engkau?" Gerakan serangan Sulastri amat cepatnya sehingga kakek itu tak sempat mengelak dan terpaksa menggunakan kerisnya untuk menangkis. "Tranggg...!"
Bunga api berpijar dan Sulastri terhuyung ke belakang. Akan tetapi Harya Baka Wulung tak sempat melarikan diri karena pada saat itu Jatmika sudah menyerangnya dengan keris Kyai Cubruk. Ketika Harya Baka Wulung mengelak, Sulastri sudah menyerang lagi dan kakek itu dikeroyok dua. Tiba-tiba kakek itu, membanting sebuah benda ke atas tanah dan terdengar suara ledakan lalu asap hitam mengepul tebal. Jatmika dan Sulastri berloncatan menghindar. Akan tetapi kakek itu sudah lenyap.
"Wah, dia sudah pergi, si keparat!" Seru Sulastri.
"Celaka, di sana ada kebakaran!" Jatmika menuding ke utara, ke arah kadipaten Tegal. Sulastri menengok dan benar saja, tampak api dan asap membubung tinggi, tanda bahwa di sana terjadi kebakaran besar. Tiada waktu lagi untuk bercakap-cakap. Jatmika berkata dan menarik tangan Sulastri.
"Mari cepat. Agaknya gudang ransum Mataram dibakar!" Mereka mengguakan ilmu berlari cepat seperti terbang menuju ke kota. Setelah mereka tiba di depan gedung ransum itu, benar saja dugaan Jatmika. Yang terbakar adalah gudang ransum itu. Api bernyala di dalam gudang, besar sekali sampai tinggi. Melihat keadaannya Jatmika maklum bahwa tak mungkin gudang dan isinya itu diselamatkan lagi.
"Kakangmas Jatmika, hayo kita cari mereka!"
"Eh, siapa? Di mana?"
"Iblis-iblis mata-mata Kumpeni itu. Aku tahu di mana sarang mereka! Hayo!"
Sulastri berlari diikuti oleh Jatmika dan gadis itu menuju ke rumah Ki Warga di mana ia dan Lindu Aji dahulu pernah menjadi tawanan para mata-mata Belanda dan bermalam di situ. Sulastri memberi isyarat dan mereka berindap-indap mengintai ke dalam rumah itu. Ada suara orang terdengar di ruangan belakang dari mana tampak sinar penerangan sedangkan ruangan lain gelap saja. Mereka berhasil mengintai dari luar jendela ke dalam ruangan yang luas. Dua buah lampu gantung besar menerangi ruangan itu.
Di dalam ruangan itu duduk tiga orang menghadapi sebuah meja yang penuh makanan dan botol-botol minuman. Di meja lain yang lebih besar duduk pula belasan terdiri dari tiga orang kulit putih dan empat orang pribumi. Tampaknya mereka itu seperti perajurit dan tukang-tukang pukul. Sulastri segera mengenal tiga orang itu. Mereka adalah Ki Warga, Nyi Maya Dewi dan Hendrik De Haan! Melihat mereka, panas rasa hati Sulastri. Akan tetapi ia masih menahan kemarahannya dan mendengarkan percakapan mereka. Agaknya karena mereka bercakap-cakap sambil makan minum, maka mereka tidak tahu bahwa ada dua orang yang mengintai dari luar jendela. Bahkan Maya Dewi yang sakti itupun tidak tahu. Agaknya ia lengah karena mereka tampak sedang bergembira sekali. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
"Ki Warga, sekali ini pekerjaanku berhasil baik sekali!" Kata Maya dewi sambil tersenyum cerah dan manis.
"Andika harus melaporkan jasaku ke Batavia!"
"Ha-ha, ingat aku juga ikut berjasa, Dewi!" kata si raksasa Hendrik De Haan dengan bahasa daerah yang campur-campur bahasa melayu dan belanda. "Aku yang membakar gudang itu setelah menyirami dengan minyak!"
"Hemm, akan tetapi aku yang lebih dulu membunuh lima orang penjaga itu!" kata Maya Dewi.
Dari meja lain, seorang pribumi berkata. "Kami juga bekerja. Kita semua berjasa!"
Ki Warga mengangguk-angguk. "Tentu saja, aku akan membuat laporan kepada atasan. Kalian semua pasti akan memperoleh hadiah besar. Mari kita rayakan keberhasilan ini! Mari kita minum sepuasnya!"
Sulastri tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia memberi isyarat kepada Jatmika dengan sentuhan pada tangan pemuda itu, lalu ia membentak sambil melompat dan mendorong daun jendela. "Antek Kumpeni keparat!! Braakkk!" Tubuhnya meloncat ke dalam ruangan itu melalui jendela yang sudah terbuka, diikuti oleh Jatmika.
Tentu saja semua orang dalam ruangan itu terkejut sekali dan tujuh orang perajurit dan tukang pukul yang berada terdekat dengan Sulastri dan Jatmika segera bangkit berdiri. Seorang serdadu Belanda mengambil bedilnya yang dia sandarkan di dekatnya. Akan tetapi sinar hijau dari pedang Naga Wilis menyambar dan serdadu itu berteriak dan roboh mandi darah. Dua orang serdadu lainnya mencabut pistol mereka dan membidik ke arah Sulastri dan Jatmika. Akan tetapi secepat kilat dua orang pendekar itu telah menangkap dua orang tukang pukul.
"Dar-dar...!!" Dua orang yang ditangkap Sulastri dan Jatmika yang dijadikan perisai menerima peluru-peluru itu dan mereka tersentak dan tewas seketika. Sulastri dan Jatmika melemparkan mayat-mayat itu ke arah dua orang serdadu tang menembak. Dua orang serdadu tertumbuk dan terjengkang dan sebelum mereka dapat bangkit kembali, pedang Naga wilis dan keris Kyai Cubruk sudah meluncur dan dua orang serdadu Belanda tewas seketika. Dua orang tukang pukul menjadi ketakutan melihat betapa dalam waktu cepatnya tiga orang serdadu Belanda yang bersenjata api telah terbunuh, demikian pula dua orang rekan mereka!
Sementara itu, Maya Dewi dan Hendrik De Haan juga sudah mengenal Sulastri, maka mereka terkejut tapi marah sekali melihat betapa dua orang muda itu telah menewaskan lima orang anak buah mereka. juga Ki Warga terkejut bukan main. Maya Dewi dan Hendrik De Haan cepat melompat dari kursi mereka sedangkan Ki Warga diam-diam berlari keluar dari ruangan, Maya Dewi melolos sabuk Cinde Kencono sedangkan Hendrik De Haan sudah mencabut pistolnya. Raksasa bule ini cepat menembakkan pistolnya ke arah Jatmika.
"Dar-dar...!" Akan tetapi Jatmika melempar tubuh ke samping lalu bergulingan dan sambil bergulingan dia melontarkan keris pusakanya ke arah tangan Hendrik yang memegang pistol itu.
"Dor... trang... ahh!" Tembakan ketiga kali inipun luput dan tiba-tiba keris itu menyambar dan mengenai tangan Hendrik yang mengaduh dan pistolnya terlempar bersama keris.
Dia menjadi marah dan sudah menerkam kepada Jatmika dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi Jatmika menangkis dan membalas. Dua orang itu segera saling serang dengan seru. Nyi Maya Dewi juga sudah menyerang Sulastri dengan sabuk Cinde Kencana. Sabuk yang berwarna kuning emas itu berubah menjadi sinar bergumung-gulung yang menyambar ke arah Sulastri dengan suara meledak-ledak.
Namun Sulastri yang maklum akan kesaktian wanita ini, juga memutar pedangnya yang membentuk sinar kehijauan seperti payung atau perisai yang melindungi dirinya. Juga ia berusaha membalas dengan gigih. Dua orang sisa anak buah yang tadinya ketakutan kini menjadi nekat ketika melihat dua orang pimpinan mereka sudah saling serang dengan dua orang muda itu. Seorang mencoba untuk membantu Nyi Maya Dewi dan seorang lagi membantu Hendrik De Haan dengan golok mereka. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik saja kedua orang anak buah itu sudah roboh oleh pukulan Margopati tangan Jatmika dan sambaran sinar pedang hijau di tangan Sulastri.
Betapapun besar tenaga kasar Hendrik dan betapa kuatpun tubuhnya, dia kewalahan menghadapi Jatmika yang bergerak denngan gerakan Aji Sonya Hasta dan kalau memukul menggunakan tenaga Aji Margopati. Beberapa kali dia terkena pukulan Margopati dan biarpun dia masih dapat bertahan, namun sesungguhnya dia sudah terluka dalam, tenaganya mulai berkurang.
Ketika Hendrik menyerang dengan kedua tangan, hendak menangkap lawan, Jatmika mengelak. Dia tahu bahwa kalau sampai dia tertangkap dua buah tangan yang panjang besar dan amat kuat itu, dia terancam bahaya maut. Akan tetapi ternyata serangan dahsyat tadi hanya berupa gertakan saja karena tiba-tiba Hendrik sudah berlari ke sudut ruangan dimana menggeletak pistolnya yang tadi terlempar ke sana. Akan tetapi cepat sekali tubuh Jatmika sudah melesat bagaikan kilat mengejarnya dan pemuda perkasa ini sudah lebih dulu mengambil pistol itu.
Selama hidupnya Jatmika belum pernah memegang pistol, apa lagi menembak. Akan tetapi dia pernah mendengar tentang senjata api itu dan dapat mengira-ngira bagaimana menarik pelatuknya untuk menembak. Dia membidik ke arah Hendrik yang masih bergerak untuk merampas pistol dan menarik pelatuknya dengan jari telunjuk.
"Darr...!" Pistol itu menendang sehingga jatmika terkejut dan melemparkannya ke arah Hendrik. Akan tetapi dia melihat Hendrik terjengkang sambil mendekap dadanya dan roboh tak bergerak lagi. Jatmika lalu mengambil kerisnya Kyai Cubruk menggeletak tak jauh dari situ. Kemudian dia melompat dan membantu Sulastri yang terdesak oleh sabuk Cinde Kencono Nyi Maya Dewi yang meledak-ledak itu.
"Hyaahh !!" Jatmika menyerang dengan pukulan margopati yang dilakukan dengan tangan kirinya.
"Haaiitt !!" Sulastri yang tadinya terdesak, bahkan pundaknya sudah terkena lecutan ujung sabuk lawan dan terluka, kini berbesar hati dan ia juga menyerang dengan Aji Margopati. Diserang dari depan dan dari kiri itu, Maya Dewi terkejut bukan main. Apalagi ia dapat merasakan bahwa tenaga pukulan pemuda itu bahkan lebih kuat dibandingkan pukulan Sulastri. Ia cepat mengelak dengan lompatan ke belakang. Ketika dua orang pengeroyoknya mendesak dengan senjata pedang dan keris, Maya Dewi memutar sabuknya untuk melindungi dirinya dan tiba-tiba tubuhnya melompat tinggi!
Sebelum Sulastri dan Jatmika menyadari apa yang dilakukan Maya Dewi, terdengar suara berkerontangan dan ruangan itu menjadi gelap gulita! Kiranya wanita yang cerdik itu telah menghancurkan dua buah lampu gantung yang menerangi ruangan itu! Karena khawatir diserang dalam kegelapan itu, Sulastri dan Jatmika memutar senjata untuk menjaga diri. Akan tetapi tidak ada serangan, tidak ada suara, bahkan tidak ada gerakan. Maya Dewi telah lenyap dari ruangan itu!
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang di luar rumah itu. Jatmika dan Sulastri maklum akan bahaya yang mengancam mereka kalau banyak mata-mata Kumpeni dan serdadu-sedadu mereka datang. Maka keduanya segera melarikan diri, keluar dari rumah itu melalui pintu belakang. Mereka mengintai dari tempat gelap dan Sulastri melihat Ki Warga bersama belasan orang Belanda yang memegang pistol. Ia memberi isyarat kepada Jatmika dan mereka cepat pergi meninggalkan tempat itu. Setelah mereka melarikan diri dan berada di luar kota, Jatmika mengajak Sulastri beristirahat di dalam sebuah gubug yang berdiri di ladang. Bulan sudah condong ke barat namun masih memberi penerangan sehingga cuaca menjadi remang-remang.
"Sayang kita tidak berhasil membunuh wanita iblis itu!" Sulastri berkata kecewa.
"Ya, lebih menyesal lagi kita tak berhasil mencegah mereka membakar gudang ransum itu!" kata Jatmika. "Akan tetapi, bagaimana engkau tiba-tiba muncul membantuku dan benarkah engkau telah sembuh dan dapat mengingat kembali masa lalumu, Eulis?"
"Panjang ceritanya, Kakangmas Jatmika. Dan karena aku sekarang sudah ingat kembali bahwa namaku adalah Sulastri, maka nama Listyani atau Eulis itu kita lupakan saja dan harap engkau memanggil aku Sulastri."
"Baiklah, Sulastri, walaupun di dalam hatiku engkau tetap Eulis yang geulis (cantik). Nah, ceritakanlah pengalamanmu semenjak kita berpisah."
Sulastri lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Parmadi dan Muryani di sungai ketika ia bersama Neneng Salmah hendak mencuci pakaian dan mandi.
"Nanti dulu, siapa itu Neneng Salmah?" Jatmika bertanya.
"Oh, ya! Engkau belum mengenalnya!" Ia lalu bercerita tentang gadi waranggana dari Sumedang itu datang bersama Ki Salmun, ayahnya, datang mengungsi dari sumedang ke dermayu atas nasehat Lindu Aji.
Setelah mendengar keterangan panjang lebar tentang neneng Salmah, Jatmika bertanya lagi. "Dan siapa itu Parmadi dan Muryani?"
"engkau tidak dapat menduga siapa Kakangmas Paemadi. Dia masih kakak seperguruan kita!"
"Eh? Bagaimana mungkin? Kenapa aku tidak mengenalnya?"
"Tentu saja tidak. Dia adalah murid dari Eyang Resi Tejo Wening, kakak guru mendiang Eyang Guru Ki Tejo Langit."
"Ah, begitukah? Ceritamu semakin menarik, lanjutkanlah, Lastri."
"Setelah saling mengenal aji-aji kami yang sama, dan tahu bahwa aku kehilangan ingatan masa lakuku, Kakangmas Parmadi dan isterinya Mbakayu Muryani berkunjung ke rumah dan mengobatiku dengan tiupan sulingnya. Aku sembuh dan dapat pulih kembali ingatanku."
"Terima kasih kepada gusti Allah! Wah, syukurlah, aku ikut merasa bahagia sekali, Lastri!" Saking gembiranya, Jatmika merangkul gadis itu. Akan tetapi dengan gerakan lembut Sulastri menghindar. Jatmika merasa heran sekali, akan tetapi tidak memaksa, hanya berkata penuh perasaan sehingga suaranya menggetar. "Aku rindu sekali kepadamu, Lastri."
Sulastri menghela napas panjang. Setelah teringat kembali akan masa lalunya, ia kini selalu teringat akan hubungan batinnya dengan Lindu Aji dan sulit baginya untuk membiarkan dirinya dipeluk pria lain walaupun pria itu adalah Jatmika yang dikagumi dan disukainya. "Kakang, bukan waktunya kita bicara tentang hal itu. Akan kulanjutkan ceritaku."
"Baiklah, Lastri. Nah, lanjutkan ceritamu." kata Jatmika, agak tersipu akan tetapi heran melihat sikap Lastri yang dingin terasa sekali dalam suaranya.
Sulastri bercerita dengan singkat tentang munculnya pangeran dari Banten yang dulu mengganggu Neneng Salmah untuk memaksa gadis itu ikut. Pangeran ini ditemani dua orang datuk, yaitu Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad. Parmadi, Muryani dan ia sendiri yang sudah sembuh berhasil mengusir mereka. "Setelah Kakangmas Parmadi dan Mbakyu Muryani pergi untuk mencari pembunuh Eyang Guru Tejo Langit, aku yang sudah pulih ingatanku, menjadi gelisah, Mas Aji mencari pembunuh itu dan berjuang membela Mataram, engkau dan Kakang Parmadi juga begitu. aku merasa tidak enak untuk duduk diam di rumah saja, maka aku lalu nekat meninggalkan rumah."
"Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?" Tanya Jatmika.
"Aku teringat kepada Raden Banuseta yang dulu ikut melawan aku dan Mas Aji, maka aku lalu pergi ke Tegal hendak mencarinya. Malam tadi aku tiba di mana engkau sedang bertanding melawan Harya Baka Wulung."
"Ah, agaknya memang Gusti Allah yang menuntunmu sehingga engkau dapat membantuku dan aku dapat menyelamatkan diri dari kakek yang sakti mandraguna itu."
"Akan tetapi, Kakangmas Jatmika, kenapa Mataram menumpuk demikian banyak ransum di Tegal? Dan kenapa pula antek-antek Kumpeni itu membakar gudang?"
"Lastri, engkau tentu sudah mendengar bahwa bala tentara Mataram akan melakukan penyerbuan ke Jayakarta dan untuk keperluan pasukan itulah maka ransum itu ditumpuk untuk persediaan. Dan para mata-mata Kumpeni keparat itu tentu melaksanakan perintah atasan mereka. Siasat yang amat keji dan curang!"
"Kakang Jatmika, kalau begitu mari kita cepat pergi ke Jayakarta untuk membantu pasukan Mataram. Kukira jahanam Banuseta dan Kakang Hasanudin yang berkhianat itu tentu berada pula di sana."
"Benar, Lastri. Aku juga menduga bahwa Harya Baka Wulung dan Maya dewi mungkin melarikan diri ke sana pula." Dua orang itu menanti sampai fajar menyingsing, lalu mereka berdua melakukan perjalanan ke barat, ke arah Cirebon.
Kumpeni Belanda memang menggunakan taktik yang mereka anggap cerdik, akan tetapi yang bagi Mataram merupakan akal yang amat licik dan curang. Bukan hanya gudang ransum di Tegal yang mereka bakar, akan tetapi juga ratusan perahu yang membawa ransum untuk pasukan Mataram, dihadang kapal Belanda dan meriam-meriam mereka menghancurkan dan menenggelamkan perahu-perahu itu berikut ransumnya. Juga ratusan rumah penduduk disekitar pantai yang dianggap rumah para petani yang mengumpulkan padi dan beras untuk balatentara Mataram, diserang dan banyak rumah dibakar. Beberapa buah dusun menjadi geger oleh serangan Belanda ini yang melakukan semua itu dengan maksud untuk mencegah penduduk membantu pasukan Mataram, membuat mereka ketakutan.
Pada suatu pagi, seorang pemuda yang berwajah tampan dan manis bertubuh jangkung tegap, matanya lembut kan tetapi terkadang mengeluarkan sunar mencorong, pakaiannya sederhana namun rapi, melangkah dengan lenggang santai namun kokoh bagaikan langkah harimau, berjalan menuju ke gudang kadipaten di Cirebon. Di pintu gerbang gedung Kadipaten pemuda itu dihadang lima orang perajurit penjaga.
"Berhenti!!" bentak empat orang dari mereka. Akan tetapi yang seorang lagi sudah setengah tua dan agaknya dia yang menjadi kepala jaga, berseru dengan girang dan hormat. "Denmas Lindu Aji Alap-alap Laut Kidul!"
"Bagus kalau andika mengenalku, paman. Aku mohon menghadap Paman Adipati Pangeran Ratu. Maukah andika melaporkan kunjunganku ini?"
"Tentu, denmas, tentu! Mari silakan!" Lindu aji mengikuti perajurit itu.
Empat orang kawannya saling pandang dengan heran, lalu seorang di antara mereka berkata, "Ah, dia itu Alap-alap Laut Kidul? Aku pernah mendengar bahwa dialah yang menghancurkan gerombolan Munding Hideung di Gunung Careme!"
"Wah, itukah orangnya? Kelihatannya masih begitu muda dan sederhana!"
"Hemm, kau tahu apa? Dia itu seorang utusan Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram yang berpangkat senopati muda!"
Lindu Aji mendengar percakapan ini akan tetapi dia tidak perduli dan mengikuti penjaga itu ke beranda. Di situ perajurit itu disambut seorang perajurit pengawal istana dan dia mengoper Aji kepada perajurit pengawal itu sambil berkata. "Lapor, Tamu ini adalah Alap-alap Laut Kidul bernama Lindu Aji yang mohon menghadap Gusti Adipati."
Perajurit pengawal itupun mengenal nama ini dan setelah mempersilakan Aji duduk di ruang tunggu, dia segera melapor ke dalam. Tak lama kemudian pengawal itu sudah kembali ke ruang tunggu mengatakan bahwa Sang Adipati sudah siap menerima Lindu Aji. Pemuda itu lalu mengikuti pengawal memasuki ruangan. Begitu Lindu Aji memasuki ruangan, dia melihat sang adipati sudah duduk menanti di atas kursi kebesarannya. Pria yang gagah berusia enam puluh lima tahun itu tersenyum menyambut kedatangan Lindu Aji.
"Anakmas Lindu Aji, andika yang datang? Silakan duduk, anakmas!" kata adipati dengan ramah, bahkan lalu bangkit dan mempersilakan Lindu Aji yang menyembah itu untuk duduk di atas kursi yang sudah tersedia di depannya. Karena hari itu bukan hari persidangan, maka tidak ada perwira yang hadir, bahkan tidak tampak seorangpun perajurit pengawal dalam ruangan itu. Hal ini menunjukkan bahwa sang adipati percaya penuh kepada tamunya.
"Terima kasih, Gusti Adipati." kata Lindu Aji hormat.
"Aeh, Anakmas Lindu Aji, mengapa andika berbasa basi seperi itu? Sebut saja paman, jangan gusti. Bukankah andika ini juga seorang senopati muda Mataram yang menjadi kepercayaan Gusti Sultan Agung? Nah, katakan anakmas. Kabar baik apakah yang andika bawa kali ini?"
"Paman Adipati, paduka tentu telah mengetahui bahwa balatentara Mataram kini sedang bergerak menuju Batavia untuk melakukan penyerangan besar-besaran. Dan saya mendengar bahwa Kumpeni Belanda melakukan usaha perlawanan yang curang dengan menembaki perahu-perahu pembawa ransum, bahkan membakar gudang-gudang ransum di Tegal dan tempat-tempat lain."
"Hemm, ya, kami mendengar akan hal itu, anakmas. Akan tetapi, apa yang dapat kita perbuat? Kami memang berpihak kepada Mataram, akan tetapi kalau melakukannya dengan berterang, Kumpeni tentu akan memusuhi dan menyerang kami. Padahal, penyerangan Belanda melalui kapal-kapal perang berbahaya sekali."
Lindu Aji mengerutkan alisnya, akan tetapi dalam hatinya dia harus mengakui kebenaran sang adipati ini. Bagaimanapun juga, Kadipaten Cirebon tentu saja harus menjaga keselamatannya sendiri. Yang terpenting asal Kadipaten Cirebon tidak membantu Belanda, hal itu sudah cukup baik. Bahkan dia juga mendengar bahwa biasanya, sang adipati ini menjadi perantara yang dapat dipercaya apabila Mataram hendak mengadakan hubungan atau perundingan dengan pihak Banten dan para kadipaten lain di Jawa Barat, juga dapat menjadi perantara kalau hendak mengadakan hubungan dan perundingan dengan pihak Kumpeni Belanda sekalipun.
"Akan tetapi, Paman Adipati, apakah di Kadipaten Cirebon juga diadakan gudang ransum untuk pasukan Mataram?"
"Memang ada, dua gudang besar, yang pertama berisi beras dan yang kedua berisi gunungan padi. Kami sudah mengutus seregu perajurut menjaga kedua gudang itu."
"Hanya seregu, Paman Adipati? Apakah cukup?" Tanya lindu Aji.
"Kami kira sudah cukup. Kumpeni Belanda tidak akan berani mengganggu gudang ransum yang berada di wilayah kami, tentu merasa sungkan kepada kami."
"Mudah-mudahan saja begitu, paman adipati."
Tiba-tiba seorang perajurit pengawal bergegas masuk, menjatuhkan diri berlutut dan sebelum Adipati Cirebon yang menjadi marah dan mengerutkan alis itu sempat bertanya, dia sudah lebih dulu menyembah dan berkata dengan takut-takut. "Mohon beribu ampun kalau hamba berani mengganggu dan menghadap paduka tanpa dipanggil, gusti. Hamba hendak melapor bahwa... gudang-gudang ransum diserbu orang dan dibakar." "Apa...??!!" Adipati Pangeran Ratu bangkit berdiri dan membentak perajurit pengawal itu. "Cepat panggil perwira pasukan pengawal!"
"Siap, gusti!" Peajurit itu cepat menyembah dan mundur, keluar dari ruangan itu. Aji sudah bangkit dan kini dia memberi hormat.
"Paman Adipati, saya mohon pamit. Saya akan menghadapi pengacau-pengacau itu!"
Tanpa menanti jawaban, Aji sudah melompat keluar dan dia berlari ke alun-alun kadipaten. Banyak orang berlarian dengan panik di jalan raya dan tanpa bertanyapun dia tahu di mana terjadinya kekacauan itu karena tampak sinar api dan asap di sebelah utara dan dari arah itu orang-orang berlarian. Setelah berlari cepat dia mendengar pula suara ledakan-ledakan, bukan hanya ledakan kebakaran melainkan ledakan seperti bunyi meriam atau senjata api lainnya.
Setelah tiba di tempat kebakaran, Aji melihat betapa dua buah gudang besar sedang terbakar. Penduduk berlarian ketakutan dan dia melihat pula beberapa orang perajurit kadipaten, tinggal belasan orang agaknya berusaha untuk memadamkan api, akan tetapi mereka diserang oleh gerombolan orang yang bersenjata golok, di antara mereka banyak pula yang bersenjata pistol. Dan di belakang gudang yang terbakar, dia melihat seorang pemuda dan seorang gadis sedang berkelahi melawan seorang kakek brewok yang bertubuh tinggi besar dan dua orang lain yang bersenjata golok.
Ketika memandang dengan teliti, Aji terkejut, marah dan juga girang mengenal bahwa gadis itu bukan lain adalah Sulastri, pemuda itu Jatmika. Adapun kakek yang mejadi lawan mereka adalah Ki Harya Baka Wulung yang dibantu dua orang bersenjata golok. Menghadapi Ki Harya Baka Wulung saja, Jatmika dan Sulastri sudah bertemu dengan lawan berat. Apalagi kakek yang selalu memusuhi Mataram itu dibantu dua orang yang lumayan tangguh, maka sepasang orang muda itu tampak terdesak hebat. Aji dapat menduga bahwa tentu Ki Harya Baka Wulung itu yang berada di balik layar terjadinya kebakaran-kebakaran terhadap gudang ransum Mataram.
"Hemm, jahanam busuk!" bentaknya dan tubuh Aji sudah menerjang ke depan dengan cepat sekali. Dengan kecepatan gerakan Aji Bayu Sakti, dia seperti terbang dan sudah menyerang Ki Harya Baka Wulung dengan tamparan tangannya ke arah kepala raksasa itu dengan pengerahan tenaga dari Aji Surya Chandra.
"Wuuuutttt... plakkkk !!" Ki Harya Baka Wulung terkejut sekali ketika merasakan datangnya serangan yang amat dahsyat dari tubuh pemuda yang terbang meluncur itu. Dia cepat menangkis dan ketika kedua lengan bertemu, Ki Harya Baka Wulung terhuyung ke belakang. Sementara itu, Jatmika dan terutama Sulastri girang bukan main melihat datangnya Lindu Aji yang membantu mereka. Sulastri hampir menangis saking harunya. Sekarang ia ingat benar kepada Aji dan merasa betapa jantungnya berdebar penuh rindu dan bahagia. Akan tetapi iapun tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi Ki Harya Baka Wulung diserang oleh Lindu Aji.
Seperti dikomando saja, Sulastri dan Jatmika menerjang kedua orang pembantu Ki Harya Baka Wulung yang bersenjata golok. Kalau tadi dua orang itu masih dapat mengeroyok mereka adalah karena ada datuk Madura yang sakti itu. Kini setelah datuk itu bertanding melawan Aji, tentu saja dua orang itu sama sekali bukan tandingan Sulastri dan Jatmika. Beberapa jurus saja dua orang itu sudah roboh dan tewas. Ki Harya Baka Wulung terkejut bukan main. Dia merasa menyesal mengapa dia berpencar dari kawan-kawannya.
Seperti diketahui, Ki Harya Baka Wulung melaksanakan tugas sebagai antek Kumpeni Belanda bersama Nyi Maya Dewi dan pasukan Kumpeni. Dia berhasil melakukan pembakaran dan memusnahkan gudang ransum di Tegal. Akan tetapi dia bertemu dengan Jatmika dan Sulastri yang mengeroyoknya dan melihat ketangguhan sepasang orang muda itu, dia melarikan diri ke Cirebon. Di sini ada dua orang rekannya yang bertugas sama dengannya, yaitu memusnahkan gudang-gudang ransum pasukan Mataram.
Setelah bertemu dengan dua orang rekannya, yaitu Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad, mereka bertiga lalu mengatur siasat untuk membakar dua buah gudang berisi ransum untuk tentara Mataram. Di Cirebon, mereka lebih berhati-hati, tidak mempergunakan serdadu-serdadu Belanda, melainkan gerombolan yang sudah dipengaruhi dan diperbudak oleh Belanda, menjadi antek-antek bayaran. Di bawah pimpinan tiga orang datuk yang sakti mandraguna ini, tidak sukar bagi gerombolan itu untuk menyerang pasukan yang menjaga gudang, lalu membakarnya.
Setelah dua buah gudang itu mulai terbakar, Ki Harya Baka Wulung lalu berpencar dari Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad seperti yang sudah mereka rencanakan. Akan tetapi baru saja dia hendak melarikan diri ke belakang gudang, tiba-tiba muncul Sulastri dan Jatmika yang segera mengenalnya dan sepasang orang muda ini tentu saja segera mengetahui bahwa tentu datuk besar dari Madura ini yang mendalangi kebakaran gudang ransum, maka mereka lalu menyerangnya. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung melawan, bahkan dengan bantuan dua orang anggota gerombolan dia mendesak Jatmika dan Sulastri dan nyaris merobohkan menewaskan sepasang orang muda itu.
Akan tetapi alangkah kaget dan kecewanya ketika tiba-tiba muncul Lindu Aji! Apa lagi melihat dua orang anak buahnya itu roboh. Dia menjadi jerih dan cepat membanting dua bahan peledak yang mengeluarkan suara keras dan asap tebal. Lindu Aji, Sulastri dan Jatmika cepat melompat ke belakang. Melihat kakek raksasa itu melarikan diri ke barat, Aji berkata kepada mereka, "Kakang Jatmika dan Nimas Eulis, kalian bantu memadamkan api, aku akan mengejar kakek iblis itu!" Aji melompat ke depan.
"Mas Aji...!" Sulastri berseru. Aji menahan larinya dan menengok. Sebutan itu! Sebutan lama yang dahulu diucapkan Sulastri kepadanya!
"Lastri...??" Dia bertanya, ragu-ragu. "Kau...?"
Dengan air mata menetes-netes di atas pipinya, akan tetapi dengan mulut tersenyum, Sulastri mengangguk. "Benar, Mas Aji. Aku Lastri... ingatanku telah pulih...!"
Akan tetapi Aji melirik ke arah Jatmika dan diapun berkata. "syukurlah, Lastri. Aku akan mengejar orang itu lebih dulu!" Dia melompat jauh.
"Mas Aji, hati-hatilah...!" Sulastri berseru. Jatmika melihat semua ini dan diam-diam menghela napas dalam. Hatinya menjadi risau dan ragu. Apakah Sulastri mencinta dia? Ataukah cintanya sudah lebih dulu dimiliki Lindu Aji, hanya saja tempo hari pertalian cinta itu ikut terhapus dari ingatannya? Dia tidak tahu dan dalam keadaan seperti itu dia tidak berani bertanya.
"Mari kita membantu mereka memadamkan api" ajak Jatmika yang menyadarkan Sulastri yang masih berdiri memandang ke arah perginya Lindu Aji seperti orang melamun. Akan tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Api telah berkobar besar, melahap dua buah gudang itu dan seluruh isinya. Mereka berdua hanya dapat mengamuk, mempergunakan kesaktian mereka untuk menghajar sisa gerombolan antek Belanda yang belum sempat melarikan diri. Bahkan mereka lalu melakukan pengejaran sampai ke tepi laut di mana beberapa orang anak buah gerombolan berhasil melarikan diri menggunakan perahu.
Melihat lima orang anak buah gerombolan naik perahu yang didayung ke arah laut, Sulastri membanting-banting kaki kanannya dan berseru. "keparat jahanam kalian antek-antek Kumpeni!"
Tiba-tiba seorang laki-laki gagah berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama seorang wanita cantik berusia tiga puluh enam tahun berdiri tidak jauh dari situ segera mendekat ke laut sampai air laut merendam kaki mereka sampai ke betis. Laki-laki itu ketika tadi mendengar Sulastri memaki para anak buah gerombolan sebagai antek-antek kumpeni, segera melontarkan batu besar ke arah perahu yang sedang diusahakan melawan ombak itu.
"Syuuutttt... brakkk... byuurrrr !" Perahu itu tertimpa batu dan pecah, lima orang anak buah gerombolan itu terjatuh ke dalam laut. Mereka terpaksa berenang ke tepi. Jatmika dan Sulastri sudah siap menyambut mereka. Sulastri amat benci mereka mengingat akan kebakaran dua buah gudang ransum itu, menyambut dengan pedang Naga Wilis di tangan. Lima orang anak buah gerombolan yang menjadi antek Kumpeni Belanda itu mati-matian untuk mencoba melawan. Dua orang di antara mereka mncabut pistol, akan tetapi sebelum mereka sempat mempergunakan pistol itu, dua buah batu karang sebesar kepalan tangan menyambar pelipis mereka dan dua orang itupun roboh tak mampu bangkit kembali. Suami isteri perkasa yang menyambitkan batu karang itu lalu menghampiri dan menendang dua buah pistol itu jatuh ke dalam air laut.
Sementara itu, dengan kilatan pedangnya Sulastri telah merobohkan dua orang lawan dan Jatmika juga merobohkan seorang dengan tamparan tangannya yang ampuh. Setelah merobohkan anak buah gerombolan itu, Sulastri, dengan pedang Naga Wilis masih di tangan, bersinar kehijauan tertimpa cahaya matahari, dan Jatmika kini menghadapi pria dan wanita yang telah membantu mereka tadi. Akan tetapi, tiba-tiba wanita cantik itu mencabut sebatang pedang yang tergantung di punggungnya.
Tampak sinar hijau berkelebat dn ia sudah menggunakan pedang itu untuk membacok ke arah kepala Sulastri, tanpa berkata sepatah katapun! Tentu saja Sulastri merasa terkejut dan heran karena hal itu sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Bukankah pria dan wanita ini tadi membantunya merobohkan para antek Belanda? Dan ternyata serangan pedang itu dahsyat sekali sehingga mau tidak mau ia harus menangkis dengan pedang Naga Wilis yang masih di tangannya.
"Singggg.... trang... krek...!" Pedang di tangan wanita itu bertemu dengan pedang Naga Wilis yang dipergunakan Sulastri untuk menangkis dan pedang wanita itu patah menjadi dua potong! Wanita itu tidak tampak terkejut, bahkan ada sinar kegembiraan terpancar pada wajahnya ketika ia membuang pedang yang tinggal sepotong itu ke atas tanah, menggeletak dekat pedang bagian atas. Ia menoleh kepada pria gagah di sampingnya dan berkata dengan suara bernada gembira.
"Kakangmas, lihat! Naga Wilis yang asli!"
"Engkau benar, diajeng. Akhirnya kita temukan juga!" kata pria itu sambil mengangguk.
"Hei! Kalian ini siapa? Dan kenapa tiada hujan tiada angin tiba-tiba menyerangku?" bentak Sulastri dngan pandang mata melotot dan mulut yang manis itu cemberut.
Wanita cantik itu menjawab. "Aku menyerang untuk melihat apakah pedang di tanganmu itu Pusaka Naga Wilis asli?"
Sulastri mengerutkan alisnya yang hitam dan memandang ke arah pedang di tangannya. "Tentu saja pedangku ini Naga Wilis asli, dan pedangmu itu palsu!" Ia memandang ke arah pedang yang telah patah menjadi dua potong itu, pedang yang sama benar rupanya dengan pedang di tangannya.
"Nah, itulah sebabnya kami tertarik sekali ketika melihat pedangmu, anak manis." kata wanita cantik itu. Biarpun tadi sudah terbukti bahwa pria dan wanita itu membantu mereka menghadapi para antek Kumpeni Belanda, namun melihat wanita cantik itu, Jatmika dan Sulastri teringat akan Nyi Maya Dewi yang juga cantik jelita dan jahat, maka mereka berdua menjadi curiga. Pria yang tampan dan gagah itu melangkah maju.
"Anak yang baik, coba aku pinjam sebentar pedangmu, hendak kami teliti."
Sulastri tentu saja tidak mau memberikan pedangnya, bahkan ia melangkah mundur dan menyarungkan pedang Naga Wilis. Jatmika melangkah maju dan berkata penuh teguran kepada pria itu. "Jangan ganggu dia!" Sambil berkata demikian, Jatmika mendorongkan tangan kanannya ke arah pria itu untuk memaksa pria itu mundur. Karena tadi dia melihat bahwa pria itu seorang yang digdaya, maka dia mengerahkan tenaga saktinya untuk sekedar memperingatkan pria dan wanita yang hendak mengganggu Sulastri itu.
Melihat Jatmika membuat gerakan mendorong dan ada angin yang dahsyat menyambar ke arahnya, pria itu tersenyum dan mengangkat tangan kirinya, menyambut dengan dorongan. "Wuuuttt... plakkk...!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang. Dua orang pria itu sama-sama terkejut dan heran sekali. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa lawan memiliki tenaga sakti yang demikian kuatnya.
Melihat pria itu terdorong oleh Jatmika, wanita cantik itu agaknya menjadi marah dan iapun melangkah maju. Akan tetapi Sulastri menghadapinya, bahkan gadis itu menyambutnya dengan tamparan tangan yang mengandung Aji Margopati! Wanita itu terkejut, cepat sekali mengelak dan siap untuk membalas. Akan tetapi pria itu cepat mencegahnya. "Cukup, diajeng, jangan berkelahi!" Suaranya mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang wanita itu sama-sama melompat mundur.
Kini pria itu dengan tersenyum berkata kepada Jatmika dan Sulastri yang masih siap siaga menghadapi serangan. "Ah, kalian adalah oang-orang muda yang sakti mandraguna! Ketahuilah, kami sama sekali tidak mempunyai niat jahat terhadap kalian. Hanya karena melihat Pedang naga Wilis itulah maka isteriku ini memperlihatkan sikap yang aneh dan itu ada sebabnya. Perkenalkanlah lebih dulu. Aku bernama Tejomanik atau lebih dikenal dengan nama Sutejo, bertempat tinggal di lereng Gunung kawi. Dan ini isteriku bernama Retno Susilo."
Jatmika terkejut mendengar nama itu dan dia kini memandang ke arah sebuah pecut yang gagangnya terselip di ikat pinggang Sutejo dan pecutnya sendiri melilit pinggang. "Apakah andika yang disebut orang Pecut Bajrakirana?" Dia pernah mendengar nama ini dari mendiang ayahnya dan dia mendengar bahwa Sutejo yang diberi julukan Si Pecut Bajrakirana ini adalah seorang pendekar sakti mandraguna yang setia kepada Mataram.
Sutejo tersenyum dan mengangguk. sejak tadipun dia sudah melihat betapa pemuda dan gadis itu bukan orang-orang sembarangan, maka dia mencegah isterinya betanding dengan gadis itu. Jatmika menoleh kepada Sulastri. "Nimas Sulastri, paman dan bibi ini adalah pendekar-pendekar ternama yang setia kepada Mataram. Maafkan kami, Paman Sutejo dan bibi. Saya bernama Jatmika dan ini adalah Sulastri."
"Akan tetapi kalau paman dan bibi tidak mempunyai niat buruk, kenapa bibi Retno Susilo tadi menyerangku?" tanya Sulastri, masih penasaran.
Kini Retno Susilo yang menghampiri Sulastri. "Anak manis, maafkan aku. Seperti kukatakan tadi, aku menyerangmu untuk menguji apakah pedangmu itu benar Pedang Naga Wilis yang asli. Sebelum kuterangkan kesemuanya ini, aku ingin bertanya dulu kepadamu. Akan tetapi, tidak enak bicara sambil berdiri di sini. Marilah kita mencari tempat di mana kita dapat bicara dengan enak."
"Mari kita ke sana." kata Sutejo,menunjuk ke arah beberapa batang pohon yang tumbuh agak ke darat. mereka berempat lalu meinggalkan lima orang anggauta gerombolan yang menggeletak di atas pasir. Dua orang di antara mereka hanya terluka, tidak tewas dan kini mereka berdua itu sudah bangkit duduk sambil mengerang kesakitan.
"Biarlah yang dua itu mengurus mayat teman-teman mereka." demikian kata Sutejo sebelum mereka meninggalkan tempat itu, menuju ke segerombolan pohon itu. Kini mereka berempat duduk di atas batu-batu di bawah pohon dan Retno Susilo berkata kepada Sulastri. "Sulastri, tolong ceritakan kepada kami, dari manakah engkau memperoleh Pedang Naga Wilis itu?" Retno Susilo menuding ke arah pedang yang tergantung di punggung Sulastri.
Sulastri adalah seorang gadis yang mempunyai dasar watak keras. Ia mengerutkan alisnya. Ia kini memang sudah percaya kepada suami isteri gagah di depannya itu. Akan tetapi bagaimanapun juga ia masih merasa penasaran mengapa ia harus menceritakan tentang pusakanya, pemberian mendiang Ki Ageng Pasisiran, gurunya yang kini telah tewas terbunuh orang.
"Maafkan aku, bibi. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa bibi begitu tertarik kepada pedangku Naga Wilis yang kudapatkan sebagai pemberian guruku. Ceritakan dulu apa hubungan pedang pusaka ini denganmu, Bibi Retno Susilo!
Terdengar Sutejo terkekeh. "Heh-heh, diajeng Retno Susilo. Sekarang engkau bertemu batunya! Gadis ini mengingatkan aku kepada sikapmu di waktu muda. Sama-sama berkepala baja, heh-heh!"
Retno Susilo juga tersenyum. Memang di waktu mudanya ia adalah seorang gadis yang lincah, galak, keras hati dan berani. Akan tetapi setelah menjadi isteri Sutejo, ia kini berubah banyak sekali.
"Baiklah, Sulastri. Nah, dengarlah baik-baik." Wanita itu menoleh kepada suaminya dan ia menghela nafas panjang, tiba-tiba tampak sedih sekali. Setelah menghela nafas beberapa kali, ia melanjutkan. "Peristiwa menyedihkan itu terjadi kurang lebih delapan tahun yang lalu. Ketika itu, pedang Pusaka Naga Wilis yang sekarang menjadi milikmu itu adalah pusakaku. Aku menerimanya dari mendiang guruku yang berjuluk Nyi Rukmo Petak. Selain Pedang Naga Wilis itu, pada saat itu anak tunggal kami yang benama Bagus Sajiwo berusia enam tahun dan pada suatu hari..." suara Retno Susilo melemah dan terdengar kedukaan menggetarkan suaranya, "pada suatu hari anak kami Bagus Sajiwo itu dan pedang pusaka Naga Wilis hilang dari dalam kamar ketika kami berdua sedang berada di ladang. Pedang pusaka dan puteraku itu hilang diculik orang dan bertahun-tahun kami mencari, berkelana ke mana saja, sambil membantu Mataram dalam menghadapi lawan-lawannya... akan tetapi sama sekali tidak ada hasilnya. Sudah delapan tahun lebih kami mencari tanpa hasil, dan hari ini... aku melihat Naga Wilis berada di tanganmu. Dapat kalian bayangkan betapa kaget dan juga girang rasa hatiku melihat pedang itu. Mungkin... mungkin ditemukannya pedang itu akan dapat membuat kami menemukan putera kami pula!"
"Sulastri, apakah engkau melihat putera kami Bagus Sajiwo? Usianya kini tentu sudah empat belas tahun!" kata pula Sutejo dengan suara mengandung penuh harapan.
Sulastri dan Jatmika merasa terharu mendengar cerita itu. Kini mereka mengerti tadi Retno Susilo bersikap seperti itu ketika melihat Pedang Naga Wilis. Sulastri menggeleng kepala dan berkata dengan suara terharu. Ia keras hati, namun juga mudah sekali menaruh iba kepada orang lain. "Aku tidak pernah mendengar nama puteramu itu, bibi. Akan tetapi mengapa bibi tadi menggunakan pedang palsu yang mirip Naga Wilis?"
Retno Susilo menghela napas panjang, wajahnya berubah agak pucat mendengar Sulastri tidak pernah mendengar puteranya. Pada hal tadinya ia mengharapkan dengan ditemukannya pedang itu maka ia akan mendapat keterangan tentang puteranya. Ia mengusap beberapa tetes air mata dari pelupuk matanya dan Sutejo lalu menepuk-nepuk pundak isterinya dengan lembut untuk menenangkannya. "Aku sengaja membuat yang palsu agar menarik perhatian orang yang memiliki Naga Wilis asli. Nah, Sulastri, anak yang baik. Cepat ceritakan tentang pedang Naga Wilis yang kini menjadi milikmu itu. Engkau memperolehnya dari gurumu? Siapa gurumu dan bagaimana dia bisa mendapatkan pedangku yang hilang bersama puteraku itu?"
"Kasihan andika, paman dan bibi. Hemm, kalau aku bertemu dengan orang yang menculik putera kalian, tentu akan kuhajar orang itu! Sejak kecil aku menjadi murid guruku, yaitu Eyang Ki Ageng Pasisiran atau juga dahulu bernama Ki Tejo Langit yang tinggal di pantai laut daerah Dermayu. Aku menerima pedang ini dari guruku itu kurang lebih lima tahun yang lalu ketika aku mulai dilatih bersilat dengan pedang. Setelah aku meninggalkan perguruan, guruku memberikan pedang ini kepadaku."
"Sulastri, apakah gurumu itu masih tinggal di sana? Kami ingin berjumpa dengannya dan minta keterangan tentang asal mula dia mendapatkan pedang ini." kata Sutejo.
Sulastri menggeleng kepala. "Guruku sudah meninggal dunia, tewas dibunuh antek Kumpeni Balanda. Kami sedang hendak mencari pembunuh itu!"
"Ahh...!" Retno Susilo mendesah kecewa sekali. "Apakah dia tidak pernah bercerita tenang asal usul pedang ini?"
"Ya dia pernah menceritakan sedikit padaku dan agaknya cerita ini akan dapat menjadi petunjuk untuk menemukan putera kalian, bibi."
"Bagaimana ceritanya?" Sutejo dan Retno Susilo bertanya dengan suara hampir berbareng. Mata Retno susilo yang masih basah memandang Sulastri penuh selidik.
"Ketika eyang guru memberikan pedang ini kepadaku, aku bertanya tentang asal usul pedang ini. Eyang guru berkata bahwa dia sendiri juga tidak tahu akan asal usul pedang ini, hanya menceritakan bahwa dia merampas pedang Naga Wilis ini dari tangan seorang datuk dari Banten yang bernama Kyai Sidhi Kawasa. Eyang guru memang dimusuhi oleh datuk itu. Kata eyang guru, mereka bertanding sampai setengah hari dan akhirnya eyang guru dapat merampas pedang ini, sedangkan Kyai Sidhi Kawasa melarikan diri dengan menderita luka. Nah, hanya itu yang kudengar dari mendiang eyang guruku."
"Kyai Sidhi Kawasa...??" Suami isteri itu saling pandang dan merasa heran. Mereka merasa tidak pernah bermusuhan dengan datuk dari Banten itu. Kenapa datuk itu mencuri Pedang Naga Wilis dan menculik putera mereka? "Siapa dia dan di mana kami dapat menemuinya?" Tanya Sutejo.
"Ah, sekarang aku ingat! Ya benar, dia itu adalah datuk yang datang bersama Aki Somad dan Jaka Bintara yang hendak menangkap Neneng Salmah!"
"Aki Somad?" Sutejo bertanya. "Aku pernah mendengar nama itu! Dia seorang pertapa dari Nusakambangan yang amat sakti. Coba ceritakan tentang orang yang menjadi datuk Banten bernama Kyai Sidhi Kawasa itu!"
"Orangnya sudah tua, hampir tujuh puluh tahun usianya. Kepalanya botak kecil, rambut di bagian bawah kepalanya yang botak itu berwarna abu-abu. Mukanya tanpa kumis atau jenggot. Hidungnya pesek dan mulutnya kecil. Suaranya lembut. Lengannya memakai akar bahar hitam dan dia memegang tongkat ular kobra. Hanya itulah seingatku, paman."
Suami isteri itu termenung. Mereka merasa tidak pernah bermusuhan dengan datuk Banten itu, bahkan mendengarnyapun baru sekarang. Akhirnya Sutejo memandang isterinya yang tampak bersedih. Retno susilo merasa kecewa sekali. Ternyata ditemukannya Pedang Naga Wilis tetap tidak dapat membuka rahasia tentang di mana puteranya. "Diajeng, agaknya kita harus pergi ke Banten mencari Kyai Sidhi Kawasa." kata Sutejo.
Isterinya mengangguk. "Benar, kakangmas. Agaknya hanya dialah yang mengetahui di mana adanya Bagus sekarang. Kita akan membantu pasukan Mataram menyerang Kumpeni Belanda ke Jayakarta. Setelah itu baru kita akan mencari orang itu di Banten."
Jatmika merasa iba kepada pendekar sakti yang namanya amat terkenal itu. "Paman dan bibi, saya berjanji akan membantu andika berdua. Kalau bertemu dengan Sidhi Kawasa, tentu saya akan memaksa dia mengaku di mana adanya adik Bagus Sajiwo."
"Aku juga akan membantu andika. Akan kupaksa kakek dari Banten itu menunjukkan di mana kini Bagus Sajiwo berada!" kata pula Sulastri penuh semangat.
"Terima kasih. Kalian baik sekali dan kami sungguh beruntung dapat bertemu dengan kalian sehingga kini bernyala kembali api pengharapan di hati kami." kata Sutejo.
Tiba-tiba Sulastri melepaskan tali sarung pedang yang diikat di punggungnya dan menyerahkan Pedang Naga Wilis dengan sarungnya kepada Retno susilo. "Ini pedangmu, Bibi Retno Susilo. Engkau pemilik pedang ini yang berhak memilikinya, maka kukembalikan kepadamu."
Retno Susilo terkejut. Tak disangkanya gadis berkepala baja seperti yang dikatakan suaminya itu dapat begitu lembut hati, rela mengalah dan menyerahkan pedang pusaka yang amat langka itu!
"Tidak Sulastri. Terima kasih banyak. Pedang itu telah dicuri orang dan mendiang gurumu yang merampas kembali dan menemukan pedang itu. Engkau memilikinya dengan sah. Aku rela pedang naga wilis ini menjadi milikmu. Keteranganmu tentang Kyai Sidhi Kawasa itu sudah cukup berharga. keselamatan anak tunggalku itu jauh lebih berharga dan penting bagiku daripada pedang ini. Nah, mulai detik ini aku menyatakan bahwa Pedang Naga Wilis adalah milik sah dari Sulastri!"
"Terima kasih, Bibi Retno susilo."
Akan tetapi dia teringat akan cerita Aji bahwa Raden Banuseta yang memimpin pasukan Kumpeni menyerang ke padepokan eyangnya itu pernah menawan Aji dan Sulastri dan membawa mereka ke Tegal! Siapa tahu dia akan dapat menemukan Banuseta dan Hasanudin di sana. Pikiran inilah yang membawa dia ke Tegal dan di kadipaten ini dia menyaksikan kesibukan orang-orang yang mengumpulkan ransum ke dalam sebuah gudang besar.
Ketika mendengar bahwa penumpukan ransum ini untuk keperluan balatentara Mataram, Jatmika merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk ikut mengawasi dan mengamat-amati kalau-kalau akan terjadi gangguan pihak musuh terutama sekali kalau-kalau akan muncul Banuseta dan Hasanudin. Dia melakukan penjagaan secara diam-diam dan pada malam itu dia melakukan pengamatan sampai gudang itu penuh dan ditinggalkan para pekerja. Dalam kegiatan inilah dia melihat laki-laki tinggi besar itu dan merasa curiga lalu mengintainya dan mendengarkan percakapan antara laki-laki tinggi besar itu dengan seorang diantara pekerja.
Tentu saja di merasa curiga dan diam-diam membayangi laki-laki tinggi besar itu. Laki-laki itu memasuki sebuah rumah. Jatmika dengan hati-hati memasuki pekarangan rumah itu dengan cara melompati pagar samping. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di Tegal berkeliaran banyak mata-mata Kumpeni dan ketika dia membayangi tadi, dia ketahuan oleh seorang mata-mata lain yang diam-diam memberi isyarat ketika berpapasan dengan laki-laki tinggi besar sehingga mata-mata ini sudah mengetahui bahwa dia dibayangi orang!
Di dalam rumah, laki-laki itu disambut oleh Ki Harya Baka Wulung, Nyi Maya Dewi dan seorang raksasa kulit putih yang bukan lain adalah Hendrik De Haan, jagoan anak buah Kapten De Vos! Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat ketika laki-laki tinggi besar itu menceritakan tentang gudang ransum yang sudah penuh dan tentang orang yang membayanginya.
"Hemm, biar aku yang membereskan orang itu. Tentu dia telik sandi Mataram. Engkau, Nyi Maya Dewi, dan tuan Hendrik De Haan, lanjutkan rencana kita. Malam ini juga gudang itu harus dibakar habis. Wira, kau pancing telik sandi Mataram itu keluar kota sebelah selatan. Aku yang akan membunuhnya!"
Mereka mengatur siasat. Maya Dewi dan Hendrik bersiap-siap. Mata-mata tinggi besar yang bernama Wira itu lalu keluar dari rumah dan berjalan menuju ke selatan. Jatmika yang mengintai tak melihat petemuan tadi karena mereka melakukannya di ruangan tertutup. Ketika Jatmika melihat orang yang dibayangi itu keluar rumah itu, diapun segera membayangi. Orang itu ternyata keluar kota menuju ke selatan. Malam itu bulan yang hampir bulat terang sekali sehingga dengan mudah Jatmika dapat membayangi Wira. Akan tetapi setelah tiba di jalan yang sunyi, Wira berhenti, memutar tubuh dan berseru galak.
"Hei, pengecut! mau apa engkau mengikutiku? Kalau berani ke sinilah!"
Jatmika terkejut. Kiranya orang itu sudah tahu bahwa dia membayangi. Dia lalu melompat keluar dari balik pohon dan menghampiri orang itu. "Kisanak, andika memata-matai penyimpanan ransum di gudang itu! Siapa andika dan apa maumu?" bentak Jatmika.
Akan tetapi Wira malah mencabut goloknya dan membentak. "Engkau telik sandi Mataram, mampuslah!" goloknya berkelebat menyambar.
"Wusss...!" Dengan mudah saja Jatmika mengelak ke samping lalu secepat kilat menyambar tangan kirinya bergerak ke arah lengan lawan yang memegang golok. "Krekk...!" Wira menjerit, goloknya terlepas dari pegangan dan lengan kanannya terkulai, tulangnya patah! Jatmika melanjutkan gerakannya, kaki kanannya menyambar. "Wuuuttt... krakk!" Wira mengaduh lagi dan terpelanting roboh, kaki kirinya terkena tendangan dan tulang betisnya juga patah! Dia mengaduh-aduh, meggunakan tangan kiri untuk memijit-mijit lengan kanan dan kaki kiri bergantian yang dirasa amat nyeri.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan menyeramkan, seperti suara binatang buas atau setan. "Aurrgghh !!" Angin pukulan dahsyat menyambar dari belakang. Jatmika terkejut, mengenal aji pukulan ampuh sekali. Dia cepat memutar tubuhnya dan tangan kanannya membuat gerakan berputar untuk menangkis pukulan dahsyat itu.
"Wuuuttt... blarrr !" Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan tanah sekitar tempat itu seperti tergetar! Ki Harya Baka Wulung terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali kalau orang yang dicurigai sebagai telik sandi Mataram ini demikian kuatnya sehingga mampu menangkis pukulan mautnya! Di lain pihak, Jatmika juga terkejut. Ternyata penyerangnya, seorang kakek seperti raksasa brewok dan kuat bukan main sehingga ketika tangan mereka saling bertemu, tubuhnya tergetar hebat. Dua orang itu kini berdiri saling berhadapan dengan sikap hati-hati.
"Siapa engkau?" tanya Harya Baka Wulung.
"Namaku jatmika. dan andika siapa? Mengapa menyerangku?"
"Engkau tentu telik sandi mataram!" "Dan andika tentu mata-mata Kumpeni Belanda! Tak tahu malu menjadi antek musuh Negara dan bangsa!"
"Babo-babo, keparat Jatmika! Aku sejak dulu adalah musuh besar Mataram!"
Setelah berkata demikian tiba-tiba kakek itu membuat gerakan berjongkok lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Jatmika, dari perutnya yang gendut, melalui mulut, mengeluarkan suara berkokok seperti bunyi katak budug yang besar. "Kok-kok-kok... wuuuttt... !!" Itulah Aji Cantuka Sakti yang amat dahsyat. Jatmika cepat membuat gerakan mengelak dan menangkis dari samping. Biarpun dia tidak menerima pukulan telak, tetap saja tenaga getaran Aji Cantuka Sakti itu membuat dia terhuyung!
"Mampus kau!" Harya Baka Wulung mengulangi serangannya. "Kok-kok-kok... wussss!"
Karena kini dia tahu betapa kuat dan berbahayanya aji pukulan lawan itu, Jatmika tidak mau sembarangan menangkis melainkan cepat menghindar dengan elakan cepat. Harya Baka Wulung menjadi penasaran sekali karena pukulannya selalu dielakkan dan lawannya yang masih muda itu ternyata gesit bukan main. Dia lalu mencabut kerisnya yang besar panjang berluk sembilan dan menerjang maju sambil berteriak panjang.
"Haaaiiik...!" Keris itu meluncur dan menusuk ke arah dada Jatmika.
"Cringgg... tranggg...!!" Ternyata Jatmika dapat bergerak. Dia tadi sudah mencabut pula senjatanya Kyai Cubruk, yaitu kerisnya yang bergagang kayu cendana dan berpamor emas itu, lalu menangkis. Dua kali dua batang keris itu bertemu dan bunga api berpijar menyilaukan mata.
Harya Baka Wulung menggereng dan tangan kirinya bergerak mendorong. Tampak asap hitam meluncur dari telapak tangannya. Itulah Aji Kukus Langking (Asap Hitam). Jatmika terkejut dan melompat ke samping menghindar. Akan tetapi kakek itu mengejar dengan serangan kerisnya. Demikianlah, Jatmika terdesak oleh serangan keris dan pukulan berasap hitam yang datangnya bertubi secara bergantian itu. Masih untung baginya bahwa Ki Harya Baka Wulung kini sudah tua, usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, gerakannya kurang gesit sehingga Jatmika yang lebih gesit dapat menghindarkan diri dari desakan kakek itu. namun tetap saja dia terdesak terus karena dia masih kalah kuat dalam hal tenaga sakti.
"Haaaiiitt !!" Kembali keris kakek itu menyambar disusul pukulan berasap hitam.
Jatmika yang sudah terdesak terpaksa menyambut pukulan itu dengan Aji margopati. "Wuuuttt... dess !!" Tubuh Jatmika terjengkang ke belakang akan tetapi pemuda itu dapat bergulingan sehingga tidak sampai terbanting.
Tiba-tiba ada tangan menangkap lengannya. "Kakangmas Jatmika, engkau tidak terluka?" Tanya seorang wanita.
Jatmika melompat berdiri. "Eulis...!"
"Namaku Sulastri, kakang!" Kata Sulastri lalu menuding ke arah kakek yang memandang kepada mereka dengan marah. "Dia itu adalah Ki Harya Baka Wulung yang dulu pernah kulawan bersama Mas Aji. Hayo kita basmi antek Belanda ini! Kita persatukan Aji Margopati!"
Sementara, melihat Sulastri, Ki Harya Baka Wulung teringat dan dia menjadi marah akan tetapi juga terkejut sekali karena dia ingat betapa gadis itu dahulu mempunyai kawan, yaitu Lindu Aji yang amat sakti mandraguna sehingga dia sendiri kewalahan melawannya, jangan-jangan Lindu Aji juga ikut datang! Maka, dalam usahanya menyelamatkan diri, dia mendahului dan sambil berteriak keras dia menerjang ke arah dua orang muda itu dengan keris dan pukulan mautnya!
Kerisnya menghunjam ke arah Jatmika dan pukulan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Sulastri. Dua orang muda itu cepat melompat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh harya Baka Wulung untuk berusaha melarikan diri. Akan tetapi Sulastri sudah menduga akan hal ini. Gadis ini sudah mencabut pedang Naga Wilis dan ia melompat dengan amat cepatnya, menghadang di depan Harya Baka Wulung dan pedang pusakanya menyambar, berubah menjadi sinar hijau.
"Tua Bangka jahat, hendak lari kemana engkau?" Gerakan serangan Sulastri amat cepatnya sehingga kakek itu tak sempat mengelak dan terpaksa menggunakan kerisnya untuk menangkis. "Tranggg...!"
Bunga api berpijar dan Sulastri terhuyung ke belakang. Akan tetapi Harya Baka Wulung tak sempat melarikan diri karena pada saat itu Jatmika sudah menyerangnya dengan keris Kyai Cubruk. Ketika Harya Baka Wulung mengelak, Sulastri sudah menyerang lagi dan kakek itu dikeroyok dua. Tiba-tiba kakek itu, membanting sebuah benda ke atas tanah dan terdengar suara ledakan lalu asap hitam mengepul tebal. Jatmika dan Sulastri berloncatan menghindar. Akan tetapi kakek itu sudah lenyap.
"Wah, dia sudah pergi, si keparat!" Seru Sulastri.
"Celaka, di sana ada kebakaran!" Jatmika menuding ke utara, ke arah kadipaten Tegal. Sulastri menengok dan benar saja, tampak api dan asap membubung tinggi, tanda bahwa di sana terjadi kebakaran besar. Tiada waktu lagi untuk bercakap-cakap. Jatmika berkata dan menarik tangan Sulastri.
"Mari cepat. Agaknya gudang ransum Mataram dibakar!" Mereka mengguakan ilmu berlari cepat seperti terbang menuju ke kota. Setelah mereka tiba di depan gedung ransum itu, benar saja dugaan Jatmika. Yang terbakar adalah gudang ransum itu. Api bernyala di dalam gudang, besar sekali sampai tinggi. Melihat keadaannya Jatmika maklum bahwa tak mungkin gudang dan isinya itu diselamatkan lagi.
"Kakangmas Jatmika, hayo kita cari mereka!"
"Eh, siapa? Di mana?"
"Iblis-iblis mata-mata Kumpeni itu. Aku tahu di mana sarang mereka! Hayo!"
Sulastri berlari diikuti oleh Jatmika dan gadis itu menuju ke rumah Ki Warga di mana ia dan Lindu Aji dahulu pernah menjadi tawanan para mata-mata Belanda dan bermalam di situ. Sulastri memberi isyarat dan mereka berindap-indap mengintai ke dalam rumah itu. Ada suara orang terdengar di ruangan belakang dari mana tampak sinar penerangan sedangkan ruangan lain gelap saja. Mereka berhasil mengintai dari luar jendela ke dalam ruangan yang luas. Dua buah lampu gantung besar menerangi ruangan itu.
Di dalam ruangan itu duduk tiga orang menghadapi sebuah meja yang penuh makanan dan botol-botol minuman. Di meja lain yang lebih besar duduk pula belasan terdiri dari tiga orang kulit putih dan empat orang pribumi. Tampaknya mereka itu seperti perajurit dan tukang-tukang pukul. Sulastri segera mengenal tiga orang itu. Mereka adalah Ki Warga, Nyi Maya Dewi dan Hendrik De Haan! Melihat mereka, panas rasa hati Sulastri. Akan tetapi ia masih menahan kemarahannya dan mendengarkan percakapan mereka. Agaknya karena mereka bercakap-cakap sambil makan minum, maka mereka tidak tahu bahwa ada dua orang yang mengintai dari luar jendela. Bahkan Maya Dewi yang sakti itupun tidak tahu. Agaknya ia lengah karena mereka tampak sedang bergembira sekali. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
"Ki Warga, sekali ini pekerjaanku berhasil baik sekali!" Kata Maya dewi sambil tersenyum cerah dan manis.
"Andika harus melaporkan jasaku ke Batavia!"
"Ha-ha, ingat aku juga ikut berjasa, Dewi!" kata si raksasa Hendrik De Haan dengan bahasa daerah yang campur-campur bahasa melayu dan belanda. "Aku yang membakar gudang itu setelah menyirami dengan minyak!"
"Hemm, akan tetapi aku yang lebih dulu membunuh lima orang penjaga itu!" kata Maya Dewi.
Dari meja lain, seorang pribumi berkata. "Kami juga bekerja. Kita semua berjasa!"
Ki Warga mengangguk-angguk. "Tentu saja, aku akan membuat laporan kepada atasan. Kalian semua pasti akan memperoleh hadiah besar. Mari kita rayakan keberhasilan ini! Mari kita minum sepuasnya!"
Sulastri tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia memberi isyarat kepada Jatmika dengan sentuhan pada tangan pemuda itu, lalu ia membentak sambil melompat dan mendorong daun jendela. "Antek Kumpeni keparat!! Braakkk!" Tubuhnya meloncat ke dalam ruangan itu melalui jendela yang sudah terbuka, diikuti oleh Jatmika.
Tentu saja semua orang dalam ruangan itu terkejut sekali dan tujuh orang perajurit dan tukang pukul yang berada terdekat dengan Sulastri dan Jatmika segera bangkit berdiri. Seorang serdadu Belanda mengambil bedilnya yang dia sandarkan di dekatnya. Akan tetapi sinar hijau dari pedang Naga Wilis menyambar dan serdadu itu berteriak dan roboh mandi darah. Dua orang serdadu lainnya mencabut pistol mereka dan membidik ke arah Sulastri dan Jatmika. Akan tetapi secepat kilat dua orang pendekar itu telah menangkap dua orang tukang pukul.
"Dar-dar...!!" Dua orang yang ditangkap Sulastri dan Jatmika yang dijadikan perisai menerima peluru-peluru itu dan mereka tersentak dan tewas seketika. Sulastri dan Jatmika melemparkan mayat-mayat itu ke arah dua orang serdadu tang menembak. Dua orang serdadu tertumbuk dan terjengkang dan sebelum mereka dapat bangkit kembali, pedang Naga wilis dan keris Kyai Cubruk sudah meluncur dan dua orang serdadu Belanda tewas seketika. Dua orang tukang pukul menjadi ketakutan melihat betapa dalam waktu cepatnya tiga orang serdadu Belanda yang bersenjata api telah terbunuh, demikian pula dua orang rekan mereka!
Sementara itu, Maya Dewi dan Hendrik De Haan juga sudah mengenal Sulastri, maka mereka terkejut tapi marah sekali melihat betapa dua orang muda itu telah menewaskan lima orang anak buah mereka. juga Ki Warga terkejut bukan main. Maya Dewi dan Hendrik De Haan cepat melompat dari kursi mereka sedangkan Ki Warga diam-diam berlari keluar dari ruangan, Maya Dewi melolos sabuk Cinde Kencono sedangkan Hendrik De Haan sudah mencabut pistolnya. Raksasa bule ini cepat menembakkan pistolnya ke arah Jatmika.
"Dar-dar...!" Akan tetapi Jatmika melempar tubuh ke samping lalu bergulingan dan sambil bergulingan dia melontarkan keris pusakanya ke arah tangan Hendrik yang memegang pistol itu.
"Dor... trang... ahh!" Tembakan ketiga kali inipun luput dan tiba-tiba keris itu menyambar dan mengenai tangan Hendrik yang mengaduh dan pistolnya terlempar bersama keris.
Dia menjadi marah dan sudah menerkam kepada Jatmika dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi Jatmika menangkis dan membalas. Dua orang itu segera saling serang dengan seru. Nyi Maya Dewi juga sudah menyerang Sulastri dengan sabuk Cinde Kencana. Sabuk yang berwarna kuning emas itu berubah menjadi sinar bergumung-gulung yang menyambar ke arah Sulastri dengan suara meledak-ledak.
Namun Sulastri yang maklum akan kesaktian wanita ini, juga memutar pedangnya yang membentuk sinar kehijauan seperti payung atau perisai yang melindungi dirinya. Juga ia berusaha membalas dengan gigih. Dua orang sisa anak buah yang tadinya ketakutan kini menjadi nekat ketika melihat dua orang pimpinan mereka sudah saling serang dengan dua orang muda itu. Seorang mencoba untuk membantu Nyi Maya Dewi dan seorang lagi membantu Hendrik De Haan dengan golok mereka. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik saja kedua orang anak buah itu sudah roboh oleh pukulan Margopati tangan Jatmika dan sambaran sinar pedang hijau di tangan Sulastri.
Betapapun besar tenaga kasar Hendrik dan betapa kuatpun tubuhnya, dia kewalahan menghadapi Jatmika yang bergerak denngan gerakan Aji Sonya Hasta dan kalau memukul menggunakan tenaga Aji Margopati. Beberapa kali dia terkena pukulan Margopati dan biarpun dia masih dapat bertahan, namun sesungguhnya dia sudah terluka dalam, tenaganya mulai berkurang.
Ketika Hendrik menyerang dengan kedua tangan, hendak menangkap lawan, Jatmika mengelak. Dia tahu bahwa kalau sampai dia tertangkap dua buah tangan yang panjang besar dan amat kuat itu, dia terancam bahaya maut. Akan tetapi ternyata serangan dahsyat tadi hanya berupa gertakan saja karena tiba-tiba Hendrik sudah berlari ke sudut ruangan dimana menggeletak pistolnya yang tadi terlempar ke sana. Akan tetapi cepat sekali tubuh Jatmika sudah melesat bagaikan kilat mengejarnya dan pemuda perkasa ini sudah lebih dulu mengambil pistol itu.
Selama hidupnya Jatmika belum pernah memegang pistol, apa lagi menembak. Akan tetapi dia pernah mendengar tentang senjata api itu dan dapat mengira-ngira bagaimana menarik pelatuknya untuk menembak. Dia membidik ke arah Hendrik yang masih bergerak untuk merampas pistol dan menarik pelatuknya dengan jari telunjuk.
"Darr...!" Pistol itu menendang sehingga jatmika terkejut dan melemparkannya ke arah Hendrik. Akan tetapi dia melihat Hendrik terjengkang sambil mendekap dadanya dan roboh tak bergerak lagi. Jatmika lalu mengambil kerisnya Kyai Cubruk menggeletak tak jauh dari situ. Kemudian dia melompat dan membantu Sulastri yang terdesak oleh sabuk Cinde Kencono Nyi Maya Dewi yang meledak-ledak itu.
"Hyaahh !!" Jatmika menyerang dengan pukulan margopati yang dilakukan dengan tangan kirinya.
"Haaiitt !!" Sulastri yang tadinya terdesak, bahkan pundaknya sudah terkena lecutan ujung sabuk lawan dan terluka, kini berbesar hati dan ia juga menyerang dengan Aji Margopati. Diserang dari depan dan dari kiri itu, Maya Dewi terkejut bukan main. Apalagi ia dapat merasakan bahwa tenaga pukulan pemuda itu bahkan lebih kuat dibandingkan pukulan Sulastri. Ia cepat mengelak dengan lompatan ke belakang. Ketika dua orang pengeroyoknya mendesak dengan senjata pedang dan keris, Maya Dewi memutar sabuknya untuk melindungi dirinya dan tiba-tiba tubuhnya melompat tinggi!
Sebelum Sulastri dan Jatmika menyadari apa yang dilakukan Maya Dewi, terdengar suara berkerontangan dan ruangan itu menjadi gelap gulita! Kiranya wanita yang cerdik itu telah menghancurkan dua buah lampu gantung yang menerangi ruangan itu! Karena khawatir diserang dalam kegelapan itu, Sulastri dan Jatmika memutar senjata untuk menjaga diri. Akan tetapi tidak ada serangan, tidak ada suara, bahkan tidak ada gerakan. Maya Dewi telah lenyap dari ruangan itu!
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang di luar rumah itu. Jatmika dan Sulastri maklum akan bahaya yang mengancam mereka kalau banyak mata-mata Kumpeni dan serdadu-sedadu mereka datang. Maka keduanya segera melarikan diri, keluar dari rumah itu melalui pintu belakang. Mereka mengintai dari tempat gelap dan Sulastri melihat Ki Warga bersama belasan orang Belanda yang memegang pistol. Ia memberi isyarat kepada Jatmika dan mereka cepat pergi meninggalkan tempat itu. Setelah mereka melarikan diri dan berada di luar kota, Jatmika mengajak Sulastri beristirahat di dalam sebuah gubug yang berdiri di ladang. Bulan sudah condong ke barat namun masih memberi penerangan sehingga cuaca menjadi remang-remang.
"Sayang kita tidak berhasil membunuh wanita iblis itu!" Sulastri berkata kecewa.
"Ya, lebih menyesal lagi kita tak berhasil mencegah mereka membakar gudang ransum itu!" kata Jatmika. "Akan tetapi, bagaimana engkau tiba-tiba muncul membantuku dan benarkah engkau telah sembuh dan dapat mengingat kembali masa lalumu, Eulis?"
"Panjang ceritanya, Kakangmas Jatmika. Dan karena aku sekarang sudah ingat kembali bahwa namaku adalah Sulastri, maka nama Listyani atau Eulis itu kita lupakan saja dan harap engkau memanggil aku Sulastri."
"Baiklah, Sulastri, walaupun di dalam hatiku engkau tetap Eulis yang geulis (cantik). Nah, ceritakanlah pengalamanmu semenjak kita berpisah."
Sulastri lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Parmadi dan Muryani di sungai ketika ia bersama Neneng Salmah hendak mencuci pakaian dan mandi.
"Nanti dulu, siapa itu Neneng Salmah?" Jatmika bertanya.
"Oh, ya! Engkau belum mengenalnya!" Ia lalu bercerita tentang gadi waranggana dari Sumedang itu datang bersama Ki Salmun, ayahnya, datang mengungsi dari sumedang ke dermayu atas nasehat Lindu Aji.
Setelah mendengar keterangan panjang lebar tentang neneng Salmah, Jatmika bertanya lagi. "Dan siapa itu Parmadi dan Muryani?"
"engkau tidak dapat menduga siapa Kakangmas Paemadi. Dia masih kakak seperguruan kita!"
"Eh? Bagaimana mungkin? Kenapa aku tidak mengenalnya?"
"Tentu saja tidak. Dia adalah murid dari Eyang Resi Tejo Wening, kakak guru mendiang Eyang Guru Ki Tejo Langit."
"Ah, begitukah? Ceritamu semakin menarik, lanjutkanlah, Lastri."
"Setelah saling mengenal aji-aji kami yang sama, dan tahu bahwa aku kehilangan ingatan masa lakuku, Kakangmas Parmadi dan isterinya Mbakayu Muryani berkunjung ke rumah dan mengobatiku dengan tiupan sulingnya. Aku sembuh dan dapat pulih kembali ingatanku."
"Terima kasih kepada gusti Allah! Wah, syukurlah, aku ikut merasa bahagia sekali, Lastri!" Saking gembiranya, Jatmika merangkul gadis itu. Akan tetapi dengan gerakan lembut Sulastri menghindar. Jatmika merasa heran sekali, akan tetapi tidak memaksa, hanya berkata penuh perasaan sehingga suaranya menggetar. "Aku rindu sekali kepadamu, Lastri."
Sulastri menghela napas panjang. Setelah teringat kembali akan masa lalunya, ia kini selalu teringat akan hubungan batinnya dengan Lindu Aji dan sulit baginya untuk membiarkan dirinya dipeluk pria lain walaupun pria itu adalah Jatmika yang dikagumi dan disukainya. "Kakang, bukan waktunya kita bicara tentang hal itu. Akan kulanjutkan ceritaku."
"Baiklah, Lastri. Nah, lanjutkan ceritamu." kata Jatmika, agak tersipu akan tetapi heran melihat sikap Lastri yang dingin terasa sekali dalam suaranya.
Sulastri bercerita dengan singkat tentang munculnya pangeran dari Banten yang dulu mengganggu Neneng Salmah untuk memaksa gadis itu ikut. Pangeran ini ditemani dua orang datuk, yaitu Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad. Parmadi, Muryani dan ia sendiri yang sudah sembuh berhasil mengusir mereka. "Setelah Kakangmas Parmadi dan Mbakyu Muryani pergi untuk mencari pembunuh Eyang Guru Tejo Langit, aku yang sudah pulih ingatanku, menjadi gelisah, Mas Aji mencari pembunuh itu dan berjuang membela Mataram, engkau dan Kakang Parmadi juga begitu. aku merasa tidak enak untuk duduk diam di rumah saja, maka aku lalu nekat meninggalkan rumah."
"Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?" Tanya Jatmika.
"Aku teringat kepada Raden Banuseta yang dulu ikut melawan aku dan Mas Aji, maka aku lalu pergi ke Tegal hendak mencarinya. Malam tadi aku tiba di mana engkau sedang bertanding melawan Harya Baka Wulung."
"Ah, agaknya memang Gusti Allah yang menuntunmu sehingga engkau dapat membantuku dan aku dapat menyelamatkan diri dari kakek yang sakti mandraguna itu."
"Akan tetapi, Kakangmas Jatmika, kenapa Mataram menumpuk demikian banyak ransum di Tegal? Dan kenapa pula antek-antek Kumpeni itu membakar gudang?"
"Lastri, engkau tentu sudah mendengar bahwa bala tentara Mataram akan melakukan penyerbuan ke Jayakarta dan untuk keperluan pasukan itulah maka ransum itu ditumpuk untuk persediaan. Dan para mata-mata Kumpeni keparat itu tentu melaksanakan perintah atasan mereka. Siasat yang amat keji dan curang!"
"Kakang Jatmika, kalau begitu mari kita cepat pergi ke Jayakarta untuk membantu pasukan Mataram. Kukira jahanam Banuseta dan Kakang Hasanudin yang berkhianat itu tentu berada pula di sana."
"Benar, Lastri. Aku juga menduga bahwa Harya Baka Wulung dan Maya dewi mungkin melarikan diri ke sana pula." Dua orang itu menanti sampai fajar menyingsing, lalu mereka berdua melakukan perjalanan ke barat, ke arah Cirebon.
********************
Kumpeni Belanda memang menggunakan taktik yang mereka anggap cerdik, akan tetapi yang bagi Mataram merupakan akal yang amat licik dan curang. Bukan hanya gudang ransum di Tegal yang mereka bakar, akan tetapi juga ratusan perahu yang membawa ransum untuk pasukan Mataram, dihadang kapal Belanda dan meriam-meriam mereka menghancurkan dan menenggelamkan perahu-perahu itu berikut ransumnya. Juga ratusan rumah penduduk disekitar pantai yang dianggap rumah para petani yang mengumpulkan padi dan beras untuk balatentara Mataram, diserang dan banyak rumah dibakar. Beberapa buah dusun menjadi geger oleh serangan Belanda ini yang melakukan semua itu dengan maksud untuk mencegah penduduk membantu pasukan Mataram, membuat mereka ketakutan.
Pada suatu pagi, seorang pemuda yang berwajah tampan dan manis bertubuh jangkung tegap, matanya lembut kan tetapi terkadang mengeluarkan sunar mencorong, pakaiannya sederhana namun rapi, melangkah dengan lenggang santai namun kokoh bagaikan langkah harimau, berjalan menuju ke gudang kadipaten di Cirebon. Di pintu gerbang gedung Kadipaten pemuda itu dihadang lima orang perajurit penjaga.
"Berhenti!!" bentak empat orang dari mereka. Akan tetapi yang seorang lagi sudah setengah tua dan agaknya dia yang menjadi kepala jaga, berseru dengan girang dan hormat. "Denmas Lindu Aji Alap-alap Laut Kidul!"
"Bagus kalau andika mengenalku, paman. Aku mohon menghadap Paman Adipati Pangeran Ratu. Maukah andika melaporkan kunjunganku ini?"
"Tentu, denmas, tentu! Mari silakan!" Lindu aji mengikuti perajurit itu.
Empat orang kawannya saling pandang dengan heran, lalu seorang di antara mereka berkata, "Ah, dia itu Alap-alap Laut Kidul? Aku pernah mendengar bahwa dialah yang menghancurkan gerombolan Munding Hideung di Gunung Careme!"
"Wah, itukah orangnya? Kelihatannya masih begitu muda dan sederhana!"
"Hemm, kau tahu apa? Dia itu seorang utusan Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram yang berpangkat senopati muda!"
Lindu Aji mendengar percakapan ini akan tetapi dia tidak perduli dan mengikuti penjaga itu ke beranda. Di situ perajurit itu disambut seorang perajurit pengawal istana dan dia mengoper Aji kepada perajurit pengawal itu sambil berkata. "Lapor, Tamu ini adalah Alap-alap Laut Kidul bernama Lindu Aji yang mohon menghadap Gusti Adipati."
Perajurit pengawal itupun mengenal nama ini dan setelah mempersilakan Aji duduk di ruang tunggu, dia segera melapor ke dalam. Tak lama kemudian pengawal itu sudah kembali ke ruang tunggu mengatakan bahwa Sang Adipati sudah siap menerima Lindu Aji. Pemuda itu lalu mengikuti pengawal memasuki ruangan. Begitu Lindu Aji memasuki ruangan, dia melihat sang adipati sudah duduk menanti di atas kursi kebesarannya. Pria yang gagah berusia enam puluh lima tahun itu tersenyum menyambut kedatangan Lindu Aji.
"Anakmas Lindu Aji, andika yang datang? Silakan duduk, anakmas!" kata adipati dengan ramah, bahkan lalu bangkit dan mempersilakan Lindu Aji yang menyembah itu untuk duduk di atas kursi yang sudah tersedia di depannya. Karena hari itu bukan hari persidangan, maka tidak ada perwira yang hadir, bahkan tidak tampak seorangpun perajurit pengawal dalam ruangan itu. Hal ini menunjukkan bahwa sang adipati percaya penuh kepada tamunya.
"Terima kasih, Gusti Adipati." kata Lindu Aji hormat.
"Aeh, Anakmas Lindu Aji, mengapa andika berbasa basi seperi itu? Sebut saja paman, jangan gusti. Bukankah andika ini juga seorang senopati muda Mataram yang menjadi kepercayaan Gusti Sultan Agung? Nah, katakan anakmas. Kabar baik apakah yang andika bawa kali ini?"
"Paman Adipati, paduka tentu telah mengetahui bahwa balatentara Mataram kini sedang bergerak menuju Batavia untuk melakukan penyerangan besar-besaran. Dan saya mendengar bahwa Kumpeni Belanda melakukan usaha perlawanan yang curang dengan menembaki perahu-perahu pembawa ransum, bahkan membakar gudang-gudang ransum di Tegal dan tempat-tempat lain."
"Hemm, ya, kami mendengar akan hal itu, anakmas. Akan tetapi, apa yang dapat kita perbuat? Kami memang berpihak kepada Mataram, akan tetapi kalau melakukannya dengan berterang, Kumpeni tentu akan memusuhi dan menyerang kami. Padahal, penyerangan Belanda melalui kapal-kapal perang berbahaya sekali."
Lindu Aji mengerutkan alisnya, akan tetapi dalam hatinya dia harus mengakui kebenaran sang adipati ini. Bagaimanapun juga, Kadipaten Cirebon tentu saja harus menjaga keselamatannya sendiri. Yang terpenting asal Kadipaten Cirebon tidak membantu Belanda, hal itu sudah cukup baik. Bahkan dia juga mendengar bahwa biasanya, sang adipati ini menjadi perantara yang dapat dipercaya apabila Mataram hendak mengadakan hubungan atau perundingan dengan pihak Banten dan para kadipaten lain di Jawa Barat, juga dapat menjadi perantara kalau hendak mengadakan hubungan dan perundingan dengan pihak Kumpeni Belanda sekalipun.
"Akan tetapi, Paman Adipati, apakah di Kadipaten Cirebon juga diadakan gudang ransum untuk pasukan Mataram?"
"Memang ada, dua gudang besar, yang pertama berisi beras dan yang kedua berisi gunungan padi. Kami sudah mengutus seregu perajurut menjaga kedua gudang itu."
"Hanya seregu, Paman Adipati? Apakah cukup?" Tanya lindu Aji.
"Kami kira sudah cukup. Kumpeni Belanda tidak akan berani mengganggu gudang ransum yang berada di wilayah kami, tentu merasa sungkan kepada kami."
"Mudah-mudahan saja begitu, paman adipati."
Tiba-tiba seorang perajurit pengawal bergegas masuk, menjatuhkan diri berlutut dan sebelum Adipati Cirebon yang menjadi marah dan mengerutkan alis itu sempat bertanya, dia sudah lebih dulu menyembah dan berkata dengan takut-takut. "Mohon beribu ampun kalau hamba berani mengganggu dan menghadap paduka tanpa dipanggil, gusti. Hamba hendak melapor bahwa... gudang-gudang ransum diserbu orang dan dibakar." "Apa...??!!" Adipati Pangeran Ratu bangkit berdiri dan membentak perajurit pengawal itu. "Cepat panggil perwira pasukan pengawal!"
"Siap, gusti!" Peajurit itu cepat menyembah dan mundur, keluar dari ruangan itu. Aji sudah bangkit dan kini dia memberi hormat.
"Paman Adipati, saya mohon pamit. Saya akan menghadapi pengacau-pengacau itu!"
Tanpa menanti jawaban, Aji sudah melompat keluar dan dia berlari ke alun-alun kadipaten. Banyak orang berlarian dengan panik di jalan raya dan tanpa bertanyapun dia tahu di mana terjadinya kekacauan itu karena tampak sinar api dan asap di sebelah utara dan dari arah itu orang-orang berlarian. Setelah berlari cepat dia mendengar pula suara ledakan-ledakan, bukan hanya ledakan kebakaran melainkan ledakan seperti bunyi meriam atau senjata api lainnya.
Setelah tiba di tempat kebakaran, Aji melihat betapa dua buah gudang besar sedang terbakar. Penduduk berlarian ketakutan dan dia melihat pula beberapa orang perajurit kadipaten, tinggal belasan orang agaknya berusaha untuk memadamkan api, akan tetapi mereka diserang oleh gerombolan orang yang bersenjata golok, di antara mereka banyak pula yang bersenjata pistol. Dan di belakang gudang yang terbakar, dia melihat seorang pemuda dan seorang gadis sedang berkelahi melawan seorang kakek brewok yang bertubuh tinggi besar dan dua orang lain yang bersenjata golok.
Ketika memandang dengan teliti, Aji terkejut, marah dan juga girang mengenal bahwa gadis itu bukan lain adalah Sulastri, pemuda itu Jatmika. Adapun kakek yang mejadi lawan mereka adalah Ki Harya Baka Wulung yang dibantu dua orang bersenjata golok. Menghadapi Ki Harya Baka Wulung saja, Jatmika dan Sulastri sudah bertemu dengan lawan berat. Apalagi kakek yang selalu memusuhi Mataram itu dibantu dua orang yang lumayan tangguh, maka sepasang orang muda itu tampak terdesak hebat. Aji dapat menduga bahwa tentu Ki Harya Baka Wulung itu yang berada di balik layar terjadinya kebakaran-kebakaran terhadap gudang ransum Mataram.
"Hemm, jahanam busuk!" bentaknya dan tubuh Aji sudah menerjang ke depan dengan cepat sekali. Dengan kecepatan gerakan Aji Bayu Sakti, dia seperti terbang dan sudah menyerang Ki Harya Baka Wulung dengan tamparan tangannya ke arah kepala raksasa itu dengan pengerahan tenaga dari Aji Surya Chandra.
"Wuuuutttt... plakkkk !!" Ki Harya Baka Wulung terkejut sekali ketika merasakan datangnya serangan yang amat dahsyat dari tubuh pemuda yang terbang meluncur itu. Dia cepat menangkis dan ketika kedua lengan bertemu, Ki Harya Baka Wulung terhuyung ke belakang. Sementara itu, Jatmika dan terutama Sulastri girang bukan main melihat datangnya Lindu Aji yang membantu mereka. Sulastri hampir menangis saking harunya. Sekarang ia ingat benar kepada Aji dan merasa betapa jantungnya berdebar penuh rindu dan bahagia. Akan tetapi iapun tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi Ki Harya Baka Wulung diserang oleh Lindu Aji.
Seperti dikomando saja, Sulastri dan Jatmika menerjang kedua orang pembantu Ki Harya Baka Wulung yang bersenjata golok. Kalau tadi dua orang itu masih dapat mengeroyok mereka adalah karena ada datuk Madura yang sakti itu. Kini setelah datuk itu bertanding melawan Aji, tentu saja dua orang itu sama sekali bukan tandingan Sulastri dan Jatmika. Beberapa jurus saja dua orang itu sudah roboh dan tewas. Ki Harya Baka Wulung terkejut bukan main. Dia merasa menyesal mengapa dia berpencar dari kawan-kawannya.
Seperti diketahui, Ki Harya Baka Wulung melaksanakan tugas sebagai antek Kumpeni Belanda bersama Nyi Maya Dewi dan pasukan Kumpeni. Dia berhasil melakukan pembakaran dan memusnahkan gudang ransum di Tegal. Akan tetapi dia bertemu dengan Jatmika dan Sulastri yang mengeroyoknya dan melihat ketangguhan sepasang orang muda itu, dia melarikan diri ke Cirebon. Di sini ada dua orang rekannya yang bertugas sama dengannya, yaitu memusnahkan gudang-gudang ransum pasukan Mataram.
Setelah bertemu dengan dua orang rekannya, yaitu Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad, mereka bertiga lalu mengatur siasat untuk membakar dua buah gudang berisi ransum untuk tentara Mataram. Di Cirebon, mereka lebih berhati-hati, tidak mempergunakan serdadu-serdadu Belanda, melainkan gerombolan yang sudah dipengaruhi dan diperbudak oleh Belanda, menjadi antek-antek bayaran. Di bawah pimpinan tiga orang datuk yang sakti mandraguna ini, tidak sukar bagi gerombolan itu untuk menyerang pasukan yang menjaga gudang, lalu membakarnya.
Setelah dua buah gudang itu mulai terbakar, Ki Harya Baka Wulung lalu berpencar dari Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad seperti yang sudah mereka rencanakan. Akan tetapi baru saja dia hendak melarikan diri ke belakang gudang, tiba-tiba muncul Sulastri dan Jatmika yang segera mengenalnya dan sepasang orang muda ini tentu saja segera mengetahui bahwa tentu datuk besar dari Madura ini yang mendalangi kebakaran gudang ransum, maka mereka lalu menyerangnya. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung melawan, bahkan dengan bantuan dua orang anggota gerombolan dia mendesak Jatmika dan Sulastri dan nyaris merobohkan menewaskan sepasang orang muda itu.
Akan tetapi alangkah kaget dan kecewanya ketika tiba-tiba muncul Lindu Aji! Apa lagi melihat dua orang anak buahnya itu roboh. Dia menjadi jerih dan cepat membanting dua bahan peledak yang mengeluarkan suara keras dan asap tebal. Lindu Aji, Sulastri dan Jatmika cepat melompat ke belakang. Melihat kakek raksasa itu melarikan diri ke barat, Aji berkata kepada mereka, "Kakang Jatmika dan Nimas Eulis, kalian bantu memadamkan api, aku akan mengejar kakek iblis itu!" Aji melompat ke depan.
"Mas Aji...!" Sulastri berseru. Aji menahan larinya dan menengok. Sebutan itu! Sebutan lama yang dahulu diucapkan Sulastri kepadanya!
"Lastri...??" Dia bertanya, ragu-ragu. "Kau...?"
Dengan air mata menetes-netes di atas pipinya, akan tetapi dengan mulut tersenyum, Sulastri mengangguk. "Benar, Mas Aji. Aku Lastri... ingatanku telah pulih...!"
Akan tetapi Aji melirik ke arah Jatmika dan diapun berkata. "syukurlah, Lastri. Aku akan mengejar orang itu lebih dulu!" Dia melompat jauh.
"Mas Aji, hati-hatilah...!" Sulastri berseru. Jatmika melihat semua ini dan diam-diam menghela napas dalam. Hatinya menjadi risau dan ragu. Apakah Sulastri mencinta dia? Ataukah cintanya sudah lebih dulu dimiliki Lindu Aji, hanya saja tempo hari pertalian cinta itu ikut terhapus dari ingatannya? Dia tidak tahu dan dalam keadaan seperti itu dia tidak berani bertanya.
"Mari kita membantu mereka memadamkan api" ajak Jatmika yang menyadarkan Sulastri yang masih berdiri memandang ke arah perginya Lindu Aji seperti orang melamun. Akan tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Api telah berkobar besar, melahap dua buah gudang itu dan seluruh isinya. Mereka berdua hanya dapat mengamuk, mempergunakan kesaktian mereka untuk menghajar sisa gerombolan antek Belanda yang belum sempat melarikan diri. Bahkan mereka lalu melakukan pengejaran sampai ke tepi laut di mana beberapa orang anak buah gerombolan berhasil melarikan diri menggunakan perahu.
Melihat lima orang anak buah gerombolan naik perahu yang didayung ke arah laut, Sulastri membanting-banting kaki kanannya dan berseru. "keparat jahanam kalian antek-antek Kumpeni!"
Tiba-tiba seorang laki-laki gagah berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama seorang wanita cantik berusia tiga puluh enam tahun berdiri tidak jauh dari situ segera mendekat ke laut sampai air laut merendam kaki mereka sampai ke betis. Laki-laki itu ketika tadi mendengar Sulastri memaki para anak buah gerombolan sebagai antek-antek kumpeni, segera melontarkan batu besar ke arah perahu yang sedang diusahakan melawan ombak itu.
"Syuuutttt... brakkk... byuurrrr !" Perahu itu tertimpa batu dan pecah, lima orang anak buah gerombolan itu terjatuh ke dalam laut. Mereka terpaksa berenang ke tepi. Jatmika dan Sulastri sudah siap menyambut mereka. Sulastri amat benci mereka mengingat akan kebakaran dua buah gudang ransum itu, menyambut dengan pedang Naga Wilis di tangan. Lima orang anak buah gerombolan yang menjadi antek Kumpeni Belanda itu mati-matian untuk mencoba melawan. Dua orang di antara mereka mncabut pistol, akan tetapi sebelum mereka sempat mempergunakan pistol itu, dua buah batu karang sebesar kepalan tangan menyambar pelipis mereka dan dua orang itupun roboh tak mampu bangkit kembali. Suami isteri perkasa yang menyambitkan batu karang itu lalu menghampiri dan menendang dua buah pistol itu jatuh ke dalam air laut.
Sementara itu, dengan kilatan pedangnya Sulastri telah merobohkan dua orang lawan dan Jatmika juga merobohkan seorang dengan tamparan tangannya yang ampuh. Setelah merobohkan anak buah gerombolan itu, Sulastri, dengan pedang Naga Wilis masih di tangan, bersinar kehijauan tertimpa cahaya matahari, dan Jatmika kini menghadapi pria dan wanita yang telah membantu mereka tadi. Akan tetapi, tiba-tiba wanita cantik itu mencabut sebatang pedang yang tergantung di punggungnya.
Tampak sinar hijau berkelebat dn ia sudah menggunakan pedang itu untuk membacok ke arah kepala Sulastri, tanpa berkata sepatah katapun! Tentu saja Sulastri merasa terkejut dan heran karena hal itu sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Bukankah pria dan wanita ini tadi membantunya merobohkan para antek Belanda? Dan ternyata serangan pedang itu dahsyat sekali sehingga mau tidak mau ia harus menangkis dengan pedang Naga Wilis yang masih di tangannya.
"Singggg.... trang... krek...!" Pedang di tangan wanita itu bertemu dengan pedang Naga Wilis yang dipergunakan Sulastri untuk menangkis dan pedang wanita itu patah menjadi dua potong! Wanita itu tidak tampak terkejut, bahkan ada sinar kegembiraan terpancar pada wajahnya ketika ia membuang pedang yang tinggal sepotong itu ke atas tanah, menggeletak dekat pedang bagian atas. Ia menoleh kepada pria gagah di sampingnya dan berkata dengan suara bernada gembira.
"Kakangmas, lihat! Naga Wilis yang asli!"
"Engkau benar, diajeng. Akhirnya kita temukan juga!" kata pria itu sambil mengangguk.
"Hei! Kalian ini siapa? Dan kenapa tiada hujan tiada angin tiba-tiba menyerangku?" bentak Sulastri dngan pandang mata melotot dan mulut yang manis itu cemberut.
Wanita cantik itu menjawab. "Aku menyerang untuk melihat apakah pedang di tanganmu itu Pusaka Naga Wilis asli?"
Sulastri mengerutkan alisnya yang hitam dan memandang ke arah pedang di tangannya. "Tentu saja pedangku ini Naga Wilis asli, dan pedangmu itu palsu!" Ia memandang ke arah pedang yang telah patah menjadi dua potong itu, pedang yang sama benar rupanya dengan pedang di tangannya.
"Nah, itulah sebabnya kami tertarik sekali ketika melihat pedangmu, anak manis." kata wanita cantik itu. Biarpun tadi sudah terbukti bahwa pria dan wanita itu membantu mereka menghadapi para antek Kumpeni Belanda, namun melihat wanita cantik itu, Jatmika dan Sulastri teringat akan Nyi Maya Dewi yang juga cantik jelita dan jahat, maka mereka berdua menjadi curiga. Pria yang tampan dan gagah itu melangkah maju.
"Anak yang baik, coba aku pinjam sebentar pedangmu, hendak kami teliti."
Sulastri tentu saja tidak mau memberikan pedangnya, bahkan ia melangkah mundur dan menyarungkan pedang Naga Wilis. Jatmika melangkah maju dan berkata penuh teguran kepada pria itu. "Jangan ganggu dia!" Sambil berkata demikian, Jatmika mendorongkan tangan kanannya ke arah pria itu untuk memaksa pria itu mundur. Karena tadi dia melihat bahwa pria itu seorang yang digdaya, maka dia mengerahkan tenaga saktinya untuk sekedar memperingatkan pria dan wanita yang hendak mengganggu Sulastri itu.
Melihat Jatmika membuat gerakan mendorong dan ada angin yang dahsyat menyambar ke arahnya, pria itu tersenyum dan mengangkat tangan kirinya, menyambut dengan dorongan. "Wuuuttt... plakkk...!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang. Dua orang pria itu sama-sama terkejut dan heran sekali. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa lawan memiliki tenaga sakti yang demikian kuatnya.
Melihat pria itu terdorong oleh Jatmika, wanita cantik itu agaknya menjadi marah dan iapun melangkah maju. Akan tetapi Sulastri menghadapinya, bahkan gadis itu menyambutnya dengan tamparan tangan yang mengandung Aji Margopati! Wanita itu terkejut, cepat sekali mengelak dan siap untuk membalas. Akan tetapi pria itu cepat mencegahnya. "Cukup, diajeng, jangan berkelahi!" Suaranya mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang wanita itu sama-sama melompat mundur.
Kini pria itu dengan tersenyum berkata kepada Jatmika dan Sulastri yang masih siap siaga menghadapi serangan. "Ah, kalian adalah oang-orang muda yang sakti mandraguna! Ketahuilah, kami sama sekali tidak mempunyai niat jahat terhadap kalian. Hanya karena melihat Pedang naga Wilis itulah maka isteriku ini memperlihatkan sikap yang aneh dan itu ada sebabnya. Perkenalkanlah lebih dulu. Aku bernama Tejomanik atau lebih dikenal dengan nama Sutejo, bertempat tinggal di lereng Gunung kawi. Dan ini isteriku bernama Retno Susilo."
Jatmika terkejut mendengar nama itu dan dia kini memandang ke arah sebuah pecut yang gagangnya terselip di ikat pinggang Sutejo dan pecutnya sendiri melilit pinggang. "Apakah andika yang disebut orang Pecut Bajrakirana?" Dia pernah mendengar nama ini dari mendiang ayahnya dan dia mendengar bahwa Sutejo yang diberi julukan Si Pecut Bajrakirana ini adalah seorang pendekar sakti mandraguna yang setia kepada Mataram.
Sutejo tersenyum dan mengangguk. sejak tadipun dia sudah melihat betapa pemuda dan gadis itu bukan orang-orang sembarangan, maka dia mencegah isterinya betanding dengan gadis itu. Jatmika menoleh kepada Sulastri. "Nimas Sulastri, paman dan bibi ini adalah pendekar-pendekar ternama yang setia kepada Mataram. Maafkan kami, Paman Sutejo dan bibi. Saya bernama Jatmika dan ini adalah Sulastri."
"Akan tetapi kalau paman dan bibi tidak mempunyai niat buruk, kenapa bibi Retno Susilo tadi menyerangku?" tanya Sulastri, masih penasaran.
Kini Retno Susilo yang menghampiri Sulastri. "Anak manis, maafkan aku. Seperti kukatakan tadi, aku menyerangmu untuk menguji apakah pedangmu itu benar Pedang Naga Wilis yang asli. Sebelum kuterangkan kesemuanya ini, aku ingin bertanya dulu kepadamu. Akan tetapi, tidak enak bicara sambil berdiri di sini. Marilah kita mencari tempat di mana kita dapat bicara dengan enak."
"Mari kita ke sana." kata Sutejo,menunjuk ke arah beberapa batang pohon yang tumbuh agak ke darat. mereka berempat lalu meinggalkan lima orang anggauta gerombolan yang menggeletak di atas pasir. Dua orang di antara mereka hanya terluka, tidak tewas dan kini mereka berdua itu sudah bangkit duduk sambil mengerang kesakitan.
"Biarlah yang dua itu mengurus mayat teman-teman mereka." demikian kata Sutejo sebelum mereka meninggalkan tempat itu, menuju ke segerombolan pohon itu. Kini mereka berempat duduk di atas batu-batu di bawah pohon dan Retno Susilo berkata kepada Sulastri. "Sulastri, tolong ceritakan kepada kami, dari manakah engkau memperoleh Pedang Naga Wilis itu?" Retno Susilo menuding ke arah pedang yang tergantung di punggung Sulastri.
Sulastri adalah seorang gadis yang mempunyai dasar watak keras. Ia mengerutkan alisnya. Ia kini memang sudah percaya kepada suami isteri gagah di depannya itu. Akan tetapi bagaimanapun juga ia masih merasa penasaran mengapa ia harus menceritakan tentang pusakanya, pemberian mendiang Ki Ageng Pasisiran, gurunya yang kini telah tewas terbunuh orang.
"Maafkan aku, bibi. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa bibi begitu tertarik kepada pedangku Naga Wilis yang kudapatkan sebagai pemberian guruku. Ceritakan dulu apa hubungan pedang pusaka ini denganmu, Bibi Retno Susilo!
Terdengar Sutejo terkekeh. "Heh-heh, diajeng Retno Susilo. Sekarang engkau bertemu batunya! Gadis ini mengingatkan aku kepada sikapmu di waktu muda. Sama-sama berkepala baja, heh-heh!"
Retno Susilo juga tersenyum. Memang di waktu mudanya ia adalah seorang gadis yang lincah, galak, keras hati dan berani. Akan tetapi setelah menjadi isteri Sutejo, ia kini berubah banyak sekali.
"Baiklah, Sulastri. Nah, dengarlah baik-baik." Wanita itu menoleh kepada suaminya dan ia menghela nafas panjang, tiba-tiba tampak sedih sekali. Setelah menghela nafas beberapa kali, ia melanjutkan. "Peristiwa menyedihkan itu terjadi kurang lebih delapan tahun yang lalu. Ketika itu, pedang Pusaka Naga Wilis yang sekarang menjadi milikmu itu adalah pusakaku. Aku menerimanya dari mendiang guruku yang berjuluk Nyi Rukmo Petak. Selain Pedang Naga Wilis itu, pada saat itu anak tunggal kami yang benama Bagus Sajiwo berusia enam tahun dan pada suatu hari..." suara Retno Susilo melemah dan terdengar kedukaan menggetarkan suaranya, "pada suatu hari anak kami Bagus Sajiwo itu dan pedang pusaka Naga Wilis hilang dari dalam kamar ketika kami berdua sedang berada di ladang. Pedang pusaka dan puteraku itu hilang diculik orang dan bertahun-tahun kami mencari, berkelana ke mana saja, sambil membantu Mataram dalam menghadapi lawan-lawannya... akan tetapi sama sekali tidak ada hasilnya. Sudah delapan tahun lebih kami mencari tanpa hasil, dan hari ini... aku melihat Naga Wilis berada di tanganmu. Dapat kalian bayangkan betapa kaget dan juga girang rasa hatiku melihat pedang itu. Mungkin... mungkin ditemukannya pedang itu akan dapat membuat kami menemukan putera kami pula!"
"Sulastri, apakah engkau melihat putera kami Bagus Sajiwo? Usianya kini tentu sudah empat belas tahun!" kata pula Sutejo dengan suara mengandung penuh harapan.
Sulastri dan Jatmika merasa terharu mendengar cerita itu. Kini mereka mengerti tadi Retno Susilo bersikap seperti itu ketika melihat Pedang Naga Wilis. Sulastri menggeleng kepala dan berkata dengan suara terharu. Ia keras hati, namun juga mudah sekali menaruh iba kepada orang lain. "Aku tidak pernah mendengar nama puteramu itu, bibi. Akan tetapi mengapa bibi tadi menggunakan pedang palsu yang mirip Naga Wilis?"
Retno Susilo menghela napas panjang, wajahnya berubah agak pucat mendengar Sulastri tidak pernah mendengar puteranya. Pada hal tadinya ia mengharapkan dengan ditemukannya pedang itu maka ia akan mendapat keterangan tentang puteranya. Ia mengusap beberapa tetes air mata dari pelupuk matanya dan Sutejo lalu menepuk-nepuk pundak isterinya dengan lembut untuk menenangkannya. "Aku sengaja membuat yang palsu agar menarik perhatian orang yang memiliki Naga Wilis asli. Nah, Sulastri, anak yang baik. Cepat ceritakan tentang pedang Naga Wilis yang kini menjadi milikmu itu. Engkau memperolehnya dari gurumu? Siapa gurumu dan bagaimana dia bisa mendapatkan pedangku yang hilang bersama puteraku itu?"
"Kasihan andika, paman dan bibi. Hemm, kalau aku bertemu dengan orang yang menculik putera kalian, tentu akan kuhajar orang itu! Sejak kecil aku menjadi murid guruku, yaitu Eyang Ki Ageng Pasisiran atau juga dahulu bernama Ki Tejo Langit yang tinggal di pantai laut daerah Dermayu. Aku menerima pedang ini dari guruku itu kurang lebih lima tahun yang lalu ketika aku mulai dilatih bersilat dengan pedang. Setelah aku meninggalkan perguruan, guruku memberikan pedang ini kepadaku."
"Sulastri, apakah gurumu itu masih tinggal di sana? Kami ingin berjumpa dengannya dan minta keterangan tentang asal mula dia mendapatkan pedang ini." kata Sutejo.
Sulastri menggeleng kepala. "Guruku sudah meninggal dunia, tewas dibunuh antek Kumpeni Balanda. Kami sedang hendak mencari pembunuh itu!"
"Ahh...!" Retno Susilo mendesah kecewa sekali. "Apakah dia tidak pernah bercerita tenang asal usul pedang ini?"
"Ya dia pernah menceritakan sedikit padaku dan agaknya cerita ini akan dapat menjadi petunjuk untuk menemukan putera kalian, bibi."
"Bagaimana ceritanya?" Sutejo dan Retno Susilo bertanya dengan suara hampir berbareng. Mata Retno susilo yang masih basah memandang Sulastri penuh selidik.
"Ketika eyang guru memberikan pedang ini kepadaku, aku bertanya tentang asal usul pedang ini. Eyang guru berkata bahwa dia sendiri juga tidak tahu akan asal usul pedang ini, hanya menceritakan bahwa dia merampas pedang Naga Wilis ini dari tangan seorang datuk dari Banten yang bernama Kyai Sidhi Kawasa. Eyang guru memang dimusuhi oleh datuk itu. Kata eyang guru, mereka bertanding sampai setengah hari dan akhirnya eyang guru dapat merampas pedang ini, sedangkan Kyai Sidhi Kawasa melarikan diri dengan menderita luka. Nah, hanya itu yang kudengar dari mendiang eyang guruku."
"Kyai Sidhi Kawasa...??" Suami isteri itu saling pandang dan merasa heran. Mereka merasa tidak pernah bermusuhan dengan datuk dari Banten itu. Kenapa datuk itu mencuri Pedang Naga Wilis dan menculik putera mereka? "Siapa dia dan di mana kami dapat menemuinya?" Tanya Sutejo.
"Ah, sekarang aku ingat! Ya benar, dia itu adalah datuk yang datang bersama Aki Somad dan Jaka Bintara yang hendak menangkap Neneng Salmah!"
"Aki Somad?" Sutejo bertanya. "Aku pernah mendengar nama itu! Dia seorang pertapa dari Nusakambangan yang amat sakti. Coba ceritakan tentang orang yang menjadi datuk Banten bernama Kyai Sidhi Kawasa itu!"
"Orangnya sudah tua, hampir tujuh puluh tahun usianya. Kepalanya botak kecil, rambut di bagian bawah kepalanya yang botak itu berwarna abu-abu. Mukanya tanpa kumis atau jenggot. Hidungnya pesek dan mulutnya kecil. Suaranya lembut. Lengannya memakai akar bahar hitam dan dia memegang tongkat ular kobra. Hanya itulah seingatku, paman."
Suami isteri itu termenung. Mereka merasa tidak pernah bermusuhan dengan datuk Banten itu, bahkan mendengarnyapun baru sekarang. Akhirnya Sutejo memandang isterinya yang tampak bersedih. Retno susilo merasa kecewa sekali. Ternyata ditemukannya Pedang Naga Wilis tetap tidak dapat membuka rahasia tentang di mana puteranya. "Diajeng, agaknya kita harus pergi ke Banten mencari Kyai Sidhi Kawasa." kata Sutejo.
Isterinya mengangguk. "Benar, kakangmas. Agaknya hanya dialah yang mengetahui di mana adanya Bagus sekarang. Kita akan membantu pasukan Mataram menyerang Kumpeni Belanda ke Jayakarta. Setelah itu baru kita akan mencari orang itu di Banten."
Jatmika merasa iba kepada pendekar sakti yang namanya amat terkenal itu. "Paman dan bibi, saya berjanji akan membantu andika berdua. Kalau bertemu dengan Sidhi Kawasa, tentu saya akan memaksa dia mengaku di mana adanya adik Bagus Sajiwo."
"Aku juga akan membantu andika. Akan kupaksa kakek dari Banten itu menunjukkan di mana kini Bagus Sajiwo berada!" kata pula Sulastri penuh semangat.
"Terima kasih. Kalian baik sekali dan kami sungguh beruntung dapat bertemu dengan kalian sehingga kini bernyala kembali api pengharapan di hati kami." kata Sutejo.
Tiba-tiba Sulastri melepaskan tali sarung pedang yang diikat di punggungnya dan menyerahkan Pedang Naga Wilis dengan sarungnya kepada Retno susilo. "Ini pedangmu, Bibi Retno Susilo. Engkau pemilik pedang ini yang berhak memilikinya, maka kukembalikan kepadamu."
Retno Susilo terkejut. Tak disangkanya gadis berkepala baja seperti yang dikatakan suaminya itu dapat begitu lembut hati, rela mengalah dan menyerahkan pedang pusaka yang amat langka itu!
"Tidak Sulastri. Terima kasih banyak. Pedang itu telah dicuri orang dan mendiang gurumu yang merampas kembali dan menemukan pedang itu. Engkau memilikinya dengan sah. Aku rela pedang naga wilis ini menjadi milikmu. Keteranganmu tentang Kyai Sidhi Kawasa itu sudah cukup berharga. keselamatan anak tunggalku itu jauh lebih berharga dan penting bagiku daripada pedang ini. Nah, mulai detik ini aku menyatakan bahwa Pedang Naga Wilis adalah milik sah dari Sulastri!"
"Terima kasih, Bibi Retno susilo."
********************