Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Bagus Sajiwo
Jilid 15
"SULASTRI kalau kita mengenang masa lalu, pertemuan kita yang pertama di Loano dahulu itu seperti baru terjadi kemarin dulu!" kata Lindu Aji.
"Memang benar, Mas Aji. Padahal, sejak itu, waktu telah lewat selama dua tahun lebih. Bahkan kalau kita mengenang kembali masa kanak-kanak kita yang telah lewat belasan tahun, rasanya seperti baru beberapa hari saja. Kenapa begitu, Mas Aji?"
"Itulah perbedaan antara kenyataan dan ingatan, Lastri. Kenyataan terisi ruang dan waktu, sehingga kalau kita menghadapi waktu saat ini, sebagai kenyataan, kita seperti menghitung dan memperhatikan detik demi detik maka tentu saja terasa lambat dan lama sekali. Sebaliknya masa lampau hanya hidup dalam kenangan atau ingatan, bukan kenyataan dan ingatan tidak mengenal ruang dan waktu. Karena itu jalannya ingatan lebih cepat dari lajunya kilat. Bagi ingatan yang bukan kenyataan, puluhan tahun dapat menjadi sebentar dan betapapun jauhnya menjadi dekat."
Sulastri diam sejenak mengunyah kembali apa yang diucapkan Lindu Aji tadi dalam pikiran untuk dapat memahami maksudnya. Karena ia diam dan Lindu Aji juga diam, maka suasana menjadi hening. Beberapa saat kemudian, Sulastri berkata, "Kata-katamu tadi membuat aku menyadari betapa sebagian besar waktu kita tenggelam ke dalam ingatan masa lalu, Mas Aji."
"Engkau benar, Lastri. Dan justeru kebiasaan tenggelam dalam masa lalu itulah yang membuat kehidupan manusia penuh dengan kesulitan. Ingatan akan masa lalu ingatan akan kejadian yang telah lewat itulah yang mendatangkan kemarahan, kebencian, ketakutan, kedukaan dan lain-lain. Bayangan-bayangan masa lalu itulah yang menyulut segala macam api perasaan itu, Lastri."
"Jadi kalau begitu, kita tidak boleh mengingat masa lalu karena hal itu hanya akan mendatangkan pertentangan batin dan kesengsaraan, Mas Aji?"
Lindu Aji menghela napas panjang. "Hal ini memerlukan penjelasan karena dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bukan berarti kita tidak boleh menggunakan pikiran untuk mengingat sesuatu, Lastri. Ingatan itu penting sekali bagi kita, yaitu untuk mengingat dan mencatat segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan perasaan hati (emosi) karena tanpa menggunakan ingatan itu kita tidak akan dapat bekerja, kita akan lupa segala dan menjadi orang tidak waras!"
"Aku memahami itu, Mas Aji. Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Justeru itu, kita tidak harus melakukan apa-apa. Kita hanya perlu mengerti akan kenyataan ini bahwa tenggelam ke dalam kenangan akan peristiwa yang telah lalu hanya akan menimbulkan dendam atau ketakutan dan duka. Ingatan hanya berguna kalau dipergunakan untuk mencatat segala hal yang menyangkut keperluan yang kita butuhkan untuk hidup. Seorang bijaksana tidak akan tenggelam ke dalam masa lalu, juga tidak akan mengejar-ngejar bayangan masa depan, melainkan selalu ingat dan waspada dalam saat-saat sekarang yang dihadapi. Menghadapi segala sesuatu tanpa bayangan masa lalu dan masa depan, menerima apa adanya sebagai apa adanya, itulah kewaspadaan. Hidup saat demi saat dengan selalu ingat dan waspada, ingat akan Gusti Allah yang mencipta dan menguasai seluruh alam maya pada dan isinya termasuk diri kita, dan waspada terhadap segala gerak-gerik hati akal pikiran, ucapan dan perbuatan kita, menjadikan kita sebagai seorang hamba Gusti Allah yang utuh."
Sulastri tertegun, terpesona oleh ucapan kekasihnya itu. Kemudian, setelah menghela napas beberapa kali, gadis itu berkata, "Alangkah bahagianya hidup seperti itu. Akan tetapi, Mas Aji, mampukah kita manusia berada dalam keadaan sempurna seperti itu?"
Lindu Aji tertawa dan menggenggam tangan Sulastri. "Tidak ada manusia yang sempurna, Lastri. Akan tetapi berikhtiar menuju kebaikan adalah kewajiban manusia. Dengan ikhtiar sekuat kemampuan kita, didasari penyerahan dan kepasrahan kepada kekuasaan Gusti Allah, maka kalau Gusti Allah berkenan, kita akan menerima bimbinganNya. Akal pikiran tidak dapat memajukan rohani, hanya merupakan alat untuk keperluan hidup kita di atas bumi. Kemajuan rohani hanya mungkin terjadi kalau iman kita kokoh kuat dilandasi penyerahan kepada Gusti Allah. Akal pikiran selalu memperhitungkan untung rugi bagi diri sendiri."
Kembali Sulastri tepekur. Kemudian ia menggenggam kuat-kuat tangan kekasihnya seolah ia minta bimbingan calon suaminya untuk melanjutkan kehidupan yang penuh liku-liku ini.
Pada saat itu, dua orang memasuki pekarangan rumah itu. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Ketika memasuki pekarangan dan melihat Lindu Aji dan Sulastri sedang bercakap-cakap sambil saling berpegangan tangan, keduanya berhenti melangkah dan memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi wajah mereka berseri. Gadis itu tidak dapat menahan keharuan hatinya dan ia berseru lirih sambil terisak. "Sulastri...!"
Biarpun ia berseru perlahan saja, namun cukup kuat untuk membuyarkan pasangan yang sedang tenggelam dalam perasaan dan percakapan mereka. Lindu Aji dan Sulastri menoleh ke pekarangan dan mereka serentak bangkit berdiri. "Neneng...!!" Sulastri berseru.
"Kakang Jatmika...!" Lindu Aji juga berseru girang. Mereka lalu keluar dari pendapa dan lari menyambut mereka yang datang.
"Sulastri...!"
"Neneng...!" Dua orang gadis itu saling berangkulan dan Neneng Salmah menangis.
"Lastri..., maafkan aku..." ia berbisik diantara tangisnya.
Sulastri mencium pipi Neneng Salmah yang basah air mata. "Neneng, hentikan tangismu dan keringkan mukamu. Nanti engkau tampak jelek kalau matamu membengkak dan merah. Tidak ada yang perlu dimaafkan!"
Sementara itu, Jatmika dan Lindu Aji juga saling berpegang tangan dan menepuk pundak. "Adi Lindu Aji, aku bersalah padamu, maafkan aku."
Lindu Aji tersenyum. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kakang Jatmika. Jatuh cinta bukan kesalahan, bahkan membahagiakan kalau datangnya dari kedua pihak, seperti... hemm, seperti andika dan Neneng..."
Wajah Jatmika berubah kemerahan dan dia memandang Lindu Aji dengan mata heran. "Eh? Bagaimana engkau dapat tahu... eh... menduga begitu?"
Lindu Aji tertawa. "Ha-ha! Neneng Salmah itu adik angkatku, ingat? Tentu saja aku mengenalnya dengan baik dan melihat wajah dan pandang matanya, aku tahu bahwa ia sedang jatuh cinta dan...kepadamu, kakang!"
"Hemm, bisa saja kau!" Jatmika juga tertawa.
"Hei, apa yang kalian tawakan itu? Menertawakan kami, ya?" Sulastri menegur sambil menggandeng tangan Neneng menghampiri dua orang pemuda itu.
Neneng Salmah melepaskan tangan Sulastri dan ia menghampiri Lindu Aji, berdiri memandang pemuda itu dengan sikap bimbang dan salah tingkah.
"Heeii! Neneng, kutahu engkau hendak mengatakan sesuatu. Nah, katakanlah, adikku yang manis!" kata Lindu Aji dengan wajah gembira dan suara wajar.
Kewajaran sikap Lindu Aji banyak menolong Neneng Salmah. Akan tetapi tetap saja ia tergagap ketika bicara. "Kakang Aji..., engkau... sudah berbaik kembali dengan Sulastri...?"
Lindu Aji tersenyum dan mengangguk, wajahnya berseri dan senyumnya menyakinkan. Seakan terangkatlah beban berat yang menghimpit hati Neneng Salmah. Kedua matanya basah dan dua tetes air mata turun ke pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Ohh... Kang Aji, aku girang sekali... girang sekali...!" Ia merangkul pinggang Lindu Aji dan pemuda itu merangkul lehernya. Neneng Salmah menangis di dada Lindu Aji.
Lindu Aji menepuk-nepuk pundak Neneng. "Sudah, jangan menangis, Neneng. Lihat, Kakang Jatmika turut menangis melihat engkau menangis!"
Mendengar ini, Neneng Salmah cepat mengangkat mukanya dari dada Lindu Aji, membalikkan tubuh dan melihat ke arah Jatmika. Lindu Aji dan Sulastri tertawa geli. Jatmika tersenyum dan dalam hatinya dia merasa kagum kepada Lindu Aji dan Sulastri. Mereka adalah dua orang yang sungguh baik budi, pikirnya. Cinta mereka murni siap untuk berkorban demi kebahagiaan orang lain. Begitu penuh pengertian. Sungguh pantas dijadikan sedulur sinarawedi (saudara sejati). Neneng Salmah mengusap pipinya yang basah dan iapun ikut tertawa geli melihat Lindu Aji dan Sulastri tertawa. Hatinya berbahagia sekali, lenyap semua ganjalan dan kegelisahan.
Sulastri merangkulnya. "Mari, Neneng, kita menghadap ayah dan ibu." Lalu digandengnya sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri itu memasuki rumah.
"Mari, Kakang Jatmika." kata Lindu Aji dan dua orang pemuda itupun mengikuti dua orang gadis itu memasuki rumah.
Ki Subali dan Nyi Subali menerima kedatangan Jatmika dan Neneng Salmah dengan gembira. Akan tetapi ketika mendengar bahwa Ki Salmun tewas terbunuh Tumenggung Jayasiran, Ki Subali dan Nyi Subali terkejut sekali. Nyi Subali segera merangkul Neneng Salmah dan Sulastri bangkit dari duduknya dengan tangan terkepal.
"Jahanam Tumenggung Jayasiran itu! Aku harus menghajarnya!"
"Kukira hal itu tidak perlu lagi," kata Jatmika, "karena dia telah tewas ketika terjadi pertempuran antara pasukan Mataram dan Pasukan Sumedang."
Ki Subali menghela napas panjang. "Ah, siapa kira dia telah tewas. Padahal baru saja kami bertemu di Sumedang ketika aku mendalang dan dia memimpin para penabuh gamelan dan Neneng yang menjadi waranggana. Setelah wayangan itu usai, aku terus pulang kesini, jadi tidak tahu bahwa malapetaka menimpa Ki Salmun dan Neneng."
"Kang Jatmika yang menolong saya, paman." kata Neneng Salmah dan ia menceritakan pengalamannya dan Jatmika. Ketika ia menceritakan tentang pengalamannya menyamar sebagai Jaka Salman, kemudian ditawan Muntari dan hendak dipaksa menjadi suami gadis puteri kepala bajak dan perampok Sungai Cimanuk, meledaklah suara tawa yang mendengarkan. Sulastri terkekeh-kekeh, bahkan ibunya terpingkal-pingkal sampai keluar air mata!
"Ha-ha-ha, untung yang tergila-gila padamu seorang perempuan, Neneng. Coba dia seorang laki-laki, tentu Kakang Jatmika menjadi panas dingin!" Ucapan Lindu Aji ini kembali memancing tawa dan diam-diam Neneng Salmah merasa heran mengapa jalan pikiran Lindu Aji sama benar dengan jalan pikiran Jatmika yang dulu juga berkata demikian kepadanya.
Setelah Neneng Salmah berhenti bercerita, Ki Subali lalu berkata. "Cukuplah semua cerita yang lucu-lucu ini. Sekarang kita bicara tentang hal yang serius. Anakmas Jatmika, setelah kini Ki Salmun meninggal dunia, berarti Neneng tidak mempunyai keluarga lain. Sejak dulu kami berdua sudah menganggap Neneng Salmah sebagai anak sendiri, oleh karena itu, kini yang mengurus perjodohan Neneng adalah tanggung jawab kami. Jadi kalau andika hendak mengajukan pinangan atas diri Neneng Salmah, pinangan itu harus ditujukan kepada kami sebagai orang tua angkatnya."
Neneng Salmah merasa terharu, hanya dapat merangkul Nyi Subali yang sudah dianggap ibu sendiri sejak ia bersama ayahnya dulu tinggal mondok di rumah itu. Jatmika yang mendengar ucapan Ki Subali itu, sejenak tertunduk dan wajahnya membayangkan kemuraman. Hatinya risau dan sejenak dia tidak mampu bicara. Lindu Aji yang mengetahui bahwa Jatmika juga seorang yatim piatu yang sebatang kara, segera membantunya.
"Bapa dan ibu," kini dia menyebut Ki Subali dan isterinya bapa dan ibu? "agar diketahui bahwa Kakang Jatmika juga seperti Neneng, yatim piatu dan tidak mempunyai sanak kadang sama sekali. Saudaranya adalah saya dan Sulastri yang masih terhitung saudara seperguruan."
Ki Subali dan isterinya saling pandang, kemudian Ki Subali memandang wajah Jatmika yang menunduk itu dan bertanya. "Benarkah itu, Anakmas Jatmika?"
"Apa yang dikatakan Adi Lindu Aji benar, paman. Saya adalah seorang yatim piatu yang miskin dan papa, sesungguhnya saya merasa sungkan dan malu untuk meminang Neneng, karena saya... tidak pantas..."
"Wah, Kakang Jatmika! Kenapa engkau berpendapat sepicik itu? Saudaraku Neneng ini seorang wanita utama, cinta kasihnya sama sekali tidak memandang harta atau kedudukan!" kata Sulastri agak ketus karena ia marah melihat Neneng Salmah menangis ketika mendengar ucapan Jatmika tadi.
"Sudahlah...!" kata Ki Subali. "Anakmas Jatmika hanya berkata demikian karena dia rendah hati. Kami semua percaya bahwa kalau Anakmas Jatmika mau mencari harta dan kedudukan, sudah lama ia mendapatkannya karena diapun berjuang keras dan berjasa terhadap Mataram. Kalau dia mau, Gusti Sultan Agung pasti akan memberi anugerah kedudukan dan harta."
Mendengar omelan Sulastri tadi, Jatmika memandang kepada Neneng Salmah dan melihat gadis itu menangis, dia segera menyadari bahwa ucapannya tadi, tanpa disengaja telah mendatangkan kesedihan di hati kekasihnya. "Neneng, maafkan aku... bukan... bukan maksudku untuk menyakiti hatimu... ah, maafkan aku..."
Neneng Salmah menghampiri Jatmika lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. "Akang Jatmika... jangan merendahkan diri seperti itu... akang, akupun seorang yang tak berharga... akulah yang tidak pantas untuk menjadi isteri seorang satria sepertimu..."
"Neneng...!" Jatmika merangkul gadis itu dan mengangkatnya berdiri. Neneng Salmah menangis di dada Jatmika.
Sulastri menyentuh tangan Lindu Aji yang menoleh kepadanya, keduanya saling berpandangan dan tersenyum bahagia. Lindu Aji memberi isyarat dengan matanya dan Sulastri maklum, lalu ia menghampiri Neneng Salmah dan merangkul Neneng, diajaknya duduk kembali. Lindu Aji juga memegang tangan Jatmika dan diajaknya duduk menghadapi meja.
"Neneng, engkau tidak boleh merendahkan diri seperti itu! Akang Jatmika memang seorang pemuda pilihan, akan tetapi engkau pun seorang gadis pilihan. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara kalian! Kalau kalian saling mencinta seharusnya berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah!" kata Sulastri.
"Kakang Jatmika, mengapa engkau merendahkan diri seperti tadi? Kalau engkau merasa rendah diri, bagaimana engkau akan dapat menjadi kepala rumah tanggamu? Engkau harus berdiri tegak dan siap mendayung biduk rumah tanggamu bersama Neneng Salmah, harus berani bertanggung-jawab sebagai seorang suami dan kelak sebagai seorang ayah! Benar kata Sulastri tadi, dua orang yang saling mencinta dan bersepakat untuk hidup sebagai suami isteri, haruslah hidup bahu-membahu, bekerja sama, senasib sependeritaan, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, senang sama dinikmati susah sama ditanggung. Bukankah begitu, bapa dan ibu?" kata Lindu Aji.
Ki Subali dan isterinya saling pandang dan tertawa. "Heh-heh, anak sekarang pintar-pintar, ya pak? Di jaman aku muda, seorang isteri hanyalah menjadi pelayan, melayani suami, melakukan semua pekerjaan rumah tangga, lalu mengandung dan melahirkan disambung dengan momong anak dan momong bapaknya juga. Pendeknya seorang isteri harus tunduk dan taat sepenuhnya kepada suaminya, nasibnya berada di tangan suami, swarga nunut neraka katut (ke Sorga ikut ke neraka terbawa)!"
"Ha-ha-ha!" Ki Subali tertawa mendengar ucapan isterinya, lalu memandang isterinya sambil tersenyum dan bertanya, "Ibunya Lastri, apakah aku juga memperlakukanmu sebagai seorang pelayan?"
"Hemm, kalau engkau sih tidak! Akan tetapi berapa banyaknya suami sebaik engkau?" kata isterinya sambil tersenyum bangga.
"Wah, sekarang sih bukan jamannya lagi, ibu! Suami isteri harus bekerja sama dan sama-sama berjuang untuk mencari kebahagiaan sekeluarga, baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di sorga!" kata Sulastri.
"Aduh, siapa yang mengajarkan semua itu kepadamu, Lastri?" tanya Nyi Subali kepada puterinya.
Dengan manja Sulastri menudingkan telunjuknya kepada Lindu Aji. "Siapa lagi yang mengajarkan kalau bukan dia, ibu?"
Semua orang tertawa dan Neneng Salmah yang tadi menangis karena terharu, kini juga sudah tersenyum manis.
"Cukup semua gurauan ini, sekarang kita bicara serius!" kata Ki Subali. "Anakmas Jatmika, karena engkau tidak mempunyai sanak keluarga lagi dan yang ada hanya saudara-saudara seperguruanmu, yaitu Lindu Aji dan Sulastri, apakah mereka berdua yang menjadi walimu dan mengajukan pinangan kepada kami untuk menjodohkan anak angkat kami Neneng Salmah denganmu? Akan tetapi, mereka berdua itu adalah anak dan mantu kami! Bagaimana ini?" Biarpun keadaannya lucu, akan tetapi Ki Subali bicara serius dan mengerutkan alisnya.
"Bagaimana kalau diatur begini, bapa? Ibu kandung saya sendiri mengajukan pinangan atas diri Sulastri dengan mengirim wakilnya yang sekaligus menjadi wali dalam pernikahan saya dengan Sulastri. Bagaimana kalau sekarang saya dan Lastri juga mewakilkan kepada seseorang yang sekaligus juga menjadi wali dari Kakang Jatmika?" kata Lindu Aji.
Ki Subali mengangguk-angguk "Hemm, gagasan itu baik sekali. Tentu saja boleh mengirim seorang wakil yang juga menjadi wali Anakmas Jatmika. Akan tetapi siapa yang akan menjadi wakilmu sebagai wali Anakmas Jatmika yang akan mengajukan pinangan itu?"
"Siapa lagi kalau bukan Paman Parto, orang kepercayaan ibu dan saya? Biarlah dia sekalian menjadi wali saya dan wali Kakang" Jatmika." kata Lindu Aji.
"Wah, bagus sekali! Mari, Mas Aji, kita cari Paman Parto!" kata Sulastri dan dia sudah menarik tangan Lindu Aji diajak ke belakang mencari Ki Parto. Jatmika dan Neneng Salmah juga mengikuti mereka ke belakang.
Setelah menemukan Ki Parto, Aji lalu mengutarakan permintaan tolong mereka agar Ki Parto suka pula menjadi wali Jatmika dan melamarkan Neneng Salmah kepada Ki Subali dan isterinya untuk Jatmika. Dengan senang hati ki Parto memenuhi permintaan itu dan pada hari itu juga, secara "resmi", disaksikan oleh beberapa orang tetangga yang sudah tua, Ki Parto mengajukan pinangan atas diri Neneng Salmah sebagai anak angkat Ki Subali dan isterinya kepada kedua orang tua angkat itu sebagai wakil dari keluarga Jatmika, yaitu Lindu Aji dan Sulastri! Pinangan diterima dengan baik dan diambil keputusan bahwa pernikahan antara Jatmika dan Neneng Salmah dilaksanakan perayaannya berbareng dengan pernikahan Lindu Aji dan Sulastri.
Demikianlah pada hari yang telah ditentukan, upacara pernikahan dua pasang pengantin itu dilaksanakan dan diadakan perayaan yang cukup meriah oleh Ki Subali dan isterinya. Dua pasang pengantin itu tenggelam ke dalam kebahagiaan berbulan madu. Lindu Aji dan Sulastri tinggal di rumah Ki Subali, sedangkan Jatmika mengajak Neneng Salmah ke pantai laut di sebelah utara Dermayu, mengunjungi dua makam kakek dan ayahnya yang berada di belakang pondok.
Pondok itu masih kokoh walaupun kotor karena lama tidak ditinggali orang. Jatmika dan Neneng Salmah membersihkan pondok itu dan mereka melewatkan bulan madu mereka di pondok tepi pantai lautan itu. Setelah bersenang-senang sebagai pengantin baru selama dua minggu, karena maklum bahwa setelah dua minggu Lindu Aji dan Sulastri akan pergi ke rumah ibu Aji di Gampingan, Jatmika dan Neneng Salmah kembali ke rumah Ki Subali.
Sedih juga rasa hati Neneng Salmah harus berpisah dari Sulastri yang ia anggap sebagai saudara sendiri dan dari Ki dan Nyi Subali yang ia anggap sebagai pengganti ayah ibunya.
"Jangan bersedih, Neneng," kata Sulastri ketika mereka saling berangkulan. "Mulai saat pernikahan dua minggu yang lalu, engkau adalah isteri Kakang Jatmika dan kemana pun dia pergi, engkau harus ikut. Demikian pula aku, sebagai isteri Mas Aji, kemana pun dia pergi, ke sana pula aku pergi. Kelak, lain waktu kita pasti dapat saling berjumpa kembali."
Lindu Aji bercakap-cakap dengan Jatmika. "Kakang Jatmika, aku dan Lastri akan pergi ke Gampingan dan akan tinggal di sana bersama ibu. Dan engkau akan tinggal dimana?"
"Aku dan Neneng sudah bersepakat untuk pergi ke Sumedang."
"Kenapa engkau hendak pergi ke Sumedang, Jatmika? Kenapa tidak tinggal disini saja dan mencari pekerjaan disini?" tanya Ki Subali.
"Benar, Jatmika. Sulastri akan pergi ke Gampingan bersama suaminya. Kalau Neneng juga pergi bersamamu ke Sumedang, aku akan kehilangan kedua anakku dan akan merasa kesepian." kata Nyi Subali dengan suara sedih.
"Ah, jangan berpikir seperti itu, ibunya Lastri! Anak-anakmu sudah bukan kanak-kanak yang membutuhkan pemeliharaanmu lagi. Mereka sudah menikah, sudah mempunyai suami. Mana mungkin kita tahan saja untuk tetap tinggal bersama kita? Tentu saja mereka harus mengikuti suami mereka kemana suami mereka pergi, seperti yang dikatakan Sulastri. Setiap orang tua harus siap menghadapi perpisahan dengan anak perempuannya kalau mereka sudah menikah. Aku hanya ingin tahu apa yang akan dikerjakan Jatmika di Sumedang?"
"Begini, Bapa. Kami akan pergi ike Sumedang dan tinggal disana karena selain rumah Neneng disana masih ada, juga sekarang keadaan Sumedang sudah berubah. Sudah dipimpin oleh seorang adipati baru yang ditunjuk oleh Gusti Sultan Agung. Saya dapat mencari pekerjaan disana." kata Jatmika.
"Baiklan, kalau begitu, kami orang tua hanya membekali doa restu semoga kalian dua pasang anak-anakku menemukan kebahagiaan dimanapun kalian berada, menjunjung tinggi dan memuliakan asma (nama) Gusti Allah dengan hidup yang baik dan benar sehingga kalian akan selalu diberkahi ketenteraman dan kebahagiaan."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua pasang pengantin baru itupun berangkat meninggalkan rumah Ki Subali di Dermayu. Lindu Aji dan Sulastri, di-ikuti Ki Parto, pergi menuju Gampingan dan Jatmika berdua Neneng Salmah pergi ke Sumedang.
Ki Subali dan Nyi Subali mengantar sampai ke pintu halaman rumah mereka, melambaikan tangan sampai kedua pasangan itu tak tampak lagi. Setelah mereka tak tampak, barulah Nyi Subali melepaskan kepedihan hatinya dengan tangis. Ki Subali merangkul pundaknya dan mengajaknya masuk ke rumah, menghiburnya.
"Mereka itu, anak-anak kita, berbahagia. Mengapa engkau menangis? Sudahlah, kita doakan saja semoga mereka itu hidup berbahagia dan... segera mendapat momongan. Aku sudah ingin sekali menimang cucu-cucuku!"
Terhibur juga hati Nyi Subali membayangkan cucu-cucunya yang mungil lucu.
Ki Tejomanik atau yang waktu mudanya terkenal dengan nama Sutejo berjalan bersama Retno Susilo, isterinya di kaki Pegunungan Raung. Dataran tinggi Ijen sudah dekat dengan Gunung Raung. Tujuan mereka adalah dataran tinggi Ijen untuk mencari Ki Ageng Mahendra yang menurut keterangan Wiku Menak Jelangger telah merampas putera mereka, Bagus Sajiwo, dari tangan mendiang Wiku Menak Koncar yang menculik putera mereka itu.
Biarpun Sutejo sudah berusia empat puluh tahun lebih dan Retno Susilo hampir empat puluh tahun, namun suami isteri ini masih tampak jauh lebih muda dan orang-orang akan merasa kagum dan heran kalau melihat mereka berlari cepat bagaikan sepasang kijang melalui daerah pegunungan itu. Akan tetapi yang sudah mengenal sepasang suami isteri pendekar ini, tidak akan merasa heran karena mereka berdua memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di daerah Pegunungan Ijen yang mempunyai banyak bukit-bukit penuh dengan hutan lebat. "Ah, perutku terasa lapar sekali!" kata Retno Susilo. "Pagi tadi hanya sarapan sedikit ketan. Mari kita mencari dusun untuk membeli makanan, kakang-mas."
Tejomanik tersenyum dan menoleh kepada isterinya. "Kasihan perutmu, diajeng. Biar kulihat dari atas dimana ada dusun terdekat." katanya dan dia sudah melompat dan memanjat pohon besar. Setelah tiba di cabang tertinggi, dia melihat ke sekeliling. Lalu dia melompat ke bawah.
"Adakah tampak dusun terdekat?" tanya Retno Susilo.
"Ada, tak berapa jauh disana!" kata Tejomanik sambil menunjuk ke arah timur.
Mereka lalu berlari lagi dengan cepat dan benar saja, tak lama kemudian mereka melihat sebuah dusun yang cukup besar di lereng bukit. Mereka memasuki dusun itu dan merasa heran mengapa di luar dusun, dimana terdapat sawah ladang. yang cukup luas dan subur, tidak tampak seorangpun. Tidak ada yang bekerja di ladang, juga tidak ada yang berlalu-lalang.
Suami isteri itu saling pandang dan tanpa sepatah kata pun mereka sudah saling mengerti dan keduanya memasuki dusun itu dengan hati-hati dan waspada karena mereka merasa bahwa tentu terjadi sesuatu di dusun itu. Apalagi ketika pendengaran mereka yang peka mendengar gerakan orang dalam rumah-rumah yang daun pintu dan jendelanya tertutup rapat. Penduduk dusun itu bersembunyi di dalam rumah mereka, seolah-olah takut akan sesuatu sehingga tidak berani membuka pintu dan keluar dari rumah.
Tejomanik mencoba untuk mengetuk daun pintu dari rumah ke rumah, namun seperti yang telah mereka duga, tak seorang pun berani membuka pintu. Karena menduga bahwa penduduk dusun itu tentu takut akan sesuatu yang merupakan ancaman bagi mereka semua dan kalau dia dan isterinya mengetuk daun pintu mereka itu bisa salah duga mengira yang datang itu yang mengancam mereka, maka Tejomanik lalu berseru lantang sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya terdengar oleh seluruh penduduk yang bersembunyi dalam rumah masing-masing.
"Haili! Saudara-saudara warga dusun! Ketahuilah bahwa kami suami isteri bukan penjahat, bukan musuh kalian. Bahkan kalau ada sesuatu yang mengancam andika sekalian, kami berdua sanggup melindungi dan menolong kalian!"
"Bukalah pintu dan temui kami, saudara sekalian!" Retno Susilo juga berseru lantang, suaranya bergema sampai ke ujung dusun. "Jangan takut, biar penjahat maupun iblis yang berani mengganggu kalian, akan kami binasakan!"
Agaknya para penduduk yang rumahnya berdekatan dengan suami isteri itu, mengintai dari dalam rumah dan melihat suami isteri yang tampan dan cantik dengan sikap gagah perkasa, timbul kepercayaan mereka dan satu demi satu daun pintu rumah-rumah itu dibuka dari dalam. Mula-mula mereka berindap keluar dengan takut-takut, akan tetapi setelah melihat sikap suami isteri yang tersenyum ramah itu, mereka berani mendekat dan sebentar saja Tejomanik dan Retno Susilo sudah dirubung banyak orang, tua muda, laki perempuan. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun membuka jalan diantara orang-orang. itu dan dia menghadapi Tejomanik dan Retno Susilo, memberi salam dengan hormat.
"Denmas dan Masayu, benarkah andika berdua hendak menolong kami warga dusun Krenting ini?" tanya orang itu. '
"Tentu saja kalau memang andika sekalian terancam bahaya. Akan tetapi bahaya apakah yang mengancam andika sehingga semua penghuni dusun menjadi ketakutan seperti ini?" tanya Tejomanik.
"Mari, mari masuk ke rumah kami, Denmas. Saya adalah Ki Selowono, kepala dusun Krenting ini. Mari silakan." Tejomanik dan isterinya mengikuti Ki Lurah Selowono memasuki rumah yang terbesar di antara rumah-rumah di dusun itu.
Semua orang mengikuti mereka dan berkumpul di pekarangan rumah itu. Agaknya mereka ketakutan dan menggantungkan harapan mereka kepada suami isteri yang berjanji hendak melindungi mereka itu. Suami isteri itu dipersilakan duduk di atas kursi, di pendopo rumah. Orang-orang yang memenuhi pendopo dan pekarangan tidak ada yang mengeluarkan suara karena mereka semua ingin dapat mendengarkan percakapan antara lurah mereka dan suami isteri itu.
"Sebelumnya kami ingin mengetahui, siapakah nama denmas dan masayu yang terhormat dan andika berdua datang dari mana?"
"Ki Lurah, aku bernama Tejomanik dan ini isteriku bernama Retno Susilo. Kami tinggal di lereng Gunung Kawi dan kini sedang melakukan perantauan sampai disini. Ceritakanlah, Ki Lurah, apa yang menyebabkan kalian ketakutan ini?" kata Tejomanik dan sengaja dia bicara kuat-kuat agar mereka yang berada di pekarangan rumah itu dapat mendengarnya karena dia tahu bahwa mereka semua ingin. sekali mendengarnya.
"Untuk menceritakan juga kami takut ..." kata Ki Lurah dengan wajah pucat dan tubuhnya gemetar.
Retno Susilo mengerutkan alisnya dan berkata marah. "Kenapa begini ketakutan, Ki Lurah? Jangan takut, biar iblis setan brekasakan, akan kuhajar kalau berani mengganggu penduduk dusun!"
"Ceritakanlah, Ki Lurah dan jangan takut." kata Tejomanik.
"Ceritakan, Ki Lurah, ceritakan." beberapa suara penduduk mendesak lurah mereka.
Ki Lurah Selowono menoleh ke kanan kiri, lalu bercerita dengan suara lirih. "Telah hampir sebulan ini, di daerah ini muncul... sepasang manusia iblis yang mengaku bernama Kaladhama dan Kalajana. Mereka adalah dua orang yang bertubuh tinggi besar berbulu seperti raksasa. Mereka telah merajalela di pedusunan daerah ini. Setiap kali mereka minta disediakan dua orang anak gadis tercantik dari dusun berikut domba dan sekantung uang. Kalau permintaan itu tidak dipenuhi mereka lalu mengamuk, membunuh beberapa orang lalu menculik wanita muda. Beberapa dusun sudah berusaha untuk mengumpulkan para pemuda dan mengeroyok dua orang manusia iblis yang menyebut diri sebagai Dwi Kala itu, akan tetapi puluhan orang pemuda masih tidak mampu mengalahkan mereka, bahkan setiap dikeroyok, belasan orang pemuda tewas secara mengerikan. Dua orang itu selain digdaya, juga beracun. Mereka yang terluka pasti tewas karena lukanya menjadi kehitaman seperti digigit ular berbisa. Dan pagi tadi... dusun kami mendapat giliran. Mereka minta disediakan dua orang gadis cantik, kambing, dan sekantung uang. Maka, sejak pagi tadi, kami semua ketakutan dan menutupkan pintu dan jendela, Denmas..."
"Hemm, bagaimana cara mereka minta semua itu? Apakah mereka muncul disini?" Tanya Tejomanik.
"Tidak, Denmas. Yang terdengar hanya suara mereka saja, seperti geledek, mengajukan permintaan itu pagi tadi. Mereka bilang bahwa kalau sampai tengah hari permintaan mereka belum disediakan di pintu gapura dusun, mereka akan membunuhi penduduk dusun ini!"
"Keparat!" Tiba-tiba Retno Susilo berseru marah, matanya mencorong dan alisnya berkerut. "Dan kalian sudah menyediakan permintaan iblis keparat itu?"
"Tidak, masayu. Tidak ada orang" tua yang mau menyerahkan anak gadisnya kepada mereka. Kalau yang diminta hanya kambing dan ayam tentu akan kami berikan. Akan tetapi dua orang gadis..." Ki Selowono memandang keluar lalu melanjutkan, "dan sekarang... sekarang hampir tengah hari, denmas... kami takut..."
"Jangan takut. Kami akan menghadapi dua orang setan itu. Akan tetapi kalian harus memenuhi permintaan kami dan menurut petunjuk kami." kata Tejomanik.
"Tentu saja, denmas. Apa yang andika perlukan?"
"Begini, sediakan dua orang gadis, seekor kambing, seekor ayam dan sekantung uang..."
Terdengar seruan dari banyak mulut dan orang-orang itu mundur dengan muka pucat, mengira bahwa Tejomanik mengulangi permintaan Dwi Kala itu. jangan-jangan suami isteri ini penjelmaan dua orang manusia iblis itu!
Tejomanik tersenyum geli. "Dengarkan dulu kata-kataku. Aku minta itu semua agar disediakan di gapura, untuk memancing datangnya dua jahanam itu. Percayalah, dua orang gadis itu hanya menjadi umpan, kami yang menanggung bahwa mereka tidak akan ada yang mengganggu!"
Biarpun Tejomanik berkata demikian, orang-orang itu menggeleng kepala dan tidak ada seorang pun mau memberikan gadis mereka menjadi umpan! Melihat semua orang tampak menggeleng kepala ketakutan, Retno Susilo menjadi marah. "Kalian ini semua orang-orang pengecut! Kami berani menjamin bahwa dua orang gadis itu tidak ada yang mengganggu, kenapa masih juga ketakutan? Kalau begitu, kalian tidak mau membantu kami yang bermaksud menolong kalian dan membinasakan dua orang manusia iblis itu?"
Tiba-tiba dua orang gadis berlari keluar dari dalam dan memasuki pendopo itu. "Kami berdua mau menjadi umpan!"
"Sarti dan Sarni...! Apa-apaan ini...?" Ki Lurah Selowono membentak kedua orang anaknya itu.
"Bapak, kalau semua orang tidak mau membantu para penolong kita ini, lalu mereka pergi, bukankah kita akan terus terancam dua orang manusia iblis itu? Berilah kami kesempatan untuk membantu paman dan bibi yang mau menolong kami ini!" kata Sarti, gadis berusia sekitar delapan belas tahun yang cukup manis dengan kulit putih mulus mengangguk-angguk."
"Denmas... mereka ini adalah dua orang puteri kami, hanya dua orang ini anak kami, bagaimana kalau sampai..."
"Tenanglah, aku yang bertanggung jawab, Ki Lurah. Dua orang anakmu ini adalah gadis-gadis yang berhati harimau, tabah dan berani!" kata Retno Susilo. "Mengingatkan aku ketika masih gadis! Hanya sayang, mereka adalah gadis-gadis lemah."
"Bibi yang cantik dan gagah berani, yakinkah bibi akan dapat mengalahkan dua orang manusia iblis itu? Mereka kabarnya sakti mandraguna, dikeroyok tidak kalah, bahkan kabarnya kebal, tubuhnya keras seperti baja!" kata Sarti kepada Retno Susilo.
Mendengar ini Retno Susilo menghampiri sebuah patung terbuat dari besi yang berdiri di sudut pendopo itu. Dengan ringan diangkatnya patung yang berat itu, kemudian ia bertanya.
"Apakah tubuhnya lebih kuat daripada besi ini?" Setelah berkata demikian, Retno Susilo mengeluarkan bentakan melengking, tangannya terbuka menghantam patung itu dan retaklah patung besi itu seolah dihantam palu godam yang kuat dan berat!
Semua orang menahan napas melihat ini dan wajah mereka berseri penuh harapan. Kini Sarti dan Sarni menjadi semakin berani menjadi umpan untuk memancing munculnya Dwi Kala yang ditakuti itu. Sarti dan Sarni lalu mengenakan pakaian baru, berhias diri sehingga tampak manis dan segar bagaikan dua tangkai kembang yang sedang mekar. Mereka berdua kini duduk di atas bangku di gapura dusun dan disitu terdapat pula seekor domba gemuk dan seekor ayam. Sarti memangku sebuah kantung terisi uang.
Penduduk mengintai dengan jantung berdebar penuh ketegangan, dari rumah-rumah yang berdekatan dengan pintu gapuro. Tejomanik dan Retno Susilo mengintai dari balik batang pohon besar yang tumbuh tak jauh dari pintu gapura.
Setelah matahari berada tepat di atas kepala, tiba-tiba ada angin bertiup. Padahal tadinya tidak ada angin sama sekali. Tejomanik dan Retno Susilo dapat merasakan bahwa angin itu bukan angin sewajarnya, melainkan angin yang timbul dari kekuatan sihir! Diam-diam suami isteri ini waspada dan berhati-hati karena dari angin buatan sihir itu saja mereka berdua maklum bahwa tawan yang mereka hadapi bukan penjahat biasa, melainkan orang-orang sakti yang pandai pula menggunakan sihir yang kuat!
Angin itu membuat daun-daun pohon tergetar dan ranting-ranting pohon naik turun menari-nari. Sarti dan Sarni tampak gemetar dan dengan mata terbelalak dan muka agak pucat mereka memandang ke arah pohon besar di balik mana suami isteri pelindung itu bersembunyi.
Bagaimanapun juga, gadis-gadis dusun puteri Pak Lurah Selowono ini hanyalah gadis dusun yang sejak kecil percaya akan cerita tahyul tentang setan, iblis, gendruwo memedi, pocongan dan banyak lagi golongan setan yang menakutkan. Rambut mereka yang sudah digelung rapi itu kini tertiup angin, agak awut-awutan akan tetapi justeru menambah daya tarik dua orang gadis manis ini.
"Hoa-ha-ha-ha, Kakang Kaladhama, pengantin-pengantin kita sudah menanti untuk kita jemput dan kita boyong, ha-ha-ha!" Suara itu parau dan dalam, juga lantang sekali sehingga terdengar menggelegar.
"Hiya, Adi Kalajana! Wah, pengantin kita sekali ini malah paling bahenol diantara mereka yang terdahulu!" Terdengar suara kedua yang juga lantang dan mengandung getaran kuat.
Tejomanik dan Retno Susilo maklum bahwa dua orang manusia iblis itu sengaja mengerahkan tenaga sakti ketika bicara agar terdengar lantang menyeramkan untuk menakut-nakuti warga dusun Krenting. Dan memang, semua warga, termasuk Ki Lurah Selowono, yang mengintai, ketika mendengar suara itu, mereka menggigil ketakutan dan dengan hati penuh ketegangan dan ketakutan mereka mengintai ke arah Sarti dan Sarni yang duduk di bangku dekat pintu gapura dusun itu.
Tiba-tiba angin berhenti bertiup dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di dekat pintu gapura telah berdiri dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Yang seorang bermuka hitam, matanya besar melotot kedua lengannya yang kokoh dengan otot-otot menggelembung itu berbulu. Usianya sekitar empat puluh tahun. Pakaiannya mewah seperti pakaian seorang priyayi (bangsawan). Orang kedua juga sama tinggi besarnya, kokoh dan berbulu seperti orang pertama, akan tetapi mukanya burik (bopeng) sehingga tampak lebih jelek dan lebih menyeramkan daripada orang pertama. Orang kedua ini usianya lebih muda dua tiga tahun. Di pinggang dua orang ini tergantung senjata tak bersarung yang mengerikan, yaitu sebatang golok yang punggungnya merupakan gergaji! Kepala mereka memakai kain pengikat kepala model Blambangan.
Melihat dua orang raksasa itu tiba-tiba muncul tak jauh di depan mereka, dalam jarak lima meter, Sarti dan Sarni menjadi pucat wajahnya dan tubuh mereka menggigil, kedua kaki mereka lemas sehingga mereka mencoba untuk bangkit berdiri dan melarikan diri, mereka terduduk kembali karena kedua kaki mereka tidak kuat berdiri!
Tejomanik dan Retno Susilo dapat melihat berkelebatnya tubuh dua orang itu ketika mereka datang. Suami isteri ini mencatat bahwa dua orang seperti raksasa itupun memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat. Mereka berdua menjadi semakin waspada dan atas isyarat Tejomanik, mereka berdua segera melompat sambil mengerahkan kepandaian mereka.
Tejomanik menggunakan Aji Harina Legawa (Kijang Tangkas) ketika melompat dan Retno Susilo mengerahkan Aji Kluwung Sakti (Pelangi Sakti). Ilmu meringankan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu membuat mereka meluncur cepat dan tahu-tahu mereka sudah berdiri berhadapan dengan dua orang raksasa itu, menghadang diantara dua orang manusia iblis itu dengan calon korban mereka.
"Sarti dan Sarni, pergilah kalian, masuk ke rumah yang terdekat!" kata Retno Susilo. Dua orang gadis puteri Ki Lurah itu mendapatkan kembali tenaga mereka ketika melihat dua orang pelindung mereka muncul. Mereka lalu bangkit dan berlari ke sebuah rumah terdekat, dimana ayah mereka juga bersembunyi.
Pintu rumah segera dibuka dari dalam dan dua orang gadis itu menghilang kedalam rumah. Pintu rumah itu ditutup kembali. Tak seorang pun warga dusun tampak di luar rumah. Semua bersembunyi di dalam dan mengintai dengan jantung berdebar. Mereka semua ketakutan karena maklum bahwa kalau dua orang penolong mereka kalah, dua orang manusia iblis itu tentu akan mengamuk dan membunuhi warga dusun Krenting!
Dua orang raksasa itu melotot marah melihat suami isteri itu menghalang di depan mereka dan dua orang gadis yang dipersembahkan kepada mereka itu melarikan diri. Mereka hampir tidak percaya ada orang-orang berani menentang mereka.
"Heh, bojleng-bojleng Iblis Laknat! Siapa kalian berani mengganggu kami berdua?" bentak yang bermuka hitam.
"Kalian ini sudah bosan hidup! Siapakah kalian?" tanya yang bermuka burik.
Dengan sikap tenang Tejomanik menjawab. "Kami adalah..."
Belum habis Tejomanik bicara, Retno Susilo sudah memotongnya dengan suara galak. "Kalian ini manusia-manusia iblis yang harus memperkenalkan nama lebih dulu kepada kami! Kalian berdua yang mengganggu warga dusun-dusun di daerah ini dan sudah menjadi kewajiban kami untuk membasmi iblis-iblis pengganggu manusia macam kalian!"
"Babo-babo, perempuan sombong!" bentak yang mukanya burik.
"Ha-ha-ha, Adi Kalajana, perempuan ini hebat, jauh lebih cantik menarik daripada perawan-perawan dusun yang bodoh itu. Yang ini cocok untukku, sudah masak, tidak hijau seperti mereka. Hei, perempuan cantik jelita, aku adalah Ki Kaladhama dan ini adikku Ki Kalajana. Kami dikenal sebagai Dwi Kala, jagoan-jagoan tanpa tanding di Blambangan! Nah, lebih baik engkau menyerah saja kepadaku, manis dan engkau kuboyong ke Blambangan, hidup mulia dan bahagia sebagai isteriku!"
Wajah Retno Susilo berubah merah sekali, akan tetapi selagi ia hendak memaki dan menerjang, suaminya memberi isarat kepadanya sehingga ia menahan kemarahannya dan berdiam diri.
Ki Tejomanik lalu berkata kepada dua orang itu. "Dwi Kala, ketahuilah bahwa aku bernama Ki Tejomanik dan ini isteriku bernama Retno Susilo. Seperti dikatakan isteriku tadi, kami adalah orang-orang yang selalu menentang mereka yang berbuat jahat kepada orang lain dan kami membela mereka yang lemah tertindas. Andika berdua membuat kacau di pedusunan daerah ini, terpaksa kami harus menentangmu. Sadarlah akan kesalahan kalian, Dwi Kala, sebelum terpaksa kami mempergunakan kekerasan untuk membasmi kalian!"
"Ha-ha-ha, Tejomanik. Sumbarmu seolah kalian dapat memindahkan gunung! Kalian mau membasmi kami?" Dua orang raksasa itu tertawa bergelak.
"Lebih baik engkau yang cepat minggat dari sini dan tinggalkan isterimu karena aku menyukainya!" kata Kaladhama yang bermuka hitam.
"Jahanam kuantar engkau ke neraka jahanam!" teriak Retno Susilo dan ia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kehijauan dan ia sudah menerjang dengan serangan pedangnya itu kepada Kaladhama.
Biarpun pedangnya itu hanya pusaka Nogo Wilis tiruan karena yang aselinya ia berikan kepada Sulastri, namun pedang itupun terbuat dari baja yang baik dan ketika menyambar berubah menjadi sinar hijau yang berbahaya.
"Huh, lumayan juga kepandaianmu!" Kaladhama berseru kaget dan cepat melompat ke belakang.
Ketika Retno Susilo mengejar, raksasa muka hitam ini sudah mencabut senjatanya yang menyeramkan. Golok dengan punggung gergaji itu panjang, lebar dan tebal. Tentu berat sekali. Akan tetapi di tangan raksasa ini, golok itu tampak ringan saja ketika dia membabatkan golok itu ke arah leher Retno Susilo. Wanita perkasa itu tidak mengelak melainkan menangkis dengan pengerahan tenaga karena ia ingin membuat senjata lawan terpental dan terlepas.
"Wuuuttt... trangggg...!!" Keduanya terkejut dan melompat kebelakang karena mereka merasakan betapa tangan mereka yang memegang gagang senjata tergetar hebat. Baik Retno Susilo maupun lawannya, Kaladhama tahu bahwa lawannya memiliki tenaga sakti yang kuat. Mereka lalu saling serang dengan dahsyat dan ternyata memang kepandaian mereka seimbang!
Sementara itu, Kalajana juga sudah menyerang Tejomanik dengan golok gergajinya. Goloknya yang besar dan berat itu mengeluarkan suara berdengung-dengung ketika meayambar-nyambar ke arah tubuh Tejomanik.
Orang gagah dari Gunung Kawi ini menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak kesana-sini, akan tetapi setelah dia tahu bahwa lawannya ini juga tangguh sekali dan akan berbahaya kalau dia hanya melawan dengan tangan kosong, dia lalu melolos pecutnya.
"Tar-tar-tarrrr...!!" Cambuk Bajrakirana meledak-ledak dan menyambar-nyambar laksana kilat. Kalajana terkejut sekali dan sebentar saja dia kewalahan, hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran goloknya agar jangan sampai tersengat ujung pecut itu. Dia teringat akan sesuatu dan segera melompat jauh ke belakang sambil berseru.
"Tahan...Andika... Sutejo dan pecut itu Sang Bajrakirana...?"
Mendengar seruan adiknya itu, Kaladhama juga terkejut dan diapun melompat ke belakang dan memandang ke arah Tejomanik dengan mata terbelalak. "Benarkah andika Sutejo, Sang Bajrakirana?" dia juga bertanya.
Retno Susilo berdiri di dekat suaminya, tangan kanan masih memegang gagang pedangnya dan tangan kiri bertolak pinggang, merasa penasaran karena perkelahiannya melawan Kaladhama tadi masih berimbang. Tejomanik mengamati kedua orang itu dan merasa bahwa dia tidak pernah bertemu dengan dua orang Blambangan itu.
"Benar, di waktu muda aku bernama Sutejo dan senjataku ini memang benar pusaka Bajrakirana. Mengapa engkau menghentikan pertandingan? Kalau kalian tidak mampu menandingi kami, bertaubatlah, bebaskan para gadis yang kalian tawan, kembalikan semua benda yang kalian rampas dan jangan melakukan kejahatan lagi karena lain kali kami tidak akan dapat mengampuni kalian!"
Kaladhama tertawa bergelak. Mukanya menengadah dan perutnya terguncang ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha, kau kira kami takut padamu? Kami hanya khawatir kalau kalian menggunakan warga dusun untuk mengeroyok kami! Maka, kami tantang kalian untuk datang ke pondok kami di puncak bukit sana, kalau kalian berani dan disana kita lihat siapa diantara kita yang lebih kuat!" Raksasa itu menuding ke arah puncak bukit yang tidak begitu jauh dari dusun di lereng itu.
"Siapa takut kepada manusia iblis macam kalian?" bentak Retno Susilo marah. "Tunggu saja, aku akan memecahkan kepala kalian!"
"Ho-ho-ha-ha, bagus sekali! Kalau aku kalah, kepalaku boleh kau pecah, akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau akan menjadi isteriku, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, kedua orang itu lalu berlompatan dan lari ke arah puncak. Gerakan mereka gesit sekali, tidak sesuai dengan tubuh mereka yang tinggi besar dan tampak lamban.
"Jahanam!" Retno Susilo memaki. "Hayo kita kejar ke puncak, Kakangmas!" ia mengajak suaminya.
Akan tetapi Tejomanik menggeleng kepalanya. "Lihat, Diajeng. Matahari mulai condong ke barat, tak lama lagi menjelang sore. Kalau mereka menantang kita untuk melanjutkan pertandingan di puncak, tentu mereka mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan kemenangan dan bukan mustahil kalau mereka sudah mengatur perangkap untuk kita. Pergi kesana dan tiba di puncak setelah hari mulai gelap, amat berbahaya."
"Hemm, akan tetapi mereka menantang! Kalau kita tidak kesana tentu dapat dianggap bahwa kita takut!"
"Tentu saja kita harus kesana menyambut tantangan mereka, Diajeng. Akan tetapi tidak sekarang, melainkan besok pagi. Kalau siang hari dan cuaca terang, kita tidak takut akan perangkap mereka."
Pada saat itu, pintu-pintu rumah terbuka dan Ki Lurah Selowono, diikuti kedua orang puterinya dan para warga dusun, berbondong-bondong keluar dengan wajah berseri. Mereka tadi mengintai dan melihat betapa dua orang raksasa yang mereka takuti itu benar-benar kalah dan melarikan diri setelah bertanding dengan hebat melawan suami isteri penolong mereka itu.
Para warga dusun kini berjongkok menghadap suami isteri itu, dan Ki Lurah Selowono memberi hormat dengan sembah dan tubuhnya membungkuk. "Denmas berdua telah menyelamatkan kami warga sedusun, untuk itu kami menghaturkan terima kasih dan tidak akan melupakan budi kebaikan Denmas dan Masayu!"
Tejomanik berkata dengan lantang agar terdengar semua warga dusun yang berjongkok di sekelilingnya. Lebih dari seratus orang berkumpul disitu dan suara mereka ramai membicarakan perkelahian dahsyat yang tadi terjadi. Ketika Tejomanik mengangkat kedua tangannya ke atas, semua orang berdiam untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan penolong mereka itu.
"Saudara-saudara warga dusun Krenting, dengarlah baik-baik. Dua orang penjahat itu, Dwi Kala biarpun melarikan diri namun mereka belum menyerah dan ancaman mereka terhadap pedusunan di daerah ini masih tetap ada. Mereka menantang kami berdua untuk datang ke tempat tinggal di puncak bukit. Kami hanya ingin memperingatkan kepada andika semua bahwa sikap mengalah dan menuruti permintaan orang-orang jahat seperti mereka adalah sikap yang salah. Orang-orang jahat seperti mereka itu, makin diberi hati akan semakin murka. Kami yakin, kalau andika sekalian mau bersatu dengan para warga dusun-dusun lain di daerah ini, lalu bersatu padu melakukan perlawanan, dua orang jahat itu pasti tidak akan mampu mengalahkan ratusan orang. Nah, mudah-mudahan ini menjadi pelajaran bagi Andika sekalian. Bersatu dan bangkitlah untuk melawan para penjahat yang mengganggu ketenteraman dusun-dusun di daerah ini. Kami berdua besok pagi akan mendaki puncak untuk memenuhi tantangan mereka karena sekarang hari telah menjelang sore. Kami tidak ingin menghadapi mereka dan berada disana di waktu malam gelap."
Setelah Tejomanik menghentikan ucapannya, para warga dusun kembali menjadi bising, membicarakan usul atau peringatan yang diucapkan penolong mereka tadi. Ki Lurah Selowono lalu berkata kepada Tejomanik dan Retno Susilo. "Mari, Denmas dan Masayu, kami persilakan andika berdua untuk beristirahat di rumah kami."
Tejomanik dan Retno Susilo tidak menolak dan mereka pun mengikuti ki lurah ke rumahnya. Para warga dusun bubaran untuk melakukan pekerjaan masing-masing dengan gembira karena dua orang suami isteri perkasa itu masih tinggal di dusun mereka, menjamin keselamatan mereka dari ancaman Dwi Kala.
Ki Lurah Selowono menjamu tamunya dengan pesta keluarga yang cukup meriah. Isteri ki lurah dan dua orang puterinya melayani. Malam itu Tejomanik dan Retno Susilo bersamadhi dalam kamar mereka untuk menghimpun kekuatan karena besok mereka akan menghadapi lawan berat yang mungkin kini sedang mengatur diri agar lebih kuat menghadapi mereka besok. Dengan adanya urusan ini, keduanya menahan diri dan tidak bicara tentang Bagus Sajiwo dan Ki Ageng Mahendra yang menjadi tujuan utama kedatangan mereka di daerah Pegunungan Ijen ini.
Sementara itu, diam-diam Ki Lurah Selowono mengumpulkan para pemuda dusun dan mengadakan hubungan dengan dusun-dusun lain di daerah itu. Pada keesokan harinya, setelah matahari muncul dari balik puncak sehingga seluruh permukaan bukit menjadi terang, Tejomanik dan Retno Susilo berangkat mendaki puncak. Mereka berdua diantar oleh para warga dusun yang dipimpin Ki Lurah Selowono, akan tetapi mereka tidak melihat para pemuda dusun diantara mereka yang mengantar sampai ke pintu gerbang dusun Krenting. Akan tetapi suami isteri itu tidak mau bertanya dan mengira bahwa mereka tentu pagi-pagi sekali sudah berangkat ke sawah ladang.
Setelah meninggalkan dusun Krenting dan mulai mendaki ke arah puncak, suami isteri itu bergerak dengan hati-hati sekali karena mereka menduga bahwa dua orang raksasa itu mungkin saja memasang perangkap. Dengan penuh kewaspadaan mereka mendaki, menggunakan aji meringankan tubuh sehingga mereka dapat mendaki dengan gesit dan ringan.
Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak saling bicara, tidak mau memecah perhatian. Kewaspadaan mereka membuat mereka peka sekali. Ada suara yang tidak wajar sedikit saja pasti akan dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Andaikata mereka diserang secara tiba-tiba, mereka tentu akan dapat menghindarkan diri karena seluruh panca indera mereka sudah siap dalam keadaan peka sekali. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Perjalanan mereka lancar tidak mengalami gangguan sama sekali. Matahari naik semakin tinggi dan akhirnya mereka tiba di puncak.
Di puncak bukit itu terdapat bagian yang datar dan di tengah tengah dataran padang rumput itu berdiri sebuah pondok kayu yang kokoh. Suami isteri itu merasa heran. Mereka tiba di puncak dan dalam pendakian itu mereka sama sekali tidak menemui rintangan apa pun! Mereka menjadi curiga. Apakah Dwi Kala diam-diam melarikan diri? Karena dalam pertandingan di dusun kemarin dua orang raksasa itu terdesak lalu memakai alasan menantang agar mereka mendapat kesempatan melarikan diri?
Tejomanik dan Retno Susilo berhenti melangkah dan berdiri di depan rumah itu, dalam jarak belasan tombak. Tejomanik lalu mengerahkan tenaga sakti dan berseru lantang sehingga suaranya menggema disekitar puncak. "Dwi Kala, keluarlah! Kami sudah datang memenuhi tantangan kalian!"
Hanya gema suara itu yang menjawab. Selagi Tejomanik hendak mengulang teriakannya, tiba-tiba mereka mendengar bunyi mendesis-desis dan tercium bau amis. Ketika mereka memandang kebawah, Retno Susilo menutup mulutnya agar jangan menjerit karena ia jijik sekali melihat puluhan ekor ular berlenggak-lenggok cepat menghampiri ke arah mereka! Bau yang amis itulah yang amat mengganggu Retno Susilo yang merasa jijik sehingga ia merasa napasnya sesak. Melihat ini Tejomanik berbisik.
"Jangan panik, kita basmi ular-ular itu. Pasti ini kiriman mereka!" Setelah berkata demikian, dia melolos pecut sakti Bajrakirana. Begitu menggerakkan pecutnya, terdengar suara ledakan bertubi-tubi. Ular yang terkena lecutan ujung cambuk itu putus menjadi dua. Akan tetapi tubuh ular itu tidak mengeluarkan darah, bahkan potongan tubuh itu tiba-tiba lenyap. Ular-ular yang lain terus merayap hendak menyerbu.
"Hemm, hanya ular jadi-jadian!" kata Retno Susilo melihat ini dan iapun mengamuk dengan pedangnya, membabati ular-ular itu sampai akhirnya pecut suaminya dan pedang di tangannya membabat habis ular-ular itu yang begitu terbabat lalu menghilang.
Baru saja puluhan ekor ular itu dapat dibasmi, terdengar bunyi bercicitan dan kelepak sayap. Ketika suami isteri itu memandang ke atas, mereka terkejut melihat puluhan ekor kelelawar hitam beterbangan menuju ke arah mereka, mengeluarkan bunyi dan mata mereka yang merah itu amat menyeramkan. Hemm, mana mungkin ada kelelawar muncul di siang hari, pikir Tejomanik.
"Hajar mereka, Diajeng. Inipun hanya kelelawar jadi-jadian. Kelelawar tidak dapat berkeliaran di siang hari!" Kembali suami isteri itu mengamuk, menggunakan senjata mereka untuk menyambut puluhan ekor kelelawar yang beterbangan menyambar-nyambar menyerang mereka itu. Dan setiap ada kelelawar terkena sabetan pecut atau bacokan pedang, binatang itu jatuh ke atas tanah dan hilang!
Setelah semua kelelawar itu musnah, Ketno Susilo berseru dengan suarg melengking nyaring. "Jahanam busuk Dwi Kala! Kalau memang berani keluarlah terima kematian, jangan menggunakan ilnlu setan yang tidak ada gunanya!"
Tiba-tiba dari dalam pondok terdengar suara tawa yang bergelombang, naik turun seperti suara tawa iblis sendiri. Suara itu mengandung getaran jang amat kuat sekali sehingga suami isteri itu merasakan guncangan pada jantung mereka!
Cepat mereka mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga batin untuk melindungi diri sehingga suara tawa itu lewat begitu saja tanpa mendatangkan akibat buruk pada mereka. Akan tetapi mereka harus mengakui bahwa serangan dengan suara tawa itu sungguh dahsyat dan orang yang mengeluarkan suara tawa seperti itu pasti memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam mereka merasa heran. Dwi Kala pernah bertanding dengan mereka dan agaknya dua orang itu tidak akan mampu mengeluarkan suara tawa sehebat itu! Mereka berdua makin waspada.
ketika suara tawa itu berhenti, daun pintu pondok terbuka dan muncullah Dwi Kala. Mereka menyeringai dan senjata golok gergaji sudah berada di tangan kanan mereka, sedangkan tangan kiri mereka memegang sebatang dupa biting yang kini mereka tancapkan di balik kain putih yang diikatkan di kepala mereka!
Tejomanik yang sudah mempunyai banyak pengalaman itu maklum apa artinja itu. Dua orang raksasa itu menggunakan ilmu sihir dan dupa membara yang mengeluarkan asap putih menghubungkan mereka berdua dengan sumber kekuatan setan, atau orang yang mampu mempergunakan kesaktian setan! Akan tetapi dia tidak takut dan berbisik kepada isterinya.
"Memang benar, Mas Aji. Padahal, sejak itu, waktu telah lewat selama dua tahun lebih. Bahkan kalau kita mengenang kembali masa kanak-kanak kita yang telah lewat belasan tahun, rasanya seperti baru beberapa hari saja. Kenapa begitu, Mas Aji?"
"Itulah perbedaan antara kenyataan dan ingatan, Lastri. Kenyataan terisi ruang dan waktu, sehingga kalau kita menghadapi waktu saat ini, sebagai kenyataan, kita seperti menghitung dan memperhatikan detik demi detik maka tentu saja terasa lambat dan lama sekali. Sebaliknya masa lampau hanya hidup dalam kenangan atau ingatan, bukan kenyataan dan ingatan tidak mengenal ruang dan waktu. Karena itu jalannya ingatan lebih cepat dari lajunya kilat. Bagi ingatan yang bukan kenyataan, puluhan tahun dapat menjadi sebentar dan betapapun jauhnya menjadi dekat."
Sulastri diam sejenak mengunyah kembali apa yang diucapkan Lindu Aji tadi dalam pikiran untuk dapat memahami maksudnya. Karena ia diam dan Lindu Aji juga diam, maka suasana menjadi hening. Beberapa saat kemudian, Sulastri berkata, "Kata-katamu tadi membuat aku menyadari betapa sebagian besar waktu kita tenggelam ke dalam ingatan masa lalu, Mas Aji."
"Engkau benar, Lastri. Dan justeru kebiasaan tenggelam dalam masa lalu itulah yang membuat kehidupan manusia penuh dengan kesulitan. Ingatan akan masa lalu ingatan akan kejadian yang telah lewat itulah yang mendatangkan kemarahan, kebencian, ketakutan, kedukaan dan lain-lain. Bayangan-bayangan masa lalu itulah yang menyulut segala macam api perasaan itu, Lastri."
"Jadi kalau begitu, kita tidak boleh mengingat masa lalu karena hal itu hanya akan mendatangkan pertentangan batin dan kesengsaraan, Mas Aji?"
Lindu Aji menghela napas panjang. "Hal ini memerlukan penjelasan karena dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bukan berarti kita tidak boleh menggunakan pikiran untuk mengingat sesuatu, Lastri. Ingatan itu penting sekali bagi kita, yaitu untuk mengingat dan mencatat segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan perasaan hati (emosi) karena tanpa menggunakan ingatan itu kita tidak akan dapat bekerja, kita akan lupa segala dan menjadi orang tidak waras!"
"Aku memahami itu, Mas Aji. Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Justeru itu, kita tidak harus melakukan apa-apa. Kita hanya perlu mengerti akan kenyataan ini bahwa tenggelam ke dalam kenangan akan peristiwa yang telah lalu hanya akan menimbulkan dendam atau ketakutan dan duka. Ingatan hanya berguna kalau dipergunakan untuk mencatat segala hal yang menyangkut keperluan yang kita butuhkan untuk hidup. Seorang bijaksana tidak akan tenggelam ke dalam masa lalu, juga tidak akan mengejar-ngejar bayangan masa depan, melainkan selalu ingat dan waspada dalam saat-saat sekarang yang dihadapi. Menghadapi segala sesuatu tanpa bayangan masa lalu dan masa depan, menerima apa adanya sebagai apa adanya, itulah kewaspadaan. Hidup saat demi saat dengan selalu ingat dan waspada, ingat akan Gusti Allah yang mencipta dan menguasai seluruh alam maya pada dan isinya termasuk diri kita, dan waspada terhadap segala gerak-gerik hati akal pikiran, ucapan dan perbuatan kita, menjadikan kita sebagai seorang hamba Gusti Allah yang utuh."
Sulastri tertegun, terpesona oleh ucapan kekasihnya itu. Kemudian, setelah menghela napas beberapa kali, gadis itu berkata, "Alangkah bahagianya hidup seperti itu. Akan tetapi, Mas Aji, mampukah kita manusia berada dalam keadaan sempurna seperti itu?"
Lindu Aji tertawa dan menggenggam tangan Sulastri. "Tidak ada manusia yang sempurna, Lastri. Akan tetapi berikhtiar menuju kebaikan adalah kewajiban manusia. Dengan ikhtiar sekuat kemampuan kita, didasari penyerahan dan kepasrahan kepada kekuasaan Gusti Allah, maka kalau Gusti Allah berkenan, kita akan menerima bimbinganNya. Akal pikiran tidak dapat memajukan rohani, hanya merupakan alat untuk keperluan hidup kita di atas bumi. Kemajuan rohani hanya mungkin terjadi kalau iman kita kokoh kuat dilandasi penyerahan kepada Gusti Allah. Akal pikiran selalu memperhitungkan untung rugi bagi diri sendiri."
Kembali Sulastri tepekur. Kemudian ia menggenggam kuat-kuat tangan kekasihnya seolah ia minta bimbingan calon suaminya untuk melanjutkan kehidupan yang penuh liku-liku ini.
Pada saat itu, dua orang memasuki pekarangan rumah itu. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Ketika memasuki pekarangan dan melihat Lindu Aji dan Sulastri sedang bercakap-cakap sambil saling berpegangan tangan, keduanya berhenti melangkah dan memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi wajah mereka berseri. Gadis itu tidak dapat menahan keharuan hatinya dan ia berseru lirih sambil terisak. "Sulastri...!"
Biarpun ia berseru perlahan saja, namun cukup kuat untuk membuyarkan pasangan yang sedang tenggelam dalam perasaan dan percakapan mereka. Lindu Aji dan Sulastri menoleh ke pekarangan dan mereka serentak bangkit berdiri. "Neneng...!!" Sulastri berseru.
"Kakang Jatmika...!" Lindu Aji juga berseru girang. Mereka lalu keluar dari pendapa dan lari menyambut mereka yang datang.
"Sulastri...!"
"Neneng...!" Dua orang gadis itu saling berangkulan dan Neneng Salmah menangis.
"Lastri..., maafkan aku..." ia berbisik diantara tangisnya.
Sulastri mencium pipi Neneng Salmah yang basah air mata. "Neneng, hentikan tangismu dan keringkan mukamu. Nanti engkau tampak jelek kalau matamu membengkak dan merah. Tidak ada yang perlu dimaafkan!"
Sementara itu, Jatmika dan Lindu Aji juga saling berpegang tangan dan menepuk pundak. "Adi Lindu Aji, aku bersalah padamu, maafkan aku."
Lindu Aji tersenyum. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kakang Jatmika. Jatuh cinta bukan kesalahan, bahkan membahagiakan kalau datangnya dari kedua pihak, seperti... hemm, seperti andika dan Neneng..."
Wajah Jatmika berubah kemerahan dan dia memandang Lindu Aji dengan mata heran. "Eh? Bagaimana engkau dapat tahu... eh... menduga begitu?"
Lindu Aji tertawa. "Ha-ha! Neneng Salmah itu adik angkatku, ingat? Tentu saja aku mengenalnya dengan baik dan melihat wajah dan pandang matanya, aku tahu bahwa ia sedang jatuh cinta dan...kepadamu, kakang!"
"Hemm, bisa saja kau!" Jatmika juga tertawa.
"Hei, apa yang kalian tawakan itu? Menertawakan kami, ya?" Sulastri menegur sambil menggandeng tangan Neneng menghampiri dua orang pemuda itu.
Neneng Salmah melepaskan tangan Sulastri dan ia menghampiri Lindu Aji, berdiri memandang pemuda itu dengan sikap bimbang dan salah tingkah.
"Heeii! Neneng, kutahu engkau hendak mengatakan sesuatu. Nah, katakanlah, adikku yang manis!" kata Lindu Aji dengan wajah gembira dan suara wajar.
Kewajaran sikap Lindu Aji banyak menolong Neneng Salmah. Akan tetapi tetap saja ia tergagap ketika bicara. "Kakang Aji..., engkau... sudah berbaik kembali dengan Sulastri...?"
Lindu Aji tersenyum dan mengangguk, wajahnya berseri dan senyumnya menyakinkan. Seakan terangkatlah beban berat yang menghimpit hati Neneng Salmah. Kedua matanya basah dan dua tetes air mata turun ke pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Ohh... Kang Aji, aku girang sekali... girang sekali...!" Ia merangkul pinggang Lindu Aji dan pemuda itu merangkul lehernya. Neneng Salmah menangis di dada Lindu Aji.
Lindu Aji menepuk-nepuk pundak Neneng. "Sudah, jangan menangis, Neneng. Lihat, Kakang Jatmika turut menangis melihat engkau menangis!"
Mendengar ini, Neneng Salmah cepat mengangkat mukanya dari dada Lindu Aji, membalikkan tubuh dan melihat ke arah Jatmika. Lindu Aji dan Sulastri tertawa geli. Jatmika tersenyum dan dalam hatinya dia merasa kagum kepada Lindu Aji dan Sulastri. Mereka adalah dua orang yang sungguh baik budi, pikirnya. Cinta mereka murni siap untuk berkorban demi kebahagiaan orang lain. Begitu penuh pengertian. Sungguh pantas dijadikan sedulur sinarawedi (saudara sejati). Neneng Salmah mengusap pipinya yang basah dan iapun ikut tertawa geli melihat Lindu Aji dan Sulastri tertawa. Hatinya berbahagia sekali, lenyap semua ganjalan dan kegelisahan.
Sulastri merangkulnya. "Mari, Neneng, kita menghadap ayah dan ibu." Lalu digandengnya sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri itu memasuki rumah.
"Mari, Kakang Jatmika." kata Lindu Aji dan dua orang pemuda itupun mengikuti dua orang gadis itu memasuki rumah.
Ki Subali dan Nyi Subali menerima kedatangan Jatmika dan Neneng Salmah dengan gembira. Akan tetapi ketika mendengar bahwa Ki Salmun tewas terbunuh Tumenggung Jayasiran, Ki Subali dan Nyi Subali terkejut sekali. Nyi Subali segera merangkul Neneng Salmah dan Sulastri bangkit dari duduknya dengan tangan terkepal.
"Jahanam Tumenggung Jayasiran itu! Aku harus menghajarnya!"
"Kukira hal itu tidak perlu lagi," kata Jatmika, "karena dia telah tewas ketika terjadi pertempuran antara pasukan Mataram dan Pasukan Sumedang."
Ki Subali menghela napas panjang. "Ah, siapa kira dia telah tewas. Padahal baru saja kami bertemu di Sumedang ketika aku mendalang dan dia memimpin para penabuh gamelan dan Neneng yang menjadi waranggana. Setelah wayangan itu usai, aku terus pulang kesini, jadi tidak tahu bahwa malapetaka menimpa Ki Salmun dan Neneng."
"Kang Jatmika yang menolong saya, paman." kata Neneng Salmah dan ia menceritakan pengalamannya dan Jatmika. Ketika ia menceritakan tentang pengalamannya menyamar sebagai Jaka Salman, kemudian ditawan Muntari dan hendak dipaksa menjadi suami gadis puteri kepala bajak dan perampok Sungai Cimanuk, meledaklah suara tawa yang mendengarkan. Sulastri terkekeh-kekeh, bahkan ibunya terpingkal-pingkal sampai keluar air mata!
"Ha-ha-ha, untung yang tergila-gila padamu seorang perempuan, Neneng. Coba dia seorang laki-laki, tentu Kakang Jatmika menjadi panas dingin!" Ucapan Lindu Aji ini kembali memancing tawa dan diam-diam Neneng Salmah merasa heran mengapa jalan pikiran Lindu Aji sama benar dengan jalan pikiran Jatmika yang dulu juga berkata demikian kepadanya.
Setelah Neneng Salmah berhenti bercerita, Ki Subali lalu berkata. "Cukuplah semua cerita yang lucu-lucu ini. Sekarang kita bicara tentang hal yang serius. Anakmas Jatmika, setelah kini Ki Salmun meninggal dunia, berarti Neneng tidak mempunyai keluarga lain. Sejak dulu kami berdua sudah menganggap Neneng Salmah sebagai anak sendiri, oleh karena itu, kini yang mengurus perjodohan Neneng adalah tanggung jawab kami. Jadi kalau andika hendak mengajukan pinangan atas diri Neneng Salmah, pinangan itu harus ditujukan kepada kami sebagai orang tua angkatnya."
Neneng Salmah merasa terharu, hanya dapat merangkul Nyi Subali yang sudah dianggap ibu sendiri sejak ia bersama ayahnya dulu tinggal mondok di rumah itu. Jatmika yang mendengar ucapan Ki Subali itu, sejenak tertunduk dan wajahnya membayangkan kemuraman. Hatinya risau dan sejenak dia tidak mampu bicara. Lindu Aji yang mengetahui bahwa Jatmika juga seorang yatim piatu yang sebatang kara, segera membantunya.
"Bapa dan ibu," kini dia menyebut Ki Subali dan isterinya bapa dan ibu? "agar diketahui bahwa Kakang Jatmika juga seperti Neneng, yatim piatu dan tidak mempunyai sanak kadang sama sekali. Saudaranya adalah saya dan Sulastri yang masih terhitung saudara seperguruan."
Ki Subali dan isterinya saling pandang, kemudian Ki Subali memandang wajah Jatmika yang menunduk itu dan bertanya. "Benarkah itu, Anakmas Jatmika?"
"Apa yang dikatakan Adi Lindu Aji benar, paman. Saya adalah seorang yatim piatu yang miskin dan papa, sesungguhnya saya merasa sungkan dan malu untuk meminang Neneng, karena saya... tidak pantas..."
"Wah, Kakang Jatmika! Kenapa engkau berpendapat sepicik itu? Saudaraku Neneng ini seorang wanita utama, cinta kasihnya sama sekali tidak memandang harta atau kedudukan!" kata Sulastri agak ketus karena ia marah melihat Neneng Salmah menangis ketika mendengar ucapan Jatmika tadi.
"Sudahlah...!" kata Ki Subali. "Anakmas Jatmika hanya berkata demikian karena dia rendah hati. Kami semua percaya bahwa kalau Anakmas Jatmika mau mencari harta dan kedudukan, sudah lama ia mendapatkannya karena diapun berjuang keras dan berjasa terhadap Mataram. Kalau dia mau, Gusti Sultan Agung pasti akan memberi anugerah kedudukan dan harta."
Mendengar omelan Sulastri tadi, Jatmika memandang kepada Neneng Salmah dan melihat gadis itu menangis, dia segera menyadari bahwa ucapannya tadi, tanpa disengaja telah mendatangkan kesedihan di hati kekasihnya. "Neneng, maafkan aku... bukan... bukan maksudku untuk menyakiti hatimu... ah, maafkan aku..."
Neneng Salmah menghampiri Jatmika lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. "Akang Jatmika... jangan merendahkan diri seperti itu... akang, akupun seorang yang tak berharga... akulah yang tidak pantas untuk menjadi isteri seorang satria sepertimu..."
"Neneng...!" Jatmika merangkul gadis itu dan mengangkatnya berdiri. Neneng Salmah menangis di dada Jatmika.
Sulastri menyentuh tangan Lindu Aji yang menoleh kepadanya, keduanya saling berpandangan dan tersenyum bahagia. Lindu Aji memberi isyarat dengan matanya dan Sulastri maklum, lalu ia menghampiri Neneng Salmah dan merangkul Neneng, diajaknya duduk kembali. Lindu Aji juga memegang tangan Jatmika dan diajaknya duduk menghadapi meja.
"Neneng, engkau tidak boleh merendahkan diri seperti itu! Akang Jatmika memang seorang pemuda pilihan, akan tetapi engkau pun seorang gadis pilihan. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara kalian! Kalau kalian saling mencinta seharusnya berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah!" kata Sulastri.
"Kakang Jatmika, mengapa engkau merendahkan diri seperti tadi? Kalau engkau merasa rendah diri, bagaimana engkau akan dapat menjadi kepala rumah tanggamu? Engkau harus berdiri tegak dan siap mendayung biduk rumah tanggamu bersama Neneng Salmah, harus berani bertanggung-jawab sebagai seorang suami dan kelak sebagai seorang ayah! Benar kata Sulastri tadi, dua orang yang saling mencinta dan bersepakat untuk hidup sebagai suami isteri, haruslah hidup bahu-membahu, bekerja sama, senasib sependeritaan, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, senang sama dinikmati susah sama ditanggung. Bukankah begitu, bapa dan ibu?" kata Lindu Aji.
Ki Subali dan isterinya saling pandang dan tertawa. "Heh-heh, anak sekarang pintar-pintar, ya pak? Di jaman aku muda, seorang isteri hanyalah menjadi pelayan, melayani suami, melakukan semua pekerjaan rumah tangga, lalu mengandung dan melahirkan disambung dengan momong anak dan momong bapaknya juga. Pendeknya seorang isteri harus tunduk dan taat sepenuhnya kepada suaminya, nasibnya berada di tangan suami, swarga nunut neraka katut (ke Sorga ikut ke neraka terbawa)!"
"Ha-ha-ha!" Ki Subali tertawa mendengar ucapan isterinya, lalu memandang isterinya sambil tersenyum dan bertanya, "Ibunya Lastri, apakah aku juga memperlakukanmu sebagai seorang pelayan?"
"Hemm, kalau engkau sih tidak! Akan tetapi berapa banyaknya suami sebaik engkau?" kata isterinya sambil tersenyum bangga.
"Wah, sekarang sih bukan jamannya lagi, ibu! Suami isteri harus bekerja sama dan sama-sama berjuang untuk mencari kebahagiaan sekeluarga, baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di sorga!" kata Sulastri.
"Aduh, siapa yang mengajarkan semua itu kepadamu, Lastri?" tanya Nyi Subali kepada puterinya.
Dengan manja Sulastri menudingkan telunjuknya kepada Lindu Aji. "Siapa lagi yang mengajarkan kalau bukan dia, ibu?"
Semua orang tertawa dan Neneng Salmah yang tadi menangis karena terharu, kini juga sudah tersenyum manis.
"Cukup semua gurauan ini, sekarang kita bicara serius!" kata Ki Subali. "Anakmas Jatmika, karena engkau tidak mempunyai sanak keluarga lagi dan yang ada hanya saudara-saudara seperguruanmu, yaitu Lindu Aji dan Sulastri, apakah mereka berdua yang menjadi walimu dan mengajukan pinangan kepada kami untuk menjodohkan anak angkat kami Neneng Salmah denganmu? Akan tetapi, mereka berdua itu adalah anak dan mantu kami! Bagaimana ini?" Biarpun keadaannya lucu, akan tetapi Ki Subali bicara serius dan mengerutkan alisnya.
"Bagaimana kalau diatur begini, bapa? Ibu kandung saya sendiri mengajukan pinangan atas diri Sulastri dengan mengirim wakilnya yang sekaligus menjadi wali dalam pernikahan saya dengan Sulastri. Bagaimana kalau sekarang saya dan Lastri juga mewakilkan kepada seseorang yang sekaligus juga menjadi wali dari Kakang Jatmika?" kata Lindu Aji.
Ki Subali mengangguk-angguk "Hemm, gagasan itu baik sekali. Tentu saja boleh mengirim seorang wakil yang juga menjadi wali Anakmas Jatmika. Akan tetapi siapa yang akan menjadi wakilmu sebagai wali Anakmas Jatmika yang akan mengajukan pinangan itu?"
"Siapa lagi kalau bukan Paman Parto, orang kepercayaan ibu dan saya? Biarlah dia sekalian menjadi wali saya dan wali Kakang" Jatmika." kata Lindu Aji.
"Wah, bagus sekali! Mari, Mas Aji, kita cari Paman Parto!" kata Sulastri dan dia sudah menarik tangan Lindu Aji diajak ke belakang mencari Ki Parto. Jatmika dan Neneng Salmah juga mengikuti mereka ke belakang.
Setelah menemukan Ki Parto, Aji lalu mengutarakan permintaan tolong mereka agar Ki Parto suka pula menjadi wali Jatmika dan melamarkan Neneng Salmah kepada Ki Subali dan isterinya untuk Jatmika. Dengan senang hati ki Parto memenuhi permintaan itu dan pada hari itu juga, secara "resmi", disaksikan oleh beberapa orang tetangga yang sudah tua, Ki Parto mengajukan pinangan atas diri Neneng Salmah sebagai anak angkat Ki Subali dan isterinya kepada kedua orang tua angkat itu sebagai wakil dari keluarga Jatmika, yaitu Lindu Aji dan Sulastri! Pinangan diterima dengan baik dan diambil keputusan bahwa pernikahan antara Jatmika dan Neneng Salmah dilaksanakan perayaannya berbareng dengan pernikahan Lindu Aji dan Sulastri.
Demikianlah pada hari yang telah ditentukan, upacara pernikahan dua pasang pengantin itu dilaksanakan dan diadakan perayaan yang cukup meriah oleh Ki Subali dan isterinya. Dua pasang pengantin itu tenggelam ke dalam kebahagiaan berbulan madu. Lindu Aji dan Sulastri tinggal di rumah Ki Subali, sedangkan Jatmika mengajak Neneng Salmah ke pantai laut di sebelah utara Dermayu, mengunjungi dua makam kakek dan ayahnya yang berada di belakang pondok.
Pondok itu masih kokoh walaupun kotor karena lama tidak ditinggali orang. Jatmika dan Neneng Salmah membersihkan pondok itu dan mereka melewatkan bulan madu mereka di pondok tepi pantai lautan itu. Setelah bersenang-senang sebagai pengantin baru selama dua minggu, karena maklum bahwa setelah dua minggu Lindu Aji dan Sulastri akan pergi ke rumah ibu Aji di Gampingan, Jatmika dan Neneng Salmah kembali ke rumah Ki Subali.
Sedih juga rasa hati Neneng Salmah harus berpisah dari Sulastri yang ia anggap sebagai saudara sendiri dan dari Ki dan Nyi Subali yang ia anggap sebagai pengganti ayah ibunya.
"Jangan bersedih, Neneng," kata Sulastri ketika mereka saling berangkulan. "Mulai saat pernikahan dua minggu yang lalu, engkau adalah isteri Kakang Jatmika dan kemana pun dia pergi, engkau harus ikut. Demikian pula aku, sebagai isteri Mas Aji, kemana pun dia pergi, ke sana pula aku pergi. Kelak, lain waktu kita pasti dapat saling berjumpa kembali."
Lindu Aji bercakap-cakap dengan Jatmika. "Kakang Jatmika, aku dan Lastri akan pergi ke Gampingan dan akan tinggal di sana bersama ibu. Dan engkau akan tinggal dimana?"
"Aku dan Neneng sudah bersepakat untuk pergi ke Sumedang."
"Kenapa engkau hendak pergi ke Sumedang, Jatmika? Kenapa tidak tinggal disini saja dan mencari pekerjaan disini?" tanya Ki Subali.
"Benar, Jatmika. Sulastri akan pergi ke Gampingan bersama suaminya. Kalau Neneng juga pergi bersamamu ke Sumedang, aku akan kehilangan kedua anakku dan akan merasa kesepian." kata Nyi Subali dengan suara sedih.
"Ah, jangan berpikir seperti itu, ibunya Lastri! Anak-anakmu sudah bukan kanak-kanak yang membutuhkan pemeliharaanmu lagi. Mereka sudah menikah, sudah mempunyai suami. Mana mungkin kita tahan saja untuk tetap tinggal bersama kita? Tentu saja mereka harus mengikuti suami mereka kemana suami mereka pergi, seperti yang dikatakan Sulastri. Setiap orang tua harus siap menghadapi perpisahan dengan anak perempuannya kalau mereka sudah menikah. Aku hanya ingin tahu apa yang akan dikerjakan Jatmika di Sumedang?"
"Begini, Bapa. Kami akan pergi ike Sumedang dan tinggal disana karena selain rumah Neneng disana masih ada, juga sekarang keadaan Sumedang sudah berubah. Sudah dipimpin oleh seorang adipati baru yang ditunjuk oleh Gusti Sultan Agung. Saya dapat mencari pekerjaan disana." kata Jatmika.
"Baiklan, kalau begitu, kami orang tua hanya membekali doa restu semoga kalian dua pasang anak-anakku menemukan kebahagiaan dimanapun kalian berada, menjunjung tinggi dan memuliakan asma (nama) Gusti Allah dengan hidup yang baik dan benar sehingga kalian akan selalu diberkahi ketenteraman dan kebahagiaan."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua pasang pengantin baru itupun berangkat meninggalkan rumah Ki Subali di Dermayu. Lindu Aji dan Sulastri, di-ikuti Ki Parto, pergi menuju Gampingan dan Jatmika berdua Neneng Salmah pergi ke Sumedang.
Ki Subali dan Nyi Subali mengantar sampai ke pintu halaman rumah mereka, melambaikan tangan sampai kedua pasangan itu tak tampak lagi. Setelah mereka tak tampak, barulah Nyi Subali melepaskan kepedihan hatinya dengan tangis. Ki Subali merangkul pundaknya dan mengajaknya masuk ke rumah, menghiburnya.
"Mereka itu, anak-anak kita, berbahagia. Mengapa engkau menangis? Sudahlah, kita doakan saja semoga mereka itu hidup berbahagia dan... segera mendapat momongan. Aku sudah ingin sekali menimang cucu-cucuku!"
Terhibur juga hati Nyi Subali membayangkan cucu-cucunya yang mungil lucu.
********************
Ki Tejomanik atau yang waktu mudanya terkenal dengan nama Sutejo berjalan bersama Retno Susilo, isterinya di kaki Pegunungan Raung. Dataran tinggi Ijen sudah dekat dengan Gunung Raung. Tujuan mereka adalah dataran tinggi Ijen untuk mencari Ki Ageng Mahendra yang menurut keterangan Wiku Menak Jelangger telah merampas putera mereka, Bagus Sajiwo, dari tangan mendiang Wiku Menak Koncar yang menculik putera mereka itu.
Biarpun Sutejo sudah berusia empat puluh tahun lebih dan Retno Susilo hampir empat puluh tahun, namun suami isteri ini masih tampak jauh lebih muda dan orang-orang akan merasa kagum dan heran kalau melihat mereka berlari cepat bagaikan sepasang kijang melalui daerah pegunungan itu. Akan tetapi yang sudah mengenal sepasang suami isteri pendekar ini, tidak akan merasa heran karena mereka berdua memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di daerah Pegunungan Ijen yang mempunyai banyak bukit-bukit penuh dengan hutan lebat. "Ah, perutku terasa lapar sekali!" kata Retno Susilo. "Pagi tadi hanya sarapan sedikit ketan. Mari kita mencari dusun untuk membeli makanan, kakang-mas."
Tejomanik tersenyum dan menoleh kepada isterinya. "Kasihan perutmu, diajeng. Biar kulihat dari atas dimana ada dusun terdekat." katanya dan dia sudah melompat dan memanjat pohon besar. Setelah tiba di cabang tertinggi, dia melihat ke sekeliling. Lalu dia melompat ke bawah.
"Adakah tampak dusun terdekat?" tanya Retno Susilo.
"Ada, tak berapa jauh disana!" kata Tejomanik sambil menunjuk ke arah timur.
Mereka lalu berlari lagi dengan cepat dan benar saja, tak lama kemudian mereka melihat sebuah dusun yang cukup besar di lereng bukit. Mereka memasuki dusun itu dan merasa heran mengapa di luar dusun, dimana terdapat sawah ladang. yang cukup luas dan subur, tidak tampak seorangpun. Tidak ada yang bekerja di ladang, juga tidak ada yang berlalu-lalang.
Suami isteri itu saling pandang dan tanpa sepatah kata pun mereka sudah saling mengerti dan keduanya memasuki dusun itu dengan hati-hati dan waspada karena mereka merasa bahwa tentu terjadi sesuatu di dusun itu. Apalagi ketika pendengaran mereka yang peka mendengar gerakan orang dalam rumah-rumah yang daun pintu dan jendelanya tertutup rapat. Penduduk dusun itu bersembunyi di dalam rumah mereka, seolah-olah takut akan sesuatu sehingga tidak berani membuka pintu dan keluar dari rumah.
Tejomanik mencoba untuk mengetuk daun pintu dari rumah ke rumah, namun seperti yang telah mereka duga, tak seorang pun berani membuka pintu. Karena menduga bahwa penduduk dusun itu tentu takut akan sesuatu yang merupakan ancaman bagi mereka semua dan kalau dia dan isterinya mengetuk daun pintu mereka itu bisa salah duga mengira yang datang itu yang mengancam mereka, maka Tejomanik lalu berseru lantang sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya terdengar oleh seluruh penduduk yang bersembunyi dalam rumah masing-masing.
"Haili! Saudara-saudara warga dusun! Ketahuilah bahwa kami suami isteri bukan penjahat, bukan musuh kalian. Bahkan kalau ada sesuatu yang mengancam andika sekalian, kami berdua sanggup melindungi dan menolong kalian!"
"Bukalah pintu dan temui kami, saudara sekalian!" Retno Susilo juga berseru lantang, suaranya bergema sampai ke ujung dusun. "Jangan takut, biar penjahat maupun iblis yang berani mengganggu kalian, akan kami binasakan!"
Agaknya para penduduk yang rumahnya berdekatan dengan suami isteri itu, mengintai dari dalam rumah dan melihat suami isteri yang tampan dan cantik dengan sikap gagah perkasa, timbul kepercayaan mereka dan satu demi satu daun pintu rumah-rumah itu dibuka dari dalam. Mula-mula mereka berindap keluar dengan takut-takut, akan tetapi setelah melihat sikap suami isteri yang tersenyum ramah itu, mereka berani mendekat dan sebentar saja Tejomanik dan Retno Susilo sudah dirubung banyak orang, tua muda, laki perempuan. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun membuka jalan diantara orang-orang. itu dan dia menghadapi Tejomanik dan Retno Susilo, memberi salam dengan hormat.
"Denmas dan Masayu, benarkah andika berdua hendak menolong kami warga dusun Krenting ini?" tanya orang itu. '
"Tentu saja kalau memang andika sekalian terancam bahaya. Akan tetapi bahaya apakah yang mengancam andika sehingga semua penghuni dusun menjadi ketakutan seperti ini?" tanya Tejomanik.
"Mari, mari masuk ke rumah kami, Denmas. Saya adalah Ki Selowono, kepala dusun Krenting ini. Mari silakan." Tejomanik dan isterinya mengikuti Ki Lurah Selowono memasuki rumah yang terbesar di antara rumah-rumah di dusun itu.
Semua orang mengikuti mereka dan berkumpul di pekarangan rumah itu. Agaknya mereka ketakutan dan menggantungkan harapan mereka kepada suami isteri yang berjanji hendak melindungi mereka itu. Suami isteri itu dipersilakan duduk di atas kursi, di pendopo rumah. Orang-orang yang memenuhi pendopo dan pekarangan tidak ada yang mengeluarkan suara karena mereka semua ingin dapat mendengarkan percakapan antara lurah mereka dan suami isteri itu.
"Sebelumnya kami ingin mengetahui, siapakah nama denmas dan masayu yang terhormat dan andika berdua datang dari mana?"
"Ki Lurah, aku bernama Tejomanik dan ini isteriku bernama Retno Susilo. Kami tinggal di lereng Gunung Kawi dan kini sedang melakukan perantauan sampai disini. Ceritakanlah, Ki Lurah, apa yang menyebabkan kalian ketakutan ini?" kata Tejomanik dan sengaja dia bicara kuat-kuat agar mereka yang berada di pekarangan rumah itu dapat mendengarnya karena dia tahu bahwa mereka semua ingin. sekali mendengarnya.
"Untuk menceritakan juga kami takut ..." kata Ki Lurah dengan wajah pucat dan tubuhnya gemetar.
Retno Susilo mengerutkan alisnya dan berkata marah. "Kenapa begini ketakutan, Ki Lurah? Jangan takut, biar iblis setan brekasakan, akan kuhajar kalau berani mengganggu penduduk dusun!"
"Ceritakanlah, Ki Lurah dan jangan takut." kata Tejomanik.
"Ceritakan, Ki Lurah, ceritakan." beberapa suara penduduk mendesak lurah mereka.
Ki Lurah Selowono menoleh ke kanan kiri, lalu bercerita dengan suara lirih. "Telah hampir sebulan ini, di daerah ini muncul... sepasang manusia iblis yang mengaku bernama Kaladhama dan Kalajana. Mereka adalah dua orang yang bertubuh tinggi besar berbulu seperti raksasa. Mereka telah merajalela di pedusunan daerah ini. Setiap kali mereka minta disediakan dua orang anak gadis tercantik dari dusun berikut domba dan sekantung uang. Kalau permintaan itu tidak dipenuhi mereka lalu mengamuk, membunuh beberapa orang lalu menculik wanita muda. Beberapa dusun sudah berusaha untuk mengumpulkan para pemuda dan mengeroyok dua orang manusia iblis yang menyebut diri sebagai Dwi Kala itu, akan tetapi puluhan orang pemuda masih tidak mampu mengalahkan mereka, bahkan setiap dikeroyok, belasan orang pemuda tewas secara mengerikan. Dua orang itu selain digdaya, juga beracun. Mereka yang terluka pasti tewas karena lukanya menjadi kehitaman seperti digigit ular berbisa. Dan pagi tadi... dusun kami mendapat giliran. Mereka minta disediakan dua orang gadis cantik, kambing, dan sekantung uang. Maka, sejak pagi tadi, kami semua ketakutan dan menutupkan pintu dan jendela, Denmas..."
"Hemm, bagaimana cara mereka minta semua itu? Apakah mereka muncul disini?" Tanya Tejomanik.
"Tidak, Denmas. Yang terdengar hanya suara mereka saja, seperti geledek, mengajukan permintaan itu pagi tadi. Mereka bilang bahwa kalau sampai tengah hari permintaan mereka belum disediakan di pintu gapura dusun, mereka akan membunuhi penduduk dusun ini!"
"Keparat!" Tiba-tiba Retno Susilo berseru marah, matanya mencorong dan alisnya berkerut. "Dan kalian sudah menyediakan permintaan iblis keparat itu?"
"Tidak, masayu. Tidak ada orang" tua yang mau menyerahkan anak gadisnya kepada mereka. Kalau yang diminta hanya kambing dan ayam tentu akan kami berikan. Akan tetapi dua orang gadis..." Ki Selowono memandang keluar lalu melanjutkan, "dan sekarang... sekarang hampir tengah hari, denmas... kami takut..."
"Jangan takut. Kami akan menghadapi dua orang setan itu. Akan tetapi kalian harus memenuhi permintaan kami dan menurut petunjuk kami." kata Tejomanik.
"Tentu saja, denmas. Apa yang andika perlukan?"
"Begini, sediakan dua orang gadis, seekor kambing, seekor ayam dan sekantung uang..."
Terdengar seruan dari banyak mulut dan orang-orang itu mundur dengan muka pucat, mengira bahwa Tejomanik mengulangi permintaan Dwi Kala itu. jangan-jangan suami isteri ini penjelmaan dua orang manusia iblis itu!
Tejomanik tersenyum geli. "Dengarkan dulu kata-kataku. Aku minta itu semua agar disediakan di gapura, untuk memancing datangnya dua jahanam itu. Percayalah, dua orang gadis itu hanya menjadi umpan, kami yang menanggung bahwa mereka tidak akan ada yang mengganggu!"
Biarpun Tejomanik berkata demikian, orang-orang itu menggeleng kepala dan tidak ada seorang pun mau memberikan gadis mereka menjadi umpan! Melihat semua orang tampak menggeleng kepala ketakutan, Retno Susilo menjadi marah. "Kalian ini semua orang-orang pengecut! Kami berani menjamin bahwa dua orang gadis itu tidak ada yang mengganggu, kenapa masih juga ketakutan? Kalau begitu, kalian tidak mau membantu kami yang bermaksud menolong kalian dan membinasakan dua orang manusia iblis itu?"
Tiba-tiba dua orang gadis berlari keluar dari dalam dan memasuki pendopo itu. "Kami berdua mau menjadi umpan!"
"Sarti dan Sarni...! Apa-apaan ini...?" Ki Lurah Selowono membentak kedua orang anaknya itu.
"Bapak, kalau semua orang tidak mau membantu para penolong kita ini, lalu mereka pergi, bukankah kita akan terus terancam dua orang manusia iblis itu? Berilah kami kesempatan untuk membantu paman dan bibi yang mau menolong kami ini!" kata Sarti, gadis berusia sekitar delapan belas tahun yang cukup manis dengan kulit putih mulus mengangguk-angguk."
"Denmas... mereka ini adalah dua orang puteri kami, hanya dua orang ini anak kami, bagaimana kalau sampai..."
"Tenanglah, aku yang bertanggung jawab, Ki Lurah. Dua orang anakmu ini adalah gadis-gadis yang berhati harimau, tabah dan berani!" kata Retno Susilo. "Mengingatkan aku ketika masih gadis! Hanya sayang, mereka adalah gadis-gadis lemah."
"Bibi yang cantik dan gagah berani, yakinkah bibi akan dapat mengalahkan dua orang manusia iblis itu? Mereka kabarnya sakti mandraguna, dikeroyok tidak kalah, bahkan kabarnya kebal, tubuhnya keras seperti baja!" kata Sarti kepada Retno Susilo.
Mendengar ini Retno Susilo menghampiri sebuah patung terbuat dari besi yang berdiri di sudut pendopo itu. Dengan ringan diangkatnya patung yang berat itu, kemudian ia bertanya.
"Apakah tubuhnya lebih kuat daripada besi ini?" Setelah berkata demikian, Retno Susilo mengeluarkan bentakan melengking, tangannya terbuka menghantam patung itu dan retaklah patung besi itu seolah dihantam palu godam yang kuat dan berat!
Semua orang menahan napas melihat ini dan wajah mereka berseri penuh harapan. Kini Sarti dan Sarni menjadi semakin berani menjadi umpan untuk memancing munculnya Dwi Kala yang ditakuti itu. Sarti dan Sarni lalu mengenakan pakaian baru, berhias diri sehingga tampak manis dan segar bagaikan dua tangkai kembang yang sedang mekar. Mereka berdua kini duduk di atas bangku di gapura dusun dan disitu terdapat pula seekor domba gemuk dan seekor ayam. Sarti memangku sebuah kantung terisi uang.
Penduduk mengintai dengan jantung berdebar penuh ketegangan, dari rumah-rumah yang berdekatan dengan pintu gapuro. Tejomanik dan Retno Susilo mengintai dari balik batang pohon besar yang tumbuh tak jauh dari pintu gapura.
Setelah matahari berada tepat di atas kepala, tiba-tiba ada angin bertiup. Padahal tadinya tidak ada angin sama sekali. Tejomanik dan Retno Susilo dapat merasakan bahwa angin itu bukan angin sewajarnya, melainkan angin yang timbul dari kekuatan sihir! Diam-diam suami isteri ini waspada dan berhati-hati karena dari angin buatan sihir itu saja mereka berdua maklum bahwa tawan yang mereka hadapi bukan penjahat biasa, melainkan orang-orang sakti yang pandai pula menggunakan sihir yang kuat!
Angin itu membuat daun-daun pohon tergetar dan ranting-ranting pohon naik turun menari-nari. Sarti dan Sarni tampak gemetar dan dengan mata terbelalak dan muka agak pucat mereka memandang ke arah pohon besar di balik mana suami isteri pelindung itu bersembunyi.
Bagaimanapun juga, gadis-gadis dusun puteri Pak Lurah Selowono ini hanyalah gadis dusun yang sejak kecil percaya akan cerita tahyul tentang setan, iblis, gendruwo memedi, pocongan dan banyak lagi golongan setan yang menakutkan. Rambut mereka yang sudah digelung rapi itu kini tertiup angin, agak awut-awutan akan tetapi justeru menambah daya tarik dua orang gadis manis ini.
"Hoa-ha-ha-ha, Kakang Kaladhama, pengantin-pengantin kita sudah menanti untuk kita jemput dan kita boyong, ha-ha-ha!" Suara itu parau dan dalam, juga lantang sekali sehingga terdengar menggelegar.
"Hiya, Adi Kalajana! Wah, pengantin kita sekali ini malah paling bahenol diantara mereka yang terdahulu!" Terdengar suara kedua yang juga lantang dan mengandung getaran kuat.
Tejomanik dan Retno Susilo maklum bahwa dua orang manusia iblis itu sengaja mengerahkan tenaga sakti ketika bicara agar terdengar lantang menyeramkan untuk menakut-nakuti warga dusun Krenting. Dan memang, semua warga, termasuk Ki Lurah Selowono, yang mengintai, ketika mendengar suara itu, mereka menggigil ketakutan dan dengan hati penuh ketegangan dan ketakutan mereka mengintai ke arah Sarti dan Sarni yang duduk di bangku dekat pintu gapura dusun itu.
Tiba-tiba angin berhenti bertiup dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di dekat pintu gapura telah berdiri dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Yang seorang bermuka hitam, matanya besar melotot kedua lengannya yang kokoh dengan otot-otot menggelembung itu berbulu. Usianya sekitar empat puluh tahun. Pakaiannya mewah seperti pakaian seorang priyayi (bangsawan). Orang kedua juga sama tinggi besarnya, kokoh dan berbulu seperti orang pertama, akan tetapi mukanya burik (bopeng) sehingga tampak lebih jelek dan lebih menyeramkan daripada orang pertama. Orang kedua ini usianya lebih muda dua tiga tahun. Di pinggang dua orang ini tergantung senjata tak bersarung yang mengerikan, yaitu sebatang golok yang punggungnya merupakan gergaji! Kepala mereka memakai kain pengikat kepala model Blambangan.
Melihat dua orang raksasa itu tiba-tiba muncul tak jauh di depan mereka, dalam jarak lima meter, Sarti dan Sarni menjadi pucat wajahnya dan tubuh mereka menggigil, kedua kaki mereka lemas sehingga mereka mencoba untuk bangkit berdiri dan melarikan diri, mereka terduduk kembali karena kedua kaki mereka tidak kuat berdiri!
Tejomanik dan Retno Susilo dapat melihat berkelebatnya tubuh dua orang itu ketika mereka datang. Suami isteri ini mencatat bahwa dua orang seperti raksasa itupun memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat. Mereka berdua menjadi semakin waspada dan atas isyarat Tejomanik, mereka berdua segera melompat sambil mengerahkan kepandaian mereka.
Tejomanik menggunakan Aji Harina Legawa (Kijang Tangkas) ketika melompat dan Retno Susilo mengerahkan Aji Kluwung Sakti (Pelangi Sakti). Ilmu meringankan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu membuat mereka meluncur cepat dan tahu-tahu mereka sudah berdiri berhadapan dengan dua orang raksasa itu, menghadang diantara dua orang manusia iblis itu dengan calon korban mereka.
"Sarti dan Sarni, pergilah kalian, masuk ke rumah yang terdekat!" kata Retno Susilo. Dua orang gadis puteri Ki Lurah itu mendapatkan kembali tenaga mereka ketika melihat dua orang pelindung mereka muncul. Mereka lalu bangkit dan berlari ke sebuah rumah terdekat, dimana ayah mereka juga bersembunyi.
Pintu rumah segera dibuka dari dalam dan dua orang gadis itu menghilang kedalam rumah. Pintu rumah itu ditutup kembali. Tak seorang pun warga dusun tampak di luar rumah. Semua bersembunyi di dalam dan mengintai dengan jantung berdebar. Mereka semua ketakutan karena maklum bahwa kalau dua orang penolong mereka kalah, dua orang manusia iblis itu tentu akan mengamuk dan membunuhi warga dusun Krenting!
Dua orang raksasa itu melotot marah melihat suami isteri itu menghalang di depan mereka dan dua orang gadis yang dipersembahkan kepada mereka itu melarikan diri. Mereka hampir tidak percaya ada orang-orang berani menentang mereka.
"Heh, bojleng-bojleng Iblis Laknat! Siapa kalian berani mengganggu kami berdua?" bentak yang bermuka hitam.
"Kalian ini sudah bosan hidup! Siapakah kalian?" tanya yang bermuka burik.
Dengan sikap tenang Tejomanik menjawab. "Kami adalah..."
Belum habis Tejomanik bicara, Retno Susilo sudah memotongnya dengan suara galak. "Kalian ini manusia-manusia iblis yang harus memperkenalkan nama lebih dulu kepada kami! Kalian berdua yang mengganggu warga dusun-dusun di daerah ini dan sudah menjadi kewajiban kami untuk membasmi iblis-iblis pengganggu manusia macam kalian!"
"Babo-babo, perempuan sombong!" bentak yang mukanya burik.
"Ha-ha-ha, Adi Kalajana, perempuan ini hebat, jauh lebih cantik menarik daripada perawan-perawan dusun yang bodoh itu. Yang ini cocok untukku, sudah masak, tidak hijau seperti mereka. Hei, perempuan cantik jelita, aku adalah Ki Kaladhama dan ini adikku Ki Kalajana. Kami dikenal sebagai Dwi Kala, jagoan-jagoan tanpa tanding di Blambangan! Nah, lebih baik engkau menyerah saja kepadaku, manis dan engkau kuboyong ke Blambangan, hidup mulia dan bahagia sebagai isteriku!"
Wajah Retno Susilo berubah merah sekali, akan tetapi selagi ia hendak memaki dan menerjang, suaminya memberi isarat kepadanya sehingga ia menahan kemarahannya dan berdiam diri.
Ki Tejomanik lalu berkata kepada dua orang itu. "Dwi Kala, ketahuilah bahwa aku bernama Ki Tejomanik dan ini isteriku bernama Retno Susilo. Seperti dikatakan isteriku tadi, kami adalah orang-orang yang selalu menentang mereka yang berbuat jahat kepada orang lain dan kami membela mereka yang lemah tertindas. Andika berdua membuat kacau di pedusunan daerah ini, terpaksa kami harus menentangmu. Sadarlah akan kesalahan kalian, Dwi Kala, sebelum terpaksa kami mempergunakan kekerasan untuk membasmi kalian!"
"Ha-ha-ha, Tejomanik. Sumbarmu seolah kalian dapat memindahkan gunung! Kalian mau membasmi kami?" Dua orang raksasa itu tertawa bergelak.
"Lebih baik engkau yang cepat minggat dari sini dan tinggalkan isterimu karena aku menyukainya!" kata Kaladhama yang bermuka hitam.
"Jahanam kuantar engkau ke neraka jahanam!" teriak Retno Susilo dan ia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kehijauan dan ia sudah menerjang dengan serangan pedangnya itu kepada Kaladhama.
Biarpun pedangnya itu hanya pusaka Nogo Wilis tiruan karena yang aselinya ia berikan kepada Sulastri, namun pedang itupun terbuat dari baja yang baik dan ketika menyambar berubah menjadi sinar hijau yang berbahaya.
"Huh, lumayan juga kepandaianmu!" Kaladhama berseru kaget dan cepat melompat ke belakang.
Ketika Retno Susilo mengejar, raksasa muka hitam ini sudah mencabut senjatanya yang menyeramkan. Golok dengan punggung gergaji itu panjang, lebar dan tebal. Tentu berat sekali. Akan tetapi di tangan raksasa ini, golok itu tampak ringan saja ketika dia membabatkan golok itu ke arah leher Retno Susilo. Wanita perkasa itu tidak mengelak melainkan menangkis dengan pengerahan tenaga karena ia ingin membuat senjata lawan terpental dan terlepas.
"Wuuuttt... trangggg...!!" Keduanya terkejut dan melompat kebelakang karena mereka merasakan betapa tangan mereka yang memegang gagang senjata tergetar hebat. Baik Retno Susilo maupun lawannya, Kaladhama tahu bahwa lawannya memiliki tenaga sakti yang kuat. Mereka lalu saling serang dengan dahsyat dan ternyata memang kepandaian mereka seimbang!
Sementara itu, Kalajana juga sudah menyerang Tejomanik dengan golok gergajinya. Goloknya yang besar dan berat itu mengeluarkan suara berdengung-dengung ketika meayambar-nyambar ke arah tubuh Tejomanik.
Orang gagah dari Gunung Kawi ini menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak kesana-sini, akan tetapi setelah dia tahu bahwa lawannya ini juga tangguh sekali dan akan berbahaya kalau dia hanya melawan dengan tangan kosong, dia lalu melolos pecutnya.
"Tar-tar-tarrrr...!!" Cambuk Bajrakirana meledak-ledak dan menyambar-nyambar laksana kilat. Kalajana terkejut sekali dan sebentar saja dia kewalahan, hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran goloknya agar jangan sampai tersengat ujung pecut itu. Dia teringat akan sesuatu dan segera melompat jauh ke belakang sambil berseru.
"Tahan...Andika... Sutejo dan pecut itu Sang Bajrakirana...?"
Mendengar seruan adiknya itu, Kaladhama juga terkejut dan diapun melompat ke belakang dan memandang ke arah Tejomanik dengan mata terbelalak. "Benarkah andika Sutejo, Sang Bajrakirana?" dia juga bertanya.
Retno Susilo berdiri di dekat suaminya, tangan kanan masih memegang gagang pedangnya dan tangan kiri bertolak pinggang, merasa penasaran karena perkelahiannya melawan Kaladhama tadi masih berimbang. Tejomanik mengamati kedua orang itu dan merasa bahwa dia tidak pernah bertemu dengan dua orang Blambangan itu.
"Benar, di waktu muda aku bernama Sutejo dan senjataku ini memang benar pusaka Bajrakirana. Mengapa engkau menghentikan pertandingan? Kalau kalian tidak mampu menandingi kami, bertaubatlah, bebaskan para gadis yang kalian tawan, kembalikan semua benda yang kalian rampas dan jangan melakukan kejahatan lagi karena lain kali kami tidak akan dapat mengampuni kalian!"
Kaladhama tertawa bergelak. Mukanya menengadah dan perutnya terguncang ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha, kau kira kami takut padamu? Kami hanya khawatir kalau kalian menggunakan warga dusun untuk mengeroyok kami! Maka, kami tantang kalian untuk datang ke pondok kami di puncak bukit sana, kalau kalian berani dan disana kita lihat siapa diantara kita yang lebih kuat!" Raksasa itu menuding ke arah puncak bukit yang tidak begitu jauh dari dusun di lereng itu.
"Siapa takut kepada manusia iblis macam kalian?" bentak Retno Susilo marah. "Tunggu saja, aku akan memecahkan kepala kalian!"
"Ho-ho-ha-ha, bagus sekali! Kalau aku kalah, kepalaku boleh kau pecah, akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau akan menjadi isteriku, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, kedua orang itu lalu berlompatan dan lari ke arah puncak. Gerakan mereka gesit sekali, tidak sesuai dengan tubuh mereka yang tinggi besar dan tampak lamban.
"Jahanam!" Retno Susilo memaki. "Hayo kita kejar ke puncak, Kakangmas!" ia mengajak suaminya.
Akan tetapi Tejomanik menggeleng kepalanya. "Lihat, Diajeng. Matahari mulai condong ke barat, tak lama lagi menjelang sore. Kalau mereka menantang kita untuk melanjutkan pertandingan di puncak, tentu mereka mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan kemenangan dan bukan mustahil kalau mereka sudah mengatur perangkap untuk kita. Pergi kesana dan tiba di puncak setelah hari mulai gelap, amat berbahaya."
"Hemm, akan tetapi mereka menantang! Kalau kita tidak kesana tentu dapat dianggap bahwa kita takut!"
"Tentu saja kita harus kesana menyambut tantangan mereka, Diajeng. Akan tetapi tidak sekarang, melainkan besok pagi. Kalau siang hari dan cuaca terang, kita tidak takut akan perangkap mereka."
Pada saat itu, pintu-pintu rumah terbuka dan Ki Lurah Selowono, diikuti kedua orang puterinya dan para warga dusun, berbondong-bondong keluar dengan wajah berseri. Mereka tadi mengintai dan melihat betapa dua orang raksasa yang mereka takuti itu benar-benar kalah dan melarikan diri setelah bertanding dengan hebat melawan suami isteri penolong mereka itu.
Para warga dusun kini berjongkok menghadap suami isteri itu, dan Ki Lurah Selowono memberi hormat dengan sembah dan tubuhnya membungkuk. "Denmas berdua telah menyelamatkan kami warga sedusun, untuk itu kami menghaturkan terima kasih dan tidak akan melupakan budi kebaikan Denmas dan Masayu!"
Tejomanik berkata dengan lantang agar terdengar semua warga dusun yang berjongkok di sekelilingnya. Lebih dari seratus orang berkumpul disitu dan suara mereka ramai membicarakan perkelahian dahsyat yang tadi terjadi. Ketika Tejomanik mengangkat kedua tangannya ke atas, semua orang berdiam untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan penolong mereka itu.
"Saudara-saudara warga dusun Krenting, dengarlah baik-baik. Dua orang penjahat itu, Dwi Kala biarpun melarikan diri namun mereka belum menyerah dan ancaman mereka terhadap pedusunan di daerah ini masih tetap ada. Mereka menantang kami berdua untuk datang ke tempat tinggal di puncak bukit. Kami hanya ingin memperingatkan kepada andika semua bahwa sikap mengalah dan menuruti permintaan orang-orang jahat seperti mereka adalah sikap yang salah. Orang-orang jahat seperti mereka itu, makin diberi hati akan semakin murka. Kami yakin, kalau andika sekalian mau bersatu dengan para warga dusun-dusun lain di daerah ini, lalu bersatu padu melakukan perlawanan, dua orang jahat itu pasti tidak akan mampu mengalahkan ratusan orang. Nah, mudah-mudahan ini menjadi pelajaran bagi Andika sekalian. Bersatu dan bangkitlah untuk melawan para penjahat yang mengganggu ketenteraman dusun-dusun di daerah ini. Kami berdua besok pagi akan mendaki puncak untuk memenuhi tantangan mereka karena sekarang hari telah menjelang sore. Kami tidak ingin menghadapi mereka dan berada disana di waktu malam gelap."
Setelah Tejomanik menghentikan ucapannya, para warga dusun kembali menjadi bising, membicarakan usul atau peringatan yang diucapkan penolong mereka tadi. Ki Lurah Selowono lalu berkata kepada Tejomanik dan Retno Susilo. "Mari, Denmas dan Masayu, kami persilakan andika berdua untuk beristirahat di rumah kami."
Tejomanik dan Retno Susilo tidak menolak dan mereka pun mengikuti ki lurah ke rumahnya. Para warga dusun bubaran untuk melakukan pekerjaan masing-masing dengan gembira karena dua orang suami isteri perkasa itu masih tinggal di dusun mereka, menjamin keselamatan mereka dari ancaman Dwi Kala.
Ki Lurah Selowono menjamu tamunya dengan pesta keluarga yang cukup meriah. Isteri ki lurah dan dua orang puterinya melayani. Malam itu Tejomanik dan Retno Susilo bersamadhi dalam kamar mereka untuk menghimpun kekuatan karena besok mereka akan menghadapi lawan berat yang mungkin kini sedang mengatur diri agar lebih kuat menghadapi mereka besok. Dengan adanya urusan ini, keduanya menahan diri dan tidak bicara tentang Bagus Sajiwo dan Ki Ageng Mahendra yang menjadi tujuan utama kedatangan mereka di daerah Pegunungan Ijen ini.
Sementara itu, diam-diam Ki Lurah Selowono mengumpulkan para pemuda dusun dan mengadakan hubungan dengan dusun-dusun lain di daerah itu. Pada keesokan harinya, setelah matahari muncul dari balik puncak sehingga seluruh permukaan bukit menjadi terang, Tejomanik dan Retno Susilo berangkat mendaki puncak. Mereka berdua diantar oleh para warga dusun yang dipimpin Ki Lurah Selowono, akan tetapi mereka tidak melihat para pemuda dusun diantara mereka yang mengantar sampai ke pintu gerbang dusun Krenting. Akan tetapi suami isteri itu tidak mau bertanya dan mengira bahwa mereka tentu pagi-pagi sekali sudah berangkat ke sawah ladang.
Setelah meninggalkan dusun Krenting dan mulai mendaki ke arah puncak, suami isteri itu bergerak dengan hati-hati sekali karena mereka menduga bahwa dua orang raksasa itu mungkin saja memasang perangkap. Dengan penuh kewaspadaan mereka mendaki, menggunakan aji meringankan tubuh sehingga mereka dapat mendaki dengan gesit dan ringan.
Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak saling bicara, tidak mau memecah perhatian. Kewaspadaan mereka membuat mereka peka sekali. Ada suara yang tidak wajar sedikit saja pasti akan dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Andaikata mereka diserang secara tiba-tiba, mereka tentu akan dapat menghindarkan diri karena seluruh panca indera mereka sudah siap dalam keadaan peka sekali. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Perjalanan mereka lancar tidak mengalami gangguan sama sekali. Matahari naik semakin tinggi dan akhirnya mereka tiba di puncak.
Di puncak bukit itu terdapat bagian yang datar dan di tengah tengah dataran padang rumput itu berdiri sebuah pondok kayu yang kokoh. Suami isteri itu merasa heran. Mereka tiba di puncak dan dalam pendakian itu mereka sama sekali tidak menemui rintangan apa pun! Mereka menjadi curiga. Apakah Dwi Kala diam-diam melarikan diri? Karena dalam pertandingan di dusun kemarin dua orang raksasa itu terdesak lalu memakai alasan menantang agar mereka mendapat kesempatan melarikan diri?
Tejomanik dan Retno Susilo berhenti melangkah dan berdiri di depan rumah itu, dalam jarak belasan tombak. Tejomanik lalu mengerahkan tenaga sakti dan berseru lantang sehingga suaranya menggema disekitar puncak. "Dwi Kala, keluarlah! Kami sudah datang memenuhi tantangan kalian!"
Hanya gema suara itu yang menjawab. Selagi Tejomanik hendak mengulang teriakannya, tiba-tiba mereka mendengar bunyi mendesis-desis dan tercium bau amis. Ketika mereka memandang kebawah, Retno Susilo menutup mulutnya agar jangan menjerit karena ia jijik sekali melihat puluhan ekor ular berlenggak-lenggok cepat menghampiri ke arah mereka! Bau yang amis itulah yang amat mengganggu Retno Susilo yang merasa jijik sehingga ia merasa napasnya sesak. Melihat ini Tejomanik berbisik.
"Jangan panik, kita basmi ular-ular itu. Pasti ini kiriman mereka!" Setelah berkata demikian, dia melolos pecut sakti Bajrakirana. Begitu menggerakkan pecutnya, terdengar suara ledakan bertubi-tubi. Ular yang terkena lecutan ujung cambuk itu putus menjadi dua. Akan tetapi tubuh ular itu tidak mengeluarkan darah, bahkan potongan tubuh itu tiba-tiba lenyap. Ular-ular yang lain terus merayap hendak menyerbu.
"Hemm, hanya ular jadi-jadian!" kata Retno Susilo melihat ini dan iapun mengamuk dengan pedangnya, membabati ular-ular itu sampai akhirnya pecut suaminya dan pedang di tangannya membabat habis ular-ular itu yang begitu terbabat lalu menghilang.
Baru saja puluhan ekor ular itu dapat dibasmi, terdengar bunyi bercicitan dan kelepak sayap. Ketika suami isteri itu memandang ke atas, mereka terkejut melihat puluhan ekor kelelawar hitam beterbangan menuju ke arah mereka, mengeluarkan bunyi dan mata mereka yang merah itu amat menyeramkan. Hemm, mana mungkin ada kelelawar muncul di siang hari, pikir Tejomanik.
"Hajar mereka, Diajeng. Inipun hanya kelelawar jadi-jadian. Kelelawar tidak dapat berkeliaran di siang hari!" Kembali suami isteri itu mengamuk, menggunakan senjata mereka untuk menyambut puluhan ekor kelelawar yang beterbangan menyambar-nyambar menyerang mereka itu. Dan setiap ada kelelawar terkena sabetan pecut atau bacokan pedang, binatang itu jatuh ke atas tanah dan hilang!
Setelah semua kelelawar itu musnah, Ketno Susilo berseru dengan suarg melengking nyaring. "Jahanam busuk Dwi Kala! Kalau memang berani keluarlah terima kematian, jangan menggunakan ilnlu setan yang tidak ada gunanya!"
Tiba-tiba dari dalam pondok terdengar suara tawa yang bergelombang, naik turun seperti suara tawa iblis sendiri. Suara itu mengandung getaran jang amat kuat sekali sehingga suami isteri itu merasakan guncangan pada jantung mereka!
Cepat mereka mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga batin untuk melindungi diri sehingga suara tawa itu lewat begitu saja tanpa mendatangkan akibat buruk pada mereka. Akan tetapi mereka harus mengakui bahwa serangan dengan suara tawa itu sungguh dahsyat dan orang yang mengeluarkan suara tawa seperti itu pasti memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam mereka merasa heran. Dwi Kala pernah bertanding dengan mereka dan agaknya dua orang itu tidak akan mampu mengeluarkan suara tawa sehebat itu! Mereka berdua makin waspada.
ketika suara tawa itu berhenti, daun pintu pondok terbuka dan muncullah Dwi Kala. Mereka menyeringai dan senjata golok gergaji sudah berada di tangan kanan mereka, sedangkan tangan kiri mereka memegang sebatang dupa biting yang kini mereka tancapkan di balik kain putih yang diikatkan di kepala mereka!
Tejomanik yang sudah mempunyai banyak pengalaman itu maklum apa artinja itu. Dua orang raksasa itu menggunakan ilmu sihir dan dupa membara yang mengeluarkan asap putih menghubungkan mereka berdua dengan sumber kekuatan setan, atau orang yang mampu mempergunakan kesaktian setan! Akan tetapi dia tidak takut dan berbisik kepada isterinya.