Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 29
"WIKU MENAK KONCAR sudah tewas oleh Gusti Puteri Wandansari! Engkau pasti tahu di mana anak kami! Hayo katakan atau aku akan menyiksamu!" teriak Retno Susilo marah dan khawatir sekali.
"Heh-heh, sudah kubilang aku tidak tahu dan engkau tidak mungkin dapat menyiksaku." kata Kyai Sidhi Kawasa sambil menggerakkan tangan kanannya ke arah ubun-ubun kepalanya.
Sutejo hendak mencegahnya namun terlambat karena tadinya dia tidak mengira Kyai Sidhi kawasa akan senekat itu. Tubuh itu terkulai roboh dan tewas seketika karena ubun-ubun kepalanya dia pukul sendiri!
"Jahanam keparat! Hayo katakan di mana anakku! Hayo katakan!" Retno Susilo berteriak-teriak sambil menendangi tubuh kakek itu.
Sutejo menangkap dan menariknya. "Cukup, diajeng. Dia sudah mati."
"Tapi... tapi anak kita..."
"Aku kira dia tidak berbohong. Anak kita itu dibawa pergi oleh Wiku Menak Koncar."
"Akan tetapi datuk Blambangan itu kini sudah mati terbunuh oleh Gusti Puteri Wandansari."
"Benar, akan tetapi kita dapat melakukan penyelidikan di tempat Wiku Menak Koncar tinggal. Dia adalah datuk Blambangan. Kukira tentu Bagus Sajiwo dia bawa ke Blambangan dan kita akan mencarinya di sana."
"Tetapi... bagaimana kalau... kalau... anak kita itu... dibunuhnya...?" mata yang jeli itu tiba-tiba saja menjadi basah.
"Kurasa tidak, diajeng. Kalau memang Wiku Menak Koncar ingin membunuh anak kita, untuk apa dia susah-susah menculiknya dan membawanya pergi? Tidak, Wiku Menak Koncar pasti tidak membunuhnya, hanya membawanya pergi untuk menyiksa hati kita. Kalau perang ini sudah selesai, kita akan mencari anak kita ke Blambangan."
Suami isteri itu lalu melampiaskan kemarahan hati mereka dengan mengamuk sehingga para serdadu Belanda menjadi kocar-kacir. Akhirnya sisa para serdadu Belanda itu melarikan diri dan memasuki benteng mereka kembali. Seperti juga keadaan di pasukan yang mengepung di barat dan timur, pasukan dari selatan juga mengadakan serangan gerilya dan terjadi pertempuran hebat. Parmadi dan Muryani ikut bertempur dan mereka berdua ini yang menandingi para antek Kumpeni yang memiliki kesaktian sehingga semangat pasukan Mataram menjadi semakin tinggi.
Pada suatu malam yang gelap, Lindu Aji bercakap-cakap dengan Jatmika dan Sulastri di luar perkemahan. "Mas Aji, jangan lanjutkan niatmu ini!" kata Sulastri dengan suara mengandung penuh permohonan dan ia memegang lengan Aji.
"Jangan halangi aku, Lastri. Mungkin usahaku ini akan dapat membantu pasukan Mataram mengalahkan Kumpeni." jawab Aji tenang dan dengan lembut dia melepaskan lengannya dari pegangan gadis itu karena dia merasa tidak enak kepada Jatmika.
"Dimas Lindu Aji, ucapan Nimas Sulastri itu benar. Batalkan niatmu menyelinap ke dalam benteng itu. Amat berbahaya, dimas. Kalau ketahuan, mana mungkin andika melawan banyak serdadu yang bersenjata lengakap dengan bedil dan pistol itu?"
"Aku akan berhati-hati, Kakangmas Jatmika. Kalau aku berhasil membunuhi para perwira Kumpeni, hal itu tentu akan mengacaukan dan melemahkan pasukan mereka. Andaikata aku tertangkap, yah, mati hidup berada di tangan Gusti Allah dan aku akan merasa bangga dapat menyumbangkan nyawaku demi Negara dan bangsa."
"Sudah bulatkah tekadmu itu, Mas Aji?" tanya Sulastri.
Aji mengangguk. "Sudah, Lastri, doakan saja aku berhasil."
"Kalau begitu, aku ikut! Aku ingin membantumu seperti dulu ketika kita ditawan para antek Kumpeni di kapal!" kata Lastri penuh semangat.
Aji sambil lalu melirik ke arah Jatmika dan melihat betapa wajah itu berubah agak pucat, penuh keraguan dan ada kedukaan menyelubunginya. "Tidak, Lastri. Aku harus bergerak sendiri. kalian berdua berjaga saja di sini karena setiap saat Kumpeni dapat menyerang. kalian berdua harus membantu pasukan Mataram dalam pertempuran. Nah, aku pergi sekarang!"
Tanpa menanti jawaban lagi Aji lalu melompat dan menghilang dalam kegelapan malam. Sebelumnya Aji memang sudah merencanakan penyusupan ke dalam benteng itu. Di sudah membuat perhitungan dan tahu bahwa pasukan Kumpeni melakukan penjagaan ketat di bagian timur, selatan dan barat di mana pasukan mataram mengepung benteng mereka. Bagian yang paling aman dan tidak terdapat penjagan ketat hanya di utara karena kapal-kapal perang belanda yang berjaga di laut utara sehingga tidak mungkin menyerang benteng dari pantai utara.
Aji menggunakan kesempatan ini. Kalau hanya seorang yang menyusup dari utara, tentu tidak akan dapat terlihat, apalagi malam itu gelap sekali. Sebentar saja Aji sudah di dekat tembok benteng. Dia melihat ada tiga orang serdadu Belanda hilir mudik di atas benteng, menyandang bedil. Pintu belakang benteng yang terbuat dari besi itu tertutup rapat. Aji mengukur dengan matanya. Dengan Aji Bayu Sakti, dia yakin akan dapat melompat ke atas tembok benteng itu. Akan tetapi kalau melakukan hal itu, besar bahayanya dia akan ketahuan penjaga di atas dan tentu mereka itu akan membunyikan tanda bahaya sehingga usahanya akan gagal setengah jalan.
Dia menglur tali panjang yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ujung tali itu dia buatkan simpul dan setelah melihat serdadu yang hilir mudik itu tidak pernah mendekati bagian sudut tembok itu dan hanya jarang sekali berjalan sampai ke sudut, dia lalu melontarkan tali bersimpul itu ke arah besi pagar yang tampak remang-remang dari bawah tersorot sinar lampu yang tergantung di bagian tengah. Bidikannya tepat dan tenaga yang dia kerahkan untuk melontarkan tali itu amat kuat. Tali meluncur ke atas dan tepat mengait pada ujung besi pagar tanpa mengeluarkan suara.
Aji menanti sebentar, merasa lega bahwa lemparan talinya itu tidak menimbulkan reaksi di atas, pertanda bahwa hal itu tidak dilihat orang lain. Dia menanti sampai para penjaga itu berjalan ke arah sudut yang berlawanan, lalu dia merayap naik melalui tali itu. Cepat sekali dia sudah tiba di atas, melompati pagar dan melepaskan tali sehingga jatuh ke bawah. Untuk turun dari tembok benteng, dia tidak akan membutuhkan tali. Ketika seorang serdadu berjalan ke arah sudut di mana dia berada.
Aji cepat mendekam di balik belokan dinding. Dia tidak ingin merobohkan para serdadu yang berjaga di atas benteng ini karena kalau hal itu dilakukan dan kemudian diketahui penjaga lain yang baru datang, maka kehadirannya tentu akan diketahui dan ini berarti usahanya gagal. Dia menyelinap dan setelah serdadu itu membalikkan tubuh, dia lalu bergerak cepat melewati pintu tembusan yang membawanya ke bawah tembok benteng bagian dalam. Semua pemusatan pergantian para pasukan serdadu tertuju untuk menjaga tembok benteng bagian timur, selatan dan barat.
Masih terdengar sesekali dentuman meriam yang ditembakkan ke arah kubu pertahanan pasukan Mataram. Akan tetapi tidak ada tembakan senapan terdengar karena jaraknya terlampau jauh. Para serdadu itu hanya menanti komando, yaitu bertahan kalau diserang atau melakukan penyergapan keluar benteng. Akan tetapi, agaknya malam itu tidak ada komando untuk menyerbu keluar karena malam itu memang gelap gulita sehingga akan sukar melawan pasukan Mataram yang mempergunakan taktik perang gerilya.
Aji pernah memasuki benteng ini ketika dia menolong Karen Van De Vos dari tangan penculik dan mengantar gadis peranakan Belanda itu memasuki benteng sehingga dia dapat melakukan pembakaran gudang ransum Kumpeni. Dari gadis itu diapun telah mengetahui di mana adanya bangunan yang menjadi tempat tinggal Jenderal Jan Pieters Zoon Coen, orang nomor satu dalam Kumpeni Belanda. Ke bangunan itulah dia menuju dengan menyelinap dari pohon dan dari bangunan.
Dengan menggunakan Aji Bayu Sakti, tubuhnya berkelebat amat cepatnya sehingga tidak diketahui orang, apalagi hanya beberapa orang serdadu saja yang berlalu lalang dalam perbentengan tengah itu karena sebagian pasukan berjaga-jaga di pintu gerbang, sebagian lagi tidur mengaso karena mereka harus bergilir melakukan penjagaan. Dengan penuh keberanian, Aji menghampiri bangunan itu. Hatinya sudah bertekad bulat untuk membunuh para pimpinan tertinggi Kumpeni. Dia memang sudah nekat dan hal ini timbul dari keresahan hatinya memikirkan persoalan cintanya yang menjadi cinta segi empat antara dia, Sulastri, Neneng Salmah, dan Jatmika.
Kalau dia berhasil dalam tugasnya ini, berarti dia telah dapat membantu Mataram untuk memenangkan perang terhadap Belanda. Kalau dia gagal dan terbunuh, maka matinya bahkan akan menghilangkan kegelapan dalam urusan cinta kasih yang ruwet itu. Sulastri akan dapat menikah dengan Jatmika dan Neneng Salmah tidak dapat mengharapkan dia untuk menerima cintanya sehingga gadis waranggana yang baik itu dapat berjodoh dengan laki-laki lain. Dengan demikian baik berhasil maupun tidak, usahanya itu ada manfaatnya bagi orang lain.
Kalau untuk itu dia harus berkorban nyawa, maka hal itu sudah menjadi kehendak Gusti Allah dan tiada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mengubahnya! Untung bagi Aji, bangunan yang cukup besar itu yidak terjaga oleh serdadu. Mungkin karena bangunan itu dirasakan aman karena berada ditengah benteng, maka tidak terjaga. Dengan mudah Aji dapat menyelinap ke tengah dimana terdapat penerangan yang cukup. Dia mengintai dan jantungnya berdebar tegang. betapa tidak. apa yang dicari-carinya berkumpul disitu semua!
Kiranya para perwira tinggi Kumpeni sedang mengadakan rapay di sebuah ruangan yang diterangi empat buah lampu gantung yang besar. Dai pakaian mereka, Aji dapat menduga bahwa laki-laki Belanda setengah tua yang berjenggot meuncing dan duduk di kepala meja itu tentulah yang harus dijadikan sasaran utama untuk dibunuhnya. aji sama sekali tidak mengira bahwa dugaannya itu memang tepat sekali karena laki-laki Belanda itu bukan lain adalah Jan Pieters Zoon Coen sendiri yang memimpin rapat, merundingkan tentang pertempuran melawan pasukan Mataram yang telah berlangsung beberapa hari lamanya.
Aji membuat perhitungan dengan teliti. Kalau dia menyerang, tentu hanya dapat merobohkan dua tiga orang saja dan para perwira yang lain tentu serentak akan menyerangnya dengan pistol mereka. Terdapat bahaya bahwa di antara mereka ada yang mempergunakan peluru emas dan sukar baginya untuk mengelak karena ruangan itu demikian terang dan perwira itu cukup banyak jumlahnya, ada belasan orang. Dia harus melakukan serangan mendadak sebelum ada yang menduga, mengejutkan mereka dan sekaligus memadamkan empat buah lampu gantung besar agar ruangan menjadi gelap gulita.
Akan tetapi tentu akan terjadi kegaduhan yang memancing datangnya para serdadu. Mungkin dia dapat melarikan diri karena ruangan itu menjadi gelap gulita. Memang resikonya besar sekali, akan tetapi apa boleh buat, tidak ada jalan lain. Setelah memperhitungkan dengan cermat, Lindu Aji berdiam diri memanjatkan doa kepada Gusti Allah sebagai pengakuan bahwa apa yang dilakukan itu adalah tugas perjuangan membela Mataram, bukan karena dendam kebencian kepada orang-orang Belanda dalam ruangan itu yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia mengintai lagi.
Para opsir Belanda yang sedang mengadakan rapat itu agaknya serius sekali, bicara keras-keras dalam bahasa mereka. Aji memperhatikannya dengan teliti dan cermat. Dia harus membunuh laki-laki Belanda yang pakaiannya paling mentereng diantara mereka semua itu dan kebetulan sekali laki-laki berjenggot runcing itu duduk menghadap ke arah jendela di mana dia mengintai. Dia harus melompat dan menerjang ke atas meja besar itu, membunuh panglima itu, kemudian dari meja dia akan berlompatan ke arah empat buah lampu gantung dan memukul hancur untuk memadamkan penerangan itu.
Dalam kegelapan itu dia akan mampu merobohkan banyak perwira kemudian melarikan diri. Mereka tentu tidak berani menembakkan pistol mereka dalam kegelapan itu, takut mengenai teman sendiri. Kemudian dia memperhitungkan arah larinya. Untuk dapat mencapai tembok benteng terdekat, dia harus lari ke arah beberapa bangunan terdekat dan melalui bangunan-bangunan itu dia menyelinap lari sambil bersembunyi sampai tiba di tembok benteng, naik dan melompat ke luar.
Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya, mencabut keris pusaka Nagawelang, kemudian bangkit berdiri dan setelah memperhatikan dengan seksama, diapun melompat ke dalam melalui jendela yang terbuka. Begitu dia tiba di dalam tanpa mengeluarkan suara, dia lalu mempergunakan Aji Bayu Sakti, tubuhnya melayang ke atas meja di depan panglima Kumpeni itu dan kerisnya menghunjam ke arah panglima itu. Akan tetapi, di antara para opsir yang berteriak kaget itu, seorang pengawal pribadi panglima itu yang tadinya duduk di belakang sang panglima, sudah melompat pula ke atas meja menghadang serangan Aji.
"Wuuuutttt... capppp...!!" Tak dapat dihindarkan lagi, keris pusaka Kyai Nagawelang itu menancap ke dalam dada pengawal pribadi itu. Opsir Belanda yang masih muda itu terjengkang dari atas meja dan menimpa si panglima sehingga Aji tidak melihat kesempatan lagi untuk menyerang panglima itu. Selagi para opsir masih tercengang, dia sudah melompat ke atas, keris dan tangan kirinya bergerak dua kali. Terdengar ledakan dua kali dan dua buah lampu gantung itu pecah dan padam. Dia melompat lagi dan kembali terdengar ledakan dua kali ketika dua buah lampu yang lain pecah dan padam. Ruangan itu menjadi gelap gulita seperti yang telah diperhitungkan!
Aji lalu bergerak ke arah pintu. Tiap kali bertabrakan dengan orang, dia lalu menampar atau kerisnya menusuk. Ketika akhirnya dia tiba di pintu, dia telah merobohkan lima orang lagi dan dia lalu melompat keluar. Para opsir yang kini menyadari bahwa ada musuh memasuki benteng, berteriak-teiak dan menghambur keluar tanpa berani melepaskan tembakan dari pistol yang sudah berada dalam tangan mereka karena khawatir salah sasaran. Akan tetapi ketika tiba di luar bangunan itu mereka tidak melihat bayangan orang yang tadi mengamuk dalam ruangan.
Aji sudah berlari menuju ke tiga buah bangunan yang berada di samping. Dia dapat melewati bangunan pertama dan kedua dengan selamat, akan tetapi ketika tiba dibangunan ke tiga yang paling dekat dengan tembok benteng, tiba-tiba muncul tiga orang serdadu. Tiga orang serdadu itu membentak dan mengejarnya. Karena khawatir kalau suara tiga orang itu akan memancing datangnya banyak serdadu, Aji cepat menerjang dan mendahului mereka, menyerang dengan tamparan tangan kiri dan tusukan keris pusaka di tangan kanannya. Dua orang roboh seketika dan orang ke tiga sempat menembakkan senapannya.
"Darrrr... !!" Peluru itu merobek baju Aji, akan tetapi ketika mengenai kulit dadanya, peluru itu meleset seolah mengenai kulit dari baja yang amat keras. Sebelum di sempat menembak lagi, Aji sudah menyerangnya dengan tamparan tangan kirinya. serdadu itu roboh dan tak dapat bangkit lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan dua kali. "Dar-dar...!"
Aji cepat memutar tubuhnya dan melihat dua orang serdadu yang berada di belakangnya dalam jarak empat meter, roboh disambar peluru pistol yang tadi ditembakkan. Dan penembaknya muncul. Kau...?" katanya dengan kagum karena ternyata di sana berdiri Karen Van De Vos dengan sebuah pistol yang masih berasap di tangannya.
"Cepat... lucuti pakaiannya dan pakai!" perintah Karen Van De Vos. Aji mengerti maksudnya. Dia menghampiri serdadu yang dia robohkan dengan tamparan di kepala, melucuti celana dan bajunya lalu memakaianya. Pakaian itu tentu saja terlalu besar baginya, akan tetapi karena menutupi pakaiannya sendiri, maka dia kini berubah menjadi seorang serdadu Kumpeni, walaupun rambut kepalanya hitam dan kakinya tidak bersepatu. Namun dalam keremangan cuaca, takkan ada yang melihat pebedaan ini.
"Sekarang larilah, lewat sini...!" Karen berkata lagi.
Aji merasa terharu dan cepat dia merangkul dan mencium bibir gadis Belanda Indo yang batinnya ternyata berpihak kepada bangsa ibunya itu. "Terima kasih, Karen..." bisiknya sambil melepaskan rangkulannya.
"Aku cinta padamu, Lindu Aji..." kata pula Karen.
Aji melompat dan lari ke arah tembok benteng yang tidak jauh lagi dari situ. Terdengar tembakan gencar, Itu adalah tembakan para opsir yang sudah mengejar sampai ke situ. Dengan nekat Karen lalu melepaskan tembakan gencar dengan pistolnya. Melihat ada tembakan menyambut mereka, para opsir terkejut dan mengira bahwa musuh yang berhasil menyusup ke dalam benteng itu memiliki senjata api. Mereka berlindung dan karenanya pengejaran terhadap Aji terhalang. Mereka membalas dengan tembakan mereka ke arah dari mana datangnya tembakan pistol itu dan melihat sesosok bayangan roboh dan tembakan yang menyambut mereka itu berhenti.
Beberapa orang maju dengan hati-hati dan alangkah terkejut hati mereka ketika menemukan jenazah Karen Van De Vos yang menggeletak dengan sebatang pistol masih tergenggam erat di tangan kanannya! Karen tewas oleh peluru pistol para perwira yang melakukan pengejaran kepada Aji. Sementara itu, dengan berpakaian seragam serdadu, Aji dapat lari ke tempat benteng tanpa dicurigai. Dalam kegelapan yang hanya disinari lampu yang temaram itu para serdadu lain yang berjalan ke arah tembok lalu naik ke atas benteng.
Setelah Aji melompat dari atas tembok benteng ke luar, barulah mereka tahu bahwa orang yang disangkanya seorang rekan itu adalah seorang musuh. Apalagi ketika para perwira berlari-lari sambil berteriak-teriak. Mereka lalu menghujankan tembakan ke luar benteng. Akan tetapi karena cuaca di luar benteng amat gelapnya dan bayangan musuh itu tidak tampak sama sekali, tembakan mereka ngawur saja. Aji sudah berlari menjauhi tembok benteng dan menanggalkan pakaian serdadu yang dipakainya. Dia lalu kembali ke kubu pasukan Mataram.
Jatmika dan terutama Sulastri merasa girang bukan main menyambut kembalinya Aji. Kyai Adipati Purbaya juga merasa kagum mendengar Aji menceritakan pengalamannya yang telah berhasil membunuh beberapa perwira pasukan serdadu Kumpeni Belanda. Serangan Lindu Aji yang tampaknya hanya menghasilkan tewasnya beberapa orang perwira Kumpeni itu sesungguhnya lebih dari itu. Buktinya, beberapa hari kemudian Jan Pieters Zoon Coen meninggal dunia. Sangat boleh jadi jenderal besar pemimpin pasukan Kumpeni ini meninggal disebabkan kekagetan hebat ketika dia nyaris menjadi korban serangan aji.
Pada saat itu memang kesehatannya agak terganggu. serangan mendadak Alap-alap Laut Kidul yang mengakibatkan pengawalnya tewas dan roboh menimpanya itu amat mengejutkan dan mengerikan hatinya. Mungkin saja dia meninggal karena kaget dan mempengaruhi jantungnya dan lemah. Akan tetapi pihak Kumpeni Belanda mengabarkan bahwa Jan Pieters Zoon Coen meninggal dunia karena penyakit kolera!
Pertempuran itu berlangsung dengan seru. Hampir setiap hari pasukan Mataram mencoba untuk membobolkan benteng-benteng pertahanan Kumpeni Belanda. Beberapa kali pasukan yang bersemangat dan berani itu menyerbu dan berusaha untuk memasuki benteng. Akan tetapi persenjataan Belanda jauh lebih baik dan lebih lengkap. Dalam penyerbuan ini banyak pendekar yang gugur secara menyedihkan. Beberapa orang pahlawan yang gagah perkasa berhasil memasuki benteng, mengamuk dan membunuh banyak serdadu akan tetapi dia sendiri terjebak dan tidak dapat keluar.
Setelah peluru mengenai tubuhnya, di antaranya peluru emas atau perak, baru dia roboh dan tewas. Sampai sebulan lamanya pasukan Mataram mengepung benteng Kumpeni Belanda. Akan tetapi akhirnya musuh lain yang lebih kuat daripada pasukan Kumpeni menyerang mereka. Musuh-musuh baru ini adalah penyakit kolera dan malaria, dan juga kelaparan karena kurangnya ransum. Penyerangan dan pemusnahan yang dilakukan Belanda sebelumnya, yang membakar banyak persediaan ransum, kini memperlihatkan hasilnya. Pasukan Mataram kekurangan makanan. Hal ini ditambah dengan amukan penyakit menular itu.
Mulailah pasukan Mataram menjadi lemah. Sebetulnya pasukan serdadu Belanda sendiri sudah merasa panik dan ketakutan melihat pengepungan dan penyerangan yang gigih dan penuh semangat itu. Akan tetapi para penyelidik mereka akhirnya mengetahui keadaan pasukan Mataram yang kekurangan makanan dan yang terserang penyakit kolera dan malaria. Melihat keadaan ini, Kumpeni Belanda mengadakan penyerangan besar-besaran, mengerahkan segala kekuatan. Bahkan ada beberapa buah meriam yang menembakkan tinja dan kotoran lain ke arah kubu Mataram!
Penyerangan itu merupakan pukulan hebat bagi Mataram. Terpaksa mereka mundur dan setelah berunding dengan Adipati Puger dan Adipati Purbaya, Kyai Adipati Jumina lalu terpaksa menarik mundur pasukannya. Mereka menghentikan pengepungan dan penyerangan, lalu melakukan perjalanan ke timur, kembali ke Mataram. Penyerangan terhadap Kumpeni Belanda yang kedua kalinya inipun gagal. Para panglima dan senopati tentu saja merasa takut kepada Sultan Agung atas kegagalan penyerangan yang kedua ini. Mereka khawatir kalau-kalau mereka akan dihukum berat seperti yang terjadi ketika penyerangan pertama gagal.
Mereka semua minta pertimbangan dan nasihat Tumenggung Singoranu yang bukan saja menjadi kepercayaan yang dekat dengan Sultan Agung, melainkan lebih dari itu, Tumenggung Singaranu juga merupakan ayah mertua Sultan Agung karena puterinya menjadi selir raja itu. setelah mengadakan perundingan Tumenggung Singaranu membawa sisa pasukannya yang terdiri dari orang-orang yang tinggal di tanah perdikan miliknya sendiri, berangkat pulang lebih dulu. Tumenggung Singaranu tidak langsung pergi menghadap Sultan Agung, melainkan membawa pasukannya ke tanah perdikannya.
Setibanya di rumah, dia lalu mengumpulkan isteri, selir-selir dan ank-anaknya untuk pergi menghadap Sultan Agung dan mintakan ampun atas kegagalannya dalam penyerbuan ke Batavia. Selain mengirim semua anggota keluarga untuk menghadap dan memohon pengampunan kepada Sultan Agung, diapun mengirim semua senjata pusakanya ke istana sebagai tanda bahwa dia menakluk dan tidak berniat melawan atau menentang sang raja. Selain ini, juga puterinya yang menjadi selir Sultan Agung mintakan ampun untuk ayahnya.
Sultan Agung memang merasa kecewa dan marah sekali mendengar akan kegagalan pasukan Mataram dalam penyerangan yang kedua kalinya terhadap Kumpeni Belanda itu. Akan tetapi ketika selirnya mintakan ampun untuk Tumenggung Sinaranu, ditambah keluarga tumenggung yang sudah diangkat menjadi patih itu datang menghadap dan minta ampun dengan ratap tangis, melihat betapa semua pusaka sang tumenggung diserahkan kepadanya, menjadi terharu dan kemarahannya mencair. Dia mengampuni Tumenggung Singaranu, bahkan juga mengampuni para senopati lainnya.
Berbeda dengan akibat kekalahan pada penyerangan pertama, penyerangan kedua ini tidak mengakibatkan hukuman berat bagi para senopati yang gagal. Para penasihat dan senopati membujuk Sultan agung agar menghentikan usahanya menyerang Batavia karena selain hal itu mendatangkan kerugian besar kepada Mataram, juga mereka mengatakan bahwa Belanda hanya ingin berdagang di Nusantara. Hati Sultan Agung menjadi agak lunak terhadap Belanda dan selalu waspada menghadapi ulah dan sepak terjang Kumpeni.
Hal ini terdengar oleh Kumpeni Belanda dan para pemimpin mereka menjadi girang dan gembira. Mereka bersikap bersahabat, bahkan mengirimkan banyak hadiah ke Mataram untuk menundukkan hati Sang Prabu. Pemerintah Belanda memang pandai sekali. Kekeuatan angkatan perang mereka memang tidak berapa hebat, akan tetapi politik mereka amat licin bagaikan belut. Mereka pandai mengambil hati, pandai membawa diri sehingga banyak kadipaten yang dengan mudah jatuh ke dalam pengaruh bujukan mereka.
Dengan cara halus dan tidak kentara mereka melebarkan sayap dan cengkeraman ke atas tanah Nusantara dengan dalih berdagang dan mensejahterakan rakyat yang masih terbelakang. Dengan sikap yang manis Belanda mempengaruhi rakyat sehingga rakyat menganggap mereka sebagai "tuan penolong" yang murah hati, yang membeli hasil bumi dan rempah-rempah dengan harga "tinggi". Para pemimpin bangsa Belanda mempergunakan segala cara untuk mencapai keinginan mereka, yaitu menguasai kepulauan Nusantara yang gemah ripah loh jinawi, dengan tanahnya yang kaya raya, bagaikan sorga dengan neraka kalau dibandingkan dengan tanah negara mereka sendiri.
Gusti Allah demikian mengasihi manusia sehingga berkahnya berlimpah-limpah. Demikian besar kasihNya sehingga manusia diciptakan hidup didunia dengan perlengkapan badan yang sempurna dan disertai pula hati akal pikiran sebagai alat yang paling canggih. Bukan hanya itu semua, namun disertai pula nafsu sebagai bahan bakarnya agar manusia dapat mempergunakan semua alat tubuhnya untuk dapat menikmati kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya nafsu, maka kehidupan akan menjadi hampa dan semua perlengkapan tubuh tidak dapat bekerja dengan sempurna.
Namun, iblis yang selalu mengintai dan sudah sejak semula bersumpah untuk menggoda manusia dan menyeret manusia ke dalam perbuatan dosa, justeru memanfaatkan kenikmatan hidup di dunia dengan membonceng pada nafsu manusia sendiri. Dengan demikian, maka keadaannya menjadi terbalik. Kalau semula manusia dengan jiwanya yang bersih menguasai nafsunya sendiri, menjadi nafsu yang menguasai manusia dan akibatnya, manusia selalu mengejar-ngejar kenikmatan dan kesenangan dunia, menjadi budak dari nafsunya sendiri.
Inginnya hanya enak-enak dan yang menyenangkan untuk diri sendiri sehingga untuk mendapatkan yang diinginkan dan dikejarnya itu, manusia menjadi lupa diri dan mempergunakan segala cara. Segala perbuatan jahat di dunia ini bersumber kepada nafsu ingin menyenangkan diri sendiri itulah. Kebanyakan manusia menyadari akan kuatnya nafsu menguasai dirinya. Ada yang berusaha untuk menundukkan dan mengalahkan nafsunya sendiri. Namun kebanyakan usaha manusia itu tidak berhasil. Mengapa demikian?
Karena yang berusaha mengalahkan nafsu adalah hati akal pikiran padahal di dalam hati akal pikiran itulah sang nafsu bersarang. Di situlah iblis berkuasa. Semua usaha dari pikiran untuk mengalahkan nafsu itu berarti mengalahkan diri sendiri dan usaha itupun bersumber dari nafsu itu sendiri! Lalu bagaimana? Siapa yang dapat menundukkan nafsu sehingga nafsu kembali ke tempatnya semula, yaitu menjadi peserta, menjadi alat dan menjadi pembantu yang setia, tidak lagi menjadi majikan yang menyeret manusia ke dalam dosa?
Jawabannya hanya satu. Yang dapat mengalahkan dan menundukkan nafsu hanyalah Gusti Allah, Sang Maha Pencipta sendiri. Karena itu, manusia hanya dapat berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah, membuka diri sendiri secara total, sabar ikhlas tawakal sehingga kekuasaanNya yang akan bekerja, membersihkan segala kotoran yang menodai jiwa. Kekuasaan Gusti Allah Yang Maha Suci yang akan mampu mengatur sehingga jiwa menjadi bersih kembali, menguasai nafsu yang kembali menjadi peserta atau pembantu yang baik. Yang tidak mungkin bagi manusia, amatlah mungkin bagi Gusti Allah dan kekuasaanNya yang mutlak.
Setelah perang selesai dan pasukan Mataram dengan membawa kegagalan, Parmadi dan isterinya Muryani kembali ke Pasuruhan. Sutejo dan isterinya Retno Susilo tidak kembali ke Gunung Kawi, melainkan langsung saja pergi merantau ke Blambangan untuk mencari putera mereka, Bagus Sajiwo, yang menurut keterangan Kyai Sidhi Kawasa diculik oleh Wiku Menak Koncar datuk Blambangan. Lindu Aji, Jatmika dan Sulastri pergi ke Dermayu. Dua orang pemuda itu memenuhi permintaan Sulastri untuk ikut dengannya pergi ke Dermayu karena memang keduanya mempunyai kepentingan masing-masing.
Sulastri mengajak Aji ke Dermayu untuk mempertemukan pemuda itu dengan Neneng Salmah. Jatmika pergi ke Dermayu hendak melihat perkembangan dan kenyataan apakah ada kesempatan baginya untuk meminang Sulastri. SedangkanLindu Aji ikut dengan hati bimbang karena dia masih menjadi bingung melihat kenyataan bahwa di antara mereka terdapat cinta segi empat yang membingungkan. Dia ingin membereskan keadaan yang kacau ini dengan jalan mengundurkan diri dan mengalah seperti yang telah dia putuskan dalam lamunannya malam itu. Juga dia hendak memberi ketegasan kepada Neneng Salmah agar gadis waranggana yang baik hati itu tidak lagi mengharapkan dia dan menjadi tersia-sia hidupnya kelak.
Ki Subali dan isterinya mnyambut pulangnya Sulastri dengan gembira sekali. Demikian pula Neneng Salmah, bahkan gadis ini semakin berbahagia melihat Lindu Aji juga datang bersama Sulastri dan Jatmika. Setelah mereka semua beramah tamah bersama Ki Subali dan Ki Salmun ayah Neneng Salmah, Lindu Aji mempergunakan kesempatan itu untuk berpamit.
"Sekarang semua tugas telah selesai dilakukan dan saya mohon pamit dari andika semua, untuk meninggalkan Dermayu."
"Mas Aji...!" Seru Sulastri sambil memandang ke arah Neneng Salmah, "Engkau hendak pergi? Ke mana?"
"Kembali ke dusunku, ke rumah ibuku di dusun Gampingan dekat pantai Laut Kidul."
Terdengar isak tangis dan semua orang menengok. Neneng Salmah berlari keluar dari pintu samping yang menuju ke kebun. Melihat ini, Sulastri mengerutkan alisnya dan berkata kepada Aji. "Mas Aji... tidak kasihankah engkau kepadanya...!" Dengan pandang matanya Sulastri seolah menyuruh Aji untuk pergi mencari Neneng Salmah.
Aji maklum bahwa bagaimanapun juga dia harus memberi penjelasan kepada Neneng Salmah agar gadis itu dapat memaklumi perasaannya bahwa mereka tidak dapat berjodoh. Memang dia sudah dapat menduga sejak dulu bahwa kenyataan yang hendak disampaikan kepada Neneng Salmah ini tentu akan menghancurkan hati gadis itu. Akan tetapi apa boleh buat, hal itu demi kebaikan mereka semua. Maka diapun bangkit berdiri, minta maaf kepada Ki Subali lalu melangkah keluar dari pintu samping untuk mengejar Neneng salmah. Aji mendapatkan Neneng Salmah sedang duduk di atas sebuah bangku di bawah pohon sawo dan menangis seorang diri. Dia lalu menghampiri dan setelah tiba di depan gadis yang menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya itu, dia berkata lirih.
"Neneng...!" Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan memandang kepada Aji denagn muka basah air mata. "Neneng, aku akan pergi dan janganlah engkau menangis." Seperti juga dulu, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
"bawalah saya... bawalah saya, saya ikut andika, biarlah saya menjadi budak, menjadi hamba... menjadi pelayan..."
"Hussss... Neneng, jangan begitu. Bangkit dan duduklah, mari kita bicara baik-baik." Aji memegang kedua pundak gadis itu, membantunya bangkit dan disuruhnya gadis itu duduk kembali ke atas bangku. "Hentikan tangismu dan marilah kita bicara sejujurnya dan melihat kenyataan, betapapun pahitnya kenyataan itu, Neneng."
Neneng Salmah menyadari keadaannya yang hanyut oleh perasaan sedih, maka ia cepat menghapus air matanya dan memandang pemuda itu dengan mata kemerahan.
"Neneng, engkau tentu menyadari bahwa perjodohan itu hanya akan sempurna kalau dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta, bukan?" kata Aji dengan suara yang tenang namun tegas dan berwibawa. Neneng salmah mengangguk sambil memandang wajah Aji, sinar matanya penuh harapan. "nah, marilah kita melihat kenyataan. Aku percaya sepenuhnya bahwa engkau mencintaku dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi engkau juga harus tahu bahwa aku amat suka dan kagum padamu, akan tetapi tidak mencintamu, neneng. Sebelum berjumpa denganmu, aku telah mencinta seorang wanita lain. Apakah engkau yang sebijaksana ini menghendaki agar aku mengkhianati cintaku kepada wanita itu?"
Biarpun tanpa suara, air mata menetes-netes turun dari kedua mata Neneng salmah ke atas pipinya. Ia memang seorang gadis yang bijaksana dan ia mengerti bahwa cintanya bertepuk tangan sebelah. Ia tidak dapat menyalahkan Lindu Aji. Ia menguatkan hatinya dan berkata lirih dan parau. "Apakah .. apakah... gadis itu... Sulastri...?"
Aji mengerutkan alisnya. Tidak perlu dia memperpanjang pembicaraan mengenai itu. "Sudahlah, tidak perlu kita membicarakan orang lain. Yang jelas aku hendak menanamkan keyakinan dalam hatimu bahwa kita tidak dapat berjodoh, Neneng. Kalau engkau suka, biarlah aku kau anggap sebagai seorang kakakmu yang selalu siap untuk melindungimu. Engkau adalah seorang adik bagiku, Neneng, dan aku sayang kamu sebagai seorang kakak menyayang adiknya."
Neneng Salmah menjerit kecil dan bangkit menubruk Aji. Pemuda itu merangkulnya dan neneng menangis di dada Aji, terisak-isak. Air matanya membasahi baju pemuda itu yang menembus ke kulit dadanya. Aji membiarkannya menangis karena itulah yang terbaik untuk pelampiasan perasaannya. Setelah tangisnya mereda, Neneng Salmah melepaskan diri dan melangkah mundur, memandang kepada pemuda itu dengan matanya yang menjadi sembab oleh tangis, lalu terdengar ucapannya bernada haru.
"Terima kasih, Akang Lindu Aji. Biarlah aku menyebutmu akang. Aku sungguh merasa terhormat dan berbahagia sekali bahwa engkau suka menganggap aku sebagai adik angkat."
Aji tersenyum. Bijaksana gadis ini, membuktikan bahwa cinta kasih dalam hati gadis ini terhadap dirinya amat murni, bukan sekedar cinta kasih berahi. "Akupun merasa terhormat dan bahagia mempunyai seorang adik seperti engkau, neneng. Semoga hidupmu kelak berbahagia, adikku!" Aji mengusap rambut kepala neneng. "Sekarang biarlah aku berpamit dari yang lain.
Pada saat itu muncul Sulastri dari dalam rumah. Neneng Salmah cepat menyongsongnya dan melihat Neneng tersenyum gembira walaupun kedua matanya sembab, Sulastri cepat berbisik, "Bagaimana, Neng?"
Neneng Salmah sudah tahu apa yang dimaksudkan Sulastri. "Sudah beres, Lastri. Akang Lindu Aji sekarang menjadi kakak angkatku dan aku berbahagia sekali!"
Setelah berkata demikain, Neneng setengah berlari meninggalkan gadis itu yang berdiri tertegun. Ia melihat Aji melangkah datang. Agaknya pemuda itu hendak kembali ke dalam rumah. "Mas Aji...!" Lastri memanggil.
Aji berhenti melangkah dan memutar tubuh menghadapi Sulastri. Sepasang alisnya berkerut dan dengan semua kekuatan batinnya dia menahan gejolak hatinya. "Mas Aji benarkah engkau hendak pergi? Bagaimana dengan Neneng?"
"Bagaimana dengan dia? Mengapa? Ia kini menjadi adik angkatku, Lastri, dan kami berbahagia sekali. Aku memang hendak pulang ke tempat tinggal ibuku dan aku berpamit padamu."
"Akan tetapi, Mas Aji... engkau benar hendak pergi meninggalkan aku...?"
"Ya, Lastri. Aku akan pulang ke dusunku."
"Akan tetapi... bagaimana dengan aku... Aku akan merasa kesepian dan kehilangan."
"Lastri, di sana ada Kakangmas Jatmika menunggumu. Dia adalah seorang ksatria yang hebat, seorang laki-laki jantan berjiwa pahlawan yang patut dihormati dan dia mencintaimu. Semoga engkau hidup berbahagia bersamanya, Lastri." Setelah berkata demikian, bergegas Lindu Aji meninggalkannya menuju kembali ke rumah.
"Mas Aji...!" Sulastri berseru lirih, akan tetapi pemuda itu sudah memasuki rumah untuk berpamit kepada Ki Subali dan yang lain-lain. Setelah tiba di ruangan di mana semua orang berkumpul dan di situ sudah duduk pula neneng salmah yang kedua matanya masih sembab namun wajahnya tampak cerah, Aji memandang kepada Jatmika.
"Kakangmas Jatmika, andika ditunggu Sulastri di kebun." Mendengar ini, Jatmika mengangguk dan pemuda ini lalu bergegas pergi ke kebun. Lindu Aji tidak ingin tinggal lebih lama di situ yang membuat hatinya semakin lama semakin resah. Maka dia menggunakan kesempatan selagi Sulastri belum kembali, dia berpamit kepada Ki Subali dan Nyi Subali, Ki Salmun, dan Neneng Salmah.
Sementara itu, Jatmika berpapasan dengan Sulastri yang melangkah perlahan menuju ke rumah. Ia mencinta Aji, akan tetapi ia mau mengalah kepada Neneng Salmah, rela memberi kesempatan kepada Neneng Salmah agar menjadi isteri Aji. Akan tetapi kenyataannya, Neneng Salmah kini menjadi adik angkat Aji. Dan Aji agaknya tidak membalas cintanya, malah mengingatkan ia bahwa Jatmika amat mencintanya dan Aji mengharapkan agar ia menjadi isteri Jatmika!
Padahal ia dapat merasakan dalam hatinya ketika mata yang sayu dari Aji itu memandangnya, ketika Aji berkata-kata dengan suara menggetar penuh kedukaan, bahwa Aji menderita batin. Ia pun dapat merasakan bahwa Neneng diakui sebagai adik angkat Aji, namun di lubuk hatinya Neneng juga merasa kecewa karena gadis itu mencinta Aji sebagai seorang wanita mencinta seorang pria.
Ketika berpapasan dengan Sulastri yang wajahnya tampak pucat, Jatmika cepat memanggil. "Nimas Sulastri...!"
Sulastri berhenti dan memandang pemuda itu. "Kakang Jatmika, engkau hendak ke manakah?"
"Aku sengaja menemuimu, Lastri. Sebetulnya, aku hendak mempergunakan kesempatan ini untuk... meminangmu kepada ayah ibumu. Akan tetapi aku ingin mendengar dulu pendapat dan persetujuanmu." Sulastri mengerutkan alisnya dan ia menghela napas panjang beberapa kali, menatap wajah pemuda itu, lalu menundukkan mukanya dan menggeleng kepala perlahan.
Jatmika khawatir sekali melihat sikap gadis itu. "Akan tetapi, nimas, aku cinta padamu. Engkau tahu benar bahwa aku amat mencintamu."
Sulastri mengangkat muka dan memandang pemuda itu dengan sinar mata layu. "Aku tahu, kakang. Aku amat suka dan kagum kepadamu. Akan tetapi tentang cinta... lama sebelum aku berkenalan denganmu, aku telah jatuh cinta kepada seorang pria dan aku tidak dapat memindahkan cintaku."
Wajah Jatmika menjadi pucat. "ahh... dia... Dimas Aji?"
"Tidak perlu kita bicara tentang itu, kakang. Pendeknya, aku suka kepadamu akan tetapi aku tidak mencintamu seperti cintamu kepadaku." Sulastri ingat akan keadaan Neneng Salmah dan disambungnya cepat. "Kita tidak mungkin berjodoh sebagai suami isteri, kakang, akan tetapi aku, akan merasa bersyukur sekali kalau kita yang sebetulnya sudah menjadi saudara seperguruan ini lebih memperkuat tali pesaudaraan antara kita. Aku ingin kau anggap sebagai adikmu sendiri, kakang. Maukah engkau menjadi kakakku, kakak angkat seperti seorang kakak kandungku?"
Jatmika merasa tubuhnya lemas seolah semua otot bayunya dilolos dari tubuhnya. Dengan suara gemetar dan muka pucat dia berkata. "Duh Gusti... ah... maafkan kelemahanku, Lastri. Tak pernah kusangka begini nyeri rasanya orang putus cinta...! Baiklah, Lastri, adikku, aku rela... semoga engkau akan hidup bahagia dengan pilihan hatimu. Selamat tinggal, Lastri...!" Jatmika lalu melompat pergi dari situ tanpa pamit kepada yang lain. Setelah menghadapi kenyataan bahwa Sulastri tidak membalas cintanya, dia merasa pening dan khawatir kalau dia berpamit dari yang lain, dia akan tidak dapat menahan kedukaan hatinya.
Sulastri berdiri diam sejenak memandang ke arah perginya Jatmika, lalu menghela napas panjang. "Aduh kasihan sekali, Kakang Jatmika..." Ia terisak sebentar lalu menyusut air matanya dan kembali ke dalam rumah.
Tidak ada yang kekal di dunia ini. Kesenangan yang bagaimanapun, atau kesusahan yang bagaimanapun, hanya semu dan sementara saja! Susah senang merupakan keseimbangan yang tak terpisahkan, silih berganti mengisi kehidupan manusia di dunia. Kalau si AKU masih bercokol, si NAFSU masuk berulah, maka selama itu pula kita akan terombang-ambing diantara SUKA dan DUKA.
KEBAHAGIAN ABADI hanya ada apabila manusia kembali kepada SUMBERNYA, kepada penciptanya, kepada Gusti ALLAH Yang Maha Kasih, Yang Maha Sempurna. Menyerahkan diri sebulatnya, secara total kepada kekuasaanNya, di samping mengerjakan seluruh anggota tubuh sesuai dengan kehendakNya dalam bentuk IKHTIAR mencukupi kebutuhan hidup secara HALAL dan SEHAT.
Kalau sudah begitu, kita akan mampu MENERIMA segala apapun yang terjadi kepada diri kita, baik dipandang mata jasmani sebagai kesenangan ataupun kesusahan, manis atau pahit, dengan hati penuh rasa syukur kepada Gusti Allah, waspada bahwa semua itu sudah sesuai dengan rencana dan kehendakNya dan apapun yang terjadi merupakan berkahNya sehingga kita patut bersyukur. Dalam sakit atau sehat, rugi atau untung, susah atau senang, kita akan waspada dan dapat melihat bahwa semua itu membuktikan adanya Kekuasaan dan Keadilan Gusti Allah
Sampai sekian saja kisah ini, semoga ada manfaatnya bagi para pembaca. Kalau pembaca ingin mengetahui bagaimana nasib selanjutnya dari Lindu Aji, Sulastri, Jatmika, Neneng Salmah, Parmadi, Muryani, Sutejo, Retno Susilo dan tokoh lawan mereka yang berhasil lolos seperti Nyi Maya Dewi dan yang lain-lain, silahkan baca kisah BAGUS SAJIWO yang merupakan lanjutan kisah Alap-alap Laut Kidul ini. Sampai jumpa di lain cerita.
"Heh-heh, sudah kubilang aku tidak tahu dan engkau tidak mungkin dapat menyiksaku." kata Kyai Sidhi Kawasa sambil menggerakkan tangan kanannya ke arah ubun-ubun kepalanya.
Sutejo hendak mencegahnya namun terlambat karena tadinya dia tidak mengira Kyai Sidhi kawasa akan senekat itu. Tubuh itu terkulai roboh dan tewas seketika karena ubun-ubun kepalanya dia pukul sendiri!
"Jahanam keparat! Hayo katakan di mana anakku! Hayo katakan!" Retno Susilo berteriak-teriak sambil menendangi tubuh kakek itu.
Sutejo menangkap dan menariknya. "Cukup, diajeng. Dia sudah mati."
"Tapi... tapi anak kita..."
"Aku kira dia tidak berbohong. Anak kita itu dibawa pergi oleh Wiku Menak Koncar."
"Akan tetapi datuk Blambangan itu kini sudah mati terbunuh oleh Gusti Puteri Wandansari."
"Benar, akan tetapi kita dapat melakukan penyelidikan di tempat Wiku Menak Koncar tinggal. Dia adalah datuk Blambangan. Kukira tentu Bagus Sajiwo dia bawa ke Blambangan dan kita akan mencarinya di sana."
"Tetapi... bagaimana kalau... kalau... anak kita itu... dibunuhnya...?" mata yang jeli itu tiba-tiba saja menjadi basah.
"Kurasa tidak, diajeng. Kalau memang Wiku Menak Koncar ingin membunuh anak kita, untuk apa dia susah-susah menculiknya dan membawanya pergi? Tidak, Wiku Menak Koncar pasti tidak membunuhnya, hanya membawanya pergi untuk menyiksa hati kita. Kalau perang ini sudah selesai, kita akan mencari anak kita ke Blambangan."
Suami isteri itu lalu melampiaskan kemarahan hati mereka dengan mengamuk sehingga para serdadu Belanda menjadi kocar-kacir. Akhirnya sisa para serdadu Belanda itu melarikan diri dan memasuki benteng mereka kembali. Seperti juga keadaan di pasukan yang mengepung di barat dan timur, pasukan dari selatan juga mengadakan serangan gerilya dan terjadi pertempuran hebat. Parmadi dan Muryani ikut bertempur dan mereka berdua ini yang menandingi para antek Kumpeni yang memiliki kesaktian sehingga semangat pasukan Mataram menjadi semakin tinggi.
Pada suatu malam yang gelap, Lindu Aji bercakap-cakap dengan Jatmika dan Sulastri di luar perkemahan. "Mas Aji, jangan lanjutkan niatmu ini!" kata Sulastri dengan suara mengandung penuh permohonan dan ia memegang lengan Aji.
"Jangan halangi aku, Lastri. Mungkin usahaku ini akan dapat membantu pasukan Mataram mengalahkan Kumpeni." jawab Aji tenang dan dengan lembut dia melepaskan lengannya dari pegangan gadis itu karena dia merasa tidak enak kepada Jatmika.
"Dimas Lindu Aji, ucapan Nimas Sulastri itu benar. Batalkan niatmu menyelinap ke dalam benteng itu. Amat berbahaya, dimas. Kalau ketahuan, mana mungkin andika melawan banyak serdadu yang bersenjata lengakap dengan bedil dan pistol itu?"
"Aku akan berhati-hati, Kakangmas Jatmika. Kalau aku berhasil membunuhi para perwira Kumpeni, hal itu tentu akan mengacaukan dan melemahkan pasukan mereka. Andaikata aku tertangkap, yah, mati hidup berada di tangan Gusti Allah dan aku akan merasa bangga dapat menyumbangkan nyawaku demi Negara dan bangsa."
"Sudah bulatkah tekadmu itu, Mas Aji?" tanya Sulastri.
Aji mengangguk. "Sudah, Lastri, doakan saja aku berhasil."
"Kalau begitu, aku ikut! Aku ingin membantumu seperti dulu ketika kita ditawan para antek Kumpeni di kapal!" kata Lastri penuh semangat.
Aji sambil lalu melirik ke arah Jatmika dan melihat betapa wajah itu berubah agak pucat, penuh keraguan dan ada kedukaan menyelubunginya. "Tidak, Lastri. Aku harus bergerak sendiri. kalian berdua berjaga saja di sini karena setiap saat Kumpeni dapat menyerang. kalian berdua harus membantu pasukan Mataram dalam pertempuran. Nah, aku pergi sekarang!"
Tanpa menanti jawaban lagi Aji lalu melompat dan menghilang dalam kegelapan malam. Sebelumnya Aji memang sudah merencanakan penyusupan ke dalam benteng itu. Di sudah membuat perhitungan dan tahu bahwa pasukan Kumpeni melakukan penjagaan ketat di bagian timur, selatan dan barat di mana pasukan mataram mengepung benteng mereka. Bagian yang paling aman dan tidak terdapat penjagan ketat hanya di utara karena kapal-kapal perang belanda yang berjaga di laut utara sehingga tidak mungkin menyerang benteng dari pantai utara.
Aji menggunakan kesempatan ini. Kalau hanya seorang yang menyusup dari utara, tentu tidak akan dapat terlihat, apalagi malam itu gelap sekali. Sebentar saja Aji sudah di dekat tembok benteng. Dia melihat ada tiga orang serdadu Belanda hilir mudik di atas benteng, menyandang bedil. Pintu belakang benteng yang terbuat dari besi itu tertutup rapat. Aji mengukur dengan matanya. Dengan Aji Bayu Sakti, dia yakin akan dapat melompat ke atas tembok benteng itu. Akan tetapi kalau melakukan hal itu, besar bahayanya dia akan ketahuan penjaga di atas dan tentu mereka itu akan membunyikan tanda bahaya sehingga usahanya akan gagal setengah jalan.
Dia menglur tali panjang yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ujung tali itu dia buatkan simpul dan setelah melihat serdadu yang hilir mudik itu tidak pernah mendekati bagian sudut tembok itu dan hanya jarang sekali berjalan sampai ke sudut, dia lalu melontarkan tali bersimpul itu ke arah besi pagar yang tampak remang-remang dari bawah tersorot sinar lampu yang tergantung di bagian tengah. Bidikannya tepat dan tenaga yang dia kerahkan untuk melontarkan tali itu amat kuat. Tali meluncur ke atas dan tepat mengait pada ujung besi pagar tanpa mengeluarkan suara.
Aji menanti sebentar, merasa lega bahwa lemparan talinya itu tidak menimbulkan reaksi di atas, pertanda bahwa hal itu tidak dilihat orang lain. Dia menanti sampai para penjaga itu berjalan ke arah sudut yang berlawanan, lalu dia merayap naik melalui tali itu. Cepat sekali dia sudah tiba di atas, melompati pagar dan melepaskan tali sehingga jatuh ke bawah. Untuk turun dari tembok benteng, dia tidak akan membutuhkan tali. Ketika seorang serdadu berjalan ke arah sudut di mana dia berada.
Aji cepat mendekam di balik belokan dinding. Dia tidak ingin merobohkan para serdadu yang berjaga di atas benteng ini karena kalau hal itu dilakukan dan kemudian diketahui penjaga lain yang baru datang, maka kehadirannya tentu akan diketahui dan ini berarti usahanya gagal. Dia menyelinap dan setelah serdadu itu membalikkan tubuh, dia lalu bergerak cepat melewati pintu tembusan yang membawanya ke bawah tembok benteng bagian dalam. Semua pemusatan pergantian para pasukan serdadu tertuju untuk menjaga tembok benteng bagian timur, selatan dan barat.
Masih terdengar sesekali dentuman meriam yang ditembakkan ke arah kubu pertahanan pasukan Mataram. Akan tetapi tidak ada tembakan senapan terdengar karena jaraknya terlampau jauh. Para serdadu itu hanya menanti komando, yaitu bertahan kalau diserang atau melakukan penyergapan keluar benteng. Akan tetapi, agaknya malam itu tidak ada komando untuk menyerbu keluar karena malam itu memang gelap gulita sehingga akan sukar melawan pasukan Mataram yang mempergunakan taktik perang gerilya.
Aji pernah memasuki benteng ini ketika dia menolong Karen Van De Vos dari tangan penculik dan mengantar gadis peranakan Belanda itu memasuki benteng sehingga dia dapat melakukan pembakaran gudang ransum Kumpeni. Dari gadis itu diapun telah mengetahui di mana adanya bangunan yang menjadi tempat tinggal Jenderal Jan Pieters Zoon Coen, orang nomor satu dalam Kumpeni Belanda. Ke bangunan itulah dia menuju dengan menyelinap dari pohon dan dari bangunan.
Dengan menggunakan Aji Bayu Sakti, tubuhnya berkelebat amat cepatnya sehingga tidak diketahui orang, apalagi hanya beberapa orang serdadu saja yang berlalu lalang dalam perbentengan tengah itu karena sebagian pasukan berjaga-jaga di pintu gerbang, sebagian lagi tidur mengaso karena mereka harus bergilir melakukan penjagaan. Dengan penuh keberanian, Aji menghampiri bangunan itu. Hatinya sudah bertekad bulat untuk membunuh para pimpinan tertinggi Kumpeni. Dia memang sudah nekat dan hal ini timbul dari keresahan hatinya memikirkan persoalan cintanya yang menjadi cinta segi empat antara dia, Sulastri, Neneng Salmah, dan Jatmika.
Kalau dia berhasil dalam tugasnya ini, berarti dia telah dapat membantu Mataram untuk memenangkan perang terhadap Belanda. Kalau dia gagal dan terbunuh, maka matinya bahkan akan menghilangkan kegelapan dalam urusan cinta kasih yang ruwet itu. Sulastri akan dapat menikah dengan Jatmika dan Neneng Salmah tidak dapat mengharapkan dia untuk menerima cintanya sehingga gadis waranggana yang baik itu dapat berjodoh dengan laki-laki lain. Dengan demikian baik berhasil maupun tidak, usahanya itu ada manfaatnya bagi orang lain.
Kalau untuk itu dia harus berkorban nyawa, maka hal itu sudah menjadi kehendak Gusti Allah dan tiada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mengubahnya! Untung bagi Aji, bangunan yang cukup besar itu yidak terjaga oleh serdadu. Mungkin karena bangunan itu dirasakan aman karena berada ditengah benteng, maka tidak terjaga. Dengan mudah Aji dapat menyelinap ke tengah dimana terdapat penerangan yang cukup. Dia mengintai dan jantungnya berdebar tegang. betapa tidak. apa yang dicari-carinya berkumpul disitu semua!
Kiranya para perwira tinggi Kumpeni sedang mengadakan rapay di sebuah ruangan yang diterangi empat buah lampu gantung yang besar. Dai pakaian mereka, Aji dapat menduga bahwa laki-laki Belanda setengah tua yang berjenggot meuncing dan duduk di kepala meja itu tentulah yang harus dijadikan sasaran utama untuk dibunuhnya. aji sama sekali tidak mengira bahwa dugaannya itu memang tepat sekali karena laki-laki Belanda itu bukan lain adalah Jan Pieters Zoon Coen sendiri yang memimpin rapat, merundingkan tentang pertempuran melawan pasukan Mataram yang telah berlangsung beberapa hari lamanya.
Aji membuat perhitungan dengan teliti. Kalau dia menyerang, tentu hanya dapat merobohkan dua tiga orang saja dan para perwira yang lain tentu serentak akan menyerangnya dengan pistol mereka. Terdapat bahaya bahwa di antara mereka ada yang mempergunakan peluru emas dan sukar baginya untuk mengelak karena ruangan itu demikian terang dan perwira itu cukup banyak jumlahnya, ada belasan orang. Dia harus melakukan serangan mendadak sebelum ada yang menduga, mengejutkan mereka dan sekaligus memadamkan empat buah lampu gantung besar agar ruangan menjadi gelap gulita.
Akan tetapi tentu akan terjadi kegaduhan yang memancing datangnya para serdadu. Mungkin dia dapat melarikan diri karena ruangan itu menjadi gelap gulita. Memang resikonya besar sekali, akan tetapi apa boleh buat, tidak ada jalan lain. Setelah memperhitungkan dengan cermat, Lindu Aji berdiam diri memanjatkan doa kepada Gusti Allah sebagai pengakuan bahwa apa yang dilakukan itu adalah tugas perjuangan membela Mataram, bukan karena dendam kebencian kepada orang-orang Belanda dalam ruangan itu yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia mengintai lagi.
Para opsir Belanda yang sedang mengadakan rapat itu agaknya serius sekali, bicara keras-keras dalam bahasa mereka. Aji memperhatikannya dengan teliti dan cermat. Dia harus membunuh laki-laki Belanda yang pakaiannya paling mentereng diantara mereka semua itu dan kebetulan sekali laki-laki berjenggot runcing itu duduk menghadap ke arah jendela di mana dia mengintai. Dia harus melompat dan menerjang ke atas meja besar itu, membunuh panglima itu, kemudian dari meja dia akan berlompatan ke arah empat buah lampu gantung dan memukul hancur untuk memadamkan penerangan itu.
Dalam kegelapan itu dia akan mampu merobohkan banyak perwira kemudian melarikan diri. Mereka tentu tidak berani menembakkan pistol mereka dalam kegelapan itu, takut mengenai teman sendiri. Kemudian dia memperhitungkan arah larinya. Untuk dapat mencapai tembok benteng terdekat, dia harus lari ke arah beberapa bangunan terdekat dan melalui bangunan-bangunan itu dia menyelinap lari sambil bersembunyi sampai tiba di tembok benteng, naik dan melompat ke luar.
Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya, mencabut keris pusaka Nagawelang, kemudian bangkit berdiri dan setelah memperhatikan dengan seksama, diapun melompat ke dalam melalui jendela yang terbuka. Begitu dia tiba di dalam tanpa mengeluarkan suara, dia lalu mempergunakan Aji Bayu Sakti, tubuhnya melayang ke atas meja di depan panglima Kumpeni itu dan kerisnya menghunjam ke arah panglima itu. Akan tetapi, di antara para opsir yang berteriak kaget itu, seorang pengawal pribadi panglima itu yang tadinya duduk di belakang sang panglima, sudah melompat pula ke atas meja menghadang serangan Aji.
"Wuuuutttt... capppp...!!" Tak dapat dihindarkan lagi, keris pusaka Kyai Nagawelang itu menancap ke dalam dada pengawal pribadi itu. Opsir Belanda yang masih muda itu terjengkang dari atas meja dan menimpa si panglima sehingga Aji tidak melihat kesempatan lagi untuk menyerang panglima itu. Selagi para opsir masih tercengang, dia sudah melompat ke atas, keris dan tangan kirinya bergerak dua kali. Terdengar ledakan dua kali dan dua buah lampu gantung itu pecah dan padam. Dia melompat lagi dan kembali terdengar ledakan dua kali ketika dua buah lampu yang lain pecah dan padam. Ruangan itu menjadi gelap gulita seperti yang telah diperhitungkan!
Aji lalu bergerak ke arah pintu. Tiap kali bertabrakan dengan orang, dia lalu menampar atau kerisnya menusuk. Ketika akhirnya dia tiba di pintu, dia telah merobohkan lima orang lagi dan dia lalu melompat keluar. Para opsir yang kini menyadari bahwa ada musuh memasuki benteng, berteriak-teiak dan menghambur keluar tanpa berani melepaskan tembakan dari pistol yang sudah berada dalam tangan mereka karena khawatir salah sasaran. Akan tetapi ketika tiba di luar bangunan itu mereka tidak melihat bayangan orang yang tadi mengamuk dalam ruangan.
Aji sudah berlari menuju ke tiga buah bangunan yang berada di samping. Dia dapat melewati bangunan pertama dan kedua dengan selamat, akan tetapi ketika tiba dibangunan ke tiga yang paling dekat dengan tembok benteng, tiba-tiba muncul tiga orang serdadu. Tiga orang serdadu itu membentak dan mengejarnya. Karena khawatir kalau suara tiga orang itu akan memancing datangnya banyak serdadu, Aji cepat menerjang dan mendahului mereka, menyerang dengan tamparan tangan kiri dan tusukan keris pusaka di tangan kanannya. Dua orang roboh seketika dan orang ke tiga sempat menembakkan senapannya.
"Darrrr... !!" Peluru itu merobek baju Aji, akan tetapi ketika mengenai kulit dadanya, peluru itu meleset seolah mengenai kulit dari baja yang amat keras. Sebelum di sempat menembak lagi, Aji sudah menyerangnya dengan tamparan tangan kirinya. serdadu itu roboh dan tak dapat bangkit lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan dua kali. "Dar-dar...!"
Aji cepat memutar tubuhnya dan melihat dua orang serdadu yang berada di belakangnya dalam jarak empat meter, roboh disambar peluru pistol yang tadi ditembakkan. Dan penembaknya muncul. Kau...?" katanya dengan kagum karena ternyata di sana berdiri Karen Van De Vos dengan sebuah pistol yang masih berasap di tangannya.
"Cepat... lucuti pakaiannya dan pakai!" perintah Karen Van De Vos. Aji mengerti maksudnya. Dia menghampiri serdadu yang dia robohkan dengan tamparan di kepala, melucuti celana dan bajunya lalu memakaianya. Pakaian itu tentu saja terlalu besar baginya, akan tetapi karena menutupi pakaiannya sendiri, maka dia kini berubah menjadi seorang serdadu Kumpeni, walaupun rambut kepalanya hitam dan kakinya tidak bersepatu. Namun dalam keremangan cuaca, takkan ada yang melihat pebedaan ini.
"Sekarang larilah, lewat sini...!" Karen berkata lagi.
Aji merasa terharu dan cepat dia merangkul dan mencium bibir gadis Belanda Indo yang batinnya ternyata berpihak kepada bangsa ibunya itu. "Terima kasih, Karen..." bisiknya sambil melepaskan rangkulannya.
"Aku cinta padamu, Lindu Aji..." kata pula Karen.
Aji melompat dan lari ke arah tembok benteng yang tidak jauh lagi dari situ. Terdengar tembakan gencar, Itu adalah tembakan para opsir yang sudah mengejar sampai ke situ. Dengan nekat Karen lalu melepaskan tembakan gencar dengan pistolnya. Melihat ada tembakan menyambut mereka, para opsir terkejut dan mengira bahwa musuh yang berhasil menyusup ke dalam benteng itu memiliki senjata api. Mereka berlindung dan karenanya pengejaran terhadap Aji terhalang. Mereka membalas dengan tembakan mereka ke arah dari mana datangnya tembakan pistol itu dan melihat sesosok bayangan roboh dan tembakan yang menyambut mereka itu berhenti.
Beberapa orang maju dengan hati-hati dan alangkah terkejut hati mereka ketika menemukan jenazah Karen Van De Vos yang menggeletak dengan sebatang pistol masih tergenggam erat di tangan kanannya! Karen tewas oleh peluru pistol para perwira yang melakukan pengejaran kepada Aji. Sementara itu, dengan berpakaian seragam serdadu, Aji dapat lari ke tempat benteng tanpa dicurigai. Dalam kegelapan yang hanya disinari lampu yang temaram itu para serdadu lain yang berjalan ke arah tembok lalu naik ke atas benteng.
Setelah Aji melompat dari atas tembok benteng ke luar, barulah mereka tahu bahwa orang yang disangkanya seorang rekan itu adalah seorang musuh. Apalagi ketika para perwira berlari-lari sambil berteriak-teriak. Mereka lalu menghujankan tembakan ke luar benteng. Akan tetapi karena cuaca di luar benteng amat gelapnya dan bayangan musuh itu tidak tampak sama sekali, tembakan mereka ngawur saja. Aji sudah berlari menjauhi tembok benteng dan menanggalkan pakaian serdadu yang dipakainya. Dia lalu kembali ke kubu pasukan Mataram.
Jatmika dan terutama Sulastri merasa girang bukan main menyambut kembalinya Aji. Kyai Adipati Purbaya juga merasa kagum mendengar Aji menceritakan pengalamannya yang telah berhasil membunuh beberapa perwira pasukan serdadu Kumpeni Belanda. Serangan Lindu Aji yang tampaknya hanya menghasilkan tewasnya beberapa orang perwira Kumpeni itu sesungguhnya lebih dari itu. Buktinya, beberapa hari kemudian Jan Pieters Zoon Coen meninggal dunia. Sangat boleh jadi jenderal besar pemimpin pasukan Kumpeni ini meninggal disebabkan kekagetan hebat ketika dia nyaris menjadi korban serangan aji.
Pada saat itu memang kesehatannya agak terganggu. serangan mendadak Alap-alap Laut Kidul yang mengakibatkan pengawalnya tewas dan roboh menimpanya itu amat mengejutkan dan mengerikan hatinya. Mungkin saja dia meninggal karena kaget dan mempengaruhi jantungnya dan lemah. Akan tetapi pihak Kumpeni Belanda mengabarkan bahwa Jan Pieters Zoon Coen meninggal dunia karena penyakit kolera!
Pertempuran itu berlangsung dengan seru. Hampir setiap hari pasukan Mataram mencoba untuk membobolkan benteng-benteng pertahanan Kumpeni Belanda. Beberapa kali pasukan yang bersemangat dan berani itu menyerbu dan berusaha untuk memasuki benteng. Akan tetapi persenjataan Belanda jauh lebih baik dan lebih lengkap. Dalam penyerbuan ini banyak pendekar yang gugur secara menyedihkan. Beberapa orang pahlawan yang gagah perkasa berhasil memasuki benteng, mengamuk dan membunuh banyak serdadu akan tetapi dia sendiri terjebak dan tidak dapat keluar.
Setelah peluru mengenai tubuhnya, di antaranya peluru emas atau perak, baru dia roboh dan tewas. Sampai sebulan lamanya pasukan Mataram mengepung benteng Kumpeni Belanda. Akan tetapi akhirnya musuh lain yang lebih kuat daripada pasukan Kumpeni menyerang mereka. Musuh-musuh baru ini adalah penyakit kolera dan malaria, dan juga kelaparan karena kurangnya ransum. Penyerangan dan pemusnahan yang dilakukan Belanda sebelumnya, yang membakar banyak persediaan ransum, kini memperlihatkan hasilnya. Pasukan Mataram kekurangan makanan. Hal ini ditambah dengan amukan penyakit menular itu.
Mulailah pasukan Mataram menjadi lemah. Sebetulnya pasukan serdadu Belanda sendiri sudah merasa panik dan ketakutan melihat pengepungan dan penyerangan yang gigih dan penuh semangat itu. Akan tetapi para penyelidik mereka akhirnya mengetahui keadaan pasukan Mataram yang kekurangan makanan dan yang terserang penyakit kolera dan malaria. Melihat keadaan ini, Kumpeni Belanda mengadakan penyerangan besar-besaran, mengerahkan segala kekuatan. Bahkan ada beberapa buah meriam yang menembakkan tinja dan kotoran lain ke arah kubu Mataram!
Penyerangan itu merupakan pukulan hebat bagi Mataram. Terpaksa mereka mundur dan setelah berunding dengan Adipati Puger dan Adipati Purbaya, Kyai Adipati Jumina lalu terpaksa menarik mundur pasukannya. Mereka menghentikan pengepungan dan penyerangan, lalu melakukan perjalanan ke timur, kembali ke Mataram. Penyerangan terhadap Kumpeni Belanda yang kedua kalinya inipun gagal. Para panglima dan senopati tentu saja merasa takut kepada Sultan Agung atas kegagalan penyerangan yang kedua ini. Mereka khawatir kalau-kalau mereka akan dihukum berat seperti yang terjadi ketika penyerangan pertama gagal.
Mereka semua minta pertimbangan dan nasihat Tumenggung Singoranu yang bukan saja menjadi kepercayaan yang dekat dengan Sultan Agung, melainkan lebih dari itu, Tumenggung Singaranu juga merupakan ayah mertua Sultan Agung karena puterinya menjadi selir raja itu. setelah mengadakan perundingan Tumenggung Singaranu membawa sisa pasukannya yang terdiri dari orang-orang yang tinggal di tanah perdikan miliknya sendiri, berangkat pulang lebih dulu. Tumenggung Singaranu tidak langsung pergi menghadap Sultan Agung, melainkan membawa pasukannya ke tanah perdikannya.
Setibanya di rumah, dia lalu mengumpulkan isteri, selir-selir dan ank-anaknya untuk pergi menghadap Sultan Agung dan mintakan ampun atas kegagalannya dalam penyerbuan ke Batavia. Selain mengirim semua anggota keluarga untuk menghadap dan memohon pengampunan kepada Sultan Agung, diapun mengirim semua senjata pusakanya ke istana sebagai tanda bahwa dia menakluk dan tidak berniat melawan atau menentang sang raja. Selain ini, juga puterinya yang menjadi selir Sultan Agung mintakan ampun untuk ayahnya.
Sultan Agung memang merasa kecewa dan marah sekali mendengar akan kegagalan pasukan Mataram dalam penyerangan yang kedua kalinya terhadap Kumpeni Belanda itu. Akan tetapi ketika selirnya mintakan ampun untuk Tumenggung Sinaranu, ditambah keluarga tumenggung yang sudah diangkat menjadi patih itu datang menghadap dan minta ampun dengan ratap tangis, melihat betapa semua pusaka sang tumenggung diserahkan kepadanya, menjadi terharu dan kemarahannya mencair. Dia mengampuni Tumenggung Singaranu, bahkan juga mengampuni para senopati lainnya.
Berbeda dengan akibat kekalahan pada penyerangan pertama, penyerangan kedua ini tidak mengakibatkan hukuman berat bagi para senopati yang gagal. Para penasihat dan senopati membujuk Sultan agung agar menghentikan usahanya menyerang Batavia karena selain hal itu mendatangkan kerugian besar kepada Mataram, juga mereka mengatakan bahwa Belanda hanya ingin berdagang di Nusantara. Hati Sultan Agung menjadi agak lunak terhadap Belanda dan selalu waspada menghadapi ulah dan sepak terjang Kumpeni.
Hal ini terdengar oleh Kumpeni Belanda dan para pemimpin mereka menjadi girang dan gembira. Mereka bersikap bersahabat, bahkan mengirimkan banyak hadiah ke Mataram untuk menundukkan hati Sang Prabu. Pemerintah Belanda memang pandai sekali. Kekeuatan angkatan perang mereka memang tidak berapa hebat, akan tetapi politik mereka amat licin bagaikan belut. Mereka pandai mengambil hati, pandai membawa diri sehingga banyak kadipaten yang dengan mudah jatuh ke dalam pengaruh bujukan mereka.
Dengan cara halus dan tidak kentara mereka melebarkan sayap dan cengkeraman ke atas tanah Nusantara dengan dalih berdagang dan mensejahterakan rakyat yang masih terbelakang. Dengan sikap yang manis Belanda mempengaruhi rakyat sehingga rakyat menganggap mereka sebagai "tuan penolong" yang murah hati, yang membeli hasil bumi dan rempah-rempah dengan harga "tinggi". Para pemimpin bangsa Belanda mempergunakan segala cara untuk mencapai keinginan mereka, yaitu menguasai kepulauan Nusantara yang gemah ripah loh jinawi, dengan tanahnya yang kaya raya, bagaikan sorga dengan neraka kalau dibandingkan dengan tanah negara mereka sendiri.
Gusti Allah demikian mengasihi manusia sehingga berkahnya berlimpah-limpah. Demikian besar kasihNya sehingga manusia diciptakan hidup didunia dengan perlengkapan badan yang sempurna dan disertai pula hati akal pikiran sebagai alat yang paling canggih. Bukan hanya itu semua, namun disertai pula nafsu sebagai bahan bakarnya agar manusia dapat mempergunakan semua alat tubuhnya untuk dapat menikmati kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya nafsu, maka kehidupan akan menjadi hampa dan semua perlengkapan tubuh tidak dapat bekerja dengan sempurna.
Namun, iblis yang selalu mengintai dan sudah sejak semula bersumpah untuk menggoda manusia dan menyeret manusia ke dalam perbuatan dosa, justeru memanfaatkan kenikmatan hidup di dunia dengan membonceng pada nafsu manusia sendiri. Dengan demikian, maka keadaannya menjadi terbalik. Kalau semula manusia dengan jiwanya yang bersih menguasai nafsunya sendiri, menjadi nafsu yang menguasai manusia dan akibatnya, manusia selalu mengejar-ngejar kenikmatan dan kesenangan dunia, menjadi budak dari nafsunya sendiri.
Inginnya hanya enak-enak dan yang menyenangkan untuk diri sendiri sehingga untuk mendapatkan yang diinginkan dan dikejarnya itu, manusia menjadi lupa diri dan mempergunakan segala cara. Segala perbuatan jahat di dunia ini bersumber kepada nafsu ingin menyenangkan diri sendiri itulah. Kebanyakan manusia menyadari akan kuatnya nafsu menguasai dirinya. Ada yang berusaha untuk menundukkan dan mengalahkan nafsunya sendiri. Namun kebanyakan usaha manusia itu tidak berhasil. Mengapa demikian?
Karena yang berusaha mengalahkan nafsu adalah hati akal pikiran padahal di dalam hati akal pikiran itulah sang nafsu bersarang. Di situlah iblis berkuasa. Semua usaha dari pikiran untuk mengalahkan nafsu itu berarti mengalahkan diri sendiri dan usaha itupun bersumber dari nafsu itu sendiri! Lalu bagaimana? Siapa yang dapat menundukkan nafsu sehingga nafsu kembali ke tempatnya semula, yaitu menjadi peserta, menjadi alat dan menjadi pembantu yang setia, tidak lagi menjadi majikan yang menyeret manusia ke dalam dosa?
Jawabannya hanya satu. Yang dapat mengalahkan dan menundukkan nafsu hanyalah Gusti Allah, Sang Maha Pencipta sendiri. Karena itu, manusia hanya dapat berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah, membuka diri sendiri secara total, sabar ikhlas tawakal sehingga kekuasaanNya yang akan bekerja, membersihkan segala kotoran yang menodai jiwa. Kekuasaan Gusti Allah Yang Maha Suci yang akan mampu mengatur sehingga jiwa menjadi bersih kembali, menguasai nafsu yang kembali menjadi peserta atau pembantu yang baik. Yang tidak mungkin bagi manusia, amatlah mungkin bagi Gusti Allah dan kekuasaanNya yang mutlak.
********************
Setelah perang selesai dan pasukan Mataram dengan membawa kegagalan, Parmadi dan isterinya Muryani kembali ke Pasuruhan. Sutejo dan isterinya Retno Susilo tidak kembali ke Gunung Kawi, melainkan langsung saja pergi merantau ke Blambangan untuk mencari putera mereka, Bagus Sajiwo, yang menurut keterangan Kyai Sidhi Kawasa diculik oleh Wiku Menak Koncar datuk Blambangan. Lindu Aji, Jatmika dan Sulastri pergi ke Dermayu. Dua orang pemuda itu memenuhi permintaan Sulastri untuk ikut dengannya pergi ke Dermayu karena memang keduanya mempunyai kepentingan masing-masing.
Sulastri mengajak Aji ke Dermayu untuk mempertemukan pemuda itu dengan Neneng Salmah. Jatmika pergi ke Dermayu hendak melihat perkembangan dan kenyataan apakah ada kesempatan baginya untuk meminang Sulastri. SedangkanLindu Aji ikut dengan hati bimbang karena dia masih menjadi bingung melihat kenyataan bahwa di antara mereka terdapat cinta segi empat yang membingungkan. Dia ingin membereskan keadaan yang kacau ini dengan jalan mengundurkan diri dan mengalah seperti yang telah dia putuskan dalam lamunannya malam itu. Juga dia hendak memberi ketegasan kepada Neneng Salmah agar gadis waranggana yang baik hati itu tidak lagi mengharapkan dia dan menjadi tersia-sia hidupnya kelak.
Ki Subali dan isterinya mnyambut pulangnya Sulastri dengan gembira sekali. Demikian pula Neneng Salmah, bahkan gadis ini semakin berbahagia melihat Lindu Aji juga datang bersama Sulastri dan Jatmika. Setelah mereka semua beramah tamah bersama Ki Subali dan Ki Salmun ayah Neneng Salmah, Lindu Aji mempergunakan kesempatan itu untuk berpamit.
"Sekarang semua tugas telah selesai dilakukan dan saya mohon pamit dari andika semua, untuk meninggalkan Dermayu."
"Mas Aji...!" Seru Sulastri sambil memandang ke arah Neneng Salmah, "Engkau hendak pergi? Ke mana?"
"Kembali ke dusunku, ke rumah ibuku di dusun Gampingan dekat pantai Laut Kidul."
Terdengar isak tangis dan semua orang menengok. Neneng Salmah berlari keluar dari pintu samping yang menuju ke kebun. Melihat ini, Sulastri mengerutkan alisnya dan berkata kepada Aji. "Mas Aji... tidak kasihankah engkau kepadanya...!" Dengan pandang matanya Sulastri seolah menyuruh Aji untuk pergi mencari Neneng Salmah.
Aji maklum bahwa bagaimanapun juga dia harus memberi penjelasan kepada Neneng Salmah agar gadis itu dapat memaklumi perasaannya bahwa mereka tidak dapat berjodoh. Memang dia sudah dapat menduga sejak dulu bahwa kenyataan yang hendak disampaikan kepada Neneng Salmah ini tentu akan menghancurkan hati gadis itu. Akan tetapi apa boleh buat, hal itu demi kebaikan mereka semua. Maka diapun bangkit berdiri, minta maaf kepada Ki Subali lalu melangkah keluar dari pintu samping untuk mengejar Neneng salmah. Aji mendapatkan Neneng Salmah sedang duduk di atas sebuah bangku di bawah pohon sawo dan menangis seorang diri. Dia lalu menghampiri dan setelah tiba di depan gadis yang menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya itu, dia berkata lirih.
"Neneng...!" Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan memandang kepada Aji denagn muka basah air mata. "Neneng, aku akan pergi dan janganlah engkau menangis." Seperti juga dulu, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
"bawalah saya... bawalah saya, saya ikut andika, biarlah saya menjadi budak, menjadi hamba... menjadi pelayan..."
"Hussss... Neneng, jangan begitu. Bangkit dan duduklah, mari kita bicara baik-baik." Aji memegang kedua pundak gadis itu, membantunya bangkit dan disuruhnya gadis itu duduk kembali ke atas bangku. "Hentikan tangismu dan marilah kita bicara sejujurnya dan melihat kenyataan, betapapun pahitnya kenyataan itu, Neneng."
Neneng Salmah menyadari keadaannya yang hanyut oleh perasaan sedih, maka ia cepat menghapus air matanya dan memandang pemuda itu dengan mata kemerahan.
"Neneng, engkau tentu menyadari bahwa perjodohan itu hanya akan sempurna kalau dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta, bukan?" kata Aji dengan suara yang tenang namun tegas dan berwibawa. Neneng salmah mengangguk sambil memandang wajah Aji, sinar matanya penuh harapan. "nah, marilah kita melihat kenyataan. Aku percaya sepenuhnya bahwa engkau mencintaku dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi engkau juga harus tahu bahwa aku amat suka dan kagum padamu, akan tetapi tidak mencintamu, neneng. Sebelum berjumpa denganmu, aku telah mencinta seorang wanita lain. Apakah engkau yang sebijaksana ini menghendaki agar aku mengkhianati cintaku kepada wanita itu?"
Biarpun tanpa suara, air mata menetes-netes turun dari kedua mata Neneng salmah ke atas pipinya. Ia memang seorang gadis yang bijaksana dan ia mengerti bahwa cintanya bertepuk tangan sebelah. Ia tidak dapat menyalahkan Lindu Aji. Ia menguatkan hatinya dan berkata lirih dan parau. "Apakah .. apakah... gadis itu... Sulastri...?"
Aji mengerutkan alisnya. Tidak perlu dia memperpanjang pembicaraan mengenai itu. "Sudahlah, tidak perlu kita membicarakan orang lain. Yang jelas aku hendak menanamkan keyakinan dalam hatimu bahwa kita tidak dapat berjodoh, Neneng. Kalau engkau suka, biarlah aku kau anggap sebagai seorang kakakmu yang selalu siap untuk melindungimu. Engkau adalah seorang adik bagiku, Neneng, dan aku sayang kamu sebagai seorang kakak menyayang adiknya."
Neneng Salmah menjerit kecil dan bangkit menubruk Aji. Pemuda itu merangkulnya dan neneng menangis di dada Aji, terisak-isak. Air matanya membasahi baju pemuda itu yang menembus ke kulit dadanya. Aji membiarkannya menangis karena itulah yang terbaik untuk pelampiasan perasaannya. Setelah tangisnya mereda, Neneng Salmah melepaskan diri dan melangkah mundur, memandang kepada pemuda itu dengan matanya yang menjadi sembab oleh tangis, lalu terdengar ucapannya bernada haru.
"Terima kasih, Akang Lindu Aji. Biarlah aku menyebutmu akang. Aku sungguh merasa terhormat dan berbahagia sekali bahwa engkau suka menganggap aku sebagai adik angkat."
Aji tersenyum. Bijaksana gadis ini, membuktikan bahwa cinta kasih dalam hati gadis ini terhadap dirinya amat murni, bukan sekedar cinta kasih berahi. "Akupun merasa terhormat dan bahagia mempunyai seorang adik seperti engkau, neneng. Semoga hidupmu kelak berbahagia, adikku!" Aji mengusap rambut kepala neneng. "Sekarang biarlah aku berpamit dari yang lain.
Pada saat itu muncul Sulastri dari dalam rumah. Neneng Salmah cepat menyongsongnya dan melihat Neneng tersenyum gembira walaupun kedua matanya sembab, Sulastri cepat berbisik, "Bagaimana, Neng?"
Neneng Salmah sudah tahu apa yang dimaksudkan Sulastri. "Sudah beres, Lastri. Akang Lindu Aji sekarang menjadi kakak angkatku dan aku berbahagia sekali!"
Setelah berkata demikain, Neneng setengah berlari meninggalkan gadis itu yang berdiri tertegun. Ia melihat Aji melangkah datang. Agaknya pemuda itu hendak kembali ke dalam rumah. "Mas Aji...!" Lastri memanggil.
Aji berhenti melangkah dan memutar tubuh menghadapi Sulastri. Sepasang alisnya berkerut dan dengan semua kekuatan batinnya dia menahan gejolak hatinya. "Mas Aji benarkah engkau hendak pergi? Bagaimana dengan Neneng?"
"Bagaimana dengan dia? Mengapa? Ia kini menjadi adik angkatku, Lastri, dan kami berbahagia sekali. Aku memang hendak pulang ke tempat tinggal ibuku dan aku berpamit padamu."
"Akan tetapi, Mas Aji... engkau benar hendak pergi meninggalkan aku...?"
"Ya, Lastri. Aku akan pulang ke dusunku."
"Akan tetapi... bagaimana dengan aku... Aku akan merasa kesepian dan kehilangan."
"Lastri, di sana ada Kakangmas Jatmika menunggumu. Dia adalah seorang ksatria yang hebat, seorang laki-laki jantan berjiwa pahlawan yang patut dihormati dan dia mencintaimu. Semoga engkau hidup berbahagia bersamanya, Lastri." Setelah berkata demikian, bergegas Lindu Aji meninggalkannya menuju kembali ke rumah.
"Mas Aji...!" Sulastri berseru lirih, akan tetapi pemuda itu sudah memasuki rumah untuk berpamit kepada Ki Subali dan yang lain-lain. Setelah tiba di ruangan di mana semua orang berkumpul dan di situ sudah duduk pula neneng salmah yang kedua matanya masih sembab namun wajahnya tampak cerah, Aji memandang kepada Jatmika.
"Kakangmas Jatmika, andika ditunggu Sulastri di kebun." Mendengar ini, Jatmika mengangguk dan pemuda ini lalu bergegas pergi ke kebun. Lindu Aji tidak ingin tinggal lebih lama di situ yang membuat hatinya semakin lama semakin resah. Maka dia menggunakan kesempatan selagi Sulastri belum kembali, dia berpamit kepada Ki Subali dan Nyi Subali, Ki Salmun, dan Neneng Salmah.
Sementara itu, Jatmika berpapasan dengan Sulastri yang melangkah perlahan menuju ke rumah. Ia mencinta Aji, akan tetapi ia mau mengalah kepada Neneng Salmah, rela memberi kesempatan kepada Neneng Salmah agar menjadi isteri Aji. Akan tetapi kenyataannya, Neneng Salmah kini menjadi adik angkat Aji. Dan Aji agaknya tidak membalas cintanya, malah mengingatkan ia bahwa Jatmika amat mencintanya dan Aji mengharapkan agar ia menjadi isteri Jatmika!
Padahal ia dapat merasakan dalam hatinya ketika mata yang sayu dari Aji itu memandangnya, ketika Aji berkata-kata dengan suara menggetar penuh kedukaan, bahwa Aji menderita batin. Ia pun dapat merasakan bahwa Neneng diakui sebagai adik angkat Aji, namun di lubuk hatinya Neneng juga merasa kecewa karena gadis itu mencinta Aji sebagai seorang wanita mencinta seorang pria.
Ketika berpapasan dengan Sulastri yang wajahnya tampak pucat, Jatmika cepat memanggil. "Nimas Sulastri...!"
Sulastri berhenti dan memandang pemuda itu. "Kakang Jatmika, engkau hendak ke manakah?"
"Aku sengaja menemuimu, Lastri. Sebetulnya, aku hendak mempergunakan kesempatan ini untuk... meminangmu kepada ayah ibumu. Akan tetapi aku ingin mendengar dulu pendapat dan persetujuanmu." Sulastri mengerutkan alisnya dan ia menghela napas panjang beberapa kali, menatap wajah pemuda itu, lalu menundukkan mukanya dan menggeleng kepala perlahan.
Jatmika khawatir sekali melihat sikap gadis itu. "Akan tetapi, nimas, aku cinta padamu. Engkau tahu benar bahwa aku amat mencintamu."
Sulastri mengangkat muka dan memandang pemuda itu dengan sinar mata layu. "Aku tahu, kakang. Aku amat suka dan kagum kepadamu. Akan tetapi tentang cinta... lama sebelum aku berkenalan denganmu, aku telah jatuh cinta kepada seorang pria dan aku tidak dapat memindahkan cintaku."
Wajah Jatmika menjadi pucat. "ahh... dia... Dimas Aji?"
"Tidak perlu kita bicara tentang itu, kakang. Pendeknya, aku suka kepadamu akan tetapi aku tidak mencintamu seperti cintamu kepadaku." Sulastri ingat akan keadaan Neneng Salmah dan disambungnya cepat. "Kita tidak mungkin berjodoh sebagai suami isteri, kakang, akan tetapi aku, akan merasa bersyukur sekali kalau kita yang sebetulnya sudah menjadi saudara seperguruan ini lebih memperkuat tali pesaudaraan antara kita. Aku ingin kau anggap sebagai adikmu sendiri, kakang. Maukah engkau menjadi kakakku, kakak angkat seperti seorang kakak kandungku?"
Jatmika merasa tubuhnya lemas seolah semua otot bayunya dilolos dari tubuhnya. Dengan suara gemetar dan muka pucat dia berkata. "Duh Gusti... ah... maafkan kelemahanku, Lastri. Tak pernah kusangka begini nyeri rasanya orang putus cinta...! Baiklah, Lastri, adikku, aku rela... semoga engkau akan hidup bahagia dengan pilihan hatimu. Selamat tinggal, Lastri...!" Jatmika lalu melompat pergi dari situ tanpa pamit kepada yang lain. Setelah menghadapi kenyataan bahwa Sulastri tidak membalas cintanya, dia merasa pening dan khawatir kalau dia berpamit dari yang lain, dia akan tidak dapat menahan kedukaan hatinya.
Sulastri berdiri diam sejenak memandang ke arah perginya Jatmika, lalu menghela napas panjang. "Aduh kasihan sekali, Kakang Jatmika..." Ia terisak sebentar lalu menyusut air matanya dan kembali ke dalam rumah.
Tidak ada yang kekal di dunia ini. Kesenangan yang bagaimanapun, atau kesusahan yang bagaimanapun, hanya semu dan sementara saja! Susah senang merupakan keseimbangan yang tak terpisahkan, silih berganti mengisi kehidupan manusia di dunia. Kalau si AKU masih bercokol, si NAFSU masuk berulah, maka selama itu pula kita akan terombang-ambing diantara SUKA dan DUKA.
KEBAHAGIAN ABADI hanya ada apabila manusia kembali kepada SUMBERNYA, kepada penciptanya, kepada Gusti ALLAH Yang Maha Kasih, Yang Maha Sempurna. Menyerahkan diri sebulatnya, secara total kepada kekuasaanNya, di samping mengerjakan seluruh anggota tubuh sesuai dengan kehendakNya dalam bentuk IKHTIAR mencukupi kebutuhan hidup secara HALAL dan SEHAT.
Kalau sudah begitu, kita akan mampu MENERIMA segala apapun yang terjadi kepada diri kita, baik dipandang mata jasmani sebagai kesenangan ataupun kesusahan, manis atau pahit, dengan hati penuh rasa syukur kepada Gusti Allah, waspada bahwa semua itu sudah sesuai dengan rencana dan kehendakNya dan apapun yang terjadi merupakan berkahNya sehingga kita patut bersyukur. Dalam sakit atau sehat, rugi atau untung, susah atau senang, kita akan waspada dan dapat melihat bahwa semua itu membuktikan adanya Kekuasaan dan Keadilan Gusti Allah
Sampai sekian saja kisah ini, semoga ada manfaatnya bagi para pembaca. Kalau pembaca ingin mengetahui bagaimana nasib selanjutnya dari Lindu Aji, Sulastri, Jatmika, Neneng Salmah, Parmadi, Muryani, Sutejo, Retno Susilo dan tokoh lawan mereka yang berhasil lolos seperti Nyi Maya Dewi dan yang lain-lain, silahkan baca kisah BAGUS SAJIWO yang merupakan lanjutan kisah Alap-alap Laut Kidul ini. Sampai jumpa di lain cerita.
T A M A T