Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Kemelut Blambangan
Jilid 15
"PAMAN, sekali lagi saya mohon Paman menyadari bahwa apa yang paman putuskan itu berlawanan dengan sikap Bapa Guru, berlawanan pula dengan pendirian perguruan Driya Pawitra!” kata yang lebih muda dengan suara keras namun sikapnya tetap menghormat. "Bukankah Paman selalu menjadi penasihat perguruan kita selalu membela yang benar dan menentang yang salah?"
"Hemmm, Sakitri, engkau tahu apa? Segala tindakan harus diperhitungkan lebih dulu, bukan saja benar salahnya, melainkan juga untung ruginya. Aku tidak ingin melihat perguruan Driya Pawitra yang dipimpin Kakang Sarwaguna menjadi hancur lebur hanya karena salah pilih dan salah mengambil keputusan. Kalau engkau membantah, berarti engkau ingin menghancurkan Driya Pawitra dan kesalahanmu ini tidak kuampuni!"
"Paman Guru Bhagawan Sarwatama! Saya adalah murid Driya Pawitra yang setia dan siap membela perguruan kita dengan taruhan nyawa! Saya tidak akan menyeleweng dari peraturan yang ditentukan dalam Perguruan Driya Pawitra!"
"Heh, Sakitri! Apakah engkau hendak membantah dan melawan aku yang ikut menggemblengmu? Engkau tidak hormat, tidak taat dan tidak takut kepadaku?"
"Paman, saya hormat, taat dan takut kepada paman, akan tetapi saya lebih hormat, lebih taat dan lebih tahut kepada Perguruan Driya Pawitra!"
"Keparat! Engkau anak kemarin berani menantang aku?"
"Saya tidak menantang Paman, saya hanya membela kebenaran!"
Laki-laki berpakaian pendeta yang bernama Bhagawan Sarwatama itu menyerang dengan tongkat ular hitamnya. Tongkat itu menyambar dahsyat dan dari angin pukulan yang berdesing itu tahulah Bagus Sajiwo bahwa laki-laki berpakaian pendeta itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali! Akan tetapi orang yang lebih muda itu sudah mencabut pedangnya menangkis.
"Tranggg...!" Bunga api berpijar dan laki-laki berpedang itu terhuyung ke belakang. Ini saja menunjukkan bahwa dia kalah kuat. Akan tetapi dia memutar pedangnya dan melawan mati-matian. Bagus Sajiwo menonton dengan alis berkerut. Dari percakapan mereka tadi dia tahu bahwa mereka adalah paman dan keponakan seperguruan.
Dia merasa tidak enak untuk mencampuri, apalagi karena dia tidak tahu apa persoalan yang mereka ributkan. Andaikata seperti yang dia dengar tadi, laki-laki bernama Sakitri itu betul-betul membela kebenaran, namun sikapnya berani menentang dan melawan paman gurunya itu sudah tidak benar. Dia tidak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, maka Bagus Sajiwo hanya berdiri menonton dengan hati ragu. Tiba-tiba Bhagawan Sarwatama mengeluarkan pekik melengking, tangan kirinya melakukan gerakan mendorong ke depan dan tubuh Sakitri terjengkang roboh dan muntah darah!
"Heh-heh, bocah kurang ajar. Rasakan, mati kau sekarang!" Bhagawan Sarwatama itu melangkah maju dan mengangkat tongkat ular hitamnya ke atas, dipukulnya ke arah kepala Sakitri yang sudah tidak mampu bergerak itu. "Wuuuttt... plakkk!" Bhagawan Sarwatama melompat ke belakang dengan mata terbelalak kaget. Tongkatnya tadi bertemu dengan tangan Bagus Sajiwo yang menangkisnya. Ada seorang pemuda yang mampu menangkis pukulan tongkat ularnya dengan tangan kosong, bahkan membuat dia terdorong ke belakang dengan kuatnya! Hampir pendeta itu tidak percaya.
"Maaf, Paman. Lawan yang sudah roboh tidak semestinya diserang lagi. Aneh kalau seorang paman guru begitu kejam hendak membunuh murid keponakan yang telah dilukainya!" kata Bagus Sajiwo.
Bhagawan Sarwatama memandang dengan muka merah karena marah. "Orang muda yang lancang! Berani engkau mencampuri urusan keluarga perguruan kami? Pergilah!"
Berkata demikian, Bhagawan Sarwatama kembali mendorongkan tangan kirinya yang dikembangkan ke arah Bagus Sajiwo. Itulah Aji Pawana Sakti yang mendatangkan angin pukulan amat kuat sehingga tadi sekali terkena pukulan itu Sakitri roboh dan muntah darah. Akan tetapi, Bagus Sajiwo yang mengenal pukulan ampuh, meyambut dengan telapak tangan kanannya.
"Syuuuttt... bresss...!!" kembali tubuh Bhagawan Sarwatama terpental, kini lebih kuat sehingga biarpun dia dapat melompat dan tidak terjatuh, namun dia sempat terhuyung. Sang pendeta ini terkejut bukan main dan merasa gentar, apalagi ketika melihat seorang pemuda lain yang berkulit putih berada di situ. Melawan yang seorang ini saja rasanya sudah amat berat, apalagi kalau mereka maju berdua!
"Hemm, orang muda, siapa engkau?" tanyanya ketus.
"Nama saya Bagus Sajiwo, Paman, dan maafkan saya. Bukan maksud saya hendak mencampuri urusan pribadi orang, melainkan saya hanya ingin mencegah orang melakukan pembunuhan secara kejam."
"Huh... !" Pendeta itu mendengus, lalu memutar tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bagus Sajiwo menghampiri dan berjongkok memeriksa tubuh Sakitri. Dia mengerutkan alisnya melihat betapa baju di bagian dada orang itu hancur dan kulit dadanya biru menghitam. Terkena aji pukulan yang dahsyat sekali.
"Bagaimana keadaannya, Bagus?" Bagus sajiwo memandang Parto yang juga sudah berjongkok di sebelahnya. Dia menggeleng kepalanya. Sakitri mengeluh dan membuka matanya.
"Kisanak..." katanya lirih sambil menyeringai menahan rasa nyeri, terengah-engah dan di sela-sela rintihannya. "jangan kepalang menolong... Ki sanak, saya mohon padamu... pergilah ke Teluk Grajagan... peringatkan Bapa Guru Ki Sarwaguna... Ketua Perguruan Driyo Pawitra... terancam... akan diserbu.... Blambangan... Paman Sarwatama... pengkhianat.... uuhhhhh... !"
Kepala orang itu terkulai dan ketika Bagus Sajiwo memeriksa, denyut jantung Sakitri telah terhenti! "Dia telah mati... !" kata Bagus Sajiwo dan tanpa bicara lagi dia lalu menggali lubang dan mengubur jenazah orang itu, dibantu oleh Parto yang diam-diam merasa kagum kepada pemuda itu. Betapa luhur budinya.
Setelah selesai mengubur jenazah orang yang sama sekali tidak dikenalnya itu, Bagus Sajiwo lalu berkata kepada Parto, "Parto, menyesal sekali, terpaksa kita menunda perjalanan kita ke Tuban yang jauh. Aku harus lebih dulu pergi ke Teluk Grajagan yang jauh lebih dekat daripada Tuban, untuk memenuhi pesan terakhir Ki Sakitri tadi."
"Tidak mengapa, bagus. Kalau engkau pikir memang perlu sekali pergi ke sana, aku menurut saja." jawab Parto.
"Tentu saja perlu sekali. Perguruan Driya Pawitra terancam serbuan Blambangan dan agaknya Bhagawan Sarutama tadi bekhianat terhadap perguruan itu."
"Itu menurut pesan orang tadi, Bagus. Kukira kurang bijaksana kalau hanya mendengar dan percaya keterangan satu pihak saja. Bagimana ngkau dapat yakin bahwa keterangan sepihak itu mesti benar?"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Engkau benar, Parto. Aku pun tidak begitu sembrono untuk percaya saja keterangan Ki Sakitri tadi. Akan tetapi, kalau urusan ini menyangkut Blambangan yang sedang kuselidiki, maka aku harus pergi ke perguruan Driya Pawitra itu. Tanpa datang ke sana menyaksikan sendiri keadaannya, bagaimana aku dapat mengetahui siapa benar siapa salah? Sayang, urusan ini membuat kepulanganmu ke Tuban menjadi tertunda."
"Sudah kukatakan tadi, tidak mengapa, Bagus. Mari kita berangkat!"
Mereka lalu meninggalkan tempat itu dan kini mereka memutar haluan perjalanan mereka, tidak ke utara melainkan ke selatan. Perjalanan ke Tuban dari daerah Blambangan ini memang jauh sekali dan akan makan waktu lama, apalagi dilakukan melalui darat yang banyak rintangannya. Sebaliknya, teluk Grajagan tidaklah begitu jauh. Akan tetapi mereka harus berhati-hati karena untuk menuju ke teluk itu, mereka harus melintasi daerah Blambangan. Siapakah Bhagawan Sarwatama dan Ki Sakitri itu dan apakah yang terjadi dengan Perguruan Driya Pawitra?
Kita tinggalkan dulu Bagus Sajiwo dan Parto atau Tan Swi Hong yang melakukan perjalanan menuju ke Teluk Grajagan, dan kita tengok keadaan perguruan silat itu. Perguruan Driya Pawitra adalah sebuah perguruan silat yang sudah tua, mendekati satu abad usianya. Pendirinya adalah seorang laki-laki yang berasal dari kerajaan Pajajaran di Nusa Jawa bagian barat. Namanya Ki Hajarmanik yang merantau sampai diujung timur selatan Nusa Jawa dan akhirnya dia menetap bertapa di sebuah gua yang terdapat di pantai Teluk Grajagan.
Semenjak Ki Hajarmanik yang sudah berusia enam puluhan tahun itu bertapa di situ, setiap kali ada gerombolan penjahat mengganggu pedusunan di daerah itu, dia selalu muncul dan menghajar para penjahat. Nama Ki Hajarmanik mulai dikenal dan dikagumi karena kesaktian dan kebaikannya. Para pemuda di sekitar daerah itu mulai berdatangan untuk berguru ilmu kepadanya. Ki Hajarmanik menerima mereka, mengajarkan ilmu oleh kanuragan dan juga pendidikan budi pekerti.
Makin banyak saja para muda yang menjadi muridnya sehingga akhirnya Ki Hajarmanik mendirikan sebuah perguruan silat yang diberi nama perguruan Silat Driya Pawitra. Selama kurang lebih satu abad, perguruan itu turun temurun dipimpin seorang murid Driya Pawitra yang terpandai, terutama yang menonjol dan tertinggi tingkat kesaktiannya. Akhirnya, kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu. perguruan Driya Pawitra dipimpin oleh Ki Sarwaguna sebagai ketuanya.
Ketika itu, Ki Sarwaguna berusia kuang lebih dua puluh lima tahun. Dia memang seorang murid perguruan itu yang terpandai dalam aji kanuragan. Dia dibantu oleh seorang adik seperguruan yang setahun lebih muda darinya, bernama Ki Sarwatama. Selisih tingkat kepandaian antara kedua orang murid utama Driya Pawitra ini tidak banyak, hanya bedanya, kalau Ki Sarwaguna lebih suka memperdalam ilmu kanuragan, sebaliknya Ki Sarwatama lebih suka memperdalam ilmu kebatinan sehingga sejak muda dia lebih suka melakukan tapabrata.
Kedua orang yang menjadi pimpinan baru Perguruan Driya Pawitra itu mempunyai seorang adik seperguruan, seorang gadis bernama Ambarsari, seorang di antara beberapa orang pemuda ini jatuh cinta kepada Ambarsari dan terjadilah semacam persaingan untuk merebut hati Ambarsari. Akan tetapi akhirnya Ambarsari memilih Ki Sarwaguna yang telah beberapa tahun menjadi Ketua Driya Pawitra.
Mereka menikah dan Ki Sarwatama mengalami patah hati, lalu meninggalkan perguruan Driya Pawitra, bahkan mengasingkan diri dan biarpun usianya ketika itu baru sekitar dua puluh tujuh tahun, dia telah menjadi seorang pertapa!
Dia merantau, berpindah-pindah tempat pertapaannya dari gunung ke gunung, dari bukit ke bukit. Hanya kadang-kadang saja, kalau kebetulan lewat Teluk Grajagan, dia singgah di perkampungan perguruan itu yang terletak di dekat teluk. Beberapa tahun setelah menikah Ambarsari melahirkan sorang anak perempuan yang diberi nama Ratna Manohara. Ketika itu, Ki Sarwoguna berusia tiga puluh satu tahun dan isterinya, Ambarsari, berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Kehidupan ketua Driya Pawitra itu bersama isteri dan anaknya amat berbahagia, apalagi karena perguruan mereka semakin maju. Para murid pada umumnya bekerja sebagai nelayan dan ada pula yang bercocok tanam. Alan tetapi, sudah menjadi sifat kehidupan manusia sejak dahulu, selalu diombang-ambingkan di antara suka dan duka, senang dan susah. Tidak ada kesenangan kekal seperti juga tidak ada kesusahan abadi. Tawa dan tangis bergantian menghias kehidupan manusia.
Demikian pula yang melanda kehidupan Ki Sarwaguna. Hanya tiga tahun setelah Ratna Manohara lahir, Ambarsari terserang penyakit dan tidak dapat disembuhkan lagi. Ia meninggal dunia, meninggalkan puterinya yang baru berusia tiga tahun! Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batin Ki Sarwaguna. Dia amat mencinta isterinya dan dia menjadi duda dalam usia tiga puluh empat tahun. Akan tetapi dia mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi.
Seluruh sisa hidupnya dia curahkan untuk mendidik Ratna Manohara, puterinya yang tercinta dan untuk mengembangkan Driya Pawitra. Tidaklah mengherankan kalau Ratna Manohara yang digembleng sejak kecil, kini menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih yang selain cantik jelita, juga memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat para murid Driya Pawitra. Gadis ini berbakat sekali sehingga ayahnya memberi kepercayaan kepadanya untuk membantunya melatih para murid, bahkan untuk mewakili Driya Pawitra kalau kehadiran pimpinan perguruan itu diperlukan.
Demkianlah sedikit riwayat perguruan Driya pawitra yang berpusat di daerah Teluk Grajagan, laut Kidul, daerah Blambangan bagianbarat. ktika cerita ini terjadi, KiSarwaguna telah berusia sekitar lima puluh tahun dan puterinya Ratna manohara berusia hampir Sembilan belas tahun. Biarpun kini dia tidak tinggal menetap di perkampungan Driya Pawitra, namun Ki Sarwaguna terkadang datang ke perguruan itu dan tinggal selama beberapa pekan di situ.
Dia bahkan membantu kakak seperguruannya untuk memberi wejangan mengenai kebajikan kepada para murid. Apalagi semenjak Ambarsari meninggal dunia, agaknya tidak ada lagi ganjalan hati sehingga dia lebih sering datang. Ki Sarwatama juga amat sayang kepada Ratna Manohara dan ikut pula memberi gemblengan kepada murid keponakannya itu. Pada waktu itu, di antara para murid Driya Pawitra, yang menjadi murid utama dan yang kini menjadi pembantu Ki Sarwaguna adalah seorang murid bernama Sakitri.
Pada suatu hati, Ki Sarwaguna memanggil Sakitri dan mereka berbicara di ruangan dalam, dihadiri pula oleh Ratna Manohara. Gadis itu kini berusia hampir sembilan belas tahun. Gadis yang lemah lembut, bermata tajam berwibawa, dengan bibir yang indah mengandung daya tarik yang menggairahkan. Gadis yang berwajah cantik manis dan anggun. Tubuhnya ramping padat bagaikan setangkai bunga mawar yang sedang mulai mekar.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Adipati Blambangan bersekutu dengan kerajaan Klungkung di Bali yang menjadi pendukung utamanya, juga dengan golongan yang anti Mataram dari Madura, didukung pula oleh Kumpeni Belanda. Persekutuan ini bertujuan memusuhi dan menjatuhkan Mataram yang dipimpin Sultan Agung. Bahkan Blambangan berusaha membujuk perguruan-perguruan silat yang besar untuk membantu dan bergabung dengan persekutuan itu.
Untuk membujuk para perguruan, Adipati Blambangan mengundang para pimpinan perguruan untuk menghadiri pertemuan yang diadakan di Blambangan dipimpin oleh penasihatnya, datuk besar Blambangan yaitu Bhagawan Kalasrenggi. Driya Pawitra juga menerima undangan itu dan Ratna Manohara mewakili ayahnya hadir dalam pertemuan itu. Karena berselisih paham Ratna Manohara lalu meninggalkan rapat pertemuan itu. Hari ini, pagi-pagi sekali Ki Sarwaguna mengajak Sakitri berunding dihadiri pula oleh Ratna.
Setelah mreka mengambil tempat duduk dalam ruangan tertutup itu, Ki Sarwaguna minta kepada puterinya untuk menceritakan tentang gerakan Blambangan yang hendak menyerangmataram. Ratna menceritakan semua yang ia ketahui.
"Kakang Sakitri," kata Ratna yang menyebut kakang kepada murid utama Driya Pawitra itu karena memang laki-laki itu merupakan kakak seperguruannya, "Blambangan sudah bertekad memusuhi dan menyerang Mataram. Mereka itu didukung oleh Kerajaan Klungkung di Bali, oleh orang-orang Madura, dan terutama sekali oleh Kumpeni Belanda. Bahkan aku medengar berita bahwa mereka akan menyerbu Kadipaten Pasuruan yang dianggap sebagai benteng pertama Mataram."
"Hemm, sungguh memalukan. Kumpeni Belanda adalah musuh bangsa kita, akan tetapi Blambangan malah bersekutu dengan mereka untuk memusuhi Mataram.” kata Sakitri sambil mengerutkan alisnya.
"Kita tidak perlu melibatkan diri dalam permusuhan itu, akan tetapi kita harus tetap waspada. Selain kita harus menjaga agar tidak ada murid Driya Pawitra yang terlibat, juga kita harus memperkuat penjagaan karena biasanya kalau terjadi perang, para penjahat lalu bermunculan untuk mengail di air keruh."
"Ayah, mengapa kita tidak minta pendapat Paman Bhagawan Sarwatama? Tentu beliau dapat memberi petunjuk yang tepat bagi kita."
"Hemm, sudah hampir dua tahun Pamanmu tidak pernah datang berkunjung. Entah dia berada di mana sekarang. Pamanmu itu sukar ditemukan jejaknya karena dia selalu berpindah-pindah tempat untuk bertapa."
"Bapa Guru, baru-baru ini saya mendengar dari seorang penduduk dusun tetangga bahwa dia melihat Paman Guru Sarwatama berada di pegunungan Jatitua"
"Ah, kalau begitu dia berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini. Sebaiknya engkau pergi ke sana dan mencarinya, Sakitri. Kalau mungkin minta kepadanya agar suka datang berkunjung ke sini, kalau tidak, tanyakan saja pendapatnya tentang gerakan Blambangan terhadap Mataram. Kita membutuhkan nasihat dan pendapatnya."
Berangkatlah Sakitri memenuhi perintah gurunya. Dia melakukan perjalanan cepat menunggang kuda dan dua hari kemudian dia telah tiba di Pegunungan Jatitua. Dan seperti diduganya semula, dia mendapatlan Bhagawan Sarwatama berada di sebuah gua di pegunungan itu. Untuk mencapai gua di tebing itu, dia harus mendaki. Maka ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon dan dia lalu berjalan kaki dan mendaki tebing. Akan tetapi dari jauh dia melihat paman gurunya itu meninggalkan gua dan berjalan menuju ke barat. Sakitri cepat mengejar sambil berseru memanggil.
"Paman Guru Bhagawan Sarwatama! Berhentilah! Saya Sakitri ingin bertemu dan bicara dengan Paman!"
Akan tetapi Bhagawan Sarwatama berjalan terus, dikejar oleh Sakitri dan setelah tiba di jalan umum, barulah laki-laki berpakaian jubah pendeta yang membawa tongkat ular hitam itu berhenti dan menunggu sampai Sakitri dapat menyusulnya. Sakitri segera menghadap Bhagawan Sarwatama dan memberi hormat dengan sembah.
"Hemm, Sakitri! Mau apa engkau mengejar-ngejar aku?"
"Maafkan saya, Paman. Saya diutus Bapa Guru Sarwaguna untuk menemui Paman. Maaf jika saya mengganggu."
"Hemm, diutus apa?"
Diam-diam Sakitri merasa heran sekali melihat sikap paman gurunya itu. Sikap Bhagawan Sarwatama demikian dingin dan tidak acuh padahal biasanya pendeta itu bersikap ramah kepadanya dan kepada para murid perguruan Driya Pawitra.
"Saya diutus oleh Bapa Guru untuk menghadap Paman dan minta nasihat dan pendapat Paman tentang gerakan Blambangan yang hendak menyerang Mataram. Blambangan pernah mengundang perguruan kita yang diwakili oleh Adi Ratna Manohara dan membujuk agar kita mau bekerja sama dengan Blambangan memusihi Mataram. Tentu saja bujukan itu kita tolak dan Bapa Guru ingin mendengar nasihat dan pandangan Paman. Maka Bapa Guru mengundang Paman agar Paman suka datang berkunjung ke perguruan."
"Hemm, aku tidak ada waktu luang!" jawabnya ketus.
"Kalau Paman tidak sempat berkunjung, harap Paman sampaikan nasihat dan pendapat Paman mengenai urusan itu, kepada saya. Apa yang harus kita lakukan, Paman?"
"Hemm, Kakang Sarwaguna minta pendapatku? Dengar baik-baik, Sakitri. Keputusan Driya Pawitra menolak ajakan Blambangan untuk bergabung adalah bodoh sekali! Kalau menurut pendapatku, semestinya kita menerima uluran tangan Blambangan untuk bekerja sama. Keputusan itulah yang paling baik dan menguntungkan. Kalau Driya Pawitra menolak kerja sama, sama saja dengan mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri."
Bukan main kaget dan herannya hati Sakitri mendengar ucapan Paman Gurunya itu! "Akan tetapi, Paman! Bukankah sejak dahulu Bapa Guru memimpin Driya Pawitra menjadi sebuah peguruan yang mengutamakan kebenaran dan keadilan? Kita tidak pernah mencampuri pemberontakan para kadipaten terhadap Mataram. Apalagi kita mengetahui bahwa pemberontakan-pemberontakan itu mendapat dukungan dari Kumpeni Belanda yang sengaja hendak mengadu domba antara Mataram dan para penguasa daerah agar kita menjadi lemah."
"Sakitri! Engkau ini hendak minta nasihatku ataukah hendak membantah pendapatku? Jangan banyak membantah. Pendeknya, aku menghendaki agar Driya Pawitra bergabung dengan Blambangan menentang Mataram. Dengan demikian, Driya Pawitra baru akan terbebas dari kehancuran. Bagaimanapun juga, Teluk Grajagan termasuk wilayah Kadipaten Blambangan, maka sudah sepatutnya kita membantu Blambangan!"
Tentu saja Sakitri menjadi penasaran sekali dan ia membantah. seperti telah diceritakan di bagian depan, perbantahan itu membuat Bhagawan Sarwatama menjadi marah sekali sehingga paman guru dan murid keponakan itu berkelahi dan akibatnya, Sakitri terpukul dan tewas setelah meninggalkan pesan kepada Bagus Sajiwo yang kebetulan lewat di situ bersama parto atau Tan Swi Hong.
Karena menganggap bahwa pesan yang diberikan Sakitri itu sebagai pesan terakhir dan amat penting karena menyangkut pemberontakan Blambangan, maka Bagus Sajiwo terpaksa menunda perjalanannya mengantar Parto pulang ke Tuban dan kini dia bersama gadis Cina yang menyamar sebagai pria itu melakukan perjalanan menuju ke Teluk Grajagan untuk mengunjungi Perguruan Driya Pawitra dan menyampaikan pesan terakhir Sakitri kepada perguruan itu.
Ki Sarwaguna, Ketua Driya Pawitra merasa gelisah. Dia merasakan getaran yang membuat perasaan hatinya tidak nyaman. Setiap orang manusia tidak pernah ditinggalkan getaran ilham yang datang dari Sang Sumber. Gusti Allah Sang Maha Pencipta sesungguhnya tidak pernah meninggalkan semua ciptaanNya, dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang terlemah sampai yang terkuat. Namun, nafsu-nafsu daya rendah merajalela dalam diri manusia, bagaikan asap hitam menutupi jiwa sehingga getaran itu menjadi lemah, bahkan sebagian besar orang tidak merasakan lagi!
Ki Sarwaguna adalah seorang di antara manusia-manusia yang tidak sepenuhnya dikuasai nafsu daya rendah, tidak diperbudak oleh nafsu-nafsunya dan selalu melangkah dalam jalur kebaikan dan kebenaran sesuai dengan jalur Yang Maha Baik dan Maha Benar. Ki Sarwaguna tidak sepenuhnya mengandalakan hati akal pikirannya yang sering kali keliru. Dia memperhatikan getaran-getaran yang dia rasakan sebagai tanda atau isyarat pemberitahuan.
Ketika dia menanti murid utamanya, Sakitri, yang dia utus mencari Bhagawan Sarwatama dan belum juga pulang, dia merasakan getaran yang membuat dia merasa tidak nyaman. Ki Sarwaguna menjadi waspada. Dia menyuruh puterinya, Ratna Manohara, untuk memanggil para murid berkumpul di pendapa rumah induk perguruan itu. Sekitar enam puluh orang murid berkumpul di pendapa, menghadap Ki Sarwaguna yang didampingi puterinya, Ratna Manohara. Setelah semua murid menghadap, Ki Sarwaguna berkata dengan nada suara serius.
"Anak-anakku sekalian, para murid Driya Pawitra, seperti kalian telah mengetahui, kadipaten Blambangan sedang mengadakan kegiatan untuk menyerang Mataram. Mereka membujuk perguruan kita untuk bergabung dan membantu mereka, akan tetapi Ratna yang mewakili perguruan kita, dengan tegas menolak. Sikap dan penolakannya itu benar dan sesuai dengan pendirian kita yang tidak ingin mencampuri pemberontakan dan permusuhan. Kita tidak mau berpihak dan kita hanya akan memebela diri kalau diganggu dan diserang oleh pihak mana pun juga. Penolakan kita itu tentu saja menimbulkan rasa tidak suka dan amarah dalam hati para pimpinan Blambangan yang bersekutu dengan mereka yang memusihi Mataram, bahkan juga didukung Kumpeni Belanda. Kita sudah mengirim Sakitri untuk menghadap Adi Bagawan Sarwatama untuk minta nasihat dan mendengar pendapatnya. Akan tetapi sampai sekarang Sakitri belum juga pulang. Perasaan hatiku tidak enak, tidak tentram. Aku menduga bahwa Blambangan tentu menganggap perguruan kita sebagai musuh karena kita tidak mau bekerjasama dan bergabung. Rasa permusuhan mereka ini tentu saja merupakan ancaman bagi ketenteraman hidup kita. Oleh karena itu, pagi ini kalian aku kumpulkan di sini untuk bersiap siaga, waspada dan tidak lengah akan adanya ancaman itu. Mulai hari ini, harus diatur penjagaan siang malam secara bergilir sehingga kita akan dapat mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan."
Kemudian Ratna Manohara menceritakan pengalamannya ketika ia hadir dalam pertemuan yang diadakan Adipati Blambangan. Ia hadir sebagai utusan perguruan Driya Pawitra mewakili ayahnya. Di depan para murid Driya Pawitra yang terdiri dari tujuh belas orang murid wanita dan selebihnya, hampir lima puluh orang murid laki-laki, Ratna menceritakan keadaan Blambangan dengan terperinci. Ayahnya, Ki Sarwaguna sebetulnya memiliki tiga orang adik seperguruan.
Yang pertama adalah Bhagawan Sarwatama, dan masih ada dua lagi adik seperguruan Ki Sarwaguna, yaitu Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati. Mereka bertiga dahulunya membantu Ki Sarwaguna memimpn Perguruan Driya Pawitra. Akan tetapi kini mereka tidak berada lagi di perkampungan perguruan itu. Ki Sarwatama telah menjadi seorang pendeta, seorang pertapa sebagai Bhagawan Sarwatama.
Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati juga belum lama ini meninggalkan perguruan karena mereka ingin merantau. Keduanya tidak pernah menikah dan memang kedua orang ini merupakan petualang-petualang yang suka merantau sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa. Apalagi karena mereka berdua maklum akan kemampuan keponakan mereka Ratna Manohara yang biarpun masih muda namun sudah mewarisi dan menguasai semua ilmu dari Perguruan Driya Pawitra dengan baik, bahkan tidak kalah dibandingkan tingkat mereka sendiri!
"Ketika aku hadir dalam pertemuan di kadipaten Blambangan itu, persekutuan mereka lengkap."
Demikian antara lain Ratna Manohara bercerita kepada para murid yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Pemimpin pertemuan itu adalah Bhagawan Kalasrenggi, datuk Blambangan yang selain sakti mandraguna, juga amat licik dan cerdik. Agaknya Adipati Santa Guna Alit di Blambangan sudah dikuasai Bhagawan Kalasrenggi sehingga segala sesuatu yang mengambil keputusan adalah Bhagawan Kalasrenggi itu. Bhagawan Kalasrenggi agaknya amat membenci Mataram dan dialah yang mengundang semua golongan untuk bersekutu menentang Mataram.
Di dalam pertemuan itu aku melihat banyak tokoh sakti, dan sebagian besar dari mereka menyetujui persekutuan itu. Ketika itu yang tidak mau ikut dalam persekutuan hanya ada tiga orang, yaitu Paman Wiku Menak Jelangger, Mbakyu Ken Darmini murid Nini Kutigarba dari Gunung Betiri, dan aku sendiri sebagai wakil dari Perguruan Driya Pawitra kita."
"Lalu siapa saja yang menjadi anggauta persekutuan itu?" Tanya Ki Sarwaguna kepada puterinya.
"Yang saya ketahui, di sana ada wakil dari Raja Dewa Agung di Klungkung Bali yang kabarnya membawa banyak sekali pasukan dari Bali. Bali diwakili oleh seorang pemuda bernama Tejakasmala yang kabarnya merupakan murid Bhagawan Ekabrata yang sakti mandraguna, ditemani senopati Bali bernama Candrasakti dan Candrabaya. Ada pula Resi Sapujagad dari Gunung Merapi. Juga tampak Bhagawan Dewakaton dari Gunung Bromo. Saya juga melihat wakil dari Kumpeni Belanda yang bernama Arya Bratadewa, dan masih ada sepuluh jagoan tangguh dari daerah Blambangan. Blambangan sendiri mempunyai banyak senopati tangguh, di antaranya Dwi Kala, dua orang murid Bhagawan Kalasrenggi itu, juga putera kembar sang Adipati sendiri, Dhirasani dan Dhirasanu yang kabarnya juga tangguh dan sakti."
"Wah, kalau begitu persekutuan itu kuat sekali!" kata Ki Sarwaguna.
"Pasukan Blambangan yang sudah lama dibangun untuk menandingi Mataram diperkuat pasukan besar dari Bali, dan mngkin saja ada pasukan dari para pemberontak Madura yang membantu. Pasukannya besar dan dipimpin banyak orang sakti, tentu keadaannya menjadi kuat sekali. Kalau benar Blambangan akan segera menyerang Pasuruan, maka kadipaten itu terancam bahaya."
"Kanjeng Rama, saya melihat bahwa sebagian besar para datuk yang mendukung Blambangan adalah orang-orang sesat, dan kita semua mengetahui bahwa Kerajaan Mataram didukung para pendekar dan satria yang berbudi luhur. Apakah kita akan membantu Mataram, sesuai dengan watak dasar perguruan kita, yaitu menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan?"
Ki Sarwaguna menghela napas dan menggeleng kepalanya. "Tidak, Anakku. Kita harus tetap berpegang kepada peraturan yang telah diadakan pendiri Driya Pawitra, mendiang Ki Harjamanik, seabad lebih yang lalu. Peraturan itu adalah bahwa setiap orang murid perguruan kita ini tidak akan mencampuri urusan perang antara penguasa daerah karena perang itu hanya merupakan perang antara saudara yang saling memperebutkan kekuasaan. Perguruan Driya Pawitra tidak membentuk pahlawan, melainkan pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat membela yang benar namun tertindas, tanpa memandang golongan dan dari mana dia datang."
"Saya mengerti, Kanjeng Rama. Akan tetapi, bukankah dalam perang antar daerah itu juga mengandung dua pihak yang benar dan yang salah? Kita harus membela yang benar, bukan?"
"Benar dan salah itu hanya bagaimana kita menilai dan memandangnya. Andaikata terjadi perang antara Blambangan dan Mataram, kita membela pihak mana pun, tetap saja ada benarnya dan ada salahnya. Kalau kita membela Mataram, bisa benar karena menurut ceritamu tadi, pihak Blambangan yang angkara murka. Akan tetapi juga bisa salah karena bagaimanapun juga, kita tinggal di daerah atau wilayah Blambangan sehingga dapat dianggap bahwa kita ini kawula Blambangan. Jadi, membela Mataram salah, membela Blambangan juga tidak benar. Kedua pihak masih sebangsa dan sesaudara, karena itu kita tidak akan mencampuri pertikaian antara pemerintahan mereka."
"Kanjeng Rama, bagaimana kalau kita melihat orang-orang Blambangan, perajurit-perajuritnya, bertindak kejam dan sewenang-wenang terhadap penduduk Pasuruan yang mereka serang?"
"Sebetulnya, kalau engkau dan semua murid Driya Pawitra sudah paham akan pendirian perguruan kita, pertanyaan itu tidak perlu kau ajukan lagi, Ratna. Kita akan bertindak menentang siapa saja yang melakukan kejahatan, baik itu orang Blambangan, Pasuruan, maupun Mataram. Bukan berpihak kepada siapa saja yang berperang, melainkan berpihak kepada siapa saja yang tertindas oleh orang jahat. Sudah jelaskah sekarang?"
"Terima kasih, Kanjeng Rama. Saya sudah mengerti betul sekarang." kata Ratna Manohara sambil memandang kepada para murid yang berkumpul di situ, seolah ucapannya itu mewakili para murid.
"Bagus, kalau kalian semua sudah mengerti, tentu kalian juga tahu bahwa kita harus selalu waspada dan siap siaga. Kita memang tidak mau diajak bersekutu dengan Blambangan dan hal ini mungkin sekali membuat marah kepada Blambangan dan bukan mustahil kalau mereka merencanakan niat yang tidak baik terhadap kita. Biasanya, pihak yang hatinya dipenuhi kebencian, akan selalu curiga kepada orang yang tidak mau mendukung niatnya. Mungkin Blambangan menganggap kita musuh. Mulai sekarang kita harus mengadakan penjagaan siang malam secara bergilir dan semua murid siap menghadapi segala kemungkinan buruk."
Demikianlah, mulai hari itu para murid pergruan Driya Pawitra secara bergilir mengadakan penjagaan ketat siang malam dengan penuh kewaspadaan. Pada suatu siang, dua orang pemuda datang ke perkampungan Perguruan Driya Pawitra. Karena para murid yang berjaga di pintu gerbang perkampungan tidak mengenal dua orang pemuda itu, tentu saja mereka merasa curiga dan sebentar saja belasan orang murid perguruan itu sudah berkumpul di pintu gerbang dan menghadang dua orang pemuda itu sambil memandang penuh kecurigaan.
Pemuda pertama gagah dan cukup tampan, namun tidak menimbulkan kecurigaan karena tidak ada yang luar biasa pada dirinya. Akan tetapi pemuda yang kedua itulah yang membuat mereka curiga dan heran. Pemuda kedua itu bertubuh kecil, agak pendek, namun wajahnya tampan sekali. Kulitnya putih halus, rambutnya hitam, panjang dan digelung ke atas. namun ketampanannya tampak asing karena sepasang matanya sipit dengan kedua ujungnya berjungat ka atas. Dua orang pemuda itu adalah Bagus Sajiwo dan Parto.
Seperti kita ketahui, Parto adalah penyamaran Tan Swi Hong, puteri mendiang Tan Beng Ki yang tinggal di Tuban. Bagus Sajiwo menunda niatnya mengantar gadis itu pulang ke Tuban setelah perahu ayah gadis itu terbalik di Selat Bali daerah Blambangan karena Bagus Sajiwo ingin lebih dulu menyampaikan pesan terakhir Sakitri kepada Perguruan Driya Pawitra. Parto atau Tan Swi Hong menyetujui, maka pergilah mereka ke perguruan itu dan kini mereka telah tiba di perkampungan perguruan Driya Pawitra.
"Ki sanak, siapakah Andika berdua dan ada keperluan apa Andika datang berkunjung ke perkampungan kami?" tanya seorang murid.
Melihat belasan orang itu bersikap garang dan memandang penuh kecurigaan, Bagus Sajiwo, tersenyum dan bertanya, "Ki sanak, apakah benar bahwa perguruan Driya Pawitra berada di sini?"
"Benar, di sini perkampungan Perguruan Driya Pawitra. Siapakah Andika dan kepentingan apa yang membawa Andika datang berkunjung?"
Bagus Sajiwo merangkap kedua tangan depan dada sebagai salam penghormatan dan gerakannya ini diikuti Parto. "Maaf kalau kami mengganggu. Saya bernama Bagus Sajiwo dan temanku ini adalah Ki Parto. Kami datang berkunjung membawa pesan Ki Sakitri untuk disampaikan kepada Ketua Driya Pawitra."
Mendengar ucapan Bagus Sajiwo yang menyebut nama Sakitri, sikap para murid Driya Pawitra itu segera berubah ramah. Mereka maklum bahwa dua orang muda ini membawa berita yang amat penting tentang Sakitri, berita yang sudah ditunggu-tunggu oleh ketua mereka. Mereka menahan hasrat untuk segera mendengar berita itu dari mulut dua orang pemuda ini, tidak berani lancang mendahului guru mereka.
"Ah, silakan masuk, dan mari kami antarkan Andika berdua menghadap Ki Sarwaguna, guru kami!" kata murid yang tadi bertanya.
Bagus Sajiwo dan Parto segera diantar oleh lima orang murid menuju ke rumah induk tempat Ki Sarwaguna. Ki Sarwaguna dan Ratna Manohara menerima dua orang pengunjung ini di ruangan tamu yang cukup luas. Karena mnduga bahwa dua orang yang membawa pesan Sakitri ini tentu akan bicara tentang urusan yang penting, maka Ketua Driya Pawitra dan puterinya itu menerima mereka tanpa dihadiri para murid lain.
"Silakan duduk, Anakmas berdua." kata Ki Sarwaguna dengan sikap ramah.
"Terima kasih, Paman." kata Bagus Sajiwo dengan sikap hormat sambil memberi salam penghormatan yang diikuti Parto.
Mereka lalu duduk berhadapan dengan ayah dan anak itu, terhalang meja besar. Diam-diam dia kagum melihat Ratna Manohara yang cantik jelita dan anggun, sikapnya lembut namun berwibawa dan pandang matanya yang tajam itu seolah hendak menjenguk isi hatinya.
"Apakah benar saya berhadapan dengan Ketua Perguruan Driya Pawitra?"
"Benar sekali, Anakmas. Aku adalah Ki Sarwaguna, ketua Driya Pawitra, dan ini adalah anakku, Ratna Manohara. Andika berdua siapakah, Anakmas? Dan berita apa yang kalian bawa mengenai murid kami Sakitri?"
"Paman Sarwaguna, saya bernama Bagus Sajiwo, dan sahabat saya ini bernama Ki Parto"
"Ki sanak, kalau kunjungan Andika berdua ini beritikad baik, mengapa harus berbohong?” tiba-tiba Ratna Manohara menegur dengan suara lembut, namun tegas dan sepasang matanya memandang penuh selidik.
Bagus Sajiwo terkejut. "Berbohong....?"
"Hemm, dia ini sudah pasti bukan Ki Parto karena ia seorang perempuan." kata pula Ratna Manohara.
"Ratna... !" Ki sarwaguna menegur puterinya. "Kanjeng Rama, ia memang seorang perempuan. Mereka tidak dapat menipu saya."
Mendengar ini, Tan Swi Hong tersenyum. "Memang benar! Adik Ratna ini memiliki pandangan yang amat tajam. Saya memang seorang perempuan. Maafkan penyamaran ini."
Bagus Sajiwo juga tersenyum dan cepat menyambung. "Maafkan kami, Paman. Sesungguhnyalah, gadis ini bernama Tan Swi Hong, seorang gadia Cina dan hanya karena terpaksa saja ia menyamar sebagai seorang laki-laki dengan nama Parto agar perjalanan kami tidak mengalami banyak gangguan. Sama sekali kami tidak mempunyai niat buruk terhadap perguruan Paman."
Ki Sarwaguna mengerutkan alisnya. Dia harus berhati-hati karena keadaan pada saat itu gawat dengan adanya kemungkinan sikap permusuhan dari Blambangan terhadap perguruannya. Dia tidak mengenal dua orang pemuda ini dan adanya penyamaran seorang gadis Cina menjadi seorang pemuda, menimbulkan kecurigaannya.
"Anakmas Bagus Sajiwo, sebelum Andika menceritakan tentang Sakitri harap lebih dulu menjelaskan mengapa Nona sahabatmu ini harus menyamar sebagai pria, agar kami tidak menjadi curiga."
"Ceritanya panjang, Paman. Baiklah akan saya singkat saja. Saya menumpang di perahu milik ayah Adik Tan Swi Hong ini yang melakukan pelayaran dagang dari Tuban menuju ke Blambangan. Akan tetapi setibanya di dekat Blambangan, perahu kami diserang orang-orang Blambangan sehingga tenggelam. Semua penumpangnya jatuh ke lautan dan kebetulan kami berdua mendapat perlindungan Gusti Allah sehingga dapat terdampar ke pantai dan selamat. Kami lalu melakukan perjalanan dan saya hendak mengantarkan Adik Tan Swi Hong pulang ke Tuban. Agar perjalanan lebih aman, saya sarankan agar adik ini menyamar sebagai seorang pria dengan nama Parto. Begitulah sesungguhnya apa yang terjadi sehingga terpaksa Adik Tan Swi Hong menyamar sebagai Ki Parto, Paman."
Ki Sarwaguna mengangguk-angguk. "Baiklah, kami percaya keteranganmu itu, Anakmas Bagus Sajiwo. Sekarang ceritakan tenatang pertemuanmu dengan murid kami Sakitri dan apa pesan yang harus Andika sampaikan kepada kami."
"Ketika kami berdua melakukan perjalanan hendak ke Tuban, di tengah perjalanan itu kami melihat dua orang berkelahi. Yang lebih muda sudah roboh dan yang tua hendak membunuhnya. Kami segera mencegah pembunuhan itu dan yang tua lalu pergi. Kami mencoba untuk menolong orang yang terluka itu. Dia adalah Ki Sakitri, Paman."
"Ahh...!" Ayah dan anak itu berseru kaget. "Lalu bagaimana dengan murid kami Sakitri?" "Lukanya parah, Paman dan dia tidak dapat diselamatkan lagi. Dia tewas dan kami berdua hanya dapat menguburkan jenazahnya."
Wajah Ki Sarwaguna berubah merah karena marah. "Hemm, Sakitri tewas? Katakan, anakmas, siapa yang membunuh murid kami dan mengapa dia dibunuh?"
"Paman, tadinya kami melihat dua orang itu berkelahi, kami tidak dapat mencampuri karena kami tidak mengenal mereka dan tidak tahu urusannya. Namun dari percakapan mereka, kami mendengar bahwa yang muda yang bernama Sakitri. Setelah Sakitri roboh dan hendak dibunuh dengan tongkat oleh lawannya, barulah kami turun tangan mencegahnya. Kemudian, dalam keadaan terluka parah, sebelum menghembuskan napas terakhir, Sakitri meninggalkan pesan dan minta kepada kami untuk menyampaikan pesan itu kepada Paman Sarwaguna."
"Anakmas Bagus Sajiwo, cepat katakan apa yang dipesan oleh murid kami Sakitri yang malang itu, dan siapakah yang membunuhnya?"
"Hanya dua buah pesannya sebelum dia meninggal dunia, Paman, yaitu pertama bahwa Perguruan Driya Pawitra terancam, akan diserbu oleh Blambangan. Adapun yang kedua adalah bahwa kakek yang membunuhnya itu, dia sebut Paman Sarwatama, telah menjadi pengkhianat. Itu saja, Paman pesannya."
Ki Sarwaguna mengepal tinju dan suaranya menggetar marah ketika dia bicara. "Adi Bhagawan Sarwatama! Ah, sedemikian jauhnya dia tersesat, mendukung Blambangan dan mau mengkhianati Driya Pawitra.
"Kanjeng Rama, semua itu telah terjadi. Kakang Sakitri telah tewas ditangan Paman Guru Sarwatama yang mendukung Blambangan memusuhi perguruan kita. Yang penting sekarang, kita harus waspada dan melakukan penjagaan yang ketat untuk menahan serbuan mereka."
Diam-diam Bagus Sajiwo merasa kagum kepada gadis yang anggun dan tampak serius itu walaupun kata-katanya lembut. Jelas ia seorang gadis yang tenang dan penuh ketabahan.
"Engkau benar, Ratna. Sekarang kumpulkan semua murid dan aturlah penjagaan yang kuat dengan mengerahkan semua tenaga. Aku masih ingin bicara dengan Anakmas Bagus sajiwo dan Nona Hong ini."
Ki Sarwoguna merasa sukar mengingat nama Tan Swi Hong dan yang ia ingat hanya nama akhirnya Hong saja. Setelah puterinya keluar dari ruangan itu, Ki Sarwaguna berkata kepada Bagus Sajiwo.
"Anakmas, Andika berdua telah berjasa besar menolong kami dan bersusah payah memenuhi pesan mendiang Sakitri murid kami, padahal Andika berdua sama sekali tidak pernah mengenalnya. Sungguh Andika berdua telah melimpahkan budi kebaikan terhadap kami dan kami mengucapkan banyak terima kasih!"
"Paman Sarwaguna, apa yang kami lakukan adalah semata-mata merupakan kewajiban kami. harap Paman tidak berterima kasih kepada kami. hanya Gusti allah saja yang berhak menerima puji syukur dan terima kasih atas segala berkahNya kepada kita semua."
Ki Sarwaguna mengangguk-angguk dan memandanag penuh kagum kepada Bagus Sajiwo. "Anakmas Bagus Sajiwo, Andika masih begini muda sudah memiliki kebijaksanaan. Ingin sekali kami mengetahui, siapakah orang tua Andika."
"Ayah saya bernama Ki tejomanik dan Ibu saya Retno Susilo, mereka tinggal di lereng gunung Kawi, Paman. Adapun guru saya mendiang Eyang Buyut Guru Ki Ageng Mahendra."
"Duh Jagad Dewa Bathara....!" Ki Sarwaguna berseru. "Bukankah Ki Tejomanik itu yang terkenal dengan julukan Pecut Sakti Bajrakirana dan Ki Ageng Mahendra adalah manusia setengan dewa yang bertapa di Pegunungan Ijen?" seru Ki Sarwaguna dengan mata terbelalak.
"Ah, Paman. Orang tua saya dan guru saya adalah manusia-manusia biasa saja sesuai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing seperti manusia-manusia lain, sesuai dengan kehendak Gusti Allah."
"Hebat.... ! Ah, semua ini tentu telah diatur oleh Sang Hyang Widi Wisesa yang mengatur seluruh alam mayapada! Perguruan kita Driya Pawitra sedang terancam dan tanpa diduga-duga di sini muncul murid Ki Ageng Mahendra dan putera Ki Tejomanik Si pecut Sakti Bajrakirana! Anakmas Bagus Sajiwo, kami mohon kepadamu, bantu dan tolonglah kami, Anakmas. Bantulah kami menghadapi ancaman orang-orang Blambangan!"
"Tenanglah, Paman. Kalau memang Paman sekalian terancam bahaya, tentu saja saya akan membantu Paman menghadapinya."
"Aduh, terima kasih, Anakmas! dan... Nona Hong ini, aku percaya bahwa engkau tentu bukan gadis sembarangan, melainkan seorang gadis yang sakti pula."
"Aih, Paman, saya ini seorang gadis biasa saja." kata Swi Hong.
"Paman, adik Tan Swi Hong ini seorang gadis Cina yang pandai ilmu silat dan merupakan seorang gadis yang tangguh sekali."
"Nah, dugaanku benar! Nona Hong, maukah engkau memberitahukan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu?"
Mendengar pertanyaan ini, Swi Hong menggigit bibirnya karena ia diingatkan akan ayahnya yang tewas dan belum ia temukan jenazahnya, ia tidak mampu menjawab dan terpaksa memejamkan mata menahan tangis. Akan tetapi justeru karena ia memejamkan mata, maka air mata yang sudah menggenangi pelupuk matanya menetes turun ke atas pipinya. Ia cepat mengusap air matanya dan menahan perasaannya agar tidak menangis, akan tetapi tetap tidak berani membuka suara untuk menjawab karena suaranya tentu akan menunjukkan bahwa ia menangis.
Melihat ini, Ki Sarwaguna terkejut. Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa gadis itu menahan tangisnya. "Ah, maafkan aku, Nona... akan tetapi... mengapakah?"
Bagus Sajiwo berkata. "Maaf, Paman. Adik Swi Hong memang sedang berduka karena kematian Ayahnya. Baiklah, saya yang akan menjawab pertanyaan Paman tadi dan menerangkan. Adik Tan Swi Hong ini adalah puteri dari Paman Tan Beng Ki, seorang pemilik perahu dagang yang tinggal di Tuban. Adik Hong telah belajar ilmu silat dari Ayahnya sendiri sehingga ia memiliki ilmu pedang yang cukup tangguh. Ketika Paman Tan Beng Ki berlayar membawa dagangan, saya dan seorang sahabat saya bernama Joko Darmono ikut dalam perahu. Adik Hong ini juga ikut. Akan tetapi perahu kami itu diserang oleh orang-orang Blambangan sehingga tenggelam. Kami semua cerai berai diombang-ambingkan ombak lautan yang dahsyat. Akan tetapi sebelum kami semua terlempar ke lautan, kami melihat bahwa Paman Tan Beng Ki roboh dan tewas terkena tembakan senjata api dari para penyerang. Akhirnya kami berdua, atas berkah Gusti Allah, dapat terdampar dan mendarat dengan selamat. Akan tetapi kami tidak melihat para penumpang yang lain, juga sahabat saya Joko Darmono tidak dapat kami temukan. Entah dia tewas atau selamat, hanya Gusti Allah yang mengetahui. Kami sudah menyusuri pantai beberapa hari namun tidak dapat menemukan mereka. Juga kami tidak dapat menemukan jenazah Paman Tan Beng Ki. Lalu saya mengambil keputusan untuk mengantar Adik Hong pulang ke Tuban seperti yang sudah saya ceritakan tadi, Paman."
Ki Sarwaguna memandang kepada Swi Hong yang kini diam saja sambil menundukkan mukanya, tidak menangsis dan sudah berhasil menenangkan hatinya, ki sarwaguna merasa kasihan dan sekarang baru menyadari bahwa gadia Cina itu ternyata cantik manis, berkulit putih mulus dan memiliki daya tarik yang kuat. Dia lalu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Bags Sajiwo. Harapan yang tadi timbul dalam hatinya terguncang keraguan.
"Anakmas Bagus Sajiwo, maafkan pertanyaanku ini. Apakah Andika sudah beristeri?"
Setelah bertanya demikian, Ki Sarwaguna menoleh kepada Swi Hong. Bagus Sajiwo tersenyum dan menjawab.
"Wah, Paman. Berpikir untuk menikah pun belum pernah, apalagi menikah. Saya masih terlalu muda untuk berkeluarga, paman. Kalau Adik Tan Swi Hong ini, ia sudah bertunangan, Paman. Tunangannya juga seorang pemuda Cina yang gagah perkasa, bernama Sie Tiong. Akan tetapi... ah, dia pun ketika itu ikut terlempar ke lautan dan terpisah dari kami."
Hati Ki Sarwaguna merasa lega dan senang mendengar Bagus Sajiwo belum menikah dan tidak mempunyai hubungan dengan Swi Hong seperti yang tadi dia khawatirkan. Semakin tebal keinginannya untuk menjodohkan puteri tunggalnya dengan pemuda ini! Akan tetapi dia pun merasa iba kepada Swi Hong. Kematian ayah dan kehilangan tunangan yang belum diketahui mati atau hidup!
"Nona Hong, harap maafkan pertanyaanku tadi kalau itu menggugah kedukaan dalam hatimu."
Swi Hong menghela napas panjang dan mencoba untuk tersenyum. "Paman tidak bersalah karena Paman belum tahu ketika mengajukan pertanyaan. Pula, pertanyaan itu wajar, hanya sayalah yang lemah dan kurang tabah menerima kenyataan yang pahit ini. Saya sedang berusaha memenuhi nasihat Bagus, yaitu menyerah sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan.
Pada saat itu terdengar bunyi kentongan dipukul gencar dan terdengar suara banyak orang berlari-lari dan teriakan-teriakan.
"Tanda bahaya! Mungkin mereka sudah datang menyerang!" kata ki Sarwaguna sambil bangkit dari tempat duduknya. "Anakmas Bagus Sajiwo dan Nona Hong, kami mohon bantuanmu!" Setelah berkata demikian, ketua Driya Pawitra itu melangkah keluar.
Swi Hong memandang kepada Bagus Sajiwo yang mengangguk kepadanya dan mereka berdua juga segera mengikuti Ki Sarwaguna keluar dari rumah induk itu. Semua murid Driya Pawitra yang berjumlah tujuh belas orang murid wanita berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, dan sekitar lima puluh orang murid pria, semua berkumpul di depan dan belakang pintu gerbang perkampungan perguruan mereka. Ketika Ki Sarwaguna muncul, para murid memberi jalan dan ketua Driya Pawitra itu keluar dari dalam pintu gerbang, diikuti oleh Bagus Sajiwo dan Parto. Setelah mereka tiba di luar pintu gerbang, mereka melihat Ratna Manohara sudah berada di situ, berhadapan dengan sekitar seratus orang perajurit Blambangan yang dipimpin oleh empat orang.
Ki Sarwaguna dan Ratna segera mengenali Bhagawan Sarwatama di antara empat orang itu. Tiga orang yang lain tidak dikenal Ki Sarwaguna, akan tetapi Ratna berbisik kepada ayahnya.
"Dua orang raksasa itu adalah Dwi Kala, senopati-senopati Blambangan, murid-murid Bhagawan Kala Srenggi, Kanjeng Rama. Harap hati-hati, saya kira dua orang itu tentu tangguh sekali."
"Dan siapa pria yang tampan matanya kebiruan dan memakai sepatu tinggi itu? Pakaiannya bukan seperti orang Jawa." tanya Ki Sarwaguna.
"Saya tidak mengenalnya.” kata Ratna Manohara.
Bagus Sajiwo juga mengenal tiga orang di antara empat pemimpin pasukan itu. Dua tahun yang lalu, ketika dia pulang ke rumah orang tuanya di gunung Kawi, ayah ibunya yang dibantu Lindu Aji dan Sulastri sedang menghadapi jagoan-jagoan yang sakti dari persekutuan Blambangan. Dua orang raksasa itu, Kaladhama dan Kalajana yang terkenal dengan julukan Dwi Kala, termasuk di antara para penyerang itu. Adapun orang ke tiga yang berusia sekitar lima puluh tahun dan berpakaian pendeta adalah Bhagawan Sarwatama yang telah merobohkan Sakitri.
Akan tetapi dia tidak mengenal orang yang ke empat yang juga tidak dikenal oleh Ki Sarwaguna dan Ratna. Orang yang tidak dikenal itu bukan lain adalah Raden Satyabrata, kini menggunakan sebutan Raden apabila dia memperkenalkan dirinya. Sebutan itu membuat dia merasa naik derajatnya!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Raden Satyabrata mengunjungi Adipati Blambangan dan sebagai seorang utusan atau wakil yang mempunyai kekuasaan tinggi dari Kumpeni Belanda, dia diterima dengan hormat dan girang oleh persekutuan Blambangan.
Ketika Adipati Santa Guna Alit menerima usul Bhagawan Kalasrenggi agar mengirim pasukan menundukkan perguruan Driya Pawitra yang tidak mau membantu Blambangan dan mendengar bahwa perguruan itu cukup kuat, dia minta bantuan Raden Satyabrata untuk membantu pasukan itu menundukkan Perguruan Driya Pawitra. Tentu saja ini atas usul Baghawan Kalasrenggi yang maksudnya hendak menguji kesaktian dan juga kesungguhan hati wakil Kumpeni membantu Blambangan.
Itulah sebabnya mengapa kini Raden Satyabrata menemani Dwi Kala dan juga Bhagawan Sarwatama untuk menundukkan perguruan itu. Bhagawan Sarwatama memang sudah terpengaruh oleh bujukan Bhagawan Kalasrenggi untuk membantu Blambangan dengan janji-janji muluk kelak mendapat imbalan kedudukan tinggi dan terhomat. Tadi, ketika pasukan Blambangan yang terdiri dari kurang lebih seratus orang dipimpin empat orang itu tiba, Retno Manohara yang lebih dulu mengetahui.
Gadis ini lalu dengan cepat mengatur para murid untuk bersiap dan memimpin mereka yang jumlahnya sekitar tujuh puluh orang itu menghadapi pasukan Blambangan, menghadang di depan pintu gerbang. Ketika gadis itu mengenal Bhagawan Sarwatama berada di antara pimpinan pasukan Blambangan, ia mengepal tinju, teringat akan kematian Sakitri di tangan pendeta yang berkhianat terhadap Driya Pawitra itu. Ia merasa penasaran sekali melihat paman gurunya yang dulu membantu ayahnya memimpin Driya Pawitra kini malah memusuhi perguruan sendiri.
Ki Sarwaguna tak dapat menahan kemarahannya ketika melihat Bhagawan Sarwatama berdiri di depan pasukan Blambangan dengan sikap congkak, mulutnya tersenyum mengejek. Akan tetapi Dwi Kala yang mengenal Bagus Sajiwo terkejut bukan main. Mereka pernah melihat betapa Bagus sajiwo bahkan dapat mengalahkan Tejakasmala! Maka, Kaladhama yang bediri di sebelah Satyabrata berkata lirih,
"Raden, harap hati-hati terhadap pemuda yang berdiri di belakang Ki Sarwaguna itu. Dia itu sakti mandraguna!"
Satyabrata tersenyum mengejek, "Hemm, kau lihat saja, sebentar lagi dia akan mati ditanganku."
Ratna Manohara yang berdiri dekat Tan Swi Hong, berbisik kepada gadis Cina itu. "Swi Hong, jangan melibatkan diri dengan pertentangan kami dengan mereka. Aku akan merasa menyesal kalau engkau sampai menjadi korban."
Swi Hong tersenyum. "Ratna, jangan berkata begitu. Lupakah engkau bahwa Ayahku tewas di tangan orang-orang Blambangan? Mereka itu juga musuhku!"
Kini dua pihak sudah bergerak, melangkah maju saling menghampiri. Setelah kedua pihak berada dalam jarak dekat dan pimpinan masing-masing sudah saling berhadapan, Ki Sarwaguna memandang kepada Bhagawan Sarwatama dan berkata dengan suara lantang dan tegas.
"Adi Sarwatama, engkau telah membunuh Sakitri, membantu Kadipaten Blambangan mempersiapkan perang, dan berkhianat kepada Perguruan Driya Pawitra, setelah engkau bertapa dan menjadi pendeta sekian lamanya, memakai sebutan Bhagawan, mengapa engkau membiarkan nafsu menyeretmu ke dalam kesesatan? Lupakah engkau akan semua ajaran dan petuah mendiang Guru kita?"
"Heh-heh-heh!" Bhagawan Sarwatama terkekeh, "Kakang Sarwaguna, semua tuduhanmu itu keliru! Aku tidak membunuh Sakitri, melainkan dia sendiri yang mencari kematian karena dia telah berani menentang aku sebagai Paman Gurunya. Kalau dia tidak kurang ajar dan tidak berani menentang aku, tentu dia tidak mati. Bagaimana sih engkau mengajarkan tata-krama (tata-susila) kepadanya? Adapun mengenai aku membantu Kadipaten Blambangan, bukankah kita ini kawula Blambangan? Engkau yang melupakan ajaran Tri-bhakti, yaitu bakti kepada Sang Hyang Widi, bakti kepada orang tua, dan bakti kepada Negara. Kadipaten Blambangan adalah Negara kita, maka tentu saja aku membelanya. Kalau engkau tidak mau membantu Blambangan, justeru engkaulah yang tidak setia kepada Negara dan bukan seorang warga Negara yang baik. Dan aku sama sekali tidak berkhianat kepada Driya Pawitra, bahkan sebaliknya aku ingin mengangkat derajat perguruan kita. Kalau Perguruan Driya Pawitra kini mendukung Kadipaten Blambangan, tentu kelak perguruan kita akan menerima bantuan dari kadipaten dan menjadi semakin kuat dan besar."
Ki Sarwaguna menahan kemarahannya mendengar alasan yang dibuat-buat itu. Dengan sikap gagah dan suara tegas dia berkata. "Sarwatama, sekarang engkau datang bersama pasukan Blambangan, apakah yang kau kehendaki?"
Bhagawan Sarwatama menoleh kepada Dwi Kala yang merupakan senopati-senopati Blambangan dan merekalah yang memimpin pasukan itu sehingga lebih tepat kalau mereka yang menjawab pertanyaan Ki Sarwaguna itu. Kaladhama, orang pertama dari Dwi Kala, melangkah maju. Raksasa muka hitam itu wajahnya menyeramkan. Bukit hidungnya yang dulu terkena pukulan Retno Susilo, ibu Bagus Sajiwo, melesak ke dalam menjadi pesek sekali, dan daun telinga kirinya juga buntung, dahulu terbabat pedang Sulastri, isteri Lindu Aji. Kini dengan lagak sombong di berkata dengan suaranya yang menggeledek.
"Ki Sarwaguna, kami Dwi Kala, aku dan Adikku ini, adalah senopati utusan Gusti Adipati di Blambangan untuk mengundang Andika agar sekarang juga ikut bersama kami menghadap Gusti Adipati."
Ki Sarwaguna mengerutkan alisnya. "Harap Andika jelaskan dulu, ada urusan apakah Sang Adipati Blambangan mengundang aku menghadap?"
"Ha-ha, Andika tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu? Ketika Gusti Adipati mengadakan rapat pertemuan di Blambangan beberapa waktu yang lalu, beliau juga mengundang Perguruan Driya Pawitra. Andika hanya mewakilkan kepada puteri Andika itu untuk menghadiri pertemuan." Kaladhama menunjuk ke arah Ratna Manohara yang berdiri tegak dan anggun. "Akan tetapi wakil Driya Pawitra dengan angkuhnya menyatakan bahwa Driya Pawitra tidak mau menggabungkan diri dengan Blambangan untuk menghadapi musuh besar kita Mataram. Nah, karena keterangan itu hanya dinyatakan oleh seorang gadis muda, maka Gusti Adipati belum menganggapnya sungguh-sungguh dan sekarang mengundang Andika untuk memberi penjelasan kepada beliau akan pendirian Driya Pawitra."
"Hemmm, Sakitri, engkau tahu apa? Segala tindakan harus diperhitungkan lebih dulu, bukan saja benar salahnya, melainkan juga untung ruginya. Aku tidak ingin melihat perguruan Driya Pawitra yang dipimpin Kakang Sarwaguna menjadi hancur lebur hanya karena salah pilih dan salah mengambil keputusan. Kalau engkau membantah, berarti engkau ingin menghancurkan Driya Pawitra dan kesalahanmu ini tidak kuampuni!"
"Paman Guru Bhagawan Sarwatama! Saya adalah murid Driya Pawitra yang setia dan siap membela perguruan kita dengan taruhan nyawa! Saya tidak akan menyeleweng dari peraturan yang ditentukan dalam Perguruan Driya Pawitra!"
"Heh, Sakitri! Apakah engkau hendak membantah dan melawan aku yang ikut menggemblengmu? Engkau tidak hormat, tidak taat dan tidak takut kepadaku?"
"Paman, saya hormat, taat dan takut kepada paman, akan tetapi saya lebih hormat, lebih taat dan lebih tahut kepada Perguruan Driya Pawitra!"
"Keparat! Engkau anak kemarin berani menantang aku?"
"Saya tidak menantang Paman, saya hanya membela kebenaran!"
Laki-laki berpakaian pendeta yang bernama Bhagawan Sarwatama itu menyerang dengan tongkat ular hitamnya. Tongkat itu menyambar dahsyat dan dari angin pukulan yang berdesing itu tahulah Bagus Sajiwo bahwa laki-laki berpakaian pendeta itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali! Akan tetapi orang yang lebih muda itu sudah mencabut pedangnya menangkis.
"Tranggg...!" Bunga api berpijar dan laki-laki berpedang itu terhuyung ke belakang. Ini saja menunjukkan bahwa dia kalah kuat. Akan tetapi dia memutar pedangnya dan melawan mati-matian. Bagus Sajiwo menonton dengan alis berkerut. Dari percakapan mereka tadi dia tahu bahwa mereka adalah paman dan keponakan seperguruan.
Dia merasa tidak enak untuk mencampuri, apalagi karena dia tidak tahu apa persoalan yang mereka ributkan. Andaikata seperti yang dia dengar tadi, laki-laki bernama Sakitri itu betul-betul membela kebenaran, namun sikapnya berani menentang dan melawan paman gurunya itu sudah tidak benar. Dia tidak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, maka Bagus Sajiwo hanya berdiri menonton dengan hati ragu. Tiba-tiba Bhagawan Sarwatama mengeluarkan pekik melengking, tangan kirinya melakukan gerakan mendorong ke depan dan tubuh Sakitri terjengkang roboh dan muntah darah!
"Heh-heh, bocah kurang ajar. Rasakan, mati kau sekarang!" Bhagawan Sarwatama itu melangkah maju dan mengangkat tongkat ular hitamnya ke atas, dipukulnya ke arah kepala Sakitri yang sudah tidak mampu bergerak itu. "Wuuuttt... plakkk!" Bhagawan Sarwatama melompat ke belakang dengan mata terbelalak kaget. Tongkatnya tadi bertemu dengan tangan Bagus Sajiwo yang menangkisnya. Ada seorang pemuda yang mampu menangkis pukulan tongkat ularnya dengan tangan kosong, bahkan membuat dia terdorong ke belakang dengan kuatnya! Hampir pendeta itu tidak percaya.
"Maaf, Paman. Lawan yang sudah roboh tidak semestinya diserang lagi. Aneh kalau seorang paman guru begitu kejam hendak membunuh murid keponakan yang telah dilukainya!" kata Bagus Sajiwo.
Bhagawan Sarwatama memandang dengan muka merah karena marah. "Orang muda yang lancang! Berani engkau mencampuri urusan keluarga perguruan kami? Pergilah!"
Berkata demikian, Bhagawan Sarwatama kembali mendorongkan tangan kirinya yang dikembangkan ke arah Bagus Sajiwo. Itulah Aji Pawana Sakti yang mendatangkan angin pukulan amat kuat sehingga tadi sekali terkena pukulan itu Sakitri roboh dan muntah darah. Akan tetapi, Bagus Sajiwo yang mengenal pukulan ampuh, meyambut dengan telapak tangan kanannya.
"Syuuuttt... bresss...!!" kembali tubuh Bhagawan Sarwatama terpental, kini lebih kuat sehingga biarpun dia dapat melompat dan tidak terjatuh, namun dia sempat terhuyung. Sang pendeta ini terkejut bukan main dan merasa gentar, apalagi ketika melihat seorang pemuda lain yang berkulit putih berada di situ. Melawan yang seorang ini saja rasanya sudah amat berat, apalagi kalau mereka maju berdua!
"Hemm, orang muda, siapa engkau?" tanyanya ketus.
"Nama saya Bagus Sajiwo, Paman, dan maafkan saya. Bukan maksud saya hendak mencampuri urusan pribadi orang, melainkan saya hanya ingin mencegah orang melakukan pembunuhan secara kejam."
"Huh... !" Pendeta itu mendengus, lalu memutar tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bagus Sajiwo menghampiri dan berjongkok memeriksa tubuh Sakitri. Dia mengerutkan alisnya melihat betapa baju di bagian dada orang itu hancur dan kulit dadanya biru menghitam. Terkena aji pukulan yang dahsyat sekali.
"Bagaimana keadaannya, Bagus?" Bagus sajiwo memandang Parto yang juga sudah berjongkok di sebelahnya. Dia menggeleng kepalanya. Sakitri mengeluh dan membuka matanya.
"Kisanak..." katanya lirih sambil menyeringai menahan rasa nyeri, terengah-engah dan di sela-sela rintihannya. "jangan kepalang menolong... Ki sanak, saya mohon padamu... pergilah ke Teluk Grajagan... peringatkan Bapa Guru Ki Sarwaguna... Ketua Perguruan Driyo Pawitra... terancam... akan diserbu.... Blambangan... Paman Sarwatama... pengkhianat.... uuhhhhh... !"
Kepala orang itu terkulai dan ketika Bagus Sajiwo memeriksa, denyut jantung Sakitri telah terhenti! "Dia telah mati... !" kata Bagus Sajiwo dan tanpa bicara lagi dia lalu menggali lubang dan mengubur jenazah orang itu, dibantu oleh Parto yang diam-diam merasa kagum kepada pemuda itu. Betapa luhur budinya.
Setelah selesai mengubur jenazah orang yang sama sekali tidak dikenalnya itu, Bagus Sajiwo lalu berkata kepada Parto, "Parto, menyesal sekali, terpaksa kita menunda perjalanan kita ke Tuban yang jauh. Aku harus lebih dulu pergi ke Teluk Grajagan yang jauh lebih dekat daripada Tuban, untuk memenuhi pesan terakhir Ki Sakitri tadi."
"Tidak mengapa, bagus. Kalau engkau pikir memang perlu sekali pergi ke sana, aku menurut saja." jawab Parto.
"Tentu saja perlu sekali. Perguruan Driya Pawitra terancam serbuan Blambangan dan agaknya Bhagawan Sarutama tadi bekhianat terhadap perguruan itu."
"Itu menurut pesan orang tadi, Bagus. Kukira kurang bijaksana kalau hanya mendengar dan percaya keterangan satu pihak saja. Bagimana ngkau dapat yakin bahwa keterangan sepihak itu mesti benar?"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Engkau benar, Parto. Aku pun tidak begitu sembrono untuk percaya saja keterangan Ki Sakitri tadi. Akan tetapi, kalau urusan ini menyangkut Blambangan yang sedang kuselidiki, maka aku harus pergi ke perguruan Driya Pawitra itu. Tanpa datang ke sana menyaksikan sendiri keadaannya, bagaimana aku dapat mengetahui siapa benar siapa salah? Sayang, urusan ini membuat kepulanganmu ke Tuban menjadi tertunda."
"Sudah kukatakan tadi, tidak mengapa, Bagus. Mari kita berangkat!"
Mereka lalu meninggalkan tempat itu dan kini mereka memutar haluan perjalanan mereka, tidak ke utara melainkan ke selatan. Perjalanan ke Tuban dari daerah Blambangan ini memang jauh sekali dan akan makan waktu lama, apalagi dilakukan melalui darat yang banyak rintangannya. Sebaliknya, teluk Grajagan tidaklah begitu jauh. Akan tetapi mereka harus berhati-hati karena untuk menuju ke teluk itu, mereka harus melintasi daerah Blambangan. Siapakah Bhagawan Sarwatama dan Ki Sakitri itu dan apakah yang terjadi dengan Perguruan Driya Pawitra?
Kita tinggalkan dulu Bagus Sajiwo dan Parto atau Tan Swi Hong yang melakukan perjalanan menuju ke Teluk Grajagan, dan kita tengok keadaan perguruan silat itu. Perguruan Driya Pawitra adalah sebuah perguruan silat yang sudah tua, mendekati satu abad usianya. Pendirinya adalah seorang laki-laki yang berasal dari kerajaan Pajajaran di Nusa Jawa bagian barat. Namanya Ki Hajarmanik yang merantau sampai diujung timur selatan Nusa Jawa dan akhirnya dia menetap bertapa di sebuah gua yang terdapat di pantai Teluk Grajagan.
Semenjak Ki Hajarmanik yang sudah berusia enam puluhan tahun itu bertapa di situ, setiap kali ada gerombolan penjahat mengganggu pedusunan di daerah itu, dia selalu muncul dan menghajar para penjahat. Nama Ki Hajarmanik mulai dikenal dan dikagumi karena kesaktian dan kebaikannya. Para pemuda di sekitar daerah itu mulai berdatangan untuk berguru ilmu kepadanya. Ki Hajarmanik menerima mereka, mengajarkan ilmu oleh kanuragan dan juga pendidikan budi pekerti.
Makin banyak saja para muda yang menjadi muridnya sehingga akhirnya Ki Hajarmanik mendirikan sebuah perguruan silat yang diberi nama perguruan Silat Driya Pawitra. Selama kurang lebih satu abad, perguruan itu turun temurun dipimpin seorang murid Driya Pawitra yang terpandai, terutama yang menonjol dan tertinggi tingkat kesaktiannya. Akhirnya, kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu. perguruan Driya Pawitra dipimpin oleh Ki Sarwaguna sebagai ketuanya.
Ketika itu, Ki Sarwaguna berusia kuang lebih dua puluh lima tahun. Dia memang seorang murid perguruan itu yang terpandai dalam aji kanuragan. Dia dibantu oleh seorang adik seperguruan yang setahun lebih muda darinya, bernama Ki Sarwatama. Selisih tingkat kepandaian antara kedua orang murid utama Driya Pawitra ini tidak banyak, hanya bedanya, kalau Ki Sarwaguna lebih suka memperdalam ilmu kanuragan, sebaliknya Ki Sarwatama lebih suka memperdalam ilmu kebatinan sehingga sejak muda dia lebih suka melakukan tapabrata.
Kedua orang yang menjadi pimpinan baru Perguruan Driya Pawitra itu mempunyai seorang adik seperguruan, seorang gadis bernama Ambarsari, seorang di antara beberapa orang pemuda ini jatuh cinta kepada Ambarsari dan terjadilah semacam persaingan untuk merebut hati Ambarsari. Akan tetapi akhirnya Ambarsari memilih Ki Sarwaguna yang telah beberapa tahun menjadi Ketua Driya Pawitra.
Mereka menikah dan Ki Sarwatama mengalami patah hati, lalu meninggalkan perguruan Driya Pawitra, bahkan mengasingkan diri dan biarpun usianya ketika itu baru sekitar dua puluh tujuh tahun, dia telah menjadi seorang pertapa!
Dia merantau, berpindah-pindah tempat pertapaannya dari gunung ke gunung, dari bukit ke bukit. Hanya kadang-kadang saja, kalau kebetulan lewat Teluk Grajagan, dia singgah di perkampungan perguruan itu yang terletak di dekat teluk. Beberapa tahun setelah menikah Ambarsari melahirkan sorang anak perempuan yang diberi nama Ratna Manohara. Ketika itu, Ki Sarwoguna berusia tiga puluh satu tahun dan isterinya, Ambarsari, berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Kehidupan ketua Driya Pawitra itu bersama isteri dan anaknya amat berbahagia, apalagi karena perguruan mereka semakin maju. Para murid pada umumnya bekerja sebagai nelayan dan ada pula yang bercocok tanam. Alan tetapi, sudah menjadi sifat kehidupan manusia sejak dahulu, selalu diombang-ambingkan di antara suka dan duka, senang dan susah. Tidak ada kesenangan kekal seperti juga tidak ada kesusahan abadi. Tawa dan tangis bergantian menghias kehidupan manusia.
Demikian pula yang melanda kehidupan Ki Sarwaguna. Hanya tiga tahun setelah Ratna Manohara lahir, Ambarsari terserang penyakit dan tidak dapat disembuhkan lagi. Ia meninggal dunia, meninggalkan puterinya yang baru berusia tiga tahun! Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batin Ki Sarwaguna. Dia amat mencinta isterinya dan dia menjadi duda dalam usia tiga puluh empat tahun. Akan tetapi dia mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi.
Seluruh sisa hidupnya dia curahkan untuk mendidik Ratna Manohara, puterinya yang tercinta dan untuk mengembangkan Driya Pawitra. Tidaklah mengherankan kalau Ratna Manohara yang digembleng sejak kecil, kini menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih yang selain cantik jelita, juga memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat para murid Driya Pawitra. Gadis ini berbakat sekali sehingga ayahnya memberi kepercayaan kepadanya untuk membantunya melatih para murid, bahkan untuk mewakili Driya Pawitra kalau kehadiran pimpinan perguruan itu diperlukan.
Demkianlah sedikit riwayat perguruan Driya pawitra yang berpusat di daerah Teluk Grajagan, laut Kidul, daerah Blambangan bagianbarat. ktika cerita ini terjadi, KiSarwaguna telah berusia sekitar lima puluh tahun dan puterinya Ratna manohara berusia hampir Sembilan belas tahun. Biarpun kini dia tidak tinggal menetap di perkampungan Driya Pawitra, namun Ki Sarwaguna terkadang datang ke perguruan itu dan tinggal selama beberapa pekan di situ.
Dia bahkan membantu kakak seperguruannya untuk memberi wejangan mengenai kebajikan kepada para murid. Apalagi semenjak Ambarsari meninggal dunia, agaknya tidak ada lagi ganjalan hati sehingga dia lebih sering datang. Ki Sarwatama juga amat sayang kepada Ratna Manohara dan ikut pula memberi gemblengan kepada murid keponakannya itu. Pada waktu itu, di antara para murid Driya Pawitra, yang menjadi murid utama dan yang kini menjadi pembantu Ki Sarwaguna adalah seorang murid bernama Sakitri.
Pada suatu hati, Ki Sarwaguna memanggil Sakitri dan mereka berbicara di ruangan dalam, dihadiri pula oleh Ratna Manohara. Gadis itu kini berusia hampir sembilan belas tahun. Gadis yang lemah lembut, bermata tajam berwibawa, dengan bibir yang indah mengandung daya tarik yang menggairahkan. Gadis yang berwajah cantik manis dan anggun. Tubuhnya ramping padat bagaikan setangkai bunga mawar yang sedang mulai mekar.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Adipati Blambangan bersekutu dengan kerajaan Klungkung di Bali yang menjadi pendukung utamanya, juga dengan golongan yang anti Mataram dari Madura, didukung pula oleh Kumpeni Belanda. Persekutuan ini bertujuan memusuhi dan menjatuhkan Mataram yang dipimpin Sultan Agung. Bahkan Blambangan berusaha membujuk perguruan-perguruan silat yang besar untuk membantu dan bergabung dengan persekutuan itu.
Untuk membujuk para perguruan, Adipati Blambangan mengundang para pimpinan perguruan untuk menghadiri pertemuan yang diadakan di Blambangan dipimpin oleh penasihatnya, datuk besar Blambangan yaitu Bhagawan Kalasrenggi. Driya Pawitra juga menerima undangan itu dan Ratna Manohara mewakili ayahnya hadir dalam pertemuan itu. Karena berselisih paham Ratna Manohara lalu meninggalkan rapat pertemuan itu. Hari ini, pagi-pagi sekali Ki Sarwaguna mengajak Sakitri berunding dihadiri pula oleh Ratna.
Setelah mreka mengambil tempat duduk dalam ruangan tertutup itu, Ki Sarwaguna minta kepada puterinya untuk menceritakan tentang gerakan Blambangan yang hendak menyerangmataram. Ratna menceritakan semua yang ia ketahui.
"Kakang Sakitri," kata Ratna yang menyebut kakang kepada murid utama Driya Pawitra itu karena memang laki-laki itu merupakan kakak seperguruannya, "Blambangan sudah bertekad memusuhi dan menyerang Mataram. Mereka itu didukung oleh Kerajaan Klungkung di Bali, oleh orang-orang Madura, dan terutama sekali oleh Kumpeni Belanda. Bahkan aku medengar berita bahwa mereka akan menyerbu Kadipaten Pasuruan yang dianggap sebagai benteng pertama Mataram."
"Hemm, sungguh memalukan. Kumpeni Belanda adalah musuh bangsa kita, akan tetapi Blambangan malah bersekutu dengan mereka untuk memusuhi Mataram.” kata Sakitri sambil mengerutkan alisnya.
"Kita tidak perlu melibatkan diri dalam permusuhan itu, akan tetapi kita harus tetap waspada. Selain kita harus menjaga agar tidak ada murid Driya Pawitra yang terlibat, juga kita harus memperkuat penjagaan karena biasanya kalau terjadi perang, para penjahat lalu bermunculan untuk mengail di air keruh."
"Ayah, mengapa kita tidak minta pendapat Paman Bhagawan Sarwatama? Tentu beliau dapat memberi petunjuk yang tepat bagi kita."
"Hemm, sudah hampir dua tahun Pamanmu tidak pernah datang berkunjung. Entah dia berada di mana sekarang. Pamanmu itu sukar ditemukan jejaknya karena dia selalu berpindah-pindah tempat untuk bertapa."
"Bapa Guru, baru-baru ini saya mendengar dari seorang penduduk dusun tetangga bahwa dia melihat Paman Guru Sarwatama berada di pegunungan Jatitua"
"Ah, kalau begitu dia berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini. Sebaiknya engkau pergi ke sana dan mencarinya, Sakitri. Kalau mungkin minta kepadanya agar suka datang berkunjung ke sini, kalau tidak, tanyakan saja pendapatnya tentang gerakan Blambangan terhadap Mataram. Kita membutuhkan nasihat dan pendapatnya."
Berangkatlah Sakitri memenuhi perintah gurunya. Dia melakukan perjalanan cepat menunggang kuda dan dua hari kemudian dia telah tiba di Pegunungan Jatitua. Dan seperti diduganya semula, dia mendapatlan Bhagawan Sarwatama berada di sebuah gua di pegunungan itu. Untuk mencapai gua di tebing itu, dia harus mendaki. Maka ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon dan dia lalu berjalan kaki dan mendaki tebing. Akan tetapi dari jauh dia melihat paman gurunya itu meninggalkan gua dan berjalan menuju ke barat. Sakitri cepat mengejar sambil berseru memanggil.
"Paman Guru Bhagawan Sarwatama! Berhentilah! Saya Sakitri ingin bertemu dan bicara dengan Paman!"
Akan tetapi Bhagawan Sarwatama berjalan terus, dikejar oleh Sakitri dan setelah tiba di jalan umum, barulah laki-laki berpakaian jubah pendeta yang membawa tongkat ular hitam itu berhenti dan menunggu sampai Sakitri dapat menyusulnya. Sakitri segera menghadap Bhagawan Sarwatama dan memberi hormat dengan sembah.
"Hemm, Sakitri! Mau apa engkau mengejar-ngejar aku?"
"Maafkan saya, Paman. Saya diutus Bapa Guru Sarwaguna untuk menemui Paman. Maaf jika saya mengganggu."
"Hemm, diutus apa?"
Diam-diam Sakitri merasa heran sekali melihat sikap paman gurunya itu. Sikap Bhagawan Sarwatama demikian dingin dan tidak acuh padahal biasanya pendeta itu bersikap ramah kepadanya dan kepada para murid perguruan Driya Pawitra.
"Saya diutus oleh Bapa Guru untuk menghadap Paman dan minta nasihat dan pendapat Paman tentang gerakan Blambangan yang hendak menyerang Mataram. Blambangan pernah mengundang perguruan kita yang diwakili oleh Adi Ratna Manohara dan membujuk agar kita mau bekerja sama dengan Blambangan memusihi Mataram. Tentu saja bujukan itu kita tolak dan Bapa Guru ingin mendengar nasihat dan pandangan Paman. Maka Bapa Guru mengundang Paman agar Paman suka datang berkunjung ke perguruan."
"Hemm, aku tidak ada waktu luang!" jawabnya ketus.
"Kalau Paman tidak sempat berkunjung, harap Paman sampaikan nasihat dan pendapat Paman mengenai urusan itu, kepada saya. Apa yang harus kita lakukan, Paman?"
"Hemm, Kakang Sarwaguna minta pendapatku? Dengar baik-baik, Sakitri. Keputusan Driya Pawitra menolak ajakan Blambangan untuk bergabung adalah bodoh sekali! Kalau menurut pendapatku, semestinya kita menerima uluran tangan Blambangan untuk bekerja sama. Keputusan itulah yang paling baik dan menguntungkan. Kalau Driya Pawitra menolak kerja sama, sama saja dengan mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri."
Bukan main kaget dan herannya hati Sakitri mendengar ucapan Paman Gurunya itu! "Akan tetapi, Paman! Bukankah sejak dahulu Bapa Guru memimpin Driya Pawitra menjadi sebuah peguruan yang mengutamakan kebenaran dan keadilan? Kita tidak pernah mencampuri pemberontakan para kadipaten terhadap Mataram. Apalagi kita mengetahui bahwa pemberontakan-pemberontakan itu mendapat dukungan dari Kumpeni Belanda yang sengaja hendak mengadu domba antara Mataram dan para penguasa daerah agar kita menjadi lemah."
"Sakitri! Engkau ini hendak minta nasihatku ataukah hendak membantah pendapatku? Jangan banyak membantah. Pendeknya, aku menghendaki agar Driya Pawitra bergabung dengan Blambangan menentang Mataram. Dengan demikian, Driya Pawitra baru akan terbebas dari kehancuran. Bagaimanapun juga, Teluk Grajagan termasuk wilayah Kadipaten Blambangan, maka sudah sepatutnya kita membantu Blambangan!"
Tentu saja Sakitri menjadi penasaran sekali dan ia membantah. seperti telah diceritakan di bagian depan, perbantahan itu membuat Bhagawan Sarwatama menjadi marah sekali sehingga paman guru dan murid keponakan itu berkelahi dan akibatnya, Sakitri terpukul dan tewas setelah meninggalkan pesan kepada Bagus Sajiwo yang kebetulan lewat di situ bersama parto atau Tan Swi Hong.
Karena menganggap bahwa pesan yang diberikan Sakitri itu sebagai pesan terakhir dan amat penting karena menyangkut pemberontakan Blambangan, maka Bagus Sajiwo terpaksa menunda perjalanannya mengantar Parto pulang ke Tuban dan kini dia bersama gadis Cina yang menyamar sebagai pria itu melakukan perjalanan menuju ke Teluk Grajagan untuk mengunjungi Perguruan Driya Pawitra dan menyampaikan pesan terakhir Sakitri kepada perguruan itu.
********************
Ki Sarwaguna, Ketua Driya Pawitra merasa gelisah. Dia merasakan getaran yang membuat perasaan hatinya tidak nyaman. Setiap orang manusia tidak pernah ditinggalkan getaran ilham yang datang dari Sang Sumber. Gusti Allah Sang Maha Pencipta sesungguhnya tidak pernah meninggalkan semua ciptaanNya, dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang terlemah sampai yang terkuat. Namun, nafsu-nafsu daya rendah merajalela dalam diri manusia, bagaikan asap hitam menutupi jiwa sehingga getaran itu menjadi lemah, bahkan sebagian besar orang tidak merasakan lagi!
Ki Sarwaguna adalah seorang di antara manusia-manusia yang tidak sepenuhnya dikuasai nafsu daya rendah, tidak diperbudak oleh nafsu-nafsunya dan selalu melangkah dalam jalur kebaikan dan kebenaran sesuai dengan jalur Yang Maha Baik dan Maha Benar. Ki Sarwaguna tidak sepenuhnya mengandalakan hati akal pikirannya yang sering kali keliru. Dia memperhatikan getaran-getaran yang dia rasakan sebagai tanda atau isyarat pemberitahuan.
Ketika dia menanti murid utamanya, Sakitri, yang dia utus mencari Bhagawan Sarwatama dan belum juga pulang, dia merasakan getaran yang membuat dia merasa tidak nyaman. Ki Sarwaguna menjadi waspada. Dia menyuruh puterinya, Ratna Manohara, untuk memanggil para murid berkumpul di pendapa rumah induk perguruan itu. Sekitar enam puluh orang murid berkumpul di pendapa, menghadap Ki Sarwaguna yang didampingi puterinya, Ratna Manohara. Setelah semua murid menghadap, Ki Sarwaguna berkata dengan nada suara serius.
"Anak-anakku sekalian, para murid Driya Pawitra, seperti kalian telah mengetahui, kadipaten Blambangan sedang mengadakan kegiatan untuk menyerang Mataram. Mereka membujuk perguruan kita untuk bergabung dan membantu mereka, akan tetapi Ratna yang mewakili perguruan kita, dengan tegas menolak. Sikap dan penolakannya itu benar dan sesuai dengan pendirian kita yang tidak ingin mencampuri pemberontakan dan permusuhan. Kita tidak mau berpihak dan kita hanya akan memebela diri kalau diganggu dan diserang oleh pihak mana pun juga. Penolakan kita itu tentu saja menimbulkan rasa tidak suka dan amarah dalam hati para pimpinan Blambangan yang bersekutu dengan mereka yang memusihi Mataram, bahkan juga didukung Kumpeni Belanda. Kita sudah mengirim Sakitri untuk menghadap Adi Bagawan Sarwatama untuk minta nasihat dan mendengar pendapatnya. Akan tetapi sampai sekarang Sakitri belum juga pulang. Perasaan hatiku tidak enak, tidak tentram. Aku menduga bahwa Blambangan tentu menganggap perguruan kita sebagai musuh karena kita tidak mau bekerjasama dan bergabung. Rasa permusuhan mereka ini tentu saja merupakan ancaman bagi ketenteraman hidup kita. Oleh karena itu, pagi ini kalian aku kumpulkan di sini untuk bersiap siaga, waspada dan tidak lengah akan adanya ancaman itu. Mulai hari ini, harus diatur penjagaan siang malam secara bergilir sehingga kita akan dapat mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan."
Kemudian Ratna Manohara menceritakan pengalamannya ketika ia hadir dalam pertemuan yang diadakan Adipati Blambangan. Ia hadir sebagai utusan perguruan Driya Pawitra mewakili ayahnya. Di depan para murid Driya Pawitra yang terdiri dari tujuh belas orang murid wanita dan selebihnya, hampir lima puluh orang murid laki-laki, Ratna menceritakan keadaan Blambangan dengan terperinci. Ayahnya, Ki Sarwaguna sebetulnya memiliki tiga orang adik seperguruan.
Yang pertama adalah Bhagawan Sarwatama, dan masih ada dua lagi adik seperguruan Ki Sarwaguna, yaitu Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati. Mereka bertiga dahulunya membantu Ki Sarwaguna memimpn Perguruan Driya Pawitra. Akan tetapi kini mereka tidak berada lagi di perkampungan perguruan itu. Ki Sarwatama telah menjadi seorang pendeta, seorang pertapa sebagai Bhagawan Sarwatama.
Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati juga belum lama ini meninggalkan perguruan karena mereka ingin merantau. Keduanya tidak pernah menikah dan memang kedua orang ini merupakan petualang-petualang yang suka merantau sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa. Apalagi karena mereka berdua maklum akan kemampuan keponakan mereka Ratna Manohara yang biarpun masih muda namun sudah mewarisi dan menguasai semua ilmu dari Perguruan Driya Pawitra dengan baik, bahkan tidak kalah dibandingkan tingkat mereka sendiri!
"Ketika aku hadir dalam pertemuan di kadipaten Blambangan itu, persekutuan mereka lengkap."
Demikian antara lain Ratna Manohara bercerita kepada para murid yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Pemimpin pertemuan itu adalah Bhagawan Kalasrenggi, datuk Blambangan yang selain sakti mandraguna, juga amat licik dan cerdik. Agaknya Adipati Santa Guna Alit di Blambangan sudah dikuasai Bhagawan Kalasrenggi sehingga segala sesuatu yang mengambil keputusan adalah Bhagawan Kalasrenggi itu. Bhagawan Kalasrenggi agaknya amat membenci Mataram dan dialah yang mengundang semua golongan untuk bersekutu menentang Mataram.
Di dalam pertemuan itu aku melihat banyak tokoh sakti, dan sebagian besar dari mereka menyetujui persekutuan itu. Ketika itu yang tidak mau ikut dalam persekutuan hanya ada tiga orang, yaitu Paman Wiku Menak Jelangger, Mbakyu Ken Darmini murid Nini Kutigarba dari Gunung Betiri, dan aku sendiri sebagai wakil dari Perguruan Driya Pawitra kita."
"Lalu siapa saja yang menjadi anggauta persekutuan itu?" Tanya Ki Sarwaguna kepada puterinya.
"Yang saya ketahui, di sana ada wakil dari Raja Dewa Agung di Klungkung Bali yang kabarnya membawa banyak sekali pasukan dari Bali. Bali diwakili oleh seorang pemuda bernama Tejakasmala yang kabarnya merupakan murid Bhagawan Ekabrata yang sakti mandraguna, ditemani senopati Bali bernama Candrasakti dan Candrabaya. Ada pula Resi Sapujagad dari Gunung Merapi. Juga tampak Bhagawan Dewakaton dari Gunung Bromo. Saya juga melihat wakil dari Kumpeni Belanda yang bernama Arya Bratadewa, dan masih ada sepuluh jagoan tangguh dari daerah Blambangan. Blambangan sendiri mempunyai banyak senopati tangguh, di antaranya Dwi Kala, dua orang murid Bhagawan Kalasrenggi itu, juga putera kembar sang Adipati sendiri, Dhirasani dan Dhirasanu yang kabarnya juga tangguh dan sakti."
"Wah, kalau begitu persekutuan itu kuat sekali!" kata Ki Sarwaguna.
"Pasukan Blambangan yang sudah lama dibangun untuk menandingi Mataram diperkuat pasukan besar dari Bali, dan mngkin saja ada pasukan dari para pemberontak Madura yang membantu. Pasukannya besar dan dipimpin banyak orang sakti, tentu keadaannya menjadi kuat sekali. Kalau benar Blambangan akan segera menyerang Pasuruan, maka kadipaten itu terancam bahaya."
"Kanjeng Rama, saya melihat bahwa sebagian besar para datuk yang mendukung Blambangan adalah orang-orang sesat, dan kita semua mengetahui bahwa Kerajaan Mataram didukung para pendekar dan satria yang berbudi luhur. Apakah kita akan membantu Mataram, sesuai dengan watak dasar perguruan kita, yaitu menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan?"
Ki Sarwaguna menghela napas dan menggeleng kepalanya. "Tidak, Anakku. Kita harus tetap berpegang kepada peraturan yang telah diadakan pendiri Driya Pawitra, mendiang Ki Harjamanik, seabad lebih yang lalu. Peraturan itu adalah bahwa setiap orang murid perguruan kita ini tidak akan mencampuri urusan perang antara penguasa daerah karena perang itu hanya merupakan perang antara saudara yang saling memperebutkan kekuasaan. Perguruan Driya Pawitra tidak membentuk pahlawan, melainkan pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat membela yang benar namun tertindas, tanpa memandang golongan dan dari mana dia datang."
"Saya mengerti, Kanjeng Rama. Akan tetapi, bukankah dalam perang antar daerah itu juga mengandung dua pihak yang benar dan yang salah? Kita harus membela yang benar, bukan?"
"Benar dan salah itu hanya bagaimana kita menilai dan memandangnya. Andaikata terjadi perang antara Blambangan dan Mataram, kita membela pihak mana pun, tetap saja ada benarnya dan ada salahnya. Kalau kita membela Mataram, bisa benar karena menurut ceritamu tadi, pihak Blambangan yang angkara murka. Akan tetapi juga bisa salah karena bagaimanapun juga, kita tinggal di daerah atau wilayah Blambangan sehingga dapat dianggap bahwa kita ini kawula Blambangan. Jadi, membela Mataram salah, membela Blambangan juga tidak benar. Kedua pihak masih sebangsa dan sesaudara, karena itu kita tidak akan mencampuri pertikaian antara pemerintahan mereka."
"Kanjeng Rama, bagaimana kalau kita melihat orang-orang Blambangan, perajurit-perajuritnya, bertindak kejam dan sewenang-wenang terhadap penduduk Pasuruan yang mereka serang?"
"Sebetulnya, kalau engkau dan semua murid Driya Pawitra sudah paham akan pendirian perguruan kita, pertanyaan itu tidak perlu kau ajukan lagi, Ratna. Kita akan bertindak menentang siapa saja yang melakukan kejahatan, baik itu orang Blambangan, Pasuruan, maupun Mataram. Bukan berpihak kepada siapa saja yang berperang, melainkan berpihak kepada siapa saja yang tertindas oleh orang jahat. Sudah jelaskah sekarang?"
"Terima kasih, Kanjeng Rama. Saya sudah mengerti betul sekarang." kata Ratna Manohara sambil memandang kepada para murid yang berkumpul di situ, seolah ucapannya itu mewakili para murid.
"Bagus, kalau kalian semua sudah mengerti, tentu kalian juga tahu bahwa kita harus selalu waspada dan siap siaga. Kita memang tidak mau diajak bersekutu dengan Blambangan dan hal ini mungkin sekali membuat marah kepada Blambangan dan bukan mustahil kalau mereka merencanakan niat yang tidak baik terhadap kita. Biasanya, pihak yang hatinya dipenuhi kebencian, akan selalu curiga kepada orang yang tidak mau mendukung niatnya. Mungkin Blambangan menganggap kita musuh. Mulai sekarang kita harus mengadakan penjagaan siang malam secara bergilir dan semua murid siap menghadapi segala kemungkinan buruk."
Demikianlah, mulai hari itu para murid pergruan Driya Pawitra secara bergilir mengadakan penjagaan ketat siang malam dengan penuh kewaspadaan. Pada suatu siang, dua orang pemuda datang ke perkampungan Perguruan Driya Pawitra. Karena para murid yang berjaga di pintu gerbang perkampungan tidak mengenal dua orang pemuda itu, tentu saja mereka merasa curiga dan sebentar saja belasan orang murid perguruan itu sudah berkumpul di pintu gerbang dan menghadang dua orang pemuda itu sambil memandang penuh kecurigaan.
Pemuda pertama gagah dan cukup tampan, namun tidak menimbulkan kecurigaan karena tidak ada yang luar biasa pada dirinya. Akan tetapi pemuda yang kedua itulah yang membuat mereka curiga dan heran. Pemuda kedua itu bertubuh kecil, agak pendek, namun wajahnya tampan sekali. Kulitnya putih halus, rambutnya hitam, panjang dan digelung ke atas. namun ketampanannya tampak asing karena sepasang matanya sipit dengan kedua ujungnya berjungat ka atas. Dua orang pemuda itu adalah Bagus Sajiwo dan Parto.
Seperti kita ketahui, Parto adalah penyamaran Tan Swi Hong, puteri mendiang Tan Beng Ki yang tinggal di Tuban. Bagus Sajiwo menunda niatnya mengantar gadis itu pulang ke Tuban setelah perahu ayah gadis itu terbalik di Selat Bali daerah Blambangan karena Bagus Sajiwo ingin lebih dulu menyampaikan pesan terakhir Sakitri kepada Perguruan Driya Pawitra. Parto atau Tan Swi Hong menyetujui, maka pergilah mereka ke perguruan itu dan kini mereka telah tiba di perkampungan perguruan Driya Pawitra.
"Ki sanak, siapakah Andika berdua dan ada keperluan apa Andika datang berkunjung ke perkampungan kami?" tanya seorang murid.
Melihat belasan orang itu bersikap garang dan memandang penuh kecurigaan, Bagus Sajiwo, tersenyum dan bertanya, "Ki sanak, apakah benar bahwa perguruan Driya Pawitra berada di sini?"
"Benar, di sini perkampungan Perguruan Driya Pawitra. Siapakah Andika dan kepentingan apa yang membawa Andika datang berkunjung?"
Bagus Sajiwo merangkap kedua tangan depan dada sebagai salam penghormatan dan gerakannya ini diikuti Parto. "Maaf kalau kami mengganggu. Saya bernama Bagus Sajiwo dan temanku ini adalah Ki Parto. Kami datang berkunjung membawa pesan Ki Sakitri untuk disampaikan kepada Ketua Driya Pawitra."
Mendengar ucapan Bagus Sajiwo yang menyebut nama Sakitri, sikap para murid Driya Pawitra itu segera berubah ramah. Mereka maklum bahwa dua orang muda ini membawa berita yang amat penting tentang Sakitri, berita yang sudah ditunggu-tunggu oleh ketua mereka. Mereka menahan hasrat untuk segera mendengar berita itu dari mulut dua orang pemuda ini, tidak berani lancang mendahului guru mereka.
"Ah, silakan masuk, dan mari kami antarkan Andika berdua menghadap Ki Sarwaguna, guru kami!" kata murid yang tadi bertanya.
Bagus Sajiwo dan Parto segera diantar oleh lima orang murid menuju ke rumah induk tempat Ki Sarwaguna. Ki Sarwaguna dan Ratna Manohara menerima dua orang pengunjung ini di ruangan tamu yang cukup luas. Karena mnduga bahwa dua orang yang membawa pesan Sakitri ini tentu akan bicara tentang urusan yang penting, maka Ketua Driya Pawitra dan puterinya itu menerima mereka tanpa dihadiri para murid lain.
"Silakan duduk, Anakmas berdua." kata Ki Sarwaguna dengan sikap ramah.
"Terima kasih, Paman." kata Bagus Sajiwo dengan sikap hormat sambil memberi salam penghormatan yang diikuti Parto.
Mereka lalu duduk berhadapan dengan ayah dan anak itu, terhalang meja besar. Diam-diam dia kagum melihat Ratna Manohara yang cantik jelita dan anggun, sikapnya lembut namun berwibawa dan pandang matanya yang tajam itu seolah hendak menjenguk isi hatinya.
"Apakah benar saya berhadapan dengan Ketua Perguruan Driya Pawitra?"
"Benar sekali, Anakmas. Aku adalah Ki Sarwaguna, ketua Driya Pawitra, dan ini adalah anakku, Ratna Manohara. Andika berdua siapakah, Anakmas? Dan berita apa yang kalian bawa mengenai murid kami Sakitri?"
"Paman Sarwaguna, saya bernama Bagus Sajiwo, dan sahabat saya ini bernama Ki Parto"
"Ki sanak, kalau kunjungan Andika berdua ini beritikad baik, mengapa harus berbohong?” tiba-tiba Ratna Manohara menegur dengan suara lembut, namun tegas dan sepasang matanya memandang penuh selidik.
Bagus Sajiwo terkejut. "Berbohong....?"
"Hemm, dia ini sudah pasti bukan Ki Parto karena ia seorang perempuan." kata pula Ratna Manohara.
"Ratna... !" Ki sarwaguna menegur puterinya. "Kanjeng Rama, ia memang seorang perempuan. Mereka tidak dapat menipu saya."
Mendengar ini, Tan Swi Hong tersenyum. "Memang benar! Adik Ratna ini memiliki pandangan yang amat tajam. Saya memang seorang perempuan. Maafkan penyamaran ini."
Bagus Sajiwo juga tersenyum dan cepat menyambung. "Maafkan kami, Paman. Sesungguhnyalah, gadis ini bernama Tan Swi Hong, seorang gadia Cina dan hanya karena terpaksa saja ia menyamar sebagai seorang laki-laki dengan nama Parto agar perjalanan kami tidak mengalami banyak gangguan. Sama sekali kami tidak mempunyai niat buruk terhadap perguruan Paman."
Ki Sarwaguna mengerutkan alisnya. Dia harus berhati-hati karena keadaan pada saat itu gawat dengan adanya kemungkinan sikap permusuhan dari Blambangan terhadap perguruannya. Dia tidak mengenal dua orang pemuda ini dan adanya penyamaran seorang gadis Cina menjadi seorang pemuda, menimbulkan kecurigaannya.
"Anakmas Bagus Sajiwo, sebelum Andika menceritakan tentang Sakitri harap lebih dulu menjelaskan mengapa Nona sahabatmu ini harus menyamar sebagai pria, agar kami tidak menjadi curiga."
"Ceritanya panjang, Paman. Baiklah akan saya singkat saja. Saya menumpang di perahu milik ayah Adik Tan Swi Hong ini yang melakukan pelayaran dagang dari Tuban menuju ke Blambangan. Akan tetapi setibanya di dekat Blambangan, perahu kami diserang orang-orang Blambangan sehingga tenggelam. Semua penumpangnya jatuh ke lautan dan kebetulan kami berdua mendapat perlindungan Gusti Allah sehingga dapat terdampar ke pantai dan selamat. Kami lalu melakukan perjalanan dan saya hendak mengantarkan Adik Tan Swi Hong pulang ke Tuban. Agar perjalanan lebih aman, saya sarankan agar adik ini menyamar sebagai seorang pria dengan nama Parto. Begitulah sesungguhnya apa yang terjadi sehingga terpaksa Adik Tan Swi Hong menyamar sebagai Ki Parto, Paman."
Ki Sarwaguna mengangguk-angguk. "Baiklah, kami percaya keteranganmu itu, Anakmas Bagus Sajiwo. Sekarang ceritakan tenatang pertemuanmu dengan murid kami Sakitri dan apa pesan yang harus Andika sampaikan kepada kami."
"Ketika kami berdua melakukan perjalanan hendak ke Tuban, di tengah perjalanan itu kami melihat dua orang berkelahi. Yang lebih muda sudah roboh dan yang tua hendak membunuhnya. Kami segera mencegah pembunuhan itu dan yang tua lalu pergi. Kami mencoba untuk menolong orang yang terluka itu. Dia adalah Ki Sakitri, Paman."
"Ahh...!" Ayah dan anak itu berseru kaget. "Lalu bagaimana dengan murid kami Sakitri?" "Lukanya parah, Paman dan dia tidak dapat diselamatkan lagi. Dia tewas dan kami berdua hanya dapat menguburkan jenazahnya."
Wajah Ki Sarwaguna berubah merah karena marah. "Hemm, Sakitri tewas? Katakan, anakmas, siapa yang membunuh murid kami dan mengapa dia dibunuh?"
"Paman, tadinya kami melihat dua orang itu berkelahi, kami tidak dapat mencampuri karena kami tidak mengenal mereka dan tidak tahu urusannya. Namun dari percakapan mereka, kami mendengar bahwa yang muda yang bernama Sakitri. Setelah Sakitri roboh dan hendak dibunuh dengan tongkat oleh lawannya, barulah kami turun tangan mencegahnya. Kemudian, dalam keadaan terluka parah, sebelum menghembuskan napas terakhir, Sakitri meninggalkan pesan dan minta kepada kami untuk menyampaikan pesan itu kepada Paman Sarwaguna."
"Anakmas Bagus Sajiwo, cepat katakan apa yang dipesan oleh murid kami Sakitri yang malang itu, dan siapakah yang membunuhnya?"
"Hanya dua buah pesannya sebelum dia meninggal dunia, Paman, yaitu pertama bahwa Perguruan Driya Pawitra terancam, akan diserbu oleh Blambangan. Adapun yang kedua adalah bahwa kakek yang membunuhnya itu, dia sebut Paman Sarwatama, telah menjadi pengkhianat. Itu saja, Paman pesannya."
Ki Sarwaguna mengepal tinju dan suaranya menggetar marah ketika dia bicara. "Adi Bhagawan Sarwatama! Ah, sedemikian jauhnya dia tersesat, mendukung Blambangan dan mau mengkhianati Driya Pawitra.
"Kanjeng Rama, semua itu telah terjadi. Kakang Sakitri telah tewas ditangan Paman Guru Sarwatama yang mendukung Blambangan memusuhi perguruan kita. Yang penting sekarang, kita harus waspada dan melakukan penjagaan yang ketat untuk menahan serbuan mereka."
Diam-diam Bagus Sajiwo merasa kagum kepada gadis yang anggun dan tampak serius itu walaupun kata-katanya lembut. Jelas ia seorang gadis yang tenang dan penuh ketabahan.
"Engkau benar, Ratna. Sekarang kumpulkan semua murid dan aturlah penjagaan yang kuat dengan mengerahkan semua tenaga. Aku masih ingin bicara dengan Anakmas Bagus sajiwo dan Nona Hong ini."
Ki Sarwoguna merasa sukar mengingat nama Tan Swi Hong dan yang ia ingat hanya nama akhirnya Hong saja. Setelah puterinya keluar dari ruangan itu, Ki Sarwaguna berkata kepada Bagus Sajiwo.
"Anakmas, Andika berdua telah berjasa besar menolong kami dan bersusah payah memenuhi pesan mendiang Sakitri murid kami, padahal Andika berdua sama sekali tidak pernah mengenalnya. Sungguh Andika berdua telah melimpahkan budi kebaikan terhadap kami dan kami mengucapkan banyak terima kasih!"
"Paman Sarwaguna, apa yang kami lakukan adalah semata-mata merupakan kewajiban kami. harap Paman tidak berterima kasih kepada kami. hanya Gusti allah saja yang berhak menerima puji syukur dan terima kasih atas segala berkahNya kepada kita semua."
Ki Sarwaguna mengangguk-angguk dan memandanag penuh kagum kepada Bagus Sajiwo. "Anakmas Bagus Sajiwo, Andika masih begini muda sudah memiliki kebijaksanaan. Ingin sekali kami mengetahui, siapakah orang tua Andika."
"Ayah saya bernama Ki tejomanik dan Ibu saya Retno Susilo, mereka tinggal di lereng gunung Kawi, Paman. Adapun guru saya mendiang Eyang Buyut Guru Ki Ageng Mahendra."
"Duh Jagad Dewa Bathara....!" Ki Sarwaguna berseru. "Bukankah Ki Tejomanik itu yang terkenal dengan julukan Pecut Sakti Bajrakirana dan Ki Ageng Mahendra adalah manusia setengan dewa yang bertapa di Pegunungan Ijen?" seru Ki Sarwaguna dengan mata terbelalak.
"Ah, Paman. Orang tua saya dan guru saya adalah manusia-manusia biasa saja sesuai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing seperti manusia-manusia lain, sesuai dengan kehendak Gusti Allah."
"Hebat.... ! Ah, semua ini tentu telah diatur oleh Sang Hyang Widi Wisesa yang mengatur seluruh alam mayapada! Perguruan kita Driya Pawitra sedang terancam dan tanpa diduga-duga di sini muncul murid Ki Ageng Mahendra dan putera Ki Tejomanik Si pecut Sakti Bajrakirana! Anakmas Bagus Sajiwo, kami mohon kepadamu, bantu dan tolonglah kami, Anakmas. Bantulah kami menghadapi ancaman orang-orang Blambangan!"
"Tenanglah, Paman. Kalau memang Paman sekalian terancam bahaya, tentu saja saya akan membantu Paman menghadapinya."
"Aduh, terima kasih, Anakmas! dan... Nona Hong ini, aku percaya bahwa engkau tentu bukan gadis sembarangan, melainkan seorang gadis yang sakti pula."
"Aih, Paman, saya ini seorang gadis biasa saja." kata Swi Hong.
"Paman, adik Tan Swi Hong ini seorang gadis Cina yang pandai ilmu silat dan merupakan seorang gadis yang tangguh sekali."
"Nah, dugaanku benar! Nona Hong, maukah engkau memberitahukan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu?"
Mendengar pertanyaan ini, Swi Hong menggigit bibirnya karena ia diingatkan akan ayahnya yang tewas dan belum ia temukan jenazahnya, ia tidak mampu menjawab dan terpaksa memejamkan mata menahan tangis. Akan tetapi justeru karena ia memejamkan mata, maka air mata yang sudah menggenangi pelupuk matanya menetes turun ke atas pipinya. Ia cepat mengusap air matanya dan menahan perasaannya agar tidak menangis, akan tetapi tetap tidak berani membuka suara untuk menjawab karena suaranya tentu akan menunjukkan bahwa ia menangis.
Melihat ini, Ki Sarwaguna terkejut. Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa gadis itu menahan tangisnya. "Ah, maafkan aku, Nona... akan tetapi... mengapakah?"
Bagus Sajiwo berkata. "Maaf, Paman. Adik Swi Hong memang sedang berduka karena kematian Ayahnya. Baiklah, saya yang akan menjawab pertanyaan Paman tadi dan menerangkan. Adik Tan Swi Hong ini adalah puteri dari Paman Tan Beng Ki, seorang pemilik perahu dagang yang tinggal di Tuban. Adik Hong telah belajar ilmu silat dari Ayahnya sendiri sehingga ia memiliki ilmu pedang yang cukup tangguh. Ketika Paman Tan Beng Ki berlayar membawa dagangan, saya dan seorang sahabat saya bernama Joko Darmono ikut dalam perahu. Adik Hong ini juga ikut. Akan tetapi perahu kami itu diserang oleh orang-orang Blambangan sehingga tenggelam. Kami semua cerai berai diombang-ambingkan ombak lautan yang dahsyat. Akan tetapi sebelum kami semua terlempar ke lautan, kami melihat bahwa Paman Tan Beng Ki roboh dan tewas terkena tembakan senjata api dari para penyerang. Akhirnya kami berdua, atas berkah Gusti Allah, dapat terdampar dan mendarat dengan selamat. Akan tetapi kami tidak melihat para penumpang yang lain, juga sahabat saya Joko Darmono tidak dapat kami temukan. Entah dia tewas atau selamat, hanya Gusti Allah yang mengetahui. Kami sudah menyusuri pantai beberapa hari namun tidak dapat menemukan mereka. Juga kami tidak dapat menemukan jenazah Paman Tan Beng Ki. Lalu saya mengambil keputusan untuk mengantar Adik Hong pulang ke Tuban seperti yang sudah saya ceritakan tadi, Paman."
Ki Sarwaguna memandang kepada Swi Hong yang kini diam saja sambil menundukkan mukanya, tidak menangsis dan sudah berhasil menenangkan hatinya, ki sarwaguna merasa kasihan dan sekarang baru menyadari bahwa gadia Cina itu ternyata cantik manis, berkulit putih mulus dan memiliki daya tarik yang kuat. Dia lalu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Bags Sajiwo. Harapan yang tadi timbul dalam hatinya terguncang keraguan.
"Anakmas Bagus Sajiwo, maafkan pertanyaanku ini. Apakah Andika sudah beristeri?"
Setelah bertanya demikian, Ki Sarwaguna menoleh kepada Swi Hong. Bagus Sajiwo tersenyum dan menjawab.
"Wah, Paman. Berpikir untuk menikah pun belum pernah, apalagi menikah. Saya masih terlalu muda untuk berkeluarga, paman. Kalau Adik Tan Swi Hong ini, ia sudah bertunangan, Paman. Tunangannya juga seorang pemuda Cina yang gagah perkasa, bernama Sie Tiong. Akan tetapi... ah, dia pun ketika itu ikut terlempar ke lautan dan terpisah dari kami."
Hati Ki Sarwaguna merasa lega dan senang mendengar Bagus Sajiwo belum menikah dan tidak mempunyai hubungan dengan Swi Hong seperti yang tadi dia khawatirkan. Semakin tebal keinginannya untuk menjodohkan puteri tunggalnya dengan pemuda ini! Akan tetapi dia pun merasa iba kepada Swi Hong. Kematian ayah dan kehilangan tunangan yang belum diketahui mati atau hidup!
"Nona Hong, harap maafkan pertanyaanku tadi kalau itu menggugah kedukaan dalam hatimu."
Swi Hong menghela napas panjang dan mencoba untuk tersenyum. "Paman tidak bersalah karena Paman belum tahu ketika mengajukan pertanyaan. Pula, pertanyaan itu wajar, hanya sayalah yang lemah dan kurang tabah menerima kenyataan yang pahit ini. Saya sedang berusaha memenuhi nasihat Bagus, yaitu menyerah sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan.
Pada saat itu terdengar bunyi kentongan dipukul gencar dan terdengar suara banyak orang berlari-lari dan teriakan-teriakan.
"Tanda bahaya! Mungkin mereka sudah datang menyerang!" kata ki Sarwaguna sambil bangkit dari tempat duduknya. "Anakmas Bagus Sajiwo dan Nona Hong, kami mohon bantuanmu!" Setelah berkata demikian, ketua Driya Pawitra itu melangkah keluar.
Swi Hong memandang kepada Bagus Sajiwo yang mengangguk kepadanya dan mereka berdua juga segera mengikuti Ki Sarwaguna keluar dari rumah induk itu. Semua murid Driya Pawitra yang berjumlah tujuh belas orang murid wanita berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, dan sekitar lima puluh orang murid pria, semua berkumpul di depan dan belakang pintu gerbang perkampungan perguruan mereka. Ketika Ki Sarwaguna muncul, para murid memberi jalan dan ketua Driya Pawitra itu keluar dari dalam pintu gerbang, diikuti oleh Bagus Sajiwo dan Parto. Setelah mereka tiba di luar pintu gerbang, mereka melihat Ratna Manohara sudah berada di situ, berhadapan dengan sekitar seratus orang perajurit Blambangan yang dipimpin oleh empat orang.
Ki Sarwaguna dan Ratna segera mengenali Bhagawan Sarwatama di antara empat orang itu. Tiga orang yang lain tidak dikenal Ki Sarwaguna, akan tetapi Ratna berbisik kepada ayahnya.
"Dua orang raksasa itu adalah Dwi Kala, senopati-senopati Blambangan, murid-murid Bhagawan Kala Srenggi, Kanjeng Rama. Harap hati-hati, saya kira dua orang itu tentu tangguh sekali."
"Dan siapa pria yang tampan matanya kebiruan dan memakai sepatu tinggi itu? Pakaiannya bukan seperti orang Jawa." tanya Ki Sarwaguna.
"Saya tidak mengenalnya.” kata Ratna Manohara.
Bagus Sajiwo juga mengenal tiga orang di antara empat pemimpin pasukan itu. Dua tahun yang lalu, ketika dia pulang ke rumah orang tuanya di gunung Kawi, ayah ibunya yang dibantu Lindu Aji dan Sulastri sedang menghadapi jagoan-jagoan yang sakti dari persekutuan Blambangan. Dua orang raksasa itu, Kaladhama dan Kalajana yang terkenal dengan julukan Dwi Kala, termasuk di antara para penyerang itu. Adapun orang ke tiga yang berusia sekitar lima puluh tahun dan berpakaian pendeta adalah Bhagawan Sarwatama yang telah merobohkan Sakitri.
Akan tetapi dia tidak mengenal orang yang ke empat yang juga tidak dikenal oleh Ki Sarwaguna dan Ratna. Orang yang tidak dikenal itu bukan lain adalah Raden Satyabrata, kini menggunakan sebutan Raden apabila dia memperkenalkan dirinya. Sebutan itu membuat dia merasa naik derajatnya!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Raden Satyabrata mengunjungi Adipati Blambangan dan sebagai seorang utusan atau wakil yang mempunyai kekuasaan tinggi dari Kumpeni Belanda, dia diterima dengan hormat dan girang oleh persekutuan Blambangan.
Ketika Adipati Santa Guna Alit menerima usul Bhagawan Kalasrenggi agar mengirim pasukan menundukkan perguruan Driya Pawitra yang tidak mau membantu Blambangan dan mendengar bahwa perguruan itu cukup kuat, dia minta bantuan Raden Satyabrata untuk membantu pasukan itu menundukkan Perguruan Driya Pawitra. Tentu saja ini atas usul Baghawan Kalasrenggi yang maksudnya hendak menguji kesaktian dan juga kesungguhan hati wakil Kumpeni membantu Blambangan.
Itulah sebabnya mengapa kini Raden Satyabrata menemani Dwi Kala dan juga Bhagawan Sarwatama untuk menundukkan perguruan itu. Bhagawan Sarwatama memang sudah terpengaruh oleh bujukan Bhagawan Kalasrenggi untuk membantu Blambangan dengan janji-janji muluk kelak mendapat imbalan kedudukan tinggi dan terhomat. Tadi, ketika pasukan Blambangan yang terdiri dari kurang lebih seratus orang dipimpin empat orang itu tiba, Retno Manohara yang lebih dulu mengetahui.
Gadis ini lalu dengan cepat mengatur para murid untuk bersiap dan memimpin mereka yang jumlahnya sekitar tujuh puluh orang itu menghadapi pasukan Blambangan, menghadang di depan pintu gerbang. Ketika gadis itu mengenal Bhagawan Sarwatama berada di antara pimpinan pasukan Blambangan, ia mengepal tinju, teringat akan kematian Sakitri di tangan pendeta yang berkhianat terhadap Driya Pawitra itu. Ia merasa penasaran sekali melihat paman gurunya yang dulu membantu ayahnya memimpin Driya Pawitra kini malah memusuhi perguruan sendiri.
Ki Sarwaguna tak dapat menahan kemarahannya ketika melihat Bhagawan Sarwatama berdiri di depan pasukan Blambangan dengan sikap congkak, mulutnya tersenyum mengejek. Akan tetapi Dwi Kala yang mengenal Bagus Sajiwo terkejut bukan main. Mereka pernah melihat betapa Bagus sajiwo bahkan dapat mengalahkan Tejakasmala! Maka, Kaladhama yang bediri di sebelah Satyabrata berkata lirih,
"Raden, harap hati-hati terhadap pemuda yang berdiri di belakang Ki Sarwaguna itu. Dia itu sakti mandraguna!"
Satyabrata tersenyum mengejek, "Hemm, kau lihat saja, sebentar lagi dia akan mati ditanganku."
Ratna Manohara yang berdiri dekat Tan Swi Hong, berbisik kepada gadis Cina itu. "Swi Hong, jangan melibatkan diri dengan pertentangan kami dengan mereka. Aku akan merasa menyesal kalau engkau sampai menjadi korban."
Swi Hong tersenyum. "Ratna, jangan berkata begitu. Lupakah engkau bahwa Ayahku tewas di tangan orang-orang Blambangan? Mereka itu juga musuhku!"
Kini dua pihak sudah bergerak, melangkah maju saling menghampiri. Setelah kedua pihak berada dalam jarak dekat dan pimpinan masing-masing sudah saling berhadapan, Ki Sarwaguna memandang kepada Bhagawan Sarwatama dan berkata dengan suara lantang dan tegas.
"Adi Sarwatama, engkau telah membunuh Sakitri, membantu Kadipaten Blambangan mempersiapkan perang, dan berkhianat kepada Perguruan Driya Pawitra, setelah engkau bertapa dan menjadi pendeta sekian lamanya, memakai sebutan Bhagawan, mengapa engkau membiarkan nafsu menyeretmu ke dalam kesesatan? Lupakah engkau akan semua ajaran dan petuah mendiang Guru kita?"
"Heh-heh-heh!" Bhagawan Sarwatama terkekeh, "Kakang Sarwaguna, semua tuduhanmu itu keliru! Aku tidak membunuh Sakitri, melainkan dia sendiri yang mencari kematian karena dia telah berani menentang aku sebagai Paman Gurunya. Kalau dia tidak kurang ajar dan tidak berani menentang aku, tentu dia tidak mati. Bagaimana sih engkau mengajarkan tata-krama (tata-susila) kepadanya? Adapun mengenai aku membantu Kadipaten Blambangan, bukankah kita ini kawula Blambangan? Engkau yang melupakan ajaran Tri-bhakti, yaitu bakti kepada Sang Hyang Widi, bakti kepada orang tua, dan bakti kepada Negara. Kadipaten Blambangan adalah Negara kita, maka tentu saja aku membelanya. Kalau engkau tidak mau membantu Blambangan, justeru engkaulah yang tidak setia kepada Negara dan bukan seorang warga Negara yang baik. Dan aku sama sekali tidak berkhianat kepada Driya Pawitra, bahkan sebaliknya aku ingin mengangkat derajat perguruan kita. Kalau Perguruan Driya Pawitra kini mendukung Kadipaten Blambangan, tentu kelak perguruan kita akan menerima bantuan dari kadipaten dan menjadi semakin kuat dan besar."
Ki Sarwaguna menahan kemarahannya mendengar alasan yang dibuat-buat itu. Dengan sikap gagah dan suara tegas dia berkata. "Sarwatama, sekarang engkau datang bersama pasukan Blambangan, apakah yang kau kehendaki?"
Bhagawan Sarwatama menoleh kepada Dwi Kala yang merupakan senopati-senopati Blambangan dan merekalah yang memimpin pasukan itu sehingga lebih tepat kalau mereka yang menjawab pertanyaan Ki Sarwaguna itu. Kaladhama, orang pertama dari Dwi Kala, melangkah maju. Raksasa muka hitam itu wajahnya menyeramkan. Bukit hidungnya yang dulu terkena pukulan Retno Susilo, ibu Bagus Sajiwo, melesak ke dalam menjadi pesek sekali, dan daun telinga kirinya juga buntung, dahulu terbabat pedang Sulastri, isteri Lindu Aji. Kini dengan lagak sombong di berkata dengan suaranya yang menggeledek.
"Ki Sarwaguna, kami Dwi Kala, aku dan Adikku ini, adalah senopati utusan Gusti Adipati di Blambangan untuk mengundang Andika agar sekarang juga ikut bersama kami menghadap Gusti Adipati."
Ki Sarwaguna mengerutkan alisnya. "Harap Andika jelaskan dulu, ada urusan apakah Sang Adipati Blambangan mengundang aku menghadap?"
"Ha-ha, Andika tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu? Ketika Gusti Adipati mengadakan rapat pertemuan di Blambangan beberapa waktu yang lalu, beliau juga mengundang Perguruan Driya Pawitra. Andika hanya mewakilkan kepada puteri Andika itu untuk menghadiri pertemuan." Kaladhama menunjuk ke arah Ratna Manohara yang berdiri tegak dan anggun. "Akan tetapi wakil Driya Pawitra dengan angkuhnya menyatakan bahwa Driya Pawitra tidak mau menggabungkan diri dengan Blambangan untuk menghadapi musuh besar kita Mataram. Nah, karena keterangan itu hanya dinyatakan oleh seorang gadis muda, maka Gusti Adipati belum menganggapnya sungguh-sungguh dan sekarang mengundang Andika untuk memberi penjelasan kepada beliau akan pendirian Driya Pawitra."