DARA BAJU MERAH
JILID 07
BOK BENG HOSIANG hanya dapat bertahan dua puluh jurus. Setelah itu kepalanya menjadi pening dan pada suatu saat, serangan berantai dari Pek-in-ong tak dapat dihindarkannya sehingga pundaknya terpukul oleh roda.
“Krekkk!”
Bok Beng Hosiang mengeluh dan terhuyung ke belakang, cepat-cepat ditarik oleh Kok Beng Hosiang dan diselamatkan. Tulang pundak hwesio gemuk ini telah hancur!
“Ha-ha-ha, Siauw-lim-pai tak patut menyimpan kitab pusaka!” Pek-in-ong mentertawakan sambil menyimpan sepasang rodanya.
Han Le, Sui Ceng, Kun Beng, Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka sempat bergerak, tosu tua pemimpin rombongan dari Kun-lun-pai telah melompat maju.
“Siancai, siancai! Thian-te Sam-kauwcu memang lihai. Akan tetapi sayang kepandaian mereka digunakan untuk maksud buruk. Pinto Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai datang untuk mengambil kembali pedang kami!” Sambil berkata demikian, tosu tua ini melangkah tenang mengambil pedang.
Baru saja tangannya diulur, terdengar suara mendesing dan tiga batang anak panah hijau menyambar ke arah tangannya! Cin Giok Sianjin berlaku tenang, cepat-cepat tangannya mengibas dan tiga batang anak panah itu terpental kembali ke arah penyerangnya, yakni Cheng-hai-ong orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu!
“Ha-ha-ha-ha, ini baru namanya orang pandai!” Cheng-hai-ong tertawa sambil melompat maju menghadapi Cin Giok Sianjin.
Cin Giok Sianjin terpaksa membatalkan niatnya mengambil pedang pusaka Kun-lun-pai. Ia melihat orang kurus bongkok bermata sipit berpakaian serba hijau berdiri di depannya sambil memegang sebatang rantai yang ujungnya ada tengkoraknya!
Cin Giok Sianjin adalah tokoh kedua dari Kun-lun-pai, murid dari mendiang Seng Thian Siansu, Ketua Kun-lun-pai. Tosu ini sudah puluhan tahun menjelajah dunia kang-ouw dan sudah puluhan kali bertemu dengan lawan tangguh, akan tetapi baru sekali ini ia melihat senjata sehebat dan seperti itu.
Mana ada orang bersenjata rantai yang ujungnya dipasangi tengkorak? Akan tetapi dia kemudian dapat menenangkan hatinya dan mengeluarkan sebatang pedang. Kun-lun-pai terkenal dengan ilmu pedangnya, karena itu dengan tenang ia berdiri tegak, melintangkan pedangnya di depan dada dengan jurus pertahanan Locia Pai-hud (Locia Menyembah Buddha).
“Tosu bau, mari kita main-main sebentar!” kata Cheng-hai-ong.
Begitu selesai bicara, secepat kilat ia menyambar, tengkorak di ujung rantainya bergerak ke arah kepala Cin Giok Sianjin. Tosu ini cepat mengelak, lantas pedangnya menusuk langsung dari dadanya ke dada lawan.
Cheng-hai-ong miringkan tubuhnya dan kembali tengkoraknya menyambar, kini dari arah belakang agak ke kanan, menghantam leher tosu Kun-lun-pai. Cin Giok Sianjin melihat hebatnya serangan ini, maka ia pun tidak berani mengelak, dan cepat menangkis dengan pedangnya.
“Plakkk!”
Tengkorak itu terpukul miring, akan tetapi tidak pecah. Sebaliknya, tosu Kun-lun-pai itu merasa tangannya tergetar.
“Lihai sekali...,” katanya.
Tak lama kemudian pedangnya telah berubah menjadi segulung sinar putih, menyambar-nyambar laksana seekor naga mengurung lawan. Ia telah mengeluarkan kepandaiannya dan memainkan Kun-lun Kiam-hoat yang lihai. Bukan main cepatnya gerakan pedangnya, cepat dan berat disertai tenaga lweekang.
Namun, Cheng-hai-ong masih tertawa-tawa dan mengimbangi permainan lawan dengan ilmu silatnya yang aneh sekali. Tidak hanya tengkorak di ujung rantai yang menyerang, juga kadang-kadang kedua kakinya menendang-nendang, tangan kirinya mencengkeram, sikunya berkali-kali mencari sasaran, bahkan tekukan lututnya sering pula diangkat untuk menghantam perut dan tempat berbahaya lainnya.
Swi Kiat Siansu berkata lirih. “Hemm, ilmu silat barat yang dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol. Benar-benar lihai sekali.”
Juga yang lain-lain merasa kagum dan terpaksa memuji kepandaian orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu itu. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan Cin Giok Sianjin, karena setelah bertempur tiga puluh jurus, jelas kelihatan tosu itu mulai terdesak.
Mendadak Cheng-hai-ong berseru aneh dan Cin Giok Sianjin berseru kaget, terhuyung-huyung dan melompat mundur cepat sekali. Mukanya pucat dan pada jidatnya nampak merah, ternyata kulit jidatnya telah terluka!
Hanya tokoh-tokoh besar saja yang dapat melihat betapa tadi dari mulut tengkorak itu menyambar keluar tiga batang jarum hijau ke arah muka Cin Glok Sianjin. Biar pun tosu ini sudah berkelit, namun tetap saja jidatnya tergores oleh sebatang jarum hijau sehingga mengeluarkan darah!
Cheng-hai-ong tertawa bergelak dan Cin Giok Sianjin cepat membuka bungkusan obat untuk menggunakan obat penawar racun yang disengaja dibekalnya. Ia maklum dari rasa gatal pada lukanya bahwa jarum hijau itu mengandung racun.
Baiknya Kun-lun-pai juga terkenal dengan obat-obat anti racunnya, maka dia masih dapat menyelamatkan nyawanya, sungguh pun tak mungkin dapat maju bertempur lagi. Ia perlu bersemedhi untuk mengerahkan lweekang dan mengusir pengaruh racun dengan hawa murni di dalam tubuhnya.
Han Le marah sekali. Pemimpin-pemimpin rombongan dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai telah dikalahkan dan diam-diam ia merasa menyesal sekali kenapa tokoh-tokoh pertama dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak mau keluar sendiri. Agaknya kedua partai besar itu terlalu memandang rendah terhadap pihak Mo-kauw, maka Ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Tosu dan Ketua Kun-lun-pai yang baru, Keng Thian Siansu tidak mau datang sendiri. Kalau saja dua kakek itu datang, tentu akan lain keadaannya, sungguh pun belum tentu mereka dapat mengalahkan Thian-te Sam-kauwcu yang benar-benar lihai itu.
“Thian-te Sam-kauwcu! Kalian benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang terkenal sebagai partai besar. Tidak saja kalian mencuri kitab dan pedang, bahkan sekarang kalian dengan sombong telah melakukan hinaan-hinaan,” kata Han Le.
“Ha-ha-ha, yang kalah merasa terhina, itu sudah jamak. Salahkah kami kalau kebetulan kepandaian kami memang jauh lebih tinggi dibandingkan kepandaian kalian?” Hek-te-ong berkata sambil ketawa bergelak diikuti oleh anak buahnya.
“Hek-te-ong, alangkah sombongmu!” bentak Han Le marah sekali. “Dahulu yang menjadi lima tokoh besar dunia persilatan adalah guruku Ang-bin Sin-kai beserta para Locianpwe Kiu-bwe Coa-li, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan juga Hek-i Hui-mo. Walau pun mereka ini merupakan tokoh-tokoh dari delapan penjuru, akan tetapi mereka masih tidak sesombong kau dan kawan-kawanmu, tidak pernah mau menghina partai lain, apa lagi melakukan pencurian yang rendah! Bahkan setiap kali muncul orang jahat, para locianpwe itu turun tangan membasminya!”
“Ha-ha-ha, kau pengemis bau murid Ang-bin Sin-kai. Apa kau kira dapat menakut-nakuti kami dengan nama-nama lima tokoh besar yang sudah mampus itu? Andai kata mereka masih hidup, kami pun ingin sekali menjajal kepandaian mereka, apa lagi sekarang lima orang itu sudah mampus. Apa yang perlu kami takutkan?”
“Bangsat bermulut besar. Murid Kiu-bwe Coa-li berada di sini! Aku Bun Sui Ceng akan mewakili mendiang guruku untuk membasmi Mo-kauw!” bentak Bun Sui Ceng sambil bersiap-siap dengan cambuknya.
“Pinto Swi Kiat Siansu mewakili mendiang Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggempur orang jahat!” Swi Kiat Siansu berkata dengan tenang dan sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-te Sam-kauwcu.
“Siancai, siancai, walau pun mendiang Suhu Hek-i Hui-mo menjalani jalan hitam, namun kiranya beliau juga akan turun tangan jika menghadapi siluman-siluman sombong seperti kalian! Biarlah pinto Pok Pok Sianjin mewakilinya,” berkata pula Pok Pok Sianjin sambil mengerling tajam.
“Sayang bahwa Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak ada wakilnya,” kata Kun Beng sambil tersenyum mengejek. “Oleh karena Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah diwakili oleh Suheng, biarlah aku The Kun Beng mewakili mendiang Jeng-kin-jiu yang gagah perkasa!”
“Bagus sekali! Jadi lima tokoh-tokoh besar itu kini telah diwakili oleh anak muridnya. Kami memang ingin sekali mencoba kepandaian mereka. Hayo, siapa yang hendak maju lebih dulu?” kata Hek-te-ong memandang rendah.
“Biarlah aku yang pertama memperlihatkan kebodohanku,” kata Han Le yang cepat maju sambil mencabut pedangnya.
Sebelum Hek-te-ong menghadapinya, di pihak Mo-kauw muncullah seorang kakek kate dengan telinga lebar, pakaiannya serba hitam. Dia ini adalah Hek Mo-ko yang berkata kepada Hek-te-ong.
“Twa-suhu, biarlah teecu menghadapi murid Ang-bin Sin-kai ini. Ingin teecu merasakan kelihaian Hun-khai Kiam-hoat dari Ang-bin Sin-kai. Heh-heh-heh-heh!”
Sesudah gurunya mengangguk, Hek Mo-ko lalu meloloskan sepasang senjatanya yang aneh, yakni sebatang pedang bengkok dan seuntai tasbeh.
“Han Le pengemis busuk, kita bertemu lagi sekarang dalam pertandingan satu lawan satu yang menentukan. Hayo kau keluarkan segala kepandaianmu, akan kulihat.”
Han Le mendongkol sekali. Ia sudah tahu akan kelihaian Iblis Hitam ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar sungguh pun dia tahu bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh dan harus berlaku hati-hati sekali.
“Majulah, Hek Mo-ko,” katanya sambil melintangkan pedang.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh Hek Mo-ko mulai menyerang. Pedangnya yang berbentuk aneh itu membuat gerakan melingkar, disusul dengan tasbehnya yang meluncur ke arah lambung Han Le.
Maklum akan bahayanya serangan orang kate ini, Han Le tidak berani berlaku lambat. Pedangnya bergerak cepat dan dengan jurus-jurus terlihai dari Hun-khai Kiam-hoat, tidak saja ia menangkis dan menggagalkan serangan lawan, bahkan dengan kontan keras ia membalas serangan Hek Mo-ko dengan sabetan dan tusukan maut.
Ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat warisan Ang-bin Sin-kai sudah hebat, apa lagi ditambah dengan pelajaran yang didapatkannya dari lukisan-lukisan ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng di dalam goa di Pulau Pek-hio-to, maka bukan main lihainya ilmu pedang yang dimainkan oleh Han Le. Diam-diam Hek Mo-ko memuji dan tahulah ia mengapa dahulu ketika menghadapi pengemis ini, sute-nya hampir saja celaka.
Akan tetapi, bagi Han Le juga tidak mudah mengalahkan Hek Mo-ko, karena selain dalam ilmu silat Iblis Hitam yang kecil ini masih lebih lihai dari pada Pek Mo-ko, juga tenaga lweekang-nya amat tinggi, masih lebih kuat dari pada tenaga lweekang Han Le.
Sesudah pertempuran berjalan lima puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hek Mo-ko merubah gerakannya. Kini dia bergerak lambat, akan tetapi dengan pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya sehingga tiap kali pedang di tangan Han Le terbentur oleh pedang bengkok atau tasbeh, pedang murid Ang-bin Sin-kai ini terpental dan telapak lengannya panas!
Di antara para tokoh itu, hanya Swi Kiat Siansu seorang yang mengetahui bahwa dalam perubahan ini terjadi kecurangan dari pihak Thian-te Sam-kauwcu. Pengalaman Swi Kiat Siansu di dunia kang-ouw sudah banyak, terutama sekali di daerah barat di mana banyak diyakinkan ilmu hoat-sut (sihir).
Tadi secara kebetulan dia sempat melihat Hek-te-ong memandang tajam ke arah Hek Mo-ko dengan mulut bergerak-gerak. Sungguh pun tidak terdengar sedikit pun suara dari mulutnya, namun Swi Kiat Siansu maklum apa yang telah terjadi.
“Hek-te-ong, kau curang!” serunya marah. “Diam-diam kau membantu Hek Mo-ko!”
“Siapa membantu?” Hek-te-ong mengejek. “Aku tidak bergerak dari tempat dudukku!”
Semua orang juga heran mendengar dakwaan Sui Kiat Siansu tadi. Akan tetapi memang sesungguhnya Hek-te-ong telah membantu Hek Mo-ko dengan ilmu mengirim suara yang disalurkan dengan tenaga lweekang melalui pengerahan khikang-nya. Suara ini biar pun perlahan, akan tetapi langsung bergema di telinga Hek Mo-ko tanpa terdengar oleh orang lain.
Hek-te-ong yang berpandangan luas dan tajam tahu bahwa tanpa merubah siasat, sukar bagi Hek Mo-ko untuk mencari kemenangan. Karena itu diam-diam ia membisikkan siasat kepada Hek Mo-ko untuk menggunakan tenaga lweekang sepenuhnya pada pertempuran itu.
Benar saja, setelah Hek Mo-ko merubah cara bertempurnya, Han Le menjadi sibuk. Biar pun dia berada pada pihak menyerang, akan tetapi setiap tangkisan lawan merupakan serangan balasan yang langsung merugikannya.
Tiba-tiba ia mendengar suara bisikan perlahan yang mengejutkan hatinya. Ia mengenal baik suara itu, yakni suara suheng-nya, Bu Pun Su. Seakan-akan Bu Pun Su berdiri di dekatnya dan berbisik di dekat telinganya.
“Sute, jangan mau adu senjata. Pergunakan ginkang dan seranglah dia dengan Bu-eng Kiam-sut!”
Han Le girang sekali. Ia maklum akan kelihaian suheng-nya, dan ia tahu bahwa biar pun tadi menghilang, ternyata Bu Pun Su tetap berada di dekat situ dan sekarang berusaha menolongnya. Cepat ia berseru keras dan pedangnya berubah gerakannya.
Kini pedang Han Le berkelebat menyambar ke sana sini. Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan cahaya pedang. Bukan main cepatnya gerakan Bu-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Tanpa Bayangan) ini!
Ia berhasil, Hek Mo-ko mengeluarkan seruan kaget dan sebentar saja terdesak mundur. Beberapa kali Hek Mo-ko menggerakkan sepasang senjatanya, memukul membabi-buta, namun tak pernah senjatanya yang digerakkan dengan tenaga lweekang sepenuhnya itu dapat menyentuh senjata mau pun tubuh lawannya.
Tiba-tiba saja dengan gerakan cepat Han Le berhasil menusuk paha Hek Mo-ko dengan pedangnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa pedangnya terpental dan hanya dapat merobek celana serta sedikit daging berikut kulit paha lawan!
“Aduhh…!” teriak Hek Mo-ko yang cepat menggunakan pedang bengkoknya menyabet ke arah pedang Han Le.
“Cringgg...!”
Pedang terlepas dari tangan Han Le dan kulit telapak tangannya pecah-pecah. Keduanya berbarengan melompat mundur. Hek Mo-ko terluka di pahanya. Han Le terluka di telapak tangannya. Setelah memungut pedangnya, Han Le berkata,
“Hek Mo-ko, kau lihai sekali.”
Hek Mo-ko menyeringai, ia mendongkol sekali karena dalam pertandingan tadi, biar pun ia dapat membuat pedang lawan tertangkis, akan tetapi ia sendiri menderita luka di paha, sehingga kalau dibandingkan, kerugiannya lebih besar.
“Kau patut menjadi murid Ang-bin Sin-kai,” katanya perlahan.
Pek Mo-ko melompat ke depan dan mengangkat dadanya yang bidang. Ia marah melihat kakaknya terluka, maka dengan lantang ia berkata,
“Siapa lagi yang hendak gagah-gagahan mewakili Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk merampas kembali kitab dan pedang? Majulah, aku Pek Mo-ko akan menjaga dua benda ini!” Ia berdiri tegak di dekat kitab dan pedang, sikapnya menantang sekali.
Pok Pok Sianjin marah sekali melihat lagak tengik dari Pek Mo-ko ini. Ia melompat ke depan dan menghadapi Pek Mo-ko dengan tongkat hitam di tangan.
“Pek Mo-ko, kata-katamu itu menandakan bahwa kau seorang rendah dan seperti katak dalam sumur. Akulah orangnya, Pok Pok Sianjin murid Hek-i Hui-mo yang hendak maju menghadapimu. Majulah menerima kematian!”
Pek Mo-ko gentar melihat Pok Pok Sianjin. Sebetulnya, kalau dijelaskan, Hek-i Hui-mo masih ada hubungan dengan gurunya, karena gurunya itu terhitung adik seperguruan Hek-i Hui-mo. Akap tetapi, karena sekarang ia telah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu, dan ketiga orang gurunya yang lihai masih berada di situ, ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya, sebaliknya ia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, Pok Pok Sianjin, alangkah bedanya kau dengan mendiang gurumu. Pantas kau dahulunya kutu buku, mana bisa menjadi seorang yang berpikir luas? Kalau gurumu masih hidup, tentu kau akan dicaci-maki!”
Pok Pok Sianjin marah sekali mendengar ini. Memang sebetulnya dia memiliki pendirian lain dengan mendiang gurunya. Hek-i Hui-mo terkenal sebagai orang liar yang kejam dan mengandalkan kepandaian sendiri, yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat untuk kepentingan dan keuntungan sendiri. Andai kata gurunya masih hidup dan berada di sana, belum tentu gurunya mau membantu pihak Bu Pun Su. Sekarang mendengar makian Pek Mo-ko, ia cepat menubruk maju menggerakkan tongkatnya.
Ilmu tongkat dari Pok Pok Sianjin merupakan warisan dari tokoh besar Hek-i Hui-mo yang kepandaiannya setingkat dengan Kui-bwe Coa-li atau Ang-bin Sinkai. Karena itu dapatlah dibayangkan betapa hebatnya tongkat hitam yang dimainkannya itu.
Pek Mo-ko cepat menangkis dengan tasbehnya, akan tetapi sekali benturan saja, untaian tasbehnya terlepas dan putus! Dengan kaget Pek Mo-ko melompat ke samping kemudian membalas dengan serangan kilat, menggunakan pedang bengkoknya. Sekali menangkis, kembali pedang Pek Mo-ko terpental, hampir terlepas dari pegangan.
Kemudian terjadilah pertempuran hebat. Namun mudah dilihat bahwa Pek Mo-ko masih kalah lihai sehingga ia main mundur saja. Pada suatu saat yang tepat, tongkat di tangan Pok Pok Sianjin berhasil menyodok dada Pek Mo-ko yang terjengkang dan roboh sambil muntahkan darah.
Baiknya tenaga lweekang-nya sudah matang sehingga ia dapat memelihara dan menjaga isi dada. Ia muntahkan darah bukan karena terluka, tapi akibat telalu keras mengerahkan hawa menjaga dada. Namun ia tidak mungkin dapat melawan terus sehingga Hek Mo-ko menyeretnya ke pinggir.
Pok Pok Sianjin menghampiri pedang dan kitab, hendak mengambilnya, akan tetapi dari samping tiba-tiba ada angin keras menyambar. Pok Pok Sianjin terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur. Sebatang pedang hampir saja menebas putus lengannya, demikian cepatnya gerakan pedang yang menyerangnya itu. Pada waktu ia menengok, ia melihat seorang kakek tua sekali berdiri sambil mengurut-urut jenggot.
“Kiam Ki Sianjin, kembali kau berada lagi di antara orang-orang jahat!” Pok Pok Sianjin memaki. “Memang, ular belang selalu berkawan dengan segala binatang berbisa.”
“Ha-ha-ha-ha, bocah kemarin sore berani main gila. Gurumu sendiri belum tentu berani berlagak sombong di depanku, kau masih kanak-kanak dan bau ingus ketika aku sudah menjagoi dunia kangouw. Tidak tahukah kau bahwa di dunia kang-ouw sekarang ini tidak ada orang-orang yang sanggup menandingi Thian-te Sam-kauwcu? Mengapa kau masih membutakan mata? Lebih baik kalian lekas-lekas mengakui bahwa Thian-te Sam-kauwcu memang patut menjadi pimpinan besar dari semua partai.”
“Ngaco-belo! Kau memang ular kepala dua, apa kau kira aku takut kepadamu?” Pok Pok Sianjin tak mau membuang banyak waktu lagi, cepat ia menyerang dengan tongkatnya.
Kiam Ki Sianjin menggerakkan pedang dan menangkis serangan Pok Pok Sianjin sambil tertawa mengejek. Segera keduanya bertempur seru.
Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Kiam Ki Sianjin adalah tokoh besar yang lihai, bahkan ia pernah bekerja sama dengan Hek-i Hui-mo. Sekarang melihat murid Hek-i Hui-mo berada di pihak Bu Pun Su, selain heran ia juga marah sekali. Apa lagi ketika ia melihat betapa dengan mudah Pok Pok Sianjin tadi mengalahkan Pek Mo-ko, ia tidak dapat menahan kemarahannya dan muncul ke depan tanpa bertanya lagi kepada Thian-te Sam-kauwcu, karena memang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian tiga ketua itu.
Betapa pun lihainya Pok Pok Sianjin, ia repot juga menghadapi pedang Kiam Ki Sianjin. Murid Hek-i Hui-mo ini memang tadinya hanya seorang sastrawan muda dan dia hanya terpaksa saja menjadi murid tokoh besar Hek-i Hui-mo.
Oleh karena itu, setelah ia mewarisi ilmu silat tinggi, ia jarang sekali berlatih dan biar pun kepandaiannya telah tinggi, akan tetapi ia jarang bertempur. Sekarang yang dihadapinya adalah seorang ahli silat tingkat tinggi yang bisa dibilang pekerjaannya sehari-hari hanya bersilat dan bertempur.
Maka, dalam jurus ke empat puluh, pedang Kiam Ki Sianjin berhasil melukai pundaknya. Terpaksa Pok Pok Sianjin melompat ke belakang, ditertawai oleh Kiam Ki Sianjin.
Kun Beng marah sekali dan sambil memaki keras ia melompat maju menggantikan Pok Pok Sianjin, tombaknya segera digerakkan menyerang Kiam Ki Sianjin. Kakek ini tertawa terkekeh-kekeh dan menggerakkan pedangnya menangkis sehingga tak lama kemudian mereka telah bertanding mati-matian.
Melihat bahwa sute itu pun agaknya takkan dapat menangkan Kiam Ki Sianjin yang lihai, Swi Kiat berseru keras dan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini memasuki kalangan pertandingan dengan senjatanya yang ampuh di tangan, yakni sepasang kipas, senjata istimewa dari mendiang gurunya!
“Perlahan dulu, tukang dapur!” Hek Mo-ko membentak.
Bersama Pek Mo-ko, dia menyambut Swi Kiat Siansu. Dua saudara iblis hitam putih ini telah mengambil senjata cadangan dan biar pun mereka telah terluka, namun luka yang ringan itu tidak menghambat gerakan mereka. Terpaksa Swi Kian Siansu menghadapi keroyokan Hek Pek Mo-ko yang tentu saja amat berbahaya setelah maju bersama.
Pok Pok Sianjin yang terluka pundaknya, tidak mau tinggal diam saat melihat dua orang kawannya didesak. Ia pun melompat maju dan tongkatnya kembali menyambar-nyambar, akan tetapi sebelum dia dapat membantu, terdengar suara ketawa merdu dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita menyambut tongkat dengan sepasang pedang.
Temyata bahwa Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu telah turun tangan pula! Pek Hoa Pouwsat memiliki kepandaian yang istimewa dan masih lebih tinggi tingkatnya dari pada Hek Pek Mo-ko, maka tentu saja dalam beberapa belas jurus Pok Pok Sianjin sudah terdesak hebat sekali, terkurung oleh sepasang pedang dan keselamatannya terancam sekali!
Sui Ceng menjadi bingung. Ia menoleh ke sana ke mari mencari-cari Bu Pun Su. Baru pembantu dan murid-murid Thian-te Sam-kauwcu saja yang maju, pihaknya telah sangat terdesak. Tak disangkanya bahwa pihak Mo-kauw demikian lihai. Kalau sampai Thian-te Sam-kauwcu sendiri yang maju, dapat diramalkan bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan dapat keluar dari tempat itu dengan selamat.
“Maju...! Serbu dan rampas kitab beserta pedang itu!” hampir berbareng, para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai memberi aba-aba dan dua puluh orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai serentak maju sambil menggerakkan senjata masing-masing.
Hek-te-ong tertawa bergelak. “Kawan-kawan, sambut mereka! Jangan biarkan seorang pun hidup! Apa bila kita dapat menumpas mereka, dunia kang-ouw pasti akan mengakui kekuasaan kita!”
Pihak Mo-kauw bersorak-sorai dan terjadilah perang tanding yang hebat dan mati-matian. Sui Ceng tidak mau pusingkan tentang Bu Pun Su lagi, sungguh pun hatinya sudah amat mendongkol.
“Benar-benarkah Kwan Cu telah berubah menjadi orang pengecut yang tak tahu malu?” pikirnya.
Namun ia tidak mau tinggal diam dan sekali ia berseru nyaring, cambuknya berbunyi,
“Tar! Tar! Tar!” dan seketika itu juga, empat orang anak buah Mo-kauw roboh menjerit dan bergulingan untuk menghadapi maut!
Sui Ceng hendak mengamuk terus. Tiba-tiba ia melompat mundur karena ia mendengar suara Bu Pun Su berbisik dekat telinganya,
“Sui Ceng, demi keselamatan semua kawan, kau robohkan lebih dulu Wi Wi Toanio. Kau lihat wanita yang berbaju biru memegang pedang itu. Serang dia dan robohkan sampai tidak berdaya. Awas, di sebelah kirinya, laki-laki yang memakai baju kuning itu adalah An Kai Seng, musuh besar kita!”
Sui Ceng memandang ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat Bu Pun Su. Ia sudah menjadi marah sekali ketika mendengar bahwa yang berbaju kuning adalah An Kai Seng. Karena itu, sekali ia melompat, ia telah berhadapan dengan An Kai Seng. Tanpa banyak cakap, ia lalu menyerang.
“Jahanam An, mampuslah kau!” Cambuknya menyambar hebat dan mengeluarkan bunyi yang keras sekali.
An Kai Seng yang diserang secara mendadak, menjadi kaget bukan main. Ia bukanlah seorang lemah dan cepat pedangnya menangkis. Namun ia tidak berdaya karena kali ini, Sui Ceng mempergunakan semua ujung cambuknya yang berjumlah sembilan.
Pedang An Kai Seng masih dapat menangkis sebagian ujung cambuk, akan tetapi tetap saja dua ujung cambuk menotok jalan darahnya, satu di leher dan satu lagi di ubun-ubun! An Kai Seng menjerit ngeri dan roboh tak bernapas lagi.
“Perempuan jahat, kau berani mencelakai suamiku!” Wi Wi Toanio menjerit dan mengirim tikaman dengan pedang.
Namun tentu saja Wi Wi Toanio bukan merupakan lawan tangguh bagi Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li yang lihai ini. Beberapa gebrakan saja, Wi Wi Toanio roboh pingsan terkena sabetan cambuk pada pinggangnya.
Gemas mengingat bahwa perempuan ini adalah isteri dari musuh besarnya, yakni An Kai Seng keturunan An Lu San yang amat dibencinya, Bun Sui Ceng mengayunkan cambuk hendak memberi pukulan maut. Akan tetapi tiba-tiba dia terjengkang ke belakang dan di depannya berdirilah Hek-te-ong dengan senjatanya yang aneh di tangan, yakni sebuah penggada kepala beruang! Angin sambaran senjata ini saja sudah dapat membuat Sui Ceng terjengkang, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dari ketua Mo-kauw ini.
Akan tetapi Sui Ceng memang tidak pernah mengenal takut. Cambuknya bergerak-gerak laksana sembilan ekor ular dan dia menyerang Hek-te-ong dengan pengerahan tenaga seluruhnya.
Diam-diam Hek-te-ong harus mengakui keganasan dan kehebatan wanita ini. Akan tetapi karena memang dia sudah memiliki kepandaian yang sangat tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Kiam Ki Sianjin, ia dapat pula menghadapi Bu Sui Ceng dengan amat baiknya. Bahkan senjatanya penggada yang aneh itu dengan amat kuat dan pasti mulai mendesak Sui Ceng.
Sementara itu, Kiang Liat yang tadinya tidak berdaya karena ia maklum akan rendahnya tingkat kepandaiannya menghadapi para tokoh besar itu, setelah melihat dua belah pihak berperang tanding tanpa memilih jago, segera mencabut pedangnya dan turut menyerbu.
Ia paling benci melihat Pek Hoa Pouwsat yang pernah mengganggunya. Apa lagi kalau ia teringat akan kata-kata isterinya bahwa wanita cantik seperti siluman ini pernah berjanji untuk menengok anaknya, kekhawatirannya amat besar. Kini melihat Pek Hoa Pouwsat mendesak Pok Pok Sianjin, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu terjun ke dalam pertempuran dan mempergunakan segala kepandaiannya untuk membantu Pok Pok Sianjin.
“Ehh, bocah she Kiang, kau masih belum mampus?” Pek Hoa Pouwsat yang mengenal Kiang Liat mengejek dan pedangnya kini bermain-main di atas kepala Kiang Liat.
Kalau tidak ada Pok Pok Sianjin, tentu dalam beberapa jurus saja Kiang Liat akan roboh. Setelah Kiang Liat membantu, keadaan Pok Pok Sianjin tidak begitu terdesak lagi, karena biar pun Kiang Liat masih kalah jauh tingkat kepandaiannya, namun kiam-hoat dari orang muda ini juga tak boleh dibilang lemah.
Pek Hoa Pouwsat merasa gemas sekali. Segera dia mencabut sehelai sapu tangan dari saku bajunya. Melihat sapu tangan merah ini, Kiang Liat terkejut sekali.
“Locianpwe, awas! Sapu tangan beracun itu...!” katanya.
Akan tetapi terlambat. Sambil tertawa kecil Pek Hoa Pouwsat sudah mengebutkan sapu tangannya.
Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar suara orang, “Perempuan keji!”
Tiba-tiba sapu tangan merah itu direnggut lepas dari tangan Pek Hoa Pouwsat dan di lain saat, terdengarlah suara…
“Takkk!” dan patahlah pedang di tangan kiri perempuan itu!
Pek Hoa Pouwsat menjadi pucat dan ia pun melompat jauh ke belakang sambil mulutnya memaki-maki.
“Bu Pun Su, lain kali kubunuh kau...”
Memang Bu Pun Su yang turun tangan pada saat berbahaya itu. Tadinya ketika melihat Wi Wi Toanio, terbang semangatnya. Ia maklum bahwa kalau perempuan berbahaya itu mempergunakan tusuk konde untuk mempengaruhinya, dia tidak akan berdaya. Maka Bu Pun Su cepat-cepat pergi dan mengintai dengan hati gelisah.
Melihat betapa pihaknya menderita kekalahan, dia lalu mengirim suara untuk membantu Han Le, kemudian ia mengirim suara pula kepada Bun Sui Ceng untuk merobohkan Ang Kai Seng dan Wi Wi Toanio.
Setelah dilihatnya bahwa Wi Wi Toanio telah tak berdaya pula, dengan girang Bu Pun Su lantas menerjang maju. Pertama-tama dia menolong Kiang Liat dan Pok Pok Sianjin yang hampir saja menjadi korban sapu tangan merah beracun dari Pek Hoa Pouwsat.
Sesudah itu, dia lalu cepat menolong yang lain. Pedang dan golok orang-orang Mo-kauw beterbangan, orang-orangnya roboh menjerit kesakitan tanpa sempat melihat siapa yang sudah merampas senjata dan merobohkan mereka. Demikian cepatnya gerakan Bu Pun Su Pendekar Sakti.
“Tahan semua senjata! Thian-te Sam-kauwcu, jika kalian memang laki-laki, jangan main keroyokan. Aku Bu Pun Su lawanmu. Mari kita mengadu kesaktian secara laki-laki!”
Mendengar ini dan melihat pula betapa orang-orangnya banyak yang roboh, Het te-ong lalu memberi aba-aba untuk menyuruh orang-orangnya mundur. Keadaan menjadi sunyi kembali. Mereka yang terluka, baik anak buah pihak Mo-kauw mau pun anak-anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, kini ditolong oleh teman-temannya dan ditarik ke belakang untuk diobati.
“Bu Pun Su, kenapa kau baru muncul?” Sui Ceng menegur marah kepada Bu Pu Su.
Pendekar itu tersenyum, mengejapkan mata kepadanya.
“Sekarang tiba saatnya aku menghadapi mereka. Terima kasih atas bantuanmu tadi, Sui Ceng,” kata Bu Pun Su yang cepat melangkah maju menghadapi Thian-te Sam-kauwcu yang sedang berdiri tegak dengan muka merah.
“Bu Pun Su, kau telah berani merusak patung-patung kami dan sekarang kau pula yang harus bertanggung jawab atas keributan ini. Kalau tidak ada kau di sini, kiranya semua orang gagah akan insyaf dan mengakui kami sebagai sahabat serta pemimpin mereka,” kata Hek-te-ong.
“Hek-te-ong, tenang dulu! Kau bersama dua orang sute-mu dari Barat telah mengacau di Tiong-goan. Kawan-kawan Mo-kauw yang bodoh dapat saja kalian tipu sehingga mereka mudah pula kalian jadikan boneka, termasuk kakek seperti Kam Ki Sianjin. Tidak itu saja, kalian juga telah mengganggu Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, mencuri kitab dan pedang. Kemudian kalian berusaha pula untuk merobohkan semua tokoh persilatan. Sekarang aku sudah datang, dan akulah yang bertanggung jawab.”
“Apa kehendakmu?” tanya Hek-teong.
“Tidak banyak, hanya ada dua macam. Pertama kau harus mengembalikan kitab kepada Siauw-lim-pai dan pedang kepada Kun-lun-pai, disertai pernyataan maaf atas kekurang ajaranmu. Kedua, kau bersama dua orang sute-mu harus segera pergi dari Tiong-goan, kembali ke barat tempat asalmu. Kalau kau hendak menjagoi, di Tibet tempatmu, bukan di sini.”
“Ha-ha-ha, kau sombong sekali. Apa kau kira kami ini anak-anak kecil yang akan mudah kau tipu dengan suara suling?”
Bu Pun Su tersenyum dan mencabut suling yang terselip pada pinggangnya. “Suling ini memang biasa untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang yang berduka, akan tetapi ada kalanya dapat dipergunakan untuk mengusir pengacau-pengacau. Hek-te-ong, dari pada kita semua berkelahi seperti orang-orang biadab, marilah kita bertaruh. Kalian boleh mengajukan siapa saja untuk menghadapiku mengadu kepandaian. Jika aku kalah, aku Bu Pun Su takkan peduli lagi kalian akan berbuat apa. Akan tetapi kala jago-jagomu kalah, kalian harus segera angkat kaki dari sini dan selama hidup jangan menginjak lagi bumi di daerah ini!”
“Manusia sombong, apa sih kepandaianmu maka kau begini sombong? Mari kuantar kau ke neraka!” Yang berkata demikian adalah Pek-in-ong tokoh ke dua dari Mo-kauw yang tinggi kurus seperti tengkorak.
Dengan senjatanya sepasang roda yang lihai sekali, Pek-in-ong langsung menyerang Bu Pun Su. Rodanya berputaran di tangan yang mengeluarkan suara angin mengiung.
“Bagus, aku pernah mengenal patungmu, akan tetapi lebih menarik mengenal orangnya,” kata Bu Pun Su yang dengan sangat sederhana dan mudahnya mengelak dari serangan orang.
Pek-in-ong mendesak terus dan sepasang rodanya menyambar-nyambar sambil mencari lowongan, siap untuk mencabut nyawa Bu Pun Su. Namun, Bu Pun Su adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa. Di atas dunia hanya dia seoranglah yang beruntung mewarisi ilmu kepandaian dari kitab sakti Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Pendekar ini telah memiliki kepandaian mengenal dasar dan intisari semua gerakan ilmu silat. Oleh karena itu, dengan mudah saja dia dapat melihat setiap gerakan roda lawan, tahu pula ke mana senjata lawan akan menyerangnya, maka mudah saja baginya untuk menghindarkan diri.
Selain ini, di dalam tubuhnya telah mengalir sinkang (hawa sakti) yang terjadi dari hawa murni di dalam tubuh. Sinkang di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, apa lagi setelah selama ini ia bertapa, tekun bersemedhi mengatur pernapasan dan mencurahkan seluruh jiwanya kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka dia mempunyai kekuatan lahir batin yang menakjubkan.
Biar pun senjatanya hanya sebatang suling bambu, akan tetapi sungguh aneh dan sukar dipercaya. Setiap kali roda yang terbuat dari baja tulen itu bertemu dengan suling, roda itu terpental kembali dan beberapa kali roda itu akan menghantam kepada Pek-in-ong sendiri.
Para tokoh yang berada di situ, yakni rombongan Bun Sui Ceng dan kawan-kawannya, sungguh pun mereka sudah tahu akan kelihaian Bu Pun Su, akan tetapi kembali mereka terheran-heran dan kagum sekali. Bagaimana Bu Pun Su dengan hanya sebatang suling bambu dapat mempermainkan Pek-in-ong seperti seekor kucing mempermainkan tikus? Padahal, semua orang tahu bahwa Pek-in-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi!
Pek-in-ong sendiri terheran-heran bukan main. Beberapa kali Bu Pun Su mengembalikan roda-rodanya dengan gerak tipu yang serupa benar dengan gerakan yang tadi ia lakukan untuk menyerang lawan aneh ini. Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi sia-sia belaka. Bahkan pada waktu dia menyerang dengan hebatnya, melontarkan sepasang rodanya yang susul menyusul menimpa kepala Bu Pun Su, pendekar ini mengangkat sulingnya.
Tepat sekali suling itu masuk ke dalam roda, diputar-putarnya suling itu sehingga rodanya ikut berputar, lantas roda itu dilontarkan kembali ke arah kepala Pek-in-ong! Pek-in-ong terkejut, cepat mengulur tangan menyambut rodanya sendiri. Akan tetapi dia terjengkang karena tidak kuat menahan lontaran yang penuh dengan tenaga dahsyat itu. Roda kedua menghantam kepala Bu Pun Su, akan tetapi Pendekar Sakti ini mengibaskan tangannya dan... roda itu cepat meluncur ke bawah, menghantam kaki Pek-in-ong yang terjengkang.
“Plakk!” Kaki kanan Pek-in-ong terkena pukulan rodanya sendiri.
“Aduhh... aduhhh...!”
Semua orang hampir tidak dapat menahan ketawa ketika melihat Pek-in-ong berloncat-loncatan dengan kaki kiri sambil memegangi kaki kanan yang patah tulangnya dan bukan main sakitnya. Sesudah berloncat-loncatan beberapa kali sambil meringis-ringis, akhirnya Pek-in-ong roboh pingsan!
Hek-te-ong mengeluarkan suara gerengan laksana seekor beruang yang marah. Matanya menjadi merah seperti mengeluarkan api. Sekali tangannya bergerak, berhamburan debu hijau dan hitam ke arah Bu Pun Su. Pendekar ini maklum bahwa lawannya mengeluarkan bubuk beracun.
“Semua mundur jauh-jauh!” teriaknya kepada kawan-kawannya.
Bun Sui Ceng dan yang lain-lain cepat melompat ke belakang, menyambar tubuh-tubuh kawan-kawan yang kurang gesit. Han Le menyeret Kiang Liat karena melihat orang muda ini berlaku lambat. Akan tetapi tetap saja ada beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak keburu lari dan mereka tiba-tiba terbatuk-batuk lalu roboh dengan muka menjadi hitam, napas mereka sudah putus!
“Keji sekali kau, Hek-te-ong!” seru Bu Pun Su marah.
Dia kemudian menggerakkan kedua lengannya, melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut yang mengeluarkan uap putih sehingga semua bubuk berwarna itu segera terusir kembali dan menghantam ke arah rombongan Hek-te-ong sehingga orang-orang Mo-kauw itu menjadi kocar-kacir!
“Bu Pun Su mampuslah kau!” teriak Hek-te-ong dan senjatanya menyambar laksana kilat.
Menghadapi senjata penggada kepala beruang ini, Bu Pu Su tidak berani berlaku lambat. Ia menyelipkan sulingnya dan sebagai penggantinya, dicabutnya sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Inilah pedang pusaka Liong-coan-kiam, pedang pusaka yang dia terima dari kakeknya, yakni Menteri Lu Pin!
Sambaran senjata di tangan Hek-te-ong mengenai angin ketika Bu Pun Su mengelak dan sekejap kemudian dua orang sakti ini bertempur. Bukan main hebatnya pertempuran ini.
Bu Pun Su pernah mengamuk ketika dahulu pada waktu muda dia menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya, akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini ia menghadapi tandingan yang benar-benar tangguh. Kepandaian Hek-te-ong masih di atas kepandaian Ang-bin Sin-kai, bahkan masih lebih ganas dan berbahaya dari pada kepandaian Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain!
Akan tetapi, Bu Pun Su yang sekarang jauh bedanya dengan Bu Pun Su ketika masih mempergunakan nama Lu Kwan Cu. Sekarang kepandaian Bu Pun Su sudah sampai di puncak kesempurnaan. Ilmu silat Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah mendarah daging pada dirinya.
Seluruh gerakan-gerakannya sudah otomatis dan hawa sinkang di tubuhnya tanpa diatur lagi sudah melindungi seluruh anggota tubuhnya. Bahkan dalam menghadapi Hek-te-ong, pendekar sakti ini masih mempunyai waktu untuk mempelajari ilmu silat aneh dari Ketua Mo-kauw ini.
Seratus jurus lebih mereka bertempur. Tiba-tiba Hek-te-ong berseru keras dan sekali ia menepuk dadanya, dari sebuah kancing besar di dadanya menyambar keluar tiga batang jarum merah ke arah tubuh Bu Pun Su. Serangan gelap ini dia barengi dengan pukulan penggadanya, lantas disusul dengan cengkeraman tangan kiri dan yang terakhir sekali, dua kakinya melakukan tendangan berantai!
Manusia biasa saja mana mungkin mampu membebaskan diri dari serangan ganas yang bertubi-tubi dari yang semuanya dapat merampas nyawa ini? Namun Bu Pun Su bukan manusia biasa, melainkan seorang manusia yang sudah amat kuat jiwa raganya, sudah amat tinggi ilmunya dan memiliki kesaktian yang tiada keduanya.
la maklum bahwa jarum-jarum merah itu berbahaya sekali, maka ia cepat meniup ke arah jarum-jarum itu dengan tenaga khikang sepenuhnya sehingga jarum-jarum itu runtuh, lalu tangan kirinya menangkis cengkeraman tangan kiri lawan, tubuhnya direndahkan sedikit sehingga tendangan berantai itu mengenai dada dan perutnya. Akan tetapi, pedangnya cepat sekali membabat senjata lawan.
Dalam satu detik itu terjadi hal-hal yang luar biasa sekali. Dua buah kaki Hek-te-ong tepat menendang perut dan dada Bu Pun Su, akan tetapi Bu Pun Su tidak bergeming, malah sebaliknya tubuh Hek-te-ong terpental ke belakang.
Penggada itu terkena babatan pedang dan putus pada bagian leher kepala beruang, lalu kepala beruang itu sendiri meluncur ke bawah demikian cepatnya dan... terdengar suara keras kepala beruang itu mengenai kepala Pek-in-ong yang masih menggeletak pingsan. Kepala Pek-in-ong pecah bersama kepala beruang itu.
Melihat ini, Hek-te-ong terkejut dan marah sekali. Dengan suara menggereng bagaikan binatang buas, dia menubruk Bu Pun Su dengan kedua tangan direnggangkan, lakunya seperti seekor beruang menerkam.
Bu Pun Su tidak dapat mengelak lagi, juga tidak tega untuk menyerang lawan dengan pedangnya. Cepat ia membanting pedang sehingga menancap di atas tanah, dan dengan kedua tangannya, ia menyambut datangnya lawan.
Dua pasang tangan yang sangat kuat bertemu, saling cengkeram dan saling membetot. Dua orang sakti mengadu tenaga lweekang, oleh karena dari sepuluh jari tangan masing-masing keluar hawa lweekang yang disalurkan.
“Krek... krekk... krekkk...!”
Suara ini amat mengerikan mereka yang menonton pertempuran, karena jelas bahwa itu adalah suara tulang-tulang yang patah! Tak lama kemudian, Hek-te-ong menjerit panjang dan tubuhnya terjengkang ke belakang, kemudian roboh dengan jari jemari tangan masih merupakan cengkeraman kuku iblis. Akan tetapi ia sudah tak bernapas lagi dan tubuhnya kaku seperti balok.
Ternyata bahwa dalam adu tenaga lweekang tadi, ia terkena pukulan hawa lweekang-nya sendiri yang membalik karena tidak dapat menahan sinkang yang mengalir keluar dari jari-jari tangan Bu Pun Su.
Bu Pun Su menarik napas panjang. “Siancai... siancai...,” katanya perlahan, “Hek-te-ong dan Pek-in-ong binasa karena kehendak Tuhan…”
Cheng-hai-ong berdiri pucat. Ia merasa marah dan sedih sekali melihat dua orang kakak seperguruannya tewas dalam keadaan mengerikan. Ia maklum bahwa kalau dua orang kakaknya kalah oleh Bu Pun Su, apa lagi dia yang kepandaiannya lebih rendah. Akan tetapi, ia tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa menuntut balas. Malu kalau ia tidak turun tangan. Diam-diam otaknya bekerja, kemudian dia maju menghampiri Bu Pun Su, sikapnya tenang.
“Bu Pun Su, kau telah menewaskan kedua orang suheng-ku. Kau tentu maklum bahwa hal ini tak dapat kubiarkan begitu saja. Terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan menantangmu mengadu nyawa.”
“Aku tahu dan aku bersedia, Cheng-hai-ong,” jawab Bu Pun Su sambil menarik napas panjang. Kalau tidak amat terpaksa dan demi keselamatan kaum pendekar di kang-ouw, ia segan untuk membunuh orang.
“Kedua orang suheng-ku memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku, toh mereka tewas dalam tanganmu. Apa lagi aku. Oleh karena itu, kiranya sebagai orang yang lemah aku berhak menentukan sifat pertandingan ini, ataukah kau merasa keberatan, Bu Pun Su?”
Bu Pun Su tersenyum dingin, “Sesukamulah, aku akan selalu mengiringi kehendakmu. Pertandingan mengadu kepandaian macam apa pun akan kuterima.”
“Bagus!”
Tiba-tiba sikap lemah-lembut dan mengalah dari Cheng-hai-ong lenyap, berganti dengan sikap yang gembira dan sinar mata yang kejam.
“Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, kiranya tidak akan menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan. Bu Pun Su, aku disebut orang Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau), maka sedikit kepandaian yang kumiliki tentu saja ada hubungannya dengan air, atau lebih tepat lagi, aku lebih leluasa bergerak di dalam air dari pada di atas bumi. Oleh karena itu, Bu Pun Su, aku menantangmu untuk mengadu nyawa di dalam air sungai ini!” Dia berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah air Sungai Yalu Cangpo yang airnya mengalir tenang dan lambat, menandakan bahwa air itu amat dalam.
Walau pun di dalam hatinya Bu Pun Su merasa kaget sekali karena tidak menyangka bahwa lawannya demikian licik dan menjalankan siasat yang amat curang, namun pada wajahnya tidak sedikit pun nampak rasa gelisah atau takut. Dia bahkan tersenyum dan berkata,
“Cheng-hai-ong, aku sama sekali tidak ingin mencelakai siapa pun juga. Sekarang kedua suheng-mu telah tewas karena kesalahan mereka sendiri. Jika kau mengembalikan kitab dan pedang secara suka rela, kemudian kau mau kembali ke tempat asalmu dan jangan mengganggu kami, juga mau melepaskan Mo-kauw dari pimpinanmu, siapakah yang sudi mencampuri urusan dunia yang menyulitkan? Akan tetapi kau bahkan menantangku, tak tahu kau menantang untuk memperlihatkan kepandaian di air ataukah untuk bertempur?”
Cheng-hai-ong sebenamya memang gentar menghadapi Bu Pun Su yang lihai. Biar pun ia yakin bahwa di dalam air ia akan lebih unggul, akan tetapi orang semacam Bu Pun Su ini, sungguh pun di dalam air atau di lautan api sekali pun, tetap merupakan lawan yang berbahaya dan tangguh. Maka ia ingin berlaku hati-hati dan menjawab,
“Bu Pun Su, pertama-tama aku menantang kau mengadakan pertunjukan di permukaan air, kita sama lihat siapa di antara kita yang lebih pandai.”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban supaya Bu Pun Su tidak mempunyai kesempatan untuk membantah, orang ketiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini melompat dan tubuhnya sudah melayang turun ke dalam Sungai Yalu Cangpo.
“Krekkk!”
Bok Beng Hosiang mengeluh dan terhuyung ke belakang, cepat-cepat ditarik oleh Kok Beng Hosiang dan diselamatkan. Tulang pundak hwesio gemuk ini telah hancur!
“Ha-ha-ha, Siauw-lim-pai tak patut menyimpan kitab pusaka!” Pek-in-ong mentertawakan sambil menyimpan sepasang rodanya.
Han Le, Sui Ceng, Kun Beng, Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka sempat bergerak, tosu tua pemimpin rombongan dari Kun-lun-pai telah melompat maju.
“Siancai, siancai! Thian-te Sam-kauwcu memang lihai. Akan tetapi sayang kepandaian mereka digunakan untuk maksud buruk. Pinto Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai datang untuk mengambil kembali pedang kami!” Sambil berkata demikian, tosu tua ini melangkah tenang mengambil pedang.
Baru saja tangannya diulur, terdengar suara mendesing dan tiga batang anak panah hijau menyambar ke arah tangannya! Cin Giok Sianjin berlaku tenang, cepat-cepat tangannya mengibas dan tiga batang anak panah itu terpental kembali ke arah penyerangnya, yakni Cheng-hai-ong orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu!
“Ha-ha-ha-ha, ini baru namanya orang pandai!” Cheng-hai-ong tertawa sambil melompat maju menghadapi Cin Giok Sianjin.
Cin Giok Sianjin terpaksa membatalkan niatnya mengambil pedang pusaka Kun-lun-pai. Ia melihat orang kurus bongkok bermata sipit berpakaian serba hijau berdiri di depannya sambil memegang sebatang rantai yang ujungnya ada tengkoraknya!
Cin Giok Sianjin adalah tokoh kedua dari Kun-lun-pai, murid dari mendiang Seng Thian Siansu, Ketua Kun-lun-pai. Tosu ini sudah puluhan tahun menjelajah dunia kang-ouw dan sudah puluhan kali bertemu dengan lawan tangguh, akan tetapi baru sekali ini ia melihat senjata sehebat dan seperti itu.
Mana ada orang bersenjata rantai yang ujungnya dipasangi tengkorak? Akan tetapi dia kemudian dapat menenangkan hatinya dan mengeluarkan sebatang pedang. Kun-lun-pai terkenal dengan ilmu pedangnya, karena itu dengan tenang ia berdiri tegak, melintangkan pedangnya di depan dada dengan jurus pertahanan Locia Pai-hud (Locia Menyembah Buddha).
“Tosu bau, mari kita main-main sebentar!” kata Cheng-hai-ong.
Begitu selesai bicara, secepat kilat ia menyambar, tengkorak di ujung rantainya bergerak ke arah kepala Cin Giok Sianjin. Tosu ini cepat mengelak, lantas pedangnya menusuk langsung dari dadanya ke dada lawan.
Cheng-hai-ong miringkan tubuhnya dan kembali tengkoraknya menyambar, kini dari arah belakang agak ke kanan, menghantam leher tosu Kun-lun-pai. Cin Giok Sianjin melihat hebatnya serangan ini, maka ia pun tidak berani mengelak, dan cepat menangkis dengan pedangnya.
“Plakkk!”
Tengkorak itu terpukul miring, akan tetapi tidak pecah. Sebaliknya, tosu Kun-lun-pai itu merasa tangannya tergetar.
“Lihai sekali...,” katanya.
Tak lama kemudian pedangnya telah berubah menjadi segulung sinar putih, menyambar-nyambar laksana seekor naga mengurung lawan. Ia telah mengeluarkan kepandaiannya dan memainkan Kun-lun Kiam-hoat yang lihai. Bukan main cepatnya gerakan pedangnya, cepat dan berat disertai tenaga lweekang.
Namun, Cheng-hai-ong masih tertawa-tawa dan mengimbangi permainan lawan dengan ilmu silatnya yang aneh sekali. Tidak hanya tengkorak di ujung rantai yang menyerang, juga kadang-kadang kedua kakinya menendang-nendang, tangan kirinya mencengkeram, sikunya berkali-kali mencari sasaran, bahkan tekukan lututnya sering pula diangkat untuk menghantam perut dan tempat berbahaya lainnya.
Swi Kiat Siansu berkata lirih. “Hemm, ilmu silat barat yang dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol. Benar-benar lihai sekali.”
Juga yang lain-lain merasa kagum dan terpaksa memuji kepandaian orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu itu. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan Cin Giok Sianjin, karena setelah bertempur tiga puluh jurus, jelas kelihatan tosu itu mulai terdesak.
Mendadak Cheng-hai-ong berseru aneh dan Cin Giok Sianjin berseru kaget, terhuyung-huyung dan melompat mundur cepat sekali. Mukanya pucat dan pada jidatnya nampak merah, ternyata kulit jidatnya telah terluka!
Hanya tokoh-tokoh besar saja yang dapat melihat betapa tadi dari mulut tengkorak itu menyambar keluar tiga batang jarum hijau ke arah muka Cin Glok Sianjin. Biar pun tosu ini sudah berkelit, namun tetap saja jidatnya tergores oleh sebatang jarum hijau sehingga mengeluarkan darah!
Cheng-hai-ong tertawa bergelak dan Cin Giok Sianjin cepat membuka bungkusan obat untuk menggunakan obat penawar racun yang disengaja dibekalnya. Ia maklum dari rasa gatal pada lukanya bahwa jarum hijau itu mengandung racun.
Baiknya Kun-lun-pai juga terkenal dengan obat-obat anti racunnya, maka dia masih dapat menyelamatkan nyawanya, sungguh pun tak mungkin dapat maju bertempur lagi. Ia perlu bersemedhi untuk mengerahkan lweekang dan mengusir pengaruh racun dengan hawa murni di dalam tubuhnya.
Han Le marah sekali. Pemimpin-pemimpin rombongan dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai telah dikalahkan dan diam-diam ia merasa menyesal sekali kenapa tokoh-tokoh pertama dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak mau keluar sendiri. Agaknya kedua partai besar itu terlalu memandang rendah terhadap pihak Mo-kauw, maka Ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Tosu dan Ketua Kun-lun-pai yang baru, Keng Thian Siansu tidak mau datang sendiri. Kalau saja dua kakek itu datang, tentu akan lain keadaannya, sungguh pun belum tentu mereka dapat mengalahkan Thian-te Sam-kauwcu yang benar-benar lihai itu.
“Thian-te Sam-kauwcu! Kalian benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang terkenal sebagai partai besar. Tidak saja kalian mencuri kitab dan pedang, bahkan sekarang kalian dengan sombong telah melakukan hinaan-hinaan,” kata Han Le.
“Ha-ha-ha, yang kalah merasa terhina, itu sudah jamak. Salahkah kami kalau kebetulan kepandaian kami memang jauh lebih tinggi dibandingkan kepandaian kalian?” Hek-te-ong berkata sambil ketawa bergelak diikuti oleh anak buahnya.
“Hek-te-ong, alangkah sombongmu!” bentak Han Le marah sekali. “Dahulu yang menjadi lima tokoh besar dunia persilatan adalah guruku Ang-bin Sin-kai beserta para Locianpwe Kiu-bwe Coa-li, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan juga Hek-i Hui-mo. Walau pun mereka ini merupakan tokoh-tokoh dari delapan penjuru, akan tetapi mereka masih tidak sesombong kau dan kawan-kawanmu, tidak pernah mau menghina partai lain, apa lagi melakukan pencurian yang rendah! Bahkan setiap kali muncul orang jahat, para locianpwe itu turun tangan membasminya!”
“Ha-ha-ha, kau pengemis bau murid Ang-bin Sin-kai. Apa kau kira dapat menakut-nakuti kami dengan nama-nama lima tokoh besar yang sudah mampus itu? Andai kata mereka masih hidup, kami pun ingin sekali menjajal kepandaian mereka, apa lagi sekarang lima orang itu sudah mampus. Apa yang perlu kami takutkan?”
“Bangsat bermulut besar. Murid Kiu-bwe Coa-li berada di sini! Aku Bun Sui Ceng akan mewakili mendiang guruku untuk membasmi Mo-kauw!” bentak Bun Sui Ceng sambil bersiap-siap dengan cambuknya.
“Pinto Swi Kiat Siansu mewakili mendiang Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggempur orang jahat!” Swi Kiat Siansu berkata dengan tenang dan sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-te Sam-kauwcu.
“Siancai, siancai, walau pun mendiang Suhu Hek-i Hui-mo menjalani jalan hitam, namun kiranya beliau juga akan turun tangan jika menghadapi siluman-siluman sombong seperti kalian! Biarlah pinto Pok Pok Sianjin mewakilinya,” berkata pula Pok Pok Sianjin sambil mengerling tajam.
“Sayang bahwa Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak ada wakilnya,” kata Kun Beng sambil tersenyum mengejek. “Oleh karena Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah diwakili oleh Suheng, biarlah aku The Kun Beng mewakili mendiang Jeng-kin-jiu yang gagah perkasa!”
“Bagus sekali! Jadi lima tokoh-tokoh besar itu kini telah diwakili oleh anak muridnya. Kami memang ingin sekali mencoba kepandaian mereka. Hayo, siapa yang hendak maju lebih dulu?” kata Hek-te-ong memandang rendah.
“Biarlah aku yang pertama memperlihatkan kebodohanku,” kata Han Le yang cepat maju sambil mencabut pedangnya.
Sebelum Hek-te-ong menghadapinya, di pihak Mo-kauw muncullah seorang kakek kate dengan telinga lebar, pakaiannya serba hitam. Dia ini adalah Hek Mo-ko yang berkata kepada Hek-te-ong.
“Twa-suhu, biarlah teecu menghadapi murid Ang-bin Sin-kai ini. Ingin teecu merasakan kelihaian Hun-khai Kiam-hoat dari Ang-bin Sin-kai. Heh-heh-heh-heh!”
Sesudah gurunya mengangguk, Hek Mo-ko lalu meloloskan sepasang senjatanya yang aneh, yakni sebatang pedang bengkok dan seuntai tasbeh.
“Han Le pengemis busuk, kita bertemu lagi sekarang dalam pertandingan satu lawan satu yang menentukan. Hayo kau keluarkan segala kepandaianmu, akan kulihat.”
Han Le mendongkol sekali. Ia sudah tahu akan kelihaian Iblis Hitam ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar sungguh pun dia tahu bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh dan harus berlaku hati-hati sekali.
“Majulah, Hek Mo-ko,” katanya sambil melintangkan pedang.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh Hek Mo-ko mulai menyerang. Pedangnya yang berbentuk aneh itu membuat gerakan melingkar, disusul dengan tasbehnya yang meluncur ke arah lambung Han Le.
Maklum akan bahayanya serangan orang kate ini, Han Le tidak berani berlaku lambat. Pedangnya bergerak cepat dan dengan jurus-jurus terlihai dari Hun-khai Kiam-hoat, tidak saja ia menangkis dan menggagalkan serangan lawan, bahkan dengan kontan keras ia membalas serangan Hek Mo-ko dengan sabetan dan tusukan maut.
Ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat warisan Ang-bin Sin-kai sudah hebat, apa lagi ditambah dengan pelajaran yang didapatkannya dari lukisan-lukisan ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng di dalam goa di Pulau Pek-hio-to, maka bukan main lihainya ilmu pedang yang dimainkan oleh Han Le. Diam-diam Hek Mo-ko memuji dan tahulah ia mengapa dahulu ketika menghadapi pengemis ini, sute-nya hampir saja celaka.
Akan tetapi, bagi Han Le juga tidak mudah mengalahkan Hek Mo-ko, karena selain dalam ilmu silat Iblis Hitam yang kecil ini masih lebih lihai dari pada Pek Mo-ko, juga tenaga lweekang-nya amat tinggi, masih lebih kuat dari pada tenaga lweekang Han Le.
Sesudah pertempuran berjalan lima puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hek Mo-ko merubah gerakannya. Kini dia bergerak lambat, akan tetapi dengan pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya sehingga tiap kali pedang di tangan Han Le terbentur oleh pedang bengkok atau tasbeh, pedang murid Ang-bin Sin-kai ini terpental dan telapak lengannya panas!
Di antara para tokoh itu, hanya Swi Kiat Siansu seorang yang mengetahui bahwa dalam perubahan ini terjadi kecurangan dari pihak Thian-te Sam-kauwcu. Pengalaman Swi Kiat Siansu di dunia kang-ouw sudah banyak, terutama sekali di daerah barat di mana banyak diyakinkan ilmu hoat-sut (sihir).
Tadi secara kebetulan dia sempat melihat Hek-te-ong memandang tajam ke arah Hek Mo-ko dengan mulut bergerak-gerak. Sungguh pun tidak terdengar sedikit pun suara dari mulutnya, namun Swi Kiat Siansu maklum apa yang telah terjadi.
“Hek-te-ong, kau curang!” serunya marah. “Diam-diam kau membantu Hek Mo-ko!”
“Siapa membantu?” Hek-te-ong mengejek. “Aku tidak bergerak dari tempat dudukku!”
Semua orang juga heran mendengar dakwaan Sui Kiat Siansu tadi. Akan tetapi memang sesungguhnya Hek-te-ong telah membantu Hek Mo-ko dengan ilmu mengirim suara yang disalurkan dengan tenaga lweekang melalui pengerahan khikang-nya. Suara ini biar pun perlahan, akan tetapi langsung bergema di telinga Hek Mo-ko tanpa terdengar oleh orang lain.
Hek-te-ong yang berpandangan luas dan tajam tahu bahwa tanpa merubah siasat, sukar bagi Hek Mo-ko untuk mencari kemenangan. Karena itu diam-diam ia membisikkan siasat kepada Hek Mo-ko untuk menggunakan tenaga lweekang sepenuhnya pada pertempuran itu.
Benar saja, setelah Hek Mo-ko merubah cara bertempurnya, Han Le menjadi sibuk. Biar pun dia berada pada pihak menyerang, akan tetapi setiap tangkisan lawan merupakan serangan balasan yang langsung merugikannya.
Tiba-tiba ia mendengar suara bisikan perlahan yang mengejutkan hatinya. Ia mengenal baik suara itu, yakni suara suheng-nya, Bu Pun Su. Seakan-akan Bu Pun Su berdiri di dekatnya dan berbisik di dekat telinganya.
“Sute, jangan mau adu senjata. Pergunakan ginkang dan seranglah dia dengan Bu-eng Kiam-sut!”
Han Le girang sekali. Ia maklum akan kelihaian suheng-nya, dan ia tahu bahwa biar pun tadi menghilang, ternyata Bu Pun Su tetap berada di dekat situ dan sekarang berusaha menolongnya. Cepat ia berseru keras dan pedangnya berubah gerakannya.
Kini pedang Han Le berkelebat menyambar ke sana sini. Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan cahaya pedang. Bukan main cepatnya gerakan Bu-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Tanpa Bayangan) ini!
Ia berhasil, Hek Mo-ko mengeluarkan seruan kaget dan sebentar saja terdesak mundur. Beberapa kali Hek Mo-ko menggerakkan sepasang senjatanya, memukul membabi-buta, namun tak pernah senjatanya yang digerakkan dengan tenaga lweekang sepenuhnya itu dapat menyentuh senjata mau pun tubuh lawannya.
Tiba-tiba saja dengan gerakan cepat Han Le berhasil menusuk paha Hek Mo-ko dengan pedangnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa pedangnya terpental dan hanya dapat merobek celana serta sedikit daging berikut kulit paha lawan!
“Aduhh…!” teriak Hek Mo-ko yang cepat menggunakan pedang bengkoknya menyabet ke arah pedang Han Le.
“Cringgg...!”
Pedang terlepas dari tangan Han Le dan kulit telapak tangannya pecah-pecah. Keduanya berbarengan melompat mundur. Hek Mo-ko terluka di pahanya. Han Le terluka di telapak tangannya. Setelah memungut pedangnya, Han Le berkata,
“Hek Mo-ko, kau lihai sekali.”
Hek Mo-ko menyeringai, ia mendongkol sekali karena dalam pertandingan tadi, biar pun ia dapat membuat pedang lawan tertangkis, akan tetapi ia sendiri menderita luka di paha, sehingga kalau dibandingkan, kerugiannya lebih besar.
“Kau patut menjadi murid Ang-bin Sin-kai,” katanya perlahan.
Pek Mo-ko melompat ke depan dan mengangkat dadanya yang bidang. Ia marah melihat kakaknya terluka, maka dengan lantang ia berkata,
“Siapa lagi yang hendak gagah-gagahan mewakili Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk merampas kembali kitab dan pedang? Majulah, aku Pek Mo-ko akan menjaga dua benda ini!” Ia berdiri tegak di dekat kitab dan pedang, sikapnya menantang sekali.
Pok Pok Sianjin marah sekali melihat lagak tengik dari Pek Mo-ko ini. Ia melompat ke depan dan menghadapi Pek Mo-ko dengan tongkat hitam di tangan.
“Pek Mo-ko, kata-katamu itu menandakan bahwa kau seorang rendah dan seperti katak dalam sumur. Akulah orangnya, Pok Pok Sianjin murid Hek-i Hui-mo yang hendak maju menghadapimu. Majulah menerima kematian!”
Pek Mo-ko gentar melihat Pok Pok Sianjin. Sebetulnya, kalau dijelaskan, Hek-i Hui-mo masih ada hubungan dengan gurunya, karena gurunya itu terhitung adik seperguruan Hek-i Hui-mo. Akap tetapi, karena sekarang ia telah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu, dan ketiga orang gurunya yang lihai masih berada di situ, ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya, sebaliknya ia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, Pok Pok Sianjin, alangkah bedanya kau dengan mendiang gurumu. Pantas kau dahulunya kutu buku, mana bisa menjadi seorang yang berpikir luas? Kalau gurumu masih hidup, tentu kau akan dicaci-maki!”
Pok Pok Sianjin marah sekali mendengar ini. Memang sebetulnya dia memiliki pendirian lain dengan mendiang gurunya. Hek-i Hui-mo terkenal sebagai orang liar yang kejam dan mengandalkan kepandaian sendiri, yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat untuk kepentingan dan keuntungan sendiri. Andai kata gurunya masih hidup dan berada di sana, belum tentu gurunya mau membantu pihak Bu Pun Su. Sekarang mendengar makian Pek Mo-ko, ia cepat menubruk maju menggerakkan tongkatnya.
Ilmu tongkat dari Pok Pok Sianjin merupakan warisan dari tokoh besar Hek-i Hui-mo yang kepandaiannya setingkat dengan Kui-bwe Coa-li atau Ang-bin Sinkai. Karena itu dapatlah dibayangkan betapa hebatnya tongkat hitam yang dimainkannya itu.
Pek Mo-ko cepat menangkis dengan tasbehnya, akan tetapi sekali benturan saja, untaian tasbehnya terlepas dan putus! Dengan kaget Pek Mo-ko melompat ke samping kemudian membalas dengan serangan kilat, menggunakan pedang bengkoknya. Sekali menangkis, kembali pedang Pek Mo-ko terpental, hampir terlepas dari pegangan.
Kemudian terjadilah pertempuran hebat. Namun mudah dilihat bahwa Pek Mo-ko masih kalah lihai sehingga ia main mundur saja. Pada suatu saat yang tepat, tongkat di tangan Pok Pok Sianjin berhasil menyodok dada Pek Mo-ko yang terjengkang dan roboh sambil muntahkan darah.
Baiknya tenaga lweekang-nya sudah matang sehingga ia dapat memelihara dan menjaga isi dada. Ia muntahkan darah bukan karena terluka, tapi akibat telalu keras mengerahkan hawa menjaga dada. Namun ia tidak mungkin dapat melawan terus sehingga Hek Mo-ko menyeretnya ke pinggir.
Pok Pok Sianjin menghampiri pedang dan kitab, hendak mengambilnya, akan tetapi dari samping tiba-tiba ada angin keras menyambar. Pok Pok Sianjin terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur. Sebatang pedang hampir saja menebas putus lengannya, demikian cepatnya gerakan pedang yang menyerangnya itu. Pada waktu ia menengok, ia melihat seorang kakek tua sekali berdiri sambil mengurut-urut jenggot.
“Kiam Ki Sianjin, kembali kau berada lagi di antara orang-orang jahat!” Pok Pok Sianjin memaki. “Memang, ular belang selalu berkawan dengan segala binatang berbisa.”
“Ha-ha-ha-ha, bocah kemarin sore berani main gila. Gurumu sendiri belum tentu berani berlagak sombong di depanku, kau masih kanak-kanak dan bau ingus ketika aku sudah menjagoi dunia kangouw. Tidak tahukah kau bahwa di dunia kang-ouw sekarang ini tidak ada orang-orang yang sanggup menandingi Thian-te Sam-kauwcu? Mengapa kau masih membutakan mata? Lebih baik kalian lekas-lekas mengakui bahwa Thian-te Sam-kauwcu memang patut menjadi pimpinan besar dari semua partai.”
“Ngaco-belo! Kau memang ular kepala dua, apa kau kira aku takut kepadamu?” Pok Pok Sianjin tak mau membuang banyak waktu lagi, cepat ia menyerang dengan tongkatnya.
Kiam Ki Sianjin menggerakkan pedang dan menangkis serangan Pok Pok Sianjin sambil tertawa mengejek. Segera keduanya bertempur seru.
Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Kiam Ki Sianjin adalah tokoh besar yang lihai, bahkan ia pernah bekerja sama dengan Hek-i Hui-mo. Sekarang melihat murid Hek-i Hui-mo berada di pihak Bu Pun Su, selain heran ia juga marah sekali. Apa lagi ketika ia melihat betapa dengan mudah Pok Pok Sianjin tadi mengalahkan Pek Mo-ko, ia tidak dapat menahan kemarahannya dan muncul ke depan tanpa bertanya lagi kepada Thian-te Sam-kauwcu, karena memang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian tiga ketua itu.
Betapa pun lihainya Pok Pok Sianjin, ia repot juga menghadapi pedang Kiam Ki Sianjin. Murid Hek-i Hui-mo ini memang tadinya hanya seorang sastrawan muda dan dia hanya terpaksa saja menjadi murid tokoh besar Hek-i Hui-mo.
Oleh karena itu, setelah ia mewarisi ilmu silat tinggi, ia jarang sekali berlatih dan biar pun kepandaiannya telah tinggi, akan tetapi ia jarang bertempur. Sekarang yang dihadapinya adalah seorang ahli silat tingkat tinggi yang bisa dibilang pekerjaannya sehari-hari hanya bersilat dan bertempur.
Maka, dalam jurus ke empat puluh, pedang Kiam Ki Sianjin berhasil melukai pundaknya. Terpaksa Pok Pok Sianjin melompat ke belakang, ditertawai oleh Kiam Ki Sianjin.
Kun Beng marah sekali dan sambil memaki keras ia melompat maju menggantikan Pok Pok Sianjin, tombaknya segera digerakkan menyerang Kiam Ki Sianjin. Kakek ini tertawa terkekeh-kekeh dan menggerakkan pedangnya menangkis sehingga tak lama kemudian mereka telah bertanding mati-matian.
Melihat bahwa sute itu pun agaknya takkan dapat menangkan Kiam Ki Sianjin yang lihai, Swi Kiat berseru keras dan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini memasuki kalangan pertandingan dengan senjatanya yang ampuh di tangan, yakni sepasang kipas, senjata istimewa dari mendiang gurunya!
“Perlahan dulu, tukang dapur!” Hek Mo-ko membentak.
Bersama Pek Mo-ko, dia menyambut Swi Kiat Siansu. Dua saudara iblis hitam putih ini telah mengambil senjata cadangan dan biar pun mereka telah terluka, namun luka yang ringan itu tidak menghambat gerakan mereka. Terpaksa Swi Kian Siansu menghadapi keroyokan Hek Pek Mo-ko yang tentu saja amat berbahaya setelah maju bersama.
Pok Pok Sianjin yang terluka pundaknya, tidak mau tinggal diam saat melihat dua orang kawannya didesak. Ia pun melompat maju dan tongkatnya kembali menyambar-nyambar, akan tetapi sebelum dia dapat membantu, terdengar suara ketawa merdu dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita menyambut tongkat dengan sepasang pedang.
Temyata bahwa Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu telah turun tangan pula! Pek Hoa Pouwsat memiliki kepandaian yang istimewa dan masih lebih tinggi tingkatnya dari pada Hek Pek Mo-ko, maka tentu saja dalam beberapa belas jurus Pok Pok Sianjin sudah terdesak hebat sekali, terkurung oleh sepasang pedang dan keselamatannya terancam sekali!
Sui Ceng menjadi bingung. Ia menoleh ke sana ke mari mencari-cari Bu Pun Su. Baru pembantu dan murid-murid Thian-te Sam-kauwcu saja yang maju, pihaknya telah sangat terdesak. Tak disangkanya bahwa pihak Mo-kauw demikian lihai. Kalau sampai Thian-te Sam-kauwcu sendiri yang maju, dapat diramalkan bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan dapat keluar dari tempat itu dengan selamat.
“Maju...! Serbu dan rampas kitab beserta pedang itu!” hampir berbareng, para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai memberi aba-aba dan dua puluh orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai serentak maju sambil menggerakkan senjata masing-masing.
Hek-te-ong tertawa bergelak. “Kawan-kawan, sambut mereka! Jangan biarkan seorang pun hidup! Apa bila kita dapat menumpas mereka, dunia kang-ouw pasti akan mengakui kekuasaan kita!”
Pihak Mo-kauw bersorak-sorai dan terjadilah perang tanding yang hebat dan mati-matian. Sui Ceng tidak mau pusingkan tentang Bu Pun Su lagi, sungguh pun hatinya sudah amat mendongkol.
“Benar-benarkah Kwan Cu telah berubah menjadi orang pengecut yang tak tahu malu?” pikirnya.
Namun ia tidak mau tinggal diam dan sekali ia berseru nyaring, cambuknya berbunyi,
“Tar! Tar! Tar!” dan seketika itu juga, empat orang anak buah Mo-kauw roboh menjerit dan bergulingan untuk menghadapi maut!
Sui Ceng hendak mengamuk terus. Tiba-tiba ia melompat mundur karena ia mendengar suara Bu Pun Su berbisik dekat telinganya,
“Sui Ceng, demi keselamatan semua kawan, kau robohkan lebih dulu Wi Wi Toanio. Kau lihat wanita yang berbaju biru memegang pedang itu. Serang dia dan robohkan sampai tidak berdaya. Awas, di sebelah kirinya, laki-laki yang memakai baju kuning itu adalah An Kai Seng, musuh besar kita!”
Sui Ceng memandang ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat Bu Pun Su. Ia sudah menjadi marah sekali ketika mendengar bahwa yang berbaju kuning adalah An Kai Seng. Karena itu, sekali ia melompat, ia telah berhadapan dengan An Kai Seng. Tanpa banyak cakap, ia lalu menyerang.
“Jahanam An, mampuslah kau!” Cambuknya menyambar hebat dan mengeluarkan bunyi yang keras sekali.
An Kai Seng yang diserang secara mendadak, menjadi kaget bukan main. Ia bukanlah seorang lemah dan cepat pedangnya menangkis. Namun ia tidak berdaya karena kali ini, Sui Ceng mempergunakan semua ujung cambuknya yang berjumlah sembilan.
Pedang An Kai Seng masih dapat menangkis sebagian ujung cambuk, akan tetapi tetap saja dua ujung cambuk menotok jalan darahnya, satu di leher dan satu lagi di ubun-ubun! An Kai Seng menjerit ngeri dan roboh tak bernapas lagi.
“Perempuan jahat, kau berani mencelakai suamiku!” Wi Wi Toanio menjerit dan mengirim tikaman dengan pedang.
Namun tentu saja Wi Wi Toanio bukan merupakan lawan tangguh bagi Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li yang lihai ini. Beberapa gebrakan saja, Wi Wi Toanio roboh pingsan terkena sabetan cambuk pada pinggangnya.
Gemas mengingat bahwa perempuan ini adalah isteri dari musuh besarnya, yakni An Kai Seng keturunan An Lu San yang amat dibencinya, Bun Sui Ceng mengayunkan cambuk hendak memberi pukulan maut. Akan tetapi tiba-tiba dia terjengkang ke belakang dan di depannya berdirilah Hek-te-ong dengan senjatanya yang aneh di tangan, yakni sebuah penggada kepala beruang! Angin sambaran senjata ini saja sudah dapat membuat Sui Ceng terjengkang, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dari ketua Mo-kauw ini.
Akan tetapi Sui Ceng memang tidak pernah mengenal takut. Cambuknya bergerak-gerak laksana sembilan ekor ular dan dia menyerang Hek-te-ong dengan pengerahan tenaga seluruhnya.
Diam-diam Hek-te-ong harus mengakui keganasan dan kehebatan wanita ini. Akan tetapi karena memang dia sudah memiliki kepandaian yang sangat tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Kiam Ki Sianjin, ia dapat pula menghadapi Bu Sui Ceng dengan amat baiknya. Bahkan senjatanya penggada yang aneh itu dengan amat kuat dan pasti mulai mendesak Sui Ceng.
Ia paling benci melihat Pek Hoa Pouwsat yang pernah mengganggunya. Apa lagi kalau ia teringat akan kata-kata isterinya bahwa wanita cantik seperti siluman ini pernah berjanji untuk menengok anaknya, kekhawatirannya amat besar. Kini melihat Pek Hoa Pouwsat mendesak Pok Pok Sianjin, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu terjun ke dalam pertempuran dan mempergunakan segala kepandaiannya untuk membantu Pok Pok Sianjin.
“Ehh, bocah she Kiang, kau masih belum mampus?” Pek Hoa Pouwsat yang mengenal Kiang Liat mengejek dan pedangnya kini bermain-main di atas kepala Kiang Liat.
Kalau tidak ada Pok Pok Sianjin, tentu dalam beberapa jurus saja Kiang Liat akan roboh. Setelah Kiang Liat membantu, keadaan Pok Pok Sianjin tidak begitu terdesak lagi, karena biar pun Kiang Liat masih kalah jauh tingkat kepandaiannya, namun kiam-hoat dari orang muda ini juga tak boleh dibilang lemah.
Pek Hoa Pouwsat merasa gemas sekali. Segera dia mencabut sehelai sapu tangan dari saku bajunya. Melihat sapu tangan merah ini, Kiang Liat terkejut sekali.
“Locianpwe, awas! Sapu tangan beracun itu...!” katanya.
Akan tetapi terlambat. Sambil tertawa kecil Pek Hoa Pouwsat sudah mengebutkan sapu tangannya.
Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar suara orang, “Perempuan keji!”
Tiba-tiba sapu tangan merah itu direnggut lepas dari tangan Pek Hoa Pouwsat dan di lain saat, terdengarlah suara…
“Takkk!” dan patahlah pedang di tangan kiri perempuan itu!
Pek Hoa Pouwsat menjadi pucat dan ia pun melompat jauh ke belakang sambil mulutnya memaki-maki.
“Bu Pun Su, lain kali kubunuh kau...”
Memang Bu Pun Su yang turun tangan pada saat berbahaya itu. Tadinya ketika melihat Wi Wi Toanio, terbang semangatnya. Ia maklum bahwa kalau perempuan berbahaya itu mempergunakan tusuk konde untuk mempengaruhinya, dia tidak akan berdaya. Maka Bu Pun Su cepat-cepat pergi dan mengintai dengan hati gelisah.
Melihat betapa pihaknya menderita kekalahan, dia lalu mengirim suara untuk membantu Han Le, kemudian ia mengirim suara pula kepada Bun Sui Ceng untuk merobohkan Ang Kai Seng dan Wi Wi Toanio.
Setelah dilihatnya bahwa Wi Wi Toanio telah tak berdaya pula, dengan girang Bu Pun Su lantas menerjang maju. Pertama-tama dia menolong Kiang Liat dan Pok Pok Sianjin yang hampir saja menjadi korban sapu tangan merah beracun dari Pek Hoa Pouwsat.
Sesudah itu, dia lalu cepat menolong yang lain. Pedang dan golok orang-orang Mo-kauw beterbangan, orang-orangnya roboh menjerit kesakitan tanpa sempat melihat siapa yang sudah merampas senjata dan merobohkan mereka. Demikian cepatnya gerakan Bu Pun Su Pendekar Sakti.
“Tahan semua senjata! Thian-te Sam-kauwcu, jika kalian memang laki-laki, jangan main keroyokan. Aku Bu Pun Su lawanmu. Mari kita mengadu kesaktian secara laki-laki!”
Mendengar ini dan melihat pula betapa orang-orangnya banyak yang roboh, Het te-ong lalu memberi aba-aba untuk menyuruh orang-orangnya mundur. Keadaan menjadi sunyi kembali. Mereka yang terluka, baik anak buah pihak Mo-kauw mau pun anak-anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, kini ditolong oleh teman-temannya dan ditarik ke belakang untuk diobati.
“Bu Pun Su, kenapa kau baru muncul?” Sui Ceng menegur marah kepada Bu Pu Su.
Pendekar itu tersenyum, mengejapkan mata kepadanya.
“Sekarang tiba saatnya aku menghadapi mereka. Terima kasih atas bantuanmu tadi, Sui Ceng,” kata Bu Pun Su yang cepat melangkah maju menghadapi Thian-te Sam-kauwcu yang sedang berdiri tegak dengan muka merah.
“Bu Pun Su, kau telah berani merusak patung-patung kami dan sekarang kau pula yang harus bertanggung jawab atas keributan ini. Kalau tidak ada kau di sini, kiranya semua orang gagah akan insyaf dan mengakui kami sebagai sahabat serta pemimpin mereka,” kata Hek-te-ong.
“Hek-te-ong, tenang dulu! Kau bersama dua orang sute-mu dari Barat telah mengacau di Tiong-goan. Kawan-kawan Mo-kauw yang bodoh dapat saja kalian tipu sehingga mereka mudah pula kalian jadikan boneka, termasuk kakek seperti Kam Ki Sianjin. Tidak itu saja, kalian juga telah mengganggu Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, mencuri kitab dan pedang. Kemudian kalian berusaha pula untuk merobohkan semua tokoh persilatan. Sekarang aku sudah datang, dan akulah yang bertanggung jawab.”
“Apa kehendakmu?” tanya Hek-teong.
“Tidak banyak, hanya ada dua macam. Pertama kau harus mengembalikan kitab kepada Siauw-lim-pai dan pedang kepada Kun-lun-pai, disertai pernyataan maaf atas kekurang ajaranmu. Kedua, kau bersama dua orang sute-mu harus segera pergi dari Tiong-goan, kembali ke barat tempat asalmu. Kalau kau hendak menjagoi, di Tibet tempatmu, bukan di sini.”
“Ha-ha-ha, kau sombong sekali. Apa kau kira kami ini anak-anak kecil yang akan mudah kau tipu dengan suara suling?”
Bu Pun Su tersenyum dan mencabut suling yang terselip pada pinggangnya. “Suling ini memang biasa untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang yang berduka, akan tetapi ada kalanya dapat dipergunakan untuk mengusir pengacau-pengacau. Hek-te-ong, dari pada kita semua berkelahi seperti orang-orang biadab, marilah kita bertaruh. Kalian boleh mengajukan siapa saja untuk menghadapiku mengadu kepandaian. Jika aku kalah, aku Bu Pun Su takkan peduli lagi kalian akan berbuat apa. Akan tetapi kala jago-jagomu kalah, kalian harus segera angkat kaki dari sini dan selama hidup jangan menginjak lagi bumi di daerah ini!”
“Manusia sombong, apa sih kepandaianmu maka kau begini sombong? Mari kuantar kau ke neraka!” Yang berkata demikian adalah Pek-in-ong tokoh ke dua dari Mo-kauw yang tinggi kurus seperti tengkorak.
Dengan senjatanya sepasang roda yang lihai sekali, Pek-in-ong langsung menyerang Bu Pun Su. Rodanya berputaran di tangan yang mengeluarkan suara angin mengiung.
“Bagus, aku pernah mengenal patungmu, akan tetapi lebih menarik mengenal orangnya,” kata Bu Pun Su yang dengan sangat sederhana dan mudahnya mengelak dari serangan orang.
Pek-in-ong mendesak terus dan sepasang rodanya menyambar-nyambar sambil mencari lowongan, siap untuk mencabut nyawa Bu Pun Su. Namun, Bu Pun Su adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa. Di atas dunia hanya dia seoranglah yang beruntung mewarisi ilmu kepandaian dari kitab sakti Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Pendekar ini telah memiliki kepandaian mengenal dasar dan intisari semua gerakan ilmu silat. Oleh karena itu, dengan mudah saja dia dapat melihat setiap gerakan roda lawan, tahu pula ke mana senjata lawan akan menyerangnya, maka mudah saja baginya untuk menghindarkan diri.
Selain ini, di dalam tubuhnya telah mengalir sinkang (hawa sakti) yang terjadi dari hawa murni di dalam tubuh. Sinkang di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, apa lagi setelah selama ini ia bertapa, tekun bersemedhi mengatur pernapasan dan mencurahkan seluruh jiwanya kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka dia mempunyai kekuatan lahir batin yang menakjubkan.
Biar pun senjatanya hanya sebatang suling bambu, akan tetapi sungguh aneh dan sukar dipercaya. Setiap kali roda yang terbuat dari baja tulen itu bertemu dengan suling, roda itu terpental kembali dan beberapa kali roda itu akan menghantam kepada Pek-in-ong sendiri.
Para tokoh yang berada di situ, yakni rombongan Bun Sui Ceng dan kawan-kawannya, sungguh pun mereka sudah tahu akan kelihaian Bu Pun Su, akan tetapi kembali mereka terheran-heran dan kagum sekali. Bagaimana Bu Pun Su dengan hanya sebatang suling bambu dapat mempermainkan Pek-in-ong seperti seekor kucing mempermainkan tikus? Padahal, semua orang tahu bahwa Pek-in-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi!
Pek-in-ong sendiri terheran-heran bukan main. Beberapa kali Bu Pun Su mengembalikan roda-rodanya dengan gerak tipu yang serupa benar dengan gerakan yang tadi ia lakukan untuk menyerang lawan aneh ini. Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi sia-sia belaka. Bahkan pada waktu dia menyerang dengan hebatnya, melontarkan sepasang rodanya yang susul menyusul menimpa kepala Bu Pun Su, pendekar ini mengangkat sulingnya.
Tepat sekali suling itu masuk ke dalam roda, diputar-putarnya suling itu sehingga rodanya ikut berputar, lantas roda itu dilontarkan kembali ke arah kepala Pek-in-ong! Pek-in-ong terkejut, cepat mengulur tangan menyambut rodanya sendiri. Akan tetapi dia terjengkang karena tidak kuat menahan lontaran yang penuh dengan tenaga dahsyat itu. Roda kedua menghantam kepala Bu Pun Su, akan tetapi Pendekar Sakti ini mengibaskan tangannya dan... roda itu cepat meluncur ke bawah, menghantam kaki Pek-in-ong yang terjengkang.
“Plakk!” Kaki kanan Pek-in-ong terkena pukulan rodanya sendiri.
“Aduhh... aduhhh...!”
Semua orang hampir tidak dapat menahan ketawa ketika melihat Pek-in-ong berloncat-loncatan dengan kaki kiri sambil memegangi kaki kanan yang patah tulangnya dan bukan main sakitnya. Sesudah berloncat-loncatan beberapa kali sambil meringis-ringis, akhirnya Pek-in-ong roboh pingsan!
Hek-te-ong mengeluarkan suara gerengan laksana seekor beruang yang marah. Matanya menjadi merah seperti mengeluarkan api. Sekali tangannya bergerak, berhamburan debu hijau dan hitam ke arah Bu Pun Su. Pendekar ini maklum bahwa lawannya mengeluarkan bubuk beracun.
“Semua mundur jauh-jauh!” teriaknya kepada kawan-kawannya.
Bun Sui Ceng dan yang lain-lain cepat melompat ke belakang, menyambar tubuh-tubuh kawan-kawan yang kurang gesit. Han Le menyeret Kiang Liat karena melihat orang muda ini berlaku lambat. Akan tetapi tetap saja ada beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak keburu lari dan mereka tiba-tiba terbatuk-batuk lalu roboh dengan muka menjadi hitam, napas mereka sudah putus!
“Keji sekali kau, Hek-te-ong!” seru Bu Pun Su marah.
Dia kemudian menggerakkan kedua lengannya, melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut yang mengeluarkan uap putih sehingga semua bubuk berwarna itu segera terusir kembali dan menghantam ke arah rombongan Hek-te-ong sehingga orang-orang Mo-kauw itu menjadi kocar-kacir!
“Bu Pun Su mampuslah kau!” teriak Hek-te-ong dan senjatanya menyambar laksana kilat.
Menghadapi senjata penggada kepala beruang ini, Bu Pu Su tidak berani berlaku lambat. Ia menyelipkan sulingnya dan sebagai penggantinya, dicabutnya sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Inilah pedang pusaka Liong-coan-kiam, pedang pusaka yang dia terima dari kakeknya, yakni Menteri Lu Pin!
Sambaran senjata di tangan Hek-te-ong mengenai angin ketika Bu Pun Su mengelak dan sekejap kemudian dua orang sakti ini bertempur. Bukan main hebatnya pertempuran ini.
Bu Pun Su pernah mengamuk ketika dahulu pada waktu muda dia menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya, akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini ia menghadapi tandingan yang benar-benar tangguh. Kepandaian Hek-te-ong masih di atas kepandaian Ang-bin Sin-kai, bahkan masih lebih ganas dan berbahaya dari pada kepandaian Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain!
Akan tetapi, Bu Pun Su yang sekarang jauh bedanya dengan Bu Pun Su ketika masih mempergunakan nama Lu Kwan Cu. Sekarang kepandaian Bu Pun Su sudah sampai di puncak kesempurnaan. Ilmu silat Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah mendarah daging pada dirinya.
Seluruh gerakan-gerakannya sudah otomatis dan hawa sinkang di tubuhnya tanpa diatur lagi sudah melindungi seluruh anggota tubuhnya. Bahkan dalam menghadapi Hek-te-ong, pendekar sakti ini masih mempunyai waktu untuk mempelajari ilmu silat aneh dari Ketua Mo-kauw ini.
Seratus jurus lebih mereka bertempur. Tiba-tiba Hek-te-ong berseru keras dan sekali ia menepuk dadanya, dari sebuah kancing besar di dadanya menyambar keluar tiga batang jarum merah ke arah tubuh Bu Pun Su. Serangan gelap ini dia barengi dengan pukulan penggadanya, lantas disusul dengan cengkeraman tangan kiri dan yang terakhir sekali, dua kakinya melakukan tendangan berantai!
Manusia biasa saja mana mungkin mampu membebaskan diri dari serangan ganas yang bertubi-tubi dari yang semuanya dapat merampas nyawa ini? Namun Bu Pun Su bukan manusia biasa, melainkan seorang manusia yang sudah amat kuat jiwa raganya, sudah amat tinggi ilmunya dan memiliki kesaktian yang tiada keduanya.
la maklum bahwa jarum-jarum merah itu berbahaya sekali, maka ia cepat meniup ke arah jarum-jarum itu dengan tenaga khikang sepenuhnya sehingga jarum-jarum itu runtuh, lalu tangan kirinya menangkis cengkeraman tangan kiri lawan, tubuhnya direndahkan sedikit sehingga tendangan berantai itu mengenai dada dan perutnya. Akan tetapi, pedangnya cepat sekali membabat senjata lawan.
Dalam satu detik itu terjadi hal-hal yang luar biasa sekali. Dua buah kaki Hek-te-ong tepat menendang perut dan dada Bu Pun Su, akan tetapi Bu Pun Su tidak bergeming, malah sebaliknya tubuh Hek-te-ong terpental ke belakang.
Penggada itu terkena babatan pedang dan putus pada bagian leher kepala beruang, lalu kepala beruang itu sendiri meluncur ke bawah demikian cepatnya dan... terdengar suara keras kepala beruang itu mengenai kepala Pek-in-ong yang masih menggeletak pingsan. Kepala Pek-in-ong pecah bersama kepala beruang itu.
Melihat ini, Hek-te-ong terkejut dan marah sekali. Dengan suara menggereng bagaikan binatang buas, dia menubruk Bu Pun Su dengan kedua tangan direnggangkan, lakunya seperti seekor beruang menerkam.
Bu Pun Su tidak dapat mengelak lagi, juga tidak tega untuk menyerang lawan dengan pedangnya. Cepat ia membanting pedang sehingga menancap di atas tanah, dan dengan kedua tangannya, ia menyambut datangnya lawan.
Dua pasang tangan yang sangat kuat bertemu, saling cengkeram dan saling membetot. Dua orang sakti mengadu tenaga lweekang, oleh karena dari sepuluh jari tangan masing-masing keluar hawa lweekang yang disalurkan.
“Krek... krekk... krekkk...!”
Suara ini amat mengerikan mereka yang menonton pertempuran, karena jelas bahwa itu adalah suara tulang-tulang yang patah! Tak lama kemudian, Hek-te-ong menjerit panjang dan tubuhnya terjengkang ke belakang, kemudian roboh dengan jari jemari tangan masih merupakan cengkeraman kuku iblis. Akan tetapi ia sudah tak bernapas lagi dan tubuhnya kaku seperti balok.
Ternyata bahwa dalam adu tenaga lweekang tadi, ia terkena pukulan hawa lweekang-nya sendiri yang membalik karena tidak dapat menahan sinkang yang mengalir keluar dari jari-jari tangan Bu Pun Su.
Bu Pun Su menarik napas panjang. “Siancai... siancai...,” katanya perlahan, “Hek-te-ong dan Pek-in-ong binasa karena kehendak Tuhan…”
Cheng-hai-ong berdiri pucat. Ia merasa marah dan sedih sekali melihat dua orang kakak seperguruannya tewas dalam keadaan mengerikan. Ia maklum bahwa kalau dua orang kakaknya kalah oleh Bu Pun Su, apa lagi dia yang kepandaiannya lebih rendah. Akan tetapi, ia tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa menuntut balas. Malu kalau ia tidak turun tangan. Diam-diam otaknya bekerja, kemudian dia maju menghampiri Bu Pun Su, sikapnya tenang.
“Bu Pun Su, kau telah menewaskan kedua orang suheng-ku. Kau tentu maklum bahwa hal ini tak dapat kubiarkan begitu saja. Terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan menantangmu mengadu nyawa.”
“Aku tahu dan aku bersedia, Cheng-hai-ong,” jawab Bu Pun Su sambil menarik napas panjang. Kalau tidak amat terpaksa dan demi keselamatan kaum pendekar di kang-ouw, ia segan untuk membunuh orang.
“Kedua orang suheng-ku memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku, toh mereka tewas dalam tanganmu. Apa lagi aku. Oleh karena itu, kiranya sebagai orang yang lemah aku berhak menentukan sifat pertandingan ini, ataukah kau merasa keberatan, Bu Pun Su?”
Bu Pun Su tersenyum dingin, “Sesukamulah, aku akan selalu mengiringi kehendakmu. Pertandingan mengadu kepandaian macam apa pun akan kuterima.”
“Bagus!”
Tiba-tiba sikap lemah-lembut dan mengalah dari Cheng-hai-ong lenyap, berganti dengan sikap yang gembira dan sinar mata yang kejam.
“Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, kiranya tidak akan menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan. Bu Pun Su, aku disebut orang Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau), maka sedikit kepandaian yang kumiliki tentu saja ada hubungannya dengan air, atau lebih tepat lagi, aku lebih leluasa bergerak di dalam air dari pada di atas bumi. Oleh karena itu, Bu Pun Su, aku menantangmu untuk mengadu nyawa di dalam air sungai ini!” Dia berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah air Sungai Yalu Cangpo yang airnya mengalir tenang dan lambat, menandakan bahwa air itu amat dalam.
Walau pun di dalam hatinya Bu Pun Su merasa kaget sekali karena tidak menyangka bahwa lawannya demikian licik dan menjalankan siasat yang amat curang, namun pada wajahnya tidak sedikit pun nampak rasa gelisah atau takut. Dia bahkan tersenyum dan berkata,
“Cheng-hai-ong, aku sama sekali tidak ingin mencelakai siapa pun juga. Sekarang kedua suheng-mu telah tewas karena kesalahan mereka sendiri. Jika kau mengembalikan kitab dan pedang secara suka rela, kemudian kau mau kembali ke tempat asalmu dan jangan mengganggu kami, juga mau melepaskan Mo-kauw dari pimpinanmu, siapakah yang sudi mencampuri urusan dunia yang menyulitkan? Akan tetapi kau bahkan menantangku, tak tahu kau menantang untuk memperlihatkan kepandaian di air ataukah untuk bertempur?”
Cheng-hai-ong sebenamya memang gentar menghadapi Bu Pun Su yang lihai. Biar pun ia yakin bahwa di dalam air ia akan lebih unggul, akan tetapi orang semacam Bu Pun Su ini, sungguh pun di dalam air atau di lautan api sekali pun, tetap merupakan lawan yang berbahaya dan tangguh. Maka ia ingin berlaku hati-hati dan menjawab,
“Bu Pun Su, pertama-tama aku menantang kau mengadakan pertunjukan di permukaan air, kita sama lihat siapa di antara kita yang lebih pandai.”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban supaya Bu Pun Su tidak mempunyai kesempatan untuk membantah, orang ketiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini melompat dan tubuhnya sudah melayang turun ke dalam Sungai Yalu Cangpo.