Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 28
"SEKARANG kalian ceritakan, apa yang terjadi di sini dan bagaimana kalian tadi mengejar-ngejar orang-orang yang kalian katakan sebagai antek-antek Kumpeni Belanda itu." kata Sutejo.
Jatmika dan Sulastri lalu menceritakan pengalaman mereka ketika mereka melihat orang-orang Kumpeni membakar gudang ransum di tegal. Betapa mereka melihat Ki Harya Baka Wulung yang agaknya menjadi dalang pembakaran gudang ransum itu. Juga mereka menceritakan betapa mereka berdua bentrok dengan Nyi Maya Dewi yang menjadi sekutu Ki Harya Baka Wulung membantu Kumpeni Belanda dan mereka berhasil membunuh raksasa Belanda, jagoan Kumpeni.
"Dari Tegal kami pergi ke Cirebon dan di sini kami juga melihat ada pembakaran terhadap dua buah gudang ransum pasukan Mataram. Kami bertemu pula dengan Ki Harya Baka Wulung dan kami yakin bahwa dia memang seorang diantara para pimpinan mata-mata Belanda. Kami melawan Ki harya Baka Wulung dan dikeroyok. Untung muncul Mas Aji yang menolong kami dan Ki Harya Baka Wulung melarikan diri, dikejar Mas Aji." kata Sulastri.
"Mas Aji? Siapa dia?" Tanya Sutejo.
"Namanya Lindu Aji. Dia masih terhitung kakak seperguruan kami berdua!" kata Sulastri dan Jatmika merasa betapa dalam suara sulastri terkandung kebanggaan.
"Lalu bagaimana? Ceritamu menarik sekali." kata Retno Susilo.
"Mas Aji mengejar Ki Harya Baka Wulung dan kami berdua dia minta untuk membantu usaha pemadaman kebakaran dua buah gudang ransum itu. Akan tetapi terlambat. Dua buah gudang itu telah menjadi lautan api. Kami lalu menghajar gerombolan yang menjadi antek Belanda. Yang melarikan diri kami kejar dan lima orang tadi adalah sebagian dari mereka. Demikianlah apa yang kami alami, paman dan bibi."
Sutejo menghela napas panjang. "Sayang sekali bahwa bangsa kita banyak yang terpikat oleh kekayaan bangsa Belanda sehingga suka menjadi pengkhianat bangsa, mudah diadu domba oleh belanda. Kalau begini keadaannya, maka akan sukarlah mengusir Kumpeni Belanda dari tanah air."
"Bagaimanapun juga, masih ada para pendekar yang setia kepada Mataram dan suka membela bangsa dan Negara dengan taruhan nyawa, paman." kata Jatmika.
Sutejo mengangguk-angguk. "Benar, mungkin diantara mereka itu adalah orang-orang seperti kita ini. Akan tetapi betapa banyaknya orang-orang pandai yang sakti, seperti para datuk itu, yang sudi menjadi antek Belanda pula! Sungguh sayang." Sutejo menghela napas, lalu melanjutkan."Kami mendengar bahwa balatentara Mataram sudah mulai bergerak. Karena itu, sebaiknya kita berpencar, membantu Mataram membersihkan jalan dari para antek Belanda dan kelak kita bertemu di Batavia."
"Baik, paman." kata Jatmika. "Dengan berpencar kita dapat lebih mudah mencari datuk jahat Kyai Sidhi Kawasa itu, bibi." kata pula Sulastri kepada Retno Susilo. Gadis ini mulai merasa suka dan kagum kepada Retno Susilo yang rela menyerahkan pedang Naga Wilis kepadanya.
"Engkau benar, Sulastri. Kita membantu Mataram sambil mencari orang-orang yang kita butuhkan. Kami mencari Kyai Sidhi Kawasa dan kalian juga mencari orang yang telah menewaskan gurumu."
Dua pasang pendekar itu lalu berpisah mengambil jalan masing-masing walaupun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu ke Batavia, benteng Kumpeni Belanda.
Lindu Aji mempergunakan Aji Bayu Sakti. Tubuhnya ringan sekali dan larinya secepat angin. Bagaikan seekor alap-alap (burung rajawali) melayang saja tubuhnya meluncur dengan cepatnya ketika dia melakukan pengejaran terhadap bayangan Ki Harya Baka Wulung. Kakek ini merasa jerih melihat Aji, maka dengan mempergunakan bahan peledak dia melarikan diri ke arah barat sambil mengerahkan semua tenaga untuk berlari secepatnya. Akan tetapi sekali ini Lindu Aji tidak mau melepaskannya.
Kakek itu terlalu jahat dan terlalu berbahaya. Sepak terjangnya amat merugikan Mataram dan kalau dibiarkan lolos, tentu akan menjadi penghalang besar bagi Mataram yang hendak menyerang Kumpeni Belanda di Batavia. Akan tetapi, Ki Harya Baka Wulung kini telah tua renta. Usianya sudah hampir tujuh puluh tahun dan cara hidupnya membuat dia tidak dapat menjaga kesehatannya. Dia suka pesta pora, makan minum sampai mabok, dan bersenang senang.
karena itu, kesehatannya mundur dan setelah berlari cepat selama beberapa jam, dia sudah terengah engah dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Larinya menjadi semakin lambat dan ketika dia tiba di jalan pendakian bukit, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Lindu Aji telah melewatinya dan membalik, berdiri sambil bertolak pinggang menghadapinya. Terpaksa Ki Harya Baka Wulung berhenti melangkah dan dia berdiri terengah engah mengatur pernapasan.
Biarpun hatinya merasa gentar menghadapi pemuda yang sakti mandraguna ini, namun Ki Harya Baka Wulung yang merasa dirinya sebagai datuk terbesar di Madura dan sudah terlanjur menganggap diri sendiri yang paling hebat, memperlihatkan sikapnya yang angkuh. Dengan tangan kanan bertolak pinggang yang menyembunyikan tanda kekalahan pernapasan yang memburu, kakek itu menudingkan telunjuknya kepada Lindu Aji. Suaranya terdengar parau ketika dia berkata dengan penuh wibawa.
"Heh, Lindu Aji! Engkau ini bocah cilik (anak kecil) mau apa menghadang perjalanan seorang kakek seperti aku?"
Aji tersenyum walau matanya mencorong karena marah mengingat akan semua perbuatan kakek yang kini berdiri di depannya itu. "Ki Harya Baka Wulung, andika masih berpura-pura tanya lagi mengapa aku menghadangmu?"
"Hemm, Lindu Aji, engkau ini seorang bocah yang kaduk wani kurang dugo (terlalu berani kurang perhitungan)! Engkau ini seperti seorang cucu berhadapan dengan eyangnya! Mengapa bersikap begini kurang ajar? Begitukah tata-susila yang kamu pelajari?"
"Ki Harya Baka Wulung, memang aku masih muda dan andika sudah tua sekali seperti seorang cucu dengan kakeknya. Akan tetapi andika ini tidak menabung amal kebajikan untuk bekal di akhirat nanti melainkan menumpuk dosa yang menyeretmu ke neraka jahanam! Andika seorang Madura dan kini Madura sudah menjadi keluarga Mataram sehingga andika menjadi kawula Mataram pula. Akan tetapi, dengan tak tahu malu andika mengkhianati bangsa dan Negara, mau menjadi anjing penjilat sepatu Belanda. andika memimpin antek-antek Belanda yang lain untuk membakari gudang-gudang ransum Mataram! Dosamu bertumpuk-tumpuk dan manusia macam andika ini kalau dibiarkan hidup hanya akan menyengsarakan bangsa sendiri!"
"Babo-babo, bocah kemarin sore berani memberi wejangan kepada eyangnya! Ketahuilah, bocah, aku menentang Mataram bukan untuk membantu Belanda. Hanya kebetulan saja karena Belanda memusuhi Mataram maka kami bekerja sama. Aku memang membenci Mataram! Mula-mula Mataram banyak membunuh para sahabatku ketika pasukan Mataram menyerbu ke daerah daerah di Jawa Timur. Kemudian Mataram juga menundukkan seluruh Madura. Setelah itu menundukkan pula Surabaya dan Giri. Aku selalu menentang Mataram . Lebih celaka lagi, putera tunggalku si Dibyasakti juga tewas ketika Mataram menyerbu Madura. Dendamku tumpuk undung (bertumpuk-tumpuk), maka pemusuhan antara Belanda dan Mataram ini membuka kesempatan kepadaku untuk membalas dendam! Itu sudah adil!"
"Ki Harya Baka Wulung! Andika terlalu mementingkan urusan pribadi. Apa artinya persoalan pribadi kalau dibandingkan dengan persoalan mengenai bangsa dan Negara? Ketahuilah, Kanjeng Gusti Sultan Agung menundukkan semua daerah itu justeru untuk menggalang persatuan, untuk mempersatukan semua kekuatan di Nusantara untuk bangkit melawan Kumpeni Belanda yang merupakan ancaman besar bagi nusa dan bangsa. Dalam keadaan tanah air terancam, sepatutnya andika mengesampingkan dulu semua dendam pribadi, lalu bersatu untuk melawan Belanda. Sebaliknya, andika malah membantu belanda hendak menyengsarakan rakyat!"
"Keparat jahanam! Mampuslah kau!" bentak Ki Harya Baka Wulung yang sudah marah sekali dan sejak tadi diam-diam telah menghimpun tenaga saktinya, siap untuk menyerang sambil melepaskan lelah. Tiba-tiba dia sudah mengeluarkan satu pukulan jarak jauh Cantuka Sakti. Kedua kakinya ditekuk hampir berjongkok dan kedua tangannya mendorong ke depan, mulutnya mengeluarkan bunyi yang keluar dari perutnya, seperti seekor katak raksasa, "Kok-kok-kok...!!" Dari kedua telapak tangan yang didorongkan itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali ke arah Aji.
Namun Lindu aji sudah mengenal pukulan yang dahsyat ini. Dengan gerakan ringan dari aji bayu sakti, tubuh pemuda itu sudah berkelebat, mengelak dengan loncatan kilat ke kiri, sejauh empat meter. "Wuuuussss... kraakkkk... brukkkk !" Hawa pukulan dahsyat yang luput mengenai tubuh Aji itu menghantam sebatang pohon jati yang berada di belakang di mana Aji tadi berdiri dan pohon sebesar tubuh orang itupun patah dan tumbang!
Ki Harya Baka Wulung menjadi semakin marah dan penasaran. Dalam kemarahannya itu, dia menjadi nekat dan lupa bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang benar-benar merupakan lawan tangguh. Apalagi pada saat itu, persediaan bahan peledak yang dia dapatkan dari Belanda telah habis sehingga dia tidak dapat menggunakan bahan peledak itu untuk melarikan diri. Tiga kali dia menyerang dengan Aji Cantuka Sakti, akan tetapi pemuda itu selalu dapat mengelak dengan cepat sekali sehingga semua pukulannya hanya menumbangkan pohon.
Padahal, penggunaan Aji Cantuka Sakti itu membutuhkan tenaga sakti yang besar. Ki Harya Baka Wulung yang sudah tua itu mulai lelah dan dia khawatir kalau kehabisan tenaga apabila dia terus menerus menyerang dengan aji itu. Kakek itu kini berdiri tegak, mulutnya berkemak kemik membaca mantra, kedua telapak tangannya digosok-gosok perlahan dengan gerakan memutar dan perlahan-lahan dari pergeseran dua buah telapak tangan itu mengepul asap hitam!
Aji melihat ini dan diapun sudah siap siaga menghadapi aji pamungkas yang amat berbahaya itu. Diapun mengerahkan tenaga sakti, bukan tenaga sakti yang mengandung daya serang dari aji Surya Chandra, melainkan tenaga sakti yang disebut Aji Tirta Bantala, yang mengandung kekuatan gaib menyerap dan menghisap seperti yang terkandung dalam air dan tanah. Aji ini pada dasarnya merupakan penyerahan total terhadap Kekuasaan Gusti Allah yang terdapat pada air dan tanah, yang dapat menerima apa saja tanpa terluka, memberi daya hidup kepada segala sesuatu, juga dapat menyerap segala macam kekerasan dan kekuatan tanpa menyerang, selalu menang tanpa menggunakan kekerasan.
"Aji Kukus Langking... aaaggghhhh...!" Ki Harya Baka Wulung mendorongkan kedua telapak tangannya dan asap hitam tebal menyambar ke arah Lindu Aji. Aji berdiri tegak, kedua lengannya bersedakap, kedua matanya terpejam. Dia seolah menyerah dan menerima saja serangan asap hitam bergulung-gulung itu. Asap hitam menyelimuti dirinya, akan tetapi hanya menggerakkan rambut dan pakaiannya saja dan lewat seakan tidak berpengaruh sedikitpun!
Padahal biasanya aji itu dapat menghanguskan tubuh lawan! Melihat serangan Aji kukus Langking itu lewat saja dan sama sekali tidak mempengaruhi lawannya, Ki Harya Baka Wulung terkejut dan menjadi semakin penasaran. Dia menghunus senjatanya, sebatang keris besar panjang ber-luk sembilan. "Haaaagghhhh...!" Dia menggereng lalu melompat ke depan, meyerang dengan kerisnya, ditusukkan ke arah perut Aji yang masih berdiri bersedakap.
Akan tetapi ketika ujung keris sudah mendekati tubuh Aji , pemuda itu mencelat dengan amat gesitnya, mengelak dan bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti yang sudah bercampur dengan gerakan-gerakan yang ditirunya dari perkelahian antara alap-alap dan ular. Dengan gesit bagaikan seekor kera sakti dia dapat menghindarkan semua serangan keris, kemudian dengan sambaran seperti seekor burung alap-alap, dia membalas serangan itu dengan keris Kyai Nagawelang di tangannya.
Perkelahian antara dua orang dengan menggunakan keris ini berlangsung seru bukan main. Bayangan mereka berkelebatan sehingga sukar dapat diikuti mata biasa. Keduanya sama-sama ahli bermain senjata itu, sama-sama tangkas, sama-sama kebal sehingga kulit tubuh mereka berani menerima ujung keris lawan kalau serangan itu tidak terlalu berbahaya dan tidak sempat dielakkan atau ditangkis lagi. Akan tetapi kembali hukum alam menentukan. Usia tua membuat Ki Harya Baka Wulung berkurang daya tahannya, juga napasnya tidak sekuat dulu. tenaganya melemah, napasnya memburu dan tubuhnya sudah basah oleh keringatnya sendiri.
"Tranggg-cringgg... trang...!" Berkali-kali kedua batang keris itu bertemu di udara dan satu benturan yang amat kuat terjadi. Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keris luk Sembilan di tangan datuk Madura itu terpental jauh! Ki Harya baka Wulung melompat ke belakang dan terhuyung. Dia lalu mengerahkan seluruh sisa tenaganya, menyerang dengan Aji Cantuka Sakti, mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan.
Aji sudah menyarungkan kerisnya dan tadinya dia mengira bahwa kakek itu akan mengaku kalah dan menyerah untuk dia tangkap dan bawa sebagai tawanan ke Kadipaten Cirebon. Akan tetapi tak disangkanya kakek itu menyerangnya lagi dengan aji pukulan yang ganas dan dahsyat itu. Dia tidak lagi menghindar, melainkan mengerahkan tenaga Surya Chandra lalu menyambut dengan dorongan kedua kakinya ke atas tanah. Itulah Aji Guruh Bumi dan seketika tanah rasanya tergetar dan ada kekuatan amat dahsyat keluar dari kedua telapak tangannya menyambut pukulan jarak jauh yang dilontarkan Ki Harya Baka Wulung.
"Syuuuutttt... blarrrr... !!" Tubuh Lindu Aji terdorong mundur sampai lima langkah dan agak terhuyung. Akan tetapi tubuh Ki Harya Baka Wulung terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin dan dia terbanting jatuh ke atas tanah. Akan tetapi dengan cepat dia dapat bangkit duduk bersila, mukanya pucat seperti kapur dan kedua lengannya bersedakap, kedua matanya terpejam. Lindu Aji juga duduk bersila, mengatur pernapasannya dan memulihkan keadaan dirinya yang terguncang hebat.
Setelah tubuhnya segar kembali, Aji membuka mata dan melihat Ki Harya Baka Wulung masih duduk bersila dalam jarak kurang lebih sepuluh meter darinya, dia lalu bangkit berdiri dan menghadapi serangan tiba-tiba dari kakek yang digdaya dan licik itu. Setelah berdiri dalam jarak tiga meter, dia melihat kakek itu tetap tak bergerak. Mukanya pucat seperti kapur dan matanya terpejam. Sedetikpun tidak tampak gerakan, bahkan Aji melihat tidak adanya gerakan dada dan perut yang sedang bernapas. Aji lalu menghampirinya dan dengan hati-hati dan perlahan dia menyentuh dan mendorong pundak kakek itu.
Tubuh kakek itu roboh terjengkang dalam keadaan kaki masih bersila dan tangan masih bersedakap! Aji cepat berjongkok dan menempelkan tangannya pada leher dan dada kakek itu. Tidak ada lagi denyut jantung! Kakek Ki Harya Baka Wulung telah tewas! "Innalillahi wa inailaihi roji鈥檜n! Semoga gusti Allah mengampuni dosa-dosamu, Ki harya Baka Wulung." aji berbisik dan dia lalu meluruskan kaki tangan yang masih bersila dan bersedakap itu. Dia bersila dekat jenazah itu dan melamun.
Alangkah bodohnya manusia, pikirnya dalam lamunan. Gusti Allah telah menciptakan manusia hidup di dunia ini dengan segala berkah yang berlimpahan. Isi dunia ini seolah diciptakan Gusti Allah untuk membahagiakan manusia hidup di dunia, agar manusia dapat selalu ingat akan berkah dan kehadiranNya, hidup penuh damai sejahtera dan berbahagia bersama-sama, saling mengasihi, saling bantu, saling melindungi agar bersama-sama dapat selalu memuji dan memuja asma Allah yang Maha Kasih.
Manusia diberi kehidupan, diberi jasmani agar dapat mengatur dan membangun dunia demi kesejahteraan hidup. Akan tetapi apa yang terjadi? Manusia malah melupakan Gusti allah, mendewa-dewakan iblis berupa nafsu demi menyenangkan dan mendatangkan nikmat kepada jasmaninya. Lupa bahwa sewaktu-waktu, jasmani ini akan mati dan tidak ada gunanya lagi seperti Ki Harya Baka Wulung yang menggeletak tanpa nyawa di depannya.
Setelah duduk tepekur beberapa lamanya, Lindu Aji lalu bekerja menggali lubang dan dia mengubur jenazah Ki Harya Baka Wulung sebagaimana mestinya. Baginya, Ki Harya Baka Wulung dengan segala perbuatannya yang menyengsarakan orang lain itu telah tiada. Yang diurusnya, dikubur sebagaimana mestinya adalah jasad mati seorang manusia, sesama hidupnya di dunia ini. Setelah mengubur jenazah itu baik-baik, dia lalu mengangkat sebuah batu besar dan ditaruh di depan makam sebagai pengganti nisan atau tanda bahwa di tempat itu terletak kuburan jenazah Ki Harya Baka Wulung.
Setelah selesai, barulah dia teringat kepada Sulastri. Jantungnya berdegup. Perasaan haru, girang bercampur dengan keraguan dan kebimbangan. Sulastri telah mendapatkan kembali ingatannya yang hilang! Gadis itu telah ingat lagi, tentu ingat pula akan hubungan batin yang terdapat di antara mereka ketika dahulu mereka bertemu dan berkenalan. Ataukah dia yang salah duga? Apakah dia sendiri yang jatuh cinta kepada Sulastri dan sebetulnya gadis itu tidak mencintainya? Sulastri telah akrab dengan Jatmika! Baik ketika ingatannya hilang maupun sekarang setelah ia mendapatkan kembali ingatannya.
Lindu Aji menghela napas panjang dan dia teringat akan Neneng Salmah yang terang-terangan jatuh cinta kepadanya. Ah, betapa cinta asmara mempermainkan mereka semua! Dia mencinta Sulastri, akan tetapi Sulastri agaknya mencinta Jatmika. Di lain pihak Neneng Salmah mencintanya, namun ruang hatinya telah ditempati bayangan Sulastri! Akhirnya dia dapat mengusir keruwetan pikiran itu dan teringat akan kebakaran yang terjadi di Cirebon. Dia harus cepat pergi mencari Jatmika dan Sulastri. Mungkin mereka itu membutuhkan bantuannya. Dengan cepat dia lalu meninggalkan tempat itu dan berlari menuju ke Kadipaten Cirebon. Akan tetapi dia tidak menemukan Jatmika dan Sulastri. Dua buah gudang itu ternyata terbakar habis dan kini tinggal reruntuhan, puing yang masih mengepulkan asap.
Suasana telah sunyi. Ketika dia bertanya-tanya, dia mendengar bahwa ketika tejadi pertempuran antara gerombolan yang sebagian bersenjata api dengan pasukan kecil dari kadipaten, muncul dua orang muda, seorang pemuda dan seorang gadis, mengamuk dan gerombolan itu banyak yang roboh tewas dan sebagian lagi melarikan diri. Aji dapat menduga bahwa sepasang orang muda yang diceritakan itu tentulah Jatmika dan Sulastri. Akan tetapi tidak ada seorangpun mengetahui ke mana sekarang perginya dua orang muda itu.
Aji menghela napas panjang, jelaslah bahwa kini Sulastri telah memperoleh pasangan yang cocok sekali. Jatmika adalah seorang pemuda yang tampan dan sakti mandraguna, juga baik budi dan bijaksana. Menjadi isteri pemuda itu, Sulastri tentu akan hidup bahagia. dan tidakkah sepatutnya dia merasa berbahagia pula melihat gadis itu hidup bahagia? Dia tidak boleh mementingkan perasaan hatinya sendiri, memikirkan diri sendiri. Itu bukanlah cinta kasih namanya. Mendiang gurunya dulu pernah berkata bahwa; CINTA KASIH ADALAH MEMBERI DAN MELAYANI, MEMBAHAGIAKAN ORANG YANG DIKASIHI, KALAU PERLU DENGAN BERKORBAN, MENGESAMPINGKAN KEINGINAN DAN KESENANGAN DIRI SENDIRI
"Lastri semoga engkau berbahagia..." ia berbisik lalu meninggalkan Cirebon, menuju ke barat, ke Batavia lagi untuk membantu pasukan Mataram.
Balatentara Mataram yang melakukan pejalanan jauh menuju Batavia dipecah menjadi dua rombongan. yang pertama melalui darat dan yang kedua melalui laut. Pada waktu itu, perjalanan itu amat sukar, melalui gunung-gunung, hutan lebat dan rawa. Untuk menggerakkan balatentara yang besar jumlahnya itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut catatan sejarah, baru setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan lamanya, barulah pasukan mataram tiba di Jayakarta. Pengepungan dimulai sambil menanti datangnya pasukan yang bergerak dengan perahu-perahu melalui laut.
Pasukan pelopor yang pertama tiba segera mempersiapkan perkemahan untuk mengepung benteng kumpeni Belanda. Setelah balatentara tiba di situ, mereka membuat perkemahan di barat, selatan dan timur perbentengan Belanda. Yang berkemah di barat adalah pasukan yang dipimpin Kyai Adipati Jumina, yang di selatan dipimpin kyai Adipati Puger dan dari timur datang pasukan yang dipimpin Adipati Purbaya. Akan tetapi para senopati Mataram itu sudah mendengar betapa persediaan ransum bagi pasukan mereka banyak yang dihancurkan dan dibakar oleh Belanda, juga banyak ransum yang diangkut dengan perahu diserang kapal Belanda dan dihancurkan.
Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi Mataram. Namun, para senopati itu melanjutkan gerakan mereka dengan gigih dan penuh semangat. Pasukan Mataram sengaja membuat perkemahan yang cukup jauh, di luar jangkauan peluru meriam sehingga Belanda tidak dapat menyerang perkemahan mereka dengan meriam. Di antara para pendekar yang membantu pasukan Mataram sebagai pasukan sukarela tedapat pula Lindu Aji yang bergabung dengan pasukan yang berada di timur pimpinan Adipati Purbaya. Biarpun dia dianugerahi kedudukan senopati muda dan diberi keris pusaka Nagawelang oleh Sultan Agung, namun Aji tidak menduduki jabatan senopati. Dia memilih bebas sehingga membantu sebagai sukarelawan.
Juga Sutejo dan Retno Susilo sudah bergabung dengan pasukan yang yang mengepung di sebelah barat pimpinan Kyai Adipati Jumina, sedangkan Parmadi dan Muryani bergabung dengan pasukan yang berada di selatan pimpinan Kyai Adipati Puger. Seluruh pasukan sudah membuat persiapan. Dari benteng Belanda, para perwira pasukan sedadu Belanda dapat melihat dengan teopong mereka kesibukan balatentara Mataram. Tampak para perajurit hilir mudik membawa panji-panji dan bendera-bendera berjalan kaki, menunggang kuda kuda bahkan ada tampak beberapa ekor gajah. tentu saja Belanda juga membuat persiapan untuk memperkuat pertahanan benteng mereka.
Pasukan Mataram yang datang melalui lautan dengan perahu-perahu sempat dihadang tiga buah kapal Belanda dan terjadilah pertempuran hebat. Banyak perajurit Mataram tewas, akan tetapi merekapun berhasil menyerbu ke atas sebuah kapal lalu membakar dan menenggelamkan kapal itu. Melihat ini, dua buah kapal lainnya mundur sehingga perahu-perahu itu dapat mendaratkan pasukan yang segera bergabung dengan pasukan yang lewat darat. Pada hari-hari pertama hanya terjadi pertempuran-pertempuran kecil yang terjadi ketika beberapa orang anak buah Kumpeni berusaha untuk keluar dari kepungan pasukan Mataram, atau kalau ada anak buah yang melakukan penyelidikan dan berada terlalu dekat dengan perbentengan Belanda.
Pasukan Mataram sedang membuat parit-parit pelindungan sebagai persiapan mereka untuk menyerbu benteng Kumpeni yang diperkuat dengan meriam-meriam besar dan serdadu-serdadu yang siap siaga melakukan penjagaan siang malam secara bergantian dengan meriam dan senapan-senapan siap menahan setiap penyerbuan. Pada hari kedua, suatu senja, terdengar bunyi tembakan-tembakan dari atas benteng. Peristiwa ini terjadi di bagian timur benteng Kumpeni. Adipati Purbaya dan para pembantunya, juga para pendekar termasuk Lindu Aji, berdiri di luar perkemahan dan memandang ke arah benteng dari mana samar-samar terdengar bunyi tembakan-tembakan itu.
Tak lama kemudian tampak dua sosok bayangan berlari cepat menjauhi benteng dan ketika sudah dekat dengan perkemahan pasukan Mataram, Aji segera mengenal mereka yang bukan lain adalah Jatmika dan Sulastri! Aji merasa gembira sekali melihat Sulastri dan diapun cepat menyongsongnya. "Ah, kiranya kalian yang ditembak dari benteng itu? Apa saja yang lakukan di sana?"
Sulastri tersenyum dan mendekati Lindu Aji. "mas Aji, kami sengaja mendekati benteng untuk menyelidiki pertahanan mereka, akan tetapi kami ketahuan dan ditembaki. Untung luput!" Gadis ini masih bersikap lincah gembira seperti biasa.
"Dimas Lindu Aji, girang sekali hati kami dapat bertemu dengan andika di sini. Bagaimana hasil pengejaranmu terhadap Ki Harya Baka Wulung?"
"Nanti saja kita bicara, Kakangmas Jatmika dan Nimas Sulastri. Mari kuperkenalkan dulu dengan Paman Adipati Purbaya dan para senopati lainnya." kata Aji.
atmika dan Sulastri lalu menghadap Sang Adipati Purbaya dan para pembantunya. Setelah mendengar tentang sepak terjang kedua orang muda itu, Adipati Purbaya tertawa senang. "Ha-ha-ha! Andika berdua adalah orang-orang muda yang sungguh pemberani dan gagah perkasa. Kami senang sekali dapat menerima bantuan para pendekar seperti kalian!"
Setelah berkenalan dan mendapat kesempatan untuk mengaso, Aji lalu mengajak mereka berdua untuk bicara di tempat terpisah. "Nah, sekarang ceritakan tentang pengejaranmu lebih dulu tehadap Ki Haryo Baka Wulung itu, Dimas Lindu Aji. Kami sudah ingin sekali mendengarnya." kata Jatmika.
Aji lalu menceritakan bahwa dia berhasil menyusul Ki Harya Baka Wulung dan bertanding mati-matian melawan datuk besar dari Madura itu. "Akhirnya aku berhasil mengalahkannya. Dia roboh dan tewas lalu aku menguburkan jenazahnya." Aji menghela napas panjang lalu memandang kepada Sulastri dan melihat betapa sejak tadi gadis itu memandangnya dengan sinar mata aneh, seperi mengandung kekaguman, kegembiraan akan tetapi juga penyesalan! Dia cepat berkata, "Nimas Sulastri, aku girang sekali melihat bahwa engkau sudah sembuh, ingatanmu sudah pulih kembali. Aku ingin mendengar keadaanmu selama ini setelah pertemuan kita yang terakhir dan ketika engkau masih sebagai seorang gadis bernama Listyani atau Eulis."
Sulastri tersenyum. Sikapnya ramah dan lincah seperti Sulastri yang dulu sebelum terjatuh ke bawah tebing. "Pengalamanku sejak aku terjatuh ke bawah tebing itu sudah kau dengar dari Kakangmas Jatmika. Setelah kita bertiga bertemu denganmu dahulu itu, ketika aku masih tidak ingat akan masa laluku, Kakangmas Jamika membawaku pulang ke Dermayu, akan tetapi aku juga masih belum ingat kepada ayah ibuku sendiri. Aku percaya bahwa mereka adalah ayah dan ibu kandungku, namun tetap saja aku belum dapat ingat itu. Kemudian datang Neneng Salmah dan ayahnya, membawa surat darimu, Mas Aji. Aku juga sudah lupa sama sekali padamu. Akan tetapi kehadiran Neneng Salmah amat membahagiakan aku dan kami menjadi seperti saudara sendiri. Aku mengajarkan gerakan silat kepadanya dan ia mengajar menembang dan menari kepadaku."
Aji mengangguk-angguk senang. "Bagus sekali kalau engkau dapat hidup bahagia dengan Neneng Salmah, nimas. Aku tahu bahwa ia dan ayahnya adalah orang-orang yang baik hati."
Sulastri merasa hatinya tak enak, akan tetapi ditahannya. Ia mengangguk. "Ya, Neneng Salmah memang seorang gadis yang amat baik hati dan amat... cantik jelita, mas Aji. Ia selalu memuji-mujimu, mengagumi, dan selalu mengharapkan kedatanganmu..." ia menambahkan sambil memandang kepada Aji dengan sinar mata penuh selidik.
Mendengar nada suara yang agaknya mengandung sindiran ini, hati Aji menjadi tidak enak sekali. Timbul dugaan dalam hatinya bahwa agaknya pergaulan antara Neneng dan Sulastri sudah demikian akrabnya sehingga Neneng boleh jadi mengaku akan cintanya kepadanya. hal ini sungguh tidak mengenakkan hatinya. maka cepat dia mengalihkan percakapan. "Lalu, bagaimana engaku dapat sembuh kembali dan dapat mengingat kembali semua masa lalumu, nimas?"
"Pada suatu hari muncul Kakangmas Parmadi dan istrinya, Mbakayu Muryani di tepi sungai di mana aku dan Neneng sedang mencuci pakaian. Kakangmas Parmadi melihat aku melatih Aji Sonya Hasta kepada Neneng dan dia tertarik sekali karena tentu saja sebagai murid keponakan guruku, Eyang tejo Langit atau Ki Ageng Pasisiran dia mengenal Aji Sonya Hasta. Setelah Kakangmas Parmadi mendengar dari Neneng Salmah bahwa aku adalah murid Eyang Tejo Langit dan kehilangan ingatan masa lalu, dia lalu mengobati aku dengan tiupan seruling gadingnya dan aku segera sembuh dan dapat mengingat semua masa laluku. Kakangmas Parmadi adalah murid Eyang Ki Tejo Wening."
Aji mengangguk angguk kagum. Tidak mengherankan kalau Parmadi demikian sakti karena dia adalah murid Resi Tejo Wening, saudara seperguruan tertua dari gurunya sendiri. "Aku merasa berbahagia sekali bahwa andika telah sembuh, Lastri. Puji syukur kepada Gusti Allah yang telah menyembuhkanmu melalui Kakangmas Parmadi dengan seruling gadingnya."
"Mas Aji, Neneng Salmah selalu menantimu dengan penuh kerinduan. Ia menanti dengan hati penuh kasih dan setia. Kasihan ia. Sudah sepatutnya kalau engkau segera datang mengunjungi di Dermayu." kata Sulastri sambil menatap tajam wajah Lindu Aji.
Aji menhela napas panjang dan menundukkan mukanya. "Nimas Sulastri, sebaiknya kita tidak membicarakan hal itu. Kita masih mempunyai tugas penting, yaitu membantu pasukan Mataram untuk menyerbu benteng pertahanan Kumpeni Belanda. Melihat perlengkapan benteng itu, aku berpendapat bahwa penyerbuan itu bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Meriam-meriam mereka besar dan berjajar di bawah dan di atas benteng. Juga aku yakin bahwa semua serdadu mereka pasti dilengkapi dengan senjata-senjata api yang berbahaya."
"Kita tidak perlu gentar menghadapi persenjataan mereka." kata Sulastri.
"Hal itu benar, adimas Aji, kita harus ikut menyerbu karena aku harus menemukan pembunuh bapa dan eyangku. Aku harus membalas dendam kepada Hasanudin yang berkhianat dan kepada Raden Banuseta." kata Jatmika sambil mengepal tinjunya.
"Hal itu tidak dapat andika lakukan, kakangmas Jatmika." kata Aji tenang.
"Eh, Kenapa?" tanya Jatmika penasaran.
"Ya, kenapa, Mas Aji? Aku harus membalas kematian Eyang Guru!" tanya Sulastri penasaran.
"Karena kedua orang yang kalian maksudkan itu sudah tewas."
"Wah! Siapa yang membunuh mereka?" tanya Jatmika.
"Apakah engkau yang membunuh mereka, Mas Aji?" tanya Sulastri.
Lindu Aji menggeleng kepalanya."Begini kejadiannya. Sebenarnya, Hasanudin itu adalah kakak tiriku, seayah berlainan ibu. Aku berhasil menyadarkannya bahwa dia diperalat oleh Raden Banuseta yang sesungguhnya merupakan musuh kami berdua, pembunuh ayah kami. Setelah aku dapat menyadarkan Akang Udin dari kekeliruannya, dia menjadi marah lalu mencari Banuseta dan dibunuhnya. Dia sendiri tertembak oleh Kapten De Vos akan tetapi dapat membunuh kapten Belanda itu sebelum dia sendiri tewas. Jadi, sebelum mati Akang Udin telah sadar bahwa dia diperalat oleh Banuseta sehingga mau menjadi antek Kumpeni Belanda. Dia telah sadar dan dia tewas bukan sebagai pengkhianat, maka harap kalian berdua suka memaafkannya."
Sulastri dan Jatmika mengangguk. Bagaimanapun juga, Hasanudin adalah saudara seperguruan mereka dan kini orang itu telah menebus kesesatannya dengan nyawa. Setelah bercakap-cakap, tiga orang itu lalu mengaso dalam tenda masing-masing untuk melepaskan lelah dan menghimpun tenaga untuk menghadapi pertempuran yang tentu akan segera dilakukan, tinggal menanti komando dari pimpinan pasukan. Malam itu, tiga orang muda perkasa itu gelisah di tempat tidur masing-masing. Sulastri tidak dapat tidur dan merasa nelangsa sekali. Ia kini yakin bahwa ia sejak dulu sampai sekarang tetap mencintai Lindu Aji!
Akan tetapi ketika ingatannya tentang masa lalu hilang, ia juga lupa kepada Aji dan dalam keadaan lupa ingatan itu, ia tertarik kepada Jatmika walaupun ia belum yakin apakah ia mencinta pemuda itu. Namun, serelah kini ingatannya pulih dan ia ingat lagi kepada Aji, dan bertemu, ia yakin bahwa ia masih mencinta Lindu Aji! Dan yang amat menggelisahkan hatinya, di sana ada Neneng Salmah yang ia tahu memuja dan amat mencinta Aji! Ia menjadi cemburu akan tetapi juga marah kepada diri sendiri karena amat menyayang Neneng Salmah yang dianggap saudaranya sendiri.
Tidak, ia tidak akan menghancurkan hati Neneng! Ia akan mengalah dan biarlah Lindu Aji menjadi suami Neneng Salmah yang ia tahu merupakan seorang gadis yang pantas menjadi isteri Aji! Ia akan mengalah, bisik hatinya, akan tetapi kedua matanya menjadi basah oleh tangis yang ditahannya sehingga tidak mengeluarkan suara! Sementara itu, di tenda lain, Jatmika juga gelisah. Dari sikap gerak-gerik, tatapan mata dan suara mereka dia merasakan benar bahwa Sulastri mencinta Lindu Aji dan demikian pula sebaliknya, pemuda itu mencinta Sulastri. Agaknya di antara mereka sejak dahulu sudah ada hubungan batin ini!
Pantas saja setelah Sulastri pulih ingatannya, sikapnya kepadanya menjadi agak dingin. Tentu Sulastri sudah ingat kembali kepada Aji yang dicintanya! Diam-diam hatinya digerogoti perasaan cemburu itu yang amat menyiksa karena hati nuraninya membisikkan bahwa perasaan cemburu itu sama sekali tidak benar. Kalau memang sejak dulu diantara Sulastri dan Aji ada hubungan kasih, mau apa dia? Kalau pernah Sulastri sebagai Eulis tampak mencintanya, hal itu dilakukan di luar kesadarannya karena ketika itu Sulastri kehilangan ingatan, dan tidak ingat lagi kepada Aji yang dicintanya.
Sekarang setelah ingatannya kembali, tentu saja perasaan cinta itu datang kembali. Hanya ada sedikit titik terang yang menimbulkan harapan. Bukankah Sulastri menyatakan terus terang bahwa Neneng Salmah amat mencinta dan selalu mengharapkan datangnya Lindu Aji? Kalau Aji sampai menjadi suami Neneng Salmah, berarti Sulastri menjadi bebas dan ada harapan baginya! Akan tetapi, tetap saja hatinya digoda cemburu yang membuat dia gelisah dan tidak dapat tidur.
Keadaan Lindu Aji tidak lebih baik dari Sulastri dan Jatmika. Pemuda ini duduk bersila di atas pembaringannya dan termenung. Dia menghadapi keadaan yang serba sulit. Dia harus mengakui bahwa hanya Sulastri yang benar-benar dicintanya dan diharapkannya menjadi teman hidup selamanya. Gadis yang telah merampas hatinya sejak pertemuan pertama kali dahulu. Dia mencinta Sulastri, hal ini tidak dapat dipungkiri lagi. Akan tetapi, dalam keadaan lupa ingatan dan menganggap dirinya adalah Listyani, Sulastri akrab dengan Jatmika. Dia dapat melihat dari sikap dan pandang mata Jatmika bahwa pemuda itu mencinta Sulastri. Dan di sana ada pula Neneng Salmah yang dia percaya amat mencintanya!
Dia tidak tahu harus mengambil keputusan bagaimana. Kalau dia tetap berjodoh dengan Sulastri, yang sudah pasti hal itu akan menghancurkan hati dua orang, yaitu Jatmika dan Neneng Salmah, dua orang yang dia tahu benar amat baik budi. Dia akan selalu merasa berdosa, seolah berbahagia menari-nari di atas kedukaan dua orang lain yang dia hormati. Menerima cinta Neneng Salmah dan berjodoh dengannya? Hal ini berarti berlawanan dengan perasaan hatinya dan dia meragu apakah perjodohan yang dipaksakan seperti itu kelak akan mendatangkan bahagia. Biarlah dia akan mengalah. Biar Sulastri berjodoh dengan Jatmika. Mereka berdua sudah tampak akrab dan memang mereka berdua itu cocok dan pantas untuk menjadi pasangan! Mengapa cinta seringkali melahirkan cemburu, kecewa dan duka?
Sesungguhnya, cinta sejati tidak akan pernah menelurkan cemburu, kecewa maupun duka? Yang mengakibatkan penderitaan hanyalah cinta yang didorong nafsu. Cinta nafsu ini, seperti sudah menjadi sifat dan ulah nafsu, ingin memiliki, ingin disenangkan dan ingin mengikat. Karena itu tentu saja kalau orang yang ingin dimiliki dan diikat, orang yang mendatangkan kesenangan itu akan diambil orang lain, berarti kesenangannya hilang. maka muncullah cemburu dan kebencian, lalu duka.
Cinta nafsu ini pada hakekatnya hanya mencinta dirinya sendiri, mementingkan kesenangan diri pribadi. Cinta nafsu ini dapat menyelinap dalam cintanya seorang laki-laki atau perempuan terhadap kekasihnya sehingga sering terjadi sepasang kekasih yang tadinya bersumpah saling mencinta, setelah menjadi suami isteri, timbul perpecahan dan kebencian sehingga mengakibatkan perceraian! Ini bukti cinta nafsu. selama masih dapat menikmati kesenangan dari orang yang katanya dicinta, maka sikapnya mesra. Akan tetapi setelah orang yang katanya dicinta itu tidak lagi memberi kesenangan kepadanya, bahkan mendatangkan kesusahan, sikapnya berubah, dari cinta menjadi benci!
Lebih sering pula cinta nafsu seperti ini menyelinap ke dalam rasa cinta seseorang terhadap sahabatnya. Seribu kali sahabat itu mendatangkan kesenangan, maka dicintanya. Akan tetapi sekali saja mendatangkan kesusahan, cintanya berubah menjadi benci dan seribu kali kebaikannya itu sudah terlupakan, yang diingat hanya satu kali keburukannya itu saja! Biarpun kata orang cinta antara oang tua dan anak itu murni, namun tidak jarang pula dikotori oleh cinta nafsu ini. Selama anak penurut. maka dicinta orang tuanya.
Kalau pembangkang, apa lagi durhaka, akan dibenci oang tuanya karena tidak mendatangkan kesenangan dan hanya mendatangkan kerugian lahir batin atau kesusahan. Demikian pula sebaliknya, kalau orang tua dianggap baik dan menguntungkan, maka si anak akan tetap mencinta dan berbakti. Akan tetapi tidak jarang terjadi, kalau orang tua menentang kehendak si anak dan dianggap merugikan dan menyusahkan, maka cinta dan kebaktian si anakpun berubah menjadi kemarahan, bahkan mungkin kebencian.
Cinta kasih sejati tidak akan ada apabila orang mementingkan diri sendiri. Cinta sejati berarti memberi, berarti berani berkorban, berarti tidak adanya si aku atau nafsu yang hendak menguasai. Cinta sejati bagaikan lilin yang memberi penerangan dengan rela mengorbankan dan menghabiskan diri sendiri. Cinta kasih sejati, tehadap siapapun juga, merupakan ibadah terhadap Gusti Allah, selalu hidup dalam hati, tanpa pamrih untuk menguntungkan si AKU melainkan sebagai kewajiban manusia yang menyalurkan kasih Gusti Allah kepada manusia lain.
Kalau kita memperhatikan semua benda dalam dunia ini, sinar matahari, hawa udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan, hewan, kesemuanya itu merupakan bukti KASIH yang mulia dan sempurna dari Gusti Allah kepada manusia, kesemuanya itu diadakan untuk menyenangkan dan menghidupkan manusia di dalam dunia, tanpa ada pamrih sedikitpun untuk dirinya sendiri.
Mengingat akan semua itu, Lindu Aji agaknya menyadari dan dia tidak ingin dikuasai cinta kasih yang ditunggangi nafsu sehingga cinta kasih itu mempunyai dasar tujuan saja, yaitu ingin mendapatkan untuk dirinya sendiri tanpa menghiraukan akibat yang akan membuat manusia-manusia lain menderita. Karena itulah dia mengambil keputusan untuk mengalah.
Perang mulai pecah berkobar pada keesokan harinya. Pada waktu fajar menyingsing, pasukan Mataram yang mengepung Batavia dari jurusan timur, selatan, dan barat menyerbu, berlindungkan kegelapan cuaca. Pihak Kumpeni Belanda menghujankan tembakan, baik dengan senapan maupun dengan meriam. Akan tetapi pasukan Mataram berjuang dengan gigih dan penuh semangat. Beberapa buah meriam yang diperoleh Mataram dengan membeli dari pedagang asing, dipergunakan untuk penyerangan itu. Juga ribuan anak panah dipergunakan dan beberapa ratus buah senapan.
Pasukan Mataram berperang secara gerilya. Karena dikepung dari tiga jurusan, pihak Kumpeni menjadi kalang kabut. Mereka mengeluarkan pasukan dari benteng sehingga terjadi pertempuran di luar benteng. Pertempuran mati-matian. Karena pihak Kumpeni memiliki lebih banyak senjata api yang lebih baik, maka banyak perajurit Mataram yang gugur walaupun juga tidak sedikit sedadu Kumpeni yang tewas. Pertempuran hebat terjadi dan beberapa benteng Belanda yang diberi nama Benteng Holandia, Benteng Bommel dan lain-lain diserbu.
Belanda mempertahankan mati-matian. Bahkan Benteng Bommel hampir bobol. Beberapa orang perajurit Mataram sudah berhasil memanjat tembok, akan tetapi karena persenjataan api mereka kalah, maka penyerangan itu dapat dipukul mundur. Baru setelah malam tiba, pertempuran dihentikan dan masing-masing menyusun pasukan, merawat yang luka. Biarpun tejatuh banyak korban, namun pasukan Mataram terus berusaha menyerbu dengan gigih dan penuh semangat. Berhari-hari terjadi pertempuan terus menerus.
Pihak Belanda menjadi panik, bala bantuan didatangkan dari kapal-kapal laut mereka. Pada suatu hari, pasukan Belanda mengadakan penyerbuan keluar benteng secara besar-besaran dan diantara mereka terdapat seorang kakek yang mengamuk. Tembakan bedil dari pasukan Mataram tidak melukainya dan dia bahkan mengeluarkan ilmu sihir, membuat dirinya dan pasukan Belanda yang mengiringkannya diselubungi kabut hitam. Kakek ini bukan lain adalah Ki Somad.
Melihat ini, Adipati Puger hendak maju sendiri menandingi kakek sakti mandraguna itu. Akan tetapi segera Parmadi dan Muryani yang menggabung dengan pasukan dari selatan ini lalu meghadap Adipati Puger dan Parmadi berkata. "Gusti Adipati, untuk menandingi Aki Somad yang menjadi musuh lama hamba, perkenankan hamba berdua dengan isteri hamba yang maju menghadapinya."
Pangeran Puger yang berpangkat adipati itu mengangguk dan tentu saja memberi persetujuannya karena diapun sudah maklum akan kemampuan Seruling Gading yang sudah berjasa kepada Mataram. Maka, suami isteri itupun lalu ikut dengan pasukan Mataram menyambut sergapan pasukan serdadu Kumpeni yang diperkuat Aki Somad itu. Pertempuran berlangsung seru dan akhirnya Parmadi dan Muryani dapat bertemu dengan Aki Somad yang sedang mengamuk dan telah merobohkan bebrapa orang perajurit Mataram dengan tongkat ular keringnya.
Para perwira yang cukup digdaya tidak berdaya menghadapi kakek ini karena mengeluarkan Aji Geneng Soka Weda yang ampuh, yang mendatangkan kabut hitam tebal menyembunyikan dirinya dan dari kegelapan itu keluar bayangan iblis dan setan brekasakan yang mengerikan. Tiba-tiba suara suling yang melengking nyaring membuyarkan kabut hitam tebal itu dan Aki Somad melihat betapa sepasang suami isteri itu telah berdiri di depannya! Dia menjadi terkejut bukan main karena kakek itu pernah berhadapan dengan Parmadi yang sakti mandraguna. Akan tetapi sekali ini dia tidak menjadi gentar karena dia sudah membekali dirinya dengan sebuah pistol yang memiliki peluru emas, yang dapat menembus semua kekebalan dan aji kesaktian lawan.
Maka, diapun cepat mencabut pistolnya. Selama ini dia sudah berlatih mempergunakan pistol pemberian Belanda itu dan kini dia membidikkan pistolnya ke arah Parmadi dan menarik pelatuknya sampai tiga kali. "Dar-dar-darr...!"
Asap putih mengepul, akan tetapi dia tidak melihat Parmadi yang ternyata sudah cepat membuang diri ke atas tanah lalu bergulingan dengan cepat sekali. Pada saat itu, Muryani sudah mempergunakan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya mencelat bagaikan tatit (kilat) dan tahu-tahu ia sudah menyerang ke arah kakek itu dengan cengkeraman tangannya yang mengandung racun ular amat berbahaya, Itulah Aji Wiso Sarpo yang dahsyat. Aki Somad mengenal pukulan ampuh. Dia cepat melompat ke belakang dan sekali lagi dia menggerakkan tangan, kini pistolnya diarahkan kepada Muryani dan pelatuk ditariknya.
"Dar-darrr..!" bidikannya meleset karena pada saat itu, lengan kanannya terpukul seruling gading. Pistol itu terlepas dari pegangannya dan ditendang oleh Parmadi ke arah belakangnya sehingga dipungut oleh perwira Mataram. Aki Somad marah sekali. Kedua telapak tangannya lalu ditiupnya sehingga bernyala. Itulah Aji Tapak Geni dan dia lalu memukul ke arah Parmadi dengan mendorongkan kedua telapak tangan yang bernyala itu. Nyala api yang panas menyambar ke depan, ke arah Parmadi.
Pendekar inipun mengerahkan kesaktiannya, menyambut dengan kedua telapak tangannya dengan Aji Sonya Hasta. "Wuuutttt... blarrrr... !!" Tubuh Parmadi terdorong ke belakang dan terhuyung, akan tetapi tubuh Aki Somad terjengkang dan terbanting jatuh. Kepalanya menjadi pening dan nafasnya sesak. Dia mencoba untuk bangkit kembali akan tetapi pada saat itu bayangan Muryani yang menggunakan Aji Kluwung Sakti berkelebat dan wanita itu menampar ke arah tengkuk Aki Somad dengan Aji Gelap Sewu.
"Dessss...!!" Aki Somad yang masih pening tidak dapat menghindarkan diri lagi. Tengkuk terkena tamparan Aji Gelap Sewu dan diapun roboh terbanting lagi dan tidak bergerak lagi. pukulan dahsyat yang menimpa dirinya selagi dia tidak mampu mengerahkan tenaga sakti itu membuat dia tewas seketika!
Pasukan serdadu Belanda menjadi kacau dan panik melihat kakek yang mereka andalkan itu tewas, sebaliknya pasukan perajurit Mataram menjadi semakin bersemangat. Akhirnya sisa pasukan serdadu Belanda melarikan diri memasuki benteng mereka kembali. Benteng segera ditutup setelah mereka masuk dan meriam-meriam ditembakkan sehingga terpaksa pasukan perajurit Mataram mundur dan berlindung.
Di bagian selatan juga terjadi pertempuran yang tidak kalah serunya. Pasukan perajurit Mataram yang berada di barat bahkan dipimpin oleh Kyai Adipati Jumina sendiri yang dibantu oleh Patih Tumenggung Singaranu, Raden Arya Wira Natapada, dan yang lain-lain. Juga di antara para pejuang suka rela, para pendekar terdapat pula Sutejo si Pecut Sakti Bajrakirana dan isterinya, Retno Susilo. Setelah suami isteri ini berpisah dari Jatmika dan Sulastri, mereka pergi ke Batavia dan menggabungkan diri dengan pasukan Mataram yang mengurung dari barat, di bawah pimpinan Kyai Adipati Jumina.
Mereka sengaja menggabungkan diri dengan pasukan yang mengepung benteng di barat ini setelah mendengar dari para penyelidik Mataram bahwa Kyai Sidhi Kawasa, datuk Banten itu membantu Kumpeni Belanda di bagian barat. Ketika pasukan serdadu Kumpeni menyerbu keluar benteng, terjadilah perang campuh. tembakan-tembakan terdengar gencar diseling gemerincingnya pedang bertemu keris. Tiba-tiba para perajurit Mataram menjadi gempar ketika muncul seorang kakek yang sepak terjangnya amat menggiriskan.
Kakek itu bukan lain adalah Kyai Sidhi Kawasa yang mengamuk dengan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang tongkat ular kobra kering yang amat berbisa. Banyak perajurit mataram tewas, bahkan dua orang perwira yang cukup digdaya tidak dapat bertahan lama menandingi Kyai Sidhi Kawasa. Sutejo yang berada di bagian lain, ketika mendengar akan amukan Kyai Sidhi Kawasa, bersama Retno Susilo cepat berlari ke tempat itu.
"Tar-tar-tar... trakk !" Tongkat ular kobra itu ditahan oleh sebatang pecut di tangan Sutejo dan datuk Banten itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya yang memegang tongkat ular kobra tergetar hebat sampai terasa ke pundaknya. Sementara itu, para perajurit Mataram yang sudah merasa gentar menghadapi amukan kakek itu, sudah mengundurkan diri menjauhi kakek itu setelah melihat Sutejo yang menandinginya dan mereka sibuk menahan serbuan para serdadu Kumpeni. Kyai Sidhi Kawasa memandang dengan matanya yang sipit. Dia memandang ke arah pecut di tangan sutejo dan mengerutkan alisnya, menduga-duga.
"Siapakah andika yang berani menandingi Kyai Sidhi kawasa, orang muda yang lancang?" bentaknya.
Dengan sikap tenang namun sepasang matanya mencorong, dia menjawab, "Kyai Sidhi Kawasa, aku bernama Sutejo dari Gunung Kawi."
Kyai Sidhi Kawasa terkejut bukan main mendengar ini dan kembali dia memandang ke arah pecut di tangan pendekar itu. "Hemm, Si Pecut Bajrakirana?" Dia berhenti sebentar dan menyambung, "dan andika sudah mengenal aku?"
Tiba-tiba Retno susilo yang menyusul suaminya berada pula di situ. "Siapa tidak mengenal Kyai sidhi Kawasa, datuk Banten yang ternyata hanya seorang pengecut besar yang tidak malu bertindak curang dan tidak tahu malu?"
Kakek itu marah sekali, matanya melotot dan kepalanya yang kecil bergoyang-goyang. "Bojleng-bojleng...! Wanita lancang siapakah andika berani menghina dan memaki Kyai Sidhi kawasa datuk besar dari Banten!"
"Kyai Sidhi Kawasa, ini adalah isteriku, namanya Reyno Susilo. Ia bukan menghina dan tidak memaki sembarangan, melainkan karena andika memang telah melakukan perbuatan yang pengecut dan tak tahu bermalu. Ingatkah andika apa yang telah andika lakukan delapan tahun yang lalu di gunung Kawi. Andika menyerbu rumah kami dan selagi kami tidak berada di rumah, dengan cara yang curang andika telah menculik putera kami Bagus Sajiwo dan mencuri Pedang Naga Wilis isteriku. Perbuatan seperti itu apakah bukan perbuatan yang pengecut dan tidak tahu malu?"
"Heh-heh-heh, aku memang melakukan itu walaupun hanya sebagai pembantu. Habis, andika mau apa sekarang?" Kakek itu terkekeh dan menantang.
"Jahanam keparat...!" Retno Susilo memaki dan hendak menyerang, akan tetapi ditahan suaminya.
Sutejo lalu berkata kepada kakek itu dengan sabar. "Kyai Sidhi Kawasa, kalau putera kami dalam keadaan selamat dan andika mau mengatakan di mana dia kini berada, kami akan memaafkan andika asal andika dapat membawa kami sehingga kami dapat menemukan kembali anak kami dalam keadaan selamat.
"Akan tetapi kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku, aku akan menghancurkan kepalamu, mencabut keluar hatimu dan mencabik-cabik seluruh tubuhmu!" Retno susilo berteriak seperti gila saking marah dan juga gelisah membayangkan puteranya mengalami malapetaka.
Hati kakek itu menjadi kecut juga mendengar ancaman yang amat mengerikan itu, akan tetapi dia menenangkan hatinya dan berkata dengan nada suara rendah. "Hemm, kalian tidak dapat memaksa aku untuk berbuat sekehendak kalian sendiri."
"Kyai Sidhi Kawasa! Kami harap andika dapat bersikap sebagai seorang datuk besar yang patut dihormati, yaitu berani berbuat juga berani bertanggung jawab. Setelah andika menculik anak kami dan mencuri pedang, apakah andika sekarang tidak berani mengakuinya? Benarkah andika sepengecut itu?" kata Sutejo memanaskan hati kakek itu.
"Babo-babo, Sutejo! Siapa takut? Aku tidak takut mengaku, hanya tidak begitu mudah kalian paksa dan perintah. Sekarang begini saja. Kita bertanding satu lawan satu dan kalu aku menang, kalian tidak perlu banyak cakap lagi. Kalau andika yang menang, baru aku akan menceritakan semua tentang hilangnya puteramu dan pedangmu."
Karena khawatir kalau-kalau kakek itu tidak mau membuka rahasia tentang di mana adanya Bagus Sajiwo, Sutejo memberi isyarat kepada isterinya yang sudah menjadi amat marah itu untuk bersabar dan dia berkata kepada kakek itu."Baik, aku terima tantanganmu, akan tetapi kalau andika mengingkari janji, seluruh dunia akan mendengar bahwa Kyai Sidhi kawasa tidak lain hanya seorang pengecut yang takut, tidak berani bertanggung jawab dan menjilat ludahnya sendiri!"
"Manusia sombong! Majulah! Haaaaiiiitttt...!" Kyai Sidhi Kawasa sudah menyerang dengan tongkatnya. Gerakannya amat dahsyat karena serangan itu mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Tongkat ular kobra itu seperti hidup dan moncongnya menyambar ke arah leher Sutejo, mematuk atau menotok jalan darah maut di sisi leher!
Sutejo maklum akan kesaktian lawan dan tahu bahwa serangan itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Maka dia sudah mengenakan Aji Harina Legawa, tubuhnya melesat cepat ke belakang dan tangan kanannya menggerakkan cambuknya. "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut Bajrakirana meledak ledak dan bagaikan seekor garuda menyambar-nyambar ke arah kepala lawan.
Kyai Sidhi Kawasa terkejut sekali. Serangannya luput dan sebaliknya dia terancam ujung cambuk yang menyambar-nyambar dengan ledakan nyaring. Akan tetapi datuk dari Banten ini sudah memutar tongkatnya dan dapat menangkis sambaran cambuk, walaupun tangannya tergetar ketika tongkat ular kobra itu bertemu pecut pusaka itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru.
Retno Susilo hanya menonton dan ia merasa yakin bahwa suaminya akan mampu mengatasi lawan. Hanya ia merasa cemas kalau-kalau kakek itu tewas sebelum memberitahukan bagaimana keadaan dan di mana adanya Bagus Sajiwo. Kalau ada perajurit yang mendekat, ia memberi isyarat agar perajurit itu tidak mencampuri perkelahian antara suaminya dan kakek itu. Iapun waspada melindungi suaminya dari serangan gelap para serdadu yang sibuk bertempur melawan pasukan perajurit Mataram.
Sepak terjang Sutejo yang memainkan pecutnya dengan ilmu silat pecut yang khas, yaitu Aji Pecut Bajrakirana, amat dahsyatnya, Pecut itu meledak-ledak, membentuk gulungan sinar yang lebar dan dari gulungan sinar itu, ujung pecut mematuk-matuk. Kyai Sidhi kawasa menjadi kewalahan juga dan kini dia hanya mampu menangkis, hampir tidak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang.
"Hyaaat...!" Sutejo membentak nyaring dan cambuknya menyambar dari atas ke arah kepala lawan. Kyai Sidhi Kawasa cepat menggerakkan tongkat ular kobranya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Darrrr... krekkkk...!" Kyai Sidhi Kawasa terhuyung ke belakang dan matanya terbelalak memandang ke arah tongkatnya yang tinggal sepotong pendek. Tongkat itu ternyata patah ketika bertemu dengan hebatnya melawan sambaran Pecut Sakti Bajrakirana tadi. Dengan marah dia membuang sisa tongkatnya dan kini menerjang lagi dengan pukulan tangannya yang mengeluarkan sinar berapi. Itulah Aji Analabanu yang ampuh.
Sutejo juga menyimpan pecutnya, dilibatkan di pinggang dan dia menghindar dengan loncatan ke kiri ketika pukulan berapi itu menyambar ke arah kepalanya. Kakek yang sudah marah dan penasaran itu mengejar maju dan kembali kedua tangannya yang mengeluarkan sinar berapi itu didorongkan ke arah Sutejo dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Sutejo juga sudah siap siaga. Dia mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan aji pamungkas untuk melawan pukulan lawan yang dahsyat itu.
"Aji Bromokendali!" bentaknya dan diapun menyambut dengan dorongan kedua tangannya. "Wuuutttt... blaaarrrr...!" Tubuh Kyai Sidhi Kawasa terhuyung ke belakang dan dia terkulai roboh, lalu dengan gerakan lemah dia bangkit duduk bersila dan muntahkan darah segar. Dia lalu mengatur pernapasan dan menjadi tenang kembali.
Sutejo dan Retno Susilo sudah melompat ke depannya. "Kyai Sidhi Kawasa. Andika telah kalah, harap andika tidak melanggar janji dan suka menceritakan tentang anak kami." kata Sutejo dengan ragu dan khawatir, takut kalau-kalau kakek itu mengingkari janjinya. Juga Retno Susilo menjadi tegang dan tidak sabar menanti kakek itu bercerita.
Kyai Sidhi Kawasa menghela napas panjang. "Sutejo, andika memang tangguh sekali. aku mengalah kalah. Sekarang dengarlah. Dahulu ketika terjadi penculikan puteramu dan pencurian pedangmu, aku hanya menjadi pembantu dan pengikut saja. Yang hendak membalas dendam kepadamu adalah Wiku Menak Koncar karena dia hendak membalas kematian dua orang saudara seperguruannya yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Dia mengajak aku mendatangi rumahmu di Gunung Kawi. Akan tetapi engkau dan isterimu tidak ada, maka kami menculik puteramu dan mengambil Pedang Nogo Wilis."
"Di mana anakku sekarang? di mana Bagus Sajiwo?" teriak Retno Susilo tak sabar.
"Wiku Menak Koncar yang menculik dan membawanya pergi. Aku hanya membawa Pedang Nogo Wilis, akan tetapi di tengah jalan pedang itu dirampas oleh musuh besarku, Ki Tejo Langit. Aku sama sekali tidak tahu ke mana Wiku Menak Koncar membawa anak itu."
Jatmika dan Sulastri lalu menceritakan pengalaman mereka ketika mereka melihat orang-orang Kumpeni membakar gudang ransum di tegal. Betapa mereka melihat Ki Harya Baka Wulung yang agaknya menjadi dalang pembakaran gudang ransum itu. Juga mereka menceritakan betapa mereka berdua bentrok dengan Nyi Maya Dewi yang menjadi sekutu Ki Harya Baka Wulung membantu Kumpeni Belanda dan mereka berhasil membunuh raksasa Belanda, jagoan Kumpeni.
"Dari Tegal kami pergi ke Cirebon dan di sini kami juga melihat ada pembakaran terhadap dua buah gudang ransum pasukan Mataram. Kami bertemu pula dengan Ki Harya Baka Wulung dan kami yakin bahwa dia memang seorang diantara para pimpinan mata-mata Belanda. Kami melawan Ki harya Baka Wulung dan dikeroyok. Untung muncul Mas Aji yang menolong kami dan Ki Harya Baka Wulung melarikan diri, dikejar Mas Aji." kata Sulastri.
"Mas Aji? Siapa dia?" Tanya Sutejo.
"Namanya Lindu Aji. Dia masih terhitung kakak seperguruan kami berdua!" kata Sulastri dan Jatmika merasa betapa dalam suara sulastri terkandung kebanggaan.
"Lalu bagaimana? Ceritamu menarik sekali." kata Retno Susilo.
"Mas Aji mengejar Ki Harya Baka Wulung dan kami berdua dia minta untuk membantu usaha pemadaman kebakaran dua buah gudang ransum itu. Akan tetapi terlambat. Dua buah gudang itu telah menjadi lautan api. Kami lalu menghajar gerombolan yang menjadi antek Belanda. Yang melarikan diri kami kejar dan lima orang tadi adalah sebagian dari mereka. Demikianlah apa yang kami alami, paman dan bibi."
Sutejo menghela napas panjang. "Sayang sekali bahwa bangsa kita banyak yang terpikat oleh kekayaan bangsa Belanda sehingga suka menjadi pengkhianat bangsa, mudah diadu domba oleh belanda. Kalau begini keadaannya, maka akan sukarlah mengusir Kumpeni Belanda dari tanah air."
"Bagaimanapun juga, masih ada para pendekar yang setia kepada Mataram dan suka membela bangsa dan Negara dengan taruhan nyawa, paman." kata Jatmika.
Sutejo mengangguk-angguk. "Benar, mungkin diantara mereka itu adalah orang-orang seperti kita ini. Akan tetapi betapa banyaknya orang-orang pandai yang sakti, seperti para datuk itu, yang sudi menjadi antek Belanda pula! Sungguh sayang." Sutejo menghela napas, lalu melanjutkan."Kami mendengar bahwa balatentara Mataram sudah mulai bergerak. Karena itu, sebaiknya kita berpencar, membantu Mataram membersihkan jalan dari para antek Belanda dan kelak kita bertemu di Batavia."
"Baik, paman." kata Jatmika. "Dengan berpencar kita dapat lebih mudah mencari datuk jahat Kyai Sidhi Kawasa itu, bibi." kata pula Sulastri kepada Retno Susilo. Gadis ini mulai merasa suka dan kagum kepada Retno Susilo yang rela menyerahkan pedang Naga Wilis kepadanya.
"Engkau benar, Sulastri. Kita membantu Mataram sambil mencari orang-orang yang kita butuhkan. Kami mencari Kyai Sidhi Kawasa dan kalian juga mencari orang yang telah menewaskan gurumu."
Dua pasang pendekar itu lalu berpisah mengambil jalan masing-masing walaupun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu ke Batavia, benteng Kumpeni Belanda.
********************
Lindu Aji mempergunakan Aji Bayu Sakti. Tubuhnya ringan sekali dan larinya secepat angin. Bagaikan seekor alap-alap (burung rajawali) melayang saja tubuhnya meluncur dengan cepatnya ketika dia melakukan pengejaran terhadap bayangan Ki Harya Baka Wulung. Kakek ini merasa jerih melihat Aji, maka dengan mempergunakan bahan peledak dia melarikan diri ke arah barat sambil mengerahkan semua tenaga untuk berlari secepatnya. Akan tetapi sekali ini Lindu Aji tidak mau melepaskannya.
Kakek itu terlalu jahat dan terlalu berbahaya. Sepak terjangnya amat merugikan Mataram dan kalau dibiarkan lolos, tentu akan menjadi penghalang besar bagi Mataram yang hendak menyerang Kumpeni Belanda di Batavia. Akan tetapi, Ki Harya Baka Wulung kini telah tua renta. Usianya sudah hampir tujuh puluh tahun dan cara hidupnya membuat dia tidak dapat menjaga kesehatannya. Dia suka pesta pora, makan minum sampai mabok, dan bersenang senang.
karena itu, kesehatannya mundur dan setelah berlari cepat selama beberapa jam, dia sudah terengah engah dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Larinya menjadi semakin lambat dan ketika dia tiba di jalan pendakian bukit, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Lindu Aji telah melewatinya dan membalik, berdiri sambil bertolak pinggang menghadapinya. Terpaksa Ki Harya Baka Wulung berhenti melangkah dan dia berdiri terengah engah mengatur pernapasan.
Biarpun hatinya merasa gentar menghadapi pemuda yang sakti mandraguna ini, namun Ki Harya Baka Wulung yang merasa dirinya sebagai datuk terbesar di Madura dan sudah terlanjur menganggap diri sendiri yang paling hebat, memperlihatkan sikapnya yang angkuh. Dengan tangan kanan bertolak pinggang yang menyembunyikan tanda kekalahan pernapasan yang memburu, kakek itu menudingkan telunjuknya kepada Lindu Aji. Suaranya terdengar parau ketika dia berkata dengan penuh wibawa.
"Heh, Lindu Aji! Engkau ini bocah cilik (anak kecil) mau apa menghadang perjalanan seorang kakek seperti aku?"
Aji tersenyum walau matanya mencorong karena marah mengingat akan semua perbuatan kakek yang kini berdiri di depannya itu. "Ki Harya Baka Wulung, andika masih berpura-pura tanya lagi mengapa aku menghadangmu?"
"Hemm, Lindu Aji, engkau ini seorang bocah yang kaduk wani kurang dugo (terlalu berani kurang perhitungan)! Engkau ini seperti seorang cucu berhadapan dengan eyangnya! Mengapa bersikap begini kurang ajar? Begitukah tata-susila yang kamu pelajari?"
"Ki Harya Baka Wulung, memang aku masih muda dan andika sudah tua sekali seperti seorang cucu dengan kakeknya. Akan tetapi andika ini tidak menabung amal kebajikan untuk bekal di akhirat nanti melainkan menumpuk dosa yang menyeretmu ke neraka jahanam! Andika seorang Madura dan kini Madura sudah menjadi keluarga Mataram sehingga andika menjadi kawula Mataram pula. Akan tetapi, dengan tak tahu malu andika mengkhianati bangsa dan Negara, mau menjadi anjing penjilat sepatu Belanda. andika memimpin antek-antek Belanda yang lain untuk membakari gudang-gudang ransum Mataram! Dosamu bertumpuk-tumpuk dan manusia macam andika ini kalau dibiarkan hidup hanya akan menyengsarakan bangsa sendiri!"
"Babo-babo, bocah kemarin sore berani memberi wejangan kepada eyangnya! Ketahuilah, bocah, aku menentang Mataram bukan untuk membantu Belanda. Hanya kebetulan saja karena Belanda memusuhi Mataram maka kami bekerja sama. Aku memang membenci Mataram! Mula-mula Mataram banyak membunuh para sahabatku ketika pasukan Mataram menyerbu ke daerah daerah di Jawa Timur. Kemudian Mataram juga menundukkan seluruh Madura. Setelah itu menundukkan pula Surabaya dan Giri. Aku selalu menentang Mataram . Lebih celaka lagi, putera tunggalku si Dibyasakti juga tewas ketika Mataram menyerbu Madura. Dendamku tumpuk undung (bertumpuk-tumpuk), maka pemusuhan antara Belanda dan Mataram ini membuka kesempatan kepadaku untuk membalas dendam! Itu sudah adil!"
"Ki Harya Baka Wulung! Andika terlalu mementingkan urusan pribadi. Apa artinya persoalan pribadi kalau dibandingkan dengan persoalan mengenai bangsa dan Negara? Ketahuilah, Kanjeng Gusti Sultan Agung menundukkan semua daerah itu justeru untuk menggalang persatuan, untuk mempersatukan semua kekuatan di Nusantara untuk bangkit melawan Kumpeni Belanda yang merupakan ancaman besar bagi nusa dan bangsa. Dalam keadaan tanah air terancam, sepatutnya andika mengesampingkan dulu semua dendam pribadi, lalu bersatu untuk melawan Belanda. Sebaliknya, andika malah membantu belanda hendak menyengsarakan rakyat!"
"Keparat jahanam! Mampuslah kau!" bentak Ki Harya Baka Wulung yang sudah marah sekali dan sejak tadi diam-diam telah menghimpun tenaga saktinya, siap untuk menyerang sambil melepaskan lelah. Tiba-tiba dia sudah mengeluarkan satu pukulan jarak jauh Cantuka Sakti. Kedua kakinya ditekuk hampir berjongkok dan kedua tangannya mendorong ke depan, mulutnya mengeluarkan bunyi yang keluar dari perutnya, seperti seekor katak raksasa, "Kok-kok-kok...!!" Dari kedua telapak tangan yang didorongkan itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali ke arah Aji.
Namun Lindu aji sudah mengenal pukulan yang dahsyat ini. Dengan gerakan ringan dari aji bayu sakti, tubuh pemuda itu sudah berkelebat, mengelak dengan loncatan kilat ke kiri, sejauh empat meter. "Wuuuussss... kraakkkk... brukkkk !" Hawa pukulan dahsyat yang luput mengenai tubuh Aji itu menghantam sebatang pohon jati yang berada di belakang di mana Aji tadi berdiri dan pohon sebesar tubuh orang itupun patah dan tumbang!
Ki Harya Baka Wulung menjadi semakin marah dan penasaran. Dalam kemarahannya itu, dia menjadi nekat dan lupa bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang benar-benar merupakan lawan tangguh. Apalagi pada saat itu, persediaan bahan peledak yang dia dapatkan dari Belanda telah habis sehingga dia tidak dapat menggunakan bahan peledak itu untuk melarikan diri. Tiga kali dia menyerang dengan Aji Cantuka Sakti, akan tetapi pemuda itu selalu dapat mengelak dengan cepat sekali sehingga semua pukulannya hanya menumbangkan pohon.
Padahal, penggunaan Aji Cantuka Sakti itu membutuhkan tenaga sakti yang besar. Ki Harya Baka Wulung yang sudah tua itu mulai lelah dan dia khawatir kalau kehabisan tenaga apabila dia terus menerus menyerang dengan aji itu. Kakek itu kini berdiri tegak, mulutnya berkemak kemik membaca mantra, kedua telapak tangannya digosok-gosok perlahan dengan gerakan memutar dan perlahan-lahan dari pergeseran dua buah telapak tangan itu mengepul asap hitam!
Aji melihat ini dan diapun sudah siap siaga menghadapi aji pamungkas yang amat berbahaya itu. Diapun mengerahkan tenaga sakti, bukan tenaga sakti yang mengandung daya serang dari aji Surya Chandra, melainkan tenaga sakti yang disebut Aji Tirta Bantala, yang mengandung kekuatan gaib menyerap dan menghisap seperti yang terkandung dalam air dan tanah. Aji ini pada dasarnya merupakan penyerahan total terhadap Kekuasaan Gusti Allah yang terdapat pada air dan tanah, yang dapat menerima apa saja tanpa terluka, memberi daya hidup kepada segala sesuatu, juga dapat menyerap segala macam kekerasan dan kekuatan tanpa menyerang, selalu menang tanpa menggunakan kekerasan.
"Aji Kukus Langking... aaaggghhhh...!" Ki Harya Baka Wulung mendorongkan kedua telapak tangannya dan asap hitam tebal menyambar ke arah Lindu Aji. Aji berdiri tegak, kedua lengannya bersedakap, kedua matanya terpejam. Dia seolah menyerah dan menerima saja serangan asap hitam bergulung-gulung itu. Asap hitam menyelimuti dirinya, akan tetapi hanya menggerakkan rambut dan pakaiannya saja dan lewat seakan tidak berpengaruh sedikitpun!
Padahal biasanya aji itu dapat menghanguskan tubuh lawan! Melihat serangan Aji kukus Langking itu lewat saja dan sama sekali tidak mempengaruhi lawannya, Ki Harya Baka Wulung terkejut dan menjadi semakin penasaran. Dia menghunus senjatanya, sebatang keris besar panjang ber-luk sembilan. "Haaaagghhhh...!" Dia menggereng lalu melompat ke depan, meyerang dengan kerisnya, ditusukkan ke arah perut Aji yang masih berdiri bersedakap.
Akan tetapi ketika ujung keris sudah mendekati tubuh Aji , pemuda itu mencelat dengan amat gesitnya, mengelak dan bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti yang sudah bercampur dengan gerakan-gerakan yang ditirunya dari perkelahian antara alap-alap dan ular. Dengan gesit bagaikan seekor kera sakti dia dapat menghindarkan semua serangan keris, kemudian dengan sambaran seperti seekor burung alap-alap, dia membalas serangan itu dengan keris Kyai Nagawelang di tangannya.
Perkelahian antara dua orang dengan menggunakan keris ini berlangsung seru bukan main. Bayangan mereka berkelebatan sehingga sukar dapat diikuti mata biasa. Keduanya sama-sama ahli bermain senjata itu, sama-sama tangkas, sama-sama kebal sehingga kulit tubuh mereka berani menerima ujung keris lawan kalau serangan itu tidak terlalu berbahaya dan tidak sempat dielakkan atau ditangkis lagi. Akan tetapi kembali hukum alam menentukan. Usia tua membuat Ki Harya Baka Wulung berkurang daya tahannya, juga napasnya tidak sekuat dulu. tenaganya melemah, napasnya memburu dan tubuhnya sudah basah oleh keringatnya sendiri.
"Tranggg-cringgg... trang...!" Berkali-kali kedua batang keris itu bertemu di udara dan satu benturan yang amat kuat terjadi. Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keris luk Sembilan di tangan datuk Madura itu terpental jauh! Ki Harya baka Wulung melompat ke belakang dan terhuyung. Dia lalu mengerahkan seluruh sisa tenaganya, menyerang dengan Aji Cantuka Sakti, mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan.
Aji sudah menyarungkan kerisnya dan tadinya dia mengira bahwa kakek itu akan mengaku kalah dan menyerah untuk dia tangkap dan bawa sebagai tawanan ke Kadipaten Cirebon. Akan tetapi tak disangkanya kakek itu menyerangnya lagi dengan aji pukulan yang ganas dan dahsyat itu. Dia tidak lagi menghindar, melainkan mengerahkan tenaga Surya Chandra lalu menyambut dengan dorongan kedua kakinya ke atas tanah. Itulah Aji Guruh Bumi dan seketika tanah rasanya tergetar dan ada kekuatan amat dahsyat keluar dari kedua telapak tangannya menyambut pukulan jarak jauh yang dilontarkan Ki Harya Baka Wulung.
"Syuuuutttt... blarrrr... !!" Tubuh Lindu Aji terdorong mundur sampai lima langkah dan agak terhuyung. Akan tetapi tubuh Ki Harya Baka Wulung terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin dan dia terbanting jatuh ke atas tanah. Akan tetapi dengan cepat dia dapat bangkit duduk bersila, mukanya pucat seperti kapur dan kedua lengannya bersedakap, kedua matanya terpejam. Lindu Aji juga duduk bersila, mengatur pernapasannya dan memulihkan keadaan dirinya yang terguncang hebat.
Setelah tubuhnya segar kembali, Aji membuka mata dan melihat Ki Harya Baka Wulung masih duduk bersila dalam jarak kurang lebih sepuluh meter darinya, dia lalu bangkit berdiri dan menghadapi serangan tiba-tiba dari kakek yang digdaya dan licik itu. Setelah berdiri dalam jarak tiga meter, dia melihat kakek itu tetap tak bergerak. Mukanya pucat seperti kapur dan matanya terpejam. Sedetikpun tidak tampak gerakan, bahkan Aji melihat tidak adanya gerakan dada dan perut yang sedang bernapas. Aji lalu menghampirinya dan dengan hati-hati dan perlahan dia menyentuh dan mendorong pundak kakek itu.
Tubuh kakek itu roboh terjengkang dalam keadaan kaki masih bersila dan tangan masih bersedakap! Aji cepat berjongkok dan menempelkan tangannya pada leher dan dada kakek itu. Tidak ada lagi denyut jantung! Kakek Ki Harya Baka Wulung telah tewas! "Innalillahi wa inailaihi roji鈥檜n! Semoga gusti Allah mengampuni dosa-dosamu, Ki harya Baka Wulung." aji berbisik dan dia lalu meluruskan kaki tangan yang masih bersila dan bersedakap itu. Dia bersila dekat jenazah itu dan melamun.
Alangkah bodohnya manusia, pikirnya dalam lamunan. Gusti Allah telah menciptakan manusia hidup di dunia ini dengan segala berkah yang berlimpahan. Isi dunia ini seolah diciptakan Gusti Allah untuk membahagiakan manusia hidup di dunia, agar manusia dapat selalu ingat akan berkah dan kehadiranNya, hidup penuh damai sejahtera dan berbahagia bersama-sama, saling mengasihi, saling bantu, saling melindungi agar bersama-sama dapat selalu memuji dan memuja asma Allah yang Maha Kasih.
Manusia diberi kehidupan, diberi jasmani agar dapat mengatur dan membangun dunia demi kesejahteraan hidup. Akan tetapi apa yang terjadi? Manusia malah melupakan Gusti allah, mendewa-dewakan iblis berupa nafsu demi menyenangkan dan mendatangkan nikmat kepada jasmaninya. Lupa bahwa sewaktu-waktu, jasmani ini akan mati dan tidak ada gunanya lagi seperti Ki Harya Baka Wulung yang menggeletak tanpa nyawa di depannya.
Setelah duduk tepekur beberapa lamanya, Lindu Aji lalu bekerja menggali lubang dan dia mengubur jenazah Ki Harya Baka Wulung sebagaimana mestinya. Baginya, Ki Harya Baka Wulung dengan segala perbuatannya yang menyengsarakan orang lain itu telah tiada. Yang diurusnya, dikubur sebagaimana mestinya adalah jasad mati seorang manusia, sesama hidupnya di dunia ini. Setelah mengubur jenazah itu baik-baik, dia lalu mengangkat sebuah batu besar dan ditaruh di depan makam sebagai pengganti nisan atau tanda bahwa di tempat itu terletak kuburan jenazah Ki Harya Baka Wulung.
Setelah selesai, barulah dia teringat kepada Sulastri. Jantungnya berdegup. Perasaan haru, girang bercampur dengan keraguan dan kebimbangan. Sulastri telah mendapatkan kembali ingatannya yang hilang! Gadis itu telah ingat lagi, tentu ingat pula akan hubungan batin yang terdapat di antara mereka ketika dahulu mereka bertemu dan berkenalan. Ataukah dia yang salah duga? Apakah dia sendiri yang jatuh cinta kepada Sulastri dan sebetulnya gadis itu tidak mencintainya? Sulastri telah akrab dengan Jatmika! Baik ketika ingatannya hilang maupun sekarang setelah ia mendapatkan kembali ingatannya.
Lindu Aji menghela napas panjang dan dia teringat akan Neneng Salmah yang terang-terangan jatuh cinta kepadanya. Ah, betapa cinta asmara mempermainkan mereka semua! Dia mencinta Sulastri, akan tetapi Sulastri agaknya mencinta Jatmika. Di lain pihak Neneng Salmah mencintanya, namun ruang hatinya telah ditempati bayangan Sulastri! Akhirnya dia dapat mengusir keruwetan pikiran itu dan teringat akan kebakaran yang terjadi di Cirebon. Dia harus cepat pergi mencari Jatmika dan Sulastri. Mungkin mereka itu membutuhkan bantuannya. Dengan cepat dia lalu meninggalkan tempat itu dan berlari menuju ke Kadipaten Cirebon. Akan tetapi dia tidak menemukan Jatmika dan Sulastri. Dua buah gudang itu ternyata terbakar habis dan kini tinggal reruntuhan, puing yang masih mengepulkan asap.
Suasana telah sunyi. Ketika dia bertanya-tanya, dia mendengar bahwa ketika tejadi pertempuran antara gerombolan yang sebagian bersenjata api dengan pasukan kecil dari kadipaten, muncul dua orang muda, seorang pemuda dan seorang gadis, mengamuk dan gerombolan itu banyak yang roboh tewas dan sebagian lagi melarikan diri. Aji dapat menduga bahwa sepasang orang muda yang diceritakan itu tentulah Jatmika dan Sulastri. Akan tetapi tidak ada seorangpun mengetahui ke mana sekarang perginya dua orang muda itu.
Aji menghela napas panjang, jelaslah bahwa kini Sulastri telah memperoleh pasangan yang cocok sekali. Jatmika adalah seorang pemuda yang tampan dan sakti mandraguna, juga baik budi dan bijaksana. Menjadi isteri pemuda itu, Sulastri tentu akan hidup bahagia. dan tidakkah sepatutnya dia merasa berbahagia pula melihat gadis itu hidup bahagia? Dia tidak boleh mementingkan perasaan hatinya sendiri, memikirkan diri sendiri. Itu bukanlah cinta kasih namanya. Mendiang gurunya dulu pernah berkata bahwa; CINTA KASIH ADALAH MEMBERI DAN MELAYANI, MEMBAHAGIAKAN ORANG YANG DIKASIHI, KALAU PERLU DENGAN BERKORBAN, MENGESAMPINGKAN KEINGINAN DAN KESENANGAN DIRI SENDIRI
"Lastri semoga engkau berbahagia..." ia berbisik lalu meninggalkan Cirebon, menuju ke barat, ke Batavia lagi untuk membantu pasukan Mataram.
********************
Balatentara Mataram yang melakukan pejalanan jauh menuju Batavia dipecah menjadi dua rombongan. yang pertama melalui darat dan yang kedua melalui laut. Pada waktu itu, perjalanan itu amat sukar, melalui gunung-gunung, hutan lebat dan rawa. Untuk menggerakkan balatentara yang besar jumlahnya itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut catatan sejarah, baru setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan lamanya, barulah pasukan mataram tiba di Jayakarta. Pengepungan dimulai sambil menanti datangnya pasukan yang bergerak dengan perahu-perahu melalui laut.
Pasukan pelopor yang pertama tiba segera mempersiapkan perkemahan untuk mengepung benteng kumpeni Belanda. Setelah balatentara tiba di situ, mereka membuat perkemahan di barat, selatan dan timur perbentengan Belanda. Yang berkemah di barat adalah pasukan yang dipimpin Kyai Adipati Jumina, yang di selatan dipimpin kyai Adipati Puger dan dari timur datang pasukan yang dipimpin Adipati Purbaya. Akan tetapi para senopati Mataram itu sudah mendengar betapa persediaan ransum bagi pasukan mereka banyak yang dihancurkan dan dibakar oleh Belanda, juga banyak ransum yang diangkut dengan perahu diserang kapal Belanda dan dihancurkan.
Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi Mataram. Namun, para senopati itu melanjutkan gerakan mereka dengan gigih dan penuh semangat. Pasukan Mataram sengaja membuat perkemahan yang cukup jauh, di luar jangkauan peluru meriam sehingga Belanda tidak dapat menyerang perkemahan mereka dengan meriam. Di antara para pendekar yang membantu pasukan Mataram sebagai pasukan sukarela tedapat pula Lindu Aji yang bergabung dengan pasukan yang berada di timur pimpinan Adipati Purbaya. Biarpun dia dianugerahi kedudukan senopati muda dan diberi keris pusaka Nagawelang oleh Sultan Agung, namun Aji tidak menduduki jabatan senopati. Dia memilih bebas sehingga membantu sebagai sukarelawan.
Juga Sutejo dan Retno Susilo sudah bergabung dengan pasukan yang yang mengepung di sebelah barat pimpinan Kyai Adipati Jumina, sedangkan Parmadi dan Muryani bergabung dengan pasukan yang berada di selatan pimpinan Kyai Adipati Puger. Seluruh pasukan sudah membuat persiapan. Dari benteng Belanda, para perwira pasukan sedadu Belanda dapat melihat dengan teopong mereka kesibukan balatentara Mataram. Tampak para perajurit hilir mudik membawa panji-panji dan bendera-bendera berjalan kaki, menunggang kuda kuda bahkan ada tampak beberapa ekor gajah. tentu saja Belanda juga membuat persiapan untuk memperkuat pertahanan benteng mereka.
Pasukan Mataram yang datang melalui lautan dengan perahu-perahu sempat dihadang tiga buah kapal Belanda dan terjadilah pertempuran hebat. Banyak perajurit Mataram tewas, akan tetapi merekapun berhasil menyerbu ke atas sebuah kapal lalu membakar dan menenggelamkan kapal itu. Melihat ini, dua buah kapal lainnya mundur sehingga perahu-perahu itu dapat mendaratkan pasukan yang segera bergabung dengan pasukan yang lewat darat. Pada hari-hari pertama hanya terjadi pertempuran-pertempuran kecil yang terjadi ketika beberapa orang anak buah Kumpeni berusaha untuk keluar dari kepungan pasukan Mataram, atau kalau ada anak buah yang melakukan penyelidikan dan berada terlalu dekat dengan perbentengan Belanda.
Pasukan Mataram sedang membuat parit-parit pelindungan sebagai persiapan mereka untuk menyerbu benteng Kumpeni yang diperkuat dengan meriam-meriam besar dan serdadu-serdadu yang siap siaga melakukan penjagaan siang malam secara bergantian dengan meriam dan senapan-senapan siap menahan setiap penyerbuan. Pada hari kedua, suatu senja, terdengar bunyi tembakan-tembakan dari atas benteng. Peristiwa ini terjadi di bagian timur benteng Kumpeni. Adipati Purbaya dan para pembantunya, juga para pendekar termasuk Lindu Aji, berdiri di luar perkemahan dan memandang ke arah benteng dari mana samar-samar terdengar bunyi tembakan-tembakan itu.
Tak lama kemudian tampak dua sosok bayangan berlari cepat menjauhi benteng dan ketika sudah dekat dengan perkemahan pasukan Mataram, Aji segera mengenal mereka yang bukan lain adalah Jatmika dan Sulastri! Aji merasa gembira sekali melihat Sulastri dan diapun cepat menyongsongnya. "Ah, kiranya kalian yang ditembak dari benteng itu? Apa saja yang lakukan di sana?"
Sulastri tersenyum dan mendekati Lindu Aji. "mas Aji, kami sengaja mendekati benteng untuk menyelidiki pertahanan mereka, akan tetapi kami ketahuan dan ditembaki. Untung luput!" Gadis ini masih bersikap lincah gembira seperti biasa.
"Dimas Lindu Aji, girang sekali hati kami dapat bertemu dengan andika di sini. Bagaimana hasil pengejaranmu terhadap Ki Harya Baka Wulung?"
"Nanti saja kita bicara, Kakangmas Jatmika dan Nimas Sulastri. Mari kuperkenalkan dulu dengan Paman Adipati Purbaya dan para senopati lainnya." kata Aji.
atmika dan Sulastri lalu menghadap Sang Adipati Purbaya dan para pembantunya. Setelah mendengar tentang sepak terjang kedua orang muda itu, Adipati Purbaya tertawa senang. "Ha-ha-ha! Andika berdua adalah orang-orang muda yang sungguh pemberani dan gagah perkasa. Kami senang sekali dapat menerima bantuan para pendekar seperti kalian!"
Setelah berkenalan dan mendapat kesempatan untuk mengaso, Aji lalu mengajak mereka berdua untuk bicara di tempat terpisah. "Nah, sekarang ceritakan tentang pengejaranmu lebih dulu tehadap Ki Haryo Baka Wulung itu, Dimas Lindu Aji. Kami sudah ingin sekali mendengarnya." kata Jatmika.
Aji lalu menceritakan bahwa dia berhasil menyusul Ki Harya Baka Wulung dan bertanding mati-matian melawan datuk besar dari Madura itu. "Akhirnya aku berhasil mengalahkannya. Dia roboh dan tewas lalu aku menguburkan jenazahnya." Aji menghela napas panjang lalu memandang kepada Sulastri dan melihat betapa sejak tadi gadis itu memandangnya dengan sinar mata aneh, seperi mengandung kekaguman, kegembiraan akan tetapi juga penyesalan! Dia cepat berkata, "Nimas Sulastri, aku girang sekali melihat bahwa engkau sudah sembuh, ingatanmu sudah pulih kembali. Aku ingin mendengar keadaanmu selama ini setelah pertemuan kita yang terakhir dan ketika engkau masih sebagai seorang gadis bernama Listyani atau Eulis."
Sulastri tersenyum. Sikapnya ramah dan lincah seperti Sulastri yang dulu sebelum terjatuh ke bawah tebing. "Pengalamanku sejak aku terjatuh ke bawah tebing itu sudah kau dengar dari Kakangmas Jatmika. Setelah kita bertiga bertemu denganmu dahulu itu, ketika aku masih tidak ingat akan masa laluku, Kakangmas Jamika membawaku pulang ke Dermayu, akan tetapi aku juga masih belum ingat kepada ayah ibuku sendiri. Aku percaya bahwa mereka adalah ayah dan ibu kandungku, namun tetap saja aku belum dapat ingat itu. Kemudian datang Neneng Salmah dan ayahnya, membawa surat darimu, Mas Aji. Aku juga sudah lupa sama sekali padamu. Akan tetapi kehadiran Neneng Salmah amat membahagiakan aku dan kami menjadi seperti saudara sendiri. Aku mengajarkan gerakan silat kepadanya dan ia mengajar menembang dan menari kepadaku."
Aji mengangguk-angguk senang. "Bagus sekali kalau engkau dapat hidup bahagia dengan Neneng Salmah, nimas. Aku tahu bahwa ia dan ayahnya adalah orang-orang yang baik hati."
Sulastri merasa hatinya tak enak, akan tetapi ditahannya. Ia mengangguk. "Ya, Neneng Salmah memang seorang gadis yang amat baik hati dan amat... cantik jelita, mas Aji. Ia selalu memuji-mujimu, mengagumi, dan selalu mengharapkan kedatanganmu..." ia menambahkan sambil memandang kepada Aji dengan sinar mata penuh selidik.
Mendengar nada suara yang agaknya mengandung sindiran ini, hati Aji menjadi tidak enak sekali. Timbul dugaan dalam hatinya bahwa agaknya pergaulan antara Neneng dan Sulastri sudah demikian akrabnya sehingga Neneng boleh jadi mengaku akan cintanya kepadanya. hal ini sungguh tidak mengenakkan hatinya. maka cepat dia mengalihkan percakapan. "Lalu, bagaimana engaku dapat sembuh kembali dan dapat mengingat kembali semua masa lalumu, nimas?"
"Pada suatu hari muncul Kakangmas Parmadi dan istrinya, Mbakayu Muryani di tepi sungai di mana aku dan Neneng sedang mencuci pakaian. Kakangmas Parmadi melihat aku melatih Aji Sonya Hasta kepada Neneng dan dia tertarik sekali karena tentu saja sebagai murid keponakan guruku, Eyang tejo Langit atau Ki Ageng Pasisiran dia mengenal Aji Sonya Hasta. Setelah Kakangmas Parmadi mendengar dari Neneng Salmah bahwa aku adalah murid Eyang Tejo Langit dan kehilangan ingatan masa lalu, dia lalu mengobati aku dengan tiupan seruling gadingnya dan aku segera sembuh dan dapat mengingat semua masa laluku. Kakangmas Parmadi adalah murid Eyang Ki Tejo Wening."
Aji mengangguk angguk kagum. Tidak mengherankan kalau Parmadi demikian sakti karena dia adalah murid Resi Tejo Wening, saudara seperguruan tertua dari gurunya sendiri. "Aku merasa berbahagia sekali bahwa andika telah sembuh, Lastri. Puji syukur kepada Gusti Allah yang telah menyembuhkanmu melalui Kakangmas Parmadi dengan seruling gadingnya."
"Mas Aji, Neneng Salmah selalu menantimu dengan penuh kerinduan. Ia menanti dengan hati penuh kasih dan setia. Kasihan ia. Sudah sepatutnya kalau engkau segera datang mengunjungi di Dermayu." kata Sulastri sambil menatap tajam wajah Lindu Aji.
Aji menhela napas panjang dan menundukkan mukanya. "Nimas Sulastri, sebaiknya kita tidak membicarakan hal itu. Kita masih mempunyai tugas penting, yaitu membantu pasukan Mataram untuk menyerbu benteng pertahanan Kumpeni Belanda. Melihat perlengkapan benteng itu, aku berpendapat bahwa penyerbuan itu bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Meriam-meriam mereka besar dan berjajar di bawah dan di atas benteng. Juga aku yakin bahwa semua serdadu mereka pasti dilengkapi dengan senjata-senjata api yang berbahaya."
"Kita tidak perlu gentar menghadapi persenjataan mereka." kata Sulastri.
"Hal itu benar, adimas Aji, kita harus ikut menyerbu karena aku harus menemukan pembunuh bapa dan eyangku. Aku harus membalas dendam kepada Hasanudin yang berkhianat dan kepada Raden Banuseta." kata Jatmika sambil mengepal tinjunya.
"Hal itu tidak dapat andika lakukan, kakangmas Jatmika." kata Aji tenang.
"Eh, Kenapa?" tanya Jatmika penasaran.
"Ya, kenapa, Mas Aji? Aku harus membalas kematian Eyang Guru!" tanya Sulastri penasaran.
"Karena kedua orang yang kalian maksudkan itu sudah tewas."
"Wah! Siapa yang membunuh mereka?" tanya Jatmika.
"Apakah engkau yang membunuh mereka, Mas Aji?" tanya Sulastri.
Lindu Aji menggeleng kepalanya."Begini kejadiannya. Sebenarnya, Hasanudin itu adalah kakak tiriku, seayah berlainan ibu. Aku berhasil menyadarkannya bahwa dia diperalat oleh Raden Banuseta yang sesungguhnya merupakan musuh kami berdua, pembunuh ayah kami. Setelah aku dapat menyadarkan Akang Udin dari kekeliruannya, dia menjadi marah lalu mencari Banuseta dan dibunuhnya. Dia sendiri tertembak oleh Kapten De Vos akan tetapi dapat membunuh kapten Belanda itu sebelum dia sendiri tewas. Jadi, sebelum mati Akang Udin telah sadar bahwa dia diperalat oleh Banuseta sehingga mau menjadi antek Kumpeni Belanda. Dia telah sadar dan dia tewas bukan sebagai pengkhianat, maka harap kalian berdua suka memaafkannya."
Sulastri dan Jatmika mengangguk. Bagaimanapun juga, Hasanudin adalah saudara seperguruan mereka dan kini orang itu telah menebus kesesatannya dengan nyawa. Setelah bercakap-cakap, tiga orang itu lalu mengaso dalam tenda masing-masing untuk melepaskan lelah dan menghimpun tenaga untuk menghadapi pertempuran yang tentu akan segera dilakukan, tinggal menanti komando dari pimpinan pasukan. Malam itu, tiga orang muda perkasa itu gelisah di tempat tidur masing-masing. Sulastri tidak dapat tidur dan merasa nelangsa sekali. Ia kini yakin bahwa ia sejak dulu sampai sekarang tetap mencintai Lindu Aji!
Akan tetapi ketika ingatannya tentang masa lalu hilang, ia juga lupa kepada Aji dan dalam keadaan lupa ingatan itu, ia tertarik kepada Jatmika walaupun ia belum yakin apakah ia mencinta pemuda itu. Namun, serelah kini ingatannya pulih dan ia ingat lagi kepada Aji, dan bertemu, ia yakin bahwa ia masih mencinta Lindu Aji! Dan yang amat menggelisahkan hatinya, di sana ada Neneng Salmah yang ia tahu memuja dan amat mencinta Aji! Ia menjadi cemburu akan tetapi juga marah kepada diri sendiri karena amat menyayang Neneng Salmah yang dianggap saudaranya sendiri.
Tidak, ia tidak akan menghancurkan hati Neneng! Ia akan mengalah dan biarlah Lindu Aji menjadi suami Neneng Salmah yang ia tahu merupakan seorang gadis yang pantas menjadi isteri Aji! Ia akan mengalah, bisik hatinya, akan tetapi kedua matanya menjadi basah oleh tangis yang ditahannya sehingga tidak mengeluarkan suara! Sementara itu, di tenda lain, Jatmika juga gelisah. Dari sikap gerak-gerik, tatapan mata dan suara mereka dia merasakan benar bahwa Sulastri mencinta Lindu Aji dan demikian pula sebaliknya, pemuda itu mencinta Sulastri. Agaknya di antara mereka sejak dahulu sudah ada hubungan batin ini!
Pantas saja setelah Sulastri pulih ingatannya, sikapnya kepadanya menjadi agak dingin. Tentu Sulastri sudah ingat kembali kepada Aji yang dicintanya! Diam-diam hatinya digerogoti perasaan cemburu itu yang amat menyiksa karena hati nuraninya membisikkan bahwa perasaan cemburu itu sama sekali tidak benar. Kalau memang sejak dulu diantara Sulastri dan Aji ada hubungan kasih, mau apa dia? Kalau pernah Sulastri sebagai Eulis tampak mencintanya, hal itu dilakukan di luar kesadarannya karena ketika itu Sulastri kehilangan ingatan, dan tidak ingat lagi kepada Aji yang dicintanya.
Sekarang setelah ingatannya kembali, tentu saja perasaan cinta itu datang kembali. Hanya ada sedikit titik terang yang menimbulkan harapan. Bukankah Sulastri menyatakan terus terang bahwa Neneng Salmah amat mencinta dan selalu mengharapkan datangnya Lindu Aji? Kalau Aji sampai menjadi suami Neneng Salmah, berarti Sulastri menjadi bebas dan ada harapan baginya! Akan tetapi, tetap saja hatinya digoda cemburu yang membuat dia gelisah dan tidak dapat tidur.
Keadaan Lindu Aji tidak lebih baik dari Sulastri dan Jatmika. Pemuda ini duduk bersila di atas pembaringannya dan termenung. Dia menghadapi keadaan yang serba sulit. Dia harus mengakui bahwa hanya Sulastri yang benar-benar dicintanya dan diharapkannya menjadi teman hidup selamanya. Gadis yang telah merampas hatinya sejak pertemuan pertama kali dahulu. Dia mencinta Sulastri, hal ini tidak dapat dipungkiri lagi. Akan tetapi, dalam keadaan lupa ingatan dan menganggap dirinya adalah Listyani, Sulastri akrab dengan Jatmika. Dia dapat melihat dari sikap dan pandang mata Jatmika bahwa pemuda itu mencinta Sulastri. Dan di sana ada pula Neneng Salmah yang dia percaya amat mencintanya!
Dia tidak tahu harus mengambil keputusan bagaimana. Kalau dia tetap berjodoh dengan Sulastri, yang sudah pasti hal itu akan menghancurkan hati dua orang, yaitu Jatmika dan Neneng Salmah, dua orang yang dia tahu benar amat baik budi. Dia akan selalu merasa berdosa, seolah berbahagia menari-nari di atas kedukaan dua orang lain yang dia hormati. Menerima cinta Neneng Salmah dan berjodoh dengannya? Hal ini berarti berlawanan dengan perasaan hatinya dan dia meragu apakah perjodohan yang dipaksakan seperti itu kelak akan mendatangkan bahagia. Biarlah dia akan mengalah. Biar Sulastri berjodoh dengan Jatmika. Mereka berdua sudah tampak akrab dan memang mereka berdua itu cocok dan pantas untuk menjadi pasangan! Mengapa cinta seringkali melahirkan cemburu, kecewa dan duka?
Sesungguhnya, cinta sejati tidak akan pernah menelurkan cemburu, kecewa maupun duka? Yang mengakibatkan penderitaan hanyalah cinta yang didorong nafsu. Cinta nafsu ini, seperti sudah menjadi sifat dan ulah nafsu, ingin memiliki, ingin disenangkan dan ingin mengikat. Karena itu tentu saja kalau orang yang ingin dimiliki dan diikat, orang yang mendatangkan kesenangan itu akan diambil orang lain, berarti kesenangannya hilang. maka muncullah cemburu dan kebencian, lalu duka.
Cinta nafsu ini pada hakekatnya hanya mencinta dirinya sendiri, mementingkan kesenangan diri pribadi. Cinta nafsu ini dapat menyelinap dalam cintanya seorang laki-laki atau perempuan terhadap kekasihnya sehingga sering terjadi sepasang kekasih yang tadinya bersumpah saling mencinta, setelah menjadi suami isteri, timbul perpecahan dan kebencian sehingga mengakibatkan perceraian! Ini bukti cinta nafsu. selama masih dapat menikmati kesenangan dari orang yang katanya dicinta, maka sikapnya mesra. Akan tetapi setelah orang yang katanya dicinta itu tidak lagi memberi kesenangan kepadanya, bahkan mendatangkan kesusahan, sikapnya berubah, dari cinta menjadi benci!
Lebih sering pula cinta nafsu seperti ini menyelinap ke dalam rasa cinta seseorang terhadap sahabatnya. Seribu kali sahabat itu mendatangkan kesenangan, maka dicintanya. Akan tetapi sekali saja mendatangkan kesusahan, cintanya berubah menjadi benci dan seribu kali kebaikannya itu sudah terlupakan, yang diingat hanya satu kali keburukannya itu saja! Biarpun kata orang cinta antara oang tua dan anak itu murni, namun tidak jarang pula dikotori oleh cinta nafsu ini. Selama anak penurut. maka dicinta orang tuanya.
Kalau pembangkang, apa lagi durhaka, akan dibenci oang tuanya karena tidak mendatangkan kesenangan dan hanya mendatangkan kerugian lahir batin atau kesusahan. Demikian pula sebaliknya, kalau orang tua dianggap baik dan menguntungkan, maka si anak akan tetap mencinta dan berbakti. Akan tetapi tidak jarang terjadi, kalau orang tua menentang kehendak si anak dan dianggap merugikan dan menyusahkan, maka cinta dan kebaktian si anakpun berubah menjadi kemarahan, bahkan mungkin kebencian.
Cinta kasih sejati tidak akan ada apabila orang mementingkan diri sendiri. Cinta sejati berarti memberi, berarti berani berkorban, berarti tidak adanya si aku atau nafsu yang hendak menguasai. Cinta sejati bagaikan lilin yang memberi penerangan dengan rela mengorbankan dan menghabiskan diri sendiri. Cinta kasih sejati, tehadap siapapun juga, merupakan ibadah terhadap Gusti Allah, selalu hidup dalam hati, tanpa pamrih untuk menguntungkan si AKU melainkan sebagai kewajiban manusia yang menyalurkan kasih Gusti Allah kepada manusia lain.
Kalau kita memperhatikan semua benda dalam dunia ini, sinar matahari, hawa udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan, hewan, kesemuanya itu merupakan bukti KASIH yang mulia dan sempurna dari Gusti Allah kepada manusia, kesemuanya itu diadakan untuk menyenangkan dan menghidupkan manusia di dalam dunia, tanpa ada pamrih sedikitpun untuk dirinya sendiri.
Mengingat akan semua itu, Lindu Aji agaknya menyadari dan dia tidak ingin dikuasai cinta kasih yang ditunggangi nafsu sehingga cinta kasih itu mempunyai dasar tujuan saja, yaitu ingin mendapatkan untuk dirinya sendiri tanpa menghiraukan akibat yang akan membuat manusia-manusia lain menderita. Karena itulah dia mengambil keputusan untuk mengalah.
********************
Perang mulai pecah berkobar pada keesokan harinya. Pada waktu fajar menyingsing, pasukan Mataram yang mengepung Batavia dari jurusan timur, selatan, dan barat menyerbu, berlindungkan kegelapan cuaca. Pihak Kumpeni Belanda menghujankan tembakan, baik dengan senapan maupun dengan meriam. Akan tetapi pasukan Mataram berjuang dengan gigih dan penuh semangat. Beberapa buah meriam yang diperoleh Mataram dengan membeli dari pedagang asing, dipergunakan untuk penyerangan itu. Juga ribuan anak panah dipergunakan dan beberapa ratus buah senapan.
Pasukan Mataram berperang secara gerilya. Karena dikepung dari tiga jurusan, pihak Kumpeni menjadi kalang kabut. Mereka mengeluarkan pasukan dari benteng sehingga terjadi pertempuran di luar benteng. Pertempuran mati-matian. Karena pihak Kumpeni memiliki lebih banyak senjata api yang lebih baik, maka banyak perajurit Mataram yang gugur walaupun juga tidak sedikit sedadu Kumpeni yang tewas. Pertempuran hebat terjadi dan beberapa benteng Belanda yang diberi nama Benteng Holandia, Benteng Bommel dan lain-lain diserbu.
Belanda mempertahankan mati-matian. Bahkan Benteng Bommel hampir bobol. Beberapa orang perajurit Mataram sudah berhasil memanjat tembok, akan tetapi karena persenjataan api mereka kalah, maka penyerangan itu dapat dipukul mundur. Baru setelah malam tiba, pertempuran dihentikan dan masing-masing menyusun pasukan, merawat yang luka. Biarpun tejatuh banyak korban, namun pasukan Mataram terus berusaha menyerbu dengan gigih dan penuh semangat. Berhari-hari terjadi pertempuan terus menerus.
Pihak Belanda menjadi panik, bala bantuan didatangkan dari kapal-kapal laut mereka. Pada suatu hari, pasukan Belanda mengadakan penyerbuan keluar benteng secara besar-besaran dan diantara mereka terdapat seorang kakek yang mengamuk. Tembakan bedil dari pasukan Mataram tidak melukainya dan dia bahkan mengeluarkan ilmu sihir, membuat dirinya dan pasukan Belanda yang mengiringkannya diselubungi kabut hitam. Kakek ini bukan lain adalah Ki Somad.
Melihat ini, Adipati Puger hendak maju sendiri menandingi kakek sakti mandraguna itu. Akan tetapi segera Parmadi dan Muryani yang menggabung dengan pasukan dari selatan ini lalu meghadap Adipati Puger dan Parmadi berkata. "Gusti Adipati, untuk menandingi Aki Somad yang menjadi musuh lama hamba, perkenankan hamba berdua dengan isteri hamba yang maju menghadapinya."
Pangeran Puger yang berpangkat adipati itu mengangguk dan tentu saja memberi persetujuannya karena diapun sudah maklum akan kemampuan Seruling Gading yang sudah berjasa kepada Mataram. Maka, suami isteri itupun lalu ikut dengan pasukan Mataram menyambut sergapan pasukan serdadu Kumpeni yang diperkuat Aki Somad itu. Pertempuran berlangsung seru dan akhirnya Parmadi dan Muryani dapat bertemu dengan Aki Somad yang sedang mengamuk dan telah merobohkan bebrapa orang perajurit Mataram dengan tongkat ular keringnya.
Para perwira yang cukup digdaya tidak berdaya menghadapi kakek ini karena mengeluarkan Aji Geneng Soka Weda yang ampuh, yang mendatangkan kabut hitam tebal menyembunyikan dirinya dan dari kegelapan itu keluar bayangan iblis dan setan brekasakan yang mengerikan. Tiba-tiba suara suling yang melengking nyaring membuyarkan kabut hitam tebal itu dan Aki Somad melihat betapa sepasang suami isteri itu telah berdiri di depannya! Dia menjadi terkejut bukan main karena kakek itu pernah berhadapan dengan Parmadi yang sakti mandraguna. Akan tetapi sekali ini dia tidak menjadi gentar karena dia sudah membekali dirinya dengan sebuah pistol yang memiliki peluru emas, yang dapat menembus semua kekebalan dan aji kesaktian lawan.
Maka, diapun cepat mencabut pistolnya. Selama ini dia sudah berlatih mempergunakan pistol pemberian Belanda itu dan kini dia membidikkan pistolnya ke arah Parmadi dan menarik pelatuknya sampai tiga kali. "Dar-dar-darr...!"
Asap putih mengepul, akan tetapi dia tidak melihat Parmadi yang ternyata sudah cepat membuang diri ke atas tanah lalu bergulingan dengan cepat sekali. Pada saat itu, Muryani sudah mempergunakan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya mencelat bagaikan tatit (kilat) dan tahu-tahu ia sudah menyerang ke arah kakek itu dengan cengkeraman tangannya yang mengandung racun ular amat berbahaya, Itulah Aji Wiso Sarpo yang dahsyat. Aki Somad mengenal pukulan ampuh. Dia cepat melompat ke belakang dan sekali lagi dia menggerakkan tangan, kini pistolnya diarahkan kepada Muryani dan pelatuk ditariknya.
"Dar-darrr..!" bidikannya meleset karena pada saat itu, lengan kanannya terpukul seruling gading. Pistol itu terlepas dari pegangannya dan ditendang oleh Parmadi ke arah belakangnya sehingga dipungut oleh perwira Mataram. Aki Somad marah sekali. Kedua telapak tangannya lalu ditiupnya sehingga bernyala. Itulah Aji Tapak Geni dan dia lalu memukul ke arah Parmadi dengan mendorongkan kedua telapak tangan yang bernyala itu. Nyala api yang panas menyambar ke depan, ke arah Parmadi.
Pendekar inipun mengerahkan kesaktiannya, menyambut dengan kedua telapak tangannya dengan Aji Sonya Hasta. "Wuuutttt... blarrrr... !!" Tubuh Parmadi terdorong ke belakang dan terhuyung, akan tetapi tubuh Aki Somad terjengkang dan terbanting jatuh. Kepalanya menjadi pening dan nafasnya sesak. Dia mencoba untuk bangkit kembali akan tetapi pada saat itu bayangan Muryani yang menggunakan Aji Kluwung Sakti berkelebat dan wanita itu menampar ke arah tengkuk Aki Somad dengan Aji Gelap Sewu.
"Dessss...!!" Aki Somad yang masih pening tidak dapat menghindarkan diri lagi. Tengkuk terkena tamparan Aji Gelap Sewu dan diapun roboh terbanting lagi dan tidak bergerak lagi. pukulan dahsyat yang menimpa dirinya selagi dia tidak mampu mengerahkan tenaga sakti itu membuat dia tewas seketika!
Pasukan serdadu Belanda menjadi kacau dan panik melihat kakek yang mereka andalkan itu tewas, sebaliknya pasukan perajurit Mataram menjadi semakin bersemangat. Akhirnya sisa pasukan serdadu Belanda melarikan diri memasuki benteng mereka kembali. Benteng segera ditutup setelah mereka masuk dan meriam-meriam ditembakkan sehingga terpaksa pasukan perajurit Mataram mundur dan berlindung.
Di bagian selatan juga terjadi pertempuran yang tidak kalah serunya. Pasukan perajurit Mataram yang berada di barat bahkan dipimpin oleh Kyai Adipati Jumina sendiri yang dibantu oleh Patih Tumenggung Singaranu, Raden Arya Wira Natapada, dan yang lain-lain. Juga di antara para pejuang suka rela, para pendekar terdapat pula Sutejo si Pecut Sakti Bajrakirana dan isterinya, Retno Susilo. Setelah suami isteri ini berpisah dari Jatmika dan Sulastri, mereka pergi ke Batavia dan menggabungkan diri dengan pasukan Mataram yang mengurung dari barat, di bawah pimpinan Kyai Adipati Jumina.
Mereka sengaja menggabungkan diri dengan pasukan yang mengepung benteng di barat ini setelah mendengar dari para penyelidik Mataram bahwa Kyai Sidhi Kawasa, datuk Banten itu membantu Kumpeni Belanda di bagian barat. Ketika pasukan serdadu Kumpeni menyerbu keluar benteng, terjadilah perang campuh. tembakan-tembakan terdengar gencar diseling gemerincingnya pedang bertemu keris. Tiba-tiba para perajurit Mataram menjadi gempar ketika muncul seorang kakek yang sepak terjangnya amat menggiriskan.
Kakek itu bukan lain adalah Kyai Sidhi Kawasa yang mengamuk dengan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang tongkat ular kobra kering yang amat berbisa. Banyak perajurit mataram tewas, bahkan dua orang perwira yang cukup digdaya tidak dapat bertahan lama menandingi Kyai Sidhi Kawasa. Sutejo yang berada di bagian lain, ketika mendengar akan amukan Kyai Sidhi Kawasa, bersama Retno Susilo cepat berlari ke tempat itu.
"Tar-tar-tar... trakk !" Tongkat ular kobra itu ditahan oleh sebatang pecut di tangan Sutejo dan datuk Banten itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya yang memegang tongkat ular kobra tergetar hebat sampai terasa ke pundaknya. Sementara itu, para perajurit Mataram yang sudah merasa gentar menghadapi amukan kakek itu, sudah mengundurkan diri menjauhi kakek itu setelah melihat Sutejo yang menandinginya dan mereka sibuk menahan serbuan para serdadu Kumpeni. Kyai Sidhi Kawasa memandang dengan matanya yang sipit. Dia memandang ke arah pecut di tangan sutejo dan mengerutkan alisnya, menduga-duga.
"Siapakah andika yang berani menandingi Kyai Sidhi kawasa, orang muda yang lancang?" bentaknya.
Dengan sikap tenang namun sepasang matanya mencorong, dia menjawab, "Kyai Sidhi Kawasa, aku bernama Sutejo dari Gunung Kawi."
Kyai Sidhi Kawasa terkejut bukan main mendengar ini dan kembali dia memandang ke arah pecut di tangan pendekar itu. "Hemm, Si Pecut Bajrakirana?" Dia berhenti sebentar dan menyambung, "dan andika sudah mengenal aku?"
Tiba-tiba Retno susilo yang menyusul suaminya berada pula di situ. "Siapa tidak mengenal Kyai sidhi Kawasa, datuk Banten yang ternyata hanya seorang pengecut besar yang tidak malu bertindak curang dan tidak tahu malu?"
Kakek itu marah sekali, matanya melotot dan kepalanya yang kecil bergoyang-goyang. "Bojleng-bojleng...! Wanita lancang siapakah andika berani menghina dan memaki Kyai Sidhi kawasa datuk besar dari Banten!"
"Kyai Sidhi Kawasa, ini adalah isteriku, namanya Reyno Susilo. Ia bukan menghina dan tidak memaki sembarangan, melainkan karena andika memang telah melakukan perbuatan yang pengecut dan tak tahu bermalu. Ingatkah andika apa yang telah andika lakukan delapan tahun yang lalu di gunung Kawi. Andika menyerbu rumah kami dan selagi kami tidak berada di rumah, dengan cara yang curang andika telah menculik putera kami Bagus Sajiwo dan mencuri Pedang Naga Wilis isteriku. Perbuatan seperti itu apakah bukan perbuatan yang pengecut dan tidak tahu malu?"
"Heh-heh-heh, aku memang melakukan itu walaupun hanya sebagai pembantu. Habis, andika mau apa sekarang?" Kakek itu terkekeh dan menantang.
"Jahanam keparat...!" Retno Susilo memaki dan hendak menyerang, akan tetapi ditahan suaminya.
Sutejo lalu berkata kepada kakek itu dengan sabar. "Kyai Sidhi Kawasa, kalau putera kami dalam keadaan selamat dan andika mau mengatakan di mana dia kini berada, kami akan memaafkan andika asal andika dapat membawa kami sehingga kami dapat menemukan kembali anak kami dalam keadaan selamat.
"Akan tetapi kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku, aku akan menghancurkan kepalamu, mencabut keluar hatimu dan mencabik-cabik seluruh tubuhmu!" Retno susilo berteriak seperti gila saking marah dan juga gelisah membayangkan puteranya mengalami malapetaka.
Hati kakek itu menjadi kecut juga mendengar ancaman yang amat mengerikan itu, akan tetapi dia menenangkan hatinya dan berkata dengan nada suara rendah. "Hemm, kalian tidak dapat memaksa aku untuk berbuat sekehendak kalian sendiri."
"Kyai Sidhi Kawasa! Kami harap andika dapat bersikap sebagai seorang datuk besar yang patut dihormati, yaitu berani berbuat juga berani bertanggung jawab. Setelah andika menculik anak kami dan mencuri pedang, apakah andika sekarang tidak berani mengakuinya? Benarkah andika sepengecut itu?" kata Sutejo memanaskan hati kakek itu.
"Babo-babo, Sutejo! Siapa takut? Aku tidak takut mengaku, hanya tidak begitu mudah kalian paksa dan perintah. Sekarang begini saja. Kita bertanding satu lawan satu dan kalu aku menang, kalian tidak perlu banyak cakap lagi. Kalau andika yang menang, baru aku akan menceritakan semua tentang hilangnya puteramu dan pedangmu."
Karena khawatir kalau-kalau kakek itu tidak mau membuka rahasia tentang di mana adanya Bagus Sajiwo, Sutejo memberi isyarat kepada isterinya yang sudah menjadi amat marah itu untuk bersabar dan dia berkata kepada kakek itu."Baik, aku terima tantanganmu, akan tetapi kalau andika mengingkari janji, seluruh dunia akan mendengar bahwa Kyai Sidhi kawasa tidak lain hanya seorang pengecut yang takut, tidak berani bertanggung jawab dan menjilat ludahnya sendiri!"
"Manusia sombong! Majulah! Haaaaiiiitttt...!" Kyai Sidhi Kawasa sudah menyerang dengan tongkatnya. Gerakannya amat dahsyat karena serangan itu mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Tongkat ular kobra itu seperti hidup dan moncongnya menyambar ke arah leher Sutejo, mematuk atau menotok jalan darah maut di sisi leher!
Sutejo maklum akan kesaktian lawan dan tahu bahwa serangan itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Maka dia sudah mengenakan Aji Harina Legawa, tubuhnya melesat cepat ke belakang dan tangan kanannya menggerakkan cambuknya. "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut Bajrakirana meledak ledak dan bagaikan seekor garuda menyambar-nyambar ke arah kepala lawan.
Kyai Sidhi Kawasa terkejut sekali. Serangannya luput dan sebaliknya dia terancam ujung cambuk yang menyambar-nyambar dengan ledakan nyaring. Akan tetapi datuk dari Banten ini sudah memutar tongkatnya dan dapat menangkis sambaran cambuk, walaupun tangannya tergetar ketika tongkat ular kobra itu bertemu pecut pusaka itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru.
Retno Susilo hanya menonton dan ia merasa yakin bahwa suaminya akan mampu mengatasi lawan. Hanya ia merasa cemas kalau-kalau kakek itu tewas sebelum memberitahukan bagaimana keadaan dan di mana adanya Bagus Sajiwo. Kalau ada perajurit yang mendekat, ia memberi isyarat agar perajurit itu tidak mencampuri perkelahian antara suaminya dan kakek itu. Iapun waspada melindungi suaminya dari serangan gelap para serdadu yang sibuk bertempur melawan pasukan perajurit Mataram.
Sepak terjang Sutejo yang memainkan pecutnya dengan ilmu silat pecut yang khas, yaitu Aji Pecut Bajrakirana, amat dahsyatnya, Pecut itu meledak-ledak, membentuk gulungan sinar yang lebar dan dari gulungan sinar itu, ujung pecut mematuk-matuk. Kyai Sidhi kawasa menjadi kewalahan juga dan kini dia hanya mampu menangkis, hampir tidak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang.
"Hyaaat...!" Sutejo membentak nyaring dan cambuknya menyambar dari atas ke arah kepala lawan. Kyai Sidhi Kawasa cepat menggerakkan tongkat ular kobranya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Darrrr... krekkkk...!" Kyai Sidhi Kawasa terhuyung ke belakang dan matanya terbelalak memandang ke arah tongkatnya yang tinggal sepotong pendek. Tongkat itu ternyata patah ketika bertemu dengan hebatnya melawan sambaran Pecut Sakti Bajrakirana tadi. Dengan marah dia membuang sisa tongkatnya dan kini menerjang lagi dengan pukulan tangannya yang mengeluarkan sinar berapi. Itulah Aji Analabanu yang ampuh.
Sutejo juga menyimpan pecutnya, dilibatkan di pinggang dan dia menghindar dengan loncatan ke kiri ketika pukulan berapi itu menyambar ke arah kepalanya. Kakek yang sudah marah dan penasaran itu mengejar maju dan kembali kedua tangannya yang mengeluarkan sinar berapi itu didorongkan ke arah Sutejo dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Sutejo juga sudah siap siaga. Dia mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan aji pamungkas untuk melawan pukulan lawan yang dahsyat itu.
"Aji Bromokendali!" bentaknya dan diapun menyambut dengan dorongan kedua tangannya. "Wuuutttt... blaaarrrr...!" Tubuh Kyai Sidhi Kawasa terhuyung ke belakang dan dia terkulai roboh, lalu dengan gerakan lemah dia bangkit duduk bersila dan muntahkan darah segar. Dia lalu mengatur pernapasan dan menjadi tenang kembali.
Sutejo dan Retno Susilo sudah melompat ke depannya. "Kyai Sidhi Kawasa. Andika telah kalah, harap andika tidak melanggar janji dan suka menceritakan tentang anak kami." kata Sutejo dengan ragu dan khawatir, takut kalau-kalau kakek itu mengingkari janjinya. Juga Retno Susilo menjadi tegang dan tidak sabar menanti kakek itu bercerita.
Kyai Sidhi Kawasa menghela napas panjang. "Sutejo, andika memang tangguh sekali. aku mengalah kalah. Sekarang dengarlah. Dahulu ketika terjadi penculikan puteramu dan pencurian pedangmu, aku hanya menjadi pembantu dan pengikut saja. Yang hendak membalas dendam kepadamu adalah Wiku Menak Koncar karena dia hendak membalas kematian dua orang saudara seperguruannya yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Dia mengajak aku mendatangi rumahmu di Gunung Kawi. Akan tetapi engkau dan isterimu tidak ada, maka kami menculik puteramu dan mengambil Pedang Nogo Wilis."
"Di mana anakku sekarang? di mana Bagus Sajiwo?" teriak Retno Susilo tak sabar.
"Wiku Menak Koncar yang menculik dan membawanya pergi. Aku hanya membawa Pedang Nogo Wilis, akan tetapi di tengah jalan pedang itu dirampas oleh musuh besarku, Ki Tejo Langit. Aku sama sekali tidak tahu ke mana Wiku Menak Koncar membawa anak itu."