Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Kemelut Blambangan
Jilid 13
KI RANDUJAPANG ini adalah seorang tokoh dari Madura, murid mendiang Ki Harya Baka Wulung. Ki Randujapang dan kawan-kawannya bermaksud menemui Ki Ageng Branjang, akan tetapi Ki Sanuri sebagai murid tertua dan mewakili gurunya, mencegahnya. Dia mengatakan bahwa Ki Ageng Branjang sudah tua dan tidak ingin diganggu, maka pembicaraan lalu diadakan antara Ki Randujapang bersama kawan-kawannya sebagai utusan Blambangan dan Ki Sanuri bersama Ki Kiswoyo sebagai wakil perguruan Bromo Dadali.
Ki Randujapang ditemani dua orang kawannya yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang menyeramkan. Mereka adalah yang terkenal dengan sebutan Dwi Kala (Dua Kala) yaitu Kaladhama, berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh raksasa bermuka hitam dengan mata melotot lebar, tubuhnya berbulu seperti orang utan. Adapun yang kedua bernama Kalajana, berusia empat puluh tiga tahun, juga bertubuh raksasa dengan muka bopeng (burik), tubuhnya berbulu pula.
Dwi Kala ini adalah dua orang senopati Blambangan, murid-murid Bhagawan Kalasrenggi yang menjadi penasihat Adipati Blambangan dan mereka terkenal sakti mandraguna. Adapun Ki Randujapang sendiri, berusia lima puluhan tahun, juga bertubuh tinggi besar mukanya penuh brewok dan dialah yang datang dari Madura memimpin sekitar tiga ribu orang Madura yang membenci Mataram, untuk bergabung dengan Blambangan yang berniat menggempur Mataram.
Karena Ki Randujapang sudah mengenal baik Ki Ageng Branjang, maka dia yang dijadikan utusan Adipati Blambangan untuk menghubungi perguruan Bromo Dadali yang terkenal itu. Dalam pertemuan itu, Ki Randujapang menyampaikan pemintaan Adipati Blambangan yang didukung Bhagawan Kalasrenggi kepada perguruan Bromo Dadali, agar pertemuan itu mau menggunakan pengaruhnya untuk membujuk para tokoh, para bupati, dan orang-orang yang memiliki kekuasaan di daerah pantai Laut utara, untuk mendukung gerakan Blambangan yang hendak menggempur Mataram.
"Kerajaan Mataram menaklukkan daerah kabupaten dan kadipaten dengan kekerasan sehingga menimbulkan penasaran dan dendam kepada banyak orang." demikian antara lain Ki Randujapang membujuk.
"Hanya Blambangan saja yang belum dikuasai Mataram. Sekarang tiba saatnya bagi kita yang merasa penasaran dan mendendam, untuk membalas dan meruntuhkanMataram bersama-sama agar semua daerah terbebas dari cengkeraman Mataram, bebas melakukan perdagangan dengan siapa pun. Karena itu, kami mengharapkan bantuan perguruan Bromo Dadali."
Ki Sanuri mengerutkan alisnya. Dia tahu betul bahwa sejak dahulu, Ki Ageng Branjang selalu menolak kalau diajak kerja sana untuk memusuhi Mataram. Gurunya itu setia kepada Sultan Agung di Mataram dan biar pun sejak dahulu tidak membantu Mataram secara langsung, namun dia menentang setiap pemberontakan terhadap Mataram. Dia memandang tajam kepada Ki Randujapang dan Dwi Kala, lalu berkata dengan hormat karena dia maklum menghadapi orang-orang yang sakti.
"Saya harap Andika bertiga tidak merasa kecewa kalau kami belum dapat menjawab penawaran Kadipaten Blambangan untuk membujuk para tokoh di pesisir utara. Pertama, karena selama saya menjadi murid Bromo Dadali, kami belum pernah terlibat dalam permusuhan menentang Mataram. Kedua kalinya, guru kami sedang bersemadhi dan sementara ini tidak mau diganggu."
"Akan tetapi, Kakang Sanuri! Untuk urusan penting ini, kita dapat menghadap Bapa guru sekarang juga. Atau, kita sendiri dapat mengambil keputusan atas nama Bapa Guru, karena urusan ini penting sekali, menyangkut hari depan dan kesejahteraan perguruan kita!" kata Ki Kiswoyo mencela kakak seperguruannya.
"Diamlah, Adi Kiswoyo. Andika tidak berhak bicara begitu dan biarkan aku yang mewakili Bapa Guru sebagai pimpinan Bromo Dadali!" kata Sanuri sambil menatap tajam wajah adik seperguruannya itu.
Ki Randujapang tersenyum kecut dan mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau begitu kami memberi waktu satu bulan kepada Andika untuk membicarakan hal ini dengan Ki Ageng Branjang. Sebulan kemudian kami akan datang lagi minta kepastian. Kami hanya berharap Bromo Dadali akan menjaga persahabatannya dengan para penguasa daerah. Kalau Bromo Dadali menolak kerja sama ini, berarti Bromo Dadali berpihak kepada Mataram dan tentu saja hal itu berarti bahwa Bromo Dadali memusuhi persekutuan kami!"
Setelah mengeluarkan kata-kata yang bernada ancaman ini, Ki Randujapang dan Dwi Kala meninggalkan Gunung Muria dengan sikap marah. Pada keesokan harinya, secara diam-diam dan rahasia, Ki Randujapang yang dalam pembicaraan itu melihat sikap Ki Kiswoyo, menghubungi Ki Kiswoyo dan terjadi perundingan di antara mereka.
Dalam perundingan rahasia yang dilakukan di kaki Gunung Muria dan tidak diketahui orang lain itu, Ki Randujapang menjanjikan kepada Ki Kiswoyo bahwa kalau dia mau membantu Blambangan, maka tiga orang utusan Blambangan itu mau membantunya merebut kekuasaan dan menjadikan Ki Kiswoyo sebagai ketua Bromo Dadali di samping janji hadiah berupa harta kekayaan dan kedudukan tinggi kelak kalau usaha menjatuhkan Mataram itu berhasil!
Tergiur oleh janji ini, diam-diam Ki Kiswoyo lalu menyebar bujukan di antara para murid Bromo Dadali sehingga terjadilah perpecahan pendapat yang meresahkan mereka. Sebagian condong menyetujui pendapat Ki Sanuri untuk membela Mataram, sebagian pula condong menyetujui Ki Kiswoyo untuk berhabung dengan persekutuan yang diadakan Blambangan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Biarpun saling bertentangan pendapat, namun kedua pihak masih belum menyatakan pendapat mereka karena Ki Ageng Branjang sendiri belum bicara mengenai hal ini. Ki Sanuri tidak merasa perlu mengganggu gurunya yang sudah tua dengan urusan ini. Dia merasa berhak mewakili gurunya dan mengambil keputusan menolak ajakan Blambangan itu karena dia merasa yakin akan pendirian gurunya. Kalau nanti utusan Blambangan datang lagi, dia akan tetap menolak, apapun akibatnya akan dia hadapi.
Dua minggu telah lewat sejak Ki Randujapang datang berkunjung ke Bromo Dadali. Pada suatu pagi datang tiga orang tamu memasuki perkampungan Bromo Dadali dan kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh para murid Bromo Dadali. Yang datang itu adalah Muryani, Parmadi, dan anak mereka, Joko Galing.
Tentu saja Muryani, suami dan anaknya itu disambut dengan genbira oleh para murid yang selain mengenal baik Muryani sebagai saudara seperguruan, juga tahu bahwa kini Muryani telah menjadi seorang sakti mandraguna. Kurang lebih lima belas tahun yang lalu, ketika Bromo Dadali diserbu Raden Dibyasakti putera Harya Baka Wulung dari Madura karena Ki Ageng Branjang tidak mau diajak kerja sama menentang Mataram, Muryani yang datang mengalahkan Dibyasakti sehingga musuh itu melarikan diri bersama anak buahnya.
Padahal Dibyasakti itu tangguh luar biasa dan tidak ada yang mengalahkannya sehingga Bromo Dadali terancam sekali pada waktu itu. Kini Muryani muncul bersama suaminya yang kabarnya juga sakti mandraguna, bersama anak mereka yang baru berusia enam tahun. Tentu saja semua orang menyambut dengan gembira. Yang paling gembira adalah Ki Sanuri. Tadinya dia merasa cemas memikirkan ancaman Ki Randujapang.
Kedatangan adik seperguruan yang dapat diandalkan ini membesarkan hatinya sehingga Ki Sanuri cepat menghadap Ki Ageng Branjang di sanggar pamujan untuk melaporkan tentang kedatangan Muryani. Ki Ageng Branjang juga gembira sekali mendengar bahwa muridnya yang terkasih dan sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu datang berkunjung bersama suami dan anaknya. Dia segera keluar dari sanggar pamujan dan menyambut kedatangan keluarga itu.
Setelah beremu Ki Ageng Branjang di ruangan dalam, Muryani, Parmadi dan Joko Galing segera memberi hotmat dengan sembah.
"Bapa guru... !" kata Muryani, terharu melihat gurunya kini tampak demikian tua dan lelah. Ketika ia mendekat, Ki Ageng Branjang mengelus kepalanya.
"Angger, Muryani, engkau berbahagia dalam hidupmu, bukan?"
"Mendapat pangestu (restu) Bapa Guru, saya sekeluarga berbahagia." kata Muryani.
"Kanjeng Paman, saya menghaturkan hormat." kata Parmadi dan Ki Ageng Branjang menerima sembah itu dengan senyum ramah.
"Anak mas Parmadi, silakan duduk Anak mas!"
"Eyang, saya Jaka Galing! Eyang sehat-sehat saja, bukan?"
Menerima teguran salam dari anak laki-laki yang lincah itu, Ki Ageng Branjang tertawa terkekeh-kekeh saking senang hatinya.
"Waduh, cucuku Joko Galing! Engkau kini telah menjadi seorang joko cilik (pemuda kecil) yang ganteng dan gagah! Aku sehat-sehat saja, Cucuku. Mendekatlah, Joko Galing!"
Anak itu mendekati Ki Ageng Branjang dan kakek itu merangkul, memeluk sambil menggerayangi kepala dan kedua pundak anak itu. Kagumlah dia karena anak itu benar-benar memiliki bentuk kepala yang besar dan bagus, juga tulang-tulangnya kuat.
"Joko, keluar dan bermain-mainlah dengan anak-anak di sini. Engkau perlu berkenalan dengan mereka dan jangan nakal. Ayah dan Ibu akan bicara dengan eyangmu." kata Muryani yang tidak menghendaki anaknya mendengarkan percakapan mereka yang menyangkut urusan pembelaan Mataram.
Setelah Joko Galing keluar, Muryani dan Parmadi lalu memberitahukan maksud kunjungan mereka, yaitu untuk sementara akan menitipkan Joko Galing di Bromo Dadali karena mereka berdua harus membela Pasuruan yang agaknya terancam penyerbuan Blambangan yang hendak memberontak terhadap Mataram. Kelak selesai perang, mereka akan datang menjemput anak mereka.
"Jadi Blambangan hendak memberontak terhadap Mataram? Ah, mengapa mereka itu masih juga belum mengerti bahwa musuh kita semua itu adalah Kumpeni Belanda?"
kanjeng Paman, menurut yang kami dengar, Blambangan bersekutu dengan Kumpeni Belanda, menerima banyak senjata api, dibantu oleh pasukan besar Bali dan dari Madura. Keadaan akan berbahaya sekali karena persekutuan mereka itu kuat, dibantu orang-orang yang sakti mandraguna." kata Parmadi. "Karena itu, Bapa Guru, saya hendak menitipkan Joko Galing di sini agar kami berdua dapat membela Pasuruan dan Mataram dengan bebas, tanpa khawatir terjadi apa-apa dengan anak kami."
"Wah, tentu saja boleh. Bahkan kami senang sekali kalau Joko Galing untuk sementara tinggal di sini. Kami akan menjaganya baik-baik." kata Kakek itu.
"Memang anak itu harus berada di tempat yang terlindung dan aman, Bapa Guru. Dalam perjalanan kami ke sini pun, kami dihadang orang-orang jahat utusan Blambangan dan dalam perkelahian itu, kami nyaris celaka, bahkan Joko Galing diculik orang." kata Muryani.
"Ah, apakah yang terjadi?" Ki Ageng Branjang terkejut mendengar ucapan Muryani itu. Muryani lalu bercerita tentang penghadangan yang dilakukan tiga orang jagoan dari Bali yang bersekutu dengan Blambangan dan anak buah mereka. akhirnya, setelah muncul pasukan Pasuruan membantu, para penyerang itu dapat dikalahkan dan melarikan diri. Akan tetapi dalam keributan itu, Joko Galing dilarikan orang.
"Hemm, siapa yang menculik putera kalian?" tanya Kakek itu.
"Bapa Guru, tentu akan heran mendengarnya. Penculiknya adalah si manusia Iblis Satyabrata." kata Muryani.
Sepasang mata kakek itu terbelalak, "Satyabrata? Kukira dia telah mati!"
"Tadinya kami juga mengira begitu, karena sudah belasan tahun dia tidak penah muncul." kata Muryani sedangkan sejak tadi Parmadi hanya mendengarkan saja, membiarkan isterinya yang bercerita kepada Ki Ageng Branjang.
"Wah, berbahaya sekali manusia iblis yang jahat dan sakti itu. Akan tetapi, bagaimana kini Joko Galing dapat kembali kepada kalian?"
"Tanpa kami sangka-sangka, ada orang yang menyelamatkan anak kami, Bapa Guru dan Bapa tentu akan heran pula mengetahui siapa orang yang mengembalikan Joko Galing kepada kami. Penolongnya itu adalah Maya Dewi!"
"Heh? bagaimana ini? Maya Dewi yang terkenal sebagai Iblis Betina itu yang menolong Joko Galing dan mengembalikannya kepadamu?"
"Benar, Bapa. Kami juga merasa heran sekali dan sempat mencurigainya. akan tetapi setelah ia pergi, Joko Galing bercerita bahwa wanita yang dulu seperti iblis jahat itu benar-benar telah menolongnya bahkan dengan mengorbankan diri tertembak dan terluka pangkal lengannya."
"Sebuah mujizat! Kalau Gusti Allah menghendaki, tidak ada hal yang mustahil di dunia ini. Kita wajib bersyukur karena peristiwa itu membuktikan bahwa Gusti Allah telah melindungi Joko Galing sehingga terbebas dari bahaya."
Mereka lalu bercakap-cakap dengan gembira. Atas permintaan gurunya, Muryani harus menceritakan semua pengalamannya sejak pertemuan mereka yang terakhir, beberapa tahun yang lalu dan mereka juga memperbincangkan ancaman Blambangan terhadap Mataram. Sementara itu, Joko Galing keluar dari rumah besar Ki Ageng Branjang. setelah tiba di pendopo, dia disambut oleh Sanuri, Markonah, dan Niken Arum. "Joko Galing, engkau tentu telah lupa kepada kami karena ketika engkau diajak ke sini oleh Ibumu, engkau masih kecil." kata Sanuri sambil tersenyum ramah.
"ketahuilah, Joko Galing, aku adalah Pakde-mu Ki Sanuri, ini Bibi-gurumu Nyi Markonah dan ini anak kami, Mbakayumu Niken Arum."
Joko Galing tersenyum. Dia sejak kanak-kanak tak pernah merasa malu kalau berhadapan dengan siapa pun, dan biar pun dia juga diajar tata-krama namun dia memiliki watak yang terbuka dan tidak suka akan sikap yang bermuka-muka atau kesopanan yang dibuat-buat untuk menyenangkan hati orang. Dia hanya mengangguk kepada tiga orang itu dan berkata,
"Saya pernah mendengar nama Pakde sekalian dari Ibu."
Ki Sanuri lalu berkata kepada puterinya, "Niken Arum, ajaklah Adikmu Joko Galing bermain-main dan berkenalan dengan anak-anak yang lain."
"Baik, Ayah. Mari, Joko Galing, kuperkenalkan kepada saudara-saudara yang lain dan kuantar engkau melihat-lihat keadaan di pekampungan Bromo Dadali."
"Mari, Mbakayu Niken Arum." kata Joko Galing dan mereka berjalan menuruni anak tangga pendopo ke halaman.
Biarpun usia Niken Arum sudah dua belas tahun sedangkan Joko Galing baru enam tahun, namun tinggi mereka hampir sama. Niken Arum membawa Joko Galing ke padang rumput yang terdapat di tengah perkampungan dan tempat itu menjadi tempat di mana anak-anak bermain-main dan berkumpul. Tidak kurang dari lima belas orang anak laki-laki dan sepuluh orang anak perempuan berkumpul di situ dan usia mereka antara enam sampai tiga belas tahun. Yang lebih muda masih lebih suka bermain dekat ibunya dan yang sudah lebih tua mulai bekerja membantu orang tua mereka.
Anak-anak itu menyambut Joko Galing dengan gembira. Semua anak sudah mendengar bahwa Bibi Muryani yang mereka dengar sebagai murid Bromo Dadali terpandai, datang bersama suami dan puteranya. Maka kini mereka menyambut Joko Galing dengan gembira dan kagum karena bagaimanapn juga, penampilan Joko Galing agak berbeda dari mereka, baik pakaiannya maupun sikapnya.
Hal ini dapat dimaklumi karena sejak kecil Joko Galing hidup di Kadipaten Pasuruan, sebuah kota dengan lingkungan yang lain dibandingkan keadaan perkampungan Bromo Dadali yang lingkungannya hanya dusun-dusun yang bersahaja. Pendeknya, secara mudah dapat digambarkan bahwa keadaan Joko Galing adalah anak kota yang berbeda dari mereka yang anak-anak desa!
Maka, anak-anak itu merasa kagum dan menghujani Joko Galing dengan pertanyaan-pertanyaan. Akan tetapi ada seorang anak laki-laki yang sejak tadi memandang ke arah Joko Galing dengan alis berkerut, mata mengandung kemarahan dan mulutnya menyeringai penuh ejekan, Anak ini adalah Sangkolo. Hatinya dipenuhi rasa marah, dengki, iri dan dia memandang rendah kepada anak laki-laki yang sedang menjadi pusat perhatian semua anak-anak itu.
Apalagi melihat betapa Niken Arum akrab dengan anak laki-laki itu, sejak tadi menggandeng tangan anak yang kemudian dia ketahui sebagai Joko Galing. Melihat betapa semua anak bersikap manis dan tersenyum-senyum memandang kagum kepada Joko Galing, Sangkolo tidak dapat menahan panasnya hati yang penuh iri. Dia, sebagai anak yang paling menonjol di antara mereka, dianggap paling pandai, paling tampan gagah, paling kuat sehingga tidak ada yang berani menentangnya, belum pernah diperlakukan semanis itu oleh anak-anak perkampungan mereka.
Dengan mengangkat dadanya yang bidang, menegakkan kepalanya, dia melangkah lebar menghampiri kerumunan anak-anak itu. denagn kasar dia mendorong anak-anak yang sedang merubung Joko Galing ke kanan kiri dan ketika anak-anak itu melihat siapa yang melakukan ekasaran itu, mereka tidak berani melawan dan cepat mereka minggir memberi jalan kepada Sengkolo untuk memasuki lingkaran mereka. Dengan alis berkerut dan muka merah karena marah, Sangkolo berdiri di depan Joko Galing dan Niken Arum yang memandang kepadanya dengan heran.
Sangkolo menjulurkan tangan kiri ke depan, tangan kanannya bertolak pinggang dan dengan sikap menghina dan mengejek telunjuknya menuding depan hidung Joko Galing.
"Siapa tikus kecil ini?" Kemudian dia memandang ke arah tangan kanan Joko Galing yang masih menggandeng tangan Niken Arum dan membentak. "Heh, Cindil (anak tikus), hayo lepaskan tangan Niken Arum!"
Biarpun ia marah melihat sikap Sangkolo yang jelas menghina Joko Galing, Niken Arum tidak mau melihat keributan dan ia segera memperkenalkan.
"Adi Joko, ini adalah Kakang Sangkolo, putera Paman Kiswoyo. Kakang Sangkolo, Adik ini adalah Joko Galing, putera Bibi Muryani dari Kadipaten Pasuruan. Adi Joko, bersalamanlah dengan Kakang Sangkolo."
Mendengar ucapan Niken Arum, Joko Galing menjulurkan tangan siap untuk bersalaman, akan tetapi sama sekali tidak tersangka-sangka oleh dia dan semua orang, tahu-tahu kedua tangan Sangkolo bergerak menampar pipi Joko Galing dari kanan kiri lalu kaki kirinya melangkah ke depan dan lutut kanannya diangkat menghantam perut Joko Galing.
"Plak-plak! Bukk!!" Tubuh Joko Galing terjengkang dan dia terbanting duduk, membelalakkan mata keheranan dan kedua tangannya mengelus kedua pipinya yang agak sembab dan merah terkena tamparan keras tadi, dan perutnya terasa nyeri pula. Dia lebih merasa heran daripada marah dan hanya duduk dan memandang bengong kepada penyerangnya.
"Heh-heh, begini saja ya anak Pasuruan? Anak kota yang kementhus (sombong)!"
"Apa kesalahanku?" Joko Galing yang keheranan itu bertanya, sementara itu anak-anak yang tadi mengelilinginya kini mundur agak jauh agar jangan terlibat perkelahian. Hanya Niken Arum yang masih berdiri di situ, ia pun terkejut dan heran melihat peristiwa yang tidak tersangka-sangka itu sehingga bengong dan tertegun.
"Kesalahanmu? Engkau tidak boleh menggandeng tangan Niken Arum! Ia milikku, tahu? Engkau pantas dihajar!"
Sangkolo sudah melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba Niken Arum meloncat ke depannya dan kedua tangannya menyambar.
"Plak! Plak!" Kedua pipi Sangkolo kini ditamparnya sampai kulit pipinya menjadi merah.
"Sangkolo!!" bentak Niken Arum tanpa menggunakan sebutan kakang lagi. "Betapa jahat dan curangnya engkau! Joko Galing adalah tamu kita yang baru datang dan engkau sudah menghina dan menamparnya!"
"Sudahlah, engkau tahu apa! Anak perempuan jangan mencampuri urusan anak laki-laki!" Kata Sangkolo dan ketika Niken Arum hendak mencegahnya menghampiri Joko Galing, dia mendorong dengan tangannya sehingga Niken Arum terhuyung ke pinggir.
"Sangkolo! Engkau anak laki-laki curang! Engkau menampar aku tanpa memberitahu peringatan lebih dulu dan sekarang engkau berlaku kasar kepada seorang anak perempuan yang masih adik seperguruanmu sendiri! Apakah di Bromo Dadali ini engkau tidak mendapat pendidikan budi pekerti?"
Kini Joko Galing sudah menghadapi Sangkolo dan menegurnya. Anak ini marah sekali melihat Niken Arum yang membelanya itu didorong sampai terhuyung. Dengan berani dia berdiri berhadapan dengan Sangkolo yang jauh lebih besar daripada dia karena usia Sangkolo sudah dua kali usianya. Sangkolo yang amat marah karena tadi pipinya ditampar Niken Arum, tidak mau menumpahkan kemarahannya kepada gadis remaja itu dan mendengar ucapan Joko Galing, semua perasaan marahnya dia tumpahkan kepada anak itu.
"Cindil busuk, kamu berani menantang aku?" bentaknya dan dia sudah mengepal kedua tangannya, mukanya masih merah oleh tamparan Niken Arum tadi, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mengancam.
"Aku tidak menantang siapa-siapa, akan tetapi aku selalu siap menghadapi laki-laki yang curang dan beraninya hanya menghina perempuan." kata Joko Galing dengan sikap tenang walaupun dia juga marah sekali.
Para murid cilik Bromo Dadali melihat pertengkaran itu, sudah membuat lingkaran lebar dan mereka ingin menonton. Akan tetapi kebanyakan dari mereka merasa penasaran melihat Sangkolo yang sudah besar itu menantang Joko Galing yang masih kecil. Kebanyakan dari mereka memang merasa tidak senang kepada Sangkolo yang suka bertindak sewenang-wenang kepada anak-anak lain.
"Hemm, beranikah engkau bertanding melawan aku? Cindil busuk!" tantang Sangkolo.
"Aku bukan cindil busuk macam kamu! Aku Joko Galing dan aku tidak pernah takut bertanding melawan orang jahat macam kamu!" kata Joko Galing.
"Bagus! Mari lawan aku, monyet, kalau engkau ingin dadamu ambrol (jebol) dan kepalamu pecah!"
Setelah berkata demikian, Sangkolo merenggangkan kedua kakinya yang berjingkat, tubuhnya agak membungkuk dengan kedua lengan diangkat ke kanan kiri seperti seekor burung hendak terbang. Inilah pebukaan ilmu silat Bromo Dadali yang disebut kuda-kuda Dadali Anglayang (Burung Walet Melayang)! Melihat ini, Niken Arum merasa khawatir sekali. Joko Galing masih begitu kecil dan usia Sangkolo dua kali lebih tua.
Selain itu, ia tahu bahwa di antara para anak-anak di Bromo Dadali, Sangkolo merupakan murid yang paling pandai dan memiliki tenaga yang kuat. Dalam hal ilmu silat, ia sendiri tidak berada di bawah tingkat Sangkolo, akan tetapi harus ia akui bahwa ia kalah jauh dalam hal tenaga.
"Adi Joko, biar aku yang menghadapinya!" Niken Arum sudah melompat ke depan Sangkolo, membelakangi Joko Galing dan ia pun sudah memasang kuda-kuda yang sama dengan pasangan Sangkolo. Melihat ini Sangkolo tertegun dan meragu.
"Ahh, Niken Arum, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku malah menjadi pelindungmu agar engkau jangan diganggu siapa pun juga. Aku menantang Joko Galing itu. Hei, bocah Pasuruan, apakah beranimu hanya bersembunyi di balik punggung seorang perempuan?"
Mendengar ini, panas rasa perut Joko Galing. Sejak kecil sekali dia tidak pernah merasa takut, maka ucapan itu sungguh menikam harga dirinya. Dia melangkah maju dan menangkap pergelangan tangan Niken Arum.
"Mbakyu Niken, mundurlah! Aku ingin menghajar mulut kotor bocah sombong ini!"
Ketika Joko Galing menarik lengan Niken Arum, gadis remaja itu terkejut. Ia merasa betapa jari-jari tangan anak laki-laki yang baru berusia enam tahun itu kuat bukan main dan ketika Joko Galing menariknya ke belakang, ia tidak mampu bertahan dan terpaksa ia melangkah ke belakang.
"Hati-hati, Adi Joko!" pesannya dan ia pun mundur dan berdiri bersama para murid perempuan lain yang menonton bersama anak-anak lain yang membentuk lingkaran luas.
Dua orang anak laki-laki itu kini berhadapan dan mereka saling pandang bagaikan dua ekor ayam jago hendak berlaga dan kini saling menyelidiki dengan pandang mata tajam dan mengandung kemarahan. Sangkolo masih memasang kuda-kuda seperti tadi, sedangkan Joko Galing berdiri biasa saja, namun penuh kewaspadaan.
Sejak kecil diapun sudah menerima gemblengan dasar ilmu silat dari kedua orang tuanya, terutama dari ayahnya yang mengajarkan kepadanya bahwa pasangan kuda-kuda sebagai pembukaan dalam sebuah pertandingan, yang terpenting bukanlah kedudukan kaki tangan, melainkan yang terpenting itu kewaspadaan mata dan telinga, dan bersiapnya seluruh urat syaraf di tubuhnya dalam menghadapi serangan lawan.
Maka, dia berdiri biasa saja, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, santai saja namun urat syaraf di tubuhnya siap untuk membuat gerakan tiba-tiba dalam membela diri, menghindarkan serangan lawan dan membalas dengan serangan balik secepatnya. Sangkolo yang memang memiliki watak sombong dan tinggi hati karena selalu dimanja dan dipuji orang tuanya, merasa dirinya paling pandai dan kuat di antara semua murid remaja, memandang rendah lawannya.
Selain Joko Galing masih kecil, juga dia sudah dapat menampar kedua pipi Joko Galing dengan mudah, bahkan menambahi serangan lutut pada perut anak itu sehingga Joko Galing terjengkang. Huh, melawan anak kecil ini, dengan satu dua pukulan saja anak Pasuruan ini pasti akan roboh pingsan! Dan dia akan semakin ditakuti anak-anak lain, dan terutama sekali, Niken Arum pasti akan kagum sekali melihat kegagahannya!
"Heh-heh-heh, anak kecil masih ingusan! Kamu benar-benar berani melawan aku?" ejeknya karena bagaimanapun juga, ditonton semua anak di situ, tiba-tiba dia merasa tidak gagah sama sekali karena lawannya hanyalah seorang anak kecil!
"Aku tidak ingin berkelahi, akan tetapi itu bukan berarti aku takut padamu!" jawab Joko Galing tenang.
"Ha-ha-ha, suahlah, kalau engkau takut, aku pun malu kalau melawan seekor tikus kecil macam engkau. Nah, sekarang cepat minta maaf kepadaku dan tinggalkan tempat ini, baru aku tidak akan memukul ambrol dadamu dan pecah kepalamu!"
"Sudah kukatakan, aku tidak takut akan segala ancamanmu, mengapa aku harus minta ampun? Engkau yang semestinya minta maaf kepadaku karena engkau telah menghina dan menamparku."
"Keparat, engkau memang layak dihajar! Rasakan pukulanku!"
Sangkolo cepat menerjang dengan pukulan beruntun kedua tangannya. Akan tetapi dengan gesit sekali tubuh Joko Galing mengelak sehingga dua pukulan itu luput. Sangkolo semakin marah dan dia menyusulkan dua tendangan beruntun dengan kedua kakinya. Namun, kembali dengan gerakannya yang lincah, Joko Galing dapat menghindarkan tendangan beruntun itu dengan elakannya. Anak ini cerdik sekali.
Dia sudah dapat melihat bahwa dalam hal tenaga, jelas dia kalah kuat oleh Sangkolo yang sudah berusia tiga belas tahun itu. Akan tetapi dia menang jauh dalam hal kegesitan gerakan tubuhnya. Maka dia memanfaatkan kelincahan ini untuk menghindarkan diri dari hantaman tangan atau tendangan kaki lawan. Selain itu, dia pun sudah diajari ibunya tentang ilmu Silat Bromo Dadali sehingga dia mengenal serangan-serangan Sangkolo.
Anak-anak yang menonton, terutama Niken Arum, tadinya merasa khawatir dan juga ngeri melihat betapa Sangkolo menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga kalau pukulan atau tendangannya mengenai tubuh yang kecil itu, pasti akibatnya membahayakan sekali bagi keselamatan Joko Galing.
Akan tetapi setelah belasan kali dielakkan oleh Joko Galing dan cara mengelakkan itu tampak mudah dan gesit sekali, anak-anak mulai riuh menertawakan Sangkolo yang terkadang terhuyung ke depan terbawa tenaga pukulannya sendiri yang mengenai tempat kosong. Ada pula yang bertepuk tangan memuji ketika untuk kesekian kalinya Joko Galing dapat mengelak, padahal serangan Sangkolo semakin hebat mengikuti meningkatnya kemarahannya.
Wajahnya menjadi kemerahan, matanya melotot, rasanya ingin dia mencekik leher anak yang dibencinya itu. Tentu saja dia semakin marah karena ditertawakan semua anak-anak dan kemarahannya ini dia tumpahkan kepada Joko Galing. Joko Galing juga maklum bahwa dia akhirnya akan menderita rugi dan mungkin terkena pukulan kalau hanya mengelak terus, maka setelah mendapatkan kesempatan yang baik, ketika menghindar ke kiri, dia menekuk lutut kiri, membalik dan kaki kanannya mencuat dengan tendangan ke arah perut Sangkolo.
"Bukk... !!" Sangkolo mengaduh dan terhuyung ke belakang sambil menekan perutnya. Tendangan Joko Galing memang tidak seberapa kuat, akan tetapi karena tidak disangka-sangka datangnya, dan ketika tendangan datang dia sedang menyedot napas, maka perutnya tidak terjaga sehingga terasa nyeri dan mulas.
Anak-anak bertepuk tangan memuji. Mereka merasa girang bahwa kini Sangkolo mendapat hajaran, bahkan dari anak yang jauh lebih muda. Bukan main marahnya hati Sangkolo. Dia mengertak gigi dan bagaikan seekor harimau dia melompat ke arah Joko Galing, menerkam dengan tangan menyambar dari kanan kiri untuk mencekik leher anak itu!
"Awas, Joko!" Niken Arum berseru, terkejut melihat serangan hebat dan berbahaya itu.
Namun Joko Galing tidak kehilangan kewaspadaan dan ketenangannya. Dia menekuk kedua lutut sambil menggeser kaki ke belakang. Ketika tubuh Sangkolo lewat karena terkamannya luput, selagi tubuh itu condong ke depan, Joko Galing menggerakkan kakinya menyerampang ke depan kedua kaki Sangkolo. Karena Sangkolo saat itu terdorong ke depan karena terkamannya luput, maka begitu kedua kakinya dijegal atau terhadang kaki Joko Galing, tak dapat dicegah lagi tubuh Sangkolo terjerembab dan karena jatuhnya tertelungkup maka tak dapat dihindarkan lagi mukanya terbentur pada tanah berbatu.
"Aduh.... !" Dia merangkak bangun dan mukanya berlepotan darah yang mengucur dari lubang hidungnya. Kembali anak-anak bersorak menyambut kemenangan Joko Galing ini. Pada saat itu, Ki Kiswoyo datang berlari-lari. Dia menguak kerumunan anak-anak.
"Ada apa ini ribut-ribut?" bentaknya dan dia melihat Sangkolo yang mulai bangkit berdiri. Melihat muka anaknya berlepotan darah, Ki Kiswoyo terkejut bukan main. Dia melompat dan merangkul Sangkolo. Anak yang selalu dimanja ini sedang dalam keadaan marah dan malu sekali, juga mulai jerih karena kini dia tahu bahwa anak kecil itu benar-benar tangguh, begitu melihat ayahnya yang merangkulnya, lalu menangis!
"Sangkolo, mengapa engkau berdarah seperti ini? Siapa orang yang memukulmu, Nak?"
Sangkolo yang menutupi mukanya dengan kedua punggung tangan menggosok-gosok matanya, menuding ke arah Joko Galing.
"Dia yang memukul...!"
Mendengar ini, berkerut alis Ki Kiswoyo dan sekali melompat, dia sudah menangkap lengan kanan Joko Galing dan menghardik sambil mengguncang-guncang tubuh anak itu.
"Siapa kamu? Berani benar kamu memukul anakku!"
Biarpun merasa lengannya yang dipegang erat itu nyeri, namun Joko Galing diam saja. Pada saat itu terdengar suara nyaring.
"Kakang Kiswoyo, anakku itu bernama Joko Galing. Anakmu yang sudah belasan tahun berkelahi dengan anakku yang berusia enam tahun. Itu saja sudah tidak patut sama sekali dan kini engkau hendak turun tangan membela anakmu? Kalau memang engkau gatal tangan dan ingin berkelahi, lawanlah Ibunya, jangan yangan anak kecil! Kita sama-sama tua bangka boleh bertanding sepuasmu!"
Ki Kiswoyo menoleh dan mukanya berubah merah. Dia segera melepaskan cengkeraman tangannya pada lengan Joko Galing.
"Adi Muryani! Jadi bocah ini puteramu...?" Lalu dia menjambak rambut Sangkolo dan diseret pergi, sambil mengomel.
"Kau kalah oleh anak sekecil itu? Memalukan...!" Dia menarik anak itu pulang dan Sangkolo menangis dan mengaduh-aduh.
Pada saat itu, Parmadi dan ki Sanuri mnghampiri. Ki Sanuri memberi isyarat kepada anak-anak itu untuk bubar. Setelah anak-anak itu pergi semua, tinggal Joko Galing dan Niken Arum, Parmadi menegur isterinya dengan alis berkerut.
"Diajeng, mengapa engkau mencari perselisihan dengan saudara seperguruan? anak-anak berkelahi tidak perlu dibela orang tua, bahkan setiap orang tua harus memarahi anaknya sendiri."
"Kakangmas, seekor induk ayam saja akan membela anaknya mati-matian kalau anaknya diancam keselamatannya oleh seekor harimau sekali pun. Apakah aku seorang ibu, seorang manusia, harus diam saja melihat anaknya diancam seorang tua yang membela anaknya yang sudah besar seperti kang Kiswoyo tadi?"
Melihat ayah dan ibunya saling mengeluarkan kata-kata yang mengandung penasaran, Joko Galing segera menghampiri mereka dan memegang tangan Ibunya dengan tangan kanan dan tangan Ayahnya dengan tangan kiri.
"Ayah, Ibu, aku yang bersalah telah membikin Ayah dan Ibu tidak senang. Aku yang menyebabkan keributan ini."
Ki Sanuri segera berkata, "Adi Parmadi dan Muryani, Andika berdua jangan menyalahkan Joko Galing lebih dulu sebelum mengetahui persoalannya. Eh, Niken, engkau yang menjadi saksi atas peristiwa perkelahian tadi. Coba ceritakan apa yang terjadi di sini tadi."
"Begini, Ayah. tadi saya mengajak Joko ke sini dan memperkenalkannya kepada para saudara yang bermain-main di sini. Tiba-tiba datang Sangkolo itu dan tanpa sebab tertentu langsung saja dia menghina Joko dengan menyebutnya cindil, tikus busuk, dan lain-lain, malah menantang Joko. Lebih dari itu, dengan curang sekali tiba-tiba dia menampar kedua pipi Joko dan menendang dengan lutut sehingga Joko terjengkang. Saya marah dan balas menampar kedua pipinya. Sangkolo menantang Joko dan mereka lalu berkelahi. Dua kali Sangkolo dirobohkan Joko sehingga hidungnya mengeluarkan darah. lalu datang Paman Kiswoyo, marah-marah dan mencengkeram lengan Joko. Untung muncul Bibi Muryani sehingga Joko tidak dipukul Paman Kiswoyo."
Mendengar ini, Muryani merangkul pundak puteranya dan berkata kepada suaminya. "Nah, Kakangmas, apakah engkau masih menyalahkan aku kalau aku membela anak kita dan menantang Kakang Kiswoyo?"
Parmadi menghela napas panjang. "Hemm, aku tidak dapat menyalahkanmu, Diajeng. Akan tetapi, bagaimanapun juga, hatiku merasa tidak enak. Kita datang sebagai tamu dan terjadilah keributan ini. Kalau terdengar oleh Paman Ki Ageng Branjang, tentu beliau tidak senang dan kita merasa malu sekali."
"Jangan khawatir, Adi Parmadi, bapa Guru dan kami semua sudah tahu bagaimana watak Adi kiswoyo yang keras dan terkadang mau menang sendiri. Hilangkan perasaan tidak enak itu." kata Ki Sanuri.
"Akan tetapi, kakang. Apa yang dikhawatirkan suamiku itu ada benarnya. Kami datang untuk menitipkan Joko Galing untuk sementara di sini, dan sekarang telah terjadi peristiwa yang membuat hati Kakang Kiswoyo tidak senang kepadanya.
"Tidak, Adi Muryani. Biarpun wataknya keras, namun setidaknya Adi Kiswoyo adalah murid Bromo Dadali, bahkan dia yang membantu aku sejak bapa Guru mewakilkan kepada aku untuk mengurus perguruan kita dan memimpin para murid. Dia pasti akan segera menyadari kesalahan anaknya. Memang Sangkolo terkenal bandel dan nakal."
Apa yang diucapkan Ki Sanuri itu terbukti ketika pada suatu malam, Ki Kiswoyo mengajak Sangkolo untuk menemui Parmadi, Muryani dan Joko Galing. Biarpun ragu-ragu, penasaran dan malu-malu, Sangkolo tidak berani membantah ayahnya dan dia menghampiri Joko Galing.
"Aku minta maaf atas kelakuanku tadi." katanya sederhana.
"Ah, tidak mengapa, Kakang Sangkolo. Aku pun sudah melupakan kejadian tadi." jawab Joko Galing.
"Dan kau maafkan aku, Adi Muryani. Aku tadi emosi, marah karena melihat muka sangkolo berlepotan darah. Aku mengira dia terluka parah. Tidak tahunya hanya mimisen (mengeluarkan darah dari hidung)." kata Kiswoyo kepada Muryani.
"Maafkan sama-sama, Kakang Kiswoyo. Seperti juga Joko, aku pun sudah melupakan kejadian tadi. Anggap saja itu urusan anak-anak" kata Muryani.
Ki Kiswoyo dan Sangkolo tidak lama berada di situ. Mereka tak lama kemudian berpamit. Akan tetapi kedatangan mereka itu sudah melegakan hati Muryani dan Parmadi sehingga mereka tidak merasa ragu lagi untuk menitipkan Joko Galing di perguruan Bromo Dadali.
Tiga hari kemudian di perkampungan Bromo dadali. Malam itu gelap. Memang tanggalnya tua dan tidak tampak bulan di angkasa. bahkan bintang-bintang pun tidak ada yang tampak karena langit tertutup mendung. Malam itu sunyi dan angin malam bertiup kuat sehingga semua murid Bromo Dadali dan keluarga mereka lebih suka tinggal di dalam rumah yang lebih hangat dan ada lampu penerangan. Anak-anak sudah memasuki bilik untuk tidur. orang-orang tua masih duduk bercakap-cakap di luar bilik.
Di pondok Ki Ageng Branjang, Ki Sanuri, Parmadi, dan Muryani masih bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Parmadi dan Muryani menceritakan keadaan yang mengancam Mataram, sekali ini datangnya dari Blambangan. Juga Muryani diminta menceritakan semua pengalamannya kepada guru pertamanya itu. Muryani dulu merupakan murid tersayang sehingga ia mewarisi semua ilmu Ki Ageng Baranjang.
Akan tetapi setelah ia kemudian menerima gemblengan gurunya yang ke dua, yaitu mendiang Nyi Rukma Petak (Nenek Rambut Putih), ilmu kepandaiannya meningkat sehingga melebihi Ki Ageng Branjang sendiri. Semua murid Bromo Dadali mengetahui hal ini, maka ketika ditantang Muryani, Ki Kiswoyo tidak berani melayani. Ki Sanuri teringat akan ancaman dari tiga orang utusan Blambangan itu. Tadinya dia memang hendak menyembunyikan hal itu dari gurunya yang sudah tua agar gurunya tidak menjadi gelisah. Akan tetapi kini melihat kehadiran Muryani dan Parmadi yang dia ketahui kesaktian mereka, dia lalu menceritakan kepada gurunya tentang kedatangan Ki Randujapang dan Dwi Kala, sepasang raksasa yang menyeramkan itu dan tentang bujukan Ki Randujapang, agar Bromo Dadali mendukung gerakan Blambangan untuk menyerang Mataram.
"Mereka memberi waktu satu bulan dan sekarang telah lewat tiga minggu. Seminggu lagi mereka akan datang dan minta keputusan. Kalau kita tidak mau membantu, kita akan dianggap mendukung Mataram dan menjadi musuh mereka. Demikianlah, bapa, ancaman dari Blambangan itu."
Ki Ageng Branjang mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang. "Hemm, tidak henti-hentinya orang-orang sesat itu hendak memusuhi Mataram. Padahal Mataram dan persatuannya dengan seluruh penguasa di nusantara merupakan harapan satu-satunya untuk dapat bertahan terhadap kekuasaan Kumpeni Belanda yang semakin melebarkan sayapnya."
"Paman, hal itu tidaklah aneh karena para pemberontak itu justru dikendalikan oleh Kumpeni. Kumpeni selalu mendukung para pemberontak, membantu dengan senjata api dan Kumpeni agaknya memang sengaja mengadu domba antara para penguasa daerah dan Mataram, tentu bermaksud melemahkan kedudukan Mataram."
"Ah, mereka itu sungguh buta, tidak tahu bahwa bangsa Belanda memperalat mereka untuk kepentingan Kumpeni. Mereka diperalat untuk memusuhi bangsa sendiri. Aku mengenal Ki Randujapang itu. Dia itu murid mendiang Ki Harya Baka Wulung datuk dari Madura. Dahulu pun para pemberontak itu sudah membujuk Bromo Dadali untuk bergabung menentang Mataram dan kita tidak pernah mau. Kiranya sampai sekarang mereka masih terus menganggu kita."
Ki Sanuri adalah seorang yang berhati lembut. Sebetulnya dia merasa perlu untuk melaporkan kepada gurunya tentang sikap Ki Kiswoyo yang agaknya menyetujui ajakan utusan Blambangan itu, akan tetapi hatinya tidak sampai untuk menceritakan keburukan sikap adik seperguruannya itu. Maka dia pun diam saja.
"Bapa guru, saya mengenal orang-orang yang mendukung pemberontak itu. Mereka adalah golongan sesat yang tidak segan mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Saya kira, tiga orang utusan itu pun pasti akan menggunakan kekerasan kalau nanti mereka datang lagi minta keputusan." kata Muryani.
"Hemm, apa pun yang mereka lakukan, sampai mati pun aku tetap tidak sudi bersekutu dengan mereka untuk menentang Mataram!" Kata Ki Ageng Branjang.
Parmadi berkata dengan halus. "Paman, mereka berjanji untuk datang lagi setelah lewat sebulan. Berarti seminggu lagi dari sekarang mereka akan muncul dan mungkin mereka akan menyerang Bromo Dadali yang dianggap sebagai musuh."
"Tidak perlu takut!" Muryani berseru nyaring. "Bapa Guru, kami berdua akan membantu! Kami akan menghajar tiga orang utusan Blambangan itu."
"Bapa Guru, dengan adanya Adi Parmadi dan adi Muryani di sini, kedudukan kita cukup kuat. Akan tetapi siapa tahu mungkin mereka datang membawa pasukan. karena itu, pada hari kedatangan mereka seminggu lagi, saya akan mengerahkan semua murid agar hari itu tidak bekerja melainkan berkumpul di sini dan berjaga-jaga untuk melawan musuh."
Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam pondok itu tidak ada yang tahu bahwa setelah percakapan sampai di situ, sesosok bayangan menyelinap pergi menjauhi ruangan itu setelah tadi dia mendengarkan dengan menempelkan telinganya pada celahan dinding yang berlubang. Orang itu adalah Ki Kiswoyo. Setelah menyelinap pergi, dia bergegas menempuh perjalanan di malam gelap itu menuju ke sebuah lereng tak jauh dari perkampungan dan tiba di bagian bukit yang penuh gua-gua di mana tiga orang utusan Blambangan bersama anak buah mereka tinggal untuk sementara. Ki Kiswoyo berunding dengan Randujapang dan Dwi Kala. Dia menceritakan apa yang didengarnya dalam pondok Ki Ageng Branjang tadi.
"Wah, di perkampungan Bromo Dadali datang dua orang yang berbahaya, suami isteri yang memiliki kepandaian tinggi." pertama-tama Ki Kiswoyo melaporkan.
"Hemm, jangan takut, ki Kiswoyo. Kalau hanya ditambah dua orang lagi, kami akan membereskannya. Siapa sih suami isteri yang begitu sakti sehingga Andika tampak jerih benar?" Tanya Randujapang.
"Ia adalah Adik seperguruanku yang bernama Muryani dan suaminya."
"Ha-ha-ha, aneh sekali!" Kaladhama, raksasa bermuka hitam itu terbahak. "Masa Andika takut menghadapi adik seperguruan sendiri?"
"Hemm, mungkin adik perempuan seperguruannya itu cantik jelita sehingga kalau menghadapinya, Ki Kiswoyo menjadi lemas!" Kalajana, raksasa bermuka burik (bopeng) juga tertawa.
"Ah, Andika bertiga belum tahu!" kata Kiswoyo. "Adik perempuan seperguruanku itu telah menjadi murid mendiang Nyi Rukma Petak dan sekarang ia telah menjadi sakti sekali. Juga suaminya yang bernama Parmadi terkenal dengan julukan Si Seruling Gading, seorang sakti mandraguna!"
Kini Ki Randujapang mengangguk angguk. "Hemm, aku pernah mendengar nama Si Suling Gading. Kita harus berhati-hati."
"Hua-ha-ha-ha!" Kaladhama tertawa. raksasa berusia empat puluh empat tahun bertubuh tinggi besar dan berbulu, mukanya hitam matanya besar, hidungnya melesek (pesek) dan telinga kirinya buntung itu tampak geli dan tertawa-tawa.
"Hah, mengapa kalian tampak begitu ketakutan menghadapi seorang wanita dan suaminya? Kalau kalian takut, serahkan mereka berdua kepadaku, ha-ha!"
"Ha-ha, benar sekali. Kakang Kaladhama akan membunuh suaminya, dan aku menangkap wanitanya. Ia cantik, bukan?" kata Kalajana.
Mendengar sikap sombong dua orang raksasa itu, hati Ki Kiswoyo menjadi tenang. Apalagi tadi dia melihat anak buah tiga orang utusan Blambangan itu amat banyak, tidak kurang dari tiga puluh orang, Mereka tampak kokoh kuat dan menyeramkan. Mereka itu, ditambah para murid Bromo Dadali yang dapat dia bujuk untuk berpihak kepadanya, tentu lebih dari cukup untuk mengalahkan para murid yang setia kepada Sanuri dan mereka yang tidak setuju untuk kerja sama.
"Aku mempunyai gagasan yang bagus dan dengan cara ini usaha kita pasti berhasil." kata Ki Kiswoyo.
"Katakan, apa gagasanmu itu?" Tanya Randujapang yang menjadi pemimpin rombongan utusan Blambangan itu.
"Begini, para murid Bromo Dadali setiap hari bekerja dan sibuk. Mereka pasti tidak melakukan persiapan dan penjagaan. Karena Andika berjanji untuk datang lagi sebulan kemudian, maka sebelum hari yang ditentukan itu, mereka tentu lengah. Nah, kita menggunakan kesempatan selagi mereka lengah dan sibuk bekerja untuk menyerbu perkampungan Bromo Dadali. Dengan demikian, tentu akan mudah bagi kita untuk menguasai keadaan dan memenangkan pertempuran. Aku akan mengerahkan saudara-saudaraku membantu dari dalam. Andika bertiga menghadapi Parmadi dan Muryani. Nah, gagasan itu baik sekali, bukan?"
"Bagus!" kata Randijapang.
"Kapan kita lakukan?"
"Sebaiknya besok lusa karena aku harus menghubungi dan mempersiapkan dulu kawan-kawan agar pelaksanaan rencana itu tidak akan gagal."
"Baik, kami menanti berita darimu." kata Ki Randujapang.
Demikianlah persekutuan itu. Memang sikap dan perbuatan Ki Kiswoyo itu merupakan pengkhianatan terhadap guru dan saudara-saudara seperguruannya, pengkhianatan terhadap Perguruan Bromo Dadali, juga pengkhianatan terhadap Mataram. Akan tetapi semua kenyataan itu sama sekali tidak tampak oleh Ki Kiswoyo. Yang teringat olehnya hanyalah bayangan memperoleh kedudukan dan kemewahan. Kalau usahanya berhasil, selain dia akan menjadi Ketua Bromo Dadali, dan hal ini pasti terjadi kalau Sanuri, murid pertama Bromo Dadali, sudah disingkirkan, selain itu dia juga akan menjadi sekutu Blambangan, dan memeperoleh hadiah kedudukan tinggi dan harta benda seperti dijanjikan Ki Randujapang!
Setelah kembali ke perkampungan Bromo Dadali, Ki Kiswoyo lalu memberitahu isterinya agar isterinya pulang ke dusun asalnya dan mengajak Sangkolo dengan alasan hendak menengok orang tuanya sakit. Pada keesokan harinya, isteri Ki Kiswoyo yang tidak diberitahu suaminya akan rencana perebutan kekuasaan di Bromo Dadali itu, berpamit kepada Ki Ageng Branjang dan Ki Sanuri bahwa ia dan Sangkolo akan menengok orang tuanya di dusun yang sedang menderita sakit. Tentu saja hal yang wajar ini disetujui Ki Ageng Branjang, juga Sanuri tidak menaruh curiga apa pun.
Setelah mengantar anak isterinya keluar dari perkampungan Bromo Dadali, Ki Kiswoyo mulai menghubungi para murid yang sepaham dengan dia, yaitu yang condong bekerja sama dengan Blambangan agar mereka memperoleh kedudukan dan harta benda, tidak hanya tetap menjadi murid Bromo Dadali yang hidup sederhana di perkampungan perguruan itu. Ki Kiswoyo adalah seorang yang licik dan cerdik. Ketika dia dengan diam-diam menghubungi teman-teman sepaham, dia sama sekali tidak mengatakan bahwa para utusan Blambangan membawa pasukan dan telah direncanakan menggempur Bromo Dadali dan membunuh mereka yang ikut membela Mataram, terutama sekali Ki Ageng Branjang dan Ki Sanuri.
Dia mengetahui benar bahwa biarpun teman-teman yang sepaham itu dapat terbujuk untuk ikut bekerja sama dengan Blambangan namun tak seorang pun diantara mereka yang setuju untuk membunuh Ki Ageng Branjang. Mereka adalah murid-murid yang menghormati dan menyayang guru mereka.
"Kawan-kawan," katanya meyakinkan, "Para utusan Balmbangan adalah orang-orang sakti mandraguna. Mereka telah memberi waktu kepada Bapa Guru melalui Kakang Sanuri. Aku yakin Bapa Guru tentu setuju bekerja sama dengan mereka untuk menghindatkan pertempuran yang akan mencelakakan kita semua. Karena itu, kita harus membantu para utusan Blambangan untuk menguasai Bromo Dadali karena maksud mereka hanya menaklukkan sehingga pimpinan kita terpaksa menyetujui kita bergabung dengan Blambangan."
"Bagaimana kalau Bapa Guru berkeras tidak menyetujui lalu melawan dengan kekerasan? Kami tidak ingin berkelahi melawan Bapa Guru, juga kami tidak ingin melihat Bapa Guru diganggu, apalagi dibunuh!" terdengar teriakan seorang murid dan semua murid mendukung pertanyaan ini.
"Jangan gelish, Kalau Bapa Guru berkeras menentang, biarlah para utusan Blambangan yang menghadapinya. Aku sendiripun tidak setuju kalau Bapa Guru dilukai atau dibunuh, akan tetapi para utusan Blambangan sudah setuju bahwa mereka hanya ingin menundukkan, sama sekali tidak ingin mencelakai Bapa Guru."
Setelah semua orang setuju, ki Kiswoyo lalu mengatur siasat. "Besok pagi, kalian harus sudah siap dan tidak bekerja di luar perkampungan. Awas jangan sampai bersikap mencurigakan. kalau nanti para utusan Blambangan itu datang menyerbu, baru kalian membantu mereka, melucuti dan menangkap siapa saja yang hendak melawan."
Sekitar tiga puluh orang murid Bromo Dadali yang dihubungi Ki Kiswoyo dan diperingatkan agar besok pagi sudah siap. Ki Sanuri selalu mengawasi gerak gerik Ki Kiswoyo dan memperhatikan adik seperguruan ini semenjak Ki Kiswoyo berbeda pendapat dengan dia mengenai bujukan utusan Blambangan untuk bekerjasama. Kecurigaannya terhadap Ki Kiswoyo semakin kuat ketika adik seperguruannya itu melindungi Sangkolo yang berkelahi dengan Joko Galing. Ketika isteri Ki Kiswoyo mengajak anaknya, Sangkolo pergi, Ki Sanuri mulai bertanya-tanya dalam hatinya apakah ada maksud-maksud tertentu di balik semua itu. Akan tetapi karena Kiswoyo bersikap wajar, dia pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Parmadi dan Muryani mengajak putera mereka, Joko Galing berjalan-jalan ke daerah pegunungan Muria untuk menikmati keindahan alam di sekitarnya. Suami isteri ini hendak mengajak putera mereka bersenang-senang bertiga lebih dulu sebelum mereka berpisah dari putera mereka. Mereka hanya akan tinggal di perguruan Bromo Dadali selama lima hari lagi. Mereka sengaja hendak menanti kembalinya utusan Blambangan yang meninggalkan ancaman kepada Ki Sanuri.
Mereka harus membela Bromo Dadali dari gangguan musuh. Setelah bahaya itu lewat, baru mereka akan kembali ke Pasuruan dan meninggalkan Joko Galing di situ. Akan tetapi sebelum mereka bertiga pagi itu berangkat, Niken Arum yang setiap pagi sejak fajar menyingsing sudah bangun, membersihkan diri dan menyapu halaman, tiba-tiba muncul. Melihat gadis cilik itu, Joko Galing segera berkata kepada ibunya,
"Ibu, aku ingin mengajak Mbakayu Niken." Parmadi memandang puteranya dan bertanya.
"Mengapa engkau ingin mengajak Niken, bukan anak lain?"
"Mbakayu Niken amat baik kepadaku, Ayah. Aku merasa ia seperti saudaraku sendiri, seperti kakakku. Aku akan gembira sekali kalau ia ikut."
Muryani saling pandang dengan suaminya yang mengangguk kecil, dan Muryani segera menggapai ke arah Niken Arum. Gadis cilik itu memang sejak tadi menunda pekerjaannya menyapu dan memandang kepada mereka, maka ketika Muryani memanggil, ia melepaskan sapunya dan lari menghampiri mereka yang berada di jalan.
"Bibi memanggil saya?" tanyanya setelah ia berdiri di depan mereka. "Mbakayu Niken Arum, mari ikut dengan kami!" kata Joko Galing mendahului Ibunya.
"Ikut? Ke mana?" Niken Arum bertanya heran, juga dari kerutan alisnya menunjukkan bahwa ia merasa khawatir.
"Kami hendak berjalan-jalan menikmati keindahan alam di sekitar pegunungan. Mari ikut dengan kami, Mbakayu Niken!"
Gadis cilik itu tersenyum dan menghela napas lega. "Aih, kukira tadi Bibi bertiga hendak pulang ke Pasuruan!"
Muryani tersenyum. "Tidak, Niken. Kami belum pulang. Kalau engkau menerima ajakan Joko, pamitlah kepada orang tuamu, kami tunggu di sini."
"Tentu saja mau, Bibi. Saya akan bilang kepada Ayah dan Ibu dulu!" gadis cilik itu lalu berlari-lari memasuki rumah orang tuanya. Tak lama kemudian ia keluar lagi sudah berganti pakaian ringkas bersama Ayahnya.
"Adimas Parmadi dan Muryani, Andika berdua mengajak Niken Arum bertamasya menikmati keindahan alam pegunungan?" kata Ki Sanuri sambil tersenyum ketika berhadapan dengan suami isteri itu.
"Benar, Kakang Sanuri. Aku ingin menikmati matahari pagi yang dulu amat kukagumi, mengajak Joko Galing dan tadi, melihat Niken Arum, Joko ingin mengajaknya. Boleh, kan?"
"Tenu saja boleh! Akan tetapi, apakah Andika bertiga tidak singgah dulu minum wedang (minuman)? Ibunya Niken sedang sibuk di dapur."
"Terima kasih, Kakang Sanuri. Kami sudah minum tadi dan aku tidak ingin kesiangan menyaksikan matahari pagi." kata Muryani.
Mereka lalu pergi berempat, meninggalkan Ki Sanuri yang mengikuti mereka dengan pandang matanya setelah mereka menghilang di tikungan, Ki sanuri lalu keluar dari pekarangan rumahnya untuk melihat-lihat keadaan. Dia merasa heran sekali, karena melihat betapa sedikitnya murid bromo Dadali yang keluar dari perkampungan untuk bekerja di ladang atau pergi mencari ikan.
Sebagian besar dari mereka sibuk bekerja di pekarangan masing-masing, ada yang mencangkul kebun belakang rumah, ada yang membersihkan pekarangan depan, ada pula yang membetulkan atap yang bocor atau dinding retak. Dia merasa heran sekali dan dia berkeliling dalam perkampungan Bromo Dadali. Dia semakin heran melihat banyak wajah tampak tegang dan seolah mengalihkan pandangan, tidak mau bertemu pandang langsung dengan dia. Ada apakah ini?
Tentu saja dia menjadi curiga dan dengan sendirinya dia teringat kepada Kiswoyo. Maka, dia segera pergi ke rumah adik seperguruan yang menjadi wakilnya dalam menggantikan guru mereka mengurus perguruan Bromo Dadali. Rumah Ki Kiswoyo masih sunyi dan pintu depan tertutup. Ki Sanuri teringat bahwa isteri Kiswoyo dan anak mereka, Sangkolo, kemarin dulu meninggalkan perkampungan mereka, katanya hendak menengok orang tua isteri Kiswoyo di dusunnya.
Berarti Ki Kiswoyo sekarang berada di rumah seorang diri karena keluarga itu tidak mempunyai pembantu seperti juga semua keluarga di perguruan itu. Bahkan guru mereka sendiri juga tidak mempunyai pembantu bayaran, yang melayani kakek itu adalah para murid secara bergilir. Ki Sanuri menghampiri daun pintu dan mengetuknya beberapa kali. akan tetapi tidak ada jawaban.
Dia lalu memanggil dengan suara nyaring. tidak ada jawaban juga. bebeapa kali dia menggedor pintu dan berteriak memanggil. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada jawaban, dia merasa tidak enak. jangan-jangan terjadi sesuatu dengan adik seperguruannya itu. Maka daun pintu depan itu didorongnya. Ternyata tidak dipalang dari dalam, hanya dikaitkan di luar sehingga mudah terbuka. Dalam rumah masih gelap, agaknya memang tidak dipasang lampu penerangan dan pagi itu memang cuaca masih gelap. Kembali Ki Sanuri memanggil.
"Adi Kiswoyo...! Adi Kiswoyo, keluarlah. Aku Sanuri...!"
Tetap tidak ada jawaban. melihat ada sebuah lampu di atas meja dalam ruangan itu, Ki Sanuri lalu menyalakannya sehingga keadaan dalam rumah itu cukup terang. Dia lalu memeriksa semua ruangan dalam rumah itu dan mendapat kenyataan bahwa rumah itu memang kosong. Kiswoyo tidak berada di rumah!. Ke mana perginya sepagi itu? Tadi dia sudah keliling dalam perkampungan dan tidak tampak adanya Kiswoyo.
Mendadak hatinya merasa tidak enak dan kecurigaannya timbul. Teringat sesuatu. Ada firasat yang tidak enak menekan perasaannya. Dia memadamkan lampu lalu keluar dan cepat pergi menghadap Ki Ageng Branjang. Kakek itu seperti biasa, sudah terbangun pagi-pagi sekali tadi, sudah bersamadhi dan kini sedang minum wedang hangat.
"Sanuri, ada keperluan apakah yang membawamu pagi-pagi begini menghadap? Agaknya ada sesuatu yang merisaukan hatimu."
"Kasinggihan (sesungguhnya), Bapa Guru. Ada hal pelik yang harus saya laporkan kepada Paduka."
"Hemm, bicaralah."
Sanuri lalu menceritakan tentang sikap Ki Kiswoyo yang tampaknya menyetujui bujukan para utusan Blambangan untuk bekerja sama menghadapi Mataram. Lalu dia menceritakan tentang peristiwa perkelahian antara Sangkolo dan Joko Galing. Setelah itu, dia menceritakan keadaan pagi ini.
Ki Randujapang ditemani dua orang kawannya yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang menyeramkan. Mereka adalah yang terkenal dengan sebutan Dwi Kala (Dua Kala) yaitu Kaladhama, berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh raksasa bermuka hitam dengan mata melotot lebar, tubuhnya berbulu seperti orang utan. Adapun yang kedua bernama Kalajana, berusia empat puluh tiga tahun, juga bertubuh raksasa dengan muka bopeng (burik), tubuhnya berbulu pula.
Dwi Kala ini adalah dua orang senopati Blambangan, murid-murid Bhagawan Kalasrenggi yang menjadi penasihat Adipati Blambangan dan mereka terkenal sakti mandraguna. Adapun Ki Randujapang sendiri, berusia lima puluhan tahun, juga bertubuh tinggi besar mukanya penuh brewok dan dialah yang datang dari Madura memimpin sekitar tiga ribu orang Madura yang membenci Mataram, untuk bergabung dengan Blambangan yang berniat menggempur Mataram.
Karena Ki Randujapang sudah mengenal baik Ki Ageng Branjang, maka dia yang dijadikan utusan Adipati Blambangan untuk menghubungi perguruan Bromo Dadali yang terkenal itu. Dalam pertemuan itu, Ki Randujapang menyampaikan pemintaan Adipati Blambangan yang didukung Bhagawan Kalasrenggi kepada perguruan Bromo Dadali, agar pertemuan itu mau menggunakan pengaruhnya untuk membujuk para tokoh, para bupati, dan orang-orang yang memiliki kekuasaan di daerah pantai Laut utara, untuk mendukung gerakan Blambangan yang hendak menggempur Mataram.
"Kerajaan Mataram menaklukkan daerah kabupaten dan kadipaten dengan kekerasan sehingga menimbulkan penasaran dan dendam kepada banyak orang." demikian antara lain Ki Randujapang membujuk.
"Hanya Blambangan saja yang belum dikuasai Mataram. Sekarang tiba saatnya bagi kita yang merasa penasaran dan mendendam, untuk membalas dan meruntuhkanMataram bersama-sama agar semua daerah terbebas dari cengkeraman Mataram, bebas melakukan perdagangan dengan siapa pun. Karena itu, kami mengharapkan bantuan perguruan Bromo Dadali."
Ki Sanuri mengerutkan alisnya. Dia tahu betul bahwa sejak dahulu, Ki Ageng Branjang selalu menolak kalau diajak kerja sana untuk memusuhi Mataram. Gurunya itu setia kepada Sultan Agung di Mataram dan biar pun sejak dahulu tidak membantu Mataram secara langsung, namun dia menentang setiap pemberontakan terhadap Mataram. Dia memandang tajam kepada Ki Randujapang dan Dwi Kala, lalu berkata dengan hormat karena dia maklum menghadapi orang-orang yang sakti.
"Saya harap Andika bertiga tidak merasa kecewa kalau kami belum dapat menjawab penawaran Kadipaten Blambangan untuk membujuk para tokoh di pesisir utara. Pertama, karena selama saya menjadi murid Bromo Dadali, kami belum pernah terlibat dalam permusuhan menentang Mataram. Kedua kalinya, guru kami sedang bersemadhi dan sementara ini tidak mau diganggu."
"Akan tetapi, Kakang Sanuri! Untuk urusan penting ini, kita dapat menghadap Bapa guru sekarang juga. Atau, kita sendiri dapat mengambil keputusan atas nama Bapa Guru, karena urusan ini penting sekali, menyangkut hari depan dan kesejahteraan perguruan kita!" kata Ki Kiswoyo mencela kakak seperguruannya.
"Diamlah, Adi Kiswoyo. Andika tidak berhak bicara begitu dan biarkan aku yang mewakili Bapa Guru sebagai pimpinan Bromo Dadali!" kata Sanuri sambil menatap tajam wajah adik seperguruannya itu.
Ki Randujapang tersenyum kecut dan mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau begitu kami memberi waktu satu bulan kepada Andika untuk membicarakan hal ini dengan Ki Ageng Branjang. Sebulan kemudian kami akan datang lagi minta kepastian. Kami hanya berharap Bromo Dadali akan menjaga persahabatannya dengan para penguasa daerah. Kalau Bromo Dadali menolak kerja sama ini, berarti Bromo Dadali berpihak kepada Mataram dan tentu saja hal itu berarti bahwa Bromo Dadali memusuhi persekutuan kami!"
Setelah mengeluarkan kata-kata yang bernada ancaman ini, Ki Randujapang dan Dwi Kala meninggalkan Gunung Muria dengan sikap marah. Pada keesokan harinya, secara diam-diam dan rahasia, Ki Randujapang yang dalam pembicaraan itu melihat sikap Ki Kiswoyo, menghubungi Ki Kiswoyo dan terjadi perundingan di antara mereka.
Dalam perundingan rahasia yang dilakukan di kaki Gunung Muria dan tidak diketahui orang lain itu, Ki Randujapang menjanjikan kepada Ki Kiswoyo bahwa kalau dia mau membantu Blambangan, maka tiga orang utusan Blambangan itu mau membantunya merebut kekuasaan dan menjadikan Ki Kiswoyo sebagai ketua Bromo Dadali di samping janji hadiah berupa harta kekayaan dan kedudukan tinggi kelak kalau usaha menjatuhkan Mataram itu berhasil!
Tergiur oleh janji ini, diam-diam Ki Kiswoyo lalu menyebar bujukan di antara para murid Bromo Dadali sehingga terjadilah perpecahan pendapat yang meresahkan mereka. Sebagian condong menyetujui pendapat Ki Sanuri untuk membela Mataram, sebagian pula condong menyetujui Ki Kiswoyo untuk berhabung dengan persekutuan yang diadakan Blambangan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Biarpun saling bertentangan pendapat, namun kedua pihak masih belum menyatakan pendapat mereka karena Ki Ageng Branjang sendiri belum bicara mengenai hal ini. Ki Sanuri tidak merasa perlu mengganggu gurunya yang sudah tua dengan urusan ini. Dia merasa berhak mewakili gurunya dan mengambil keputusan menolak ajakan Blambangan itu karena dia merasa yakin akan pendirian gurunya. Kalau nanti utusan Blambangan datang lagi, dia akan tetap menolak, apapun akibatnya akan dia hadapi.
Dua minggu telah lewat sejak Ki Randujapang datang berkunjung ke Bromo Dadali. Pada suatu pagi datang tiga orang tamu memasuki perkampungan Bromo Dadali dan kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh para murid Bromo Dadali. Yang datang itu adalah Muryani, Parmadi, dan anak mereka, Joko Galing.
Tentu saja Muryani, suami dan anaknya itu disambut dengan genbira oleh para murid yang selain mengenal baik Muryani sebagai saudara seperguruan, juga tahu bahwa kini Muryani telah menjadi seorang sakti mandraguna. Kurang lebih lima belas tahun yang lalu, ketika Bromo Dadali diserbu Raden Dibyasakti putera Harya Baka Wulung dari Madura karena Ki Ageng Branjang tidak mau diajak kerja sama menentang Mataram, Muryani yang datang mengalahkan Dibyasakti sehingga musuh itu melarikan diri bersama anak buahnya.
Padahal Dibyasakti itu tangguh luar biasa dan tidak ada yang mengalahkannya sehingga Bromo Dadali terancam sekali pada waktu itu. Kini Muryani muncul bersama suaminya yang kabarnya juga sakti mandraguna, bersama anak mereka yang baru berusia enam tahun. Tentu saja semua orang menyambut dengan gembira. Yang paling gembira adalah Ki Sanuri. Tadinya dia merasa cemas memikirkan ancaman Ki Randujapang.
Kedatangan adik seperguruan yang dapat diandalkan ini membesarkan hatinya sehingga Ki Sanuri cepat menghadap Ki Ageng Branjang di sanggar pamujan untuk melaporkan tentang kedatangan Muryani. Ki Ageng Branjang juga gembira sekali mendengar bahwa muridnya yang terkasih dan sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu datang berkunjung bersama suami dan anaknya. Dia segera keluar dari sanggar pamujan dan menyambut kedatangan keluarga itu.
Setelah beremu Ki Ageng Branjang di ruangan dalam, Muryani, Parmadi dan Joko Galing segera memberi hotmat dengan sembah.
"Bapa guru... !" kata Muryani, terharu melihat gurunya kini tampak demikian tua dan lelah. Ketika ia mendekat, Ki Ageng Branjang mengelus kepalanya.
"Angger, Muryani, engkau berbahagia dalam hidupmu, bukan?"
"Mendapat pangestu (restu) Bapa Guru, saya sekeluarga berbahagia." kata Muryani.
"Kanjeng Paman, saya menghaturkan hormat." kata Parmadi dan Ki Ageng Branjang menerima sembah itu dengan senyum ramah.
"Anak mas Parmadi, silakan duduk Anak mas!"
"Eyang, saya Jaka Galing! Eyang sehat-sehat saja, bukan?"
Menerima teguran salam dari anak laki-laki yang lincah itu, Ki Ageng Branjang tertawa terkekeh-kekeh saking senang hatinya.
"Waduh, cucuku Joko Galing! Engkau kini telah menjadi seorang joko cilik (pemuda kecil) yang ganteng dan gagah! Aku sehat-sehat saja, Cucuku. Mendekatlah, Joko Galing!"
Anak itu mendekati Ki Ageng Branjang dan kakek itu merangkul, memeluk sambil menggerayangi kepala dan kedua pundak anak itu. Kagumlah dia karena anak itu benar-benar memiliki bentuk kepala yang besar dan bagus, juga tulang-tulangnya kuat.
"Joko, keluar dan bermain-mainlah dengan anak-anak di sini. Engkau perlu berkenalan dengan mereka dan jangan nakal. Ayah dan Ibu akan bicara dengan eyangmu." kata Muryani yang tidak menghendaki anaknya mendengarkan percakapan mereka yang menyangkut urusan pembelaan Mataram.
Setelah Joko Galing keluar, Muryani dan Parmadi lalu memberitahukan maksud kunjungan mereka, yaitu untuk sementara akan menitipkan Joko Galing di Bromo Dadali karena mereka berdua harus membela Pasuruan yang agaknya terancam penyerbuan Blambangan yang hendak memberontak terhadap Mataram. Kelak selesai perang, mereka akan datang menjemput anak mereka.
"Jadi Blambangan hendak memberontak terhadap Mataram? Ah, mengapa mereka itu masih juga belum mengerti bahwa musuh kita semua itu adalah Kumpeni Belanda?"
kanjeng Paman, menurut yang kami dengar, Blambangan bersekutu dengan Kumpeni Belanda, menerima banyak senjata api, dibantu oleh pasukan besar Bali dan dari Madura. Keadaan akan berbahaya sekali karena persekutuan mereka itu kuat, dibantu orang-orang yang sakti mandraguna." kata Parmadi. "Karena itu, Bapa Guru, saya hendak menitipkan Joko Galing di sini agar kami berdua dapat membela Pasuruan dan Mataram dengan bebas, tanpa khawatir terjadi apa-apa dengan anak kami."
"Wah, tentu saja boleh. Bahkan kami senang sekali kalau Joko Galing untuk sementara tinggal di sini. Kami akan menjaganya baik-baik." kata Kakek itu.
"Memang anak itu harus berada di tempat yang terlindung dan aman, Bapa Guru. Dalam perjalanan kami ke sini pun, kami dihadang orang-orang jahat utusan Blambangan dan dalam perkelahian itu, kami nyaris celaka, bahkan Joko Galing diculik orang." kata Muryani.
"Ah, apakah yang terjadi?" Ki Ageng Branjang terkejut mendengar ucapan Muryani itu. Muryani lalu bercerita tentang penghadangan yang dilakukan tiga orang jagoan dari Bali yang bersekutu dengan Blambangan dan anak buah mereka. akhirnya, setelah muncul pasukan Pasuruan membantu, para penyerang itu dapat dikalahkan dan melarikan diri. Akan tetapi dalam keributan itu, Joko Galing dilarikan orang.
"Hemm, siapa yang menculik putera kalian?" tanya Kakek itu.
"Bapa Guru, tentu akan heran mendengarnya. Penculiknya adalah si manusia Iblis Satyabrata." kata Muryani.
Sepasang mata kakek itu terbelalak, "Satyabrata? Kukira dia telah mati!"
"Tadinya kami juga mengira begitu, karena sudah belasan tahun dia tidak penah muncul." kata Muryani sedangkan sejak tadi Parmadi hanya mendengarkan saja, membiarkan isterinya yang bercerita kepada Ki Ageng Branjang.
"Wah, berbahaya sekali manusia iblis yang jahat dan sakti itu. Akan tetapi, bagaimana kini Joko Galing dapat kembali kepada kalian?"
"Tanpa kami sangka-sangka, ada orang yang menyelamatkan anak kami, Bapa Guru dan Bapa tentu akan heran pula mengetahui siapa orang yang mengembalikan Joko Galing kepada kami. Penolongnya itu adalah Maya Dewi!"
"Heh? bagaimana ini? Maya Dewi yang terkenal sebagai Iblis Betina itu yang menolong Joko Galing dan mengembalikannya kepadamu?"
"Benar, Bapa. Kami juga merasa heran sekali dan sempat mencurigainya. akan tetapi setelah ia pergi, Joko Galing bercerita bahwa wanita yang dulu seperti iblis jahat itu benar-benar telah menolongnya bahkan dengan mengorbankan diri tertembak dan terluka pangkal lengannya."
"Sebuah mujizat! Kalau Gusti Allah menghendaki, tidak ada hal yang mustahil di dunia ini. Kita wajib bersyukur karena peristiwa itu membuktikan bahwa Gusti Allah telah melindungi Joko Galing sehingga terbebas dari bahaya."
Mereka lalu bercakap-cakap dengan gembira. Atas permintaan gurunya, Muryani harus menceritakan semua pengalamannya sejak pertemuan mereka yang terakhir, beberapa tahun yang lalu dan mereka juga memperbincangkan ancaman Blambangan terhadap Mataram. Sementara itu, Joko Galing keluar dari rumah besar Ki Ageng Branjang. setelah tiba di pendopo, dia disambut oleh Sanuri, Markonah, dan Niken Arum. "Joko Galing, engkau tentu telah lupa kepada kami karena ketika engkau diajak ke sini oleh Ibumu, engkau masih kecil." kata Sanuri sambil tersenyum ramah.
"ketahuilah, Joko Galing, aku adalah Pakde-mu Ki Sanuri, ini Bibi-gurumu Nyi Markonah dan ini anak kami, Mbakayumu Niken Arum."
Joko Galing tersenyum. Dia sejak kanak-kanak tak pernah merasa malu kalau berhadapan dengan siapa pun, dan biar pun dia juga diajar tata-krama namun dia memiliki watak yang terbuka dan tidak suka akan sikap yang bermuka-muka atau kesopanan yang dibuat-buat untuk menyenangkan hati orang. Dia hanya mengangguk kepada tiga orang itu dan berkata,
"Saya pernah mendengar nama Pakde sekalian dari Ibu."
Ki Sanuri lalu berkata kepada puterinya, "Niken Arum, ajaklah Adikmu Joko Galing bermain-main dan berkenalan dengan anak-anak yang lain."
"Baik, Ayah. Mari, Joko Galing, kuperkenalkan kepada saudara-saudara yang lain dan kuantar engkau melihat-lihat keadaan di pekampungan Bromo Dadali."
"Mari, Mbakayu Niken Arum." kata Joko Galing dan mereka berjalan menuruni anak tangga pendopo ke halaman.
Biarpun usia Niken Arum sudah dua belas tahun sedangkan Joko Galing baru enam tahun, namun tinggi mereka hampir sama. Niken Arum membawa Joko Galing ke padang rumput yang terdapat di tengah perkampungan dan tempat itu menjadi tempat di mana anak-anak bermain-main dan berkumpul. Tidak kurang dari lima belas orang anak laki-laki dan sepuluh orang anak perempuan berkumpul di situ dan usia mereka antara enam sampai tiga belas tahun. Yang lebih muda masih lebih suka bermain dekat ibunya dan yang sudah lebih tua mulai bekerja membantu orang tua mereka.
Anak-anak itu menyambut Joko Galing dengan gembira. Semua anak sudah mendengar bahwa Bibi Muryani yang mereka dengar sebagai murid Bromo Dadali terpandai, datang bersama suami dan puteranya. Maka kini mereka menyambut Joko Galing dengan gembira dan kagum karena bagaimanapn juga, penampilan Joko Galing agak berbeda dari mereka, baik pakaiannya maupun sikapnya.
Hal ini dapat dimaklumi karena sejak kecil Joko Galing hidup di Kadipaten Pasuruan, sebuah kota dengan lingkungan yang lain dibandingkan keadaan perkampungan Bromo Dadali yang lingkungannya hanya dusun-dusun yang bersahaja. Pendeknya, secara mudah dapat digambarkan bahwa keadaan Joko Galing adalah anak kota yang berbeda dari mereka yang anak-anak desa!
Maka, anak-anak itu merasa kagum dan menghujani Joko Galing dengan pertanyaan-pertanyaan. Akan tetapi ada seorang anak laki-laki yang sejak tadi memandang ke arah Joko Galing dengan alis berkerut, mata mengandung kemarahan dan mulutnya menyeringai penuh ejekan, Anak ini adalah Sangkolo. Hatinya dipenuhi rasa marah, dengki, iri dan dia memandang rendah kepada anak laki-laki yang sedang menjadi pusat perhatian semua anak-anak itu.
Apalagi melihat betapa Niken Arum akrab dengan anak laki-laki itu, sejak tadi menggandeng tangan anak yang kemudian dia ketahui sebagai Joko Galing. Melihat betapa semua anak bersikap manis dan tersenyum-senyum memandang kagum kepada Joko Galing, Sangkolo tidak dapat menahan panasnya hati yang penuh iri. Dia, sebagai anak yang paling menonjol di antara mereka, dianggap paling pandai, paling tampan gagah, paling kuat sehingga tidak ada yang berani menentangnya, belum pernah diperlakukan semanis itu oleh anak-anak perkampungan mereka.
Dengan mengangkat dadanya yang bidang, menegakkan kepalanya, dia melangkah lebar menghampiri kerumunan anak-anak itu. denagn kasar dia mendorong anak-anak yang sedang merubung Joko Galing ke kanan kiri dan ketika anak-anak itu melihat siapa yang melakukan ekasaran itu, mereka tidak berani melawan dan cepat mereka minggir memberi jalan kepada Sengkolo untuk memasuki lingkaran mereka. Dengan alis berkerut dan muka merah karena marah, Sangkolo berdiri di depan Joko Galing dan Niken Arum yang memandang kepadanya dengan heran.
Sangkolo menjulurkan tangan kiri ke depan, tangan kanannya bertolak pinggang dan dengan sikap menghina dan mengejek telunjuknya menuding depan hidung Joko Galing.
"Siapa tikus kecil ini?" Kemudian dia memandang ke arah tangan kanan Joko Galing yang masih menggandeng tangan Niken Arum dan membentak. "Heh, Cindil (anak tikus), hayo lepaskan tangan Niken Arum!"
Biarpun ia marah melihat sikap Sangkolo yang jelas menghina Joko Galing, Niken Arum tidak mau melihat keributan dan ia segera memperkenalkan.
"Adi Joko, ini adalah Kakang Sangkolo, putera Paman Kiswoyo. Kakang Sangkolo, Adik ini adalah Joko Galing, putera Bibi Muryani dari Kadipaten Pasuruan. Adi Joko, bersalamanlah dengan Kakang Sangkolo."
Mendengar ucapan Niken Arum, Joko Galing menjulurkan tangan siap untuk bersalaman, akan tetapi sama sekali tidak tersangka-sangka oleh dia dan semua orang, tahu-tahu kedua tangan Sangkolo bergerak menampar pipi Joko Galing dari kanan kiri lalu kaki kirinya melangkah ke depan dan lutut kanannya diangkat menghantam perut Joko Galing.
"Plak-plak! Bukk!!" Tubuh Joko Galing terjengkang dan dia terbanting duduk, membelalakkan mata keheranan dan kedua tangannya mengelus kedua pipinya yang agak sembab dan merah terkena tamparan keras tadi, dan perutnya terasa nyeri pula. Dia lebih merasa heran daripada marah dan hanya duduk dan memandang bengong kepada penyerangnya.
"Heh-heh, begini saja ya anak Pasuruan? Anak kota yang kementhus (sombong)!"
"Apa kesalahanku?" Joko Galing yang keheranan itu bertanya, sementara itu anak-anak yang tadi mengelilinginya kini mundur agak jauh agar jangan terlibat perkelahian. Hanya Niken Arum yang masih berdiri di situ, ia pun terkejut dan heran melihat peristiwa yang tidak tersangka-sangka itu sehingga bengong dan tertegun.
"Kesalahanmu? Engkau tidak boleh menggandeng tangan Niken Arum! Ia milikku, tahu? Engkau pantas dihajar!"
Sangkolo sudah melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba Niken Arum meloncat ke depannya dan kedua tangannya menyambar.
"Plak! Plak!" Kedua pipi Sangkolo kini ditamparnya sampai kulit pipinya menjadi merah.
"Sangkolo!!" bentak Niken Arum tanpa menggunakan sebutan kakang lagi. "Betapa jahat dan curangnya engkau! Joko Galing adalah tamu kita yang baru datang dan engkau sudah menghina dan menamparnya!"
"Sudahlah, engkau tahu apa! Anak perempuan jangan mencampuri urusan anak laki-laki!" Kata Sangkolo dan ketika Niken Arum hendak mencegahnya menghampiri Joko Galing, dia mendorong dengan tangannya sehingga Niken Arum terhuyung ke pinggir.
"Sangkolo! Engkau anak laki-laki curang! Engkau menampar aku tanpa memberitahu peringatan lebih dulu dan sekarang engkau berlaku kasar kepada seorang anak perempuan yang masih adik seperguruanmu sendiri! Apakah di Bromo Dadali ini engkau tidak mendapat pendidikan budi pekerti?"
Kini Joko Galing sudah menghadapi Sangkolo dan menegurnya. Anak ini marah sekali melihat Niken Arum yang membelanya itu didorong sampai terhuyung. Dengan berani dia berdiri berhadapan dengan Sangkolo yang jauh lebih besar daripada dia karena usia Sangkolo sudah dua kali usianya. Sangkolo yang amat marah karena tadi pipinya ditampar Niken Arum, tidak mau menumpahkan kemarahannya kepada gadis remaja itu dan mendengar ucapan Joko Galing, semua perasaan marahnya dia tumpahkan kepada anak itu.
"Cindil busuk, kamu berani menantang aku?" bentaknya dan dia sudah mengepal kedua tangannya, mukanya masih merah oleh tamparan Niken Arum tadi, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mengancam.
"Aku tidak menantang siapa-siapa, akan tetapi aku selalu siap menghadapi laki-laki yang curang dan beraninya hanya menghina perempuan." kata Joko Galing dengan sikap tenang walaupun dia juga marah sekali.
Para murid cilik Bromo Dadali melihat pertengkaran itu, sudah membuat lingkaran lebar dan mereka ingin menonton. Akan tetapi kebanyakan dari mereka merasa penasaran melihat Sangkolo yang sudah besar itu menantang Joko Galing yang masih kecil. Kebanyakan dari mereka memang merasa tidak senang kepada Sangkolo yang suka bertindak sewenang-wenang kepada anak-anak lain.
"Hemm, beranikah engkau bertanding melawan aku? Cindil busuk!" tantang Sangkolo.
"Aku bukan cindil busuk macam kamu! Aku Joko Galing dan aku tidak pernah takut bertanding melawan orang jahat macam kamu!" kata Joko Galing.
"Bagus! Mari lawan aku, monyet, kalau engkau ingin dadamu ambrol (jebol) dan kepalamu pecah!"
Setelah berkata demikian, Sangkolo merenggangkan kedua kakinya yang berjingkat, tubuhnya agak membungkuk dengan kedua lengan diangkat ke kanan kiri seperti seekor burung hendak terbang. Inilah pebukaan ilmu silat Bromo Dadali yang disebut kuda-kuda Dadali Anglayang (Burung Walet Melayang)! Melihat ini, Niken Arum merasa khawatir sekali. Joko Galing masih begitu kecil dan usia Sangkolo dua kali lebih tua.
Selain itu, ia tahu bahwa di antara para anak-anak di Bromo Dadali, Sangkolo merupakan murid yang paling pandai dan memiliki tenaga yang kuat. Dalam hal ilmu silat, ia sendiri tidak berada di bawah tingkat Sangkolo, akan tetapi harus ia akui bahwa ia kalah jauh dalam hal tenaga.
"Adi Joko, biar aku yang menghadapinya!" Niken Arum sudah melompat ke depan Sangkolo, membelakangi Joko Galing dan ia pun sudah memasang kuda-kuda yang sama dengan pasangan Sangkolo. Melihat ini Sangkolo tertegun dan meragu.
"Ahh, Niken Arum, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku malah menjadi pelindungmu agar engkau jangan diganggu siapa pun juga. Aku menantang Joko Galing itu. Hei, bocah Pasuruan, apakah beranimu hanya bersembunyi di balik punggung seorang perempuan?"
Mendengar ini, panas rasa perut Joko Galing. Sejak kecil sekali dia tidak pernah merasa takut, maka ucapan itu sungguh menikam harga dirinya. Dia melangkah maju dan menangkap pergelangan tangan Niken Arum.
"Mbakyu Niken, mundurlah! Aku ingin menghajar mulut kotor bocah sombong ini!"
Ketika Joko Galing menarik lengan Niken Arum, gadis remaja itu terkejut. Ia merasa betapa jari-jari tangan anak laki-laki yang baru berusia enam tahun itu kuat bukan main dan ketika Joko Galing menariknya ke belakang, ia tidak mampu bertahan dan terpaksa ia melangkah ke belakang.
"Hati-hati, Adi Joko!" pesannya dan ia pun mundur dan berdiri bersama para murid perempuan lain yang menonton bersama anak-anak lain yang membentuk lingkaran luas.
Dua orang anak laki-laki itu kini berhadapan dan mereka saling pandang bagaikan dua ekor ayam jago hendak berlaga dan kini saling menyelidiki dengan pandang mata tajam dan mengandung kemarahan. Sangkolo masih memasang kuda-kuda seperti tadi, sedangkan Joko Galing berdiri biasa saja, namun penuh kewaspadaan.
Sejak kecil diapun sudah menerima gemblengan dasar ilmu silat dari kedua orang tuanya, terutama dari ayahnya yang mengajarkan kepadanya bahwa pasangan kuda-kuda sebagai pembukaan dalam sebuah pertandingan, yang terpenting bukanlah kedudukan kaki tangan, melainkan yang terpenting itu kewaspadaan mata dan telinga, dan bersiapnya seluruh urat syaraf di tubuhnya dalam menghadapi serangan lawan.
Maka, dia berdiri biasa saja, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, santai saja namun urat syaraf di tubuhnya siap untuk membuat gerakan tiba-tiba dalam membela diri, menghindarkan serangan lawan dan membalas dengan serangan balik secepatnya. Sangkolo yang memang memiliki watak sombong dan tinggi hati karena selalu dimanja dan dipuji orang tuanya, merasa dirinya paling pandai dan kuat di antara semua murid remaja, memandang rendah lawannya.
Selain Joko Galing masih kecil, juga dia sudah dapat menampar kedua pipi Joko Galing dengan mudah, bahkan menambahi serangan lutut pada perut anak itu sehingga Joko Galing terjengkang. Huh, melawan anak kecil ini, dengan satu dua pukulan saja anak Pasuruan ini pasti akan roboh pingsan! Dan dia akan semakin ditakuti anak-anak lain, dan terutama sekali, Niken Arum pasti akan kagum sekali melihat kegagahannya!
"Heh-heh-heh, anak kecil masih ingusan! Kamu benar-benar berani melawan aku?" ejeknya karena bagaimanapun juga, ditonton semua anak di situ, tiba-tiba dia merasa tidak gagah sama sekali karena lawannya hanyalah seorang anak kecil!
"Aku tidak ingin berkelahi, akan tetapi itu bukan berarti aku takut padamu!" jawab Joko Galing tenang.
"Ha-ha-ha, suahlah, kalau engkau takut, aku pun malu kalau melawan seekor tikus kecil macam engkau. Nah, sekarang cepat minta maaf kepadaku dan tinggalkan tempat ini, baru aku tidak akan memukul ambrol dadamu dan pecah kepalamu!"
"Sudah kukatakan, aku tidak takut akan segala ancamanmu, mengapa aku harus minta ampun? Engkau yang semestinya minta maaf kepadaku karena engkau telah menghina dan menamparku."
"Keparat, engkau memang layak dihajar! Rasakan pukulanku!"
Sangkolo cepat menerjang dengan pukulan beruntun kedua tangannya. Akan tetapi dengan gesit sekali tubuh Joko Galing mengelak sehingga dua pukulan itu luput. Sangkolo semakin marah dan dia menyusulkan dua tendangan beruntun dengan kedua kakinya. Namun, kembali dengan gerakannya yang lincah, Joko Galing dapat menghindarkan tendangan beruntun itu dengan elakannya. Anak ini cerdik sekali.
Dia sudah dapat melihat bahwa dalam hal tenaga, jelas dia kalah kuat oleh Sangkolo yang sudah berusia tiga belas tahun itu. Akan tetapi dia menang jauh dalam hal kegesitan gerakan tubuhnya. Maka dia memanfaatkan kelincahan ini untuk menghindarkan diri dari hantaman tangan atau tendangan kaki lawan. Selain itu, dia pun sudah diajari ibunya tentang ilmu Silat Bromo Dadali sehingga dia mengenal serangan-serangan Sangkolo.
Anak-anak yang menonton, terutama Niken Arum, tadinya merasa khawatir dan juga ngeri melihat betapa Sangkolo menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga kalau pukulan atau tendangannya mengenai tubuh yang kecil itu, pasti akibatnya membahayakan sekali bagi keselamatan Joko Galing.
Akan tetapi setelah belasan kali dielakkan oleh Joko Galing dan cara mengelakkan itu tampak mudah dan gesit sekali, anak-anak mulai riuh menertawakan Sangkolo yang terkadang terhuyung ke depan terbawa tenaga pukulannya sendiri yang mengenai tempat kosong. Ada pula yang bertepuk tangan memuji ketika untuk kesekian kalinya Joko Galing dapat mengelak, padahal serangan Sangkolo semakin hebat mengikuti meningkatnya kemarahannya.
Wajahnya menjadi kemerahan, matanya melotot, rasanya ingin dia mencekik leher anak yang dibencinya itu. Tentu saja dia semakin marah karena ditertawakan semua anak-anak dan kemarahannya ini dia tumpahkan kepada Joko Galing. Joko Galing juga maklum bahwa dia akhirnya akan menderita rugi dan mungkin terkena pukulan kalau hanya mengelak terus, maka setelah mendapatkan kesempatan yang baik, ketika menghindar ke kiri, dia menekuk lutut kiri, membalik dan kaki kanannya mencuat dengan tendangan ke arah perut Sangkolo.
"Bukk... !!" Sangkolo mengaduh dan terhuyung ke belakang sambil menekan perutnya. Tendangan Joko Galing memang tidak seberapa kuat, akan tetapi karena tidak disangka-sangka datangnya, dan ketika tendangan datang dia sedang menyedot napas, maka perutnya tidak terjaga sehingga terasa nyeri dan mulas.
Anak-anak bertepuk tangan memuji. Mereka merasa girang bahwa kini Sangkolo mendapat hajaran, bahkan dari anak yang jauh lebih muda. Bukan main marahnya hati Sangkolo. Dia mengertak gigi dan bagaikan seekor harimau dia melompat ke arah Joko Galing, menerkam dengan tangan menyambar dari kanan kiri untuk mencekik leher anak itu!
"Awas, Joko!" Niken Arum berseru, terkejut melihat serangan hebat dan berbahaya itu.
Namun Joko Galing tidak kehilangan kewaspadaan dan ketenangannya. Dia menekuk kedua lutut sambil menggeser kaki ke belakang. Ketika tubuh Sangkolo lewat karena terkamannya luput, selagi tubuh itu condong ke depan, Joko Galing menggerakkan kakinya menyerampang ke depan kedua kaki Sangkolo. Karena Sangkolo saat itu terdorong ke depan karena terkamannya luput, maka begitu kedua kakinya dijegal atau terhadang kaki Joko Galing, tak dapat dicegah lagi tubuh Sangkolo terjerembab dan karena jatuhnya tertelungkup maka tak dapat dihindarkan lagi mukanya terbentur pada tanah berbatu.
"Aduh.... !" Dia merangkak bangun dan mukanya berlepotan darah yang mengucur dari lubang hidungnya. Kembali anak-anak bersorak menyambut kemenangan Joko Galing ini. Pada saat itu, Ki Kiswoyo datang berlari-lari. Dia menguak kerumunan anak-anak.
"Ada apa ini ribut-ribut?" bentaknya dan dia melihat Sangkolo yang mulai bangkit berdiri. Melihat muka anaknya berlepotan darah, Ki Kiswoyo terkejut bukan main. Dia melompat dan merangkul Sangkolo. Anak yang selalu dimanja ini sedang dalam keadaan marah dan malu sekali, juga mulai jerih karena kini dia tahu bahwa anak kecil itu benar-benar tangguh, begitu melihat ayahnya yang merangkulnya, lalu menangis!
"Sangkolo, mengapa engkau berdarah seperti ini? Siapa orang yang memukulmu, Nak?"
Sangkolo yang menutupi mukanya dengan kedua punggung tangan menggosok-gosok matanya, menuding ke arah Joko Galing.
"Dia yang memukul...!"
Mendengar ini, berkerut alis Ki Kiswoyo dan sekali melompat, dia sudah menangkap lengan kanan Joko Galing dan menghardik sambil mengguncang-guncang tubuh anak itu.
"Siapa kamu? Berani benar kamu memukul anakku!"
Biarpun merasa lengannya yang dipegang erat itu nyeri, namun Joko Galing diam saja. Pada saat itu terdengar suara nyaring.
"Kakang Kiswoyo, anakku itu bernama Joko Galing. Anakmu yang sudah belasan tahun berkelahi dengan anakku yang berusia enam tahun. Itu saja sudah tidak patut sama sekali dan kini engkau hendak turun tangan membela anakmu? Kalau memang engkau gatal tangan dan ingin berkelahi, lawanlah Ibunya, jangan yangan anak kecil! Kita sama-sama tua bangka boleh bertanding sepuasmu!"
Ki Kiswoyo menoleh dan mukanya berubah merah. Dia segera melepaskan cengkeraman tangannya pada lengan Joko Galing.
"Adi Muryani! Jadi bocah ini puteramu...?" Lalu dia menjambak rambut Sangkolo dan diseret pergi, sambil mengomel.
"Kau kalah oleh anak sekecil itu? Memalukan...!" Dia menarik anak itu pulang dan Sangkolo menangis dan mengaduh-aduh.
Pada saat itu, Parmadi dan ki Sanuri mnghampiri. Ki Sanuri memberi isyarat kepada anak-anak itu untuk bubar. Setelah anak-anak itu pergi semua, tinggal Joko Galing dan Niken Arum, Parmadi menegur isterinya dengan alis berkerut.
"Diajeng, mengapa engkau mencari perselisihan dengan saudara seperguruan? anak-anak berkelahi tidak perlu dibela orang tua, bahkan setiap orang tua harus memarahi anaknya sendiri."
"Kakangmas, seekor induk ayam saja akan membela anaknya mati-matian kalau anaknya diancam keselamatannya oleh seekor harimau sekali pun. Apakah aku seorang ibu, seorang manusia, harus diam saja melihat anaknya diancam seorang tua yang membela anaknya yang sudah besar seperti kang Kiswoyo tadi?"
Melihat ayah dan ibunya saling mengeluarkan kata-kata yang mengandung penasaran, Joko Galing segera menghampiri mereka dan memegang tangan Ibunya dengan tangan kanan dan tangan Ayahnya dengan tangan kiri.
"Ayah, Ibu, aku yang bersalah telah membikin Ayah dan Ibu tidak senang. Aku yang menyebabkan keributan ini."
Ki Sanuri segera berkata, "Adi Parmadi dan Muryani, Andika berdua jangan menyalahkan Joko Galing lebih dulu sebelum mengetahui persoalannya. Eh, Niken, engkau yang menjadi saksi atas peristiwa perkelahian tadi. Coba ceritakan apa yang terjadi di sini tadi."
"Begini, Ayah. tadi saya mengajak Joko ke sini dan memperkenalkannya kepada para saudara yang bermain-main di sini. Tiba-tiba datang Sangkolo itu dan tanpa sebab tertentu langsung saja dia menghina Joko dengan menyebutnya cindil, tikus busuk, dan lain-lain, malah menantang Joko. Lebih dari itu, dengan curang sekali tiba-tiba dia menampar kedua pipi Joko dan menendang dengan lutut sehingga Joko terjengkang. Saya marah dan balas menampar kedua pipinya. Sangkolo menantang Joko dan mereka lalu berkelahi. Dua kali Sangkolo dirobohkan Joko sehingga hidungnya mengeluarkan darah. lalu datang Paman Kiswoyo, marah-marah dan mencengkeram lengan Joko. Untung muncul Bibi Muryani sehingga Joko tidak dipukul Paman Kiswoyo."
Mendengar ini, Muryani merangkul pundak puteranya dan berkata kepada suaminya. "Nah, Kakangmas, apakah engkau masih menyalahkan aku kalau aku membela anak kita dan menantang Kakang Kiswoyo?"
Parmadi menghela napas panjang. "Hemm, aku tidak dapat menyalahkanmu, Diajeng. Akan tetapi, bagaimanapun juga, hatiku merasa tidak enak. Kita datang sebagai tamu dan terjadilah keributan ini. Kalau terdengar oleh Paman Ki Ageng Branjang, tentu beliau tidak senang dan kita merasa malu sekali."
"Jangan khawatir, Adi Parmadi, bapa Guru dan kami semua sudah tahu bagaimana watak Adi kiswoyo yang keras dan terkadang mau menang sendiri. Hilangkan perasaan tidak enak itu." kata Ki Sanuri.
"Akan tetapi, kakang. Apa yang dikhawatirkan suamiku itu ada benarnya. Kami datang untuk menitipkan Joko Galing untuk sementara di sini, dan sekarang telah terjadi peristiwa yang membuat hati Kakang Kiswoyo tidak senang kepadanya.
"Tidak, Adi Muryani. Biarpun wataknya keras, namun setidaknya Adi Kiswoyo adalah murid Bromo Dadali, bahkan dia yang membantu aku sejak bapa Guru mewakilkan kepada aku untuk mengurus perguruan kita dan memimpin para murid. Dia pasti akan segera menyadari kesalahan anaknya. Memang Sangkolo terkenal bandel dan nakal."
Apa yang diucapkan Ki Sanuri itu terbukti ketika pada suatu malam, Ki Kiswoyo mengajak Sangkolo untuk menemui Parmadi, Muryani dan Joko Galing. Biarpun ragu-ragu, penasaran dan malu-malu, Sangkolo tidak berani membantah ayahnya dan dia menghampiri Joko Galing.
"Aku minta maaf atas kelakuanku tadi." katanya sederhana.
"Ah, tidak mengapa, Kakang Sangkolo. Aku pun sudah melupakan kejadian tadi." jawab Joko Galing.
"Dan kau maafkan aku, Adi Muryani. Aku tadi emosi, marah karena melihat muka sangkolo berlepotan darah. Aku mengira dia terluka parah. Tidak tahunya hanya mimisen (mengeluarkan darah dari hidung)." kata Kiswoyo kepada Muryani.
"Maafkan sama-sama, Kakang Kiswoyo. Seperti juga Joko, aku pun sudah melupakan kejadian tadi. Anggap saja itu urusan anak-anak" kata Muryani.
Ki Kiswoyo dan Sangkolo tidak lama berada di situ. Mereka tak lama kemudian berpamit. Akan tetapi kedatangan mereka itu sudah melegakan hati Muryani dan Parmadi sehingga mereka tidak merasa ragu lagi untuk menitipkan Joko Galing di perguruan Bromo Dadali.
********************
Tiga hari kemudian di perkampungan Bromo dadali. Malam itu gelap. Memang tanggalnya tua dan tidak tampak bulan di angkasa. bahkan bintang-bintang pun tidak ada yang tampak karena langit tertutup mendung. Malam itu sunyi dan angin malam bertiup kuat sehingga semua murid Bromo Dadali dan keluarga mereka lebih suka tinggal di dalam rumah yang lebih hangat dan ada lampu penerangan. Anak-anak sudah memasuki bilik untuk tidur. orang-orang tua masih duduk bercakap-cakap di luar bilik.
Di pondok Ki Ageng Branjang, Ki Sanuri, Parmadi, dan Muryani masih bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Parmadi dan Muryani menceritakan keadaan yang mengancam Mataram, sekali ini datangnya dari Blambangan. Juga Muryani diminta menceritakan semua pengalamannya kepada guru pertamanya itu. Muryani dulu merupakan murid tersayang sehingga ia mewarisi semua ilmu Ki Ageng Baranjang.
Akan tetapi setelah ia kemudian menerima gemblengan gurunya yang ke dua, yaitu mendiang Nyi Rukma Petak (Nenek Rambut Putih), ilmu kepandaiannya meningkat sehingga melebihi Ki Ageng Branjang sendiri. Semua murid Bromo Dadali mengetahui hal ini, maka ketika ditantang Muryani, Ki Kiswoyo tidak berani melayani. Ki Sanuri teringat akan ancaman dari tiga orang utusan Blambangan itu. Tadinya dia memang hendak menyembunyikan hal itu dari gurunya yang sudah tua agar gurunya tidak menjadi gelisah. Akan tetapi kini melihat kehadiran Muryani dan Parmadi yang dia ketahui kesaktian mereka, dia lalu menceritakan kepada gurunya tentang kedatangan Ki Randujapang dan Dwi Kala, sepasang raksasa yang menyeramkan itu dan tentang bujukan Ki Randujapang, agar Bromo Dadali mendukung gerakan Blambangan untuk menyerang Mataram.
"Mereka memberi waktu satu bulan dan sekarang telah lewat tiga minggu. Seminggu lagi mereka akan datang dan minta keputusan. Kalau kita tidak mau membantu, kita akan dianggap mendukung Mataram dan menjadi musuh mereka. Demikianlah, bapa, ancaman dari Blambangan itu."
Ki Ageng Branjang mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang. "Hemm, tidak henti-hentinya orang-orang sesat itu hendak memusuhi Mataram. Padahal Mataram dan persatuannya dengan seluruh penguasa di nusantara merupakan harapan satu-satunya untuk dapat bertahan terhadap kekuasaan Kumpeni Belanda yang semakin melebarkan sayapnya."
"Paman, hal itu tidaklah aneh karena para pemberontak itu justru dikendalikan oleh Kumpeni. Kumpeni selalu mendukung para pemberontak, membantu dengan senjata api dan Kumpeni agaknya memang sengaja mengadu domba antara para penguasa daerah dan Mataram, tentu bermaksud melemahkan kedudukan Mataram."
"Ah, mereka itu sungguh buta, tidak tahu bahwa bangsa Belanda memperalat mereka untuk kepentingan Kumpeni. Mereka diperalat untuk memusuhi bangsa sendiri. Aku mengenal Ki Randujapang itu. Dia itu murid mendiang Ki Harya Baka Wulung datuk dari Madura. Dahulu pun para pemberontak itu sudah membujuk Bromo Dadali untuk bergabung menentang Mataram dan kita tidak pernah mau. Kiranya sampai sekarang mereka masih terus menganggu kita."
Ki Sanuri adalah seorang yang berhati lembut. Sebetulnya dia merasa perlu untuk melaporkan kepada gurunya tentang sikap Ki Kiswoyo yang agaknya menyetujui ajakan utusan Blambangan itu, akan tetapi hatinya tidak sampai untuk menceritakan keburukan sikap adik seperguruannya itu. Maka dia pun diam saja.
"Bapa guru, saya mengenal orang-orang yang mendukung pemberontak itu. Mereka adalah golongan sesat yang tidak segan mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Saya kira, tiga orang utusan itu pun pasti akan menggunakan kekerasan kalau nanti mereka datang lagi minta keputusan." kata Muryani.
"Hemm, apa pun yang mereka lakukan, sampai mati pun aku tetap tidak sudi bersekutu dengan mereka untuk menentang Mataram!" Kata Ki Ageng Branjang.
Parmadi berkata dengan halus. "Paman, mereka berjanji untuk datang lagi setelah lewat sebulan. Berarti seminggu lagi dari sekarang mereka akan muncul dan mungkin mereka akan menyerang Bromo Dadali yang dianggap sebagai musuh."
"Tidak perlu takut!" Muryani berseru nyaring. "Bapa Guru, kami berdua akan membantu! Kami akan menghajar tiga orang utusan Blambangan itu."
"Bapa Guru, dengan adanya Adi Parmadi dan adi Muryani di sini, kedudukan kita cukup kuat. Akan tetapi siapa tahu mungkin mereka datang membawa pasukan. karena itu, pada hari kedatangan mereka seminggu lagi, saya akan mengerahkan semua murid agar hari itu tidak bekerja melainkan berkumpul di sini dan berjaga-jaga untuk melawan musuh."
Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam pondok itu tidak ada yang tahu bahwa setelah percakapan sampai di situ, sesosok bayangan menyelinap pergi menjauhi ruangan itu setelah tadi dia mendengarkan dengan menempelkan telinganya pada celahan dinding yang berlubang. Orang itu adalah Ki Kiswoyo. Setelah menyelinap pergi, dia bergegas menempuh perjalanan di malam gelap itu menuju ke sebuah lereng tak jauh dari perkampungan dan tiba di bagian bukit yang penuh gua-gua di mana tiga orang utusan Blambangan bersama anak buah mereka tinggal untuk sementara. Ki Kiswoyo berunding dengan Randujapang dan Dwi Kala. Dia menceritakan apa yang didengarnya dalam pondok Ki Ageng Branjang tadi.
"Wah, di perkampungan Bromo Dadali datang dua orang yang berbahaya, suami isteri yang memiliki kepandaian tinggi." pertama-tama Ki Kiswoyo melaporkan.
"Hemm, jangan takut, ki Kiswoyo. Kalau hanya ditambah dua orang lagi, kami akan membereskannya. Siapa sih suami isteri yang begitu sakti sehingga Andika tampak jerih benar?" Tanya Randujapang.
"Ia adalah Adik seperguruanku yang bernama Muryani dan suaminya."
"Ha-ha-ha, aneh sekali!" Kaladhama, raksasa bermuka hitam itu terbahak. "Masa Andika takut menghadapi adik seperguruan sendiri?"
"Hemm, mungkin adik perempuan seperguruannya itu cantik jelita sehingga kalau menghadapinya, Ki Kiswoyo menjadi lemas!" Kalajana, raksasa bermuka burik (bopeng) juga tertawa.
"Ah, Andika bertiga belum tahu!" kata Kiswoyo. "Adik perempuan seperguruanku itu telah menjadi murid mendiang Nyi Rukma Petak dan sekarang ia telah menjadi sakti sekali. Juga suaminya yang bernama Parmadi terkenal dengan julukan Si Seruling Gading, seorang sakti mandraguna!"
Kini Ki Randujapang mengangguk angguk. "Hemm, aku pernah mendengar nama Si Suling Gading. Kita harus berhati-hati."
"Hua-ha-ha-ha!" Kaladhama tertawa. raksasa berusia empat puluh empat tahun bertubuh tinggi besar dan berbulu, mukanya hitam matanya besar, hidungnya melesek (pesek) dan telinga kirinya buntung itu tampak geli dan tertawa-tawa.
"Hah, mengapa kalian tampak begitu ketakutan menghadapi seorang wanita dan suaminya? Kalau kalian takut, serahkan mereka berdua kepadaku, ha-ha!"
"Ha-ha, benar sekali. Kakang Kaladhama akan membunuh suaminya, dan aku menangkap wanitanya. Ia cantik, bukan?" kata Kalajana.
Mendengar sikap sombong dua orang raksasa itu, hati Ki Kiswoyo menjadi tenang. Apalagi tadi dia melihat anak buah tiga orang utusan Blambangan itu amat banyak, tidak kurang dari tiga puluh orang, Mereka tampak kokoh kuat dan menyeramkan. Mereka itu, ditambah para murid Bromo Dadali yang dapat dia bujuk untuk berpihak kepadanya, tentu lebih dari cukup untuk mengalahkan para murid yang setia kepada Sanuri dan mereka yang tidak setuju untuk kerja sama.
"Aku mempunyai gagasan yang bagus dan dengan cara ini usaha kita pasti berhasil." kata Ki Kiswoyo.
"Katakan, apa gagasanmu itu?" Tanya Randujapang yang menjadi pemimpin rombongan utusan Blambangan itu.
"Begini, para murid Bromo Dadali setiap hari bekerja dan sibuk. Mereka pasti tidak melakukan persiapan dan penjagaan. Karena Andika berjanji untuk datang lagi sebulan kemudian, maka sebelum hari yang ditentukan itu, mereka tentu lengah. Nah, kita menggunakan kesempatan selagi mereka lengah dan sibuk bekerja untuk menyerbu perkampungan Bromo Dadali. Dengan demikian, tentu akan mudah bagi kita untuk menguasai keadaan dan memenangkan pertempuran. Aku akan mengerahkan saudara-saudaraku membantu dari dalam. Andika bertiga menghadapi Parmadi dan Muryani. Nah, gagasan itu baik sekali, bukan?"
"Bagus!" kata Randijapang.
"Kapan kita lakukan?"
"Sebaiknya besok lusa karena aku harus menghubungi dan mempersiapkan dulu kawan-kawan agar pelaksanaan rencana itu tidak akan gagal."
"Baik, kami menanti berita darimu." kata Ki Randujapang.
Demikianlah persekutuan itu. Memang sikap dan perbuatan Ki Kiswoyo itu merupakan pengkhianatan terhadap guru dan saudara-saudara seperguruannya, pengkhianatan terhadap Perguruan Bromo Dadali, juga pengkhianatan terhadap Mataram. Akan tetapi semua kenyataan itu sama sekali tidak tampak oleh Ki Kiswoyo. Yang teringat olehnya hanyalah bayangan memperoleh kedudukan dan kemewahan. Kalau usahanya berhasil, selain dia akan menjadi Ketua Bromo Dadali, dan hal ini pasti terjadi kalau Sanuri, murid pertama Bromo Dadali, sudah disingkirkan, selain itu dia juga akan menjadi sekutu Blambangan, dan memeperoleh hadiah kedudukan tinggi dan harta benda seperti dijanjikan Ki Randujapang!
Setelah kembali ke perkampungan Bromo Dadali, Ki Kiswoyo lalu memberitahu isterinya agar isterinya pulang ke dusun asalnya dan mengajak Sangkolo dengan alasan hendak menengok orang tuanya sakit. Pada keesokan harinya, isteri Ki Kiswoyo yang tidak diberitahu suaminya akan rencana perebutan kekuasaan di Bromo Dadali itu, berpamit kepada Ki Ageng Branjang dan Ki Sanuri bahwa ia dan Sangkolo akan menengok orang tuanya di dusun yang sedang menderita sakit. Tentu saja hal yang wajar ini disetujui Ki Ageng Branjang, juga Sanuri tidak menaruh curiga apa pun.
Setelah mengantar anak isterinya keluar dari perkampungan Bromo Dadali, Ki Kiswoyo mulai menghubungi para murid yang sepaham dengan dia, yaitu yang condong bekerja sama dengan Blambangan agar mereka memperoleh kedudukan dan harta benda, tidak hanya tetap menjadi murid Bromo Dadali yang hidup sederhana di perkampungan perguruan itu. Ki Kiswoyo adalah seorang yang licik dan cerdik. Ketika dia dengan diam-diam menghubungi teman-teman sepaham, dia sama sekali tidak mengatakan bahwa para utusan Blambangan membawa pasukan dan telah direncanakan menggempur Bromo Dadali dan membunuh mereka yang ikut membela Mataram, terutama sekali Ki Ageng Branjang dan Ki Sanuri.
Dia mengetahui benar bahwa biarpun teman-teman yang sepaham itu dapat terbujuk untuk ikut bekerja sama dengan Blambangan namun tak seorang pun diantara mereka yang setuju untuk membunuh Ki Ageng Branjang. Mereka adalah murid-murid yang menghormati dan menyayang guru mereka.
"Kawan-kawan," katanya meyakinkan, "Para utusan Balmbangan adalah orang-orang sakti mandraguna. Mereka telah memberi waktu kepada Bapa Guru melalui Kakang Sanuri. Aku yakin Bapa Guru tentu setuju bekerja sama dengan mereka untuk menghindatkan pertempuran yang akan mencelakakan kita semua. Karena itu, kita harus membantu para utusan Blambangan untuk menguasai Bromo Dadali karena maksud mereka hanya menaklukkan sehingga pimpinan kita terpaksa menyetujui kita bergabung dengan Blambangan."
"Bagaimana kalau Bapa Guru berkeras tidak menyetujui lalu melawan dengan kekerasan? Kami tidak ingin berkelahi melawan Bapa Guru, juga kami tidak ingin melihat Bapa Guru diganggu, apalagi dibunuh!" terdengar teriakan seorang murid dan semua murid mendukung pertanyaan ini.
"Jangan gelish, Kalau Bapa Guru berkeras menentang, biarlah para utusan Blambangan yang menghadapinya. Aku sendiripun tidak setuju kalau Bapa Guru dilukai atau dibunuh, akan tetapi para utusan Blambangan sudah setuju bahwa mereka hanya ingin menundukkan, sama sekali tidak ingin mencelakai Bapa Guru."
Setelah semua orang setuju, ki Kiswoyo lalu mengatur siasat. "Besok pagi, kalian harus sudah siap dan tidak bekerja di luar perkampungan. Awas jangan sampai bersikap mencurigakan. kalau nanti para utusan Blambangan itu datang menyerbu, baru kalian membantu mereka, melucuti dan menangkap siapa saja yang hendak melawan."
Sekitar tiga puluh orang murid Bromo Dadali yang dihubungi Ki Kiswoyo dan diperingatkan agar besok pagi sudah siap. Ki Sanuri selalu mengawasi gerak gerik Ki Kiswoyo dan memperhatikan adik seperguruan ini semenjak Ki Kiswoyo berbeda pendapat dengan dia mengenai bujukan utusan Blambangan untuk bekerjasama. Kecurigaannya terhadap Ki Kiswoyo semakin kuat ketika adik seperguruannya itu melindungi Sangkolo yang berkelahi dengan Joko Galing. Ketika isteri Ki Kiswoyo mengajak anaknya, Sangkolo pergi, Ki Sanuri mulai bertanya-tanya dalam hatinya apakah ada maksud-maksud tertentu di balik semua itu. Akan tetapi karena Kiswoyo bersikap wajar, dia pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Parmadi dan Muryani mengajak putera mereka, Joko Galing berjalan-jalan ke daerah pegunungan Muria untuk menikmati keindahan alam di sekitarnya. Suami isteri ini hendak mengajak putera mereka bersenang-senang bertiga lebih dulu sebelum mereka berpisah dari putera mereka. Mereka hanya akan tinggal di perguruan Bromo Dadali selama lima hari lagi. Mereka sengaja hendak menanti kembalinya utusan Blambangan yang meninggalkan ancaman kepada Ki Sanuri.
Mereka harus membela Bromo Dadali dari gangguan musuh. Setelah bahaya itu lewat, baru mereka akan kembali ke Pasuruan dan meninggalkan Joko Galing di situ. Akan tetapi sebelum mereka bertiga pagi itu berangkat, Niken Arum yang setiap pagi sejak fajar menyingsing sudah bangun, membersihkan diri dan menyapu halaman, tiba-tiba muncul. Melihat gadis cilik itu, Joko Galing segera berkata kepada ibunya,
"Ibu, aku ingin mengajak Mbakayu Niken." Parmadi memandang puteranya dan bertanya.
"Mengapa engkau ingin mengajak Niken, bukan anak lain?"
"Mbakayu Niken amat baik kepadaku, Ayah. Aku merasa ia seperti saudaraku sendiri, seperti kakakku. Aku akan gembira sekali kalau ia ikut."
Muryani saling pandang dengan suaminya yang mengangguk kecil, dan Muryani segera menggapai ke arah Niken Arum. Gadis cilik itu memang sejak tadi menunda pekerjaannya menyapu dan memandang kepada mereka, maka ketika Muryani memanggil, ia melepaskan sapunya dan lari menghampiri mereka yang berada di jalan.
"Bibi memanggil saya?" tanyanya setelah ia berdiri di depan mereka. "Mbakayu Niken Arum, mari ikut dengan kami!" kata Joko Galing mendahului Ibunya.
"Ikut? Ke mana?" Niken Arum bertanya heran, juga dari kerutan alisnya menunjukkan bahwa ia merasa khawatir.
"Kami hendak berjalan-jalan menikmati keindahan alam di sekitar pegunungan. Mari ikut dengan kami, Mbakayu Niken!"
Gadis cilik itu tersenyum dan menghela napas lega. "Aih, kukira tadi Bibi bertiga hendak pulang ke Pasuruan!"
Muryani tersenyum. "Tidak, Niken. Kami belum pulang. Kalau engkau menerima ajakan Joko, pamitlah kepada orang tuamu, kami tunggu di sini."
"Tentu saja mau, Bibi. Saya akan bilang kepada Ayah dan Ibu dulu!" gadis cilik itu lalu berlari-lari memasuki rumah orang tuanya. Tak lama kemudian ia keluar lagi sudah berganti pakaian ringkas bersama Ayahnya.
"Adimas Parmadi dan Muryani, Andika berdua mengajak Niken Arum bertamasya menikmati keindahan alam pegunungan?" kata Ki Sanuri sambil tersenyum ketika berhadapan dengan suami isteri itu.
"Benar, Kakang Sanuri. Aku ingin menikmati matahari pagi yang dulu amat kukagumi, mengajak Joko Galing dan tadi, melihat Niken Arum, Joko ingin mengajaknya. Boleh, kan?"
"Tenu saja boleh! Akan tetapi, apakah Andika bertiga tidak singgah dulu minum wedang (minuman)? Ibunya Niken sedang sibuk di dapur."
"Terima kasih, Kakang Sanuri. Kami sudah minum tadi dan aku tidak ingin kesiangan menyaksikan matahari pagi." kata Muryani.
Mereka lalu pergi berempat, meninggalkan Ki Sanuri yang mengikuti mereka dengan pandang matanya setelah mereka menghilang di tikungan, Ki sanuri lalu keluar dari pekarangan rumahnya untuk melihat-lihat keadaan. Dia merasa heran sekali, karena melihat betapa sedikitnya murid bromo Dadali yang keluar dari perkampungan untuk bekerja di ladang atau pergi mencari ikan.
Sebagian besar dari mereka sibuk bekerja di pekarangan masing-masing, ada yang mencangkul kebun belakang rumah, ada yang membersihkan pekarangan depan, ada pula yang membetulkan atap yang bocor atau dinding retak. Dia merasa heran sekali dan dia berkeliling dalam perkampungan Bromo Dadali. Dia semakin heran melihat banyak wajah tampak tegang dan seolah mengalihkan pandangan, tidak mau bertemu pandang langsung dengan dia. Ada apakah ini?
Tentu saja dia menjadi curiga dan dengan sendirinya dia teringat kepada Kiswoyo. Maka, dia segera pergi ke rumah adik seperguruan yang menjadi wakilnya dalam menggantikan guru mereka mengurus perguruan Bromo Dadali. Rumah Ki Kiswoyo masih sunyi dan pintu depan tertutup. Ki Sanuri teringat bahwa isteri Kiswoyo dan anak mereka, Sangkolo, kemarin dulu meninggalkan perkampungan mereka, katanya hendak menengok orang tua isteri Kiswoyo di dusunnya.
Berarti Ki Kiswoyo sekarang berada di rumah seorang diri karena keluarga itu tidak mempunyai pembantu seperti juga semua keluarga di perguruan itu. Bahkan guru mereka sendiri juga tidak mempunyai pembantu bayaran, yang melayani kakek itu adalah para murid secara bergilir. Ki Sanuri menghampiri daun pintu dan mengetuknya beberapa kali. akan tetapi tidak ada jawaban.
Dia lalu memanggil dengan suara nyaring. tidak ada jawaban juga. bebeapa kali dia menggedor pintu dan berteriak memanggil. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada jawaban, dia merasa tidak enak. jangan-jangan terjadi sesuatu dengan adik seperguruannya itu. Maka daun pintu depan itu didorongnya. Ternyata tidak dipalang dari dalam, hanya dikaitkan di luar sehingga mudah terbuka. Dalam rumah masih gelap, agaknya memang tidak dipasang lampu penerangan dan pagi itu memang cuaca masih gelap. Kembali Ki Sanuri memanggil.
"Adi Kiswoyo...! Adi Kiswoyo, keluarlah. Aku Sanuri...!"
Tetap tidak ada jawaban. melihat ada sebuah lampu di atas meja dalam ruangan itu, Ki Sanuri lalu menyalakannya sehingga keadaan dalam rumah itu cukup terang. Dia lalu memeriksa semua ruangan dalam rumah itu dan mendapat kenyataan bahwa rumah itu memang kosong. Kiswoyo tidak berada di rumah!. Ke mana perginya sepagi itu? Tadi dia sudah keliling dalam perkampungan dan tidak tampak adanya Kiswoyo.
Mendadak hatinya merasa tidak enak dan kecurigaannya timbul. Teringat sesuatu. Ada firasat yang tidak enak menekan perasaannya. Dia memadamkan lampu lalu keluar dan cepat pergi menghadap Ki Ageng Branjang. Kakek itu seperti biasa, sudah terbangun pagi-pagi sekali tadi, sudah bersamadhi dan kini sedang minum wedang hangat.
"Sanuri, ada keperluan apakah yang membawamu pagi-pagi begini menghadap? Agaknya ada sesuatu yang merisaukan hatimu."
"Kasinggihan (sesungguhnya), Bapa Guru. Ada hal pelik yang harus saya laporkan kepada Paduka."
"Hemm, bicaralah."
Sanuri lalu menceritakan tentang sikap Ki Kiswoyo yang tampaknya menyetujui bujukan para utusan Blambangan untuk bekerja sama menghadapi Mataram. Lalu dia menceritakan tentang peristiwa perkelahian antara Sangkolo dan Joko Galing. Setelah itu, dia menceritakan keadaan pagi ini.