Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Bagus Sajiwo
Jilid 16
"DIAJENG, biarkan aku yang menghadapi Si Muka Hitam karena dia lebih tangguh."
Retno Susilo mengangguk dan iapun sudah memegang pedangnya, siap menyambut serangan lawan. Sedikitpun wanita gagah perkasa dan pemberani ini tidak merasa gentar walaupun ada hawa aneh menyeramkan, seperti kalau berada seorang diri di tanah kuburan, terbawa oleh munculnya dua orang raksasa itu. Apalagi bau dupa itu, mengingatkan ia akan "makanan" setan yang sering dihidangkan oleh mereka yang memujanya.
Kini dua orang Dwi Kala telah melangkah menghampiri mereka dan telah berhadapan dengan suami isteri itu dalam jarak dua tombak. Mereka saling pandang dengan sinar mata mencorong, seperti hendak menjajaki kemampuan masing-masing. "Bojleng-bojleng Iblis Laknat!" kata Kalajana. "Kalian berani datang juga untuk menyerahkan nyawa?"
"Ha-ha-ha! Adi Kalajana, yang ini bukan menyerahkan nyawa saja, akan tetapi juga badannya yang denok ayu!" kata Kaladhama sambil memandang kepada Retno Susilo.
Wanita ini bergidik dan marah sekali karena pandang mata raksasa muka hitam itu seolah menelanjangi dan menggerayangi seluruh tubuhnya! "Tidak perlu banyak cakap, Dwi Kala. Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!" kata Tejomanik yang sudah siap dengan pecut sakti Bajrakirana.
"Ha-ha-ha, Tejomanik! Engkau yang harus mati di tangan kami untuk menenangkan arwah paman-paman guru Ki Klabangkolo dan Resi Menak Koncar!" kata Kaladhama.
Tejomanik mengerutkan alisnya. "Hemm, jadi kalian ini murid-murid keponakan mendiang Ki Klabangkolo dan Resi Menak Koncar?"
"Juga untuk membalaskan kematian mendiang Kyai Sidhi Kawasa, sahabat baik guru dan para paman guru kami! Tejomanik atau Sutejo, kami tak pernah dapat melupakan dendam ini. Selama bertahun-tahun kami mempelajari ilmu untuk mencari Sutejo, si pemegang pecut sakti Bajrakirana! Paman Guru Klabangkolo tewas di tangan ayahmu, Ki Harjodento, dan Kyai Sidhi Kawasa tewas di tanganmu! Maka, hari ini engkau harus mati dan isterimu yang denok ayu ini akan menjadi milikku!" kata Kaladhama dan tiba-tiba saja dia dan adiknya, Kalajana sudah menerjang ke arah Tejomanik dengan menggunakan senjata mereka yang menggiriskan, yaitu golok besar yang punggungnya berbentuk gergaji.
Tejomanik cepat menggerakkan pecut sakti Bajrakirana yang meledak-ledak dan ujungnya mengeluarkan kilatan api, menangkis serangan dua orang lawan yang tangguh itu. Ketika mereka hendak menerjang lagi, Retno Susilo sudah maju menyerang ke arah Kalajana dengan pedangnya. Raksasa ini menangkis lalu balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Diam-diam Tejomanik dan Retno Susilo terkejut bukan main karena terasa oleh mereka betapa dua orang lawan itu lebih tangguh daripada kemarin!
Selain tenaga sakti mereka seolah bertambah kuat dan besar sekali, juga bau dupa yang mengepul dari kepala mereka itu benar-benar membikin pusing! Setelah lewat puluhan jurus, hanya berkat kehebatan pecut sakti Bajrakirana Saja mereka masih mampu bertahan. Dengan gulungan sinar pecutnya, Tejomanik bukan saja mampu melindungi dirinya, akan tetapi juga mampu membantu isterinya yang terdesak oleh Kalajana! Kemudian, ledakan-ledakan pecut sakti yang disertai api pada ujungnya memiliki tenaga yang mampu melawan bau dupa yang mengandung pengaruh kuat membuat mereka pusing itu.
Akan tetapi pertahanan yang kokoh kuat dari Tejomanik dengan pecut saktinya itu, tidak dapat berlangsung lama karena tiba-tiba saja datang angin besar seperti badai! Anehnya, dua orang Kala itu tidak terpengaruh, akan tetapi suami isteri itu diterpa angin yang membuat gerakan mereka menjadi tidak tetap. Bahkan angin itu mulai berputar dan terjadilah angin lesus (pusaran angin) yang menyerang suami isteri itu, padahal kedua raksasa itu sama sekali tidak terpengaruh!
Retno Susilo terhuyung. Tejomanik maklum bahwa mereka diserang ilmu sihir yang amat kuat. Dia mengerahkan seluruh tenaga batinnya dan memutar pecut sakti Bajrakirana untuk melindungi diri sendiri dan isterinya.
Mendadak, dalam angin lesus itu terdengar suara yang menyeramkan, seolah suara dari neraka, suara setan-setan. Ada suara tangis ada tawa, ada yang berteriak-teriak, memaki-maki, merintih, dan suara itu benar-benar mengguncangkan hati.
Retno Susilo hanya dapat memutar pedangnya melindungi dirinya dengan lemah saja. Untung pecut Bajrakirana masih menjadi gulungan sinar yang melindunginya, kalau tidak tentu ia sudah dapat ditangkap Kaladhama yang ingin sekali menangkap dan memeluknya. Kemudian, terdengar suara orang bicara. Suara itu tinggi kecil seperti suara wanita, melengking dan menggetar penuh wibawa.
"Tejomanik dan Retno Susilo, kalian tidak mampu menguasai diri dan harus menurut semua perintahku! Lepaskan senjata kalian! Tejomanik, Retno Susilo, lepaskan senjata kalian kataku! Hayo, lepaskan!!"
Pengaruh yang amat kuat mendorong suami isteri itu untuk melepaskan senjata mereka. Tejomanik mengerahkan tenaga dan dia berhasil mempertahankan senjata dan memutar pecut sakti Bajrakirana untuk melindungi dirinya dan isterinya.
Akan tetapi Retno Susilo tidak mampu lagi mempertahankan diri. Ia melepaskan pedang dari tangannya dan berdiri seperti patung yang kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa! Kaladhama girang sekali dan hendak menubruknya, akan tetapi gulungan sinar pecut Bajra-kirana menghalanginya. Dia menjadi marah dan tahu bahwa sebelum dia dan adiknya merobohkan Tejomanik, akan sukarlah dia dapat merangkul Retno Susilo! Maka dia lalu bersama adiknya menerjang dan mengeroyok Tejomanik yang pertahanannya agak goyah karena dia harus mempertahankan diri terhadap ilmu sihir yang mendatangkan angin lesus dan suara-suara mengerikan itu.
Terdengar pula suara tinggi melengking itu, menembus sampai ke telinga Retno Susilo. "Retno Susilo, bagus andika sudah menurut kepadaku, sekarang kesinilah, Retno Susilo. Andika tidak dapat menolak, tidak dapat menguasai kaki sendiri. Melangkahlah kesini, Retno Susilo!"
Bagaikan dalam mimpi, Retno Susilo tidak mampu mempertahankan kedua kakinya yang mulai bergerak, melangkah ke arah pondok! Melihat ini, Tejomanik menjadi khawatir sekali. "Diajeng Retno, jangan pergi kesana! Berhentilah!"
Agaknya suara suaminya ini membuat Retno Susilo meragu sehingga sejenak ia berhenti. Akan tetapi suara yang memanggil-manggil itu membuat kedua kakinya bergerak sendiri. Hatinya menahan, akan tetapi pertahanannya itu hanya membuat langkahnya perlahan-lahan dan pendek-pendek.
Tejomanik menjadi khawatir dan kebingungannya ini membuat pertahanannya kacau sehingga dia mulai terdesak hebat oleh pengeroyokan dua orang raksasa yang tangguh itu.
"Sambutlah Aji Kalabendu!!" Kala-dhama membentak dan tangan kirinya memukul dengan tangan terbuka. Angin dahsyat menyambar dan tahu bahwa dia diserang pukulan sakti, Tejomanik juga mendorongkan tangan kiri dengan menggunakan Aji Bromokendali untuk menyambut serangan lawan.
"Blarrr...!!" Dua hawa sakti bertemu dengan hebatnya dan tubuh Kaladhama terpental ke belakang.
"Aji Tatit Geni!" bentak Kalajana yang juga menyerang dengan tangan kirinya. Tampak kilatan api menyambar dari tangan kirinya.
Kembali Tejomanik menyambut dengan Bromokendali dan tubuh Kalajana juga terhuyung. Dalam adu tenaga sakti ini ternyata Tejomanik masih lebih kuat. Akan tetapi dua orang lawannya itu juga hebat. Serangan mereka yang tertangkis dan gagal itu tidak membuat mereka terluka dan kini mereka mengeroyok dengan senjata mereka.
Kalau dibuat perbandingan, Tejomanik memiliki tingkat kepandaian yang lebih kuat dibanding Kaladhama atau Kalajana. Akan tetapi dua orang raksasa itu maju bersama dan mereka dibantu oleh kekuatan sihir yang amat kuat, yang sampai sekarang penyerangnya belum memperlihatkan diri.
Semua itu ditambah lagi dengan kekhawatirannya melihat betapa Retno Susilo sudah terpengaruh sihir yang kuat dan kini isterinya itu menghampiri pondok perlahan-lahan. Bahkan bentakannya tadi pun tidak dapat menyadarkan Retno Susilo. Tentu saja dia menjadi gelisah dan hal ini semakin memperlemah pertahanannya.
Dia kini mengamuk dan menggunakan tangan kiri membantu pecutnya, mengirim pukulan Gelap Musti dan Bromo-kendali berganti-ganti. Aji pukulan yang dua ini hebatnya bukan main. Akan tetapi dua orang lawannya itu bukan hanya sakti, melainkan juga cerdik dan mereka tidak mau menyambut pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sakti amat kuat itu. Mereka kini bergerak cepat sekali, menyerang dengan golok gergaji di tangan kanan dan melancarkan serangan pukulan sakti dengan tangan kiri.
Karena perhatian Tejomanik terpecah, sebagian memperhatikan Retno Susilo yang kini sudah tiba dekat pondok, dia menjadi lengah.
"Wuuuttt... desss...!" Sebuah pukulan tangan kiri Kaladhama mengenai pundaknya. Pukulan itu menggunakan Aji Kala-bendu yang mengeluarkan hawa panas.
Tubuh Tejomanik terpelanting. Untung dia memiliki Aji Kekebalan Kawoco sehingga tidak terluka, namun karena terpelanting roboh pertahanannya menjadi semakin lemah. Kedua orang raksasa itu dengan girang melompat ke depan dan menggerakkan golok mereka menyerang.
"Singgg... trang-tranggg...!" Pecut sakti Bajrakirana dapat menangkis dan Tejomanik sudah melompat berdiri lagi. Akan tetapi tiba-tiba datang angin lesus dibarengi suara-suara yang mengerikan itu, membuat Tejomanik merasa kepalanya pusing dan jantungnya tergetar karena guncangan yang diakibatkan suara-suara setan itu.
Karena angin lesus itu agaknya tidak mampu membuat satria yang gagah perkasa itu terseret, agaknya si pelepas kekuatan sihir lalu mengubah sihirnya dan tiba-tiba datang asap hitam menggelapkan pandang mata Tejomanik. Cuaca menjadi gelap pekat dan suara itu semakin mengerikan. Dua orang lawannya menyerang dengan dahsyat dari kanan kiri. Tejomanik tidak dapat melihat mereka, hanya dapat menangkap gerakan penyerangnya itu dengan pendengarannya yang juga dikacau oleh suara-suara itu.
Dia lalu memutar pecut saktinya. Pecut Bajrakirana menjadi gulungan sinar yang melindungi tubuhnya sehingga semua serangan kedua golok gergaji itu tertangkis oleh sinar pecut. Bagaimanapun keadaan Tejomanik gawat sekali. Apalagi Retno Susilo yang sudah sampai di depan pondok, maju perlahan sekali seperti orang linglung!
Tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling. Suara itu merdu sekali, melengking-lengking dengan nada yang aneh, mengalunkan lagu yang aneh pula. Akan tetapi lengkingan suara seruling itu membawa getaran yang amat lembut dan asap hitam itu segera menghilang!
Semua suara setan itu pun berhenti sehingga Tejomanik dapat melihat dua orang lawan-nya dengan baik. Kepalanya tidak terasa pusing lagi. Yang membuat hatinya girang, Tejomanik melihat betapa isterinya, yang tadi telah tiba di depan pondok, tiba-tiba berseru keras dan melompat ke tempat perkelahian, mengambil pedangnya yang tadi ia lepaskan lalu menerjang lawan, membantunya menghadapi Dwi Kala!
"Uh-uh-uh... siapa berani memunahkan ajianku...?" terdengar suara serak dan seorang kakek berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun muncul dari pintu pondok.
Kakek itu bertubuh kurus kering dan bongkok, pakaiannya dari kain hitam yang dilibat-libatkan di tubuhnya yang kurus, mukanya tampak tua sekali dan kurus seperti tengkorak terbungkus kulit, matanya mencorong seperti mata kucing di tempat gelap dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana.
"Kakek iblis, ilmu setanmu tidak akan dapat mengalahkan manusia baik-baik yang dilindungi Kekuasaan Gusti Allah!" terdengar suara lembut namun berwibawa.
Kakek tua renta itu memandang dan tahu-tahu disitu telah muncul dua orang yang menentangnya dengan pandang mata tajam. Yang seorang adalah pria berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun, wajahnya tampan matanya lembut, wajah yang cerah dan selalu tersenyum. Tubuhnya sedang saja namun pembawaannya menunjukkan bahwa dia memiliki kekuatan tersembunyi yang amat kuat. Adapun orang kedua adalah seorang wanita, sekitar tiga puluh satu tahun usianya. Cantik dan gerak-geriknya juga lembut namun sinar matanya dapat mencorong galak. Wajahnya bulat dengan dagu runcing, matanya seperti bintang, hidung mancung dan mulutnya memiliki sepasang bibir yang menggairahkan.
Mereka adalah sepasang suami isteri. Yang pria bernama Parmadi, seorang satria dan pendekar ternama yang juga banyak berjasa terhadap Mataram, akan tetapi menolak pemberian kedudukan oleh Sultan Agung dan kini tinggal di Pasuruhan.
Dia pendekar yang terkenal dengan julukan Seruling Gading karena itulah senjatanya yang amat ampuh. Adapun wanita itu, isterinya, bernama Muryani, juga seorang wanita gagah perkasa yang dulu menjadi murid Nyi Rukmo Petak. Bersama suaminya, ia membantu bala tentara Mataram ketika berperang melawan Kumpeni Belanda. Suami isteri ini sudah sepuluh tahun menikah, namun mereka belum dikaruniai anak. Inilah yang membuat mereka tidak merasa betah tinggal di rumah dan mereka berdua banyak merantau dan dimanapun mereka berada, mereka selalu melaksanakan tugas sebagai pendekar. Mereka menegakkan keadilan, membela kebenaran yang berada di pihak tertindas, dan menentang semua pelaku-pelaku kejahatan.
Tadi Parmadi meniup seruling gadingnya meniupkan nada-nada dari Aji Sunyatmaka lewat suara suling. Aji Sunyat-maka (Jiwa Bebas) merupakan keadaan jiwa yang bebas dan menyerah kepada Gusti Allah sehingga kekuasaanNya yang membimbing dan melindungi. Kalau kekuasaan ini melindungi seseorang, segala macam ilmu yang datangnya dari Kuasa Kegelapan (Setan) akan mundur ketakutan. Maka ketika dia meniup sulingnya, semua kekuatan sihir yang dilepas kakek tua renta itu yang sejak tadi tinggal di dalam pondok, menjadi buyar.
Siapakah kakek tinggi kurus dan bongkok itu? Dia bernama Bhagawan Kolasrenggi, seorang pertapa yang berasal dari Blambangan dan tinggal di Bali, akan tetapi yang kini pindah dan kembali ke Blambangan, bertapa di sebuah bukit di Semenanjung Blambangan.
Dia adalah kakak seperguruan dari Wiku Menak Jelangger dan Wiku Menak Koncar. Watak kakek ini sama sekali berbeda dengan watak Wiku Menak Jelangger yang baik budi, dan bahkan lebih tersesat dibandingkan mendiang Wiku Menak Koncar yang menyeleweng dari jalan kebenaran.
Selama tinggal puluhan tahun di Bali, dia telah memperdalam ilmu-ilmunya, terutama sekali ilmu sihir, tenung, santet dan sebagainya. Sang bhagawan ini pindah ke Blambangan membawa dua orang muridnya dari Bali, yaitu Dwi Kala, yang selalu melayani dan mencukupi segala kebutuhannya.
Dwi Kala ini juga merupakan orang-orang sesat dan terkenal sebagai pelaku-pelaku kejahatan di Bali, maka mereka dan guru mereka dimusuhi para pendekar di Bali. Bahkan Raja Klungkung di Bali juga mengerahkan pasukannya yang bersama para pendekar lalu memusuhi Bhagawan Kalasrenggi dan Dwi Kala sehingga akhirnya mereka bertiga melarikan diri menyebrangi Selat Bali dan kembali ke Blambangan.
Setelah tiba di Blambangan, Bhagawan,. Kalasrenggi mendengar akan kematian adik seperguruannya, yaitu Wiku Menak Koncar dan juga adik seperguruannya yang lain, yaitu Ki Klabangkolo. Marahlah dia dan mendengar Kyai Sidhi Kawasa yang dulu menjadi sahabatnya juga tewas, dia lalu menganggap Sutejo atau Tejomanik dan para satria Mataram sebagai musuh besarnya.
Itulah sebabnya mengapa Kaladhama dan Kalajana, ketika merasa tidak mampu mengalahkan Tejomanik dan Retno Susilo, lalu menantang suami isteri itu ke pondok mereka dengan maksud agar guru mereka membantu mereka merobohkan satria yang dianggap musuh besar mereka itu.
Akan tetapi setelah dua orang Dwi Kala dan guru mereka sudah hampir berhasil merobohkan Tejomanik dan menawan Retno Susilo, tanpa mereka sangka-sangka, muncul suami isteri lain yang juga amat digdaya, bahkan yang pria dengan tiupan seruling gadingnya mampu membuyarkan semua pengaruh ilmu sihir Bhagawan Kalasrenggi!
Bhagawan Kalasrenggi merasa penasaran sekali dan ia keluar dari pintu pondok untuk melihat siapa orangnya yang telah membuyarkan ilmu sihirnya. Dia hampir tidak percaya kalau yang mampu membuyarkan ilmu hitam yang dipelajari selama berpuluh tahun itu hanyalah seorang laki-laki yang masih muda, baru tiga puluh tahun lebih usianya!
"Babo-babo, orang muda sombong. Ubun-ubunmu masih bau kencur, engkau berani menantang aku? Sambut ini, baru engkau mengenal siapa Bhagawan Kala srenggi!!" Kakek itu menodongkan tongkatnya dan dari ujung tongkat itu keluar asap putih bergulung-gulung dan asap itu membentuk wujud yang mengerikan.
Seorang mahluk seperti setan, bertaring, matanya melotot besar, lidahnya terjulur keluar dan dari mulutnya tampak api bernyala-nyala. Mahluk itu lalu menyemburkan bola-bola api ke arah Parmadi dan Muryani. Maklum akan kedahsyatan ilmu setan ini, Muryani cepat menyelinap ke belakang tubuh suaminya.
Parmadi tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan segera meniup dan memainkan sulingnya. Kembali terdengar alunan nada aneh keluar dari seruling gading itu, nadanya mengalun syahdu, mendatangkan rasa tenang di hati para pendengarnya. Bola-bola api yang disemburkan jejadian itu menyambar, akan tetapi anehnya, sebelum mengenai tubuh Parmadi, dalam jarak sejengkal, bola-bola api itu rontok dan jatuh ke atas tanah!
Melihat serangannya gagal, Bhagawan Kalasrenggi menyimpan kembali mahluk itu dan kini dia menancapkan tongkatnya di depan tubuhnya, lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Parmadi. Melihat serangan yang mengandung hawa pukulan tenaga sakti yang kuat itu, Parmadi menyambutnya dengan dorongan kedua tangan pula setelah menyelipkan seruling gading di pinggangnya.
Muryani tadi tidak dapat membantu ketika suaminya bertanding menghadapi sihir kakek itu. Akan tetapi begitu melihat kakek itu menyerang dengan pukulan jarak jauh, iapun membantu suaminya ikut menyambut dengan mendorongkan kedua tangan dan mengerahkan Aji Bromo Latu yang mengandung hawa panas.
"Wuuutt... blarrr...!" Tenaga gabungan suami isteri itu bertemu dengan tenaga sakti Bhagawan Kalasrenggi. Demikian dahsyat pertemuan tenaga itu sehingga tanah di sekitarnya tergetar. Suami isteri itu mundur tiga langkah, akan tetapi kakek tua renta itu terhuyung ke belakang. Biarpun kakek sakti mandraguna itu tidak terluka, namun dia tahu bahwa mengadu tenaga sakti melawan dua orang itu, dia kalah kuat.
Pada saat itu, terdengar sorak sorai dan ratusan orang warga pedusunan daerah itu berlari-larian mendaki puncak bukit. Melihat ini, gentarlah hati Bhagawan Kalasrenggi. Dia lalu mengacungkan tongkat yang sudah dia cabut dari atas tanah, membaca mantra dan menggoyang-goyangkan tongkat itu. Angin besar datang bertiup dan muncul asap hitam yang amat tebal, membuat cuaca menjadi gelap.
Kaladhama dan Kalajana yang sudah terdesak sekali melawan Tejomanik dan Retno Susilo, menjadi terkejut dan panik melihat munculnya ratusan orang yang mengacung-acungkan senjata golok, linggis, cangkul dan lain-lain. Maka, begitu melihat asap hitam, mereka maklum bahwa guru mereka mengajak mereka melarikan diri. Cepat mereka melompat kebelakang dan menghilang dalam asap hitam, mengikuti guru mereka.
Terdengar suling mendayu-dayu ketika Parmadi meniup serulingnya dan perlahan-lahan asap hitam dan angin ribut menghilang. Akan tetapi tiga orang itu telah lenyap dari situ.
Ratusan orang warga pedusunan itu tercengang dan berhenti ketika melihat asap hitam. Akan tetapi setelah asap hitam menghilang, mereka bersorak lagi dan berlari-larian menghampiri. Mereka langsung menyerbu ke dalam pondok dan berhasil menemukan enam orang gadis yang diculik oleh Dwi Kala, juga menemukan uang yang juga secara terpaksa ! karena takut diserahkan oleh warga dusun. Mereka menyelamatkan semua itu, kemudian ramai-ramai membakar pondok.
Sementara itu dua pasang suami isteri yang sudah saling mengenal itu bercakap-cakap. Mereka berempat pernah sama-sama membantu pasukan Mataram ketika Mataram menyerang Kumpeni Belanda di Batavia.
"Wah, berbahaya sekali Bhagawan Kalasrenggi itu! Dia sakti mandraguna, sayang sekali kesaktiannya dipergunakan untuk berbuat jahat!" kata Parmadi sambil menghela napas panjang.
"Mungkin yang jahat itu dua orang muridnya, Dwi Kala itu, dan dia hanya membantu murid-muridnya. Sungguh mengherankan, bagaimana ada orang-orang sesat yang begitu sakti berada disini? Adi Parmadi, untung andika berdua muncul, kalau tidak, kami berdua sudah terancam bahaya besar tadi. Terima kasih!" kata Tejomanik.
"Ah, Kakangmas berdua tentu akan melakukan hal yang sama sekiranya melihat kami berdua diancam bahaya! Kita patut berterima kasih kepada Gusti Allah sehingga mampu mengusir tiga orang manusia iblis tadi." kata Parmadi.
Retno Susilo sudah saling rangkul dengan Muryani. Mereka adalah kakak beradik tunggal guru walaupun mereka baru saling bertemu satu kali ketika sama-sama membantu pasukan Mataram. Dua orang wanita ini adalah murid mendiang Nyi Rukmo Petak.
"Muryani, bagaimana engkau dan suamimu dapat muncul pada saat yang sangat tepat? Kalian hendak pergi kemana?" tanya Retno Susilo.
"Mbakayu Retno Susilo, kami berdua sedang melakukan perjalanan merantau dan di lereng bukit tadi kami melihat ratusan orang berbondong-bondong mendaki puncak. Karena ingin tahu apa yang terjadi, kami bertanya dan mereka mengatakan bahwa mereka sedang hendak menyerang dua orang manusia iblis berwujud raksasa di puncak. Mendengar keterangan mereka bahwa Kakangmas Tejomanik dan Mbakayu Retno Susilo sudah lebih dulu naik ke puncak untuk membasmi para penjahat, kami berdua segera menyusul kesini." kata Muryani.
Mereka berempat bercakap-cakap dengan gembira karena tidak disangka-sangka dapat saling bertemu dan bekerja sama menghadapi Dwi Kala dan guru mereka yang sakti mandraguna, tidak memperdulikan para warga dusun yang mengobrak-abrik isi pondok bahkan lalu membakar pondok itu.
Setelah para warga pedusunan disekitar bukit itu melampiaskan kemarahan mereka dan menyelamatkan enam orang gadis, kini mereka, dipimpin Ki Lurah Selowono, lalu berlutut menghadap ke arah empat orang penolong mereka. Empat orang kepala dusun maju menghampiri dua pasang suami isteri pendekar itu dan Ki Lurah Selowono mewakili mereka memberi hormat dan berkata.
"Kami seluruh keluarga warga empat buah dusun menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Den mas berempat sehingga kami dapat membebaskan enam orang gadis yang diculik para penjahat tadi. Kami sudah mengenal nama Denmas Tejomanik dan Masayu Retno Susilo, akan tetapi kami ingin mengetahui juga nama andika berdua yang baru datang dan yang menjadi penolong kami pula."
Parmadi tersenyum. "Paman, kami hanya orang-orang biasa, sama seperti andika sekalian. Namaku Parmadi dan ini isteriku bernama Muryani."
Tejomanik lalu berkata dengan suara lantang. "Para warga pedusunan daerah ini, dengarkan baik-baik! Kalau dusun-dusun andika sekalian diganggu orang-orang jahat, lakukanlah seperti yang kalian lakukan sekarang ini. Kalau kalian bersatu padu menentang penjahat, dengan ratusan orang seperti ini, kami yakin tidak akan ada penjahat berani mengganggu kalian!"
"Terima kasih, Denmas Tejomanik. Kami menyadari akan kebenaran itu. Sekarang, kami mohon sudilah Denmas ber-empat memberi kesempatan kepada kami untuk menyambut Denmas berempat sebagai tamu kehormatan dan untuk menyampaikan rasa terima kasih kami." kata Ki Lurah Selowono yang serempak diikuti oleh tiga orang lurah lainnya.
Parmadi mengerutkan alisnya dan hendak menolak. Apa yang mereka berempat lakukan adalah hal wajar saja dan sudah menjadi kewajiban mereka. Tidak perlu disanjung dan dipuji. Akan tetapi Tejomanik memandang kepadanya dan berkata, "Adimas Parmadi, kami perlu sekali bicara dengan mereka untuk bertanya tentang putera kami. Maka, marilah kita terima undangan mereka."
Parmadi mengangguk dan tersenyum. Mereka menerima undangan itu bukan karena ingin disanjung, melainkan karena ada hal yang perlu sekali ditanyakan oleh Ki Tejomanik. Semua orang kini beramai-ramai turun dari puncak, dimana pondok itu masih terbakar. Tiga orang lurah dari dusun lain ikut pula ke rumah Ki Lurah Selowono untuk menyambut empat orang tamu kehormatan mereka itu.
Setelah dijamu dalam pesta makan bersama dengan empat orang lurah dan isteri mereka, dua pasang suami isteri itu lalu mengajak para lurah itu bercakap-cakap dan dalam kesempatan ini Tejomanik mulai dengan penyelidikannya.
"Paman Lurah Selowono, aku ingin sekali mendengar keterangan andika sekalian tentang seorang pertapa yang bertapa di Pegunungan Ijen ini. Namanya Ki Ageng Mahendra. Apakah andika sekalian mengenal nama itu dan mengetahui dimana tempat padepokannya?"
Mendengar pertanyaan itu, empat orang kepala dusun itu saling pandang dan Ki Lurah Selowono menghela napas panjang. "Justeru inilah yang membuat kami semua merasa berduka dan tidak berdaya. Kalau saja ada Ki Ageng Mahendra, tak mungkin ada manusia-manusia iblis datang mengganggu dan mengacau dusun-dusun kami."
"Andika mengenal beliau, Paman? Dimana padepokannya?" Tejomanik didahului Retno Susilo yang sudah bertanya dengan suara mendesak.
"Tentu saja kami seluruh warga pedusunan di daerah ini mengenal Ki Ageng Mahendra. Akan tetapi sayang ... beliau telah wafat sekitar tiga empat tahun yang lalu."
Tejomanik dan isternya saling pandang dan merasa kecewa, lalu Tejomanik bertanya, "Paman, apakah andika mengenal muridnya yang bernama Bagus Sajiwo?"
Empat orang lurah itu mengangguk-angguk. Ki Lurah Selowono cepat menjawab, "Tentu saja kami mengenal Den Bagus dengan baik!"
"Ah, bagaimana keadaannya, Paman? Apakah Bagus Sajiwo sehat-sehat saja?" Retno Susilo bertanya, wajahnya berseri, matanya bersinar.
"Hampir empat tahun yang lalu Den Bagus Sajiwo dalam keadaan baik-baik saja dan sehat, Masayu. Akan tetapi setelah Ki Ageng Mahendra wafat empat tahun yang lalu, dia pergi meninggalkan padepokan yang telah dibakarnya untuk memperabukan jenazah Ki Ageng Mahendra."
"Pergi? Kemana, Paman? Dimana dia sekarang?" Retno Susilo mengejar.
Ki Selowono menggeleng kepalanya. "Kami semua tidak tahu, Masayu. Ketika Ki Ageng Mahendra wafat, kami datang ke padepokannya untuk melayat. Akan tetapi Den Bagus Sajiwo tidak memberitahu kepada kami kemana dia pergi. Kami semua amat kehilangan Ki Ageng Mahendra, juga kehilangan Den Bagus Sajiwo."
"Ohhh...!" Tak dapat ditahannya lagi, Retno Susilo menutupi mukanya dengan kedua tangan, akan tetapi semua orang mengetahui bahwa ia menangis. Biarpun ia menahan suara tangisnya, namun ia terisak dan air mata menetes keluar dari celah-celah jari tangannya. Muryani segera menghampiri dan merangkul kakak seperguruannya itu. Tejomanik menghibur dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Diajeng, mendengar bahwa dia sehat selamat saja, kita sudah bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah. Memang agaknya belum tiba saatnya kita berjumpa dengan dia, akan tetapi percayalah, Gusti Allah Maha Pengasih yang telah melindungi anak kita dengan selamat, pasti akan mempertemukan kita dengannya pada saatnya."
"Kakangmas Tejomanik berkata benar, Mbakayu. Saya juga merasa yakin bahwa Mbakayu kelak akan bertemu kembali dengan Bagus Sajiwo."
Mendengar ucapan dua orang satria itu, Retno Susilo merasa terhibur dan ia menghentikan tangisnya, mengusap air mata dari pipinya. Sementara itu, empat orang kepala dusun mendengar percakapan itu, tercengang dan saling pandang.
"Waduh, kiranya Denmas dan Masayu ini adalah ayah dan ibu dari Den Bagus Sajiwo? Sungguh kami merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Denmas sekalian." kata Ki Lurah Selowono.
Dua pasang suami isteri itu tinggal di rumah kepala dusun Krenting malam itu dan mereka mendengarkan para kepala dusun itu bercerita Ki Ageng Mahendra dan Bagus Sajiwo. Terutama sekali Tejomanik dan Retno Susilo, ingin menguras semua yang diketahui orang-orang itu tentang diri Bagus Sajiwo.
Mereka merasa senang dan bangga mendengar bahwa putera mereka telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan yang diakui oleh semua kepala dusun sebagai seorang pemuda yang ramah, rendah hati, dan baik budi, seringkali menolong para penduduk dusun dengan mengobati mereka yang sakit. Juga beberapa kali putera mereka itu menentang dan mengusir orang-orang jahat dari dalam dusun.
Pada keesokan harinya, Tejomanik dan Retno Susilo berdua naik ke puncak bukit yang pernah menjadi tempat tinggal Bagus Sajiwo dan Ki Ageng Mahendra, sedangkan Parmadi dan Muryani melanjutkan perantauan mereka.
Biarpun di puncak bukit itu kini telah sunyi dan pondok bekas padepokan Ki Ageng Mahendra telah lenyap dan hanya tinggal bekas-bekas puing sedikit saja karena menurut cerita para kepala dusun, puing-puing rumah itu bersama abu jenazah terbawa angin lesus dan menjadi hujan abu di permukaan bukit, namun hati kedua orang tua itu berdebar dan rasa haru menyelinapi perasaan mereka ketika mereka berdiri di bekas pondok yang terbakar itu dan memandang ke seliling. Di sinilah putera mereka, Bagus Sajiwo, tinggal selama sepuluh tahun! Sejak anak berusia enam tahun sampai menjadi seorang pemuda remaja berusia enam belas tahun! Seakan terasa oleh mereka disitu, seolah terdengar suara anak mereka diantara bisikan angin di dedaunan.
Tiba-tiba Tejomanik menyentuh pundak isterinya. Retno Susilo memandang kepada suaminya dengan kedua mata basah dan melihat suaminya menuding ke kiri. Ia memandang dan melihat dua buah batu besar yang atasnya datar. Mereka tanpa bicara, segera menghampiri. Dua bongkah batu itu yang satu lebih besar dafipada yang lain, permukaannya bersih dan licin. Tanpa bicara keduanya sudah dapat menduga bahwa tentu guru dan murid itu suka duduk di atas batu-batu ini yang memang diduduki untuk bersamadhi.
Langsung saja Retno Susilo mendekati batu yang lebih kecil dan meraba-raba, seolah membelai tubuh puteranya. Kemudian ia duduk bersila di atas batu itu. Tejomanik juga duduk di atas batu yang lebih besar, bersila dan suami isteri itu duduk bersamadhi. Setelah beberapa lamanya bersamadhi dengan khusuk, mereka merasa betapa tenang dan tenteram hati mereka, penuh kedamaian dan lenyaplah segala perasaan haru dan kecewa. Mereka membuka mata dan memandang ke sekeliling. "Agaknya disini empat tahun yang lalu menjadi sebuah taman yang indah." kata Retno Susilo.
Suaminya mengangguk. "Dan aku dapat membayangkan betapa Ki Ageng Mahendra memberi pelajaran dan wejangan kepada anak kita di atas batu ini. Lihat kesana, pemandangan dari tempat kita duduk ini begitu indah. Tempat ini memang cocok sekali untuk menjadi tempat padepokan seorang pertapa."
"Siapakah sebetulnya Ki Ageng Mahendra yang menjadi guru anak kita itu? Engkau belum menceritakan dengan jelas."
"Aku sendiri juga tidak tahu dengan jelas. Mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik hanya pernah mengatakan bahwa beliau mempunyai seorang adik seperguruan bernama Ki Ageng Mahendra yang sejak muda hanya bertapa dari gunung ke gunung, berbeda dengan Eyang Resi Limut Manik yang membangun perguruan Jatikusuma. Dan kebetulan sekali, guruku pertama, Bhagawan Sidik Paningal, pernah berguru kepada Resi Limut Manik Dengan demikian maka Resi Limut Manik adalah eyang guruku dan Ki Ageng Mahendra masih terhitung eyang guruku pula. Maka, kalau Bagus Sajiwo menceritakan siapa ayahnya kepada Ki Ageng Mahendra, tentu beliau mengetahui bahwa Bagus Sajiwo masih buyut muridnya sendiri!"
Retno Susilo menghela napas panjang, merasa lega bahwa puteranya menjadi murid seorang yang amat sakti mandraguna. "Yang membuat aku merasa heran, kenapa Bagus tidak segera pulang ke Gunung Kawi setelah gurunya wafat? Kemana saja dia selama hampir empat tahun ini? Ah, dia tentu kini sudah berusia hampir dua puluh tahun!"
"Karena itulah, kita harus segera pulang ke Gunung Kawi, Diajeng. Mungkin saja sewaktu-waktu dia akan pulang dan bagaimana kalau dia mendapatkan rumah kosong?"
"Engkau benar, Kakangmas. Mari kita segera pulang. Siapa tahu dia sekarang sudah berada di rumah menanti kita!"
Suami isteri itu lalu turun dari bukit dan melakukan perjalanan ke barat, menuju pulang ke Gunung Kawi dengan hati penuh harapan untuk segera berjumpa dengan putera mereka.
Bagus Sajiwo duduk bersila di atas batu yang datar dan permukaannya halus. Kedua tangannya berada di pangkuan, tubuhnya tegak lurus dan kedua matanya terpejam. Tak jauh dari situ, terpisah sekitar sepuluh meter, Maya Dewi juga duduk bersila di atas sebuah batu lain, dengan sikap yang sama dengan Bagus Sajiwo. Sinar matahari menerobos memasuki ruangan dalam perut bukit karang itu melalui celah-celah antara batu-batu karang di atas.
Sudah kurang lebih tiga tahun lamanya mereka berdua berada di dalam perut bukit karang itu, dalam ruangan yang luas. Mereka hidup seolah mengasingkan diri disitu untuk mempelajari isi kitab Aji Sari Bantala (Sari Bumi). Selain kitab itu memuat keterangan pelajaran dengan huruf-huruf kuno sehingga agak sukar dimengerti walaupun Bagus Sajiwo pernah mempelajari tulisan kuno dari Ki Ageng Mahendra, ditambah lagi dengan sulitnya mempelajari ilmu itu, maka setelah lewat tiga tahun baru mereka kini melatih bagian terakhir isi kitab itu.
Isi kitab itu terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama adalah cara berlatih pernapasan dan penguasaan atas tenaga sakti dahsyat yang berada dalam tubuh mereka berkat makan "Jamur Dwipa Suddhi". Untuk melatih tingkat pertama ini saja mereka membutuhkan waktu setahun. Setelah melatih dengan tekun selama setahun, barulah mereka berhasil menguasai hawa yang dahsyat itu sehingga dapat dipergunakan sekehendak hati mereka.
Kemudian barulah mereka mempelajari dan melatih pelajaran tingkat ke dua. Ini merupakan gerakan ilmu silat yang lambat namun yang bergerak dengan sendirinya, tidak direka-reka dan tidak dibuat atau disengaja. Pada mulanya gerakan mereka tidak karuan bahkan liar dan sifatnya merusak sehingga dinding batu karang disitu banyak yang pecah berantakan terkena tamparan tangan mereka. Akan tetapi setelah tekun berlatih selama dua tahun, barulah gerakan-gerakan mereka teratur dan indah seperti menari-nari, dan begitu lembut sehingga tampak tanpa tenaga.
Beberapa saat setelah Bagus Sajiwo dan Maya Dewi duduk bersila, mulailah ada tenaga menggetarkan seluruh jasmani mereka, dari ubun-ubun kepala sampai ke jari kaki dan perlahan-lahan getaran itu menggerakkan tubuh mereka.
Keduanya bangkit atau dibangkitkan oleh getaran tenaga itu dan mulailah mereka bersilat, menggerakkan kaki tangan seperti orang menari. Dalam setiap gerakan, mereka merasa seolah-olah tangan atau kaki yang bergerak itu berada dalam air, terasa nyaman dan gerakan itu menjadi gerakan sambung menyambung tiada hentinya. Pikiran mereka terasa tenang tapi terang penuh kesadaran, bukan seperti mimpi atau tidak sadar. Namun hati akal pikiran mereka tidak mengendalikan gerakan tubuh mereka.
Ada sesuatu yang lebih hebat, lebih dahsyat, lebih kuat dari hati akal pikiran yang menggerakkan seluruh tubuh. Hati akal pikiran hanya menyerah, hanyut, tanpa kehendak, tanpa pamrih. Untuk melatih ini, sungguh tidak mudah dan kini Bagus Sajiwo dan Maya Dewi sudah berhasil dengan latihan mereka. Itulah Aji Inti Bumi seperti yang diterangkan dalam kitab kuno itu.
Setelah bergerak sendiri-sendiri, membiarkan diri hanyut dalam gerakan otomatis itu, hati akal pikiran hanya menjadi saksi, maka keduanya lalu saling menghampiri dan mulailah mereka saling menyerang dalam latihan. Kini hati akal pikiran mereka bekerja, mengarahkan gerakan otomatis itu dalam pembelaan diri, kalau yang satu menyerang, yang lain mempertahankan diri. Sampai berjam-jam mereka bergerak-gerak, indah seperti dua orang penari ulung melakukan tari yuda (perang). Akhirnya mereka menghentikan gerakan itu, dan duduk bersila kembali mengatur pernapasan.
"Bagus, bukankah kita sudah selesai mempelajari Kitab Sari Bantala itu?" terdengar Maya Dewi bertanya, suaranya kini lembut dan tenang. Wanita ini sudah berusia sekitar tiga puluh lima tahun, akan tetapi sungguh luar biasa, ia masih tampak seorang gadis berusia dua-puluh tahun saja! Kecantikannya wajar, tanpa ditambah pemutih atau pemerah muka, akan tetapi kulit mukanya begitu halus, putih kemerahan dan bibirnya merah basah dan segar tanda kesehatan yang sempurna.
Rambutnya yang hitam panjang itu digelung secara sederhana, seperti gelung perawan desa, namun kesederhanaan itu bahkan membuat kejelitaannya semakin menonjol. Ia pun mengenakan pakaian model wanita dusun, yang dibelinya di pedusunan di tepi pantai ketika ia mendapat giliran keluar dari ruangan perut bukit karang untuk mencari segala kebutuhan hidup mereka.
Bagus Sajiwo kini sudah tampak lebih dewasa. Usianya sudah hampir dua puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap, jantan dan rambutnya yang hitam itu agak berombak, dahinya lebar, alisnya tebal hitam. Hidungnya mancung dan bibirnya selalu mengembangkan senyum, matanya lebar dan tajam lembut, penuh pengertian namun terkadang mencorong seperti hendak menjenguk ke dalam hati orang yang dipandangnya. Belahan di tengah dagu membuat dia tampak gagah berwibawa. Pemuda ini juga mengenakan pakaian seperti seorang pemuda dusun yang bersahaja.
Kecuali kecantikan dan ketampanan, sikap halus lembut dan tutur sapanya yang tertatur, tidak ada petunjuk lain yang menyatakan bahwa mereka itu bukan orang-orang dusun biasa. Apalagi sama sekali mereka tidak mempunyai ciri-ciri dua orang yang menguasai kepandaian tinggi membuat mereka menjadi sakti mandraguna.
"Benar, Dewi. Akan tetapi setelah melatih diri dengan Aji Sari Bantala, hanya engkau dan aku yang tahu karena mengalami sendiri bahwa yang terlatih adalah jiwa kita, bukan raga kita. Raga kita hanya mengikuti jiwa, walaupun ke-duanya itu kait-mengait dan saling menunjang."
"Coba jelaskan lagi, Bagus!"
"Dewi, asal engkau terus-menerus teringat kepada Gusti Allah dengan penyerahan diri sebulatnya, engkau tentu akan mengerti sendiri."
"Aku yakin akan hal itu seperti telah diajarkan dalam Aji Sari Bantala, Bagus. Akan tetapi, yang menyerat kita ke jalan penyelewengan adalah pikiran, karena itu aku membutuhkan penerangan darimu agar pikiranku mengerti benar karena pengertian itu menjadi sarana untuk menentukan langkah hidup, bukan?"
"Baiklah, Dewi. Seperti kita ketahui dari ajaran itu, dalam latihan kita mengalami pembersihan rohani dan jasmani. Akan tetapi, pembersihan dalam bentuk apapun juga, tetap dibayangi bahaya pengotoran kembali. Kalau yang dibersihkan setiap kali hanya setakar, lalu kita kotori sendiri dua takar, lalu kapan bersihnya? Pengotoran ini melalui hati akal pikiran yang membuahkan perbuatan. Apa artinya iman kepada Gusti Allah kalau tidak disertai perbuatan yang nyata, yang keluar dari hati pikiran? Iman itu percaya dan percaya yang benar itu berarti penyerahan diri sebulatnya. Menyerah berarti taat! Jadi, kita menyerahkan diri kepada kekuasaan Gusti Allah harus diikuti dengan ketaatan akan segala kehendakNya. Gusti Allah itu Maha baik, walaupun kita yang sudah menyerah kepadaNya juga harus selalu berbuat baik, menegakkan keadilan, membela kebenaran dan menjauhi perbuatan jahat. Kalau kita melangkah dalam hidup ini, melakukan segala hal menggunakan hati akal pikiran yang menuju kebaikan, sudah pasti kekuasaanNya akan selalu menuntun kita."
Maya Dewi mengangguk-angguk. "Bagus, apakah ini berarti bahwa kita harus mematikan nafsu-nafsu kita karena nafsu yang menyeret kita ke dalam kesesatan?"
"Dewi, banyak orang berpendapat demikian dan aku yakin bahwa pendapat seperti itu sebenarnya keliru. Manusia hidup, ketika dilahirkan sudah disertai nafsu-nafsunya yang merupakan karunia Gusti Allah. Bagaimana mungkin dimatikan? Nafsu adalah alat, peserta, bahkan pelayan kita. Untuk dapat hidup di dunia, mencukupi sandang-pangan-papan, menurunkan manusia baru, mengusahakan segala sesuatu untuk menyejahterakan kehidupan di dunia ini, kita harus mempergunakan nafsu. Untuk dapat tetap tinggal hidup pun membutuhkan nafsu. Nafsu amat berguna karena itu adalah karunia Gusti Allah. Akan tetapi sayang, kuasa kegelapan atau iblis justeru menggunakan nafsu-nafsu kita untuk menyeret kita ke lembah dosa. Iblis yang memperkuat nafsu-nafsu kita sehingga keadaannya berbalik. Kita yang diperalat dan diperhamba oleh iblis melalui nafsu, dengan umpan yang serba enak, serba nikmat. Nah, kalau kita sudah dikuasai nafsu, kita menjadi manusia yang celaka, Dewi."
Maya Dewi mengangguk-angguk. "Aku mengerti sekarang, Bagus. Justeru latihan Sari Bantala itu membuat kita penuh penyerahan kepada kekuasaan Gusti Allah sehingga kekuasaanNya saja yang dapat menundukkan merajalelanya nafsu yang dikemudi oleh iblis. Kalau dalam cerita pewayangan, Sang Dewa Ruci sudah masuk ke dalam pribadi Werkudara! Sari Bantala berarti bersikap seperti tanah, menyerah terhadap kekuasaan Gusti Allah, akan tetapi dengan demikian bahkan menguasai dan mengalahkan segala-galanya yang berada di atas permukaan Bumi. Memberi segala-galanya dan juga mengambil segala-galanya dan semua itu terjadi diluar kehendaknya, melainkan kehendak Gusti Allah."
"Benar, Dewi. Akan tetapi kita harus ingat bahwa seperti juga tanah kita juga harus rendah hati, tidak pamer dan menyadari bahwa kita, raga kita ini, bukan apa-apa dan tidak berkuasa apa-apa. Selama jiwa kita berada dalam raga ini, kita selalu condong menjadi kotor dan lemah. Ingat bahwa bagaimana pun, betapa saktinya seseorang, dia tidak dapat menghindarkan diri dari kodrat. Badan manusia tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Kita juga dapat sakit, dapat mati. Karena itu, sadar akan hal ini, sudah sepatutnya kalau kita berserah diri kepada Gusti Allah, hanya Dia yang Maha Sempurna, Maha Baik, Maha Bisa, Maha Kuasa dan Maha Segalanya. Semoga saja Dia dengan kekuasaanNya akan selalu membimbing kita, seperti Werkudara yang selalu dibimbing oleh Dewa Ruci. Ruci itu berarti Roh Suci, Dewi."
"Amin-amin-amin. Bagus."
Sungguh amat luar biasa dan mengherankan sekali bagi orang yang pernah mengenal Maya Dewi kalau dia mendengarkan percakapan itu sekarang.
Dahulu, Maya Dewi dikenal sebagai "wanita iblis" yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan nafsunya. Tidak ada kejahatan yang dipantang olehnya sehingga ia amat ditakuti dan dimana-mana ia dibenci dan dimusuhi orang-orang dari golongan pendekar. Akan tetapi, sekarang ia berubah sama sekali dan semua ini terjadi setelah bergaul dan hidup bersama Bagus Sajiwo, sejak pemuda itu masih remaja berusia enam belas tahun lebih sampai kini berusia hampir dua puluh tahun. Bahkan kelemahan utamanya, yaitu nafsu gairah berahi yang sudah memperbudak dirinya, kini tidak tampak bekasnya lagi!
Kini ia dapat melihat dengan mata terbuka semua kenyataan tentang kotornya ulah nafsu berahi kalau sudah menguasai manusia seperti menguasai dirinya dahulu. Perubahan ini membuktikan bahwa pada hakekatnya, manusia itu dilahirkan dalam keadaan baik dan sempurna jiwanya.
Sang Maha Pencipta adalah juga Maha Sempurna, maka segala ciptaanNya sudah pasti sempurna pula. Kalau ada ciptaanNya yang kemudian tidak sempurna, seperti kalau ada manusia yang berubah menjadi jahat dan sesat, hal itu terjadi karena keadaan yang sempurna itu menjadi tidak sempurna karena dosa. Akan tetapi bukan berarti kalau sudah berdosa dan menjadi jahat tidak dapat menjadi baik kembali! Gusti Allah itu selain Maha Pencipta, juga Maha Kuasa dan Maha Pengampun. Orang yang sesat dapat di-ampuni kalau saja dia mau bertaubat, tidak menjadi hamba nafsunya lagi, berserah diri kepada Gusti Allah.
Demikian pula dengan Maya Dewi. Sungguh merupakan hal yang hampir tidak masuk akal adanya kenyataan bahwa wanita ini tinggal dalam ruangan di perut bukit batu karang itu, berdua saja dengan seorang pemuda tampan gagah selama tiga tahun dan sama sekali ia tidak pernah terusik gairah berahinya! Hal ini bukan karena ia tidak mencinta Bagus Sajiwo. Maya Dewi amat mencintanya dan menyayangnya, mengaguminya, dengan cinta yang tulus dan bersih.
Biarpun batinnya telah dibersihkan dari pengaruh nafsu, namun Maya Dewi hanya seorang manusia biasa, maka akan bohonglah kalau sekali waktu tidak timbul gairahnya dan ingin menyatakan cintanya itu dengan kemesraan. Namun, bimbingan kekuasaan Tuhan telah membuat ia waspada dan peka kesadarannya sehingga ia dapat melihat bahwa gairah itu tidak baik dan tidak benar sehingga dengan mudah ia dapat menundukkan gairah nafsu itu. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, akan tetapi kalau manusia selalu ingat dan dekat dengan Gusti Allah, maka Roh-Nya yang suci akan selalu membimbing dan menyadarkannya apabila iblis datang menggoda dan hendak menyeretnya ke dalam dosa.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka menyatakan selamat tinggal kepada ruangan yang mereka huni selama tiga tahun itu. Biarpun cuaca masih gelap pekat karena sinar matahari belum memasuki ruangan itu lewat celah- celah batu karang, namun kini ke dua orang itu memiliki penglihatan yang seolah dapat menembus kegelapan. Mereka memanjat dinding karang dengan mudah dan cepat menuju ke atas.
Setelah tiba di atas mereka disambut pemandangan alam yang amat indahnya. Matahari baru tersembul dari puncak bukit di timur, masih kemerahan namun sudah cukup menyilaukan dan cahayanya keemasan mulai menghidupkan seluruh permukaan bumi yang dapat menerima cahayanya.
Langit cerah berwarna biru, hanya dihias beberapa kelompok awan putih tipis seperti kapas. Burung-burung beterbangan, berkelompok sambil berceloteh riang. Burung gelatik dan burung pipit selalu terbang berkelompok, berbeda dengan burung prenjak dan burung kutilang yang hanya terbang berdua atau tidak lebih dari lima ekor. Burung gereja juga berkelompok, akan tetapi kelompoknya kecil dan mereka tidak suka terbang tinggi melainkan lebih suka berdekatan dengan tanah.
Terdengar pula ayam jantan berkokok, namun tidak seramai pagi tadi sebelum matahari terbit atau menjelang terbit seolah mereka tahu bahwa tidak perlu lagi berkeruyuk membangunkan semua mahluk karena kini mereka semua telah terbangun dari tidurnya. Dari lereng itu tampak beberapa orang bapak tani jalan beriringan, memanggul pacul menuju ke sawah ladang. Terdengar pula' sayup-sayup bunyi kambing mengembik dan ayam betina berkotek memanggil anak-anaknya. Angin berhembus sepoi-sepoi semilir menyegarkan badan.
Bagus Sajiwo dan Maya Dewi menghirup napas dalam-dalam, merasa betapa sedapnya hawa udara yang memasuki paru-paru mereka. Dengan suara penuh hormat dan kagum Bagus Sajiwo berkata perlahan. "Alangkah maha besar kekuasaan Gusti Allah dan alangkah maha indah ciptaanNya. Puji syukur kepadaNya yang melimpahkan berkahNya kepada kita semua!"
Maya Dewi juga memandang ke bawah dengan kagum. "Betapa besar kasih dan karunia yang diberikan kepada kita. Sudah sepatutnya kalau kita berbahagia karenanya. Akan tetapi mengapa begitu banyak terjadi kesengsaraan dan duka nestapa di antara manusia?"
Kedua orang itu saling pandang. Ketika masih berada di ruangan dalam perut bukit batu karang, cahaya tidak pernah terang sekali sehingga setelah kini saling berhadapan di alam terbuka, mereka dapat saling pandang dengan sejelas-jelasnya.
Maya Dewi memandang kagum! Pemuda remaja dahulu itu kini telah menjadi seorang pria dewasa yang ganteng dan sinar matanya itu membuat orang merasa tenang dan sungkan, bukan takut. Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda itu yang membuat orang merasa bersalah dan tunduk. Betapa kekasihnya, demikianlah ia selalu menganggap Bagus Sajiwo, orang yang paling dikasihinya di dunia ini, kini menjadi seorang pria dewasa yang sederhana dan pandang matanya lembut, namun memiliki wibawa yang amat kuat.
Sebaliknya Bagus Sajiwo juga kagum dan senang melihat Maya Dewi. Wanita ini seolah tidak berubah setelah usianya bertambah tiga tahun. Masih seperti dulu. Masih cantik jelita penuh daya tarik, akan tetapi sekarang keliaran yang tampak pada sinar mata dan gerak-geriknya dahulu itu telah lenyap, sinar matanya tenang bercahaya mengandung kebahagiaan, gerak-geriknya juga lembut. Hal ini bahkan menambah daya tariknya menjadi ayu manis merak ati (cantik manis memikat hati).
Dia tahu bahwa daya tarik jasmaniah yang amat kuat ini tentu akan membuat banyak pria tergila-gila. Akan tetapi dia sendiri, sejak pertemuan pertama, tidak terpengaruh oleh daya tarik kecantikan Maya Dewi. Yang ada dalam hatinya adalah kasih sayang yang menimbulkan perasaan belas kasih dan setia-kawan. Dia hanya ingin membimbing wanita itu kembali ke jalan kebenaran, ingin membela dan rasa kasih sayangnya itu seperti kasih sayang seorang saudara.
"Bagus, kita sekarang hendak pergi kemana?"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Dan engkau sendiri, Dewi?"
"Sudah kukatakan sejak dulu, Bagus. Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, tidak ada tempat yang kutuju, maka aku akan pergi kemana engkau pergi."
"Akan tetapi, Dewi, kita tidak mungkin begini terus, melakukan perjalanan bersama selalu. Engkau tentu tahu, ada waktunya bertemu, ada waktunya berkumpul, ada pula waktunya untuk berpisah. Dengan bekal kemampuan yang kau miliki, kukira engkau akan mampu hidup seorang diri dengan aman, asal engkau selalu berpijak pada jalan kebenaran."
"Aku tahu, Bagus. Akan tetapi aku belum merasa bisa untuk kau tinggalkan. Dahulu, sebelum bertemu denganmu, aku merasa seolah hanyut dalam samudra kehidupan yang penuh gelombang dahsyat yang menyeret dan hendak menenggelamkan aku. Aku merasa tidak berdaya, merasa sengsara, tidak mengenal kebahagiaan, hanya mabok dengan kesenangan jasmani yang berakhir dengan kebosanan, kekecewaan dan duka nestapa. Lalu engkau muncul. Aku merasa seolah aku menemukan sepotong papan yang kuat untuk kupegang dan menjadi tempat aku bergantung agar tidak terus hanyut dan tenggelam. Kalau sekarang engkau hendak meninggalkan aku dan kita harus berpisah, aku akan kehilangan pegangan dan aku takut akan hanyut kembali, Bagus. Aku takut!"
"Dewi, kenapa mesti takut? Engkau harus mempunyai kepercayaan kepada dirimu sendiri. Ingat bahwa engkau telah membuka hatimu terhadap Gusti Allah dan dengan sepenuh jiwa raga berserah diri kepadaNya. Itu berarti bahwa kekuasaan Gusti Allah selalu mendampingimu, selalu membimbingmu. Apalagi yang perlu kau takuti kalau kekuasaanNya berada dalam dirimu? Aku ini hanya manusia biasa seperti juga dirimu, dengan segala kelemahanku. Aku juga hanya merasa kuat karena yakin bahwa Gusti Allah menyertaiku."
"Bagus, tolonglah, Bagus. Aku bukan takut akan ancaman bahaya dari luar, melainkan terhadap diriku sendiri. Aku... aku... aku cinta padamu, aku menyayangmu, aku tidak tahan untuk berpisah darimu, Bagus. Engkaulah satu-satunya manusia di dunia ini yang kukasihi, yang kupercaya, yang akan kubela sampai mati karena aku yakin bahwa engkau pun selalu melindungiku dan membelaku, selalu memberi tuntunan kepadaku. Bagus, demi Gusti Allah, jangan tinggalkan aku, Bagus..."
Maya Dewi tak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatinya membayangkan betapa ia akan hidup seorang diri seperti dulu lagi, kehilangan Bagus Sajiwo yang amat dipuja dan dicintanya sehingga ia tak dapat menahan jatuhnya air mata yang menetes-netes dari kedua matanya.
Bagus Sajiwo menghela napas panjang. Dia merasa iba kepada wanita itu dan merasa tidak tega untuk memaksakan perpisahan antara mereka. "Dewi, engkau tentu tahu bahwa akupun amat menyayangmu dan aku merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat menyadari akan kesalahanmu yang sudah-sudah, mau bertaubat dan mengubah jalan hidupmu. Aku tadi hanya ingin menjelaskan kepadamu bahwa ada waktunya bertemu, berkumpul kemudian berpisah. Perpisahan tidak dapat kita hindarkan, Dewi."
"Bagus, sekali lagi kuminta padamu, biarkan aku mengikutimu, berilah aku waktu sampai aku merasa kuat untuk hidup seorang diri. Kasihilah aku, Bagus."
Bagus Sajiwo tidak dapat membantah lagi. Dia mengangguk dan tersenyum memandang wajah wanita itu. "Baiklah, Dewi, kalau itu yang kau kehendaki."
"Ah, Bagus! Terima kasih, Bagus, terima kasih!" Maya Dewi berseru dengan gembira sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang masih basah itu berbinar-binar dan mulutnya tersenyum lebar.
"Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita ini." ajak Bagus Sajiwo dan dengan gembira Maya Dewi melangkah di samping pemuda itu sambil memegang tangan Bagus Sajiwo.
Mereka berjalan sambil bergandengan tangan menuruni bukit karang dan Bagus Sajiwo tidak merasa sungkan atau aneh bergandengan tangan seperti ini karena dia memang sudah merasa akrab sekali dengan wanita itu yang dia anggap sebagai seorang saudara sendiri.
"Kita sekarang menuju kemana, Bagus?" tanya Maya Dewi.
"Aku akan ke Gunung Kawi, dimana ayah ibuku tinggal."
"Kenapa baru sekarang setelah engkau berusia dua puluh tahun engkau boleh kembali ke rumah orang tuamu? Kenapa gurumu mengadakan peraturan yang begitu aneh?"
"Entahlah, Dewi. Mendiang Eyang Guru adalah seorang yang arif bijaksana, tentu beliau memberi pesan itu demi kebaikanku, atau kebaikanmu?"
"Eh, mengapa demi kebaikanku?"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Aku tiba-tiba teringat akan peristiwa yang kita alami. Andaikata eyang guru tidak berpesan seperti itu, tentu tiga tahun lebih yang lalu, begitu meninggalkan Pegunungan Ijen, aku langsung saja pulang ke rumah orang tuaku di Gunung Kawi dan aku tidak akan bertemu denganmu, Dewi. Bukankah itu semua telah diatur demi kebaikan termasuk kebaikan untuk dirimu?"
"Ah, kalau direnungkan, benar juga ucapanmu itu, Bagus. Karena itu, aku berterima kasih kepadamu, berterima kasih pula kepada mendiang Eyang Ki Ageng Mahendra, gurumu yang bijaksana itu."
"Engkau lupa, Dewi. Semestinya engkau mengucap syukur dan terima kasihku kepada Gusti Allah, karena sesungguhnya segala pertolongan itu datang dari Gusti Allah. Dalam keadaanmu, pertolongan Gusti Allah padamu itu hanya melalui aku dan mendiang Eyang Guruku."
Maya Dewi mengangguk-angguk. "Aku tidak lupa, Bagus. Sejak engkau menyadarkan aku akan keberadaan Gusti Allah Yang Maha Kuasa, Maha Sempurna. Maha Kasih dan Maha pengampun, aku tidak pernah melupakanNya dan setiap saat aku bersyukur dan berterima kasih kepadaNya, doaku kupanjatkan tiada hentinya sehingga pernapasanku seolah telah menjadi doaku yang selalu mohon pengampunan atas dosa-dosaku dan berterima kasih atas segala berkat yang dilimpahkan kepada diriku yang kotor dan hina ini. Semoga semua doaku itu diterimaNya, Bagus."
"Amin-amin-amin." kata Bagus Sajiwo, hatinya merasa bahagia sekali mendengar ucapan dan melihat sikap Maya Dewi itu.
Kalau dia ingat pertemuannya pertama kali dengan Maya Dewi, pada tiga tahun lebih yang lalu, dia masih bergidik. Ketika itu Maya Dewi merupakan seorang manusia yang kejam, liar dan sesat.
Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan sejak jaman Mojopahit tak pernah mau tunduk terhadap Kerajaan Mojopahit dan sampai Sekarang, pada masa jaya-jayanya Kerajaan Mataran di bawah pemerintahan Sultan Agung, Blambangan tetap merupakan kerajaan atau kadipaten yang belum ditundukkan oleh Kerajaan Mataram yang pada waktu itu sudah menundukkan hampir semua kadipaten termasuk Madura dan Surabaya.
Bahkan Kadipaten Blambangan semakin memperkuat diri karena selain sejak dulu Blambangan diperkuat dukungan Kerajaan Bali, juga setelah Mataram menundukkan Kadipaten-kadipaten lain, mereka yang tidak mau tunduk, orang-orang yang sakti, para jagoan, semua melarikan diri ke Blambangan yang masih merupakan kadipaten yang berdiri tegak tidak mengikuti kekuasaan Mataram. Memang, menurut catatan sejarah, pada permulaan abad ke tujuh belas, Blambangan diserang dan kemudian diduduki Kadipaten Pasuruan.
Akan tetapi kekuasaan Kadipaten Pasuruan atas Blambangan hanya berlangsung selama belasan tahun saja karena setelah Sultan Agung di Mataram menyerang dan menundukkan Pasuruan pada tahun 1617, Blambangan pun melepaskan diri dari Kadipaten Pasuruan dan kembali Blambangan bangkit dan dengan dukungan Bali menjadi kuat kembali.
Pada waktu kisah ini terjadi, Blambangan dipimpin oleh seorang Adipati yang menggunakan nama Adipati Santa Guna Alit, cucu dari Raja Santa Guna yang dulu pernah memimpin Blambangan dan menjadikan Blambangan sebuah kerajaan yang kuat. Raja kecil atau Adipati Santa Guna Alit merasa dirinya cukup kuat, namun tetap saja dia merasa khawatir Kalau-kalau Mataram akan mengirim pasukan besar untuk menaklukkan Blambangan.
Karena itu, dalam usahanya untuk mempertahankan Blambangan, dia menjalin hubungan yang lebih erat dengan para raja di Bali, terutama Kerajaan Bali Selatan. Para raja di Bali siap membantu Blambangan menghadapi ancaman Mataram karena Blambangan merupakan benteng pertama untuk menentang gerakan pasukan Mataram kalau Mataram berniat menyerang Bali.
Retno Susilo mengangguk dan iapun sudah memegang pedangnya, siap menyambut serangan lawan. Sedikitpun wanita gagah perkasa dan pemberani ini tidak merasa gentar walaupun ada hawa aneh menyeramkan, seperti kalau berada seorang diri di tanah kuburan, terbawa oleh munculnya dua orang raksasa itu. Apalagi bau dupa itu, mengingatkan ia akan "makanan" setan yang sering dihidangkan oleh mereka yang memujanya.
Kini dua orang Dwi Kala telah melangkah menghampiri mereka dan telah berhadapan dengan suami isteri itu dalam jarak dua tombak. Mereka saling pandang dengan sinar mata mencorong, seperti hendak menjajaki kemampuan masing-masing. "Bojleng-bojleng Iblis Laknat!" kata Kalajana. "Kalian berani datang juga untuk menyerahkan nyawa?"
"Ha-ha-ha! Adi Kalajana, yang ini bukan menyerahkan nyawa saja, akan tetapi juga badannya yang denok ayu!" kata Kaladhama sambil memandang kepada Retno Susilo.
Wanita ini bergidik dan marah sekali karena pandang mata raksasa muka hitam itu seolah menelanjangi dan menggerayangi seluruh tubuhnya! "Tidak perlu banyak cakap, Dwi Kala. Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!" kata Tejomanik yang sudah siap dengan pecut sakti Bajrakirana.
"Ha-ha-ha, Tejomanik! Engkau yang harus mati di tangan kami untuk menenangkan arwah paman-paman guru Ki Klabangkolo dan Resi Menak Koncar!" kata Kaladhama.
Tejomanik mengerutkan alisnya. "Hemm, jadi kalian ini murid-murid keponakan mendiang Ki Klabangkolo dan Resi Menak Koncar?"
"Juga untuk membalaskan kematian mendiang Kyai Sidhi Kawasa, sahabat baik guru dan para paman guru kami! Tejomanik atau Sutejo, kami tak pernah dapat melupakan dendam ini. Selama bertahun-tahun kami mempelajari ilmu untuk mencari Sutejo, si pemegang pecut sakti Bajrakirana! Paman Guru Klabangkolo tewas di tangan ayahmu, Ki Harjodento, dan Kyai Sidhi Kawasa tewas di tanganmu! Maka, hari ini engkau harus mati dan isterimu yang denok ayu ini akan menjadi milikku!" kata Kaladhama dan tiba-tiba saja dia dan adiknya, Kalajana sudah menerjang ke arah Tejomanik dengan menggunakan senjata mereka yang menggiriskan, yaitu golok besar yang punggungnya berbentuk gergaji.
Tejomanik cepat menggerakkan pecut sakti Bajrakirana yang meledak-ledak dan ujungnya mengeluarkan kilatan api, menangkis serangan dua orang lawan yang tangguh itu. Ketika mereka hendak menerjang lagi, Retno Susilo sudah maju menyerang ke arah Kalajana dengan pedangnya. Raksasa ini menangkis lalu balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Diam-diam Tejomanik dan Retno Susilo terkejut bukan main karena terasa oleh mereka betapa dua orang lawan itu lebih tangguh daripada kemarin!
Selain tenaga sakti mereka seolah bertambah kuat dan besar sekali, juga bau dupa yang mengepul dari kepala mereka itu benar-benar membikin pusing! Setelah lewat puluhan jurus, hanya berkat kehebatan pecut sakti Bajrakirana Saja mereka masih mampu bertahan. Dengan gulungan sinar pecutnya, Tejomanik bukan saja mampu melindungi dirinya, akan tetapi juga mampu membantu isterinya yang terdesak oleh Kalajana! Kemudian, ledakan-ledakan pecut sakti yang disertai api pada ujungnya memiliki tenaga yang mampu melawan bau dupa yang mengandung pengaruh kuat membuat mereka pusing itu.
Akan tetapi pertahanan yang kokoh kuat dari Tejomanik dengan pecut saktinya itu, tidak dapat berlangsung lama karena tiba-tiba saja datang angin besar seperti badai! Anehnya, dua orang Kala itu tidak terpengaruh, akan tetapi suami isteri itu diterpa angin yang membuat gerakan mereka menjadi tidak tetap. Bahkan angin itu mulai berputar dan terjadilah angin lesus (pusaran angin) yang menyerang suami isteri itu, padahal kedua raksasa itu sama sekali tidak terpengaruh!
Retno Susilo terhuyung. Tejomanik maklum bahwa mereka diserang ilmu sihir yang amat kuat. Dia mengerahkan seluruh tenaga batinnya dan memutar pecut sakti Bajrakirana untuk melindungi diri sendiri dan isterinya.
Mendadak, dalam angin lesus itu terdengar suara yang menyeramkan, seolah suara dari neraka, suara setan-setan. Ada suara tangis ada tawa, ada yang berteriak-teriak, memaki-maki, merintih, dan suara itu benar-benar mengguncangkan hati.
Retno Susilo hanya dapat memutar pedangnya melindungi dirinya dengan lemah saja. Untung pecut Bajrakirana masih menjadi gulungan sinar yang melindunginya, kalau tidak tentu ia sudah dapat ditangkap Kaladhama yang ingin sekali menangkap dan memeluknya. Kemudian, terdengar suara orang bicara. Suara itu tinggi kecil seperti suara wanita, melengking dan menggetar penuh wibawa.
"Tejomanik dan Retno Susilo, kalian tidak mampu menguasai diri dan harus menurut semua perintahku! Lepaskan senjata kalian! Tejomanik, Retno Susilo, lepaskan senjata kalian kataku! Hayo, lepaskan!!"
Pengaruh yang amat kuat mendorong suami isteri itu untuk melepaskan senjata mereka. Tejomanik mengerahkan tenaga dan dia berhasil mempertahankan senjata dan memutar pecut sakti Bajrakirana untuk melindungi dirinya dan isterinya.
Akan tetapi Retno Susilo tidak mampu lagi mempertahankan diri. Ia melepaskan pedang dari tangannya dan berdiri seperti patung yang kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa! Kaladhama girang sekali dan hendak menubruknya, akan tetapi gulungan sinar pecut Bajra-kirana menghalanginya. Dia menjadi marah dan tahu bahwa sebelum dia dan adiknya merobohkan Tejomanik, akan sukarlah dia dapat merangkul Retno Susilo! Maka dia lalu bersama adiknya menerjang dan mengeroyok Tejomanik yang pertahanannya agak goyah karena dia harus mempertahankan diri terhadap ilmu sihir yang mendatangkan angin lesus dan suara-suara mengerikan itu.
Terdengar pula suara tinggi melengking itu, menembus sampai ke telinga Retno Susilo. "Retno Susilo, bagus andika sudah menurut kepadaku, sekarang kesinilah, Retno Susilo. Andika tidak dapat menolak, tidak dapat menguasai kaki sendiri. Melangkahlah kesini, Retno Susilo!"
Bagaikan dalam mimpi, Retno Susilo tidak mampu mempertahankan kedua kakinya yang mulai bergerak, melangkah ke arah pondok! Melihat ini, Tejomanik menjadi khawatir sekali. "Diajeng Retno, jangan pergi kesana! Berhentilah!"
Agaknya suara suaminya ini membuat Retno Susilo meragu sehingga sejenak ia berhenti. Akan tetapi suara yang memanggil-manggil itu membuat kedua kakinya bergerak sendiri. Hatinya menahan, akan tetapi pertahanannya itu hanya membuat langkahnya perlahan-lahan dan pendek-pendek.
Tejomanik menjadi khawatir dan kebingungannya ini membuat pertahanannya kacau sehingga dia mulai terdesak hebat oleh pengeroyokan dua orang raksasa yang tangguh itu.
"Sambutlah Aji Kalabendu!!" Kala-dhama membentak dan tangan kirinya memukul dengan tangan terbuka. Angin dahsyat menyambar dan tahu bahwa dia diserang pukulan sakti, Tejomanik juga mendorongkan tangan kiri dengan menggunakan Aji Bromokendali untuk menyambut serangan lawan.
"Blarrr...!!" Dua hawa sakti bertemu dengan hebatnya dan tubuh Kaladhama terpental ke belakang.
"Aji Tatit Geni!" bentak Kalajana yang juga menyerang dengan tangan kirinya. Tampak kilatan api menyambar dari tangan kirinya.
Kembali Tejomanik menyambut dengan Bromokendali dan tubuh Kalajana juga terhuyung. Dalam adu tenaga sakti ini ternyata Tejomanik masih lebih kuat. Akan tetapi dua orang lawannya itu juga hebat. Serangan mereka yang tertangkis dan gagal itu tidak membuat mereka terluka dan kini mereka mengeroyok dengan senjata mereka.
Kalau dibuat perbandingan, Tejomanik memiliki tingkat kepandaian yang lebih kuat dibanding Kaladhama atau Kalajana. Akan tetapi dua orang raksasa itu maju bersama dan mereka dibantu oleh kekuatan sihir yang amat kuat, yang sampai sekarang penyerangnya belum memperlihatkan diri.
Semua itu ditambah lagi dengan kekhawatirannya melihat betapa Retno Susilo sudah terpengaruh sihir yang kuat dan kini isterinya itu menghampiri pondok perlahan-lahan. Bahkan bentakannya tadi pun tidak dapat menyadarkan Retno Susilo. Tentu saja dia menjadi gelisah dan hal ini semakin memperlemah pertahanannya.
Dia kini mengamuk dan menggunakan tangan kiri membantu pecutnya, mengirim pukulan Gelap Musti dan Bromo-kendali berganti-ganti. Aji pukulan yang dua ini hebatnya bukan main. Akan tetapi dua orang lawannya itu bukan hanya sakti, melainkan juga cerdik dan mereka tidak mau menyambut pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sakti amat kuat itu. Mereka kini bergerak cepat sekali, menyerang dengan golok gergaji di tangan kanan dan melancarkan serangan pukulan sakti dengan tangan kiri.
Karena perhatian Tejomanik terpecah, sebagian memperhatikan Retno Susilo yang kini sudah tiba dekat pondok, dia menjadi lengah.
"Wuuuttt... desss...!" Sebuah pukulan tangan kiri Kaladhama mengenai pundaknya. Pukulan itu menggunakan Aji Kala-bendu yang mengeluarkan hawa panas.
Tubuh Tejomanik terpelanting. Untung dia memiliki Aji Kekebalan Kawoco sehingga tidak terluka, namun karena terpelanting roboh pertahanannya menjadi semakin lemah. Kedua orang raksasa itu dengan girang melompat ke depan dan menggerakkan golok mereka menyerang.
"Singgg... trang-tranggg...!" Pecut sakti Bajrakirana dapat menangkis dan Tejomanik sudah melompat berdiri lagi. Akan tetapi tiba-tiba datang angin lesus dibarengi suara-suara yang mengerikan itu, membuat Tejomanik merasa kepalanya pusing dan jantungnya tergetar karena guncangan yang diakibatkan suara-suara setan itu.
Karena angin lesus itu agaknya tidak mampu membuat satria yang gagah perkasa itu terseret, agaknya si pelepas kekuatan sihir lalu mengubah sihirnya dan tiba-tiba datang asap hitam menggelapkan pandang mata Tejomanik. Cuaca menjadi gelap pekat dan suara itu semakin mengerikan. Dua orang lawannya menyerang dengan dahsyat dari kanan kiri. Tejomanik tidak dapat melihat mereka, hanya dapat menangkap gerakan penyerangnya itu dengan pendengarannya yang juga dikacau oleh suara-suara itu.
Dia lalu memutar pecut saktinya. Pecut Bajrakirana menjadi gulungan sinar yang melindungi tubuhnya sehingga semua serangan kedua golok gergaji itu tertangkis oleh sinar pecut. Bagaimanapun keadaan Tejomanik gawat sekali. Apalagi Retno Susilo yang sudah sampai di depan pondok, maju perlahan sekali seperti orang linglung!
Tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling. Suara itu merdu sekali, melengking-lengking dengan nada yang aneh, mengalunkan lagu yang aneh pula. Akan tetapi lengkingan suara seruling itu membawa getaran yang amat lembut dan asap hitam itu segera menghilang!
Semua suara setan itu pun berhenti sehingga Tejomanik dapat melihat dua orang lawan-nya dengan baik. Kepalanya tidak terasa pusing lagi. Yang membuat hatinya girang, Tejomanik melihat betapa isterinya, yang tadi telah tiba di depan pondok, tiba-tiba berseru keras dan melompat ke tempat perkelahian, mengambil pedangnya yang tadi ia lepaskan lalu menerjang lawan, membantunya menghadapi Dwi Kala!
"Uh-uh-uh... siapa berani memunahkan ajianku...?" terdengar suara serak dan seorang kakek berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun muncul dari pintu pondok.
Kakek itu bertubuh kurus kering dan bongkok, pakaiannya dari kain hitam yang dilibat-libatkan di tubuhnya yang kurus, mukanya tampak tua sekali dan kurus seperti tengkorak terbungkus kulit, matanya mencorong seperti mata kucing di tempat gelap dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana.
"Kakek iblis, ilmu setanmu tidak akan dapat mengalahkan manusia baik-baik yang dilindungi Kekuasaan Gusti Allah!" terdengar suara lembut namun berwibawa.
Kakek tua renta itu memandang dan tahu-tahu disitu telah muncul dua orang yang menentangnya dengan pandang mata tajam. Yang seorang adalah pria berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun, wajahnya tampan matanya lembut, wajah yang cerah dan selalu tersenyum. Tubuhnya sedang saja namun pembawaannya menunjukkan bahwa dia memiliki kekuatan tersembunyi yang amat kuat. Adapun orang kedua adalah seorang wanita, sekitar tiga puluh satu tahun usianya. Cantik dan gerak-geriknya juga lembut namun sinar matanya dapat mencorong galak. Wajahnya bulat dengan dagu runcing, matanya seperti bintang, hidung mancung dan mulutnya memiliki sepasang bibir yang menggairahkan.
Mereka adalah sepasang suami isteri. Yang pria bernama Parmadi, seorang satria dan pendekar ternama yang juga banyak berjasa terhadap Mataram, akan tetapi menolak pemberian kedudukan oleh Sultan Agung dan kini tinggal di Pasuruhan.
Dia pendekar yang terkenal dengan julukan Seruling Gading karena itulah senjatanya yang amat ampuh. Adapun wanita itu, isterinya, bernama Muryani, juga seorang wanita gagah perkasa yang dulu menjadi murid Nyi Rukmo Petak. Bersama suaminya, ia membantu bala tentara Mataram ketika berperang melawan Kumpeni Belanda. Suami isteri ini sudah sepuluh tahun menikah, namun mereka belum dikaruniai anak. Inilah yang membuat mereka tidak merasa betah tinggal di rumah dan mereka berdua banyak merantau dan dimanapun mereka berada, mereka selalu melaksanakan tugas sebagai pendekar. Mereka menegakkan keadilan, membela kebenaran yang berada di pihak tertindas, dan menentang semua pelaku-pelaku kejahatan.
Tadi Parmadi meniup seruling gadingnya meniupkan nada-nada dari Aji Sunyatmaka lewat suara suling. Aji Sunyat-maka (Jiwa Bebas) merupakan keadaan jiwa yang bebas dan menyerah kepada Gusti Allah sehingga kekuasaanNya yang membimbing dan melindungi. Kalau kekuasaan ini melindungi seseorang, segala macam ilmu yang datangnya dari Kuasa Kegelapan (Setan) akan mundur ketakutan. Maka ketika dia meniup sulingnya, semua kekuatan sihir yang dilepas kakek tua renta itu yang sejak tadi tinggal di dalam pondok, menjadi buyar.
Siapakah kakek tinggi kurus dan bongkok itu? Dia bernama Bhagawan Kolasrenggi, seorang pertapa yang berasal dari Blambangan dan tinggal di Bali, akan tetapi yang kini pindah dan kembali ke Blambangan, bertapa di sebuah bukit di Semenanjung Blambangan.
Dia adalah kakak seperguruan dari Wiku Menak Jelangger dan Wiku Menak Koncar. Watak kakek ini sama sekali berbeda dengan watak Wiku Menak Jelangger yang baik budi, dan bahkan lebih tersesat dibandingkan mendiang Wiku Menak Koncar yang menyeleweng dari jalan kebenaran.
Selama tinggal puluhan tahun di Bali, dia telah memperdalam ilmu-ilmunya, terutama sekali ilmu sihir, tenung, santet dan sebagainya. Sang bhagawan ini pindah ke Blambangan membawa dua orang muridnya dari Bali, yaitu Dwi Kala, yang selalu melayani dan mencukupi segala kebutuhannya.
Dwi Kala ini juga merupakan orang-orang sesat dan terkenal sebagai pelaku-pelaku kejahatan di Bali, maka mereka dan guru mereka dimusuhi para pendekar di Bali. Bahkan Raja Klungkung di Bali juga mengerahkan pasukannya yang bersama para pendekar lalu memusuhi Bhagawan Kalasrenggi dan Dwi Kala sehingga akhirnya mereka bertiga melarikan diri menyebrangi Selat Bali dan kembali ke Blambangan.
Setelah tiba di Blambangan, Bhagawan,. Kalasrenggi mendengar akan kematian adik seperguruannya, yaitu Wiku Menak Koncar dan juga adik seperguruannya yang lain, yaitu Ki Klabangkolo. Marahlah dia dan mendengar Kyai Sidhi Kawasa yang dulu menjadi sahabatnya juga tewas, dia lalu menganggap Sutejo atau Tejomanik dan para satria Mataram sebagai musuh besarnya.
Itulah sebabnya mengapa Kaladhama dan Kalajana, ketika merasa tidak mampu mengalahkan Tejomanik dan Retno Susilo, lalu menantang suami isteri itu ke pondok mereka dengan maksud agar guru mereka membantu mereka merobohkan satria yang dianggap musuh besar mereka itu.
Akan tetapi setelah dua orang Dwi Kala dan guru mereka sudah hampir berhasil merobohkan Tejomanik dan menawan Retno Susilo, tanpa mereka sangka-sangka, muncul suami isteri lain yang juga amat digdaya, bahkan yang pria dengan tiupan seruling gadingnya mampu membuyarkan semua pengaruh ilmu sihir Bhagawan Kalasrenggi!
Bhagawan Kalasrenggi merasa penasaran sekali dan ia keluar dari pintu pondok untuk melihat siapa orangnya yang telah membuyarkan ilmu sihirnya. Dia hampir tidak percaya kalau yang mampu membuyarkan ilmu hitam yang dipelajari selama berpuluh tahun itu hanyalah seorang laki-laki yang masih muda, baru tiga puluh tahun lebih usianya!
"Babo-babo, orang muda sombong. Ubun-ubunmu masih bau kencur, engkau berani menantang aku? Sambut ini, baru engkau mengenal siapa Bhagawan Kala srenggi!!" Kakek itu menodongkan tongkatnya dan dari ujung tongkat itu keluar asap putih bergulung-gulung dan asap itu membentuk wujud yang mengerikan.
Seorang mahluk seperti setan, bertaring, matanya melotot besar, lidahnya terjulur keluar dan dari mulutnya tampak api bernyala-nyala. Mahluk itu lalu menyemburkan bola-bola api ke arah Parmadi dan Muryani. Maklum akan kedahsyatan ilmu setan ini, Muryani cepat menyelinap ke belakang tubuh suaminya.
Parmadi tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan segera meniup dan memainkan sulingnya. Kembali terdengar alunan nada aneh keluar dari seruling gading itu, nadanya mengalun syahdu, mendatangkan rasa tenang di hati para pendengarnya. Bola-bola api yang disemburkan jejadian itu menyambar, akan tetapi anehnya, sebelum mengenai tubuh Parmadi, dalam jarak sejengkal, bola-bola api itu rontok dan jatuh ke atas tanah!
Melihat serangannya gagal, Bhagawan Kalasrenggi menyimpan kembali mahluk itu dan kini dia menancapkan tongkatnya di depan tubuhnya, lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Parmadi. Melihat serangan yang mengandung hawa pukulan tenaga sakti yang kuat itu, Parmadi menyambutnya dengan dorongan kedua tangan pula setelah menyelipkan seruling gading di pinggangnya.
Muryani tadi tidak dapat membantu ketika suaminya bertanding menghadapi sihir kakek itu. Akan tetapi begitu melihat kakek itu menyerang dengan pukulan jarak jauh, iapun membantu suaminya ikut menyambut dengan mendorongkan kedua tangan dan mengerahkan Aji Bromo Latu yang mengandung hawa panas.
"Wuuutt... blarrr...!" Tenaga gabungan suami isteri itu bertemu dengan tenaga sakti Bhagawan Kalasrenggi. Demikian dahsyat pertemuan tenaga itu sehingga tanah di sekitarnya tergetar. Suami isteri itu mundur tiga langkah, akan tetapi kakek tua renta itu terhuyung ke belakang. Biarpun kakek sakti mandraguna itu tidak terluka, namun dia tahu bahwa mengadu tenaga sakti melawan dua orang itu, dia kalah kuat.
Pada saat itu, terdengar sorak sorai dan ratusan orang warga pedusunan daerah itu berlari-larian mendaki puncak bukit. Melihat ini, gentarlah hati Bhagawan Kalasrenggi. Dia lalu mengacungkan tongkat yang sudah dia cabut dari atas tanah, membaca mantra dan menggoyang-goyangkan tongkat itu. Angin besar datang bertiup dan muncul asap hitam yang amat tebal, membuat cuaca menjadi gelap.
Kaladhama dan Kalajana yang sudah terdesak sekali melawan Tejomanik dan Retno Susilo, menjadi terkejut dan panik melihat munculnya ratusan orang yang mengacung-acungkan senjata golok, linggis, cangkul dan lain-lain. Maka, begitu melihat asap hitam, mereka maklum bahwa guru mereka mengajak mereka melarikan diri. Cepat mereka melompat kebelakang dan menghilang dalam asap hitam, mengikuti guru mereka.
Terdengar suling mendayu-dayu ketika Parmadi meniup serulingnya dan perlahan-lahan asap hitam dan angin ribut menghilang. Akan tetapi tiga orang itu telah lenyap dari situ.
Ratusan orang warga pedusunan itu tercengang dan berhenti ketika melihat asap hitam. Akan tetapi setelah asap hitam menghilang, mereka bersorak lagi dan berlari-larian menghampiri. Mereka langsung menyerbu ke dalam pondok dan berhasil menemukan enam orang gadis yang diculik oleh Dwi Kala, juga menemukan uang yang juga secara terpaksa ! karena takut diserahkan oleh warga dusun. Mereka menyelamatkan semua itu, kemudian ramai-ramai membakar pondok.
Sementara itu dua pasang suami isteri yang sudah saling mengenal itu bercakap-cakap. Mereka berempat pernah sama-sama membantu pasukan Mataram ketika Mataram menyerang Kumpeni Belanda di Batavia.
"Wah, berbahaya sekali Bhagawan Kalasrenggi itu! Dia sakti mandraguna, sayang sekali kesaktiannya dipergunakan untuk berbuat jahat!" kata Parmadi sambil menghela napas panjang.
"Mungkin yang jahat itu dua orang muridnya, Dwi Kala itu, dan dia hanya membantu murid-muridnya. Sungguh mengherankan, bagaimana ada orang-orang sesat yang begitu sakti berada disini? Adi Parmadi, untung andika berdua muncul, kalau tidak, kami berdua sudah terancam bahaya besar tadi. Terima kasih!" kata Tejomanik.
"Ah, Kakangmas berdua tentu akan melakukan hal yang sama sekiranya melihat kami berdua diancam bahaya! Kita patut berterima kasih kepada Gusti Allah sehingga mampu mengusir tiga orang manusia iblis tadi." kata Parmadi.
Retno Susilo sudah saling rangkul dengan Muryani. Mereka adalah kakak beradik tunggal guru walaupun mereka baru saling bertemu satu kali ketika sama-sama membantu pasukan Mataram. Dua orang wanita ini adalah murid mendiang Nyi Rukmo Petak.
"Muryani, bagaimana engkau dan suamimu dapat muncul pada saat yang sangat tepat? Kalian hendak pergi kemana?" tanya Retno Susilo.
"Mbakayu Retno Susilo, kami berdua sedang melakukan perjalanan merantau dan di lereng bukit tadi kami melihat ratusan orang berbondong-bondong mendaki puncak. Karena ingin tahu apa yang terjadi, kami bertanya dan mereka mengatakan bahwa mereka sedang hendak menyerang dua orang manusia iblis berwujud raksasa di puncak. Mendengar keterangan mereka bahwa Kakangmas Tejomanik dan Mbakayu Retno Susilo sudah lebih dulu naik ke puncak untuk membasmi para penjahat, kami berdua segera menyusul kesini." kata Muryani.
Mereka berempat bercakap-cakap dengan gembira karena tidak disangka-sangka dapat saling bertemu dan bekerja sama menghadapi Dwi Kala dan guru mereka yang sakti mandraguna, tidak memperdulikan para warga dusun yang mengobrak-abrik isi pondok bahkan lalu membakar pondok itu.
Setelah para warga pedusunan disekitar bukit itu melampiaskan kemarahan mereka dan menyelamatkan enam orang gadis, kini mereka, dipimpin Ki Lurah Selowono, lalu berlutut menghadap ke arah empat orang penolong mereka. Empat orang kepala dusun maju menghampiri dua pasang suami isteri pendekar itu dan Ki Lurah Selowono mewakili mereka memberi hormat dan berkata.
"Kami seluruh keluarga warga empat buah dusun menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Den mas berempat sehingga kami dapat membebaskan enam orang gadis yang diculik para penjahat tadi. Kami sudah mengenal nama Denmas Tejomanik dan Masayu Retno Susilo, akan tetapi kami ingin mengetahui juga nama andika berdua yang baru datang dan yang menjadi penolong kami pula."
Parmadi tersenyum. "Paman, kami hanya orang-orang biasa, sama seperti andika sekalian. Namaku Parmadi dan ini isteriku bernama Muryani."
Tejomanik lalu berkata dengan suara lantang. "Para warga pedusunan daerah ini, dengarkan baik-baik! Kalau dusun-dusun andika sekalian diganggu orang-orang jahat, lakukanlah seperti yang kalian lakukan sekarang ini. Kalau kalian bersatu padu menentang penjahat, dengan ratusan orang seperti ini, kami yakin tidak akan ada penjahat berani mengganggu kalian!"
"Terima kasih, Denmas Tejomanik. Kami menyadari akan kebenaran itu. Sekarang, kami mohon sudilah Denmas ber-empat memberi kesempatan kepada kami untuk menyambut Denmas berempat sebagai tamu kehormatan dan untuk menyampaikan rasa terima kasih kami." kata Ki Lurah Selowono yang serempak diikuti oleh tiga orang lurah lainnya.
Parmadi mengerutkan alisnya dan hendak menolak. Apa yang mereka berempat lakukan adalah hal wajar saja dan sudah menjadi kewajiban mereka. Tidak perlu disanjung dan dipuji. Akan tetapi Tejomanik memandang kepadanya dan berkata, "Adimas Parmadi, kami perlu sekali bicara dengan mereka untuk bertanya tentang putera kami. Maka, marilah kita terima undangan mereka."
Parmadi mengangguk dan tersenyum. Mereka menerima undangan itu bukan karena ingin disanjung, melainkan karena ada hal yang perlu sekali ditanyakan oleh Ki Tejomanik. Semua orang kini beramai-ramai turun dari puncak, dimana pondok itu masih terbakar. Tiga orang lurah dari dusun lain ikut pula ke rumah Ki Lurah Selowono untuk menyambut empat orang tamu kehormatan mereka itu.
Setelah dijamu dalam pesta makan bersama dengan empat orang lurah dan isteri mereka, dua pasang suami isteri itu lalu mengajak para lurah itu bercakap-cakap dan dalam kesempatan ini Tejomanik mulai dengan penyelidikannya.
"Paman Lurah Selowono, aku ingin sekali mendengar keterangan andika sekalian tentang seorang pertapa yang bertapa di Pegunungan Ijen ini. Namanya Ki Ageng Mahendra. Apakah andika sekalian mengenal nama itu dan mengetahui dimana tempat padepokannya?"
Mendengar pertanyaan itu, empat orang kepala dusun itu saling pandang dan Ki Lurah Selowono menghela napas panjang. "Justeru inilah yang membuat kami semua merasa berduka dan tidak berdaya. Kalau saja ada Ki Ageng Mahendra, tak mungkin ada manusia-manusia iblis datang mengganggu dan mengacau dusun-dusun kami."
"Andika mengenal beliau, Paman? Dimana padepokannya?" Tejomanik didahului Retno Susilo yang sudah bertanya dengan suara mendesak.
"Tentu saja kami seluruh warga pedusunan di daerah ini mengenal Ki Ageng Mahendra. Akan tetapi sayang ... beliau telah wafat sekitar tiga empat tahun yang lalu."
Tejomanik dan isternya saling pandang dan merasa kecewa, lalu Tejomanik bertanya, "Paman, apakah andika mengenal muridnya yang bernama Bagus Sajiwo?"
Empat orang lurah itu mengangguk-angguk. Ki Lurah Selowono cepat menjawab, "Tentu saja kami mengenal Den Bagus dengan baik!"
"Ah, bagaimana keadaannya, Paman? Apakah Bagus Sajiwo sehat-sehat saja?" Retno Susilo bertanya, wajahnya berseri, matanya bersinar.
"Hampir empat tahun yang lalu Den Bagus Sajiwo dalam keadaan baik-baik saja dan sehat, Masayu. Akan tetapi setelah Ki Ageng Mahendra wafat empat tahun yang lalu, dia pergi meninggalkan padepokan yang telah dibakarnya untuk memperabukan jenazah Ki Ageng Mahendra."
"Pergi? Kemana, Paman? Dimana dia sekarang?" Retno Susilo mengejar.
Ki Selowono menggeleng kepalanya. "Kami semua tidak tahu, Masayu. Ketika Ki Ageng Mahendra wafat, kami datang ke padepokannya untuk melayat. Akan tetapi Den Bagus Sajiwo tidak memberitahu kepada kami kemana dia pergi. Kami semua amat kehilangan Ki Ageng Mahendra, juga kehilangan Den Bagus Sajiwo."
"Ohhh...!" Tak dapat ditahannya lagi, Retno Susilo menutupi mukanya dengan kedua tangan, akan tetapi semua orang mengetahui bahwa ia menangis. Biarpun ia menahan suara tangisnya, namun ia terisak dan air mata menetes keluar dari celah-celah jari tangannya. Muryani segera menghampiri dan merangkul kakak seperguruannya itu. Tejomanik menghibur dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Diajeng, mendengar bahwa dia sehat selamat saja, kita sudah bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah. Memang agaknya belum tiba saatnya kita berjumpa dengan dia, akan tetapi percayalah, Gusti Allah Maha Pengasih yang telah melindungi anak kita dengan selamat, pasti akan mempertemukan kita dengannya pada saatnya."
"Kakangmas Tejomanik berkata benar, Mbakayu. Saya juga merasa yakin bahwa Mbakayu kelak akan bertemu kembali dengan Bagus Sajiwo."
Mendengar ucapan dua orang satria itu, Retno Susilo merasa terhibur dan ia menghentikan tangisnya, mengusap air mata dari pipinya. Sementara itu, empat orang kepala dusun mendengar percakapan itu, tercengang dan saling pandang.
"Waduh, kiranya Denmas dan Masayu ini adalah ayah dan ibu dari Den Bagus Sajiwo? Sungguh kami merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Denmas sekalian." kata Ki Lurah Selowono.
Dua pasang suami isteri itu tinggal di rumah kepala dusun Krenting malam itu dan mereka mendengarkan para kepala dusun itu bercerita Ki Ageng Mahendra dan Bagus Sajiwo. Terutama sekali Tejomanik dan Retno Susilo, ingin menguras semua yang diketahui orang-orang itu tentang diri Bagus Sajiwo.
Mereka merasa senang dan bangga mendengar bahwa putera mereka telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan yang diakui oleh semua kepala dusun sebagai seorang pemuda yang ramah, rendah hati, dan baik budi, seringkali menolong para penduduk dusun dengan mengobati mereka yang sakit. Juga beberapa kali putera mereka itu menentang dan mengusir orang-orang jahat dari dalam dusun.
Pada keesokan harinya, Tejomanik dan Retno Susilo berdua naik ke puncak bukit yang pernah menjadi tempat tinggal Bagus Sajiwo dan Ki Ageng Mahendra, sedangkan Parmadi dan Muryani melanjutkan perantauan mereka.
Biarpun di puncak bukit itu kini telah sunyi dan pondok bekas padepokan Ki Ageng Mahendra telah lenyap dan hanya tinggal bekas-bekas puing sedikit saja karena menurut cerita para kepala dusun, puing-puing rumah itu bersama abu jenazah terbawa angin lesus dan menjadi hujan abu di permukaan bukit, namun hati kedua orang tua itu berdebar dan rasa haru menyelinapi perasaan mereka ketika mereka berdiri di bekas pondok yang terbakar itu dan memandang ke seliling. Di sinilah putera mereka, Bagus Sajiwo, tinggal selama sepuluh tahun! Sejak anak berusia enam tahun sampai menjadi seorang pemuda remaja berusia enam belas tahun! Seakan terasa oleh mereka disitu, seolah terdengar suara anak mereka diantara bisikan angin di dedaunan.
Tiba-tiba Tejomanik menyentuh pundak isterinya. Retno Susilo memandang kepada suaminya dengan kedua mata basah dan melihat suaminya menuding ke kiri. Ia memandang dan melihat dua buah batu besar yang atasnya datar. Mereka tanpa bicara, segera menghampiri. Dua bongkah batu itu yang satu lebih besar dafipada yang lain, permukaannya bersih dan licin. Tanpa bicara keduanya sudah dapat menduga bahwa tentu guru dan murid itu suka duduk di atas batu-batu ini yang memang diduduki untuk bersamadhi.
Langsung saja Retno Susilo mendekati batu yang lebih kecil dan meraba-raba, seolah membelai tubuh puteranya. Kemudian ia duduk bersila di atas batu itu. Tejomanik juga duduk di atas batu yang lebih besar, bersila dan suami isteri itu duduk bersamadhi. Setelah beberapa lamanya bersamadhi dengan khusuk, mereka merasa betapa tenang dan tenteram hati mereka, penuh kedamaian dan lenyaplah segala perasaan haru dan kecewa. Mereka membuka mata dan memandang ke sekeliling. "Agaknya disini empat tahun yang lalu menjadi sebuah taman yang indah." kata Retno Susilo.
Suaminya mengangguk. "Dan aku dapat membayangkan betapa Ki Ageng Mahendra memberi pelajaran dan wejangan kepada anak kita di atas batu ini. Lihat kesana, pemandangan dari tempat kita duduk ini begitu indah. Tempat ini memang cocok sekali untuk menjadi tempat padepokan seorang pertapa."
"Siapakah sebetulnya Ki Ageng Mahendra yang menjadi guru anak kita itu? Engkau belum menceritakan dengan jelas."
"Aku sendiri juga tidak tahu dengan jelas. Mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik hanya pernah mengatakan bahwa beliau mempunyai seorang adik seperguruan bernama Ki Ageng Mahendra yang sejak muda hanya bertapa dari gunung ke gunung, berbeda dengan Eyang Resi Limut Manik yang membangun perguruan Jatikusuma. Dan kebetulan sekali, guruku pertama, Bhagawan Sidik Paningal, pernah berguru kepada Resi Limut Manik Dengan demikian maka Resi Limut Manik adalah eyang guruku dan Ki Ageng Mahendra masih terhitung eyang guruku pula. Maka, kalau Bagus Sajiwo menceritakan siapa ayahnya kepada Ki Ageng Mahendra, tentu beliau mengetahui bahwa Bagus Sajiwo masih buyut muridnya sendiri!"
Retno Susilo menghela napas panjang, merasa lega bahwa puteranya menjadi murid seorang yang amat sakti mandraguna. "Yang membuat aku merasa heran, kenapa Bagus tidak segera pulang ke Gunung Kawi setelah gurunya wafat? Kemana saja dia selama hampir empat tahun ini? Ah, dia tentu kini sudah berusia hampir dua puluh tahun!"
"Karena itulah, kita harus segera pulang ke Gunung Kawi, Diajeng. Mungkin saja sewaktu-waktu dia akan pulang dan bagaimana kalau dia mendapatkan rumah kosong?"
"Engkau benar, Kakangmas. Mari kita segera pulang. Siapa tahu dia sekarang sudah berada di rumah menanti kita!"
Suami isteri itu lalu turun dari bukit dan melakukan perjalanan ke barat, menuju pulang ke Gunung Kawi dengan hati penuh harapan untuk segera berjumpa dengan putera mereka.
********************
Bagus Sajiwo duduk bersila di atas batu yang datar dan permukaannya halus. Kedua tangannya berada di pangkuan, tubuhnya tegak lurus dan kedua matanya terpejam. Tak jauh dari situ, terpisah sekitar sepuluh meter, Maya Dewi juga duduk bersila di atas sebuah batu lain, dengan sikap yang sama dengan Bagus Sajiwo. Sinar matahari menerobos memasuki ruangan dalam perut bukit karang itu melalui celah-celah antara batu-batu karang di atas.
Sudah kurang lebih tiga tahun lamanya mereka berdua berada di dalam perut bukit karang itu, dalam ruangan yang luas. Mereka hidup seolah mengasingkan diri disitu untuk mempelajari isi kitab Aji Sari Bantala (Sari Bumi). Selain kitab itu memuat keterangan pelajaran dengan huruf-huruf kuno sehingga agak sukar dimengerti walaupun Bagus Sajiwo pernah mempelajari tulisan kuno dari Ki Ageng Mahendra, ditambah lagi dengan sulitnya mempelajari ilmu itu, maka setelah lewat tiga tahun baru mereka kini melatih bagian terakhir isi kitab itu.
Isi kitab itu terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama adalah cara berlatih pernapasan dan penguasaan atas tenaga sakti dahsyat yang berada dalam tubuh mereka berkat makan "Jamur Dwipa Suddhi". Untuk melatih tingkat pertama ini saja mereka membutuhkan waktu setahun. Setelah melatih dengan tekun selama setahun, barulah mereka berhasil menguasai hawa yang dahsyat itu sehingga dapat dipergunakan sekehendak hati mereka.
Kemudian barulah mereka mempelajari dan melatih pelajaran tingkat ke dua. Ini merupakan gerakan ilmu silat yang lambat namun yang bergerak dengan sendirinya, tidak direka-reka dan tidak dibuat atau disengaja. Pada mulanya gerakan mereka tidak karuan bahkan liar dan sifatnya merusak sehingga dinding batu karang disitu banyak yang pecah berantakan terkena tamparan tangan mereka. Akan tetapi setelah tekun berlatih selama dua tahun, barulah gerakan-gerakan mereka teratur dan indah seperti menari-nari, dan begitu lembut sehingga tampak tanpa tenaga.
Beberapa saat setelah Bagus Sajiwo dan Maya Dewi duduk bersila, mulailah ada tenaga menggetarkan seluruh jasmani mereka, dari ubun-ubun kepala sampai ke jari kaki dan perlahan-lahan getaran itu menggerakkan tubuh mereka.
Keduanya bangkit atau dibangkitkan oleh getaran tenaga itu dan mulailah mereka bersilat, menggerakkan kaki tangan seperti orang menari. Dalam setiap gerakan, mereka merasa seolah-olah tangan atau kaki yang bergerak itu berada dalam air, terasa nyaman dan gerakan itu menjadi gerakan sambung menyambung tiada hentinya. Pikiran mereka terasa tenang tapi terang penuh kesadaran, bukan seperti mimpi atau tidak sadar. Namun hati akal pikiran mereka tidak mengendalikan gerakan tubuh mereka.
Ada sesuatu yang lebih hebat, lebih dahsyat, lebih kuat dari hati akal pikiran yang menggerakkan seluruh tubuh. Hati akal pikiran hanya menyerah, hanyut, tanpa kehendak, tanpa pamrih. Untuk melatih ini, sungguh tidak mudah dan kini Bagus Sajiwo dan Maya Dewi sudah berhasil dengan latihan mereka. Itulah Aji Inti Bumi seperti yang diterangkan dalam kitab kuno itu.
Setelah bergerak sendiri-sendiri, membiarkan diri hanyut dalam gerakan otomatis itu, hati akal pikiran hanya menjadi saksi, maka keduanya lalu saling menghampiri dan mulailah mereka saling menyerang dalam latihan. Kini hati akal pikiran mereka bekerja, mengarahkan gerakan otomatis itu dalam pembelaan diri, kalau yang satu menyerang, yang lain mempertahankan diri. Sampai berjam-jam mereka bergerak-gerak, indah seperti dua orang penari ulung melakukan tari yuda (perang). Akhirnya mereka menghentikan gerakan itu, dan duduk bersila kembali mengatur pernapasan.
"Bagus, bukankah kita sudah selesai mempelajari Kitab Sari Bantala itu?" terdengar Maya Dewi bertanya, suaranya kini lembut dan tenang. Wanita ini sudah berusia sekitar tiga puluh lima tahun, akan tetapi sungguh luar biasa, ia masih tampak seorang gadis berusia dua-puluh tahun saja! Kecantikannya wajar, tanpa ditambah pemutih atau pemerah muka, akan tetapi kulit mukanya begitu halus, putih kemerahan dan bibirnya merah basah dan segar tanda kesehatan yang sempurna.
Rambutnya yang hitam panjang itu digelung secara sederhana, seperti gelung perawan desa, namun kesederhanaan itu bahkan membuat kejelitaannya semakin menonjol. Ia pun mengenakan pakaian model wanita dusun, yang dibelinya di pedusunan di tepi pantai ketika ia mendapat giliran keluar dari ruangan perut bukit karang untuk mencari segala kebutuhan hidup mereka.
Bagus Sajiwo kini sudah tampak lebih dewasa. Usianya sudah hampir dua puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap, jantan dan rambutnya yang hitam itu agak berombak, dahinya lebar, alisnya tebal hitam. Hidungnya mancung dan bibirnya selalu mengembangkan senyum, matanya lebar dan tajam lembut, penuh pengertian namun terkadang mencorong seperti hendak menjenguk ke dalam hati orang yang dipandangnya. Belahan di tengah dagu membuat dia tampak gagah berwibawa. Pemuda ini juga mengenakan pakaian seperti seorang pemuda dusun yang bersahaja.
Kecuali kecantikan dan ketampanan, sikap halus lembut dan tutur sapanya yang tertatur, tidak ada petunjuk lain yang menyatakan bahwa mereka itu bukan orang-orang dusun biasa. Apalagi sama sekali mereka tidak mempunyai ciri-ciri dua orang yang menguasai kepandaian tinggi membuat mereka menjadi sakti mandraguna.
"Benar, Dewi. Akan tetapi setelah melatih diri dengan Aji Sari Bantala, hanya engkau dan aku yang tahu karena mengalami sendiri bahwa yang terlatih adalah jiwa kita, bukan raga kita. Raga kita hanya mengikuti jiwa, walaupun ke-duanya itu kait-mengait dan saling menunjang."
"Coba jelaskan lagi, Bagus!"
"Dewi, asal engkau terus-menerus teringat kepada Gusti Allah dengan penyerahan diri sebulatnya, engkau tentu akan mengerti sendiri."
"Aku yakin akan hal itu seperti telah diajarkan dalam Aji Sari Bantala, Bagus. Akan tetapi, yang menyerat kita ke jalan penyelewengan adalah pikiran, karena itu aku membutuhkan penerangan darimu agar pikiranku mengerti benar karena pengertian itu menjadi sarana untuk menentukan langkah hidup, bukan?"
"Baiklah, Dewi. Seperti kita ketahui dari ajaran itu, dalam latihan kita mengalami pembersihan rohani dan jasmani. Akan tetapi, pembersihan dalam bentuk apapun juga, tetap dibayangi bahaya pengotoran kembali. Kalau yang dibersihkan setiap kali hanya setakar, lalu kita kotori sendiri dua takar, lalu kapan bersihnya? Pengotoran ini melalui hati akal pikiran yang membuahkan perbuatan. Apa artinya iman kepada Gusti Allah kalau tidak disertai perbuatan yang nyata, yang keluar dari hati pikiran? Iman itu percaya dan percaya yang benar itu berarti penyerahan diri sebulatnya. Menyerah berarti taat! Jadi, kita menyerahkan diri kepada kekuasaan Gusti Allah harus diikuti dengan ketaatan akan segala kehendakNya. Gusti Allah itu Maha baik, walaupun kita yang sudah menyerah kepadaNya juga harus selalu berbuat baik, menegakkan keadilan, membela kebenaran dan menjauhi perbuatan jahat. Kalau kita melangkah dalam hidup ini, melakukan segala hal menggunakan hati akal pikiran yang menuju kebaikan, sudah pasti kekuasaanNya akan selalu menuntun kita."
Maya Dewi mengangguk-angguk. "Bagus, apakah ini berarti bahwa kita harus mematikan nafsu-nafsu kita karena nafsu yang menyeret kita ke dalam kesesatan?"
"Dewi, banyak orang berpendapat demikian dan aku yakin bahwa pendapat seperti itu sebenarnya keliru. Manusia hidup, ketika dilahirkan sudah disertai nafsu-nafsunya yang merupakan karunia Gusti Allah. Bagaimana mungkin dimatikan? Nafsu adalah alat, peserta, bahkan pelayan kita. Untuk dapat hidup di dunia, mencukupi sandang-pangan-papan, menurunkan manusia baru, mengusahakan segala sesuatu untuk menyejahterakan kehidupan di dunia ini, kita harus mempergunakan nafsu. Untuk dapat tetap tinggal hidup pun membutuhkan nafsu. Nafsu amat berguna karena itu adalah karunia Gusti Allah. Akan tetapi sayang, kuasa kegelapan atau iblis justeru menggunakan nafsu-nafsu kita untuk menyeret kita ke lembah dosa. Iblis yang memperkuat nafsu-nafsu kita sehingga keadaannya berbalik. Kita yang diperalat dan diperhamba oleh iblis melalui nafsu, dengan umpan yang serba enak, serba nikmat. Nah, kalau kita sudah dikuasai nafsu, kita menjadi manusia yang celaka, Dewi."
Maya Dewi mengangguk-angguk. "Aku mengerti sekarang, Bagus. Justeru latihan Sari Bantala itu membuat kita penuh penyerahan kepada kekuasaan Gusti Allah sehingga kekuasaanNya saja yang dapat menundukkan merajalelanya nafsu yang dikemudi oleh iblis. Kalau dalam cerita pewayangan, Sang Dewa Ruci sudah masuk ke dalam pribadi Werkudara! Sari Bantala berarti bersikap seperti tanah, menyerah terhadap kekuasaan Gusti Allah, akan tetapi dengan demikian bahkan menguasai dan mengalahkan segala-galanya yang berada di atas permukaan Bumi. Memberi segala-galanya dan juga mengambil segala-galanya dan semua itu terjadi diluar kehendaknya, melainkan kehendak Gusti Allah."
"Benar, Dewi. Akan tetapi kita harus ingat bahwa seperti juga tanah kita juga harus rendah hati, tidak pamer dan menyadari bahwa kita, raga kita ini, bukan apa-apa dan tidak berkuasa apa-apa. Selama jiwa kita berada dalam raga ini, kita selalu condong menjadi kotor dan lemah. Ingat bahwa bagaimana pun, betapa saktinya seseorang, dia tidak dapat menghindarkan diri dari kodrat. Badan manusia tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Kita juga dapat sakit, dapat mati. Karena itu, sadar akan hal ini, sudah sepatutnya kalau kita berserah diri kepada Gusti Allah, hanya Dia yang Maha Sempurna, Maha Baik, Maha Bisa, Maha Kuasa dan Maha Segalanya. Semoga saja Dia dengan kekuasaanNya akan selalu membimbing kita, seperti Werkudara yang selalu dibimbing oleh Dewa Ruci. Ruci itu berarti Roh Suci, Dewi."
"Amin-amin-amin. Bagus."
Sungguh amat luar biasa dan mengherankan sekali bagi orang yang pernah mengenal Maya Dewi kalau dia mendengarkan percakapan itu sekarang.
Dahulu, Maya Dewi dikenal sebagai "wanita iblis" yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan nafsunya. Tidak ada kejahatan yang dipantang olehnya sehingga ia amat ditakuti dan dimana-mana ia dibenci dan dimusuhi orang-orang dari golongan pendekar. Akan tetapi, sekarang ia berubah sama sekali dan semua ini terjadi setelah bergaul dan hidup bersama Bagus Sajiwo, sejak pemuda itu masih remaja berusia enam belas tahun lebih sampai kini berusia hampir dua puluh tahun. Bahkan kelemahan utamanya, yaitu nafsu gairah berahi yang sudah memperbudak dirinya, kini tidak tampak bekasnya lagi!
Kini ia dapat melihat dengan mata terbuka semua kenyataan tentang kotornya ulah nafsu berahi kalau sudah menguasai manusia seperti menguasai dirinya dahulu. Perubahan ini membuktikan bahwa pada hakekatnya, manusia itu dilahirkan dalam keadaan baik dan sempurna jiwanya.
Sang Maha Pencipta adalah juga Maha Sempurna, maka segala ciptaanNya sudah pasti sempurna pula. Kalau ada ciptaanNya yang kemudian tidak sempurna, seperti kalau ada manusia yang berubah menjadi jahat dan sesat, hal itu terjadi karena keadaan yang sempurna itu menjadi tidak sempurna karena dosa. Akan tetapi bukan berarti kalau sudah berdosa dan menjadi jahat tidak dapat menjadi baik kembali! Gusti Allah itu selain Maha Pencipta, juga Maha Kuasa dan Maha Pengampun. Orang yang sesat dapat di-ampuni kalau saja dia mau bertaubat, tidak menjadi hamba nafsunya lagi, berserah diri kepada Gusti Allah.
Demikian pula dengan Maya Dewi. Sungguh merupakan hal yang hampir tidak masuk akal adanya kenyataan bahwa wanita ini tinggal dalam ruangan di perut bukit batu karang itu, berdua saja dengan seorang pemuda tampan gagah selama tiga tahun dan sama sekali ia tidak pernah terusik gairah berahinya! Hal ini bukan karena ia tidak mencinta Bagus Sajiwo. Maya Dewi amat mencintanya dan menyayangnya, mengaguminya, dengan cinta yang tulus dan bersih.
Biarpun batinnya telah dibersihkan dari pengaruh nafsu, namun Maya Dewi hanya seorang manusia biasa, maka akan bohonglah kalau sekali waktu tidak timbul gairahnya dan ingin menyatakan cintanya itu dengan kemesraan. Namun, bimbingan kekuasaan Tuhan telah membuat ia waspada dan peka kesadarannya sehingga ia dapat melihat bahwa gairah itu tidak baik dan tidak benar sehingga dengan mudah ia dapat menundukkan gairah nafsu itu. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, akan tetapi kalau manusia selalu ingat dan dekat dengan Gusti Allah, maka Roh-Nya yang suci akan selalu membimbing dan menyadarkannya apabila iblis datang menggoda dan hendak menyeretnya ke dalam dosa.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka menyatakan selamat tinggal kepada ruangan yang mereka huni selama tiga tahun itu. Biarpun cuaca masih gelap pekat karena sinar matahari belum memasuki ruangan itu lewat celah- celah batu karang, namun kini ke dua orang itu memiliki penglihatan yang seolah dapat menembus kegelapan. Mereka memanjat dinding karang dengan mudah dan cepat menuju ke atas.
Setelah tiba di atas mereka disambut pemandangan alam yang amat indahnya. Matahari baru tersembul dari puncak bukit di timur, masih kemerahan namun sudah cukup menyilaukan dan cahayanya keemasan mulai menghidupkan seluruh permukaan bumi yang dapat menerima cahayanya.
Langit cerah berwarna biru, hanya dihias beberapa kelompok awan putih tipis seperti kapas. Burung-burung beterbangan, berkelompok sambil berceloteh riang. Burung gelatik dan burung pipit selalu terbang berkelompok, berbeda dengan burung prenjak dan burung kutilang yang hanya terbang berdua atau tidak lebih dari lima ekor. Burung gereja juga berkelompok, akan tetapi kelompoknya kecil dan mereka tidak suka terbang tinggi melainkan lebih suka berdekatan dengan tanah.
Terdengar pula ayam jantan berkokok, namun tidak seramai pagi tadi sebelum matahari terbit atau menjelang terbit seolah mereka tahu bahwa tidak perlu lagi berkeruyuk membangunkan semua mahluk karena kini mereka semua telah terbangun dari tidurnya. Dari lereng itu tampak beberapa orang bapak tani jalan beriringan, memanggul pacul menuju ke sawah ladang. Terdengar pula' sayup-sayup bunyi kambing mengembik dan ayam betina berkotek memanggil anak-anaknya. Angin berhembus sepoi-sepoi semilir menyegarkan badan.
Bagus Sajiwo dan Maya Dewi menghirup napas dalam-dalam, merasa betapa sedapnya hawa udara yang memasuki paru-paru mereka. Dengan suara penuh hormat dan kagum Bagus Sajiwo berkata perlahan. "Alangkah maha besar kekuasaan Gusti Allah dan alangkah maha indah ciptaanNya. Puji syukur kepadaNya yang melimpahkan berkahNya kepada kita semua!"
Maya Dewi juga memandang ke bawah dengan kagum. "Betapa besar kasih dan karunia yang diberikan kepada kita. Sudah sepatutnya kalau kita berbahagia karenanya. Akan tetapi mengapa begitu banyak terjadi kesengsaraan dan duka nestapa di antara manusia?"
Kedua orang itu saling pandang. Ketika masih berada di ruangan dalam perut bukit batu karang, cahaya tidak pernah terang sekali sehingga setelah kini saling berhadapan di alam terbuka, mereka dapat saling pandang dengan sejelas-jelasnya.
Maya Dewi memandang kagum! Pemuda remaja dahulu itu kini telah menjadi seorang pria dewasa yang ganteng dan sinar matanya itu membuat orang merasa tenang dan sungkan, bukan takut. Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda itu yang membuat orang merasa bersalah dan tunduk. Betapa kekasihnya, demikianlah ia selalu menganggap Bagus Sajiwo, orang yang paling dikasihinya di dunia ini, kini menjadi seorang pria dewasa yang sederhana dan pandang matanya lembut, namun memiliki wibawa yang amat kuat.
Sebaliknya Bagus Sajiwo juga kagum dan senang melihat Maya Dewi. Wanita ini seolah tidak berubah setelah usianya bertambah tiga tahun. Masih seperti dulu. Masih cantik jelita penuh daya tarik, akan tetapi sekarang keliaran yang tampak pada sinar mata dan gerak-geriknya dahulu itu telah lenyap, sinar matanya tenang bercahaya mengandung kebahagiaan, gerak-geriknya juga lembut. Hal ini bahkan menambah daya tariknya menjadi ayu manis merak ati (cantik manis memikat hati).
Dia tahu bahwa daya tarik jasmaniah yang amat kuat ini tentu akan membuat banyak pria tergila-gila. Akan tetapi dia sendiri, sejak pertemuan pertama, tidak terpengaruh oleh daya tarik kecantikan Maya Dewi. Yang ada dalam hatinya adalah kasih sayang yang menimbulkan perasaan belas kasih dan setia-kawan. Dia hanya ingin membimbing wanita itu kembali ke jalan kebenaran, ingin membela dan rasa kasih sayangnya itu seperti kasih sayang seorang saudara.
"Bagus, kita sekarang hendak pergi kemana?"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Dan engkau sendiri, Dewi?"
"Sudah kukatakan sejak dulu, Bagus. Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, tidak ada tempat yang kutuju, maka aku akan pergi kemana engkau pergi."
"Akan tetapi, Dewi, kita tidak mungkin begini terus, melakukan perjalanan bersama selalu. Engkau tentu tahu, ada waktunya bertemu, ada waktunya berkumpul, ada pula waktunya untuk berpisah. Dengan bekal kemampuan yang kau miliki, kukira engkau akan mampu hidup seorang diri dengan aman, asal engkau selalu berpijak pada jalan kebenaran."
"Aku tahu, Bagus. Akan tetapi aku belum merasa bisa untuk kau tinggalkan. Dahulu, sebelum bertemu denganmu, aku merasa seolah hanyut dalam samudra kehidupan yang penuh gelombang dahsyat yang menyeret dan hendak menenggelamkan aku. Aku merasa tidak berdaya, merasa sengsara, tidak mengenal kebahagiaan, hanya mabok dengan kesenangan jasmani yang berakhir dengan kebosanan, kekecewaan dan duka nestapa. Lalu engkau muncul. Aku merasa seolah aku menemukan sepotong papan yang kuat untuk kupegang dan menjadi tempat aku bergantung agar tidak terus hanyut dan tenggelam. Kalau sekarang engkau hendak meninggalkan aku dan kita harus berpisah, aku akan kehilangan pegangan dan aku takut akan hanyut kembali, Bagus. Aku takut!"
"Dewi, kenapa mesti takut? Engkau harus mempunyai kepercayaan kepada dirimu sendiri. Ingat bahwa engkau telah membuka hatimu terhadap Gusti Allah dan dengan sepenuh jiwa raga berserah diri kepadaNya. Itu berarti bahwa kekuasaan Gusti Allah selalu mendampingimu, selalu membimbingmu. Apalagi yang perlu kau takuti kalau kekuasaanNya berada dalam dirimu? Aku ini hanya manusia biasa seperti juga dirimu, dengan segala kelemahanku. Aku juga hanya merasa kuat karena yakin bahwa Gusti Allah menyertaiku."
"Bagus, tolonglah, Bagus. Aku bukan takut akan ancaman bahaya dari luar, melainkan terhadap diriku sendiri. Aku... aku... aku cinta padamu, aku menyayangmu, aku tidak tahan untuk berpisah darimu, Bagus. Engkaulah satu-satunya manusia di dunia ini yang kukasihi, yang kupercaya, yang akan kubela sampai mati karena aku yakin bahwa engkau pun selalu melindungiku dan membelaku, selalu memberi tuntunan kepadaku. Bagus, demi Gusti Allah, jangan tinggalkan aku, Bagus..."
Maya Dewi tak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatinya membayangkan betapa ia akan hidup seorang diri seperti dulu lagi, kehilangan Bagus Sajiwo yang amat dipuja dan dicintanya sehingga ia tak dapat menahan jatuhnya air mata yang menetes-netes dari kedua matanya.
Bagus Sajiwo menghela napas panjang. Dia merasa iba kepada wanita itu dan merasa tidak tega untuk memaksakan perpisahan antara mereka. "Dewi, engkau tentu tahu bahwa akupun amat menyayangmu dan aku merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat menyadari akan kesalahanmu yang sudah-sudah, mau bertaubat dan mengubah jalan hidupmu. Aku tadi hanya ingin menjelaskan kepadamu bahwa ada waktunya bertemu, berkumpul kemudian berpisah. Perpisahan tidak dapat kita hindarkan, Dewi."
"Bagus, sekali lagi kuminta padamu, biarkan aku mengikutimu, berilah aku waktu sampai aku merasa kuat untuk hidup seorang diri. Kasihilah aku, Bagus."
Bagus Sajiwo tidak dapat membantah lagi. Dia mengangguk dan tersenyum memandang wajah wanita itu. "Baiklah, Dewi, kalau itu yang kau kehendaki."
"Ah, Bagus! Terima kasih, Bagus, terima kasih!" Maya Dewi berseru dengan gembira sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang masih basah itu berbinar-binar dan mulutnya tersenyum lebar.
"Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita ini." ajak Bagus Sajiwo dan dengan gembira Maya Dewi melangkah di samping pemuda itu sambil memegang tangan Bagus Sajiwo.
Mereka berjalan sambil bergandengan tangan menuruni bukit karang dan Bagus Sajiwo tidak merasa sungkan atau aneh bergandengan tangan seperti ini karena dia memang sudah merasa akrab sekali dengan wanita itu yang dia anggap sebagai seorang saudara sendiri.
"Kita sekarang menuju kemana, Bagus?" tanya Maya Dewi.
"Aku akan ke Gunung Kawi, dimana ayah ibuku tinggal."
"Kenapa baru sekarang setelah engkau berusia dua puluh tahun engkau boleh kembali ke rumah orang tuamu? Kenapa gurumu mengadakan peraturan yang begitu aneh?"
"Entahlah, Dewi. Mendiang Eyang Guru adalah seorang yang arif bijaksana, tentu beliau memberi pesan itu demi kebaikanku, atau kebaikanmu?"
"Eh, mengapa demi kebaikanku?"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Aku tiba-tiba teringat akan peristiwa yang kita alami. Andaikata eyang guru tidak berpesan seperti itu, tentu tiga tahun lebih yang lalu, begitu meninggalkan Pegunungan Ijen, aku langsung saja pulang ke rumah orang tuaku di Gunung Kawi dan aku tidak akan bertemu denganmu, Dewi. Bukankah itu semua telah diatur demi kebaikan termasuk kebaikan untuk dirimu?"
"Ah, kalau direnungkan, benar juga ucapanmu itu, Bagus. Karena itu, aku berterima kasih kepadamu, berterima kasih pula kepada mendiang Eyang Ki Ageng Mahendra, gurumu yang bijaksana itu."
"Engkau lupa, Dewi. Semestinya engkau mengucap syukur dan terima kasihku kepada Gusti Allah, karena sesungguhnya segala pertolongan itu datang dari Gusti Allah. Dalam keadaanmu, pertolongan Gusti Allah padamu itu hanya melalui aku dan mendiang Eyang Guruku."
Maya Dewi mengangguk-angguk. "Aku tidak lupa, Bagus. Sejak engkau menyadarkan aku akan keberadaan Gusti Allah Yang Maha Kuasa, Maha Sempurna. Maha Kasih dan Maha pengampun, aku tidak pernah melupakanNya dan setiap saat aku bersyukur dan berterima kasih kepadaNya, doaku kupanjatkan tiada hentinya sehingga pernapasanku seolah telah menjadi doaku yang selalu mohon pengampunan atas dosa-dosaku dan berterima kasih atas segala berkat yang dilimpahkan kepada diriku yang kotor dan hina ini. Semoga semua doaku itu diterimaNya, Bagus."
"Amin-amin-amin." kata Bagus Sajiwo, hatinya merasa bahagia sekali mendengar ucapan dan melihat sikap Maya Dewi itu.
Kalau dia ingat pertemuannya pertama kali dengan Maya Dewi, pada tiga tahun lebih yang lalu, dia masih bergidik. Ketika itu Maya Dewi merupakan seorang manusia yang kejam, liar dan sesat.
********************
Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan sejak jaman Mojopahit tak pernah mau tunduk terhadap Kerajaan Mojopahit dan sampai Sekarang, pada masa jaya-jayanya Kerajaan Mataran di bawah pemerintahan Sultan Agung, Blambangan tetap merupakan kerajaan atau kadipaten yang belum ditundukkan oleh Kerajaan Mataram yang pada waktu itu sudah menundukkan hampir semua kadipaten termasuk Madura dan Surabaya.
Bahkan Kadipaten Blambangan semakin memperkuat diri karena selain sejak dulu Blambangan diperkuat dukungan Kerajaan Bali, juga setelah Mataram menundukkan Kadipaten-kadipaten lain, mereka yang tidak mau tunduk, orang-orang yang sakti, para jagoan, semua melarikan diri ke Blambangan yang masih merupakan kadipaten yang berdiri tegak tidak mengikuti kekuasaan Mataram. Memang, menurut catatan sejarah, pada permulaan abad ke tujuh belas, Blambangan diserang dan kemudian diduduki Kadipaten Pasuruan.
Akan tetapi kekuasaan Kadipaten Pasuruan atas Blambangan hanya berlangsung selama belasan tahun saja karena setelah Sultan Agung di Mataram menyerang dan menundukkan Pasuruan pada tahun 1617, Blambangan pun melepaskan diri dari Kadipaten Pasuruan dan kembali Blambangan bangkit dan dengan dukungan Bali menjadi kuat kembali.
Pada waktu kisah ini terjadi, Blambangan dipimpin oleh seorang Adipati yang menggunakan nama Adipati Santa Guna Alit, cucu dari Raja Santa Guna yang dulu pernah memimpin Blambangan dan menjadikan Blambangan sebuah kerajaan yang kuat. Raja kecil atau Adipati Santa Guna Alit merasa dirinya cukup kuat, namun tetap saja dia merasa khawatir Kalau-kalau Mataram akan mengirim pasukan besar untuk menaklukkan Blambangan.
Karena itu, dalam usahanya untuk mempertahankan Blambangan, dia menjalin hubungan yang lebih erat dengan para raja di Bali, terutama Kerajaan Bali Selatan. Para raja di Bali siap membantu Blambangan menghadapi ancaman Mataram karena Blambangan merupakan benteng pertama untuk menentang gerakan pasukan Mataram kalau Mataram berniat menyerang Bali.