Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Kemelut Blambangan
Jilid 03
DARTOKO mulai merasa lelah dipermainkan Nawangsih yang menyusup ke sana-sini dengan gesitnya. dan kembali gadis cilik itu lenyap! Dartoko berhenti mengejar dan mencari-cari ke depan. Dia melihat sebatang pohon besar dan dia menyeringai. Dia melangkah perlahan-lahan agar tidak menimbulkan suara, lalu muncul dari balik pohon besar.
Nawangsih yang bagaikan seekor kelinci dikejar harimau, memang bersembunyi di balik batang pohon itu sambil terengah-engah dan keringatnya bercucuran, matanya yang jeli itu bergerak memandang ke kanan kiri. Ia merasa aman ketika tidak mendengar suara Dartoko mengamuk. tentu pengejarnya itu sudah mengejar ke arah lain dan sudah menjauh maka tidak terdengar suaranya seperti tadi.
Tiba-tiba, Dartoko muncul dari balik pohon sambil menyeringai buas! Hampir Nawangsih menjerit saking kagetnya dan ia melompat untuk lari lagi. Akan tetapi Dartoko sudah meraih ke depan.
"Mau lari ke mana engkau, setan?" Dia berhasil menangkap punggung baju Nawangsih, mencengkeram baju itu untuk menahan gadis cilik yang hendak lari itu. Merasa belakang bajunya ditangkap, Nawangsih mengerahkan tenaganya dan meloncat ke depan.
"Breetttt....!" Baju itu terobek bagian belakang, dari punggung sampai sebagian pinggulnya tidak tertutup lagi. Dartoko terbelalak melihat tubuh bagian belakang yang tidak tertutup lagi itu. Nawangsih sudah lari lagi secepatnya. Timbul gairah di hati laki- laki yang sudah lama menjadi budak nafsunya sendiri itu. Tidak ingat bahwa Nawangsih adalah seorang gadis remaja yang belum dewasa, gairah nafsunya berkobar dan dia melakukan pengejaran dengan cepat.
Nawangsih melarikan diri sekuat tenaga. Namun, tak lama kemudian ia sudah mendengar jejak langkah pengejarnya, dekat di belakangnya. Bahkan dibelakangnya, laki-laki itu mendengus-dengus seperti seekor kerbau mengamuk. Tiba-tiba Nawangsih menjerit ketika tubuhnya diterkam dari belakang sehingga ia terguling jatuh. Dartoko merangkul dan menindih, menggumulinya. Nawangsih melawan dengan pukulan kedua tangannya, menendang- nendang dengan kedua kakinya, bahkan menggunakan gigi untuk menggigit! Akan tetapi skhirnya ia ditelikung dan Dartoko menindih tubuhnya sambil tertawa bergelak.
"Lepaskan anak itu!" terdengar bentakan nyaring dan Dartoko terkejut. Ketika menoleh ke belakang dia melihat seorang pemuda berdiri di situ dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Dartoko terpaksa melepaskan Nawangsih dan melompat berdiri menghadapi pemuda itu. Dia mengamatinya dan merasa tidak mengenalnya. Pemuda itu masih muda sekali, tentu belum ada dua puluh tahun usianya, wajahnya luar biasa tampannya.
Melihat pemuda yang tampaknya masih remaja dan tubuhnya juga kelihatan lemah, tangan yang tersembul dari lengan baju itu pun kecil, Dartoko memandang rendah. "Babo-babo, bocah kemarin sore masih ingusan berani mati mengganggu dan mencampuri urusanku! Apa engkau bosan hidup?"
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya bertambah tampan ketika dia tersenyum. “Heh, engkau ini buaya atau manusia? Kalau buaya, mengapa dapat bicara, akan tetapi kalau manusia, mengapa perbuatanmu seperti buaya! Mau kau apakan anak itu?”
Dartoko mendelik saking marahnya. "Bocah kurang ajar! Anak ini adalah milikku, mau kuapakan sesukaku! Apa urusannya dengan kamu?"
Nawangsih yang melihat ada orang membelanya, lari ke dekat pemuda itu. "Kisanak, dia iblis jahat, telah menculik aku dari rumah orang tuaku!" katanya nyaring.
Pemuda itu mengngguk-angguk, "Adik, berdirilah di sana, di belakangku. Jangan takut, aku yang akan menghajar buaya darat ini!"
Dartoko menjadi semakin marah ketika melihat pemuda yang mengenakan pakaian rangkap banyak itu menanggalkan jubah luarnya dan menyelimutkan ke tubuh Nawangsih.
"Bocah sombong, sebelum engkau mempus di tanganku, katakan dulu siapa namamu agar engkau jangan mati tanpa nama!"
"He, bajul buntung (buaya tak berekor)! Kamu tidak patut menanyakan namaku sebelum engkau memperkenalkan dulu namamu yang kotor dan busuk!"
Dartoko menjadi merah mukanya. Alangkah beraninya bocah ini, pikirnya. "Kurang ajar! Aku adalah Raden Dartoko, murid Kyai Kasmalapati datuk besar Blambangan!"
"Heh-heh, dari mana engkau memungut gelar Raden itu? Aku bernama Joko Darmono, adapun guruku adalah kakek guru dari Kyai Kasmalapati!"
"Keparat! berani engkau menghina guruku?"
"Guru mu itu masih murid keponakanku dan engkau masih cucu muridku. Hayo berlutut beri hormat kepada Eyang Gurumu ini!" pemuda itu berkata sambil tersenyum lebar.
"Jahanam!" Dartoko tidak mampu menahan kemarahannya lagi dan dia sudah mencabut pedangnya dan langsung menyerang pemuda itu tanpa memberi peringatan lagi. Pedangnya berubah menjadi sinar menyambar ke arah leher pemuda itu. Nawangsih memandang dengan mata terbelalak. Sebagai puteri Ketua Jatikusumo ia sudah biasa melihat orang bermain pedang dan ia tahu betapa hebatnya serangan penculiknya itu. Kalau pedang itu mengenai leher pemuda penolongnya, pasti leher itu akan putus dan kepalanya terpisah dari badan!
Akan tetapi dengan gerakan lincah pemuda itu sudah menekuk lutut merendahkan tubuhnya sehingga sabetan pedang lewat di atas kepalanya dan dari bawah tangan kanannya yang sudah mencabut keris ditusukkan ke arah perut lawan! Dartoko terkejut sekali dan cepat dia melompat ke belakang. kesempatan itu dipergunakan oleh pemuda yang bernama Joko Darmono itu untuk meloloskan sehelai sabuk yang diikatkan di pinggangnya, Sabuk itu panjangnya ada setombak, terbuat dari benang sutera yang dipilin menjadi semacam pecut sebesar lengan dengan ujung mengecil.
"Tar-tar-tarrr....!" sabuk atau pecut itu meledak-ledak ketika tangan kiri Joko Darmono menggerakkannya. Kini tangan kiri memegang pecut dan tangan kanan memegang keris, dengan tenang dia berdiri menanti serangan lawan.
Kini mengertilah Dartoko mengapa pemuda remaja yang tampak ringkih (lemah) itu berani menentangnya. Kiranya pemuda itu bukan orang sembarangan! Dia pun bersikap hati-hati dan diam- diam dia mengerahkan sihirnya, mulutnya berkemak-kemik dan pandang matanya seolah menembus dahi Joko Darmono untuk menguasai pikirannya.
"Joko Darmono, engkau berhadapan dengan orang yang lebih tua dan lebih kuat daripada engkau! Kedua kakimu lemas, pikiranmu hanya untuk mentaati perintahku. Kuperintahkan engkau berlutut dan menyembah padaku!" Suara Dartoko yang mengandung daya sihir itu amat berwibawa. Akan tetapi pemuda tampan yang hendak dipengaruhi dengan sihirnya itu masih berdiri tenang- teang saja, sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut dan menyembah seperti diperintahkan Dartoko.
"Heh-heh, bajul buntung ini malah sudah edan (gila) pula!!" pemuda tampan itu malah mengejek.
Dartoko merasa penasaran sekali. Dari gurunya, Kyai Kasmalapati, dia bukan hanya mempelajari ilmu silat akan tetapi juga ilmu sihir dan dia telah memiliki kekuatan sihir yang kuat. Bagaimana mungkin pemuda remaja ini sama sekali tidak terpengaruh daya sihirnya yang kuat? Karena merasa penasaran, mulutnya berkemak-kemik lebih cepat lagi dan kedua tangannya dia sodorkan ke depan dengan telapak tangan menghadap pemuda itu.
"Berlutut dan menyembahlah, Joko Darmono!" bentaknya dan suaranya mengandung getaran hebat.
Akan tetapi Joko Darmono tetap saja berdiri tegak sambil tersenyum, bagaikan batu karang yang kokoh kuat diterpa angin, sedikitpun tidak terguncang.
"Kakang Joko, orang jahat ini sudah gila! Hiih, menakutkan sekali!"
Joko Darmono menoleh dan memandang Nawangsih yang kini tersenyum jenaka. Jelas bahwa anak perempuan itu mengejek Dartoko. Dia tertawa, lalu berkata, “Orang yang jahat itu memang tidak ada bedanya dengan orang gila, Adik.... eh, siapa namamu?"
"Namaku Nawangsih.... he, awas, Kakang!" Dengan curang, selagi Joko Darmono menoleh dan bicara dengan Nawangsih, Dartoko dengan tiba- tiba sudah melancarkan serangan dengan pedangnya, melakukan gerakan menusuk punggung pemuda itu. Joko Darmono tidak sempat membalikkan tubuhnya, akan tetapi tangan kirinya bergerak dan sabuk di tangan kirinya itu menyambar dari atas mengeluarkan bunyi ledakan dan ujung sabuk sudah mengancam kepala Dartoko!
Dartoko maklum betapa dahsyatnya ujung sabuk yang seperti pecut itu mengancam ubun-ubun kepalanya, maka terpaksa dia mengelak ke samping sehingga tusukan pedangnya juga tertunda.
"Trang-cring-traaangggg....!" Bunga api berpijar ketika keris beremu keris dan pedang bertemu ujung cambuk atau sabuk itu.
Mereka lalu saling menyerang dengan hebat. Kedua pihak baru menyadari sepenuhnya bahwa pihak lawan benar- benar tangguh sehingga mereka mencurahkan segala kemampuan mereka untuk menjatuhkan lawan. Namun Dartoko sekali ini kecelik. Tadi dia memandang rendah pemuda remaja yang kelihatannya lemah itu, akan tetapi ternyata setelah perkelahian berlangsung lebih dari tiga puluh jurus, dia mulai kewalahan! Semua serangannya seperti bertemu perisai baja yang amat kuat, sebaliknya, serangan pemuda itu amat cepatnya sehingga beberapa kali dia nyaris menjadi korban sabuk atau keris pemuda itu.
Nawangsih dapat mengerti bahwa penolongnya berada di atas angin. Maka mulailah gadis cilik yang lincah dan bengal itu memberi komentar untuk membakar semangat penolongnya dan untuk mengejek penculiknya.
"Bagus, desak terus, Kakang Joko! Jangan kasih ampun bajul buntung itu! Tusuk saja perutnya, pecahkan dadanya dan remukkan kepalanya!"
Seolah mendapat tambahan semangat oleh kata-kata gadis cilik itu, Joko Darmono mempercepat gerakannya sehingga Dartoko menjadi semakin terdesak dan main mundur.
"Bagus, Kakang Joko! Lihat, muka bajul buntung itu sudah mulai pucat! Sebentar lagi dia akan mati!"
Tiba-tiba Dartoko membuat gerakan ke samping, melompat dan dia tiba dekat Nawangsih lalu menggunakan pedangnya menyerang anak perempuan itu.
"Tranggg....!" Joko Darmono mengejar dan menangkis serangan itu, lalu dia melindungi Nawangsih agar tidak sampai diserang lagi. Akan tetapi kiranya serangan Dartoko terhadap Nawangsih tadi hanya untuk mengalihkan perhatian Joko Darmono karena kini tiba-tiba dia melompat jauh dan melarikan diri lintang pukang seperti dikejar setan. Nawangsih tertawa dan bersorak gembira.
Dengan hati kagum dan heran Joko Darmono menyimpan sabuk dan kerisnya sambil memandang wajah gadis cilik itu. Biarpun baru berusia tiga belas tahun, Nawangsih sudah tampak manis sekali dan tubuhnya yang masih kekanak-kanakan itu padat, juga sikapnya penuh semangat dan agaknya anak itu sama sekali tidak merasa ketakutan walaupun tadi ia berada dalam cengkeraman orang yang kejam dan jahat! Ini jelas bukan gadis desa sembarangan, pikir Joko Darmono.
"Kakang Joko, mengapa engkau tidak mengejar bajul buntung itu?" Nawangsih menegur penolongnya.
Joko Darmono tersenyum. "Ada dua hal yang membuat aku tidak mengejarnya, Nawangsih."
"Hemm, apa itu?"
"Pertama, mengejar penjahat seperti itu dalam hutan ini berbahaya karena aku tidak mengenal hutan ini dan dia dapat memasang jebakan. Ke dua, aku tidak tahu urusan antara engkau dan dia. Siapa tahu fihakmu yang bersalah"
Nawangsih cemberut. "Hemm, kalau engkau ragu dan tidak percaya kepadaku, mengira bahwa mungkin aku yang bersalah, mengapa engkau tadi menolongku?"
Joko Darmono tersenyum. Anak ini selain manis, tabah tak kenal takut, juga galak dan pandai bicara! "Aku tadi menolongmu karena engkau anak yang manis!" katanya menggoda.
Nawangsih tetap cemberut dan sepasang matanya yang bening itu menatap tajam wajah Joko Darmono. "Apa engkau mempunyai anggapan bahwa bajul buntung tadi bukan orang jahat?"
"Ah, aku yakin dia itu orang jahat dan kejam."
"Kalau begitu, mengapa masih sangsi bahwa aku berada di fihak benar? Bukankah orang jahat itu selalu mengganggu orang yang benar? Yang jahat biasanya tidak mengganggu yang jahat, malah berkomplot. Sudah kukatakan tadi bahwa dia menculik aku dari rumah orang tuaku."
"Nawangsih, siapakah orang tuamu? Ingin sekali aku mengetahuinya. anak seperti engkau ini pasti bukan puteri orang sembarangan."
Nawangsih tidak cemberut lagi, malah kini tersenyum dan ia membusungkan dadanya yang masih rata. "Ayahku adalah Ki Cangak Awu, ibuku Nyi Pusposari. Mereka adalah pemimpin perguruan Jatikusumo."
"Wah, kiranya engkau puteri Ketua Perguruan Jatikusumo? Akan tetapi mengapa engkau sampai dapat dilarikan orang tadi? Mengapa Ayah Ibumu tidak mencegah engkau diculik?"
"Ketika itu, perkampungan kami diserbu gerombolan musuh. Kalau tidak salah para penyerbu itu adalah gerombolan para warok sesat dari Ponorogo. Ayah dan ibu sedang memimpin para murid bertempur dengan para penyerbu. Tiba-tiba bajul buntung tadi masuk, melukai Mbakayu Makarti yang melindungi aku dan menangkapku dan membawa lari sampai ke sini. Hemm, kalau ada Ayah Ibuku, tidak mungkin Si Kadal itu mampu menculik aku!" Joko Darmono tertawa geli mendengar Nawangsih menyebut Dartoko kadal.
"Nawangsih, mengapa engkau menyebut penculikmu yang bernama Dartoko itu kadal?"
Nawangsih memandang pemuda itu dengan sinar mata menantang. "Dan mengapa engkau menyebut dia bajul buntung?"
Kembali Joko Darmono tertawa. Gadis cilik ini mempunyai watak tabah, berani menentang, juga bengal dan ugal-ugalan. "Bajul atau buaya adalah sebutan bagi orang jahat, kutambah buntung karena kalau buaya mempunyai ekor akan tetapi manusia tentu saja tidak mempunyai ekor alias buntung!"
"Aku menyebutnya kadal karena dia licik dan curang. Buktinya tidak berani terang-terangan di depan Ayah Ibuku ketika menculik aku, dan tadipun dia melarikan diri karena kalah bertanding melawanmu. Kadal itu sifatnya pengecut, tidak berani berhadapan dengan musuh terang-terangan, menyusup-nyusup ke bawah semak-semak atau sampah."
Joko Darmono tertawa dan merangkul pundak Nawangsih. "Engkau anak nakal! Engkau manis sekali."
"Plakk!" Tangan Nawangsih menampar tangan Joko Darmono yang merangkul pundaknya.
"Eh? Mengapa engkau menampar tanganku?" Joko Darmono memandang heran.
Nawangsih cemberut dan menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut dan penuh curiga. "Ibuku bilang bahwa aku harus waspada terhadap laki-laki yang memuji-mujiku karena itu hanya rayuan gombal belaka. Ayahku juga berkata bahwa kalau ada laki-laki memegang-megang atau merangkulku, dia itu orang kurang ajar dan aku harus melawan dan memukulnya! Dan engkau tadi memujiku dan merangkul pundakku!"
Joko Darmono terbelalak lau tertawa terkekeh-kekeh. "Ha-ha-heh-heh-heh! Engkau bocah lucu, bengal, dan pandai bicara. Aku tidak berniat buruk, untuk apa aku menolongmu dari tangan kadal tadi? Mari kuantar engkau pulang ke rumah orang tuamu."
Nawangsih mengangguk lalu menuding ke arah kuda yang tadi ditunggangi Dartoko. Orang itu melarikan diri dan tidak sempat menggunakan kudanya. "Itu ada kuda. Dengan naik kuda perjalanan pulang dapat lebih cepat dan tidak melelahkan."
Joko Darmono juga memandang ke arah kuda itu dan tersenyum, katanya, "Akan tetapi hanya ada seekor kuda."
"Kuda itu cukup kuat ditunggangi berdua. Tadi pun ditunggangi penculik itu dan aku diboncengnya."
Joko Darmono menghampiri kuda, memegang tali kendalinya dan menuntun kuda itu mendekati Nawangsih, lalu dia memamndang gadis cilik itu dan bertanya.
"Kita menunggang bersama?"
"Ya, kita berboncengan."
"Hemm, engkau akan duduk di mana? Depan atau belakang?"
"Aku di depan dan engkau di belakang, mengendalikan kuda."
"Wah, aku takut ah!" Joko Darmono menggoda.
"Takut? Takut apa?" Nawangsih bertanya heran, sepasang mata jeli itu terbelalak memandang wajah pemuda itu. Pemuda yang gagah perkasa dan sakti mandraguna itu takut?
"Kita akan duduk berhimpitan dan itu berarti aku akan menyentuhmu. Aku takut kau tampar lagi!"
Kedua pipi gadis tanggung itu menjadi merah. Ia tahu bahwa pemuda itu menyindirnya. "Kalau berboncengan, tentu saja kita saling bersentuhan. Akan tetapi hal itu terjadi bukan kau sengaja. Kalau engkau sengaja bertindak kurang ajar di atas kuda, pasti aku akan memukulmu!"
Pemuda itu tertawa lagi. "Nah, naiklah lebih dulu. Nanti aku duduk di belakangmu!"
Nawangsih melompat dengan cekatan dan ringan ke atas punggung kuda setelah ia menyingsingkan kainnya sampai ke atas lutut. Joko Darmono tersenyum dan dia pun melompat ke atas punggung kuda dan duduk berhimpitan dengan Nawangsih, dia berkata, "Sekarang tunjukkan jalan ke arah mana tempat tinggal orang tuamu."
Nawangsih menjadi penunjuk jalan dan Joko Darmono menjalankan kuda itu dengan santai, tidak terlalu cepat sehingga tubuh mereka tidak terlalu terguncang.
Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari membedal kuda mereka keluar dari perkampungan Jatikusumo, dengan niat menuju Ponorogo. Ketika tiba di jalan pertigaan, mereka berhenti dan meragu. Mereka tidak tahu kemana anak mereka dibawa penculik. Terus ke utara ataukah membelok ke barat? Selagi mereka bingung dan ragu, tiba-tiba datang seorang penunggang kuda. Suami isteri itu memandang penuh perhatian dan melihat bahwa penunggang kuda itu seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun dengan pakaian sederhana. Pemuda itu lewat dan dia juga memandang ke arah suami isteri itu penuh perhatian, walaupun hanya selewat.
Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari tidak mengenal pemuda itu, maka mereka tidak memperhatikannya lagi. Akan tetapi, selagi mereka melanjutkan perjalanan ke utara, menuju ke Ponorogo karena jalan itulah yang mereka putuskan, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda di belakang. Mereka menengok dan ternyata penunggang kuda tadi yang kini kembali. Setelah tiba di dekat mereka, penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan memandang kepada suami isteri itu penuh perhatian. Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari juga menangkap wajah pemuda itu dengan heran.
Pemuda itu merangkap kedua tangannya di depan dada sebagai sembah penghormatan lalu bertanya dengan suara lembut. "Mohon maaf atas kelancangan saya, Paman dan Bibi. Saya ingin bertanya, apakah Paman ini Ki Cangak Awu ketua perguruan Jatikusumo dan Bibi Pusposari isteri Paman?"
Suami isteri itu memandang heran. Mereka merasa tidak pernah mengenal pemuda ini. "Benar sekali, orang muda." jawab Ki Cangak Awu. "Akan tetapi, siapakah Andika dan bagaimana Andika tahu bahwa kami adalah Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari?" Pemuda itu cepat melompat turun dari punggung kudanya, lalu kembali menyembah dengan sikap hormat.
"Paman dan Bibi, saya adalah Bagus Sajiwo, putera Ayah Tejomanik dan Ibu Retno Susilo."
"Ahh....!" Suami isteri itu melompat turun dari atas kuda. "Kiranya engkau putera Kakangmas Sutejo?" kata Ki Cangak Awu yang menyebut kakangmas kepada Tejomanik atau Sutejo walaupun dia lebih tua karena dia menikah dengan Pusposari, adik angkat Tejomanik.
"Bagus Sajiwo, bukankah engkau hilang diculik orang? Aduh, mengapa anakku juga mengalami hal yang sama....?" Pusposari teringat akan Nawangsih yang diculik orang dan tiba-tiba ia menangis.
"Kanjeng Bibi, tentang diri saya kita bicarakan nanti saja. Sekarang harap Bibi ceritakan, apa arti ucapan bibi tadi? Anak Bibi diculik orang?" Cangak Awu yang menjawab karena isterinya masih sesenggukan.
"Ah, malapetaka menimpa kami, Bagus Sajiwo. Jatikusumo diserbu gerombolan warok Ponorogo dan dalam keributan itu, kami dapat mengusir musuh, akan tetapi anak kami, Nawangsih yang berusia tiga belas tahun, dilarikan seorang pemuda. Kami berdua sekarang hendak melakukan pengejaran ke Ponorogo, akan tetapi di sini kami ragu karena jalan bercabang. Kami memutuskan untuk melakukan pengejaran ke utara menuju ke Ponorogo."
"Kalau begitu, biarlah saya yang akan mengejar ke barat. Bagaimana ciri penculik itu, Paman?"
"Yang melihat adalah seorang murid Jatikusumo yang dilukainya. Dia seorang pemuda yang berwajah tampan."
"Baik, saya mohon pamit, Paman dan Bibi. Saya akan melakukan pengejaran!" kata Bagus Sajiwo sambil melompat ke atas kudanya dan membalapkan kuda itu ke arah barat. Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari juga segera melanjutkan pengejaran mereka ke utara.
Seperti kita ketahui, Bagus Sajiwo meninggalkan rumah orang tuanya di lereng Gunung Kawi untuk merantau dan ayahnya berpesan agar dia singgah diperguruan Jatikusumo, menjenguk Bibinya, Pusposari yang menjadi isteri Ki Cangak Awu ketua Jatikusumo. Dia sudah mendengar keterangan Ayah Ibunya tentang ciri-ciri Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari, maka ketika tadi berpapasan, dia mengenal mereka. Mendengar puteri mereka yang bernama Nawangsih diculik orang, tentu saja dia segera ingin membantu melakukan pengejaran. Nawangsih adalah puteri bibinya, berarti adik misannya!
Ketika kudanya tiba di jalan yang memasuki hutan, dia berhenti dan meneliti tanah, Tanah di situ agak lembab maka jelas tampak olehnya jejak kaki kuda yang cukup dalam seolah kuda itu membawa beban berat. Inilah kuda penculik itu, pikirnya. Penculik itu membawa Nawangsih, tentu saja bebannya yang dua orang itu menjadi berat dan meninggalkan jejak yang jelas di atas tanah. dia lalu menjalankan kudanya, mengikuti jejak kaki kuda itu yang memasuki hutan.
Matahari mulai condong ke barat. Walaupun sinar matahari masih panas menyengat, namun di dalam hutan itu tampak teduh karena banyaknya pohon rindang yang daun-daunnya merupakan perisai terhadap sinar matahari. Bagus Sajiwo masih terus mengikuti jejak kaki kuda. Mudah saja jejak itu diikuti karena tidak terdapat jejak kaki kuda lain yang sejelas jejak yang diikutinya itu. Dia harus mengikuti terus, kemanapun jejak kaki kuda itu menuju. Kalau sebentar lagi malam tiba dan cuaca menjadi gelap sehingga tidak mungkin lagi melihat jejak kaki kuda itu, baru dia akan berhenti untuk dilanjutkan besok kalau sudah terang tanah. Dia merasa bahwa dia telah menemukan jejak penculik itu. Dia harus dapat menemukan adik misannya!
Tiba-tiba dia menahan kudanya. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara yang datang dari depan. Suara orang bicara! Cepat dia turun dari atas punggung kudanya, membawa kudanya agak menjauh lalu melepaskan kendali dan membiarkan kuda itu makan rumput. Dia sendiri cepat kembali ke jalan tadi, bersembunyi di balik sebatang pohon besar.
Suara orang bicara itu semakin mendekat dan Bagus Sajiwo menanti dengan hati tegang dan penuh harap bahwa yang datang itu adalah penculik yang dikejarnya, walaupun dia merasa sangsi karena kalau orang itu benar si penculik, mengapa dia kembali? Joko Darmono yang mengendalikan kuda dengan Nawangsih di depannya, menjalankan kudanya dengan santai saja.
"begini, kapan sampainya?"
"Cepatkan dong kudanya!" Nawangsih menegur. "Kalau merangkak seperti siput Mendengar omelan gadis remaja itu, Joko Darmono tersenyum.
"Kalau kubalapkan, aku takut engkau pukul karena kita akan terguncang-guncang sehingga tubuh kita berhimpitan. Engkau akan menganggap aku kurang ajar lalu memukul, kan repot!"
"Jangan goda aku. Cepatlah, lihat, hari sudah menjelang sore. Kita akan kemalaman di hutan!"
"Kemalaman juga tidak mengapa. Kita membuat api unggun pengusir nyamuk dan dingin, tidur di bawah pohon dan besok kita lanjutkan perjalanan."
"Tidak! Aku tidak sudi tidur denganmu! Lebih baik aku mati daripada harus tidur denganmu. Ternyata engkau laki-laki kurang ajar, brengsek!"
Bagus Sajiwo mendengar kata-kata yang diteriakkan dengan marah oleh Nawangsih itu, maka cepat dia melompat dan menghadang di depan kuda Joko Darmono. Pemuda ini terkejut dan menahan kudanya, memandang kepada Bagus Sajiwo yang tiba-tiba muncul menghadang itu. Bagus Sajiwo tadi mendengar percakapan mereka dan tahu bahwa pemuda itu jelas bukan orang baik-baik karena telah menculik gadis remaja itu. Akan tetapi dia masih belum yakin benar apakah benar gadis itu puteri Ki Cangak Awu.
"Adik manis, apakah Andika yang bernama Nawangsih?" tanya Bagus Sajiwo.
Nawangsih memandang pemuda yang menghadang di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik dan alis berkerut, sudah merasa tidak senang dipanggil adik manis yang merupakan pujian kepadanya. Pujian laki-laki berarti rayuan gombal!
"Hemm, aku memang Nawangsih dan engkau mau apa?"
Bagus Sajiwo tidak menjawab akan tetapi tiba-tiba tubuhnya meloncat dan berkelebat cepat sekali. Bagaikan seekor burung garuda terbang, dari atas dia sudah menyerang Joko Darmono dengan tamparan ke arah kepala pemuda itu.
Joko Darmono terkejut sekali melihat serangan mendadak yang tdak disangka-sangkanya itu. Cepat dia melompat turun dari atas punggung kudanya untuk menghindarkan diri dan pada saat itu, Bagus Sajiwo sudah memondong tubuh Nawangsih dan membawanya turun dari atas kuda. Ternyata serangannya tadi hanya merupakan gertakan saja agar Joko Darmono melepaskan gadis remaja itu.
Nawangsih yang dirangkul dan dipondong Bagus Sajiwo turun dari kuda, meronta-ronta. "Lepaskan aku! Lepaskan, setan kurang ajar! Jangan sentuh aku!"
"Adik Nawangsih, aku hendak menolongmu." kata Bagus Sajiwo. akan tetapi pada saat itu Nawangsih yang dirangkul segera menggunakan giginya yang kuat menggigit tangan yang merangkulnya.
"Aduh....!" Bagus Sajiwo berseru, lebih kaget daripada nyeri karena sama sekali tidak disangkanya bahwa anak perempuan yang hendak ditolongnya itu malah menggigit tangannya. Dan lebih heran lagi hatinya melihat Nawangsih yang terpaksa dia lepaskan itu kini lari ke arah pemuda yang memboncengkannya tadi. Lari kepada si Penculik! Nawangsih memilih berdekatan dengan Joko Darmono karena ia sudah yakin bahwa Joko Darmono membebaskannya dari tangan Dartoko yang jahat. Sedangkan pemuda yang baru muncul ini sama sekali tidak dikenalnya. Tentu saja ia merasa curiga kepada Bagus Sajiwo dan merasa lebih aman minta perlindungan Joko Darmono.
Panas juga perut Bagus Sajiwo melihat betapa pemuda tampan itu terkekeh-kekeh, menertawakan dia yang digigit gadis remaja itu, tertawa terpingkal- pingkal sambil menekan perutnya karena dia merasa betapa lucunya kejadian tadi. Anak perempuan itu sungguh liar, siapa saja digigitnya! Dia sendiri sudah merasakan gigitan yang menyakitkan itu dan kini dia tertawa-tawa melihat orang lain juga menjadi korban gigitan.
"Heh-heh-heh, baru tahu rasa kau sekarang! Manusia lancang, dengan curang menyerangku dan hendak membawa Nawangsih dengan paksa!"
Bagus Sajiwo merasa heran sekali melihat Nawangsih malah berfihak kepada penculiknya dan kini gadis itu berdiri di belakang pemuda tampan seolah berlindung.
"Ki sanak, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku memang bertugas mencari Nawangsih dan membawanya pulang ke rumahnya. Serahkan anak itu kepadaku dengan baik dan kita tidak perlu bermusuhan."
"Enak saja kau bicara! Menyerahkan Nawangsih begitu saja kepadamu, orang yang sama sekali tidak kami kenal? Tidak mungkin." jawab Joko Darmono, "Aku medapatkan gadis ini dengan susah payah, dengan jalan merebut. Nah, kalau engkau hendak mendapatkannya, engkau juga dapat merebutnya dari tanganku!"
"Hemm, engkau tidak mau menyerahkan Nawangsih dan bahkan menantang aku?" tanya Bagus Sajiwo penasaran.
"Aku tidak menantang siapa-siapa, akan tetapi kalau ada yang hendak merebut anak ini dari tanganku, siapapun juga orangnya, harus menghadapi dan mengalahkan aku!"
"Bagus, kalau begitu, mari kita lihat siapa yang lebih unggul dan berhak membawa anak ini."
"Huh, engkau tentu kawan bajul buntung tadi!” bentak Joko Darmono. "Majulah!” Dia memasang kuda-kuda dengan gagah sekali, kaki kiri berdiri tegak, lutut kaki kanan diangkat dan kaki kanan menempel pada lutut kiri, kedua tangan dikembangkan dan jari-jari tangan membentuk paruh seperti seekor burung garuda hendak terbang.
Bagus Sajiwo memang tidak mempunyai niat untuk membunuh atau melukai pemuda tampan itu karena dia pun belum tahu mengapa pemuda itu menculik Nawangsih. Akan tetapi dia harus dapat mengalahkan pemuda itu agar dia dapat membawa pulang puteri Ki Cangak Awu.
"Andika yang mengajak bertanding. Majulah!" katanya sambil berdiri santai, tidak memasang kuda- kuda seperti lawannya. Joko Darmono melihat pemuda itu tidak memasang kuda-kuda, lalu menurunkan kedua tangan yang tadi dikembangkan.
"Sudahlah! Kalau engkau tidak pandai bersilat, aku pun tidak mau menyerang orang yang tidak berkepandaian. Tadi gerakanmu begitu cepat maka kukira engkau pandai olah kanuragan. Akan tetapi sekarang engkau agaknya tidak pandai bersilat."
"Hemm, penculik sombong. Kalau engkau tidak berani, bebaskan gadis itu biar kubawa pulang."
"Siapa yang tidak berani? Jangan sembarangan kamu! Siapa takut kepada orang lemah macam kamu?"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Kalau tidak takut, mengapa tidak segera menyerang?"
"Engkau bersiaplah!"
"Sudah sejak tadi aku bersiap!"
"Baik, awas seranganku. Haaaiiittt!" Joko Darmono menerjang ganas memukul ke arah dada Bagus Sajiwo. Melihat serangan yang mantap dengan cepat, juga mengandung tenaga dalam yang kuat, diam-diam Bagus Sajiwo kagum juga. Ternyata pemuda penculik ini bukan lawan lemah. Serangannya itu dahsyat sekali. Maka Bagus Sajiwo cepat mengelak ke samping dan langsung membalas dengan tamparan tangannya ke arah pundak lawan. Namun, Joko Darmono juga dapat mengelak dengan cepat lalu kakinya menendang ke arah perut Bagus Sajiwo.
Cepat sekali gerakannya itu dan begitu Bagus Sajiwo kembali mengelak, tubuh Joko Darmono sudah condong ke depan dan tangannya kini mencengkeram ke arah muka lawan.
Bagus Sajiwo berdecak kagum. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Sayang sekali pemuda yang luar biasa tampannya dan ternyata memiliki kesaktian sesat, menculik seorang gadis dengan niat rendah. Dia pun melayani perkelahian tangan kosong itu dan timbullah kegembiraannya setelah mendapat kenyataan bahwa pemuda itu memang tangguh sekali. Dia ingin mengukur sampai di mana kehebatan lawannya yang masih amat muda, lebih muda tampaknya daripada dia sendiri. Dan makin lama mereka bertanding, semakin kagumlah hati Bagus Sajiwo. Pemuda itu memang hebat, cekatan, gerakannya cepat bukan main dan tenaga saktinya juga kuat.
Tiba-tiba Joko Darmono yang kaget sekali melihat kesaktian lawannya, mengeluarkan teriakan nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan silat, lalu mendorongkan kedua telapak tangan. Tampak uap kemerahan menerpa ke arah Bagus Sajiwo.
"Aji Nirada Jingga!" Joko Darmono membentak.
Bagus Sajiwo maklum bahwa serangan itu mengandung tenaga sakti yang amat ampuh maka dia pun tidak mau menyambut karena serangan seperti itu kalau disambut dengan tenaga sakti pula, akibatnya dapat mendatangkan luka di sebelah dalam tubuh, entah dia atau lawannya yang akan terluka, tergantung siapa yang lebih kuat. Maka untuk menghindari pukulan itu, tubuhnya mencelat ke atas dan berjungkir balik sebelum kembali ke atas tanah.
"Kakang Joko, pukul mampus dia! Dia tentu teman bajul buntung yang menculik aku!" teriak Nawangsih. Mendengar teriakan ini, Bagus Sajiwo terkejut.
"Ki sanak, tahan dulu!" dia berseru.
"Hemm, engkau tidak berani menghadapi ajiku Nirada Jingga?" Joko Darmono mengejek, sungguhpun diam-diam dia heran dan terkejut juga melihat betapa lawannya dengan mudah menghindarkan diri dari aji pukulan yang dahsyat tadi.
"Aji pukulanmu yang tadi memang dahsyat, Ki sanak. Akan tetapi bukan karena takut aku menghentikan pertandingan. Aku tadi mendengar ucapan Nawangsih. Bukankah Andika yang telah menculik Nawangsih dari rumah Paman Cangak Awu?”
"Huh, maling teriak maling!" Joko Darmono membentak. "Engkaulah yang agaknya menggantikan si bajul buntung Dartoko si penculik jahat yang sudah kukalahkan!"
"Maaf, kalau begitu, Andika malah menjadi penolong Nawangsih, membebaskannya dari tangan penculiknya?"
"Benar sekali! Dan mengapa engkau tadi menyerangku dan merampas anak itu?"
"Aduh, kita sudah salah sangka. Tapi.... tadi aku mendengar engkau mengajak Nawangsih tidur di bawah pohon dan ia membantah, tidak sudi tidur denganmu dan lebih baik mati. Karena mendengar ucapan itu maka aku segera menyerangmu untuk dapat membebaskan Nawangsih."
Joko Darmono tertawa. "Eh-eh, Nawangsih masih kecil sehingga ia tidak mampu mengartikan kata-kataku. Akan tetapi engkau bukan anak kecil lagi. Apakah engkau juga berprasangka buruk terhadap kata-kataku tadi? Nawangsih takut kemalaman dan aku mengatakan bahwa kami dapat bermalam di bawah pohon, membuat api unggun dan tidur di sana melewatkan malam. Apanya yang salah dengan ucapan itu? Anak ini memang bengal dan bodoh."
"Maafkan aku, Kakang Joko, aku tadi memang bodoh, menyangka engkau tiada bedanya dengan Si Bajul Buntung." kata Nawangsih, lalu gadis remaja ini memandang Bagus Sajiwo dengan sinar mata penuh selidik. "Engkau siapakah? engkau tadi menyebut Paman kepada Ayahku."
Bagus Sajiwo tersenyum. "Kiranya kita bertiga berprasangka buruk sehingga terjadi salah paham. Nawangsih, pernahkah engkau mendengar nama Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo yang tinggal di Gunung Kawi?"
"Tentu saja! Ibuku adalah adik Paman Tejomanik. Aku pernah berjumpa dengan mereka dua kali. mengapa engkau tanyakan hal itu kepadaku?"
"Karena aku adalah anak mereka.
Sepasang mata jeli itu terbelalak "Yang namanya Bagus Sajiwo?"
Bagus Sajiwo mengangguk. "Benar, akulah Bagus Sajiwo."
"Akan tetapi tidak mungkin! Kakang Bagus Sajiwo hilang diculik orang empat belas tahun yang lalu, sebelum aku lahir. Begitu cerita ayah Ibuku."
"Benar, akan tetapi aku sudah pulang, Nawangsih adikku. Dan aku berkunjung ke Jatikusumo, mendengar dari Ayah Ibumu bahwa engkau diculik orang. Mereka melakukan pengejaran ke Ponorogo dan aku sendiri membantu mereka, mencari ke jurusan barat ini. Engkau adik misanku, Nawangsih."
"Dan engkau kakak misanku, Kakang Bagus Sajiwo."
"Hemm, kiranya engkau ini putera Ki Tejomanik, Si pecut sakti Bajrakirana. Pantas engkau demikian tangguh!" kata Joko Darmono.
"Ah, Andikalah yang tangguh dan sakti, membuat aku kagum, Kisanak, maafkan kesalahanku yang menyangka Andika penculik, tidak tahunya Andika malah menjadi penolong adikku Nawangsih. Bolehkah aku mengetahui siapa namamu, Ki sanak? Seperti Andika telah mendengar tadi, namaku Bagus Sajiwo."
Joko Darmono tersenyum, matanya berkilat dan wajahnya berseri melihat sikap dan mendengar ucapan Bagus Sajiwo yang lembut dan sopan itu. Hemm, pemuda ini hebat bukan main, pikirnya. Bukan saja ilmu kanuragan yang dimilikinya amat dahsyat, juga sikap dan tutur bahasanya yang lembut menawan hati.
"Aku seorang perantau biasa saja, tidak terkenal seperti engkau yang memiliki orang tua pendekar sakti. Namaku Joko Darmono."
"Wah, harap jangan merendahkan diri, Joko Darmono. Katakan, siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu sehingga Andika memiliki ilmu yang demikian tinggi?"
Joko Darmono kembali tertawa lebar. "Bagus Sajiwo, harap jangan tertawakan aku. Sesungguhnya, ayah dan ibuku telah tiada...."
"Aduh, kasihan Andika, Joko Darmono."
"Hemm, jangan bilang begitu, aku bisa menangis!" kata Joko Darmono sambil tersenyum pahit. "Aku hanya mendengar kata orang saja bahwa Ayah Ibuku telah meninggal dunia. aku tinggal berdua dengan Adikku ketika aku berusia lima tahun dan Adikku berusia tiga tahun. Akan tetapi Adikku meninggal dunia juga sehingga aku hidup sebatang kara."
"Aih, kasihan sekali, engkau Kakang Joko!" kini Nawangsih yang berseru sambil menghampiri pemuda itu dan memegang tangannya.
Joko Darmono mengelus kepala Nawangsih. "Tidak perlu dikasihani lagi, karena bagaimanapun juga aku tidak dapat bertemu lagi dengan mereka sampai aku mati kelak."
Hening sejenak. Cuaca mulai gelap karena perlahan-lahan matahari mulai terbenam di barat.
"Mari kita membuat api unggun." kata Bagus Sajiwo yang mulai mencari dan mengumpulkan kayu- kayu kering. Joko Darmono tanpa bicara membantunya. mereka membuat api unggun di bawah pohon besar. mereka duduk di atas rumput tebal mengelilingi api unggun.
"Heh-heh, apa kataku tadi? Kita membuat api unggun dan tidur di sini, Nawangsih." kata Joko Darmono sambil memandang gadis cilik itu dengan senyum menggoda. Nawangsih menundukkan muka, merasa malu karena tadi ia keliru mengartikan ucapan pemuda itu.
"Engkau tampak lelah, Adik Nawangsih. Itu sudah kupersiapkan tempat tidur untukmu. Rebah dan tidurlah. Aku akan mengurus kudaku."
"Aku juga. Kudaku itu adalah milik penculik yang kurampas. Perlu ditambatkan di pohon dekat sini agar jangan diambil orang atau melarikan diri."
Dua orang pemuda itu lalu mengurus kuda masing-masing dan Nawangsih segera merebahkan diri di atas tumpukan daun kering yang dipersiapkan Bagus Sajiwo. Karena ia memang lelah sekali, apalagi baru saja mengalami ketegangan, sebentar saja ia telah pulas. Ia tidur dengan miring, membelakangi api unggun.
Bagus Sajiwo dan Joko Darmono kembali duduk dekat api unggun dan mereka tersenyum melihat gadis cilik itu sudah tidur. Pendengaran mereka yang tajam terlatih dapat mengetahui dari pernapasannya bahwa gadis remaja itu telah pulas.
"Joko, tadi belum engkau ceritakan siapa gurumu. Aku yakin gurumu pasti seorang tokoh sakti yang terkenal."
"Ah, Bagus, maafkan aku. Guruku melarang aku menceritakan kepada siapa pun juga tentang beliau."
"Ya, sudahlah, Joko, memang seorang murid harus mentaati semua perintah gurunya. Dari sikap dan jawabanmu ini saja aku sudah dapat mengenalimu sebagai seorang murid yang baik."
"Wah, jangan terlalu memuji, Bagus. Kalau ia yang kau puji," Joko menuding ke arah Nawangsih, "pasti ia mengatakan bahwa engkau mengucapkan rayuan gombal!" Joko Darmono tertawa terkekeh dan Bagus Sajiwo juga tertawa. Dia merasa cocok dan suka sekali dengan pemuda yang tampan ini. Seorang pemuda tampan, sakti, dan melihat gerak-gerik dan ucapannya, dia seorang yang lincah gembira.
"Ya, ia seorang gadis remaja yang hebat, pemberani dan jujur. Pantas menjadi puteri Paman Cangak Awu yang terkenal keras dan jujur. Aku bangga melihat adik misan yang baru sekali ini kujumpai."
"Ceritakan tentang dirimu, Bagus. Bagaimana engkau baru sekali ini melihat Adik misanmu ini? Ke mana saja engkau selama ini? Aku mendengar kata- kata Nawangsih tadi bahwa engkau diculik orang."
Bagus Sajiwo menghela napas panjang. "Memang benar aku diculik orang ketika aku berusia enam tahun. Aku diculik dari tempat tinggal orang tuaku di Gunung Kawi dan dilarikan sampai jauh."
"Hemm, aneh, Kalau engkau putera Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo yang terkenal sakti mandraguna, bagaimana mungkin engkau diculik dan dilarikan orang? Pasti orang tuamu akan mencarimu sampai berhasil menemukan engkau. Siapa orangnya yang berani mengusik sepasang suami isteri pendekar sakti itu?"
"Tentu saja selama belasan tahun itu Ayah dan Ibuku berusaha mencari aku. Yang menculikku adalah seorang datuk sakti dari Blambangan bernama Wiku Menak Koncar...."
"Ahh!" Joko Darmono terkejut. "Engkau mengenalnya, Joko?"
"Mengenal sih tidak, akan tetapi tentu saja aku sudah mendengar nama datuk itu. Kalau tidak salah, dia tewas di tangan puteri Kanjeng Sultan Agung, yaitu Puteri Wandansari."
"Benar, Joko. Aku juga mendengar begitu. Nah, ketika aku dilarikan Sang Wiku Menak Koncar, aku dibebaskan dari tangan penculik itu oleh guruku."
"Ah? Jadi yang menggemblengmu bukan Ayah Ibumu sendiri? Siapa gurumu itu, Bagus?"
"Guruku adalah mendiang Eyang Guru Ki Ageng Mahendra di Pegunungan Ijen."
"Ohh...., aku sudah mendengar pula akan kakek yang dikabarkan sebagai manusia setengah dewa itu! Pantas ilmu kepandaianmu demikian hebat!"
"Hemm, sekarang engkau yang memuji-muji. Awas kuberitahukan nanti kepada Nawangsih agar dikatakan engkau merayu gombal!"
Joko Darmono tertawa. "Lalu mengapa engkau sampai dewasa begini baru pulang ke rumah orang tuamu? Kata Nawangsih tadi engkau hilang selama empat belas tahun."
"Hal itu adalah seperti juga engkau, aku harus tunduk dan taat kepada guruku. Mendiang guruku meninggalkan pesan agar aku tidak menjumpai orang tuaku, atau pulang ke Gunung Kawi sebelum aku berusia dua puluh tahun. Nah, setelah aku berusia dua puluh tahun, beberapa bulan yang lalu, aku pulang ke Gunung Kawi bertemu dengan Ayah Ibuku."
Joko Darmono mengerutkan alisnya dan di bawah sinar api unggun. Bagus Sajiwo melihat betapa wajah tampan itu menjadi muram. Joko Darmono menghela napas beberapa kali lalu suaranya terdengar gemetar.
"Bagus, tentu engkau merasa berbahagia sekali bertemu dengan Ayah Ibumu...."
Diam-diam Bagus Sajiwo merasa kasihan kepada pemuda itu. "Tentu saja, Joko. Akan tetapi aku tidak lama tinggal di rumah, aku ingin merantau dan demikianlah, aku lalu pergi hendak berkunjung ke rumah Paman Cangak Awu dan Bibi Pusposari yang menjadi pimpinan perguruan Jatikusumo. Bibi Pusposari adalah Adik ayahku. Aku bertemu dengan mereka dan mendengar tentang Nawangsih yang diculik orang, maka aku melakukan pengejaran sampai di sini."
Sejenak hening. Keduanya tidak bicara lagi. Bagus Sajiwo maklum apa yang menjadi gejolak hati Joko Darmono pada saat itu.
Pemuda itu merasa duka mengingat akan ayah ibunya yang telah tiada. Dia merasa kasihan, akan tetapi tidak tahu harus bicaraapa yang dapat menghibur hati kenalan barunya itu. Maka diapun lalu menambah kayu bakar pada api unggun. Nawangsih masih tidur pulas. Agaknya merasa nyaman karena api unggun itu mengusir dingin dan nyamuk.
Setelah berdiam diri cukup lama, Joko Darmono yang sejak tadi duduk diam memandang api unggun, seperti orang melamun, memandang kepada Bagus Sajiwo, lalu menghela napas lagi.“Bagus, aku merasa iri hati sekali padamu!”
"Eh? Mengapa, Joko Darmono?"
"Engkau mempunyai ayah ibu, juga paman dan bibi, bahkan gadis manis inipun adik misanmu. Engkau mempunyai banyak keluarga, sedangkan aku... ah, aku hidup sebatang kara, tidak mempunyai keluarga seorang pun...."
"Akan tetapi kau masih mempunyai gurumu sebagaipengganti orang tuamu, Joko."
"Ah, tidak, Bagus. Aku tidak bisa menganggap guruku sebagai orang tuaku karena ia.... ahh, lebih baik tidak kubicarakan tentang guruku. Pendeknya, aku tidak punya siapa-siapa."
"Engkau keliru, Joko. Mendiang Eyang Guru pernah berkata bahwa seluruh manusia di dunia ini sebetulnya adalah saudara kita. Bukankah sekarang ini, Nawangsih itu dan aku dapat pula kau anggap sebagai saudaramu?"
"Mana mungkin semua orang menjadi saudaraku! Banyak orang yang jahat, aku tidak sudi menjadi saudara seorang penjahat!"
"Aku pernah membantah Eyang Guru seperti engkau sekarang ini, Joko. Dan apa kata eyang? Betapa jahat pun seseorang, dia menjadi kewajiban kita untuk berusaha menolongnya dengan cara menyadarkannya, kalau perlu dengan kekerasan agar dia dapat mengubah jalan hidupnya. Pendeknya, kita harus bersikap baik dan berguna bagi orang lain, tanpa pandang bulu. Yang hidup sengsara patut kita tolong sedapat kita, yang bahagia patut kita syukuri, yang baik kita contoh, yang jahat kita coba menyadarkannya, karena mereka semua itu adalah saudara kita, Joko."
Joko Darmono memandang wajah Bagus Sajiwo yang disinari api unggun. Pandang matanya menyorotkan keheranan dan kekaguman. "Amboi! Bagus, berapa sih usiamu? Kalau tidak salah, engkau berusia dua puluh tahun, bukan?"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Benar, Joko. Mengapa? Kita sebaya, mungkin aku lebih tua satu dua tahun."
"Aku sembilan belas tahun. Akan tetapi engkau... bicaramu itu seperti seorang pendeta yang sudah tua renta saja."
"Ha-ha, memang aku sudah tua, setidaknya lebih tua daripada engkau, kan?"
Joko Darmono ikut tertawa dan wajah yang tadi muram itu kini berseri kembali."Aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Bagus."
"Aku pun suka kepadamu, Joko. Sekarang engkau tidurlah, biar aku yang menjaga agar api unggun tidak padam. Juga, siapa tahu akan datang binatang buas ke sini."
"Aku lebih takut menghadapi manusia buas daripada binatang buas."
"Hemm, melihat kesaktianmu, bukan engkau yang takut kepada manusia-manusia buas, sebaliknya merekalah yang takut kepadamu. Sekarang tidurlah, Joko."
Joko Darmono memandang Naswangsih yang masih pulas, rebah miring membelakangi mereka dan tertawa. “Ha-ha, kalau aku tidur di dekatnya, setelah bangun bocah galak itu tentu akan marah-marah dan mengira aku berbuat yang bukan-bukan!”
Bagus Sajiwo juga tertawa. "Itu hanya menunjukkan bahwa Nawangsih itu seorang gadis remaja yang masih polos, jujur dan pikirannya bersih. Ia kelak pasti akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa."
"Engkau sajalah yang tidur, Bagus. Engkau adalah kakak misannya, pasti ia tidak akan marah melihat engkau tidur di dekatnya. Aku, dalam keadaan begini, tidak mudah tidur dan lebih suka duduk bersamadhi."
Karena Joko Darmono berkukuh tidak mau tidur, Bagus Sajiwo juga tidak mau tidur. Bagi orang- orang muda seperti mereka, yang sudah mendapat gemblengan dari guru-guru mereka, mengganti tidur dengan duduk diam bersamadhi merupakan hal biasa dan tidak akan menyiksa badan mereka yang terlatih. Dengan duduk bersila dalam samadhi, mereka seperti orang tidur. Pikiran dan seluruh syaraf di seluruh tubuh mereka mengaso sepenuhnya, namun mereka masih sadar dan kewaspadaan mereka tetap bekerja.
Sungguh sayang bahwa selagi hidup dan sehat, terutama mereka yang hidup di kota-kota besar, tidak pernah dapat menikmati keindahan alam di pagi hari saat matahari mulai muncul. Keindahan dan kesegaran yang dapat dinikmati oleh mata, telinga, hidung, dan perasaan itu hanya dapat dinikmati mereka yang tinggal di pegunungan, di hutan-hutan dan dusun- dusun yang tidak padat penduduk, oleh mereka yang bangun pagi-pagi sekali pada saat ayam jantan mulai berkeruyuk.
Orang kota terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan mereka yang bergerak di sekitar uang dankebanyakan dari mereka terlalu mencinta pembaringan dan bantal sehingga enggan meninggalkan tempat tidur, lebih suka bermalas-malasan dan pada saat turun dari tempat tidur seolah-olah terpaksa. Mereka ini kehilangan saat yang teramat baik bagi kesegaran jasmani dan rohani. Tak dapat disangkal, bangun pada pagi-pagi sekali lalu keluar rumah berjalan ke tempat-tempat terbuka, terutama di pegunungan yang tidak padat penduduk, terasa amat menyehatkan jasmani dan membahagiakan rohani.
Kita dapat dengan leluasa mengagumi dan menikmati kebesaran alam, keagungan Gusti Allah yang melimpahkan berkah yang berlimpah kepada kita. Walau tanpa terucapkan mulut, jiwa ini memujadan memuji Gusti Yang Maha Murah, bersyukur dan berterima kasih yang keluar dari lubuk hati yang menyadari sepenuhnya betapa besar kasih Gusti Allah kepada kita. Alangkah baiknya kalau mereka yang tidak pernah bangun pagi- pagi pada saat ayam jantan berkeruyuk, sekali-kali melakukannya agar dapat mengalami dan merasakan kebahagiaan ini!
Bagus Sajiwo, Joko Darmono, dan Nawangsih keluar dari dalam hutan yang masih diselimuti kabut tebal. Matahari masih muda, sinarnya yang kemerahan belum mampu menerobos daun-daun yang lebat sehingga dalam hutan tampak remang-remang, menjadi gelap dan lembab oleh kabut. Akan tetapi begitu keluar dari hutan dan berada di daerah yang merupakan perbukitan kecil, mereka bertiga berhenti melangkah, terpesona memandang ke depan, ke arah bawah bukit. Mereka berjalan kaki, dua orang pemuda itu menuntun kuda masing-masing.
Sebelumnya, ketika mereka terbangun pagi tadi dan hendak berangkat meneruskan perjalanan mengantar Nawangsih pulang, dua orang pemuda itu menawarkan agar Nawangsih membonceng di atas kuda seorang dari mereka. Akan tetapi gadis cilik itu tidak mau.
"Kalian naiklah kuda, aku jalan kaki saja."
"Eh? mengapa?" Dua orang pemuda itu bertanya, heran.
"Aku tidak suka naik kuda berboncengan dengan seorang pemuda."
Dua orang pemuda itu saling pandang dan keduanya tersenyum geli.“Tapi, bukankah kemarin kita juga berboncengan?” tanya Joko Darmono sambil tersenyum.
"Hemm, kemarin itu terpaksa."
"Lho, siapa yang memaksamu?" Joko Darmono mengejar.
"Terpaksa keadaan. Sekarang ada dua orang yang berkuda, aku tidak dapat memilih seorang di antara kalian, maka lebih baik aku jalan kaki saja."
Dua orang pemuda itu kembali saling pandang dan keduanya sama sekali tidak mengerti akan sikap Nawangsih. Joko Darmono hanya tersenyum dan Bagus Sajiwo menggerakkan kedua pundak tanda tidak mengerti dan heran.
"Kalau begitu, Nawangsih. Pakailah kudaku ini dan aku akan berjalan kaki." Kata Joko Darmono.
"Tidak, aku saja yang berjalan kaki. Pakai kudaku, Nawangsih." bantah Bagus Sajiwo.
Nawangsih tertawa dengan wajah berseri. Agaknya ia merasa girang sekali melihat dua orang pemuda itu saling berebutan untuk mengalah terhadap dirinya!“Kalau begitu, mari kita semua jalan kaki saja!” Kata Nawangsih dan mereka bertiga lalu berjalan kaki hendak keluar dari hutan itu.
Dalam perjalanan ini, Joko Darmono sambil tersenyum bertanya, "Apakah kalian pernah mendengar kisah ayah bodoh, anak bodoh dan kuda mereka yang beruntung itu?"
"Bagaimana ceritanya, Kakang Joko? Aku belum pernah mendengarnya!"
Bagus Sajiwo hanya tersenyum.
"Begini kisahnya. Pada suatu hari, seorang ayah dan anaknya hendak melakukan perjalanan jauh. Karena mereka hanya mempunyai seekor kuda saja, si ayah menyuruh anaknya menunggang kuda dan dia berjalan kaki sambil menuntun kuda yang ditunggangi anaknya. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang tetangga yang mencela si anak karena dia enak-enakan menunggang kuda sedangkan ayahnya yang tua dibiarkan berjalan kaki. Mendengar teguran ini, si anak turun dan mempersilahkan ayahnya yang menunggang kuda. Akan tetapi, ditengah perjalanan, kembali ada seorang kenalan mereka menegur ayah itu yang dikatakan orang tua tidak kasihan kepada anaknya,membiarkan anaknya jalan kaki sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda! Mendapatkan teguran itu, ayah dan anak itu lalu mengambil keputusan untuk berboncengan saja agar tidak ditegur orang lagi. Maka, mereka lalu berboncengan di atas punggung kuda. Akan tetapi dugaan mereka meleset, Di tengah perjalanan, seseorang memberi teguran keras kepada ayah dan anak itu yang dianggap bertindak kejam memaksa kuda kurus itu membawa beban dua orang yang berat. Ayah dan anak itu menjadi kebingungan dan jengkel. Mereka lalu mengikat keempat kaki kuda itu lalu memikul kuda itu berdua! Di tengah perjalanan banyak orang menegur dan mentertawakan mereka akan tetapi ayah dan anak itu tidak perduli, menulikan telinga dan melanjutkan perjalanan mereka."
Nawangsih tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita itu. Bagus Sajiwo hanya tersenyum, diam-diam kagum kepada Joko Darmono yang pandai bercerita.
"Bagaimana pendapatmu tentang ayah dan anak itu, Nawangsih?” tanya Joko Darmono."
"Hemm, sikap ayah dan anak yang terakhir itulah yang tepat, namun sudah terlambat. Semestinya sejak semula mereka mempunyai pendirian yang teguh, tidak mudah goyah dan menuruti setiap celaan atau usul orang lain. Mereka itu lemah, tidak memiliki kepribadian. kalau kita melakukan sesuatu yang kita anggap benar, kita harus menerima segala cela dan kritik dengan bijaksana, tidak mengekor begitu saja kepada pendapat orang. Akibatnya kita menjadi permainan keraguan kita sendiri karena setiap orang memiliki pendapat yang lain dan kadang berlawanan."
Demikianlah, mereka bercakap-cakap sambil berjalan keluar dari hutan. Setelah tiba di luar hutan, mereka berdiri terpesona memandang ke depan, ke arah bawah bukit. Mereka terbelalak, Joko Darmono dan Bagus Sajiwo adalah orang-orang yang banyak melakukan perjalanan dan sudah sering menyaksikan tamasya alam pegunungan yang amati indah. Namun mereka tidak pernah merasa bosan dan setiap kali menyaksikan kebesaran alam yang demikian indah, tetap saja mereka terpesona.
Sampai lama tiga orang itu berdiri dan melahap segala yang indah-indah itu dengan mata, telinga, dan hidung mereka. Matahari baru muncul dari balik bukit di timur. Muncul sebagai bola besar merah. Kemunculannya dapat diikuti pandang mata biarpun gerakannya lambat sekali. Cahayanya yang keemasan mulai menerangi segala sesuatu di permukaan bumi, membawa sinar kehidupan dan harapan baru.
Pohon- pohon besar dan segala tumbuh-tumbuhanseolah menyambut matahari dengan suka cita, setiap daun seperti berseri tertimpa sinar matahari yang masih lembut. Pemandangan berwarna-warni di bawah sana, perpaduan antara warna putih, kuning dan hijau yang merupakan bagian terbesar dari warna-warni, mendatangkan perasaan sejuk dan nyaman pada mata. Burung-burung beterbangan di udara. Kupu-kupu menari-nari di antara bunga-bunga.
Segalanya demikian indah dan baru bagi penglihatan. Nun jauh di bawah sana tampak anak sungai, seperti seekor ular panjang meliuk-liuk dan airnya berwarna putih seperti perak. Bau-bauan yang amat segar dan sedap memenuhi hidung. Bau tanah yang basah oleh embun, rumput-runput hijau segar yang tidak pernah terinjak, bunga-bunga mawar, melati yang mekar, bermacam- macam daun pohon yang memiliki aroma yang khas, hawa udara yang sejuk dan bersih tak ternoda, semua itu memasuki hidung ke dalam tubuh, memberi kesehatan dan kehidupan.
Telinga juga kebagian keindahan yang membahagiakan itu. Kicau burung, desah angin diantara daun-dauan pohon, gemercik air dari pancuran kecil ketika menimpa batu, embik domba, dan uak lembu di kejauhan diseling teriakan anak-anak menggembala mereka. Aduh, indah nian semua itu.
Seperti dikomando, tiga orang itu menyedot udara yang bersih dan nyaman itu sepenuh dada dan perut mereka, lalu menghembuskan keluar perlahan-lahan. Terasa panas-panas hangat dan nyaman dalam perut di bawah pusar.
Setelah beberapa kali menghirup nafas panjang, Bagus Sajiwo berbisik perlahan. "Puji syukur kepada Gusti Allah Yang Maha Besar, Pencipta Alam Semesta."
Nawangsih yang bagaikan seekor kelinci dikejar harimau, memang bersembunyi di balik batang pohon itu sambil terengah-engah dan keringatnya bercucuran, matanya yang jeli itu bergerak memandang ke kanan kiri. Ia merasa aman ketika tidak mendengar suara Dartoko mengamuk. tentu pengejarnya itu sudah mengejar ke arah lain dan sudah menjauh maka tidak terdengar suaranya seperti tadi.
Tiba-tiba, Dartoko muncul dari balik pohon sambil menyeringai buas! Hampir Nawangsih menjerit saking kagetnya dan ia melompat untuk lari lagi. Akan tetapi Dartoko sudah meraih ke depan.
"Mau lari ke mana engkau, setan?" Dia berhasil menangkap punggung baju Nawangsih, mencengkeram baju itu untuk menahan gadis cilik yang hendak lari itu. Merasa belakang bajunya ditangkap, Nawangsih mengerahkan tenaganya dan meloncat ke depan.
"Breetttt....!" Baju itu terobek bagian belakang, dari punggung sampai sebagian pinggulnya tidak tertutup lagi. Dartoko terbelalak melihat tubuh bagian belakang yang tidak tertutup lagi itu. Nawangsih sudah lari lagi secepatnya. Timbul gairah di hati laki- laki yang sudah lama menjadi budak nafsunya sendiri itu. Tidak ingat bahwa Nawangsih adalah seorang gadis remaja yang belum dewasa, gairah nafsunya berkobar dan dia melakukan pengejaran dengan cepat.
Nawangsih melarikan diri sekuat tenaga. Namun, tak lama kemudian ia sudah mendengar jejak langkah pengejarnya, dekat di belakangnya. Bahkan dibelakangnya, laki-laki itu mendengus-dengus seperti seekor kerbau mengamuk. Tiba-tiba Nawangsih menjerit ketika tubuhnya diterkam dari belakang sehingga ia terguling jatuh. Dartoko merangkul dan menindih, menggumulinya. Nawangsih melawan dengan pukulan kedua tangannya, menendang- nendang dengan kedua kakinya, bahkan menggunakan gigi untuk menggigit! Akan tetapi skhirnya ia ditelikung dan Dartoko menindih tubuhnya sambil tertawa bergelak.
"Lepaskan anak itu!" terdengar bentakan nyaring dan Dartoko terkejut. Ketika menoleh ke belakang dia melihat seorang pemuda berdiri di situ dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Dartoko terpaksa melepaskan Nawangsih dan melompat berdiri menghadapi pemuda itu. Dia mengamatinya dan merasa tidak mengenalnya. Pemuda itu masih muda sekali, tentu belum ada dua puluh tahun usianya, wajahnya luar biasa tampannya.
Melihat pemuda yang tampaknya masih remaja dan tubuhnya juga kelihatan lemah, tangan yang tersembul dari lengan baju itu pun kecil, Dartoko memandang rendah. "Babo-babo, bocah kemarin sore masih ingusan berani mati mengganggu dan mencampuri urusanku! Apa engkau bosan hidup?"
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya bertambah tampan ketika dia tersenyum. “Heh, engkau ini buaya atau manusia? Kalau buaya, mengapa dapat bicara, akan tetapi kalau manusia, mengapa perbuatanmu seperti buaya! Mau kau apakan anak itu?”
Dartoko mendelik saking marahnya. "Bocah kurang ajar! Anak ini adalah milikku, mau kuapakan sesukaku! Apa urusannya dengan kamu?"
Nawangsih yang melihat ada orang membelanya, lari ke dekat pemuda itu. "Kisanak, dia iblis jahat, telah menculik aku dari rumah orang tuaku!" katanya nyaring.
Pemuda itu mengngguk-angguk, "Adik, berdirilah di sana, di belakangku. Jangan takut, aku yang akan menghajar buaya darat ini!"
Dartoko menjadi semakin marah ketika melihat pemuda yang mengenakan pakaian rangkap banyak itu menanggalkan jubah luarnya dan menyelimutkan ke tubuh Nawangsih.
"Bocah sombong, sebelum engkau mempus di tanganku, katakan dulu siapa namamu agar engkau jangan mati tanpa nama!"
"He, bajul buntung (buaya tak berekor)! Kamu tidak patut menanyakan namaku sebelum engkau memperkenalkan dulu namamu yang kotor dan busuk!"
Dartoko menjadi merah mukanya. Alangkah beraninya bocah ini, pikirnya. "Kurang ajar! Aku adalah Raden Dartoko, murid Kyai Kasmalapati datuk besar Blambangan!"
"Heh-heh, dari mana engkau memungut gelar Raden itu? Aku bernama Joko Darmono, adapun guruku adalah kakek guru dari Kyai Kasmalapati!"
"Keparat! berani engkau menghina guruku?"
"Guru mu itu masih murid keponakanku dan engkau masih cucu muridku. Hayo berlutut beri hormat kepada Eyang Gurumu ini!" pemuda itu berkata sambil tersenyum lebar.
"Jahanam!" Dartoko tidak mampu menahan kemarahannya lagi dan dia sudah mencabut pedangnya dan langsung menyerang pemuda itu tanpa memberi peringatan lagi. Pedangnya berubah menjadi sinar menyambar ke arah leher pemuda itu. Nawangsih memandang dengan mata terbelalak. Sebagai puteri Ketua Jatikusumo ia sudah biasa melihat orang bermain pedang dan ia tahu betapa hebatnya serangan penculiknya itu. Kalau pedang itu mengenai leher pemuda penolongnya, pasti leher itu akan putus dan kepalanya terpisah dari badan!
Akan tetapi dengan gerakan lincah pemuda itu sudah menekuk lutut merendahkan tubuhnya sehingga sabetan pedang lewat di atas kepalanya dan dari bawah tangan kanannya yang sudah mencabut keris ditusukkan ke arah perut lawan! Dartoko terkejut sekali dan cepat dia melompat ke belakang. kesempatan itu dipergunakan oleh pemuda yang bernama Joko Darmono itu untuk meloloskan sehelai sabuk yang diikatkan di pinggangnya, Sabuk itu panjangnya ada setombak, terbuat dari benang sutera yang dipilin menjadi semacam pecut sebesar lengan dengan ujung mengecil.
"Tar-tar-tarrr....!" sabuk atau pecut itu meledak-ledak ketika tangan kiri Joko Darmono menggerakkannya. Kini tangan kiri memegang pecut dan tangan kanan memegang keris, dengan tenang dia berdiri menanti serangan lawan.
Kini mengertilah Dartoko mengapa pemuda remaja yang tampak ringkih (lemah) itu berani menentangnya. Kiranya pemuda itu bukan orang sembarangan! Dia pun bersikap hati-hati dan diam- diam dia mengerahkan sihirnya, mulutnya berkemak-kemik dan pandang matanya seolah menembus dahi Joko Darmono untuk menguasai pikirannya.
"Joko Darmono, engkau berhadapan dengan orang yang lebih tua dan lebih kuat daripada engkau! Kedua kakimu lemas, pikiranmu hanya untuk mentaati perintahku. Kuperintahkan engkau berlutut dan menyembah padaku!" Suara Dartoko yang mengandung daya sihir itu amat berwibawa. Akan tetapi pemuda tampan yang hendak dipengaruhi dengan sihirnya itu masih berdiri tenang- teang saja, sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut dan menyembah seperti diperintahkan Dartoko.
"Heh-heh, bajul buntung ini malah sudah edan (gila) pula!!" pemuda tampan itu malah mengejek.
Dartoko merasa penasaran sekali. Dari gurunya, Kyai Kasmalapati, dia bukan hanya mempelajari ilmu silat akan tetapi juga ilmu sihir dan dia telah memiliki kekuatan sihir yang kuat. Bagaimana mungkin pemuda remaja ini sama sekali tidak terpengaruh daya sihirnya yang kuat? Karena merasa penasaran, mulutnya berkemak-kemik lebih cepat lagi dan kedua tangannya dia sodorkan ke depan dengan telapak tangan menghadap pemuda itu.
"Berlutut dan menyembahlah, Joko Darmono!" bentaknya dan suaranya mengandung getaran hebat.
Akan tetapi Joko Darmono tetap saja berdiri tegak sambil tersenyum, bagaikan batu karang yang kokoh kuat diterpa angin, sedikitpun tidak terguncang.
"Kakang Joko, orang jahat ini sudah gila! Hiih, menakutkan sekali!"
Joko Darmono menoleh dan memandang Nawangsih yang kini tersenyum jenaka. Jelas bahwa anak perempuan itu mengejek Dartoko. Dia tertawa, lalu berkata, “Orang yang jahat itu memang tidak ada bedanya dengan orang gila, Adik.... eh, siapa namamu?"
"Namaku Nawangsih.... he, awas, Kakang!" Dengan curang, selagi Joko Darmono menoleh dan bicara dengan Nawangsih, Dartoko dengan tiba- tiba sudah melancarkan serangan dengan pedangnya, melakukan gerakan menusuk punggung pemuda itu. Joko Darmono tidak sempat membalikkan tubuhnya, akan tetapi tangan kirinya bergerak dan sabuk di tangan kirinya itu menyambar dari atas mengeluarkan bunyi ledakan dan ujung sabuk sudah mengancam kepala Dartoko!
Dartoko maklum betapa dahsyatnya ujung sabuk yang seperti pecut itu mengancam ubun-ubun kepalanya, maka terpaksa dia mengelak ke samping sehingga tusukan pedangnya juga tertunda.
"Trang-cring-traaangggg....!" Bunga api berpijar ketika keris beremu keris dan pedang bertemu ujung cambuk atau sabuk itu.
Mereka lalu saling menyerang dengan hebat. Kedua pihak baru menyadari sepenuhnya bahwa pihak lawan benar- benar tangguh sehingga mereka mencurahkan segala kemampuan mereka untuk menjatuhkan lawan. Namun Dartoko sekali ini kecelik. Tadi dia memandang rendah pemuda remaja yang kelihatannya lemah itu, akan tetapi ternyata setelah perkelahian berlangsung lebih dari tiga puluh jurus, dia mulai kewalahan! Semua serangannya seperti bertemu perisai baja yang amat kuat, sebaliknya, serangan pemuda itu amat cepatnya sehingga beberapa kali dia nyaris menjadi korban sabuk atau keris pemuda itu.
Nawangsih dapat mengerti bahwa penolongnya berada di atas angin. Maka mulailah gadis cilik yang lincah dan bengal itu memberi komentar untuk membakar semangat penolongnya dan untuk mengejek penculiknya.
"Bagus, desak terus, Kakang Joko! Jangan kasih ampun bajul buntung itu! Tusuk saja perutnya, pecahkan dadanya dan remukkan kepalanya!"
Seolah mendapat tambahan semangat oleh kata-kata gadis cilik itu, Joko Darmono mempercepat gerakannya sehingga Dartoko menjadi semakin terdesak dan main mundur.
"Bagus, Kakang Joko! Lihat, muka bajul buntung itu sudah mulai pucat! Sebentar lagi dia akan mati!"
Tiba-tiba Dartoko membuat gerakan ke samping, melompat dan dia tiba dekat Nawangsih lalu menggunakan pedangnya menyerang anak perempuan itu.
"Tranggg....!" Joko Darmono mengejar dan menangkis serangan itu, lalu dia melindungi Nawangsih agar tidak sampai diserang lagi. Akan tetapi kiranya serangan Dartoko terhadap Nawangsih tadi hanya untuk mengalihkan perhatian Joko Darmono karena kini tiba-tiba dia melompat jauh dan melarikan diri lintang pukang seperti dikejar setan. Nawangsih tertawa dan bersorak gembira.
Dengan hati kagum dan heran Joko Darmono menyimpan sabuk dan kerisnya sambil memandang wajah gadis cilik itu. Biarpun baru berusia tiga belas tahun, Nawangsih sudah tampak manis sekali dan tubuhnya yang masih kekanak-kanakan itu padat, juga sikapnya penuh semangat dan agaknya anak itu sama sekali tidak merasa ketakutan walaupun tadi ia berada dalam cengkeraman orang yang kejam dan jahat! Ini jelas bukan gadis desa sembarangan, pikir Joko Darmono.
"Kakang Joko, mengapa engkau tidak mengejar bajul buntung itu?" Nawangsih menegur penolongnya.
Joko Darmono tersenyum. "Ada dua hal yang membuat aku tidak mengejarnya, Nawangsih."
"Hemm, apa itu?"
"Pertama, mengejar penjahat seperti itu dalam hutan ini berbahaya karena aku tidak mengenal hutan ini dan dia dapat memasang jebakan. Ke dua, aku tidak tahu urusan antara engkau dan dia. Siapa tahu fihakmu yang bersalah"
Nawangsih cemberut. "Hemm, kalau engkau ragu dan tidak percaya kepadaku, mengira bahwa mungkin aku yang bersalah, mengapa engkau tadi menolongku?"
Joko Darmono tersenyum. Anak ini selain manis, tabah tak kenal takut, juga galak dan pandai bicara! "Aku tadi menolongmu karena engkau anak yang manis!" katanya menggoda.
Nawangsih tetap cemberut dan sepasang matanya yang bening itu menatap tajam wajah Joko Darmono. "Apa engkau mempunyai anggapan bahwa bajul buntung tadi bukan orang jahat?"
"Ah, aku yakin dia itu orang jahat dan kejam."
"Kalau begitu, mengapa masih sangsi bahwa aku berada di fihak benar? Bukankah orang jahat itu selalu mengganggu orang yang benar? Yang jahat biasanya tidak mengganggu yang jahat, malah berkomplot. Sudah kukatakan tadi bahwa dia menculik aku dari rumah orang tuaku."
"Nawangsih, siapakah orang tuamu? Ingin sekali aku mengetahuinya. anak seperti engkau ini pasti bukan puteri orang sembarangan."
Nawangsih tidak cemberut lagi, malah kini tersenyum dan ia membusungkan dadanya yang masih rata. "Ayahku adalah Ki Cangak Awu, ibuku Nyi Pusposari. Mereka adalah pemimpin perguruan Jatikusumo."
"Wah, kiranya engkau puteri Ketua Perguruan Jatikusumo? Akan tetapi mengapa engkau sampai dapat dilarikan orang tadi? Mengapa Ayah Ibumu tidak mencegah engkau diculik?"
"Ketika itu, perkampungan kami diserbu gerombolan musuh. Kalau tidak salah para penyerbu itu adalah gerombolan para warok sesat dari Ponorogo. Ayah dan ibu sedang memimpin para murid bertempur dengan para penyerbu. Tiba-tiba bajul buntung tadi masuk, melukai Mbakayu Makarti yang melindungi aku dan menangkapku dan membawa lari sampai ke sini. Hemm, kalau ada Ayah Ibuku, tidak mungkin Si Kadal itu mampu menculik aku!" Joko Darmono tertawa geli mendengar Nawangsih menyebut Dartoko kadal.
"Nawangsih, mengapa engkau menyebut penculikmu yang bernama Dartoko itu kadal?"
Nawangsih memandang pemuda itu dengan sinar mata menantang. "Dan mengapa engkau menyebut dia bajul buntung?"
Kembali Joko Darmono tertawa. Gadis cilik ini mempunyai watak tabah, berani menentang, juga bengal dan ugal-ugalan. "Bajul atau buaya adalah sebutan bagi orang jahat, kutambah buntung karena kalau buaya mempunyai ekor akan tetapi manusia tentu saja tidak mempunyai ekor alias buntung!"
"Aku menyebutnya kadal karena dia licik dan curang. Buktinya tidak berani terang-terangan di depan Ayah Ibuku ketika menculik aku, dan tadipun dia melarikan diri karena kalah bertanding melawanmu. Kadal itu sifatnya pengecut, tidak berani berhadapan dengan musuh terang-terangan, menyusup-nyusup ke bawah semak-semak atau sampah."
Joko Darmono tertawa dan merangkul pundak Nawangsih. "Engkau anak nakal! Engkau manis sekali."
"Plakk!" Tangan Nawangsih menampar tangan Joko Darmono yang merangkul pundaknya.
"Eh? Mengapa engkau menampar tanganku?" Joko Darmono memandang heran.
Nawangsih cemberut dan menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut dan penuh curiga. "Ibuku bilang bahwa aku harus waspada terhadap laki-laki yang memuji-mujiku karena itu hanya rayuan gombal belaka. Ayahku juga berkata bahwa kalau ada laki-laki memegang-megang atau merangkulku, dia itu orang kurang ajar dan aku harus melawan dan memukulnya! Dan engkau tadi memujiku dan merangkul pundakku!"
Joko Darmono terbelalak lau tertawa terkekeh-kekeh. "Ha-ha-heh-heh-heh! Engkau bocah lucu, bengal, dan pandai bicara. Aku tidak berniat buruk, untuk apa aku menolongmu dari tangan kadal tadi? Mari kuantar engkau pulang ke rumah orang tuamu."
Nawangsih mengangguk lalu menuding ke arah kuda yang tadi ditunggangi Dartoko. Orang itu melarikan diri dan tidak sempat menggunakan kudanya. "Itu ada kuda. Dengan naik kuda perjalanan pulang dapat lebih cepat dan tidak melelahkan."
Joko Darmono juga memandang ke arah kuda itu dan tersenyum, katanya, "Akan tetapi hanya ada seekor kuda."
"Kuda itu cukup kuat ditunggangi berdua. Tadi pun ditunggangi penculik itu dan aku diboncengnya."
Joko Darmono menghampiri kuda, memegang tali kendalinya dan menuntun kuda itu mendekati Nawangsih, lalu dia memamndang gadis cilik itu dan bertanya.
"Kita menunggang bersama?"
"Ya, kita berboncengan."
"Hemm, engkau akan duduk di mana? Depan atau belakang?"
"Aku di depan dan engkau di belakang, mengendalikan kuda."
"Wah, aku takut ah!" Joko Darmono menggoda.
"Takut? Takut apa?" Nawangsih bertanya heran, sepasang mata jeli itu terbelalak memandang wajah pemuda itu. Pemuda yang gagah perkasa dan sakti mandraguna itu takut?
"Kita akan duduk berhimpitan dan itu berarti aku akan menyentuhmu. Aku takut kau tampar lagi!"
Kedua pipi gadis tanggung itu menjadi merah. Ia tahu bahwa pemuda itu menyindirnya. "Kalau berboncengan, tentu saja kita saling bersentuhan. Akan tetapi hal itu terjadi bukan kau sengaja. Kalau engkau sengaja bertindak kurang ajar di atas kuda, pasti aku akan memukulmu!"
Pemuda itu tertawa lagi. "Nah, naiklah lebih dulu. Nanti aku duduk di belakangmu!"
Nawangsih melompat dengan cekatan dan ringan ke atas punggung kuda setelah ia menyingsingkan kainnya sampai ke atas lutut. Joko Darmono tersenyum dan dia pun melompat ke atas punggung kuda dan duduk berhimpitan dengan Nawangsih, dia berkata, "Sekarang tunjukkan jalan ke arah mana tempat tinggal orang tuamu."
Nawangsih menjadi penunjuk jalan dan Joko Darmono menjalankan kuda itu dengan santai, tidak terlalu cepat sehingga tubuh mereka tidak terlalu terguncang.
********************
Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari membedal kuda mereka keluar dari perkampungan Jatikusumo, dengan niat menuju Ponorogo. Ketika tiba di jalan pertigaan, mereka berhenti dan meragu. Mereka tidak tahu kemana anak mereka dibawa penculik. Terus ke utara ataukah membelok ke barat? Selagi mereka bingung dan ragu, tiba-tiba datang seorang penunggang kuda. Suami isteri itu memandang penuh perhatian dan melihat bahwa penunggang kuda itu seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun dengan pakaian sederhana. Pemuda itu lewat dan dia juga memandang ke arah suami isteri itu penuh perhatian, walaupun hanya selewat.
Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari tidak mengenal pemuda itu, maka mereka tidak memperhatikannya lagi. Akan tetapi, selagi mereka melanjutkan perjalanan ke utara, menuju ke Ponorogo karena jalan itulah yang mereka putuskan, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda di belakang. Mereka menengok dan ternyata penunggang kuda tadi yang kini kembali. Setelah tiba di dekat mereka, penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan memandang kepada suami isteri itu penuh perhatian. Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari juga menangkap wajah pemuda itu dengan heran.
Pemuda itu merangkap kedua tangannya di depan dada sebagai sembah penghormatan lalu bertanya dengan suara lembut. "Mohon maaf atas kelancangan saya, Paman dan Bibi. Saya ingin bertanya, apakah Paman ini Ki Cangak Awu ketua perguruan Jatikusumo dan Bibi Pusposari isteri Paman?"
Suami isteri itu memandang heran. Mereka merasa tidak pernah mengenal pemuda ini. "Benar sekali, orang muda." jawab Ki Cangak Awu. "Akan tetapi, siapakah Andika dan bagaimana Andika tahu bahwa kami adalah Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari?" Pemuda itu cepat melompat turun dari punggung kudanya, lalu kembali menyembah dengan sikap hormat.
"Paman dan Bibi, saya adalah Bagus Sajiwo, putera Ayah Tejomanik dan Ibu Retno Susilo."
"Ahh....!" Suami isteri itu melompat turun dari atas kuda. "Kiranya engkau putera Kakangmas Sutejo?" kata Ki Cangak Awu yang menyebut kakangmas kepada Tejomanik atau Sutejo walaupun dia lebih tua karena dia menikah dengan Pusposari, adik angkat Tejomanik.
"Bagus Sajiwo, bukankah engkau hilang diculik orang? Aduh, mengapa anakku juga mengalami hal yang sama....?" Pusposari teringat akan Nawangsih yang diculik orang dan tiba-tiba ia menangis.
"Kanjeng Bibi, tentang diri saya kita bicarakan nanti saja. Sekarang harap Bibi ceritakan, apa arti ucapan bibi tadi? Anak Bibi diculik orang?" Cangak Awu yang menjawab karena isterinya masih sesenggukan.
"Ah, malapetaka menimpa kami, Bagus Sajiwo. Jatikusumo diserbu gerombolan warok Ponorogo dan dalam keributan itu, kami dapat mengusir musuh, akan tetapi anak kami, Nawangsih yang berusia tiga belas tahun, dilarikan seorang pemuda. Kami berdua sekarang hendak melakukan pengejaran ke Ponorogo, akan tetapi di sini kami ragu karena jalan bercabang. Kami memutuskan untuk melakukan pengejaran ke utara menuju ke Ponorogo."
"Kalau begitu, biarlah saya yang akan mengejar ke barat. Bagaimana ciri penculik itu, Paman?"
"Yang melihat adalah seorang murid Jatikusumo yang dilukainya. Dia seorang pemuda yang berwajah tampan."
"Baik, saya mohon pamit, Paman dan Bibi. Saya akan melakukan pengejaran!" kata Bagus Sajiwo sambil melompat ke atas kudanya dan membalapkan kuda itu ke arah barat. Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari juga segera melanjutkan pengejaran mereka ke utara.
Seperti kita ketahui, Bagus Sajiwo meninggalkan rumah orang tuanya di lereng Gunung Kawi untuk merantau dan ayahnya berpesan agar dia singgah diperguruan Jatikusumo, menjenguk Bibinya, Pusposari yang menjadi isteri Ki Cangak Awu ketua Jatikusumo. Dia sudah mendengar keterangan Ayah Ibunya tentang ciri-ciri Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari, maka ketika tadi berpapasan, dia mengenal mereka. Mendengar puteri mereka yang bernama Nawangsih diculik orang, tentu saja dia segera ingin membantu melakukan pengejaran. Nawangsih adalah puteri bibinya, berarti adik misannya!
Ketika kudanya tiba di jalan yang memasuki hutan, dia berhenti dan meneliti tanah, Tanah di situ agak lembab maka jelas tampak olehnya jejak kaki kuda yang cukup dalam seolah kuda itu membawa beban berat. Inilah kuda penculik itu, pikirnya. Penculik itu membawa Nawangsih, tentu saja bebannya yang dua orang itu menjadi berat dan meninggalkan jejak yang jelas di atas tanah. dia lalu menjalankan kudanya, mengikuti jejak kaki kuda itu yang memasuki hutan.
Matahari mulai condong ke barat. Walaupun sinar matahari masih panas menyengat, namun di dalam hutan itu tampak teduh karena banyaknya pohon rindang yang daun-daunnya merupakan perisai terhadap sinar matahari. Bagus Sajiwo masih terus mengikuti jejak kaki kuda. Mudah saja jejak itu diikuti karena tidak terdapat jejak kaki kuda lain yang sejelas jejak yang diikutinya itu. Dia harus mengikuti terus, kemanapun jejak kaki kuda itu menuju. Kalau sebentar lagi malam tiba dan cuaca menjadi gelap sehingga tidak mungkin lagi melihat jejak kaki kuda itu, baru dia akan berhenti untuk dilanjutkan besok kalau sudah terang tanah. Dia merasa bahwa dia telah menemukan jejak penculik itu. Dia harus dapat menemukan adik misannya!
Tiba-tiba dia menahan kudanya. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara yang datang dari depan. Suara orang bicara! Cepat dia turun dari atas punggung kudanya, membawa kudanya agak menjauh lalu melepaskan kendali dan membiarkan kuda itu makan rumput. Dia sendiri cepat kembali ke jalan tadi, bersembunyi di balik sebatang pohon besar.
Suara orang bicara itu semakin mendekat dan Bagus Sajiwo menanti dengan hati tegang dan penuh harap bahwa yang datang itu adalah penculik yang dikejarnya, walaupun dia merasa sangsi karena kalau orang itu benar si penculik, mengapa dia kembali? Joko Darmono yang mengendalikan kuda dengan Nawangsih di depannya, menjalankan kudanya dengan santai saja.
"begini, kapan sampainya?"
"Cepatkan dong kudanya!" Nawangsih menegur. "Kalau merangkak seperti siput Mendengar omelan gadis remaja itu, Joko Darmono tersenyum.
"Kalau kubalapkan, aku takut engkau pukul karena kita akan terguncang-guncang sehingga tubuh kita berhimpitan. Engkau akan menganggap aku kurang ajar lalu memukul, kan repot!"
"Jangan goda aku. Cepatlah, lihat, hari sudah menjelang sore. Kita akan kemalaman di hutan!"
"Kemalaman juga tidak mengapa. Kita membuat api unggun pengusir nyamuk dan dingin, tidur di bawah pohon dan besok kita lanjutkan perjalanan."
"Tidak! Aku tidak sudi tidur denganmu! Lebih baik aku mati daripada harus tidur denganmu. Ternyata engkau laki-laki kurang ajar, brengsek!"
Bagus Sajiwo mendengar kata-kata yang diteriakkan dengan marah oleh Nawangsih itu, maka cepat dia melompat dan menghadang di depan kuda Joko Darmono. Pemuda ini terkejut dan menahan kudanya, memandang kepada Bagus Sajiwo yang tiba-tiba muncul menghadang itu. Bagus Sajiwo tadi mendengar percakapan mereka dan tahu bahwa pemuda itu jelas bukan orang baik-baik karena telah menculik gadis remaja itu. Akan tetapi dia masih belum yakin benar apakah benar gadis itu puteri Ki Cangak Awu.
"Adik manis, apakah Andika yang bernama Nawangsih?" tanya Bagus Sajiwo.
Nawangsih memandang pemuda yang menghadang di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik dan alis berkerut, sudah merasa tidak senang dipanggil adik manis yang merupakan pujian kepadanya. Pujian laki-laki berarti rayuan gombal!
"Hemm, aku memang Nawangsih dan engkau mau apa?"
Bagus Sajiwo tidak menjawab akan tetapi tiba-tiba tubuhnya meloncat dan berkelebat cepat sekali. Bagaikan seekor burung garuda terbang, dari atas dia sudah menyerang Joko Darmono dengan tamparan ke arah kepala pemuda itu.
Joko Darmono terkejut sekali melihat serangan mendadak yang tdak disangka-sangkanya itu. Cepat dia melompat turun dari atas punggung kudanya untuk menghindarkan diri dan pada saat itu, Bagus Sajiwo sudah memondong tubuh Nawangsih dan membawanya turun dari atas kuda. Ternyata serangannya tadi hanya merupakan gertakan saja agar Joko Darmono melepaskan gadis remaja itu.
Nawangsih yang dirangkul dan dipondong Bagus Sajiwo turun dari kuda, meronta-ronta. "Lepaskan aku! Lepaskan, setan kurang ajar! Jangan sentuh aku!"
"Adik Nawangsih, aku hendak menolongmu." kata Bagus Sajiwo. akan tetapi pada saat itu Nawangsih yang dirangkul segera menggunakan giginya yang kuat menggigit tangan yang merangkulnya.
"Aduh....!" Bagus Sajiwo berseru, lebih kaget daripada nyeri karena sama sekali tidak disangkanya bahwa anak perempuan yang hendak ditolongnya itu malah menggigit tangannya. Dan lebih heran lagi hatinya melihat Nawangsih yang terpaksa dia lepaskan itu kini lari ke arah pemuda yang memboncengkannya tadi. Lari kepada si Penculik! Nawangsih memilih berdekatan dengan Joko Darmono karena ia sudah yakin bahwa Joko Darmono membebaskannya dari tangan Dartoko yang jahat. Sedangkan pemuda yang baru muncul ini sama sekali tidak dikenalnya. Tentu saja ia merasa curiga kepada Bagus Sajiwo dan merasa lebih aman minta perlindungan Joko Darmono.
Panas juga perut Bagus Sajiwo melihat betapa pemuda tampan itu terkekeh-kekeh, menertawakan dia yang digigit gadis remaja itu, tertawa terpingkal- pingkal sambil menekan perutnya karena dia merasa betapa lucunya kejadian tadi. Anak perempuan itu sungguh liar, siapa saja digigitnya! Dia sendiri sudah merasakan gigitan yang menyakitkan itu dan kini dia tertawa-tawa melihat orang lain juga menjadi korban gigitan.
"Heh-heh-heh, baru tahu rasa kau sekarang! Manusia lancang, dengan curang menyerangku dan hendak membawa Nawangsih dengan paksa!"
Bagus Sajiwo merasa heran sekali melihat Nawangsih malah berfihak kepada penculiknya dan kini gadis itu berdiri di belakang pemuda tampan seolah berlindung.
"Ki sanak, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku memang bertugas mencari Nawangsih dan membawanya pulang ke rumahnya. Serahkan anak itu kepadaku dengan baik dan kita tidak perlu bermusuhan."
"Enak saja kau bicara! Menyerahkan Nawangsih begitu saja kepadamu, orang yang sama sekali tidak kami kenal? Tidak mungkin." jawab Joko Darmono, "Aku medapatkan gadis ini dengan susah payah, dengan jalan merebut. Nah, kalau engkau hendak mendapatkannya, engkau juga dapat merebutnya dari tanganku!"
"Hemm, engkau tidak mau menyerahkan Nawangsih dan bahkan menantang aku?" tanya Bagus Sajiwo penasaran.
"Aku tidak menantang siapa-siapa, akan tetapi kalau ada yang hendak merebut anak ini dari tanganku, siapapun juga orangnya, harus menghadapi dan mengalahkan aku!"
"Bagus, kalau begitu, mari kita lihat siapa yang lebih unggul dan berhak membawa anak ini."
"Huh, engkau tentu kawan bajul buntung tadi!” bentak Joko Darmono. "Majulah!” Dia memasang kuda-kuda dengan gagah sekali, kaki kiri berdiri tegak, lutut kaki kanan diangkat dan kaki kanan menempel pada lutut kiri, kedua tangan dikembangkan dan jari-jari tangan membentuk paruh seperti seekor burung garuda hendak terbang.
Bagus Sajiwo memang tidak mempunyai niat untuk membunuh atau melukai pemuda tampan itu karena dia pun belum tahu mengapa pemuda itu menculik Nawangsih. Akan tetapi dia harus dapat mengalahkan pemuda itu agar dia dapat membawa pulang puteri Ki Cangak Awu.
"Andika yang mengajak bertanding. Majulah!" katanya sambil berdiri santai, tidak memasang kuda- kuda seperti lawannya. Joko Darmono melihat pemuda itu tidak memasang kuda-kuda, lalu menurunkan kedua tangan yang tadi dikembangkan.
"Sudahlah! Kalau engkau tidak pandai bersilat, aku pun tidak mau menyerang orang yang tidak berkepandaian. Tadi gerakanmu begitu cepat maka kukira engkau pandai olah kanuragan. Akan tetapi sekarang engkau agaknya tidak pandai bersilat."
"Hemm, penculik sombong. Kalau engkau tidak berani, bebaskan gadis itu biar kubawa pulang."
"Siapa yang tidak berani? Jangan sembarangan kamu! Siapa takut kepada orang lemah macam kamu?"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Kalau tidak takut, mengapa tidak segera menyerang?"
"Engkau bersiaplah!"
"Sudah sejak tadi aku bersiap!"
"Baik, awas seranganku. Haaaiiittt!" Joko Darmono menerjang ganas memukul ke arah dada Bagus Sajiwo. Melihat serangan yang mantap dengan cepat, juga mengandung tenaga dalam yang kuat, diam-diam Bagus Sajiwo kagum juga. Ternyata pemuda penculik ini bukan lawan lemah. Serangannya itu dahsyat sekali. Maka Bagus Sajiwo cepat mengelak ke samping dan langsung membalas dengan tamparan tangannya ke arah pundak lawan. Namun, Joko Darmono juga dapat mengelak dengan cepat lalu kakinya menendang ke arah perut Bagus Sajiwo.
Cepat sekali gerakannya itu dan begitu Bagus Sajiwo kembali mengelak, tubuh Joko Darmono sudah condong ke depan dan tangannya kini mencengkeram ke arah muka lawan.
Bagus Sajiwo berdecak kagum. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Sayang sekali pemuda yang luar biasa tampannya dan ternyata memiliki kesaktian sesat, menculik seorang gadis dengan niat rendah. Dia pun melayani perkelahian tangan kosong itu dan timbullah kegembiraannya setelah mendapat kenyataan bahwa pemuda itu memang tangguh sekali. Dia ingin mengukur sampai di mana kehebatan lawannya yang masih amat muda, lebih muda tampaknya daripada dia sendiri. Dan makin lama mereka bertanding, semakin kagumlah hati Bagus Sajiwo. Pemuda itu memang hebat, cekatan, gerakannya cepat bukan main dan tenaga saktinya juga kuat.
Tiba-tiba Joko Darmono yang kaget sekali melihat kesaktian lawannya, mengeluarkan teriakan nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan silat, lalu mendorongkan kedua telapak tangan. Tampak uap kemerahan menerpa ke arah Bagus Sajiwo.
"Aji Nirada Jingga!" Joko Darmono membentak.
Bagus Sajiwo maklum bahwa serangan itu mengandung tenaga sakti yang amat ampuh maka dia pun tidak mau menyambut karena serangan seperti itu kalau disambut dengan tenaga sakti pula, akibatnya dapat mendatangkan luka di sebelah dalam tubuh, entah dia atau lawannya yang akan terluka, tergantung siapa yang lebih kuat. Maka untuk menghindari pukulan itu, tubuhnya mencelat ke atas dan berjungkir balik sebelum kembali ke atas tanah.
"Kakang Joko, pukul mampus dia! Dia tentu teman bajul buntung yang menculik aku!" teriak Nawangsih. Mendengar teriakan ini, Bagus Sajiwo terkejut.
"Ki sanak, tahan dulu!" dia berseru.
"Hemm, engkau tidak berani menghadapi ajiku Nirada Jingga?" Joko Darmono mengejek, sungguhpun diam-diam dia heran dan terkejut juga melihat betapa lawannya dengan mudah menghindarkan diri dari aji pukulan yang dahsyat tadi.
"Aji pukulanmu yang tadi memang dahsyat, Ki sanak. Akan tetapi bukan karena takut aku menghentikan pertandingan. Aku tadi mendengar ucapan Nawangsih. Bukankah Andika yang telah menculik Nawangsih dari rumah Paman Cangak Awu?”
"Huh, maling teriak maling!" Joko Darmono membentak. "Engkaulah yang agaknya menggantikan si bajul buntung Dartoko si penculik jahat yang sudah kukalahkan!"
"Maaf, kalau begitu, Andika malah menjadi penolong Nawangsih, membebaskannya dari tangan penculiknya?"
"Benar sekali! Dan mengapa engkau tadi menyerangku dan merampas anak itu?"
"Aduh, kita sudah salah sangka. Tapi.... tadi aku mendengar engkau mengajak Nawangsih tidur di bawah pohon dan ia membantah, tidak sudi tidur denganmu dan lebih baik mati. Karena mendengar ucapan itu maka aku segera menyerangmu untuk dapat membebaskan Nawangsih."
Joko Darmono tertawa. "Eh-eh, Nawangsih masih kecil sehingga ia tidak mampu mengartikan kata-kataku. Akan tetapi engkau bukan anak kecil lagi. Apakah engkau juga berprasangka buruk terhadap kata-kataku tadi? Nawangsih takut kemalaman dan aku mengatakan bahwa kami dapat bermalam di bawah pohon, membuat api unggun dan tidur di sana melewatkan malam. Apanya yang salah dengan ucapan itu? Anak ini memang bengal dan bodoh."
"Maafkan aku, Kakang Joko, aku tadi memang bodoh, menyangka engkau tiada bedanya dengan Si Bajul Buntung." kata Nawangsih, lalu gadis remaja ini memandang Bagus Sajiwo dengan sinar mata penuh selidik. "Engkau siapakah? engkau tadi menyebut Paman kepada Ayahku."
Bagus Sajiwo tersenyum. "Kiranya kita bertiga berprasangka buruk sehingga terjadi salah paham. Nawangsih, pernahkah engkau mendengar nama Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo yang tinggal di Gunung Kawi?"
"Tentu saja! Ibuku adalah adik Paman Tejomanik. Aku pernah berjumpa dengan mereka dua kali. mengapa engkau tanyakan hal itu kepadaku?"
"Karena aku adalah anak mereka.
Sepasang mata jeli itu terbelalak "Yang namanya Bagus Sajiwo?"
Bagus Sajiwo mengangguk. "Benar, akulah Bagus Sajiwo."
"Akan tetapi tidak mungkin! Kakang Bagus Sajiwo hilang diculik orang empat belas tahun yang lalu, sebelum aku lahir. Begitu cerita ayah Ibuku."
"Benar, akan tetapi aku sudah pulang, Nawangsih adikku. Dan aku berkunjung ke Jatikusumo, mendengar dari Ayah Ibumu bahwa engkau diculik orang. Mereka melakukan pengejaran ke Ponorogo dan aku sendiri membantu mereka, mencari ke jurusan barat ini. Engkau adik misanku, Nawangsih."
"Dan engkau kakak misanku, Kakang Bagus Sajiwo."
"Hemm, kiranya engkau ini putera Ki Tejomanik, Si pecut sakti Bajrakirana. Pantas engkau demikian tangguh!" kata Joko Darmono.
"Ah, Andikalah yang tangguh dan sakti, membuat aku kagum, Kisanak, maafkan kesalahanku yang menyangka Andika penculik, tidak tahunya Andika malah menjadi penolong adikku Nawangsih. Bolehkah aku mengetahui siapa namamu, Ki sanak? Seperti Andika telah mendengar tadi, namaku Bagus Sajiwo."
Joko Darmono tersenyum, matanya berkilat dan wajahnya berseri melihat sikap dan mendengar ucapan Bagus Sajiwo yang lembut dan sopan itu. Hemm, pemuda ini hebat bukan main, pikirnya. Bukan saja ilmu kanuragan yang dimilikinya amat dahsyat, juga sikap dan tutur bahasanya yang lembut menawan hati.
"Aku seorang perantau biasa saja, tidak terkenal seperti engkau yang memiliki orang tua pendekar sakti. Namaku Joko Darmono."
"Wah, harap jangan merendahkan diri, Joko Darmono. Katakan, siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu sehingga Andika memiliki ilmu yang demikian tinggi?"
Joko Darmono kembali tertawa lebar. "Bagus Sajiwo, harap jangan tertawakan aku. Sesungguhnya, ayah dan ibuku telah tiada...."
"Aduh, kasihan Andika, Joko Darmono."
"Hemm, jangan bilang begitu, aku bisa menangis!" kata Joko Darmono sambil tersenyum pahit. "Aku hanya mendengar kata orang saja bahwa Ayah Ibuku telah meninggal dunia. aku tinggal berdua dengan Adikku ketika aku berusia lima tahun dan Adikku berusia tiga tahun. Akan tetapi Adikku meninggal dunia juga sehingga aku hidup sebatang kara."
"Aih, kasihan sekali, engkau Kakang Joko!" kini Nawangsih yang berseru sambil menghampiri pemuda itu dan memegang tangannya.
Joko Darmono mengelus kepala Nawangsih. "Tidak perlu dikasihani lagi, karena bagaimanapun juga aku tidak dapat bertemu lagi dengan mereka sampai aku mati kelak."
Hening sejenak. Cuaca mulai gelap karena perlahan-lahan matahari mulai terbenam di barat.
"Mari kita membuat api unggun." kata Bagus Sajiwo yang mulai mencari dan mengumpulkan kayu- kayu kering. Joko Darmono tanpa bicara membantunya. mereka membuat api unggun di bawah pohon besar. mereka duduk di atas rumput tebal mengelilingi api unggun.
"Heh-heh, apa kataku tadi? Kita membuat api unggun dan tidur di sini, Nawangsih." kata Joko Darmono sambil memandang gadis cilik itu dengan senyum menggoda. Nawangsih menundukkan muka, merasa malu karena tadi ia keliru mengartikan ucapan pemuda itu.
"Engkau tampak lelah, Adik Nawangsih. Itu sudah kupersiapkan tempat tidur untukmu. Rebah dan tidurlah. Aku akan mengurus kudaku."
"Aku juga. Kudaku itu adalah milik penculik yang kurampas. Perlu ditambatkan di pohon dekat sini agar jangan diambil orang atau melarikan diri."
Dua orang pemuda itu lalu mengurus kuda masing-masing dan Nawangsih segera merebahkan diri di atas tumpukan daun kering yang dipersiapkan Bagus Sajiwo. Karena ia memang lelah sekali, apalagi baru saja mengalami ketegangan, sebentar saja ia telah pulas. Ia tidur dengan miring, membelakangi api unggun.
Bagus Sajiwo dan Joko Darmono kembali duduk dekat api unggun dan mereka tersenyum melihat gadis cilik itu sudah tidur. Pendengaran mereka yang tajam terlatih dapat mengetahui dari pernapasannya bahwa gadis remaja itu telah pulas.
"Joko, tadi belum engkau ceritakan siapa gurumu. Aku yakin gurumu pasti seorang tokoh sakti yang terkenal."
"Ah, Bagus, maafkan aku. Guruku melarang aku menceritakan kepada siapa pun juga tentang beliau."
"Ya, sudahlah, Joko, memang seorang murid harus mentaati semua perintah gurunya. Dari sikap dan jawabanmu ini saja aku sudah dapat mengenalimu sebagai seorang murid yang baik."
"Wah, jangan terlalu memuji, Bagus. Kalau ia yang kau puji," Joko menuding ke arah Nawangsih, "pasti ia mengatakan bahwa engkau mengucapkan rayuan gombal!" Joko Darmono tertawa terkekeh dan Bagus Sajiwo juga tertawa. Dia merasa cocok dan suka sekali dengan pemuda yang tampan ini. Seorang pemuda tampan, sakti, dan melihat gerak-gerik dan ucapannya, dia seorang yang lincah gembira.
"Ya, ia seorang gadis remaja yang hebat, pemberani dan jujur. Pantas menjadi puteri Paman Cangak Awu yang terkenal keras dan jujur. Aku bangga melihat adik misan yang baru sekali ini kujumpai."
"Ceritakan tentang dirimu, Bagus. Bagaimana engkau baru sekali ini melihat Adik misanmu ini? Ke mana saja engkau selama ini? Aku mendengar kata- kata Nawangsih tadi bahwa engkau diculik orang."
Bagus Sajiwo menghela napas panjang. "Memang benar aku diculik orang ketika aku berusia enam tahun. Aku diculik dari tempat tinggal orang tuaku di Gunung Kawi dan dilarikan sampai jauh."
"Hemm, aneh, Kalau engkau putera Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo yang terkenal sakti mandraguna, bagaimana mungkin engkau diculik dan dilarikan orang? Pasti orang tuamu akan mencarimu sampai berhasil menemukan engkau. Siapa orangnya yang berani mengusik sepasang suami isteri pendekar sakti itu?"
"Tentu saja selama belasan tahun itu Ayah dan Ibuku berusaha mencari aku. Yang menculikku adalah seorang datuk sakti dari Blambangan bernama Wiku Menak Koncar...."
"Ahh!" Joko Darmono terkejut. "Engkau mengenalnya, Joko?"
"Mengenal sih tidak, akan tetapi tentu saja aku sudah mendengar nama datuk itu. Kalau tidak salah, dia tewas di tangan puteri Kanjeng Sultan Agung, yaitu Puteri Wandansari."
"Benar, Joko. Aku juga mendengar begitu. Nah, ketika aku dilarikan Sang Wiku Menak Koncar, aku dibebaskan dari tangan penculik itu oleh guruku."
"Ah? Jadi yang menggemblengmu bukan Ayah Ibumu sendiri? Siapa gurumu itu, Bagus?"
"Guruku adalah mendiang Eyang Guru Ki Ageng Mahendra di Pegunungan Ijen."
"Ohh...., aku sudah mendengar pula akan kakek yang dikabarkan sebagai manusia setengah dewa itu! Pantas ilmu kepandaianmu demikian hebat!"
"Hemm, sekarang engkau yang memuji-muji. Awas kuberitahukan nanti kepada Nawangsih agar dikatakan engkau merayu gombal!"
Joko Darmono tertawa. "Lalu mengapa engkau sampai dewasa begini baru pulang ke rumah orang tuamu? Kata Nawangsih tadi engkau hilang selama empat belas tahun."
"Hal itu adalah seperti juga engkau, aku harus tunduk dan taat kepada guruku. Mendiang guruku meninggalkan pesan agar aku tidak menjumpai orang tuaku, atau pulang ke Gunung Kawi sebelum aku berusia dua puluh tahun. Nah, setelah aku berusia dua puluh tahun, beberapa bulan yang lalu, aku pulang ke Gunung Kawi bertemu dengan Ayah Ibuku."
Joko Darmono mengerutkan alisnya dan di bawah sinar api unggun. Bagus Sajiwo melihat betapa wajah tampan itu menjadi muram. Joko Darmono menghela napas beberapa kali lalu suaranya terdengar gemetar.
"Bagus, tentu engkau merasa berbahagia sekali bertemu dengan Ayah Ibumu...."
Diam-diam Bagus Sajiwo merasa kasihan kepada pemuda itu. "Tentu saja, Joko. Akan tetapi aku tidak lama tinggal di rumah, aku ingin merantau dan demikianlah, aku lalu pergi hendak berkunjung ke rumah Paman Cangak Awu dan Bibi Pusposari yang menjadi pimpinan perguruan Jatikusumo. Bibi Pusposari adalah Adik ayahku. Aku bertemu dengan mereka dan mendengar tentang Nawangsih yang diculik orang, maka aku melakukan pengejaran sampai di sini."
Sejenak hening. Keduanya tidak bicara lagi. Bagus Sajiwo maklum apa yang menjadi gejolak hati Joko Darmono pada saat itu.
Pemuda itu merasa duka mengingat akan ayah ibunya yang telah tiada. Dia merasa kasihan, akan tetapi tidak tahu harus bicaraapa yang dapat menghibur hati kenalan barunya itu. Maka diapun lalu menambah kayu bakar pada api unggun. Nawangsih masih tidur pulas. Agaknya merasa nyaman karena api unggun itu mengusir dingin dan nyamuk.
Setelah berdiam diri cukup lama, Joko Darmono yang sejak tadi duduk diam memandang api unggun, seperti orang melamun, memandang kepada Bagus Sajiwo, lalu menghela napas lagi.“Bagus, aku merasa iri hati sekali padamu!”
"Eh? Mengapa, Joko Darmono?"
"Engkau mempunyai ayah ibu, juga paman dan bibi, bahkan gadis manis inipun adik misanmu. Engkau mempunyai banyak keluarga, sedangkan aku... ah, aku hidup sebatang kara, tidak mempunyai keluarga seorang pun...."
"Akan tetapi kau masih mempunyai gurumu sebagaipengganti orang tuamu, Joko."
"Ah, tidak, Bagus. Aku tidak bisa menganggap guruku sebagai orang tuaku karena ia.... ahh, lebih baik tidak kubicarakan tentang guruku. Pendeknya, aku tidak punya siapa-siapa."
"Engkau keliru, Joko. Mendiang Eyang Guru pernah berkata bahwa seluruh manusia di dunia ini sebetulnya adalah saudara kita. Bukankah sekarang ini, Nawangsih itu dan aku dapat pula kau anggap sebagai saudaramu?"
"Mana mungkin semua orang menjadi saudaraku! Banyak orang yang jahat, aku tidak sudi menjadi saudara seorang penjahat!"
"Aku pernah membantah Eyang Guru seperti engkau sekarang ini, Joko. Dan apa kata eyang? Betapa jahat pun seseorang, dia menjadi kewajiban kita untuk berusaha menolongnya dengan cara menyadarkannya, kalau perlu dengan kekerasan agar dia dapat mengubah jalan hidupnya. Pendeknya, kita harus bersikap baik dan berguna bagi orang lain, tanpa pandang bulu. Yang hidup sengsara patut kita tolong sedapat kita, yang bahagia patut kita syukuri, yang baik kita contoh, yang jahat kita coba menyadarkannya, karena mereka semua itu adalah saudara kita, Joko."
Joko Darmono memandang wajah Bagus Sajiwo yang disinari api unggun. Pandang matanya menyorotkan keheranan dan kekaguman. "Amboi! Bagus, berapa sih usiamu? Kalau tidak salah, engkau berusia dua puluh tahun, bukan?"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Benar, Joko. Mengapa? Kita sebaya, mungkin aku lebih tua satu dua tahun."
"Aku sembilan belas tahun. Akan tetapi engkau... bicaramu itu seperti seorang pendeta yang sudah tua renta saja."
"Ha-ha, memang aku sudah tua, setidaknya lebih tua daripada engkau, kan?"
Joko Darmono ikut tertawa dan wajah yang tadi muram itu kini berseri kembali."Aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Bagus."
"Aku pun suka kepadamu, Joko. Sekarang engkau tidurlah, biar aku yang menjaga agar api unggun tidak padam. Juga, siapa tahu akan datang binatang buas ke sini."
"Aku lebih takut menghadapi manusia buas daripada binatang buas."
"Hemm, melihat kesaktianmu, bukan engkau yang takut kepada manusia-manusia buas, sebaliknya merekalah yang takut kepadamu. Sekarang tidurlah, Joko."
Joko Darmono memandang Naswangsih yang masih pulas, rebah miring membelakangi mereka dan tertawa. “Ha-ha, kalau aku tidur di dekatnya, setelah bangun bocah galak itu tentu akan marah-marah dan mengira aku berbuat yang bukan-bukan!”
Bagus Sajiwo juga tertawa. "Itu hanya menunjukkan bahwa Nawangsih itu seorang gadis remaja yang masih polos, jujur dan pikirannya bersih. Ia kelak pasti akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa."
"Engkau sajalah yang tidur, Bagus. Engkau adalah kakak misannya, pasti ia tidak akan marah melihat engkau tidur di dekatnya. Aku, dalam keadaan begini, tidak mudah tidur dan lebih suka duduk bersamadhi."
Karena Joko Darmono berkukuh tidak mau tidur, Bagus Sajiwo juga tidak mau tidur. Bagi orang- orang muda seperti mereka, yang sudah mendapat gemblengan dari guru-guru mereka, mengganti tidur dengan duduk diam bersamadhi merupakan hal biasa dan tidak akan menyiksa badan mereka yang terlatih. Dengan duduk bersila dalam samadhi, mereka seperti orang tidur. Pikiran dan seluruh syaraf di seluruh tubuh mereka mengaso sepenuhnya, namun mereka masih sadar dan kewaspadaan mereka tetap bekerja.
Sungguh sayang bahwa selagi hidup dan sehat, terutama mereka yang hidup di kota-kota besar, tidak pernah dapat menikmati keindahan alam di pagi hari saat matahari mulai muncul. Keindahan dan kesegaran yang dapat dinikmati oleh mata, telinga, hidung, dan perasaan itu hanya dapat dinikmati mereka yang tinggal di pegunungan, di hutan-hutan dan dusun- dusun yang tidak padat penduduk, oleh mereka yang bangun pagi-pagi sekali pada saat ayam jantan mulai berkeruyuk.
Orang kota terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan mereka yang bergerak di sekitar uang dankebanyakan dari mereka terlalu mencinta pembaringan dan bantal sehingga enggan meninggalkan tempat tidur, lebih suka bermalas-malasan dan pada saat turun dari tempat tidur seolah-olah terpaksa. Mereka ini kehilangan saat yang teramat baik bagi kesegaran jasmani dan rohani. Tak dapat disangkal, bangun pada pagi-pagi sekali lalu keluar rumah berjalan ke tempat-tempat terbuka, terutama di pegunungan yang tidak padat penduduk, terasa amat menyehatkan jasmani dan membahagiakan rohani.
Kita dapat dengan leluasa mengagumi dan menikmati kebesaran alam, keagungan Gusti Allah yang melimpahkan berkah yang berlimpah kepada kita. Walau tanpa terucapkan mulut, jiwa ini memujadan memuji Gusti Yang Maha Murah, bersyukur dan berterima kasih yang keluar dari lubuk hati yang menyadari sepenuhnya betapa besar kasih Gusti Allah kepada kita. Alangkah baiknya kalau mereka yang tidak pernah bangun pagi- pagi pada saat ayam jantan berkeruyuk, sekali-kali melakukannya agar dapat mengalami dan merasakan kebahagiaan ini!
Bagus Sajiwo, Joko Darmono, dan Nawangsih keluar dari dalam hutan yang masih diselimuti kabut tebal. Matahari masih muda, sinarnya yang kemerahan belum mampu menerobos daun-daun yang lebat sehingga dalam hutan tampak remang-remang, menjadi gelap dan lembab oleh kabut. Akan tetapi begitu keluar dari hutan dan berada di daerah yang merupakan perbukitan kecil, mereka bertiga berhenti melangkah, terpesona memandang ke depan, ke arah bawah bukit. Mereka berjalan kaki, dua orang pemuda itu menuntun kuda masing-masing.
Sebelumnya, ketika mereka terbangun pagi tadi dan hendak berangkat meneruskan perjalanan mengantar Nawangsih pulang, dua orang pemuda itu menawarkan agar Nawangsih membonceng di atas kuda seorang dari mereka. Akan tetapi gadis cilik itu tidak mau.
"Kalian naiklah kuda, aku jalan kaki saja."
"Eh? mengapa?" Dua orang pemuda itu bertanya, heran.
"Aku tidak suka naik kuda berboncengan dengan seorang pemuda."
Dua orang pemuda itu saling pandang dan keduanya tersenyum geli.“Tapi, bukankah kemarin kita juga berboncengan?” tanya Joko Darmono sambil tersenyum.
"Hemm, kemarin itu terpaksa."
"Lho, siapa yang memaksamu?" Joko Darmono mengejar.
"Terpaksa keadaan. Sekarang ada dua orang yang berkuda, aku tidak dapat memilih seorang di antara kalian, maka lebih baik aku jalan kaki saja."
Dua orang pemuda itu kembali saling pandang dan keduanya sama sekali tidak mengerti akan sikap Nawangsih. Joko Darmono hanya tersenyum dan Bagus Sajiwo menggerakkan kedua pundak tanda tidak mengerti dan heran.
"Kalau begitu, Nawangsih. Pakailah kudaku ini dan aku akan berjalan kaki." Kata Joko Darmono.
"Tidak, aku saja yang berjalan kaki. Pakai kudaku, Nawangsih." bantah Bagus Sajiwo.
Nawangsih tertawa dengan wajah berseri. Agaknya ia merasa girang sekali melihat dua orang pemuda itu saling berebutan untuk mengalah terhadap dirinya!“Kalau begitu, mari kita semua jalan kaki saja!” Kata Nawangsih dan mereka bertiga lalu berjalan kaki hendak keluar dari hutan itu.
Dalam perjalanan ini, Joko Darmono sambil tersenyum bertanya, "Apakah kalian pernah mendengar kisah ayah bodoh, anak bodoh dan kuda mereka yang beruntung itu?"
"Bagaimana ceritanya, Kakang Joko? Aku belum pernah mendengarnya!"
Bagus Sajiwo hanya tersenyum.
"Begini kisahnya. Pada suatu hari, seorang ayah dan anaknya hendak melakukan perjalanan jauh. Karena mereka hanya mempunyai seekor kuda saja, si ayah menyuruh anaknya menunggang kuda dan dia berjalan kaki sambil menuntun kuda yang ditunggangi anaknya. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang tetangga yang mencela si anak karena dia enak-enakan menunggang kuda sedangkan ayahnya yang tua dibiarkan berjalan kaki. Mendengar teguran ini, si anak turun dan mempersilahkan ayahnya yang menunggang kuda. Akan tetapi, ditengah perjalanan, kembali ada seorang kenalan mereka menegur ayah itu yang dikatakan orang tua tidak kasihan kepada anaknya,membiarkan anaknya jalan kaki sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda! Mendapatkan teguran itu, ayah dan anak itu lalu mengambil keputusan untuk berboncengan saja agar tidak ditegur orang lagi. Maka, mereka lalu berboncengan di atas punggung kuda. Akan tetapi dugaan mereka meleset, Di tengah perjalanan, seseorang memberi teguran keras kepada ayah dan anak itu yang dianggap bertindak kejam memaksa kuda kurus itu membawa beban dua orang yang berat. Ayah dan anak itu menjadi kebingungan dan jengkel. Mereka lalu mengikat keempat kaki kuda itu lalu memikul kuda itu berdua! Di tengah perjalanan banyak orang menegur dan mentertawakan mereka akan tetapi ayah dan anak itu tidak perduli, menulikan telinga dan melanjutkan perjalanan mereka."
Nawangsih tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita itu. Bagus Sajiwo hanya tersenyum, diam-diam kagum kepada Joko Darmono yang pandai bercerita.
"Bagaimana pendapatmu tentang ayah dan anak itu, Nawangsih?” tanya Joko Darmono."
"Hemm, sikap ayah dan anak yang terakhir itulah yang tepat, namun sudah terlambat. Semestinya sejak semula mereka mempunyai pendirian yang teguh, tidak mudah goyah dan menuruti setiap celaan atau usul orang lain. Mereka itu lemah, tidak memiliki kepribadian. kalau kita melakukan sesuatu yang kita anggap benar, kita harus menerima segala cela dan kritik dengan bijaksana, tidak mengekor begitu saja kepada pendapat orang. Akibatnya kita menjadi permainan keraguan kita sendiri karena setiap orang memiliki pendapat yang lain dan kadang berlawanan."
Demikianlah, mereka bercakap-cakap sambil berjalan keluar dari hutan. Setelah tiba di luar hutan, mereka berdiri terpesona memandang ke depan, ke arah bawah bukit. Mereka terbelalak, Joko Darmono dan Bagus Sajiwo adalah orang-orang yang banyak melakukan perjalanan dan sudah sering menyaksikan tamasya alam pegunungan yang amati indah. Namun mereka tidak pernah merasa bosan dan setiap kali menyaksikan kebesaran alam yang demikian indah, tetap saja mereka terpesona.
Sampai lama tiga orang itu berdiri dan melahap segala yang indah-indah itu dengan mata, telinga, dan hidung mereka. Matahari baru muncul dari balik bukit di timur. Muncul sebagai bola besar merah. Kemunculannya dapat diikuti pandang mata biarpun gerakannya lambat sekali. Cahayanya yang keemasan mulai menerangi segala sesuatu di permukaan bumi, membawa sinar kehidupan dan harapan baru.
Pohon- pohon besar dan segala tumbuh-tumbuhanseolah menyambut matahari dengan suka cita, setiap daun seperti berseri tertimpa sinar matahari yang masih lembut. Pemandangan berwarna-warni di bawah sana, perpaduan antara warna putih, kuning dan hijau yang merupakan bagian terbesar dari warna-warni, mendatangkan perasaan sejuk dan nyaman pada mata. Burung-burung beterbangan di udara. Kupu-kupu menari-nari di antara bunga-bunga.
Segalanya demikian indah dan baru bagi penglihatan. Nun jauh di bawah sana tampak anak sungai, seperti seekor ular panjang meliuk-liuk dan airnya berwarna putih seperti perak. Bau-bauan yang amat segar dan sedap memenuhi hidung. Bau tanah yang basah oleh embun, rumput-runput hijau segar yang tidak pernah terinjak, bunga-bunga mawar, melati yang mekar, bermacam- macam daun pohon yang memiliki aroma yang khas, hawa udara yang sejuk dan bersih tak ternoda, semua itu memasuki hidung ke dalam tubuh, memberi kesehatan dan kehidupan.
Telinga juga kebagian keindahan yang membahagiakan itu. Kicau burung, desah angin diantara daun-dauan pohon, gemercik air dari pancuran kecil ketika menimpa batu, embik domba, dan uak lembu di kejauhan diseling teriakan anak-anak menggembala mereka. Aduh, indah nian semua itu.
Seperti dikomando, tiga orang itu menyedot udara yang bersih dan nyaman itu sepenuh dada dan perut mereka, lalu menghembuskan keluar perlahan-lahan. Terasa panas-panas hangat dan nyaman dalam perut di bawah pusar.
Setelah beberapa kali menghirup nafas panjang, Bagus Sajiwo berbisik perlahan. "Puji syukur kepada Gusti Allah Yang Maha Besar, Pencipta Alam Semesta."