Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Kemelut Blambangan
Jilid 21
"KAMI akan bercerita bahwa kami dihadang bajak laut..."
"Terserah kalian, aku tidak akan mencampuri lagi."
"Bapak benar-benar tidak akan bercerita akan niat buruk kami tadi? Bapak... benar-benar melupakannya dan memaafkan kami?"
"Sudahlah, Tuhan mengampuni segala kesalahan manusia asalkan manusia percaya dan bertaubat. Tuhan memberkati kalian!"
Pendeta itu mengangkat tangan ke atas memberkati dan tiga orang itu dengan terhuyung-huyung kembali ke perahu, lalu mendayung perahu menuju kapal. Maya Dewi melihat itu semua dan tentu saja ia tidak mengerti percakapan mereka tadi. Ia masih terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang tadi nyaris dibunuh dengan kejam, sekarang malah berbalik merawat pembunuh itu dengan sikap demikian lembut penuh kasih sayang? Biarpun ia tidak mengerti percakapan mereka, namun dari suara dan sikap wajahnya ia dapat melihat bahwa orang yang tadi nyaris dibunuh itu sama sekali tidak marah, apalai sakit hati atau membenci!
Setelah perhu kecil itu menjauh, pria Belanda itu menoleh dan menghadapi Maya Dewi. Dia memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan depan dada.
"Nona, puji Tuhan bahwa engkau tadi tidak jadi membunuh mereka! baik sekali bahwa Nona telah dapat memaafkan mereka." kata orang itu sambil tersenyum lembut.
Maya Dewi semakin heran. Ia dulu pernah bertemu banyak perwira Kumpeni Belanda yang mampu berbahasa pribumi semahir ini. Hampir tidak kentara lidah asingnya.
"Saya memaafkan mereka? Tuan, saya tidak mempunyai urusan apa pun dengan mereka. Sebaliknya engkaulah yang tadi nyaris dibunuh! Saya masih merasa heran dan tidak mengerti, mengapa engkau yang tadi akan dibunuh secara kejam, berbalik bersikap baik dan merawat mereka? Apa yang telah terjadi? Mengapa mereka hendak membunuhmu dan siapa engkau ini?"
Orang itu tersenyum mendenar pertanyaan yang bertubi-tubi itu. "Nona, sebaiknya kita bicara di tempat lain saja. Kalau mereka datang bersama banyak kawan mereka dan mendapatkan Nona masih berada di sini, akan berbahaya sekali bagimu."
"Saya tidak takut, Tuan!"
"Bukan soal takut atau tidak, Nona. Akan tetapi mengapa menentang bahaya dan menghadapi perkelahian bunuh membunuh kalau hal itu dapat dihindari? Marilah, Nona, kita menyingkir dan nanti akan saya ceritakan semua kepadamu."
Maya Dewi menurut dan mengikuti pria Belanda itu menjauhi pantai, mendaki sebuah bukit karang. setelah agak menjauh, dia mengajak Maya Dewi duduk di atas batu, berhadapan.
"Nona, kasih karunia Tuhan telah menyelamatkan saya dari maut melaluimu. Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Kasih, dan terima kasih kepadamu, Nona. Sebelum saya bercerita, bolehkah kita berkenalan? Nama saya David, David Van Huisen."
Dia menjulurkan tangan kepada Maya Dewi. Wanita ini sudah mengetahui kebiasaan untuk berjabat tangan, maka iapun menyambut uluran tangan itu dan mereka berjabatan.
"Nama saya Maya Dewi, Tuan. Mendengar nama Tuan, saya teringat pernah mengenal seorang perwira Kumpeni Belanda yang bernama Kapten Willem Van Huisen, dahulu tinggal di Cirebon"
"Ah, Nona mengenalnya? Kapten Willem Van Huisen adalah Kakak saya, Nona Maya Dewi. saya tahu, Nona tentu seorang di antara para pendekar yang saya dengar banyak terdapat di antara bangsa Pribumi." Dia berhenti sejenak dan menatap tajam wajah Maya Dewi. "Akan tetapi mengapa Nona menolong saya, seorang Belanda? Yang saya tahu, biasanya para pendekar memusuhi orang Belanda"
"Tuan keliru menilai para satria Jawa. Para satria membela bangsa dan negera apabila terjadi perang antar bangsa. Akan tetapi di luar perang, kami membela siapa saja yang lemah tertindas dan menentang siapa saja yang jahat sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan dan kekuatan. Saya tadi melihat tiga orang itu hendak membunuh Tuan secara kejam, maka saya anggap mereka jahat dan saya turun tangan membelamu. Nah, sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi antara Tuan dan mereka?"
"Saya adik kandung kapten Willem Van Huisen, akan tetapi saya bukan anggota pasukan Kumpeni Belanda, Nona. Saya adalah seorang pendeta"
"Seorang pendeta?" Maya Dewi mengamati pakaian orang itu. "Pendeta apa, Tuan David Van Huisen?" Sukar menyebut nama itu selengkapnya.
"Kalau sulit, sebut saja nama saya David, Nona Maya Dewi. Saya adalah pendeta agama Kristen."
"Ah, pendeta yang memimpin orang-orang Belanda bernyanyi dalam kuil atau masjid...? Saya pernah melihatnya di Batavia"
"Bukan, Nona. Kuil itu tempat orang beragama Hindu, dan Masjid tempat sembahyang orang beragama Islam. Rumah kebaktian orang Kristen disebut Gereja. Bukan hanya bernyanyi memuji Nama Tuhan dan berdoa, melainkan juga mendengarkan firman Tuhan yang dikotbahkan para pendeta. Pendeknya, tempat beribadat, Nona."
"Hemm, begitukah? Lalu, apa hubunganmu dengan orang-orang tadi, Tuan?"
Dengan sikap ramah dan lembut, suaranya halus penuh kesabaran, pendeta David Van Huisen lalu bercerita, didengarkan penuh perhatian oleh Maya Dewi yang merasa tertarik sekali karena apa yang didengarnya itu sama sekali diluar persangkaannya. Sejak muda, David Van Huisen telah menjadi seorang Penyebar Injil atau yang umumnya disebut Pendeta Kristen. Dia bertugas menyampaikan berita keselamatan Injil sampai ke daerah-daerah terpencil, bahkan seringkali memasuki daerah-daerah di mana peradaban manusia masih amat terbelakang.
Sudah seringkali dia menghadapi ancaman maut yang mengerikan, namun berkat imannya yang teguh dan penyerahan dirinya yang total terhadap tugas sebagai seorang hamba Allah yang taat, dia selalu dapat terhindar dari marabahaya. Dia adalah seorang pendeta yang benar-benar menghayati tugas sucinya, maka melihat banyak kenyataan timpang dilakukan oleh pemerintah bangsanya, dia sering kali memprotes dan menentang kebijaksanaan Kumpeni Belanda sehingga dia dianggap sebagai seorang pemberontak oleh pemerintah!
Dia tidak setuju terhadap politik V.O.C bentukan Kerajaan Belanda yang berambisi mencaplok Pulau Jawa dengan berbagai cara yang licik. Bukan saja Belanda menggunakan kakuatan pasukan bersenjata api untuk memaksakan ambisinya, juga Belanda menggunakan perdagangan, bahkan membius rakyat jelata dengan candu. Yang lebih dari itu, David Van Huisen marah sekali melihat betapa Belanda mempergunakan agama sebagai siasat politiknya untuk menundukkan dan melemahkan semangat perlawanan rakyat Jawa.
Agama Kristen adalah agama yang berintikan Kasih, dan para pendeta yang diperalat politik Belanda menanamkan sikap sabar mengalah dan tidak menggunakan kekerasan kepada rakyat, sehingga melemahkan semangat聽mempertahankan tanah air yang akan dikuasai Belanda! Sikapnya ini membuat dia dibenci, bukan hanya oleh para pembesar Kumpeni, bahkan juga oleh banyak pendeta Kristen yang diperalat politik Belanda. David Van Huisen bahkan bertentangan dengan kakaknya, Willem Van Huisen yang menjadi Kapten pasukan Kumpeni Belanda.
Dia berjuang sendiri tanpa teman. Dia menyebarkan berita keselamatan yang suci tanpa pamrih, baik untuk diri sendiri maupun untuk politik pemerintah bangsanya. Tugasnya yang diemban dan dilaksanakan murni, sesuai dengan yang diperintahkan Tuhan dalam firman-firmanNya, yaitu mengajak menuasia untuk beriman kepada Tuhan, bertaubat dari dosa-dosanya dan mohon pengampunan dari Tuhan, kemudian melaksanakan semua kebajikan seperti yang diajarkannya sesuai dengan petunjuk firman dalam Kitab Injil dari agamanya.
"Demikianlah, Nona Maya. saya dikucilkan, bahkan dimusihi. Beberapa hari yang lalu, saya menumpang sebuah kapal Kumpeni Belanda yang berlayar dari Batavia menuju Blambangan. Saya tahu bahwa Kumpeni kembali melakukan siasat licik mengadu domba, membantu Blambangan yang hendak memberontak terhadap Mataram. Saya tidak mencampuri dan saya hanya ingin melaksanakan tugas saya, menyampaikan berita keselamatan di antara mereka yang tinggal di dusun-dusun pasisiran selatan yang masih menyembah berhala, menyembah kuburan, pohon-pohon besar, batu-batu dan gua-gua. Ketika berada di atas kapal, saya melihat dua orang Pribumi menjadi tawanan Kumpeni. Mereka adalah orang-orang yang membela Mataram dan mungkin menjadi mata-mata Mataram untuk menyelidiki hubungan antara Kumpeni dan Blambangan. Mereka tertangkap dan terancam keselamatan mereka. Saya tidak suka melihat kejadian ini dan diam-diam saya melepaskan mereka malam tadi dan mereka melompat ke laut melarikan diri. Akan tetapi perbuatanku itu ketahuan oleh Pendeta Johan yang menganggap saya sebagai saingannya."
"Saingan? Dan dia juga Pendeta Kristen?" Pendeta David menghela napas panjang. "Semoga Tuhan mengampuni kita semua! Karena sikap saya yang tidak menyetujui agama dipergunakan untuk kepentingan politik membuat saya dianggap saingan dan dimusuhi sebagian para pendeta, termasuk pendeta Johan, walaupun banyak pula yang diam-diam menyetujui pendapat saya. Nah, kiranya perbuatanku membebaskan tawanan dua orang Pribumi itulah yang mengakibatkan usaha pembunuhan atas diri saya tadi."
"Akan tetapi, mengapa begitu, Tuan? Dan mengapa kalau mereka hendak membunuhmu, dibawa dulu ke pantai?"
"Bukan begitu, Nona. Saya memang harus mendarat dan saya turun dari kapal, menggunakan perahu tadi diantar seorang perwira dan dua orang perajurit yang mendayung perahu. Baru setelah dekat pantai perwira itu memberitahu bahwa saya akan dia bunuh memenuhi perintah Pendeta Johan."
"Ah, betapa jahatnya...!"
Pendeta David menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. "Tidak, Nona. Dia tidak menganggap perbuatannya itu jahat. Dia menganggap itu merupakan tugasnya demi kepentingan Kerajaan Belanda karena dia menganggap saya seorang pengkhianat yang harus dibunuh. Tentu saja perbuatannya itu melanggar hukum dan kalau saya laporkan kepada atasan, dia dan tiga orang tadi akan mendapat hukuman berat. Akan tetapi saya tidak akan melaporkan mereka, nona Maya. Tidak, saya hanya berdoa semoga Tuhan mengampuni mereka"
Hening sejenak, Maya Dewi termenung. Dahulu, ketika ia masih menjalani kehidupan sesat, ia menganggap bangsa Belanda amat baik, manis budi dan royal dalam memberi hadiah. Kemudian ia mulai melihat kepalsuan Belanda ketika mayor Yakues hendak memaksa ia menjadi isterinya. Setelah ia mengembalikan dinar emas tanda sebagai mata-mata Kumpeni dan ia meninggalkan Batavia, ia mulai menyesal akan semua kesesatannya yang tidak mendatangkan kebahagiaan melainkan lebih banyak mendatangkan kekecewaan dan kedukaan dalam hatinya.
Kemudian ia bertemu Bagus Sajiwo dan hidupnya mengalami perubahan total seperti sekarang ini, Ia terbimbing dan mengenal Gusti Allah, sadar betul akan baik atau buruk sehingga kini ia menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda daripada dahulu, seperti bumi dan langit. Barulah terbuka kesadarannya bahwa Kumpeni Belanda itu jahat dan licik, pandai membujuk dan mempergunakan orang-orang Pribumi untuk memusuhi bangsa dan menjual tanah air sendiri. Ia menganggap bahwa semua orang Belanda jahat belaka. Akan tetapi sekarang, ia bertemu seorang Belanda yang mengaku sebagai pendeta dan yang memiliki watak dan budi amat halus, mengingatkan ia kepada watak dan budi Bagus Sajiwo!
Mendengar akan perasaan benci licik dan kejam dari pendeta Johan dan para opsir Belanda bukan hal yang aneh bagi Maya Dewi, akan tetapi melihat sikap Pendeta David yang begitu sabar dan lembut, hal ini sungguh di luar dugaannya.
"Tuan David, selama ini saya bertemu dengan banyak orang Kumpeni Belanda dan saya anggap mereka itu licik dan jahat! Mereka ingin mengadu domba antara penguasa-penguasa daerah dengan Kerajaan Mataram agar rakyat Pribumi menjadi lemah. Mereka ingin menguasai tanah air kami. Akan tetapi sikap Tuan berbeda dengan mereka."
"Nona Maya Dewi. Yang jahat itu adalah politik Kerajaan Belanda. Politik itu memang kotor dan orang-orang Belanda yang mejadi alat pemerintah Belanda hanya melaksanakan tugas mereka masing-masing. Saya pribadi menentang politik seperti itu karena berlawanan dengan agama saya. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa bangsa Belanda itu jahat semua. Seperti juga terdapat dalam bangsa apapun di dunia ini, manusia dari bangsa itu tentu ada yang baik dan ada yang jahat. Tidak adil kalau melihat beberapa orang berwatak jahat lalu kita menganggap bahwa bangsa orang itu jahat, atau melihat beberapa orang berwatak baik lalu menganggap bahwa bangsa orang itu baik! Saya yakin bahwa bangsa Belanda juga demikian, di antara orang-orangnya banyak yang baik, akan tetapi banyak pula yang jahat. Dan saya kira semua bangsa di dunia ini pun demikian keadaannya. Karena itulah maka saya menghambakan diri kepada Tuhan untuk menyampaikan berita keselamatan bagi manusia berdosa."
Maya Dewi mengangguk-angguk. Setelah bergaul dekat dengan Bagus Sajiwo ia dapat mengerti apa yang tersirat dalam semua ucapan pendeta itu.
"Tuan, saya masih merasa heran melihat sikap Tuan tadi. Mereka itu nyaris membunuhmu, akan tetapi mengapa engkau sebaliknya malah merawat luka mereka dan bersikap ramah dan baik terhadap mereka yang bertindak jahat terhadapmu?"
"Nona Maya, inti agama saya adalah Kasih, bukan hanya Kasih terhadap sesama kita yang baik saja, bahkan Kasih terhadap mereka yang memusuhi kita. Seluruh hidup saya telah saya serahkan kepada Tuhan. Roh Kudus, Roh Tuhan sendiri membimbing saya, sehingga saya mengasihi siapa saja, termasuk tiga orang tadi. Kasih ini hidup, Nona Maya, tak pernah mati, dan tidak direncanakan, tidak dibuat oleh hati akal pikiran."
"Jadi Tuan tidak membenci mereka, tidak menaruh dendam?"
"Dendam kebencian itu, nafsu keAKUan yang datang dari setan. Kalau ada Roh Kudus dari Tuhan dalam hati, maka kebencian tidak akan dapat mempengaruhi kita."
"Tidak ada manusia sempurna, semua manusia berdosa, termasuk kita, Nona Maya. Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosa kita kalau kita tidak mengampuni kesalahan orang lain kepada kita."
"Wah, kalau begitu tidak ada bedanya pelajaran dalam agama Kristen Tuan dengan agama-agama lain. saya pernah bertemu dan mendengar wejangan dari para pendeta yang beragama Islam, Buddha, Hindu, dan mereka pun mengajarkan kebaikan!"
Pendeta David menangguk-angguk. "Tidak ada Agama yang mengajarkan agar manusia melakukan kejahatan. Agama mengakui adanya Kekuasaan Yang Maha Tinggi, mengakui adanya Tuhan Yang Maha Baik dan percaya bahwa ajaran dalam agama mereka datang dari Tuhan tentu saja juga mengandung pelajaran agar manusia menaati kehendak Tuhan yaitu menuju kebaikan. Puji Tuhan Yang Maha Sempurna dan Maha Kasih!"
"Akan tetapi, saya melihat kenyataan betapa banyak orang beragama melakukan kejahatan yang sebetulnya bertentangan dengan pelajaran agamanya. Iri, dengki, benci, dendam, penindasan, perang, permusuhan, terjadi di mana-mana!"
Pendeta itu tersenyum, "Manusia tidak akan mampu melawan nafsu-nafsunya sendiri, Nona Maya. Setan merupakan penggoda yang amat kuat. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu menolong manusia terbebas dari cengkeraman Kuasa Kegelapan. Seorang pemeluk agama apa pun yang masih melakukan perbuatan menyimpang dari kebenaran, berarti dia belum menghayati pelajaran agamanya. Pelajaran itu hanya merupakan pelajaran belaka, tidak merasuk dalam hati sanubari. Hanya bimbingan Roh Suci dari Tuhan yang akan mempu melepaskan manusia dari pengaruh nafsu setan. Adalah tugas para pemuka agama, para pendeta agama, para pendeta agama masing-masing untuk mengingatkan para umatnya agar menaati pelajaran agama masing-masing yang berasal dari Tuhan."
"Akan tetapi saya mendengar banyak orang beragama saling menyalahkan, saling memburukkan agama lain."
"Itupun hanya ulah manusia, Nona. Agama Kristen melarang kami untuk menghakimi dan menjelek-jelekkan agama lain. Agama adalah Iman. Iman kepercayaan tidak dapat diganggu gugat. Setiap orang berhak untuk mempertahankan kepercayaan masing-masing, namun juga berkewajiban untuk menaati pelajaran agamanya."
"Jadi menurut Tuan, seharusnya bagaimanakah orang beragama itu?" tanya Maya Dewi yang semakin tertarik karena biarpun ucapannya berbeda, namun inti ucapan pendeta ini tidak ada bedanya dengan apa yang sering ia dengar dari Bagus Sajiwo.
"Seharusnya menaati perintah Tuhan yang tersurat dalam kitab agama masing-masing tanpa kecuali, menyerah dengan sepenuh jiwa raga sehingga manusia memperoleh tuntunanNya. Dengan singkat dapat dikatakan : Jadilah umat beragama yang baik, agama apapun juga yang dianutnya."
"Wah, banyak terima kasih, Tuan David. Percakapan ini amat penting dan mengandung banyak manfaat bagi saya." kata Maya Dewi dengan wajah berseri.
"Mari kita berterima kasih kepada Tuhan, Nona Maya, atas kasih karuniaNya yang sudah mempertemukan kita. Dari Dia saja datangnya segala berkat dan bimbingan. Haleluya!"
"Apa artinya itu, Tuan?"
"Berarti Puji Tuhan."
"Saya pernah mendengar seorang sahabat saya mengatakan bahwa untuk mengucapkan puji syukur kepada Tuhan, harus berucap begini : Alhamdulillaahi Robbil 鈥楢alamiin!"
Pendeta David tersenyum mengangguk-angguk. Sebelum ke Jawa, dia sudah lama bertugas di Timur tengah dan dia mengerti arti ucapan dalam bahasa itu.
"Sama saja, Nona Maya. Intinya adalah memuliakan Tuhan, bersyukur atas berkatNya dan beriman kepadaNya. Nah, kiranya cukup Nona. Saya akan melanjutkan perjalanan tugas saya."
"Tuan David, engkau hendak pergi ke mana?"
"Ke mana saja Tuhan membimbing saya, Nona Maya. Saya bertugas untuk menyampaikan Berita Keselamatan agar manusia percaya kepada Tuhan, meninggalkan semua ketahyulan, menjauhkan diri dari Kekuasaan Setan yang mempengaruhi hidupnya, bertaubat dan memperoleh pengampuanNya."
"Engkau tidak takut akan bahaya yang mungkin menimpa dirimu, Tuan?"
"Imanuel (Tuhan beserta kita), kehendak Tuhan terjadilah, saya hanya berserah diri kepadaNya dan apa pun yang terjadi dengan diri saya, enak tidak enak baik atau buruk menurut penilaian pikiran, akan saya terima dengan rasa sukur dan bahagia karena semua itu tentu menurut kehendakNya."
"Ah, semua kata-katamu itu akan selalu saya ingat, Tuan. Selamat jalan!"
"Selamat berpisah, Nona maya. Semoga Tuhan Yang Maha Kasih akan selalu memberkatimu dan semoga Roh Tuhan Yang Kudus akan selalu membimbingmu, amin."
"Amin!" Pendeta David menjulurkan tangan dan Maya Dewi menyambutnya. Mereka bersalaman, lalu Pendeta David melangkah pergi, diikuti pandang mata Maya Dewi. Entah bagaimana, ia seolah melihat Bagus Sajiwo yang melangkah pergi itu dan perasaan rindu memenuhi hatinya.
Peristiwa direbutnya Pasuruan oleh Blambangan dan kemudian Kadipaten pasuruan direbut kembali oleh pasukan Mataram membuat Sang Sultan Agung menjadi marah. Melihat bahwa Blambangan tidak dapat diajak bersatu menghadapi Kumpeni Belanda, bahkan Blambangan dengn bantuan Bali dan Madura, juga didukung Kumpeni Belanda malah memusihi Mataram, Sultan Agung mengambil keputusan untuk melakukan serangan besar-besaran dan menundukkan Blambangan.
Atas perintah Sultan Agung, Mataram lalu menyusun barisan yang amat kuat dan mengerahkan semua senopatinya yang berpengalaman untuk bersiap-siap menggempur Blambangan. Semua senopati Mataram siap, di antara mereka yang terkenal adalah Senopati Suroantani, Pangeran Silarong, Gandek Padurekso, Senopati Aryo, Ki Mertoloyo, Tumenggung Wiroguno, Kyai Juru Kiting, dan masih banyak lagi para perwira.
Selain para senopati dan perwira, kebetulan sekali berturut-turut dalam beberapa hari berdatanganlah para pendekar, para satria yang setia kepada Mataram yang memang diundang oleh Sang Sultan Agung untuk membantu pasukan yang akan menaklukkan Blambangan. Para satria yang berturut-turut datang ke Pasuruan, di antaranya adalah Ki Tejomanik atau Sutejo bersama isterinya Retno Susilo, Lindu Aji dan Sulastri, Parmadi dan Muryani, Ki Cangak Awu dan Pusposari.
Tentu saja pertemuan diantara empat pasang suami isteri pendekar ini gembira sekali dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. Pangeran Silarong menyambut para satria itu dengan penuh penghormatan. Para pendekar itu diminta membantu dalam menghadapi para pimpinan Blambangan nanti, Para satria itu, terutama sekali Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo mengharapkan kedatangan Bagus Sajiwo, akan tetapi pemuda itu tidak kunjung muncul.
Sementara itu di pihak Blambangan juga diadakan persiapan untuk menyusun kekuatan karena mereka dapat menduga bahwa tentu Mataram tidak akan behenti sampai dapat merampas kembali Pasuruan saja. Balatentara Mataram tentu akan datang membalas dengan serangan besar-besaran. Tadinya, pimpinan seluruh pasukan gabungan di Blambangan oleh Adipati Santa Guna Alit di Blambangan diserahkan kepada Bhagawan Kalasrenggi.
Akan tetapi, kini pimpinan itu diperkuat, menjadi pimpinan gabungan terdiri dari Bhagawan Kalasrenggi sebagai wakil Kadipaen Blambangan, Tejakasmala sebagai wakil Kerajaan di Bali, dan Raden Satyabrata sebagai wakil dari Kumpeni Belanda. Dua orang itu dipilih karena semua orang mengetahui bahwa dua orang muda itu masih lebih sakti dibandingkan Bhagawan Kalasrenggi!
Tiga orang ini dibantu Arya Bratadewa dan Ni Candra Dewi dua orang tokoh Banten yang menjadi anak buah Kumpeni Belanda, Resi Sapujagad pertapa dari Merapi, Bhagawan Dewakaton pertapa Gunung Bromo, Kaladhama dan Kalajana yang disebut Dwi Kala murid-murid Bhagawan Kalasrenggi, Raden Dhirasani dan Raden Dhirasanu putera kembar Sang Adipati Blambangan dan kini Raden Dhirasani dibantu oleh Niken Darmini yang menjadi tunangannya, Cakrasakti dan Candrabaya dua orang senopati dari Bali, Ki Dartoko dan gurunya, Kyai Kasmalapati adik seperguruan Bhagawan Kalasrenggi, Made Sukasada dan Kyai Ngurah Pacung dari Bali yang memimpin dua laksa orang perajurit dari Bali untuk membantu Blambangan, dan Ki Randujapang tokoh Madura yang membawa tiga ribu orang pasukan.
Blambangan benar-benar kini mengerahkan segenap kekuatan gabungan untuk menghdapi Mataram! Dan mengingat betapa di pihak Mataram terdapat banyak pula orang yang sakti mandraguna, sang Adipati Blambangan mengutus dua orang putera kembarnya, Dhirasani dan Dhiarasanu, diperkuat pula oleh Tejakasmala, untuk pergi ke Bali, menghadap Sang Bhagawan Ekabrata di gunung Agung, Bali, agar sang pertapa itu berkenan membantu Blambangan menghadapi para tokoh sakti mandraguna yang membela Mataram.
Semua tokoh di Blambangan mengharapkan kedatangan sang Bhagawan Ekabrata yang dapat diandalkan melawan orang-orang sakti mandraguna yang membela Mataram. Akan tetapi yang ditunggu-tunggu tidak datang dan yang muncul malah seorang gadis yang datang menantang Ki Sarwatama yang kini berada di Blambangan menjadi pembantu Satyabarata! Gadis itu adalah Ratna Manohara!
Seperti telah kita ketahui, Ratna Manohara minggat meninggalkan Driya Pawitra, meninggalkan ayahnya, Ki Sarwaguna yang menjadi Ketua Driya Pawitra. Dara ini marah dan merasa malu sekali karena ayahnya telah mempergunakan siasat untuk menjodohkannya dengan Bagus Sajiwo dengan cara menyuruh Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati, dua orang pamannya untuk menyamar dan menculiknya agar ia dotolong Bagus Sajiwo dan agar Niken Darmini yang disangka Joko Darmono itu melihat ia berdekatan dengan Bagus Sajiwo.
Akan perbuatan ayahnya yang berniat menjodohkannya dengan Bagus Sajiwo akan tetapi menggunakan akal licik itu amatlah hebat. Niken Darmini menjadi marah sekali dan nyaris membunuhnya. Sahabat baik itu kini amat membenci ia dan Bagus Sajiwo dengan cara seperti itu, betapapun ia mengagumi pemuda itu! Ia tidak boleh berjodoh dengan Bagus Sajiwo dan menghancurkan hati Niken Darmini!
Semua ini gara-gara ulah pamannya, Ki Sarwatama yang mengkhianati Driya Pawitra, menjadi pembantu Blambangan menyerang Driya Pawitra yang tidak membantu Blambangan memusuhi Mataram! Kalau Ki Sarwatama tidak berulah sebagai pengkhianat, tentu Bagus Sajiwo tidak akan pernah muncul dan hubungan antara Bagus Sajiwo dan Niken Darmini yang menyamar pria itu tidak akan terganggu dan retak. Ia menyesal sekali dan kemarahannya ia tumpahkan kepada paman gurunya, Ki Sarwatama.
Maka dengan nekat ia yang minggat dari ayahnya, kini memasuki Blambangan dan setelah di depan istana Kadipaten Blambangan, ia berteriak-teriak menantang Ki Sarwatama agar keluar! Ia maklum bahwa di situ terdapat banyak orang sakti mandraguna, akan tetapi gadis yang sudah nekat karena marah dan malu ini tidak takut.
"Ki Sarwatama, manusia tak mengenal budi, manusia rendah budi yang mengkhianati perguruan sendiri, keluarlah dan mari membuat perhitungan dengan aku!"
Demikian gadis itu berteriak-teriak marah. Para perajurit jaga maju dan menghadapinya, memandang dengan heran. "Hei, siapakah Andika yang berani membuat ribut di sini?" Perwira pengawal yang memimpin anak buahnya bertugas jaga di depan istana menghardik.
"Aku Ratna Manohara dan tidak ada urusan dengan Blambangan! Aku mencari Ki Sarwatama, pengkhianat perguruan kami. Suruh dia cepat keluar untuk menerima hukuman!"
Ki sarwatama adalah seorang yang baru saja membantu Blambangan dan tidak begitu dikenal oleh para perajurit yang hanya mengenal nama tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi. maka mendengar ucapan Ratna Manohara, mereka saling pandang dan mengira gadis itu hanya mencari keributan.
"Hemm, Andika memang mencari keributan. Kami harus menangkap Andika untuk dihadapkan pimpinan kami agar diselidiki karena sikap Andika mencurigakan!"
Perwira itu memberi isyarat kepada anak buahnya dan dua orang perajurit segera maju menghampiri Ratna Manohara. Tidaklah aneh kalau laki-laki menghadapi wanita cantik lalu muncul ulah nakalnya. Demikian juga dua orang perajurit itu. Melihat Ratna Manohara yang ayu manis dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, tangan-tangan mereka meraih seolah berlomba untuk segera dapat memeluk dan menangkap gadis itu. Akan tetapi Ratna Manohara menggerakkan kedua tangannya, dengan cepat sekali kedua tangan itu menampar.
"Plak! Plak!" Dua orang perajurit itu mengaduh dan terpelanting roboh. Pipi mereka membengkak kebiruan terkena tamparan tangan halus gadis itu. Melihat ini, perwira itu terkejut dan marah. Dia berseru nyaring dan melompat ke depan, menerkam ke arah dara itu. Akan tetapi dia terlalu memandang rendah atau terlalu mengagulkan diri sendiri. Terjangannya luput dan ketika dia membalik, perutnya disambar kaki Ratna Manohara yang mencuat mengirim tendangan.
"Bukk...!" Perwira itu terjengkang dan roboh, mengaduh-aduh sambil menekan perut yang tertendang dan terasa mulas melilit-lilit! Akan tetapi kemarahanannya mengatasi rasa nyerinya dan dia memberi aba-aba kepada sembilan orang perajurit anak buahnya sambil mencabut pedangnya. Ratna Manohara dikeroyok dan gadis ini mengamuk dengan tamparan dan tendangannya. Gerakannya amat cekatan, akan tetapi karena ia tidak ingin melakukan pembunuhan dan tidak ingin bermusuhan dengan pihak Blambangan, ia hanya mempergunakan kaki tangannya, tidak mencabut pedangnya. Para pengeroyok itu berpelantingan dan pada saat itu muncullah Satyabrata.
"Hei, berhenti, jangan mengeroyok seorang gadis! Memalukan sekali!" bentaknya dan para pengeroyok itu menjauh sambil memapah teman-teman yang menjadi korban tamparan atau tendangan Ratna Manohara.
Satyabrata kini berdiri berhadapan dengan Ratna Manohara. gadis itu memandang dengan sinar mata mencorong marah karena ia mengenal Satyabrata yang dulu ikut menyerbu Driya Pawitra dan orang ini amat sakti mandraguna. Dulu pun kalau tidak ada Bagus Sajiwo yang mampu menandinginya, pihak Driya Pawitra tentu kalah dan tidak ada yang mampu mengalahkan laki-laki yang matanya agak kebiruan ini. Satyabrata merasa pernah melihat gadis itu, akan tetapi dia lupa lagi dan tidak mengenalnya. Matanya yang kebiruan bersinar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum genit ketika dia melihat betapa cantik menariknya gadis yang berada di depannya.
"Aih, Adik yang cantik, gadis yang ayu manis, siapakah engkau dan apa engkau datang membuat ribut di depan istana Kadipaten Blambangan?" tanyanya dengan suara ramah dan sikap yang tanpa disembunyikan mengandung berahi.
Ratna Manohara yang biasanya pendiam dan kalau bicara lembut itu kini dapat bicara ketus karena hatinya yang dipenuhi kemarahan. "Aku tidak ada urusan dengan kamu atau siapa saja di Blambangan. Aku hanya hendak bertemu dengan si pengkhianat Sarwatama, manusia tak kenal budi itu! Suruh dia keluar!"
Mendengar itu, tiba-tiba Satyabrata teringat. Dia tersenyum lebar. "Wah, kiranya engkau ini puteri Ketua Driya Pawitra yang keras kepala itu! Bagus sekali! Apakah kini engkau menyadari dan ingin bergabung dengan kami untuk menentang Mataram yang angkara murka? Mari kuantar engkau mengadap Sang Adipati, Nimas!"
"Aku tidak sudi berurusan dengan kamu! aku ingin bertemu Sarwatama!" Ratna Manohara membentak.
Satyabrata tetap tersenyum walaupun hatinya mendongkol. "Nimas, setelah engkau berani muncul di sini, mau atau tidak mau, dengan suka rela atau paksaan, engkau harus menghadap Sang Adipati! Marilah!"
Satyabrata menjulurkan tangan hendak menggandeng tangan gadis itu. Ratna Manohara tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia menarik tangannya lalu menampar dengan tangan kanan. Tamparannya itu cepat sekali dan kini ia menyertai dengan tenaga saktinya karena ia maklum bahwa ia berhadapan dengan orang yang tangguh sekali. Akan tetapi dengan mudah Satyabrata mengelak lalu membalas bukan dengan serangan pukulan, melainkan dengan sambaran tangan hendak menangkap gadis itu.
Ratna melompat menghindarkan diri dan menyerang lagi. Mereka berdua berkelahi, akan tetapi kalau Ratna menyerang dengan tamparan atau tendangan yang dahsyat dan bersungguh-sungguh, sebaliknya Satyabrata hanya membalas dengan serangan untuk menangkap. Dan ternyata memang tingkat kesaktian Satyabrata jauh melebihi tingkat kepandaian Ratna sehingga gadis ini sebentar saja terdesak dan beberapa kali lengannya dapat ditangkap, akan tetapi ia berhasil merenggutnya lepas kembali. Karena merasa tidak akan menang melawan orang sakti itu, Ratna lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan ganas.
Satyabrata tetap bertangan kosong, akan tetapi selain mengelak, terkadang dengan tangan kosong dia berani menangkis sambaran pedang Ratna! Tiba-tiba Raden Satyabrata mengeluarkan suara tawa tang aneh. Suara tawa yang bercampur tangis, seperti tawa seorang yang miring otaknya, akan tetapi suara tawa itu mengandung getaran yang menggiriskan dan mendatangkan kengerian dalam hati Ratna Manohara. Gadis ini bergidik ngeri mendengar tawa itu.
Tiba-tiba Raden Satyabrata mengeluarkan sehelai saputangan seperti menyerang ke depan muka Ratna, gadis itu mencium bau yang aneh dan keras, dan ia mengeluh lalu terhuyung akan jatuh, pedangnya terlepas dari tangannya. Satyabrata cepat merangkulnya sehingga gadis itu tidak roboh. Ia terkulai dalam pondongan Satyabrata karena ia telah pingsan, terbius bubuk obat bius yang terkandung dalam saputangan kuning yang dikebutkan Satyabrata tadi.
Satyabrata tertawa-tawa dan memondong tubuh yang denok itu, membawanya masuk ke pendopo istana Kadipaten Blambangan dengan niat membawa Ratna ke kamarnya sendiri yang disediakan oleh Sang Adipati untuk dirinya! Akan tetapi tiba-tiba muncul Dhirasanu, adik kembar Dhirasani putera Sang Adipati Blambangan menghadang Satyabrata yang memondong tubuh Ratna Manohara yang pingsan.
Pemuda ini tadi mendengar laporan seorang perajurit pengawal tentang gadis yang datang mencari Ki Sarwatama dan mengamuk. Dia terkejut dan menduga bahwa gadis itu tentulah Ratna Manohara yang dalam pertemuan pertama dahulu telah menjatuhkan hatinya. Maka bersama selosin orang perajurit pengawal dia cepat keluar dari dalam istana Kadipaten Blambangan dan bertemu dengan Satyabrata yang memondong tubuh seorang gadis yang pingsan. Begitu berhadapan dan melihat wajah gadis itu, Dhirasanu segera mengenal Ratna Manohara.
"Kakangmas Satyabrata, gadis itu akan Andika bawa ke mana?"
Satyabrata menjadi agak gugup. Bagaimanapun juga dia berhadapan dengan putera Sang Adipati atau keluarga tuan rumah yang berkuasa. "Ah, Adimas Dhirasani..."
"Saya Dhirasanu, Kakangmas..."
"Oh, maaf. gadis ini mengamuk di depan istana, maka saya lalu keluar dan berhasil menangkapnya"
"Bagus sekali, saya sudah mendengar akan munculnya gadis ini. Syukur Andika telah berhasil menangkapnya. Serahkan kepada kami dan kami akan memasukkannya dalam kamar tahanan."
Tentu saja Satyabrata tidak dapat membantah karena tawanan itu tentu saja menjadi hak Kadipaten Blambangan. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membawa tawanan, seorang gadis pula, ke dalam kamarnya sendiri. Biarpun hatinya merasa kecewa dan mendongkol, namun terpaksa dia menyerahkan Ratna Manohara kepada Dhirasanu yang memerintahkan para perajurit untuk menggotong tubuh gadis itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan. Dengan tegas Dhirasanu memesan kepada para perajurit yang bertugas jaga di tempat tahanan agar memperlakukan gadis itu dengan baik, tidak mengganggunya dan bersikap hormat kepadanya. Juga dia menyuruh seorang pelayan wanita setengah tua melayani gadis tawanan itu.
Pengaruh obat bius yang membuat Ratna Manohara jatuh pingsan itu kekuatannya hanya beberapa jam saja. Ratna siuman dari pingsannya dan ia mendapatkan dirinya rebah telentang di atas sebuah pembaringan yang bersih, akan tetapi kamar di mana ia berada tampak asing. Hanya ada sebuah meja dan dua buah kursi di situ, selain pembaringan di mana ia rebah. Ketika ia bangkit duduk, ia melihat seorang wanita setengah tua berpakaian pelayan duduk di atas lantai.
"Siapakah, engkau, Bibi?" tanyanya.
"Saya Nyai Semi, abdi dalem (pelayan) di istana Kadipaten Blambangan yang bertugas melayani Andika, Den Roro."
Ratna Manohara teringat bahwa ia bertanding melawan laki-laki bermata kebiruan yang sakti itu dan mencium bau keras lalu tak ingat apa-apa lagi. "Di mana aku berada?" Ia bangkit lalu menghampiri meja dan duduk di atas sebuah kursi.
"Andika berada dalam rumah tahanan kadipaten, Den Roro"
"Siapa yang memasukkan aku ke sini? Apakah laki-laki bermata kebiruan yang menangkap aku?"
"Bukan, Den Roro. Memang Andia ditangkap oleh Raden Satyabrata orangnya Kumpeni itu, akan tetapi lalu diminta oleh Raden Bagus Dhirasanu dan dimasukkan di sini dan saya diperintahkan untuk melayani Andika."
"Hemm, kalau begitu aku mau pergi dari sini!" Ratna Manohara bangkit berdiri, berniat keluar dan kalau perlu mengamuk dan memaksa keluar dengan kekerasan.
"Aduh, Den Roro, Gusti Pangeran Muda..."
"Siapa itu Gusti Pangeran Muda?"
"Raden Bagus Dhirasanu, sedang Pangeran Tua adalah kakak kembarnya, Raden Bagus Dhirasani. Raden Bagus Dhirasanu memesan kepada saya agar membujuk Andika jangan mencoba melarikan diri dari sini. Di luar terdapat pasukan yang akan merintangi, Den Roro. Terdapat pula orang-orang yang sakti mandraguna. Kalau Andika melarikan diri lalu terluka atau tertawan lagi, akan sukarlah bagi Raden Dhirasanu untuk menolongmu. Beliau memesan kepada saya agar Andika suka menanti dengan sabar. Den Bagus Dhirasanu akan datang sendiri dan menjelaskan kepada Andika, den Roro"
Mendengar ini, Ratna Manohara menahan diri. Benar juga, pikirnya. Di luar ada orang-orang yang sakti dalam jumlah banyak. Tidak mungkin ia dapat meloloskan diri kalau ia nekat menggunakan kekerasan. Ia tidak tahu apa yang dikehendaki Dhirasanu, dan ia pun hanya baru sekali pernah bertemu dengan pemuda putera Adipati Blambangan itu.
"Baiklah, Bibi. Aku akan menanti dan mendengarkan apa yang hendak dia katakan."
Karena mendapat pelayanan dengan hormat dan baik, tidak seperti seorang tawanan, maka Ratna Manohara bersikap sabar. Ia mau mandi dan mau pula berganti pakaian yang disediakan oleh Nyai Semi, mau pula makan hidangan yang disuguhkan. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa saat itu, Raden Dhirasanu sedang berdebat sengit dengan ayahnya. Adipati Santa Guna Alit mendapat laporan dari Satyabrata bahwa dia menangkap seorang gadis, puteri Ketua Driya pawitra yang pernah membangkang bahkan melawan Kadipaten Blambangan. Dia hendak menghukum gadis itu, akan tetapi gadis benama Ratna Manohara itu dilindungi oleh Raden Dhirasanu dan diperlakukan sebagai tamu.
Mendengar ini, Sang Adipati Blambangan menjadi marah dan memanggil puteranya. Raden Dhirasanu ditemani kakak kembarnya menghadap sang Adipati bersama ibu mereka dan para selir Sang Adipati. Karena ini merupakan masalah keluarga, maka yang hadir hanyalah keluarga Sang Adipati. Tidak ada orang luar diperkenankan masuk ruangan itu, bahkan para abdi dalem juga tidak.
"Kanjeng Rama," Raden Dhirasanu membantah ketika ayahnya menegurnya dan menghendaki gadis puteri Ketua Driya Pawitra itu diserahkan kepada Raden Satyabrata yang berhak menghukumnya karena wakil Kumpeni Belanda itu yang menangkapnya. "Diajeng Ratna Manohara bukanlah musuh kita, maka saya merasa keberatan kalau ia harus dihukum, apalagi diserahkan kepada Raden Satyabrata!"
"Dhirasanu! Tidak tahukah engkau bahwa Driya Pawitra telah melawan kita? Siapa tahu puteri Ketua Driya Pawitra telah menjadi mata-mata Mataram! Ia harus dihukum!"
"Tidak mungkin, Kanjeng Rama. Dahulu, Driya Pawitra berada di wilayah kadipaten Blambangan. Mereka adalah kawula Balmbangan. Diajeng Ratna Manohara tidak memusuhi Blambangan. Ia hanya tidak mau ikut berperang. Kalau mereka itu melawan Blambangan adalah karena mereka diserang oleh orang-orang kita! Ia tidak berdosa, Kanjeng Rama."
"Dhirasanu! Apakah engkau hendak membela musuh?" Adipati Blambangan membentak marah.
"Maaf, Kanjeng Rama" tiba-tiba Raden Dhirasani berkata. "Saya kira Adimas Dhirasanu tidak keliru kalau membela Ratna Manohara. Kalau gadis itu dapat dibujuk membantu kita, bukankah hal itu menguntungkan? Sebagai kawula Blambangan, mungkin saja Ratna Manohara mau menyadari kesalahannya dan sekarang mau membantu Blambangan, seperti halnya Niken Darmini." Raden Dhirasani membantu adik kembarnya.
"Hemm, kalau Niken Darmini lain lagi. Ia datang ke Blambangan bukan sebagai pengacau yang membuat keributan seperti Ratna Manohara. Sampai sekarang Perguruan Driya Pawitra masih bersikap memusuhi kita, Bagaimana mungkin kita dapat menerima puteri ketuanya dengan baik?"
"Bagaimanapun juga, saya akan menghalangi siapa saja yang hendak mengganggu Diajeng Ratna Manohara!"
Setelah berkata demikian, dengan muka merah Raden Dhirasanu meninggalkan ruangan itu. Sang Adipati mengerutkan alisnya dan bertepuk tangan memanggil pengawal. Perwira pengawal pribadi muncul dan Sang Adipati berkata kepadanya.
"Amati tawanan itu dan jaga jangan sampai ia lolos dari rumah tahanan!"
Perwira itu memberi hormat dan cepat keluar dari ruangan itu. Pangeran Dhirasani juga keluar dari ruanan itu tanpa sepatah katapun, dan dari sikapnya jelas bahwa dia merasa tidak puas dengan apa yang terjadi dengan adik kembarnya. Sementara itu, di rumah tahanan juga terjadi hal yang menarik. sehabis makan, Ratna Manohara duduk di dalam kamar itu ditemani Nyai Semi yang melayaninya dengan sikap ramah dan horma.
Tiba-tiba terdengar langkah orang di pintu kamar ahanan. Ratna Manohara menoleh dan matanya terbelalak keheranan melihat siapa yang memasuki kamar tahanan itu. Seorang gadis cantik berpakaian mewah dan siapa lagi kalau bukan Niken Darmini!
"Niken... !" Ratna Manohara bangkit dari kursinya.
Niken Darmini memandang dan dari wajahnya Ratna Manohara dapat melihat bahwa Niken Darmini merasa tidak senang hatinya. "Engkau keluarkah!" kata Niken Darmini kepada Nyai Semi.
Pelayan wanita itu dengan hormat lalu bangkit dan berjalan membungkuk hormat, keluar dari amar tahanan itu. Agaknya ia taat sekali kepada Niken Darmini. Niken Darmini duduk berhadapan dengan Ratna Manohara.
"Duduklah!" Niken Darmini dengan sikap kaku. Ratna Manohara segera duduk di depannya. "Ratna, engkau yang sudah senang-senang berada di Parangsari bersama Bagus Sajiwo, mengapa tersesat keluyuran sampai di sini?"
Pertanyaan itu diucapkan dengan suara yang mengandung kemarahan, mengingat betapa sahabatnya itu telah menyakiti hatinya, merebut Bagus Sajiwo darinya, walaupun sekarang ia sudah mulai melupakan pemuda itu.
Ratna Manohara menghela napas panjang lalu memandang wajah Niken Darmini dengan sinar mata tajam lalu berkata dengan suara mengandung penyesalan.
"Niken, aku tahu bahwa engkau marah dan kecewa kepadaku, menganggap aku seorang yang telah bertindak jahat dan curang, menganggap aku seorang gadis yang tidak tahu malu. Akan tetapi, Niken, semua anggapanmu itu keliru. Sejak semula aku sudah hendak memberi tahu kepadamu, akan tetapi engkau keburu marah. Dan sekarang aku bahkan mendapat kenyataan bahwa kesemuanya itu telah diatur, dan yang mengaturnya adalah Ayahku sendiri. Sungguh membuat aku merasa menyesal dan malu, Niken!"
Setelah berkata demikian, Ratna Manohara menggunakan punggung lengannya untuk mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya. Niken Darmini menatap wajah Ratna dan mengerutkan alisnya. tentu saja ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan Ratna dengan kata-katanya itu.
"Apa maksudmu, Ratna? Apa yang telah terjadi?"
Harus ia akui bahwa kini kemarahan dan penyesalannya terhadap sahabatnya itu telah mereda karena ia tidak begitu merasa telah kehilangan Bagus Sajiwo setelah ia bertemu dengan Pangeran Dhirasani dan diperlakukan baik sekali oleh keluarga Adipati Blambangan.
"Dengarkanlah, Niken. Aku hendak menceritakan segalanya dengan sejujurnya walaupun yang kuceritakan ini akan membuka rahasia keburukan Ayahku sendiri. Ketahuilah bahwa malam peristiwa itu, aku sedang tidur dibius orang sehingga tidak sadar. Dan dalam keadaan tidak sadar itu, aku dibawa oleh dua orang keluar dari perkampungan kami menuju ke sebuah gua di lereng puncak bukit. Setelah aku siuman, aku sudah dalam keadaan terikat kaki tanganku dalam sebuah gua dan dua orang yang tidak dapat kulihat mukanya karena gelap, mengeluarkan ancaman-ancaman yang mengerikan, lebih mengerikan daripada kematian. Aku menjadi ngeri dan selama hidupku baru sekali itu aku benar-benar merasa ketakutan karena mereka mengancamku akan mempekosaku beramai-ramai dengan belasan orang kawan mereka. Akan tetapi dua orang itu hanya mengeluarkan ancaman-ancaman yang menakutkan, tidak menggangguku sama sekali. Menjelang pagi, mereka berdua meninggalan aku dalam gua, mengatakan bahwa mereka hendak memanggil belasan orang kawan mereka untuk beramai-ramai menghinaku! Dapat kau bayangkan betapa ngeri dan takut perasaanku pada saat itu. Tiba-tiba muncul Kakangmas Bagus Sajiwo yang membebaskan aku dan mengajakku keluar dari dalam gua. Dapat kau bayangkan betapa aku lega, bersyukur, dan terharu sekali dapat terbebas dari ancaman malapetaka yang mengerikan itu. Aku demikian terharu sehingga aku menangis dalam rangkulan Kakangmas Bagus Sajiwo yang menghiburku. Nah, pada saat itulah engkau muncul dan melihat keadaan kami, engkau mengira aku bersama dia bermain gila semalam dalam gua dan engkau menyerang seperti gila. Engkau telah salah sangka sama sekali, Niken!"
Niken Darmini tertegun mendengarkan cerita itu. Ia tahu bahwa Ratna tidak mungkin berbohong. Ia mengenal benar siapa Bagus Sajiwo. Rasanya memang tidak mungkin Bagus sajiwo bertindak serendah itu! sampai lama ia termenung, hatinya yang tadinya masih panas ketika bertemu Ratna kini mulai menjadi dingin.
"Hemm... begitukah? Lalu... apa maksudmu tadi ketika mengatakan bahwa semua itu telah diatur oleh Ayahmu?"
"Tadinya aku tentu saja tidak tahu akan hal itu, akan tetapi aku terkejut ketika seminggu kemudian, setelah Kakangmas Bagus Sajiwo meninggalkan kami, Ayah bermaksud menjodohkan aku dengan kakangmas Bagus Sajiwo. Aku terkejut, sama sekali tidak ingin merebut Kakangmas Bagus Sajiwo darimu, maka aku menolak dan memberitahu kepada Ayahku bahwa Joko Darmono adalah Niken Darmini yang mencinta Kakangmas Bagus Sajiwo. Mendengar ini, Ayah terkejut dan akhirnya mengaku bahwa peristiwa yang menimpa diriku itu memang sengaja diatur olehnya."
"Diatur bagaimana? Dan mengapa?"
"Ayah salah sangka. Dia mengira bahwa engkau adalah seorang pemuda dan melihat kita berdua akrab, dia mengira bahwa kita berdua saling mencinta. Ayah tidak setuju karena ingin menjodohkan aku dengan Kakangmas Bagus Sajiwo. Maka dia mengatur semua itu. Yang pura-pura menjadi penculikku adalah dua orang paman guruku sendiri. Mereka sengaja menakut-nakuti aku sehingga ketika dibebaskan Kakangmas Bagus Sajiwo, aku menjadi terharu dan merasa berhutang budi. Ini dimaksudkan agar aku tertarik kepadanya. Kemudian dia mengatur agar engkau melihat aku bersama Kakangmas Bagus Sajiwo sehingga engkau sebagai Joko Darmono akan melihat bahwa aku saling mencinta dengan Kakangmas Bagus Sajiwo sehingga engkau sebagai Joko Darmono akan melihat bahwa aku saling mencinta dengan Kakangmas Bagus Sajiwo. Semua siasat itu ditujukan untuk menjauhkan aku dari Joko Darmono dan mendekatkan aku dengan Kakangmas Bagus Sajiwo."
Tiba-tiba Niken Darmini tertawa geli. Muncul lagi wataknya yang jenaka dan suka berkelakar. Ia melihat kelucuan dalam peristiwa itu, tentu saja karena merasa kehilangan Bagus Sajiwo telah terobati.
"Heh-he-he-he-hi-hik! Lucu sekali! Paman Sarwaguna menggunakan akal licik. Hemm, kalau aku masih menjadi Joko Darmono aku tentu akan marah sekali kepadanya, dipisahkan dari gadis kekasihku!"
"Maafkan Ayahku, Niken. Dan kebetulan kita bertemu di sini, maka kesempatan ini akan kupergunakan untuk minta maaf kepadamu. Sungguh mati, aku tidak bermaksud merampas Kakangmas Bagus sajiwo darimu."
"Ah, tidak ada masalah, Ratna. Setelah mendengarkan ceritamu tadi, aku sudah tidak marah lagi kepadamu. Malah aku yang minta maaf kepadamu, Ratna, karena aku ternyata salah sangka. Engkau seorang sahabat yang baik."
Di luar rumah tahanan itu terdengar seruan petugas jaga. "Siap, Raden Dhirasanu datang. Beri hormat!"
"Ah, aku pergi dulu, Ratna." kata Niken Darmini yang bergegas keluar.
"Terima kasih, Niken!" kata Ratna Manohara dan ia menanti datangnya Pangeran Dhirasanu yang telah menyelamatkan ia dari tangan Raden satyabrata.
Raden Dhirasanu memasuki kamar tahanan itu dan tersenyum ramah kepada Ratna Manohara yang bangkit dari tempat duduknya menyambut kedatangan pangeran itu. Akan tetapi dari sinar mata Pangeran itu, Ratna dapat mengetahui pemuda itu sedang gelisah.
"Diajeng Ratna Manohara, aku tidak akan berpanjang kata karena keadaannya gawat dan mendesak. Singkatnya, mereka semua menghendaki agar Andika dihukum. Akan tetapi jangan khawatir, aku akan membela dan melindungimu. Mari, Diajeng, kita harus pergi sekarang sebelum mereka bertindak!"
Ratna Manohara memang ingin sekali melarikan diri dari tempat tahanan itu, maka mendengar ucapan pangeran itu, ia segera bangkit.
"Ini pedangmu yang disita seorang perajurit."
Gadis itu girang menerima pedangnya dan ia lalu mengikuti pemuda itu keluar dari kamar tahanan. Di depan pintu rumah tahanan itu, belasan orang perajurit menghadang dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Pangeran Dhirasanu membentak.
"Mau apa kalian? Hayo minggir!"
Tentu saja para perajurit itu tidak ada yang berani menghalangi Raden Dhirasanu. Mereka minggir dan beberapa orang di antara mereka segera memberi kabar kepada pimpinan mereka. Akan tetapi, para perwira Blambangan juga tidak ada yang berani menentang Dhirasanu, maka banyak perajurit yang berada di luar rumah tahanan itu hanya dapat memandang dengan bengong ketika Dhirasanu dengan keris di tangan mengawal Ratna Manohara yang juga memegang pedangnya, siap melakukan perlawanan.
Raden Dhirasanu mengajak Ratna Manohara menuju ke kandang kuda karena dia hendak mengjak gadis itu melarikan diri keluar dari kota kadipaten dengan menuggang kuda. Para petugas di kandang kuda tentu saja juga tidak ada yang berani menghalangi Dhirasanu yang memilih dua ekor kuda terbaik bersama Ratna. Akan tetapi ketika mereka menuntun dua ekor kuda itu keluar dari bangunan kuda, mereka dihadang Bhagawan kalasrenggi, Tejakasmala, dan Raden Setyabrata yang datang setelah menerima laporan beberapa orang perwira.
Melihat mereka, tentu saja Ratna Manohara terkejut dan maklum bahwa ia menghadapi bahaya besar. Tak mungkin ia dapat menandingi tiga orang tokoh yang sakti mandraguna itu. Akan tetapi, Raden Dhirasanu melepaskan tali kekang kudanya dan berdiri di depan Ratna dengan sikap melindungi.
"Paman Bhagawan, saya minta agar semua minggir jangan menghalangi kami berdua!"
"Raden Dhirasanu, Angger, ingatlah bahwa gadis ini adalah musuh kita!"
"Tidak, Paman. Andika sekalian boleh menganggap ia sebagai musuh, akan tetapi saya tidak menagnggapnya sebagai musuh. Saya tidak ingin ia dijadikan tawanan!" berkata Dhirasanu dengan sikap tegas dan gagah.
"Adimas pangeran Dhirasanu, mengapa Andika bersikap begini? Bagaimana mungkin Andika kini bahkan membela pihak musuh? Apakah itu tidak bertentangan dengan kedudukan Andika sebagai seorang pangeran Kadipaten Blambangan?" kata Tejakasmala mengingatkan.
"Kakang Tejakasmala, Andika agaknya lupa akan pesan dan nasihat guru kita. Bukankah beliau berpesan agar kita dalam membela Kerajaan Blambangan tidak melakukan perbuatan yang jahat? Diajeng Ratna Manohara ini datang bukan sebagai musuh Blambangan, melainkan hendak membalas pengkhianatan paman gurunya, Ki Sarwatama. Akan tetapi mengapa ia ditangkap dan ditawan? Tidak, ia harus dibebaskan!"
"Ha-ha-ha, tidak semudah itu!" tiba-tiba Satyabrata tertawa dan berkata lantang. "Akulah yang menangkapnya, maka gadis ini menjadi hak milikku. Berikan ia kepadaku, Raden Dhirasanu!"
"Tidak! Kalau andika sekalian memaksa hendak menangkap Diajeng Ratna Manohara, kalian langkahi dulu mayatku!" Raden Dhirasanu menantang.
"Siapa pun tidak boleh menghalangi Adimas Dhirasanu. Yang hendak menghalangi harus berhadapan dulu dengan aku!"
Tiba-tiba terdengar bentakan itu dan muncullah Raden Dhirasani bersama Niken Darmini! Juga pangeran ini sudah memegang kerisnya dan Niken Darmini memegang sabuk merah dan kerisnya, Mereka siap untuk berkelahi dan kini mereka berdua berdiri di samping Dhirasanu dan Ratna Manohara! Kiranya tadi Niken Darmini melapor kepada Dhirasani dan membujuk pangeran itu untuk membela Dhirasanu dan Ratna Manohara! Dua pasang orang muda itu siap melawan dengan sikap gagah. Tentu saja semua orang meragu dan bingung karena yang memberontak itu adalah pangeran kembar putera sang Adipati Blambangan! Kembali Satyabrata tertawa.
"Ha-ha-ha, apa sih sulitnya menangkap gadis itu tanpa harus melangkahi mayat sepasang pangeran? Biar aku yang menangkapnya!"
Akan tetapi sebelum Raden Satyabrata bergerak, terdengar dari belakang suara yang berwibawa. "Mundur semua...!"
Ketika semua orang mengenal bahwa yang membentak itu adalah sang Adipati santa Guna Alit sendiri, maka semua lalu mundur memberi jalan. Satyabrata sendiri, walaupun dengan senyum sinis, tetap saja harus mundur. Kini sang Adipati Blambangan melangkah maju menghampiri dua orang puteranya.
"Dhirasani dan Dhirasanu, apa yang kalian lakukan ini? Apakah kalian kedua orang puteraku hendak berkhianat kepada kerajaan kita sendiri?"
"Sama sekali tidak, Kanjeng Rama!" kata Dhirasani yang lebih pandai bicara dibandingkan adik kembarnya yang lebih pendiam. "Adimas Dhirasanu hanya ingin melindungi Ratna Manohara karena dia mencinta gadis itu seperti saya mencinta Niken Darmini!"
Sang Adipati menghela napas panjang, termenung sejenak lalu berkata, "Baiklah. Akan tetapi bawa kedua orang gadis ini keluar dari Kadipaten Blambangan agar kelak mereka tidak secara diam-diam menjadi mata-mata Mataram!"
Raden Dhirasani lalu menuntun kudanya, diikuti Ratna Manohara yang juga menuntun kudanya. Pada saat itu, Raden Dhirasani juga memasuki kandang kuda dan menuntun keluar seekor kuda, diikuti pula oleh Niken Darmini yang juga menuntun seekor kuda. Mereka berdua mengikuti Raden Dhirasanu dan Ratna Manohara.
"Dhirasani!" Sang Adipati Blambangan berseru. "Mau ke mana engkau?"
"Kanjeng Rama, saya juga mau pergi bersama Diajeng Niken Darmini. Kami berdua Adimas Dhirasanu sudah tidak betah berada di antara para pembantu Kanjeng Rama yang sepak terjangnya sudah menyimpang dari dugaan dan harapan kami semula. Selamat tinggal dan maafkan kami berdua, Kanjeng Rama." Dhirasani cepat meninggalkan tempat itu bersama Niken Darmini.
"Apakah kami harus mencegah mereka pergi?" tanya Bhagawan Kalasrenggi.
Sang Adipati Blambangan menggelengkan kepala dan menggoyang tangan kirinya yang diangkat ke atas. "Biarkan mereka pergi. Kelak mereka akan menyadari kekeliruan mereka dan pulang. Aku tidak ingin ada yang mengganggu mereka!"
Tentu saja tidak ada satu orangpun yang berani membantah. Biarpun ada seorang yang merasa tidak puas, yaitu Raden Satyabrata, namun dia juga diam saja. Dia ditugaskan oleh Kumpeni Belanda untuk membantu Blambangan melawan Mataram, bukan karena Belanda berpihak kepada Blambangan, melainkan karena permusuhan dan perang antara penguasa daerah ini yang dikehendaki Belanda agar melemahkan mereka sendiri sehingga kelak akan mudah dikuasai.
Sang Adipati Santa Guna Alit mengadakan rapat pertemuan dengan semua sekutu dan pembantunya untuk merundingkan kemungkinan perang dalam waktu dekat karena mereka menduga bahwa Mataram tentu akan membalas dan menyerang Blambangan. Ada yang istimewa dalam rapat pertemuan itu sekali ini karena tamu yang mereka hormati dan agungkan, yang telah diundang dengan hormat oleh sang Adipati Blambangan, telah datang dan hadir dalam rapat pertemuan itu.
Tamu undangan itu adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh lima tahun, rambut, kumis, jenggot dan pakaiannya semua putih bersih. Sikapnya halus, bicara lembut dan tubuhnya sedang dan tegak. Sepasang matanya lembut dan penuh pengertian, akan tetapi terkadang mencorong dan berkilat. Kakek ini adalah Bhagawan Ekabrata, pertapa di Gunung Agung, Bali yang datang atas undangan Adipati Blambangan. Tejakasmala sendiri, murid utama kakek itu, yang menjalankan perintah sang Adipati untuk mengundangnya.
Setelah Sang Adipati memberi hormat dengan sembah kepada Sang Bhagawan Ekabrata yang duduk di kursi kehormatan, sementara itu semua sekutu dan pembantunya duduk diam dengan sikap hormat, kecuali Raden Satyabrata yang tersenyum sinis, Sang Adipati Santa Guna Alit lalu berkata.
"Pamanda Bhagawan yang mulia, sekali lagi di hadapan para senopati, wakil dari Blambangan, Bali, dan Madura, kami menghaturkan selamat datang dan terima kasih kepada Pamanda yang sudah berkenan menghadiri petemuan ini. Saya sudah menceritakan keadaan kami sehubungan dengan perjuangan kami melawan Mataram yang angkara murka. sekarang kami mohon kepada Pamanda, sudilah kiranya Pamanda membantu kami dengan nasihat, apa yang harus kami lakukan untuk dapat mencapai kemenangan dari pihak Mataram.
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan menanti jawaban dari pertapa itu. Bhagawan Ekabrata memejamkan kedua matanya, menarik napas panjang berulang kali sebelum menjawab dengan suaranya yang lembut namun penuh wibawa.
"Perang mrupakan peristiwa paling buruk dan kejam yang menimpa manusia. Baik yang keluar sebagai pemenang maupun yang kalah sudah pasti menderita seusai perang, kehilangan harta benda dan nyawa para warganya. perang memupuk kekejaman, melahirkan dendam kebencian. Terus terang saja, aku tidak suka akan perang, Ananda Adipati!"
"Terserah kalian, aku tidak akan mencampuri lagi."
"Bapak benar-benar tidak akan bercerita akan niat buruk kami tadi? Bapak... benar-benar melupakannya dan memaafkan kami?"
"Sudahlah, Tuhan mengampuni segala kesalahan manusia asalkan manusia percaya dan bertaubat. Tuhan memberkati kalian!"
Pendeta itu mengangkat tangan ke atas memberkati dan tiga orang itu dengan terhuyung-huyung kembali ke perahu, lalu mendayung perahu menuju kapal. Maya Dewi melihat itu semua dan tentu saja ia tidak mengerti percakapan mereka tadi. Ia masih terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang tadi nyaris dibunuh dengan kejam, sekarang malah berbalik merawat pembunuh itu dengan sikap demikian lembut penuh kasih sayang? Biarpun ia tidak mengerti percakapan mereka, namun dari suara dan sikap wajahnya ia dapat melihat bahwa orang yang tadi nyaris dibunuh itu sama sekali tidak marah, apalai sakit hati atau membenci!
Setelah perhu kecil itu menjauh, pria Belanda itu menoleh dan menghadapi Maya Dewi. Dia memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan depan dada.
"Nona, puji Tuhan bahwa engkau tadi tidak jadi membunuh mereka! baik sekali bahwa Nona telah dapat memaafkan mereka." kata orang itu sambil tersenyum lembut.
Maya Dewi semakin heran. Ia dulu pernah bertemu banyak perwira Kumpeni Belanda yang mampu berbahasa pribumi semahir ini. Hampir tidak kentara lidah asingnya.
"Saya memaafkan mereka? Tuan, saya tidak mempunyai urusan apa pun dengan mereka. Sebaliknya engkaulah yang tadi nyaris dibunuh! Saya masih merasa heran dan tidak mengerti, mengapa engkau yang tadi akan dibunuh secara kejam, berbalik bersikap baik dan merawat mereka? Apa yang telah terjadi? Mengapa mereka hendak membunuhmu dan siapa engkau ini?"
Orang itu tersenyum mendenar pertanyaan yang bertubi-tubi itu. "Nona, sebaiknya kita bicara di tempat lain saja. Kalau mereka datang bersama banyak kawan mereka dan mendapatkan Nona masih berada di sini, akan berbahaya sekali bagimu."
"Saya tidak takut, Tuan!"
"Bukan soal takut atau tidak, Nona. Akan tetapi mengapa menentang bahaya dan menghadapi perkelahian bunuh membunuh kalau hal itu dapat dihindari? Marilah, Nona, kita menyingkir dan nanti akan saya ceritakan semua kepadamu."
Maya Dewi menurut dan mengikuti pria Belanda itu menjauhi pantai, mendaki sebuah bukit karang. setelah agak menjauh, dia mengajak Maya Dewi duduk di atas batu, berhadapan.
"Nona, kasih karunia Tuhan telah menyelamatkan saya dari maut melaluimu. Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Kasih, dan terima kasih kepadamu, Nona. Sebelum saya bercerita, bolehkah kita berkenalan? Nama saya David, David Van Huisen."
Dia menjulurkan tangan kepada Maya Dewi. Wanita ini sudah mengetahui kebiasaan untuk berjabat tangan, maka iapun menyambut uluran tangan itu dan mereka berjabatan.
"Nama saya Maya Dewi, Tuan. Mendengar nama Tuan, saya teringat pernah mengenal seorang perwira Kumpeni Belanda yang bernama Kapten Willem Van Huisen, dahulu tinggal di Cirebon"
"Ah, Nona mengenalnya? Kapten Willem Van Huisen adalah Kakak saya, Nona Maya Dewi. saya tahu, Nona tentu seorang di antara para pendekar yang saya dengar banyak terdapat di antara bangsa Pribumi." Dia berhenti sejenak dan menatap tajam wajah Maya Dewi. "Akan tetapi mengapa Nona menolong saya, seorang Belanda? Yang saya tahu, biasanya para pendekar memusuhi orang Belanda"
"Tuan keliru menilai para satria Jawa. Para satria membela bangsa dan negera apabila terjadi perang antar bangsa. Akan tetapi di luar perang, kami membela siapa saja yang lemah tertindas dan menentang siapa saja yang jahat sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan dan kekuatan. Saya tadi melihat tiga orang itu hendak membunuh Tuan secara kejam, maka saya anggap mereka jahat dan saya turun tangan membelamu. Nah, sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi antara Tuan dan mereka?"
"Saya adik kandung kapten Willem Van Huisen, akan tetapi saya bukan anggota pasukan Kumpeni Belanda, Nona. Saya adalah seorang pendeta"
"Seorang pendeta?" Maya Dewi mengamati pakaian orang itu. "Pendeta apa, Tuan David Van Huisen?" Sukar menyebut nama itu selengkapnya.
"Kalau sulit, sebut saja nama saya David, Nona Maya Dewi. Saya adalah pendeta agama Kristen."
"Ah, pendeta yang memimpin orang-orang Belanda bernyanyi dalam kuil atau masjid...? Saya pernah melihatnya di Batavia"
"Bukan, Nona. Kuil itu tempat orang beragama Hindu, dan Masjid tempat sembahyang orang beragama Islam. Rumah kebaktian orang Kristen disebut Gereja. Bukan hanya bernyanyi memuji Nama Tuhan dan berdoa, melainkan juga mendengarkan firman Tuhan yang dikotbahkan para pendeta. Pendeknya, tempat beribadat, Nona."
"Hemm, begitukah? Lalu, apa hubunganmu dengan orang-orang tadi, Tuan?"
Dengan sikap ramah dan lembut, suaranya halus penuh kesabaran, pendeta David Van Huisen lalu bercerita, didengarkan penuh perhatian oleh Maya Dewi yang merasa tertarik sekali karena apa yang didengarnya itu sama sekali diluar persangkaannya. Sejak muda, David Van Huisen telah menjadi seorang Penyebar Injil atau yang umumnya disebut Pendeta Kristen. Dia bertugas menyampaikan berita keselamatan Injil sampai ke daerah-daerah terpencil, bahkan seringkali memasuki daerah-daerah di mana peradaban manusia masih amat terbelakang.
Sudah seringkali dia menghadapi ancaman maut yang mengerikan, namun berkat imannya yang teguh dan penyerahan dirinya yang total terhadap tugas sebagai seorang hamba Allah yang taat, dia selalu dapat terhindar dari marabahaya. Dia adalah seorang pendeta yang benar-benar menghayati tugas sucinya, maka melihat banyak kenyataan timpang dilakukan oleh pemerintah bangsanya, dia sering kali memprotes dan menentang kebijaksanaan Kumpeni Belanda sehingga dia dianggap sebagai seorang pemberontak oleh pemerintah!
Dia tidak setuju terhadap politik V.O.C bentukan Kerajaan Belanda yang berambisi mencaplok Pulau Jawa dengan berbagai cara yang licik. Bukan saja Belanda menggunakan kakuatan pasukan bersenjata api untuk memaksakan ambisinya, juga Belanda menggunakan perdagangan, bahkan membius rakyat jelata dengan candu. Yang lebih dari itu, David Van Huisen marah sekali melihat betapa Belanda mempergunakan agama sebagai siasat politiknya untuk menundukkan dan melemahkan semangat perlawanan rakyat Jawa.
Agama Kristen adalah agama yang berintikan Kasih, dan para pendeta yang diperalat politik Belanda menanamkan sikap sabar mengalah dan tidak menggunakan kekerasan kepada rakyat, sehingga melemahkan semangat聽mempertahankan tanah air yang akan dikuasai Belanda! Sikapnya ini membuat dia dibenci, bukan hanya oleh para pembesar Kumpeni, bahkan juga oleh banyak pendeta Kristen yang diperalat politik Belanda. David Van Huisen bahkan bertentangan dengan kakaknya, Willem Van Huisen yang menjadi Kapten pasukan Kumpeni Belanda.
Dia berjuang sendiri tanpa teman. Dia menyebarkan berita keselamatan yang suci tanpa pamrih, baik untuk diri sendiri maupun untuk politik pemerintah bangsanya. Tugasnya yang diemban dan dilaksanakan murni, sesuai dengan yang diperintahkan Tuhan dalam firman-firmanNya, yaitu mengajak menuasia untuk beriman kepada Tuhan, bertaubat dari dosa-dosanya dan mohon pengampunan dari Tuhan, kemudian melaksanakan semua kebajikan seperti yang diajarkannya sesuai dengan petunjuk firman dalam Kitab Injil dari agamanya.
"Demikianlah, Nona Maya. saya dikucilkan, bahkan dimusihi. Beberapa hari yang lalu, saya menumpang sebuah kapal Kumpeni Belanda yang berlayar dari Batavia menuju Blambangan. Saya tahu bahwa Kumpeni kembali melakukan siasat licik mengadu domba, membantu Blambangan yang hendak memberontak terhadap Mataram. Saya tidak mencampuri dan saya hanya ingin melaksanakan tugas saya, menyampaikan berita keselamatan di antara mereka yang tinggal di dusun-dusun pasisiran selatan yang masih menyembah berhala, menyembah kuburan, pohon-pohon besar, batu-batu dan gua-gua. Ketika berada di atas kapal, saya melihat dua orang Pribumi menjadi tawanan Kumpeni. Mereka adalah orang-orang yang membela Mataram dan mungkin menjadi mata-mata Mataram untuk menyelidiki hubungan antara Kumpeni dan Blambangan. Mereka tertangkap dan terancam keselamatan mereka. Saya tidak suka melihat kejadian ini dan diam-diam saya melepaskan mereka malam tadi dan mereka melompat ke laut melarikan diri. Akan tetapi perbuatanku itu ketahuan oleh Pendeta Johan yang menganggap saya sebagai saingannya."
"Saingan? Dan dia juga Pendeta Kristen?" Pendeta David menghela napas panjang. "Semoga Tuhan mengampuni kita semua! Karena sikap saya yang tidak menyetujui agama dipergunakan untuk kepentingan politik membuat saya dianggap saingan dan dimusuhi sebagian para pendeta, termasuk pendeta Johan, walaupun banyak pula yang diam-diam menyetujui pendapat saya. Nah, kiranya perbuatanku membebaskan tawanan dua orang Pribumi itulah yang mengakibatkan usaha pembunuhan atas diri saya tadi."
"Akan tetapi, mengapa begitu, Tuan? Dan mengapa kalau mereka hendak membunuhmu, dibawa dulu ke pantai?"
"Bukan begitu, Nona. Saya memang harus mendarat dan saya turun dari kapal, menggunakan perahu tadi diantar seorang perwira dan dua orang perajurit yang mendayung perahu. Baru setelah dekat pantai perwira itu memberitahu bahwa saya akan dia bunuh memenuhi perintah Pendeta Johan."
"Ah, betapa jahatnya...!"
Pendeta David menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. "Tidak, Nona. Dia tidak menganggap perbuatannya itu jahat. Dia menganggap itu merupakan tugasnya demi kepentingan Kerajaan Belanda karena dia menganggap saya seorang pengkhianat yang harus dibunuh. Tentu saja perbuatannya itu melanggar hukum dan kalau saya laporkan kepada atasan, dia dan tiga orang tadi akan mendapat hukuman berat. Akan tetapi saya tidak akan melaporkan mereka, nona Maya. Tidak, saya hanya berdoa semoga Tuhan mengampuni mereka"
Hening sejenak, Maya Dewi termenung. Dahulu, ketika ia masih menjalani kehidupan sesat, ia menganggap bangsa Belanda amat baik, manis budi dan royal dalam memberi hadiah. Kemudian ia mulai melihat kepalsuan Belanda ketika mayor Yakues hendak memaksa ia menjadi isterinya. Setelah ia mengembalikan dinar emas tanda sebagai mata-mata Kumpeni dan ia meninggalkan Batavia, ia mulai menyesal akan semua kesesatannya yang tidak mendatangkan kebahagiaan melainkan lebih banyak mendatangkan kekecewaan dan kedukaan dalam hatinya.
Kemudian ia bertemu Bagus Sajiwo dan hidupnya mengalami perubahan total seperti sekarang ini, Ia terbimbing dan mengenal Gusti Allah, sadar betul akan baik atau buruk sehingga kini ia menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda daripada dahulu, seperti bumi dan langit. Barulah terbuka kesadarannya bahwa Kumpeni Belanda itu jahat dan licik, pandai membujuk dan mempergunakan orang-orang Pribumi untuk memusuhi bangsa dan menjual tanah air sendiri. Ia menganggap bahwa semua orang Belanda jahat belaka. Akan tetapi sekarang, ia bertemu seorang Belanda yang mengaku sebagai pendeta dan yang memiliki watak dan budi amat halus, mengingatkan ia kepada watak dan budi Bagus Sajiwo!
Mendengar akan perasaan benci licik dan kejam dari pendeta Johan dan para opsir Belanda bukan hal yang aneh bagi Maya Dewi, akan tetapi melihat sikap Pendeta David yang begitu sabar dan lembut, hal ini sungguh di luar dugaannya.
"Tuan David, selama ini saya bertemu dengan banyak orang Kumpeni Belanda dan saya anggap mereka itu licik dan jahat! Mereka ingin mengadu domba antara penguasa-penguasa daerah dengan Kerajaan Mataram agar rakyat Pribumi menjadi lemah. Mereka ingin menguasai tanah air kami. Akan tetapi sikap Tuan berbeda dengan mereka."
"Nona Maya Dewi. Yang jahat itu adalah politik Kerajaan Belanda. Politik itu memang kotor dan orang-orang Belanda yang mejadi alat pemerintah Belanda hanya melaksanakan tugas mereka masing-masing. Saya pribadi menentang politik seperti itu karena berlawanan dengan agama saya. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa bangsa Belanda itu jahat semua. Seperti juga terdapat dalam bangsa apapun di dunia ini, manusia dari bangsa itu tentu ada yang baik dan ada yang jahat. Tidak adil kalau melihat beberapa orang berwatak jahat lalu kita menganggap bahwa bangsa orang itu jahat, atau melihat beberapa orang berwatak baik lalu menganggap bahwa bangsa orang itu baik! Saya yakin bahwa bangsa Belanda juga demikian, di antara orang-orangnya banyak yang baik, akan tetapi banyak pula yang jahat. Dan saya kira semua bangsa di dunia ini pun demikian keadaannya. Karena itulah maka saya menghambakan diri kepada Tuhan untuk menyampaikan berita keselamatan bagi manusia berdosa."
Maya Dewi mengangguk-angguk. Setelah bergaul dekat dengan Bagus Sajiwo ia dapat mengerti apa yang tersirat dalam semua ucapan pendeta itu.
"Tuan, saya masih merasa heran melihat sikap Tuan tadi. Mereka itu nyaris membunuhmu, akan tetapi mengapa engkau sebaliknya malah merawat luka mereka dan bersikap ramah dan baik terhadap mereka yang bertindak jahat terhadapmu?"
"Nona Maya, inti agama saya adalah Kasih, bukan hanya Kasih terhadap sesama kita yang baik saja, bahkan Kasih terhadap mereka yang memusuhi kita. Seluruh hidup saya telah saya serahkan kepada Tuhan. Roh Kudus, Roh Tuhan sendiri membimbing saya, sehingga saya mengasihi siapa saja, termasuk tiga orang tadi. Kasih ini hidup, Nona Maya, tak pernah mati, dan tidak direncanakan, tidak dibuat oleh hati akal pikiran."
"Jadi Tuan tidak membenci mereka, tidak menaruh dendam?"
"Dendam kebencian itu, nafsu keAKUan yang datang dari setan. Kalau ada Roh Kudus dari Tuhan dalam hati, maka kebencian tidak akan dapat mempengaruhi kita."
"Tidak ada manusia sempurna, semua manusia berdosa, termasuk kita, Nona Maya. Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosa kita kalau kita tidak mengampuni kesalahan orang lain kepada kita."
"Wah, kalau begitu tidak ada bedanya pelajaran dalam agama Kristen Tuan dengan agama-agama lain. saya pernah bertemu dan mendengar wejangan dari para pendeta yang beragama Islam, Buddha, Hindu, dan mereka pun mengajarkan kebaikan!"
Pendeta David menangguk-angguk. "Tidak ada Agama yang mengajarkan agar manusia melakukan kejahatan. Agama mengakui adanya Kekuasaan Yang Maha Tinggi, mengakui adanya Tuhan Yang Maha Baik dan percaya bahwa ajaran dalam agama mereka datang dari Tuhan tentu saja juga mengandung pelajaran agar manusia menaati kehendak Tuhan yaitu menuju kebaikan. Puji Tuhan Yang Maha Sempurna dan Maha Kasih!"
"Akan tetapi, saya melihat kenyataan betapa banyak orang beragama melakukan kejahatan yang sebetulnya bertentangan dengan pelajaran agamanya. Iri, dengki, benci, dendam, penindasan, perang, permusuhan, terjadi di mana-mana!"
Pendeta itu tersenyum, "Manusia tidak akan mampu melawan nafsu-nafsunya sendiri, Nona Maya. Setan merupakan penggoda yang amat kuat. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu menolong manusia terbebas dari cengkeraman Kuasa Kegelapan. Seorang pemeluk agama apa pun yang masih melakukan perbuatan menyimpang dari kebenaran, berarti dia belum menghayati pelajaran agamanya. Pelajaran itu hanya merupakan pelajaran belaka, tidak merasuk dalam hati sanubari. Hanya bimbingan Roh Suci dari Tuhan yang akan mempu melepaskan manusia dari pengaruh nafsu setan. Adalah tugas para pemuka agama, para pendeta agama, para pendeta agama masing-masing untuk mengingatkan para umatnya agar menaati pelajaran agama masing-masing yang berasal dari Tuhan."
"Akan tetapi saya mendengar banyak orang beragama saling menyalahkan, saling memburukkan agama lain."
"Itupun hanya ulah manusia, Nona. Agama Kristen melarang kami untuk menghakimi dan menjelek-jelekkan agama lain. Agama adalah Iman. Iman kepercayaan tidak dapat diganggu gugat. Setiap orang berhak untuk mempertahankan kepercayaan masing-masing, namun juga berkewajiban untuk menaati pelajaran agamanya."
"Jadi menurut Tuan, seharusnya bagaimanakah orang beragama itu?" tanya Maya Dewi yang semakin tertarik karena biarpun ucapannya berbeda, namun inti ucapan pendeta ini tidak ada bedanya dengan apa yang sering ia dengar dari Bagus Sajiwo.
"Seharusnya menaati perintah Tuhan yang tersurat dalam kitab agama masing-masing tanpa kecuali, menyerah dengan sepenuh jiwa raga sehingga manusia memperoleh tuntunanNya. Dengan singkat dapat dikatakan : Jadilah umat beragama yang baik, agama apapun juga yang dianutnya."
"Wah, banyak terima kasih, Tuan David. Percakapan ini amat penting dan mengandung banyak manfaat bagi saya." kata Maya Dewi dengan wajah berseri.
"Mari kita berterima kasih kepada Tuhan, Nona Maya, atas kasih karuniaNya yang sudah mempertemukan kita. Dari Dia saja datangnya segala berkat dan bimbingan. Haleluya!"
"Apa artinya itu, Tuan?"
"Berarti Puji Tuhan."
"Saya pernah mendengar seorang sahabat saya mengatakan bahwa untuk mengucapkan puji syukur kepada Tuhan, harus berucap begini : Alhamdulillaahi Robbil 鈥楢alamiin!"
Pendeta David tersenyum mengangguk-angguk. Sebelum ke Jawa, dia sudah lama bertugas di Timur tengah dan dia mengerti arti ucapan dalam bahasa itu.
"Sama saja, Nona Maya. Intinya adalah memuliakan Tuhan, bersyukur atas berkatNya dan beriman kepadaNya. Nah, kiranya cukup Nona. Saya akan melanjutkan perjalanan tugas saya."
"Tuan David, engkau hendak pergi ke mana?"
"Ke mana saja Tuhan membimbing saya, Nona Maya. Saya bertugas untuk menyampaikan Berita Keselamatan agar manusia percaya kepada Tuhan, meninggalkan semua ketahyulan, menjauhkan diri dari Kekuasaan Setan yang mempengaruhi hidupnya, bertaubat dan memperoleh pengampuanNya."
"Engkau tidak takut akan bahaya yang mungkin menimpa dirimu, Tuan?"
"Imanuel (Tuhan beserta kita), kehendak Tuhan terjadilah, saya hanya berserah diri kepadaNya dan apa pun yang terjadi dengan diri saya, enak tidak enak baik atau buruk menurut penilaian pikiran, akan saya terima dengan rasa sukur dan bahagia karena semua itu tentu menurut kehendakNya."
"Ah, semua kata-katamu itu akan selalu saya ingat, Tuan. Selamat jalan!"
"Selamat berpisah, Nona maya. Semoga Tuhan Yang Maha Kasih akan selalu memberkatimu dan semoga Roh Tuhan Yang Kudus akan selalu membimbingmu, amin."
"Amin!" Pendeta David menjulurkan tangan dan Maya Dewi menyambutnya. Mereka bersalaman, lalu Pendeta David melangkah pergi, diikuti pandang mata Maya Dewi. Entah bagaimana, ia seolah melihat Bagus Sajiwo yang melangkah pergi itu dan perasaan rindu memenuhi hatinya.
********************
Peristiwa direbutnya Pasuruan oleh Blambangan dan kemudian Kadipaten pasuruan direbut kembali oleh pasukan Mataram membuat Sang Sultan Agung menjadi marah. Melihat bahwa Blambangan tidak dapat diajak bersatu menghadapi Kumpeni Belanda, bahkan Blambangan dengn bantuan Bali dan Madura, juga didukung Kumpeni Belanda malah memusihi Mataram, Sultan Agung mengambil keputusan untuk melakukan serangan besar-besaran dan menundukkan Blambangan.
Atas perintah Sultan Agung, Mataram lalu menyusun barisan yang amat kuat dan mengerahkan semua senopatinya yang berpengalaman untuk bersiap-siap menggempur Blambangan. Semua senopati Mataram siap, di antara mereka yang terkenal adalah Senopati Suroantani, Pangeran Silarong, Gandek Padurekso, Senopati Aryo, Ki Mertoloyo, Tumenggung Wiroguno, Kyai Juru Kiting, dan masih banyak lagi para perwira.
Selain para senopati dan perwira, kebetulan sekali berturut-turut dalam beberapa hari berdatanganlah para pendekar, para satria yang setia kepada Mataram yang memang diundang oleh Sang Sultan Agung untuk membantu pasukan yang akan menaklukkan Blambangan. Para satria yang berturut-turut datang ke Pasuruan, di antaranya adalah Ki Tejomanik atau Sutejo bersama isterinya Retno Susilo, Lindu Aji dan Sulastri, Parmadi dan Muryani, Ki Cangak Awu dan Pusposari.
Tentu saja pertemuan diantara empat pasang suami isteri pendekar ini gembira sekali dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. Pangeran Silarong menyambut para satria itu dengan penuh penghormatan. Para pendekar itu diminta membantu dalam menghadapi para pimpinan Blambangan nanti, Para satria itu, terutama sekali Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo mengharapkan kedatangan Bagus Sajiwo, akan tetapi pemuda itu tidak kunjung muncul.
Sementara itu di pihak Blambangan juga diadakan persiapan untuk menyusun kekuatan karena mereka dapat menduga bahwa tentu Mataram tidak akan behenti sampai dapat merampas kembali Pasuruan saja. Balatentara Mataram tentu akan datang membalas dengan serangan besar-besaran. Tadinya, pimpinan seluruh pasukan gabungan di Blambangan oleh Adipati Santa Guna Alit di Blambangan diserahkan kepada Bhagawan Kalasrenggi.
Akan tetapi, kini pimpinan itu diperkuat, menjadi pimpinan gabungan terdiri dari Bhagawan Kalasrenggi sebagai wakil Kadipaen Blambangan, Tejakasmala sebagai wakil Kerajaan di Bali, dan Raden Satyabrata sebagai wakil dari Kumpeni Belanda. Dua orang itu dipilih karena semua orang mengetahui bahwa dua orang muda itu masih lebih sakti dibandingkan Bhagawan Kalasrenggi!
Tiga orang ini dibantu Arya Bratadewa dan Ni Candra Dewi dua orang tokoh Banten yang menjadi anak buah Kumpeni Belanda, Resi Sapujagad pertapa dari Merapi, Bhagawan Dewakaton pertapa Gunung Bromo, Kaladhama dan Kalajana yang disebut Dwi Kala murid-murid Bhagawan Kalasrenggi, Raden Dhirasani dan Raden Dhirasanu putera kembar Sang Adipati Blambangan dan kini Raden Dhirasani dibantu oleh Niken Darmini yang menjadi tunangannya, Cakrasakti dan Candrabaya dua orang senopati dari Bali, Ki Dartoko dan gurunya, Kyai Kasmalapati adik seperguruan Bhagawan Kalasrenggi, Made Sukasada dan Kyai Ngurah Pacung dari Bali yang memimpin dua laksa orang perajurit dari Bali untuk membantu Blambangan, dan Ki Randujapang tokoh Madura yang membawa tiga ribu orang pasukan.
Blambangan benar-benar kini mengerahkan segenap kekuatan gabungan untuk menghdapi Mataram! Dan mengingat betapa di pihak Mataram terdapat banyak pula orang yang sakti mandraguna, sang Adipati Blambangan mengutus dua orang putera kembarnya, Dhirasani dan Dhiarasanu, diperkuat pula oleh Tejakasmala, untuk pergi ke Bali, menghadap Sang Bhagawan Ekabrata di gunung Agung, Bali, agar sang pertapa itu berkenan membantu Blambangan menghadapi para tokoh sakti mandraguna yang membela Mataram.
Semua tokoh di Blambangan mengharapkan kedatangan sang Bhagawan Ekabrata yang dapat diandalkan melawan orang-orang sakti mandraguna yang membela Mataram. Akan tetapi yang ditunggu-tunggu tidak datang dan yang muncul malah seorang gadis yang datang menantang Ki Sarwatama yang kini berada di Blambangan menjadi pembantu Satyabarata! Gadis itu adalah Ratna Manohara!
Seperti telah kita ketahui, Ratna Manohara minggat meninggalkan Driya Pawitra, meninggalkan ayahnya, Ki Sarwaguna yang menjadi Ketua Driya Pawitra. Dara ini marah dan merasa malu sekali karena ayahnya telah mempergunakan siasat untuk menjodohkannya dengan Bagus Sajiwo dengan cara menyuruh Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati, dua orang pamannya untuk menyamar dan menculiknya agar ia dotolong Bagus Sajiwo dan agar Niken Darmini yang disangka Joko Darmono itu melihat ia berdekatan dengan Bagus Sajiwo.
Akan perbuatan ayahnya yang berniat menjodohkannya dengan Bagus Sajiwo akan tetapi menggunakan akal licik itu amatlah hebat. Niken Darmini menjadi marah sekali dan nyaris membunuhnya. Sahabat baik itu kini amat membenci ia dan Bagus Sajiwo dengan cara seperti itu, betapapun ia mengagumi pemuda itu! Ia tidak boleh berjodoh dengan Bagus Sajiwo dan menghancurkan hati Niken Darmini!
Semua ini gara-gara ulah pamannya, Ki Sarwatama yang mengkhianati Driya Pawitra, menjadi pembantu Blambangan menyerang Driya Pawitra yang tidak membantu Blambangan memusuhi Mataram! Kalau Ki Sarwatama tidak berulah sebagai pengkhianat, tentu Bagus Sajiwo tidak akan pernah muncul dan hubungan antara Bagus Sajiwo dan Niken Darmini yang menyamar pria itu tidak akan terganggu dan retak. Ia menyesal sekali dan kemarahannya ia tumpahkan kepada paman gurunya, Ki Sarwatama.
Maka dengan nekat ia yang minggat dari ayahnya, kini memasuki Blambangan dan setelah di depan istana Kadipaten Blambangan, ia berteriak-teriak menantang Ki Sarwatama agar keluar! Ia maklum bahwa di situ terdapat banyak orang sakti mandraguna, akan tetapi gadis yang sudah nekat karena marah dan malu ini tidak takut.
"Ki Sarwatama, manusia tak mengenal budi, manusia rendah budi yang mengkhianati perguruan sendiri, keluarlah dan mari membuat perhitungan dengan aku!"
Demikian gadis itu berteriak-teriak marah. Para perajurit jaga maju dan menghadapinya, memandang dengan heran. "Hei, siapakah Andika yang berani membuat ribut di sini?" Perwira pengawal yang memimpin anak buahnya bertugas jaga di depan istana menghardik.
"Aku Ratna Manohara dan tidak ada urusan dengan Blambangan! Aku mencari Ki Sarwatama, pengkhianat perguruan kami. Suruh dia cepat keluar untuk menerima hukuman!"
Ki sarwatama adalah seorang yang baru saja membantu Blambangan dan tidak begitu dikenal oleh para perajurit yang hanya mengenal nama tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi. maka mendengar ucapan Ratna Manohara, mereka saling pandang dan mengira gadis itu hanya mencari keributan.
"Hemm, Andika memang mencari keributan. Kami harus menangkap Andika untuk dihadapkan pimpinan kami agar diselidiki karena sikap Andika mencurigakan!"
Perwira itu memberi isyarat kepada anak buahnya dan dua orang perajurit segera maju menghampiri Ratna Manohara. Tidaklah aneh kalau laki-laki menghadapi wanita cantik lalu muncul ulah nakalnya. Demikian juga dua orang perajurit itu. Melihat Ratna Manohara yang ayu manis dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, tangan-tangan mereka meraih seolah berlomba untuk segera dapat memeluk dan menangkap gadis itu. Akan tetapi Ratna Manohara menggerakkan kedua tangannya, dengan cepat sekali kedua tangan itu menampar.
"Plak! Plak!" Dua orang perajurit itu mengaduh dan terpelanting roboh. Pipi mereka membengkak kebiruan terkena tamparan tangan halus gadis itu. Melihat ini, perwira itu terkejut dan marah. Dia berseru nyaring dan melompat ke depan, menerkam ke arah dara itu. Akan tetapi dia terlalu memandang rendah atau terlalu mengagulkan diri sendiri. Terjangannya luput dan ketika dia membalik, perutnya disambar kaki Ratna Manohara yang mencuat mengirim tendangan.
"Bukk...!" Perwira itu terjengkang dan roboh, mengaduh-aduh sambil menekan perut yang tertendang dan terasa mulas melilit-lilit! Akan tetapi kemarahanannya mengatasi rasa nyerinya dan dia memberi aba-aba kepada sembilan orang perajurit anak buahnya sambil mencabut pedangnya. Ratna Manohara dikeroyok dan gadis ini mengamuk dengan tamparan dan tendangannya. Gerakannya amat cekatan, akan tetapi karena ia tidak ingin melakukan pembunuhan dan tidak ingin bermusuhan dengan pihak Blambangan, ia hanya mempergunakan kaki tangannya, tidak mencabut pedangnya. Para pengeroyok itu berpelantingan dan pada saat itu muncullah Satyabrata.
"Hei, berhenti, jangan mengeroyok seorang gadis! Memalukan sekali!" bentaknya dan para pengeroyok itu menjauh sambil memapah teman-teman yang menjadi korban tamparan atau tendangan Ratna Manohara.
Satyabrata kini berdiri berhadapan dengan Ratna Manohara. gadis itu memandang dengan sinar mata mencorong marah karena ia mengenal Satyabrata yang dulu ikut menyerbu Driya Pawitra dan orang ini amat sakti mandraguna. Dulu pun kalau tidak ada Bagus Sajiwo yang mampu menandinginya, pihak Driya Pawitra tentu kalah dan tidak ada yang mampu mengalahkan laki-laki yang matanya agak kebiruan ini. Satyabrata merasa pernah melihat gadis itu, akan tetapi dia lupa lagi dan tidak mengenalnya. Matanya yang kebiruan bersinar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum genit ketika dia melihat betapa cantik menariknya gadis yang berada di depannya.
"Aih, Adik yang cantik, gadis yang ayu manis, siapakah engkau dan apa engkau datang membuat ribut di depan istana Kadipaten Blambangan?" tanyanya dengan suara ramah dan sikap yang tanpa disembunyikan mengandung berahi.
Ratna Manohara yang biasanya pendiam dan kalau bicara lembut itu kini dapat bicara ketus karena hatinya yang dipenuhi kemarahan. "Aku tidak ada urusan dengan kamu atau siapa saja di Blambangan. Aku hanya hendak bertemu dengan si pengkhianat Sarwatama, manusia tak kenal budi itu! Suruh dia keluar!"
Mendengar itu, tiba-tiba Satyabrata teringat. Dia tersenyum lebar. "Wah, kiranya engkau ini puteri Ketua Driya Pawitra yang keras kepala itu! Bagus sekali! Apakah kini engkau menyadari dan ingin bergabung dengan kami untuk menentang Mataram yang angkara murka? Mari kuantar engkau mengadap Sang Adipati, Nimas!"
"Aku tidak sudi berurusan dengan kamu! aku ingin bertemu Sarwatama!" Ratna Manohara membentak.
Satyabrata tetap tersenyum walaupun hatinya mendongkol. "Nimas, setelah engkau berani muncul di sini, mau atau tidak mau, dengan suka rela atau paksaan, engkau harus menghadap Sang Adipati! Marilah!"
Satyabrata menjulurkan tangan hendak menggandeng tangan gadis itu. Ratna Manohara tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia menarik tangannya lalu menampar dengan tangan kanan. Tamparannya itu cepat sekali dan kini ia menyertai dengan tenaga saktinya karena ia maklum bahwa ia berhadapan dengan orang yang tangguh sekali. Akan tetapi dengan mudah Satyabrata mengelak lalu membalas bukan dengan serangan pukulan, melainkan dengan sambaran tangan hendak menangkap gadis itu.
Ratna melompat menghindarkan diri dan menyerang lagi. Mereka berdua berkelahi, akan tetapi kalau Ratna menyerang dengan tamparan atau tendangan yang dahsyat dan bersungguh-sungguh, sebaliknya Satyabrata hanya membalas dengan serangan untuk menangkap. Dan ternyata memang tingkat kesaktian Satyabrata jauh melebihi tingkat kepandaian Ratna sehingga gadis ini sebentar saja terdesak dan beberapa kali lengannya dapat ditangkap, akan tetapi ia berhasil merenggutnya lepas kembali. Karena merasa tidak akan menang melawan orang sakti itu, Ratna lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan ganas.
Satyabrata tetap bertangan kosong, akan tetapi selain mengelak, terkadang dengan tangan kosong dia berani menangkis sambaran pedang Ratna! Tiba-tiba Raden Satyabrata mengeluarkan suara tawa tang aneh. Suara tawa yang bercampur tangis, seperti tawa seorang yang miring otaknya, akan tetapi suara tawa itu mengandung getaran yang menggiriskan dan mendatangkan kengerian dalam hati Ratna Manohara. Gadis ini bergidik ngeri mendengar tawa itu.
Tiba-tiba Raden Satyabrata mengeluarkan sehelai saputangan seperti menyerang ke depan muka Ratna, gadis itu mencium bau yang aneh dan keras, dan ia mengeluh lalu terhuyung akan jatuh, pedangnya terlepas dari tangannya. Satyabrata cepat merangkulnya sehingga gadis itu tidak roboh. Ia terkulai dalam pondongan Satyabrata karena ia telah pingsan, terbius bubuk obat bius yang terkandung dalam saputangan kuning yang dikebutkan Satyabrata tadi.
Satyabrata tertawa-tawa dan memondong tubuh yang denok itu, membawanya masuk ke pendopo istana Kadipaten Blambangan dengan niat membawa Ratna ke kamarnya sendiri yang disediakan oleh Sang Adipati untuk dirinya! Akan tetapi tiba-tiba muncul Dhirasanu, adik kembar Dhirasani putera Sang Adipati Blambangan menghadang Satyabrata yang memondong tubuh Ratna Manohara yang pingsan.
Pemuda ini tadi mendengar laporan seorang perajurit pengawal tentang gadis yang datang mencari Ki Sarwatama dan mengamuk. Dia terkejut dan menduga bahwa gadis itu tentulah Ratna Manohara yang dalam pertemuan pertama dahulu telah menjatuhkan hatinya. Maka bersama selosin orang perajurit pengawal dia cepat keluar dari dalam istana Kadipaten Blambangan dan bertemu dengan Satyabrata yang memondong tubuh seorang gadis yang pingsan. Begitu berhadapan dan melihat wajah gadis itu, Dhirasanu segera mengenal Ratna Manohara.
"Kakangmas Satyabrata, gadis itu akan Andika bawa ke mana?"
Satyabrata menjadi agak gugup. Bagaimanapun juga dia berhadapan dengan putera Sang Adipati atau keluarga tuan rumah yang berkuasa. "Ah, Adimas Dhirasani..."
"Saya Dhirasanu, Kakangmas..."
"Oh, maaf. gadis ini mengamuk di depan istana, maka saya lalu keluar dan berhasil menangkapnya"
"Bagus sekali, saya sudah mendengar akan munculnya gadis ini. Syukur Andika telah berhasil menangkapnya. Serahkan kepada kami dan kami akan memasukkannya dalam kamar tahanan."
Tentu saja Satyabrata tidak dapat membantah karena tawanan itu tentu saja menjadi hak Kadipaten Blambangan. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membawa tawanan, seorang gadis pula, ke dalam kamarnya sendiri. Biarpun hatinya merasa kecewa dan mendongkol, namun terpaksa dia menyerahkan Ratna Manohara kepada Dhirasanu yang memerintahkan para perajurit untuk menggotong tubuh gadis itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan. Dengan tegas Dhirasanu memesan kepada para perajurit yang bertugas jaga di tempat tahanan agar memperlakukan gadis itu dengan baik, tidak mengganggunya dan bersikap hormat kepadanya. Juga dia menyuruh seorang pelayan wanita setengah tua melayani gadis tawanan itu.
Pengaruh obat bius yang membuat Ratna Manohara jatuh pingsan itu kekuatannya hanya beberapa jam saja. Ratna siuman dari pingsannya dan ia mendapatkan dirinya rebah telentang di atas sebuah pembaringan yang bersih, akan tetapi kamar di mana ia berada tampak asing. Hanya ada sebuah meja dan dua buah kursi di situ, selain pembaringan di mana ia rebah. Ketika ia bangkit duduk, ia melihat seorang wanita setengah tua berpakaian pelayan duduk di atas lantai.
"Siapakah, engkau, Bibi?" tanyanya.
"Saya Nyai Semi, abdi dalem (pelayan) di istana Kadipaten Blambangan yang bertugas melayani Andika, Den Roro."
Ratna Manohara teringat bahwa ia bertanding melawan laki-laki bermata kebiruan yang sakti itu dan mencium bau keras lalu tak ingat apa-apa lagi. "Di mana aku berada?" Ia bangkit lalu menghampiri meja dan duduk di atas sebuah kursi.
"Andika berada dalam rumah tahanan kadipaten, Den Roro"
"Siapa yang memasukkan aku ke sini? Apakah laki-laki bermata kebiruan yang menangkap aku?"
"Bukan, Den Roro. Memang Andia ditangkap oleh Raden Satyabrata orangnya Kumpeni itu, akan tetapi lalu diminta oleh Raden Bagus Dhirasanu dan dimasukkan di sini dan saya diperintahkan untuk melayani Andika."
"Hemm, kalau begitu aku mau pergi dari sini!" Ratna Manohara bangkit berdiri, berniat keluar dan kalau perlu mengamuk dan memaksa keluar dengan kekerasan.
"Aduh, Den Roro, Gusti Pangeran Muda..."
"Siapa itu Gusti Pangeran Muda?"
"Raden Bagus Dhirasanu, sedang Pangeran Tua adalah kakak kembarnya, Raden Bagus Dhirasani. Raden Bagus Dhirasanu memesan kepada saya agar membujuk Andika jangan mencoba melarikan diri dari sini. Di luar terdapat pasukan yang akan merintangi, Den Roro. Terdapat pula orang-orang yang sakti mandraguna. Kalau Andika melarikan diri lalu terluka atau tertawan lagi, akan sukarlah bagi Raden Dhirasanu untuk menolongmu. Beliau memesan kepada saya agar Andika suka menanti dengan sabar. Den Bagus Dhirasanu akan datang sendiri dan menjelaskan kepada Andika, den Roro"
Mendengar ini, Ratna Manohara menahan diri. Benar juga, pikirnya. Di luar ada orang-orang yang sakti dalam jumlah banyak. Tidak mungkin ia dapat meloloskan diri kalau ia nekat menggunakan kekerasan. Ia tidak tahu apa yang dikehendaki Dhirasanu, dan ia pun hanya baru sekali pernah bertemu dengan pemuda putera Adipati Blambangan itu.
"Baiklah, Bibi. Aku akan menanti dan mendengarkan apa yang hendak dia katakan."
Karena mendapat pelayanan dengan hormat dan baik, tidak seperti seorang tawanan, maka Ratna Manohara bersikap sabar. Ia mau mandi dan mau pula berganti pakaian yang disediakan oleh Nyai Semi, mau pula makan hidangan yang disuguhkan. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa saat itu, Raden Dhirasanu sedang berdebat sengit dengan ayahnya. Adipati Santa Guna Alit mendapat laporan dari Satyabrata bahwa dia menangkap seorang gadis, puteri Ketua Driya pawitra yang pernah membangkang bahkan melawan Kadipaten Blambangan. Dia hendak menghukum gadis itu, akan tetapi gadis benama Ratna Manohara itu dilindungi oleh Raden Dhirasanu dan diperlakukan sebagai tamu.
Mendengar ini, Sang Adipati Blambangan menjadi marah dan memanggil puteranya. Raden Dhirasanu ditemani kakak kembarnya menghadap sang Adipati bersama ibu mereka dan para selir Sang Adipati. Karena ini merupakan masalah keluarga, maka yang hadir hanyalah keluarga Sang Adipati. Tidak ada orang luar diperkenankan masuk ruangan itu, bahkan para abdi dalem juga tidak.
"Kanjeng Rama," Raden Dhirasanu membantah ketika ayahnya menegurnya dan menghendaki gadis puteri Ketua Driya Pawitra itu diserahkan kepada Raden Satyabrata yang berhak menghukumnya karena wakil Kumpeni Belanda itu yang menangkapnya. "Diajeng Ratna Manohara bukanlah musuh kita, maka saya merasa keberatan kalau ia harus dihukum, apalagi diserahkan kepada Raden Satyabrata!"
"Dhirasanu! Tidak tahukah engkau bahwa Driya Pawitra telah melawan kita? Siapa tahu puteri Ketua Driya Pawitra telah menjadi mata-mata Mataram! Ia harus dihukum!"
"Tidak mungkin, Kanjeng Rama. Dahulu, Driya Pawitra berada di wilayah kadipaten Blambangan. Mereka adalah kawula Balmbangan. Diajeng Ratna Manohara tidak memusuhi Blambangan. Ia hanya tidak mau ikut berperang. Kalau mereka itu melawan Blambangan adalah karena mereka diserang oleh orang-orang kita! Ia tidak berdosa, Kanjeng Rama."
"Dhirasanu! Apakah engkau hendak membela musuh?" Adipati Blambangan membentak marah.
"Maaf, Kanjeng Rama" tiba-tiba Raden Dhirasani berkata. "Saya kira Adimas Dhirasanu tidak keliru kalau membela Ratna Manohara. Kalau gadis itu dapat dibujuk membantu kita, bukankah hal itu menguntungkan? Sebagai kawula Blambangan, mungkin saja Ratna Manohara mau menyadari kesalahannya dan sekarang mau membantu Blambangan, seperti halnya Niken Darmini." Raden Dhirasani membantu adik kembarnya.
"Hemm, kalau Niken Darmini lain lagi. Ia datang ke Blambangan bukan sebagai pengacau yang membuat keributan seperti Ratna Manohara. Sampai sekarang Perguruan Driya Pawitra masih bersikap memusuhi kita, Bagaimana mungkin kita dapat menerima puteri ketuanya dengan baik?"
"Bagaimanapun juga, saya akan menghalangi siapa saja yang hendak mengganggu Diajeng Ratna Manohara!"
Setelah berkata demikian, dengan muka merah Raden Dhirasanu meninggalkan ruangan itu. Sang Adipati mengerutkan alisnya dan bertepuk tangan memanggil pengawal. Perwira pengawal pribadi muncul dan Sang Adipati berkata kepadanya.
"Amati tawanan itu dan jaga jangan sampai ia lolos dari rumah tahanan!"
Perwira itu memberi hormat dan cepat keluar dari ruangan itu. Pangeran Dhirasani juga keluar dari ruanan itu tanpa sepatah katapun, dan dari sikapnya jelas bahwa dia merasa tidak puas dengan apa yang terjadi dengan adik kembarnya. Sementara itu, di rumah tahanan juga terjadi hal yang menarik. sehabis makan, Ratna Manohara duduk di dalam kamar itu ditemani Nyai Semi yang melayaninya dengan sikap ramah dan horma.
Tiba-tiba terdengar langkah orang di pintu kamar ahanan. Ratna Manohara menoleh dan matanya terbelalak keheranan melihat siapa yang memasuki kamar tahanan itu. Seorang gadis cantik berpakaian mewah dan siapa lagi kalau bukan Niken Darmini!
"Niken... !" Ratna Manohara bangkit dari kursinya.
Niken Darmini memandang dan dari wajahnya Ratna Manohara dapat melihat bahwa Niken Darmini merasa tidak senang hatinya. "Engkau keluarkah!" kata Niken Darmini kepada Nyai Semi.
Pelayan wanita itu dengan hormat lalu bangkit dan berjalan membungkuk hormat, keluar dari amar tahanan itu. Agaknya ia taat sekali kepada Niken Darmini. Niken Darmini duduk berhadapan dengan Ratna Manohara.
"Duduklah!" Niken Darmini dengan sikap kaku. Ratna Manohara segera duduk di depannya. "Ratna, engkau yang sudah senang-senang berada di Parangsari bersama Bagus Sajiwo, mengapa tersesat keluyuran sampai di sini?"
Pertanyaan itu diucapkan dengan suara yang mengandung kemarahan, mengingat betapa sahabatnya itu telah menyakiti hatinya, merebut Bagus Sajiwo darinya, walaupun sekarang ia sudah mulai melupakan pemuda itu.
Ratna Manohara menghela napas panjang lalu memandang wajah Niken Darmini dengan sinar mata tajam lalu berkata dengan suara mengandung penyesalan.
"Niken, aku tahu bahwa engkau marah dan kecewa kepadaku, menganggap aku seorang yang telah bertindak jahat dan curang, menganggap aku seorang gadis yang tidak tahu malu. Akan tetapi, Niken, semua anggapanmu itu keliru. Sejak semula aku sudah hendak memberi tahu kepadamu, akan tetapi engkau keburu marah. Dan sekarang aku bahkan mendapat kenyataan bahwa kesemuanya itu telah diatur, dan yang mengaturnya adalah Ayahku sendiri. Sungguh membuat aku merasa menyesal dan malu, Niken!"
Setelah berkata demikian, Ratna Manohara menggunakan punggung lengannya untuk mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya. Niken Darmini menatap wajah Ratna dan mengerutkan alisnya. tentu saja ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan Ratna dengan kata-katanya itu.
"Apa maksudmu, Ratna? Apa yang telah terjadi?"
Harus ia akui bahwa kini kemarahan dan penyesalannya terhadap sahabatnya itu telah mereda karena ia tidak begitu merasa telah kehilangan Bagus Sajiwo setelah ia bertemu dengan Pangeran Dhirasani dan diperlakukan baik sekali oleh keluarga Adipati Blambangan.
"Dengarkanlah, Niken. Aku hendak menceritakan segalanya dengan sejujurnya walaupun yang kuceritakan ini akan membuka rahasia keburukan Ayahku sendiri. Ketahuilah bahwa malam peristiwa itu, aku sedang tidur dibius orang sehingga tidak sadar. Dan dalam keadaan tidak sadar itu, aku dibawa oleh dua orang keluar dari perkampungan kami menuju ke sebuah gua di lereng puncak bukit. Setelah aku siuman, aku sudah dalam keadaan terikat kaki tanganku dalam sebuah gua dan dua orang yang tidak dapat kulihat mukanya karena gelap, mengeluarkan ancaman-ancaman yang mengerikan, lebih mengerikan daripada kematian. Aku menjadi ngeri dan selama hidupku baru sekali itu aku benar-benar merasa ketakutan karena mereka mengancamku akan mempekosaku beramai-ramai dengan belasan orang kawan mereka. Akan tetapi dua orang itu hanya mengeluarkan ancaman-ancaman yang menakutkan, tidak menggangguku sama sekali. Menjelang pagi, mereka berdua meninggalan aku dalam gua, mengatakan bahwa mereka hendak memanggil belasan orang kawan mereka untuk beramai-ramai menghinaku! Dapat kau bayangkan betapa ngeri dan takut perasaanku pada saat itu. Tiba-tiba muncul Kakangmas Bagus Sajiwo yang membebaskan aku dan mengajakku keluar dari dalam gua. Dapat kau bayangkan betapa aku lega, bersyukur, dan terharu sekali dapat terbebas dari ancaman malapetaka yang mengerikan itu. Aku demikian terharu sehingga aku menangis dalam rangkulan Kakangmas Bagus Sajiwo yang menghiburku. Nah, pada saat itulah engkau muncul dan melihat keadaan kami, engkau mengira aku bersama dia bermain gila semalam dalam gua dan engkau menyerang seperti gila. Engkau telah salah sangka sama sekali, Niken!"
Niken Darmini tertegun mendengarkan cerita itu. Ia tahu bahwa Ratna tidak mungkin berbohong. Ia mengenal benar siapa Bagus Sajiwo. Rasanya memang tidak mungkin Bagus sajiwo bertindak serendah itu! sampai lama ia termenung, hatinya yang tadinya masih panas ketika bertemu Ratna kini mulai menjadi dingin.
"Hemm... begitukah? Lalu... apa maksudmu tadi ketika mengatakan bahwa semua itu telah diatur oleh Ayahmu?"
"Tadinya aku tentu saja tidak tahu akan hal itu, akan tetapi aku terkejut ketika seminggu kemudian, setelah Kakangmas Bagus Sajiwo meninggalkan kami, Ayah bermaksud menjodohkan aku dengan kakangmas Bagus Sajiwo. Aku terkejut, sama sekali tidak ingin merebut Kakangmas Bagus Sajiwo darimu, maka aku menolak dan memberitahu kepada Ayahku bahwa Joko Darmono adalah Niken Darmini yang mencinta Kakangmas Bagus Sajiwo. Mendengar ini, Ayah terkejut dan akhirnya mengaku bahwa peristiwa yang menimpa diriku itu memang sengaja diatur olehnya."
"Diatur bagaimana? Dan mengapa?"
"Ayah salah sangka. Dia mengira bahwa engkau adalah seorang pemuda dan melihat kita berdua akrab, dia mengira bahwa kita berdua saling mencinta. Ayah tidak setuju karena ingin menjodohkan aku dengan Kakangmas Bagus Sajiwo. Maka dia mengatur semua itu. Yang pura-pura menjadi penculikku adalah dua orang paman guruku sendiri. Mereka sengaja menakut-nakuti aku sehingga ketika dibebaskan Kakangmas Bagus Sajiwo, aku menjadi terharu dan merasa berhutang budi. Ini dimaksudkan agar aku tertarik kepadanya. Kemudian dia mengatur agar engkau melihat aku bersama Kakangmas Bagus Sajiwo sehingga engkau sebagai Joko Darmono akan melihat bahwa aku saling mencinta dengan Kakangmas Bagus Sajiwo sehingga engkau sebagai Joko Darmono akan melihat bahwa aku saling mencinta dengan Kakangmas Bagus Sajiwo. Semua siasat itu ditujukan untuk menjauhkan aku dari Joko Darmono dan mendekatkan aku dengan Kakangmas Bagus Sajiwo."
Tiba-tiba Niken Darmini tertawa geli. Muncul lagi wataknya yang jenaka dan suka berkelakar. Ia melihat kelucuan dalam peristiwa itu, tentu saja karena merasa kehilangan Bagus Sajiwo telah terobati.
"Heh-he-he-he-hi-hik! Lucu sekali! Paman Sarwaguna menggunakan akal licik. Hemm, kalau aku masih menjadi Joko Darmono aku tentu akan marah sekali kepadanya, dipisahkan dari gadis kekasihku!"
"Maafkan Ayahku, Niken. Dan kebetulan kita bertemu di sini, maka kesempatan ini akan kupergunakan untuk minta maaf kepadamu. Sungguh mati, aku tidak bermaksud merampas Kakangmas Bagus sajiwo darimu."
"Ah, tidak ada masalah, Ratna. Setelah mendengarkan ceritamu tadi, aku sudah tidak marah lagi kepadamu. Malah aku yang minta maaf kepadamu, Ratna, karena aku ternyata salah sangka. Engkau seorang sahabat yang baik."
Di luar rumah tahanan itu terdengar seruan petugas jaga. "Siap, Raden Dhirasanu datang. Beri hormat!"
"Ah, aku pergi dulu, Ratna." kata Niken Darmini yang bergegas keluar.
"Terima kasih, Niken!" kata Ratna Manohara dan ia menanti datangnya Pangeran Dhirasanu yang telah menyelamatkan ia dari tangan Raden satyabrata.
Raden Dhirasanu memasuki kamar tahanan itu dan tersenyum ramah kepada Ratna Manohara yang bangkit dari tempat duduknya menyambut kedatangan pangeran itu. Akan tetapi dari sinar mata Pangeran itu, Ratna dapat mengetahui pemuda itu sedang gelisah.
"Diajeng Ratna Manohara, aku tidak akan berpanjang kata karena keadaannya gawat dan mendesak. Singkatnya, mereka semua menghendaki agar Andika dihukum. Akan tetapi jangan khawatir, aku akan membela dan melindungimu. Mari, Diajeng, kita harus pergi sekarang sebelum mereka bertindak!"
Ratna Manohara memang ingin sekali melarikan diri dari tempat tahanan itu, maka mendengar ucapan pangeran itu, ia segera bangkit.
"Ini pedangmu yang disita seorang perajurit."
Gadis itu girang menerima pedangnya dan ia lalu mengikuti pemuda itu keluar dari kamar tahanan. Di depan pintu rumah tahanan itu, belasan orang perajurit menghadang dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Pangeran Dhirasanu membentak.
"Mau apa kalian? Hayo minggir!"
Tentu saja para perajurit itu tidak ada yang berani menghalangi Raden Dhirasanu. Mereka minggir dan beberapa orang di antara mereka segera memberi kabar kepada pimpinan mereka. Akan tetapi, para perwira Blambangan juga tidak ada yang berani menentang Dhirasanu, maka banyak perajurit yang berada di luar rumah tahanan itu hanya dapat memandang dengan bengong ketika Dhirasanu dengan keris di tangan mengawal Ratna Manohara yang juga memegang pedangnya, siap melakukan perlawanan.
Raden Dhirasanu mengajak Ratna Manohara menuju ke kandang kuda karena dia hendak mengjak gadis itu melarikan diri keluar dari kota kadipaten dengan menuggang kuda. Para petugas di kandang kuda tentu saja juga tidak ada yang berani menghalangi Dhirasanu yang memilih dua ekor kuda terbaik bersama Ratna. Akan tetapi ketika mereka menuntun dua ekor kuda itu keluar dari bangunan kuda, mereka dihadang Bhagawan kalasrenggi, Tejakasmala, dan Raden Setyabrata yang datang setelah menerima laporan beberapa orang perwira.
Melihat mereka, tentu saja Ratna Manohara terkejut dan maklum bahwa ia menghadapi bahaya besar. Tak mungkin ia dapat menandingi tiga orang tokoh yang sakti mandraguna itu. Akan tetapi, Raden Dhirasanu melepaskan tali kekang kudanya dan berdiri di depan Ratna dengan sikap melindungi.
"Paman Bhagawan, saya minta agar semua minggir jangan menghalangi kami berdua!"
"Raden Dhirasanu, Angger, ingatlah bahwa gadis ini adalah musuh kita!"
"Tidak, Paman. Andika sekalian boleh menganggap ia sebagai musuh, akan tetapi saya tidak menagnggapnya sebagai musuh. Saya tidak ingin ia dijadikan tawanan!" berkata Dhirasanu dengan sikap tegas dan gagah.
"Adimas pangeran Dhirasanu, mengapa Andika bersikap begini? Bagaimana mungkin Andika kini bahkan membela pihak musuh? Apakah itu tidak bertentangan dengan kedudukan Andika sebagai seorang pangeran Kadipaten Blambangan?" kata Tejakasmala mengingatkan.
"Kakang Tejakasmala, Andika agaknya lupa akan pesan dan nasihat guru kita. Bukankah beliau berpesan agar kita dalam membela Kerajaan Blambangan tidak melakukan perbuatan yang jahat? Diajeng Ratna Manohara ini datang bukan sebagai musuh Blambangan, melainkan hendak membalas pengkhianatan paman gurunya, Ki Sarwatama. Akan tetapi mengapa ia ditangkap dan ditawan? Tidak, ia harus dibebaskan!"
"Ha-ha-ha, tidak semudah itu!" tiba-tiba Satyabrata tertawa dan berkata lantang. "Akulah yang menangkapnya, maka gadis ini menjadi hak milikku. Berikan ia kepadaku, Raden Dhirasanu!"
"Tidak! Kalau andika sekalian memaksa hendak menangkap Diajeng Ratna Manohara, kalian langkahi dulu mayatku!" Raden Dhirasanu menantang.
"Siapa pun tidak boleh menghalangi Adimas Dhirasanu. Yang hendak menghalangi harus berhadapan dulu dengan aku!"
Tiba-tiba terdengar bentakan itu dan muncullah Raden Dhirasani bersama Niken Darmini! Juga pangeran ini sudah memegang kerisnya dan Niken Darmini memegang sabuk merah dan kerisnya, Mereka siap untuk berkelahi dan kini mereka berdua berdiri di samping Dhirasanu dan Ratna Manohara! Kiranya tadi Niken Darmini melapor kepada Dhirasani dan membujuk pangeran itu untuk membela Dhirasanu dan Ratna Manohara! Dua pasang orang muda itu siap melawan dengan sikap gagah. Tentu saja semua orang meragu dan bingung karena yang memberontak itu adalah pangeran kembar putera sang Adipati Blambangan! Kembali Satyabrata tertawa.
"Ha-ha-ha, apa sih sulitnya menangkap gadis itu tanpa harus melangkahi mayat sepasang pangeran? Biar aku yang menangkapnya!"
Akan tetapi sebelum Raden Satyabrata bergerak, terdengar dari belakang suara yang berwibawa. "Mundur semua...!"
Ketika semua orang mengenal bahwa yang membentak itu adalah sang Adipati santa Guna Alit sendiri, maka semua lalu mundur memberi jalan. Satyabrata sendiri, walaupun dengan senyum sinis, tetap saja harus mundur. Kini sang Adipati Blambangan melangkah maju menghampiri dua orang puteranya.
"Dhirasani dan Dhirasanu, apa yang kalian lakukan ini? Apakah kalian kedua orang puteraku hendak berkhianat kepada kerajaan kita sendiri?"
"Sama sekali tidak, Kanjeng Rama!" kata Dhirasani yang lebih pandai bicara dibandingkan adik kembarnya yang lebih pendiam. "Adimas Dhirasanu hanya ingin melindungi Ratna Manohara karena dia mencinta gadis itu seperti saya mencinta Niken Darmini!"
Sang Adipati menghela napas panjang, termenung sejenak lalu berkata, "Baiklah. Akan tetapi bawa kedua orang gadis ini keluar dari Kadipaten Blambangan agar kelak mereka tidak secara diam-diam menjadi mata-mata Mataram!"
Raden Dhirasani lalu menuntun kudanya, diikuti Ratna Manohara yang juga menuntun kudanya. Pada saat itu, Raden Dhirasani juga memasuki kandang kuda dan menuntun keluar seekor kuda, diikuti pula oleh Niken Darmini yang juga menuntun seekor kuda. Mereka berdua mengikuti Raden Dhirasanu dan Ratna Manohara.
"Dhirasani!" Sang Adipati Blambangan berseru. "Mau ke mana engkau?"
"Kanjeng Rama, saya juga mau pergi bersama Diajeng Niken Darmini. Kami berdua Adimas Dhirasanu sudah tidak betah berada di antara para pembantu Kanjeng Rama yang sepak terjangnya sudah menyimpang dari dugaan dan harapan kami semula. Selamat tinggal dan maafkan kami berdua, Kanjeng Rama." Dhirasani cepat meninggalkan tempat itu bersama Niken Darmini.
"Apakah kami harus mencegah mereka pergi?" tanya Bhagawan Kalasrenggi.
Sang Adipati Blambangan menggelengkan kepala dan menggoyang tangan kirinya yang diangkat ke atas. "Biarkan mereka pergi. Kelak mereka akan menyadari kekeliruan mereka dan pulang. Aku tidak ingin ada yang mengganggu mereka!"
Tentu saja tidak ada satu orangpun yang berani membantah. Biarpun ada seorang yang merasa tidak puas, yaitu Raden Satyabrata, namun dia juga diam saja. Dia ditugaskan oleh Kumpeni Belanda untuk membantu Blambangan melawan Mataram, bukan karena Belanda berpihak kepada Blambangan, melainkan karena permusuhan dan perang antara penguasa daerah ini yang dikehendaki Belanda agar melemahkan mereka sendiri sehingga kelak akan mudah dikuasai.
Sang Adipati Santa Guna Alit mengadakan rapat pertemuan dengan semua sekutu dan pembantunya untuk merundingkan kemungkinan perang dalam waktu dekat karena mereka menduga bahwa Mataram tentu akan membalas dan menyerang Blambangan. Ada yang istimewa dalam rapat pertemuan itu sekali ini karena tamu yang mereka hormati dan agungkan, yang telah diundang dengan hormat oleh sang Adipati Blambangan, telah datang dan hadir dalam rapat pertemuan itu.
Tamu undangan itu adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh lima tahun, rambut, kumis, jenggot dan pakaiannya semua putih bersih. Sikapnya halus, bicara lembut dan tubuhnya sedang dan tegak. Sepasang matanya lembut dan penuh pengertian, akan tetapi terkadang mencorong dan berkilat. Kakek ini adalah Bhagawan Ekabrata, pertapa di Gunung Agung, Bali yang datang atas undangan Adipati Blambangan. Tejakasmala sendiri, murid utama kakek itu, yang menjalankan perintah sang Adipati untuk mengundangnya.
Setelah Sang Adipati memberi hormat dengan sembah kepada Sang Bhagawan Ekabrata yang duduk di kursi kehormatan, sementara itu semua sekutu dan pembantunya duduk diam dengan sikap hormat, kecuali Raden Satyabrata yang tersenyum sinis, Sang Adipati Santa Guna Alit lalu berkata.
"Pamanda Bhagawan yang mulia, sekali lagi di hadapan para senopati, wakil dari Blambangan, Bali, dan Madura, kami menghaturkan selamat datang dan terima kasih kepada Pamanda yang sudah berkenan menghadiri petemuan ini. Saya sudah menceritakan keadaan kami sehubungan dengan perjuangan kami melawan Mataram yang angkara murka. sekarang kami mohon kepada Pamanda, sudilah kiranya Pamanda membantu kami dengan nasihat, apa yang harus kami lakukan untuk dapat mencapai kemenangan dari pihak Mataram.
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan menanti jawaban dari pertapa itu. Bhagawan Ekabrata memejamkan kedua matanya, menarik napas panjang berulang kali sebelum menjawab dengan suaranya yang lembut namun penuh wibawa.
"Perang mrupakan peristiwa paling buruk dan kejam yang menimpa manusia. Baik yang keluar sebagai pemenang maupun yang kalah sudah pasti menderita seusai perang, kehilangan harta benda dan nyawa para warganya. perang memupuk kekejaman, melahirkan dendam kebencian. Terus terang saja, aku tidak suka akan perang, Ananda Adipati!"