Seruling Perak

Serial Pendekar Rajawali Sakti episode seruling perak karya Teguh S
Sonny Ogawa

SERULING PERAK

SATU
ALUNAN seruling terdengar merdu ditiup seorang bocah gembala di Kaki Bukit Paderesan. Alunan merdu itu terbawa hembusan angin pagi, terus menyelusup ke dalam lembah, dan terpantul dinding tebing membawa keindahan tersendiri bagi yang mendengarnya. Suara merdu itu terus menembus jauh sampai ke sebuah tempat yang dikenal bernama Kadipaten Panjawi. Sebuah kadipaten yang tidak begitu besar, terletak di sebelah Utara Bukit Paderesan.

Semua orang di kadipaten itu selalu mendengar alunan suling yang merdu itu, setiap kali fajar menyingsing. Bahkan alunan sending itu menjadikan tanda datangnya fajar, yang selalu ditunggu-tunggu untuk memulai kegiatan rutin setiap hari. Entah kapan dimulainya, yang jelas sebelum terdengar suara seruling itu, tak ada seorang pun yang keluar dari dalam rumahnya.

"Gusti Ayu, suara seruling itu sudah terdengar," ujar seorang wanita bertubuh gemuk yang duduk bersimpuh di samping sebuah pembaringan besar.

Tampak sosok tubuh ramping tergolek di pembaringan beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Tubuh itu menggeliat dan bangkit berdiri, kemudian duduk di tepi pembaringan sambil mendengarkan alunan suara seruling yang menyusup ke dalam kamar berukuran cukup besar dan indah ini.

"Buka jendelanya, Emban Giri," lembut terdengar suara wanita muda berwajah cantik itu.

Perempuan gemuk yang mengenakan kemben sebatas dada itu beranjak bangkit setelah memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangannya didepan hidung. Kemudian, dibukanya jendela lebar-lebar, dan dibiarkan cahaya matahari pagi menerobos masuk menghangatkan ruangan besar ini. Dan kini wanita gemuk itu kembali lagi dan duduk bersimpuh di lantai.

"Sudah disiapkan air hangat untuk mandiku, Emban?" masih terdengar lembut suara wanita itu.

"Semuanya sudah siap, Gusti Ayu Nila Kumala!" sahut Emban Giri seraya memberi hormat.

Wanita yang dipanggil Gusti Ayu Nila Komala itu tersenyum manis, kemudian beranjak turun dari pembaringannya. Ayunan kakinya lembut dan gemulai menuju sebuah pintu kamar pesiraman yang terbuka lebar. Dia masuk melewati pintu itu dan menutupnya kembali. Sedangkan Emban Giri tetap duduk bersimpuh di lantai menunggu junjungannya membersihkan diri.

Pada saat itu terdengar suara ketukan di pintu. Bergegas Emban Giri bangkit dan berjalan ke pintu kamar ini. Dibukanya sedikit, diintip keluar. Begitu yang dilihatnya seorang laki-laki berusia setengah baya dan dikawal empat orang berseragam prajurit berdiri di ambang pintu, bergegas Emban Giri membuka pintu kamar itu lebar-lebar. Laki-laki setengah baya itu melangkah masuk ke dalam. Wanita gemuk itu menutup pintu, sedangkan empat orang pengawal memegang tombak panjang, menjaga di depan pintu.

"Katakan pada putriku, hari ini aku akan mengajaknya berburu," kata laki-laki setengah baya itu.

"Hamba, Gusti Adipati," sahut Emban Giri.

Laki-laki setengah baya yang ternyata adalah Adipati Panjawi itu memutar tubuhnya dan berjalan keluar. Emban Giri bergegas membuka pintu dan memberi hormat Ditutupnya pintu kamar itu kembali setelah Adipati Panjawi jauh meninggalkan kamar ini diiringi empat orang pengawal bersenjata tombak.

"Ada siapa tadi, Emban?" tiba-tiba saja Gusti Ayu Nila Komala muncul.

"Oh, Gusti Ayu.... Itu tadi Gusti Adipati," sahut Emban Giri langsung berlutut memberi hormat.

"Ada apa Ayah ke sini?" Tanya Nila Komala.

"Gusti Adipati ingin mengajak Gusti Ayu berburu. Katanya agar bergegas, sebentar lagi berangkat," Emban Giri menyampaikan pesan Adipati Panjawi.

"Tidak biasanya...?"

Nila Komala mengerutkan keningnya. Belum pernah ayahnya mengajak berburu begitu mendadak. Kalau pun mereka akan berburu, pasti sudah direncanakan satu pekan sebelumnya. Tapi ini.... Nila Komala menatap dalam-dalam wanita gemuk yang berlutut di lantai, di samping pintu kamar ini. Nila Komala membalikkan tubuhnya, lalu melangkah menuju jendela. Dilayangkan pandangannya keluar, sebentar kemudian kembali menatap wanita tua gemuk itu.

"Siapkan perlengkapanku, Emban," perintah Nila Komala.

"Baik, Gusti Ayu."
Pendekar Rajawali Sakti
Semua orang yang berdiri di sepanjang jalan Kota Kadipaten Panjawi membungkukkan tubuh saat rombongan berkuda melintasi jalan itu. Tampak di atas seekor kuda putih yang tinggi tegap, Nila Komala duduk didampingi ayahnya yang berkuda di sampingnya. Di punggung gadis itu tersampir anak-anak panah. Sebuah busur yang sangat indah tersimpang di dadanya. Cantik sekali, namun juga terlihat gagah bagai seorang pendekar wanita.

Rombongan berkuda itu terus bergerak cepat memasuki hutan yang berada di sebelah Barat Kadipaten Panjawi. Mereka terus memacu kudanya semakin masuk ke dalam hutan, dan baru berhenti setelah senja mulai merayap turun. Orang-orang yang mengenakan seragam prajurit, dengan cekatan mendirikan tenda-tenda untuk bermalam di tepi sungai kecil berair jernih. Nila Komala menempati tenda yang cukup besar di samping tenda ayahnya. Delapan buah tenda lain berdiri mengelilingi kedua tenda yang cukup besar itu. Masing-masing pintu tenda dijaga dua orang prajurit.

"Tidak ada hewan buruan yang baik di hutan ini," ujar Adipati Panjawi sambil memandang ke sekeliling dari depan tendanya.

"Mungkin mereka takut, Ayahanda," sahut Nila Komala.

"Takut! Takut pada siapa?" Adipati Panjawi menoleh menatap putrinya yang berdiri di sampingnya.

"Yaaa..., sama kita semua."

"Kau bicara seperti seorang pendeta saja, Nila."

"Mungkin karena aku cukup lama tinggal di Pertapaan Sokapura. Eyang Brantapati selalu menjejaliku dengan norma-norma kehidupan. Bahkan sampai lupa memberiku ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian," terlalu ringan suara Nila Komala.

"Tapi kepandaian yang kau miliki sekarang ini tidak ada bandingannya di Kadipaten Panjawi, Anakku. Bahkan panglima kerajaan sendiri rasanya harus berpikir seribu kali jika berhadapan denganmu," ujar Adipati Panjawi bernada bangga.

"Ayahanda terlalu berlebihan memujiku," Nila Komala tersipu.

"Tidak. Eyang Brantapati juga berkata demikian. Bahkan katanya kau hampir menyamai ilmunya sendiri."

Nila Komala hanya tersenyum saja. Rasanya terlalu sering mendapat pujian seperti itu dari ayahnya. Dan memang hanya dialah satu-satunya putri Adipati Panjawi. Namun Nila Komala bukan gadis manja yang lemah. Sejak kecil kepribadiannya selalu ditempa berbagai pelajaran keras dan dijejali norma-norma kehidupan di Pertapaan Sokapura. Memang bukan hanya ayahnya saja yang selalu memuji, tapi hampir semua orang selalu memujinya. Bahkan begitu menghormatinya, melebihi rasa hormatnya pada Adipati Panjawi sendiri.

Pelahan-lahan gadis itu melangkah mendekati sungai kecil yang berada tidak Jauh dari tempat perkemahan ini. Adipati Panjawi mengikutinya dari belakang. Demikian pula empat orang pengawal yang selalu setia menjaga junjungannya. Nila Komala melompat ke atas batu yang cukup besar dan tinggi. Gerakannya begitu ringan dan indah. Tak ada suara desiran angin sedikit pun saat melompat. Gadis itu memandang berkeliling.

"Apakah Ayahanda tidak salah memilih jika tempat ini dijadikan tempat berburu?" Tanya Nila Komala seraya melompat turun dari batu besar hitam itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat lunak di depan ayahnya.

"Tidak. Kenapa?" sahut Adipati Panjawi.

"Hutan ini sering didatangi orang. Rasanya tidak mungkin ada hewan buruan di sini. Aku melihat adanya bekas-bekas tebangan pencari kayu," kata Nila Komala.

"Ha ha ha...!" Adipati Panjawi tertawa terbahak-bahak.

Nila Komala berkerut keningnya, lalu menatap dalam-dalam wajah ayahnya. Sudah diduga kalau maksud sebenarnya bukan untuk berburu. Hanya saja sampai saat ini belum bisa ditebak, apa maksud ayahnya sebenarnya membawa ke hutan ini. Hutan yang tidak begitu lebat yang selalu menjadi tempat untuk mencari kayu bakar. Nila Komala bisa mengetahui dari banyaknya pohon bekas tebangan. Juga rerumputan di sini, sepertinya sering diinjak kaki manusia. Bukan kaki binatang buruan, atau binatang lainnya.

"Sudah kuduga, kau pasti bisa cepat mengetahui," ujar Adipati Panjawi setelah berhenti tawanya.

"Cukup lama aku tidak pergi berburu, tapi bukan berarti lupa terhadap pengetahuanku di dalam hutan," kata Nila Komala.

"Itulah yang kuharapkan darimu, Nila," pelan suara Adipati Panjawi

"Ayahanda punya maksud tertentu?" tebak Nila Komala langsung.

Adipati Panjawi tidak segera menjawab, tapi malah menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Pelahan kakinya terayun melangkah kembali ke tendanya. Nila Komala mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping laki-laki setengah baya itu. Untuk sesaat tidak ada yang berbicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

Mereka masuk ke dalam tenda paling besar, yang digunakan untuk Adipati Panjawi sendiri. Empat orang pengawal yang mengikuti, hanya menjaga di depan tenda, bergabung bersama dua penjaga yang tidak bergerak dari tempat tugas-nya. Adipati Panjawi duduk bersila beralaskan permadani tebal dari bulu domba. Sedangkan Nila Komala mengambil tempat di depan laki-laki setengah baya itu. Adipati Panjawi masih juga belum membuka suara, meskipun Nila Komala ingin sekali mengetahui jawaban dari pertanyaannya tadi.

"Sejak ibumu meninggal, tidak ada yang bisa kulakukan selain menjaga dan mempersiapkanmu untuk mewarisi Kadipaten Panjawi ini." ujar Adipati Panjawi pelan, seakan-akan berbicara kepada dirinya sendiri.

"Ayahanda.... Janganlah mengingat-ingat mendiang Bunda lagi. Biarkan Bunda tenang di Taman Nirwana bersama para bidadari," kata Nila Komala ikut terkenang akan mendiang ibunya.

"Kau begitu tabah, Anakku. Ketabahanmu itulah yang membuatku bertahan untuk tidak mencari pengganti ibumu," agak terbata nada suara Adipati Panjawi Nila Komala hanya diam saja.

Dia memang tahu. Sejak ibunya meninggal, ayahnya selalu menyendiri dan berubah jauh dari sebelumnya. Tapi yang paling dirasakan, Adipati Panjawi itu selalu mendesak agar putrinya mempelajari ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian. Itu sebabnya sebelum Nila Komala dikirim ke Pertapaan Sokapura, gadis itu telah digembleng oleh berbagai ilmu olah kanuragan dan ilmu keprajuritan. Dan kini Nila Komala menjadi seorang Wanita tegar berhati singa.

Tidak pernah gadis itu berpikiran lain, tapi tiba-tiba saja mempunyai pikiran yang selalu dibantahnya sendiri. Jelas maksud suci ayahnya tidak ingin dinodai, yang diyakininya memiliki alasan tertentu bagi kebaikan dirinya. Satu niatan yang suci di mata Nila Komala.

"Berapa usiamu ketika Ibu meninggal?" Tanya Adipati Panjawi setelah cukup lama berdiam diri.

"Lebih kurang lima belas tahun, Ayahanda," sahut Nila Komala dengan kening agak berkerut. Pertanyaan ayahnya itu terasa aneh di telinganya. Hanya saja, Nila Komala tidak ingin menyelak lebih dahulu.

"Tentu kau masih ingat, Nila...," kata Adipati Panjawi lagi.

"Maksud, Ayahanda...?" jantung Nila Komala mulai terasa lebih cepat berdetak.

"Peristiwa itu yang membuat ibumu meninggalkan kita semua." Nila Komala tidak berkata-kata. Digigit-gigit bibirnya sendiri dan kepalanya bergerak tertunduk. Tentu saja ingatannya tidak akan terlupa, meskipun sudah berusaha melupakannya. Namun bayang-bayang peristiwa itu masih tetap melekat di benaknya. Pelahan Nila Komala mengangkat kepalanya, langsung menatap sepasang bola mata ayahnya. Tampak jelas kalau bola mata Adipati Panjawi berkaca-kaca.

"Kalau saja aku mampu, dan tidak bodoh, tentu kejadian itu tidak perlu sampai seperti itu. Bertahun-tahun aku selalu menyesali kebodohanku, Nila. Itu sebabnya aku tidak ingin kau bodoh dan lemah seperti ayahmu ini. Aku ingin kau tegar, berhati baja, dan sanggup melakukan apa saja, meskipun hanya seorang wanita," agak tersendat suara Adipati Panjawi.

"Aku selalu berusaha untuk tidak mengecewakan Ayahanda," ucap Nila Komala.

"Sedikit pun kau tidak pernah mengecewakanku, Nila. Bahkan aku begitu bangga kepadamu," Adipati Panjawi mencoba tersenyum, namun terasa hambar senyuman laki-laki setengah baya itu.

Kembali mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya. Tak ada yang bersuara. Bahkan suara binatang malam pun seakan-akan terhenti secara tiba-tiba. Dua kali Nila Komala menarik napas panjang. Dicobanya untuk bisa memahami dan menebak maksud ayahnya membawa ke hutan ini Yang pasti, Nila Komala sudah menebak kalau ayahnya mengajak ke hutan ini bukan untuk berburu, melainkan ada alasan tertentu yang belum diungkapkan. Tapi dari sikap ayahnya, Nila Komala sudah bisa menarik kesimpulan, meskipun masih belum diyakini kebenarannya.

********************

Pagi ini udara terasa begitu cerah. Burung-burung berkicau ramai, menyambut datangnya cahaya kehidupan bagi seluruh makhluk di permukaan bumi ini. Kicauan burung itu semakin semarak, karena ditimpali oleh suara alunan seruling yang selalu terdengar di saat fajar menyingsing.

Nila Komala terjaga dari tidurnya. Tubuhnya menggerinjang bangkit, dan duduk di pembaringan yang hanya beralaskan permadani tebal berbulu halus. Gadis itu bangkit berdiri dan melangkah keluar. Dua orang prajurit yang menjaga pintu tenda segera membungkuk memberi hormat. Nila Komala mengayunkan kakinya mendekati tenda ayahnya, tapi mendadak saja langkahnya berhenti.

"Kau sudah bangun, Nila...?" terdengar teguran dari arah belakang.

Nila Komala segera membalikkan tubuhnya, dan lantas tersenyum begitu melihat ayahnya sudah berada di depannya. Gadis itu memandang ke sekeliling. Hatinya agak heran juga, karena prajurit-prajurit ayahnya tidak membongkar tenda. Biasanya tempat ini hanya untuk persinggahan saja sambil menunggu malam, kemudian melanjutkan perjalanan kembali menjelang fajar.

"Kenapa mereka tidak segera ber-kemas...?" Tanya Nila Komala setengah bergumam. Nada suaranya seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.

"Masih beberapa hari lagi kita di sini," jawab Adipati Panjawi seraya mengajak jalan Nila Komala.

Mereka kemudian melangkah pelahan-lahan sambil menghirup udara pagi yang segar. Suara alunan seruling masih terdengar merdu, mengiringi kicauan burung yang bernyanyi riang. Suara itu seperti datang dari segala penjuru, mengalun merdu terbawa hembusan angin pagi.

"Ayahanda...."

"Ada apa, Anakku?"

"Boleh bertanya sesuatu?" terdengar ragu-ragu suara Nila Komala.

"Tanyakanlah," desah Adipati Panjawi.

"Siapa peniup seruling itu?" Tanya Nila Komala, setelah menarik napas sebentar.

"Kenapa...? Kau tertarik dengan iramanya?" Adipati Panjawi malah balik bertanya.

"Sepertinya sejak kecil aku sudah mendengar suara seruling itu, sehingga begitu akrab di telinga. Bahkan seluruh rakyat kadipaten jadi tergantung pada suara itu," Nila Komala berkata sangat hati-hati sekali.

"Hhh...!" Adipati Panjawi mendesah panjang.

Laki-laki setengah baya itu berhenti me-langkah, lalu menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon jati. Nila Komala juga ikut berhenti melangkah, kemudian meman-dangi wajah ayahnya yang mendadak saja berubah murung.

"Maaf, Ayahanda. Bukannya aku hendak membuat kesedihan hatimu," ucap Nila Komala menyesal.

"Ahhh.... Tidak, Anakku," sahut Adipati Panjawi mendesah panjang.

Nila Komala menghampiri sebatang pohon yang tumbang, lalu duduk di sana. Alunan suara seruling itu sudah tidak lagi terdengar, dan kicauan burung pun berhenti. Hanya desiran angin saja yang mengusik gendang telinga.

Baru saja Nila Komala hendak membuka suara kembali, mendadak terdengar jeritan melengking tinggi. Dan belum lagi hilang jeritan itu, kembali muncul jeritan yang saling susul. Gadis itu tersentak kaget, karena para prajurit yang berada di sekitar tenda bertumbangan dan bergelimpangan di tanah. Belum lagi gadis itu sempat menyadari apa yang terjadi, mendadak saja dari segala penjuru bertebaran anak panah mengarah tubuhnya.

"Hup! Hiyaaa...!"

Nila Komala langsung melompat dan berputaran di udara, menghindari hujan anak panah yang datang tidak ada hentinya. Dalam keadaan sibuk seperti ini, gadis itu masih sempat melihat ayahnya yang juga sedang menghalau anak-anak panah dengan pedang. Tapi mendadak saja sebatang anak panah luput, dan langsung menancap dalam di bahu laki-laki setengah baya itu.

"Akh...!" Adipati Panjawi memekik tertahan.

"Ayah...!" seru Nila Komala terkejut

Darah langsung merembes dari bahu yang tertembus panah. Nila Komala bergegas melompat sambil menjambret sebatang ranting. Dengan ranting itu dihalaunya anak anak panah yang masih ganas menghujaninya. Hanya dalam sekali lesatan saja, gadis itu sudah sampai di tempat ayahnya. Pada saat yang sama, sebatang panah meluruk deras tak dapat dibendung lagi oleh Adipati Panjawi.

"Hiyaaat..!"

Wut! Trak!

Hanya menggunakan ranting rapuh, Nila Komala berhasil membabat panah yang hampir menembus leher ayahnya. Dan dengan kecepatan yang luar biasa, gadis itu menyambar tubuh ayahnya, langsung melesat membawa pergi dari tempat ini. Sungguh tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Dalam waktu singkat saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.

"Bunuh mereka semua..! Jangan ada yang dibiarkan hidup!" tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar.

Dan belum lagi hilang suara teriakan bernada perintah itu, dari balik semak belukar dan puncak pohon berlompatan sosok-sosok tubuh yang langsung menyerbu para prajurit Kadipaten Panjawi. Mereka bergerak bagaikan setan saja. Begitu cepatnya mereka membantai habis para prajurit itu. Dalam waktu singkat, tidak ada seorang pun yang tersisa hidup.

"Cepat! Tinggalkan tempat ini...!" kembali terdengar suara teriakan keras menggelegar.

Sosok-sosok tubuh itu berlompatan meninggalkan tempat di tepian sungai kecil itu. Dalam waktu sebentar saja, tempat ini kembali sunyi. Suasana menggiris terlihat Mayat-mayat bergelimpangan berlumuran darah. Tenda-tenda porak-poranda, dan pepohonan bertumbangan tidak tentu arah. Kesunyian begitu mencekam. Namun hanya sesaat kesunyian itu terjadi, karena sebentar saja terdengar alunan suara seruling. Tapi kali ini nadanya jauh berbeda. Suaranya bagai jeritan hati seorang gadis belia yang tidak kuat menanggung beban kehidupan.

********************

DUA

Nila Komala menghentikan larinya setelah cukup jauh meninggalkan tepian sungai. Diturunkan ayahnya yang berada di punggungnya. Dibaringkan laki-laki setengah baya itu di bawah pohon rindang. Sebatang panah masih menancap di bahu Adipati Panjawi itu.

"Ayah...," panggil Nila Komala.

Adipati Panjawi tersenyum tipis. Wajahnya mulai memucat dan membiru. Nila Komala memeriksa daerah bahu di sekitar luka, kemudian tersentak kaget saat melihat bahu ayahnya membiru kehitaman. Buru-buru ditotoknya bagian yang belum terjalar warna biru kehitaman itu.

"Kita harus cepat cari tabib. Panah ini beracun," kata Nila Komala.

"Terlambat..!" tiba-tiba saja terdengar suara menggema.

"Eh...!" Nila Komala terkejut, dan langsung bangkit berdiri.

Belum lagi gadis itu dapat berbuat sesuatu, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menerjangnya. Bergegas Nila Komala membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Gadis itu bergegas melompat bangkit, namun bayangan itu telah cepat kembali menyerangnya.

"Hup! Hiyaaa...!"

Nila Komala menghentakkan tangannya ke depan, menyambut bayangan itu. Satu benturan keras terjadi disertai terdengarnya ledakan menggelegar. Nampak Nila Komala terdorong dua langkah ke belakang, sedangkan bayangan itu terpental balik begitu keras hingga menabrak sebatang pohon besar sampai tumbang.

"Hiyaaa...!"

Nila Komala melentingkan tubuhnya dan berputaran dua kali di udara, Gadis itu tepat mendarat di samping sesosok tubuh terbalut baju merah yang wajahnya ditutupi topeng berbentuk kera berwarna perak. Nila Komala menjejakkan kakinya di dada orang itu. Seketika keningnya jadi berkerut, karena orang itu tidak bergerak sama sekali.

Cepat-cepat Nila Komala memeriksa, dan semakin terkejut. Ternyata orang itu sudah tewas. Nila Komala membuka topeng yang menutupi wajah orang berbaju merah itu. Dibaliknya, tampak seraut wajah pemuda cukup tampan. Tapi yang membuat gadis itu terkejut, ternyata orang itu membunuh dirinya sendiri dengan meminum pil beracun. Mulutnya berbuih berwarna kuning kehijauan. Ada bekas pukulan di dadanya. Nila Komala tahu, itu adalah bekas pukulannya. Gadis itu tahu bahwa sebenarnya pukulannya tadi tidak membahayakan. Jelas tidak mungkin orang itu sampai tewas. Paling tidak hanya pingsan. Itu pun kalau yang terkena pukulan tidak memiliki daya tahan tubuh sama sekali.

"Nilaaa...," terdengar panggilan lirih.

"Oh, Ayah...!" Nila Komala tersentak.

Gadis itu bergegas menghampiri ayahnya yang masih terbaring di bawah pohon. Wajah laki-laki setengah baya itu semakin pucat membiru. Napasnya terlihat lemah, dan dadanya hampir tidak bergerak. Nila Komala kelihatan cemas. Dia tidak tahu lagi, harus berbuat apa untuk menolong ayahnya. Racun dari panah itu sudah merasuk ke aliran darah Adipati Panjawi. Lambat, tapi sangat mematikan.

"Bertahanlah sebentar, Ayah. Aku akan membawamu pada tabib istana," kata Nila Komala.

"Percuma, Anakku. Tidak ada gunanya...," Lirih suara Adipati Panjawi.

"Tidak, Ayah. Bagaimanapun juga kau harus sembuh. Bertahanlah sebentar."

Adipati Panjawi lemah menggeleng-gelengkan kepalanya. Tatapan matanya semakin terlihat sayu. Seluruh wajah laki-laki setengah baya itu sudah pucat membiru. Totokan yang dilakukan Nila Komala rupanya sia-sia belaka. Racun itu sangat kuat, dan telah merambat menguasai jalan darah di tubuh Adipati Panjawi.

Nila Komala jadi kebingungan. Hatinya semakin cemas melihat keadaan ayahnya. Gadis itu mengangkat kepala ketika mendengar suara siulan yang berirama tak beraturan. Suara siulan itu semakin lama semakin jelas terdengar. Nila Komala menatap semak yang bergerak-gerak. Sikapnya begitu waspada. Tangannya seketika meraba gagang pedang di pinggang.

"Oh...!" Nila Komala terkejut begitu dari dalam semak keluar seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan.

Pemuda itu rupanya juga terkejut melihat ada seorang gadis berlutut di samping sesosok tubuh dengan bahu tertancap sebatang anak panah. Siulannya langsung berhenti seketika, kemudian terpaku sesaat. Bergegas dihampirinya gadis itu. Nila Komala hanya memandangi saja, bahkan sedikit pun tidak berbuat apa-apa saat pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu memeriksa tubuh Adipati Panjawi.

"Ck ck ck...!" Pemuda itu berdecak sambil menggelengkan kepala beberapa kali.

Sejenak diangkat wajahnya, langsung menatap Nila Komala. Kemudian jari-jari tangannya bergerak membuat beberapa pijatan di tubuh Adipati Panjawi. Pemuda itu segera duduk bersila, dan tangan kanannya memegang panah yang tertancap di bahu laki-laki setengah baya itu, lalu....

"Akh!" Adipati Panjawi memekik tertahan.

Panah beracun di bahunya tercabut dan kini berada di tangan pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Sebentar dipandangi, lalu dibuangnya jauh-jauh. Jari-jari tangannya bergerak cepat dan lembut di sekitar luka di bahu Adipati Panjawi. "Cukup parah...," gumam pemuda itu mendesah.

Pemuda itu menempelkan kedua telapak tangannya di dada Adipati Panjawi. Sebentar kemudian, matanya terpejam, lalu tubuhnya bergetar. Tampak asap tipis mengepul dari sela-sela jari tangannya. Sebentar kemudian Adipati Panjawi berdahak, lalu memuntahkan darah kental kehijauan beberapa kali. Seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu terlihat lemah, dan wajahnya semakin memucat pasi. Namun tidak lagi membiru seperti tadi.

"Hhh...!" pemuda berbaju rompi putih itu menarik napas panjang sambil menarik tangannya.

Adipati Panjawi memejamkan matanya pelahan-lahan. Tarikan napasnya berangsur teratur. Pemuda itu menyobek baju Adipati Panjawi dan membalut luka di bahunya. Sebentar diperiksa tubuh laki-laki setengah baya itu, kemudian dihenyakkan tubuhnya sendiri bersandar pada pohon yang menaungi mereka dari sengatan sinar matahari.

"Tidak lama lagi akan sadar. Kau harus cepat mencari tabib yang ahli mengobati racun. Aku rasa racun itu tidak asing lagi, dan banyak penawarnya," kata pemuda berbaju rompi putih itu seraya bangkit berdiri.

"Tunggu...!" cegah Nila Komala seraya bergegas bangkit berdiri.

Pemuda berbaju rompi putih itu mengurungkan langkahnya. Tubuhnya berputar, dan kembali menghadap pada Nila Komala. Sesaat mereka saling tatap. Jelas sekali kalau sikap Nila Komala terlihat kaku. Bibirnya terbuka, tapi tak ada suara yang terdengar.

"Ada apa...?" Tanya pemuda itu.

"Oh,..! Eh, terima kasih," hanya itu yang keluar dari bibir mungil memerah.

Pemuda itu hanya tersenyum saja, kemudian melangkah mundur beberapa tindak. Tapi belum juga membalikkan tubuhnya, Nila Komala sudah memanggil lagi walaupun suaranya agak bergetar. Entah kenapa, gadis itu sendiri tidak mengerti. Tiba-tiba saja sikapnya jadi kaku, terlebih lagi saat menatap pada bola mata bening yang mengandung kekuatan aneh.

"Ada yang ingin kau katakan?" lembut suara pemuda itu.

"Ehm..., aku... Aku...," Nila Komala tergagap. "Edan! Kenapa jadi gugup begitu...?" Nila Komala memaki dalam hati.

Sungguh tidak mengerti akan sikapnya sendiri yang mendadak saja jadi gugup. Apakah karena terpaku pada ketampanan pemuda itu? Atau karena pemuda berbaju rompi putih itu memiliki satu daya tarik yang luar biasa? Nila Komala menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk bisa menenangkan diri.

"Tidak jauh dari sini ada sebuah kadipaten. Disana kau bisa mencari tabib yang ahli dalam hal racun," jelas pemuda itu mengisi kekakuan yang terjadi di antara mereka.

"Ya, aku tahu," desah Nila Komala.

"Kalau begitu, cepatlah. Sebelum terlambat Aku tadi hanya bisa memperlambat penjalaran racun ke dalam jantungnya...," kata pemuda itu lagi.

"Ng..., tapi..," suara Nila Komala terputus. Pemuda itu mengerutkan keningnya, sedangkan matanya agak menyipit memandang gadis itu. Kemudian diangkat bahunya sedikit, lalu mendekati Adipati Panjawi. Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda itu memondong tubuh laki-laki setengah baya yang masih tidak sadarkan diri. Segera diayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Tapi Nila Komala masih berdiri terpaku.

"Ayolah! Sebentar lagi malam," ajak pemuda itu.

"Oh! Eh..., iya."

Bergegas Nila Komala mengayunkan kaki, dan mensejajarkan langkah di samping pemuda itu. Mereka berjalan agak cepat tanpa berbicara lagi. Sesekali Komala melirik wajah ayahnya yang masih terlihat pucat, dan beberapa kali pula melirik pemuda tampan di sampingnya.

"Uh! Kenapa sikapku jadi gugup begini? Apa sih kelebihan pemuda ini?" Nila Komala berbicara dalam hatinya sendiri, "Tapi, kelihatannya dia bukan pemuda sembarangan. Dan..., ah! Tidak! Aku tidak boleh.... Setan! Kenapa ada pikiran seperti itu? Gila...!" Nila Komala menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan dia tidak lagi mencuri-curi pandang pada pemuda di sampingnya.

Mereka terus saja berjalan tanpa berkata-kata. Memang tidak enak, tapi hanya itu yang bisa dilakukan. Terlebih lagi Nila Komala yang sedang berperang melawan batinnya sendiri. Sementara Adipati Panjawi tetap belum sadarkan diri juga, dan masih berada dalam pondongan pemuda berbaju rompi putih itu.

********************

Nila Komala duduk memeluk lutut didepan pondok kecil beratapkan daun rumbia. Hanya ada sebuah pelita yang menyala redup, menerangi bagian dalam pondok itu. Beberapa lubang terlihat di dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Gadis itu hanya menoleh sedikit saat mendengar pintu pondok terbuka. Muncul seorang laki-laki muda mengenakan baju rompi berwarna putih, yang kemudian menghenyakkan tubuhnya di samping gadis itu.

"Untung belum tertambat. Eyang Jayanggu masih bisa mengatasinya...," ujar pemuda itu setengah mendesah.

"Apa bisa sembuh?" Tanya Nila Komala.

"Mudah-mudahan," sahut pemuda itu.

Nila Komala menggeser duduknya agak menjauh, kemudian berpaling menatap pemuda itu. Sesaat mereka terdiam, hanya saling tatap saja. Sementara malam sudah beranjak larut. Tak ada yang bisa didengar, kecuali jerit binatang malam mengusik keheningan malam ini.

"Aku tidak tahu lagi harus berkata apa kepadamu...," pelan suara Nila Komala.

"Katakan saja apa yang ingin kau katakan," sahut pemuda itu ringan.

Nila Komala mengulas senyuman tipis. Sebentar ditarik napasnya dalam-dalam.

"Kita sudah banyak bicara, tapi belum saling mengenal," ungkap Nila Komala menyadari kalau belum mengenal nama pemuda itu.

"Seharusnya aku yang lebih dahulu memperkenalkan diri padamu. Kau telah berbuat banyak menolong ayahku."

"Oh..., jadi itu ayahmu?" Pemuda itu baru tahu.

"Benar. Ayahku seorang adipati di kadipaten ini. Sebenarnya ayahku bernama Indra Nata, tapi lebih sering dipanggil Adipati Panjawi. Dan aku sendiri bernama Nila Komala."

"Aku Rangga," pemuda itu juga mengenalkan diri. Mereka saling melempar-kan senyuman, dan secara bersamaan menarik napas panjang. Untuk beberapa saat tak ada yang bicara lagi. Hanya pandangan mata mereka saja yang lebih banyak mengucapkan kata-kata. Nila Komala memalingkan mukanya, menatap arah lain. Rasanya tak sanggup terus menerus membalas pandangan mata pemuda itu. Entah kenapa, dadanya selalu berdebar jika memandang sepasang bola mata yang bening penuh ketegasan dan kekerasan hidup itu.

"Kenapa ayahmu sampai terluka?" Tanya Rangga yang lebih dikenal berjulukan Pendekar Rajawali Sakti.

"Entahlah..., aku tidak tahu," sahut Nila Komala mendesah pelahan.

Rangga menatap dalam-dalam wajah cantik di sampingnya. Agak aneh juga jawaban Nila Komala tadi. Sudah jelas ayahnya terluka kena panah beracun, tapi gadis ini sepertinya tidak tahu menahu.

"Jangan pandangi aku seperti itu, Kakang...," ujar Nila Komala agak tertahan suaranya kala menyebut kakang pada Rangga.

"Kenapa?" Rangga tersenyum dikulum.

"Tidak apa-apa. Hanya saja..., jengah."

Rasanya Rangga ingin tertawa mendengar jawaban polos itu, tapi hanya senyum saja yang keluar. Pemuda yang selalu mengenakan baju rompi berwarna putih itu memalingkan mukanya ke arah lain, tapi sempat dilihatnya rona wajah Nila Komala yang menyemburat merah dadu. Memang diakui, sejak siang tadi suasana di antara mereka begitu kaku. Bahkan Nila Komala jarang mengeluarkan suara kalau tidak ditanya.

Rangga sendiri tidak merasa aneh setelah tahu kalau gadis ini putri seorang adipati yang kini sedang terbaring di dalam, dirawat seorang tabib ahli dalam hal racun. Seorang gadis berdarah biru memang berbeda dengan gadis-gadis biasa. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu bisa memaklumi sikap Nila Komala.

Saat mereka tengah terdiam, tiba-tiba saja terdengar suara desingan halus dari arah samping. Rangga menoleh, dan langsung mengebutkan tangan kanannya begitu menangkap sebuah benda meluncur bagai kilat ke arah Nila Komala.

Tap!

Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melompat berdiri. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebatang anak panah berwarna hitam pekat. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melemparkan panah ke arah datangnya tadi. Begitu cepat kejadiannya, sehingga Nila Komala belum sempat menyadari. Gadis itu tersentak kaget begitu mendengar jeritan melengking tinggi.

Tepat pada saat Nila Komala melompat bangkit, dari balik pohon di samping pondok kecil ini keluar sesosok tubuh limbung, dan langsung ambruk. Pada lehernya tertancap sebatang anak panah hitam. Dan belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, mendadak saja....

"Aaa...!" terdengar jeritan melengking dari dalam pondok.

"Ayah,..," desis Nila Komala.

"Eyang Jayanggu...," Rangga mendesis.

Tanpa berkata apa-apa lagi mereka berlompatan masuk menerobos pintu pondok itu. Pada saat yang sama, terlihat sesosok tubuh melesat cepat menerobos atap pondok hingga jebol berantakan. Rangga dan Nila Komala tidak sempat lagi mengejar, karena perhatiannya tertumpah pada dua sosok tubuh yang tergeletak di pembaringan bambu. Tiga anak panah tertancap di masing-masing dada dua orang yang tergeletak itu.

"Ayah...!" jerit Nila Komala langsung menubruk salah satu sosok tubuh laki-laki setengah baya.

Sedangkan Rangga menghampiri seorang laki-laki tua yang tergeletak di samping Adipati Panjawi. Pendekar Rajawali Sakti itu segera memeriksanya. Kepalanya seketika tertunduk saat mengetahui Eyang Jayanggu sudah tidak bernyawa lagi. Dia melirik Nila Komala yang merintih menangisi ayahnya. Laki-laki setengah baya itu sudah tewas dengan tiga batang panah tertanam dalam di dada.

"Nila...," Rangga menepuk lembut pundak gadis itu.

Perlahan-lahan Nila Komala mengangkat kepalanya. Sepasang bola mata bersimbah air mata itu menatap lurus bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian dirayapi seluruh tubuh ayahnya yang terbaring kaku tak bernyawa lagi. Nila Komala menggeser tubuhnya menjauh sambil menghapus air matanya yang membasahi pipinya.

Rangga mencabut panah-panah yang tertanam di dada Adipati Panjawi maupun Eyang Jayanggu. Segera dibetulkan posisi kedua laki-laki itu agar terbaring sempurna. Sebentar kemudian, Rangga menghampiri Nila Komala, yang tengah duduk di tepi pembaringan bambu ini. Rangga berdiri di depannya sambil menepuk-nepuk lembut pundak gadis itu.

"Sepertinya...."

Belum juga Rangga menyelesaikan ucapannya, mendadak saja atap pondok ini terbakar. Api seketika membesar. Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menyambar tubuh Nila Komala, dan melesat keluar menerobos dinding pondok ini. Sungguh di luar dugaan, sebentar saja api sudah membesar melahap pondok kecil dari kayu dan anyaman bambu itu.

"Ayah...? Desis Nila Komala memandangi pondok yang terbakar demikian cepatnya.

Tak ada yang sempat menyelamatkan dua sosok mayat di dalam pondok itu. Api semakin membesar melahap pondok itu. Seketika saja suasana malam yang gelap dan dingin ini menjadi terang benderang dan terasa hangat. Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak melihat apa-apa. Tak ada seorang pun yang nampak, kecuali mereka berdua.

Sementara Nila Komala hanya bisa memandang pondok itu disertai linangan air mata yang membasahi pipinya. Gadis itu melorot turun, jatuh berlutut di tanah. Lemas seluruh tubuhnya menyaksikan kematian ayahnya yang begitu tragis, terbakar dalam pondok tanpa dapat melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya.

********************

TIGA

Nila Komala berdiri mematung sambil memandangi gundukan tanah merah yang masih baru di depannya. Mereka baru pagi ini dapat menguburkan mayat Adipati Panjawi yang sudah hangus terbakar. Sementara Rangga masih merapikan kuburan Eyang Jayanggu yang ikut terbakar dalam pondoknya.

Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah menghampiri Nila Komala, dan menepuk pundaknya dengan lembut Gadis itu berpaling. Tak ada lagi air mata terlihat di pipinya, meskipun kedua mata gadis itu masih merembang. Dua kali dalam hidupnya disaksikan kematian tragis seperti ini. Pertama, saat masih kecil. Ibunya tewas terbakar dalam pondok peristirahatan. Dan sekarang ayahnya pun tewas dengan cara yang sama. Terbakar dalam pondok setelah terlebih dahulu ditembus tiga batang panah berwarna hitam.

"Aku yakin..., pasti mereka yang melakukan...," desis Nila Komala tanpa sadar.

"Nila...," tegur Rangga lembut

"Hhh...," Nila Komala menarik napas panjang, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah pelahan-lahan. Rangga mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping gadis itu. Mereka terus berjalan pelahan-lahan tanpa berkata sedikit pun, sepertinya tanpa tujuan yang pasti. Tak terasa, mereka sudah demikian jauh. Tiba-tiba Nila Komala berhenti melangkah begitu di depannya terlihat sebuah bangunan batu yang merupakan tanda dari Kota Kadipaten Panjawi.

Pandangan gadis itu beralih pada seseorang yang duduk di bawah sebatang pohon rindang. Tidak jauh darinya terlihat beberapa ekor domba tengah merumput Orang itu sama sekali tidak menyadari kalau dirinya tengah diperhatikan, dan terus asyik meniup serulingnya yang berwarna keperakan. Pelahan-lahan Nila Komala melangkah menghampiri, lalu berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan orang yang bertubuh kecil dan berperut buncit itu.

Orang yang tingginya sebaya dengan anak berumur dua belas tahun itu mengenakan baju putih dan celana hitam sebatas lutut. Walaupun tubuhnya kecil, tapi wajahnya sudah tua dengan janggut dan kumis putih panjang. Kepalanya yang ditumbuhi rambut putih, terikat kain lusuh berwarna hitam pekat. Seketika dihentikan tiupan serulingnya, dan diangkat kepala menatap Nila Komala. Di belakang gadis itu berdiri Pendekar Rajawali Sakti.

"He he he..., kau tertarik oleh suara serulingku?" suara laki-laki kecil tua itu terdengar serak dan kering.

"Indah sekali," ucap Nila Komala.

"Kalau begitu, duduklah di sampingku," wajah laki-laki tua seperti anak kecil itu berseri-seri.

Nila Komala menempatkan dirinya di samping laki-laki tua itu, sedangkan Rangga duduk bersila didepannya. Tanpa diminta, laki-laki bertubuh kecil itu meniup serulingnya kembali. Terdengar alunan lembut yang menghanyutkan. Sungguh indah tiupan seruling perak itu, sehingga membuat Nila Komala tertegun.

Tapi tidak demikian halnya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu bisa merasakan adanya pengerahan tenaga dalam dari tiupan seruling itu, dan terasakan semakin kuat. Rangga melirik Nila Komala yang nampak mengantuk. Kelopak matanya mulai turun, dan akhirnya jatuh tertidur. Rangga berpaling menatap laki-laki bertubuh kecil namun sudah berumur itu.

"He he he...," laki-laki itu terkekeh setelah menghentikan tiupan serulingnya.

Dielus-elus serulingnya bagai mengelus sesuatu yang amat berharga dan disayanginya. Kemudian diselipkan seruling berwarna perak itu di balik ikat pinggangnya. Rangga masih memandangi tidak berkedip. Masih terasa kekuatan dari irama tiupan seruling tadi.

"Biarkan dia tidur. Jiwanya begitu lelah...," ujar laki-laki tua itu.

"Hmmm...," Rangga hanya bergumam saja. Sedikit dilirik nya Nila Komala yang tertidur pulas di samping laki-laki bertubuh kecil bagai seorang bocah berusia dua belas tahun itu.

"Dia adikmu...? Atau kekasihmu?" Tanya laki-laki tua itu.

"Bukan," sahut Rangga kembali menatap agak dalam.

"Aku merasakan adanya goncangan berat pada jiwanya. Begitu lelah, seperti mendapat tekanan berat," tebak laki-laki tua bertubuh kecil itu seraya menatap Nila Komala.

"Kisanak, siapa kau sebenarnya?" Tanya Rangga, agak heran juga dengan tebakan laki-laki di depannya yang begitu tepat.

Nila Komala memang baru saja mendapat guncangan jiwa yang sangat hebat Dan. Rangga jadi curiga, karena laki-laki tua ini seperti sudah tahu semuanya. Laki-laki tua itu terkekeh, dan kembali menatap pemuda di depannya.

"Belum ada seorang pun yang bertanya begitu padaku. Biasanya mereka hanya memandang tidak peduli, meskipun aku sudah berbuat banyak untuk mereka," ungkap laki-laki tua itu. Ada nada keluhan dalam suaranya.

"Boleh aku tahu namamu, Kisanak?" Tanya Rangga lembut

"He he he...! Entahlah, Anak Muda. Aku sendiri sudah lupa siapa namaku. Tapi orang-orang selalu memanggilku si Seruling Perak Yaaah..., mungkin karena setiap hari selalu meniup seruling ini," laki-laki itu menepuk-nepuk seruling perak yang terselip di pinggang.

Rangga melirik Nila Komala yang masih tertidur lelap.

"Aku hanya memberinya sedikit ketenangan jiwa. Sepertinya dia butuh istirahat banyak," kata si Seruling Perak, seolah-olah bisa mengerti arti lirikan Pendekar Rajawali Sakti.

"Maaf, Kisanak Tadinya aku...?

"He he he... Sudahlah, Anak Muda. Aku bisa memahami," potong si Sending Perak cepat. "Kau bukan saudaranya, juga bukan kekasihnya. Lantas, kau ini apanya?"

"Hanya teman yang kebetulan bertemu di jalan. Hhh.. Namaku Rangga, Kisanak," sahut Rangga seraya memperkenalkan diri.

"Aku tahu," ringan sekali suara Seruling Perak.

"Kau tahu..?" Rangga heran juga.

"Tentu. Sejak melihatmu, aku sudah tahu siapa dirimu. Itu sebabnya aku bertanya, apakah wanita ini saudaramu atau kekasihmu. Sebab yang kudengar, kau biasanya berjalan bersama kekasihmu. Hmmm.... Siapa ya, namanya...? Oh, iya! Pandan Wangi.... Benar?"

Rangga tersenyum seraya mengangguk. Tapi dari sorot matanya masih terpancar keheranan, karena si Seruling Perak bisa mengetahui persis tentang dirinya.

"Wanita ini pasti bukan Pandan Wangi, karena tidak membawa kipas yang menjadi senjata utamanya," tegas Seruling Perak.

"Memang benar, Ki. Dia bernama Nila Komala, putri Adipati Panjawi," jelas Rangga.

"Oh..., penguasa kadipaten ini?"

"Benar."

"Kenapa bisa berada di sini bersamamu? Bukankah Adipati Panjawi dan putrinya sedang berburu?" Tanya Seruling Perak.

"Sukar untuk dijelaskan, Kisanak. Tapi aku yakin kau sudah bisa menduga," sahut Rangga.

"He he he.... Kau begitu cepat sekali menangkapku, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak percuma kau menjadi tokoh nomor satu saat ini," ujar Seruling Perak seraya terkekeh.

Rangga hanya tersenyum saja.

"Gadismu sudah bangun," kata Seruling Perak seraya melirik Nila Komala.

"Hanya teman," Rangga meralat.

"He he he...."

********************

Nila Komala memandangi istana kadipaten yang porak poranda. Sebagian besar hangus ter-bakar. Tinggal puing-puing saja yang berserakan. Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah. Sebagian besar adalah para prajurit, dan beberapa di antaranya adalah orang berbaju merah yang terdapat gambar tengkorak pada bagian dada. Nila Komala melangkah pelahan-lahan memasuki bangunan besar yang tinggal puing-puing saja. Setiap kakinya melangkah, selalu menemukan mayat teronggok berlumuran darah.

"Ohhh...," terdengar suara rintihan lirih.

"Oh, Paman...," desis Nila Komala begitu menoleh.

Tampak seorang laki-laki setengah baya duduk bersandar di dinding hitam bekas terbakar. Seluruh tubuhnya kotor, dan berlumur darah. Bajunya compang-camping tak karuan lagi. Nila Komala bergegas menghampiri. Sementara di belakang gadis itu berdiri Pendekar Rajawali Sakti bersama laki-laki bertubuh kecil dan berwajah tua. Rambut dan janggutnya juga telah putih.

"Paman..., Paman Mataun..., apa yang terjadi?" Tanya Nila Komala.

"Oh..., Gusti Ayu...," hanya itu yang bisa terucapkan laki-laki setengah baya itu, karena langsung tidak sadarkan diri.

"Paman..., Paman Mataun...!" panggil Nila Komala seraya mengguncang tubuh laki-laki itu.

Tapi Paman Mataun tetap diam dengan mata terpejam. Nila Komala menoleh menatap dua orang yang berdiri saja di belakangnya. Gadis itu kemudian berdiri dan melangkah mundur. Sebentar Rangga menatap si Seruling Perak, atau Ki Garatala. Rangga dan Nila Komala baru tahu nama laki-laki tua yang sebenarnya ketika memasuki gerbang kadipaten. Laki-laki tua itu sendirilah yang menyebutkannya.

Rangga menghampiri Paman Mataun. Sebentar diperiksa laki-laki setengah baya itu, kemudian dipondongnya. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti itu memandang berkeliling, kemudian membawa Paman Mataun ke tempat yang lebih bersih. Laki-laki setengah baya itu dibaringkan di atas dipan bambu. Dipan yang biasa digunakan Nila Komala bercengkerama bersama ayahnya ketika masih hidup.

"Hanya pingsan," kata Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu menatap Nila Komala, tapi yang ditatap hanya tertunduk saja di samping Ki Garatala. Sebentar Rangga menarik napas panjang, dan matanya beredar berkeliling. Sunyi...! Tak ada suara terdengar sedikit pun. Hanya desir angin yang mengusik gendang telinga, membawa bau anyir darah.

Suasana di Kadipaten Panjawi ini memang sudah terasa aneh saat mereka memasuki batas gerbang yang berada di Kaki Bukit Paderesan. Banyak rumah yang hangus terbakar. Juga, tidak sedikit mayat bergelimpangan di sepanjang jalan. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti itu kembali terarah pada Nila Komala.

"Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Nila?" Tanya Rangga ingin tahu.

"Aku..., aku tidak tahu," sahut Nila Komala.

"Hm.... Sejak bertemu denganmu, aku sudah merasakan ada sesuatu yang terjadi," gumam Rangga sambil menatap tajam pada Nila Komala.

"Sudahlah, Rangga. Jangan mendesak terus. Aku yakin Nila Komala tidak tahu apa-apa," Ki Garatala menengahi.

Rangga menarik napas panjang. Mereka semua menoleh ketika mendengar erangan lirih. Tampak Paman Mataun mulai siuman kembali. Ketiga orang itu bergegas menghampiri. Laki-laki setengah baya itu memandangi wajah-wajah di dekatnya satu persatu, kemudian menatap Nila Komala dengan bibir bergetar.

"Gusti Ayu...," lemah sekali suara Paman Mataun.

"Paman..., apa yang terjadi?" Tanya Nila Komala seraya melirik Rangga.

"Mereka, Gusti Ayu. Mereka benar-benar menghancurkan Kadipaten Panjawi ini. Oh...!" tersendat dan lirih sekali suara Paman Mataun.

"Mereka siapa, Paman?" desak Nila Komala seraya menggigit bibirnya.

"Mereka..., oh! Orang-orang dari Seruling Perak.... Akh.'"

"Paman...!" sentak Nila Komala. Tapi laki-laki setengah baya itu sudah mengejang kaku. Dari mulutnya menyembur darah berwarna hitam kehijauan. Kedua matanya membeliak lebar dan mulutnya ternganga. Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya setelah memeriksa bagian bawah leher Paman Mataun. Sedangkan Nila Komala menatap tajam orang tua bertubuh kecil berperut buncit Sedangkan yang dipandang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja sambil berdecak pelahan hampir tidak terdengar.

"Bajingan...!" desis Nila Komala menggeram.

Gadis itu tiba-tiba saja melompat menerjang si Seruling Perak dengan kecepatan luar biasa. Tentu saja hal ini membuat laki-laki tua itu jadi terkejut, dan buru-buru melompat mundur. Tapi tak urung satu pukulan tangan dari Nila Komala berhasil mendarat di pundak kanannya.

"Akh!" Garatala terpekik tertahan.

Nila Komala kembali melompat selagi tubuh tua kecil itu limbung ke belakang. Dua pukulan beruntun dilepaskan gadis itu. Tapi kali ini si Seruling Perak berhasil menghindari dengan manis. Sementara Rangga hanya diam terpaku tidak mengerti. Memang tadi sempat didengar ketika Paman Mataun menyebut nama Seruling Perak yang melakukan semua penghancuran di Kadipaten Panjawi ini. Sementara itu Nila Komala semakin ganas menyerang laki-laki tua bertubuh kecil bagai bocah berusia dua belas tahun.

"Nila, tunggu...!" seru Garatala sambil berkelit menghindari serangan Nila Komala yang dahsyat dan sangat mematikan.

"Kau harus mampus, keparat! Hiyaaat..!" seru Nila Komala.

Sret! Tring...!

Secepat gadis itu mencabut pedangnya, secepat itu pula dikibaskan ke arah dada Garatala. Tapi laki-laki tua kecil itu cepat berkelit, sehingga pedang Nila Komala membabat sebuah pilar yang hangus menghitam. Sungguh dahsyat pedang gadis itu. Pilar besar tumbang terbabat pedangnya.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras melengking tinggi, Nila Komala melompat Secepat kilat dikibaskan pedangnya ke arah leher Garatala. Tapi belum juga mata pedang itu sampai pada sasarannya, mendadak secercah cahaya biru berkelebat memapak pedang itu.

Trang!

"Ikh!" Nila Komala terpekik tertahan.

Buru-buru gadis itu melompat mundur. Mulutnya meringis merasakan nyeri pada pergelangan tangan kanannya ketika pedangnya membentur sebuah benda keras bercahaya biru berkilau tadi. Tatapan gadis itu langsung tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri di tengah-tengah antara dirinya dengan Garatala.

"Minggir, Kakang. Biar kupenggal leher manusia keparat itu!" desis Nila Komala menggeram.

"Tahan, Nila. Kendalikan dirimu," kata Rangga coba menenangkan. .

"Kau dengar apa yang dikatakan Paman Mataun tadi, Kakang? Tua bangka keparat ini biang keladi semuanya! Dialah yang membunuh ibuku, ayahku, dan menghancurkan semua yang ada di sini! Lihat, Kakang...! Mereka semua. tewas!" keras suara Nila Komala.

"Aku tahu, Nila. Aku juga dengar, bahkan Ki Garatala pasti mendengar. Aku tidak yakin kalau semua ini Ki Garatala yang melakukan," sergah Rangga tetap kalem dan lembut suaranya.

"Bukan dia...?! Huh! Kau jangan coba-coba membelanya, Kakang. Atau..., barangkali kau memang bersekongkol dengannya?" Nila Komala jadi balik menuduh.

"Jangan turuti napsu, Nila," desis Rangga kurang senang juga dituduh demikian.

"Kalau tidak bersekongkol, kenapa membelanya?" Nila Komala menunjuk Garatala.

"Sudah..., Sudah. Tidak ada gunanya kalian bertengkar. Sejak semula sudah kuduga akan begini kejadiannya. Yaaah..., memang tidak mudah untuk menjelaskannya. Tapi aku sama sekali tidak bersalah! Kehadiranku di sini justru ingin mencegah. Tapi, yaaah.... Semuanya sudah terlambat. Bahkan sekarang aku kena fitnah," kata Garatala.

"Huh! Mau cuci tangan!" dengus Nila Komala.

Pendekar Rajawali Sakti menghampiri si Seruling Perak. Diliriknya Nila Komala yang kelihatan masih berang sambil menghunus pedang melintang di depan dada.

"Sebaiknya kau pergi saja dulu, Ki. Percayalah, akan ku coba menyelesaikan persoalan ini. Aku yakin kau tidak bersalah," ujar Rangga lembut penuh pengertian.

"Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Garatala seraya mengembangkan senyum.

Setelah berkata demikian, si Seruling Perak itu langsung melesat pergi. Dalam sekejap saja, bayangannya sudah lenyap dari pandangan mata.

"Hei...!" Nila Komala tersentak kaget begitu menyadari si Seruling Perak sudah pergi.

"Biarkan dia pergi, Nila," selak Rangga.

"Huh! Kenapa kau biarkan pergi?!" Dengus Nila Komala memberengut.

"Karena aku yakin dia tidak bersalah. Bahkan aku rasa dia ingin menolongmu," sahut Pendekar Rajawali Sakti kalem.

"Dan sebaiknya kau juga pergi!" Kata Nila Komala tandas.

"Nila...!" Rangga terkejut.

"Aku memang berhutang padamu. Tapi saat ini, sulit rasanya untuk mempercayaimu," tetap tegas nada suara Nila Komala.

"Kau terlalu terbawa napsu, Nila," Rangga masih berusaha menenangkan gadis itu.

"Kalau kau tidak pergi, aku yang akan pergi!" ujar Nila Komala berusaha menahan kemarahannya terhadap tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Nila...!"

Tapi Nila Komala sudah lebih cepat melesat pergi. Rangga jadi bengong memandangi arah kepergian gadis itu. Sungguh cepat lesatannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti itu hampir tidak mengetahui arahnya.

"Hhh...," Rangga menarik napas panjang, lalu melangkah hendak meninggalkan istana yang porak poranda ini.

Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja....

"Ha ha ha...!"

"Eh!"

********************

Rangga terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja di depannya muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah penuh berewok. Pakaiannya berwarna merah menyala yang bagian dadanya bergambar tengkorak dan menggenggam senjata berupa tongkat putih, yang ujungnya berbentuk kepala tengkorak manusia berwarna merah.

Dan belum lagi hilang terkejutnya, tiba-tiba saja muncul lagi tiga orang berpakaian sama, memegang senjata yang sama pula. Jumlah mereka kini empat orang, dan telah mengepung dari empat jurusan. Rangga bergumam pelan, sambil mempelajari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Dia tidak tahu, siapa mereka. Tapi dari sorot mata dan caranya muncul, sudah dapat diduga kalau keempat orang ini tidak bermaksud baik padanya.

"Bocah, siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini?" Tanya orang yang pertama muncul. Suaranya besar dan terdengar berat

"Kalian sendiri siapa?" Rangga malah balik bertanya.

"Monyet beledek! Jawab saja pertanyaanku!" bentak orang itu berang. Geram!

"Mana mungkin bisa menjawab kalau tidak tahu siapa kalian," terdengar tenang nada suara Rangga.

"Kadal edan! Apa kau sudah punya nyawa rangkap sehingga berani menentangku, heh?!" bentak orang itu semakin berang.

"Nyawaku hanya satu, tapi tidak akan kuberikan untuk kalian," masih terdengar tenang suara Rangga.

"Keparat! Rupanya ingin cari mampus!"

Orang yang berada di depan, langsung mengibaskan tongkat putih itu ke depan. Rangga agak terkejut juga mendengar deru angin dari kibasan tongkat itu. Juga sempat dirasakan adanya satu tenaga dorongan yang amat kuat. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berpikir jauh, mendadak saja orang yang pertama muncul tadi sudah melompat cepat menerjangnya.

"Mampus kau! Hiyaaat..!""

"Uts!"

Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, sehingga serangan tongkat yang dahsyat itu lewat di sampingnya. Namun belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menarik pulang posisi tubuhnya, mendadak datang lagi serangan dari arah kanan. Mau tidak mau harus ditarik kakinya ke samping. Dan kembali dia terkejut, karena datang lagi serangan dari arah belakang.

Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melompat ke depan. Dan dengan kecepatan luar biasa, diputar tubuhnya sambil dikibaskan tangan kanannya. Sungguh cepat luar biasa gerakan Rangga, sehingga membuat salah seorang terpekik terhantam tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu Tubuh yang tinggi besar itu terjungkal ke belakang, menghantam lantai dengan kerasnya.

"Tahan...!" seru Rangga tiba-tiba sambil melompat keluar dari kepungan itu.

Seketika tiga orang yang tengah mengeroyoknya berhenti. Dan seorang yang terjungkal kembali bangkit sambil menggeram marah. Rangga berdiri tegak di atas sebuah pilar yang roboh. Sebentar ditatapnya empat orang di depannya.

"Aku tidak punya persoalan pada kalian, kenapa ingin membunuhku?" Tanya Rangga.

"Kau sudah melanggar daerah larangan, bocah!" Sahut salah seorang yang berdiri paling kanan.

"Daerah larangan...? Bukankah ini Istana Kadipaten Panjawi? Sejak kapan daerah ini terlarang?" Tanya Rangga tidak mengerti.

"Sejak sekarang. Dan kau telah melanggarnya, itu berarti harus mampus!"

Empat orang berbaju merah itu kembali berlompatan.

"Tunggu...!" cegah Rangga.

Tapi keempat orang itu tidak lagi peduli. Mereka kembali menyerang lebih ganas. Rangga tidak bisa berbuat lain lagi, tapi tetap tidak ingin mencelakakan ke empat orang itu. Mereka hanya dilayani dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib?. Satu jurus yang hanya mengandalkan kelincahan gerakkan serta kelenturan tubuh. Gayanya memang seperti orang yang tidak pandai ilmu olah kanuragan, tapi sangat sukar untuk mendesaknya. Gerakan-gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak beraturan. Tentu saja hal ini membuat keempat orang berbaju merah itu semakin berang. Mereka merasa dipermainkan oleh seorang bocah.

Keempat orang itu sudah mengeluarkan beberapa jurus, tapi belum juga bisa mendesak pendekar muda itu yang hanya berkelit dan menghindar tanpa membalas satu serangan pun, Rangga memang masih menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', dan terus mencoba menghentikan serangan-serangan itu. Namun nampaknya empat orang itu malah semakin ganas saja. Bahkan serangan-serangannya juga semakin dahsyat.

"Ufh! Mereka benar-benar ingin membunuhku." dengus Rangga dalam hati.

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu berteriak keras menggelegar. Dan bagai kilat, dihentakkan tangannya beberapa kali. Sukar untuk diikuti mata biasa, tahu-tahu keempat orang yang mengeroyoknya menjerit dan berpelantingan ke belakang. Dan mereka jadi terbeliak. Ternyata Rangga sudah memegang golok mereka sambil berdiri tenang.

"Dengar! Kalian dengan mudah bisa saja kubunuh. Tapi itu tidak akan kulakukan, karena aku tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ingin membunuhku!" Dingin nada suara Rangga.

Keempat orang itu saling berpandangan sejenak, kemudian bangkit berdiri.

"Siapa kalian sebenarnya?!" Tanya Rangga tegas. Keempat orang itu tidak segera menjawab, tapi malah mencabut sebilah pisau kecil yang terselip di pinggang masing-masing. Tanpa berkata sedikit pun, tahu-tahu mereka menggorok leher sendiri dengan pisau itu, lalu menghunjamkan ke dada, tepat menembus jantung.

"He...!" Rangga terkejut setengah mati.

Pendekar Rajawali Sakti itu terbeliak melihat empat orang itu telah menggelepar. Darah mengucur deras dari leher dan dada. Hanya sebentar mereka mampu bergerak, kemudian mengejang kaku dan diam untuk selamanya. Sementara Rangga masih terpaku. Dan tanpa disadari, tongkat rampasan di tangannya jatuh ke lantai. Sungguh sulit dimengerti kelakuan empat orang itu. Membunuh dirinya sendiri setelah menyadari tidak akan dapat menandingi lawannya. Untuk beberapa saat Rangga hanya bisa terpaku, benar-benar tidak mengerti.

"Gila! Nekad...!" desis Rangga seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kau tidak akan bisa mengerti, Pendekar Rajawali Sakti," tiba-tiba saja terdengar suara kering dari arah belakang.

"Eh!" Rangga terkejut

Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya. Mulutnya jadi ternganga begitu melihat seorang laki-laki tua bertubuh kecil seperti bocah berusia dua belas tahun, sudah berada di tempat ini kembali.

"Ki Garatala.... Bukankah kau tadi sudah pergi?" desis Rangga setengah bergumam, seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.

"He he he.... Tidak sebodoh itu, Pendekar Rajawali Sakti," Ki Garatala yang lebih dikenal berjulukan si Seruling Perak itu terkekeh.

"Hm..., jadi kau tadi melihat semuanya?" gumam Rangga bertanya.

"Benar," sahut Ki Garatala.

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Terdengar suara gumaman yang tidak jelas. Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian melangkah pergi.

"Akan ke mana kau, Anak Muda?" Tanya Ki Garatala.

"Ke mana saja," sahut Rangga terus saja melangkah tanpa berhenti.

"He he he.... Kau tidak bisa pergi begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti."

"He! Apa maksudmu?!" Rangga tersentak kaget, dan langsung berhenti melangkah. Diputar tubuhnya menghadap kembali pada laki-laki tua kecil berperut buncit itu.

"Ingat janjimu, Anak Muda," kata Ki Garatala.

"Kampret!" dengus Rangga.

"He he he...!"

********************

EMPAT

Nila Komala menjatuhkan dirinya dan menangis di pangkuan seorang laki-laki tua berjubah putih yang duduk di atas sebongkah batu putih pipih. Laki-laki tua yang tengah bersemadi itu terkejut dan segera membuka matanya. Dia semakin terkejut saat melihat seorang gadis menangis menelungkup di pangkuannya. Tangan yang kurus berkulit putih itu bergerak mengelus rambut hitam tebal bergelombang di pangkuannya.

"Ada apa, Cucuku? Kenapa datang-datang menangis?" Lembut sekali suara laki-laki tua itu.

"Eyang...," Nila Komala mengangkat kepalanya. Tampak seluruh wajah gadis itu bersimbah air mata. Laki-laki tua yang ternyata Eyang Brantapati itu memandangi wajah Nila Komala yang dibasahi air mata. Lembut sekali dia menghapus air mata gadis itu, kemudian membawanya duduk di atas batu, tepat di sampingnya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Eyang Brantapati tetap lembut nada suaranya.

"Ayah, Eyang...," tersendat suara Nila Komala.

"Kenapa ayahmu, Cucuku?"

"Dibunuh."

Eyang Brantapati menatap dalam-dalam bola mata gadis itu, kemudian menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Pelahan-lahan kepalanya tertunduk. Dielus-elus jenggotnya yang putih dan panjang, sampai menutupi leher.

"Sudah kuduga, peristiwa ini pasti terjadi..," gumam Eyang Brantapati.

"Eyang...," masih tersendat suara Nila Komala.

"Aku pernah mengatakan hal ini padamu, bukan? Seharusnya kau bisa menjaga ayahmu agar lebih hati-hati lagi. Tapi, yaaah.... Semua sudah terjadi, dan ini memang bukan salahmu."

Nila Komala tertunduk. Ancaman itu memang pernah didengarnya. Dan dia telah dipesankan oleh Eyang Brantapati untuk berhati-hati dalam menjaga ayahnya. Tapi sampai ayahnya meninggal terbunuh, dia masih belum bisa mengerti, mengapa gurunya ini berpesan seperti itu. Pelahan Nila Komala mengangkat kepalanya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata laki-laki tua di sampingnya.

"Eyang, kenapa ada orang yang ingin membunuh ayahku?" Tanya Nila Komala setelah agak tenang.

"Hhh...!" Eyang Brantapati menarik napas dalam-dalam. "Itulah yang selalu menjadi pertanyaanku sampai sekarang ini, Cucuku. Aku sendiri tidak tahu, mengapa begitu banyak orang ingin mencelakakan ayahmu. Dan sekarang...," suara Eyang Brantapati terputus.

"Eyang tidak tahu...?" ada kekecewaan pada nada suara Nila Komala.

"Dulu ayahmu memang pernah mengatakan kalau dirinya terancam, Hal itu dikata-kannya sewaktu kau masih kecil. Itu pula sebabnya mengapa kau dikirim ke sini untuk mempelajari ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian. Dia ingin agar kau bisa menjaga diri dan menghadapi semuanya," pelan sekali suara Eyang Brantapati.

"Menghadapi siapa, Eyang?" desak Nila Komala, tak dapat lagi membendung rasa ingin tahunya.

"Sayang sekali, ayahmu tidak mengatakan lebih jauh lagi. Aku sendiri tidak pernah tahu, kenapa dirinya merasa terancam. Bahkan tampaknya dia tidak peduli sama sekali," sahut Eyang Brantapati.

"Eyang..., apa ini ada hubungannya dengan Seruling Perak?" Tanya Nila Komala.

"Seruling Perak...?!" Eyang Brantapati tampak terkejut. Keningnya sampai berkerut dalam. Dan kedua bola matanya menyipit menatap tajam Nila Komala.

"Benarkah musuh Ayah si Seruling Perak, Eyang?" Desak Nila Komala sambil menahan tekanan suaranya.

"Entahlah...," desah Eyang Bagaspati.

Nila Komala menghembuskan napasnya. Ada nada kekecewaan pada sorot mata gadis itu. Semula diharapkan Eyang Brantapati mengetahui tentang semua peristiwa yang di alaminya ini. Tapi rupanya laki-laki tua pertapa ini juga tidak mengetahui banyak. Nila Komala merasa kedatangannya kembali ke pertapaan ini jadi sia-sia belaka. Gadis itu beranjak bangkit dari hendak melangkah keluar dari gua ini.

"Mau ke mana kau?" tegur Eyang Brantapati sebelum Nila Komala mengayunkan kakinya.

"Mencari pembunuh Ayah," sahut Nila Komala.

"Ke mana?" Tanya Eyang Brantapati.

"Entahlah," sahut Nila Komala.

Gadis itu memang tidak tahu harus ke mana untuk mencari pembunuh ayahnya. Apa lagi untuk mengetahui pelakunya. Memang ada satu-satunya petunjuk, yakni harus mencari laki-laki tua kecil yang berjuluk si Seruling Perak. Sebelum menghembuskan napas yang terakhir, Paman Mataun menyebut nama Seruling Perak. Inilah satu-satunya petunjuk untuk mencari pembunuh ayahnya.

Eyang Brantapati beranjak turun dari batu yang didudukinya. Langkahnya dibantu oleh sebatang tongkat, bergerak menghampiri Nila Komala. Laki-laki tua itu menepuk pundak gadis itu, lalu mengajaknya keluar dari dalam gua batu ini. Gua yang tidak begitu besar, tapi nampak bersih dan terawat. Mereka berjalan bersisian tanpa berkata-kata lagi, dan baru berhenti setelah sampai di depan gua. Tampak sebuah pondok kecil berdiri merapat ke dinding batu cadas pada bagian belakangnya. Di pondok kecil itu dulu Nila Komala tinggal sambil menuntut ilmu pada pertapa tua ini.

"Di mana mereka membunuh ayahmu?" Tanya Eyang Brantapati.

"Di Lereng Bukit Paderesan sebelah Barat" Sahut Nila Komala.

"Tepatnya?"

"Dekat sungai kecil"

Eyang Brantapati bergumam.

"Ada apa, Eyang?" Tanya Nila Komala merayapi wajah laki-laki tua itu.

"Aku tidak mengerti, mengapa ayahmu selalu pergi ke lereng bukit itu. Dia pasti mengajakmu dengan alasan berburu, bukan?"

"Benar."

"Padahal semua orang tahu, bahkan kau juga tahu kalau di sana bukan tempatnya untuk berburu."

"Ayah selalu melewati tempat itu, Eyang. Memang, untuk mencapai hutan perburuan seharusnya tidak perlu memutar begitu jauh. Dari kaki bukit sebelah Selatan saja bisa lebih dekat. Bahkan kalau mau bisa melalui perbatasan sebelah Utara. Tapi Ayah selalu memilih jalan itu, Eyang," jelas Nila Komala.

"Dan yang pasti ada alasannya," selak Eyang Brantapati.

"Maksud Eyang?" Nila Komala tidak mengerti.

"Seperti yang kau katakan tadi. Seruling Perak..," sahut Eyang Brantapati.

"Seruling Perak..?!" Nila Komala terkejut mendengarnya.

"Hanya itu satu-satunya petunjuk buntu yang dimiliki sampai sekarang. Aku tidak tahu, apa hubungannya antara ayahmu dengan si Seruling Perak? Juga dengan Partai Tengkorak Merah...."

"Sebentar, Eyang!" sentak Nila Komala tiba-tiba.

"Ada apa, Cucuku?"

Nila Komala tidak langsung menjawab. Ingatannya kini tertuju pada mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar Istana Kadipaten Panjawi. Di antara mayat-mayat berseragam prajurit, juga terdapat mayat-mayat berbaju merah dengan gambar tengkorak pada bagian dadanya.

"Eyang, apakah orang-orang Partai Tengkorak Merah selalu mengenakan baju merah dan bergambar tengkorak di dada?" Tanya Nila Komala.

"Ya," sahut Eyang Brantapati.

"Benar, Eyang...?!" Nila Komala tidak percaya.

"Ada apa, Cucuku?"

"Eyang, sekarang ini istana kadipaten sudah hancur. Disana aku menemukan beberapa mayat mengenakan baju merah bergambar tengkorak di dadanya bercampur dengan para prajurit yang tewas. Aku yakin, merekalah yang menghancurkan istana kadipaten dan juga yang membunuh Ayah," kata Nila Komala mencoba menjelaskan dengan singkat.

"Hm..., berarti benar mereka yang melakukannya," gumam Eyang Brantapati.

"Eyang, apakah orang-orang Partai Tengkorak Merah memiliki dendam pada Kadipaten Panjawi?" Tanya Nila Komala.

"Entahlah, aku tidak tahu. Tapi mereka ini memang sudah terkenal berkemampuan tinggi dan sukar diberantas. Jago-jago dari kerajaan pun tidak mampu mengatasinya. Hanya, sekarang ini aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Dan terakhir kudengar, mereka kini berada di daerah Hulu Sungai Bacan. Jadi, sudah berada di luar batas wilayah kerajaan, Cucuku," jelas Eyang Brantapati.

"Apa mereka bukan anak buah si Seruling Perak?" tebak Nila Komala.

揟idak! Seruling Perak adalah seorang pendekar beraliran putih. Tapi sudah hampir dua puluh tahun ini aku tidak lagi mendengar namanya."

"Eyang, belum lama ini aku telah bertemu dengannya."

"Oh...!" Eyang Brantapati nampak terkejut. "Bagaimana ciri-cirinya?"

"Orangnya sudah tua, bertubuh kecil seperti anak berumur dua belas tahun, dan rambutnya putih panjang, terikat kain berwarna hitam pekat. Dia selalu membawa seruling berwarna perak," Nila Komala menjelaskan.

Eyang Brantapati menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kenapa, Eyang?" Tanya Nila Komala.

"Dia bukan Seruling Perak," sahut Eyang Brantapati.

"Kalau bukan si Seruling Perak, lalu siapa?" Nila Komala jadi kebingungan.

Eyang Brantapati tidak segera menjawab. Sementara Nila Komala menatap dalam-dalam wajah laki-laki tua itu. Pikirannya benar-benar bingung dan tidak mengerti akan semua ini. Kalau orang tua bertubuh kecil itu bukan si Seruling Perak, lalu siapa? Dan siapa pula orang-orang berbaju merah dengan gambar tengkorak di dada itu? Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di benak Nila Komala. Ternyata kematian ayahnya berbuntut panjang, dan tidak dimengerti sama sekali. Sedangkan orang yang diharapkan bisa membantu banyak juga tidak mengetahui. Bahkan malah membuatnya semakin bingung.

********************

Nila Komala terjaga dari tidurnya. Betapa terkejutnya gadis itu ketika mendengar suara pertarungan dari luar pondok. Dan belum juga bisa berbuat sesuatu, mendadak saja atap pondok kecil ini terbakar. Bergegas Nila Komala melompat keluar, menerobos dinding pondok yang terbuat dari anyaman bambu tipis. Tiga kali gadis itu berputaran di udara, dan dengan manisnya mendarat di tanah.

Pada saat itu terdengar suara jeritan keras tertahan. Nila Komala membeliak lebar melihat Eyang Brantapati terhuyung-huyung sambil menekap dada sebelah kiri. Tampak darah mengucur deras membasahi jubah putihnya yang panjang. Dan di depan laki-laki tua itu berdiri seorang berpakaian merah mengenakan topeng berbentuk wajah kera berwarna keperakan.

"Hiyaaat..!" tiba-tiba saja orang itu melompat bagai kilat.

"Hup! Hiyaaa...!"

Secepat itu pula Nila Komala melentingkan tubuhnya sambil mencabut pedangnya. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam, gadis itu mengibaskan pedangnya menghantam senjata lawan yang berbentuk tongkat putih yang ujungnya berbentuk kepala tengkorak manusia warna merah.

Trang!

"Akh!" Nila Komala memekik tertahan.

Buru-buru gadis itu melentingkan tubuhnya ke belakang. Mulutnya meringis merasakan seluruh tangan kanannya

mengejang kaku kesemutan. Sedangkan orang bertopeng muka kera keperakan itu mulai bergerak lagi hendak menyerang. Sementara Eyang Brantapati terduduk bersila sambil merapatkan tangan di depan dada. Hanya sebentar dia melakukan semadi, mencoba mengurangi sakit dan menghentikan darah yang keluar dari dadanya itu.

"Eyang...," Nila Komala bergegas menghampiri.

Namun belum juga gadis itu sampai, mendadak orang bertopeng kera keperakan itu sudah melompat menyerangnya. Nila Komala terpaksa melentingkan tubuhnya ke belakang, dan secepat kilat dibabatkan pedangnya ke arah orang itu. Namun lagi-lagi dia memekik tertahan saat pedangnya beradu dengan senjata aneh itu.

Nila Komala jadi terbeliak. Ternyata pada saat yang sama, Eyang Brantapati sudah harus bertarung melawan dua orang berpakaian merah yang juga mengenakan topeng kera keperakan. Nila Komala tidak sempat lagi berpikir, karena juga sudah diserang dua orang bertopeng kera keperakan yang entah datangnya dari mana. Tahu-tahu mereka muncul, dan langsung menyerangnya.

"Aaa,..!" Tiba-tiba saja terdengar jeritan melengking tinggi.

"Eyang...!" seru Nila Komala.

Tampak Eyang Brantapati terhuyung-huyung. Dan belum lagi laki-laki tua itu mampu menguasai tubuhnya, sebatang panah hitam melesat bagai kilat, langsung menghunjam dalam di dada laki-laki tua pertapa itu. Kembali Eyang Brantapati menjerit melengking. Belum lagi tubuhnya ambruk, kembali dua batang panah menancap di dadanya.

"Eyang...!" Jerit Nila Komala langsung melompat memburu.

Tapi gadis itu tidak mungkin dapat menolong laki-laki tua itu, karena dua orang yang menjadi lawannya sudah memberikan serangan dahsyat. Terpaksa Nila Komala harus menghadapinya.

"Bajingan keparat..! Mampus kalian! Hiyaaat..!"

Nila Komala bertarung disertai kemarahan yang meluap. Pedangnya berkelebatan cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga hanya cahaya kuning jingga yang terlihat berkelebatan menyambar dua orang bertopeng kera itu. Sungguh dahsyat serangan Nila Komala. Dua orang lawannya itu jadi kewalahan. Dan pada satu ketika, pedang berwarna kuning jingga itu berhasil merobohkan salah seorang lawan.

Jeritan melengking kembali terdengar memecah keheningan malam. Belum lagi orang itu ambruk ke tanah, Nila Komala sudah melompat bagai kilat sambil menusukkan pedangnya ke arah lawan yang lain. Serangan kilat yang cepat dan sukar diduga itu tidak bisa dihindari lagi.

Crab!

"Aaa...!" orang bertopeng kera itu menjerit melengking tinggi.

Nila Komala tidak lagi menunggu lawannya ambruk ke tanah. Begitu dicabut pedangnya dari dada orang itu, langsung dihampirinya Eyang Brantapati. Laki-laki tua itu sudah tergeletak di tanah. Darah berlumuran membasahi jubah berwarna putih.

"Eyang...," desis Nila Komala seraya berlutut.

"Cepatlah pergi, Cucuku Selamatkan dirimu," ucap Eyang Brantapati lirih.

"Siapa mereka Eyang? Kenapa mereka hendak mencelakakanmu?" Tanya Nila Komala.

"Dengar, Cucuku.... Dulu ayahmu pernah bercerita bahwa dia hendak mengembalikan sesuatu. Itu sebabnya dia sering pergi ke Lereng Bukit Paderesan. Di tempat itu dia..., akh!" '

"Eyang...! Eyang:..!" Nila Komala mengguncang tubuh laki-laki tua itu.

Nila Komala tertunduk lemas. Eyang Brantapati sudah menghembuskan napas yang terakhir. Cukup banyak luka di tubuh pertapa itu, ditambah lagi tiga batang panah hitam beracun tertanam dalam di dada. Melihat luka-lukanya, tentu Eyang Brantapati sudah bertarung sejak semalam. Dan yang pasti, tidak sedikit lawan yang dihadapi.

"Eyang, siapa pun mereka, akan kubalas kematianmu," desis Nila Komala.

Entah kenapa, gadis ini tidak menangis sedikit pun. Mungkin karena kemarahan yang meluap, sehingga air matanya tidak bisa keluar lagi. Nila Komala berdiri sambil mengangkat tubuh pertapa tua gurunya itu. Pelahan kakinya melangkah ke dalam gua. Sebentar dia berhenti di depan mulut gua, dan berbalik. Tatapannya tajam menusuk langsung pada dua sosok tubuh yang tergeletak tidak bernyawa lagi. Kemudian gadis itu mengedarkan pandangannya berkeliling.

"Hhh...! Ke mana yang dua orang lagi?" desisnya.

Nila Komala melangkah mundur, lalu langsung berbalik dan berjalan masuk ke dalam gua. Gadis itu meletakkan tubuh tua itu di atas batu pipih yang biasa digunakan Eyang Brantapati untuk bersemadi. Sebentar dipandangi mayat gurunya itu, lalu berlutut didepan batu pualam putih itu.

"Aku janji, Eyang. Mereka tidak akan lepas dari tanganku. Hanya pedangku ini yang harus membunuh mereka!" Desis Nila Komala dingin.

Nila Komala beranjak bangkit berdiri, kemudian berbalik dan melangkah keluar gua. Gadis itu terus melangkah pergi, tapi kembali berhenti dan memandangi pondok kecil yang sudah rata dengan tanah. Api masih menyala meskipun tidak besar lagi.

Kembali gadis itu mengayunkan langkahnya pelahan-lahan. Dengan kesal disepaknya dua sosok mayat bertopeng kera itu, kemudian kembali berjalan. Pedangnya yang berlumuran darah tergenggam erat di

tangan. Nila Komala meluapkan kemarahannya. Dikebutkan pedangnya, membabat pohon-pohon yang dilaluinya.

"Hiyaaat..!"
Cras!

Sekali tebas saja, sebatang pohon besar tumbang. Entah berapa pohon besar dan kecil tumbang terbabat pedang berwarna kuning jingga itu. Nila Komala baru berhenti melampiaskan kemarahannya setelah merasa lelah. Tubuhnya jatuh terduduk dan bersandar pada sebongkah batu hitam sebesar badan kerbau. Pedangnya tergeletak di samping. Sekarang gadis itu baru bisa menangis, menyembunyikan wajahnya diantara kedua lutut yang tertekuk dipeluk rapat.

********************

LIMA

Tidak seperti hari-hari yang lalu, pagi ini tak terdengar lagi alunan seruling yang menyongsong datangnya sang surya menyinari permukaan bumi. Sejak runtuhnya Istana Kadipaten Panjawi, suara seruling itu tak pernah terdengar lagi. Dan seluruh rakyat kadipaten jadi merindukan alunan merdu yang sudah melekat di telinga. Tapi tak ada seorang pun yang mencoba untuk mencari tahu, mengapa suara seruling itu tidak mengalun lagi. Kadipaten Panjawi ini bukan lagi kadipaten yang dulu. Kini wilayah kadipaten itu dikuasai orang-orang biadab yang mengatur dengan tangan besi.

Kadipaten Panjawi yang dulu selalu ramai, kini terlihat sepi bagai kota mati tak berpenghuni. Tak terdengar lagi canda tawa. Tak ada lagi terlihat kesibukan para petani dan pekerja. Dan tak terlihat lagi anak-anak berlarian, bermain di sepanjang jalan. Semuanya sunyi lengang, bahkan hampir tidak terlihat adanya orang di luar rumah.

Kesunyian itu mendadak saja pecah oleh suara teriakan dan jerit pekik. membahana diselingi denting senjata beradu. Suara-suara gaduh itu datang dari halaman reruntuhan Istana Kadipaten Panjawi. Tampak seorang gadis berparas cantik mengamuk dengan pedang di tangan. Di sekitarnya terlihat mayat-mayat bergelimpangan tumpang tindih tak tentu arah. Gadis itu ternyata adalah Nila Komala yang mengamuk menghajar orang-orang berbaju merah, dan bergambar tengkorak pada bagian dadanya.

"Maju kalian semua, iblis-iblis keparat!" Seru Nila Komala lantang.

"Hiyaaat..!"

Tidak terhitung lagi, berapa tubuh bergelimpangan berlumuran darah terbabat pedang gadis itu. Nila Komala bagai seekor singa betina kehilangan anaknya. Amukannya membabi buta, menghajar setiap orang berbaju merah tanpa berkedip sedikit pun. Gadis itu bertarung dengan kemarahan meledak di dalam dada. Sedikit pun tidak memberi kesempatan pada lawan-lawannya untuk balas menyerang.

"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar benta-kan keras menggelegar.

Seketika itu juga orang-orang yang tengah mengeroyok Nila Komala berlompatan mundur. Tampak di undakan bagian depan reruntuhan istana kadipaten, berdiri seorang berjubah merah. Wajahnya ditutup topeng berbentuk wajah kera berwarna keperakan. Di belakang orang berjubah merah itu berjajar sekitar dua puluh orang bertopeng muka kera! Mereka semua memegang senjata berbentuk sabit yang tipis melengkung. Sementara Nila Komala berdiri tegak sambil menatap tajam menusuk. Dadanya bergerak turun naik demikian cepatnya.

"Sudah kuduga, kau pasti datang ke sini..," kata orang berjubah merah dan bertopeng kera itu.

"Hm... siapa kau?" dengus Nila Komala tajam.

"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Nila Komala. Serahkan saja potongan seruling perak padaku!"

Nila Komala terdiam. Sama sekali tidak dimengerti maksud kata-kata orang bertopeng kera berwarna keperakan itu. Tapi sedikit banyak, sudah bisa diraba, apa yang sedang terjadi sebenarnya. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Memang tidak mudah baginya mengalahkan mereka yang berjumlah begitu banyak. Untuk bisa lolos saja, sudah untung.

Ada sedikit penyesalan di hati Nila Komala yang tidak memperhitungkan untung ruginya datang ke sini. Meskipun sudah puluhan orang berhasil dirobohkan, tapi bukan berarti bisa lolos dengan mudah. Apalagi menghancurkan mereka. Tapi mengingat harus membalas kematian ayahnya, gadis itu telah bertekad. Apa pun yang akan terjadi, orang-orang bertopeng kera ini harus bisa dihancurkan.

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!" Lantang suara Nila Komala.

"Dengar bocah! Ini bukan saatnya bermain-main!" bentak orang bertopeng kera itu.

"Kau pikir aku main-main, heh...?" Tiba-tiba saja Nila Komala berteriak nyaring. Dan bagai kilat dia melompat sambil mengibaskan pedangnya. Sebelum ada yang menyadari, telah terdengar jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya tiga orang yang mengepung gadis itu. Nila Komala kembali berdiri tegak di tengah-tengah sambil menyilangkan pedang di depan dada. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.

"Tangkap dia hidup-hidup!" perintah orang bertopeng kera itu.

Seketika dua puluh orang yang berdiri di belakangnya berlompatan. Dari batik baju, mereka mengeluarkan tambang panjang yang memiliki dua bandulan besi pada ujungnya. Mereka mengepung Nila Komala. Lincah sekali mereka memutar-mutar tambang itu.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Dua puluh orang itu melemparkan tambangnya secara serentak. Tambang-tambang itu bertebaran di sekeliling Nila Komala. Dan belum lagi gadis itu bisa melakukan sesuatu, tambang-tambang itu sudah membentuk jaring melingkari tubuhnya. Nila Komala cepat menggerakkan pedangnya.

"Hiyaaat..!"

Tas! Slap!

Tiga utas tambang terbabat putus. Tapi beberapa tambang lain melingkari tubuh ramping gadis itu. Nila Komala berusaha melepaskan diri dari belitan tambang yang semakin banyak dan kuat menjepit tubuhnya. Tangannya yang memegang pedang dan masih bebas, berusaha memutuskan tambang-tambang itu. Tapi dua puluh orang itu sudah bergerak cepat memutari tubuhnya. Bahkan ada beberapa orang yang berlompatan melewati kepalanya. Nila Komala semakin terjepit. Ruang geraknya pun semakin menyempit dan terbatas.

"Keparat..!" geram Nila Komala.

Nila Komala berusaha melepaskan diri dari jeratan tambang-tambang di tubuhnya. Tapi semakin keras memberontak, semakin kuat tambang-tambang itu membelit tubuhnya. Gadis itu benar-benar tidak berdaya lagi. Pedangnya sudah menggeletak di tanah, dan tubuhnya sama sekal tidak berdaya ketika orang-orang itu menyeretnya hingga terguling ke tanah.

"Kurung dia!" perintah orang bertopeng kera itu.

"Bajingan! Keparat..! Kubunuh kau!" maki Nila Komala.

"Ha ha ha...!"

********************

Nila Komala merayapi ruangan sempit dan kotor. Beberapa orang bertopeng kera menjaga di setiap sudut ruangan. Gadis itu melirik ikatan pada tangan dan kakinya yang terentang pada sebatang. tiang bersilang, yang tergeletak di tanah. Pandangan gadis itu beralih ketika pintu terkuak lebar. Bunyi derit engsel berkarat seakan-akan hendak menggetarkan jantung gadis itu.

Tampak dari pintu yang terbuka lebar, masuk seorang berjubah merah mengenakan topeng berwajah kera. Dia diiringi empat orang yang juga mengenakan topeng kera. Hanya saja mereka mengenakan baju warna merah dan bergambar kepala tengkorak manusia pada bagian dada. Nila Komala mengamati orang-orang yang baru masuk itu. Dia jadi teringat pada pembicaraan Eyang Brantapati dengannya di Pertapaan Sokapura.

"Hmmm..., siapa sebenarnya mereka? Mengapa mereka menghancurkan. Kadipaten Panjawi hanya karena ingin mencari potongan Seruling Perak..?" Nila Komala bertanya-tanya dalam hati. Dia berusaha tetap sadar walau dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini.

Pandangan gadis itu tertuju pada orang-orang bertopeng kera. Mata gadis itu berkerenyit saat melihat mereka membawa tongkat berwarna putih yang satu ujungnya berbentuk kepala tengkorak manusia berwarna merah. Tapi Nila Komala tidak yakin kalau mereka dari Partai Tengkorak Merah. Gadis itu teringat lagi akan kata-kata seorang tua perambah hutan yang ditemuinya sebelum mendatangi reruntuhan puing-puing istana kadipaten tadi.

"Sebaiknya urungkan saja niatmu, Ni sanak," kata perambah hutan itu setelah Nila Komala mengemukakan maksudnya untuk mendatangi Istana Kadipaten Panjawi saat itu.

"Kenapa, Ki?" Tanya Nila Komala ingin tahu.

"Istana kadipaten saat ini sudah berubah jadi neraka. Lagi pula, untuk apa ke sana?"

"Menemui keluarga yang bekerja di istana itu, Ki," sahut Nila Komala menyembunyikan maksud sebenarnya.

"Ah...," laki-laki tua perambah hutan itu mendesah pelahan.

"Ada apa, Ki?" Tanya Nila Komala.

"Siapa keluargamu?" perambah hutan itu balik bertanya.

"Kepala pelayan," sahut Nila Komala berdusta.

"Mudah-mudahan dia masih hidup," gumam perambah hutan itu mendesah.

"Memangnya ada apa, Ki?" Tanya Nila Komala menyelidik.

"Sekarang ini Gusti Adipati tidak berada di istana. entah ke mana. Dan istana kadipaten kini dikuasai orang-orang yang menamakan dirinya Partai Tengkorak Merah."

Nila Komala terdiam membisu.

Ctar!

"Akh...!" tiba-tiba saja Nila Komala terpekik ketika merasakan satu sengatan panas di tubuhnya.

Seketika itu juga lamunannya menghilang. Tampak seorang laki-laki berkepala gundul dan bertubuh tinggi kekar berotot memegang cambuk di depannya. Nila Komala mendelik tajam. Rupanya tubuhnya tadi dicambuk, sehingga lamunannya lenyap seketika. Laki-laki gundul berotot kekar itu kembali mengayunkan cambuknya. Dan untuk kedua kalinya Nila Komala terpekik keras begitu ujung cambuk merobek bajunya hingga tembus ke kulit Darah merembes keluar dari kulit yang sobek tercambuk.

Ctar! Ctar...!

"Akh...!"

"Cukup...!" tiba-tiba terdengar seruan keras.

Tampak Nila Komala terkulai lemas. Entah berapa cambukan telah mendarat di tubuhnya. Baju kuning yang dikenakannya sudah koyak. Kulit putih mulusnya telah terkoyak berlumuran darah, Nila Komala mendesis geram menatap tajam orang berjubah merah yang mengenakan topeng kera keperakan.

"Aku bisa berbuat lebih kejam lagi padamu, Nila Komala. Pikirkan itu..." dingin nada suara orang bertopeng kera itu Dari suaranya, Nila Komala sudah bisa menduga kalau orang itu adalah laki-laki.

"Phuih! Kau pikir aku takut?" Geram Nila Komala menyemburkan ludahnya.

"Aku percaya. Mati pun kau tidak takut. Tapi bukan itu yang kuinginkan darimu, bocah."

"Kau menginginkan potongan Seruling Perak? Kalau pun aku punya, tidak bakalan kuberikan padamu, pengecut jelek!"

"Di mana kau sembunyikan potongan seruling perak itu, Nila?" tetap dingin nada suara orang bertopeng kera itu.

"Di perut!" sahut Nila Komala langsung tertawa tergelak-gelak.

Ctar!

"Akh...!" Nila Komala kembali memekik ketika tiba-tiba tubuhnya disengat cambukan yang keras merobek kulit Gadis itu mendelik menahan amarah yang meluap, tapi tidak berdaya apa-apa. Ikatan di pergelangan tangan dan kakinya begitu kuat.

"Dengar, bocah. Aku tidak suka lagi bermain-main. Kutunggu jawabanmu besok Kalau tidak...," orang bertopeng itu menoleh ke arah beberapa laki-laki berwajah kasar yang menjaga ruangan pengap ini. "Aku akan menghadiahkan mu pada mereka...!"

"Iblis...!" geram Nila Komala bergidik.

"Waktumu tinggal besok pagi, Nila Komala! Ha ha ha...!"

Orang berjubah merah yang mengenakan topeng kera keperakan itu berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan pengap ini. Sedangkan Nila Komala hanya dapat memaki, dan menyumpah serapah habis-habisan. Pintu ruangan kembali tertutup. Gadis itu tiba-tiba bergidik ketika delapan orang laki-laki berwajah kasar menghampirinya.

"Mau apa kalian?!" Bentak Nila Komala agak bergetar suaranya.

"He he he.... Kami semua tidak sabar menunggu sampai besok pagi, Cah Ayu," ujar salah seorang diiringi tawa terkekeh.

"Bajingan! Monyet tengik..! Kubunuh kalian jika berani menyentuhku!" Geram Nila Komala mengancam.

Tapi delapan orang laki-laki kasar itu hanya tertawa saja. Sementara Nila Komala hanya bisa memaki dengan tubuh bergidik ngeri. Sungguh tidak bisa dibayangkan. Dan benar-benar tidak sanggup untuk membayangkannya. Sementara delapan orang itu semakin dekat saja. Pandangan mereka liar, dan tawa terkekeh terus terdengar. Nila Komala benar-benar mual menyaksikan wajah-wajah yang memiliki sorot mata liar penuh napsu iblis itu.

"Akh! Tidak..!" Pekik Nila Komala ketika salah seorang mulai mengulurkan tangannya ke arah dada gadis itu.

Tapi belum juga jari-jari tangan menyentuh, mendadak orang itu menjerit keras bersamaan berkelebatnya sebuah bayangan putih. Tampak orang itu menggelepar dengan leher koyak bersimbah darah. Sementara tujuh orang lainnya terbeliak dibarengi mulut yang ternganga lebar. Demikian pula dengan Nila Komala.

"Rangga...," desis Nila Komala saat matanya terpaku pada seorang pemuda berbaju rompi putih.

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di samping Nila Komala. Dan sebelum tujuh orang itu menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah melepaskan tambang yang mengikat Nila Komala pada sebatang tiang bersilang di atas tanah itu.

Nila Komala bergegas melompat begitu ikatan yang membelenggunya terlepas. Dan gadis itu kontan menerjang orang-orang kasar yang hampir saja menghancurkan hidupnya. Seketika saja terdengar jerit melengking, disusul bergulingnya tubuh-tubuh kekar. Dan belum lagi ada yang sempat menyadari, Nila Komala sudah menewaskan tiga orang yang bertelanjang dada itu.

Sementara empat orang lainnya segera bergerak. Tapi pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti sudah melompat, dan tangannya bergerak cepat mengibas beberapa kail. Kembali terdengar jerit melengking mengiringi kematian empat orang itu. Sungguh dahsyat jurus yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Hanya sekali gebrak saja, empat orang itu telah tergeletak tak bernyawa lagi. Sementara Nila Komala berdiri tegak memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih itu.

"Terima kasih," ucap Nila Komala.

"Simpan saja dulu, mereka bisa datang sewaktu-waktu," ujar Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melesat ke atas. Sebentar Nila Komala mendongak, dan terlihatlah sebuah lubang yang hanya cukup untuk satu tubuh saja. Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis itu melesat ke atas, menyusul Rangga yang sudah lebih dahulu berada di luar.

********************

Nila Komala baru berhenti berlari setelah jauh berada di dalam hutan, dan jauh dari bangunan penjara istana Kadipaten Panjawi. Gadis itu langsung menjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan. Disandarkan tubuhnya pada sebatang pohon rindang yang cukup melindunginya dari hembusan angin malam yang dingin menggigilkan.

Saat itu Rangga juga menghentikan larinya, lalu berbalik menghadap Nila Komala. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri dan menghenyakkan tubuhnya di depan gadis itu. Tampak sekali kalau Nila Komala tengah mengatur jalan napasnya. Keringat menitik bagai butiran mutiara membasahi wajah dan leher. Terasa pedih saat keringat-keringat itu membasahi luka-luka bekas cambukan yang masih berdarah.

"Maaf, aku tidak cepat-cepat membebaskanmu," ucap Rangga seraya merayapi luka-luka bekas cambukan di tubuh gadis itu. "Bagaimana lukamu?"

"Hanya luka luar. Aku sempat meng-rahkan hawa murni, jadi tidak seberapa parah. Hanya pedih sedikit," sahut Nila Komala.

"Syukurlah kalau begitu," desah Rangga.

"Bagaimana kau bisa mengetahui kalau aku ditangkap mereka?" Tanya Nila Komala ingin tahu.

"Kau ingat ketika bertemu dengan perambah hutan?" Tanya Rangga berbalik.

'Tentu," sahut Nila Komala mengangguk. api, apa hubungannya?"

"Aku berada tidak jauh dari tempat itu, dan mendengar semua yang kau bicarakan...."

"Dan kau mengikutiku sampai ke istana kadipaten?!" potong Nila Komala menebak cepat

"Benar."

"Sudah tahu begitu, kenapa tidak membantuku dari tadi?" Nila Komala memberengut kesal. "Penjagaan terlalu ketat Kau sendiri juga tahu, bukan?"

Nila Komala terdiam. Memang penjagaan terlalu ketat, dan sukar ditembus. Meskipun agak sedikit kesal, tapi gadis itu masih bersyukur bisa keluar dari cengkeraman tangan-tangan kotor berhati iblis. Dan kini gadis itu juga tidak bisa lagi meredam api dendam yang semakin membara di dada.

Nila Komala bangkit berdiri dan melangkah pelahan-lahan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap duduk. Kelopak matanya tidak berkedip memperhatikan sikap gadis itu. Rangga tetap duduk meskipun Nila Komala sudah berjalan agak jauh. Dan gadis itu berhenti melangkah, lalu memutar tubuhnya.

"Kenapa kau tidak mencegahku?" Tanya Nila Komala.

"Untuk apa? Kau tidak ingin urusanmu dicampuri, bukan?" tenang sekali suara Rangga. Bahkan bibirnya mengulas senyuman tipis.

Rangga tahu kalau sebenarnya tadi Nila Komala ingin agar dia mencegahnya. Dan gadis itu rupanya juga tidak tahan karena merasa Pendekar Rajawali Sakti tidak mencegah. Apalagi untuk mengikutinya. Entah apa yang ada dalam diri gadis itu. Rangga semakin lebar senyumnya melihat Nila Komala kembali melangkah menghampiri. Dan gadis itu kembali duduk bersandar di tempat semula.

"Kakang..., apa sebenarnya yang kau inginkan di Kadipaten Panjawi ini?" Tanya Nila Komala sambil menatap dalam-dalam penuh selidik ke bola mata pemuda tampan di depannya.

"Tidak ada. Aku hanya kebetulan saja lewat sini," sahut Rangga kalem.

"Sungguh?" Nila Komala ingin memastikan.

"Untuk apa berdusta? Aku yakin, Eyang Brantapati sudah memberitahu tentang diriku padamu," kembali Rangga tersenyum tipis.

"Eh...! Kau tahu guruku?" Nila Komala terkejut.

entu saja. Bahkan sempat bicara dengannya. Itu sebabnya aku terus mengikutimu. Gurumu sudah berpesan agar aku membantumu menumpas musuh-musuh ayahmu, yang telah menghancurkan seluruh keluarga dan kehidupanmu," jelas Rangga.

"Kapan kau bertemu dengan Eyang Brantapati?" Tanya Nila Komala penuh selidik. Nada suaranya setengah tidak percaya pada pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti itu tadi.

"Saat kau tidur, sebelum dia tewas," sahut Rangga.

"Jadi...?!" Nila Komala semakin tidak mengerti. Hatinya benar-benar terkejut karena Rangga mengetahui semuanya.

Gadis itu jadi semakin menaruh curiga pada pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Rangga bisa mengetahui semuanya, tanpa bisa disadarinya. Nila Komala meraba pedangnya, tapi menjadi terkejut karena di pinggangnya hanya tersampir sarung pedang tanpa isinya. Gadis itu baru sadar kalau pedangnya tertinggal di istana kadipaten.

Nila Komala merasakan dirinya saat ini sudah telanjang, tanpa ada sebuah senjata pun yang melekat Meskipun memiliki kepandaian cukup tinggi, tapi tanpa senjata bisa membuat kepercayaan dirinya hilang. Dan itu memang selalu ditakuti orang-orang rimba persilatan. Bagi mereka, senjata merupakan tameng nyawa. Tanpa senjata, jelas akan sulit mempertahankan nyawa.

"Sebenarnya aku ingin membantu ketika gurumu dikeroyok. Hanya sayangnya dia sudah berpesan agar aku tidak perlu ikut campur, meski apa pun yang terjadi. Sampai kau muncul, aku tetap memperhatikan dan mengikutimu sampai ke istana kadipaten," jelas Rangga dengan singkat.

Bagaimana kau bisa mengetahui tempat Pertapaan Sokapura?" Tanya Nila Komala ingin tahu.

"Dari bau keringat mu," sahut Rangga berolok.

"Sialan!" rutuk Nila Komala tersenyum kecut.

Gadis itu memalingkan mukanya. Dikutuki dirinya sendiri dalam hati. Pertanyaan yang bodoh! Tentu saja Rangga tidak akan memberitahu bagaimana caranya bisa mengetahui Pertapaan Sokapura. Itu memang urusan Rangga sendiri, dan dia tidak perlu mengetahui.

Untuk beberapa saat, mereka membisu. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Beberapa kali Nila Komala mencuri pandang, menatap wajah tampan di depannya. Batin gadis itu jadi berperang sendiri. Memang diakui, kalau Eyang Brantapati pernah mengatakan untuk meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti setelah menceri-takan pertemuannya dengan pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini. Nila Komala sendiri tidak mengerti, mengapa Eyang Brantapati seperti mempercayai pemuda ini. Padahal, setahu Nila Komala, laki-laki tua pertapa itu belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya.

"Kakang, kau pernah mendengar nama Pendekar Seruling Perak?" Tanya Nila Komala bernada penuh selidik.

"Pernah," sahut Rangga.

"Apa yang kau ketahui tentang dia?" Tanya Nila Komala lagi.

"Tidak banyak. Aku hanya tahu kalau Pendekar Seruling Perak seorang pendekar bersih, dan selalu berada di jalan benar," sahut Rangga singkat.

"Kau pernah bertemu dengannya?" Nila Komala semakin ingin tahu saja.

"Sekali. Memangnya ada apa?" Rangga balik bertanya.

idak apa-apa. Aku hanya yakin kalau dia ada hubungannya dengan kejadian yang kualami ini," sahut Nila Komala agak mendesah.

entang potongan Seruling Perak?"

Nila Komala kembali tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Rajawali Sakti itu mengetahui segala-galanya. Nila Komala menatap dalam-dalam bola mata pemuda tampan di depannya, seakan-akan ingin mencari sesuatu di dalam sinar mata itu.

Sedangkan yang ditatap malah membalasnya dengan lembut dan tentu saja hal ini membuat Nila Komala jadi jengah sendiri. Buru-buru dipalingkan mukanya ke arah lain. Kembali mereka terdiam membisu, tanpa berkata-kata lagi. Sedangkan Nila Komala semakin jauh berperang dalam batinnya sendiri. Entah apa yang ada di hatinya saat ini. Hanya dia sendiri yang tahu.

********************

ENAM

Nila Komala melangkah keluar dari pondok kecil yang dibangun. Rangga untuk berteduh dan menetap sambil menyelidiki suasana di Kadipaten Panjawi. Gadis itu tertarik mendengar alunan seruling yang telah sekian lama tidak didengarnya lagi. Pelahan dibukanya pintu pondok, lalu melangkah keluar.

Rindangan gadis itu langsung tertuju pada seorang laki-laki tua bertubuh kecil dengan perut buncit yang tengah duduk di bawah pohon rindang. Jari tangan laki-laki tua kecil itu asyik bermain-main pada lubang seruling. Alunan irama seruling berwarna keperakan itu demikian merdu, membuat Nila Komala terus melangkah menghampiri. Gadis itu baru berhenti setelah berada sekitar tiga langkah lagi didepan laki-laki tua kecil yang dikenal bernama Ki Garatala.

"Kau lihat di mana Kakang Rangga, Ki?" Tanya Nila Komala.

Ki Garatala menghentikan tiupan serulingnya. Pelahan-lahan diangkat kepalanya menatap gadis cantik di depannya, kemudian menggeleng pelahan. Matanya tetap menatap Nila Komala.

"Kau sudah tidak marah lagi padaku, Nila Komala?" Ki Garatala balik bertanya.

"Tidak," sahut Nila Komala tersenyum seraya duduk di depan laki-laki tua bertubuh seperti bocah berusia dua betas tahun itu. "Maafkan atas kekasaranku waktu itu," ucap Nila Komala.

"Begitu cepat kau berubah sikap. Apakah Rangga yang merubah sikapmu?"

Nila Komala hanya tersenyum saja. Dilayangkan pandangannya ke arah Puncak Bukit Paderesan yang terselimut kabut tebal. Memang diakui kalau sikapnya bisa berubah karena Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia juga menyesal telah menaruh kecurigaan besar, hingga marah dan mengusir laki-laki tua ini.

"Apa saja yang telah dikatakan tentang diriku, Nila Komala?" Tanya Ki Garatala.

"Tidak banyak," sahut Nila Komala.

Gadis itu kembali berpaling dan menatap laki-laki tua kecil di depannya. Perhatian Nila Komala tercurah pada seruling perak di tangan Ki Garatala. Agak menyipit juga matanya saat menyadari kalau seruling itu hanya sepotong. Nila Komala kemudian merayapi wajah tua itu, dan jadi teringat akan kata-kata Eyang Brantapati. Terlintas pertanyaan di benaknya. "Apakah orang tua ini Pendekar Seruling Perak?"

"Kenapa kau memandangku seperti itu, Nila?" tegur Ki Garatala.

"Ki, boleh aku bertanya padamu?" Nila Komala tidak mempedulikan teguran Ki Garatala.

"Kenapa tidak?"

"Apakah itu serulingmu?" Tanya Nila Komala langsung.

"Ha ha ha...!" Ki Garatala tertawa mendengar pertanyaan langsung dan polos itu.

Nila Komala terdiam namun pandangannya tajam penuh selidik. Eyang Brantapati pernah mengatakan kalau Pendekar Seruling Perak bertubuh tinggi tegap. Tapi, laki-laki tua bertubuh kecil ini juga mengaku bernama si Seruling Perak atau Ki Garatala. Apakah di dunia ini ada dua pendekar yang memiliki senjata sama? Sama-sama berupa seruling berwarna perak.

Gadis itu juga teringat akan orang-orang bertopeng kera yang sekarang menguasai Istana Kadipaten Panjawi. Mereka menginginkan potongan seruling perak. Dan anehnya, gadis itu dituduh sebagai pemiliknya. Nila Komala jadi menghubungkan peristiwa ini dengan pembunuhan ayahnya. Adipati Panjawi itu juga dibunuh oleh orang-orang bertopeng kera, dan nampaknya ia memang sudah mengetahui kejadian itu. Terlalu banyak pertanyaan di benak Nila Komala, dan tidak bisa cepat terjawab saat ini. Gadis itu hanya bisa menghubung-hubungkan peristiwa yang terjadi. Dicarinya kaitan antara peristiwa yang satu dengan lainnya.

"Berapa banyak kau mengetahui tentang seruling perakku ini?" Tanya Ki Garatala.

erus terang, hanya tahu sedikit Tapi aku tidak yakin kalau kau pemiliknya yang sah," sahut Nila Komala terus terang.

"Kau terlalu polos, Cah Ayu. Tapi aku menyukai kepolosanmu," Ki Garatala tersenyum dikulum.

"Jadi benar, itu bukan milikmu?" desak Nila Komala seperti yakin pada dirinya.

"He he he...," Ki Garatala tidak menjawab, tapi hanya tertawa terkekeh saja, kemudian bangkit dari duduknya.

Nila Komala ikut berdiri, dan juga ikut melangkah saat laki-laki tua bertubuh kecil itu berjalan. Seruling perak yang hanya sepotong itu diselipkan ke batik sabuk pinggangnya. Nila Komala mensejajarkan langkah di samping orang tua aneh itu. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi. Sesekali Nila Komala melirik, memperhatikan wajah tua berjanggut putih panjang di sampingnya.

Bibir tipis yang tertutup misai putih selalu menyunggingkan senyuman tipis dikulum. Memang aneh sikap Ki Garatala, dan ini membuat Nila Komala penasaran. Terlebih lagi sekarang orang-orang dari Partai Tengkorak Merah mencari potongan seruling perak hingga menewaskan ayahnya dan menghancurkan Istana Kadipaten Panjawi. Bahkan kini mereka menguasai reruntuhan istana itu.

"Eh...!" Nila Komala terkejut ketika mereka tiba pada suatu tempat yang sangat dikenalnya.

Gadis itu langsung berhenti melangkah. Pandangannya lurus ke suatu tempat yang membuat jantungnya seketika jadi seperti berhenti berdetak. Sedangkan Ki Garatala tetap melangkah tenang tanpa mempedulikan gadis itu.

********************

Nila Komala masih berdiri terpaku di tempatnya. Sepasang bola matanya tidak berkedip memandangi Ki Garatala yang tengah berbicara dengan seseorang. Nila Komala tahu, siapa pemuda berbaju rompi putih itu. Di depan mereka terbaring sesosok tubuh laki-laki berpakaian putih ketat agak keperakan, di atas sebongkah batu pipih. Tubuhnya tegap dengan otot-otot bersembulan. Di atas sosok tubuh yang terbaring itu berdiri naungan dari anyaman daun rumbia.

Yang membuat Nila Komala terkejut, orang itu terbaring tepat di samping makam ayahnya. Pelahan-lahan gadis itu melangkah mendekati. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti, Ki Garatala, dan orang yang terbaring di atas batu secara bergantian. Sedangkan yang dipandangi jadi terdiam, tapi membalas tatapan gadis cantik itu. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat lamanya.

"Siapa dia...?" Tanya Nila Komala seraya menatap orang yang terbaring di atas batu. Pertanyaan itu bernada seperti untuk dirinya sendiri.

"Pendekar Seruling Perak," sahut Ki Garatala.

Nila Komala menatap laki-laki tua bertubuh kecil dengan perut membuncit itu, kemudian kembali menatap laki-laki muda yang terbaring di atas batu. Sepertinya jawaban yang diberikan Ki Garatala tidak membuatnya percaya.

"Kenapa dia?" Tanya Nila Komala lagi, masih seperti untuk dirinya sendiri pertanyaan itu.

"Perlu waktu satu hari penuh untuk menjelaskannya, Gusti Ayu," sahut Ki Garatala lagi.

Kembali Nila Komala menatap laki-laki tua kecil itu. Baru kali ini didengarnya Ki Garatala memanggil Gusti Ayu. Panggilan yang biasa didengar saat masih berada di dalam Istana kadipaten. Tapi Nila Komala tidak sempat berkata apa-apa, karena Pendekar Rajawali Sakti sudah menepuk pundaknya dan mengajak menjauhi tempat itu.

Nila Komala tidak menolak, lalu berjalan mengikuti pemuda berbaju rompi putih itu. Sementara Ki Garatala duduk bersila di samping orang yang terbaring bagai tengah tertidur lelap. Laki-laki tua bertubuh seperti bocah berusia dua belas tahun itu duduk bersila. Dikeluarkannya seruling perak dari balik sabuk yang membelit pinggangnya. Sebuah seruling perak yang tinggal sepotong.

Ki Garatala kemudian meniup seruling itu lambat-lambat. Begitu merdu suara alunannya, tapi baru kini Nila Komala bisa menyadari ada nada sumbang pada suara seruling itu. Dan ini baru disadari kalau suara alunan merdu bernada sedikit sumbang itu sudah didengarnya sejak beberapa hari terakhir ini. Nila Komala berhenti melangkah, dan membalikkan tubuhnya memandangi Ki Garatala yang kini sudah asyik meniup seruling perak terpotong itu.

"Sudah berapa lama dia terbaring di situ?" Tanya Nila Komala tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Ki Garatala.

"Sejak kemarin," sahut Rangga yang berdiri di samping gadis itu.

"Kemarin...?!" Sentak Nila Komala seraya menoleh menatap Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Ya, kenapa?"

"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Nila Komala.

"Hanya aku agak heran kenapa dia dibaringkan di samping makam ayahku...?

"Kalau seruling perak benar-benar ada pada ayahmu, Pendekar Seruling Perak akan langsung sembuh," jelas Rangga.

Gadis itu terus menatap Ki Garatala yang asyik meniup seruling perak yang tinggal sepotong. Baru beberapa hari ayahnya tewas di tangan orang-orang bertopeng kera. Dan Rangga tadi mengatakan sejak kemarin orang itu terbaring di samping kuburan Adipati Panjawi. Sedangkan Nila Komala baru bisa menyadari kalau suara alunan merdu seruling perak itu bernada sumbang sejak beberapa waktu lalu.

Nila Komala kembali berpaling, menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya. Sementara yang ditatap hanya bersiul-siul berirama tidak jelas. Pandangannya menatap lurus ke awan, puncak bukit dan sekitarnya. Seakan-akan sengaja menghindari tatapan tajam gadis di sebelahnya.

"Kakang, kau bisa jelaskan semua ini padaku?" Pinta Nila Komala.

"Apa yang bisa kujelaskan, Gusti Ayu?" Tanya Rangga mengikuti Ki Garatala memanggil Gusti Ayu pada Nila Komala.

"Sejak kapan kau memanggilku seperti itu?" Nila Komala tidak suka dipanggil seperti itu.

"Sudah sepantasnya aku memanggilmu begitu," kalem jawaban Rangga.

"Uh, sudahlah! Sekarang aku minta penjelasanmu, titik!" Dengus Nila Komala.

Rangga tersenyum kecut

"Kok diam...?!"

"Penjelasan yang mana, Gusti Ayu?" Tanya Rangga pura-pura bodoh.

entang dia!" Nila Komala memonyongkan bibirnya, mengarah pada orang yang sedang terbaring.

"Pendekar Seruling Perak?!" Rangga sengaja memperlambat atau mungkin sedang mempermainkan gadis ini.

Nila Komala tidak menjawab, tapi malah mendengus memberengut kesal. Disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti itu hanya mempermainkan dirinya saja. Dan mendadak saja wajah gadis itu memerah. Baru disadari kalau Pendekar Seruling Perak masih muda dan wajahnya.... tampan juga. Nila Komala merutuk dalam hati. Dia bisa menangkap arti sorot mata Rangga. Secara jujur, Nila Komala memang mengakui kalau Pendekar Rajawali Sakti juga tampan. Bahkan tidak kalah tampannya dengan Pendekar Seruling Perak. Nila Komala melenguh pendek. Dipalingkan wajahnya ke arah lain.

"Aku hanya tahu sedikit tentang Pendekar Seruling Perak. Dan mungkin sama dengan apa yang kau ketahui, Gusti Ayu," kata Rangga tidak enak juga melihat wajah gadis itu memerah dadu.

"Kenapa terbaring terus?" Tanya Nila Komala.

"Kehilangan kekuatannya. Selamanya dia akan terbaring antara mati dan tidak, sebelum kekuatannya pulih kembali," sahut Rangga sedikit menjelaskan.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang," Nila Komala berterus terang.

"Memang benar kata Ki Garatala. Tidak cukup seharian memberi penjelasan padamu. Sebab, ini juga menyangkut Ayah dan ibumu, dan dirimu sendiri, Gusti Ayu," kata Rangga.

Nila Komala memalingkan wajahnya kembali menatap pemuda berbaju rompi di sampingnya. Sama sekali tidak diduga kalau semua ini saling berhubungan satu sama lainnya. Dan yang tidak disangka, dirinya juga ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak. Hanya saja gadis itu tidak tahu, di mana keterlibatan dirinya. Sedangkan teka-teki pembunuhan Ayah dan ibunya saja sampai sekarang belum bisa terungkap.

Agak lama juga Nila Komala terdiam, menatap dalam-dalam bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian dia kembali berpaling, menatap Pendekar Seruling Perak yang masih terbaring tanpa daya. Sama sekali masih belum bisa dipahami tentang kehilangan kekuatan seperti yang dikatakan Rangga tadi.

********************

Nila Komala duduk diam sambil memeluk lututnya sendiri. Pandangannya nanar menatap lurus ke depan. Sementara malam semakin beranjak larut. Udara terasa dingin menggigilkan tubuh, merasuk sampai ke tulang. Gadis itu mendesah panjang, lalu kepalanya menoleh menatap pemuda berbaju rompi putih yang duduk bersandar di sampingnya. Agak jauh di belakang Pendekar Rajawali Sakti terlihat seonggok api unggun menghangati sosok tubuh terbaring di atas batu pipih. Tampak Ki Garatala masih tetap duduk bersila di sampingnya.

"Sukar dipercaya kalau Ayah mencuri seruling perak...," desah Nila Komala setengah bergumam, Pelan sekali suaranya, seolah-olah berbicara untuk diri sendiri.

"Ayahmu melakukan itu karena ingin menyembuhkan istrinya, Nila, ibumu...!" Ujar Rangga meyakinkan gadis itu.

"Tapi, kenapa harus mencuri?" Tanya Nila tidak mengerti.

tulah yang sulit dimengerti, Nila. Usaha ayahmu hanya sia-sia saja, karena hanya mendapatkan sepotong seruling perak."

Nila Komala kembali terdiam. Kembali diingat-ingatnya cerita Rangga tentang Pendekar Seruling Perak yang kini terbaring tidak berdaya setelah sepotong serulingnya dicuri Adipati Panjawi, ayah gadis itu sendiri. Padahal Adipati Panjawi tahu kalau seruling perak itu adalah sumber kekuatan Pendekar Seruling Perak. Tanpa seruling itu, Pendekar Seruling Perak akan musnah untuk selama-lamanya.

Sebenarnya, antara, Pendekar Seruling Perak dengan Adipati Panjawi telah terjalin satu hubungan erat. Ketika istri adipati itu terluka parah oleh panah beracun yang dilepaskan orang-orang bertopeng kera, Adipati Panjawi jadi mata gelap. Dia tahu kalau seruling perak bisa menyembuhkan segala jenis penyakit dan menjadi penawar dari segala macam jenis racun apa pun di dunia ini. Padahal Adipati Panjawi tahu kalau Pendekar Seruling Perak tidak akan berdaya tanpa benda pusakanya itu. Bahkan seluruh jiwanya sudah dipindahkan ke dalam benda berbentuk seruling berwarna perak itu. Jelas, dia akan mati jika terlepas dari seruling peraknya.

Adipati Panjawi jadi mata gelap, sebab Pen-dekar Seruling Perak yang dimintai bantuan untuk menyembuhkan istrinya tidak menyanggupi. Adipati Panjawi tidak percaya kalau seruling perak tidak bisa menyedot racun yang ada di dalam tubuh istrinya. Padahal Pendekar Seruling Perak sudah mengatakan bahwa racun itu sudah menjalar sampai ke jantung dan tidak ada harapan lagi untuk hidup.

Sejak saat itu Adipati Panjawi selalu dihantui perasaan bersalah. Dan dia jadi merasa seperti terancam setiap kali mendengar suara seruling. Teringat akan perbuatannya mencuri sepotong seruling perak itu dari Pendekar Seruling Perak.

Nila Komala menatap Ki Garatala yang duduk bersimpuh disamping Pendekar Sending Perak. Laki-laki tua bertubuh kecil itu selalu setia menunggu Pendekar Seruling Perak. Bahkan setiap pagi selalu memainkan sepotong seruling perak agar sebagian jiwa Pendekar Seruling Perak tetap hidup, sementara potongan lainnya lagi berusaha dicarinya. Baru kemarin Pendekar Seruling Perak dipindahkan ke sini, dan sebelumnya berada di atas Puncak Bukit Paderesan.

Kini Nila Komala baru tahu, mengapa ayahnya selalu mengajaknya ke lereng bukit Ternyata ayahnya ingin menemui Pendekar Seruling Perak, dan hendak meminta maaf pada pendekar itu. Tapi belum juga niatnya terlaksana, sudah tewas di tangan orang-orang bertopeng kera.

"Kakang, apakah Ayah memang menyimpan potongan seruling perak itu?" Tanya Nila Komala seraya berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Mungkin," sahut Rangga mendesah. Nada suaranya seakan-akan kurang yakin akan jawabannya sendiri.

"Kalau memang Ayah memiliki potongan seruling perak itu, mengapa mereka juga menginginkannya, Kakang?" Tanya Nila Komala.

"Itulah kerasnya kehidupan rimba persilatan, Nila. Terlalu banyak hal yang sukar untuk dimengerti oleh akal sehat manusia normal. Mereka yakin kalau sudah memiliki potongan seruling perak, akan mampu mengenyahkan Pendekar Seruling Perak untuk selama-lamanya. Selama ini Pendekar Seruling Perak memang selalu jadi penghalang bagi mereka untuk merajai dunia persilatan. Yaaah.... Ki Garatala sendiri mengatakan, seandainya sepotong seruling perak itu dimusnahkan, sama artinya sebagian jiwa Pendekar Seruling Perak musnah," jelas Rangga singkat

"Apakah itu artinya dia tidak akan hidup kembali, Kakang?" Tanya Nila Komala polos.

"Benar," sahut Rangga setengah mendesah.

"Kalau begitu, kita harus mendapatkan potongan seruling perak lainnya, Kakang!" mantap nada suara Nila Komala.

entu saja, Nila. Tapi sampai sekarang kita tidak tahu, di mana potongan seruling perak itu. Sedangkan saat ini hanya ayahmu saja yang mengetahuinya."

"Aku tahu, Kakang!" seru Nila Komala seraya melonjak berdiri.

"Heh! Kau tahu...?" Rangga tersentak kaget

"Benar, kini aku tahu. Ayah pasti menyimpannya di ruangan senjata pusaka. Beliau sering berlama-lama berada di sana, bahkan hampir seluruh harinya dihabiskan di ruangan penyimpanan senjata pusaka," mantap sekali nada suara Nila Komala.

Rangga tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Nila Komala memperhatikan dengan kening berkerut dalam.

"Ruangan itu sudah porak poranda, Nila. Tidak mungkin ayahmu menyimpan benda berharga seperti itu di sana," kata Rangga.

"Kalau begitu...," ucapan Nila Komala terputus.

Rangga bergegas bangkit berdiri saat melihat gadis itu melangkah menghampiri reruntuhan puing yang menghitam bekas terbakar. Reruntuhan puing itu bekas pondok Eyang Jayanggu, seorang tabib yang ahli segala macam racun dan penyakit-penyakit lainnya. Rangga tidak mengerti akan sikap Nila Komala yang mengobrak-abrik reruntuhan pondok itu.

"Nila, apa yang kau lakukan?" Tanya Rangga.

Nila Komala tidak menjawab, dan terus saja mengobrak-abrik puing-puing yang sebagian besar sudah jadi abu itu. Rangga hanya memperhatikan saja tanpa melakukan apa-apa. Sama sekali tidak dimengerti, apa yang dilakukan Nila Komala. Debu bekas pondok yang terbakar bertebaran membuat sesak pernapasan. Namun Nila Komala tidak peduli, dan terus membongkar reruntuhan puing pondok itu tanpa berkata-kata lagi.

"Apa sih yang dilakukannya...?" Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.

********************

TUJUH

Nila Komala terduduk lemas di antara reruntuhan pondok yang hangus terbakar. Hampir seluruh tubuh dan wajahnya penuh debu hitam bekas bakaran kayu. Keringat mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya. Sementara Rangga masih berdiri agak jauh sambil memperhatikan. Hatinya geli juga melihat wajah yang cantik, kini seperti penari ledek kebanyakan pupur.

"Nila...," panggil Rangga sambil menahan perasaan gelinya.

Nila Komala mendengus dan menoleh. Hampir-hampir Rangga tertawa melihat wajah gadis itu, tapi cepat ditahan. Dia tidak ingin gadis itu tersinggung kemudian mengamuk karena ditertawakan. Nila Komala bangkit berdiri, lalu berjalan cepat menuju sungai kecil yang terletak tidak jauh dari tempat ini. Rangga hampir saja terlonjak begitu Nila Komala langsung melompat menceburkan tubuhnya ke dalam sungai.

Agak lama juga gadis itu berada di dalam air. Begitu muncul di permukaan, wajah dan tubuhnya sudah bersih. Dengan tubuh basah, gadis itu melangkah keluar dari dalam sungai. Sama sekali tidak dipedulikan pakaiannya yang basah kuyup. Gadis itu duduk di atas sebatang pohon tumbang yang menjorok ke dalam sungai. Gadis itu acuh saja saat pandangan Rangga merayapi tubuhnya yang dalam keadaan basah kuyup seperti ini.

Baju yang dikenakan gadis itu melekat rapat membentuk tubuhnya yang indah mempesona. Pelahan Rangga menghampiri, dan berdiri di depan gadis itu. Nila Komala tetap diam, sambil memandang ke arah lain. Meskipun menggigil kedinginan, tapi gadis itu tetap saja diam tidak peduli.

"Mendekatlah ke api sana, agar menjadi hangat," kata Rangga melihat tubuh ramping indah itu menggigil kedinginan.

"Biar saja ah," sahut Nila Komala.

"Kenapa kamu lakukan itu, Nila?" Tanya Rangga ingin tahu.

Nila Komala tidak langsung menjawab. Kepalanya berpaling, langsung menatap dalam-dalam bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya. Sedangkan yang ditatap malah mebalas dengan tajam pula.

"Ayah tidak mungkin meninggalkan benda berharga begitu saja. Beliau pasti membawanya ke mana pergi," ujar Nila Komala seraya memalingkan wajahnya kembali ke arah lain.

"Oh.... Jadi kau menyangka Eyang Jayanggu yang mengambil, dan kau mencarinya di reruntuhan pondoknya...?" Rangga mulai bisa mengerti tindakan Nila Komala tadi.

idak ada salahnya jika berusaha, bukan...?"

"Memang tidak. Asal, jangan membuatmu seperti penari ledek kehabisan pupur, terus jadi basah kuyup begini...!" Rangga tidak bisa lagi menahan tawanya. Dia terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.

"Huh!" Nila Komala mendengus, tapi akhirnya tertawa juga.

Tawa mereka berhenti ketika tiba-tiba Ki Garatala berdiri di antara mereka. Laki-laki tua bertubuh kecil seperti bocah berusia sekitar dua belas tahun itu memandangi Rangga dan Nila Komala secara bergantian. Sedang yang dipandangi kontan diam. Mereka saling berpandangan dan sama-sama mengangkat pundak.

"Bukan waktunya untuk tertawa!" dengus Ki Garatala dingin.

"Maaf, Ki," ucap Rangga.

"Seharusnya kalian membantuku mencari potongan seruling perak itu, bukannya malah bersenang-senang di atas penderitaan orang lain!" gerutu Ki Garatala.

Rangga dan Nila Komala terdiam. Gadis itu memandangi laki-laki tua bertubuh kecil di depannya. Kalau saja Rangga belum menceritakan siapa sebenarnya orang tua aneh ini, mungkin sudah disemprot sejak tadi, karena berani membentak dan menggerutu di depannya. Tapi mengingat kalau orang tua aneh ini adalah guru Pendekar Seruling Perak, Nila Komala hanya diam saja.

Memang, baru sekarang ini Ki Garatala keluar dari pertapaannya, karena murid tunggalnya dalam keadaan kritis. Tidak heran kalau Ki Garatala bisa memainkan seruling perak itu, meskipun hanya sepotong saja. Nila Komala melompat turun, dan langsung menggamit tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu membawa Rangga pergi. Sejenak Rangga kebingungan, tapi ikut melangkah juga dengan tangan terseret

"Akan ke mana kalian?" Tanya Ki Garatala agak keras suaranya.

"Seperti yang kau katakan tadi, Ki. Mencari potongan seruling perak!" Sahut Nila Komala tidak kalah keras suaranya.

"Nila, tunggu!" Sentak Rangga langsung berhenti melangkah.

Nila Komala menghentikan ayunan kakinya. Ditatapnya pemuda berbaju rompi putih itu dalam-dalam. Sedangkan Rangga memandang ke arah Ki Garatala.

"Ke mana kau akan mencari seruling perak itu?" Tanya Ki Garatala masih tetap berdiri pada tempatnya.

"Ke mana saja," sahut Nila Komala. "Aku bertanggung jawab, karena semua ini gara-gara ulah ayahku!" tegas suara gadis itu. Pandangannya juga tajam menusuk langsung bola mata Ki Garatala.

"Aku tahu kau memang harus bertanggung jawab. Tapi, ke mana akan kau dapatkan potongan seruling perak itu?" Tanya Ki Garatala.

"Ke mana saja, asal dapat!" sahut Nila Komala seraya berbalik dan kembali melangkah cepat meninggalkan tempat itu.

Sementara Rangga jadi kebingungan sendiri menghadapi kekerasan sikap Nila Komala. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas menyusul, setelah mendapat anggukan kepala dari Ki Garatala. Rangga cepat mensejajarkan langkahnya di samping Nila Komala yang berjalan cepat.

"Kemana tujuanmu, Nila?" Tanya Rangga.

"Kadipaten Panjawi," sahut Nila Komala terus saja melangkah cepat.

"Ke istana itu lagi?" Tebak Rangga yakin.

"Ya," sahut Nila Komala terus saja melangkah cepat.

"Untuk apa?"

"Bukan hanya seruling perak yang harus didapat, tapi mereka juga harus musnah dari muka bumi ini. Hidupku tidak akan tenang sebelum mereka hancur, seperti yang mereka lakukan terhadapku!" Tegas Nila Komala.

"Kau tidak akan mampu menandingi mereka sendirian, Nila," Rangga memperingatkan.

"Kenapa tidak? Nyawaku taruhannya!"

"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang.

Memang sulit menghadapi seorang gadis yang sudah terbiasa hidup manja dan serba keturutan. Sepanjang jalan menuju Istana Kadipaten Panjawi, tidak sedikit rintangan yang harus dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dan Nila Komala. Hampir setiap tempat, mereka terpaksa memeras keringat untuk menghalau orang-orang berbaju merah bergambar tengkorak pada dadanya dan bertopeng gambar kera keperakan.

"Berapa puluh lagi yang harus kita hadapi, Nila?" Tanya Rangga mendengus.

"Bukan puluhan, tapi mungkin ratusan atau bahkan ribuan," sahut Nila Komala seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menatap mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar tempat ini.

Tanpa berkata apa-apa lagi mereka meninggalkan tempat ini dengan langkah cepat dan ringan. Agar lebih cepat sampai di Istana Kadipaten Panjawi, maka di pergunakanlah ilmu meringankan tubuh. Tidak terlalu sulit bagi Rangga untuk mengimbangi ilmu meringankan tubuh Nila Komala. Tentu saja, karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Bahkan kalau mau, gadis itu bisa tertinggal jauh.

Setelah melewati tiga rintangan, mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbang benteng istana kadipaten yang sudah dalam keadaan hancur berantakan. Yang tersisa hanya puing-puing berserakan. Nila memandangi bangunan yang punya banyak arti dalam kehidupannya selama ini. Pelahan kepalanya berpaling menatap Rangga di sampingnya.

"Ragu-ragu?" Tanya Rangga.

"Firasatku, mereka sudah menunggu," kata Nila pelan.

"Memang, kalau kau bisa melihat dengan teliti," sahut Rangga kalem.

Nila Komala menyipitkan matanya saat memandang ke dalam dari pintu gerbang yang hancur berantakan. Tampak sosok-sosok tubuh berbaju merah tengah berlindung di balik reruntuhan tembok istana kadipaten itu. Juga di atap, di balik pohon, dan tempat-tempat tersembunyi lainnya. Mereka sudah siaga dengan panah terpasang pada busur yang meregang siap dilepaskan.

"Ingin masuk juga?" Rangga menawarkan.

Nila Komala tidak langsung menjawab. Sejenak dirayapi bagian dalam bangunan benteng istana dari pintu gerbang yang hancur. Memang tidak mudah untuk menerobos masuk ke dalam. Bahkan mungkin baru kakinya melewati pintu saja, sudah terpanggang ratusan panah beracun.

agaimana pendapatmu, Kakang?" Tanya Nila Komala yang menjadi lemah juga hatinya menghadapi kenyataan pahit ini.

Rangga tidak menjawab, tapi malah melangkah setelah membalikkan tubuhnya. Nila Komala memandangi sejenak, kemudian menyusul dengan ayunan langkah tergesa-gesa. Mereka berjalan menjauhi bangunan istana di Kadipaten Panjawi itu.

"Kau ada rencana, Kakang?" Tanya Nila Komala.

"Tidak," sahut Rangga kalem.

"Tidak...?!" Nila Komala mendelik setelah mendengar jawaban ringan itu.

"Aku hanya menghindari mereka saja. Aku belum mau mati konyol terpanggang panah," kata Rangga tetap kalem.

"Kau punya rasa takut juga, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar sinis nada suara Nila Komala.

"Bukannya takut, tapi berusaha berpikir secara waras," elak Rangga manis.

"Kalau begitu, kau tentu punya rencana, bukan?" ujar Nila Komala terdengar yakin.

"Sial!" rutuk Rangga dalam hati.

Rangga mengakui kalau gadis ini cukup cerdik memancing dalam hal pembicaraan. Bukan hanya sekali ini saja Rangga terjebak dan masuk dalam pancingannya. Sudah beberapa kali, dan sama sekali tidak disadari sebelumnya. Rangga hanya merutuk dalam hati, sedangkan Nila Komala tersenyum-senyum merasa pancingannya mulus mengenai sasaran.

"Nanti aku beritahu.'" dengus Rangga terus saja berjalan cepat.

"Ke mana kita sekarang?" Tanya Nila Komala.

"Cari tempat yang aman," sahut Rangga masih dengan hati mendongkol.

Bukannya kesal pada gadis ini, tapi kesal pada kebodohannya sendiri. Kesal karena selalu saja tidak bisa menangkap arah ucapan dan sikap Nila Komala yang selalu mempunyai maksud tersembunyi tanpa diduga sama sekali. Hatinya kesal, tapi juga mengakui kecerdikan gadis ini.

********************

Malam terus merayap semakin larut. Suasana di sekitar bangunan Istana Kadipaten Panjawi nampak sunyi senyap. Tak terlihat seorang pun di sekitar reruntuhan bangunan megah itu. Dalam keremangan cahaya sinar rembulan, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat bagai kilat melewati tembok benteng yang tinggi dan teramat kokoh.

Bayangan putih itu melenting cepat ke atas atap, lalu berhenti. Dirapatkan tubuhnya di atap bangunan yang menghitam bekas terbakar. Dalam keremangan cahaya bulan, dapat dilihat kalau orang itu masih muda, mengenakan baju rompi putih dengan pedang tersampir di punggung. Sepasang bola matanya tajam mengamati sekeliling.

Pelahan-lahan, dan ringan sekali pemuda berbaju rompi putih itu merayap mendekati atap yang berlubang. Begitu ringannya sehingga tak terdengar suara sedikit pun. Pemuda itu berhenti tepat di tepi lubang atap bangunan istana ini. Dijulurkan kepalanya, melongok ke dalam. Begitu gelap di dalam sana, sukar untuk dapat melihat kalau saja pemuda itu tidak mempergunakan ilmu yang bisa menajamkan penglihatan.

"Hmm... Aku harus menggunakan aji 'Tatar Netra'," gumam pemuda berbaju rompi putih dalam hati.

Tanpa berkedip sedikit pun pemuda itu merayapi bagian dalam bangunan istana ini dari lubang di atas atap. Dengan aji 'Tatar Netra bisa terlihat jelas meskipun di dalam sana keadaannya gelap gulita. Tak ada yang bisa ditemukan dalam ruangan

gelap berantakan itu. Tapi baru saja hendak menarik kepalanya, mendadak terlihat dua orang keluar dari salah satu ruangan yang pintunya jebol berantakan. Dua orang berpakaian merah dengan gambar tengkorak pada dadanya dan mengenakan topeng berbentuk wajah kera berwarna keperakan.

Tidak lama kemudian dari ruangan yang sama keluar lagi beberapa orang berpakaian sama, diikuti orang-orang berpakaian sebagaimana layaknya tokoh rimba persilatan. Dan terakhir, muncul seorang berjubah merah yang juga mengenakan topeng kera diikuti sekitar dua puluh orang yang bertopeng serupa.

"Hm...," pemuda di atas atap itu menggumam dalam hati.

Dengan pandangannya terus diikuti ke mana orang-orang itu pergi. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan lain yang masih memiliki pintu. Dan pintu tebal berukir itu tertutup setelah semuanya berada di dalam. Tampak dari pintu-pintu lainnya bermunculan orang berbaju merah, orang bertopeng kera dan orang berpakaian biasa. Mereka berkumpul di ruangan besar yang kotor berantakan itu. Tak terdengar suara percakapan sedikit pun. Sedangkan perhatian pemuda itu langsung tertuju ke arah pintu sebuah kamar yang tertutup rapat.

"Hup!"

Pemuda berbaju rompi putih itu melentingkan tubuhnya, langsung hinggap di atas atap lain. Ringan sekali gerakannya, tak terdengar suara sedikit pun. Begitu juga saat mendarat di atap yang tampak rapuh penuh berlubang itu. Kembali dirapatkan tubuhnya, dan dipasang matanya tajam-tajam. Juga dikerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara, mencoba mendengarkan suara dari bawah sana.

"Hmmm...," pemuda itu bergumam dalam hati.

Dari sebuah lubang kecil, terlihat jelas ke dalam ruangan di bawah atap ini. Tampak orang-orang yang tadi dilihatnya, tengah berkumpul dalam satu ruangan cukup besar, dan nampak bersih. Pemuda itu tahu kalau ruangan ini biasanya disebut Balai Sema Agung. Tempat itu biasa digunakan Adipati untuk menerima tamu atau para pembesar kadipaten. Tampak di atas singgasana, duduk seorang wanita berwajah cantik mengenakan baju merah muda.

"Oh...!" pemuda itu terhenyak ketika melihat wajah wanita yang duduk di singgasana itu.

Lenguhan pemuda itu rupanya terdengar. Maka orang berjubah merah mengenakan topeng kera, kontan mengibaskan tangannya ke atap. Tampak sebuah benda bulat berwarna kemerahan meluncur deras. Secepat itu pula pemuda berbaju rompi di atas atap melentingkan tubuhnya. Seketika terdengar ledakan dahsyat ketika benda bulat kemerahan itu menghantam atap hingga jebol berantakan.

Tepat pada saat kaki pemuda berbaju rompi putih itu mendarat di tanah, dari dalam bangunan istana kadipaten itu berlompatan orang-orang yang tadi berkumpul di ruangan pertama. Itu pun masih disusul oleh orang-orang yang berkumpul di ruangan Balai Sema Agung. Di antara mereka, terlihat seorang wanita berbaju merah muda yang kini mengenakan topeng wajah kera berwarna hitam pekat

"Rangga. wanita itu mendesis pelahan agak tertahan.

Sementara pemuda berbaju rompi putih itu merayapi sekitarnya. Begitu cepat dirinya sudah terkepung rapat Tak ada lagi celah untuk bisa meloloskan diri, kecuali menggempur salah satu sisi. Tapi, itu pun tampaknya tidak mudah dilakukan. Dan pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah Rangga itu jadi berpikir keras. Tatapannya tertuju tajam pada wanita berbaju merah muda dengan pedang tersampir di punggung. Wanita itu menyembunyikan wajahnya di balik topeng kera berwarna hitam pekat.

********************

"Hmmm...," Rangga bergumam pelahan, hampir tidak terdengar suaranya.

Baru saja Rangga hendak membuka mulutnya ingin berbicara, mendadak saja wanita bertopeng kera hitam itu menggerakkan tangannya, memberi isyarat. Maka seketika itu juga, sekitar sepuluh orang berbaju merah dan bergambar tengkorak pada dadanya berlompatan menyerang. Tongkat panjang mereka berkelebat cepat, menimbulkan suara angin menderu bagai badai topan.

Secepat kilat Rangga melompat sambil melontarkan beberapa pukulan beruntun seraya berkelit menghindari tebasan tongkat yang datang dari segala penjuru. Malam yang semula hening sunyi, mendadak pecah oleh suara teriakan dan jerit melengking sosok-sosok tubuh bergelimpangan menggelepar tersambar pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung tenaga dalam sempurna.

Hanya dalam tiga gebrakan saja, sepuluh orang itu sudah tergeletak tak bernyawa. Rangga berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada. Pandangannya tajam menusuk langsung pada wanita bertopeng kera hitam yang membuatnya sempat terperanjat tadi, sehingga rencananya untuk mengintai tempat ini jadi berantakan. Dan kini, harus menghadapi kepungan yang rapat.

"Tangkap dia hidup-hidup!" Perintah wanita itu tegas.

Mendengar perintah itu, mereka yang mengepung Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan tambang dengan bandulan besi berjumlah tiga pada ujungnya. Hampir semua orang yang mengepung memutar-mutar tambang. Sedangkan yang berada di barisan belakang hanya menunggu sambil menghunus senjata.

"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah..."
Sing! Swing...!

Sekitar dua puluh orang segera melemparkan tambang yang memiliki tiga bandulan besi bulat Benda itu berputaran membentuk lingkaran bagai baling-baling. Tambang-tambang itu meluncur deras melewati tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya tambang-tambang itu bergerak sendiri membentuk simpulan bagai jaring mengurung pemuda berbaju rompi putih itu.

"Hmmm. Tidak mungkin aku bisa lolos, tanpa.... Ikh!"

Rangga tidak sempat lagi berpikir, karena dua puluh orang itu sudah bergerak berputar sambil menarik tambang-tambang itu. Rangga tak dapat berpikir banyak lagi, maka secepat itu pula ditarik senjata pusakanya. Dan begitu terlihat secercah biru memancar, secepat kilat Rangga berkelebat sambil mengibaskan pedang pusaka yang memancarkan cahaya biru menyilaukan mata.

"Hiyaaat..!"
Tas! Tas! Cras...!

Semua orang yang ada di sekitar tempat itu terbeliak melihat tambang-tambang yang hampir menjerat tubuh Pendekar Rajawali Sakti kini terbabat putus. Dan mereka yang berlarian memutari Pendekar Rajawali Sakti itu kontan terpental ke belakang. Ternyata, sambil berlarian berputar, mereka mengerahkan tenaga untuk menarik tambang agar Pendekar Rajawali Sakti itu terjerat.

"Seraaang...!" Terdengar perintah keras melengking tinggi.

Seketika itu juga kedamaian angkasa dipecahkan oleh teriakan membahana, disusul berlompatannya orang-orang yang mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Berbagai bentuk senjata berkelebatan cepat mengarah ke tubuh pemuda berbaju rompi putih itu. Namun yang dihadapi kali ini adalah seorang pendekar digdaya yang kepandaiannya sukar diukur.

Rangga berkelebatan cepat mempergunakan jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Hanya dengan lima jurus yang dikombinasikan itu, Pendekar Rajawali Sakti bagai seekor singa lapar mendapat santapan domba-domba gemuk. Terlebih lagi dengan Pedang Rajawali Sakti terhunus di tangan. Rangga bagai sosok malaikat maut yang tengah mencabut nyawa manusia-manusia yang lupa akan kodrat dan kewajibannya di bumi ini.

Sebentar saja sudah tidak terhitung tubuh-tubuh bergelimpangan berlumuran darah. Udara malam yang semula segar, kini berubah tidak sedap, Angin yang berhembus kencang menyebarkan bau anyir darah yang menggenang dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi.

"Phuih! Benar-benar tidak punya otak!" Dengus Rangga menggeram.

Orang-orang itu memang seperti tidak mengenal rasa takut, meskipun kematian membayangi. Mereka tidak peduli walau sudah tidak terhitung lagi yang bergelimpangan tak bernyawa. Bahkan terus merangsek ganas, mencoba melumpuhkan Pendekar Rajawali Sakti yang sudah jelas memiliki kemampuan jauh di atas rata-rata para pengeroyoknya.

"Gusti Ayu.... Kalau didiamkan terus, bisa habis orang-orang kita," kata orang berjubah yang mengenakan topeng kera keperakan.

"Hmmm...," wanita berbaju merah muda dengan wajah tertutup topeng kera hitam itu hanya bergumam saja.

Sementara Rangga terus bertarung menghadapi keroyokan orang-orang nekad tanpa kenal takut. Sedangkan di tempat lain, ada sekitar tiga puluh orang yang berdiri memperhatikan jalannya pertarungan itu dengan berbagai macam perasaan.

********************

DELAPAN

Orang-orang yang mengeroyok Rangga jadi semakin berantakan ketika tiba-tiba saja muncul dua orang yang langsung terjun dalam kancah pertempuran. Mereka tidak lain adalah Nila Komala dan Ki Garatala. Kemunculan dua orang itu membuat mereka yang sejak tadi memperhatikan di lain tempat menjadi geram. Terlebih lagi wanita berbaju merah muda yang mengenakan topeng kera berwarna hitam. Gerahamnya bergemeletuk menahan marah menyaksikan anak buahnya bertumbangan tak mampu menghadapi gempuran tiga orang berkepandaian tinggi.

"Kalian semua, maju!" Perintah wanita itu sengit.

"Gusti Ayu...," laki-laki berjubah merah mengenakan topeng kera perak tersentak kaget menerima perintah itu. Sedangkan yang lainnya langsung menatap padanya.

"Tunggu apa lagi?! Bunuh monyet-monyet keparat itu!" geram wanita bertopeng kera itu semakin sengit

Tanpa menunggu perintah untuk ketiga kalinya, mereka segera berlompatan membantu yang lain. Tinggal orang berjubah merah yang masih menemani wanita itu. Tapi rupanya mereka juga tidak dapat berbuat banyak. Terlebih lagi menghadapi Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Garatala yang bertarung menggunakan potongan seruling perak.

Pertarungan terus berlangsung semakin sengit. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana di antara teriakan-teriakan pertempuran dan denting senjata beradu. Suasana malam yang dingin ini berubah menjadi hangat oleh kobaran pertempuran di halaman depan Istana Kadipaten Panjawi. Dan suasana pertempuran semakin meningkat hangat ketika tiba-tiba saja dari pintu gerbang bermunculan orang berseragam prajurit kadipaten ditambah beberapa orang berpakaian biasa. Mereka langsung meluruk masuk dalam kancah pertarungan.

Hal ini membuat Rangga sedikit longgar, karena lawan-lawannya jadi terpecah. Pertempuran massal pun tak dapat dihindari lagi. Jerit melengking ditingkahi teriakan pertempuran dan denting senjata beradu semakin gencar terdengar memecah udara malam. Pada saat itu, Rangga melihat dua orang yang sejak tadi tidak ikut bertempur mencoba melarikan diri.

up! Hiyaaa...!"

Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah menghadang dua orang bertopeng kera itu. Dan mereka terkejut ketika tiba-tiba di depannya berdiri Pendekar Rajawali Sakti bersikap menghadang angker. Pemuda berbaju rompi putih itu menyilangkan pedangnya di depan dada.

"Kalian tidak bisa pergi begitu saja!" dingin nada suara Rangga.

"Phuih!" Wanita bertopeng kera hitam menyemburkan ludahnya.

"Biar aku yang menghadapinya. Sebaiknya, Gusti Ayu segera pergi. Selamatkan potongan seruling perak itu," kata orang berjubah merah sambil membuka topeng kera yang menutupi wajahnya.

Tampak seraut wajah tua terpampang di balik topeng kera keperakan itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang sangat tinggi, orang tua berjubah merah itu melemparkan topeng perak ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi hanya sedikit mengibaskan pedangnya, Rangga berhasil menghalau topeng perak itu hingga terbelah menjadi dua bagian.

Pada saat yang bersamaan, orang tua berjubah merah itu melompat menerjang sambil mengayunkan tongkat putih yang bagian atasnya berbentuk kepala tengkorak manusia berwarna merah. Dan pada saat yang sama, wanita bertopeng kera warna hitam itu melesat kabur, melompat ke atas atap.

"Rangga, kejar dia..!" seru Ki Garatala sambil melentingkan tubuhnya menghadang orang tua berjubah merah.

"Setan keparat..!" geram orang tua berjubah merah itu mengumpat

Kalau saja tidak cepat-cepat melompat mundur, dada orang itu pasti terbelah tersambar potongan seruling perak Ki Garatala. Dan Rangga yang diberi kesempatan, tidak menyia-nyiakannya. Secepat kilat tubuhnya melesat mengejar orang bertopeng kera hitam. Sedangkan Ki Garatala sudah menyerang laki-laki berjubah merah itu menggunakan jurus-jurus dahsyat dan sangat berbahaya. Sementara pertarungan di tempat lain masih terus berlangsung sengit Korban semakin banyak berjatuhan, namun pertempuran terus berlangsung bagai tidak akan berhenti.

"Sudah kuduga! Pasti kau biang keladi semua ini, Tengkorak Merah!" Dengus Ki Garatala tanpa menghentikan serangan-serangannya.

"Phuih! Aku tidak akan berhenti sebelum kau dan murid keparatmu musnah dari muka bumi!" Geram laki-laki tua berjubah merah yang ternyata pemimpin Partai Tengkorak Merah, dan juga dikenal sebagai si Tengkorak Merah. Entah siapa nama aslinya. Dia sendiri sudah tidak ingat lagi nama sebenarnya.

"Sudah waktunya kau kukirim ke neraka, Tengkorak Merah!"

"Kita buktikan, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka malam ini! Hiyaaat..!"

Tengkorak Merah memperhebat serangan-serangannya. Segera dikerahkan jurus-jurus andalannya yang dahsyat mematikan. Sedangkan Ki Garatala melayaninya dengan mengerahkan jurus-jurus yang tidak kalah dahsyatnya. Pertarungan dua orang yang selalu bermusuhan itu berlangsung sengit Jurus-jurus yang digunakan pun sudah mencapai tingkat yang tinggi, sehingga gerakan-gerakannya sukar diikuti pandangan mata biasa. Hanya dua bayangan berkelebatan sating sambar demikian cepatnya.

"Pecah kepalamu, hiyaaat..!" Tiba-tiba Ki Garatala berseru keras.

Bagai kilat, tangan kiri Ki Garatala melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke kepala Tengkorak Merah.

"Uts!" Buru-buru Tengkorak Merah merundukkan kepalanya, menghindari pukulan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Ki Garatala menarik cepat tangan kirinya. Dan dengan tubuh memutar, dilayangkan satu tendangan keras menggeledek. Si Tengkorak Merah terperanjat bergegas ditarik tubuhnya ke belakang, namun terlambat. Akibatnya, tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu berhasil mendarat di perutnya.

"Heghk...!" Tengkorak Merah melenguh panjang.

Pada saat tubuh si Tengkorak Merah terhuyung ke belakang, secepat kilat Ki Garatala melemparkan seruling perak yang hanya sepotong itu. Tak dapat dihindari lagi. Seruling perak itu menghunjam dalam di dada si Tengkorak Merah.

"Aaa...!" Tengkorak Merah menjerit melengking tinggi.

"Hiyaaat..!" Ki Garatala melompat deras sambil melontarkan dua pukulan beruntun. Kembali Tengkorak Merah menjerit keras, dan tubuhnya langsung terbanting keras ke tanah. Ki Garatala memburu. Segera ditekannya dada Tengkorak Merah dengan lututnya. Beberapa kali dihunjamkan pukulan bertenaga dalam tinggi ke wajah dan dada laki-laki berjubah merah itu, hingga Tengkorak Merah terkulai tak bergerak lagi.

"Hih!" Ki Garatala mencabut seruling perak yang tertanam di dada Tengkorak Merah, kemudian melompat berdiri. Dipandanginya tubuh Tengkorak Merah yang tergeletak tak bernyawa lagi. Darah bersimbah dari kepala, dada, dan bagian tubuh lainnya. Ki Garatala memutar tubuhnya memandangi pertempuran yang masih berlangsung. Tampak jelas kalau orang-orang dari Partai Tengkorak dan tokoh-tokoh rimba persilatan yang bergabung, semakin terdesak kewalahan. Bahkan tidak sedikit yang melarikan diri.

"Nila...! Ikut aku!" Seru Ki Garatala.

Bersamaan dengan melesatnya Nila Komala keluar dari arena pertarungan, Ki Garatala melompat ke atas atap. Seketika tubuhnya melenting lenyap ditelan kegelapan malam. Nila Komala mengikuti kepergian laki-laki tua bertubuh kecil itu. Sejenak gadis itu sempat melirik ke arah pertarungan. Dan tampaknya para prajurit kadipaten dan rakyat sudah bisa menguasai keadaan. Nila Komala terus berlompatan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya mengikuti Ki Garatala.

********************

Sementara itu di daerah Timur Kadipaten Panjawi, tepatnya di Kaki Lereng Bukit Paderesan, dua bayangan berkelebat cepat berkejaran. Mereka adalah wanita bertopeng kera berwarna hitam dan Pendekar Rajawali Sakti. Jelas terlihat kalau jarak mereka semakin dekat saja. Dan pada saat yang tepat, Pendekar Rajawali Sakti kan tubuhnya, berputaran di udara beberapa kali melewati kepala wanita berbaju merah muda mengenakan topeng kera hitam.

"Eh!" wanita bertopeng kera hitam ini terperangah begitu tiba-tiba di depannya sudah menghadang Pendekar Rajawali Sakti.

"Mau lari ke mana kau, perempuan iblis!" Dengus Rangga ketus.

"Phuih!" wanita bertopeng kera hitam itu menyemburkan ludahnya.

"Tidak ada gunanya menyembunyikan wajah di balik topeng jelek, Mayang," ujar Rangga tetap ketus bernada dingin.

Wanita bertopeng itu terhenyak, melompat mundur dua tindak. Kemudian, dibuka topengnya yang melindungi wajah. Tampak seraut wajah cantik terpampang di balik topeng kera berwarna hitam pekat itu. Wajah yang amat dikenal Rangga. Wajah yang dulu sempat dikagumi, tapi kini sangat dibencinya. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Bangkitnya Pandan Wangi)

"Sayang sekali, kau tidak pernah sadar. Bahkan semakin mengotori tangan dan hatimu!" kata Rangga dingin.

"Apa pedulimu? Aku bebas melakukan apa saja. Kau bukan apa-apaku lagi!" Balas Mayang ketus.

"Itu berarti kau akan selalu berhadapan denganku, Mayang."

"Kau pikir aku takut..?! Kau salah kalau berpikir seperti itu, Kakang. Aku akan melakukan apa saja agar bisa berhadapan denganmu. Aku ingin mati di tanganmu!" mantap nada suara Mayang.

"Gila...!" desis Rangga. Rangga memang membenci gadis ini. Tapi bukan membenci orangnya, melainkan tingkah dan hatinya yang selalu diliputi perasaan dengki. Rangga sengaja mengusir Mayang dari Karang Setra dengan harapan gadis ini mau menyadari kekeliruannya. Bagaimanapun juga, Mayang pernah bertunangan dengannya. Apalagi gadis itu juga murid tunggal bibinya. Mereka pun sudah kenal sejak masih kecil, tapi suatu malapetaka besar telah memisahkan mereka. Dan Rangga tahu betul seluk beluk keluarga Mayang, yang sebenarnya bukan orang asing lagi. Apalagi juga dari keluarga yang cukup terpandang.

"Mayang, serahkan potongan seruling perak itu padaku. Kau tidak berhak memilikinya. Lagi pula, itu bukan barang milikmu," kata Rangga mencoba lembut membujuk.

"Kau boleh merebutnya dari tanganku, Kakang!" Tantang Mayang.

"Tidak, Mayang. Aku tidak mungkin melakukan kekerasan padamu," kata Rangga lembut.

"Kenapa? Takut..? Atau Pandan Wangi melarangmu?" Mayang tersenyum sinis.

"Kau adikku, Mayang. Serahkan saja potongan seruling perak itu. Tidak ada gunanya benda itu bagimu," bujuk Rangga.

"Tidak ada gunanya katamu...? Heh? Dunia persilatan akan tunduk padaku dengan seruling perak di tanganku. Kau sendiri tidak akan mampu menghadapiku, Kakang."

"Percuma, Mayang. Kau tetap tidak akan bisa menggunakan seruling yang hanya sepotong itu."

"Kenapa tidak? Aku bisa memperoleh yang sepotong lagi. Dan aku pasti tahu di mana potongan seruling itu berada!"

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Mayang memang sangat keras kepala. Pendekar Rajawali Sakti itu tahu kalau Mayang bertindak demikian hanya karena pelampiasan kekecewaan dan kekesalan hatinya saja, karena gagal memperoleh cinta pemuda di depannya itu. Dan hati Rangga sendiri sudah tertutup bagi seorang gadis bernama Mayang. Namun demikian, Rangga tidak akan mengambil tindakan keras pada gadis ini.

"Dengar, Mayang...."

Belum lagi selesai ucapan Rangga, tiba-tiba muncul Ki Garatala diikuti Nila Komala. Mereka langsung menghampiri Rangga, dan berdiri mengapit Pendekar Rajawali Sakti itu. Tatapan Ki Garatala langsung tertumbuk pada potongan seruling perak yang terselip di sabuk Mayang.

"Bagus, kalian datang! Ayo keroyok aku! Rebutlah barang rongsokan ini!" Tantang Mayang sambil mengambil seruling perak dari sabuk yang membelit pinggangnya.

"Rupanya kaulah pencuri cilik itu!" dengus Ki Garatala.

"Memfitnah ayahku!" geram Nila Komala.

"Ha ha ha...! Siapa bilang memfitnah ayahmu? Aku mendapatkan barang rongsokan ini karena kebodohan ayahmu, gadis manja!"

"Keparat..!" geram Nila Komala.

"Benda ini kudapatkan di tempat penyimpanan senjata, di istana kadipaten yang telah runtuh itu. Karena benda itu sudah tak bertuan lagi, maka aku berhak memilikinya," sambung Mayang seenaknya.

Gadis itu tidak bisa menahan kemarahannya, mendengar ayahnya dihina dan direndahkan sedemikian rupa. Bagai seekor burung elang, Nila Komala melompat sambil mencabut pedangnya.

"Mampus kau, keparat! Hiyaaat..!"

"Nila...!" seru Rangga hendak mencegah.

Tapi Nila Komala sudah tidak bisa lagi dicegah. Lompatnya bagai kijang, menyerang Mayang. Dan pertarungan dua gadis itu tidak bisa dielakkan lagi. Ki Garatala yang ingin membantu Nila Komala, menjadi urung, karena Rangga sudah keburu mencekal tangan laki-laki tua bertubuh kecil itu.

"Kenapa tidak kau hajar saja pencuri cilik edan itu, Rangga?" Dengus Ki Garatala.

Rangga tidak menjawab, pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Memang sulit untuk menjelaskannya. Perhatiannya kini tertumpah pada pertarungan antara Mayang melawan Nila Komala.

"Aku harus merebut potongan seruling perak itu!" Dengus Ki Garatala.

"Ki...!" Rangga terkejut ketika tiba-tiba Ki Garatala menghentakkan tangannya yang dicekal Pendekar Rajawali Sakti. Dan secepat itu pula tubuhnya melompat membantu Nila Komala, mengeroyok Mayang.

Sementara Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sepasang bola matanya berputar mengamati pertarungan tidak seimbang itu. Jelas, kepandaian Mayang berada di bawah Ki Garatala. Kalau kepandaian Nila Komala, Rangga sudah bisa mengukur. Walaupun kepandaian Mayang berada di atas putri Adipati Panjawi itu, tapi untuk menghadapi dua orang berkepandaian cukup tinggi, Mayang tidak akan mampu menghadapinya. Kekhawatiran Rangga terbukti. Dalam beberapa jurus saja, Mayang sudah kelihatan terdesak.

"Apa yang harus kulakukan...?" Rangga jadi kebingungan sendiri. Perang batin terjadi dalam hatinya.

Bagi seorang pendekar, lebih baik bertarung mempergunakan ilmu olah kanuragan dan kesaktian dari pada bertarung melawan batinnya sendiri. Dan itu yang kini dialami Rangga. Sukar baginya memenangkan pertarungan batin. Terlebih lagi saat dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit. Sementara itu Mayang semakin terdesak, dan tidak mampu lagi membendung serangan-serangan Ki Garatala. Belum lagi dia juga harus waspada pada Nila Komala yang selalu menyerangnya dari arah yang sulit.

"Uh! Aku akan berdosa seumur hidup kalau Mayang sampai tewas di depan mataku!" Dengus Rangga.

"Tapi..., aku tidak boleh kelihatan memihak padanya di depan Ki Garatala dan Nila Komala. Huuuh...!"

Rangga mencari jalan agar bisa menyelamatkan Mayang, tapi juga tidak menyolok kalau tengah membela gadis itu di depan Ki Garatala dan Nila Komala. Dia tidak ingin dikatakan sebagai pendekar plin-plan yang membiarkan seorang pencuri meloloskan diri. Rangga benar-benar kebingungan. Otaknya terus berputar mencari jalan keluar yang terbaik.

********************

Tidak ada jalan lain. Aku harus meminta bantuan Rajawali Putih! gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian bersiulan nyaring bernada sangat aneh terdengar di telinga. Tiga kali mulutnya bersiul panjang melengking tinggi, sambil tidak lepas memperhatikan pertarungan itu. Rangga semakin cemas, karena Mayang sudah demikian terdesak. Entah sudah berapa kali pukulan bersarang di tubuhnya. Tapi gadis itu masih tetap belum mengalah, bahkan tidak peduli seandainya mati sekalipun. Dan ini memang diketahui Rangga. Mayang memang mengharapkan mati di depan matanya. Sebab, Rangga memang tidak pernah mau menjatuhkan tangan pada gadis itu. Maka dengan sengaja Mayang selalu mencari ulah agar bisa mati di depan Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki yang dicintai, sekaligus dibencinya.

"Ayo..., Cepatlah, Rajawali Putih," desis Rangga tidak sabar.

Sementara itu Mayang semakin kewalahan saja. Bahkan sepertinya tidak mampu lagi balas menyerang. Gadis itu hanya bisa berkelit dan menghindar sebisanya. Sedangkan Rangga beberapa kali mendongak ke atas, menunggu kedatangan Rajawali Putih tunggangannya. Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum melihat titik kehitaman mengambang di angkasa. Semakin lama, titik itu semakin jelas terlihat

"Khraghk...!"

"Rajawali Putih! Bawa Mayang ke tempat yang aman. Cepat..!" Rangga mempergunakan ilmu pemindah suara.

"Khraghk..!"

"Bagus, ternyata kau bisa mengenalinya.

Hup! Hiyaaa...!"

Secepat Rajawali Putih menukik, secepat kilat pula Rangga melompat. Pada saat itu Mayang terpekik, terkena pukulan keras di bahu kanannya. Akibatnya, tangan kanan yang memegang potongan seruling perak terangkat ke atas. Maka kesempatan ini tidak disia-siakan Rangga. Cepat sekali ditepak pergelangan tangan kanan gadis itu.

"Akh!" Mayang terpekik keras.

Seruling perak terlontar jauh ke udara. Tepat pada saat Rangga berhasil menangkap seruling perak itu, Rajawali Putih menukik Langsung disambarnya tubuh Mayang dengan cakarnya. Bagai kilat rajawali raksasa itu membumbung tinggi ke angkasa membawa Mayang pada cengkeraman cakarnya. Sementara Rangga sudah mendarat manis di tanah.

"Sial, dia lolos...!" rutuk Ki Garatala seraya memandang ke angkasa.

"Apa, Ki?" Rangga pura-pura terkejut.

"Kau lihat itu, Rangga!" Ki Garatala menunjuk Rajawali Putih yang sudah membumbung tinggi di angkasa.

"Apa itu?" Tanya Rangga pura-pura.

"Aku tidak tahu Kelihatannya seperti seekor burung raksasa," sahut Ki Garatala.

Rangga tersenyum, tapi buru-buru menarik kembali senyumnya. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri Ki Garatala dan menyerahkan potongan seruling perak di tangannya. Laki-laki kecil tua itu menerima seruling perak. Langsung diselipkan benda itu di pinggang, bersebelahan dengan potongan satunya lagi. Sementara Nila Komala menghampiri dengan napas masih tersengal.

"Apa yang akan kau lakukan dengan seruling perak itu, Ki?" Tanya Nila Komala.

"Mengembalikan pada pemiliknya," sahut Ki Garatala

"Bukankah kau pemiliknya?" Sergah Rangga.

"Sekarang sudah jadi milik muridku."

Ki Garatala menatap Nila Komala yang berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki tua bertubuh kecil itu menggamit tangan Nila. Pandangannya lurus, penuh arti. Sedangkan Nila Komala menatap Rangga.

"Kau ikut bersamaku, Cah Ayu," pinta Ki Garatala.

"Apa...?!" Nila Komala terkejut.

"Kau akan menjadi muridku yang kedua. Itu kalau kau bersedia," kata Ki Garatala lagi.

Nila Komala menatap Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Kemudian gadis itu menoleh pada Ki Garatala, lalu mengangguk diiringi senyuman manis.

"Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Ki Garatala gembira menerima kesediaan Nila Komala menjadi muridnya.

Setelah menjabat tangan Rangga, Ki Garatala bergegas melangkah pergi sambil menarik tangan Nila Komala. Gadis itu tidak sempat lagi mengucapkan sesuatu pada pemuda berbaju rompi putih itu. Langkahnya setengah terseret, karena tangannya dicekal laki-laki tua bertubuh kecil yang aneh itu. Sedangkan Rangga memandanginya dengan bibir mengulas senyum.

"Hmmm..., aku harus secepatnya menemui Mayang. Mudah-mudahan tidak terluka parah," gumam Rangga. Yakin pada kemampuan Rajawali Putihnya. Semoga saja Mayang sadar akan kesalahan yang telah berulang kali dilakukannya itu," desah Rangga lagi.

Kemudian bagai seekor burung rajawali, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat bagai terbang. Dalam sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kelebatan hutan. Sementara fajar sudah menyingsing. Matahari muncul dari balik bukit, memancarkan sinarnya yang hangat.

Tak lama kemudian, terdengar alunan seruling terbawa angin pagi yang berhembus lembut menyapu embun. Alunan merdu yang menghilang dari udara dalam beberapa hari ini, kini muncul kembali. Alunan seruling itu, sekarang terdengar lembut dan merdu. Tidak ada lagi nada sumbang pada alunan suaranya.

SELESAI

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.