Perawan Rimba Tengkorak

Pendekar Rajawali Sakti Episode perawan rimba tengkorak
Sonny Ogawa
SATU
HIDUP tak lain adalah seperti sebuah lakon dalam pewayangan. Semua sudah ada yang mengatur, yang menentukan, yaitu dalangnya! Semakin kita merenungi tentang kehidupan, bukannya semakin mengerti, tapi malah bertambah bingung. Apa yang kita harapkan, kadang-kadang seperti air yang tersumbat, tak kunjung tiba jua. Namun adakalanya, sesuatu yang telah kita lupakan, tiba-tiba datang dengan sendirinya. Hidup memang penuh misteri!
Pendekar Rajawali Sakti

Mungkin seperti itulah keadaan yang sekarang sedang dialami oleh Pandan Wangi. Sampai sejauh ini mengembara, bertualang dan malang melintang di rimba persilatan, tak banyak kepuasan yang diperoleh dalam batinnya!

Semakin dia merambah ke dalam dunia persilatan secara menyeluruh, semakin merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Dia benar-benar tak mengerti, dari mana dan mau ke mana sebenarnya hidup ini. Yang dia lakukan selama ini hanya mengalir dan terus mengalir, lewat jalur yang sebenarnya, yang hakiki! Dan dia tak tahu, kapan semua itu akan berakhir.

"Hm..., tampaknya ada sebuah desa di depan," gumam Pandan Wangi dalam hati, "Tapi kok sepi sekali...."

Perlahan-lahan kuda yang ditungganginya me-masuki desa yang kelihatan sepi itu. Tampak rumah-rumah di kanan kin jalan, kosong melompong, sedang pintu-pintu maupun jendelanya, terbuka berderak-derak ditiup angin.

Beberapa saat kemudian dia melompat turun dari kudanya. Pelan-pelan dia melangkah sambil menuntun kuda putih yang tinggi tegap. Matanya yang tajam mengamati keadaan yang menurutnya aneh itu. Pengalaman yang telah didapatnya membuat dia selalu berhati-hati dalam setiap keadaan yang bagaimanapun juga.

"Hey...!" serunya tiba-tiba.

Pandan Wangi menangkap sebuah bayangan yang berkelebat di depan matanya! Tapi belum lagi dia sempat melihatnya dengan jelas, bayangan itu telah lenyap di antara rumah-rumah yang berjejer. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung melompat cepat ke atas atap di mana bayangan tadi lenyap. Untunglah dia masih sempat menangkap kelebatan bayangan itu kembali menyelinap di antara rumah-rumah yang kosong tak berpenghuni itu.

"Hup...!" Kembali tubuh gadis itu melenting cepat dan bersalto beberapa kali di udara. Kemudian dengan manis sekali, dia segera menjejakkan kakinya tepat di depan bayangan tadi. Tentu saja kehadirannya yang tidak disangka-sangka itu, membuat pemuda yang berpakaian kumal dan compang-camping tersebut terkejut sekali!

"Oh...!" sejenak pemuda itu beringsut mundur. Tampak sekali dari wajah dan sinar matanya, kalau dia ketakutan.

Melihat keadaan tersebut, Pandan Wangi segera bersikap manis. "Kisanak...," Pandan Wangi mencoba menegur lembut.

"Jangan! Pergi kau.... Pergi! Tidak ada apa-apa lagi di sini, pergi!" teriak pemuda itu makin ketakutan.

"Kisanak, kenapa kau ketakutan begitu! Apakah aku seperti hantu atau peri jahat yang akan membinasakanmu? Aku hanya ingin bertanya padamu," kata Pandan Wangi heran sendiri melihat sikap orang itu.

"Siapa, kau?" tanya pemuda itu. Sikapnya belum menunjukkan persahabatan.

"Aku Pandan Wangi. Dan kau siapa, Kisanak?" Pandan Wangi tetap bersikap lembut.

"Kau benar-benar bukan orang jahat?" agak melemah nada suara orang itu.

"Bukan," sahut Pandan Wangi tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya.

"Aku..., aku Parmin. Aku sama sekali tidak melakukan apa-apa di sini. Aku hanya mencari sisa-sisa makanan. Ini, ambillah. Hanya ini yang aku temukan. Asal kau membiarkan aku hidup."

Pandan Wangi kembali tersenyum dan segera menolakkan buntalan yang disodorkan Parmin. Hatinya masih diliputi keheranan dengan sikap Parmin yang aneh itu.

"Aku tidak akan merampok, menyakitimu, apalagi sampai membunuhmu," kata Pandan Wangi dibuat sedemikian lembut.

Mata Parmin menunjukkan keheranan, sepertinya dia tidak mempercayai apa yang telah didengarnya. Dia mengamati gadis cantik di depannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Parmin masih penasaran.

"Aku hanya pengembara yang kebetulan lewat di daerah ini," sahut Pandan Wangi apa adanya.

"Kau..., benarkah kau bukan anggota mereka?" sikap Parmin tetap waspada.

"Aku benar-benar bingung dengan apa yang kau bicarakan. Sudah kukatakan, bahwa aku cuma seorang pengembara yang kebetulan lewat. Aku sendiri tidak tahu apa nama desa ini, dan kenapa keadaannya seperti ini?" kata Pandan Wangi berusaha meyakinkan.

"Kau benar-benar bukan dari gerombolan mereka?" Parmin seakan ingin benar-benar memastikan.

Pandan Wangi segera menggeleng dan tersenyum, meskipun kepalanya makin pusing oleh berbagai macam tanda tanya yang tercermin dari sikap Parmin itu. Beberapa saat kemudian, pemuda yang bertubuh kurus dan kotor itu segera menengok ke kanan dan ke kiri. Lalu dengan cepat tangannya langsung menyambar tangan Pandan Wangi.

"Ada apa?" sentak Pandan Wangi kaget dan bingung.

"Ayo, ikut aku! Desa ini dalam keadaan bahaya!" kata Parmin buru-buru.

"Tapi, kudaku..."

"Di mana kudamu? Ayo, bawa!"

"Suit...!" Pandan Wangi segera bersiul kecil.

Mendadak terdengar suara ringkik kuda yang disusul dengan derap langkah kaki kuda menghampiri.

"Ayo...!" seru Parmin.

Pandan Wangi segera mengikuti saja kemana Parmin akan membawanya, walaupun dia semakin heran karena Parmin mengajaknya masuk ke dalam hutan yang sangat lebat dan ditumbuhi dengan tumbuhan merambat.

"Kita mau ke mana?" tanya Pandan Wangi.

"Ke tempat yang aman," sambut Parmin singkat sambil terus saja melangkah.

Pandan Wangi tidak sempat bertanya-tanya lagi. Dia sibuk menyibakkan semak, agar kudanya bisa terus berjalan di tempat yang sulit begitu.

********************

Pandan Wangi benar-benar terkejut ketika tiba-tiba di sekitarnya bermunculan orang-orang yang berpakaian kumal dan compang-camping. Mereka semua membawa alat-alat pemukul dari macam-macam bentuk yang terbuat dari kayu. Ada sekitar sepuluh orang laki-laki yang rata-rata berusia cukup tua.

"Parmin...," bisik Pandan Wangi.

"Tenang, Kak Pandan. Mereka bukan orang-orang jahat," sahut Parmin seraya menghampiri salah seorang laki-laki yang mengepung.

Sejenak Parmin berbisik-bisik pada laki-laki dengan janggut dan kumis panjang yang nyaris jadi satu. Laki-laki tua itu segera mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian dia melangkah menghampiri Pandan Wangi dengan didampingi Parmin. Sedang yang lain tetap mengepungnya dengan sikap bermusuhan.

"Kak Pandan, ini pamanku. Paman Sempana," Parmin mengenalkan.

"Benar, kau bukan anggota Partai Tengkorak?" tanya Paman Sempana sambil mengulurkan tangannya.

"Siapa Partai Tengkorak itu?" Pandan Wangi malah balik bertanya.

"Mereka adalah gerombolan penjahat yang telah menghancurkan desa kami, juga desa-desa di sekitar lereng Gunung Puting ini," Parmin menjelaskan.

Pandan Wangi mulai mengerti permasalahannya sekarang. Rupanya orang-orang tersebut korban dari keganasan sekelompok manusia yang tidak bertang-gung jawab. Dan dia segera bisa memaklumi, bila sikap mereka penuh curiga dan tidak bersahabat padanya. Gadis itu kemudian mencoba meyakinkan mereka, bahwa dia hanya pengembara yang kebetulan lewat dan bertemu dengan Parmin. Dan bukanlah anggota Partai Tengkorak seperti yang mereka kira.

"Kau membawa pedang, apakah kau seorang pendekar?" tanya Paman Sempana.

"Bukan, aku menggunakan pedang ini hanya untuk menjaga diri dan membantu mereka yang memerlukan," sahut Pandan Wangi merendah.

Paman Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. "Parmin, apa saja yang telah kau dapatkan di desa?" tanya Paman Sempana sambil menoleh ke arah Parmin.

"Hanya beberapa potong kain dan besi-besi karat, Paman," sahut Parmin.

"Tidak ada bahan makanan?" Paman Sempana mendesah lesu.

"Sama sekali tidak ada, Paman. Semua ladang telah rusak, sedangkan lumbung padi telah kosong."

"Sebentar, aku punya sedikit persediaan bahan makanan," kata Pandan Wangi memotong.

"Untuk dua atau tiga orang mungkin kamu punya, Nak Pandan. Tapi kami perlu untuk sekitar tiga puluh orang," kata Paman Sempana belum hilang rasa gelisahnya.

"Tiga puluh orang?" Pandan Wangi mengerutkan keningnya.

"Mereka semua adalah anak-anak dan wanita yang kelaparan di tempat persembunyiannya," Paman Sempana menjelaskan.

"Kenapa tidak mencari? Saya lihat, hutan ini cukup banyak menyediakan bahan makanan. Kalian semua bisa berburu, kan?" kata Pandan Wangi.

"Kami tidak mungkin melakukan perburuan. Mereka, orang-orang Partai Tengkorak sewaktu-waktu bisa muncul dan membunuh siapa saja yang mereka lihat di hutan ini."

"Kalau begitu, aku akan membantu kalian mencari bahan makanan. Dan untuk sementara, aku kira bahan makanan yang aku bawa cukup banyak. Parmin, kau bisa mengambil bahan makanan itu di punggung kudaku," kata Pandan Wangi.

Setelah berkata demikian, Pandan Wangi langsung melompat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam sekejap mata, bayangannya sudah tidak terlihat lagi. Hal itu tentu saja membuat orang-orang yang berada di situ melongo keheranan. Mereka langsung berkumpul dengan wajah pucat pasi.

"Parmin, coba lihat. Apa benar di punggung kuda itu ada bahan makanan," perintah Paman Sempana.

Tanpa banyak komentar, Parmin segera meng-hampiri kuda putih yang tak jauh dari tempat itu. Kemudian dia langsung memeriksa buntalan yang berada di punggungnya. Tiba-tiba mata Parmin membeliak lebar begitu melihat bahan makanan yang cukup banyak dalam buntalan itu.

"Paman..., lihat!" teriak Parmin.

Paman Sempana segera berlari menghampiri dengan diikuti lainnya. Wajah mereka langsung cerah melihat bahan makanan tergelar di kain yang dibuka oleh Parmin. Kemudian anak muda itu segera membungkusnya kembali dan menyandangnya di pundak.

"Aku yakin, Tuhan telah mengirimkan dia untuk menolong kita," kata Paman Sempana bergumam.

"Bagaimana dengan makanan ini, Paman," tanya Parmin.

"Berikan pada mereka, dan suruh para wanita memasaknya. Kau dan aku menunggu saja di sini," kata Paman Sempana.

Parmin segera memberikan buntalan bahan makanan itu pada salah seorang. Setelah Paman Sempana memberikan beberapa perintah lagi, orang-orang yang berpakaian kumal dan kotor itu langsung meninggalkan tempat itu.

"Kau lapar, Parmin?" tanya Paman Sempana lembut.

Parmin hanya meringis saja. Sejak kemarin perutnya memang belum kemasukan sebutir nasi pun. Hanya air sungai dan daun-daun muda saja yang mengganjal perutnya.

"Sebagai bekas murid Resi Wanapati, kau harus tahan menderita, Parmin," kata Paman Sempana lagi.

"Aku mengerti, Paman. Sayang, aku belum sempat menamatkan pelajaran, jadi belum mampu melawan mereka," Parmin setengah bergumam, seakan menyesali keadaan.

"Jangankan kau yang baru tiga tahun belajar, gurumu saja tidak mampu menghadapi mereka."

"Itu karena ada seorang murid yang berkhianat, memberikan racun pada makanan Eyang Resi."

"Bukan berkhianat, tapi memang ada salah seorang anggota Partai Tengkorak yang menyusup ke sana untuk melemahkan gurumu!"

"Huh! Kalau saja waktu itu aku tahu, sudah kubunuh dia!"

"Percuma saja, Parmin. Ah, sudahlah! Yang penting kau selamat dan bisa lolos dari kepungan mereka."

"lya, tapi karena kesalahanku juga, Desa Giling Watu jadi hancur," ada nada penyesalan dalam suara Parmin.

"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri, Parmin. Kau lihat, bukan hanya desa kita yang hancur, tapi desa-desa lain di lereng Gunung Puting ini juga hancur oleh keganasan mereka."

Parmin hanya terdiam lesu. Dia segera menghenyakkan tubuhnya pada pohon besar yang berlumut tebal. Sedangkan Paman Sempana juga segera duduk di depan anak muda itu. Ada rasa iba melihat keponakannya yang telah berubah jauh dibandingkan dengan ketika masih menuntut ilmu di Padepokan Resi Wanapati.

Kini Parmin kelihatan kurus dan tidak berdaya apa-apa. Rasa bersalahnya yang terlalu besar membuat dia mengalami tekanan batin! Dan semua ini akibat dari tangan-tangan kotor yang telah merusak ketentraman hidup manusia di dunia.

*** Sudah tiga hari Pandan Wangi tinggal bersama orang-orang yang mengasingkan diri, menghindari keganasan mereka yang menamakan dirinya Partai Tengkorak. Setiap hari dia mengumpulkan makanan Ian berburu binatang. Wajah wajah yang tadinya lesu tanpa semangat hidup, kini sedikit demi sedikit menampakkan keceriaannya kembali. Mereka tidak perlu lagi takut kekurangan makanan, karena Pandan Wangi telah mencukupinya, bahkan kini mereka mempunyai persediaan bahan makanan yang cukup banyak.

Dan selama tiga hari itu pula, Pandan Wangi selalu memantau keadaan di sekitar lereng Gunung Puting itu. Dan sudah beberapa kali gadis itu harus bentrok dengan beberapa orang yang mengenakan sabuk berkepala tengkorak, bahkan sudah dua kali dia merampas kereta yang membawa perbekalan bahan makanan mereka. Dia juga mengajarkan beberapa jurus dasar ilmu olah kanuragan pada laki-laki yang masih kuat dan muda, dibantu oleh Parmin yang sempat belajar di Padepokan Resi Wanapati.

"Apakah Kak Pandan hari ini mau berburu lagi?" tanya Parmin ketika melihat Pandan Wangi sedang mempersiapkan kudanya.

"Tidak, aku akan membersihkan kuda saja," sahut Pandan Wangi sambil menoleh ke arah Parmin.

"Oh..., aku kira Kak Pandan mau pergi lagi," kata Parmin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Memangnya kenapa kalau aku pergi?" Pandan Wangi tersenyum manis.

"Tidak apa apa. Aku cuma mau menyarankan, sebaiknya Kak Pandan istirahat saja hari ini. Soalnya persediaan bahan makanan masih cukup banyak, bahkan cukup untuk dua purnama," Parmin memberitahu.

Pandan Wangi kembali tersenyum. Sebenarnya dia jengah dipanggil dengan sebutan kakak, karena Parmin kelihatannya lebih tua dari dirinya. Bahkan semua orang yang ada di dalam goa itu memanggilnya dengan sebutan Den Ayu. Padahal sejak semula Pandan Wangi sudah melarang, tapi mereka tetap saja memanggilnya begitu.

"Kemarin aku menemukan tujuh orang yang hampir mati kelaparan di dekat jurang," kata Parmin memberitahu.

"Ya, aku sudah mendengar dari Paman Sempana. Mereka dari desa lain yang tidak jauh dari desamu, kan?" sahut Pandan Wangi.

"lya, bahkan aku mengenal tiga orang di antara mereka itu."

"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Pandan Wangi.

"Sudah sehat, bahkan tadi pagi sudah ikut latihan olah kanuragan bersama yang lain," jawab Parmin.

"Bagus, kita memang masih banyak membutuhkan tenaga untuk melawan Partai Tengkorak."

"Ada berita bagus lagi, Kak," kata Parmin lagi.

"Berita apa?" tanya Pandan Wangi penasaran.

"Orang-orang tua dan wanita sudah mulai bercocok tanam. Katanya mereka malu hanya mengandalkanmu mencari bahan makanan."

Pandan Wangi tidak dapat menahan tawanya lagi. Suara tawanya merdu dan enak terdengar di telinga. Parmin jadi tersenyum-senyum sendiri mendengarnya. Sedangkan matanya sedikit nakal merayapi wajah cantik di depannya. Seumur hidup, belum pernah dia melihat gadis secantik itu, apalagi bercakap-cakap. Makanya, setiap ada kesempatan, Parmin selalu menyempatkan untuk bercakap-cakap dengan Pandan Wangi. Hatinya sudah cukup senang hanya dengan melihat senyuman yang manis dan mendengar suara yang merdu menghanyutkan.

"Ada apa, Parmin? Kenapa kau memandangku demikian?" tegur Pandan Wangi yang merasa tidak enak dipandang begitu.

"Oh...! Eh, tid..., tidak ada apa-apa...," sahut Parmin tergagap.

"Apakah ada yang salah pada diriku?" Pandan Wangi merentangkan tangannya.

"Tidak..., tidak ada, Kak. Aku..., aku hanya...."

"Kenapa?" Pandan Wangi cepat memotong.

"Ah, tidak ada apa-apa," Parmin mulai sedikit tenang.

Pandan Wangi masih memandangi wajah Parmin yang mendadak jadi berubah merah. Sedangkan Parmin terus merutuki dirinya sendiri dalam hati. Secara jujur Pandan Wangi mengakui, kalau Parmin adalah pemuda yang cukup tampan meskipun tubuhnya kurus. Hanya saja, Pandan Wangi tidak bisa melupakan Rangga. Sedikit pun dia tidak pernah merasa tertarik pada setiap pemuda yang dijumpainya.

Cintanya pada Rangga tidak akan pernah pudar sampai kapan pun, dan dalam keadaan bagaimanapun juga! Dan dia bertekad untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti itu sampai ketemu. Karena Pandan Wangi yakin kalau Rangga juga mencintainya.

"Aku akan jalan-jalan sebentar, Parmin. Kau harus melatih mereka hari ini, kan?" kata Pandan Wangi mengusir kekakuan yang ada.

"Eh, iya..., iya," sahut Parmin yang belum hilang gugupnya.

"Latih mereka dengan sungguh-sungguh. Kalau ada perlu, cari aku di dekat sungai."

"Iya, Kak."

Pandan Wangi segera melangkahkan kakinya meninggalkan pemuda itu. Sedangkan Parmin masih berdiri saja memandangi punggung Pandan Wangi yang semakin menjauh.

********************

DUA

Siang itu udara sangat cerah, di atas sana tidak tampak sedikit pun tanda tanda akan turun hujan. Sementara angin yang bertiup semilir, menambah hawa sejuk dan menyegarkan. Tampak Pandan Wangi sedang berjalan pelan-pelan menyusuri tepian sungai kecil yang aimya jernih. Beberapa ekor ikan tampak berenang hilir-mudik di antara batu-batuan. Sejenak bibir gadis itu menyunggingkan senyuman saat melihat dua ekor burung parkit tengah memadu kasih di cabang pohon.

Tiba-tiba saja senyum di bibir gadis itu langsung lenyap! Buru-buru Pandan Wangi menghentikan langkahnya dan memasang telinganya baik-baik. Segera dia dapat menangkap suara yang mencurigakan di sekitar tempat itu. Tapi belum sempat dia melakukan apa-apa, mendadak dari balik pohon dan gerumbul semak di depannya, bermunculan enam orang laki-laki yang bersenjatakan golok yang besar dan panjang.

"Hm...," Pandan Wangi bergumam kecil sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Gadis itu segera mengetahui, kalau keenam orang itu adalah anggota Partai Tengkorak. Sabuk dengan kepala tengkorak yang mereka kenakan, cukup untuk mengetahui siapa mereka sebenarnya.

"He he he..., nasib kita benar-benar mujur hari ini," kata salah seorang sambil terkekeh.

"Benar, Tengkorak Putih pasti akan senang sekali mendapatkan kepala perempuan ini," sambut lainnya.

"Ah, sayang sekali! Bagaimana kalau kita nikmati dulu tubuh perempuan ini sebelum memenggal kepalanya?" kata seorang lagi sambil menelan air liurnya.

"He he he..., sebuah usul yang bagus!" sambut yang lainnya.

Tentu saja kuping Pandan Wangi menjadi merah mendengar kata-kata kotor tersebut. Gerahamnya segera bergemeletuk menahan marah! Dia benar-benar muak dengan pandangan mata yang penuh nafsu dari keenam laki-laki di depannya.

"Ayo, maju kalian semua! Aku ingin tahu, bagai-mana rasanya bersenang-senang dengan bangsat-bangsat macam kalian!" dengus Pandan Wangi meng-geram.

"He he he..., rupanya kau tak sabar juga ingin segera menikmati kenikmatan surga dunia, Cah Ayu," kata yang agak gemuk sambil memelototkan matanya.

"Sudah, jangan banyak omong! Tangkap dia!" sentak yang lainnya tak sabar.

Tiba-tiba salah seorang langsung menerjang! Tapi dengan secepat kilat Pandan Wangi memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan. Sedangkan tangannya langsung berkelebat menghajar perut lawannya tersebut.

"Hugh...! Sialan!" orang itu itu menggeram seraya melompat mundur. Tampak dia meringis merasakan mual pada perutnya.

"Ayo, siapa lagi yang ingin merasakan belaian tanganku?" tantang Pandan Wangi dengan suara lantang.

Dengan penuh emosi salah seorang lagi menerjang! Secepat kilat Pandan Wangi melompat ke udara menghindari terjangan orang itu yang menerjangnya sambil mengibaskan golok. Sedangkan kaki gadis itu bergerak cepat dan menghantam lawannya. Kontan saja lawannya itu meraung keras dan ambruk di tanah terkena tendangan yang beruntun dengan disertai tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Hih...!" Pandan Wangi menjejakkan kakinya tepat di dada orang yang menggelepar itu.

Seketika itu juga darah langsung muncrat ke luar dari mulutnya! Sedangkan kepalanya terkulai dengan nyawa yang telah lepas dari badannya.

"Serang! Bunuh perempuan setan itu...!" kata salah seorang memberi komando.

Kelima orang temannya segera meluruk dan menerjang ke arah Pandan Wangi. Sedangkan Pandan Wangi dengan cepat berlompatan ke sana kemari menghindari setiap terjangan, sambil sesekali membalas dengan pukulan dan tendangan mautnya! Lima orang lawannya itu memanglah bukan tandingan Pandan Wangi, sehingga dalam waktu singkat saja, satu persatu dari mereka segera bergelimpangan dengan tubuh tak bernyawa lagi.

Tiba-tiba tanpa sepengetahuan Pandan Wangi, satu orang meninggalkan tempat itu.

"Huh! Ke mana yang satunya lagi...?" dengus Pandan Wangi sengit setelah menyadari satu orang lawannya berhasil lolos.

"Kak...! Kak Pandan...!"

Pandan Wangi segera membalikkan tubuhnya. Tampak di kejauhan Parmin sedang berlari-lari menghampirinya.

"Ada apa kau kemari?" tanya Pandan Wangi mengerutkan keningnya.

"Aku..., aku mendengar ada pertarungan. Syukurlah kalau kau tidak apa-apa," sahut Parmin masih sedikit tersengal napasnya.

"Mereka cuma kroco," kata Pandan Wangi.

Parmin segera memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di depannya. Tanpa berkata-kata lagi, buru-buru dia menyeret mayat-mayat tersebut dan menceburkannya ke sungai. Kemudian dia segera membersihkan darah yang memercik pada ranting-ranting kering, sehingga tidak ada kesan, bahwa di tempat tersebut baru saja terjadi pertempuran.

"Untuk apa kau lakukan semua itu, Parmin?" Pandan Wangi tidak mengerti apa maksud pemuda itu.

"Biar tidak kelihatan bekasnya, Kak. Tempat ini kan dekat dengan goa dan sungai, jadi sangat penting bagi kita semua," sahut Parmin menjelaskan.

"Percuma saja, Parmin. Daerah ini masih termasuk dalam wilayah Hutan Jati Jarak, yang mereka namakan Rimba Tengkorak dan masih dalam kekuasaan mereka."

"Aku tahu, Kak. Tapi paling tidak bisa memperlambat mereka untuk mengetahui tempat ini," kata Parmin.

"Aku malah punya pikiran lain, Parmin," Pandan Wangi punya usul.

"Pikiran apa?" tanya Parmin.

"Sebelah Selatan ini ada sebuah desa. Dan tampaknya desa itu tidak terjamah Partai Tengkorak," kata Pandan Wangi.

"Maksud Kak Pandan, Desa Salapan?"

"Bukan."

"Memang ada dua desa di sekitar Lereng Gunung Puting ini, Kak. Sebelah Selatan dari Hutan Jati Jarak adalah Desa Salapan, sedangkan sebelah Utara, Desa Batu Ceper. Kedua desa itu memang sengaja tidak dijamah oleh Partai Tengkorak, karena sebagian penduduknya anggota partai itu. Dan desa-desa itu letaknya sangat strategis, karena sebagai penghubung dengan desa-desa lainnya," Parmin menjelaskan.

"Begitu besamya pengaruh Partai Tengkorak, sampai-sampai bisa menarik para penduduk untuk masuk menjadi anggotanya," gumam Pandan Wangi kesal.

"Memang sulit bagi desa-desa di sekitar Lereng Gunung Puting ini untuk tetap hidup, kalau tidak diperlukan lagi oleh Partai Tengkorak, Kak."

"Pasti ada alasan lain, mengapa mereka mengistimewakan kedua desa itu dengan desa-desa lainnya, kan?" Pandan Wangi meraba.

"Memang, Desa Salapan adalah penghubung langsung ke Kerajaan Karang Setra, sedangkan Desa Batu Ceper jadi gerbang utama menuju ke Kadipaten Galuh," jelas Parmin lagi.

Pandan Wangi segera merenung beberapa saat, setelah mendengar keterangan itu.

********************

Pandan Wangi tidak menduga sama sekali, kalau ternyata dia sudah berada dekat sekali dengan Kerajaan Karang Setra. Mendengar nama kerajaan itu, dia jadi ingat akan cerita Rangga, bahwa Pendekar Rajawali Sakti itu berasal dari keluarga Karang Setra. Tapi Rangga pernah mengatakan bahwa Karang Setra adalah sebuah kadipaten, bukan sebuah kerajaan seperti yang dikatakan Parmin.

Rasa ingin tahu yang begitu besar dalam diri Pandan Wangi tentang Kerajaan Karang Setra, mem-buat dia memacu kudanya menuju ke Desa Salapan. Dia tahu, desa itu tidak terlalu jauh letaknya, paling-paling cuma makan waktu kurang dari setengah hari dengan menunggang kuda. Di tengah perjalanan, Pandan Wangi tidak begitu banyak mendapatkan hambatan, karena dia tidak menemui anggota Partai Tengkorak.

"Sampurasun...," Pandan Wangi memberikan salam pada seseorang setelah sampai di desa yang dia tuju.

"Oh, rampes," jawab orang tua yang sedang beristirahat di dangau.

"Aku mau numpang tanya, Kisanak?" kata Pandan Wangi.

"Oh, boleh..., silakan."

"Apa nama desa ini?" tanya Pandan Wangi ramah.

"Desa Salapan," jawab orang tua itu singkat.

Pandan Wangi kemudian mengedarkan pandangannya berkeliling. Bibirnya segera menyunggingkan senyum begitu melihat tanaman padi yang sudah menguning dan siap untuk dipanen. Tampak beberapa anak kecil berlarian ke sana kemari mengusir burung-burung yang mengganggu tanaman mereka.

"Tampaknya Nisanak baru tiba di desa ini. Apakah ada yang perlu saya bantu?" kata laki-laki tua itu setelah memperkenalkan dirinya yang bernama Ki Karuning.

"Iya, Ki," sahut Pandan Wangi yang juga telah menyebutkan namanya.

"Tujuan Nak Pandan ke mana?" tanya Ki Karuning.

"Ke Kadipaten Karang Setra," jawab Pandan Wangi terus terang.

Ki Karuning tampak tersenyum-senyum mendengar Pandan Wangi menyebutkan Karang Setra dengan sebutan kadipaten.

"Ada apa, Ki? Apa ada sesuatu yang salah?" Pandan Wangi jadi keheranan sendiri.

"Dulu Karang Setra memang sebuah kadipaten, Nak Pandan. Tapi sekarang sudah berubah menjadi sebuah kerajaan. Desa ini juga masuk dalam wilayah Kerajaan Karang Setra. Juga Kerajaan Galuh yang sudah takluk dan berubah jadi sebuah kadipaten," Ki Karuning menjelaskan.

"Oh...," Pandan Wangi segera mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Memang belum lama Kerajaan Karang Setra berdiri, jadi wajar kalau belum banyak dikenal dan orang-orang masih menganggapnya sebuah kadipaten," sambung Ki Karuning.

"Kenapa bisa berubah, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Ceritanya begini, Nak. Pewaris satu-satunya Karang Setra yang telah hilang selama dua puluh tahun, telah kembali lagi. Dan itu merupakan anugerah bagi Gusti Prabu Galuh yang sudah mangkat. Berarti pewaris Karang Setra yang telah kembali itu adalah cucu satu-satunya Gusti Prabu Galuh dari putri tunggalnya yang tewas dalam musibah di Danau Cubung."

"Danau Cubung...?" gumam Pandan Wangi.

"Iya, memangnya Nak Pandan tidak pernah mendengar ceritera tentang rombongan Gusti Adipati Karang Setra yang di..."

"Sudah..., sudah, Ki," potong Pandan Wangi cepat. Dia tidak ingin lagi mendengar cerita yang mengerikan itu. Dia sudah mendengarnya dari Rangga sendiri.

"Cerita itu memang tersebar luas, dan semua orang pasti telah mengetahuinya."

"Lalu, siapa yang menjadi raja di Kerajaan Karang Setra sekarang, Ki?" tanya Pandan Wangi dengan dada bergemuruh.

"Gusti Prabu Rangga. Beliau juga seorang pendekar yang sangat digdaya dengan gelar Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Karuning kalem.

Kalau bukan Pandan Wangi, pastilah dia sudah terlonjak oleh perasaan yang telah meledak di dalam dada!

"Rangga...," desis Pandan Wangi pelan. Begitu pelannya sampai tidak terdengar suaranya.

Pandan Wangi benar-benar tak menyangka, kalau Rangga ternyata kembali ke Karang Setra dan kini bahkan telah menjadi seorang raja. Berbagai macam perasaan segera berkecamuk di dada gadis itu. Dia jadi sangsi, apakah Rangga masih mengenali dirinya lagi? Apa mungkin malah akan mencampakkannya? Dalam perasaannya, Rangga yang sekarang bukanlah Rangga yang dikenalnya dulu. Tapi kini pemuda itu telah menjadi seorang raja yang besar. Dan Pandan Wangi sadar, bahwa dirinya sudah tidak berarti apa-apa lagi.

Setelah berbasa-basi sebentar, Pandan Wangi langsung berpamitan pada Ki Karuning yang telah memberikan keterangan sangat berharga sekali. Tanpa membuang waktu lagi, Pandan Wangi segera menggebah kudanya kembali menuju Hutan Jati Jarak.

"Nak Pandan...! Itu bukan jalan menuju Kerajaan Karang Setra!" teriak Ki Karuning memberi tahu.

Namun Pandan Wangi tidak mempedulikan suara teriakan itu lagi. Dia terus saja memacu kudanya dengan cepat bagai kilat! Hatinya kini benar-benar diliputi berbagai macam kekecewaan yang berat. Perjalanannya mencari kekasih yang sangat dicintainya terasa sia-sia! Tanpa terasa, titik-titik air bening menggulir membasahi pipi gadis itu.

"Hey! Berhenti..:!" tiba-tiba terdengar suara teriakan lantang.

Pandan Wangi langsung menarik tali kekang kudanya! Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.

********************

Pandan Wangi segera melompat turun dari punggung kudanya. Seketika itu juga, dari gerumbul semak di sekitarnya, bermunculan enam orang yang bersenjata golok. Tampak sabuk kepala tengkorak melilit di pinggang mereka masing-masing. Seperti dikomando saja, mereka langsung bergerak mengurung.

"Kalian memang binatang-binatang keparat! Ayo, maju! Biar kurobek perut kalian semua!" geram Pandan Wangi.

Rasa putus asa dan kekecewaan langsung meluap begitu menyadari bahwa enam orang anggota Partai Tengkorak itu mengepungnya. Rasa kecewa yang terlalu besar di hatinya, segera disalurkan menjadi kemarahan yang tidak bisa dibendung lagi.

"Mampus kalian semua, hiyaaa...!"

Pandan Wangi segera menggebrak dan menerjang dengan jurus-jurus mautnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung lagi, dia langsung menghunus pedang pusakanya! Seketika itu juga cahaya merah keluar dari pedangnya, dan langsung ia membabat enam orang yang masih terperangah melihat pamor pedang yang begitu dahsyat. Dapat diduga, enam orang yang mengeroyoknya tadi langsung menggelepar dengan dada dan leher yang terbelah! Darah segera segera mengucur membasahi tanah berumput.

"Nah! Pergilah kalian semua ke neraka! Kalian semua memang tidak pantas untuk hidup!" dengus Pandan Wangi menggeram.

Gadis itu segera memasukkan Pedang Naga Geni ke dalam warangkanya kembali. Sejenak dia masih berdiri tegak di antara enam mayat yang sudah menggeletak malang-melintang. Mendadak insting Pandan Wangi merasakan ada orang lain yang sedang mengintainya dari tempat tersembunyi. Matanya yang tajam segera mengamati sekitarnya, sedang telinganya yang terlatih segera menangkap tarikan napas halus, namun terdengar cukup jelas.

"Keluarlah kalian, manusia-manusia keparat!" teriak Pandan Wangi keras. Suara yang dibarengi pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi itu, segera menggema dan menerobos lebatnya hutan. Tampak burung-burung langsung beterbangan karena terkejut mendengar suara itu!

"Kalau kalian memang orang-orang Partai Tengkorak, keluarlah! Hadapi aku, Perawan Rimba Tengkorak!" seru Pandan Wangi lebih keras lagi.

Pandan Wangi benar-benar tidak dapat lagi mengendalikan emosinya. Dia melampiaskan kekecewaannya pada Partai Tengkorak dengan amarah yang meluap-luap. Beberapa kali dia berteriak dan menantang, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Gadis itu segera terduduk lesu. Tanpa terasa, air mata kembali membasahi pipinya yang putih halus itu.

Untuk beberapa saat Pandan Wangi hanya menangis dan menangis. Padahal sebenarnya dia tidak tahu, apa sebenarnya yang ditangisi. Cintanya yang begitu besar pada Rangga, kini harus musnah! Dia merasa tidak pantas lagi dicintai oleh seorang raja besar nan agung. Pencariannya yang begitu berat dengan mengarungi rimba persilatan yang tidak kecil tantangannya, kini musnah seketika setelah...

"Rangga...," rintihnya lirih.

Dia masih saja terduduk berlutut dengan kepala lemas terkulai ke bawah. Berkali-kali bibirnya merintih lirih menyebut nama Rangga. Sampai-sampai dia tidak menyadari sama sekali, kalau ada seseorang yang mendekatinya perlahan-lahan. Orang tersebut berdiri tegak di belakang Pandan Wangi yang belum menyadari kedatangannya.

"Kak..."

"Oh!" Pandan Wangi tersentak kaget.

Bergegas dia menghapus air matanya, dan langsung berbalik. Segera tampak di belakangnya, Parmin telah berdiri dengan pandangan yang tidak mengerti. Pemuda itu segera berlutut dan menatap dalam-dalam ke bola mata gadis. di depannya.

"Kak Pandan menangis...?" tanya Parmin masih diliputi keheranan.

"Oh, tidak..., tidak! Mengapa kau ada di sini?" Pandan Wangi segera menyembunyikan kesedihannya.

Parmin tidak segera menjawab. Kepalanya langsung tertunduk lemas. Beberapa saat keadaan menjadi sepi, tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun.

"Parmin, ada apa? Ada apa sebenarnya?" tanya Pandan Wangi jadi tidak enak perasaannya.

"Mereka datang lagi, Kak. Dan mereka telah membantai habis...," suara Parmin tersekat di tenggorokkan.

Betapa terkejutnya Pandan Wangi mendengar berita itu. Tanpa bertanya apa-apa lagi, dia langsung bangkit dan melompat ke punggung kudanya. Dan dengan cepat digebahnya kuda itu bagai kesetanan!

"Kak Pandan, tunggu...!" teriak Parmin.

Tapi Pandan Wangi tidak mendengar lagi. Dia sudah begitu jauh melarikan kudanya dan menerobos lebatnya Hutan Jati Jarak. Sementara Parmin segera menengok ke kanan dan ke kiri beberapa kali, lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Parmin pun langsung meninggalkan tempat itu.

********************

Pandan Wangi segera turun dari kudanya begitu sampai di tempat pengasingan para penduduk. Matanya membeliak lebar menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar tempat itu. Tak ada seorang pun yang masih hidup, semua tewas dengan luka lebar di tubuhnya.

Pandan Wangi menggeleng-gelengkan kepalanya. Darahnya langsung mendidih menyaksikan pembantaian kejam yang tak berperikemanusiaan itu. Hal itu jelas menambah kekecewaan dalam hatinya, dia yang telah bersusah-payah melindungi dan menuntun mereka agar selalu sabar dalam menghadapi semua cobaan, tiba-tiba harus menyaksikan kesia-siaan kembali segala jerih payahnya. Tidak peduli wanita, anak-anak maupun orang tua, semuanya tewas dengan mengenaskan!

Tidak bisa dibayangkan lagi, berapa kadar dendamnya yang meluap-luap di dalam dadanya! Dia segera menerobos masuk ke dalam goa untuk mengetahui lebih lanjut pembantaian yang dilakukan Partai Tengkorak. Mendadak matanya makin membeliak begitu dia melihat mayat-mayat yang bertumpuk di dalam goa itu. Semua bahan-bahan makanan maupun barang-barang yang telah diperolehnya dengan susah-payah, ludes!

"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggelegar memekakkan telinga.

"Hup!" Pandan Wangi langsung melompat ke luar dari goa.

Mata gadis itu segera menyipit begitu di luar goa sudah berdiri tidak kurang dari dua puluh orang dengan senjata golok yang terhunus. Jelas sekali siapa mereka, dan dari sabuk yang mereka kenakan. Pandan Wangi merasa tidak perlu banyak tanya lagi. Dia langsung yakin, bahwa merekalah yang telah membantai para penduduk itu.

"Akhirnya kau datang juga, perempuan liar," kata salah seorang yang berdiri paling depan. Orang itu mengenakan baju berwarna kuning gading dengan gambar kepala tengkorak di bagian dadanya. Sementara di bawahnya terdapat gambar tulang berjumlah dua buah. Menurut Paman Sempana, semakin banyak gambar jumlah tulang di dada, maka semakin tinggi tingkatan dan kedudukannya di dalam Partai Tengkorak.

Pandan Wangi langsung menggeram. Dengan tajam matanya segera merayapi wajah-wajah kasar di depannya. Tampak jari-jari tangannya sudah terkepal kaku, gerahamnya bergemeletuk menahan amarah yang sudah meluap-luap dan tak terbendung lagi.

"Anak-anak, habisi perempuan itu!" teriak orang yang mungkin pemimpinnya.

Mendengar perintah itu, dua puluh orang yang sudah siap tempur tersebut, langsung melompat seraya mengibaskan golok-goloknya. Sedangkan Pandan Wangi yang juga sudah siap dari tadi, langsung melenting sambil mencabut pedang pusaka Naga Geni. Seketika cahaya merah yang ke luar dari pedangnya, berkelebat cepat seirama dengan gerakan tubuhnya yang cepat bagai kilat. Begitu cepatnya gerakan tubuh Pandan Wangi, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata biasa.

Beberapa saat kemudian, jerit dan pekik kematian langsung terdengar saling susul, bersamaan dengan beberapa tubuh yang ambruk bersimbah darah.

Pandan Wangi benar-benar mengamuk bagaikan banteng yang terluka. Sedikit pun dia tidak memberi kesempatan pada lawan untuk meloloskan diri dan berkelit. Begitu pedangnya luput, langsung disusul dengan tendangan atau sodokan tangan yang bertenaga dalam cukup tinggi.

Dalam waktu sebentar saja, separuh dari mereka sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Hal itu tentu saja membuat pemimpin mereka jadi gusar. Dan tanpa menunggu korban di pihaknya bertambah lagi, dia langsung melompat seraya mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek bercabang dua bagai garpu.

Tring!

Dua senjata langsung beradu! Sejenak Pandan Wangi terkejut ketika tangannya jadi kesemutan, tapi dengan cepat dia langsung bisa menguasai diri. Kembali dia mengamuk bagai kesetanan, membabat siapa saja yang mencoba melawannya! Tentu saja amukannya itu membuat lawan-lawannya makin banyak yang bergeletakan mandi darah. Pandan Wangi berusaha menghindari bentrok langsung dengan laki-laki yang memimpin orang-orang ini. Tapi ketika jumlah mereka tinggal lima orang lagi, Pandan Wangi terpaksa melayaninya juga.

"Mundur kalian semua...!" bentak laki-laki itu.

Seketika lima orang yang tersisa langsung melompat mundur. Kemudian laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, langsung merangsek Pandan Wangi dengan jurus-jurus yang cepat dan berbahaya. Dalam beberapa jurus saja, Pandan Wangi langsung merasa kalau tingkat kepandaian orang itu cukup tinggi.

Namun setelah beberapa kali senjata mereka berbenturan, Pandan Wangi bisa tersenyum. Ternyata tenaga dalam lawannya masih berada di bawahnya. Hal itu terbukti setiap kali senjata mereka berbenturan, tangan orang itu ditarik mundur dengan bibir menyeringai kesakitan.

"Serang, bunuh dia!" teriak orang itu sambil mundur beberapa langkah.

Lima orang yang tadinya cuma menonton, langsung berlompatan menyerang Pandan Wangi. Dan dalam waktu yang bersamaan, orang itu segera melompat dan kabur meninggalkan tempat itu. Tentu saja Pandan Wangi yang menyaksikan hal itu menyumpah-nyumpah tak karuan.

"Pengecut! Minggir kalian!" dengus Pandan Wangi nenggeram.

Seketika itu juga tubuhnya berputar cepat ke udara dan membabat orang-orang yang mencoba menghalanginya. Langsung saja jeritan yang menyayat hati kembali terdengar, disusul dengan rubuhnya lima orang yang mencoba menghalanginya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung melompat dan mengejar laki-laki yang melarikan diri tadi, tapi laki-laki tersebut sudah lebih cepat menghilang tanpa bekas. Sementara Pandan Wangi hanya berdiri tegak mengawasi sekitarnya.

"Huh!" Pandan Wangi mendengus kesal.

********************

TIGA

Siang itu panasnya begitu menyengat, seakan-akan akan hendak membakar seluruh isi alam ini. Angin yang biasanya berhembus semilir, seperti enggan mengusik keluar. Udara benar-benar panas! Di atas sana tak ada awan yang mengisyaratkan hujan akan turun.

Sementara itu di sebuah kedai kecil dekat perbatasan Desa Salapan dengan Desa Jati Jarak, tampak seorang pemuda dengan baju rompi putih sedan duduk dengan mengangkat sebelah kakinya di bangku panjang yang didudukinya. Sedangkan di sebelah mejanya, duduk seorang laki-laki tua sambil terkantuk-kantuk. Sesekali tangannya mengibas, mengusir lalat yang mencoba mengganggunya.

Beberapa saat kemudian, tampak dua orang anak muda dengan golok terselip di pinggang, masuk ke kedai itu. Mereka langsung duduk berjajar dengan pemuda yang tak lain adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga sama sekali tidak mempedulikan kedatangan kedua pemuda tersebut, dia asyik makan dengan lahapnya. Dua orang muda yang baru datang itu langsung memesan makanan pada laki-laki tua pemilik kedai.

"Tadinya aku mengira kedai ini sudah tutup, Ki Salman," kata salah seorang dari anak muda itu.

"Ah, tidak. Kalau kedai ini tutup, dari mana Aki dapat makan, Den Jabar?" sahut Ki Salman, pemilik kedai itu.

"Apa Ki Salman tidak takut?" celetuk salah seorang lagi.

"Takut sama siapa, Den Garot?"

"Sama perempuan itu...," suara Jabar sedikit berbisik.

"Aki rasa, si Perawan Rimba Tengkorak itu tidak jahat."

"Tapi kan sudah banyak korban yang jatuh di tangannya, Ki," serobot Garot.

"Ah, biar saja. Mereka yang mati kan orang-orang dari Partai Tengkorak. Kalau si Perawan Rimba Tengorak sih tidak pernah mengganggu penduduk desa. Dia hanya membunuh orang-orang yang dianggapnya jahat."

"Memang benar, Ki. Tapi kita harus selalu waspada!" Jabar memperingatkan.

Ki Salman hanya tersenyum kecut. Dia kembali duduk di tempatnya setelah menyediakan makanan yang dipesan kedua anak muda itu. Semua pem-bicaraan tadi didengar oleh Rangga yang sejak tadi diam saja menikmati makanannya.

Sampai kedua anak muda itu meninggalkan kedai, Rangga masih tetap diam saja. Dia memang masih berada di Desa Salapan itu untuk mengetahui lebih jauh sepak terjang Partai Tengkorak. Dia masih curiga, bahwa kelompok itulah yang kabarnya akan menghancurkan Kerajaan Karang Setra. Dan selama berada di desa itu, Rangga telah memperoleh banyak keterangan yang sangat berarti.

"Ki Salman...," panggil Rangga.

"Iya, Den. Araknya tambah lagi?"

"Cukup, Ki."

"Ada apa, Den?" tanya Ki Salman penasaran.

"Siapa Perawan Rimba Tengkorak itu?" tanya Rangga langsung.

"Menurut kabar yang Aki dengar, dia adalah seorang gadis cantik yang sangat tinggi ilmunya. Dan sampai saat ini, tak seorang pun yang tahu nama aslinya. Tapi yang jelas, dia selalu membantu para penduduk yang lemah di sekitar Lereng Gunung Puting ini. Dan katanya, sudah banyak anggota Partai Tengkorak yang tewas di tangannya," ujar Ki Salman menjelaskan panjang lebar.

"Kenapa dia menggunakan nama Perawan Rimba Tengkorak? Apakah dia memang berasal dari Hutan Jati Jarak juga?" tanya Rangga ingin tahu.

"Wah, tidak ada yang tahu asalnya, Den. Tahu-tahu dia sudah muncul begitu saja, dan membunuh setiap anggota Partai Tengkorak yang ditemuinya," sahut Ki Salman.

"Apa selama ini Partai Tengkorak mengganggu penduduk Desa Salapan ini, Ki?"

"Secara langsung sih tidak, Den. Tapi kami semua harus menyisihkan sepertiga dari hasil panen, agar desa ini tetap aman katanya. Tidak tahu kalau desa-desa lain. Memang yang Aki dengar, desa yang tidak bisa membayar upeti, langsung dihancurkan. Seperti yang belum lama ini menimpa Desa Giling Watu. Desa itu hancur, karena salah seorang penduduknya ada yang menentang Partai Tengkorak."

"Kejam...!" dengus Rangga bergumam.

"Memang, kadang-kadang Partai Tengkorak berlaku amat kejam. Tapi kalau kita menuruti apa yang dikehendakinya, mereka juga bersikap baik dan ramah. Yang penting, jangan coba-coba menunjukkan diri kalau kita tidak suka pada mereka, meskipun dalam hati kita selalu mengutuki perbuatan mereka," lanjut Ki Salman.

"Kelihatannya kau tidak menyukai mereka, Ki?" Rangga memancing.

"Aku sudah tua, Den. Rasanya, tak perlu lagi menyimpan dendam di hati. Paling-paling Aki membiarkan saja kalau mereka makan di sini tanpa bayar. Demi keselamatan Aki juga."

"Seperti dua orang muda tadi?"

"Sebenarnya mereka bukan anggota Partai Tengkorak. Tapi mereka memanfaatkan kekuatan itu untuk kesenangan pribadi mereka sendiri."

Rangga hanya tersenyum tipis mendengarnya. Dia kembali menghirup sisa araknya yang terakhir, lalu segera bangkit dari duduknya. Setelah membayar semua makanan dan minuman yang dinikmatinya, Pendekar Rajawali Sakti itu pelan-pelan melangkah keluar. Kemudian dia langsung melompat naik pada kuda hitamnya yang tertambat di bawah pohon.

********************

Rupanya sepak terjang Pandan Wangi di sekitar Hutan Jati Jarak, telah menggemparkan semua orang. Gadis itu dikenal dengan nama julukan Perawan Rimba Tengkorak, yang mampu membuat merinding setiap orang yang mendengarnya. Kehadirannya, bukanlah suatu ancaman bagi penduduk di sekitar Leren Gunung Puting atau yang berdekatan dengan Hutan Jati Jarak. Tapi justru dia telah membuat orang-orang anggota Partai Tengkorak jadi kelabakan.

Si Perawan Rimba Tengkorak selalu muncul di mana-mana. Dia selalu menghadang dan merampok barang-barang upeti yang ditarik dari desa-desa untuk kepentingan Partai Tengkorak. Dan dia segera mengembalikan barang-barang tersebut pada penduduk desa lagi. Semua sepak terjang si Perawan Rimba Tengkorak tersebut tentu saja tidak luput dari perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sampai sejauh ini, dia belum bisa menjumpai orang yang dijuluki Perawan Rimba Tengkorak tersebut.

"Sudah dengar berita baru lagi, Den?" tanya Salman ketika suatu hari Rangga datang ke kedainya.

"Berita apa?" tanya Rangga penasaran.

"Si Perawan Rimba Tengkorak telah beraksi lagi. Dua puluh orang anggota Partai Tengkorak, habis dibabat ketika mereka membawa kereta upeti dari Desa Karang Hawu," Ki Salman berkata dengan nada gembira.

"Oh, ya," Rangga tidak terkejut lagi mendengarnya, karena sudah sering dia mendengar berita seperti itu setiap kali dia datang ke kedai Ki Salman.

"Iya, Den. Bahkan kali ini tiga anggota tingkat dua juga ikut tewas."

"Hebat sekali dia," Rangga segera mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Sekarang, Ketua Partai Tengkorak malah memberikan hadiah seribu keping uang emas, untuk yang berhasil memenggal kepalanya," sambung Ki Salman.

Sejenak Rangga tertegun mendengarnya. Dia jadi ingat pengalaman yang pernah dialaminya dulu. Kepalanya dihargai seribu keping uang emas. Dan hal itu rupanya akan terjadi lagi pada si Perawan Rimba Tengkorak. Rangga jadi semakin penasaran, siapa sebenarnya si Perawan Rimba Tengkorak itu?

Hadiah yang begitu besar tersebut pasti akan menarik minat tokoh-tokoh sakti golongan hitam. Mengingat itu, Rangga jadi merasa bahwa dia harus bergerak untuk membantu si Perawan Rimba Tengkorak itu.

Selera makan Rangga jadi hilang seketika. Dia segera membayar makanannya yang tidak jadi dimakannya itu, dan melangkah keluar dari kedai. Kemudian dia menuntun kudanya sambil berjalan pelan-pelan menuju Hutan Jati Jarak. Pikirannya terus terpusat pada si Perawan Rimba Tengkorak yang belum dia ketahui secara pasti siapa orangnya. Tanpa terasa, dia sudah begitu jauh masuk ke dalam Hutan Jati Jarak. Sejenak dia berhenti, mengamati keadaan hutan yang sangat sepi dan lengang sekali.

"Heh!" mendadak Rangga tersentak. Telinga Pendekar Rajawali Sakti yang sudah cukup terlatih itu, langsung menangkap suara pertempuran yang cukup jauh letaknya. Tanpa buang-buang waktu lagi, dia langsung melompat ke punggung kudanya, dan menggebahnya agar berpacu cepat ke arah sumber suara penempuran itu. Dalam sekejap mata saja, kuda hitam itu sudah lenyap ditelan pepohonan yang rapat.

********************

Di bagian sebelah Barat Hutan Jati Jarak, di sebuah padang rumput yang cukup luas, tampak seorang perempuan muda tengah bertarung dengan sengitnya melawan tidak kurang dari sepuluh orang laki-laki. Dilihat dari pedang yang dipegang wanita cantik itu jelaslah kalau dia adalah Pandan Wangi alias Perawan Rimba Tengkorak. Pedang yang memancarkan sinar merah itu berkelebat cepat dan memorak-porandakan kepungan sepuluh orang yang semuanya mengenakan jubah kuning gading, dengan gambar tengkorak di dada.

"Serang terus! Jangan biarkan dia hidup!" terdengar teriakan menggelegar memberi semangat.

"Huh! Mereka semua cukup tangguh, aku harus segera mengeluarkan aji 'Naga Wisa'," gumam Pandan Wangi dalam hati.

Cepat sekali gadis itu langsung merubah jurus-jurusnya! Dan dia segera merapalkan ajian yang sangat diandalkannya itu, dengan pedang Naga Geni. Seketika itu juga Pandan Wangi berkelebatan sangat cepat bagai sebuah bayangan saja Sedangkan pedangnya yang memancarkan warna merah menyala bagai besi terbakar, berkelebat cepat membabat musuh-musuhnya.

"Aaakh...!" satu teriakan terdengar melengking tinggi, bersamaan dengan ambruknya salah seorang lawannya dengan dada terbelah!

Belum hilang suara jeritan tadi, langsung disusul dengan satu pekikan melengking tinggi! Dan disusul lagi dengan dua orang yang roboh sekaligus! Pandan Wangi benar-benar mengamuk bagai singa betina yang kehilangan anak. Dia tidak lagi memberikan kesempatan pada lawannya untuk balas menyerang. Pedang pusaka yang ada di tangannya terus-menerus berkelebat cepat seirama dengan gerak tubuhnya yang sulit diikuti oleh mata biasa.

Setiap kibasan pedangnya, berarti satu nyawa! Kalaupun sempat mengelak, pasti sudah terluka oleh sambaran cahaya merah yang memancar dari pedang Naga Geni. Meskipun mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, namun tidak kuasa membendung arus emosi yang meledak-ledak dalam dada Pandan Wangi. Lebih-lebih melawan aji 'Naga Wisa' dan pedang Naga Geni yang tergabung jadi satu!

Maka dalam waktu yang tidak berapa lama, Pandan Wangi telah merobohkan enam orang dari sepuluh orang yang mengeroyoknya. Sementara dua orang yang masih hidup, berhasil meloloskan diri! Dan kini tinggal dua orang lagi yang masih mampu bertahan meskipun tubuh mereka sudah berlumuran darah.

"Ini yang terakhir, hiyaaa...!" teriak Pandan Wangi keras.

Secepat kilat tubuh gadis itu melompat dan bersalto beberapa kali di udara sambil mengibaskan pedangnya. Tak berapa lama kemudian, pekikan-pekikan yang melengking tinggi terdengar menyayat hati disusul dengan ambruknya dua orang yang tersisa! Sejenak Pandan Wangi menarik napas panjang dan berdiri beberapa saat di antara mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.

"Huh, sial! Dua orang lolos lagi!" dengus Pandan Wangi pelan.

Tiba-tiba gadis itu mengangkat kepalanya. Sedang telinganya bergerak-gerak mendengar suara derap langkah kaki kuda yang semakin dekat menghampirinya. Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung melentingkan tubuhnya ke udara, dan bagaikan disapu angin saja tubuhnya langsung lenyap dalam sekejap mata!

Tepat pada saat Pandan Wangi menghilang, seekor kuda hitam yang dikendalikan oleh seorang pemuda berbaju rompi putih, tiba di tempat pertarungan tadi. Penunggang kuda yang tidak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat turun dari punggung kudanya. Tampak keningnya berkerut ketika meneliti luka-luka yang ada pada tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan bermandikan darah.

"Pandan Wangi...," desis Rangga langsung mengenali bekas-bekas luka sabetan pedang, pukulan, dan tendangan yang membekas pada tubuh mayat-mayat tersebut.

Rangga langsung bangkit berdiri. Matanya yang tajam segera mengawasi daerah sekitarnya. Tak satu makhluk pun yang tampak, keadaan sepi! Kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu berusaha mencari jejak-jejak kaki di rerumputan. Tapi yang dia dapatkan hanya jejak-jejak kaki dari bekas pertempuran tadi.

Dia segera menghampiri kereta kuda yang tertinggal di sekitar mayat-mayat itu. Langsung saja dia memeriksa isinya. Kembali keningnya berkerut begitu melihat bahan-bahan makanan pokok dan juga sayur-sayuran serta buah-buahan memenuhi kereta kuda tersebut.

"Apakah si Perawan Rimba Tengkorak itu Pandan Wangi...?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri.

Melihat dari identitas mereka yang tewas, sudah jelas kalau mereka adalah anggota Partai Tengkorak yang mempunyai kedudukan tingkat dua. Sedangkan melihat dari bekas-bekas luka di tubuh mereka, Rangga tidak dapat menyangsikan lagi, itu adalah luka-luka akibat tebasan Pedang Naga Geni dan pukulan Naga Wisa.

"Aku harus menemukannya, dia pasti Pandan Wangi!" desah Rangga seraya beranjak pergi.

Pendekar Rajawali Sakti segera menghampiri kudanya yang tengah merumput tidak jauh dari tempat itu. Sejenak kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan tak seorang pun terlihat di sekitar tempat itu. Keadaannya masih tetap sepi dan lengang. Kemudian dia segera mengelus-elus kepala kuda hitamnya, serasa berat untuk mengatakan sesuatu.

Seakan mengerti apa yang dikatakan Rangga kuda itu segera meringkik dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Rangga lalu melepaskan tali kekang kuda itu dan melemparkannya jauh-jauh. Secepat kilat kuda itu langsung berlari menembus lebatnya hutan. Sejenak Rangga masih memandangi kudanya sampai lenyap dari pandangan matanya.

"Suiiit...!" Rangga segera bersiul nyaring dengan irama tertentu.

Beberapa saat kemudian dia mendongakkan ke lanya ke atas. Bibirnya langsung tersenyum melihat satu titik hitam di atas kejauhan sana. Titik hitam semakin lama semakin membesar, dan semakin jelas bentuknya. Rupanya Rangga telah memanggil burung rajawali raksasa untuk membantunya mencari Pandan Wangi, yang dia yakini pasti berada di sekitar Hutan Jati Jarak ini.

"Khraaaghk...!"

"Maaf, kalau aku mengganggu istirahatmu, Rajawali," kata Rangga begitu burung rajawali itu telah mendarat di depannya.

Burung rajawali raksasa segera mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan mengerti perasaan Rangga. Perlahan-lahan Rangga mendekati dan mengusap-usap kepala burung tunggangannya itu.

"Aku perlu bantuanmu sekali lagi, Rajawali," kata Rangga.

"Argh!"

"Iya, nanti akan kuceritakan di atas."

Burung itu seakan mengerti, dan segera merendahkan tubuhnya. Buru-buru Rangga melompat naik dan duduk di punggung burung raksasa itu. Setelah Rangga meminta burung itu segera terbang, maka burung raksasa itu langsung mengepakkan sayapnya dan melesat ke angkasa dengan kecepatan tinggi sekali.

********************

"Jangan terlalu jauh meninggalkan lokasi hutan ini, Rajawali," kata Rangga agak keras untuk mengalahkan deru angin yang begitu membisingkan telinga.

"Khraghk...!"

"Bagus! Berputar-putar saja, ya..., coba sedikit rendah lagi," kata Rangga.

Burung rajawali raksasa itu segera menuruti perintah Rangga. Sementara Rangga yang berada di punggung burung raksasa itu, terus-menerus mengarahkan pandangannya ke bawah. Sedikit pun matanya tak berkedip mengamati daerah sekitar hutan itu. Dia berharap, dari tempat yang tinggi, bisa melihat sesuatu yang menunjukkan keberadaan Pandan Wangi.

"Berhenti dulu, Rajawali," perintah Rangga tiba-tiba.

Burung raksasa itu segera memperlambat kepakan sayapnya, agar tetap berada di udara. Rangga lebih menajamkan penglihatannya. Tampak di bawah sana terdapat beberapa bangunan yang dikelilingi pagar batu yang tebal dan tinggi bagai sebuah benteng. Di luar tembok batu itu, dibangun parit yang sangat besar dan dalam.

"Partai Tengkorak ..," desah Rangga begitu melihat kibaran bendera dengan lambang gambar kepala tengkorak.

Tempat itu berada di dasar lembah yang tidak terlalu dalam, namun sangat sulit dicapai karena dikelilingi oleh bukit-bukit batu dan rawa-rawa yang bisa menenggelamkan siapa saja yang belum tahu daerah itu. Dan hanya ada satu jalan untuk masuk ke daerah itu, yaitu dengan melompati batu-batu yang berjajar dengan jarak tidak terlalu jauh.

"Berputar sebentar, Rajawali," kata Rangga.

Burung rajawali raksasa itu bergerak memutari daerah yang di bawahnya merupakan sebuah lembah kecil itu. Sejenak Rangga mempelajari situasi daerah itu dengan teliti. Setiap kemungkinan yang dapat dilalui untuk ke luar masuk ke tempat itu dia pelajari, dan tempat-tempat yang berbahaya juga dihapalkan di kepalanya. Ternyata tempat itu benar-benar sangat strategis untuk dijadikan daerah pertahanan. Tapi jika digempur dari atas tebing, mereka tidak akan bisa berbuat banyak. Satu-satunya jalan keluar hanya melewati rawa-rawa itu. Menyadari hal itu Rangga segera tersenyum sendiri.

"Ayo, Rajawali. Kita jelajahi lagi Hutan Jati Jarak ini," ajak Rangga.

"Khraghk...!"

Burung rajawali raksasa itu segera meninggalkan daerah lembah yang dijadikan benteng pertahanan Partai Tengkorak. Di atas punggung burung itu Rangga tidak henti-hentinya menceritakan tentang Pandan Wangi. Dia juga tidak malu-malu lagi menceritakan perasaan cintanya pada Pandan Wangi di hadapan burung raksasa itu.

"Aku yakin gadis itu ada di sekitar hutan ini, Rajawali. Dan aku harus menemukannya, harus...!" Kata Rangga.

"Khraghk!"

"Kau pasti akan menyukai gadis itu juga, kalau kau sudah kenal dengannya, Rajawali."

Lagi-lagi burung itu hanya berkaokan saja menyahuti kata-kata Rangga. Dan anehnya, antara makhluk yang sangat berbeda jenis itu seperti saling mengerti apa yang dibicarakan.

Hampir seharian Rangga dan burung raksasa itu terus mencari Pandan Wangi dari atas. Namun sampai matahari tenggelam di ufuk Barat, mereka tidak juga menemukan Pandan Wangi. Bahkan tanda-tandanya saja tidak kelihatan sama sekali. Namun begitu, Rangga tetap yakin, kalau si Perawan Rimba Tengkorak itu adalah Pandan Wangi.

********************

EMPAT

Rangga tampak duduk merenung di depan api anggun kecil yang sengaja dibuatnya untuk mengusir hawa dingin yang menerpa kulit tubuhnya. Tidak jauh darinya, burung rajawali raksasa meringkuk menghangatkan tubuh dekat api unggun itu juga. Rangga sudah tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Segala daya dan upaya telah dilakukannya untuk mencari gadis yang sangat dicintainya itu, tapi sampai kini belum juga berhasil ditemukannya.

"Rangga...," tiba-tiba terdengar suara lirih memanggilnya.

Rangga langsung tersentak dan segera menoleh ke arah burung rajawali raksasa di sampingnya. Tapi burung itu sedang tertidur dengan kepala tersembunyi di balik sayapnya. Sementara di sekelilingnya tidak tampak seorang pun! Tapi suara tadi jelas sekali terdengar di telinganya.

"Rangga...," terdengar lagi suara halus itu.

"Siapa kau? Tunjukkan dirimu!" suara Rangga terdengar sedikit berbisik. Dia tahu, mendengar dari nada suaranya, makhluk yang memanggilnya bukanlah makhluk yang jahat.

"Lihatlah ke samping kirimu, aku ada di situ."

Betapa terkejutnya Rangga begitu dia memalingkan kepalanya ke kin! Sampai-sampai dia terlonjak sedikit dari duduknya. Tampak seekor ular hitam sebesar lengan sedang melingkar di atas batu. Belum juga hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba dari tubuh ular itu mengepul asap tipis, yang semakin lama semakin menggumpal tebal. Perlahan-lahan asap itu kemudian menipis. Kini di atas batu itu tampak duduk seorang wanita cantik dengan mengenakan pakaian hitam yang tipis, sehingga membentuk tubuhnya yang indah dalam siraman cahaya api unggun.

"Oh, kau.... Dewi Naga Hitam...?" Rangga segera mengenali wanita cantik jelmaan dari ular hitam tadi.

"Rupanya kau hanya mengenali diriku, kalau ujudku seperti ini, Rangga," kata wanita itu.

"Maafkan, aku memang lupa," Rangga mengakui terus terang.

Dewi Naga Hitam hanya tersenyum tipis dengan kejujuran Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan dia bisa memaklumi, karena sekarang ini Rangga sedang kacau pikirannya.

Lagipula sudah sangat lama mereka tidak pernah saling jumpa lagi, setelah Rangga meninggalkan jurang tempat bangsa ular bersemayam. (Untuk lebih jelas, bacalah serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah: Asmara Maut).

"Aku tahu kalau kau sedang dalam kesulitan, tapi tidak baik sampai melupakan sahabat. Bukankah kau bisa meminta bantuanku, atau yang lain?" kata Dewi Naga Hitam.

"Aku malu mengatakannya, Dewi Naga Hitam," Rangga mengakui.

"Kenapa harus malu? Tanpa kau ceritakan pun, kami semua sudah tahu persoalanmu. Jiwamu sudah terpahat di hati bangsa kami."

"Terima kasih. Kau memang baik sekali, Dewi Naga Hitam," puji Rangga.

"Sudahlah. Aku tahu, kau membutuhkan bantuanku, kan?" Dewi Naga Hitam menebak.

"Ya...," desah Rangga terus terang.

"Gadismu tidak akan kau temukan dalam satu tempat saja, Rangga. Dia selalu berpindah-pindah, meskipun masih dalam satu wilayah, yaitu di sekitar Hutan Jati Jarak ini," kata Dewi Naga Hitam.

"Lantas, di mana aku bisa menemukannya?" tanya Rangga berharap.

"Tadi, sebelum gelap aku telah melihatnya di dekat sungai kecil. Tapi sekarang aku tidak tahu, apakah dia masih berada di sana, atau sudah pergi," kata Dewi Naga Hitam memberi tahu.

"Kalau ternyata dia sudah tidak berada di sana lagi, ke mana aku harus mencarinya lagi?" tanya Rangga sedikit mengeluh.

"Jangan putus asa, Rangga. Aku akan membantumu dengan memerintahkan seluruh ular-ular yang ada di sini, untuk memberitahumu kalau mereka melihat gadis itu. Tapi..., bagaimana caranya menghubungimu?"

Rangga berpikir sebentar. Dia memang mencari Pandan Wangi dari atas dengan menggunakan burung rajawali raksasa, dan hal itu tentunya sulit untuk kelancaran komunikasi.

"Baiklah, aku akan mencarinya lewat darat saja. Tapi malam ini aku tidak ingin rajawali pulang. Terbang malam hari terlalu berbahaya."

"Kau lupa, Rangga? Dia bukan burung biasa! Tidak ada masalah baginya untuk terbang dalam keadaan apa pun juga!"

"Khraghk...!"

Rangga langsung menoleh mendengar suara burung raksasa itu. Tampak burung itu berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah dia mengerti, apa yang telah dikatakan oleh Dewi Naga Hitam.

"Maafkan aku, Rajawali," kata Rangga sambil mengelus-elus kepala burung raksasa itu.

"Arghk!"

Burung raksasa itu lalu menggosok-gosokkan kepalanya ke tubuh Rangga. Kembali burung itu sepertmengisyaratkan sesuatu kepada Rangga.

"Oh, terima kasih. Kau akan tetap mencari dari atas, sedangkan aku dan Dewi Naga Hitam mencari dari bawah," kata Rangga bisa membaca arti pandangan burung raksasa itu.

"Arghk!"

"Ayo, Dewi Naga Hitam. Rajawali mengajak kita ke goa itu," kata Rangga mengajak.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Rangga langsung melompat ke punggung burung raksasa itu. Sedang-kan Dewi Naga Hitam masih belum beranjak dari duduknya. Sejenak Rangga memandang wanita cantik jelmaan ular hitam itu.

"Aku akan berada di sana nanti," kata Dewi Naga Hitam mengerti arti pandangan Rangga.

"Kenapa tidak sama-sama saja?"

"Tidak, aku tidak tahan dengan ketinggian."

"Kalau begitu, baiklah. Kita bisa bertemu lagi di sungai dekat goa itu," Rangga mengalah.

Kemudian Rangga segera memerintahkan rajawali aksasa itu untuk terbang. Dengan beberapa kali kepak saja, burung itu sudah melesat ke angkasa.

********************

"Pandan...!" panggil Rangga berteriak.

Tapi tidak ada sahutan sama sekali. Keadaan di sekitar sungai kecil itu tetap sunyi. Hanya desah angin aja yang terdengar mengusik telinga. Rangga terus saja mengayunkan langkah kakinya menyusuri daerah itu. Kemudian dia segera berhenti melangkah begitu di depannya terpampang mulut goa yang besar dan Iekat.

"Pandan..., kau di situ?" teriak Rangga keras. Tidak ada sahutan sama sekali. Pelan-pelan Rangga melangkah masuk ke dalam goa. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun di dalamnya. Rangga segera mengerahkan aji 'Tatar Netra' untuk mengatasi kegelapan di dalam goa.

Segera tampak olehnya bekas-bekas yang membuktikan, bahwa goa itu belum lama ditinggalkan. Dia terus melangkah lebih dalam lagi, dan mendekati kayu bakar yang masih mengepulkan asapnya yang tipis. Kayu itu masih menyimpan bara, pertanda belum lama dimatikan. Melihat hal itu, bergegas dia ke luar dari goa.

"Pandan, aku Rangga, di mana kau...?" teriak Rangga keras. Suaranya menggema ke seluruh penjuru mata angin, karena disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna.

"Da sudah tidak ada di sini lagi, Rangga," terdengar suara pelan.

"Oh, Dewi Naga Hitam..," Rangga sedikit terkejut.

"Aku sudah memeriksa sekitar tempat ini, tapi gadismu tidak ada," kata Dewi Naga Hitam yang. sudah menjelma kembali menjadi manusia.

"Apakah dia sengaja menghindariku?" keluh Rangga tidak mengerti.

"Tampaknya begitu."

"Kenapa? Kenapa dia menghindariku? Apakah dia tidak tahu kalau aku benar-benar mencintainya? Apakah dia...," Rangga benar-benar kecewa dan hampir putus asa.

"Rangga...," Dewi Naga Hitam memotong cepat. Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian jatuh terduduk lemas. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya? Semua usahanya terasa sia-sia saja! Pandan Wangi sengaja menghindarinya.

"Kau sungguh-sungguh mencintainya, Rangga?" tanya Dewi Naga Hitam.

"Kenapa kau tanyakan itu?" Rangga balik bertanya seraya mengangkat kepalanya.

"Aku memang tidak tahu tentang cinta manusia, tapi mungkin tidak jauh dari bangsaku," gumam Dewi Naga Hitam mendesah.

"Memang sulit untuk menjabarkan arti cinta. Tapi aku sungguh-sungguh mencintainya. Kau tahu! Pandan Wangi adalah gadis pertama yang aku cintai. Aku tidak tahu, kenapa perasaan itu datang justru setelah kami berpisah. Aku yakin, dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Dan aku tidak percaya kalau dia sengaja menghindariku. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya, atau...," Rangga tidak jadi meneruskan kata-katanya.

"Mungkin dia sudah tahu kalau kau sekarang sudah menjadi seorang raja, dan dia merasa tidak pantas lagi untuk mendampingimu," sambung Dewi Naga Hitam.

"Apa bedanya aku yang dulu dengan yang sekarang? Itu bukan alasan yang tepat!" dengus Rangga.

"Meskipun aku dari jenis makhluk yang berbeda, tapi aku bisa mengerti perasaan wanita, Rangga. Sampai kapan pun kau tidak akan bisa membuka tabir misteri yang terselubung pada diri wanita. Seperti juga Pandan Wangi, dia pasti punya alasan tertentu, kenapa dia menghindarimu?"

"Persetan dengan semua itu, Dewi Naga Hitam. Sampai kapan pun aku tetap akan mencarinya. Dia harus tahu, kalau aku benar-benar mencintainya. Kalaupun dia tidak mencintaiku aku harus mendengar dari mulutnya sendiri."

"Gadis yang beruntung, tapi malang," desah Dewi Naga Hitam seakan menyesalkan keadaan.

"Apa maksudmu?" Rangga tidak mengerti.

"Tidak apa-apa, aku hanya bicara pada diriku sendiri."

"Jangan mengejekku, Dewi Naga Hitam!" dengus Rangga kesal.

"Untuk apa aku mengejekmu? Seandainya aku manusia, tentu akan sangat bahagia sekali mendapatkan cinta dari seorang laki-laki sepertimu."

"Jangan menghiburku, Dewi Naga Hitam. Penghibur hatiku hanyalah Pandan Wangi, hanya dia satu-satunya!"

"Ah, sudahlah! Kau tidak akan berhenti mencari gadismu, bukan?"

"Ya!" jawab Rangga tegas.

"Kalau begitu, kenapa harus menuruti kata hati? Dia pasti belum jauh dari tempat ini. Dan kau bisa segera menelusuri jejaknya!" kata Dewi Naga Hitam.

Pendekar Rajawali Sakti tidak menyadari kalau dia sudah ditinggalkan oleh Dewi Naga Hitam. Dia terus saja melangkah meninggalkan goa dekat sungai kecil itu. Sedang ular hitam itu pun terus melata ke arah yang berlawanan dengan Rangga.

Ular hitam itu terus merayap mendaki bukit batu yang terjal di belakang goa. Gerakannya cepat, tidak seperti ular-ular biasa yang lamban. Maka dalam waktu sebentar saja, dia sudah berada di puncak tebing batu itu. Kemudian langsung merubah diri menjadi seorang wanita cantik yang mengenakan baju hitam tipis hampir tembus pandang.

"Kau dengar semuanya, Pandan?" tanya Dewi Naga Hitam. Dia duduk di depan Pandan Wangi. Hanya api unggun kecil yang membatasi mereka.

"Yaaah...," desah Pandan Wangi panjang.

"Dia seorang laki-laki sejati, Pandan. Seharusnya kau beruntung mendapatkan cinta dari seorang laki-laki seperti Rangga," kata Dewi Naga Hitam lagi.

Pandan Wangi hanya diam saja.

"Kau mencintainya, Pandan?" pancing Dewi Naga Hitam.

"Ya," sahut Pandan Wangi mendesah lagi.

"Lalu, kenapa kau menghindarinya?" Dewi Naga Hitam pura-pura tidak tahu.

"Aku tidak tahu, aku..., aku..."

"Kau malu karena dia sudah menjadi seorang raja, begitu?"

"Mungkin."

"Dengar, Pandan. Kau sudah tahu siapa aku, kan? Juga hubunganku dengan Rangga. Semua bangsa ular di dunia ini tunduk padanya, karena Rangga adalah murid dari sahabat karib raja kami, Satria Naga Emas. Sehingga Rangga dianggapnya sebagai keponakannya sendiri. Percayalah padaku, Pandan. Aku mengatur semua ini demi kebaikanmu, demi kalian berdua. Sekarang kau sudah tahu, kalau cinta Rangga padamu begitu besar dan suci. Dia tidak akan menyerah sebelum mendengar dari mulutmu sendiri. Aku tidak melihat jurang pemisah antara kau dengan Rangga. Meskipun aku baru mengenalmu sore tadi, tapi aku sudah tahu latar belakang kehidupanmu, juga keluargamu," panjang lebar Dewi Naga Hitam menguraikan pandangannya.

"Dari mana kau tahu semua itu...?" agak terkejut juga Pandan Wangi.

"Ya, aku bisa tahu karena kau mempunyai hubungan batin dengan Rangga."

Pandan Wangi terdiam. Dia merasa, tidak ada gunanya lagi menutup diri pada Dewi Naga Hitam. Semua yang menjadi rahasia pribadinya sudah di ketahui oleh wanita jelmaan ular hitam itu.

"Kaulah satu-satunya seorang pendekar wanita yang sangat dicintainya, Pandan. Dan aku rasa kau pantas untuk mendampinginya sebagai seorang permaisuri raja. Aku yakin, kau pasti lebih mengetahui tentang hal itu," sambung Dewi Naga Hitam.

"Tapi tidak seorang pun yang tahu Dewi Naga Hitam. Juga Rangga sendiri, dia tidak tahu apa-apa tentang keluargaku, dan semua orang di Karang Setra. Aku tidak ingin membuat Rangga malu di depan rakyatnya sendiri. Kau tahu, Dewi Naga Hitam. Cinta suci yang sejati tidak harus bersatu dan berani berkorban untuk kebahagiaan yang dicintainya. Aku pun rela berkorban asalkan Rangga bahagia," kata Pandan Wangi.

"Kau terlalu larut terbawa emosi, Pandan," Dewi Naga Hitam menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak, aku telah memikirkannya dalam beberapa hari terakhir ini. Setelah aku tahu, bahwa Rangga telah nenjadi seorang raja."

"Sungguh?"

"Ya!"

"Kau tidak perlu berdusta. Pandan. Aku bisa menangkap nada dusta dalam getar suaramu. Kau merasa kecewa, dan semuanya kau limpahkan pada Partai Tengkorak. Kau seorang pendekar, Pandan. Tapi tindakanmu sekarang ini tidak mencerminkan takaran jiwa seorang pendekar."

"Dewi...!"

"Akuilah dengan jujur, Pandan. Tidak ada gunanya kau berdusta padaku," sergah Dewi Naga Hitam cepat.

Pandan Wangi menundukkan wajahnya. Dia benar-benar tidak tahu lagi, apa yang dilakukannya. Perasaannya jadi tidak menentu, otaknya juga serasa beku, tidak mau lagi untuk berpikir jernih. Pandan Wangi merasa dihadapkan pada satu pilihan yang amat sulit. Hati kecilnya menjerit karena tidak mampu lagi memendam rasa cintanya pada Rangga, sementara dari sudut lainnya dia tidak ingin membuat Pendekar Rajawali Sakti malu di depan rakyatnya. Semua orang di Karang Setra pasti akan menentang hubungan ini. Meskipun dia keturunan pendekar golongan putih ternama, tapi tidak ada seorang pun yang tahu.

"Sudah larut malam, Pandan. Tidurlah, kau masih harus menghadapi banyak rintangan. Ketua Partai Tengkorak menghargai kepalamu dengan seribu keping uang emas. Dan aku sudah melihat, banyak tokoh-tokoh sakti dari rimba persilatan telah berdatangan ke Hutan Jati Jarak ini," kata Dewi Naga Hitam.

"Iya, aku sudah tahu," desah Pandan Wangi.

"Dan kau tidak akan mampu menghadapi mereka, kecuali kau bergabung dengan Rangga!"

"Tidurlah, aku akan menjagamu," terdengar suara Dewi Naga Hitam.

"Terima kasih," bisik Pandan Wangi.

********************

Pandan Wangi baru bangun ketika matahari sudah naik tinggi di ufuk Timur. Dia segera menimbuni sisa-sisa kayu bakar dengan tanah kering berdebu. Sejenak dia menggeliat-geliatkan tubuhnya, kemudian matanya mengamati sebuah pohon, di mana ular hitam menjaganya semalam. Tapi ular hitam itu sudah tidak ada lagi di sana.

Pelan-pelan Pandan Wangi melangkahkan kakinya mendekati bibir tebing batu itu. Dari tempat dia berdiri, tampak sebagian dari Hutan Jati Jarak yang luar biasa luasnya, hingga melingkupi sebagian dari Lereng Gunung Puting bagian Barat dan Utara. Gadis itu segera berbalik dan melangkah menuju sebuah mata air yang mengucur dari sela-sela batu. Air itu terus mengalir turun dan menyatu dengan sungai kecil di bawah sana.

Di dekat mata air itu, terdapat sebuah cekungan batu yang cukup besar dan penuh dengan air bening. Tanpa ragu-ragu lagi Pandan Wangi segera melepaskan pakaiannya satu persatu. Kemudian dengan tubuh polos tanpa penutup sehelai benang pun, gadis itu langsung menceburkan tubuhnya ke dalam cekungan batu itu. Air jernih yang berada dalam cekungan batu itu sangat sejuk dan segar. Pandan Wangi membersihkan diri sambil bernyanyi dengan irama lagu yang sendu.

"Indah sekali lagumu..."

"Oh!" Pandan Wangi terkejut sekali mendengar suara yang begitu tiba-tiba datangnya.

Buru-buru gadis itu langsung menyambar sepotong kain yang ada di antara tumpuan kakinya, dan langsung melilitkan ke tubuhnya yang polos, Dia baru menarik napas lega setelah melihat ular hitam melingkar di pinggir batu yang bercekung itu.

"Huh! Bikin kaget saja!" dengus Pandan Wangi.

"Maaf, kalau ucapanku tadi membuatmu terkejut "

"Kainku jadi basah, nih. Aku harus menunggunya sampai kering," keluh Pandan Wangi.

"Bisa aku bantu menjemurkan?"

Pandan Wangi mengernyitkan keningnya.

"Aku memang tidak bisa berbuat banyak dengan ujudku seperti ini," Dewi Naga Hitam menyadari.

Pandan Wangi segera naik dari dalam cekungan batu itu. Lalu dia melepaskan kainnya begitu saja, dan segera mengenakan pakaiannya kembali.

"Aku melihat dua kereta kuda sedang melintasi bagian Timur Hutan Jati Jarak ini," kata Dewi Naga Hitam.

"Orang-orang Partai Tengkorak?"

"Iya, kau akan merampasnya?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Ini bukan waktunya mereka menarik upeti."

"Perubahan bisa saja terjadi secara tiba-tiba, Pandan. Siapa tahu mereka sengaja merubah waktunya, setelah menyadari, kalau kau sudah tahu saat-saat penarikan upeti."

"Mungkin, tapi aku yakin kereta itu bukan membawa upeti. Itu cuma jebakan untuk memancing supaya aku keluar."

"Kenapa kau begitu yakin?"

"Aku pernah terjebak sekali, untunglah mereka dapat segera kuatasi."

"Aku tidak menduga, ternyata kau punya perhitungan juga "

"Rangga yang mengajarkan begitu."

Mendadak Pandan Wangi merenung diam. Dia jadi teringat saat-saat bersama Pendekar Rajawali Sakti. Begitu banyak pelajaran yang telah dia dapatkan. Dan semua itu sangat bermanfaat bagi pengembaraannya orang diri.

"Apa yang kau lamunkan?" tegur Dewi Naga Hitam.

"Ah, tidak," Pandan Wangi terkejut juga. Gadis itu kemudian segera melangkah mendekati bibir tebing batu itu.

"Aku akan segera membuktikan, bahwa kereta kuda itu hanya jebakan, ayo!" ajak Pandan Wangi.

Gadis itu langsung lompat menuruni tebing batu itu. Sedangkan ular hitam jelmaan Dewi Naga Hitam segera merayap cepat mengikuti dari belakang.

********************

LIMA

Dua pasang mata indah tampak sedang mengawasi dua kereta kuda yang berjalan pelan-pelan depannya. Dua kereta kuda yang tertutup kain terpal yang tebal itu, masing-masing ditarik oleh dua ekor kuda. Sementara semua pengawalnya yang kurang lebih dua puluh orang berkuda itu, berada di belakangnya.

"Kau lihat, Dewi Naga Hitam? Mereka seperti sengaja menunggu kedatanganku," kata Pandan Wan setengah berbisik.

"Ternyata kau cukup berpengalaman juga, Pandan," puji Dewi Naga Hitam.

"Aku yakin, di dalam kereta itu pasti tokoh-tokoh berilmu tinggi dari rimba persilatan," Pandan Wangi menduga dengan penasaran.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"

"Lihatlah!"

Pandan Wangi segera memungut tiga batang ranting kayu yang lumayan tajam. Sejenak dia menimang-nimang tiga benda itu, lalu dengan disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup sempurna, dia langsung melemparkan ketiga ranting itu ke arah kereta kuda yang berada di depannya.

Crab! Crab! Crab!

Langsung saja ketiga batang ranting itu menancap ke kain terpal. Dan seketika itu juga terdengarlah jeritan kesakitan yang melengking tinggi! Dan rombongan kereta kuda tersebut langsung berhenti. Tak lama kemudian, dari dalam kereta itu berlompatan sosok-sosok tubuh manusia dengan pakaian beraneka ragam dan dengan senjata yang berbagai macam bentuknya.

"Bagaimana, Dewi Naga Hitam?" Pandan Wangi tersenyum lebar.

"Kau benar-benar cerdik, pantas saja kalau Ketua Partai Tengkorak benar-benar merasa terancam," lagi-lagi Dewi Naga Hitam memuji.

"Lihat! Jumlah mereka begitu banyak, lebih dari lima puluh orang," kata Pandan Wangi lagi.

"Kau mampu menghadapi mereka semua, Pandan?" pancing Dewi Naga Hitam.

"Kalau mau mati konyol, sudah kuhajar sejak tadi."

"Kalau begitu, biar aku yang membereskan," Dewi Naga Hitam buru-buru mempersiapkan diri.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Pandan Wangi kaget.

"Lihat saja!"

Ular hitam pekat itu langsung mendesis berkali-kali. Kepalanya terangkat naik ke atas seraya bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan.

Pandan Wangi tertegun memperhatikan dengan pandangan tidak mengerti. Tapi.... "Oh...!"

Ia sangat terkejut begitu menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba orang-orang Partai Tengkorak yang dibantu oleh tokoh-tokoh rimba persilatan sudah dikepung ribuan ular berbisa, baik besar maupun kecil. Suara-suara mendesis langsung terdengar memenuhi udara sekitarnya. Bau amis pun segera menyeruak me-nusuk hidung dengan tajam.

Ular-ular yang semakin bertambah jumlahnya itu pelan-pelan bergerak mendekati orang orang yang mengelilingi kereta kuda itu. Sedangkan kuda-kuda yang menarik kereta mereka, meringkik-ringkik ketakutan melihat ular-ular itu. Aneh! Ular-ular itu seperti sengaja memberikan jalan keluar bagi kuda-kuda yang lari ketakutan itu.

Pandan Wangi benar-benar kagum menyaksikan pemandangan yang aneh dan mengerikan itu. Sementara lima puluh orang yang terkepung tampak menggigil ketakutan, melihat ular-ular yang begitu banyak semakin rapat mengepungnya.

"Ulurkan tanganmu ke arahku, Pandan," kata Dewi Naga Hitam.

"Oh!" Pandan Wangi terkejut mendengar permintaan itu.

Sungguh! Seumur hidupnya gadis itu belum pernah memegang ular. Bahkan dia paling jijik dengan binatang yang satu ini. Tapi dengan permintaan Dewi Naga Hitam tadi.... Dengan ragu ragu Pandan Wangi mengulurkan tangannya, dan memegang tubuh ular hitam pekat itu. Mendadak saja, rasa takut dan jijik hilang seketika begitu tubuh ular itu membelit pinggangnya. Bahkan Pandan Wangi membiarkan saja ketika kepala ular hitam itu berada di pundaknya.

"Ayo ke luar, Pandan. Kau bisa memanfaatkan mereka untuk menghancurkan Partai Tengkorak," kata Dewi Naga Hitam.

"Tapi..."

"Jangan takut, rakyatku tidak akan mengganggumu. Dengan aku berada bersamamu, kau akan dianggap sebagai wakil Satria Naga Emas. Mereka akan langsung tunduk pada perintahmu!" Dewi Naga Hitam meyakinkan.

Pandan Wangi percaya saja pada kata-kata Dewi Naga Hitam. Dan tanpa ragu-ragu lagi, dia langsung melompat dari persembunyiannya. Setelah beberapa kali berputaran di udara, dengan mudah Pandan Wangi menjejakkan kaklnya tepat di barisan belakang ular-ular yang mengurung sekitar lima puluh orang itu. Kedatangan Pandan Wangi yang tiba-tiba itu langsung membuat orang-orang itu terkejut. Apalagi di tubuh pendekar wanita itu terbelit seekor ular hitam yang besar.

"Jadikan mereka pengikutmu, Pandan," kata Devi Naga Hitam.

"Untuk apa?" tanya Pandan Wangi berbisik.

"Kau perlu pengikut untuk menghancurkan Partai Tengkorak. Paling tidak mereka bisa meringankan pekerjaanmu."

"Baiklah!" kata Pandan Wangi menyetujui gagasan itu.

********************

Ular-ular di depan Pandan Wangi segera menyingkir memberi jalan begitu mendengar perintah dari gadis itu. Dan dengan langkah anggun bagaikan seorang putri kerajaan, dia mendekati lima puluh orang yang rata-rata sudah pucat pasi semua itu.

"Siapa di antara kalian yang jadi pemimpinnya?' tanya Pandan Wangi lantang.

Sepi! Tidak ada seorang pun yang menyahut pertanyaannya.

"Siapa pemimpinnya? Jawab! Atau ular-ularku yang akan memaksa!" gertak Pandan Wangi bersungut.

"A..., aku...," salah seorang maju ke depan dengan takut-takut.

"Hm...," Pandan Wangi memperhatikan laki-laki yang usianya sekitar lima puluh tahun itu.

"Siapa namamu?" tanya Pandan Wangi.

"Su..., Su..., Sura Praba," jawab orang itu terbata-bata.

"Dengar, Sura Praba! Dan kalian semua! Hari ini aku bermurah hati tidak akan melenyapkan kalian," Pandan Wangi mulai membuka taktiknya.

"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Den Ayu," kata Sura Praba seraya membungkuk beberapa kali.

"Tapi kalian harus berjanji, tidak akan kembali lagi pada Partai Tengkorak!" sambung Pandan Wangi tegas.

Seperti ada yang memberi komando saja, mereka semua langsung melepaskan segala macam tanda yang berhubungan dengan Partai Tengkorak. Sehingga mereka hanya mengenakan celana sebatas lutut saja.

"Kami berjanji, kami akan setia kepada perintah Gusti Ayu," kata Sura Praba seraya menjatuhkan diri berlutut. Yang lainnya segera saja ikut berlutut dan menundukkan kepala.

"Bagus! Aku tidak akan segan-segan menjatuhkan tangan, jika di antara kalian ada yang coba-coba membangkang!" ancam Pandan Wangi.

Sejenak Pandan Wangi memberikan isyarat, serta-merta ular-ular yang mengepung mundur, begitu Dewi Naga Hitam yang membelit pinggang Pandan Wangi mendesis. Sementara lima puluh orang tersebut masih berlutut, sampai ular-ular yang memenuhi tempat itu hilang ke dalam semak-semak belukar.

"Ada satu hal lagi yang perlu kalian ketahui, siapa yang mencoba lari dariku, pasti akan akan mati oleh ular-ularku. Mengerti?!"

"Mengerti, Gusti Ayu," jawab mereka serempak.

Pandan Wangi segera tersenyum senang. Dalam hati dia berterima kasih sekali atas bantuan yang diberikan oleh Dewi Naga Hitam. Dia yakin, tanpa ular hitam itu, mustahil bisa menaklukkan lima puluh orang tersebut. Tapi Pandan Wangi pun segera menyadari bahwa orang-orang seperti mereka mudah untuk berpihak pada siapa saja. Tegasnya, mereka juga tidak segan-segan untuk berkhianat demi kepentingan dirinya sendiri. Makanya Pandan Wangi tidak ingin berlama-lama berhubungan dengan orang-orang seperti mereka.

Dengan langkah tenang, Pandan Wangi segera berjalan kembali menuju sungai kecil dekat goa. Dia memang menjadikan tempat itu sebagai markas untuk menyusun kekuatan dalam menghadapi Partai Tengkorak. Tekadnya sudah bulat sekarang, dia hanya menghancurkan partai itu sampai ke akar-akarnya. Darahnya jadi mendidih, kalau mengingat kepalanya hanya dihargai seribu keping uang emas.

"Aku rasa, lima puluh orang belum cukup untuk menghadapi Partai Tengkorak, Dewi Naga Hitam," kata Pandan Wangi berbisik.

"Memang, dan kau harus berusaha lagi untuk menambah lebih banyak. Sekarang, anggota Partai Tengkorak bukan lagi puluhan, tapi sudah mencapai ratusan. Apalagi ditambah tokoh-tokoh berilmu tinggi rimba persilatan yang tergiur oleh hadiah itu," sahut Dewi Naga Hitam.

"Apakah aku perlu minta bantuan pada padepokan-padepokan yang ada di sekitar lereng Gunur Puting?" Pandan Wangi minta pendapat.

"Tidak perlu, Pandan. Kau memang harus menambah jumlah pengikutmu, tapi aku rasa tidak perlu. Kecuali jika kau mau"

"Apa?'' Pandan Wangi penasaran.

"Bergabung dengan Rangga!"

Pandan Wangi langsung terdiam.

"Aku pikir, itu satu-satunya jalan, Pandan. Kau akan makan waktu yang lama untuk mengumpulkan pengikut, sementara kekuatan Partai Tengkorak akan semakin bertambah besar."

"Sebenarnya aku tidak ingin mengandalkan kekuatan dia, Dewi Naga Hitarn," Pandan Wangi mendesah.

"Baiklah kalau kau tidak mau," Dewi Naga Hitam menyerah "Aku akan membantumu dengan mengerahkan bangsa ular."

"Dewi Naga Hitam..." panggil Pandan Wangi lirih.

"Apa?" sahut Dewi Naga Hitam.

"Boleh aku bertanya?"

"Kenapa tidak?

"Kelihatannya kau bernafsu sekali untuk menghancurkan Partai Tengkorak. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan dirimu?" tampak jelas ada nada kecurigaan pada kata-kata Pandan Wangi barusan.

"Kau akan mengetahuinya sendiri nanti."

"Apakah kau punya dendam?" desak Pandan Wangi menebak.

Pertanyaan itu tetap tak dijawab. Terpaksa Pandan Wangi tidak mendesak lagi. Dia sudah merasakan sendiri kalau ada sesuatu yang telah terjadi antara Dewi Naga Hitam dengan Partai Tengkorak.

********************

Entah apa yang meresahkan hati Pandan Wangi, sehingga sampai larut malam tubuhnya hanya bergulingan ke sana kemari, tanpa bisa memejamkan mata sedikit pun juga. Sudah sejak tadi Pandan Wangi merebahkan tubuhnya di atas jerami kering di dalam goa yang hangat oleh siraman cahaya api unggun. Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ada sesuatu yang sangat mendesak-desak di dalam dadanya.

Dia terngiang kembali kata-kata Rangga kemarin malam. Jelas sekali dia mendengar semua itu dari atas bukit batu. Dan dia merasa begitu terharu mendapatkan kenyataan bahwa cinta Rangga begitu besar pada dirinya. Dan itu berarti, apa yang ditakutkan selama ini tidak beralasan.

"Rangga..., seandainya kau tahu, bahwa aku juga benar-benar mencintaimu...," desah Pandan Wangi lirih.

Pelan-pelan dia beranjak dari tidurnya. Kemudian melangkahkan kakinya ke luar dari goa itu. Dia hanya berdiri mematung sambil menyandarkan tubuhnya di dinding mulut goa yang dingin. Semilir angin malam yang membelainya dengan lembut, membuat tubuh Pandan Wangi kedinginan. Sejenak dia mengedarkan pandangannya berkeliling pada sekitar goa tersebut. Tampak lima puluh orang yang sudah menyatakan setia padanya, sedang tidur pulas. Dan beberapa di antaranya berjaga-jaga di dekat perapian.

Pandangan gadis itu mendadak terpaku pada satu sudut yang agak tinggi. Tampak samar-samar sesosok tubuh putih sedang berdiri tegak memandang ke arahnya. Meskipun dalam jarak yang cukup jauh, namun Pandan Wangi dapat memastikan siapa orang itu.

"Rangga...," desisnya pelan. Ingin rasanya dia menghampiri pemuda itu. Tapi kakinya terasa berat untuk melangkah. Dia begitu yakin, kalau orang itu adalah Rangga, kekasih yang sangat dicintainya.

"Oh!"

Mendadak gadis itu tersentak ketika tiba-tiba orang yang dipandanginya itu lenyap! Segera dia berlari ke tengah-tengah lapangan yang ada di depan goa. Sejenak dia mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi tidak ada seorang pun yang terlihat di atas sana, hanya kegelapan yang menyelimuti sekitarnya.

"Apakah itu cuma khayalanku saja...," Pandan Wangi jadi ragu-ragu dengan penglihatannya.

Kembali dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi tetap sia-sia saja. Gadis itu cuma bisa mengeluh panjang. Dia begitu yakin, kalau yang dilihatnya tadi adalah Rangga, dan bukan semata-mata khayalannya saja. Didorong oleh rasa penasarannya yang dalam, gadis itu langsung melompat ke arah bukit di mana tadi dia telah melihat Rangga berdiri memandanginya. Hanya dengan dua kali lompatan saja, Pandan Wangi telah mencapai puncaknya.

"Benar! Aku tidak bermimpi, dia memang ada sini tadi," Pandan Wangi memeriksa tanah ya tergambar bekas pijakan kaki manusia.

Pandan Wangi cepat-cepat berdiri lagi. Matanya yang tajam kembali meneliti setiap jengkal tanah sekitarnya. Dia terus berlompatan mengikuti jejak-jejak kaki yang jaraknya sangat berjauhan antara yang satu dengan lainnya. Sama sekali dia tidak menyadari kalau dia sudah jauh meninggalkan tempat persembunyiannya.

Pandan Wangi langsung berhenti pada jejaknya tiba-tiba saja hilang. Dia heran karena tapak-tapak kaki itu benar-benar berhenti di tempat itu. Beberapa saat gadis itu masih kebingungan, tiba-tiba...

"Pandan...," sebuah suara halus terdengar.

********************

Bukan main kagetnya Pandan Wangi! Dia langsung membalikkan tubuhnya. Tapi tidak ada seorang pun di sekitar tempat itu. Padahal tadi jelas sekali suara itu datang dari belakangnya. Tapi kenyataan yang dihadapinya kini, dia tetap sendirian di tempat itu.

"Siapa kau? Aku bosan main kucing-kucingan begini!" seru Pandan Wangi kesal.

"Kau sudah tidak suka lagi dengan mainan lamamu, Pandan?" suara misterius itu kembali terdengar.

Untuk kedua kalinya Pandan Wangi benar-benar dibuat kaget setengah mati! Suara itu sangat jelas terdengar, bahkan seakan-akan begitu dekat. Pandan Wangi sadar, kalau dia sedang berhadapan dengan seseorang yang memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi. Segera saja dia mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara. Tapi..., gadis itu hanya terperangah sendiri, karena dia tetap tidak bisa melacak di mana sumber suara tadi.

"Keluarlah, kalau perlu kita bertarung sampai ada di antara kita mati di sini!" geram Pandan Wangi sedikit putus asa.

"Sayang sekali, kau tidak mengenal suaraku lagi," terdengar lagi suara tanpa wujud.

Langsung saja Pandan Wangi tersentak! Wajahnya langsung memerah seketika! Dia baru menyadari kalau suara itu...

"Rangga..." desisnya pelan. "Kakang...! Di mana kau?"

Suara Pandan Wangi terdengar menggema karena disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Kemudian gadis itu memutar tubuhnya sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Ya, ampun! Hampir saja dia mati lemas begitu melihat laki-laki yang sudah berdiri di dekatnya.

"Kakang...." Pandan Wangi melongo, seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

"Akhirnya aku dapat menemukanmu juga, Pandan," kata Rangga seraya mendekat.

"Oh, Kakang...."

Pandan Wangi tidak mampu lagi menguasai dirinya. Dia langsung memeluk Rangga! Rasa rindu yang dalam dan hanya terpendam saja, langsung ditumpahkan saat itu juga. Gadis itu memeluk Rangga erat-erat seakan-akan tidak ingin melepaskan pemuda itu lagi. Dan tanpa disadarinya, setitik air mata bahagia menggulir jatuh ke pipinya.

Sementara Rangga membiarkan saja gadis itu menangis dalam pelukannya, bahkan dia makin merapatkan pelukannya! Lama sekali mereka berpelukan menumpahkan berbagai macam perasaan yang sekian lama hanya terpendam di dalam dada. Beberapa saat kemudian, dengan pelan-pelan sekali Rangga melepaskan pelukannya. Kedua tangannya mencengkeram gadis itu. Seketika dipandanginya wajah cantik itu lekat-lekat.

"Aku mencintaimu, Pandan," bisik Rangga lembut.

"Kakang..., jangan tinggalkan aku lagi," balas Pandan Wangi tersedak.

"Tidak, Sayang. Aku pun ingin selalu bersama denganmu."

Sementara itu di atas sana, sang dewi malam seakan-akan tersenyum melihat kebahagiaan mereka. Sejenak Rangga merenggangkan pelukannya kembali kedua tangannya mencengkeram bahu gadis itu. Beberapa saat lamanya mereka hanya saling berpandangan saja. Tidak ada lagi kata-kata yang mampu terucapkan. Rasa bahagia yang telah meledak di dalam dada, membuat mulut mereka terkunci. Namun saan dan sinar mata mereka lebih berarti dalam menyiratkan kata-kata indah yang tak bisa terucapkan.

Sejenak Rangga membelai-belai lembut pipi gadis itu. Pandan Wangi diam saja, bahkan dia memejamkan mata untuk lebih menikmati belaian pemuda itu.

"Pandan...," bisik Rangga lembut.

"Hm...," Pandan Wangi membuka matanya perlahan-lahan.

Banyak yang ingin dikatakan Rangga saat itu, tapi sulit untuk diucapkannya. Tenggorokannya mendadak serasa kering, dan lidahnya jadi kaku seketika. Perlahan-lahan dia mendekatkan wajahnya ke wajah Pandan Wangi. Semakin dekat wajah mereka, semakin terasa hangat napas mereka menerpa wajah.

Kembali Pandan Wangi memejamkan matanya. Bibirnya yang selalu merah bergerak-gerak menggeletar setengah terbuka. Mendadak Rangga merasakan tubuh Pandan Wangi bergetar hebat dalam pelukannya.

"Pandan, kau kenapa?" tanya Rangga cemas.

"Aku..., aku..., oh!" Pandan Wangi segera menyurutkan wajahnya ke dada pemuda itu. Rasa malu langsung menghinggapi dirinya.

Rangga hanya tersenyum tipis. Dia menyadari kalau gadis itu belum pernah disentuh laki-laki.

"Aku mencintaimu, Sayang," bisik Rangga pelan.

"Kakang...."

********************

ENAM

Mimik wajah Rangga biasa-biasa saja ketika Pandan Wangi menceritakan, bahwa dirinyalah yang dijuluki si Perawan Rimba Tengkorak di sekitar Hutan Jati Jarak. Dia memang sudah menduga sebelumnya. Hanya saja yang membuat Rangga jadi bertanya-tanya, bagaimana Pandan Wangi sampai berhasil menaklukkan lima puluh orang anggota Partai Tengkorak hingga menjadi pengikutnya. Setiap kali Rangga menanyakan hal tersebut, Pandan Wangi hanya mengatakan, kalau dia mempunyai cara tersendiri.

"Bagaimana kau bisa tahu jadwal penarikan upeti oleh Partai Tengkorak?" tanya Rangga penasaran.

"Ada seseorang yang telah memberi tahu. Aku punya orang-orang yang berada di desa-desa sekitar Lereng Gunung Puting ini," sahut Pandan Wangi bernada bangga.

"Aku percaya, seluruh warga di desa-desa sekitar Lereng Gunung Puting ini sangat menyanjungmu, bahkan mereka juga mengharapkan agar kau segera dapat menghancurkan Partai Tengkorak," kata Rangga.

"Hal itu hanya bisa kulakukan kalau kau mau membantuku, Kakang," sahut Pandan Wangi berharap.

"Tentu saja, aku juga punya perhitungan sendiri dengan mereka," sambut Rangga.

"Dewi Naga Hitam juga."

"Dewi Naga Hitam...!?" Rangga terkejut mendengarnya. "Kau kenal dia, Pandan?"

"Ya. Dia banyak membantu dalam pertemuan kita," kata Pandan Wangi terus terang.

"Di mana dia sekarang?" tanya Rangga.

"Aku tidak tahu, katanya sih mau menyelidiki sarang Partai Tengkorak."

"Untuk apa? Aku sudah tahu tempatnya, dan aku juga sudah mempelajari situasinya. Kalau mau, kita bisa langsung menggempurnya, dan mereka tidak akan bisa berbuat banyak!"

"Aku percaya, karena kau punya tunggangan burung rajawali raksasa."

Lagi-lagi Rangga dibuat terkejut. Belum pernah sekali pun dia menceritakan tentang burung rajawali raksasa itu pada Pandan Wangi. Mungkinkah Dewi Naga Hitam telah menceritakannya? Ah, tidak mungkin. Jelas hal itu sangat bertentangan dengan perjanjian Pendekar Rajawali Sakti dengan bangsa ular!

"Kemarin aku melihatnya sendiri ketika kau turun dari punggung burung raksasa itu di dekat goa. Aku tahu, kau pasti akan mencariku sampai ke sana. Tapi waktu itu aku bingung untuk berhadapan denganmu, lalu aku memutuskan untuk menghindarimu," ujar Pandan Wangi terus terang.

"Jadi, kemarin kau ada di sekitar tempat itu?" tanya Rangga tak habis pikir.

"Iya, dan dari situlah aku yakin, bahwa memang benar-benar mencintaiku, Kakang. Terus terang, tadinya aku sudah ragu akan cintamu. Aku sadar kau sekarang telah menjadi seorang raja besar Karang Setra. Dan aku tidak pantas lagi untuk memperoleh cintamu," Pandan Wangi makin menelanjangi dirinya sendiri.

"Pandanganmu picik sekali, Pandan!" Rangga menyesali sikap Pandan Wangi.

"Memang..., tapi sekarang tidak lagi, kok," Pandan Wangi mengakui.

Rangga hanya tersenyum mendengar pengakuan yang begitu terus terang dari gadis itu.

"Kakang...," desah Pandan Wangi.

"Ada apa?" sahut Rangga lembut.

"Kau tahu, bahwa Dewi Naga Hitam juga bernafsu sekali menghancurkan Partai Tengkorak?"

"Tidak, memangnya kenapa?"

"Aku menduga, pasti ada sesuatu yang dirahasiakannya."

"Kau yakin?"

"Meskipun dia tidak mengatakannya, tapi aku yakin akan hal itu."

"Entahlah, setahuku bangsa ular tidak akan pernah mendendam kalau tidak disakiti lebih dulu. Cukup lama aku bersama mereka dan memahami tentang kehidupannya, sampai-sampai aku diangkat menjadi saudara oleh Satria Naga Emas, raja dari segala jenis bangsa ular."

"Ya, aku sudah tahu semua itu, Kakang. Dewi Naga Hitam telah menceritakan, bahwa kakang pernah tinggal beberapa lama di Istana Ular. Dan Kakang bisa berhubungan langsung dengan raja mereka melalui meditasi. Kenapa Kakang tidak mencoba untuk menanyakan masalah itu?"

"Tidak, Pandan. Aku sudah berjanji tidak akan mencampuri urusan pribadi, kecuali mereka yang meminta. Demikian juga sebaliknya. Kau mengerti maksudku, kan?"

"Sulit, tapi aku coba untuk mengerti," sahut Pandan Wangi sedikit bergurau.

Lagi-lagi Rangga tersenyum.

"Sudah hampir pagi, sebaiknya kita kembali ke goa," kata Pandan Wangi seraya bangkit.

"Kau tetap akan menghancurkan Partai Tengkorak dengan pengikut barumu?" tanya Rangga yang sudah berdiri.

"Ya," sahut Pandan Wangi mantap sambil melangkahkan kakinya.

"Kau yakin akan berhasil dengan lima puluh orang, Pandan?" tanya Rangga.

"Dengan adanya kau, dan bantuan dari Dewi Naga Hitam, aku yakin bisa berhasil."

"Tidak, seandainya kau dan Dewi Naga Hitam sudah mengetahui letak sarang mereka, pasti akan berpikir dua kali."

"Kenapa?"

"Nanti kita bicarakan bersama Dewi Naga Hitam.

********************

Apa yang dibicarakan Rangga memang benar. Dewi Naga Hitam yang telah berubah menjadi manusia juga mengakui, memang sulit untuk menggempur sarang Partai Tengkorak. Meskipun dia bisa mengerahkan seluruh ular-ular yang ada di sekitar Hutan Jati Jarak, tapi pasti akan menimbulkan banyak korban. Dalam satu perjuangan memang dibutuhkan satu pengorbanan yang tidak kecil, tapi Dewi Naga Hitam tidak menghendaki kesia-siaan yang terlalu berlebihan.

"Kita harus lebih dahulu bergerak, sebelum mereka menyerang, Rangga," kata Dewi Naga Hitam saat berembuk di dalam goa.

"Aku malah berpendapat lain," sahut Rangga bergumam.

"Maksudmu?" Dewi Naga Hitam tidak mengerti.

"Saat ini kekuatan mereka bukan tandingan kita lagi! Kita memang memiliki lima puluh orang yang berkemampuan cukup tinggi, tapi itu bukan jaminan untuk bisa menerobos ke sarang mereka. Sedangkan untuk mengambil para prajurit dari Karang Setra, rasanya akan menyita waktu," kata Rangga.

"Lantas, apa yang harus kita lakukan?" sergah Pandan Wangi.

"Diam."

"Diam...?" Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam mendelik.

"Kau jangan main-main, Rangga. Ini persoalan serius!" dengus Dewi Naga Hitam gusar.

"Apa kelihatannya aku main-main?"

"Tapi..."

"Maksudku, diam itu bukan berarti tidak melakukan kegiatan sama sekali. Kita harus bikin strategi untuk melemahkan kekuatan mereka," Rangga mencoba menjelaskan.

"Aku tidak tahu maksudmu, Kakang," celetuk Pandan Wangi.

"Kau bisa tetap menjadi si Perawan Rimba Tengkorak, Pandan. Tapi sekarang siasatmu harus diubah, jangan hanya menghabisi setiap anggota Partai Tengkorak yang kau temui, tapi kau harus mampu mengajak mereka untuk bergabung. Dan tentunya dengan bantuan Dewi Naga Hitam," Rangga menjelaskan.

"Terus, akan kita apakan mereka?" tanya Pandan Wangi ingin tahu lebih lanjut.

"Pertama, menyadarkannya, bahwa mereka berada di jalan yang salah. Tapi kalau mereka berasal dari golongan hitam, terserah mau diapakan. Yang aku tahu, banyak dari para penduduk yang menjadi anggota Partai Tengkorak karena tekanan dan ancaman. Padahal mereka sama sekali tidak tahu tujuannya."

"Dari mana kau tahu semua itu, Rangga?" tanya Dewi Naga Hitam.

"Selama ini aku telah mempelajari dan menyelidiki kegiatan mereka. Dan saat ini mereka sedang menyusun kekuatan untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra, terutama aku yang akan mereka lenyapkan," Rangga membuka rahasia tujuan Partai Tengkorak.

"Aku tidak menyangka, tujuan mereka sampai sejauh itu," gumam Pandan Wangi.

"Semua itu sudah aku ketahui dan aku selidiki sejak mereka menghancurkan padepokan milik Resi Wanapati di Gunung Puting, dan mereka juga telah mengancam Padepokan Baja Hitam yang telah aku bubarkan demi keselamatan murid-muridnya," kembali Rangga menjelaskan (Untuk lebih jelasnya, bacalah serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah: Rahasia Kalung Keramat)

"Kalau begitu kau sudah lama berada di sini?" Dewi Naga Hitam ingin meyakinkan.

"Hampir dua purnama."

"Kau kan sudah tahu segala perbuatan terkutuk yang dilakukan Partai Tengkorak, kenapa tidak kau hancurkan saja dengan prajuritmu?" tanya Dewi Naga Hitam lagi ingin tahu.

"Itu bukan tindakan bijaksana, Dewi Naga Hitam. Yang kita hadapi bukanlah kekuatan prajurit, tapi kelompok manusia liar dari rimba persilatan yang dengan nafsu setannya ingin menguasai suatu wilayah besar."

"Apa kau tidak berpikir ada maksud lain di belakang tindakan-tindakan mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Ya. Ketua Partai Tengkorak Hitam adalah adik kandung dari Iblis Lembah Tengkorak. Ada kemungkinan dia ingin membalas dendam atas kematian kakaknya yang tewas di tanganku dengan menghancurkan Kerajaan Karang Setra. Perlu kalian ketahui, bahwa usaha pertama yang mereka lancarkan telah gagal "

"Usaha apa?" tanya Pandan Wangi.

"Menyusupkan anak si Tengkorak Putih ke Istana kerajaan Karang Setra! Tetapi niat mereka itu tidak terlaksana, karena mereka tidak berhasil mencuri kalung yang menjadi lambang kebesaran dari Kerajaan Karang Setra, yang sedianya akan dipakai anak tersebut untuk menyamar," Rangga menjelaskan.

Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam saling berpandangan dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini mereka sudah mengerti semuanya. Tapi di dada Pandan Wangi masih ada ganjalan, dia belum tahu penjelasan yang tepat, kenapa Dewi Naga Hitam begitu bernafsu untuk menghancurkan Partai Tengkorak?

Tapi Pandan Wangi sudah segan untuk menanyakannya kembali.

********************

"Kau yakin, mereka akan lewat sini?" tanya Pandan Wangi yang pagi-pagi sekali sudah berada di atas pohon besar bersama Dewi Naga Hitam yang ujudnya menjadi seekor ular hitam yang membelit pinggang Pandan Wangi!

"Kau tidak boleh mengabaikan laporan dari si Kadut," sahut Dewi Naga Hitam meyakinkan.

"Berapa orang kira-kira jumlah mereka?" tanya Pandan Wangi.

"Sekitar tiga puluh orang. Mereka semua berkuda dan membawa lima kereta yang cukup besar."

"Masih berani juga mereka merampas milik rakyat," dengus Pandan Wangi.

"Bukan."

"Bukan...? Maksudmu?" Pandan Wangi tak mengerti.

"Mereka tidak merampas apa-apa. Mereka baru saja menjemput anggota-anggota yang tersebar desa-desa."

"Jadi, yang di dalam kereta itu...?"

"Iya, anggota Partai Tengkorak yang kebanyakan dari penduduk desa."

"Hm..., rupanya mereka mulai menarik semua anggota untuk memperkuat pertahanannya," gumam Pandan Wangi.

"Ya, karena kekuatan mereka sudah mulai berkurang."

"Kau tahu, apa yang akan dilakukan Kakang Rangga selanjutnya, Dewi Naga Hitam?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak."

Pandan Wangi yang sudah membuka mulutnya lagi untuk bertanya, segera mengurungkan niatnya begitu dari kejauhan tampak serombongan orang-orang yang berkuda mengawal lima kereta yang masing-masing ditarik oleh dua ekor kuda. Pandan Wangi segera mengamati rombongan yang hampir mencapai celah bukit di bawahnya. Dia hampir tidak bisa menahan diri lagi, ketika mereka mulai memasuki celah bukit itu. Untung saja Dewi Naga Hitam segera mencegahnya.

"Tunggu, sampai mereka berada di tengah-tengah," cegah Dewi Naga Hitam.

Pandan Wangi menurut, dia masih bisa menunggu dengan sabar. Tapi, begitu rombongan itu mencapai tengah-tengah celah bukit, gadis yang kini dijuluki si Perawan Rimba Tengkorak itu, langsung melompat turun dan menghadang!

"Berhenti!" bentak Pandan Wangi keras.

Seketika rombongan berkuda itu langsung berhenti! Bukan main terkejutnya mereka ketika tiba-tiba di depan mereka telah menghadang seorang gadis yang dijuluki Perawan Rimba Tengkorak dengan seekor ular hitam yang melilit pinggangnya.

********************

"Siapa di antara kalian yang jadi pemimpinnya?" tanya Pandan Wangi dengan lantang.

"Aku!" tiba-tiba orang yang berkuda paling depan langsung melompat turun.

"Bagus! Perintahkah pada anak buahmu untuk meletakkan senjata!"

"Tidak semudah itu kau memerintahku, Bocah! Namamu memang sanggup menggemparkan Partai Tengkorak, tapi bagiku kau tak berarti apa-apa!" sahut orang itu congkak.

"Bagus! Nyalimu cukup memenuhi syarat untuk menghadapi Perawan Rimba Tengkorak!" gertak Pandan Wangi menggeram.

"Tidak ada kata gentar bagi Ruyung Maut!" orang itu tak mau kalah sengitnya.

"Ayo siapa lagi di antara kalian yang ingin piknik ke neraka bersama cecunguk ini?" lantang suara Pandan Wangi.

Mendengar tantangan yang bernada mengejek itu, langsung saja orang-orang yang masih berada di atas punggung kuda berlompatan turun. Kemudian mereka segera berdiri berjajar dengan sikap menantang. Sementara dari dalam kereta juga bermunculan kepala-kepala manusia. Ruyung Maut tersenyum melihat kesetiaan teman-temannya.

"Bagaimana, Dewi Naga Hitam?" bisik Pandan Wangi lirih.

"Sebentar lagi, kau sudah dengar suaranya?"

"Ya," Pandan Wangi cerah wajahnya. Tentu saja orang-orang Partai Tengkorak itu langsung terlonjak kaget ketika tiba-tiba kuda-kuda mereka meringkik keras, sambil berlarian serabutan! Seketika suasana jadi gaduh! Tampak beberapa orang berusaha mengendalikan kuda-kuda yang mendadak liar tersebut. Tapi kuda-kuda itu benar-benar tidak dapat dikendalikan lagi.

Sementara Pandan Wangi malah tertawa terbahak-bahak melihat suasana yang kacau-balau tersebut!

"Siapkan senjata kalian, jangan hiraukan kuda-kuda tersebut!" bentak Ruyung Maut.

Mendengar perintah tersebut, mereka langsung berhenti mengendalikan kuda-kuda yang mendadak jadi liar itu. Kini semua orang yang tadinya berada di atas kereta sudah berkumpul dengan senjata terhunus.

"Masih jauh perjalanan kalian, sedangkan kuda-kuda kalian sudah tidak ada lagi, bagaimana?" kata Pandan Wangi tersenyum sinis.

"Keparat! Kubunuh kau, Perempuan Iblis!" geram Ruyung Maut.

"Tidak ada waktu lagi, Ruyung Maut. Lihatlah...," Pandan Wangi kembali tersenyum cerah.

"Hsss...!"

"Ular..., ular...!" seru orang-orang yang ada di celah bukit itu berteriak panik.

Pelan-pelan ribuan ular tersebut langsung mengurung dari segala jurusan. Semakin lama ular-ular itu semakin bertambah banyak jumlahnya.

"Kalian yang masih sayang nyawa, cepat menyingkir! Ular-ular itu akan memberi jalan, tapi jangan coba-coba melarikan diri!" teriak Pandan Wangi sambil menunjuk ke depan.

Orang-orang yang berasal dari para penduduk desa yang ada di sekitar lereng Gunung Puting itu, langsung melemparkan senjata mereka dan berlari dari kepungan ular-ular tersebut. Dan seperti ada yang mengkomando saja, ular-ular itu segera menyingkir memberi jalan.

Kini yang tersisa hanya tinggal tiga puluh orang saja. Dan mereka semua adalah orang-orang yang berpangkat dalam Partai Tengkorak, terbukti dari tanda yang mereka kenakan.

"Jangan hiraukan binatang-binatang laknat itu! Dia cuma main sihir!" teriak Ruyung Maut.

"Bagaimana Dewi Naga Hitam?" bisik Pandan Wangi pelan meminta pendapat.

"Biarkan mereka bergerak lebih dahulu," sahut Dewi Naga Hitam juga berbisik.

"Mereka memang manusia-manusia bodoh! Tidak bisa melihat keadaan!" dengus Pandan Wangi menggeram.

"Serang perempuan iblis itu, hiyaaa...!"

"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"

Serentak tiga puluh orang itu langsung berlompatan hendak menyerbu Pandan Wangi, tapi bersamaan dengan itu, ular-ular yang mengepung juga langsung bergerak sambil mendesis-desis. Dapat diduga, serangan-serangan mereka langsung terhalang oleh ular-ular yang ganas tersebut.

Pandan Wangi sedikit meringis melihat tiga puluh orang tersebut mengamuk dengan senjata masing-masing dan membabat ular-ular yang terus merangseknya! Dalam waktu singkat saja, sudah lima orang yang menggeletak digerogoti ular-ular yang haus darah tersebut.

"Mereka terus membabati ular-ular itu! Kalau begini terus, rakyatmu bisa habis, Dewi Naga Hitam," ;ata Pandan Wangi cemas.

"Tidak, lihatlah!"

Mata Pandan Wangi langsung membeliak lebar! Ular-ular yang terbabat buntung, ternyata bisa menyambung dan hidup lagi begitu menyentuh tanah. Dan yang benar-benar ajaib, percikkan darahnya langsung menimbulkan ular baru lagi. Hal itu tentu saja sangat merepotkan musuh-musuh Pandan Wangi.

Tidak lama kemudian, tampak tubuh-tubuh mulai bergelimpangan dikerubuti ular-ular yang semakin ganas tersebut. Dan langsung disusul oleh jerit-jerit kematian yang mengerikan.

"Ayo kita hampiri orang-orang desa yang telah menyingkir itu. Suruh mereka kembali ke desa masing-masing," ajak Dewi Naga Hitam.

"Bagaimana dengan orang-orang tersebut?" tanya Pandan Wangi.

"Biarkan saja, mereka akan mati!"

********************

"Gila! Ini benar-benar edan!" geram si Tengkorak Putih memuncak amarahnya.

"Keadaan kita benar-benar terjepit, Tengkorak Putih. Lebih dari separuh orang-orang kita telah memilih mencari selamat dan meninggalkan partai," kata Tengkorak Biru mengeluh.

"Bahkan belakangan ini, si Perawan Rimba Tengkorak selalu beraksi dengan menggunakan ular-ular berbisa," sambung Tengkorak Hijau.

"Dan kita selalu kalah, begitu kan?" serobot Tengkorak Putih gusar.

"Itu bukan ular biasa, Ayah, Tapi ular siluman," celetuk seorang anak muda yang berwajah tampan dengan kulit putih bersih.

"Dari mana kau tahu, Purbaya?" dengus Tengkorak Putih.

"Aku telah melihatnya sendiri, orang-orang kita dibantai di celah bukit yang menjadi pintu gerbang masuk ke sini," sahut Purbaya.

"Benar, Tengkorak Putih. Saat itu aku bersama Purbaya. Ular-ular itu bisa hidup lagi meskipun sudah buntung. Dan tiga puluh orang kita yang berkepandaian cukup tinggi, tewas semua tanpa sisa," sambung Tengkorak Biru.

"Kalau memang demikian, mengapa mereka tidak langsung menggempur ke sini?" rungut Tengkorak Putih.

"Hal itu tidak akan terjadi, Tengkorak Putih," sahut Tengkorak Hijau.

"Apa maksudmu?" Tengkorak Putih tak sabar.

"Tempat ini dikelilingi oleh pohon bambu kuning welung. Bangsa ular siluman jenis apa pun, tidak akan berani melewati pagar bambu kuning welung. Karena begitu tubuhnya menyentuh, mereka akan langsung mati," Tengkorak Hijau menjelaskan.

"Hm..., jadi si Perawan Rimba Tengkorak itu makhluk siluman?" gumam Tengkorak Putih menduga-duga.

"Aku tidak tahu pasti, Tengkorak Putih. Tapi cawan saktiku mengatakan bahwa dia ditemani sebangsa makhluk siluman yang berujud seekor ular hitam sebesar tangan orang dewasa," sahut Tengkorak Hijau lagi.

Tengkorak Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ada satu lagi, Tengkorak Putih," sambung Tengkorak Hijau.

"Apa?"

"Si Perawan Rimba Tengkorak dibantu Pendekar Rajawali Sakti."

"Rangga...," desis Tehgkorak Putih, gerahamnya bergemeletuk menahan geram.

"Menurut cawan saktiku, keadaan kita akan semakin sulit dengan campur tangannya Pendekar Rajawali Sakti dalam masalah ini. Mungkin kita bisa menandingi si Perawan Rimba Tengkorak, tapi sulit untuk menandingi pendekar itu," sambung Tengkorak Hijau yang matanya tidak pernah lepas memandang ke dalam cawan emas di tangannya.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Tengkorak Putih kebingungan.

"Persenjatai sisa-sisa orang kita dengan bambu kuning welung, juga senjata berlapis batu pualam hijau."

"Untuk apa batu pualam hijau?"

"Menandingi pedang Rajawali Sakti. Tapi aku sendiri juga tidak yakin, kalau senjata itu mampu membendungnya. Sebab batu pualam hijau tidak tahan oleh panas yang berasal dari inti tenaga dalam. Dan itu justru yang sudah dikuasai oleh Pendekar Rajawali Sakti."

"Tengkorak Kuning, ada berapa orang lagi kekuatan kita?" tanya Tengkorak Putih yang menjadi pimpinan tertinggi Partai Tengkorak itu.

"Tidak lebih dari lima puluh orang lagi," sahut Tengkorak Kuning sambil menunduk.

"Apa...?" Tengkorak Putih terkejut bukan kepalang mendengarnya.

"Banyak dari anggota kita yang telah melarikan diri, lagi pula semua tokoh-tokoh sakti yang kita undang juga mengundurkan diri, begitu mengetahui bahwa Pendekar Rajawali Sakti ikut campur tangan dalam persoalan ini," lapor Tengkorak Kuning.

"Gila! Ini benar-benar gila," geram Tengkorak Putih.

"Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan diri, Tengkorak Putih," celetuk Tengkorak Hijau.

"Apa?"

"Tinggalkan tempat ini, dan susun lagi kekuatan baru di luar."

"Tidak!" bentak Tengkorak Putih. "Sudah cukup lama aku telah membangun Partai Tengkorak dengan susah payah, dan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar!"

"Aku mengerti, Tengkorak Putih. Tapi keadaan kita benar-benar tidak menguntungkan lagi. Dan kita harus segera mencari jalan lain untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra," sergah Tengkorak Hijau.

"Tapi berapa lama lagi? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Atau seratus tahun lagi?"

Semua terdiam membisu. Mereka memaklumi, bahwa Tengkorak Putih bersusah-payah membangun Partai Tengkorak hanya untuk membalas dendam kematian kakaknya, si Iblis Lembah Tengkorak yarlg tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti (Baca Serial pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Iblis Lembah Tengkorak)

Tengkorak Putih memang sudah bersumpah untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra serta membunuh Rangga si Pandekar Rajawali Sakti yang kini menjadi rajanya. Berbagai macam cara sudah dilakukannya, tapi selalu menemui kegagalan. Dan dia tidak ingin gagal lagi untuk kesekian kalinya.

********************

"Purbaya...," panggil Tengkorak Putih saat di berada berdua saja dengan putra tunggalnya itu.

"Ada apa, Ayah?" sahut Purbaya.

"Kau tahu, tidak ada yang dapat Ayah banggakan lagi selain dirimu. Dan hanya kaulah satu-satunya harapanku untuk dapat meneruskan cita-cita ayahmu ini, dan juga cita-cita leluhurmu," pelan suara Tengkorak Putih.

Purbaya hanya tertunduk diam mendengarkan. Dari nada bicaranya, dia dapat menebak, bahwa ayahnya sudah putus asa untuk mempertahankan Partai Tengkorak yang telah dirintisnya dengan susah payah. Kemarin, Tengkorak Hijau juga sudah meramalkan, bahwa saat-saat kehancuran Partai Tengkorak sudah semakin dekat.

Hal itu terbukti dengan sumber batu pualam hijau yang kini sudah dikuasai ole siluman-siluman ular. Sedangkan malam kemarin seluruh pohon bambu kuning welung yang membentengi bangunan Partai Tengkorak, juga sudah habis terbakar, tanpa ada yang mengetahui siapa yang telah membakarnya.

Berbagai malapetaka yang terjadi secara beruntun tersebut, tentu saja sangat mengurangi jumlah anggota Partai Tengkorak. Bahkan lebih sial lagi, tidak ada satu pun partai dari golongan hitam yang mau membantu dengan mengirimkan anggotanya. Mereka seakan-akan tertawa menyaksikan saat saat kehancuran yang bakal terjadi pada partai itu. Partai yang terbesar dan menguasai seluruh wilayah di sekitar Lereng Gunung Puting. Partai yang dulunya sangat ditakuti oleh partai-partai kecil lainnya.

"Aku merasakan, bahwa saat saat kehancuran Partai Tengkorak sudah semakin dekat. Tapi aku tidak ingin hancur seluruhnya. Kau mengerti maksudku, Purbaya?" sambung Tengkorak Putih

"Aku mengerti, Ayah," sahut Purbaya agak tersedak suaranya.

"Sebelum terlambat, aku ingin kau segera meninggalkan tempat ini. Pergilah bersama paman-pamanmu, dan susun kekuatan baru, kemudian rongrong kewibawaan Kerajaan Karang Setra. Aku akan bangga jika kau berhasil meruntuhkan musuh besar leluhurmu itu," kata Tengkorak Putih berapi-api.

"Ayah sendiri...?"

"Aku akan menghadapi mereka. Hanya aku yang mereka cari, bukan kau atau yang lainnya!"

Purbaya kembali menundukkan kepalanya. Sebenarnya dia ingin membantah perintah itu, tapi dia tidak berani mengucapkannya. Dia tahu, kalau semua itu sudah dipertimbangkan masak-masak oleh ayahnya. Belum pernah Purbaya melihat ayahnya pesimis seperti itu. Biasanya ayahnya begitu tegar dan selalu percaya diri dengan kekuatan dan kemampuannya. Tapi yang dilihat Purbaya sekarang, sungguh sangat lain sekali. Sepertinya dia tidak lagi melihat sosok ayahnya yang begitu dihormati dan ditakuti baik oleh lawan maupun kawan. Ibaratnya, ayahnya kini bagaikan ekor macan tua yang sudah tidak mempunyai gigi lagi.

Mendadak Tengkorak Biru datang dengan tergopoh-gopoh. Dan dia segera menjura hormat begitu sampai di depan pemimpin tertinggi Partai Tengkorak tersebut. Purbaya menarik napas dalam-dalam, tidak ingin kelihatan lemah di depan pamannya itu.

"Semua persiapan sudah selesai, Tengkorak Putih," lapor Tengkorak Biru.

"Bagus," sambut Tengkorak Putih dengan senyum yang dipaksakan.

"Persiapan apa?" tanya Purbaya mengerutkan kening.

"Kau harus berangkat sekarang juga, Purbaya. Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning akan bersamamu," Tengkorak Putih menjelaskan.

"Benar, Purbaya. Selama dalam perjalanan nanti kita semua akan berganti nama, kecuali kau. Sebab di dunia luar, tidak ada seorang pun yang mengenalimu. Selama ini kau kan hanya berada di dalam sini saja," sambung Tengkorak Biru.

"Tapi kenapa harus sekarang?" Purbaya tak mengerti.

"Tengkorak Hijau telah mengatakan, bahwa saatnya sudah semakin dekat. Dan kita harus segera berangkat, sebelum mereka menghancurkan tempat ini," sahut Tengkorak Biru.

"Tapi..."

"Purbaya.... Kau tidak ingin mengecewakan harapanku, kan? Sudah kukatakan tadi, bahwa masa depan Partai Tengkorak sudah kuserahkan ke tanganmu. Pergilah, bukan untuk kalah, tapi pergi untuk memperoleh kemenangan yang tertunda," selak Tengkorak Putih memberi semangat.

Purbaya diam merenung beberapa saat.

"Jangan hiraukan semua yang ada di sini. Kelak jika aku selamat, kita pasti akan bertemu lagi. Dan aku ngin melihat kau sebagai pemimpin besar di Karang Setra," Tengkorak Putih tersenyum masam.

"Baiklah," sahut Purbaya seraya bangkit dari duduknya.

"Berangkatlah untuk menang, Anakku."

"Aku pergi, Ayah," pamit Purbaya seraya menjura hormat.

Tengkorak Putih segera menganggukkan kepalan-ya dengan senyum yang dipaksakan. Tengkorak Biru pun menjura hormat, dan segera berlalu mengikuti Purbaya yang sudah melangkah lebih dulu.

Tengkorak Putih masih memandangi kepergian putranya dengan hati trenyuh, namun dia harus bisa menguatkan diri. Kepergian Purbaya diharapkan bisa meneruskan cita-citanya.

********************

Purbaya menunggang seekor kuda putih yang kakinya berbelang hitam. Sementara di belakangnya tampak Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning juga menunggang kuda. Tidak ada seorang pun anggota Partai Tengkorak yang ikut bersama mereka, hal ini memang disengaja untuk menghindari orang-orang yang mungkin akan mengenali.

Semua barang-barang yang menandakan bahwa mereka berasal dari Partai Tengkorak ditanggalkan. Mereka semua mengenakan pakaian biasa seperti layaknya pengembara. Bahkan Purbaya pun hanya mengenakan kalung lambang kepemimpinan tertinggi yang tersembunyi di balik pakaiannya.

"Mulai saat ini, kami akan memanggilmu dengan sebutan Raden Purbaya, dan kau bisa memanggilku dengan sebutan Paman Kampar," kata Tengkorak Biru.

"Aku pun cukup kau panggil Paman Lebak saja," sambung Tengkorak Kuning.

"Memangnya asal kita dari mana?" tanya Purbaya.

"Padepokan Bambu Kuning," jawab Tengkorak Biru.

"Di mana itu?"

"Hanya nama rekaan saja, untuk mengingat Partai Tengkorak yang tinggal di hutan yang penuh dengan bambu kuning welung."

"Kenapa tidak menggunakan nama Lembah Welung Kuning saja? Bukankah itu malah lebih bagus kedengarannya?" saran Purbaya.

"Ah, benar!" seru Tengkorak Biru.

"Partai Tengkorak memang berada di dasar lembah. Dan tempat itu dulunya banyak ditumbuhi dengan pohon bambu kuning welung. Satu nama yang tepat dan bisa dijadikan sandi bagi anggota Partai Tengkorak yang mejarikan diri," sambung Tengkorak Kuning.

"Sandi untuk mengumpulkan kembali, atau membinasakan mereka?" celetuk Purbaya.

"Kami kan hanya menurut perintahmu, Raden," gurau Tengkorak Biru.

"Kalau begitu, langkah pertama kita adalah membinasakan anggota Partai Tengkorak yang melarikan diri, terutama mereka yang memiliki kedudukan dalam partai!"

"Kami laksanakan, Raden," sahut kedua laki-laki setengah baya itu serempak.

Purbaya langsung tertawa mendengar sebutan raden pada dirinya. Sedangkan Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning hanya tersenyum-senyum saja. Mereka terus saja memacu kudanya pelan-pelan untuk menghindari perhatian, karena mereka masih berada di wilayah Hutan Jati Jarak. Suatu kawasan yang sudah dikuasai oleh si Perawan Rimba Tengkorak, bersama ular-ular silumannya.

"Ke mana tujuan kita sekarang, Paman Kampar?" tanya Purbaya.

"Desa terdekat, sekalian mencari keterangan," sahut Kampar alias si Tengkorak Biru. "Keterangan apa?"

"Mencari bekas anggota Partai Tengkorak yang melarikan diri, dan membunuhnya."

"Bagus! Untuk sementara ini kita jelajahi dulu desa-desa di sekitar Lereng Gunung Puting," sambung Purbaya.

"Tapi tindakan kita jangan terlalu menyolok, dan jangan terlalu banyak bertanya yang nantinya justru dapat menimbulkan kecurigaan," sahut Tengkorak Kuning yang kini memakai nama Lebak.

"Aku setuju, tapi apakah nanti tidak ada yang mengenali Paman berdua?"

"Tidak, kami tidak pernah menampakkan diri pada anggota tingkat rendah," sahut Tengkorak Biru.

"Kalau begitu, kita bisa bergerak lebih leluasa tanpa khawatir ada yang mengenali," sambut Purbaya.

"Jelas, Raden."

Ketiga orang itu pun segera mengendalikan kudanya lebih cepat menuju Desa Salapan yang paling dekat dengan Hutan Jati Jarak ini Tidak ada lagi ya berbicara. Mereka khawatir kalau pembicaraan mereka didengar oleh siluman ular.

DELAPAN

Saat itu Rangga bersama rajawali raksasa sudah berada di atas sarang Partai Tengkorak. Dia tersenyum menyaksikan Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam usdah mulai memasuki daerah itu. Mereka memang sudah mulai melancarkan strategi untuk menggempur partai yang sangat meresahkan masyarakat desa-desa di sekitar Lereng Gunung Puting itu.

Sejenak Rangga teringat saat ia berbicara berdua dengan Dewi Naga Hitam. Saat itu Rangga menggunakan kesempatan untuk mengetahui maksud sebenarnya, mengapa Dewi Naga Hitam begitu bernafsu sekali menghancurkan Partai Tengkorak. Mulanya Dewi Naga Hitam memang tidak mau berterus terang. Tapi setelah didesak terus-menerus, akhirnya dia mau juga berterus terang asalkan Rangga tidak membicarakannya pada siapa pun.

"Aku sadar, kalau tindakan ini mengandung resiko yang sangat besar terhadap diriku," kata Dewi Naga Hitam saat itu.

"Tapi kenapa kau lakukan juga?" tanya Rangga.

"Kurasa kau sudah tahu, apa arti cinta sebenarnya, tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tak mengenal cinta. Bedanya hanya kadar cinta yang diukur menurut golongannya masing-masing. Termasuk juga aku, bangsa siluman ular," Dewi Naga Hitam alasan.

Rangga diam merenung beberapa saat. Dia mulai bisa menebak arah pembkaraan yang dikemukakan oleh Dewi Naga hitam. Ternyata dugaannya hampir mendekati kebenaran. Bahwa Dewi Naga Hitam menyimpan dendam! Dan dia harus menumpahkan dendamnya, meskipun hal itu akan membahayakannya.

"Cinta memang dapat mengalahkan segalanya. Bahkan nyawa pun seperti tidak ada harganya sama sekali. Seperti juga yang kau alami, Rangga. Kau meninggalkan tahta kerajaan hanya untuk mendapatkan cinta," lanjut Dewi Naga Hitam.

"Ya, sebagian," Rangga mengakui.

"Begitu juga aku. Aku rela mengambil resiko tinggi, bahkan aku pun rela kalau memang harus lenyap selamanya demi cinta suciku."

"Kau mencintai seseorang?" pancing Rangga.

"Bukan orang, tapi sesama makhluk siluman," Dewi Naga Hitam meralat.

"Oh, maaf," buru-buru Rangga menyadari.

"Kau pasti kenal dengan Ula Ireng, kan?"

"Tentu saja, aku tidak mungkin melupakannya. Dia banyak membantuku sewaktu aku berada di Istana Ular," jawab Rangga.

"Nah, aku dan Ula Ireng adalah pasangan suami istri yang saling mencintai. Tapi ternyata kemudian nasib telah menentukan lain. Disaat anak pertama kami lahir, Ula Ireng mendapat tugas rahasia dari Satria Naga Emas, raja kami. Aku sendiri tidak tahu tugas apa itu, dan bahkan sampai sekarang pun aku tidak juga mengetahuinya. Raja kami tidak pernah memberitahukan setiap tugas rahasia yang dilimpahkan pada abdinya," Dewi Naga Hitam mulai bercerita.

"Terus?" desak Rangga tidak sabaran. Dia memang sudah tahu kalau Dewi Naga Hitam dan Ula Ireng adalah pasangan yang paling serasi.

"Takdir memang sudah digariskan pada setiap makhluk apa pun juga. Ula Ireng tewas dalam menunaikan tugas!"

"Oh!" Rangga terkejut.

"Dan aku tidak akan pernah menerima kematiannya! Kemudian aku segera meninggalkan istana kerajaan siluman ular. Tekadku, menyelidiki dan ingin mengetahui sebab-sebab kematiannya. Hal itu memang tidak mudah, apalagi dengan ujudku sebagai ular, tapi toh akhirnya aku tahu juga, bahwa suamiku ternyata tewas dibunuh oleh Tengkorak Hijau, salah eorang pembantu utama Tengkorak Putih, Ketua Partai Tengkorak."

"Hm.... Jadi kau ingin membalas dendam?"

"lya, selain suamiku juga ada sekitar tiga puluh siluman ular lainnya yang ikut tewas."

"Bagaimana dia bisa mengalahkan suamimu?"

"Tengkorak Hijau ternyata tahu kelemahan bangsa siluman ular. Dan dia menggunakan senjata dari bambu kuning welung. Kau tahu, Rangga. Bangsa kami akan musnah jika tersentuh bambu kuning welung. Itu memang sudah takdir, dan kami semua tak bisa menolaknya."

"Ah, kalau begitu, kau tidak mungkin bisa masuk ke sarang mereka."

"Aku tahu, sarang mereka memang dikelilingi pohon bambu kuning welung. Tapi aku sudah meminta pada burung rajawalimu untuk membakar semua pohon bambu itu."

Rangga tidak kaget lagi mendengarnya. Dia tahu antara siluman ular dengan burung rajawali raksasa memang sudah saling mengenal. Pendekar Raja Sakti itu juga memuji tindakan Dewi Naga Hitam yang cepat dan penuh perhitungan. Tapi sayangnya, tindakannya itu sangat bertentangan dengan aturan yang berlaku di kerajaan siluman ular. Satria Naga Emas tidak pernah mengizinkan rakyatnya untuk bermusuhan dengan manusia. Dan setiap pelanggaran yang dilakukan, bisa mengakibatkan kematian.

Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak bisa saja menyalahkan tindakan Dewi Naga Hitam, berjanji dalam hati, bahwa dia akan membela wanita siluman ular itu di depan rajanya nanti.

"Hukuman yang akan dijatuhkan padaku pasti akan bertambah berat, karena aku telah melibatkan rakyat ular untuk kepentingan pribadiku," kata Dewi Naga Hitam.

"Kau merasa dirimu bersalah?" tanya Rangga.

"Tidak!" tegas jawaban Dewi Naga Hitam.

"Kalau begitu, kenapa kau takut menghadapi kenyataan itu?"

"Aku tidak takut, aku hanya memikirkan anakku. Dia pasti akan terlantar karena tidak ada yang mengurusnya nanti."

"Dalam beberapa segi, kau memang berhak untuk membalas kematian suamimu. Tapi dari segi lainnya, kau telah melanggar aturan bangsamu sendiri. Aku rasa, Satria Naga Emas akan bertindak bijaksana dalam menentukan keputusan untukmu nanti," kata Rangga membesarkan hati wanita siluman itu.

"Aku tahu maksudmu, Rangga. Tapi lupakanlah, bahwa kau tidak akan berhasil," sergah Dewi Naga Hitam bisa menebak jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Aku akan mencoba, percayalah."

"Terima kasih, jangan menyusahkan dirimu sendiri. Aku tidak perlu pembelaan oleh siapa pun juga. Hukuman mati tetap akan dijatuhkan kepadaku, Rangga."

"Aku banyak berhutang budi pada suamimu. Dan kupikir, inilah saat terbaik aku membalas sedikit budi baik Ula Ireng. Kau tidak akan menolak pembelaanku nanti, kan?"

"Aku tidak tahu harus berkata apa padamu, Rangga."

"Sudahlah, memang sudah selayaknya kalau kita saling bantu."

Mendadak lamunan Rangga tentang pembicaraannya dengan Dewi Naga Hitam itu buyar karena tiba- tiba ia mendengar suara ribut-ribut di bawah. Segera tampak olehnya, Pandan Wangi sudah sibuk bertarung melawan beberapa orang bersenjata di halaman depan markas Partai Tengkorak. Sedangkan Dewi Naga Hitam yang berubah wujud jadi manusia, tengah kerepotan menghindari serangan-serangan dari beberapa orang yang memegang bambu kuning welung.

"Rajawali, cepat turun!" perintah Rangga.

"Khraaaghk...!"

********************

Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat turun meskipun burung raksasa tunggangannya itu belum sempat mendarat di tanah. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung terjun dalam kancah pertempuran. Sedangkan burung rajawali raksasa itu juga tidak mau kalah, dia langsung mengepak-ngepakkan sayapnya menghajar orang-orang dari Partai Tengkorak itu. Tampak beberapa kali dia mencengkeram dan membanting setiap orang yang berhasil ditangkapnya.

Tentu saja Rangga yang sudah terjun ke dalam kancah pertempuran jadi bengong, karena dia tidak mendapat lawan satu pun juga. Semua lawan lawannya sudah kocar-kacir diamuk burung raksasa yang kebal terhadap segala jenis senjata. Bahkan Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam pun jadi menganggur. Mereka menonton pertarungan yang aneh dan tidak seimbang itu.

"Rajawali, cukup!" teriak Rangga begitu melihat lawannya sudah tergeletak semua di tanah.

"Khraaaghk...!"

Burung raksasa itu segera mengangguk-anggukkan kepalanya seakan ingin mengatakan, bahwa dia masih sanggup untuk membunuh seribu orang lagi. Rangga segera mendekati dan menepuk-nepuk lehernya yang agak tertunduk. Kemudian dia berbisik pelan.

"Khraghk!"

Burung raksasa itu kembali mengepakkan sayapnya. Kemudian dia langsung terbang dan melambung tinggi ke udara. Sesaat kemudian Rangga mendekati Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam yang masih tertegun memandang burung raksasa yang sudah tinggi di angkasa.

"Sepertinya tempat ini sudah dikosongkan," kata Rangga sedikit bergumam.

"Ya, hanya mereka yang kami temukan," sahut Pandan Wangi.

"Kau tidak melihat si Tengkorak Hijau, Dewi Naga Hitam?" tanya Rangga ketika melihat sahabatnya itu tampak lesu.

"Tidak, bahkan ketua partainya pun juga tidak ada," sahut Dewi Naga Hitam lemas.

"Kita cari dulu ke dalam atau kita langsung hancurkan saja bangunan itu?" Rangga meminta pendapat.

"Aku pilih yang kedua," sahut Pandan Wangi lebih dulu.

"Memang sebaiknya begitu," Dewi Naga Hitam menyetujui.

"Pandan, kau hancurkan sebelah kiri, dan Dewi Naga Hitam sebelah kanan, sedangkan aku bangunan yang paling besar itu," Rangga memberi tugas masing-masing.

"Beres...!" sambut kedua wanita itu serempak.

Dan tanpa menunggu waktu lagi, ketiga orang itu langsung mengerahkan ajiannya masing-masing untuk menghancurkan sasaran yang sudah ditentukan. Tak berapa lama kemudian, suara-suara ledakan langsung terdengar saling sambut. Debu-debu segera mengepul dibarengi dengan percikkan bunga api dari bangunan-bangunan yang hancur akibat gempuran ketiga orang itu. Sampai-sampai seluruh permukaan bumi yan mereka pijak bergetar dengan hebatnya!

Bukan saja bangunan-bangunan itu yang mereka hancurkan, tapi dinding-dinding yang melindungi tempat itu pun tak luput dari sasaran. Debu-debu semakin tebal saja mengepul ke udara. Di lembah bambu kuning wulung itu bagai terjadi kiamat. Semua hancur berantakan, batu-batu tebing pun ikut runtuh dan menimbun puing-puing bangunan yang menjadi markas utama Partai Tengkorak.

"Cukup...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar.

Seketika itu juga tiga orang yang sedang melancarkan aksinya langsung berhenti. Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam segera mendekati Rangga. Tampak dari kepulan debu yang semakin memudar itu, dua sosok tubuh tengah berdiri di atas reruntuhan batu-batu yang mengubur puing-puing bangunan itu. Dan begitu kepulan debu itu semakin menipis, terlihat jelas kalau mereka adalah Tengkorak Putih dan Tengkorak Hijau!

********************

Pelan-pelan Rangga melangkahkan kakinya tiga tindak ke depan. Sedangkan Tengkorak Putih pun segera melompat turun dari tumpukan batu diikuti oleh Tengkorak Hijau. Mereka langsung berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua batang tombak. Tatapan mata Rangga sangat tajam penuh kebencian pada Tengkorak Putih.

Pendekar Rajawali Sakti itu memang pernah bertemu sekali dengan si Tengkorak Putih, tapi waktu itu mereka belum sempat bertarung. Hal itu terjadi karena Rangga percaya saja pada kata-kata Tengkorak Putih, sehingga hampir saja menimbulkan salah pengertian antara dia dan Resi Balung Gading (Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah: Rahasia Kalung Keramat)

"Apakah kalian datang hanya untuk menghancurkan hasil jerih payahku?" tanya Tengkorak Putih penuh nada dendam.

"Terpaksa kami lakukan, karena kau juga berniat buruk pada rakyat Karang Setra. Dan yang lebih memuakkan lagi, kau telah menyengsarakan penduduk desa sekitar Lereng Gunung Puting. Yang terakhir kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu menghancurkan Padepokan Gunung Puting!" kata Rangga berapi-api.

"Ha ha ha, hebat! Tuduhanmu benar-benar hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Bagaimana kau bisa mengetahui semua itu?" Tengkorak Putih tidak kaget lagi, dia sudah menduga kalau semua itu pada akhirnya akan diketahui juga.

"Kau tidak perlu tahu dari mana aku dapat mengetahuinya, Tengkorak Putih," sahut Rangga datar.

"Aku memang tidak perlu tahu, hiyaaa...!"

Tengkorak Putih langsung saja menerjang ke arah Rangga dengan jurus-jurus tangan kosong. Sedang Rangga segera melayaninya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Pertarungan seru segera terjadi di bekas reruntuhan bangunan partai itu. Debu-debu bertaburan terkena sambaran-sambaran angin dari mereka. Sementara itu Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam hanya menonton saja sambil berjaga-jaga. Tapi mata Dewi Naga Hitam tidak lepas menatap Tengkorak Hijau. Darahnya langsung mendidih melihat laki-laki tua pembunuh suaminya itu.

Pertarungan antara Rangga dengan Tengkorak Putih terus berlangsung cepat. Hingga belum begitu lama mereka telah mengeluarkan jurus-jurus maut andalannya masing-masing. Sudah beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti merubah jurus-jurusnya, baik dari lima jurus rangkaian rajawali sakti yang digabungkan, ataupun jurus-jurus yang dipelajarinya dari Satria Naga Emas. Pertarungan semakin berjalan cepat dan menegangkan. Kini yang terlihat hanyalah dua bayangan tubuh yang berkelebatan saling serang.

Sekitar tempat itu yang memang sudah berantakan, kini semakin porak-poranda akibat pertarungan maut itu. Namun sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda yang bakal terdesak. Kekuatan mereka masih tetap seimbang!

Bahkan dalam pertarungan yang sudah meningkat menjadi adu senjata pun, mereka tetap tampak seimbang. Rangga sendiri tidak mengerti, kenapa pedang pusaka rajawali tidak mampu menandingi tongkat lawannya yang berlapiskan batu pualam hijau! Pedang pusaka Rajawali Sakti seperti lumpuh, tapi Rangga masih bisa mengatasinya dengan mengerahkan jurus Pedang Pemecah Sukma'.

"Huh! Pedang itu memancarkan hawa panas. Aku harus segera mengeluarkan aji 'Petir Membelah Angkasa'!" dengus Tengkorak Putih.

Dan begitu Tengkorak Putih mengeluarkan ajian terakhirnya, Rangga langsung memasukkan pedang Rajawali Sakti kembali ke warangkanya dan seketika itu juga ia segera mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga lantang.

Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga berbenturan dengan kilatan petir yang memancar cepat dari ujung tongkat si Tengkorak Putih.

"Hup, hiyaaa...!"

Seketika itu juga Rangga langsung melompat cepat dengan kedua telapak tangan yang masih terbuka mendorong ke depan. Dan kemudian tampaklah cahaya biru yang memancar dari kedua tangannya itu mengalahkan kilatan petir yang menyambar-nyambar.

"Aaakh..!" Tengkorak Putih langsung menjerit melengking tinggi.

"Yeaaah...!" teriak Rangga nyaring sambil menghunus kembali pedang yang baru dikeluarkannya.

Dan secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti langsung menancapkan pedangnya ke dada Tengkorak Putih! Dan tanpa sempat mengeluarkan suara lagi tubuh Tengkorak Putih ambruk ke tanah dengan dada yang berlumuran darah!

Trek!

Rangga segera memasukkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangkanya di punggung. Sejenak dia masih berdiri tegak memandangi tubuh Tengkor Putih yang sudah tidak bernyawa itu. Beberapa saat kemudian dia segera menoleh begitu mendengar suara teriakan-teriakan keras. Tampak agak jauh dari tempatnya, Dewi Naga Hitam sedang menggempur Tengkorak Hijau dengan sengitnya!

********************

"Kapan pertarungan itu mulai berlangsung?" tanya Rangga setelah dia berada di dekat Pandan Wangi yang tak kebagian musuh.

"Baru saja," sahut Pandan Wangi.

"Hm..., tampaknya Tengkorak Hijau terdesak terus," gumam Rangga sambil menatap serius ke arah pertarungan itu.

Pengamatan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat! Tengkorak Hijau sedang kewalahan menghadapi gempuran Dewi Naga Hitam. Bahkan tampaknya dia sulit untuk memberikan serangan balik. Tapi begitu tangannya mencabut tongkat bambu kuning weiung dari balik bajunya, Dewi Naga Hitam langsung melompat mundur beberapa langkah.

"Kau tidak bisa mengelabui penglihatanku, Siluman!" dengus Tengkorak Hijau seraya memutar-mutar tongkat bambu kuning welungnya.

Sejenak Dewi Naga Hitam agak kebingungan. Dia sadar, sedikit saja dia tersentuh bambu kuning welung itu, tubuhnya akan musnah. Memang dalam beberapa jurus lagi, sebenarnya dia bisa mengalahkan Tengkorak Hijau, tapi begitu tongkat bambu kuning welung telah berada di tangan lawannya...?

"Dewi Naga Hitam, mundur...!" seru Pandan Wangi seketika.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Pandan Wang langsung melompat bagaikan kilat menerjang Tengkorak Hijau. Tentu saja laki-laki tua itu terkejut. Buru-buru dia melentingkan tubuhnya ke udara, dan melemparkan tongkat bambu kuning welung itu ke arah Dewi Naga Hitam.

"Hiyaaa...!" Rangga langsung melompat cepat.

Untung saja Pendekar Rajawali Sakti itu cepat tanggap menghadapi keadaan, dan dengan mudah menangkap tongkat bambu kuning welung itu. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam yang sangat sempurna, Rangga segera melontarkan kembali tongkat bambu kuning welung itu ke arah tubuh Tengkorak Hijau.

"Hait!"

Secepat kilat Tengkorak Hijau mengibaskan tangannya, dan berhasil menghalau tongkat yang meluncur deras mengancam jiwanya itu. Dan pada saat yang bersamaan pula, Pandan Wangi langsung mencabut pedangnya! Kemudian dengan satu lentingan yang manis dan cepat, dia segera membabatkan pedangnya ke dada laki-laki tua itu.

"Aaakh...!" Tengkorak Hijau menjerit melengking.

Dan sebelum tubuh Tengkorak Hijau itu ambruk ke tanah, secepat kilat Dewi Naga Hitam yang sudah berubah wujud menjadi ular, menerjang tubuh yang masih sempoyongan itu.

Crab!!

Kepala ular hitam itu langsung menembus ke dalam dada si Tengkorak Hijau. Darah segar segera muncrat dari dalam dada yang terkoyak itu, disusul dengan menggeleparnya tubuh laki-laki tua itu di tanah. Sesaat kemudian, ular hitam itu melata dari dalam dada Tengkorak Hijau. Tampak dia mengunyah sesuatu, sedang lidahnya yang bercabang menjilati darah yang membasahi kepalanya!

Tapi belum sempat Dewi Naga Hitam berubah wujud menjadi manusia kembali, tiba-tiba terdengar suara riuh langkah-langkah kaki manusia yang mendekat ke arah tempat pertarungan itu. Tak berapa lama kemudian, muncullah orang-orang yang sudah takluk pada Pandan Wangi tempo hari. Tampak mereka membawa seorang pemuda tampan yang diikat erat pada kedua tangannya, hingga menyatu rapat dengan tubuhnya.

Pemuda itu tak lain adalah Purbaya, putra tunggal si Tengkorak Putih. Wajahnya yang tampan itu sudah biru lebam oleh bekas-bekas pukulan benda-benda tumpul. Pemuda itu hanya tertunduk pasrah saja menghadapi kenyataan yang sangat tidak diharapkan itu. Dia sudah tidak perlu lagi menangis dan meraung keras. Dia sudah bisa merasakan apa yang akan terjadi.

Suara-suara yang menggelegar dan menggemuruh disertai asap tebal yang melambung tinggi ke angkasa, telah dilihatnya sendiri bersama Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning yang saat itu memang masih berada belum begitu jauh dari Lereng Gunung Puting.

Dia sudah tidak membayangkan lagi bahwa ayahnya masih bisa bertahan hidup, di tengah-tengah hancurnya bangunan yang begitu megah dan kuat, dan yang merupakan pusat pemerintahan Partai Tengkorak yang dipimpin ayahnya sendiri.

Tampak Sura Praba berjalan paling depan di antara rombongan yang berjalan cepat tersebut. Bukan hanya Pandan Wangi yang terkejut melihat rombongan yang sedang menuju ke arahnya itu, tapi Rangga dan Dewi Naga Hitam yang sudah berujud manusia itu pun, sampai membelalakkan matanya.

Mereka memang telah mengenali wajah wajah yang ada dalam rombongan itu, wajah-wajah yang sudah takluk pada Panda Wangi, si Perawan Rimba Tengkorak. Tapi seorang pemuda yang berkulit halus dan putih bersih serta tampan itu? Dan kenapa pula dia diikat dan diperlakukan kasar?

Belum lagi rombongan itu sampai di depan ketiga orang tersebut, buru-buru Sura Praba berlari-lari kecil sambil membungkuk-bungkuk ke arah mereka.

"Gusti, maaf beribu maaf. Kami telah lancang datang ke sini," kata Sura Praba sedikit ketakutan.

"Ada apa, Sura Praba? Dan siapa orang itu?" tanya Pandan Wangi keras suaranya.

"Pemuda itu Purbaya, Gusti Ayu. Putra satu-satunya Tengkorak Putih. Kami telah menangkapnya ketika dia lewat bersama dua orang pengawalnya Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning. Tadinya kami memang hanya berjaga-jaga di sekitar goa, tapi begitu kami mendengar suara yang menggelegar dan menggemuruh disertai asap tebal yang melambung ke angkasa, kami segera berkumpul dan menunggu kejadian selanjutnya," Sura Praba menjelaskan.

Tampak Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia segera mengerti, rupanya pemuda itu adalah anak Tengkorak Putih yang sedianya akan disusupkan ke Istana Karang Setra untuk merongrong dan mengacaukan kewibawaan kerajaan. Tapi semua itu ternyata gagal total. Karena kalung yang akan dipakai untuk mengelabui para pembesar kerajaan, tidak berhasil mereka dapatkan dari Resi Wanapati. Dan memang, Resi Wanapati telah menyerahkan kalung tanda kebesaran Adipati Karang Setra itu, pada pemilik aslinya yaitu Danupaksi, adik tiri Rangga.

"Terus bagaimana kau dapat menangkap mereka?" tanya Pandan Wangi.

"Saat kami sedang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dengan adanya suara bergemuruh itu, tiba-tiba kami melihat tiga orang berkuda berkelebat cepat menuju ke arah suara itu. Setelah kami mengetahui siapa mereka, langsung saja kami semua menghadang mereka. Dan terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan dua puluh orang teman-teman kami dan dua orang pimpinan Partai Tengkorak, yaitu Tingkorak Biru dan Tengkorak Kuning. Sedangkan Purbaya, pemuda itu, langsung menyerah begitu melihat kedua pengawalnya tewas," lanjut Sura Praba menjabarkan seluruh kejadian yang mereka alami.

Pandan Wangi segera mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak dia menoleh ke arah Rangga dan Dewi Naga Hitam, tampak mereka juga tengah menatapnya dengan mengangguk-anggukkan kepala.

"Apa yang harus kami lakukan selanjutnya, Gusti Ayu?" Sura Praba menunggu perintah selanjutnya.

"Ikat pemuda itu erat-erat pada kereta yang masih tampak utuh, aku akan membawanya ke Kerajaan Karang Setra untuk dihadapkan pada pengadilan tertinggi kerajaan. Walaupun aku sudah tahu pasti, bahwa hukuman gantung langsung akan dijatuhkan pada pemuda itu," kata Rangga tegas.

"Kami semua ikut ke Kerajaan Karang Setra?" Sura Praba berkata ragu-ragu.

"Perintahkan pada anak buahmu untuk mengikat pemuda itu dalam kereta! Setelah itu kalian boleh kembali ke desa masing-masing. Dan ingat! Jadikan peristiwa ini sebagai pengalaman yang sangat berharga buat kalian, bahwa segala nafsu dendam dan amarah harus disingkirkan jauh-jauh dan jangan sampai hinggap di hati kalian semua," kata Pandan Wangi lantang.

Sura Praba segera mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian setelah dia menjura hormat pada Pandan Wangi, Rangga serta Dewi Naga Hitam, dia langsung berbalik dan melaksanakan apa yang telah diperintahkan padanya.

"Aku mengucapkan terima kasih pada kalian yang telah membantuku," kata Dewi Naga Hitam.

"Pertolonganmu padaku juga tidak kalah besar," sambut Rangga sambil melirik ke arah Pandan Wangi.

"Kalian akan langsung ke Kerajaan Karang Setra?"

"Iya, dan aku akan merasa senang sekali, jika kau mau ikut serta," jawab Rangga.

"Tidak, aku harus kembali. Sampai ketemu lagi, Rangga, Pandan."

Belum sempat Rangga membuka mulut, mendadak tubuh Dewi Naga Hitam telah lenyap dari pandangan. Dia tahu, kalau Dewi Naga Hitam harus segera menghadap rajanya, Satria Naga Emas. Untuk memohon pengampunan karena telah meluapkan rasa dendamnya kepada bangsa manusia.

"Ayo, kita pergi, Pandan," ajak Rangga sambil menggenggam tangan gadis itu.

"Kemana, Kakang?"

"Ke mana saja! Yang penting kita harus melepaskan kerinduan yang sudah lama terpendam dalam hati kita ini! Iya nggak?" tanya Rangga terus terang mengeluarkan isi hatinya.

"Ha ha ha...," Pandan Wangi tertawa malu. Wajahnya sampai berubah merah. Lalu sebelum ia sempat menghentikan tawanya. Rangga segera menyumpal mulut gadis itu dengan bibirnya!


EPISODE SELANJUTNYA DARAH PENDEKAR
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.