Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Kemelut Blambangan
Jilid 09
"SIE TIONG! Sie Tiong, bangunlah!" Akan tetapi tiba-tiba Sie Tiong mengayun tangan kanannya memukul ke arah Joko Darmono! Akan tetapi dengan sigap Joko Darmono mengelak dan meloncat sambil bangkit ke belakang sehingga pukulan itu tidak mengenai sasaran.
"Sie Tiong, sadarlah!" kembali dia membentak dan suaranya mengandung getaran yang berwibawa.
Sie Tiong bangkit duduk, menggosok kedua matanya, lalu memandang ke arah api unggun, dan mengangkat muka memandang kepada Joko Darmono.
"Joko.... apa yang terjadi...?"
"Sie Tiong, engkau mengigau dan ketika kubangunkan, engkau menyerang aku."
"Aduh, maaf, Joko. Aku... aku bermimpi, melihat Hong-moi diculik orang. Aku mengejarnya dan aku menyerang penculiknya. Akan tetapi dia tangguh sekali sehingga aku terpelanting dan terbangun."
"Ah, pantas ketika kubangunkan engkau memukulku."
"Maaf, Joko. sungguh aku menyesal sekali..."
"Hushh, sudahlah. Pukulanmu tidak mengena, dapat kuhindarkan. Andaikata mengenai sasaran sekalipun, karena engkau memukul dalam keadaan mimpi, engkau tidak bersalah Sie Tiong, ingatkah engkau bagaimana wajah penculik itu?"
"Tidak, hanya aku tahu dia seorang laki-laki. Aku khawatir sekali akan nasib Hong-moi, Joko."
Suaranya menggetar sehingga Joko darmono merasa kasihan kepada pemuda itu. "Itu hanya mimpi, Sie Tiong. Karena engkau selalu mengkhawatirkan keselamatan Swi Hong, maka sampai terbawa mimpi. Sudahlah, jangan dipikirkan dengan bayangan yang bukan-bukan. Percayalah saja bahwa Gusti Allah tentu akan menyelamatkan Swi Hong karena ia seorang yang baik."
"Terima kasih, Joko, dan maaf, aku telah mengganggu tidurmu."
Mereka lalu tidur kembali, akan tetapi Sie Tiong tidak dapat tidur lagi. Bayangan Swi Hong diculik orang selalu terbayang dan dia duduk bersila dekat api unggun, menjaga agar api unggun tidak sampai padam. Joko Darmono sudah tertidur pulas membelakanginya dan diam-diam Sie Tiong merasa iba sekali kepadanya. Kalau saja Joko Darmono itu laki-laki, tentu tidak timbul rasa iba melihat dia tidur tergolek di atas lantai gua itu. Akan tetapi Joko Darmono adalah seorang wanita, seorang gadis muda!
Joko Darmono tidur dengan pulas. Dia memang tadinya amat khawatir memikirkan Bagus Sajiwo, akan tetapi karena tahu bahwa mengkhawatirkan saja tidak ada gunanya bahkan merugikan, padahal dia perlu mengaso sampai tenaganya segar, dia dapat mencari Bagus Sajiwo. Maka dia menghentikan semua pemikiran dan dapat tidur pulas.
"Joko...! Joko...! Bangunlah, Joko...!!"
Teriakan itu mengejutkan Joko Darmono yang segera terbangun dan cepat dia bangkit duduk. Dia melihat Sie Tiong di depan gua. Kiranya pagi telah menggantikan malam. Sinar matahari pagi masih lemah, namun sinarnya cukup terang dan mulai mengusir sisa kegelapan malam.
"Ada apa lagi, Sie Tiong?" tanya Joko Darmono sambil menghampiri pemuda itu.
"Bermimpi lagikah engkau?"
"Tidak, Joko, tidak! Lihat, mereka... mereka terdampar di sana...!!"
Joko Darmono memandang ke arah pantai berpasir yang berada di bagian bawah bukit karang yang ada guanya itu.
"Ah, benar! Mari kita ke sana!"
Joko Darmono melompat dan berlari cepat, diikuti Sie Tiong. Sebentar saja mereka sudah tiba di pantai berpasir itu. Ternyata ada empat orang anak buah perahu namun masih hidup, dan terdapat juga jenazah Tan Beng Ki yang dadanya tertembus beberapa butir peluru. Tentu saja hati Joko Darmono kecewa bukan main karena di antara mereka tidak terdapat Bagus Sajiwo. Juga Sie Tiong diam-diam menahan kesedihannya karena tidak melihat Swi Hong ikut terdampar di situ.
Sie Tiong dan Joko darmono lalu menolong empat orang anak buah perahu itu. setelah kesehatan mereka agak membaik, mereka lalu bercerita betapa mereka diombang-ambingkan gelombang dan tiba-tiba malam tadi ada gelombang besar dari tengah menyeret mereka sampai ke daratan itu. Setelah empat orang itu kuat kembali, Sie Tiong lalu mengubur jenazah Tan Beng Ki.
Karena tidak ada alat untuk upacara sembahyang seperti yang pada umumnya dilakukan bangsa Cina pada waktu itu, Sie Tiong lalu memeberi hormat, berlutut, pai-kui (memberi hormat berlutut dan membenturkan dahi ke tanah) tiga kali. Kemudian dia berdiam diri, masih berlutut dan termenung, seperti lupa akan keadaan sekelilingnya. Empat orang anak buah itu tadi diutus mencari dusun terdekat dan membeli makanan untuk mereka berenam. Juga mereka disuruh membeli pakaian kepada penduduk dusun yang berdekatan.
Pakaian sederhana seadanya untuk pakaian pengganti bagi Sie Tiong dan Joko Darmono karena pakaian yang menempel di tubuh mereka setelah kering kembali menjadi kumal dan kotor. Joko Darmono duduk tak jauh dari Sie Tiong. Dia tidak ikut bersembahyang seperti Sie Tiong, namun diam-diam dia ikut mendoakan agar arwah Paman Tan Beng Ki yang baik dan damai.
Tiba-tiba dia melihat betapa air mata menetes-netes dari kedua mata Sie Tiong menuruni kedua pipinya, Sie Tiong menangis! Apakah dia menangisi kematian ayah mertuanya? Ah, biarpun tentu saja dia berduka atas kematian calon ayah mertuanya itu, namun Joko Darmono merasa pasti bahwa bukan itu yang membuat pemuda gagah itu menangis.
"Sie Tiong, engkau menangisi Swi Hong?" tanya Joko lirih, merasa kasihan.
Sie Tiong menggunakan kedua tangannya untuk menyusut air matanya, akan tetapi air matanya menetes semaki deras. "Aku... aku khawatir sekali, Joko. Aku khawatir dan kasihan kepada Hong-moi.... ah, kalau terjadi malapetaka menimpa dirinya..."
Joko Darmono diam saja, membiarkan pemuda itu melampiaskan rasa khawatir dan sedihnya melalui penumpahan air mata. Akhirnya Sie Tiong mampu menguasai perasaannya dan dia menghapus kering air matanya, lalu berkata kepada Joko Darmono.
"Joko, maafkan kelemahan dan kecengenganku."
"Sie Tiong, engkau cinta sekali kepada Swi Hong, bukan?"
Sie Tiong mengangguk. "Dengan seluruh jiwa ragaku, Joko."
Kemudian dia menghadapi makam Tan Beng Ki dan dengan kedua tangan menyembah depan dada dia berkata, "Gak-hu (ayah mertua), disaksikan joko Darmono, saya bersumpah untuk mencari Hong-moi dan tidak akan berhenti mencari sebelum dapat saya temukan."
Joko Darmono merasa terharu. "Jangan khawatir, Sie Tiong. Kalau memang Swi Hong masih hidup, aku yakin engkau akan dapat bertemu kembali dengannya. Dan aku akan membantumu mencarinya."
"Terima kasih, Joko."
Empat orang anak buah perahu, para karyawan mendiang Tan Beng Ki datang membawa makanan dan pakaian pengganti untuk Joko Darmono dan Sie Tiong. Biarpun yang mereka dapatkan itu hanya pakaian petani dan nelayan yang sederhana, namun cukup bersih. Mereka lalu makan. Setelah itu, Joko Darmono yang dianggap sebagai pemimpin dan penunjuk jalan karena dia lebih mengenal daerah Blambangan, lalu berkata, ditujukan kepada empat orang itu.
"Kalau kita melakukan perjalanan bersama, kita tentu akan menarik perhatian dan kalau bertemu dengan ponggawa Blambangan, akan dicurigai. Sebaiknya kita berpencar, masing-masing dua orang dan mencari jalan keluar dari daerah Blambangan ini. Kalian berempat dipecah menjadi dua kelompok terdiri dari dua orang, carilah jalan keluar masing-masing dan kukira jalan terbaik untuk keluar dari daerah ini dengan aman adalah menuju ke utara, sedapat mungkin menghindari jalan umum dan dusun-dusun. Aku sendiri bersama Sie Tiong akan mengambil jalan lain karena kami masih akan mencari Bagus dan Swi Hong."
Sie Tiong lalu memeberi nasihat agar mereka berhati-hati, dan kalau sudah tiba di Tuban dengan selamat agar jangan mengabarkan kepada isteri Tan Beng Ki akan kematian majikan mereka itu. "Katakan saja bahwa perahu kita tenggelam dan semua orang mencari keselamatan masing-masing, dan kalian belum tahu di mana adanya yang lain-lain. Biarlah aku sendiri yang kelak menyampaikan berita duka itu."
Empat orang itu lalu berpencar menjadi dua rombongan dan meninggalkan tempat itu. sejak makan bersama tadi, Joko Darmono tampak pendiam, bahkan ketika bicara kepada empat orang itu, sikapnya berbeda dengan biasanya. Wajahnya muram dan pandang matanya kehilangan sinarnya. Biasanya dia selalu licah gembira bahkan malam tadi pun masih tampak menunduk. Ketika mereka makan bersama, teringatlah dia kepada Bagus Sajiwo. Lalu dia teringat akan jenazah Tan Beng Ki yang dikubur tadi.
Tiba-tiba saja menyelinap bayangan Bagus Sajiwo juga sudah menjadi jenazah seperti Tan Beng Ki. Hatinya tertekan hebat. gelombang lautan itu demikian dahsyatnya. Dia sendiri mengalaminya. Betapapun saktinya, seorang manusia tidak mungkin mampu melawan kekuatan alam yang demikian dahsyatnya. Juga Bagus Sajiwo tidak mungkin kuat bertahan.
Dalam keadaan diombang-ambingkan gelombang seperti itu, hanya kenujijatan yang dapat menyelamatkan keseorang. Bukan mustahil, bahkan besar sekali kemungkinannya Bagus Sajiwo juga menjadi korban dan tewas oleh keganasan lautan itu!
Bayangan inilah yang meremas-remas hatinya dan dia menyadari sepenuhnya betapa dia kehilangan, betapa dia kesepian, betapa hidup ini kehilangan sinarnya, hanya merupakan derita sengsara, kalau Bagus Sajiwo meninggalkannya! Baru dia menyadari sepenuhnya bahwa dia sepertinya tidak dapat hidup bahagia tanpa didampingi Bagus Sajiwo! Menyadari bahwa sesungguhnya dia bukan hanya kagum dan suka kepada Bagus Sajiwo, melainkan juga mencintainya!
"Bagus....!" Tanpa disadarinya, dia berbisik menyebut nama pemuda itu dan matanya menjadi basah! Sejak tadi Sie Tiong memperhatikannya dan pemuda ini maklum apa yang menjadi gejolak hati gadis yang menyamar sebagai pria itu. Memang dia sudah menduga bahwa gadis luar biasa ini menaruh hati kepada Bagus Sajiwo sehingga ingin selalu berdekatan dan untuk itu dia menyamar sebagai pria dan tidak membuka rahasianya karena khawatir hal itu akan membuat Bagus Sajiwo menjauhkan diri!
Joko.... !" Sie Tiong memberanikan diri bertanya lirih, "Engkau mencinta Bagus Sajiwo?"
Ditanya demikian, pertanyaan yang langsung menghunjam perasaannya yang paling dalam, dua butir air mata yang memang sudah memenuhi pelupuk matanya, menetes keluar. Cepat dia menghapus air mata di pipinya itu dan sambil menatap wajah Sie Tiong, dia mengangguk.
"Kuatkan hatimu, Joko. Mari kita berdoa saja semoga Bagus Sajiwo dan Swi Hong diselamatkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Joko Darmono mengangguk tanpa menjawab, lalu bangkit berdiri dan berkata, "Mari kita cari mereka."
Kedua orang itu lalu meninggalkan pantai setelah Sie Tiong sekali lagi memberi hormat terakhir kepada makam Tan Beng Ki. Kini mereka telah berganti pakaian yang didapat dari penduduk dusun sehingga mereka menjadi dua orang pemuda dusun yang pakaiannya sederhana.
Gua di bukit yang berada di luar dusun Sampangan itu merupakan gua yang lebar, dalam dan amat bersih, seperti sebuah rumah yang terawat baik saja. Akan tetapi namanya aneh. Orang-orang di dusun sekitarnya menyebutnya Gua Siluman! Biarpun namanya masih Gua Siluman, namun sejak hampir setahun yang lalu, gua itu bukan merupakan tempat yang ditakuti orang seperti dulu.
Dulu memang gua itu pernah menjadi tempat tinggal seorang datuk sesat yang amat jahat, yaitu Kyai Kasmalapati yang merupakan seorang dari para datuk Blambangan, bersama muridnya yang bernama Dartoko. Guru dan murid ini sama jahatnya, sombong dan cabul. Mereka mata keranjang dan suka mengganggu penduduk dusun-dusun sekitarnya. Akan tetapi, hampir setahun yang lalu, mereka berdua bertemu tanding dan dikalahkan, malah terusir dari gua itu dalam keadaan luka-luka. yang mengusir mereka adalah Nyi Maya Dewi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, terjadi perubahan yang amat besar pada diri Nyi Maya Dewi. Dahulu ia terkenal sebagai datuk wanita yang tidak pantang melakukan segala macam kejahatan, bahkan yang terakhir ia menjadi antek Kumpeni Belanda. Akan tetapi, setelah secara kebetulan Maya Dewi bertemu dengan Bagus Sajiwo yang ketika itu masih remaja, kemudian hidup bersama pemuda itu selama kurang lebih empat tahun, mendapatkan dan mempelajari ilmu-ilmu yang amat tinggi, ia seolah dibimbing oleh Bagus Sajiwo dan bukan saja mulai mengenal Gusti Allah, bahkan telah dapat berserah diri sebulatnya dan sepenuhnya, jiwa raganya, kepada kekuasaan Gusti Allah, maka terjadilah perubahan itu.
Kalau dulu ia mendapat julukan Iblis Cantik Banten, sekarang ia disebut Dewi oleh para penduduk dusun. Bukan hanya menjadi sebutan saja karena memang pada hakekatnya ia benar-benar hidup seperti seorang dewi kahyangan yang serba bajik. Pikirannya, sikapnya, kata-katanya, perbuatannya, semua itu seolah merupakan buah-buah yang lezat menyegarkan bagi orang lain, penuh dengan kebajikan kasih yang terbimbing kekuasaan Gusti Allah. Seorang Iblis Betina telah menjadi seorang Dewi Kahyangan.
Usia Nyi Maya Dewi sekarang sudah sekitar tiga puluh tujuh tahun. Akan tetapi kalau ada orang melihat wanita itu duduk bersila di dalam gua yang menjadi tempat tinggalnya itu, dia tidak akan percaya. Nyi Maya Dewi tampak masih muda sekali, tidak lebih dari dua puluh lima tahun!
Rambutnya yang panjang itu digelung sederhana, terkadang dibiarkannya terurai lepas. Rambut yang panjang agak berombak dan hitam mengkilat karena terawat baik dan bersih. Beberapa tangkai bunga kembang melati selalu menghias rambutnya, kembang-kembang melati yang masih segar karena setiap hari ia dapat memetiknya dari tanamannya sendiri di depan gua. Wajahnya yang berbetuk bulat itu selalu memancarkan cahaya dan tampak segar dengan kulit muka yang putih bersih.
Sepasang alisnya tampak segar dengan kulit muka yang putih itu, berbentuk melengkung indah seperti dilukis. Matanya lebar dan kedua ujung mata di kiri kanan agak menjungat ke atas. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya memiliki bibir yang tipis, penuh, lunak dan selalu merah basah. Tubuhnya masih denok ramping. Memang wanita ini secantik dewi. Perubahan besar itu tampak pula pada sinar matanya. Kalau dulu sebelum berubah, matanya liar dan penuh gairah nafsu, kini mata itu bersinar tajam dan terang namun lembut penuh pengertian.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, perasaan Nyi Maya Dewi hancur dan berduka sekali setelah ia dihina dan ditampar oleh Retno Susilo yang tidak rela melihat puteranya, Bagus Sajiwo, akrab dengan Nyi Maya Dewi yang dikenalnya sebagai wanita sesat. Ia dihina, ditampar dan diusir tanpa melakukan perlawanan sedikitpun, bahkan tamparan itu ia terima tanpa melindungi wajahnya dengan tenaga dalam sehingga kedua pipinya membengkak dan ujung bibirnya berdarah.
Namun, perlakuan itu sama sekali tidak membuat hatinya hancur. Ia tidak menyalahkan Retno Susilo. Ia memang pantas mendapat perlakuan seperti itu. Yang membuat hatinya hancur dan bersedih adalah karena ia harus berpisah dari Bagus Sajiwo! Perpisahan ini menghancurkan hatinya, menghancurkan segala-galanya dan membuat hidup ini baginya tidak ada artinya lagi.
Akan tetapi setelah hidup mengasingkan diri dalam Gua Siluman di bukit yang berada di Gunung Kidul ini, ia mulai menyadari bahwa penderitaan batin itu muncul karena salahnya sendiri. Penderitaan karena perpisahan dari satu-satunya orang di dunia ini yang dikaguminya, dihargainya, dijunjung dan dicintanya, timbul karena kemelekatan hatinya pada orang yang dikasihinya itu. Si-AKU-nya yang masih kuat itu yang merasa kehilangan, merasa sengsara sehingga timbul perasaan iba diri.
Setelah menyadari semua ini, maka kedukaannya menipis dan akhirnya ia dapat mengatasi perasaannya sendiri. Mulailah Nyi Maya Dewi, setelah tinggal hampir setahun, menyadari bahwa tidak ada gunanya sama sekali bagi dirinya sendiri maupun dunia kalau ia membenamkan diri ke dalam pengasingan. Apa gunanya semua ilmu yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun kalau tidak dipergunakan dan dimanfaatkan untuk orang lain yang membutuhkan uluran tangannya?
Ia harus melakukan kebaikan sebanyak mungkin karena seperti yang dikatakan Bagus Sajiwo, melakukan kebaikan itu adalah tugas hidupnya, menjadi penyalur berkat Gusti Allah untuk siapa saja yag membutuhkan. Bukan dengan pamrih untuk mendapatkan imbalan jasa, melainkan semata-mata melaksanakan tugas hidup. Juga sebagai bukti petaubatannya. Kalau dulu ia melakukan kejahatan yang amat banyak, kini ia harus melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi! Kalau ia berdiam saja di gua ini, lalu apa gunanya ia hidup?
Setelah mengambil keputusan, Maya Dewi lalu mengumpulkan pakaiannya dalam sebuah buntalan kain, menggendong buntalan itu lalu melangkah keluar meninggalkan gua tanpa ragu lagi. Ia berniat pergi ke dusun Sampangan untuk berpamit kepada Ki Lurah Ganjar. Ketika ia berjalan menuruni bukit, melihat alam terbentang di depannya dan merasakan angin semilir menerpanya, ia merasa seolah seekor burung yang baru keluar dari sangkar.
Selama ini ia tidak pernah keluar dari gua yang menjadi rumahnya itu. Kebutuhan makan untuknya telah dipersiapkan para penduduk Sampangan yang merasa berhutang budi kepadanya. Ketika ia tiba di kaki bukit dan berada di luar dusun Sampangan, ia melihat tiga orang keluar dari pintu gapura dusun dan mereka berjalan cepat ke arah dirinya. Maya Dewi berdiri dengan sikap tenang walaupun ketika mengenal dua diantara tiga orang itu ia sempat tercengang.
Ia segera mengenal orang pertama yang merupakan seorang wanita cantik sekali, usianya tampak masih muda walaupun ia tahu bahwa wanita itu dua tahun lebih tua daripadanya, Pakaian wanita itu serba putih dan dipunggungnya tergantung sebatang pedang. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan berbulu putih. Siapa lagi kalau bukan Candra Dewi, Kakak tirinya!
Candra Dewi yang berjuluk Iblis Betina Banten. Ia tahu betapa saktinya Mbakayu tirinya ini yang dulu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada tingkatnya. Akan tetapi setelah ia menemukan ilmu yang dahsyat bersama Bagus Sajiwo, ia tidak perlu takut lagi kepadanya, bahkan pada pertemuan terakhir ia pernah mengalahkan Candra Dewi dan berhasil merampas kembali Pedang Nogo Wilis yang dirampas oleh Candra Dewi dari tangan Sulastri, isteri Lindu Aji.
Orang ke dua juga sudah dikenalnya karena dia adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun yang bertubuh jangkung dan berwajah tampan, bermata tajam, hidung mancung, mulutnya mengembangkan senyum sombong yang seolah mengejek. Dia adalah Dartoko, murid Kyai Kasmalapati yang dulu pernah dikalahkannya setahun yang lalu. Ia telah mengalahkan dan mengusir guru dan murid itu dari Gua Siluman.
Guru dan murid itu mengganggu penduduk dusun Sampangan dan sekitarnya, dengan kejam bukan hanya memeras penduduk, juga menggunakan ilmu sihir menculik dan mempermainkan gadis-gadis dusun! Dan sekarang Dartoko kembali kesini, bersama Candra Dewi dan seorang laki-laki lain, sudah pasti tidak mempunyai niat baik terhadap dirinya!
Maya Dewi memperhatikan orang ketiga. Dia seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya sedang, mukanya pucat seperti mayat. Rasanya ia sudah pernah melihat orang itu, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana dan siapa dia. Setelah tiga orang itu tiba di depannya dan berhenti, orang ketiga itulah yang bicara lebih dulu sambil tertawa-tawa. Suara tawanya ngakak seperti ular besar dan serak.
"Hak-hak-hak! Inikah Maya Dewi puteri Kakang Resi Koloyitmo, Adik tirimu itu, Candra Dewi? Walah-walah! Ketika aku melihatmu dulu, engkau masih gadis remaja. Sekarang telah menjadi seorang wanita matang yang cantik jelita! Maya Dewi, senang sekali aku bertemu denganmu. Sudah bertahun-tahun aku mendengar nama besarmu."
Mendengar tawa ngakak seperti itu, Maya Dewi teringat. Sukar menemukan orang lain yang tawanya ngakak seperti itu. Ia ingat bahwa dulu, di Banten, Ayahnya memiliki seorang kawan yang namanya Arya Bratadewa. Inilah agaknya orangnya!
"Andika Paman Arya Bratadewa, bukan?"
"Hak-hak-hak, benar sekali, manis. Bagus kalau engkau masih ingat sahabat Ayahmu!"
"Mbakayu Candra Dewi, Andika datang bersama Paman Arya Bratadewa dan jahanam keju Dartoko ini menemui aku, ada urusan apa?"
Candra Dewi tersenyum dan Maya Dewi memandang heran. Baru sekali ini ia melihat Mbakayunya itu tersenyum. Biasanya, wajah wanita itu selalu dingin dan kaku, membayangkan sepenuhnya betapa hatinya keras seperti besi.
"Maya, dahulu kita salah paham dan saling bermusuhan. Sekarang tidak lagi, Maya. Engkau adalah Adikku, kita bersaudara, sudah sepatutnya kalau kita kakak beradik bekerja sama."
"Ya, benar itu! Bekerja sama dengan rukun dan sama-sama mencari kedudukan, harta benda, dan kemuliaan!" sambung Arya Bratadewa sambil menyeringai.
"Mbakayu Candra, apa maksudmu dengan ucapanmu itu?"
"Maya, aku mengajakmu untuk bekerja sama bersama Paman Arya Bratadewa dan yang lain-lain dalam membantu usaha Kumpeni Belanda untuk mendukung Kadipaten Blambangan yang hendak menyerbu Mataram."
Maya Dewi terbelalak heran mendengar ucapan Candra Dewi itu, lalu ia tersenyum karena merasa lucu. "Lucu sekali, Mbakayu Candra. Dahulu engkau mencariku untuk membunuhku karena aku kau anggap melakukan penyelewengan, terutama karena aku membantu Belanda. Sekarang engkau malah yang menjadi antek Belanda dan membujuk aku untuk bekerja sama! Sungguh lucu dan aneh sekali!"
"Ha-ha-hak! Maya Dewi, sama sekali tidak ada yang lucu. Kami membantu Belanda bukan asal membantu akan tetapi dengan berbagai alasan yang kuat. Pertama, tentu saja kami ingin mendapatkan harta dan kedudukan. Kedua, dengan membantu Belanda kita dapat bergabung dengan kadipaten-kadipaten yang menentang Mataram. Ingat, Mataram itu musuh kita! Dan sekarang, kita bergabung dengan Blambangan untuk menghancurkan Mataram. Ah, engkau tentu sudah lebih mengetahui akan hal itu, Maya Dewi. Bukankah dulu engkau menjadi pemimpin para telik sandi Kumpeni Belanda, bahkan engkau telah dipercaya oleh Kumpeni dan mendapatkan tanda kekuasaan telik sandi berupa uang dinar kencana."
"Tidak Mbakayu Candra. Aku telah insaf, telah menyadari bahwa menjadi antek Belanda berarti menjadi pengkhianat bangsa karena Kumpeni Belanda bermaksud untuk meluaskan wilayah cengkeramannya, ingin menguasai Nusa Jawa. Kalau engkau membela Banten jika ada permusuhan antara Banten dan Mataram, hal itu masih dapat kumaklumi. Akan tetapi itu hanya merupakan pertikaian antara suku yang masih sebangsa, sesaudara. Sebaliknya, Belanda adalah bangsa asing, bangsa lain yang hendak menguasai tanah air kita. Seharusnya di antara semua suku bersatu padu menentang Belanda seperti yang diinginkan Kanjeng Sultan Agung di Mataram. Kalau seorang pribumi Nusa Jawa membantu Belanda, berarti dia mengkhianati bangsa dan tanah airnya dan itu merupakan tindakan yang jahat."
"Ha-ha-ha-hak! Siapa tidak mengenal nama Ni Maya Dewi yang dijuluki Iblis Cantik Banten? Kejahatan apa yang tak pernah ia lakukan? Dan sekarang engkau bicara tentang kebajikan seolah engkau ini seorang pendekar wanita! Ha-ha-hak, Harimau Betina itu kini pandai mengembik!"
Maya Dewi tetap tenang, tidak mau dipengaruhi kemarahan. "Paman Arya Bratadewa, justeru karena aku insaf dan menyadari semua dosa masa lalu yang pernah kulakukan, maka sekarang aku hendak bertaubat dan menentang semua kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Terserah kalian hendak bilang apa dan berbuat apa!" "Paman Arya dan Nyi Candra Dewi, apa keteranganku tadi kepada Andika berdua? Percuma saja membujuk wanita ini! Maya Dewi kini telah menjadi antek Mataram dan pura-pura menjadi pendekar!" kata Dartoko. "Kalau ia tidak dibunuh sekarang, kelak tentu hanya akan menyusahkan kita saja!"
Arya Bratadewa bertanya kepada Nyi Candra Dewi. "Bagaimana pendapatmu, Candra Dewi? Kita bunuh saja Adik tirimu yang membangkang ini?"
"Hemm, kalau ia keras kepala, memang sebaiknya dibasmi saja!" kata Candra Dewi dengan sikap tak acuh.
Memang pada dasarnya Candra Dewi tidak suka, bahkan membenci Adik tirinya ini. Pertama, karena dulu Ayah mereka, Resi Koloyitmo, lebih sayang kepada Maya Dewi daripada kepadanya. Ke dua, ia dahulu menganggap Adik tirinya itu menyeleweng dan membikin malu nama keluarga. Kemudian ke tiga, ia iri hati melihat Maya Dewi menjadi sakti mandraguna melebihi ia sendiri dan lebih-lebih lagi, Bagus Sajiwo tampak akrab sekali dengan Maya Dewi, padahal ia sudah menganggap Bagus Sajiwo adalah suaminya!
Ditambah lagi sekarang, Maya Dewi memiliki pendirian yang bertentangan dengannya. Tadinya, Dartoko yang telah bergabung dengan persekutuan di Blambangan bersama Kyai Kasmalapati, minta bantuan ia dan Arya Bratadewa, untuk membalas dendam kepada Maya Dewi. Candra Dewi memberitahu kedua orang kawannya itu agar ia membujuk dulu Maya Dewi agar mau bekerja sama karena kalau Adik tirinya itu mau bekerja sama, hal ini lebih menguntungkan mereka. Akan tetapi ternyata sekarang Maya Dewi menolak, maka ia setuju saja kalau Maya Dewi yang dibencinya itu dibunuh.
Setelah mengeluarkan ucapan itu, Candra Dewi yang sudah maklum akan kesaktian Adik tirinya, menggerakkan kedua tangannya dan ia telah meloloskan pedang dengan tangan kanan lalu melintangkan pedang di depan dada sedangkan tangan kirinya mengangkat kebutannya yang berbulu putih ke atas kepalanya. Dartoko yang juga mendendam kepada Maya Dewi dan ingin membalas dendam, sudah mencabut pedang dan kerisnya, melangkah maju seolah dia yang hendak menghabisi Maya Dewi.
Keberaniannya ini tentu saja karena dia datang bersama Arya Bratadewa dan Candra Dewi. Arya Bratadewa juga sudah maju dan antek Kumpeni ini telah mencabut sepasang pistol dari ikat pinggangnya dan membidikkan dua buah pistol itu ke arah Maya Dewi. Maya Dewi tentu saja sudah tahu akan bahaya yang mengancamnya. Dahulu ia pernah menjadi korban tembakan sebelum ia dan Bagus Sajiwo menemukan Jamur Dwipa Suddhi dan aji kesaktian Sari Bantala. Maka, melihat Arya Bratadewa telah siap menembakkan kedua pistolnya, ia sudah siap menghadapinya.
"Dar-dar-dar-dar-dar...!" Ledakan-ledakan terdengar dari kedua buah pistol itu, masing-masing dua kali disusul mengepulnya asap.
Saking cepatnya empat butir peluru itu menyambar, tidak dapat diikuti pandang mata orang biasa. Akan tetapi Maya Dewi tidak beranjak dari tempat ia berdiri. Kedua tangannya bergerak ke depan dan ia sudah menangkap dua butir peluru. Dua butir peluru lain menyambar ke arah dadanya. Akan tetapi hanya bajunya saja yang ditembusi dua butir peluru itu. Ketika mengenai kulit dadanya, dua butir peluru itu runtuh tanpa sedikitpun membuat kulit itu lecet.
Tiga orang itu terkejut bukan main dan pada saat itu Maya Dewi menggerakkan kedua tangannya. Dua butir peluru yang tadi ditangkapnya itu menyambar bagaikan kilat ke arah Dartoko dan Arya Bratadewa! Arya Bratadewa adalah seorang datuk dari Banten yang telah memiliki ilmu tinggi. Dia dapat mengelak dengan melempar tubuh ke samping lalu berjungkir balik beberapa kali. Akan tetapi Dartoko yang sama sekali tidak mengira akan diserang "tembakan" peluru yang keluar dari tangan Maya Dewi, mengaduh dan jatuh terduduk, memegangi pahanya yang dimasuki peluru!
Candra Dewi yang sudah pernah dikalahkan Maya Dewi menjadi gentar. Akan tetapi Arya Bratadewa belum mengetahui sampai di mana kedigdayan Maya dewi. Dia mengira bahwa tingkat kepandaian Maya Dewi tentu tidak melampaui kepandaian Candra Dewi. Kekebalan terhadap tembakan pistol itu bukan merupakan hal yang terlalu aneh pada masa itu. Banyak tokoh yang memiliki kekebalan seperti itu.
Maka, dengan marah Arya Bratadewa lalu menyimpan kedua pistolnya, mencabut goloknya yang mengkilap tajam lalu dengan pekik yang parau dia menerjang maju dan menyerang Maya Dewi. Dari gerakan golok yang menyambar ke arah kepalanya dari atas, Maya Dewi maklum bahwa Arya Bratadewa merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi ia merasa yakin dapat mengatasi lawan ini, maka dengan gerakan lembut namun cepat ia mengelak ke kiri, lalu tangan kanannya menyambar mengirim tamparan jarak jauh.
"Wirrr...!" Arya Bratadewa mengeluarkan teriakan tertahan ketika merasa ada angin dahsyat menyambar dari samping. Dia cepat menarik tubuh kebelakang untuk mengelak dan goloknya berkelebat lagi, kini membacok dari samping ke arah perut Maya Dewi.
"Singgg.... plakk!" Tubuh Arya Bratadewa terhuyung ke belakang dan matanya terbelalak. Gadis itu tadi menangkis goloknya dengan tangan telanjang dan pertemuan antara golok dan telapan tangan itu telah membuat dia terdorong keras ke belakang.
"Tar-tar-tarr!" Kebutan berbulu putih di tangan kiri Candra Dewi meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah kepala Maya Dewi yang dengan tenang melangkah mundur dan menggunakan angin pukulan tangannya untuk menangkis sehingga kebutan itu terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Akan tetapi sinar berkilat ketika pedang di tangan kanan Candra Dewi meluncur ke arah dada adik tirinya. Maya Dewi mengelak ke kanan. Akan tetapi pada saat itu, golok di tangan Arya Bratadewa menyambar ke arah lehernya!
Kembali Maya Dewi mengelak dengan lompatan ke belakang. Maklum bahwa dikeroyok dua orang yang sakti, yang hendak membunuhnya, sedangkan sedikit pun tidak ada niat dihatinya untuk membunuh dua orang ini, maka untuk dapat menjaga diri dengan baik, Maya Dewi melolos sabuk cinde yang dapat menjadi ikat pinggangnya. Begitu ia menggerakkan sabuk cinde ini, tampak sinar keemasan bergulung-gulung menyelimuti dirinya.
Candra Dewi dan Arya Bratadewa terkejut. Senjata mereka terpental setiap kali mereka menyerang dan bertemu dengan gulungan sinar keemasan itu. Sinar itu mengeluarkan tenaga lentur, lunak namun sulit ditembus, bahkan tenaga sakti mereka yang mendorong senjata mereka itu membalik dan tergetar.
Diam-diam Candra Dewi merasa heran dan kagum sekali. Ia memang pernah dikalahkan Maya Dewi, akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya adik tirinya itu sehebat ini kesaktiannya. Arya Bratadewa adalah seorang yang amat tangguh, mungkin setingkat dengan kepandaiannya sendiri.
Akan tetapi, kalau tadinya ia merasa yakin bahwa mereka berdua tentu akan mampu merobohkan Maya Dewi, sekarang kenyataannya, mereka berdua sama sekali tidak dapat menembus pertahanan Maya Dewi berupa gulungan sinar sabuk cindenya itu!
Maya Dewi memang tidak ingin mencelakai apalagi membunuh dua orang itu. Sudah meresap betul ke dalam sanubarinya nasihat Bagus Sajiwo agar ia tidak melakukan pembunuhan dan menghilangkan segala perasaan dendam dan benci dari lubuk hatinya terhadap siapapun juga. Karena itu, ketika tadi ia mengembalikan dua butir peluru pistol, ia hanya menujukan sambitannya ke arah kaki sehingga sebutir peluru melukai kaki Dartoko tanpa membahayakan nyawanya.
Dua orang itu menjadi amat penasaran dan mereka berusaha sekuat tenaga untuk menembus pertahanan sinar emas yang melindungi tubuh Maya Dewi. Bahkan keduanya mulai mengeluarkan kekuatan sihir melalui bentakan-bentakan untuk menyerang batin dan menggetarkan jantung Maya Dewi sehingga petahanannya akan melemah.
Namun Maya Dewi sama sekali tidak terpengaruh, bahkan kini Maya Dewi mulai mengubah gerakannya, bukan hanya bertahan melainkan membalas dengan serangan untuk menyudahi perkelahian itu. Pada suatu saat yang sudah ia perhitungkan, ketika bulu kebutan putih menyambar dari atas, ia menggerakkan sabuk cindenya yang menangkis langsung membelit sehingga ujung kebutan dan ujung sabuk cinde saling membelit. Pada saat itu, golok Arya Bratadewa membacok dari atas ke arah kepala Maya Dewi. Maya Dewi menggunakan tenaga saktinya menarik sehingga kekuatan itu ikut tertarik. Rentangan bulu kebutan itu kini menangkis golok yang menyambar turun.
"Prattt... !!" Bulu kebutan itu bertemu golok dan putus, bulunya rontok berhamburan ke bawah. Pada saat itu, Arya Bratadewa terkejut karena selain goloknya malah merusak kebutan kawan sendiri, juga pertemuan senjata itu membuat tangan yang memegang golok tergetar hebat. Pada detik itu juga jari tangan kiri Maya Dewi meluncur dan mengetuk pergelangan tangan kanan Arya Bratadewa.
"Tukk... !" Arya Bratadewa berseru kaget dan goloknya terlepas dari pegangan tangannya yang terasa lumpuh kehilangan tenaga! Dia melompat ke belakang. Candra Dewi yang kehilangan bulu kebutannya, dengan marah dan nekat menusukkan pedangnya kearah dada Maya Dewi dari samping. Maya Dewi menggerakkan tangan kirinya yang miring dan dipergunakan sebagai pedang membacok ke arah pedang lawan yang meluncur ke dadanya sambil miringkan tubuh.
"Syuuuuttt... trakkk!" Pedang itu patah menjadi dua potong. Dengan muka berubah pucat Candra Dewi juga melompat jauh ke belakang. Kini Candra Dewi dan Arya Bratadewa berdiri berdampingan dan memandang kepada Maya Dewi dengan sinar mata penuh kebencian dan kemarahan.
Mereka melihat Maya Dewi melibatkan kembali sabuk cinde di pinggangnya yang ramping dengan sikap tenang seolah tidak pernah terjadi perkelahian mati-matian yang mengancam nyawanya tadi. Karena maklum bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan Maya Dewi, juga tembakan pistol tidak akan dapat merobohkannya, Arya Bratadewa dan Candra Dewi lalu memutar tubuh dan pergi, diikuti oleh Dartako yang terpincang-pincang.
Setelah agak jauh, Candra Dewi berhenti dan menoleh. "Maya Dewi, engkau yang sudah bergelimang dosa, pernah melakukan segala macam kejahatan sehingga dirimu berlepotan noda, kotor dan dikenal sebagai iblis betina, sekarang pura-pura menjadi orang bersih dan suci! Sungguh tidak tahu malu!"
Arya Bratadewa juga menoleh dan berseru, "Munafik tidak tahu diri!" Kemudian mereka bertiga pergi meninggalkan tempat itu.
Maya Dewi sejak tadi hanya berdiri dan mengikuti mereka dengan pandang matanya. Mendengar caci maki yang amat menghina itu, ia menggigit bibir lalu memejamkan kedua matanya sehingga dua titik air mata yang berada di matanya keluar dan jatuh ke atas pipinya.
"Duh Gusti Allah, ampunilah kiranya semua dosa hamba dan kuatkanlah hati hamba untuk menerima semua penghinaan ini. Hamba patut menerima semua penghinaan ini. Hamba patut menerima hukuman ini..." bisiknya.
Maya Dewi merasa lega lagi, terbebas dari himpitan perasaannya yang tertekan mendengar penghinaan tadi. Mulutnya dapat mengembangkan senyum lagi dan ia melanjutkan perjalanannya memasuki dusun Sampangan. Semua penduduk yang berpapasan dengannya, memberi salam dengan ramah dan hormat kepada "Dewi" yang merupakan penolong dan pelindung mereka seama setahun ini.
Maya Dewi lalu menuju rumah Ki Lurah Ganjar dan disambut dengan penuh kegembiraan oleh Ki Lurah Ganjar dan keluarganya. Ketika Maya Dewi menyatakan keinginannya untuk pergi merantau meninggalkan Gua Siluman, semua orang merasa terkejut dan kecewa karena wanita ini sudah dianggap sebagai dewi pelindung mereka!
"Ah, Ni Dewi, sungguh kami merasa kecewa, menyesal dan kehilangan sekali mendengar andika akan meninggalkan kami. Akan tetapi kami tentu saja tidak berhak untuk menghalangi keinginan Andika. Akan tetapi harap Andika berhati-hati karena tadi ada tiga orang mencurigakan yang masuk ke dusun ini dan seorang di antara mereka adalah penjahat yang dulu mengganggu kami dan telah Andika usir dari Gua Siluman."
"Jangan khawatir, Paman. Mereka tadi sudah bertemu dengan aku dan sudah kuusir pergi."
"Sekarang ini keadaan sedang kacau, Ni Dewi. Kami mendengar bahwa kekacauan terjadi dimana-mana dan ada desas-desus bahwa Blambangan akan menyerbu daerah Mataram."
"Hemm, benarkah itu, Paman?"
"Ya, kami mendengar bahwa daerah yang pertama kali diancam Blambangan adalah Kadipaten Pasuruan yang merupakan benteng pertama dan terdepan dari Kerajaan Mataram. Ah, kalau terjadi perang, yang menderita paling hebat adalah rakyat jelata. Perhubungan dan perdagangan terhenti, sandang pangan menjadi mahal dan terutama sekali, dalam keadaan keruh dan kacau itu orang-orang jahat bermunculan."
"Harap Paman tenangkan hati. Seperti telah berulang kali aku menekankan bahwa untuk menjaga keamanan di dusun ini, harus digalang persatuan di antara seluruh penduduk. Bukan saja bergotong royong untuk mensejahterakan penduduk akan tetapi juga bergotong royong menanggulangi semua kesulitan. Kalau seluruh penduduk bersatu, kukira orang-orang jahat pun akan gentar mengganggu dusun ini. Kalau kalian semua sudah berikhtiar sekuat tenaga dan kemampuan, maka akhirnya kalian hanya tinggal berserah diri kepada Gusti Allah karena hanya Dia saja yang berkuasa melindungi siapa saja yang sejalan dengan kehendakNya."
"Ah, terima kasih, Ni Dewi. Kami akan menaati semua pesan Ni Dewi."
"Sekali lagi sebelum aku pergi ingin kuingatkan Paman agar Paman selalu mendahulukan kepentingan penduduk dusun Sampangan. Masihkah Paman ingat mengapa Paman harus selalu mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan penduduk dusun ini?"
"Saya tidak pernah melupakan semua nasihat Andika selama Andika tinggal di gua. Saya harus mendahulukan kepentingan penduduk karena saya menyadari bahwa tanpa penduduk, saya ini bukan apa-apa. penduduk yang memilih saya dan mereka memilih saya tentu dengan harapan agar saya menjadi pemimpin yang baik dan dapat menjadi pelayan yang baik, pengatur yang jujur dan tidak bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan sebagai lurah."
"Bagus sekali, Paman. Dan ingatkah Paman mengapa sebagai orang nomor satu di dusun ini, Paman harus jujur dan bersih?"
"Saya mash ingat, Ni Dewi. Seorang pemimpin merupakan panutan bagi penduduknya. Kalau saya sebagai orang nomor satu di dusun ini bertangan bersih, maka semua pembantu saya, para pamong dusun, juga akan meniru dan tidak berani melakukan kecurangan demi keuntungan diri pribadi. Kalau ada yang bertangan kotor, saya akan tegur dan pecat atau hukum dia! Sebaliknya kalau tangan saya sebagai pemimpin kotor, maka para pembantu saya tidak akan berani menegurnya karena tangan saya sendiri juga kotor. Dan kalau semua pamong desa bertangan bersih, kekayaan dusun tidak akan bocor diselewengkan tangan-tangan kotor para pamong, sehingga kekayaan itu dapat mensejahterakan semua penduduk."
"Baik sekali Paman. Dan kalau semua pamong bersih sehingga kehidupan penduduk makmur, dengan sendirinya penduduk akan mentaati semua perintah pamong karena menyadari bahwa semua peraturan itu demi kebaikan dan kesejahteraan penduduk."
"Saya mengerti sepenuhnya, Ni Dewi. Semoga saja Gusti Allah akan selalu memberi kekuatan kepada kami para pamong dusun ini agar kami dapat melawan semua godaan syaitan."
"Bagus, Paman. memang, melawan godaan syaitan yang selalu mempergunakan segala yang serba enak dan menyenangkan sebagai umpan untuk menyeret kita ke dalam perbuatan dosa, bukanlah pekerjaan yang mudah. Hanya kepada Gusti Allah yang dapat memberi kekuatan kepada kita untuk bertahan terhadap godaan syaitan. Mengandalkan hati akal pikiran saja sukar untuk dapat bertahan karena syaitan selalu menyelinap dan ingin menguasai hati akal pikiran kita sehingga semua pandangan membela dan membenarkan perbuatan sesat kita. Gusti Allah mengasihi manusia yang berserah diri kepadaNya dengan sabar, ikhlas, dan tawakal."
"Aduh, Ni Dewi. Berkat bimbingan Andika maka kami dapat sadar dan dapat memiliki iman yang kuat. Andika sunguh bagaikan seorang dewi yang suci dan..."
"Cukup, Paman, jangan memuji aku. Aku juga hanya seorang manusia yang bergelimang dosa, yang selalu mohon pengampunan dari Gusti Allah, yang berusaha untuk bertaubat."
Kini banyak penduduk yang berdatangan. Agaknya berita bahwa Ni Dewi yang mereka hormati dan cintai itu hendak pergi meninggalkan mereka, tersiar dengan luas dan berbondong-bondong mereka datang ke kelurahan sehingga pekarangan itu penuh dengan manusia.
"Lihat, Ni Dewi. Semua orang memuja dan berterima kasih kepada Andika!" kata lurah Ganjar.
Mendengar ini, Maya Dewi lalu bangkit dari kursinya dan diikuti Lurah Ganjar ia keluar dan berdiri di tepi pendopo yang lebih tinggi dari pekarangan di mana semua penduduk dusun Sampangan berkumpul. Kini semua keluarga Lurah Ganjar juga sudah keluar dari dalam rumah dan berkumpul di pendopo. Keharuan menyelinap dalam hati Maya Dewi.
Tiba-tiba seperti kilat menyambar, terbayang olehnya pengalamannya dahulu ketika ia masih dijuluki Iblis Betina. Sekarang kalau mengingat semua itu, ia merasa heran bagaimana mungkin ia dahulu dapat bertindak demikian kejam terhadap orang lain!
Padahal, orang-orang itu demikian baik terhadap dirinya seperti yang diperlihatkan penduduk Sampangan ini. Teringat ia akan kata-kata Bagus Sajiwo yang sekarang tampak betul kebenarannya. Sikap baik orang lain terhadap kita hanya merupakan pantulan cermin sikap kita terhadap orang itu. Demikian sebaliknya. Kalau kita membenci seseorang, pasti orang itu pun akan membenci kita. Kalau kita baik, dalam arti kata yang sebenarnya, kepada seseorang, pasti orang itu pun akan baik kepada kita.
Bagus Sajiwo pernah berkata kepadanya bahwa kalau kita melakukan sesuatu berarti menanam pohon yang kelak buahnya kita makan sendiri, maka harus memilih bibit pohon yang baik. Sebaliknya kalau kita mengalami sesuatu, baik maupun buruk, itu adalah buah daripada pohon yang kita tanam sendiri.
"Para Bibi, Paman, dan saudara sekalian! Jangan memuja dan berterima kasih kepada aku, melainkan selalu pujalah dan berterima kasihlah kepada Gusti Allah. Aku mohon pamit akan meninggalkan dusun ini melanjutkan perjalanan hidupku. Selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian Maya Dewi berjalan keluar dari pendopo, diikuti oleh Lurah Ganjar bersama semua keluarganya. Setelah tiba di luar pekarangan dan hendak meninggalkan dusun Sampangan, semua penduduk mengantar Maya Dewi dan banyak di antara para wanita dusun itu menangis! Anak-anak kecil pun mengikuti sehingga peristiwa ini amat mengharukan hati Maya Dewi, memperkuat keyakinannya bahwa hanya kalau dalam hidup ini dipenuhi kasih sayang yang melahirkan tindakan baik terhadap orang lain, maka hidup terasa berbahagia sekali.
Setelah tiba di luar gapura dusun dan melihat para penduduk masih juga mengikutinya walaupun ia sudah minta agar mereka mengantar sampai disitu saja, Maya Dewi berkata lantang, "Selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ. Ketika semua orang mencari-cari, mereka melihat bayangan Maya Dewi sudah jauh sekali dan sebentar kemudian lenyap di sebuah tikungan. Dipimpin Lurah Ganjar, penduduk kembali ke dusun mereka dan merasa kehilangan.
Setelah berlari cepat sampai jauh meninggalkan Dusun Sampangan. Maya Dewi kini berjalan santai. Tentu saja ia tidak mau terlihat orang selagi ia berlari cepat, karena hal itu akan menarik perhatian orang. Ia melangkah dalam perjalanannya menuju ke timur karena ia mengambil keputusan untuk pergi ke Pasuruan. Ia tertarik mendengar bahwa Kadipaten Blambangan hendak menyerbu Pasuruan dari Lurah Ganjar tadi.
Ia akan mengikuti jejak Bagus Sajiwo, yaitu membela Kerajaan Mataram di mana ia sudah melakukan banyak kejahatan yang merugikan Mataram. Ia hendak menebus semua kejahatannya itu dengan membela Mataram apalagi mendengar bahwa mungkin sekali Blambangan dibantu oleh Kumpeni Belanda. Kini ia mempunyai perasaan tidak suka kepada Belanda dan ia mengerti bahwa Belanda sedang berusaha untuk memperluas kekuasaannya di Nusa Jawa.
Hal ini harus ditentang dan mengingat bahwa yang gigih menentang Belanda hanya Mataram, maka ia akan mendukung Mataram. Ketika datang perasaan kesepian mengganggunya, ia merasa lemas. Semenjak berpisah dari Bagus Sajiwo, ia merasa seolah kehilangan segala-galanya, ia merasa kesepian, tidak mempunyai siapa-siapa lagi, hidupnya kosong tanpa arti. Ingin Maya Dewi menangis kalau ia teringat akan Bagus Sajiwo dan membayangkan pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang lembut dengan sikap yang amat ramah dan akrab kepadanya.
Akan tetapi ketika ia mengingat kembali banyak ucapan pemuda itu yang berkesan dalam hatinya, ia teringat ucapan Bagus Sajiwo tentang kemilikan dan kemelekatan. Kita manusia ini sesungguhnya tidak memiliki apa-apa, demikian antara lain Bagus Sajiwo berkata. Segala sesuatu di alam mayapada ini adalah milik penciptanya, yaitu Gusti Allah, Sang Maha Pencipta. Keluarga kita, harta benda kita, apa saja yang ada pada kita, adalah milik Gusti Allah. Bahkan badan kita sendiri bukanlah milik kita!
Bagaimana dapat dikatakan milik kita kalau sehelai rambut pun kita tidak dapat menguasainya, tidak dapat mengatur pertumbuhannya? Semua milik Gusti Allah, milik Yang Menciptakan sehingga setiap saat kalau Dia menghendaki, dapat Dia ambil, berpisah dari kita. Siapa yang mampu mencegah datangnya kematian, kalau Dia Yang Maha Memiliki berkenan mengambil milikNya?
Kita tidak memiliki apa-apa. Kita hanya mempunyai. Punya yang sifatnya seperti pinjam. Kita hanya meminjam semua yang ada pada kita ini, termasuk badan kita. Sekali waktu yang kita pinjam itu pasti akan diambil kembali oleh Si Pemilik. Kalau kita merasa memiliki, perasaan yang palsu dan keliru, maka akan tumbuh kemelekatan. melekat pada benda, pada manusia lain, kepada apa saja yang kita anggap milik kita. Dan muncullah duka kalau kita dipisahkan dari sesuatu yang kita anggap milik kita itu.
Demikian ucapan Bagus Sajiwo yang masih terngiang dalam sanubarinya. Ucapan-ucapan pemuda itulah yang membuat ia kuat menahan segala kedukaan. "Duh Gusti Allah, terjadilah segala kehendakMu seperti yang Engkau rencanakan."
Maya Dewi berbisik kepada dirinya sendiri dan kini wajahnya cerah berseri mengembangkan senyum ketika ia melihat keindahan alam yang terbentang luas di sana, tampak dari atas bukit yang dilaluinya itu. Seluruhnya itu, termasuk dirinya, adalah milik Gusti Allah. Ia tiada berdaya, hanya dapat berserah diri sebagai landasan semua usahanya untuk hidup selaras dengan kehendakNya. Berserah diri berarti taat akan segala perintahNya. Karena semua yang dipunyainya itu hanya benda pinjaman, terutama badan ini, jiwa raga ini, maka sudah semestinya kalau ia menjaga baik-baik agar badan dan batin tetap terpelihara dengan baik, tetap dalam keadaan baik dan bersih.
Rumah mungil itu berada di sudut kota Pasuruan. Tidak sangat besar, namun mungil dan terpelihara baik sehingga dinding, pintu dan jendelanya tampak bersih. Juga halamannya ditanami pohon-pohon buah, terutama sawo sehingga tampak teduh dan sejuk. Di samping kiri rumah itu terdapat sebuah taman kecil namun penuh tanaman bunga. Di belakang terdapat kebun yang ditanami jagung dan beberapa macam sayuran. Kebun itu cukup luas.
Pada pagi hari itu, sepasang suami isteri pemilik rumah itu duduk di serambi depan. Sang suami berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun, bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya cukup tampan, dengan sepasang mata yang sinarnya lembut, hidungnya mancung dan wajah itu cerah, selalu mengembangkan senyum. Pakaiannya sederhana saja, namun bersih dan rapi.
Dia duduk di atas sebuah kursi, memandang ke arah halaman dan menerawang seperti melamun. Sang isteri yang duduk di kursi lain berhadapan dengan meja, adalah seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya bulat dan cantik, dagunya runcing dengan sepasang mata bintang dan mulutnya menggairahkan. Biarpun usianya sudah sekitar tiga puluh lima tahun, namun tubuhnya masih ramping padat.
Suami isteri itu adalah sepasang pendekar yang sakti mandraguna, terutama sang suami. Dia bernama Parmadi dan isterinya bernama Muryani. Suami isteri ini, seperti para satria dan pendekar yang lain, adalah orang-orang yang setia kepada Mataram dan berjasa ketika terjadi perang antara pasukan Mataram melawan pasukan Kumpeni Belanda. Juga mereka selalu menentang pengacauan yang dilakukan para telik sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda.
Karena jasa-jasa mereka, Sultan Agung, raja Mataram berkenan memberi hadiah kepada suami isteri ini. Karena seperti kebanyakan para satria, mereka tidak ingin terikat dengan kedudukan, maka sebagai penggantinya, Sultan Agung menghadiahkan sebidang tanah dan rumah mungil itu di Pasuruan. Suami isteri ini hidup dengan tenang dan tenteram di Pasuruan. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang berusia enam tahun. Setelah menikah selama kurang lebih tujuh tahun, barulah mereka dikaruniai anak. Anak tunggal yang mereka beri nama Joko Galing.
Pada hari itu Parmadi dan Muryani duduk di serambi rumah mereka, makan jagung rebus yang muda dan manis sambil bercakap-cakap. Biasanya, setelah sarapan, mereka lalu bekerja di ladang sayuran membantu dua orang pembantu mereka. Mereka mempunyai dua orang pembantu pria yang merawat taman dan kebun, dan seorang pembantu wanita setengah tua yang membantu Muryani melakukan pekerjaan rumah.
Akan tetapi pagi ini mereka tampak santai, namun bercakap-cakap dengan serius. Mereka telah mendengar berita malam tadi akan persiapan Kadipaten Blambangan untuk menyerbu Mataram dan banyak kemungkinan pasukan Blambangan akan menyerbu Pasuruan sebagai benteng pertama Kerajaan Mataram.
"Kakangmas Parmadi, agaknya perang akan berkobar lagi, sekarang Mataram akan diserbu Blambangan. Kehidupan yang aman tenteram ini akan terguncang kekacauan perang." kata Muryani.
"Benar, Diajeng. Akan tetapi selama enam tujuh tahun ini, setelah perang melawan Belanda usai kita hidup tenteram di sini, kita tidak pernah lengah dan berhenti latihan. Kalau memang Mataram akan diserang Blambangan kita akan membela Mataram seperti dulu. Apalagi aku menduga bahwa kalau Blambangan berani menyerang Mataram, tentu kadipaten itu mengandalkan bantuan yang kuat. Mungkin Belanda berada di belakangnya. kita tidak perlu khawatir."
"Aku tidak takut, Kakangmas, akan tetapi memang agak khawatir. Keadaan kita tidak seperti dulu lagi, sekarang kita harus menjaga keselamatan anak kita."
"Tentu saja, akan tetapi kita tidak perlu khawatir. bukankah kita dapat mengerahkan segala kemampuan kita untuk membela Mataram? Ini berarti kita juga menjaga keselamatan anak kita. Pula, kepercayaan kita dan penyerahan diri kita kepada Gusti Allah mendasari ikhtiar kita untuk melindungi diri kita dan anak kita, Dalam penyerahan diri itu kita harus membebaskan semua pengaruh kehendak akal pikiran kita sendiri."
"Aku mengerti, Kakangmas. Akan tetapi, bagaimana juga, hati seorang ibu pasti tidak terlepas dari kekhawatiran akan keselamatan anaknya. Karena itu, Kakangmas, menghadapi ancaman perang ni, aku mempunyai gagasan yang baik."
"Hemm, gagasan apakah itu, Diajeng?"
"Begini, Kakangmas. Sebelum pasukan Blambangan menyerbu Pasuruan, lebih baik kita antarkan anak kita ke perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria. Biarpun sekarang Bapa Guru Ki Ageng Branjang sudah tua, namun kalau Joko Galing berada di sana, dia akan terlindung. Dengan adanya anak kita berlindung di sana, tentu hati kita akan menjadi lebih tenang dan tenteram sehingga kita dapat memusatkan perhatian kita untuk membela Mataram. Bagaimana pendapatmu, Kakangmas?"
Parmadi mengangguk-angguk. "Ah, gagasanmu itu baik sekali, Diajeng! memang itulah agaknya jalan terbaik mengatasi persoalan ini. di sana, dibawah bimbingan Ki Ageng Branjang, Joko Galing dapat memperdalam dasar-dasar ilmu silat. Apalagi di sana terdapat banyak murid Bromo Dadali sehingga dia mendapat kesempatan bergaul. Nah, kapan kita berangkat ke sana?"
"Secepatnya, Kakangmas."
Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda besar dengan seorang anak laki-laki di punggungnya, berjalan congklang memasuki pekarangan rumah itu. Anak laki-laki itu berusia enam tahun, akan tetapi tubuhnya tegap dan tampak kuat dan trengginas ketika dia melompat turun dari atas punggung kudanya setelah kuda itu tiba di depan serambi rumah di mana ayah ibu anak itu sudah berdiri dan tersenyum memandangnya. Joko Galing, anak itu, berkulit coklat bersih. Wajahnya bulat dan bentuk mulutnya manis seperti wajah dan mulut Muryani, sedangkan mata dan hidungnya mirip mata dan hidung Parmadi. Seorang anak laki-laki yang tampan dengan rambut hitam agak berombak.
"Ayah! Ibu! aku melihat pasukan berbaris dan latihan perang-perangan di alun-alun!" Joko Galing berseru girang sambil menambatkan kudanya pada batang pohon sawo terdekat.
Parmadi dan Muryani saling pandang dan Muryani berkata, "Kalau begitu kita harus cepat berangkat!"
"Berangkat ke mana, Ibu?"
Muryani merangkul puteranya. "Joko, kita akan pergi mengunjungi Eyang Gurumu."
"Eyang Guru Resi Tejo Wening, Ibu? Apakah Ayah sudah menemukan di mana Eyang guru itu berada?" tanya Joko Galing.
Bocah ini sudah mengetahui bahwa guru ayahnya adalah Resi Tejo Wening yang menurut ayahnya tidak pernah muncul di dunia ramai dan ayahnya sendiri tidak tahu di mana kakek itu berada. Ada pun guru ibunya adalah Ki Ageng Branjang, ketua perguruan Bromo Dadali di gunung Muria.
"Bukan, Joko. Kita akan mengunjungi Eyang Guru Ki Ageng Branjang."
"Wah, ke Perguruan Bromo Dadali di gunung Muria, Ibu? Aku senang sekali, akan dapat bertemu dengan Eyang Guru Ki Ageng Branjang! Sayang sekali aku tidak dapat bertemu dengan guru Ayah, Eyang Resi Tejo Wening. Kata Ayah, beliau sudah tua sekali. Ayah, kalau Ayah tidak tahu di mana Eyang Resi itu berada, lalu bagaimana Ayah dapat menghubunginya?"
"Eyang gurumu itu sudah tua sekali. Ketika terakhir kali aku bertemu dengan beliau, usianya sudah tujuh puluh lima tahun. Sejak itu, hampir lima belas tahun aku tidak mendengar beritanya. Kini usianya tentu sudah sembilan puluh tahun!"
"Wah, sudah tua sekali, Ayah!"
"Ya, kelak kalau ada waktu dan kesempatan, engkau akan kuajak mecari beliau di gunung Lawu."
Joko Galing merasa girang sekali. Mereka bertiga lalu berkemas dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat meninggalkan Pasuruan. Perjalanan dari pasuruan ke Gunung Muria cukup jauh, maka mereka bertiga menunggang kuda dan membawa bekal pakaian dalam buntalan yang ditaruh di atas punggung kuda masing-masing. Beberapa hari kemudian mereka memasuki Kadipaten Surabaya.
Parmadi mengajak isteri dan anaknya untuk singgah di Kadipaten Surabaya, menghadap Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Dahulu, pangeran pekik pernah bermusuhan dengan Mataram. Akan tetapi ketika Mataram menyerbu Surabaya, setelah melalui pertempuran-pertempuran dahsyat, Surabaya dapat dikalahkan.
Sultan Agung yang ingin mempersatukan seluruh Nusa Jawa untuk menjadi kuat menghadapi Kumpeni Belanda, tidak menghukum Pangeran Pekik, bahkan mengangkatnya menjadi Adipati Surabaya dan menikahkan Pangeran Pekik dengan Ratu Wandansari, Puteri Mataram sehingga kalau tadinya mejadi musuh, kini Pangeran Pekik menjadi keluarga Sultan Agung.
Parmadi sudah mengenalnya, maka kunjungan Parmadi dan Muryani yang membawa puteranya itu diterima dengan gembira. Setelah tinggal di Kadipaten Surabaya selama dua hari dan mempergunakan kesempatan itu untuk membicarakan masalah Blambangan yang dikabarkan hendak menyerbu Mataram.
Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali, Parmadi dan anak isterinya melanjutkan perjalanan menuju Gunung Muria. Pada siang harinya, mereka sudah jauh meninggalkan Surabaya dan tiba di jalan yang melalui hutan lebat. setelah tiba di jalan simpang tiga, mereka membelok ke kanan, ke arah utara. Matahari telah berada di atas kepala, panasnya bukan main.
"Kita berhenti mengaso di bawah pohon itu sebentar dan kita makan bekal makanan yang kita bawa dari Surabaya." kata Muryani yang melihat betapa Joko Galing tampak kelelahan. Juga kuda mereka sudah tampak lelah. Mereka segera membuka bekal makanan dan makan di bawah pohon yang sejuk itu. Melihat Joko Galing makan dengan lahapnya, Muryani tertawa.
"Nah, seharusnya begini kalau engkau makan, Joko! Makan banyak agar tubuhmu kuat dan dapat menolak datangnya penyakit. Engkau biasanya kalau makan di rumah hanya sedikit."
Joko Galing tersenyum memandang kepada ibunya. "Ibu, mengapa makan di sini rasanya enak sekali? Rasanya jauh lebih enak daripada kalau makan di rumah. Padahal, makanan ini kan biasa saja, kalau makan di rumah Ibu membuat lebih banyak masakan dan disini kita makan di tempat terbuka, di bawah pohon dan hanya duduk di atas tanah bertikar rumput!"
"Sie Tiong, sadarlah!" kembali dia membentak dan suaranya mengandung getaran yang berwibawa.
Sie Tiong bangkit duduk, menggosok kedua matanya, lalu memandang ke arah api unggun, dan mengangkat muka memandang kepada Joko Darmono.
"Joko.... apa yang terjadi...?"
"Sie Tiong, engkau mengigau dan ketika kubangunkan, engkau menyerang aku."
"Aduh, maaf, Joko. Aku... aku bermimpi, melihat Hong-moi diculik orang. Aku mengejarnya dan aku menyerang penculiknya. Akan tetapi dia tangguh sekali sehingga aku terpelanting dan terbangun."
"Ah, pantas ketika kubangunkan engkau memukulku."
"Maaf, Joko. sungguh aku menyesal sekali..."
"Hushh, sudahlah. Pukulanmu tidak mengena, dapat kuhindarkan. Andaikata mengenai sasaran sekalipun, karena engkau memukul dalam keadaan mimpi, engkau tidak bersalah Sie Tiong, ingatkah engkau bagaimana wajah penculik itu?"
"Tidak, hanya aku tahu dia seorang laki-laki. Aku khawatir sekali akan nasib Hong-moi, Joko."
Suaranya menggetar sehingga Joko darmono merasa kasihan kepada pemuda itu. "Itu hanya mimpi, Sie Tiong. Karena engkau selalu mengkhawatirkan keselamatan Swi Hong, maka sampai terbawa mimpi. Sudahlah, jangan dipikirkan dengan bayangan yang bukan-bukan. Percayalah saja bahwa Gusti Allah tentu akan menyelamatkan Swi Hong karena ia seorang yang baik."
"Terima kasih, Joko, dan maaf, aku telah mengganggu tidurmu."
Mereka lalu tidur kembali, akan tetapi Sie Tiong tidak dapat tidur lagi. Bayangan Swi Hong diculik orang selalu terbayang dan dia duduk bersila dekat api unggun, menjaga agar api unggun tidak sampai padam. Joko Darmono sudah tertidur pulas membelakanginya dan diam-diam Sie Tiong merasa iba sekali kepadanya. Kalau saja Joko Darmono itu laki-laki, tentu tidak timbul rasa iba melihat dia tidur tergolek di atas lantai gua itu. Akan tetapi Joko Darmono adalah seorang wanita, seorang gadis muda!
Joko Darmono tidur dengan pulas. Dia memang tadinya amat khawatir memikirkan Bagus Sajiwo, akan tetapi karena tahu bahwa mengkhawatirkan saja tidak ada gunanya bahkan merugikan, padahal dia perlu mengaso sampai tenaganya segar, dia dapat mencari Bagus Sajiwo. Maka dia menghentikan semua pemikiran dan dapat tidur pulas.
"Joko...! Joko...! Bangunlah, Joko...!!"
Teriakan itu mengejutkan Joko Darmono yang segera terbangun dan cepat dia bangkit duduk. Dia melihat Sie Tiong di depan gua. Kiranya pagi telah menggantikan malam. Sinar matahari pagi masih lemah, namun sinarnya cukup terang dan mulai mengusir sisa kegelapan malam.
"Ada apa lagi, Sie Tiong?" tanya Joko Darmono sambil menghampiri pemuda itu.
"Bermimpi lagikah engkau?"
"Tidak, Joko, tidak! Lihat, mereka... mereka terdampar di sana...!!"
Joko Darmono memandang ke arah pantai berpasir yang berada di bagian bawah bukit karang yang ada guanya itu.
"Ah, benar! Mari kita ke sana!"
Joko Darmono melompat dan berlari cepat, diikuti Sie Tiong. Sebentar saja mereka sudah tiba di pantai berpasir itu. Ternyata ada empat orang anak buah perahu namun masih hidup, dan terdapat juga jenazah Tan Beng Ki yang dadanya tertembus beberapa butir peluru. Tentu saja hati Joko Darmono kecewa bukan main karena di antara mereka tidak terdapat Bagus Sajiwo. Juga Sie Tiong diam-diam menahan kesedihannya karena tidak melihat Swi Hong ikut terdampar di situ.
Sie Tiong dan Joko darmono lalu menolong empat orang anak buah perahu itu. setelah kesehatan mereka agak membaik, mereka lalu bercerita betapa mereka diombang-ambingkan gelombang dan tiba-tiba malam tadi ada gelombang besar dari tengah menyeret mereka sampai ke daratan itu. Setelah empat orang itu kuat kembali, Sie Tiong lalu mengubur jenazah Tan Beng Ki.
Karena tidak ada alat untuk upacara sembahyang seperti yang pada umumnya dilakukan bangsa Cina pada waktu itu, Sie Tiong lalu memeberi hormat, berlutut, pai-kui (memberi hormat berlutut dan membenturkan dahi ke tanah) tiga kali. Kemudian dia berdiam diri, masih berlutut dan termenung, seperti lupa akan keadaan sekelilingnya. Empat orang anak buah itu tadi diutus mencari dusun terdekat dan membeli makanan untuk mereka berenam. Juga mereka disuruh membeli pakaian kepada penduduk dusun yang berdekatan.
Pakaian sederhana seadanya untuk pakaian pengganti bagi Sie Tiong dan Joko Darmono karena pakaian yang menempel di tubuh mereka setelah kering kembali menjadi kumal dan kotor. Joko Darmono duduk tak jauh dari Sie Tiong. Dia tidak ikut bersembahyang seperti Sie Tiong, namun diam-diam dia ikut mendoakan agar arwah Paman Tan Beng Ki yang baik dan damai.
Tiba-tiba dia melihat betapa air mata menetes-netes dari kedua mata Sie Tiong menuruni kedua pipinya, Sie Tiong menangis! Apakah dia menangisi kematian ayah mertuanya? Ah, biarpun tentu saja dia berduka atas kematian calon ayah mertuanya itu, namun Joko Darmono merasa pasti bahwa bukan itu yang membuat pemuda gagah itu menangis.
"Sie Tiong, engkau menangisi Swi Hong?" tanya Joko lirih, merasa kasihan.
Sie Tiong menggunakan kedua tangannya untuk menyusut air matanya, akan tetapi air matanya menetes semaki deras. "Aku... aku khawatir sekali, Joko. Aku khawatir dan kasihan kepada Hong-moi.... ah, kalau terjadi malapetaka menimpa dirinya..."
Joko Darmono diam saja, membiarkan pemuda itu melampiaskan rasa khawatir dan sedihnya melalui penumpahan air mata. Akhirnya Sie Tiong mampu menguasai perasaannya dan dia menghapus kering air matanya, lalu berkata kepada Joko Darmono.
"Joko, maafkan kelemahan dan kecengenganku."
"Sie Tiong, engkau cinta sekali kepada Swi Hong, bukan?"
Sie Tiong mengangguk. "Dengan seluruh jiwa ragaku, Joko."
Kemudian dia menghadapi makam Tan Beng Ki dan dengan kedua tangan menyembah depan dada dia berkata, "Gak-hu (ayah mertua), disaksikan joko Darmono, saya bersumpah untuk mencari Hong-moi dan tidak akan berhenti mencari sebelum dapat saya temukan."
Joko Darmono merasa terharu. "Jangan khawatir, Sie Tiong. Kalau memang Swi Hong masih hidup, aku yakin engkau akan dapat bertemu kembali dengannya. Dan aku akan membantumu mencarinya."
"Terima kasih, Joko."
Empat orang anak buah perahu, para karyawan mendiang Tan Beng Ki datang membawa makanan dan pakaian pengganti untuk Joko Darmono dan Sie Tiong. Biarpun yang mereka dapatkan itu hanya pakaian petani dan nelayan yang sederhana, namun cukup bersih. Mereka lalu makan. Setelah itu, Joko Darmono yang dianggap sebagai pemimpin dan penunjuk jalan karena dia lebih mengenal daerah Blambangan, lalu berkata, ditujukan kepada empat orang itu.
"Kalau kita melakukan perjalanan bersama, kita tentu akan menarik perhatian dan kalau bertemu dengan ponggawa Blambangan, akan dicurigai. Sebaiknya kita berpencar, masing-masing dua orang dan mencari jalan keluar dari daerah Blambangan ini. Kalian berempat dipecah menjadi dua kelompok terdiri dari dua orang, carilah jalan keluar masing-masing dan kukira jalan terbaik untuk keluar dari daerah ini dengan aman adalah menuju ke utara, sedapat mungkin menghindari jalan umum dan dusun-dusun. Aku sendiri bersama Sie Tiong akan mengambil jalan lain karena kami masih akan mencari Bagus dan Swi Hong."
Sie Tiong lalu memeberi nasihat agar mereka berhati-hati, dan kalau sudah tiba di Tuban dengan selamat agar jangan mengabarkan kepada isteri Tan Beng Ki akan kematian majikan mereka itu. "Katakan saja bahwa perahu kita tenggelam dan semua orang mencari keselamatan masing-masing, dan kalian belum tahu di mana adanya yang lain-lain. Biarlah aku sendiri yang kelak menyampaikan berita duka itu."
Empat orang itu lalu berpencar menjadi dua rombongan dan meninggalkan tempat itu. sejak makan bersama tadi, Joko Darmono tampak pendiam, bahkan ketika bicara kepada empat orang itu, sikapnya berbeda dengan biasanya. Wajahnya muram dan pandang matanya kehilangan sinarnya. Biasanya dia selalu licah gembira bahkan malam tadi pun masih tampak menunduk. Ketika mereka makan bersama, teringatlah dia kepada Bagus Sajiwo. Lalu dia teringat akan jenazah Tan Beng Ki yang dikubur tadi.
Tiba-tiba saja menyelinap bayangan Bagus Sajiwo juga sudah menjadi jenazah seperti Tan Beng Ki. Hatinya tertekan hebat. gelombang lautan itu demikian dahsyatnya. Dia sendiri mengalaminya. Betapapun saktinya, seorang manusia tidak mungkin mampu melawan kekuatan alam yang demikian dahsyatnya. Juga Bagus Sajiwo tidak mungkin kuat bertahan.
Dalam keadaan diombang-ambingkan gelombang seperti itu, hanya kenujijatan yang dapat menyelamatkan keseorang. Bukan mustahil, bahkan besar sekali kemungkinannya Bagus Sajiwo juga menjadi korban dan tewas oleh keganasan lautan itu!
Bayangan inilah yang meremas-remas hatinya dan dia menyadari sepenuhnya betapa dia kehilangan, betapa dia kesepian, betapa hidup ini kehilangan sinarnya, hanya merupakan derita sengsara, kalau Bagus Sajiwo meninggalkannya! Baru dia menyadari sepenuhnya bahwa dia sepertinya tidak dapat hidup bahagia tanpa didampingi Bagus Sajiwo! Menyadari bahwa sesungguhnya dia bukan hanya kagum dan suka kepada Bagus Sajiwo, melainkan juga mencintainya!
"Bagus....!" Tanpa disadarinya, dia berbisik menyebut nama pemuda itu dan matanya menjadi basah! Sejak tadi Sie Tiong memperhatikannya dan pemuda ini maklum apa yang menjadi gejolak hati gadis yang menyamar sebagai pria itu. Memang dia sudah menduga bahwa gadis luar biasa ini menaruh hati kepada Bagus Sajiwo sehingga ingin selalu berdekatan dan untuk itu dia menyamar sebagai pria dan tidak membuka rahasianya karena khawatir hal itu akan membuat Bagus Sajiwo menjauhkan diri!
Joko.... !" Sie Tiong memberanikan diri bertanya lirih, "Engkau mencinta Bagus Sajiwo?"
Ditanya demikian, pertanyaan yang langsung menghunjam perasaannya yang paling dalam, dua butir air mata yang memang sudah memenuhi pelupuk matanya, menetes keluar. Cepat dia menghapus air mata di pipinya itu dan sambil menatap wajah Sie Tiong, dia mengangguk.
"Kuatkan hatimu, Joko. Mari kita berdoa saja semoga Bagus Sajiwo dan Swi Hong diselamatkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Joko Darmono mengangguk tanpa menjawab, lalu bangkit berdiri dan berkata, "Mari kita cari mereka."
Kedua orang itu lalu meninggalkan pantai setelah Sie Tiong sekali lagi memberi hormat terakhir kepada makam Tan Beng Ki. Kini mereka telah berganti pakaian yang didapat dari penduduk dusun sehingga mereka menjadi dua orang pemuda dusun yang pakaiannya sederhana.
********************
Gua di bukit yang berada di luar dusun Sampangan itu merupakan gua yang lebar, dalam dan amat bersih, seperti sebuah rumah yang terawat baik saja. Akan tetapi namanya aneh. Orang-orang di dusun sekitarnya menyebutnya Gua Siluman! Biarpun namanya masih Gua Siluman, namun sejak hampir setahun yang lalu, gua itu bukan merupakan tempat yang ditakuti orang seperti dulu.
Dulu memang gua itu pernah menjadi tempat tinggal seorang datuk sesat yang amat jahat, yaitu Kyai Kasmalapati yang merupakan seorang dari para datuk Blambangan, bersama muridnya yang bernama Dartoko. Guru dan murid ini sama jahatnya, sombong dan cabul. Mereka mata keranjang dan suka mengganggu penduduk dusun-dusun sekitarnya. Akan tetapi, hampir setahun yang lalu, mereka berdua bertemu tanding dan dikalahkan, malah terusir dari gua itu dalam keadaan luka-luka. yang mengusir mereka adalah Nyi Maya Dewi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, terjadi perubahan yang amat besar pada diri Nyi Maya Dewi. Dahulu ia terkenal sebagai datuk wanita yang tidak pantang melakukan segala macam kejahatan, bahkan yang terakhir ia menjadi antek Kumpeni Belanda. Akan tetapi, setelah secara kebetulan Maya Dewi bertemu dengan Bagus Sajiwo yang ketika itu masih remaja, kemudian hidup bersama pemuda itu selama kurang lebih empat tahun, mendapatkan dan mempelajari ilmu-ilmu yang amat tinggi, ia seolah dibimbing oleh Bagus Sajiwo dan bukan saja mulai mengenal Gusti Allah, bahkan telah dapat berserah diri sebulatnya dan sepenuhnya, jiwa raganya, kepada kekuasaan Gusti Allah, maka terjadilah perubahan itu.
Kalau dulu ia mendapat julukan Iblis Cantik Banten, sekarang ia disebut Dewi oleh para penduduk dusun. Bukan hanya menjadi sebutan saja karena memang pada hakekatnya ia benar-benar hidup seperti seorang dewi kahyangan yang serba bajik. Pikirannya, sikapnya, kata-katanya, perbuatannya, semua itu seolah merupakan buah-buah yang lezat menyegarkan bagi orang lain, penuh dengan kebajikan kasih yang terbimbing kekuasaan Gusti Allah. Seorang Iblis Betina telah menjadi seorang Dewi Kahyangan.
Usia Nyi Maya Dewi sekarang sudah sekitar tiga puluh tujuh tahun. Akan tetapi kalau ada orang melihat wanita itu duduk bersila di dalam gua yang menjadi tempat tinggalnya itu, dia tidak akan percaya. Nyi Maya Dewi tampak masih muda sekali, tidak lebih dari dua puluh lima tahun!
Rambutnya yang panjang itu digelung sederhana, terkadang dibiarkannya terurai lepas. Rambut yang panjang agak berombak dan hitam mengkilat karena terawat baik dan bersih. Beberapa tangkai bunga kembang melati selalu menghias rambutnya, kembang-kembang melati yang masih segar karena setiap hari ia dapat memetiknya dari tanamannya sendiri di depan gua. Wajahnya yang berbetuk bulat itu selalu memancarkan cahaya dan tampak segar dengan kulit muka yang putih bersih.
Sepasang alisnya tampak segar dengan kulit muka yang putih itu, berbentuk melengkung indah seperti dilukis. Matanya lebar dan kedua ujung mata di kiri kanan agak menjungat ke atas. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya memiliki bibir yang tipis, penuh, lunak dan selalu merah basah. Tubuhnya masih denok ramping. Memang wanita ini secantik dewi. Perubahan besar itu tampak pula pada sinar matanya. Kalau dulu sebelum berubah, matanya liar dan penuh gairah nafsu, kini mata itu bersinar tajam dan terang namun lembut penuh pengertian.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, perasaan Nyi Maya Dewi hancur dan berduka sekali setelah ia dihina dan ditampar oleh Retno Susilo yang tidak rela melihat puteranya, Bagus Sajiwo, akrab dengan Nyi Maya Dewi yang dikenalnya sebagai wanita sesat. Ia dihina, ditampar dan diusir tanpa melakukan perlawanan sedikitpun, bahkan tamparan itu ia terima tanpa melindungi wajahnya dengan tenaga dalam sehingga kedua pipinya membengkak dan ujung bibirnya berdarah.
Namun, perlakuan itu sama sekali tidak membuat hatinya hancur. Ia tidak menyalahkan Retno Susilo. Ia memang pantas mendapat perlakuan seperti itu. Yang membuat hatinya hancur dan bersedih adalah karena ia harus berpisah dari Bagus Sajiwo! Perpisahan ini menghancurkan hatinya, menghancurkan segala-galanya dan membuat hidup ini baginya tidak ada artinya lagi.
Akan tetapi setelah hidup mengasingkan diri dalam Gua Siluman di bukit yang berada di Gunung Kidul ini, ia mulai menyadari bahwa penderitaan batin itu muncul karena salahnya sendiri. Penderitaan karena perpisahan dari satu-satunya orang di dunia ini yang dikaguminya, dihargainya, dijunjung dan dicintanya, timbul karena kemelekatan hatinya pada orang yang dikasihinya itu. Si-AKU-nya yang masih kuat itu yang merasa kehilangan, merasa sengsara sehingga timbul perasaan iba diri.
Setelah menyadari semua ini, maka kedukaannya menipis dan akhirnya ia dapat mengatasi perasaannya sendiri. Mulailah Nyi Maya Dewi, setelah tinggal hampir setahun, menyadari bahwa tidak ada gunanya sama sekali bagi dirinya sendiri maupun dunia kalau ia membenamkan diri ke dalam pengasingan. Apa gunanya semua ilmu yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun kalau tidak dipergunakan dan dimanfaatkan untuk orang lain yang membutuhkan uluran tangannya?
Ia harus melakukan kebaikan sebanyak mungkin karena seperti yang dikatakan Bagus Sajiwo, melakukan kebaikan itu adalah tugas hidupnya, menjadi penyalur berkat Gusti Allah untuk siapa saja yag membutuhkan. Bukan dengan pamrih untuk mendapatkan imbalan jasa, melainkan semata-mata melaksanakan tugas hidup. Juga sebagai bukti petaubatannya. Kalau dulu ia melakukan kejahatan yang amat banyak, kini ia harus melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi! Kalau ia berdiam saja di gua ini, lalu apa gunanya ia hidup?
Setelah mengambil keputusan, Maya Dewi lalu mengumpulkan pakaiannya dalam sebuah buntalan kain, menggendong buntalan itu lalu melangkah keluar meninggalkan gua tanpa ragu lagi. Ia berniat pergi ke dusun Sampangan untuk berpamit kepada Ki Lurah Ganjar. Ketika ia berjalan menuruni bukit, melihat alam terbentang di depannya dan merasakan angin semilir menerpanya, ia merasa seolah seekor burung yang baru keluar dari sangkar.
Selama ini ia tidak pernah keluar dari gua yang menjadi rumahnya itu. Kebutuhan makan untuknya telah dipersiapkan para penduduk Sampangan yang merasa berhutang budi kepadanya. Ketika ia tiba di kaki bukit dan berada di luar dusun Sampangan, ia melihat tiga orang keluar dari pintu gapura dusun dan mereka berjalan cepat ke arah dirinya. Maya Dewi berdiri dengan sikap tenang walaupun ketika mengenal dua diantara tiga orang itu ia sempat tercengang.
Ia segera mengenal orang pertama yang merupakan seorang wanita cantik sekali, usianya tampak masih muda walaupun ia tahu bahwa wanita itu dua tahun lebih tua daripadanya, Pakaian wanita itu serba putih dan dipunggungnya tergantung sebatang pedang. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan berbulu putih. Siapa lagi kalau bukan Candra Dewi, Kakak tirinya!
Candra Dewi yang berjuluk Iblis Betina Banten. Ia tahu betapa saktinya Mbakayu tirinya ini yang dulu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada tingkatnya. Akan tetapi setelah ia menemukan ilmu yang dahsyat bersama Bagus Sajiwo, ia tidak perlu takut lagi kepadanya, bahkan pada pertemuan terakhir ia pernah mengalahkan Candra Dewi dan berhasil merampas kembali Pedang Nogo Wilis yang dirampas oleh Candra Dewi dari tangan Sulastri, isteri Lindu Aji.
Orang ke dua juga sudah dikenalnya karena dia adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun yang bertubuh jangkung dan berwajah tampan, bermata tajam, hidung mancung, mulutnya mengembangkan senyum sombong yang seolah mengejek. Dia adalah Dartoko, murid Kyai Kasmalapati yang dulu pernah dikalahkannya setahun yang lalu. Ia telah mengalahkan dan mengusir guru dan murid itu dari Gua Siluman.
Guru dan murid itu mengganggu penduduk dusun Sampangan dan sekitarnya, dengan kejam bukan hanya memeras penduduk, juga menggunakan ilmu sihir menculik dan mempermainkan gadis-gadis dusun! Dan sekarang Dartoko kembali kesini, bersama Candra Dewi dan seorang laki-laki lain, sudah pasti tidak mempunyai niat baik terhadap dirinya!
Maya Dewi memperhatikan orang ketiga. Dia seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya sedang, mukanya pucat seperti mayat. Rasanya ia sudah pernah melihat orang itu, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana dan siapa dia. Setelah tiga orang itu tiba di depannya dan berhenti, orang ketiga itulah yang bicara lebih dulu sambil tertawa-tawa. Suara tawanya ngakak seperti ular besar dan serak.
"Hak-hak-hak! Inikah Maya Dewi puteri Kakang Resi Koloyitmo, Adik tirimu itu, Candra Dewi? Walah-walah! Ketika aku melihatmu dulu, engkau masih gadis remaja. Sekarang telah menjadi seorang wanita matang yang cantik jelita! Maya Dewi, senang sekali aku bertemu denganmu. Sudah bertahun-tahun aku mendengar nama besarmu."
Mendengar tawa ngakak seperti itu, Maya Dewi teringat. Sukar menemukan orang lain yang tawanya ngakak seperti itu. Ia ingat bahwa dulu, di Banten, Ayahnya memiliki seorang kawan yang namanya Arya Bratadewa. Inilah agaknya orangnya!
"Andika Paman Arya Bratadewa, bukan?"
"Hak-hak-hak, benar sekali, manis. Bagus kalau engkau masih ingat sahabat Ayahmu!"
"Mbakayu Candra Dewi, Andika datang bersama Paman Arya Bratadewa dan jahanam keju Dartoko ini menemui aku, ada urusan apa?"
Candra Dewi tersenyum dan Maya Dewi memandang heran. Baru sekali ini ia melihat Mbakayunya itu tersenyum. Biasanya, wajah wanita itu selalu dingin dan kaku, membayangkan sepenuhnya betapa hatinya keras seperti besi.
"Maya, dahulu kita salah paham dan saling bermusuhan. Sekarang tidak lagi, Maya. Engkau adalah Adikku, kita bersaudara, sudah sepatutnya kalau kita kakak beradik bekerja sama."
"Ya, benar itu! Bekerja sama dengan rukun dan sama-sama mencari kedudukan, harta benda, dan kemuliaan!" sambung Arya Bratadewa sambil menyeringai.
"Mbakayu Candra, apa maksudmu dengan ucapanmu itu?"
"Maya, aku mengajakmu untuk bekerja sama bersama Paman Arya Bratadewa dan yang lain-lain dalam membantu usaha Kumpeni Belanda untuk mendukung Kadipaten Blambangan yang hendak menyerbu Mataram."
Maya Dewi terbelalak heran mendengar ucapan Candra Dewi itu, lalu ia tersenyum karena merasa lucu. "Lucu sekali, Mbakayu Candra. Dahulu engkau mencariku untuk membunuhku karena aku kau anggap melakukan penyelewengan, terutama karena aku membantu Belanda. Sekarang engkau malah yang menjadi antek Belanda dan membujuk aku untuk bekerja sama! Sungguh lucu dan aneh sekali!"
"Ha-ha-hak! Maya Dewi, sama sekali tidak ada yang lucu. Kami membantu Belanda bukan asal membantu akan tetapi dengan berbagai alasan yang kuat. Pertama, tentu saja kami ingin mendapatkan harta dan kedudukan. Kedua, dengan membantu Belanda kita dapat bergabung dengan kadipaten-kadipaten yang menentang Mataram. Ingat, Mataram itu musuh kita! Dan sekarang, kita bergabung dengan Blambangan untuk menghancurkan Mataram. Ah, engkau tentu sudah lebih mengetahui akan hal itu, Maya Dewi. Bukankah dulu engkau menjadi pemimpin para telik sandi Kumpeni Belanda, bahkan engkau telah dipercaya oleh Kumpeni dan mendapatkan tanda kekuasaan telik sandi berupa uang dinar kencana."
"Tidak Mbakayu Candra. Aku telah insaf, telah menyadari bahwa menjadi antek Belanda berarti menjadi pengkhianat bangsa karena Kumpeni Belanda bermaksud untuk meluaskan wilayah cengkeramannya, ingin menguasai Nusa Jawa. Kalau engkau membela Banten jika ada permusuhan antara Banten dan Mataram, hal itu masih dapat kumaklumi. Akan tetapi itu hanya merupakan pertikaian antara suku yang masih sebangsa, sesaudara. Sebaliknya, Belanda adalah bangsa asing, bangsa lain yang hendak menguasai tanah air kita. Seharusnya di antara semua suku bersatu padu menentang Belanda seperti yang diinginkan Kanjeng Sultan Agung di Mataram. Kalau seorang pribumi Nusa Jawa membantu Belanda, berarti dia mengkhianati bangsa dan tanah airnya dan itu merupakan tindakan yang jahat."
"Ha-ha-ha-hak! Siapa tidak mengenal nama Ni Maya Dewi yang dijuluki Iblis Cantik Banten? Kejahatan apa yang tak pernah ia lakukan? Dan sekarang engkau bicara tentang kebajikan seolah engkau ini seorang pendekar wanita! Ha-ha-hak, Harimau Betina itu kini pandai mengembik!"
Maya Dewi tetap tenang, tidak mau dipengaruhi kemarahan. "Paman Arya Bratadewa, justeru karena aku insaf dan menyadari semua dosa masa lalu yang pernah kulakukan, maka sekarang aku hendak bertaubat dan menentang semua kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Terserah kalian hendak bilang apa dan berbuat apa!" "Paman Arya dan Nyi Candra Dewi, apa keteranganku tadi kepada Andika berdua? Percuma saja membujuk wanita ini! Maya Dewi kini telah menjadi antek Mataram dan pura-pura menjadi pendekar!" kata Dartoko. "Kalau ia tidak dibunuh sekarang, kelak tentu hanya akan menyusahkan kita saja!"
Arya Bratadewa bertanya kepada Nyi Candra Dewi. "Bagaimana pendapatmu, Candra Dewi? Kita bunuh saja Adik tirimu yang membangkang ini?"
"Hemm, kalau ia keras kepala, memang sebaiknya dibasmi saja!" kata Candra Dewi dengan sikap tak acuh.
Memang pada dasarnya Candra Dewi tidak suka, bahkan membenci Adik tirinya ini. Pertama, karena dulu Ayah mereka, Resi Koloyitmo, lebih sayang kepada Maya Dewi daripada kepadanya. Ke dua, ia dahulu menganggap Adik tirinya itu menyeleweng dan membikin malu nama keluarga. Kemudian ke tiga, ia iri hati melihat Maya Dewi menjadi sakti mandraguna melebihi ia sendiri dan lebih-lebih lagi, Bagus Sajiwo tampak akrab sekali dengan Maya Dewi, padahal ia sudah menganggap Bagus Sajiwo adalah suaminya!
Ditambah lagi sekarang, Maya Dewi memiliki pendirian yang bertentangan dengannya. Tadinya, Dartoko yang telah bergabung dengan persekutuan di Blambangan bersama Kyai Kasmalapati, minta bantuan ia dan Arya Bratadewa, untuk membalas dendam kepada Maya Dewi. Candra Dewi memberitahu kedua orang kawannya itu agar ia membujuk dulu Maya Dewi agar mau bekerja sama karena kalau Adik tirinya itu mau bekerja sama, hal ini lebih menguntungkan mereka. Akan tetapi ternyata sekarang Maya Dewi menolak, maka ia setuju saja kalau Maya Dewi yang dibencinya itu dibunuh.
Setelah mengeluarkan ucapan itu, Candra Dewi yang sudah maklum akan kesaktian Adik tirinya, menggerakkan kedua tangannya dan ia telah meloloskan pedang dengan tangan kanan lalu melintangkan pedang di depan dada sedangkan tangan kirinya mengangkat kebutannya yang berbulu putih ke atas kepalanya. Dartoko yang juga mendendam kepada Maya Dewi dan ingin membalas dendam, sudah mencabut pedang dan kerisnya, melangkah maju seolah dia yang hendak menghabisi Maya Dewi.
Keberaniannya ini tentu saja karena dia datang bersama Arya Bratadewa dan Candra Dewi. Arya Bratadewa juga sudah maju dan antek Kumpeni ini telah mencabut sepasang pistol dari ikat pinggangnya dan membidikkan dua buah pistol itu ke arah Maya Dewi. Maya Dewi tentu saja sudah tahu akan bahaya yang mengancamnya. Dahulu ia pernah menjadi korban tembakan sebelum ia dan Bagus Sajiwo menemukan Jamur Dwipa Suddhi dan aji kesaktian Sari Bantala. Maka, melihat Arya Bratadewa telah siap menembakkan kedua pistolnya, ia sudah siap menghadapinya.
"Dar-dar-dar-dar-dar...!" Ledakan-ledakan terdengar dari kedua buah pistol itu, masing-masing dua kali disusul mengepulnya asap.
Saking cepatnya empat butir peluru itu menyambar, tidak dapat diikuti pandang mata orang biasa. Akan tetapi Maya Dewi tidak beranjak dari tempat ia berdiri. Kedua tangannya bergerak ke depan dan ia sudah menangkap dua butir peluru. Dua butir peluru lain menyambar ke arah dadanya. Akan tetapi hanya bajunya saja yang ditembusi dua butir peluru itu. Ketika mengenai kulit dadanya, dua butir peluru itu runtuh tanpa sedikitpun membuat kulit itu lecet.
Tiga orang itu terkejut bukan main dan pada saat itu Maya Dewi menggerakkan kedua tangannya. Dua butir peluru yang tadi ditangkapnya itu menyambar bagaikan kilat ke arah Dartoko dan Arya Bratadewa! Arya Bratadewa adalah seorang datuk dari Banten yang telah memiliki ilmu tinggi. Dia dapat mengelak dengan melempar tubuh ke samping lalu berjungkir balik beberapa kali. Akan tetapi Dartoko yang sama sekali tidak mengira akan diserang "tembakan" peluru yang keluar dari tangan Maya Dewi, mengaduh dan jatuh terduduk, memegangi pahanya yang dimasuki peluru!
Candra Dewi yang sudah pernah dikalahkan Maya Dewi menjadi gentar. Akan tetapi Arya Bratadewa belum mengetahui sampai di mana kedigdayan Maya dewi. Dia mengira bahwa tingkat kepandaian Maya Dewi tentu tidak melampaui kepandaian Candra Dewi. Kekebalan terhadap tembakan pistol itu bukan merupakan hal yang terlalu aneh pada masa itu. Banyak tokoh yang memiliki kekebalan seperti itu.
Maka, dengan marah Arya Bratadewa lalu menyimpan kedua pistolnya, mencabut goloknya yang mengkilap tajam lalu dengan pekik yang parau dia menerjang maju dan menyerang Maya Dewi. Dari gerakan golok yang menyambar ke arah kepalanya dari atas, Maya Dewi maklum bahwa Arya Bratadewa merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi ia merasa yakin dapat mengatasi lawan ini, maka dengan gerakan lembut namun cepat ia mengelak ke kiri, lalu tangan kanannya menyambar mengirim tamparan jarak jauh.
"Wirrr...!" Arya Bratadewa mengeluarkan teriakan tertahan ketika merasa ada angin dahsyat menyambar dari samping. Dia cepat menarik tubuh kebelakang untuk mengelak dan goloknya berkelebat lagi, kini membacok dari samping ke arah perut Maya Dewi.
"Singgg.... plakk!" Tubuh Arya Bratadewa terhuyung ke belakang dan matanya terbelalak. Gadis itu tadi menangkis goloknya dengan tangan telanjang dan pertemuan antara golok dan telapan tangan itu telah membuat dia terdorong keras ke belakang.
"Tar-tar-tarr!" Kebutan berbulu putih di tangan kiri Candra Dewi meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah kepala Maya Dewi yang dengan tenang melangkah mundur dan menggunakan angin pukulan tangannya untuk menangkis sehingga kebutan itu terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Akan tetapi sinar berkilat ketika pedang di tangan kanan Candra Dewi meluncur ke arah dada adik tirinya. Maya Dewi mengelak ke kanan. Akan tetapi pada saat itu, golok di tangan Arya Bratadewa menyambar ke arah lehernya!
Kembali Maya Dewi mengelak dengan lompatan ke belakang. Maklum bahwa dikeroyok dua orang yang sakti, yang hendak membunuhnya, sedangkan sedikit pun tidak ada niat dihatinya untuk membunuh dua orang ini, maka untuk dapat menjaga diri dengan baik, Maya Dewi melolos sabuk cinde yang dapat menjadi ikat pinggangnya. Begitu ia menggerakkan sabuk cinde ini, tampak sinar keemasan bergulung-gulung menyelimuti dirinya.
Candra Dewi dan Arya Bratadewa terkejut. Senjata mereka terpental setiap kali mereka menyerang dan bertemu dengan gulungan sinar keemasan itu. Sinar itu mengeluarkan tenaga lentur, lunak namun sulit ditembus, bahkan tenaga sakti mereka yang mendorong senjata mereka itu membalik dan tergetar.
Diam-diam Candra Dewi merasa heran dan kagum sekali. Ia memang pernah dikalahkan Maya Dewi, akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya adik tirinya itu sehebat ini kesaktiannya. Arya Bratadewa adalah seorang yang amat tangguh, mungkin setingkat dengan kepandaiannya sendiri.
Akan tetapi, kalau tadinya ia merasa yakin bahwa mereka berdua tentu akan mampu merobohkan Maya Dewi, sekarang kenyataannya, mereka berdua sama sekali tidak dapat menembus pertahanan Maya Dewi berupa gulungan sinar sabuk cindenya itu!
Maya Dewi memang tidak ingin mencelakai apalagi membunuh dua orang itu. Sudah meresap betul ke dalam sanubarinya nasihat Bagus Sajiwo agar ia tidak melakukan pembunuhan dan menghilangkan segala perasaan dendam dan benci dari lubuk hatinya terhadap siapapun juga. Karena itu, ketika tadi ia mengembalikan dua butir peluru pistol, ia hanya menujukan sambitannya ke arah kaki sehingga sebutir peluru melukai kaki Dartoko tanpa membahayakan nyawanya.
Dua orang itu menjadi amat penasaran dan mereka berusaha sekuat tenaga untuk menembus pertahanan sinar emas yang melindungi tubuh Maya Dewi. Bahkan keduanya mulai mengeluarkan kekuatan sihir melalui bentakan-bentakan untuk menyerang batin dan menggetarkan jantung Maya Dewi sehingga petahanannya akan melemah.
Namun Maya Dewi sama sekali tidak terpengaruh, bahkan kini Maya Dewi mulai mengubah gerakannya, bukan hanya bertahan melainkan membalas dengan serangan untuk menyudahi perkelahian itu. Pada suatu saat yang sudah ia perhitungkan, ketika bulu kebutan putih menyambar dari atas, ia menggerakkan sabuk cindenya yang menangkis langsung membelit sehingga ujung kebutan dan ujung sabuk cinde saling membelit. Pada saat itu, golok Arya Bratadewa membacok dari atas ke arah kepala Maya Dewi. Maya Dewi menggunakan tenaga saktinya menarik sehingga kekuatan itu ikut tertarik. Rentangan bulu kebutan itu kini menangkis golok yang menyambar turun.
"Prattt... !!" Bulu kebutan itu bertemu golok dan putus, bulunya rontok berhamburan ke bawah. Pada saat itu, Arya Bratadewa terkejut karena selain goloknya malah merusak kebutan kawan sendiri, juga pertemuan senjata itu membuat tangan yang memegang golok tergetar hebat. Pada detik itu juga jari tangan kiri Maya Dewi meluncur dan mengetuk pergelangan tangan kanan Arya Bratadewa.
"Tukk... !" Arya Bratadewa berseru kaget dan goloknya terlepas dari pegangan tangannya yang terasa lumpuh kehilangan tenaga! Dia melompat ke belakang. Candra Dewi yang kehilangan bulu kebutannya, dengan marah dan nekat menusukkan pedangnya kearah dada Maya Dewi dari samping. Maya Dewi menggerakkan tangan kirinya yang miring dan dipergunakan sebagai pedang membacok ke arah pedang lawan yang meluncur ke dadanya sambil miringkan tubuh.
"Syuuuuttt... trakkk!" Pedang itu patah menjadi dua potong. Dengan muka berubah pucat Candra Dewi juga melompat jauh ke belakang. Kini Candra Dewi dan Arya Bratadewa berdiri berdampingan dan memandang kepada Maya Dewi dengan sinar mata penuh kebencian dan kemarahan.
Mereka melihat Maya Dewi melibatkan kembali sabuk cinde di pinggangnya yang ramping dengan sikap tenang seolah tidak pernah terjadi perkelahian mati-matian yang mengancam nyawanya tadi. Karena maklum bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan Maya Dewi, juga tembakan pistol tidak akan dapat merobohkannya, Arya Bratadewa dan Candra Dewi lalu memutar tubuh dan pergi, diikuti oleh Dartako yang terpincang-pincang.
Setelah agak jauh, Candra Dewi berhenti dan menoleh. "Maya Dewi, engkau yang sudah bergelimang dosa, pernah melakukan segala macam kejahatan sehingga dirimu berlepotan noda, kotor dan dikenal sebagai iblis betina, sekarang pura-pura menjadi orang bersih dan suci! Sungguh tidak tahu malu!"
Arya Bratadewa juga menoleh dan berseru, "Munafik tidak tahu diri!" Kemudian mereka bertiga pergi meninggalkan tempat itu.
Maya Dewi sejak tadi hanya berdiri dan mengikuti mereka dengan pandang matanya. Mendengar caci maki yang amat menghina itu, ia menggigit bibir lalu memejamkan kedua matanya sehingga dua titik air mata yang berada di matanya keluar dan jatuh ke atas pipinya.
"Duh Gusti Allah, ampunilah kiranya semua dosa hamba dan kuatkanlah hati hamba untuk menerima semua penghinaan ini. Hamba patut menerima semua penghinaan ini. Hamba patut menerima hukuman ini..." bisiknya.
Maya Dewi merasa lega lagi, terbebas dari himpitan perasaannya yang tertekan mendengar penghinaan tadi. Mulutnya dapat mengembangkan senyum lagi dan ia melanjutkan perjalanannya memasuki dusun Sampangan. Semua penduduk yang berpapasan dengannya, memberi salam dengan ramah dan hormat kepada "Dewi" yang merupakan penolong dan pelindung mereka seama setahun ini.
Maya Dewi lalu menuju rumah Ki Lurah Ganjar dan disambut dengan penuh kegembiraan oleh Ki Lurah Ganjar dan keluarganya. Ketika Maya Dewi menyatakan keinginannya untuk pergi merantau meninggalkan Gua Siluman, semua orang merasa terkejut dan kecewa karena wanita ini sudah dianggap sebagai dewi pelindung mereka!
"Ah, Ni Dewi, sungguh kami merasa kecewa, menyesal dan kehilangan sekali mendengar andika akan meninggalkan kami. Akan tetapi kami tentu saja tidak berhak untuk menghalangi keinginan Andika. Akan tetapi harap Andika berhati-hati karena tadi ada tiga orang mencurigakan yang masuk ke dusun ini dan seorang di antara mereka adalah penjahat yang dulu mengganggu kami dan telah Andika usir dari Gua Siluman."
"Jangan khawatir, Paman. Mereka tadi sudah bertemu dengan aku dan sudah kuusir pergi."
"Sekarang ini keadaan sedang kacau, Ni Dewi. Kami mendengar bahwa kekacauan terjadi dimana-mana dan ada desas-desus bahwa Blambangan akan menyerbu daerah Mataram."
"Hemm, benarkah itu, Paman?"
"Ya, kami mendengar bahwa daerah yang pertama kali diancam Blambangan adalah Kadipaten Pasuruan yang merupakan benteng pertama dan terdepan dari Kerajaan Mataram. Ah, kalau terjadi perang, yang menderita paling hebat adalah rakyat jelata. Perhubungan dan perdagangan terhenti, sandang pangan menjadi mahal dan terutama sekali, dalam keadaan keruh dan kacau itu orang-orang jahat bermunculan."
"Harap Paman tenangkan hati. Seperti telah berulang kali aku menekankan bahwa untuk menjaga keamanan di dusun ini, harus digalang persatuan di antara seluruh penduduk. Bukan saja bergotong royong untuk mensejahterakan penduduk akan tetapi juga bergotong royong menanggulangi semua kesulitan. Kalau seluruh penduduk bersatu, kukira orang-orang jahat pun akan gentar mengganggu dusun ini. Kalau kalian semua sudah berikhtiar sekuat tenaga dan kemampuan, maka akhirnya kalian hanya tinggal berserah diri kepada Gusti Allah karena hanya Dia saja yang berkuasa melindungi siapa saja yang sejalan dengan kehendakNya."
"Ah, terima kasih, Ni Dewi. Kami akan menaati semua pesan Ni Dewi."
"Sekali lagi sebelum aku pergi ingin kuingatkan Paman agar Paman selalu mendahulukan kepentingan penduduk dusun Sampangan. Masihkah Paman ingat mengapa Paman harus selalu mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan penduduk dusun ini?"
"Saya tidak pernah melupakan semua nasihat Andika selama Andika tinggal di gua. Saya harus mendahulukan kepentingan penduduk karena saya menyadari bahwa tanpa penduduk, saya ini bukan apa-apa. penduduk yang memilih saya dan mereka memilih saya tentu dengan harapan agar saya menjadi pemimpin yang baik dan dapat menjadi pelayan yang baik, pengatur yang jujur dan tidak bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan sebagai lurah."
"Bagus sekali, Paman. Dan ingatkah Paman mengapa sebagai orang nomor satu di dusun ini, Paman harus jujur dan bersih?"
"Saya mash ingat, Ni Dewi. Seorang pemimpin merupakan panutan bagi penduduknya. Kalau saya sebagai orang nomor satu di dusun ini bertangan bersih, maka semua pembantu saya, para pamong dusun, juga akan meniru dan tidak berani melakukan kecurangan demi keuntungan diri pribadi. Kalau ada yang bertangan kotor, saya akan tegur dan pecat atau hukum dia! Sebaliknya kalau tangan saya sebagai pemimpin kotor, maka para pembantu saya tidak akan berani menegurnya karena tangan saya sendiri juga kotor. Dan kalau semua pamong desa bertangan bersih, kekayaan dusun tidak akan bocor diselewengkan tangan-tangan kotor para pamong, sehingga kekayaan itu dapat mensejahterakan semua penduduk."
"Baik sekali Paman. Dan kalau semua pamong bersih sehingga kehidupan penduduk makmur, dengan sendirinya penduduk akan mentaati semua perintah pamong karena menyadari bahwa semua peraturan itu demi kebaikan dan kesejahteraan penduduk."
"Saya mengerti sepenuhnya, Ni Dewi. Semoga saja Gusti Allah akan selalu memberi kekuatan kepada kami para pamong dusun ini agar kami dapat melawan semua godaan syaitan."
"Bagus, Paman. memang, melawan godaan syaitan yang selalu mempergunakan segala yang serba enak dan menyenangkan sebagai umpan untuk menyeret kita ke dalam perbuatan dosa, bukanlah pekerjaan yang mudah. Hanya kepada Gusti Allah yang dapat memberi kekuatan kepada kita untuk bertahan terhadap godaan syaitan. Mengandalkan hati akal pikiran saja sukar untuk dapat bertahan karena syaitan selalu menyelinap dan ingin menguasai hati akal pikiran kita sehingga semua pandangan membela dan membenarkan perbuatan sesat kita. Gusti Allah mengasihi manusia yang berserah diri kepadaNya dengan sabar, ikhlas, dan tawakal."
"Aduh, Ni Dewi. Berkat bimbingan Andika maka kami dapat sadar dan dapat memiliki iman yang kuat. Andika sunguh bagaikan seorang dewi yang suci dan..."
"Cukup, Paman, jangan memuji aku. Aku juga hanya seorang manusia yang bergelimang dosa, yang selalu mohon pengampunan dari Gusti Allah, yang berusaha untuk bertaubat."
Kini banyak penduduk yang berdatangan. Agaknya berita bahwa Ni Dewi yang mereka hormati dan cintai itu hendak pergi meninggalkan mereka, tersiar dengan luas dan berbondong-bondong mereka datang ke kelurahan sehingga pekarangan itu penuh dengan manusia.
"Lihat, Ni Dewi. Semua orang memuja dan berterima kasih kepada Andika!" kata lurah Ganjar.
Mendengar ini, Maya Dewi lalu bangkit dari kursinya dan diikuti Lurah Ganjar ia keluar dan berdiri di tepi pendopo yang lebih tinggi dari pekarangan di mana semua penduduk dusun Sampangan berkumpul. Kini semua keluarga Lurah Ganjar juga sudah keluar dari dalam rumah dan berkumpul di pendopo. Keharuan menyelinap dalam hati Maya Dewi.
Tiba-tiba seperti kilat menyambar, terbayang olehnya pengalamannya dahulu ketika ia masih dijuluki Iblis Betina. Sekarang kalau mengingat semua itu, ia merasa heran bagaimana mungkin ia dahulu dapat bertindak demikian kejam terhadap orang lain!
Padahal, orang-orang itu demikian baik terhadap dirinya seperti yang diperlihatkan penduduk Sampangan ini. Teringat ia akan kata-kata Bagus Sajiwo yang sekarang tampak betul kebenarannya. Sikap baik orang lain terhadap kita hanya merupakan pantulan cermin sikap kita terhadap orang itu. Demikian sebaliknya. Kalau kita membenci seseorang, pasti orang itu pun akan membenci kita. Kalau kita baik, dalam arti kata yang sebenarnya, kepada seseorang, pasti orang itu pun akan baik kepada kita.
Bagus Sajiwo pernah berkata kepadanya bahwa kalau kita melakukan sesuatu berarti menanam pohon yang kelak buahnya kita makan sendiri, maka harus memilih bibit pohon yang baik. Sebaliknya kalau kita mengalami sesuatu, baik maupun buruk, itu adalah buah daripada pohon yang kita tanam sendiri.
"Para Bibi, Paman, dan saudara sekalian! Jangan memuja dan berterima kasih kepada aku, melainkan selalu pujalah dan berterima kasihlah kepada Gusti Allah. Aku mohon pamit akan meninggalkan dusun ini melanjutkan perjalanan hidupku. Selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian Maya Dewi berjalan keluar dari pendopo, diikuti oleh Lurah Ganjar bersama semua keluarganya. Setelah tiba di luar pekarangan dan hendak meninggalkan dusun Sampangan, semua penduduk mengantar Maya Dewi dan banyak di antara para wanita dusun itu menangis! Anak-anak kecil pun mengikuti sehingga peristiwa ini amat mengharukan hati Maya Dewi, memperkuat keyakinannya bahwa hanya kalau dalam hidup ini dipenuhi kasih sayang yang melahirkan tindakan baik terhadap orang lain, maka hidup terasa berbahagia sekali.
Setelah tiba di luar gapura dusun dan melihat para penduduk masih juga mengikutinya walaupun ia sudah minta agar mereka mengantar sampai disitu saja, Maya Dewi berkata lantang, "Selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ. Ketika semua orang mencari-cari, mereka melihat bayangan Maya Dewi sudah jauh sekali dan sebentar kemudian lenyap di sebuah tikungan. Dipimpin Lurah Ganjar, penduduk kembali ke dusun mereka dan merasa kehilangan.
Setelah berlari cepat sampai jauh meninggalkan Dusun Sampangan. Maya Dewi kini berjalan santai. Tentu saja ia tidak mau terlihat orang selagi ia berlari cepat, karena hal itu akan menarik perhatian orang. Ia melangkah dalam perjalanannya menuju ke timur karena ia mengambil keputusan untuk pergi ke Pasuruan. Ia tertarik mendengar bahwa Kadipaten Blambangan hendak menyerbu Pasuruan dari Lurah Ganjar tadi.
Ia akan mengikuti jejak Bagus Sajiwo, yaitu membela Kerajaan Mataram di mana ia sudah melakukan banyak kejahatan yang merugikan Mataram. Ia hendak menebus semua kejahatannya itu dengan membela Mataram apalagi mendengar bahwa mungkin sekali Blambangan dibantu oleh Kumpeni Belanda. Kini ia mempunyai perasaan tidak suka kepada Belanda dan ia mengerti bahwa Belanda sedang berusaha untuk memperluas kekuasaannya di Nusa Jawa.
Hal ini harus ditentang dan mengingat bahwa yang gigih menentang Belanda hanya Mataram, maka ia akan mendukung Mataram. Ketika datang perasaan kesepian mengganggunya, ia merasa lemas. Semenjak berpisah dari Bagus Sajiwo, ia merasa seolah kehilangan segala-galanya, ia merasa kesepian, tidak mempunyai siapa-siapa lagi, hidupnya kosong tanpa arti. Ingin Maya Dewi menangis kalau ia teringat akan Bagus Sajiwo dan membayangkan pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang lembut dengan sikap yang amat ramah dan akrab kepadanya.
Akan tetapi ketika ia mengingat kembali banyak ucapan pemuda itu yang berkesan dalam hatinya, ia teringat ucapan Bagus Sajiwo tentang kemilikan dan kemelekatan. Kita manusia ini sesungguhnya tidak memiliki apa-apa, demikian antara lain Bagus Sajiwo berkata. Segala sesuatu di alam mayapada ini adalah milik penciptanya, yaitu Gusti Allah, Sang Maha Pencipta. Keluarga kita, harta benda kita, apa saja yang ada pada kita, adalah milik Gusti Allah. Bahkan badan kita sendiri bukanlah milik kita!
Bagaimana dapat dikatakan milik kita kalau sehelai rambut pun kita tidak dapat menguasainya, tidak dapat mengatur pertumbuhannya? Semua milik Gusti Allah, milik Yang Menciptakan sehingga setiap saat kalau Dia menghendaki, dapat Dia ambil, berpisah dari kita. Siapa yang mampu mencegah datangnya kematian, kalau Dia Yang Maha Memiliki berkenan mengambil milikNya?
Kita tidak memiliki apa-apa. Kita hanya mempunyai. Punya yang sifatnya seperti pinjam. Kita hanya meminjam semua yang ada pada kita ini, termasuk badan kita. Sekali waktu yang kita pinjam itu pasti akan diambil kembali oleh Si Pemilik. Kalau kita merasa memiliki, perasaan yang palsu dan keliru, maka akan tumbuh kemelekatan. melekat pada benda, pada manusia lain, kepada apa saja yang kita anggap milik kita. Dan muncullah duka kalau kita dipisahkan dari sesuatu yang kita anggap milik kita itu.
Demikian ucapan Bagus Sajiwo yang masih terngiang dalam sanubarinya. Ucapan-ucapan pemuda itulah yang membuat ia kuat menahan segala kedukaan. "Duh Gusti Allah, terjadilah segala kehendakMu seperti yang Engkau rencanakan."
Maya Dewi berbisik kepada dirinya sendiri dan kini wajahnya cerah berseri mengembangkan senyum ketika ia melihat keindahan alam yang terbentang luas di sana, tampak dari atas bukit yang dilaluinya itu. Seluruhnya itu, termasuk dirinya, adalah milik Gusti Allah. Ia tiada berdaya, hanya dapat berserah diri sebagai landasan semua usahanya untuk hidup selaras dengan kehendakNya. Berserah diri berarti taat akan segala perintahNya. Karena semua yang dipunyainya itu hanya benda pinjaman, terutama badan ini, jiwa raga ini, maka sudah semestinya kalau ia menjaga baik-baik agar badan dan batin tetap terpelihara dengan baik, tetap dalam keadaan baik dan bersih.
********************
Rumah mungil itu berada di sudut kota Pasuruan. Tidak sangat besar, namun mungil dan terpelihara baik sehingga dinding, pintu dan jendelanya tampak bersih. Juga halamannya ditanami pohon-pohon buah, terutama sawo sehingga tampak teduh dan sejuk. Di samping kiri rumah itu terdapat sebuah taman kecil namun penuh tanaman bunga. Di belakang terdapat kebun yang ditanami jagung dan beberapa macam sayuran. Kebun itu cukup luas.
Pada pagi hari itu, sepasang suami isteri pemilik rumah itu duduk di serambi depan. Sang suami berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun, bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya cukup tampan, dengan sepasang mata yang sinarnya lembut, hidungnya mancung dan wajah itu cerah, selalu mengembangkan senyum. Pakaiannya sederhana saja, namun bersih dan rapi.
Dia duduk di atas sebuah kursi, memandang ke arah halaman dan menerawang seperti melamun. Sang isteri yang duduk di kursi lain berhadapan dengan meja, adalah seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya bulat dan cantik, dagunya runcing dengan sepasang mata bintang dan mulutnya menggairahkan. Biarpun usianya sudah sekitar tiga puluh lima tahun, namun tubuhnya masih ramping padat.
Suami isteri itu adalah sepasang pendekar yang sakti mandraguna, terutama sang suami. Dia bernama Parmadi dan isterinya bernama Muryani. Suami isteri ini, seperti para satria dan pendekar yang lain, adalah orang-orang yang setia kepada Mataram dan berjasa ketika terjadi perang antara pasukan Mataram melawan pasukan Kumpeni Belanda. Juga mereka selalu menentang pengacauan yang dilakukan para telik sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda.
Karena jasa-jasa mereka, Sultan Agung, raja Mataram berkenan memberi hadiah kepada suami isteri ini. Karena seperti kebanyakan para satria, mereka tidak ingin terikat dengan kedudukan, maka sebagai penggantinya, Sultan Agung menghadiahkan sebidang tanah dan rumah mungil itu di Pasuruan. Suami isteri ini hidup dengan tenang dan tenteram di Pasuruan. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang berusia enam tahun. Setelah menikah selama kurang lebih tujuh tahun, barulah mereka dikaruniai anak. Anak tunggal yang mereka beri nama Joko Galing.
Pada hari itu Parmadi dan Muryani duduk di serambi rumah mereka, makan jagung rebus yang muda dan manis sambil bercakap-cakap. Biasanya, setelah sarapan, mereka lalu bekerja di ladang sayuran membantu dua orang pembantu mereka. Mereka mempunyai dua orang pembantu pria yang merawat taman dan kebun, dan seorang pembantu wanita setengah tua yang membantu Muryani melakukan pekerjaan rumah.
Akan tetapi pagi ini mereka tampak santai, namun bercakap-cakap dengan serius. Mereka telah mendengar berita malam tadi akan persiapan Kadipaten Blambangan untuk menyerbu Mataram dan banyak kemungkinan pasukan Blambangan akan menyerbu Pasuruan sebagai benteng pertama Kerajaan Mataram.
"Kakangmas Parmadi, agaknya perang akan berkobar lagi, sekarang Mataram akan diserbu Blambangan. Kehidupan yang aman tenteram ini akan terguncang kekacauan perang." kata Muryani.
"Benar, Diajeng. Akan tetapi selama enam tujuh tahun ini, setelah perang melawan Belanda usai kita hidup tenteram di sini, kita tidak pernah lengah dan berhenti latihan. Kalau memang Mataram akan diserang Blambangan kita akan membela Mataram seperti dulu. Apalagi aku menduga bahwa kalau Blambangan berani menyerang Mataram, tentu kadipaten itu mengandalkan bantuan yang kuat. Mungkin Belanda berada di belakangnya. kita tidak perlu khawatir."
"Aku tidak takut, Kakangmas, akan tetapi memang agak khawatir. Keadaan kita tidak seperti dulu lagi, sekarang kita harus menjaga keselamatan anak kita."
"Tentu saja, akan tetapi kita tidak perlu khawatir. bukankah kita dapat mengerahkan segala kemampuan kita untuk membela Mataram? Ini berarti kita juga menjaga keselamatan anak kita. Pula, kepercayaan kita dan penyerahan diri kita kepada Gusti Allah mendasari ikhtiar kita untuk melindungi diri kita dan anak kita, Dalam penyerahan diri itu kita harus membebaskan semua pengaruh kehendak akal pikiran kita sendiri."
"Aku mengerti, Kakangmas. Akan tetapi, bagaimana juga, hati seorang ibu pasti tidak terlepas dari kekhawatiran akan keselamatan anaknya. Karena itu, Kakangmas, menghadapi ancaman perang ni, aku mempunyai gagasan yang baik."
"Hemm, gagasan apakah itu, Diajeng?"
"Begini, Kakangmas. Sebelum pasukan Blambangan menyerbu Pasuruan, lebih baik kita antarkan anak kita ke perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria. Biarpun sekarang Bapa Guru Ki Ageng Branjang sudah tua, namun kalau Joko Galing berada di sana, dia akan terlindung. Dengan adanya anak kita berlindung di sana, tentu hati kita akan menjadi lebih tenang dan tenteram sehingga kita dapat memusatkan perhatian kita untuk membela Mataram. Bagaimana pendapatmu, Kakangmas?"
Parmadi mengangguk-angguk. "Ah, gagasanmu itu baik sekali, Diajeng! memang itulah agaknya jalan terbaik mengatasi persoalan ini. di sana, dibawah bimbingan Ki Ageng Branjang, Joko Galing dapat memperdalam dasar-dasar ilmu silat. Apalagi di sana terdapat banyak murid Bromo Dadali sehingga dia mendapat kesempatan bergaul. Nah, kapan kita berangkat ke sana?"
"Secepatnya, Kakangmas."
Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda besar dengan seorang anak laki-laki di punggungnya, berjalan congklang memasuki pekarangan rumah itu. Anak laki-laki itu berusia enam tahun, akan tetapi tubuhnya tegap dan tampak kuat dan trengginas ketika dia melompat turun dari atas punggung kudanya setelah kuda itu tiba di depan serambi rumah di mana ayah ibu anak itu sudah berdiri dan tersenyum memandangnya. Joko Galing, anak itu, berkulit coklat bersih. Wajahnya bulat dan bentuk mulutnya manis seperti wajah dan mulut Muryani, sedangkan mata dan hidungnya mirip mata dan hidung Parmadi. Seorang anak laki-laki yang tampan dengan rambut hitam agak berombak.
"Ayah! Ibu! aku melihat pasukan berbaris dan latihan perang-perangan di alun-alun!" Joko Galing berseru girang sambil menambatkan kudanya pada batang pohon sawo terdekat.
Parmadi dan Muryani saling pandang dan Muryani berkata, "Kalau begitu kita harus cepat berangkat!"
"Berangkat ke mana, Ibu?"
Muryani merangkul puteranya. "Joko, kita akan pergi mengunjungi Eyang Gurumu."
"Eyang Guru Resi Tejo Wening, Ibu? Apakah Ayah sudah menemukan di mana Eyang guru itu berada?" tanya Joko Galing.
Bocah ini sudah mengetahui bahwa guru ayahnya adalah Resi Tejo Wening yang menurut ayahnya tidak pernah muncul di dunia ramai dan ayahnya sendiri tidak tahu di mana kakek itu berada. Ada pun guru ibunya adalah Ki Ageng Branjang, ketua perguruan Bromo Dadali di gunung Muria.
"Bukan, Joko. Kita akan mengunjungi Eyang Guru Ki Ageng Branjang."
"Wah, ke Perguruan Bromo Dadali di gunung Muria, Ibu? Aku senang sekali, akan dapat bertemu dengan Eyang Guru Ki Ageng Branjang! Sayang sekali aku tidak dapat bertemu dengan guru Ayah, Eyang Resi Tejo Wening. Kata Ayah, beliau sudah tua sekali. Ayah, kalau Ayah tidak tahu di mana Eyang Resi itu berada, lalu bagaimana Ayah dapat menghubunginya?"
"Eyang gurumu itu sudah tua sekali. Ketika terakhir kali aku bertemu dengan beliau, usianya sudah tujuh puluh lima tahun. Sejak itu, hampir lima belas tahun aku tidak mendengar beritanya. Kini usianya tentu sudah sembilan puluh tahun!"
"Wah, sudah tua sekali, Ayah!"
"Ya, kelak kalau ada waktu dan kesempatan, engkau akan kuajak mecari beliau di gunung Lawu."
Joko Galing merasa girang sekali. Mereka bertiga lalu berkemas dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat meninggalkan Pasuruan. Perjalanan dari pasuruan ke Gunung Muria cukup jauh, maka mereka bertiga menunggang kuda dan membawa bekal pakaian dalam buntalan yang ditaruh di atas punggung kuda masing-masing. Beberapa hari kemudian mereka memasuki Kadipaten Surabaya.
Parmadi mengajak isteri dan anaknya untuk singgah di Kadipaten Surabaya, menghadap Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Dahulu, pangeran pekik pernah bermusuhan dengan Mataram. Akan tetapi ketika Mataram menyerbu Surabaya, setelah melalui pertempuran-pertempuran dahsyat, Surabaya dapat dikalahkan.
Sultan Agung yang ingin mempersatukan seluruh Nusa Jawa untuk menjadi kuat menghadapi Kumpeni Belanda, tidak menghukum Pangeran Pekik, bahkan mengangkatnya menjadi Adipati Surabaya dan menikahkan Pangeran Pekik dengan Ratu Wandansari, Puteri Mataram sehingga kalau tadinya mejadi musuh, kini Pangeran Pekik menjadi keluarga Sultan Agung.
Parmadi sudah mengenalnya, maka kunjungan Parmadi dan Muryani yang membawa puteranya itu diterima dengan gembira. Setelah tinggal di Kadipaten Surabaya selama dua hari dan mempergunakan kesempatan itu untuk membicarakan masalah Blambangan yang dikabarkan hendak menyerbu Mataram.
Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali, Parmadi dan anak isterinya melanjutkan perjalanan menuju Gunung Muria. Pada siang harinya, mereka sudah jauh meninggalkan Surabaya dan tiba di jalan yang melalui hutan lebat. setelah tiba di jalan simpang tiga, mereka membelok ke kanan, ke arah utara. Matahari telah berada di atas kepala, panasnya bukan main.
"Kita berhenti mengaso di bawah pohon itu sebentar dan kita makan bekal makanan yang kita bawa dari Surabaya." kata Muryani yang melihat betapa Joko Galing tampak kelelahan. Juga kuda mereka sudah tampak lelah. Mereka segera membuka bekal makanan dan makan di bawah pohon yang sejuk itu. Melihat Joko Galing makan dengan lahapnya, Muryani tertawa.
"Nah, seharusnya begini kalau engkau makan, Joko! Makan banyak agar tubuhmu kuat dan dapat menolak datangnya penyakit. Engkau biasanya kalau makan di rumah hanya sedikit."
Joko Galing tersenyum memandang kepada ibunya. "Ibu, mengapa makan di sini rasanya enak sekali? Rasanya jauh lebih enak daripada kalau makan di rumah. Padahal, makanan ini kan biasa saja, kalau makan di rumah Ibu membuat lebih banyak masakan dan disini kita makan di tempat terbuka, di bawah pohon dan hanya duduk di atas tanah bertikar rumput!"