DENDAM RARA ANTING
SATU
DUA orang penunggang kuda berpacu cepat melintasi jalan berdebu di Kaki Bukit Growong. Yang paling depan adalah seorang laki-laki separuh baya namun masih terlihat gagah. Sebilah pedang yang tergantung di pinggang semakin menambah kegagahannya. Sedangkan yang berkuda di belakang adalah seorang gadis berwajah cukup cantik, mengenakan baju agak ketat berwarna merah muda.“Cepat, Tarsih. Sebentar lagi malam!” seru laki-laki setengah baya itu seraya mendera kudanya agar berpacu lebih cepat lagi.
Gadis yang berada di belakang menghentak-hentakkan tali kekang kudanya, mengharapkan agar kuda coklat belang putih itu berlari lebih cepat. Derap kaki kuda menciptakan kepulan debu yang menghalangi pandangan mata. Apalagi saat itu hari sudah jauh senja. Hanya semburat rona merah jingga yang meredup di balik cakrawala belahan barat.
Saat mereka memasuki tikungan jalan, tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi gadis bernama Mintarsih meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Gadis itu terkejut dan berusaha mengendalikan kudanya yang mendadak liar. Tapi...
“Ayah...!” jerit Mintarsih keras. Gadis itu tidak bisa lagi menguasai kendali. Tubuh yang ramping terbungkus baju merah muda itu terpental jatuh ke tanah, tepat saat kuda itu ambruk. Seketika laki-laki setengah baya yang berkuda di depan menghentikan laju kudanya.
“Tarsih...!”
Laki-laki setengah baya itu langsung melompat turun dari punggung kudanya. Manis sekali gerakannya. Dan dengan ringan sekali, didaratkan kakinya di samping Mintarsih yang terduduk di tanah. Laki-laki separuh baya yang mengenakan baju putih itu membantu Mintarsih bangun.
“Ayah...,” bergetar suara Mintarsih.
Gadis itu memeluk ayahnya erat-erat. Wajahnya kelihatan pucat dan tubuhnya agak bergetar. Sementara laki-laki setengah baya itu menepuk-nepuk punggung anaknya. Dipandangi kuda yang tergeletak di tanah. Agak terbeliak matanya begitu melihat sebuah benda kecil berwarna merah dan berbentuk segitiga tertanam pada leher kuda itu.
Buru-buru laki-laki setengah baya itu membawa anaknya menyingkir dari jalan. Matanya tajam memandang sekitarnya. Dan tiba-tiba saja hatinya dikejutkan suara ringkik kuda. Langsung pandangannya beralih pada kudanya yang meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Mendadak saja kuda itu jatuh menggelepar dan langsung tidak berkutik lagi. Pada lehernya terlihat sebuah benda kecil berwarna merah berbentuk segitiga.
“Ayah...,” bergetar suara Mintarsih.
Belum juga laki-laki setengah baya itu mampu bersuara, tiba-tiba terdengar siulan nyaring bernada sumbang. Sebentar kemudian siulan itu berubah lembut dengan irama merdu menyejukkan. Namun laki-laki setengah baya itu malah tergetar, wajahnya nampak pucat pasi dan bola matanya berputar. Sedangkan Mintarsih semakin erat memeluk ayahnya.
“Sayang sekali! Waktumu sudah habis, Jara Botang!” tiba-tiba terdengar suara keras dan halus bersamaan dengan berhentinya siulan itu.
Belum lagi hilang suara itu, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat, dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang wanita mengenakan baju merah menyala. Wajahnya cantik sekali, bagai dewi kahyangan. Hanya saja wanita itu tersenyum sinis. Sorot matanya pun sangat tajam menusuk, seakan ingin mengoyak jantung dua orang yang berpelukan di depannya.
Perlahan-lahan laki-laki setengah baya yang dipanggil Jara Botang itu melepaskan pelukan anaknya. Ditariknya gadis itu agar berlindung di belakang punggungnya. Mintarsih bergegas berlindung di belakang punggung ayahnya. Gadis itu seperti tidak sanggup membalas tatapan mata wanita berbaju merah di depannya.
“Sungguh sukar dipercaya, Jara Botang yang perkasa kini tidak ubahnya seperti seekor tikus menjelang ajal,” sinis terdengar nada suara wanita berbaju merah itu.
“Siapa kau? Kenapa selalu mengejarku?” sentak Jara Botang ketus.
“Oh... Rupanya kau masih bisa membentak juga, ya...? Bagus! Aku memang tidak suka melihat laki-laki lembek!”
Cring!
Jara Botang menarik pedangnya ke luar. Mata pedang yang tipis itu berkilatan tertimpa cahaya matahari senja yang hampir tenggelam di ufuk barat. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu hanya tersenyum dan berdiri tegak bertolak pinggang. Sikapnya menantang.
“Majulah! Aku ingin tahu sampai di mana kehebatanmu, Jara Botang!” tantang wanita itu ketus.
“Sebutkan namamu, sebelum pedangku ini memenggal lehermu!” bentak Jara Botang sengit.
“Hi hi hi...!” wanita itu hanya mengikik saja.
“Kau pasti yang membunuh kuda-kudaku, dan harus bayar mahal semua ini! Kau juga pembunuh istri dan anak laki-lakiku! Jangan mungkir lagi, perempuan laknat!” bentak Jara Botang.
“Aku tidak menyangkal. Dan lagi mereka memang sepatutnya mampus!” jawab wanita itu dingin.
“Keparat! Kubunuh kau! Hiyaaa...!”
“Hait!”
Jara Botang tidak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. Tidak dipedulikan lagi siapa yang dihadapinya kala mendengar pengakuan wanita berbaju merah itu. Sebuah pengakuan yang lugas tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun. Bagaikan seekor singa terluka, Jara Botang menyerang wanita cantik berbaju merah itu dengan ganas. Pedangnya berkelebat cepat mengarah pada bagian-bagian yang mema-tikan.
Namun rupanya wanita cantik ini memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan mudah setiap serangan yang datang berhasil dielakkan. Bibirnya tidak pernah lepas mengulas senyum. Bahkan beberapa kali diberikannya serangan balasan yang tidak terduga sama sekali, sehingga membuat Jara Botang kelabakan menghadapinya.
“Hhh! Ternyata hanya sebegini kemampuanmu, Jara Botang!” dengus wanita itu seraya mengelakkan tusukan pedang Jara Botang.
Dan pada saat pedang Jara Botang lewat di bawah ketiak wanita itu, mendadak saja dikepitkan lengannya. Seketika pedang itu terjepit di bawah ketiaknya. Jara Botang terkejut, dan berusaha melepaskannya. Namun jepitan itu sangat kuat. Meskipun sudah mengerahkan kekuatan tenaga dalam, tetap saja tidak mau terlepas dari ketiak wanita itu.
“Hih!”
Tiba-tiba saja wanita itu mengayunkan kakinya, sehingga tepat menghantam keras perut Jara Botang. Laki-laki setengah baya itu terpekik keras, dan tubuhnya terlontar ke belakang. Pedangnya pun terlepas dari tangan. Wanita itu mengambil pedang lawannya lalu ditimang-timangnya seperti mempermainkan sebatang ranting. Dan....
“Nih, kukembalikan! Hih...!”
Wut!
Jara Botang terperangah begitu wanita berbaju merah itu melemparkan pedangnya. Senjata itu meluncur deras bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya. Buru-buru Jara Botang menggu-lirkan tubuhnya ke samping, sehingga pedang itu menancap dalam di samping tubuhnya.
“Hap!”
Pada injakan yang entah ke berapa kali, Jara Botang jadi nekad. Ditangkapnya kaki wanita itu di depan dada. Dan dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, dihentakkannya kuat-kuat.
“Hiyaaa...!”
Wanita itu terpental ke udara dan berputaran beberapa kali. Buru-buru Jara Botang melompat bangkit berdiri. Tapi belum juga mampu berdiri tegak, mendadak saja wanita berbaju merah itu mengayunkan satu tendangan menggeledek selagi masih berada di udara.
Des!
“Akh!” Jara Botang memekik keras tertahan.
Tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu tepat mendarat di dada Jara Botang. Laki-laki setengah baya itu kembali terjungkal ke tanah. Dan wanita berbaju merah itu tidak lagi membiarkan Jara Botang bangkit berdiri. Dengan cepat tubuhnya meluruk dan langsung menjejakkan kakinya di dada laki-laki separuh baya itu. Dan ditekannya dada itu dengan kuat sekali.
Trek!
“Aaakh...!”
“Mampus kau, Jara Botang!” desis wanita itu menggeram.
Jara Botang menggeliat-geliat berusaha melepaskan pijakan kaki wanita cantik berbaju merah ini. Tapi pijakan itu semakin kuat dan menyesakkan dadanya. Dirasakan beberapa tulang dadanya patah. Dia menoleh pada putrinya yang berdiri dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Cukup jauh juga jaraknya dari tempat itu.
“Tarsih! Cepat lari...!” teriak Jara Botang keras. “Aaakh...!”
“Keparat...!” desis wanita itu menggeram.
Wanita itu berpaling pada Mintarsih yang tampak kebingungan, kemudian kembali menatap Jara Botang yang masih berusaha menahan pijakannya. Dicengkeramnya kuat-kuat kaki wanita itu. Dia berusaha menahan agar tidak cepat mati dengan dada remuk.
“Tarsih, cepat lari...!” teriak Jara Botang.
“Ayah...,” desis Mintarsih ragu-ragu.
Tapi begitu melihat tatapan mata wanita itu nyalang memerah, Mintarsih jadi bergidik dan seketika itu juga berlari cepat. Terpaksa ayahnya ditinggalkan, walaupun laki-laki itu sedang berusaha menahan pijakan wanita berbaju merah itu dengan cengkeramannya yang makin kuat.
“Keparat...! Hih!”
Wanita berbaju merah itu jadi marah bukan main. Apalagi setelah melihat Mintarsih sudah pergi. Ditekannya kuat-kuat kakinya dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.
“Hih!”
Krek!
“Aaa...!” Jara Botang menjerit keras melengking tinggi.
Jari-jari tangan Jara Botang semakin mencengkeram kuat hingga melukai kulit kaki yang putih halus itu. Meskipun dadanya remuk, tapi Jara Botang masih berusaha bertahan. Sementara darah mengucur deras dari mulutnya.
“Setan keparat...! Mampus kau, hih!” geram wanita cantik itu.
Seketika itu juga dihantamkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke kepala Jara Botang.
“Aaa...!” lagi-lagi Jara Botang menjerit melengking.
Ternyata itu merupakan jeritan terakhir yang keluar dari mulut laki-laki setengah baya itu. Kepalanya telah hancur terkena pukulan bertenaga dalam tinggi. Seketika itu juga Jara Botang tewas dengan darah berhamburan dari kepala yang pecah.
“Huh!” wanita cantik berbaju merah itu mendengus.
Sebentar dipandangi mayat Jara Botang, kemudian beralih ke arah kepergian Mintarsih. Wanita itu memang sempat melihat Mintarsih pergi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia bergegas berlari cepat mengejar Mintarsih yang sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Sungguh luar biasa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki wanita itu. Dalam waktu sekejap saja sudah tidak terlihat lagi bayangannya.
********************
Sementara itu di tempat yang cukup jauh, tampak Mintarsih terus berlari kencang disertai nafasnya yang tersengal-sengal. Gadis itu sempat berhenti kaku saat mendengar jeritan panjang melengking tinggi dari arah belakang. Mulutnya mendesis menyebut nama ayahnya, tapi kemudian gadis itu berlari kencang lagi dan sekuat tenaga. Sementara senja terus merayap semakin turun. Suasana hampir gelap. Hanya sedikit cahaya merah terlihat di ufuk barat.
Mintarsih terus berlari kencang. Berapa kali gadis itu terjatuh karena terantuk akar yang menyembul dari dalam tanah. Tapi cepat bangun, dan kembali berlari kencang. Tidak dipedulikan lagi arah mana yang harus ditempuh. Hanya satu yang ada di dalam kepalanya, berlari terus, dan menyelamatkan diri selagi masih bisa bernapas. Kata-kata itu selalu terngiang, dan sering diucapkan ayahnya setiap kali habis memberikan latihan ilmu olah kanuragan. Mintarsih memang bukan seorang gadis yang cepat menangkap ilmu olah kanuragan. Jadi wajar saja kalau hanya memiliki sedikit kepandaian. Terlebih lagi dirinya memang tidak menyukai ilmu-ilmu seperti itu dan malas mempelajarinya.
Dan sekarang baru dirasakannya. Mintarsih memang benar-benar menyesal karena tidak pernah bersungguh-sungguh mempelajari ilmu olah kanuragan. Hanya saja rasanya tidak ada gunanya lagi menyesal. Yang ada hanyalah menyelamatkan diri, dan masih bisa hidup esok hari. Namun mendadak saja napas gadis itu serasa berhenti dan jantungnya serasa tak berdetak. Kedua matanya membeliak lebar. Seketika itu juga larinya berhenti dengan tubuh bergemetaran.
“Kau...?!” tercekat suara Mintarsih di tenggorokan.
“Ya, kaget...?” lembut sekali suara jawaban itu.
Entah bagaimana, tahu-tahu wanita cantik berbaju merah sudah menghadang jalan Mintarsih sambil duduk tenang di bawah sebatang pohon yang cukup besar dan lebat daunnya. Mintarsih melangkah mundur. Wajahnya langsung pucat pasi bagai tak pernah teraliri darah.
“Jangan takut, Adik Manis. Aku tidak akan menyakitimu. Asalkan...,” wanita berbaju merah itu tidak melanjutkan kalimatnya, tapi malah tersenyum-senyum memandangi Mintarsih yang pucat pasi ketakutan.
“Apa yang kau inginkan? Biarkan aku hidup,” kata Mintarsih dengan suara bergetar.
“Bagus! Rupanya kau cukup tanggap juga, Adik Manis,” senyum di bibir wanita berbaju merah itu semakin melebar.
“Katakan, apa yang kau inginkan dariku?!”
“Tidak banyak. Aku hanya ingin mengetahui letak Padepokan Arum,” tenang sekali suara wanita itu.
“Oh...!” Mintarsih tersedak. Semakin pucat wajahnya mendengar permintaan wanita cantik ini.
“Bagaimana, Adik Manis?”
Mintarsih tidak menjawab, dan agaknya dia sedang berpikir keras mengenai tawaran wanita cantik ini. Padahal ayahnya berpesan agar tidak memberitahukan letak Padepokan Arum pada siapa pun. Terlebih lagi pada orang asing yang tidak dikenal sama sekali.
“Apa yang kau pikirkan, Adik Manis? Berpikirlah tentang keselamatanmu sendiri. Mudah sekali aku membunuh, semudah membalikkan telapak tangan,” ancam wanita berbaju merah itu lagi.
“Apa.... Apa tidak ada yang lain?” Mintarsih mencoba menawar.
“Sayang sekali. Aku hanya ingin mengetahui letak Padepokan Arum,” tegas wanita itu ringan.
“Untuk apa kau ingin tahu Padepokan Arum?” tanya Mintarsih ingin tahu.
Gadis itu sebenarnya memang tidak mengerti kenapa ayahnya berpesan begitu. Mintarsih memang tahu letak Padepokan Arum. Namun mengingat pesan ayahnya, Mintarsih jadi berpikir juga. Terlebih lagi wanita ini telah membunuh ibu, kakak laki-lakinya, dari barusan saja membunuh ayahnya. Mintarsih kian menduga kalau wanita ini tentu punya maksud buruk pada Padepokan Arum. Hanya saja tidak diketahui apa maksudnya.
“Ah! Kau membuatku tidak sabar, Adik Manis,” desah wanita berbaju merah itu.
“Baiklah, akan kukatakan. Tapi kau harus berjanji dulu,” pinta Mintarsih setelah berpikir.
“Baik. Aku harus berjanji apa?”
“Kau tidak akan membunuh dan mengejar-ngejarku lagi.”
“Ha ha ha...! Sudah kuduga. Kau adalah seorang gadis yang selalu mementingkan diri sendiri. Baik, kuterima tawaranmu.”
“Janji...?”
“Aku janji, dan tidak akan mengingkari.”
“Dengar. Letak Padepokan Arum ada di sebelah barat Gunung Ratak,” jelas Mintarsih dengan mimik wajah dibuat serius.
“Hm... Kau tidak mendustaiku, Adik Manis?” wanita berbaju merah itu curiga.
“Untuk apa? Toh aku tidak tahu maksudmu. Dan aku juga tidak tahu, mengapa ayahku melarang memberitahukannya pada orang lain. Lagi pula aku tidak tahu dan tidak pernah ke sana.”
“Jadi, dari mana kau tahu letak padepokan itu?”
“Ayah sering cerita. Dan katanya aku akan dikirim ke sana kalau sudah cukup ilmu olah kanuragan yang kumiliki. Tapi aku tidak peduli, karena tidak suka belajar begitu.”
“Baiklah. Untuk sementara aku percaya padamu. Tapi kalau kau berdusta, jangan harap punya kesempatan hidup lagi,” ancam wanita itu.
Agak bergidik juga Mintarsih men-dengar ancaman itu. Tapi dia malah tersenyum, meskipun terasa hambar. Wanita berbaju merah itu bangkit berdiri, lalu berjalan menghampiri Mintarsih.
“Ke mana tujuanmu?” tanya wanita itu, agak lembut nada suaranya.
“Aku tidak tahu. Mungkin ke rumah paman,” sahut Mintarsih asal saja.
“Aku memang tidak perlu tahu ke mana tujuanmu. Tapi kalau kau berdusta.... Di mana pun berada, kau pasti bisa kutemukan. Aku sudah tahu semua sanak keluarga dan kerabat dekat ayahmu. Dan kau akan melihat mereka semua jadi mayat sebelum kau sendiri kukirim ke neraka! Ingat itu baik-baik, Adik Manis,” kata wanita berbaju merah itu kembali mengancam.
Mintarsih diam saja dan hanya menarik napas panjang setelah wanita berbaju merah itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara malam sudah jatuh. Sekitar Bukit Growong terselimut gelap. Jerit binatang malam mulai terdengar. Mintarsih terus berjalan cepat, terkadang berlari kecil melintasi jalan berdebu dan berkerikil tajam. Tidak dipedulikannya lagi kerikil-kerikil tajam yang menusuk kakinya. Gadis itu terus berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. Sungguh, dia tidak ingin bertemu wanita berbaju merah itu lagi yang telah membunuh habis keluarganya.
********************
DUA
Pagi baru saja datang menjelang. Matahari memancarkan sinarnya lembut dari balik Bukit Growong. Kabut masih terlihat menyelimuti seluruh bukit itu, meskipun sudah agak memudar. Hangatnya sinar matahari pagi membangunkan Mintarsih dari tidurnya. Gadis itu menggeliat dan menggosok-gosok matanya, namun mendadak saja terbeliak kaget.
“Oh...!”
“He he he...."
Bukan main terkejutnya Mintarsih, karena di depannya kini sudah berdiri tiga orang laki-laki bertubuh tinggi kekar berwajah kasar penuh brewok. Gagang golok dari tanduk kerbau menyembul di pinggang. Mereka tertawa-tawa sambil menyeringai. Sinar mata mereka begitu liar menjilati wajah dan seluruh tubuh Mintarsih.
“Siapa kalian...?” tanya Mintarsih dengan tubuh agak bergidik.
“He he he.... Nasib kita memang lagi mujur, Kakang. Cantik sekali kelinci ini,” kata salah seorang sambil terkekeh. Dijilati bibirnya sendiri yang tebal hampir tertutup kumis.
Mendengar kata-kata itu Mintarsih semakin bergidik ketakutan. Nalurinya langsung mengatakan kalau ketiga laki-laki ini tentunya tidak bermaksud baik. Gadis itu buru-buru bangkit berdiri dan melangkah mundur. Namun langkahnya tertahan oleh sebuah pohon yang cukup besar. Wajahnya semakin pucat karena ketiga laki-laki itu sudah bergerak mendekati disertai pandangan mata liar dan tawa terkekeh.
“Mau apa kalian...?” bentak Mintarsih. “Pergi! Jangan dekati aku...!”
Tapi ketiga laki-laki itu seperti tak mendengar bentakan itu. Mereka hanya terkekeh dan terus melangkah maju. Mintarsih menggeser kakinya ke samping. Namun belum juga sempat berbuat sesuatu, mendadak saja salah seorang laki-laki yang berada di tengah melompat menerkamnya.
“Oh...!” Mintarsih terkejut bukan main.
Tanpa disadari, gadis itu menggerakkan tangannya dan tepat menghantam dada laki-laki yang hendak menerkam bagai serigala lapar melihat domba gemuk.
Des!
“Ughk!” laki-laki itu mengeluh pendek.
Pukulan Mintarsih rupanya cukup keras juga, sehingga membuat laki-laki brewok itu terpental balik ke belakang. Dua temannya hanya terpana, tidak percaya melihat temannya terjengkang dan tergeletak di tanah. Sedangkan Mintarsih sendiri hampir tidak percaya kalau mampu memukul begitu keras, dan hasilnya lumayan juga.
Tapi kejadian itu hanya sebentar saja. Ternyata orang yang terjungkal itu sudah bangkit kembali dan langsung menggeram marah. Sambil memaki, dia kembali melompat hendak menerkam Mintar-sih. Namun gadis itu cepat menggeser kakinya sambil memiringkan tubuh ke kanan. Terkaman laki-laki brewok itu luput dari sasaran, dan hanya memeluk pohon yang berada di belakang Mintarsih.
“Setan alas...!” rutuknya sengit.
Kedua temannya bergegas berlompatan menyerang Mintarsih. Tapi kali ini Mintarsih tidak akan menyerah begitu saja. Bagaimanapun juga, gadis itu pernah mempelajari jurus-jurus ilmu olah kanu-ragan dari ayahnya. Dengan kepandaian yang sedikit, ditambah lagi perasaan takut yang amat sangat, Mintarsih beru-saha melawan sebisa-bisanya.
Menyadari kalau gadis cantik ini memiliki kepandaian juga, ketiga laki-laki itu menjadi gusar bukan main. Apalagi sampai saat ini gadis itu belum juga berhasil diringkus. Mereka menggeram bagai binatang buas terkecoh oleh seekor domba cantik yang lemah.
Sret!
Hampir bersamaan mereka mencabut golok. Mintarsih terkesiap, karena tidak memiliki senjata apa pun untuk menandinginya. Ada sedikit penyesalan, karena menolak anjuran ayahnya agar dirinya membawa senjata. Gadis itu menggeser kakinya ke belakang beberapa tindak, kemudian dengan cepat berbalik dan berlari sekencang-kencangnya.
“Kejar...! Jangan biarkan lolos!” seru salah seorang.
Ketiga laki-laki brewok itu langsung berlari cepat mengejar. Mintarsih terus berlari sekuat tenaga menerobos lebatnya hutan di kaki Bukit Growong ini. Kejar-kejaran pun terjadi. Memang agak sukar berlari di dalam hutan yang lebat ini. Tapi Mintarsih tidak peduli, dan terus berlari sekuat tenaga. Dia tahu kalau di depan sana ada jalan yang menghubungkan hutan ini dengan sebuah desa. Dan biasanya jalan itu ramai dilalui orang.
“Tolong...!” teriak Mintarsih kencang.
Tapi di dalam hutan yang sunyi ini, mana ada yang mendengar teriakannya? Suara gadis itu bagaikan tenggelam termakan pepohonan. Mintarsih terus berlari dan kadang-kadang tersuruk jatuh terganjal akar pohon yang menyembul keluar dari dalam tanah. Jalan setapak di depan sudah terlihat. Dan hutan ini semakin terbuka. Mintarsih semakin mempercepat larinya.
“Tolooong...!” teriak Mintarsih begitu tiba di jalan setapak yang berdebu itu.
Ketika menoleh ke belakang, ternyata ketiga laki-laki bersenjata golok itu masih terus mengejar. Mintarsih terus berlari melintasi jalan setapak berdebu ini. Hatinya agak heran dan khawatir juga, karena jalan ini sangat sepi. Tak terlihat seorang pun yang melintasinya. Dengan perasaan cemas yang amat sangat, Mintarsih semakin kuat berlari. Tidak dipedulikannya lagi nafasnya yang sudah tersengal dan dada yang terasa akan pecah kehabisan udara.
“Tolooong...!” teriak Mintarsih lagi ketika melihat seseorang tengah duduk mencangkung di atas batu, di pinggir jalan di depannya. Mintarsih langsung memburu, akhirnya dia jatuh tersuruk di depan seorang pemuda berwajah tampan dan berkulit kuning langsat. Pemuda itu terkejut, hingga melompat berdiri. Dia mengenakan baju putih tanpa lengan, sedangkan bagian dadanya dibiarkan terbuka lebar. Mintarsih merayap berusaha mendekati pemuda itu.
“Tolong aku, Kisanak. Tolooong...,” rintih Mintarsih penuh harap.
Pemuda itu bergegas menghampiri lalu membantu Mintarsih berdiri. Sedangkan gadis itu buru-buru berlindung di belakang pemuda itu. Tubuh Mintarsih benar-benar gemetar dan wajahnya pucat. Nafasnya tersengal memburu. Keringat mengucur deras membasahi seluruh wajah dan tubuhnya.
“Ada apa?” tanya pemuda itu lembut.
“Tolong aku, Kisanak. Mereka hendak berbuat jahat padaku,” sahut Mintarsih, masih dengan suara tersendat dan napas tersengal.
Pemuda itu menatap ke depan. Pada saat itu ke tiga laki-laki yang mengejar Mintarsih sudah dekat. Mereka mendengus-dengus dan memaki-maki dengan kata-kata kotor yang tidak pantas didengar telinga. Pemuda itu menarik tangan Mintarsih dan membawanya ke tepi jalan. Sementara ketiga laki-laki bersenjata golok terhunus itu sudah menyebar, mengepung dari tiga jurusan.
“He, bocah! Minggir kau...! Jangan ikut campur urusanku!” bentak salah seorang yang mengenakan baju hitam, dan bercelana sebatas lutut.
“Hm..., mengapa kalian mengejar gadis ini?” tanya pemuda itu tenang.
“Bukan urusanmu! Dia istriku!” bentak orang itu sengit.
“Bohong! Aku tidak kenal mereka!” sentak Mintarsih sambil menuding.
“Paman, dunia ini sudah pengap. Janganlah Paman bertiga menambah kotor lagi,” ujar pemuda itu lembut.
“Phuih! Aku tidak perlu nasehatmu, bocah! Cepat menyingkir, atau ingin merasakan tajamnya golokku ini!”
“Ah! Kau terlalu kasar sekali, Paman. Hendak kau apakan gadis ini?”
“Tutup mulutmu, monyet!” bentak orang yang berada di samping kanan.
Pemuda itu melirik sedikit. Agak memerah juga wajahnya mendapat perlakuan kasar seperti itu. Tapi segera ditariknya napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap bersabar. Dia tahu manusia macam apa ketiga laki-laki tinggi tegap ini. Sementara ketiga laki-laki itu saling memberi isyarat, kemudian bergerak perlahan sambil melintangkan golok di depan dada.
“Menjauhlah, Nisanak. Tampaknya mereka membutuhkan sedikit pelajaran,” kata pemuda itu lembut.
Tanpa diminta dua kali Mintarsih segera menyingkir mencari tempat yang aman. Sedangkan ketiga laki-laki itu sudah semakin mendekati pemuda berbaju putih tanpa lengan itu. Dan mendadak....
“Hiya!”
“Yeaaah...!”
Ketiga laki-laki brewok itu berlompatan sambil mengibaskan cepat goloknya ke arah pemuda berbaju rompi putih itu. Namun sungguh tidak terduga, hanya dengan menggerakkan tubuh sedikit dan mengkelebatkan cepat tangannya, tahu-tahu terdengar pekikan-pekikan keras disusul terpentalnya tiga laki-laki itu ke belakang.
Mereka bergegas berdiri dan terkejut bukan main. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu golok mereka sudah terampas pemuda itu. Seketika wajah mereka semua memucat dan saling berpandangan.
“Aku harap Paman bertiga segera angkat kaki dari sini,” ujar pemuda itu dingin.
Trek!
Hanya sekali pukul saja, tiga batang golok itu patah jadi dua bagian! Pemuda itu melemparkannya ke depan kaki tiga orang laki-laki yang hanya terpana dan mulut ternganga lebar.
“Pergilah, sebelum aku berubah pikiran!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga orang itu bergegas lari sekencang-kencangnya. Pemuda berbaju rompi putih itu menggeleng-gelengkan kepala. Sebentar kemudian diputar tubuhnya dan dihampirinya Mintarsih yang berdiri di bawah pohon beringin besar. Gadis itu memandangi wajah tampan yang kini tersenyum lembut menawan. Entah kenapa, mendadak saja Mintarsih merasakan jantungnya jadi berdetak kencang tak terkendali. Perasaannya benar-benar jadi gugup. Buru-buru dialihkan pandangannya ke arah lain, tepat pada saat pemuda itu sampai di depannya.
“Terima kasih, kau telah menyelamatkan diriku,” ucap Mintarsih dengan kepala tertunduk.
“Sebaiknya Nisanak cepat pulang,” ujar pemuda itu lembut.
Mintarsih tidak menyahut dan hanya tertunduk saja. Hatinya bingung, karena tidak tahu harus pergi ke mana saat ini. Gadis itu meninggalkan rumah bersama ayahnya memang hendak menuju ke suatu tempat. Tapi dia tidak tahu, di mana arah tujuannya. Yang diketahuinya tempat itu bernama Padepokan Arum.
“Ada apa, Nisanak?” tanya pemuda itu lembut.
“Ah, tidak. Sebaiknya aku memang cepat-cepat pergi,” sergah Mintarsih buru-buru.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, gadis itu bergegas pergi meninggalkan pemuda berbaju rompi putih itu. Mintarsih berjalan cepat dan terlihat tergesa-gesa sekali. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu memandangi tanpa berkedip. Kemudian dilangkahkan juga kakinya ke arah yang sama dengan Mintarsih.
********************
Hari hampir senja. Terik sinar matahari tidak lagi terasa. Mintarsih berjalan perlahan-lahan melintasi jalan tanah berdebu. Sebuah perkampungan sudah terlihat tidak berapa jauh lagi di depan. Gadis itu tampak kelelahan karena seharian penuh menempuh perjalanan tanpa tujuan pasti. Dia berhenti sebentar dan memandang perkampungan itu. Kemudian kembali dilanjutkan perjalanannya, walaupun dengan langkah tertatih-tatih.
“Oh...!” tiba-tiba Mintarsih tersentak kaget.
Tiba-tiba saja dari balik sebuah pohon di depannya muncul seorang laki-laki berwajah kasar dan penuh ditumbuhi brewok. Belum juga lenyap keterkejutannya, dari samping kanan dan kirinya muncul lagi dua orang laki-laki yang tidak kalah seram wajahnya. Mintarsih langsung berhenti berjalan dan seketika tubuhnya bergetar. Ketiga laki-laki inilah yang pernah mencegat dan mengejarnya.
“He he he.... Kita ketemu lagi, Manis. Tapi kali ini tak ada lagi yang bisa menolongmu,” ujar laki-laki yang berada di depan sambil melangkah mendekati.
“Oh! Apa yang akan kalian perbuat,” bentak Mintarsih, bergetar suaranya.
“He he he.... Hanya tubuhmu, Manis.”
Dua laki-laki yang lain langsung tertawa terbahak-bahak. Pucat pasi wajah Mintarsih seketika itu juga. Ditelan ludahnya beberapa kali. Gadis itu bisa memahami kata-kata laki-laki berwajah kasar itu. Sedangkan mereka semakin dekat, disertai sinar mata liar menjilati seluruh tubuh ramping menggiurkan. Mintarsih bergidik ngeri.
“Aku mohon, biarkan aku pergi...,” rengek Mintarsih menghiba.
“Ha ha ha...!” ketiga laki-laki itu hanya tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba saja salah seorang yang di sebelah kiri melompat. Tangannya terkembang hendak menerkam. Mintarsih terkesiap kaget dan buru-buru berbalik hendak berlari. Namun sebelum niatnya terlaksana, laki-laki lain yang berada di depan sudah lebih dulu melompat melewati kepalanya. Dan pada saat itu, sepasang tangan kasar berhasil memeluk pinggang Mintarsih.
“Auw...! Lepaskan...!” jerit Mintarsih.
Gadis itu memberontak. Tapi pelukan laki-laki itu demikian kuat. Dengan sekuat tenaga Mintarsih berusaha memberontak melepaskan diri. Namun akibatnya malah semakin parah. Dia terjatuh bersama orang yang memeluk pinggangnya. Dua orang lainnya tertawa terbahak-bahak. Mintarsih menjerit-jerit sambil terus meronta mencoba melepaskan diri dari himpitan tubuh besar, kekar, dan kasar itu.
Meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, namun tenaga Mintarsih memang tak ada artinya dibandingkan laki-laki itu. Terlebih lagi, kini dua orang lainnya sudah memegangi tangannya hingga terlentang ke samping melekat dengan tanah berdebu. Mintarsih semakin ketakutan dan terus menjerit minta tolong.
Bret!
Tiba-tiba salah seorang menjambret bagian atas baju gadis itu hingga terkoyak lebar.
“Auh...!” Mintarsih terpekik.
Tiga pasang mata liar kontan merayapi bagian dada yang terbuka lebar. Begitu indah dan putih mulus tanpa cacat sedikit pun. Mintarsih memejamkan mata saat sebuah tangan kekar menjulur hendak menjamah dadanya yang terbuka lebar. Air matanya mulai mengalir. Digigit-gigit bibirnya sendiri begitu merasakan buah dadanya diremas-remas.
“Tidak..., jangan...,” rintih Mintarsih lirih.
Lemas seluruh tubuh gadis itu saat tangan-tangan kasar kembali merenggut baju dan kain yang dikenakan. Mintarsih tak mampu lagi membuka mata, apalagi meronta. Dirinya seakan-akan pasrah terhadap apa yang akan terjadi nanti. Gadis itu hanya bisa merintih, menghiba, dan menangis. Namun ketiga laki-laki itu tidak peduli. Rintihan Mintarsih bagaikan nyanyian merdu yang membangkitkan gairah.
Des! Bug! Dughk...!
Tiba-tiba saja terdengar benda-benda keras berbenturan. Dan entah bagaimana, tahu-tahu Mintarsih merasa tubuhnya ringan, dan tak ada lagi tangan-tangan kasar mencengkeramnya. Perlahan gadis itu membuka mata, dan menjadi terbeliak begitu melihat tiga laki-laki yang hendak memperkosanya bergelimpangan sambil mengaduh dan merintih kesakitan.
Buru-buru Mintarsih meraih pakaiannya yang sudah koyak tercabik, dan bergegas mengenakannya kembali. Tubuhnya dengan cepat beringsut menyingkir. Kini matanya menatap seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih yang berdiri tegak, sambil menatap tajam tiga orang laki-laki bertubuh besar yang mulai bangkit berdiri.
“Binatang pun masih punya belas kasihan. Hanya saja kalian bukan lagi binatang, tapi iblis...!” geram pemuda itu dingin.
Saat mengetahui siapa yang menolong Mintarsih, ketiga laki-laki brewok berwajah kasar itu lari lintang pukang tanpa berkata-kata lagi. Pemuda itu tidak mengejar, dan hanya berbalik memandang Mintarsih yang sudah berdiri dengan pakaian koyak. Gadis itu memegangi belahan baju pada bagian dada yang sobek. Sementara itu pemuda berbaju rompi putih menghampirinya.
“Kau tidak apa-apa, Adik Manis?” tanya pemuda itu lembut.
“Tidak,” sahut Mintarsih lirih. “Terima kasih....”
“Sudahlah. Mari kuantar sampai ke rumah,” pemuda itu menawarkan jasa.
Tapi Mintarsih malah memandanginya.
“Kenapa? Kau tidak ingin diantar?”
“Aku..., aku...,” suara Mintarsih tersendat dan tidak mampu lagi meneruskan kalimatnya. Mintarsih menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya semakin deras mengalir, membasahi pipi halus agak kemerahan. Pemuda itu jadi mengerutkan kening. Kemudian direngkuhnya bahu gadis itu dan dipeluknya. Mintarsih semakin keras menangis dalam pelukan pemuda tampan berbaju rompi putih.
Agak lama juga gadis itu menguras air mata di pelukan pemuda yang telah dua kali menolongnya. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu mencoba meredakan tangis Mintarsih. Perlahan-lahan dilepas-kan pelukannya dan dibawanya gadis itu ke bawah pohon. Mereka duduk di sana berdampingan, menghadap jalan tanah berdebu yang sunyi senyap. Sementara mentari semakin condong ke arah barat. Sinarnya semakin redup, lembut terasa menyentuh kulit
“Namaku Rangga. Kau siapa, Adik Manis?” pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri.
“Mintarsih.”
“Kenapa berada seorang diri di tempat sepi seperti ini?” tanya pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga, atau dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti.
Mintarsih tidak langsung menjawab, tapi malah memandang wajah tampan di sampingnya. Dengan punggung tangan, disusut air matanya. Sedangkan sebelah tangannya lagi masih memegangi belahan baju bagian dada yang terkoyak. Memang Mintarsih tidak bisa melindungi bagian tubuh lainnya. Hampir seluruh pakaiannya terkoyak, sehingga menampakkan kulit tubuhnya yang putih halus.
Rangga mengumpulkan ranting kering, lalu ditumpuk menjadi satu. Pendekar Rajawali Sakti itu kini tengah membuat api unggun kecil di pinggir jalan tanah berdebu. Sementara Mintarsih hanya duduk saja di bawah pohon. Pandangannya lurus merayapi perkampungan yang tidak berapa jauh lagi di depan. Lampu-lampu terlihat jelas dari rumah-rumah yang berdiri berkelompok. Malam memang sudah jatuh dan kegelapan menyelimuti sekitarnya. Angin bertiup lembut, menambah dinginnya udara malam itu.
“Sebetulnya aku bisa saja membawamu ke desa itu, lalu meminta pada kepala desa agar kau mendapat perlindungan di sana,” kata Rangga seraya menghenyakkan tubuhnya di samping Mintarsih.
Mintarsih memalingkan mukanya, memandang Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya. Ditariknya napas panjang-panjang. Dia tidak kenal pemuda ini, tapi sudah dua kali dirinya diselamatkan dari cengkeraman manusia-manusia berhati iblis. Kalau bukan karena pemuda ini, Mintarsih tidak tahu lagi pada nasib kehidupannya.
“Kakang...,” pelan suara Mintarsih dan terputus. “Ng..., boleh aku memanggilmu Kakang?”
“Kenapa tidak?” Rangga tidak keberatan.
“Kenapa kau menolongku?” tanya Mintarsih bernada ragu-ragu.
Rangga menatap gadis itu dalam-dalam, kemudian tersenyum lembut. Ditepuk lembut punggung tangan gadis itu, kemudian ditambahkan sebatang ranting ke atas api unggun.
“Aku akan menolong siapa saja yang membutuhkan,” ujar Rangga disertai desahan napas panjang.
“Kakang seorang pendekar?” tanya Mintarsih lagi.
“Bukan. Aku hanya pengembara yang tidak punya tujuan pasti,” sahut Rangga merendah.
“Seorang pengembara sudah pasti pendekar,” tegas Mintarsih.
“Memang sukar untuk membedakannya di jaman ini, Tarsih.”
Mintarsih tersenyum, Rangga pun tersenyum. Entah apa yang membuat mereka saling melemparkan senyuman. Dan Mintarsih merasakan dirinya begitu dekat pada Rangga yang seperti bukan orang asing lagi. Kelembutan Rangga telah mengetuk pintu hati gadis itu, sehingga Mintarsih lupa akan pesan ayahnya untuk tidak terlalu terbuka pada seseorang yang belum dikenalnya.
“Ke mana tujuanmu sebenarnya, Tarsih?” tanya Rangga setelah agak lama berdiam diri.
“Entahlah.... Aku tidak tahu,” sahut Mintarsih.
“Kau kabur dari rumah?” tebak Rangga.
Mintarsih menggeleng. Ada kemendungan pada raut wajah gadis itu. Dan Rangga bisa cepat menangkap. Pendekar Rajawali Sakti itu menggeser duduknya lebih mendekat ke depan. Dirayapinya wajah yang kini tertunduk. Dengan ujung jari telunjuk, Rangga mengangkat wajah Mintarsih agar memandangnya. Mintarsih tidak bisa lagi menghindar. Saat itu juga dirasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Aliran darahnya terasa terhenti seketika. Buru-buru Mintarsih mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Gadis itu sadar kalau ketampanan pemuda yang mengaku bernama Rangga ini telah menggetarkan hatinya. Dan rasanya sulit ditebak sebab-sebabnya.
“Aku bisa menangkap adanya persoalan pada dirimu, Tarsih. Suatu duka yang amat dalam terpancar dari sorot matamu...,” tebak Rangga, dengan suara lembut.
Mintarsih memalingkan mukanya, dan langsung bertemu pandang dengan mata pemuda tampan yang kini berada tepat di depannya. Hal itu sulit dielakkan, sehingga pandangan mereka bertemu pada satu titik.
“Mungkin kau bisa mempercayaiku, Tarsih. Tapi aku tidak akan memaksa,” kata Rangga lagi.
Mintarsih masih diam tak bersuara. Bibirnya terbuka bagai memancing gairah pemuda itu untuk memagutnya. Tapi Rangga tidak pernah terpikir sampai ke sana. Meskipun diakui kalau gadis ini sangat cantik. Bahkan sanggup membangunkan seorang laki-laki di kala tidur nyenyak sekalipun. Belum lagi keharuman yang tersebar dari tubuhnya. Rangga sendiri hampir tergoda kalau saja tidak segera teringat Pandan Wangi yang sekarang berada di Istana Karang Setra.
“Terus terang, aku memang mempunyai persoalan berat. Rasanya tidak bisa kupikul sendiri, Kakang...,” keluh Mintarsih.
“Katakan saja, barangkali aku bisa membantu menyelesaikannya,” pinta Rangga lembut.
“Sungguh kau ingin menolongku, Kakang?” berbinar wajah Mintarsih.
“Sungguh,” Rangga mengangguk pasti.
“Oh, terima kasih,” desah Mintarsih.
Rangga tersenyum.
“Tapi...,” mendadak wajah gadis itu berubah murung lagi.
“Kenapa?” tanya Rangga.
Mintarsih terdiam, dan langsung teringat akan pesan ayahnya. Pesan yang tak bisa dilupakan seumur hidup, agar jangan menyusahkan orang lain, meski dalam keadaan apa pun juga. Sedangkan saat ini dirinya benar-benar butuh pertolongan seseorang yang mampu melindunginya. Mintarsih juga teringat pendustaannya terhadap wanita cantik yang telah membunuh habis seluruh keluarganya. Dan yang lebih menciutkan hati Mintarsih adalah saat mengingat ancaman wanita itu.
Gadis itu memang tahu di mana Gunung Ratak itu berada, tapi tidak pernah ke sana. Dia hanya mendengar saja kalau Gunung Ratak jauhnya tiga hari perjalanan dari Bukit Growong ini. Dan itu berarti hanya enam hari Mintarsih punya waktu untuk bersembunyi dari ancaman wanita cantik berdarah dingin itu. Gadis itu juga masih memiliki beban berat yang diberikan oleh ayahnya. Satu beban yang begitu berat dipikul seorang diri. Mintarsih harus ke Padepokan Arum untuk menyampaikan pesan pada ketua padepokan itu. Sedangkan dirinya sendiri tidak tahu, di mana letak padepokan itu. Ayahnya memang berpesan begitu sebelum mereka meninggalkan rumah, dan sepertinya sudah merasakan akan adanya bahaya besar. Dan itu memang terjadi, ayahnya tewas di tangan seorang wanita cantik berbaju merah.
“Apa yang dilamunkan, Tarsih?” tegur Rangga.
“Oh!” Mintarsih terbangun dari lamunannya.
“Kau memikirkan sesuatu?” tanya Rangga.
Mintarsih tidak menjawab, tapi malah memandangi Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-dalam. Rasanya ingin sekali diutarakan semua yang ada di hatinya, tapi terasa begitu berat. Lidahnya mendadak kelu, sukar untuk diajak bicara. Saat ini Mintarsih berperang di dalam batin sendiri.
“Kakang, apakah kau sungguh-sungguh ingin menolongku?” tanya Mintarsih seolah-olah hendak meyakinkan dirinya.
“Kenapa kau tanyakan itu, Mintarsih?” tanya Rangga berbalik.
“Maaf, bukannya hendak menyinggung perasaanmu. Tapi saat ini aku harus berhati-hati pada setiap orang yang belum kuketahui dengan pasti.” Rangga tersenyum dan mengangkat bahunya.
“Kalau begitu, sebaiknya tunda saja dulu. Aku tidak ingin mendesak agar kau lebih yakin siapa diriku,” kata Rangga bijaksana.
“Terima kasih, Kakang,” hanya itu yang bisa diucapkan Mintarsih.
“Tidurlah, agar kau lebih baik besok pagi.”
Mintarsih merebahkan tubuhnya di atas rerumputan kering, namun belum dapat memejamkan matanya. Pikirannya masih terus berkelana entah ke mana. Ingin sekali kesulitannya diutarakan pada Pendekar Rajawali Sakti ini, tapi kata-kata ayahnya selalu terngiang. Hal ini membuatnya sukar untuk mengatakannya.
Sedangkan Rangga sudah menjauh, duduk bersandar pada sebongkah batu besar. Tangannya terlipat di depan dada, dan kelopak matanya terpejam rapat. Mintarsih tidak tahu, apakah Rangga langsung tidur atau tidak. Tapi yang jelas, malam ini rasanya sulit sekali memejamkan mata. Pikiran gadis itu terus melayang mengembara ke batas awang-awang. Sesekali dipandangi wajah tampan yang matanya tengah terpejam itu.
********************
TIGA
Pagi-pagi sekali Mintarsih sudah bangun dari tidurnya. Tubuhnya yang terasa pegal, menggeliat, lalu digerak-gerakkan. Baru pertama kali ini gadis itu tidur di alam terbuka beralaskan bumi dan beratapkan langit. Pandangan mata gadis itu langsung tertumbuk pada Rangga yang tengah tenang duduk bersila di atas sebongkah batu yang tidak begitu besar, namun permukaannya sangat datar.
“Ganti pakaianmu dulu, Tarsih,” perintah Rangga tanpa berpaling.
Mintarsih terkejut dan semakin heran karena di dekat kakinya terdapat sebuah bungkusan. Diraihnya bungkusan itu, lalu dibuka. Gadis itu semakin terkejut bercampur heran melihat bungkusan itu berisi seperangkat pakaian bersih, berwarna biru terang. Meskipun dari bahan yang tidak terlalu mahal, tapi cukup bagus bentuk dan warnanya.
“Dari mana kau dapatkan ini, Kakang?” tanya Mintarsih.
“Tadi kubeli di desa,” sahut Rangga.
“Pagi-pagi begini?” Mintarsih tidak percaya.
“Walaupun kedai belum dibuka, tapi aku katakan pada pemiliknya kalau pakaian istriku dicuri orang. Malah aku juga diberikan potongan harga. Katanya, dia ingin kenal denganmu, Tarsih.”
“Ah, Kakang ini ada-ada saja,” Mintarsih tersipu. Wajah gadis itu menyemburat merah. Entah kenapa, hatinya begitu senang saat Rangga mengakuinya sebagai istri. Perlahan-lahan Mintarsih bangkit berdiri, namun jadi kebingungan juga. Ternyata memang tidak ada tempat untuk mengganti baju.
“Di sebelah kananmu ada sungai kecil. Kau bisa mandi dan mengganti baju di sana,” jelas Rangga seperti mengetahui kebingungan Mintarsih.
Lagi-lagi gadis itu tersenyum tersipu, kemudian bergegas berjalan ke arah kanan. Sementara Rangga tetap duduk di atas batu di pinggir jalan. Mintarsih terus berjalan, dan suara air sungai mengalir sudah didengarnya. Benar saja. Tidak berapa jauh berjalan, di depannya mengalir sebuah sungai kecil yang berair cukup jernih. Mintarsih menoleh ke kiri dan ke kanan sebentar, kemudian berpaling ke belakang.
Setelah yakin tidak akan ada yang melihat, gadis itu mencopot pakaiannya yang koyak, kemudian buru-buru menceburkan diri ke dalam sungai. Terasa sejuk dan segar setelah berada di dalam air. Mintarsih membersihkan tubuhnya cepat-cepat. Sungai ini terletak tidak berapa jauh dari jalan. Dan tentu sebentar lagi banyak orang yang akan lewat di jalan itu. Mintarsih bergegas keluar dari dalam sungai, lalu mengenakan baju yang diberikan Rangga. Cukup pas, tidak kebesaran dan tidak juga kekecilan. Warnanya juga sangat kontras dengan kulitnya yang putih.
Mintarsih bergegas kembali menemui Rangga. Langkahnya begitu cepat dan tergesa-gesa, meninggalkan begitu saja bajunya yang koyak. Untunglah belum ada orang yang lewat di jalan itu. Mintarsih menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang kini berdiri di tepi jalan memandang ke arah desa.
“Kakang...,” panggil Mintarsih pelan.
Rangga membalikkan tubuhnya dan langsung terpana begitu melihat Mintarsih sudah berada di dekatnya. Gadis itu demikian cantik setelah mengenakan baju ketat berwarna biru dan celana sebatas betis. Rangga sampai terbengong dan mulutnya ternganga, seakan-akan melihat seorang bidadari baru turun dari kahyangan.
“Kenapa, Kakang? Ada yang aneh pada diriku...?” tanya Mintarsih.
“Oh, tidak..., tidak,” sahut Rangga agak terbata. Buru-buru dipalingkan mukanya menatap ke arah lain.
Mintarsih memperhatikan dirinya sendiri. Mungkin pikirannya bertanya-tanya, apakah ada yang salah pada dirinya. Tapi tak ada kejanggalan sedikit pun. Gadis itu memandangi Rangga yang kini kembali menatap ke arah desa. Mintarsih menghampiri dan berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu.
“Kakang....”
“Oh...!” Rangga agak tersentak.
“Terima kasih atas pemberian bajumu ini,” ucap Mintarsih mencoba mengusir kekakuan yang tiba-tiba saja terjadi.
“Ya,” hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya perlahan-lahan melintasi jalan berdebu menuju desa yang telah terlihat di depan sana. Mintarsih mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi. Entah kenapa, Rangga jadi kaku tidak seperti semula. Mungkin masih terpana akan kecantikan Mintarsih yang kini kelihatan apik mengenakan baju yang sangat cocok dengan kulit dan bentuk tubuhnya.
Dari jauh terlihat tiga orang menunggang kuda yang datang dari arah desa. Sudah terlihat jelas kalau mereka terdiri dari dua orang laki-laki muda dan seorang wanita yang cukup cantik. Mereka berkuda tanpa tergesa-gesa. Semakin dekat, semakin terlihat. Pakaian mereka seperti layaknya kaum persilatan yang hidupnya tak pernah menetap. Penunggang kuda itu menghentikan kudanya tepat di depan Rangga dan Mintarsih yang berjalan di tepi.
“Maaf, Kisanak. Boleh bertanya?” terdengar ramah suara pemuda penunggang kuda yang mengenakan baju kuning dan celana hitam.
“Oh, silakan,” sahut Rangga juga ramah.
“Apakah Kisanak tahu, di mana Lembah Punai itu?” tanya pemuda itu masih ramah.
“Lembah Punai...?” Rangga mengerutkan keningnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu semakin berkerut keningnya ketika melihat Mintarsih nampak pucat dan serba salah begitu mendengar nama Lembah Punai. Gadis itu tertunduk, menyembunyikan raut wajah yang pucat.
“Maaf. Rasanya baru kali ini mendengar nama Lembah Punai. Mungkin para penduduk desa itu mengetahuinya,” kata Rangga sopan.
“Tidak ada yang tahu,” celetuk gadis berbaju putih yang menunggang kuda itu.
“Terima kasih, Kisanak. Maaf kami telah mengganggu,” ujar pemuda berbaju kuning itu sopan.
Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Ketiga penunggang kuda itu menggebah kuda tunggangannya, kembali meneruskan perjalanan tanpa terlihat tergesa-gesa. Rangga masih berdiri memandangi, hingga ketiga penunggang kuda itu jauh. Digamitnya lengan Mintarsih, lalu diajaknya terus berjalan. Gadis itu mengikuti tanpa berkata-kata lagi.
********************
Sudah lebih dari dua pekan ini Rangga tidak menikmati makanan yang layak. Dan baru hari inilah bisa masuk ke kedai dan bisa menikmati harumnya arak. Kedai ini memang tidak terlalu besar, bahkan hanya sedikit pengunjungnya. Pemiliknya seorang wanita tua bertubuh gemuk. Wanita ini biasa dipanggil Nyai Lambat. Mungkin karena tubuhnya yang gemuk sehingga gerakannya juga lambat seperti ular yang kekenyangan sehabis menyantap seekor domba.
Rangga memandangi Mintarsih yang hanya makan sedikit. Gadis ini seperti selalu menyembunyikan wajahnya, dan tidak berani bertatapan muka dengan pengunjung kedai lainnya. Sikap Mintarsih ini selalu menjadi perhatian Rangga. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi bertanya-tanya.
“Sedikit sekali makanmu, Tarsih?” Rangga membuka suara.
“Aku tidak terlalu lapar,” sahut Mintarsih tanpa mengangkat wajahnya.
“Kalau di malam hari kedai-kedai di sini tidak ada yang buka. Aku bisa minta pemilik kedai untuk membungkus makananmu,” kata Rangga lagi.
“Terima kasih. Aku sedang tidak enak makan saja,” sahut Mintarsih.
“Terserahlah. Tapi kalau nanti kelaparan malam-malam, jangan paksa aku mencari makanan,” kata Rangga berseloroh.
Mintarsih hanya tersenyum saja. Dengan sudut mata, diliriknya Pendekar Rajawali Sakti ini. Untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiam diri saja. Rangga bangkit berdiri, lalu membayar makanannya. Mintarsih mengikuti. Mereka keluar dari kedai tanpa bicara sedikit pun.
Mereka berjalan menyusuri jalan desa yang tidak begitu padat. Hampir semua penduduk desa ini adalah petani, jadi kalau siang hari biasanya berada di sawah dan ladang masing-masing. Yang ada hanya wanita, anak-anak, beberapa pemuda serta orang-orang tua yang sudah tidak kuat lagi bekerja di ladang.
“Aku pernah sekali ke sini, tapi hanya menginap satu malam dan terus pergi lagi,” ujar Rangga mengisi kebisuan.
“Kapan?” tanya Mintarsih iseng.
“Sehari sebelum bertemu denganmu.”
“Jadi sebenarnya tujuanmu tidak ke sini?”
“Aku memang tidak punya tujuan pasti. Aku senang mengembara, dan menolong siapa saja yang membutuhkan pertolonganku. Rasanya senang sekali bila melihat kedamaian, ketentraman, dan keindahan. Dan aku paling benci terhadap segala macam tindak kekerasan di luar batas kewajaran manusia,” agak dalam suara Rangga terdengar.
Mintarsih diam saja dan terus berjalan di samping Rangga dengan kepala tertunduk. Beberapa penduduk wanita yang kebetulan berpapasan selalu memperhatikan Mintarsih. Ada beberapa di antaranya yang berbisik-bisik. Dan Rangga tahu itu, tapi masih mencoba untuk mengekang keingin-tahuannya. Dia menduga kalau hampir seluruh penduduk desa ini mengenal Mintarsih. Hanya saja, gadis itu berpura-pura tidak pernah datang ke desa ini, walau hanya satu kali.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah penginapan. Rangga menandangi rumah itu, kemudian berpaling menatap Mintarsih. Gadis itu masih saja tertunduk menyembunyikan wajahnya dari pandangan orang lain. Tapi gadis itu tidak menolak saat Rangga mengajaknya masuk ke dalam penginapan itu.
Seorang laki-laki setengah baya menyambut ramah. Tapi saat menatap Mintarsih dia tertegun sesaat, dan kembali bersikap ramah, melayani Rangga dengan baik. Keramahan yang sebenarnya dibuat-buat. Dan Rangga tidak peduli. Saat ini yang dibutuhkan adalah tempat untuk menginap malam ini. Bukan basa-basi.
Rangga memesan dua kamar yang berdampingan. Kebetulan rumah penginapan ini sedang kosong, jadi bisa memilih kamar sesuka hati. Pemilik rumah penginapan mengantarkan sampai ke kamar mereka masing-masing. Sengaja Rangga mengantarkan Mintarsih lebih dahulu ke kamarnya, baru kemudian ke kamarnya sendiri diantar pemilik rumah penginapan ini.
“Sebentar, Ki...,” cegah Rangga ketika laki-laki setengah baya yang dikenal bernama Ki Rampat itu hendak ke luar kamar. Nama yang sama dengan nama penginapan ini, Penginapan Rampat.
“Ada apa, Den?” tanya Ki Rampat seraya membungkukkan badannya.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu,” jelas Rangga.
“Ah! Kalau bisa kujawab, tentu akan kujawab, Den.”
“Bagus. Hanya pertanyaan ringan.”
“Apa itu, Den?”
“Kau tentu masih mengingatku, bukan?” Rangga memulai.
“Ah, tentu saja. Raden yang menginap di sini beberapa hari lalu. Tentu saja masih ingat, Den,” sahut Ki Rampat.
“Jadi kau pasti tahu kalau aku hanya seorang diri saja. Dan sekarang aku berdua bersama seorang wanita yang tidak kukenal,” agak pelan suara Rangga.
“Ah, Raden ini bercanda....”
“Tidak ada waktu untuk main-main, Ki. Aku benar-benar tidak kenal gadis itu dalam arti sesungguhnya. Bahkan tidak tahu, apakah nama yang disebutkannya itu benar atau hanya karangannya saja.”
“Memangnya, dia menyebutkan namanya siapa, Den?” tanya Ki Rampat jadi tertarik juga.
“Mintarsih,” sahut Rangga pelan.
“Sudah kuduga...!” sentak Ki Rampat.
“He...?!” Rangga terkejut.
“Sudah kuduga, Den. Dia pasti Mintarsih, putri bungsu Ki Jara Botang.”
“Ki Rampat mengenalnya...?” tanya Rangga masih belum hilang rasa terkejutnya.
“Semua orang di desa ini mengenal Ki Jara Botang. Dia dulu kepala desa di sini. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja pergi membawa keluarganya dan menyerahkan desa ini pada penghulu untuk memilih kepala desa baru,” jelas Ki Rampat.
“Hm..., aneh,” gumam Rangga pelan.
“Apanya yang aneh, Den?” tanya Ki Rampat.
“Entahlah,” desah Rangga. “Terima kasih, Ki. Aku minta padamu untuk tidak mengatakan pembicaraan ini pada Mintarsih. Juga kuminta, agar kau berpura-pura saja tidak mengenalnya. Tampaknya dia tidak ingin dikenali di desa ini,” jelas Rangga lagi.
“Tentu, Den. Tapi aku tidak bisa menjamin kalau warga desa lainnya mengenali.”
“Aku yang akan mengatasi,” ujar Rangga.
“Permisi, Den.”
Rangga mengangguk, membiarkan saja Ki Rampat meninggalkan kamar ini. Sebuah kamar yang tidak terlalu besar, namun cukup bersih dan nyaman untuk beristirahat. Rangga menghenyakkan tubuhnya di pembaringan tanpa menutup pintu lagi. Dibiarkan saja pintu dan jendela kamar ini terbuka lebar. Udara memang cukup panas. Dengan jendela dan pintu terbuka lebar, memberi kesempatan angin lebih banyak masuk.
********************
Pagi-pagi sekali Rangga sudah berada di depan pintu kamar Mintarsih. Diketuknya pintu kamar itu berulang-ulang sambil memanggil. Tapi tak ada jawaban dari dalam. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi curiga dan mencoba membuka pintu. Tapi rupanya pintu ini terkunci. Rangga menggedor pintu kamar itu keras-keras, sampai bergetar seluruh dinding kamar penginapan ini.
“Tarsih...!” panggil Rangga keras.
“Dia sudah pergi, Den...,” tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
Rangga membalikkan tubuhnya. Tampak Ki Rampat sudah berada tidak jauh dari pemuda berbaju rompi putih itu. Rangga menghampiri.
“Kapan dia pergi?” tanya Rangga.
“Tengah malam tadi,” sahut Ki Rampat.
Rangga tertegun sesaat. Semalaman dia memang tidur nyenyak, bahkan sampai tidak mendengar apa-apa. Mungkin karena kebanyakan minum arak di kedai, sehingga kepalanya terasa berat dan jatuh tertidur seperti orang mati. Pendekar Rajawali Sakti itu menatap Ki Rampat dalam-dalam.
“Dia pergi sendiri?” tanya Rangga.
“Tidak, Den. Ada dua orang laki-laki yang sebaya Raden menjemputnya di sini,” jelas Ki Rampat.
“Mintarsih kenal kedua orang itu?”
“Wah kurang tahu itu, Den. Aku langsung tidur dan tidak peduli.”
Rangga mengeluh panjang dan berat. Memang pemilik rumah penginapan ini tidak bisa disalahkan. Ki Rampat tentu tidak akan mempedulikan setiap orang yang datang menginap di sini. Juga tidak akan peduli dengan segala macam urusannya. Yang paling penting baginya adalah membayar sewa penginapan.
“Den, sebaiknya tidak usah mengurusi gadis itu. Lupakan saja, Den. Bikin susah saja...,” pinta Ki Rampat, agak ragu-ragu nada suaranya.
Rangga tidak menyahuti dan malah berjalan meninggalkan laki-laki setengah baya itu. Dia terus berjalan keluar dari rumah penginapan ini. Tapi belum juga jauh berjalan, ayunan langkahnya terhenti. Tampaklah tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan wajah kasar penuh brewok baru keluar dari kedai. Mereka cepat pergi sambil tertawa-tawa dan menggoda gadis-gadis desa.
Tanpa membuang-buang waktu lagi Rangga bergegas mengikuti. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap menjaga jarak agar tidak diketahui kalau sedang membuntuti. Ketiga orang itu terus berjalan menuju ke Bukit Growong. Mereka berjalan cepat sehingga sebentar saja sudah sampai di luar batas desa.
“Hup...!”
Hanya sekali lesatan saja Rangga melewati kepala ketiga orang itu. Kakinya mendarat lunak, tepat sekitar satu batang tombak di depannya. Bukan main terkejutnya ketiga orang itu saat Rangga berbalik menghadap mereka.
“Mau apa kau menghadang kami?!” bentak salah seorang yang berada di tengah.
Rangga tidak menjawab, bahkan malah berjalan menghampiri dengan pandangan mata tajam menusuk. Ketiga orang itu saling berpandangan. Sudah dua kali dipecundangi, sehingga pertemuan ketiga kali ini sudah membuat hati mereka gentar.
“Di mana kalian sembunyikan gadis itu?” tanya Rangga dingin.
“Jangan cari gara-gara, Anak Muda. Aku tahu kau memang tangguh, tapi kami semua pantang dituduh tanpa bukti!” dengus orang yang berdiri di tengah.
“Aku tidak main-main, tikus!” bentak Rangga.
Ketiga orang itu bungkam.
“Apa yang kalian bawa itu?” Rangga menunjuk buntalan yang dipanggul orang sebelah kiri.
“Hanya makanan,” sahutnya sambil meletakkan buntalan di depan kakinya.
“Untuk apa?”
“Untuk majikan kami. Maaf, kami tidak ingin kena marah. Majikan kami sudah menunggu terlalu lama,” jelas laki-laki berbaju kuning yang berdiri di tengah. Ketiga laki-laki itu terus saja berjalan cepat. Sebenarnya Rangga ingin mencegah, tapi diurungkan niatnya. Begitu mereka melewati, dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melesat ke atas dan hinggap di cabang pohon yang cukup tinggi. Salah seorang dari mereka terkejut begitu melihat ke belakang.
“Dia sudah pergi,” bisiknya.
“Ayo, cepat! Jangan pedulikan monyet jelek itu. Kita harus secepatnya memberikan makanan ini pada Nini Ayu,” tegas seorang lagi.
Tanpa diketahui, Rangga mengikuti kepergian ketiga laki-laki itu. Pendekar Rajawali Sakti berlompatan dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Dia tetap menjaga jarak dan terus mengikuti tanpa diketahui. Ketiga laki-laki tadi terus menuju kaki Bukit Growong, tapi tidak mengikuti jalan yang ada. Mereka menerobos hutan yang cukup lebat. Sementara Rangga terus membuntuti dari atas pohon.
Ketiga laki-laki itu tiba di suatu tempat yang banyak ditumbuhi semak-semak berduri. Di sana, ternyata sudah menunggu seorang wanita muda dan berwajah cantik. Bajunya merah menyala cukup ketat sehingga membentuk tubuhnya yang ramping, indah dan menggiurkan. Orang yang membawa bungkusan itu langsung menyerahkannya. Mereka kelihatan begitu hormat, atau lebih tepat dikatakan takut.
Sementara dari tempat yang cukup tersembunyi, Rangga mengawasi tanpa berkedip. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti ingin mendengarkan pembicaraan mereka. Tapi jika mempergunakan satu ajian saja, dia khawatir akan ketahuan. Makanya kini dia hanya bisa melihat saja. Dan Rangga agak terkejut juga saat mengetahui bungkusan kain itu ternyata berisi uang, perhiasan, serta barang-barang berharga lainnya. Bukan makanan seperti yang dikatakan mereka.
“Ha ha ha...!” terdengar suara tawa wanita cantik berbaju merah itu.
Tawa yang sangat lepas berderai dan keras, sehingga cukup jelas terdengar dari tempat persembunyian Rangga yang cukup jauh. Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian meninggalkan tempat ini. Kini baru diyakini kalau mereka memang tidak membawa Mintarsih. Lagi pula wanita berbaju merah itu tidak dikenalinya. Rangga tidak peduli lagi dengan kelakuan mereka, meskipun Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menduga kalau ketiga orang itu baru saja merampok kedai. Dan ada seorang wanita cantik di belakang mereka.
********************
EMPAT
Di mana sebenarnya Mintarsih berada? Gadis itu sebenarnya tidak berada jauh dari Bukit Growong. Bahkan masih berada di sekitar kaki bukit itu. Tepatnya di sebuah dataran yang agak tersembunyi dan terlindung oleh batu-batu besar bertumpuk bagai sebuah lembah kecil. Namun batu-batu itu seperti sengaja dibuat sedemikian rupa, sehingga melingkari sebuah rumah besar.
Ada sekitar dua puluh orang pemuda tengah berlatih jurus-jurus di bagian depan halaman rumah itu. Halaman itu memang cukup luas, dan mampu menampung seratus orang, bahkan mungkin lebih. Sedangkan di bagian belakang terlihat suatu sarana tempat berlatih kekuatan fisik.
Di beranda depan, terlihat Mintarsih duduk di lantai beralaskan permadani halus bercorak kembang-kembang. Warnanya begitu serasi dan sedap dipandang mata. Di depan gadis itu duduk seorang laki-laki setengah baya didampingi seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Di belakang Mintarsih duduk bersila dua pemuda berwajah cukup tampan dan tegap. Dan di belakang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju panjang dan ikat kepala putih, duduk seorang pemuda lain yang mengenakan baju biru. Dia menyandang pedang di punggung.
“Aku benar-benar menyesal terlambat menjemput kalian,” ujar laki-laki setengah baya itu, pelan suaranya. Hampir tidak terdengar.
Sedangkan Mintarsih hanya diam saja memandangi laki-laki setengah baya itu. Semalam gadis itu memang sudah diperkenalkan, kalau laki-laki setengah baya ini bernama Citrasoma. Sedangkan wanita yang duduk di samping kanannya adalah istrinya yang bernama Dewi Wulan. Dan pemuda yang berada di belakang Citrasoma adalah putranya, bernama Ganggala. Sementara dua pemuda di belakang Mintarsih adalah dua bersaudara kepercayaan Citrasoma. Masing-masing bernama Bantara dan Andira. Kedua pemuda inilah yang membawa Mintarsih ke tempat asing bagi gadis itu.
Mintarsih juga baru tahu kalau ini adalah Padepokan Arum. Citrasoma adalah adik ayahnya. Mintarsih juga tahu kalau sebenarnya dia dan ayahnya akan ke tempat ini. Tapi sebelumnya tidak diketahui kalau ayahnya sudah menghubungi Citrasoma. Gadis itu memang mengagumi tempat ini, karena letaknya tersembunyi meskipun tidak terlalu jauh dari desa di kaki Bukit Growong.
“Kau tidak kenal wanita yang telah membunuh ayahmu itu, Mintarsih?” tanya Citrasoma lagi, setelah lama terdiam.
“Tidak,” sahut Mintarsih pelan seraya menggeleng.
“Sayang sekali, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” keluh Citrasoma.
“Tapi kita masih bisa mencari keterangan tentang dia, Kakang,” selak Dewi Wulan.
“Bagaimana kita bisa mencari keterangan, Dinda Wulan? Sedangkan Mintarsih sendiri sudah mengatakan kalau wanita itu telah dikelabui. Sedangkan setahuku, di gunung itu tidak ada lembah. Gunung itu hanya merupakan gunung batu gersang. Jadi aku yakin kalau wanita itu pasti akan mencari Mintarsih,” jelas Citrasoma.
Semua yang berada di beranda depan rumah itu terdiam. Mintarsih memang sudah menceritakan semua pengalamannya begitu keluar dari rumah bersama ayahnya, yang katanya hendak ke Padepokan Arum. Dan pamannyalah yang memimpin padepokan itu. Sekarang Mintarsih sudah berada di tengah keluarga pamannya, meskipun tanpa ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya yang tewas di tangan seorang wanita cantik yang misterius. Mintarsih sendiri tidak tahu, mengapa wanita itu membunuh seluruh keluarganya.
Gadis itu memang sudah bertanya pada Citrasoma, tapi laki-laki setengah baya itu sendiri tidak tahu. Bahkan tidak mengenal wanita cantik berbaju merah yang telah membunuh keluarga kakak kandungnya, hingga hanya Mintarsih saja yang tersisa. Dan itu juga belum bisa dikatakan tenang, karena Mintarsih membuat persoalan baru untuk menyelamatkan diri dari maut.
“Kau terlalu berani mendustai manusia berhati iblis itu, Tarsih,” ujar Dewi Wulan agak menyesali sikap Mintarsih.
“Mintarsih tidak salah, Ibu. Aku pun akan berbuat yang sama jika sadar kemampuanku tidak akan bisa menandinginya,” celetuk Ganggala.
“Kau harus menyebutnya kakak, Ganggala!” sentak Citrasoma.
“Maaf, Ayah,” ucap Ganggala buru-buru. “Habis baru bertemu sekali ini, sih. Jadi, kaku.”
“Tidak apa, Paman. Toh aku juga mungkin lebih muda daripada Ganggala,” kata Mintarsih seraya memberikan senyum pada pemuda itu.
“Kau memang lebih muda dua tahun, Tarsih. Tapi biar bagaimanapun kau tetap kakaknya. Dan Ganggala tidak boleh seenaknya memanggil namamu begitu saja,” tegas Citrasoma.
“Ah, sudahlah. Yang kita bicarakan sekarang bukan itu!” sentak Dewi Wulan menengahi. “Aku jadi penasaran.... Siapa, sih perempuan itu?”
Gumaman Dewi Wulan memang sukar dijawab sekarang ini. Dan tak ada seorang pun yang bisa menjawab. Pertanyaannya itu memang membebani benak mereka semua. Karena tak seorang pun yang tahu, siapa wanita berbaju merah itu. Dan juga mengapa membunuh keluarga Jara Botang. Bahkan mengancam akan membunuh siapa saja yang ada hubungan dengan Jara Botang. Itu berarti dia akan menjarah sampai ke tempat ini.
“Paman, di perjalanan aku juga bertemu dengan tiga orang penunggang kuda. Dua orang laki-laki, dan seorang lagi wanita. Mereka juga menanyakan Padepokan Arum,” kata Mintarsih setelah cukup lama tidak ada yang membuka suara.
Citrasoma dan Dewi Wulan saling berpandangan. Demikian pula Ganggala, Bantara, dan Andira yang juga saling berpandangan. Kata-kata Mintarsih barusan membuat gadis itu jadi kebingungan sendiri. Dia tidak tahu, kenapa mereka seperti terkejut mendengarnya.
“Ada apa, Paman?” tanya Mintarsih.
“Tarsih, apa kau juga mendustai mereka?” tanya Citrasoma berbalik tanpa menjawab.
“Aku kan tidak tahu di mana Padepokan Arum, jadi kutunjukkan saja seadanya. Soalnya aku takut, Paman,” sahut Mintarsih, menutupi hal sebenarnya. Karena waktu itu Ranggalah yang menjawab pertanyaan mereka.
“Ya, sudah...,” desah Citrasoma seraya melirik istrinya.
Dewi Wulan hanya mengangguk kecil dan tersenyum penuh arti. Wanita berusia tiga puluhan dan kelihatan masih cantik itu kemudian bangkit berdiri seraya mengajak Mintarsih masuk ke dalam. Gadis itu tidak membantah, lalu mohon diri sebelum melangkah masuk ke dalam rumah mengikuti bibinya. Tapi Citrasoma sempat menanyakan, ke arah mana ketiga orang itu pergi. Dan Mintarsih menjawab apa adanya tanpa ada yang dikurangi.
“Bantara, Andira, kau susul mereka dan bawa ke sebelah barat Bukit Growong. Aku akan menunggu di sana,” kata Citrasoma pelan, seperti takut suaranya terdengar sampai ke dalam.
“Baik, Guru,” sahut Bantara dan Andira bersamaan.
Mereka memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan beranda depan rumah itu. Ganggala pindah duduknya ke depan ayahnya.
“Ayah, boleh aku ikut mereka?” pinta Ganggala.
“Kau harus tetap berada di sini, Ganggala. Kalau terjadi sesuatu denganku, kau harus meneruskan padepokan ini bersama ibumu,” jelas Citrasoma.
Ganggala tidak membantah, meskipun sebenarnya ingin sekali ikut bersama dua orang kepercayaan ayahnya itu. Ganggala memang tidak bisa membantah setiap kata yang diucapkan ayahnya. Karena apa yang dikatakan ayahnya selalu dianggap benar, dan demi kebaikan semuanya. Ganggala tidak lagi membuka suara dan hanya duduk diam dengan kepala tertunduk.
********************
Tepat di kala sang mentari berada di atas kepala, Citrasoma memacu kudanya keluar dari Padepokan Arum. Tak ada yang mendampingi. Istri dan anaknya hanya mengantar di pintu gerbang yang terbuat dari batu-batu bertumpuk menyerupai mulut gua. Pintu gerbang itu kemudian ditutup oleh sebongkah batu besar setelah Citrasoma melewatinya.
Lak-laki separuh baya itu memacu cepat kudanya menuju Bukit Growong, sehingga tidak harus melewati desa yang hanya ada satu-satunya di sekitar bukit itu.
Jelas sekali kalau tujuan Citrasoma adalah sebelah barat bukit yang merupakan dataran kecil dan hanya ditumbuhi rerumputan. Tidak terlalu jauh jarak dari Padepokan Arum ke tempat itu, sehingga tidak memakan waktu lama. Belum juga matahari bergeser dari tempatnya, Citrasoma sudah tiba di pinggir padang rumput kecil itu. Dia melompat turun dari punggung kudanya dengan satu gerakan indah dan ringan.
Baru saja Citrasoma menambatkan kuda di bawah pohon jati, muncul dua orang murid utamanya. Citrasoma menunggu dan memandangi Bantara dan Andira yang berjalan menghampiri. Kedua pemuda itu menjura memberi hormat setelah sampai di depan laki-laki setengah baya itu.
“Bagaimana, Bantara?” tanya Citrasoma.
“Kami berhasil menyusul mereka, Guru. Dan sebentar lagi akan datang,” sahut Bantara.
“Hm... di mana kau temukan mereka?” tanya Citrasoma.
“Di Lereng Bukit Growong tidak jauh dari Jurang Ular,” sahut Bantara lagi.
“Hm...,” gumam Citrasoma tidak jelas.
Sebelum Citrasoma sempat bertanya lagi, terdengar langkah kaki kuda menuju tempat ini. Citrasoma dan kedua muridnya berpaling ke arah suara itu, dan terlihatlah tiga orang penunggang kuda berpacu cepat mendekati mereka. Tampak jelas kalau mereka adalah dua orang pemuda dan seorang gadis cantik. Citrasoma dapat mengenali ketiga penunggang kuda itu.
Yang mengenakan baju kuning adalah Rakalpa. Sedangkan yang berwarna gading adalah adiknya, bernama Rapondah. Dan yang wanita adalah adik mereka bernama Antika. Citrasoma tahu betul, siapa dan apa tujuan mereka mencari dirinya sampai ke tempat ini. Laki-laki setengah baya itu menunggu sampai ketiga bersaudara itu dekat dan turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka menghampiri dan berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi.
“Aku khawatir kalian datang membawa kekecewaan,” kata Citrasoma menyambut ramah, disertai senyum mengembang di bibir.
“Justru kami datang hendak menuntut keadilan, Paman Citrasoma!” sahut Rakalpa tegas.
“Keadilan macam apa yang hendak kalian tuntut?”
“Menuntut balas atas kematian ayah kami!” dengus Rapondah.
“Kalian salah alamat kalau mencariku hanya karena ingin menuntut balas,” tenang jawaban Citrasoma.
“Paman, kami semua tahu siapa dirimu! Dan kami tidak akan salah jika datang padamu. Bertahun-tahun kami harus mengubur dendam, mempersiapkan diri untuk menuntut balas dan keadilan. Hanya itu yang kami inginkan. Selanjutnya, kami akan pergi jauh, melupakan semua yang terjadi,” tegas Rakalpa.
“Inilah yang kukhawatirkan sejak dulu. Aku kenal baik dengan ayah kalian. Tapi semua telah dirusak oleh kesalahpahaman. Bertahun-tahun kukubur masa lalu dan melupakan semua masa suram. Tapi itu tidak mudah. Aku menyesal tidak bisa membantu ayahmu dan...”
“Dan Paman salah satu dari mereka!” serobot Antika yang sejak tadi diam saja.
“Sudah kuduga, kalian pasti akan menuduhku begitu pula. Tapi jika kalian memang benar-benar yakin, silakan. Aku tidak akan memberikan perlawanan sedikit pun. Sungguh aku rela mati di tangan kalian, asalkan kalian puas,” kata Citrasoma seraya tersenyum.
“Bukan ini yang kami inginkan, Paman. Kami memang ingin menuntut balas, tapi tidak akan menghukum orang yang lemah dan pasrah!” sergah Rakalpa.
“Aku tidak peduli kau akan melawan atau tidak! Hiyaaat..!” seru Antika lantang.
Sambil berteriak keras melengking, Antika melompat menerjang Citrasoma. Tindakan gadis ini membuat kedua kakaknya terperanjat dan tidak mampu mencegah lagi. Memang Antika sudah melepaskan dua pukulan beruntun ke arah Citrasoma. Dan laki-laki separuh baya itu hanya diam saja, tanpa sedikit pun menghindar. Hingga....
Des!
Dughk...!
Citrasoma terpental jauh ke belakang begitu dua pukulan keras mengandung tenaga dalam cukup tinggi mendarat di tubuhnya. Bantara dan Andira tersentak kaget. Mereka bergegas melompat menghadang Antika yang sudah siap hendak menyerang kembali.
“Bantara, tahan...!” seru Citrasoma.
“Tapi, Guru....”
“Mundur kalian!”
Bantara dan Andira saling berpandangan sejenak, lalu perlahan-lahan bergerak menyingkir. Pada saat itu Citrasoma sudah mampu berdiri kembali. Meskipun mendapat dua pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi, tapi kelihatannya tidak mengalami cedera sedikit pun. Bahkan masih mampu berdiri tegak. Sementara Antika sudah bersiap hendak menyerang lagi.
“Hiyaaa...!” teriak Antika keras.
Gadis itu kembali melompat menyerang Citrasoma yang hanya diam saja tanpa memberikan perlawanan sedikit pun. Beberapa kali pukulan dan tendangan Antika mendarat di tubuh laki-laki setengah baya yang kemudian harus jatuh bangun. Namun tak ada satu keluhan sedikit pun terdengar dari bibirnya. Citrasoma sengaja memberikan dirinya jadi bulan-bulanan Antika.
Sementara Andira dan Bantara tidak bisa berbuat banyak. Mereka cemas melihat gurunya seperti benda mati yang tak melawan sedikit pun saat mendapat hajaran dari seorang gadis muda. Sedangkan di lain tempat, Rakalpa dan Rapondah hanya menyaksikan saja, dan sebentar-sebentar saling melempar pandangan saja.
“Ayo, lawan aku! Lawan aku, Paman...!” dengus Antika sambil terus melancarkan pukulan-pukulan deras bertenaga dalam cukup tinggi.
Tapi Citrasoma tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Dibiarkan saja tubuhnya menjadi sasaran empuk bagi kemarahan gadis itu. Sungguh suatu tontonan yang tidak sedap. Tapi mendadak saja Antika menghentikan serangannya, dan jatuh bersujud di tanah. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba saja menangis, memukul-mukul tanah.
Sementara Citrasoma masih berdiri satu langkah di depan gadis itu. Hanya sedikit darah yang menetes keluar dari sudut bibirnya, meskipun seluruh baju yang dikenakan sudah dikotori debu dan keringat. Rakalpa dan adiknya menghampiri Antika. Mereka membangunkan gadis yang masih menangis itu. Dipeluk kakaknya dan ditumpahkan air mata di dada Rakalpa. Sedangkan Citrasoma hanya memandangi saja dengan bibir terkatup rapat.
“Kami tahu kau memiliki ilmu kebal yang sukar ditandingi, Paman. Tapi janganlah Paman menyakiti hati kami yang sudah terkoyak ini. Tidak sepatutnya Paman bersikap begitu. Kami lebih baik mati dalam pertarungan daripada hati kami koyak, kau permalukan begitu rupa,” tegas Rakalpa dengan suara tertahan.
“Bukan maksudku menyakiti hati kalian. Tapi sungguh aku tidak kuasa membendung ilmu kebal yang kumiliki. Ilmu itu bekerja sendiri saat tubuhku menerima pukulan,” jelas Citrasoma.
“Kau memang sengaja ingin mempermainkan kami!” bentak Antika keras.
“Maaf, Antika. Aku tahu, kalian begitu dendam sehingga hendak menuntut balas kematian ayah kalian. Aku juga punya perasaan yang sama. Terlebih lagi, selama bertahun-tahun selalu kena fitnah. Aku dituduh mengkhianati persahabatan dan dituduh bersekongkol membunuh ayahmu. Memang hal itu tidak bisa kusangkal, karena tidak ingin hal seperti itu berkepanjangan. Tapi aku juga tidak bisa tinggal diam begitu saja. Aku mencoba mencari mereka, tapi yang kudapatkan hanya para kroco yang tidak tahu apa-apa. Akhirnya kuputuskan untuk menyendiri, mencoba melupakan semuanya. Aku juga mendengar kalau kalian sudah membunuh begitu banyak orang yang dicurigai tersangkut atas pembunuhan ayah kalian. Hanya saja sadarilah kalau perbuatan kalian justru membuat tokoh-tokoh rimba persilatan jadi gelisah, karena tindakan yang tanpa pandang bulu. Setiap orang yang dicurigai langsung dibunuh. Tidak peduli siapa sebenarnya dia dan apakah memang benar-benar tersangkut dalam peristiwa itu. Sayang sekali, aku sudah memutuskan untuk tidak lagi terjun dalam dunia persilatan yang keras. Dan terpaksa kubiarkan kalian semua bertindak menurut kepercayaan dan keyakinan kalian sendiri. Aku tidak akan mengusik dan tidak akan memberikan perlawanan apa-apa jika kalian ternyata memang mencari dan hendak membunuhku. Silakan.... Aku tidak akan melawan jika itu dapat memuaskan hati, sehingga kalian berhenti memburu orang-orang yang mungkin tidak bersalah,” panjang lebar Citrasoma menuturkan seluruh isi hatinya.
Sedangkan Rakalpa dan kedua adiknya hanya diam saja. Antika sudah tidak menangis lagi. Ketiga bersaudara itu seperti terpaku mendengar penuturan Citrasoma yang begitu gamblang, satria, dan keluar dari lubuk hatinya. Bahkan mereka semakin terpaku begitu melihat Citrasoma melemparkan keris dan pedang yang tergantung di pinggang. Kedua murid laki-laki setengah baya itu mengambil senjata tadi dan membawanya menyingkir.
“Kenapa kalian diam? Kalian ingin membunuhku, bukan? Silakan, laksanakan keinginan kalian,” ujar Citrasoma.
Tapi ketiga bersaudara itu hanya diam saja. Bahkan perlahan-lahan bergerak mundur. Sementara Citrasoma masih tetap berdiri tegak memandangi. Ketiga bersaudara itu berhenti setelah jaraknya sudah mencapai sekitar tiga batang tombak.
“Ayo, kita pergi dari sini,” ajak Rakalpa.
“Tapi, Kakang...!” sentak Antika.
“Kita memang salah alamat. Aku yakin Paman Citrasoma tidak termasuk. Kita sudah terlalu jauh melangkah. Sudahlah, kita tidak usah mencari gara-gara lagi untuk membalas kematian Ayah,” tegas Rakalpa. “Mari kita pulang.”
Kedua adiknya saling memandangi. Sebentar kemudian mereka bertiga sudah berbalik dan menghampiri kuda masing-masing. Tanpa berbicara satu patah kata pun, mereka menggebah kuda meninggalkan tempat itu. Sementara Citrasoma masih memandangi, sedangkan kedua muridnya menghampiri dan menyerahkan senjata gurunya itu. Citrasoma menerima, memasang kembali pada tempatnya.
“Hhh.... Anak-anak yang malang. Syukurlah mereka sudah sadar,” desah Citrasoma pelan.
********************
LIMA
Rangga melangkah pelan menyusuri jalan setapak yang membelah lereng Bukit Growong. Sudah dua hari ini Mintarsih tidak kelihatan lagi. Seorang gadis penuh misteri, yang kini lenyap dibawa dua orang laki-laki dari rumah penginapan. Sebenarnya Rangga tidak ingin memikirkan gadis itu. Tapi kalau mengingat cerita Ki Rampat, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi penasaran juga. Apalagi sudah dua kali Mintarsih dihadang tiga orang laki-laki. Dan Rangga menduga kalau mereka tidak sekedar bermaksud buruk, tapi lebih dari itu yang tidak diketahuinya.
Dan itulah yang membuat Rangga jadi semakin tertarik, ditambah lagi dengan cerita Ki Rampat. Benak Pendekar Rajawali Sakti itu terus berputar, mencoba mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk menghantuinya. Namun semua tak ada yang terjawab pasti. Pertanyaan-pertanyaan besar masih saja menguntitnya.
“Itu, dia orangnya, Nini Ayu...!”
Tiba-tiba Rangga dikejutkan suara keras dari arah samping kanan. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Keningnya langsung berkerut begitu melihat tiga orang laki-laki yang pernah ditemuinya saat mereka berniat mengganggu Mintarsih sebanyak dua kali. Dan mereka kini ditemani seorang perempuan cantik berbaju merah menyala. Wanita itulah yang dilihat Rangga kemarin.
“Hm..., tampan juga. Tapi sayang, dia mencari perkara denganku,” gumam wanita cantik itu mendesah.
Rangga hanya diam saja. Dirayapi wanita berbaju merah yang didampingi tiga laki-laki berwajah kasar. Sama sekali Rangga tidak mengerti kata-kata gumaman itu, tapi tidak ingin memperpanjang. Dia tidak kenal wanita itu. Hanya saja, ada satu pikiran terlintas di benaknya. Apakah wanita ini ada sangkut pautnya dengan Mintarsih?
“Kisanak, di mana kau sembunyikan Mintarsih?” tanya wanita itu langsung tanpa basa-basi lagi.
“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya kembali.
Dugaan Pendekar Rajawali Sakti itu benar. Wanita ini mencari Mintarsih. Tapi memang belum bisa ditebak, untuk apa wanita itu mencari Mintarsih? Rangga merayapi ketiga laki-laki yang berada di belakang wanita cantik berbaju merah itu. Tak ada senjata yang dibawa. Perhatiannya kembali tertuju pada wanita cantik itu. Dari pakaiannya yang ringkas, Rangga sudah bisa menebak kalau wanita itu pasti berkepandaian tinggi.
“Aku tahu kau bersama Mintarsih beberapa hari ini. Di mana dia sekarang?” tanya wanita itu lagi.
“Nisanak, siapa kau ini? Dan mengapa mencari Mintarsih?” Rangga balik bertanya.
“Phuah! Jawab saja pertanyaanku, Kisanak!” sentak wanita itu mendelik.
“Maaf! Aku tidak bisa menjawab sebelum tahu siapa dirimu dan apa tujuanmu mencari Mintarsih,” tegas nada suara Rangga.
“Sombong!” rungut wanita itu.
“Dia memang keras kepala, Nini Ayu. Hajar saja biar kapok!” salah seorang laki-laki brewok itu memanasi.
“Benar, Nini. Hajar saja,” sambung yang lain.
Sedangkan Rangga hanya diam saja sambil memandangi mereka. Agak kesal juga Pendekar Rajawali Sakti itu mendengar mereka memanas-manasi, tapi hal itu masih bisa diredam. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu sudah menggeser kakinya ke samping, lalu melangkah tiga tindak ke depan. Sorot matanya begitu tajam menusuk, dan bibirnya terkatup rapat. Gurat-gurat ketegangan terlihat jelas pada wajahnya.
Rangga tahu kalau wanita ini akan menggunakan kekerasan, dan dia sudah siap menyambutnya. Pendekar Rajawali Sakti begitu yakin kalau wanita ini mencari Mintarsih tentu dengan maksud buruk. Apalagi jika menghubungkan perbuatan ketiga laki-laki kasar itu dengan Mintarsih. Sepertinya mereka sudah bersekongkol dengan wanita ini.
“Sebenarnya aku tidak ingin berlaku keras padamu, Kisanak. Tapi rupanya kau menghendaki lain,” dingin sekali nada suara wanita itu.
“Mungkin bisa dihindari jika kau bersedia mengatakan untuk apa mencari Mintarsih,” sambut Rangga kalem.
“Itu bukan urusanmu!”
“Mungkin tidak, mungkin juga iya. Karena Mintarsih sudah minta perlindungan padaku. Dan dia harus kulindungi,” tegas Rangga tetap tenang.
“Phuih! Anak setan itu rupanya menggunakan kecantikannya untuk menjeratmu, Kisanak!”
Merah padam wajah Rangga mendengar kata-kata itu. Meskipun diucapkan datar, tapi sudah menyinggung perasaannya. Mintarsih memang cantik, tapi tak sedikit pun terlintas di benaknya untuk mengharapkan lebih dari gadis itu. Rangga memang paling tidak suka dikatakan demikian.
“Kata-katamu sudah keterlaluan, Nisanak...!” desis Rangga menahan geram.
“Heh! Mana ada laki-laki suci di dunia ini...? Anak buahku saja menginginkannya. Dan itulah mengapa mereka jadi tolol sepertimu!” ketus nada suara wanita itu.
“Tutup mulutmu, Nisanak!” bentak Rangga gusar.
“Kau marah, Kisanak? Dan itu berarti kau memang suka pa....”
“Bedebah...!” gertak Rangga memutuskan ucapan wanita itu.
Pendekar Rajawali Sakti marah bukan main mendengar kata-kata yang tidak sedap didengar itu. Walaupun banyak mengenal gadis-gadis, tapi dia belum pernah menaruh hati pada seorang gadis selain Pandan Wangi. Tak ada nama lain di hatinya, tak ada gadis lain yang bisa meruntuhkan tembok benteng hatinya. Dan Rangga paling tidak suka jika ada orang yang mengatakan kalau hatinya mudah terpikat pada kecantikan seorang gadis. Darahnya langsung mendidih, amarahnya terbangun menggolak bagai gunung berapi hendak memuntahkan lahar panas mendidih.
“Ha ha ha...!” wanita cantik itu malah tertawa melihat wajah Rangga memerah bagai bara.
“Huh!” Rangga mendengus keras.
Ingin sekali mulut wanita itu ditamparnya. Tapi tindakan demikian akan meruntuhkan nama besarnya. Daripada menghadapi manusia-manusia seperti ini, Rangga lebih baik meninggalkannya. Sambil mendengus keras, Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik dan langsung melangkah cepat meninggalkan mereka.
“Hei...!” seru wanita cantik itu mencoba mencegah kepergian Rangga.
Tapi Rangga tidak lagi peduli, dan terus saja melangkah dengan ayunan kaki cepat. Pendekar Rajawali Sakti itu memang tidak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dan belum jauh berjalan, mendadak saja wanita berbaju merah itu mengibaskan tangannya ke depan.
Sebuah benda merah meluncur deras dari telapak tangan wanita itu, langsung meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Desiran angin benda itu membuat ayunan langkahnya terhenti seketika. Dan bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara.
“Hap!”
Wusss!
Benda merah itu melesat lewat di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti, lalu menancap dalam di sebuah batang pohon yang cukup besar dan berdaun rimbun. Sungguh luar biasa! Daun-daun pohon itu langsung kering dan berguguran. Kemudian batang pohon itu juga jadi kering bagai kekurangan air di musim kemarau. Sesaat kemudian pohon itu roboh menimbulkan suara gemuruh, membuat bumi bergetar bagai diguncang gempa.
Rangga agak terpana menyaksikan kejadian itu, dan langsung memutar tubuhnya begitu menjejak tanah. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu bertolak pinggang sambil mengulas senyum tipis. Ketiga laki-laki di belakangnya terkekeh-kekeh, bersikap mengejek Pendekar Rajawali Sakti.
Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti itu bisa melakukan sesuatu, wanita cantik berbaju merah itu kembali memberikan serangan. Kedua tangannya bergerak cepat mengibas bergantian ke depan beberapa kali. Seketika benda-benda merah menyala bagai terbakar, bertebaran ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Hup! Hiyaaa...!”
Rangga berlompatan menghindari benda-benda merah yang memancarkan hawa panas luar biasa itu. Sungguh dahsyat sekali. Apa saja yang terlanda oleh benda-benda merah berbentuk segitiga itu pasti hancur berantakan! Ledakan-ledakan keras ter-dengar. Debu, pecahan pohon, dan bebatuan membumbung tinggi ke angkasa. Rangga berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang. Tak ada kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menghentikan serangan itu. Jangankan memberi serangan balasan, bahkan menghindari pun sudah cukup repot.
“Huh! Kalau begini terus, bisa habis semua tenagaku...!” dengus Rangga dalam hati.
Serangan-serangan yang dilancarkan wanita berbaju merah itu memang sangat gencar, meskipun mereka tidak secara langsung bertarung. Rangga cukup sukar untuk mendekati, karena wanita itu selalu berlompatan mengelilinginya sambil terus melontarkan benda-benda merah berbentuk segitiga kecil. Belum lagi hawa panas yang menyebar dari benda-benda itu semakin membuat pengap udara. Hal ini menjadikan napas Rangga terasa sesak, dan sulit untuk mendesak.
“Aku harus keluar dari pertarungan edan ini!” dengus Rangga dalam hati.
Dan ketika mengelakkan satu benda yang mengarah ke kaki, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melentingkan tubuhnya ke udara sambil menotok benda itu dengan jari telunjuk. Sambil meminjam tenaga lontaran lawan, Rangga mengayunkan tubuhnya tinggi-tinggi ke angkasa. Saat itu juga dikerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’.
“Yeaaah...!”
Sambil merentangkan tangannya lebar-lebar ke samping, Rangga berputaran di udara, kemudian meluruk deras dan langsung merubah jurus menjadi ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Sikap tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu langsung berubah saat semakin mendekati wanita itu. Kakinya bergerak cepat, lurus ke bawah mengincar kepala lawan. Seketika wanita itu terkesiap, dan berhenti melontarkan benda-benda segitiga berwarna merah.
“Modar...!” teriak Rangga keras dan tiba-tiba.
“Uts!”
Bergegas wanita muda berbaju merah itu membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Serangan Rangga luput dari sasaran. Sedangkan sebongkah batu besar yang terkena jejakan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu langsung hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Debu dan pecahan batu mengepul ke udara. Tubuh Rangga berputaran dua kali, kemudian menjejakkan kakinya di tanah. Pada saat itu, tiga orang laki-laki berwajah penuh brewok langsung berlompatan sambil menghunus goloknya. Mereka berteriak keras, langsung menghujani Rangga dengan bacokan-bacokan golok yang cukup besar dan berkilat.
“Hait! Hiyaaa...!”
Rangga segera berkelit, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan yang datang dari tiga jurusan. Serangan-serangan ketiga lawannya itu memang cepat, tapi bagi Rangga masih terasa lambat. Sehingga....
“Lepas...! Hiyaaa...!” seru Rangga tiba-tiba.
Dengan satu gerakan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuh sambil mengibaskan tangannya tiga kali. Satu gerakan yang sukar diikuti pandangan mata biasa. Sehingga....
Plak! Slap! Trak...!
Tiga kali terdengar suara keras, kemudian disusul pekikan-pekikan keras yang saling susul. Tampak tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah kasar penuh brewok itu limbung terhuyung-huyung ke belakang. Golok-golok mereka berpentalan di udara, dan masing-masing saling memegangi tangan kanannya.
Memang sungguh luar biasa akibatnya jika berbenturan tenaga dalam dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tulang pergelangan tangan mereka patah, sehingga tak dapat digunakan lagi. Mereka meringis merintih kesakitan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi peduli. Batas kesabarannya sudah habis dan telah mencapai puncaknya. Dengan satu gerakan cepat bagaikan kilat, pemuda berbaju rompi putih itu melesat sambil mengibaskan kedua tangannya secara beruntun.
Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling sambut. Tampak ketiga laki-laki bertubuh tinggi besar itu terhuyung-huyung sambil menekap dada. Sukar diikuti pandangan mata biasa, karena gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh cepat luar biasa. Tahu-tahu ketiga laki-laki itu ambruk dan menggelepar di tanah dengan dada terbelah lebar berlumuran darah. Hanya sebentar mereka mampu menggelepar meregang nyawa, sesaat kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Tewas.
Rangga memutar tubuhnya, tapi menjadi terkejut bukan main. Ternyata wanita cantik berbaju merah itu sudah tidak ada lagi di tempat ini. Entah kapan dan ke mana perginya, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tahu. Dia hanya bisa mengumpat, namun juga bertanya-tanya dalam hati.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti akan meninggalkan tempat itu, mendadak terdengar suara langkah kaki kuda yang dipacu cepat ke arahnya. Rangga mengurungkan niatnya, dan hanya menunggu penunggang kuda itu. Dalam hati, dihitungnya jumlah penunggang kuda yang semakin jelas terdengar suaranya.
“Hanya tiga...,” gumam Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengarahkan pandangannya lurus pada segumpal debu yang mengepul di udara. Jelas sekali kalau kepulan debu itu semakin dekat ke arahnya. Rangga berdiri tegak menunggu di tengah-tengah jalan. Sebentar kemudian terlihat tiga ekor kuda dipacu cepat membelah jalan berdebu.
“Hooop...!” ketiga orang penunggang kuda itu menghentikan laju kudanya tepat di depan Rangga.
Tiga orang laki-laki. Yang berada paling depan sudah berusia sekitar enam puluh tahun. Sedangkan dua orang lagi masih muda, dan mungkin sebaya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga mengamati ketiga orang itu. Mereka berlompatan dari punggung kudanya masing-masing, langsung memandang pada tiga sosok mayat yang tergeletak menghalangi jalan.
Dua orang pemuda bergegas menghampiri, dan kontan terkejut begitu melihat wajah ketiga mayat itu. Mereka saling berpandangan, kemudian bergegas menghampiri laki-laki setengah baya yang menunggu di depan kuda-kuda mereka. Entah apa yang dibicarakan, Rangga tidak ingin mendengar.
“Kisanak, apakah kau yang telah membunuh mereka?” tanya laki-laki setengah baya itu sambil menunjuk tiga sosok mayat.
“Benar. Tapi itu keinginan mereka sendiri,” sahut Rangga tegas.
“Hm.... Tidak ada seorang pun yang menginginkan mati terbunuh, Kisanak,” gumam laki-laki setengah baya itu.
Rangga hanya diam saja. Dia tahu kalau orang setengah baya itu tidak mempercayai jawabannya. Rangga jadi bertanya-tanya, siapa mereka itu...? Apakah mereka teman dari tiga mayat ini? Mata Pendekar Rajawali Sakti itu merayapi dengan seksama tiga orang yang berada di depannya.
“Kisanak, namaku Citrasoma. Dan ini kedua muridku. Namanya Bantara dan Andira. Aku hanya ingin tahu, mengapa kau membunuh ketiga orang itu?” laki-laki setengah baya itu memperkenalkan diri dan bertanya bernada ringan.
“Rasanya jawabanku sudah jelas,” sahut Rangga. “Apakah kalian teman-teman mereka?”
“Bukan. Tapi kami semua kenal mereka,” sahut Citrasoma sambil menunjuk mayat-mayat itu.
“Bagus! Kalau begitu, Paman pasti sudah tahu kenapa aku membunuh mereka,” agak sinis nada suara Rangga.
Rupanya Pendekar Rajawali Sakti itu masih diliputi kekesalan dan kemarahan di dalam hati, sehingga sedikit melampiaskan pada ketiga orang yang berada di depannya ini. Sama sekali Rangga tidak mengenal siapa mereka, meskipun sudah memperkenalkan diri. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap waspada, apalagi setelah Citrasoma mengakui kalau mengenal ketiga laki-laki itu.
“Kisanak, apakah kau dirampok? Atau mungkin dibegal...?” tanya Citrasoma.
“Tidak,” sahut Rangga tegas.
“Lalu?”
“Mereka menghadang jalanku bersama seorang wanita yang katanya adalah majikan mereka sendiri. Aku tidak pernah tahu, siapa mereka dan wanita itu. Tapi mereka telah membuat kemarahanku bangkit, dan tidak pernah menggunakan kesempatan untuk berubah sikap. Sudah dua kali sikap mereka seperti itu, dan tetap saja tidak berubah. Bahkan baru saja merampok kedai milik Nyai Lambat,” jelas Rangga.
“Bisa kumengerti alasanmu, Kisanak. Mereka memang berandalan dan sering membuat susah penduduk. Tapi yang kutahu, mereka tidak memiliki seorang majikan pun. Kisanak.., kau tahu siapa wanita yang kau maksudkan tadi?”
“Aku tidak tahu, tapi dia mencari seorang gadis yang bernama Mintarsih. Sedangkan aku sendiri juga mencarinya.”
Citrasoma dan kedua muridnya terkejut setengah mati saat Rangga menyebut nama Mintarsih. Dan tampaknya keterkejutan mereka diketahui Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Kenapa Paman terkejut?” tanya Rangga.
“Kisanak, kau tadi menyebut seorang gadis bernama Mintarsih. Apakah kau mengenalnya?” tanya Citrasoma ingin tahu.
“Untuk apa Paman tanyakan itu?” Rangga balik bertanya.
“Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja,” sahut Citrasoma seraya melirik Bantara dan Andira.
“Hm.... Rupanya banyak juga yang menghendaki gadis itu. Ada apa pada diri Mintarsih...?” gumam Rangga di dalam hati.
“Kisanak, sepertinya di antara kita belum pernah berjumpa sebelumnya. Dan aku tidak tahu siapa dirimu. Tapi, mengapa kau juga ingin mencari Mintarsih? Apa hubungannya antara kau dengan gadis itu?” tanya Citrasoma menyelidik.
“Tidak ada hubungan apa-apa. Dia hanya punya hutang denganku,” jawab Rangga seenaknya.
“Hutang...? Hutang apa, Kisanak?” desak Citrasoma.
“Hanya dia yang tahu. Dan kau, atau siapa saja tidak boleh mengetahuinya,” tegas Rangga.
Sedangkan Rangga sendiri tidak tahu, hutang apa yang harus dibayar Mintarsih padanya. Pertanyaan tadi memang hanya dijawab seenaknya saja. Pendekar Rajawali Sakti itu memang tidak ingin orang lain tahu, mengapa dia mencari gadis itu. Karena, Rangga memang tidak punya alasan yang kuat, dan hanya didasari rasa penasaran saja. Masalahnya begitu banyak orang yang menghendaki Mintarsih. Sedangkan gadis itu belum mengatakan apa-apa sampai menghilang tak ketahuan rimbanya.
Tapi keisengan dan jawaban seenaknya itu justru membuat Rangga heran, karena tiba-tiba saja Citrasoma mengegoskan kepalanya sedikit. Dua orang muridnya seketika berlompatan ke samping kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Segera saja pemuda berbaju rompi putih itu waspada begitu melihat gelagat yang kurang baik ini. Pendekar Rajawali Sakti itu menatap tajam Citrasoma yang berada di depannya.
“Tidak kusangka, ternyata kau adalah orangnya, Anak Muda,” terasa dingin nada suara Citrasoma.
“Hm...,” Rangga hanya bergumam dan berkerut keningnya.
“Semula dugaanku pelakunya adalah wanita. Tapi dugaanku meleset. Ternyata pelakunya adalah anak muda gagah dan tampan. Sayang sekali, hatimu tidak lebih busuk dari mereka!” Citrasoma menuding mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Heh...?!” Rangga terkejut mendengar kata-kata yang tidak dimengerti sama sekali itu.
“Aku peringatkan padamu, Anak Muda. Jangan ganggu Mintarsih lagi. Dia sudah berada di tempat yang aman. Dia tidak bersalah. Kau sudah menghancurkan hidupnya, membunuh ayah dan ibunya serta saudara-saudaranya. Dengar, Anak Muda. Jangan ganggu Mintarsih lagi, atau akan berhadapan denganku!” tegas kata-kata Citrasoma.
Rangga benar-benar terhenyak kali ini. Sama sekali tidak dimengerti perkataan laki-laki setengah baya yang mengaku bernama Citrasoma ini. Semula laki-laki setengah baya itu ramah dan sopan, tapi mendadak saja beringas begitu mendengar nama Mintarsih disebut Pendekar Rajawali Sakti ini.
“Ini hanya peringatan saja, Anak Muda! Kau boleh saja membunuh keluarga Mintarsih, tapi belum tentu dapat menandingiku!” ujar Citrasoma lagi.
Rangga benar-benar terpaku dan sampai ternganga tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Mulutnya serasa terkunci dan otaknya jadi beku. Sukar sekali berpikir jernih. Kata-kata Citrasoma begitu tegas dan sangat menusuk, namun sukar dimengerti. Pendekar Rajawali Sakti itu masih terpaku bengong saat Citrasoma melompat naik ke punggung kudanya.
Dua pemuda muridnya bergegas melompat naik ke punggung kudanya masing-masing. Gerakan mereka sungguh indah dan ringan sekali, pertanda memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Terutama Citrasoma. Gerakannya tak menimbulkan suara sedikit pun. Tanpa menunggu banyak waktu lagi, mereka menggebah kudanya meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.
********************
ENAM
Persoalan yang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti semakin bertambah rumit saja. Dia sudah tidak ingin lagi mem-perpanjang pencariannya pada Mintarsih, tapi kini malah seperti hewan buruan saja. Ke mana pun pergi, selalu saja ada yang menghadang. Mereka selalu ingin meminta Mintarsih. Bahkan Rangga tidak mungkin bisa menghindari kekerasan. Selama tiga hari ini, siang dan malam Pendekar Rajawali Sakti tak dapat beristirahat tenang.
Sepertinya setiap jengkal tanah yang dipijak memiliki mata. Entah sudah berapa kali Pendekar Rajawali Sakti harus berhadapan dengan orang-orang tidak dikenal yang menginginkan Mintarsih. Bahkan mereka juga selalu mendesak agar Rangga menunjukkan letak Padepokan Arum. Hal ini tentu saja membuat pemuda berbaju rompi putih itu jadi kebingungan, tapi juga penasaran.
“Phuih...! Apa sih sebenarnya yang ada pada Mintarsih...?” dengus Rangga seraya menyeka keringat di leher.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti itu menyelesaikan satu pertarungan yang melelahkan. Tidak kurang dari sepuluh orang berkemampuan cukup tinggi mengeroyoknya. Seperti yang lain-lainnya, mereka juga menghendaki Mintarsih. Bahkan mendesak Rangga untuk memberitahukan di mana letak Padepokan Arum. Beberapa kali pula Rangga mengatakan kalau dia tidak tahu, tapi orang-orang itu terus mendesak. Bahkan menggunakan kekerasan.
Kesabaran Pendekar Rajawali Sakti benar-benar lenyap. Tapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Memang, bisa saja Rangga pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Tapi apakah itu akan menyelesaikan semua persoalan? Tidak! Rangga tidak akan meninggalkan daerah ini sebelum apa yang membuat dirinya terpontang-panting seperti ini tuntas. Tapi kapan...? Dari mana harus memulainya...? Pertanyaan ini yang selalu menghantui Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi mayat-mayat yang bergelim-pangan di sekitarnya. Sebenarnya hatinya tak tega bila menjatuhkan tangan, karena tidak mengenal mereka. Tapi itu harus dilakukan demi keselamatan dirinya. Mereka akan membunuh kalau tidak dibunuh. Sungguh Rangga tidak menghendaki hal seperti ini terjadi. Tangannya berlumuran darah orang-orang yang tidak dikenal sama sekali. Bahkan tidak mempunyai persoalan dengannya.
“Aku harus mencari biang keladi dari semua ini!” desis Rangga datar. “Ya..., harus! Aku tidak ingin ada korban lebih banyak lagi berjatuhan. Aku tidak ingin jadi pembunuh orang-orang yang tidak berdosa. Aku bukan pembunuh...!”
Hampir gila rasanya Rangga menghadapi kejadian seperti ini. Hal itu tidak diinginkan, tapi harus dilakukan. Pendekar Rajawali Sakti memandangi desa yang tidak berapa jauh dari Lereng Bukit Growong ini. Desa yang sampai kini tidak diketahui namanya, dan kelihatan tenang. Sepertinya tidak pernah mendengar dan terpengaruh peristiwa ini.
“Hm..., mungkin harus kumulai dari Ki Rampat. Tampaknya dia mengetahui tentang diri Mintarsih. Ya..., pemilik penginapan itu harus kutemui,” desis Rangga berbicara sendiri.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurnanya ilmu yang dimiliki, sehingga seperti terbang saja di atas tanah. Sepasang kakinya bergerak cepat bagai tidak menapak permukaan tanah.
Begitu cepatnya Rangga berlari, sehingga yang tampak hanya bayangan putih berkelebat menuruni lereng Bukit Growong. Pendekar Rajawali Sakti itu terus berlari kencang menuju desa di kaki bukit ini.
********************
Dalam waktu yang tidak begitu lama Rangga sudah tiba di depan rumah penginapan milik Ki Rampat. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung saja menerobos masuk ke dalam rumah yang cukup besar dan memiliki lebih dari sepuluh kamar sewaan. Ki Rampat yang sedang duduk di kursi goyang, sangat terkejut begitu melihat Rangga tiba-tiba muncul seperti hantu saja. Laki-laki tua itu menggerinjang bangkit berdiri.
“Duduk saja, Ki. Aku hanya sebentar di sini,” kata Rangga.
Meskipun pemuda berbaju rompi putih itu baru saja berlari cepat dari lereng Bukit Growong, tapi tak terlihat kalau merasa lelah. Bahkan setetes keringat pun tidak tampak di wajahnya. Rangga menarik kursi rotan dan mendekatkannya pada kursi goyang. Ki Rampat sudah duduk kembali di kursinya.
“Ada apa, Den? Kelihatannya penting sekali,” ujar Ki Rampat seraya merayapi wajah Rangga.
Pemuda itu memang kelihatan tegang. Mimik wajahnya begitu sungguh-sungguh, dengan sorot mata tajam menusuk. Ki Rampat jadi jengah juga dipandangi sedemikian rupa.
“Ki Rampat masih ingat gadis yang kubawa ke sini?” tanya Rangga datar.
“Mintarsih maksud Raden?” Ki Rampat ingin menegaskan.
“Benar.”
“Ada apa dengannya, Den?”
“Di mana dia sekarang, Ki?” Rangga balik bertanya. Namun suaranya dingin, tanpa getaran sama sekali.
“Wah...! Mana aku tahu, Den,” sahut Ki Rampat. “Ki Rampat tahu, siapa yang membawa Mintarsih pergi?”
“Tidak, Den.”
“Dengar, Ki. Aku akan berkata terus terang padamu, tapi kuminta kau juga jangan menyembunyikan sesuatu padaku. Ini masalah serius, Ki. Menyangkut nyawa!” mantap suara Rangga.
Ki Rampat terdiam membisu. Ditatapnya wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-dalam.
“Sejak Mintarsih pergi tanpa diketahui, aku selalu dikejar-kejar orang-orang yang tidak kukenal sama sekali. Mereka menyangka aku menyem-bunyikan Mintarsih, dan selalu mendesakku agar menunjukkan letak Padepokan Arum. Padahal semua itu aku tidak tahu, Ki,” jelas Rangga bernada sungguh-sungguh.
Ki Rampat masih terdiam. Raut wajahnya kelihatan menegang. Sorot matanya memancarkan sesuatu yang sukar dilukiskan. Sedangkan Rangga menatap tajam laki-laki tua pemilik kedai ini.
“Aku ingat kau pernah bilang kenal dengan Mintarsih, juga keluarganya. Siapa sebenarnya gadis itu, Ki? Kenapa begitu banyak orang mencari dan menginginkannya?” desak Rangga.
“Yaaah..., aku memang mengetahui keluarga Mintarsih, tapi tidak seluruh-nya. Terutama kehidupan ibunya. Tak ada yang tahu, siapa wanita itu dan dari mana asalnya. Ayah Mintarsih membawa wanita itu sepulang dan pengembaraannya yang panjang...,” Ki Rampat berhenti.
“Teruskan, Ki,” pinta Rangga ingin tahu.
“Ki Jara Botang bisa terpilih jadi kepala desa di sini, karena ayahnya juga dulu kepala desa di sini. Jadi keluarga mereka memang sudah turun-temurun menjadi kepala desa. Tapi Ki Jara Botang tidak begitu lama menjadi kepala desa. Kedudukannya diserahkan pada penghulu, lalu seluruh keluarganya dibawa pergi. Tidak ada yang tahu, kenapa dan ke mana perginya. Dan sejak itu tak ada kabar beritanya lagi. Itu sebabnya aku terkejut saat melihat kau datang ke sini bersama Mintarsih. Wajahnya tidak berubah banyak, meskipun waktu pergi masih berusia lima belas tahun. Hanya saja sekarang ini dia kelihatan begitu cantik,” kembali Ki Rampat menghentikan ceritanya.
“Ki, apakah Mintarsih punya saudara?” tanya Rangga.
“Ada. Ki Jara Botang punya adik bernama Citrasoma. Tapi tidak ada yang tahu, di mana Citrasoma kini berada. Sudah puluhan tahun, bahkan sebelum Ki Jara Botang datang ke desa ini, Citrasoma sudah tidak pernah lagi terdengar kabar beritanya.”
“Citrasoma...,” desis Rangga bergumam.
Pendekar Rajawali Sakti itu teringat akan pertemuannya dengan Citrasoma dan dua orang pemuda yang kelihatan begitu patuh. Tapi, mengapa Citrasoma menuduh Rangga membunuh seluruh keluarga Mintarsih? Apakah Mintarsih yang mengatakannya? Rangga tidak percaya kalau gadis secantik Mintarsih bisa melakukan perbuatan keji seperti itu. Pendekar Rajawali Sakti juga ingat kalau Citrasoma mengatakan Mintarsih sudah berada di tempat aman. Mungkinkah dua orang pemuda itu yang membawa Mintarsih dari penginapan ini...?
“Ki, apakah dua laki-laki yang membawa Mintarsih masih muda...?” Rangga kemudian menyebutkan ciri-ciri dua pemuda yang bersama Citrasoma.
“Wah! Benar itu, Den...!” sentak Ki Rampat. “Memang yang menjemput Mintarsih masih muda, dan ciri-cirinya pun tepat, Den.”
Rangga bergumam pelan. Kini barulah diketahui kalau Mintarsih sekarang berada dalam lindungan pamannya. Kalau memang benar laki-laki itu bernama Citrasoma, adik kandung ayah gadis itu. Tapi kelihatannya memang benar, karena dia begitu marah saat Rangga menyebut nama Mintarsih dan mengatakan sedang mencarinya. Laki-laki setengah baya itu langsung menuduh Rangga membunuh seluruh keluarga Mintarsih, meskipun baru ancaman saja yang dikeluarkan.
“Dari mana Raden tahu kalau mereka yang membawa Mintarsih?” tanya Ki Rampat heran.
“Aku sempat bertemu mereka, Ki. Bahkan ada yang mengaku bernama Citrasoma,” sahut Rangga terus-terang.
“Oh...,” Ki Rampat mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi sekarang Mintarsih bersama pamannya...?”
“Dugaanku memang begitu, Ki. Hanya saja....”
“Kenapa, Den?”
“Aku tidak mengerti, mengapa mereka menuduh aku sebagai pembunuh seluruh keluarga Mintarsih. Padahal....”
“Jagad Dewa Batara...!” desis Ki Rampat terkejut, sehingga memutuskan ucapan Rangga.
“Ada apa, Ki?” tanya Rangga.
“Ternyata semua ini terjadi juga,” desah Ki Rampat bergumam lirih.
Rangga jadi keheranan begitu melihat raut wajah Ki Rampat berubah mendung. Dan laki-laki tua itu memandangi bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya. Dengan tangan bergetar, Ki Rampat mengambil tangan Rangga dan menggenggamnya erat-erat. Bibirnya bergetar seakan-akan hendak mengucapkan sesuatu, tapi tak ada suara sedikit pun keluar dari bibirnya.
“Raden, dapatkah Raden menolongku...?” pinta Ki Rampat berharap.
“Apa yang harus kutolong, Ki?” tanya Rangga.
“Tolong hentikan semua partumpahan darah ini. Tidak ada gunanya mengumbar nafsu. Tolong, Den.... Aku percaya Raden mampu melakukannya,” ratap Ki Rampat penuh harap.
Rangga benar-benar tidak mengerti sikap Ki Rampat yang mendadak jadi berubah begini, tepat saat Rangga mengatakan kalau seluruh keluarga Mintarsih sudah tewas terbunuh. Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati dan semakin tidak mengerti. Kepalanya berdenyut kencang, pening rasanya...
********************
Rangga terbangun dari tidur ketika mendengar suara percakapan yang samar-samar. Pendekar Rajawali Sakti itu memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, dan menjadi tertegun. Ternyata suara itu datang dari depan kamarnya, yang berarti adalah kamar Ki Rampat. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak turun dari pembaringan, lalu melangkah ringan mendekati pintu. Ditempelkan telinganya di daun pintu.
Dengan mempergunakan ilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’, Pendekar Rajawali Sakti itu dapat mendengar jelas pembicaraan di seberang kamarnya. Dan hatinya terkejut, karena salah satu suara adalah milik Ki Rampat. Sedangkan satunya lagi suara seorang wanita.
“Aku tidak mengerti, mengapa kau masih juga belum bisa melupakannya, Rara Anting?” terdengar suara Ki Rampat begitu pelan.
“Hidupku tidak akan tenang sebelum dendamku terbalas, Ayah,” terdengar sahutan suara wanita.
“Tapi perbuatanmu ini sudah keterlaluan, Rara Anting. Tidakkah kau sadari kalau semua itu akan membahayakan dirimu sendiri? Berpikirlah sekali lagi, Anakku. Rasanya belum terlambat untuk menghentikan semuanya....”
“Tidak! Aku tidak akan berhenti sebelum mereka semua mampus!” agak keras suara wanita itu.
“Dengar, Rara Anting. Perbuatanmu itu sudah membahayakan jiwa orang lain. Bahkan telah meluas sampai mengorbankan orang-orang yang tidak tahu apa-apa.”
“Memang itu yang kuharapkan, Ayah. Aku akan membuat mereka berpikir seribu kali. Aku akan mengoyak jiwa mereka sebelum akhirnya akan mengoyak jantung mereka!”
“Anting...!”
“Ayah tidak perlu cemas. Bersikaplah seperti biasa, pura-pura tidak tahu apa-apa. Semua ini urusanku, Ayah. Aku tidak akan melibatkanmu, atau sanak keluarga dan kerabat kita. Ini semua menjadi tanggung jawabku. Dan aku akan mati tersenyum jika mereka semua sudah mampus.”
“Setan sudah merasuk dalam jiwamu, Rara Anting.”
“Aku tidak peduli apakah itu setan atau malaikat. Tekadku sudah bulat, dan tidak akan tercabut sampai tetes darahku yang terakhir. Ayah tidak akan bisa menghalangiku, juga siapa saja tidak akan bisa!”
“Oh..., Rara Anting. Kau tidak berbeda dengan ibumu....”
“Jangan bawa-bawa mendiang ibu dalam urusan ini, Ayah. Ibu tidak tahu apa-apa, dan sudah tenang di sisi Hyang Widi.”
“Tapi ibumu akan kecewa atas perbuatanmu, Rara Anting. Bahkan aku juga kecewa.... Kecewa sekali....”
“Tapi ingat, Ayah. Semua yang kulakukan adalah untuk mengembalikan derajat dan martabat seluruh keluarga. Aku tidak rela keluargaku terinjak-injak, terhina, dan terbuang bagai sampah kotor menjijikkan!”
“Tidak ada yang melakukan itu padaku, Rara Anting. Tidak ada....”
“Mungkin sungkan pada Ayah! Tapi apakah mereka memandangmu saat...,” suara wanita itu terputus.
“Sudahlah, Rara Anting. Jangan kau ungkit-ungkit lagi masa lalu. Aku ingin kau menghentikan semua ini. Sebelum terlambat, Rara Anting.”
“Tidak, Ayah! Martabat, kehormatan, dan harga diri kita sudah tercabik. Dan aku tidak akan diam begitu saja. Aku akan membalas, apa pun yang akan terjadi pada diriku. Percayalah, Ayah. Semua yang kulakukan karena aku mencintaimu, mencintai seluruh keluarga kita.”
Tidak lagi terdengar suara Ki Rampat. Juga tidak lagi terdengar suara wanita itu. Sementara Rangga terus mengerahkan ilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Pendekar Rajawali Sakti itu masih berada dekat dengan pintu kamar yang disewanya ini. Pembicaraan tadi sungguh menarik perhatiannya. Sungguh tidak diketahuinya kalau Ki Rampat mempunyai seorang anak yang memiliki suara merdu, tapi juga amat tegas kedengarannya.
Lama juga Rangga menunggu, tapi tidak kunjung terdengar percakapan itu lagi. Pendekar Rajawali Sakti itu mulai jenuh. Tapi begitu ajiannya akan ditarik, mendadak terdengar suara langkah kaki, disusul terdengarnya daun pintu berderit terbuka. Tak lama kemudian terdengar suara daun pintu tertutup. Kembali terdengar suara langkah kaki yang semakin menjauh. Rangga terus mendengarkan sampai suara langkah kaki itu hilang dari pendengaran.
********************
Pagi-pagi sekali Rangga sudah keluar dari kamar penginapannya. Pada saat hendak menutup pintu, Ki Rampat keluar dari kamarnya sendiri yang berada tepat di depan kamar Pendekar Rajawali Sakti itu. Ki Rampat tampak terkejut, tapi buru-buru tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Rangga membalas dengan anggukan kepalanya juga.
“Akan pergi, Ki?” tegur Rangga melihat Ki Rampat kelihatan begitu rapi.
“Akan mengunjungi kerabat,” sahut Ki Rampat.
“Pagi-pagi begini...?”
“Rumahnya cukup jauh, agar tidak kesiangan. Aku harus pagi-pagi sekali agar pulangnya tidak kemalaman di jalan. Aku tidak menginap, kok.”
Rangga mengangguk-anggukkan kepa-lanya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu sempat melihat kedua mata Ki Rampat memerah seperti tidak tidur semalaman. Sedangkan Ki Rampat sudah melangkah meninggalkannya. Sejenak Rangga memperhatikan punggung laki-laki tua itu, kemudian juga berjalan ke luar.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus saja berjalan menyusuri lorong yang tidak begitu panjang, yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu kamar sewaan yang tertutup rapat. Keluar dari lorong itu, Rangga langsung masuk ke bagian ruangan yang cukup besar dengan perabotan cukup indah tertata apik. Pemuda berbaju rompi putih itu terus saja berjalan melintasi ruangan depan ini menuju pintu keluar.
Rangga sempat melihat Ki Rampat memacu cepat kudanya keluar dari halaman rumah ini. Saat ini memang masih terlalu pagi, dan matahari baru saja menampakkan cahayanya yang memerah jingga di ufuk timur. Belum ada seorang pun yang keluar dari rumahnya. Kabut tebal menyebarkan udara dingin membuat seluruh penduduk desa ini masih suka berada di pembaringan.
Rangga terus berjalan melintasi halaman yang tidak begitu luas ini. Embun masih membasahi tanah berumput, terasa dingin menusuk kulit kaki. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu terus saja berjalan, menuju arah yang sama dengan arah kepergian Ki Rampat. Tapi belum juga jauh meninggalkan rumah penginapan Ki Rampat, mendadak saja matanya melihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat bagaikan kilat. Bayangan merah itu bergerak menuju arah yang sama dengan kepergian Ki Rampat.
“Hm...,” Rangga menggumam pelan.
Dan tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh mengejar bayangan merah itu. Dalam keadaan berkabut tebal begini, memang sukar bagi Rangga untuk bisa melihat jauh. Namun karena mempergunakan aji ‘Tatar Netra’, Pendekar Rajawali Sakti itu mampu mengikuti gerakan bayangan merah yang berkelebat cepat menyelinap di antara pepohonan. Bahkan Ki Rampat masih bisa terlihat walaupun laki-laki tua itu terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
“Hm..., tampaknya dia mengikuti Ki Rampat,” gumam Rangga dalam hati.
Rangga semakin yakin kalau bayangan merah itu terus mengikuti ke mana Ki Rampat pergi. Memang tampaknya bayangan itu menjaga jarak agar Ki Rampat tidak mengetahui. Dan Rangga sendiri juga menjaga jarak dari bayangan merah itu. Tapi, mendadak saja bayangan merah itu berhenti bergerak, dan tiba-tiba pula berbalik.
Wuk!
“Heh...!”
Rangga terkejut bukan main, begitu tiba-tiba sosok tubuh berbaju merah itu mengebutkan tangannya. Seketika secercah sinar merah meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu. Begitu cepatnya sehingga Rangga sampai terpe-rangah. Namun bergegas dilentingkan tubuhnya berputar menghindari terjangan sinar merah itu.
Dan saat kakinya menjejak tanah, Rangga jadi tertegun karena orang yang dibuntuti sudah lenyap. Demikian pula Ki Rampat yang juga sudah tidak terlihat lagi. Kabut demikian tebal. Hal ini menyulitkan Rangga untuk melihat lebih jauh lagi, meskipun mengerahkan aji ‘Tatar Netra’. Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling, dan bukan main terperanjatnya begitu melihat pohon di belakangnya hancur bagai terbakar. Pada batangnya terlihat sebuah benda kecil berbentuk segitiga berwarna merah tertanam agak menyembul ke luar.
“Ki Rampat...!” sentak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu jadi mencemaskan keselamatan Ki Rampat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh. Sungguh luar biasa! Hanya bayangan putih saja yang terlihat dan sulit ditangkap oleh pandangan mata biasa.
TUJUH
Dalam waktu sebentar saja Rangga sudah kembali melihat bayangan merah itu yang masih terus membuntuti Ki Rampat. Pendekar Rajawali Sakti itu juga agak heran karena Ki Rampat justru memutari kaki Bukit Growong. Padahal di sekitar kaki bukit ini tidak ada desa lain. Bahkan sebuah rumah pun tidak ada.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja terdengar siulan nyaring melengking. Pendekar Rajawali Sakti itu sempat terkejut. Namun belum juga hilang keterkejutannya, mendadak saja dia dihujani ratusan anak panah dari segala penjuru.
“Hiyaaa..!”
Terpaksa Rangga berjumpalitan di udara menghindari serbuan anak panah itu. Luar biasa! Tak ada sebatang anak panah pun yang bisa menjamah kulit tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan Rangga memang luar biasa cepatnya. Berjumpalitan di udara tanpa menyentuh tanah sedikit pun.
Mendadak hujan anak panah itu berhenti, tapi sesaat kemudian terdengar teriakan-teriakan keras membahana. Sebentar kemudian bermunculanlah orang-orang bersenjata berbagai macam. Mereka langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak-teriak keras.
“Tahan...!” seru Rangga keras menggelegar.
Tapi seruan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak didengar sama sekali. Puluhan orang bersenjata itu terus merangsek melancarkan serangan gencar. Rangga tak punya pilihan lain lagi. Begitu menjejakkan kakinya di tanah, langsung direntangkan tangannya ke samping. Maka seketika itu juga dihentakkan tangannya ke depan, lalu ditarik ke depan dada dengan telapak tangan tertutup merapat.
“Aji ‘Bayu Bajra’...! Hiyaaa...!” teriak Rangga keras.
Begitu suara Pendekar Rajawali Sakti itu lenyap, seketika terdengar suara angin menggemuruh. Lalu entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di sekitar tempat itu terjadi badai topan amat dahsyat. Orang-orang yang mengeroyok Rangga langsung menjerit-jerit, dengan tubuh berpelantingan. Mereka terhempas tak mampu menahan hembusan angin yang begitu kuat.
Orang-orang itu berhamburan, beterbangan bagai daun-daun kering berguguran. Jerit dan pekik melengking kesakitan terdengar meningkahi deru angin dahsyat. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak sambil merentangkan kaki lebar-lebar dan tangan menyatu di depan dada.
“Hiyaaa...! Hap!”
Mendadak Rangga menghentakkan tangannya ke samping. Seketika itu juga badai berhenti. Sekitar tempat itu jadi porak-poranda bagai baru saja diamuk ratusan babi hutan. Tubuh-tubuh bergelimpangan tertindih batu dan pepohonan tumbang. Suasana jadi sunyi sepi. Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan matanya kemudian tertumbuk pada sosok tubuh berjubah hitam agak bungkuk yang berdiri di atas sebatang pohon tumbang.
Sosok tubuh berjubah hitam itu seorang perempuan tua keriput, dan rambutnya sudah memutih semua. Tangannya menggenggam sebatang tongkat berwarna merah yang bagian atasnya berbentuk segitiga berujung runcing. Rangga menggeser kakinya ke samping saat perem-puan tua berjubah hitam itu melompat turun dari pohon yang tumbang. Dia melangkah beberapa tindak, lalu berhenti setelah jaraknya sekitar lima langkah lagi di depan Rangga.
“Hebat...! Ternyata kau memiliki kepandaian yang tinggi juga, bocah!” kering dan datar suara wanita tua itu.
“Nisanak, siapa kau? Kenapa menghadang perjalananku?” tanya Rangga tegas.
“Hik hik hik..., orang-orang biasa memanggilku Dewi Maut. Kedatanganku ke sini karena permintaan muridku yang merasa terganggu dengan adanya kau di sini, bocah,” sahut perempuan tua itu yang memperkenalkan dirinya sebagai Dewi Maut.
“Aku tidak kenal siapa muridmu, dan juga tidak kenal denganmu, Dewi Maut,” ujar Rangga dingin.
“Aku tidak peduli kau kenal atau tidak! Tapi adanya kau di sini telah membuat muridku jadi tidak tenang. Dan kau telah merusak hampir semua rencananya!” agak keras suara Dewi Maut.
“Aku semakin tidak bisa memahami kata-katamu, Dewi Maut,” desis Rangga agak bergumam.
“Aku tidak peduli! Aku hanya minta, tinggalkan daerah ini, dan jangan kembali lagi! Mengerti?!”
“Aneh...?! Kenapa aku harus pergi? Aku bebas ke mana saja aku suka. Dan aku akan pergi dari sini juga sesuka hatiku. Kau tidak perlu memerintahku, Dewi Maut,” dingin sambutan Rangga.
“Beludak! Aku peringatkan sekali lagi padamu, bocah! Pergi dengan selamat, atau hanya nyawamu yang pergi!” ancam Dewi Maut.
“Kau sudah main ancaman segala, Dewi Maut.”
“Aku tidak main-main, bocah!”
“Aku juga tidak main-main. Aku akan pergi kapan saja aku suka. Tapi saat ini aku belum akan pergi!”
“Monyet..! Rupanya kau memilih mampus!” geram Dewi maut.
“Hidup dan matiku bukan kau yang menentukan. Dan aku tidak akan bisa mati olehmu!” dingin suara Rangga.
“Setan...! Hiyaaa...!”
Dewi Maut tidak bisa menahan amarahnya lagi mendapat tantangan terbuka seperti itu. Dengan satu gerakan cepat luar biasa, dia melompat menerjang sambil mengibaskan tongkatnya beberapa kali. Rangga bergegas melompat ke belakang, lalu meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap tebasan tongkat berwarna merah itu.
Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Serangan-serangan Dewi Maut sungguh luar biasa dan sangat berbahaya. Hanya sebentar saja Rangga menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, karena Dewi Maut seperti mengetahui jurusnya. Hal ini membuat Rangga cepat-cepat merubah jurusnya.
Semula Rangga ingin mengukur dulu, sampai di mana tingkat kepandaian Dewi Maut. Tapi belum juga maksudnya terlaksana, Dewi Maut sudah menghujaninya dengan serangan berbahaya dari jurus-jurus tingkat tinggi. Hal ini membuat Rangga kewalahan. Sehingga....
“Hiyaaa...!”
Des!
“Akh...!”
Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi tak dapat dihindari lagi. Pendekar Rajawali Sakti terpekik keras, dan tubuhnya terlontar ke belakang. Dadanya seketika terasa sesak terkena pukulan Dewi Maut. Pendekar Rajawali Sakti jatuh bergulingan di tanah. Dan belum sempat berdiri, Dewi Maut sudah melompat menerjang sambil memukulkan kepala tongkatnya ke arah tubuh pemuda itu.
Terpaksa Rangga bergulingan menghina-dari hantaman tongkat yang bertubi-tubi itu. Setiap tongkat itu menghantam tanah, maka tanah itu bergetar dan berlubang cukup besar. Sambil menahan rasa sakit dan sesak pada dadanya, Rangga bergegas melompat bangkit berdiri begitu berhasil mengelakkan satu pukulan tongkat berbentuk segitiga pada ujungnya itu.
“Hih!”
Rangga segera mengempos hawa murni untuk mengusir rasa sakit dan sesak pada dadanya. Untung saja Dewi Maut hanya mengerahkan tenaga dalam saja pada pukulannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti hanya merasakan nyeri dan sesak pada dadanya. Tapi hanya dengan menyalurkan hawa murni, semua itu bisa cepat dihilangkan. Dan Rangga kembali bersiap menerima serangan berikut dan kali ini tidak ingin main-main lagi.
Kini Pendekar Rajawali Sakti sudah siap menghadapi serangan berikut. Tapi Dewi Maut hanya berdiri tenang saja sambil terkikik. Diputar-putar tongkatnya sampai menimbulkan suara angin menderu. Belum juga Rangga sempat berpikir, mendadak saja terdengar siulan nyaring melengking tinggi. Irama siulan itu sungguh aneh dan menyakitkan telinga.
“Hih hik hik..., ternyata nyawamu masih terlindungi, bocah,” kata Dewi Maut diiringi tawa terkikiknya.
Rangga jadi tertegun.
“Tapi ini bukan berarti persoalan di antara kita sudah selesai,” sambung Dewi Maut.
Setelah berkata demikian, Dewi Maut langsung melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan. Rangga tersentak kaget, tapi tidak punya kesempatan lagi untuk mengejar. Bayangan wanita tua itu sudah tidak terlihat lagi. “Phuih! Edan...! Kenapa di sini begitu banyak orang tak waras...?!” dengus Rangga sengit.
Rangga semakin sengit karena buruannya sudah tidak ketahuan lagi. Sambil bersungut-sungut kesal Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah pergi. Kakinya menyepak tubuh yang menghalangi jalannya. Sosok tubuh tanpa nyawa itu terpental jauh menghantam pohon. Rangga terus berjalan dengan hati diliputi kekesalan.
Rangga tidak tahu lagi, arah mana yang harus dituju. Tak ada jalan di sini. Sekelilingnya hanya hutan. Namun kekesalan hati Pendekar Rajawali Sakti itu terobati ketika melihat jejak-jejak tapak kaki kuda tertera jelas di tanah. Bergegas dia berjalan cepat mengikuti jejak-jejak kaki kuda. Jelas sekali terlihat kalau jejak itu masih baru, dan Rangga yakin kalau itu jejak kaki kuda Ki Rampat.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga bisa bergerak cepat mengikuti jejak yang tertera jelas di atas permukaan tanah. Terlebih lagi matahari sudah bersinar penuh, dan kabut pun tak lagi menghalangi pandangan mata. Tapi mendadak Rangga tersentak. Matanya membeliak lebar dengan mulut ternganga.
“Ki Rampat..!” seru Rangga terkejut.
Tampak Ki Rampat terbujur bersimbah darah, dan sebagian tubuhnya berada di dalam semak. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri dan mengeluarkan laki-laki tua itu dari dalam semak. Seberkas cahaya harapan memancar di mata, Rangga begitu mengetahui Ki Rampat masih bernapas.
“Ki..., Ki Rampat,” panggil Rangga pelan.
“Ohhh...,” Ki Rampat merintih lirih. Perlahan mata laki-laki tua itu terbuka. “Raden...,” lemah sekali suara Ki Rampat.
“Iya, ini aku. Kenapa jadi begini, Ki? Siapa yang melakukan semua ini?” tanya Rangga.
“Raden..., tolonglah aku. Hentikan pertumpahan darah ini. Tolong Raden...,” semakin lemah suara Ki Rampat.
“Aku akan membantumu, Ki. Tapi katakan, siapa yang melakukan semua ini?”
“Aku orang tua yang gagal, Raden. Aku gagal.... Seluruh hidupku tidak luput dari gelimang dosa. Aku tidak mengharapkan semua ini terjadi, tidak kuasa mencegah. Aku hanya orang tua yang gagal...,” tersendat suara Ki Rampat.
“Tenang, Ki...,” ujar Rangga.
“Memang sudah kuduga semua ini bakal terjadi. Tapi aku sudah berusaha mencegah.... Oh Dewata Yang Agung, begitu besar dosa yang kuperbuat sehingga kau hukum aku dengan siksaan begini berat..,” rintih Ki Rampat. Air matanya menitik keluar.
Rangga tak bisa berkata apa-apa lagi, dan memang tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya mendengarkan saja, meskipun suara Ki Rampat sudah terbata-bata dan begitu lemah.
“Seandainya aku punya anak sepertimu, tentu hidupku akan bahagia sekali, Den. Tapi rupanya Hyang Widi menghendaki lain. Meskipun dia wanita, tapi hatinya sekeras batu. Aku tidak tahu, setan mana yang membuatnya jadi buta....”
“Ki....”
“Aku menyayanginya, Den. Aku mencintainya. Tapi balasan yang kuperoleh... Oh! Tidak.... Sungguh memalukan, Den. Dia bukan lagi manusia, tapi iblis yang tidak bisa lagi membedakan dan lupa dari mana asalnya.”
Rangga diam saja, dan langsung teringat akan pembicaraan yang didengarnya semalam.
“Ki, apakah anakmu yang melakukan semua ini?” tanya Rangga, agak tertahan suaranya.
“Aku mencintainya, Den. Tolong sadarkan dia. Tolong bawa dia kembali ke jalan yang benar. Singkirkan iblis yang bersemayam di hatinya. Tolong, Den...,” rintih Ki Rampat lemah.
“Aku akan berusaha, Ki,” sahut Rangga pelan.
“Terima kasih, Den. Aku senang mendengarnya.”
Ki Rampat tersenyum. Tapi senyum itu langsung memudar, dan matanya terpejam. Kepala laki-laki tua itu terkulai. Rangga meletakkan tubuh Ki Rampat yang sudah tidak bernyawa lagi. Sebentar dipandangi jasad laki-laki tua itu, kemudian bangkit berdiri.
“Hhh.... Aku tidak yakin apakah aku mampu...? Sedangkan dia sudah begitu tega membunuh ayahnya sendiri,” desah Rangga dalam hati.
********************
Rangga baru saja selesai menguburkan jasad Ki Rampat ketika mendengar jeritan melengking tinggi, disusul teriakan-teriakan keras disertai denting senjata beradu. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti itu mendongakkan kepalanya, mencari sumber suara itu. Jelas sekali suara-suara itu terdengar, dan sepertinya tidak jauh dari tempat ini.
Rangga tertegun memandangi gundukan batu-batu besar yang menyembul keluar dari puncak pepohonan. Suara-suara pertarungan itu berasal dari sana. Sedangkan Rangga tahu kalau itu merupakan bukit batu kecil yang berada di lereng Bukit Growong ini. Maka pemuda berbaju rompi putih itu tidak mau berpikir panjang lagi, lalu bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh menuju arah suara pertarungan itu.
Jarak dari tempat Rangga menguburkan Ki Rampat dengan gundukan batu itu memang tidak seberapa jauh lagi. Sehingga dalam waktu sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di sana. Suara pertempuran itu memang jelas terdengar, dan berasal dari tempat ini. Tapi....
“Edan...!” dengus Rangga sambil memandangi gundukan batu yang menjulang cukup tinggi itu.
Jelas sekali kalau suara pertarungan itu berasal dari situ. Dan Rangga hampir saja tidak percaya kalau tidak melihat percikan bunga api membumbung tinggi ke angkasa. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera naik ke puncak batu itu. Hanya dua kali lompatan saja, Rangga sudah mencapai puncak batu. Dan kembali hatinya tertegun. Ternyata batu ini bukan hanya sebuah bukit kecil di lereng Bukit Growong, tapi merupakan tempat yang sangat tersembunyi.
Tumpukan-tumpukan batu ini membentuk lingkaran bagai sebuah cincin raksasa. Dan di dalam lingkaran batu itu, terlihat sebuah pertarungan dahsyat. Sudah tidak terhitung lagi berapa tubuh bergelimpangan tak bernyawa. Angin yang berhembus menyebarkan bau anyir darah. Rangga pasti tidak akan bisa mengetahui siapa yang sedang bertarung itu, kalau saja tidak melihat Citrasoma. Di situ ada pula perempuan tua yang tadi bertarung dengannya. Perempuan tua berjubah hitam yang mengaku sebagai Dewi Maut.
Kini Rangga tahu, ada dua kelompok yang bertarung. Dan perhatian Pendekar Rajawali Sakti itu terpusat pada seorang gadis muda berwajah cukup cantik mengenakan baju merah menyala. Dia bertarung bagai singa betina mengamuk karena kehilangan anaknya. Dengan sebatang tongkat pendek yang ujung-ujungnya berbentuk segitiga, gadis itu seperti malaikat maut pencabut nyawa.
“Mintarsih...,” desis Rangga ketika mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
Tampak di balik sebatang pohon, Mintarsih berlindung memperhatikan jalannya pertempuran. Wajah gadis itu kelihatan ketakutan dan tubuhnya bergemetar. Rangga segera melentingkan tubuhnya, meluruk turun ke bawah. Langsung didaratkan kakinya tepat dibelakang Mintarsih.
“Oh...!” Mintarsih terkejut.
Tapi begitu melihat Rangga yang muncul, gadis itu menarik napas panjang. Langsung gadis itu menghambur memeluk Pendekar Rajawali Sakti. Tentu saja pemuda berbaju rompi putih itu jadi kelabakan. Buru-buru dilepaskan pelukan Mintarsih. Sementara itu pertarungan terus berlangsung sengit.
“Tolong, Kakang. Mereka hendak menghancurkan Padepokan Paman,” rintih Mintarsih berharap.
“Siapa mereka?” tanya Rangga.
“Mereka yang selalu mengejar-ngejarku, Kakang. Mereka ingin menuntut balas, terutama Rara Anting. Mereka sangat kejam, Kakang,” agak terbata suara Mintarsih.
Rangga memandangi dalam-dalam gadis itu. Pendekar Rajawali Sakti memang pernah mendengar nama Rara Anting. Ya..., dia ingat! Rara Anting adalah putri Ki Rampat. Hal itu diketahuinya ketika mendengar percakapan Ki Rampat dengan Rara Anting semalam.
“Tarsih, apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Rangga meminta penjelasan.
“Nanti kujelaskan, Kakang. Sekarang tolonglah bantu Paman mengusir mereka,” sahut Mintarsih sambil berharap. “Aku tidak tahu, mana kelompok pamanmu, dan mana musuh-musuhnya.”
“Pokoknya yang memakai baju biru, itulah murid-murid Paman. Sedangkan yang lainnya bukan,” Mintarsih memberitahu.
Rangga mengalihkan perhatiannya pada pertarungan itu. Dan memang, tampaknya orang-orang yang mengenakan baju biru sudah terdesak. Terlebih lagi Citrasoma yang sudah kewalahan menghadapi Dewi Maut. Hanya saja Rangga masih ragu-ragu, harus memihak kelompok yang mana.
Namun melihat orang-orang Padepokan Arum semakin terdesak, Pendekar Rajawali Sakti akhirnya memutuskan untuk segera melompat masuk ke dalam kancah perta-rungan itu. Kehadiran Pendekar Rajawali Sakti rupanya membuat kedua kelompok itu terkejut, karena mereka tidak ada yang mengenal. Hanya beberapa orang saja yang mengetahuinya.
Tapi karena Rangga menghajar orang-orang yang tidak mengenakan baju biru, maka kehadiran Pendekar Rajawali Sakti itu disambut gegap gempita oleh mereka yang mengenakan baju biru. Terlebih lagi dalam waktu sebentar saja, Rangga sudah menjatuhkan lebih dari sepuluh orang.
Namun kemunculan Rangga rupanya mendapat perhatian dari Dewi Maut juga. Dan perempuan tua itu jadi geram bukan main. Sedangkan Citrasoma keheranan, karena Rangga berpihak padanya dengan menggempur orang-orangnya Dewi Maut. Meskipun diliputi perasaan heran dan tanda tanya, tapi melihat Rangga terus menjatuhkan musuh-musuhnya, Citrasoma bangkit kembali semangatnya.
Dalam waktu sebentar saja, keadaan jadi terbalik. Kini anak buah Dewi Maut terus terdesak. Dan mereka semakin terdesak hebat karena jumlahnya yang semakin berkurang saja. Tak ada yang sanggup membendung amukan Rangga. Mereka yang berani mendekat, tidak berumur panjang. Jeritan-jeritan melengking tinggi dan menyayat kini lebih sering terdengar. Dan tubuh-tubuh terus berja-tuhan berlumuran darah.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Ganggala melompat menghampiri Mintarsih. Putra Citrasoma itu keluar dari arena pertarungan, dan langsung menyeret Mintarsih menjauh. Gadis itu menurut saja.
“Siapa laki-laki itu, Kak Tarsih?” tanya Ganggala.
Rupanya pemuda itu sempat juga melihat Rangga berbicara dengan Mintarsih sebelum terjun ke dalam pertempuran.
“Namanya Rangga. Dialah yang telah menolongku selama ini,” sahut Mintarsih.
“Hm...,” Ganggala bergumam.
Tatapan mata pemuda itu sangat dalam, dan penuh arti yang sukar dilukiskan. Tatapan mata itu langsung menusuk ke dalam bola mata Mintarsih. Tapi yang ditatap malah terus memperhatikan Rangga yang sedang bertarung.
DELAPAN
Keadaan Dewi Maut dan orang-orangnya semakin tidak menguntungkan. Jumlah mereka semakin berkurang banyak. Bahkan tidak sedikit yang sudah kabur melarikan diri. Dan keadaan semakin memburuk lagi, saat Rangga sudah mengalihkan perhatian-nya pada Dewi Maut. Memang para pengikut perempuan tua itu sudah tidak berarti lagi baginya.
“Hup! Hiyaaa...!”
Dengan sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti menghadang Dewi Maut yang mencoba menyingkir mendekati pintu gerbang Padepokan Arum ini. Dewi Maut menggeram marah, lalu melintangkan tongkatnya di depan dada. Sedangkan Citrasoma bergerak menghampiri Rangga.
“Kita bertemu lagi, Dewi Maut,” ujar Rangga dingin.
“Phuih!” Dewi Maut hanya menyemburkan ludahnya saja.
“Kau tidak bisa pergi begitu saja, Dewi Maut” tegas Rangga lagi lebih dingin suaranya.
“Bocah kurang ajar! Terimalah seranganku ini...! Hiyaaa...!”
Dewi Maut rupanya tidak punya pilihan lain lagi, dan langsung saja menyerang Rangga yang memang sudah siap sejak tadi. Perempuan tua itu langsung mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya sekali. Sedangkan Citrasoma bergerak menyingkir, mendekati istri dan anaknya yang sudah berada mendampingi Mintarsih.
Mereka kini hanya jadi penonton saja. Sedangkan murid-murid Padepokan Arum sudah berhasil menghancurkan kekuatan para penyerangnya. Kini pertarungan tinggal antara Rangga melawan Dewi Maut. Tak ada yang memperhatikan kalau Rara Anting diam-diam sudah meninggalkan tempat ini. Tapi itu tidak semua. Ternyata Ganggala justru selalu memperhatikan gadis berbaju merah itu. Dan begitu Rara Anting melesat keluar, Ganggala segera melompat mengejar. Tak ada seorang pun yang mengetahui, karena perhatian mereka tertumpah pada pertarungan antara Rangga melawan Dewi Maut. Suatu pertarungan tingkat tinggi yang sangat dahsyat.
Tampak jelas sekali kalau Dewi Maut begitu bernafsu ingin cepat-cepat menyu-dahi pertarungannya ini. Tapi rupanya lawan yang dihadapi sekarang bukanlah lawan enteng. Meskipun masih muda, tapi memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan sukar diukur tingkatannya. Sedangkan Rangga bertarung dengan sikap tenang dan penuh perhitungan.
Jurus demi jurus berlalu cepat, tapi belum ada tanda-tanda pertarungan akan berakhir. Mereka masih sama-sama tangguh. Serangan datang silih berganti tanpa henti. Semakin lama pertarungan semakin berjalan cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebat saling sambar dan menghindar. Hanya mereka yang memiliki kepandaian tinggi saja masih bisa mengikuti jalannya pertarungan itu.
“Lepas..!” tiba-tiba Rangga berteriak keras.
Dan seketika itu juga diegoskan tubuhnya ke kiri sambil melontarkan satu tendangan menyamping. Dewi Maut segera menggeser kakinya menghindari tendangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, mendadak saja tangan kiri Rangga mengibas cepat menghajar pergelangan tangan kanan perempuan tua itu.
Plak!
“Akh!” Dewi Maut terpekik kaget
Tapi belum hilang keterkejutannya, Rangga sudah menghantamkan satu pukulan telak ke arah dada, disusul satu tendangan bertenaga dalam tinggi menghajar tangan kanan perempuan tua itu. Kembali Dewi Maut terpekik keras dan tubuhnya terjajar ke belakang.
Perempuan tua itu mengumpat, karena tongkatnya terlepas dari tangan. Namun belum juga habis mengumpat, Rangga sudah kembali melompat menerjangnya secara cepat. Dewi Maut berusaha menghindar, tapi....
“Hiyaaa...!”
Des!
“Aaakh...!” untuk kesekian kalinya Dewi Maut menjerit keras.
Sukar diikuti pandangan mata biasa, tiba-tiba satu pukulan bertenaga dalam sempurna kembali mendarat di dada wanita tua berjubah hitam itu. Akibatnya tubuh Dewi Maut terpental jauh ke belakang. Dan pada saat itu, Rangga melompat cepat bagaikan kilat dengan kedua tangan mengembang lebar.
Wuk! Wut..!
Dua kali tangan Pendekar Rajawali Sakti itu mengibas, dan tepat menghantam bagian dada dan kepala Dewi Maut. Tak terdengar suara lagi dari mulut wanita tua itu. Tubuhnya langsung membentur batu hingga bergetar seluruh batu yang melingkari tempat ini. Sementara Rangga sudah berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada.
Tubuh Dewi Maut melorot turun. Dari dada dan kepalanya mengucurkan darah segar. Sungguh dahsyat serangan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Tangan-tangan Rangga bagaikan sebilah pedang yang sangat tajam. Apalagi tubuh manusia, sebongkah batu yang sangat keras sekalipun akan hancur! Dan ini dialami Dewi Maut yang tewas seketika itu juga.
Rangga menarik napas panjang, lalu memutar tubuhnya saat mendengar suara-suara langkah kaki menghampiri. Tampak Citrasoma, Dewi Wulan, Mintarsih, dan seluruh murid Padepokan Arum menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga tidak bisa menolak ketika Citrasoma memintanya masuk ke dalam rumah. Dan mereka kemudian duduk di bagian depan rumah yang besar dan cukup indah ini. Hanya ada Citrasoma, istrinya, Mintarsih, Bantara dan Andira di situ. Sedangkan murid-murid Padepokan Arum yang masih hidup langsung sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Anak Muda, apakah kau akan menerima permintaan maafku?” ucap Citrasoma.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Paman. Bisa kumengerti kalau keadaannya memang membuat kita semua saling mencurigai,” ujar Rangga memaklumi sikap Citrasoma padanya tempo hari.
“Aku waktu itu memang sedang tegang, sehingga tidak bisa membedakan mana kawan dan mana lawan,” kata Citrasoma mengakui.
“Aku mengerti, Paman,” ujar Rangga.
“Yaaah.... Sebenarnya ini persoalan keluarga yang sudah bertahun-tahun dan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang pasti. Aku sendiri sudah mengalah, dan mencari kehidupan tenang di sini. Juga kakakku, atau ayahnya Mintarsih yang juga mengalah sehingga meletakkan kedudukannya sebagai kepala desa. Dia bahkan menyingkir jauh untuk mencari ketenangan, melupakan semua persoalan dan kemelut dalam keluarga,” kata Citrasoma.
“Tadinya kami semua sudah bisa melupakan, tapi yaaah.... Beginilah jadinya jika dendam tidak bisa dikubur jauh-jauh di dasar hati,” sambung Dewi Wulan.
“Kalau boleh tahu, apa persoalan yang sebenarnya, Paman?” tanya Rangga ingin tahu.
“Persoalan yang dibuat oleh orang-orang tua kami dulu. Tapi kami semua anak-anaknya yang harus menanggung akibatnya. Meskipun sudah berusaha melupakan, tetap saja ada segelintir yang tidak puas dan mencari-cari perkara dengan mengkait-kaitkan persoalan lama,” sahut Citrasoma setengah mendesah. “Sebenarnya persoalannya berawal dari perebutan sumber mata air saja,” sambung Dewi Wulan.
“Mata air...?” Rangga terhenyak.
“Benar. Di desa itu dulu hanya ada satu sumber mata air. Dan desa yang terdiri dari dua keluarga itu yang akhirnya berkembang terus, tahun demi tahun. Dulu pernah terjadi kemarau yang sangat panjang, sehingga kebutuhan air sangat penting. Dari situlah awal malapetaka ini terjadi. Dua kelompok keluarga yang semula hidup rukun, akhirnya pecah hanya karena memperebutkan sumber mata air demi kepentingan masing-masing. Bahkan mereka saling bunuh,” tutur Citrasoma.
“Oh...,” Rangga mendesah.
“Tapi hal itu tidak berlangsung lama ketika turun hujan kembali, dan menjadikan daerah ini subur. Bertahun-tahun pertengkaran itu terlupakan. Tapi kembali timbul lagi saat musim kemarau tiba. Dan pertentangan itu kembali menghangat sekitar sepuluh tahun lalu. Kemarau datang begitu panjang, dan banyak sumber air kering. Hanya satu yang masih bisa diharapkan, tapi tampaknya tidak akan cukup digunakan orang sedesa.
Pertengkaran-pertengkaran kecil mulai timbul, yang akhirnya menjadi besar. Kembali dua kelompok keluarga terpecah menjadi dua, dan akhirnya baku hantam, saling berebut menguasai mata air yang tinggal satu. Inilah awal permulaan baru yang sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Dua kelompok itu terus bertentangan sampai sekarang, meskipun sekarang tidak lagi terjadi kemarau panjang yang menyengsarakan.”
“Kenapa bisa begitu, Paman?” tanya Rangga.
“Satu kelompok keluarga dipimpin kakeknya Rara Anting. Dan satu kelompok keluarga lagi dipimpin kakeknya Mintarsih, yang juga ayahku. Entah karena apa, suatu malam kakek Rara Anting tewas di dalam kamarnya. Dan yang membuat pertentangan itu kembali timbul, di situ tergeletak sebilah keris milik ayahku. Padahal malam itu kami semua sedang berkumpul hingga pagi. Dari situlah dimulai perang kecil yang tidak akan berakhir sampai kapan pun, kecuali salah satu kelompok keluarga lenyap.”
Rangga mengangguk-anggukkan kepa-lanya, dan kini mengerti sudah. Rupanya Rara Anting termasuk penerus yang ingin memusnahkan musuh keluarganya. Dan pertentangan ini rupanya dimanfaatkan orang-orang persilatan yang membenci keluarga Citrasoma. Karena, keluarga ini adalah keturunan pendekar, dan sebagian keluarganya hidup sebagai pengembara yang berkelana menjelajahi rimba persilatan.
Tidak heran kalau kelompok keluarga ini selalu menang, karena kebanyakan dari mereka adalah kaum pendekar yang memiliki kepandaian rata-rata cukup tinggi. Saat mereka tengah berbincang-bincang, mendadak seorang murid Padepokan Arum masuk tergesa-gesa. Dia membungkuk memberi hormat pada gurunya.
“Ada apa?” tanya Citrasoma.
“Maaf, Guru. Ganggala tidak ada, dan beberapa teman mengatakan kalau Ganggala mengejar Rara Anting.”
“Apa...?!” Citrasoma tersentak.
********************
“Anting...! Rara Anting...!”
Rara Anting yang berlari kencang meninggalkan Padepokan Arum, berhenti berlari saat mendengar panggilan keras dari belakang. Gadis berbaju merah itu memutar tubuhnya berbalik, dan menjadi terkejut begitu melihat Ganggala berlari-lari menghampirinya. Pemuda itu baru berhenti berlari setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi di depan Rara Anting.
“Anting...,” pelan suara Ganggala.
“Untuk apa kau mengejarku, Kakang?” sentak Rara Anting ketus.
“Anting...,” tercekat suara Ganggala. Wajah yang menegang dan sorot mata tajam, perlahan memudar. Untuk beberapa saat mereka hanya diam saling tatap.
“Anting, semua ini bisa kujelaskan pada Ayah. Aku yakin, Ayah akan mengerti,” ujar Ganggala lembut.
“Percuma, Kakang. Aku telah gagal. Sebaiknya kau kembali saja dan jangan mengingatku lagi,” tegas Rara Anting dengan suara lembut dan pelan.
“Tapi, itu bukan keinginanku kalau Mintarsih berada di sana. Ayahku yang menginginkan begitu, Anting.”
“Dan aku hampir menghancurkan padepokan ayahmu, Kakang. Lupakan saja aku. Lupakan cinta yang sempat bersemi di antara kita! Aku bukan gadis yang cocok untukmu. Aku sekarang sudah menjadi musuhmu! Musuh besar seluruh keluargamu! Dan aku tidak akan berhenti mencari cara untuk membunuh Mintarsih dan semua keturunan Jara Botang. Tapi aku janji, tidak akan mengusik keluargamu lagi. Aku janji, Kakang,” jelas Rara Anting.
“Aku bisa memahami apa yang kau lakukan, Anting. Aku juga menyesali kejadian ini.”
“Kau menyesali, tapi tidak melakukan tindakan apa-apa,” agak sinis nada suara Rara Anting.
“Mana mungkin aku mengambil tindakan terhadap Paman Jara Botang....” “Meskipun dia sudah membunuh kakakku?”
“Anting, bukan Paman Jara Botang yang membunuh kakakmu!”
“Sama saja! Laki-laki hidung belang seperti dia, sudah sepatutnya mati. Dan seluruh keturunannya juga harus mampus! Aku sudah bersumpah di depan pusara kakakku untuk membalas sakit hatinya. Jara Botang telah menghancurkan hidup dan harapannya!”
Ganggala terdiam. Dia memang tahu peristiwa itu, ketika pamannya Jara Botang mengadakan pesta panen. Ayah Mintarsih itu mabuk berat waktu itu, sehingga tidak sadar telah menodai kakak Rara Anting. Suatu aib yang sangat besar. Paman Jara Botang ingin mempertang-gungjawabkan perbuatannya, tapi kakak Rara Anting sudah mengambil keputusan sendiri. Mati bunuh diri! Ganggala tidak tahu kalau Rara Anting menyimpan dendam, dan beranggapan semua itu karena kesalahan Jara Botang.
“Aku pergi, Kakang. Aku akan kembali untuk membunuh Mintarsih, dan bersumpah akan membuat Mintarsih merasakan seperti yang dialami kakakku!”
Setelah berkata demikian, Rara Anting langsung membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan Ganggala.
“Anting...!” seru Ganggala memanggil. Tapi Rara Anting terus berlari cepat. Sedangkan Ganggala hanya berdiri saja memandangi kepergian gadis yang pernah dicintainya. Mereka memadu kasih, dan berkeinginan untuk melebur semua permusuhan yang terjadi antara keluarga mereka dengan ikatan tali perkawinan. Tapi semuanya telah dirusak oleh perbuatan Jara Botang yang menodai kakak Rara Anting, hingga gadis itu mengambil keputusan nekad.
“Anting, tunggu...!” teriak Ganggala.
Pemuda itu cepat berlari mengejar Rara Anting yang sudah jauh meninggalkannya. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Ganggala berhasil memperpendek jarak, dan terus mengejar sambil memanggil-manggil gadis itu. Tapi Rara Anting tidak lagi peduli, dan terus mempercepat larinya.
“Anting! Kita tidak boleh berpisah hanya karena persoalan begini...!” teriak Ganggala.
“Lupakan aku, Kakang!” balas Rara Anting tanpa menghentikan larinya.
“Tidak! Sampai kapan pun aku tetap akan mengejarmu! Aku tidak peduli semua ini! Aku mencintaimu, Anting...!”
Mendadak Rara Anting berhenti berlari, dan cepat memutar tubuhnya berbalik. Tangan kanannya berkelebat cepat bagai kilat. Seketika secercah cahaya merah meluncur deras ke arah Ganggala.
“Anting...!” Ganggala tersentak kaget.
Buru-buru pemuda itu melentingkan tubuhnya menghindari terjangan benda kecil berbentuk segitiga yang dilepaskan Rara Anting. Manis sekali gerakan Ganggala menghindari serangan itu. Tapi hatinya menjadi terkejut karena benda merah kecil itu mampu menghancurkan sebuah pohon yang berada di belakangnya.
“Anting...,” tertahan suara Ganggala.
“Dengar, Kakang. Aku tidak akan berkedip membunuhmu jika kau tetap menghalangiku. Sudah cukup banyak aku berkorban. Ayahku sudah tewas karena mencoba menghalangi keinginanku. Dan aku tidak segan-segan membunuhmu, Kakang!” dingin nada suara Rara Anting mengancam.
Tercekat tenggorokan Ganggala mendengar ancaman itu. Kini baru nyata kalau Rara Anting yang sekarang bukanlah Rara Anting yang dikenalnya dulu. Meskipun mereka sudah lama memadu kasih, tapi masing-masing keluarga tidak ada yang tahu. Bahkan Jara Botang dan Citrasoma sendiri tidak tahu siapa itu Rara Anting, karena sejak kecil tinggal bersama bibinya, yaitu Dewi Maut.
“Kakang, pulanglah sebelum pikiranku berubah. Katakan pada Rangga, satu saat nanti aku akan menantangnya bertarung!”
Kembali Rara Anting berbalik dan melesat cepat. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan Ganggala. Beberapa saat lamanya Ganggala masih berdiri terpaku memandangi kepergian bekas kekasihnya. Sungguh suatu perpisahan yang tidak mengenakkan.
Dengan hati pedih dan lesu, Ganggala membalikkan tubuhnya dan melangkah kembali menuju Padepokan Arum. Langkahnya gontai dan kepalanya tertunduk. Bagaimanapun juga Rara Anting sekarang ini, cintanya tetap pada gadis itu. Bahkan penderitaan Rara Anting membuat cintanya semakin besar berkobar. Ganggala bertekad dalam hati. Apa pun yang terjadi, gadis itu harus didapatkan! Tapi..., apakah kedua orang tuanya akan menyetujui! Apakah ini tidak akan membuat permasalahan baru?
Ganggala menggeleng-gelengkan kepalanya. Dihembuskan napas panjang dan berat. Perlahan-lahan kepala pemuda itu terangkat, dan langsung tertegun begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri menghadang di depannya. Ganggala menghentikan langkahnya.
“Aku mendengar semua pembicaraan kalian. Sebaiknya kau berpikir lagi, Ganggala,” Ujar Rangga memberi nasihat.
“Dia menantangmu,” kata Ganggala pelan.
“Ya, aku tahu. Tapi aku berjanji untuk tidak menanggapi tantangannya.”
Ganggala tidak peduli, lalu kembali melangkah. Rangga tidak mencegah pemuda itu yang berjalan melewatinya. Hanya dipandangi saja ayunan kaki Ganggala yang pelan dan tak bergairah lagi. Rangga hanya menarik napas panjang dan berat. Memang bisa dirasakannya, apa yang kini dirasakan Ganggala.
“Hhh..., semoga saja kau mendapatkan gadis yang cocok, Ganggala,” desah Rangga dalam hati.
SELESAI