Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Kemelut Blambangan
Jilid 01
MATAHARI telah naik tinggi dan sinarnya cerah menghangatkan napas kehidupan di permukaan bumi. Akan tetapi, sinar matahari itu masih tidak mampu menembus daun-daunan lebat yang menjadi perisai sehingga sinar matahari tidak mampu langsung membakar tanah hutan lebat itu, hanya mendatangkan penerangan yang sempit menerobos melalui celah-celah daun-daunan. Sinar matahari yang menerobos itu menjadi garis-garis putih, membuat garis-garis hitam putih di dalam hutan.
Wanita itu rebah di bawah sebatang pohon besar, rebah miring seperti tidur pulas. Rambutnya terurai lepas dari sanggulnya. Pakaiannya juga kusut. Bagian leher, muka dan kaki yang tampak sampai ke betisnya itu, di bagian yang terkena sentuhan garis sinar putih matahari, tampak putih mulus kekuningan. Namun wajahnya pucat dan di kedua pipinya masih tampak bekas air mata. Mulutnya yang berbentuk indah dengan bibir tipis penuh itu tertarik seperti orang yang sedang kesakitan.
Bentuk tubuhnya juga indah, padat dengan lekuk lengkung nyaris sempurna, sesuai dengan wajahnya yang cantik jelita. Rambut yng terurai itu hitam panjang dan agak berombak. Wajahnya bulat telur dengan dagu manis meruncing. Sepasang alisnya juga hitam dan melengkung seperti dilukis. Matanya tertutup namun bulu mata menjungat ke atas sehingga dalam keadaan terpejam pun sudah tampak indah.
Hidungnya kecil mancung, akan tetapi yang paling menarik adalah mulutnya. Sepasang bibir itu penuh dan tipis, bentuknya menggairahkan walaupun saat itu agak pucat seperti wajahnya. Tubuhnya denok agak montok, dengan pinggang kecil sehingga dada dan pinggulnya tampak membusung. Usianya, melihat kecantikan wajah dan kepadatan tubuhnya, masih muda, sekitar dua puluh tahun lebih. Kalau diperhatikan dengan seksama, akan ketahuan bahwa ia tidak tidur. Tidak mungkin seorang wanita cantik seperti itu, yang pakaiannya cukup pantas dan bersih walaupun kusut, tidur di bawah pohon dalam hutan di atas tanah begitu saja! Wanita itu bukan sedang tidur, melainkan pingsan.
Seekor ular sebesar paha orang dewasa menggeleser di atas tanah, ke arah tubuh wanita yang rebah miring itu. Lidah ular itu keluar masuk dan setelah tiba dekat dengan tubuh wanita itu dia berhenti dan seolah-olah mencium dan menjilat-jilat kaki wanita dengan ragu. Kemudian tubuhnya menggeleser lagi, melewati kaki, terus ke pinggang lalu ke dada dan meninggalkan lagi tubuh wanita itu tanpa mengganggunya. Mungkin dia menganggap tubuh itu terlalu besar untuk dijadikan mangsanya, atau mungkin juga karena tubuh itu sama sekali tidak bergerak, maka kurang merangsang seleranya, tidak seperti korban yang hidup bergerak-gerak meronta ketika digigit dan perlahan-lahan ditarik ke dalam perutnya.
Wanita itu tetap tak bergerak. Mimpipun tidak ia bahwa tubuhnya telah dilalui seekor ular yang panjangnya ada dua kali panjang tubuhnya. Andaikata ia dalam keadaan sadar, tentu ia akan menjerit-jerit, karena wanita pada umumnya merasa ngeri dan jijik terhadap ular.
Tak lama kemudian, seekor kelinci yang gemuk dengan bulu putih berloncatan mendekat. Melihat tubuh manusia, ia berhenti meloncat, bahkan dia tak bergerak, matanya tertuju kepada tubuh itu dan daun telinganya yang panjang itu bergerak-gerak sedikit. Agaknya ia merasa aman karena wanita itu sedikitpun tidak bergerak, maka ia berloncatan menghampiri. Setelah dekat, ia mendekatkan moncongnya, hidungnya mencium-cium betis yang putih mulus karena kakinya agak tersingkap.
Tiba-tiba terdengar auman yang menggetarkan seluruh hutan. Kelinci itu terkejut bukan main. menoleh dan seolah ia terkena sihir oleh sepasang mata harimau yang muncul dari semak, hanya dalam jarak tiga meter. Saking kaget dan takutnya, kelinci itu tidak mampu bergerak, apalagi melarikan diri. sepasang matanya yang lebar bening itu membayangkan ketakutan. Mungkin karena gerengan yang menggetarkan itu, atau bisa juga karena memang sudah waktunya, tubuh wanita itu bergerak. Ia telah siuman dari pingsannya dan pada saat itu, kembali harimau tadi menggereng.
Dengan gerakan yang amat cepat, wanita iu sudah bangkit duduk dan ia melihat betapa seekor harimau gembong yang besar bergerak menubruk seekor kelinci gemuk yang berdiri ketakutan di dekatnya.
"Macan jahat!" Wanita itu berseru dan tubuhnya melompat, menyambut terjangan harimau yang hendak menerkam kelinci. Dengan gerakan indah dan gesit, ia mendoyongkan tubuhnya dan tangan kirinya menampar.
"Desss....!" Tangan kiri yang terbuka dan miring itu seperti pedang membacok dan mengenai dada harimau. Tubuh yang sebesar gudel (anak kerbau) itu terlempar dan terbanting jatuh ke atas tanah.
"Macan jahat....!" Wanita itu melompat ke depan dan sebelum harimau itu sempat berdiri, ia sudah menyambar ekor harimau yang panjang, kemudian sekali ia menggerakkan tangannya yang memegang ekor harimau, binatang buas itu terputar-pitar di atas kepalanya. Tampaknya begitu ringan baginya seolah sedang memutar-mutar sebuah benda yang ringan saja. Ia menghampiri sebongkah batu besar dan ingin membanting harimau itu ke atas batu, biar hancur berantakan kepalanya!
Akan tetapi pada saat itu, ia mendengar bisikan, seolah keluar dari hatinya. "Harimau itu tidak jahat! Memang kelinci dan sejenisnya sudah dikodratkan menjadi mangsanya, penyambung hidupnya. Harimau tidak dapat hidup dari makan rumput dan daun-daunan."
Mendengar suara yang amat dikenalnya itu, ia menjadi lemas dan sambil terisak ia melemparkan harimau itu sehingga terlontar jauh dan jatuh berdebuk di atas tanah. Harimau itu menggereng lalu berlari ketakutan! Wanita itu terisak dan menjatuhkan diri berlutut di bawah pohon sambil terisak, membuat kelinci tadi lari menyelinap ke dalam semak-semak.
"Bagus.... ahh, Bagus....!" Ia merintih dan air matanya berderai di sepanjang kedua pipinya yang agak pucat. Ia mengenal betul suara yang berbisik di hatinya tadi. Suara Bagus Sajiwo, yang pernah berkata demikian tentang harimau dan binatang lain yang oleh manusia dinamakan "Binatang buas" Bahkan Bagus Sajiwo pernah mengatakan bahwa yang buas itu bukan binatang yang memangsa hewan lain, melainkan manusia! Binatang-binatang itu membunuh dan makan demi kesenangan mulutnya.
Semua binatang makan menurut kodratnya dan hanya makan kalau tubuhnya membutuhkan, kalau perutnya lapar. Akan tetapi manusia, didorong untuk makan, selain karena lapar, terutama sekali karena ingin menikmati kesenangan mulut itu, apa saja dimakannya!
"Bagus....!" Akhirnya wanita itu. Maya Dewi, dapat menenangkan diri dan sebutan itu seolah mejadi pegangan hatinya sehingga ia kuat menahan kepedihan hatinya. Maya Dewi kini duduk bersandar batang pohon, menjulurkan kedua kakinya dan membiarkan ingatannya mengembara ke masa lalu, mengingat akan semua pengalaman hidupnya semenjak ia dapat mengingatnya. seolah terbayang semua pengalaman itu di mata batinnya.
Yang dapat teringat adalah ketika ia berusia kurang lebih lima tahun dan ia hidup berdua dengan ayahnya, yaitu mendiang Resi Koloyitmo. Menurut ayahnya itu, ibu kandungnya telah meninggal dunia ketika ia berusia setahun dan sejak itu ia dipelihara dan dididik ayah kandungnya itu. Ia dimanja dan sejak kecil digembleng berbagai ilmu oleh ayahnya yang sakti. Akan tetapi, ketika ia berusia kurang lebih tiga belas tahun, ayahnya terusir dari daerah Parahyangan dari mana mereka berasal karena ayahnya dianggap sesat dan melakukan banyak kejahatan sehingga dimusuhi para pendekar dan para senopati. Ayahnya terpaksa meninggalkan Parahyangan dan mengajak ia pergi merantau.
Sekarang ia melihat jelas betapa ayahnya benar-benar seorang sesat. Jalan hidupnya penuh kejahatan. Tidak ada perbuatan jahat dia pantang. Merampok, menculik dan memeperkosa wanita-wanita, membunuh, apa saja asal dapat memuaskan dorongan nafsu, mereguk kenikmatan badan. Ia dibesarkan dalam didikan ayahnya yang seperti itu, dan dalam lingkungan orang-orang sesat yang menjadi sahabat ayahnya. Maka, setelah berusia dua puluh tahun, mulailah ia melakukan kejahatan meniru ayahnya.
Lebih-lebih setelah ia hidup sendiri, terpisah dari ayahnya, ia menjadi binal dan liar. Ia juga melakukan perbuatan apa saja. Merampok, mencuri, menculik dan mempermainkan pria-pria muda untuk memuaskan nafsunya, lalu membunuh mereka.
Bahkan ia rela menjadi antek Kumpeni Belanda, untuk memusuhi Mataram yang dibencinya, dan untuk mendapatkan kemuliaan duniawi dan kemewahan hidup. Ia membiarkan diri menjadi budak nafsu-nafsunya sendiri, tidak pandang melakukan apa saja dan menjadi musuh semua pendekar Mataram. selama sepuluh tahun lebih ia bergelimang dosa sampai akhirnya ia bertemu dengan Bagus Sajiwo, kurang lebih empat tahun yang lalu. Sejak saat itu terjadilah perubahan hebat dalam dirinya, jasmani dan rohaninya. Terutama rohaninya.
Ia mulai mengenal Gusti Allah, mulai menyadari betul akan semua dosanya dan dengan bimbingan bagus Sajiwo yang mengatakan bahwa dia bukan membimbing karena yang membimbing itu adalah Kekuasaan Gusti Allah sendiri dan dia hanya menunjukkan dan menyadarkan saja, terjadi perubahan mendasar pada dirinya. Ia hidup bersama Bagus Sajiwo, saling mencinta tanpa dikotori nafsu berahi, mengalami suka duka sampai mereka menemukan Jamur Dwipa Suddhi dan kitab Sari Bantala. Mereka berhasil menguasai aji kesaktian itu setelah melatihnya selama tiga tahun dalam ruangan bawah tanah.
Mereka berdua lalu keluar dari ruangan itu dan pergi ke gunung Kawi, ke rumah Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo, suami isteri pendekar yang menjdi orang tua Bagus Sajiwo. Bahkan mereka berdua sempat menyelamatkan keluarga itu dari serangan Tejakasmala yang sakti mandraguna bersama dua orang anak buahnya. Kemudian mereka menghadap orang tua Bagus Sajiwo dan.... ia harus mengalai penghinaan, pengusiran, bahkan tamparan dari Nyi Retno Susilo! Kedua pipinya yang masih membengkak itu tidak dirasakannya.
Semua penghinaan, makian dan pengusiran itu sama sekali tidak berbekas lagi dalam hatinya. Ia tidak sakit hati terhadap Nyi Retno Susilo, tidak menyalahkannya karena memang sudah sepantasnya ia diperlakukan demikian mengingat dosa-dosanya di masa lalu. Akan tetapi, yang membuat sedih sekali dan seolah kehilangan pegangan adalah karena ia harus berpisah dari Bagus Sajiwo.
Ni Maya Dewi menghela napas. Ia menyadari benar akan semua kesalahannya, akan keadaan dirinya. Ia memang tidak pantas berdekatan dengan Bagus Sajiwo, tidak pantas sama sekali untuk dicinta pemuda itu. Bahkan untuk mencinta pemuda itupun ia tidak patut. Ia adalah seorang wanita yang mempunyai riwayat yang kotor dan busuk yang sudah sepatutnya dijuluki Wanita Iblis Cantik dari Banten, yaitu daerah asal ayahnya sebelum ke Parahyangan kemudian ke daerah Mataram. Ia dahulu memang iblis. Iblis betina yang jahat.
Bagaimana mungkin ia dapat disejajarkan dengan para pendekar itu, apalagi dibandingkan dengan Bagus Sajiwo yang keturunan para pendekar sakti, keturunan para pahlawan bangsa, pemuda yang sakti mandraguna dan arif bijaksana? Untuk menjadi pelayannya saja ia tidak pantas! Lebih lagi kalau diingat bahwa Bagus Sajiwo adalah seorang perjaka berusia dua puluh satu tahun, sedangkan ia adalah seorang wanita sesat berusia tiga puluh enam tahun! Bagus Sajiwo pantas menjadi keponakannya, bahkan masih pantas menjadi anaknya! Ia harus melupakan dia!
"Ya, aku harus melupakan dia...." bibirnya gemetar ketika membisikkan kata-kata ini dan hatinya seperti ditusuk mendengar arti bisikannya sendiri. Air matanya berderai semakin deras, membasahi kedua pipinya yang agak membiru dan bengkak, akibat tamparan Nyi Retno Susilo yang menghinanya, memakinya, dan mengusirnya.
Tidak! Aku tidak dapat melupakan dia! Aku mencintainya! Ya, aku cinta Bagus Sajiwo! Terdengar olehnya sendiri suara itu berteriak di dalam hatinya. "Aku mencintainya..." bibirnya berbisik, merintih. "Aku ingin melindungi dan menjaganya seperti seorang ibu, aku ingin mencumbu dan membelainya seperti seorang isteri, aku ingin menghormat dan mentaatinya seperti seorang murid, aku ingin melayaninya seperti seorang abdi, aku ingin.... ah, aku ingin menjadi segala-galanya untuk Bagus Sajiwo..." Maya Dewi menangis tersedu-sedu di bawah pohon itu.
Salahkah aku? Kembali hatinya berbisik. "Salah dan dosakah aku kalau hamba ini mencinta Bagus Sajiwo? Apakah seorang manusia seperti hamba ini tidak boleh mencinta?"
Lalu muncul jawaban itu, dari pikirannya. "Tidak, aku tidak salah, tidak berdosa. Aku manusia hidup, berhak untuk bersenang-senang, berhak untuk memilih orang yang kucinta!" Maya Dewi menggerakkan kedua tangan untuk menutupi kedua telinganya, seolah tidak ingin mendengar lebih lanjut. Akan tetapi suara itu terus berceloteh, kini mengejek dan membujuk.
"Bodoh engkau, Maya Dewi! Bersenang-senang tidak berdosa. Kalau engkau tidak bisa mendapatkan Bagus sajiwo, mengapa susah? Di sana masih ada ribuan pemuda seperti Bagus Sajiwo yang mudah kaudapatkan, dengan kasar maupun halus. Bersenang-senanglah selagi engkau masih hidup!"
Bagaikan datangnya awan mendung yang gelap, datang perlahan-lahan namun pasti, bayangan itu datang, bayangan segala kesenangan dan kenikmatan yang pernah ia geluti selama bertahun-tahun, sebelum ia bertemu dengan Bagus Sajiwo empat tahun yang lalu. Dalam keadaan gelap yang memabukkan itu, tiba-tiba terdengar suara lembut, berwibawa dan penuh kasih sayang.
"Dewi, waspadalah setiap saat terhadap pikiranmu sendiri. Sedikit saja engkau lengah, iblis akan menggunakan nafsu dalam hati akal pikiranmu sendiri untuk menyeretmu ke lembah dosa, dengan umpan bayangan segala macam kesenangan, kenikmatan dan semua yang serba enak. Engkau pernah mengalaminya. Semua kesenangan duniawi dan badani itu akhirnya membawa engkau ke dalam jurang kenistaan dan kesengsaraan. Sadarlah."
Bagus! Bagus Sajiwo! Itu suaranya! Maya Dewi melompat berdiri, memandang ke kanan kiri, akan tetapi sunyi saya disekelilingnya. Ia tertunduk lagi ke atas tanah dengan tubuh lemas. Benar itu suara Bagus Sajiwo, akan tetapi suara seperti yang pernah dikatakan pemuda itu, yang masih bergema dalam sanubarinya.
"Benar," bisiknya. "Engkau benar, Bagus. Aku telah merasakan neraka dalam hidup ini, sebagai akibat dari penghambaan diriku kepada nafsu-nafsuku sendiri."
Bohong! Tidak benar! Bocah itu tahu apa? Selagi masih hidup adalah hakmu untuk mereguk kesenangan sepuas-puasnya. Kalau sudah mati engkau tidak akan dapat menikmatinya lagi. Suara itu parau mengejek.
"Iblis kau!" Maya Dewi melompat berdiri, membalik dan kedua tangannya menghantam ke arah pohon yang tadi disandarinya.
"Wuuuttt.... braaakkk....!" Pohon itu patah dan tumbang! Maya Dewi lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu, memasuki hutan itu lebih dalam lagi. Ia marah kepada dirinya sendiri, kepada pikirannya, Mengapa ia begitu bodoh mau mendengarkan bujukan iblis lewat pikirannya? Ia sudah tahu benar bahwa hati akal pikiran manusia seringkali dipergunakan iblis yang membonceng untuk memancing manusia dengan umpan gairah nafsu daya rendah yang serba menyenangkan badan, Karena itu hati, akal manusia sendiri tidak akan mampu menanggulangi bujukan iblis. Bahkan hati akal pikirannya sendiri yang sudah dikuasai iblis malah membenarkan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari kebenaran itu dengan bermacam alasan. Tadi pun ia mengalami sendiri. Ia teringat akan contoh-contoh yang diberikan Bagus Sajiwo ketika mereka berdua sedang berlatih Aji Sari Bantala yang amat sukar itu.
"Coba ingat, Dewi. Semua orang, tidak terkecuali, sudah tahu benar bahwa perbuatan jahat itu adalah dosa. Adakah pencuri yang tidak tahu bahwa pencuri itu jahat? Adakah penjahat yang tidak tahu bahwa perbuatan jahat itu tidak baik, berdosa dan berlawanan dengan kehendak Gusti Allah agar manusia selalu mangayu hayuning bawono (mengusahakan kesejahteraan dunia)? Akan tetapi pengertian itu dibantah oleh pikirannya sendiri dengan bermacam alasan yang bermaksud meniadakan rasa bersalah itu."
Ucapan Bagus Sajiwo itu dapat ia rasakan kebenarannya karena ia dahulu sudah mengalaminya sendiri. Dahulu, keika ia masih hidup sebagai hamba nafsu dan menjadi budak iblis, terkadang ia merasakan bahwa perbuatannya itu tidak benar dan jahat, akan tetapi pikirannya sendiri selalu membantah dengan berbagai alasan sehingga perasaan bersalah itu pun cepat menghilang.
"Hanya kekuasaan Gusti Allah yang akan mampu menundukkan gelora nafsu yang digerakkan iblis. Karena itu, hanya dengan penyerahan diri sepenuhnya lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah saja kita akan dapat terhindar dari cengkeraman iblis melalui nafsu daya rendah kita sendiri." demikian yang ia dapatkan dalam mempelajari Aji Sari Bantala.
"Duh Gusti Allah, ampunkan hamba..." teringat akan semua ini, Maya Dewi berhenti melangkah,dan melihat tempat teduh di bawah pohon, ia lalu berdiri di situ dan sebentar saja ia sudah tenggelam ke dalam keheningan dan kehampaan. Ia membiarkan dirinya hanyut dalam keheningan itu dan membiarkan dirinya tersentuh kekuasaan Gusti Allah yang menggerakkan dirinya untuk duduk di atas sebuah batu dan ia duduk seperti telah berubah sebagai arca namun merasa betapa seluruh tubuhnya bergetar dan hidup!
Sampai lama getaran itu bekerja secara ajaib dan setelah getaran itu perlahan-lahan tak terasa lagi, ia membuka kedua matanya dan senyum bahagia mengembang di bibirnya yang kini mendapatkan kembali warna aselinya yang merah membasah. Wajahnya menjadi cerah sekali, sepasang matanya bersinar-sinar. Ia merasa seolah hidupnya diperbarui dalam waktu yang hanya setengah jam itu!
Hilanglah semua rasa duka, sedih, gembira dan lain perasaan yang mengusik batin. Adanya hanya ketenangan penuh damai, tenteram, dan itukah yang oleh manusia dinamakan bahagia? Ia tidak mampu menjawab, hanya mampu merasakan seperti yang biasa ia rasakan setiap kali berlatih diri Aji Sari Bantala.
Sambil tersenyum Maya Dewi melanjutkan perjalanannya tanpa tujuan tertentu, hanya menurutkan saja ke mana kedua kakinya membawanya dan ia merasa seolah ada kekuatan gaib yang membimbingnya!
Dusun Sampangan di Pegunungan Kidul itu menjadi gempar. Semua penduduk ketakutan sehingga dusun itu tampak sepi. Kebanyakan penduduknya bahkan tidak berani keluar rumah kalau tidak ada keperluan penting dan mendesak. Rumah Ki Lurah Ganjar diliputi kedukaan dan terdengar ratap tangis dari dalam rumah Ki Lurah. Walaupun ratap tangis beberapa wanita itu tidak nyaring karena agaknya ditahan, namun tetap saja terdengar oleh Maya Dewi yang pada sore hari itu tiba di dusun Sampangan.
Karena senja menjelang tiba, ia bermaksud untuk bermalam di dusun itu dan mencari-cari rumah keluarga yang sekiranya dapat dipondoki semalam. Akan tetapi begitu memasuki dusun itu, ia sudah melihat keanehan. Dusun itu sunyi dan beberapa orang yang dijumpainya tampak ketakutan dan menghindar, tidak berani bertemu dengannya. Ketika ia mendengar tangis beberapa orang wanita dari rumah yang paling besar di dusun itu, ia berhenti melangkah, lalu memasuki pekarangan rumah itu.
Mendengar tangis dan rintihan memilukan dan menyedihkan itu, Maya Dewi merasa curiga dan cepat ia menghampiri pintu depan yang tertutup dan mengetuknya beberapa kali. Suara tangis berhenti dan terdengar bisik-bisik dari dalam, bisikan yang mengandung ketakutan.
"Tok-tok-tok!" Maya Dewi mengetuk lagi. "Ki Sanak yang berada di dalam rumah. Jangan takut, aku bukan penjahat. Aku justeru datang untuk menolong kalian? Bukalah pintu dan ceritakan padaku apa yang terjadi."
Setelah mendengar suara wanita, agaknya orang-orang dalam rumah itu tidak begitu takut lagi. Terdengar langkah kaki ke arah pintu dan daun pintu dibuka dari dalam. Yang membukanya adalah seorang laki-laki sekitar empat puluh tahun usianya dan di ruangan itu Maya Dewi melihat beberapa orang wanita yang masih ada bekas tangis pada muka mereka. Laki-laki itu, juga beberapa orang wanita dan laki-laki yang berada di ruangan itu, yang tampak ketakutan, kini memandang heran kepada Maya Dewi. Agaknya mereka sama sekali tidak mengira bahwa yang mengetuk pintu adalah seorang wanita muda yang demikian cantik jelita.
"Ki Sanak, aku kebetulan lewat di dusun ini dan tadi mendengar suara tangis dari dalam rumah ini juga rumah-rumah yang lain tertutup daun pintunya, dusun pun sepi dan beberapa orang laki-laki yang keluar pintu seolah ketakutan. Apakah yang terjadi dan kenapa para wanita ini menangis?"
Laki-laki itu tidak menjawab, melainkan melongok keluar pintu, menengok ke kanan kiri dengan wajah takut lalu menutupkan kembali daun pintunya sehingga Maya Dewi kini berada dalam ruangan tertutup yang remang-remang.
"He, mengapa pintu ditutup?" tanyanya.
"Kami.... kami takut.... Mas Ayu...."
"Takut? Apa yang kalian takuti?"
Tiba-tiba terdengar suara orang merintih dari dalam sebuah kamar di sebelah kiri ruangan itu. "uh-uh-uh... panas.... panas..."
"Ada yang sakit?" tanya Maya Dewi.
Laki-laki itu mengangguk. "Pak Lurah yang sakit. Mas Ayu, sakit parah...."
"Hemm, coba kulihat. Siapa tahu aku akan dapat mengobati dan menyembuhkannya." Maya Dewi memasuki kamar itu diikuti semua orang. Ada empat orang laki-laki setengah tua dan tiga orang perempuan.
Kamar itu cukup besar dan di sudut rebah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tampak kuat, akan tetapi dia kini rebah dengan gelisah, mukanya pucat dan matanya terbelalak seperti ketakutan, dan mulutnya mengeluh kesakitan dan kepanasan.
Begitu memasuki kamar, Maya Dewi sudah merasakan ada sesuatu yang tidak wajar dalam kamar itu. Ada hawa yang menyeramkan dan panas. Kamar itu pun agak gelap, remang-remang. "Nyalakan lampu, aku ingin memeriksanya." kata Maya Dewi.
Tujuh orang itu tampak kaget dan ketakutan. Laki-laki yang membuka pintu tadi menggeleng kepala. "Tidak.... tidak, kami tidak berani, Mas Ayu."
Maya Dewi mengerutkan alisnya. "Hemm, apa yang kalian takuti? Nyalakan lampu, aku yang bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa. Kalau ada penjahat yang datang mengganggu, aku akan hajar mereka dan kalau ada setan datang, aku akan mengusirnya!"
Melihat orang-orang itu masih ketakutan dan tidak ada yang melakukan permintaannya, Maya Dewi lalu mengambil sendiri lampu di atas meja dalam kamar itu dan menyalakannya sehingga kamar itu menjadi terang.
"Tapi, Mas Ayu...." beberapa orang bersuara.
"Diam kalian semua! mengapa begitu penakut? Siapa sih yang akan mengganggu kalian? Biarkan mereka datang, akan kuhajar semua!" bentak Maya Dewi yang sudah merasa jengkel melihat sikap semua orang. Semua orang terdiam dan Maya Dewi menghampiri pembaringan di mana laki-laki tinggi besar itu rebah dengan gelisah.
Begitu duduk di tepi pembaringan dan menyentuh dahi orang itu, Maya Dewi yakin bahwa orang ini bukan terserang penyakit yang wajar! Penyakit ini datang menyerang melalui perantaraan kuasa iblis! Penyakit yang didatangkan oleh kekuatan sihir.
"Harap kalian semua keluar dari kamar ini. Aku akan mengobati Ki Lurah." kata Maya Dewi. Semua orang segera keluar dari kamar dan menanti di ruangan dengan harap-harap cemas. Tentu saja mereka mengharapkan wanita cantik itu benar-benar akan dapat menyembuhkan Ki Lurah, akan tetapi mereka juga merasa takut sekali karena rumah itu kini diterangi lampu, padahal seluruh rumah di dusun itu dalam keadaan gelap dan semua ini untuk mentaati perintah dari Mbah Baureksa (kakek penjaga) Gua Siluman di puncak sebuah di antara perbukitan itu.
Mereka takut kalau-kalau Si Mbah akan marah dan kutukannya akan mencelakai mereka semua. Setelah semua keluar, Maya Dewi menutupkan daun pintu kamar. Lalu ia duduk bersila di atas pembaringan, dekat tubuh Ki Lurah yang terlentang gelisah. Ia lalu mengerahkan Aji Sari Bantala. Aji ini mengeluarkan getaran kuat yang mampu mengusir semua serangan yang datang dari kuasa kegelapan atau iblis yang dipergunakan orang-orang yang memiliki ilmu hitam.
Tak lama setelah getaran yang amat dahsyat itu menggetarkan segala yang berada di luar tubuh Maya Dewi, terdengar Ki Lurah mengaduh, disusul dengan dimuntahkannya sekepal darah menghitam dari mulutnya. Akan tetapi begitu dia muntah darah segumpal darah hitam, Ki Lurah lalu membuka matanya. Napasnya menjadi biasa kembali dan dia segera bangkit duduk ketika melihat ada wanita cantik duduk di pembaringannya. Melihat ini Maya Dewi lalu turun dari pembaringan dan berkata lembut.
"Jangan kaget dan jangan takut, Ki Lurah. Aku datang untuk membebaskanmu dari gangguan ilmu iblis yang membuatmu sakit tadi." Lalu Maya Dewi membuka daun pintu dan memanggil masuk semua orang. Tujuh orang itu segera memasuki kamar dan mereka tercengang, juga heran dan gembira melihat Ki Lurah sudah duduk di tepi pembaringan dengan wajah merah dan pandang mata menunjukkan bahwa dia telah sehat kembali.
Ki Lurah cepat turun dari pembaringan, lalu memberi hormat dengan sembah di depan dada sambil berkata, "Mas Ayu telah menyelamatkan nyawaku, untuk itu aku Ki Lurah Ganjar mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi, nuwun sewu (seribu maaf) Mas Ayu, kesembuhanku ini tidak akan menolong seluruh penduduk dusun Sampangan ini, bahkan kami akan terancam bahaya yang lebih hebat lagi."
Maya Dewi tersenyum. "Kalian semua jangan takut dan khawatir. Semoga Gusti Allah mengirim aku ke sini untuk mengulurkan berkah pertolonganNya kepada kalian. Mari kita bicara di ruangan depan yang lebih luas dan nyalakan lagi beberapa buah lampu agar penerangan menjadi cukup. Jangan takut, aku yang menjamin bahwa tidak akan ada setan yang dapat menggaggu kalian."
Melihat gadis itu mampu menyembuhkan Ki Lurah Ganjar dan mendengar ucapannya yang demikian meyakinkan, timbul keberanian dalam hati orang-orang itu. Mereka lalu keluar dari kamar dan ternyata Ki Lurah Ganjar sudah dapat berjalan sendiri dengan kuat, dan mereka sibuk, ada yang menyalakan tiga buah lampu besar, dan para wanitanya sibuk mempersiapkan makan malam dan minuman untuk tamu yang mendatangkan harapan bagi mereka itu.
Setelah keadaan di ruangan depan rumah Ki Lurah Ganjar itu menjadi terang benderang dan semua orang mengambil tempat duduk menghadapi Maya Dewi, mereka semua semakin kagum melihat kecantikan Maya Dewi yang luar biasa bagaikan seorang dewi kahyangan itu.
"Nah, sekarang, Ki Lurah, ceritakan kepadaku apa yang telah dan sedang terjadi di sini sehingga semua penduduk dusun ini ketakutan."
"Tapi.... tapi...." Ki Lurah memandang ke arah pintu yang sudah tertutup, matanya jelas menunjukkan bahwa dia takut sekali.
"Jangan takut, Ki Lurah! Aku tahu bahwa dusun ini tentu diganggu manusia atau makhluk jahat. Baik pengganggu itu manusia atau setan, aku sanggup mengusir mereka dan menyelamatkan kalian semua!"
Sambil berkata demikian, untuk menenangkan hati mereka, Maya Dewi sengaja menuju ke pintu depan dan dibukanya lebar-lebar seolah-olah ia menantang pengganggu itu agar datang! Semua memandang ke arah lubang pintu dengan mata terbelalak.
"Iblis jahanam mana yang berani mengganggu penduduk dusun ini? Jangan pengecut mengganggu penduduk ang tidak bersalah dan tidak dapat melawan! Kalau memang berani, datanglah dan lawanlah aku! Aku tantang kalian!"
Kini bukan hanya mereka yang berada di rumah Ki Lurah yang mendengar, bahkan para tetangga yang agak dekat juga mendengar seruan wanita itu dan mereka berindap-indap mengintai dari dalam rumah yang gelap. Mereka melihat wanita cantik itu berdiri di ambang pintu depan kelurahan, disinari penerangan yang cerah dari dalam rumah itu.
Tiba-tiba, seolah menjawab tantangan Maya Dewi dengan suara lantang tadi, dari kejauhan terdengar suara anjing melolong-lolong panjang, suara anjing mbaung (melolong) seperti bagi kepercayaan rakyat merupakan tanda bahwa di sana ada makhluk halusnya, sebangsa hantu. Maka mendengar suara ini semua orang merasa bulu tengkuk mereka berdiri dan ada rasa dingin merayap di tengkuk mereka. Mereka menggigil ketakutan.
Tiba-tiba terdengar suara melengking, bercicit-cicit dan tampaklah benda-benda hitam melayang dari luar ke arah pintu. setibanya di depan rumah Ki Lurah, benda itu berterbangan, berputaran di depan pintu rumah di mana Maya Dewi masih berdiri tegak. Ada tiga benda hitam yang berterbangan, atau lebih tepat makhluk karena mengeluarkan suara bercicitan nyaring.
"Kalong (kelelawar)....!" Ki Lurah Banjar berkata dan semua orang menggigil. Selama ini, hampir setiap senja menjelang malam, setelah cuaca mulai gelap seperti sekarang ini, selalu berterbangan kelelawar yang besar sekali berterbangan di antara rumah-rumah penduduk sambil bercicitan menyeramkan. semua penduduk percaya bahwa makhluk itu adalah jadi-jadian.
Tiba-tiba tiga ekor kelelawar raksasa itu mengeluarkan suara melengking dan mereka terbang meluncur ke arah Maya Dewi, agaknya menyerang dan hendak menggigit wanita itu! Semua orang terbelalak ngeri. Mereka membayangkan bahwa wanita cantik jelita itu pasti akan roboh dan mati dengan darah habis dihisap kelelawar-kelelawar itu seperti yang dialami Ki Sosro, jagabaya di dusun itu, seorang jagoan kuat yang berani mengeluarkan sikap menantang hantu yang mengganggu dusun Sampangan. Ki Sosro pada suatu malam terdapat menggeletak tanpa nyawa, mayatnya kering karena darahnya habis dan pada malam itu mereka mendengar sura melengking seperti itu. Dan kini, makhluk jadi-jadian itu meluncur dan menyerang gadis cantik jelita itu!
Akan tetapi dengan sikap tenang Maya Dewi menggerakkan kedua tangannya tiga kali sambil membentak, "Makhluk busuk, minggatlah!" terdengar suara berdebuk tiga kali disusul jerit melengking dari tiga ekor kelelawar itu, jeritan yang tidak mirip jeritan suara wanita kesakitan! Kemudian terdengar kelepak sayap tiga ekor makhluk itu yang terbang melayang dan lenyap ditelan kegelapan malam yang mulai datang menyelimuti dusun itu.
Semua orang yang tadinya merasa ngeri, kini bernapas lega dan mereka mulai percaya kepada Maya Dewi. Setelah melihat betapa tiga ekor kelelawar itu terbang pergi, Maya Dewi masuk kembali ke ruangan depan. ketika seorang laki-laki hendak menutupkan kembali daun pintu depan, Maya Dewi mencegahnya. "Biarkan pintu itu terbuka. Aku masih menanti serangan selanjutnya."
Semua orang kini duduk menghadapi Maya Dewi dan memandang kagum dengan sinar mata penuh harapan. "Nah, Ki Lurah, sekarang ceritakanlah segalanya. Jangan takut, kalau ada setan berani datang mengganggu, aku akan menghadapinya!"
Kini Ki Lurah Ganjar percaya sepenuhnya dan dia mulai menceritakan keadaan dusun itu. "Sejak dahulu, dusun Sampangan kami ini merupakan dusun yang cukup sejahtera. Tanahnya subur dan hasil sawah ladang cukup menghidupi penduduk. Di bukit gamping terdekat terdapat sebuah gua yang sejak dahulu dikenal sebagai Gua Siluman. Akan tetapi kami tidak pernah mengalami gangguan dan kami juga tidak pernah mengganggu gua itu. Akan tetapi kurang lebih sebulan yang lalu..."
"Teruskanlah, jangan takut." kata Maya Dewi.
Ki Lurah Ganjar melanjutkan ceritanya, kini dengan suara lirih dan matanya selalu memandang ke arah pintu yang terbuka. Sebulan yang lalu, seorang anak penggembala kerbau yang membiarkan kerbaunya mendaki bukit, tanpa disadarinya telah tiba didepan Gua Siluman. Anak berusia dua belas tahun itu melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berpakaian serba hitam, duduk bersila di dalam gua. Laki-laki iu meghadap ke dalam gua sehingga dia tidak dapat melihat mukanya. Akan tetapi melihat laki-laki bersila itu, anak penggembala teringat akan larangan para orang tua agar jangan mendaki bukit itu, apalagi sampai di depan gua, karena gua itu berhantu.
Dia mengagnggap bahwa yang duduk bersila itu pasti hantu penjaga gua, maka anak ini lalu berlari turun dan menghalau empat ekor kerbaunya untuk meninggalkan tempat itu. Tiga ekor kerbaunya menurut, akan tetapi seekor lagi secara aneh berlari menuju gua! Anak itu terkejut dan berseru untuk memerintahkan kerbaunya pergi, akan tetapi setibanya di depan gua, kerbaunya itu terguling roboh dan tidak dapat bangkit kembali! Anak itu menjadi ketakutan, melarikan diri bersama ketiga ekor kerbaunya pulang ke dusun Sampangan dan sambil menangis ketakutan menceritakan apa yang terjadi dengan seekor kerbaunya itu.
Tentu saja penduduk dusun itu menjadi gempar. Mereka menduga bahwa kerbau itu pasti menjadi "korban" dan diambil oleh "Mbah Baureksa" penjaga Gua Siluman. Dan yang bersila di sana, berpakaian serba hitam. pasti Sang Mbah itu! Keadaan dusun itu menjadi semakin geger ketika seminggu kemudian, seorang gadis cantik di dusun itu, pada suatu senja, setelah mereka semua melihat tiga ekor kelelawar raksasa berterbangan di dusun sambil bercicitan, gadis itu berlari menuju bukit! Beberapa orang, bersama ayah gadis itu, mengejarnya. Akan tetapi aneh, mereka tidak dapat menyusul gadis itu yang tiba-tiba dapat berlari cepat sekali. Juga ketika dipanggil-panggil gadis itu seolah tidak mendengarkan dan berlari terus.
Ketika tiba di Gua Siluman, gadis itu disambut orang tinggi besar dan mereka berdua lenyap ke dalam gua yang sudah gelap sekali. Orang-orang itu tidak berani mendekati gua, dan ayah si gadis itu hanya memanggil-manggil nama anaknya, akan tetapi gadis itu tidak keluar dan ketika ada tiga ekor kelelawar besar meluncur keluar dari dalam gua dan berterbangan menyambar-nyambar kepala penduduk yang mengejar gadis itu, mereka ketakutan dan melarikan diri turun bukit kembali ke dusun.
"Demikianlah, Mas Ayu. Tiga hari kemudian, gadis itu kembali ke dusun dalam keadaan gila, tertawa dan menangis, tidak menjawab semua pertanyaan, bahkan mengamuk sehingga terpaksa oleh orang tuanya ia dipasung agar tidak dapat mengamuk. Dan setelah itu, sudah ada dua orang gadis lagi yang mengalami nasib seperti itu. Ketika Ki Sosro, seorang yang bertubuh kuat dan dianggap jagoan dusun ini menjadi marah dan berani menantang-nantang iblis yang mengganggu penduduk, pada suatu malam rumahnya didatangi kelelawar dan pada keesokan harinya kami mendapatkan dia sudah mati dengan tubuh kering karena darahnya dihisap habis melalui luka-luka di lehernya. Semenjak itu, kami selalu menjadi ketakutan. Sudah tiga orang gadis dusun kini dipasung karena menjadi gila setelah tiga malam lenyap ke dalam gua itu, dan sampai sekarang sudah beberapa ekor kerbau dan kambing juga menghilang ke gua itu."
Maya Dewi mengerutkan alisnya. Ia dapat menduga bahwa pelakunya tentu seorang sesat ahli sihir yang mempergunakan ilmu hitam bantuan iblis untuk menuruti dan memuaskan nafsu-nafsunya dengan perbuatan keji dan jahat.
"Hemm, lalu mengapa Ki Lurah mendapat serangan sehingga sakit parah?"
Lurah Ganjar menghela napas dan isterinya yang berada di dekatnya sudah mulai menangis perlahan. Mereka saling berpegangan tangan, seolah saling memberi dan minta kekuatan.
"Aduh, ketiwasan (celaka), Mas Ayu! Kemarin, giliran anak tunggal kami sebagai anak yang ke empat, berlari ke gua siluman itu. Ketika saya hendak mengumpulkan semua penduduk laki-laki di dusun ini untuk nekat menyerang ke sana dan menolong anak kami, tiba-tiba saja saya diserang penyakit itu. Rasanya sekujur badan panas dan lemas, juga dada rasanya seperti ditusuk-tusuk. Kami semua dapat menduga bahwa ini tentu perbuatan Si Embah, maka kami menjadi semakin ketakutan. kami sama sekali tidak berdaya, Mas Ayu. Sekarang Andika muncul dan harapan kami timbul kembali. Andika yang akan menjadi dewi penolong kami!"
"Mas Ayu, tolonglah anakku.... tolonglah...." Nyi Lurah meratap dengan air mata bercucuran.
Tiba-tiba terdengar anjing mengonggong dan menyalak, tak jauh didepan pintu. Semua orang memandang. Di luar rumah tidak begitu gelap lagi. Bulan sepotong telah muncul dari balik awan mendung yang tadi menutupinya. Akan tetapi cuaca yang remang-remang itu bahkan mendatangkan suasana yang semakin menyeramkan. Lamat-lamat mereka melihat dua ekor anjing menggonggong dan menyalak-nyalak kepada sesuatu yang tidak tampak. Tiba-tiba dua ekor anjing itu menguik dan roboh, tak berkutik lagi, mati seolah tanpa sebab bagi mereka yang melihatnya.
"Jahanam....!" Maya Dewi memaki marah.
Akan tetapi pada saat itu, Nyi Lurah menjerit. Semua orang terkejut dan dengan mata terbelalak dan muka pucat mereka memandang Ki Lurah Ganjar yang tiba-tiba bangkit dari kursinya dan melangkah ke arah pintu. Langkah dan sikapnya seperti mayat berjalan, kaku dan matanya terpejam! Seperti orang tidur berjalan!
"Pakne....! Pakne....!" Nyi Lurah memanggil-manggil. Akan tetapi Ki Lurah berjalan terus sampai tiba di ambang pintu.
Tiba-tiba terdengar suara Maya Dewi, lembut namun memiliki wibawa kuat sekali dan suara tiupan mengandung getaran yang terasa oleh semua orang yang berada di ruangan itu.
"Ki Lurah Ganjar! Berhenti melangkah dan sadarlah!"
Mendadak lurah itu berhenti melangkah dan memandang kanan kiri dengan heran seperti orang baru bangun tidur. "Eh-eh, kenapa ini....?" tanyanya heran. Isterinya sudah menghampirinya dan menarik tangannya sehingga lurah itu kembali ke dalam ruangan.
"Ki Lurah, duduklah bersila di sini!" Tiba-tiba Maya Dewi memerintahkan, "Yang lain-lain harap mundur dan apa pun yang terjadi jangan sekali-kali bicara atau bertindak. Biarkan aku yang menghadapinya. Kalian semua tenang saja!"
Setelah Ki Lurah Ganjar duduk bersila di atas lantai, Maya Dewi juga duduk bersila di sebelah kirinya. Suasana menjadi sunyi dan semua orang seolah menahan napas dengan hati tegang karena mereka menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang aneh dan menyeramkan.
Mendadak ada benda bersinar meluncur memasuki ruangan itu melalui pintu yang terbuka dan benda itu meluncur ke arah kepala Ki Lurah Ganjar. Akan tetapi Maya Dewi mendorongkan tangan kirinya ke arah benda hitam bersinar itu.
"Yaaaahhhh!" Angin dahsyat menyambar keluar dari telapak tangan Maya Dewi, menyambut benda hitam sebesar kepalan tangan itu.
"Wuuuttt.... pyaaarrr....!" Benda itu pecah dan runtuhlah beberapa buah benda kecil yang ternyata adalah besi-besi runcing yang berkarat! Kalau saja dulu Maya Dewi menghadapi serangan ilmu hitam seperti itu, pasti ia akan mengirimkan benda-benda itu kepada penyerangnya dan akan menewaskan penyerangnya sendiri. Akan tetapi sekarang ia tidak mau melakukan hal itu. Ia teringat akan semua ucapan Bagus Sajiwo kepadanya, ketika pemuda itu memberi penjelasan tentang sikap dan prilaku yang salah dan benar.
Setelah itu hening. Tidak terdengar suara apa-apa lagi dan semua orang menghela napas lega, juga mereka merasa girang sekali karena agaknya gadis cantik jelita itu benar-benar sakti dan dapat melumpuhkan serangan ilmu hitam yang mereka biasa anggap santet atau tenung itu.
Seorang lai-laki, keponakan Ki Lurah, kini bergerak hendak memungut besi-besi runcing seperti paku itu untuk memeriksanya.
"Jangan sentuh!" Maya Dewi berseru dan orang itu menarik kembali tangannya dan menjauhkan diri dari benda-benda itu.
Maya Dewi bangkit dan mengambil benda-benda itu yang jumlahnya ada tiga buah, lalu berkata, "Aku harus membuang benda-benda beracun ini jauh-jauh karena dapat membahayakan kalau tersentuh."
Ia membawa tiga batang benda runcing berkarat itu keluar rumah diikuti semua orang dan ia mengerahkan tenaga lalu melemparkan tiga batang paku berkarat itu yang melesat jauh mengeluarkan suara bersiutan.
Setelah mereka semua kembali ke dalam ruangan, orang-orang yang kini mulai percaya akan kemampuan Maya Dewi, mulai berani bercakap-cakap dengan wajah tidak sepucat tadi, ketakutan mereka banyak berkurang.
"Mas Ayu, Andika telah menyelamatkan nyawa saya, dan kami mohon andika juga sudi membebaskan puteri kami dari ancaman bahaya berupa gangguan itu. Kami mohon Andika suka memberitahu, siapakah Andika dan dari mana Andika datang?" tanya Ki Lurah dan semua anggauta keluarganya yang berada di situ merasa seolah diwakili suara hati mereka dan semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Aku adalah seoang wanita perantau biasa saja, Ki Lurah, dan namaku tidak begitu penting kalian ketahui." Jawaban ini bukan timbul dari keangkuhan hati Maya Dewi, melainkan kini ia tidak membanggakan apalagi menyombongkan perbuatannya yang ia anggap sebagai kewajibannya. Juga ia tidak ingin dikenal dan dikenang sebagai seorang yang melepas budi.
"Ah, Mas Ayu, andika bukan manusia biasa bagi kami. andika bagaikan seorang dewi dari kahyangan. Mungkin Andika memang seorang dewi kahyangan yang sengaja turun ke bumi untuk menolong kami." Semua orang mengangguk mendengar ucapan Ki Lurah itu.
Maya Dewi tersenyum dan semua orang terpesona akan kecantikan wajah itu. "Kalau begitu panggil saja aku Dewi."
"Sang Dewi, saya pernah mendengar tentang perbuaan jahat yang dikenal sebagai santet atau tenung. Apakah yang menyerang saya tadi santet atau tenung itu?"
"Yah, semacam itulah. Orang jahat telah menggunakan ilmu sihir dan kesaktiannya untuk berbuat jahat kepada Ki Lurah."
"Saya mendengar bahwa serangan santet seperti itu dapat dikembalikan untuk menyerang pemiliknya. Mengapa Andika tadi tidak melakukan itu, melainkan membuang senjata santet itu?"
"Ki Lurah, kalau orang membenci kita lalu kita balas membencinya, lalu apa bedanya kita dengan orang itu? Kalau ada yang menyerang kita dengan ilmu hitam keji, lalu kita mengembalikan dengan serangan yang sama kejinya, apa bedanya antara kita dengan dia? Tidak, Ki Lurah, aku tidak sudi menjadi seorang jahat seperti penyerang itu." kata Maya Dewi menirukan ucapan Bagus Sajiwo dahulu.
Kini Nyi Lurah sambil menyembah kepada Maya Dewi berkata, "Ah, Sang Dewi yang mulia, sudilah kiranya Paduka menolong anak saya yang berada di gua itu."
"Jangan kuatir, Bibi. Aku pasti akan menolongnya. Akan tetapi hal itu baru akan kulaksanakan besok pagi. Kalau malam ini, berbahaya sekali, karena orang atau iblis yang melakukannya itu kalau dilakukan malam ini bisa gagal dan akibatnya selain tidak berhasil menyelamatkan puterimu, malah dusun ini pun terancam. Kita harus bersabar sampai besok pagi."
Maya Dewi menyuruh mereka tidur di kamar mereka sedangkan ia sendiri duduk diruangan depan, bersila di atas sebuah bangku dan membiarkan pintu depan tetap terbuka. Karena sudah terbiasa, maka tanpa merebahkan diri untuk tidur, dalam keadaan bersila itu pun sesungguhnya Maya Dewi sudah mengaso seperti orang tidur, walaupun begitu seluruh urat syarafnya siap siaga sehingga andaikata ada gerakan atau suara yang tidak wajar sedikit saja sudah cukup membuat Maya Dewi sadar sepenuhnya. Akan tetapi malam itu tidak terjadi sesuatu.
Pagi-pagi sekali sewaktu terdengar ayam jantan berkokok, sebelum fajar menyingsing Maya Dewi sudah mandi dan berganti pakaian. Pihak tuan rumah juga sudah sibuk menghidangkan sarapan pagi berupa jagung dan singkong rebus dengan minuman air teh. Setelah sinar matahari mulai mengusir kabut yang menyelimuti dusun Sampangan, Maya Dewi keluar dari rumah besar Ki Lurah Ganjar, diikuti seisi rumah. ternyata pagi-pagi benar tadi, berita tentang kehadiran Maya Dewi sudah didengar oleh penduduk dusun Sampangan dan dianggap sebagai seorang dewi penolong dari Kahyangan dengan sebutan Sang Dewi, yang hendak menolong puteri Ki Lurah Ganjar dan menentang Si Mbah dari Gua Siluman. Maka kini, berbondong-bondong semua orang, laki perempuan tua muda, sepagi itu sudah berkumpul di pekarangan kelurahan yang luas.
Ketika Maya Dewi keluar dari pintu depan rumah itu, cantik jelita dan segar berseri, dengan senyumnya yang manis, semua orang memandangnya penuh kagum dan merasa seolah mereka melihat seorang dewi kahyangan yang sesungguhnya. Belum pernah mereka melihat seorang wanita yang sedemikian cantik jelitanya. Orang-orang yang berdiri paling depan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan yang belakang otomatis juga meniru dan berlutut. Mereka semua menyembah dengan penuh penghormatan kepada Maya Dewi!
Melihat ini, Maya Dewi terkejut dan mengerutkan alisnya, lalu ia mengangkat kedua tangannya ke atas. "Aeh, para paman dan bibi, saudara-saudara sekalian. Aku minta kalian bangkit dan jangan memberi penghormatan seperti itu kepadaku! Aku ini manusia biasa seperti kalian. Aku malah merasa canggung dan malu kalau dihormati secara berlebihan seperti ini. Bangkitlah kalian semua dan dengar baik-baik pesanku!" Biarpun ia bicara dengan suara lembut, namun suaranya mengandung getaran yang penuh wibawa sehingga semua orang segera bangkit dan berdiri memandangnya penuh perhatian.
"Kalian semua, tak terkecuali, tinggallah di pekarangan ini, jangan ada yang pergi dari sini sebelum aku datang kembali. Aku akan pergi ke gua di bukit itu dan akan kuhajar Si Jahat yang mengganggu dusun ini sehingga puteri Ki Lurah dapat tertolong dan selanjutnya dusun ini dapat terbebas dari gangguan. Kalian semua dapat membantuku dengan doa kepada Sang Hyang Widhi Wasa atau Gusti Allah, semoga aku berhasil menundukkan dan mengusir kuasa jahat yang berada di sana dan mengganggu kalian."
"Kami akan mentaati perintah andika, Sang Dewi!" kata Ki Lurah Ganjar dengan suara lantang dan seperti sekumpulan burung para penduduk itu menirukan ucapan lurah mereka.
Setelah melihat bahwa semua penduduk berkumpul di pekarangan yang luas itu, Maya Dewi meninggalkan dusun itu. Ia merasa yakin bahwa berkumpulnya semua orang yang begitu banyak akan lebih dari kuat untuk menangkal segala macam serangan yang mengandung ilmu hitam. Apalagi kalau orang sebanyak itu dalam keadaan tepekur dan dalam hati mereka memanjatkan dia kepada Gusti Allah.
Tidak ada kekuatan setan yang bagaimana besar pun untuk menembus wibawa banyak orang yang bersatu. Malam tadi ia sudah diberi keterangan cukup jelas tentang letak gua yang disebut Gua Siluman yang berada di bukit kapur tak jauh dari dusun Sampangan, di sebelah selatan. Ia segera menggunakan ilmu kesaktiannya dan berlari cepat seperti terbang mendaki bukit.
Pagi itu sebetulnya indah sekali. Matahari muda tersenyum di timur dan memeberi kehangatan, mengusir sisa kabut yang enggan meninggalkan bumi, menggugah dan memberi kehidupan baru kepada semua yang terdapat di permukaan bumi. Pohon-pohon tampak penuh gairah hidup menjulurkan ranting-rantingnya, membuka daun-daunnya untuk menangkap sinar matahari, bagaikan burung merak merentang dan menggelar bulu-bulu sayap dan ekornya. Bukit itupun mulai hidup, burung-burung berterbangan meninggalkan sarang. Akan tetapi tidak seperti bukit-bukit lain, bukit itu sepi dari kegiatan manusia. Itulah bukit yang tidak boleh didaki orang, dikenal sebagai tempat angker yang "jalmo moro jalmo mati" (manusia yang datang akan mati).
Karena sudah mendapat keterangan jelas di mana adanya gua yang disebut Gua Siluman itu, juga karena dari arah itu ia merasakan adanya getaran aneh, Maya Dewi dengan mudah menemukan gua itu dan tak lama kemudian ia sudah berdiri di depan gua, dalam jarak sepuluh meter. Ia mengamati gua itu dengan saksama. Gua itu bermulut lebar, sekitar lima meter dan tingginya tiga meter, bentuknya seperti mulut raksasa sedang menyeringai. batu-batu karang meruncing yang bergantungan dari langit-langit gua itu bagaikan deretan gigi taring yang mengerikan.
Berapa dalamnya gua itu tidak tampak dari tempat Maya Dewi berdiri, karena gua itu menghadap ke selatan sehingga sinar matahari yang masih rendah itu belum dapat masuk dan menerangi bagian dalam gua. Di atas gua ditumbuhi semak belukar dan di kanan kirinya terdapat pohon-pohon beringin sehingga tempat itu tampak angker menyeramkan dan agaknya pantas dijadikan tempat tinggal sebangsa hantu!
Ketika Maya Dewi berdiri sambil mengamati gua itu dan sekitarnya, tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti suara binatang buas. Suara itu menggetarkan tanah di mana Maya Dewi berdiri dan pohon-pohon di dekat tempat itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin kencang. Kemudian suara menggereng itu terhenti, dan terdengar suara dari dalam gua, suaranya besar dalam dan parau, terdengar bergema penuh wibawa.
"Heeeiii, perempuan muda! Andika berani datang menghadap kami, baureksa (penjaga) Gua Siluman! Berlutut dan sungkem lah (menyembahlah) kepada kami dan katakan apa yang menjadi permintaanmu!!"
Maya Dewi tersenyum. Dengan kekuatan Aji Sari Bantala, tidak ada kekuatan sihir atau ilmu hitam apapun juga yang dapat mempengaruhinya. Akan tetapi ia merasakan betapa kuatnya wibawa yang terkandung dalam suara itu. Ia mengerahkan tenaga saktinya, lembut namun bagaikan sinar menembus kegelapan, suaranya mendengung ke arah gua.
"Wahai, KiSanak! Tidak ada gunanya lagi Andika berpura-pura menjadi hantu menakut-nakuti rakyat! Dosamu sudah terlalu besar dan aku datang untuk menghentikan kesesatanmu. Hayo bebaskan puteri Ki Lurah Ganjar!"
Hening sejenak, kemudian terdengar suara bercicitan dan dari dalam gua terbang keluar tiga ekor kelelawar besar. Kini tampak jelas tiga ekor binatang itu. besar sekali, sebesar burung gagak dengan sayap terpentang lebar. Warnanya hitam legam dan mukanya yang mirip tikus itu menyeramkan. Matanya merah, moncongnya yang terbuka ketika bercicitan itu pun tampak merah dan taringnya berkilau tajam meruncing. Maya Dewi merasa heran juga. Biasanya, kelelawar tidak berani keluar di waktu matahari menerangi bumi dan hanya berkeliaran di malam gelap.
Agaknya tiga ekor kelelawar ini merupakan jenis lain yang sudah terlatih atau dikendalikan kekuatan gaib. Ia teringat akan cerita Ki Lurah bahwa seorang jagoan mati dengan darah habis dihisap oleh tiga ekor kelelawar ini. Sungguh merupakan makhluk berbahaya bagi keselamatan manusia. Kalau manusia jahat masih mungkin dapat disadarkan karena manusia mempunyai akal budi. Akan tetapi binatang? Sebaiknya dimusnahkan sebelum mendatangkan malapetaka bagi manusia lain.
Tiga ekor kelelawar yang tadinya terbang mengitarinya itu, kini meluncur dengan kelepak sayap nyaring, menyerang ke arah leher Maya Dewi. Semalam Maya Dewi juga pernah diserang tiga ekor kelelawar ini, akan tetapi ia hanya menghalaunya dengan tangkisan tanpa berniat membunuh sehingga tiga ekor binatang itu kesakitan dan terbang pergi. Akan tetapi kini ia tidak membatasi lagi tenaganya ketika berturut-turut tiga kali ia menampar.
"Prak! Prak! Prak!" tubuh tiga ekor kelelawar itu terlempar ke dalam gua dan berjatuhan, tidak mampu bergerak lagi karena kepala mereka remuk terkena tamparan jari-jari tangan mungil Maya Dewi yang terisi tenaga sakti yang dahsyat! Dari dalam gua kembali terdengar gerengan penuh kemarahan. Maya Dewi tetap waspada, bahkan ia melangkah lebih dekat dengan siap menghadapi segala serangan.
Tiba-tiba gerengan itu berubah menjadi suara bentakan nyaring. "Bocah sombong, bersiaplah engkau untuk mampus!" terdengar suara ledakan nyaring. Asap mengepul tebal dan dari asap itu keluar sebuah benda yang bergulingan menuju ke arah Maya Dewi. Wanita ini memandang dan ia melihat bahwa benda itu sebuah kepala raksasa yang menyeramkan.
Rambutnya gimbal, matanya mencorong dan mulutnya yang lebar dan bertaring itu mengeluarkan nyala api. Kepala itu besar dan mata yang mencorong itu memandang ke arah Maya Dewi dengan melotot penuh kemarahan! Maya Dewi yang tidak asing dengan segala macam ajian yang mengandung ilmu hitam, maklum bahwa ia berhadapan dengan makhluk jadi-jadian yang disebut "Banaspati"
Wanita itu tenang saja, memandang ke arah kepala Banaspati yang bergulingan di atas tanah sampai makhluk itu berada di depan kakinya, dalam jarak dua meter. Diam-diam ia mempersiapkan diri dengan pengerahan tenaga saktinya.
Tiba-tiba Banaspati itu mulai menyerang. Dia membuka mulutnya dan bergumpal-gumpal nyala api berkobar seperti bola api menyambar dari bawah ke arah tubuh Maya Dewi! Wanita itu tetap tenang dan setelah bola-bola api itu dekat, ia menggerakkan kaki tangannya. Tangannya menampar dan kakinya menendang. Bola-bola api itu terlempar ke sana-sini dan meledak padam! Banaspati itu menjadi marah dan sambil mengeluarkan api berkobar dari mulutnya, tiba-tiba saja kepala raksasa itu melayang ke arah Maya dewi dengan mulut terbuka lebar!
Maya Dewi mendorongkan tangan kanannya ke arah benda bernyala itu sambil membentak, "Pergilah!"
"Blaaarrrr....!" Kepala raksasa itu meledak dihantam tenaga sakti yang amat dahsyat dari tangan Maya Dewi, asap hitam mengepul tebal dan Banaspati itupun lenyap! Ilmu hitam Banaspati itu telah dihancurkan!
Kembali terdengar gerengan dahsyat tadi dan tiba-tiba terdengar suara gemerosok dan dari dalam gua itu keluar angin yang kencang sekali, seperti topan mengamuk! Maya Dewi berdiri tegak dengan kedua lengan dilipat di depan dada, mengerahkan Aji Sari Bantala. Angin itu lewat saja, hanya membuat pakaian dan rambutnya berkibar namun sedikit pun tidak membuat tubuhnya bergerak! Agaknya penyerang yang menggunakan angin ini maklum bahwa serangannya ini pun tidak ada gunanya dan tidak mempengaruhi wanita cantik yang berdiri di depan gua, maka angin yang tidak wajar itu pun berhenti.
"Dartoko, keluarlah dan hadapi bocah perempuan pengacau itu.!" terdengar suara parau itu memerintah.
Maya Dewi melihat seorang laki-laki keluar dari dalam gua yang gelap. Ia merasa heran karena yang keluar itu bukan seorang yang menyeramkan seperti disangkanya, melainkan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahu. Pemuda itu berpakaian cukup indah dan rapi. Tubuhnya jangkung dan tegap, langkahnya halus. Wajah pemuda itu tampan dan gagah. Matanya tajam, hidungnya besar mancung, dan mulutnya selalu mengembangkan senyum seperti mengejek. Pemuda seperti ini pasti akan mudah mengguncang hati wanita sehingga jatuh cinta kepadanya.
Pemuda itu melangkah perlahan menghampiri Maya Dewi dan berhenti melangkah, berdiri di depan Maya Dewi dalam jarak dua meter. Hidung Maya Dewi mencium bau harum cendana keluar dari tubuh pemuda itu.
Pemuda itu memperlebar senyumnya dan memainkan matanya sehingga wajah dan gayanya penuh daya pikat yang amat kuat. Segera Maya Dewi merasakan sesuatu yang tidak wajar dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah mengerahkan aji pamelet (pemikat) yang ditujukan kepadanya. Ia tersenyum, karena tentu saja ia sama sekali tidak asing dengan segala aji pamelet seperti itu! Pemuda itu agaknya salah duga dan mengira aji pameletnya mengenai sasaran. Dia mengira bahwa Maya Dewi mulai tertarik kepadanya, maka dia menambah gayanya, menggerak-gerakkan alisnya yang hitam tebal dan menggerakkan kedua lengannya, dikembangkan seperti hendak merangkul dan membelai. Lalu dia bicara, suaranya lembut serak-serak basah, suara pria yang menurut keyakinannya disukai semua wanita.
"Aduhai, Nimas Ayu! Andika cantik jelita bagaikan dewi kahyangan. Selama hidupku, baru sekali ini aku bertemu dengan seorang wanita semuda, secantik dan sesakti Andika! Hatiku kagum bukan main, Yayi (Adinda), Andika membuat aku tergila-gila seperti aku melihatmu. Sudikah Adinda berkenalan dengan aku, wong ayu? Aku bernama Dartoko dan bolehkah aku mengetahui siapa namamu yang indah dan mulia?"
Wanita itu rebah di bawah sebatang pohon besar, rebah miring seperti tidur pulas. Rambutnya terurai lepas dari sanggulnya. Pakaiannya juga kusut. Bagian leher, muka dan kaki yang tampak sampai ke betisnya itu, di bagian yang terkena sentuhan garis sinar putih matahari, tampak putih mulus kekuningan. Namun wajahnya pucat dan di kedua pipinya masih tampak bekas air mata. Mulutnya yang berbentuk indah dengan bibir tipis penuh itu tertarik seperti orang yang sedang kesakitan.
Bentuk tubuhnya juga indah, padat dengan lekuk lengkung nyaris sempurna, sesuai dengan wajahnya yang cantik jelita. Rambut yng terurai itu hitam panjang dan agak berombak. Wajahnya bulat telur dengan dagu manis meruncing. Sepasang alisnya juga hitam dan melengkung seperti dilukis. Matanya tertutup namun bulu mata menjungat ke atas sehingga dalam keadaan terpejam pun sudah tampak indah.
Hidungnya kecil mancung, akan tetapi yang paling menarik adalah mulutnya. Sepasang bibir itu penuh dan tipis, bentuknya menggairahkan walaupun saat itu agak pucat seperti wajahnya. Tubuhnya denok agak montok, dengan pinggang kecil sehingga dada dan pinggulnya tampak membusung. Usianya, melihat kecantikan wajah dan kepadatan tubuhnya, masih muda, sekitar dua puluh tahun lebih. Kalau diperhatikan dengan seksama, akan ketahuan bahwa ia tidak tidur. Tidak mungkin seorang wanita cantik seperti itu, yang pakaiannya cukup pantas dan bersih walaupun kusut, tidur di bawah pohon dalam hutan di atas tanah begitu saja! Wanita itu bukan sedang tidur, melainkan pingsan.
Seekor ular sebesar paha orang dewasa menggeleser di atas tanah, ke arah tubuh wanita yang rebah miring itu. Lidah ular itu keluar masuk dan setelah tiba dekat dengan tubuh wanita itu dia berhenti dan seolah-olah mencium dan menjilat-jilat kaki wanita dengan ragu. Kemudian tubuhnya menggeleser lagi, melewati kaki, terus ke pinggang lalu ke dada dan meninggalkan lagi tubuh wanita itu tanpa mengganggunya. Mungkin dia menganggap tubuh itu terlalu besar untuk dijadikan mangsanya, atau mungkin juga karena tubuh itu sama sekali tidak bergerak, maka kurang merangsang seleranya, tidak seperti korban yang hidup bergerak-gerak meronta ketika digigit dan perlahan-lahan ditarik ke dalam perutnya.
Wanita itu tetap tak bergerak. Mimpipun tidak ia bahwa tubuhnya telah dilalui seekor ular yang panjangnya ada dua kali panjang tubuhnya. Andaikata ia dalam keadaan sadar, tentu ia akan menjerit-jerit, karena wanita pada umumnya merasa ngeri dan jijik terhadap ular.
Tak lama kemudian, seekor kelinci yang gemuk dengan bulu putih berloncatan mendekat. Melihat tubuh manusia, ia berhenti meloncat, bahkan dia tak bergerak, matanya tertuju kepada tubuh itu dan daun telinganya yang panjang itu bergerak-gerak sedikit. Agaknya ia merasa aman karena wanita itu sedikitpun tidak bergerak, maka ia berloncatan menghampiri. Setelah dekat, ia mendekatkan moncongnya, hidungnya mencium-cium betis yang putih mulus karena kakinya agak tersingkap.
Tiba-tiba terdengar auman yang menggetarkan seluruh hutan. Kelinci itu terkejut bukan main. menoleh dan seolah ia terkena sihir oleh sepasang mata harimau yang muncul dari semak, hanya dalam jarak tiga meter. Saking kaget dan takutnya, kelinci itu tidak mampu bergerak, apalagi melarikan diri. sepasang matanya yang lebar bening itu membayangkan ketakutan. Mungkin karena gerengan yang menggetarkan itu, atau bisa juga karena memang sudah waktunya, tubuh wanita itu bergerak. Ia telah siuman dari pingsannya dan pada saat itu, kembali harimau tadi menggereng.
Dengan gerakan yang amat cepat, wanita iu sudah bangkit duduk dan ia melihat betapa seekor harimau gembong yang besar bergerak menubruk seekor kelinci gemuk yang berdiri ketakutan di dekatnya.
"Macan jahat!" Wanita itu berseru dan tubuhnya melompat, menyambut terjangan harimau yang hendak menerkam kelinci. Dengan gerakan indah dan gesit, ia mendoyongkan tubuhnya dan tangan kirinya menampar.
"Desss....!" Tangan kiri yang terbuka dan miring itu seperti pedang membacok dan mengenai dada harimau. Tubuh yang sebesar gudel (anak kerbau) itu terlempar dan terbanting jatuh ke atas tanah.
"Macan jahat....!" Wanita itu melompat ke depan dan sebelum harimau itu sempat berdiri, ia sudah menyambar ekor harimau yang panjang, kemudian sekali ia menggerakkan tangannya yang memegang ekor harimau, binatang buas itu terputar-pitar di atas kepalanya. Tampaknya begitu ringan baginya seolah sedang memutar-mutar sebuah benda yang ringan saja. Ia menghampiri sebongkah batu besar dan ingin membanting harimau itu ke atas batu, biar hancur berantakan kepalanya!
Akan tetapi pada saat itu, ia mendengar bisikan, seolah keluar dari hatinya. "Harimau itu tidak jahat! Memang kelinci dan sejenisnya sudah dikodratkan menjadi mangsanya, penyambung hidupnya. Harimau tidak dapat hidup dari makan rumput dan daun-daunan."
Mendengar suara yang amat dikenalnya itu, ia menjadi lemas dan sambil terisak ia melemparkan harimau itu sehingga terlontar jauh dan jatuh berdebuk di atas tanah. Harimau itu menggereng lalu berlari ketakutan! Wanita itu terisak dan menjatuhkan diri berlutut di bawah pohon sambil terisak, membuat kelinci tadi lari menyelinap ke dalam semak-semak.
"Bagus.... ahh, Bagus....!" Ia merintih dan air matanya berderai di sepanjang kedua pipinya yang agak pucat. Ia mengenal betul suara yang berbisik di hatinya tadi. Suara Bagus Sajiwo, yang pernah berkata demikian tentang harimau dan binatang lain yang oleh manusia dinamakan "Binatang buas" Bahkan Bagus Sajiwo pernah mengatakan bahwa yang buas itu bukan binatang yang memangsa hewan lain, melainkan manusia! Binatang-binatang itu membunuh dan makan demi kesenangan mulutnya.
Semua binatang makan menurut kodratnya dan hanya makan kalau tubuhnya membutuhkan, kalau perutnya lapar. Akan tetapi manusia, didorong untuk makan, selain karena lapar, terutama sekali karena ingin menikmati kesenangan mulut itu, apa saja dimakannya!
"Bagus....!" Akhirnya wanita itu. Maya Dewi, dapat menenangkan diri dan sebutan itu seolah mejadi pegangan hatinya sehingga ia kuat menahan kepedihan hatinya. Maya Dewi kini duduk bersandar batang pohon, menjulurkan kedua kakinya dan membiarkan ingatannya mengembara ke masa lalu, mengingat akan semua pengalaman hidupnya semenjak ia dapat mengingatnya. seolah terbayang semua pengalaman itu di mata batinnya.
Yang dapat teringat adalah ketika ia berusia kurang lebih lima tahun dan ia hidup berdua dengan ayahnya, yaitu mendiang Resi Koloyitmo. Menurut ayahnya itu, ibu kandungnya telah meninggal dunia ketika ia berusia setahun dan sejak itu ia dipelihara dan dididik ayah kandungnya itu. Ia dimanja dan sejak kecil digembleng berbagai ilmu oleh ayahnya yang sakti. Akan tetapi, ketika ia berusia kurang lebih tiga belas tahun, ayahnya terusir dari daerah Parahyangan dari mana mereka berasal karena ayahnya dianggap sesat dan melakukan banyak kejahatan sehingga dimusuhi para pendekar dan para senopati. Ayahnya terpaksa meninggalkan Parahyangan dan mengajak ia pergi merantau.
Sekarang ia melihat jelas betapa ayahnya benar-benar seorang sesat. Jalan hidupnya penuh kejahatan. Tidak ada perbuatan jahat dia pantang. Merampok, menculik dan memeperkosa wanita-wanita, membunuh, apa saja asal dapat memuaskan dorongan nafsu, mereguk kenikmatan badan. Ia dibesarkan dalam didikan ayahnya yang seperti itu, dan dalam lingkungan orang-orang sesat yang menjadi sahabat ayahnya. Maka, setelah berusia dua puluh tahun, mulailah ia melakukan kejahatan meniru ayahnya.
Lebih-lebih setelah ia hidup sendiri, terpisah dari ayahnya, ia menjadi binal dan liar. Ia juga melakukan perbuatan apa saja. Merampok, mencuri, menculik dan mempermainkan pria-pria muda untuk memuaskan nafsunya, lalu membunuh mereka.
Bahkan ia rela menjadi antek Kumpeni Belanda, untuk memusuhi Mataram yang dibencinya, dan untuk mendapatkan kemuliaan duniawi dan kemewahan hidup. Ia membiarkan diri menjadi budak nafsu-nafsunya sendiri, tidak pandang melakukan apa saja dan menjadi musuh semua pendekar Mataram. selama sepuluh tahun lebih ia bergelimang dosa sampai akhirnya ia bertemu dengan Bagus Sajiwo, kurang lebih empat tahun yang lalu. Sejak saat itu terjadilah perubahan hebat dalam dirinya, jasmani dan rohaninya. Terutama rohaninya.
Ia mulai mengenal Gusti Allah, mulai menyadari betul akan semua dosanya dan dengan bimbingan bagus Sajiwo yang mengatakan bahwa dia bukan membimbing karena yang membimbing itu adalah Kekuasaan Gusti Allah sendiri dan dia hanya menunjukkan dan menyadarkan saja, terjadi perubahan mendasar pada dirinya. Ia hidup bersama Bagus Sajiwo, saling mencinta tanpa dikotori nafsu berahi, mengalami suka duka sampai mereka menemukan Jamur Dwipa Suddhi dan kitab Sari Bantala. Mereka berhasil menguasai aji kesaktian itu setelah melatihnya selama tiga tahun dalam ruangan bawah tanah.
Mereka berdua lalu keluar dari ruangan itu dan pergi ke gunung Kawi, ke rumah Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo, suami isteri pendekar yang menjdi orang tua Bagus Sajiwo. Bahkan mereka berdua sempat menyelamatkan keluarga itu dari serangan Tejakasmala yang sakti mandraguna bersama dua orang anak buahnya. Kemudian mereka menghadap orang tua Bagus Sajiwo dan.... ia harus mengalai penghinaan, pengusiran, bahkan tamparan dari Nyi Retno Susilo! Kedua pipinya yang masih membengkak itu tidak dirasakannya.
Semua penghinaan, makian dan pengusiran itu sama sekali tidak berbekas lagi dalam hatinya. Ia tidak sakit hati terhadap Nyi Retno Susilo, tidak menyalahkannya karena memang sudah sepantasnya ia diperlakukan demikian mengingat dosa-dosanya di masa lalu. Akan tetapi, yang membuat sedih sekali dan seolah kehilangan pegangan adalah karena ia harus berpisah dari Bagus Sajiwo.
Ni Maya Dewi menghela napas. Ia menyadari benar akan semua kesalahannya, akan keadaan dirinya. Ia memang tidak pantas berdekatan dengan Bagus Sajiwo, tidak pantas sama sekali untuk dicinta pemuda itu. Bahkan untuk mencinta pemuda itupun ia tidak patut. Ia adalah seorang wanita yang mempunyai riwayat yang kotor dan busuk yang sudah sepatutnya dijuluki Wanita Iblis Cantik dari Banten, yaitu daerah asal ayahnya sebelum ke Parahyangan kemudian ke daerah Mataram. Ia dahulu memang iblis. Iblis betina yang jahat.
Bagaimana mungkin ia dapat disejajarkan dengan para pendekar itu, apalagi dibandingkan dengan Bagus Sajiwo yang keturunan para pendekar sakti, keturunan para pahlawan bangsa, pemuda yang sakti mandraguna dan arif bijaksana? Untuk menjadi pelayannya saja ia tidak pantas! Lebih lagi kalau diingat bahwa Bagus Sajiwo adalah seorang perjaka berusia dua puluh satu tahun, sedangkan ia adalah seorang wanita sesat berusia tiga puluh enam tahun! Bagus Sajiwo pantas menjadi keponakannya, bahkan masih pantas menjadi anaknya! Ia harus melupakan dia!
"Ya, aku harus melupakan dia...." bibirnya gemetar ketika membisikkan kata-kata ini dan hatinya seperti ditusuk mendengar arti bisikannya sendiri. Air matanya berderai semakin deras, membasahi kedua pipinya yang agak membiru dan bengkak, akibat tamparan Nyi Retno Susilo yang menghinanya, memakinya, dan mengusirnya.
Tidak! Aku tidak dapat melupakan dia! Aku mencintainya! Ya, aku cinta Bagus Sajiwo! Terdengar olehnya sendiri suara itu berteriak di dalam hatinya. "Aku mencintainya..." bibirnya berbisik, merintih. "Aku ingin melindungi dan menjaganya seperti seorang ibu, aku ingin mencumbu dan membelainya seperti seorang isteri, aku ingin menghormat dan mentaatinya seperti seorang murid, aku ingin melayaninya seperti seorang abdi, aku ingin.... ah, aku ingin menjadi segala-galanya untuk Bagus Sajiwo..." Maya Dewi menangis tersedu-sedu di bawah pohon itu.
Salahkah aku? Kembali hatinya berbisik. "Salah dan dosakah aku kalau hamba ini mencinta Bagus Sajiwo? Apakah seorang manusia seperti hamba ini tidak boleh mencinta?"
Lalu muncul jawaban itu, dari pikirannya. "Tidak, aku tidak salah, tidak berdosa. Aku manusia hidup, berhak untuk bersenang-senang, berhak untuk memilih orang yang kucinta!" Maya Dewi menggerakkan kedua tangan untuk menutupi kedua telinganya, seolah tidak ingin mendengar lebih lanjut. Akan tetapi suara itu terus berceloteh, kini mengejek dan membujuk.
"Bodoh engkau, Maya Dewi! Bersenang-senang tidak berdosa. Kalau engkau tidak bisa mendapatkan Bagus sajiwo, mengapa susah? Di sana masih ada ribuan pemuda seperti Bagus Sajiwo yang mudah kaudapatkan, dengan kasar maupun halus. Bersenang-senanglah selagi engkau masih hidup!"
Bagaikan datangnya awan mendung yang gelap, datang perlahan-lahan namun pasti, bayangan itu datang, bayangan segala kesenangan dan kenikmatan yang pernah ia geluti selama bertahun-tahun, sebelum ia bertemu dengan Bagus Sajiwo empat tahun yang lalu. Dalam keadaan gelap yang memabukkan itu, tiba-tiba terdengar suara lembut, berwibawa dan penuh kasih sayang.
"Dewi, waspadalah setiap saat terhadap pikiranmu sendiri. Sedikit saja engkau lengah, iblis akan menggunakan nafsu dalam hati akal pikiranmu sendiri untuk menyeretmu ke lembah dosa, dengan umpan bayangan segala macam kesenangan, kenikmatan dan semua yang serba enak. Engkau pernah mengalaminya. Semua kesenangan duniawi dan badani itu akhirnya membawa engkau ke dalam jurang kenistaan dan kesengsaraan. Sadarlah."
Bagus! Bagus Sajiwo! Itu suaranya! Maya Dewi melompat berdiri, memandang ke kanan kiri, akan tetapi sunyi saya disekelilingnya. Ia tertunduk lagi ke atas tanah dengan tubuh lemas. Benar itu suara Bagus Sajiwo, akan tetapi suara seperti yang pernah dikatakan pemuda itu, yang masih bergema dalam sanubarinya.
"Benar," bisiknya. "Engkau benar, Bagus. Aku telah merasakan neraka dalam hidup ini, sebagai akibat dari penghambaan diriku kepada nafsu-nafsuku sendiri."
Bohong! Tidak benar! Bocah itu tahu apa? Selagi masih hidup adalah hakmu untuk mereguk kesenangan sepuas-puasnya. Kalau sudah mati engkau tidak akan dapat menikmatinya lagi. Suara itu parau mengejek.
"Iblis kau!" Maya Dewi melompat berdiri, membalik dan kedua tangannya menghantam ke arah pohon yang tadi disandarinya.
"Wuuuttt.... braaakkk....!" Pohon itu patah dan tumbang! Maya Dewi lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu, memasuki hutan itu lebih dalam lagi. Ia marah kepada dirinya sendiri, kepada pikirannya, Mengapa ia begitu bodoh mau mendengarkan bujukan iblis lewat pikirannya? Ia sudah tahu benar bahwa hati akal pikiran manusia seringkali dipergunakan iblis yang membonceng untuk memancing manusia dengan umpan gairah nafsu daya rendah yang serba menyenangkan badan, Karena itu hati, akal manusia sendiri tidak akan mampu menanggulangi bujukan iblis. Bahkan hati akal pikirannya sendiri yang sudah dikuasai iblis malah membenarkan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari kebenaran itu dengan bermacam alasan. Tadi pun ia mengalami sendiri. Ia teringat akan contoh-contoh yang diberikan Bagus Sajiwo ketika mereka berdua sedang berlatih Aji Sari Bantala yang amat sukar itu.
"Coba ingat, Dewi. Semua orang, tidak terkecuali, sudah tahu benar bahwa perbuatan jahat itu adalah dosa. Adakah pencuri yang tidak tahu bahwa pencuri itu jahat? Adakah penjahat yang tidak tahu bahwa perbuatan jahat itu tidak baik, berdosa dan berlawanan dengan kehendak Gusti Allah agar manusia selalu mangayu hayuning bawono (mengusahakan kesejahteraan dunia)? Akan tetapi pengertian itu dibantah oleh pikirannya sendiri dengan bermacam alasan yang bermaksud meniadakan rasa bersalah itu."
Ucapan Bagus Sajiwo itu dapat ia rasakan kebenarannya karena ia dahulu sudah mengalaminya sendiri. Dahulu, keika ia masih hidup sebagai hamba nafsu dan menjadi budak iblis, terkadang ia merasakan bahwa perbuatannya itu tidak benar dan jahat, akan tetapi pikirannya sendiri selalu membantah dengan berbagai alasan sehingga perasaan bersalah itu pun cepat menghilang.
"Hanya kekuasaan Gusti Allah yang akan mampu menundukkan gelora nafsu yang digerakkan iblis. Karena itu, hanya dengan penyerahan diri sepenuhnya lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah saja kita akan dapat terhindar dari cengkeraman iblis melalui nafsu daya rendah kita sendiri." demikian yang ia dapatkan dalam mempelajari Aji Sari Bantala.
"Duh Gusti Allah, ampunkan hamba..." teringat akan semua ini, Maya Dewi berhenti melangkah,dan melihat tempat teduh di bawah pohon, ia lalu berdiri di situ dan sebentar saja ia sudah tenggelam ke dalam keheningan dan kehampaan. Ia membiarkan dirinya hanyut dalam keheningan itu dan membiarkan dirinya tersentuh kekuasaan Gusti Allah yang menggerakkan dirinya untuk duduk di atas sebuah batu dan ia duduk seperti telah berubah sebagai arca namun merasa betapa seluruh tubuhnya bergetar dan hidup!
Sampai lama getaran itu bekerja secara ajaib dan setelah getaran itu perlahan-lahan tak terasa lagi, ia membuka kedua matanya dan senyum bahagia mengembang di bibirnya yang kini mendapatkan kembali warna aselinya yang merah membasah. Wajahnya menjadi cerah sekali, sepasang matanya bersinar-sinar. Ia merasa seolah hidupnya diperbarui dalam waktu yang hanya setengah jam itu!
Hilanglah semua rasa duka, sedih, gembira dan lain perasaan yang mengusik batin. Adanya hanya ketenangan penuh damai, tenteram, dan itukah yang oleh manusia dinamakan bahagia? Ia tidak mampu menjawab, hanya mampu merasakan seperti yang biasa ia rasakan setiap kali berlatih diri Aji Sari Bantala.
Sambil tersenyum Maya Dewi melanjutkan perjalanannya tanpa tujuan tertentu, hanya menurutkan saja ke mana kedua kakinya membawanya dan ia merasa seolah ada kekuatan gaib yang membimbingnya!
Dusun Sampangan di Pegunungan Kidul itu menjadi gempar. Semua penduduk ketakutan sehingga dusun itu tampak sepi. Kebanyakan penduduknya bahkan tidak berani keluar rumah kalau tidak ada keperluan penting dan mendesak. Rumah Ki Lurah Ganjar diliputi kedukaan dan terdengar ratap tangis dari dalam rumah Ki Lurah. Walaupun ratap tangis beberapa wanita itu tidak nyaring karena agaknya ditahan, namun tetap saja terdengar oleh Maya Dewi yang pada sore hari itu tiba di dusun Sampangan.
Karena senja menjelang tiba, ia bermaksud untuk bermalam di dusun itu dan mencari-cari rumah keluarga yang sekiranya dapat dipondoki semalam. Akan tetapi begitu memasuki dusun itu, ia sudah melihat keanehan. Dusun itu sunyi dan beberapa orang yang dijumpainya tampak ketakutan dan menghindar, tidak berani bertemu dengannya. Ketika ia mendengar tangis beberapa orang wanita dari rumah yang paling besar di dusun itu, ia berhenti melangkah, lalu memasuki pekarangan rumah itu.
Mendengar tangis dan rintihan memilukan dan menyedihkan itu, Maya Dewi merasa curiga dan cepat ia menghampiri pintu depan yang tertutup dan mengetuknya beberapa kali. Suara tangis berhenti dan terdengar bisik-bisik dari dalam, bisikan yang mengandung ketakutan.
"Tok-tok-tok!" Maya Dewi mengetuk lagi. "Ki Sanak yang berada di dalam rumah. Jangan takut, aku bukan penjahat. Aku justeru datang untuk menolong kalian? Bukalah pintu dan ceritakan padaku apa yang terjadi."
Setelah mendengar suara wanita, agaknya orang-orang dalam rumah itu tidak begitu takut lagi. Terdengar langkah kaki ke arah pintu dan daun pintu dibuka dari dalam. Yang membukanya adalah seorang laki-laki sekitar empat puluh tahun usianya dan di ruangan itu Maya Dewi melihat beberapa orang wanita yang masih ada bekas tangis pada muka mereka. Laki-laki itu, juga beberapa orang wanita dan laki-laki yang berada di ruangan itu, yang tampak ketakutan, kini memandang heran kepada Maya Dewi. Agaknya mereka sama sekali tidak mengira bahwa yang mengetuk pintu adalah seorang wanita muda yang demikian cantik jelita.
"Ki Sanak, aku kebetulan lewat di dusun ini dan tadi mendengar suara tangis dari dalam rumah ini juga rumah-rumah yang lain tertutup daun pintunya, dusun pun sepi dan beberapa orang laki-laki yang keluar pintu seolah ketakutan. Apakah yang terjadi dan kenapa para wanita ini menangis?"
Laki-laki itu tidak menjawab, melainkan melongok keluar pintu, menengok ke kanan kiri dengan wajah takut lalu menutupkan kembali daun pintunya sehingga Maya Dewi kini berada dalam ruangan tertutup yang remang-remang.
"He, mengapa pintu ditutup?" tanyanya.
"Kami.... kami takut.... Mas Ayu...."
"Takut? Apa yang kalian takuti?"
Tiba-tiba terdengar suara orang merintih dari dalam sebuah kamar di sebelah kiri ruangan itu. "uh-uh-uh... panas.... panas..."
"Ada yang sakit?" tanya Maya Dewi.
Laki-laki itu mengangguk. "Pak Lurah yang sakit. Mas Ayu, sakit parah...."
"Hemm, coba kulihat. Siapa tahu aku akan dapat mengobati dan menyembuhkannya." Maya Dewi memasuki kamar itu diikuti semua orang. Ada empat orang laki-laki setengah tua dan tiga orang perempuan.
Kamar itu cukup besar dan di sudut rebah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tampak kuat, akan tetapi dia kini rebah dengan gelisah, mukanya pucat dan matanya terbelalak seperti ketakutan, dan mulutnya mengeluh kesakitan dan kepanasan.
Begitu memasuki kamar, Maya Dewi sudah merasakan ada sesuatu yang tidak wajar dalam kamar itu. Ada hawa yang menyeramkan dan panas. Kamar itu pun agak gelap, remang-remang. "Nyalakan lampu, aku ingin memeriksanya." kata Maya Dewi.
Tujuh orang itu tampak kaget dan ketakutan. Laki-laki yang membuka pintu tadi menggeleng kepala. "Tidak.... tidak, kami tidak berani, Mas Ayu."
Maya Dewi mengerutkan alisnya. "Hemm, apa yang kalian takuti? Nyalakan lampu, aku yang bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa. Kalau ada penjahat yang datang mengganggu, aku akan hajar mereka dan kalau ada setan datang, aku akan mengusirnya!"
Melihat orang-orang itu masih ketakutan dan tidak ada yang melakukan permintaannya, Maya Dewi lalu mengambil sendiri lampu di atas meja dalam kamar itu dan menyalakannya sehingga kamar itu menjadi terang.
"Tapi, Mas Ayu...." beberapa orang bersuara.
"Diam kalian semua! mengapa begitu penakut? Siapa sih yang akan mengganggu kalian? Biarkan mereka datang, akan kuhajar semua!" bentak Maya Dewi yang sudah merasa jengkel melihat sikap semua orang. Semua orang terdiam dan Maya Dewi menghampiri pembaringan di mana laki-laki tinggi besar itu rebah dengan gelisah.
Begitu duduk di tepi pembaringan dan menyentuh dahi orang itu, Maya Dewi yakin bahwa orang ini bukan terserang penyakit yang wajar! Penyakit ini datang menyerang melalui perantaraan kuasa iblis! Penyakit yang didatangkan oleh kekuatan sihir.
"Harap kalian semua keluar dari kamar ini. Aku akan mengobati Ki Lurah." kata Maya Dewi. Semua orang segera keluar dari kamar dan menanti di ruangan dengan harap-harap cemas. Tentu saja mereka mengharapkan wanita cantik itu benar-benar akan dapat menyembuhkan Ki Lurah, akan tetapi mereka juga merasa takut sekali karena rumah itu kini diterangi lampu, padahal seluruh rumah di dusun itu dalam keadaan gelap dan semua ini untuk mentaati perintah dari Mbah Baureksa (kakek penjaga) Gua Siluman di puncak sebuah di antara perbukitan itu.
Mereka takut kalau-kalau Si Mbah akan marah dan kutukannya akan mencelakai mereka semua. Setelah semua keluar, Maya Dewi menutupkan daun pintu kamar. Lalu ia duduk bersila di atas pembaringan, dekat tubuh Ki Lurah yang terlentang gelisah. Ia lalu mengerahkan Aji Sari Bantala. Aji ini mengeluarkan getaran kuat yang mampu mengusir semua serangan yang datang dari kuasa kegelapan atau iblis yang dipergunakan orang-orang yang memiliki ilmu hitam.
Tak lama setelah getaran yang amat dahsyat itu menggetarkan segala yang berada di luar tubuh Maya Dewi, terdengar Ki Lurah mengaduh, disusul dengan dimuntahkannya sekepal darah menghitam dari mulutnya. Akan tetapi begitu dia muntah darah segumpal darah hitam, Ki Lurah lalu membuka matanya. Napasnya menjadi biasa kembali dan dia segera bangkit duduk ketika melihat ada wanita cantik duduk di pembaringannya. Melihat ini Maya Dewi lalu turun dari pembaringan dan berkata lembut.
"Jangan kaget dan jangan takut, Ki Lurah. Aku datang untuk membebaskanmu dari gangguan ilmu iblis yang membuatmu sakit tadi." Lalu Maya Dewi membuka daun pintu dan memanggil masuk semua orang. Tujuh orang itu segera memasuki kamar dan mereka tercengang, juga heran dan gembira melihat Ki Lurah sudah duduk di tepi pembaringan dengan wajah merah dan pandang mata menunjukkan bahwa dia telah sehat kembali.
Ki Lurah cepat turun dari pembaringan, lalu memberi hormat dengan sembah di depan dada sambil berkata, "Mas Ayu telah menyelamatkan nyawaku, untuk itu aku Ki Lurah Ganjar mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi, nuwun sewu (seribu maaf) Mas Ayu, kesembuhanku ini tidak akan menolong seluruh penduduk dusun Sampangan ini, bahkan kami akan terancam bahaya yang lebih hebat lagi."
Maya Dewi tersenyum. "Kalian semua jangan takut dan khawatir. Semoga Gusti Allah mengirim aku ke sini untuk mengulurkan berkah pertolonganNya kepada kalian. Mari kita bicara di ruangan depan yang lebih luas dan nyalakan lagi beberapa buah lampu agar penerangan menjadi cukup. Jangan takut, aku yang menjamin bahwa tidak akan ada setan yang dapat menggaggu kalian."
Melihat gadis itu mampu menyembuhkan Ki Lurah Ganjar dan mendengar ucapannya yang demikian meyakinkan, timbul keberanian dalam hati orang-orang itu. Mereka lalu keluar dari kamar dan ternyata Ki Lurah Ganjar sudah dapat berjalan sendiri dengan kuat, dan mereka sibuk, ada yang menyalakan tiga buah lampu besar, dan para wanitanya sibuk mempersiapkan makan malam dan minuman untuk tamu yang mendatangkan harapan bagi mereka itu.
Setelah keadaan di ruangan depan rumah Ki Lurah Ganjar itu menjadi terang benderang dan semua orang mengambil tempat duduk menghadapi Maya Dewi, mereka semua semakin kagum melihat kecantikan Maya Dewi yang luar biasa bagaikan seorang dewi kahyangan itu.
"Nah, sekarang, Ki Lurah, ceritakan kepadaku apa yang telah dan sedang terjadi di sini sehingga semua penduduk dusun ini ketakutan."
"Tapi.... tapi...." Ki Lurah memandang ke arah pintu yang sudah tertutup, matanya jelas menunjukkan bahwa dia takut sekali.
"Jangan takut, Ki Lurah! Aku tahu bahwa dusun ini tentu diganggu manusia atau makhluk jahat. Baik pengganggu itu manusia atau setan, aku sanggup mengusir mereka dan menyelamatkan kalian semua!"
Sambil berkata demikian, untuk menenangkan hati mereka, Maya Dewi sengaja menuju ke pintu depan dan dibukanya lebar-lebar seolah-olah ia menantang pengganggu itu agar datang! Semua memandang ke arah lubang pintu dengan mata terbelalak.
"Iblis jahanam mana yang berani mengganggu penduduk dusun ini? Jangan pengecut mengganggu penduduk ang tidak bersalah dan tidak dapat melawan! Kalau memang berani, datanglah dan lawanlah aku! Aku tantang kalian!"
Kini bukan hanya mereka yang berada di rumah Ki Lurah yang mendengar, bahkan para tetangga yang agak dekat juga mendengar seruan wanita itu dan mereka berindap-indap mengintai dari dalam rumah yang gelap. Mereka melihat wanita cantik itu berdiri di ambang pintu depan kelurahan, disinari penerangan yang cerah dari dalam rumah itu.
Tiba-tiba, seolah menjawab tantangan Maya Dewi dengan suara lantang tadi, dari kejauhan terdengar suara anjing melolong-lolong panjang, suara anjing mbaung (melolong) seperti bagi kepercayaan rakyat merupakan tanda bahwa di sana ada makhluk halusnya, sebangsa hantu. Maka mendengar suara ini semua orang merasa bulu tengkuk mereka berdiri dan ada rasa dingin merayap di tengkuk mereka. Mereka menggigil ketakutan.
Tiba-tiba terdengar suara melengking, bercicit-cicit dan tampaklah benda-benda hitam melayang dari luar ke arah pintu. setibanya di depan rumah Ki Lurah, benda itu berterbangan, berputaran di depan pintu rumah di mana Maya Dewi masih berdiri tegak. Ada tiga benda hitam yang berterbangan, atau lebih tepat makhluk karena mengeluarkan suara bercicitan nyaring.
"Kalong (kelelawar)....!" Ki Lurah Banjar berkata dan semua orang menggigil. Selama ini, hampir setiap senja menjelang malam, setelah cuaca mulai gelap seperti sekarang ini, selalu berterbangan kelelawar yang besar sekali berterbangan di antara rumah-rumah penduduk sambil bercicitan menyeramkan. semua penduduk percaya bahwa makhluk itu adalah jadi-jadian.
Tiba-tiba tiga ekor kelelawar raksasa itu mengeluarkan suara melengking dan mereka terbang meluncur ke arah Maya Dewi, agaknya menyerang dan hendak menggigit wanita itu! Semua orang terbelalak ngeri. Mereka membayangkan bahwa wanita cantik jelita itu pasti akan roboh dan mati dengan darah habis dihisap kelelawar-kelelawar itu seperti yang dialami Ki Sosro, jagabaya di dusun itu, seorang jagoan kuat yang berani mengeluarkan sikap menantang hantu yang mengganggu dusun Sampangan. Ki Sosro pada suatu malam terdapat menggeletak tanpa nyawa, mayatnya kering karena darahnya habis dan pada malam itu mereka mendengar sura melengking seperti itu. Dan kini, makhluk jadi-jadian itu meluncur dan menyerang gadis cantik jelita itu!
Akan tetapi dengan sikap tenang Maya Dewi menggerakkan kedua tangannya tiga kali sambil membentak, "Makhluk busuk, minggatlah!" terdengar suara berdebuk tiga kali disusul jerit melengking dari tiga ekor kelelawar itu, jeritan yang tidak mirip jeritan suara wanita kesakitan! Kemudian terdengar kelepak sayap tiga ekor makhluk itu yang terbang melayang dan lenyap ditelan kegelapan malam yang mulai datang menyelimuti dusun itu.
Semua orang yang tadinya merasa ngeri, kini bernapas lega dan mereka mulai percaya kepada Maya Dewi. Setelah melihat betapa tiga ekor kelelawar itu terbang pergi, Maya Dewi masuk kembali ke ruangan depan. ketika seorang laki-laki hendak menutupkan kembali daun pintu depan, Maya Dewi mencegahnya. "Biarkan pintu itu terbuka. Aku masih menanti serangan selanjutnya."
Semua orang kini duduk menghadapi Maya Dewi dan memandang kagum dengan sinar mata penuh harapan. "Nah, Ki Lurah, sekarang ceritakanlah segalanya. Jangan takut, kalau ada setan berani datang mengganggu, aku akan menghadapinya!"
Kini Ki Lurah Ganjar percaya sepenuhnya dan dia mulai menceritakan keadaan dusun itu. "Sejak dahulu, dusun Sampangan kami ini merupakan dusun yang cukup sejahtera. Tanahnya subur dan hasil sawah ladang cukup menghidupi penduduk. Di bukit gamping terdekat terdapat sebuah gua yang sejak dahulu dikenal sebagai Gua Siluman. Akan tetapi kami tidak pernah mengalami gangguan dan kami juga tidak pernah mengganggu gua itu. Akan tetapi kurang lebih sebulan yang lalu..."
"Teruskanlah, jangan takut." kata Maya Dewi.
Ki Lurah Ganjar melanjutkan ceritanya, kini dengan suara lirih dan matanya selalu memandang ke arah pintu yang terbuka. Sebulan yang lalu, seorang anak penggembala kerbau yang membiarkan kerbaunya mendaki bukit, tanpa disadarinya telah tiba didepan Gua Siluman. Anak berusia dua belas tahun itu melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berpakaian serba hitam, duduk bersila di dalam gua. Laki-laki iu meghadap ke dalam gua sehingga dia tidak dapat melihat mukanya. Akan tetapi melihat laki-laki bersila itu, anak penggembala teringat akan larangan para orang tua agar jangan mendaki bukit itu, apalagi sampai di depan gua, karena gua itu berhantu.
Dia mengagnggap bahwa yang duduk bersila itu pasti hantu penjaga gua, maka anak ini lalu berlari turun dan menghalau empat ekor kerbaunya untuk meninggalkan tempat itu. Tiga ekor kerbaunya menurut, akan tetapi seekor lagi secara aneh berlari menuju gua! Anak itu terkejut dan berseru untuk memerintahkan kerbaunya pergi, akan tetapi setibanya di depan gua, kerbaunya itu terguling roboh dan tidak dapat bangkit kembali! Anak itu menjadi ketakutan, melarikan diri bersama ketiga ekor kerbaunya pulang ke dusun Sampangan dan sambil menangis ketakutan menceritakan apa yang terjadi dengan seekor kerbaunya itu.
Tentu saja penduduk dusun itu menjadi gempar. Mereka menduga bahwa kerbau itu pasti menjadi "korban" dan diambil oleh "Mbah Baureksa" penjaga Gua Siluman. Dan yang bersila di sana, berpakaian serba hitam. pasti Sang Mbah itu! Keadaan dusun itu menjadi semakin geger ketika seminggu kemudian, seorang gadis cantik di dusun itu, pada suatu senja, setelah mereka semua melihat tiga ekor kelelawar raksasa berterbangan di dusun sambil bercicitan, gadis itu berlari menuju bukit! Beberapa orang, bersama ayah gadis itu, mengejarnya. Akan tetapi aneh, mereka tidak dapat menyusul gadis itu yang tiba-tiba dapat berlari cepat sekali. Juga ketika dipanggil-panggil gadis itu seolah tidak mendengarkan dan berlari terus.
Ketika tiba di Gua Siluman, gadis itu disambut orang tinggi besar dan mereka berdua lenyap ke dalam gua yang sudah gelap sekali. Orang-orang itu tidak berani mendekati gua, dan ayah si gadis itu hanya memanggil-manggil nama anaknya, akan tetapi gadis itu tidak keluar dan ketika ada tiga ekor kelelawar besar meluncur keluar dari dalam gua dan berterbangan menyambar-nyambar kepala penduduk yang mengejar gadis itu, mereka ketakutan dan melarikan diri turun bukit kembali ke dusun.
"Demikianlah, Mas Ayu. Tiga hari kemudian, gadis itu kembali ke dusun dalam keadaan gila, tertawa dan menangis, tidak menjawab semua pertanyaan, bahkan mengamuk sehingga terpaksa oleh orang tuanya ia dipasung agar tidak dapat mengamuk. Dan setelah itu, sudah ada dua orang gadis lagi yang mengalami nasib seperti itu. Ketika Ki Sosro, seorang yang bertubuh kuat dan dianggap jagoan dusun ini menjadi marah dan berani menantang-nantang iblis yang mengganggu penduduk, pada suatu malam rumahnya didatangi kelelawar dan pada keesokan harinya kami mendapatkan dia sudah mati dengan tubuh kering karena darahnya dihisap habis melalui luka-luka di lehernya. Semenjak itu, kami selalu menjadi ketakutan. Sudah tiga orang gadis dusun kini dipasung karena menjadi gila setelah tiga malam lenyap ke dalam gua itu, dan sampai sekarang sudah beberapa ekor kerbau dan kambing juga menghilang ke gua itu."
Maya Dewi mengerutkan alisnya. Ia dapat menduga bahwa pelakunya tentu seorang sesat ahli sihir yang mempergunakan ilmu hitam bantuan iblis untuk menuruti dan memuaskan nafsu-nafsunya dengan perbuatan keji dan jahat.
"Hemm, lalu mengapa Ki Lurah mendapat serangan sehingga sakit parah?"
Lurah Ganjar menghela napas dan isterinya yang berada di dekatnya sudah mulai menangis perlahan. Mereka saling berpegangan tangan, seolah saling memberi dan minta kekuatan.
"Aduh, ketiwasan (celaka), Mas Ayu! Kemarin, giliran anak tunggal kami sebagai anak yang ke empat, berlari ke gua siluman itu. Ketika saya hendak mengumpulkan semua penduduk laki-laki di dusun ini untuk nekat menyerang ke sana dan menolong anak kami, tiba-tiba saja saya diserang penyakit itu. Rasanya sekujur badan panas dan lemas, juga dada rasanya seperti ditusuk-tusuk. Kami semua dapat menduga bahwa ini tentu perbuatan Si Embah, maka kami menjadi semakin ketakutan. kami sama sekali tidak berdaya, Mas Ayu. Sekarang Andika muncul dan harapan kami timbul kembali. Andika yang akan menjadi dewi penolong kami!"
"Mas Ayu, tolonglah anakku.... tolonglah...." Nyi Lurah meratap dengan air mata bercucuran.
Tiba-tiba terdengar anjing mengonggong dan menyalak, tak jauh didepan pintu. Semua orang memandang. Di luar rumah tidak begitu gelap lagi. Bulan sepotong telah muncul dari balik awan mendung yang tadi menutupinya. Akan tetapi cuaca yang remang-remang itu bahkan mendatangkan suasana yang semakin menyeramkan. Lamat-lamat mereka melihat dua ekor anjing menggonggong dan menyalak-nyalak kepada sesuatu yang tidak tampak. Tiba-tiba dua ekor anjing itu menguik dan roboh, tak berkutik lagi, mati seolah tanpa sebab bagi mereka yang melihatnya.
"Jahanam....!" Maya Dewi memaki marah.
Akan tetapi pada saat itu, Nyi Lurah menjerit. Semua orang terkejut dan dengan mata terbelalak dan muka pucat mereka memandang Ki Lurah Ganjar yang tiba-tiba bangkit dari kursinya dan melangkah ke arah pintu. Langkah dan sikapnya seperti mayat berjalan, kaku dan matanya terpejam! Seperti orang tidur berjalan!
"Pakne....! Pakne....!" Nyi Lurah memanggil-manggil. Akan tetapi Ki Lurah berjalan terus sampai tiba di ambang pintu.
Tiba-tiba terdengar suara Maya Dewi, lembut namun memiliki wibawa kuat sekali dan suara tiupan mengandung getaran yang terasa oleh semua orang yang berada di ruangan itu.
"Ki Lurah Ganjar! Berhenti melangkah dan sadarlah!"
Mendadak lurah itu berhenti melangkah dan memandang kanan kiri dengan heran seperti orang baru bangun tidur. "Eh-eh, kenapa ini....?" tanyanya heran. Isterinya sudah menghampirinya dan menarik tangannya sehingga lurah itu kembali ke dalam ruangan.
"Ki Lurah, duduklah bersila di sini!" Tiba-tiba Maya Dewi memerintahkan, "Yang lain-lain harap mundur dan apa pun yang terjadi jangan sekali-kali bicara atau bertindak. Biarkan aku yang menghadapinya. Kalian semua tenang saja!"
Setelah Ki Lurah Ganjar duduk bersila di atas lantai, Maya Dewi juga duduk bersila di sebelah kirinya. Suasana menjadi sunyi dan semua orang seolah menahan napas dengan hati tegang karena mereka menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang aneh dan menyeramkan.
Mendadak ada benda bersinar meluncur memasuki ruangan itu melalui pintu yang terbuka dan benda itu meluncur ke arah kepala Ki Lurah Ganjar. Akan tetapi Maya Dewi mendorongkan tangan kirinya ke arah benda hitam bersinar itu.
"Yaaaahhhh!" Angin dahsyat menyambar keluar dari telapak tangan Maya Dewi, menyambut benda hitam sebesar kepalan tangan itu.
"Wuuuttt.... pyaaarrr....!" Benda itu pecah dan runtuhlah beberapa buah benda kecil yang ternyata adalah besi-besi runcing yang berkarat! Kalau saja dulu Maya Dewi menghadapi serangan ilmu hitam seperti itu, pasti ia akan mengirimkan benda-benda itu kepada penyerangnya dan akan menewaskan penyerangnya sendiri. Akan tetapi sekarang ia tidak mau melakukan hal itu. Ia teringat akan semua ucapan Bagus Sajiwo kepadanya, ketika pemuda itu memberi penjelasan tentang sikap dan prilaku yang salah dan benar.
Setelah itu hening. Tidak terdengar suara apa-apa lagi dan semua orang menghela napas lega, juga mereka merasa girang sekali karena agaknya gadis cantik jelita itu benar-benar sakti dan dapat melumpuhkan serangan ilmu hitam yang mereka biasa anggap santet atau tenung itu.
Seorang lai-laki, keponakan Ki Lurah, kini bergerak hendak memungut besi-besi runcing seperti paku itu untuk memeriksanya.
"Jangan sentuh!" Maya Dewi berseru dan orang itu menarik kembali tangannya dan menjauhkan diri dari benda-benda itu.
Maya Dewi bangkit dan mengambil benda-benda itu yang jumlahnya ada tiga buah, lalu berkata, "Aku harus membuang benda-benda beracun ini jauh-jauh karena dapat membahayakan kalau tersentuh."
Ia membawa tiga batang benda runcing berkarat itu keluar rumah diikuti semua orang dan ia mengerahkan tenaga lalu melemparkan tiga batang paku berkarat itu yang melesat jauh mengeluarkan suara bersiutan.
Setelah mereka semua kembali ke dalam ruangan, orang-orang yang kini mulai percaya akan kemampuan Maya Dewi, mulai berani bercakap-cakap dengan wajah tidak sepucat tadi, ketakutan mereka banyak berkurang.
"Mas Ayu, Andika telah menyelamatkan nyawa saya, dan kami mohon andika juga sudi membebaskan puteri kami dari ancaman bahaya berupa gangguan itu. Kami mohon Andika suka memberitahu, siapakah Andika dan dari mana Andika datang?" tanya Ki Lurah dan semua anggauta keluarganya yang berada di situ merasa seolah diwakili suara hati mereka dan semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Aku adalah seoang wanita perantau biasa saja, Ki Lurah, dan namaku tidak begitu penting kalian ketahui." Jawaban ini bukan timbul dari keangkuhan hati Maya Dewi, melainkan kini ia tidak membanggakan apalagi menyombongkan perbuatannya yang ia anggap sebagai kewajibannya. Juga ia tidak ingin dikenal dan dikenang sebagai seorang yang melepas budi.
"Ah, Mas Ayu, andika bukan manusia biasa bagi kami. andika bagaikan seorang dewi dari kahyangan. Mungkin Andika memang seorang dewi kahyangan yang sengaja turun ke bumi untuk menolong kami." Semua orang mengangguk mendengar ucapan Ki Lurah itu.
Maya Dewi tersenyum dan semua orang terpesona akan kecantikan wajah itu. "Kalau begitu panggil saja aku Dewi."
"Sang Dewi, saya pernah mendengar tentang perbuaan jahat yang dikenal sebagai santet atau tenung. Apakah yang menyerang saya tadi santet atau tenung itu?"
"Yah, semacam itulah. Orang jahat telah menggunakan ilmu sihir dan kesaktiannya untuk berbuat jahat kepada Ki Lurah."
"Saya mendengar bahwa serangan santet seperti itu dapat dikembalikan untuk menyerang pemiliknya. Mengapa Andika tadi tidak melakukan itu, melainkan membuang senjata santet itu?"
"Ki Lurah, kalau orang membenci kita lalu kita balas membencinya, lalu apa bedanya kita dengan orang itu? Kalau ada yang menyerang kita dengan ilmu hitam keji, lalu kita mengembalikan dengan serangan yang sama kejinya, apa bedanya antara kita dengan dia? Tidak, Ki Lurah, aku tidak sudi menjadi seorang jahat seperti penyerang itu." kata Maya Dewi menirukan ucapan Bagus Sajiwo dahulu.
Kini Nyi Lurah sambil menyembah kepada Maya Dewi berkata, "Ah, Sang Dewi yang mulia, sudilah kiranya Paduka menolong anak saya yang berada di gua itu."
"Jangan kuatir, Bibi. Aku pasti akan menolongnya. Akan tetapi hal itu baru akan kulaksanakan besok pagi. Kalau malam ini, berbahaya sekali, karena orang atau iblis yang melakukannya itu kalau dilakukan malam ini bisa gagal dan akibatnya selain tidak berhasil menyelamatkan puterimu, malah dusun ini pun terancam. Kita harus bersabar sampai besok pagi."
Maya Dewi menyuruh mereka tidur di kamar mereka sedangkan ia sendiri duduk diruangan depan, bersila di atas sebuah bangku dan membiarkan pintu depan tetap terbuka. Karena sudah terbiasa, maka tanpa merebahkan diri untuk tidur, dalam keadaan bersila itu pun sesungguhnya Maya Dewi sudah mengaso seperti orang tidur, walaupun begitu seluruh urat syarafnya siap siaga sehingga andaikata ada gerakan atau suara yang tidak wajar sedikit saja sudah cukup membuat Maya Dewi sadar sepenuhnya. Akan tetapi malam itu tidak terjadi sesuatu.
Pagi-pagi sekali sewaktu terdengar ayam jantan berkokok, sebelum fajar menyingsing Maya Dewi sudah mandi dan berganti pakaian. Pihak tuan rumah juga sudah sibuk menghidangkan sarapan pagi berupa jagung dan singkong rebus dengan minuman air teh. Setelah sinar matahari mulai mengusir kabut yang menyelimuti dusun Sampangan, Maya Dewi keluar dari rumah besar Ki Lurah Ganjar, diikuti seisi rumah. ternyata pagi-pagi benar tadi, berita tentang kehadiran Maya Dewi sudah didengar oleh penduduk dusun Sampangan dan dianggap sebagai seorang dewi penolong dari Kahyangan dengan sebutan Sang Dewi, yang hendak menolong puteri Ki Lurah Ganjar dan menentang Si Mbah dari Gua Siluman. Maka kini, berbondong-bondong semua orang, laki perempuan tua muda, sepagi itu sudah berkumpul di pekarangan kelurahan yang luas.
Ketika Maya Dewi keluar dari pintu depan rumah itu, cantik jelita dan segar berseri, dengan senyumnya yang manis, semua orang memandangnya penuh kagum dan merasa seolah mereka melihat seorang dewi kahyangan yang sesungguhnya. Belum pernah mereka melihat seorang wanita yang sedemikian cantik jelitanya. Orang-orang yang berdiri paling depan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan yang belakang otomatis juga meniru dan berlutut. Mereka semua menyembah dengan penuh penghormatan kepada Maya Dewi!
Melihat ini, Maya Dewi terkejut dan mengerutkan alisnya, lalu ia mengangkat kedua tangannya ke atas. "Aeh, para paman dan bibi, saudara-saudara sekalian. Aku minta kalian bangkit dan jangan memberi penghormatan seperti itu kepadaku! Aku ini manusia biasa seperti kalian. Aku malah merasa canggung dan malu kalau dihormati secara berlebihan seperti ini. Bangkitlah kalian semua dan dengar baik-baik pesanku!" Biarpun ia bicara dengan suara lembut, namun suaranya mengandung getaran yang penuh wibawa sehingga semua orang segera bangkit dan berdiri memandangnya penuh perhatian.
"Kalian semua, tak terkecuali, tinggallah di pekarangan ini, jangan ada yang pergi dari sini sebelum aku datang kembali. Aku akan pergi ke gua di bukit itu dan akan kuhajar Si Jahat yang mengganggu dusun ini sehingga puteri Ki Lurah dapat tertolong dan selanjutnya dusun ini dapat terbebas dari gangguan. Kalian semua dapat membantuku dengan doa kepada Sang Hyang Widhi Wasa atau Gusti Allah, semoga aku berhasil menundukkan dan mengusir kuasa jahat yang berada di sana dan mengganggu kalian."
"Kami akan mentaati perintah andika, Sang Dewi!" kata Ki Lurah Ganjar dengan suara lantang dan seperti sekumpulan burung para penduduk itu menirukan ucapan lurah mereka.
Setelah melihat bahwa semua penduduk berkumpul di pekarangan yang luas itu, Maya Dewi meninggalkan dusun itu. Ia merasa yakin bahwa berkumpulnya semua orang yang begitu banyak akan lebih dari kuat untuk menangkal segala macam serangan yang mengandung ilmu hitam. Apalagi kalau orang sebanyak itu dalam keadaan tepekur dan dalam hati mereka memanjatkan dia kepada Gusti Allah.
Tidak ada kekuatan setan yang bagaimana besar pun untuk menembus wibawa banyak orang yang bersatu. Malam tadi ia sudah diberi keterangan cukup jelas tentang letak gua yang disebut Gua Siluman yang berada di bukit kapur tak jauh dari dusun Sampangan, di sebelah selatan. Ia segera menggunakan ilmu kesaktiannya dan berlari cepat seperti terbang mendaki bukit.
Pagi itu sebetulnya indah sekali. Matahari muda tersenyum di timur dan memeberi kehangatan, mengusir sisa kabut yang enggan meninggalkan bumi, menggugah dan memberi kehidupan baru kepada semua yang terdapat di permukaan bumi. Pohon-pohon tampak penuh gairah hidup menjulurkan ranting-rantingnya, membuka daun-daunnya untuk menangkap sinar matahari, bagaikan burung merak merentang dan menggelar bulu-bulu sayap dan ekornya. Bukit itupun mulai hidup, burung-burung berterbangan meninggalkan sarang. Akan tetapi tidak seperti bukit-bukit lain, bukit itu sepi dari kegiatan manusia. Itulah bukit yang tidak boleh didaki orang, dikenal sebagai tempat angker yang "jalmo moro jalmo mati" (manusia yang datang akan mati).
Karena sudah mendapat keterangan jelas di mana adanya gua yang disebut Gua Siluman itu, juga karena dari arah itu ia merasakan adanya getaran aneh, Maya Dewi dengan mudah menemukan gua itu dan tak lama kemudian ia sudah berdiri di depan gua, dalam jarak sepuluh meter. Ia mengamati gua itu dengan saksama. Gua itu bermulut lebar, sekitar lima meter dan tingginya tiga meter, bentuknya seperti mulut raksasa sedang menyeringai. batu-batu karang meruncing yang bergantungan dari langit-langit gua itu bagaikan deretan gigi taring yang mengerikan.
Berapa dalamnya gua itu tidak tampak dari tempat Maya Dewi berdiri, karena gua itu menghadap ke selatan sehingga sinar matahari yang masih rendah itu belum dapat masuk dan menerangi bagian dalam gua. Di atas gua ditumbuhi semak belukar dan di kanan kirinya terdapat pohon-pohon beringin sehingga tempat itu tampak angker menyeramkan dan agaknya pantas dijadikan tempat tinggal sebangsa hantu!
Ketika Maya Dewi berdiri sambil mengamati gua itu dan sekitarnya, tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti suara binatang buas. Suara itu menggetarkan tanah di mana Maya Dewi berdiri dan pohon-pohon di dekat tempat itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin kencang. Kemudian suara menggereng itu terhenti, dan terdengar suara dari dalam gua, suaranya besar dalam dan parau, terdengar bergema penuh wibawa.
"Heeeiii, perempuan muda! Andika berani datang menghadap kami, baureksa (penjaga) Gua Siluman! Berlutut dan sungkem lah (menyembahlah) kepada kami dan katakan apa yang menjadi permintaanmu!!"
Maya Dewi tersenyum. Dengan kekuatan Aji Sari Bantala, tidak ada kekuatan sihir atau ilmu hitam apapun juga yang dapat mempengaruhinya. Akan tetapi ia merasakan betapa kuatnya wibawa yang terkandung dalam suara itu. Ia mengerahkan tenaga saktinya, lembut namun bagaikan sinar menembus kegelapan, suaranya mendengung ke arah gua.
"Wahai, KiSanak! Tidak ada gunanya lagi Andika berpura-pura menjadi hantu menakut-nakuti rakyat! Dosamu sudah terlalu besar dan aku datang untuk menghentikan kesesatanmu. Hayo bebaskan puteri Ki Lurah Ganjar!"
Hening sejenak, kemudian terdengar suara bercicitan dan dari dalam gua terbang keluar tiga ekor kelelawar besar. Kini tampak jelas tiga ekor binatang itu. besar sekali, sebesar burung gagak dengan sayap terpentang lebar. Warnanya hitam legam dan mukanya yang mirip tikus itu menyeramkan. Matanya merah, moncongnya yang terbuka ketika bercicitan itu pun tampak merah dan taringnya berkilau tajam meruncing. Maya Dewi merasa heran juga. Biasanya, kelelawar tidak berani keluar di waktu matahari menerangi bumi dan hanya berkeliaran di malam gelap.
Agaknya tiga ekor kelelawar ini merupakan jenis lain yang sudah terlatih atau dikendalikan kekuatan gaib. Ia teringat akan cerita Ki Lurah bahwa seorang jagoan mati dengan darah habis dihisap oleh tiga ekor kelelawar ini. Sungguh merupakan makhluk berbahaya bagi keselamatan manusia. Kalau manusia jahat masih mungkin dapat disadarkan karena manusia mempunyai akal budi. Akan tetapi binatang? Sebaiknya dimusnahkan sebelum mendatangkan malapetaka bagi manusia lain.
Tiga ekor kelelawar yang tadinya terbang mengitarinya itu, kini meluncur dengan kelepak sayap nyaring, menyerang ke arah leher Maya Dewi. Semalam Maya Dewi juga pernah diserang tiga ekor kelelawar ini, akan tetapi ia hanya menghalaunya dengan tangkisan tanpa berniat membunuh sehingga tiga ekor binatang itu kesakitan dan terbang pergi. Akan tetapi kini ia tidak membatasi lagi tenaganya ketika berturut-turut tiga kali ia menampar.
"Prak! Prak! Prak!" tubuh tiga ekor kelelawar itu terlempar ke dalam gua dan berjatuhan, tidak mampu bergerak lagi karena kepala mereka remuk terkena tamparan jari-jari tangan mungil Maya Dewi yang terisi tenaga sakti yang dahsyat! Dari dalam gua kembali terdengar gerengan penuh kemarahan. Maya Dewi tetap waspada, bahkan ia melangkah lebih dekat dengan siap menghadapi segala serangan.
Tiba-tiba gerengan itu berubah menjadi suara bentakan nyaring. "Bocah sombong, bersiaplah engkau untuk mampus!" terdengar suara ledakan nyaring. Asap mengepul tebal dan dari asap itu keluar sebuah benda yang bergulingan menuju ke arah Maya Dewi. Wanita ini memandang dan ia melihat bahwa benda itu sebuah kepala raksasa yang menyeramkan.
Rambutnya gimbal, matanya mencorong dan mulutnya yang lebar dan bertaring itu mengeluarkan nyala api. Kepala itu besar dan mata yang mencorong itu memandang ke arah Maya Dewi dengan melotot penuh kemarahan! Maya Dewi yang tidak asing dengan segala macam ajian yang mengandung ilmu hitam, maklum bahwa ia berhadapan dengan makhluk jadi-jadian yang disebut "Banaspati"
Wanita itu tenang saja, memandang ke arah kepala Banaspati yang bergulingan di atas tanah sampai makhluk itu berada di depan kakinya, dalam jarak dua meter. Diam-diam ia mempersiapkan diri dengan pengerahan tenaga saktinya.
Tiba-tiba Banaspati itu mulai menyerang. Dia membuka mulutnya dan bergumpal-gumpal nyala api berkobar seperti bola api menyambar dari bawah ke arah tubuh Maya Dewi! Wanita itu tetap tenang dan setelah bola-bola api itu dekat, ia menggerakkan kaki tangannya. Tangannya menampar dan kakinya menendang. Bola-bola api itu terlempar ke sana-sini dan meledak padam! Banaspati itu menjadi marah dan sambil mengeluarkan api berkobar dari mulutnya, tiba-tiba saja kepala raksasa itu melayang ke arah Maya dewi dengan mulut terbuka lebar!
Maya Dewi mendorongkan tangan kanannya ke arah benda bernyala itu sambil membentak, "Pergilah!"
"Blaaarrrr....!" Kepala raksasa itu meledak dihantam tenaga sakti yang amat dahsyat dari tangan Maya Dewi, asap hitam mengepul tebal dan Banaspati itupun lenyap! Ilmu hitam Banaspati itu telah dihancurkan!
Kembali terdengar gerengan dahsyat tadi dan tiba-tiba terdengar suara gemerosok dan dari dalam gua itu keluar angin yang kencang sekali, seperti topan mengamuk! Maya Dewi berdiri tegak dengan kedua lengan dilipat di depan dada, mengerahkan Aji Sari Bantala. Angin itu lewat saja, hanya membuat pakaian dan rambutnya berkibar namun sedikit pun tidak membuat tubuhnya bergerak! Agaknya penyerang yang menggunakan angin ini maklum bahwa serangannya ini pun tidak ada gunanya dan tidak mempengaruhi wanita cantik yang berdiri di depan gua, maka angin yang tidak wajar itu pun berhenti.
"Dartoko, keluarlah dan hadapi bocah perempuan pengacau itu.!" terdengar suara parau itu memerintah.
Maya Dewi melihat seorang laki-laki keluar dari dalam gua yang gelap. Ia merasa heran karena yang keluar itu bukan seorang yang menyeramkan seperti disangkanya, melainkan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahu. Pemuda itu berpakaian cukup indah dan rapi. Tubuhnya jangkung dan tegap, langkahnya halus. Wajah pemuda itu tampan dan gagah. Matanya tajam, hidungnya besar mancung, dan mulutnya selalu mengembangkan senyum seperti mengejek. Pemuda seperti ini pasti akan mudah mengguncang hati wanita sehingga jatuh cinta kepadanya.
Pemuda itu melangkah perlahan menghampiri Maya Dewi dan berhenti melangkah, berdiri di depan Maya Dewi dalam jarak dua meter. Hidung Maya Dewi mencium bau harum cendana keluar dari tubuh pemuda itu.
Pemuda itu memperlebar senyumnya dan memainkan matanya sehingga wajah dan gayanya penuh daya pikat yang amat kuat. Segera Maya Dewi merasakan sesuatu yang tidak wajar dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah mengerahkan aji pamelet (pemikat) yang ditujukan kepadanya. Ia tersenyum, karena tentu saja ia sama sekali tidak asing dengan segala aji pamelet seperti itu! Pemuda itu agaknya salah duga dan mengira aji pameletnya mengenai sasaran. Dia mengira bahwa Maya Dewi mulai tertarik kepadanya, maka dia menambah gayanya, menggerak-gerakkan alisnya yang hitam tebal dan menggerakkan kedua lengannya, dikembangkan seperti hendak merangkul dan membelai. Lalu dia bicara, suaranya lembut serak-serak basah, suara pria yang menurut keyakinannya disukai semua wanita.
"Aduhai, Nimas Ayu! Andika cantik jelita bagaikan dewi kahyangan. Selama hidupku, baru sekali ini aku bertemu dengan seorang wanita semuda, secantik dan sesakti Andika! Hatiku kagum bukan main, Yayi (Adinda), Andika membuat aku tergila-gila seperti aku melihatmu. Sudikah Adinda berkenalan dengan aku, wong ayu? Aku bernama Dartoko dan bolehkah aku mengetahui siapa namamu yang indah dan mulia?"