ANG I NIOCU
DARA BAJU MERAH
Karya Kho Ping Hoo
JILID 10
PADA suatu hari, Pek Hoa mengajak muridnya turun dari puncak tempat persembunyian itu. Kali ini, tidak seperti biasanya kalau mengajak muridnya turun gunung bertamasya ke dusun-dusun, Pek Hoa membawa buntalan pakaian dan menyuruh muridnya membawa semua pakaiannya pula.
“Enci Pek Hoa, kita akan pergi ke mana?” tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat girang diajak bepergian.
“Kita turun gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi.”
Hampir saja Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan-tahan saja, menindas hatinya yang rindu kepada ibu dan rumahnya. Akan tetapi, sesudah mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Karena itu, betapa pun girang hatinya, pada wajahnya yang manis sekali itu sama sekali tak terlihat perubahan.
“Apakah Enci akan membawaku ke Sian-koan? Ataukah kita hendak mencari Ayah?”
Dua macam pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan pertama ia menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena ibunya tinggal di Sian-koan. Ada pun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek Hoa bahwa ayahnya telah pergi meninggalkan ibunya.
Ayahnya yang bernama Kiang Liat dan berjuluk Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw yang suka merantau. Dia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja pergi meninggalkan ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya!
“Sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu sudah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya itu seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan lebih menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya dan hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu.” Demikian Pek Hoa mengarang.
Hati Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela sikap ibunya, sungguh pun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.
“Akan tetapi sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila.”
Kata-kata ini membuat hati Im Giok merasa amat terharu sehingga pernah ia mengajukan permohonan kepada gurunya untuk pergi mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum tiba waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak gunung. Sekarang, begitu gurunya mengajak turun gunung, otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya.
“Tidak, Im Giok. Kita tidak pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku sedang mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san, kemudian ke kuil Siauw-lim-si untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!”
Tentu saja Im Giok tidak berani membantah.
“Ingatlah, Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw yang selain sudah membunuh ketiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan mencari dan membalasnya. Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku kelak akan dapat membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su.”
“Bu Pun Su...?” baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya sederhana sekali itu.
“Im Giok, jangan kau pandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su (Tiada Kepandaian), akan tetapi justru dialah orang yang paling lihai di antara semua musuhku. Aku sendiri tidak berdaya terhadap dia, dan kau orangnya yang kuharapkan kelak akan dapat membalasnya.”
Demikianlah, sambil menuturkan pengalamannya dahulu, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, menuruni puncak bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih silat selama empat tahun lebih.
Sesudah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar hati dan berani muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Dia gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bi-jin Khai-i yang baru dia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita.
Ada pun rasa gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian pendekar sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang ketiga orang suhu-nya sendiri! Karena itu, ia masih merasa ragu-ragu apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su.
Tidak ada orang yang berjumpa dengan mereka, terutama sekali kaum pria, yang tidak memandang dengan penuh kekaguman pada pemandangan yang tak setiap saat mudah dilihat.
Seorang dara berbaju biru putih, cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari dua puluh tahun usianya. Rambutnya hitam panjang, digelung bagai model gelung dewi kahyangan, di sebelah kiri dihias setangkai bunga putih yang harum, yakni bunga Cilan, pada sebelah kanan terhias burung hong dari emas dan permata.
Sepasang anting-anting panjang bermata merah tergantung di bawah telinga, bergoyang dan bergerak membelai pipi menambah kemanisan. Pakaian dan sepatunya baru serta terbuat dari bahan mahal. Gagang sepasang pedang yang menempel pada punggung, dengan ronce-ronce pedang warna merah berkibar di atas pundak, membuat Si Cantik itu nampak gagah sekali. Sepasang pedang ini pula yang membuat tiap orang laki-laki hanya dapat memandang kagum, tidak berani bersikap kurang ajar.
Yang ke dua masih belum dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan tetapi sudah kelihatan luar biasa cantiknya. Dilihat sepintas lalu, wajahnya hampir sama dengan wajah dara yang dewasa itu, patut kiranya menjadi adiknya.
Akan tetapi kalau diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh, terutama sekali pada sinar mata dan tekukan bibir. Juga gadis cilik ini sangat menarik hati setiap orang. Tidak saja manis dan jelita, juga amat gagah.
Pakaiannya serba merah, terbuat dari sutera indah pula. Rambutnya dikuncir dan dihias dengan pita merah pula. Juga pada punggung bocah perempuan ini kelihatan gagang sebatang pedang pendek dan langkah kakinya yang tegap serta lincah itu mendatangkan kesan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi seperti kawannya.
Pek Hoa dan Im Giok, dua orang wanita itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi pemandangan di kota-kota, terutama sekali Im Giok. Mereka tidak pedulikan pandangan mata kagum dari para laki-laki yang mereka jumpai di tengah perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang mata itu tidak ada artinya.
Akan tetapi tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah empat tahun lebih dia tidak pernah menghadapi pandang mata kagum dari para pria maka sekarang ia merasa gembira dan bangga bukan main. Nyata bahwa empat lima tahun tak mengurangi kecantikannya, tidak merubah usianya!
Ini semua berkat telur pek-tiauw yang benar-benar memiliki khasiat untuk membuat orang menjadi awet muda. Yang menyebalkan hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak ada laki-laki yang cukup tampan dan gagah di antara mereka yang ia jumpai. Maka ia pun bersikap seperti Im Giok, tidak peduli sama sekali akan pandang mata orang-orang itu, melainkan tersenyum makin manis dan bangga.
Akan tetapi, setelah kembali terjun ke dunia ramai, timbul pula penyakit lama dalam diri Pek Hoa. Hati dan tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan perbuatan seperti yang dulu sering dilakukannya.
Mulailah Im Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan gurunya. Sering kali pada waktu malam Im Giok diajak mendatangi rumah orang kaya di mana Pek Hoa mengambil barang berharga dan emas sekehendak hati sendiri. Bahkan di depan mata Im Giok, saat tuan rumah bangun dari tidur dan melihat pencurian yang dilakukan, Pek Hoa membunuh tuan rumah itu bagaikan orang membunuh semut saja!
“Enci Pek Hoa, mengapa setelah mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya yang tidak mempunyai dosa apa-apa?” Im Giok memprotes.
“Im Giok, kenapa kau ribut-ribut urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia? Dia telah memergoki kita, ini artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati atau hidup apa sih artinya? Kita boleh berbuat sesuka kita, itulah hukum kang-ouw, siapa kuat dia yang menang!”
Jawaban ini meragukan hati Im Giok. Biar pun semenjak berusia enam tahun ia telah ikut Pek Hoa dan selalu melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah keturunan orang baik-baik. Ibunya seorang wanita bijaksana, ayahnya pun seorang laki-laki gagah perkasa maka sedikitnya ia pun mempunyai watak yang baik dan gagah.
Menghadapi perbuatan yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak. Apa lagi ketika dia melihat beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel dan diam-diam pergi meninggalkannya sampai semalaman suntuk dan keesokan harinya pagi-pagi baru datang dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi makin curiga.
Namun ia tidak dapat menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini. Betapa pun juga, ia harus mengakui bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik terhadapnya, amat baik dan penuh kasih sayang.
Beberapa pekan kemudian, Pek Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan sebuah gedung besar di tengah kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya apa bila Pek Hoa memasuki gedung besar, waktunya tengah malam dan jalan masuknya pun melalui genteng!
“Enci Pek Hoa, rumah siapakah ini?”
“Rumah seorang gagah bernama Kam Kin berjuluk Giam-ong-to (Si Golok Maut). Nanti kau harus sebut Susiok (Paman Guru) kepadanya.”
Kedatangan mereka segera disambut oleh tuan rumah, yaitu seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih, tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup gagah. Hanya sayangnya, pandang matanya kejam dan senyum bibirnya membayangkan watak mata keranjang dan curang.
“Aduuh, pantas saja aku bermimpi kejatuhan bulan!” laki-laki itu berseru sambil tertawa lebar dan kedua lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa, seolah-olah siap hendak memeluknya. “Tidak tahunya benar saja dewiku yang jelita datang berkunjung...”
Kata-katanya berhenti ketika Pek Hoa mengerutkan alisnya dan memberi isyarat dengan matanya ke arah Im Giok, mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di depan Im Giok. Kam Kin, laki-laki itu, tertawa menyeringai dan ketika ia menengok ke arah Im Giok, sinar kagum terbayang dalam pandang matanya.
“Aha Pek Hoa-suci, muridmu ini benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau seperti bunga cilan putih yang sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah tunas cilan yang merah. Ha-ha-ha!”
Sekali pandang saja, Im Giok merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka ini. Sungguh pun dia dapat menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan serinya.
“Im Giok, beri hormat kepada Kam-susiok,” kata Pek Hoa.
Terpaksa Im Giok menjura untuk memberi hormat tanpa memandang wajah orang.
“Teecu Kiang Im Giok memberi hormat kepada Kam-susiok,” dia berkata sederhana lalu berdiri lagi di samping gurunya.
“Ha-ha-ha, bagus sekali. Orangnya manis, namanya indah dan suaranya merdu seperti gurunya.”
Kam Kin bertepuk tangan tiga kali dan dari dalam muncullah tiga orang wanita muda yang cantik-cantik. Mereka ini adalah pelayan-pelayan dari hartawan ini, akan tetapi pakaian mereka sesungguhnya sangat tidak patut bagi para pelayan, lebih pantas kalau mereka ini disebut selir-selir dari Kam Kin.
“Siapkan kamar yang bersih kemudian layani Nona Kiang Im Giok ini baik-baik,” katanya kepada mereka.
Sambil tertawa-tawa tiga orang perempuan muda itu lalu menggandeng tangan Im Giok dan ditariknya nona cilik ini ke dalam gedung. Tadinya Im Giok hendak menolak, akan tetapi Pek Hoa berkata, “Kau pergilah beristirahat, Im Giok. Tak usah sungkan-sungkan, kita berada di rumah sendiri. Besok pagi-pagi kita bertemu kembali di ruangan depan ini. Aku ada perundingan penting dengan susiok-mu.”
Terpaksa Im Giok ikut dengan tiga orang pelayan itu dan di belakangnya ia mendengar suara ketawa-ketawa dari Pek Hoa dan Kam Kin, kemudian lapat-lapat ia mendengar lagi sebutan-sebutan mesra dari mulut Kam Kin kepada gurunya.
Di dalam kamarnya Im Giok hampir menangis. Ia kecewa sekali. Kini makin terbukalah matanya dan walau pun dia belum berani menuduh gurunya sebagai seorang penjahat wanita cabul, akan tetapi kepercayaannya mulai berkurang dan hatinya mulai ragu-ragu. Ia tidak ragu lagi bahwa tuan rumah yang bernama Giam-ong-to Kam Kin ini bukanlah orang baik-baik.
Bagaimanakah gurunya bisa bergaul dengannya? Ia tidak dapat tidur sama sekali. Bocah yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini mulai merasa sengsara dan gelisah. Ia amat merindukan ibunya, bahkan ia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ketika ayahnya pergi meninggalkan ibunya, ia baru berusia dua tahun dan tak dapat mengingat lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya.
Ia mulai rindu kepada ibunya, kepada ayahnya, kepada kebebasan! Meski pun Pek Hoa sangat baik terhadapnya, namun ia tidak merasa bebas. Ia harus tunduk dan taat, harus menelan apa saja yang disuguhkan padanya. Semua perbuatan gurunya yang sebetulnya ia anggap sangat tidak patut dan tidak menyenangkan hatinya, mau tidak mau harus ia terima dan ia anggap baik, atau setidaknya, ia tidak boleh menyatakan pendapatnya.
Seperti biasa, di mana saja Pek Hoa membawanya, ia tidak pernah kekurangan makan. Di rumah gedung dari orang she Kam ini pun dia dilayani dengan baik-baik, bahkan dia disuguhi makanan-makanan lezat dan mewah. Akan tetapi, Im Giok tidak dapat merasai kenikmatan makanan itu, bahkan ia menelan semua makanan dengan paksa hanya untuk berlaku pantas karena ia sungkan menolak sambutan orang yang demikian baik.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Im Giok telah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan gurunya. Alangkah girangnya ketika pagi itu Pek Hoa sudah datang ke kamarnya dan berkata dengan wajah berseri,
“Im Giok, marilah kita berangkat! Kau akan melihat betapa aku memberi hajaran kepada seorang di antara musuh-musuh besarku.”
“Yang mana, Enci?” Im Giok bertanya, ikut merasa gembira karena hendak menyaksikan pertempuran.
“Hwesio-hwesio dari Siauw-lim-si, Kok Beng Hosiang dan dua orang hwesio muridnya. Kebetulan sekali dia dan muridnya berada di sebuah kelenteng tak jauh dari kota ini.”
Akan tetapi, kegembiraan Im Giok segera lenyap ketika ia melihat Giam-ong-to Kam Kin sudah menunggu di pekarangan rumah dengan tiga ekor kuda. Jelas bahwa laki-laki ini hendak ikut pergi pula!
Pek Hoa bermata tajam dan ia dapat melihat kerutan alis muridnya, karena itu ia cepat berkata,
“Susiok-mu akan ikut membantuku, Im Giok, kau naiki kuda yang putih itu, kelihatannya ia yang paling baik.” Kata-kata terakhir ini diucapkan oleh Pek Hoa untuk menyenangkan hati muridnya.
“Jangan yang itu. Kuda itu masih setengah liar. Lebih baik Im Giok naik yang ini!” Kam Kin cepat berkata sambil menuntun seekor kuda bulu hitam dan didekatkan kepada Im Giok.
Im Giok tidak biasa menunggang kuda. Akan tetapi sebagai murid seorang pandai yang sudah memiliki kepandaian lumayan, ia tidak merasa takut dan dengan gerakan ringan ia melompat ke atas punggung kuda hitam itu.
Mereka segera berangkat. Kam Ki dan Pek Hoa menjalankan kuda berdampingan, ada pun Im Giok menjalankan kuda di belakang mereka. Dengan perasaan sebal dan muak dia melihat betapa sikap gurunya dan susiok-nya amat mesra. Di sepanjang jalan kedua orang itu bersendau-gurau dengan sikap amat mesra. Makin besarlah perasaan tak suka mendesak dalam hati Im Giok, rasa tidak suka terhadap orang yang selama ini ia anggap sebagai gurunya.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Pek Hoa kepada Im Giok. Kok Beng Hosiang, tokoh ke tiga dari Siauw-lim-pai, murid ke dua dari Hok Bin Taisu yang dahulu ikut pula menyerbu Thian-te Sam-kauwcu bersama suheng-nya untuk mengambil kembali kitab yang tercuri, pada waktu itu sedang keluar dari Siauw-lim-si dan saat ini berada di sebuah kelenteng yang tidak jauh letaknya, menyebarkan Agama Budha di belakang kelenteng lain. Dalam perjalanan ini dia dikawani oleh dua orang muridnya. Hal ini diketahui oleh Kam Kin yang segera memberi tahu kepada Pek Hoa dan siap pula membantunya.
Kam Kin yang berjuluk Giam-ong-to adalah seorang bekas perampok tunggal yang kini sudah mengundurkan diri setelah berhasil mengumpulkan banyak harta kekayaan. Ia kini hidup sebagai seorang hartawan muda yang tidak beristeri, akan tetapi bukan rahasia lagi bahwa ia mempunyai banyak selir dan dia pun terkenal sebagai seorang hartawan mata keranjang yang tidak segan-segan mempergunakan harta mau pun kepandaiannya untuk merampas anak bini orang lain. Kalau pun orang tidak merasa takut terhadap pengaruh hartanya, tentu ia akan merasa gentar menghadapi goloknya, karena Kam Kin memang termasuk seorang ahli silat kelas tinggi.
Biar pun Kam Kin bukan murid Thian-te Sam-kauwcu, namun ia memang termasuk adik seperguruan dari Pek Hoa, karena Pek Hoa pernah pula menjadi murid Ceng-jiu Tok-ong (Raja Beracun Berlengan Seribu), seorang tokoh besar rimba persilatan di daerah barat. Sedangkan raja beracun ini adalah guru dari Kam Kin pula. Hanya bedanya, bila Kam Kin hanya menerima kepandaian silat dari Ceng-jiu Tok-ong, adalah Pek Hoa melanjutkan pelajaran dan berguru kepada banyak tokoh lainnya sehingga kepandaian Pek Hoa tentu saja lebih lihai dari pada kepandaian Kam Kin.
Semenjak berusia belasan tahun, Pek Hoa memang sudah bejat moralnya. Ketika masih berguru kepada Ceng-jiu Tok-ong, ia sudah jatuh hati kepada Kam Kin yang lebih muda dan memang tampan. Kedua orang ini bagaikan sampah dengan keranjang, cocok sekali dan sudah lama mempunyai perhubungan yang tidak bersih.
Lewat tengah hari mereka sampai di depan kelenteng yang dimaksudkan. Dengan tenang Pek Hoa melompat turun dari kudanya, diikuti oleh Kam Kin dan Im Giok, kemudian tiga ekor kuda itu diikat pada pohon yang tumbuh di halaman kelenteng.
Sunyi saja di kelenteng itu. Akan tetapi pada meja depan dipasangi lilin, tanda bahwa ada penghuninya di dalam kelenteng.
“Kok Beng Hosiang, keluarlah untuk menerima binasa!” Pek Hoa berseru keras.
Terdengar suara orang dari dalam kelenteng, lantas muncullah dua orang hwesio muda. Mereka merangkap kedua tangan di depan dan sebagai tanda penghormatan, lalu salah seorang di antara mereka bertanya,
“Sam-wi dari mana dan ada keperluan apa mencari Suhu yang sedang bersembahyang?”
“Kalian ini dua orang keledai gundul murid Kok Beng Hosiang? Bagus, berangkatlah dulu ke neraka untuk menyiapkan tempat bagi gurumu!” kata Kam Kin yang sudah mencabut goloknya sambil bergerak maju menyerang secara hebat sekali.
Im Giok terkejut bukan main, juga merasa penasaran dan ngeri, maka ia cepat melompat mundur dan berdiri di tempat jauh sambil menonton. Hatinya berdebar tidak karuan, dan kembali rasa tidak suka menyerang batinnya, kini bahkan demikian hebat sehingga mulai timbul benci di dalam hatinya kepada Pek Hoa dan Kam Kin.
“Ehh, ehhh, kau ini perampok atau orang gila?” hwesio muda itu berteriak marah sambil mengejek.
Kemudian secepat kilat kedua orang hwesio itu menyerang, yang pertama menendang ke arah sambungan lutut, yang kedua menghantam ke arah lambung. Mereka adalah anak murid Siauw-lim-pai yang sudah diperkenankan ikut guru mereka merantau, ini menjadi bukti bahwa kepandaian mereka bukan rendah, karena itu tentu saja mereka tidak mudah dirobohkan oleh serangan golok Kam Kin bahkan dapat pula membalas dengan serangan yang cukup berbahaya.
Sekali pandang saja Pek Hoa cukup maklum bahwa dia tidak perlu membantu sute-nya. Tingkat kepandaian sute-nya masih lebih tinggi dari kedua orang hwesio muda ini. Maka sekali menggerakkan tubuh, ia telah melompat di dekat Im Giok dan menonton jalannya pertempuran.
Im Giok mendongkol bukan main. Dia anggap Pek Hoa dan Kam Kin keterlaluan sekali, datang-datang menyerang dua orang pendeta yang tidak terang apa kesalahannya. Akan tetapi tentu saja untuk membantu dua orang hwesio itu atau mencela Kam Kin ia tidak berani kepada gurunya. Untuk melampiaskan rasa kedongkolannya, dia sengaja berkata kepada gurunya,
“Enci Pek Hoa, tak tahunya julukan Susiok Giam-ong-to kosong belaka. Menghadapi dua orang hwesio bertangan kosong saja ia tidak mampu menjatuhkan!”
Mendengar ini, Pek Hoa menjadi merah mukanya. Kata-kata itu biar pun ditujukan untuk mengejek Kam Kin akan tetapi seperti juga menampar mukanya sendiri karena Kam Kin adalah sute-nya.
Dia memandang lagi ke arah pertempuran dan harus dia akui bahwa kiranya sute-nya itu masih agak lama untuk dapat mengalahkan dua orang lawannya. Maka dengan gemas sekali dia melompat mendekati tempat pertempuran, lalu mengayun tangan kiri sambil berseru,
“Sute, lekas robohkan mereka. Untuk apa main-main dengan dua ekor keledai macam ini?”
Gerakan tangan kiri Pek Hoa tadi bukanlah gerakan sembarangan, melainkan gerakan melepaskan Pek-hoa-ciam yang lihai. Segera kedua orang hwesio muda itu terhuyung-huyung dan dua kali golok besar di tangan Kam Kin berkelebat, muncratlah darah dan robohlah dua orang hwesio itu dengan leher terbacok dan nyawa melayang.
“Omitohud...! Siluman wanita Pek Hoa, kau benar-benar keji sekali dan tidak kenal tobat. Datang-datang kau telah membunuh murid-murid pinceng, benar-benar siluman jahat.”
Kata-kata ini disusul dengan keluarnya seorang hwesio gemuk yang memegang senjata rantai panjang. Dulu dalam pertempuran di lembah Sungai Yalu Cangpo, hwesio ini telah merasakan kelihaian Pek-in-ong, seorang di antara guru-guru Pek Hoa. Maka kali ini ia berlaku hati-hati menghadapi Pek Hoa, maklum bahwa wanita siluman ini lihai sekali, apa lagi senjata rahasianya.
Melihat musuhnya sudah berdiri di depannya, tanpa banyak cakap lagi Pek Hoa segera mencabut siang-kiamnya lantas melakukan serangan secepat kilat. Kok Beng Hosiang, hwesio gemuk itu, cepat pula menggerakkan senjata rantainya menangkis. Terdengarlah suara nyaring dan bunga api berpijar ketika pedang bertemu dengan rantai. Kemudian terjadilah pertandingan ilmu silat tinggi yang seru.
Im Giok tidak senang sekali melihat Kam Kin tadi membunuh dua orang hwesio muda, kini dia lebih gelisah melihat hwesio tua gemuk bertempur melawan gurunya. Kalau saja para pendeta itu bertempur dengan lain orang, bukan dengan gurunya, kiranya Im Giok akan turun tangan membantu pendeta-pendeta itu.
Biar pun baru empat lima tahun ia berlatih silat, namun berkat latihan sungguh-sungguh dan ilmu silat tinggi yang diturunkan oleh Pek Hoa, kepandaian Im Giok sudah lumayan dan nyalinya besar sekali. Kini melihat Kok Beng Hosiang bertempur melawan gurunya. Im Giok dapat menduga bahwa hwesio itu tidak akan menang.
Pertandingan itu cukup hebat. Sebagai tokoh ke tiga dari Siauw-lim-pai, kepandaian Kok Beng Hosiang tinggi sekali. Tenaga lweekang-nya sebenarnya masih mengatasi tenaga Pek Hoa, dan ilmu silatnya amat kokoh kuat serta tangguh dalam pertahanan.
Namun ia harus mengaku kalah gesit dan kalah cepat oleh nona itu. Gerakan Pek Hoa cepat sekali, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda sehingga Kong Beng Hosiang nampak terdesak.
Betapa pun juga, jago Siauw-lim-si ini sanggup mempertahankan diri sampai lima puluh jurus lebih sebelum pundaknya terserempet ujung pedang kanan Pek Hoa. Gerakan yang tadi dilakukan oleh Pek Hoa dalam penyerangan yang berhasil itu memang hebat sekali, mengandalkan ginkang yang sudah tinggi.
Sebuah serangan Kok Beng Hosiang dengan rantainya yang menyambar pinggang, bisa dia elakkan dengan lompatan indah dan cepat bagaikan burung tebang, kemudian selagi tubuhnya masih berada di udara, nona ini membalikkan tubuh dan sepasang pedangnya menyerang bertubi-tubi dari atas.
Kok Beng Hosiang sudah berusaha menangkis, namun dia kalah cepat sehingga pedang kanan Pek Hoa yang menyambar leher masih saja bisa menyerempet pundaknya. Darah membasahi jubah pendetanya.
Kok Beng Hosiang terhuyung ke belakang.
Sambil tertawa nyaring dan mengejek, Pek Hoa mendesak terus, siap memberi tusukan-tusukan terakhir. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan…
“Traang!” pedang Pek Hoa yang sudah menyambar ke arah ulu hati Kok Beng Hosiang bertemu dengan sebatang pedang lain.
“Im Giok...!” Pek Hoa berseru marah sekali pada waktu melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah muridnya sendiri.
Melihat gurunya mendesak dan hendak membunuh hwesio tua gemuk, bocah ini tak bisa menahan perasaannya lagi, mencabut pedang pendek dan menangkis pedang Pek Hoa!
“Enci, untuk apa membunuh seorang pendeta yang suci? Dia sudah kalah terluka, tidak perlu didesak terus, Enci.”
“Bocah, kau lancang sekali!” Kam Kin melompat dan sekali bergerak dia telah merampas pedang Im Giok dan menyambar tubuh bocah itu, dipeluk pinggangnya terus dikempit.
Im Giok yang tidak menduga sebelumnya tidak berdaya dan terpaksa ia hanya membikin tubuhnya kaku dalam kempitan susiok-nya yang tertawa-tawa menyebalkan.
Sementara itu, Pek Hoa terus mendesak Kok Beng Hosiang dengan kedua pedangnya. Kok Beng Hosiang melawan terus, namun dalam beberapa gebrakan saja, kembali ujung pedang Pek Hoa telah melukai lengannya.
“Hwesio keparat, mampuslah kau!” Pek Hoa menggerakkan sepasang pedangnya secara istimewa, menyerang dari kanan kiri dengan gerak tipu Kim-peng Tian-ci (Garuda Emas Mementang Sayap).
Kok Beng Hosiang yang sudah terluka mana dapat menjaga serangan yang datang dari kanan kiri dengan hebat ini? Ia tahu bahwa kali ini ia takkan dapat menghindarkan maut lagi, maka ia hanya menarik napas panjang.
“Pek Hoa Pouwsat, kau benar-benar keterlaluan sekali!” terdengar suara bentakan halus.
Pek Hoa mengeluarkan jerit kecil ketika pedangnya tiba-tiba saja terbentur oleh sesuatu sehingga terpental. Ia cepat melompat ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya tadi adalah sebatang ranting yang dipegang oleh seorang pengemis yang amat dikenalnya, yakni Han Le! Orang sakti itu tersenyum.
Han Le adalah seorang yang berwajah tampan dan menarik. Walau pun kini rambut dan jenggotnya tidak terpelihara, apa lagi pakaiannya seperti seorang jembel, namun setelah berhadapan muda dan memandang penuh perhatian, ternyatalah oleh Pek Hoa Pouwsat bahwa kulit muka itu bersih dan terawat baik-baik, merupakan wajah seorang jantan yang menggerakkan hati wanitanya!
Han Le dan Bu Pun Su merupakan dua orang yang paling berbahaya di antara semua musuhnya. Kini melihat Han Le sedang berdiri di hadapannya dengan ranting di tangan, bibir tersenyum dan wajah tenang, dua macam pikiran terlintas masuk kepala Pek Hoa Pouwsat.
Pertama bahwa Han Le seorang laki-laki yang sudah masak dan menarik hatinya. Kedua bahwa akan menguntungkan sekali baginya kalau ia dapat memikat hati musuh besar ini, selain ia dapat memuaskan hatinya, juga ia mendapat jalan untuk membalas dendam!
Dengan senyum yang manis sekali, Pek Hoa Pouwsat menghadapi Han Le, memainkan matanya yang sinarnya dapat membetot hati setiap pria, baru ia berkata,
“Ehh, kiranya Han Le Taihiap yang muncul. Kebetulan sekali, siauwmoi sudah lama sekali ingin mengunjungimu dan melihat-lihat keadaan Pulau Pek-le-to!”
Kulit muka di balik cambang itu memerah dan Han Le menekan perasaan hatinya yang berdebar aneh ketika ia melihat sikap Pek Hoa Pouwsat dan mendengar wanita cantik itu menyebut diri sendiri ‘siauwmoi’ (adinda)! Semenjak pertama kali bertemu dengan Pek Hoa Pouwsat, memang diam-diam di dalam hatinya Han Le kagum sekali dan merasa menyesal serta sayang mengapa seorang wanita demikian manis jelita telah tersesat dan menyeleweng jalan hidupnya.
Han Le adalah seorang yang tidak mudah tertarik oleh kecantikan wanita, bahkan sejak muda ia terkenal sebagai seorang pria pembenci wanita. Akan tetapi, kali ini menghadapi Pek Hoa Pouwsat yang segalanya serba cocok dengan seleranya, dan sangat menarik hatinya, Han Le harus mengerahkan segenap tenaga batinnya untuk menekan perasaan yang tergoncang.
Akan tetapi dengan pandang mata kereng Han Le menegurnya,
“Pek Hoa Pouwsat, mengapa kau melukai dan hendak membunuh hwesio Siauw-lim-si ini?”
Pek Hoa mengerling ke arah Kok Beng Hosiang yang masih sibuk mengobati lukanya, lalu tersenyum dan dengan tubuh digerak-gerakkan secara genit dan kepala dimiringkan, ia berkata kepada Han Le,
“Dia adalah musuh besarku, mengapa tidak harus kubunuh? Akan tetapi karena Han Le Taihiap datang dan melihat muka Taihiap, biarlah kali ini siauwmoi mengampuni kepala gundul ini. Kok Beng Hosiang, kau tidak lekas pergi dari sini? Apa menanti sampai aku bergerak lagi? Hayo pergi lekas!”
Kok Beng Hosiang sudah merasa bahwa ia takkan bisa menang menghadapi Pek Hoa Pouwsat. Biar pun kini ia melihat kedatangan Han Le, akan tetapi ia sudah dibikin malu dan tidak ada muka untuk berdiam terus di tempat itu.
“Kau telah menghina Siauw-lim-si, nantikan pembalasan kami!” katanya geram.
Hwesio ini segera pergi dengan langkah lebar. Akan tetapi dia tidak pergi jauh karena dia mengambil jalan memutar dan dengan sembunyi dia mengintai, ingin menyaksikan bagai mana Han Le memberi hajaran kepada Pek Hoa Pouwsat dan kawan-kawannya.
Kok Beng Hosiang diam-diam merasa sakit hati dan mendongkol sekali, maka ingin dia melihat wanita yang membikin malu padanya itu mendapatkan hajaran keras. Namun apa yang dilihat oleh hwesio Siauw-lim-si ini membuat sepasang matanya terbelalak lebar dan mukanya merah seperti kepiting direbus. Kepalanya yang gundul licin berdenyut-denyut.
Setelah Kok Beng Hosiang pergi, Pek Hoa segera mendekati Han Le dengan lenggang dibuat-buat, amat menarik hati karena memang wanita ini mempunyai bentuk tubuh yang indah menarik.
“Taihiap, seperti kukatakan tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-le-to yang menjadi tempat tinggalmu itu mengandung banyak rahasia, dan juga sangat indah seperti sorga. Bolehkah aku mengunjungimu? Bawalah aku ke sana, Taihiap.”
Han Le mengerutkan keningnya. “Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang sedang kau keluarkan ini? Kau adalah murid Thian-te Sam-kauwcu, sedangkan kau tahu bahwa aku dan suheng-ku, juga kawan-kawan lain telah...”
Pek Hoa mengangkat kedua lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari dalam lengan bajunya keluar keharuman bunga cilan!
“Han-taihiap, harap kau jangan menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat, biarlah sudah. Terhadap seorang gagah seperti Taihiap, bagaimana siauwmoi berani menaruh dendam hati? Yang ada dalam hati siauwmoi bukanlah dendam dan marah, melainkan... kekaguman dan ingin sekali mempererat persahabatan...” Suaranya terdengar demikian merdu dan penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar merah sebentar pucat.
“Jembel busuk, lekas pergi dari sini!” Tiba-tiba Giam-ong-to Kam Kin yang semenjak tadi mendengarkan percakapan itu, serta melihat sikap genit suci-nya dengan hati sebal dan cemburu, lalu menggerakkan sepasang goloknya menyerang Han Le!
“Sute... jangan...!” Pek Hoa membentak Kam Kin, akan tetapi terlambat karena sepasang golok itu dengan ganasnya telah menyambar tubuh Han Le.
Bentakan ini sebenarnya bukan dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan keselamatan Han Le, bahkan sebaliknya dia sangat khawatir akan keselamatan sute-nya. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Han Le jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian Kam Kin.
Memang betul apa yang dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja Han Le mampu menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan secara cepat dan tak terduga, rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa dapat dielakkan oleh Kam Kin. Giam-ong-to Kam Kin menjerit dan roboh berkelojotan.
Pek Hoa menghampiri dan sekali menepuk punggung dan leher sute-nya, Si Golok Maut itu terbebas dari rasa sakit yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan menyeringai, mukanya merah sekali. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, dia mengambil sepasang golok yang tadi terlempar di atas tanah ketika ia roboh, memasukkan sepasang golok itu ke dalam sarung golok, lalu ia melompat ke pinggir, ke dekat Im Giok yang memandang semua itu dengan kagum.
“Kam-susiok, kenapa baru sejurus kau mundur lagi?” tanya Im Giok kepada Giam-ong-to dengan nada suara mengejek.
Anak ini memang tidak suka kepada Kam Kin, maka kini ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kam Kin memandang kepada bocah itu dengan mata mendelik lebar. Im Giok menahan geli hatinya lalu menengok dan menonton apa yang akan terjadi antara gurunya dan pengemis sakti itu.
“Han-taihiap, kau makin gagah saja, benar-benar siauwmoi kagum dan tunduk. Siauwmoi ulangi lagi keinginan hati siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu, di mana kita bisa saling menukar ilmu dan bercakap-cakap gembira tanpa gangguan orang lain.”
“Pek Hoa Pouwsat, kau bicara apa? Kau dan sute-mu sudah berlaku kejam, membunuh dua orang hwesio Siauw-lim-si dan menghina seorang tokoh Siauw-lim. Untuk perbuatan jahat ini mana bisa aku mendiamkannya saja?”
Sambil berkata demikian, Han Le sudah menggerakkan ranting di tangannya, mengirim serangan langsung ke arah leher Pek Hoa Pouwsat. Biar pun ia harus mengaku bahwa hatinya amat tertarik dan kejantanannya bangkit oleh kecantikan serta kelembutan yang demikian memikat hati, namun kesadaran Han Le masih penuh sehingga ia mengeraskan hati dengan anggapan bahwa wanita cantik menarik yang dihadapinya adalah seorang jahat dan keji dan sebagai seorang pendekar ia harus membasminya.
Pek Hoa Pouwsat mencelat ke belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir, “Ayaa, Han-taihiap, galak sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!”
Sambil berkata demikian, Pek Hoa Pouwsat cepat mencabut siang-kiamnya kemudian menghadapi Han Le dengan sikap gagah menarik.
“Awas serangan!” Han Le memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan sungguh-sungguh.
Ia maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia pernah menghadapi Pek Hoa Pouwsat dan tahu akan kelihaiannya. Akan tetapi, beberapa hari saja berkumpul dengan suheng-nya Bu Pun Su, Han Le telah memperoleh kemajuan yang amat banyak.
Sehari saja berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar nasehat serta penjelasannya mengenai hal ilmu silat, sama halnya dengan berlatih satu tahun di bawah pimpinan guru pandai. Oleh karena itu, pertemuan akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han Le memperoleh kemajuan banyak dalam ilmu silat, dan Bu Pun Su telah membuka matanya untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri.
Berdasarkan nasehat dari Bu Pun Su dia maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat mengandalkan kelihaiannya dengan kecepatan, kelincahan, serta siang-kiam-hoat yang tak terduga gerakannya, mengandalkan ginkang yang amat tinggi. Untuk melawan orang seperti ini dia harus berlaku tenang, tidak boleh mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawan, sebaliknya berlaku tenang dan mengandalkan lweekang membentuk pertahanan yang kuat dan melindungi tubuh dengan hawa pukulan dari rantingnya.
Maka, pada saat Han Le mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan suheng-nya, ia minta petunjuk untuk menyempurnakan ilmu pedangnya di bagian gerakan Jit-in To-goat (Tujuh Awan Membungkus Bulan), salah satu gerakan ilmu pedangnya yang merupakan benteng pertahanan kuat sekali.
Han Le melakukan gerakan ini dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak bergerak. Kedua kakinya hanya dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang disebut Kung-si dengan tubuh agak dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda Ci-kung-si.
Biar pun kedudukan tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini memungkinkan dia untuk menggerakkan rantingnya ke mana saja sepasang pedang Pek Hoa meluncur. Tanpa banyak mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua serangan pedang Pek Hoa yang susul-menyusul ramai seperti sepasang ular berlomba.
“Han-taihiap, kau betul-betul mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu pedangku yang baru, kau lihat bagus atau tidak!”
Perubahan hebat terjadi pada gerakan pedang Pek Hoa Pouwsat. Walau pun sepasang pedang itu masih saja melakukan serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat tinggi, akan tetapi gerakan-gerakannya demikian indah dan menarik, tak ubahnya seperti sedang menari saja.
“Indah sekali...!” berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji.
Gadis cilik ini tadinya bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya. Akan tetapi sekarang melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama sekali akan adanya Kam Kin di situ. Sepasang matanya bercahaya, wajahnya berseri dan tanpa berkedip ia menonton ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memang mempunyai darah seni, suka sekali akan keindahan, maka tarian pedang itu benar-benar mempesonakannya.
“Aaiih, memalukan sekali...,” kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat.
Biar pun ia tidak terkena pengaruh langsung dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat, namun keindahan gerakan pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek Hoa, tetap saja terasa olehnya sebagai gerakan-gerakan yang memikat hati, gerakan yang tak sopan. Pinggang Pek Hoa seakan-akan tidak bertulang, menggeliat-geliat bagaikan ular, menggerak-gerakkan tubuh bagian bawah, bibir tersenyum manis dan merah membasah, sepasang mata setengah redup dan berkaca-kaca, semua ini ditujukan kepada Han Le.
Pengemis sakti itu masih menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan dua batang pedang yang lihai itu. Namun ketika Pek Hoa Pouwsat merubah ilmu pedangnya dan mulai dengan ilmu pedang yang laksana tarian indah itu, hati Han Le terguncang hebat.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang memainkan ilmu pedang Bi-jin Khai-i, ilmu silat yang sebenarnya merupakan setengah ilmu sihir sebab di dalamnya terkandung pengaruh mukjijat dari kecantikan wanita untuk merobohkan hati laki-laki. Inilah ilmu silat aneh yang selama ini dilatih secara mendalam oleh Pek Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan musuh-musuh besarnya yang tangguh dan sekarang untuk pertama kalinya, dia pergunakan dalam menghadapi Han Le!
Ilmu silat Bi-jin Khai-i ini memang hebat. Andai kata dimainkan oleh seorang perempuan yang berwajah buruk dan tubuhnya tidak menarik sekali pun, tetap akan mengeluarkan pengaruh yang bisa merobohkan hati laki-laki. Apa lagi sekarang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh sepenuhnya wanita, tentu saja daya rangsangnya berlipat ganda.
Dalam belasan jurus saja, Han Le mulai terkena pengaruhnya. Dalam penglihatan Han Le, sepasang pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari pedang yang luar biasa indah. Tubuh yang berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu seakan-akan melambai dan mengajaknya bergembira dan menari.
Lebih hebat lagi, semakin lama gerakan Pek Hoa dalam mata Han Le semakin luar biasa sehingga nampak olehnya bahwa lawannya yang cantik itu benar-benar bagaikan sedang menanggalkan pakaian sedikit demi sedikit! Walau pun tidak sehelai pun pakaian tanggal dari tubuhnya, namun gerakannya menanggalkan pakaian demikian sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh dalam pengaruh Pek Hoa.
Pendekar sakti yang selama hidup belum pernah berdekatan dengan wanita ini sekarang seluruh tubuhnya menjadi lemas, semangatnya seakan-akan telah terbang meninggalkan tubuhnya dan pertahanannya menjadi gempur karena caranya bersilat telah kacau sekali! Demikianlah lihainya ilmu silat Bi-jin Khai-i yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat.
Kalau sekiranya Pek Hoa menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le, dengan mudah dia akan dapat merobohkan dan menewaskan pengemis sakti itu. Akan tetapi Pek Hoa berpikir lain!
“Enci Pek Hoa, kita akan pergi ke mana?” tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat girang diajak bepergian.
“Kita turun gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi.”
Hampir saja Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan-tahan saja, menindas hatinya yang rindu kepada ibu dan rumahnya. Akan tetapi, sesudah mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Karena itu, betapa pun girang hatinya, pada wajahnya yang manis sekali itu sama sekali tak terlihat perubahan.
“Apakah Enci akan membawaku ke Sian-koan? Ataukah kita hendak mencari Ayah?”
Dua macam pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan pertama ia menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena ibunya tinggal di Sian-koan. Ada pun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek Hoa bahwa ayahnya telah pergi meninggalkan ibunya.
Ayahnya yang bernama Kiang Liat dan berjuluk Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw yang suka merantau. Dia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja pergi meninggalkan ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya!
“Sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu sudah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya itu seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan lebih menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya dan hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu.” Demikian Pek Hoa mengarang.
Hati Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela sikap ibunya, sungguh pun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.
“Akan tetapi sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila.”
Kata-kata ini membuat hati Im Giok merasa amat terharu sehingga pernah ia mengajukan permohonan kepada gurunya untuk pergi mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum tiba waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak gunung. Sekarang, begitu gurunya mengajak turun gunung, otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya.
“Tidak, Im Giok. Kita tidak pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku sedang mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san, kemudian ke kuil Siauw-lim-si untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!”
Tentu saja Im Giok tidak berani membantah.
“Ingatlah, Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw yang selain sudah membunuh ketiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan mencari dan membalasnya. Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku kelak akan dapat membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su.”
“Bu Pun Su...?” baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya sederhana sekali itu.
“Im Giok, jangan kau pandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su (Tiada Kepandaian), akan tetapi justru dialah orang yang paling lihai di antara semua musuhku. Aku sendiri tidak berdaya terhadap dia, dan kau orangnya yang kuharapkan kelak akan dapat membalasnya.”
Demikianlah, sambil menuturkan pengalamannya dahulu, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, menuruni puncak bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih silat selama empat tahun lebih.
Sesudah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar hati dan berani muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Dia gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bi-jin Khai-i yang baru dia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita.
Ada pun rasa gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian pendekar sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang ketiga orang suhu-nya sendiri! Karena itu, ia masih merasa ragu-ragu apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su.
*****
Tidak ada orang yang berjumpa dengan mereka, terutama sekali kaum pria, yang tidak memandang dengan penuh kekaguman pada pemandangan yang tak setiap saat mudah dilihat.
Seorang dara berbaju biru putih, cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari dua puluh tahun usianya. Rambutnya hitam panjang, digelung bagai model gelung dewi kahyangan, di sebelah kiri dihias setangkai bunga putih yang harum, yakni bunga Cilan, pada sebelah kanan terhias burung hong dari emas dan permata.
Sepasang anting-anting panjang bermata merah tergantung di bawah telinga, bergoyang dan bergerak membelai pipi menambah kemanisan. Pakaian dan sepatunya baru serta terbuat dari bahan mahal. Gagang sepasang pedang yang menempel pada punggung, dengan ronce-ronce pedang warna merah berkibar di atas pundak, membuat Si Cantik itu nampak gagah sekali. Sepasang pedang ini pula yang membuat tiap orang laki-laki hanya dapat memandang kagum, tidak berani bersikap kurang ajar.
Yang ke dua masih belum dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan tetapi sudah kelihatan luar biasa cantiknya. Dilihat sepintas lalu, wajahnya hampir sama dengan wajah dara yang dewasa itu, patut kiranya menjadi adiknya.
Akan tetapi kalau diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh, terutama sekali pada sinar mata dan tekukan bibir. Juga gadis cilik ini sangat menarik hati setiap orang. Tidak saja manis dan jelita, juga amat gagah.
Pakaiannya serba merah, terbuat dari sutera indah pula. Rambutnya dikuncir dan dihias dengan pita merah pula. Juga pada punggung bocah perempuan ini kelihatan gagang sebatang pedang pendek dan langkah kakinya yang tegap serta lincah itu mendatangkan kesan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi seperti kawannya.
Pek Hoa dan Im Giok, dua orang wanita itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi pemandangan di kota-kota, terutama sekali Im Giok. Mereka tidak pedulikan pandangan mata kagum dari para laki-laki yang mereka jumpai di tengah perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang mata itu tidak ada artinya.
Akan tetapi tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah empat tahun lebih dia tidak pernah menghadapi pandang mata kagum dari para pria maka sekarang ia merasa gembira dan bangga bukan main. Nyata bahwa empat lima tahun tak mengurangi kecantikannya, tidak merubah usianya!
Ini semua berkat telur pek-tiauw yang benar-benar memiliki khasiat untuk membuat orang menjadi awet muda. Yang menyebalkan hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak ada laki-laki yang cukup tampan dan gagah di antara mereka yang ia jumpai. Maka ia pun bersikap seperti Im Giok, tidak peduli sama sekali akan pandang mata orang-orang itu, melainkan tersenyum makin manis dan bangga.
Akan tetapi, setelah kembali terjun ke dunia ramai, timbul pula penyakit lama dalam diri Pek Hoa. Hati dan tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan perbuatan seperti yang dulu sering dilakukannya.
Mulailah Im Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan gurunya. Sering kali pada waktu malam Im Giok diajak mendatangi rumah orang kaya di mana Pek Hoa mengambil barang berharga dan emas sekehendak hati sendiri. Bahkan di depan mata Im Giok, saat tuan rumah bangun dari tidur dan melihat pencurian yang dilakukan, Pek Hoa membunuh tuan rumah itu bagaikan orang membunuh semut saja!
“Enci Pek Hoa, mengapa setelah mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya yang tidak mempunyai dosa apa-apa?” Im Giok memprotes.
“Im Giok, kenapa kau ribut-ribut urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia? Dia telah memergoki kita, ini artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati atau hidup apa sih artinya? Kita boleh berbuat sesuka kita, itulah hukum kang-ouw, siapa kuat dia yang menang!”
Jawaban ini meragukan hati Im Giok. Biar pun semenjak berusia enam tahun ia telah ikut Pek Hoa dan selalu melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah keturunan orang baik-baik. Ibunya seorang wanita bijaksana, ayahnya pun seorang laki-laki gagah perkasa maka sedikitnya ia pun mempunyai watak yang baik dan gagah.
Menghadapi perbuatan yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak. Apa lagi ketika dia melihat beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel dan diam-diam pergi meninggalkannya sampai semalaman suntuk dan keesokan harinya pagi-pagi baru datang dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi makin curiga.
Namun ia tidak dapat menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini. Betapa pun juga, ia harus mengakui bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik terhadapnya, amat baik dan penuh kasih sayang.
Beberapa pekan kemudian, Pek Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan sebuah gedung besar di tengah kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya apa bila Pek Hoa memasuki gedung besar, waktunya tengah malam dan jalan masuknya pun melalui genteng!
“Enci Pek Hoa, rumah siapakah ini?”
“Rumah seorang gagah bernama Kam Kin berjuluk Giam-ong-to (Si Golok Maut). Nanti kau harus sebut Susiok (Paman Guru) kepadanya.”
Kedatangan mereka segera disambut oleh tuan rumah, yaitu seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih, tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup gagah. Hanya sayangnya, pandang matanya kejam dan senyum bibirnya membayangkan watak mata keranjang dan curang.
“Aduuh, pantas saja aku bermimpi kejatuhan bulan!” laki-laki itu berseru sambil tertawa lebar dan kedua lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa, seolah-olah siap hendak memeluknya. “Tidak tahunya benar saja dewiku yang jelita datang berkunjung...”
Kata-katanya berhenti ketika Pek Hoa mengerutkan alisnya dan memberi isyarat dengan matanya ke arah Im Giok, mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di depan Im Giok. Kam Kin, laki-laki itu, tertawa menyeringai dan ketika ia menengok ke arah Im Giok, sinar kagum terbayang dalam pandang matanya.
“Aha Pek Hoa-suci, muridmu ini benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau seperti bunga cilan putih yang sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah tunas cilan yang merah. Ha-ha-ha!”
Sekali pandang saja, Im Giok merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka ini. Sungguh pun dia dapat menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan serinya.
“Im Giok, beri hormat kepada Kam-susiok,” kata Pek Hoa.
Terpaksa Im Giok menjura untuk memberi hormat tanpa memandang wajah orang.
“Teecu Kiang Im Giok memberi hormat kepada Kam-susiok,” dia berkata sederhana lalu berdiri lagi di samping gurunya.
“Ha-ha-ha, bagus sekali. Orangnya manis, namanya indah dan suaranya merdu seperti gurunya.”
Kam Kin bertepuk tangan tiga kali dan dari dalam muncullah tiga orang wanita muda yang cantik-cantik. Mereka ini adalah pelayan-pelayan dari hartawan ini, akan tetapi pakaian mereka sesungguhnya sangat tidak patut bagi para pelayan, lebih pantas kalau mereka ini disebut selir-selir dari Kam Kin.
“Siapkan kamar yang bersih kemudian layani Nona Kiang Im Giok ini baik-baik,” katanya kepada mereka.
Sambil tertawa-tawa tiga orang perempuan muda itu lalu menggandeng tangan Im Giok dan ditariknya nona cilik ini ke dalam gedung. Tadinya Im Giok hendak menolak, akan tetapi Pek Hoa berkata, “Kau pergilah beristirahat, Im Giok. Tak usah sungkan-sungkan, kita berada di rumah sendiri. Besok pagi-pagi kita bertemu kembali di ruangan depan ini. Aku ada perundingan penting dengan susiok-mu.”
Terpaksa Im Giok ikut dengan tiga orang pelayan itu dan di belakangnya ia mendengar suara ketawa-ketawa dari Pek Hoa dan Kam Kin, kemudian lapat-lapat ia mendengar lagi sebutan-sebutan mesra dari mulut Kam Kin kepada gurunya.
Di dalam kamarnya Im Giok hampir menangis. Ia kecewa sekali. Kini makin terbukalah matanya dan walau pun dia belum berani menuduh gurunya sebagai seorang penjahat wanita cabul, akan tetapi kepercayaannya mulai berkurang dan hatinya mulai ragu-ragu. Ia tidak ragu lagi bahwa tuan rumah yang bernama Giam-ong-to Kam Kin ini bukanlah orang baik-baik.
Bagaimanakah gurunya bisa bergaul dengannya? Ia tidak dapat tidur sama sekali. Bocah yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini mulai merasa sengsara dan gelisah. Ia amat merindukan ibunya, bahkan ia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ketika ayahnya pergi meninggalkan ibunya, ia baru berusia dua tahun dan tak dapat mengingat lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya.
Ia mulai rindu kepada ibunya, kepada ayahnya, kepada kebebasan! Meski pun Pek Hoa sangat baik terhadapnya, namun ia tidak merasa bebas. Ia harus tunduk dan taat, harus menelan apa saja yang disuguhkan padanya. Semua perbuatan gurunya yang sebetulnya ia anggap sangat tidak patut dan tidak menyenangkan hatinya, mau tidak mau harus ia terima dan ia anggap baik, atau setidaknya, ia tidak boleh menyatakan pendapatnya.
Seperti biasa, di mana saja Pek Hoa membawanya, ia tidak pernah kekurangan makan. Di rumah gedung dari orang she Kam ini pun dia dilayani dengan baik-baik, bahkan dia disuguhi makanan-makanan lezat dan mewah. Akan tetapi, Im Giok tidak dapat merasai kenikmatan makanan itu, bahkan ia menelan semua makanan dengan paksa hanya untuk berlaku pantas karena ia sungkan menolak sambutan orang yang demikian baik.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Im Giok telah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan gurunya. Alangkah girangnya ketika pagi itu Pek Hoa sudah datang ke kamarnya dan berkata dengan wajah berseri,
“Im Giok, marilah kita berangkat! Kau akan melihat betapa aku memberi hajaran kepada seorang di antara musuh-musuh besarku.”
“Yang mana, Enci?” Im Giok bertanya, ikut merasa gembira karena hendak menyaksikan pertempuran.
“Hwesio-hwesio dari Siauw-lim-si, Kok Beng Hosiang dan dua orang hwesio muridnya. Kebetulan sekali dia dan muridnya berada di sebuah kelenteng tak jauh dari kota ini.”
Akan tetapi, kegembiraan Im Giok segera lenyap ketika ia melihat Giam-ong-to Kam Kin sudah menunggu di pekarangan rumah dengan tiga ekor kuda. Jelas bahwa laki-laki ini hendak ikut pergi pula!
Pek Hoa bermata tajam dan ia dapat melihat kerutan alis muridnya, karena itu ia cepat berkata,
“Susiok-mu akan ikut membantuku, Im Giok, kau naiki kuda yang putih itu, kelihatannya ia yang paling baik.” Kata-kata terakhir ini diucapkan oleh Pek Hoa untuk menyenangkan hati muridnya.
“Jangan yang itu. Kuda itu masih setengah liar. Lebih baik Im Giok naik yang ini!” Kam Kin cepat berkata sambil menuntun seekor kuda bulu hitam dan didekatkan kepada Im Giok.
Im Giok tidak biasa menunggang kuda. Akan tetapi sebagai murid seorang pandai yang sudah memiliki kepandaian lumayan, ia tidak merasa takut dan dengan gerakan ringan ia melompat ke atas punggung kuda hitam itu.
Mereka segera berangkat. Kam Ki dan Pek Hoa menjalankan kuda berdampingan, ada pun Im Giok menjalankan kuda di belakang mereka. Dengan perasaan sebal dan muak dia melihat betapa sikap gurunya dan susiok-nya amat mesra. Di sepanjang jalan kedua orang itu bersendau-gurau dengan sikap amat mesra. Makin besarlah perasaan tak suka mendesak dalam hati Im Giok, rasa tidak suka terhadap orang yang selama ini ia anggap sebagai gurunya.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Pek Hoa kepada Im Giok. Kok Beng Hosiang, tokoh ke tiga dari Siauw-lim-pai, murid ke dua dari Hok Bin Taisu yang dahulu ikut pula menyerbu Thian-te Sam-kauwcu bersama suheng-nya untuk mengambil kembali kitab yang tercuri, pada waktu itu sedang keluar dari Siauw-lim-si dan saat ini berada di sebuah kelenteng yang tidak jauh letaknya, menyebarkan Agama Budha di belakang kelenteng lain. Dalam perjalanan ini dia dikawani oleh dua orang muridnya. Hal ini diketahui oleh Kam Kin yang segera memberi tahu kepada Pek Hoa dan siap pula membantunya.
Kam Kin yang berjuluk Giam-ong-to adalah seorang bekas perampok tunggal yang kini sudah mengundurkan diri setelah berhasil mengumpulkan banyak harta kekayaan. Ia kini hidup sebagai seorang hartawan muda yang tidak beristeri, akan tetapi bukan rahasia lagi bahwa ia mempunyai banyak selir dan dia pun terkenal sebagai seorang hartawan mata keranjang yang tidak segan-segan mempergunakan harta mau pun kepandaiannya untuk merampas anak bini orang lain. Kalau pun orang tidak merasa takut terhadap pengaruh hartanya, tentu ia akan merasa gentar menghadapi goloknya, karena Kam Kin memang termasuk seorang ahli silat kelas tinggi.
Biar pun Kam Kin bukan murid Thian-te Sam-kauwcu, namun ia memang termasuk adik seperguruan dari Pek Hoa, karena Pek Hoa pernah pula menjadi murid Ceng-jiu Tok-ong (Raja Beracun Berlengan Seribu), seorang tokoh besar rimba persilatan di daerah barat. Sedangkan raja beracun ini adalah guru dari Kam Kin pula. Hanya bedanya, bila Kam Kin hanya menerima kepandaian silat dari Ceng-jiu Tok-ong, adalah Pek Hoa melanjutkan pelajaran dan berguru kepada banyak tokoh lainnya sehingga kepandaian Pek Hoa tentu saja lebih lihai dari pada kepandaian Kam Kin.
Semenjak berusia belasan tahun, Pek Hoa memang sudah bejat moralnya. Ketika masih berguru kepada Ceng-jiu Tok-ong, ia sudah jatuh hati kepada Kam Kin yang lebih muda dan memang tampan. Kedua orang ini bagaikan sampah dengan keranjang, cocok sekali dan sudah lama mempunyai perhubungan yang tidak bersih.
Lewat tengah hari mereka sampai di depan kelenteng yang dimaksudkan. Dengan tenang Pek Hoa melompat turun dari kudanya, diikuti oleh Kam Kin dan Im Giok, kemudian tiga ekor kuda itu diikat pada pohon yang tumbuh di halaman kelenteng.
Sunyi saja di kelenteng itu. Akan tetapi pada meja depan dipasangi lilin, tanda bahwa ada penghuninya di dalam kelenteng.
“Kok Beng Hosiang, keluarlah untuk menerima binasa!” Pek Hoa berseru keras.
Terdengar suara orang dari dalam kelenteng, lantas muncullah dua orang hwesio muda. Mereka merangkap kedua tangan di depan dan sebagai tanda penghormatan, lalu salah seorang di antara mereka bertanya,
“Sam-wi dari mana dan ada keperluan apa mencari Suhu yang sedang bersembahyang?”
“Kalian ini dua orang keledai gundul murid Kok Beng Hosiang? Bagus, berangkatlah dulu ke neraka untuk menyiapkan tempat bagi gurumu!” kata Kam Kin yang sudah mencabut goloknya sambil bergerak maju menyerang secara hebat sekali.
Im Giok terkejut bukan main, juga merasa penasaran dan ngeri, maka ia cepat melompat mundur dan berdiri di tempat jauh sambil menonton. Hatinya berdebar tidak karuan, dan kembali rasa tidak suka menyerang batinnya, kini bahkan demikian hebat sehingga mulai timbul benci di dalam hatinya kepada Pek Hoa dan Kam Kin.
“Ehh, ehhh, kau ini perampok atau orang gila?” hwesio muda itu berteriak marah sambil mengejek.
Kemudian secepat kilat kedua orang hwesio itu menyerang, yang pertama menendang ke arah sambungan lutut, yang kedua menghantam ke arah lambung. Mereka adalah anak murid Siauw-lim-pai yang sudah diperkenankan ikut guru mereka merantau, ini menjadi bukti bahwa kepandaian mereka bukan rendah, karena itu tentu saja mereka tidak mudah dirobohkan oleh serangan golok Kam Kin bahkan dapat pula membalas dengan serangan yang cukup berbahaya.
Sekali pandang saja Pek Hoa cukup maklum bahwa dia tidak perlu membantu sute-nya. Tingkat kepandaian sute-nya masih lebih tinggi dari kedua orang hwesio muda ini. Maka sekali menggerakkan tubuh, ia telah melompat di dekat Im Giok dan menonton jalannya pertempuran.
Im Giok mendongkol bukan main. Dia anggap Pek Hoa dan Kam Kin keterlaluan sekali, datang-datang menyerang dua orang pendeta yang tidak terang apa kesalahannya. Akan tetapi tentu saja untuk membantu dua orang hwesio itu atau mencela Kam Kin ia tidak berani kepada gurunya. Untuk melampiaskan rasa kedongkolannya, dia sengaja berkata kepada gurunya,
“Enci Pek Hoa, tak tahunya julukan Susiok Giam-ong-to kosong belaka. Menghadapi dua orang hwesio bertangan kosong saja ia tidak mampu menjatuhkan!”
Mendengar ini, Pek Hoa menjadi merah mukanya. Kata-kata itu biar pun ditujukan untuk mengejek Kam Kin akan tetapi seperti juga menampar mukanya sendiri karena Kam Kin adalah sute-nya.
Dia memandang lagi ke arah pertempuran dan harus dia akui bahwa kiranya sute-nya itu masih agak lama untuk dapat mengalahkan dua orang lawannya. Maka dengan gemas sekali dia melompat mendekati tempat pertempuran, lalu mengayun tangan kiri sambil berseru,
“Sute, lekas robohkan mereka. Untuk apa main-main dengan dua ekor keledai macam ini?”
Gerakan tangan kiri Pek Hoa tadi bukanlah gerakan sembarangan, melainkan gerakan melepaskan Pek-hoa-ciam yang lihai. Segera kedua orang hwesio muda itu terhuyung-huyung dan dua kali golok besar di tangan Kam Kin berkelebat, muncratlah darah dan robohlah dua orang hwesio itu dengan leher terbacok dan nyawa melayang.
“Omitohud...! Siluman wanita Pek Hoa, kau benar-benar keji sekali dan tidak kenal tobat. Datang-datang kau telah membunuh murid-murid pinceng, benar-benar siluman jahat.”
Kata-kata ini disusul dengan keluarnya seorang hwesio gemuk yang memegang senjata rantai panjang. Dulu dalam pertempuran di lembah Sungai Yalu Cangpo, hwesio ini telah merasakan kelihaian Pek-in-ong, seorang di antara guru-guru Pek Hoa. Maka kali ini ia berlaku hati-hati menghadapi Pek Hoa, maklum bahwa wanita siluman ini lihai sekali, apa lagi senjata rahasianya.
Melihat musuhnya sudah berdiri di depannya, tanpa banyak cakap lagi Pek Hoa segera mencabut siang-kiamnya lantas melakukan serangan secepat kilat. Kok Beng Hosiang, hwesio gemuk itu, cepat pula menggerakkan senjata rantainya menangkis. Terdengarlah suara nyaring dan bunga api berpijar ketika pedang bertemu dengan rantai. Kemudian terjadilah pertandingan ilmu silat tinggi yang seru.
Im Giok tidak senang sekali melihat Kam Kin tadi membunuh dua orang hwesio muda, kini dia lebih gelisah melihat hwesio tua gemuk bertempur melawan gurunya. Kalau saja para pendeta itu bertempur dengan lain orang, bukan dengan gurunya, kiranya Im Giok akan turun tangan membantu pendeta-pendeta itu.
Biar pun baru empat lima tahun ia berlatih silat, namun berkat latihan sungguh-sungguh dan ilmu silat tinggi yang diturunkan oleh Pek Hoa, kepandaian Im Giok sudah lumayan dan nyalinya besar sekali. Kini melihat Kok Beng Hosiang bertempur melawan gurunya. Im Giok dapat menduga bahwa hwesio itu tidak akan menang.
Pertandingan itu cukup hebat. Sebagai tokoh ke tiga dari Siauw-lim-pai, kepandaian Kok Beng Hosiang tinggi sekali. Tenaga lweekang-nya sebenarnya masih mengatasi tenaga Pek Hoa, dan ilmu silatnya amat kokoh kuat serta tangguh dalam pertahanan.
Namun ia harus mengaku kalah gesit dan kalah cepat oleh nona itu. Gerakan Pek Hoa cepat sekali, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda sehingga Kong Beng Hosiang nampak terdesak.
Betapa pun juga, jago Siauw-lim-si ini sanggup mempertahankan diri sampai lima puluh jurus lebih sebelum pundaknya terserempet ujung pedang kanan Pek Hoa. Gerakan yang tadi dilakukan oleh Pek Hoa dalam penyerangan yang berhasil itu memang hebat sekali, mengandalkan ginkang yang sudah tinggi.
Sebuah serangan Kok Beng Hosiang dengan rantainya yang menyambar pinggang, bisa dia elakkan dengan lompatan indah dan cepat bagaikan burung tebang, kemudian selagi tubuhnya masih berada di udara, nona ini membalikkan tubuh dan sepasang pedangnya menyerang bertubi-tubi dari atas.
Kok Beng Hosiang sudah berusaha menangkis, namun dia kalah cepat sehingga pedang kanan Pek Hoa yang menyambar leher masih saja bisa menyerempet pundaknya. Darah membasahi jubah pendetanya.
Kok Beng Hosiang terhuyung ke belakang.
Sambil tertawa nyaring dan mengejek, Pek Hoa mendesak terus, siap memberi tusukan-tusukan terakhir. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan…
“Traang!” pedang Pek Hoa yang sudah menyambar ke arah ulu hati Kok Beng Hosiang bertemu dengan sebatang pedang lain.
“Im Giok...!” Pek Hoa berseru marah sekali pada waktu melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah muridnya sendiri.
Melihat gurunya mendesak dan hendak membunuh hwesio tua gemuk, bocah ini tak bisa menahan perasaannya lagi, mencabut pedang pendek dan menangkis pedang Pek Hoa!
“Enci, untuk apa membunuh seorang pendeta yang suci? Dia sudah kalah terluka, tidak perlu didesak terus, Enci.”
“Bocah, kau lancang sekali!” Kam Kin melompat dan sekali bergerak dia telah merampas pedang Im Giok dan menyambar tubuh bocah itu, dipeluk pinggangnya terus dikempit.
Im Giok yang tidak menduga sebelumnya tidak berdaya dan terpaksa ia hanya membikin tubuhnya kaku dalam kempitan susiok-nya yang tertawa-tawa menyebalkan.
Sementara itu, Pek Hoa terus mendesak Kok Beng Hosiang dengan kedua pedangnya. Kok Beng Hosiang melawan terus, namun dalam beberapa gebrakan saja, kembali ujung pedang Pek Hoa telah melukai lengannya.
“Hwesio keparat, mampuslah kau!” Pek Hoa menggerakkan sepasang pedangnya secara istimewa, menyerang dari kanan kiri dengan gerak tipu Kim-peng Tian-ci (Garuda Emas Mementang Sayap).
Kok Beng Hosiang yang sudah terluka mana dapat menjaga serangan yang datang dari kanan kiri dengan hebat ini? Ia tahu bahwa kali ini ia takkan dapat menghindarkan maut lagi, maka ia hanya menarik napas panjang.
“Pek Hoa Pouwsat, kau benar-benar keterlaluan sekali!” terdengar suara bentakan halus.
Pek Hoa mengeluarkan jerit kecil ketika pedangnya tiba-tiba saja terbentur oleh sesuatu sehingga terpental. Ia cepat melompat ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya tadi adalah sebatang ranting yang dipegang oleh seorang pengemis yang amat dikenalnya, yakni Han Le! Orang sakti itu tersenyum.
Han Le adalah seorang yang berwajah tampan dan menarik. Walau pun kini rambut dan jenggotnya tidak terpelihara, apa lagi pakaiannya seperti seorang jembel, namun setelah berhadapan muda dan memandang penuh perhatian, ternyatalah oleh Pek Hoa Pouwsat bahwa kulit muka itu bersih dan terawat baik-baik, merupakan wajah seorang jantan yang menggerakkan hati wanitanya!
Han Le dan Bu Pun Su merupakan dua orang yang paling berbahaya di antara semua musuhnya. Kini melihat Han Le sedang berdiri di hadapannya dengan ranting di tangan, bibir tersenyum dan wajah tenang, dua macam pikiran terlintas masuk kepala Pek Hoa Pouwsat.
Pertama bahwa Han Le seorang laki-laki yang sudah masak dan menarik hatinya. Kedua bahwa akan menguntungkan sekali baginya kalau ia dapat memikat hati musuh besar ini, selain ia dapat memuaskan hatinya, juga ia mendapat jalan untuk membalas dendam!
Dengan senyum yang manis sekali, Pek Hoa Pouwsat menghadapi Han Le, memainkan matanya yang sinarnya dapat membetot hati setiap pria, baru ia berkata,
“Ehh, kiranya Han Le Taihiap yang muncul. Kebetulan sekali, siauwmoi sudah lama sekali ingin mengunjungimu dan melihat-lihat keadaan Pulau Pek-le-to!”
Kulit muka di balik cambang itu memerah dan Han Le menekan perasaan hatinya yang berdebar aneh ketika ia melihat sikap Pek Hoa Pouwsat dan mendengar wanita cantik itu menyebut diri sendiri ‘siauwmoi’ (adinda)! Semenjak pertama kali bertemu dengan Pek Hoa Pouwsat, memang diam-diam di dalam hatinya Han Le kagum sekali dan merasa menyesal serta sayang mengapa seorang wanita demikian manis jelita telah tersesat dan menyeleweng jalan hidupnya.
Han Le adalah seorang yang tidak mudah tertarik oleh kecantikan wanita, bahkan sejak muda ia terkenal sebagai seorang pria pembenci wanita. Akan tetapi, kali ini menghadapi Pek Hoa Pouwsat yang segalanya serba cocok dengan seleranya, dan sangat menarik hatinya, Han Le harus mengerahkan segenap tenaga batinnya untuk menekan perasaan yang tergoncang.
Akan tetapi dengan pandang mata kereng Han Le menegurnya,
“Pek Hoa Pouwsat, mengapa kau melukai dan hendak membunuh hwesio Siauw-lim-si ini?”
Pek Hoa mengerling ke arah Kok Beng Hosiang yang masih sibuk mengobati lukanya, lalu tersenyum dan dengan tubuh digerak-gerakkan secara genit dan kepala dimiringkan, ia berkata kepada Han Le,
“Dia adalah musuh besarku, mengapa tidak harus kubunuh? Akan tetapi karena Han Le Taihiap datang dan melihat muka Taihiap, biarlah kali ini siauwmoi mengampuni kepala gundul ini. Kok Beng Hosiang, kau tidak lekas pergi dari sini? Apa menanti sampai aku bergerak lagi? Hayo pergi lekas!”
Kok Beng Hosiang sudah merasa bahwa ia takkan bisa menang menghadapi Pek Hoa Pouwsat. Biar pun kini ia melihat kedatangan Han Le, akan tetapi ia sudah dibikin malu dan tidak ada muka untuk berdiam terus di tempat itu.
“Kau telah menghina Siauw-lim-si, nantikan pembalasan kami!” katanya geram.
Hwesio ini segera pergi dengan langkah lebar. Akan tetapi dia tidak pergi jauh karena dia mengambil jalan memutar dan dengan sembunyi dia mengintai, ingin menyaksikan bagai mana Han Le memberi hajaran kepada Pek Hoa Pouwsat dan kawan-kawannya.
Kok Beng Hosiang diam-diam merasa sakit hati dan mendongkol sekali, maka ingin dia melihat wanita yang membikin malu padanya itu mendapatkan hajaran keras. Namun apa yang dilihat oleh hwesio Siauw-lim-si ini membuat sepasang matanya terbelalak lebar dan mukanya merah seperti kepiting direbus. Kepalanya yang gundul licin berdenyut-denyut.
Setelah Kok Beng Hosiang pergi, Pek Hoa segera mendekati Han Le dengan lenggang dibuat-buat, amat menarik hati karena memang wanita ini mempunyai bentuk tubuh yang indah menarik.
“Taihiap, seperti kukatakan tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-le-to yang menjadi tempat tinggalmu itu mengandung banyak rahasia, dan juga sangat indah seperti sorga. Bolehkah aku mengunjungimu? Bawalah aku ke sana, Taihiap.”
Han Le mengerutkan keningnya. “Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang sedang kau keluarkan ini? Kau adalah murid Thian-te Sam-kauwcu, sedangkan kau tahu bahwa aku dan suheng-ku, juga kawan-kawan lain telah...”
Pek Hoa mengangkat kedua lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari dalam lengan bajunya keluar keharuman bunga cilan!
“Han-taihiap, harap kau jangan menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat, biarlah sudah. Terhadap seorang gagah seperti Taihiap, bagaimana siauwmoi berani menaruh dendam hati? Yang ada dalam hati siauwmoi bukanlah dendam dan marah, melainkan... kekaguman dan ingin sekali mempererat persahabatan...” Suaranya terdengar demikian merdu dan penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar merah sebentar pucat.
“Jembel busuk, lekas pergi dari sini!” Tiba-tiba Giam-ong-to Kam Kin yang semenjak tadi mendengarkan percakapan itu, serta melihat sikap genit suci-nya dengan hati sebal dan cemburu, lalu menggerakkan sepasang goloknya menyerang Han Le!
“Sute... jangan...!” Pek Hoa membentak Kam Kin, akan tetapi terlambat karena sepasang golok itu dengan ganasnya telah menyambar tubuh Han Le.
Bentakan ini sebenarnya bukan dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan keselamatan Han Le, bahkan sebaliknya dia sangat khawatir akan keselamatan sute-nya. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Han Le jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian Kam Kin.
Memang betul apa yang dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja Han Le mampu menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan secara cepat dan tak terduga, rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa dapat dielakkan oleh Kam Kin. Giam-ong-to Kam Kin menjerit dan roboh berkelojotan.
Pek Hoa menghampiri dan sekali menepuk punggung dan leher sute-nya, Si Golok Maut itu terbebas dari rasa sakit yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan menyeringai, mukanya merah sekali. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, dia mengambil sepasang golok yang tadi terlempar di atas tanah ketika ia roboh, memasukkan sepasang golok itu ke dalam sarung golok, lalu ia melompat ke pinggir, ke dekat Im Giok yang memandang semua itu dengan kagum.
“Kam-susiok, kenapa baru sejurus kau mundur lagi?” tanya Im Giok kepada Giam-ong-to dengan nada suara mengejek.
Anak ini memang tidak suka kepada Kam Kin, maka kini ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kam Kin memandang kepada bocah itu dengan mata mendelik lebar. Im Giok menahan geli hatinya lalu menengok dan menonton apa yang akan terjadi antara gurunya dan pengemis sakti itu.
“Han-taihiap, kau makin gagah saja, benar-benar siauwmoi kagum dan tunduk. Siauwmoi ulangi lagi keinginan hati siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu, di mana kita bisa saling menukar ilmu dan bercakap-cakap gembira tanpa gangguan orang lain.”
“Pek Hoa Pouwsat, kau bicara apa? Kau dan sute-mu sudah berlaku kejam, membunuh dua orang hwesio Siauw-lim-si dan menghina seorang tokoh Siauw-lim. Untuk perbuatan jahat ini mana bisa aku mendiamkannya saja?”
Sambil berkata demikian, Han Le sudah menggerakkan ranting di tangannya, mengirim serangan langsung ke arah leher Pek Hoa Pouwsat. Biar pun ia harus mengaku bahwa hatinya amat tertarik dan kejantanannya bangkit oleh kecantikan serta kelembutan yang demikian memikat hati, namun kesadaran Han Le masih penuh sehingga ia mengeraskan hati dengan anggapan bahwa wanita cantik menarik yang dihadapinya adalah seorang jahat dan keji dan sebagai seorang pendekar ia harus membasminya.
Pek Hoa Pouwsat mencelat ke belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir, “Ayaa, Han-taihiap, galak sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!”
Sambil berkata demikian, Pek Hoa Pouwsat cepat mencabut siang-kiamnya kemudian menghadapi Han Le dengan sikap gagah menarik.
“Awas serangan!” Han Le memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan sungguh-sungguh.
Ia maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia pernah menghadapi Pek Hoa Pouwsat dan tahu akan kelihaiannya. Akan tetapi, beberapa hari saja berkumpul dengan suheng-nya Bu Pun Su, Han Le telah memperoleh kemajuan yang amat banyak.
Sehari saja berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar nasehat serta penjelasannya mengenai hal ilmu silat, sama halnya dengan berlatih satu tahun di bawah pimpinan guru pandai. Oleh karena itu, pertemuan akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han Le memperoleh kemajuan banyak dalam ilmu silat, dan Bu Pun Su telah membuka matanya untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri.
Berdasarkan nasehat dari Bu Pun Su dia maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat mengandalkan kelihaiannya dengan kecepatan, kelincahan, serta siang-kiam-hoat yang tak terduga gerakannya, mengandalkan ginkang yang amat tinggi. Untuk melawan orang seperti ini dia harus berlaku tenang, tidak boleh mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawan, sebaliknya berlaku tenang dan mengandalkan lweekang membentuk pertahanan yang kuat dan melindungi tubuh dengan hawa pukulan dari rantingnya.
Maka, pada saat Han Le mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan suheng-nya, ia minta petunjuk untuk menyempurnakan ilmu pedangnya di bagian gerakan Jit-in To-goat (Tujuh Awan Membungkus Bulan), salah satu gerakan ilmu pedangnya yang merupakan benteng pertahanan kuat sekali.
Han Le melakukan gerakan ini dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak bergerak. Kedua kakinya hanya dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang disebut Kung-si dengan tubuh agak dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda Ci-kung-si.
Biar pun kedudukan tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini memungkinkan dia untuk menggerakkan rantingnya ke mana saja sepasang pedang Pek Hoa meluncur. Tanpa banyak mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua serangan pedang Pek Hoa yang susul-menyusul ramai seperti sepasang ular berlomba.
“Han-taihiap, kau betul-betul mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu pedangku yang baru, kau lihat bagus atau tidak!”
Perubahan hebat terjadi pada gerakan pedang Pek Hoa Pouwsat. Walau pun sepasang pedang itu masih saja melakukan serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat tinggi, akan tetapi gerakan-gerakannya demikian indah dan menarik, tak ubahnya seperti sedang menari saja.
“Indah sekali...!” berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji.
Gadis cilik ini tadinya bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya. Akan tetapi sekarang melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama sekali akan adanya Kam Kin di situ. Sepasang matanya bercahaya, wajahnya berseri dan tanpa berkedip ia menonton ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memang mempunyai darah seni, suka sekali akan keindahan, maka tarian pedang itu benar-benar mempesonakannya.
“Aaiih, memalukan sekali...,” kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat.
Biar pun ia tidak terkena pengaruh langsung dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat, namun keindahan gerakan pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek Hoa, tetap saja terasa olehnya sebagai gerakan-gerakan yang memikat hati, gerakan yang tak sopan. Pinggang Pek Hoa seakan-akan tidak bertulang, menggeliat-geliat bagaikan ular, menggerak-gerakkan tubuh bagian bawah, bibir tersenyum manis dan merah membasah, sepasang mata setengah redup dan berkaca-kaca, semua ini ditujukan kepada Han Le.
Pengemis sakti itu masih menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan dua batang pedang yang lihai itu. Namun ketika Pek Hoa Pouwsat merubah ilmu pedangnya dan mulai dengan ilmu pedang yang laksana tarian indah itu, hati Han Le terguncang hebat.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang memainkan ilmu pedang Bi-jin Khai-i, ilmu silat yang sebenarnya merupakan setengah ilmu sihir sebab di dalamnya terkandung pengaruh mukjijat dari kecantikan wanita untuk merobohkan hati laki-laki. Inilah ilmu silat aneh yang selama ini dilatih secara mendalam oleh Pek Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan musuh-musuh besarnya yang tangguh dan sekarang untuk pertama kalinya, dia pergunakan dalam menghadapi Han Le!
Ilmu silat Bi-jin Khai-i ini memang hebat. Andai kata dimainkan oleh seorang perempuan yang berwajah buruk dan tubuhnya tidak menarik sekali pun, tetap akan mengeluarkan pengaruh yang bisa merobohkan hati laki-laki. Apa lagi sekarang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh sepenuhnya wanita, tentu saja daya rangsangnya berlipat ganda.
Dalam belasan jurus saja, Han Le mulai terkena pengaruhnya. Dalam penglihatan Han Le, sepasang pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari pedang yang luar biasa indah. Tubuh yang berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu seakan-akan melambai dan mengajaknya bergembira dan menari.
Lebih hebat lagi, semakin lama gerakan Pek Hoa dalam mata Han Le semakin luar biasa sehingga nampak olehnya bahwa lawannya yang cantik itu benar-benar bagaikan sedang menanggalkan pakaian sedikit demi sedikit! Walau pun tidak sehelai pun pakaian tanggal dari tubuhnya, namun gerakannya menanggalkan pakaian demikian sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh dalam pengaruh Pek Hoa.
Pendekar sakti yang selama hidup belum pernah berdekatan dengan wanita ini sekarang seluruh tubuhnya menjadi lemas, semangatnya seakan-akan telah terbang meninggalkan tubuhnya dan pertahanannya menjadi gempur karena caranya bersilat telah kacau sekali! Demikianlah lihainya ilmu silat Bi-jin Khai-i yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat.
Kalau sekiranya Pek Hoa menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le, dengan mudah dia akan dapat merobohkan dan menewaskan pengemis sakti itu. Akan tetapi Pek Hoa berpikir lain!