Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Bagus Sajiwo
Jilid 02
DIA selalu berlatih untuk menyerah kepada kekuasaan sakti ini, kekuasaan Tuhan sebagai pembimbing, di atas kekuasaan hati akal pikirannya sendiri. Inilah yang oleh mendiang gurunya dinamakan sejatining rasa (perasaan sejati), yaitu pasrah menyerah kepada Gusti Allah yang ada juga disebut Sang Dewa Ruci (Roh Suci) dapat tinggal dan menyatu dalam diri manusia sehingga selalu akan memberi bimbingan dalam perjalanan hidupnya. Inilah yang dimaksudkan gurunya dengan ucapan
MANUNGGALING KAWULA GUSTI (bersatunya hamba dan Gusti) yaitu apabila Roh Allah bersatu dengan Roh kita.
Sungguh suatu keajaiban yang tidak mudah, bahkan tidak dapat dipelajari dengan hati akal pikiran, tidak dapat diraih dengan kemauan dan kehendak nafsu. Keadaan yang ajaib ini tak mungkin dapat terjadi atas kehendak manusia, melainkan baru akan dapat terjadi atas kehendak Tuhan semata. Manusia hanya dapat menyerah pasrah dengan segenap jiwa raganya, setiap saat bersyukur memuji keagungan Tuhan atas berkahNya yang berlimpahan sepanjang hidup kita, mohon pengampunan atas semua dosa kita dengan bukti pertaubatan dan mohon bimbinganNya karena hanya dengan bimbingan Roh Allah saja kita tidak akan tersesat dari jalan hidup yang benar dan yang sesuai dengan kehendakNya.
Rasa nelangsa dan hampa, rasa kesepian itu hanya sebentar menekan hati Bagus Sajiwo. Dia segera dapat mengatasinya. Dia tidak tahu kemana harus pergi. Pulang ke Gunung Kawi? Dia tidak berani melanggar janjinya kepada mendiang gurunya. Tidak, sebelum berusia dua puluh tahun, kurang lebih empat tahun lagi, dia tidak akan menemui ayah bundanya. Lalu ke mana? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi dia teringat akan pesan gurunya agar dia selalu menegakkan keadilan dan kebenaran, membela yang lemah tertindas dan menentang mereka yang melakukan kejahatan terhadap sesama manusia.
Jadi, kemana saja dia boleh pergi dan seperti biasa, dalam keadaan tanpa pilihan ini, tidak ada jalan lain kecuali menyerah. Biarlah Gusti Allah yang akan menuntun kedua kakiku melangkah, pikirnya. Demikianlah, Bagus Sajiwo hanya melangkah saja, menghindari jalan yang licin dan sukar, menuruni bukit dan tanpa dia sengaja, kedua kakinya menuruni bukit itu ke sebelah barat.
Kegagalan serangan Mataram terhadap Kumpeni Belanda selama dua kali berturut-turut (tahun 1628 - 1629) membuat Kumpeni Belanda mengubah politiknya. Kini mereka lebih berhati-hati dan sikap mereka tidak sekeras dulu. Mereka berusaha mendekati Sultan Agung melalui kadipaten-kadipaten, terutama kadipaten yang berada di sepanjang pesisir Laut Utara. Mereka secara royal mengirim hadiah-hadiah dan tidak terlalu memaksakan kehendak mereka.
Untuk sementara mereka merasa puas dengan hasil keuntungan dari perdagangan. Juga mereka tidak terlalu percaya lagi kepada para penduduk pribumi yang tadinya menjadi antek mereka, karena banyak diantara penduduk yang berkhianat kepada Kumpeni. Pemimpin Kumpeni yang bertugas menangani para penduduk pribumi yang menjadi mata-mata bayaran pada waktu itu sepenuhnya dipegang oleh Mayor Yacques Lefebre yang oleh Mataram lebih dikenal dengan nama Jakuwes. Mayor Jakuwes ini tinggal di dalam sebuah gedung besar di Batavia, gedung yang mewah dan terjaga ketat. Di tempat inilah biasanya para mata-mata yang membantu Kumpeni menghadap Mayor Jakuwes.
Diantara sekian banyaknya telik sandi (mata-mata) penduduk pribumi yang membantu Mayor Yacques terdapat seorang tokoh wanita yang amat terkenal karena kesaktian dan kecantikannya. Tokoh ini bernama Nyi Maya Dewi, seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih yang amat cantik jelita. Selain terkenal cantik jelita menggairahkan, ia juga terkenal sakti mandraguna dan amat berbahaya dan kejam sehingga banyak orang menyebutnya sebagai iblis betina!
Nyi Maya Dewi berasal dari Parahyangan dan puteri dari mendiang Resi Kalayitma, seorang bertubuh raksasa, datuk yang amat terkenal dari Parahyangan. Akan tetapi karena resi ini melakukan banyak kejahatan, maka dia menjadi orang buruan dan terusir dari Parahyangan. Dalam pelarian itu dia membawa puteri tunggalnya, yaitu Nyi Maya Dewi, merantau dan akhirnya ayah dan anak ini diperalat Kumpeni Belanda. Bahkan akhirnya Nyi Maya Dewi menjadi telik-sandi Belanda yang dipercaya dan sudah banyak jasanya. Setelah Resi Kalayitma meninggal dunia, Nyi Maya Dewi masih melanjutkan kegiatannya menjadi antek Kumpeni Belanda.
Pada senja hari itu, suasana di jalan raya depan gedung tempat tinggal Mayor Jakuwes sudah sepi. Jarang ada orang berlalu lalang dan para penjaga di gardu depan gedung itu baru saja diganti. Tiga orang berjaga disitu, dengan bedil ditangan. Dari arah timur di jalan raya itu tampak seorang wanita berjalan melenggang menuju ke depan gedung. Wanita ini bukan lain adalah Nyi Maya Dewi. Dalam keremangan senja itu masih tampak kecantikannya yang mempesona. Sama sekali tidak kelihatan sebagai seorang wanita berusia tiga puluh tahun.
Sepatutnya usianya baru dua puluh tahun kurang, seperti seorang gadis yang baru dewasa, bagaikan setangkai bunga mawar yang baru mekar semerbak. Rambutnya hitam panjang digelung indah, ujungnya masih terurai d i pundaknya. Wajah yang agak bulat itu berseri, kulit muka, leher dan lengan yang tak tertutup amat putih mulus kemerahan. Matanya lebar dengan kedua ujung agak berjungat ke atas, bukan main manisnya. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya sungguh memiliki daya tarik yang seimbang dengan matanya. Bibirnya merah basah, tipis dan bentuknya begitu menggairahkan.
Sungguh Nyi Maya Dewi merupakan seorang wanita yang ayu manis, memiliki kecantikan yang khas dari para mojang Parahyangan. Bentuk tubuhnya juga amat menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sempurna dan tepat pada ukurannya yang serasi. Lenggangnya lemah gemulai seperti seorang yang sedang menari, membuat siapapun juga yang berpapasan dengannya pasti menengok berulang kali sampai jalannya menabrak sesuatu di depannya! Yang lebih menarik lagi adalah karena pada kerling matanya yang setajam pedang pusaka, senyum bibirnya yang semanis madu itu mengandung kegenitan yang merangsang dan menantang.
Akan tetapi, saat ia melenggang menuju ke arah gedung besar itu, wajah yang ayu itu seolah terselubung awan. Bahkan sepasang mata yang seperti bintang kejora itu menerawang, seolah melamun. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya mengganggu pikirannya. Nyi Maya Dewi pada saat itu merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan. Ia melihat segala sesuatu sebagai penglihatan yang tidak menyenangkan, bahkan menyebalkan. Segala sesuatu tampak menjemukan. Ia seperti kehilangan sesuatu, kehilangan gairah hidup! Ia tidak tahu bahwa semua ini merupakan tanda-tanda bahwa ia sudah merasa jenuh dengan segala yang didapatinya dalam kehidupan.
Pergaulannya dengan pria-pria tampan sekehendak hatinya, ia tinggal pilih. Namun semua itu kini terasa menjemukan. Ia tidak menemukan kebahagiaan sejati dalam semua kesenangan itu. Seperti orang kekenyangan yang akhirnya merasa muak dengan apa yang tadinya ia anggap sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Ia kehilangan sesuatu, dan sesuatu itu, tanpa ia sadari, adalah cinta kasih! Banyak ia bertemu pria yang seolah memujanya, akan tetapi semua itu kini terasa memuakkan karena pemujaan itu hanya lahiriah belaka, hanya karena nafsu berahi.
Tidak pernah ia merasakan adanya cinta kasih yang sejati. Dan agaknya ia haus akan perasaan itu, haus akan cinta! Ia rindu menemukan orang yang benar-benar mencintanya, bukan sekedar menyenangkan tubuhnya yang cantik menarik. Ia muak akan semua kesenangan yang selama ini mudah diraihnya. Harta benda membosankan. Pemuasan nafsu berahi akhirnya juga menjemukan, bahkan memuakkan karena dibalik semua keindahan itu ia mulai melihat kekotoran nafsu berahi. Sudah berbulan-bulan ia merasakan semua ini. Ia ingin lari dari semua kesenangan itu. Ia tidak membutuhkannya lagi. Ia membutuhkan sesuatu yang lain, yang tidak pernah dikenalnya. Ia merindukan sesuatu yang lain dan jiwanya seolah membisikkan bahwa selama ini ia telah meniti jalan yang semakin menjauhkannya dari sesuatu yang dirindukannya itu.
Perasaan itulah yang membawa Nyi Maya Dewi pada sore hari itu ke Batavia. Ia ingin menemui Mayor Jakuwes yang selama ini menjadi atasannya. Tiga orang serdadu Belanda yang bertugas jaga di dalam gardu depan rumah gedung Mayor Jakuwes melangkah keluar gardu dan memalangkan bedil mereka ketika melihat Nyi Maya Dewi melangkah masuk ke pekarangan. Akan tetapi mereka bertiga terpesona ketika melihat wanita yang tersorot sinar lampu yang tergantung di depan gardu penjagaan. Mereka terbelalak dan seolah tidak percaya kepada pandang mata mereka sendiri. Wanita itu begitu cantiknya, melebihi semua gambaran khayal mereka. Mereka tidak mengenal Nyi Maya Dewi dan hal ini tidaklah mengherankan karena biarpun wanita itu merupakan pembantu yang amat penting dari Mayor Jakuwes, namun sebagai seorang mata-mata tentu saja kehadirannya selalu dirahasiakan.
"Siapakah engkau, nona? Ada keperluan apakah nona masuk kesini?" Sikap tiga orang itu dan pertanyaan ini yang tadinya akan dilakukan dengan keras, menjadi ramah bahkan ketiganya tersenyum simpul, seperti biasa dilakukan para laki-laki kasar berhadapan dengan wanita cantik.
Nyi Maya Dewi sedang kesal hatiya. Melihat tiga orang serdadu Belanda yang kulit mukanya kemerahan dan mulut mereka mengeluarkan bau minuman keras itu mendekatkan muka mereka kepadanya sambil cengar-cengir, ia melangkah mundur. "Tidak perlu kalian ketahui siapa aku. Laporkan saja kepada Mayor Jakuwes agar dia keluar menemui aku!" kata Nyi Maya Dewi dengan suara kering.
Seorang di antara tiga serdadu itu, yang mukanya merah karena kebanyakan minum bir dan agaknya menjadi pemimpin mereka, melangkah maju mendekati Nyi Maya Dewi. "Tidak bisa, nona manis. Untuk melapor ke dalam kami harus tahu lebih dulu siapa engkau dan apa keperluanmu. Mari, masuklah dulu ke dalam gardu, kami akan memeriksamu lebih dulu. Siapa tahu engkau mempunyai niat jahat!" Si muka merah itu menjulurkan tangannya dan menangkap lengan kiri Nyi Maya Dewi.
"Keparat!" Wanita yang sedang kesal hatinya itu menjadi marah. Sekali menggerakkan tangan, ia sudah menampar pipi serdadu itu. "Plak!!" Serdadu itu terpelanting dan mengaduh. Beberapa buah giginya rontok dan pipinya menjadi bengkak! Dua orang kawannya cepat maju untuk menangkap wanita itu. Akan tetapi mereka disambut tamparan tangan yang bergerak dengan cepat dan kuat sekali.
"Plak-plak....!!" Dua orang serdadu itupun terpelanting roboh. Mereka menjadi marah dan ketiganya sudah menyambar bedil mereka, akan tetapi tiba-tiba bedil-bedil itu direnggut lepas dari tangan mereka dan tiga kali Nyi Maya Dewi menggerakkan kedua tangan, tiga batang bedil itupun patah dan dibuang ke atas tanah oleh Nyi Maya Dewi!
Melihat ini, tiga orang serdadu itu terkejut setengah mati, juga ketakutan karena peristiwa itu mengingatkan mereka akan cerita tentang setan-setan yang katanya banyak berkeliaran di waktu malam. Mereka lari tunggang langgang memasuki gedung itu dan tak lama kemudian, Mayor Jakuwes sendiri keluar dari gedung itu, dikawal tujuh orang serdadu yang sudah siap dengan bedil di tangan. Tujuh orang itu sudah mencari kedudukan yang aman, bersembunyi di balik tiang dan pot bunga sambil menodongkan bedilnya. Akan tetapi ketika Mayor Jakuwes melihat Nyi Maya Dewi, dia segera mengenalnya dan mengangkat tangan.
"Stop! Jangan tembak, ia kawan sendiri!" Para serdadu itu menurunkan todongan mereka dan t idak merasa tegang lagi dan Mayor Jakuwes lalu melangkah lebar menghampiri Nyi Maya Dewi sambil tersenyum lebar dan menjulurkan tangan kanannya.
"Oh, kiranya engkau, Maya Dewi!" katanya gembira.
Maya Dewi menerima jabatan tangan itu dan ia mengerutkan alisnya ketika merasa betapa hangatnya jabatan tangan orang Belanda itu dan betapa agaknya Mayor Jakuwes tidak mau segera melepaskan jabatannya. Maya Dewi menarik tangannya terlepas dari jabatan. "Aku ingin bicara, tuan mayor!" katanya dengan singkat.
"Oo, boieh, boleh! Mari masuk, kita bicara di dalam, Maya Dewi!" kata Mayor Jakuwes, laki-laki Belanda peranakan Portugis itu sambil tersenyum.
Mayor yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun ini memang sudah lama sekali tergila-gila kepada Maya Dewi, akan tetapi wanita itu tidak pernah mau melayaninya. Mereka lalu memasuki gedung besar itu. Diam-diam Mayor Jakuwes yang sudah tahu benar betapa sakti dan berbahayanya Nyi Maya Dewi, memberi isyarat kepada tujuh orang serdadu pengawalnya. Mereka lalu mengikuti dua orang itu dari belakang dan ikut memasuki ruangan luas di mana mayor itu mengajak Maya Dewi duduk dan bicara.
Maya Dewi teringat beberapa bulan, atau kurang lebih setahun yang lalu, sebelum Batavia diserbu untuk ke dua kalinya oleh Mataram, ia sering duduk mengadakan perundingan dengan mayor ini dan pembesar Kumpeni lain, dihadiri pula oleh datuk yang memusuhi Mataram dan yang rela menjadi antek Kumpeni, seperti Kyai Sidhi Kawasa, Aki Somad, Wiku Menak Koncar, dan masih banyak lagi. Akan tetapi mereka semua telah tewas dalam perang melawan Mataram. Ia beruntung dapat meloloskan diri.
Kini tampak olehnya betapa para datuk itu mengorbankan nyawa mereka untuk membela orang-orang asing kulit putih yang kini masih hidup serba mewah dan sama sekali tidak perduli akan nasib para datuk yang tewas dalam membantu Kumpeni. Andaikata ia sendiri juga menjadi korban dan tewas dalam pertempuran itu, mayor ini dan semua orang Belanda pasti sudah melupakannya! Pengorbanan sia-sia, bahkan mendapat julukan pengkhianat nusa bangsa!
Setelah dua orang itu duduk berhadapan terhalang meja besar, dan tujuh orang pengawal itu duduk di sudut ruangan, tampak santai namun sebenarnya siap siaga dengan bedil mereka, Mayor Jakuwes memandang wajah yang cantik jelita yang tampak semakin cemerlang disinari lampu gantung besar yang menerangi ruangan itu. Dia melihat betapa wajah ayu itu keruh, alis yang kecil hitam panjang melengkung itu berkerut dan bibir manis yang biasa mengembangkan senyum menggairahkan itu kini agak cemberut.
"Zo, Maya Dewi, senang sekali hatiku dapat bertemu denganmu. Aku selalu mengenang dan memikirkan keadaanmu dan aku girang mendengar berita bahwa engkau tidak tewas dalam pertempuran seperti kawan-kawan lain. Kemana saja selama ini engkau pergi?"
Dengan alis berkerut dan sinar mata penasaran Maya Dewi memandang Belanda itu lalu berkata dengan nada sinis. "Tuan, Kumpeni mendapat kemenangan dan kami yang membantu menjadi tumbal, mati konyol!"
"Zeg, Maya Dewi. Apa maksudmu? Kalian bekerja kepada kami sudah mendapat imbalan. Soal tewas dalam perang merupakan hal biasa dan lumrah. Akan tetapi aku tidak melupakan jasa-jasamu, Maya Dewi. Sudah lama sekali aku memikirkan, hadiah apa yang paling pantas kuberikan padamu. Harta benda, engkau tentu tidak membutuhkan. Aku lalu mengambil keputusan..." dia menoleh ke arah para serdadu yang duduk di sudut ruangan, tidak terlalu dekat dengannya dan melanjutkan dengan suara lirih, "bagaimana kalau engkau kuangkat menjadi isteriku, menemaniku hidup disini. Kau tahu, Maya Dewi, aku berada diBatavia, seorang diri dan aku... aku suka sekali denganmu."
Maya Dewi merasa muak. Semua pria mengatakan cinta padanya. Entah sudah berapa kali ia terkecoh. Cinta mereka itu hanya cinta nafsu, hanya menginginkan tubuhnya, hanya ingin mereguk kenikmatan dari tubuhnya. Ia sudah hafal dan muak. Sinar mata yang kebiruan itupun kini memandangnya bukan penuh kasih sayang, melainkan penuh nafsu berahi. Betapa buruk wajah itu tampaknya, seperti wajah binatang buas, seperti wajah setan!
"Tuan mayor, jangan bicara ngawur! Aku datang untuk mengembalikan ini, bukan untuk hal lain!" Maya Dewi melemparkan mata uang emas bergambar singa yang selama ini menjadi tanda bahwa ia seorang mata-mata penting Kumpeni. Mata uang itu jatuh berdencing di atas meja. Melihat Maya Dewi bangkit berdiri, Mayor Jakuwes segera mengambil uang emas itu dan ikut berdiri pula, memandang kepada wanita itu dengan alis berkerut.
"Maya Dewi, apa maksudnya ini?" tanyanya, setengah membentak.
"Maksudnya sudah jelas! Aku pamit, aku keluar dan tidak lagi membantu Kumpeni!"
"Dan lamaranku?"
"Aku tidak mau menjadi isterimu, Mayor. Selamat tinggal!" kata Maya Dewi dan ia sudah menggerakkan kakinya untuk memutar tubuh.
"Wacht even (tunggu dulu)!" Mayor Jakuwes membentak dan dengan langkah lebar dia memutari meja dan menghampiri Maya Dewi.
"Engkau tidak boleh pergi begitu saja, Maya Dewi! Seorang mata-mata Kumpeni tidak boleh meninggalkan kami begitu saja karena ia dapat menjadi pengkhianat! Engkau harus menerima lamaranku, hidup senang disini bersamaku, atau, terpaksa aku akan menahanmu dan memasukkan engkau dalam penjara!"
Sepasang mata indah itu sampai terbelalak saking kaget dan marahnya mendengar kata-kata itu. Sinar mata itu mencorong seperti mata harimau dalam gelap. Perasaan hati Maya Dewi saat ia menghadap Mayor Jakuwes sedang kesal dan marah. Maka, mendengar ancaman itu keadaan hatinya yang kesal dan marah itu seperti api disiram minyak. Kemarahannya memuncak dan sekali ia menggerakkan tangan kirinya, ia sudah menampar ke arah muka Jakuwes. Mayor yang tentu saja bukan seorang laki-laki lemah itu cepat menangkis dengan tangan kanannya. Namun, tangan kiri Maya Dewi membuat tangkisannya terpental dan tangan itu tetap meluncur kearah rahangnya.
"Wuuuttt... tasss...!!" Tubuh Jakuwes terpelanting dan dua atau tiga buah giginya copot! Jakuwes berguling di atas tanah, kesakitan dan marah sekali. Sebelum bangkit kembali, dia sudah memberi aba-aba kepada tujuh orang serdadu pengawalnya.
"Schiet haar dood (Tembak mat i ia)!!" Tujuh orang serdadu itu menggerakkan bedil, akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi ledakan dan lampu gantung itu pecah berantakan. Dalam keadaan gelap gulita karena tiba-tiba lampu padam itu, meja besar tadi melayang ke arah tujuh orang serdadu. Mereka tertimpa meja besar, suaranya hiruk pikuk dan mereka mengaduh-aduh kacau. Dalam keadaan itu, Maya Dewi cepat melompat keluar dari gedung dan menghilang dalam kegelapan malam.
Mayor Jakuwes mencoba untuk mengejar, akan tetapi karena para serdadu itu sudah merasa jerih, maka pengejaran itupun hanya setengah hati dan kegelapan malam melindungi Maya Dewi sehingga sebentar saja ia sudah menghilang dari pandangan mereka. Sebentar saja gegerlah Batavia. Banyak serdadu berkeliaran, berlari kesana-sini menyusuri seluruh bagian Batavia, untuk mencari Maya Dewi. Semua rumah penduduk digeledah, bahkan mereka yang dicurigai sebagai orang yang mungkin mengetahui dimana wanita itu berada, ditangkap, ditahan dan diperiksa. Namun semua usaha Kumpeni sia-sia belaka.
Maya Dewi sudah tidak berada di Batavia lagi dan begitu tadi berhasil keluar dari gedung tempat tinggal Mayor Jakuwes, wanita sakti itu langsung keluar dari pintu gerbang Batavia dan ketika para serdadu sibuk menyusuri seluruh Batavia, ia sudah melarikan diri jauh meninggalkan kota Kumpeni itu. Pasukan Kumpeni juga disebar keluar kota, namun tidak ada yang dapat menemukan jejaknya, maka akhirnya mereka kembali ke benteng dengan tangan hampa.
Maya Dewi meninggalkan Batavia dan merantau, mencari sesuatu yang selama ini diam-diam amat dirindukannya, yang selama ini seolah tak pernah dapat diraihnya. Ia sebetulnya sudah memiliki segala yang dapat dicapai oleh usaha manusia, segala macam bentuk kesenangan duniawi. Ia seorang wanita yang cantik jelita, yang dapat membuatnya bangga karena hampir semua pria yang melihatnya tentu menjadi tertarik dan banyak yang tergila-gila. Ia juga memiliki kesaktian yang hebat, yang membuat ia merasa aman dan bahkan dapat memaksakan semua kehendaknya kepada orang lain. Ia tidak pernah kekurangan apapun karena dengan kepandaiannya yang hebat, ia bisa mendapatkan benda apa saja yang dikehendakinya biarpun itu dilakukannya dengan cara mencuri, merampas atau dengan cara apapun juga.
Bahkan dengan aji kesaktiannya itu, ia bisa mendapatkan semua laki-laki yang menarik hatinya dengan pengaruh aji pengasihannya. Ia juga dapat mempertahankan kecantikannya, membuatnya tampak selalu seperti seorang gadis muda. Dan selama kurang lebih sepuluh tahun ini, ia sudah memuaskan segala nafsunya, apapun yang ia inginkan ia dapat memperolehnya. Segala macam kesenangan telah direguknya sepuas-puasnya, menggunakan segala cara. Ia tidak pantang melakukan perbuatan jahat yang bagaimanapun kejinya demi mencapai apa yang diinginkannya. Akan tetapi, makin banyak kesenangan yang dilahapnya, ia menjadi semakin lapar.
Semakin banyak kesenangan diteguknya, ia menjadi semakin haus. Bahkan lebih dari itu, ia mulai merasakan kebosanan yang hebat. Apa yang semula terasa manis, kini berubah menjadi pahit, apa yang semula terasa enak, kini menjadi memuakkan. Apa yang tadinya dirasakan sebagai suatu kesenangan, kini menjadi kekesalan. Bosan, bosan, dan bosan! Kebosanan ini yang membuat ia merasa sengsara. Ia merasa hidupnya hampa, tak berarti. Ia merindukan sesuatu, tanpa ia mengerti apa sesuatu yang dirindukannya itu. Tertindih perasaan yang membuatnya merana dan merasa sengsara, membuat ia teringat akan pantai Laut Kidul dimana ia dahulu pernah bertapa memperdalam ilmu-ilmunya. Maka, iapun melangkahkan kakinya menuju kesana.
Di sepanjang perjalanannya, Maya Dewi melihat betapa sesuatu yang dirindukannya namun yang tidak diketahuinya apa itu dimiliki oleh banyak orang yang ditemuinya dalam perjalanan itu. Ia melihat sekumpulan anak-anak berusia antara lima sampai sepuluh tahun bermain-main di anak sungai. Mereka terjun ke air, Berkecimpung, tertawa-tawa, bertelanjang dan bersorak sorai. Ada sesuatu yang lebih dari sekedar kesenangan terpancar pada wajah dan pandang mata mereka yang berbinar-binar, terdengar dalam suara teriakan dan tawa mereka.
Dia melihat suami isteri yang sedang bekerja di ladang yang laki-laki mencangkul, yang perempuan mencabuti rumput yang mengganggu tanaman kacang mereka dan sambil bekerja, si isteri bertembang. Tembang Kinanti yang sederhana saja, model dusun, dengan suara yang sederhana dan agak sumbang. Lalu sambil bersembunyi ia melihat suami isteri itu berhenti, mengaso dan duduk digalengan (pematang) dan makan singkong rebus, minum air kendi sambil bercakap-cakap.
Suami isteri itu berusia kurang lebih empat puluh tahun. Sang suami merupakan seorang laki-laki dusun yang sederhana wajahnya, sederhana pula pakaiannya, tidak tampan atau menarik. Demikian pula sang isteri, wanita dusun biasa, bahkan condong buruk wajahnya, gembrot bentuk tubuhnya, tidak menarik. Adapun hidangan yang mereka makan itu teramat sederhana, hanya singkong rebus dan air kendi. Akan tetapi, Maya Dewi bengong melihat kenyataan yang dihadapinya. Suami isteri itu makan dengan enak dan lahapnya, minum air kendi dengan segarnya sampai ia harus menelan ludah sendiri karena timbul selera melihat mereka makan demikian lezat.
Dan ketika bercakap-cakap, suami isteri itu saling pandang, saling senyum dan kembali Maya Dewi menangkap sesuatu itu, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan! Maya Dewi menghela napas, makin merasa betapa hampa hidupnya, nelangsa hatinya dan ketika ia meninggalkan suami isteri itu, wajahnya agak pucat dan dua butir air menggantung di pelupuk ke dua matanya. Ia melanjutkan perjalanan, mengingat-ingat. Sepanjang pengalamannya dalam kehidupan yang sudah tiga puluh tahun lebih ini, ia sudah merasakan segala macam kesenangan. Akan tetapi semua itu kini terasa hampa, tidak ada artinya dan berakhir dengan kebosanan. Banyak orang bicara tentang kebahagiaan.
Semula ia mengira bahwa ketika memuaskan nafsu-nafsunya, ia telah mencapai kebahagiaan. Namun kenyataannya tidak demikian. Ia hanya mengunyah kesenangan yang akhirnya hanya mendatangkan kebosanan dan kemuakan. Kebahagiaan? Rasanya, belum pernah ia menyentuhnya, atau belum pernah ia disentuh kebahagiaan! Apa dan bagaimana rasanya kebahagiaan itu? Dimana tempatnya dan bagaimana mendapatkannya? Ia ingin mencari, ingin menemukan, ingin memilikinya!
Ketika ia tiba diluar sebuah dusun, ia berpapasan dengan seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun, menunggangi seekor kerbau gemuk sambil meniup suling bambu. Tiupan sulingnya biasa-biasa saja, bahkan tembang yang dimainkannya dengan suara suling itu agak kacau dan sumbang. Namun, Maya Dewi merasakan sesuatu yang luar biasa, merasakan suasana yang penuh damai dan indah pada wajah dan tubuh anak yang duduk agak bergoyang-goyang terbawa gerakan kerbau yang melangkah perlahan-lahan itu. Tenang dan damai, suatu keadaan yang hampir ia lupakan karena selama bertahun-tahun ini tak pernah ia merasakannya!
Kebahagiaan yang mencuat dari suasana yang ditimbulkan bocah bertiup suling itu terasa olehnya dan ia merasa betapa hidupnya semakin hampa sehingga ia seolah kehilangan gairah hidup. Hidup terasa demikian tidak menyenangkan hatinya. Tubuhnya menjadi lemas dan terhuyung-huyung ia melanjutkan perjalanannya. Ia tiba di tepi dusun dan terdengar suara orang menumbuk padi. Ia menghampiri dan sambil bersembunyi mengintai dan melihat seorang ibu menumbuk padi sambil menggendong seorang anak berusia sekitar satu tahun. Anak itu sedang menyusu pada ibunya. Juga pada wajah sang ibu yang sederhana dan miskin itu tampak sinar kebahagiaan itu!
Bekerja keras, sambil menyusui anaknya lagi! Dan wajah anak itu. Tampak demikian nikmat menyusu ibunya. Semua ini kembali memukul perasaan Maya Dewi dan ia tidak tahan melihat lebih lama lagi. Ia berlari keluar dari dusun dan baru berhenti ketika tiba di tepi sebuah sungai kecil. Seorang kakek bercaping lebar sedang duduk di bawah pohon di tepi sungai itu. Dia sedang memegangi sebatang tangkai pancing. Rupanya sedang memancing ikan. Wajahnya begitu tenang, penuh kedamaian dan kesabaran memandang kepada tali pancing yang bergerak-gerak terbawa aliran air sungai.
Maya Dewi tertegun. Ia seolah dapat melihat kebahagiaan berulang-ulang terbayang di wajah orang-orang itu. Kebahagiaan ia lihat di wajah suami isteri petani, kebahagiaan di wajah dan dalam tawa anak-anak yang bermain di air, kebahagiaan yang tampak di wajah ibu yang bekerja keras sambil menyusui anaknya, di wajah si anak yang menyusu ibunya, dan di wajah anak yang meniup suling sambil menunggang kerbau, kini di wajah kakek tua yang memancing ikan. Akan tetapi, benar-benarkah mereka itu berbahagia? Ia menjadi penasaran. Sebaiknya ia langsung bertanya kepada kakek itu!
"Selamat siang, paman." Pengail itu menoleh dan dia terbelalak heran melihat bahwa yang menyalaminya itu adalah seorang wanita yang teramat elok. Cantik jelita wajahnya dan elok pula pakaiannya. Jelas bukan seorang wanita dusun dan dia sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi karena wanita itu menegurnya dengan ramah dan ketika dia menengok, penanya itu tersenyum kepadanya, dia juga tersenyum, membuka dan meletakkan capingnya diatas rumput.
"Selamat siang, mas ayu." Kakek itu berusia enam puluh tahun lebih, wajahnya yang dihias banyak garis-garis pengalaman hidup itu masih tampak berseri. Akan tetapi dia menjadi heran melihat wanita cantik itu kini duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol di permukaan tanah, menghadapinya.
"Sudah banyakkah hasil pancinganmu, paman?" tanya Maya Dewi.
"Ahh, lumayan." Kakek itu menyodorkan kepis (tempat ikan) kepada Maya Dewi. "Ada lima ekor ikan lele, cukuplah untuk teman nasi makan siang anak mantuku, dan dua orang cucuku siang ini." Dia tersenyum gembira dan tampak mulutnya yang ompong, tinggal beberapa buah saja gigi yang tampak.
Kembali Maya Dewi melihat sesuatu pada senyum dan pandang mata kakek yang dari pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang dusun sederhana yang miskin itu cahaya kebahagiaan seperti yang ia lihat pada wajah-wajah suami isteri, kanak-kanak, ibu dan anak yang disusuinya itu. "Paman, bolehkah aku bertanya?" Maya Dewi merasa heran kepada diri sendiri. Mengapa ia t iba-tiba saja dapat bersikap seramah dan sehormat ini kepada seorang petani tua? Padahal, biasanya, tak seorangpun di dunia ini yang dihormatinya. Tak pernah ada perasaan dekat dengan orang lain, bahkan ia selalu mencurigai orang dan dapat membunuh orang dengan mata tak berkedip!
"Wah, tentu saja boleh, mas ayu! Akan tetapi apa yang hendak kau tanyakan?"
"Begini, paman. Jawablah dengan sejujurnya, apakah paman merasa bahagia dalam hidup ini?" Bertanya demikian, Maya Dewi menatap tajam mata kakek itu. Dari pengalamannya, ia akan tahu apakah kakek itu berbohong, ataukah jujur kalau menjawab pertanyaannya. Ia melihat kakek itu melebarkan kedua matanya, memandang ke atas, lalu mengerutkan alis dan termenung, seolah menjadi bingung oleh pertanyaannya. Kemudian dia menjawab pertanyaan Maya Dewi itu dengan pertanyaan pula.
"Mas ayu, apa sih kebahagiaan itu? Aku kok tidak mengerti. Coba kau jelaskan, apa yang kau maksudkan dengan rasa bahagia itu, mas ayu."
Maya Dewi menjadi bingung, akan tetapi lalu menjawab sedapatnya. "Rasa bahagia itu adalah... rasa tenteram, rasa senang gembira, riang, tidak bosan, tidak susah, tidak takut, tidak merasa hampa, tidak kesepian, tidak kesal, tidak...." Maya Dewi bingung sendiri.
Kakek itu tertawa, merasa lucu. "Oh begitukah? Jadi kau maksudkan dengan pertanyaan tadi, apakah aku tidak merasa bosan, tidak susah, tidak takut, tidak kesal, dan sebagainya lagi itu?"
Karena ia sendiri bingung, Maya Dewi mengangguk. "Ya, begitulah kira-kira."
"Kalau itu yang kau tanyakan, mas ayu, pada saat ini aku memang tidak merasa bosan, tidak susah, tidak kesal, tidak takut, tidak kesepian dan sebagainya itu."
"Nah, kalau begitu engkau bahagia paman!"
"Bahagia?" Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang penuh uban. "Aku? Bahagia? Entahlah! Yang jelas, aku merasa senang, sudah memperoleh lima ekor ikan lele yang dapat menggembirakan keluarga kami! Akan tetapi bahagia? Apa sih itu? Aku... maaf, mas ayu, aku tidak butuh itu. Permisi, mas ayu, aku ditunggu anak, mantu dan cucu-cucuku." Pengail itu lalu mengangkat pancingnya, mengambil kepisnya dan memakai capingnya, lalu pergi dar i situ menuju ke dusun disana.
Maya Dewi duduk termenung. Pengail itu berada dalam keadaan yang sama sekali berlawanan dengannya! Kalau ia merasa kecewa, kesal, sedih, hampa, kesepian, bosan, maka orang itu sama sekali tidak mempunyai perasaan yang serba tidak enak di hati itu. Kalau ia mencari dan membutuhkan bahagia, orang itu sama sekali tidak membutuhkannya. Bagaimana bisa begitu? Apakah ini yang menjadi sebab maka ia tidak merasa bahagia? Dan orang itu, si pengail orang dusun miskin sederhana, yang sudah merasa begitu gembira mendapatkan lima ekor ikan lele kecil, justru merupakan orang bahagia?
Maya Dewi menggeleng kepalanya, merasa nelangsa. Ia merasa seperti menghadapi teka-teki. Ia bangkit tanpa semangat, akan tetapi lama kelamaan ia menjadi penasaran sekali dan ia segera mengerahkan tenaga dan berlari cepat seperti terbang, menuju ke selatan. Ia ingin menjauhkan diri dari semua keramaian, bertapa seperti dulu. Kalau dulu ia bertapa untuk memperdalam ilmu-ilmunya, kini ia ingin bertapa untuk mencari dan merasakan apa yang dinamakan bahagia itu.
Dengan simpanan hartanya yang banyak berupa emas permata, Maya Dewi menyuruh para ahli bangunan membangun sebuah rumah mungil dan indah diatas tanah yang amat luas di sebuah bukit kecil di pegunungan Wilis, Ia membeli tanah di seluruh bukit itu dari kedemangan Pakis yang berada di kaki bukit, lalu dibangunnya sebuah rumah. Juga ia membuat sebuah taman yang luas dan indah disekeliling rumahnya. Bukan hanya tanaman bunga beraneka warna yang berada di taman, melainkan juga pohon-pohon buah-buahan.
Baru beberapa bulan saja Maya Dewi tinggal di bukit yang ia miliki dan ia beri nama Bukit Keluwung itu, tempat itu segera menjadi amat terkenal. Maya Dewi dikenal sebagai seorang wanita yang bukan hanya cantik jelita, akan tetapi juga tidak suka berhubungan dengan para penduduk disekitar pegunungan Wilis. Ia hidup menyendiri seperti seorang pertapa. Hanya kalau ia membutuhkan bumbu-bumbu masak dan segala kebutuhan lain, maka ia turun dari Bukit Keluwung untuk berbelanja.
Penduduk disekitar daerah itu amat kagum kepadanya karena kecantikannya, akan tetapi juga takut setelah mengetahui bahwa wanita cantik jelita itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Beberapa kali, para lelaki yang berani kurang ajar kepadanya, dihajar setengah mati. Apa lagi setelah Ki Sentolo seorang gegedug (jagoan) yang ditakuti orang, bahkan namanya terkenal sampai di Kadipaten Madiun, dengan congkaknya mengunjungi rumah Maya Dewi dengan maksud untuk menundukkannya. Banyak penduduk diam-diam mengikutinya dari jarak jauh untuk melihat apa yang akan terjadi.
Akan tetapi, laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh raksasa ini ketika bertemu dengan Maya Dewi, setelah berani mengucapkan kata-kata dan memperlihatkan sikap kurang ajar, lalu dihajar sampai setengah mati oleh wanita cantik jelita itu! Beruntung sekali Ki Sentolo bertemu dengan Maya Dewi sekarang. Kalau saja dia kurang ajar terhadap Maya Dewi dua tahun yang lalu, tentu dia sudah mati! Entah apa yang terjadi dalam hati Maya Dewi, kini ia bahkan bosan melakukan pembunuhan dan kekerasan, perangainya tidak seperti dulu lagi. Ia seolah kehilangan semangatnya.
Dihajarnya Ki Sentolo membuat nama Nyi Maya Dewi terkenal sekali. Mulailah para datuk dan orang-orang yang memiliki kesaktian mendengar bahwa Nyi Maya Dewi yang tadinya mereka anggap telah menghilang dan tidak pernah muncul lagi semenjak perang di Batavia selesai itu ternyata kini tinggal di Bukit Keluwung di pegunungan Wilis. Bahkan mereka yang tadinya belum pernah mengenalnya, kini mendengar bahwa Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita yang cantik jelita seperti dewi kahyangan, masih gadis, belum mempunyai suami, dan kaya raya.
Hal ini amat menarik perhatian tokoh-tokoh sakti yang masih hidup membujang. Isteri seperti itulah yang mereka inginkan. Cantik jelita, sakti, dan kaya! Malah bukan mereka yang masih perjaka saja yang tergila-gila, juga para pria jagoan yang sudah beristeri dan terutama para duda juga tertarik sekali. Maka berbondong-bondonglah mereka yang merasa dirinya sakti berdatangan untuk meminang Nyi Maya Dewi. Ada yang memamerkan dan mengandalkan harta bendanya, ada yang mengandalkan kedudukan dan kekuasaannya, ada pula yang mengandalkan kesaktiannya. Akan tetapi semua pinangan itu ditolak oleh Maya Dewi yang kini seolah merasa muak dan sebal melihat para pria yang tergila-gila kepadanya itu.
Dahulu ia merasa bangga kalau ada pria tergila-gila kepadanya, bahkan dengan senang hati ia dapat memilih diantara mereka yang menarik hatinya, bersenang-senang sepuasnya mengumbar nafsu berahi. Namun kini ia muak. Ia melihat betapa di balik pernyataan cinta mereka itu bersembunyi nafsu yang berkobar. Dari sinar mata mereka ia mengenal sinar yang penuh hawa nafsu, yang membuat ia merasa muak karena ia maklum bahwa dirinya hanya akan dijadikan hiburan kesayangan yang dapat memuaskan nafsu mereka.
Penolakan pinangan terhadap banyak orang itu mendatangkan akibat bermacam-macam. Ada pelamar yang merasa penasaran dan penolakan itu berakhir dengan adu kesaktian. Namun, tidak ada seorang pun di antara mereka yang mampu menandingi kesaktian Maya Dewi. Satu demi satu mereka yang mengandalkan kesaktian itu kalah dan roboh walaupun Maya Dewi tidak sampai membunuh mereka. Ada yang hendak mempengaruhinya dengan harta benda yang melimpah, Namun Maya Dewi tidak tertarik sama sekali. Ada pula yang mempergunakan aji guna-guna pameletan, namun wanita itupun dapat menolak semua serangan yang mempergunakan ilmu hitam dan sihir itu. Akan tetapi, setelah puluhan orang gagal, tak pernah ada lagi yang berani mengganggu Maya Dewi.
Beberapa orang datuk yang sakti mandraguna saja dikalahkan wanita cantik itu, apa lagi mereka-mereka yang kesaktiannya di bawah tingkat para datuk yang gagal itu. Mulailah Maya Dewi hidup tenang di Bukit Keluwung, di dalam rumahnya yang mungil. Tentu saja ia membutuhkan tenaga orang lain untuk merawat rumah dan tamannya yang luas. Ia mempunyai tiga orang pembantu wanita yang melakukan pekerjaan rumah, membersihkan rumah, mencuci, memasak dan sebagainya. Ia juga mempunyai dua orang pembantu pria yang merawat taman dan kebunnya. Akan tetapi lima orang pembantu ini hanya bekerja dari pagi sampai sore saja. Setelah pekerjaan mereka selesai, pada setiap sore hari mereka pulang ke rumah masing-masing yang berada di dusun bawah bukit itu. Mereka tidak banyak mengetahui tentang diri majikan mereka yang cantik jelita dan penuh rahasia itu.
Pada suatu sore di puncak Bukit Keluwung. Maya Dewi duduk seorang diri di beranda rumahnya. Lima orang pembantunya sudah pulang. Matahari sudah condong ke barat. Maya Dewi duduk melamun, teringat akan masa lalunya, di waktu ia masih remaja dan tinggal di Parahyangan. Ia teringat akan keluarganya, Resi Kalayitma ayahnya, Minarsih ibunya, dan seorang kakaknya bernama Candra Dewi.
Ketika ibunya meninggal dunia, ia berusia tiga belas tahun dan hidup bersama ayahnya dan kakaknya, Candra Dewi yang ketika itu berusia lima belas tahun. Ayahnya menggembleng mereka berdua dengan ilmu-ilmu tinggi, aji-aji kesaktian. Ketika ia berusia delapan belas tahun dan Candra Dewi berusia dua puluh tahun, ayahnya ingin memperisteri Candra Dewi yang merupakan anak tirinya, bawaan dari Minarsih.
Candra Dewi menolak, bahkan melarikan diri dan minggat, bahkan para penguasa Kerajaan Parahyangan menentangnya sehingga terpaksa Resi Kalayitma mengajak ia melarikan diri meninggalkan Parahyangan dan mengembara ke daerah Mataram di timur. Ia tidak tahu dimana adanya kakak tirinya itu. Ia masih ingat betapa cantiknya Candra Dewi, akan tetapi kakaknya itu mempunyai watak aneh. Candra Dewi mempunyai kecondongan untuk menjadi pertapa setelah mempelajari kitab-kitab weda dari Agama Hindu. Ia bahkan pernah mengatakan bahwa ia ingin hidup membujang selamanya, tidak akan pernah menikah dan hidup sebagai seorang pendeta!
Tentu saja ketika ayah tirinya hendak menjadikannya isteri pengganti ibunya, ia menolak keras dan minggat. Iapun masih ingat betapa kakaknya itu memiliki hati yang keras seperti baja. Maya Dewi menghela napas panjang. Kini terasa olehnya bahwa selama hidupnya, baru satu kali ia merasakan kasih sayang yang tulus, kasih sayang yang tanpa pamrih, yaitu kasih sayang dari mendiang ibunya. Agaknya kasih sayang seperti itulah yang menjadi satu di antara sebab ia murung dan kesal seperti sekarang ini. Ia kehilangan kasih sayang!
Berderapnya kaki kuda membuat Maya Dewi sadar dari lamunannya. Ia mengangkat muka dan melihat dua orang laki-laki melarikan kuda tunggangan mereka mendaki puncak dan kini telah berada di luar pintu pekarangan rumahnya. Maya Dewi memandang penuh perhatian. Mereka itu seorang kakek pendek gemuk dan seorang pemuda tinggi kurus berwajah tampan dan gagah. Maya Dewi mengerutkan alisnya. Tentu orang yang datang ini hendak meminangnya, pikirnya kesal. Ia tetap duduk diam tidak mengacuhkan sampai kedua penunggang itu melompat turun dari atas punggung kuda mereka, menambatkan kuda pada pohon yang tumbuh di pekarangan, lalu melangkah menghampiri beranda di mana Maya Dewi duduk seorang diri.
"Selamat sore, nimas ayu...!" terdengar suara lantang pria berusia sekitar tiga puluh dua tahun itu. Dia bertubuh tinggi kurus namun tegap dan kokoh, pakaiannya indah dan mewah sehingga sekali pandang saja Maya Dewi dapat menduga bahwa pemuda itu tentu seorang bangsawan. Wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya tajam, kulitnya coklat gelap. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir Indah. Di daerah Kerajaan Banten, pemuda ini bukan merupakan tokoh asing. Bahkan dia terkenal sekali karena pemuda ini adalah seorang pangeran!
Namanya Raden Jaka Bintara, seorang pangeran beribu selir. Selain berkedudukan tinggi sebagai seorang pangeran, terhormat dan kaya raya, dia juga seorang yang sakti karena Jaka Bintara ini adalah murid tersayang dari mendiang Kyai Sidhi Kawasa, seorang datuk dari Banten. Nama besar Nyi Maya Dewi, yang dikabarkan secantik dewi kahyangan dan kini sedang mencari jodoh, demikian kabar angin itu tersiar, menarik perhatian Jaka Bintara. Apa lagi ketika mendengar bahwa Nyi Maya Dewi itu adalah adik dari Nyi Candra Dewi yang namanya terkenal di Banten, dia menjadi semakin tertarik.
Sudah lama dia mendambakan seorang isteri yang selain cantik jelita, juga sakti mandraguna. Dia menemukan idaman hatinya itu pada diri Candra Dewi yang juga cantik dan sakti, akan tetapi Candra Dewi menolaknya dan Jaka Bintara tidak berani memaksanya karena Candra Dewi adalah seorang wanita yang tinggi sekali kepandaiannya. Mendengar salam yang ditujukan kepadanya itu, Maya Dewi mengangkat muka, memandang kedua orang itu dan menjawab salam itu dengan sebuah pertanyaan yang tidak manis.
"Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang berkunjung ke rumahku?"
Sambutan yang sama sekali tidak ramah itu tidak membuat Jaka Bintara kecewa. Dia malah tersenyum, sadar akan kegagahannya dan ketampanannya yang di daerahnya menarik hati banyak wanita. Dia seorang mata keranjang yang sudah bergaul dengan banyak wanita dan merasa yakin bahwa dia mampu menundukkan wanita termasuk Nyi Maya Dewi ini. Sejak tadi memandang wajah Maya Dewi, seketika dia sudah tergila-gila. Ternyata kecantikan wanita ini melebihi semua kabar yang didengarnya. Bukan main!
Pandang mata itu, tarikan bibir itu. menggairahkan dan menggemaskan! Juga dia agak tercengang melihat betapa wanita yang terkenal itu ternyata tampak masih muda sekali. Pantasnya baru berusia belasan tahun! Sejenak ia meragu. Benarkah ini wanita yang disohorkan itu? "Sebelum menjawab pertanyaan tadi, aku ingin tahu lebih dulu. Benarkah andika yang bernama Nyi Maya Dewi?"
Maya Dewi terpaksa mengangguk. "Kalau benar, lalu engkau mau apa?"
Jaka Bintara tersenyum. "Wah, sungguh senang sekali hatiku dapat bertemu denganmu, nimas. Kita ini bukan orang lain, karena aku adalah murid mendiang Kyai Sidhi Kawasa! Andika tentu mengenalnya dengan baik, bukan, ketika bersama-sama menentang Mataram?"
Maya Dewi mengerutkan alisnya. Ia tidak suka mendengar tentang semua itu. Masa lalu itu baginya kini menjemukan. "Aku tidak ingin bicara tentang siapapun. Hayo katakan siapa kalian dan apa perlunya datang kesini, atau lebih baik kalian cepat pergi meninggalkan tempat ini!"
Jawaban ketus ini tidak membuat Jaka Bintara mundur. Dengan wajah masih cerah tersenyum, dia berkata, "Nimas Maya Dewi, aku adalah seorang pangeran!" Dia berhenti, untuk melihat kesan yang didatangkan oleh pengakuan itu. Maya Dewi memang memandang heran, akan tetapi tidak terkejut. Bagi wanita yang sudah banyak pengalaman ini, tingginya kedudukan, banyaknya harta atau ketampanan wajah tidak lagi mempengaruhinya. "Hemm, pangeran? Pangeran dari mana?" tanyanya, nadanya membayangkan tidak percaya.
"Aku adalah Pangeran Raden Jaka Bintara dari kerajaan Banten! Dan ini adalah paman guruku, Kyai Gagak Mudra, adik seperguruan mendiang Kyai Sidhi Kawasa."
"Perkenalkan, Nyi Maya Dewi." kata kakek yang wajahnya penuh senyum tawa riang itu. "Aku mengenal baik Nyi Candra Dewi, bukankah ia kakakmu? Aku sudah mendengar tentang dirimu dari mendiang Kakang Sidhi Kawasa."
Akan tetapi nama-nama itu tidak mengubah sikap Maya Dewi yang kaku. "Lalu, apa keperluan kalian datang kesini?" tanyanya sambil menatap tajam wajah Jaka Bintara.
Menghadapi sikap yang kaku dan suara ketus itu, diam-diam Jaka Bintara merasa penasaran dan tersinggung juga. Dia amat dipandang rendah. Betapa pun cantik menariknya Maya Dewi, akan tetapi kalau bersikap sedingin itu terhadap dirinya, maka keangkuhannya sebagai seorang pangeran tersinggung sekali. Akan tetapi dia masih menekan perasaannya dan bersabar karena saat itu dia sudah tergila-gila akan kecantikan Maya Dewi.
"Nimas Maya Dewi. Aku mendengar berita bahwa andika masih hidup sendiri, belum mempunyai suami. Kebetulan sekali akupun belum mempunyai garwa padmi. Oleh karena itu aku sengaja jauh-jauh datang kesini untuk meminangmu menjadi isteriku. Marilah, nimas. Andika kuboyong ke Kerajaan Banten dan menjadi garwaku, hidup mulia, kaya raya, terhormat dan bahagia bersamaku disana."
Maya Dewi tersenyum mengejek. Sudah lama wanita ini tidak tersenyum dan kalau sekarang ia tersenyum, adalah karena ia mendengar Jaka Bintara mengeluarkan kata "bahagia" itu. Ia tersenyum mengejek, bukan senyum karena hatinya senang. "Bahagia? Hemm, aku tidak akan bahagia, bahkan semakin sengsara! Pergilah dan jangan ganggu aku. Aku tidak mau menjadi isterimu!"
"Maya Dewi!" Jaka Bintara kini membentak. "Lupakah engkau lamaran siapa yang sekali ini kau tolak? Aku adalah pangeran Banten!"
Maya Dewi juga menjadi marah dan ia bangkit berdiri dari tempat duduknya. Matanya mengeluarkan sinar kilat ketika ia membentak. "Tidak perduli engkau pangeran, atau dewa, atau setan, aku tidak sudi menjadi isterimu. Nah, pergilah dari tempatku ini!" Jari tangan kirinya menuding keluar untuk mengusir dua orang itu.
Muka Jaka Bintara yang berwarna gelap itu menjadi semakin gelap. Tangan kanannya meraba gagang pedangnya dan dia membentak, "Keparat...!"
Akan tetapi paman gurunya, Kyai Gagak Mudra segera menyentuh lengannya. "Sabarlah, raden! Bunga mawar indah berduri runcing, kuda yang baik berwatak liar, perempuan cantik yang galak dan panas semakin menggairahkan. Sebaiknya, pondong saja ia dan boyong ke Banten, raden."
Jaka Bintara ingat bahwa dia datang bukan untuk membunuh Maya Dewi, melainkan untuk mempersuntingnya. Maka dia melepaskan lagi gagang pedangnya. "Nimas, kalau engkau menolak pinanganku secara halus, terpaksa aku akan membawamu dengan paksa!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja Jaka Bintara bergerak ke depan, menerkam ke arah Maya Dewi seperti seekor harimau menerkam kelinci.
Maya Dewi terkejut juga. Ia memang sudah menduga bahwa laki-laki ini tentu saja tidak boleh dipandang ringan. Ia mengenal siapa Kyai Sidhi Kawasa yang sakti mandraguna. Laki-laki yang menjadi muridnya ini tentu saja memiliki kesaktian yang tidak dapat disamakan dengan para pria yang pernah datang mengganggunya selama ini. Laki-laki ini tentu merupakan lawan yang tangguh. Apa lagi paman gurunya yang pendek gendut itu. Akan tetapi ia tidak takut. Ia sudah mengambil keputusan bahwa mulai saat ia keluar dari pekerjaannya sebagai mata-mata Kumpeni, mulai saat ia menyadari bahwa jalan hidupnya yang lalu sama sekali tidak pernah mendatangkan kehidupan yang tenteram dan bahagia, ia tidak mau lagi menjadi permainan laki-laki, menjadi permainan nafsu-nafsunya sendiri. Cepat ia mengelak ke kiri ketika Jaka Bintara menubruknya dan sambil memutar tubuhnya ia membalas serangan lawan dengan tamparan ke arah leher Jaka Bintara.
"Wuuuutt... plak!" jaka Bintara menangkis dengan tangan kanan. Merasa betapa lengannya yang ditangkis itu tergetar, Maya Dewi penasaran. Ia mengerahkan Aji Wisa Sarpa (Pukulan Racun Ular) yang amat berbahaya karena pukulan ini memiliki hawa beracun yang berbahaya.
Jaka Bintara sudah menyelidiki akan kesaktian wanita ini sebelum dia datang dan paman gurunya sudah mendengar dari mendiang Kyai Sidhi Kawasa tentang ilmu-ilmu yang dikuasai Maya Dewi. Maka menghadapi serangan pukulan beracun itu dia cepat menandinginya dengan Aji Hastanal (Pukulan Tangan Api) yang mengandung hawa panas sehingga hawa pukulannya mampu membakar dan memunahkan hawa beracun pukulan Wisa Sarpa. Kedua orang itu bertanding dengan seru dan Kyai Gagak Mudra hanya menjadi penonton, namun siap siaga untuk membantu apabila murid keponakannya nanti kalah.
Maya Dewi juga menggunakan Aji Naka Sarpa (kuku ular) dan sepuluh buah kuku jari tangannya semua mengandung racun. Tergurat sampai luka sudah cukup untuk membahayakan nyawa lawan. Namun Jaka Bintara yang mengetahui akan ampuhnya kuku dan pukulan wanita cantik itu, bergerak cepat dan hati-hati dan selalu mengancam Maya Dewi dengan serangan pukulan apinya sehingga Maya Dewi juga tidak berani mendekat.
"Syuutt... tar-tar-tar...!" Sinar emas berkelebat dan menyambar-nyambar, mengeluarkan bunyi meledak-ledak. Itulah senjata sabuk Cinde Kencana, senjata yang amat diandalkan Maya Dewi. Bagaikan kilat menyambar-nyambar mengancam kepala serangan sabuk itu membuat Jaka Bintara terpaksa melompat jauh kebelakang untuk menghindarkan cambukan. Ketika Maya Dewi melompat mengejar, sinar hitam berkelebat dan pemuda pengeran Banten itu telah memegang sebatang pedang berwarna hitam.
Dua orang itu cepat menggerakkan senjata masing-masing dan tampaklah gulungan sinar emas dan sinar hitam saling desak, diseling suara meledak-ledak pecut ditangan Maya Dewi. Pertandingan itu seru bukan main dan Maya Dewi harus mengakui bahwa semenjak ia meninggalkan perantauannya dan menetap di tempat sunyi itu, baru sekali ini dia bertemu tanding yang benar-benar tangguh. Mungkin beberapa tahun yang lalu ia akan merasa senang bersahabat dan bergaul dengan pria seperti pangeran ini. Akan tetapi sekarang ia merasa sebal karena tahu benar bahwa pangeran ini hanya membutuhkan tubuhnya yang cantik menarik. Buktinya sekarang, begitu keinginannya tidak dituruti, laki-laki ini menyerangnya mati-matian dan berusaha keras untuk merobohkannya. Bahkan serangannya mematikan!
Agaknya, rasa sayang yang tadi diucapkannya, kini sudah berubah menjadi kebencian karena keinginannya tidak dituruti! Maka iapun melawan mati-matian dan merasa lebih baik roboh mati daripada menuruti kehendak Jaka Bintara untuk menjadi isterinya. "Hyaaaattt...!" Jaka Bintara membacokkan pedang hitamnya sambil mengerahkan seluruh tenaga. Serangan itu cepat dan kuat sekali sehingga Maya Dewi tidak sempat mengelak dan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanya dengan jalan menangkis. Iapun menggerakkan sabuknya dengan pengerahan tenaga pula, menangkis sambaran pedang itu.
"Cringgg...!" Tubuh Nyi Maya Dewi terhuyung ke belakang. Ternyata ia masih kalah kuat. Ketika ia terhuyung itu, Jaka Bintara mengejar dan menggerakkan pedang untuk memberi tusukan. Akan tetapi pada saat itu, Jaka Bintara menekuk lutut kanannya yang berada di depan dan dia terpelanting, hampir roboh. Dia cepat menjaga keseimbangan badan dan terhuyung ke kanan, Dengan sendirinya serangan kedua terhadap Maya dewi menjadi gagal sama sekali. Hanya dia yang tahu dan merasa bahwa ada sesuatu yang mengenai lutut kanannya, sesuatu yang membuat lututnya terasa ngilu dan lumpuh sesaat!
Dia terkejut sekali dan cepat melompat ke belakang, ke dekat paman gurunya. Kyai Gagak Mudra terkejut melihat betapa murid itu terpelanting dan dia mengira bahwa Jaka Bintara memang mengalami kekalahan. Apalagi melihat Maya Dewi kini siap untuk.menyerang. "Serang dengan Analabanu!" serunya dan dia lalu bersama-sama Jaka Bintara mendorongkan tangan kirinya ke arah Maya Dewi yang berdiri dalam jarak lima meter di depan mereka. Dari telapak tangan dua orang itu menyambar sinar api ke arah Maya Dewi. Wanita itu maklum bahwa ia diserang dengan pukulan jarak jauh yang ampuh. Iapun cepat mendorongkan tangan kirinya sambil membaca mantera. Telapak tangan itu berubah menjadi merah dan mengepulkan asap.
"Tapak Rudira (Tapak Darah) ...!" ia berseru dan hawa yang kuat keluar dari telapak tangan kirinya itu, menyambut serangan kedua orang lawannya. Pada saat itu, Kyai Gagak Mudra berteriak dan tubuhnya terhuyung ke samping. Tadi, tenaga gabungan murid dan paman guru itu dengan kuatnya menggempur tangkisan Maya Dewi yang menggunakan Aji Tapak Rudira.
"Blaaarrr...!!" Maya Dewi terkulai lemas dan roboh. Akan tetapi pada saat itu juga, Kyai Gagak Mudra berteriak dan tubuhnya terhuyung ke samping. Pinggangnya terasa ada yang menotok dan separuh tubuhnya lumpuh. Pada detik berikutnya kembali Jaka Bintara mengaduh dan dia jatuh terduduk, kakinya yang kanan juga tidak dapat digerakkan. Dua orang paman guru dan keponakan murid itu terkejut bukan main. Mereka tak pernah mengira bahwa Maya Dewi sedemikian kuatnya dan saktinya. Mereka hanya melihat wanita cantik itu roboh akan tetapi kini sudah bangkit lagi, kedua telapak tangan berlepotan darah dan mukanya yang elok itupun penuh darah yang keluar dari mulutnya sehingga tampak amat menyeramkan. Mata yang mencorong itu memandang kepada mereka dengan melotot buas!
Melihat ini, Kyai Gagak Mudra membuka mulutnya dan terdengar dia berteriak parau, persis suara seekor burung gagak yang ketakutan. "Kraaaakkk... gaaakkk... gaaakkk...!" Suara ini menandakan bahwa datuk sakti ini dilanda ketakutan. Melihat keponakan muridnya belum juga dapat bangkit duduk, dia segera menyambar lengan Jaka Bintara, mengerahkan tenaganya dan segera menarik pangeran itu dan melarikan diri dengan cepat seolah terbang karena dia menduga bahwa kalau lebih lama dia tinggal disitu bersama keponakan muridnya, bukan hal yang mustahil kalau mereka berdua akan mati konyol oleh Maya Dewi yang demikian sakti mandraguna!
Maya Dewi bangkit berdiri memandang ke arah lar inya dua orang itu. Tubuhnya bergoyang-goyang, kedua tangan, muka, juga pakaiannya berlepotan darah segar. Setelah yakin bahwa dua orang penyerangnya sudah pergi jauh, ia terdesak, merintih, mulutnya menyeringai kesakitan, matanya terpejam dan iapun terkeilai roboh. Pingsan. Senja telah tiba. Cuaca remang. Tubuh Maya Dewi tergeletak miring. Rambutnya yang hitam panjang terurai lepas bagaikan selimut sutera tipis melindungi tubuhnya yang mandi darah. Suasana disekitar rumah mungil itu sunyi, seolah tidak ada seorangpun manusia yang tadi menyaksikan apa yang telah terjadi ditempat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba sesosok bayangan muncul dari balik batang pohon sawo yang tumbuh di pekarangan rumah Maya Dewi dan bayangan ini dengan langkah kaki tenang menghampiri tubuh wanita yang menggeletak itu. Bayangan seorang pemuda remaja. Kurang lebih enam belas tahun usianya. Melihat perawakannya, dia seperti sudah dewasa. Akan tetapi cahaya matahari senja masih sempat memperlihatkan wajahnya yang masih amat muda, walaupun ada sesuatu dalam pandang matanya yang mencorong membayangkan kematangan jiwa.
Pemuda itu adalah Bagus Sajiwo. Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, pemuda ini ditinggal gurunya, Ki Ageng Mahendra yang wafat. Setelah jenazah gurunya diperabukan, dia lalu meninggalkan pegunungan Ijen, mengembara tanpa tujuan tertentu, berserah diri kepada Sang Hyang Widhi, mengikuti saja kemana suara kaki dan langkah kaki membawanya. Pada suatu hari menjelang sore, Bagus Sajiwo tiba di kaki pegunungan Wilis. Dari jauh dia melihat Bukit Keluwung dipegunungan itu.
Hatinya tertarik oleh keindahan yang jarang dilihatnya. Pelangi beraneka warna melengkung di atas bukit, begitu cemerlang, begitu sempurna lengkungnya, begitu indah warnanya, sehingga teringatlah dia akan dongeng yang pernah didengarnya tentang "anda widadari" (tangga bidadari) yang menurut dongeng menjadi tangga dari mana para bidadari turun dari kahyangan menuju bumi untuk berbahagia menyebar keindahan dan kebaikan di antara manusia.
Tiba-tiba lamunannya membuyar ketika dia melihat dua orang melarikan kuda tunggangan mereka mendaki Bukit Keluwung. Bagus Sajiwo tidak mengenal Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra yang mendaki Bukit Keluwung dengan kuda mereka itu dan kedua orang itupun tidak memperdulikan pemuda remaja sederhana seperti seorang dusun itu. Akan tetapi pada waktu itu Bagus Sajiwo sudah menyerap ilmu yang mendalam dari mendiang Ki Ageng Mahendra sehingga jiwanya peka sekali dan dia dapat merasakan adanya hawa panas daya rendah nafsu angkara mengudara dari dua orang itu.
Hatinya merasa tidak tenang. Dia khawatir kalau-kalau keindahan pelangi melengkung di atas bukit itu akan menjadi rusak. Maka tanpa disengaja atau disadari, dia sudah bergerak melangkah, mendaki Bukit Keluwung membayangi dua orang penunggang kuda itu. Setibanya di puncak dia melihat betapa dua orang laki-laki penunggang kuda tadi sedang bertanding, mengeroyok seorang wanita yang dapat menandingi mereka dengan gigih.
Bagus Sajiwo masih belum dewasa benar untuk dapat menilai secara mendalam daya tarik atau kecantikan wanita, akan tetapi apa yang dilihatnya pada diri Maya Dewi sungguh membuat dia terpesona, seolah melihat bentuk bidadari yang tadi dia bayangkan menuruni bumi melalui "tangga bidadari" dari kahyangan itu. Akan tetapi diapun merasa heran dan ngeri melihat sikap, terutama pandang mata bidadari itu. Demikian mengerikan!
Sungguh suatu keajaiban yang tidak mudah, bahkan tidak dapat dipelajari dengan hati akal pikiran, tidak dapat diraih dengan kemauan dan kehendak nafsu. Keadaan yang ajaib ini tak mungkin dapat terjadi atas kehendak manusia, melainkan baru akan dapat terjadi atas kehendak Tuhan semata. Manusia hanya dapat menyerah pasrah dengan segenap jiwa raganya, setiap saat bersyukur memuji keagungan Tuhan atas berkahNya yang berlimpahan sepanjang hidup kita, mohon pengampunan atas semua dosa kita dengan bukti pertaubatan dan mohon bimbinganNya karena hanya dengan bimbingan Roh Allah saja kita tidak akan tersesat dari jalan hidup yang benar dan yang sesuai dengan kehendakNya.
Rasa nelangsa dan hampa, rasa kesepian itu hanya sebentar menekan hati Bagus Sajiwo. Dia segera dapat mengatasinya. Dia tidak tahu kemana harus pergi. Pulang ke Gunung Kawi? Dia tidak berani melanggar janjinya kepada mendiang gurunya. Tidak, sebelum berusia dua puluh tahun, kurang lebih empat tahun lagi, dia tidak akan menemui ayah bundanya. Lalu ke mana? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi dia teringat akan pesan gurunya agar dia selalu menegakkan keadilan dan kebenaran, membela yang lemah tertindas dan menentang mereka yang melakukan kejahatan terhadap sesama manusia.
Jadi, kemana saja dia boleh pergi dan seperti biasa, dalam keadaan tanpa pilihan ini, tidak ada jalan lain kecuali menyerah. Biarlah Gusti Allah yang akan menuntun kedua kakiku melangkah, pikirnya. Demikianlah, Bagus Sajiwo hanya melangkah saja, menghindari jalan yang licin dan sukar, menuruni bukit dan tanpa dia sengaja, kedua kakinya menuruni bukit itu ke sebelah barat.
********************
Kegagalan serangan Mataram terhadap Kumpeni Belanda selama dua kali berturut-turut (tahun 1628 - 1629) membuat Kumpeni Belanda mengubah politiknya. Kini mereka lebih berhati-hati dan sikap mereka tidak sekeras dulu. Mereka berusaha mendekati Sultan Agung melalui kadipaten-kadipaten, terutama kadipaten yang berada di sepanjang pesisir Laut Utara. Mereka secara royal mengirim hadiah-hadiah dan tidak terlalu memaksakan kehendak mereka.
Untuk sementara mereka merasa puas dengan hasil keuntungan dari perdagangan. Juga mereka tidak terlalu percaya lagi kepada para penduduk pribumi yang tadinya menjadi antek mereka, karena banyak diantara penduduk yang berkhianat kepada Kumpeni. Pemimpin Kumpeni yang bertugas menangani para penduduk pribumi yang menjadi mata-mata bayaran pada waktu itu sepenuhnya dipegang oleh Mayor Yacques Lefebre yang oleh Mataram lebih dikenal dengan nama Jakuwes. Mayor Jakuwes ini tinggal di dalam sebuah gedung besar di Batavia, gedung yang mewah dan terjaga ketat. Di tempat inilah biasanya para mata-mata yang membantu Kumpeni menghadap Mayor Jakuwes.
Diantara sekian banyaknya telik sandi (mata-mata) penduduk pribumi yang membantu Mayor Yacques terdapat seorang tokoh wanita yang amat terkenal karena kesaktian dan kecantikannya. Tokoh ini bernama Nyi Maya Dewi, seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih yang amat cantik jelita. Selain terkenal cantik jelita menggairahkan, ia juga terkenal sakti mandraguna dan amat berbahaya dan kejam sehingga banyak orang menyebutnya sebagai iblis betina!
Nyi Maya Dewi berasal dari Parahyangan dan puteri dari mendiang Resi Kalayitma, seorang bertubuh raksasa, datuk yang amat terkenal dari Parahyangan. Akan tetapi karena resi ini melakukan banyak kejahatan, maka dia menjadi orang buruan dan terusir dari Parahyangan. Dalam pelarian itu dia membawa puteri tunggalnya, yaitu Nyi Maya Dewi, merantau dan akhirnya ayah dan anak ini diperalat Kumpeni Belanda. Bahkan akhirnya Nyi Maya Dewi menjadi telik-sandi Belanda yang dipercaya dan sudah banyak jasanya. Setelah Resi Kalayitma meninggal dunia, Nyi Maya Dewi masih melanjutkan kegiatannya menjadi antek Kumpeni Belanda.
Pada senja hari itu, suasana di jalan raya depan gedung tempat tinggal Mayor Jakuwes sudah sepi. Jarang ada orang berlalu lalang dan para penjaga di gardu depan gedung itu baru saja diganti. Tiga orang berjaga disitu, dengan bedil ditangan. Dari arah timur di jalan raya itu tampak seorang wanita berjalan melenggang menuju ke depan gedung. Wanita ini bukan lain adalah Nyi Maya Dewi. Dalam keremangan senja itu masih tampak kecantikannya yang mempesona. Sama sekali tidak kelihatan sebagai seorang wanita berusia tiga puluh tahun.
Sepatutnya usianya baru dua puluh tahun kurang, seperti seorang gadis yang baru dewasa, bagaikan setangkai bunga mawar yang baru mekar semerbak. Rambutnya hitam panjang digelung indah, ujungnya masih terurai d i pundaknya. Wajah yang agak bulat itu berseri, kulit muka, leher dan lengan yang tak tertutup amat putih mulus kemerahan. Matanya lebar dengan kedua ujung agak berjungat ke atas, bukan main manisnya. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya sungguh memiliki daya tarik yang seimbang dengan matanya. Bibirnya merah basah, tipis dan bentuknya begitu menggairahkan.
Sungguh Nyi Maya Dewi merupakan seorang wanita yang ayu manis, memiliki kecantikan yang khas dari para mojang Parahyangan. Bentuk tubuhnya juga amat menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sempurna dan tepat pada ukurannya yang serasi. Lenggangnya lemah gemulai seperti seorang yang sedang menari, membuat siapapun juga yang berpapasan dengannya pasti menengok berulang kali sampai jalannya menabrak sesuatu di depannya! Yang lebih menarik lagi adalah karena pada kerling matanya yang setajam pedang pusaka, senyum bibirnya yang semanis madu itu mengandung kegenitan yang merangsang dan menantang.
Akan tetapi, saat ia melenggang menuju ke arah gedung besar itu, wajah yang ayu itu seolah terselubung awan. Bahkan sepasang mata yang seperti bintang kejora itu menerawang, seolah melamun. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya mengganggu pikirannya. Nyi Maya Dewi pada saat itu merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan. Ia melihat segala sesuatu sebagai penglihatan yang tidak menyenangkan, bahkan menyebalkan. Segala sesuatu tampak menjemukan. Ia seperti kehilangan sesuatu, kehilangan gairah hidup! Ia tidak tahu bahwa semua ini merupakan tanda-tanda bahwa ia sudah merasa jenuh dengan segala yang didapatinya dalam kehidupan.
Pergaulannya dengan pria-pria tampan sekehendak hatinya, ia tinggal pilih. Namun semua itu kini terasa menjemukan. Ia tidak menemukan kebahagiaan sejati dalam semua kesenangan itu. Seperti orang kekenyangan yang akhirnya merasa muak dengan apa yang tadinya ia anggap sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Ia kehilangan sesuatu, dan sesuatu itu, tanpa ia sadari, adalah cinta kasih! Banyak ia bertemu pria yang seolah memujanya, akan tetapi semua itu kini terasa memuakkan karena pemujaan itu hanya lahiriah belaka, hanya karena nafsu berahi.
Tidak pernah ia merasakan adanya cinta kasih yang sejati. Dan agaknya ia haus akan perasaan itu, haus akan cinta! Ia rindu menemukan orang yang benar-benar mencintanya, bukan sekedar menyenangkan tubuhnya yang cantik menarik. Ia muak akan semua kesenangan yang selama ini mudah diraihnya. Harta benda membosankan. Pemuasan nafsu berahi akhirnya juga menjemukan, bahkan memuakkan karena dibalik semua keindahan itu ia mulai melihat kekotoran nafsu berahi. Sudah berbulan-bulan ia merasakan semua ini. Ia ingin lari dari semua kesenangan itu. Ia tidak membutuhkannya lagi. Ia membutuhkan sesuatu yang lain, yang tidak pernah dikenalnya. Ia merindukan sesuatu yang lain dan jiwanya seolah membisikkan bahwa selama ini ia telah meniti jalan yang semakin menjauhkannya dari sesuatu yang dirindukannya itu.
Perasaan itulah yang membawa Nyi Maya Dewi pada sore hari itu ke Batavia. Ia ingin menemui Mayor Jakuwes yang selama ini menjadi atasannya. Tiga orang serdadu Belanda yang bertugas jaga di dalam gardu depan rumah gedung Mayor Jakuwes melangkah keluar gardu dan memalangkan bedil mereka ketika melihat Nyi Maya Dewi melangkah masuk ke pekarangan. Akan tetapi mereka bertiga terpesona ketika melihat wanita yang tersorot sinar lampu yang tergantung di depan gardu penjagaan. Mereka terbelalak dan seolah tidak percaya kepada pandang mata mereka sendiri. Wanita itu begitu cantiknya, melebihi semua gambaran khayal mereka. Mereka tidak mengenal Nyi Maya Dewi dan hal ini tidaklah mengherankan karena biarpun wanita itu merupakan pembantu yang amat penting dari Mayor Jakuwes, namun sebagai seorang mata-mata tentu saja kehadirannya selalu dirahasiakan.
"Siapakah engkau, nona? Ada keperluan apakah nona masuk kesini?" Sikap tiga orang itu dan pertanyaan ini yang tadinya akan dilakukan dengan keras, menjadi ramah bahkan ketiganya tersenyum simpul, seperti biasa dilakukan para laki-laki kasar berhadapan dengan wanita cantik.
Nyi Maya Dewi sedang kesal hatiya. Melihat tiga orang serdadu Belanda yang kulit mukanya kemerahan dan mulut mereka mengeluarkan bau minuman keras itu mendekatkan muka mereka kepadanya sambil cengar-cengir, ia melangkah mundur. "Tidak perlu kalian ketahui siapa aku. Laporkan saja kepada Mayor Jakuwes agar dia keluar menemui aku!" kata Nyi Maya Dewi dengan suara kering.
Seorang di antara tiga serdadu itu, yang mukanya merah karena kebanyakan minum bir dan agaknya menjadi pemimpin mereka, melangkah maju mendekati Nyi Maya Dewi. "Tidak bisa, nona manis. Untuk melapor ke dalam kami harus tahu lebih dulu siapa engkau dan apa keperluanmu. Mari, masuklah dulu ke dalam gardu, kami akan memeriksamu lebih dulu. Siapa tahu engkau mempunyai niat jahat!" Si muka merah itu menjulurkan tangannya dan menangkap lengan kiri Nyi Maya Dewi.
"Keparat!" Wanita yang sedang kesal hatinya itu menjadi marah. Sekali menggerakkan tangan, ia sudah menampar pipi serdadu itu. "Plak!!" Serdadu itu terpelanting dan mengaduh. Beberapa buah giginya rontok dan pipinya menjadi bengkak! Dua orang kawannya cepat maju untuk menangkap wanita itu. Akan tetapi mereka disambut tamparan tangan yang bergerak dengan cepat dan kuat sekali.
"Plak-plak....!!" Dua orang serdadu itupun terpelanting roboh. Mereka menjadi marah dan ketiganya sudah menyambar bedil mereka, akan tetapi tiba-tiba bedil-bedil itu direnggut lepas dari tangan mereka dan tiga kali Nyi Maya Dewi menggerakkan kedua tangan, tiga batang bedil itupun patah dan dibuang ke atas tanah oleh Nyi Maya Dewi!
Melihat ini, tiga orang serdadu itu terkejut setengah mati, juga ketakutan karena peristiwa itu mengingatkan mereka akan cerita tentang setan-setan yang katanya banyak berkeliaran di waktu malam. Mereka lari tunggang langgang memasuki gedung itu dan tak lama kemudian, Mayor Jakuwes sendiri keluar dari gedung itu, dikawal tujuh orang serdadu yang sudah siap dengan bedil di tangan. Tujuh orang itu sudah mencari kedudukan yang aman, bersembunyi di balik tiang dan pot bunga sambil menodongkan bedilnya. Akan tetapi ketika Mayor Jakuwes melihat Nyi Maya Dewi, dia segera mengenalnya dan mengangkat tangan.
"Stop! Jangan tembak, ia kawan sendiri!" Para serdadu itu menurunkan todongan mereka dan t idak merasa tegang lagi dan Mayor Jakuwes lalu melangkah lebar menghampiri Nyi Maya Dewi sambil tersenyum lebar dan menjulurkan tangan kanannya.
"Oh, kiranya engkau, Maya Dewi!" katanya gembira.
Maya Dewi menerima jabatan tangan itu dan ia mengerutkan alisnya ketika merasa betapa hangatnya jabatan tangan orang Belanda itu dan betapa agaknya Mayor Jakuwes tidak mau segera melepaskan jabatannya. Maya Dewi menarik tangannya terlepas dari jabatan. "Aku ingin bicara, tuan mayor!" katanya dengan singkat.
"Oo, boieh, boleh! Mari masuk, kita bicara di dalam, Maya Dewi!" kata Mayor Jakuwes, laki-laki Belanda peranakan Portugis itu sambil tersenyum.
Mayor yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun ini memang sudah lama sekali tergila-gila kepada Maya Dewi, akan tetapi wanita itu tidak pernah mau melayaninya. Mereka lalu memasuki gedung besar itu. Diam-diam Mayor Jakuwes yang sudah tahu benar betapa sakti dan berbahayanya Nyi Maya Dewi, memberi isyarat kepada tujuh orang serdadu pengawalnya. Mereka lalu mengikuti dua orang itu dari belakang dan ikut memasuki ruangan luas di mana mayor itu mengajak Maya Dewi duduk dan bicara.
Maya Dewi teringat beberapa bulan, atau kurang lebih setahun yang lalu, sebelum Batavia diserbu untuk ke dua kalinya oleh Mataram, ia sering duduk mengadakan perundingan dengan mayor ini dan pembesar Kumpeni lain, dihadiri pula oleh datuk yang memusuhi Mataram dan yang rela menjadi antek Kumpeni, seperti Kyai Sidhi Kawasa, Aki Somad, Wiku Menak Koncar, dan masih banyak lagi. Akan tetapi mereka semua telah tewas dalam perang melawan Mataram. Ia beruntung dapat meloloskan diri.
Kini tampak olehnya betapa para datuk itu mengorbankan nyawa mereka untuk membela orang-orang asing kulit putih yang kini masih hidup serba mewah dan sama sekali tidak perduli akan nasib para datuk yang tewas dalam membantu Kumpeni. Andaikata ia sendiri juga menjadi korban dan tewas dalam pertempuran itu, mayor ini dan semua orang Belanda pasti sudah melupakannya! Pengorbanan sia-sia, bahkan mendapat julukan pengkhianat nusa bangsa!
Setelah dua orang itu duduk berhadapan terhalang meja besar, dan tujuh orang pengawal itu duduk di sudut ruangan, tampak santai namun sebenarnya siap siaga dengan bedil mereka, Mayor Jakuwes memandang wajah yang cantik jelita yang tampak semakin cemerlang disinari lampu gantung besar yang menerangi ruangan itu. Dia melihat betapa wajah ayu itu keruh, alis yang kecil hitam panjang melengkung itu berkerut dan bibir manis yang biasa mengembangkan senyum menggairahkan itu kini agak cemberut.
"Zo, Maya Dewi, senang sekali hatiku dapat bertemu denganmu. Aku selalu mengenang dan memikirkan keadaanmu dan aku girang mendengar berita bahwa engkau tidak tewas dalam pertempuran seperti kawan-kawan lain. Kemana saja selama ini engkau pergi?"
Dengan alis berkerut dan sinar mata penasaran Maya Dewi memandang Belanda itu lalu berkata dengan nada sinis. "Tuan, Kumpeni mendapat kemenangan dan kami yang membantu menjadi tumbal, mati konyol!"
"Zeg, Maya Dewi. Apa maksudmu? Kalian bekerja kepada kami sudah mendapat imbalan. Soal tewas dalam perang merupakan hal biasa dan lumrah. Akan tetapi aku tidak melupakan jasa-jasamu, Maya Dewi. Sudah lama sekali aku memikirkan, hadiah apa yang paling pantas kuberikan padamu. Harta benda, engkau tentu tidak membutuhkan. Aku lalu mengambil keputusan..." dia menoleh ke arah para serdadu yang duduk di sudut ruangan, tidak terlalu dekat dengannya dan melanjutkan dengan suara lirih, "bagaimana kalau engkau kuangkat menjadi isteriku, menemaniku hidup disini. Kau tahu, Maya Dewi, aku berada diBatavia, seorang diri dan aku... aku suka sekali denganmu."
Maya Dewi merasa muak. Semua pria mengatakan cinta padanya. Entah sudah berapa kali ia terkecoh. Cinta mereka itu hanya cinta nafsu, hanya menginginkan tubuhnya, hanya ingin mereguk kenikmatan dari tubuhnya. Ia sudah hafal dan muak. Sinar mata yang kebiruan itupun kini memandangnya bukan penuh kasih sayang, melainkan penuh nafsu berahi. Betapa buruk wajah itu tampaknya, seperti wajah binatang buas, seperti wajah setan!
"Tuan mayor, jangan bicara ngawur! Aku datang untuk mengembalikan ini, bukan untuk hal lain!" Maya Dewi melemparkan mata uang emas bergambar singa yang selama ini menjadi tanda bahwa ia seorang mata-mata penting Kumpeni. Mata uang itu jatuh berdencing di atas meja. Melihat Maya Dewi bangkit berdiri, Mayor Jakuwes segera mengambil uang emas itu dan ikut berdiri pula, memandang kepada wanita itu dengan alis berkerut.
"Maya Dewi, apa maksudnya ini?" tanyanya, setengah membentak.
"Maksudnya sudah jelas! Aku pamit, aku keluar dan tidak lagi membantu Kumpeni!"
"Dan lamaranku?"
"Aku tidak mau menjadi isterimu, Mayor. Selamat tinggal!" kata Maya Dewi dan ia sudah menggerakkan kakinya untuk memutar tubuh.
"Wacht even (tunggu dulu)!" Mayor Jakuwes membentak dan dengan langkah lebar dia memutari meja dan menghampiri Maya Dewi.
"Engkau tidak boleh pergi begitu saja, Maya Dewi! Seorang mata-mata Kumpeni tidak boleh meninggalkan kami begitu saja karena ia dapat menjadi pengkhianat! Engkau harus menerima lamaranku, hidup senang disini bersamaku, atau, terpaksa aku akan menahanmu dan memasukkan engkau dalam penjara!"
Sepasang mata indah itu sampai terbelalak saking kaget dan marahnya mendengar kata-kata itu. Sinar mata itu mencorong seperti mata harimau dalam gelap. Perasaan hati Maya Dewi saat ia menghadap Mayor Jakuwes sedang kesal dan marah. Maka, mendengar ancaman itu keadaan hatinya yang kesal dan marah itu seperti api disiram minyak. Kemarahannya memuncak dan sekali ia menggerakkan tangan kirinya, ia sudah menampar ke arah muka Jakuwes. Mayor yang tentu saja bukan seorang laki-laki lemah itu cepat menangkis dengan tangan kanannya. Namun, tangan kiri Maya Dewi membuat tangkisannya terpental dan tangan itu tetap meluncur kearah rahangnya.
"Wuuuttt... tasss...!!" Tubuh Jakuwes terpelanting dan dua atau tiga buah giginya copot! Jakuwes berguling di atas tanah, kesakitan dan marah sekali. Sebelum bangkit kembali, dia sudah memberi aba-aba kepada tujuh orang serdadu pengawalnya.
"Schiet haar dood (Tembak mat i ia)!!" Tujuh orang serdadu itu menggerakkan bedil, akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi ledakan dan lampu gantung itu pecah berantakan. Dalam keadaan gelap gulita karena tiba-tiba lampu padam itu, meja besar tadi melayang ke arah tujuh orang serdadu. Mereka tertimpa meja besar, suaranya hiruk pikuk dan mereka mengaduh-aduh kacau. Dalam keadaan itu, Maya Dewi cepat melompat keluar dari gedung dan menghilang dalam kegelapan malam.
Mayor Jakuwes mencoba untuk mengejar, akan tetapi karena para serdadu itu sudah merasa jerih, maka pengejaran itupun hanya setengah hati dan kegelapan malam melindungi Maya Dewi sehingga sebentar saja ia sudah menghilang dari pandangan mereka. Sebentar saja gegerlah Batavia. Banyak serdadu berkeliaran, berlari kesana-sini menyusuri seluruh bagian Batavia, untuk mencari Maya Dewi. Semua rumah penduduk digeledah, bahkan mereka yang dicurigai sebagai orang yang mungkin mengetahui dimana wanita itu berada, ditangkap, ditahan dan diperiksa. Namun semua usaha Kumpeni sia-sia belaka.
Maya Dewi sudah tidak berada di Batavia lagi dan begitu tadi berhasil keluar dari gedung tempat tinggal Mayor Jakuwes, wanita sakti itu langsung keluar dari pintu gerbang Batavia dan ketika para serdadu sibuk menyusuri seluruh Batavia, ia sudah melarikan diri jauh meninggalkan kota Kumpeni itu. Pasukan Kumpeni juga disebar keluar kota, namun tidak ada yang dapat menemukan jejaknya, maka akhirnya mereka kembali ke benteng dengan tangan hampa.
Maya Dewi meninggalkan Batavia dan merantau, mencari sesuatu yang selama ini diam-diam amat dirindukannya, yang selama ini seolah tak pernah dapat diraihnya. Ia sebetulnya sudah memiliki segala yang dapat dicapai oleh usaha manusia, segala macam bentuk kesenangan duniawi. Ia seorang wanita yang cantik jelita, yang dapat membuatnya bangga karena hampir semua pria yang melihatnya tentu menjadi tertarik dan banyak yang tergila-gila. Ia juga memiliki kesaktian yang hebat, yang membuat ia merasa aman dan bahkan dapat memaksakan semua kehendaknya kepada orang lain. Ia tidak pernah kekurangan apapun karena dengan kepandaiannya yang hebat, ia bisa mendapatkan benda apa saja yang dikehendakinya biarpun itu dilakukannya dengan cara mencuri, merampas atau dengan cara apapun juga.
Bahkan dengan aji kesaktiannya itu, ia bisa mendapatkan semua laki-laki yang menarik hatinya dengan pengaruh aji pengasihannya. Ia juga dapat mempertahankan kecantikannya, membuatnya tampak selalu seperti seorang gadis muda. Dan selama kurang lebih sepuluh tahun ini, ia sudah memuaskan segala nafsunya, apapun yang ia inginkan ia dapat memperolehnya. Segala macam kesenangan telah direguknya sepuas-puasnya, menggunakan segala cara. Ia tidak pantang melakukan perbuatan jahat yang bagaimanapun kejinya demi mencapai apa yang diinginkannya. Akan tetapi, makin banyak kesenangan yang dilahapnya, ia menjadi semakin lapar.
Semakin banyak kesenangan diteguknya, ia menjadi semakin haus. Bahkan lebih dari itu, ia mulai merasakan kebosanan yang hebat. Apa yang semula terasa manis, kini berubah menjadi pahit, apa yang semula terasa enak, kini menjadi memuakkan. Apa yang tadinya dirasakan sebagai suatu kesenangan, kini menjadi kekesalan. Bosan, bosan, dan bosan! Kebosanan ini yang membuat ia merasa sengsara. Ia merasa hidupnya hampa, tak berarti. Ia merindukan sesuatu, tanpa ia mengerti apa sesuatu yang dirindukannya itu. Tertindih perasaan yang membuatnya merana dan merasa sengsara, membuat ia teringat akan pantai Laut Kidul dimana ia dahulu pernah bertapa memperdalam ilmu-ilmunya. Maka, iapun melangkahkan kakinya menuju kesana.
Di sepanjang perjalanannya, Maya Dewi melihat betapa sesuatu yang dirindukannya namun yang tidak diketahuinya apa itu dimiliki oleh banyak orang yang ditemuinya dalam perjalanan itu. Ia melihat sekumpulan anak-anak berusia antara lima sampai sepuluh tahun bermain-main di anak sungai. Mereka terjun ke air, Berkecimpung, tertawa-tawa, bertelanjang dan bersorak sorai. Ada sesuatu yang lebih dari sekedar kesenangan terpancar pada wajah dan pandang mata mereka yang berbinar-binar, terdengar dalam suara teriakan dan tawa mereka.
Dia melihat suami isteri yang sedang bekerja di ladang yang laki-laki mencangkul, yang perempuan mencabuti rumput yang mengganggu tanaman kacang mereka dan sambil bekerja, si isteri bertembang. Tembang Kinanti yang sederhana saja, model dusun, dengan suara yang sederhana dan agak sumbang. Lalu sambil bersembunyi ia melihat suami isteri itu berhenti, mengaso dan duduk digalengan (pematang) dan makan singkong rebus, minum air kendi sambil bercakap-cakap.
Suami isteri itu berusia kurang lebih empat puluh tahun. Sang suami merupakan seorang laki-laki dusun yang sederhana wajahnya, sederhana pula pakaiannya, tidak tampan atau menarik. Demikian pula sang isteri, wanita dusun biasa, bahkan condong buruk wajahnya, gembrot bentuk tubuhnya, tidak menarik. Adapun hidangan yang mereka makan itu teramat sederhana, hanya singkong rebus dan air kendi. Akan tetapi, Maya Dewi bengong melihat kenyataan yang dihadapinya. Suami isteri itu makan dengan enak dan lahapnya, minum air kendi dengan segarnya sampai ia harus menelan ludah sendiri karena timbul selera melihat mereka makan demikian lezat.
Dan ketika bercakap-cakap, suami isteri itu saling pandang, saling senyum dan kembali Maya Dewi menangkap sesuatu itu, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan! Maya Dewi menghela napas, makin merasa betapa hampa hidupnya, nelangsa hatinya dan ketika ia meninggalkan suami isteri itu, wajahnya agak pucat dan dua butir air menggantung di pelupuk ke dua matanya. Ia melanjutkan perjalanan, mengingat-ingat. Sepanjang pengalamannya dalam kehidupan yang sudah tiga puluh tahun lebih ini, ia sudah merasakan segala macam kesenangan. Akan tetapi semua itu kini terasa hampa, tidak ada artinya dan berakhir dengan kebosanan. Banyak orang bicara tentang kebahagiaan.
Semula ia mengira bahwa ketika memuaskan nafsu-nafsunya, ia telah mencapai kebahagiaan. Namun kenyataannya tidak demikian. Ia hanya mengunyah kesenangan yang akhirnya hanya mendatangkan kebosanan dan kemuakan. Kebahagiaan? Rasanya, belum pernah ia menyentuhnya, atau belum pernah ia disentuh kebahagiaan! Apa dan bagaimana rasanya kebahagiaan itu? Dimana tempatnya dan bagaimana mendapatkannya? Ia ingin mencari, ingin menemukan, ingin memilikinya!
Ketika ia tiba diluar sebuah dusun, ia berpapasan dengan seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun, menunggangi seekor kerbau gemuk sambil meniup suling bambu. Tiupan sulingnya biasa-biasa saja, bahkan tembang yang dimainkannya dengan suara suling itu agak kacau dan sumbang. Namun, Maya Dewi merasakan sesuatu yang luar biasa, merasakan suasana yang penuh damai dan indah pada wajah dan tubuh anak yang duduk agak bergoyang-goyang terbawa gerakan kerbau yang melangkah perlahan-lahan itu. Tenang dan damai, suatu keadaan yang hampir ia lupakan karena selama bertahun-tahun ini tak pernah ia merasakannya!
Kebahagiaan yang mencuat dari suasana yang ditimbulkan bocah bertiup suling itu terasa olehnya dan ia merasa betapa hidupnya semakin hampa sehingga ia seolah kehilangan gairah hidup. Hidup terasa demikian tidak menyenangkan hatinya. Tubuhnya menjadi lemas dan terhuyung-huyung ia melanjutkan perjalanannya. Ia tiba di tepi dusun dan terdengar suara orang menumbuk padi. Ia menghampiri dan sambil bersembunyi mengintai dan melihat seorang ibu menumbuk padi sambil menggendong seorang anak berusia sekitar satu tahun. Anak itu sedang menyusu pada ibunya. Juga pada wajah sang ibu yang sederhana dan miskin itu tampak sinar kebahagiaan itu!
Bekerja keras, sambil menyusui anaknya lagi! Dan wajah anak itu. Tampak demikian nikmat menyusu ibunya. Semua ini kembali memukul perasaan Maya Dewi dan ia tidak tahan melihat lebih lama lagi. Ia berlari keluar dari dusun dan baru berhenti ketika tiba di tepi sebuah sungai kecil. Seorang kakek bercaping lebar sedang duduk di bawah pohon di tepi sungai itu. Dia sedang memegangi sebatang tangkai pancing. Rupanya sedang memancing ikan. Wajahnya begitu tenang, penuh kedamaian dan kesabaran memandang kepada tali pancing yang bergerak-gerak terbawa aliran air sungai.
Maya Dewi tertegun. Ia seolah dapat melihat kebahagiaan berulang-ulang terbayang di wajah orang-orang itu. Kebahagiaan ia lihat di wajah suami isteri petani, kebahagiaan di wajah dan dalam tawa anak-anak yang bermain di air, kebahagiaan yang tampak di wajah ibu yang bekerja keras sambil menyusui anaknya, di wajah si anak yang menyusu ibunya, dan di wajah anak yang meniup suling sambil menunggang kerbau, kini di wajah kakek tua yang memancing ikan. Akan tetapi, benar-benarkah mereka itu berbahagia? Ia menjadi penasaran. Sebaiknya ia langsung bertanya kepada kakek itu!
"Selamat siang, paman." Pengail itu menoleh dan dia terbelalak heran melihat bahwa yang menyalaminya itu adalah seorang wanita yang teramat elok. Cantik jelita wajahnya dan elok pula pakaiannya. Jelas bukan seorang wanita dusun dan dia sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi karena wanita itu menegurnya dengan ramah dan ketika dia menengok, penanya itu tersenyum kepadanya, dia juga tersenyum, membuka dan meletakkan capingnya diatas rumput.
"Selamat siang, mas ayu." Kakek itu berusia enam puluh tahun lebih, wajahnya yang dihias banyak garis-garis pengalaman hidup itu masih tampak berseri. Akan tetapi dia menjadi heran melihat wanita cantik itu kini duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol di permukaan tanah, menghadapinya.
"Sudah banyakkah hasil pancinganmu, paman?" tanya Maya Dewi.
"Ahh, lumayan." Kakek itu menyodorkan kepis (tempat ikan) kepada Maya Dewi. "Ada lima ekor ikan lele, cukuplah untuk teman nasi makan siang anak mantuku, dan dua orang cucuku siang ini." Dia tersenyum gembira dan tampak mulutnya yang ompong, tinggal beberapa buah saja gigi yang tampak.
Kembali Maya Dewi melihat sesuatu pada senyum dan pandang mata kakek yang dari pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang dusun sederhana yang miskin itu cahaya kebahagiaan seperti yang ia lihat pada wajah-wajah suami isteri, kanak-kanak, ibu dan anak yang disusuinya itu. "Paman, bolehkah aku bertanya?" Maya Dewi merasa heran kepada diri sendiri. Mengapa ia t iba-tiba saja dapat bersikap seramah dan sehormat ini kepada seorang petani tua? Padahal, biasanya, tak seorangpun di dunia ini yang dihormatinya. Tak pernah ada perasaan dekat dengan orang lain, bahkan ia selalu mencurigai orang dan dapat membunuh orang dengan mata tak berkedip!
"Wah, tentu saja boleh, mas ayu! Akan tetapi apa yang hendak kau tanyakan?"
"Begini, paman. Jawablah dengan sejujurnya, apakah paman merasa bahagia dalam hidup ini?" Bertanya demikian, Maya Dewi menatap tajam mata kakek itu. Dari pengalamannya, ia akan tahu apakah kakek itu berbohong, ataukah jujur kalau menjawab pertanyaannya. Ia melihat kakek itu melebarkan kedua matanya, memandang ke atas, lalu mengerutkan alis dan termenung, seolah menjadi bingung oleh pertanyaannya. Kemudian dia menjawab pertanyaan Maya Dewi itu dengan pertanyaan pula.
"Mas ayu, apa sih kebahagiaan itu? Aku kok tidak mengerti. Coba kau jelaskan, apa yang kau maksudkan dengan rasa bahagia itu, mas ayu."
Maya Dewi menjadi bingung, akan tetapi lalu menjawab sedapatnya. "Rasa bahagia itu adalah... rasa tenteram, rasa senang gembira, riang, tidak bosan, tidak susah, tidak takut, tidak merasa hampa, tidak kesepian, tidak kesal, tidak...." Maya Dewi bingung sendiri.
Kakek itu tertawa, merasa lucu. "Oh begitukah? Jadi kau maksudkan dengan pertanyaan tadi, apakah aku tidak merasa bosan, tidak susah, tidak takut, tidak kesal, dan sebagainya lagi itu?"
Karena ia sendiri bingung, Maya Dewi mengangguk. "Ya, begitulah kira-kira."
"Kalau itu yang kau tanyakan, mas ayu, pada saat ini aku memang tidak merasa bosan, tidak susah, tidak kesal, tidak takut, tidak kesepian dan sebagainya itu."
"Nah, kalau begitu engkau bahagia paman!"
"Bahagia?" Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang penuh uban. "Aku? Bahagia? Entahlah! Yang jelas, aku merasa senang, sudah memperoleh lima ekor ikan lele yang dapat menggembirakan keluarga kami! Akan tetapi bahagia? Apa sih itu? Aku... maaf, mas ayu, aku tidak butuh itu. Permisi, mas ayu, aku ditunggu anak, mantu dan cucu-cucuku." Pengail itu lalu mengangkat pancingnya, mengambil kepisnya dan memakai capingnya, lalu pergi dar i situ menuju ke dusun disana.
Maya Dewi duduk termenung. Pengail itu berada dalam keadaan yang sama sekali berlawanan dengannya! Kalau ia merasa kecewa, kesal, sedih, hampa, kesepian, bosan, maka orang itu sama sekali tidak mempunyai perasaan yang serba tidak enak di hati itu. Kalau ia mencari dan membutuhkan bahagia, orang itu sama sekali tidak membutuhkannya. Bagaimana bisa begitu? Apakah ini yang menjadi sebab maka ia tidak merasa bahagia? Dan orang itu, si pengail orang dusun miskin sederhana, yang sudah merasa begitu gembira mendapatkan lima ekor ikan lele kecil, justru merupakan orang bahagia?
Maya Dewi menggeleng kepalanya, merasa nelangsa. Ia merasa seperti menghadapi teka-teki. Ia bangkit tanpa semangat, akan tetapi lama kelamaan ia menjadi penasaran sekali dan ia segera mengerahkan tenaga dan berlari cepat seperti terbang, menuju ke selatan. Ia ingin menjauhkan diri dari semua keramaian, bertapa seperti dulu. Kalau dulu ia bertapa untuk memperdalam ilmu-ilmunya, kini ia ingin bertapa untuk mencari dan merasakan apa yang dinamakan bahagia itu.
Dengan simpanan hartanya yang banyak berupa emas permata, Maya Dewi menyuruh para ahli bangunan membangun sebuah rumah mungil dan indah diatas tanah yang amat luas di sebuah bukit kecil di pegunungan Wilis, Ia membeli tanah di seluruh bukit itu dari kedemangan Pakis yang berada di kaki bukit, lalu dibangunnya sebuah rumah. Juga ia membuat sebuah taman yang luas dan indah disekeliling rumahnya. Bukan hanya tanaman bunga beraneka warna yang berada di taman, melainkan juga pohon-pohon buah-buahan.
Baru beberapa bulan saja Maya Dewi tinggal di bukit yang ia miliki dan ia beri nama Bukit Keluwung itu, tempat itu segera menjadi amat terkenal. Maya Dewi dikenal sebagai seorang wanita yang bukan hanya cantik jelita, akan tetapi juga tidak suka berhubungan dengan para penduduk disekitar pegunungan Wilis. Ia hidup menyendiri seperti seorang pertapa. Hanya kalau ia membutuhkan bumbu-bumbu masak dan segala kebutuhan lain, maka ia turun dari Bukit Keluwung untuk berbelanja.
Penduduk disekitar daerah itu amat kagum kepadanya karena kecantikannya, akan tetapi juga takut setelah mengetahui bahwa wanita cantik jelita itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Beberapa kali, para lelaki yang berani kurang ajar kepadanya, dihajar setengah mati. Apa lagi setelah Ki Sentolo seorang gegedug (jagoan) yang ditakuti orang, bahkan namanya terkenal sampai di Kadipaten Madiun, dengan congkaknya mengunjungi rumah Maya Dewi dengan maksud untuk menundukkannya. Banyak penduduk diam-diam mengikutinya dari jarak jauh untuk melihat apa yang akan terjadi.
Akan tetapi, laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh raksasa ini ketika bertemu dengan Maya Dewi, setelah berani mengucapkan kata-kata dan memperlihatkan sikap kurang ajar, lalu dihajar sampai setengah mati oleh wanita cantik jelita itu! Beruntung sekali Ki Sentolo bertemu dengan Maya Dewi sekarang. Kalau saja dia kurang ajar terhadap Maya Dewi dua tahun yang lalu, tentu dia sudah mati! Entah apa yang terjadi dalam hati Maya Dewi, kini ia bahkan bosan melakukan pembunuhan dan kekerasan, perangainya tidak seperti dulu lagi. Ia seolah kehilangan semangatnya.
Dihajarnya Ki Sentolo membuat nama Nyi Maya Dewi terkenal sekali. Mulailah para datuk dan orang-orang yang memiliki kesaktian mendengar bahwa Nyi Maya Dewi yang tadinya mereka anggap telah menghilang dan tidak pernah muncul lagi semenjak perang di Batavia selesai itu ternyata kini tinggal di Bukit Keluwung di pegunungan Wilis. Bahkan mereka yang tadinya belum pernah mengenalnya, kini mendengar bahwa Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita yang cantik jelita seperti dewi kahyangan, masih gadis, belum mempunyai suami, dan kaya raya.
Hal ini amat menarik perhatian tokoh-tokoh sakti yang masih hidup membujang. Isteri seperti itulah yang mereka inginkan. Cantik jelita, sakti, dan kaya! Malah bukan mereka yang masih perjaka saja yang tergila-gila, juga para pria jagoan yang sudah beristeri dan terutama para duda juga tertarik sekali. Maka berbondong-bondonglah mereka yang merasa dirinya sakti berdatangan untuk meminang Nyi Maya Dewi. Ada yang memamerkan dan mengandalkan harta bendanya, ada yang mengandalkan kedudukan dan kekuasaannya, ada pula yang mengandalkan kesaktiannya. Akan tetapi semua pinangan itu ditolak oleh Maya Dewi yang kini seolah merasa muak dan sebal melihat para pria yang tergila-gila kepadanya itu.
Dahulu ia merasa bangga kalau ada pria tergila-gila kepadanya, bahkan dengan senang hati ia dapat memilih diantara mereka yang menarik hatinya, bersenang-senang sepuasnya mengumbar nafsu berahi. Namun kini ia muak. Ia melihat betapa di balik pernyataan cinta mereka itu bersembunyi nafsu yang berkobar. Dari sinar mata mereka ia mengenal sinar yang penuh hawa nafsu, yang membuat ia merasa muak karena ia maklum bahwa dirinya hanya akan dijadikan hiburan kesayangan yang dapat memuaskan nafsu mereka.
Penolakan pinangan terhadap banyak orang itu mendatangkan akibat bermacam-macam. Ada pelamar yang merasa penasaran dan penolakan itu berakhir dengan adu kesaktian. Namun, tidak ada seorang pun di antara mereka yang mampu menandingi kesaktian Maya Dewi. Satu demi satu mereka yang mengandalkan kesaktian itu kalah dan roboh walaupun Maya Dewi tidak sampai membunuh mereka. Ada yang hendak mempengaruhinya dengan harta benda yang melimpah, Namun Maya Dewi tidak tertarik sama sekali. Ada pula yang mempergunakan aji guna-guna pameletan, namun wanita itupun dapat menolak semua serangan yang mempergunakan ilmu hitam dan sihir itu. Akan tetapi, setelah puluhan orang gagal, tak pernah ada lagi yang berani mengganggu Maya Dewi.
Beberapa orang datuk yang sakti mandraguna saja dikalahkan wanita cantik itu, apa lagi mereka-mereka yang kesaktiannya di bawah tingkat para datuk yang gagal itu. Mulailah Maya Dewi hidup tenang di Bukit Keluwung, di dalam rumahnya yang mungil. Tentu saja ia membutuhkan tenaga orang lain untuk merawat rumah dan tamannya yang luas. Ia mempunyai tiga orang pembantu wanita yang melakukan pekerjaan rumah, membersihkan rumah, mencuci, memasak dan sebagainya. Ia juga mempunyai dua orang pembantu pria yang merawat taman dan kebunnya. Akan tetapi lima orang pembantu ini hanya bekerja dari pagi sampai sore saja. Setelah pekerjaan mereka selesai, pada setiap sore hari mereka pulang ke rumah masing-masing yang berada di dusun bawah bukit itu. Mereka tidak banyak mengetahui tentang diri majikan mereka yang cantik jelita dan penuh rahasia itu.
Pada suatu sore di puncak Bukit Keluwung. Maya Dewi duduk seorang diri di beranda rumahnya. Lima orang pembantunya sudah pulang. Matahari sudah condong ke barat. Maya Dewi duduk melamun, teringat akan masa lalunya, di waktu ia masih remaja dan tinggal di Parahyangan. Ia teringat akan keluarganya, Resi Kalayitma ayahnya, Minarsih ibunya, dan seorang kakaknya bernama Candra Dewi.
Ketika ibunya meninggal dunia, ia berusia tiga belas tahun dan hidup bersama ayahnya dan kakaknya, Candra Dewi yang ketika itu berusia lima belas tahun. Ayahnya menggembleng mereka berdua dengan ilmu-ilmu tinggi, aji-aji kesaktian. Ketika ia berusia delapan belas tahun dan Candra Dewi berusia dua puluh tahun, ayahnya ingin memperisteri Candra Dewi yang merupakan anak tirinya, bawaan dari Minarsih.
Candra Dewi menolak, bahkan melarikan diri dan minggat, bahkan para penguasa Kerajaan Parahyangan menentangnya sehingga terpaksa Resi Kalayitma mengajak ia melarikan diri meninggalkan Parahyangan dan mengembara ke daerah Mataram di timur. Ia tidak tahu dimana adanya kakak tirinya itu. Ia masih ingat betapa cantiknya Candra Dewi, akan tetapi kakaknya itu mempunyai watak aneh. Candra Dewi mempunyai kecondongan untuk menjadi pertapa setelah mempelajari kitab-kitab weda dari Agama Hindu. Ia bahkan pernah mengatakan bahwa ia ingin hidup membujang selamanya, tidak akan pernah menikah dan hidup sebagai seorang pendeta!
Tentu saja ketika ayah tirinya hendak menjadikannya isteri pengganti ibunya, ia menolak keras dan minggat. Iapun masih ingat betapa kakaknya itu memiliki hati yang keras seperti baja. Maya Dewi menghela napas panjang. Kini terasa olehnya bahwa selama hidupnya, baru satu kali ia merasakan kasih sayang yang tulus, kasih sayang yang tanpa pamrih, yaitu kasih sayang dari mendiang ibunya. Agaknya kasih sayang seperti itulah yang menjadi satu di antara sebab ia murung dan kesal seperti sekarang ini. Ia kehilangan kasih sayang!
Berderapnya kaki kuda membuat Maya Dewi sadar dari lamunannya. Ia mengangkat muka dan melihat dua orang laki-laki melarikan kuda tunggangan mereka mendaki puncak dan kini telah berada di luar pintu pekarangan rumahnya. Maya Dewi memandang penuh perhatian. Mereka itu seorang kakek pendek gemuk dan seorang pemuda tinggi kurus berwajah tampan dan gagah. Maya Dewi mengerutkan alisnya. Tentu orang yang datang ini hendak meminangnya, pikirnya kesal. Ia tetap duduk diam tidak mengacuhkan sampai kedua penunggang itu melompat turun dari atas punggung kuda mereka, menambatkan kuda pada pohon yang tumbuh di pekarangan, lalu melangkah menghampiri beranda di mana Maya Dewi duduk seorang diri.
"Selamat sore, nimas ayu...!" terdengar suara lantang pria berusia sekitar tiga puluh dua tahun itu. Dia bertubuh tinggi kurus namun tegap dan kokoh, pakaiannya indah dan mewah sehingga sekali pandang saja Maya Dewi dapat menduga bahwa pemuda itu tentu seorang bangsawan. Wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya tajam, kulitnya coklat gelap. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir Indah. Di daerah Kerajaan Banten, pemuda ini bukan merupakan tokoh asing. Bahkan dia terkenal sekali karena pemuda ini adalah seorang pangeran!
Namanya Raden Jaka Bintara, seorang pangeran beribu selir. Selain berkedudukan tinggi sebagai seorang pangeran, terhormat dan kaya raya, dia juga seorang yang sakti karena Jaka Bintara ini adalah murid tersayang dari mendiang Kyai Sidhi Kawasa, seorang datuk dari Banten. Nama besar Nyi Maya Dewi, yang dikabarkan secantik dewi kahyangan dan kini sedang mencari jodoh, demikian kabar angin itu tersiar, menarik perhatian Jaka Bintara. Apa lagi ketika mendengar bahwa Nyi Maya Dewi itu adalah adik dari Nyi Candra Dewi yang namanya terkenal di Banten, dia menjadi semakin tertarik.
Sudah lama dia mendambakan seorang isteri yang selain cantik jelita, juga sakti mandraguna. Dia menemukan idaman hatinya itu pada diri Candra Dewi yang juga cantik dan sakti, akan tetapi Candra Dewi menolaknya dan Jaka Bintara tidak berani memaksanya karena Candra Dewi adalah seorang wanita yang tinggi sekali kepandaiannya. Mendengar salam yang ditujukan kepadanya itu, Maya Dewi mengangkat muka, memandang kedua orang itu dan menjawab salam itu dengan sebuah pertanyaan yang tidak manis.
"Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang berkunjung ke rumahku?"
Sambutan yang sama sekali tidak ramah itu tidak membuat Jaka Bintara kecewa. Dia malah tersenyum, sadar akan kegagahannya dan ketampanannya yang di daerahnya menarik hati banyak wanita. Dia seorang mata keranjang yang sudah bergaul dengan banyak wanita dan merasa yakin bahwa dia mampu menundukkan wanita termasuk Nyi Maya Dewi ini. Sejak tadi memandang wajah Maya Dewi, seketika dia sudah tergila-gila. Ternyata kecantikan wanita ini melebihi semua kabar yang didengarnya. Bukan main!
Pandang mata itu, tarikan bibir itu. menggairahkan dan menggemaskan! Juga dia agak tercengang melihat betapa wanita yang terkenal itu ternyata tampak masih muda sekali. Pantasnya baru berusia belasan tahun! Sejenak ia meragu. Benarkah ini wanita yang disohorkan itu? "Sebelum menjawab pertanyaan tadi, aku ingin tahu lebih dulu. Benarkah andika yang bernama Nyi Maya Dewi?"
Maya Dewi terpaksa mengangguk. "Kalau benar, lalu engkau mau apa?"
Jaka Bintara tersenyum. "Wah, sungguh senang sekali hatiku dapat bertemu denganmu, nimas. Kita ini bukan orang lain, karena aku adalah murid mendiang Kyai Sidhi Kawasa! Andika tentu mengenalnya dengan baik, bukan, ketika bersama-sama menentang Mataram?"
Maya Dewi mengerutkan alisnya. Ia tidak suka mendengar tentang semua itu. Masa lalu itu baginya kini menjemukan. "Aku tidak ingin bicara tentang siapapun. Hayo katakan siapa kalian dan apa perlunya datang kesini, atau lebih baik kalian cepat pergi meninggalkan tempat ini!"
Jawaban ketus ini tidak membuat Jaka Bintara mundur. Dengan wajah masih cerah tersenyum, dia berkata, "Nimas Maya Dewi, aku adalah seorang pangeran!" Dia berhenti, untuk melihat kesan yang didatangkan oleh pengakuan itu. Maya Dewi memang memandang heran, akan tetapi tidak terkejut. Bagi wanita yang sudah banyak pengalaman ini, tingginya kedudukan, banyaknya harta atau ketampanan wajah tidak lagi mempengaruhinya. "Hemm, pangeran? Pangeran dari mana?" tanyanya, nadanya membayangkan tidak percaya.
"Aku adalah Pangeran Raden Jaka Bintara dari kerajaan Banten! Dan ini adalah paman guruku, Kyai Gagak Mudra, adik seperguruan mendiang Kyai Sidhi Kawasa."
"Perkenalkan, Nyi Maya Dewi." kata kakek yang wajahnya penuh senyum tawa riang itu. "Aku mengenal baik Nyi Candra Dewi, bukankah ia kakakmu? Aku sudah mendengar tentang dirimu dari mendiang Kakang Sidhi Kawasa."
Akan tetapi nama-nama itu tidak mengubah sikap Maya Dewi yang kaku. "Lalu, apa keperluan kalian datang kesini?" tanyanya sambil menatap tajam wajah Jaka Bintara.
Menghadapi sikap yang kaku dan suara ketus itu, diam-diam Jaka Bintara merasa penasaran dan tersinggung juga. Dia amat dipandang rendah. Betapa pun cantik menariknya Maya Dewi, akan tetapi kalau bersikap sedingin itu terhadap dirinya, maka keangkuhannya sebagai seorang pangeran tersinggung sekali. Akan tetapi dia masih menekan perasaannya dan bersabar karena saat itu dia sudah tergila-gila akan kecantikan Maya Dewi.
"Nimas Maya Dewi. Aku mendengar berita bahwa andika masih hidup sendiri, belum mempunyai suami. Kebetulan sekali akupun belum mempunyai garwa padmi. Oleh karena itu aku sengaja jauh-jauh datang kesini untuk meminangmu menjadi isteriku. Marilah, nimas. Andika kuboyong ke Kerajaan Banten dan menjadi garwaku, hidup mulia, kaya raya, terhormat dan bahagia bersamaku disana."
Maya Dewi tersenyum mengejek. Sudah lama wanita ini tidak tersenyum dan kalau sekarang ia tersenyum, adalah karena ia mendengar Jaka Bintara mengeluarkan kata "bahagia" itu. Ia tersenyum mengejek, bukan senyum karena hatinya senang. "Bahagia? Hemm, aku tidak akan bahagia, bahkan semakin sengsara! Pergilah dan jangan ganggu aku. Aku tidak mau menjadi isterimu!"
"Maya Dewi!" Jaka Bintara kini membentak. "Lupakah engkau lamaran siapa yang sekali ini kau tolak? Aku adalah pangeran Banten!"
Maya Dewi juga menjadi marah dan ia bangkit berdiri dari tempat duduknya. Matanya mengeluarkan sinar kilat ketika ia membentak. "Tidak perduli engkau pangeran, atau dewa, atau setan, aku tidak sudi menjadi isterimu. Nah, pergilah dari tempatku ini!" Jari tangan kirinya menuding keluar untuk mengusir dua orang itu.
Muka Jaka Bintara yang berwarna gelap itu menjadi semakin gelap. Tangan kanannya meraba gagang pedangnya dan dia membentak, "Keparat...!"
Akan tetapi paman gurunya, Kyai Gagak Mudra segera menyentuh lengannya. "Sabarlah, raden! Bunga mawar indah berduri runcing, kuda yang baik berwatak liar, perempuan cantik yang galak dan panas semakin menggairahkan. Sebaiknya, pondong saja ia dan boyong ke Banten, raden."
Jaka Bintara ingat bahwa dia datang bukan untuk membunuh Maya Dewi, melainkan untuk mempersuntingnya. Maka dia melepaskan lagi gagang pedangnya. "Nimas, kalau engkau menolak pinanganku secara halus, terpaksa aku akan membawamu dengan paksa!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja Jaka Bintara bergerak ke depan, menerkam ke arah Maya Dewi seperti seekor harimau menerkam kelinci.
Maya Dewi terkejut juga. Ia memang sudah menduga bahwa laki-laki ini tentu saja tidak boleh dipandang ringan. Ia mengenal siapa Kyai Sidhi Kawasa yang sakti mandraguna. Laki-laki yang menjadi muridnya ini tentu saja memiliki kesaktian yang tidak dapat disamakan dengan para pria yang pernah datang mengganggunya selama ini. Laki-laki ini tentu merupakan lawan yang tangguh. Apa lagi paman gurunya yang pendek gendut itu. Akan tetapi ia tidak takut. Ia sudah mengambil keputusan bahwa mulai saat ia keluar dari pekerjaannya sebagai mata-mata Kumpeni, mulai saat ia menyadari bahwa jalan hidupnya yang lalu sama sekali tidak pernah mendatangkan kehidupan yang tenteram dan bahagia, ia tidak mau lagi menjadi permainan laki-laki, menjadi permainan nafsu-nafsunya sendiri. Cepat ia mengelak ke kiri ketika Jaka Bintara menubruknya dan sambil memutar tubuhnya ia membalas serangan lawan dengan tamparan ke arah leher Jaka Bintara.
"Wuuuutt... plak!" jaka Bintara menangkis dengan tangan kanan. Merasa betapa lengannya yang ditangkis itu tergetar, Maya Dewi penasaran. Ia mengerahkan Aji Wisa Sarpa (Pukulan Racun Ular) yang amat berbahaya karena pukulan ini memiliki hawa beracun yang berbahaya.
Jaka Bintara sudah menyelidiki akan kesaktian wanita ini sebelum dia datang dan paman gurunya sudah mendengar dari mendiang Kyai Sidhi Kawasa tentang ilmu-ilmu yang dikuasai Maya Dewi. Maka menghadapi serangan pukulan beracun itu dia cepat menandinginya dengan Aji Hastanal (Pukulan Tangan Api) yang mengandung hawa panas sehingga hawa pukulannya mampu membakar dan memunahkan hawa beracun pukulan Wisa Sarpa. Kedua orang itu bertanding dengan seru dan Kyai Gagak Mudra hanya menjadi penonton, namun siap siaga untuk membantu apabila murid keponakannya nanti kalah.
Maya Dewi juga menggunakan Aji Naka Sarpa (kuku ular) dan sepuluh buah kuku jari tangannya semua mengandung racun. Tergurat sampai luka sudah cukup untuk membahayakan nyawa lawan. Namun Jaka Bintara yang mengetahui akan ampuhnya kuku dan pukulan wanita cantik itu, bergerak cepat dan hati-hati dan selalu mengancam Maya Dewi dengan serangan pukulan apinya sehingga Maya Dewi juga tidak berani mendekat.
"Syuutt... tar-tar-tar...!" Sinar emas berkelebat dan menyambar-nyambar, mengeluarkan bunyi meledak-ledak. Itulah senjata sabuk Cinde Kencana, senjata yang amat diandalkan Maya Dewi. Bagaikan kilat menyambar-nyambar mengancam kepala serangan sabuk itu membuat Jaka Bintara terpaksa melompat jauh kebelakang untuk menghindarkan cambukan. Ketika Maya Dewi melompat mengejar, sinar hitam berkelebat dan pemuda pengeran Banten itu telah memegang sebatang pedang berwarna hitam.
Dua orang itu cepat menggerakkan senjata masing-masing dan tampaklah gulungan sinar emas dan sinar hitam saling desak, diseling suara meledak-ledak pecut ditangan Maya Dewi. Pertandingan itu seru bukan main dan Maya Dewi harus mengakui bahwa semenjak ia meninggalkan perantauannya dan menetap di tempat sunyi itu, baru sekali ini dia bertemu tanding yang benar-benar tangguh. Mungkin beberapa tahun yang lalu ia akan merasa senang bersahabat dan bergaul dengan pria seperti pangeran ini. Akan tetapi sekarang ia merasa sebal karena tahu benar bahwa pangeran ini hanya membutuhkan tubuhnya yang cantik menarik. Buktinya sekarang, begitu keinginannya tidak dituruti, laki-laki ini menyerangnya mati-matian dan berusaha keras untuk merobohkannya. Bahkan serangannya mematikan!
Agaknya, rasa sayang yang tadi diucapkannya, kini sudah berubah menjadi kebencian karena keinginannya tidak dituruti! Maka iapun melawan mati-matian dan merasa lebih baik roboh mati daripada menuruti kehendak Jaka Bintara untuk menjadi isterinya. "Hyaaaattt...!" Jaka Bintara membacokkan pedang hitamnya sambil mengerahkan seluruh tenaga. Serangan itu cepat dan kuat sekali sehingga Maya Dewi tidak sempat mengelak dan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanya dengan jalan menangkis. Iapun menggerakkan sabuknya dengan pengerahan tenaga pula, menangkis sambaran pedang itu.
"Cringgg...!" Tubuh Nyi Maya Dewi terhuyung ke belakang. Ternyata ia masih kalah kuat. Ketika ia terhuyung itu, Jaka Bintara mengejar dan menggerakkan pedang untuk memberi tusukan. Akan tetapi pada saat itu, Jaka Bintara menekuk lutut kanannya yang berada di depan dan dia terpelanting, hampir roboh. Dia cepat menjaga keseimbangan badan dan terhuyung ke kanan, Dengan sendirinya serangan kedua terhadap Maya dewi menjadi gagal sama sekali. Hanya dia yang tahu dan merasa bahwa ada sesuatu yang mengenai lutut kanannya, sesuatu yang membuat lututnya terasa ngilu dan lumpuh sesaat!
Dia terkejut sekali dan cepat melompat ke belakang, ke dekat paman gurunya. Kyai Gagak Mudra terkejut melihat betapa murid itu terpelanting dan dia mengira bahwa Jaka Bintara memang mengalami kekalahan. Apalagi melihat Maya Dewi kini siap untuk.menyerang. "Serang dengan Analabanu!" serunya dan dia lalu bersama-sama Jaka Bintara mendorongkan tangan kirinya ke arah Maya Dewi yang berdiri dalam jarak lima meter di depan mereka. Dari telapak tangan dua orang itu menyambar sinar api ke arah Maya Dewi. Wanita itu maklum bahwa ia diserang dengan pukulan jarak jauh yang ampuh. Iapun cepat mendorongkan tangan kirinya sambil membaca mantera. Telapak tangan itu berubah menjadi merah dan mengepulkan asap.
"Tapak Rudira (Tapak Darah) ...!" ia berseru dan hawa yang kuat keluar dari telapak tangan kirinya itu, menyambut serangan kedua orang lawannya. Pada saat itu, Kyai Gagak Mudra berteriak dan tubuhnya terhuyung ke samping. Tadi, tenaga gabungan murid dan paman guru itu dengan kuatnya menggempur tangkisan Maya Dewi yang menggunakan Aji Tapak Rudira.
"Blaaarrr...!!" Maya Dewi terkulai lemas dan roboh. Akan tetapi pada saat itu juga, Kyai Gagak Mudra berteriak dan tubuhnya terhuyung ke samping. Pinggangnya terasa ada yang menotok dan separuh tubuhnya lumpuh. Pada detik berikutnya kembali Jaka Bintara mengaduh dan dia jatuh terduduk, kakinya yang kanan juga tidak dapat digerakkan. Dua orang paman guru dan keponakan murid itu terkejut bukan main. Mereka tak pernah mengira bahwa Maya Dewi sedemikian kuatnya dan saktinya. Mereka hanya melihat wanita cantik itu roboh akan tetapi kini sudah bangkit lagi, kedua telapak tangan berlepotan darah dan mukanya yang elok itupun penuh darah yang keluar dari mulutnya sehingga tampak amat menyeramkan. Mata yang mencorong itu memandang kepada mereka dengan melotot buas!
Melihat ini, Kyai Gagak Mudra membuka mulutnya dan terdengar dia berteriak parau, persis suara seekor burung gagak yang ketakutan. "Kraaaakkk... gaaakkk... gaaakkk...!" Suara ini menandakan bahwa datuk sakti ini dilanda ketakutan. Melihat keponakan muridnya belum juga dapat bangkit duduk, dia segera menyambar lengan Jaka Bintara, mengerahkan tenaganya dan segera menarik pangeran itu dan melarikan diri dengan cepat seolah terbang karena dia menduga bahwa kalau lebih lama dia tinggal disitu bersama keponakan muridnya, bukan hal yang mustahil kalau mereka berdua akan mati konyol oleh Maya Dewi yang demikian sakti mandraguna!
Maya Dewi bangkit berdiri memandang ke arah lar inya dua orang itu. Tubuhnya bergoyang-goyang, kedua tangan, muka, juga pakaiannya berlepotan darah segar. Setelah yakin bahwa dua orang penyerangnya sudah pergi jauh, ia terdesak, merintih, mulutnya menyeringai kesakitan, matanya terpejam dan iapun terkeilai roboh. Pingsan. Senja telah tiba. Cuaca remang. Tubuh Maya Dewi tergeletak miring. Rambutnya yang hitam panjang terurai lepas bagaikan selimut sutera tipis melindungi tubuhnya yang mandi darah. Suasana disekitar rumah mungil itu sunyi, seolah tidak ada seorangpun manusia yang tadi menyaksikan apa yang telah terjadi ditempat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba sesosok bayangan muncul dari balik batang pohon sawo yang tumbuh di pekarangan rumah Maya Dewi dan bayangan ini dengan langkah kaki tenang menghampiri tubuh wanita yang menggeletak itu. Bayangan seorang pemuda remaja. Kurang lebih enam belas tahun usianya. Melihat perawakannya, dia seperti sudah dewasa. Akan tetapi cahaya matahari senja masih sempat memperlihatkan wajahnya yang masih amat muda, walaupun ada sesuatu dalam pandang matanya yang mencorong membayangkan kematangan jiwa.
Pemuda itu adalah Bagus Sajiwo. Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, pemuda ini ditinggal gurunya, Ki Ageng Mahendra yang wafat. Setelah jenazah gurunya diperabukan, dia lalu meninggalkan pegunungan Ijen, mengembara tanpa tujuan tertentu, berserah diri kepada Sang Hyang Widhi, mengikuti saja kemana suara kaki dan langkah kaki membawanya. Pada suatu hari menjelang sore, Bagus Sajiwo tiba di kaki pegunungan Wilis. Dari jauh dia melihat Bukit Keluwung dipegunungan itu.
Hatinya tertarik oleh keindahan yang jarang dilihatnya. Pelangi beraneka warna melengkung di atas bukit, begitu cemerlang, begitu sempurna lengkungnya, begitu indah warnanya, sehingga teringatlah dia akan dongeng yang pernah didengarnya tentang "anda widadari" (tangga bidadari) yang menurut dongeng menjadi tangga dari mana para bidadari turun dari kahyangan menuju bumi untuk berbahagia menyebar keindahan dan kebaikan di antara manusia.
Tiba-tiba lamunannya membuyar ketika dia melihat dua orang melarikan kuda tunggangan mereka mendaki Bukit Keluwung. Bagus Sajiwo tidak mengenal Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra yang mendaki Bukit Keluwung dengan kuda mereka itu dan kedua orang itupun tidak memperdulikan pemuda remaja sederhana seperti seorang dusun itu. Akan tetapi pada waktu itu Bagus Sajiwo sudah menyerap ilmu yang mendalam dari mendiang Ki Ageng Mahendra sehingga jiwanya peka sekali dan dia dapat merasakan adanya hawa panas daya rendah nafsu angkara mengudara dari dua orang itu.
Hatinya merasa tidak tenang. Dia khawatir kalau-kalau keindahan pelangi melengkung di atas bukit itu akan menjadi rusak. Maka tanpa disengaja atau disadari, dia sudah bergerak melangkah, mendaki Bukit Keluwung membayangi dua orang penunggang kuda itu. Setibanya di puncak dia melihat betapa dua orang laki-laki penunggang kuda tadi sedang bertanding, mengeroyok seorang wanita yang dapat menandingi mereka dengan gigih.
Bagus Sajiwo masih belum dewasa benar untuk dapat menilai secara mendalam daya tarik atau kecantikan wanita, akan tetapi apa yang dilihatnya pada diri Maya Dewi sungguh membuat dia terpesona, seolah melihat bentuk bidadari yang tadi dia bayangkan menuruni bumi melalui "tangga bidadari" dari kahyangan itu. Akan tetapi diapun merasa heran dan ngeri melihat sikap, terutama pandang mata bidadari itu. Demikian mengerikan!