Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Kemelut Blambangan
Jilid 12
"AH? Mengapa tidak? Kalau sayur mayurnya, dagingnya, dan bumbunya lengkap, bagaimana hasilnya tidak lezat? Kalau sandang, pangan, papan dan segala perlengkapannya sudah kusiapkan untukmu, bagaimana mugkin hidupmu tidak akan senang?"
"Andika lupa satu bumbu yang terpenting bagi masakan itu. Tanpa bumbu yang satu ini, masakan itu tidak akan enak dimakan, Ki Lurah."
"Hemm, bumbu apa itu?"
"Garam!"
"Ahh, tentu saja! Akan tetapi apa maksudmu dengan sebuah pernikahan, sebuah rumah tangga?"
"Garam itu adalah cinta kasih, Ki Lurah."
"Aiihh, kalau itu, aku sudah menyediakan segudang! Aku akan membanjirimu dengan cinta kasih dariku yang segudang banyaknya! Jangan khawatir, Nimas Maya Dewi. Aku bersumpah, aku sungguh cinta kepadamu!"
"Cinta kasih tidak mungkin menghasilkan kebahagiaan kalau hanya sepihak, Ki Lurah. Mungkin Andika mencintaku, akan tetapi sayang, aku tidak mencintamu seperti yang andika maksudkan. Aku tidak ingin menjadi isterimu. Maaf, Ki Lurah."
Wajah Ki Lurah Samin menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Alisnya berkerut dan muka yang kurus seperti tengkorak itu muram dan tampak menyeramkan. Dia menoleh kepada Mbok Rondo Wiji yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu mendengarkan, tidak berani ikut bicara.
"Nyi Wiji! Mengapa engkau diam saja seperti patung?!" Ki Lurah Samin membentak marah.
Wanita ini terkejut dan untuk dapat mengatakan sesuatu sebagai jawaban, ia lalu berkata, agak gagap. "Maaf, ki Lurah... anu... saya kira... Paduka tergesa-gesa... eh, maksud saya, nak Maya Dewi ini tentu saja malu dilamar secara tiba-tiba begini..."
Ki Lurah Samin mengangguk-angguk dan tangan kanannya bertolak pinggang, tangan kiri mengelus kumisnya yang hanya beberapa helai seperti kumis kucing.
"Hemm... malu, ya?" Dia melihat betapa wajah cantik Maya Dewi itu sama sekali tidak memperlihatkan kemarahan, bahkan wanita itu tetap tersenyum dengan muka ditundukkan. "Ya, engkau benar, Nyi Wiji! Ia malu! Nah, kalau begitu, engkau kuserahi tugas. engkau bujuklah ia sampai mau menjadi sisihanku. Kalau hal itu dapat terjadi, ganjaranmu besar. Rumah gubukmu ini akan kubangun menjadi rumah besar, lengkap dengan prabotnya. Dan akan kuhadiahi pakaian dan uang! Nah, lakukanlah. Aku menanti di Kelurahan! Nimas, aku pergi dulu. berbincang-bincanglah dengan Nyi Wiji. Aku akan mempersiapkan segalanya untukmu, Nimas."
Setelah berkata demikian, Ki Lurah Samin memutar tubuh, akan tetapi baru dua langkah dia berjalan, dia berhenti dan memutar tubuh kambali, menghadapi Mbok Rondo Wiji. "Ingat, Nyi Wiji. Kalau engkau gagal membujuknya, akan kubakar gubukmu ini dan engkau akan dihukum rangket dengan lima puluh kali cambukan!"
Setelah berkata dengan nada penuh ancaman yang membuat Nyi Wiji seketika pucat dan tubuhnya gemetaran itu, Ki Lurah Samin kembali memutar tubuhnya pergi dari situ. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba pundaknya ditepuk orang dari belakang dan suara merdu Maya Dewi terdengar.
"Tunggu dulu, Ki Lurah!" Ki Lurah Samin memutar tubuhnya dan wajahnya yang seperti tengkorak itu berseri ketika melihat siapa yang tadi menyentuh pundaknya. Maya Dewi yang secantik bidadari baginya itulah yang menyentuh pundaknya!
"Aduh, manisku! Engkau mau ikut denganku sekarang juga?" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya seperti hendak merangkul.
Akan tetapi kini senyuman telah menghilang dari wajah ayu itu. Mulut Maya Dewi membentuk garis yang tegas dan sepasang matanya memandang dengan kilatan tajam menembus, suaranya juga terdengar mengandung teguran.
"Ki Lurah Samin, ingatlah bahwa rencana perbuatanmu ini jahat dan menyimpang dari kebenaran yang akhirnya akan menyeretmu ke dalam jurang kesengsaraan."
"Apa... ??" Ki Lurah terbelalak memandang Maya Dewi, lalu dia tertawa bergelak. Wajahnya yang seperti tengkorak itu menjadi semakin mengerikan ketika dia tertawa terbahak-bahak seperti itu.
"Ha-ha-he-he-hah....!" Aku, lurah di dusun ini, orang yang paling berkuasa di seluruh desa. Kalau aku hendak mengambil seorang wanita sebagai selirku, apakah salahnya? Itu tidak menyimpang dari kebenaran dan tak seorang pun di dusun ini boleh melarangku!"
"Ki Lurah, bagi seorang laki-laki hendak mengambil seorang wanita sebagai selir, barulah hal itu dianggap benar kalau si wanita bersedia dan dengan suka rela mau menjadi selirnya. Akan tetapi engkau hendak memaksakan kehendakmu, itulah kesalahanmu yang pertama. Kemudian, kesalahanmu yang kedua, yang tidak kalah jahatnya, engkau memaksa Bibi Wiji membujukku dengan ancaman, kalau gagal engkau akan membakar rumahnya dan menghukumnya dengan siksaan cambuk. Kalau di dusun ini tidak ada orang yang berani melarangmu melakukan kekejian itu, akulah yang melarangmu, Ki Lurah!" Ki Lurah Samin membelalakkan matanya.
"Engkau? Engkau berani melarang aku? Ha-ha-ha, kalau begitu sekarang juga engkau akan kuboyong ke rumahku, coba, engkau hendak melarang dengan cara bagaimana? Mari kupondong engkau, manis!"
Ternyata Ki Lurah Samin yang kurus kering itu, dapat bergerak dengan sigap juga. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga kuat ketika tiba-tiba dia menerkam ke depan, ke arah Maya Dewi bagaikan seekor harimau menubruk domba. Maksudnya, sekali terkam dia akan merangkul dan memondong tubuh yang sintal itu lalu membawanya pulang kerumahnya.
Dia yakin tidak akan ada seorang pun yang berani mencegah atau menghalangi karena selain dia dianggap sebagai orang yang digdaya, juga dia mempunyai pasukan jaga baya yang namanya saja disebut penjaga keamanan akan tetapi ulah dua losin anggauta pasukan keamanan ini sebaliknya malah perusak keamanan karena mereka menindas rakyat dengan perbuatan sewenang-wenang!
Kalau pemimpinnya buruk watak, bagaimana mungkin anak buahnya dapat berwatak baik? Maya Dewi tidak marah, hal ini memang akan mengherankan semua orang yang dulu pernah mengenalnya. dulu, sebelum Maya Dewi bertemu dengan bagus sajiwo, kalau ada laki-laki bersikap seperti Ki Lurah Samin, jangan harap dapat lolos dari tangnnya yang kejam. Sekarang marah pun ia tidak biarpun ulah Ki Lurah Samin itu amat merendahkan dan menghinya. dalam hati Maya Dewi telah terukir banyak hal yang pernah diucapkan.
"Mengampuni kesalahan orang lain kepada kita merupakan jalan satu-satunya agar kita mendapat ampunan dari Gusti Allah."
Suara hati sanubari ini melenyapkan kemarahan dan dendam. Maya Dewi selalu ingat akan semua dosanya yang pernah ia lakukan. Kejahatan Ki Lurah Samin ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan semua kejahatan yang pernah ia lakukan. Kalau kejahatan Ki Lurah Samin yang demikian kecilnya saja ia tidak mampu memaafkannya, lalu bagaimana mungkin ia menghendaki pengampunan dari Gusti Allah atas dosa-dosanya yang jauh lebih banyak dan lebih jahat?
Maka, Maya Dewi membatasi tenaganya ketika ia mengebutkan tangan kirinya ke arah penyerangnya, seperti orang mengusir lalat dengan kibasan tangannya. Akan tetapi akibatnya cukup hebat bagi Ki Lurah Samin. Ketika dia tadi menerkam dan tidak melihat Maya Dewi mengelak, dia senang sekali, seolah sudah dapat merangkul dan merasa betapa tubuh yang denok lembut hangat itu meronta-ronta dalam pelukannya ketika dia pondong. Akan tetapi tiba-tiba Maya Dewi mengibaskan tangan kirinya dan Ki Lurah Samin berteriak kaget. Tubuhnya seperti sehelai daun kering terbawa angin!
Dia tidak mampu mempertahankan diri dan terlempar sejauh dua tombak dan terbanting ke atas tanah. Terdengar suara berdebuk disusul bunyi ngek ketika pantat yang tak berdaging itu terbanting ke tanah dan debu mengebul. Marahlah Ki Lurah Samin. Selama bertahun-tahun menjadi Lurah, tidak pernah ada orang yang berani menentangnya dan kini wanita muda cantik itu telah membuat dia malu dan pantatnya tersa nyeri. Terseok-seok dia bangkit dan menghampiri Maya Dewi.
"Berani engkau melawan aku?" bentaknya dan biarpun pantatnya masih nyeri sekali, karena marah, dia memaksa diri menerjang maju dengan tangan kanan menampar kepala Maya Dewi, tangan kiri mencengkeram ke arah dada yang montok itu. Maya Dewi menggerakkan kaki kirinya mencuat ke depan dan sebelum kedua tangan Ki Lurah Samin mengenai sasaran, lebih dulu perutnya dihantam ujung kaki mungil Maya Dewi.
"Blegg....!" Kembali tubuh ceking itu terlempar ke belakang dan sekali ini, sambil meringis Ki Lurah Samin merangkak bangun dengan tangan kiri meraba pantat, tangan kanan menekan perut. Entah mana yang lebih nyeri, perutnya yang mulas atau pantatnya yang dua kali terbanting ke tanah itu. Dia tidak tahu bahwa kalau Maya Dewi tidak membatasi tenaganya, sudah sejak tadi dia rebah tanpa dapat bangun lagi selamanya!
"Ki Lurah Samin, kuperingatkan Andika. Sadarlah dan bertaubatlah. Kehidupan Andika akan menjadi jauh lebih baik dan bahagia!"
Akan tetapi Ki Lurah Samin yang kini menyadari bahwa wanita cantik itu sakti mandraguna dan dia maklum bahwa kalau melawan terus, dia akan celaka, segera melontarkan ancamannya.
"Maya Dewi, kau tunggu saja! aku akan kembali untuk membalas penghinaan ini!"
Setelah berkata demikian, sambil masih meraba pantat dan perut, dia lari terpincang-pincang menju kelurahan. Mbok Rondo Wiji dengan tubuh gemetar menghampiri Maya Dewi lalu berkata dengan wajah ketakutan.
"Maya Dewi.... cepat, larilah! Pergi dai sini karena... karena..."
Saking takut hatinya, Nyi Wiji menjadi gagap dan sulit bicara. "Mengapa, Bibi? Mengapa aku harus melarikan diri?"
"Ah, cepatlah Maya. Engkau tidak tahu! Ki Lurah Samin itu terkenal jahat, sewenang-wehang. Cepat pergilah!"
"Aku tidak takut, Bibi."
"Tapi... tapi... dia mempunyai dua losin anak buah yang kejam-kejam, para tukang pukul itu tidak mengenal kasihan dan akan menyiksa siapa saja yang berani menentang Ki Lurah Samin."
Maya Dewi menatap wajah Nyi Wiji dan bertanya, "Akan tetapi, Bibi, bagaimana dengan Andika sendiri? Bukankah Andika tadi diancam, akan dibakar rumahmu dan Andika sendiri akan disiksa, dicambuki? Mengapa Andika begini mengkhawatirkan aku, sedangkan dirimu sendiri terancam?"
"Ah, aku sudah tua, Maya. Aku hidup seorang diri dan miskin. Kalau mereka mau membakar gubukku, silakan. Kalau hendak menyiksa aku sampai aku mati, juga tidak mengapa! Akan tetapi engkau... ah, engkau masih muda, Maya. Tidak boleh mati sia-sia. Maka, pergilah, Nak. Cepat larilah selagi masih ada kesempatan."
Untuk ucapan Nyi Wiji itu saja rasanya Maya Dewi mau untuk membela wanita tua itu dengan taruhan nyawanya sendiri! Betapa sejuk rasa hatinya mendengar ada orang mau membelanya, memperhatikannya dan menyayangnya setelah berulang kali ia hanya menerima hinaan dan permusuhan dari orang-orang lain. Ia merangkul pundak Nyi Wiji dan mengajaknya memasuki pondok.
"Jangan khawatir, Bibi. Aku akan menghadapi mereka dan kalau mereka bersikap buruk, aku akan menghajar mereka. Sekarang lebih baik kita sarapan dan jangan ingat mereka lagi!"
Mereka berdua makan sarapan pagi. Kalau Nyi Wiji makan tidak tenang, berulang kali menoleh ke arah pintu dengan wajah ketakutan, Maya Dewi sebaliknya bersikap tenang saja dan makan dengan enak, seolah ia telah lupa akan ancaman Ki Lurah Samin tadi. Baru saja mereka seleai makan dan mencuci tangan, terdengar suara ribut-ribut di luar pondok. Nyi Wiji menggigil ketakutan.
Maya Dewi bangkit berdiri dan menjenguk ke luar. Ia melihat Ki Lurah Samin berjalan, masih agak pincang, menghampiri pondok, diikuti dua losin orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai emapat puluh tahun. Rata-rata mereka bertubuh besar dan kokoh, berwajah bengis dan dipinggang mereka tergantung sebatang kewang. Ki Lurah Samin bertolak pinggang dan berteriak dengan suara lantang, penuh kemarahan.
"Nyi Wiji....! Cepat suruh Maya Dewi keluar atau kubakar gubuk ini agar kalian berdua menjadi arang!"
Dengan tubuh menggigil Nyi Wiji masih menasihati Maya Dewi. "Maya Dewi, cepat lari... melalui pintu belakang!"
Maya Dewi tersenyum dan memegang kedua pundak janda yang ketakutan itu. "Bibi, duduklah saja di sini dan jangan keluar. Aku akan menghadapi mereka. Tenanglah!"
Setelah berkata demikian, Maya Dewi melangkah keluar dari pintu depan pondok. Langkah dan sikapnya tenang sekali dan dua losin tukang pukul itu terbelalak kagum melihat wanita cantik itu. Maklumlah mereka mengapa juragan mereka sampai mengerahkan dua losin orang untuk mendapatkan wanita ini.
"Waduh cantiknya!"
"Kalah dewi kahyangan!"
"Ini baru namanya wanita cantik!"
"Wah, sekali ini Ki Lurah memiliki pilihan yang tepat!"
Mereka menjadi ribut bicara sendiri, memuji-muji Maya Dewi dan tertawa-tawa seperti kebiasaan para pria yang kasar dan tampak kekurangajarannya kalau melihat wanita. Maya Dewi tetap tersenyum dan sabar. "Ki Lurah Samin, apa kehendak Andika datang bersama banyak kawanmu ini?" tanyanya dengan lembut.
"Maya Dewi, hayo cepat engkau berlutut, lalu engkau ikut denganku pulang ke rumahku dan menjadi selirku!"
"Hemm, bagaimana kalau aku tidak mau?" Tanya Maya Dewi.
"Tidak mau? Akan kupergunakan kekerasan! Mau atau tidak mau engkau harus ikut aku menjadi selirku!"
"Ki Lurah Samin, sudah kuperingatkan kepadamu, kejahatan akan menyeretmu kepada kehancuran dan kesengsaraan. Bertaubatlah dan kembali ke jalan kebenaran agar engkau dapat hidup tenteram bahagia." Mendengar ucapan ini, dua losin tukang pukul itu tertawa bergelak. Ki Lurah Samin menjadi marah sekali. Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah Maya Dewi dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.
"Tangkap perempuan ini!"
Dua losin orang tukang pukul yang sudah biasa memukuli, menyiksa bahkan membunuh orang itu, bersorak mendengar perintah ini. Mereka merasa gembira diberi kesempatan untuk meringkus tubuh sintal wanita cantik itu. Bagaikan sekawanan anjing berebutan tulang, dua losin orang itu sambil tertawa-tawa berlomba maju untuk menerkam dan meringkus Maya Dewi. Akan tetapi terjadi kenehan. Mereka yang lebih dulu mendekati Maya Dewi dan menerkam ke arah wanita itu, tiba-tiba terpental dan terlempar ke belakang!
Teman-teman yang lain menyusul dengan terkaman mereka, namun mereka juga terpental dan terlempar ke belakang! Ketika menubruk itu mereka merasa seolah tubuh Maya Dewi dilindungi hawa yang amat kuat, yang membuat tenaga tubrukan mereka membalik sehingga mereka terpental ke belakang. Bergantian dua puluh empat orang ini menubruk dan mereka semua berpelantingan terpental ke belakang. Itulah Aji Sari Bantala yang ia pelajari bersama Bagus Sajiwo.
Menghadapi serangan dari lawan yang tidak memiliki tenaga sakti tingkat tinggi, tanpa menggerakkan tubuhnya Maya Dewi dilindungi hawa sakti yang amat kuat sehingga para penyerangnya terpental sendiri oleh tenaga serangan mereka yang membalik! Melihat betapa orang-orangnya berpelantingan, Ki Lurah Samin marah dan penasaran, mengira bahwa anak buahnya tidak turun tangan dengan sungguh-sungguh.
"Hayo tangkap perempuan itu! Tangkap!" Ia berteriak-teriak dan melihat betapa anak buahnya bersikap ragu-ragu, dia sendiri melompat dekat memimpin anak buahnya untuk meringkus Maya Dewi.
Akan tetapi seperti juga yang lain, ketika tubuhnya sudah dekat dan kedua lengannya yang dikembangkan hendak merangkul, tiba-tiba tubuh Ki Lurah Samin terpental dan terlempar ke belakang, bahkan lebih kuat daripada yang dialami anak buahnya karena ketika menubruk dia pun menggunakan tenaga yang lebih kuat. Tenaganya itu membalik dan dia terlempar lalu terbanting jatuh, membuat dia pringisan (menyeringai) karena pantatnya yang belum sembuh betul dari bantingan tadi kini terasa semakin nyeri selah tulang-tulangnya retak!
Orang yang biasa mengagulkan diri sendiri, merasa paling berkuasa dan paling kuat, tidak pernah dapat menyadari akan kelemahan sendiri dan karenanya sukar dapat menerima dan mengakui kekalahannya. Demikian pula Ki Lurah Samin. Biasanya, kalau sudah maju mengerahkan dua losin orang tukang pukulnya, apa pun yang dikehendakinya pasti dapat diperoleh, baik dengan bujukan halus maupun dengan jalan kasar memaksakan kehendak.
Kini, melihat kekalahannya, dia tidak dapat menerimanya, bahkan kegagalan itu membuat dia menjadi pensaran dan marah sekali. Saking marahnya, dia melupakan rasa nyeri dipantatnya, bangkit dan mencabut goloknya.
"Bunuh perempuan setan ini!" teriaknya sambil mengacung-acungkan goloknya.
Semua rasa kagum tergila-gila dan cintanya kini tidak berbekas lagi, terganti oleh perasaan benci dan dendam! Didahului Ki Lurah Samin, dua puluh empat orang itu mencabut kelewang dan kini mereka menerjang kepada Maya Dewi, seolah hendak berlomba membunuh wanita yang tadi mereka kagumi itu. Maya Dewi mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka karena lurah itu tidak dapat dibujuk dan disadarkan.
Tubuhnya berkelebat dan dua puluh orang itu terkejut bukan main ketika tubuh Maya Dewi tiba-tiba lenyap dan yang tampak hanya bayangan menyambar-nyambar. Mereka mencoba menyerang bayangan ini, akan tetapi Maya Dewi telah dulu membagi-bagi tamparan sehingga para pengeroyoknya berpelantingan, mengaduh-aduh dan hanya mampu bangkit duduk, tidak kuat atau tidak berani bangkit berdiri, apalagi mengeroyok lagi. Gerakan Maya Dewi yang seolah pandai menghilang dan tamparan-tamparannya yang membuat kepala mereka serasa hampir pecah itu menyadarkan mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sakti mandraguna!
Dalam waktu singkat saja dua losin jagoan itu telah roboh semua dan hanya dapat duduk dan merintih kesakitan. Hanya tinggal Ki Lurah Samin yang belum roboh karena dia tadi memang agak menjauh ketika melihat Maya Dewi berubah menjadi bayangan yang mengamuk. Kini, melihat anak buahnya roboh semua, Ki Lurah Samin segera membalikkan tubuhnya dan melarikan diri.
Memang beginilah watak seorang pengecut. Dia biasanya bertindak keras dan kejam terhadap korbannya kalau dia memperkuat kedudukan dengan banyak anak buah. Kekejamannya itu menunjukkan bahwa sebetulnya pada lubuk hatinya terdapat rasa takut yang menghantuinya sehingga dia bertindak berlebihan untuk menyembunyikan rasa takutnya. Akan tetapi kalau dia sadar bahwa keadaannya terancam bahaya, tanpa segan atau malu lagi dia tentu akan melarikan diri!
"Ki Lurah Samin, berhenti!" Maya Dewi membentak, suaranya mengandung wibawa yang amat kuat. Wania ini sekarang tidak lagi mau menggunakan kekuatan sihir, bahkan kekuatan sihirnya telah dilepaskannya, tidak mau ia mempergunakan kekuatan sihir lagi. Akan tetapi karena ia memiliki tenaga sakti yang kuat sekali, maka ketika ia membentak dan memerintahkan berhenti, otomatis Ki Lurah Samin berhenti seolah tubuhnya ditahan kekuatan yang hebat.
"Ki Lurah Samin, Andika ke sinilah, aku mau bicara!" kembali Maya Dewi berkata dan lurah itu seperti terpesona, lalu perlahan-lahan berjalan menghampiri Maya Dewi. Akan tetapi setelah dekat, dia merasakan ketakutan hebat dan tiba-tiba dia menggerakkan goloknya menyerang Maya Dewi dengan bacokan sekuat tenaga ke arah muka wanita itu!
Maya Dewi maklum bahwa serangan ini merupakan serangan untuk membunuh dengan nekat dari seorang yang putus asa dan ketakutan. Betapa kejamnya manusia yang hati akal pikirannya sudah menjadi hamba nafsu dan segala daya upayanya ditujukan semata untuk kemenangan dan kesenangan diri sendiri tidak segan untuk melakukan kejahatan sekejam apa pun kepada orang lain!
Orang seperti ini kalau tidak dapat disadarkan, akan menjadi bahaya bagi keselamatan orang-orang lain. Ada dua cara untuk menyadarkan orang. Yang pertama adalah dengan kelemah lembutan, membuka kebodohannya sehingga dia mengerti dan sadar. Akan tetapi ada yang sudah sedemikian kuatnya nafsu menguasai dirinya sehingga perlu dilakukan cara kedua, yaitu dengan kekerasan dan hukuman sehingga dia dapat merasakan akibat yang tidak enak dari kejahatannya!
Menghadapi Ki Lurah Samin, Maya Dewi mengambil cara yang kedua karena maklum bahwa cara bujukan halus tidak akan berhasil. Ketika golok di tangan Ki Lurah Samin sudah menyambar dekat, Maya Dewi miringkan tubuhnya ke kiri, kemudian memutar tubuh, menggunakan tangan kanan untuk menangkap tangan Ki Lurah Samin yang memegang golok, mendorongnya dengan sentakan kuat sehingga golok itu membalik dan membacok ke arah telinga kirinya sendiri.
"Crakk! Aduuhhh...!" Golok terlepas dan darah muncrat dari bagian kiri kepala di mana telinganya tadi menempel. Daun telinga itu telah terbabat putus dan kini Ki Lurah Samin yang merasakan kenyerian hebat, jatuh berlutut, mengaduh-aduh sambil mendekap kepala sebelah kiri dengan kedua tangannya!
"Masih hendak kau lanjutkan pengumbaran kekuasaanmu?" Maya Dewi berkata dan sekali ini, Ki Lurah Samin benar-benar mati kutu. Semua kegarangan dan keberaniannya lenyap, terganti rasa takut yang hebat. Dua losin orang tukang pukulnya sudah roboh semua dan dia sendiri terluka parah, daun telinganya buntung dan darah mengalir deras dari lukanya.
"Ampun... hamba mohon ampun... Den Ayu....!" Ki Lurah Samin merintih ketakutan karena dia benar-benar merasa ngeri dan takut dibunuh wanita yang sakti mandraguna itu.
Tiba-tiba dengan cepat sekali jari tangan Maya Dewi bergerak dan sebelum Ki Lurah Samin tahu apa yang terjadi, jari tangan wanita perkasa itu telah menotok leher sebelah kiri di bawah telinga kiri yang terluka.
"Aduh, mati aku...!" Ki Lurah Samin berteriak dan terguling. Akan tetapi dia tidak merasa sakit dan darah yang tadi bercucuran dari lukanya kini berhenti mengalir. Dia bangkit dan berlutut sambil menyembah-nyembah. "Ampunkan hamba... jangan bunuh hamba..."
"Hemm, kalau engkau minta-minta ampun begini, apakah engkau tidak ingat kepada mereka yang pernah minta-minta ampun kepadamu? Mintalah pengampunan dari Gusti Allah dan sejak saat ini sadarlah bahwa perbuatanmu yang kejam dan jahat hanya akan mendatangkan malapetaka bagi dirimu sendiri dan sekeluargamu. Seorang lurah kepala dusun bukan diangkat untuk menindas warganya, melainkan untuk mengatur agar warganya hidup aman tenteram dan sejahtera. Aja dumeh (jangan mentang-mentang) engkau menjadi lurah lalu mengumbar hawa nafsumu, mencari kesenangan diri sendiri dengan mengorbankan dan menindas warga dusun ini. Jangan bersikap sebagai raja! Engkau hanya lurah, masih banyak atasanmu yang lebih besar kekuasaannya. Bahkan raja sekali pun tidak boleh sewenang-wenang, karena di atas raja pun masih ada kekuasaan yang jauh melebihinya, yaitu kekuasaan Gusti Allah! Semua pamong praja termasuk rajanya dapat memperoleh kedudukannya karena ada rakyatnya. Tanpa adanya rakyat, lurah seperti engkau ini, atau bahkan raja sekali pun, tidak ada artinya dan bukan apa-apa! Karena itu, kepentingan rakyat haruslah diutamakan, harus dilayani karena sesungguhnya engkau ini hanyalah pelayan rakyat!"
Ketika Maya Dewi berhenti bicara, Ki Lurah Samin kembali minta-minta ampun dan sekali ini, dua losin anak buahnya juga ramai-ramai mohon ampun dari Maya Dewi. "Aku tidak berhak mengampuni kalian. Hanya Gusti Allah yang berhak menentukan, apakah kalian dapat diampuni atau tidak. Akan tetapi ingatlah ini, Ki Lurah Samin. Kalau lain kali aku lewat di sini dan mendengar bahwa engkau masih bertindak sewenang-wenang menindas warga dusun ini, tidak menjadi lurah yang baik, bukan hanya sebelah telingamu yang buntung, akan tetapi lehermu!"
"Ampun.... Den Ayu.... !"
"Dan kalian para anak buah Ki Lurah Samin. Mulai sekarang, kalian harus benar-benar menjadi jogo-boyo yang baik, mejaga keamanan dusun ini, membela warga dan menentang kejahatan! Kalian ingat selalu, pada suatu hari aku akan lewat di sini dan aku akan bertindak keras untuk menghukum siapa di antara kalian yang masih menggunakan kekuatan untuk menindas warga dusun!"
Terdengar suara berisik dan ketika Maya Dewi menoleh, kiranya penduduk dusun itu telah berdatangan ke tempat itu, menonton dari tempat aman, agak jauh. Akan tetapi mereka semua melihat dan mendengar semua yang terjadi dan wajah mereka tampak gembira dan mereka saling bicara sendiri sambil tersenyum. Tentu saja peristiwa itu membuat semua orang lega dan gembira melihat Ki Lurah Samin dan anak buahnya yang ditakuti semua warga kini mendapat hajaran keras. Melihat semua orang berkumpul, Maya Dewi tidak ingin disanjung dan dipuji, maka sekali lagi ia membentak.
"Ki Lurah Samin dan kalian semua para jogo-boyo, aku pergi dan pada suatu saat aku pasti kembali untuk melihat apakah kalian sudah berubah baik."
Setelah berkata demikian, Maya Dewi menggunakan kepandaiannya, sekali tubuhnya berkelebat ia sudah berloncatan dan berlari cepat sekali sehingga tahu-tahu bayangannya sudah tiba jauh dari situ. Semua orang, termasuk ki Lurah samin dan anak buahnya, terkejut bukan main.
Tindakan Maya Dewi ini ternyata sangat menolong. Terjadi perubahan besar di dusun Waru. Ancaman Maya Dewi yang mengatakan bahwa sewaktu-waktu ia akan muncul kembali di dusun itu membuat Ki Lurah Samin dan anak buahnya ketakutan. Mereka benar-benar merasa jera dan sedikit terjadi perubahan pada watak dan sikap mereka. Mula-mula memang perubahan ini mereka paksakan.
Semua gejolak nafsu mereka tekan karena rasa ngeri dan takut kepada ancaman Maya Dewi. Akan tetapi setelah terbiasa bersikap baik terhadap warga dusun dan mereka mulai dapat merasakan betapa senangnya dalam suasana damai seperti itu, melihat betapa sikap baik mereka pun mendatangkan rasa suka, hormat, dan patuh kepada warga dusun, mereka mulai merasa senang dengan keadaan itu!
Memang sesungguhnya bahwa sikap baik atau buruk seseorang dapat disebabkan oleh kebiasaan dan lingkungan. Keadaan lingkungan mempengaruhi sikap orang, dan sikap ini kalau sudah terbiasa menjadi watak. Pelakunya tidak melihat kesalahan apa pun dalam sikapnya itu.
Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung , yaitu Ki Cakrasakti dan Ki Candrabaya, terpaksa melarikan diri karena Parmadi dan Muryani yang dibantu Maya Dewi, juga menculnya pasukan Pasuruan membuat anak buah mereka banyak yang roboh dan tewas. Setelah melarikan diri jauh dari tempat pertempuran tadi, diikuti oleh dua orang senopati Bali dan sisa anak buah mereka, Tejakasmala berhenti dan mengusap keringatnya. Dia merasa kecewa dan marah sekali.
Apalagi mengingat bahwa usahanya membunuh suami isteri yang menjadi penghalang bagi persekutuan Blambangan itu gagal, dan putera mereka itu pun tak dapat dia tawan. Kalau saja tadi dia dapat menawan anak laki-laki itu, tentu anak itu dapat di pergunakan sebagai sandera untuk memaksa suami isteri itu menyerah dan membantu Blambangan!
Melihat anak buahnya tinggal bersisa empat orang saja, dia lalu menyuruh mereka kembali ke Blambangan. Dia sendiri lalu berjalan seenaknya bersama Cakrasakti dan Candrabaya, disepanjang perjalanan dia cemberut dan marah-marah.
"Aku tadi melihat ada seseorang yang melarikan anak laki-laki mereka. Apakah kalian juga melihatnya?" tanya Tejakasmala kepada dua orang rekannya.
"Saya tidak melihatnya, anakmas Tejakasmala." kata Cakrasakti.
"Saya melihatnya tadi. Dia seorang laki-laki berpakaian mewah. Gerakannya cepat sekali. Jelas bahwa dia memiliki kesaktian yang tinggi." kata Candrabaya.
"Hemm, aku sendiri tidak melihat mukanya dengan jelas. Apakah engkau melihat bagaimana wajahnya, Paman?"
"Tidak jelas karena hanya sekejap, akan tetapi jelas dia seorang laki-laki berwajah tampan dan usianya sekitar empat puluh tahun."
"Hemm, siapakah dia itu? Kawan ataukah lawan? dan apa maksudnya menculik putera Parmadi?"
Tejakasmala merasa kecewa bukan main. Dia merasa tidak puas karena sejak datang ke Blambangan dan mendapat tugas, selalu saja dia mengalami kegagalan. Pertama kali, ketika menyerang Ki Tejomanik dan Retno Susilo yang dibantu Lindu Aji dan Sulastri. Dia dan kawan-kawannya mengalami kegagalan karena ketika itu muncul Bagus Sajiwo dan Maya Dewi. Dan sekarang, menyerang Parmadi dan Muryani dia juga gagal!
Yang menyakitkan hati, dia terpaksa melarikan diri dan kehilangan enam orang anak buahnya. Dia harus melarikan diri semalam suntuk dan baru pada keesokan harinya dapat melakukan perjalanan santai bersama dua orang senopati Bali setelah menyuruh empat orang sisa anak buahnya pergi dulu, kembali ke Blambangan. Hati Tejakasmala kesal sekali dan uring-uringan, ingin ia menumpahkan kemarahannya, akan tetapi kepada siapa? Tejakasmala mengepal tinju kanannya.
"Hah, kalau saja si bedebah itu tidak menculik putera Parmadi, tentu sebelum lari kita dapat meangkap dan menawannya. Jahanam keparat betul penculik anak itu! Dia mengacaukan urusan kita!"
Tiba-tiba terdengar suara dari atas. "Ho-ho! Kotor benar mulutmu! Mudah saja memaki-maki orang sebelum mengatahui duduknya perkara!"
Tiga orang itu terkejut dan memandang ke atas. dari puncak sebatang pohon trembesi yang besar dan tinggi, tampak seorang laki-laki duduk di atas cabang tertinggi yang terayun-ayun hampir tidak kuat menyangga tubuhnya. Laki-laki itu tersenyum dan kedua tangannya bergerak, menyambitkan sesuatu ke bawah. tampak sinar-sinar kecil hitam menyambar ke arah tubuh Tejakasmala. Cakrasakti dan Candrabaya.
Tejakasmala menepiskan tangannya dan beberapa buah benda kecil terpukul runtuh. Candrabaya dan Cakrasakti melakukan hal yang sama, akan tetapi mereka merasa tangan mereka yang terkena benda kecil-kecil hitam itu terasa panas. Kiranya benda-benda itu adalah biji buah trembesi yang kecil-kecil yang biasa disebut godril! "Babo-babo, keparat!"
Tejakasmala yang sedang uring-uringan itu marah sekali. Dia mengambil beberapa biji godril dari atas tanah dan melontarkannya ke atas, ke arah orang yang duduk ongkang-ongkang (kedua kaki tergantung) itu. Laki-laki itu tiba-tiba melayang turun dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong dan beberapa buah godril itu pun terpukul runtuh oleh angin pukulannya. Tubuhnya kini tiba di atas tanah dengan ringan seperti seekor burung hinggap di atas tanah saja. Tejakasmala memandang penuh perhatian.
Orang itu berusia sekitar empat puluh satu tahun, tubuhnya tinggi tegap, mukanya bulat berkulit bersih dan agak putih, sepasang matanya kebiruan dan rambutnya berombak. Sungguh seorang pria yang tampan dan pakaiannya mewah sekali.
"Ini dia jahanam yang menculik anak itu!" Ki Candrabaya berteriak dan dia sudah menyerang orang itu dari sebelah kiri dengan kerisnya yang besar dan panjang.
"Wusss....!" Serangan itu luput karena laki-laki itu telah dapat mengelak dengan gerakan ringan dan indah.
"Wirrrr... !" Keris besar panjang di tangan Ki Cakrasakti menyambar dari belakang, menusuk ke arah punggung orang itu.
Akan tetapi tubuh orang itu bergerak lincah sekali sehingga kembali tusukan keris itu luput. Dua orang senopati Bali itu merasa penasaran sekali. Mereka segera mengeroyok orang itu dengan serangan bertubi-tubi. Akan tetapi lawannya seolah sesosok bayangan yang tidak pernah dapat disentuh keris mereka. Tiba-tiba orang itu berseru.
"Lepaskan keris !" Dia membuat gerakan berputar kedua tangannya menyambar.
"Plak! Plak!" pergelangan tangan kedua orang senopati Bali yang memegang keris ditampar dan seketika terasa lumpuh sehingga keris mereka terlepas jatuh ke atas tanah. Laki-laki itu melompat ke belakang sambil tertawa.
"Ha-ha-ha!" Suara tawanya aneh sekali, seperti hanya berada di kerongkongannya sehingga terdengar menyeramkan, seperti suara tawa setan dari dalam kuburan! "Kalian berdua masih terlalu lemah untuk melawan aku!"
Mendengar ejekan ini, dua orang senopati yang merasa tangan kanan mereka sudah pulih kembali, cepat menyambar keris mereka dan siap untuk menyerang lagi.
"Tahan... !" Tiba-tiba Tejakasmala berseru dan memberi isarat kepada dua orang pembantunya untuk mundur. Dia melihat betapa orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi dan melihat kenyataan bahwa dia tidak melukai dua orang pembantunya, menjadi bukti bahwa dia bukanlah seorang musuh. Maka dia kini berdiri menghadap orang itu dan diam-diam Tejakasmala mengerahkan kekuatan sihirnya lalu berkata dengan nada memerintah.
"Ki sanak! Katakan siapa Andika dan apa maksud Andika menemui kami!"
Tejakasmala merasa yakin nahwa suaranya itu akan memepengaruhi lawan dan memaksanya dari dalam untuk menjawab sejujurnya. Akan tetapi orang itu tertawa! Suara tawanya yang khas, seperti tawa setan atau tawa seorang yang miring otaknya, bergema dan dia menjawab, logat bicaranya agak asing.
"Ha-ha-ha-ha! Andika masih muda remaja dan aku jauh lebih tua. Sudah sepantasnya kalau Andika yang lebih dulu memperkenalkan diri kepadaku!"
Tejakasmala diam-diam terkejut. Orang ini sama sekali tidak terpengaruh kekuatan sihirnya! Dia semakin yakin bahwa orang ini sakti mandraguna dan merupakan lawan yang tangguh, melihat cara dia tadi membuat keris dua orang senopati Bali itu terlepas dari pegangan. Dia lalu sengaja memperkenalkan gurunya untuk mendatangkan kesan yang membuat lawan jerih.
"Baiklah, aku bernama Tejakasmala. Murid utama dari sang Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Bali-dwipa!"
Orang itu adalah Satyabrata. Ketika dia melihat kemarin betapa Parmadi dan Muryani yang dibantu Maya Dewi menghadapi serbuan belasan orang, dia menggunakan kesempatan itu untuk menculik Joko Galing, putera Muryani. Dia lakukan itu untuk dapat memaksa Muryani ikut dengan dia menjadi isterinya karena sampai sekarang dia masih benar-benar amat mencintai Muryani.
Akan tetapi usahanya digagalkan Maya Dewi yang entah bagaimana kini berpihak kepada Parmadi dan Muryani. Joko Galing dapat terampas Maya Dewi. Usahanya gagal dan dia ingin sekali mengetahui siapa rombongan orang yang memusuhi Parmadi dan Muryani. Orang-orang itu berarti masih segolongan dengan dia, yaitu yang memusuhi para pendekar pembela Mataram.
Demikianlah, pagi hari itu dia menghadang Tejakasmala dan dua orang senopati Bali dan bersembunyi di atas pohon trembesi. Mendengar Tejakasmala memperkenalkan diri sebagai murid utama Sang bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Bali, Satyabrata tertawa lagi, tawa yang aneh itu.
"Ha-ha-ha. sudah kuduga. Kalian dari Bali! lalu mengapa kalian dari Bali berkeliaran di sini dan menyerang Parmadi dan Muryani?"
Tejakasmala mengerutkan alisnya. Dia belum yakin dengan siapa dia berhadapan, dengan kawan ataukah lawan! akan tetapi, orang ini agaknya sudah engenal Parmadi dan Muryani, mungkin juga dia itu kawan Parmadi dan kemarin dia melarikan anak parmadi justeru untuk menyelamatkan anak itu!
"Kisanak!" kata Tejakasmala dengan suara keras dan tegas. "Katakan, siapa Andika!"
"Ho-ho, belum menjawab pertanyaanku sudah berbalik bertanya! Jawab dulu pertanyaanku tadi mengapa kalian dari Bali berkeliaran di sini dan menyerang Parmadi?"
Sikap yang tidak bersahabat ini menambah kecurigaan Tejakasmala. Musuh yang berbahaya harus didahului, pikirnya. Diam-diam lalu mengerahkan tenaga saktinya, membaca mantra dan menyerang dengan Aji Bayutantra yang mengeluarkan angin dahsyat.
"Sambut seranganku!" bentaknya. Angin dahsyat itu menerjang ke arah Satyabrata dengan kekuatan hebat, menandakan bahwa aji pukulan itu memang hebat sekali.
Satyabrata adalah orang yang telah mewarisi peninggalan ilmu-ilmu aneh dan dahsyat dari mendiang Resi Ekomolo, seorang datuk jahat yang tidak waras otaknya namun yang sakti mandraguna. Begitu Tejakasmala menyerang, dia pun mengenal aji pukulan ampuh, maka dia tidak berani memandang rendah. Biarpun dia sudah menduga bahwa Tejakasmala dan dua orang itu tentu memusuhi Parmadi dan Muryani, namun dia merasa gembira bertemu tanding yang memiliki kesaktian seperti Tejakasmala.
Sebelum memperkenalkan diri dia ingin menguji dulu sampai di mana kehebatan ilmu dari pemuda Bali ini. Dia lalu mengerahkan tenaga sakti yang dihimpun dari cara bersamadhi Waringin Sungsang, dengan jungkir balik kepala di bawah dan kaki di atas. Tenaga ini dahsyat dan kuat sekali. Dia lalu menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.
"Wuuuuttt... blarrr...!" Dua orang itu sama-sama terpental ke belakang dan mereka terkejut bukan main. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa lawan mereka sekuat itu tenaga saktinya!
Akan tetapi Satyabrata menjadi semakin gembira. Hatinya senang mendapatkan seorang rekan yang demikian sakti untuk bersama-sama menentang Mataram! Maka dia lalu melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Tejakasmala menjadi marah dan dia mengelak, menangkis dan membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Terjadilah perkelahian yang amat seru.
Makin lama, pertandingan itu membuat Satyabrata semakin gembira dan bersemangat, sebaliknya membuat Tejakasmala semakin marah. Melihat Tejakasmala berkelahi lawan orang asing itu, Cakrasakti dan Candrabaya maju dan menerjang, membantu Tejakasmala melakukan pengeroyolan. Melihat tiga orang itu agaknya benar-benar menyerangnya, Satyabrata merasa sudah cukup menguji dan dia mendapatkan kenyataan betapa pemuda Bali itu memang cukup tangguh, pantas untuk diajak kerja sama. Maka dia lalu cepat melompat jauh ke belakang sambil berseru.
"Tahan...!" Akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya, terdengar ledakan.
"Dar-darr!! Satyabrata cepat membalik dan kedua tangannya bergerak cepat. Dia sudah berhasil menepiskan dua butir peluru sehingga melenceng dan tidak mengenal dirinya. Tampak tiga orang yang muncul dari balik pohon-pohon. Mereka adalah Candra Dewi, Arya Bratadewa, dan Dartoko.
Melihat Arya Bratadewa memegang dua buah pistol di kedua tangannya, ditodongkan kepadanya, siap untuk menembak, Satyabrata segera dapat menduga siapa laki-laki bermuka pucat seperti mayat itu. Sebelum meninggalkan Batavia, dia sudah mendapat penjelasan tentang para mata-mata Kumpeni Belanda yang penting dan yang baru, seorang diantaranya yang oleh Kumpeni Belanda diutus menghubungi Blambangan adalah Arya Bratadewa. Maka dia lalu berkata dengan lantang.
"Bukankah yang datang dan membawa pistol itu Arya Bratadewa?"
Mendengar ini, Arya Bratadewa maju menghampiri Satyabrata, dua moncong pitolnya masih menodong tubuh Satyabrata. "Andika siapakah dan bagaimana dapat mengetahui namaku?" Pandang mata Arya Bratadewa dengan tajam penuh selidik menatap wajah Satyabrata.
Satyabrata mengeluarkan tiga buah uang dinar emas bergambar sepasang singa dan menyingkap jubahnya sehingga tampak dua buah pistol terselip di pinggang, sebuah diantaranya pistol kecil terhias emas permata dan sederetan peluru emas tampak berderet di sabuk itu. melihat ini Arya Bratadewa terbelalak dan dia menatap tajam wajah Satyabrata, melihat sepasang mata kebiruan dan rambut berombak itu.
"Ah, sekarang saya ingat. Andika... bukankah Andika yang bernama... Raden Satyabrata?"
Satyabrata mengangguk senang. Senang dia disebut raden dan memang pihak Kumpeni, para pembesarnya, sengaja menyebut dia raden untuk mengangkatnya agar dihormati orang. Memang lucu sekali! Ayahnya seorang kulit putih bangsa Portugis bernama Henrik dan ibunya seorang wanita Jawa bukan priyayi, akan tetapi anaknya tiba-tiba saja disebut Raden! "Benar, aku Raden Satyabrata!" kata Satyabrata bangga.
"Akan tetapi... mengapa tadi Andika bertanding melawan Ki Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung? Mereka itu bukan musuh, melainkan sekutu kita. Apakah Andika belum mengetahuinya dari kapten Van Klompen yang mewakili Kumpeni ketika diadakan pertemuan di Kadipaten Blambangan?"
Setyabrata tertawa. tawanya mengejutkan semua orang karena seperti tawa iblis atau orang gila. "Hah-hah-heh-heh! Aku tahu dan aku hanya ingin menguji sampai di mana kemampuan kawan-kawan yang hendak bekerja sama menentang Mataram yang mempunyai banyak pembela yang sakti. Mari, ke sinilah, kita berkenalan."
Satyabrata menggapai, akan tetapi baik Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung, maupun Candra Dewi dan Dartoko, memandang ragu dan curiga.
"Kawan-kawan, harap jangan khawatir, Raden Satyabrata ini adalah utusan Kumpeni Belanda yang amat tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi daripada Kapten Van Klompen yang datang ke Blambangan dahulu itu. Saya sendiri harus mentaati semua perintahnya seperti yang dipesan para pejabat tinggi di Batavia."
Setelah Arya Bratadewa memperkenalkan Satyabrata, semua orang merasa lega dan segera menghampiri Satyabrata sambil menyimpan senjata masing-masing. Satyabrata mengulurkan tangan kepada Tejakasmala, mengajak bersalaman.
"Tejakasmala, aku kagum sekali padamu. engkau masih begini muda namun telah memiliki kepandaian tinggi."
"Ah, Andika terlalu memuji, Raden Satyabrata. Andikalah yang sakti mandraguna." kata Tejakasmala dengan sejujurnya karena memang harus dia akui bahwa tingkat kepandaian Satyabrata tinggi dan tenaga saktinya juga amat kuat sehingga dia sendiri tidak yakin apakah dia mampu mengalahkan utusan Kumpeni Belanda itu. "Oya, dan Nimas Ayu ini siapakah?" tiba-tiba Satyabrata memandang kepada Candra Dewi.
Kini sudah banyak terjadi perubahan pada watak Candra Dewi. Dulu, sebelum bertemu dan bergabung dengan Arya Bratadewa, wataknya amat kaku dan ganas. Kalau ada laki-laki berani memujinya seperti yang dilakukan Satyabrata, tentu ia akan langsung menyerang dan membunuhnya.
Akan tetapi sekarang ia tidak begitu ganas lagi. Ia telah berhubungan dengan banyak tokoh sakti, dan tidak dapat ia memperlihatkan keganasannya. Pula, tadi ia pun melihat betapa Satyabrata kuat menghadapi pengeroyokan Tejakasmala yang dibantu dua orang senopati Bali. Ini saja sudah membuat ia maklum bahwa kedigdayaan Satyabrata tidak akan dapat ia tandingi!
Maka, ketika ia ditanya oleh Satyabrata dengan sebutan Nimas Ayu, ia memandang pria itu dan menjawab dengan ramah.
"Perkenalkan, Raden Satyabrata, namaku Candra Dewi, belum lama saya membantu Paman Arya Bratadewa dalam persekutuan dengan Blambangan."
"Raden Satyabrata, ketahuilah bahwa Ni Candra Dewi ini seperti juga saya, berasal dari banten dan ia sudah siap membantu Kumpeni menentang Mataram."
"Wah, itu bagus sekali! Kami baru saja kehilangan seorang pembantu wanita yang telah berkhianat terhadap Kumpeni, dan kini mendapatkan penggantinya yang tidak kalah cantik dan saktinya!" Satyabrata memuji.
"Andika maksudkan Maya Dewi, Raden? Hendaknya diketahui bahwa Ni Candra Dewi ini adalah kakak tiri Maya Dewi dan tentang kesaktiannya, tentu saja ia tidak kalah dibandingkan Maya Dewi." kata Arya Bratadewa.
Tentu saja dia berbohong karena dia tahu bahwa Maya Dewi kini telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, melebihi tingkat kepandaian Candra Dewi.
"Akan tetapi, kepandaian Maya Dewi amat hebat!" tiba-tiba Tejakasmala berkata.
"Hebat? Ha-ha, jangan khawatir. Peluru emasku telah melukainya. Mungkin kini telah membunuhnya! Eh, siapa pula teman-teman yang lain ini?" Satyabrata bertanya.
"Kedua paman ini adalah Ki Cakrasakti dan Ki Candrabaya, dua orang senopati Klungkung, Bali." Tejakasmala memperkenalkan. "Dan saudara ini bernama Dartoko, murid Kyai Kasmalapati datuk Blambangan." Arya Bratadewa memperkenalkan temannya.
Tejakasmala bertanya, "Raden Satyabrata, ketika kami bertiga bertanding melawan Parmadi, Muryani yang dibantu Maya Dewi, saya melihat Andika melarikan putera Parmadi. Tawanan itu penting sekali untuk dapat memaksa suami isteri yang sakti mandraguna itu membantu Blambangan. Di manakah anak itu sekarang?"
Satyabrata menghela napas panjang, "Maya Dewi si keparat yang sudah lupa akan kebaikan sahabat lama. Ia menemui aku malam tadi, bertindak curang, memadamkan api unggun dan membawa lari anak itu. Akan tetapi aku telah menembaknya dan aku yakin tembakanku itu melukainya!"
"Akan tetapi bukankah ia kebal?" Tanya Dartoko yang sudah merasakan kedigdayaan Maya Dewi.
"Ha-ha-ha-hah, kebal? siapa yang dapat menahan peluru emasku?" Satyabrata tertawa bergelak.
"Dia benar. Peluru emas dapat menembus kekebalan." kata Arya Bratadewa.
"Raden Satyabrata, mari kita kembali ke Blambangan untuk memberi pelaporan tentang keadaan kadipaten Pasuruan dan terutama sekali untuk memperkenalkan Andika sebagai utusan Kumpeni Belanda."
"Baik, Adi Tejakasmala" kata Setyabrata yang sengaja menyebut adi kepada Tejakasmala yang berusia dua puluh lima tahun agar dia dianggap muda dan tak banyak selisih usianya dibandingkan Tejakasmala! "Memang aku mempunyai tugas menemui Adipati Blambangan dan menyerahkan surat dari Kapten Pieter Van de Cramer."
Berangkatlah tujuh orang itu menuju ke timur dan di sepanjang perjalanan tampak betapa Satyabrata mendekati Candra Dewi dan mengajaknya bergaul lebih akrab. Dia sama sekali tidak tahu bahwa sikapnya ini bahkan menimbulkan perasaan muak dalam hati Candra Dewi yang memang tidak pernah menyenangi laki-laki.
Perguruan Bromo Dadali berada di Gunng Muria. Padepokan dan pondok-pondok para muridnya merupakan sebuah perkampungan yang berada di sebuah puncak bukit yang datar. Perguruan silat Bromo Dadali ini adalah sebuah perguruan yang usianya sudah lebih dari satu abad. Sebelum meninggal dunia, Sunan Muria yang terkenal bijaksana dan juga sakti, mengajarkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid. Murid ini pun hidup sebagai seorang pertapa dan tinggal di Gunung Muria.
Dialah yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada para murid dan terbentuklah perguruan silat Bromo Dadali itu. Guru besar atau pemimpin Bromo Dadali yang sekarang bernama Ki Ageng Branjang yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun. Dia menjadi ketua Bromo Dadali sudah lebih dari tiga puluh tahun dan selama dalam pimpinannya, perguruan ini memperoleh kemajuan pesat. Muryani, isteri Parmadi, adalah seorang di antara murid-murid Ki Ageng Branjang. Bahkan ia menjadi murid terkasih dan oleh Ki Ageng Branjang ia dianggap anak sendiri sehingga menerima lebih banyak ilmu dari pada murid-murid yang lain.
Hubungan dekat inilah membuat Muryani mengambil keputusan untuk menitipkan puteranya, Joko Galing, ke perguruan Bromo Dadali agar mereka dapat membela Mataram menghadapi ancaman dari Blambangan. Kini perguruan silat Bromo Dadali sudah berkembang. Para murid yang tinggal di puncak bukit Gunung Muria bahkan ada yang sudah beranak-bini sehingga tempat itu merupakan perkampungan yang penghuninya adalah para murid Bromo Dadali bersama keluarga mereka.
Jumlah para murid hanya sekitar lima puluh orang, akan tetapi karena sebagian besar sudah berkeluarga, maka jumlah penduduknya ada seratus lima puluh orang lebih. Mereka bekerja bertani, menanam pula rempah-rempah dan tanaman obat yang dapat menghasilkan uang cukup banyak, dan ada kalanya mereka menjadi nelayan pencari ikan di Laut Utara. Kehidupan mereka sederhana namun cukup dan merasa berbahagia, tenteram dan sejahtera.
Perguruan silat Bromo Dadali terkenal sebagai pekumpulan orang gagah yang setia kepada Mataram. Walaupun tidak secara aktip membantu Mataram apabila Mataram berperang melawan musuh, namun segala bujukan dari pihak mana pun untuk ikut menentang Mataram dengan janji-janji imbalan besar, perguruan ini tetap menolak dan siap mempertahankan pendirian mereka yang setia kepada Mataram itu dengan kekerasan. Tidak pernah ada golongan penjahat yang berani mengganggu perguruan ini, bahkan dusun-dusun di sekitar daerah Gunung Muria selalu aman karena tidak ada penjahat berani mengacau daerah di mana Bromo Dadali seolah menjadi pengawalnya.
Dalam usianya yang sudah enam puluh sembilan tahun, Ki Ageng Branjang lebih suka bersamadi di dalam sanggar pamujan. Urusan perguruan dia serahkan kepada murid tertua yang bernama Sanuri, seorang laki-laki bertubuh tegap gagah dan berwajah sederhana. Sanuri berusia lima puluh tahun dan dialah yang mewakili Ki Ageng Branjang memimpin lima puluh lebih orang murid beserta keluarga mereka itu. Isterinya bernama Markonah, juga merupakan seorang murid Bromo Dadali yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Usianya tiga puluh delapan tahun dan Markonah ini yang membantu suaminya mengurus perguruan Bromo Dadali, bahkan Markonah pula yang mewakili guru mereka melatih ilmu silat Bromo Dadali untuk memperdalam tingkat para murid. Suami isteri yang kini mewakili Ki Ageng Branjang memimpin Bromo Dadali itu mempunyai seorang anak perempuan yang telah berusia dua belas tahun, bernama Niken Arum.
Sejak kecil Niken Arum terkenal sebagai anak yang cerdik sekali dan bakatnya amat baik dalam ilmu kanuragan sehingga dalam usia dua belas tahun saja ia sudah mahir mainkan gerakan dasar ilmu silat Bromo Dadali dan mulai berlatih untuk melengkapi gerakan-gerakan dasar ini dengan gerakan kembangan yang banyak ragamnya, bahkan dapat muncul gerakan kembangan baru sesuai dengan watak dan bakat si murid.
Tentu saja karena usianya baru dua belas tahun, Niken Arum belum dapat mengisi gerakannya dengan tenaga sakti. Namun ia telah memiliki gerakan yang gesit sekali, lincah dan gerakannya indah. Anehnya, anak perempuan ini selain gemar berlatih silat, ia juga suka belajar membaca, hal yang merupakan sesuatu yang aneh di jaman itu. Melihat kesukaan puterinya itu, Ki Sanuri lalu mengajarkan ilmu membaca kepada puterinya. Dan sejak kecil sudah tampak bahwa watak gadis cilik ini pendiam, serius, dan pandai membawa diri, hormat terhadap para murid Bromo Dadali yang lebih tua.
Setelah berusia dua belas tahun, mulai tampak bahwa Niken Arum akan menjadi seorang gadis yang cantik dan manis sekali. Maka, di antara para murid Bromo Dadali yang memiliki anak laki-laki berusia belasan tahun, diam-diam menaksir Niken Arum untuk dijadikan mantunya kelak setelah dewasa! Ada pula di antara mereka yang menyinggung soal ini kepada Ki Sanuri dan Nyi Markonah, akan tetapi suami isteri ini selalu mengelak dengan halus dan menyatakan bahwa belum tiba saatnya membicarakan urusan perjodohan anak mereka karena masih terlalu kecil.
Seorang di antara mereka yang ingin sekali mengambil Niken Arum sebagai mantunya adalah Ki Kiswoyo, murid Bromo Dadali yang berusia sekitar empat puluh lima tahun. Isteri Ki Kiswoyo bukan murid Bromo Dadali, melainkan seorang gadis dari dusun di kaki Gunung Muria. Setelah menikah dengan Ki Kiswoyo, ia lalu diboyong dan tinggal di perkampungan Bromo Dadali. Ki Kiswoyo hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang berusia tiga belas tahun bernama Sangkolo.
Ketika anak itu lahir dan diberi nama Sangkolo, Ki Ageng Branjang sudah mengingatkan Ki Kiswoyo bahwa nama Sangkolo itu tidak baik artinya, karena Sangkolo berarti rantai, hukuman atau siksaan. Akan tetapi Ki Kiswoyo mengatakan bahwa dia mendapatkan nama itu dalam mimpi dan dia bersikeras menamakan anaknya Sangkolo. Setelah besar anak itu memang tampak cerdik, bertubuh tegap sehat, dan wajahnya juga termasuk tampan sehingga ayah ibunya merasa bangga sekali.
Apalagi di antara para bocah di perkampungan itu, Sangkolo terkenal pemberani dan juga amat mahir bersilat Bromo Dadali, juga tenaganya besar dan dia mempunyai keberanian yang nekat sehingga dalam setiap pertandingan uji coba, dia selalu mengalahkan murid-murid kecil lainnya. Kalau Niken Arum paling menonjol di antara murid-murid kecil wanita, Sangkolo-lah murid kecil pria yang paling dijagokan!
Penolakan Ki Sanuri untuk membicarakan urusan perjodohan anak mereka, membuat Ki Kiswoyo kecewa. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mendesak kakak seperguruannya itu dan dia pun tidak putus harapan karena siapakah anak laki-laki yang lebih tampan, lebih gagah dan lebih pantas untuk kelak menjadi suami Niken Arum? Apalagi, di antara semua anak-anak yang berada di perkampungan itu, telah menjadi bahan guyonan bahwa Niken Arum adalah pacangan (calon jodoh) Sangkolo!
Bahkan bukan hanya anak-anak, orang-orang dewasa pun menganggap sudah sewajarnya kalau kedua orang anak itu kelak dijodohkan karena keduanya merupakan anak-anak yang menonjol, baik kepintaran maupun keelokan rupanya. Sanjungan dan pujian ini tentu saja mempengaruhi hati dan pikiran Sangkolo dan dia sudah menganggap bahwa Niken Arum itu "miliknya"!
Akan tetapi karena mereka berdua masih kecil, baru berusia dua belas dan tiga belas tahun, dan sikap Niken Arum pendiam dan tidak pernah melayani Sangkolo kalau pemuda remaja itu mengajak bicara akrab atau bersenda gurau, maka Sangkolo juga tidak berani bersikap kasar atau sembarangan. Hanya dia memang sengaja menonjolkan dan pamer kepada anak-anak lain bahwa Niken Arum adalah miliknya dan kelak menjadi isterinya, bahkan dia mengancam akan bertindak kasar kalau ada pemuda remaja lain yang berani "mendekati" Niken Arum!
Sikap dan watak seorang anak remaja amat dipengaruhi oleh cara mendidik dan sikap orang tuanya sendiri. Sangkolo terlalu disanjung, dibanggakan, dan dimanja orang tuanya, terutama ibunya. Ki Kiswoyo sendiri selalu membanggakan puteranya dan bersikap seolah-olah di dunia ini tidak ada anak laki-laki sebaik Sangkolo, apalagi melebihinya!
Dalam setiap persoalan, sejak Sangkolo masih kecil, orang tuanya selalu mencampuri dan membela Sangkolo mati-matian. Hal ini menumbuhkan watak dan sikap sombong dan besar kepala kepada anak remaja itu. Dia menganggap dirinya yang terhebat, terpandai, tertampan dan segala ter lainnya, apalagi dia merasa dilindungi dan didukung ayahnya yang merupakan seorang di antara murid-murid golongan tua dari perguruan Bromo Dadali.
Sebetulnya, dibalik keinginan keras Ki Kiswoyo untuk mengambil Niken Arum sebagai mantunya tersembunyi hasrat terpendam dalam hatinya terhadap Markonah, ibu Niken Arum yang juga menjadi adik seperguruannya. Dahulu, Kiswoyo menaksir Markonah. Dia jatuh cinta kepada Markonah, akan tetapi ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan karena Markonah telah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Sanuri, walaupun Ki Sanuri dua belas tahun lebih tua dari padanya.
Hal ini membuat Ki Kiswoyo kecewa dan berduka. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengganggu Sanuri yang menjadi kakak seperguruannya dan dia lalu mendahului mereka, menikah dengan seorang gadis dusun kaki Gunung Muria. Setelah dia mempunyai seorang anak laki-laki dan setahun kemudian Ki Sanuri dan Markonah memiliki seorang anak perempuan, maka timbul hasrat hatinya yang dulu tidak kesampaian pada diri Markonah. Kini dia ingin agar puteranya dapat berjodoh dengan puteri Markonah, keturunan mereka yang akan menyambung cintanya yang terputus itu!
Selama beberapa bulan akhir-akhir ini, diam-diam terjadi pergolakan di perguruan Bromo Dadali. Biarpun pergolakan ini hanya mengguncang para murid, Dan semua murid setuju agar hal ini jangan sampai terdengar oleh Ki Ageng Branjang yang sudah tua dan selalu terbenam dalam samadhinya, namun cukup meresahkan hati mereka. Yang meresahkan hati para murid Bromo Dadali itu adalah kedatangan beberapa orang utusan dari Kadipaten Blambangan yang dipimpin Ki Randujapang yang sudah mengenal Ki Ageng Branjang dengan baik.
"Andika lupa satu bumbu yang terpenting bagi masakan itu. Tanpa bumbu yang satu ini, masakan itu tidak akan enak dimakan, Ki Lurah."
"Hemm, bumbu apa itu?"
"Garam!"
"Ahh, tentu saja! Akan tetapi apa maksudmu dengan sebuah pernikahan, sebuah rumah tangga?"
"Garam itu adalah cinta kasih, Ki Lurah."
"Aiihh, kalau itu, aku sudah menyediakan segudang! Aku akan membanjirimu dengan cinta kasih dariku yang segudang banyaknya! Jangan khawatir, Nimas Maya Dewi. Aku bersumpah, aku sungguh cinta kepadamu!"
"Cinta kasih tidak mungkin menghasilkan kebahagiaan kalau hanya sepihak, Ki Lurah. Mungkin Andika mencintaku, akan tetapi sayang, aku tidak mencintamu seperti yang andika maksudkan. Aku tidak ingin menjadi isterimu. Maaf, Ki Lurah."
Wajah Ki Lurah Samin menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Alisnya berkerut dan muka yang kurus seperti tengkorak itu muram dan tampak menyeramkan. Dia menoleh kepada Mbok Rondo Wiji yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu mendengarkan, tidak berani ikut bicara.
"Nyi Wiji! Mengapa engkau diam saja seperti patung?!" Ki Lurah Samin membentak marah.
Wanita ini terkejut dan untuk dapat mengatakan sesuatu sebagai jawaban, ia lalu berkata, agak gagap. "Maaf, ki Lurah... anu... saya kira... Paduka tergesa-gesa... eh, maksud saya, nak Maya Dewi ini tentu saja malu dilamar secara tiba-tiba begini..."
Ki Lurah Samin mengangguk-angguk dan tangan kanannya bertolak pinggang, tangan kiri mengelus kumisnya yang hanya beberapa helai seperti kumis kucing.
"Hemm... malu, ya?" Dia melihat betapa wajah cantik Maya Dewi itu sama sekali tidak memperlihatkan kemarahan, bahkan wanita itu tetap tersenyum dengan muka ditundukkan. "Ya, engkau benar, Nyi Wiji! Ia malu! Nah, kalau begitu, engkau kuserahi tugas. engkau bujuklah ia sampai mau menjadi sisihanku. Kalau hal itu dapat terjadi, ganjaranmu besar. Rumah gubukmu ini akan kubangun menjadi rumah besar, lengkap dengan prabotnya. Dan akan kuhadiahi pakaian dan uang! Nah, lakukanlah. Aku menanti di Kelurahan! Nimas, aku pergi dulu. berbincang-bincanglah dengan Nyi Wiji. Aku akan mempersiapkan segalanya untukmu, Nimas."
Setelah berkata demikian, Ki Lurah Samin memutar tubuh, akan tetapi baru dua langkah dia berjalan, dia berhenti dan memutar tubuh kambali, menghadapi Mbok Rondo Wiji. "Ingat, Nyi Wiji. Kalau engkau gagal membujuknya, akan kubakar gubukmu ini dan engkau akan dihukum rangket dengan lima puluh kali cambukan!"
Setelah berkata dengan nada penuh ancaman yang membuat Nyi Wiji seketika pucat dan tubuhnya gemetaran itu, Ki Lurah Samin kembali memutar tubuhnya pergi dari situ. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba pundaknya ditepuk orang dari belakang dan suara merdu Maya Dewi terdengar.
"Tunggu dulu, Ki Lurah!" Ki Lurah Samin memutar tubuhnya dan wajahnya yang seperti tengkorak itu berseri ketika melihat siapa yang tadi menyentuh pundaknya. Maya Dewi yang secantik bidadari baginya itulah yang menyentuh pundaknya!
"Aduh, manisku! Engkau mau ikut denganku sekarang juga?" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya seperti hendak merangkul.
Akan tetapi kini senyuman telah menghilang dari wajah ayu itu. Mulut Maya Dewi membentuk garis yang tegas dan sepasang matanya memandang dengan kilatan tajam menembus, suaranya juga terdengar mengandung teguran.
"Ki Lurah Samin, ingatlah bahwa rencana perbuatanmu ini jahat dan menyimpang dari kebenaran yang akhirnya akan menyeretmu ke dalam jurang kesengsaraan."
"Apa... ??" Ki Lurah terbelalak memandang Maya Dewi, lalu dia tertawa bergelak. Wajahnya yang seperti tengkorak itu menjadi semakin mengerikan ketika dia tertawa terbahak-bahak seperti itu.
"Ha-ha-he-he-hah....!" Aku, lurah di dusun ini, orang yang paling berkuasa di seluruh desa. Kalau aku hendak mengambil seorang wanita sebagai selirku, apakah salahnya? Itu tidak menyimpang dari kebenaran dan tak seorang pun di dusun ini boleh melarangku!"
"Ki Lurah, bagi seorang laki-laki hendak mengambil seorang wanita sebagai selir, barulah hal itu dianggap benar kalau si wanita bersedia dan dengan suka rela mau menjadi selirnya. Akan tetapi engkau hendak memaksakan kehendakmu, itulah kesalahanmu yang pertama. Kemudian, kesalahanmu yang kedua, yang tidak kalah jahatnya, engkau memaksa Bibi Wiji membujukku dengan ancaman, kalau gagal engkau akan membakar rumahnya dan menghukumnya dengan siksaan cambuk. Kalau di dusun ini tidak ada orang yang berani melarangmu melakukan kekejian itu, akulah yang melarangmu, Ki Lurah!" Ki Lurah Samin membelalakkan matanya.
"Engkau? Engkau berani melarang aku? Ha-ha-ha, kalau begitu sekarang juga engkau akan kuboyong ke rumahku, coba, engkau hendak melarang dengan cara bagaimana? Mari kupondong engkau, manis!"
Ternyata Ki Lurah Samin yang kurus kering itu, dapat bergerak dengan sigap juga. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga kuat ketika tiba-tiba dia menerkam ke depan, ke arah Maya Dewi bagaikan seekor harimau menubruk domba. Maksudnya, sekali terkam dia akan merangkul dan memondong tubuh yang sintal itu lalu membawanya pulang kerumahnya.
Dia yakin tidak akan ada seorang pun yang berani mencegah atau menghalangi karena selain dia dianggap sebagai orang yang digdaya, juga dia mempunyai pasukan jaga baya yang namanya saja disebut penjaga keamanan akan tetapi ulah dua losin anggauta pasukan keamanan ini sebaliknya malah perusak keamanan karena mereka menindas rakyat dengan perbuatan sewenang-wenang!
Kalau pemimpinnya buruk watak, bagaimana mungkin anak buahnya dapat berwatak baik? Maya Dewi tidak marah, hal ini memang akan mengherankan semua orang yang dulu pernah mengenalnya. dulu, sebelum Maya Dewi bertemu dengan bagus sajiwo, kalau ada laki-laki bersikap seperti Ki Lurah Samin, jangan harap dapat lolos dari tangnnya yang kejam. Sekarang marah pun ia tidak biarpun ulah Ki Lurah Samin itu amat merendahkan dan menghinya. dalam hati Maya Dewi telah terukir banyak hal yang pernah diucapkan.
"Mengampuni kesalahan orang lain kepada kita merupakan jalan satu-satunya agar kita mendapat ampunan dari Gusti Allah."
Suara hati sanubari ini melenyapkan kemarahan dan dendam. Maya Dewi selalu ingat akan semua dosanya yang pernah ia lakukan. Kejahatan Ki Lurah Samin ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan semua kejahatan yang pernah ia lakukan. Kalau kejahatan Ki Lurah Samin yang demikian kecilnya saja ia tidak mampu memaafkannya, lalu bagaimana mungkin ia menghendaki pengampunan dari Gusti Allah atas dosa-dosanya yang jauh lebih banyak dan lebih jahat?
Maka, Maya Dewi membatasi tenaganya ketika ia mengebutkan tangan kirinya ke arah penyerangnya, seperti orang mengusir lalat dengan kibasan tangannya. Akan tetapi akibatnya cukup hebat bagi Ki Lurah Samin. Ketika dia tadi menerkam dan tidak melihat Maya Dewi mengelak, dia senang sekali, seolah sudah dapat merangkul dan merasa betapa tubuh yang denok lembut hangat itu meronta-ronta dalam pelukannya ketika dia pondong. Akan tetapi tiba-tiba Maya Dewi mengibaskan tangan kirinya dan Ki Lurah Samin berteriak kaget. Tubuhnya seperti sehelai daun kering terbawa angin!
Dia tidak mampu mempertahankan diri dan terlempar sejauh dua tombak dan terbanting ke atas tanah. Terdengar suara berdebuk disusul bunyi ngek ketika pantat yang tak berdaging itu terbanting ke tanah dan debu mengebul. Marahlah Ki Lurah Samin. Selama bertahun-tahun menjadi Lurah, tidak pernah ada orang yang berani menentangnya dan kini wanita muda cantik itu telah membuat dia malu dan pantatnya tersa nyeri. Terseok-seok dia bangkit dan menghampiri Maya Dewi.
"Berani engkau melawan aku?" bentaknya dan biarpun pantatnya masih nyeri sekali, karena marah, dia memaksa diri menerjang maju dengan tangan kanan menampar kepala Maya Dewi, tangan kiri mencengkeram ke arah dada yang montok itu. Maya Dewi menggerakkan kaki kirinya mencuat ke depan dan sebelum kedua tangan Ki Lurah Samin mengenai sasaran, lebih dulu perutnya dihantam ujung kaki mungil Maya Dewi.
"Blegg....!" Kembali tubuh ceking itu terlempar ke belakang dan sekali ini, sambil meringis Ki Lurah Samin merangkak bangun dengan tangan kiri meraba pantat, tangan kanan menekan perut. Entah mana yang lebih nyeri, perutnya yang mulas atau pantatnya yang dua kali terbanting ke tanah itu. Dia tidak tahu bahwa kalau Maya Dewi tidak membatasi tenaganya, sudah sejak tadi dia rebah tanpa dapat bangun lagi selamanya!
"Ki Lurah Samin, kuperingatkan Andika. Sadarlah dan bertaubatlah. Kehidupan Andika akan menjadi jauh lebih baik dan bahagia!"
Akan tetapi Ki Lurah Samin yang kini menyadari bahwa wanita cantik itu sakti mandraguna dan dia maklum bahwa kalau melawan terus, dia akan celaka, segera melontarkan ancamannya.
"Maya Dewi, kau tunggu saja! aku akan kembali untuk membalas penghinaan ini!"
Setelah berkata demikian, sambil masih meraba pantat dan perut, dia lari terpincang-pincang menju kelurahan. Mbok Rondo Wiji dengan tubuh gemetar menghampiri Maya Dewi lalu berkata dengan wajah ketakutan.
"Maya Dewi.... cepat, larilah! Pergi dai sini karena... karena..."
Saking takut hatinya, Nyi Wiji menjadi gagap dan sulit bicara. "Mengapa, Bibi? Mengapa aku harus melarikan diri?"
"Ah, cepatlah Maya. Engkau tidak tahu! Ki Lurah Samin itu terkenal jahat, sewenang-wehang. Cepat pergilah!"
"Aku tidak takut, Bibi."
"Tapi... tapi... dia mempunyai dua losin anak buah yang kejam-kejam, para tukang pukul itu tidak mengenal kasihan dan akan menyiksa siapa saja yang berani menentang Ki Lurah Samin."
Maya Dewi menatap wajah Nyi Wiji dan bertanya, "Akan tetapi, Bibi, bagaimana dengan Andika sendiri? Bukankah Andika tadi diancam, akan dibakar rumahmu dan Andika sendiri akan disiksa, dicambuki? Mengapa Andika begini mengkhawatirkan aku, sedangkan dirimu sendiri terancam?"
"Ah, aku sudah tua, Maya. Aku hidup seorang diri dan miskin. Kalau mereka mau membakar gubukku, silakan. Kalau hendak menyiksa aku sampai aku mati, juga tidak mengapa! Akan tetapi engkau... ah, engkau masih muda, Maya. Tidak boleh mati sia-sia. Maka, pergilah, Nak. Cepat larilah selagi masih ada kesempatan."
Untuk ucapan Nyi Wiji itu saja rasanya Maya Dewi mau untuk membela wanita tua itu dengan taruhan nyawanya sendiri! Betapa sejuk rasa hatinya mendengar ada orang mau membelanya, memperhatikannya dan menyayangnya setelah berulang kali ia hanya menerima hinaan dan permusuhan dari orang-orang lain. Ia merangkul pundak Nyi Wiji dan mengajaknya memasuki pondok.
"Jangan khawatir, Bibi. Aku akan menghadapi mereka dan kalau mereka bersikap buruk, aku akan menghajar mereka. Sekarang lebih baik kita sarapan dan jangan ingat mereka lagi!"
Mereka berdua makan sarapan pagi. Kalau Nyi Wiji makan tidak tenang, berulang kali menoleh ke arah pintu dengan wajah ketakutan, Maya Dewi sebaliknya bersikap tenang saja dan makan dengan enak, seolah ia telah lupa akan ancaman Ki Lurah Samin tadi. Baru saja mereka seleai makan dan mencuci tangan, terdengar suara ribut-ribut di luar pondok. Nyi Wiji menggigil ketakutan.
Maya Dewi bangkit berdiri dan menjenguk ke luar. Ia melihat Ki Lurah Samin berjalan, masih agak pincang, menghampiri pondok, diikuti dua losin orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai emapat puluh tahun. Rata-rata mereka bertubuh besar dan kokoh, berwajah bengis dan dipinggang mereka tergantung sebatang kewang. Ki Lurah Samin bertolak pinggang dan berteriak dengan suara lantang, penuh kemarahan.
"Nyi Wiji....! Cepat suruh Maya Dewi keluar atau kubakar gubuk ini agar kalian berdua menjadi arang!"
Dengan tubuh menggigil Nyi Wiji masih menasihati Maya Dewi. "Maya Dewi, cepat lari... melalui pintu belakang!"
Maya Dewi tersenyum dan memegang kedua pundak janda yang ketakutan itu. "Bibi, duduklah saja di sini dan jangan keluar. Aku akan menghadapi mereka. Tenanglah!"
Setelah berkata demikian, Maya Dewi melangkah keluar dari pintu depan pondok. Langkah dan sikapnya tenang sekali dan dua losin tukang pukul itu terbelalak kagum melihat wanita cantik itu. Maklumlah mereka mengapa juragan mereka sampai mengerahkan dua losin orang untuk mendapatkan wanita ini.
"Waduh cantiknya!"
"Kalah dewi kahyangan!"
"Ini baru namanya wanita cantik!"
"Wah, sekali ini Ki Lurah memiliki pilihan yang tepat!"
Mereka menjadi ribut bicara sendiri, memuji-muji Maya Dewi dan tertawa-tawa seperti kebiasaan para pria yang kasar dan tampak kekurangajarannya kalau melihat wanita. Maya Dewi tetap tersenyum dan sabar. "Ki Lurah Samin, apa kehendak Andika datang bersama banyak kawanmu ini?" tanyanya dengan lembut.
"Maya Dewi, hayo cepat engkau berlutut, lalu engkau ikut denganku pulang ke rumahku dan menjadi selirku!"
"Hemm, bagaimana kalau aku tidak mau?" Tanya Maya Dewi.
"Tidak mau? Akan kupergunakan kekerasan! Mau atau tidak mau engkau harus ikut aku menjadi selirku!"
"Ki Lurah Samin, sudah kuperingatkan kepadamu, kejahatan akan menyeretmu kepada kehancuran dan kesengsaraan. Bertaubatlah dan kembali ke jalan kebenaran agar engkau dapat hidup tenteram bahagia." Mendengar ucapan ini, dua losin tukang pukul itu tertawa bergelak. Ki Lurah Samin menjadi marah sekali. Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah Maya Dewi dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.
"Tangkap perempuan ini!"
Dua losin orang tukang pukul yang sudah biasa memukuli, menyiksa bahkan membunuh orang itu, bersorak mendengar perintah ini. Mereka merasa gembira diberi kesempatan untuk meringkus tubuh sintal wanita cantik itu. Bagaikan sekawanan anjing berebutan tulang, dua losin orang itu sambil tertawa-tawa berlomba maju untuk menerkam dan meringkus Maya Dewi. Akan tetapi terjadi kenehan. Mereka yang lebih dulu mendekati Maya Dewi dan menerkam ke arah wanita itu, tiba-tiba terpental dan terlempar ke belakang!
Teman-teman yang lain menyusul dengan terkaman mereka, namun mereka juga terpental dan terlempar ke belakang! Ketika menubruk itu mereka merasa seolah tubuh Maya Dewi dilindungi hawa yang amat kuat, yang membuat tenaga tubrukan mereka membalik sehingga mereka terpental ke belakang. Bergantian dua puluh empat orang ini menubruk dan mereka semua berpelantingan terpental ke belakang. Itulah Aji Sari Bantala yang ia pelajari bersama Bagus Sajiwo.
Menghadapi serangan dari lawan yang tidak memiliki tenaga sakti tingkat tinggi, tanpa menggerakkan tubuhnya Maya Dewi dilindungi hawa sakti yang amat kuat sehingga para penyerangnya terpental sendiri oleh tenaga serangan mereka yang membalik! Melihat betapa orang-orangnya berpelantingan, Ki Lurah Samin marah dan penasaran, mengira bahwa anak buahnya tidak turun tangan dengan sungguh-sungguh.
"Hayo tangkap perempuan itu! Tangkap!" Ia berteriak-teriak dan melihat betapa anak buahnya bersikap ragu-ragu, dia sendiri melompat dekat memimpin anak buahnya untuk meringkus Maya Dewi.
Akan tetapi seperti juga yang lain, ketika tubuhnya sudah dekat dan kedua lengannya yang dikembangkan hendak merangkul, tiba-tiba tubuh Ki Lurah Samin terpental dan terlempar ke belakang, bahkan lebih kuat daripada yang dialami anak buahnya karena ketika menubruk dia pun menggunakan tenaga yang lebih kuat. Tenaganya itu membalik dan dia terlempar lalu terbanting jatuh, membuat dia pringisan (menyeringai) karena pantatnya yang belum sembuh betul dari bantingan tadi kini terasa semakin nyeri selah tulang-tulangnya retak!
Orang yang biasa mengagulkan diri sendiri, merasa paling berkuasa dan paling kuat, tidak pernah dapat menyadari akan kelemahan sendiri dan karenanya sukar dapat menerima dan mengakui kekalahannya. Demikian pula Ki Lurah Samin. Biasanya, kalau sudah maju mengerahkan dua losin orang tukang pukulnya, apa pun yang dikehendakinya pasti dapat diperoleh, baik dengan bujukan halus maupun dengan jalan kasar memaksakan kehendak.
Kini, melihat kekalahannya, dia tidak dapat menerimanya, bahkan kegagalan itu membuat dia menjadi pensaran dan marah sekali. Saking marahnya, dia melupakan rasa nyeri dipantatnya, bangkit dan mencabut goloknya.
"Bunuh perempuan setan ini!" teriaknya sambil mengacung-acungkan goloknya.
Semua rasa kagum tergila-gila dan cintanya kini tidak berbekas lagi, terganti oleh perasaan benci dan dendam! Didahului Ki Lurah Samin, dua puluh empat orang itu mencabut kelewang dan kini mereka menerjang kepada Maya Dewi, seolah hendak berlomba membunuh wanita yang tadi mereka kagumi itu. Maya Dewi mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka karena lurah itu tidak dapat dibujuk dan disadarkan.
Tubuhnya berkelebat dan dua puluh orang itu terkejut bukan main ketika tubuh Maya Dewi tiba-tiba lenyap dan yang tampak hanya bayangan menyambar-nyambar. Mereka mencoba menyerang bayangan ini, akan tetapi Maya Dewi telah dulu membagi-bagi tamparan sehingga para pengeroyoknya berpelantingan, mengaduh-aduh dan hanya mampu bangkit duduk, tidak kuat atau tidak berani bangkit berdiri, apalagi mengeroyok lagi. Gerakan Maya Dewi yang seolah pandai menghilang dan tamparan-tamparannya yang membuat kepala mereka serasa hampir pecah itu menyadarkan mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sakti mandraguna!
Dalam waktu singkat saja dua losin jagoan itu telah roboh semua dan hanya dapat duduk dan merintih kesakitan. Hanya tinggal Ki Lurah Samin yang belum roboh karena dia tadi memang agak menjauh ketika melihat Maya Dewi berubah menjadi bayangan yang mengamuk. Kini, melihat anak buahnya roboh semua, Ki Lurah Samin segera membalikkan tubuhnya dan melarikan diri.
Memang beginilah watak seorang pengecut. Dia biasanya bertindak keras dan kejam terhadap korbannya kalau dia memperkuat kedudukan dengan banyak anak buah. Kekejamannya itu menunjukkan bahwa sebetulnya pada lubuk hatinya terdapat rasa takut yang menghantuinya sehingga dia bertindak berlebihan untuk menyembunyikan rasa takutnya. Akan tetapi kalau dia sadar bahwa keadaannya terancam bahaya, tanpa segan atau malu lagi dia tentu akan melarikan diri!
"Ki Lurah Samin, berhenti!" Maya Dewi membentak, suaranya mengandung wibawa yang amat kuat. Wania ini sekarang tidak lagi mau menggunakan kekuatan sihir, bahkan kekuatan sihirnya telah dilepaskannya, tidak mau ia mempergunakan kekuatan sihir lagi. Akan tetapi karena ia memiliki tenaga sakti yang kuat sekali, maka ketika ia membentak dan memerintahkan berhenti, otomatis Ki Lurah Samin berhenti seolah tubuhnya ditahan kekuatan yang hebat.
"Ki Lurah Samin, Andika ke sinilah, aku mau bicara!" kembali Maya Dewi berkata dan lurah itu seperti terpesona, lalu perlahan-lahan berjalan menghampiri Maya Dewi. Akan tetapi setelah dekat, dia merasakan ketakutan hebat dan tiba-tiba dia menggerakkan goloknya menyerang Maya Dewi dengan bacokan sekuat tenaga ke arah muka wanita itu!
Maya Dewi maklum bahwa serangan ini merupakan serangan untuk membunuh dengan nekat dari seorang yang putus asa dan ketakutan. Betapa kejamnya manusia yang hati akal pikirannya sudah menjadi hamba nafsu dan segala daya upayanya ditujukan semata untuk kemenangan dan kesenangan diri sendiri tidak segan untuk melakukan kejahatan sekejam apa pun kepada orang lain!
Orang seperti ini kalau tidak dapat disadarkan, akan menjadi bahaya bagi keselamatan orang-orang lain. Ada dua cara untuk menyadarkan orang. Yang pertama adalah dengan kelemah lembutan, membuka kebodohannya sehingga dia mengerti dan sadar. Akan tetapi ada yang sudah sedemikian kuatnya nafsu menguasai dirinya sehingga perlu dilakukan cara kedua, yaitu dengan kekerasan dan hukuman sehingga dia dapat merasakan akibat yang tidak enak dari kejahatannya!
Menghadapi Ki Lurah Samin, Maya Dewi mengambil cara yang kedua karena maklum bahwa cara bujukan halus tidak akan berhasil. Ketika golok di tangan Ki Lurah Samin sudah menyambar dekat, Maya Dewi miringkan tubuhnya ke kiri, kemudian memutar tubuh, menggunakan tangan kanan untuk menangkap tangan Ki Lurah Samin yang memegang golok, mendorongnya dengan sentakan kuat sehingga golok itu membalik dan membacok ke arah telinga kirinya sendiri.
"Crakk! Aduuhhh...!" Golok terlepas dan darah muncrat dari bagian kiri kepala di mana telinganya tadi menempel. Daun telinga itu telah terbabat putus dan kini Ki Lurah Samin yang merasakan kenyerian hebat, jatuh berlutut, mengaduh-aduh sambil mendekap kepala sebelah kiri dengan kedua tangannya!
"Masih hendak kau lanjutkan pengumbaran kekuasaanmu?" Maya Dewi berkata dan sekali ini, Ki Lurah Samin benar-benar mati kutu. Semua kegarangan dan keberaniannya lenyap, terganti rasa takut yang hebat. Dua losin orang tukang pukulnya sudah roboh semua dan dia sendiri terluka parah, daun telinganya buntung dan darah mengalir deras dari lukanya.
"Ampun... hamba mohon ampun... Den Ayu....!" Ki Lurah Samin merintih ketakutan karena dia benar-benar merasa ngeri dan takut dibunuh wanita yang sakti mandraguna itu.
Tiba-tiba dengan cepat sekali jari tangan Maya Dewi bergerak dan sebelum Ki Lurah Samin tahu apa yang terjadi, jari tangan wanita perkasa itu telah menotok leher sebelah kiri di bawah telinga kiri yang terluka.
"Aduh, mati aku...!" Ki Lurah Samin berteriak dan terguling. Akan tetapi dia tidak merasa sakit dan darah yang tadi bercucuran dari lukanya kini berhenti mengalir. Dia bangkit dan berlutut sambil menyembah-nyembah. "Ampunkan hamba... jangan bunuh hamba..."
"Hemm, kalau engkau minta-minta ampun begini, apakah engkau tidak ingat kepada mereka yang pernah minta-minta ampun kepadamu? Mintalah pengampunan dari Gusti Allah dan sejak saat ini sadarlah bahwa perbuatanmu yang kejam dan jahat hanya akan mendatangkan malapetaka bagi dirimu sendiri dan sekeluargamu. Seorang lurah kepala dusun bukan diangkat untuk menindas warganya, melainkan untuk mengatur agar warganya hidup aman tenteram dan sejahtera. Aja dumeh (jangan mentang-mentang) engkau menjadi lurah lalu mengumbar hawa nafsumu, mencari kesenangan diri sendiri dengan mengorbankan dan menindas warga dusun ini. Jangan bersikap sebagai raja! Engkau hanya lurah, masih banyak atasanmu yang lebih besar kekuasaannya. Bahkan raja sekali pun tidak boleh sewenang-wenang, karena di atas raja pun masih ada kekuasaan yang jauh melebihinya, yaitu kekuasaan Gusti Allah! Semua pamong praja termasuk rajanya dapat memperoleh kedudukannya karena ada rakyatnya. Tanpa adanya rakyat, lurah seperti engkau ini, atau bahkan raja sekali pun, tidak ada artinya dan bukan apa-apa! Karena itu, kepentingan rakyat haruslah diutamakan, harus dilayani karena sesungguhnya engkau ini hanyalah pelayan rakyat!"
Ketika Maya Dewi berhenti bicara, Ki Lurah Samin kembali minta-minta ampun dan sekali ini, dua losin anak buahnya juga ramai-ramai mohon ampun dari Maya Dewi. "Aku tidak berhak mengampuni kalian. Hanya Gusti Allah yang berhak menentukan, apakah kalian dapat diampuni atau tidak. Akan tetapi ingatlah ini, Ki Lurah Samin. Kalau lain kali aku lewat di sini dan mendengar bahwa engkau masih bertindak sewenang-wenang menindas warga dusun ini, tidak menjadi lurah yang baik, bukan hanya sebelah telingamu yang buntung, akan tetapi lehermu!"
"Ampun.... Den Ayu.... !"
"Dan kalian para anak buah Ki Lurah Samin. Mulai sekarang, kalian harus benar-benar menjadi jogo-boyo yang baik, mejaga keamanan dusun ini, membela warga dan menentang kejahatan! Kalian ingat selalu, pada suatu hari aku akan lewat di sini dan aku akan bertindak keras untuk menghukum siapa di antara kalian yang masih menggunakan kekuatan untuk menindas warga dusun!"
Terdengar suara berisik dan ketika Maya Dewi menoleh, kiranya penduduk dusun itu telah berdatangan ke tempat itu, menonton dari tempat aman, agak jauh. Akan tetapi mereka semua melihat dan mendengar semua yang terjadi dan wajah mereka tampak gembira dan mereka saling bicara sendiri sambil tersenyum. Tentu saja peristiwa itu membuat semua orang lega dan gembira melihat Ki Lurah Samin dan anak buahnya yang ditakuti semua warga kini mendapat hajaran keras. Melihat semua orang berkumpul, Maya Dewi tidak ingin disanjung dan dipuji, maka sekali lagi ia membentak.
"Ki Lurah Samin dan kalian semua para jogo-boyo, aku pergi dan pada suatu saat aku pasti kembali untuk melihat apakah kalian sudah berubah baik."
Setelah berkata demikian, Maya Dewi menggunakan kepandaiannya, sekali tubuhnya berkelebat ia sudah berloncatan dan berlari cepat sekali sehingga tahu-tahu bayangannya sudah tiba jauh dari situ. Semua orang, termasuk ki Lurah samin dan anak buahnya, terkejut bukan main.
Tindakan Maya Dewi ini ternyata sangat menolong. Terjadi perubahan besar di dusun Waru. Ancaman Maya Dewi yang mengatakan bahwa sewaktu-waktu ia akan muncul kembali di dusun itu membuat Ki Lurah Samin dan anak buahnya ketakutan. Mereka benar-benar merasa jera dan sedikit terjadi perubahan pada watak dan sikap mereka. Mula-mula memang perubahan ini mereka paksakan.
Semua gejolak nafsu mereka tekan karena rasa ngeri dan takut kepada ancaman Maya Dewi. Akan tetapi setelah terbiasa bersikap baik terhadap warga dusun dan mereka mulai dapat merasakan betapa senangnya dalam suasana damai seperti itu, melihat betapa sikap baik mereka pun mendatangkan rasa suka, hormat, dan patuh kepada warga dusun, mereka mulai merasa senang dengan keadaan itu!
Memang sesungguhnya bahwa sikap baik atau buruk seseorang dapat disebabkan oleh kebiasaan dan lingkungan. Keadaan lingkungan mempengaruhi sikap orang, dan sikap ini kalau sudah terbiasa menjadi watak. Pelakunya tidak melihat kesalahan apa pun dalam sikapnya itu.
********************
Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung , yaitu Ki Cakrasakti dan Ki Candrabaya, terpaksa melarikan diri karena Parmadi dan Muryani yang dibantu Maya Dewi, juga menculnya pasukan Pasuruan membuat anak buah mereka banyak yang roboh dan tewas. Setelah melarikan diri jauh dari tempat pertempuran tadi, diikuti oleh dua orang senopati Bali dan sisa anak buah mereka, Tejakasmala berhenti dan mengusap keringatnya. Dia merasa kecewa dan marah sekali.
Apalagi mengingat bahwa usahanya membunuh suami isteri yang menjadi penghalang bagi persekutuan Blambangan itu gagal, dan putera mereka itu pun tak dapat dia tawan. Kalau saja tadi dia dapat menawan anak laki-laki itu, tentu anak itu dapat di pergunakan sebagai sandera untuk memaksa suami isteri itu menyerah dan membantu Blambangan!
Melihat anak buahnya tinggal bersisa empat orang saja, dia lalu menyuruh mereka kembali ke Blambangan. Dia sendiri lalu berjalan seenaknya bersama Cakrasakti dan Candrabaya, disepanjang perjalanan dia cemberut dan marah-marah.
"Aku tadi melihat ada seseorang yang melarikan anak laki-laki mereka. Apakah kalian juga melihatnya?" tanya Tejakasmala kepada dua orang rekannya.
"Saya tidak melihatnya, anakmas Tejakasmala." kata Cakrasakti.
"Saya melihatnya tadi. Dia seorang laki-laki berpakaian mewah. Gerakannya cepat sekali. Jelas bahwa dia memiliki kesaktian yang tinggi." kata Candrabaya.
"Hemm, aku sendiri tidak melihat mukanya dengan jelas. Apakah engkau melihat bagaimana wajahnya, Paman?"
"Tidak jelas karena hanya sekejap, akan tetapi jelas dia seorang laki-laki berwajah tampan dan usianya sekitar empat puluh tahun."
"Hemm, siapakah dia itu? Kawan ataukah lawan? dan apa maksudnya menculik putera Parmadi?"
Tejakasmala merasa kecewa bukan main. Dia merasa tidak puas karena sejak datang ke Blambangan dan mendapat tugas, selalu saja dia mengalami kegagalan. Pertama kali, ketika menyerang Ki Tejomanik dan Retno Susilo yang dibantu Lindu Aji dan Sulastri. Dia dan kawan-kawannya mengalami kegagalan karena ketika itu muncul Bagus Sajiwo dan Maya Dewi. Dan sekarang, menyerang Parmadi dan Muryani dia juga gagal!
Yang menyakitkan hati, dia terpaksa melarikan diri dan kehilangan enam orang anak buahnya. Dia harus melarikan diri semalam suntuk dan baru pada keesokan harinya dapat melakukan perjalanan santai bersama dua orang senopati Bali setelah menyuruh empat orang sisa anak buahnya pergi dulu, kembali ke Blambangan. Hati Tejakasmala kesal sekali dan uring-uringan, ingin ia menumpahkan kemarahannya, akan tetapi kepada siapa? Tejakasmala mengepal tinju kanannya.
"Hah, kalau saja si bedebah itu tidak menculik putera Parmadi, tentu sebelum lari kita dapat meangkap dan menawannya. Jahanam keparat betul penculik anak itu! Dia mengacaukan urusan kita!"
Tiba-tiba terdengar suara dari atas. "Ho-ho! Kotor benar mulutmu! Mudah saja memaki-maki orang sebelum mengatahui duduknya perkara!"
Tiga orang itu terkejut dan memandang ke atas. dari puncak sebatang pohon trembesi yang besar dan tinggi, tampak seorang laki-laki duduk di atas cabang tertinggi yang terayun-ayun hampir tidak kuat menyangga tubuhnya. Laki-laki itu tersenyum dan kedua tangannya bergerak, menyambitkan sesuatu ke bawah. tampak sinar-sinar kecil hitam menyambar ke arah tubuh Tejakasmala. Cakrasakti dan Candrabaya.
Tejakasmala menepiskan tangannya dan beberapa buah benda kecil terpukul runtuh. Candrabaya dan Cakrasakti melakukan hal yang sama, akan tetapi mereka merasa tangan mereka yang terkena benda kecil-kecil hitam itu terasa panas. Kiranya benda-benda itu adalah biji buah trembesi yang kecil-kecil yang biasa disebut godril! "Babo-babo, keparat!"
Tejakasmala yang sedang uring-uringan itu marah sekali. Dia mengambil beberapa biji godril dari atas tanah dan melontarkannya ke atas, ke arah orang yang duduk ongkang-ongkang (kedua kaki tergantung) itu. Laki-laki itu tiba-tiba melayang turun dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong dan beberapa buah godril itu pun terpukul runtuh oleh angin pukulannya. Tubuhnya kini tiba di atas tanah dengan ringan seperti seekor burung hinggap di atas tanah saja. Tejakasmala memandang penuh perhatian.
Orang itu berusia sekitar empat puluh satu tahun, tubuhnya tinggi tegap, mukanya bulat berkulit bersih dan agak putih, sepasang matanya kebiruan dan rambutnya berombak. Sungguh seorang pria yang tampan dan pakaiannya mewah sekali.
"Ini dia jahanam yang menculik anak itu!" Ki Candrabaya berteriak dan dia sudah menyerang orang itu dari sebelah kiri dengan kerisnya yang besar dan panjang.
"Wusss....!" Serangan itu luput karena laki-laki itu telah dapat mengelak dengan gerakan ringan dan indah.
"Wirrrr... !" Keris besar panjang di tangan Ki Cakrasakti menyambar dari belakang, menusuk ke arah punggung orang itu.
Akan tetapi tubuh orang itu bergerak lincah sekali sehingga kembali tusukan keris itu luput. Dua orang senopati Bali itu merasa penasaran sekali. Mereka segera mengeroyok orang itu dengan serangan bertubi-tubi. Akan tetapi lawannya seolah sesosok bayangan yang tidak pernah dapat disentuh keris mereka. Tiba-tiba orang itu berseru.
"Lepaskan keris !" Dia membuat gerakan berputar kedua tangannya menyambar.
"Plak! Plak!" pergelangan tangan kedua orang senopati Bali yang memegang keris ditampar dan seketika terasa lumpuh sehingga keris mereka terlepas jatuh ke atas tanah. Laki-laki itu melompat ke belakang sambil tertawa.
"Ha-ha-ha!" Suara tawanya aneh sekali, seperti hanya berada di kerongkongannya sehingga terdengar menyeramkan, seperti suara tawa setan dari dalam kuburan! "Kalian berdua masih terlalu lemah untuk melawan aku!"
Mendengar ejekan ini, dua orang senopati yang merasa tangan kanan mereka sudah pulih kembali, cepat menyambar keris mereka dan siap untuk menyerang lagi.
"Tahan... !" Tiba-tiba Tejakasmala berseru dan memberi isarat kepada dua orang pembantunya untuk mundur. Dia melihat betapa orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi dan melihat kenyataan bahwa dia tidak melukai dua orang pembantunya, menjadi bukti bahwa dia bukanlah seorang musuh. Maka dia kini berdiri menghadap orang itu dan diam-diam Tejakasmala mengerahkan kekuatan sihirnya lalu berkata dengan nada memerintah.
"Ki sanak! Katakan siapa Andika dan apa maksud Andika menemui kami!"
Tejakasmala merasa yakin nahwa suaranya itu akan memepengaruhi lawan dan memaksanya dari dalam untuk menjawab sejujurnya. Akan tetapi orang itu tertawa! Suara tawanya yang khas, seperti tawa setan atau tawa seorang yang miring otaknya, bergema dan dia menjawab, logat bicaranya agak asing.
"Ha-ha-ha-ha! Andika masih muda remaja dan aku jauh lebih tua. Sudah sepantasnya kalau Andika yang lebih dulu memperkenalkan diri kepadaku!"
Tejakasmala diam-diam terkejut. Orang ini sama sekali tidak terpengaruh kekuatan sihirnya! Dia semakin yakin bahwa orang ini sakti mandraguna dan merupakan lawan yang tangguh, melihat cara dia tadi membuat keris dua orang senopati Bali itu terlepas dari pegangan. Dia lalu sengaja memperkenalkan gurunya untuk mendatangkan kesan yang membuat lawan jerih.
"Baiklah, aku bernama Tejakasmala. Murid utama dari sang Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Bali-dwipa!"
Orang itu adalah Satyabrata. Ketika dia melihat kemarin betapa Parmadi dan Muryani yang dibantu Maya Dewi menghadapi serbuan belasan orang, dia menggunakan kesempatan itu untuk menculik Joko Galing, putera Muryani. Dia lakukan itu untuk dapat memaksa Muryani ikut dengan dia menjadi isterinya karena sampai sekarang dia masih benar-benar amat mencintai Muryani.
Akan tetapi usahanya digagalkan Maya Dewi yang entah bagaimana kini berpihak kepada Parmadi dan Muryani. Joko Galing dapat terampas Maya Dewi. Usahanya gagal dan dia ingin sekali mengetahui siapa rombongan orang yang memusuhi Parmadi dan Muryani. Orang-orang itu berarti masih segolongan dengan dia, yaitu yang memusuhi para pendekar pembela Mataram.
Demikianlah, pagi hari itu dia menghadang Tejakasmala dan dua orang senopati Bali dan bersembunyi di atas pohon trembesi. Mendengar Tejakasmala memperkenalkan diri sebagai murid utama Sang bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Bali, Satyabrata tertawa lagi, tawa yang aneh itu.
"Ha-ha-ha. sudah kuduga. Kalian dari Bali! lalu mengapa kalian dari Bali berkeliaran di sini dan menyerang Parmadi dan Muryani?"
Tejakasmala mengerutkan alisnya. Dia belum yakin dengan siapa dia berhadapan, dengan kawan ataukah lawan! akan tetapi, orang ini agaknya sudah engenal Parmadi dan Muryani, mungkin juga dia itu kawan Parmadi dan kemarin dia melarikan anak parmadi justeru untuk menyelamatkan anak itu!
"Kisanak!" kata Tejakasmala dengan suara keras dan tegas. "Katakan, siapa Andika!"
"Ho-ho, belum menjawab pertanyaanku sudah berbalik bertanya! Jawab dulu pertanyaanku tadi mengapa kalian dari Bali berkeliaran di sini dan menyerang Parmadi?"
Sikap yang tidak bersahabat ini menambah kecurigaan Tejakasmala. Musuh yang berbahaya harus didahului, pikirnya. Diam-diam lalu mengerahkan tenaga saktinya, membaca mantra dan menyerang dengan Aji Bayutantra yang mengeluarkan angin dahsyat.
"Sambut seranganku!" bentaknya. Angin dahsyat itu menerjang ke arah Satyabrata dengan kekuatan hebat, menandakan bahwa aji pukulan itu memang hebat sekali.
Satyabrata adalah orang yang telah mewarisi peninggalan ilmu-ilmu aneh dan dahsyat dari mendiang Resi Ekomolo, seorang datuk jahat yang tidak waras otaknya namun yang sakti mandraguna. Begitu Tejakasmala menyerang, dia pun mengenal aji pukulan ampuh, maka dia tidak berani memandang rendah. Biarpun dia sudah menduga bahwa Tejakasmala dan dua orang itu tentu memusuhi Parmadi dan Muryani, namun dia merasa gembira bertemu tanding yang memiliki kesaktian seperti Tejakasmala.
Sebelum memperkenalkan diri dia ingin menguji dulu sampai di mana kehebatan ilmu dari pemuda Bali ini. Dia lalu mengerahkan tenaga sakti yang dihimpun dari cara bersamadhi Waringin Sungsang, dengan jungkir balik kepala di bawah dan kaki di atas. Tenaga ini dahsyat dan kuat sekali. Dia lalu menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.
"Wuuuuttt... blarrr...!" Dua orang itu sama-sama terpental ke belakang dan mereka terkejut bukan main. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa lawan mereka sekuat itu tenaga saktinya!
Akan tetapi Satyabrata menjadi semakin gembira. Hatinya senang mendapatkan seorang rekan yang demikian sakti untuk bersama-sama menentang Mataram! Maka dia lalu melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Tejakasmala menjadi marah dan dia mengelak, menangkis dan membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Terjadilah perkelahian yang amat seru.
Makin lama, pertandingan itu membuat Satyabrata semakin gembira dan bersemangat, sebaliknya membuat Tejakasmala semakin marah. Melihat Tejakasmala berkelahi lawan orang asing itu, Cakrasakti dan Candrabaya maju dan menerjang, membantu Tejakasmala melakukan pengeroyolan. Melihat tiga orang itu agaknya benar-benar menyerangnya, Satyabrata merasa sudah cukup menguji dan dia mendapatkan kenyataan betapa pemuda Bali itu memang cukup tangguh, pantas untuk diajak kerja sama. Maka dia lalu cepat melompat jauh ke belakang sambil berseru.
"Tahan...!" Akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya, terdengar ledakan.
"Dar-darr!! Satyabrata cepat membalik dan kedua tangannya bergerak cepat. Dia sudah berhasil menepiskan dua butir peluru sehingga melenceng dan tidak mengenal dirinya. Tampak tiga orang yang muncul dari balik pohon-pohon. Mereka adalah Candra Dewi, Arya Bratadewa, dan Dartoko.
Melihat Arya Bratadewa memegang dua buah pistol di kedua tangannya, ditodongkan kepadanya, siap untuk menembak, Satyabrata segera dapat menduga siapa laki-laki bermuka pucat seperti mayat itu. Sebelum meninggalkan Batavia, dia sudah mendapat penjelasan tentang para mata-mata Kumpeni Belanda yang penting dan yang baru, seorang diantaranya yang oleh Kumpeni Belanda diutus menghubungi Blambangan adalah Arya Bratadewa. Maka dia lalu berkata dengan lantang.
"Bukankah yang datang dan membawa pistol itu Arya Bratadewa?"
Mendengar ini, Arya Bratadewa maju menghampiri Satyabrata, dua moncong pitolnya masih menodong tubuh Satyabrata. "Andika siapakah dan bagaimana dapat mengetahui namaku?" Pandang mata Arya Bratadewa dengan tajam penuh selidik menatap wajah Satyabrata.
Satyabrata mengeluarkan tiga buah uang dinar emas bergambar sepasang singa dan menyingkap jubahnya sehingga tampak dua buah pistol terselip di pinggang, sebuah diantaranya pistol kecil terhias emas permata dan sederetan peluru emas tampak berderet di sabuk itu. melihat ini Arya Bratadewa terbelalak dan dia menatap tajam wajah Satyabrata, melihat sepasang mata kebiruan dan rambut berombak itu.
"Ah, sekarang saya ingat. Andika... bukankah Andika yang bernama... Raden Satyabrata?"
Satyabrata mengangguk senang. Senang dia disebut raden dan memang pihak Kumpeni, para pembesarnya, sengaja menyebut dia raden untuk mengangkatnya agar dihormati orang. Memang lucu sekali! Ayahnya seorang kulit putih bangsa Portugis bernama Henrik dan ibunya seorang wanita Jawa bukan priyayi, akan tetapi anaknya tiba-tiba saja disebut Raden! "Benar, aku Raden Satyabrata!" kata Satyabrata bangga.
"Akan tetapi... mengapa tadi Andika bertanding melawan Ki Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung? Mereka itu bukan musuh, melainkan sekutu kita. Apakah Andika belum mengetahuinya dari kapten Van Klompen yang mewakili Kumpeni ketika diadakan pertemuan di Kadipaten Blambangan?"
Setyabrata tertawa. tawanya mengejutkan semua orang karena seperti tawa iblis atau orang gila. "Hah-hah-heh-heh! Aku tahu dan aku hanya ingin menguji sampai di mana kemampuan kawan-kawan yang hendak bekerja sama menentang Mataram yang mempunyai banyak pembela yang sakti. Mari, ke sinilah, kita berkenalan."
Satyabrata menggapai, akan tetapi baik Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung, maupun Candra Dewi dan Dartoko, memandang ragu dan curiga.
"Kawan-kawan, harap jangan khawatir, Raden Satyabrata ini adalah utusan Kumpeni Belanda yang amat tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi daripada Kapten Van Klompen yang datang ke Blambangan dahulu itu. Saya sendiri harus mentaati semua perintahnya seperti yang dipesan para pejabat tinggi di Batavia."
Setelah Arya Bratadewa memperkenalkan Satyabrata, semua orang merasa lega dan segera menghampiri Satyabrata sambil menyimpan senjata masing-masing. Satyabrata mengulurkan tangan kepada Tejakasmala, mengajak bersalaman.
"Tejakasmala, aku kagum sekali padamu. engkau masih begini muda namun telah memiliki kepandaian tinggi."
"Ah, Andika terlalu memuji, Raden Satyabrata. Andikalah yang sakti mandraguna." kata Tejakasmala dengan sejujurnya karena memang harus dia akui bahwa tingkat kepandaian Satyabrata tinggi dan tenaga saktinya juga amat kuat sehingga dia sendiri tidak yakin apakah dia mampu mengalahkan utusan Kumpeni Belanda itu. "Oya, dan Nimas Ayu ini siapakah?" tiba-tiba Satyabrata memandang kepada Candra Dewi.
Kini sudah banyak terjadi perubahan pada watak Candra Dewi. Dulu, sebelum bertemu dan bergabung dengan Arya Bratadewa, wataknya amat kaku dan ganas. Kalau ada laki-laki berani memujinya seperti yang dilakukan Satyabrata, tentu ia akan langsung menyerang dan membunuhnya.
Akan tetapi sekarang ia tidak begitu ganas lagi. Ia telah berhubungan dengan banyak tokoh sakti, dan tidak dapat ia memperlihatkan keganasannya. Pula, tadi ia pun melihat betapa Satyabrata kuat menghadapi pengeroyokan Tejakasmala yang dibantu dua orang senopati Bali. Ini saja sudah membuat ia maklum bahwa kedigdayaan Satyabrata tidak akan dapat ia tandingi!
Maka, ketika ia ditanya oleh Satyabrata dengan sebutan Nimas Ayu, ia memandang pria itu dan menjawab dengan ramah.
"Perkenalkan, Raden Satyabrata, namaku Candra Dewi, belum lama saya membantu Paman Arya Bratadewa dalam persekutuan dengan Blambangan."
"Raden Satyabrata, ketahuilah bahwa Ni Candra Dewi ini seperti juga saya, berasal dari banten dan ia sudah siap membantu Kumpeni menentang Mataram."
"Wah, itu bagus sekali! Kami baru saja kehilangan seorang pembantu wanita yang telah berkhianat terhadap Kumpeni, dan kini mendapatkan penggantinya yang tidak kalah cantik dan saktinya!" Satyabrata memuji.
"Andika maksudkan Maya Dewi, Raden? Hendaknya diketahui bahwa Ni Candra Dewi ini adalah kakak tiri Maya Dewi dan tentang kesaktiannya, tentu saja ia tidak kalah dibandingkan Maya Dewi." kata Arya Bratadewa.
Tentu saja dia berbohong karena dia tahu bahwa Maya Dewi kini telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, melebihi tingkat kepandaian Candra Dewi.
"Akan tetapi, kepandaian Maya Dewi amat hebat!" tiba-tiba Tejakasmala berkata.
"Hebat? Ha-ha, jangan khawatir. Peluru emasku telah melukainya. Mungkin kini telah membunuhnya! Eh, siapa pula teman-teman yang lain ini?" Satyabrata bertanya.
"Kedua paman ini adalah Ki Cakrasakti dan Ki Candrabaya, dua orang senopati Klungkung, Bali." Tejakasmala memperkenalkan. "Dan saudara ini bernama Dartoko, murid Kyai Kasmalapati datuk Blambangan." Arya Bratadewa memperkenalkan temannya.
Tejakasmala bertanya, "Raden Satyabrata, ketika kami bertiga bertanding melawan Parmadi, Muryani yang dibantu Maya Dewi, saya melihat Andika melarikan putera Parmadi. Tawanan itu penting sekali untuk dapat memaksa suami isteri yang sakti mandraguna itu membantu Blambangan. Di manakah anak itu sekarang?"
Satyabrata menghela napas panjang, "Maya Dewi si keparat yang sudah lupa akan kebaikan sahabat lama. Ia menemui aku malam tadi, bertindak curang, memadamkan api unggun dan membawa lari anak itu. Akan tetapi aku telah menembaknya dan aku yakin tembakanku itu melukainya!"
"Akan tetapi bukankah ia kebal?" Tanya Dartoko yang sudah merasakan kedigdayaan Maya Dewi.
"Ha-ha-ha-hah, kebal? siapa yang dapat menahan peluru emasku?" Satyabrata tertawa bergelak.
"Dia benar. Peluru emas dapat menembus kekebalan." kata Arya Bratadewa.
"Raden Satyabrata, mari kita kembali ke Blambangan untuk memberi pelaporan tentang keadaan kadipaten Pasuruan dan terutama sekali untuk memperkenalkan Andika sebagai utusan Kumpeni Belanda."
"Baik, Adi Tejakasmala" kata Setyabrata yang sengaja menyebut adi kepada Tejakasmala yang berusia dua puluh lima tahun agar dia dianggap muda dan tak banyak selisih usianya dibandingkan Tejakasmala! "Memang aku mempunyai tugas menemui Adipati Blambangan dan menyerahkan surat dari Kapten Pieter Van de Cramer."
Berangkatlah tujuh orang itu menuju ke timur dan di sepanjang perjalanan tampak betapa Satyabrata mendekati Candra Dewi dan mengajaknya bergaul lebih akrab. Dia sama sekali tidak tahu bahwa sikapnya ini bahkan menimbulkan perasaan muak dalam hati Candra Dewi yang memang tidak pernah menyenangi laki-laki.
********************
Perguruan Bromo Dadali berada di Gunng Muria. Padepokan dan pondok-pondok para muridnya merupakan sebuah perkampungan yang berada di sebuah puncak bukit yang datar. Perguruan silat Bromo Dadali ini adalah sebuah perguruan yang usianya sudah lebih dari satu abad. Sebelum meninggal dunia, Sunan Muria yang terkenal bijaksana dan juga sakti, mengajarkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid. Murid ini pun hidup sebagai seorang pertapa dan tinggal di Gunung Muria.
Dialah yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada para murid dan terbentuklah perguruan silat Bromo Dadali itu. Guru besar atau pemimpin Bromo Dadali yang sekarang bernama Ki Ageng Branjang yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun. Dia menjadi ketua Bromo Dadali sudah lebih dari tiga puluh tahun dan selama dalam pimpinannya, perguruan ini memperoleh kemajuan pesat. Muryani, isteri Parmadi, adalah seorang di antara murid-murid Ki Ageng Branjang. Bahkan ia menjadi murid terkasih dan oleh Ki Ageng Branjang ia dianggap anak sendiri sehingga menerima lebih banyak ilmu dari pada murid-murid yang lain.
Hubungan dekat inilah membuat Muryani mengambil keputusan untuk menitipkan puteranya, Joko Galing, ke perguruan Bromo Dadali agar mereka dapat membela Mataram menghadapi ancaman dari Blambangan. Kini perguruan silat Bromo Dadali sudah berkembang. Para murid yang tinggal di puncak bukit Gunung Muria bahkan ada yang sudah beranak-bini sehingga tempat itu merupakan perkampungan yang penghuninya adalah para murid Bromo Dadali bersama keluarga mereka.
Jumlah para murid hanya sekitar lima puluh orang, akan tetapi karena sebagian besar sudah berkeluarga, maka jumlah penduduknya ada seratus lima puluh orang lebih. Mereka bekerja bertani, menanam pula rempah-rempah dan tanaman obat yang dapat menghasilkan uang cukup banyak, dan ada kalanya mereka menjadi nelayan pencari ikan di Laut Utara. Kehidupan mereka sederhana namun cukup dan merasa berbahagia, tenteram dan sejahtera.
Perguruan silat Bromo Dadali terkenal sebagai pekumpulan orang gagah yang setia kepada Mataram. Walaupun tidak secara aktip membantu Mataram apabila Mataram berperang melawan musuh, namun segala bujukan dari pihak mana pun untuk ikut menentang Mataram dengan janji-janji imbalan besar, perguruan ini tetap menolak dan siap mempertahankan pendirian mereka yang setia kepada Mataram itu dengan kekerasan. Tidak pernah ada golongan penjahat yang berani mengganggu perguruan ini, bahkan dusun-dusun di sekitar daerah Gunung Muria selalu aman karena tidak ada penjahat berani mengacau daerah di mana Bromo Dadali seolah menjadi pengawalnya.
Dalam usianya yang sudah enam puluh sembilan tahun, Ki Ageng Branjang lebih suka bersamadi di dalam sanggar pamujan. Urusan perguruan dia serahkan kepada murid tertua yang bernama Sanuri, seorang laki-laki bertubuh tegap gagah dan berwajah sederhana. Sanuri berusia lima puluh tahun dan dialah yang mewakili Ki Ageng Branjang memimpin lima puluh lebih orang murid beserta keluarga mereka itu. Isterinya bernama Markonah, juga merupakan seorang murid Bromo Dadali yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Usianya tiga puluh delapan tahun dan Markonah ini yang membantu suaminya mengurus perguruan Bromo Dadali, bahkan Markonah pula yang mewakili guru mereka melatih ilmu silat Bromo Dadali untuk memperdalam tingkat para murid. Suami isteri yang kini mewakili Ki Ageng Branjang memimpin Bromo Dadali itu mempunyai seorang anak perempuan yang telah berusia dua belas tahun, bernama Niken Arum.
Sejak kecil Niken Arum terkenal sebagai anak yang cerdik sekali dan bakatnya amat baik dalam ilmu kanuragan sehingga dalam usia dua belas tahun saja ia sudah mahir mainkan gerakan dasar ilmu silat Bromo Dadali dan mulai berlatih untuk melengkapi gerakan-gerakan dasar ini dengan gerakan kembangan yang banyak ragamnya, bahkan dapat muncul gerakan kembangan baru sesuai dengan watak dan bakat si murid.
Tentu saja karena usianya baru dua belas tahun, Niken Arum belum dapat mengisi gerakannya dengan tenaga sakti. Namun ia telah memiliki gerakan yang gesit sekali, lincah dan gerakannya indah. Anehnya, anak perempuan ini selain gemar berlatih silat, ia juga suka belajar membaca, hal yang merupakan sesuatu yang aneh di jaman itu. Melihat kesukaan puterinya itu, Ki Sanuri lalu mengajarkan ilmu membaca kepada puterinya. Dan sejak kecil sudah tampak bahwa watak gadis cilik ini pendiam, serius, dan pandai membawa diri, hormat terhadap para murid Bromo Dadali yang lebih tua.
Setelah berusia dua belas tahun, mulai tampak bahwa Niken Arum akan menjadi seorang gadis yang cantik dan manis sekali. Maka, di antara para murid Bromo Dadali yang memiliki anak laki-laki berusia belasan tahun, diam-diam menaksir Niken Arum untuk dijadikan mantunya kelak setelah dewasa! Ada pula di antara mereka yang menyinggung soal ini kepada Ki Sanuri dan Nyi Markonah, akan tetapi suami isteri ini selalu mengelak dengan halus dan menyatakan bahwa belum tiba saatnya membicarakan urusan perjodohan anak mereka karena masih terlalu kecil.
Seorang di antara mereka yang ingin sekali mengambil Niken Arum sebagai mantunya adalah Ki Kiswoyo, murid Bromo Dadali yang berusia sekitar empat puluh lima tahun. Isteri Ki Kiswoyo bukan murid Bromo Dadali, melainkan seorang gadis dari dusun di kaki Gunung Muria. Setelah menikah dengan Ki Kiswoyo, ia lalu diboyong dan tinggal di perkampungan Bromo Dadali. Ki Kiswoyo hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang berusia tiga belas tahun bernama Sangkolo.
Ketika anak itu lahir dan diberi nama Sangkolo, Ki Ageng Branjang sudah mengingatkan Ki Kiswoyo bahwa nama Sangkolo itu tidak baik artinya, karena Sangkolo berarti rantai, hukuman atau siksaan. Akan tetapi Ki Kiswoyo mengatakan bahwa dia mendapatkan nama itu dalam mimpi dan dia bersikeras menamakan anaknya Sangkolo. Setelah besar anak itu memang tampak cerdik, bertubuh tegap sehat, dan wajahnya juga termasuk tampan sehingga ayah ibunya merasa bangga sekali.
Apalagi di antara para bocah di perkampungan itu, Sangkolo terkenal pemberani dan juga amat mahir bersilat Bromo Dadali, juga tenaganya besar dan dia mempunyai keberanian yang nekat sehingga dalam setiap pertandingan uji coba, dia selalu mengalahkan murid-murid kecil lainnya. Kalau Niken Arum paling menonjol di antara murid-murid kecil wanita, Sangkolo-lah murid kecil pria yang paling dijagokan!
Penolakan Ki Sanuri untuk membicarakan urusan perjodohan anak mereka, membuat Ki Kiswoyo kecewa. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mendesak kakak seperguruannya itu dan dia pun tidak putus harapan karena siapakah anak laki-laki yang lebih tampan, lebih gagah dan lebih pantas untuk kelak menjadi suami Niken Arum? Apalagi, di antara semua anak-anak yang berada di perkampungan itu, telah menjadi bahan guyonan bahwa Niken Arum adalah pacangan (calon jodoh) Sangkolo!
Bahkan bukan hanya anak-anak, orang-orang dewasa pun menganggap sudah sewajarnya kalau kedua orang anak itu kelak dijodohkan karena keduanya merupakan anak-anak yang menonjol, baik kepintaran maupun keelokan rupanya. Sanjungan dan pujian ini tentu saja mempengaruhi hati dan pikiran Sangkolo dan dia sudah menganggap bahwa Niken Arum itu "miliknya"!
Akan tetapi karena mereka berdua masih kecil, baru berusia dua belas dan tiga belas tahun, dan sikap Niken Arum pendiam dan tidak pernah melayani Sangkolo kalau pemuda remaja itu mengajak bicara akrab atau bersenda gurau, maka Sangkolo juga tidak berani bersikap kasar atau sembarangan. Hanya dia memang sengaja menonjolkan dan pamer kepada anak-anak lain bahwa Niken Arum adalah miliknya dan kelak menjadi isterinya, bahkan dia mengancam akan bertindak kasar kalau ada pemuda remaja lain yang berani "mendekati" Niken Arum!
Sikap dan watak seorang anak remaja amat dipengaruhi oleh cara mendidik dan sikap orang tuanya sendiri. Sangkolo terlalu disanjung, dibanggakan, dan dimanja orang tuanya, terutama ibunya. Ki Kiswoyo sendiri selalu membanggakan puteranya dan bersikap seolah-olah di dunia ini tidak ada anak laki-laki sebaik Sangkolo, apalagi melebihinya!
Dalam setiap persoalan, sejak Sangkolo masih kecil, orang tuanya selalu mencampuri dan membela Sangkolo mati-matian. Hal ini menumbuhkan watak dan sikap sombong dan besar kepala kepada anak remaja itu. Dia menganggap dirinya yang terhebat, terpandai, tertampan dan segala ter lainnya, apalagi dia merasa dilindungi dan didukung ayahnya yang merupakan seorang di antara murid-murid golongan tua dari perguruan Bromo Dadali.
Sebetulnya, dibalik keinginan keras Ki Kiswoyo untuk mengambil Niken Arum sebagai mantunya tersembunyi hasrat terpendam dalam hatinya terhadap Markonah, ibu Niken Arum yang juga menjadi adik seperguruannya. Dahulu, Kiswoyo menaksir Markonah. Dia jatuh cinta kepada Markonah, akan tetapi ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan karena Markonah telah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Sanuri, walaupun Ki Sanuri dua belas tahun lebih tua dari padanya.
Hal ini membuat Ki Kiswoyo kecewa dan berduka. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengganggu Sanuri yang menjadi kakak seperguruannya dan dia lalu mendahului mereka, menikah dengan seorang gadis dusun kaki Gunung Muria. Setelah dia mempunyai seorang anak laki-laki dan setahun kemudian Ki Sanuri dan Markonah memiliki seorang anak perempuan, maka timbul hasrat hatinya yang dulu tidak kesampaian pada diri Markonah. Kini dia ingin agar puteranya dapat berjodoh dengan puteri Markonah, keturunan mereka yang akan menyambung cintanya yang terputus itu!
Selama beberapa bulan akhir-akhir ini, diam-diam terjadi pergolakan di perguruan Bromo Dadali. Biarpun pergolakan ini hanya mengguncang para murid, Dan semua murid setuju agar hal ini jangan sampai terdengar oleh Ki Ageng Branjang yang sudah tua dan selalu terbenam dalam samadhinya, namun cukup meresahkan hati mereka. Yang meresahkan hati para murid Bromo Dadali itu adalah kedatangan beberapa orang utusan dari Kadipaten Blambangan yang dipimpin Ki Randujapang yang sudah mengenal Ki Ageng Branjang dengan baik.