Bagus Sajiwo Jilid 08

Cersil online karya kho ping hoo
Sonny Ogawa
Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 08

BANYAK pria sudah digaulinya, akan tetapi semua cumbu rayu para pria itu hanya membangkitkan gairah berahi saja yang sesudahnya terasa hampa, bahkan menjemukan dan memuakkan. Akan tetapi ciuman sopan yang dilakukan Bagus Sajiwo itu terasa lain sama. sekali, bahkan belum pernah ia rasakan, atau, kini ia teringat bahwa pernah ia merasakan kesenangan seperti ini ketika ia masih kecil dan diciumi ibunya! Ya, seperti ciuman ibunya itulah. Terasa sekali olehnya betapa dulu ibunya amat menyayangnya dan kasih sayang itu terasa benar dalam ciuman itu. Kini, iapun merasakan kasih sayang hangat seperti itu terkandung dalam ciuman Bagus Sajiwo ke pipi kanannya.

Tak tertahankan lagi rasa keharuan yang bergelora di dalam hati Maya Dewi. Kedua lengannya merangkul leher Bagus Sajiwo dan diantara tangisnya ia berkata, suaranya penuh permohonan. "Aduh, Bagus... Bagus... jangan... jangan tinggalkan aku lagi..." Ia merangkul ketat dan tidak mau melepaskan rangkulannya.

Ia merasa benar bahwa terdapat perbedaan seperti langit dengan bumi ketika ia merangkul Bagus Sajiwo, dibandingkan dengan rangkulannya kepada pria-pria terdahulu. Kalau dulu itu rangkulannya terdorong berahi, kini sama sekali tidak ada rangsangan berahi, melainkan keharuan dan kasih sayang! Seperti orang merangkul orang tuanya, atau anaknya, atau saudara sekandung.

Bagus Sajiwo terkejut. Tak disangkanya Maya Dewi akan secepat itu sadar sehingga dia "tertangkap basah" sedang mengambung pipi wanita itu. Dengan lembut dia melepaskan rangkulan kedua lengan Maya Dewi.

"Dewi, sudahlah, jangan menangis. Kini engkau telah sembuh sama sekali, engkau sudah sehat dan terbebas dari ancaman luka beracun dalam tubuhmu. Mengapa engkau menangis, Dewi? Tentang kehilangan Aji Wisa Sarpa dan Tapak Rudira, jangan engkau khawatir. Olah kanuragan telah mendarah daging dalam dirimu, karena itu engkau dengan mudah dapat melatih diri dan menguasai aji-aji lain yang bersih dan tidak sekotor, sekeji dua ajian itu."'

Maya Dewi bangkit duduk dan mengusap air matanya. "Aku menangis bukan karena bersedih, Bagus. Aku menangis karena terharu dan gembira. Sekarang jawablah sejujurnya, Bagus. Apakah engkau sayang padaku?"

Pertanyaan yang dianggap wajar saja oleh pemuda itu dan diapun menjawab sejujurnya. "Tentu saja aku sayang padamu, Dewi. Kalau tidak sayang, kenapa aku harus menemanimu sampai sebulan lebih?"

Mulut yang manis itu kini tersenyum. Tampak aneh karena kedua mata masih merah dan basah air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum lebar sehingga deretan gigi rapi dan putih bersih itu berkilauan. "Terima kasih, Bagus. Baru sekarang , aku merasa disayang orang, cinta kasih sayang demikian menggetarkan sukma. Aku... aku juga sayang padamu, Bagus, rasa sayang seperti ini belum pernah kurasakan selama hidupku. Bagus, kita harus segera menikah..."

"Menikah?" Bagus Sajiwo berseru kaget seolah menghadapi serangan seekor ular yang memagutnya. Dia undur dua langkah memandang wanita itu dengan mata terbelalak. "Apa maksudmu, Dewi?"

Maya Dewi tetap tersenyum dan tampak geli. "Maksudku? Ya menikah, kita menjadi suami isteri. Kemana lagi akhirnya dua orang yang saling mencinta kalau tidak menjadi suami isteri?"

Bagus Sajiwo menghela napas panjang. "Dewi, sayangku kepadamu bukanlah untuk itu. Aku... aku berusia enam belas tahun lebih. Bagaimana mungkin menikah? Aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menikah, dengan engkau atau dengan siapapun juga."

Pandang mata yang tadinya berseri itu berubah muram dan dengan suara lirih Maya Dewi bertanya, "Bagus, bukankah tadi engkau mengatakan bahwa engkau sayang kepadaku?"

Bagus Sajiwo mengangguk. "Memang aku sayang padamu, Dewi."

"Kalau engkau sayang padaku, mengapa engkau tidak mau menikah denganku?"

"Dewi, apakah kalau orang saling mencinta itu harus menikah? Cinta dapat hadir antara anak dan orang tuanya, antara saudara, antara sahabat, apakah mereka juga harus menjadi suami isteri? Tidak, Dewi. Tanpa menjadi suami isteri pun, kita dapat saling menyayangi, saling mengasihi."

"Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi orang tuamu, saudaramu, atau sahabatmu saja. Aku ingin menjadi isterimu, Bagus, dan engkau menjadi suamiku. Atau... katakanlah terus terang saja, Bagus, engkau menolak untuk menikah dengan aku karena aku jauh lebih tua dari pada engkau?"

Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya, "Tidak, Dewi. Bagiku, engkau sama sekali tidak tampak tua, bahkan terkadang aku berpendapat bahwa engkau masih muda sekali, seperti kanak-kanak. Usiamu tentu hanya berselisih satu dua tahun dengan usiaku."

Maya Dewi menghela napas panjang. Biasanya, tak pernah ia mengatakan usianya yang sebenarnya, apa lagi di depan seorang pria yang menawan hatinya. Ia senang kalau disangka masih muda maka ia selalu membiarkan orang mengira ia baru berusia delapan belas atau sembilan belas tahun. Akan tetapi sekarang ia mempunyai pandangan lain sama sekali. Ia tidak ingin berbohong karena ia merasa bahwa kebohongan itu membohongi dirinya sendiri, menyangkal keadaan yang sebenarnya.

"Bagus, ketahuilah, aku adalah seorang wanita yang telah berusia tiga puluh tahun."

Bagus Sajiwo terbelalak heran. "Ah, aku tidak percaya, Dewi!"

"Sesungguhnya, Bagus. Aku memang tampak jauh lebih muda karena aku mempergunakan jamu yang langka didapatkan di dunia ini, namanya Suket Sungsang. Bagus, masa laluku penuh kegelapan, aku berkecimpung di dunia hitam. Tidak ada kejahatan yang kupantang melakukannya. Usia tuaku dan masa laluku itukah yang menjadi penyebab engkau tidak sudi menjadi suamiku, Bagus?" Suara Maya Dewi terdengar gemetar.

Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya. "Tidak, Dewi. Usia tidak membedakan pandanganku terhadap dirimu. Dan tentang dosa-dosa masa lalu, percayalah, Gusti Allah itu Maha Pengampun dan engkaupun pasti akan diampuni kalau engkau mau mengakui dosa-dosamu dan bertaubat tidak akan mengulang semua perbuatan yang sesat. Akan tetapi, mengapa engkau ingin menjadi isteriku, Dewi? Mengapa kita harus menjadi suami isteri kalau kasih sayang kita dapat kita ujudkan dengan hubungan persahabatan?"

"Bagus, aku ingin kita menjadi suami isteri karena dengan demikian, kita tidak akan saling berpisah, akan selalu bersama dan engkau sebagai suamiku akan selalu membela melindungiku." Ketika Maya Dewi melihat sinar mata pemuda remaja itu menatapnya dengan tajam penuh selidik, seolah-olah sinar mata itu menembus dirinya dan menjenguk isi hati dan pikirannya, ia cepat menyambung kata-katanya. "Tidak, jangan pandang padaku seperti itu, Bagus! Aku tidak akan mengulang kelemahanku seperti yang sudah-sudah. Aku ingin kita menjadi suami isteri bukan karena terdorong gairah berahi. Aku sudah muak menjadi hamba nafsu seperti yang sudah. Aku ingin bertaubat dan engkaulah yang dapat membimbingku. Aku ingin engkau menjadi suamiku agar engkau selalu membimbingku, membela melindungiku dan selalu berada di dekatku. Dengan engkau disampingku, aku merasa aman dan damai dan aku berani menyongsong kehidupan yang selama ini penuh dengan kepahitan dan kesengsaraan bagiku."

Bagus Sajiwo menghela napas panjang. Dia adalah seorang pemuda remaja, baru tujuh belas tahun usianya, bahkan masih kurang, juga sama sekali belum berpengalaman. Akan tetapi dia adalah murid mendiang Ki Ageng Mahendra, seorang yang sakti mandraguna dan arif bijaksana sehingga Bagus Sajiwo tidak hanya menerima gemblengan aji kanuragan, akan tetapi juga menerima gemblengan batin dan mendapatkan banyak wejangan tentang kehidupan.

"Dewi, tanpa menjadi suami isteri pun aku akan melindungimu. Adapun tentang bimbingan dalam hidup, tidak ada pembimbing yang benar-benar sempurna kecuali Gusti Allah. Dengan penyerahan diri lahir batin kepada Gusti Allah, maka Dia-lah yang akan selalu membimbingmu."

'Bagus, berkali-kali engkau menyebut-nyebut Gusti Allah, siapa sih sebenarnya itu? Aku sering juga mendengar orang menyebutNya, akan tetapi aku tidak mengenal dan juga tidak pernah bertanya. Baru sekarang aku ingin sekali mengerti dari engkau, Bagus. Apakah sama dengan para dewa? Dan tempat tinggalnya di mana? Bagaimana pula bentuk badan dan wajahNya?"

Semenjak kecil, Maya Dewi memang tidak pernah mendengar tentang Gusti Allah, tidak pernah ada yang memberitahu dan ia hanya mengenal nama-nama para dewa, walaupun ia tidak pernah memeluk Agama Hindu atau Buddha, apa lagi Islam.

Dengan sabar Bagus Sajiwo mencoba untuk memperkenalkan Gusti Allah seperti yang pernah dia dengar dari wejangan Ki Ageng Mahendra. "Para Dewa dan Malaikat itupun hanya mahluk-mahluk ciptaan Custi Allah dan kemampuan mereka terbatas, Dewi. Segala sesuatu yang ada dipermukaan bumi ini, juga berada di atas langit, semua itu adalah ciptaan Gusti Allah. Tempat tinggalNya? Dimana-mana Gusti Allah itu berada, tidak ada tempat yang tidak diliputi KekuasaanNya. Bagaimana bentuk badan dan wajahnya? Wah, tak mungkin kita manusia menggambarkan-Nya, Dewi. Terlalu maha besar dan tidak mungkin mata kita yang kotor penuh dosa ini dapat mellhatNya. Akan tetapi kekuasaanNya dapat kita lihat, dengar, cium dan rasakan dimana-mana. Segala keindahan yang dapat kita lihat adalah hasil KekuasaanNya, segala kemerduan yang dapat kita dengar adalah hasil kekuasaanNya, segala keharuman yang dapat kita cium juga hasil kekuasaanNya. Segala apa yang ada ini terjadl karena kuasaNya, karena ciptaanNya. Raba saja dada kita sendiri. Jantung kita tiada hentinya berdetik sejak kita lahir sampai sekarang dengan teratur, padahal kita tidak dapat mengaturnya! Yang mengatur adalah Gusti Allah dengan kuasaNya."

"Akan tetapi, Bagus. Bagaimana aku dapat percaya akan adanya Gusti Allah kalau aku tidak dapat melihatnya? Bagaimana sesuatu itu dapat ada kalau tidak dapat dibuktikan dengan penglihatan?"

Bagus Sajiwo menghela napas. Sungguh kasihan sekali orang ini, pikirnya. Agaknya dulu orang tuanya tidak mendidiknya dengan baik sehingga wanita itu sama sekali tidak tahu akan Gusti Allah. Mungkin menurut pendapatnya, para penguasa jagad hanyalah dewa yang dapat dilihat arcanya. "Dewi, apakah engkau percaya bahwa engkau memiliki nyawa dan memiliki pikiran?"

"Tentu saja!" jawab Maya Dewi langsung, tanpa dipikir lagi. Semua orang tahu bahwa orang mempunyai nyawa dan pikiran. Mengapa ditanyakan lagi dan apa hubungannya dengan pertanyaannya tentang keberadaan Gusti Allah?

"Nah, nyawa dan pikiran itu tidak dapat kita lihat, tidak dapat dibuktikan dengan penglihatan, pendengaran, penciuman dan perasaan apapun, namun engkau percaya bahwa itu ada! Buktinya adalah hasil pekerjaan mereka. Dengan pikiran engkau dapat berpikir dan mengingat, dan dengan adanya nyawa engkau hidup. Orang yang ditinggalkan nyawanya disebut mati. Gusti Allah jauh lebih besar dari pada semua itu. Nyawa dan pikiran kita pun merupakan anugerahNya, merupakan pemberianNya, merupakan ciptaanNya. Kekuasaan Gusti Allah dapat terlihat dimana pun, kekuasaan yang mengatur bintang-bintang, bulan dan matahari di langit, yang mengatur sehingga jantungmu terus berdetik dan tetap berdetik selama engkau hidup."

"Ah, begitukah, Bagus? Tadinya aku percaya bahwa semua itu dilakukan oleh para dewa."

"Baik dewa-dewa atau para malaikat, mereka semua itu juga merupakan ciptaan Gusti Allah dan mereka menjadi hamba Allah, menjadi alat yang membantu berlangsungnya kekuasaan Gusti Allah. Semua ciptaan Gusti Allah berkewajiban untuk membantu pekerjaanNya, menjadi alatNya yang baik dengan satu tujuan, yaitu Mamayu Hayuning Bawono (Mengusahakan Kesejahteraan Dunia) dengan langkah-langkah hidup melalui jalan kebenaran. Kalau menyimpang dari itu dan sebaliknya melakukan perbuatan-perbuatan jahat yang sifatnya merusak dan sesat, maka kita bukan menjadi hamba Gusti Allah melainkan menjadi hamba iblis!"

"Apa saja yang harus dilakukan orang yang menjadi hamba Gusti Allah itu, Bagus?"

"Yang dilakukan adalah menyalurkan apa saja yang dianugerahkan Gusti Allah kepadanya. Kalau dia mendapatkan berkah kekayaan yang berlimpah, dia dapat menyalurkan berkah itu dengan menolong mereka yang hidupnya miskin dan membutuhkannya. Kalau berkah berlimpah itu berupa kepandaian, dia dapat menyalurkannya dengan mengajar dan memberi penerangan kepada mereka yang bodoh dan tidak mengerti. Kalau dia diberkahi tenaga yang kuat dia dapat menyalurkan tenaga itu dengan menolong dan membantu mereka yang lemah dan masih banyak lagi. Pendeknya kalau kita menerima berkah secara berlebihan, maka kita harus menyalurkannya dan memberi kepada mereka yang membutuhkannya. Gusti Allah itu Maha Murah dan hanya memberi dan memberi, kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Sinar matahari yang menghidupkan diberikanNya kepada raja dan juga pengemis, para pendeta dan juga penjahat. Bunga melati memberi keharuman kepada siapapun juga tanpa membeda-bedakan. Kita yang menjadi hamba Gusti Allah juga berkewajiban untuk memberi dan memberi."

"Akan tetapi bagaimana kalau kita tidak mempunyai apa-apa yang berlebihan, Bagus? Tidak mempunyai banyak uang, tidak mempunyai tenaga, tidak memiliki kepandaian, tidak memiliki apa-apa yang dapat diberikan karena untuk dirinya sendiri juga kekurangan? Nah, lalu apa yang dapat dilakukan untuk dapat disebut hamba dan pembantu atau alat Gusti Allah?"

"Banyak yang dapat diberikan kepada orang lain, Dewi. Kata-kata yang manis, senyuman yang cerah, tegur sapa yang lembut, sikap yang menghormat dan ramah, semua itu dapat kita berikan kepada siapa saja dan tidak kalah pentingnya daripada pemberian uang dan lain-lain."

Maya Dewi diam dan termenung. Begitu banyak hal yang didengarnya sebagai hal yang baru, yang belum pernah ia dengar, apalagi ia lakukan. Dahulu, sejak kecil, ia hanya tahu menuntut, minta dipenuhi kehendaknya. Sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memberi. Ia hanya menuntut, minta dilayani, sama sekali tidak ada pikiran untuk melayani. Sekarang baru ia tahu bahwa manusia hidup mempunyai kewajiban yang amat banyak! Ia teringat akan hartanya, sepeti perhiasan dari emas permata.

"Akan tetapi, Bagus. Kalau kita hambur-hamburkan milik kita dan kita berikan kepada orang lain, apakah kita tidak akan kehabisan dan akhirnya kita sendlri terlantar?"

Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya. "Sama sekali tidak, Dewi. Gusti Allah itu Maha Murah dan Maha Kaya bahkan seluruh apa yang ada di dunia ini adalah milikNya. Karena itu, kalau kita menjadi penyalur berkahNya yang baik, maka kita tidak akan kehabisan bahkan akan mendapatkan berkah lebih banyak lagi. Yang pandai akan menjadi semakin pandai, yang kaya menjadi semakin kaya, yang kuat menjadi semakin kuat karena semua kelebihan itu adalah berkahNya dan diberikan kepada kita untuk disalurkan kepada mereka yang membutuhkan."

"Hemm, sekarang aku mulai mengerti. Itukah yang dimaksudkan mereka yang menamakan diri mereka para pendekar bahwa mereka selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan?"

"Kurang lebih begitulah pendirian para pendekar." Bagus Sajiwo membenarkan.

"Akan tetapi aku sekarang adalah seorang wanita lemah... tidak mungkin aku menjadi pendekar..." Maya Dewi mengeluh sedih.

"Sama sekali tidak, Dewi. Engkau memiliki dasar-dasar ilmu kanuragan yang tinggi tingkatnya. Engkau hanya kehilangan tenaga saktimu saja dan hal itu dapat kau peroleh kembali dengan latihan. Dan untuk itu, aku dapat membantumu."

"Mendapatkan kembali Aji Wisa Sarpa dan Aji Tapak Rudira?"

Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya, "Tidak, Dewi. Kedua aji itu hanya pantas dikuasai orang yang hidupnya sesat, yang menjadi hamba iblis dan hanya dipergunakan untuk melakukan kejahatan."

"Bukankah baik buruknya ilmu itu tergantung dari manusia yang mempergunakannya, Bagus?"

"Benar sekali, Dewi. Akan tetapi ada ilmu yang memang sifatnya sudah jahat. Kedua ajimu hanya untuk membunuh karena mengandung hawa beracun yang amat jahat. Sekarang marilah kita menggunakan waktu beberapa bulan disini untuk berlatih menghimpun tenaga sakti. Dengan tenaga yang timbul dari hawa murni, engkau dapat menggunakan ilmu silatmu untuk membela diri. Sekarang cobalah engkau berlatih dengan ilmu silat yang kau kuasai agar aku dapat melihat sifat ilmu silatmu itu."

Karena ingin sekali mendapatkan kembali kesaktiannya, Maya Dewi segera bangkit dan memasang kuda-kuda. Tubuhnya memang masih terasa lemas, akan tetapi semangatnya besar. Setelah dua aji pamungkasnya lenyap, ia merasa dilucuti senjatanya dan merasa tidak berdaya sama sekali. Maka, mendengar bahwa Bagus Sajiwo hendak membantunya memperoleh tenaga sakti yang baru, yang tidak sesat, ia menjadi bersemangat.

Segera ia menggerakkan kaki tangannya dan bermain silat dengan kedua tangan membentuk cakar. Gerakannya indah dan gagah, hanya tentu saja tidak mengandung tenaga sakti dan kehilangan kegesitannya. Namun ilmu silat yang dimainkannya itu merupakan ilmu silat yang bertingkat tinggi dan tangguh sekali. Itu adalah ilmu silat tangan kosong Singorodra yang ampuh. Setelah selesai memainkan ilmu silat itu, Maya Dewi berhenti dan terkulai duduk di atas rumput. Tenaganya habis dan ia merasa lelah sekali.

"Bagus, ilmu silatmu itu cukup bagus dan tangguh, Kalau dimainkan dengan tenaga sakti yang kuat, akan menjadi ilmu yang hebat. Selain ilmu silat tangan kosong tadi, ilmu lain apakah yang kau kuasai?"

"Aku juga dapat bersilat dengan sabuk Cinde Kencana, akan tetapi untuk memainkannya, aku harus menggunakan tenaga sakti. Dan kalau tenaga saktiku tidak lenyap, aku dapat menggunakan Aji Pekik Singanada untuk merobohkan lawan dan setiap tamparan tanganku mengandung hawa panas atau dingin menurut sekehendak hatiku."

"Engkau telah memiliki dasar yang amat kuat, Dewi. Aku yakin setelah berlatih beberapa bulan saja, engkau akan dapat menghimpun lagi tenaga saktimu. Akan tetapi aku hanya mau membantumu mendapatkan kembali tenaga saktimu kalau engkau berjanji bahwa kelak engkau tidak lagi akan menggunakan tenaga saktimu untuk sembarangan menyiksa, apalagi membunuh orang. Pendeknya, kalau engkau mempergunakannya untuk melakukan kejahatan, aku tidak sudi lagi menjadi sahabatmu, malah aku akan menentangmu dan menjadi musuhmu."

Girang sekali hati Maya Dewi mendengar ini. "Jangan khawatir, Bagus. Selama engkau berada disisiku, aku akan selalu mengikuti jejak hidupmu dan menaati semua petunjukmu."

Demikianlah, di puncak Gunung Wilis yang dingin itu, Maya Dewi berlatih, bersamadhi menghimpun tenaga sakti dari hawa murni, dibantu oleh Bagus Sajiwo yang menggunakan kekuatannya untuk membuka jalan darah dan membantu wanita itu sehingga dengan mudah Maya Dewi dapat menghimpun tenaga sakti yang intinya datang dari kekuatan alam. Hanya dibutuhkan waktu kurang lebih seratus hari, dengan latihan tekun, akhirnya Maya Dewi memperoleh tenaga sakti yang murni, tidak bercampur hawa sesat seperti ketika ia melatih Aji Wisa Sarpa dan Aji Tapak Rudiro.

Tentu saja ia menjadi girang bukan main dan cintanya terhadap Bagus Sajiwo semakin mendalam. Kini tahulah bekas datuk wanita yang pernah disebut sebagai iblis betina ini bahwa biarpun usianya baru tujuh belas tahun, Bagus Sajiwo telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, bahkan ia sendiri tidak dapat mengukurnya karena di dalam kesaktian pemuda remaja itu tersembunyi sesuatu yang aneh.

Selain dari memperoleh kembali tenaga sakti yang cukup ampuh, kini Maya Dewi juga banyak mengerti tentang hakekat hidup dan terbukalah matanya yang selama ini dibutakan nafsu bahwa kebahagiaan hidup hanya dialaml seseorang apabila ia berserah diri kepada Gusti Allah, bukan kepada iblis sehingga setiap tindakannya pasti melalui jalan yang digariskan Gusti Allah, yaitu jalan kebajikan, bukan seperti yang digariskan iblis, yaitu jalan pengabdian kepada nafsu iblis, mengejar kesenangan duniawi dan badani dengan menghalalkan segala cara.

Setelah merasa bahwa Maya Dewi telah mendapatkan apa yang ia cari, pada pagi hari itu Bagus Sajiwo berkata, "Nah, Dewi. Kulihat bahwa tenaga saktimu telah cukup kuat, mungkin tidak kalah dibandingkan dulu sebelum engkau kehilangan tenaga saktimu itu. Coba sekarang engkau bersilat dengan ilmu Singorodra itu, ingin aku melihat hasilnya."

Maya Dewi tersenyum, wajahnya kini berbeda dengan beberapa bulan yang lalu. Wajah yang cantik jelita dan yang dulu tampak kadang menyeramkan itu kini tampak anggun, senyumnya wajar dan pandang matanya amat lembut ketika ia menatap wajah Bagus Sajiwo.

"Baiklah Bagus. Aku sendiri selama tiga bulan ini berjuang mati-matian melawan keinginanku sendiri untuk melihat hasilnya karena engkau selalu melarang aku jika hendak berlatih."

Bagus Sajiwo tersenyum, "Itu merupakan satu diantara ujian-ujian batinmu, Dewi. Aku melarangmu karena aku tahu engkau ingin sekali, maka hendak kulihat apakah engkau sudah mampu melawan dorongan nafsu kehendak hatimu sendiri. Dan ternyata engkau lulus!"

Maya Dewi lalu melompat ke tempat yang terbuka. Gerakannya lincah seperti seekor burung srikatan, kemudian mulailah ia bersilat dengan kedua tangan membentuk cakar. Itulah ilmu silat Singorodra (Singa Ganas). Kini gerakannya berisi tenaga sakti sehingga setiap gerakan tangan menyerang atau kaki menendang, membawa angin bersiutan.

"Ciaaaattt...!" Tangan kanannya mencengkeram ke arah batu besar dan batu itu hancur tepinya.

"Haiiiittt...!" Kaki kirinya menendang sebatang pohon dan dengan suara keras pohon itu tumbang!

Setelah Maya Dewi menghentikan permainan silatnya, wajah dan pernapasannya biasa saja seolah tidak pernah mengeluarkan tenaga besar.

"Cukup bagus, Dewi. Hanya saja harus engkau ingat selalu kalau bertanding melawan manusia. Manusia bukan batu atau pohon yang boleh kau rusak begitu saja. Jangan terlalu mudah dipengaruhi dendam amarah sehingga engkau ringan tangan melukai atau membunuh orang. Sekarang, tiba saatnya bagi kita untuk berpisah, Dewi."

Wanita itu tiba-tiba meloncat ke depan Bagus Sajiwo dan menatap wajah pemuda itu dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat. "Ber... pisah...? Apa... apa maksudmu, Bagus?"

Melihat wajah wanita itu pucat dan ketika bertanya itu, bibirnya gemetar, Bagus Sajiwo merasa iba sekali. Diapun diam-diam harus mengakui bahwa terdapat ikatan batin yang amat kuat antara dia dan wanita itu dan ikatan inilah yang terasa amat berat dan menimbulkan duka apabila terputus dengan perpisahan.

"Mari kita duduk dan bicara, Dewi. Tenangkanlah dirimu dan mari kita melihat kenyataan." Bagus Sajiwo duduk di atas batu dan Maya Dewi juga duduk di atas sebuah batu di depan pemuda itu. "Ingatlah, Dewi. Sejak kita saling berjumpa sampai hari ini, kurang lebih lima bulan telah lewat. Sekarang, engkau telah sembuh dari ancaman maut karena luka disebelah dalam badanmu, engkau telah mendapatkan kembali tenaga saktimu. Dan aku sendiri masih mempunyai tugas yang harus kulaksanakan. Oleh karena itu, kukira sudah tiba waktunya bagi kita untuk saling berpisah dan mengambil jalan masing-masing. Aku tidak khawatir karena engkau sekarang sudah tahu jalan hidup apa yang harus kau tempuh, Dewi, yaitu jalan yang berlandaskan kebenaran dan kebajikan."

"Tidak, Bagus, tidak! Jangan engkau tinggalkan aku seorang diri di dunia ini. Aku... aku tidak sanggup lagi hidup menyendiri seperti dulu. Aku... aku tidak berani, aku takut, Bagus...!"

Bagus Sajiwo tersenyum. "Apa? Engkau takut? Ah, sungguh aneh sekali mendengar ucapanmu ini, Dewi. Dulu engkau tidak takut menghadapi apapun dan siapa pun juga. Sekarang engkau takut? Siapa yang akan mengganggumu? Engkau seorang wanita sakti mandraguna. Barangkali engkau takut kepada Candra Dewi, kakak tirimu itu?"

Maya Dewi menggeleng kepalanya dan menghela napas. "Bukan, Bagus. Aku tidak takut kepada Mbakayu Candra Dewi atau kepada siapapun juga. Aku takut kepada... diriku sendiri. Dengan adanya engkau di dekatku, aku merasa tenang, tenteram, aman dan aku sanggup mengubah sifat-sifatku yang dahulu. Dengan adanya engkau di sisiku aku berani dan kuat menekan gejolak nafsu-nafsuku sendiri. Akan tetapi, kalau engkau pergi meninggalkan aku, ahh, aku takut, Bagus. Aku takut akan terseret oleh bujukan iblis dan kembali hidup seperti masa lalu yang hanya akan membawa aku ke dalam dosa dan kesengsaraan hidup. Karena itu, jangan tinggalkan aku, Bagus. Perkenankan aku ikut denganmu, kemana pun engkau pergi. Aku ingin mati atau hidup selalu di dekatmu."

"Hemm, Dewi. Bukankah sudah berulang kali aku beritahu padamu bahwa dengan membiarkan hatimu terbuka sehingga. kekuasaan Gusti Allah jumeneng (hadir) di dalam batinmu, engkau akan selalu mendapat bimbinganNya dan tidak perlu takut terhadap apapun yang akan terjadi dan menimpa dirimu!"

"Aku masih ingat dan tahu, Bagus. Akan tetapi aku khawatir keyakinanku akan hal itu menjadi goyah kalau engkau tidak berada disampingku. Aku takut, Bagus, sungguh aku takut sekali akan kelemahanku sendiri. Aku mohon padamu, Biarkan aku mengikutimu kemana pun engkau pergi!"

Bagus Sajiwo tertegun. Dia sendiri masih belum tahu kemana dia akan pergi. Sebelum usianya dua puluh tahun, dia tidak boleh menjumpai orang tuanya, tidak boleh kembali ke lereng Gunung Kawi dimana orang tuanya tinggal. Demikianlah pesan Ki Ageng Mahendra kepadanya tanpa memberitahu mengapa demikian dan dia sama sekali tidak berani melanggar pesan gurunya itu. Dia hanya akan merantau kemana saja kakinya membawanya dan di sepanjang perjalanan harus selalu membela orang-orang yang tertindas dan menentang orang-orang yang melakukan kejahatan.

Kalau Maya Dewi hendak menemaninya dalam perantauannya, apa salahnya? Wanita ini tidak mengganggu, bahkan dapat membantunya menentang orang-orang jahat. Pula, agaknya watak Maya Dewi sudah benar-benar berubah. Ia tidak lagi mudah marah seperti dulu. Pula, mengingat akan masa lalunya yang mengerikan dan tekadnya untuk mengubah jalan hidupnya, Maya Dewi memang perlu mendapat teman yang dapat menasihati dan mengingatkan apabila ia akan tersesat lagi.

Setelah menghela napas seolah menghadapi seorang anak kecil yang rewel, yang membuatnya tak berdaya menolak, dia berkata, "Baiklah kalau itu yang kau kehendaki. Kita melakukan perantauan bersama."

Tiba-tiba wajah yang tadinya pucat dan membayangkan kesedihan itu berseri-seri, mulut yang tadinya cemberut hampir menangis itu kini tersenyum lebar dan Maya Dewi lalu melompat ke depan merangkul leher Bagus Sajiwo!

"Terima kasih, Bagus! Aku tahu, engkau pasti tidak tega kepadaku. Ah, engkau adalah orang yang paling mulia di dunia ini, Bagus, dan engkau adalah penolongku, sahabatku, pujaan hatiku, dan suamiku...!"

"Husshh, jangan begitu, Maya Dewi!" kata Bagus Sajiwo dengan lembut dia melepaskan rangkulan itu. "Kita bukan suami isteri, cukup menjadi sahabat baik saja."

Maya Dewi tersenyum dan duduk kembali ke atas batu. "Baiklah, engkau sahabatku, Bagus. Akan tetapi di dalam hatiku, engkau tetap kuanggap sebagai suamiku. Aku selamanya tidak akan sudi nenikah dengan pria lain kecuali engkau. Nah, kita kemana sekarang?"

"Dewi setelah kita sepakat untuk melakukan perantauan bersama, maka ke arah mana kita pergi kuserahkan kepadamu. Aku sendiri adalah seorang yang masih buta akan keadaan di dunia ramai, seolah seekor burung yang baru saja meninggalkan sarang, baru belajar terbang. Sebaliknya engkau sudah biasa melanglang buana, mengenal daerah-daerah, bahkan mengenal para tokoh sakti. Nah, terserah kepadamu kemana kita akan pergi."

"Ah, baik sekali kalau begitu. Akan tetapi, lebih dulu peti hartaku harus disembunyikan disini. Tidak mungkin kita melakukan perjalanan merantau membawa-bawa harta sebanyak itu. Cukup beberapa potong saja, dan pakaian pengganti"

"Kalau begitu, mari kita mencari tempat yang aman untuk menyembunyikan peti hartamu."

Keduanya lalu mencari-cari tempat yang cocok. Akhirnya mereka menemukan sebuah gua kecil di puncak itu. Gua itu hanya merupakan sebuah lubang di dinding batu gunung, tidak iebih dari satu meter persegi luasnya. Mereka memasukkan peti harta itu di dalam lubang, menutupinya dengan rumput dan semak, kemudian Bagus Sajiwo menutup lubang itu dengan sebongkah batu besar. Tenaga lima orang laki-laki biasa saja tidak akan mampu menggulirkan batu itu dari depan lubang dan andaikata batu itu dapat disingkirkan, siapa yang akan mengira bahwa ada peti harta tersembunyi di balik rumput dan semak-semak itu?

Setelah pekerjaan itu selesai, kedua orang ini turun dari puncak Wilis, menggendong buntalan pakaian dan Maya Dewi membawa beberapa potong perhiasan untuk bekal perjalanan mereka. Mereka berjalan santai menuruni puncak. Maya Dewi tidak ingin melihat pondoknya yang sudah dibakar habis oleh Candra Dewi seperti yang diketahuinya dari Bagus Sajiwo. Mereka langsung menuruni Gunung Wilis dengan santai karena memang perjalanan mereka itu tanpa tujuan, maka untuk apa tergesa-gesa.

Ketika mereka jalan berdampingan menuruni puncak, Maya Dewi menggunakan kesempatan itu untuk mengajak Bagus Sajiwo bercakap-cakap. "Bagus, kita sudah bergaul begini akrab, akan tetapi aku sama sekali tidak mengetahui asal usulmu. Maukah engkau menceritakan riwayatmu kepadaku? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau yang masih begini muda merantau seorang diri tanpa tujuan?"

Bagus Sajiwo sudah menduga bahwa akhirnya Maya Dewi tentu menanyakan hal ini dan dia pun tidak mungkin dapat berbohong. Dia tidak biasa berdusta, pula untuk apa merahasiakan keadaan orang tuanya? Mereka adalah pendekar-pendekar yang terkenal dan tidak ada alasan apapun untuk menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah anak tunggal mereka.

"Ayah bundaku tinggal di lereng Gunung Kawi. Ayah bernama Ki Tejomanik dan ibuku bernama Retno Susilo..."

"Ahh...?" Maya Dewi terbelalak. Ia terkejut sekali mendengar disebutnya nama-nama itu sebagai ayah ibu Bagus Sajiwo. "Maksudmu Sutejo yang juga terkenal dengan julukan Cambuk Bajrakirana itu?"

"Benar. ketika muda ayahku bernama Sutejo."

"Hebat...! Aku mengenal nama besar ayahmu dan ibumu! Juga nama ibumu pernah menggemparkan empat penjuru! Lalu, kenapa engkau kini merantau seorang diri?" Maya Dewi kini semakin kagum kepada pemuda itu yang ternyata keturunan suami isteri yang terkenal sakti mandraguna.

"Aku menjadi murid mendiang Eyang Ki Ageng Mahendra. Setelah guruku meninggal dunia, aku turun gunung dan merantau seorang diri." jawaban Bagus Sajiwo singkat saja karena sebetulnya dia tidak ingin bercerita banyak tentang dirinya sendiri.

"Bagus, setelah turun gunung, kenapa engkau tidak langsung pulang ke rumah orang tuamu di Gunung Kawi?"

Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya. "Saatnya belum tiba, Dewi. Sebelum usiaku mencapai dua puluh tahun, aku tidak boleh menemui orang tuaku."

"Eh, kenapa?"

"Mendiang guruku yang memesan begitu, Beliau adalah seorang yang arif bijaksana dan aku harus menaati pesannya itu. Nah, sekarang ganti engkau yang menceritakan riwayatmu, Dewi."

"Hemm, masa laluku adalah buruk sekali, penuh dengan kebusukan. Kalau tidak kepadamu, aku malu dan tidak akan mau menceritakannya. Akan tetapi engkau berhak mengetahui segala kebusukan itu. Aku tidak ingin menyimpan rahasia keburukanku, agar engkau tahu betapa sesat dan jahatnya aku."

"Dewi, tidak ada seorang pun manusia yang sempurna tanpa cacat di dunia ini. Semua orang berdosa karena tubuh kita ini menjadi sarang dosa. Akan tetapi bagi siapa yang mengakui dosanya dan mau bertaubat, Gusti Allah pasti akan mengampuninya."

"Begitukah, Bagus? Ah, alangkah bahagia rasa hatiku kalau memang benar begitu. Akan tetapi dosa-dosaku terlalu besar dan terlalu banyak. Ibuku telah meninggal ketika aku masih kecil dan aku hidup bersama ayahku, seorang datuk sesat terkenal bernama Resi Kolo-yitmo yang telah meninggal dalam perang antara Mataram dan Kumpeni Belanda, dan juga Mbakayu Candra Dewi tinggal bersama kami. Ibu kandungku sudah janda dan mempunyai anak Mbakayu Candra Dewi ketika menikah dengan ayah. Kami berdua dididik oleh Ayah dalam olah kanuragan. Mbakayu Candra Dewi kemudian melarikan diri karena ayahku hendak menjadikan anak tirinya itu sebagai isteri. Aku lalu ikut ayah merantau. Kemudian aku selalu membantu pihak-pihak yang bermusuhan dengan Mataram. Ayahku mendendam kepada Mataram, maka sejak kecil aku sudah dijejali rasa benci kepada Mataram. Demikianlah, aku membantu Madura dan Surabaya ketika mereka berperang melawan Mataram dan yang paling akhir aku bahkan menjadi pimpinan telik sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda dengan imbalan harta."

"Hemm, menurut mendiang eyang guru, bangsa Belanda memang licik dan pandai membujuk orang-orang kita yang pandai untuk membantu mereka." kata Bagus Sajiwo.

"Ya, aku baru menyadari setelah bergaul denganmu bahwa tindakanku itu sungguh amat kotor dan jahat. Aku membantu bangsa asing yang ingin menguasai tanah air dan bangsaku, aku menjadi pengkhianat yang hendak menjual tanah air dan bangsaku."

"Semua itu sudah berlalu, Dewi. Yang sudah biarlah lewat dan mulai sekarang, asalkan engkau bertaubat dan tidak melakukan kekeliruan itu lagi, bahkan menebusnya dengan amal perbuatan yang sesuai dengan kehendak Custi Allah, yaitu membela kebenaran dan keadilan, Gusti Allah tentu akan mengampuni semua dosamu karena Dia itu selain Maha Kuasa dan Maha Murah, juga Maha Pengampun dan Maha Segalanya!"

"Oohh... kalau saja benar kata-katamu itu, Bagus. Akan tetapi bukan itu saja kesesatan-kesesatan yang telah kulaKukan. Aku bukan seorang perempuan bersih, aku hina dan kotor. Selama belasan tahun ini aku menjadi hamba dari nafsu-nafsuku sendiri. Aku banyak membunuh orang. Aku mempermainkan banyak pria dan menjadi permainan mereka. Ah, sesungguhnya tidak pantas aku berdekatan dengan seorang pemuda sebersih engkau, Bagus. Akan tetapi aku... aku hanya mempunyai engkau sebagai gantungan harapanku. Hanya kalau berada disisimu aku sanggup untuk menempuh hidup baru, mengubah semua jalan hidupku yang sudah lalu. Tapi aku kotor, Bagus... aku kotor..."

Bagus Sajiwo merasa terharu. "Itulah yang terpenting dalam hidup ini, Dewi. Melihat dengan jelas kekurangan dan kekotoran diri sendiri. Orang yang merasa dirinya kotor pasti bersemangat untuk membersihkan diri dari kekotoran itu. Orang yang merasa dirinya bodoh tentu mudah mendapat tambahan pengetahuan. Sudahlah, cukup kita bicara tentang masa lalu yang hanya mendatangkan rasa duka, dendam dan penasaran belaka. Mari kita kembali ke saat ini. Nah, karena engkau yang memimpin perjalanan kita ini, kemana sekarang kita akan pergi, Dewi?"

Wajah yang tadi diliputi mendung itu kini menjadi cerah kembali dan Maya Dewi berkata dengan penuh semangat. "Aku pernah mendengar ketika aku masih tinggal di puncak Bukit Keluwung bahwa daerah sebelah selatan Pegunungan Kidul, disekitar muara Kali Lorog, terdapat pusaka-pusaka terpendam yang saat ini dicari semua tokoh sakti dan dijadikan rebutan. Nah, bagaimana kalau kita kesana untuk melihat-lihat? Siapa tahu kita berjodoh dengan pusaka-pusaka itu dan dapat menemukannya?"

Bagus Sajiwo menjadi gembira mendengar ini. Dia yang belum banyak pengalaman tentu saja ingin sekali melihat apa yang terjadi di tempat yang dikabarkan menyimpan pusaka. Jiwa petualang dalam dirinya yang masih muda itu bangkit.

"Ah, senang sekali aku untuk pergi kesana, Dewi! Akan tetapi, tahukah engkau pusaka-pusaka macam apa saja yang diperebutkan orang itu?"

"Mula-mula sebuah kitab kuno, peninggalan jaman Mojopahit ditemukan orang. Di dalam kitab kuno itu disebutkan bahwa pada waktu itu, sampai sekarang sudah tiga ratus tahun lebih, terdapat semacam obat yang berkasiat ajaib, berupa jamur dan disebut Jamur Dwipa Suddi dan kabarnya jamur ini mempunyai dua sifat yang bertentangan, yaitu bagi mereka yang berjodoh, kalau makan jamur ini akan memperoleh kekuatan yang dahsyat. Sebaliknya bagi yang tidak berjodoh, makan jamur ini justru akan menghilangkan semua tenaga yang telah dikuasainya. Jamur itu kabarnya sudah dikeringkan sinar matahari dan biarpun disimpan berabad-abad lamanya tidak akan menjadi rusak."

"Hebat sekali! Dari mana asalnya jamur ajaib Seperti itu, Dewi, aku menjadi ingin sekali mengetahui."

"Menurut cerita dalam kitab kuno itu, Jamur Dwipa Suddi berasal dari jamur yang tumbuh di tubuh naga laut."

"Wah, luar biasa sekali!"

"Ceritanya begini, Bagus. Di jaman dulu, berabad-abad yang lalu, daerah Muara Kali Lorog Itu termasuk wilayah Kerajaan Wengker yang menjadi musuh bebuyutan dari Kerajaan Mataram Lama. Pada suatu hari, seorang pertapa yang suka mengumpulkan rempa-rempa, akar dan daun-daun yang berkhasiat sebagai obat, berjalan-jalan seorang diri di pantai Laut Kidul. Dia melihat sebatang balok atau batang pohon yang besar dan panjang di pantai dan ketika dekat, dia melihat beberapa buah jamur tumbuh di batang pohon yang melintang di atas pasir itu. Setelah memeriksa dan menciumnya, pertapa itu maklum bahwa jamur langka itu tentu mengandung khasiat yang ampuh, maka dia lalu mencabuti jamur itu. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba batang pohon atau balok itu bergerak! Dan ternyata "balok" itu adalah seekor naga atau ular yang besar sekali. Naga itu segera kembali ke laut dan pertapa yang kaget setengah mati itu baru tahu bahwa yang dicabutnya tadi adalah jamur-jamur yang tumbuh di tubuh naga."

"Hemm, hebat dan menarik sekali!" kata Bagus Sajiwo.

"Kemudian muncul puluhan orang perajurit Wengker dan para perwiranya hendak merampas jamur itu. Barulah sang pertapa maklum bahwa jamur yang ditemukannya itu adalah Jamur Dwipa Suddi. Dia mempertahankannya dan mengamuk. Akhirnya, semua pengeroyok yang puluhan orang jumlahnya itu tewas, akan tetapi sang pertapa juga menderita luka-luka parah. Dan sebelum' dia mati, dia menyembunyikan jamur ajaib itu. Nah, sejak itu, tak seorangpun mengetahui dimana adanya jamur itu dan setelah kitab yang mengandung cerita itu ditemukan orang baru-baru ini, ketika aku meninggalkan Batavia, barulah orang-orang sakti ramai memperebutkan dan mencarinya."

"Menarik sekali, Dewi. Mari kita segera pergi kesana!" Bagus Sajiwo, bagaimana pun juga, adalah seorang pemuda remaja yang tentu saja tertarik akan hal-hal yang luar biasa.

Mereka berdua lalu mempercepat langkah menuruni gunung dan ternyata Maya Dewi kini sudah dapat berlari seperti terbang. Wanita itu sudah pulih, memiliki kecepatan dan tenaga yang kuat, hanya ia tidak lagi dapat menggunakan dua aji pukulan beracun itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kegagalan bala tentara Mataram menyerang Kumpeni Belanda di Batavia yang terjadi sampai dua kali (1628 dan 1629) itu sedikit banyak menyuramkan kecemerlangan dan kebesaran Mataram. Terutama sekali para adipati di daerah Pasundan merasa kecewa dan penasaran sekali. Yang menderita paling parah adalah Kadipaten Sumedang.

Adipati Sumedang, pada waktu itu adalah Adipati Ukur yang menggantikan Pangeran Mas Cede yang dianggap tidak setia kepada Mataram dan menjalin hubungan dengan Kerajaan Banten, telah membantu Mataram ketika menyerang Batavia. Banyak sekali perajurit Sumedang yang tewas dalam perang. Juga Sumedang telah menguras persediaan berasnya untuk dijadikan ransum bala tentara Mataram. Namun hasilnya mengecewakan. Mataram gagal dalam penyerangan dua kali berturut-turut itu.

Para tokoh pimpinan di tanah Pasundan menjadi kecewa dan kepercayaan mereka terhadap Sultan Agung di Mataram menipis yang mengakibatkan kesetiaan mereka terguncang. Mereka, terutama Adipati Ukur sebagai penguasa tertinggi di daerah itu, tidak mengakui lagi kekuasaan Mataram atas daerah Pasundan. Bahkan Pasundan yang pada waktu itu kekuasaannya berpusat di Sumedang lebih suka menjalin hubungan dengan Banten, juga dengan pihak Kumpeni Belanda.

Sikap penguasa Sumedang ini segera terdengar oleh Sultan Agung yang menjadi marah bukan main. Persiapan perang baru untuk menyerbu daerah Pasundan yang memberontak itupun dilakukan. Di Sumedang sendiri, Adipati Ukur Juga maklum akan bahaya penyerangan Mataram itu. Maka, diapun sudah bersiap-siap, mengumpulkan semua kekuatan untuk mengadakan perlawanan.

Adipati Ukur sudah minta bantuan Kumpeni Belanda, akan tetapi Kumpeni Belanda masih merasa ngeri untuk membantu Sumedang secara terang-terangan karena mereka ingat akan penyerangan-penyerangan Mataram yang mengakibatkan terjatuhnya banyak korban itu. Mereka tidak ingin membangkitkan kemarahan Mataram dan merasa lebih aman kalau mereka tidak mencampuri pertentangan antara Sumedang dan Mataram. Akan tetapi diam-diam Kumpeni merasa gembira sekali dan berusaha melalui para antek mereka untuk mengobarkan kemarahan Sumedang terhadap Mataram.

Memang keadaan ini amat menguntungkan Kumpeni dan merupakan satu diantara daya upaya untuk dapat menguasai Nusantara. Dengan cara mengadu domba, membiarkan para penguasa itu saling hantam sendiri sehingga mereka menjadi lemah. Pihak Kumpeni berpura-pura memihak Sumedang dan hanya membantu dengan beberapa pucuk senapan dan meriam saja, namun tidak langsung mengirim pasukan untuk membantu.

Dalam waktu kedua pihak, Sumedang dan Mataram, mengadakan persiapan untuk berperang ini, suasananya menjadi tegang. Rakyat menanti dengan hati was-was karena dari pengalaman yang sudah-sudah, kalau timbul perang, maka yang paling menderita adalah rakyat. Tidak aman dan tidak leluasa menggarap sawah ladang, harta benda mereka terancam musnah, bahkan nyawa mereka pun terancam mati konyol. Bahkan sudah banyak orang yang mengungsikan keluarga mereka, isteri dan anak-anak mereka, jauh ke daerah Banten dan ada pula yang mengungsi ke daerah Batavia.

Akan tetapi untuk membesarkan hati dan semangat para senopati dan perwiranya, Adipati Sumedang malah mengadakan pesta. Pasukan yang cukup kuat telah dipersiapkan berjaga-jaga di perbatasan dan untuk mengurangi ketegangan, Adipati Ukur mengadakan pesta, mengundang waranggana yang paling terkenal di kota itu untuk menyenangkan hati para senopatinya. Juga dia mendatangkan seorang dalang wayang golek yang terkenal.

Sejak sore, para tamu yang terdiri dari bangsawan dan pamong praja tingkat tinggi, terutama para perwira dan senopati sudah hadir memenuhi ruangan pesta. Di bagian luar, yaitu di pelataran, penuh pula dengan penonton yang tidak diundang. Hampir semua penduduk Sumedang dan sekitarnya datang menonton, bahkan dari daerah lain yang jauh juga memerlukan datang nonton. Siapa yang tidak tertarik nonton kalau waranggananya adalah Neneng Salmah yang cantik jelita bersuara emas itu, sedangkan dalangnya adalah Ki Subali, dalang kondang dari Dermayu yang amat trampil menggerakkan boneka-boneka sehingga tampak hidup?

Ki Subali adalah seorang seniman, sasterawan, dan juga dalang yang terkenal di seluruh daerah Galuh, bahkan namanya kondang sampai ke Sumedang. Laki-laki berusia lima puluh tiga tahun ini tinggal di Dermayu. Seperti kita ketahui, Ki Subali ini adalah ayah kandung Sulastri yang kini menjadi pemimpih perkumpulan Melati Puspa di lereng Gunung Liman dan memakai nama Ni Melati Puspa.

Adapun Neneng Salmah memang berasal dari Sumedang. Gadis berusia dua puluh tahun yang cantik jelita dengan kulit putih kuning mata dan mulutnya menggairahkan dan tindak tanduknya lemah lembut, suaranya merdu sekali ini dahulu pernah melarikan diri dari Sumedang bersama ayahnya yang bernama Ki Salmun. Mereka berdua terancam bahaya bahkan Neneng Salmah sudah disekap dan nyaris diperkosa oleh Raden Jaka Bintara.

Akan tetapi Lindu Aji menyelamatkannya dan pemuda perkasa itu yang mengusulkan agar Ki Salmun dan Neneng Salmah mondok di rumah Ki Subali. Di rumah sasterawan ini Neneng Salmah sudah dianggap keluarga sendiri, bahkan dengan Sulastri ia menjalin persahabatan yang akrab sehingga mereka seperti kakak beradik sendiri saja

Neneng Salmah jatuh cinta kepada Lindu Aji yang menolongnya. Ia mencinta pemuda itu mati-matian dan terus terang ia mengatakan tentang perasaan hatinya itu kepada Sulastri. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa sebenarnya telah lebih dulu Sulastri mencinta Lindu Aji, bahkan pemuda itu juga mencintanya. Ia mengira bahwa Sulastri mencinta Jatmika yang merupakan saudara seperguruan Sulastri sendiri.

Kemudian, setelah Sulastri, Lindu Aji, dan Jatmika pulang dari Batavia dimana mereka bertiga membantu Mataram melawan Kumpeni Belanda, mereka semua menghadapi kenyataan yang terasa amat pahit itu. Lindu Aji menolak cinta Neneng Salmah karena dia telah mencinta gadis lain dan Lindu Aji menerima Neneng Salmah menjadi adik angkatnya. Kenyataan lain yang lebih pahit lagi dan menghancurkan hati Neneng Salmah adalah ketika mendengar bahwa Sulastri juga menolak pinangan Jatmika! Baru ia tahu bahwa sebetulnya Sulastri saling mencinta dengan Lindu Aji. Akan tetapi Lindu Aji mengalah dan mundur karena mengira bahwa Sulastri jatuh cinta kepada Jatmika dan Sulastri juga mengalah mendengar betapa Neneng Salmah amat mencinta Lindu Aji! Keduanya mundur dan mengalah, membiarkan orang yang dicinta itu berjodoh dengan orang lain.

Neneng Salmah merasa berdosa besar. Berdosa terhadap Sulastri yang demikian baik telah menampung ia dan ayahnya, menganggap ia seperti saudara sendiri dan ia merasa berdosa terhadap Lindu Aji yang telah menyelamatkan nyawa dan kehormatannya.

Ia merasa berdosa karena ialah yang menggagalkan perjodohan dua orang yang saling mencinta itu. Dalam keadaan penuh duka sehingga tubuhnya menjadi kurus kering, ia menerima pukulan batin lagi ketika Sulastri meninggalkan rumah dan tidak diketahui kemana perginya! Ia merasa semakin nelangsa dan akhirnya ia mengajak Ki Salmun, ayahnya, untuk kembali ke Pasundan.

Ki Salmun berani kembali ke Sumedang setelah mendengar bahwa Adipati Pangeran Mas Cede yang dulu mendukung Raden Jaka Bintara untuk menggagahi puterinya, kini sudah diganti oleh Adipati Ukur. Maka, ayah dan anak ini kembali tinggal di Sumedang. Neneng Salmah mulai terhibur setelah bertemu dengan kawan-kawan lama, apalagi setelah Ki Salmun menghimpun rombongan penabuh gamelan seperti dulu dan Neneng Salmah menjadi waranggana seperti dulu. Sebentar saja namanya yang memang sudah kondang itu kembali menjadi terkenal dan tanggapan datang hampir setiap hari.

Kesehatannya pulih kembali dan tubuhnya kembali menjadi denok dan indah. Seperti juga dulu, pinangan datang bertubi-tubi, akan tetapi semua itu ditolak dengan halus. Tidak ada yang berani memaksanya karena semua orang tahu belaka bahwa penguasa yang baru, Adipati Ukur, melindungi Neneng Salmah yang dianggap sebagai waranggana kebanggaan Kadipaten Sumedang.

Ketika pesta dimulai dan pertunjukan wayang dipertontonkan, suasana dalam ruangan pesta itu menjadi meriah sekali. Orang-orang menikmati permainan dalang Ki Subali yang memainkan golek-golek itu dengan mahirnya, juga mereka menikmati alunan suara Neneng Salmah yang merdu diiringi gamelan. Semua mata memandang kagum kepada Neneng Salmah. Gadis itu memang elok. Pakaiannya berwarna cerah, baju merah muda dan kain berkembang, rambutnya yang hitam panjang itu digelung dan dihias dengan bunga melati. Kerling matanya dan senyum bibirnya sungguh membuat banyak pria tergila-gila.

Wajah Neneng Salmah memang cerah sekali. Ia sedang gembira karena telah bertemu kembali dengan Ki Subali yang dianggap sebagai orang tua sendiri. Ki Salmun, yang memimpin para penabuh gamelan, juga nampak gembira seperti puterinya. Mereka bertiga, Ki Subali, Neneng Salmah dan Ki Salmun telah mengadakan pertemuan dan mereka bercakap-cakap melepas nndu sebelum pertunjukan dalam pesta itu dimulai.

Ki Subali senang melihat keadaan Neneng Salmah baik-baik saja bahkan kini namanya telah tenar kembali sebagai seorang waranggana paling disukai di Sumedang dan sekitarnya. Sebaliknya, Neneng Salmah dan ayahnya juga girang melihat Ki Subali dalam keadaan sehat walaupun Neneng Salmah agak prihatin juga mendengar bahwa Sulastri belum juga kembali ke Dermayu.

Biarpun permainan wayang golek yang digerakkan tangan-tangan Ki Subali yang trampil itu menarik sekali, namun hanya para penonton yang sudah lanjut usianya saja yang mengikuti gerak gerik sang dalang dan golek-goleknya. Para penonton laki-laki yang muda hampir semua lebih tertarik untuk menonton Neneng Salmah dan mengikuti setiap gerakan bibir yang manis menggemaskan itu ketika bertembang.

Diantara para penonton itu terdapat seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Pakaiannya sederhana namun rapi dan bersih. wajahnya tampan gagah dengan alisnya yang tebal hitam, matanya yang mencorong tajam dan tahi lalat di dagunya menambah kegagahannya. Tubuhnya sedang saja namun tegap, di pinggangnya terselip sebatang keris yang gagang dan warangkanya terbuat dari kayu cendana.

Pemuda itu adalah Jatmika, seorang pemuda yatim piatu yang telah mewarisi ilmu-ilmu dan aji kesaktian dari eyangnya (kakeknya), yaitu mendiang Ki Tejo Langit. Pemuda perkasa ini juga membantu pasukan Mataram ketika menyerbu Batavia bersama para pendekar lainnya. Dialah yang dahulu menolong Sulastri ketika Sulastri terjatuh ke dalam jurang dan kehilangan ingatannya.

Jatmika lalu memberinya nama baru, yaitu Listyani atau panggilannya Eulis dan dia pun jatuh cinta kepada Sulastri. Dia merasa yakin pula bahwa gadis yang diberinya nama Eulis itu juga membalas cintanya. Akan tetapi setelah Sulastri sembuh dan mendapatkan kembali ingatannya, gadis itu teringat akan pria yang dikasihinya, yang bukan lain adalah Lindu Aji. Setelah perang selesai Jatmika bersama Lindu Aji dan Sulastri pergi ke Dermayu dan Jatmika menggunakan kesempatan itu untuk meminang Sulastri.

Akan tetapi, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya menimpa dirinya. Pinangannya itu ditolak oleh Sulastri! Gadis itu ternyata telah mencinta pria lain dan mudah saja dia menduga bahwa yang dicintanya itu tentulah Lindu Aji!

Dunia bagaikan kiamat bagi Jatmika. Hatinya hancur dan dia meninggalkan Dermayu tanpa pamit kepada siapa pun juga dan ia merantau bagaikan seorang yang telah kehilangan semangat.

Dia pergi ke pesisir di sebelah utara Dermayu dan menumpahkan segala kedukaannya di depan makam kakeknya, Ki Ageng Pasisiran atau Tejo Langit, dan makam ayahnya, Ki Sudrajat. Selama tiga bulan dia berdiam di bekas pondok kakeknya, setiap hari duduk bersila di depan kedua makam, jarang makan jarang tidur sehingga tubuhnya menjadi kurus kering. Pada suatu malam dia bermimpi, bertemu dengan ayahnya dan dalam mimpinya itu, Ki Sudrajat memarahinya. Masih terngiang dalam telinganya apa yang dikatakan ayahnya dalam mimpi itu.

"Jatmika, bukan watak seorang satria untuk tenggelam ke dalam duka yang berlarut-larut karena gagal mengawini seorang wanita! Kelahiran, perkawinan, dan kematian berada di tangan Gusti Allah, tidak boleh kau paksakan. Hayo bangkit, masih banyak tugasmu sebagai seorang ksatria. Jangan membikin malu orang tua dan nenek moyangmu. Kalau sudah tiba saatnya, engkau akan bertemu dengan jodohmu kelak!"

Mimpi itu menyadarkan Jatmika dan dia merasa malu kepada dirinya sendiri yang amat lemah itu. Maka bangkitlah semangatnya dan dia meninggalkan pesisir Dermayu lalu mulai dengan perantauannya.

Dalam perjalanannya, dia melihat di daerah Pasundan, para pepguasa setempat mulai merasa tidak puas dan mulai memperlihatkan sikap tidak mau tunduk terhadap Mataram yang mereka nilai telah gagal menentang Kumpeni Belanda sehingga mereka yang tadinya membantu Mataram juga menderita kerugian bukan sedikit. Dan Jatmika melihat pula betapa semakin banyak telik sandi (mata-mata) Belanda disebar untuk membujuk para penguasa daerah untuk berbaik dengan Belanda dan menentang kekuasaan Mataram. Banyak yang terbujuk karena Belanda pandai mengambil hati mereka dengan memberi hadiah-hadiah dan janji-janji muluk.

Jatmika yang setia terhadap ajaran dan pesan ayah dan eyangnya, selalu condong untuk membela Mataram yang dia tahu dipimpin oleh Suitan Agung yang bijaksana dan yang selalu ingin mempersatukan seluruh kekuatan di nusantara untuk menghadapi Kumpeni Belanda yang hendak memperlebar sayapnya untuk menguasai nusantara.

Setelah berkelana selama hampir dua tahun, selalu turun tangan membela kebenaran dan keadilan, menentang pelaku kejahatan, bersikap sebagai seorang ksatria sejati yang dikehendaki ayahnya, akhirnya Jatmika pergi ke Sumedang.

Jatmika sudah mendengar bahwa adipati Sumedang telah diganti. Dahulu adipatinya adalah Pangeran Mas Cede, sekarang digantikan oleh Adipati Ukur yang oleh Sultan Agung diangkat menjadi penguasa yang mewakili kekuasaan Mataram di daerah Parahyangan. Akan tetapi dia mendengar desas desus bahwa adipati yang baru inipun mulai memperlihatkan sikap menentang Mataram, bahkan membuat persiapan untuk mempertahankan diri apabila diserang pasukan Mataram.

Ketika memasuki Sumedang, Jatmika terkenang kembali akan pengalamannya bersama Sulastri ketika mereka berdua ditawan oleh Aki Mahesa Sura dan para muridnya. Ketika itu dia dan Sulastri bertemu dengan Lindu Aji dan bersama-sama mereka menentang Tumenggung Jaluwisa yang memberontak terhadap adipati Sumedang yang ketika itu adalah Pangeran Mas Gede. Akhirnya, dia dan Sulastri berhasil membunuh si pemberontak Tumenggung Jaluwisa.

Teringat akan semua itu, Jatmika menghela napas panjang dan cepat dia mengusir semua kenangan itu. Ketika mendengar bahwa Adipati Ukur mengadakan pesta untuk menjamu para senopati dan perwira dan mengadakan pertunjukan wayang golek dengan dalang Ki Subali dari Dermayu dan waranggana Neneng Salmah, tentu saja hati Jatmika tertarik sekali.

Ki Subali dari Dermayu, ayah kandung Sulastri! Dan Neneng Salmah! Dia masih ingat betapa gadis waranggana, dara Pasundan yang geulis (ayu) itu, menjadi saudara angkat Sulastri yang akrab. Demikianlah, Jatmika berada diantara para penonton yang berdiri diluar tempat pesta. Jantungnya berdebar juga ketika dia melihat Ki Subali dan Neneng Salmah. Pertemuan ini menimbulkan kenang-kenangan lama.

Ketika dia memandang ke arah Neneng Salmah, dia merasa kagum dan juga heran. Kagum melihat betapa cantik jelitanya gadis itu dan heran mengapa kecantikan gadis ini dulu terlewat begitu saja dari perhatiannya. Ah, benar juga, kata hatinya. Dahulu seluruh perhatiannya tertuju kepada Sulastri dan pada waktu itu baginya tidak ada dara lain di dunia ini yang cantik menarik kecuali Sulastri! Dia juga melihat Ki Salmun diantara para penabuh gamelan. Ki Salmun menabuh kendang dan memimpin para penabuh itu.

Pada saat Jatmika memandang ke arah Ki Salmun, ayah Neneng Salmah ini kebetulan mengangkat mukanya dan dua pasang mata bertemu pandang. Ki Salmun mengerutkan alisnya karena merasa sudah mengenal wajah tampan pemuda itu. Ketika Jatmika tersenyum kepadanya dan mengangguk, teringatlah Ki Salmun. Dia pernah bertemu dan diperkenalkan kepada Jatmika, di rumah Ki Subali di Dermayu. Pemuda tampan yang kabarnya sakti itu, sahabat Sulastri dan Lindu Aji.

Kalau wajah Ki Salmun tadinya seperti diliputi mendung, kini wajah itu menjadi cerah penuh harapan. Hati ayah ini sejak sore tadi sebelum pertunjukkan dimulai, selalu gelisah. Dia dipanggil oleh Tumenggung Jayasiran, senopati pertama yang dipercaya oleh Adipati Ukur, agar setelah pesta usai, dia dan puterinya, Neneng Salmah, berkunjung ke gedung tempat tinggal Tumenggung Jayasiran karena ada urusan penting sekali akan dibicarakan. Tentu saja hati Ki Salmun menjadi gelisah sekali.

Tumenggung Jayasiran inilah yang hampir tiga tahun yang lalu telah membantu Jaka Bintara, Pangeran Banten itu, menawan Neneng Salmah sehingga puterinya nyaris menjadi korban pangeran Banten itu. Untung Lindu Aji menyelamatkannya dan dia bersama puterinya terpaksa melarikan diri ke Dermayu.

Sekarang senopati itu memanggil dia dan puterinya menghadap, pasti mempunyai niat yang tidak baik. Dia merasa gelisah sekali, akan tetapi ketika melihat Jatmika disitu, timbul harapannya. Bukankah pemuda ini kabarnya saudara seperguruan Sulastri dan Lindu Aji, dan merupakan seorang pemuda yang sakti pula? Dia akan mohon pertolongan pemuda itu.

Ketika mendapat kesempatan selagi gamelan berhenti karena dalang sedang mainkan adegan percakapan antara dua tokoh wayang dan dia tidak perlu memukul kendang, Ki Salmun cepat mencorat-coret di atas kertas, kemudian dia menggulung kertas bertulis itu dan memberi isyarat kedipan mata kepada Jatmika.

Jatmika yang sejak tadi memperhatikan perbuatan Ki Salmun, dapat menangkap maksudnya, maka dia mengangguk. Ki Salmun melemparkan gulungan kertas itu kepada Jatmika yang kini bergerak mendekat dan menerima lemparan kertas itu. Ketika dibacanya, isinya singkat.

Anakmas Jatmika, Malam ini kami dipanggil Tumenggung jayasiran. Tolong lindungi kami.

Jatmika memandang ke arah Ki Salmun yang juga menatap wajahnya. Pemuda itu mengangguk dan legalah hati Ki Salmun. Memang belum pasti bahwa Tumenggung Jayasiran berniat buruk, akan tetapi apapun yang akan terjadi, dia dan puterinya tidak perlu khawatir. Jatmika yang sakti sudah berada di situ dan akan melindungi mereka!

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.