Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Pertama Cintamedia, Jakarta
Episode
Asmara Maut
Karya Teguh S
Penerbit Pertama Cintamedia, Jakarta
Episode
Asmara Maut
SATU
SEEKOR kuda hitam legam dan kekar berjalan lambat-lambat mendekati sebuah pondok kecil beratapkan rumbia di tengah-tengah Hutan Ganda Mayit. Saat itu matahari belum lagi menampakkan sinarnya. namun burung-burung sudah berkicau riuh disambut kokok ayam hutan. Sebentar lagi sang surya akan muncul, kabut masih kelihatan tebal menyelimuti seluruh hutan ini.
Kuda hitam itu berhenti tepat di depan pondok. Kaki depannya menggaruk-garuk tanah dengan kepala terangguk-angguk. Di atas punggungnya yang kekar berotot, terkulai seseorang mengenakan baju warna biru yang sudah compang-camping di beberapa tempat. Rambutnya yang panjang hitam, tergerai menutupi wajahnya. Darah masih menitik dari luka-luka di tubuhnya.
Kreeekkk...
Pintu pondok itu terkuak perlahan-lahan. Dari dalam muncul seorang wanita tua bungkuk mengenakan pakaian kumal yang sudah pudar warnanya. Wanita tua itu kelihatan terkejut melihat ada kuda di depan pondoknya. Lebih terkejut lagi dia manakala melihat ada seseorang terkulai di punggung kuda itu.
Dengan langkah terseret, perempuan itu bergegas menghampiri. Tangan yang kecil keriput itu, ternyata dengan mudah bisa menurunkan penunggang kuda itu. Tubuh terbalut baju biru dengan banyak luka, dikepit di ketiaknya. Kembali dia menyeret kakinya masuk ke dalam pondok.
Bagaikan mengangkat sekarung kapas saja layaknya, dan ringan sekali dia meletakkan tubuh itu di balai-balai bambu yang beralaskan tikar pandan.
"Ah, cantik sekali.... Kenapa bisa terluka...?" desahnya bergumam pada diri sendiri.
Tubuh ramping yang tergolek di atas balai-balai bambu itu memang seorang wanita muda yang cantik berkulit putih bersih. Dari senjata yang terselip di perutnya, dan pedang yang tersampir di punggung, sudah dapat dipastikan kalau wanita itu adalah Pandan Wangi.
"Kajar...!" teriak perempuan tua bungkuk itu memanggil seseorang.
"Ya, Nek...!" sebuah suara kecil menyahuti, disusul munculnya seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun.
"Nek Ringgih memanggilku?"
"Iya! Cepat ke sini!"
"Lho! Siapa itu, Nek?" Kajar kaget melihat ada orang terbaring di balai-balai.
"Jangan banyak tanya, cepat siapkan ramuan luka luar!" sentak Nek Ringgih.
Kajar bergegas kembali ke belakang. Sementara Nek Ringgih mencopot seluruh pakaian Pandan Wangi. Dia mengambil kain lusuh dan menutupi tubuh polos itu. Nek Ringgih memandangi dua senjata di tangannya, lalu meletakkannya di atas kepala Pandan Wangi. Dua buah senjata yang berlainan bentuknya. Satu bentuknya pedang biasa, satunya lagi berupa kipas dari baja putih. Senjata kipas itulah yang membuat nama Pandan Wangi terkenal sebagai si Kipas Maut.
Nek Ringgih memeriksa tubuh yang penuh luka itu. Kebanyakan luka-lukanya hanya goresan-goresan. Memang ada beberapa yang cukup dalam. Kepala perempuan tua itu tergeleng-geleng beberapa kali. Bibirnya yang keriput kempot, berdecak-decak bagai cicak.
"Sudah, Nek," Kajar muncul lagi membawa sebaskom air dan beberapa ramuan terbungkus kain putih.
"Taruh di situ," kata Nek Ringgih menunjuk meja kecil dekat balai-balai bambu ini.
Kajar memperhatikan Nek Ringgih mengobati luka-luka di tubuh Pandan. Setiap jenis ramuan dan keadaan luka diperhatikan dengan seksama. Otaknya berputar mengingat-ingat semua yang dilakukan Nek Ringgih.
"Bagaimana, Nek?" tanya Kajar setelah Nek Ringgih membasuh tangannya di baskom. "Siang nanti juga sudah sadar," sahut Nek Ringgih seraya bangkit berdiri.
"Tunggui dia, aku mau cari daun-daunan dulu."
"Iya, Nek."
"Oh...," Pandan Wangi merintih lirih.
Kajar menatap Pandan Wangi yang mulai sadarkan diri. Dia segera menghampiri dan mengambil kain basah, lalu diletakkan di kening gadis itu. Sedikit demi sedikit Pandan Wangi membuka kelopak matanya. Dia memijat-mijat keningnya yang terasa mau pecah berdenyut-denyut Pandangannya masih kabur berkunang-kunang. Kepalanya bagai terbelenggu ribuan kati besi.
"Nek...! Dia sudah sadar!" teriak Kajar keras.
Nek Ringgih tergopoh-gopoh datang menghampiri. Langkahnya terseret dengan tubuh bungkuk. Tapi dia tidak menggunakan tongkat untuk membantu berjalan.
"Ohhh..., di mana aku...?" rintih Pandan Wangi lirih.
"Tenanglah, anak manis," bujuk Nek Ringgih.
"Ah!" Pandan Wangi terkejut mendapati dirinya berada di sebuah pondok ditunggui seorang perempuan tua dan seorang anak laki-laki kecil. Pandan Wangi berusaha bangkit, tapi dicegah Nek Ringgih.
"Jangan bergerak dulu. Kau masih lemah."
"Siapa kalian?" tanya Pandan Wangi. "Di mana aku?"
"Kau di gubukku, anak manis. Aku Nek Ringgih, dan ini cucuku, Kajar."
"Oh, kepalaku...," lagi-lagi Pandan Wangi merintih.
Tanpa diperintah lagi, Kajar buru-buru memijat-mijat kepala Pandan Wangi. Ada seulas senyum di bibir gadis itu, tapi tipis sekali sehingga hampir tidak terlihat.
"Terima kasih," ucap Pandan Wangi pelan.
"Sudahlah, kau istirahat dulu. Jangan berpikir yang macam-macam, kau masih terlalu lemah," kata Nek Ringgih.
"Hhh...," Pandan Wangi mendesah panjang Dia memejamkan matanya kembali.
Lama juga Pandan Wangi tidak membuka-buka matanya. Gerak napas di dadanya kelihatan teratur lembut. Rona merah segar kembali menjalari wajahnya yang pucat pasi. Tubuhnya yang dingin, kini sudah terasa hangat kembali.
"Apakah dia pingsan lagi, Nek?" tanya Kajar.
"Tidak, dia sedang bersamadi," sahut Nek Ringgih.
"Apa itu samadi?" tanya Kajar.
"Seperti yang sering aku lakukan." "Tapi, kenapa tidak di dalam kamar khusus?"
"Bersamadi bisa dilakukan di mana saja, apalagi bagi seorang pendekar...."
"Dia pendekar, Nek?" pelan sekali suara Kajar, seperti takut terdengar Pandan Wangi.
"Mungkin, nanti kita juga tahu. Sudahlah, jangan banyak tanya!"
Kajar langsung terdiam. Matanya memandangi wajah Pandan Wangi yang sudah kelihatan segar kembali. Perlahan-lahan kelopak mata gadis itu terbuka kembali. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum. Nek Ringgih tidak mencegah lagi ketika Pandan Wangi beringsut duduk. Gadis itu membetulkan letak kain yang membelit tubuhnya. Dia duduk bersila sambil mengatur jalan napasnya, dan menormalkan kembali jalan darahnya.
"Minumlah ini," Nek Ringgih menyodorkan cawan berisi ramuan obat-obatan.
"Apa ini?" tanya Pandan Wangi seraya menerima cawan itu.
"Obat."
Tanpa ragu-ragu lagi, Pandan Wangi meneguk habis cairan hitam kecoklatan di dalam cawan itu. Memang tidak enak rasanya, tapi dihabiskan juga. Kajar mengambil cawan kosong itu dari tangan Pandan Wangi dan meletakkannya di atas meja. Dia kembali duduk di tepi pembaringan. "Bagaimana rasanya?" tanya Nek Ringgih.
"Mendingan, Nek," sahut Pandan Wangi. "Terima kasih, kau telah menolongku."
"Ah, sudahlah. Sesama manusia sudah seharusnya saling tolong menolong. Oh ya, siapa namamu?"
"Pandan Wangi."
"Boleh aku memanggilmu Kak Pandan?" celetuk Kajar.
"Tentu saja."
Kajar berseri-seri wajahnya.
"Senang sekali, aku punya teman sekarang."
"Hush! Kajar!" sentak Nek Ringgih.
"Habis aku selalu bermain sendiri, tidak punya teman satupun juga. Paling-paling temanku hanya si Gembel!" rungut Kajar.
"Siapa itu Gembel?" tanya Pandan Wangi.
"Itu..., kambing yang bulunya acak-acakan."
"Oooh...," Pandan Wangi tersenyum dikulum.
"Sudahlah, jangan banyak bicara dulu. Kau masih perlu istirahat," Nek Ringgih menengahi.
"Tidak apa, Nek. Aku senang kok," sahut Pandan Wangi tersenyum manis.
"Bagaimana juga, kau masih perlu istirahat. Lagi pula Kajar masih punya tugas yang belum diselesaikan." "Oh, iya! Huh, kenapa jadi pelupa begini?!" Kajar menggedik kepalanya sendiri. "Aku tinggal dulu, Kak Pandan. Nanti kita ngobrol lagi, ya?"
Pandan Wangi hanya tersenyum saja melihat tingkah bocah itu. Kajar berjingkat-jingkat menuju ke bagian belakang pondok ini.
"Anak itu nakalnya bukan main, tapi dia sangat cerdas dan penurut. Aku sangat sayang padanya. Dialah satu-satunya penghiburku di masa senja ini," kata Nek Ringgih.
"Namanya juga anak-anak, Nek. Aku juga suka pada anak-anak," Pandan Wangi menimpali.
"Oh, ya. Bajumu rusak berat, aku terpaksa menggantinya dengan yang baru. Mudah-mudahan saja cocok untuk tubuhmu," Nek Ringgih mengalihkan pembicaraan.
"Ah, merepotkan sekali. Terima kasih, Nek."
Nek Ringgih menyerahkan bungkusan ke pangkuan Pandan Wangi. Gadis itu membukanya. Betapa terharunya dia melihat pakaian berwarna biru yang bagus dan indah. Bahannya memang bukan dari kain yang mahal, tapi ukurannya tentu sangat pas untuknya. Pandan Wangi langsung memeluk perempuan tua itu, dan mengucapkan terima kasih beberapa kali.
"Aku mau membuat ramuan dulu. Ganti bajumu, lalu istirahat lagi," kata Nek Ringgih seraya melepaskan pelukan Pandan Wangi. Dia kemudian bangkit berdiri.
"Terima kasih, Nek," ucap Pandan Wangi terharu.
Nek Ringgih hanya tersenyum saja, kemudian melangkah pergi ke ruangan belakang pondok ini. Pandan Wangi memandangi pakaian baru pemberian Nek Ringgih. Kemudian dia mengenakannya. Benar-benar cocok dengan ukuran tubuhnya. Gadis itu memandangi dua senjata pusakanya yang teronggok di kepala dipan bambu ini. Dia hanya memandangi saja tanpa menyentuhnya. Lalu kembali membaringkan tubuhnya. Pandan Wangi melakukan semadi lagi untuk mengembalikan tenaga dan kesehatannya.
Tanpa terasa Pandan Wangi sudah satu pekan berada di rumah Nek Ringgih. Kondisi tubuhnya juga sudah kembali seperti semula. Bahkan dia sudah mulai melakukan latihan-latihan ringan untuk melemaskan otot-ototnya. Tapi Pandan Wangi sering menyendiri melamun. Seringkali Nek Ringgih memergokinya pada saat dia menyendiri melamun, dan setiap kali ditanyakan, selalu dijawab dengan senyum.
Pandan Wangi tidak ingin membebani perempuan baik hati itu dengan persoalan yang sedang dihadapinya. Dia selalu menyimpannya di dalam hati. Memang tidak mudah untuk mengatakan semua yang tengah mengaluti hatinya saat ini. Persoalan yang sangat pribadi sekali sifatnya.
"Melamun lagi...?" tegur Nek Ringgih sore itu.
"Oh, Nek...!" Pandan Wangi tersentak kaget.
"Setiap hari kau selalu menyendiri dan melamun. Katakan apa yang kau pikirkan, mungkin aku bisa membantu," pinta Nek Ringgih mendesak. Sudah sering kali dia menanyakan hal itu.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Nek Ringgih bisa merasakan kepahitan dalam senyum itu. Pandangan Pandan Wangi lurus dan kosong ke depan.
"Aku bisa merasakan, kau menyembunyikan sesuatu," desak Nek Ringgih.
"Ah, tidak...," desah Pandan Wangi berusaha menyembunyikan perasaan hatinya yang semakin galau tidak menentu.
"Baiklah kalau kau tidak mau mengatakannya. Tapi aku ingin tahu, kenapa kau sampai terluka?" Nek Ringgih sedikit mengalah.
"Aku bertarung dan kalah," sahut Pandan Wangi berdusta.
"Puluhan tahun aku menjadi ahli pengobatan. Mestinya aku tahu jenis-jenis luka...," gumam Nek Ringgih.
Pandan Wangi terdiam. Gumaman Nek Ringgih merupakan sindiran baginya. Sudah pasti perempuan tua itu tahu kalau luka yang diderita Pandan Wangi bukan dari pertarungan. Pandan Wangi tidak ingin mendustai perempuan tua baik hati ini, tapi dia tidak tahu harus berkata apa lagi? Dia tidak ingin orang lain mengetahui persoalannya. Dia malu, karena ini menyangkut...
"Kajar sangat suka padamu. Dia telah menganggapmu sebagai kakaknya sendiri, dan aku juga menganggapmu sebagai cucuku sendiri. Mungkin aku terlalu banyak berharap..., ah, sudahlah! Aku memang tidak perlu mengetahui semua persoalanmu," kata Nek Ringgih pelan.
"Nek...!" Pandan Wangi mencegah Nek Ringgih yang mau meninggalkannya.
"Kau tidak ingin mengatakan padaku, kan?"
Pandan Wangi terdiam. Hatinya bertambah kacau. Dia tidak bisa melakukan yang terbaik. Persoalannya memang sepele, tapi menyangkut harga dirinya sebagai seorang pendekar wanita. Menyangkut perasaannya yang paling dalam dan sukar dimengerti. Dia sendiri tidak tahu, apakah....
"Aku..., aku bingung, Nek...," lirih suara Pandan Wangi.
"Apa yang membuatmu bingung?" tanya Nek Ringgih seraya duduk di akar yang menyembul ke luar dari dalam tanah.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Sepertinya aku tidak lagi mengenal siapa diriku sebenarnya. Rasanya aku sudah mati.... Yah... seharusnya aku memang sudah mati...," suara Pandan Wangi semakin pelan.
"Ceritakan, apa yang terjadi sebenarnya?" pinta Nek Ringgih.
"Aku malu, Nek. Aku...."
"Kenapa harus malu? Tidak semua orang bisa memecahkan persoalannya tanpa bantuan orang lain. Dan tidak semua persoalan bisa terpendam lama di dalam hati."
Lagi-lagi Pandan Wangi terdiam. Rasanya masih berat untuk mengatakan perasaan hatinya pada perempuan tua ini. Beberapa kali dia mendesah panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak.
"Nek Ringgih mau berjanji untukku?"
"Janji apa?"
"Tidak mengatakannya pada orang lain "
Nek Ringgih mengangguk.
"Terima kasih, Nek."
"Nah, ceritakanlah."
Sebentar Pandan Wangi terdiam, mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk dikeluarkan. Nek Ringgih menunggu dengan sabar. Hatinya yang tua dan kenyang makan asam garamnya kehidupan dunia bisa merasakan kegundahan hati gadis itu.
"Aku memang tidak kalah dalam bertarung, Nek. Tapi aku kalah daripada bertarung yang sesungguhnya. Rasanya lebih baik aku kalah bertarung daripada kalah seperti ini. Terlalu menyakitkan sekali. Aku malu..., malu sekali, Nek," Pandan Wangi memulai.
"Teruskan," pinta Nek Ringgih,
"Aku gagal melaksanakannya, Nek. Jurang itu terlalu lebar dan..., oh," Pandan Wangi menutup mukanya.
Nek Ringgih membiarkan saja Pandan Wangi menguras air matanya. Dia masih belum begitu mengerti dengan cerita itu. Namun masih juga bersabar menunggu sampai tuntas.
"Aku meluncur masuk ke dalam jurang. Padahal dia sudah berusaha menolongku, tapi tubuhku terlalu berat, dan cepat sekali turun ke bawah. Rasanya waktu itu aku sudah mati, Nek. Tubuhku terbanting keras di dalam jurang. Untunglah...."
"Kenapa?"
"Aku jatuh tepat di tengah sungai yang berair deras. Aku hanyut dan tidak sadarkan diri. Saat aku sadar, sudah berada di dalam kurungan seperti binatang. Yah..., aku ditawan oleh gerombolan Dewi Sri Tungga Buana. Saat itu aku masih bisa bersyukur karena belum mati, tapi...," lagi-lagi Pandan Wangi terputus ceritanya.
"Apa lagi yang terjadi?" tanya Nek Ringgih.
"Mereka menyeretku kembali ke atas jurang itu. Aku sempat melihat dia masih ada di seberang. Aku berusaha meminta tolong, tapi mereka kembali menjerumuskan aku ke jurang itu. Aku berusaha untuk mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan menggenjot tubuhku ke tepi. Tapi sebatang pohon menghalangi usahaku. Tubuhku terbentur keras sekali, kembali aku tidak sadarkan diri dan tersangkut pada akar pohon yang keluar dari tanah."
"Bagaimana kau bisa ke luar dari jurang itu?" tanya Nek Ringgih.
"Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Setelah aku sadar, berusaha merayap naik ke atas. Tapi di sana tidak ada lagi siapa-siapa. Aku tidak lagi peduli dengan ranting tajam dan duri yang mengoyak tubuhku."
"Dan kuda itu, punya siapa?" tanya Nek Ringgih menunjuk seekor kuda hitam di dalam kandang samping pondok.
"Aku tidak tahu, aku menemukannya di tepi jurang sedang merumput"
"Sejak tadi kau menyebut-nyebut dia. Siapa dia?" tanya Nek Ringgih lagi.
Pandan Wangi tidak langsung menjawab.
"Dia yang menyuruhmu melompati jurang?" kejar Nek Ringgih lagi.
"Nek...," tatapan mata Pandan Wangi seperti meminta pengertian perempuan tua itu.
"Dia kekasihmu?" tebak Nek Ringgih tidak peduli.
Pandan Wangi tidak menjawab sama sekali. Masih sulit baginya untuk mengatakan hal itu. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa rasanya sulit untuk menyebutkan namanya. Dan hatinya juga sangat malu sekali bila mengingatnya. Pandan Wangi tidak mengerti, perasaan apa yang tengah dia rasakan sekarang. Tapi setiap kali dia mengingat peristiwa memalukan itu, setiap kali pula wajah tampan itu selalu menggoda. Ada setitik kerinduan di dalam hatinya, tapi Pandan Wangi tak kuasa untuk bertemu muka kembali.
"Puluhan tahun aku hidup, Pandan. Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan sekarang. Setiap manusia pasti akan mengalaminya. Bukan manusia normal namanya kalau tidak mengenal cinta," kata Nek Ringgih penuh kasih.
"Cinta...?!" Pandan Wangi tersentak.
"Tidak perlu malu mengakui kalau kau sedang jatuh cinta. Aku juga pernah mengalaminya, tapi itu sudah lama berlalu dan kini hanya tinggal kenangan saja."
"Tapi, Nek...."
"Tidak perlu menyangkal, Pandan. Sorot matamu tidak bisa menipu. Kau malu bertemu lagi dengannya, karena kau tidak bisa menunjukkan kedigdayaanmu. Kau tidak perlu merasa malu atau rendah diri kalau tidak ada perasaan apa-apa padanya. Lagipula, cinta bukanlah sesuatu yang harus ditutupi, sejak lahir manusia sudah merasakan itu, dan akan terus merasakannya sampai ke liang kubur. Kalau kau merasa dirimu makhluk mulia, kau tidak bisa menolak kehadiran perasaan itu di hatimu. Bahkan malah sebaliknya, kau harus bangga karena masih punya rasa cinta di balik kehidupanmu yang keras penuh tantangan."
"Oh, Nek...."
"Cinta itu suatu kodrat yang harus dinikmati dan disyukuri. Cinta bukanlah sesuatu yang buruk, yang harus ditutupi dan dipendam dalam-dalam. Cinta itu suci dan indah bila dihayati arti sucinya karena cinta adalah suatu anugrah yang tertinggi nilainya. Tapi tidak sedikit manusia yang menyalahgunakan arti cinta yang sesungguhnya," panjang lebar Nek Ringgih menjabarkan arti cinta pada gadis itu.
"Nek...," Pandan Wangi tidak bisa berkata-kata lagi.
Nek Ringgih membiarkan saja Pandan Wangi menangis di pangkuannya. Bagaimanapun juga, Pandan Wangi adalah wanita, meskipun dia seorang pendekar yang tangguh dan selalu bergelimang darah serta tantangan hidup dalam mengarungi rimba yang luas ini. Bagaimanapun kerasnya hati seseorang, suatu saat pasti akan luruh juga. Dan itu dialami Pandan Wangi saat ini.
********************
DUA
"Suiiit..!"
Satu siulan panjang melengking tinggi menggema memecah kesunyian tepian jurang Bukit Arang Lawu. Suara itu jelas mengandung tenaga dalam yang sempurna dan bernada aneh. Siulan itu datang dari seorang laki-laki muda berwajah tampan dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Baju rompi putih berkibar-kibar dipermainkan angin.
"Khraghk!"
Terdengar suara nyaring serak dari angkasa. Pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti itu menengadahkan kepalanya memandang titik di angkasa. Semakin lama titik itu semakin kelihatan jelas bentuk dan rupanya. Itulah burung rajawali raksasa tunggangan sekaligus guru dari Rangga si Pendekar Rajawali Sakti. Burung rajawali raksasa itu mendarat tepat di depan Rangga.
"Aku perlu bantuanmu untuk menuruni jurang ini, Rajawali Sakti," kata Rangga.
"Khraghk!"
Rangga melompat naik ke punggung burung raksasa itu. Tanpa diperintah lagi, burung rajawali sakti itu mengepakkan sayap-sayapnya yang lebar. Tubuhnya melayang dan berputar beberapa kali di atas jurang yang besar dan dalam. Begitu dalamnya jurang ini, sehingga dasarnya tidak kelihatan. Hanya kabut tebal yang menutupi jurang itu.
"Turun sampai ke dasar, Sahabat!" kata Rangga.
Rangga merasakan udara di dalam jurang ini begitu lembab dan dingin. Semakin masuk ke dalam, semakin gelap dan berkabut tebal. Rangga mengerahkan aji 'Tatar Netra' yang diperolehnya dari buku peninggalan Pendekar Rajawali yang hidup ratusan tahun yang lalu. Dengan ajian tersebut dia bisa melihat jelas bagaikan melihat di bawah cahaya matahari.
"Hup!" Rangga segera melompat turun dari punggung rajawali raksasa begitu sampai di dasar jurang. Sebentar dia mengamati keadaan. Rongga dasar jurang ini sangat luas, dan di tengah-tengahnya mengalir sungai yang sangat deras. Airnya berwarna merah bagai darah. Tulang-tulang tengkorak manusia dan binatang berserakan.
"Terima kasih, Rajawali Sakti. Kau bisa kembali sekarang," kata Rangga seraya menepuk-nepuk leher burung raksasa itu.
"Khraghk!"
Burung rajawali raksasa itu mengepakkan sayapnya, dan kembali membumbung tinggi meninggalkan dasar jurang ini. Rangga kemudian mengedarkan pandangannya berkeliling. Hidungnya kembang kempis mencium bau busuk yang sangat menyengat. Bau busuk itu datang dari mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar dasar jurang ini. Rangga memperhatikan mayat-mayat itu.
"Hm..., semuanya perempuan," gumam Rangga mendesah.
Rangga meneliti satu per satu mayat-mayat itu. Dia berusaha keras untuk menahan bau busuk yang semakin menyengat memualkan. Sudah semua mayat dia periksa, dan desahnya terdengar panjang.
"Ada beberapa yang berbaju biru, tapi tidak ada satu pun dari mereka Pandan Wangi. Ah..., di manakah kau sekarang, Pandan...," desah Rangga bergumam.
Jelas sekali dia melihat Pandan Wangi masuk ke dalam jurang ini dua kali. Yang pertama karena kesalahannya menyuruh gadis itu menyeberang lebih dulu, dan yang ke dua Pandan Wangi sengaja diceburkan oleh orang-orang Puri Merah atas perintah Dewi Sri Tungga Buana. Tapi, di antara mayat-mayat ini..., tidak satu pun ada Pandan Wangi.
"Hsss...!"
Rangga tersentak kaget ketika mendengar suara mendesis yang keras dari arah belakang. Begitu dia berbalik, kedua matanya terbelalak dan mulutnya ternganga lebar. Hampir dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Oh...."
********************
"Ya, Tuhan..., apakah aku sedang berhadapan dengan penguasa dasar jurang ini?" desah Rangga pelan.
Di hadapan Rangga menjulur seekor ular yang besar sekali. Lingkar tubuhnya lebih besar dari pohon beringin tua. Kepalanya bertanduk dengan mahkota di tengah-tengahnya. Lidahnya yang bercabang menjulur-julur ke luar. Matanya bagai bola api menatap tajam pada Rangga. Sebagian tubuhnya terendam air sungai berwarna merah. Tampak sepasang kaki menyembul ke luar ketika kepala ular besar itu terangkat naik.
"Hosss...!"
"Heh! Hooop.,.!"
Rangga kaget bukan main ketika tiba-tiba ular raksasa itu menyerangnya. Secepat kilat Rangga menghindar dengan melompat ke belakang. Moncong sebesar gentong itu menyeruduk tanah yang dipijak Rangga tadi. Ular raksasa itu mendesis marah melihat calon mangsanya luput dari terkaman.
Byar!
"Hih!" Rangga. membanting dirinya ke tanah dan bergulingan menghindari semburan api yang ke luar dari mulut ular raksasa itu. Bukan alang kepalang kagetnya dia melihat batu sebesar kerbau hancur jadi debu kena semburan api itu. Rangga bergegas bangun, dan langsung siap untuk menerima serangan yang berikutnya.
Dan ketika kepala ular raksasa itu menyerang dengan cepat, seketika itu pula tubuh Rangga melenting ke udara, lalu bagaikan kilat dia menukik seraya mengerahkan jurus 'Rajawali Menyambar Mangsa'. Pukulan dan tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu telak dan beruntun menghantam kepala ular raksasa itu.
"Edan!" rungut Rangga.
Ular raksasa itu hanya menggeram sedikit, dan langsung berbalik menyerang lagi. Rangga mengubah jurusnya jadi jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangannya terentang bagai sepasang sayap, dan kakinya bergerak lincah menghindari setiap serangan ular raksasa itu. Beberapa kali tangannya menyambar menghantam tubuh dan kepala ular itu, namun sama sekali tidak berpengaruh. Bahkan binatang raksasa itu semakin buas saja.
'"Pukulan Maut Paruh Rajawali'," desis Rangga. Seketika itu juga kedua tangan Rangga jadi merah membara. Dan dengan kecepatan bagai kilat, dia menghantamkan pukulannya ke tubuh ular raksasa itu.
"Yeaaah...!"
Glarrr!
Suara ledakan keras terdengar begitu kedua tangan Rangga mendarat telak di bawah kepala ular raksasa itu.
"Akh!" Rangga memekik tertahan.
Seluruh tubuhnya bergetar hebat, dan dia terpental beberapa depa jauhnya. Ular raksasa itu tetap tidak kurang suatu apapun. Pendekar Rajawali Sakti itu terperangah hampir tidak percaya. Batu cadas sebesar bukit bisa hancur oleh pukulan mautnya itu, tapi ular raksasa ini... terluka saja dia tidak.
"Huh! Terpaksa...," desah Rangga mendengus.
Sret! Cahaya biru menyebar terang ketika Pendekar Rajawali Sakti itu mencabut pedang dari warangkanya. Rangga berdiri tegak dengan pedang Rajawali Sakti menyilang di depan dada. Matanya sedikit menyipit melihat ular raksasa itu bergerak mundur. Kepalanya miring ke kiri dan ke kanan beberapa kali. Sepertinya dia silau melihat cahaya yang terpancar dari pedang itu.
"Anak muda, siapa kau? Dari mana kau peroleh Pedang Rajawali Sakti itu?"
"Heh! Kau...."
********************
Bukan main terkejutnya Rangga mendengar ular raksasa itu bisa berbicara seperti manusia. Pendekar Rajawali Sakti itu sampai terlonjak ke belakang sejauh dua batang tombak. Paras wajahnya diliputi keheranan bercampur ketidakpercayaan.
"Kau.... Kau bisa bicara?" tanya Rangga tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Apa telingamu sudah tuli, heh?!" bentak ular raksasa itu.
"Tidak..., aku tidak bermimpi. Dia benar-benar bicara," Rangga seperti orang tolol.
"Jangan berlagak bodoh, anak muda! Dari mana kau peroleh pedang pusaka keramat itu?"
Rangga memandang pedang di tangannya. Kemudian dia memasukkan kembali ke warangkanya di punggung. Cahaya biru langsung lenyap tak berbekas. Tapi sikapnya masih tetap waspada, meskipun diliputi rasa tidak percaya dan keheranan yang amat sangat. Baru kali ini dia bertemu dengan seekor ular raksasa aneh yang bisa bicara. Rangga baru menyadari kalau binatang itu adalah seekor naga bermahkota.
Sungguh sulit dipercaya. Rangga sering mendengar cerita tentang naga, dan dia tidak pernah mau percaya dengan cerita dongeng rakyat itu. Tapi sekarang..., naga dalam dongeng itu kini ada di depannya. Dan semua itu bukanlah mimpi, tapi kenyataan yang di luar kemampuan akalnya.
"Kenapa bengong? Apa kau mendadak jadi dungu?!" bentak naga raksasa itu.
"Heh...!" Rangga masih juga tersentak kaget. "Kau..., kau mengetahui pedangku...?"
"Dari mana kau peroleh? Kau mencuri?"
"Dari guruku," sahut Rangga setelah menenangkan dirinya.
"Jangan main-main, anak muda! Pemilik pedang itu sudah muksa sebelum nenek moyangmu lahir!"
"Mau percaya atau tidak, terserah! Aku bicara benar."
"Kau memang menguasai jurus-jurus Rajawali Sakti, tapi aku belum mau percaya sebelum kau perlihatkan penguasaan pedang pusaka itu."
"Untuk apa? Kau tidak akan percaya."
"Cabut pedang itu! Tunjukkan padaku," perintah naga raksasa itu.
Kaget juga Rangga dibuatnya. Suara bentakan itu keras dan menggelegar, namun terdengar sangat berwibawa. Perlahan-lahan Rangga mencabut pedang Rajawali Sakti dari warangkanya. Dia pun segera membuka jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. "Hm, rupanya kau juga telah mempelajari jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Bagus! Serang aku!" kata naga raksasa itu.
"Hey! Kau tahu jurus itu?" Rangga tersentak kaget.
"Jangan banyak bacot! Serang aku!" bentak naga raksasa itu.
"Baik, demi kebenaran, aku tidak akan sungkan-sungkan," Rangga menjawab tantangan itu.
Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melancarkan serangan-serangan ke tubuh naga raksasa itu. Beberapa kali pedangnya menyabet tubuh naga itu, tapi setiap kali mata pedangnya membentur tubuh naga itu, Rangga merasakan tangannya jadi bergetar kesemutan.
"Huh! Cuma sampai di situ kau mencuri ilmu warisan keramat!" dengus naga itu.
"Aku bukan pencuri! Terimalah ilmu pamungkasku!" rungut Rangga panas dikatakan pencuri.
Rangga melintangkan pedangnya di depan dada. Dia menempelkan telapak tangan kirinya ke mata pedang. Perlahan-lahan dia menggosok mata pedang itu. Cahaya biru bergumpal-gumpal di ujung pedang.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga menggelegar. "Hiyaaa...!" Glarrr...! Suara ledakan dahsyat terdengar bagai guntur di angkasa. Rangga hampir saja menarik kembali ajiannya melihat naga raksasa itu diam saja, tapi terlambat. Aji 'Cakra Buana Sukma' sudah lebih dulu menghantam naga itu.
"Hah..!" Rangga melongo melihat naga itu tetap utuh. Hampir dia tidak percaya kalau aji pamungkasnya tidak berarti sama sekali pada binatang melata raksasa itu.
"Gila! Apakah dia dewa yang turun ke mayapada ini...?" gumam Rangga setengah tidak percaya.
"Kau tidak sepenuh hati melepaskan aji 'Cakra Buana Sukma', Anak Muda," kata naga itu.
Rangga tidak menyahuti. Dia memang tidak mengerahkan tenaga penuh, tapi walaupun begitu, belum ada yang bisa menandingi aji 'Cakra Buana Sukma'. Rangga seperti pasrah jika dia harus mati di dasar jurang ini. Dia yakin kalau naga ini bukanlah sembarangan ular. Tidak ada lagi yang dia miliki, semuanya sudah terkuras, dan naga itu masih tetap segar tanpa cidera sedikit pun.
"Mau coba lagi, Anak Muda?" naga itu menawarkan.
"Tidak!" sahut Rangga tegas.
"Ha ha ha...!"
Begitu banyak yang ditanyakan naga raksasa itu, dan Rangga menjawabnya dengan gamblang tanpa ada yang ditutupi atau ditambahkan. Semakin banyak Rangga membuka diri, semakin yakin naga itu kalau Rangga adalah pewaris tunggal yang syah ilmu-ilmu Pendekar Rajawali yang hidup ratusan tahun lalu.
"Hm..., jadi yang mengajarkanmu jurus-jurus Rajawali Sakti itu adalah burung rajawali raksasa?" gumam naga raksasa itu seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Benar, dan aku memperdalamnya dari membaca buku peninggalan Guru Pendekar Rajawali" sahut Rangga.
"Ratusan tahun aku hidup di dasar jurang ini. Belum ada satu pun manusia yang bisa keluar hidup-hidup dari sini. Aku percaya kau murid tunggal sahabatku. Hanya burung rajawali raksasa sajalah yang mampu ke luar masuk jurang ini," kata naga raksasa itu.
"Kau sahabat guruku...?" Rangga seperti tidak percaya.
"Benar! Ratusan tahun yang lalu aku dikenal dengan nama Satria Naga Emas. Aku dan Pendekar Rajawali adalah dua sahabat yang tidak terkalahkan. Kami jadi jemu dan mengasingkan diri hingga muksa."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia memang pernah membaca dalam satu buku tentang Satria Naga Emas yang menjadi sahabat kental Pendekar Rajawali. Tidak diduga sama sekali, sekarang dia berhadapan muka dengan sahabat gurunya yang hidup ratusan tahun lalu. Sesaat Rangga mengernyitkan keningnya ketika tubuh naga raksasa itu mengepulkan asap tipis.
Asap itu semakin lama semakin menebal dan menyelimuti tubuh naga raksasa itu hingga lenyap dari pandangan. Rangga melompat mundur ketika air sungai berwarna merah darah itu bergolak mendidih memperdengarkan suara gemuruh yang amat dahsyat. Dan bersamaan dengan lenyapnya asap yang menyelimuti tubuh naga raksasa itu, di tengah-tengah sungai muncul sebuah bangunan megah bagai istana. Bangunan itu seluruhnya berwarna merah darah, dan atapnya berkilau bagai bermandikan mutiara.
"Heh...!" Rangga tersentak ketika tubuh naga itu berubah wujud jadi seorang manusia tampan mengenakan pakaian indah bersulamkan benang-benang emas berkilauan. Wajahnya yang putih bersih bercahaya. Sinar matanya tajam, namun mengandung kewibawaan dan kearifan. Rambutnya yang panjang lebat tergelung ke atas kepala.
Pendekar Rajawali Sakti itu makin ternganga saat melihat pintu istana merah itu terbuka. Dari dalam muncul beberapa orang laki-laki dan perempuan. Semuanya mengenakan pakaian indah bersulam benang emas. Tampan-tampan dan cantik-cantik paras wajahnya. Kulitnya juga putih bersih bagai orang-orang dari keluarga bangsawan. Orang-orang itu langsung membentuk lingkaran dan berlutut di depan laki-laki tampan jelmaan ular naga raksasa.
"Si..., siapa kau...?" tanya Rangga tergagap.
"Akulah Satria Naga Emas, raja dari segala ular-ular di dunia ini," sahut Satria Naga Emas. Suaranya dalam dan berwibawa.
"Oh...!" Rangga langsung berlutut memberi hormat.
"Bangunlah, kau tamu kehormatanku. tidak sepantasnya kau berlaku sungkan begitu," kata Satria Naga Emas.
Rangga bangkit dari berlutut. Kepalanya tetap tertunduk. Sepertinya dia tidak sanggup membalas tatapan mata raja ular itu. Tatapan matanya begitu dalam, dan memiliki daya kekuatan yang amat dahsyat.
"Kau murid tunggal sahabatku, Rangga, Aku senang bertemu denganmu, dan itu berarti aku bisa memenuhi janjiku pada Pendekar Rajawali sebelum kami berpisah untuk mempersiapkan diri dalam pemuksaan dari mayapada ini," kata Satria Naga Emas itu lagi.
"Janji...? Janji apa?" tanya Rangga.
"Aku dan Pendekar Rajawali punya satu janji. Jika salah satu diantara kami memperoleh pewaris lebih dulu, maka ia akan menjadi pewaris tunggal dua aliran ilmu. Yaitu ilmu-ilmu Rajawali Sakti dan ilmu-ilmu Naga Emas. Itu berarti kau juga adalah muridku," Satria Naga Emas menjelaskan.
Betapa gembiranya hati Rangga mendengar kata-kata itu. Tapi dia tidak mau menunjukkan dirinya senang akan mendapatkan ilmu kepandaian lagi. Dia teringat dengan salah satu kalimat yang pernah dibacanya dalam buku gurunya. Di situ tertera bahwa dirinya tidak diperkenankan mempelajari ilmu kesaktian lain selain ilmu-ilmu Rajawali Sakti. Kalau hal ini sampai dilanggar, maka dia harus berhadapan dengan burung rajawali raksasa bukan sebagai sahabat, tapi sebagai musuh yang harus dibinasakan.
Teringat dengan kata-kata yang tertulis di dalam buku gurunya itu, Rangga buru-buru menjura memberi hormat. Kemudian tangan kanannya menyilang di dada dengan sikap tegak dan mata tajam memandang Satria Naga Emas.
"Maaf, bukannya aku menolak. Aku bukan seorang murid yang haus akan ilmu kesaktian. Aku tidak mau jadi pengkhianat dengan mencampur dua aliran ilmu," kata Rangga tegas.
"Ha ha ha...," Satria Naga Emas tertawa terbahak-bahak. "Apa lagi yang dikatakan Pendekar Rajawali padamu?"
"Tidak ada," sahut Rangga.
"Suiiit...!" tiba-tiba Satria Naga Emas bersiul nyaring melengking.
Rangga terkejut mendengar suara siulan itu. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, dari atas muncul seekor burung rajawali raksasa. Tentu saja Rangga mengenali burung itu. Cepat sekali burung rajawali raksasa itu mendarat dan langsung hinggap di samping Satria Naga Emas.
"Tanyakan sendiri pada wakil gurumu ini, apakah aku pantas menjadi Paman Gurumu atau tidak," kata Satria Naga Emas.
Rangga memandang burung rajawali raksasa itu. Kepala burung itu terangguk-angguk beberapa kali, sepertinya dia mengerti kata-kata yang diucapkan Satria Naga Emas dan pandangan mata Rangga. Burung Rajawali Raksasa itu menjulurkan kepalanya ke arah Rangga, dan mendesak-desakkan kepalanya ke dada pemuda itu.
"Baiklah," desah Rangga. "Aku harus memanggilmu apa?"
"Paman Guru."
Rangga kembali menjura hormat.
"Ha ha ha..., hebat! Ternyata Pendekar Rajawali juga mengajarkan tata sopan santun padamu. Bagus aku suka, kau memang pantas menjadi pewaris tunggal dari dua pendekar digdaya tanpa tanding," Satria Naga Emas tertawa terbahak-bahak kesenangan. "Mari, selama kau mempelajari ilmu-ilmu Naga Emas, kau tinggal di istanaku. Juga sahabatmu ini tinggal bersamaku di sini."
"Terima kasih," ucap Rangga.
"Mari...."
********************
Rangga tidak ingat, berapa lama dia berada di istana Satria Naga Emas. Selama itu pula dia selalu digembleng dalam beberapa jurus dan ilmu kesaktian. Burung rajawali raksasa selalu menunggui dan memberi petunjuk pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Satria Naga Emas juga gembira, karena Rangga cepat sekali menangkap maksud-maksudnya.
Selama berada di istana Satria Naga Emas di dasar jurang ini, Rangga selalu saja teringat dengan Pandan Wangi. Perasaan bersalah masih menyelimuti dirinya yang telah menyuruh gadis itu melompati jurang besar ini. Seharusnya dia tahu kalau gadis itu belum mencapai tahap kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh. Setiap kali ada kesempatan sendiri, Rangga selalu merenung memikirkan Pandan Wangi, dan rupanya ini diperhatikan oleh Satria Naga Emas maupun burung rajawali raksasa. "Kau melamun lagi, Rangga," tegur Satria Naga Emas ketika memergoki Rangga tengah melamun seorang diri.
"Oh!" Rangga buru-buru menjura memberi hormat.
"Apa yang membuatmu melamun?" tanya Satria Naga Emas berwibawa suaranya.
"Tidak apa-apa, Paman Guru," sahut Rangga.
"Hm, sejak pertama kali kau turun ke dasar jurang istanaku, aku sudah menduga kalau kau sengaja turun dengan satu tujuan. Kau mencari seseorang?" tebak Satria Naga Emas.
Rangga terkejut bukan main mendengar tebakan yang tepat itu. Tanpa disadari kepalanya terangguk membenarkan.
"Tentunya sangat istimewa sekali, sehingga kau tidak bisa melupakannya," sindir Satria Naga Emas.
"Maaf, Paman Guru. Bukannya istimewa, tapi aku merasa bersalah karena menyuruhnya melompati jurang ini. Padahal aku tahu kalau ilmu meringankan tubuhnya belum mencapai taraf sempurna. Aku tetap merasa bersalah kalau belum menemukannya dalam keadaan hidup atau mati."
"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Satria Naga Emas.
"Wanita, berkulit kuning langsat, mengenakan baju biru dengan senjata pedang dan kipas," Rangga menyebutkan ciri-ciri Pandan Wangi atau si Kipas Maut.
"Memang banyak wanita-wanita yang terjun ke jurang ini. Kalau tidak tersangkut akar pohon, bisa juga langsung ke dasar. Itu juga ada yang jatuh di tepian sungai, dan ada juga yang tercebur ke sungai," Satria Naga Emas menjelaskan. Rangga diam termenung.
"Aku tidak pernah peduli dengan mereka yang jatuh ke jurang ini, dan semuanya pasti sudah tewas. Rakyatku saja yang senang, karena mereka tidak perlu susah-susah lagi mencari makanan. Di sekitar jurang sudah banyak makanan yang tersedia," sambung Satria Naga Emas lagi.
Rangga tetap diam. Dia bisa memaklumi, karena rakyat Satria Naga Emas semuanya terdiri dari bangsa ular. Dan kebanyakan dari mereka adalah ular-ular siluman yang bisa merubah ujud jadi manusia. Itu pun hanya bisa terlihat oleh orang-orang tertentu saja yang memang diperlihatkan, atau punya kemampuan untuk berhubungan dengan bangsa siluman.
"Mungkin temanmu itu jatuh dan tercebur ke Sungai Merah. Kalau memang jatuh ke sungai, pasti dia hanyut," kata Satria Naga Emas lagi.
"Ke mana Sungai Merah bermuara?" tanya Rangga
"Sebelah Timur Hutan Ganda Mayit, tepatnya di sebuah lembah yang diberi nama Lembah Ular. Di sana rakyatku tinggal," Satria Naga Emas menceritakan.
"Aku harus ke sana...," gumam Rangga mendesah tanpa sadar.
"Percuma saja, Rangga. Di sana sungai itu bercabang dan terus mengalir jauh ke seluruh penjuru daerah Timur ini. Sudah banyak mayat-mayat yang jatuh ke jurang ini ditemukan di sebuah desa yang jauh letaknya dari tempat ini. Mungkin temanmu terbawa arus sungai ini, Rangga."
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali terdiam. Dia juga pernah mendengar tentang orang-orang yang dijatuhkan ke dalam jurang ini, dan kembali ditemukan terapung di sungai yang cukup jauh letaknya dari jurang Hutan Ganda Mayit ini.
"Rangga, bagaimana dengan ilmu pamungkas yang kau pelajari terakhir ini?" tanya Satria Naga Emas mengalihkan pembicaraan.
"Aku sudah menyempurnakannya, Paman Guru. Juga ilmu 'Sembilan Langkah ajaib' dan ilmu-ilmu lainnya," sahut Rangga.
"Bagus! Aji 'Batara Naga' adalah ilmu pamungkas pertama yang harus kau kuasai penuh, dan itu berarti kau telah menguasai sepertiga dari ilmu Naga Emas. Tapi ingat, ilmu pamungkas aji 'Batara Naga' itu hanya boleh kau pergunakan dalam keadaan terdesak saja, sama seperti halnya kau menggunakan aji 'Cakra Buana Sukma'," pesan Satria Naga Emas.
"Terima kasih, Paman Guru."
"Besok, saat matahari terbit, kau bisa meninggalkan istanaku ini. Rajawali raksasa akan membawamu kembali ke luar dari jurang ini," kata Satria Naga Emas.
Rangga menjura memberi hormat.
"Dengan sepertiga ilmu Naga Emas, kau sudah sulit mencari lawan yang seimbang. Aku tidak tahu, apakah dengan sedikit ilmu dari Rajawali Sakti kau sudah menjadi seorang yang digdaya atau belum. Mudah-mudahan sedikit ilmuku bisa membuatmu jadi seorang pendekar yang tangguh dan digdaya," Satria Naga Emas memberi wejangan lagi.
"Aku akan mempergunakan sebaik-baiknya, Paman Guru," janji Rangga.
"Bagus! Jika kau memerlukan sesuatu, dimanapun kau berada rakyatku akan senang membantumu."
"Terima kasih."
"Nah! Sekarang beristirahatlah, besok pagi kau boleh meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan kau bisa menemukan kembali temanmu itu."
Rangga kembali menjura hormat.
********************
TIGA
Siang ini matahari bersinar sangat terik. Rerumputan kering kerontang, dan pepohonan menggugurkan daunnya. Mata air pun mengering. Kemarau mulai datang menyiksa seluruh penghuni jagat raya ini. Namun kesengsaraan alam tidak membuat empat orang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan wajah yang kasar menghentikan ulahnya.
Empat orang laki-laki itu tertawa-tawa kesenangan mempermainkan seorang wanita muda berkulit kuning langsat. Pakaian wanita itu cabik-cabik memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya yang mengundang liur bagi para lelaki yang melihatnya. Paras wajahnya yang cantik, memucat ketakutan. Seluruh tubuhnya menggigil. Air bening tidak pernah berhenti mengalir membasahi pipinya yang ranum.
"He he he..., mau lari ke mana kau manis?" kata salah seorang menyeringai liar.
"Oh, jangan..., tolong. Kasihani aku...," rintih wanita itu memelas.
"Hanya sebentar..., tidak lama."
"Tidak! Oh, tolooong...!" jerit wanita itu ketakutan.
"He he he...!" Empat orang itu berlompatan menyergap wanita yang ketakutan setengah mati itu. Salah seorang langsung meringkus tangannya ke belakang. Tiga orang lainnya dengan liar menggerayangi tubuh wanita itu Jerit dan rintihan yang memelas tidak dihiraukan lagi. Mereka bagaikan binatang-binatang buas yang kelaparan mendapatkan segumpal daging segar.
"Akh!" wanita itu memekik keras ketika salah seorang merenggut bajunya dengan paksa.
"He he he...." Bola mata mereka semakin liar dengan bibir menyeringai buas melihat sebentuk tubuh indah tanpa penutup lagi. Air mata semakin deras membasahi pipi wanita itu. Dia merintih memohon belas kasihan. Ke dua tangannya berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka lebar.
"Auh! Tidak...! Jangan...!" teriak wanita itu ketika orang yang membelenggu tangannya mendorong ke depan.
Salah seorang menyongsong, langsung memeluknya dengan erat. Wanita itu meronta-ronta sambil menjerit-jerit. Tubuh mereka jatuh bergulingan ke tanah. Tiga orang lainnya tertawa-tawa seperti melihat pertunjukan yang menyenangkan.
Wanita itu semakin tidak berdaya ketika yang lainnya ikut menggumuli. Sia-sia saja dia meronta dan menjerit-jerit minta tolong sampai suaranya serak. Empat orang itu malah semakin liar. Perih dan sakit seluruh tubuhnya direjam tangan-tangan kasar. "Biadab! Binatang...!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Empat orang itu terkejut, dan ketika mereka menoleh, tahu-tahu sebuah bayangan putih berkelebat cepat menghajar mereka. Tak ampun lagi, tubuh mereka berpelantingan tanpa bias melakukan gerakan apa-apa. Mereka cepat-cepat bangkit.
Sret! Hampir bersamaan mereka mencabut golok yang terselip di pinggang. Kini di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda tampan berkulit putih bersih mengenakan baju rompi putih dengan gagang pedang berkepala burung di punggung. Tidak salah lagi, pemuda tampan itu adalah Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.
Rupanya Rangga telah ke luar dari dasar jurang setelah beberapa lama dia tinggal di istana Satria Naga Emas di dasar jurang Hutan Ganda Mayit. Hanya sekilas Rangga melirik wanita yang tengah merapikan dirinya mengenakan pakaian kembali. Namun beberapa bagian tubuhnya masih kelihatan, karena pakaiannya sudah koyak dicabik-cabik empat orang itu.
"Siapa kau? Berani benar mencampuri urusan kami!" bentak salah seorang.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Rangga dingin.
Seketika itu juga wajah mereka pucat pasi mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut. Empat orang itu melangkah mundur beberapa tindak. Mereka saling berpandangan satu sama lainnya. Nama Pendekar Rajawali Sakti sungguh menggetarkan hati mereka. Betapa tidak? Nama Pendekar Rajawali Sakti sudah melambung tinggi sebagai pendekar pilih tanding yang sulit dicari bandingannya.
"Enyahlah kalian, sebelum pikiranku berubah!" dengus Rangga.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keempat orang itu langsung berlari kencang meninggalkan tempat itu. Rangga berbalik menghadap wanita yang kini sudah berdiri dengan wajah masih pucat ketakutan. Kepalanya tertunduk, dan bibinya bergetar seperti ingin mengucapkan sesuatu.
"Sebaiknya kau cepat pulang," kata Rangga.
"Terima kasih, Gusti...," lirih sekali suara wanita itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Rangga.
Wanita itu menggeleng lemah.
"Di mana rumahmu?" tanya Rangga lagi "Tidak jauh dari Hutan Ganda Mayit ini, di Desa Watu Ampar," sahut wanita itu.
"Hm...," Rangga bergumam pelan. Kemudian dia berbalik dan melangkah pergi.
"Gusti...."
Rangga menghentikan langkahnya tanpa menoleh sedikit pun. Wanita itu bergegas menghampiri dan berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Bisakah Tuan mengantarkan saya pulang? Aku takut, mereka akan kembali lagi," wanita itu memohon.
Rangga tidak menjawab. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Desa Watu Ampar memang tidak jauh dari Hutan Ganda Mayit ini, dan letaknya juga masih di Kaki Bukit Lawu. Melihat arah yang ditempuh Rangga menuju ke Desa Watu Ampar, wanita itu bergegas mengikutinya. Dia mensejajarkan langkahnya di samping Rangga.
********************
Tidak lama Rangga singgah di rumah wanita yang ditolongnya. Orang tua wanita yang bernama Seruni itu sangat berterima kasih dengan pertolongan Rangga, tapi di balik sinar matanya, Pendekar Rajawali Sakti itu bisa mendapatkan sesuatu kejanggalan. Sinar mata itu tampak menyimpan kegelisahan dan perasaan takut yang amat sangat ketika Seruni mengatakan empat orang yang hampir memperkosanya di bebaskan pergi.
Dalam perjalanan meninggalkan rumah Seruni, Rangga masih memikirkan sikap kedua orang tua gadis itu, juga sikap Seruni yang kelihatan aneh. Bahkan sepanjang jalan desa ini, Rangga tidak melihat adanya kecerahan pada wajah para penduduknya.
"Hhh..., setiap kali masuk ke sebuah desa, ada saja yang tidak enak dilihat," desah Rangga.
Rangga masuk ke dalam sebuah kedai kecil yang pertama ditemuinya di Desa Watu Ampar ini. Dia hanya memesan seguci arak. Tadi di Hutan Ganda Mayit dia telah makan banyak dari daging kelinci panggang, sekarang tinggal hausnya saja. Lagi pula, sudah lama dia tidak lagi mencicipi manisnya arak.
Baru saja Rangga menghabiskan secangkir arak, ketika beberapa orang datang dengan suara ribut menggotong seorang laki-laki muda dengan tubuh penuh luka. Laki-laki yang digotong itu kelihatannya sudah mati, tapi dadanya yang bergerak menandakan dia masih hidup. Orang-orang yang membawanya meletakkan pemuda itu di bangku panjang. Tampak pemilik kedai ini sibuk memeriksa luka di tubuh pemuda itu.
"Panggil Nek Ringgih, dia bisa mati kalau tidak segera diobati!" kata pemilik kedai ini.
"Tapi, Ki.... Tempat Nek Ringgih sangat jauh, harus masuk ke tengah Hutan Ganda Mayit," celetuk salah seorang.
"Kalau begitu, biar aku saja yang ke sana! Huh, dasar pengecut!" dengus laki-laki tua pemilik kedai itu.
"Ayah...! Biar aku saja yang ke sana," salah seorang lagi mencegah pemilik kedai itu.
"Cepatlah, Sarman. Pakai saja kudaku!" kata pemilik kedai yang bernama Ki Dandung itu.
Tanpa banyak bicara lagi, pemuda yang bernama Sarman itu langsung berlari ke luar. Tampak sekali kalau dia memiliki kepandaian ketika dengan manis melompat ke punggung kuda coklat yang tertambat di bawah pohon. Kuda coklat itu langsung melesat kencang begitu digebah.
Kedai yang semula hanya didatangi empat orang itu, kini jadi ramai. Sepertinya hampir seluruh penduduk. Desa Watu Ampar tumpah ke kedai ini. Di sudut kedai, tampak Rangga tidak lepas memperhatikan wajah-wajah yang memadati kedai ini, terutama wajah Ki Dandung yang sibuk membersihkan luka-luka di tubuh pemuda itu dengan air dingin yang bersih.
"Kasihan...," terdengar suara desahan pelan di belakang Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu memiringkan kepalanya sedikit. Dari sudut ekor matanya, dia melihat beberapa wanita menyembulkan kepalanya di jendela.
"Benar-benar kejam dia," terdengar lagi sebuah gumaman.
"Mau jadi apa desa kita ini, ya...?"
"Neraka, barangkali."
Celoteh-celotehan bergumam terus terdengar. Diam-diam Rangga memperhatikan setiap celotehan yang ke luar dari mulut para penduduk yng memadati kedai Ki Dandung. Semakin banyak yang didengar, semakin pusing rasanya kepala Rangga. Dia tidak tahu, apa yang sedang terjadi di Desa Watu Ampar ini? Dan siapa pula laki-laki muda yang terluka itu? Tapi melihat dari luka-lukanya, Rangga sudah dapat memastikan kalau pemuda itu habis dianiaya. Luka-luka di tubuhnya, jelas dari goresan senjata tajam dan cambukan. Memar pada wajah dan tubuhnya menandakan bekas pukulan
"Kalian sebaiknya bubar! Jangan membuat perhatian mereka!" seru Ki Dandung seraya memandangi orang-orang yang memadati kedainya.
"Ayo..., ayo bubar! Bubar semua!" seru beberapa orang.
Para penduduk yang memadati kedai segera angkat kaki, kembali ke rumahnya masing-masing. Sebentar saja tinggal empat orang yang membantu Ki Dandung merawat luka-luka pemuda itu. Rangga sempat memperhatikan kalau tiga tamu kedai juga angkat kaki bersama perginya para penduduk Desa Watu Ampar ini. Mereka rupanya mengambil kesempatan tidak bayar di saat pemilik kedai sedang lengah.
"Kenapa bisa sampai begini?" tanya Ki Dandung.
"Dia berusaha melawan ketika mereka mau membawa adiknya," sahut salah seorang.
"Lalu, orang tuanya?"
"Tewas terbunuh."
"Terlalu!" desah Ki Dandung menggeram.
"Mereka memang sudah keterlaluan, Ki. Kita tidak bisa diam terus melihat kekejaman yang semakin merajalela di sini," celetuk seorang lagi.
"Kalian mau memberontak?"
Empat orang laki-laki yang masih muda itu hanya diam dengan kepala tertunduk. Dari gagang golok yang tersembul di pinggang, menandakan kalau empat orang pemuda itu memiliki kepandaian. Dan melihat dari cara bicara serta sikap Ki Dandung, tampaknya laki-laki itu bukan hanya sekedar pemilik kedai minuman, tapi juga punya pengaruh pada penduduk Desa Watu Ampar.
Sorot mata yang tajam dan suara tegas berwibawa membuat Rangga menilai kalau Ki Dandung bukan orang sembarangan. Tentulah dia memiliki simpanan jurus-jurus silat yang tidak bisa dianggap enteng. Sekilas saja Rangga sudah melihat jari-jari buku tangan Ki Dandung. Sungguh sangat berbeda antara orang biasa dengan orang yang memiliki kepandaian silat.
"Sebaiknya kalian tetap menahan diri dulu. Belum waktunya untuk melakukan sesuatu," kata Ki Dandung setelah lama terdiam.
"Baik, Ki," sahut keempat pemuda itu serentak. Hampir bersamaan mereka berbalik dan melangkah ke luar kedai setelah Ki Dandung memerintahnya pergi. Laki-laki tua itu kembali sibuk membereskan kedainya yang sedikit berantakan. Dia sempat melirik Rangga yang masih tetap duduk tenang di sudut. Rangga pura-pura tidak memperharikan sama sekali. Padahal dari sudut ekor matanya dia memperhatikan Ki Dandung yang juga sedang memperhatikan dirinya pula. Ada kilatan kecurigaan pada sorot mata Ki Dandung.
Rangga bangkit berdiri setelah meneguk habis araknya. Dia meletakkan beberapa keping uang di atas meja, lalu melangkah ke luar tanpa berkata sedikit pun. Tapi langkah Pendekar Rajawali Sakti itu terhenti ketika Ki Dandung memanggilnya.
"Tuan..."
Rangga tidak menoleh sedikit pun.
"Harga satu guci arak tidak seberapa, terlalu banyak pembayarannya, Tuan," kata Ki Dandung.
"Tidak mengapa, Ki. Anggap saja itu sebagai pengganti gucimu yang retak," kata Rangga kembali melangkah pergi.
Ki Dandung tidak mencegah lagi. Dia bergegas menghampiri meja di mana Rangga tadi menempatinya. Beberapa kali matanya memandang ke arah guci dan Rangga bergantian. Guci arak itu memang retak, bahkan bisa dikatakan sudah pecah. Tapi masih tetap utuh seperti semula. Ki Dandung menyentuh guci arak itu, dan guci itu langsung berantakan di meja.
"Hhh..., siapa dia...?" desah Ki Dandung bergumam sendiri.
Ki Dandung kembali mengarahkan pandangannya ke jalan. Tampak Rangga masih terlihat punggungnya yang semakin jauh melangkah pergi ke arah Utara. Ki Dandung mengambil lima keping uang perunggu yang ditinggalkan Rangga. Lima keping uang perunggu bisa membeli sepuluh guci arak manis, tapi ini hanya untuk membayar satu guci arak saja.
"Tingkat kepandaiannya tentu sangat tinggi sekali, bisa memecahkan guci tanpa harus terlihat pecah. Ah, siapa dia, ya...?" lagi-lagi Ki Dandung bergumam.
********************
Rangga memang sengaja memecahkan guci arak dengan menggunakan ilmu 'Jari Malaikat' yang dipelajarinya dari Satria Naga Emas. Remasan jari-jari tangannya seperti tidak memiliki tenaga, dan tidak akan tampak kehebatannya. Jika saja itu dilakukan pada tubuh seseorang, tulang-tulangnya bisa remuk, atau orang itu bisa lumpuh seketika.
Ilmu 'Jari Malaikat' memang sangat kejam. Dan Rangga memutuskan untuk tidak menggunakannya kalau tidak perlu sekali. Rangga duduk mencangkung di atas batu memandang ke arah Desa Watu Ampar. Dia berharap Ki Dandung akan mencarinya setelah dia memperlihatkan kehebatan ilmunya. Lama juga Rangga menunggu, tapi laki-laki tua pemilik kedai itu tidak juga muncul.
"Kau menungguku, Kisanak?"
"Heh!" Rangga tersentak kaget ketika mendengar suara dari belakang.
Bibirnya langsung tersenyum ketika dia melihat Ki Dandung sudah berdiri di belakangnya. Rangga sudah menduga kalau laki-laki tua pemilik kedai itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Ki Dandung bisa berada di belakangnya tanpa bisa diketahui sama sekali kedatangannya. Ini membuktikan betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
"Maaf, aku mengundangmu dengan cara yang tidak lazim," kata Rangga seraya menjura memberi hormat.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Ki Dandung langsung.
"Entahlah," desah Rangga.
Ki Dandung mengernyitkan keningnya. Rangga sendiri tidak tahu, kenapa dia melakukan itu. Mengundang laki-laki tua ini dengan cara memecahkan gucinya. Cara seperti itu memang sudah sering digunakan oleh orang-orang kalangan rimba persilatan. Dan Ki Dandung mengerti maksudnya. Tapi dia jadi heran juga mendengar jawaban Rangga yang dirasakan aneh.
"Aku tahu, kau bukan dari Desa Watu Ampar. Aku juga tahu kau seorang pemuda yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Apa maksudmu mengundangku dengan cara begitu?" kata Ki Dandung.
"Mungkin aku ingin menguji penilaian mataku," sahut Rangga asal jadi saja.
"Bukan karena peristiwa tadi?"
"Mungkin juga."
"Hm, rupanya kau tertarik dengan persoalan di Desa Watu Ampar juga. Kisanak, sebaiknya kauurungkan saja niatmu...," kata Ki Dandung langsung bisa menangkap maksud Rangga yang sebenarnya.
"Kenapa?" tanya Rangga keheranan. "Lupakan saja," sahut Ki Dandung. "Kalau kau hanya sekedar lewat, sebaiknya lanjutkan saja perjalananmu."
"Tunggu!" cegah Rangga ketika melihat Ki Dandung hendak pergi.
"Tidak ada yang menarik di desa ini," kata Ki Dandung.
"Peristiwa di kedaimu tadi sangat menarik hatiku," Rangga mengakui.
"Buang jauh-jauh rasa tertarikmu, Kisanak. Kau akan mengorbankan dirimu sendiri. Mereka bukan orang-orang sembarangan yang dapat dijadikan percobaan menguji ilmu. Maaf, bukannya aku hendak merendahkan atau meremehkan kemampuanmu," kata Ki Dandung.
"Baiklah," Rangga menyerah. "Tapi, ada apa sebenarnya di Desa Watu Ampar ini?"
"Hanya persoalan biasa dari orang-orang yang haus kedudukan dan kekuasaan. Desa Watu Ampar hanya sebuah ajang, dan nanti juga akan hilang sendiri," sahut Ki Dandung masih merahasiakan.
Rangga mengangkat bahunya.
"Aku harus segera kembali, mungkin Nek Ringgih sudah datang," kata Ki Dandung minta diri.
"Siapa Nek Ringgih?" tanya Rangga.
"Seorang tabib yang sangat ahli," sahut Ki Dandung.
Laki-laki pemilik kedai itu segera melangkah menuju ke Desa Watu Ampar. Rangga tidak mencegah lagi. Dia hanya memandangi saja kepergian laki-laki tua itu. Rasa ingin tahunya mengenai Desa Watu Ampar yang penuh rahasia itu membuatnya jadi berpikir. Dia kembali duduk di batu tidak jauh dari perbatasan desa.
"Apa sebenarnya yang terjadi...?"
********************
Ki Dandung menyambut kedatangan Nek Ringgih yang ditemani cucunya yang ramah. Perempuan tua ahli pengobatan itu segera memeriksa tubuh pemuda yang penuh luka, terbaring di bangku panjang. Kepalanya menggeleng-geleng beberapa kali, dan bibirnya berdecak-decak seperti seekor cicak.
"Kajar, siapkan ramuan luka luar," kata Nek Ringgih dengan suaranya yang agak kering.
"Baik, Nek," sahut Kajar segera membuka bungkusan kain lusuh yang disandangnya di pundak.
Anak laki-laki kecil itu segera menyiapkan ramuan yang diinginkan Nek Ringgih. Cekatan sekali dia bekerja, keterampilannya meramu obat-obatan seperti seorang tabib ahli saja, padahal usianya baru sebelas tahun.
Nenek dan cucu itu bekerja mengobati laki-laki muda dan tampan itu tanpa banyak bicara. Sementara Ki Dandung memperhatikan dari sudut kedainya yang ditutup. Di samping Ki Dandung berdiri anak tunggalnya yang menjemput Nek Ringgih tadi.
"Kenapa dia bisa terluka begitu rupa?" tanya Nek Ringgih setelah selesai mengobati luka-luka di tubuh pemuda itu.
"Dikeroyok," sahut Sarman sebelum ayahnya mendahului.
Nek Ringgih tidak bertanya lagi. Dia sudah tahu dengan jawaban Sarman yang langsung dan tegas. Perempuan tua ahli pengobatan itu melirik Kajar yang tengah membalut luka-luka di tubuh pemuda itu.
"Seharusnya kau bisa bertindak, Dandung. Kau kan bekas kepala desa. Apa kau tidak iba melihat penderitaan penduduk di sekitarmu?" Nek Ringgih menatap tajam pada Ki Dandung.
"Aku bukan siapa-siapa lagi, Nyi Ringgih. Aku tidak bisa berbuat apa-apa?" ada nada putus asa di dalam suara Ki Dandung.
"Seluruh penduduk Desa Watu Ampar berada di belakangmu, Dandung. Mereka pasti tidak akan berpangku tangan saja kalau kau menggerakkannya!"
"Dengan mengorbankan banyak nyawa? Tidak, Nyi."
"Huh! Dengan berdiam diri begitu saja juga sudah banyak nyawa yang hilang. Aku yakin, tidak berapa lama lagi, seluruh penduduk Desa Watu Ampar akan habis ludes!" dengus Nek Ringgih kesal.
"Hhh...," Ki Dandung mendesah panjang dan berat
"Kalau saja Nyi Sirah masih hidup...," gumam Nek Ringgih pelan.
"Jangan bawa-bawa istriku, Nyi!" sentak Ki Dandung.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau jadi terbalik jauh, Dandung. Di mana keperkasaanmu? Ke mana kegagahanmu? Nama besarmu, Dandung? Kau seperti singa ompong yang tinggal menunggu ajal saja! Aku tidak percaya kalau semangatmu mati hanya karena kematian istrimu!" Nek Ringgih membakar api semangat Ki Dandung kembali.
"Sudah, Nyi! Aku tidak mau dengar khotbahmu lagi. Aku memanggilmu ke sini hanya untuk mengobati Gantar, bukan untuk mendengar celotehmu!" sentak Ki Dandung kesal.
"Baik..., baik, kalau itu maumu, Dandung. Aku tidak akan mau lagi peduli dengan nasib sekian puluh penduduk Desa Watu Ampar. Tapi ingat, Dandung. Kau akan menyesal di hari senjamu kalau terus bersikap begitu. Ingat kematian istrimu!"
Nek Ringgih langsung menarik tangan Kajar, dan membawanya pergi. Ki Dandung menarik napas panjang dan berat. Dadanya seolah mau meledak mendengar kata-kata Nek Ringgih. Sementara Sarman hanya menatap kepergian perempuan tua ahli pengobatan itu. Dia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan barusan. Pandangannya beralih pada ayahnya yang hanya duduk lesu tanpa gairah. Wajah Ki Dandung sebentar pucat, sebentar kemudian memerah saga.
Memang, sejak kematian istrinya, Ki Dandung jadi patah semangat. Dia meletakkan jabatannya sebagai kepala desa. Saat itu Sarman baru berusia sekitar tiga belas tahun. Sarman tidak tahu, kenapa ibunya meninggal mendadak, dan dia juga tidak melihat mayat ibunya. Sarman hanya tahu ibunya sudah terbungkus kain putih dan dikuburkan. Ayahnya tidak pernah mengatakan tentang kematiannya. Sarman merasakan ada sesuatu yang disembunyikan ayahnya tentang kematian ibunya.
"Ayah...," pelan suara Sarman.
"Jangan tanya aku, sebaiknya kau bawa pulang temanmu itu," kata Ki Dandung seraya bangkit berdiri.
Sarman langsung bungkam. Dia tidak mencegah ayahnya yang melangkah masuk ke kamarnya di bagian belakang kedai ini. Setelah menghembuskan napas panjang, Sarman segera menghampiri Gantar yang masih belum sadarkan diri juga. Hampir seluruh tubuh Gantar terbalut Sarman memondong tubuh temannya itu, lalu membawanya ke luar. Seorang anak muda segera menghampiri begitu melihat Sarman membawa Gantar ke luar.
Dengan kereta kuda, Sarman dan temannya membawa Gantar kembali pulang. Anak bekas kepala desa itu tidak sedikit pun berkata-kata. Pikirannya masih kalut, mencoba untuk mereka-reka kata-kata yang tadi didengarnya. Juga dengan sikap ayahnya yang seperti tidak punya gairah hidup lagi. Sejak kematian istrinya, dan meletakkan jabatan sebagai kepala desa, Ki Dandung seperti hendak melupakan semua masa lalunya. Dia menyibukkan diri mengurus kedainya yang kecil. Sejak itulah keadaan Desa Watu Ampar jadi berubah. Tidak ada lagi ketenteraman, penduduk pun selalu diliputi kegelisahan. Kepala desa pengganti Ki Dandung tidak bisa bersikap tegas, sepertinya dia juga tidak peduli dengan keadaan desanya.
"Hhh...," Sarman menarik napas panjang dan berat.
********************
EMPAT
Nek Ringgih melangkah cepat dengan mulut terkunci rapat. Kajar mengikutinya setengah berlari. Meskipun perempuan tua itu sudah tua, dan berjalan harus dibantu tongkat, tapi langkahnya ringan dan cepat seperti tidak menapak pada tanah. Kajar yang mengikuti terengah-engah mengimbangi langkah perempuan tua itu. Tapi tidak satu patah kata pun ke luar dari mulutnya.
Tiba-tiba langkah perempuan tua itu terhenti. Dia menarik tangan Kajar ke belakang. Telinganya yang tajam dapat mendengar suara ranting patah terinjak. Kepalanya sedikit dimiringkan. Tangannya menggenggam tongkat erat-erat.
"Cepat pulang, beri tahu Pandan Wangi," kata Nek Ringgih berbisik pelan.
"Ada apa, Nek?" tanya Kajar tidak mengerti.
"Jangan banyak tanya! Cepat, sebelum mereka datang!"
Kajar yang tidak mengerti apa-apa, langsung saja berlari kencang menembus Hutan Ganda Mayit yang lebat. Bersamaan dengan lenyapnya tubuh kecil itu ditelan kerimbunan hutan, muncul empat orang laki-laki. Dua di antaranya sudah tua, dan dua lagi masih muda-muda dan tampan. Namun sinar mata mereka menunjukkan kekejaman.
"Ki Japalu, mau apa kau mencegatku?" tanya Nek Ringgih ketus.
"Kau memang tidak bisa dikasih enak, nenek peyot!" dengus laki-laki tua berbaju kuning gading. Laki-laki tua yang menyandang pedang itulah bernama Ki Japalu.
Nek Ringgih sudah bisa meraba gelagat kurang baik. Dia memandangi Ki Sampar Bayu yang berdiri di samping Ki Japalu. Sedangkan dua orang pemuda, berada di belakang dua laki-laki tua itu. Mereka adalah Segara dan Pantula. Kedua pemuda itu anak dari Ki Japalu. Nek Ringgih menyadari kalau empat orang itu adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tidak rendah.
"Aku dipanggil untuk menolong salah seorang penduduk Desa Watu Ampar. Apakah aku harus me-nolak? Sedangkan pekerjaanku memang harus menolong orang sakit!" kata Nek Ringgih tetap ketus.
"Kau boleh saja menolong orang sakit, Nek Ringgih. Tapi jangan orang-orang dari Desa Watu Ampar! Aku sudah memperingatkanmu beberapa kali, tapi kau masih juga bandel!" dengus Ki Japalu.
"Selama hidupku menjadi tabib, baru kali ini dilarang mengobati orang...," gumam Nek Ringgih mencibir.
"Sebaiknya perempuan tua itu jangan dikasih hati, Kakang Japalu. Dia bisa membahayakan kita semua nantinya!" bisik Ki Sampar Bayu pelan dekat telinga kakaknya.
Nek Ringgih yang mendengar kata-kata bisikan itu, langsung waspada. Lebih-lebih melihat Segara dan Pantula bergerak ke arah kiri dan kanannya. Tangan mereka sudah memegang kepala gagang pedang yang masih tergantung di pinggang.
"Aku beri kesempatan padamu sekali lagi untuk hidup, Nek Ringgih," kata Ki Japalu.
"Hidup dan matiku bukan di tanganmu!" sahut Nek Ringgih tetap ketus.
"Kau memang tidak bisa dikasih untung, perempuan peyot!" bentak Segara geram.
"Heh! Manis sekali mulutmu bocah, apa ayahmu tidak pernah mengajarkan santun pada orang tua?" sinis suara Nek Ringgih.
"Setan! Kubunuh kau!" geram Segara kalap.
"Segara!" bentak Ki Japalu.
Tapi terlambat, Segara yang cepat marah sudah menerjang Nek Ringgih seraya mencabut pedangnya. Perempuan tua ahli pengobatan itu hanya memiringkan sedikit tubuhnya ke kanan. Kibasan pedang Segara hanya lewat beberapa helai rambut di bahu Nek Ringgih. Bahkan tanpa diduga sama sekali, kaki Nek Ringgih melayang cepat menghantam perut pemuda itu.
"Hugh!" Segara mengeluh pendek seraya membungkukkan badannya. Belum lagi Segara dapat menghilangkan rasa mual di perutnya, satu sampokan tangan kiri Nek Ringgih membuat pemuda itu terjungkal ke belakang. Merah padam muka Segara dipermalukan di depan ayahnya. Dia menggeram keras, dan langsung menyerang kembali dengan ganas.
"Segara, hentikan! Dia bukan lawanmu!" seru Ki Sampar Bayu keras menggelegar.
Tapi Segara sudah menulikan telinganya. Dia tidak dapat lagi mengukur tingginya langit dan dalamnya lautan. Darah mudanya menggelegak panas mendengar kata-kata Nek Ringgih yang halus namun bernada menghina ayahnya. Segara menghujani perempuan tua itu dengan sabetan-sabetan pedangnya yang cepat dan dahsyat Namun seperti yang dikatakan Ki Sampar Bayu, Nek Ringgih memang bukan tandingan pemuda itu.
Beberapa kali serangan Segara dapat dipatahkan dengan mudah. Bahkan tidak jarang pemuda itu harus jatuh bangun terkena hantaman tongkat Nek Ringgih. Dalam sebentar saja, darah sudah mengucur dari sudut bibir pemuda itu. Wajah dan tubuhnya sudah biru lebam, dan bajunya kotor oleh tanah merah.
"Hhh, dia bisa mati di tangan perempuan tua itu," desah Ki Japalu memperhatikan anaknya semakin kewalahan menghadapi Nek Ringgih.
"Hiyaaat...!" Tiba-tiba saja Ki Sampar Bayu melenting deras menerjang Nek Ringgih. Pada saat itu, ujung tongkat Nek Ringgih sudah mengarah ke dada Segara.
Plak! Telapak tangan Ki Sampar Bayu memapag tongkat Nek Ringgih. Perempuan tua itu melompat ke belakang beberapa tindak. Dia mendengus jengkel melihat kecurangan Ki Sampar Bayu. Sedangkan Segara segera mundur dan ditolong adiknya. Ki Japalu memeriksa keadaan tubuh anaknya. Segara membaringkan tubuhnya di bawah pohon. Napasnya tersengal-sengal memburu, seluruh tubuhnya terasa sakit seakan seluruh tulang-tulangnya remuk.
Sementara itu Ki Sampar Bayu berdiri tegak dengan sikap menantang. Nek Ringgih hanya memandangi saja dengan sikap tenang. Namun sinar matanya memancarkan kebencian yang amat sangat. Ketenangan Nek Ringgih juga diimbangi dengan sikap waspada. Dia tahu siapa Ki Sampar Bayu. Seorang tokoh tua yang sangat tinggi tingkat kepandaiannya. Tidak mudah untuk menandingi kesaktiannya.
"Kau tidak apa-apa, Segara?" tanya Ki Japalu khawatir melihat keadaan anaknya.
"Dadaku, Ayah...," rintih Segara.
Dua kali Segara terbatuk, darah segar muncrat ke luar dari mulutnya. Ki Japalu terbeliak melihat ada gumpalan hitam di dalam darah itu. Dia segera merobek baju di bagian dada anaknya. Tampak gambar lima jari tangan hitam tertera di dada Segara.
"Aji 'Cakar Beracun'...," desis Ki Japalu.
Laki-laki tua itu menggeram hebat. Matanya langsung merah membara nyalang. Rupanya Nek Ringgih mengeluarkan aji 'Cakar Beracun' ketika menghadapi Segara. Ajian yang sangat dahsyat. Orang yang terkena ajian itu akan mati perlahan-lahan dengan tubuh hangus bagai arang. Dan bagian dada Segara juga mulai menghitam. Warna hitam itu terus merayap perlahan-lahan ke seluruh tubuhnya.
"Keparat...!" geram Ki Japalu.
Laki-laki tua itu langsung melompat dengan amarah memuncak. Tanpa banyak bicara lagi, dia segera menyerang Nek Ringgih dengan jurus-jurus andalannya. Bahkan Ki Japalu langsung mengerahkan aji 'Pukulan Karang Hitam'. Suatu ilmu pamungkas yang jarang digunakan Ki Japalu. Seluruh jari-jari tangan dan pergelangannya jadi berwarna hitam pekat. Batu-batu dan pepohonan yang terkena pukulannya langsung hancur jadi debu.
Nek Ringgih yang sudah kerepotan menghadapi Ki Japalu, semakin dibuat kewalahan dengan ikut campurnya Ki Sampar Bayu dan Pantula. Perempuan tua itu semakin terdesak dikeroyok tiga. Beberapa kali pukulan dan tendangan Ki Sampar Bayu dan Pantula mendarat di tubuhnya. Sedangkan Nek Ringgih tetap menghindari bentrokan langsung dengan Ki Japalu. Dia tahu kedahsyatan aji 'Pukulan Karang Hitam' itu. Tidak mungkin dia menandinginya dengan aji 'Cakar Beracun'.
"Mampus kau, perempuan peyot! Hiyaaa...!" teriak Ki Japalu menggelegar.
Seketika itu juga dia mendorong kedua tangannya ke depan. Dan pada saat itu pula kaki Pantula berhasil menggebuk punggung Nek Ringgih. Tak dapat dihindarkan lagi, kedua tangan hitam Ki Japalu mendarat telak di dada Nek Ringgih.
"Aaakh...!" Nek Ringgih menjerit melengking.
Darah hitam kental menyembur dari mulutnya. Seluruh dadanya melesak masuk ke dalam. Nek Ringgih masih mencoba untuk kabur. Tapi Ki Sampar Bayu lebih cepat lagi melepaskan jarum-jarum beracunnya. Kembali Nek Ringgih memekik nyaring ketika jarum-jarum beracun menembus tubuhnya.
Bruk! Tubuh perempuan tua ahli pengobatan itu ambruk ke tanah. Dia menggeliat-geliat sambil meraung-raung kesakitan. Seluruh punggungnya bolong oleh jarum-jarum beracun, dan dadanya melesak dalam dengan tulang-tulang remuk.
"Kau harus mampus, perempuan tua. Hih...!"
Ki Japalu merampas pedang Pantula, dan mencincang tubuh Nek Ringgih. Ki Japalu bagai kesetanan, amarahnya tak dapat lagi terkendalikan. Hancur sudah tubuh Nek Ringgih dicincang bagai dendeng sapi.
"Kakang...!" Ki Sampar Bayu menahan ayunan pedang di tangan Ki Japalu.
"Dia telah membunuh anakku! Biar kucincang dia!" geram Ki Japalu memberontak.
"Dia sudah mati, Kakang!" seru Ki Sampar Bayu seraya merampas pedang Ki Japalu.
Pantula menerima pedangnya dari tangan Ki Sampar Bayu, dan memasukkan kembali ke sarungnya. Pantula segera menghampiri mayat kakaknya yang sudah hangus seluruh tubuhnya. Segara tewas dengan tubuh hitam terkena ajian 'Cakar Beracun'. Pantula memandangi tubuh kakaknya yang perlahan-lahan terkikis jadi tepung hitam.
"Kakang...," suara Pantula tersekat di tenggorokan.
Pantula menoleh ketika pundaknya ditepuk. Ki Sampar Bayu dan Ki Japula sudah berdiri di belakangnya.
"Ayo kita pergi," ajak Ki Sampar Bayu.
"Tapi, Kakang..., Paman."
"Debu-debu jasad Segara akan hilang tersapu angin," kata Ki Sampar Bayu.
Pantula berat sekali meninggalkan Hutan Ganda Mayit ini. Sebentar dia menoleh ke arah Segara yang sudah menjadi debu. Sedikit demi sedikit tubuh tepung itu mulai tersapu angin. Dengan perasaan berat, pemuda itu melangkah mengikuti kedua laki-laki tua yang sudah berjalan lebih dulu.
********************
"Nek...!" jerit Kajar langsung berlutut di samping mayat Nek Ringgih yang hancur tercincang.
Pandan Wangi memandangi seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Sungguh tragis kematian perempuan tua itu. Mati dengan tubuh habis tercincang. Hanya bagian kepalanya saja yang masih utuh, sedangkan seluruh tubuhnya sudah tidak berbentuk lagi.
Kajar menangis sesenggukan meratapi kemarian neneknya. Sementara Pandan Wangi hanya bisa diam dengan mata memandang tidak berkedip. Kajar mengangkat kepalanya dan menoleh menatap Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya. Anak laki-laki berusia sebelas tahun itu berdiri dengan mata tetap memandang Pandan Wangi.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Pandan Wangi.
"Ki Japalu...," sahut Kajar tersedak.
"Siapa dia?" tanya Pandan Wangi.
"Kepala Desa Watu Ampar." "Hm...," Pandan Wangi menggumam pelan.
Tadi Nek Ringgih ke Desa Watu Ampar bersama Kajar. Mereka dijemput seseorang yang mengaku pemuda dari desa itu. Dan kelihatannya Nek Ringgih kenal dengan pemuda itu. Tapi sekarang, perempuan tua itu mati tercincang oleh Kepala Desa Watu Ampar. Ada apa di balik semua peristiwa ini? Apakah panggilan pemuda itu hanya jebakan saja?
Pandan Wangi ingin menanyakan hal itu pada Kajar, tapi melihat anak itu murung dalam kesedihan, niatnya diurungkan. Pandan Wangi melepaskan selendangnya. Dia kemudian mengumpulkan tubuh Nek Ringgih yang tercincang bagai dendeng. Tubuh hancur itu dibungkus dengan selendang biru. Sedangkan Kajar hanya memandangi saja dengan mata sayu.
"Ayo, kita kembali ke pondok," ajak Pandan Wangi.
Kajar melangkah tanpa mengeluarkan sedikit suara pun. Pandan Wangi jadi kasihan juga melihat anak itu lesu tak bergairah lagi. Hilang semua keceriaannya. Kajar melangkah pelan-pelan dengan kepala tertunduk.
"Kalau saja aku langsung pulang, mungkin Nenek tidak sampai terbunuh," gumam Kajar mendesah pelan.
Pandan Wangi memandangi anak itu yang melangkah pelan di sampingnya. Banyak yang ingin dia tanyakan, tapi semuanya hanya dipendam saja di dalam hati.
"Aku sempat mengintip. Mereka memang kejam. Nenek dikeroyok tiga orang, tapi Nenek berhasil menewaskan satu orang," kata Kajar memberi tahu tanpa diminta.
"Jadi, mereka tinggal dua orang lagi?" tanya Pandan Wangi.
"Tiga."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya.
"Semuanya ada empat. Ki Japalu dengan dua anaknya, Segara dan Pantula serta Ki Sampar Bayu."
"Siapa Ki Sampar Bayu?"
"Adik Ki Japula. Dia sangat kejam, dia juga yang menguasai Desa Watu Ampar meskipun bukan kepala desa. Banyak sudah nyawa yang hilang. Nenek sering menceritakan hal itu padaku," cerita Kajar.
"Lalu, kenapa mereka membunuh Nek Ringgih?"
"Mereka menginginkan agar Nek Ringgih tidak mengobati penduduk Desa Watu Ampar. Antara mereka dan Nenek memang sudah lama saling bermusuhan. Tapi Nenek tidak peduli, tetap saja menolong para penduduk yang membutuhkan pengobatan darinya. Mungkin mereka marah dan membunuh Nenek," kata Kajar semakin lirih suaranya.
"Aneh...," gumam Pandan Wangi. "Kalau Kak Pandan mau tahu semuanya, temui saja Ki Dandung. Dia sahabat lama Nek Ringgih, pasti Ki Dandung mengetahui sebab-sebab kenapa mereka saling bermusuhan," kata Kajar.
"Ki Dandung penduduk Desa Watu Ampar juga?"
"Bekas kepala desa itu. Sekarang Ki Dandung membuka kedai kecil di depan rumahnya."
"Hm, baiklah. Nanti aku akan menemui Ki Dandung. Sekarang sebaiknya kita segera menguburkan jenazah Nek Ringgih," kata Pandan Wangi.
Kajar tidak menjawab. Dia membisu saja sambil terus melangkah menguak kelebatan Hutan Ganda Mayit. Sementara Pandan Wangi terus berpikir mencerna setiap kata yang diucapkan Kajar. Dia belum sempat membalas budi baik Nek Ringgih. Sekarang perempuan tua itu tewas dibunuh. Haruskah dia diam saja, membiarkan pembunuhnya bebas? Tidak! Pandan Wangi sudah bertekad untuk membalas kematian perempuan tua ahli pengobatan itu.
"Ki Japalu...," gumam Pandan Wangi mendesah.
********************
Malam semakin bertambah larut. Seekor kuda hitam berpacu cepat bagai angin membelah rimba belantara Hutan Ganda Mayit. Penunggang kuda itu seorang wanita cantik mengenakan baju biru dengan pedang tersampir di punggung. Pada pinggangnya terselip sebuah kipas baja putih. Jelas kalau penunggang kuda hitam itu adalah Pandan Wangi si Kipas Maut.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi menggebah kuda hitam itu semakin kencang. Dalam waktu tidak berapa lama, kuda hitam itu sudah melewati batas Hutan Ganda Mayit dengan Desa Watu Ampar. Pandan Wangi terus memacu kudanya dengan cepat memasuki jalan utama desa itu. Beberapa kepala bersembulan ke luar dari jendela.
"Hooop...!"
Pandan Wangi langsung melompat turun begitu sampai di depan kedai Ki Dandung. Sebentar dia memandangi kedai yang sudah tutup itu. Pandangannya juga beredar berkeliling. Beberapa jendela rumah langsung ditutup oleh pemiliknya. Tapi Pandan Wangi tahu kalau para penduduk desa itu mengintip dari balik jendela.
Dengan langkah tegap, Pandan Wangi mendekati kedai itu. Matanya tajam menatap pintu kedai yang tertutup rapat Dia berhenti di depan pintu kedai itu. Tiga kali dia mengetuk pintu. Setelah menunggu beberapa saat, pintu kedai itu terbuka. Ki Dandung melangkah ke luar.
"Maaf, kedaiku sudah tutup," kata Ki Dandung ramah.
"Aku bukan mau makan, Ki. Aku datang khusus untuk bertemu denganmu," kata Pandan Wangi juga ramah.
Ki Dadung menatap Pandan Wangi dengan segudang tanda tanya di kepalanya. Baru kali ini dia melihat gadis itu. Ada urusan apa dia datang malam-malam begini? Siapa gadis ini?
"Rasanya kita belum pernah bertemu sebelumnya," kata Ki Dandung.
"Benar, Ki. Namaku Pandan Wangi. Boleh aku masuk?" Pandan Wangi memperkenalkan diri.
"Oh, silakan."
Pandan Wangi melangkah masuk ke dalam kedai itu. Ki Dandung baru melangkah masuk setelah Pandan Wangi berada di dalam. Sengaja dia tidak menutup pintu kedainya agar tidak menyolok dipandang umum. Ki Dandung mempersilakan Pandan Wangi duduk, kemudian dia mengambil seguci arak dan menyediakannya untuk gadis itu.
"Silakan diminum," Ki Dandung mempersilakan.
"Terima kasih."
Pandan Wangi menuangkan arak ke dalam gelasnya, kemudian meminumnya sedikit. Minuman itu menghangatkan tubuhnya. Dia tahu kalau Ki Dandung menyediakan arak wangi yang mahal harganya. Arak pilihan dari Desa Watu Ampar memang sangat terkenal.
"Ada perlu apa kau mencariku?" tanya Ki Dandung membuka suara kembali.
"Masalah, Nek Ringgih," sahut Pandan Wangi langsung.
"Nek Ringgih...?!" Ki Dandung mengerutkan keningnya.
"Nek Ringgih tewas siang tadi...."
"Apa...?!" bagai disambar petir, Ki Dandung terlonjak kaget mendengarnya.
Mata tua laki-laki pemilik kedai itu berputar-putar setengah tidak percaya mendengar berita kemarian Nek Ringgih. Dia kembali duduk di depan Pandan Wangi. Matanya tajam menatap lurus ke bola mata gadis itu.
"Siang tadi dia baru mengobati salah seorang penduduk di sini. Apa aku bisa percaya dengan beritamu?" kata Ki Dandung ragu-ragu.
"Makamnya ada di depan pondoknya. Dia tewas dibunuh oleh Ki Japalu," kata Pandan Wangi lagi.
"Bedebah! Benar-benar binatang si Japalu!" geram Ki Dandung mendengarnya. "Lalu, kenapa kau menemuiku?"
"Kajar yang menyuruhku ke sini. Katanya kau bias memberiku banyak keterangan mengenai Ki Japalu. Terus terang, aku sendiri tidak mengerti, kenapa Ki Japalu membunuh wanita tua baik hati itu," Pandan Wangi berkata terus terang. "Kau tahu siapa Ki Japalu?" tanya Ki Dandung.
"Hanya sedikit," Pandan Wangi mengakui. "Dia Kepala Desa Watu Ampar ini. Kepemimpinannya dikendalikan oleh adiknya yang bernama Ki Sampar Bayu. Hanya itu yang aku ketahui."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah tahu kenapa Ki Japalu membunuh Nek Ringgih?"
"Membalaskan kematiannya. Ini permintaan Kajar sendiri," sahut Pandan Wangi tegas.
Ki Dandung menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Dia tahu, kenapa Ki Japalu membunuh Nek Ringgih. Dia juga menyesal karena kematian perempuan tua itu karena dia juga. Kalau saja dia tidak menyuruh anaknya memanggil Nek Ringgih untuk mengobati luka-luka Gantar, mungkin hal itu tidak akan pernah terjadi.
"Sebaiknya kau tidak perlu ikut campur dalam persoalan ini. Mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Jangan sia-siakan nyawa yang hanya satu terbuang percuma," kata Ki Dandung berusaha mencegah niat Pandan Wangi.
"Kenapa?" Pandan Wangi semakin penasaran. Ki Dandung tidak menjawab. Dia bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Pandan Wangi juga ikut berdiri dan melangkah ke luar kedai ini. Beberapa kepala tampak menyembul dari rumahnya masing-masing. Sepertinya mereka ingin tahu kedatangan Pandan Wangi tengah malam begini ke rumah bekas kepala desa itu.
"Bawa Kajar ke sini, biar aku yang mengurusnya," kata Ki Dandung tanpa menoleh pada Pandan Wangi.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ki," desak Pandan Wangi.
"Aku akan jelaskan semuanya kalau kau mau membawa Kajar ke sini," tegas jawaban Ki Dandung.
"Baiklah, aku penuhi permintaanmu. Tapi kau harus menjelaskan semuanya setelah Kajar kubawa ke sini."
Ki Dandung tidak menjawab. Dia berbalik dan kembali masuk ke dalam kedainya. Pintu kedai dibiarkan terbuka lebar. Sebentar Pandan Wangi memandangi ke dalam kedai itu. Tampak Ki Dandung duduk menghadap ke pintu yang terbuka lebar.
"Hup!" Pandan Wangi melompat naik ke punggung kuda hitam itu. Bagaikan anak panah lepas dari busurnya, kuda hitam itu langsung melesat pergi begitu digebah penunggangnya. Dalam waktu singkat saja Pandan Wangi sudah menghilang bersama kudanya ditelan ke-gelapan malam.
********************
LIMA
Malam ini langit kelihatan mendung. Angin bertiup kencang menaburkan udara dingin menggigit kulit. Titik-titik air mulai berjatuhan menimpa bumi. Sudah dapat dipastikan kalau hujan akan segera turun membasahi bumi yang kering kerontang setelah beberapa lama dilanda kekeringan.
Di malam yang pekat ini, tampak tiga sosok tubuh mengenakan baju serba hitam berkelebatan mendekati pondok kecil di tengah Hutan Ganda Mayit. Hanya sebuah pelita kecil yang menerangi pondok itu. Tampak di ambang pintu yang terbuka, duduk seorang bocah laki-laki berusia sebelas tahunan. Matanya yang bulat berair, menatap kosong ke arah gundukan tanah di bawah pohon kamboja.
"Nek...," rintihnya lirih terbawa angin malam.
Bocah laki-laki yang tidak lain adalah Kajar itu tidak tahu kalau ada tiga sosok tubuh menghampirinya dari arah samping kanan dan kirinya. Bibirnya yang mungil kecil terus menerus mendesahkan suara-suara rintihan lirih mengenang Nek Ringgih yang tewas menyedihkan siang tadi.
"Akh!" Kajar memekik kaget ketika dia merasakan sesuatu yang dingin menempel di lehernya.
Perlahan-lahan bocah laki-laki itu menoleh. Matanya langsung membeliak melihat Ki Japalu dan Pantula berada di samping kanannya. Sebilah pedang tajam menempel di lehernya dari tangan Pantula. Belum juga hilang rasa kagetnya, mendadak kedua tangannya diringkus dari belakang.
Kajar kaget setengah mati, dia berusaha memberontak, tapi ujung pedang Pantula malah membenam di lehernya. Terpaksa Kajar diam tak berkutik. Ki Sampar Bayu yang meringkus anak laki-laki kecil itu mengikat tangannya dengan kuat dengan tambang. Kajar diangkat berdiri, dan didorong jatuh ke pelataran pondok itu.
"Bakar rumah ini, biar lenyap semuanya!" perintah Ki Japalu.
Pantula mengambil pelita yang tergantung di tengah-tengah ruangan depan pondok. Pelita itu dia banting ke lantai yang beralaskan papan. Api langsung berkobar besar melahap pondok kayu itu.
"Kejam! Kalian kejam...!" teriak Kajar berusaha bangkit.
"Hih!" Ki Sampar Bayu menekan tubuh anak itu dengan kakinya.
Kajar meringis kesakitan. Dadanya terasa sesak ditekan kuat oleh Ki Sampar Bayu. Rasa benci, dendam dan amarah meluap-luap di dalam dadanya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang yang ada bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Sedangkan Kajar..., baru mempelajari dasar-dasarnya saja.
Sementara api terus melahap pondok kayu itu tanpa mengenal ampun. Tanpa disadari, air mata menitik di pipi yang merah montok itu. Kajar tidak kuasa lagi melihat pondoknya hancur terbakar dalam beberapa saat lagi. Sejak bayi dia tinggal di sini bersama neneknya, dan sekarang pondok itu hancur terbakar. Hancur sudah seluruh jiwa anak itu. Kini dia benar-benar seorang yang papa, tidak memiliki apapun di dunia ini.
"Bawa anak ini!" perintah Ki Japalu.
Pantula segera mengangkat tubuh Kajar dan mengempitnya di ketiak. Kajar berusaha meronta sambil menjerit-jerit, namun kempitan Pantula sangat kuat, tidak sebanding dengan Kajar yang bertubuh kecil dan lemah itu.
Pada saat ketiga laki-laki berpakaian serba hitam itu hendak melangkah, terdengar ringkik kuda disusul derap lari kuda yang cepat. Suara derap kaki kuda itu semakin terdengar dekat. Kajar langsung tahu kalau Pandan Wangi yang datang bersama kuda hitamnya.
"Kak Pandan, tolong...!" jerit Kajar keras.
"Diam! Hih...!"
Pantula menotok beberapa jalan darah di tubuh Kajar. Seketika itu juga Kajar langsung diam tak berkutik. Sementara suara derap kaki kuda semakin jelas terdengar dekat. Dan sebagian pondok sudah rubuh jadi arang. Api terus membesar melahap kayu-kayu pondok kecil itu.
"Cepat, tinggalkan tempat ini!" perintah Ki Japalu.
"Biar aku hadapi dia, Kakang," kata Ki Sampar Bayu.
"Tidak perlu! Yang penting anak ini," sahut Ki Japalu.
Ketiga laki-laki berbaju serba hitam itu segera melompat cepat meninggalkan tempat itu. Pada saat itulah, Pandan Wangi muncul dengan kuda hitamnya.
Gadis pendekar berjuluk si Kipas Maut itu langsung melompat dari punggung kudanya.
"Kajar...!" teriak Pandan Wangi memanggil. Tak ada sahutan sama sekali, hanya suara percikan api membakar kayu saja yang terdengar. Sementara titik-titik air hujan sudah semakin sering datang. Seluruh langit diselimuti awan tebal menghitam.
Pandan Wangi berlarian mengelilingi pondok sambil berteriak-teriak memanggil Kajar. Tapi anak laki-laki itu tidak menyahut Pandan Wangi semakin cemas. Ragu-ragu dia masuk menerobos pondok yang dilahap api.
"Kajar, kau di dalam?" tanya Pandan Wangi keras. Tetap tidak ada sahutan.
"Apa boleh buat. Hiyaaa...!" Pandan Wangi melompat menerobos pondok yang hampir habis dilahap api. Hanya sebentar gadis pendekar berjuluk si Kipas Maut itu berada di dalam, sebentar kemudian dia sudah muncul lagi ke luar dari kepungan api. Pada saat yang bersamaan, pondok itu roboh menimbulkan suara gemuruh dan percikan bunga api.
"Kajar...," rintih Pandan Wangi lirih. "Di mana kau...!"
Pandan Wangi jatuh terduduk lemas di tanah. Matanya nanar memandangi pondok yang sudah roboh terbakar. Api mulai mengecil karena tidak ada lagi yang bisa dilahap. Sementara titik-titik air hujan semakin sering datang. Asap hitam mengepul tinggi ke udara. Sebentar kemudian, hujan pun turun dengan derasnya, bersamaan dengan jatuhnya setitik air bening dari sudut mata Pandan Wangi.
********************
Saat itu Ki Japalu, Ki Sampar Bayu dan Pantula sudah berada di tepi Hutan Ganda Mayit. Sedangkan Kajar masih belum sadarkan diri terkepit di ketiak Pantula. Ketiga orang itu berjalan cepat ke luar hutan itu. Mereka berbelok arah setelah sampai di perbatasan Desa Watu Ampar.
"Berhenti!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
Ketiga orang yang membawa Kajar langsung berhenti. Mereka terkejut melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu sudah mencegat di depan. Pemuda yang memakai baju rompi putih dengan pedang kepala burung di punggung itu berdiri tegak dengan tangan terlipat di dada. Dialah Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.
"Lepaskan anak itu, Ki Japalu!" bentak Rangga kasar.
"Heh! Siapa kau? Berani-beraninya kau mencampuri urusanku!" dengus Ki Japalu terkejut.
"Aku sudah lama menyelidiki tingkah lakumu, Ki Japalu. Kau tidak perlu heran, dari mana aku tahu namamu. Lepaskan anak itu!" ucap Rangga dengan tenang.
Ki Japalu dan Ki Sampar Bayu tersentak kaget. Lebih terkejut lagi mereka begitu kilat menyambar menerangi dalam sesaat. Dalam cahaya kilat itu, jelas sekali rupa Rangga. Sementara hujan tetap deras bagai tertumpah dari langit.
"Pendekar Rajawali Sakti..,," desis Ki Sampat Bayu mengenal pedang di punggung Rangga. Ki Sampar Bayu memandang kakaknya dan keponakannya yang masih mengempit Kajar di ketiaknya. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak dalam siraman curah hujan. Beberapa saat mereka semua terdiam membisu.
"Sebaiknya kita lepaskan saja anak itu, Kakang," kata Ki Sampar Bayu pelan.
"Baiklah, kita harus hindari bentrok dengan Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Japalu.
Ki Japalu mengambil Kajar dari tangan anaknya. Dia melangkah beberapa tindak ke depan, lalu melemparkan tubuh Kajar begitu saja ke tanah yang becek tergenang air. Rangga tetap berdiri tegak memandang tajam. Ki Japalu segera berbalik dan melangkah pergi, diikuti oleh Ki Sampar Bayu dan Pantula.
Rangga bergegas menghampiri Kajar yang tergolek pingsan dengan beberapa jalan darah tertotok. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti itu memeriksa, kemudian membebaskan totokan di tubuh Kajar. Sebelum anak laki-laki itu bisa sadar penuh, dengan cepat Rangga mengangkatnya dan langsung melompat cepat bagai kilat.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh sangat sempurna sekali. Dalam curahan hujan lebat, dia masih mampu berlari cepat bagai angin. Kedua kakinya bagaikan tidak menapak tanah. Rangga terus berlari memasuki Desa Watu Ampar. Dia baru berhenti berlari setelah sampai di depan kedai Ki Dandung.
Pendekar Rajawali Sakti itu meletakkan Kajar di depan pintu kedai Ki Dandung yang terbuka lebar. Pada saat itu Ki Dandung masih duduk menunggu kedatangan Pandan Wangi yang berjanji akan membawa Kajar malam ini juga. Laki-laki tua itu terkejut melihat kemunculan Rangga membawa Kajar dalam keadaan setengah sadar.
"Kenapa dia?" tanya Ki Dandung sambil mengambil tubuh Kajar dan membawanya masuk ke dalam. Dia meletakkan tubuh anak laki-laki berusia sebelas tahun itu di bangku panjang.
"Dia tidak apa-apa, hanya bekas totokan saja belum hilang penuh," kata Rangga tetap berdiri di ambang pintu.
Ki Dandung memandang pemuda tampan yang sempat ditemuinya, dan sempat pula diperingatinya agar tidak ikut campur dalam masalah di Desa Watu Ampar ini.
"Maaf, aku tidak menuruti nasehatmu, Ki," kata Rangga mendahului.
"Masuklah," kata Ki Dandung.
"Terima kasih, " ucap Rangga seraya melangkah masuk ke dalam kedai itu.
Ki Dandung memeriksa keadaan tubuh Kajar sebentar, lalu dia melangkah masuk ke bagian belakang kedai. Tidak lama kemudian, laki-laki tua pemilik kedai bekas kepala desa itu muncul lagi bersama Sarman, anaknya. Sebentar Sarman memandang Rangga, lata perhatiannya beralih pada Kajar yang masih tergolek setengah sadar di bangku panjang.
"Bawa dia masuk, usahakan agar cepat sadar," kata Ki Dandung memerintah.
"Baik, Ayah," sahut Sarman.
Sarman segera mengangkat tubuh Kajar dan membawanya masuk ke dalam ruangan belakang kedai ini. Sementara Ki Dandung mengambil seguci arak dan membawanya ke meja Rangga. Dua buah gelas tersedia juga di meja itu. Ki Dandung mengisi dua gelas itu dengan arak manis sampai penuh. Tak lama kemudian mereka minum berdua tanpa berkata apa-apa.
"Kenapa kau tidak meninggalkan desa ini?" tanya Ki Dandung setelah menghabiskan dua gelas arak manis.
"Hatiku yang menyuruhku untuk menyelidiki keadaan Desa Watu Ampar ini," sahut Rangga.
"Apa yang telah kau ketahui tentang keadaan Desa Watu Ampar ini?" tanya Ki Dandung.
"Cukup banyak juga, dan aku semakin ingin mengungkapnya lebih jelas. Terus terang, semakin aku tahu banyak, semakin heran.... Seorang kepala desa yang sangat disegani tiba-tiba saja mengundurkan diri hanya karena kematian istrinya. Dan muncul seseorang yang mengangkat dirinya sebagai kepala desa baru tanpa pemilihan lebih dahulu. Sungguh aneh...," Rangga seperti bergumam saja layaknya.
Ki Dandung langsung terdiam. Kata-kata Rangga yang pelan dan lemah lembut bernada sindiran tajam untuk dirinya. Jelas sekali kalau ucapan Rangga tadi ditujukan langsung padanya. Ki Dandung menatap tajam pada pemuda yang duduk di depannya. Dia mengangkat gelas dan meneguk arak hingga tandas. Tarikan napasnya panjang dan berat.
"Mungkin kehadiranku di sini tidak menyenangkan hatimu. Maaf, aku hanya tidak bisa melihat penderitaan di depan mataku." Setelah berkata begitu, Rangga langsung melompat tanpa bangun dulu dari duduknya. Ki Dandung sampai tersentak kaget. Dalam sekejap saja Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lenyap tanpa terlihat lagi bayangannya.
Baru saja Ki Dandung bangkit berdiri, terdengar suara derap kaki kuda yang dipacu cepat menembus rinai hujan lebat di tengah malam buta ini. Ki Dandung segera melangkah ke pintu. Pada saat itu, kuda hitam yang ditunggangi Pandan Wangi sudah berhenti di depan pintu. Pandan Wangi langsung melompat dari punggung kudanya. Hanya sekali lompatan saja, gadis itu sudah mencapai ambang pintu kedai itu. Seluruh bajunya basah kuyup sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang indah dan ramping. Ki Dandung langsung memberi minuman hangat pada pendekar wanita itu.
"Celaka, Ki..., benar-benar celaka!" agak tergagap suara Pandan Wangi.
"Tenang, minum dulu," Ki Dandung menenangkan.
Pandan Wangi menerima gelas berisi minuman hangat. Dia meneguknya sampai habis, lalu menaruh gelas kosong itu ke meja di depannya. Sebentar Pandan Wangi mengatur jalan napasnya. Dia mulai sedikit tenang setelah jalan napasnya kembali teratur.
"Aku tahu apa yang akan kau katakan," kata Ki Dandung.
"Ki Dandung tahu...?!" Pandan Wangi terkejut.
"Ya, Kajar ada di dalam sedang istirahat ditemani Sarman."
"Apa...?!"
********************
"Bagaimana Kajar bisa sampai ke sini, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Dia dibawa seorang pemuda yang sangat tinggi ilmunya," sahut Ki Dandung.
"Pendekar maksudmu, Ki?" Pandan Wangi ingin menegaskan.
"Mungkin, tapi tampaknya dia berbudi luhur. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa membawa Kajar ke sini." "Ki Dandung tidak menanyakannya?"
Ki Dandung hanya menggeleng. Dia memang lupa menanyakan bagaimana pemuda itu membawa Kajar ke rumahnya ini. Pembicaraannya dengan pemuda pendekar itu sampai membuat dirinya lupa. Ki Dan-dung juga jadi lupa tidak menanyakan namanya atau pun julukannya.
"Siapa dia, Ki?" tanya Pandan Wangi.
Entah kenapa, dada gadis itu jadi bergemuruh tanpa sebab. Mendadak saja bayangan Rangga memenuhi benaknya. Ada satu harapan yang sulit untuk diungkapkan di dalam hatinya. Tapi harapan itu juga tertindas oleh perasaan lain yang sangat sukar untuk dicampakkan jauh-jauh. Ada kerinduan untuk bertemu, tapi juga ada rasa malu dan rendah diri di hatinya. Yang paling kuat membelenggu hatinya adalah perasaan cinta. Ya..., perasaan itulah yang paling sulit untuk dienyahkan dalam hatinya. Pandan Wangi tidak mengerti, kenapa perasaan itu tiba-tiba saja muncul pada dirinya?
Dan semua isi hatinya sudah diungkapkannya pada Nek ringgih. Ada sedikit ketenangan bila Pandan Wangi teringat dengan kata-kata sejuk menyegarkan dari Nek Ringgih yang menjabarkan arti cinta suci. Pandan Wangi memang tidak menyangkal kalau di dalam hatinya telah tumbuh benih-benih cinta pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan benih itu semakin hari semakin berkembang subur.
"Aku lupa menanyakannya," sahut Ki Dandung. "Tapi dia masih muda, tampan dan gagah."
"Ah...," Pandan Wangi mendesah lirih.
Semula dia berharap Ki Dandung tahu namanya. Harapannya kini pupus setelah mendengar jawaban tanpa kepastian itu. Tidak sedikit pendekar-pendekar muda bermunculan di jaman ini. Mungkin juga pendekar itu adalah Rangga, tapi ada kemungkinan juga bukan dia. Harapan yang tadinya tumbuh, langsung padam seketika.
"Aku mendapatkan pondok Nek Ringgih sudah terbakar, dan Kajar hilang...," kata Pandan Wangi bercerita tanpa diminta.
"Jangan dipikirkan, Kajar sudah aman berada di sini. Siapa pun dia yang membawanya, maksudnya tentu baik," kata Ki Dandung membesarkan hati Pandan Wangi.
"Ki, apakah mungkin Ki Japalu yang membakar rumah Nek Ringgih?" tanya Pandan Wangi hati-hati.
"Ya," desah Ki Dandung menjawab.
"Kenapa dia tega berbuat seperti itu?"
Ki Dandung tidak langsung menjawab.
"Kau sudah berjanji untuk mengatakan semuanya padaku, Ki," Pandan Wangi mengingatkan. "Apa lagi yang harus aku katakan? Kau sudah tahu siapa itu Ki Japalu, Ki Sampar Bayu dan Pantula. Merekalah yang sekarang menguasai Desa Watu Ampar," kata Ki Dandung.
"Kenapa mereka membunuh Nek Ringgih?" tanya Pandan Wangi.
"Persoalan lama yang dicari-cari," sahut Ki Dandung.
"Maksudmu, Ki?"
"Mereka memang sudah lama ingin melenyapkan Nek Ringgih. Baru kali ini mereka punya kesempatan. Kasihan perempuan malang itu..., hidupnya tidak pernah merasa bahagia. Selalu saja ada gangguan. Sampai mati pun masih juga diganggu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat raut wajah Ki Dandung jadi berubah murung. Tatapan matanya sayu bagai tak memiliki gairah hidup lagi. Pandan Wangi mengangkat kepalanya ketika Sarman masuk. Pemuda itu langsung duduk di samping ayahnya.
"Bagaimana Kajar?" tanya Ki Dandung tanpa menoleh.
"Sudah tidur, kelihatan dia lelah sekali," sahut Sarman sambil melirik Pandan Wangi.
Sarman melemparkan senyum yang termanis. Lirikannya terpaku lama pada seraut wajah cantik dengan bibir mengulas senyum manis itu. Sarman baru mengalihkan perhatiannya ketika Pandan Wangi terbatuk tiga kali.
"Kasihan sekali Nek Ringgih...," gumam Pandan Wangi pelan.
"Aku juga semula tidak percaya kalau ancaman Ki Japalu tidak main-main. Rupanya dia melaksanakan juga ancamannya membunuh Nek Ringgih. Menyesal sekali aku memanggilnya ke sini. Kalau saja aku tidak memintanya datang, tentu dia masih hidup," suara Ki Dandung semakin pelan dan lirih.
Mereka terus saja membicarakan tentang kematian Nek Ringgih. Sampai menjelang pagi mereka baru beranjak meninggalkan kedai itu. Ki Dandung menyediakan kamar sendiri untuk Pandan Wangi. Rumah di belakang kedai ternyata sangat luas dan banyak terdapat kamar-kamar yang kosong. Pandan Wangi menyempatkan pula menengok Kajar yang lelap tertidur.
********************
ENAM
Ki Japalu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan tengah yang luas di rumahnya. Tampak Ki Sampar Bayu dan Pantula duduk dengan wajah murung. Sejak kejadian malam itu, pikiran mereka jadi tidak bisa tenang. Terutama Ki Japalu. Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti di Desa Watu Ampar ini membuat hatinya gundah tidak menentu.
"Diamlah, Kakang. Aku jadi pusing melihatmu mondar-mandir begitu...!" rungut Ki Sampar Bayu kesal.
"Ini semua gara-garamu, Sampar Bayu!" dengus Ki Japalu menatap tajam pada adiknya.
"Kenapa aku? Kau sendiri yang datang padaku agar bisa menguasai desa ini. Nah! Sekarang semua keinginanmu sudah tercapai, bahkan sakit hatimu pada perempuan tua bangka Ringgih itu sudah terbalaskan. Lalu, apa salahku? Aku hanya membantumu saja!" Ki Sampar Bayu tidak terima disalahkan sepihak.
"Ah! Sudahlah...!" Ki Japalu tidak mau berdebat dengan adiknya itu.
Kata-kata yang terlontar dari mulut Ki Sampar Bayu memang tidak bisa dibantah. Ki Japalu mengakui semuanya. Dia memang datang ke Gunung Kanjaran untuk meminta bantuan adiknya dalam mencapai cita-citanya menjadi kepala desa, di samping untuk membalas dendam pada Nek Ringgih, perempuan tua ahli pengobatan itu. Kini dendam yang. dipendamnya puluhan tahun itu sudah terbalaskan, dan sekarang dia juga sudah menduduki jabatan sebagai kepala desa di Watu Ampar ini.
Ki Japalu membanting tubuhnya di kursi rotan. Dia jadi teringat dengan istrinya yang meninggal saat melahirkan anak keduanya. Istrinya yang lembut dan tidak pernah menuntut banyak darinya. Dia meninggal karena melahirkan, dan yang membantu melahirkan adalah Nek Ringgih. Sejak itu Ki Japalu menyimpan dendam pada Nek Ringgih. Dia selalu menyangka kalau Nek Ringgih tidak pantas menjadi tabib. Sampai sekarang ini Ki Japalu selalu membenci tabib di manapun juga. Lebih-lebih pada Nek Ringgih yang dianggapnya menjadi penyebab kematian istrinya.
"Kau menyesal, Kakang Japalu?" tanya Ki Sampar Bayu memandangi kakaknya.
"Tidak!" sahut Ki Japalu tegas.
"Kenapa kau gelisah?"
'Pendekar Rajawali Sakti itu...."
"Ha ha ha...!" Ki Sampar Bayu tertawa terbahak-bahak.
"Huh! Dalam keadaan kacau begini, kau masih juga tertawa," rungut Ki Japalu memberengut.
"Apakah dia tangguh, Ayah?" tanya Pantula yang sejak tadi diam saja.
"Sepuluh orang sepertimu tidak akan sanggup melawan dia!" sahut Ki Japalu tanpa senyum.
"Dia penduduk Desa Watu Ampar?" tanya Pantula lagi.
"Dia pendekar kelana, Pantula. Namanya sudah tersohor sampai ke penjuru mayapada ini," Ki Sampar Bayu yang menjawab.
"Hm..., apa perlunya dia datang ke sini...?" gumam Pantula.
"Jelas kalau dia penghalang paling berat buat kita!" dengus Ki Sampar Bayu.
"Sampar Bayu, sebaiknya kau cari saja cucu Nek Ringgih. Bunuh dia, aku tidak mau melihat lagi keturunan perempuan tua itu! Dua nyawa dia bunuh...," kata Ki Japalu memerintah.
"Dicari ke mana?" tanya Ki Sampar Bayu.
"Pasti ada di Desa Watu Ampar ini, aku melihat dia membawa anak itu ke desa."
"Anak itu ada di rumah Ki Dandung," celetuk Pantula.
Ki Japalu dan Ki Sampar Bayu menatap anak muda itu.
"Kau yakin?" tanya Ki Sampar Bayu.
"Aku lihat anak itu tadi pagi ke luar dari rumah Ki Dandung. Di sana juga ada seorang gadis lain. Kelihatannya dia juga dari kalangan rimba persilatan," sahut Pantula pasti.
"Hm..., rupanya Ki Dandung diam-diam bikin ulah juga," gumam Ki Sampar Bayu.
"Itu urusanmu, Sampar Bayu," sergah Ki Japalu.
"Baik, itu memang urusanku. Tapi kau juga tidak bisa cuci tangan begitu saja. Kau juga terlibat, Kakang."
"Huh! Kau selatu memojokkan aku!" dengus Ki Japalu. "Ayah, aku mau ke luar sebentar," kata Pantula menyelak. Dia segera bangkit berdiri dan melangkah ke luar.
Ki Japalu hanya memandangi saja anaknya yang sudah lenyap di balik pintu. Terdengar desahan napasnya yang berat. Laki-laki itu menuang arak ke dalam gelas, dan meneguknya sampai tandas.
"Tidak seharusnya kau berkata begitu di depan anakku," kata Ki Japalu dingin.
"Sudah saatnya dia tahu siapa dirinya, Kakang."
"Tidak! Sampai kapan pun dia tidak boleh tahu. Aku sangat mencintainya, dia pengganti anakku yang mati karena ulah perempuan tua keparat itu!"
"Aku tidak menyangka, temyata hatimu lebih kejam daripada aku. Tidak seharusnya kau memperalat dia yang tidak tahu apa-apa. Kau terlalu menuruti ambisimu, Kakang. Kau sudah memperoleh semuanya, kau juga telah membalaskan kematian istrimu. Seharusnya kau tinggal menikmati hasilnya saja. Tapi malah membuat persoalan baru lagi. Kenapa kau tidak katakan saja pada Pantula kalau dia...."
"Cukup!" sentak Ki Japalu cepat.
"Kakang.... Aku memang ditakdirkan untuk bergelimang darah dan dosa. Tapi aku selalu melakukannya dengan cara terang-terangan, jantan dan tidak bersembunyi di balik kelemahan orang lain. Terus terang, kalau tidak karena kau saudaraku satu-satunya, tidak akan mungkin aku mau mengikuti semua rencana gilamu ini."
"Kau menyesal?"
"Heh! Untuk apa aku menyesal?"
"Lupakan saja aku, Sampar Bayu. Lupakan bocah cucu Nyi Ringgih itu. Biar aku yang menghadapi mereka semua sendiri. Kau sudah cukup banyak membantuku. Terima kasih, Sampar Bayu." Ki Japalu langsung bangkit dan melangkah pergi.
"Kakang...!"
"Kembali saja ke tempatmu, adikku."
Ki Sampar Bayu hanya mendesah mengangkat pundaknya melihat kakaknya masuk ke dalam kamarnya. Sebentar Ki Sampar Bayu masih berada di ruangan besar itu, kemudian kakinya terayun menuju ke luar. Laki-laki tua tokoh persilatan itu langsung melompat naik ke kudanya begitu sampai di luar. Dengan cepat dia menggebah kudanya meninggalkan rumah besar Ki Japalu.
********************
Ki Japalu berdiri mematung di depan jendela besar kamarnya. Pandangannya kosong tertuju ke depan menatap tanaman bunga yang mekar menyebarkan harum wangi di bagian belakang rumahnya. Tidak ada seorang pun yang terlihat di halaman belakang yang tertata indah itu.
Dulu rumah ini begitu ramai. Banyak pekerja yang hilir mudik ke luar masuk sekitar rumah ini. Tapi sekarang... Semua pekerja meninggalkannya tanpa pamit. Tidak ada seorang pun yang mau berhubungan lagi dengannya. Semua meninggalkannya begitu saja. Pandangan Ki Japalu tertumbuk pada sangkar burung yang berada di tengah-tengah halaman belakang. Tidak ada seekor pun burung di sana. Semuanya mati tak terurus lagi.
"Hhh...," untuk kesekian kalinya Ki Japalu menarik napas panjang dan berat.
"Indah sekali taman itu...."
"Heh!" Ki Japalu terkejut.
Seketika itu juga dia berbalik. Kedua bola matanya membeliak lebar ketika tahu-tahu di dekat pintu kamar ini sudah berdiri seorang laki-laki muda berwajah tampan. Laki-laki muda itu mengenakan baju rompi putih dengan gagang pedang berkepala burung tersembul di punggung.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Ki Japalu.
"Ya, aku Pendekar Rajawali Sakti," kata Rangga menyebut dirinya dengan nama julukan.
"Bagaimana kau bisa masuk ke kamarku?" tanya Ki Japalu membentak.
"Mudah saja, tidak ada seorang pun yang kutemui di sini. Hm..., sungguh mengherankan. Rumah seorang kepala desa yang besar dan indah, tapi tidak ada seorang pun yang ada."
"Mau apa kau ke sini?" tanya Ki Japalu tidak peduli dengan gumaman Rangga.
"Menyadarkanmu," sahut Rangga.
"Aku bukan orang gila!" bentak Ki Japalu tersinggung.
"Menyadarkan kekeliruanmu, Ki Japalu."
"Aku tidak kenal kau! Aku juga tidak punya urusan denganmu. Kenapa kau mau ikut campur dalam urusanku, heh?"
"Mungkin kita bisa bicara baik-baik kalau kau bisa mendinginkan kepalamu," kata Rangga kalem.
Tanpa menghiraukan sikap Ki Japalu, Pendekar Rajawali Sakti menghenyakkan tubuhnya di kursi dekat pintu. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum. Matanya teduh dan lembut memancarkan sinar kejantanan dan kearifan.
"Namamu memang bisa membuat jantung orang copot mendengarnya, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi jangan coba-coba kau menghalangi langkahku!" ancam Ki Japalu.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia mengambil guci arak yang ada di atas meja di sampingnya. Cairan hangat itu dituangkan ke dalam gelas dari perunggu. Hanya dengan sekali teguk saja, arak di dalam gelas sudah berpindah ke perutnya. "Enak sekali, pasti arak mahal," puji Rangga.
"Sebaiknya kau cepat enyah dari sini!" usir Ki Japalu sengit.
"Baik, aku memang akan pergi. Tapi sebaiknya kau pikirkan kata-kata adikmu. Aku rasa dia ada benarnya juga, meskipun tindakannya tidak pernah menyenangkan hati siapapun," kata. Rangga seraya bangkit berdiri.
"Tunggu!" cegah Ki Japalu.
"Jangan tanyakan dari mana aku tahu," potong Rangga cepat.
"Kau pasti menguping semua pembicaraanku!" tebak Ki Japalu.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja.
"Apa saja yang telah kau ketahui?" tanya Ki Japalu mau tahu.
"Tidak banyak, tapi aku rasa Ki Dandung bisa mengerti dan mau memaafkanmu," sahut Rangga. "Maaf, aku tidak bisa lama di sini."
"Hey!"
Bagaikan kilat saja, Rangga langsung lenyap begitu tangannya membuka pintu kamar ini. Ki Japalu segera mengejar, tapi bayangan Pendekar Rajawali Sakti itu sudah tidak kelihatan lagi. Dia kembali masuk ke kamarnya dengan kepala dipenuhi berbagai macam pikiran. Kini rahasia yang sudah dipendamnya puluhan tahun sudah diketahui orang lain selain dirinya dan adiknya.
"Tidak! Tidak boleh ada orang lain yang tahu. Aku sangat mencintainya, dia tidak boleh lepas dari tanganku! Dia satu-satunya penggantiku yang masih hidup," desah Ki Japalu pelan. "Hm.... Pendekar Rajawali Sakti itu harus mampus! Dia sudah tahu semuanya, dia harus mampus...!"
********************
Rangga memandangi kuda yang dipacu cepat ke luar dari Desa Watu Ampar. Bisa saja dia mengejar kuda itu dengan ilmu lari cepat, tapi hal itu akan membuang-buang tenaga dengan percuma. Saat kepalanya sedang mencari jalan ke luar yang terbaik, mendadak matanya melihat Kajar sedang membersihkan kuda di halaman kedai Ki Dandung. Rangga bergegas menghampiri anak itu.
"Oh! Paman...," Kajar segera menghentikan kegiatannya.
"Ki Dandung ada, Jar?" tanya Rangga.
"Sedang ke luar, Paman" sahut Kajar.
"Hm, ke mana?"
"Mungkin ke pasar, Paman," jawab Kajar santai.
Rangga jadi tersenyum. Matanya melirik ke arah perbatasan Utara Desa Watu Ampar ini. Penunggang kuda yang sedang diawasinya tadi sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Hanya debu saja yang masih tampak mengepul tipis di udara.
"Kudamu bagus," puji Rangga.
"Bukan kudaku, ini kuda kakakku," sahut Kajar.
"Hm, boleh aku pinjam sebentar?"
Kajar tampak ragu-ragu, tapi akhirnya dia berikan juga kuda itu. Rangga segera melompat ke atas punggung kuda hitam itu.
"Jangan lama-lama, Paman...!" pesan Kajar.
"Bilang sama kakakmu, kudanya kupinjam," sahut Rangga.
Kajar belum sempat menyahut, Rangga sudah menggebah kuda hitam itu dengan cepat menuju ke arah Utara. Debu mengepul terhempas kaki-kaki kuda yang berpacu cepat bagaikan angin. Sementara Kajar hanya memandanginya saja dari tempatnya berdiri.
Rangga terus memacu kudanya dengan cepat. Dia kagum juga dengan kuda ini. Larinya bagaikan angin saja, dan sepertinya kaki-kaki kuda ini tidak menapak tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu terus memacu kuda hitam itu semakin cepat. Dalam waktu tidak berapa lama saja penunggang kuda yang diawasinya sejak tadi sudah kelihatan lagi.
"Hiya, hiya...!"
Penunggang kuda yang dikejar Rangga menoleh ke belakang. Tampak sekali kalau dia terkejut. Seketika itu juga dia menggebah kudanya dengan keras. Suara ringkikan kuda terdengar nyaring. Kuda itu pun semakin cepat larinya.
"Hup, hiyaaa...!"
Rangga melompat dari punggung kudanya ketika jaraknya sudah demikian dekat dengan penunggang kuda di depannya. Hanya dengan sekali putaran di udara saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berhasil mencegat. Tangannya langsung menyambar tali kekang kuda itu, dan menghentikan larinya.
Kuda putih belang hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Rangga melepaskan pegangannya pada tali kekang kuda itu, ketika penunggangnya melompat turun dengan cepat. Kuda itu langsung berhenti mendadak.
"Siapa kau? Mau apa kau menghadangku?"
"Tenang, Pantula. Kau pernah bertemu denganku sekali," sahut Rangga kalem.
Pantula mengamati pemuda di depannya dengan seksama. Benar! Dia memang pernah bertemu sekali. Ya..., malam itu, ketika dia bersama ayah dan pamannya berusaha menculik Kajar. Pemuda inilah yang menolong Kajar.
"Oh..., rupanya kau yang dijuluki Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., pendekar tangguh dengan nama besar berlagak seperti perampok jalanan," cibir Pantula.
"Maaf, kalau aku mengganggu perjalananmu," ucap Rangga tetap ramah.
"Kau memang sudah mengganggu perjalananku!" dengus Pantula ketus.
"Terpaksa aku lakukan, karena ada hal penting yang harus aku katakan padamu," Rangga mulai serius.
"Kau ingin merampokku?" Pantula masih bersikap sinis.
Rangga hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Dia bisa memaklumi sikap Pantula yang ketus dan tidak ramah ini. Tentu Ki Japula sudah menjejalinya dengan cerita-cerita kosong yang buruk. Sama sekali Rangga tidak menyalahkan Pantula dengan sikapnya ini.
"Aku hanya ingin mengembalikanmu pada keluargamu," kata Rangga kelem.
"Heh! Apa yang kau katakan...?!" Pantula mendelik tidak mengerti.
"Nasibmu sama denganku, Pantula. Hanya aku lebih buruk lagi darimu, dan tak mungkin bisa bertemu lagi dengan orang yang paling kukasihi," pelan dan ngambang suara Rangga.
"Kau bicara apa, Pendekar Rajawali Sakti?" Pantula kelihatan mulai terpengaruh. Kegalakannya mulai sirna.
"Temuilah Pamanmu, dia tahu banyak tentang dirimu sesungguhnya. Desak dia agar mengakui semuanya," kata Rangga. "Hey, tunggu...!"
Namun Rangga sudah cepat melompat ke punggung kuda hitamnya dan seketika itu juga kuda hitamnya itu melesat cepat bagaikan angin. Pantula hanya memandangi dengan kepala dipenuhi berbagai macam pikiran. Apakah dia bukan anak Ki Japalu? Kalau memang benar, lalu siapa orang tuanya?
Pantula tidak jadi meneruskan perjalanannya ke Desa Halimun untuk menemui saudara seperguruannya. Dia kembali lagi ke Desa Watu Ampar. Kudanya dipacu cepat bagai kesetanan. Debu mengepul tinggi ke udara tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
Pantula terus mengarahkan kudanya ke rumah. Beberapa penduduk yang berada di sepanjang jalan utama desa itu langsung menyingkir, takut tertabrak kuda yang dilarikan bagai setan oleh penunggangnya. Mereka menyumpah serapah merasa terganggu dengan ulah anak kepala desa itu.
"Hooop...!" Pantula menarik tali kekang kudanya begitu sampai di depan rumahnya. Bergegas dia melompat turun, dan langsung berlari menerjang pintu depan rumah itu. Ki Sampar Bayu yang sedang berada di ruangan depan, terkejut melihat kedatangan Pantula dengan muka merah padam. Ki Sampar Bayu langsung beranjak bangun dari kursinya.
"Mana Ayah?" tanya Pantula kasar.
"Pantula, ada apa kau ini?" Ki Sampar Bayu mengerutkan keningnya.
Pantula hanya menggeleng saja, dia langsung mengayunkan kakinya melewati ruangan depan itu. Ki Sampar Bayu mengikuti dari belakang. Dia heran melihat sikap Pantula demikian. Pemuda itu langsung saja menuju ke kamar peristirahatan ayahnya. Dengan kasar dia membuka pintu kamar itu. Matanya nyalang merayapi kamar yang kosong tak berpenghuni. Dia segera berbalik, tapi langkahnya tertahan oleh Ki Sampar Bayu.
"Pantula, ada apa? Kenapa kau marah-marah begini?" tanya Ki Sampar Bayu.
"Di mana Ayah?" Pantula tidak menggubris pertanyaan pamannya, dia malah balik bertanya.
"Pergi," sahut Ki Sampar Bayu.
"Kemana?"
"Aku tidak tahu, dia tidak bilang apa-apa padaku."
Pantula menggeretakkan rahangnya. Matanya yang memerah menatap tajam pada pamannya ini. Kemudian dia melayangkan pandangannya berkeliling, seolah-olah tidak mempercayai jawaban laki-laki tua itu.
"Ada apa kau, Pantula? Apa yang terjadi?" Ki Sampar Bayu memberondong pertanyaan-pertanyaan.
Pantula tidak menjawab sedikit pun. Dia hanya menatap tajam pada laki-laki tua adik ayahnya ini. Ayahnya...? Benarkah Ki Japalu itu ayahnya? Lalu, apa maksudnya Pendekar Rajawali Sakti berkata demikian tadi? Pantula menghenyakkan tubuhnya di kursi. Dia jadi lemas memikirkan dirinya bukanlah anak Ki Japalu. Kalau memang dia bukan anaknya Ki Japalu, lalu siapa orang tuanya? Apakah Ki Sampar Bayu benar pamannya? Pantula memandang laki-laki yang duduk di depannya dan tengah memandang dirinya pula.
"Siapa Ayahku sebenarnya, Paman?" tanya Pantula tajam.
Ki Sampar Bayu tersentak kaget mendengar pertanyaan itu. Mulutnya langsung terkunci rapat. Pandangannya tajam menatap lurus ke bola mata pemuda itu. Sungguh dia tidak pernah berpikir kalau Pantula akan bertanya seperti itu.
"Jawab sejujurnya, Ki Sampar Bayu. Siapa ayahku sebenarnya?" Makin dingin suara Pantula.
"Tentu saja ayahmu Ki Japalu, Kepala Desa Watu Ampar ini. Dan aku pamanmu, Pantula...," agak tertahan suara Ki Sampar Bayu menjawab.
"Kau tidak berdusta, Ki Sampar Bayu?" Pantula tetap tidak memanggil laki-laki tua itu dengan sebutan paman lagi.
Ki Sampar Bayu tidak menjawab. Dia jadi kebingungan menjawab pertanyaan pemuda itu. Entah kenapa, duduknya jadi gelisah, seperti berada di atas bara api yang siap menghanguskannya.
Ki Sampar Bayu dan Pantula mengangkat kepalanya secara bersamaan ketika mendengar langkah kaki memasuki ruangan ini. Tampak Ki Japalu terhenti langkahnya di depan pintu begitu melihat Pantula dan Ki Sampar Bayu duduk berhadapan dengan wajah mendung tidak biasanya.
Ki Japalu mengurungkan membuka suara ketika Ki Sampar Bayu mengerdipkan matanya sebelah kiri. Ki Sampar Bayu bangkit berdiri dan menghampiri kakaknya yang tetap berdiri di ambang pintu. Sementara Pantula memandangi dengan mata tidak berkedip. Kedua laki-laki tua itu berbicara pelan berbisik. Tampak wajah Ki Japalu berubah merah seketika. Dia menatap Pantula dengan mata sulit diartikan.
********************
TUJUH
Keringat mengucur deras membasahi wajah dan tubuh Pantula. Namun pemuda itu terus saja menggali sebuah makam tanpa mengenal lelah. Sementara matahari bersinar terik, tepat di atas kepala. Tidak sedikit pun Pantula menghiraukan sengatan matahari yang amat terik itu. Dia terus menggali kuburan itu.
"Hey...!"
Pantula seketika berhenti menggali ketika mendengar satu bentakan keras. Dia mengangkat kepalanya yang basah oleh keringat. Tampak Sarman, Pandan Wangi dan Kajar berdiri tidak jauh darinya. Sarman membeliak lebar melihat kuburan yang amat dikenalinya sudah terbongkar hampir setengah.
"Pantula...! Apa yang kau lakukan di kuburan ibuku?" keras suara Sarman menahan amarah.
Pantula langsung melompat naik. Sebentar dia memandang Sarman, sebentar kemudian matanya berpindah menatap lubang kuburan yang sudah tergali cukup dalam. Hampir dia tidak bisa mempercayai pendengarannya. Matanya beralih menatap sebuah batu nisan bertuliskan sebaris nama. Tidak! Dia tidak salah memilih makam ini. Tapi....
"Biadab! Binatang kau, Pantula!" geram Sarman meluapkan amarahnya. "Heh...!"
Pantula tidak bisa lagi berbuat banyak. Sarman sudah melompat cepat dan langsung menyerangnya dengan sengit. Terpaksa pemuda itu berkelit berlompatan menghindari serangan-serangan Sarman yang beruntun dan dahsyat. Namun jelas sekali terlihat kalau Pantula ragu-ragu melayani Sarman yang hanyut terbawa amarah melihat kuburan ibunya diacak-acak.
"Berhenti!" terdengar suara bentakan tiba-tiba.
Sebuah bayangan biru berkelebat cepat ke tengah-tengah pertarungan itu.
Duk, duk...!
Pantula dan Sarman terpental beberapa langkah ke belakang. Tampak Pandan Wangi berdiri di tengah-tengah dengan tangan terentang lebar. Pantula dan Sarman meringis merasakan sesak pada dadanya, kena dupakan tangan pendekar wanita si Kipas Maut itu.
"Minggir, Pandan! Biar kuhabisi binatang keparat ini!" geram Sarman gusar.
Pandan Wangi tidak mempedulikan peringatan Sarman. Dia berbalik menghadap pada Pantula. Sebentar gadis itu mengamati wajah dan tubuh yang kotor berkeringat kena tanah merah. Pantula juga membalas tatapan itu dengan tajam.
"Kenapa kau merusak pusara itu?" tanya Pandan Wangi.
"Aku hanya ingin membuktikan, apakah itu benar-benar makam atau bukan," sahut Pantula sambil melirik Sarman.
"Kau hanya mencari-cari alasan saja, Pantula. Sudah jelas itu makam ibuku!" sergah Sarman gusar.
Pantula memandang penuh arti dan segudang tanda tanya pada Sarman. Pandangannya kemudian berubah-ubah, dari makam yang sudah terbongkar kepada Sarman secara bergantian. Sepertinya dia ingin meyakinkan kalau itu benar-benar makam ibunya Sarman. Tapi.... Tidak mungkin, dia tidak salah dengar. Ayahnya bilang kalau ini makam ibunya yang telah meninggal ketika melahirkannya dulu.
"Pantula, kau tahu itu makam siapa?" tanya Pandan Wangi.
"Jelas aku tahu!" sahut Pantula.
"Kenapa kau membongkarnya?"
"Aku sudah katakan, kalau hanya ingin membuktikan kalau makam itu benar atau cuma seonggok tanah diberi batu nisan!" tegas jawaban Pantula.
Pandan Wangi jadi bekernyit juga keningnya. Dia sudah menduga ada yang tidak beres di antara Pantula dan Sarman, juga makam ini.
"Pantula, kenapa kau begitu yakin kalau makam ini hanya palsu belaka?" tanya Pandan Wangi berusaha menjadi penengah yang adil.
"Aku tidak percaya kalau ibuku meninggal karena melahirkanku. Ki Japalu yang kukenal selama ini sebagai ayahku mengatakan kalau di makam inilah ibuku beristirahat," sahut Pantula terus terang.
"Dusta!" sentak Sarman berang. "Kau mau coba-coba cari perkara denganku, heh!"
"Tenang, Sarman!" bentak Pandan Wangi kesal melihat sikap Sarman yang sukar mengendalikan diri.
"Huh!" Sarman mendengus kesal.
"Sejak aku lahir, aku memang tidak pernah mengenal wajah ibuku. Dan sejak usiaku lima tahun, Ayah mengirimku ke Padepokan Wulung. Belum berapa lama aku berada kembali di Desa Watu Ampar ini. Terus terang, sebenarnya aku tidak suka dengan sikap dan tindakan Ayah dan Paman Sampar Bayu, dan aku tidak percaya ketika mereka mengatakan ibuku meninggal dan dikuburkan di sini," Pantula menjelaskan panjang lebar.
"Kau belum pernah mengunjungi makam ibumu sejak kecil?" tanya Pandan Wangi semakin yakin adanya ketidakberesan.
"Tidak, dan aku memang tidak pernah menanyakan kenapa Ibu meninggal dan di mana makamnya? Ayah selalu mengelak kalau aku membicarakan tentang Ibu," Pantula mengakui.
"Jangan percaya kata-katanya, Pandan! Dia itu ular," sergah Sarman.
Pandan Wangi menatap Sarman tajam. Agak dongkol juga gadis itu dengan sikap Sarman yang cepat marah. Sangat jauh berbeda dengan watak ayahnya yang arif bijaksana dan sabar dalam menghadapi sesuatu perkara.
"Aku sudah berumur sekitar tiga belas tahun ketika Ibu dikuburkan di sini, jelas sekali aku melihat," sambung Sarman.
"Kau tidak melihat jenazah ibumu, kan?" selidik Pandan Wangi.
"Dari mana kau tahu...?" Sarman terkejut.
"Ayahmu sendiri," sahut Pandan Wangi. "Hampir semua penduduk Desa Watu Ampar juga tidak pernah tahu tentang meninggalnya ibumu. Kematian ibumu merupakan misteri yang tidak terpecahkan sampai sekarang. "
Sarman langsung bungkam. Kata-kata Pandan Wangi memang ada benarnya. Dia sendiri tidak tahu, bagaimana ibunya meninggal, dan dia juga tidak melihat jenazah ibunya lagi. Yang dia tahu, banyak orang mengantarkan sampai ke kuburan ini, dan sebentuk tubuh terbungkus kain putih dimasukkan ke dalam lubang, lalu ditimbuni dengan tanah. Hanya itu yang diketahui Sarman. Ayahnya tidak pernah berkata banyak tentang kematian ibunya.
Sejak itu Ki Dandung mengundurkan diri jadi Kepala Desa Watu Ampar, dan kedudukannya langsung digantikan oleh Ki Japalu yang mengangkat dirinya sendiri jadi kepala desa dengan persetujuan Ki Dandung. Dan sejak itu pula kehidupan di Desa Watu Ampar berubah drastis. Kesengsaraan dan malapetaka silih berganti tanpa henti. Lebih-lebih setelah kemunculan seorang tokoh tua sakti yang amat ditakuti membantu Ki Japalu dalam mengendalikan Desa Watu Ampar ini. Tokoh tua itulah Ki Sampar Bayu.
"Nah, Sarman. Apakah kau ingin tahu, yang dikubur di sini ibumu atau bukan?" Pandan Wangi menawarkan pilihan.
Sarman tidak segera menjawab. Kelihatan dari raut wajahnya kalau dia ragu-ragu untuk menentukan pilihan itu. Bola matanya berputar antara Pandan Wangi, Pantula dan kuburan yang sudah berlubang besar cukup dalam. Tinggal sedikit lagi, pasti sudah bisa kelihatan isi makam ini.
"Baik, kau boleh meneruskan pekerjaan, Pantula. Tapi kalau ternyata yang dikuburkan benar ibuku, kau harus mati di tanganku!" kata Sarman mengancam.
Tanpa membuang waktu lagi, Pantula segera melompat masuk ke dalam lubang kuburan itu. Dia langsung saja menggali kuburan yang sudah sedikit lagi bisa terlihat isinya. Sementara Sarman menyaksikan dengan mata kosong dan dada bergemuruh.
Pantula menengok ke atas ketika paculnya membentur dinding kayu. Pandan Wangi menatap Sarman yang menengadahkan kepalanya ke atas. Perlahan-lahan Pantula mulai membuka papan-papan yang menutupi dasar kuburan ini. Satu persatu dia mengangkat papan itu. Tampak sebentuk tubuh terbungkus kain putih kotor tergolek di dasar makam.
Suara desah dan pekikan terdengar ketika Pantula membuka kain yang menyelubungi bentuk tubuh itu. Sarman langsung memejamkan matanya dengan kepala tengadah ke atas. Sementara Pantula kembali melompat naik ke atas. Perlahan-lahan tubuh Sarman ambruk berlutut di pinggir kuburan yang berlubang itu.
"Oh..., tidaaak...!" rintih Sarman sambil memukul-mukul tanah merah bekas galian itu.
Pandan Wangi menarik napas panjang. Dia menatap Sarman dan Pantula bergantian. Kedua pemuda itu hanya menunduk saja dengan raut wajah sukar dilukiskan. Betapa tidak...? Bentuk tubuh yang terbungkus kain kafan itu ternyata hanya seonggok gedebok pisang. Tidak ada mayat di sana....
"Tidak, oh...! Ibu..." rintih Sarman seperti bocah ditinggalkan pergi ibunya.
Tak ada lagi yang bisa mengeluarkan suara. Sementara Pandan Wangi mengayunkan langkahnya mendekati Kajar yang hanya berdiri saja agak jauh di bawah pohon kamboja. Sementara dua pemuda tetap berlutut di pinggir kuburan itu. Suasana haru meliputi sekitar kuburan itu. Pada saat itu terdengar derap langkah kuda dari kejauhan.
"Kak! Itu dia yang meminjam kuda kita!" seru Kajar keras sambil menunjuk ke arah penunggang kuda hitam yang bergerak cepat melintas menuju ke arah Barat.
"Rangga...," desis Pandan Wangi begitu mengenali penunggang kuda hitam itu.
Secepat kilat Pandan Wangi melenting mengejar penunggang kuda hitam yang diyakininya adalah Rangga. "Kakang...!"
Sarman dan Pantula yang sedang dirundung kegalauan, terkejut melihat kejadian yang begitu cepat. Mereka langsung menoleh ke arah Pandan Wangi yang berlari cepat mengejar kuda hitam itu. Sementara Kajar berteriak-teriak memanggil sambil berlari.
Pandan Wangi mengerahkan ilmu lari cepat sekuat-kuatnya. Tapi bagaimanapun juga, kuda hitam yang dikendarai Pendekar Rajawali Sakti itu lebih cepat lagi. Kuda hitam itu berpacu bagaikan terbang saja layaknya, sulit untuk dikejar meskipun menggunakan ilmu lari cepat.
Pandan Wangi menghentikan larinya. Napasnya tersengal-sengal memandangi punggung penunggang kuda hitam yang semakin jauh meninggalkannya. Sekejap kemudian, bayangan kuda hitam itu sudah tidak kelihatan lagi. Lenyap ditelan lebatnya Hutan Ganda Mayit.
"Kak...! Kak Pandan...!" teriak Kajar memanggil dengan suara serak.
Pandan Wangi menoleh, tampak Kajar digendong Sarman yang berlari cepat. dibuntuti oleh Pantula. Sebentar saja mereka sudah di samping Pandan Wangi. Mereka semua sama-sama memandang ke arah Hutan Ganda Mayit sebelah Barat.
"Dia yang memberitahu aku kalau aku bukan anak Ki Japalu," kata Pantula bergumam.
Sarman memandang pada Pantula yang berdiri di sampingnya. Pandan Wangi tidak mempedulikan, dia tetap memandang ke arah Hutan Ganda Mayit sebelah Barat. Pikirannya masih dipenuhi dengan kemunculan Rangga. Kerinduannya pada pendekar muda itu sudah tidak dapat tertahan lagi.
"Ki Japalu tetap mengakuiku sebagai anaknya, meskipun aku terus bertahan minta dia berterus-terang," sambung Pantula.
"Dan dia menunjukkan kuburan itu sebagai kuburan ibumu?" tebak Sarman.
"Ya, dan aku tidak mau percaya begitu saja. Aku harus membuktikannya dengan mata kepalaku sendiri."
"Perbuatan konyol! Kalau memang kuburan itu ada isinya, bagaimana?" dengus Sarman. Wajah Sarman langsung berubah begitu teringat kembali dengan kuburan yang berisi gedebok pisang itu. Sepuluh tahun lebih dia selalu percaya kalau ibunya sudah meninggal, dan itu adalah pusaranya. Tapi sekarang....
"Aku harus tanyakan ini pada Ayah! Harus...!" seru Sarman agak tertahan.
Sarman langsung melompat meninggalkan tempat itu, kembali menuju ke Desa Watu Ampar. Sementara Pandan Wangi masih tetap berdiri terpaku tidak peduli. Gadis itu baru tersadar saat tangannya ditarik Kajar.
"Oh...!"
"Kak, mereka mau menemui Ki Dandung," kata Kajar.
"Mereka...? Mereka siapa?" tanya Pandan Wangi seperti bermimpi.
"Kakang Sarman dan Kakang Pantula."
"Ah...!"
Pandan Wangi baru tersadar penuh dengan apa yang baru terjadi. Tapi kebimbangan kembali melanda dirinya. Sesaat gadis itu menimbang-nimbang, lalu dengan cepat dia menarik tangan Kajar, dan membawanya kembali ke Desa Watu Ampar.
********************
"Ayah...!" seru Sarman begitu menerobos masuk ke dalam rumahnya di belakang kedai.
Ki Dandung yang sedang menyiapkan minuman untuk tamu di kedainya menoleh. Dia terkejut melihat Sarman dan Pantula datang bersama-sama. Di belakang mereka juga ada Pandan Wangi dan Kajar. Pandan Wangi menyuruh Kajar menggantikan tugas Ki Dandung, kemudian dia membawa laki-laki tua pemilik kedai itu duduk di kursi. Sarman dan Pantula berdiri saja membelakangi pintu.
"Aku sudah tahu apa yang akan kalian tuntut dariku. Memang semua ini harus terjadi, dan aku sudah lama memperkirakannya," kata Ki Dandung pelan.
"Di mana Ibu?" tanya Sarman langsung.
"Pantula, di mana ayahmu?" Ki Dandung tidak mempedulikan pertanyaan anaknya.
Pantula hanya menggeleng saja. Dia memang tidak tahu di mana ayahnya berada sekarang. Yang pasti tidak ada di rumahnya, karena Ki Japalu langsung pergi setelah menceritakan perihal ibunya. Dan cerita Ki Japalu juga masih membingungkan Pantula sampai sekarang, lebih-lebih setelah mengetahui kalau kuburan itu ternyata hanya berisi gedebok pisang.
"Sebaiknya kalian segera ke Gunung Kanjaran," kata Ki Dandung.
"Mau apa ke sana?" tanya Pantula tidak mengerti.
"Ibu kalian ada di sana." Sarman dan Pantula terlonjak kaget. Mereka saling berpandangan satu sama lainnya. Tidakkah mereka salah dengar? Sementara Pandan Wangi memandangi wajah kedua pemuda tampan itu. Baru dia menyadari kalau wajah mereka memang mirip sekali.
"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu, Ki?" kata Pantula tergagap.
"Ayah...," suara Sarman tersekat di tenggorokkan.
"Kalian sebenarnya saudara satu ibu...," kata Ki Dandung terputus.
Sesaat keheningan melanda ruangan itu. Semua menunggu dengan tidak sabar lanjutan kata-kata Ki Dandung. Sementara laki-laki tua itu seakan berat untuk mengeluarkan kata-katanya. Sepasang bola matanya berkaca-kaca.
"Ketika aku masih muda...," Ki Dandung memulai ceritanya. "Aku tinggal di sebuah padepokan. Salah satu saudara seperguruanku adalah Japalu. Diantara kami sering terjadi percekcokan, dan itu terus berlanjut semakin menegang saat kami sama-sama mencintai seorang wanita putri tunggal guru kami...."
"Teruskan, Ayah," pinta Sarman tidak sabar.
"Guru kami mengetahui hal itu, dan membuat keputusan yang sangat berat, tapi sangat disukai Japalu. Kami diharuskan bertanding, siapa yang menang, bisa mendapatkan putrinya dan tetap tinggal di padepokan. Sedangkan yang kalah harus segera meninggalkan padepokan," lanjut Ki Dandung.
"Terus?"
"Aku terpaksa melayani Japalu dengan hati tertekan. Tapi rupanya dia bersungguh-sungguh, bahkan beberapa kali hampir membunuhku. Guru mengetahui hal itu dan memerintahkan aku untuk bersungguh-sungguh bertarung. Aku terpaksa menurut ketika perutku koyak oleh serangan curang Japalu. Aku tidak tahu lagi, bagaimana bisa mengalahkan Japalu yang pada saat itu tingkat kepandaiannya setaraf denganku."
Sebentar Ki Dandung berhenti mengambil napas. Dia meminum secangkir arak yang diambilkan Pandan Wangi.
"Rupanya dendam terus terbawa di hati Japalu. Dan itu dia laksanakan setelah berhasil menemukan adik kandungnya, Ki Sampar Bayu yang sudah pengalaman malang melintang dalam ganasnya rimba persilatan. Saat itu aku sudah menjadi Kepala Desa Watu Ampar ini atas permintaan seluruh penduduk, karena aku berhasil membinasakan pembunuh kepala desa yang lama dan membebaskan penduduk dari penderitaan gerombolan liar...," kembali Ki Dandung menghentikan ceritanya.
"Cukup, Ki. Jangan teruskan," cegah Pantula.
Sarman menatap Pantula tajam. "Aku bisa menebak kelanjutannya, Ki. Hanya satu pertanyaanku, siapa ayahku sebenarnya?" Pantula tidak mempedulikan tatapan tajam dari Sarman.
"Ki Japalu," sahut Ki Dandung.
"Tidak...," desis Pantula tidak percaya.
"Aku terpaksa menutupi aib dengan mengatakan istriku meninggal terjatuh di pancuran. Padahal sesungguhnya dia diculik Japalu dan disembunyikan di Gunung Kanjaran," kata Ki Dandung.
"Ayah tahu semua itu, kenapa diam saja?" Sarman menyesalkan.
"Aku sangat mencintai ibumu, Sarman. Apalagi aku tahunya setelah Japalu menodainya, dan dia tidak mau lagi menemuiku. Perbuatan Japalu yang menodainya hingga hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki, membuatnya merasa tertekan dan malu untuk bertemu siapa saja. Ibumu wanita yang suci, anakku. Itulah sebabnya aku tidak ingin namanya tercemar buruk dan membuat makam palsu dengan nama ibumu agar semua penduduk desa tidak tahu persoalan yang sebenarnya."
"Jahanam Japalu...!" geram Sarman.
"Sarman...!" seru Ki Dandung ketika tiba-tiba Sarman berbalik dan berlari cepat ke luar.
Sementara Pantula tidak bisa berbuat apa-apa. Batinnya amat tersiksa dengan semua yang telah terjadi pada dirinya dan orang tuanya. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Ada kebencian di hatinya dengan kelakuan ayahnya, tapi dia juga sangat mencintai orang tua itu yang telah merawat dan mendidiknya, meskipun sejak kecil dia tinggal di sebuah padepokan. Pantula bisa mengerti maksudnya, tentu agar dia jadi seorang pemuda yang tangguh dan berilmu tinggi.
"Kau harus cegah saudaramu, Pantula. Bagaimanapun juga dia ayahmu, dan Sarman tidak boleh membunuhnya!" kata Ki Dandung.
Pantula ragu-ragu sebentar, kemudian dia berbalik dan melangkah ke luar. Sementara Pandan Wangi masih terpaku berdiri tidak jauh di samping Ki Dandung. Gadis itu juga jadi bingung. Memang menurutnya, kesalahan ada di pihak Ki Japalu, tapi urusannya sangat pribadi, rasanya sungkan kalau dia sampai ikut campur di dalam urusan ini.
"Kenapa kau tidak ikut mereka?" tanya Ki Dandung melihat Pandan Wangi masih berada di sini.
"Untuk apa? Aku orang luar yang tidak berhak ikut campur masalah keluarga ini," sahut Pandan Wangi.
"Bukankah kau mencari kekasihmu?"
Pandan Wangi menatap lurus pada Ki Dandung. Dia memang sudah menceritakan semua yang dialaminya dan tujuannya untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti, tapi tidak pernah mengakui kalau Rangga itu adalah kekasihnya.
"Aku bisa merasakan nada suaramu, dan sinar matamu yang penuh kerinduan. Pergilah bersama mereka, aku yakin Pendekar Rajawali Sakti ada di Gunung Kanjaran. Dia sudah berjanji akan membawa kembali istriku ke sini, meskipun aku tidak pernah mengharapkannya kembali lagi," kata Ki Dandung lagi.
"Jadi, selama ini ini ada di sini?" tanya Pandan Wangi ingin memastikan.
"Benar, tapi dia datang dan pergi bagai angin. Hanya sesekali saja menemuiku dengan singkat. Dia banyak tahu tentang masalah ini, dan ingin menyadarkan Ki Japalu kalau bisa."
"Kenapa Ki Dandung tidak mengatakan padaku?"
"Baru tadi aku tahu namanya."
"Tadi...?"
"Ya."
Pandan Wangi tertegun sesaat. Jadi yang dilihatnya di kuburan itu memang benar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, kenapa dia menuju ke arah Barat Hutan Ganda Mayit? Apakah.... Pandan Wangi tersentak. Dari sebelah Barat Hutan Ganda Mayit memang bisa lebih cepat mencapai Gunung Kanjaran. Jalannya memang sulit, tapi tidak terlalu sulit bagi seorang pendekar seperti Rangga.
"Aku pergi dulu, Ki. Titip Kajar," kata Pandan Wangi. "Ya. Mudah-mudahan kalian bisa berkumpul kembali."
"Terima kasih, Ki."
"Jangan khawatir tentang Kajar. Dia pasti akan senang berada di sini."
Pandan Wangi tersenyum dan bergegas meninggalkan laki-laki tua bekas kepala desa pemilik kedai itu. Pandan Wangi sengaja memilih jalan belakang agar tidak kelihatan oleh Kajar yang berada di kedai depan rumah ini. Sementara Ki Dandung masih duduk di kursinya dengan wajah murung dan gelisah.
Mata tua itu menatap lurus pada sebilah pedang yang tergantung di dinding. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan melangkah menghampiri pedang itu. Tangannya terulur meraih pedang bersarung hitam dengan tangkai terbuat dari lapisan emas berbentuk bunga melati di ujungnya.
"Ki Sampar Bayu..., tidak ada yang bisa mengalahkan dia tanpa pedang emas ini," gumam Ki Dandung.
Ki Dandung memasang pedang itu di pinggangnya. Sebentar dia berdiri mematung memandang ke luar. Setelah memantapkan hati, kemudian kakinya terayun tegap ke luar dari ruangan itu. Ki Dandung berhenti melangkah ketika Kajar muncul. Bocah laki-laki itu memandangi dengan mata keheranan. Belum pernah dia melihat Ki Dandung menyandang pedang di pinggang.
"Kajar, tolong jaga kedaiku. Layani setiap tamu yang datang dengan baik," kata Ki Dandung.
"Aki mau ke mana?" tanya Kajar polos.
"Ada urusan yang harus aku selesaikan. Sudah, aku pergi dulu."
Ki Dandung bergegas melangkah ke samping rumah. Sebentar kemudian dia sudah kembali menuntun seekor kuda. Kajar masih berdiri memandangi dengan kepala dipenuhi tanda tanya.
"Ki...!"
Namun Ki Dandung tidak lagi mendengarkan. Dia segera naik ke punggung kudanya, dan dengan cepat menggebah kuda itu agar berlari cepat. Debu mengepul tersapu derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Kajar masih berdiri memandangi kepergian laki-laki tua itu.
"Ada apa sih...?" desahnya polos.
********************
DELAPAN
Rangga menghentikan laju kudanya tepat di depan sebuah pondok kecil di lereng Gunung Kanjaran. Pendekar Rajawali Sakti itu melompat turun dari punggung kuda hitam itu. Matanya tidak berkedip menatap pondok kecil di depannya. Keadaan sekitar pondok ini sangat sepi, sepertinya tidak pernah ada kehidupan di sini. Tapi keadaan yang bersih dan terawat, menandakan adanya kehidupan.
Singgg...!
"Uts!"
Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan ketika tiba-tiba sebuah benda kecil meluncur deras ke arahnya. Benda itu lewat beberapa rambut di dekat pundaknya. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu merubah posisinya, meluncur lagi beberapa benda kecil menghujani dirinya.
"Hup!" Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Sepasang kakinya lincah bergerak dan tubuhnya meliuk-liuk bagai karet menghindari hujan senjata rahasia yang mengancam tubuhnya. Senjata-senjata kecil itu berseliweran di sekitar tubuhnya. Namun sampai sejauh ini, tidak satu pun yang berhasil mengenainya.
"Hup, hiyaaa...!"
Cepat sekali jari tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak menangkap salah satu senjata rahasia itu, lalu secepat kilat melontarkannya kembali ke arah yang berlawanan.
Srak! Sesosok tubuh melenting ke udara bersamaan dengan meluncurnya satu senjata rahasia. yang berhasil ditangkap Rangga ke dalam semak belukar di samping pondok kecil itu. Bagaikan seekor burung rajawali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu ikut melenting ke atas, dan dengan kecepatan luar biasa, tangannya bergerak mendepak dada orang itu.
"Hugh!" Satu keluhan pendek terdengar. Dan tubuh orang itu meluncur deras ke bawah. Tapi sebelum mencapai tanah, dia sempat berputar dua kali. Dengan manis kakinya mendarat di tanah, bersamaan dengan hinggapnya Pendekar Rajawali Sakti di tanah pula.
Rangga mengamati laki-laki tua di depannya. Laki-laki yang sudah menghunus tongkat ke depan menyilang di dada itu ternyata Ki Sampar Bayu. Rangga langsung bersikap hati-hati dengan orang tua itu. Tadi dia mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dan telak menghantam dadanya. Tapi Ki Sampar Bayu tidak cidera sedikit pun. Itu menandakan kalau Ki Sampar Bayu memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh.
"Di mana istri Ki Dandung, Ratih Kencana kau sembunyikan?" tanya Rangga tajam.
"Hhh, rupanya kau sudah tahu banyak urusan ini, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tidak suka ada orang luar ikut campur dalam urusan keluarga!" dengus Ki Sampar Bayu.
"Mataku tidak akan tertutup melihat kezaliman tumbuh di muka bumi i!" sahut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Kau boleh bangga dengan julukanmu. Orang lain boleh kau gertak seenak perutmu, tapi aku..., tidak!" Ki Sampar Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir tersenyum sinis. "Aku sengaja mengalah malam itu agar kau enyah dari Desa Watu Ampar. Tapi rupanya kau masih membandel juga, Bocah!"
"Jangan banyak omong, Ki Sampar Bayu! Di mana Nyi Ratih Kencana kau sembunyikan?"
"Di dalam kubur!"
"Keparat!" geram Rangga sengit.
"Ha ha ha...!" Ki Sampar Bayu tergelak.
Rangga melihat ke pondok kecil itu ketika tiba-tiba muncul Ki Japalu yang memiting seorang wanita setengah baya yang lusuh. Sebilah pisau menempel di lehernya.
"Berani bergerak, nyawa perempuan ini melayang ke neraka!" gertak Ki Japalu.
"Pengecut!" geram Rangga mendesis.
"Kakang Japalu, tinggalkan tempat ini. Cepat..!" seru Ki Sampar Bayu. "Biar bocah gendeng ini aku yang urus."
Ki Japalu menyeret perempuan itu mendekan sebuah kereta kuda yang sudah siap terpancang dekat samping pondok. Rangga menggeram marah melihat kepengecutan laki-laki itu. Menyandera seorang wanita tak berdaya. Ki Japalu mendorong Ratih Kencana agar naik ke kereta kuda itu. Kemudian dia sendiri melompat naik setelah Ratih Kencana berada di dalam kereta.
"Hiya..., hiya!"
Ki Japalu menggebah tali kekang kuda. Kereta kecil itu segera bergerak cepat. Rangga yang menyaksikan semua itu, semakin berang saja. Dengan sekali genjot saja, tubuhnya melayang mengejar kereta kuda itu.
"Hih!" Rangga terpaksa menghentikan usahanya ketika Ki Sampar Bayu kembali memberondongnya dengan senjata-senjata rahasia. Pendekar Rajawali Sakti itu segera turun dan bergulingan di tanah menghindari serangan senjata rahasia yang gencar itu.
"Hup!" Kembali tubuh Rangga melenting ke udara, kali ini dia meluruk deras ke arah Ki Sampar Bayu.
"Uts!" Ki Sampar Bayu memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan. Dan tongkatnya di kibaskan ke atas menahan terjangan kaki Rangga yang mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Namun tanpa diduga sama sekali, ujung jari kaki Pendekar Rajawali Sakti itu menotok ujung tongkat Ki Sampar Bayu, dan kembali tubuhnya berputar di udara. Buk!
Ki Sampar Bayu tersentak kaget ketika tanpa diduga sama sekali kaki kanan Rangga berhasil mendepak punggungnya. Laki-laki tua itu bergulingan di tanah, tapi dia cepat bisa bangun lagi. Sementara Rangga sudah siap dengan kedua kaki tegak berpijak di tanah.
Trek! Sret...!
Rangga melangkah mundur satu tindak ketika Ki Sampar Bayu memotong tongkatnya jadi dua bagian. Ternyata tongkat itu menyimpan dua belah pisau kecil tipis yang sangat tajam berkilat pada ujung-ujungnya yang terpotong jadi dua bagian.
Sambil menggeram dahsyat, Ki Sampar Bayu kembali menyerang dengan dua tongkat bermata pisau di tangannya. Rangga terpaksa melayaninya dengan hati-hati. Setiap kebutan dan tusukan senjata Ki Sampar Bayu menimbulkan suara angin menderu yang mengandung hawa panas menyengat.
Diam-diam dalam hati, Rangga memuji kedahsyatan senjata kembar lawannya ini. Juga jurus-jurusnya yang sangat cepat dan mematikan. Rangga harus lebih hati-hati menghadapinya. Dia mengeluarkan semua jurus-jurus andalannya, tapi nampaknya Ki Sampar Bayu bisa menandinginya dengan mudah.
"Hm..., aku harus mencobanya dengan jurus 'Ekor Naga Melibat Gunung'," gumam Rangga dalam hati.
Rangga segera merubah jurusnya dengan cepat. Kali ini tubuhnya jadi lentur bagai karet, dan tangannya bergerak-gerak meliuk-liuk bagai ular. Ki Sampar Bayu kelihatannya kebingungan juga menghadapi jurus ini. Beberapa kali dia harus terdepak ke belakang terkena sampokan tangan Rangga yang kelihatannya lentur itu tapi mengandung tenaga dalam luar biasa.
Tapi hal itu hanya sebentar saja, karena Ki Sampar Bayu cepat tanggap dan langsung menguasai dirinya. Kali ini Rangga yang kelihatan kebingungan, karena setiap serangannya dapat dihindarkan dengan mudah oleh lawannya.
"Cabut senjatamu, Bocah!" seru Ki Sampar Bayu.
"Baik, kalau itu maumu!" sambut Rangga.
Sret! Cahaya biru berkilau langsung memancar terang ketika Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari warangkanya. Ki Sampar Bayu terbeliak melihat pedang di tangan Rangga memancarkan cahaya terang menyilaukan mata.
"Tahan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'!" seru Rangga.
"Eits!" Pertarungan kembali berlangsung sengit. Rangga dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' kelihatan lebih unggul dibandingkan lawannya. Ki Sampar Bayu harus jatuh bangun menghindari setiap serangan Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi sesaat kemudian, laki-laki tua itu sudah bisa menguasai keadaan yang tidak menguntungkan baginya tadi. Namun... Hanya sebentar saja Ki Sampar Bayu bisa bertahan. Detik berikutnya dia jadi putus asa, karena gerakan-gerakannya kacau tidak menentu, dan jiwanya juga seperti dirobek-robek tak dapat dikendalikan lagi. Seluruh urat-urat syarafnya seperti terputus-putus tak berfungsi.
"Edan! Kenapa aku jadi begini...?" dengus Ki Sampar Bayu tidak mengerti.
"Terimalah ajalmu, Ki Sampar Bayu!" seru Rangga keras.
Sambil berteriak nyaring, Rangga melompat sambil menusukkan pedangnya ke arah dada Ki Sampar Bayu. Hanya sebentar laki-laki tua itu bisa menatap lebar, detik berikutnya mulutnya menyemburkan darah segar. Pedang Rajawali Sakti amblas ke dada Ki Sampar Bayu sampai setengahnya.
"Hih!" Rangga menarik kembali pedangnya, dan kakinya melayang deras menghantam perut Ki Sampar Bayu.
Bug! Ki Sampar Bayu tidak bisa bersuara lagi. Tubuhnya langsung ambruk dengan darah menyembur deras dari dadanya yang bolong tertembus pedang tadi.
Cring! Rangga memasukkan pedang Rajawali Sakti ke warangkanya. Sebentar dia menarik napas panjang melihat tubuh Ki Sampar Bayu yang sudah tidak bernyawa lagi. Sebenarnya dia tidak ingin membunuh laki-laki tua itu, tapi dia terpaksa melakukannya. Kalau bukan dia yang membunuh, tentu Ki Sampar Bayu yang akan membunuhnya.
Sementara itu Ki Japalu yang mengendalikan kereta kuda terus memecuti kudanya agar tetap berlari cepat menuruni lereng Gunung Kanjaran. Di sampingnya duduk Ratih Kencana.
"Ki Japalu, berhenti!" tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Seketika itu juga Ki Japalu menghentikan lari kudanya. Tampak dari arah samping berlari dua ekor kuda menghampirinya. Ki Japalu langsung mengenali kalau dua penunggang kuda itu adalah Sarman dan Pantula.
"Ibu...," desis Sarman pelan begitu sampai di depan kereta kuda yang ditumpangi Ki Japalu dan Ratih Kencana.
Sarman turun dari kudanya. Langkahnya pelan mendekati kereta kuda itu. Matanya tidak berkedip memandang perempuan setengah baya yang duduk di samping Ki Japalu. Keadaannya sangat lusuh dan tubuhnya kurus serta matanya cekung ke dalam.
"Anakku...," desah Ratih Kencana lirih. "Oh! Tidak...!" Ratih Kencana melompat turun dari kereta, dan berlari kencang masuk ke dalam hutan.
"Ibuuu...!" Sarman langsung melompat mengejar, dan Ki Japalu bergegas turun dari kereta kudanya. Sementara Ratih terus berlari kencang menerobos lebatnya hutan. Dia tidak menyadari kalau arah larinya justru mendekati bibir jurang.
"Ratih, awas jurang...!" teriak Ki Japalu.
"Hiya...!"
Sarman melentingkan tubuhnya ketika di depan Ratih Kencana menganga mulut jurang yang lebar dan cukup dalam. Dan begitu kaki Sarman menjejak tanah di tepi jurang itu, mendadak Ratih Kencana melompat dan...
"Aaa...!" "Ratih!"
"Ibuuu...!"
Sarman menjerit sekuat-kuatnya ketika melihat tubuh ibunya meluncur masuk ke dalam jurang. Dia sudah berusaha untuk menjambret tangan ibunya, tapi tidak berhasil. Tubuh Ratih Kencana meluruk deras dan jatuh membentur batu di dasar jurang itu.
"Ibu...," rintih Sarman terjatuh lemas di tepi jurang.
Sementara Ki Japalu hanya bisa memandangi dengan mata nanar berair. Pantula yang masih ragu-ragu kalau itu ibunya hanya bisa berdiri menyaksikan dengan hati bimbang dan pikiran penuh digeluti bermacam-macam prasangka.
Sarman langsung berdiri tegak. Rintihannya seketika lenyap. Dia berbalik, dan menatap tajam pada Ki Japalu. Yang dipandang membalasnya dengan sayu tanpa gairah.
"Pembunuh...!" geram Sarman. "Kau membunuh ibuku!"
Ki Japalu tidak menyahuti.
"Kubunuh kau, keparat...! Hiyaaa...!"
Sarman menjerit melengking seraya menghentakkan kakinya ke tanah. Begitu tubuhnya melayang di udara, dengan cepat dia mencabut pedangnya. Tapi ketika ujung pedangnya hampir saja memenggal leher Ki Japalu yang hanya diam saja, mendadak satu bayangan berkelebat menahan serangan Sarman.
"Ayah...," desah Sarman melihat Ki Dandung tiba-tiba muncul.
"Jangan mata gelap, Sarman!" bentak Ki Dandung.
"Dia membunuh Ibu, Ayah. Dia harus mati!"
Ki Dandung menatap ke dalam jurang. Darahnya langsung menggelegak melihat mayat istrinya tergeletak di dasar jurang dengan kepala pecah membentur batu. Pandangannya beralih pada Ki Japalu dan Pantula bergantian.
"Aku tidak tahu, hukuman apa yang setimpal buatmu, Japalu," kata Ki Dandung tertahan suaranya.
''Bunuh aku," sahut Ki Japalu lirih.
"Tidak...," Ki Dandung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bunuh aku, Dandung," Ki Japalu memandang Ki Dandung dengan penuh harap. "Sarman, Pantula, ayo bunuh aku!"
Tidak ada yang bergerak memenuhi permintaan Ki Japalu. Semuanya jadi diam terpaku. Lebih-lebih Pantula yang diliputi kebimbangan dan ketidakpastian dalam dirinya. Peristiwa beruntun yang menggoncang hatinya membuat Pantula seperti kehilangan dirinya. Dia tidak tahu lagi siapa dirinya yang sebenarnya, dan untuk apa dia hidup di dunia ini? Sementara Ki Japalu terus meratap meminta dibunuh.
"Ayo kita pulang, Sarman," ajak Ki Dandung pada anaknya.
Sarman tidak menjawab, dia menuruti saja langkah ayahnya meninggalkan tempat itu tanpa menghiraukan rengekan Ki Japalu. Baru saja mereka melangkah beberapa tindak, mendadak wajah Ki Japalu berubah garang, dan dengan cepat tangannya merogoh ke balik baju. Kejadian berikutnya...
"Awas...!" teriak Pantula tiba-tiba.
Ki Dandung dan Sarman langsung berbalik. Mereka terkejut, dan tidak memiliki kesempatan lagi untuk mengelak. Jarak mereka begitu dekat, dan Ki Japalu melepaskan dua pisau kecil dengan kecepatan tinggi disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi.
"Ah...!" Ki Dandung hanya bisa mendesah.
********************
Pada saat kritis itu, sebuah bayangan putih berkelebat cepat menangkap dua buah pisau yang meluncur deras ke arah Ki Dandung dan Sarman.
Tap, tap!
"Pendekar Rajawali Sakti...," desah Ki Japalu kaget setengah mati begitu bayangan putih itu berhasil menangkap dua pisau kecilnya.
"Hm..., kau licik sekali, Ki Japalu...," gumam Rangga sinis.
"lblis! Binatang...!" geram Sarman langsung meluap amarahnya.
Seketika itu juga Sarman melompat seraya mengirimkan beberapa pukulan mautnya. Ki Japalu yang sudah nekad, segera menggeser kakinya sedikit menghindari pukulan-pukulan itu. Dan tanpa diduga sama sekali, dengan cepat tangan kanannya menyampok perut Sarman.
"Hugh!" Sarman mengeluh pendek.
Ketika tubuh Sarman membungkuk, Ki Japalu mengangkat kakinya dengan kuat, dan tubuh Sarman terpental ke belakang dengan dada sesak terkena hantaman kaki orang tua itu. Ki Japalu memanglah bukan tandingan Sarman. Ki Dandung sendiri saat ini harus berpikir dua kali menghadapi Kepala Desa Watu Ampar itu.
"Japalu, selama ini aku selalu mengalah padamu. Sampai perintah guru untuk menghukummu tidak aku turuti. Sekarang apa boleh buat, aku harus menghukummu!" kata Ki Dandung yang sudah hilang kesabarannya.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus, Dandung! Kita memang harus bertarung sampai mati!" sambut Ki Japalu.
Ki Dandung melangkah tiga tindak ke depan. Tatapan matanya tajam dan lurus. Perlahan-lahan dia menarik pedang yang tergantung di pinggangnya. Pedang pusaka pemberian gurunya yang belum pernah digunakan selama hidupnya. Pedang ini memang khusus diberikan untuk menghukum Ki Japalu yang dianggapnya sebagai murid murtad bertindak di luar batas perikemanusiaan.
"Pedang Karang Melati...," desah Ki Japalu. Wajah laki-laki tua itu seketika berubah melihat pedang di tangan Ki Dandung terhunus. Buru-buru dia merogoh ke balik bajunya, dan mengeluarkan sebuah senjata berupa keris berwarna hitam pekat. Keris itu menyebarkan bau busuk yang tidak sedap.
"Hhh..., rupanya kau juga mencuri keris pusaka Karang Mayit, Japalu," dengus Ki Dandung kaget melihat senjata pusaka itu.
"Aku mau tahu, sampai di mana kehebatan pedang Karang Melati melawan Keris Karang Mayit," kata Ki Japalu pelan dan datar.
Ki Dandung jadi lebih waspada lagi. Dia ingat kata-kata gurunya untuk waspada jika berhadapan dengan keris Karang Mayit. Pedang Karang Melati belum pernah bisa menandingi kehebatan keris itu. Keris yang mengandung hawa jahat dan nafsu membunuh. Pamor yang tidak baik itulah yang membuat senjata itu selalu tersimpan di dalam gudang penyimpanan senjata pusaka. Rupanya Ki Japalu mencuri senjata itu untuk memperkuat dirinya.
"Tahan seranganku, Dandung...! Hiyaaa...!"
Ki Japalu segera menerjang dengan jurus-jurus mautnya. Ki Dandung melayaninya dengan sikap hati-hati dan waspada. Dia selalu berusaha menghindari ujung keris Karang Mayit itu dari hidungnya. Sekali saja ujung keris itu berada di bawah hidung, akibatnya akan fatal. Aroma busuk yang mengandung racun untuk melemahkan otot-otot dan syaraf bisa melumpuhkan seseorang seketika. Dan itu sangat diketahui oleh Ki Dandung maupun Ki Japalu.
Pertarungan berjalan semakin sengit. Beberapa kali Ki Japalu hampir bisa menyorongkan ujung kerisnya ke depan hidung Ki Dandung, tapi dengan cepat Ki Dandung menepiskannya dengan mengibaskan pedangnya. Dan anehnya, mereka seperti sama-sama tidak ingin membenturkan senjata masing-masing.
"Ugh! Aku tidak bisa bertahan lama. Bau itu semakin menusuk.... Kepalaku pening...," desah Ki Dandung dalam hati.
"Ha ha ha...!" Ki Japalu tertawa terbahak-bahak begitu melihat lawannya mulai tidak menentu jurus-jurusnya.
Sementara Rangga yang memperhatikan jalannya pertarungan itu sudah dapat menduga kalau beberapa jurus lagi, Ki Dandung pasti akan tewas di ujung keris hitam itu. Dan dugaan Rangga memang menjadi kenyataan. Ki Dandung sempoyongan ketika satu tendangan telak berhasil disarangkan Ki Japalu ke dadanya.
"Mampus kau, Dandung. Hiyaaa...!" Ki Japalu berteriak lantang seraya melesat dengan ujung keris terhunus ke depan. Pada saat itu Ki Dandung tengah berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan pada saat yang kritis itu, tiba-tiba Pantula melesat cepat menerjang ke arah Ki Japalu.
"Pantula...!" sentak Ki Japalu kaget.
Buru-buru orang tua itu menarik kembali senjatanya. Tapi...
"Aaakh...!"
"Pantula...!"
Ki Japalu terkejut setengah mati. Pantula seperti sengaja menghujamkan tubuhnya ke ujung keris di tangan ayahnya. Ki Japalu segera menarik kembali kerisnya yang tertanam di dada Pantula. Pemuda itu langsung roboh ke tanah mengerang lirih
"Pantula...," pelan dan tertahan suara Ki Japalu.
Bibir Pantula bergerak-gerak bergetar.
Ki Japalu berlutut dan mengangkat tubuh Pantula ke dalam pelukannya. Dada berlubang yang bekas tusukan keris itu menghitam pekat. Darah yang ke luar juga berwarna kehitaman dan berbau tidak sedap. "Pantula, anakku...," rintih Ki Japalu.
"Jangan panggil aku anakmu, Ki Japalu. Kau bukan ayahku," lirih suara Pantula.
"Pantula...."
"Sudah seharusnya aku mati di tanganmu. Ibu..., maafkan aku.... Akh!"
"Pantula...!" jerit Ki Japalu.
Pantula terkulai lemas dengan nyawa melayang dari tubuhnya. Ki Japalu menangis tersedu-sedu memeluk anaknya. Pantula adalah darah dagingnya sendiri dari rahim Ratih Kencana. Ki Japalu sangat mencintainya karena Pantula lahir dari rahim wanita yang sangat dicintai dan dipuja-pujanya. Dia rela melakukan apa saja demi mencapai harapannya memiliki Ratih Kencana. Tapi sekarang semuanya telah tiada. Tak ada sesal yang datang lebih dahulu.
Kasih sayang yang diberikan Ki Japalu terhadap Pantula dan Segara memang sangat berbeda. Dia tidak begitu mencintai Segara, karena lahir dari wanita yang tidak dicintainya, meskipun Segara anak syah. Ki Japalu menggerung-gerung menangisi putra kesayangannya. Perlahan-lahan kepalanya terangkat naik menatap Ki Dandung.
"Kau menang, Dandung. Kau selalu menang dariku...," lirih suara Ki Japalu.
Ki Japalu mengangkat tubuh anaknya. Dia tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekitarnya. Dengan langkah lesu, dia membawa mayat Pantula. Di juga tidak peduli dengan keris Karang Mayit yang menggeletak di tanah. Ki Japalu terus melangkah pelan-pelan membawa mayat anaknya meninggalkan tempat itu.
Rangga memungut keris Karang Mayit yang ditinggalkan Ki Japalu. Dia menghampiri Ki Dandung dan menyerahkan senjata keramat itu. Ki Dandung menerimanya dengan mata nanar berkaca-kaca. Betapapun dia tidak menyukai tindakan saudara seperguruannya itu, tapi melihat begitu besarnya cinta dan kasih sayangnya pada Pantula, luruh juga hatinya.
"Sebenarnya dia mempunyai hati yang baik. Sayang, pengaruh adiknya begitu kuat sehingga terperosok ke dalam jurang sesat," kata Ki Dandung lirih.
"Mudah-mudahan dia menyadari kekeliruannya," desah Rangga.
"Ya, itu yang aku harapkan."
Rangga melangkah mundur. "Rasanya aku tidak bisa lama di sini. Aku harus pergi," kata Rangga pamitan.
"Heh, tunggu...!" sentak Ki Dandung.
Tapi Rangga sudah beranjak pergi. Bersamaan dengan itu muncul kuda hitam yang ditinggalkannya tadi. Kuda itu berlari mengikuti kepergian Rangga. Tampaknya dia sangat nurut pada Pendekar Rajawali Sakti. Melihat demikian, Rangga pun langsung meloncat ke punggung kuda itu. Bagaikan angin saja, kuda hitam itu berpacu cepat menembus lebatnya Hutan Ganda Mayit.
"Ayah, kenapa tidak mengatakan kalau Pandan Wangi mencarinya?" tegur Sarman.
"Dia pergi seperti angin saja...," keluh Ki Dandung.
Rangga memang cepat sekali menghilang. Bayangannya sudah tidak kelihatan lagi dalam sekejap.
"Bagaimana kalau Pandan Wangi menanyakannya, Ayah?" tanya Sarman.
"Aku harus mengatakannya terus terang," sahut Ki Dandung. "Ayo kita pulang."
Sarman tidak membantah. Dia mengikuti saja langkah ayahnya yang sudah lebih dulu meninggalkan tempat ini. Tapi baru beberapa tombak mereka berjalan, tiba-tiba Pandan Wangi muncul.
"Maaf, aku kesasar," kata Pandan Wangi mengakui. "Aku tidak tahu daerah ini...."
Ki Dandung dan Sarman saling berpandangan. Pandan Wangi memandang berkeliling. Dia sedikit heran karena tidak ada satu mayat pun menggeletak. Apa yang terjadi sebenarnya...?
"Aku tidak bisa mencegah. Dia sudah pergi," kata Ki Dandung pelan.
"Siapa?"
"Orang yang kau cari."
"Rangga...? Ke mana perginya?"
"Ke arah Utara."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pandan Wangi langsung melesat pergi ke arah Utara yang ditunjuk Ki Dandung. Laki-laki tua itu hanya mendesah panjang memandangi tubuh gadis itu yang segera lenyap di balik rimbunnya pepohonan.
"Ayo," ajak Ki Dandung pada anaknya.
"Ayah...," Sarman menarik tangan ayahnya.
"Ada apa lagi?"
"Ibu...."
"Oh!"
Mereka bergegas ke jurang. Tanpa banyak bicara lagi, Ki Dandung segera menuruni jurang yang cukup dalam itu. Sementara Sarman menunggunya di bibir jurang. Tidak sulit bagi Ki Dandung yang memiliki ilmu cecak untuk menuruni jurang itu. Telapak kakinya sepertinya merekat di bebatuan yang banyak berserakan sepanjang jurang.
Sebentar saja laki-laki tua itu sudah bisa mencapai tempat di mana Ratih Kencana tergeletak tak bernyawa di atas bebatuan. Ki Dandung mengangkat tubuh istrinya itu, dan membawanya naik ke atas. Tubuhnya ringan bagai kapas berlompatan dari satu batu ke batu lainnya. Sebentar saja dia sudah sampai di tepi jurang. Sarman menggantikan ayahnya membawa Ratih Kencana.
"Kita harus menguburkan sebelum para penduduk desa tahu," kata Ki Dandung.
"Ya, Ayah," sahut Sarman tersedak.
Mereka kembali melangkah meninggalkan tempat itu. Arah yang ditempuh bukannya menuju ke Desa Watu Ampar, tapi menuju ke tampat pemakaman yang berada di pinggiran Hutan Ganda Mayit. Sementara matahari sudah condong ke arah Barat. Sinarnya tidak lagi terik menyengat.
Dua laki-laki itu terus berjalan tanpa berkata-kata. Hutan Ganda Mayit jadi saksi bisu perselisihan satu keluarga itu, juga jadi saksi cinta antara dua pendekar tangguh yang belum sempat dipertemukan kembali. Apakah kedua pendekar itu akan berkumpul kembali...?
SELANJUTNYA API DI KARANG SETRA