Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
BADAI DI LEMBAH TANGKAR
SATU
DUA ekor kuda berpacu cepat menyusuri lereng Gunung Randu. Mereka adalah seorang pemuda berwajah tampan dan seorang gadis cantik. Baju pemuda itu rompi putih. Pedangnya yang bergagang kepala burung, tersampir di punggung. Pemuda itu menunggang seekor kuda hitam pekat berkilat yang gagah dan tegap.Sedangkan yang gadis berbaju biru muda ketat. Sehingga, membentuk tubuhnya yang ramping dan padat berisi. Di balik sabuk warna emas yang melilit pinggangnya, terselip sebuah kipas baja putih. Dan di punggungnya tersampir sebatang pedang bergagang kepala naga hitam.
Dari pakaian dan senjata yang tersandang, sudah dapat diketahui kalau mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi. Mereka lebih dikenal dengan gelar Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka memacu cepat kudanya menyusuri lereng gunung yang cukup terjal dan berbatu. Matahari yang siang itu bersinar terik, sama sekali tak dirasakan. Padahal kuda yang mereka tunggangi tampak kelelahan, tapi tetap saja dipacu cepat. Tak peduli jalan yang dilalui semakin sulit dan terjal berbatu.
“Berhenti dulu, Kakang...!” seru Pandan Wangi saat mereka baru saja melewati sebuah tikungan yang cukup tajam.
“Hooop...!” Rangga langsung menghentikan lari kudanya, lalu berpaling menatap gadis di sebelah kanannya. Tampak keringat membasahi wajah yang memerah dan leher jenjang gadis itu. Sementara matahari sudah benar-benar berada di atas kepala. Sinarnya begitu terik, seakan-akan hendak membakar semua yang ada di permukaan bumi ini.
“Istirahat dulu sebentar, Kakang. Aku tidak ingin kuda kita mati kelelahan,” pinta Pandan Wangi seraya melompat turun dari punggung kuda.
Rangga ikut turun dari punggung kudanya. Mereka kemudian menuntun kuda masing-masing, mendekati sebuah sungai kecil yang mengalir jernih di antara bebatuan. Mereka juga membersihkan diri dari debu dan membasahi tenggorokan yang sudah begitu kering mencekik leher. Sementara kuda-kuda itu mereguk air sungai yang jernih sepuas-puasnya.
“Berapa lama lagi kita sampai, Kakang?” tanya Pandan Wangi seraya menghempaskan tubuh di bawah pohon yang hampir habis daunnya.
“Menjelang malam nanti,” sahut Rangga, tetap berdiri di dekat kuda.
“Apa sebenarnya yang terjadi di sana, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Aku sendiri tidak tahu,” sahut Rangga.
“Kau sudah baca suratnya...?”
“Sudah.”
“Hanya itu saja yang tertulis. Tak ada yang lainnya.”
Pandan Wangi bangkit berdiri. Tubuhnya digerak-gerakkan sedikit.
“Sudah istirahatnya?” tanya Rangga.
“Bukan aku, tapi kuda-kuda itu yang perlu istirahat,” sahut Pandan Wangi. “Seharusnya kita bisa lebih cepat kalau menunggang Rajawali Putih.”
“Tidak ada tempat turun untuk Rajawali Putih, Pandan Wangi. Satu-satunya tempat yang cukup hanya lembah itu. Sedangkan disana terlalu banyak orang. Dan aku tidak ingin membuat kegemparan.”
“Aku heran. Biasanya orang-orang tidak suka tinggal di lembah. Tapi mereka malah mendirikan sebuah desa...,” kata Pandan Wangi agak menggumam, seolah-olah bicara pada diri sendiri.
“Bukan desa, tapi kota,” sergah Rangga memberitahu.
“Kota...?!” Pandan Wangi makin tercengang.
“Kau akan tahu nanti kalau sudah sampai disana, Pandan.”
“Aneh... Ada sebuah kota di dalam lembah. Seperti apa kota itu, ya...?”
Rangga hanya tersenyum saja melihat Pandan Wangi tampak kebingungan mendengar ada sebuah kota berdiri di lembah. Memang sulit bisa dipercaya. Karena biasanya, sebuah desa, apalagi sudah berbentuk kota, berada jauh dari lembah. Atau biasanya juga, berada di kaki lereng gunung atau bukit. Tapi yang akan mereka tuju sekarang ini sebuah kota yang terletak dilembah.
“Ayo jalan lagi, Pandan,” ajak Rangga seraya naik ke punggung kudanya.
Pandan Wangi segera melompat naik ke punggung kuda putihnya. Mereka kembali memacu kudanya, tapi kali ini tidak secepat tadi. Dan memang, jalan yang dilalui semakin sulit saja. Mendaki dan penuh batu. Hingga akhirnya, mereka baru bisa memacu cepat kudanya setelah sampai di sebuah padang rumput yang luas bagai tak bertepi.
********************
Tepat seperti yang dikatakan Rangga, saat matahari tenggelam di ufuk barat, mereka telah sampai di suatu lembah yang sangat besar dan luas. Pandan Wangi hampir tidak percaya kalau di dalam lembah itu berdiri sebuah perkampungan yang sangat besar. Bangunan-bangunannya tidak kalah padat dan indah dari sebuah kota kadipaten. Kedua pendekar muda itu menjalankan kudanya perlahan-lahan memasuki lembah.
Sementara malam terus merayap turun. Kegelapan kini menyelimuti sekitarnya. Tapi, lembah itu tampak terang benderang oleh cahaya lampu pelita yang menyala di setiap rumah. Rangga dan Pandan Wangi mulai memasuki lembah, lalu melewati sebuah bangunan batu yang merupakan gerbang masuk ke dalam kota di lembah itu. Tak terlihat seorang pun disana. Dan mereka terus memacu kudanya perlahan-lahan, tidak ingin menarik perhatian orang yang menghuni lembah ini.
“Kok sepi, Kakang...?” tanya Pandan Wangi ketika mereka sudah berada di antara rumah-rumah yang rata-rata berukuran cukup besar.
Memang, sejak memasuki lembah ini melalui gerbang, tak seorang pun dijumpai. Keadaan kota di lembah ini begitu sunyi, bagai tak berpenghuni sama sekali. Rangga juga merasakan hal yang sama. Kesunyian yang begitu mencekam. Sepertinya, lembah ini menyimpan suatu teka-teki yang menantang untuk diungkapkan. Bahkan tak ada suara yang terdengar. Hanya desir angin serta jerit binatang malam yang mengganggu gendang telinga.
“Di mana orang itu akan menemuimu, Kakang?” tanya Pandan Wangi memecah kesunyian.
“Seharusnya dia sudah ada sewaktu kita masuk gerbang tadi,” sahut Rangga.
“Jangan-jangan ini....” Ucapan Pandan Wangi terputus ketika tiba-tiba saja sebatang tombak panjang melesat cepat ke arah mereka, dan langsung menancap tepat di depan kuda yang ditunggangi Rangga.
Akibatnya, kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat turun dari atas punggung kuda hitamnya, diikuti Pandan Wangi yang juga terkejut atas datangnya tombak secara tiba-tiba itu. Rangga menjulurkan tangannya meraih tombak berwarna hitam pekat berukuran panjang itu.
Sesaat diperhatikannya tombak yang bermata keperakan itu. Kemudian, matanya menatap lurus ke depan, ke arah tombak itu datang. Tak terlihat seorang pun disekitarnya. Begitu sunyi, bahkan suara jengkerik saja tak terdengar lagi. Seakan akan binatang-binatang malam pun ikut merasakan ketegangan ini. Perlahan Pandan Wangi melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti, lalu berdiri di samping kanannya. Pandangannya pun ikut beredar berkeliling.
“Kau dengar sesuatu, Pandan?” tanya Rangga setengah berbisik, tanpa berpaling sedikit pun pada gadis di sampingnya.
“Tidak,” sahut Pandan Wangi. “Kau sendiri...?”
“Akan kucoba menggunakan aji Pembeda Gerak dan Suara” ujar Rangga agak bergumam.
Tapi belum juga Rangga mengerahkan ajiannya untuk mencari orang yang melemparkan tombak, mendadak saja dari arah depan berkelebat cepat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu di depan kedua pendekar muda itu kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Laki-laki tua itu mengenakan baju jubah putih berukuran panjang, dengan ikat kepala berwarna putih juga. Sebatang tongkat dari kayu hitam dan berlekuk tak beraturan tergenggam di tangan kanannya. Sinar matanya begitu bening, namun menyorot sangat tajam.
Angin yang bertiup agak kencang di sekitar lembah ini membuat jubahnya yang putih dan panjang berkibar menyibak, seakan-akan ingin memperlihatkan sebilah pedang yang tergantung di pinggang orang tua itu. Ukuran pedang itu panjang, dan gagangnya berbentuk kepala ular.
“Siapa kalian?! Dan untuk apa kalian datang ke Lembah Tangkar ini?” tanya orang tua itu. Suaranya terdengar tajam dan berat sekali, namun bernada penuh wibawa.
“Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi,” sahut Rangga memperkenalkan diri. “Kami datang ke lembah ini karena mendapat surat dari seseorang untuk datang ke sini.”
“Coba kulihat suratnya,” pinta orang tua itu sambil menjulurkan tangan kanan setelah memindahkan tongkat ke tangan kirinya.
Rangga merogoh tangannya ke balik sabuk ikat pinggang, lalu mengeluarkan sebuah surat yang tersimpan dalam selongsong dari bambu yang dihaluskan permukaannya. Diserahkannya surat itu kepada laki-laki tua didepannya. Sebentar orang tua berjubah putih itu menatap Rangga dan Pandan Wangi, lalu membuka tutup selongsong surat itu. Lalu dikeluarkannya selembar daun lontar yang tergulung rapi, diikat pita berwarna merah darah.
Kembali orang tua itu menatap Rangga dan Pandan Wangi setelah membaca tulisan di dalam surat daun lontar itu, kemudian menggulungnya kembali dan mengikat dengan pita merah. Setelah memasukkan kembali surat itu ke dalam selongsongannya, lalu diserahkannya kepada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti menerimanya, dan menyimpan lagi ke dalam sabuk ikat pinggang.
“Tidak ada gunanya kalian datang ke lembah ini. Sebaiknya segera pergi, dan jangan datang-datang lagi ke sini,” terasa begitu dingin nada suara laki-laki tua berjubah putih itu.
“Maaf. Boleh aku bertemu pengirim surat ini dulu...?” ujar Rangga meminta dengan hormat.
“Tidak ada yang bernama Sudra di Lembah Tangkar ini. Kalian salah alamat jika datang ke sini. Pergilah segera, sebelum terjadi sesuatu yang pasti tidak kalian inginkan,” nada suara orang tua itu terdengar mengancam.
Rangga mengangkat bahunya sedikit. Matanya melirik Pandan Wangi yang berada di sebelah kanannya. Gadis itu hanya diam saja, dan juga mengangkat bahunya sedikit.
“Baiklah. Kami segera pergi. Maaf jika kedatangan kami mengganggu,” ucap Rangga tetap sopan.
“Hm...,” orang tua berjubah putih itu hanya menggumam kecil.
Rangga dan Pandan Wangi segera melompat naik ke punggung kudanya, dan segera cepat menggebahnya. Mereka kini meninggalkan perkampungan dalam Lembah Tangkar ini. Sementara orang tua berjubah putih itu masih berdiri tegak di tengah-tengah jalan memandangi kedua pendekar muda itu yang semakin jauh meninggalkannya.
Setelah Rangga dan Pandan Wangi tidak terlihat lagi, orang tua berjubah putih panjang itu baru memutar tubuhnya. Kemudian kakinya melangkah menuju sebuah rumah yang tampak terang benderang oleh cahaya lampu pelita. Pintu rumah yang semula tertutup rapat, langsung terbuka begitu kaki orang tua berjubah putih itu menginjak lantai beranda. Dari balik pintu, bermunculan empat orang laki-laki berusia setengah baya. Mereka menghampiri orang tua berjubah putih yang berdiri saja di beranda depan rumah ini.
“Siapa mereka, Ki?” tanya seorang yang mengenakan baju warna kuning.
“Rupanya Sudra bisa meloloskan surat keluar. Hm.... Aku tidak ingin ada orang luar yang mencampuri urusan ini,” tegas laki-laki tua berjubah putih itu.
“Apa yang harus kami lakukan, Ki?”
“Aku tidak ingin mereka ada di sekitar lembah ini. Kalian mengerti maksudku...?”
“Kami mengerti, Ki.”
“Lakukanlah sekarang.”m
Empat orang laki-laki berusia separuh baya itu cepat-cepat membungkuk memberi hormat, kemudian melangkah meninggalkan rumah berukuran cukup besar dan megah itu. Mereka mengambil kuda-kuda yang tertambat di samping rumah ini. Dengan berkuda, mereka mengejar kedua pendekar muda yang sudah tidak terlihat lagi di sekitar perkampungan Lembah Tangkar.
Sementara laki-laki tua berjubah putih itu masih tetap berdiri, memandangi sampai keempat orang itu lenyap ditelan kegelapan malam. Bergegas orang tua itu melangkah masuk ke dalam rumah. Setelah melewati ruangan depan yang berukuran cukup luas, dia masuk ke dalam ruangan lain. Di dalam ruangan itu ternyata sudah menunggu dua orang wanita yang duduk menghadap sebuah meja bundar berukuran cukup besar. Mereka menoleh, menatap laki-laki tua berjubah putih yang baru masuk itu. Kedua wanita itu kemudian berdiri, dan baru duduk lagi setelah orang tua berjubah putih itu duduk di depan meja bundar beralas dari batu pualam putih ini.
“Keadaan semakin bertambah buruk. Dan akan semakin buruk lagi nantinya,” kata orang tua berjubah putih itu, agak mendesah suaranya.
Kedua wanita yang rata-rata berusia sekitar empat puluh tahun itu hanya diam saja. Satu sama lain hanya saling melemparkan pandang saja. Mereka tahu apa yang dimaksud dari gumaman orang tua berjubah putih ini. Kedatangan dua orang anak muda tadi memang sudah membawa isyarat akan terjadi sesuatu di lembah ini. Lembah Tangkar yang benar-benar akan menjadi suatu neraka bila yang dikatakan orang tua berjubah putih ini menjadi kenyataan.
“Kalian harus lebih waspada lagi. Aku tak ingin seorang pun yang masuk atau keluar lembah ini,” tegas orang tua itu lagi. Masih terdengar pelan suaranya.
“Apa tidak sebaiknya kita beri sedikit ancaman yang berarti agar si keparat itu menyerah, Ki Bargala?” usul salah seorang wanita yang mengenakan baju warna putih bersih.
Di punggungnya menyembul sebuah gagang pedang berbentuk bunga anggrek. Meskipun usianya sudah mencapai empat puluh tahun, tapi raut wajahnya masih kelihatan cantik. Bentuk tubuhnya pun ramping dan indah. Sanggup membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya.
“Tidak semudah itu, Anggrek Putih. Meskipun semua penghuni lembah ini dibantai, dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia tetap akan menuntut agar kita meninggalkan lembah ini, dan menyerahkan padanya,” sanggah orang tua berjubah putih yang ternyata bernama Ki Bargala.
“Lalu, sampai kapan kita akan terus bertahan seperti ini, Ki?” tanya wanita satunya lagi, yang mengenakan baju warna-merah tua menyala.
Di punggung wanita berbaju merah tua menyala itu juga terlihat sebuah gagang pedang yang ujungnya berbentuk sekuntum bunga mawar berwarna merah. Julukannya Mawar Merah. Dan memang, kedua wanita ini lebih dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut. Di kalangan persilatan, sepak terjang mereka sudah terkenal. Mereka selalu menyebarkan maut dan malapetaka.
“Sampai Lembah Tangkar ini benar-benar jadi neraka. Bukankah tujuan kita semua datang ke sini begitu...? Namun kita jangan dulu menciptakan satu neraka pun,” kata Ki Bargala, agak mendesis suaranya.
“Aku sudah tidak sabar lagi, Ki,” dengus Anggrek Putih.
“Kapan isyarat itu datang, Ki? Aku tidak ingin menunggu lama dan berdiam diri saja di sini. Aku ingin cepat-cepat selesai dan pergi dari sini,” sambung Mawar Merah.
“Kita tidak bisa berbuat apa-apa sebelum si keparat itu mampus. Dan lagi, Prabu Cantraka juga menginginkan lembah ini agar benar-benar bersih dan tak ada satu pun gangguan setelah kita meninggalkan lembah ini,” jelas Ki Bargala lagi.
“Hadiah yang dijanjikan memang menggiurkan. Tapi aku paling tidak suka keadaan seperti ini. Menunggu tanpa ada kepastian sama sekali,” dengus Mawar Merah.
“Sabarlah. Aku yakin, tidak lama lagi isyarat itu datang.”
“Isyarat itu yang datang, atau si keparat itu yang lebih dulu muncul, Ki...?” desis Anggrek Putih sinis.
“Itu lebih baik. Bisa selesai dalam sekali tepuk,” tandas Ki Bargala.
“Aku akan membuat lembah ini benar-benar menjadi neraka, kalau dalam dua hari ini tidak juga ada isyarat, Ki,” desis Mawar Merah dingin.
“Kalian tidak bisa berbuat apa-apa tanpa ada perintah dari Prabu Cantraka. Sebaiknya kalian bersabar saja dulu. Aku akan menanyakan hal itu pada Prabu Cantraka,” kilah Ki Bargala menyabarkan kedua wanita yang dijuluki Iblis Bunga Penyebar Maut itu.
Kedua wanita itu terdiam. Ki Bargala tahu kalau mereka memang tidak pernah bisa bersabar kalau diminta menunggu. Tangan mereka sudah begitu gatal, dan tak akan ada senyum jika tidak membuat malapetaka sedikit pun di mana mereka berada. Mereka selalu tersenyum dan tertawa bila melihat darah dan kesengsaraan terjadi disekitarnya. Mereka seakan-akan memang diciptakan hanya untuk membuat neraka di bumi ini.
“Ayo kita pergi,” ajak Mawar Merah seraya bangkit berdiri. Anggrek Putih ikut berdiri.
“Ke mana kalian akan pergi?” tanya Ki Bargala, masih tetap duduk di kursinya.
“Kami akan mencari si keparat itu, Ki,” sahut Mawar Merah, agak ketus suaranya.
“Ke mana kalian akan mencarinya?” tanya Ki Bargala lagi.
“Di sekitar lembah ini. Dia pasti tidak ada di luar lembah ini. Kami akan terus mencarinya sampai kau mendapatkan isyarat itu, Ki,” tandas Anggrek Putih.
Tanpa berkata apa-apa lagi, kedua wanita yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut itu segera melangkah meninggalkan ruangan ini. Sementara Ki Bargala hanya bisa memandangi tanpa mampu mencegah lagi. Sudah dikenalnya betul akan watak kedua wanita berhati iblis itu. Dan dia tidak mau mencegahnya. Mereka datang ke sini memang punya maksud dan tujuan tertentu.
Dan tinggal menunggu isyarat perintah saja dari seseorang yang dikenal bernama Prabu Cantraka. Tapi, hanya Ki Bargala saja yang bisa berhubungan dengan orang bernama Prabu Cantraka. Hanya saja, Ki Bargala sendiri belum pernah bertemu langsung dan melihat orangnya. Dia hanya bisa mendengar suara orang itu, tanpa dapat melihat orangnya sama sekali. Atau paling tidak, hanya bisa berhubungan dengan orang suruhan Prabu Cantraka.
“Hm... Tampaknya aku harus menemui Prabu Cantraka sebelum terjadi sesuatu dilembah ini. Iblis Bunga Penyebar Maut benar-benar sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi,” gumam Ki Bargala berbicara sendiri.
********************
DUA
Sementara itu, tidak jauh dari Lembah Tangkar, Rangga dan Pandan Wangi masih berkuda perlahan-lahan meninggalkan lembah yang tampak terang tersiram cahaya pelita. Mereka berkuda perlahan-lahan, tanpa berbicara sedikit pun. Sedangkan beberapa kali Pandan Wangi melirik wajah Pendekar Rajawali Sakti. Jelas sekali kalau kening pemuda berbaju rompi putih itu berkerut agak dalam, seakan-akan tengah memikirkan sesuatu.
“Apa yang kau pikirkan, Kakang?” tanya Pandan Wangi ingin tahu apa yang dipikirkan Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku merasa ada sesuatu yang aneh di Lembah Tangkar itu, Pandan,” sahut Rangga.
“Maksudmu...?” tanya Pandan Wangi ingin lebih jelas lagi.
Rangga menghentikan laju kudanya. Pandan Wangi mengikuti, dan terus memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa saat mereka terdiam, lalu melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka berdiri membelakangi kudanya, dan menatap ke arah lembah yang bermandikan cahaya lampu pelita. Tampak begitu semarak, tapi menyimpan suatu teka-teki yang sukar diungkapkan.
“Surat yang kudapat jelas mengatakan kalau aku diminta datang ke Lembah Tangkar ini. Tapi...”
Belum juga Rangga sempat menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki kuda dari arah depan. Begitu jelas sekali terdengar, dan menuju ke arahnya. Pandan Wangi segera mengarahkan pandangan ke arah derap langkah kaki kuda yang semakin jelas terdengar dari arah depan. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat empat orang penunggang kuda yang berpacu cepat menuju ke arah dua orang pendekar muda itu. Para penunggang kuda itu langsung berlompatan turun begitu berada sekitar dua batang tombak lagi di depan Rangga dan Pandan Wangi. Mereka melangkah tegap, mendekati kedua pendekar muda itu. Mereka baru berhenti, setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi.
“Kalian dua orang yang mendapat surat dari Sudra?” salah seorang yang mengenakan baju kuning langsung bertanya. Suaranya besar dan terdengar berat.
“Benar,” sahut Rangga mantap.
“Sudra sudah mati. Dan kalian tidak perlu lagi berada di Lembah Tangkar ini. Tak ada lagi yang bisa kalian lakukan. Maka sebaiknya tinggalkan lembah ini jika tidak ingin mati sia-sia,” ancam laki-laki separuh baya berbaju kuning itu lagi.
Rangga jadi berkerut keningnya mendengar kata-kata yang bernada ancaman seperti itu. Sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti mendapat ancaman selama berada di Lembah Tangkar ini. Dan dia tidak tahu, kenapa mereka tidak menginginkan dirinya berada di lembah ini. Sedangkan surat yang didapat dari seseorang yang bernama Sudra menginginkannya datang ke Lembah Tangkar ini.
“Kami tidak ingin ada seorang pun yang datang ke lembah ini. Lembah Tangkar tertutup bagi pendatang sepertimu,” tegas laki-laki berbaju kuning itu.
“Kalau boleh aku tahu, di mana kuburan Sudra?” tanya Rangga meminta.
“Dia mati tidak ada kuburannya!” dengus laki-laki berbaju kuning itu sengit.
“Kalau begitu, aku tidak ingin pergi sebelum bertemu Sudra, atau mayatnya kalau memang sudah mati,” tegas Rangga.
“Kau tidak boleh tinggal di sini, Anak Muda!” bentak orang berbaju kuning itu kasar.
“Sayang sekali, aku ingin tetap tinggal. Dan tak ada seorang pun yang bisa menghalangi, termasuk kalian,” tegas Rangga.
“Keparat...! Kau mencari mati, Anak Muda!” geram orang berbaju kuning itu berang.
Sret!
Laki-laki setengah baya yang mengenakan baju warna kuning itu segera mencabut senjata yang berbentuk sebatang tongkat pendek dengan bagian ujungnya berbentuk bulan sabit. Tiga orang laki-laki lain yang berdiri di belakangnya juga segera mencabut senjata masing-masing. Dan senjata mereka berbentuk sama persis. Mereka segera menggeser kaki, berdiri sejajar. Senjata masing-masing tampak sudah tersilang di depan dada.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi sudah menarik kakinya beberapa langkah ke belakang. Pandan Wangi segera mengeluarkan senjatanya yang berupa kipas baja putih. Dibukanya kipas itu, dan digerak-gerakkan perlahan di depan dada. Seakan-akan udara sekitar lembah ini jadi panas. Padahal, angin yang bertiup agak kencang begitu terasa dingin hingga menusuk tulang.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka tak ada yang membuka suara. Hanya tatapan mata saja saling menyorot tajam bagai sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
“Kau yang menginginkan kematianmu, Anak Muda,” desis laki-laki berbaju kuning itu dingin.
“Aku khawatir, yang terjadi malah sebaliknya,” sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
“Keparat...! Serang dia...!” geram orang berbaju kuning itu.
Seketika itu juga, empat laki-laki separuh baya yang masing-masing menggenggam senjata tongkat pendek berujung bulan sabit, berlompatan cepat menyerang Rangga dan Pandan Wangi. Dua orang menyerang Pendekar Rajawali Sakti, dan dua orang lagi langsung merangsek si Kipas Maut. Pertarungan memang tidak bisa dihindari lagi. Dan tampaknya, empat laki-laki separuh baya itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi juga. Terbukti, serangan-serangannya begitu dahsyat dan berbahaya sekali.
Sementara Rangga bertarung menggunakan tangan kosong saja, Pandan Wangi menghadapi dua orang lawannya dengan senjata maut yang berbentuk kipas baja putih. Beberapa kali senjata si Kipas Maut itu saling berbenturan dengan senjata tombak lawan yang berujung bulan sabit. Dan setiap kali senjata mereka beradu, memercik bunga api yang menyebar ke segala arah, disertai ledakan keras menggelegar.
“Hhh! Tenaga dalam mereka cukup tinggi juga...,” dengus Pandan Wangi dalam hati.
Beberapa kali terjadi adu senjata yang mengandung pengerahan tenaga dalam. Dan ini sudah cukup bagi Pandan Wangi untuk menilai tingkat kepandaian kedua lawannya ini. Dan disadari, tidak mungkin bisa memenangkan pertarungan ini hanya menggunakan senjata kipas. Menyadari hal itu, Pandan Wangi cepat memindahkan kipasnya ke tangan kiri. Lalu, tangan kanannya segera mencabut pedang yang bertengger di punggung.
Sret!
Cring...!
Bet!
Secepat pedangnya tercabut, secepat kilat pula Pandan Wangi mengebutkan pedang yang bernama Naga Geni ke arah salah seorang lawan yang berada di depan. Begitu cepatnya kebutan yang dilakukan Pandan Wangi, sehingga orang berbaju hijau daun itu jadi terkejut setengah mati. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk berkelit menghindar.
“Hih!”
Cepat-cepat tongkatnya dikebutkan, menangkis tebasan pedang berwarna hitam itu. Tak pelak lagi, dua senjata berpamor dahsyat beradu keras, hingga menimbulkan pijaran api disertai ledakan dahsyat menggelegar.
“Akh...!”
Terdengar pekikan keras agak tertahan. Tampak tongkat pendek berujung bulan sabit berwarna kuning keemasan itu mencelat tinggi ke udara. Sementara orang berbaju hijau daun itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi tangan kanannya. Wajahnya seketika jadi memucat. Sementara Pandan Wangi sudah bersiap hendak melakukan serangan. Tapi tiba-tiba saja...
“Hiyaaat...!”
Bet!
Bagaikan kilat, si Kipas Maut melompat cepat sambil mengebutkan pedang ke arah leher laki-laki separuh baya berbaju hijau daun yang sudah tidak bersenjata lagi. Begitu cepat serangannya, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi orang itu untuk bisa menghindar. Dan....
Cras!
“Aaa...!”
Darah seketika muncrat keluar begitu Pedang Naga Geni membabat dada orang berbaju hijau daun itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang sobek cukup lebar berlumuran darah. Hanya sebentar dia mampu bertahan berdiri pada kedua kakinya, tak berapa lama kemudian jatuh terguling dan menggelepar ditanah meregang nyawa. Darah semakin banyak keluar dari dadanya yang terbelah sangat lebar oleh Pedang Naga Geni andalan si Kipas Maut itu.
“Keparat...!” geram laki-laki setengah baya satunya lagi yang mengenakan baju warna merah.
Sementara Pandan Wangi sudah memutar tubuh sambil menyilangkan kedua senjata mautnya di depan dada. Tatapan mata gadis itu demikian tajam. Dengan dua senjata maut tergenggam di tangan, Pandan Wangi bagaikan sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Begitu tegar dan angker tampaknya, sehingga membuat laki-laki separuh baya berbaju merah itu jadi bergetar hatinya. Tapi, dia jadi mendesis geram saat melihat temannya sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan dada terbelah bergenang darah.
“Setan...! Kubunuh kau, Keparat...!” geram laki-laki setengah baya berbaju merah itu berang. “Hiyaaat...!”
Dengan hati yang diliputi kemarahan, laki-laki separuh baya itu cepat melompat menyerang Pandan Wangi. Tongkatnya dikebutkan kuat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun si Kipas Maut itu masih tetap berdiri tegak, dengan mata menyorot tajam memperhatikan gerakan tongkat berujung bulat sabit yang berkelebat cepat di depannya.
“Hih!”
Tring!
Begitu ujung tongkat berbentuk bulan sabit itu tepat berada di depan dada, Pandan Wangi langsung menghentakkan kedua senjatanya. Maka, tongkat berujung bulan sabit itu jadi terjepit. Dan secepat itu pula kakinya bergerak menghentak ke depan. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Pandan Wangi, sehingga laki-laki separuh baya itu tidak sempat lagi menghindar.
Diegkh!
“Aaakh...!”
Memang tendangan yang dilakukan Pandan Wangi begitu keras, sehingga membuat lawan terpental ke belakang sekitar dua batang tombak jauhnya. Tubuhnya jatuh terguling di tanah. Sementara Pandan Wangi sudah melompat cepat. Langsung pedangnya dibabatkan di saat laki-laki separuh baya itu bangkit berdiri. Begitu cepat serangannya, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi lawan untuk menghindar.
“Hiyaaat...!”
Cras!
“Aaa...!”
Satu jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar membelah kesunyian malam ini. Ujung pedang Pandan Wangi tepat merobek batang leher laki-laki separuh baya itu. Seketika, darah muncrat deras sekali. Hanya sebentar dia mampu bertahan di atas kedua kakinya, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah terus bercucuran dari tenggorokannya. Tak berapa lama kemudian, sudah tak terlihat lagi gerakan apa pun. Sementara Pandan Wangi berdiri tegak menatap tajam lawan yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
“Pandan...!”
“Oh...?!”
Pandan Wangi cepat memutar tubuh ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya. Bibirnya tersenyum melihat Rangga sudah berdiri di depannya. Pendekar Rajawali Sakti kelihatan tenang tanpa sedikit pun mengalami kekurangan. Gadis itu cepat mengedarkan pandangan ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Keningnya jadi berkerut dan matanya menyipit begitu melihat wajah Rangga lagi.
“Ke mana lawanmu?” tanya Pandan Wangi.
“Pergi,” sahut Rangga kalem.
“Kau biarkan mereka pergi begitu saja, Kakang...?”
“Mereka langsung lari melihat kau berhasil menewaskan dua orang temannya,” kata Rangga memberitahu.
“Kau pasti tidak bersungguh-sungguh bertarung tadi,” nada suara Pandan Wangi agak mendengus.
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak bersungguh-sungguh dalam pertarungannya tadi. Kalau dia mau, tidak lebih dari dua jurus saja sudah bisa melumpuhkan dua orang lawan. Tapi hal itu memang disengaja. Rangga memang tidak pernah menewaskan lawan tanpa diketahui apa sebabnya. Lain halnya dengan Pandan Wangi yang selalu mengambil tindakan tegas pada lawan-lawannya. Terlebih lagi, kalau sudah yakin jika lawannya punya maksud buruk dan ingin membunuhnya. Gadis itu tak segan-segan lagi mengirimkan ke neraka, jika mereka bersungguh-sungguh hendak membunuhnya.
“Dua orang saja yang tewas, rasanya sudah cukup membuat mereka berpikir tentang kita, Pandan,” kilah Rangga, terdengar lembut nada suaranya.
“Aku tidak mengerti, kenapa mereka tidak menginginkan kita berada di sini? Bahkan begitu ingin membunuh kita, Kakang?” tanya Pandan Wangi seperti bicara pada dirinya sendiri.
Sedangkan Rangga hanya diam saja sambil mengangkat bahunya sedikit. Kata-kata Pandan Wangi barusan merupakan satu pertanyaan yang belum bisa dijawabnya sendiri saat ini.
“Aku yakin ada sesuatu yang terjadi di Lembah Tangkar ini, Kakang,” duga Pandan Wangi.
“Memang itu yang ada di kepalaku saat ini, Pandan,” Rangga menanggapi dugaan si Kipas maut itu.
“Dan surat itu...?”
“Semula memang kurang jelas maksudnya. Tapi sekarang aku yakin kalau orang yang bernama Sudra meminta bantuan pada kita. Hanya saja, kita belum tahu bantuan yang diinginkannya,” sahut Rangga.
“Aku rasa, kita akan tahu kalau bisa bertemu orang yang bernama Sudra, Kakang.”
“Memang. Tapi tampaknya tidak mudah untuk menemuinya,” timpal Rangga.
Pandan Wangi terdiam. Disimpannya kembali Pedang Naga Geni ke dalam warangka di punggung, dan diselipkan Kipas Maut ke balik sabuk yang melilit pinggang rampingnya. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Mereka sama-sama memandang kearah lembah yang bertaburkan cahaya lampu pelita.
“Rasanya tidak mungkin kita memasuki lembah itu lagi, Kakang,” gumam Pandan Wangi.
Rangga hanya diam saja tanpa memalingkan mukanya sedikit pun dari Lembah Tangkar. Dari tempat mereka berada saat ini, memang cukup leluasa memandang ke arah lembah yang berada di bawah sana. Tempat ini memang cukup tinggi, karena berada di lereng bibir lembah, dan tidak seberapa jauh dari bangunan batu yang merupakan sebuah gerbang masuk ke dalam kota di Lembah Tangkar itu.
“Kakang tahu, siapa orang yang bernama Sudra itu?” tanya Pandan Wangi seraya berpaling menatap pemuda tampan berbaju rompi putih di sampingnya.
“Tidak,” sahut Rangga, tetap tidak berpaling sedikit pun.
“Kau tidak kenal, tapi kenapa dia mengenal dan mengirimkan surat kepadamu, Kakang? Dari mana dia tahu namamu? Sedangkan kebanyakan orang hanya mengenalmu sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan di dalam surat itu, nama aslimu disebutkan,” kata Pandan Wangi lagi menduga-duga.
Sedangkan Rangga hanya diam saja. Terlalu sulit bagi Pandan Wangi menerka jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti saat ini.
“Dari mana sebenarnya kau dapatkan surat itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Seorang kurir. Dia datang ke Istana Karang Setra, dan Danupaksi yang menerima surat itu. Seorang kurir istana menyampaikannya padaku, ketika menginap di Desa Talang Gati,” jelas Rangga tentang surat yang diterimanya.
“Tidak banyak orang yang mengenalmu sebagai Raja Karang Setra, Kakang,” ujar Pandan Wangi, agak bergumam nada suaranya.
Rangga berpaling perlahan menatap gadis di sebelahnya. Sedangkan Pandan Wangi tetap memandangi Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan ingin menembus jalan pikiran Rangga dari sorot matanya. Tapi memang terlalu sulit, karena sinar mata Pendekar Rajawali Sakti demikian datar. Sepertinya tidak menyiratkan sesuatu di dalamnya.
“Apa pendapatmu tentang orang yang bernama Sudra, Pandan?” tanya Rangga.
“Sulit menduganya, Kakang,” sahut Pandan Wangi. “Tapi mungkin juga punya hubungan di istana, atau pernah melihatmu di Istana Karang Setra. Sehingga dia bisa mengetahui tentang dirimu yang sebenarnya.”
“Kemungkinan itu memang ada, Pandan. Tapi siapa orangnya yang bisa bebas keluar masuk di Istana Karang Setra...?” Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Terlalu banyak, Kakang. Bukan hanya para pembesar, para adipati, atau petinggi-petinggi kerajaan yang bisa keluar masuk istana. Bahkan para pekerja rendahan dan rakyat juga bebas keluar masuk istana. Bukankah itu peraturan yang kau berikan, agar tidak ada jurang pemisah di antara petinggi dan rakyat...? Jadi, siapa saja bisa dan mungkin melihatmu sedang duduk di Singgasana. Bahkan mengenalimu sebagai Pendekar Rajawali Sakti,” jelas Pandan Wangi, menjabarkan keadaan di dalam Istana Karang Setra.
Sedangkan Rangga hanya diam saja membisu. Tidak dibantah sedikit pun semua uraian yang dikemukakan gadis ini. Apalagi menyalahi. Semua yang dikatakan Pandan Wangi memang benar pada kenyataannya. Dia memang tidak ingin ada jurang pemisah di antara pembesar dan petinggi kerajaan dengan rakyat. Jadi, tidak ada larangan bagi siapa saja, dan dari golongan mana saja, untuk masuk ke dalam istana. Dan itu berarti bisa siapa saja mengenali dirinya sebagai Raja Kerang Setra, juga sebagai seorang pendekar yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti.
“Sebaiknya kita tetap berada di sekitar Lembah Tangkar ini, Kakang. Sambil mencari keterangan, apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini,” usul Pandan Wangi lagi.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam kecil saja.
“Tapi yang lebih penting lagi, kita harus bisa mengetahui siapa Sudra itu. Dan untuk apa mengirim surat yang tidak jelas maksudnya padamu, Kakang,” tambah Pandan Wangi lagi.
Rangga tetap diam membisu. Tapi kepalanya terangguk-angguk perlahan sekali, sehingga hampir tidak terlihat gerakannya.
********************
TIGA
Hari masih begitu gelap, meskipun rona merah sudah membias di ufuk timur. Sementara burung-burung sudah ramai berkicau menyambut datangnya sang mentari. Tampak seekor kuda putih dengan belang coklat tua pada keempat kakinya berlari cepat meninggalkan Lembah Tangkar menuju ke arah barat. Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki tua berjubah panjang berwarna putih bersih. Kudanya dipacu begitu cepat, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan Lembah Tangkar.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Laki-laki tua berjubah putih itu terus cepat menggebah kudanya melintasi jalan tanah berdebu dan berbatu kerikil. Lembah Tangkar semakin jauh ditinggalkan, sehingga tak ada satu rumah pun yang terlihat. Hanya pepohonan dan bebatuan yang ada di sepanjang jalan tanah berbatu kerikil itu. Dia meninggalkan jalan itu ketika berbelok ke kanan. Lalu dimasukinya sebuah hutan yang tidak begitu lebat, sehingga masih bisa menggebah kudanya agar tetap berlari kencang.
Entah sudah berapa lama kudanya dipacu cepat, menerobos hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan dia baru berhenti saat matahari sudah berada tepat di atas kepala. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, lalu melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Perlahan kakinya terayun meninggalkan kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon jati. Dia terus melangkah perlahan, dan baru berhenti setelah di depannya berdiri sebuah bangunan batu berbentuk puri. Tidak begitu besar bangunan puri itu. Dan sekelilingnya terlihat sangat sunyi. Langkahnya berhenti tepat di depan sebuah pintu masuk ke dalam puri ini. Sebuah pintu yang tidak memiliki penutup, sehingga terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya.
“Aku Ki Bargala datang hendak menghadap Gusti Prabu Cantraka,” terdengar lantang suara laki-laki berjubah putih itu.
Tak ada sahutan yang terdengar sedikit pun. Tapi tiba-tiba saja dari bagian atas puri, melesat sebuah bayangan merah. Lalu, di depan laki-laki berjubah putih yang mengenalkan dirinya sebagai Ki Bargala itu sudah berdiri seseorang yang mengenakan baju ketat berwarna merah menyala. Wajahnya sulit untuk dikenali, karena kepalanya terselubung kain merah. Hanya dua lubang bulat sebesar mata kucing pada bagian matanya saja untuk penglihatannya. Namun sepasang bola mata itu bersinar tajam, dan agak memerah di balik lubang penutup kepala dan wajahnya itu.
“Terimalah salam sembah dan hormatku,” ucap Ki Bargala sambil berlutut dengan meletakkan tangan kanan di depan dada.
“Bangunlah, Ki Bargala,” ujar orang itu, terdengar berat nada suaranya.
Perlahan Ki Bargala bangkit berdiri. Badannya dibungkukkan sedikit, dengan tangan kanan tetap berada di depan dada. Jarak diantara mereka hanya sekitar lima langkah saja. Sementara keadaan di sekitar puri itu masih tetap sunyi. Tak terlihat seorang pun disana, kecuali mereka berdua.
“Ada keperluan apa kau datang ke sini, Ki Bargala?” tanya orang berbaju serba merah menyala itu. Suaranya masih tetap terdengar berat sekali.
“Ada yang hendak kulaporkan pada Gusti Prabu Cantraka,” sahut Ki Bargala dengan sikap begitu hormat.
“Katakan saja padaku. Gusti Prabu Cantraka sedang tidak berkenan menerima siapa pun,” ujar orang berbaju serba merah ini lagi.
Ki Bargala jadi terdiam. Sejak meninggalkan Lembah Tangkar tadi, memang sudah diduga kalau tidak mungkin bisa bertemu langsung dengan Prabu Cantraka. Dan laki-laki tua itu memang belum pernah melihat orang yang dikenal bernama Prabu Cantraka. Setiap kali datang ke puri ini, selalu saja orang berbaju merah menyala itu yang menemuinya. Dan Ki Bargala tahu, orang berbaju serba merah yang selalu muncul menutupi wajahnya itu biasa disebut Bayangan Setan Merah.
“Kemarin ada dua orang anak muda datang ke lembah. Mereka membawa surat dari Sudra. Aku lalu mengirim empat orang pembantuku yang terbaik. Tapi, mereka sangat tangguh, dan berhasil menewaskan dua orang pembantuku. Sedangkan si Iblis Bunga Penyebar Maut sudah tidak sabar lagi menunggu perintah dari Gusti Prabu Cantraka,” jelas Ki Bargala melaporkan kejadian di Lembah Tangkar.
“Perintah itu sudah ada. Kau dan orang-orangmu sudah bisa memulainya sekarang. Mengenai dua orang yang datang ke lembah.... Hm, siapa mereka?” masih terdengar berat nada suara orang berbaju merah yang berjuluk Bayangan Setan Merah.
“Mereka mengaku bernama Rangga dan Pandan Wangi. Kedatangan mereka ke sana dengan membawa surat dari Sudra,” sahut Ki Bargala memberitahu.
“Lalu, kenapa sampai dua orang pembantu terbaikmu tewas?”
“Aku menyuruh empat orang pembantu terbaikku mengusir mereka dari lembah. Tapi ternyata mereka tidak mau pergi. Maka terpaksa terjadi pertarungan, hingga dua orang pembantuku tewas di tangan mereka.”
“Kau melakukan tindakan bodoh, Ki Bargala,” dengus Bayangan Setan Merah.
“Tapi surat yang mereka bawa bernada mencurigakan.... Jadi terpaksa harus kuambil tindakan keras. Tapi tidak kusangka kalau mereka memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pembantu-pembantuku,” Ki Bargala mencoba membela diri.
“Tapi kenyataannya kau malah kehilangan dua orang pembantumu yang terbaik.
Hhh...! Kau tahu, siapa mereka sebenarnya, Ki Bargala?”
“Tidak.”
“Merekalah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.”
“Oh...?!” Ki Bargala tampak terkejut bukan main. Sungguh tidak disangka kalau dua orang yang datang semalam adalah dua orang pendekar yang sangat ternama dikalangan persilatan. Terlebih lagi, pemuda yang bernama Rangga dan dijuluki Pendekar Rajawali Sakti. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya saat ini. Ki Bargala jadi kecut hatinya begitu mengetahui siapa dua orang itu sebenarnya.
“Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Kembali ke Lembah Tangkar. Biar urusan Pendekar Rajawali Sakti aku yang tangani. Yang penting, sekarang kau harus bisa mengatasi segala sesuatu yang terjadi di Lembah Tangkar. Lembah itu harus bisa dipertahankan sampai Gusti Prabu Cantraka menentukan, kapan kau dan orang-orangmu boleh meninggalkan lembah.”
“Baik,” sahut Ki Bargala seraya membungkuk memberi hormat.
“Berangkatlah sekarang juga.” Ki Bargala kembali membungkuk memberi hormat. Dan begitu tubuhnya tegak, didepannya sudah tidak terlihat lagi orang berbaju serba merah menyala itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Bargala sama sekali tidak mengetahui kapan perginya. Laki-laki berjubah putih panjang itu bergegas berbalik dan melangkah cepat meninggalkan puri itu.
Ki Bargala memacu cepat kudanya keluar dari dalam hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan ketika memasuki jalan tanah berkerikil, mendadak saja terlihat sebatang anak panah berukuran kecil dan berwarna hitam melesat cepat ke arahnya.
“Hup!” Ki Bargala cepat melentingkan tubuh ke udara. Maka, anak panah hitam itu menghantam bagian leher kuda yang ditunggangi Ki Bargala. Kuda putih belang coklat pada kakinya itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara, lalu jatuh menggelepar di tanah. Darah bercucuran dari lehernya yang tertembus sebatang anak panah kecil berwarna hitam. Dan tepat ketika Ki Bargala mendarat, kuda itu sudah tidak bergerak-gerak lagi.
“Panah beracun…,” desis Ki Bargala begitu memeriksa panah hitam berukuran kecil yang menancap di leher kudanya. Belum juga Ki Bargala bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam dari atas sebatang pohon yang tidak begitu jauh dari laki-laki tua berjubah putih itu. Ki Bargala cepat melompat ke belakang sejauh beberapa langkah. Bersamaan menjejaknya kaki Ki Bargala ke jalan tanah berkerikil, sosok tubuh hitam itu juga mendarat manis di dekat bangkai kuda.
“Hm...,” kening Ki Bargala berkerut memandangi sosok tubuh berbaju serba hitam didepannya.
Agak lama juga Ki Bargala memandangi laki-laki yang sukar diterka usianya itu. Karena, wajahnya begitu buruk dan hitam penuh benjolan. Sebagian pipi kanannya menggerompal, sehingga memperlihatkan tulang pipinya sampai baris-baris gigi yang putih tak beraturan. Sorot matanya begitu tajam, dan rambutnya teriap tak beraturan. Dia berdiri agak terbungkuk, karena di punggungnya terdapat tonjolan seperti unta. Sebatang tongkat dari kayu hitam tergenggam di tangan kanannya, untuk menyangga tubuhnya yang bungkuk.
“Siapa kau, Kisanak? Kenapa menghadang jalanku?” tanya Ki Bargala. Sinar matanya begitu tajam penuh selidik menatap laki-laki berperawakan buruk di depannya.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, Iblis Jubah Putih!” sahut laki-laki bungkuk itu, dingin nada suaranya.
“Heh...?!” Ki Bargala tersentak kaget mendengar jawaban laki-laki bungkuk itu.
“Kau tahu julukanku...? Siapa kau sebenarnya?”
“Tidak sulit mengenalimu, Iblis Jubah Putih. Dan aku juga tahu tujuanmu berada di Lembah Tangkar ini. Kuperingatkan padamu, Iblis Jubah Putih, sebaiknya segera angkat kaki dari Lembah Tangkar,” tegas laki-laki bungkuk itu, bernada mengancam.
“Kau tidak bisa mengancamku, Kisanak,” desis Ki Bargala dingin.
“Aku tidak pernah berkata dua kali, Iblis Jubah Putih. Jika tetap membandel, kau akan menyesal pada sisa-sisa umurmu!” kata laki-laki bungkuk itu tidak kalah dinginnya.
“Ha ha ha...!” tiba-tiba saja Ki Bargala tertawa terbahak-bahak. “Aku tahu siapa kau sekarang, Kisanak. Kau pasti si Bongkok dari Bukit Hantu.”
“Kau sudah tahu siapa aku, Iblis Jubah Putih. Sebaiknya jangan keras kepala. Aku tidak segan-segan membuatmu menyesal seumur hidup!” desis laki-laki bungkuk yang dikenal berjuluk si Bongkok itu.
“Ancamanmu tidak ada artinya bagiku, Bongkok!” dengus Ki Bargala. “Aku khawatir, justru kau sendiri yang tidak akan bisa melihat matahari lagi.”
“Kau benar-benar keras kepala, Iblis Jubah Putih...!” desis si Bongkok dingin menggetarkan.
“Jangan banyak omong! Menyingkirlah, atau kau rasakan tongkat mautku!” bentak Ki Bargala sengit.
“Hm....”
Bet! Ki Bargala langsung mengebutkan tongkat ke depan. Ujung tongkat yang runcing, tertuju lurus ke dada si Bongkok. Perlahan kakinya bergeser ke depan beberapa langkah. Sedangkan si Bongkok sudah menyilangkan tongkat di depan dada. Kakinya juga ditarik beberapa tindak kekanan. Mereka tidak lagi berbicara. Hanya tatapan mata saja yang saling menyorot tajam, seakan-akan hendak mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
“Mampus kau! Hiyaaat...!” Bagaikan kilat, Ki Bargala yang berjuluk Iblis Jubah Putih melesat cepat menyerang si Bongkok. Tongkatnya langsung berkelebat mengarah ke kepala laki-laki bungkuk buruk rupa itu. Tapi manis sekali si Bongkok merundukkan kepala, menghindari sabetan tongkat Iblis Jubah Putih.
Wuk!
Dan begitu tongkat Iblis Jubah Putih lewat di atas kepala, cepat sekali tongkat hitamnya dihentakkan ke arah lambung Ki Bargala. Serangan balasan yang begitu cepat, membuat laki-laki tua itu jadi tersentak tidak menyangka. Buru-buru dia melompat ke belakang sambil berputar dua kali. Baru saja Iblis Jubah Putih menjejakkan kakinya ditanah, si Bongkok sudah kembali menyerang. Tongkatnya yang berwarna hitam pekat dikebutkan cepat ke arah dada Ki Bargala. Tak ada lagi kesempatan bagi Iblis Jubah Putih berkelit menghindar. Dan dengan cepat tongkatnya dikebutkan menangkis serangan tongkat si Bongkok.
Bet! Trak!
“Heh...?!” Ki Bargala jadi terkejut bukan main. Tongkatnya yang terkenal maut, seketika itu juga patah jadi dua bagian ketika membentur tongkat hitam laki-laki bungkuk bermuka buruk itu. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang. Sejenak dipandanginya potongan tongkatnya yang masih tergenggam di tangan kanan. Sedangkan potongan lainnya entah berada di mana.
“Setan...!” dengus Ki Bargala geram. Tongkatnya dilemparkan kepada si Bongkok. Lemparan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu membuat potongan tongkat melesat bagai anak panah terlepas dari busur.
Si Bongkok mengebutkan tongkatnya, menangkis lemparan tongkat yang meluncur deras ke arahnya. Beberapa kali tongkatnya dikebutkan, sehingga potongan tongkat si Iblis Jubah Putih terpotong-potong menjadi beberapa bagian kecil.
Iblis Jubah Putih semakin terbeliak melihat tongkatnya benar-benar tidak mempunyai arti.
“Keparat...!” Sret!
Ki Bargala benar-benar geram melihat tongkatnya kini tak mempunyai arti lagi, setelah menjadi potongan-potongan kecil yang tak lebih dari seruas jari. Maka pedangnya yang selalu tersembunyi di balik jubahnya cepat dicabut. Sebilah pedang keperakan yang berkilat tertimpa cahaya matahari.
Wuk!
Ki Bargala mengebutkan pedang beberapa kali sambil menarik kakinya hingga terpentang lebar ke samping. Sedangkan si Bongkok telah melakukan gerakan, membuka jurus baru yang pasti tidak kalah ampuhnya dari jurus sebelumnya. Ki Bargala sendiri juga sudah siap dengan jurus barunya. Dan sekarang tampaknya dia begitu berhati-hati menghadapi manusia bungkuk bermuka buruk itu.
“Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Hampir bersamaan waktunya, mereka saling berlompatan menyerang. Dan secara bersamaan pula, mereka sama-sama mengebutkan senjata ke arah yang sama. Sehingga, benturan dua senjata yang diandalkan tak dapat dihindari lagi. Dua senjata itu beradu keras di udara, di saat tubuh-tubuh mereka melayang sekitar dua tombak dari tanah.
Trang! Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat membelah udara ketika dua senjata berbentuk pedang dan tongkat itu beradu. Terlihat bunga api memercik dari kedua senjata yang beradu keras itu. Dan pada saat yang sama, mereka sama-sama berpentalan ke belakang. Tubuh mereka berputaran beberapa kali di udara, dan sama-sama mendarat manis sekali. Mereka kembali berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar dua batang tombak.
“Hiyaaat...!”
Begitu kakinya menjejak tanah, Ki Bargala yang dikenal berjuluk Iblis Jubah Putih cepat melesat menyerang sambil membabatkan pedang beberapa kali dengan kecepatan luar biasa. Menerima serangan yang begitu cepat dan dahsyat, si Bongkok segera memainkan tongkatnya, sambil berlompatan lincah menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun. Beberapa kali senjata mereka beradu, dan saling memercikkan bunga api.
Tapi serangan-serangan Ki Bargala tidak juga berhenti sampai di situ. Akibatnya, si Bongkok terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangannya. Hanya sesekali saja si Bongkok mampu memberikan serangan balasan, dan itu pun cepat sekali dipatahkan Iblis Jubah Putih. Kini mereka bertarung semakin sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat.
Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi pertarungan tampaknya tidak juga ada tanda-tanda akan berhenti. Bahkan pertarungan semakin meningkat dahsyat. Kebutan-kebutan pedang dan tongkat menimbulkan suara angin menderu, membuat kerikil dan debu jalan itu beterbangan. Bahkan beberapa pohon sudah terlihat bertumbangan, tersambar senjata maut mereka.
“Awas kaki...!” seru si Bongkok tiba-tiba.
Bet!
Begitu cepatnya si Bongkok merunduk sambil mengebutkan tongkat ke arah kaki Ki Bargala. Tapi dengan gerakan cepat, Ki Bargala melenting ke atas. Sehingga, tebasan tongkat hitam itu hanya lewat di bawah telapak kakinya. Namun tanpa diduga sama sekali, si Bongkok bergerak cepat melewati kaki si Iblis Jubah Putih. Dia langsung melesat ke udara sambil memberikan satu tendangan menggeledek secara berputar. Begitu cepat serangannya, sehingga Ki Bargala tidak sempat lagi menyadari kalau serangan ke kaki tadi hanya satu tipuan. Tidak sempat dihindari lagi tendangan laki-laki bungkuk bermuka buruk itu.
Diegkh!
“Akh...!” Ki Bargala terpekik agak tertahan.
Tendangan si Bongkok begitu telak menghantam punggungnya, membuat Iblis Jubah Putih tersungkur mencium tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan ditanah, lalu cepat melompat bangkit berdiri. Tapi, Ki Bargala jadi agak terhuyung. Pada saat itu, si Bongkok sudah kembali melakukan serangan cepat dengan tusukan ujung tongkatnya kearah dada laki-laki tua berjubah putih itu.
“Hiyaaat...!”
“Hih!”
Bet!
Ki Bargala mengebutkan pedang untuk menangkis tusukan tongkat hitam itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, si Bongkok cepat memutar tongkatnya, sehingga tangkisan Iblis Jubah Putih itu jadi sia-sia. Dan sebelum Iblis Jubah Putih menarik pulang pedangnya, si Bongkok sudah memberi satu pukulan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!” untuk kedua kalinya Ki Bargala memekik keras.
Pukulan yang dilepaskan si Bongkok tepat dan keras sekali menghantam dadanya. Akibatnya, laki-laki tua berjubah putih itu terpental sejauh beberapa batang tombak. kebelakang. Dua batang pohon seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh tua berjubah putih itu. Dan pada pohon yang ketiga, tubuh Ki Bargala baru berhenti meluncur. Iblis Jubah Putih itu bergelimpangan di antara kepingan reruntuhan pohon yang terlanda tubuhnya. Dia berusaha cepat bangkit berdiri, tapi....
“Hoeeek...!”
Dari mulutnya menyembur darah kental agak kehitaman. Ki Bargala menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Rasa pening cepat sekali menyerang kepala, ditambah lagi rasa sesak yang menggumpal memenuhi dada. Ki Bargala merasakan dadanya bagai terhimpit sebongkah batu besar, membuatnya jadi tersengal tak terkendali.
“Kau sudah memilih jalan kematianmu sendiri, Iblis Jubah Putih. Terimalah kematianmu! Hiyaaat...!”
Si Bongkok rupanya tidak sudi lagi memberi kesempatan pada orang tua berjubah putih itu. Bagaikan kilat, dia melompat sambil menghunjamkan tongkat ke arah dada Ki Bargala yang masih berusaha menguasai keseimbangan diri. Serangan kilat yang dilancarkan si Bongkok tak mungkin lagi dapat dihindari. Dan Iblis Jubah Putih hanya dapat terbeliak, tak mampu berkelit sedikit pun. Pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang mendarat di dadanya tadi telah membuatnya seakan akan sulit bergerak.
“Mati aku...,” desah Ki Bargala dalam hati.
Tapi ketika ujung tongkat si Bongkok yang berwarna hitam pekat itu hampir saja menghunjam dada Ki Bargala, mendadak saja sebuah bayangan merah menyambar tubuh laki-laki tua berjubah putih itu.
Bles!
“Setan..!” Si Bongkok jadi geram setengah mati begitu tongkatnya hanya menembus sebatang pohon. Sedangkan tubuh Ki Bargala sudah lenyap tak berbekas lagi, bagaikan amblas tertelan bumi. Si Bongkok cepat mencabut tongkatnya yang menembus cukup dalam kebatang pohon. Dan begitu tongkatnya tercabut, seketika pohon itu berasap, lalu hangus menghitam bagai terbakar. Seluruh daunnya cepat sekali rontok berguguran dan warnanya berubah Jadi kuning.
“Phuih! Ke mana iblis tua keparat itu...?!” dengus si Bongkok geram.
Pandangannya beredar ke sekeliling, tapi tidak juga terlihat ada satu bayangan pun berkelebat di sekitarnya. Iblis Jubah Putih benar-benar lenyap tak terlihat lagi. Si Bongkok menggerutu dan memaki dalam hati. Hatinya benar-benar kesal, karena lawan yang sudah tinggal menjelang ajal mendadak saja lenyap tersambar bayangan merah.
“Bayangan merah.... Hm.... Apa mungkin dia Bayangan Setan Merah...?” gumam si Bongkok bertanya-tanya sendiri. “Kalau memang Bayangan Setan Merah, berarti bukan hanya Iblis Jubah Putih saja yang ada di Lembah Tangkar. Hm.... Berapa orang sebenarnya yang ada di balik semua ini...?”
Beberapa saat lamanya si Bongkok masih berdiri mematung di tepi jalan tanah berkerikil itu. Beberapa kali dia menggumam dan bertanya-tanya sendiri. Sambil menghembuskan napas berat, laki-laki bungkuk bermuka buruk itu melangkah cepat meninggalkan jalan itu. Gerakan ayunan kakinya begitu cepat, sehingga sebentar saja sudah jauh, dan lenyap begitu membelok ke kanan yang langsung menuju ke Lembah Tangkar.
********************
EMPAT
Ki Bargala cepat melompat bangkit dari pembaringan begitu matanya terbuka. Tampak seseorang yang mengenakan baju serba merah dengan seluruh kepala terselubung kain merah, berada di dekat pembaringan yang tadi ditidurinya. Dia cepat-cepat berlutut, lalu meletakkan tangan kanannya di depan dada.
“Bangunlah, Ki Bargala,” ujar orang berbaju serba merah yang dikenal berjuluk Bayangan Setan Merah.
Perlahan Iblis Jubah Putih bangkit berdiri, sambil mencoba mengingat-ingat kejadian yang dialami ketika jauh meninggalkan puri di tengah hutan yang bersebelahan dengan Lembah Tangkar. Di tengah jalan, dia di hadang laki-laki bungkuk bermuka buruk yang dikenal berjuluk si Bongkok. Masih jelas dalam ingatannya saat bertarung dan hampir saja mati kalau tidak disambar bayangan merah. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di dalam kamarnya, ditemani Bayangan Setan Merah. Ki Bargala cepat menyadari kalau nyawanya diselamatkan orang berbaju serba merah ini.
“Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku,” ucap Ki Bargala seraya menjura memberi hormat.
“Jangan berterima kasih padaku, Ki Bargala. Pikirkan saja kejadian yang kau alami,” elak Bayangan Setan Merah, datar nada suaranya.
“Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja Lembah Tangkar ini jadi menarik perhatian orang-orang rimba persilatan. Belum lama Pendekar Rajawali Sakti muncul, dan sekarang datang lagi si Bongkok yang langsung menyerangku,” desah Ki Bargala agak menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
“Itu berarti, kau harus cepat mendapatkan Sudra, sebelum dia bertindak lebih jauh lagi. Terlebih lagi, mereka yang diundang Sudra bisa mencium maksud kita berada diLembah Tangkar ini, Ki Bargala,” tegas Bayangan Setan Merah.
“Aku sudah berusaha, tapi sampai sekarang belum juga bisa menemukan tempat persembunyiannya,” sahut Ki Bargala.
“Si Sudra keparat itu pasti masih ada diLembah Tangkar ini. Aku ingin kau dan semua orang-orangmu menggeledah setiap rumah yang ada di sini. Kalau perlu, gunakan kekerasan!”
“Mereka pasti tidak mau membuka mulut.”
“Bunuh siapa saja yang membangkang. Kau harus mendapatkan secepatnya, sebelum orang-orang yang diundangnya bertambah banyak. Ini perintah langsung Prabu Cantraka, Ki Bargala. Lagi pula, kau tidak akan mampu menghadapi para pendekar yang berkepandaian tinggi. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Bisa kau rasakan sendiri, baru menghadapi si Bongkok saja sudah hampir mati!” agak menggeram nada suara Bayangan Setan Merah.
“Aku akan laksanakan perintahmu, Bayangan Setan Merah,” sahut Ki Bargala seraya menjura memberi hormat.
“Hm....”
Bayangan Setan Merah tidak berkata-kata lagi. Tubuhnya diputar dan seketika itu juga melesat cepat keluar dari ruangan ini melompati jendela. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.
“Aku harus segera memberitahu hal ini pada Iblis Bunga Penyebar Maut. Mereka pasti senang mendengar perintah ini,” desah Ki Bargala seraya bergegas meninggalkan ruangan itu.
“Ha ha ha...!” Mawar Merah tertawa terbahak-bahak begitu mendengar perintah Prabu Cantraka yang disampaikan Ki Bargala. Perintah itu memang sudah lama dinantikan. Terlebih lagi, Prabu Cantraka membebaskan mereka menggunakan segala cara untuk mendapatkan orang yang bernama Sudra. Tanpa menunggu waktu lagi, malam itu juga kedua wanita yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut segera mengobrak-abrik perkampungan di Lembah Tangkar ini.
Sementara itu, tidak berapa jauh dari Lembah Tangkar, tampak Rangga dan Pandan Wangi berdiri tegak memperhatikan lembah yang kini semakin terang benderang oleh api yang membakar beberapa rumah. Lembah yang semula begitu sunyi dan nampak tenang, malam ini benar-benar berubah menjadi sebuah neraka. Orang-orang yang semula tidak kelihatan, kini banyak terlihat berlarian serabutan berusaha menyelamatkan diri dari amukan iblis Bunga Penyebar Maut dan dua orang pembantu Iblis Jubah Putih.
“Neraka benar-benar sudah terjadi dilembah itu, Kakang,” ujar Pandan Wangi perlahan, tanpa berpaling sedikit pun dari Lembah Tangkar.
Sedangkan Rangga hanya diam saja membisu. Api semakin terlihat membesar dari beberapa rumah yang terbakar. Meskipun jarak dari tempat ini cukup jauh dan tinggi, tapi cukup jelas untuk melihat ke arah lembah itu. Dan jeritan-jeritan melengking, serta teriakan-teriakan membentak terdengar jelas terbawa angin malam.
“Kakang, lihat...!” Tiba-tiba Pandan Wangi menunjuk kesatu arah. Rangga segera mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk si Kipas Maut itu.
Tampak di sana dua orang tengah bertarung melawan seorang laki-laki yang kelihatannya bertubuh bungkuk. Mereka bertarung di antara orang-orang yang berlarian serabutan, berusaha menyelamatkan diri dari amukan dua orang wanita berbaju merah dan putih yang mengamuk tidak jauh dari pertarungan itu.
“Si Bongkok...,” desis Rangga, langsung mengenali orang bertubuh bungkuk yang sedang bertarung melawan dua orang pembantu terbaik Iblis Jubah Putih.
“Hup...! Yeaaah...!”
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti cepat melesat menuruni lereng tebing Lembah Tangkar. Pandan Wangi juga tidak ingin ketinggalan. Gadis itu segera melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki memang sudah mencapai tingkatan yang tinggi sekali. Sehingga mereka bisa bergerak cepat bagaikan angin. Tapak-tapak kaki mereka bagai melayang tak menyentuh tanah.
“Hup! Yeaaah...!”
Rangga cepat melentingkan tubuh begitu memasuki perkampungan di Lembah Tangkar itu. Gerakannya begitu ringan dan cepat luar biasa, sehingga Pandan Wangi agak kesulitan mengimbanginya. Dan gadis itu tertinggal cukup jauh di belakang. Sementara Rangga berlompatan dari satu atap rumah ke atap rumah lain. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti langsung meluruk turun begitu dekat dengan si Bongkok yang tengah bertarung melawan dua orang pembantu terbaik Iblis Jubah Putih.
“Hiyaaat..!”
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga langsung terjun ke dalam pertarungan itu. Segera dikerahkannya jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Kedua tangannya bergerak cepat berkelebatan menyambar dua orang laki-laki separuh baya yang pernah bertarung dengannya beberapa waktu lalu. Kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba, membuat dua orang pembantu Iblis Jubah Putih itu jadi terkejut. Mereka kelabakan setengah mati menghindari serangan-serangan cepat yang dilakukan Rangga. Begitu dahsyat, dan luar biasa. Menyadari kalau tidak bakal unggul menghadapi pemuda berbaju rompi putih itu, dua orang laki-laki separuh baya ini langsung melesat kabur.
“Kau tidak apa-apa, Paman Bongkok?” tanya Rangga begitu dua orang yang mengeroyok si Bongkok kabur.
“Tanpa campur tanganmu, aku masih bisa mematahkan leher mereka!” dengus si Bongkok.
“Mereka....”
“Aku tahu...!” selak si Bongkok cepat memotong ucapan Rangga. “Sebaiknya, kita segera menghentikan kerusuhan ini. Kau usir mereka, dan aku akan menyelamatkan orang-orang ini.”
Pada saat itu, Pandan Wangi baru muncul. Rangga meminta gadis itu membantu si Bongkok menyelamatkan penduduk Lembah Tangkar dari amukan Iblis Bunga Penyebar Maut. Sementara Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat menghampiri dua orang wanita yang masih saja mengamuk, membakar rumah-rumah, dan membantai orang-orang yang berada dekat disekitarnya.
“Hentikan...!” seru Rangga keras menggelegar.
Anggrek Putih dan Mawar Merah yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut jadi terkejut mendengar teriakan Rangga yang begitu keras menggelegar. Dan begitu mereka tahu siapa yang berteriak menghentikannya, seketika itu juga mereka melesat pergi cepat sekali. Begitu cepatnya lesatan kedua wanita itu, sehingga Rangga tidak sempat lagi mengejar. Terlebih lagi di sekitarnya begitu banyak orang yang berserabutan kalut, berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
Malam itu Rangga, Pandan Wangi, dan si Bongkok jadi sibuk menenangkan penduduk Lembah Tangkar ini. Mereka dikumpulkan di sebuah lapangan yang cukup luas, ditengah-tengah perkampungan lembah itu. Sementara api terus berkobar melahap beberapa rumah yang tidak sempat lagi terselamatkan dari kehancuran. Memang sungguh dahsyat tindakan yang dilakukan Iblis Bunga Penyebar Maut.
Entah berapa rumah yang terbakar, dan berapa puluh orang yang terbantai tewas di tangan mereka. Untuk menjaga keselamatan mereka semua, Rangga, Pandan Wangi, dan si Bongkok malam itu terpaksa tinggal di perkampungan Lembah Tangkar ini. Sampai pagi hari, ketiga pendekar itu mengamankan perkampungan dari amukan Iblis Bunga Penyebar Maut dan orang-orangnya Iblis Jubah Putih.
Mereka yang rumahnya terbakar, terpaksa tinggal disekitar halaman rumah tetua perkampungan ini yang biasanya dipanggil Ki Kuwu. Dia adalah seorang laki-laki tua yang sekarang tinggal seorang diri di rumahnya yang cukup besar dan berhalaman luas. Beberapa pondok yang berdiri di bagian belakang rumahnya, direlakan untuk tempat tinggal beberapa keluarga yang rumahnya habis terbakar.
“Tidak kusangka mereka akan berbuat seperti ini...,” desah Pandan Wangi, agak menggumam nada suaranya.
“Mereka memang sudah lama mengancam. Dan selama ini kami hidup dicekam rasa takut. Sehingga tak ada seorang pun yang berani keluar dari rumahnya,” jelas Ki Kuwu.
“Siapa sebenarnya mereka itu, Ki?” tanya Rangga.
“Mereka orang-orang suruhan Prabu Cantraka,” sahut Ki Kuwu.
“Prabu Cantraka...?”
“Benar. Dialah orang yang berada di belakang semua kekacauan ini. Sejak kedatangannya ke sini, Lembah Tangkar benar-benar menjadi sebuah neraka bagi penduduk lembah ini. Bencana selalu datang tanpa henti. Bahkan dia selalu mengambil anak-anak gadis kami untuk dijadikan tumbal. Kami sendiri tidak tahu, ke mana anak-anak gadis kami dibawa,” jelas Ki Kuwu.
“Ki, bukankah Lembah Tangkar ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Jati? Apakah Prabu Cantraka itu Raja Karang Jati?” tanya Pandan Wangi ingin memastikan.
“Bukan! Gusti Prabu Karang Jati sendiri tidak tahu kejadian di Lembah Tangkar ini,” sahut Ki Kuwu.
“Hm.... Mengapa tidak diberi tahu, Ki?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Tidak ada kesempatan bagi orang untuk keluar dari Lembah Tangkar ini. Jadi, tidak mungkin semua kejadian di sini dilaporkan. Mereka benar-benar menutup lembah ini,” lagi-lagi Ki Kuwu memberi penjelasan keadaan di Lembah Tangkar ini.
Sementara itu si Bongkok masuk ke dalam ruangan ini, dan langsung duduk bersila di samping Pendekar Rajawali Sakti. Diambilnya cawan perak yang berisi arak di depan Pendekar Rajawali Sakti, langsung diteguknya hingga tandas tak tersisa lagi. Rangga hanya tersenyum saja minumannya ditenggak habis tanpa bilang dulu. Dan Pendekar Rajawali Sakti memang sudah kenal betul watak si Bongkok ini, meskipun di antara mereka jarang sekali bertemu.
“Bagaimana keadaan di luar, Paman Bongkok?” tanya Rangga.
“Mulai tenang,” sahut si Bongkok. “Penduduk pun sudah ada yang membangun rumahnya kembali.”
“Lalu, bagaimana dengan...?”
“Rumahnya kosong,” si Bongkok cepat memutuskan pertanyaan Pandan Wangi yang belum selesai.
“Kosong...?!” Pandan Wangi mendelik.
“Hm.... Itu berarti mereka sudah pergi meninggalkan lembah ini,” gumam Rangga perlahan seperti bicara pada diri sendiri.
“Tidak. Mereka pasti akan kembali lagi kesini,” selak Ki Kuwu cepat.
“Bagaimana mungkin kau bisa memastikan begitu, Ki?” tanya Pandan Wangi.
“Mereka belum mendapatkan yang diinginkan. Jadi tidak mungkin mereka meninggalkan lembah ini tanpa mendapatkan yang diinginkan,” jelas Ki Kuwu.
“Apa sebenarnya yang mereka inginkan disini, Ki?” tanya Rangga ingin tahu.
Ki Kuwu tidak langsung menjawab. Kepalanya tertunduk, seakan-akan menyimpan sesuatu yang begitu berat dalam hatinya. Perubahan wajah laki-laki tua itu sangat menarik perhatian Rangga, Pandan Wangi, dan si Bongkok. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Memang sulit dimengerti perubahan sikap Ki Kuwu yang begitu tiba-tiba setelah mendapat pertanyaan dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.
“Apakah pertanyaanku tadi salah...?” desah Rangga seakan-akan bertanya pada diri sendiri.
Perlahan Ki Kuwu mengangkat kepala, langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi dan si Bongkok hanya diam saja memperhatikan. Di benak mereka juga bertanya-tanya atas sikap Ki Kuwu yang begitu tiba-tiba saja jadi berubah. Sinar mata laki-laki tua itu begitu jelas, bagai menyimpan suatu duka yang amat dalam. Bola mata yang semula begitu bening, kini terlihat berkaca-kaca.
“Kalian datang ke Lembah Tangkar ini tentu karena mendapat surat dari orang yang bernama Sudra...,” ujar Ki Kuwu perlahan, seraya menatap Pendekar Rajawali Sakti.
“Bagaimana kau bisa tahu tentang surat itu, Ki?” tanya Rangga meminta penjelasan.
Bukan hanya Rangga yang terkejut mendengar ucapan Ki Kuwu tadi, tapi juga Pandan Wangi dan si Bongkok. Mereka sampai terlongong terkejut. Sungguh tidak disangka kalau Ki Kuwu mengetahui tentang surat yang mereka terima dari orang yang bernama Sudra.
“Ki Kuwu kenal orang yang bernama Sudra?” tanya Pandan Wangi melihat Ki Kuwu diam saja tidak menjawab pertanyaan Rangga tadi.
“Ya.... Aku kenal betul. Bahkan aku sudah mengenalnya sejak dilahirkan oleh ibunya,” sahut Ki Kuwu perlahan.
Begitu pelannya suara laki-laki tua sesepuh perkampungan Lembah Tangkar itu, sehingga hampir tidak terdengar. Rangga, Pandan Wangi, dan si Bongkok jadi saling melemparkan pandang. Beberapa saat lamanya keadaan di ruangan depan rumah Ki Kuwu ini jadi hening. Tak ada seorang pun yang membuka suara. Ketiga pendekar itu memandang Ki Kuwu dengan sinar mata meminta penjelasan dari surat yang diterima, hingga mereka sampai ke Lembah Tangkar ini.
“Sebenarnya bukan hanya kalian saja yang dikirimi surat. Tapi sekitar dua puluh orang pendekar. Tapi entah kenapa, surat itu hanya sampai kepada kalian berdua saja. Sedangkan surat-surat yang lainnya... Ah, entahlah. Sampai di mana sekarang ini,” ujar Ki Kuwu masih dengan suara pelan.
“Aku mendapatkan surat ini dari seorang kurir,” sela si Bongkok seraya mengeluarkan selongsong surat yang tersimpan di balik lipatan bajunya.
“Aku juga,” sambung Rangga juga mengeluarkan surat yang diterimanya.
“Aku tidak. Aku hanya ikut saja dengan Kakang Rangga,” jelas Pandan Wangi menyambung berterus terang.
“Hm.... Berarti hanya dua pucuk surat yang sampai. Sedangkan delapan belas surat lagi tidak sampai,” gumam Ki Kuwu seraya mengangguk-anggukkan kepala. “Itu berarti para kurir yang diutus tidak bisa kembali lagi ke Lembah Tangkar ini. Hhh.... Malang benar nasib mereka.”
“Ki, siapa sebenarnya orang yang bernama Sudra itu?” tanya Rangga menyelak.
“Dia anakku,” sahut Ki Kuwu perlahan.
“Jadi...?!”
Ketiga pendekar itu semakin bertambah bingung mendengar pengakuan Ki Kuwu yang begitu jelas dan berterus terang. Sungguh tidak disangka kalau orang yang bernama Sudra itu adalah putra Ki Kuwu. Tapi sayang, mereka tidak bisa bertemu orangnya sekarang ini. Sedangkan Ki Kuwu sendiri tidak tahu, untuk apa Sudra mengirim surat dan meminta mereka ke Lembah Tangkar ini. Sedangkan mereka sudah mengalami beberapa peristiwa di lembah ini. Bahkan peristiwa berdarah yang tidak bisa dicegah lagi.
********************
Satu pekan sudah berlalu. Dan anak buah Iblis Jubah Putih tidak pernah lagi kelihatan. Bahkan mendengar nama mereka saja sudah tidak pernah lagi. Tapi yang membuat Rangga masih belum bisa tenang, sampai saat ini belum bisa bertemu orang yang bernama Sudra. Tapi ada satu yang membuat Pendekar Rajawali Sakti semakin tidak mengerti. Semua orang di Lembah Tangkar ini tidak ada seorang pun yang mau membicarakan tentang orang yang bernama Sudra. Bahkan sepertinya mereka tidak ingin memberitahukan siapa itu Sudra.
“Kapan kita akan meninggalkan Lembah Tangkar ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi ketika sore itu mereka berada di tepi sungai yang mengalir di pinggir sebelah selatan Lembah Tangkar ini.
“Si Bongkok sudah dua hari yang lalu meninggalkan Lembah Tangkar ini. Katanya dia mau mencari si Iblis Jubah Putih yang masih punya urusan dengannya.”
“Tampaknya keadaan di sini memang sudah tenang dan kembali seperti semula. Bahkan mereka telah mengangkat Ki Kuwu menjadi tetua perkampungan ini, yang sederajat dengan kepala desa di daerah lain. Tapi...,” ucapan Rangga terputus.
“Tapi kenapa, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Aku merasa persoalan di sini belum tuntas seluruhnya, Pandan.”
“Maksudmu...?” Pandan Wangi tidak mengerti jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku belum bertemu orang yang bernama Sudra. Dan ini membuatku jadi penasaran! Terlebih lagi, aku merasa kalau Iblis Jubah Putih, dan Iblis Bunga Penyebar Maut tidak jauh dari Lembah Tangkar ini. Mereka pasti menunggu kesempatan untuk kembali lagi ke sini. Bisa kau bayangkan, bagaimana jadinya jika kita meninggalkan Lembah Tangkar, sementara mereka masih mengincar lembah ini tanpa diketahui maksud yang sebenarnya,” kata Rangga menguraikan jalan pikirannya.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala. Bisa dimengerti semua yang dikatakan Rangga barusan. Memang kelihatannya tidak akan terjadi sesuatu lagi di Lembah Tangkar ini. Tapi di balik ketenangan dan kedamaian, tersembunyi suatu bara api yang setiap waktu bisa jadi berkobar. Sehingga membuat Lembah Tangkar menjadi sebuah neraka yang akan menghancurkan seluruh lembah yang indah ini.
“Lantas apa yang akan kita lakukan disini, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Aku punya satu rencana...,” sahut Rangga seraya bangkit berdiri.
“Apa...?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
Rangga tidak langsung menjawab keingintahuan Pandan Wangi terhadap rencana yang sudah tersusun di dalam kepalanya. Dipandangnya matahari yang hampir tenggelam dibalik cakrawala sebelah barat. Perlahan kakinya terayun, diikuti Pandan Wangi yang cepat mensejajarkan ayunan langkahnya disamping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun masih merasa penasaran atas rencana yang ada di kepala Rangga, tapi Pandan Wangi tidak mau bertanya lagi untuk mendesaknya. Mereka berjalan perlahan-lahan meninggalkan tepian sungai tanpa berbicara lagi.
Sementara, senja semakin jauh merayap turun. Beberapa rumah yang berdiri di Lembah Tangkar ini sudah ada yang menyalakan pelita. Saat kedua pendekar muda itu baru saja melewati beberapa rumah, mendadak saja terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat menyelinap di antara rumah-rumah yang berdiri di Lembah Tangkar ini.
“Kau lihat itu tadi, Pandan?” tanya Rangga.
“Ya,” sahut Pandan Wangi.
“Ayo kita kejar...!”
“Hup!” Pandan Wangi segera melesat cepat begitu Rangga melompat mengejar bayangan yang berkelebat begitu cepat di depannya tadi. Mereka melompat ke atas atap, dan terus berlompatan dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Begitu ringan dan cepat sekali gerakan yang dilakukan, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan putih dan biru yang berkelebat melompati atap rumah yang satu, keatap rumah lainnya.
LIMA
Rangga berhenti berlari ketika sampai ditepi hutan agak ke luar dari Lembah Tangkar. Di sini masih sempat terlihat bayangan merah yang berkelebat cepat tadi menghilang. Saat itu Pandan Wangi baru sampai, dan langsung berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengedarkan pandangan berkeliling, tapi tidak juga melihat bayangan merah yang dikejar tadi.
“Siapa orang itu tadi, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
Tapi belum juga Rangga membuka mulut menjawab pertanyaan Pandan Wangi, mendadak saja matanya menangkap secercah cahaya merah meluruk cepat bagai kilat kearah mereka.
“Awas...! Hup...!” seru Rangga memperingatkan.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting sambil mendorong tubuh Pandan Wangi ke samping. Begitu cepat gerakannya, sehingga Pandan Wangi terkejut, dan jatuh berguling-guling di tanah. Pada saat itu, cahaya merah yang dilihat Rangga menghantam tidak jauh dari Pandan Wangi yang bergulingan di tanah. Ledakan keras menggelegar seketika terdengar dahsyat begitu cahaya merah menghantam tanah.
Seketika itu juga tanah terbongkar menimbulkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa. Pandan Wangi yang terkejut, cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Matanya langsung terbeliak melihat tanah didekatnya terbongkar cukup besar bagai kubangan kerbau. Sementara Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya sekitar beberapa batang tombak dari si Kipas Maut itu.
“Ha ha ha...!”
“Hup!” Pandan Wangi cepat melompat mendekati Rangga begitu tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar yang menggema, seakan-akan tawa itu datang dari segala penjuru. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu saling berpandangan, kemudian sama-sama mengedarkan pandangan berkeliling untuk mencari arah sumber suara tawa itu.
“Pindah ke belakangku, Pandan,” ujar Rangga setengah berbisik.
Tanpa membantah sedikit pun, Pandan Wangi segera menggeser kakinya ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara suara tawa itu semakin keras saja terdengar. Pandan Wangi merasakan suara tawa itu mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga telinganya harus ditutupi disertai penyaluran hawa murni.
“Hm...,” Rangga menggumam perlahan. Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti demikian tajam, tertuju lurus ke depan. Perlahan kedua tangannya diangkat hingga terkepal menyilang di depan dada. Lalu kedua kakinya dipentang lebar-lebar ke samping sambil merendahkan tubuhnya dengan lutut tertekuk. Semakin tajam saja sorot mata Pendekar Rajawali Sakti, dan tiba-tiba saja...
“Yeaaah...!” Sambil berteriak keras, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil membuka lebar-lebar telapak tangannya. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya meluncur sinar merah. Pemuda berbaju rompi putih itu mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir yang begitu dahsyat. Sinar merah yang keluar dari kedua telapak tangannya, langsung meluruk bagaikan kilat menembus semak-semak yang berada sekitar tiga batang tombak didepannya.
Glarrr...! Ledakan keras menggelegar terdengar begitu sinar merah tadi menghantam sebongkah batu yang tersembunyi di balik semak belukar. Pecahan batu berpentalan ke udara, disertai kepulan asap tebal menggumpal dan debu akibat hantaman pukulan jarak jauh yang dilepaskan Rangga dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir.
Bersamaan dengan itu, terlihat sebuah bayangan merah melesat di antara kepulan debu dan pecahan batu serta asap yang menggumpal, membumbung tinggi ke angkasa. Di saat yang sama, Rangga cepat melentingkan tubuh ke udara mengejar bayangan merah itu. Cepat sekali tangannya dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan dari jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.
“Yeaaah...!”
Bet!
“Hap!”
Tampak bayangan merah itu berputaran diudara menghindari kebutan kedua tangan Rangga. Dan hampir bersamaan, mereka meluruk turun, lalu mendarat manis sekali ditanah. Kini di depan Pendekar Rajawali Sakti telah berdiri seseorang yang mengenakan baju merah menyala. Seluruh kepalanya juga terselubung kain merah. Hanya ada dua lubang kecil pada bagian matanya saja yang terlihat, memperlihatkan sorot sepasang mata yang tajam.
“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.
“He he he...! Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti, Rangga,” kata orang berbaju serba merah itu, dingin dan datar suaranya.
Rangga jadi berkerut keningnya. Matanya agak menyipit memperhatikan orang berbaju serba merah di depannya ini. Sungguh hatinya terkejut mendengar orang itu sudah mengetahui tentang dirinya. Bukan hanya nama julukannya, tapi juga nama aslinya.
“Siapa kau, Kisanak?” tanya Rangga yang langsung bisa mengetahui kalau orang itu adalah laki-laki dari nada suaranya.
“Aku sudah tidak ingat lagi siapa namaku yang sebenarnya, Rangga. Tapi orang-orang selalu menyebutku Bayangan Setan Merah,” sahut orang berbaju serba merah itu memperkenalkan diri.
“Bayangan Setan Merah...,” desis Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti merasa belum pernah mendengar julukan itu. “Apa keperluanmu disini...?”
“Kau sendiri, kenapa berada di sini...?” Bayangan Setan Merah malah balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Rangga.
“Aku memang sengaja datang ke sini, karena ada sesuatu yang perlu kuselesaikan,” sahut Rangga.
“Jadi, kau tidak senang aku berada disini...?”
“Tergantung dari apa yang kau lakukan, Bayangan Setan Merah.”
“Ha ha ha...! Jawaban yang bagus, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku tidak percaya pada semua omong kosong tentang dirimu. Kau boleh bangga dengan julukanmu, tapi bagiku tidak berarti apa-apa!”
“Hm...,” Rangga hanya menggumam kecil.
Sudah bisa ditangkap arti dari kata-kata si Bayangan Setan Merah barusan. Kata-kata itu jelas sekali mengandung tantangan yang tidak mungkin bisa dielakkan lagi. Bayangan Setan Merah sudah memberikan tantangan secara terbuka, meskipun diucapkan dengan kata-kata halus. Dan Rangga menyadari kalau tidak mungkin lagi bisa menangkis tantangan yang sudah terucapkan itu.
Sementara si Bayangan Setan Merah menatap tajam Pandan Wangi. Rangga juga melirik sedikit ke arah gadis berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.
“Aku minta kau jangan ikut campur, Kipas Maut. Kau boleh saksikan kematian kekasihmu ini!” ujar si Bayangan Setan Merah, dingin dan tegas suaranya.
“Hhh...! Melawanku saja kau belum tentu mampu. Apalagi menantang Kakang Rangga,” desis Pandan Wangi sinis.
“Kau akan mendapat giliran, Kipas Maut!” dengus Bayangan Setan Merah dingin.
“Bagianku mengeluarkan jantungmu!” balas Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
“Phuih!” Bayangan Setan Merah kelihatan gusar mendengar kata-kata Pandan Wangi yang membakar dadanya, tapi perhatiannya cepat dialihkan pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan memang, dalam hal permainan kata-kata untuk memanasi lawan, Pandan Wangi lebih pandai dari Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran kalau dalam beberapa kata saja, si Bayangan Setan Merah sudah terbakar amarahnya. Tapi, tampaknya laki-laki berbaju serba merah itu tidak ingin melayani si Kipas Maut terus-menerus, sehingga perhatiannya cepat dialihkan pada Pendekar Rajawali Sakti.
“Kita mulai sekarang, Pendekar Rajawali Sakti...!” desis Bayangan Setan Merah dingin.
“Boleh,” sambut Rangga kalem diiringi senyuman tersungging di bibir.
“Bersiaplah! Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Tanpa menunggu waktu lagi, Bayangan Setan Merah melompat cepat bagai kilat menerjang Rangga. Tapi bersamaan dengan itu, Rangga juga melesat ke udara menyambut serangan yang dilancarkan laki-laki berbaju serba merah itu. Secara bersamaan, mereka sama-sama menghentakkan kedua tangannya ke depan. Sehingga, satu benturan keras diudara tidak dapat dihindari lagi.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar menggelegar memecah udara di keheningan malam yang sudah merambat turun ini. Tampak mereka sama-sama terpental kebelakang dan berputaran di udara sebelum sama-sama menjejakkan kaki ditanah. Sebentar mereka berdiri saling berhadapan dengan sorot mata yang begitu tajam menusuk, kemudian...
“Hiyaaat...”
“Hih!”
Bayangan Setan Merah berlari cepat dengan tangan kiri tertuju lurus ke depan. Dan begitu dekat dengan Rangga, langsung tangan kirinya ditarik diikuti gerakan tangan kanan yang melepas satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Rangga bergegas menarik tubuhnya ke kanan, menghindari pukulan yang dilepaskan si Bayangan Setan Merah. Sedikit sekali Rangga memiringkan tubuhnya agak merunduk.
Dan begitu pukulan tangan kanan si Bayangan Setan Merah lewat di samping tubuhnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memberi satu sodokan tangan kiri ke arah lambung. Tapi serangan balasan yang diberikan rupanya sudah terbaca lebih dahulu oleh si Bayangan Setan Merah. Sehingga tubuhnya cepat-cepat ditarik ke belakang. Maka, sodokan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasaran.
“Hup! Yeaaah...!”
Bagaikan kilat, si Bayangan Setan Merah melesat ke udara hingga melewati kepala Rangga. Dan bersamaan dengan itu, kakinya bergerak cepat menghentak ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada waktu lagi bagi Rangga untuk berkelit. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke kanan, dan bergulingan beberapa kali. Kembali serangan yang dilancarkan Bayangan Setan Merah luput dari sasaran. Dia mendengus kesal begitu melihat Rangga kembali berdiri tegak seperti menunggu serangan berikut. Tapi Bayangan Setan Merah malah diam dengan mata tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku bosan bertarung seperti anak ingusan. Sebaiknya kita segera tuntaskan permainan ini, Pendekar Rajawali Sakti,” desis Bayangan Setan Merah dingin menggeletar.
“Akan kuturuti keinginanmu,” sambut Rangga diiringi senyum tipis tersungging dibibir.
“Bersiaplah menerima aji pamungkasku, Pendekar Rajawali Sakti.”
“Hm....”
“Hap...!” Bayangan Setan Merah segera merapatkan kedua telapak tangannya didepan dada. Kemudian kedua kakinya direntangkan lebar-lebar ke samping.
Sementara Rangga terus memperhatikan setiap gerak yang dilakukan laki-laki berbaju serba merah itu. Tampak seluruh tubuh Bayangan Setan Merah bergetar ketika kedua tangannya yang merapat ke atas kepala diangkat. Dari sela-sela telapak tangannya yang merapat, terlihat asap tipis kemerahan mengepul dan menggumpal menjadi satu membentuk bulatan seperti bola.
“Yeaaah...!” tiba-tiba saja Bayangan Setan Merah berteriak nyaring menggelegar. Dan seketika itu juga tangannya cepat ditarik ke depan dada. Lalu, secepat itu pula tangannya dihentakkan ke depan. Gumpalan asap kemerahan di kedua telapak tangannya seketika itu juga melesat cepat bagai kilat kearah Pendekar Rajawali Sakti.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat-cepat Rangga melompat ke udara menghindari serangan Bayangan Setan Merah. Bulatan asap kemerahan itu seketika menghantam tanah tempat Pendekar Rajawali Sakti berpijak tadi. Satu ledakan keras terdengar dahsyat menggelegar ketika bulatan asap kemerahan itu menghantam tanah. Sementara Rangga berjumpalitan beberapa kali di udara, dan manis sekali mendarat di atas sebongkah batu yang cukup besar.
“Hiyaaa...!” Saat itu Bayangan Setan Merah sudah menghentakkan kedua tangannya kembali kedepan. Dan bulatan asap kemerahan kembali melesat cepat bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang baru saja menjejakkan kakinya di atas batu.
“Yeaaah...!” Kembali Rangga harus melentingkan tubuhnya ke udara menghindari serangan Bayangan Setan Merah. Seketika ledakan dahsyat kembali terdengar menggelegar begitu gumpalan asap kemerahan menghantam batu yang besarnya dua kali lipat dari seekor kerbau jantan dewasa.
Beberapa kali Rangga harus berjumpalitan diudara, sebelum mendarat manis di atas tanah berumput lunak yang basah oleh embun. Saat itu, Bayangan Setan Merah sudah kembali melancarkan serangan lagi. Dan kembali pula Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan Bayangan Setan Merah. Sedikit pun Rangga tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang.
Bahkan kini sama sekali mengalami kesulitan untuk menjejakkan kakinya di tanah. Begitu ujung kakinya menyentuh tanah, Bayangan Setan Merah langsung menyerang dengan gumpalan-gumpalan asap merahnya yang dahsyat luar biasa. Sementara itu Pandan Wangi yang menyaksikan dari tempat cukup jauh, jadi merasa cemas melihat Rangga dipaksa berjumpalitan menguras tenaga menghadapi serangan-serangan si Bayangan Setan Merah.
“Hiyaaa...!”
“Hap!” Rangga cepat merapatkan kedua tangannya di depan dada begitu kakinya menjejak tanah. Pada saat itu, Bayangan Setan Merah sudah melontarkan serangan lagi. Cepat-cepat Rangga menarik rubuhnya ke kanan, sehingga gumpalan asap kemerahan itu lewat disamping tubuhnya. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menarik tubuhnya ke kiri, kemudian sedikit membungkuk sambil merentangkan kaki kesamping lebar-lebar.
“Yeaaah...!
“Aji ‘Cakra Buana Sukma’...! Hiyaaa...!”
Tepat ketika Bayangan Setan Merah melepaskan serangannya, Rangga segera menghentakkan kedua tangannya yang sudah terselimut cahaya biru berkilau menyilaukan mata. Seketika itu juga, bulatan asap kemerahan beradu keras dengan cahaya biru dari aji ‘Cakra Buana Sukma’ yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti diudara.
Glarrr!
“Akh!”
“Hup!”
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh berputaran ke belakang. Sementara Bayangan Setan Merah terpental sekitar dua batang tombak. Dua batang pohon seketika tumbang terlanda tubuh laki-laki berbaju serba merah ini. Tampak dari kain merah yang menyelubungi wajahnya, cairan merah merembes membasahi kain merah itu. Dia berusaha bangkit berdiri, tapi....
“Uhk...!”
Dari mulut yang tertutup kain merah, menyembul darah berwarna agak kehitaman. Sementara Rangga yang sudah menjejakkan kakinya kembali ke tanah, bergegas berlari menghampiri Bayangan Setan Merah yang berlutut tak berdaya lagi. Pendekar Rajawali Sakti merenggut bagian kepalanya, lalu melepaskan kain merah yang menyelubungi kepala orang berbaju serba merah itu.
“Heh...?! Kau...?” Rangga terkejut setengah mati begitu berhasil melepaskan kain merah yang menyelubungi seluruh kepala dan wajah orang itu. Di balik kain merah, ternyata tersembunyi seraut wajah tampan dan berkulit putih bersih, bagai kulit seorang wanita. Pendekar Rajawali Sakti terkejut, karena mengenali laki-laki muda berusia sebaya dengan dirinya.
“Raden Suryapati...,” desis Pandan Wangi yang tahu-tahu sudah berada di samping Rangga. Gadis itu juga terkejut dan mengenali raut wajah pemuda yang tersembunyi di balik selubung kain merah itu. Betapa tidak...?
Mereka mengenal betul pemuda yang tadi mengaku berjuluk Bayangan Setan Merah itu. Pemuda itu memang bernama Raden Suryapati, salah seorang putra Adipati Pangkara diKadipaten Bararaja. Dan memang, Lembah Tangkar ini masih termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Bararaja.
“Suryapati...? Apa yang kau lakukan ini...?” tanya Rangga meminta penjelasan dari semua peristiwa ini.
Pemuda yang kini dikenali bernama Raden Suryapati itu tidak langsung menjawab. Perlahan wajahnya diangkat, dan langsung menatap Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar kemudian tatapannya berpindah kepada Pandan Wangi yang berdiri disamping Pendekar Rajawali Sakti, lalu kembali beralih pada Rangga yang masih menatap meminta penjelasan dari pertanyaannya.
“Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dariku, Rangga,” desis Raden Suryapati dingin menggeletar. Dan setelah berkata begitu, dirogohnya lipatan bajunya. Lalu cepat dimasukkan suatu benda kecil berbentuk bulat dan berwarna merah kehitaman ke dalam mulutnya. Langsung ditelannya benda itu.
“Heh...?!” Rangga jadi terkejut bukan main. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mencegah, tapi gerakannya terlambat.
Benda kecil bulat berwarna merah kehitaman itu sudah tertelan kedalam tenggorokan Raden Suryapati. Dan akibatnya sungguh cepat. Pemuda yang semula dikenal berjuluk Bayangan Setan Merah itu tiba-tiba saja mengejang. Dari mulutnya mengeluarkan busa berwarna kuning kehijauan. Lalu, dia ambruk menggelepar. Tak lama kemudian seluruh tubuhnya mengejang kaku, dan diam tak bergerak-gerak lagi.
Rangga cepat cepat memeriksa urat nadi dibagian leher. “Dia sudah mati,” desah Rangga, hampir tak terdengar suaranya.
Perlahan Rangga bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya pemuda berbaju merah yang bunuh diri dengan menelan pil beracun. Kakinya melangkah mundur beberapa tindak menjauhi tubuh Raden Suryapati yang sudah terbujur kaku tak bernyawa lagi.
Sementara Pandan Wangi terus mendampingi Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam membisu memandangi jasad Raden Suryapati yang terbujur kaku.
“Hhh...! Kenapa perbuatan bodoh begitu dilakukannya...? Apa sebenarnya yang terjadi disini?” desah Rangga bernada mengeluh.
“Kakang...,” lembut sekali Pandan Wangi menyentuh pundak Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan Rangga menatap Pandan Wangi. Sinar matanya kelihatan begitu redup. Pandan Wangi bisa merasakan apa yang kini ada di hati Pendekar Rajawali Sakti. Memang sulit menerima kenyataan seperti ini. Adipati Pangkara adalah sahabat dekat Arya Permadi, ayah kandung Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga sendiri sudah menganggap Raden Suryapati sebagai adiknya. Kini, pemuda itu tewas bunuh diri setelah dilumpuhkannya. Sungguh suatu kenyataan yang teramat pahit, yang harus ditelan Pendekar Rajawali Sakti di Lembah Tangkar ini.
“Ayo kita pergi, Kakang,” ajak Pandan Wangi lembut.
Rangga tidak berkata apa-apa, lalu mengayunkan kakinya perlahan mengikuti Pandan Wangi meninggalkan tempat ini.
********************
ENAM
Brak! Meja dari kayu jati cukup tebal, seketika hancur berkeping-keping terhantam pukulan Rangga yang begitu keras. Bukan hanya Pandan Wangi saja yang terkejut, tapi Ki Kuwu yang berdiri dekat Pendekar Rajawali Sakti juga sampai terlompat kaget. Tampak seluruh tubuh Rangga bergetaran bersimbah keringat. Kedua bola matanya memerah, dan gerahamnya bergemeletuk menahan amarah yang meluap-luap dalam dada.
Kematian Raden Suryapati memang membuat jiwa Pendekar Rajawali Sakti jadi terguncang. Pandan Wangi sendiri tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Sungguh belum pernah dilihatnya Rangga begitu marah seperti ini. Gadis itu merasa kecut juga hatinya, sehingga hanya bisa diam, tak mengeluarkan suara sedikit pun.
“Katakan sejujurnya! Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Ki Kuwu...?” desis Rangga, agak bergetar suaranya. Jelas sekali dari nada suaranya, Pendekar Rajawali Sakti menahan amarah yang hampir tak tertahankan lagi.
Sedangkan Ki Kuwu tampak gemetar melihat raut wajah Rangga begitu tegang, dengan sinar mata memerah berapi-api. Sementara, Pandan Wangi yang berdiri agak ke sudut hanya bisa memandangi tanpa dapat berbuat sesuatu untuk meredakan amarah Pendekar Rajawali Sakti. Dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Kemarahan Rangga langsung memuncak begitu menyadari orang yang mengaku berjuluk Bayangan Setan Merah ternyata adalah Raden Suryapati, yang telah diangkatnya sebagai saudara. Mengingat persahabatan yang cukup dekat antara kedua orang tua mereka dahulu, jelas membuat hati Rangga terpukul.
“Aku bisa lebih kejam dari mereka, Ki Kuwu,” desis Rangga lagi. “Katakan, di mana Sudra berada, dan siapa yang ada dibalik semua ini...?”
“Aku.... Aku...,” suara Ki Kuwu tersendat dikerongkongan.
Prak! Lagi-lagi Rangga menghantamkan pukulan ke dinding ruangan ini hingga jebol. Seluruh tubuh Ki Kuwu semakin basah oleh keringat. Dan wajahnya begitu pucat, bagai mayat. Pandan Wangi sendiri jadi bergetar melihat kemarahan Rangga. Baru kali ini dilihatnya Pendekar Rajawali Sakti demikian marah, sehingga bagai tidak mengenal lagi siapa dirinya.
“Kakang...,” perlahan sekali suara Pandan Wangi, dan terdengar agak bergetar.
Gadis itu melangkah perlahan menghampiri Rangga yang berdiri kaku membelakangi jendela. Langkahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi didepan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa saat mereka saling berpandangan. Dan beberapa kali pula terlihat Rangga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan dia ingin melonggarkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak, bagai terhimpit beban yang teramat berat.
“Kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan amarah, Kakang. Kendalikan dirimu. Aku bisa mengerti perasaanmu, Kakang,” bujuk Pandan Wangi berusaha tenang dan lembut.
“Aku tidak mengerti, Pandan. Kenapa Suryapati memakai julukan Bayangan Setan Merah...? Dari mana ajian yang begitu dahsyat diperolehnya? Dia seperti lupa padaku. Dia tidak kenal lagi denganku. Bahkan begitu bersungguh-sungguh ingin membunuhku. Apa sebenarnya yang terjadi, Pandan? Kenapa semua...?” ucapan Rangga terputus. Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan kepala sambil menghembuskan napas panjang dan terasa begitu berat sekali.
Pandan Wangi hanya bisa menelan ludah saja untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak jadi terasa begitu kering, bagai berada di tengah padang pasir yang luas tak bertepi.
“Semua akan jelas kalau orang yang bernama Sudra itu ada di sini...,” ujar Rangga lagi. Nada suaranya terdengar begitu gemas saat menyebut nama Sudra.
Memang, kalau tidak karena surat yang dikirim dari orang yang bernama Sudra itu, tidak mungkin mereka berada di Lembah Tangkar ini. Sepucuk surat yang menyimpan suatu teka-teki, dan sudah meminta begitu banyak korban nyawa.
“Apa yang akan kau lakukan jika Sudra ada di sini, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Ki Kuwu tiba-tiba.
Rangga dan Pandan Wangi langsung menatap orang tua itu dalam-dalam. Sedangkan Ki Kuwu malah duduk di tepi dipan bambu yang ada di sudut ruangan ini. Tubuhnya tidak lagi gemetar seperti tadi. Dan raut wajahnya juga sudah tidak memucat lagi. Ki Kuwu rupanya sudah bisa menguasai dirinya.
“Kau tahu di mana dia, Ki?” tanya Pandan Wangi, dibuat lembut nada suaranya.
“Memang tidak ada seorang pun yang tahu, siapa itu Sudra,” kata Ki Kuwu, perlahan suaranya.
“Kau bilang dia anakmu. Kenapa sekarang kau katakan tidak ada seorang pun yang tahu...? Mana yang benar, Ki?” desak Pandan Wangi tidak mengerti.
“Sudah lama aku hidup sendiri, setelah istriku meninggal dua puluh lima tahun yang lalu. Istriku sama sekali tidak meninggalkan anak. Sedangkan aku sangat mendambakan keturunan yang bisa mewariskan semua yang kumiliki sekarang ini,” masih terdengar pelan suara Ki Kuwu.
Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi menghampiri perlahan. Dan mereka duduk didipan bambu yang hanya beralaskan selembar tikar yang sudah agak lusuh. Sedangkan Ki Kuwu masih tetap duduk dipinggir dipan bambu itu. Kepalanya agak tertunduk, tapi sebentar kemudian terangkat. Tatapan matanya langsung bertemu sorot mata Rangga yang masih terlihat tajam.
“Kenapa kau membohongi kami, Ki? Kenapa kau tidak berkata terus terang sejak semula...?” tanya Rangga bernada mendesak.
“Maaf, aku terpaksa melakukan itu karena....”
“Karena apa, Ki?” desak Rangga cepat begitu Ki Kuwu memutuskan ucapannya.
Belum juga bisa meneruskan kata-katanya, mendadak saja melesat sebuah benda berwarna kuning kehijauan. Rangga yang melihat benda itu, melesat cepat bagai kilat ke arah Ki Kuwu. Tangan kirinya mendorong dada orang tua itu, dan tangan kanannya mengibas ke arah benda kuning kehijauan.
“Yeaaah...!”
Bet!
Tap!
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Rangga, sehingga Ki Kuwu berhasil selamat dari benda yang meluncur cepat bagai kilat itu. Dua kali Rangga berputaran, lalu manis sekali mendarat di lantai ruangan ini. Sekilas matanya melirik Ki Kuwu yang terjajar bersandar ke dinding.
“Tetap di sini, Pandan...!” seru Rangga.
“Hup!”
“Baik, Kakang....”
Belum juga habis sahutan Pandan Wangi, Rangga sudah melesat cepat keluar dari ruangan ini melewati jendela yang terbuka lebar. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga ketika Pendekar Rajawali Sakti melesat hanya bayangan saja yang terlihat. Hanya dengan ujung jari kaki Rangga menyentuh tanah, kemudian kembali melenting tinggi keudara. Pendekar Rajawali Sakti kemudian hinggap di atas atap rumah Ki Kuwu yang berukuran cukup besar. Pada saat itu matanya menatap dua bayangan berkelebat cepat menerobos lebatnya pepohonan dibagian belakang rumah ini.
“Hup! Yeaaah..!”
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga terus melompat cepat mengejar dua bayangan yang tampak berkelebat hilang di dalam lebatnya pepohonan. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan begitu kakinya menyentuh tanah. Begitu cepat dan ringan gerakannya sehingga seakan-akan sepasang kakinya tidak menyentuh tanah sama sekali.
“Heps! Hiyaaa...!”
Begitu matanya kembali melihat dua bayangan berkelebat, cepat tubuhnya melenting ke udara, dan melakukan beberapa kali putaran melewati beberapa pepohonan yang tumbuh merapat di dalam hutan Lembah Tangkar ini. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan dengan menotok ujung jari kakinya pada pucuk-pucuk pohon. Lalu manis sekali tubuhnya meluruk turun, dan tepat mendarat menghadang dua orang yang berlari cepat berkelebatan di antara pepohonan yang cukup rapat dalam hutan ini.
“Mau lari ke mana kalian...?!” desis Rangga dingin.
“Heh...?!”
“Hah...?!”
Dua orang laki-laki berusia separuh baya itu terkejut bukan kepalang begitu tiba-tiba di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih. Dan pemuda tampan yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu jadi mendesis dingin begitu mengenali dua laki-laki ini yang ternyata dua orang pembantu Ki Bargala yang berjuluk Iblis Jubah Putih. Dua orang yang pernah bertarung dengannya ketika hari pertama diLembah Tangkar ini.
Sret! Trek!
Dua orang laki-laki setengah baya itu langsung mencabut senjata yang berupa tongkat pendek berujung bulan sabit, begitu mengenali pemuda yang tiba-tiba menghadangnya. Sedangkan Rangga sendiri masih tetap berdiri tegak dengan sorot mata tajam agak memerah. Begitu angker sosok Pendekar Rajawali Sakti, bagai malaikat maut yang siap mencabut nyawa kedua laki-laki setengah baya ini. Akibatnya, mereka langsung bergetar, kecut hatinya. Mereka saling berpandangan sebentar, kemudian....
“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Secara bersamaan mereka berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil mengebutkan senjata masing-masing. Saat itu juga Rangga segera mengerahkan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega. Kedua tangannya terpentang lebar dan kakinya bergerak cepat menyusur tanah.
Bet! Bet!
Dua kali Rangga mengebutkan kedua tangannya, sambil meliukkan tubuh dengan indah sekali. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan, sehingga membuat dua orang laki-laki separuh baya ini jadi kelabakan setengah mati. Dan belum juga mereka bisa berbuat sesuatu, kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam senjata-senjata mereka yang sudah terulur maju melakukan serangan tadi.
Trak! Tak! Mereka jadi terkejut setengah mati melihat senjata-senjata yang diandalkan berpatahan tersabet tangan-tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga mereka bisa menguasai keterkejutannya, Rangga sudah kembali bergerak cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan.
“Hiyaaa...!”
Bet! Bet!
Plak! Diegkh!
Dua orang laki-laki setengah baya itu seketika berpentalan terhantam kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka langsung ambruk bergelimpangan di tanah. Darah langsung menyembur keluar dari mulut begitu mereka mencoba bangkit berdiri. Pada saat itu, Rangga sudah melompat cepat mempergunakan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Pemuda berbaju rompi putih itu meluruk deras ke arah salah seorang yang baru saja bangkit berdiri. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Rangga, sehingga orang itu tidak sempat lagi berbuat sesuatu.
“Yeaaah...!”
Prak!
“Aaa...!”
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar nyaring menyayat begitu satu kaki Rangga menghantam kepala orang itu. Tubuhnya berputaran sambil meraung keras memegangi kepalanya yang pecah terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi dari jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Sementara yang seorang lagi cepat-cepat melarikan diri begitu melihat temannya ambruk menggelimpang tewas seketika, sebelum Rangga sempat menyadari.
“Hm...,” Rangga menggumam kecil begitu melirik pada satu orang lagi yang berlari mencoba kabur. Perlahan tubuhnya diputar dan berdiri tegak memandangi laki-laki setengah baya berbaju biru tua yang terus berlari lintang pukang menerobos lebatnya pepohonan dalam hutan ini. Sama sekali tidak disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti terus memperhatikan.
“Hup!” Tiba-tiba saja Rangga melesat tinggi keudara, dan hinggap di atas sebatang pohon yang cukup tinggi. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat memperhatikan laki-laki separuh baya berbaju biru tua itu terus berlari jatuh bangun menerobos lebatnya hutan ini. Pendekar Rajawali Sakti kembali melompat ke pohon lainnya. Sengaja dibiarkannya orang itu terus berlari. Pendekar Rajawali Sakti terus mengikuti dengan berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya sambil menjaga jarak.
Sama sekali orang itu tidak menyadari kalau dirinya diikuti. Kepalanya berpaling kebelakang, dan berhenti menyandarkan punggungnya ke batang pohon sambil mengatur jalan napas yang terengah-engah karena berlari kencang tanpa mempedulikan sekelilingnya. Sebentar laki-laki itu beristirahat, kemudian kembali berlari. Kali ini dia berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, dan tidak tersaruk-saruk seperti tadi. Sementara Rangga semakin tersenyum lebar melihat buruannya menyangka sudah aman tidak diikuti.
“Terus lari, Setan! Tunjukkan tempat persembunyian teman-temanmu!” desis Rangga dalam hati.
Sementara itu Pandan Wangi yang masih berada di rumah Ki Kuwu tampak gelisah menunggu Rangga yang tidak juga kunjung datang. Kini malam terus merayap semakin larut. Beberapa kali Pandan Wangi melongok ke luar, tapi tidak juga melihat ada tanda-tanda Rangga akan kembali. Matanya melirik Ki Kuwu yang masih tetap duduk dengan wajah lesu di tepi dipan bambu.
“Maaf, aku telah menyusahkan kalian...,” ujar Ki Kuwu perlahan, memecah kesunyian yang terjadi diruangan depan rumahnya ini.
“Kau tidak perlu meminta maaf begitu, Ki. Aku rasa, kau bisa membantu mengatasi keadaan ini jika mau berterus terang sejak semula,” kata Pandan Wangi, tetap berdiri disamping jendela.
“Aku memang salah. Tapi bukan maksudku untuk mempermainkan kalian. Hal ini kulakukan hanya untuk menyelamatkan anak-anak kami yang mereka ambil, dan sampai sekarang belum ada seorang pun yang kembali,” jelas Ki Kuwu, masih tetap perlahan suaranya.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Ki...?” ujar Pandan Wangi ingin lebih jelas lagi.
“Sudah cukup lama Prabu Cantraka menguasai Lembah Tangkar ini. Bahkan bukan hanya lembah ini saja yang dijarah. Tapi juga sampai ke kota kadipaten dan desa-desa lain di seluruh Kadipaten Bararaja. Dia mengambil paksa anak-anak muda dan gadis-gadis berusia di bawah dua puluh tahun. Bahkan sampai putra adipati sendiri diambil dengan paksa.”
“Hm.... Apakah Adipati Pangkara sendiri tahu putranya diculik?” tanya Pandan Wangi.
“Ya! Tapi Gusti Adipati Pangkara tidak bisa berbuat apa-apa, karena orang yang selalu dipanggil Prabu Cantraka itu sukar dilawan. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali. Tak ada seorang pun jago kadipaten yang sanggup menandinginya. Sampai Gusti Adipati Pangkara sendiri hanya bisa diam, setelah mendapat ancaman dari Prabu Cantraka.”
“Ancaman apa?”
“Putranya akan dibunuh, dan seluruh Kadipaten Bararaja akan dibumihanguskan jika Adipati Pangkara terus mengusiknya. Ancaman itu dibuktikan dengan menghancurkan satu desa yang berada di sebelah utara kota kadipaten. Sampai saat itu, tidak ada seorang pun yang berani lagi menentang kehendak Prabu Cantraka. Dan...,” Ki Kuwu memutuskan kalimatnya.
“Teruskan, Ki,” pinta Pandan Wangi.
“Aku tidak tahan melihat kekejaman berlangsung di depan mataku, tanpa ada seorang pun yang mampu menghentikannya. Hingga, aku punya pikiran yang mungkin kau anggap gila, Pandan. Aku mengirim beberapa surat pada para pendekar di seluruh pelosok wilayah kulon ini. Semua pembantuku kusebar membawa surat itu.”
“Jadi...?!”
“Ya! Sudra sebenarnya adalah aku sendiri. Semua orang di Lembah Tangkar ini hanya mengenalku dengan nama Ki Kuwu. Padahal, orang tuaku memberi nama Sudra,” akhirnya Ki Kuwu mengaku juga.
“Oh...,” desah Pandan Wangi tidak menyangka.
“Salah seorang pembantuku yang membawa surat, rupanya sempat diketahui anak buah Iblis Jubah putih. Dia tewas, disusul dua orang pembantuku yang lain. Iblis Jubah Putih dan orang-orangnya yang dibantu Iblis Bunga Penyebar Maut, mengejar dan membantai para pembantuku yang membawa surat. Tapi, rupanya dewata masih juga melindungi niat baikku. Meskipun hanya dua pucuk surat saja yang selamat, tapi itu sudah membuka pintu terang untuk Lembah Tangkar ini,” kali ini nada suara Ki Kuwu terdengar lega dan bebas. “Maafkan aku, Pandan.
Aku telah menyusahkanmu. Juga Pendekar Rajawali Sakti....”
“Kau tidak perlu meminta maaf, Ki. Aku rasa, yang kau lakukan adalah benar, meskipun harus berkorban begitu banyak. Bahkan kau mempertaruhkan penduduk Lembah Tangkar ini. Tapi aku kagum atas keberanianmu, Ki. Sulit mencari orang yang berani sepertimu. Mau mempertaruhkan segalanya demi kebaikan dan memerangi keangkaramurkaan,” tegas Pandan Wangi seraya memberi senyuman.
Gadis berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu melangkah perlahan mendekati Ki Kuwu. Kemudian, dia duduk di samping orang tua itu. Melihat senyum terkembang di bibir Pandan Wangi, bola mata laki-laki tua itu jadi berkaca-kaca. Hatinya sungguh tersentuh mendapati kebesaran hati gadis berkepandaian tinggi ini.
“Akibat perbuatanku, mereka jadi marah dan terus mencari orang yang bernama Sudra yang sebenarnya adalah aku sendiri. Mereka mengamuk dan membantai penduduk Lembah Tangkar ini. Mereka akan membumihanguskan lembah ini jika tidak menyerahkan Sudra,” lanjut Ki Kuwu.
“Tidak perlu menyesali diri, Ki. Tindakan yang kau ambil tidak salah sama sekali. Bahkan aku kagum atas keberanianmu. Meskipun kau tahu betapa besar bahayanya, tapi tetap kau lakukan demi tegaknya keadilan dan kedamaian dimuka bumi ini. Memang sudah sepantasnya ada satu orang yang bertindak berani menentang keangkaramurkaan. Percayalah, Ki. Aku dan Kakang Rangga akan membebaskan Lembah Tangkar ini dari cengkeraman mereka,” ujar Pandan Wangi, membesarkan hati orang tua ini.
“Aku percaya pada kemampuan kalian berdua, Pandan. Aku yakin, kau dan Pendekar Rajawali Sakti pasti mampu menumpas mereka. Paling tidak, mengusir mereka jauh-jauh dari sini, hingga tidak bisa kembali lagi ke Lembah Tangkar,” ujar Ki Kuwu berharap.
Pandan Wangi tersenyum dan menepuk pundak laki-laki tua itu, kemudian bangkit berdiri dan melangkah menghampiri jendela. Gadis itu berdiri tegak di depan jendela yang masih terbuka lebar. Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut.
“Kau tahu di mana tempat persembunyian mereka, Ki?” tanya Pandan Wangi tanpa memutar tubuhnya, dan terus memandang keluar jendela.
“Tidak,” sahut Ki Kuwu. “Tak ada seorang pun yang tahu di mana sarang mereka.”
“Hm.... Lalu siapa orang yang dipanggil Prabu Cantraka itu?” tanya Pandan Wangi lagi sambil memutar tubuhnya, berbalik.
“Tidak ada yang tahu pasti, siapa dia sebenarnya, Pandan. Dia pernah muncul sekali di Kadipaten Bararaja, tapi wajahnya ditutupi topeng kera dari kayu. Hanya satu kali itu saja kemunculannya ketika memberikan peringatan kepada Gusti Adipati Pangkara. Tapi itu juga hanya di halaman istana kadipaten. Dan tidak bertemu langsung dengan Gusti Adipati Pangkara sendiri,” sahut Ki Kuwu menjelaskan lagi.
“Hm.... Dia muncul menutupi wajahnya. Pasti dia tidak ingin dikenali,” gumam Pandan Wangi berbicara sendiri. Si Kipas Maut menatap Ki Kuwu dalam-dalam. Sedangkan yang dipandangi hanya tertunduk saja, seakan-akan tidak sanggup membalas sorot mata gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu. Beberapa saat tidak ada yang berbicara. Dan keadaan di dalam ruangan itu jadi hening, seperti berada di tengah-tengah kuburan.
“Ki, sebenarnya ada apa di Lembah Tangkar ini?” tanya Pandan Wangi, agak dalam nada suaranya.
“Semua penduduk di Lembah Tangkar ini hidup dari mendulang emas...,” ujar Ki Kuwu memberi tahu.
“Emas...?!”
“Benar. Lembah ini kaya akan emas.
Seakan-akan tidak ada habisnya, meskipun setiap hari selalu diambil dan diangkut ke kota. Bahkan, tadinya tidak sedikit para pedagang dan saudagar yang datang ke sini untuk menukar dagangan dengan emas. Tapi sekarang tempat mencari emas itu sudah dikuasai Prabu Cantraka. Bahkan sampai sekarang ini, tidak ada seorang pun yang diperbolehkan mendulang emas.”
“Hm...,” Pandan Wangi menggumam tidak jelas.
Pantas saja rumah-rumah di sini besar-besar, dan kehidupan penduduk lembah ini bisa dikatakan lebih tinggi daripada orang-orang yang hidup di kota kadipaten. Ternyata mereka memang kaya akan emas. Tidak heran jika ada orang yang tertarik menguasai lembah ini. Tapi jalan yang digunakan sama sekali tidak benar. Dan Pandan Wangi menduga, orang itu pasti sudah mengenal betul seluk-beluk di Lembah Tangkar, hingga berani membekukan semua kegiatan Kadipaten Bararaja yang masih membawahi wilayah Lembah Tangkar ini.
“Apa tidak mungkin...? Hm.... Aku harus segera menemui Kakang Rangga,” gumam Pandan Wangi berbicara sendiri dalam hati. Sebentar gadis itu menatap pada Ki Kuwu.
“Aku pergi dulu, Ki,” ujar Pandan Wangi.
“Kau mau ke mana?” tanya Ki Kuwu.
“Mencari Kakang Rangga,” sahut Pandan Wangi.
“Ke mana kau akan mencarinya, Pandan?”
Pandan Wangi tidak menjawab. Dia memang tidak tahu, ke mana harus mencari Rangga yang sampai saat ini belum juga muncul. Bahunya diangkat sedikit, dan kakinya melangkah menuju ke pintu depan. Ki Kuwu bergegas bangkit dari dipan bambu yang didudukinya, dan cepat-cepat melangkah menyusul si Kipas Maut itu.
“Ada sebuah puri di tengah hutan, dan sudah lama tidak dipakai lagi. Mungkin mereka menjadikan puri itu sebagai sarangnya,” jelas Ki Kuwu begitu ayunan langkahnya berada di samping Pandan Wangi.
“Kau bisa tunjukkan, Ki?” pinta Pandan Wangi.
“Ikuti aku. Kita ambil jalan pintas.” Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
Kini mereka terus berjalan keluar dari rumah berukuran sangat besar dan cukup megah ini. Mereka terus berjalan menuju ke bagian belakang rumah Ki Kuwu ini. Dan malam pun semakin terus merayap larut. Udara semakin terasa dingin terbawa hembusan angin yang agak kencang. Tapi Pandan Wangi dan Ki Kuwu seperti tidak menghiraukannya. Mereka terus melangkah menuju ke hutan yang terletak tepat di belakang rumah Ki Kuwu.
TUJUH
Sementara itu Rangga yang mengikuti salah seorang pembantu Iblis Jubah Putih, sudah sampai di tengah-tengah hutan yang cukup lebat ini. Pendekar Rajawali Sakti berhenti mengikuti, dan tetap berada di atas pohon ketika melihat sebuah bangunan putih yang terbuat dari batu di tengah-tengah hutan ini. Dan laki-laki setengah baya yang diikutinya, jelas melangkah cepat menuju bangunan puri itu.
Dari dalam puri, tampak keluar Ki Bargala yang lebih dikenal berjuluk Iblis Jubah Putih. Di belakangnya mengikuti dua wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang masing-masing mengenakan baju ketat warna merah dan putih. Meskipun sudah berusia sekitar empat puluh tahun, tapi mereka masih kelihatan cantik dan segar bagai gadis yang baru saja berumur dua puluh tahun. Kedua wanita ini yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut.
“Bagaimana, Wirya?” Iblis Jubah Putih langsung bertanya begitu laki-laki separuh baya itu berada dekat di depannya.
“Gagal, Ki...,” sahut laki-laki separuh baya berbaju biru tua yang dipanggil Wirya itu. Suaranya pelan sekali, dan hampir tidak terdengar di telinga.
“Apa...?! Gagal...?!” Iblis Jubah Putih mendengus berang mendengar jawaban yang tidak diinginkannya itu.
“Mereka menghalangi, Ki. Bahkan pemuda itu membunuh....”
“Setan...!”
Plak!
“Aduh...!” Wirya terpekik.
Tubuhnya terpelintir begitu tiba-tiba satu tamparan keras mendarat di pipi kirinya. Laki-laki separuh baya itu langsung jatuh berlutut di depan Iblis Jubah Putih. Dengan punggung tangannya, disekanya darah yang merembes keluar dari sudut bibirnya. Tamparan Iblis Jubah Putih begitu keras, sehingga pandangannya terasa jadi berkunang-kunang.
“Kenapa kau tidak mampus saja sekalian, heh...?! Tidak ada gunanya kau kembali kesini!” dengus Iblis Jubah Putih berang.
“Maaf, Ki...,” ucap Wirya perlahan.
“Bangun!” bentak Iblis Jubah Putih.
Perlahan Wirya bangkit berdiri, tapi kepalanya tetap tertunduk menekuri tanah di ujung kakinya. Sama sekali dia tidak berani membalas sorot mata Iblis Jubah Putih yang begitu tajam memerah menahan marah. Sementara dua wanita yang berada di belakang Iblis Jubah Putih hanya diam saja tidak bersuara sedikit pun. Salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala dan biasa dipanggil si Mawar Merah, melangkah maju mendekati laki-laki tua berjubah putih itu.
“Ada tamu datang kesini, Ki,” bisik si Mawar Merah perlahan.
“Hm...,” Iblis Jubah Putih menggumam pelan. Kepalanya terdongak sedikit, dan diputar ke kanan. Lalu, diputar ke kiri perlahan-lahan. Kembali dia menggumam begitu telinganya yang setajam mata pisau mendengar tarikan napas ringan dari arah kirinya. Laki-laki tua berjubah putih itu melirik sedikit pada dua wanita yang mendampinginya. Iblis Bunga Penyebar Maut bisa mengerti, dan perlahan menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak.
“Kau diikuti, Wirya?” tanya Iblis Jubah Putih mendesis perlahan.
“Tidak, Ki,” sahut Wirya.
“Kau memang bodoh!” dengus Iblis Jubah Putih.
Wirya jadi bengong tidak mengerti. Dan sebelum laki-laki setengah baya berbaju biru tua itu bisa mengerti maksudnya, mendadak saja si Iblis Jubah Putih berteriak nyaring dan keras menggelegar. Bersamaan dengan itu, tangan kirinya dikebutkan ke samping sambil cepat memutar tubuhnya.
Slap!
Seketika itu juga dari telapak tangan kirinya meluncur sebuah benda berwarna putih keperakan. Benda itu meluncur deras ke arah semak belukar yang ada di sebelah kiri bangunan batu berbentuk puri itu. Satu ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat ketika benda putih keperakan itu menghantam semak yang seketika itu juga hancur terbongkar bagai diseruduk banteng liar. Bersamaan dengan itu, dari dalam semak yang hancur melesat sebuah bayangan hitam ke udara.
Tampak bayangan hitam itu berjumpalitan di udara, lalu manis sekali meluruk turun. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, bayangan hitam itu mendarat ditanah. Dan sekitar tiga batang tombak di depan Iblis Jubah Putih, kini sudah berdiri seorang laki-laki berbaju serba hitam dengan punggung terdapat tonjolan cukup besar yang membuat tubuhnya bungkuk. Kulit wajahnya hitam bagai terbakar, dan terdapat beberapa benjolan seperti bisul.
“Si Bongkok...,” desis Iblis Jubah Putih agak bergetar suaranya begitu mengenali laki-laki yang muncul dari dalam semak belukar tadi.
“He he he... Kau tidak bisa lari dariku, Iblis Jubah Putih,” ujar si Bongkok diiringi suara tawanya yang terkekeh.
“Phuih! Kau pikir aku takut menghadapimu...?” dengus Iblis Jubah Putih gusar atas kemunculan si Bongkok ini.
“Oh, ya...? Kalau kau berani, kenapa tidak langsung serang saja...?” tantang si Bongkok memanasi.
“Keparat...!” geram Iblis Jubah Putih semakin bertambah gusar mendengar tantangan terbuka itu. Dia tahu si Bongkok memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Dan Iblis Jubah Putih tidak mau gegabah menghadapinya. Maka, matanya melirik sedikit pada Wirya yang masih berdiri tak bergeming di tempatnya. Laki-laki setengah baya berbaju biru tua itu tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat dia melompat ke depan, melewati Iblis Jubah Putih.
“Hadapi aku dulu, Manusia Jelek!” bentak Wirya kasar.
“Hhh! Aku paling tidak suka berlama-lama dengan tikus busuk sepertimu!” dengus si Bongkok dingin.
“Jangan banyak omong! Tahan seranganku. Hiyaaat..!” Wirya langsung saja melompat cepat memberi serangan. Satu pukulan keras menggeledek dilepaskan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Uts!” Tapi hanya memiringkan sedikit saja tubuhnya, pukulan Wirya yang begitu keras dapat dihindari si Bongkok. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kiri laki-laki bertubuh bungkuk itu bergerak cepat menyodok kearah lambung.
Bet! “Akh...!” Wirya tersentak kaget. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang menghindari sodokan tangan kiri si Bongkok. Dan secepat kilat, Wirya melentingkan tubuh sambil melepaskan. satu tendangan keras menggeledek yang sangat dahsyat luar biasa.
“Yeaaah...!”
Tapi si Bongkok sama sekali tidak bergerak menghindar. Dan begitu kaki Wirya berada dekat kepalanya, cepat sekali tangan kanan si Bongkok yang memegang tongkat hitam bergerak membabat kaki yang menjulur deras ke arah kepala itu.
“Heh...?!” Wirya jadi terkejut setengah mati. Buru-buru kakinya ditarik pulang sambil memutar tubuhnya ke belakang dua kali. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja si Bongkok sudah menusukkan tongkatnya kearah dada dengan kecepatan luar biasa.
“Yeaaah...!”
Bresss!
“Aaa...!”
Memang tidak ada lagi kesempatan Wirya untuk menghindari tusukan tongkat hitam itu. Hingga, tongkat hitam itu menembus dadanya begitu dalam, sampai ujungnya menyembul keluar dari punggung. Dengan sekali sentakan saja, si Bongkok mencabut tongkatnya. Seketika darah muncrat keluar dari dada dan punggung Wirya.
“Hiyaaa...!”
Si Bongkok tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat diberikannya satu tendangan menggeledek yang begitu keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tendangan si Bongkok mendarat telak di dada Wirya. Akibatnya laki-laki separuh baya itu terpental jauh ke belakang, dan baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon yang cukup besar, tepat di tempat Pendekar Rajawali Sakti bertengger di atasnya.
Untung saja Rangga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tidak sampai terjatuh ke bawah. Cukup keras juga benturan itu, sehingga membuat pohon yang cukup besar itu jadi berguncang hebat dan hampir roboh. Wirya langsung menggeletak tidak bangun-bangun lagi. Laki-laki setengah baya itu tewas dengan darah mengucur deras dari dadanya yang berlubang.
“Setan keparat...!” geram Iblis Jubah Putih melihat anak buahnya tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja.
“Giliranmu sudah tiba, Iblis Jubah Putih...,” desis si Bongkok dingin menggeletar.
“Phuih! Kubunuh kau, Keparat! Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Secara bersamaan dua tokoh kosen itu saling berlompatan menyerang. Dan mereka sama-sama pula menghentakkan tangan kedepan. Tak dapat dihindari lagi, dua telapak tangan beradu keras di udara. Seketika itu juga terdengar ledakan keras menggelegar begitu dua telapak tangan saling beradu di udara. Tampak mereka sama-sama terpental berjumpalitan di udara, dan secara bersamaan pula mendarat kembali di tanah.
“Hih!”
“Hup!”
Begitu kakinya menjejak tanah, Iblis Jubah Putih segera bersiap melakukan serangan kembali. Begitu pula si Bongkok yang segera bersiap menerima serangan. Tongkatnya ditancapkan di tanah, ketika melihat Iblis Jubah Putih tidak menggunakan senjata. Dan bagaikan kilat, Iblis Jubah Putih melompat cepat sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Si Bongkok terpaksa harus berjumpalitan menghindari pukulan-pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Iblis Jubah Putih secara beruntun. Pertarungan tangan kosong itu berlangsung cukup sengit. Bukan hanya si Iblis Jubah Putih yang melakukan serangan, tapi juga si Bongkok. Dia pun mampu memberi serangan-serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Jurus-jurus tangan kosong mereka rupanya cukup berimbang juga. Sehingga, tidak terasa sudah melewati lima jurus dengan cepat.
“Hup...!”
Tiba-tiba saja Iblis Jubah Putih melentingkan tubuh berputaran ke belakang, keluar dari arena pertarungan. Manis sekali kakinya menjejak tanah, sekitar satu batang tombak didepan si Bongkok. Sementara laki-laki bertubuh bungkuk dengan wajah hitam penuh benjolan, hanya berdiri tegak disamping tongkatnya yang masih tertancap di tanah.
“Kita selesaikan dengan senjata, Bongkok!” desis Iblis Jubah Putih dingin.
“Hm...,” si Bongkok hanya menggumam perlahan saja.
Sret!
“Yeaaah...!”
Iblis Jubah Putih langsung melompat menyerang begitu mencabut pedangnya yang selalu tergantung di pinggang. Pada saat yang bersamaan, si Bongkok juga mencabut tongkatnya yang tadi ditancapkan di tanah. Secepat itu pula tongkatnya dikebutkan untuk menangkis tebasan pedang Iblis Jubah Putih.
Bet! Tring!
Mereka kembali bertarung sengit. Teriakan-teriakan keras menggelegar, kini bercampur baur dengan suara denting senjata beradu. Kebutan-kebutan pedang dan tongkat yang saling sambar, menimbulkan deru angin yang menggemuruh bagai topan. Dan daun-daun pepohonan di sekitar pertarungan jadi berguguran tersambar angin tebasan senjata-senjata dahsyat.
Entah berapa jurus sudah berlalu. Tapi pertarungan itu masih juga berlangsung. Bahkan semakin sengit saja. Mereka saling menyerang secara bergantian. Dan pertarungan pun semakin bertambah cepat, sehingga hanya bayangan-bayangan tubuh mereka saja yang terlihat berkelebat. Hingga suatu saat, tiba-tiba....
Plak!
“Akh...!”
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu Iblis Jubah Putih terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Laki-laki tua berjubah putih bersih itu bergegas bangkit berdiri. Tapi dari mulutnya menyemburkan darah kental agak kehitaman. Sementara tangan kirinya mendekap dada sebelah kiri yang tampak bergambar telapak tangan berwarna merah kehitaman. Sesaat Iblis Jubah Putih masih terhuyung-huyung limbung.
“Ajalmu sudah tiba, Iblis Keparat! Hiyaaat..!”
Bagaikan kilat, si Bongkok melompat cepat sambil mengebutkan tongkat ke arah leher laki-laki tua berjubah putih itu. Sementara, si Iblis Jubah Putih sendiri belum bisa menguasai keseimbangan tubuh yang goyah akibat terkena pukulan maut dari jurus ‘Pukulan Tangan Besi’ si Bongkok tadi. Tapi begitu ujung tongkat si Bongkok yang runcing hampir membabat leher Iblis Jubah Putih, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah menghantam tongkat hitam pekat itu.
Trang!
“Heh...?!” Bukan main terkejutnya si Bongkok begitu mendapat bokongan yang tidak diduga itu. Sehingga, serangannya tidak mengenai sasaran yang sudah tidak berdaya lagi. Cepat-cepat tubuhnya melenting kebelakang, dan melakukan beberapa kali putaran sebelum menjejakkan kaki di tanah berumput.
“Phuih!” si Bongkok menyemburkan ludahnya. Sepasang bola matanya jadi memerah melihat di samping kiri dan kanan Iblis Jubah Putih sudah berdiri dua wanita berusia empat puluh tahun yang masih kelihatan cantik dan segar. Baju yang dikenakan begitu ketat, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Mereka sama-sama melintangkan pedang di depan dada, seakan-akan melindungi laki-laki tua berjubah putih itu.
“Pulihkan dulu kesehatanmu, Ki. Biar kami yang akan menghadapi manusia jelek itu,” desis wanita berbaju merah yang dikenal bernama Mawar Merah.
“Hati-hatilah. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi,” pesan Iblis Jubah Putih.
Laki-laki tua berjubah putih itu bergegas menarik dirinya ke belakang, menjauhi tempat pertarungan itu. Sementara dua wanita yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut sudah melangkah maju beberapa tindak mendekati si Bongkok. Setelah berjarak sekitar enam langkah lagi, mereka menyebar kesamping. Mereka baru berhenti setelah berada di sebelah kanan dan kiri laki-laki bertubuh bungkuk dengan wajah hitam legam bagai terbakar itu.
“Kau datang ke sini hanya menyerahkan nyawa saja, Bongkok,” desis Mawar Merah dingin menggetarkan.
“Hhh! Kalian boleh bangga dengan julukan yang menyeramkan itu. Tapi, kalian tidak ada artinya di depan mataku!” sambut si Bongkok, tidak kalah dinginnya.
“Apa yang kau banggakan untuk menghadapi Iblis Bunga Penyebar Maut, Bongkok?” dengus Anggrek Putih yang paling banyak diam daripada Mawar Merah.
“Ini...!” Begitu cepatnya si Bongkok mengebutkan tangan kirinya ke arah Anggrek Putih, maka seketika itu juga dari telapak tangan kirinya melesat sebuah benda hitam berbentuk seperti anak panah kecil ke arah Anggrek Putih. Bersamaan dengan itu, tubuh si Bongkok melesat kearah Mawar Merah sambil mengebutkan tongkat hitam yang terkenal dahsyat luar biasa itu.
“Setan! Hup...!”
“Hait...!”
DELAPAN
Anggrek Putih dan Mawar Merah terpaksa harus berjumpalitan menerima serangan cepat yang dilancarkan si Bongkok. Mereka mengumpat begitu terlepas dari serangan yang begitu mendadak dan cepat luar biasa. Sedangkan si Bongkok jadi tertawa terkekeh melihat kedua wanita ini sempat kelabakan menghindari serangan gandanya yang begitu cepat tak terduga tadi.
“Setan...!”
“Keparat...!”
“He he he.... Baru segitu saja sudah kelabakan,” ejek si Bongkok diiringi tawanya yang terkekeh.
“Kurang ajar...!” geram Mawar Merah berang.
“Kubunuh kau, Bongkok! Hiyaaat...!”
Anggrek Putih langsung melompat sengit menyerang si Bongkok yang masih terkekeh. Si Bongkok jadi kegirangan melihat kedua wanita ini memuncak amarahnya menerima tipuan serangan yang begitu indah dan berhasil baik.
“Uts! He he he...!”
Manis sekali si Bongkok mengelakkan pukulan yang dilepaskan Anggrek Putih, dengan meliukkan tubuh seperti seekor belut. Lalu kakinya cepat ditarik ke belakang beberapa langkah sebelum Anggrek Putih melancarkan serangan berikutnya. Dan pada saat itu, Mawar Merah sudah melambung ke udara, lalu cepat sekali mengebutkan pedangnya ke arah kepala si Bongkok.
Bet! “Uts!” Lagi-lagi si Bongkok dapat menghindari serangan Mawar Merah dengan merundukkan kepala. Ujung pedang wanita berbaju merah itu berkelebat sedikit diatas kepala si Bongkok. Kembali laki-laki bermuka hitam dan bertubuh bungkuk itu menarik kakinya kebelakang beberapa tindak. Kemudian, tongkatnya dikebutkan di saat pedang Anggrek Putih sudah berkelebat didepan dada.
Tring!
Bunga api memercik begitu pedang Anggrek Putih membentur batang tongkat hitam si Bongkok. Cepat-cepat wanita berbaju putih ketat itu menarik pulang pedangnya sambil melentingkan tubuh ke belakang. Langsung kedua kakinya dihentakkan untuk memberi tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam ke arah dada. Begitu cepat dan mendadak serangannya, sehingga si Bongkok tidak sempat lagi berkelit menghindar. Cepat-cepat tongkatnya disilangkan di depan dada, sehingga tendangan Anggrek Putih hanya menghantam tongkat hitam itu.
“Hiyaaa...!”
Anggrek Putih cepat memutar tubuh begitu kakinya mendapat pijakan di tengah-tengah batang tongkat hitam itu. Dan di saat kepalanya berada di bawah, seketika itu juga pedangnya dikebutkan ke arah perut si Bongkok. Pada waktu yang bersamaan, Mawar Merah juga melakukan serangan dari arah belakang. Pedangnya berkelebat cepat membabat ke punggung si Bongkok.
Memang sulit menghindari serangan yang datang secara bersamaan dari dua arah seperti ini. Dan si Bongkok hanya dapat menangkis tebasan pedang Anggrek Putih, namun tidak mungkin bisa menghindari serangan Mawar Merah yang datang dari arah belakangnya. Tepat ketika mata pedang Mawar Merah hampir membabat punggung si Bongkok, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan putih menghajar pergelangan tangan wanita berbaju merah itu.
Diegkh!
“Akh...!” Mawar Merah terpekik agak tertahan.
Hampir saja pedang yang tergenggam ditangan kanannya terlepas. Untung dia segera melompat mundur dan memindahkan pedangnya ke tangan kiri. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu disamping kiri si Bongkok sudah berdiri seorang pemuda tampan bertubuh tegap. Bajunya rompi putih. Sedangkan gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung tampak menyembul di balik punggungnya.
“Terima kasih,” ucap si Bongkok sambil melirik sedikit pada pemuda yang baru saja menyelamatkan nyawanya.
“Lupakan saja.”
“Bagaimana kau bisa tahu tempat ini, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya si Bongkok.
“Justru itu yang ingin kutanyakan padamu,” sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga, atau bergelar Pendekar Rajawali Sakti.
“Kita bicarakan saja nanti. Yang penting sekarang, bereskan dulu iblis-iblis laknat ini,” desis si Bongkok.
Setelah berkata demikian, si Bongkok cepat melompat menyerang Anggrek Putih. Sedangkan Rangga menunggu Mawar Merah yang masih mengurut pergelangan tangan yang terkena tamparannya tadi. Wanita berbaju merah menyala itu mendesis geram melihat Pendekar Rajawali Sakti yang telah menggagalkan serangannya pada si Bongkok tadi.
“Kubunuh kau, Keparat! Hiyaaat...!”
Sambil memaki geram, Mawar Merah melompat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya berkelebat cepat mengurung pemuda berbaju rompi putih itu. Tapi dengan mempergunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, Rangga berhasil mementahkan setiap serangan yang dilancarkan wanita yang dijuluki si Iblis Bunga Penyebar Maut itu.
Sementara Iblis Jubah Putih yang sudah bisa memulihkan kesehatan tubuhnya, segera melompat terjun ke dalam pertarungan untuk membantu Anggrek Putih menyerang si Bongkok. Terjunnya Iblis Jubah Putih memberi kesempatan pada wanita itu untuk berpindah menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Dia memang tidak bisa bertarung dahsyat kalau hanya seorang diri.
Kedua wanita itu memang sudah dikenal dengan serangan-serangan ganda yang amat dahsyat luar biasa. Kerjasama mereka dalam pertarungan sukar dicari tandingannya. Mereka mampu melakukan serangan secara cepat dan bergantian. Bahkan terkadang melakukan serangan secara bersamaan dari dua arah, yang bisa membingungkan lawan.
Tapi kali ini mereka harus bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti. Maka jurus-jurus tingkat tinggi langsung dikeluarkan. Tapi sampai sejauh ini, mereka belum juga bisa mendesak pemuda berbaju rompi putih itu. Bahkan beberapa kali mereka terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan balasan yang dilancarkan Rangga.
Sementara di lain tempat, si Bongkok kembali bertarung melawan Iblis Jubah Putih. Sudah beberapa kali mereka bertarung, dan selalu si Bongkok berada diatas angin. Seperti juga halnya kali ini. Baru beberapa jurus saja pertarungan berlangsung, satu pukulan keras menggeledek yang dilepaskan si Bongkok sudah membuat Iblis Jubah Putih terjerembab mencium tanah.
“Kau benar-benar tidak bisa diberi ampun lagi, Iblis Jubah Putih! Mampuslah kau kali ini..., hiyaaat!”
Sambil menggeram dahsyat, si Bongkok melesat tinggi ke udara. Lalu tubuhnya menukik deras sambil memutar tongkatnya dengan kecepatan tinggi. Iblis Jubah Putih jadi kelabakan setengah mati. Cepat-cepat pedangnya dikebutkan beberapa kali menangkis serangan dari udara itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, si Bongkok melesat ke depan. Dan begitu kakinya menjejak tanah, seketika itu juga tongkatnya dikebutkan ke arah dada. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan si Bongkok, sehingga Iblis Jubah Putih tidak mampu mematahkannya. Dan....
Wuk!
Cras!
“Aaa...!”
Darah seketika muncrat keluar dari dada yang sobek terkena sabetan ujung tongkat hitam yang runcing itu. Iblis Jubah Putih terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang mengucurkan darah segar. Dan sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, bagaikan kilat si Bongkok sudah kembali melompat menyerang sambil membabatkan tongkat ke leher laki-laki berjubah putih ini.
“Hiyaaa...!”
Bet!
“Aaakh...!”
Satu jeritan panjang melengking tinggi mengakhiri perlawanan Iblis Jubah Putih. Laki-laki berjubah putih panjang itu terdiam kaku, lalu ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung mengucur keluar dari leher yang buntung tak berkepala lagi.
“Huh!” si Bongkok menghembuskan napas berat, menatap tubuh Iblis Jubah Putih yang terbujur kaku tak bernyawa lagi. Sebentar matanya melirik Pendekar Rajawali Sakti yang masih bertarung menghadapi dua orang wanita yang berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut. Tampak bibirnya menyunggingkan senyuman.
“Senang-senanglah dulu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku akan menghadapi biangnya didalam,” ujar si Bongkok.
Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam sekejap saja tubuh si Bongkok sudah lenyap menembus pintu masuk ke dalam bangunan puri dari batu itu. Sementara, Rangga masih saja bertarung melawan si Iblis Bunga Penyebar Maut. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sempat juga melihat si Bongkok sudah mengakhiri pertarungannya, dan melesat masuk ke dalam puri. Maka dia hanya tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya itu.
“Hhh! Buang-buang tenaga...!” dengus Rangga dalam hati. Seketika itu juga, Rangga mencabut pedangnya. Cahaya biru berkilau seketika menyemburat dari Pedang Rajawali Sakti. Dan Rangga memang tidak ingin lagi bermain-main dengan kedua wanita bergelar Iblis Bunga Penyebar Maut ini. Begitu pedangnya tercabut, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya menjadi jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. “Hiyaaat...!”
Sungguh dahsyat sekali jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’ ini. Kedua wanita itu jadi kelabakan, berjumpalitan menghindari tebasan-tebasan pedang yang memancarkan sinar biru terang menyilaukan mata itu. Anggrek Putih mencoba menangkis pedang itu dengan pedangnya. Tapi....
Trang!
“Heh...?!” Bukan main terkejutnya wanita itu begitu melihat pedangnya terpenggal jadi dua bagian. Dan belum juga rasa keterkejutannya hilang, mendadak saja Rangga sudah memutar tubuhnya sambil menusukkan pedang dengan kecepatan tinggi. Anggrek Putih jadi terbeliak tak mampu menghindar. Seketika ujung Pedang Rajawali Sakti menusuk tepat jantungnya.
“Aaa...!” Anggrek Putih menjerit keras. Darah seketika muncrat dari dada yang tertembus pedang. Hanya sebentar wanita berbaju putih ketat itu mampu berdiri, kemudian limbung dan ambruk menggelepar di tanah. Beberapa saat dia berkelojotan mengejang kaku, kemudian tak bergerak-gerak lagi
“Setan! Kubunuh kau. Hiyaaat...!” Mawar Merah jadi geram setengah mati. Maka dia cepat melompat sambil membabatkan pedang dari belakang Pendekar Rajawali Sakti. Tebasannya tepat mengarah ke kepala pemuda berbaju rompi putih ini. Tapi, cepat sekali Rangga merundukkan tubuhnya, dan memutar pedang menusuk ke belakang. Mawar Merah jadi terkejut. Dan....
Bres!
“Hegkh...!”
Kedua bola mata Mawar Merah jadi mendelik lebar. Pedang Pendekar Rajawali Sakti tepat menghunjam jantungnya. Dengan sekali sentak saja, Rangga mencabut pedangnya yang terbenam di tubuh Mawar Merah. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil memutar tubuhnya berbalik. Bersamaan dengan itu, Mawar Merah ambruk ketanah, dan tidak bergerak-gerak lagi.
Glarrr...!
“Heh...?!” Rangga terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat menggelegar dari arah belakang. Begitu terkejutnya, hingga sampai terlompat dan cepat berbalik. Kedua matanya jadi terbeliak dan mulutnya ternganga lebar hampir tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
“Hah...?!”
Batu-batu berterbangan ke udara disertai kepulan asap hitam dari puri. Itu pun masih bercampur debu dan percikan bunga api. Memang, bangunan puri itu tiba-tiba saja meledak bagai gunung berapi memuntahkan laharnya. Rangga jadi terpaku bengong melihat puri itu hancur meledak, menimbulkan suara keras menggelegar. Akibatnya, tanah yang dipijaknya jadi bergetar bagai terjadi gempa.
Beberapa bongkahan batu hampir saja menimpa Pendekar Rajawali Sakti. Begitu kerasnya ledakan tadi, sehingga bongkahan batu serta kepulan asap hitam dan debu membumbung tinggi ke angkasa. Tampak api berkobar sangat besar dari reruntuhan bangunan puri itu.
“Paman Bongkok...,” desis Rangga, teringat kalau si Bongkok masuk ke dalam puri itu tadi. Tapi Rangga tidak bisa berbuat apa-apa melihat bangunan puri itu sudah hancur berkeping-keping tak berbentuk lagi. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa berdiri mematung menunggu sampai kepulan debu dan asap hitam itu hilang.
Sementara api masih terus berkobar besar bagai tersiram minyak. Keadaan sekitarnya jadi terang benderang. Dan udara yang semula dingin, kini berubah hangat oleh kobaran api yang begitu besar di antara reruntuhan batu-batu puri yang hancur akibat ledakan tadi.
“Kakang...!”
Rangga cepat berpaling ketika mendengar suara memanggilnya. Tampak Pandan Wangi dan Ki Kuwu berlari-lari menghampiri. Mereka berhenti berlari, setelah berada disamping Pendekar Rajawali Sakti.
“Apa yang terjadi di sini, Kakang?” tanya Pandan Wangi sambil memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan. Pandangannya kemudian terpaku pada kobaran api yang masih cukup besar, menimbulkan asap hitam membumbung tinggi ke angkasa.
“Entahlah...,” sahut Rangga mendesah.
“Tiba-tiba saja puri itu meledak. Dan Paman Bongkok....”
“Paman Bongkok...? Kenapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi terkejut mendengar si Bongkok disebut.
“Dia ada di dalam puri itu,” sahut Rangga perlahan.
“Oh...,” Pandan Wangi mendesah lirih.
Mereka jadi terdiam membisu memandangi kobaran api yang masih cukup besar diantara tumpukan bebatuan reruntuhan bangunan puri itu. Tak ada lagi yang berbicara. Semuanya terdiam menunggu. Memang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu sampai kobaran api itu padam.
“Kakang, lihat...!” seru Pandan Wangi tiba-tiba sambil menunjuk ke depan.
“Paman Bongkok...,” desis Rangga begitu matanya melihat sesosok tubuh berbaju hitam, berdiri terbungkuk di seberang kepulan asap yang masih cukup tebal.
Rupanya si Bongkok masih bisa menyelamatkan diri dari reruntuhan batu-batu puri yang hancur akibat ledakan tadi. Mereka cepat berlarian menghampiri sosok tubuh bungkuk yang memang tak lain adalah si Bongkok.
“Apa yang terjadi, Paman Bongkok?” tanya Pandan Wangi langsung.
“Di dalam puri itu banyak bahan-bahan yang mudah terbakar, Pandan Wangi. Tadi sewaktu aku bertempur dengannya, pukulan orang ini nyasar ke bahan-bahan yang mudah terbakar itu!” jelas si Bongkok sambil menunjuk sosok tubuh gemuk yang tadi diseretnya.
Mereka sungguh terkejut melihat sosok tubuh gemuk itu. Kepalanya agak botak, dan mengenakan baju cukup mewah yang kotor berdebu.
“Dia ini biang keladinya,” jelas si Bongkok. “Maaf, aku tidak bisa menyelamatkannya. Dia bunuh diri menelan pil beracun. Ketika aku masuk ke puri, dia langsung menyerang. Tapi akhirnya dia berhasil kukalahkan. Dan seperti yang kalian lihat, aku tak mampu mencegahnya saat dia bertindak bunuh diri.”
Rangga mendekati sosok tubuh gemuk yang tergeletak tertelungkup itu. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti setelah tubuh gemuk itu ditelentangkannya. Bahkan Pandan Wangi dan Ki Kuwu sampai bengong. Betapa tidak...? Mereka kenal betul pada orang ini.
“Adipati Pangkara...,” desis Rangga hampir tidak percaya.
Laki-laki gemuk yang sudah tidak bernyawa itu memang Adipati Pangkara. Tentu saja Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Kuwu sudah mengenalnya. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau Adipati Pangkara sendiri yang menjadi dalang dari semua kerusuhan di Lembah Tangkar ini.
“Kenapa dia bisa melakukan perbuatan memalukan ini...?” desah Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.
“Emas,” sahut si Bongkok.
“Emas...?!” Rangga menatap tajam si Bongkok.
“Ya! Emas bisa membuat orang lupa diri,” kata si Bongkok lagi.
Rangga memandangi si Bongkok, Pandan Wangi, dan Ki Kuwu secara bergantian. Seolah-olah Pendekar Rajawali Sakti meminta penjelasan dari semua kejadian ini. Sungguh tidak dimengertinya atas jawaban yang diberikan si Bongkok tadi. Dan tanpa diminta lagi, Pandan Wangi menjelaskan semuanya yang diperoleh dari Ki Kuwu. Tapi Pandan Wangi tidak menyangka kalau Adipati Pangkara sendiri yang ada di balik semua peristiwa yang berpangkal dari nafsu keserakahan untuk menguasai kekayaan emas Lembah Tangkar.
“Lalu, dimana orang-orang yang diculik?” tanya Rangga setelah bisa mengerti duduk persoalannya.
“Mereka berkumpul di pendulangan. Aku melarang mereka keluar sampai keadaannya memungkinkan,” sahut si Bongkok memberitahu.
“Rupanya kau lebih cepat tahu daripada kami, Paman,” puji Pandan Wangi.
“Semua persoalan tidak bisa selesai hanya terpaku pada satu persoalan saja, Pandan Wangi. Aku sengaja mengatakan pada kalian untuk meninggalkan Lembah Tangkar. Tapi, sebenarnya aku terus menyelidiki sampai kehutan ini. Aku sendiri tidak mengira kalau Lembah Tangkar begitu kaya. Pantas saja Adipati sendiri tergiur, dan jadi mata gelap untuk menguasainya,” jelas si Bongkok, gamblang.
“Jadi, yang dipanggil Prabu Cantraka itu sebenarnya Adipati Pangkara...?” tanya Ki Kuwu yang sejak tadi diam saja.
“Tidak salah lagi, Ki,” sahut si Bongkok.
“Dan gadis-gadis yang dikatakan untuk tumbal...?” tanya Ki Kuwu lagi.
“Tidak ada seorang pun yang dijadikan tumbal. Mereka semua dipaksa bekerja mendulang emas untuk kepentingan Adipati Pangkara sendiri. Dan diamnya pihak kadipaten, sebenarnya bukan karena takut ancaman Prabu Cantraka, tapi karena memang sudah diatur Adipati Pangkara sendiri. Dialah yang selama ini kita kenal bernama Prabu Cantraka. Bukan hanya Adipati Pangkara sendiri yang terlibat. Bahkan sebagian besar prajurit kadipaten dan para pembesar juga terlibat. Tapi prajurit-prajurit yang berada di sini sudah kuamankan. Dan mereka dijaga ketat oleh orang-orang yang mereka culik untuk dipekerjakan di pendulangan,” lagi-lagi si Bongkok menjelaskan.
“Kita harus segera membersihkan Kadipaten Bararaja, Kakang,” bisik Pandan Wangi dekat telinga Rangga.
“Biar kerajaan yang melakukan,” sahut Rangga.
“Baiknya, sekarang kita bebaskan mereka dulu,” usul si Bongkok.
“Kau bisa tunjukkan di mana pendulangan itu, Paman?” pinta Rangga.
“Tentu..., ayo ikut aku,” sahut si Bongkok.
SELESAI