DARA BAJU MERAH
Karya Kho Ping Hoo
JILID 05
SETAHUN kemudian, Bi Li melahirkan seorang anak perempuan yang mungil sekali. Suami isteri itu merasa girang dan Kiang Liat memberi nama puterinya itu Kiang Im Giok. Pada mulanya Bi Li memang khawatir kalau suaminya kecewa, sebab pada masa itu para ayah ingin melihat anaknya lahir laki-laki.
Namun ternyata Kiang Liat berbeda dengan orang lain. Dia sama sekali tidak kelihatan kecewa dan untuk ini Bi Li merasa amat berterima kasih. Cinta kasih terhadap suaminya semakin menebal. Hidup nyonya muda ini tentu akan penuh kebahagiaan kalau saja ia tidak diganggu oleh Ceng Si dan Cia Sun.
Cia Sun sudah mendapatkan banyak uang yang diperasnya dari Bi Li melalui Ceng Si, dan berubah menjadi seorang pemuda pemogoran dan pemalasan. Uang itu cepat sekali habisnya, dihambur-hamburkannya seperti orang membuang pasir belaka.
Setelah Bi Li dan suaminya pindah ke Sian-koan, ia pun menyusul ke kota itu, menyewa kamar di dalam sebuah hotel. Ia membeli seekor kuda yang bagus dan kerjanya setiap hari hanya berpesiar! Hubungannya dengan Ceng Si dilanjutkan tanpa ada halangan.
Pada suatu hari, ketika Bi Li dan suaminya sedang menimang-nimang puteri mereka, Bi Li berkata dengan nada penuh keheranan,
”Suamiku, Im Giok mempunyai muka yang hampir sama dengan Enci Pek Hoa.”
Kiang Liat terkejut bukan main. “Apa katamu? Pek Hoa siapa...?”
Bi Li juga terkejut sekali, merasa bahwa ia telah kelepasan bicara. Maka dengan muka kemerahan ia berkata,
“Enci Pek Hoa adalah seorang dewi dari kahyangan. Suamiku, jangan kau tertawakan aku dan mengira aku tahyul dan bicara yang bukan-bukan. Kejadian itu amat ajaib maka selama ini aku tak pernah mengatakan kepadamu, takut kalau kau akan mentertawakan aku.”
“Coba ceritakan, isteriku. Aku tidak akan mentertawakanmu. Siapakah dewi itu dan bagai mana kau bisa bertemu dengan dia?” tanya Kiang Liat dan hatinya berdebar gelisah.
Bi Li lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat yang dipuji-pujinya sebagai seorang dewi yang sangat cantik jelita. Kiang Liat mendengarkan penuturan isterinya itu dengan sepasang mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak sekali. Tahulah dia sekarang bahwa dahulu Pek Hoa dapat datang mencarinya ke kota Sian-koan tentu setelah mendengar dari Bi Li bahwa dia adalah murid dari Han Le!
“Pek Hoa-cici baik sekali, suamiku. Dia bilang bahwa kelak dia akan datang menjenguk kalau aku sudah mempunyai anak...”
Makin gelisah hati Kiang Liat. Akan tetapi dia diam saja, tidak berani ia menerangkan kepada isterinya yang lemah itu bahwa sebenarnya orang yang dikira dewi oleh isterinya itu bukan lain adalah seorang iblis wanita yang amat jahat!
Semenjak mendengar penuturan isterinya itu, Kiang Liat selalu bersikap waspada. Tiap malam secara diam-diam dia melakukan penjagaan, takut apa bila iblis wanita itu datang mengganggunya. Oleh karena kewaspadaannya inilah maka dia mulai melihat sesuatu yang amat mencurigakan di waktu malam.
Kadang-kadang ia mendengar suara kaki kuda yang datang dari jauh kemudian berhenti di belakang rumahnya, sedikit di luar pagar kebun bunga kecil yang berada di belakang rumah. Kadang-kadang dia juga mendengar ada suara orang bercakap-cakap di tengah malam menjelang pagi!
Hatinya mulai curiga dan pada malam hari itu, ketika mendengar suara kuda berhenti di belakang, secara diam-diam dia turun dari pembaringan lalu berjalan keluar melalui pintu belakang. Waktu itu sudah menjelang fajar dan perlahan-lahan ia membuka pintu, lantas mengintai keluar.
Ia melihat sesosok bayangan keluar dari pintu samping, berlari-lari ke arah taman bunga. Kemudian, bayangan ini bertemu dengan bayangan lainnya yang memasuki pintu pagar yang agaknya sudah dibuka dari dalam.
Hati Kiang Liat berdebar gelisah. Melihat gerak-gerik kedua orang itu, mereka hanyalah orang-orang biasa dan sama sekali tidak seperti gerakan orang yang pandai ilmu silat, apa lagi kalau yang datang Pek Hoa tentu tidak demikian caranya.
Pada waktu dia menyelinap dan bersembunyi di balik batang pohon kembang, Kiang Liat merasa mendongkol bukan main karena ia mengenal bahwa bayangan yang keluar dari pintu samping itu adalah Ceng Si. Pelayan wanita yang muda, genit dan cantik ini telah mengadakan pertemuan dengan seorang laki-laki muda yang datang menunggang kuda!
“Hemm, benar-benar sial!” pikirnya. “tidak tahunya pelayan kita ini adalah seorang yang tidak tahu malu sekali. Mengadakan pertemuan dengan laki-laki di waktu tengah malam, mencemarkan nama kehormatan keluargaku! Dia harus diusir pergi!”
Dua orang itu bicara berbisik-bisik dengan mesra sekali sehingga Kiang Liat malu untuk muncul. Ia menanti sampai Ceng Si yang kelihatan memberikan sesuatu kepada laki-laki itu kembali ke dalam rumah, kemudian ia mendengar laki-laki itu menunggang kudanya kembali yang dibalapkan cepat-cepat pergi dari situ.
Kiang Liat menjadi bingung. Apakah dia harus beri tahukan hal ini kepada Bi Li? Isterinya kelihatan begitu cinta dan sayang kepada Ceng Si dan kalau saat ini dia beri tahukan, apakah tidak akan membikin isterinya berduka?
Kemudian ia teringat akan sesuatu. Ada hal yang sangat mengherankan hatinya, yakni persediaan uangnya cepat sekali berkurang bahkan isterinya yang dia tahu mempunyai banyak uang, cepat sekali kehabisan uang. Apakah Ceng Si tidak melakukan pencurian? Tadi ia melihat gadis pelayan itu memberi sesuatu kepada kekasihnya, apakah itu bukan uang atau benda berharga?
Berpikir sampai di sini, kembali Kiang Liat tertegun. Ia sudah lama tidak melihat isterinya memakai perhiasan! Bahkan perhiasan berupa kupu-kupu dan bunga cilan yang dulu ia berikan kepada Bi Li sebagai emas kawin, tak pernah lagi menghias rambut isterinya itu!
Ia memang seorang laki-laki yang tidak begitu peduli tentang segala macam perhiasan, maka hal ini terlewat begitu saja dari perhatiannya. Memang pernah secara iseng-iseng dia bertanya kepada isterinya mengapa tidak pernah memakai perhiasan, akan tetapi isterinya menjawab,
“Untuk apakah semua perhiasan itu? Aku sudah menikah dengan kau, bahkan sekarang sudah menjadi ibu, kiranya tak perlu lagi bersolek.”
Jawaban ini menyenangkan hatinya, sebab Kiang Liat sendiri suka akan kesederhanaan, maka ia tak bertanya lebih lanjut. Sekarang melihat peristiwa yang terjadi di taman bunga timbul berbagai dugaan di dalam hatinya.
Tak salah lagi, mungkin sekali Ceng Si melakukan pencurian. Siapa tahu kalau isterinya sebenarnya kehilangan semua perhiasan itu, akan tetapi tidak berani bilang karena takut. Isterinya begitu lemah dan begitu sayang kepada Ceng Si.
Kiang Liat tidak dapat tidur. Pada keesokan hatinya, ia terbangun dengan kepala pusing. Pagi-pagi sekali Ceng Si sudah datang membawa segala macam keperluan isterinya, bahkan dengan amat rajin dan telaten pelayan ini mengurus Im Giok dengan penuh kasih sayang. Isterinya juga kelihatan begitu berterima kasih kepada Ceng Si sehingga ia tidak tega untuk mengungkit urusan itu.
“Lebih baik kutangkap jahanam itu!” pikir Kiang Liat dengan gemas.
Benar, itulah jalan satu-satunya supaya tidak menyinggung perasaan isterinya. Ia harus menangkap laki-laki yang sering kali datang menemui Ceng Si, kemudian memaksanya mengaku.
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, Cia Sun melarikan kudanya dengan cepat. Seperti biasa, malam tadi dia mengadakan pertemuan dengan Ceng Si di taman bunga dan sesudah meninggalkan tempat pertemuan rahasia itu, ia membawa sekantung uang dan beberapa potong benda berharga.
Sambil membalapkan kudanya, Cia Sun tersenyum-senyum gembira. Betapa ia tak akan merasa girang? Ceng Si sudah menjadi kekasihnya, dan dengan bantuan kekasihnya ini, dia dapat menggerogoti kekayaan keluarga Kiang. Song Bi Li atau Nyonya Kiang yang sudah berada di dalam cengkeramannya itu tidak berdaya dan terpaksa menuruti segala permintaannya.
“Ceng Si memang manis dan cerdik,” Cia Sun berpikir sambil memperlambat larinya kuda karena ia telah tiba di luar kota dan merasa aman.
“Surat Bi Li kepadaku masih disimpan oleh Ceng Si dan dengan surat itu, dia dapat terus menakut-nakuti Bi Li. Sekali saja surat itu diperlihatkan kepada suaminya, tentu dia akan celaka.”
Biar pun sudah banyak uang yang diperasnya dari Bi Li, akan tetapi tetap saja Cia Sun merupakan seorang miskin. Semua uang itu dihabiskan di atas meja perjudian, dipakai foya-foya dengan sahabat-sahabatnya dan pendeknya, Cia Sun hidup sebagai pemuda kaya-raya yang royal dan mata keranjang.
Tentu saja Ceng Si tidak tahu akan hal ini dan sama sekali tidak pernah menduganya. Pelayan yang cantik ini mabuk oleh janji-janji Cia Sun yang menuturkan bahwa semua uang dan barang itu disimpannya baik-baik untuk dipergunakan sebagai modal dan bekal hidup kelak apa bila mereka telah hidup sebagai suami isteri!
Selagi Cia Sun enak-enak mencongklang kudanya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali. Cia Sun tidak menyangka buruk dan mengira bahwa ada orang berkuda yang hendak lewat mendahuluinya, maka dia minggirkan kuda tunggangannya.
Benar saja, tampak seorang penunggang kuda tengah membalapkan kudanya menyusul. Akan tetapi, setelah berada di depan Cia Sun, tiba-tiba saja orang itu menghentikan kuda sambil menarik kendali sehingga kudanya berputar dan menghadapi kuda Cia Sun.
Melihat orang muda gagah yang menunggang kuda itu, seketika wajah Cia Sun menjadi pucat dan dadanya berdebar keras. Walau pun belum berkenalan akan tetapi diam-diam dia sering kali melihat dan memperhatikan suami Bi Li dan orang yang kini mencegatnya bukan lain adalah Kiang Liat, suami Bi Li! Akan tetapi, sastrawan muda ini dapat cepat menenangkan hati dan memaksa diri tersenyum.
“Tuan siapakah dan ada keperluan apa dengan siauwte?” tanya Cia Sun dengan suara ramah-tamah, sikap seorang terpelajar yang sopan-santun.
Akan tetapi Kiang Liat tidak dapat tertipu oleh sikap ini. Sudah beberapa kali Kiang Liat mengintai dalam taman dan tahulah dia bahwa pemuda itu diam-diam telah mengadakan hubungan rahasia dengan Ceng Si dan gadis pelayan itu selalu memberi barang-barang berharga kepadanya. Tentu saja Kiang Liat merasa sangat marah dan curiga. Dari mana Ceng Si bisa mendapatkan barang-barang berharga dan uang?
“Bangsat kecil, tidak perlu kau berpura-pura dan bermanis mulut. Aku sudah melihat dan tahu akan semua perbuatanmu di dalam taman rumahku. Ayo sekarang kau mengaku, siapa namamu dan mengapa kau begitu berani mampus memasuki taman mengadakan pertemuan dengan pelayan kami?!”
Kiang Liat melompat turun dari kudanya dan memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata mengandung ancaman, sedangkan pecut kudanya dipegang erat-erat pada tangan kanannya.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Cia Sun mendengar ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa suami Bi Li ini sudah melihatnya mengadakan pertemuan dengan Ceng Si. Sampai di manakah pengetahuan orang she Kiang ini? Tanpa disadarinya, saking kaget dan gelisahnya, Cia Sun mengerling ke arah kantung uang yang ada di atas punggung kuda.
“Ya, itu pun kau terima dari Ceng Si! Hendak kulihat, apakah isinya!” kata pula Kiang Liat sambil melangkah maju.
Tentu saja Cia Sun tidak menghendaki hal ini terjadi. Ia tahu bahwa barang-barang dan uang yang kini dibawanya adalah kepunyaan hartawan muda ini yang diterima oleh Ceng Si dari Bi Li. Maka ia lalu mengambil sikap seakan-akan ia marah besar.
“Manusia kurang ajar…! Apakah kau hendak merampok?” bentaknya sambil mencambuk kudanya. “Aku tidak kenal padamu dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Pergi!”
Akan tetapi Kiang Liat mana mau melepaskannya? Sekali mengulur lengan, Kiang Liat sudah menangkap pergelangan tangan Cia Sun dan sebelum sastrawan bermoral bejat ini tahu apa yang terjadi, ia telah diseret turun dari atas kuda!
“Keparat busuk, masih saja kau tidak mau lekas-lekas mengaku?” bentak Kiang Liat yang sudah menjadi marah melihat sikap orang itu.
Cia Sun yang terbanting dari atas kuda merasa pantatnya sakit sekali. Sambil meringis ia merayap bangun. Ia maklum bahwa pengakuan berarti mencari celaka, oleh karena itu ia memberanikan diri, mengangkat dada dan berkata,
“Kau ini orang gila atau orang mabuk? Kalau kau hendak merampok, carilah saudagar-saudagar yang kaya, jangan mengganggu seorang siucai yang miskin seperti aku!”
Hati Kiang Liat semakin mendongkol. Melihat sikap pemuda sastrawan ini, terang sekali baginya bahwa ia sedang menghadapi seorang yang curang dan palsu.
“Jahanam, jangan berpura-pura lagi. Sudah beberapa kali aku melihat kau mengadakan pertemuan dengan pelayan kami di taman. Kau tidak mau cepat-cepat mengaku? Atau menanti sampai aku turun tangan memukulmu?”
“Mengaku apa? Aku tak pernah melakukan hal yang kau sebutkan tadi. Aku tak bersalah apa-apa...”
Kiang Liat marah sekali. Kaki kirinya bergerak menendang dan tersungkurlah Cia Sun. Baiknya Kiang Liat masih belum tahu akan semua perbuatan Cia Sun yang disangkanya hanya seorang pemuda yang main gila dengan gadis pelayannya saja. Maka tendangan itu perlahan saja dan hanya cukup membikin Cia Sun roboh tanpa menderita luka berat. Akan tetapi cukup membikin Cia Sun merintih-rintih karena pahanya yang tertendang itu terasa sakit bukan main. Beberapa kali ia mencoba untuk bangun, akan tetapi tak dapat sehingga akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil memandang kepada Kiang Liat dengan muka pucat.
“Hayo lekas mengaku! Jangan menanti sampai aku naik darah dan memukul kepalamu sampai hancur!”
Cia Sun mulai ketakutan. Tempat itu sunyi dan waktu itu masih pagi sekali. Melihat sepak terjang Kiang Liat, dia maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat melawan. Apa lagi, memang dia telah mendengar bahwa hartawan muda she Kiang ini adalah seorang ahli silat yang amat tinggi kepandaiannya.
“Ampunkah hamba, Wangwe...,” katanya dan tiba-tiba sastrawan muda ini berlutut!
Kiang Liat memandang dengan hati merasa sebal sekali. Benar-benar dia menghadapi seorang pemuda yang mempunyai martabat rendah sekali.
“Jangan banyak aksi, lekas mengaku!” bentaknya.
“Hamba akan mengaku terus terang. Sebenarnya sudah lama hamba berkenalan dengan Nona Ceng Si. Hubungan hamba dengan dia sudah berjalan beberapa tahun, sejak dia belum pindah ke Siang-koan. Hamba tidak melakukan sesuatu yang jahat, dan hubungan hamba dengan Ceng Si berdasarkan suka sama suka... harap Wangwe sudi memberi maaf.”
“Kau selalu menerima bungkusan dan kantung dari Ceng Si, apakah isinya?”
Cia Sun cepat menyembunyikan rasa takutnya. “Hanya... hanya makanan dan masakan, Wangwe. Ceng Si sering kali memberi makanan kepada hamba...”
“Dusta!” bentak Kiang Liat.
Dua kali ia menggerakkan tangan, kantung yang masih di atas sela kuda Cia Sun sudah diambilnya. Ia membuka kantung itu dan berjatuhanlah isinya ke atas tanah. Uang emas dan perak yang jumlahnya tidak sedikit.
“Makanan kau bilang? Hayo bilang, dari mana kau mendapatkan ini semua?”
“Dari... dari... Ceng Si, katanya itu uang simpanannya selama dia bekerja... dia berikan kepada hamba untuk... untuk...”
“Untuk apa?” Kiang Liat tidak sabar lagi.
“Wan-gwe, Ceng Si dan hamba mengambil keputusan untuk menikah dan karena hamba seorang miskin, Nona Ceng Si yang baik itu memberikan uang simpanannya ini kepada hamba untuk mempersiapkan dan memilih hari pernikahan.”
Kiang Liat percaya dengan keterangan ini. Memang dia pun sudah menyaksikan sendiri bahwa pemuda ini tengah mengadakan hubungan asmara dengan Ceng Si, maka semua keterangannya tadi masuk di akal.
Yang mencurigakan hatinya adalah Ceng Si. Dari mana pelayan itu mendapatkan uang begini banyak? Mungkinkan uang simpanannya?
“Siapa namamu?” tanyanya tiba-tiba.
“Hamba bernama Cia Sun…”
“Sekarang dengarlah. Aku Kiang Liat bukanlah orang yang boleh kau permainkan begitu saja. Kau telah berani lancang memasuki taman rumah kami tanpa ijin, pada malam hari pula. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup kuat untuk membunuhmu sebagai seorang maling atau penjahat. Akan tetapi aku memaafkan kau dengan satu syarat bahwa besok pagi kau harus datang ke rumahku dan dengan resmi kau mengajukan pinangan untuk diri Ceng Si. Kau boleh menyuruh seorang perantara wanita untuk mengajukan pinangan itu kepada Hujin (Nyonya). Kalau besok kau tidak melakukan hal ini, awas, aku akan mencarimu dan mengambil nyawamu!”
“Baik, Wan-gwe... baik...” Cia Sun mengangguk-anggukkan kepala sambil berlutut terus.
Kiang Liat lalu mencemplak kudanya dan membalapkan kuda itu menuju pulang. Hatinya lega. Ia memang tak suka sama sekali melihat Ceng Si menjadi pelayan isterinya. Gadis pelayan ini terlalu genit dan terlalu cantik, pula amat berani.
Dengan terang-terangan gadis pelayan itu mencoba untuk menjatuhkan perhatiannya, mencoba untuk menjatuhkan hatinya dengan pelbagai aksi dan gaya. Lebih celaka lagi, entah mengapa, isterinya nampak suka sekali pada Ceng Si sehingga bahkan rela kalau Ceng Si menjadi bini mudanya! Sekarang ia dapat menangkap Cia Sun dan memaksa sastrawan muda itu mengawini Ceng Si. Inilah jalan terbaik.
Kiang Liat sangat cinta kepada isterinya. Dia tidak mau menyinggung perasaan Bi Li dan meski pun dia merasa curiga dan heran melihat sikap isterinya yang berlebihan terhadap Ceng Si, akan tetapi ia tidak tega untuk bertanya atau mendesak. Ia telah percaya penuh akan kesetiaan dan kecintaan isterinya kepadanya, maka dia tidak mau memperlihatkan suatu sikap yang kurang percaya. Oleh karena ini, setibanya di rumah, ia tidak bercerita sesuatu kepada isterinya tentang pertemuannya dengan Cia Sun.
Pada keesokan harinya, betul saja di rumah gedung keluarga Kiang Liat datang seorang wanita setengah tua yang di Sian-koan terkenal sebagai seorang perantara perjodohan. Wanita ini datang untuk mengajukan pinangan atas diri Ceng Si untuk sasterawan Cia Sun!
Mendengar ini, Bi Li nampak terheran-heran, akan tetapi juga girang dan dia tidak tahu bahwa diam-diam suaminya memandangnya dengan kerling tajam.
“Panggil Ceng Si ke sini...!” berkata Bi Li kepada seorang pelayan lain, suaranya nyaring dan jelas sekali bahwa ia bergembira.
Ceng Si tergopoh-gopoh. Gadis ini sudah mendengar dari pelayan yang memanggilnya karena pelayan ini tadi telah mendengar mengenai peminangan itu. Ceng Si juga merasa terheran-heran dan bingung ketika Bi Li berkata kepadanya,
“Ceng Si, Bibi ini datang untuk meminangmu atas nama seorang sastrawan muda yang bernama Cia Sun. Walau pun aku dan suamiku berhak mengambil keputusan karena kau tak memiliki keluarga lagi, akan tetapi merasa lebih baik kami menanyakan pendapatmu sendiri. Bagaimana?”
Ceng Si kebingungan. Sebentar ia memandang kepada Bi Li dan di lain saat ia menatap wajah pelamar itu. Semua ini diikuti oleh pandangan mata Kiang Liat yang duduk di sudut dan agaknya tidak mau tahu tentang persoalan perjodohan ini.
“Akan tetapi...,” kata Ceng Si bingung, “bagaimana ini, Hujin? Saya... saya masih suka melayani Hujin dan belum ada pikiran untuk menikah...”
Dari tempat duduknya, dengan perasaan heran sekali Kiang Liat melihat betapa pandang mata pelayan itu amat tajam dan berpengaruh ketika memandang kepada Bi Li!
“Ceng Si, bukankah hal ini sangat baik sekali? Lebih baik dari pada kau bekerja di sini? Ingatlah, usiamu sudah dua puluh tahun dan pelamar ini bukannya orang sembarangan. Kiranya sudah amat cocok apa bila kau menjadi isteri seorang siu-cai…”
“Betul sekali kata-kata Kiang-hujin,” perantara itu berkata cepat-cepat. “Cia-siucai adalah seorang pemuda yang tidak saja tampan sekali, tetapi juga amat terpelajar, sopan-santun dan berbudi mulia. Biar pun dia bukan dari keluarga kaya, akan tetapi ia pun bukan tidak beruang. Ia menyediakan semua biaya untuk upacara pernikahan!”
“Akan tetapi... aku… aku belum suka berumah tangga sendiri!” kata Ceng Si dan dalam kata-katanya ini terkandung suara demikian keras dan menentukan.
Kiang Liat terkejut sekali karena ia melihat betapa isterinya menjadi berubah air rnukanya dan agaknya isterinya itu tak berani menentang keputusan Ceng Si! Hal ini menimbulkan kemarahan di dalam hatinya dan berkatalah Kiang Liat,
“Ceng Si, di dalam urusan ini sekali-kali tidak betul kalau kau berkeras kepala! Agaknya memang kau sudah berjodoh sekali dengan pelamar ini, karena malam tadi aku bermimpi melihat kau bertemu dengan seorang sastrawan muda di dalam taman bunga. Bukankah ini tanda bahwa kau memang berjodoh padanya? Maka kau tidak boleh menampik!”
Perantara itu tertawa dan nampaklah giginya yang ompong. Ia menepuk-nepuk tangan dan berkata, “Bagus sekali! Itulah impian yang amat baik artinya. Nona Ceng Si, setelah Kiang-wangwe sendiri bermimpi seperti itu, jelas bahwa perjodohan ini adalah kehendak Thian! Kau tidak bisa menolak kehendak Thian.”
Hanya Kiang Liat yang tahu betapa wajah pelayan itu menjadi pucat sekali dan nampak jelas kegugupannya pada saat mendengar kata-kata Kiang Liat tadi. Hanya untuk sekilas gadis pelayan itu mengerling kepadanya, akan tetapi di dalam kerlingan ini, Kiang Liat menangkap pandang mata yang penuh keheranan, kekagetan, dan kebencian. Ada pun Bi Li memandang kepada suminya dengan berterima kasih.
Ceng Si menundukkan mukanya. “Baiklah. Kalau Wan-gwe dan Hujin mendesak, saya pun tidak dapat membantah. Nasib hidupku memang berada di tangan kedua majikanku.” Kata-kata yang perlahan ini diikuti oleh mengalirnya air mata.
Hari pernikahan ditetapkan dan beberapa pekan kemudian, pernikahan antara Cia Sun dan Ceng Si segera dilangsungkan.
Sesudah pelayan itu dibawa pergi oleh suaminya, Bi Li merasa seakan-akan batu yang selama ini menggencet hatinya sudah dilenyapkan. Dia merasa lega sekali dan mukanya yang selama ini agak pucat, kini menjadi agak kemerahan dan bercahaya. Juga sikapnya terhadap suaminya makin manis dan setiap hari dia nampak gembira sekali.
Meski terheran-heran dan ingin sekali tahu rahasia apakah gerangan yang tersembunyi di dalam hubungan antara isterinya dan Ceng Si, akan tetapi Kiang Liat tidak tega untuk mendesak isterinya membuka rahasia itu. Ia terlalu cinta dan terlalu sayang kepada Bi Li, dan kepercayaannya sudah bulat.
Sesudah Ceng Si meninggalkan rumah gedung itu, Bi Li benar-benar kelihatan seperti hidup baru. Ia nampak berbahagia sekali, perhatiannya kepada puterinya bertambah, dan kasih sayangnya terhadap suami pun makin mesra. Tentu saja Kiang Liat merasa amat beruntung, dan sepasang suami isteri ini pun hidup dalam keadaan tenteram serta penuh kebahagiaan.
Puteri mereka, Kiang Im Giok, nampak semakin mungil dan manis. Memang luar biasa sekali anak ini. Tubuhnya montok dan sehat, kulitnya halus dan putih kemerahan, bentuk tubuhnya demikian sempurna sehingga sukarlah mencari cacatnya. Biar pun masih kecil, sudah kelihatan betapa sepasang matanya bercahaya dan bening, rambutnya hitam dan subur. Tidak mengherankan apa bila ayah bundanya amat sayang kepadanya.
Beberapa bulan lewat tanpa ada peristiwa yang luar biasa. Pada suatu hari, pada waktu sepasang suami isteri ini sedang duduk makan angin di ruang depan sambil menimang-nimang Im Giok, dari pekarangan luar masuk seorang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis. Kiang Liat yang berpendengaran tajam segera menoleh dan begitu melihat pengemis itu, wajahnya berubah girang sekali.
“Suhu Han Le datang...,” bisiknya kepada Bi Li yang juga memandang dengan heran.
Keduanya cepat berdiri dan menyambut dengan penuh kehormatan. Han Le tersenyum-senyum dan pendekar sakti ini menatap kepada Im Giok dengan pandang mata kagum.
“Aduh, puterimu ini sungguh-sungguh mengagumkan sekali, Kiang Liat!” katanya sambil mengelus-elus kepala Im Giok yang baru berusia dua tahun.
Setelah dipersilakan duduk dan dikeluarkan hidangan, Han Le lalu makan minum tanpa sungkan-sungkan lagi, kemudian ia menuturkan maksud kedatangannya.
“Muridku, sekarang ada pekerjaan penting sekali untuk kita. Ketahuilah, dunia kang-ouw sedang menghadapi ancaman dan bahaya hebat dan pada bulan Lak-gwe (bulan enam) nanti merupakan saat penentuan apakah dunia kang-ouw akan bisa menyetamatkan diri atau tidak.”
Han Le lantas menuturkan tentang pergerakan dari kaum Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang tokoh besar aneh yang menjadi guru dari Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko. Selain mereka ini, masih banyak sekali tokoh-tokoh Mokauw yang mempunyai ilmu tinggi. Kini pihak Mo-kauw mulai dengan gerakan mereka untuk memusuhi dunia kang-ouw, dengan jalan mencuri kitab ilmu silat dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai.
“Supek-mu Bu Pun Su telah turun tangan dan siap sedia menghadapi mereka. Kita boleh percaya penuh akan kelihaian Bu Pun Su Suheng. Akan tetapi Thian-te Sam-kauwcu dan teman-temannya juga bukan orang-orang biasa, melainkan iblis-iblis dan siluman-siluman yang sakti. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu supek-mu Bu Pun Su.”
“Akan tetapi, Suhu. Mungkin Suhu merupakan bantuan yang amat berharga bagi Supek, sedangkan teecu...? Baru menghadapi Pek Hoa Pouwsat saja teecu tidak berdaya. Tentu saja teecu sama sekali tidak merasa takut dan untuk membela Supek, teecu siap untuk mempertaruhkan jiwa raga teecu.”
“Betul sekali kata-katamu itu, Kiang Liat. Aku pun tidak begitu bodoh untuk minta kau menghadapi mereka. Aku hanya minta kau membantuku mencari beberapa orang yang kiranya akan merupakan tandingan yang setimpal menghadapi pihak Mo-kauw.”
“Siapakah mereka itu, Suhu? Teecu siap untuk mencari mereka.”
“Orang pertama adalah Swi Kiat Siansu yang kini berada di barat. Orang ke dua Pok Pok Sianjin yang kabarnya berada di utara. Mereka ini takkan mau turun gunung kalau tidak aku sendiri yang datang dan membujuk mereka. Kiranya hanya kedua orang inilah yang kepandaiannya sudah setingkat dengan pihak Mo-kauw. Selain mereka berdua, alangkah baiknya kalau bisa mendatangkan Bun Sui Ceng dan The Kun Beng.” Han Le menghela napas panjang ketika menyebut nama dua orang ini.
“Siapakah mereka dan di mana tempat tinggal mereka, Suhu?” Kiang Liat tertarik sekali mendengar nama orang-orang yang sangat dipuji oleh gurunya dan yang belum ia kenal itu.
“Mereka adalah orang-orang luar biasa. Keduanya mempunyai hubungan erat dengan supek-mu Bu Pun Su. Bun Sui Ceng adalah reorang pendekar wanita gagah perkasa, murid tunggal dari mendiang Kiu-bwe Coa-li tokoh wanita nomor satu di dunia kang-ouw. Ada pun yang bernama The Kun Beng adalah murid ke dua dari mendiang Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yakni sebenarnya ia adalah sute (adik seperguruan) dari Swi Kiat Siansu. Namun seperti juga Bun Sui Ceng, dia memiliki watak yang amat aneh dan sukar diajak berunding. The Kun Beng dahulu menjadi tunangan Bun Sui Ceng, akan tetapi mereka lalu berpisah dan entah bagaimana keadaan mereka sampai saat ini. Aku tidak sanggup menghadapi mereka, maka kaulah yang kuminta menemui dua orang aneh itu. Kalau kau berhasil membawa mereka pada bulan Lak-gwe menghadapi pihak Mo-kauw, kau akan berjasa besar sekali, Kiang Liat.”
“Akan tetapi, murid belum pernah mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka berada, Suhu. Bagaimana teecu dapat mencari mereka?”
“Mereka memang orang-orang aneh sehingga sukar sekali mencari tahu di mana mereka berada. Baiknya belum lama ini aku mendengar bahwa Bun Sui Ceng sekarang bertapa di sebuah pulau kosong yang terletak tidak jauh dari pantai timur, yaitu di mana Sungai Huai-kiang memuntahkan airnya ke laut. Dan aku percaya bahwa di mana ada Bun Sui Ceng, tentu tak jauh dari situ kau dapat menjumpai The Kun Beng, karena dia ini selalu membayangi bekas tunangan yang amat dicintanya.”
“Baik, Suhu. Teecu akan berusaha mencari mereka. Akan tetapi kalau sudah bertemu, apakah yang harus teecu katakan?”
“Katakan tentang munculnya tiga iblis yang sekarang menjadi pucuk pimpinan Mo-kauw, tentang perbuatan mereka mencuri kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai. Kau beri tahukan pula bahwa nanti pada hari-hari pertama dari bulan Lak-gwe, pihak Mo-kauw itu menantang kepada kita untuk menentukan keunggulan di tikungan Sungai Yalu Cangpo, di mana sungai itu membelok ke barat, yakni di sebelah barat Gunung Heng-tuang-san.”
“Bagaimana kalau mereka menolak, Suhu?”
“Itulah yang sangat kukhawatirkan. Akan tetapi, coba kau membujuknya. Terutama sekali katakan bahwa supek-mu Bu Pun Su yang diancam oleh pihak Mo-kauw, dan bahwa pihak Mo-kauw lihai sekali sehingga Bu Pun Su Suheng tak akan kuat menghadapi lawan kalau mereka berdua tidak mau membantu.”
Sesudah menceritakan semua maksud kedatangannya, Han Le lalu pergi untuk mencari Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin. Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat akan nama-nama ini. Swi Kiat Siansu merupakan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, sedangkan Pok Pok Sianjin adalah murid dari Hek I Hui-mo.
Kiang Liat sendiri kemudian meninggalkan pesan kepada isterinya agar supaya baik-baik menjaga Im Giok. Bi Li menangis dan merasa berat sekali ditinggal pergi oleh suaminya.
“Jangan khawatir, isteriku yang baik. Aku pergi bukan untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya, melainkan untuk minta bantuan kepada orang pandai. Walau pun demikian, tugasku ini penting sekali. Sekarang sudah bulan dua, tinggal empat bulan lagi waktunya, maka aku harus cepat-cepat berangkat mencari dua orang pandai itu sebagaimana yang diperintahkan oleh Suhu.”
Akhirnya Bi Li melepas suaminya pergi dan Kiang Liat berangkat dengan menunggang seekor kuda yang baik.
Sebulan kemudian, Kiang Liat sudah menukar kudanya dengan sebuah perahu yang lalu membawanya terapung-apung di laut sebelah timur. Dari para nelayan dia mendapatkan keterangan bahwa di dekat pantai di mana air Sungai Huai-kiang mengalir ke laut itu hanya terdapat tiga buah pulau kosong yang tak ada penghuninya. Hatinya girang karena kalau hanya tiga saja pulau yang berada di sana, kiranya mudah mencari wanita sakti yang bernama Bun Sui Ceng.
Perahu yang dibeli oleh Kiang Liat itu adalah perahu yang baru dan kuat sekali, layarnya juga masih baru, terbuat dari kain yang tebal. Dayungnya juga baik sekali, oleh karena itu pelayarannya maju dengan laju.
Belum jauh ia meninggalkan pantai, tiba-tiba ia mendengar suara orang bernyanyi. Kiang Liat merasa heran sekali karena dari manakah datangnya suara nyanyian di atas lautan yang sunyi itu? Ia menengok dan terlihatlah olehnya sebuah perahu butut dengan layar bertambal-tambal sedang berlayar meninggalkan pantai.
Jarak antara dia dan perahu butut itu masih sangat jauh sehingga orang yang duduk di dalam perahu itu tidak kelihatan jelas, akan tetapi suara orang yang bernyanyi itu dapat demikian jelas terdengar olehnya. Ia merasa terkejut sekali. Mungkinkah ada orang yang memiliki lweekang demikian hebatnya? Atau barangkali kebetulan saja suara itu terbawa oleh angin laut yang meniup kencang?
Karena merasa tertarik, dia lalu memandang penuh perhatian. Setelah perahu butut yang gerakannya ternyata cepat sekali itu datang mendekat, samar-samar dia melihat bahwa penumpangnya adalah seorang lelaki setengah tua yang pakaiannya tak karuan, seperti seorang pengemis.
Orang itu mendayung perahunya dan Kiang Liat melihat hal yang amat aneh. Dia tahu bahwa angin bertiup kencang dan perahunya sendiri pun sangat laju oleh tiupan angin pada layar. Dalam keadaan seperti ini, dayung tidak perlu digunakan lagi, karena betapa pun kuatnya orang mendayung perahu, tak akan dapat melawan kekuatan tenaga angin meniup layar.
Akan tetapi anehnya, perahu butut yang sudah digerakkan oleh layar yang melengkung terhembus angin, juga masih terdorong cepat ke depan tiap kali orang itu menggerakkan dayungnya. Ini menandakan bahwa tenaga dorongan dayung itu masih lebih hebat dan lebih kuat dari pada tenaga tiupan angin pada layar tambal-tambalan itu!
Kiang Liat yang sedang memandang terheran-heran itu tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget. Betapa ia tidak akan kaget kalau melihat perahu butut itu tiba-tiba amblas dengan kepala lebih dahulu ke dalam air dan sekejap mata kemudian, perahu berikut layar dan orangnya lenyap dari permukaan air!
“Celaka...!” serunya. “Perahu itu telah karam...!”
Akan tetapi ia merasa heran sekali. Bagaimana perahu dapat karam seperti itu? Lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa perahu itu sengaja menyelam dengan kepala di depan. Akan tetapi mungkinkah ini? Mana mungkin ada orang dapat menyelam berikut perahu dan layarnya?
“Dukkk!”
Kiang Liat tersentak kaget. Tanpa ia ketahui karena sejak tadi ia menoleh ke belakang, tahu-tahu kini perahunya menumbuk sebuah benda yang keras, besar serta berat. Dia memandang dan melihat bahwa perahunya sudah bertumbukan dengan sebuah perahu besar dan terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh di atas perahu besar itu.
Baiknya Kiang Liat cepat-cepat menggerakkan dayung untuk mengatur gerak perahunya sehingga perahunya tak sampai tenggelam. Akan tetapi terdengar suara keras dan tiang layarnya patah.
Bukan main mendongkolnya hati Kiang Liat. Dia segera berdiri di dalam perahunya dan berdongak memandang ke atas. Dari perahu besar itu ia mendengar suara tertawa lagi, kemudian lapat-lapat ia mendengar suara khim (alat tetabuhan) yang dimainkan orang, lalu disusul oleh suara nyanyian wanita.
“Kurang ajar! Siapa berani main-main dan sengaja menabrak perahuku?” seru Kiang Liat marah.
Tidak ada jawaban dari petahu besar yang kini tidak bergerak lagi dan masih menempel dengan perahunya. Saking jengkelnya, Kiang Liat cepat mengayun dayungnya, memukul badan perahu besar sekuat tenaga.
“Krakkk!”
Perahu besar itu bergoyang keras, akan tetapi badan perahu tidak apa-apa, sebaliknya dayung yang dipegangnya patah dan ujungnya telah hancur berkeping-keping. Ketika dia meraba dengan tangannya, ternyata olehnya bahwa badan perahu besar itu berlapiskan besi.
Suara khim berhenti dan sebuah kepala yang besar nongol dari atas pinggiran perahu besar, diikuti oleh suara makian,
“Demi setan air! Siapakah yang berani mampus memukul perahu?” Suara itu parau dan ketika Kiang Liat memandang ke atas, dia melihat muka yang kulitnya kasar dan bopeng, dengan sepasang mata bundar dan hidung pesek.
“Jahanam!” Kiang Liat balas memaki. “Perahumu yang menabrak perahuku. Apakah kau buta?”
Si Muka Bopeng menyeringai dan Kiang Liat mendengar suara wanita dari atas perahu besar, “Tiat-thouw-gu (Kerbau Kepala Besi), apakah yang berada di bawah itu orang she Kiang?”
Kiang Liat terkejut sekali. Bagaimana ada orang dapat mengenalnya? Siapakah wanita itu?
Si Muka Bopeng yang disebut Tiat-thouw-gu menjawab, “Agaknya memang betul dia, Wi Wi Toanio. Apakah aku boleh menabrak dan menggulingkan perahunya agar ia mampus di perut ikan?”
“Jangan! Undanglah dia ke atas, aku ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu silatnya,” jawab suara wanita itu.
Tiat-thouw-gu memandang kepada Kiang Liat, menyeringai, “Ehh, bukankah kau orang she Kiang dari Sian-koan?”
“Babi muka hitam, memang betul aku Kiang Liat dari Sian-koan! Apakah alasannya maka manusia-manusia rendah macam engkau berani menghinaku?”
“Ha-ha-ha, suaramu besar sekali, bocah. Kau telah mendengar sendiri tadi, Wi Wi Toanio minta kau naik. Beranikah kau?”
“Mengapa tidak berani?” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menggenjot tubuhnya dan dengan gerakan ringan sekali ia telah melompat ke atas.
Untuk menjaga diri agar jangan sampai ia dibokong musuh, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang sambil melompat ke atas perahu besar. Ketika ia sudah berdiri di dalam perahu, ia menghadapi banyak orang yang nampaknya rata-rata mempunyai kepandaian tinggi.
Di tengah rombongan orang yang menumpang di perahu besar itu, dia melihat seorang wanita setengah tua yang cantik sekali, berdiri dengan sepasang pedang di tangan. Ada pun di sebelahnya berdiri seorang laki-laki setengah tua berpakaian mewah yang juga tampan dan gagah.
Dan di kepala perahu terdapat tiga patung sebesar manusia, patung tiga orang laki-laki yang aneh. Yang seorang tinggi kurus seperti tengkorak, yang kedua kurus bongkok dan bermata sipit dan yang ke tiga, di tengah-tengah, tinggi besar seperti raksasa.
Kiang Liat tidak tahu patung siapakah itu. Akan tetapi melihat wanita serta laki-laki yang gerak-geriknya nampak halus itu, dia tidak berani sembarangan, bahkan menjura dengan hormat.
“Tidak tahu siapakah Cu-wi sekalian dan mengapa pula hendak mengganggu aku orang she Kiang.”
Wanita itu tersenyum dan nampak ia manis sekali. Kiang Liat dapat menduga bahwa dulu pada waktu mudanya, wanita ini tentu cantik sekali.
“Kiang-enghiong, bukankah kau adalah murid Han Le dan sekarang kau sedang disuruh oleh gurumu untuk mencari bala bantuan guna membantu Bu Pun Su?”
Kembali Kiang Liat tertegun. Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua urusannya?
“Apa pun yang sedang kukerjakan, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cu-wi sekalian. Sekarang, apa yang Cuwi kehendaki maka menghadang perjalananku?” Kiang Liat berkata, sedikit pun dia tidak merasa gentar menghadapi orang yang dua puluh lebih banyaknya itu.
Terdengar suara orang-orang itu tertawa, dan wanita itu berkata,
“Kiang-enghiong, aku adalah Wi Wi Toanio dan gurumu tentu akan mengerti kenapa aku menghadang pelayaranmu di sini. Sudah lama aku mendengar akan kelihaian Han Le, maka kini bertemu dengan kau yang menjadi muridnya, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu. Sesungguhnya, kewajibanku adalah untuk melenyapkan kau di tempat ini, akan letapi aku tidak mau berlaku kejam terhadap seorang muda seperti kau ini. Marilah kita main-main sebentar sebelum aku mengajak kawan-kawanku berunding tentang apa yang akan kami lakukan atas dirimu.”
Kiang Liat menjadi marah sekali. Terang bahwa ia dipandang ringan, dan ia maklum pula bahwa orang-orang ini tentulah bukan kawan, dan apa bila bukan musuh besar gurunya, tentu musuh besar Bu Pun Su atau setidaknya anak buah Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu. Teringat akan ini tiba-tiba dia menoleh ke arah tiga buah arca di kepala perahu dan ia berkata,
“Hemm, salahkah dugaanku bahwa tiga buah patung itu adalah arca-arca dari Thian-te Sam-kauwcu?”
“Matamu awas sekali, Kiang-enghiong. Memang, mereka itu adalah arca-arca dari ketiga ketua kami yang mulia,” kata Wi Wi Toanio.
“Kalau begitu, kalian adalah anggota-anggota Mo-kauw!”
“Benar, bersiaplah kau dengan pedangmu!”
Kiang Liat maklum bahwa tidak ada lain jalan baginya kecuali bertempur mati-matian. Ia sudah banyak mendengar dari suhu-nya akan kekejaman orang-grang Mo-kauw yang tak akan mau memberi ampun kepada orang yang mereka musuhi.
Sambil menggereng hebat, Kiang Liat menggerakkan pedang menangkis tusukan Wi Wi Toanio yang sudah mulai menyerangnya. Segera terjadi pertempuran sengit antara dua orang ini. Yang lain-lain berdiri mengelilingi dan menonton.
Sepasang pedang di tangan Wi Wi Toanio benar-benar lihai sekali. Gerakannya cepat dan aneh, tenaga lweekang-nya pun sangat hebat. Bahkan, dengan terus terang Kiang Liat harus mengaku bahwa dalam hal kecepatan dan tenaga dalam, ia masih kalah oleh lawannya ini. Baiknya ia memiliki ilmu pedang warisan Kiang yang sudah diperkuat dan diperhebat oleh gurunya, maka ia dapat melakukan penjagaan diri yang kuat.
Wi Wi Toanio penasaran dan terheran-heran. Sudah tiga puluh jurus mereka bertempur, tetapi belum juga ia mampu mendesak orang muda itu.
Laki-laki yang tadi berdiri di dekatnya mengeluarkan seruan heran dan berkata dengan suaranya yang halus,
“Aneh sekali, aku berani bertaruh bahwa ini bukan Hun-khai Kiam-hoat Ang-bin Sin-kai!”
Mendengar seruan ini, diam-diam Kiang Liat mengeluh. Tidak saja wanita yang menjadi lawannya ini tangguh sekali, juga seruan laki-laki tadi menyatakan bahwa laki-laki itu pun seorang ahli silat yang pandai. Tidak sembarangan ahli silat mampu mengenal Hun-khai Kiam-hoat, namun laki-laki itu dapat menyatakan bahwa ilmu pedangnya bukan Hun-khai Kiam-hoat.
Karena tahu bahwa ia dikepung oleh orang-orang Mo-kauw yang tinggi kepandaiannya, Kiang Liat menjadi nekat. Pedangnya digerakkan dengan cepat dan ia pun mengeluarkan seluruh kepandalan yang ia dapat dari Han Le selama satu tahun.
Usahanya berhasil baik. Wi Wi Toanio mengeluarkan seruan kaget dan dalam beberapa gebrakan, Wi Wi Toanio dapat terdesak mundur oleh serangan Kiang Liat, orang muda ini sudah mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang yang disempurnakan oleh Han Le, yakni pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Pek-in Koan-goat (Awan Putih Menutup Bulan), lalu disambung dengan Sin-eng Liap-in (Garuda Mengejar Awan), dan akhirnya ia menyerang terus tanpa menghentikan pedangnya dengan gerak tipu Sian-jin Hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan).
Tiga serangan berantai ini merupakan puncak dari ilmu pedangnya yang oleh Han Le disebut Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai) dan amat lihai gerakannya. Tiga jurus serangan ini dapat dilakukan terus-menerus dan ganti-berganti karena dari jurus pertama ke jurus ke dua atau ke tiga mempunyai hubungan yang amat dekat dan dapat disambung menurut sesuka hatinya.
Wi Wi Toanio adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Pembaca dari cerita Pendekar Sakti tentunya masih ingat bahwa Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng, keturunan dari An Lu Shan. Juga Wi Wi Toanio inilah yang dengan kecantikannya yang luar biasa telah menjatuhkan hati Bu Pun Su dan menyeret Pendekar Sakti itu ke dalam lumpur kehinaan.
Semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, suami isteri ini mempelajari ilmu silat tinggi hingga akhirnya mereka bersekutu dengan pihak Mo-kauw, dan menjadi anggota pimpinan yang disegani. Pihak Mo-kauw memang mempunyai banyak orang pandai dan juga memiliki pengaruh yang luas sekali. Maka tidak begitu mengherankan apa bila mereka telah dapat mencium bau tentang tugas yang sedang dijalankan oleh Kiang Liat untuk mengundang dua orang pandai untuk membantu Bu Pun Su. Maka Wi Wi Toanio bersama suaminya dan beberapa orang Mo-kauw segera ditugaskan untuk mencegat perjalanan Kiang Liat dan kalau perlu membunuh orang muda ini.
Akan tetapi, kini menghadapi serangan Lian-cu Sam-kiam dari Kiang Liat, Wi Wi Toanio merasa terkejut bukan main. Ia masih bergerak cepat untuk menangkis serta mengelak, akan tetapi gerakan yang aneh dari pedang Kiang Liat masih berhasil membabat ujung lengan bajunya dan hampir membabat putus jari tangan kirinya sehingga sambil berseru kaget wanita ini melompat ke belakang dan melepaskan pedang kirinya!
“Gempur dia!” bentak An Kai Seng marah sambil menyerang dengan pedangnya.
Dan pada lain saat, Kiang Liat sudah dikeroyok oleh dua puluh orang lebih yang rata-rata mempunyai ilmu silat tinggi. Kiang Liat kewalahan, apa lagi perahu itu bergoyang-goyang karena gerakan banyak orang. Dalam amukannya Kiang Liat berhasil merobohkan dua orang, akan tetapi ia terdesak sampai ke pinggir perahu.
Tidak ada lain jalan bagi Kiang Liat. Di atas perahu yang berguncang itu dia tidak dapat bersilat sebagaimana mestinya, maka untuk mencegah supaya ia jangan terjengkang ke dalam air, ia lalu melirik ke bawah. Girang hatinya melihat perahunya masih menempel di pinggir perahu besar. Karena itu, sambil memutar pedang sehingga para pengeroyoknya mundur, ia lalu melompat ke arah perahu kecilnya itu.
Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tiba-tiba perahu kecilnya bergerak, meluncur maju cepat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, Kiang Liat jatuh ke dalam air!
Air muncrat tinggi dan Kiang Liat menelan air asin. Cepat ia menahan napas dan mumbul lagi ke permukaan air, menggerak-gerakkan kaki dan tangan sehingga ia dapat bertahan mengambang di atas air. Ia bukan seorang ahli renang, namun kalau hanya menahan diri agar jangan tenggelam saja, ia masih bisa.
Dengan hati dongkol dan juga terheran, Kiang Liat melihat bahwa yang membikin perahu kecilnya terdorong maju adalah seorang laki-laki setengah tua. Laki-laki ini tiba-tiba saja muncul di permukaan air bersama perahu kecilnya berikut layar tambal-tambalan dan dia ini bukan lain adalah lelaki yang tadi bernyanyi-nyanyi dan kemudian tenggelam bersama perahunya!
Dengan enaknya laki-laki itu menggunakan perahu mendorong perahu Kiang Liat. Ketika Kiang Liat melihat perahunya, dia bergidik. Perahunya sudah penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh badan perahu. Apa bila tadi dia berhasil melompat ke dalam perahu, dia bersangsi apakah dia akan dapat menangkis hujan anak panah itu.
Kini dia melihat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh kepadanya. Orang setengah tua ini rambutnya awut-awutan, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya penuh keriput. Akan tetapi bentuk mukanya masih tampan serta gagah. Dia hanya satu kali terkekeh kepada Kiang Liat, kemudian tubuhnya tiba-tiba saja melayang naik ke perahu besar.
Namun ternyata Kiang Liat berbeda dengan orang lain. Dia sama sekali tidak kelihatan kecewa dan untuk ini Bi Li merasa amat berterima kasih. Cinta kasih terhadap suaminya semakin menebal. Hidup nyonya muda ini tentu akan penuh kebahagiaan kalau saja ia tidak diganggu oleh Ceng Si dan Cia Sun.
Cia Sun sudah mendapatkan banyak uang yang diperasnya dari Bi Li melalui Ceng Si, dan berubah menjadi seorang pemuda pemogoran dan pemalasan. Uang itu cepat sekali habisnya, dihambur-hamburkannya seperti orang membuang pasir belaka.
Setelah Bi Li dan suaminya pindah ke Sian-koan, ia pun menyusul ke kota itu, menyewa kamar di dalam sebuah hotel. Ia membeli seekor kuda yang bagus dan kerjanya setiap hari hanya berpesiar! Hubungannya dengan Ceng Si dilanjutkan tanpa ada halangan.
Pada suatu hari, ketika Bi Li dan suaminya sedang menimang-nimang puteri mereka, Bi Li berkata dengan nada penuh keheranan,
”Suamiku, Im Giok mempunyai muka yang hampir sama dengan Enci Pek Hoa.”
Kiang Liat terkejut bukan main. “Apa katamu? Pek Hoa siapa...?”
Bi Li juga terkejut sekali, merasa bahwa ia telah kelepasan bicara. Maka dengan muka kemerahan ia berkata,
“Enci Pek Hoa adalah seorang dewi dari kahyangan. Suamiku, jangan kau tertawakan aku dan mengira aku tahyul dan bicara yang bukan-bukan. Kejadian itu amat ajaib maka selama ini aku tak pernah mengatakan kepadamu, takut kalau kau akan mentertawakan aku.”
“Coba ceritakan, isteriku. Aku tidak akan mentertawakanmu. Siapakah dewi itu dan bagai mana kau bisa bertemu dengan dia?” tanya Kiang Liat dan hatinya berdebar gelisah.
Bi Li lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat yang dipuji-pujinya sebagai seorang dewi yang sangat cantik jelita. Kiang Liat mendengarkan penuturan isterinya itu dengan sepasang mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak sekali. Tahulah dia sekarang bahwa dahulu Pek Hoa dapat datang mencarinya ke kota Sian-koan tentu setelah mendengar dari Bi Li bahwa dia adalah murid dari Han Le!
“Pek Hoa-cici baik sekali, suamiku. Dia bilang bahwa kelak dia akan datang menjenguk kalau aku sudah mempunyai anak...”
Makin gelisah hati Kiang Liat. Akan tetapi dia diam saja, tidak berani ia menerangkan kepada isterinya yang lemah itu bahwa sebenarnya orang yang dikira dewi oleh isterinya itu bukan lain adalah seorang iblis wanita yang amat jahat!
Semenjak mendengar penuturan isterinya itu, Kiang Liat selalu bersikap waspada. Tiap malam secara diam-diam dia melakukan penjagaan, takut apa bila iblis wanita itu datang mengganggunya. Oleh karena kewaspadaannya inilah maka dia mulai melihat sesuatu yang amat mencurigakan di waktu malam.
Kadang-kadang ia mendengar suara kaki kuda yang datang dari jauh kemudian berhenti di belakang rumahnya, sedikit di luar pagar kebun bunga kecil yang berada di belakang rumah. Kadang-kadang dia juga mendengar ada suara orang bercakap-cakap di tengah malam menjelang pagi!
Hatinya mulai curiga dan pada malam hari itu, ketika mendengar suara kuda berhenti di belakang, secara diam-diam dia turun dari pembaringan lalu berjalan keluar melalui pintu belakang. Waktu itu sudah menjelang fajar dan perlahan-lahan ia membuka pintu, lantas mengintai keluar.
Ia melihat sesosok bayangan keluar dari pintu samping, berlari-lari ke arah taman bunga. Kemudian, bayangan ini bertemu dengan bayangan lainnya yang memasuki pintu pagar yang agaknya sudah dibuka dari dalam.
Hati Kiang Liat berdebar gelisah. Melihat gerak-gerik kedua orang itu, mereka hanyalah orang-orang biasa dan sama sekali tidak seperti gerakan orang yang pandai ilmu silat, apa lagi kalau yang datang Pek Hoa tentu tidak demikian caranya.
Pada waktu dia menyelinap dan bersembunyi di balik batang pohon kembang, Kiang Liat merasa mendongkol bukan main karena ia mengenal bahwa bayangan yang keluar dari pintu samping itu adalah Ceng Si. Pelayan wanita yang muda, genit dan cantik ini telah mengadakan pertemuan dengan seorang laki-laki muda yang datang menunggang kuda!
“Hemm, benar-benar sial!” pikirnya. “tidak tahunya pelayan kita ini adalah seorang yang tidak tahu malu sekali. Mengadakan pertemuan dengan laki-laki di waktu tengah malam, mencemarkan nama kehormatan keluargaku! Dia harus diusir pergi!”
Dua orang itu bicara berbisik-bisik dengan mesra sekali sehingga Kiang Liat malu untuk muncul. Ia menanti sampai Ceng Si yang kelihatan memberikan sesuatu kepada laki-laki itu kembali ke dalam rumah, kemudian ia mendengar laki-laki itu menunggang kudanya kembali yang dibalapkan cepat-cepat pergi dari situ.
Kiang Liat menjadi bingung. Apakah dia harus beri tahukan hal ini kepada Bi Li? Isterinya kelihatan begitu cinta dan sayang kepada Ceng Si dan kalau saat ini dia beri tahukan, apakah tidak akan membikin isterinya berduka?
Kemudian ia teringat akan sesuatu. Ada hal yang sangat mengherankan hatinya, yakni persediaan uangnya cepat sekali berkurang bahkan isterinya yang dia tahu mempunyai banyak uang, cepat sekali kehabisan uang. Apakah Ceng Si tidak melakukan pencurian? Tadi ia melihat gadis pelayan itu memberi sesuatu kepada kekasihnya, apakah itu bukan uang atau benda berharga?
Berpikir sampai di sini, kembali Kiang Liat tertegun. Ia sudah lama tidak melihat isterinya memakai perhiasan! Bahkan perhiasan berupa kupu-kupu dan bunga cilan yang dulu ia berikan kepada Bi Li sebagai emas kawin, tak pernah lagi menghias rambut isterinya itu!
Ia memang seorang laki-laki yang tidak begitu peduli tentang segala macam perhiasan, maka hal ini terlewat begitu saja dari perhatiannya. Memang pernah secara iseng-iseng dia bertanya kepada isterinya mengapa tidak pernah memakai perhiasan, akan tetapi isterinya menjawab,
“Untuk apakah semua perhiasan itu? Aku sudah menikah dengan kau, bahkan sekarang sudah menjadi ibu, kiranya tak perlu lagi bersolek.”
Jawaban ini menyenangkan hatinya, sebab Kiang Liat sendiri suka akan kesederhanaan, maka ia tak bertanya lebih lanjut. Sekarang melihat peristiwa yang terjadi di taman bunga timbul berbagai dugaan di dalam hatinya.
Tak salah lagi, mungkin sekali Ceng Si melakukan pencurian. Siapa tahu kalau isterinya sebenarnya kehilangan semua perhiasan itu, akan tetapi tidak berani bilang karena takut. Isterinya begitu lemah dan begitu sayang kepada Ceng Si.
Kiang Liat tidak dapat tidur. Pada keesokan hatinya, ia terbangun dengan kepala pusing. Pagi-pagi sekali Ceng Si sudah datang membawa segala macam keperluan isterinya, bahkan dengan amat rajin dan telaten pelayan ini mengurus Im Giok dengan penuh kasih sayang. Isterinya juga kelihatan begitu berterima kasih kepada Ceng Si sehingga ia tidak tega untuk mengungkit urusan itu.
“Lebih baik kutangkap jahanam itu!” pikir Kiang Liat dengan gemas.
Benar, itulah jalan satu-satunya supaya tidak menyinggung perasaan isterinya. Ia harus menangkap laki-laki yang sering kali datang menemui Ceng Si, kemudian memaksanya mengaku.
*****
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, Cia Sun melarikan kudanya dengan cepat. Seperti biasa, malam tadi dia mengadakan pertemuan dengan Ceng Si di taman bunga dan sesudah meninggalkan tempat pertemuan rahasia itu, ia membawa sekantung uang dan beberapa potong benda berharga.
Sambil membalapkan kudanya, Cia Sun tersenyum-senyum gembira. Betapa ia tak akan merasa girang? Ceng Si sudah menjadi kekasihnya, dan dengan bantuan kekasihnya ini, dia dapat menggerogoti kekayaan keluarga Kiang. Song Bi Li atau Nyonya Kiang yang sudah berada di dalam cengkeramannya itu tidak berdaya dan terpaksa menuruti segala permintaannya.
“Ceng Si memang manis dan cerdik,” Cia Sun berpikir sambil memperlambat larinya kuda karena ia telah tiba di luar kota dan merasa aman.
“Surat Bi Li kepadaku masih disimpan oleh Ceng Si dan dengan surat itu, dia dapat terus menakut-nakuti Bi Li. Sekali saja surat itu diperlihatkan kepada suaminya, tentu dia akan celaka.”
Biar pun sudah banyak uang yang diperasnya dari Bi Li, akan tetapi tetap saja Cia Sun merupakan seorang miskin. Semua uang itu dihabiskan di atas meja perjudian, dipakai foya-foya dengan sahabat-sahabatnya dan pendeknya, Cia Sun hidup sebagai pemuda kaya-raya yang royal dan mata keranjang.
Tentu saja Ceng Si tidak tahu akan hal ini dan sama sekali tidak pernah menduganya. Pelayan yang cantik ini mabuk oleh janji-janji Cia Sun yang menuturkan bahwa semua uang dan barang itu disimpannya baik-baik untuk dipergunakan sebagai modal dan bekal hidup kelak apa bila mereka telah hidup sebagai suami isteri!
Selagi Cia Sun enak-enak mencongklang kudanya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali. Cia Sun tidak menyangka buruk dan mengira bahwa ada orang berkuda yang hendak lewat mendahuluinya, maka dia minggirkan kuda tunggangannya.
Benar saja, tampak seorang penunggang kuda tengah membalapkan kudanya menyusul. Akan tetapi, setelah berada di depan Cia Sun, tiba-tiba saja orang itu menghentikan kuda sambil menarik kendali sehingga kudanya berputar dan menghadapi kuda Cia Sun.
Melihat orang muda gagah yang menunggang kuda itu, seketika wajah Cia Sun menjadi pucat dan dadanya berdebar keras. Walau pun belum berkenalan akan tetapi diam-diam dia sering kali melihat dan memperhatikan suami Bi Li dan orang yang kini mencegatnya bukan lain adalah Kiang Liat, suami Bi Li! Akan tetapi, sastrawan muda ini dapat cepat menenangkan hati dan memaksa diri tersenyum.
“Tuan siapakah dan ada keperluan apa dengan siauwte?” tanya Cia Sun dengan suara ramah-tamah, sikap seorang terpelajar yang sopan-santun.
Akan tetapi Kiang Liat tidak dapat tertipu oleh sikap ini. Sudah beberapa kali Kiang Liat mengintai dalam taman dan tahulah dia bahwa pemuda itu diam-diam telah mengadakan hubungan rahasia dengan Ceng Si dan gadis pelayan itu selalu memberi barang-barang berharga kepadanya. Tentu saja Kiang Liat merasa sangat marah dan curiga. Dari mana Ceng Si bisa mendapatkan barang-barang berharga dan uang?
“Bangsat kecil, tidak perlu kau berpura-pura dan bermanis mulut. Aku sudah melihat dan tahu akan semua perbuatanmu di dalam taman rumahku. Ayo sekarang kau mengaku, siapa namamu dan mengapa kau begitu berani mampus memasuki taman mengadakan pertemuan dengan pelayan kami?!”
Kiang Liat melompat turun dari kudanya dan memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata mengandung ancaman, sedangkan pecut kudanya dipegang erat-erat pada tangan kanannya.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Cia Sun mendengar ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa suami Bi Li ini sudah melihatnya mengadakan pertemuan dengan Ceng Si. Sampai di manakah pengetahuan orang she Kiang ini? Tanpa disadarinya, saking kaget dan gelisahnya, Cia Sun mengerling ke arah kantung uang yang ada di atas punggung kuda.
“Ya, itu pun kau terima dari Ceng Si! Hendak kulihat, apakah isinya!” kata pula Kiang Liat sambil melangkah maju.
Tentu saja Cia Sun tidak menghendaki hal ini terjadi. Ia tahu bahwa barang-barang dan uang yang kini dibawanya adalah kepunyaan hartawan muda ini yang diterima oleh Ceng Si dari Bi Li. Maka ia lalu mengambil sikap seakan-akan ia marah besar.
“Manusia kurang ajar…! Apakah kau hendak merampok?” bentaknya sambil mencambuk kudanya. “Aku tidak kenal padamu dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Pergi!”
Akan tetapi Kiang Liat mana mau melepaskannya? Sekali mengulur lengan, Kiang Liat sudah menangkap pergelangan tangan Cia Sun dan sebelum sastrawan bermoral bejat ini tahu apa yang terjadi, ia telah diseret turun dari atas kuda!
“Keparat busuk, masih saja kau tidak mau lekas-lekas mengaku?” bentak Kiang Liat yang sudah menjadi marah melihat sikap orang itu.
Cia Sun yang terbanting dari atas kuda merasa pantatnya sakit sekali. Sambil meringis ia merayap bangun. Ia maklum bahwa pengakuan berarti mencari celaka, oleh karena itu ia memberanikan diri, mengangkat dada dan berkata,
“Kau ini orang gila atau orang mabuk? Kalau kau hendak merampok, carilah saudagar-saudagar yang kaya, jangan mengganggu seorang siucai yang miskin seperti aku!”
Hati Kiang Liat semakin mendongkol. Melihat sikap pemuda sastrawan ini, terang sekali baginya bahwa ia sedang menghadapi seorang yang curang dan palsu.
“Jahanam, jangan berpura-pura lagi. Sudah beberapa kali aku melihat kau mengadakan pertemuan dengan pelayan kami di taman. Kau tidak mau cepat-cepat mengaku? Atau menanti sampai aku turun tangan memukulmu?”
“Mengaku apa? Aku tak pernah melakukan hal yang kau sebutkan tadi. Aku tak bersalah apa-apa...”
Kiang Liat marah sekali. Kaki kirinya bergerak menendang dan tersungkurlah Cia Sun. Baiknya Kiang Liat masih belum tahu akan semua perbuatan Cia Sun yang disangkanya hanya seorang pemuda yang main gila dengan gadis pelayannya saja. Maka tendangan itu perlahan saja dan hanya cukup membikin Cia Sun roboh tanpa menderita luka berat. Akan tetapi cukup membikin Cia Sun merintih-rintih karena pahanya yang tertendang itu terasa sakit bukan main. Beberapa kali ia mencoba untuk bangun, akan tetapi tak dapat sehingga akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil memandang kepada Kiang Liat dengan muka pucat.
“Hayo lekas mengaku! Jangan menanti sampai aku naik darah dan memukul kepalamu sampai hancur!”
Cia Sun mulai ketakutan. Tempat itu sunyi dan waktu itu masih pagi sekali. Melihat sepak terjang Kiang Liat, dia maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat melawan. Apa lagi, memang dia telah mendengar bahwa hartawan muda she Kiang ini adalah seorang ahli silat yang amat tinggi kepandaiannya.
“Ampunkah hamba, Wangwe...,” katanya dan tiba-tiba sastrawan muda ini berlutut!
Kiang Liat memandang dengan hati merasa sebal sekali. Benar-benar dia menghadapi seorang pemuda yang mempunyai martabat rendah sekali.
“Jangan banyak aksi, lekas mengaku!” bentaknya.
“Hamba akan mengaku terus terang. Sebenarnya sudah lama hamba berkenalan dengan Nona Ceng Si. Hubungan hamba dengan dia sudah berjalan beberapa tahun, sejak dia belum pindah ke Siang-koan. Hamba tidak melakukan sesuatu yang jahat, dan hubungan hamba dengan Ceng Si berdasarkan suka sama suka... harap Wangwe sudi memberi maaf.”
“Kau selalu menerima bungkusan dan kantung dari Ceng Si, apakah isinya?”
Cia Sun cepat menyembunyikan rasa takutnya. “Hanya... hanya makanan dan masakan, Wangwe. Ceng Si sering kali memberi makanan kepada hamba...”
“Dusta!” bentak Kiang Liat.
Dua kali ia menggerakkan tangan, kantung yang masih di atas sela kuda Cia Sun sudah diambilnya. Ia membuka kantung itu dan berjatuhanlah isinya ke atas tanah. Uang emas dan perak yang jumlahnya tidak sedikit.
“Makanan kau bilang? Hayo bilang, dari mana kau mendapatkan ini semua?”
“Dari... dari... Ceng Si, katanya itu uang simpanannya selama dia bekerja... dia berikan kepada hamba untuk... untuk...”
“Untuk apa?” Kiang Liat tidak sabar lagi.
“Wan-gwe, Ceng Si dan hamba mengambil keputusan untuk menikah dan karena hamba seorang miskin, Nona Ceng Si yang baik itu memberikan uang simpanannya ini kepada hamba untuk mempersiapkan dan memilih hari pernikahan.”
Kiang Liat percaya dengan keterangan ini. Memang dia pun sudah menyaksikan sendiri bahwa pemuda ini tengah mengadakan hubungan asmara dengan Ceng Si, maka semua keterangannya tadi masuk di akal.
Yang mencurigakan hatinya adalah Ceng Si. Dari mana pelayan itu mendapatkan uang begini banyak? Mungkinkan uang simpanannya?
“Siapa namamu?” tanyanya tiba-tiba.
“Hamba bernama Cia Sun…”
“Sekarang dengarlah. Aku Kiang Liat bukanlah orang yang boleh kau permainkan begitu saja. Kau telah berani lancang memasuki taman rumah kami tanpa ijin, pada malam hari pula. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup kuat untuk membunuhmu sebagai seorang maling atau penjahat. Akan tetapi aku memaafkan kau dengan satu syarat bahwa besok pagi kau harus datang ke rumahku dan dengan resmi kau mengajukan pinangan untuk diri Ceng Si. Kau boleh menyuruh seorang perantara wanita untuk mengajukan pinangan itu kepada Hujin (Nyonya). Kalau besok kau tidak melakukan hal ini, awas, aku akan mencarimu dan mengambil nyawamu!”
“Baik, Wan-gwe... baik...” Cia Sun mengangguk-anggukkan kepala sambil berlutut terus.
Kiang Liat lalu mencemplak kudanya dan membalapkan kuda itu menuju pulang. Hatinya lega. Ia memang tak suka sama sekali melihat Ceng Si menjadi pelayan isterinya. Gadis pelayan ini terlalu genit dan terlalu cantik, pula amat berani.
Dengan terang-terangan gadis pelayan itu mencoba untuk menjatuhkan perhatiannya, mencoba untuk menjatuhkan hatinya dengan pelbagai aksi dan gaya. Lebih celaka lagi, entah mengapa, isterinya nampak suka sekali pada Ceng Si sehingga bahkan rela kalau Ceng Si menjadi bini mudanya! Sekarang ia dapat menangkap Cia Sun dan memaksa sastrawan muda itu mengawini Ceng Si. Inilah jalan terbaik.
Kiang Liat sangat cinta kepada isterinya. Dia tidak mau menyinggung perasaan Bi Li dan meski pun dia merasa curiga dan heran melihat sikap isterinya yang berlebihan terhadap Ceng Si, akan tetapi ia tidak tega untuk bertanya atau mendesak. Ia telah percaya penuh akan kesetiaan dan kecintaan isterinya kepadanya, maka dia tidak mau memperlihatkan suatu sikap yang kurang percaya. Oleh karena ini, setibanya di rumah, ia tidak bercerita sesuatu kepada isterinya tentang pertemuannya dengan Cia Sun.
Pada keesokan harinya, betul saja di rumah gedung keluarga Kiang Liat datang seorang wanita setengah tua yang di Sian-koan terkenal sebagai seorang perantara perjodohan. Wanita ini datang untuk mengajukan pinangan atas diri Ceng Si untuk sasterawan Cia Sun!
Mendengar ini, Bi Li nampak terheran-heran, akan tetapi juga girang dan dia tidak tahu bahwa diam-diam suaminya memandangnya dengan kerling tajam.
“Panggil Ceng Si ke sini...!” berkata Bi Li kepada seorang pelayan lain, suaranya nyaring dan jelas sekali bahwa ia bergembira.
Ceng Si tergopoh-gopoh. Gadis ini sudah mendengar dari pelayan yang memanggilnya karena pelayan ini tadi telah mendengar mengenai peminangan itu. Ceng Si juga merasa terheran-heran dan bingung ketika Bi Li berkata kepadanya,
“Ceng Si, Bibi ini datang untuk meminangmu atas nama seorang sastrawan muda yang bernama Cia Sun. Walau pun aku dan suamiku berhak mengambil keputusan karena kau tak memiliki keluarga lagi, akan tetapi merasa lebih baik kami menanyakan pendapatmu sendiri. Bagaimana?”
Ceng Si kebingungan. Sebentar ia memandang kepada Bi Li dan di lain saat ia menatap wajah pelamar itu. Semua ini diikuti oleh pandangan mata Kiang Liat yang duduk di sudut dan agaknya tidak mau tahu tentang persoalan perjodohan ini.
“Akan tetapi...,” kata Ceng Si bingung, “bagaimana ini, Hujin? Saya... saya masih suka melayani Hujin dan belum ada pikiran untuk menikah...”
Dari tempat duduknya, dengan perasaan heran sekali Kiang Liat melihat betapa pandang mata pelayan itu amat tajam dan berpengaruh ketika memandang kepada Bi Li!
“Ceng Si, bukankah hal ini sangat baik sekali? Lebih baik dari pada kau bekerja di sini? Ingatlah, usiamu sudah dua puluh tahun dan pelamar ini bukannya orang sembarangan. Kiranya sudah amat cocok apa bila kau menjadi isteri seorang siu-cai…”
“Betul sekali kata-kata Kiang-hujin,” perantara itu berkata cepat-cepat. “Cia-siucai adalah seorang pemuda yang tidak saja tampan sekali, tetapi juga amat terpelajar, sopan-santun dan berbudi mulia. Biar pun dia bukan dari keluarga kaya, akan tetapi ia pun bukan tidak beruang. Ia menyediakan semua biaya untuk upacara pernikahan!”
“Akan tetapi... aku… aku belum suka berumah tangga sendiri!” kata Ceng Si dan dalam kata-katanya ini terkandung suara demikian keras dan menentukan.
Kiang Liat terkejut sekali karena ia melihat betapa isterinya menjadi berubah air rnukanya dan agaknya isterinya itu tak berani menentang keputusan Ceng Si! Hal ini menimbulkan kemarahan di dalam hatinya dan berkatalah Kiang Liat,
“Ceng Si, di dalam urusan ini sekali-kali tidak betul kalau kau berkeras kepala! Agaknya memang kau sudah berjodoh sekali dengan pelamar ini, karena malam tadi aku bermimpi melihat kau bertemu dengan seorang sastrawan muda di dalam taman bunga. Bukankah ini tanda bahwa kau memang berjodoh padanya? Maka kau tidak boleh menampik!”
Perantara itu tertawa dan nampaklah giginya yang ompong. Ia menepuk-nepuk tangan dan berkata, “Bagus sekali! Itulah impian yang amat baik artinya. Nona Ceng Si, setelah Kiang-wangwe sendiri bermimpi seperti itu, jelas bahwa perjodohan ini adalah kehendak Thian! Kau tidak bisa menolak kehendak Thian.”
Hanya Kiang Liat yang tahu betapa wajah pelayan itu menjadi pucat sekali dan nampak jelas kegugupannya pada saat mendengar kata-kata Kiang Liat tadi. Hanya untuk sekilas gadis pelayan itu mengerling kepadanya, akan tetapi di dalam kerlingan ini, Kiang Liat menangkap pandang mata yang penuh keheranan, kekagetan, dan kebencian. Ada pun Bi Li memandang kepada suminya dengan berterima kasih.
Ceng Si menundukkan mukanya. “Baiklah. Kalau Wan-gwe dan Hujin mendesak, saya pun tidak dapat membantah. Nasib hidupku memang berada di tangan kedua majikanku.” Kata-kata yang perlahan ini diikuti oleh mengalirnya air mata.
Hari pernikahan ditetapkan dan beberapa pekan kemudian, pernikahan antara Cia Sun dan Ceng Si segera dilangsungkan.
Sesudah pelayan itu dibawa pergi oleh suaminya, Bi Li merasa seakan-akan batu yang selama ini menggencet hatinya sudah dilenyapkan. Dia merasa lega sekali dan mukanya yang selama ini agak pucat, kini menjadi agak kemerahan dan bercahaya. Juga sikapnya terhadap suaminya makin manis dan setiap hari dia nampak gembira sekali.
Meski terheran-heran dan ingin sekali tahu rahasia apakah gerangan yang tersembunyi di dalam hubungan antara isterinya dan Ceng Si, akan tetapi Kiang Liat tidak tega untuk mendesak isterinya membuka rahasia itu. Ia terlalu cinta dan terlalu sayang kepada Bi Li, dan kepercayaannya sudah bulat.
Sesudah Ceng Si meninggalkan rumah gedung itu, Bi Li benar-benar kelihatan seperti hidup baru. Ia nampak berbahagia sekali, perhatiannya kepada puterinya bertambah, dan kasih sayangnya terhadap suami pun makin mesra. Tentu saja Kiang Liat merasa amat beruntung, dan sepasang suami isteri ini pun hidup dalam keadaan tenteram serta penuh kebahagiaan.
Puteri mereka, Kiang Im Giok, nampak semakin mungil dan manis. Memang luar biasa sekali anak ini. Tubuhnya montok dan sehat, kulitnya halus dan putih kemerahan, bentuk tubuhnya demikian sempurna sehingga sukarlah mencari cacatnya. Biar pun masih kecil, sudah kelihatan betapa sepasang matanya bercahaya dan bening, rambutnya hitam dan subur. Tidak mengherankan apa bila ayah bundanya amat sayang kepadanya.
Beberapa bulan lewat tanpa ada peristiwa yang luar biasa. Pada suatu hari, pada waktu sepasang suami isteri ini sedang duduk makan angin di ruang depan sambil menimang-nimang Im Giok, dari pekarangan luar masuk seorang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis. Kiang Liat yang berpendengaran tajam segera menoleh dan begitu melihat pengemis itu, wajahnya berubah girang sekali.
“Suhu Han Le datang...,” bisiknya kepada Bi Li yang juga memandang dengan heran.
Keduanya cepat berdiri dan menyambut dengan penuh kehormatan. Han Le tersenyum-senyum dan pendekar sakti ini menatap kepada Im Giok dengan pandang mata kagum.
“Aduh, puterimu ini sungguh-sungguh mengagumkan sekali, Kiang Liat!” katanya sambil mengelus-elus kepala Im Giok yang baru berusia dua tahun.
Setelah dipersilakan duduk dan dikeluarkan hidangan, Han Le lalu makan minum tanpa sungkan-sungkan lagi, kemudian ia menuturkan maksud kedatangannya.
“Muridku, sekarang ada pekerjaan penting sekali untuk kita. Ketahuilah, dunia kang-ouw sedang menghadapi ancaman dan bahaya hebat dan pada bulan Lak-gwe (bulan enam) nanti merupakan saat penentuan apakah dunia kang-ouw akan bisa menyetamatkan diri atau tidak.”
Han Le lantas menuturkan tentang pergerakan dari kaum Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang tokoh besar aneh yang menjadi guru dari Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko. Selain mereka ini, masih banyak sekali tokoh-tokoh Mokauw yang mempunyai ilmu tinggi. Kini pihak Mo-kauw mulai dengan gerakan mereka untuk memusuhi dunia kang-ouw, dengan jalan mencuri kitab ilmu silat dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai.
“Supek-mu Bu Pun Su telah turun tangan dan siap sedia menghadapi mereka. Kita boleh percaya penuh akan kelihaian Bu Pun Su Suheng. Akan tetapi Thian-te Sam-kauwcu dan teman-temannya juga bukan orang-orang biasa, melainkan iblis-iblis dan siluman-siluman yang sakti. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu supek-mu Bu Pun Su.”
“Akan tetapi, Suhu. Mungkin Suhu merupakan bantuan yang amat berharga bagi Supek, sedangkan teecu...? Baru menghadapi Pek Hoa Pouwsat saja teecu tidak berdaya. Tentu saja teecu sama sekali tidak merasa takut dan untuk membela Supek, teecu siap untuk mempertaruhkan jiwa raga teecu.”
“Betul sekali kata-katamu itu, Kiang Liat. Aku pun tidak begitu bodoh untuk minta kau menghadapi mereka. Aku hanya minta kau membantuku mencari beberapa orang yang kiranya akan merupakan tandingan yang setimpal menghadapi pihak Mo-kauw.”
“Siapakah mereka itu, Suhu? Teecu siap untuk mencari mereka.”
“Orang pertama adalah Swi Kiat Siansu yang kini berada di barat. Orang ke dua Pok Pok Sianjin yang kabarnya berada di utara. Mereka ini takkan mau turun gunung kalau tidak aku sendiri yang datang dan membujuk mereka. Kiranya hanya kedua orang inilah yang kepandaiannya sudah setingkat dengan pihak Mo-kauw. Selain mereka berdua, alangkah baiknya kalau bisa mendatangkan Bun Sui Ceng dan The Kun Beng.” Han Le menghela napas panjang ketika menyebut nama dua orang ini.
“Siapakah mereka dan di mana tempat tinggal mereka, Suhu?” Kiang Liat tertarik sekali mendengar nama orang-orang yang sangat dipuji oleh gurunya dan yang belum ia kenal itu.
“Mereka adalah orang-orang luar biasa. Keduanya mempunyai hubungan erat dengan supek-mu Bu Pun Su. Bun Sui Ceng adalah reorang pendekar wanita gagah perkasa, murid tunggal dari mendiang Kiu-bwe Coa-li tokoh wanita nomor satu di dunia kang-ouw. Ada pun yang bernama The Kun Beng adalah murid ke dua dari mendiang Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yakni sebenarnya ia adalah sute (adik seperguruan) dari Swi Kiat Siansu. Namun seperti juga Bun Sui Ceng, dia memiliki watak yang amat aneh dan sukar diajak berunding. The Kun Beng dahulu menjadi tunangan Bun Sui Ceng, akan tetapi mereka lalu berpisah dan entah bagaimana keadaan mereka sampai saat ini. Aku tidak sanggup menghadapi mereka, maka kaulah yang kuminta menemui dua orang aneh itu. Kalau kau berhasil membawa mereka pada bulan Lak-gwe menghadapi pihak Mo-kauw, kau akan berjasa besar sekali, Kiang Liat.”
“Akan tetapi, murid belum pernah mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka berada, Suhu. Bagaimana teecu dapat mencari mereka?”
“Mereka memang orang-orang aneh sehingga sukar sekali mencari tahu di mana mereka berada. Baiknya belum lama ini aku mendengar bahwa Bun Sui Ceng sekarang bertapa di sebuah pulau kosong yang terletak tidak jauh dari pantai timur, yaitu di mana Sungai Huai-kiang memuntahkan airnya ke laut. Dan aku percaya bahwa di mana ada Bun Sui Ceng, tentu tak jauh dari situ kau dapat menjumpai The Kun Beng, karena dia ini selalu membayangi bekas tunangan yang amat dicintanya.”
“Baik, Suhu. Teecu akan berusaha mencari mereka. Akan tetapi kalau sudah bertemu, apakah yang harus teecu katakan?”
“Katakan tentang munculnya tiga iblis yang sekarang menjadi pucuk pimpinan Mo-kauw, tentang perbuatan mereka mencuri kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai. Kau beri tahukan pula bahwa nanti pada hari-hari pertama dari bulan Lak-gwe, pihak Mo-kauw itu menantang kepada kita untuk menentukan keunggulan di tikungan Sungai Yalu Cangpo, di mana sungai itu membelok ke barat, yakni di sebelah barat Gunung Heng-tuang-san.”
“Bagaimana kalau mereka menolak, Suhu?”
“Itulah yang sangat kukhawatirkan. Akan tetapi, coba kau membujuknya. Terutama sekali katakan bahwa supek-mu Bu Pun Su yang diancam oleh pihak Mo-kauw, dan bahwa pihak Mo-kauw lihai sekali sehingga Bu Pun Su Suheng tak akan kuat menghadapi lawan kalau mereka berdua tidak mau membantu.”
Sesudah menceritakan semua maksud kedatangannya, Han Le lalu pergi untuk mencari Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin. Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat akan nama-nama ini. Swi Kiat Siansu merupakan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, sedangkan Pok Pok Sianjin adalah murid dari Hek I Hui-mo.
Kiang Liat sendiri kemudian meninggalkan pesan kepada isterinya agar supaya baik-baik menjaga Im Giok. Bi Li menangis dan merasa berat sekali ditinggal pergi oleh suaminya.
“Jangan khawatir, isteriku yang baik. Aku pergi bukan untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya, melainkan untuk minta bantuan kepada orang pandai. Walau pun demikian, tugasku ini penting sekali. Sekarang sudah bulan dua, tinggal empat bulan lagi waktunya, maka aku harus cepat-cepat berangkat mencari dua orang pandai itu sebagaimana yang diperintahkan oleh Suhu.”
Akhirnya Bi Li melepas suaminya pergi dan Kiang Liat berangkat dengan menunggang seekor kuda yang baik.
Sebulan kemudian, Kiang Liat sudah menukar kudanya dengan sebuah perahu yang lalu membawanya terapung-apung di laut sebelah timur. Dari para nelayan dia mendapatkan keterangan bahwa di dekat pantai di mana air Sungai Huai-kiang mengalir ke laut itu hanya terdapat tiga buah pulau kosong yang tak ada penghuninya. Hatinya girang karena kalau hanya tiga saja pulau yang berada di sana, kiranya mudah mencari wanita sakti yang bernama Bun Sui Ceng.
Perahu yang dibeli oleh Kiang Liat itu adalah perahu yang baru dan kuat sekali, layarnya juga masih baru, terbuat dari kain yang tebal. Dayungnya juga baik sekali, oleh karena itu pelayarannya maju dengan laju.
Belum jauh ia meninggalkan pantai, tiba-tiba ia mendengar suara orang bernyanyi. Kiang Liat merasa heran sekali karena dari manakah datangnya suara nyanyian di atas lautan yang sunyi itu? Ia menengok dan terlihatlah olehnya sebuah perahu butut dengan layar bertambal-tambal sedang berlayar meninggalkan pantai.
Jarak antara dia dan perahu butut itu masih sangat jauh sehingga orang yang duduk di dalam perahu itu tidak kelihatan jelas, akan tetapi suara orang yang bernyanyi itu dapat demikian jelas terdengar olehnya. Ia merasa terkejut sekali. Mungkinkah ada orang yang memiliki lweekang demikian hebatnya? Atau barangkali kebetulan saja suara itu terbawa oleh angin laut yang meniup kencang?
Karena merasa tertarik, dia lalu memandang penuh perhatian. Setelah perahu butut yang gerakannya ternyata cepat sekali itu datang mendekat, samar-samar dia melihat bahwa penumpangnya adalah seorang lelaki setengah tua yang pakaiannya tak karuan, seperti seorang pengemis.
Orang itu mendayung perahunya dan Kiang Liat melihat hal yang amat aneh. Dia tahu bahwa angin bertiup kencang dan perahunya sendiri pun sangat laju oleh tiupan angin pada layar. Dalam keadaan seperti ini, dayung tidak perlu digunakan lagi, karena betapa pun kuatnya orang mendayung perahu, tak akan dapat melawan kekuatan tenaga angin meniup layar.
Akan tetapi anehnya, perahu butut yang sudah digerakkan oleh layar yang melengkung terhembus angin, juga masih terdorong cepat ke depan tiap kali orang itu menggerakkan dayungnya. Ini menandakan bahwa tenaga dorongan dayung itu masih lebih hebat dan lebih kuat dari pada tenaga tiupan angin pada layar tambal-tambalan itu!
Kiang Liat yang sedang memandang terheran-heran itu tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget. Betapa ia tidak akan kaget kalau melihat perahu butut itu tiba-tiba amblas dengan kepala lebih dahulu ke dalam air dan sekejap mata kemudian, perahu berikut layar dan orangnya lenyap dari permukaan air!
“Celaka...!” serunya. “Perahu itu telah karam...!”
Akan tetapi ia merasa heran sekali. Bagaimana perahu dapat karam seperti itu? Lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa perahu itu sengaja menyelam dengan kepala di depan. Akan tetapi mungkinkah ini? Mana mungkin ada orang dapat menyelam berikut perahu dan layarnya?
“Dukkk!”
Kiang Liat tersentak kaget. Tanpa ia ketahui karena sejak tadi ia menoleh ke belakang, tahu-tahu kini perahunya menumbuk sebuah benda yang keras, besar serta berat. Dia memandang dan melihat bahwa perahunya sudah bertumbukan dengan sebuah perahu besar dan terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh di atas perahu besar itu.
Baiknya Kiang Liat cepat-cepat menggerakkan dayung untuk mengatur gerak perahunya sehingga perahunya tak sampai tenggelam. Akan tetapi terdengar suara keras dan tiang layarnya patah.
Bukan main mendongkolnya hati Kiang Liat. Dia segera berdiri di dalam perahunya dan berdongak memandang ke atas. Dari perahu besar itu ia mendengar suara tertawa lagi, kemudian lapat-lapat ia mendengar suara khim (alat tetabuhan) yang dimainkan orang, lalu disusul oleh suara nyanyian wanita.
“Kurang ajar! Siapa berani main-main dan sengaja menabrak perahuku?” seru Kiang Liat marah.
Tidak ada jawaban dari petahu besar yang kini tidak bergerak lagi dan masih menempel dengan perahunya. Saking jengkelnya, Kiang Liat cepat mengayun dayungnya, memukul badan perahu besar sekuat tenaga.
“Krakkk!”
Perahu besar itu bergoyang keras, akan tetapi badan perahu tidak apa-apa, sebaliknya dayung yang dipegangnya patah dan ujungnya telah hancur berkeping-keping. Ketika dia meraba dengan tangannya, ternyata olehnya bahwa badan perahu besar itu berlapiskan besi.
Suara khim berhenti dan sebuah kepala yang besar nongol dari atas pinggiran perahu besar, diikuti oleh suara makian,
“Demi setan air! Siapakah yang berani mampus memukul perahu?” Suara itu parau dan ketika Kiang Liat memandang ke atas, dia melihat muka yang kulitnya kasar dan bopeng, dengan sepasang mata bundar dan hidung pesek.
“Jahanam!” Kiang Liat balas memaki. “Perahumu yang menabrak perahuku. Apakah kau buta?”
Si Muka Bopeng menyeringai dan Kiang Liat mendengar suara wanita dari atas perahu besar, “Tiat-thouw-gu (Kerbau Kepala Besi), apakah yang berada di bawah itu orang she Kiang?”
Kiang Liat terkejut sekali. Bagaimana ada orang dapat mengenalnya? Siapakah wanita itu?
Si Muka Bopeng yang disebut Tiat-thouw-gu menjawab, “Agaknya memang betul dia, Wi Wi Toanio. Apakah aku boleh menabrak dan menggulingkan perahunya agar ia mampus di perut ikan?”
“Jangan! Undanglah dia ke atas, aku ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu silatnya,” jawab suara wanita itu.
Tiat-thouw-gu memandang kepada Kiang Liat, menyeringai, “Ehh, bukankah kau orang she Kiang dari Sian-koan?”
“Babi muka hitam, memang betul aku Kiang Liat dari Sian-koan! Apakah alasannya maka manusia-manusia rendah macam engkau berani menghinaku?”
“Ha-ha-ha, suaramu besar sekali, bocah. Kau telah mendengar sendiri tadi, Wi Wi Toanio minta kau naik. Beranikah kau?”
“Mengapa tidak berani?” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menggenjot tubuhnya dan dengan gerakan ringan sekali ia telah melompat ke atas.
Untuk menjaga diri agar jangan sampai ia dibokong musuh, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang sambil melompat ke atas perahu besar. Ketika ia sudah berdiri di dalam perahu, ia menghadapi banyak orang yang nampaknya rata-rata mempunyai kepandaian tinggi.
Di tengah rombongan orang yang menumpang di perahu besar itu, dia melihat seorang wanita setengah tua yang cantik sekali, berdiri dengan sepasang pedang di tangan. Ada pun di sebelahnya berdiri seorang laki-laki setengah tua berpakaian mewah yang juga tampan dan gagah.
Dan di kepala perahu terdapat tiga patung sebesar manusia, patung tiga orang laki-laki yang aneh. Yang seorang tinggi kurus seperti tengkorak, yang kedua kurus bongkok dan bermata sipit dan yang ke tiga, di tengah-tengah, tinggi besar seperti raksasa.
Kiang Liat tidak tahu patung siapakah itu. Akan tetapi melihat wanita serta laki-laki yang gerak-geriknya nampak halus itu, dia tidak berani sembarangan, bahkan menjura dengan hormat.
“Tidak tahu siapakah Cu-wi sekalian dan mengapa pula hendak mengganggu aku orang she Kiang.”
Wanita itu tersenyum dan nampak ia manis sekali. Kiang Liat dapat menduga bahwa dulu pada waktu mudanya, wanita ini tentu cantik sekali.
“Kiang-enghiong, bukankah kau adalah murid Han Le dan sekarang kau sedang disuruh oleh gurumu untuk mencari bala bantuan guna membantu Bu Pun Su?”
Kembali Kiang Liat tertegun. Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua urusannya?
“Apa pun yang sedang kukerjakan, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cu-wi sekalian. Sekarang, apa yang Cuwi kehendaki maka menghadang perjalananku?” Kiang Liat berkata, sedikit pun dia tidak merasa gentar menghadapi orang yang dua puluh lebih banyaknya itu.
Terdengar suara orang-orang itu tertawa, dan wanita itu berkata,
“Kiang-enghiong, aku adalah Wi Wi Toanio dan gurumu tentu akan mengerti kenapa aku menghadang pelayaranmu di sini. Sudah lama aku mendengar akan kelihaian Han Le, maka kini bertemu dengan kau yang menjadi muridnya, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu. Sesungguhnya, kewajibanku adalah untuk melenyapkan kau di tempat ini, akan letapi aku tidak mau berlaku kejam terhadap seorang muda seperti kau ini. Marilah kita main-main sebentar sebelum aku mengajak kawan-kawanku berunding tentang apa yang akan kami lakukan atas dirimu.”
Kiang Liat menjadi marah sekali. Terang bahwa ia dipandang ringan, dan ia maklum pula bahwa orang-orang ini tentulah bukan kawan, dan apa bila bukan musuh besar gurunya, tentu musuh besar Bu Pun Su atau setidaknya anak buah Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu. Teringat akan ini tiba-tiba dia menoleh ke arah tiga buah arca di kepala perahu dan ia berkata,
“Hemm, salahkah dugaanku bahwa tiga buah patung itu adalah arca-arca dari Thian-te Sam-kauwcu?”
“Matamu awas sekali, Kiang-enghiong. Memang, mereka itu adalah arca-arca dari ketiga ketua kami yang mulia,” kata Wi Wi Toanio.
“Kalau begitu, kalian adalah anggota-anggota Mo-kauw!”
“Benar, bersiaplah kau dengan pedangmu!”
Kiang Liat maklum bahwa tidak ada lain jalan baginya kecuali bertempur mati-matian. Ia sudah banyak mendengar dari suhu-nya akan kekejaman orang-grang Mo-kauw yang tak akan mau memberi ampun kepada orang yang mereka musuhi.
Sambil menggereng hebat, Kiang Liat menggerakkan pedang menangkis tusukan Wi Wi Toanio yang sudah mulai menyerangnya. Segera terjadi pertempuran sengit antara dua orang ini. Yang lain-lain berdiri mengelilingi dan menonton.
Sepasang pedang di tangan Wi Wi Toanio benar-benar lihai sekali. Gerakannya cepat dan aneh, tenaga lweekang-nya pun sangat hebat. Bahkan, dengan terus terang Kiang Liat harus mengaku bahwa dalam hal kecepatan dan tenaga dalam, ia masih kalah oleh lawannya ini. Baiknya ia memiliki ilmu pedang warisan Kiang yang sudah diperkuat dan diperhebat oleh gurunya, maka ia dapat melakukan penjagaan diri yang kuat.
Wi Wi Toanio penasaran dan terheran-heran. Sudah tiga puluh jurus mereka bertempur, tetapi belum juga ia mampu mendesak orang muda itu.
Laki-laki yang tadi berdiri di dekatnya mengeluarkan seruan heran dan berkata dengan suaranya yang halus,
“Aneh sekali, aku berani bertaruh bahwa ini bukan Hun-khai Kiam-hoat Ang-bin Sin-kai!”
Mendengar seruan ini, diam-diam Kiang Liat mengeluh. Tidak saja wanita yang menjadi lawannya ini tangguh sekali, juga seruan laki-laki tadi menyatakan bahwa laki-laki itu pun seorang ahli silat yang pandai. Tidak sembarangan ahli silat mampu mengenal Hun-khai Kiam-hoat, namun laki-laki itu dapat menyatakan bahwa ilmu pedangnya bukan Hun-khai Kiam-hoat.
Karena tahu bahwa ia dikepung oleh orang-orang Mo-kauw yang tinggi kepandaiannya, Kiang Liat menjadi nekat. Pedangnya digerakkan dengan cepat dan ia pun mengeluarkan seluruh kepandalan yang ia dapat dari Han Le selama satu tahun.
Usahanya berhasil baik. Wi Wi Toanio mengeluarkan seruan kaget dan dalam beberapa gebrakan, Wi Wi Toanio dapat terdesak mundur oleh serangan Kiang Liat, orang muda ini sudah mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang yang disempurnakan oleh Han Le, yakni pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Pek-in Koan-goat (Awan Putih Menutup Bulan), lalu disambung dengan Sin-eng Liap-in (Garuda Mengejar Awan), dan akhirnya ia menyerang terus tanpa menghentikan pedangnya dengan gerak tipu Sian-jin Hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan).
Tiga serangan berantai ini merupakan puncak dari ilmu pedangnya yang oleh Han Le disebut Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai) dan amat lihai gerakannya. Tiga jurus serangan ini dapat dilakukan terus-menerus dan ganti-berganti karena dari jurus pertama ke jurus ke dua atau ke tiga mempunyai hubungan yang amat dekat dan dapat disambung menurut sesuka hatinya.
Wi Wi Toanio adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Pembaca dari cerita Pendekar Sakti tentunya masih ingat bahwa Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng, keturunan dari An Lu Shan. Juga Wi Wi Toanio inilah yang dengan kecantikannya yang luar biasa telah menjatuhkan hati Bu Pun Su dan menyeret Pendekar Sakti itu ke dalam lumpur kehinaan.
Semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, suami isteri ini mempelajari ilmu silat tinggi hingga akhirnya mereka bersekutu dengan pihak Mo-kauw, dan menjadi anggota pimpinan yang disegani. Pihak Mo-kauw memang mempunyai banyak orang pandai dan juga memiliki pengaruh yang luas sekali. Maka tidak begitu mengherankan apa bila mereka telah dapat mencium bau tentang tugas yang sedang dijalankan oleh Kiang Liat untuk mengundang dua orang pandai untuk membantu Bu Pun Su. Maka Wi Wi Toanio bersama suaminya dan beberapa orang Mo-kauw segera ditugaskan untuk mencegat perjalanan Kiang Liat dan kalau perlu membunuh orang muda ini.
Akan tetapi, kini menghadapi serangan Lian-cu Sam-kiam dari Kiang Liat, Wi Wi Toanio merasa terkejut bukan main. Ia masih bergerak cepat untuk menangkis serta mengelak, akan tetapi gerakan yang aneh dari pedang Kiang Liat masih berhasil membabat ujung lengan bajunya dan hampir membabat putus jari tangan kirinya sehingga sambil berseru kaget wanita ini melompat ke belakang dan melepaskan pedang kirinya!
“Gempur dia!” bentak An Kai Seng marah sambil menyerang dengan pedangnya.
Dan pada lain saat, Kiang Liat sudah dikeroyok oleh dua puluh orang lebih yang rata-rata mempunyai ilmu silat tinggi. Kiang Liat kewalahan, apa lagi perahu itu bergoyang-goyang karena gerakan banyak orang. Dalam amukannya Kiang Liat berhasil merobohkan dua orang, akan tetapi ia terdesak sampai ke pinggir perahu.
Tidak ada lain jalan bagi Kiang Liat. Di atas perahu yang berguncang itu dia tidak dapat bersilat sebagaimana mestinya, maka untuk mencegah supaya ia jangan terjengkang ke dalam air, ia lalu melirik ke bawah. Girang hatinya melihat perahunya masih menempel di pinggir perahu besar. Karena itu, sambil memutar pedang sehingga para pengeroyoknya mundur, ia lalu melompat ke arah perahu kecilnya itu.
Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tiba-tiba perahu kecilnya bergerak, meluncur maju cepat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, Kiang Liat jatuh ke dalam air!
Air muncrat tinggi dan Kiang Liat menelan air asin. Cepat ia menahan napas dan mumbul lagi ke permukaan air, menggerak-gerakkan kaki dan tangan sehingga ia dapat bertahan mengambang di atas air. Ia bukan seorang ahli renang, namun kalau hanya menahan diri agar jangan tenggelam saja, ia masih bisa.
Dengan hati dongkol dan juga terheran, Kiang Liat melihat bahwa yang membikin perahu kecilnya terdorong maju adalah seorang laki-laki setengah tua. Laki-laki ini tiba-tiba saja muncul di permukaan air bersama perahu kecilnya berikut layar tambal-tambalan dan dia ini bukan lain adalah lelaki yang tadi bernyanyi-nyanyi dan kemudian tenggelam bersama perahunya!
Dengan enaknya laki-laki itu menggunakan perahu mendorong perahu Kiang Liat. Ketika Kiang Liat melihat perahunya, dia bergidik. Perahunya sudah penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh badan perahu. Apa bila tadi dia berhasil melompat ke dalam perahu, dia bersangsi apakah dia akan dapat menangkis hujan anak panah itu.
Kini dia melihat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh kepadanya. Orang setengah tua ini rambutnya awut-awutan, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya penuh keriput. Akan tetapi bentuk mukanya masih tampan serta gagah. Dia hanya satu kali terkekeh kepada Kiang Liat, kemudian tubuhnya tiba-tiba saja melayang naik ke perahu besar.