Kitab Tapak Geni

Pendekar Rajawali Sakti Episode Kitab Tapak Geni
Sonny Ogawa
Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Pertama Cintamedia, Jakarta
Episode
KITAB TAPAK GENI


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

MUSIM menuai hampir tiba. Sawah menguning terhampar sedap dipandang mata. Anak-anak bertelanjang dada berlarian sambil menjerit-jerit mengusir burung-burung pengganggu padi mereka. Kegembiraan yang seharusnya datang manakala musim menuai padi hampir tiba. Seharusnya dunia yang ceria tergambar jelas saat itu. Tapi hanya manusia-manusia serakah dan tamak saja yang membuat dunia ini jadi murung bersimbah darah dan air mata.

Keceriaan anak-anak itu tidak dapat dirasakan oleh orang tua mereka. Para petani yang lelah sehabis mengolah sawah ladang, hanya bisa duduk lesu di dangau. Wajah mereka murung dengan tatapan sayu, memandangi sawah yang terhampar luas. Suasana yang amat kontras ini tidak luput dari perhatian seorang pemuda yang sejak tadi duduk di atas batu.

Pemuda itu berpakaian rompi dengan pedang tersampir di punggung. Matanya memandang ke arah anak-anak yang ceria, lalu beralih ke arah petani yang duduk di dangau-dangau dengan wajah lesu tanpa gairah. Beberapa di antaranya duduk berkelompok membicarakan sesuatu. Pemuda yang masih duduk di batu besar itu, ternyata adalah Rangga. Rambutnya yang panjang seperti berkibar-kibar dipermainkan angin. Perhatiannya terus ke arah dangau-dangau, sementara air sungai yang mengalir di bawahnya terus saja beriak seperti tak peduli dengan suasana sekitarnya.

"Seharusnya mereka gembira karena sebentar lagi akan memetik hasil jerih payah mereka. Tapi, mengapa mereka seperti tidak gembira?" Rangga bergumam lirih.

Mata Pendekar Rajawali Sakti kini beralih memandangi wanita-wanita yang tengah mencuci di sungai, tidak jauh dari tempatnya. Wajah mereka juga tidak menggambarkan kegembiraan sama sekali. Tidak ada canda tawa sebagaimana layaknya. Bibir Rangga tersenyum ketika mendengar dua gadis berceloteh sambil melirik ke arahnya.

"Ratih, tampan juga ya?"

"Siapa?" tanya wanita muda berambut panjang yang ternyata bernama Ratih.

"Itu tuh, yang duduk di batu."

Ratih menoleh ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat yang sama, Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti tengah menatap ke arahnya. Sesaat mata mereka bertemu. Cepat-cepat Ratih memalingkan wajahnya.

"Lho, kok wajahmu jadi merah?" "Sudah, ah. Tidak usah bicara itu lagi, Komala."

"Naksir ya?" desak Komala menggoda.

Ratih hanya tersenyum tersipu. Dari sudut matanya, dilirik Rangga yang masih tetap memandangnya. Mendadak seluruh darahnya seperti membeku. Jantungnya berdebar lebih keras dari semula.

"Ah, dia memang tampan seperti seorang pangeran. Tapi..., apa iya sih, seorang pangeran mau pakai baju seperti itu?" Ratih berbisik dalam hati. Beberapa kali tatapannya tertuju pada Rangga lewat sudut ekor matanya.

Tanpa disadari, rupanya Komala memperhatikan sejak tadi. Dia hanya tersenyum melihat Ratih yang salah tingkah. Ratih memang gadis paling cantik di antara gadis-gadis lain di Desa Ganggang ini. Apalagi dia anak seorang kepala desa. Jelasnya, Ratih bagaikan sekuntum bunga mekar di antara bunga-bunga yang telah layu.

"Pulang, yuk. Lihatlah, matahari telah tinggi," ajak Ratih.

Komala mengangkat bahunya. Kemudian dijinjing keranjang cuciannya, dan beranjak mengikuti Ratih. Matanya sempat melirik ke arah Rangga duduk. Namun hatinya mendadak terkesiap ketika matanya tidak lagi melihat Rangga di sana. Komala segera bergegas menyusul Ratih yang sudah berada di tepi sungai.

"Ratih..., Ratih, tunggu!" panggil Komala.

"Ada apa, sih?" tanya Ratih seraya berhenti melangkah.

"Dia tidak ada lagi."

"Siapa?" Ratih pura-pura. Tapi matanya segera menatap ke arah tempat duduk Rangga tadi.

"Ah!" Dua gadis itu jadi melongo karena Rangga seperti lenyap ditelan sungai. Mata Ratih beredar berkeliling, tapi tidak ada tanda-tanda sama sekali kalau Rangga bersembunyi. Setelah yakin tidak ada, segera dia berbalik dan melangkah pergi. Komala mengikutinya dari belakang dengan langkah dipercepat.

Langkah mereka telah sampai di sebuah jalan desa yang menuju ke rumah. Mereka benar-benar mempercepat langkahnya bagai habis melihat setan saja. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Semuanya bisu. Tapi tiba-tiba saja langkah mereka berhenti ketika mencapai tikungan jalan. Di sana, Rangga tengah berdiri membelakangi.

"Ratih..." Komala mengkeret ketakutan berlindung di belakang Ratih. Ratih memandang punggung Rangga yang berdiri membelakanginya. Pelan-pelan pemuda ini berbalik. Rangga kelihatannya sedikit terkejut ketika melihat ada dua gadis berdiri di belakangnya.

"Oh, maaf. Apakah aku menghalangi jalan kalian?" lembut dan sopan suara Rangga terdengar.

"Kalau merasa, silakan minggir," agak ketus suara Ratih menyahut.

Rangga hanya tersenyum saja. Dia melangkah mendekat dan berhenti sekitar tiga langkah di depan Ratih. Dalam hati, dikagumi juga kecantikan gadis ini Ratih sedikit risih dipandangi seperti itu. Dibenahi kainnya yang menutupi bagian bahu dan dadanya. Namun kain itu tidak bisa menyembunyikan kulit putihnya di bagian leher dan wajahnya.

"Aku baru datang ke desa ini. Kalau adik-adik tidak keberatan, boleh minta tolong?" masih terdengar lembut suara Rangga.

Ratih menoleh ke arah Komala.

"Apa nama desa ini?" tanya Rangga.

"Desa Ganggang," sahut Komala yang berangsur-angsur hilang rasa takutnya setelah mendengar suara Rangga yang lembut dan sopan.

"Maaf, kami harus segera pulang," celetuk Ratih. Buru-buru ditarik tangan Komala, dan melangkah pergi. Rangga tidak mencegah, hanya dipandangi saja dua gadis itu yang telah berlalu. Matanya menatap lekat pada punggung Ratih yang sedikit terbuka.

"Hm..." Rangga menggumam tidak jelas.

Senja baru saja merayap turun ketika sepuluh ekor kuda berderap kencang membelah jalan yang berdebu. Kuda paling depan ditunggangi oleh seorang laki-laki dengan wajah penuh berewok dengan luka gores memanjang di pipi kanan. Pakaian yang dikenakan sangat indah dan mewah. Di belakangnya, sembilan penunggang kuda berpakaian seragam mengikutinya.

Beberapa penduduk yang berada di jalan segera menepi seraya membungkuk ketika kuda-kuda itu lewat di depannya. Mereka terus berpacu cepat meninggalkan debu-debu yang beterbangan di belakangnya. Jelas kalau mereka tengah menuju ke rumah Kepala Desa Ganggang. Rumah itu berada di tengah-tengah desa, dan yang terbesar di antara rumah-rumah lainnya.

Laki-laki codet berewokan yang berada paling depan, segera melompat turun dari kudanya ketika tiba di depan rumah Kepala Desa Ganggang. Lompatannya cukup indah dan ringan, menandakan ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi.

"Ki Jagabaya...!" laki-laki codet itu berteriak menggelegar.

Bergegas seorang tua berambut dan berkumis putih keluar dari rumah besar itu bersamaan dengan turunnya kesembilan orang dari kuda masing-masing. Orang tua itu terbungkuk-bungkuk menghampiri para penunggang kuda yang telah berdiri angkuh bertolak pinggang.

"Oh, Tuan Parang Kati. Hamba tidak mengira tuan akan datang begini cepat," parau suara laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Jagabaya. Dialah Kepala Desa Ganggang.

Laki-laki codet berewokan yang tinggi lagi angker itu hanya mendengus saja. Langkahnya berat mendekati Ki Jagabaya. Matanya lantas melirik ke sekitarnya. Segera saja beberapa penduduk menutup pintu dan jendela rumah mereka. Dalam sekejap saja keadaan desa menjadi sepi lengang.

"Baginda Prabu Salya memerintahkan agar desa ini segera membayar upeti sekarang juga!" bentak laki-laki codet berewokan yang bernama Parang Kati ini.

"Ah...," Ki Jagabaya ternganga mendengarnya. "Mana mungkin, Tuan. Mereka belum lagi panen, sedangkan...."

"Aku tidak peduli! Baginda Prabu Salya menghendaki sekarang juga kau mengumpulkan upeti!" Parang Kati memotong cepat dengan suaranya yang berat menggelegar.

"Tapi...."

"Mau coba-coba membangkang heh?!" bentak Parang Kati. "Hih!"

Tanpa memandang siapa yang dihadapinya, Parang Kati melayangkan tangannya.

Plak!

Ki Jagabaya memekik tertahan. Tubuh tua yang kurus renta itu sempoyongan, langsung ambruk dengan darah menetes dari sudut bibirnya.

Baru saja Ki Jagabaya akan bangkit, Parang Kati telah menendangnya. Kembali tubuh tua renta itu terjungkal terguling-guling sejauh dua batang tombak. Betapa kerasnya tendangan Parang Kati, membuat Ki Jagabaya menjadi sesak napas. Matanya berkunang-kunang dengan kepala pening seperti berputar.

"Ayah...!" tiba-tiba terdengar suara jeritan keras.

Ratih berlari kencang menghambur ke arah ayahnya yang menggeletak di tanah. Darah semakin deras mengucur dari sudut bibirnya. Gadis itu segera membantu ayahnya duduk. Dengan ujung baju, disekanya darah dari mulut ayahnya. "Kejam!" Ratih mendengus geram. Matanya tajam menatap Parang Kati.

Melihat ada gadis cantik di depannya, Parang Kati tertegun dengan jakun turun naik. Lidahnya menjulur menjilati bibirnya sendiri yang tebal.

"He he he... ternyata si tua bangka menyimpan mutiara yang mempesona," Parang Kati terkekeh seraya menelan ludahnya.

"Huh! Perampok! Kenapa tidak kau bunuh saja kami sekalian?" geram Ratih. Matanya semakin lebar membelalak tajam.

"Ah, rupanya kelinci cantik ini bisa galak juga," goda Parang Kati sambil terus terkekeh.

Sembilan orang yang berdiri di belakang Parang Kati pun ikut tertawa-tawa melihat pemandangan yang justru tidak lucu itu. Mata mereka jelalatan penuh nafsu memandangi wajah cantik Ratih yang memasang wajah garang. Di mata mereka semua, wajah garang Ratih malah semakin cantik menggairahkan. Ditertawakan semacam itu, Ratih semakin mengkelap marah.

"Ratih, jangan...," cegah Ki Jagabaya ketika putrinya bangkit.

"Huh! Mereka harus diberi pelajaran, Ayah!" dengus Ratih tidak dapat mengendalikan amarahnya.

"Ratih...!" Gadis itu tidak lagi mempedulikan panggilan ayahnya. Dia telah melangkah mendekati Parang Kati. Tangannya meraih bagian bawah kain dan disingsingkannya. Parang Kati dan kesembilan orang lainnya sempat menahan napas ketika betis putih indah tersingkap. Dan betapa terbelalaknya mata mereka ketika melihat celana pangsi hitam melekat membungkus kaki yang indah itu.

Ratih membelitkan kainnya di pinggang. Selanjutnya tangannya bergerak ke atas menggulung rambutnya yang panjang. Pandangannya tajam kepada Parang Kati yang telah menganiaya ayahnya. Darah gadis cantik ini mendidih bergolak, sehingga tidak peduli lagi siapa yang dihadapinya. Padahal mereka adalah para punggawa Kerajaan Parakan.

Sret, cring!

Tiba-tiba saja Ratih mengeluarkan dua bilah pisau belati dari balik lipatan bajunya. Dua berkas sinar keperakan memantul dari mata belati yang terjilat cahaya matahari senja. Parang Kati terlonjak mundur dua langkah. Bukannya takut, tapi kaget juga melihat gadis cantik di depannya telah siap mengancam dengan dua bilah belati.

"Ratih, jangan. Hentikan, Nak," Ki Jagabaya tertatih-tatih mencoba menenangkan luapan emosi putrinya.

"Tidak, Ayah. Mereka bukan lagi manusia, tapi binatang! Mereka tidak pantas lagi hidup di dunia!" sahut Ratih tanpa menoleh.

Ki Jagabaya tahu benar akan sifat anaknya yang keras hati itu. Dia tidak mungkin lagi menghalanginya. Laki-laki tua renta itu hanya bisa berdiri diliputi perasaan cemas. Rasa cemas itu beralasan karena Parang Kati adalah orang kepercayaan Baginda Prabu Salya. Tentunya tingkat kepandaiannya perlu diperhitungkan pula.

Meskipun Ratih hanya seorang gadis desa, tapi sejak berusia lima tahun telah dididik berbagai ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian oleh pamannya. Memang kebetulan sekali, pamannya adalah guru besar padepokan di Gunung Lawu.

"Tinggalkan desa ini, atau kalian semua mati seperti binatang!" ancam Ratih tidak main-main.

"He he he...," Parang Kati hanya terkekeh. Sikapnya menganggap enteng gadis cantik ini

"Phuih!" Ratih menyemburkan ludahnya penuh kebencian.

Semburan ludah yang disertai pengerahan tenaga dalam, meluncur deras menghantam wajah Parang Kati. Sangat keras dan pedas, sampai-sampai Parang Kati terdongak. Seketika wajahnya memerah menahan geram.

"Setan! Kurobek mulutmu!" geram Parang Kati.

Dengan ujung baju, diseka ludah yang mampir di wajahnya. Dengan suatu dengusan berang, ditarik ikat pinggangnya yang ternyata sebuah pecut. Seluruh batang pecut sepanjang satu depa itu, dipenuhi duri-duri halus yang tajam. Pada ujungnya, terdapat rambut-rambut halus yang terkuncir bagai buntut kuda.

Ctar!

Kehebatan cambuk saat menggeletar membelah udara, dapat dirasakan Ratih. Suaranya bagai guntur di siang bolong, tapi menimbulkan hawa dingin menusuk tulang. Gadis itu segera menggerakkan kedua tangannya menyilang di depan dada. Seketika dikerahkannya hawa murni untuk melawan hawa dingin yang kian menusuk.

"Hhh, hanya mainan domba kau pamerkan di sini," ejek Ratih memanasi.

"Wewe Gombel! Rasakan cambuk saktiku!" dengus Parang Kati sengit.

Sehabis berkata demikian, Parang Kati berteriak nyaring sambil mengebutkan cambuk saktinya. Suara yang menggelegar dan memekakkan telinga menggema beberapa kali. Ujung pecut yang mirip ekor kuda seketika menegang kaku.

Parang Kati sangat lihai memainkan cambuk itu. Seperti memiliki mata saja, ujung cambuk itu bergerak mengjncar bagian-bagian tubuh yang mematikan. Persis ular yang tengah mengincar mangsanya. Namun sampai lewat tiga jurus, belum seujung rambut pun cambuk itu menyentuh kulit gadis itu. Hal ini membuat Parang Kati gusar.

"Setan! Jangan menyesal kalau wajahmu yang cantik kurusak!" geram Parang Kati.

"Lakukanlah jika kau mampu, kebo dungu!" balas Ratih mengejek.

Makin panas telinga Parang Kati. Segera dikeluarkannya jurus 'Cambuk Maut', suatu jurus yang cukup berbahaya. Dari ujung cambuk bersemburan bunga-bunga api yang meletup-letup menyambar-nyambar ke arah Ratih.

Tapi kelihatannya gadis itu tenang saja menghindari setiap serangan yang mengincar nyawanya. Dua bilah pisau belati di tangannya berkelebatan mengacaukan setiap arah ujung cambuk lawan. Dan pada satu kesempatan, Ratih sengaja membiarkan ujung cambuk itu menyabet ke arah dadanya. Trak!

Tanpa terduga ujung cambuk yang hampir menyabet dada, terjepit oleh dua bilah belatinya. Rupanya dengan cepat Ratih telah lebih dulu mengatupkan kedua belatinya. Parang Kati belingsatan mencoba menarik senjata andalan yang terjepit pada ujungnya itu. Bahkan kini jepitan itu semakin kuat dan rapat.

"Uh!" Parang Kati mengemposkan tenaga dalamnya sambil menarik cambuk andalannya.

Ratih yang tengah mengerahkan jurus 'Capit Baja' tidak memberi kesempatan lagi bagi lawannya untuk melepaskan senjata dari jepitan dua belati.

"Ya...!"

Tiba-tiba saja gadis itu menjerit keras seraya melayangkan tubuhnya cepat, dengan kaki lurus ke depan. Begitu cepat gerakan Ratih, membuat Parang Kati terkesiap. Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, karena jarak mereka memang hanya satu depa saja.

Parang Kati terpaksa melepaskan pegangan tangan kanannya pada cambuk, lalu dengan cepat menangkis kaki Ratih yang melayang mengincar kepala. Tapi rupanya, tendangan menggeledek tadi hanya tipuan saja. Saat tangan kanan Parang Kati terangkat, mendadak Ratih menyentak ujung cambuk yang masih terjepit belatinya itu.

"Akh!" Parang Kati memekik tertahan.

Tangan kiri yang telah berfungsi memegang cambuknya, tersentak bagai ditarik seribu ekor gajah. Tubuh Parang Kati limbung seketika ke depan. Kesempatan ini digunakan Ratih dengan cepat. Dilepaskan jepitan dua belatinya, lalu tangan kanannya bergerak cepat bagai kilat.

"Ikh!"

Cras!

Parang Kati tersentak kaget. Dia sudah berusaha menjatuhkan diri, namun ujung belati Ratih telah lebih cepat merobek bahu kanannya. Darah pun mengalir dari luka yang cukup panjang. Parang Kati yang masih berguling-gulingan di tanah, segera mencelat kembali berdiri dengan kokoh.

"Setan!" dengus Parang Kati geram. Baru kali ini Parang Kati dipecundangi seorang gadis muda yang cantik lagi menggiurkan. Wajah laki-laki bercodet itu merah padam. Matanya membelalak lebar, merah menyala bagai hendak melahap tubuh Ratih yang berdiri penuh senyum ejekan.

"Serang! Cincang gadis edan itu!" perintah Parang Kati. Seketika itu juga sembilan orang yang sejak tadi menonton saja, bergerak mengepung Ratih. Di tangan mereka masing-masing telah tergenggam sebilah pedang panjang berkilatan. Sementara itu Parang Kati membebat lukanya dengan sobekan bajunya sendiri. Mulutnya masih mendesis-desis menahan marah. Sungguh tak disangkanya kalau gadis yang dianggap remeh, ternyata mampu membuat malu di depan anak buahnya sendiri.

Trang, trang, trang!

Para prajurit Kerajaan Parakan telah mulai menyerang Ratih. Peluh mulai membasahi wajah cantik yang kemerahan. Dia memang harus menguras tenaga menghadapi sembilan prajurit pilihan itu. Ilmu pedang mereka memang boleh juga. Ilmu silat mereka pun rata-rata lumayan. Tidak heran kalau Ratih agak kewalahan juga menghadapinya.

Beberapa kali pedang para prajurit itu hampir merobek tubuhnya. Namun gadis jebolan Padepokan Gunung Lawu ini masih mampu menghindari setiap serangan yang mengepung rapat. Bahkan tidak jarang membalas dengan serangan yang mengejutkan. Dalam waktu yang tak lama, pertarungan yang tidak seimbang itu telah berjalan lebih dari lima jurus.

"Uh, tidak kusangka. Ternyata Jagabaya punya anak cantik yang begitu tangguh," bisik hati Parang Kati.

Namun kali ini Parang Kati dapat tersenyum kembali. Ternyata setelah lewat sepuluh jurus, Ratih tampak mulai kelelahan. Tenaganya telah terkuras ketika melawan Parang Kati tadi. Dan kini dia harus melawan sembilan prajurit. Lebih-lebih permainan pedang mereka cukup lihai dan berbahaya.

Sedikit demi sedikit Ratih mulai terdesak. Keringat semakin deras mengalir membasahi tubuhnya. Dengus napas gadis ini mulai terdengar keras dan memburu. Gerakan-gerakannya juga tidak selincah sebelumnya. Namun demikian pukulan dan tendangannya masih keras dan berbahaya. Sisa-sisa tenaganya terpaksa harus semakin dikuras lagi.

"Tidak tahu malu, mengeroyok seorang gadis!"

Tiba-tiba terdengar suara keras menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru. Seketika itu juga pertarungan terhenti. Sembilan prajurit itu berlompatan mundur dua langkah.

"Tikus busuk! Siapa kau?!" teriak Parang Kati.

"Memalukan!" terdengar lagi suara keras menggema.

Parang Kati yakin kalau suara itu datang dari orang yang berada di satu tempat. Tapi suaranya datang dari semua penjuru angin. Pertanda pemilik suara itu seorang sakti yang memiliki tenaga dalam cukup sempurna. Siapakah orang yang mempunyai suara menggema itu?

********************

DUA

Mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat ke arah para prajurit. Begitu cepat bayangan itu, membuat para prajurit hanya dapat tertegun. Hanya sekedipan mata saja, tahu-tahu sembilan orang prajurit itu sudah tidak lagi memegang senjata.

Crab, crab....

Pedang-pedang itu tiba-tiba melayang dan menancap berjajar rapi di tanah. Parang Kati benar-benar terkesiap bingung. Matanya segera mendapatkan seorang laki-laki muda mengenakan baju rompi. Gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Dia berdiri tegak di atas dua batang pedang yang menancap di tanah.

"Oh...," Ratih mendesah ketika mengenali pemuda itu. Memang, pemuda itu ternyata adalah Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. Ilmu peringan tubuhnya tidak disangsikan lagi sehingga dapat berdiri tegak di atas pedang yang menancap di tanah tanpa sedikit pun goyah.

Tanpa sadar Ratih tersenyum manis seorang diri. Kakinya bergerak mendekati ayahnya yang sejak tadi berdiri saja di depan tangga rumahnya. Di samping ayahnya Ratih berdiri, sambil matanya tidak lepas memandang Rangga. Dalam hati, diakui kehebatan ilmu meringankan tubuh pendekar muda ini.

"Jika kalian masih sayang dengan nyawa, tinggalkan desa ini segera!" tegas suara Rangga terdengar.

Parang Kati yang terkesiap dengan kehebatan Rangga, menjadi mengkeret nyalinya. Dengan cepat dia melompat ke punggung kudanya, diikuti sembilan orang prajurit Kerajaan Parakan. Tanpa berkata apa-apa lagi, sepuluh orang itu menggebah kuda mereka meninggalkan halaman rumah kepala desa.

Rangga melenting indah dari pedang yang masih tertancap itu, dan tepat berdiri di depan Ki Jagabaya dan putrinya. Pendekar Rajawali Sakti sedikit membungkukkan badannya memberi hormat, lalu berbalik hendak berlalu.

"Tunggu!" cegah Ratih buru-buru.

Rangga membalikkan tubuhnya lagi.

"Siapa kau? Kenapa ikut campur urusanku?" tanya Ratih beruntun.

"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri. "Maaf, kalau kau tersinggung terhadap kelancanganku. Aku hanya tidak dapat melihat kekejaman dan kecurangan. Apalagi pengeroyokan terhadap seorang gadis."

"Kau kira aku suka menerima bantuanmu?" Ratih tersenyum sinis.

Rangga mengernyitkan alisnya. Tidak disangka, gadis cantik yang bertampang lemah lembut dapat juga berkata ketus. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti beralih pada laki-laki tua yang berdiri agak ke belakang dari gadis cantik ini. Dalam sekali pandang saja, Rangga telah dapat menilai kalau laki-laki tua itu tidak kosong.

"Hm, rupanya dia tadi bersikap mengalah, mungkin ada pertimbangan lain," bisik hati Pendekar Rajawali Sakti.

Sedikit Rangga menganggukkan kepala, lalu berbalik lagi. Namun baru saja melangkah tiga tindak, laki-laki tua Kepala Desa Ganggang ini berseru mencegah.

"Hm, apa lagi?" agak segan juga Rangga membalikkan tubuhnya.

"Maafkan putriku, anak muda. Mata tuaku mungkin masih belum dapat ditipu. Kalau tidak salah lihat, kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Benar?" kata Ki Jagabaya seraya maju dua langkah.

Lagi-lagi Rangga mengernyitkan alisnya. Dia agak terkejut dengan tebakan Ki Jagabaya yang tepat.

"Aku dapat mengenalimu dari gagang pedang yang kau sandang di punggung. Dan lebih yakin lagi, setelah kau mengeluarkan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega tadi," ujar Ki Jagabaya membuyarkan keheranan Rangga.

"Bagaimana bisa tahu kalau...," belum habis Rangga berkata, Ki Jagabaya menyelak.

"Nama besarmu yang membuat mata tuaku terbuka."

Sementara Ratih yang mendengar percakapan itu, tidak berkedip menatap pemuda tampan di depannya. Dia memang sering mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau masih muda dan tampan. Pantas dalam sekali gebrak saja, dengan mudah merebut pedang para prajurit yang berjumlah sembilan orang itu.

Wajah gadis itu seketika menyemburat merah dadu ketika tanpa sengaja matanya tertumbuk dengan mata Rangga. Cepat-cepat ditundukkan kepalanya. Entah kenapa, tiba-tiba saja Ratih merasakan detak jantungnya semakin keras. Dia benar-benar tidak sanggup membalas tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kalau kau tidak keberatan, singgahlah di gubukku barang sejenak," ajak Ki Jagabaya merendah.

Rangga tidak segera menjawab. Matanya malah menatap Ratih kembali. Puas menatap Ratih, segera dia memandang ke sekelilingnya. Tampak beberapa jendela rumah penduduk mulai terbuka. Dan kepala-kepala yang semula bersembunyi, kini telah bermunculan dari balik jendela. Seolah-olah ingin melihat wajah pendekar muda yang mampu mengusir para prajurit Kerajaan Parakan yang terkenal bengis.

Ratih mendekati ayahnya, kemudian berbisik-bisik. Kepala Ki Jagabaya terangguk-angguk, kemudian bibirnya yang tertutup kumis putih tebal tersenyum-senyum. Rangga mengernyitkan alisnya. Menyesal dia tidak mengerahkan ilmu Pembilah Suara sehingga tidak dapat mendengar bisikan gadis itu.

Selesai berbisik pada ayahnya, gadis itu segera berbalik masuk ke dalam rumah. Rangga hanya memandangi tanpa dapat mengerti maksud bisik-bisik tadi. Ki Jagabaya menghampiri Pendekar Rajawali Sakti setelah tubuh Ratih lenyap ditelan rumah yang paling besar di Desa Ganggang ini.

"Putriku akan menyiapkan makanan. Katanya, dia ingin minta maaf atas keketusannya di sini dan di sungai tadi," kata Ki Jagabaya pelan dan lembut.

Rangga tersenyum geli, Pikirnya, gadis ini manja juga! Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangkat pundaknya sambil melangkah mengikuti Ki Jagabaya. Beberapa kali kepala pendekar ini menggeleng memikirkan sikap Ratih yang sulit diterka kemauannya.

"Ah..." Rangga mendesah panjang.

********************

Sepuluh ekor kuda berpacu cepat melintasi jalan berdebu. Jika dilihat dari pakaian seragam, jelas mereka adalah para prajurit Kerajaan Parakan yang dipimpin Punggawa Parang Kati. Dengan hati mangkel mereka memacu kuda bagai kesetanan. Hanya sekali gebrak saja pendekar muda itu mampu mengalahkan mereka.

Lebih-lebih Parang Kati. Dia begitu dendam dapat dipecundangi seorang gadis cantik yang seumur dengan anaknya. Kalau saja tidak muncul pendekar muda itu, mungkin telah nekad berhadapan sampai mati dengan gadis cantik itu. Baginya lebih baik mati daripada harus jadi pecundang. Saat mereka memacu kuda demikian cepat, mendadak....

"Awas...!" teriak Parang Kati.

Seketika Parang Kati melompat dari punggung kudanya. Sebuah pohon besar tiba-tiba saja tumbang. Tidak ampun lagi, kuda Parang Kati dan beberapa prajurit yang kurang sigap melompat, tertimpa pohon itu. Lima ekor kuda dan empat orang prajurit langsung mati seketika. Lima orang prajurit yang selamat, segera turun dari kuda masing-masing. Sementara Parang Kati telah berdiri tegak dengan mata jelalatan mengawasi sekitarnya.

Sing...!

Tiba-tiba saja beberapa benda kecil berkilat keperakan meluruk deras ke arah Parang Kati dan lima prajurit.

Sret, trang!

Parang Kati dengan sigap menarik sebilah senjata trisula berwarna kuning keemasan. Beberapa benda keperakan itu berhasil dipatahkan di tengah jalan. Sedangkan lima prajurit itu berjumpalitan menghindari serangan gelap itu. Mereka memang para prajurit yang cukup andal. Dengan mudah senjata-senjata rahasia itu dapat dihindarkan.

Malahan dua di antara senjata itu berhasil ditangkap Parang Kati. Sebentar diamati benda yang kini ada di tangannya. Senjata rahasia yang berbentuk bintang berujung enam. Di tengah-tengahnya terukir gambar sekuntum bunga mawar.

"Dewi Selaksa Mawar," desis Parang Kati.

Desisan yang agak keras itu didengar jelas oleh lima prajurit bawahannya. Saat itu pula wajah mereka menjadi tampak pucat. Sedangkan Parang Kati cepat mengeluarkan senjata andalannya, cambuk buntut kuda. Cambuk itu telah siap dalam genggaman tangan Parang Kati.

Melihat pimpinannya mengeluarkan senjata, kelima prajurit itu mengikutinya dengan mencabut trisula. Masing-masing menggenggam dua trisula. Senjata itu memang selalu tersembunyi di balik baju, dan baru dikeluarkan jika pedang telah lepas dari tangan. Kenyataannya memang mereka tidak lagi mempunyai pedang. Kini posisi mereka dalam keadaan siap siaga dengan wajah menegang.

"Hi hi hi... tikus-tikus busuk yang besar mulut! Baru menghadapi bocah bau kencur saja, lari tunggang langgang," terdengar suara kecil nyaring.

"Dewi Selaksa Mawar, keluar! Jangan hanya umbar bacot saja seperti burung beo! Tapi nyalimu seperti cacing tanah!" teriak Parang Kati geram.

"Hi hi hi...," terdengar lagi suara mengikik. Belum hilang suara tawa itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah. Kira-kira berjarak tiga tombak di depan Parang Kati, bayangan itu berhenti berkelebat. Kini jelaslah yang ada hanya sesosok perempuan tua berambut merah bagai darah. Pakaiannya pun merah, sesuai dengan julukannya Dewi Selaksa Mawar.

"Mengapa kau hadang perjalanan kami?" tanya Parang Kati ketus.

"Karena aku ingin nyawa kalian semua!" tidak kalah dingin dan ketus suara Dewi Selaksa Mawar.

"Setan! Kami tidak punya urusan denganmu," dengus Parang Kati.

"Kalian semua anjing-anjing si tua bangka Kalasewu. Karena itu kalian semua harus mati di tanganku!"

"Siapa Kalasewu? Aku tidak kenal!"

"Hi hi hi..., kalian memang picik."

Merah padam wajah Parang Kati diejek terus menerus. Seingatnya, dia tidak pernah berurusan dengan Dewi Selaksa Mawar. Dan, siapa Kalasewu? Baru kali ini didengarnya nama itu. Dirinya adalah seorang punggawa kerajaan, jadi tidak tahu menahu dengan dunia persilatan.

Meskipun sehari-harinya Parang Kati berhadapan dengan tokoh-tokoh rimba persilatan, tapi dia selalu menjaga jarak agar tidak berurusan secara pribadi. Bukannya gentar, tapi dia merasa enggan saja jika tidak menyangkut masalah kerajaan.

"Parang Kati. Namamu sebagai punggawa telah terkenal. Tapi tak kusangka ternyata matamu buta, tidak dapat membedakan orang," kata Dewi Selaksa Mawar.

"Kata-katamu makin berbelit-belit tidak karuan," gumam Parang Kati yang tidak mengerti arah pembicaraan Dewi Selaksa Mawar.

"Huh! Dijelaskan juga percuma," dengus Dewi Selaksa Mawar. "Bersiaplah kalian untuk mati!"

Selesai berkata, Dewi Selaksa Mawar langsung mencelat. Parang Kati mengebutkan cambuknya menghadang gerakan wanita tua itu. Namun tanpa diduga sama sekali, ujung jari kaki Dewi Selaksa Mawar menekan ujung cambuk Parang Kati. Dan dengan indahnya melenting berputar di udara.

Angin kelebatan tubuhnya menimbulkan bau harum bunga mawar. Parang Kati terkejut. Dia pernah mendengar ilmu-ilmu tangguh perempuan tua ini. Bau harum mawar yang menyebar dari tubuhnya, menandakan perempuan tua itu langsung mengerahkan ilmu Mawar Berbisa. Suatu ilmu andalannya yang cukup berbahaya.

Dua kali Dewi Selaksa Mawar bersalto di udara, kemudian meluruk ke arah lima orang prajurit yang sejak tadi bersiaga. Begitu cepatnya gerakan Dewi Selaksa Mawar, membuat lima prajurit Kerajaan Parakan menjadi kelabakan. Mereka langsung menyebar mengurung tubuh perempuan tua berpakaian merah darah itu. Senjata-senjata trisula berkelebatan mengarah ke tempat sasaran. Namun kelihatannya Dewi Selaksa Mawar bukanlah tandingan mereka. Meski dengan tangan kosong saja, lima prajurit itu tidak mampu mendesak.

Wusss!

Angin kebutan pukulan Dewi Selaksa Mawar begitu hebat sekali. Ketika bau harum mawar menyebar, bergegas lima prajurit melompat mundur dua langkah. Tetapi angin kebutan itu masih juga membuat mereka limbung sedikit.

"Modar!" teriak Dewi Selaksa Mawar.

Sambil berteriak demikian, tangan perempuan tua itu bergerak menyambar dua orang lawannya. Sangat cepat sambaran tangan Dewi Selaksa Mawar, sehingga dua prajurit itu tak mampu mengelak lagi.

Plak! Plak!

Dua prajurit terhantam pukulan tangan yang disertai ilmu 'Mawar Berbisa'. Dua orang yang terkena sasaran itu terjengkang ke belakang sejauh dua batang tombak. Sebentar mereka menggeliat, lalu tewas tanpa menimbulkan suara lagi. Tampak di dada mereka tergambar bunga mawar berwarna merah menyala. Dari mulut dan hidung, mengucur darah kehitaman.

"Iblis...!" geram Parang Kati menyaksikan ke-kejaman perempuan tua itu.

"Hi hi hi.., kalian sebentar lagi pasti menyusul ke neraka," Dewi Selaksa Mawar mengikik.

"Bedebah! Rasakan cambuk saktiku!" geram Parang Kati.

"Hi hi hi..., kau memang pantas jadi kusir."

"Yeaaah...!" Parang Kati melompat ganas sambil mengerahkan jurus 'Ekor Naga Weling'. Ujung cambuknya seketika menegang bagai ribuan jarum yang siap terbenam di tubuh lawan. Cekatan sekali tangannya mengebut-ngebutkan cambuk itu mengincar bagian tubuh Dewi Selaksa Mawar. Ke mana saja perempuan serba merah itu menghindar, ujung cambuk itu selalu memburu mengincar maut.

Lima jurus berlalu dengan cepat. Sepertinya Dewi Selaksa Mawar masih tangguh bagi Parang Kati. Beberapa kali ujung cambuk hampir menyentuh sasaran, tapi dengan manis dapat dihindari. Bahkan tidak jarang Dewi Selaksa Mawar memberikan serangan balasan yang cukup dahsyat.

"Kalian jangan hanya bengong! Serang iblis perempuan laknat ini!" teriak Parang Kati sengit melihat prajuritnya hanya mematung terkesiap menyaksikan pertarungan itu.

Bagai tersentak dari mimpi, tiga orang prajurit yang tersisa itu segera melompat mengeroyok Dewi Selaksa Mawar. Tiga prajurit yang memiliki kepandaian lumayan itu hanya dihadapi dengan kikikan suara tawa Dewi Selaksa Mawar. Kelihatan sekali kalau perempuan tua ini menganggap remeh lawan-lawannya.

"Hih! Aku tidak butuh kau!" sungut Dewi Selaksa Mawar tiba-tiba.

Belum lagi senyap kata-katanya, secepat kilat perempuan tua itu melontarkan tiga buah senjata rahasianya. Cahaya keperakan berkelebat cepat menyambar tiga prajurit itu.

Trak! Trak!

"Akh!"

Dua bintang berhasil ditangkis dengan baik, tapi sisanya langsung menerobos dada salah seorang prajurit yang naas itu. Seketika tubuhnya terjengkang ke belakang. Bintang bersegi enam yang mengandung racun ganas itu tertanam dalam hingga ke jantung. Tubuh orang itu menggelepar sebentar, lalu diam tidak bergerak lagi. Seputar luka di dadanya perlahan-lahan membiru.

"Setan!" geram Parang Kati melihat seorang bawahannya terjungkal mati.

Kini tinggal tiga orang saja yang masih hidup. Hati Parang Kati mulai ciut juga. Bagaimana tidak, dari sembilan orang prajurit pilihan yang dibawanya, kini tinggal dua orang saja. Sedangkan dia sendiri belum tentu dapat menandingi kesaktian Dewi Selaksa Mawar.

Parang Kati memang geram menyaksikan kekalahan telak di pihaknya. Pertimbangannya, kalau masih nekad menghadapi iblis tua ini tidak mustahil nyawanya juga akan melayang.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Parang Kati berteriak nyaring. Dua kali kakinya menjejak tanah dengan keras dan sambil mengempos seluruh tenaga dalam dikerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam sekejap tubuh Parang Kati mencelat ke udara. Tangannya mengebutkan cambuk ke arah kepala Dewi Selaksa Mawar.

"Uts!" Dewi Selaksa Mawar menundukkan kepalanya sedikit. Maka ujung cambuk itu hanya lewat beberapa helai rambut di atas kepalanya.

Pada saat yang sama, dua orang prajurit cepat melompat dengan senjata trisula terhunus. Mendapat serangan beruntun dari tiga arah ini, membuat perempuan tua serba merah itu menjadi sibuk juga. Cepat-cepat dijatuhkan tubuhnya ke belakang, dan bersalto tiga kali.

Kesempatan yang hanya sedetik ini dimanfaatkan Parang Kati untuk melarikan diri. Dia melesat dan bersalto tiga kali, lalu hinggap di punggung salah seekor kuda. Sekali sentak saja, kuda itu bergerak bagai anak panah lepas dari busur.

"Pengecut! Jangan lari kau!" dengus Dewi Selaksa Mawar.

Baru saja akan mengejar, dua prajurit yang mengetahui pimpinannya dapat meloloskan diri, langsung melompat menyerang. Dewi Selaksa Mawar kembali melenting menghindari serangan kembar yang berbahaya itu. Gerahamnya bergemelutuk menahan marah yang sangat terhadap dua prajurit yang berusaha melindungi pimpinannya itu.

"Uh! Monyet beledek!" dengus Dewi Selaksa Mawar.

Secepat kilat dilontarkan pukulan mautnya disertai pengerahan ilmu 'Mawar Berbisa'. Bau harum mawar segera tersebar ketika kedua tangan Dewi Selaksa Mawar mendorong kuat ke depan. Dalam keadaan marah seperti ini, Dewi Selaksa Mawar tidak tanggung-tanggung lagi untuk mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.

Hasilnya memang luar biasa. Seberkas sinar merah melesat cepat ke arah dua orang prajurit Kerajaan Parakan. Serangan dahsyat itu tak dapat dihindari lagi. Dua orang itu hanya melolong tanpa mampu berbuat apa-apa.

"Akh!"

"Aaaa...!"

Dua jeritan panjang saling susul diikuti oleh terjengkangnya dua tubuh ke belakang sejauh empat depa. Tidak sedikit pun mereka menggelepar. Yang terlihat hanya darah yang mengucur dari mata, mulut, dan hidung, yang kental kehitaman. Sedangkan di dada tergambar sekuntum bunga mawar merah mengepulkan asap tipis kemerahan.

Dewi Selaksa Mawar cepat melesat ke udara. Dua kali bersalto, lalu kakinya menjejak kokoh di atas sebuah batu besar yang hanya satu di tempat itu. Matanya menatap ke arah Parang Kati pergi.

"Sial!" dengus Dewi Selaksa Mawar kesal.

Sekeliling telah sepi senyap seperti tidak terjadi apa-apa. Hanya mayat-mayat yang bergelimpangan menandakan kalau di tempat itu baru saja terjadi pembantaian sembilan orang prajurit Kerajaan Parakan. Sementara matahari telah kian condong ke arah Barat. Sinarnya yang mulai redup keemasan, terasa lembut menyapu permukaan mayapada ini. Namun keindahan dan kelembutan sang mentari tidak dapat dinikmati perempuan tua yang bernama Dewi Selaksa Mawar ini. Hatinya masih diliputi kekesalan karena satu orang lawannya berhasil meloloskan diri.

"Kalasewu, sampai ke neraka pun akan kukejar!" desis Dewi Selaksa Mawar.

Sebenamya apa yang terjadi terhadap perempuan serba merah ini? Mengapa begitu membenci orang yang bernama Kalasewu? Lalu apa hubungannya dengan prajurit Kerajaan Parakan? Hanya Dewi Selaksa Mawar saja yang tahu.

"Kubunuh kau, Kalasewu! Hiyaaa...!"

Dewi Selaksa Mawar kini mengamuk sendiri seperti orang gila. Tangannya menghantam batu besar yang dipijaknya. Suaranya menggelegar terdengar memekakkan telinga, bersamaan dengan hancurnya batu sebesar gubuk dangau itu. Kepingan-kepingannya beterbangan ke segala penjuru.

Dewi Selaksa Mawar masih berdiri tegak di tengah-tengah butiran batu yang dihancurkannya tadi. Debu masih mengepul di sekitarnya. Dengan tangan tolak pinggang, dia menatap sang mentari yang secara pasti mulai tenggelam di balik peraduannya.
********************

TIGA

Pagi baru saja merayapi bumi. Sinar matahari mulai memancar menerangi belahan Timur bumi. Napas kehidupan kembali bangkit setelah semalaman bagai mati dicekam kegelapan sang dewi malam. Pagi yang cerah itu kini terusik oleh derap langkah kuda yang dipacu bagai kesetanan.

Kuda hitam tegap berlari kencang menerjang apa saja yang menghalangi. Debu bergulung-gulung di belakangnya. Penunggangnya berpakaian kotor dan lusuh mendera kuda yang seolah-olah masih kurang cepat. Padahal, kuda tunggangannya itu telah mendengus-dengus hampir mati kelelahan. Tampak dari wajahnya yang lecek dan penuh debu, sebuah guratan panjang di pipinya. Guratan itu menandakan kalau dia adalah Parang Kati.

"Hiya..., hiya...!"

Parang Kati terus mendera kudanya menuju kota praja Kerajaan Parakan. Semalaman dia berpacu tanpa henti, dan tak mempedulikan keadaan dirinya yang kotor dan berbau. Apalagi terhadap kudanya yang hampir mati kelelahan didera terus menerus sepanjang malam hingga pagi ini.

"Buka pintu, cepat...!" teriak Parang Kati ketika di depannya terbentang pintu kokoh yang dijaga dua orang prajurit bersenjata lengkap.

Mengenali siapa yang datang, dua orang prajurit itu bergegas membuka pintu. Namun ketika pintu baru terbuka setengah, Parang Kati telah menerobos tanpa mengendorkan lari kudanya. Dua penjaga itu menjadi bingung melihat Parang Kati memasuki benteng kerajaan tidak seperti biasanya.

Tali kekang kuda tiba-tiba ditariknya, ketika telah tiba di depan pendopo utama istana Parakan. Seketika kuda berhenti seraya meringkik dan mengangkat kaki depannya. Parang Kati mencelat dan berputar dua kali di udara sebelum kakinya mencapai tanah.

Tanpa mempedulikan kudanya yang langsung tertunduk dengan mulut menganga, Parang Kati melangkah lebar memasuki pendopo utama. Seluruh tubuhnya yang masih kotor dan berbau tidak dihiraukannya lagi. Beberapa penjaga pintu pendopo menatapnya penuh keheranan. Tidak biasanya Parang Kati memasuki pendopo dalam keadaan seperti itu.

"Parang Kati...!" tiba-tiba sebuah bentakan keras menghentikan langkah Parang Kati.

Parang Kati segera berbalik. Seketika itu juga dijatuhkan tubuhnya untuk berlutut. Di depannya kini berdiri seorang laki-laki tua dengan rambut seluruhnya berwarna putih. Kumisnya panjang dan putih pula.

Laki-laki bertubuh kurus tinggi dan berwajah dingin itu mengenakan baju biru dari bahan sutra halus. Matanya tajam tanpa ekspresi menatap wajah Parang Kati yang tertunduk berlutut di depannya. Raut wajahnya begitu pucat seperti tak pernah teralirkan darah kehidupan lagi.

"Bangun," kata laki-laki tua itu. Suaranya terdengar dingin.

"Maafkan hamba, Ki Sanggamayit. Hamba menghadap dalam keadaan kotor," kata Parang Kati setelah bangkit berdiri.

"Kenapa kau masuk pendopo dalam keadaan begini?" tanya laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Sanggamayit. Suaranya masih dingin datar. Tak ada sedikit pun tekanan dan ekspresi sama sekali.

"Hamba terburu-buru, Ki Sanggamayit. Hamba semalaman berkuda dari Desa Ganggang," lapor Parang Kati. "Hm..., kau ditugaskan untuk menarik upeti dari desa itu, dan dikawal sembilan prajurit pilihan. Tapi sekarang kembali hanya seorang diri. Apa yang terjadi?"

"Ceritanya panjang, Ki," sahut Parang Kati. "Ceritakan."

Panjang lebar Parang Kati menceritakan kejadian di Desa Ganggang hingga tentang penghadangan yang dilakukan oleh Dewi Selaksa Mawar. Hanya dia sendiri yang mampu meloloskan diri.

Ki Sanggamayit masih diam tertegun meskipun Parang Kati telah selesai bercerita. Agak lama kesunyian menyelimuti mereka berdua. Terdengar desahan berat panjang dari hidung Ki Sanggamayit. Kembali matanya tajam tanpa ekspresi memandang Parang Kati. Yang dipandang hanya tertunduk, takut untuk membalasnya.

"Apa kau tidak salah lihat?" tanya Ki Sanggamayit memecah keheningan.

"Maksud Ki Sanggamayit?" Parang Kati malah balik bertanya.

"Bodoh! Siapa lagi kalau bukan perempuan edan itu?" bentak Ki Sanggamayit.

"Oh, tid..., tidak, Ki. Hamba tidak salah lihat. Bahkan Dewi Selaksa Mawar menyebut-nyebut nama Kalasewu," agak gugup Parang Kati menjawab.

"Monyet buntung!" Ki Sanggamayit terlonjak, sampai melompat ke belakang satu tindak ketika mendengar nama Kalasewu disebut-sebut.

Parang Kati semakin heran melihat atasannya yang begitu terkejut mendengar ceritanya. Hidung Ki Sanggamayit kembang kempis seperti menahan marah. Wajah semakin terlihat pucat. Dua bola matanya berputar-putar memandang Parang Kati. Dia seolah-olah tidak percaya dengan ucapan laki-laki codet yang ada di depannya ini.

"Sebaiknya kau pulang sekarang. Biar kusampaikan sendiri berita ini pada Gusti Prabu," kata Ki Sanggamayit setelah agak reda emosinya.

Parang Kati membungkukkan badannya sedikit, sambil mundur tiga langkah. Ketika membalik, segera kakinya diayun lebar-lebar. Ki Sanggamayit memandangi dengan tatapan dingin. Dia baru beranjak setelah Parang Kati tak terlihat lagi.

********************

Ki Sanggamayit duduk bertopang dagu di depan meja dari marmer putih mengkilat. Di hadapannya duduk dua orang yang sudah kelihatan tua. Mereka adalah Iblis Mata Satu, dan yang mengenakan pakaian serba hitam adalah Setan Jerangkong. Dinamakan Setan Jerangkong karena tubuhnya kurus kering seperti tinggal tulang terbalut kulit saja.

Mereka bertiga memang dikenal sebagai Tiga Setan dari Neraka. Sepak terjangnya yang kejam tak kenal perikemanusiaan, sudah menjadi buah bibir di seluruh dunia persilatan. Mereka tidak segan-segan membunuh siapa saja yang berani berurusan.

"Sejak tadi kau kelihatan murung. Ada yang mengganggu pikiranmu, Sanggamayit?" Iblis Mata Satu memecahkan kesunyian.

Sanggamayit mengangkat kepalanya pelan-pelan. Matanya yang dingin terarah pada Iblis Mata Satu. Desah napasnya terdengar berat dan panjang.

"Aku tadi pagi lihat Parang Kati kembali seorang diri. Bukankah dia ditugaskan untuk menarik upeti ke Desa Ganggang? Lagi pula, aku tak melihat sembilan orang prajurit yang menyertainya. Adakah persoalan yang dibawanya sehingga kau jadi murung?" Setan Jerangkong kelihatan mendesak.

"Persoalan lama," desah Sanggamayit berat.

"Jelaskan. Persoalan apa?" desak Iblis Mata Satu.

Sanggamayit mendesah kembali, kemudian diceritakan semua yang didengarnya dari Parang Kati. Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu mendengarkannya dengan serius, tanpa sedikit pun menyelak. Kelihatan sekali wajah mereka menjadi berubah ketika Dewi Selaksa Mawar disebut-sebut mencari Kalasewu. Seketika itu juga mereka teringat dengan peristiwa yang terjadi sekitar dua puluh tahun lalu. Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong menatap tajam pada Sanggamayit. Lama juga kesepian menyelimuti ruangan luas ini. Tidak ada yang bersuara sedikit pun.

"Aku tidak menyangka, dia tahu kita semua ada di sini," gumam Iblis Mata Satu pelan.

"Dia bukan mencari kita, tapi Kalasewu," sergah Sanggamayit.

"Apa bedanya?" Setan Jerangkong seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Jelas ada bedanya?" dingin tajam Sanggamayit menyahuti. "Kita dikenal sebagai Tiga Setan Neraka. Sedang yang dicari Dewi Selaksa Mawar adalah Kalasewu."

"Haha ha...!" mendadak saja Iblis Mata Satu tertawa terbahak-bahak.

"Tidak ada yang lucu!" bentak Setan Jerangkong.

"Justru bagiku sangat lucu," sungut Iblis Mata Satu ketika berhenti tertawa. "Kalian mempersoalkan nama yang tidak pernah ada. Kalasewu atau Tiga Setan Neraka, atau apa lagi namanya, tidak pernah ada. Kalau toh ada, orangnya adalah kita-kita juga."

"Terus terang saja, kau menuduh orangnya," dingin suara Sanggamayit

"Aku tidak mengatakan bahwa kau adalah Kalasewu."

"Tapi, kenapa kau berkata begitu?"

"Dewi Selaksa Mawar mencari orang yang bernama Kalasewu. Sedangkan, yang diketahuinya adalah satu Kalasewu yaitu kau sendiri. Padahal, kita semua adalah Kalasewu!"

Sanggamayit terdiam. Kata-kata Iblis Mata Satu memang tidak salah. Dewi Selaksa Mawar hanya mengenal satu Kalasewu. Dan sekarang dia mencarinya untuk membalas dendam peristiwa dua puluh tahun yang lahi. Dendam yang telah dilupakan Sanggamayit.

"Sejak semula kau telah kuperingatkan. Masih juga buta untuk mendapatkannya. Dia memang cantik, tapi ular!" Iblis Mata Satu mengenang peristiwa dua puluh tahun yang lalu, saat mereka semua masih kelihatan muda dan gagah.

Sanggamayit belum bersuara. Memang, yang diperbuatnya waktu itu hanya dia sendiri yang tahu. Meskipun Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong tahu, tapi hanya bagian luarnya saja. Yang mereka ketahui hanya masalah asmara antara Sanggamayit dengan Dewi Selaksa Mawar. Anggapan mereka, Sanggamayit tertarik dengan Dewi Selaksa Mawar adalah karena kecantikan saja. Lain tidak.

Namun sesungguhnya, di balik asmara itu ada maksud-maksud dari Sanggamayit. Dan semua itu telah terlaksana dengan baik. Hanya saja, Sanggamayit tidak mengira kalau masalahnya menjadi panjang. Dua puluh tahun telah terlupakan, kini tiba-tiba muncul pada saat Tiga Setan Neraka berhasil mencapai tujuan, yakni menguasai Kerajaan Parakan dan menjadikan Prabu Salya sebagai raja boneka.

"Kurasa, sebaiknya kita tinggalkan istana Parakan ini. Aku khawatir kedok kita terbongkar dengan kemunculan Dewi Selaksa Mawar, si perempuan gila itu!" kata Sanggamayit.

"He he he..., kau ingin menyia-nyiakan kesempatan yang telah bertahun-tahun kita perjuangkan dengan darah dan keringat, Sanggamayit?" Iblis Mata Satu belum mengerti jalan pikiran Sanggamayit.

"Urusan ini lebih penting daripada kekuasaan," selak Sanggamayit dingin.

"Bagaimana, Setan Jerangkong?" Iblis Mata satu meminta pendapat.

Setan Jerangkong hanya mengangkat bahu saja.

"Baiklah! Kita sudah berjanji untuk selalu bersama-sama, walaupun apa yang terjadi. Susah dan senang selalu bersama-sama. Sepuluh tahun lebih, rasanya sudah cukup kita menikmati kesenangan," kata Iblis Mata Satu.

"Aku berjanji, setelah urusan ini selesai, maka rencana semula harus dijalankan," ujar Sanggamayit.

"He he he..., itu urusanmu. Kaulah yang berambisi ingin jadi raja," Iblis Mata Satu terkekeh panjang.

Sanggamayit hanya mendengus saja. Sementara Setan Jerangkong tersenyum-senyum. Tak jelas arti senyum itu. Sanggamayit tidak peduli meskipun kedua saudara angkatnya ini seperti mengejek. Bisa jadi mengejek kebimbangan dan kegelisahannya dalam menghadapi kemunculan Dewi Selaksa Mawar yang tak pernah diduga dan diharapkannya sama sekali.

"Besok kita tinggalkan istana Parakan," ucap Sanggamayit.

"Lalu, bagaimana urusan dengan Prabu Salya?" tanya Setan Jerangkong.

"Aku rasa Parang Kati dapat dipercaya," jawab Sanggamayit.

"He he he..., bocah dungu begitu kau percaya," agak sinis suara Iblis Mata Satu

Sanggamayit menatap dingin dan tajam ke arah Iblis Mata Satu. Dia tidak mengerti mengapa saudara angkatnya ini tidak pernah menyukai Parang Kati. Apa mungkin karena Parang Kati itu bekas perampok jalanan yang hanya memiliki kepandaian jauh di bawah mereka bertiga? Atau ada sebab lain yang hanya diketahui Iblis Mata Satu saja?

"Sebaiknya kau temui adikmu, dan tekan dengan ancaman agar dia tidak berbuat sesuatu yang merugikan," kata Iblis Mata Satu memberi saran.

Sanggamayit hanya tersenyum tipis, lalu bangkit berdiri. Langkahnya ringan saat menuju ke pintu ruangan khusus ini. Hanya mereka bertiga saja yang boleh memasukinya. Iblis Mata Satu terkekeh-kekeh melihat Sanggamayit ke luar ruangan ini. Sementara Setan Jerangkong ikut bangkit berdiri setelah Sanggamayit tak terlihat lagi.

"Mau ke mana?" tanya Iblis Mata Satu.

"Jalan-jalan," jawab Setan Jerangkong seenaknya sambil terus berlalu.

Iblis Mata Satu mengangkat bahunya sedikit, lalu juga keluar dari ruangan itu. Dua orang penjaga membungkuk ketika Iblis Mata Satu melewati pintu. Laki-laki tua berpakaian serba putih itu terus melangkah pergi. Sementara malam telah semakin pekat membuai penghuni mayapada ini, untuk terus lelap dalam tidur bersama sapuan sang bayu.

********************

Ketika matahari baru saja mengintip dari ufuk Timur, tampak tiga ekor kuda dan penunggangnya keluar dari pintu gerbang istana Parakan. Mereka adalah Tiga Setan Neraka. Gerakan mereka kelihatan tidak tergesa-gesa, seolah-olah kepergian mereka tidak ingin diketahui oleh siapa pun!

Mereka memacu kudanya tidak terlalu terburu-buru. Seolah-olah kepergian mereka tidak ingin diketahui oleh orang lain. Ketika tiba di perbatasan kotapraja, segera mereka menggebah kuda dengan cepat. Kabut masih menyelimuti meskipun matahari telah mulai mengintip dengan sinar kemerahan yang memancar lembut dari balik pepohonan. Tiga ekor kuda terus dipacu ke arah matahari terbit.

"Bukankah ini jalan menuju Desa Ganggang?" Setan Jerangkong tiba-tiba memecah kebisuan mereka.

"Benar. Tujuan kita memang ke desa itu," sahut Sanggamayit.

"Untuk apa ke sana?" tanya Setan Jerangkong.

"Hm, rupanya kau sekarang menjadi pelupa. Parang Kati melapor kalau desa ini mulai membangkang," Iblis Mata Satu menggumam.

"Kurasa tujuan kita bukan untuk mengurusi Desa Ganggang," Setan Jerangkong kurang sependapat.

"Dewi Selaksa Mawar mencegat di perbatasan desa. Barangkali saja masih ada di sana. Yaah, sekalian memberesi desa pembangkang itu," celetuk Sanggamayit.

"Huh! Buang-buang waktu saja!" dengus Setan Jerangkong.

"Tidak! Sama sekali tidak. Desa Ganggang diam-diam menyimpan dua pendekar tangguh. Dan ini berbahaya jika tidak cepat cepat diselesaikan," Sanggamayit menjelaskan.

"Ah, hanya pendekar ingusan. Aku rasa kita tak perlu turun tangan sendiri. Parang Kati saja yang goblok sampai dapat dipecundangi seperti itu!"

"Mungkin aku akan menganggap begitu terhadap Parang Kati jika dia tidak menyebutkan ciri-ciri pendekar muda yang merampas pedang dari tangan para prajurit hanya dengan sekali gebrak saja."

"Sekali gebrak?!" Setan Jerangkong nampak terkejut.

"Apa yang menarik dari pendekar itu?" tanya Iblis Mata Satu.

"Parang Kati menyebutkan kalau pendekar itu menyandang pedang di punggung yang bertangkai kepala burung. Bajunya rompi berwarna putih. Aku yakin kalian pasti mengenalinya," kata Sanggamayit.

"Pendekar Rajawali Sakti," gumam Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong hampir bersamaan.

"Tepat!" sahut Sanggamayit cepat.

Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong terdiam. Sementara kuda yang mereka tunggangi menjadi lambat jalannya. Pikiran seluruh Tiga Setan Neraka kini tercurah pada Pendekar Rajawali Sakti. Siapa yang tak kenal dengan nama itu? Satu nama yang sangat disegani dan ditakuti hampir seluruh tokoh rimba persilatan, baik yang beraliran putih maupun hitam.

Kini Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong mengerti, kenapa Sanggamayit gelisah sedemikian rupa. Ternyata bukan hanya karena kemunculan Dewi Selaksa Mawar saja yang jadi beban pikirannya. Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang membantu Desa Ganggang dalam pembangkangan dapat menjadi sumber malapetaka besar bagi mereka. Tiga tokoh hitam ini tahu benar tentang sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang tidak kenal kompromi terhadap tokoh-tokoh rimba persilatan beraliran hitam.

"Lalu siapa pendekar satu lagi?" tanya Setan Jerangkong.

"Putri Jagabaya, Kepala Desa Ganggang," jawab Sanggamayit.

"Sejak kapan si tua bangka Jagabaya punya anak?" gumam Setan Jerangkong seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Kita tak usah mempersoalkan dia anak siapa. Yang penting sekarang, lenyapkan siapa saja yang coba-coba menjadi penghalang!" dengus Iblis Mata Satu.

Bisu kembali menjalari mulut mereka di atas kuda tunggangan masing-masing. Kini mereka telah memasuki Hutan Dandaka. Dengan jalan seperti ini, sore nanti mereka baru mencapai perbatasan Desa Ganggang yang berada di tepi Hutan Dandaka. Hutan yang sering dilalui manusia ini sudah tidak begitu lebat lagi. Jalan yang mereka lalui sekarang, seperti sengaja dibuat untuk jalan pintas desa-desa sekitar Hutan Dandaka menuju Kerajaan Parakan.

Saat mereka tiba di tengah hutan, sekonyong-konyong Sanggamayit menghentikan kudanya. Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong yang berada di samping kanan dan kiri ikut berhenti. Tidak seperti biasanya, keadaan di tengah hutan ini sangat sepi dan sunyi. Bahkan sepertinya burung-burung enggan berkicau memamerkan suaranya yang merdu.

Tiga Setan Neraka memasang telinga lebih tajam. Menyadari suasana di tengah hutan tidak seperti biasanya, seketika itu juga mereka segera waspada. Tanpa ada suara sedikit pun, mereka melompat hampir berbarengan dari kuda masing-masing. Ringan sekali gerakan kaki-kaki mereka. Pertanda kalau ilmu meringankan tubuh mereka cukup tinggi, hampir mencapai kesempurnaan.

"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik, menggema dari segala penjuru.

Belum lagi hilang suara tawa itu, mendadak sinar-sinar keperakan melesat cepat menyambar tiga orang itu. Begitu cepatnya, sehingga tiga orang itu terkejut setengah mati. Dalam sekejap saja mereka berlompatan menghindari sinar-sinar itu.

Tap!

Sanggamayit melenting seraya menangkap salah satu sinar keperakan yang mengancam dirinya. Bahkan Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong pun berhasil menangkap satu dari sekian banyak sinar yang berkilatan bagai hujan. Kilatan sinar-sinar keperakan kini berhenti. Tiga Setan Neraka menjejakkan kakinya di tanah dengan manis. Gerakan mereka benar-benar ringan dan sedap dipandang mata.

"Dewi Selaksa Mawar...," desis Sanggamayit ketika mengetahui sinar-sinar keperakan yang datang itu berbenruk bintang segi enam yang di tengah-tengahnya tergambar sekuntum bunga mawar.

"Hm..., rupanya dia sudah mengetahui kehadiran kita," gumam Setan Jerangkong.

"Hi hi hi..., tiga tikus got akhimya keluar juga dari sarang busuknya," terdengar suara mengikik bergema.

"Dewi Selaksa Mawar, keluar kau! Jangan main sembunyi-sembunyi seperti bocah ingusan!" teriak Iblis Mata Satu. Suaranya menggema ke sekitarnya karena disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

"Hi hi hi...!" kembali suara mengikik terdengar menggetarkan.

"Uh! Aku tidak suka main kucing-kucingan begini!" dengus Setan Jerangkong sengit.

Sanggamayit yang mengetahui kalau Dewi Selaksa Mawar hanya menginginkan dirinya seorang, hanya diam saja. Namun matanya tajam beredar ke sekeliling. Telinganya dipertajam dengan mengerahkan ilmu Pemecah Suara. Sedikit saja suara terdengar mencurigakan, matanya segera mengawasi ke arah suara itu.

"Awas...!"

********************

EMPAT

Tiga berkas sinar merah menyambar cepat ke arah Tiga Setan Neraka. Peringatan Sanggamayit yang lebih cepat, membuat Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong seketika melenting ketika sinar merah hampir mengancam diri mereka. Sanggamayit pun tak kalah sigap. Dia melompat dan berputar dua kali di udara. Sinar-sinar merah itu hanya menyambar sasaran kosong.

"Hiya...!"

Sanggamayit menjerit keras seraya mengerahkan jurus 'Pukulan Petir'. Kedua tangannya didorong ke depan dalam posisi tubuh masih di udara. Seketika dari kedua telapak tangan yang terbuka, meluncur dua kilatan sinar yang menyilaukan mata ke arah pohon besar.

Memang tadi, Sanggamayit selintas melihat sumber datangnya dua sinar merah adalah dari balik pohon itu. Seketika suara ledakan keras terdengar setelah kilatan sibar yang dilontarkan Sanggamayit menghantam pohon. Dalam sekejap saja pohon itu hancur berkeping-keping. Jelas kalau jurus 'Pukulan Petir' tadi disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Sanggamayit kembali menjejak tanah. Matanya dingin memandang pohon yang kini hancur seperti baru saja diseruduk ribuan gajah. Asap yang mengepul akibat hantaman sinar pada pohon itu, mulai menipis dan akhirnya hilang sama sekali. Mata Sanggamayit terbelalak lebar ketika tidak mendapat apa yang diharapkan dari pohon yang hancur itu.

"Hebat...! Sayang, hanya membuang-buang tenaga percuma," terdengar suara keras penuh ejekan.

"Kadal!" dengus Sanggamayit geram.

Kembali dipasang telinganya dengan mengerahkan ilmu Pemecah Suara. Hati Sanggamayit benar-benar penasaran dipermainkan seperti kerbau dungu. Tapi hatinya sedikit cemas juga seandainya Dewi Selaksa Mawar telah mengalami kemajuan yang pesat dalam kesaktiannya.

Jelas sekali kalau Sanggamayit melihat sinar merah tadi bersumber dari balik pohon itu. Tapi setelah pohon itu hancur, kenapa dia tidak ada di situ? Sementara Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong pun telah dengan ilmu Pemecah Suara mengamati suara-suara yang mencurigakan. Mata Tiga Setan Neraka jelalatan mencari-cari arah sumber suara tawa mengikik yang seperti datang dari segala penjuru mata angin.

"Setan! Ilmu apa yang digunakannya?" dengus Sanggamayit gusar.

Seluruh kemampuan dalam ilmu Pemecah Suara Sanggamayit telah dikeluarkan semaksimal mungkin, namun sumber suara tawa yang mengikik belum dapat dipastikan dari arah mana datangnya.

Demikian pula yang dialami Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong. Mereka belum dapat menentukan di mana jati diri Dewi Selaksa Mawar berada. Dalam hati, diakui juga kehebatan ilmu 'Pemindah Suara' yang dimiliki Dewi Selaksa Mawar.

Memang, tinggi rendah suatu ilmu dapat diukur dari cara seperti ini. Cara adu ilmu. Pada kenyataannya sekarang, ilmu 'Pemecah Suara' yang dimiliki Tiga Setan Neraka tidak mampu menandingi ilmu 'Pemindah Suara' Dewi Selaksa Mawar. Jelas kalau dari segi ilmu seperti ini, tingkat tenaga dalam Dewi Selaksa Mawar lebih tinggi daripada Tiga Setan Neraka. Mungkin hampir mendekati titik kesempurnaan.

Namun dari segi ilmu semacam itu, belum bisa menjadi jaminan bagi Dewi Selaksa Mawar untuk mengalahkan Tiga Setan Neraka. Mereka ini rata-rata memiliki kelebihan yang dapat menjadi andalan. Tingkat kesaktian Tiga Setan Neraka memang tidak bisa dianggap enteng. Apalagi kalau sampai adu kesaktian pamungkas.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Iblis Mata Satu berteriak nyaring.

Seketika dia berbalik seraya tangan kanannya mendorong ke depan. Dan bersamaan dengan itu, seleret sinar merah juga meluncur deras ke arahnya. Dari tangan kanan Iblis Mata Satu pun keluar sinar hijau membentuk bulatan sebesar kepalan tangan manusia dewasa.

Yang terjadi selanjutnya adalah benturan dua sinar yang berbeda, serta menimbulkan suara ledakan yang amat dahsyat. Pada saat yang sama, Sanggamayit tidak ketinggalan dengan Pukulan Petirnya. Lalu disusul oleh Setan Jerangkong yang menghantam dengan ilmu Cakra Buana ke arah yang sama.

Kemilau kilat dan bulatan bagai bola api meluncur hampir bersamaan ke arah yang dituju Iblis Mata Satu. Suara ledakan dahsyat kembali terdengar saat dua pukulan sakti jarak jauh menghantam sebuah batu besar di antara tiga pohon jati.

Bersamaan dengan itu, berkelebat sebuah bayangan merah keluar dari batu yang hancur terkena hantaman dua pukulan jarak jauh tadi. Bayangan merah tadi berjumpalitan di udara, kemudian meluruk deras ke arah Sanggamayit. Belum lagi sampai di tanah, bayangan itu kembali mengeluarkan sinar-sinar keperakan ke arah Sanggamayit.

"Bedegul, keparat!" geram Sanggamayit sambil berlompatan menghindari sinar-sinar yang mengancam dirinya.

Belum sempat Sanggamayit menjejakkan kakinya ke tanah, bayangan merah telah menyerang dengan ganas. Untunglah, pada saat yang tepat Setan Jerangkong melemparkan ranting kering ke arah kaki Sanggamayit Ketika ranting kering itu menyentuh ujung jari kakinya, segera tidak disia-siakan kesempatan ini. Sanggamayit melesat dengan meminjam ranting tadi sebagai pijakan.

Serangan bayangan merah yang cepat bagai kilat itu gagal total. Sanggamayit bersalto dua kali di udara, kemudian dengan manis mendarat di tanah. Sementara wujud bayangan merah telah nampak jelas. Terlihat Dewi Selaksa Mawar berdiri angkuh dengan wajah tegang menahan geram. Matanya tajam memandang Setan Jerangkong yang telah menolong Sanggamayit.

"Curang!" dengus Dewi Selaksa Mawar.

Tiga Setan Neraka tidak mempedulikan dengusan itu. Mereka segera menggeser dan berdiri berjajar. Sanggamayit berada di tengah-tengah.

"Sanggamayit, kembalikan kitab Tapak Geni padaku. Kau tidak berhak memilikinya!" ujar Dewi Selaksa Mawar.

"Kau salah sangka, Dewi Selaksa Mawar. Aku tidak mencuri kitab itu, apalagi memilikinya!" sahut Sanggamayit.

"Dusta! Kau curi kitab Tapak Geni dari serambi bilik semadi guruku. Kau gagal mendustainya, lalu mencuri kitab itu!" sentak Dewi Selaksa Mawar. "Aku sudah bersumpah untuk mencari kitab itu dan membunuhmu, Sanggamayit. Kaulah penyebab kematian guruku, setelah kau curi kitab Tapak Geni!"

Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong saling pandang. Mereka tidak tahu sama sekali kalau urusannya menyangkut sebuah kitab pusaka yang menyimpan berbagai macam ilmu-ilmu kesaktian Tapak Geni. Ternyata urusan antara Sanggamayit dengan Dewi Selaksa Mawar bukan sekedar urusan asmara belaka, tapi lebih rumit dari yang mereka sangka.

"Tidak ada yang memiliki benda ini selain kau, Sanggamayit!" bentak Dewi Selaksa Mawar sambil melemparkan sebuah ruyung kecil dari perak. "Guruku tewas karena benda keparat itu!"

Tiga Setan Neraka terkejut melihat senjata rahasia itu. Jelas sekali kalau senjata itu memang milik Sanggamayit. Ini dapat dikenali dari tangkainya yang terukir gambar kepala tengkorak manusia terbelah. Tak ada yang mempunyai ruyung perak semacam itu selain Sanggamayit.

"Hm..., aku kena fitnah," gumam Sanggamayit.

"Masih ingin mengelak dari tanggung jawab, Sanggamayit?" sinis suara Dewi Selaksa Mawar.

"Aku tahu siapa yang berbuat curang seperti ini," lagi Sanggamayit bergumam.

"Siapa?" tanya Setan Jerangkong mendengar gumaman itu.

"Setan Arak," jawab Sanggamayit pasti.

"Kalau begitu, kau harus buktikan kalau kau tidak mencuri kitab itu," kata Iblis Mata Satu.

"Sulit," Sanggamayit menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu di mana Setan Arak tinggal. Dia tidak pernah menetap pada satu tempat"

Benar juga kata-kata Sanggamayit itu. Mencari Setan Arak sama juga mencari sebatang jarum di padang luas. Mereka semua tahu siapa sebenarnya Setan Arak. Dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang kejam, serta selalu menggunakan berbagai cara demi mencapai apa yang diinginkan.

Sebenamya, Setan Arak masih ada hubungan kerabat dengan Sanggamayit. Dua puluh tahun yang lalu, Setan Arak pernah berkunjung ke kediaman Sanggamayit selama satu minggu. Tapi, sepeninggal Setan Arak tiba-tiba saja guru Dewi Selaksa Mawar tewas. Saat itu bersamaan waktunya dengan aksi Tiga Setan Neraka merebut istana Kerajaan Parakan.

Rupanya, peristiwa yang telah terpendam dua puluh tahun itu baru terungkap sekarang. Namun sampai saat ini belum jelas penyelesaiannya. Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu belum bisa memutuskan siapa sebenarnya yang bersalah. Salah atau benar, yang jelas mereka berada di jalan yang salah.

"Memang sulit, karena Dewi Selaksa Mawar telah menjatuhkan tuduhan," gumam Iblis Mata Satu.

"Serang dia dari beberapa jurusan, lalu cepat pergi," kata Sanggamayit pelan.

Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu mengangguk berbarengan. Mereka cepat mengerti maksud Sanggamayit. Seketika itu juga mereka melompat menjauhi Sanggamayit.

Melihat dua orang yang melompat itu telah mengambil posisi, Dewi Selaksa Mawar langsung memasang kuda-kuda. Matanya menjadi sibuk memperhatikan tiga jurusan yang saling berjauhan letaknya. Dia sadar kalau lawan-lawan yang dihadapinya sekarang tidak bisa dianggap enteng. Tiba-tiba Tiga Setan Neraka berteriak nyaring bersamaan.

Wusss...!

Dewi Selaksa Mawar memutar tubuhnya dengan cepat melihat tiga orang itu telah melompat bersamaan. Cepat gerakan Tiga Setan Neraka, sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja. Mereka berlompatan melewati atas kepala Dewi Selaksa Mawar.

Untuk menghindari serangan itu, Dewi Selaksa Mawar terpaksa menjatuhkan diri. Tubuhnya berguling-guling, karena Tiga Setan Neraka langsung mencecar dengan pukulan-pukulan jarak jauh. Debu-debu dan daun-daun kering beterbangan di sekitar tubuh Dewi Selaksa Mawar.

"Celaka!" desis Dewi Selaksa Mawar.

Dengan cepat, Dewi Selaksa Mawar menggunakan totokan jari telunjuknya ke tanah sebagai tolakan untuk melenting di udara. Tiga kali dia bersalto di udara, lalu turun. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, Tiga Setan Neraka telah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan jarak jauh yang sangat berbahaya. Sungguh tidak disadari oleh Dewi Selaksa Mawar kalau semua serangan itu hanya untuk mengacaukan perhatiannya saja. Memang sengaja Tiga Setan Neraka tidak mengarahkan pada sasaran yang tepat, tapi cukup membuat repot lawannya itu.

Dewi Selaksa Mawar yang terlambat melenting kembali, menjadi tertegun beberapa saat. Ternyata, pukulan Tiga Setan Neraka hanya jatuh tepat pada ujung kakinya.

"Setan! Kalian mempermainkan aku!" geram Dewi Selaksa Mawar ketika menyadari kalau serangan-serangan itu hanya pura-pura saja.

Dalam ketertegunan yang hanya sejenak itu, dimanfaatkan Tiga Setan Neraka untuk kabur. Begitu cepat dan ringannya gerakan mereka, sehingga dalam sekejap bayangan tubuhnya telah tak terlihat lagi. Dewi menjadi bingung karena tidak tahu harus mengejar yang mana. Tiga Setan Neraka kabur ke arah tiga jurusan yang berbeda, namun tidak jelas masing-masing mengarah ke jurusan mana.

Melihat hal ini, Dewi Selaksa Mawar menjerit sekuat-kuatnya untuk melampiaskan kejengkelan yang menggelegak dalam dada. Dia kesal sekali karena masih dapat terkecoh oleh Tiga Setan Neraka. Belum puas dengan pelampiasannya, Dewi Selaksa Mawar terus mengumbar nafsunya dengan memuntahkan semua aji Pukulan Batara Geni sekuat-kuatnya.

"Hiya...! Yaaa...!"

Dari kedua tangannya terlontar sinar-sinar merah yang berkelebat menghantam batu-batu dan pepohonan di sekitarnya. Dewi Selaksa Mawar me-ngerahkan seluruh kekuatan ilmu 'Pukulan Batara Geni' yang dibarengi oleh rasa amarah yang luar biasa. Akibatnya memang menggetarkan. Batu-batuan dan pepohonan hancur berantakan terkena pukulan dahsyat itu.

"Sanggamayit, kau harus mati di tanganku... hiyaaa!" teriak Dewi Selaksa Mawar kalap.

Hutan Dandaka bagai diamuk ribuan gajah, hancur tidak karuan terkena jurus maut itu. Pohon-pohon bertumbangan, batu-batu hancur berantakan mengepulkan debu pekat. Puas melampiaskan kekesalannya, Dewi Selaksa Mawar jatuh tertunduk lemas. Kepalanya lunglai bagai tak memiliki tulang leher. Dengus napasnya mengguruh, diikuti oleh dada dan bahu yang berguncang hebat menahan isak. Ya..., Dewi Selaksa Mawar menangis. Rasa marah, benci, kecewa, sakit hati, serta cinta, membuat batinnya bagai tertindih batu gunung yang amat besar dan berat.

Dua puluh tahun diperdalam ilmu-ilmu kesaktiannya hanya untuk menghadapi Sanggamayit. Selama waktu itu pula dicarinya laki-laki itu. Tapi kini, setelah bertemu masih juga dapat diperdaya. Akan sia-siakah semua usahanya selama dua puluh tahun ini? Apakah wanita memang ditakdirkan selalu kalah oleh laki-laki? Tidak! Sanggamayit harus mati di tanganku! Batin Dewi Selaksa Mawar terus bergolak.

"Uh! Siapa kau?" Dewi Selaksa Mawar terkejut ketika mengangkat kepalanya.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan. Bergegas Dewi Selaksa Mawar bangkit seraya menghapus air matanya. Tatapannya tajam bagai hendak menelan bulat-bulat pemuda di depannya itu. Dua langkah dia mundur ke belakang.

"Ada yang mengganggumu, Nek?" tanya suara lembut dan sopan.

"Siapa kau?" tanya Dewi Selaksa Mawar tidak menggubris pertanyaan anak muda itu.

"Aku... namaku Rangga."

"Mengapa Nenek menangis di tengah hutan seperti ini?" tanya Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

Tanpa menghiraukan tatapan tajam Dewi Selaksa Mawar, pendekar muda ini duduk bersila di tanah. Pandangan matanya tetap lembut ke arah wajah tua keriput di depannya.

"Mungkin kehadiranku mengejutkanmu. Maaf, aku hanya sekedar lewat dan ingin beristirahat di sini," ujar Rangga merasa tidak mendapat tanggapan apa-apa dari lawan bicaranya.

Dewi Selaksa Mawar mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Pemandangan hutan yang sebelumnya indah menyejukkan mata, kini porak poranda tidak karuan.

"Mau ke mana tujuanmu?" tanya Dewi Selaksa Mawar. Suaranya masih belum ramah.

"Ke kotapraja," jawab Rangga kalem. Bibirnya menyungging senyum tipis.

"Untuk apa ke sana?"

"Mencari seseorang."

"Siapa?"

"Gusti Prabu Salya."

"Edan! Untuk apa kau mencari raja boneka?" agak kaget juga perempuan tua itu mendengar kejujuran Rangga.

"Raja boneka? Aku tidak mengerti maksudmu, Nek," Rangga mengamati wajah perempuan tua di depannya.

Dewi Selaksa Mawar menarik napas dalam-dalam sebentar, lalu duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun jaraknya masih cukup jauh, sekitar satu setengah batang tombak. Sedikit demi sedikit ketegangan di wajah Dewi Selaksa Mawar mulai berkurang. Perempuan itu telah dapat meraba kalau anak muda ini bukan orang sembarangan. Anak ini paling tidak memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, pikir Dewi Selaksa Mawar.

"Mau apa kau cari raja boneka itu, heh?" tanya Dewi Selaksa Mawar.

"Mau protes," sahut Rangga tegas.

"Protes...? Ha ha ha...!" Dewi Selaksa Mawar malah tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?" tanya Rangga sedikit kurang senang.

"Dari desa mana asalmu, anak muda?" Dewi Selaksa Mawar berbalik bertanya.

"Desa Ganggang," jawab Rangga.

"Hm..., tidak jauh dari sini, hanya setengah hari perjalanan berkuda. Desa itu memang masih bagian wilayah Kerajaan Parakan," gumam Dewi Selaksa Mawar.

Rangga hanya berdiam diri dengan bola matanya tetap mengamati raut wajah keriput di depannya. Hatinya bertanya-tanya tentang maksud kata-kata raja boneka.

"Percuma saja. Jangan kau teruskan niatmu, anak muda. Gusti Prabu Salya tidak bisa menentukan sendiri. Dia dikendalikan orang lain dalam memimpin tampuk pemerintahan," ujar Dewi Selaksa Mawar.

"Aku tak mengerti maksudmu, Nek?" Rangga belum paham benar maksud perkataan Dewi Selaksa Mawar.

"Gusti Prabu Salya yang sekarang, bukanlah gusti prabu yang dulu. Segala tindakannya kini dikendalikan oleh tiga orang yang menamakan dirinya Tiga Setan Neraka. Semua yang terjadi di Kerajaan Parakan dan sekitarnya, sebenarnya bukan tanggung jawab Gusti Prabu Salya, tapi tanggung jawab tiga orang itu," Dewi Selaksa Mawar menjelaskan.

"Siapa Tiga Setan Neraka itu sebenarnya?" tanya Rangga semakin tertarik.

"Mereka adalah Iblis Mata Satu, Setan Jerangkong, dan Sanggamayit,"

Dewi Selaksa Mawar menekan suaranya saat menyebut nama Sanggamayit "Mereka adalah tokoh rimba persilatan golongan hitam. Sepak terjangnya selalu merugikan. Mereka tidak segan-segan membunuh siapa saja yang coba-coba menghalangi niat mereka."

"Bagaimana mereka bisa menguasai Gusti Prabu Salya?" tanya Rangga.

"Sangat mudah, karena Sanggamayit anak dari salah satu selir raja Parakan yang terdahulu."

"Maksud Nenek, Ayah Gusti Prabu Salya?"

"Benar."

"Hm, jadi antara Gusti Prabu dengan Sanggamayit masih saudara tiri...," gumam Rangga mulai dapat mengerti duduk persoalannya.

"Tepat! Sanggamayit tahu kalau dirinya tidak bisa menjadi raja Parakan, karena hanya anak selir. Lalu, dia bersama dua saudara angkatnya berhasil menguasai kerajaan dengan menempatkan Gusti Prabu Salya tetap menjadi raja."

"Dan semua tampuk pemerintahan dikendalikan mereka," celetuk Rangga.

Dewi Selaksa Mawar menganggukkan kepalanya.

"Hal ini tidak boleh didiamkan," desis Rangga.

Bibir Dewi Selaksa Mawar tersenyum mendengar desisan itu. Hatinya mulai sedikit terhibur. Dia sadar kalau hanya seorang diri, tidak mungkin dapat mengalahkan Tiga Setan Neraka. Dan sekarang ada orang lain yang akan memusnahkan mereka bertiga meskipun dengan maksud dan tujuan berbeda. Dewi Selaksa Mawar semakin lebar senyumnya. Benaknya penuh dengan rencana-rencana untuk memanfaatkan kehadiran anak muda ini.

"Maaf, Nek Aku harus segera ke kotapraja," kata Rangga seraya berdiri.

"Untuk apa ke sana? Orang yang kau cari tidak ada lagi di sana," cegah Dewi Selaksa Mawar.

Rangga tercenung.

"Mereka baru saja dari sini. Aku telah berusaha menghalangi tujuan mereka, tapi aku kalah," ucap Dewi Selaksa Mawar menekan suaranya.

"Jadi, itu sebabnya kau mengamuk tadi?"

"Ya. Lebih baik aku mati dalam pertarungan daripada kalah menderita malu."

"Ke mana tujuan mereka?"

"Desa Ganggang."

Rangga tercengang mendengarnya. Mendadak hatinya cemas, karena desa itu tentu akan hancur lebur diamuk oleh Tiga Setan Neraka yang terkenal kejam dan ganas. Tidak mungkin Ratih dapat menandingi hanya seorang diri. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga cepat mencelat pergi. Dewi Selaksa Mawar tidak mencegah, tapi hanya tersenyum saja. Kemudian kakinya melangkah pelan mengikuti arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia berjalan dengan tujuan pasti, Desa Ganggang.

"Aku yakin anak muda itu pasti mampu menandingi Tiga Setan Neraka," gumam Dewi Selaksa Mawar.

********************

LIMA

Rangga tercenung menyaksikan rumah Kepala Desa Ganggang berantakan. Dua mayat laki-laki yang biasa menjaga rumah ini telah menggeletak menjadi mayat di tangga pintu rumah yang hancur berantakan. Rangga terus menuju ke dalam melewati dua mayat itu. Matanya membelalak menyaksikan keadaan ruangan yang porak poranda seperti kapal pecah. Meja kursi pecah tak tentu arah. Darah berceceran di mana-mana.

"Ratih...," desis Rangga tiba-tiba ketika teringat gadis cantik putri kepala desa.

"Ooohhh...," tiba-tiba terdengar suara rintihan memelas dari salah satu kamar. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melangkah menuju kamar itu. Kedua bola matanya melebar bagai hendak loncat ke luar ketika melihat Ki Jagabaya tergeletak di antara puing-puing dari barang-barang yang hancur. Darah membanjiri sekitar tubuhnya. Dadanya terkoyak lebar seperti terkena sabetan senjata tajam.

"Ki...!" seru Rangga langsung menghampiri.

"Tolong..., tolong Ratih...," Brih dan terputus-putus suara Ki Jagabaya.

"Ratih! Di mana Ratih?" tanya Rangga begitu khawatir akan keselamatan Ratih.

"Dia..., aaah...!"

"Ki..., Ki Jagabaya!" Rangga mengangkat kepala laki-laki tua itu. Didekatkan telinganya ke bibir Ki Jagabaya yang bergerak lemah.

"Katakan, Ki. Di mana Ratih?" desak Rangga.

"Di... diculik...," makin lemah suara Ki Jagabaya.

"Siapa yang menculik?"

"Ti..., ah!"

"Ki...!" Rangga menggoyang-goyangkan tubuh Ki Jagabaya yang terkulai Iemas.

Rangga memandang wajah laki-laki tua Kepala Desa Ganggang yang telah pucat Tubuhnya telah terasa dingin dan kaku. Pendekar Rajawali Sakti meletakkan tubuh kepala desa yang malang ini. Darah segar masih merembes dari dada yang terkoyak lebar.

Mata Pendekar Rajawali Sakti beredar ke sekeliling. Tidak ada keterangan yang berarti yang didapat di sini. Keadaannya sangat berantakan sekali. Pelan-pelan kakinya melangkah ke luar. Matanya kembali beredar ke sekeliling sambil terus melangkah menuju ke bagian belakang. Sesosok mayat wanita tergeletak di lantai papan rumah ini. Lehernya hampir putus terbabat senjata tajam.

Rangga menggeram menyaksikan kekejaman ini. Beberapa mayat masih ditemukan di sekitar rumah Ki Jagabaya ini. Semua dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Bau anyir darah menyebar ke mana-mana, terbawa tiupan angin senja sejuk sepoi-sepoi.

"Oh, tolong...," terdengar suara rintihan lirih.

Rangga menoleh. Tampak seorang laki-laki tua tengah mengerang kesakitan dekat pojok rumah. Sebelah tangannya buntung, dan perut robek hingga ususnya terburai. Rangga bergegas menghampiri laki-laki tua itu. Dia jongkok, lalu mengangkat ke-pala orang itu yang masih bergerak lemah.

"Oh, tolong. Tolong selamatkan Nini Ratih," lirih suara laki-laki tua itu.

"Di mana Ratih?" tanya Rangga.

"Di..., diculik...."

"Siapa yang menculik?"

"Set..., Setan Arak."

Rangga tercengang ketika mendengar nama Setan Arak disebut. Dia ingin bertanya lagi, tapi laki-laki tua itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Pelan-pelan diletakkan tubuh laki-laki tua itu, lalu bangkit berdiri sambil memandangi mayat yang masih baru itu.

Saat kaki Rangga melangkah ke depan rumah kepala desa, Rangga melihat sebuah guci arak dari tanah liat tergeletak di lantai beranda rumah. Di dekatnya tampak sebuah meja kecil terguling. Rangga menghampiri dan mengambil guci itu.

"Setan Arak, apa urusannya membantai keluarga Ki Jagabaya?" gumam Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti itu tiba-tiba tersentak ketika telinganya mendengar desiran angin. Segera dia melompat ke luar. Sekelebat matanya masih menangkap bayangan hijau melesat turun dari atas genteng. Pendekar Rajawali Sakti pun mengempos tenaga, lalu melompat tinggi melewati atap. Dua kali dia berputar di udara, lalu hinggap kembali di tanah.

"Hm, siapa dia?" bisik Rangga bertanya dalam hati.

Matanya yang setajam mata Rajawali, cepat melihat bayangan hijau yang masih berkelebat menembus lebatnya pepohonan. Walaupun sinar matahari senja itu sangat membantu bayangan hijau untuk cepat menyelinap, namun bagi Pendekar Rajawali Sakti hal itu tidaklah sulit untuk mengintainya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga menjejak tanah seraya mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Seketika tubuhnya menjadi ringan bagai kapas. Dalam sekejap Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat menembus lebatnya pepohonan di bagian belakang rumah Ke-pala Desa Ganggang ini. Gerakannya begitu ringan dan cepat seperti tidak menapak tanah lagi.

"Uh! Dia hanya berputar-putar saja!" dengus Rangga merasa telah tiga kali melewati jalan yang sama.

Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi, lalu hinggap di atas dahan pohon yang tinggi menjulang. Matanya nyalang memutari sekitarnya, dan tertumbuk pada kelebatan bayangan hijau kembali yang bergerak ke sebelah barat Rangga terus mengamati ke mana saja bayangan itu bergerak. Ternyata bayangan itu tidak lagi berputar ke arah yang sama, melainkan menuju ke arah Utara.

"Mau ke mana dia? Bukankah arah itu menuju ke Bukit Batu Tiga?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.

Segera saja Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dan dibarengi dengan ilmu 'Sayiti Angin'. Kini tubuhnya melayang ringan bagai selembar bulu halus. Seperti seekor burung, pendekar muda itu melenting dari satu ujung pohon ke ujung pohon lainnya. Namun demikian, matanya tidak lepas mengamati bayangan hijau yang berada cukup di depannya.

"Sampai di mana, aku akan mengikutinya! Penasaran juga, siapa sih dia?" otak Rangga terus berputar.

Sementara senja telah berganti malam. Situasi ini sangat menguntungkan bagi Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya yang melayang dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon yang lain, sulit terlihat oleh mata manusia biasa. Seorang tokoh sakti pun, mungkin hanya dapat melihat bayangannya saja yang berkelebatan. Suatu perpaduan ilmu kesaktian yang sangat sempurna.

Namun begitu, Rangga juga mengakui kelebihan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si bayangan hijau itu. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti telah memadukan dua ilmunya itu, tapi masih juga belum dapat mengejar bayangan tadi. Jaraknya memang semakin dekat saja, tapi memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengejar.

Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun dari atas pohon ketika telah tiba di puncak Bukit Batu Tiga. Memang sesuai dengan namanya, tepat di tengah-tengah puncak bukit ini terdapat tiga buah batu yang bentuknya sama dengan posisi yang berjajar. Jika malam seperti ini, tiga batu itu bagai tiga raksasa yang selalu siap menjaga bukit ini. Bentuknya besar hitam, menjulang di antara pucuk-pucuk pepohonan.

Bola mata Pendekar Rajawali Sakti beredar ke sekeliling. Keadaan Bukit Batu Tiga ini telah gelap gulita. Kabut semakin tebal menyelimuti puncaknya, menambah pekat dan dingin di tempat itu.

"Ke mana dia? Mengapa menghilang di sini?" Rangga bertanya dalam hati.

Pelan-pelan kakinya terayun mendekati tiga batu besar yang menyerupai raksasa. Bola matanya terus mengamati keadaan sekitarnya. Suasana sunyi senyap menyelimuti sekitar puncak ini. Terasa lengang dan nyaris tanpa suara. Hanya desir angin saja yang terdengar lembut menerpa daun telinga. Binatang malam pun seperti enggan memperdengarkan suaranya.

Rangga berhenti tepat di depan batu yang berada di tengah dari tiga batu besar yang berbentuk sama berjajar. Sebentar diamatinya batu hitam besar yang ada di depannya, lalu kembali mengamati ke sekeliling. Keadaan masih tetap sunyi kecuali desah angin malam yang dingin.

Saat Pendekar Rajawali Sakti dalam keadaan bingung, mendadak berkelebat cahaya keperakan ke arahnya. Hanya sedikit saja dimiringkan tubuhnya, maka sinar itu hanya lewat di samping bahu, dan menancap di batu besar hitam pekat

"Uts!"

Belum sempat Rangga melirik benda yang tertancap itu, mendadak muncul kembali cahaya keperakan. Untunglah pendekar muda ini cepat menggeser kakinya ke kiri. Dengan gerakan tangkas, tangannya menangkap cahaya keperakan itu.

"Ruyung perak...," desis Rangga pelan. Belum juga bibirnya kering, kembali sinar meluncur deras. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti harus bersalto menghindari serangan gelap yang mendadak itu. Matanya yang tajam dapat cepat mengetahui sumber senjata-senjata rahasia itu berasal. Segera kedua tapak kakinya dihentakkan ke batu.

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan sebatang anak panah lepas dari busur, meluncur deras ke arah sinar-sinar keperakan itu muncul. Masih dalam keadaan melayang, pendekar muda ini melontarkan pukulan jarak jauh.

Tiga sosok tubuh berlompatan dari balik pohon besar yang hancur berantakan terkena pukulan jarak jauh dengan kekuatan tenaga dalam yang tinggi. Rangga berputar dua kali di udara sebelum kakinya menjejak tanah dengan manis. Tiga sosok tubuh itu juga mendarat dengan indah.

"Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Rajawali Sakti," kata salah seorang yang berada di tengah dari tiga orang itu.

"Kaliankah yang berjuluk Tiga Setan Neraka?" tanya Rangga.

"Tidak salah!"

Rangga mengamati orang yang berada di tengah. Pakaiannya serba hijau. Dan wajahnya..., persis seperti mayat! Dingin, pucat, dan kaku, tanpa garis kehidupan. Memang ketioa orang itu adalah, Sanggamayit, Iblis Mata Satu, dan Setan Jerangkong.

"Orang lain boleh gentar dengan julukan kalian. Tapi aku malah ingin meminta nyawa kalian," terdengar dingin suara Rangga.

"He he he...," Iblis Mata Satu terkekeh. "Biarkan aku yang memberi pelajaran pada bocah sombong ini"

"Hati-hati," bisik Sanggamayit

Iblis Mata Satu menjawab dengan suara tawa terkekeh. Kakinya bergerak maju. Langkahnya baru terhenti setelah jaraknya dengan Pendekar Rajawali Sakti berkisar satu batang tombak.

"Majulah, serang aku!" dengus Iblis Mata Satu.

"Hm, sebaiknya kalian bertiga maju semua," ejek Rangga.

"Tidak perlu! Salah seorang dari kami pun kau belum tentu dapat menandingi," Iblis Mata Satu tidak kalah meremehkan.

"Jangan menyesal kalau kau mati lebih dulu."

"He he he..., mulutmu rasanya perlu dibuat lebar lagi, bocah."

Selesai berkata demikian, Iblis Mata Satu segera mendorong tangan kanannya ke depan. Seberkas sinar merah meluncur deras dari telapak tangannya yang terbuka. Rangga hanya memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Sinar itu hanya lewat begitu saja di sampingnya.

Belum lagi Rangga merobah posisinya, tangan kiri Iblis Mata Satu telah mendorong ke depan. Kilatan sinar merah kembali meluncur deras. Rangga menarik tubuhnya ke kanan, namun dari arah kanan juga telah meluncur sinar merah.

Sadar kalau posisinya terjepit, Rangga langsung melesat ke udara. Tanpa sungkan-sungkan lagi dikeluarkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Bagai kilat tubuh Rangga meluncur ke arah Iblis Mata Satu. Tangannya mengepak cepat dan kuat bagai sepasang sayap rajawali.

"Bangsat!" umpat Iblis Mata Satu tidak menyangka kalau lawannya mampu menghindar, dan bahkan dengan cepat membalas serangannya.

Iblis Mata Satu menarik kakinya mundur dua tindak menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun belum sempat bertindak, tangan kiri pendekar muda itu telah berkelebat lagi menyapu ke arah dada. Iblis Mata Satu tidak ada pilihan lain, kecuali mengangkat tangannya menangkis kibasan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.

Trak!

Dua tangan beradu keras sehingga menimbulkan suara bagai kayu patah. Iblis Mata Satu melompat mundur sambil meringis menahan sakit Tangannya seperti remuk saat berbenturan tadi. Sementara Rangga telah bersiap-siap hendak menyerang kembali. Kedua tangannya terkembang bergerak cepat menyerang lawan yang tengah merasakan sakit pada pergelangan tangannya.

Bet!

Sebatang ranting kering menghantam ujung jari tangan Rangga pada saat hampir mengenai dada Iblis Mata Satu. Cepat-cepat Rangga menarik tangannya. Kesempatan yang sedikit ini dimanfaatkan Iblis Mata Satu untuk mengirimkan tendangan mautnya. Untunglah pendekar satu ini cepat melompat mundur menghindari tendangan maut lawan.

"Curang!" dengus Rangga geram.

"Dalam pertarungan tidak ada yang jujur," sinis suara Iblis Mata Satu. Pergelangan tangan kanannya tidak ada lagi terasa nyeri.

Rangga menggeram menatap dua orang yang tersenyum-senyum mengejek. Rangga tidak tahu, siapa di antara dua orang itu yang berlaku curang dengan melempar ranting pada saat Iblis Mata Satu hampir dapat dikalahkan.

"Maju kalian semua, keparat!" geram Rangga.

"He he he..., sudah kukatakan, melawan aku saja kau tidak bakalan mampu menandingi," ejek Iblis Mata Satu. Kata-katanya pelan dan teratur tapi sangat menusuk gendang telinga. Menyakitkan.

Berkerut geraham Rangga menahan marah. Dia benar-benar tidak menyukai cara bertarung Tiga Setan Neraka. Untungnya mereka membokong hanya dengan ranting kering. Mungkin kalau pertarungan telah mencapai tingkat paling tinggi, bisa-bisa mereka menggunakan senjata rahasia untuk membokong. Rangga mendengus menyadari kecurangan dan kelicikan Tiga Setan Neraka yang menghalalkan segala cara.

"Hm, aku harus memperhatikan yang lain juga," gumam Rangga dalam hati.

"Mengapa diam saja bocah? Takut?" ejek Iblis Mata Satu.

"Phuih!" Rangga menyemburkan ludahnya ke tanah.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dia yakin dengan jurus ini saja Iblis Mata Satu masih belum dapat menandingi. Memang, cara bertarung Tiga Setan Neraka tidak seperti tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya. Oleh sebab itu, Rangga harus lebih waspada terhadap serangan gelap.

"Awas kepala!" teriak Rangga keras dan tiba-tiba.

"Uts!" Iblis Mata Satu merunduk ketika tangan kiri Rangga menyapu bagian kepalanya.

Tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti hanya lewat beberapa helai rambut di atas kepala lawan. Namun dengan cepat, tangan kanan Rangga bergerak menyodok ke arah ulu hati. Gerakan yang hampir bersamaan itu membuat Iblis Mata Satu terkesiap. Tanpa memikir dua kali, dilentingkan tubuhnya ke belakang.

Kesempatan inilah yang ditunggu Rangga. Ketika tubuh iblis Mata Satu berada di udara, secepat kilat dia meloncat dengan dua tangan terkembang ke samping. Lalu dengan cepat tubuhnya meluruk dengan kaki bergerak cepat seperti baling-baling menuju ke arah lawan.

Sedikit lagi kaki Rangga mengenai sasaran, mendadak seberkas sinar keperakan mengancam kakinya. Rangga yang sejak tadi mengawasi dua orang yang berdiri menyaksikan, dengan cepat merobah posisi tubuhnya. Dan...

Tring!

Pendekar Rajawali Sakti menyentil senjata rahasia yang dilepaskan Sanggamayit untuk menyelamatkan Iblis Mata Satu. Senjata itu pun kini berbalik arah dengan cepat ke pemiliknya. Tentu saja Sanggamayit menjadi terkejut. Buru-buru dikerahkan tangannya menangkap senjata rahasianya sendiri.

Pada saat yang bersamaan, Rangga berhasil menghantam Iblis Mata Satu dengan menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Iblis Mata Satu yang posisinya kurang menguntungkan, segera mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk memapak serangan itu.

"Akh!" Iblis Mata Satu memekik tertahan. Seketika itu juga tubuhnya mencelat dan terhempas deras ke tanah. Dari mulutnya menyembur darah segar. Wajah Iblis Mata Satu meringis merasakan seluruh tubuhnya bagai remuk terhantam batu karang yang amat kokoh dan keras.

Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti juga sempat terdorong dua langkah ke belakang. Sedikit dia terhuyung, namun dengan cepat kembali bersiap-siap menerima serangan. Beberapa saat ditunggu, tapi tak ada serangan yang datang dari pihak lawan. Matanya tajam menatap dua orang dari Tiga Setan Neraka yang masih berdiri di tempatnya. Sedangkan Iblis Mata Satu telah dapat bangkit lagi. Dari sudut bibirnya masih mengucur darah segar.

"Mundur kau, Iblis Mata Satu," pelan suara Sanggamayit, tapi cukup jelas terdengar.

Iblis Mata Satu hanya mendengus. Dia melirik sebenrar pada Pendekar Rajawali Sakti, lalu mundur mendekati dua saudara angkatnya. Dengan ujung lengan baju, disekanya darah yang merembes dari sudut bibirnya.

"Dia terlalu tangguh buatmu, jika kau lawan sendirian," kata Sanggamayit setengah berbisik.

"Ilmunya sungguh luar biasa. Untung kugunakan aji 'Lapis Karang Baja'," dengus Iblis Mata Satu.

"Kau terluka?" tanya Setan Jerangkong.

"Tidak. Hanya dadaku terasa sesak sedikit," jawab Iblis Mata Satu mengakui.

"Semadilah dahulu. Biar kugantikan," ujar Setan Jerangkong.

"Hati-hati," Iblis Mata Satu memperingatkan.

Setan Jerangkong hanya tersenyum tipis. Kemudian dia melompat dan turun tepat sekitar lima langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti. Setan Jerangkong yang telah menilai pertarungan sebelumnya, tidak mau gegabah. Sikapnya memang masih meremehkan, namun sinar matanya tajam menusuk menandakan kesungguhan.

"Sudah kukatakan, majulah kalian bertiga!" ejek Rangga.

"Jangan banyak bacot! YeaahhJ" Setan Jerangkong yang kurus kering itu segera mengeluarkan jurus mautnya. Rangga hanya mengernyitkan alisnya sedikit melihat manusia yang lebih mirip tengkorak hidup ini menggerak-gerakkan tangannya yang kurus kering. 'Tahan seranganku'" teriak Setan Jerangkong.

********************

Rangga mulai dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' kembali. Kedua tangannya langsung merentang ke samping dan bergerak-gerak cepat. Bahkan setiap gerakannya kini menimbulkan suara menderu dan menyebarkan hawa panas yang kian lama kian menyengat kulit.

Gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sangat cepat dan lincah menghindari setiap serangan lawan. Beberapa kibasannya kali ini hampir mengenai sasaran. Setan Jerangkong menyumpah-nyumpah geram menghadapi kenyataan, karena setiap serangannya selalu kandas. Bahkan dia hampir-hampir tidak tahan lagi merasakan hawa panas yang keluar dari setiap kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Memang, pendekar satu ini mengerahkan jurus gabungan Sayap Rajawali Membelah Mega dengan hawa panas yang diambilnya dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali鈥�.

Tiba-tiba tubuh Rangga melenting ke atas, lalu dengan cepat merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Perubahan jurus yang tiba-tiba ini membuat Setan Jerangkong kelabakan.

"Bedebah! Kadal busuk!" umpat Setan Jerangkong.

Secepat kilat, dibuang tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali sebelum bangkit berdiri. Belum juga pijakan kakinya mantap, mendadak kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti melayang deras.

Plak!

Setan Jerangkong menangkis kaki itu dengan tangan kirinya. Dua langkah dia mundur ke belakang. Bibirnya meringis merasakan nyeri yang amat sangat pada pergelangan tangan kirinya yang berbenturan dengan kaki lawan.

"Awas kaki!" teriak Rangga tiba-tiba.

"Uts!"

Setan Jerangkong terlonjak karena dengan tiba-tiba sekali kaki Rangga menyapu ke arah kakinya. Dan sebelum tiba pada sasaran, dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti merubah sasarannya menjadi ke arah perut Begitu cepatnya perubahan arah itu, sehingga Setan Jerangkong tidak sempat lagi mengelak. Tapi....

"Kurang ajar!" dengus Rangga geram.

Tepat saat kakinya hampir menjejak perut Setan Jerangkong, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hijau yang langsung menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti hingga terdorong dan jatuh bergulingan di tanah.

Dengan sigap Rangga berdiri kembali. Dadanya terasa sesak, napasnya tersengal-sengal. Cepat cepat dikerahkan hawa murni ke dadanya. Dalam waktu yang tak lama, napasnya kembali normal seperti semula.

Rangga menatap tajam Sanggamayit yang kini berdiri di samping Setan Jerangkong. Sedangkan Iblis Mata Satu berada di samping Sanggamayit. Lawan Pendekar Rajawali Sakti kali ini bukan hanya tangguh, tapi juga licik!

Sret, trak, cring!

Hampir bersamaan, Tiga Setan Neraka mengeluarkan senjata andalan mereka masing-masing.

Iblis Mata Satu kini menggenggam sepasang golok besar berkilatan. Sanggamayit kini telah siap dengan dua tongkat pendek yang memiliki rantai pada ujungnya. Masing-masing ujung rantai terdapat tiga bola besi baja berduri. Sedangkan Setan Jerangkong telah siap dengan sepasang pedang tipis panjang berwarna putih kemilauan. Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong melompat ke samping agak ke depan. Mereka terus bergeser ke samping kiri dan kanan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hemm...," Rangga hanya bergumam melihat posisi lawan-lawannya yang telah mengepung dari tiga jurusan.

"Cabut senjatamu, bangsat!" teriak Sanggamayit keras.

Rangga berdiri tegak dan tenang. Matanya tetap tertuju pada Sanggamayit. Dia telah dapat menilai kalau ilmu Sanggamayit yang seperti mayat hidup ini jauh lebih tinggi daripada yang lainnya. Buktinya, tiga kali serangan mautnya gagal karena campur tangan Sanggamayit yang tepat pada waktunya.

"Jangan katakan aku kejam kalau kau mati tanpa senjata!" dengus Sanggamayit

"Majulah kalian!" dingin dan datar suara Rangga.

Baru saja Rangga selesai berkata, mendadak Setan Jerangkong berteriak nyaring sambil melompat. Dua pedang tipisnya berkelebat masing-masing mengarah ke leher dan perut lawan.

Rangga menggeser kakinya ke samping, namun dari arah lain Iblis Mata Satu juga langsung menyerang sambil membabatkan sepasang golok besarnya. Cepat-cepat Rangga mundur dua tindak ke belakang. Dua serangan yang datang secara bersamaan, lolos begitu saja.

Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti dapat bernapas lega, datang lagi serangan dari arah depan. Kali ini dia terpaksa melesat ke udara menghindari serangan mendadak lagi beruntun itu. Cukup dahsyat serangan senjata Sanggamayit. Begitu menghantam tanah, seketika tanah itu berlubang. Sementara, Pendekar Rajawali yang masih berada di udara melakukan gerakan memutar dua kali lalu mendarat di belakang Sanggamayit. Secepat kilat dilayangkan kaki kirinya ke arah punggung.

Bet!

Iblis Mata Satu menyabetkan goloknya ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Secepat kilat Rangga menarik kakinya kembali. Sanggamayit sekarang giliran menyerang. Dia berbalik cepat sambil mengayunkan senjatanya. Suaranya mendesing terdengar hebat Rangga menarik kepalanya ke belakang menghindari tiga bola berduri yang dihubungkan dengan rantai ke tongkat pendek di tangan Sanggamayit. Bola-bola berduri itu lewat sedikit di depan wajah Rangga.

"Mampus kau, bangsat'" dengus Setan Jerangkong tiba-tiba.

Suara mendesing datang dari arah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Cepat sekali dia melompat ke kanan, dan pedang tipis Setan Jerangkong lewat begitu saja. Serangan-serangan maut datang silih berganti tanpa memberi kesempatan sedikit pun bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bernapas. Satu serangan berhasil dielakkan, serangan lain muncul dari arah yang berbeda. Begitu seterusnya hingga dalam waktu yang singkat saja telah melewati lima jurus.

Meskipun lawan-lawannya menggunakan senjata, namun Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak kelihatan terdesak. Setiap serangan lawan berhasil dielakkan dengan manis, bahkan sesekali dibalasnya serangan itu meski selalu kandas juga. Dalam hati, Rangga memuji kerja sama Tiga Setan Neraka yang saling mengisi dan membantu.

"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara mengikik menggema.

Seketika pertarungan itu pun berhenti. Suara tawa tadi ternyata disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sehingga membuat telinga terasa sakit Makin lama suara itu terdengar makin keras dan menyakitkan. Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk menandingi suara tawa itu. Demikian pula yang dilakukan Tiga Setan Neraka.

"Huh! Siapa lagi ini?" tanya Rangga dalam hati sedikit sebal.

********************

ENAM

Seorang laki-laki berpakaian compang-camping muncul dari balik rimbunan semak. Di pinggangnya tergantung sebuah guci arak. Juga tangannya yang tak lepas mencekik leher sebuah guci lagi. Sebentar-sebentar dituangnya cairan arak ke mulutnya.

"Huh! Habis!" dengusnya sambil menggoyang-goyang guci arak yang telah kosong.

"Setan Arak," gumam Sanggamayit. 'Tanpa diundang kau pun muncul juga di sini."

"Hik hik hik...," Setan Arak tertawa mengikik seraya menoleh ke arah Sanggamayit.

Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu melompat bersamaan, lalu berdiri di samping kanan dan kiri Sanggamayit. Di tangan mereka masih tergenggam senjata. Sementara Rangga menatap tajam pada Setan Arak. Dia teringat laki-laki tua yang sekarat di rumah Kepala Desa Ganggang yang mengatakan kalau Setan Arak lah yang menculik Ratih. Tapi di mana Ratih sekarang berada? Dan kini, Setan Arak hanya sendirian saja.

"Kau punya urusan dengan mereka, anak muda?" tanya Setan Arak seraya menoleh pada Rangga. "Aku juga punya urusan denganmu, Setan Arak," sahut Rangga dingjn.

"He he he..., kita baru kali ini bertemu. Tidakkah kau salah ucap?"

"Di mana Ratih kau sembunyikan?" tanya Rangga spontan.

"Gadis cantik itu? Ada! Dia baik-baik saja. Kau kekasihnya?"

Merah padam wajah Rangga melihat tingkah Setan Arak yang seperti tak berdosa saja.

"Kalau iya, kau mau apa? Tunjukkan, di mana Ratih kau sembunyikan?!"

"Sabar, anak muda. Aku justru ke sini ingin mencarimu. Gadismu itu tidak kurang suatu apapun. Hanya dia perlu sedikit istirahat untuk memulihkan...."

"Setan! Kau apakan dia?!" geram Rangga memutus kalimat Setan Arak.

"He he he...," Setan Arak hanya tertawa saja.

"Bedebah! Kau harus bayar mahal atas perbuatanmu!" geram Rangga makin memuncak kemarahannya.

Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengirimkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ke arah Setan Arak. Namun belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan tangan, tiba-tiba terdengar teriakan keras mencegah.

"Kakang, jangan...!" Rangga langsung menoleh. Tampak Ratih berlari keluar dari semak-semak tempat Setan Arak tadi muncul. Ratih segera menghampiri Rangga. Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti ini menjadi bingung melihat keadaan Ratih yang seperti tidak terjadi apa-apa atas dirinya.

"Ratih, kau tidak apa-apa?" tanya Rangga.

"Tidak, Kakang. Kakek Setan Arak telah menolongku," sahut Ratih.

Rangga menatap Setan Arak yang masih terkekeh. Kakinya terayun mendekati dua anak muda itu. Bola mata Rangga memandang Ratih dan Setan Arak bergantian. Dia masih kurang percaya kalau laki-laki berpakaian compang-camping ini telah menyelamatkan Ratih. Terngiang kembali kata-kata lemah dari laki-laki tua yang sekarat di pojok rumah Ki Jagabaya. Apakah telinganya yang kurang beres pada saat itu? Atau laki-laki tua itu yang salah lihat? Pikiran Rangga terus berputar.

"Seharusnya aku memang tidak pergi," pelan suara Rangga seperti menyesal.

"Mereka datang ketika Kakang belum lama pergi," sahut Ratih.

"Mereka? Mereka siapa?" desak Rangga.

Ratih menatap Tiga Setan Neraka. Rangga cepat mengerti bahwa tiga orang itulah yang membantai keluarga gadis cantik ini. Geraham Pendekar Rajawali Sakti bergemelutuk seketika. Benar-benar keji, membantai habis satu keluarga. Bahkan kini mereka menyebar fitnah!

"Maafkan kekhilafanku," ujar Rangga menatap Setan Arak

"He he he...," Setan Arak hanya terkekeh saja.

Rangga melangkah menghampiri Tiga Setan Neraka yang masih diam di tempat. Namun baru saja melangkah dua tindak, tangan Setan Arak merentang menghalangi.

"Kau tidak bisa melawan mereka dengan tangan kosong," kata Setan Arak.

Rangga menurunkan tangan Setan Arak dengan lembut sambil tersenyum tipis. Sama sekali dia tidak bermaksud meremehkan peringatan laki-laki kumal itu. Ucapannya memang benar, tanpa senjata rasanya sulit mengalahkan mereka bertiga. Tapi Rangga masih yakin dan ingin mencoba lagi dengan jurus-jurus andalannya.

Langkah kakinya terayun kembali menghampiri Tiga Setan Neraka yang telah bersiaga penuh. Semua percakapan tadi telah mereka dengar dengan jelas. Tidak dapat dipungkiri kalau Tiga Setan Nerakalah yang membantai hampir seluruh keluarga Ki Jagabaya dan pekerja-pekerja di rumah itu. Hanya Ratih yang selamat karena ditolong oleh Setan Arak.

Sanggamayit memanfaatkan kemunculan Setan Arak dengan meletakkan guci arak di lantai. Hal ini dimaksudkan untuk mengelabui agar semua orang menyangka kalau perbuatan itu dilakukan oleh Setan Arak. Ternyata rencana jahatnya itu tidak berumur panjang. Maka kini Tiga Setan Neraka harus menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

"Kini saatnya kalian harus mati!" dengus Rangga sambil bersiap-siap membuka jurus terakhir dari rangkaian lima jurus Rajawali Sakti.

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak, sehingga seperti bertambah banyak saja. Inilah jurus 'Seribu Rajawali'. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti seperti berjumlah seribu.

Untuk beberapa saat, Tiga Setan Neraka menjadi tertegun melihat kenyataan itu. Seperti mereka telah terkepung oleh sekian banyak Pendekar Rajawali Sakti. Serentak mereka saling membelakangi dengan sikap berjaga-jaga. Teriakan-teriakan keras tiba-tiba saja terdengar membahana. Belum lagi senyap suara-suara itu, mendadak Pendekar Rajawali Sakti yang kini seperti berjumlah seribu, menyerang dari segala penjuru.

Tiga Setan Neraka menghalau setiap serangan yang datang bertubi-tubi itu. Sanggamayit mengkelebatkan senjatanya untuk membalas serangan lawan. Dia yakin betul kalau bandul besi baja berduri dari senjatanya itu telah mengenai tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata meleset sama sekali. Bandul itu hanya menghantam bayangan kosong saja. Sanggamayit menjadi terkesiap.

"Lihat kakinya!" seru Sanggamayit setelah mampu konsentrasi kembali.

Sanggamayit kini mulai dapat menerka kelebihan dan kelemahan jurus milik Pendekar Rajawali Sakti. Mendengar peringatan itu, Setan Jerangkong langsung mengarahkan pedang kembarnya ke arah kaki lawan. Demikian pula dengan Iblis Mata Satu yang melakukan hal yang sama.

Sedangkan Sanggamayit yang lebih cerdik, hanya sesekali saja menyerang. Dia baru mau menyerang jika melihat sepasang kaki telah menjejak tanah. Sedangkan kaki-kaki lain tampak seperri ngambang di atas tanah. Kini dapat dibedakan, mana Pendekar Rajawali Sakti yang asli, dan mana yang palsu.

Tepat ketika sepasang kaki yang menjejak tanah berada di depannya, dengan cepat dilontarkan bandul besinya yang berduri tajam. Serangan-serangannya beruntun bagai kilat menyambar ke arah kaki yang bergerak ke mana saja. Sanggamayit terus mencecar.

"Jangan pedulikan yang lain, bantu aku!" seru Sanggamayit.

Rangga tentu saja terkejut mendengar seruan itu. Berarti Sanggamayit telah mengetahui wujudnya yang asli. Dan benar saja, ketika Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong membantu serangan Sanggamayit, mendadak ribuan Pendekar Rajawali Sakti menjadi lenyap. Kini yang ada hanya wujud aslinya saja yang tengah kewalahan menghindari serangan lawan yang datang dari tiga penjuru.

"Setan!" dengus Rangga sambil mencelat ke belakang sejauh satu batang tombak.

Sret!

Tepat saat kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah mencabut pedang pusaka dari sarungnya yang bertengger di punggung. Seketika cahaya biru berkilau menerangi sekitarnya. Pamor pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti benar-benar membuat Tiga Setan Neraka terkesima. Begitu banyak senjata pusaka yang mereka telah lihat, tapi rasanya baru kali ini mereka menyaksikan pedang pusaka yang memiliki pamor seperti itu.

Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu langsung menggeser kakinya melebar ke samping. Rangga yang kini berada di tengah-tengah berkonsentrasi penuh terhadap setiap gerakan tiga orang yang mengepungnya dari tiga jurusan. Kakinya bergerak memutar perlahan-lahan, matanya tajam menatap setiap orang yang mengepungnya sambil mempermainkan senjata.

Set, set, set!

Tiba-tiba Sanggamayit melepaskan senjata-senjata rahasia dengan cepat, dan meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dengan tangkas pendekar muda ini mengibaskan pedangnya, sehingga sinar biru berkelebatan seperti melindungi dirinya.

Cring, cring, cring!

Senjata rahasia yang berupa ruyung perak segera rontok berjatuhan di tengah jalan. Padahal tadi dilontarkan dengan kekuatan tenaga dalam yang kuat. Tak satu pun senjata rahasia Sanggamayit berhasil menemui sasaran. Tapi rupanya serangan itu hanya sebuah pancingan. Ketika Rangga sibuk memutar pedangnya untuk menghalau senjata rahasia beracun itu, secepat kilat Sanggamayit melompat seraya mengayunkan senjata andalannya

Rangga menarik kepalanya ke belakang menghindari sabetan bola-bola berduri. Dan belum sempat membenahi posisinya, mendadak berkelebat sebuah golok dari arah samping kanan. Golok Iblis Mata Satu itu mengarah ke kaki. Cepat-cepat Rangga menaikkan kaki kanannya, maka golok itu hanya lewat di bawah telapak kakinya saja.

"Mampus...!" dengus Setan Jerangkong sambil menghujam pedang tipisnya ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

Masih dalam keadaan kaki kanan terangkat, Pendekar Rajawali Sakti memiringkan badannya ke kanan. Dan tusukan pedang itu hanya lewat sedikit di depan dada. Namun serangan yang gagal itu ternyata dibarengi oleh satu tendangan menggeledek ke arah punggung.

Posisi Rangga memang tidak menguntungkan. Dia terlambat untuk menghindar. Dengan telak tendangan Setan Jerangkong menghantam punggungnya. Rangga terdorong ke depan beberapa langkah, tapi dengan cepat diputar tubuhnya sambil mengibaskan pedang. Sinar biru berkelebat cepat bersamaan dengan berputarnya tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.

Trang! Setan Jerangkong yang berada paling dekat, menangkis senjata bersinar biru itu. Pijaran bunga-bunga api meletik ketika dua senjata beradu keras. Rangga tersentak, karena tangannya seketika bergetar setelah senjatanya ditangkis Setan Jerangkong. Segera dia mundur dua langkah. Yang dialami Setan Jerangkong lebih hebat lagi. Ujung mata pedang tipisnya gompal, dan hampir terlepas dari genggaman. Setan Jerangkong menyumpah-nyumpah karena seluruh jari tangannya menjadi terasa kaku.

"Kakang, awas...!" tiba-tiba Ratih menjerit keras.

Bersamaan dengan itu, dari arah samping kanan berkelebat tiga buah bola berduri dengan cepat Rangga tidak sempat menoleh lagi, segera diangkat pedangnya sambil menarik tubuhnya ke kiri.

Cring!

Rantai yang menghubungkan bola-bola berduri dengan tongkat melilit mata pedang Rajawali Sakti. Rangga membetot senjatanya dengan pengerahan tenaga dalam, namun lilitan rantai bola baja itu kian kuat. Maka terjadilah tarik menarik dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Otot-otot tangan Pendekar Rajawali Sakti bersembulan, terlapis kulit yang basah oleh keringat sehingga berkilatan. Wajahnya tegang memerah, pertanda tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Demikian juga yang dialami Sanggamayit Wajahnya yang pucat bagai mayat, semakin pucat pasi saja. Kedua bola matanya kelihatan memutih. Yang ada hanya titik hitam kecil saja yang kelihatan berada di tengah-tengah dua bola matanya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Adu tenaga dalam lewat dua jenis senjata yang menempel, terus berlangsung lama. Kelihatan sekali kalau kekuatan tenaga dalam kedua tokoh ini hampir seimbang. Mereka berdiri tegak dengan kedua kaki tertanam kokoh di atas tanah.

"Hm, ini kesempatan untukku," gumam Setan Jerangkong.

Secepat kilat, laki-laki kurus kering itu melompat. Pedang tipis di tangan kanannya berkelebat membabat leher Pendekar Rajawali Sakti. Dalam keadaan seluruh tenaga dan perhatiannya terpusat pada Sanggamayit, pendekar satu ini tidak bisa lagi mengelak dari bokongan itu.

Buk!

"Aaaakh...!" tiba-tiba saja Setan Jerangkong menjerit keras.

Begitu pedangnya tepat membabat leher Pendekar Rajawali Sakti, ternyata dirasakannya seperti menghantam segumpal karet keras saja. Pedang tipisnya terlontar, sedangkan seluruh tangannya bagai dirubung berjuta-juta kala berbisa.

Setan Jerangkong terdorong sejauh satu tombak ke belakang. Bibirnya meringis, sambil tangan kirinya mengurut-urut tangan kanannya. Pedangnya yang terlontar jauh kini menancap pada sebatang pohon. Setan Jerangkong segera duduk bersila ketika dirasakan tubuhnya menjadi panas. Cepat-cepat disalurkan hawa murni ke seluruh jalan darahnya. Wajahnya kelihatan semakin memerah dengan keringat bercucuran deras. Setan Jerangkong terus bertarung melawan hawa panas yang kian menggila di dalam tubuhnya.

Apa sebenarnya yang terjadi pada Setan Jerangkong?

********************

Pada waktu Setan Jerangkong melancarkan bokongan, ternyata Pendekar Rajawali Sakti tengah mengerahkan kekuatan jurus 'Seribu Rajawali' yang dibarengi dengan kekuatan tenaga dalamnya. Kekuatan yang berlipat ganda dari jurus 'Seribu Rajawali' dan disertai tenaga dalam jurus 'Inti Bumi' memang sungguh dahsyat akibatnya. Memang tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak berubah menjadi seribu jumlahnya, tapi kekuatan dalam tubuhnya sama dengan seribu Pendekar Rajawali Sakti yang tergabung menjadi satu. Dalam keadaan seperti itu, biasanya Pendekar Rajawali Sakti hanya mengambil inti-inti seluruh jurus andalan yang disertai dengan pengerahan ilmu kesaktian tenaga dalam.

Tidak mengherankan jika Setan Jerangkong yang terkena jurus gabungan itu menjadi terhenyak. Tubuh Rangga yang menjadi kebal terhadap segala senjata tajam itu, ternyata juga punya daya tolak yang amat besar disertai penyemburan hawa panas ke seluruh tubuh penyerangnya.

Sementara itu Sanggamayit mulai kelihatan terdesak kekuatannya. Semakin dikerahkan seluruh kekuatannya, semakin panas seluruh tubuhnya. Bahkan dari ubun-ubun kepalanya asap tipis mulai kelihatan mengepul. Wajah Sanggamayit kini malah berubah merah. Ini pertanda kalau dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sampai pada tahap yang paling tinggi.

Bres...!

Tiba-tiba saja kedua kaki Sanggamayit melesak ke dalam tanah. Tubuhnya mulai bergetar. Titik hitam kecil pada bola matanya berputar-putar bersamaan dengan tergeleng-gelengnya kepala Sanggamayit.

"Yeaaah...!" mendadak Rangga berteriak melengking sambil membetot pedang pusakanya yang terlilit senjata Sanggamayit.

"Aaaakh...!" Sanggamayit menjerit keras.

Bersamaan dengan terdengarnya jeritan keras itu, tangan kanan Sanggamayit tercabut dari pangkalnya. Darah pun segera menyembur dengan derasnya. Rangga menyentak pedangnya ke atas sehingga tangan yang masih menggenggam senjata tongkat pendek dengan rantai yang menghubungkan bola-bola baja berduri itu terlempar ke udara. Darah menciprat ke mana-mana.

"Hih!" Sanggamayit menghentak tubuhnya.

Seketika kaki yang telah terbenam hingga ke lutut terangkat ke atas. Tubuh yang kini lengan kanannya buntung, melenting dan bersalto di udara. Sanggamayit limbung sebentar begitu kakinya menjejak tanah. Segera ditotok beberapa jalan darah di sekitar pangkal lengannya yang buntung. Darah berhenti mengalir pada saat itu juga.

Setan Jerangkong yang telah pulih kembali, terkejut melihat tangan kanan Sanggamayit buntung dari pangkalnya. Begitu pula dengan Iblis Mata Satu yang tercengang beberapa saat.

"Bocah edan! Kau harus bayar mahal sebelah tanganku!" dengus Sanggamayit geram.

Setelah berkata demikian, secepat kilat Sanggamayit melompat tinggi dan menghilang di balik kegelapan malam. Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong segera mengikutinya sambil mengerahkan ilmu peringan tubuh. Rangga terkejut melihat tiga lawannya kabur dengan cepat sekali.

"Hey...!" teriak Rangga akan mengejar. Tapi...

"Kakang...!" Ratih berteriak keras. Rangga mengurungkan niatnya. Matanya langsung tertuju pada Ratih yang berlari-lari menghampiri. Sementara Setan Arak berjalan sempoyongan di belakang gadis itu. Tampaknya seperti jalan biasa, padahal Setan Arak ini juga mengerahkan ilmu peringan tubuh, sehingga ketika Ratih tiba di depan Rangga, dia pun telah tiba pula. Pendekar Rajawali Sakti memasukkan pedang pusaka ke dalam sarungnya di punggung. Seketika kegelapan kembali menyelimuti puncak Bukit Baru Tiga ini.

"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Ratih. Suaranya terdengar bernada kecemasan. Rangga hanya tersenyum sambil menggeleng.

"Aku tahu ke mana mereka pergi," kata Setan Arak pelan.

Rangga mengalihkan pandangannya pada laki-laki kumal di samping Ratih.

"Apakah mereka kembali ke istana Parakan, Kek?" tanya Ratih.

"Tidak," jawab Setan Arak.

"Lantas...?"

Setan Arak tidak segera menjawab malah melangkah pelan-pelan. Kepatanya lalu berpaling setelah langkahnya terayun sekitar sepuluh tindak.

"Ikuti aku!" katanya.

"Ayo, Kakang," ajak Ratih.

Rangga mengayunkan langkahnya di samping gadis cantik itu. Pikirannya masih bercabang antara percaya dengan tidak terhadap Setan Arak. Laki-laki kumal itu memang tidak jelas golongannya. Dilihat dari julukannya, sepertinya dia dari golongan hitam. Namun dilihat dari tindak-tanduknya, sepertinya dari golongan putih. Memang aneh tokoh Setan Arak ini.

Sesekali Rangga menatap Ratih yang terus menerus memandangi wajah pendekar muda yang tampan dan sakti ini. Rangga paham betul sorot mata gadis ini. Hatinya mendadak gelisah. Dia tidak ingin ada seorang gadis jatuh cinta kepadanya. Ratih memang cantik dan mempunyai kepandaian yang tidak rendah. Tapi Rangga bertekad untuk tidak mencintai dan dicintai seorang gadis pada saat pengembaraannya.

"Kelihatannya kau kenal betul dengannya," kata Rangga dengan nada bertanya. Matanya melirik Setan Arak yang berjalan di depan.

"lya," sahut Ratih.

Agak kaget juga Pendekar Rajawali Sakti mendengar jawaban yang singkat tapi tegas itu. Tidak disangka sama sekali kalau Ratih telah mengenal baik dengan Setan Arak.

"Kakek Setan Arak bukan orang lain bagiku. Sejak aku berusia lima tahun telah kenal baik dengannya," ungkap Ratih.

"Hm, berarti sejak kau masuk padepokan di Gunung Lawu," gumam Rangga.

"Benar," sahut Ratih. "Dari mana kau tahu?"

"Ayahmu yang menceritakan." Ratih tersenyum tipis. Ada rona mendung terbias di wajahnya. Hanya sebentar, tapi Rangga telah menangkap kemendungan itu.

"Maaf, aku telah mengingatkan pada ayahmu," ucap Rangga setengah berbisik.

"Tidak. Tidak apa-apa," sahut Ratih lirih. Beberapa saat mereka membisu. Tanpa disadari ketiga orang itu telah turun dari Bukit Batu Tiga. Kini mereka menyusuri tepian sungai yang mengalir cukup deras, memperdengarkan alunan suara gemercik air membentur bebatuan. Sungguh indah, tapi ketiga orang itu seperti tidak peduli. Pikiran mereka terus berkecamuk bermacam-macam kemungkinan yang akan terjadi.

"Kau mau bercerita tentang Setan Arak, Ratih?" pinta Rangga setelah cukup lama terdiam.

Ratih tersenyum manis, lalu mengangguk perlahan.

"Saat aku baru menginjak usia lima tahun...," Ratih memulai ceritanya.

"Aku diserahkan Ayah ke Padepokan Gunung Lawu. Di sana, selain pamanku sendiri yang menjadi guru besar, juga ada beberapa tokoh sakti yang mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-murid padepokan. Di sinilah untuk pertama kalinya aku mengenal ilmu olah kanuragan dari Kakek Setan Arak. Sampai aku berumur sepuluh tahun Kakek Setan Arak menjadi guruku. Dan sejak itulah dia tidak pernah terlihat lagi," Ratih sebentar menghentikan ceritanya.

"Lalu, siapa yang menggantikan kedudukannya?" tanya Rangga.

"Pamanku sendiri," sahut Ratih.

"Kau tahu, mengapa Setan Arak meninggalkan padepokan?"

"Tidak."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Ratih sekarang berusia sekitar dua puluh tahun. Jadi tidak mustahil ketika Setan Arak difitnah, dia telah berada di padepokan ini. Yang jelas, tuduhan mencuri kitab pusaka Tapak Geni milik Dewi Agni yang juga guru tunggal Dewi Selaksa Mawar, cuma fitnah belaka yang dilancarkan Tiga Setan Neraka.

Dari rangkaian cerita yang didapat, Pendekar Rajawali Sakti telah dapat mengambil beberapa kesimpulan. Dan semuanya bersumber dari tingkah polah Tiga Setan Neraka.

Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Ditariknya tangan Ratih ke belakang. Sementara itu Setan Arak yang berjalan di depan juga menghentikan langkahnya. Dia menatap Rangga yang memegangi pergelangan tangan Ratih. Setan Arak mengegoskan kepalanya sedikit Rangga paham maksudnya, kemudian dituntunnya Ratih mendekati Setan Arak.

"Hanya satu...," bisik Rangga pelan "Ya. Tampaknya memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi," sahut Setan Arak berbisik pelan.

"Bagaimana? Dibereskan?" tanya Rangga.

"Kalau tidak mengganggu, biarkan saja."

"Baiklah. Ayo jalan lagi."

"Kalian jangan terlalu jauh di belakang."

"Sialan!" umpat Rangga dalam hati.

Peringatan itu memang sarat dengan sindiran halus, tapi cukup nyelekit juga. Ratih pun segera melepaskan pegangan tangan pendekar tampan itu. Kepalanya tertunduk menyembunyikan rona merah pada wajahnya.

Ketiga orang itu kembali mengayunkan langkahnya. Kali ini mereka berjalan sejajar. Ratih berada di tengah. Rangga melangkah sambil mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara' untuk menangkap setiap suara yang terdengar mencurigakan. Keningnya agak berkerut manakala mengetahui kalau orang yang mengikutinya itu memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. Suara orang itu hampir tidak tertangkap meskipun Rangga telah mengerahkan ilmu Pembilah Suara.

"Apa maksudnya dia mengikuti?" tanya Rangga dalam hati. Ketika Rangga mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara' tingkat akhir, barulah dapat terdengar jelas suara-suara langkah kaki ringan yang berada tepat di belakang. Rangga bergumam menghitung jarak. Hanya dua puluh tombak, bisiknya dalam hati. Jarak yang tidak terlalu jauh, tapi tidak dapat terdengar oleh ilmu 'Pembilah Suara' tingkat awal.

Orang yang membuntuti sepertinya memang memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Mungkin seringkat dengan ilmu yang dimiliki Tiga Setan Neraka. Siapa dia sebenarnya? Apa maksudnya mengikuti?

"Teruslah berjalan bersama Ratih, Paman," kata Rangga pelan.

"Akan ke mana, kau?" tanya Setan Arak.

Rangga tidak menjawab malah mencelat cepat, dan tiba-tiba saja telah hilang dari pandangan mata. Tubuh Rangga bagaikan hilang tertelan bumi. Ratih sampai bengong celingukan. Dia baru melangkah lagi setelah tangannya ditarik oleh Setan Arak.

Laki-laki tua kumal itu lalu merenggut dua batang bambu yang banyak berserakan di tepian sungai ini.

"Untuk apa bambu itu, Kek?" tanya Ratih.

"Diamlah, kita jalan terus," ujar Setan Arak.

Ratih langsung diam. Keningnya berkerut melihat Setan Arak berjalan sambil mengetuk-ngetukkan dua bambu mengikuti irama langkahnya, namun sedikit dibedakan. Ratih tersenyum ketika dapat memahami maksud laki-laki kumal ini. Rupanya dia ingin menipu orang yang menguntit dengan tetap mendengarkan langkah tiga pasang kaki. Boleh juga akalnya, pikir Ratih.

********************

TUJUH

Dewi Selaksa Mawar benar-benar terkejut ketika tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti muncul di depannya. Dia melangkah ke belakang dua tindak. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak bertolak pinggang. Matanya tajam menatap perempuan tua yang ditemuinya tengah menangis di Hutan Dandaka.

"Apa maksudmu mengikutiku?" tanya Rangga datar.

"Mengapa Setan Arak tidak kau bunuh sekalian, hah?!" Dewi Selaksa Mawar malah balik bertanya.

"Untuk apa? Dia tidak bersalah, kenapa harus dibunuh?"

"Dia yang mencuri kitab pusaka Tapak Geni!" ketus suara Dewi Selaksa Mawar.

"Kau salah sangka. Dia tidak mencuri kitab pusaka itu. Dia hanya kena fitnah! Setan Arak sama sekali tidak tahu tentang kitab Tapak Geni"

"Huh! Kau telah tertipu oleh sikap baik Setan Arak! Dia bersikap baik karena butuh tenagamu!"

Pendekar Rajawali Sakti itu mengerutkan keningnya. Dia masih belum mengerti kata-kata Dewi Selaksa Mawar. Otaknya kini berputar tujuh keliling memikirkan persoalan yang dihadapi betapa rumit. Penuh liku-liku.

"Dia itu punya dendam pribadi terhadap Tiga Setan Neraka, dan tidak mungkin menandingi mereka. Makanya dia mencuri kitab pusaka Tapak Geni untuk menandingi kesaktian Tiga Setan Neraka," ungkap Dewi Selaksa Mawar.

"Bisa kupercaya kata-katamu?" Rangga masih ragu-ragu.

"Bertahun-tahun aku mencari mereka berempat. Terus terang, aku sendiri belum tentu mampu menghadapi setan-setan itu. Aku merasa berdosa jika belum mendapatkan kitab pusaka Tapak Geni milik guruku. Sekarang aku mengharapkan bantuanmu, Pendekar Rajawali Sakti," Dewi Selaksa Mawar berkata terus terang.

"Di Hutan Dandaka kau tuduh Sanggamayit yang mencuri kitab itu. Dan sekarang beralih ke Setan Arak. Siapa sebenarnya yang mencuri kitab itu?"

"Satu di antara mereka berdua!"

Rangga tersentak mendengar jawaban yang tegas itu. Dewi Selaksa Mawar sendiri belum bisa memastikan, apalagi dirinya yang baru beberapa hari saja terlibat masalah ini. Rangga benar-benar merasa seperti bola yang dilempar ke sana ke mari tanpa tujuan pasti.

Tujuan pertamanya adalah membebaskan penderitaan penduduk Desa Ganggang dari cengkeraman dan kekejaman orang-orang Kerajaan Parakan. Tapi kini persoalannya semakin luas lagi setelah bertemu dengan Dewi Selaksa Mawar. Beberapa macam persoalan yang saling tumpang tindih mulai muncul yang menyangkut orang-orang yang itu-itu juga. Sungguh mati Rangga tidak menyangka kalau harus terlibat dalam masalah pribadi orang-orang itu.

"Kapan kitab itu hilang?" tanya Rangga setelah lama berpikir.

"Kira-kira dua puluh tahun yang lalu," jawab Dewi Selaksa Mawar.

"Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk mempelajari satu kitab! Orang yang mencuri kitab itu, pasti telah menguasai betul isinya. Sedangkan orang-orang yang kau curigai tidak sedikit pun menggunakan ilmu Tapak Geni," Rangga mengungkapkan jalan pikirannya.

"Kau jangan melindungi mereka!" dengus Dewi Selaksa Mawar.

"Aku tidak bermaksud melindungi seorang pun. Dan lagi, aku tidak ada urusan dengan kitab Tapak Geni. Sedang aku mengejar Tiga Setan Neraka hanya untuk menghentikan kekejaman mereka, itu saja!" Rangga sedikit tersinggung.

"Lantas, kenapa kau berkata seperti itu?"

"Aku hanya melihat kenyataan. Bagiku, menuduh seseorang tanpa bukti adalah dosa besar! Nah, sekarang coba buktikan tuduhanmu terhadap salah satu di antara mereka!"

"Ini!" Dewi Selaksa Mawar mengeluarkan sebuah ruyung perak dari lipatan bajunya.

"Ruyung perak...," gumam Rangga mengenali senjata rahasia yang jelas milik Sanggamayit.

"Aku menemukan ini tertancap di dada guruku," Dewi Selaksa Mawar menerangkan.

"Kau tahu pemilik senjata rahasia ini?" tanya Rangga berusaha meyakinkan diri.

"Sanggamayit."

"Kau yakin dia pencurinya?" Dewi Selaksa Mawar hanya diam. Memang sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Senjata rahasia itu memang bisa merupakan bukti. Tapi tidak mustahil orang lain juga menggunakannya dengan maksud menghilangkan jejak. Sedangkah di Hutan Dandaka, Sanggamayit mengatakan kalau dirinya difitnah Setan Arak. Apakah memang benar si Setan Arak yang mencuri kitab Tapak Geni sekaligus membunuh guru Dewi Selaksa Mawar? Atau hanya akal bulus Sanggamayit saja?

Saat mereka terdiam dengan pikiran yang berkecamuk, mendadak terdengar jeritan nyaring. Suara senjata beradu pun terdengar beberapa kali. Rangga terlonjak ketika telah memastikan arah suara pertarungan itu. Tanpa menghiraukan perempuan tua di depannya, secepat kilat dia melompat menuju arah suara pertarungan.

"Huh! Ada-ada saja!" dengus Dewi Selaksa Mawar.

Sambil bersungut-sungut kesal, perempuan itu berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya mengikuti Rangga. Gerakannya cepat dan ringan. Dalam sekejap telah jauh dari tempat ini.

********************

Setan Arak bertarung mati-matian melawan Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu. Sementara Ratih terlihat tergeletak pingsan di depan kaki Sanggamayit. Rangga yang baru saja tiba, mengkerutkan gerahamnya menahan marah. Segera Rangga melompat membantu Setan Arak yang agak kewalahan menerima serangan beruntun dua dari Tiga Setan Neraka.

Tapi belum juga Rangga sampai di arena pertarungan, tiba-tiba....

"Akh!" Setan Arak memekik tertahan. Pedang Setan Jerangkong yang kini tinggal satu telah menggores dada Setan Arak. Darah segera merembes keluar dari luka yang memanjang. Si Kakek peminum arak ini mundur terhuyung sambil menekap dadanya yang terluka. Namun belum juga menguasai diri, mendadak satu tendangan dilepaskan Iblis Mata Satu telak mampir di kepala Setan Arak. Seketika terdengar jeritan keras yang keluar dari mulut kakek peminum itu. Tubuhnya terjengkang ke belakang, dan terhempas dengan kepala terlebih dulu mendarat di tanah.

"Iblis, kejam!" geram Rangga. Sambil berteriak melengking tinggi, Rangga melayangkan kakinya seraya mengerahkan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga Setan Jerangkong yang berjarak paling dekat terlihat kelabakan. Sedapatnya dikelebatkan pedangnya untuk menghalau serangan kilat itu.

Rangga menarik kakinya cepat, lalu menjejak tanah dengan ujung jarinya. Tubuhnya kembali mencelat ke udara. Gerakannya sangat cepat, dan tahu-tahu telah berada di atas kepala Setan Jerangkong. Setan Jerangkong pun tak kalah sigap. Diangkat pedang dan diputar-putarnya di atas kepala.

Kaki Pendekar Rajawali Sakti yang mengancam kepala lawan, tiba-tiba berbalik arah. Diturunkan tubuhnya sedikit di depan Setan Jerangkong, lalu dengan cepat kaki kanannya terhentak ke depan. Buk!

Setan Jerangkong terjajar ke belakang ketika dadanya terhantam tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti. Seketika dia merasa sesak dan matanya berkunang-kunang. Belum sempat memperbaiki posisinya, Rangga telah melompat dengan mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali' menyambar dada Setan Jerangkong.

"Aaaakh...!"

Setan Jerangkong menjerit keras. Pukulan telak disertai hawa panas yang menyebar membuat tubuh kurus kering itu terjajar ke belakang sejauh dua batang tombak. Kini Setan Jerangkong tergeletak dengan darah mengalir dari sudut bibir dan hidungnya. Dadanya terlihat memerah, melesak ke dalam. Dia hanya menggeliat sebentar, lalu diam tak bergerak lagi. Mati.

Mendapatkan satu temannya mati, Sanggamayit menjadi lupa dengan Ratih yang tergeletak pingsan terkena totokan pada jalan darahnya. Sambil berteriak nyaring, dikebutkan senjata andalannya yang berupa tongkat pendek berantai dengan bola-bola baja berduri pada ujungnya. Satu tangannya yang buntung tidak menghalangi kelincahan dan kedahsyatan serangannya.

Pendekar Rajawali Sakti yang memuncak kemarahannya, segera meloloskan pedang pusakanya. Seketika cahaya biru berkilau menerangi arena pertarungan itu. Cahaya biru itu pun berkelebat cepat menangkis setiap serangan gencar dari Sanggamayit dan Iblis Mata Satu. Pijaran bunga-bunga api memercik setiap dua senjata ampuh berbenturan.

"Hiyaaaa...!" Iblis Mata Satu tidak lagi peduli dengan tenaga dalamnya yang jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti.

Iblis Mata Satu kini tidak segan-segan lagi membenturkan golok kembarnya, meski tangannya menjadi kaku setelah berbenturan dengan pedang yang memancarkan sinar biru kemilauan itu. Semua itu tidak dihiraukan lagi.

"Sanggamayit, aku lawanmu!" tiba-tiba terdengar teriakan keras disusul berkelebatnya sebuah bayangan merah.

"Bagus! Kau muncul lagi, nenek peot!" dengus Sanggamayit ketika melihat Dewi Selaksa Mawar.

"Bersiaplah untuk mati, bangsat!"

Dewi Selaksa Mawar berteriak keras, lalu tubuhnya mencelat menyerang Sanggamayit. Melihat kedatangan Dewi Selaksa Mawar, hati Iblis Mata Satu ciut seketika. Dalam keadaan lengkap saja, Tiga Setan Neraka belum mampu menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini, dia harus hadapi sendiri pendekar muda yang tinggi kesaktiannya itu.

Saat hatinya diliputi kegentaran, mendadak kaki Pendekar Rajawali Sakti melayang cepat ke arah dada Iblis Mata Satu yang hanya dapat ter-perangah. Cepat-cepat dia melompat mundur. Dan memang saat inilah yang dikehendaki Rangga. Ketika kakinya mendarat, segera dia melompat menerjang Iblis Mata Satu yang telah terpisah dari Sanggamayit.

Rangga langsung dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Iblis Mata Satu yang telah gentar itu, menjadi kelabakan menerima serangan-serangan gencar Pendekar Rajawali Sakti. Setiap pukulan tangannya mengandung hawa panas yang menyengat luar biasa.

"Modar!" tiba-tiba Rangga berteriak keras.

Bersamaan dengan itu, tangan kanannya meluruk cepat ke arah dada lawan. Iblis Mata Satu memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari sodokan itu. Namun tanpa diduga, kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti terangkat deras menghantam punggung Iblis Mata Satu.

"Uhk!" Iblis Mata Satu terdorong keras ke depan.

Belum juga dia sempat menguasai diri, mendadak tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti melayang ke arah kepalanya. Iblis Mata Satu merunduk cepat, dan pukulan yang mengandung hawa panas itu luput. Bahkan Iblis Mata Satu membalas dengan mengirimkan satu pukulan geledek ke arah lambung Pendekar Rajawali Sakti. Seketika tangan pendekar muda itu bergerak turun ke arah perut.

Trak!

Dua tangan yang masing-masing mengerahkan jurus saling beradu keras. Cepat-cepat Iblis Mata Satu menarik tangannya kembali yang terasa remuk tulang-tulangnya. Dan tepat pada saat yang sama, tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti meluncur ke depan.

Buk!

Dan memang sungguh telak ketika tangan yang mengandung hawa panas dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' mendarat di dada Iblis Mata Satu. Laki-laki gemuk yang hanya mempunyai mata sebelah itu melenguh pendek. Tubuhnya terdorong tiga langkah ke belakang. Mendadak dirasakan dadanya menjadi sesak, sulit sekali bernapas. Hawa panas makin kuat menjalar ke seluruh tubuhnya.

Cepat-cepat Iblis Mata Satu mengerahkan hawa murni untuk mengusir hawa panas yang makin menyerang tubuhnya. Namun belum juga hawa murni tersalurkan, Pendekar Rajawali Sakti telah menyerang kembali.

"Hiyaaa...!"

"Aaaakh...!"

Iblis Mata Satu tidak dapat mengelak dari serangan kilat itu. Kembali dadanya terhantam dua telapak tangan yang mengandung hawa panas luar biasa. Tubuh Iblis Mata Satu terlontar jauh ke belakang. Tubuh gemuk itu terhempas keras ke tanah. Pendekar Rajawali Sakti tak memberi kesempatan sedikit pun. Dia melompat mengejar, dan seketika kakinya mendarat tepat di tubuh Iblis Mata Satu.

Bres!

Kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti menjejak dada yang memerah akibat terkena jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Kaki Rangga amblas ke dalam dada. Setelah Iblis Mata Satu tidak bergerak-gerak lagi, segera kaki yang tertanam dalam dada itu ditarik keluar. Dada itu hancur bagai terbakar hangus. Tidak ada darah yang keluar.

"Ratih...," Rangga mendesis teringat gadis cantik yang kini pingsan tertotok.

Kepalanya langsung menoleh ke arah tubuh ramping yang terbaring di tanah. Baru saja kakinya akan melangkah menghampiri, tiba-tiba telinganya mendengar rintihan lirih dari arah kanan. Dan betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika menoleh, dan mendapatkan Setan Arak tergolek dengan dada bersimbah darah dan kepala babak belur.

Rangga bergegas menghampiri Setan Arak yang merintih lirih. Tampak dada yang sobek panjang serta kepala dan wajahnya sebelah kiri rusak berat karena terhempas keras menggaruk tanah berbatu kerikil tajam.

"Paman...," Rangga membantu Setan Arak duduk bersandar pada sebuah batu besar.

"Selamatkan Ratih. Dia tertotok jalan darahnya oleh Sanggamayit," lirih dan tersendat-sendat suara Setan Arak.

Rangga mengalihkan pandangannya ke arah Ratih yang terbaring lemas. Ragu-ragu juga ia untuk menolong gadis itu, karena melihat keadaan Setan Arak yang memelas dan mengkhawatirkan.

"Jangan pikirkan aku. Cepat kau tolong Ratih. Totokan itu dapat mematikan jalan darah selamanya!" dengus Setan Arak melihat Rangga ragu-ragu.

Mendengar hal itu, Rangga bergegas melompat menghampiri Ratih. Matanya sempat melirik pada pertarungan antara Dewi Selaksa Mawar dengan Sanggamayit yang kelihatan masih berimbang. Memang inilah kesempatan baginya untuk menyelamatkan jiwa Ratih.

Rangga membuka tiga totokan jalan darah di tubuh Ratih yang paling penting. Benar saja kata Setan Arak. Terlambat sedikit saja, nyawa gadis cantik itu tidak akan tertolong lagi. Dan lepas dari totokan itu, Ratih masih kelihatan lemah. Pengaruh totokan itu telah menyerap tenaganya terlalu banyak. Perlu waktu beberapa saat untuk memulihkannya kembali. "Bagaimana keadaan Kakek Setan Arak?" tanya Ratih setelah pulih kondisinya.

"Dia masih hidup, tapi...," Rangga tidak melanjutkan kata-katanya.

"Kenapa dia? Apakah lukanya parah?" desak Ratih.

Rangga tidak menyahut. Dibantunya gadis itu berdiri, dan memapahnya menghampiri Setan Arak yang duduk bersandar di batu. Ratih terpekik saat melihat keadaan Setan Arak yang sangat mengerikan.

"Jangan!" cegah Rangga ketika Ratih akan menghambur. "Tubuhnya penuh dialiri racun ganas".

Ratih hanya dapat menatap saja. Pelan-pelan dia mendekat dan bersimpuh di ujung kaki Setan Arak. Rangga mengikutinya, dan duduk menggeser ke samping mendekati Setan Arak.

"Kakek...," pelan dan lirih suara Ratih.

"Ratih..., kembalilah ke Gunung Lawu. Kau adalah pewaris tunggal padepokan. Pamanmu akan menurunkan semua ilmunya padamu. Dan kau juga harus mampu menguasai seluruh ilmu-ilmuku yang telah kutuangkan dalam sebuah buku yang disimpan pamanmu. Aku percaya, kau akan menyempurnakan semua yang kumiliki," pelan sekali suara Setan Arak.

Tak kuasa lagi Ratih menitikkan air matanya. Rangga hanya terdiam tidak mampu berbuat apa-apa. Racun pedang Setan Jerangkong telah menyebar luas ke seluruh jaringan darah dan urat syaraf. Bahkan mungkin telah menggumpal di jantung. Tidak mungkin lagi Setan Arak tertolong. Dibantu dengan menyalurkan hawa murni juga percuma. Bisa-bisa malah mempercepat proses kematiannya!

"Satu lagi pesanku, Ratih. Tolong kembalikan kitab Tapak Geni pada pemiliknya," ujar Setan Arak.

Rangga terkejut mendengar ucapan itu.

"Kakek..., Kakek mencuri kitab itu?" Ratih seperti tidak percaya.

"Tidak! Aku tidak mencuri, melainkan menyelamatkannya dari tangan Sanggamayit. Aku ingin mengembalikan kitab ini, tapi pemiliknya telah tewas. Sedangkan murid tunggalnya, aku tidak tahu di mana berada."

"Siapa murid tunggal pemilik kitab itu?" tanya Ratih.

"Dewi Selaksa Mawar...," makin lemah suara Setan Arak.

Rangga langsung menoleh ke arah Dewi Selaksa Mawar yang masih bertarung dengan Sanggamayit. Sampai puluhan jurus, kelihatan belum ada yang terdesak.

"Di mana kitab itu?" tanya Ratih.

"Tanyakan pada pamanmu. Dia tahu di mana aku menyimpannya. Hanya dia yang ta..." Setan Arak tidak mampu lagi menyelesaikan kalimatnya.

Sebentar dia terbatuk-batuk, lalu dari mulutnya keluar darah kental kehitaman. Tubuhnya mengejang sebentar, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Ratih hanya bisa terisak. Dia tak berani memeluk tubuh laki-laki tua yang telah menurunkan sebagian ilmu kepadanya. Seluruh tubuh Setan Arak kini mengandung racun ganas yang menular. Hanya Rangga yang kebal terhadap racun itu.

Ratih menatap Rangga yang telah berdiri tegak memandang jalannya pertarungan antara Dewi Selaksa Mawar dengan Sanggamayit. Pelan-pelan gadis itu juga berdiri, dan ikut menatap pertarungan itu. Beberapa saat mereka terdiam.

"Apa yang harus kita lakukan?" Ratih tiba-tiba memecah kebisuan itu.

"Biarkan mereka. Kita tidak punya urusan dengan mereka," sahut Rangga.

"Tapi, Dewi Selaksa Mawar tidak boleh mati."

"Dalam beberapa jurus lagi, dia akan mampu mendesak Sanggamayit."

"Mustahil! Sanggamayit terlalu sakti!" sergah Ratih.

Rangga hanya tersenyum. Ratih memang cukup tinggi ilmunya, tapi belum mampu menilai tingkat kepandaian orang yang berada jauh di atasnya. Memang sulit menilai orang yang jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya.

Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti memang benar. Setelah lewat sepuluh jurus, tampak Sanggamayit mulai terdesak. Lebih-lebih darah kembali mengucur dari pangkal lengannya yang buntung. Jelas cukup sulit bagi Sanggamayit bertarung seperti ini.

Beberapa kali tendangan dan pukulan bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan Dewi Selaksa Mawar hampir mengenai tubuhnya. Sanggamayit memang masih dapat mengelak dari pukulan maut itu. Tapi dengan cepat pula Dewi Selaksa Mawar mengirimkan tendangan. Kembali laki-laki itu berkelit. Namun bersamaan dengan itu sebuah jotosan mengarah ke dada.

Buk!

Sanggamayit tidak mungkin untuk mengelak lagi. Dadanya telak menerima pukulan yang disertai tenaga dalam yang tinggi. Dua langkah tubuh laki-laki itu terjajar ke belakang. Dadanya menjadi sesak, sulit untuk bernapas.

"Setan!" dengus Sanggamayit geram.

"Mampus kau, pencuri busuk!" teriak Dewi Selaksa Mawar keras.

Setelah berkata demikian, dengan cepat perempuan tua itu melompat dengan kaki kanan menjulur ke depan. Sanggamayit memiringkan tubuhnya menghindari serangan itu. Kaki Dewi Selaksa Mawar hanya lewat di samping Sanggamayit.

Belum sempat Dewi Selaksa Mawar menjejakkan kakinya ke tanah, secepat kilat tangan kiri Sanggamayit melayang ke arah dada. Dan...

Trap!

Cepat sekali Dewi Selaksa Mawar menangkap tangan kiri Sanggamayit yang hampir menghantam dadanya. Segera dicekal kuat pergelangan tangan itu, lalu dengan cepat Dewi Selaksa Mawar memutar tubuh, sehingga...

Bret! "Akh!" Sanggamayit memekik tertahan.

Jari-jari tangan Dewi Selaksa Mawar berhasil merobek perut Sanggamayit. Dan itu pun masih dibarengi dengan sebuah tendangan yang mendarat di perut. Sanggamayit kembali memekik keras. Tubuhnya terdorong dua langkah ke belakang. Dengan sisa kekuatannya, disentakkan tangannya yang tercengkeram. Ketika lepas dari cengkeraman Dewi Selaksa Mawar, bagai geledek senjata aneh Sanggamayit menderu ke arah dada lawan.

"Ih!"

Dewi Selaksa Mawar memiringkan tubuhnya ke kanan, maka serangan itu hanya lewat di depannya. Tapi belum benar posisinya, mendadak kaki kiri Sanggamayit melayang cepat.

Buk!

Dewi Selaksa Mawar melenguh sedikit. Punggungnya terasa sakit terkena hantam kaki kiri itu. Sebentar tubuh perempuan itu terhuyung.

"Yeaaah...!"

Sambil berteriak nyaring, Sanggamayit melompat seraya mengebutkan senjatanya. Serangan yang datang beruntun dan cepat itu, tidak dapat lagi dihindari Dewi Selaksa Mawar. Dengan nekad, disambutnya bola-bola baja berduri.

Tap!

Dia berhasil mencekal rantai senjata itu. Dua tokoh sakti itu saling tarik menarik dengan mengerahkan tenaga dalam. Dua pasang kaki terentang ke samping saling berhadapan. Dua pasang mata saling tatap. Tajam sekali. Tampak keringat mulai membasahi keduanya. Wajah mereka tegang.

Sementara itu Rangga yang sejak tadi memperhatikan, mengerutkan keningnya. Dia telah mampu mengukur tingkat tenaga dalam Sanggamayit. Begitu pula dengan tingkat tenaga dalam Dewi Selaksa Mawar.

"Mereka bisa mati, Kakang," desah Ratih tanpa memalingkan wajahnya.

"Kau lihat saja," jawab Rangga belum berani memastikan.

"Bantu dia, Kakang. Aku khawatir Dewi Selaksa Mawar tewas!" Ratih menyarankan.

"Itu bukan perbuatan seorang pendekar," Rangga tersenyum kecut mendengar kata-kata Ratih.

Ratih tidak berkata-kata lagi. Dia menjadi malu sendiri karena memberi saran buruk terhadap Pendekar Rajawali Sakti yang jelas-jelas adalah seorang pendekar sejati. Dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri yang tidak berpikir dulu sebelum berucap. Bodoh! Maki Ratih dalam hati.

Sementara itu pertarungan antara dua tokoh sakti tadi semakin menegangkan. Masing-masing telah mengerahkan seluruh kekuatannya. Wajah mereka semakin menegang berkeringat. Otot-otot bersembulan di tubuh mereka.

"Hih!" Dewi Selaksa Mawar mengempos lagi tenaga dalamnya untuk mendukung daya tahannya yang mulai mengendor.

Tapi ada yang dilakukan Sanggamayit sungguh di luar dugaan. Disentakkan tangannya ke bawah, tepat pada saat Dewi Selaksa Mawar menambah kekuatannya. Dan, tanpa ampun lagi kaki Dewi Selaksa Mawar amblas ke dalam tanah sebatas lutut.

Rupanya Sanggamayit membaca kalau Dewi Selaksa Mawar tengah mengempos tenaga dalam tambahan. Dalam detik itu pula, dipinjamnya tenaga dalam lawan yang mengalir untuk mencelakakan lawannya sendiri. Kecerdikan itulah yang membuat Sanggamayit memenangkan adu tenaga dalam ini.

"Setan! Curang!" dengus Dewi Selaksa Mawar mengetahui kelicikan Sanggamayit.

Baru saja perempuan tua itu berhenti memaki, tiba-tiba Sanggamayit melepaskan senjatanya.

"Akh!" Dewi Selaksa Mawar terkejut. Dan betapa terkejut lagi, karena bersamaan dengan itu tubuh Sanggamayit telah melayang sambil melemparkan senjata-senjata rahasianya. Dewi Selaksa Mawar yang tidak mungkin dapat menghindar dengan cepat pula melontarkan senjata rahasianya. Sinar-sinar keperakan berseliweran deras.

Crap, crap, crap!

"Aaaakh...!"

Dua jeritan melengking terdengar hampir bersamaan. Tampak tubuh Dewi Selaksa Mawar dipenuhi ruyung-ruyung perak Sanggamayit. Sedangkan di tubuh Sanggamayit, telah menancap bintang-bintang perak bersegi enam. Tubuh yang berada di atas, seketika terhempas menimpa Dewi Selaksa Mawar.

Dua tubuh tokoh sakti itu saling berbenturan sehingga terdengar bunyi tulang-tulang patah. Mereka jatuh dengan posisi saling tindih belumuran darah. Tak ada yang bergerak-gerak lagi, tewas bersamaan. Memang tragis kematian mereka.

"Nekad!" kata Rangga setelah menyaksikan kejadian itu.

Ratih menoleh pada pendekar muda tampan yang berdiri di sampingnya.

********************

Matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk Timur. Burung-burung bernyanyi merdu menyambut datangnya pagi. Rangga mengamati keadaan di sekitarnya. Empat sosok mayat bergelimpangan di sekitar tepian sungai ini.

Rangga mendesah panjang, lalu diayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Dia seperti lupa kalau masih ada seorang gadis cantik yang sejak tadi memperhatikannya. Ratih menatap kepergian pendekar tampan itu dengan berbagai macam perasaan yang berkecamuk dalam dadanya.

"Kakang...," panggil Ratih agak bergetar suaranya.

Rangga menghentikan langkahnya, lalu menoleh. Ratih melangkah cepat menghampiri. Dia berhenti tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti itu. Beberapa saat mereka hanya terdiam dan saling tatap saja.

"Kakang akan ke mana?" tanya Ratih suaranya masih bergetar.

"Pergi," sahut Rangga singkat.

"Ke mana?" tanya Ratih lagi agak mendesak.

"Mengikuti langkah kakiku saja."

"Aku ikut!"

Rangga menatap gadis cantik di depannya. Pelan-pelan kepalanya menggeleng sambil tersenyum tipis.

"Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini," pelan suara Ratih.

"Kau masih punya paman yang menunggu di Gunung Lawu," kata Rangga mengingatkan.

Ratih menggelengkan kepalanya.

"Ingat Ratih! Kau masih punya tugas penting!"

"Percuma. Satu-satunya pewaris kitab Tapak Geni telah meninggal. Untuk apa lagi aku harus kembali ke padepokan? Toh, paman masih sanggup mengurusnya sendiri."

"Kau ingin melalaikan amanat Setan Arak?" Ratih terdiam. Matanya melirik Setan Arak yang terbujur kaku membiru di bebatuan. Sungguh dia tidak bermaksud mengecewakan pesan terakhir Setan Arak. Tapi..., hatinya telah terpikat oleh pendekar tampan di depannya ini. Ratih jadi bimbang juga.

"Seorang pendekar sejati, tidak akan mendahulukan kepentingan pribadi. Ingatlah, sejak kecil kau dipersiapkan untuk menjadi seorang pendekar wanita yang tangguh dan pilih tanding. Apakah kau akan mengkhianati jiwa pendekar yang telah tertanam dalam hatimu sendiri? Jangan, Ratih. Aku akan membencimu kalau kau tidak bisa membedakan jiwa pribadi dan jiwa pendekar," tegas dan lembut suara Rangga.

Ratih kembali diam tertunduk. Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menyentuh sudut hatinya yang paling dalam. Pelan-pelan diangkat kepalanya, sepasang bola matanya yang indah langsung memandang tajam ke bola mata Rangga.

"Kau bersedia singgah ke Padepokan Gunung Lawu, Kakang?" terdengar nada berharap dari suara Ratih.

"Satu saat kelak," sahut Rangga tersenyum.

"Kapan?"

"Kalau kau telah menguasai seluruh ilmu peninggalan Setan Arak dan Pamanmu."

"Hhhh..., apakah tidak terlalu lama?" Ratih mendesah lesu.

"Tidak! Aku akan datang menguji ilmu yang akan kau kuasai."

Ratih terdongak kaget. Tapi belum sempat membuka mulut, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu lenyap dari pandangan matanya. Tentu saja gadis ini kebingungan. Rangga mendadak lenyap bagai ditelan bumi.

"Kakang...!" panggil Ratih keras.

Tidak ada sahutan.

"Kakang, di mana kau?!"

"Aku akan datang mengujimu. Tunggulah!"

Ratih tertegun mendengar suara menggema di sekitarnya. Jelas itu suara Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar gadis itu berdiri diam. Kemudian mendesah panjang sebelum kakinya terayun pergi meninggalkan tepian sungai.

"Kau hebat, Kakang. Tapi aku akan mengalahkanmu kelak!" gumam Ratih bertekad.


SELESAI

SELANJUTNYA NAGA MERAH
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.