Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Kemelut Blambangan
Jilid 16
KI SARWAGUNA menjawab tegas. "Senopati Dwi Kala, harap Andika berdua kembali ke Blambangan dan sampaikan kepada Sang Adipati bahwa pernyataan wakil kami dalam pertemuan di Blambangan itu sudah menjadi keputusan kami sejak dulu. Kami tidak akan mencampuri pertikaian antara daerah yang sesungguhnya masih sebangsa. Perguruan Driya Pawitra hanya akan bertindak menegakkan kebenaran dan keadilan dalam urusan perorangan, bukan urusan negara. Karena itu, percuma saja kalau kami menghadap Sang Adipati karena pendirian kami tetap sama seperti apa yang dinyatakan puteri kami Ratna Manohara ketika itu."
Kalajana, orang kedua dari Dwi Kala yang bertubuh raksasa pula dan mukanya bopeng dan tubuhnya berbulu, maju dan berkata dengan geram. "Heh, Ki Sarwaguna, apakah Andika hendak mengatakan bahwa Andika membangkang terhadap perintah Gusti Adipati Blambangan?"
"Kami tidak membangkang perintah! Sang Adipati mengundang aku untuk menghadap dan menyatakan pendirianku mengenai penggabungan diri dengan Blambangan. Di sini juga dapat aku tegaskan bahwa pendirian Driya Pawitra tetap seperti yang telah dinyatakan oleh puteriku Ratna Manohara. Jadi aku tidak perlu lagi mengunjungi ke Blambangan."
"Ki Sarwaguna, Gusti Adipati sudah memberi purba-wisesa (kuasa mengambil tindakan) kepada kami. Kalau Andika menolak ikut kami menghadap Gusti Adipati, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan menangkap Andia!" kata pula Kalajana marah.
"Hemm, beginikah caranya penguasa Blambangan memaksakan kehendak dengan mengandalkan besarnya pasukan?" Ki Sarwaguna menegur.
"Babo-babo si keparat Sarwaguna! Sumbarmu seperti guntur di musim kering! Siapa yang takut menghadapi kesaktianmu? Majulah, kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan lihat, siapa di antara kita yang akan mengukur bumi dengan badannya!" Kaladhama menantang.
"Baik, mari kita buktikan!" Kata Ki Sarwaguna menerima tantangan itu.
Akan tetapi sebelum dua orang ini mulai bertanding, Bhagawan Sarwatama yang merasa khawatir kalau pihaknya kalah karena dia tahu betul akan kesaktian Ki Sarwaguna, cepat mencegah.
"Tunggu dulu! tidak baik kalau sampai terjadi perkelahian besar yang menjatuhkan banyak korban. Aku mempunyai usul begini. Pertentangan dua pendapat ini hanya ada satu persoalan, yaitu mau bergabung dengan Blambangan atau tidak mau bergabung. Kalau terjadi pertempuran, tentu kedua belah akan rugi karena jatuhnya banyak korban. Bagaimanapun juga, kita semua adalah kawula Blambangan. Sebaiknya diatur begini, masing-masing pihak mengajukan jagoannya yang paling sakti dan kedua orang jagoan itulah yang akan mewakili pihak masing-masing. Kalau jagoan Blambangan kalah, maka Blambangan tidak akan memaksa lagi Driya Pawitra untuk bergabung. Sebaliknya kalau jagoan Driya Pawitra kalah, maka perguruan ini harus menggabungkan diri dan membantu Blambangan mnghadapi Mataram. Dengan demikian, pertempuran besar tidak perlu diadakan dan sudah adil!"
Bhagawan Sarwatama berani mengajukan usul demikian karena dia sudah mendengar akan kesaktian Raden Satyabrata yang tidak ada yang menandingi di antara semua tokoh yang berada di Blambangan, dan setahunya di Perguruan Driya Pawitra, hanya Ki Sarwaguna saja yang paling tangguh. Padahal, tingkat kepandaian Ki Sarwaguna hanya sedikit di atas tingkatnya sendiri. Dengan perhitungan itu, dia yakin kalau usulnya diterima, pihak Blambangan tentu akan menang.
Mendengar ini, Ki Sarwaguna diam berpikir. Dia tahu bahwa adik seperguruannya itu tidak akan mampu menandinginya, maka lawannya tentu seorang dari Dwi Kala yang menurut puterinya tadi, cukup sakti. akan tetapi untuk mempertahankan Driya Pawitra, dia berani menghadapi lawan siapa saja. Juga usul yang diajukan adik seperguruannya itu masuk akal juga. Bagaimananpun, dia tidak ingin melihat para muridnya menjadi korban. Bergabung dengan Blambangan hanya merupakan hal yang berlawanan dengan pendiriannya, akan tetapi tidak termasuk suatu kejahatan.
"Baik, aku terima usul adu jago itu! Sarwatama, apakah engkau sendiri yang akan maju sebagai jago Blambangan?" kata Ki Sarwaguna sambil memandang Adik seperguruan itu dengan sinar mata tajam mencorong penuh teguran.
Satyabrata yang sejak tadi hanya menonton dan mendengarkan sambil tersenyum dan matanya yang jelalatan (liar) akhirnya melekat pada wajah dan tubuh Ratna Manohara, tiba-tiba berkata,
"Kakang Bhagawan Sarwatama, biarlah aku yang maju mewakili Blambangan!"
Dia melangkah kedepan lalu berkata kepada Ki Sarwaguna dengan senyum mengejek. "Aku Raden Satyabrata yang menjadi jago mewakili Kadipaten Blambangan. Yang merasa paling sakti di perguruan Driya Pawitra, silakan maju menandingi aku!"
Sejak tadi Ratna Manohara merasa muak dan marah melihat betapa laki-laki itu memandang kepadanya dengan mata yang kurang ajar. Tadinya ia mengira seorang di antara Dwi Kala yang akan maju, sama sekali tidak mengira laki-laki kurang ajar yang mengaku bernama Raden Satyabrata ini yang maju. Ia tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar namanya. Karena marah melihat sikap sombong orang yang pandang matanya tidak sopan itu, ia melangkah maju hendak menandinginya. Akan tetapi ayahnya menangkap pergelangan tangannya.
"Jangan Ratna. Biar aku sendiri yang menghadapinya!" kata Ki Sarwaguna.
Melihat ini, Satyabrata tertawa dan berkata. "Wah, kalau Nimas Ayu ini yang maju, mana mungkin aku tega melukai kulit yang halus mulus itu?"
MAAF PARA PEMBACA, HALAMAN 9 HILANG...!
...tidak menjadi marah. Dia adalah seorang pemuda yang sudah matang jiwanya dan tidak mudah dipengaruhi nafsu. Mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan berkata lembut.
"Satyabrata, sebuah gentong kosong itu kalau diketuk nyaring bunyinya, sama dengan seorang yang suka bicara sombong itu biasanya juga kosong." Ucapan itu membuat Satyabrata terbelalak dan mukanya yang berkulit putih bersih itu menjadi merah sekali.
"Keparat, bocah dusun, siapakah engkau?"
"Namaku Bagus Sajiwo dan memang aku bocah dusun."
"Berani engkau melawan aku? Engkau menantangku!"
"Aku tidak menantang siapa pun, aku hanya mewakili Perguruan Driya Pawitra."
"Heh, Bagus Sajiwo! Apakah engkau sudah bosan hidup? Engkau akan mati kalau bertanding melawan aku!"
"Setyabrata, engkau menentukan matimu sendiri saja tidak mampu, bagaimana dapat menentukan matinya orang lain? Mati hidup semua orang berada ditangan Gusti Allah, bukan di tangan manusia atau pun setan!"
"Godverdomme! (Terkutuk)" Dalam kemarahannya, Satyabrata karena kebiasaan menumpah dalam bahasa Belanda.
"Kalau begitu, usiamu hanya sampai hari ini. Ha-ha-ha-ha!" Satyabrata tertawa bergelak dan semua orang terkejut. Bahkan pasukan Blambangan bergerak mundur, dan para murid Driya Pawitra juga menjauhkan diri sambil menutup telinga mereka. Suara tawa itu bergelombang dan membawa getaran yang amat kuat seolah menusuk ke dalam telinga mereka dan mengguncangkan jantung.
Hanya empat orang pimpinan pasukan Blambangan dan dua orang pimpinan Driya Pawitra bersama dua orang tamunya yang tidak menjauhkan diri. Akan tetapi seperti juga yang dilakukan Dwi Kala dan Bhagawan Sarwatama, Ki Sarwaguna, Ratna Manohara, dan Tan Swi Hong mengerahkan tenaga sakti, mengatur pernapasan mereka sehingga mereka terlindung dari getaran yang amat kuat...
WAH... HALAMAN 12-13 HILANG LAGI...!
...dekat, mengembangkan kedua lengan lalu kedua tangan dari kanan kiri mendorong ke depan. Angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Bagus Sajiwo. Pemuda ini mengenal aji pukulan yang amat ampuh, akan tetapi dia tetap tenang dan waspada. Ketika angin pukulan itu menyambar, Bagus Sajiwo menggeser kaki dan tubuhnya condong ke kiri. Angin pukulan itu lewat tanpa menyentuhnya. Sampai tiga kali Satyabrata mengulang pukulan dengan mengerahkan tenaga sakti, menyerang dalam jarak jauh.
Namun selalu Bagus Sajiwo dapat menghindar dengan langkah-langkahnya yang ajaib. Satyabrata menjadi semakin penasaran. Dia mengira bahwa pemuda itu jerih menghadapi aji pukulannya maka selalu menghindar. Sekali saja pukulannya mengenai sasaran, pemuda dusun itu tentu akan roboh dan mati, demikian pikirnya. Maka dia lalu menerjang kedepan dengan loncatan kilat untuk menyerang dengan kontak langsung, tidak lagi dari jarak jauh.
"Hyeeeehhhh!!" Satyabrata memekik dan tubuhnya menyambar dengan cepat sekali karena dia menggunakan Aji Tunggang Maruto (Menunggang Angin) sehingga tubuhnya ringan sekali dapat bergerak secepat angin. Begitu dekat dengan Bagus Sajiwo, dia langsung saja menyerang secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga Aji Margopati.
Bagus Sajiwo dapat mengukur dari sambaran angin pukulan itu bahwa lawannya ini memang memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main. Belum pernah dia bertemu lawan tanding yang seperti ini kuatnya. Bahkan Tejakasmala, jagoan muda dari Bali itupun masih kalah dibandingkan Satyabrata. Kalau dia menyambut pukulan itu sehingga dua tenaga sakti bertemu, tentu akan menimbulkan kemungkinan terluka bagi yang kalah kuat.
Dia mewakili Driya Pawitra untuk dapat keluar sebagai pemenang, bukan untuk melukai lawan apalagi membunuhnya. karena itu, dia menghadapi serangan Aji Margopati yang bertubi-tubi dengan Aji Langkah Lintang Kemukus....
WADUH...HALAMAN 16 HILANG LAGI, TAPI TENANG, INI YANG TERAKHIR LOH...!
...adalah ketika melihat kenyataan betapa semua serangan Satyabrata yang mendatangkan angin sehingga terasa oleh enam orang pimpinan kedua pihak, sama sekali tidak dapat merobohkan Bagus Sajiwo. apalagi merobohannya, menyentuhnya pun tidak pernah!
Bagaimanapun juga, pihak Driya Pawitra, yaitu Ki Sarwaguna, Ratna Manohara, dan Tan Swi Hong merasa gelisah sekali. Bagaimana mungkin Bagus Sajiwo akan mampu mengalahkan lawannya kalau dalam pertandingan itu dia hanya mengelak dan menghindarkan diri dari pukulan lawannya?
"Bocah dusun! Kalau engkau takut menyambut pukulanku, jangan mengajukan diri! Engkau pengecut, hanya menghindar tidak berani menyambut pukulanku. Kalau memang engkau berani, hayo balas seranganku!" bentak Satyabrata setelah dia melompat ke belakang menahan dan menghentikan serangannya yang tak pernah berhasil.
"Satyabrata, engkau tidak berhasil memukul aku, mengapa marah-marah? Kalau engkau menghendaki aku membalas, baiklah! Lihat seranganku!"
Setelah berkata demikian, Bagus Sajiwo menerjang ke depan dan tangan kirinya melayang, menampar ke arah kepala lawan. Tamparan itu tampaknya perlahan saja dan melihat ini, Satyabrata mengerahkan tenaga sakti pada lengan kanannya dan menangkis tamparan yang tampaknya tidak berapa kuat itu. "Wuuuttt.... dukkk!" Bagus Sajiwo terdorong mundur tiga langkah saking kuatnya benturan ketika lengannya ditangkis lengan Satyabrata. Akan tetapi Satyabrata juga terdorong ke belakang tiga langkah!
Sepasang mata kebiruan itu terbelalak. Hampir dia tidak dapat percaya. Dia telah menguasai tenaga sakti peninggalan Sang Resi Ekomolo, seorang manusia sejahat iblis yang meninggalkan banyak aji kesaktian ketika dia tewas dalam sumur tua. Satyabrata telah menghimpun tenaga sakti dengan berlatih cara bersamadhi yang disebut Aji Waringin Sungsang, yaitu cara bersamadhi dengan tubuh terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, berjungkir balik di atas tanah.
Selama dia bertualang, hanya beberapa orang saja yang mampu menandingi tenaganya. Di antara mereka itu seingatnya hanya LinduAji, Parmadi Si seruling Gading, bahkan mereka ini pun akan sukar mengalahkannya. Ketika dia berada di Negeri Belanda, para jagoan di sana, ahli-ahli tinju yang bertubuh dan bertenaga raksasa, tidak ada yang mampu menandinginya. Masa sekarang bocah dusun ini mampu menandinginya?
"Hyaaattt....!!" Dia membentak dan menerjang lagi. Kini dia mengeluarkan semua ilmu silat yang dikuasainya. Dia memainkan ilmu silat Bromo Dadali karena ia pernah menjadi murid Bromo Dadali. Juga dia mengerahkan Aji Bromo Latu dari perguruan itu, dengan didasari tenaga saktinya yang dihimpun dari latihan Waringin Sungsang. Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar karena dia mengerahkan Aji Tunggang Maruto.
Semua orang yang berada di pihak Driya Pawitra memandang terbelalak dengan wajah pucat. Hebat bukan main sepak terjang Satyabrata. Ki Sarwaguna dan Ratna Manohara sendiri diam-diam harus mengakui bahwa kalau mereka yang maju melawan Satyabrata, dalam waktu singkat mereka tentu akan roboh. Juga Tan Swi Hong menjadi pening melihat gerakan Satyabrata. Ia harus mengakui bahwa baik sinkang (tenaga sakti) maupun ginkang (meringankan tubuh) lawan Bagus Sajiwo itu telah mencapai tingkat tinggi sekali.
Dara Cina ini pun semakin kagum melihat betapa Bagus Sajiwo mampu mengimbangi lawan yang amat tangguh dan berbahaya itu. Kalau pihak Driya Pawitra terheran-heran melihat kesaktian Satyabrata, sebaliknya Bhagawan Sarwatama, Kaladhama dan Kalajana tidak merasa heran menyaksikan ketangguhan Bagus Sajiwo. Mereka pernah bertemu dan melihat kesaktian pemuda sederhana itu.
Namun mereka hanya merasa penasaran mengapa sampai sekian lamanya Satyabrata belum dapat mengalahkan lawannya. Jangankan merobohkan, mendesak pun dia tidak mampu dan dua orang itu tampak berimbang, saling serang dan saling bertahan dan setiap kali mereka mengadu lengan, keduanya terdorong mundur. Sudah hampir seratus jurus dua orang itu bertanding.
Kulit kedua tangan mereka sudah tampak kebiruan karena sering saling bertemu dengan amat kuatnya. Kekuatan tubuh mereka memang seimbang, keduanya memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi, cara hidup mereka yang mengakibatkan perbedaan antara mereka setelah mereka berdua saling mengerahkan tenaga sekian lamanya. Bagus Sajiwo adalah seorang pemuda gemblengan lahir batin.
Bukan hanya lahirnya yang kuat, melainkan batinnya juga amat kuat karena dia bersandar kepada Kekuasaan Gusti Allah dengan penyerahan diri sepenuhnya sehingga hidupnya bersih dan terbimbing. Sebaliknya, Satyabrata adalah seorang laki-laki hamba nafsu sehingga hidupnya penuh kesesatan dan kotor.
Akibatnya, setelah bertanding sekian lamanya, Bagus Sajiwo tampak masih tenang dan ketahannya masih tetap kuat. Sedangkan Satyabrata mulai gelisah dan badannya basah oleh keringat dan pernapasannya agak terengah. Namun hal ini hanya dketahui oleh dua orang yang sedang bertanding itu.
"Keparat, sekarang kau mampus!"
Tiba-tiba Satyabrata berteriak melengking dan dia sudah mencabut sebatang keris yang tampak tua seperti berkarat dan mengeluarkan sinar hitam arang. Akan tetapi keris itu mengandung hawa yang menyeramkan dan hal ini terasa oleh Bagus Sajiwo sehingga tahulah dia bahwa lawannya memegang sebatang keris yang ampuh dan yang menjadi jahat karena selalu dipergunakan untuk kejahatan.
Memang sesungguhnya, keris yang dicabut Satyabrata itu adalah sebuah keris pusaka bernama Kyai Ilat Nogo (Lidah Naga). Memang bentuk keris itu seperti kepala naga yang menjulurkan lidahnya. Ujung keris yang runcing itu merupakan ujung lidah naga.
"Wuuussshhh....!" Keris itu meluncur ke arah perut Bagus Sajiwo ketika digerakkan Satyabrata untuk menyerang.
Dengan langkah ajaibnya Bagus Sajiwo menggeser kaki dan dapat mengelak, lalu dengan cepat dia membalas serangan itu dengan pukulan tangan miring seperti pedang membacok ke arah leher lawan. Gerakannya cepat dan biarpun seolah tanpa tenaga namun Satyabrata merasakan angin dingin membuat tengkuknya terasa meremang. Dia melompat ke belakang lalu menyerang lagi bertubi-tubi. Bagus Sajiwo mengelak dan balas menyerang.
Dua orang itu bertanding lagi dengan serunya. Biarpun Bagus Sajiwo bertangan kosong menghadapi keris lawan, namun dia tidak terdesak dan tamparan tangannya tidak kalah berbahaya dibandingkan keris lawan. Satyabrata mulai merasa kecelik. Ternyata pemuda lawannya ini sakti mandraguna!
Dia merasa menyesal tidak mendapat kesempatan untuk mencabut pistol dan menembak karena cepatnya mereka berdua bergerak serang menyerang. Pula, kalau dia menggunakan pistol, besar kemungkinan dia akan salah sasaran karena mereka berdua bergerak ke sana-sini, berlompatan dan berkelebatan seperti bayangan.
Sementara itu, Kaladhama dan Kalajana yang melihat betapa Satyabrata belum juga mampu mengalahkan lawannya, mulai merasa khawatir. Kalau sampai Satyabrata kalah dan sebagaimana perjanjian tadi, mereka dan pasukan mereka akan terpaksa kembali ke kadipaten dengan tangan kosong, mereka tentu akan mendapat marah dari guru mereka, Sang Bhagawan Kalasrenggi dan Sang Adipati Santa Guna Alit. Mereka akan mendapat malu.
Mereka saling pandang dan setelah saling menukar isarat, tiba-tiba mereka berdua melompat kedepan sambil mencabut senjata. Kaladhama mancabut senjata golok gergaji yang besar, berat dan mengerikan. Kalajana juga mencabut senjata yang sama dan mereka menyerang ke arah Ki Sarwaguna tanpa berkata apapun karena mereka tahu bahwa perbuatan mereka itu melanggar perjanjian.
Melihat majunya dua orang senopati Blambangan itu, Ki Sarwaguna menjadi marah dan dia pun cepat melompat maju sambil mencabut pedangnya dan dia segera bertanding melawan Kaladhama. Terdengar bunyi nyaring berdentang ketika pedang di tangan Ki Sarwaguna bertemu dengan golok gergaji di tangan Kaladhama, disusul berpijarnya bunga api. Kedua orang itu terdorong ke belakang dan setelah keduanya memeriksa senjata masing-masing yang ternyata tidak rusak, mereka lalu maju dan saling terjang lagi.
Sementara itu, melihat kecurangan lawan, Ratna Manohara sudah menjadi marah, terutama kepada Bhagawan Sarwatama yang dianggapnya sebagai pembuat janji yang curang. Maka sambil mencabut pedangnya, ia melompat ke depan paman gurunya itu dan membentak. "Pengecut curang!"
Sebetulnya Bhagawan Sarwatama bukan orang jahat dan dia pun tidak senang melihat tindakan Dwi Kala itu. Akan tetapi karena dia telah bergabung dengan Blambangan dengan pamrih mendapatkan kedudukan dan harta, juga agar Driya Pawitra tidak sampai dimusuhi Blambangan, maka terpaksa dia membela Blambangan. Ketika murid keponakan itu maju menyerangnya, dia pun dengan terpaksa mencabut pedangnya dan menangkis.
Paman guru dan murid keponakan ini segera bertanding dengan seru. Tadinya Kalajana hendak mengeroyok Ki Sarwaguna, akan tetapi ketika dia menggerakkan golok gergajinya untuk menyerang Ketua Driya Pawitra itu, tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat menangkisnya.
"Cringggg....!" Ternyata yang menangkis golok gergajinya adalah pedang di tangan Tan Swi Hong yang masih menyamar sebagai pemuda bernama Parto. Pedang gadis itu terpental dan tangan kanannya yang memegang gagang pedang tergetar hebat. Ia terkejut bukan main dan maklum bahwa lawannya merupakan lawan yang amat kuat bahkan terlalu kuat baginya.
Akan tetapi gadis Cina ini tidak menjadi gentar, Ia sudah tahu akan duduknya perkara dan selain menganggap bahwa Pihak Driya Pawitra berada di pihak yang benar, juga ia adalah tamu perguruan itu dan ia pun harus menentang Blambangan untuk membalas dendam kematian ayahnya. Maka, iapun memutar pedangnya dengan pengerahan seluruh tenaga dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang lincah.
Untung baginya bahwa biarpun ia kalah jauh dalam hal tenaga, namun ia masih mengurangi kekurangannya itu dengan kelebihan kecepatannya. Gerakannya amat cepat sehingga Kalajana mengalami kesulitan untuk dapat mendesaknya. Namun, senopati Blambangan ini menyadari bahwa dia menang dalam hal tenaga, maka dia berusaha untuk mengadu tenaga melalui senjata agar pedang di tangan lawan itu dapat terpukul lepas.
Pertandingan antara Bhagawan Sarwatama dan Ratna Manohara berjalan seru. Keadaan mereka memang seimbang. Ilmu pedang mereka satu aliran sehingga keduanya dapat menjaga diri terhadap jurus-jurus serangan lawan yang sudah dikenal. Memang, Bhagawan Sarwatama tentu saja menang pengalaman dan perkembangan jurus lebih lengkap, namun harus diakui bahwa nurid keponakan yang jauh lebih muda itu memang cepat gerakannya.
Gadis itu sudah menguasai Aji Pawana Sakti (Angin Sakti) dengan baik sekali, ditambah tubuhnya yang masih muda dan sehat sehingga ia dapat bergerak lincah bukan main. Pertandingan antara mereka berlangsung seru dan dalam perkelahian ini, Bhagawan Sarwatama banyak mengalah karena bagaimanapun juga, dia merasa tidak enak harus bertanding melawan murid keponakannya sendiri yang sedikit banyak pernah dia sayang seperti anaknya sendiri.
Juga pertandingan antara Ki Sarwaguna melawan Kaladhama berlangsung seru dan mati-matian. Tingkat kepandaian mereka juga seimbang, demikian pula kekuatan tenaga sakti mereka. Berkali-kali pedang di tangan Ki Sarwaguna bertemu dengan golok gergaji di tangan Kaladhama menimbulkan suara nyaring berdenting dan memancarkan bunga api yang menyilaukan mata.
Satyabrata masih bertanding seru melawan Bagus Sajiwo. Akan tetapi kini Satyabrata sudah yakin betul bahwa dia tidak akan dapat mengalahkan pemuda yang dianggapnya pemuda dusun bodoh itu. Biarpun di masih mampu mempertahankan diri, namun dia mulai lelah dan kalau pertandingan ini terus dilanjutkan, dia sendiri akan terancam bahaya! Maka, melihat betapa tiga orang temannya juga sudah maju dan bertanding, Satyabrata mengerahkan suaranya dan berteriak dengan penuh wibawa.
"Para perajurit Kadipaten Blambangan, maju dan serbu!!"
Para perajurit Balmbangan sejak tadi memang menanti perintah. Biarpun perintah itu kini bukan keluar dari mulut Dwi Kala, namun mereka maklum bahwa Satyabrata merupakan wakil Kumpeni Belanda yang sakti mandraguna dan dihormati sang Adipati Blambangan. Juga perintahnya itu terdengar penuh wibawa, maka tanpa ragu lagi sekitar seratus orang perajurit itu bersorak dan menyerbu ke arah pintu gerbang.
Para murid Driya Pawitra sudah dipesan pemimpin mereka bahwa mereka harus berjaga saja dan hanya maju kalau pihak musuh menyerang. Kini melihat pasukan Blambangan bersorak dan menyerbu, mereka pun berserabutan keluar dari pintu gerbang membantu kawan-kawan yang tadi sudah berada di luar dan yang kini mulai bertempur melawan pasukan penyerbu. Terjadilah pertempuran yang ramai dan kacau.
Pada saat itu, di antara gemuruh suara pasukan yang bertempur, terdengar teriakan melengking. "Bagus.... !!"
Bukan main lega dan girang rasa hati bagus sajiwo ketika melihat bayangan berkelebat dan Joko Darmono telah berada didekatnya. Melihat Joko darmono melolos sabuk dan mencabut keris hendak membantunya, dia cepat berkata.
"Joko, tidak perlu membantuku, bantu saja yang lain melawan pasukan Blambangan!"
Joko Darmono maklum bahwa Bagus Sajiwo tidak akan terancam bahaya, maka dia pun melompat ke arah lain. Sementara itu, Tan Swi Hong sudah terdesak hebat oleh Kalajana, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara yang membuat ia merasa girang sekali.
"Hong-moi, jangan takut, aku membantumu!"
Muncullah Sie Tiong. Pemuda ini sudah menggunakan pedangnya menyerang Kalajana yang menjadi terkejut dan cepat menangkis dengan golok gergajinya. Kini Swi Hong berseru dengan isak tertahan saking terharu dan girangnya.
"Tiong-ko...!" Gadis ini menjadi semakin bersemangat, memutar pedangnya dengan cepat mengeroyok Kalajana yang sudah bertanding melawan Sie Tiong. Dikeroyok dua, Kalajana menjadi repot sekali. Joko Darmono dengan mudah dapat mengenal yang mana perajurit Blambangan.
Sebetulnya ia sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Perguruan Driya Pawitra, akan tetapi melihat betapa Bagus Sajiwo dan Tan Swi Hong berpihak kepada Driya Pawitra, dan dia melihat pula Ratna Manohara yang masih bertanding melawan seorang laki-laki berpakaian pendeta, maka dia pun tidak ragu lagi untuk memihak peguruan yang agaknya diserang oleh pasukan Blambangan itu.
Gadis yang menyamar pria ini lalu mengamuk menerjang para perajurit Blambangan. Sabuknya yang bewarna merah itu berubah menjadi gulungan sinar merah dan setiap orang perajurit Blambangan yang terkena sambaran sinar merah itu pasti terpelanting dan mengalami cidera tulang patah atau sambungan tulang putus sehingga tidak mampu lagi bertempur.
Keris di tangan kirinya dipergunakan untuk menangkis hujan senjata yang mengeroyoknya dan setiap kali golok seorang pengeroyok ditangkis kerisnya, golok itu terpental dan terlepas dari tangan pemiliknya. Para murid Driya Pawitra menjadi tambah semangat mereka melihat ada pemuda tampan yang mengamuk dan membantu mereka. Mereka lalu mengamuk dan biarpun jumlah pasukan Blambangan lebih besar, namun para perajurit Blambangan yang sudah gentar menyaksikan sepak terjang Joko Darmono yang dahsyat itu, menjadi terdesak.
Korban mulai berjatuhan, ada yang tewas, kebanyakan hanya terluka. Akan tetapi jumlah mereka yang roboh, lebih banyak di pihak pasukan Blambangan. Tiba-tiba datang bala bantuan di pihak pasukan Blambangan. Seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Tejakasmala, muncul bersama anak buahnya yang dua belas orang.
Pemuda sakti dari Bali ini memang mendapat tugas dari Bhagawan Kalasrenggi untuk menyusul pasukan pimpinan Dwi Kala itu untuk melihat bagaimana hasil gerakan pasukan itu ke Teluk Grajagan. Bagaimanapun juga, Satyabrata dan Bhagawan Sarwatama adalah dua orang yang baru saja menggabungkan diri dengan Blambangan. Maka tentu saja Sang Adipati Santa Guna Alit di Blambangan belum sepenuhnya percaya kepada mereka. Ketika Tejakasmala tiba di situ dan melihat pertempuran yang mebuat pihak Blambangan terdesak, dia terkejut dan marah.
Para pimpinan pasukan sedang bertanding dengan lawan yang kuat. Akan tetapi dia melihat ada seorang pemuda yang mengamuk dan merobohkan banyak perajurit. Maka dia cepat memimpin regunya untuk terjun ke dalam pertempuran. Dia sendiri sudah cepat menerjang dan menyerang Joko Darmono yang sedang mengamuk.
"Keparat, mati kau! Auuurrrggghhh.... !"
Tejakasmala mengeluarkan gerengan dengan Aji Singabairawa, gerengannya seperti gerengan seekor singa dan menggetarkan jantung lawan. Dia pun menyerang dengan Aji Condromowo, melayangkan pukulan tangan kanan yang tampak merah seperti membara, tangan membara itu terbuka dan menyambar ke arah muka Joko Darmono.
Joko Darmono atau Ken Darmini terkejut bukan main. Ia tahu siapa Tejakasmala, tokoh yang ia tahu paling digdaya di Blambangan, seorang yang diperbantukan oleh kerajaan Klungkung di Bali kepada Blambangan dan ia mengenal pukulan-pukulan dahsyat dari tangan yang membara itu. Karena pada saat itu ia sedang menghadapi pengeroyokan banyak perajurit Blambangan, maka serangan dahsyat dari Tejakasmala itu tidak mungkin dapat ia elakkan lagi. Cepat ia mundur selangkah dan menggerakkan sabuk merahnya untuk menangkis tamparan tangan membara itu.
"Syuuuttt... plakkk!" ujung sabuk merah bertemu dengan tangan kanan Tejakasmala. Dengan gerakan pergelangan tangannya, Joko Darmono membuat ujung sabuknya itu melibat pergelangan tangan Tejakasmala!
Akan tetapi justreru keadaan ini dipergunakan oleh Tejakasmala untuk menyerang. Dia melihat betapa Joko Darmono masih sibuk memutar keris di tangan kiri untuk melindungi tubuhnya dari serangan para pengeroyok sehingga tenaganya tentu saja terbagi.
Tejakasmala membentak nyaring dan mengerahkan tenaga pada tangan kanannya yang terbelit sabuk, lalu menarik dengan sentakan kuat. Joko Darmono tidak mampu bertahan terhadap tarikan yang dahsyat dan amat kuat itu. Tubuhnya tertarik dan tak dapat dicegah lagi dia roboh terpelanting!"
Ha-ha-ha-ha! Sekarang matilah engkau!" Tejakasmala melompat ke dekat tubuh Joko Darmono yang roboh miring dan tangannya yang masih mengandung Aji Condromowo itu menyambar yang berada dalam keadaan tak mampu mempertahankan diri lagi itu. Kepala Joko Darmono tentu akan retak dan hangus kalau terkena pukulan Condromowo itu!
"Wuuuttt... plakkk!" Tejakasmala berseru kaget dan tubuhnya melompat ke belakang. Tangannya yang menyambar untuk mengirim pukulan maut ke arah kepala Joko Darmono itu tertangkis oleh sebuah benda hitam yang kuat sekali.
Ketika dia memandang, ternyata yang menangkis pukulannya dan menyelamatkan Joko Darmono adalah seorang nenek yang biarpun usianya sudah enam puluh tahun lebih dan mukanya sudah dihias keriput, namun masih ada bekas kecantikan pada wajahnya. Pandang matanya tajam mencorong dan sikapnya angkuh. Ia memegang sebatang tongkat hitam dan tongkat itulah yang tadi menangkis tamparan maut Tejakasmala dan menyelamatkan nyawa Joko Darmono. Nenek itu mengenakan pakaian serba hitam, namun kainnya sutera yang halus dan bersih.
Sementara itu, Joko Darmono yang baru saja terlepas dari cengkeraman maut, sudah melompat berdiri karena beberapa orang perajurit Blambangan sudah menyerangnya lagi dengan senjata mereka.
Tejakasmala terkejut dan marah bukan main. Dia tidak mengenal nenek itu, akan tetapi dari tangkisan tongkatnya tadi dia maklum bahwa nenek itu seorang yang sakti mandraguna.
"Nenek keparat. Berani engkau menghalangi aku? Ketahuilah, nenek yang bosan hidup! Aku adalah Tejakasmala, murid utama Sang Bhagawan Ekabrata dari gunung Agung di Bali Dwipa! Siapakah engkau yang berani mencampuri urusanku?"
"Heh-heh-heh!" Nenek itu terkekekh dan Tejakasmala dapat merasakan bahwa dalam suara tawa itu terkandung tenaga sakti yang kuat sehingga dia merasa jantungnya tergetar.
"Engkau hendak membunuh muridku, apakah aku harus tinggal diam saja? Sekarang engkau akan mampus di tangan Nini Kuntigarba!"
Nenek itu adalah nini Kuntigarba, guru Ken darmini yang kini menjadi Joko Darmono. nini Kuntigarba adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun yang tinggal mengasingkan diri sebagai pertapa di Gunung Betiri. Ia terkenal sebagai seorang tokoh aneh, seorang datuk wanita yang amat dirakuti orang karena selain sakti mandraguna, nenek ini pun dapat berbuat kejam sekali terhadap orang yang bermusuhan dengannya.
Nini kuntigarba menemukan Ken Darmini ketika muridnya itu masih kecil, berusia lima tahun dan ditinggal mati ayah ibunya. anak yatim piatu dan hidup sebatang kara ini lalu dipeliharanya dan dijadikan muridnya, akan tetapi sudah dianggap dan disayang sebagai anak sendiri. Sejak kecil, ken Darmini digembleng sehingga kini seluruh ilmunya telah diajarkan kepada murid tunggal itu.
Ketika menerima undangan dari Bhagawan Kalasreggi yang menjadi pembantu utama Sang Adipati Santa Guna Alit di Blambangan, Nini Kuntigarba mengirim Ken Darmini sebagai wakilnya. Ia menyetujui penolakan muridnya untuk membantu Blambangan dan setelah mendengar pelaporan Ken Darmini tentang pertemuan di Blambangan itu, ia mengijinkan muridnya pergi merantau meluaskan pengalaman dengan menyamar sebagai seorang laki-laki.
Kemudian ia mendengar berita tentang perekutuan Blambangan yang hendak memaksakan kehendak mereka kepada para perkumpulan, perguruan, dan para tokoh untuk membantu Blambangan dan siapa yang tidak mau membantu akan dianggap sebagai musuh Blambangan. Mendengar ini, hati Nini Kuntigarba merasa tidak enak. Ia sudah mendengar dari muridnya bahwa Ratna Manohara sebagai wakil perguruan Driya Pawitra juga menolak untuk membantu Blambangan.
Maka timbul niatnya untuk mengunjungi Peguruan Driya Pawitra dan merundingkan masalah ini. Ia sudah mengenal baik Ki Sarwaguna Ketua Driya Pawitra. Demikianlah, ketika tiba di situ, kebetulan sekali di depan perkampungan Driya Pawitra sedang terjadi pertempuran antara pasukan Blambangan melawan para murid Driya Pawitra. Tadinya ia masih merasa ragu untuk mencampuri pertempuran itu. Akan tetapi tiba-tiba ia melihat Ken Darmini yang menyamar pria ikut bertempur dan sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang tangguh sekali.
Melihat muridnya roboh dan terancam bahaya maut, ia segera turun tangan dan berhasil menyelamatkan muridnya dari pukulan maut Tejakasmala. Tejakasmala terkejut mendengar Nenek itu menyebut namanya. Ketika masih di Bali dia sudah mendengar nama besar datuk wanita ini karena ketika mudanya, Nini Kuntigarba sudah membuat nama besar sampai ke Bali di mana ia sering datang dalam perantauannya.
Mengetahui bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk wanita yang sakti, Tejakasmala tidak membuang banyak waktu lagi. Dia mengumpulkan seluruh tenaga saktinya, mengerahkan Aji Condromowo, yaitu ilmu pukulan yang merupakan aji pamungkasnya. Kedua tangannya sampai ke siku berubah merah seperti membara dan mengepulkan uap, lalu dia menerjang maju dan menyerang dengan mendorongkan kedua tangan yang dipenuhi hawa panas itu ke arah Nini Kuntigarba.
Nenek itu pun mengenal pukulan ampuh dan berbahaya, maka ia pun menancapkan tongkat hitamnya di atas tanah lalu menekuk kedua lututnya dan menyambut pukulan itu dengan kedua tangan pula sambil melompat ke depan.
"Syuuuuuttt... blaaarrr...!" Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan di sekeliling mereka terasa getaran yang mengguncang kuat sehingga beberapa orang yang sedang bertempur dan berada di dekat situ, terpental! Tubuh Nini Kuntigarba terpental sampai tiga tombak ke belakang dan jatuh terbanting. Sebaliknya, Tejakasmala juga terlempar dan jatuh berguling.
Mendengar keluhan gurunya ketika terlempar tadi, Joko Darmono terkejut. Di menoleh dan melihat betapa gurunya terlempar dan terbanting roboh tidak bergerak lagi, sementara itu Tejakasmala yang juga roboh kini dipapah dua orang perajurit menjauhi tempat pertempuran. Pada saat itu, empat orang perajurit Blambangan datang menyerang.
Saking marah dan sedihnya melihat gurunya roboh, Joko Darmono mengamuk dengan sabuk merah dan kerisnya dan serangannya sedemikian dahsyatnya sehingga empat orang perajurit itu roboh. Joko Darmono cepat melompat ke dekat tubuh Nini Kuntigarba, memondong tubuh yang lunglai itu dan meloncat pergi dari situ.
Satyabrata semakin payah. Dia sudah lelah sekali sedangkan lawannya masih segar bugar. Tiba-tiba dia melompat ke belakang, mencabut pistolnya dan menembak dua kali ke arah Bagus Sajiwo. "Dar-darrr...!" Tampak kilatan api dan dua orang perajurit Blambangan yang kebetulan bertempur di belakang Bagus Sajiwo, terjengkang roboh dan tewas seketka disambar peluru pistol.
Bagus Sajiwo cepat melempar diri ke samping sehingga tidak terkena tembakan, dan sambil bergulingan dia menyambar sebatang golok yang tercecer di atas tanah dan menyambitkan golok itu ke arah Satyabrata.
Satyabrata sama sekali tidak menyangka diserang seperti itu. Tadi dia yakin bahwa Bagus Sajiwo pasti akan roboh tewas oleh tembakannya. Akan tetapi dia melihat malah dua orang perajurit Blambangan yang roboh dan Bagus Sajiwo lenyap. Tiba-tiba ada sinar menyambar dari bawah ke arah perutnya. Dia cepat menangkis dengan tangan yang memegang pistol.
"Plakk!" Golok itu terpukul runtuh, akan tetapi punggung tangan Satyabrata berdarah. Punggung tangan itu terluka oleh golok yang disambitkan dengan pengerahan tenaga sakti oleh Bagus Sajiwo tadi. Satyabrata menjadi semakin gentar. Sungguh sakti mandraguna lawannya itu dan kini Bagus Sajiwo malah tidak tampak. Meremang bulu tengkuknya. Bahkan pistol peluru emasnya juga tidak dapat merobohkan Bagus Sajiwo.
Ketika dia melihat ke kanan kiri, dia melihat betapa pasukan Blambangan juga sudah terdesak hebat. Bhagawan Sarwatama yang melawan Ratna Manohara juga tampak kewalahan, demikian pula Kaladhama yang melawan Ki Sarwaguna, apalagi Kalajana yang dikeroyok dua orang lawannya yang melihat warna kulit dan matanya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Cina. Dia maklum bahwa kalau dilanjutkan pihaknya tentu akan menderita rugi besar. Maka Satyabrata lalu melompat ke belakang, berseru nyaring.
"Kawan-kawan, kita mundur dulu!" Setelah berkata demikian, dia menggunakan Aji Tunggang Maruto, tubuhnya berkelebat lenyap saking cepatnya dia bergerak.
Dwi Kala dan Bhagawan Sarwatama juga melihat betapa pihak mereka akan kalah, maka mendengar ini, mereka juga berlompatan pergi. Dwi Kala memberi aba-aba kepada anak buah mereka untuk melarikan diri. Bhagawan Sarwatama merasa menyesal sekali bahwa Driya Pawitra tetap tidak dapat diajak bekerja sama dan diam-diam dia mengkhawatirkan nasib perguruan itu. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali ikut melarikan diri bersama sisa pasukan Blambangan.
"Jangan dikejar!" seru Ki Sarwaguna yang maklum bahwa mengejar pasukan yang melarikan diri berarti bunuh diri karena di sana tentu terdapat pasukan Blambangan yang lebih besar lagi jumlahnya.
Sementara itu, Ratna Manohara yang tadi melihat pemuda yang datang membantu pihaknya, melarikan diri sambil memondong tubuh nenek yang roboh, setelah diringgalkan lawannya, ia cepat melakukan pengejaran ke arah mana Joko Darmono tadi melrikan diri.
Joko Darmono memondong tubuh Nini Kuntigarba dan berlari cepat memasuki sebuah hutan yang berada di sebelah utara teluk. Setelah tiba di dalam hutan dan melihat keadaan di situ sunyi, barulah ia berhenti dan dengan hati-hati menurunkan tubuh gurunya dan merebahkannya di atas rumput tebal. Nini Kuntigarba mengeluh lirih dan napasnya terengah.
"Ibu, bagaimana keadaanmu?" Joko Darmono bertanya sambil memeriksa keadaan gurunya, merasakan denyut jantungnya, meraba dadanya.
Nenek itu membuka matanya dan mengerutkan alisnya. Napasnya sesak terengah-engah, tubuhnya erasa panas sekali. "Niken... aku terluka... parah... lawan tadi kuat... sekali... ahhh..."
"Keparat jahanam Si Tejakasmala! Aku akan membunuhnya untuk membalas perbuatannya ini!" seru Joko Darmono dengan marah.
"Niken... hati-hatilah... dia itu tangguh sekali... Blambangan mempunyai banyak... orang sakti... jangan bertindak sendiri... bergabunglah dengan Driya Pawitra... kalau perlu dengan para satria Mataram... aaahhhh...!" Nenek itu merintih dan menggunakan kedua tangan menekan dadanya.
"Ibu! Bagaimana rasanya? Aku akan mencarikan obat untukmu!"
Nini Kuntigarba menggeleng kepala. "percuma... lukaku... tak dapat... disembuhkan... aaaahhhh... Niken, jaga dirimu baik-baik..." Kepala itu terkulai lemas.
"Ibu...! Ibuuu...!" Joko Darmono menubruk dan mengguncang tubuh Nenek itu,namun Nini Kuntigarba telah mati. Joko Darmono atau Niken Darmini menangisi jenazah gurunya. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil dirawat dan dididik Nini Kuntigarba, dianggap seperti anak sendiri maka ia menyebut ibu kepada gurunya. Karena dididik seorang datuk yang berwatak keras dan kejam, Niken Darmini sebetulnya juga berhati keras membaja karena didikan gurunya dan hampir ia tidak pernah menangis.
Akan tetapi saat itu, ia benar-benar merasa berduka. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, yang menyayang dan disayangnya, tewas meninggalkan ia seorang diri di dunia. Ia amat menyayang gurunya yang dianggap sebagai pengganti orang tuanya. Sebetulnya, Nini Kuntigarba bukan seorang datuk sesat yang jahat, hanya ia memiliki watak yang amat keras dan ia dapat bertindak kejam terhadap mereka yang berani memusuhinya. Bahkan terkadang nenek itu juga bersikap membela keadilan dan berani menentang siapa saja yang dianggapnya tidak adil.
Baik atau jahatnya seseorang hanya sebutan menurut pendapat orang lain dan setiap pendapat orang selalu ditentukan oleh penilaiannya. Dan yang menjadi dasar dari setiap penilaian adalah kepentingan sipenilai, kepentingan si AKU. Kalau kita merasa dirugikan oleh seseorang, maka kita anggap orang itu jahat! Sebaliknya kalau kita merasa diuntungkan oleh seseorang, maka kita menganggap orang itu baik!
Maka jelaslah bahwa pendapat yang berdasarkan penilaian itu hanya merupakan kebenaran semu. Yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu baik bagi orang lain dan demikian sebaliknya. Yang dinilai baik atau jahat itu belum tentu benar. Andaikata semua orang di dunia menganggap seseorang itu jahat sekali, akan tetapi kalau orang itu bersikap baik dan menguntungkan kita, bagaimana mungkin kita menganggapnya jahat?
Sebaliknya, andaikata semua orang di dunia menganggap seseorang itu baik sekali, akan tetapi kalau orang itu bersikap jahat dan merugikan kita, tidak mungkin kita menganggap dia itu orang baik. Jadi pada hakekatnya, yang dinamakan baik itu belum tentu baik dan yang dinamakan jahat itu pun belum tentu jahat!
Oleh karena itu, tepatlah apa yang dikatakan orang bijaksana, bahwa penilaian itu palsu, didasari kepentingan si AKU. Orang bijaksana tidak pernah menilai, melainkan memandang segala sesuatu, baik itu benda, manusia, maupun persoalan, sebagaimana adanya, apa adanya.
Tanpa menilai membuat kita waspada dan dapat melihat dengan jelas, tidak berpihak, tidak menyalahkan atau membenarkan karena pribadinya atau akunya terlibat dan berkepentingan, sehingga tidak terdapat pertentangan, baik dalam batin sendiri maupun terhadap di luar dirinya. Kewaspadaan ini mendatangkan kebijaksanaan, tidak mementingkan diri sendiri lahir batin dan menghasilkan tindakan yang tepat.
"Niken Darmini... !" Niken terkejut dan bangkit berdiri, memutar tubuh dan memandang dengan mata kemerahan dan masih basah air mata. Ia merasa terkejut karena selama ia merantau ini, hanya Sie Tiong seorang yang mengetahui rahasia penyamarannya, mengetahui bahwa ia adalah Niken Darmini, bukan Joko Darmono. Akan tetapi ketika ia memandang kekagetan dan keheranannya menghilang.
"Ah, engkau, ratna...!" katanya dan ia mulai terisak lagi. Ratna Manohara sebetulnya bukanlah sahabat lama Niken Darmini, melainkan kenalan baru saja. Bahkan baru satu kali mereka saling bertemu dan saling berkenalan, yaitu ketika kedua orang gadis ini hadir dalam pertemuan yang diadakan Adipati Blambangan. Niken Darmini mewakli Nini Kuntigarba, sedangkan Ratna Manohara mewakili Perguruan Driya Pawitra.
Mereka saling bertemu dan berkenalan di tempat pertemuan itu dan memiliki pendirian yang sama, yaitu menolak ajakan kerjasama dengan Blambangan untuk memusuhi Mataram. Bahkan mereka juga meninggalkan tempat pertemuan itu bersama dan perkenalan singkat itu terasa akrab bagi mereka yang saling menyukai. Ratna menghampiri dan menyentuh pundak sahabta barunya itu.
"Niken, ini... Gurumu?"
Niken Darmini mengangguk sambil memandang jenazah gurunya, lalu ia menjatuhkan dirinya berlutut dekat jenazah itu. Ratna Manohara juga berlutut di sebelahnya. "Ia Guruku dan... pengganti orang tuaku..."
"Mengapa Gurumu meninggal, Niken? Aku tadi tidak melihat jelas apa yang terjadi, hanya melihat engkau memondongnya dan melarikan diri maka aku mengejarmu."
Ditanya begitu, Niken Darmini melupakan kesedihannya karena teringat akan musuh yang membunuh gurunya ia dikuasai kemarahan dan dendam. "Si keparat Tejakasmala! Dia yang membunuh, aku pasti akan membalas dendam ini!" Niken Darmini berdiri, mengepal tinju dan matanya mencorong penuh kemarahan.
Ratna Manohara merangkul pundak sahabat barunya itu. "Tenanglah, Niken. Tejakasmala itu sakti mandraguna, bukan lawan yang mudah dikalahkan..."
"Aku tidak takut!" Niken Darmini memotong ketus.
"Aku tahu, Niken. Engkau pasti tidak takut. akan tetapi kalau hanya menuruti dendam kemarahan kemudian usaha balas dendam itu gagal, bukankah hal itu akan merugikan kita sendiri? Tenanglah dan percayalah, aku akan membantumu menghadapi Tejakasmala itu. Dia pun bukan sendirian, banyak kawannya yang terdiri dari orang-orang sakti. Kita perlu bantuan dan sebaiknya kalau kita bergabung dengan para sahabat yang dimusuhi Blambangan. Kita harus bersatu agar kuat."
Niken Darmini dapat menerima kebenaran dalam ucapan sahabatnya itu. Ia menghapus air matanya dan berkata. "Engkau benar, Ratna. Ibu guru juga tadi meninggalkan pesan seperti yang kau maksudkan itu. Aku harus bergabung dengan yang lain untuk menghadapi Blambangan kalau aku ingin membalas dendam kepada Tejakasmala."
"Nah, kalau begitu, mari kita bawa jenazah Gurumu ke perkampungan Driya Pawitra. Kami tadi dibantu tamu-tamu kami yang sakti, terutama Bagus Sajiwo..."
Tiba-tiba Niken Darmini memegang lengan Ratna kuat-kuat sehingga gadis itu terkejut.
"Ada apakah, Niken?" tanyanya sambil menatap wajah sahabatnya.
"Ratna, aku mohon padamu, rahasiakan penyamaranku ini. Jangan ada yang mengetahui bahwa aku adalah Niken Darmini. Terutama sekali Bagus Sajiwo!"
Ratna Manohara melebarkan kedua matanya. "Eh? Engkau sudah mengenal Bagus Sajiwo, Niken?"
"Mengenalnya? Ah, aku sudah melakukan perjalanan bersama dia selama puluhan hari, mengalami banyak peristiwa dan perkelahian bersamanya dan selama ini bagi dia aku adalah seorang laki-laki! Jangan kau buka rahasia ini, Ratna!"
"Ohh... ketika Bagus Sajiwo menceritakan pengalamannya kepada Ayahku, dia bilang bahwa perahunya pecah dan dia berpisah dari kawan-kawannya, dan dia juga menyebut sebuah nama... hemm, kalau tidak salah... Joko Darmono..."
"Itulah aku! Ratna, aku minta padamu, aku mohon, jangan sampai Bagus Sajiwo mengetahui bahwa aku adalah seorang wanita!"
Niken Darmini atau Joko Darmono kini sibuk membereskan pakaian penyamarannya dan Ratna memandang sambil tersenyum. Agaknya ia dapat menduga apa yang bergejolak dalam hati sahabat barunya itu. Ratna mengangguk-angguk.
"Baiklah, aku akan menjaga rahasia penyamaranmu itu dari siapa pun juga, terutama dari Bagus Sajiwo, Niken."
"Husshh...! Namaku Joko Darmono, Ratna. Belum apa-apa engkau sudah lupa lagi. Sebut aku Joko, begitu!"
"Baiklah, Joko. Mari, kita angkat jenazah Gurumu dan membawanya ke perkampungan kami untuk dirawat pemakamannya dengan baik."
Pada saat itu, terdengar suara banyak orang dan keika mereka memandang, ternyata rombongan yang datang berlarian adalah Ki Sarwaguna, Bagus Sajiwo, Tan Swi Hong, dan Sie Tiong.
"Joko... !" Bagus Sajiwo berseru girang ketika dia melihat Joko Darmono.
"Bagus!" Joko Darmono juga berseru. Mereka saling menghampiri dan dengan girang Bagus Sajiwo memegang lengan sahabatnya itu.
"Joko, aku sungguh girang sekali aku melihat engkau selamat dari gelombang lautan yang dahsyat itu!"
"Aku juga girang melihat engkau selamat, Bagus." kata Joko Darmono dan suaranya gemetar karena keharuan hatinya.
Kebahagiaan hatinya bertemu dengan Bagus Sajiwo membuat ia melupakan kedukaan karena kematian gurunya. Akan tetapi bekas tangisnya masih tampak pada matanya yang kemerahan dan agak membengkak.
"Joko, engkau kenapa? Engkau... engkau menangis?" tanya Bagus Sajiwo.
Mendengar petanyaan ini, Joko Darmono merasa lehernya seperti dicekik. Teringat lagi dia akan kematian gurunya. Dia membalikkan tubuh dan lari menghampiri lalu berlutut di dekat jenazah gurunya. Ratna Manohara lalu menerangkan kepada Bagus Sajiwo.
"Joko Darmono menangisi kematian gurunya."
Mendengar ini, Bagus Sajiwo dan Ki Sarwaguna cepat menghampiri Joko Darmono yang masih berlutut akan tetapi kini dia menahan diri agar tidak menangis lagi.
"Joko, aku ikut berbelasungkawa atas kematian Gurumu." kata Bagus Sajiwo sambil berjongkok dekat sahabatnya itu. "Joko, kematian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, merupakan kelanjutan dari kehidupan dan akan dialami oleh semua orang, tak terkecuali. Karena itu, kuatkan hatimu dan terimalah kematian Gurumu sebagai suatu hal yang wajar saja karena kematian setiap orang sudah dikehendaki Gusti Allah."
Seperti biasa, biarpun Joko Darmono memiliki watak yang liar dan keras, namun ucapan Bagus Sajiwo dapat menembus kekerasan hatinya dan dapat dia lihat kebenarannya. Akan tetapi mengingat akan kematian gurunya di tangan Tejakasmala, dia berkata dengan suara mengandung penasaran.
"Akan tetapi, Bagus. Kematian Guruku disebabkan oleh tangan Tejakasmala yang menyerangnya ketika Guruku datang dan menyelamatkan aku dari ancaman maut di tangan si jahanam Tejakasmala!"
"Joko, segala kejadian sudah tentu ada penyebabnya. Kematian pun tentu ada penyebabnya, ini merupakan hukum sebab akibat. Akan tetapi hanya kekuasaan Gusti Allah sajalah yang mengatur semua itu. Segala sesuatu, termasuk nyawa kita, adalah milik Gusti Allah, demikian pula kehidupan atau nyawa Gurumu. Kalau sang Maha Pemilik menghendaki agar milikNya kembali kepadaNya, siapakah yang dapat menghalangi? Sadarlah, Joko, dan terimalah segala hal yang menimpa dirimu dengan keikhlasan karena semua itu sudah dikehendaki dan diatur oleh kekuasaan Gusti Allah."
Joko Darmono menghela napas panjang dan menundukkan mukanya, mengusap wajah jenazah Nini Kuntigarba dengan lembut. "Engkau benar, Bagus." katanya lirih.
"Aah, semua ini karena kesalahanku," kata Ki Sarwaguna. "Nini Kuntigarba, sudah lama aku mengenalmu dan diantara kita tidak pernah ada urusan atau hubungan apa pun. Akan tetapi tidak kusangka bahwa hari ini engkau tewas karena membantu kami menghadapi kesesatan orang-orang Blambangan. Terima kasih, Nini Kuntigarba, dan maafkanlah aku."
"Sudahlah, Kanjeng Rama. Tidak perlu kiranya kita mencari kesalahan. Lebih baik kita segera mengurus jenazah guru Joko Darmono. Kasihan kalau dibiarkan telentang di sini terlalu lama." kata Ratna Manohara dan ia lalu memegang lengan Joko Darmono. "Joko, mari kita angkat jenazah Gurumu."
Joko Darmono bangkit berdiri, kemudian dia memondong jenazah gurunya, dibantu oleh Ratna Manohara. Diam-diam Bagus Sajiwo merasa heran melihat keakraban Joko Darmono dengan gadis jelita puteri Ketua Driya Pawitra itu. Mereka lalu kembali ke perkampungan Driya Pawitra.
Setelah diadakan penelitian, ternyata Perguruan Driya Pawitra kehilangan tujuh orang murid pria dan dua orang murid wanita yang tewas, sedangkan sebelas orang murid menderita luka-luka dalam pertempuran itu. Di pihak pasukan Blambangan, mereka membawa teman-teman yang terluka dan meninggalkan dua puluh satu orang perajurit yang tewas. Semua jenazah itu, baik jenazah para murid Driya Pawitra maupun jenazah para perajurit Blambangan mendapat perlakuan yang sama, yaitu dikubur dengan pantas. Sikap ini saja membuktikan bahwa Ki Sarwaguna memiliki budi yang baik.
Jenazah Nini Kuntigarba dimakamkan dengan upacara kehormatan sebagai layaknya orang yang terpandang dan dihormati sehingga Joko Darmono merasa berterima kasih sekali. Bukan hanya Bagus Sajiwo dan Joko Darmono yang merasa berbahagia sekali melihat betapa masing-masing telah selamat keluar dari gulungan ombak samudera yang dahsyat itu.
Dapat selamat terlepas dari cengkeraman maut di tengah gelombang yang tidak mungkin dilawan tenaga manusia betapapun saktinya dia, merupakan sebuah mujizat yang hanya dapat dilaksanakan oleh kekuasaan Gusti Allah.
Selain mereka berdua, yang lebih merasa berbahagia lagi adalah Tan Swi Hong dan Sie Tiong. Sepasang kekasih ini tentu saja berbahagia sekali dapat bertemu dan berkumpul kembali dengan tunangan mereka. Sungguhpun kebahagiaan mereka itu diwarnai kedukaan karena kematian Tan Beng Ki ayah Swi Hong, namun hati Swi Hong terhibur mendengar bahwa jenazah ayahnya telah ditemukan dan dikubur sebagaimana mestinya oleh Sie Tiong.
Ketika mendapat kesempatan bicara berdua saja sesudah pemakaman jenazah Nini Kuntigarba selesai, Sie Tiong dan Swi Hong berada dalam taman bunga di samping rumah Ki Sarwaguna. Yang lain-lain memang sengaja memberi kesempatan kepada dua sejoli ini untuk bicara berdua.
"Hong-moi, sungguh aku merasa berbahagia sekali dapat bertemu dan berkumpul kembali denganmu, akan tetapi sungguh aku amat bersedih kalau teringat akan Ayahmu."
Gadis itu menhela napas panjang. "Ayah tewas terkena tembakan senjata api yang dilepas orang-orang Blambangan dan baru saja kita juga terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang Blambangan. Aku akan membalas kematian Ayah dengan membantu pihak yang bermusuhan dengan Blambangan."
"Hong-moi, apakah tidak lebih baik kalau kita pulang ke Tuban? Di sana kita dibutuhkan untuk melanjutkan pekerjaan mendiang Ayahmu. Pertikaian yang terjadi di sini adalah antara golongan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita."
"Akan tetapi apakah kematian Ayah di tangan mereka itu akan kudiamkan saja? Tidak, Tiong-ko, aku harus membalaskan dendam karena Ayah terbunuh kepada para pembunuhnya!"
Pada saat itu, seorang murid Driya Pawitra datang memberitahu bahwa mereka berdua diundang ke dalam rumah induk di mana diadakan rapat pertemuan. Sie Tiong dan Tan Swi Hong lalu meninggalkan taman menuju ke rumah Ki Sarwaguna...
Kalajana, orang kedua dari Dwi Kala yang bertubuh raksasa pula dan mukanya bopeng dan tubuhnya berbulu, maju dan berkata dengan geram. "Heh, Ki Sarwaguna, apakah Andika hendak mengatakan bahwa Andika membangkang terhadap perintah Gusti Adipati Blambangan?"
"Kami tidak membangkang perintah! Sang Adipati mengundang aku untuk menghadap dan menyatakan pendirianku mengenai penggabungan diri dengan Blambangan. Di sini juga dapat aku tegaskan bahwa pendirian Driya Pawitra tetap seperti yang telah dinyatakan oleh puteriku Ratna Manohara. Jadi aku tidak perlu lagi mengunjungi ke Blambangan."
"Ki Sarwaguna, Gusti Adipati sudah memberi purba-wisesa (kuasa mengambil tindakan) kepada kami. Kalau Andika menolak ikut kami menghadap Gusti Adipati, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan menangkap Andia!" kata pula Kalajana marah.
"Hemm, beginikah caranya penguasa Blambangan memaksakan kehendak dengan mengandalkan besarnya pasukan?" Ki Sarwaguna menegur.
"Babo-babo si keparat Sarwaguna! Sumbarmu seperti guntur di musim kering! Siapa yang takut menghadapi kesaktianmu? Majulah, kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan lihat, siapa di antara kita yang akan mengukur bumi dengan badannya!" Kaladhama menantang.
"Baik, mari kita buktikan!" Kata Ki Sarwaguna menerima tantangan itu.
Akan tetapi sebelum dua orang ini mulai bertanding, Bhagawan Sarwatama yang merasa khawatir kalau pihaknya kalah karena dia tahu betul akan kesaktian Ki Sarwaguna, cepat mencegah.
"Tunggu dulu! tidak baik kalau sampai terjadi perkelahian besar yang menjatuhkan banyak korban. Aku mempunyai usul begini. Pertentangan dua pendapat ini hanya ada satu persoalan, yaitu mau bergabung dengan Blambangan atau tidak mau bergabung. Kalau terjadi pertempuran, tentu kedua belah akan rugi karena jatuhnya banyak korban. Bagaimanapun juga, kita semua adalah kawula Blambangan. Sebaiknya diatur begini, masing-masing pihak mengajukan jagoannya yang paling sakti dan kedua orang jagoan itulah yang akan mewakili pihak masing-masing. Kalau jagoan Blambangan kalah, maka Blambangan tidak akan memaksa lagi Driya Pawitra untuk bergabung. Sebaliknya kalau jagoan Driya Pawitra kalah, maka perguruan ini harus menggabungkan diri dan membantu Blambangan mnghadapi Mataram. Dengan demikian, pertempuran besar tidak perlu diadakan dan sudah adil!"
Bhagawan Sarwatama berani mengajukan usul demikian karena dia sudah mendengar akan kesaktian Raden Satyabrata yang tidak ada yang menandingi di antara semua tokoh yang berada di Blambangan, dan setahunya di Perguruan Driya Pawitra, hanya Ki Sarwaguna saja yang paling tangguh. Padahal, tingkat kepandaian Ki Sarwaguna hanya sedikit di atas tingkatnya sendiri. Dengan perhitungan itu, dia yakin kalau usulnya diterima, pihak Blambangan tentu akan menang.
Mendengar ini, Ki Sarwaguna diam berpikir. Dia tahu bahwa adik seperguruannya itu tidak akan mampu menandinginya, maka lawannya tentu seorang dari Dwi Kala yang menurut puterinya tadi, cukup sakti. akan tetapi untuk mempertahankan Driya Pawitra, dia berani menghadapi lawan siapa saja. Juga usul yang diajukan adik seperguruannya itu masuk akal juga. Bagaimananpun, dia tidak ingin melihat para muridnya menjadi korban. Bergabung dengan Blambangan hanya merupakan hal yang berlawanan dengan pendiriannya, akan tetapi tidak termasuk suatu kejahatan.
"Baik, aku terima usul adu jago itu! Sarwatama, apakah engkau sendiri yang akan maju sebagai jago Blambangan?" kata Ki Sarwaguna sambil memandang Adik seperguruan itu dengan sinar mata tajam mencorong penuh teguran.
Satyabrata yang sejak tadi hanya menonton dan mendengarkan sambil tersenyum dan matanya yang jelalatan (liar) akhirnya melekat pada wajah dan tubuh Ratna Manohara, tiba-tiba berkata,
"Kakang Bhagawan Sarwatama, biarlah aku yang maju mewakili Blambangan!"
Dia melangkah kedepan lalu berkata kepada Ki Sarwaguna dengan senyum mengejek. "Aku Raden Satyabrata yang menjadi jago mewakili Kadipaten Blambangan. Yang merasa paling sakti di perguruan Driya Pawitra, silakan maju menandingi aku!"
Sejak tadi Ratna Manohara merasa muak dan marah melihat betapa laki-laki itu memandang kepadanya dengan mata yang kurang ajar. Tadinya ia mengira seorang di antara Dwi Kala yang akan maju, sama sekali tidak mengira laki-laki kurang ajar yang mengaku bernama Raden Satyabrata ini yang maju. Ia tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar namanya. Karena marah melihat sikap sombong orang yang pandang matanya tidak sopan itu, ia melangkah maju hendak menandinginya. Akan tetapi ayahnya menangkap pergelangan tangannya.
"Jangan Ratna. Biar aku sendiri yang menghadapinya!" kata Ki Sarwaguna.
Melihat ini, Satyabrata tertawa dan berkata. "Wah, kalau Nimas Ayu ini yang maju, mana mungkin aku tega melukai kulit yang halus mulus itu?"
MAAF PARA PEMBACA, HALAMAN 9 HILANG...!
...tidak menjadi marah. Dia adalah seorang pemuda yang sudah matang jiwanya dan tidak mudah dipengaruhi nafsu. Mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan berkata lembut.
"Satyabrata, sebuah gentong kosong itu kalau diketuk nyaring bunyinya, sama dengan seorang yang suka bicara sombong itu biasanya juga kosong." Ucapan itu membuat Satyabrata terbelalak dan mukanya yang berkulit putih bersih itu menjadi merah sekali.
"Keparat, bocah dusun, siapakah engkau?"
"Namaku Bagus Sajiwo dan memang aku bocah dusun."
"Berani engkau melawan aku? Engkau menantangku!"
"Aku tidak menantang siapa pun, aku hanya mewakili Perguruan Driya Pawitra."
"Heh, Bagus Sajiwo! Apakah engkau sudah bosan hidup? Engkau akan mati kalau bertanding melawan aku!"
"Setyabrata, engkau menentukan matimu sendiri saja tidak mampu, bagaimana dapat menentukan matinya orang lain? Mati hidup semua orang berada ditangan Gusti Allah, bukan di tangan manusia atau pun setan!"
"Godverdomme! (Terkutuk)" Dalam kemarahannya, Satyabrata karena kebiasaan menumpah dalam bahasa Belanda.
"Kalau begitu, usiamu hanya sampai hari ini. Ha-ha-ha-ha!" Satyabrata tertawa bergelak dan semua orang terkejut. Bahkan pasukan Blambangan bergerak mundur, dan para murid Driya Pawitra juga menjauhkan diri sambil menutup telinga mereka. Suara tawa itu bergelombang dan membawa getaran yang amat kuat seolah menusuk ke dalam telinga mereka dan mengguncangkan jantung.
Hanya empat orang pimpinan pasukan Blambangan dan dua orang pimpinan Driya Pawitra bersama dua orang tamunya yang tidak menjauhkan diri. Akan tetapi seperti juga yang dilakukan Dwi Kala dan Bhagawan Sarwatama, Ki Sarwaguna, Ratna Manohara, dan Tan Swi Hong mengerahkan tenaga sakti, mengatur pernapasan mereka sehingga mereka terlindung dari getaran yang amat kuat...
WAH... HALAMAN 12-13 HILANG LAGI...!
...dekat, mengembangkan kedua lengan lalu kedua tangan dari kanan kiri mendorong ke depan. Angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Bagus Sajiwo. Pemuda ini mengenal aji pukulan yang amat ampuh, akan tetapi dia tetap tenang dan waspada. Ketika angin pukulan itu menyambar, Bagus Sajiwo menggeser kaki dan tubuhnya condong ke kiri. Angin pukulan itu lewat tanpa menyentuhnya. Sampai tiga kali Satyabrata mengulang pukulan dengan mengerahkan tenaga sakti, menyerang dalam jarak jauh.
Namun selalu Bagus Sajiwo dapat menghindar dengan langkah-langkahnya yang ajaib. Satyabrata menjadi semakin penasaran. Dia mengira bahwa pemuda itu jerih menghadapi aji pukulannya maka selalu menghindar. Sekali saja pukulannya mengenai sasaran, pemuda dusun itu tentu akan roboh dan mati, demikian pikirnya. Maka dia lalu menerjang kedepan dengan loncatan kilat untuk menyerang dengan kontak langsung, tidak lagi dari jarak jauh.
"Hyeeeehhhh!!" Satyabrata memekik dan tubuhnya menyambar dengan cepat sekali karena dia menggunakan Aji Tunggang Maruto (Menunggang Angin) sehingga tubuhnya ringan sekali dapat bergerak secepat angin. Begitu dekat dengan Bagus Sajiwo, dia langsung saja menyerang secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga Aji Margopati.
Bagus Sajiwo dapat mengukur dari sambaran angin pukulan itu bahwa lawannya ini memang memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main. Belum pernah dia bertemu lawan tanding yang seperti ini kuatnya. Bahkan Tejakasmala, jagoan muda dari Bali itupun masih kalah dibandingkan Satyabrata. Kalau dia menyambut pukulan itu sehingga dua tenaga sakti bertemu, tentu akan menimbulkan kemungkinan terluka bagi yang kalah kuat.
Dia mewakili Driya Pawitra untuk dapat keluar sebagai pemenang, bukan untuk melukai lawan apalagi membunuhnya. karena itu, dia menghadapi serangan Aji Margopati yang bertubi-tubi dengan Aji Langkah Lintang Kemukus....
WADUH...HALAMAN 16 HILANG LAGI, TAPI TENANG, INI YANG TERAKHIR LOH...!
...adalah ketika melihat kenyataan betapa semua serangan Satyabrata yang mendatangkan angin sehingga terasa oleh enam orang pimpinan kedua pihak, sama sekali tidak dapat merobohkan Bagus Sajiwo. apalagi merobohannya, menyentuhnya pun tidak pernah!
Bagaimanapun juga, pihak Driya Pawitra, yaitu Ki Sarwaguna, Ratna Manohara, dan Tan Swi Hong merasa gelisah sekali. Bagaimana mungkin Bagus Sajiwo akan mampu mengalahkan lawannya kalau dalam pertandingan itu dia hanya mengelak dan menghindarkan diri dari pukulan lawannya?
"Bocah dusun! Kalau engkau takut menyambut pukulanku, jangan mengajukan diri! Engkau pengecut, hanya menghindar tidak berani menyambut pukulanku. Kalau memang engkau berani, hayo balas seranganku!" bentak Satyabrata setelah dia melompat ke belakang menahan dan menghentikan serangannya yang tak pernah berhasil.
"Satyabrata, engkau tidak berhasil memukul aku, mengapa marah-marah? Kalau engkau menghendaki aku membalas, baiklah! Lihat seranganku!"
Setelah berkata demikian, Bagus Sajiwo menerjang ke depan dan tangan kirinya melayang, menampar ke arah kepala lawan. Tamparan itu tampaknya perlahan saja dan melihat ini, Satyabrata mengerahkan tenaga sakti pada lengan kanannya dan menangkis tamparan yang tampaknya tidak berapa kuat itu. "Wuuuttt.... dukkk!" Bagus Sajiwo terdorong mundur tiga langkah saking kuatnya benturan ketika lengannya ditangkis lengan Satyabrata. Akan tetapi Satyabrata juga terdorong ke belakang tiga langkah!
Sepasang mata kebiruan itu terbelalak. Hampir dia tidak dapat percaya. Dia telah menguasai tenaga sakti peninggalan Sang Resi Ekomolo, seorang manusia sejahat iblis yang meninggalkan banyak aji kesaktian ketika dia tewas dalam sumur tua. Satyabrata telah menghimpun tenaga sakti dengan berlatih cara bersamadhi yang disebut Aji Waringin Sungsang, yaitu cara bersamadhi dengan tubuh terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, berjungkir balik di atas tanah.
Selama dia bertualang, hanya beberapa orang saja yang mampu menandingi tenaganya. Di antara mereka itu seingatnya hanya LinduAji, Parmadi Si seruling Gading, bahkan mereka ini pun akan sukar mengalahkannya. Ketika dia berada di Negeri Belanda, para jagoan di sana, ahli-ahli tinju yang bertubuh dan bertenaga raksasa, tidak ada yang mampu menandinginya. Masa sekarang bocah dusun ini mampu menandinginya?
"Hyaaattt....!!" Dia membentak dan menerjang lagi. Kini dia mengeluarkan semua ilmu silat yang dikuasainya. Dia memainkan ilmu silat Bromo Dadali karena ia pernah menjadi murid Bromo Dadali. Juga dia mengerahkan Aji Bromo Latu dari perguruan itu, dengan didasari tenaga saktinya yang dihimpun dari latihan Waringin Sungsang. Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar karena dia mengerahkan Aji Tunggang Maruto.
Semua orang yang berada di pihak Driya Pawitra memandang terbelalak dengan wajah pucat. Hebat bukan main sepak terjang Satyabrata. Ki Sarwaguna dan Ratna Manohara sendiri diam-diam harus mengakui bahwa kalau mereka yang maju melawan Satyabrata, dalam waktu singkat mereka tentu akan roboh. Juga Tan Swi Hong menjadi pening melihat gerakan Satyabrata. Ia harus mengakui bahwa baik sinkang (tenaga sakti) maupun ginkang (meringankan tubuh) lawan Bagus Sajiwo itu telah mencapai tingkat tinggi sekali.
Dara Cina ini pun semakin kagum melihat betapa Bagus Sajiwo mampu mengimbangi lawan yang amat tangguh dan berbahaya itu. Kalau pihak Driya Pawitra terheran-heran melihat kesaktian Satyabrata, sebaliknya Bhagawan Sarwatama, Kaladhama dan Kalajana tidak merasa heran menyaksikan ketangguhan Bagus Sajiwo. Mereka pernah bertemu dan melihat kesaktian pemuda sederhana itu.
Namun mereka hanya merasa penasaran mengapa sampai sekian lamanya Satyabrata belum dapat mengalahkan lawannya. Jangankan merobohkan, mendesak pun dia tidak mampu dan dua orang itu tampak berimbang, saling serang dan saling bertahan dan setiap kali mereka mengadu lengan, keduanya terdorong mundur. Sudah hampir seratus jurus dua orang itu bertanding.
Kulit kedua tangan mereka sudah tampak kebiruan karena sering saling bertemu dengan amat kuatnya. Kekuatan tubuh mereka memang seimbang, keduanya memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi, cara hidup mereka yang mengakibatkan perbedaan antara mereka setelah mereka berdua saling mengerahkan tenaga sekian lamanya. Bagus Sajiwo adalah seorang pemuda gemblengan lahir batin.
Bukan hanya lahirnya yang kuat, melainkan batinnya juga amat kuat karena dia bersandar kepada Kekuasaan Gusti Allah dengan penyerahan diri sepenuhnya sehingga hidupnya bersih dan terbimbing. Sebaliknya, Satyabrata adalah seorang laki-laki hamba nafsu sehingga hidupnya penuh kesesatan dan kotor.
Akibatnya, setelah bertanding sekian lamanya, Bagus Sajiwo tampak masih tenang dan ketahannya masih tetap kuat. Sedangkan Satyabrata mulai gelisah dan badannya basah oleh keringat dan pernapasannya agak terengah. Namun hal ini hanya dketahui oleh dua orang yang sedang bertanding itu.
"Keparat, sekarang kau mampus!"
Tiba-tiba Satyabrata berteriak melengking dan dia sudah mencabut sebatang keris yang tampak tua seperti berkarat dan mengeluarkan sinar hitam arang. Akan tetapi keris itu mengandung hawa yang menyeramkan dan hal ini terasa oleh Bagus Sajiwo sehingga tahulah dia bahwa lawannya memegang sebatang keris yang ampuh dan yang menjadi jahat karena selalu dipergunakan untuk kejahatan.
Memang sesungguhnya, keris yang dicabut Satyabrata itu adalah sebuah keris pusaka bernama Kyai Ilat Nogo (Lidah Naga). Memang bentuk keris itu seperti kepala naga yang menjulurkan lidahnya. Ujung keris yang runcing itu merupakan ujung lidah naga.
"Wuuussshhh....!" Keris itu meluncur ke arah perut Bagus Sajiwo ketika digerakkan Satyabrata untuk menyerang.
Dengan langkah ajaibnya Bagus Sajiwo menggeser kaki dan dapat mengelak, lalu dengan cepat dia membalas serangan itu dengan pukulan tangan miring seperti pedang membacok ke arah leher lawan. Gerakannya cepat dan biarpun seolah tanpa tenaga namun Satyabrata merasakan angin dingin membuat tengkuknya terasa meremang. Dia melompat ke belakang lalu menyerang lagi bertubi-tubi. Bagus Sajiwo mengelak dan balas menyerang.
Dua orang itu bertanding lagi dengan serunya. Biarpun Bagus Sajiwo bertangan kosong menghadapi keris lawan, namun dia tidak terdesak dan tamparan tangannya tidak kalah berbahaya dibandingkan keris lawan. Satyabrata mulai merasa kecelik. Ternyata pemuda lawannya ini sakti mandraguna!
Dia merasa menyesal tidak mendapat kesempatan untuk mencabut pistol dan menembak karena cepatnya mereka berdua bergerak serang menyerang. Pula, kalau dia menggunakan pistol, besar kemungkinan dia akan salah sasaran karena mereka berdua bergerak ke sana-sini, berlompatan dan berkelebatan seperti bayangan.
Sementara itu, Kaladhama dan Kalajana yang melihat betapa Satyabrata belum juga mampu mengalahkan lawannya, mulai merasa khawatir. Kalau sampai Satyabrata kalah dan sebagaimana perjanjian tadi, mereka dan pasukan mereka akan terpaksa kembali ke kadipaten dengan tangan kosong, mereka tentu akan mendapat marah dari guru mereka, Sang Bhagawan Kalasrenggi dan Sang Adipati Santa Guna Alit. Mereka akan mendapat malu.
Mereka saling pandang dan setelah saling menukar isarat, tiba-tiba mereka berdua melompat kedepan sambil mencabut senjata. Kaladhama mancabut senjata golok gergaji yang besar, berat dan mengerikan. Kalajana juga mencabut senjata yang sama dan mereka menyerang ke arah Ki Sarwaguna tanpa berkata apapun karena mereka tahu bahwa perbuatan mereka itu melanggar perjanjian.
Melihat majunya dua orang senopati Blambangan itu, Ki Sarwaguna menjadi marah dan dia pun cepat melompat maju sambil mencabut pedangnya dan dia segera bertanding melawan Kaladhama. Terdengar bunyi nyaring berdentang ketika pedang di tangan Ki Sarwaguna bertemu dengan golok gergaji di tangan Kaladhama, disusul berpijarnya bunga api. Kedua orang itu terdorong ke belakang dan setelah keduanya memeriksa senjata masing-masing yang ternyata tidak rusak, mereka lalu maju dan saling terjang lagi.
Sementara itu, melihat kecurangan lawan, Ratna Manohara sudah menjadi marah, terutama kepada Bhagawan Sarwatama yang dianggapnya sebagai pembuat janji yang curang. Maka sambil mencabut pedangnya, ia melompat ke depan paman gurunya itu dan membentak. "Pengecut curang!"
Sebetulnya Bhagawan Sarwatama bukan orang jahat dan dia pun tidak senang melihat tindakan Dwi Kala itu. Akan tetapi karena dia telah bergabung dengan Blambangan dengan pamrih mendapatkan kedudukan dan harta, juga agar Driya Pawitra tidak sampai dimusuhi Blambangan, maka terpaksa dia membela Blambangan. Ketika murid keponakan itu maju menyerangnya, dia pun dengan terpaksa mencabut pedangnya dan menangkis.
Paman guru dan murid keponakan ini segera bertanding dengan seru. Tadinya Kalajana hendak mengeroyok Ki Sarwaguna, akan tetapi ketika dia menggerakkan golok gergajinya untuk menyerang Ketua Driya Pawitra itu, tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat menangkisnya.
"Cringggg....!" Ternyata yang menangkis golok gergajinya adalah pedang di tangan Tan Swi Hong yang masih menyamar sebagai pemuda bernama Parto. Pedang gadis itu terpental dan tangan kanannya yang memegang gagang pedang tergetar hebat. Ia terkejut bukan main dan maklum bahwa lawannya merupakan lawan yang amat kuat bahkan terlalu kuat baginya.
Akan tetapi gadis Cina ini tidak menjadi gentar, Ia sudah tahu akan duduknya perkara dan selain menganggap bahwa Pihak Driya Pawitra berada di pihak yang benar, juga ia adalah tamu perguruan itu dan ia pun harus menentang Blambangan untuk membalas dendam kematian ayahnya. Maka, iapun memutar pedangnya dengan pengerahan seluruh tenaga dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang lincah.
Untung baginya bahwa biarpun ia kalah jauh dalam hal tenaga, namun ia masih mengurangi kekurangannya itu dengan kelebihan kecepatannya. Gerakannya amat cepat sehingga Kalajana mengalami kesulitan untuk dapat mendesaknya. Namun, senopati Blambangan ini menyadari bahwa dia menang dalam hal tenaga, maka dia berusaha untuk mengadu tenaga melalui senjata agar pedang di tangan lawan itu dapat terpukul lepas.
Pertandingan antara Bhagawan Sarwatama dan Ratna Manohara berjalan seru. Keadaan mereka memang seimbang. Ilmu pedang mereka satu aliran sehingga keduanya dapat menjaga diri terhadap jurus-jurus serangan lawan yang sudah dikenal. Memang, Bhagawan Sarwatama tentu saja menang pengalaman dan perkembangan jurus lebih lengkap, namun harus diakui bahwa nurid keponakan yang jauh lebih muda itu memang cepat gerakannya.
Gadis itu sudah menguasai Aji Pawana Sakti (Angin Sakti) dengan baik sekali, ditambah tubuhnya yang masih muda dan sehat sehingga ia dapat bergerak lincah bukan main. Pertandingan antara mereka berlangsung seru dan dalam perkelahian ini, Bhagawan Sarwatama banyak mengalah karena bagaimanapun juga, dia merasa tidak enak harus bertanding melawan murid keponakannya sendiri yang sedikit banyak pernah dia sayang seperti anaknya sendiri.
Juga pertandingan antara Ki Sarwaguna melawan Kaladhama berlangsung seru dan mati-matian. Tingkat kepandaian mereka juga seimbang, demikian pula kekuatan tenaga sakti mereka. Berkali-kali pedang di tangan Ki Sarwaguna bertemu dengan golok gergaji di tangan Kaladhama menimbulkan suara nyaring berdenting dan memancarkan bunga api yang menyilaukan mata.
Satyabrata masih bertanding seru melawan Bagus Sajiwo. Akan tetapi kini Satyabrata sudah yakin betul bahwa dia tidak akan dapat mengalahkan pemuda yang dianggapnya pemuda dusun bodoh itu. Biarpun di masih mampu mempertahankan diri, namun dia mulai lelah dan kalau pertandingan ini terus dilanjutkan, dia sendiri akan terancam bahaya! Maka, melihat betapa tiga orang temannya juga sudah maju dan bertanding, Satyabrata mengerahkan suaranya dan berteriak dengan penuh wibawa.
"Para perajurit Kadipaten Blambangan, maju dan serbu!!"
Para perajurit Balmbangan sejak tadi memang menanti perintah. Biarpun perintah itu kini bukan keluar dari mulut Dwi Kala, namun mereka maklum bahwa Satyabrata merupakan wakil Kumpeni Belanda yang sakti mandraguna dan dihormati sang Adipati Blambangan. Juga perintahnya itu terdengar penuh wibawa, maka tanpa ragu lagi sekitar seratus orang perajurit itu bersorak dan menyerbu ke arah pintu gerbang.
Para murid Driya Pawitra sudah dipesan pemimpin mereka bahwa mereka harus berjaga saja dan hanya maju kalau pihak musuh menyerang. Kini melihat pasukan Blambangan bersorak dan menyerbu, mereka pun berserabutan keluar dari pintu gerbang membantu kawan-kawan yang tadi sudah berada di luar dan yang kini mulai bertempur melawan pasukan penyerbu. Terjadilah pertempuran yang ramai dan kacau.
Pada saat itu, di antara gemuruh suara pasukan yang bertempur, terdengar teriakan melengking. "Bagus.... !!"
Bukan main lega dan girang rasa hati bagus sajiwo ketika melihat bayangan berkelebat dan Joko Darmono telah berada didekatnya. Melihat Joko darmono melolos sabuk dan mencabut keris hendak membantunya, dia cepat berkata.
"Joko, tidak perlu membantuku, bantu saja yang lain melawan pasukan Blambangan!"
Joko Darmono maklum bahwa Bagus Sajiwo tidak akan terancam bahaya, maka dia pun melompat ke arah lain. Sementara itu, Tan Swi Hong sudah terdesak hebat oleh Kalajana, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara yang membuat ia merasa girang sekali.
"Hong-moi, jangan takut, aku membantumu!"
Muncullah Sie Tiong. Pemuda ini sudah menggunakan pedangnya menyerang Kalajana yang menjadi terkejut dan cepat menangkis dengan golok gergajinya. Kini Swi Hong berseru dengan isak tertahan saking terharu dan girangnya.
"Tiong-ko...!" Gadis ini menjadi semakin bersemangat, memutar pedangnya dengan cepat mengeroyok Kalajana yang sudah bertanding melawan Sie Tiong. Dikeroyok dua, Kalajana menjadi repot sekali. Joko Darmono dengan mudah dapat mengenal yang mana perajurit Blambangan.
Sebetulnya ia sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Perguruan Driya Pawitra, akan tetapi melihat betapa Bagus Sajiwo dan Tan Swi Hong berpihak kepada Driya Pawitra, dan dia melihat pula Ratna Manohara yang masih bertanding melawan seorang laki-laki berpakaian pendeta, maka dia pun tidak ragu lagi untuk memihak peguruan yang agaknya diserang oleh pasukan Blambangan itu.
Gadis yang menyamar pria ini lalu mengamuk menerjang para perajurit Blambangan. Sabuknya yang bewarna merah itu berubah menjadi gulungan sinar merah dan setiap orang perajurit Blambangan yang terkena sambaran sinar merah itu pasti terpelanting dan mengalami cidera tulang patah atau sambungan tulang putus sehingga tidak mampu lagi bertempur.
Keris di tangan kirinya dipergunakan untuk menangkis hujan senjata yang mengeroyoknya dan setiap kali golok seorang pengeroyok ditangkis kerisnya, golok itu terpental dan terlepas dari tangan pemiliknya. Para murid Driya Pawitra menjadi tambah semangat mereka melihat ada pemuda tampan yang mengamuk dan membantu mereka. Mereka lalu mengamuk dan biarpun jumlah pasukan Blambangan lebih besar, namun para perajurit Blambangan yang sudah gentar menyaksikan sepak terjang Joko Darmono yang dahsyat itu, menjadi terdesak.
Korban mulai berjatuhan, ada yang tewas, kebanyakan hanya terluka. Akan tetapi jumlah mereka yang roboh, lebih banyak di pihak pasukan Blambangan. Tiba-tiba datang bala bantuan di pihak pasukan Blambangan. Seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Tejakasmala, muncul bersama anak buahnya yang dua belas orang.
Pemuda sakti dari Bali ini memang mendapat tugas dari Bhagawan Kalasrenggi untuk menyusul pasukan pimpinan Dwi Kala itu untuk melihat bagaimana hasil gerakan pasukan itu ke Teluk Grajagan. Bagaimanapun juga, Satyabrata dan Bhagawan Sarwatama adalah dua orang yang baru saja menggabungkan diri dengan Blambangan. Maka tentu saja Sang Adipati Santa Guna Alit di Blambangan belum sepenuhnya percaya kepada mereka. Ketika Tejakasmala tiba di situ dan melihat pertempuran yang mebuat pihak Blambangan terdesak, dia terkejut dan marah.
Para pimpinan pasukan sedang bertanding dengan lawan yang kuat. Akan tetapi dia melihat ada seorang pemuda yang mengamuk dan merobohkan banyak perajurit. Maka dia cepat memimpin regunya untuk terjun ke dalam pertempuran. Dia sendiri sudah cepat menerjang dan menyerang Joko Darmono yang sedang mengamuk.
"Keparat, mati kau! Auuurrrggghhh.... !"
Tejakasmala mengeluarkan gerengan dengan Aji Singabairawa, gerengannya seperti gerengan seekor singa dan menggetarkan jantung lawan. Dia pun menyerang dengan Aji Condromowo, melayangkan pukulan tangan kanan yang tampak merah seperti membara, tangan membara itu terbuka dan menyambar ke arah muka Joko Darmono.
Joko Darmono atau Ken Darmini terkejut bukan main. Ia tahu siapa Tejakasmala, tokoh yang ia tahu paling digdaya di Blambangan, seorang yang diperbantukan oleh kerajaan Klungkung di Bali kepada Blambangan dan ia mengenal pukulan-pukulan dahsyat dari tangan yang membara itu. Karena pada saat itu ia sedang menghadapi pengeroyokan banyak perajurit Blambangan, maka serangan dahsyat dari Tejakasmala itu tidak mungkin dapat ia elakkan lagi. Cepat ia mundur selangkah dan menggerakkan sabuk merahnya untuk menangkis tamparan tangan membara itu.
"Syuuuttt... plakkk!" ujung sabuk merah bertemu dengan tangan kanan Tejakasmala. Dengan gerakan pergelangan tangannya, Joko Darmono membuat ujung sabuknya itu melibat pergelangan tangan Tejakasmala!
Akan tetapi justreru keadaan ini dipergunakan oleh Tejakasmala untuk menyerang. Dia melihat betapa Joko Darmono masih sibuk memutar keris di tangan kiri untuk melindungi tubuhnya dari serangan para pengeroyok sehingga tenaganya tentu saja terbagi.
Tejakasmala membentak nyaring dan mengerahkan tenaga pada tangan kanannya yang terbelit sabuk, lalu menarik dengan sentakan kuat. Joko Darmono tidak mampu bertahan terhadap tarikan yang dahsyat dan amat kuat itu. Tubuhnya tertarik dan tak dapat dicegah lagi dia roboh terpelanting!"
Ha-ha-ha-ha! Sekarang matilah engkau!" Tejakasmala melompat ke dekat tubuh Joko Darmono yang roboh miring dan tangannya yang masih mengandung Aji Condromowo itu menyambar yang berada dalam keadaan tak mampu mempertahankan diri lagi itu. Kepala Joko Darmono tentu akan retak dan hangus kalau terkena pukulan Condromowo itu!
"Wuuuttt... plakkk!" Tejakasmala berseru kaget dan tubuhnya melompat ke belakang. Tangannya yang menyambar untuk mengirim pukulan maut ke arah kepala Joko Darmono itu tertangkis oleh sebuah benda hitam yang kuat sekali.
Ketika dia memandang, ternyata yang menangkis pukulannya dan menyelamatkan Joko Darmono adalah seorang nenek yang biarpun usianya sudah enam puluh tahun lebih dan mukanya sudah dihias keriput, namun masih ada bekas kecantikan pada wajahnya. Pandang matanya tajam mencorong dan sikapnya angkuh. Ia memegang sebatang tongkat hitam dan tongkat itulah yang tadi menangkis tamparan maut Tejakasmala dan menyelamatkan nyawa Joko Darmono. Nenek itu mengenakan pakaian serba hitam, namun kainnya sutera yang halus dan bersih.
Sementara itu, Joko Darmono yang baru saja terlepas dari cengkeraman maut, sudah melompat berdiri karena beberapa orang perajurit Blambangan sudah menyerangnya lagi dengan senjata mereka.
Tejakasmala terkejut dan marah bukan main. Dia tidak mengenal nenek itu, akan tetapi dari tangkisan tongkatnya tadi dia maklum bahwa nenek itu seorang yang sakti mandraguna.
"Nenek keparat. Berani engkau menghalangi aku? Ketahuilah, nenek yang bosan hidup! Aku adalah Tejakasmala, murid utama Sang Bhagawan Ekabrata dari gunung Agung di Bali Dwipa! Siapakah engkau yang berani mencampuri urusanku?"
"Heh-heh-heh!" Nenek itu terkekekh dan Tejakasmala dapat merasakan bahwa dalam suara tawa itu terkandung tenaga sakti yang kuat sehingga dia merasa jantungnya tergetar.
"Engkau hendak membunuh muridku, apakah aku harus tinggal diam saja? Sekarang engkau akan mampus di tangan Nini Kuntigarba!"
Nenek itu adalah nini Kuntigarba, guru Ken darmini yang kini menjadi Joko Darmono. nini Kuntigarba adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun yang tinggal mengasingkan diri sebagai pertapa di Gunung Betiri. Ia terkenal sebagai seorang tokoh aneh, seorang datuk wanita yang amat dirakuti orang karena selain sakti mandraguna, nenek ini pun dapat berbuat kejam sekali terhadap orang yang bermusuhan dengannya.
Nini kuntigarba menemukan Ken Darmini ketika muridnya itu masih kecil, berusia lima tahun dan ditinggal mati ayah ibunya. anak yatim piatu dan hidup sebatang kara ini lalu dipeliharanya dan dijadikan muridnya, akan tetapi sudah dianggap dan disayang sebagai anak sendiri. Sejak kecil, ken Darmini digembleng sehingga kini seluruh ilmunya telah diajarkan kepada murid tunggal itu.
Ketika menerima undangan dari Bhagawan Kalasreggi yang menjadi pembantu utama Sang Adipati Santa Guna Alit di Blambangan, Nini Kuntigarba mengirim Ken Darmini sebagai wakilnya. Ia menyetujui penolakan muridnya untuk membantu Blambangan dan setelah mendengar pelaporan Ken Darmini tentang pertemuan di Blambangan itu, ia mengijinkan muridnya pergi merantau meluaskan pengalaman dengan menyamar sebagai seorang laki-laki.
Kemudian ia mendengar berita tentang perekutuan Blambangan yang hendak memaksakan kehendak mereka kepada para perkumpulan, perguruan, dan para tokoh untuk membantu Blambangan dan siapa yang tidak mau membantu akan dianggap sebagai musuh Blambangan. Mendengar ini, hati Nini Kuntigarba merasa tidak enak. Ia sudah mendengar dari muridnya bahwa Ratna Manohara sebagai wakil perguruan Driya Pawitra juga menolak untuk membantu Blambangan.
Maka timbul niatnya untuk mengunjungi Peguruan Driya Pawitra dan merundingkan masalah ini. Ia sudah mengenal baik Ki Sarwaguna Ketua Driya Pawitra. Demikianlah, ketika tiba di situ, kebetulan sekali di depan perkampungan Driya Pawitra sedang terjadi pertempuran antara pasukan Blambangan melawan para murid Driya Pawitra. Tadinya ia masih merasa ragu untuk mencampuri pertempuran itu. Akan tetapi tiba-tiba ia melihat Ken Darmini yang menyamar pria ikut bertempur dan sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang tangguh sekali.
Melihat muridnya roboh dan terancam bahaya maut, ia segera turun tangan dan berhasil menyelamatkan muridnya dari pukulan maut Tejakasmala. Tejakasmala terkejut mendengar Nenek itu menyebut namanya. Ketika masih di Bali dia sudah mendengar nama besar datuk wanita ini karena ketika mudanya, Nini Kuntigarba sudah membuat nama besar sampai ke Bali di mana ia sering datang dalam perantauannya.
Mengetahui bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk wanita yang sakti, Tejakasmala tidak membuang banyak waktu lagi. Dia mengumpulkan seluruh tenaga saktinya, mengerahkan Aji Condromowo, yaitu ilmu pukulan yang merupakan aji pamungkasnya. Kedua tangannya sampai ke siku berubah merah seperti membara dan mengepulkan uap, lalu dia menerjang maju dan menyerang dengan mendorongkan kedua tangan yang dipenuhi hawa panas itu ke arah Nini Kuntigarba.
Nenek itu pun mengenal pukulan ampuh dan berbahaya, maka ia pun menancapkan tongkat hitamnya di atas tanah lalu menekuk kedua lututnya dan menyambut pukulan itu dengan kedua tangan pula sambil melompat ke depan.
"Syuuuuuttt... blaaarrr...!" Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan di sekeliling mereka terasa getaran yang mengguncang kuat sehingga beberapa orang yang sedang bertempur dan berada di dekat situ, terpental! Tubuh Nini Kuntigarba terpental sampai tiga tombak ke belakang dan jatuh terbanting. Sebaliknya, Tejakasmala juga terlempar dan jatuh berguling.
Mendengar keluhan gurunya ketika terlempar tadi, Joko Darmono terkejut. Di menoleh dan melihat betapa gurunya terlempar dan terbanting roboh tidak bergerak lagi, sementara itu Tejakasmala yang juga roboh kini dipapah dua orang perajurit menjauhi tempat pertempuran. Pada saat itu, empat orang perajurit Blambangan datang menyerang.
Saking marah dan sedihnya melihat gurunya roboh, Joko Darmono mengamuk dengan sabuk merah dan kerisnya dan serangannya sedemikian dahsyatnya sehingga empat orang perajurit itu roboh. Joko Darmono cepat melompat ke dekat tubuh Nini Kuntigarba, memondong tubuh yang lunglai itu dan meloncat pergi dari situ.
Satyabrata semakin payah. Dia sudah lelah sekali sedangkan lawannya masih segar bugar. Tiba-tiba dia melompat ke belakang, mencabut pistolnya dan menembak dua kali ke arah Bagus Sajiwo. "Dar-darrr...!" Tampak kilatan api dan dua orang perajurit Blambangan yang kebetulan bertempur di belakang Bagus Sajiwo, terjengkang roboh dan tewas seketka disambar peluru pistol.
Bagus Sajiwo cepat melempar diri ke samping sehingga tidak terkena tembakan, dan sambil bergulingan dia menyambar sebatang golok yang tercecer di atas tanah dan menyambitkan golok itu ke arah Satyabrata.
Satyabrata sama sekali tidak menyangka diserang seperti itu. Tadi dia yakin bahwa Bagus Sajiwo pasti akan roboh tewas oleh tembakannya. Akan tetapi dia melihat malah dua orang perajurit Blambangan yang roboh dan Bagus Sajiwo lenyap. Tiba-tiba ada sinar menyambar dari bawah ke arah perutnya. Dia cepat menangkis dengan tangan yang memegang pistol.
"Plakk!" Golok itu terpukul runtuh, akan tetapi punggung tangan Satyabrata berdarah. Punggung tangan itu terluka oleh golok yang disambitkan dengan pengerahan tenaga sakti oleh Bagus Sajiwo tadi. Satyabrata menjadi semakin gentar. Sungguh sakti mandraguna lawannya itu dan kini Bagus Sajiwo malah tidak tampak. Meremang bulu tengkuknya. Bahkan pistol peluru emasnya juga tidak dapat merobohkan Bagus Sajiwo.
Ketika dia melihat ke kanan kiri, dia melihat betapa pasukan Blambangan juga sudah terdesak hebat. Bhagawan Sarwatama yang melawan Ratna Manohara juga tampak kewalahan, demikian pula Kaladhama yang melawan Ki Sarwaguna, apalagi Kalajana yang dikeroyok dua orang lawannya yang melihat warna kulit dan matanya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Cina. Dia maklum bahwa kalau dilanjutkan pihaknya tentu akan menderita rugi besar. Maka Satyabrata lalu melompat ke belakang, berseru nyaring.
"Kawan-kawan, kita mundur dulu!" Setelah berkata demikian, dia menggunakan Aji Tunggang Maruto, tubuhnya berkelebat lenyap saking cepatnya dia bergerak.
Dwi Kala dan Bhagawan Sarwatama juga melihat betapa pihak mereka akan kalah, maka mendengar ini, mereka juga berlompatan pergi. Dwi Kala memberi aba-aba kepada anak buah mereka untuk melarikan diri. Bhagawan Sarwatama merasa menyesal sekali bahwa Driya Pawitra tetap tidak dapat diajak bekerja sama dan diam-diam dia mengkhawatirkan nasib perguruan itu. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali ikut melarikan diri bersama sisa pasukan Blambangan.
"Jangan dikejar!" seru Ki Sarwaguna yang maklum bahwa mengejar pasukan yang melarikan diri berarti bunuh diri karena di sana tentu terdapat pasukan Blambangan yang lebih besar lagi jumlahnya.
Sementara itu, Ratna Manohara yang tadi melihat pemuda yang datang membantu pihaknya, melarikan diri sambil memondong tubuh nenek yang roboh, setelah diringgalkan lawannya, ia cepat melakukan pengejaran ke arah mana Joko Darmono tadi melrikan diri.
Joko Darmono memondong tubuh Nini Kuntigarba dan berlari cepat memasuki sebuah hutan yang berada di sebelah utara teluk. Setelah tiba di dalam hutan dan melihat keadaan di situ sunyi, barulah ia berhenti dan dengan hati-hati menurunkan tubuh gurunya dan merebahkannya di atas rumput tebal. Nini Kuntigarba mengeluh lirih dan napasnya terengah.
"Ibu, bagaimana keadaanmu?" Joko Darmono bertanya sambil memeriksa keadaan gurunya, merasakan denyut jantungnya, meraba dadanya.
Nenek itu membuka matanya dan mengerutkan alisnya. Napasnya sesak terengah-engah, tubuhnya erasa panas sekali. "Niken... aku terluka... parah... lawan tadi kuat... sekali... ahhh..."
"Keparat jahanam Si Tejakasmala! Aku akan membunuhnya untuk membalas perbuatannya ini!" seru Joko Darmono dengan marah.
"Niken... hati-hatilah... dia itu tangguh sekali... Blambangan mempunyai banyak... orang sakti... jangan bertindak sendiri... bergabunglah dengan Driya Pawitra... kalau perlu dengan para satria Mataram... aaahhhh...!" Nenek itu merintih dan menggunakan kedua tangan menekan dadanya.
"Ibu! Bagaimana rasanya? Aku akan mencarikan obat untukmu!"
Nini Kuntigarba menggeleng kepala. "percuma... lukaku... tak dapat... disembuhkan... aaaahhhh... Niken, jaga dirimu baik-baik..." Kepala itu terkulai lemas.
"Ibu...! Ibuuu...!" Joko Darmono menubruk dan mengguncang tubuh Nenek itu,namun Nini Kuntigarba telah mati. Joko Darmono atau Niken Darmini menangisi jenazah gurunya. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil dirawat dan dididik Nini Kuntigarba, dianggap seperti anak sendiri maka ia menyebut ibu kepada gurunya. Karena dididik seorang datuk yang berwatak keras dan kejam, Niken Darmini sebetulnya juga berhati keras membaja karena didikan gurunya dan hampir ia tidak pernah menangis.
Akan tetapi saat itu, ia benar-benar merasa berduka. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, yang menyayang dan disayangnya, tewas meninggalkan ia seorang diri di dunia. Ia amat menyayang gurunya yang dianggap sebagai pengganti orang tuanya. Sebetulnya, Nini Kuntigarba bukan seorang datuk sesat yang jahat, hanya ia memiliki watak yang amat keras dan ia dapat bertindak kejam terhadap mereka yang berani memusuhinya. Bahkan terkadang nenek itu juga bersikap membela keadilan dan berani menentang siapa saja yang dianggapnya tidak adil.
Baik atau jahatnya seseorang hanya sebutan menurut pendapat orang lain dan setiap pendapat orang selalu ditentukan oleh penilaiannya. Dan yang menjadi dasar dari setiap penilaian adalah kepentingan sipenilai, kepentingan si AKU. Kalau kita merasa dirugikan oleh seseorang, maka kita anggap orang itu jahat! Sebaliknya kalau kita merasa diuntungkan oleh seseorang, maka kita menganggap orang itu baik!
Maka jelaslah bahwa pendapat yang berdasarkan penilaian itu hanya merupakan kebenaran semu. Yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu baik bagi orang lain dan demikian sebaliknya. Yang dinilai baik atau jahat itu belum tentu benar. Andaikata semua orang di dunia menganggap seseorang itu jahat sekali, akan tetapi kalau orang itu bersikap baik dan menguntungkan kita, bagaimana mungkin kita menganggapnya jahat?
Sebaliknya, andaikata semua orang di dunia menganggap seseorang itu baik sekali, akan tetapi kalau orang itu bersikap jahat dan merugikan kita, tidak mungkin kita menganggap dia itu orang baik. Jadi pada hakekatnya, yang dinamakan baik itu belum tentu baik dan yang dinamakan jahat itu pun belum tentu jahat!
Oleh karena itu, tepatlah apa yang dikatakan orang bijaksana, bahwa penilaian itu palsu, didasari kepentingan si AKU. Orang bijaksana tidak pernah menilai, melainkan memandang segala sesuatu, baik itu benda, manusia, maupun persoalan, sebagaimana adanya, apa adanya.
Tanpa menilai membuat kita waspada dan dapat melihat dengan jelas, tidak berpihak, tidak menyalahkan atau membenarkan karena pribadinya atau akunya terlibat dan berkepentingan, sehingga tidak terdapat pertentangan, baik dalam batin sendiri maupun terhadap di luar dirinya. Kewaspadaan ini mendatangkan kebijaksanaan, tidak mementingkan diri sendiri lahir batin dan menghasilkan tindakan yang tepat.
"Niken Darmini... !" Niken terkejut dan bangkit berdiri, memutar tubuh dan memandang dengan mata kemerahan dan masih basah air mata. Ia merasa terkejut karena selama ia merantau ini, hanya Sie Tiong seorang yang mengetahui rahasia penyamarannya, mengetahui bahwa ia adalah Niken Darmini, bukan Joko Darmono. Akan tetapi ketika ia memandang kekagetan dan keheranannya menghilang.
"Ah, engkau, ratna...!" katanya dan ia mulai terisak lagi. Ratna Manohara sebetulnya bukanlah sahabat lama Niken Darmini, melainkan kenalan baru saja. Bahkan baru satu kali mereka saling bertemu dan saling berkenalan, yaitu ketika kedua orang gadis ini hadir dalam pertemuan yang diadakan Adipati Blambangan. Niken Darmini mewakli Nini Kuntigarba, sedangkan Ratna Manohara mewakili Perguruan Driya Pawitra.
Mereka saling bertemu dan berkenalan di tempat pertemuan itu dan memiliki pendirian yang sama, yaitu menolak ajakan kerjasama dengan Blambangan untuk memusuhi Mataram. Bahkan mereka juga meninggalkan tempat pertemuan itu bersama dan perkenalan singkat itu terasa akrab bagi mereka yang saling menyukai. Ratna menghampiri dan menyentuh pundak sahabta barunya itu.
"Niken, ini... Gurumu?"
Niken Darmini mengangguk sambil memandang jenazah gurunya, lalu ia menjatuhkan dirinya berlutut dekat jenazah itu. Ratna Manohara juga berlutut di sebelahnya. "Ia Guruku dan... pengganti orang tuaku..."
"Mengapa Gurumu meninggal, Niken? Aku tadi tidak melihat jelas apa yang terjadi, hanya melihat engkau memondongnya dan melarikan diri maka aku mengejarmu."
Ditanya begitu, Niken Darmini melupakan kesedihannya karena teringat akan musuh yang membunuh gurunya ia dikuasai kemarahan dan dendam. "Si keparat Tejakasmala! Dia yang membunuh, aku pasti akan membalas dendam ini!" Niken Darmini berdiri, mengepal tinju dan matanya mencorong penuh kemarahan.
Ratna Manohara merangkul pundak sahabat barunya itu. "Tenanglah, Niken. Tejakasmala itu sakti mandraguna, bukan lawan yang mudah dikalahkan..."
"Aku tidak takut!" Niken Darmini memotong ketus.
"Aku tahu, Niken. Engkau pasti tidak takut. akan tetapi kalau hanya menuruti dendam kemarahan kemudian usaha balas dendam itu gagal, bukankah hal itu akan merugikan kita sendiri? Tenanglah dan percayalah, aku akan membantumu menghadapi Tejakasmala itu. Dia pun bukan sendirian, banyak kawannya yang terdiri dari orang-orang sakti. Kita perlu bantuan dan sebaiknya kalau kita bergabung dengan para sahabat yang dimusuhi Blambangan. Kita harus bersatu agar kuat."
Niken Darmini dapat menerima kebenaran dalam ucapan sahabatnya itu. Ia menghapus air matanya dan berkata. "Engkau benar, Ratna. Ibu guru juga tadi meninggalkan pesan seperti yang kau maksudkan itu. Aku harus bergabung dengan yang lain untuk menghadapi Blambangan kalau aku ingin membalas dendam kepada Tejakasmala."
"Nah, kalau begitu, mari kita bawa jenazah Gurumu ke perkampungan Driya Pawitra. Kami tadi dibantu tamu-tamu kami yang sakti, terutama Bagus Sajiwo..."
Tiba-tiba Niken Darmini memegang lengan Ratna kuat-kuat sehingga gadis itu terkejut.
"Ada apakah, Niken?" tanyanya sambil menatap wajah sahabatnya.
"Ratna, aku mohon padamu, rahasiakan penyamaranku ini. Jangan ada yang mengetahui bahwa aku adalah Niken Darmini. Terutama sekali Bagus Sajiwo!"
Ratna Manohara melebarkan kedua matanya. "Eh? Engkau sudah mengenal Bagus Sajiwo, Niken?"
"Mengenalnya? Ah, aku sudah melakukan perjalanan bersama dia selama puluhan hari, mengalami banyak peristiwa dan perkelahian bersamanya dan selama ini bagi dia aku adalah seorang laki-laki! Jangan kau buka rahasia ini, Ratna!"
"Ohh... ketika Bagus Sajiwo menceritakan pengalamannya kepada Ayahku, dia bilang bahwa perahunya pecah dan dia berpisah dari kawan-kawannya, dan dia juga menyebut sebuah nama... hemm, kalau tidak salah... Joko Darmono..."
"Itulah aku! Ratna, aku minta padamu, aku mohon, jangan sampai Bagus Sajiwo mengetahui bahwa aku adalah seorang wanita!"
Niken Darmini atau Joko Darmono kini sibuk membereskan pakaian penyamarannya dan Ratna memandang sambil tersenyum. Agaknya ia dapat menduga apa yang bergejolak dalam hati sahabat barunya itu. Ratna mengangguk-angguk.
"Baiklah, aku akan menjaga rahasia penyamaranmu itu dari siapa pun juga, terutama dari Bagus Sajiwo, Niken."
"Husshh...! Namaku Joko Darmono, Ratna. Belum apa-apa engkau sudah lupa lagi. Sebut aku Joko, begitu!"
"Baiklah, Joko. Mari, kita angkat jenazah Gurumu dan membawanya ke perkampungan kami untuk dirawat pemakamannya dengan baik."
Pada saat itu, terdengar suara banyak orang dan keika mereka memandang, ternyata rombongan yang datang berlarian adalah Ki Sarwaguna, Bagus Sajiwo, Tan Swi Hong, dan Sie Tiong.
"Joko... !" Bagus Sajiwo berseru girang ketika dia melihat Joko Darmono.
"Bagus!" Joko Darmono juga berseru. Mereka saling menghampiri dan dengan girang Bagus Sajiwo memegang lengan sahabatnya itu.
"Joko, aku sungguh girang sekali aku melihat engkau selamat dari gelombang lautan yang dahsyat itu!"
"Aku juga girang melihat engkau selamat, Bagus." kata Joko Darmono dan suaranya gemetar karena keharuan hatinya.
Kebahagiaan hatinya bertemu dengan Bagus Sajiwo membuat ia melupakan kedukaan karena kematian gurunya. Akan tetapi bekas tangisnya masih tampak pada matanya yang kemerahan dan agak membengkak.
"Joko, engkau kenapa? Engkau... engkau menangis?" tanya Bagus Sajiwo.
Mendengar petanyaan ini, Joko Darmono merasa lehernya seperti dicekik. Teringat lagi dia akan kematian gurunya. Dia membalikkan tubuh dan lari menghampiri lalu berlutut di dekat jenazah gurunya. Ratna Manohara lalu menerangkan kepada Bagus Sajiwo.
"Joko Darmono menangisi kematian gurunya."
Mendengar ini, Bagus Sajiwo dan Ki Sarwaguna cepat menghampiri Joko Darmono yang masih berlutut akan tetapi kini dia menahan diri agar tidak menangis lagi.
"Joko, aku ikut berbelasungkawa atas kematian Gurumu." kata Bagus Sajiwo sambil berjongkok dekat sahabatnya itu. "Joko, kematian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, merupakan kelanjutan dari kehidupan dan akan dialami oleh semua orang, tak terkecuali. Karena itu, kuatkan hatimu dan terimalah kematian Gurumu sebagai suatu hal yang wajar saja karena kematian setiap orang sudah dikehendaki Gusti Allah."
Seperti biasa, biarpun Joko Darmono memiliki watak yang liar dan keras, namun ucapan Bagus Sajiwo dapat menembus kekerasan hatinya dan dapat dia lihat kebenarannya. Akan tetapi mengingat akan kematian gurunya di tangan Tejakasmala, dia berkata dengan suara mengandung penasaran.
"Akan tetapi, Bagus. Kematian Guruku disebabkan oleh tangan Tejakasmala yang menyerangnya ketika Guruku datang dan menyelamatkan aku dari ancaman maut di tangan si jahanam Tejakasmala!"
"Joko, segala kejadian sudah tentu ada penyebabnya. Kematian pun tentu ada penyebabnya, ini merupakan hukum sebab akibat. Akan tetapi hanya kekuasaan Gusti Allah sajalah yang mengatur semua itu. Segala sesuatu, termasuk nyawa kita, adalah milik Gusti Allah, demikian pula kehidupan atau nyawa Gurumu. Kalau sang Maha Pemilik menghendaki agar milikNya kembali kepadaNya, siapakah yang dapat menghalangi? Sadarlah, Joko, dan terimalah segala hal yang menimpa dirimu dengan keikhlasan karena semua itu sudah dikehendaki dan diatur oleh kekuasaan Gusti Allah."
Joko Darmono menghela napas panjang dan menundukkan mukanya, mengusap wajah jenazah Nini Kuntigarba dengan lembut. "Engkau benar, Bagus." katanya lirih.
"Aah, semua ini karena kesalahanku," kata Ki Sarwaguna. "Nini Kuntigarba, sudah lama aku mengenalmu dan diantara kita tidak pernah ada urusan atau hubungan apa pun. Akan tetapi tidak kusangka bahwa hari ini engkau tewas karena membantu kami menghadapi kesesatan orang-orang Blambangan. Terima kasih, Nini Kuntigarba, dan maafkanlah aku."
"Sudahlah, Kanjeng Rama. Tidak perlu kiranya kita mencari kesalahan. Lebih baik kita segera mengurus jenazah guru Joko Darmono. Kasihan kalau dibiarkan telentang di sini terlalu lama." kata Ratna Manohara dan ia lalu memegang lengan Joko Darmono. "Joko, mari kita angkat jenazah Gurumu."
Joko Darmono bangkit berdiri, kemudian dia memondong jenazah gurunya, dibantu oleh Ratna Manohara. Diam-diam Bagus Sajiwo merasa heran melihat keakraban Joko Darmono dengan gadis jelita puteri Ketua Driya Pawitra itu. Mereka lalu kembali ke perkampungan Driya Pawitra.
Setelah diadakan penelitian, ternyata Perguruan Driya Pawitra kehilangan tujuh orang murid pria dan dua orang murid wanita yang tewas, sedangkan sebelas orang murid menderita luka-luka dalam pertempuran itu. Di pihak pasukan Blambangan, mereka membawa teman-teman yang terluka dan meninggalkan dua puluh satu orang perajurit yang tewas. Semua jenazah itu, baik jenazah para murid Driya Pawitra maupun jenazah para perajurit Blambangan mendapat perlakuan yang sama, yaitu dikubur dengan pantas. Sikap ini saja membuktikan bahwa Ki Sarwaguna memiliki budi yang baik.
Jenazah Nini Kuntigarba dimakamkan dengan upacara kehormatan sebagai layaknya orang yang terpandang dan dihormati sehingga Joko Darmono merasa berterima kasih sekali. Bukan hanya Bagus Sajiwo dan Joko Darmono yang merasa berbahagia sekali melihat betapa masing-masing telah selamat keluar dari gulungan ombak samudera yang dahsyat itu.
Dapat selamat terlepas dari cengkeraman maut di tengah gelombang yang tidak mungkin dilawan tenaga manusia betapapun saktinya dia, merupakan sebuah mujizat yang hanya dapat dilaksanakan oleh kekuasaan Gusti Allah.
Selain mereka berdua, yang lebih merasa berbahagia lagi adalah Tan Swi Hong dan Sie Tiong. Sepasang kekasih ini tentu saja berbahagia sekali dapat bertemu dan berkumpul kembali dengan tunangan mereka. Sungguhpun kebahagiaan mereka itu diwarnai kedukaan karena kematian Tan Beng Ki ayah Swi Hong, namun hati Swi Hong terhibur mendengar bahwa jenazah ayahnya telah ditemukan dan dikubur sebagaimana mestinya oleh Sie Tiong.
Ketika mendapat kesempatan bicara berdua saja sesudah pemakaman jenazah Nini Kuntigarba selesai, Sie Tiong dan Swi Hong berada dalam taman bunga di samping rumah Ki Sarwaguna. Yang lain-lain memang sengaja memberi kesempatan kepada dua sejoli ini untuk bicara berdua.
"Hong-moi, sungguh aku merasa berbahagia sekali dapat bertemu dan berkumpul kembali denganmu, akan tetapi sungguh aku amat bersedih kalau teringat akan Ayahmu."
Gadis itu menhela napas panjang. "Ayah tewas terkena tembakan senjata api yang dilepas orang-orang Blambangan dan baru saja kita juga terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang Blambangan. Aku akan membalas kematian Ayah dengan membantu pihak yang bermusuhan dengan Blambangan."
"Hong-moi, apakah tidak lebih baik kalau kita pulang ke Tuban? Di sana kita dibutuhkan untuk melanjutkan pekerjaan mendiang Ayahmu. Pertikaian yang terjadi di sini adalah antara golongan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita."
"Akan tetapi apakah kematian Ayah di tangan mereka itu akan kudiamkan saja? Tidak, Tiong-ko, aku harus membalaskan dendam karena Ayah terbunuh kepada para pembunuhnya!"
Pada saat itu, seorang murid Driya Pawitra datang memberitahu bahwa mereka berdua diundang ke dalam rumah induk di mana diadakan rapat pertemuan. Sie Tiong dan Tan Swi Hong lalu meninggalkan taman menuju ke rumah Ki Sarwaguna...