Dara Baju Merah Jilid 13

Dara Baju Merah Jilid 13
Sonny Ogawa

ANG I NIOCU

(DARA BAJU MERAH)

Karya Kho Ping Hoo

JILID 13

Bu Pun Su adalah keturunan keluarga Lu yang sejak dulu terkenal sebagai patriot-patriot sejati dan pembesar-pembesar yang setia kepada negara. Biar pun Bu Pun Su hanyalah cucu angkat dari Menteri Lu Pin, akan tetapi kiranya semangat serta jiwa kepahlawanan ikut mengalir pula di dalam tubuhnya sehingga kakek sakti ini tidak tega melihat keadaan negara yang demikian kalut.

“Demikianlah, Kiang Liat,” katanya sambil menghela napas. “Negara sangat kalut, perang saudara mengancam, perpecahan di antara orang-orang gagah berada di ambang pintu. Kalau sampai semua ini meletus, yang menderita tak lain hanyalah rakyat jelata. Negara kalut, keamanan tak terjamin, maka orang-orang jahat muncul merajalela dan mengacau kehidupan rakyat kecil. Apa bila timbul perang, rakyat pula yang menderita, terpukul dari kanan kiri. Apa lagi bila dibayangkan perpecahan yang akan terjadi di antara orang-orang gagah, benar-benar menyedihkan sekali. Oleh karena itu, aku mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan orang-orang kang-ouw di puncak Bukit Kauw-san. Aku hendak mengajak mereka membela negara dan mencegah timbulnya perang saudara yang pasti takkan pernah ada habisnya, melihat betapa banyak orang yang hendak memperebutkan kedudukan dan kekuasaan. Hanya kau beserta gurumu Han Le yang kiranya akan dapat membantuku.”

“Bagaimana teecu dapat membantu Supek?” tanya Kiang Liat.

“Ancaman yang paling hebat bagi negara kita adalah bahaya yang datang dari utara dan barat. Karena itu, untuk membendung pengaruh ini, kita harus menghubungi tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan Thian-san di barat, juga tokoh-tokoh Gobi-san di utara. Kau wakililah aku pergi ke Go-bi-pai di utara dan berikan suratku kepada Twi Mo Siansu Ketua Go-bi-pai. Aku sendiri hendak mencari Han Le dan menyuruhnya pergi kepada Thian It Cinjin di Thian-san, sedangkan aku akan pergi ke Kun-lun-pai menemui Keng Thian Siansu.”

Kiang Liat menerima baik perintah ini. Memang ia pun sudah amat rindu akan dunia luar kampungnya. Setelah membuatkan surat untuk Ketua Go-bi-pai Bu Pun Su minta kepada Kiang Liat supaya segera berangkat.

“Kau tak usah menanti datangnya Im Giok karena ia sedang mengantar utusan Kaisar ke Tiang-hai. Kalau dia datang, Kim Lian dapat memberi tahu kepadanya ke mana kau pergi. Pertemuan yang kurencanakan itu akan terjadi tiga bulan lagi, maka kita harus bekerja cepat.”

Maka berangkatlah Kiang Liat menuju ke utara, ke Go-bi-san yang jauh. Ada pun Bu Pun Su, sesudah meninggalkan pesan kepada Kim Lian supaya berhati-hati menjaga rumah, lalu pergi menuju ke Pulau Pek-le-to mencari Han Le.

*****

Dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, beberapa pekan kemudian Bu Pun Su telah tiba di pesisir Pulau Pek-le-to. Alangkah kagetnya ketika ia mendaratkan perahu, ia melihat jenazah tiga orang menggeletak di pinggir laut. Dan lebih-lebih terkejut hatinya ketika ia mengenal jenazah-jenazah itu, yakni Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan ketiga Cin Giok Sianjin tokoh Kun-lun-pai! Agaknya belum lama mereka ini tewas, paling lama dua hari.

“Omitohud...!” Bu Pun Su berseru kaget dan cepat ia memeriksa.

“Celaka...!” serunya sambil melompat mundur pada waktu ia mendapat kenyataan bahwa ketiga orang ini semua mempunyai bekas pukulan ilmu Pek-in Hoat-sut!

Ia tahu bahwa di dunia ini yang memiliki ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut hanya dia sendiri, sedangkan Han Le juga dapat, akan tetapi hanya beberapa bagian setelah mempelajari gambar-gambar di dalam goa.

Ia terkejut sekali karena tahu bahwa tiga orang ini telah bertempur dan terluka oleh Han Le. Terang bahwa mereka ini dirobohkan oleh Han Le, sungguh pun mereka tewas bukan karena pukulan itu, akan tetapi karena tikaman pedang yang tepat menembus pada ulu hati mereka.

“Tokoh-tokoh Kun-lun dan Siauw-lim dimusuhi oleh Han Le? Apa artinya ini?” Bu Pun Su menjadi cemas memikirkan sute-nya, maka cepat ia berlari ke tengah pulau mencari Han Le.

Han Le tidak berada di dalam goa. Bu Pun Su mencari terus dan akhirnya dia melihat pemandangan yang membuat wajahnya menjadi pucat, hampir saja ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri sehingga Bu Pun Su sejenak berdiri terpaku, memandang ke arah dua orang yang duduk di bawah pohon. Apa yang dilihatnya?

Han Le sedang rebah telentang di atas rumput, dan kepalanya terletak di atas pangkuan seorang wanita yang cantik jelita yang dikenalnya sebagai Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat! Sambil menundukkan muka dan membisikkan kata-kata rayuan, Pek Hoa membelai-belai rambut kepala Han Le yang setengah tertidur.

Melihat ini, timbullah amarah di dalam hati Bu Pun Su. Juga berbareng terbayanglah di depan matanya peristiwa dahulu ketika ia terjerumus ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Juga dia pernah tergila-gila dan roboh oleh kecantikan wanita, pernah menurutkan nafsu hati dan lupa diri, melakukan hal yang amat rendah memalukan.

Akan tetapi, dengan Wi Wi Toanio ia hanya melakukan kebodohan, bukan kejahatan. Ia tidak membunuh siapa-siapa, sedangkan Han Le, tak salah lagi, tentu Pek Hoa siluman wanita yang cantik itu sudah membujuk Han Le untuk merobohkan tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun!

“Han-sute...!” Bentakan yang menggeledek ini mengejutkan Han Le dan Pek Hoa.

Mereka cepat-cepat melompat berdiri dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak. Pek Hoa agak pucat, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum. Sedangkan Han Le merah sekali mukanya, merah sampai ke telinganya.

“Sute, kesesatan apa yang kau lakukan ini?”

Han Le mengangkat muka, akan tetapi dia tidak kuat menatap pandang mata Bu Pun Su sehingga menundukkan kepalanya lagi. Tiba-tiba terdengar suara ketawa perlahan, suara ketawa yang merdu dan sedap didengar, kemudian Pek Hoa yang tertawa itu melangkah maju menghadapi Bu Pun Su.

“Bu Pun Su, kebetulan sekali kau datang. Kenapa kau tidak mau membawa Wi Wi Toanio ke sini agar kita dua pasang manusia berbahagia mencari kesenangan hidup di pulau ini?”

“Apa katamu?!” Bu Pun Su membentak dan mukanya berubah pucat.

Pek Hoa Pouwsat tersenyum manis sekali sehingga Bu Pun Su diam-diam merasa heran sekali. Kalau diingat, perempuan ini usianya sudah tidak muda lagi, sedikitnya lima puluh tahun. Akan tetapi mengapa cantik jelita seperti gadis berusia dua puluh lebih?

“Bu Pun Su, kau seorang laki-laki, demikian pula Han-ko seorang jantan. Kau bisa jatuh cinta, mengapa Han-ko tidak boleh? Kau pernah tergila-gila kepada Wi Wi Toanio isteri orang lain, kenapa Han-ko tidak boleh jatuh hati kepada aku, seorang yang masih bebas belum bersuami? Kau benar-benar aneh dan di manakah keadilanmu, Bu Pun Su?”

Pendekar sakti itu merasa seolah-olah kepalanya disambar petir. Tak disangkanya bahwa siluman wanita ini juga sudah mengetahui rahasianya, dan tahulah ia bahwa tentu Wi Wi Toanio yang membuka rahasia ini di depan Pek Hoa.

Teguran wanita ini memang tepat sekali sehingga ia tidak dapat menjawab! Akhirnya Bu Pun Su berpaling kepada Han Le dan berkata dengan suara dingin,

“Han Le, mengapa kau membunuh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai?”

Suara Bu Pun Su mengandung ancaman dan amarah besar, membuat Han Le menjadi pucat dan nampak ia takut sekali,

“Suheng, siauwte... siauwte tidak membunuh mereka...”

“Jangan memutar lidah sesuka hatimu, Han Le. Setidaknya kau yang telah merobohkan mereka!” Bu Pun Su mendesak dan Han Le tak dapat menjawab.

Melihat kekasihnya terus didesak, Pek Hoa lalu menjawab, “Memang benar, Han-ko yang merobohkan mereka. Akan tetapi akulah yang sudah membunuh mereka. Mereka adalah musuh-musuh besarku dan mereka datang untuk membunuhku, maka Han-ko melindungi dan mengalahkan mereka. Apa salahnya dalam hal ini? Tidak tepatkah orang melindungi kekasihnya yang terancam oleh orang lain? Bu Pun Su, kau mau apakah? Han-ko dan aku hidup bahagia di sini, sebagai suami isteri yang saling mencinta. Apakah kau merasa iri hati? Apakah kau merasa iri melihat Han-ko hidup berbahagia sedangkan kau tidak? Kalau kau merasa iri, carilah sendiri seorang kekasih dan bawa ke sini, bukankah itu baik sekali dari pada kau datang dan marah-marah seperti ini?”

“Siluman keparat, tutup mulutmu!” Bu Pun Su membentak dan amarahnya meluap.

Belum pernah Bu Pun Su semarah itu. Selama ini ia telah bisa menguasai seluruh dirinya lahir batin, akan tetapi sekarang menghadapi kebodohan Han Le yang dipermainkan oleh siluman wanita ini, ia benar-benar lupa diri.

Bu Pun Su maklum siapa adanya Pek Hoa Pouwsat dan orang macam apa wanita ini. Jauh lebih cabul dan lebih jahat dari pada Wi Wi Toanio, jauh lebih berbahaya. Dan dia tahu pula bahwa Han Le adalah seorang laki-laki beriman teguh, seorang laki-laki yang hampir ‘jadi’ karena semenjak muda tidak mau mendekati wanita.

Celakanya, sekarang Han Le tergoda dan tergelincir, tidak kuat menghadapi bujukan dan cumbu rayu dari Pek Hoa, siluman wanita yang cantik sekali dan genit. Dan ia tahu pula bahwa hal ini harus dicegahnya, kalau tidak akan mendatangkan bahaya besar. Han Le berkepandaian tinggi, kalau sudah tercengkeram oleh orang perempuan seperti Pek Hoa, kelak dapat dibujuk untuk membunuh siapa saja yang dibenci oleh Pek Hoa!

“Bu Pun Su, kau mau apakah?” Pek Hoa menantang sambil membusungkan dadanya yang montok.

“Kau harus pergi meninggalkan pulauku ini, lekas!”

“Kau hendak mengusir kami?” tanya Pek Hoa sambil menggandeng tangan Han Le dan menyandarkan kepalanya ke pundak laki-laki itu.

“Aku mengusir kau, perempuan jahat! Lekas pergi dari sini kalau kau tidak ingin melihat aku melemparkanmu ke dalam laut! Han Le tidak boleh ikut!”

Pek Hoa menyandarkan kepala makin dekat dan berbisik di dekat telinga Han Le, “Kau dengar itu kekasihku? Sudah semenjak dulu aku bilang bahwa suheng-mu ini jahat sekali, akan tetapi kau tidak percaya. Aku bilang bahwa sebenarnya dia tergila-gila dan suka padaku dan ia menjadi benci padaku karena cintanya kutolak, dan kau tidak percaya lagi. Sekarang kau melihat sendiri, bukan? Dia iri hati padamu, iri hati dan cemburu, kau tahu? Dia ingin melihat aku mati dari pada jatuh ke dalam tangan orang lain, ingin melihat aku mati dan kau menderita. Kekasihku, ayah anakku, apakah kau akan tinggal diam saja melihat isterimu yang mencintamu dengan seluruh tubuh dan nyawa?” Suaranya makin merayu dan dua titik air mata meloncat keluar dari mata Han Le.

“Pek Hoa, dia... dia suheng-ku... tak dapat aku melawan Suheng...,“ bisiknya.

Pek Hoa menarik dirinya dengan sentakan, sepasang matanya bersinar-sinar, nampak sangat marah.

“Aha, jadi kau lebih berat kehilangan suheng dari pada kehilangan isteri?”

“Bukan begitu, Pek Hoa... aku... aku tidak berani...”

“Hemm, jadi kau takut? Baiklah, Han-ko. Kalau kau takut membantuku, biar aku sendiri mengadu nyawa dengan Bu Pun Su!”

Pek Hoa sudah mencabut siang-kiam-nya (sepasang pedangnya), kemudian melompat maju.

“Bu Pun Su, kau benar-benar menghinaku. Kau hendak melemparkan aku ke dalam laut? Boleh kau coba, laki-laki gagah perkasa tukang menghina wanita!”

Menghadapi Pek Hoa yang berdiri dengan sepasang pedang di tangannya dan bersikap amat gagah itu, yang menantangnya dengan kulit muka kemerahan sehingga menambah kecantikannya, Bu Pun Su menjadi serba salah. Ia tahu sedalam-dalamnya betapa jahat perempuan ini, betapa palsu hatinya dan betapa berbahayanya. Apa bila dibandingkan dengan mendiang Thian-te Sam-kauwcu guru dari Pek Hoa, kiranya perempuan ini lebih berbahaya. Akan tetapi melemparkan dia begitu saja ke laut? Kiranya tak akan mampu ia lakukan.

“Pek Hoa, aku harap kau suka pergi dari sini dengan baik-baik dan tidak melawan. Aku sungguh malu harus melawan wanita.”

Pek Hoa sudah mendengar dari Han Le bahwa Bu Pun Su tak pernah menyerang orang sebelum diserang. Oleh karena inilah maka tadi ia menahan sabar dan menanti supaya Bu Pun Su menyerang dulu. Sekarang ia sengaja hendak memanaskan hati Bu Pun Su.

“Pengecut! Laki-laki pengecut, kau sebenarnya suka kepadaku, bukan? Maka tidak mau menyerangku. Kau hanya iri hati dan cemburu. Ehhh, Bu Pun Su, apa bila sekarang aku menyatakan bahwa aku suka ikut denganmu dan meninggalkan Han-ko, tentu kau tidak marah lagi, bukan? Akan tetapi aku tidak sudi! Dengar, aku tidak sudi, aku tidak suka padamu, aku benci padamu. Muak perutku melihat mukamu, tahu kau?”

Bu Pun Su tersenyum. Ia tidak mendapat julukan Pendekar Sakti kalau ia tidak tahu akan siasat ini. Dan ia bukanlah seorang yang gemblengan kalau dia tidak tahan menghadapi serangan batin ini.

Tadi untuk sebentar ia menurutkan nafsu amarah karena kecewa melihat kegagalan Han Le menghadapi rayuan wanita. Sekarang ia sudah dapat menguasai diri lagi, karena itu ia tenang-tenang dan tersenyum saja dalam menghadapi siasat lain dari Pek Hoa.

“Pek Hoa, bagaimana kau bisa bilang bahwa aku tergila-gila kepadamu? Hanya laki-laki yang berhati lemah saja yang dapat jatuh cinta kepada seorang perempuan cabul seperti engkau. Kau menggoda aku tidak berhasil, menggoda Kiang Liat dapat pula kugagalkan, menggoda tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw kau sudah tidak laku sebab mereka semua sudah tahu bahwa kau ini seorang siluman yang lebih jahat dari pada Tat Ki (siluman wanita dalam dongeng Hong Sin Pong). Karena itu sekarang kau sengaja menggoda Han-sute. Akan tetapi ini pun hanya untuk sementara, karena tidak lama lagi Sute tentu akan insyaf dan tahu bahwa wanita yang dipuja-pujanya itu bukan lain adalah seekor siluman betina...”

“Jahanam, lihat pedang!”

Dua cahaya kemilau dari sepasang pedang Pek Hoa menyambar dalam serangan yang dahsyat. Ternyata, ia kalah dalam adu urat-syaraf, karena Bu Pun Su tadi membuatnya marah sekali.

Bu Pun Su tersenyum, akan tetapi dia tidak berlaku lambat atau sembrono karena ia tahu betul akan kelihaian ilmu pedang wanita ini. Cepat ia mengelak dan di lain saat keduanya sudah bertempur hebat.

Mula-mula Pek Hoa mengeluarkan ilmu pedangnya berdasarkan kecepatan dan semua serangan-serangannya ditujukan untuk menewaskan lawan. Akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia ketemu gurunya.

Dengan tenang saja Bu Pun Su menghindarkan diri dari setiap serangan lawan dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang kalau mengenai sasaran tentu akan mengakhiri pertempuran itu. Sebentar saja Pek Hoa terdesak hebat oleh kakek sakti itu dan tiba-tiba ia tertawa merdu kemudian ilmu silatnya mendadak berubah.

“Ayaaa...!” Bu Pun Su berseru kaget sekali ketika ia menyaksikan ilmu pedang ini.

Pek Hoa telah mainkan ilmu pedangnya yang hebat, ilmu pedang Bi-jin Khai-i. Ilmu silat yang mengandung daya sihir ini dapat melumpuhkan setiap orang lawan berjenis laki-laki, membuat lawan itu seperti terkena hikmat. Gerakan ilmu silat ini mengandung sifat cabul dan genit, menarik hati laki-laki dan meruntuhkan semangat perlawanannya.

Tak heran apa bila Bu Pun Su menjadi kaget sekali karena pendekar ini pun merasa dan menjadi terpengaruh oleh hawa mukjijat yang terkandung dalam gerakan ilmu silat yang dimainkan oleh Pek Hoa.

Pek Hoa gembira sekali melihat hasil ilmunya dan dia segera memperindah gerakannya untuk merobohkan atau mengalahkan Bu Pun Su. Akan tetapi, kali ini ia kecele. Ia bukan menghadapi manusia sembarangan melainkan seorang manusia gemblengan lahir batin.

Bu Pun Su sadar bahwa ia menghadapi ilmu mukjijat, maka ia lalu meramkan mata dan menandingi serangan-serangan lawannya hanya mengandalkan ketajaman pendengaran saja. Dengan cara meramkan mata, ia tidak usah melihat gerakan tubuh lawan dan tidak terpikat. Di samping itu, kini ia mainkan ilmu silatnya yang ampuh, Pek-in Hoat-sut.

Begitu Bu Pun Su mengerahkan sinkang dan menggerakkan tubuh, dari kedua lengannya mengebul uap putih yang makin lama semakin tebal sampai akhirnya seluruh tubuhnya, terutama di bagian ubun-ubun, mengepul uap putih yang menolak semua hawa pukulan dan hawa mukjijat dari ilmu pedang lawannya. Sesudah merasa diri kuat terlindung oleh Pek-in Hoat-sut, baru Bu Pun Su membuka matanya dan mulai mendesak lawan.

Pek Hoa mengeluh. Harapan untuk berhasil kini sudah buyar pula, bahkan sebaliknya ia terancam hebat oleh hawa pukulan yang beruap putih itu. Ia hanya dapat memutar-mutar pedang sambil main mundur. Akhirnya ia mengeluh,

“Han-ko, apakah kau tega melihat aku mati tanpa membantu?”

Sebetulnya semenjak tadi Han Le telah menonton petempuran itu dengan hati kebat-kebit tidak karuan. Ia merasa cemas sekali akan keselamatan kekasihnya, dan ingin sekali ia membantu. Akan tetapi ia merasa sungkan terhadap suheng-nya ini. Oleh karena itu ia hanya berdiri dengan kedua tangan dikepalkan erat-erat, keningnya berkerut dan bibirnya digigit, akan tetapi kedua kakinya seperti terpaku pada tempat ia berdiri. Kini melihat Pek Hoa terdesak hebat, hampir-hampir ia tak dapat bertahan lagi.

“Han-ko...!” Pek Hoa menjerit sayu ketika tangan kirinya terserempet tamparan tangan Bu Pun Su. Pedang kirinya terlempar dan tangan menjadi lumpuh.

Akan tetapi Pek Hoa masih melawan dengan pedang kanannya, melawan nekat sambil berseru,

“Bu Pun Su, kau tamatkanlah nyawaku. Han-ko tidak mau membantu, apa artinya hidup bagiku?”

“Suheng, sudahlah...!” Han Le tiba-tiba melompat dan pedangnya menyambar di tengah-tengah untuk menghalangi Bu Pun Su menyerang Pek Hoa.

“Han Le, pergi kau jangan ikut-ikut!” bentak Bu Pun Su marah.

“Suheng, jangan melukai dia... aku cinta padanya...,” jawab Han Le sambil menghadang di tengah.

“Han-ko, dia bukan suheng-mu lagi. Dia manusia kejam. Mari kita bunuh bersama. Lihat, tangan kiriku sudah lumpuh. Balaskan sakit hatiku ini, Han-ko!” Pek Hoa berkata dan ia mulai menyerang Bu Pun Su lagi dengan pedang kanannya.

Kini Han Le tak bicara lagi, akan tetapi memutar pedang di tangannya secara cepat untuk melindungi Pek Hoa dari serangan Bu Pun Su.

Kakek sakti itu menarik napas panjang. “Han Le, kau sudah tersesat jauh. Apa boleh buat, aku lebih rela melihat sute-ku binasa dalam tanganku dari pada melihat dia tersesat dan menjadi seorang jahat!”

Begitu kata-kata ini habis diucapkan, Bu Pun Su segera mempercepat dan memperkuat gerakannya. Memang bukan hal yang mudah menghadapi keroyokan orang-orang selihai Pek Hoa dan Han Le, yang keduanya selain memiliki ilmu silat tinggi sekali, juga memiliki keistimewaan masing-masing.

Kalau saja tokoh yang dikeroyok bukannya Bu Pun Su yang sakti, agaknya sukar sekali mengalahkan keroyokan dua orang ini. Dan andai kata Pek Hoa tidak lebih dulu sudah terluka tangan kirinya, agaknya Bu Pun Su juga tidak akan mudah mengalahkan mereka. Apa lagi Bu Pu Su merasa gelisah dan kecewa sekali melihat sute-nya yang sekarang bertempur secara mati-matian mengeluarkan seluruh kepandaian untuk membela wanita jahat itu!

“Han Le, mundur kau!” berkali-kali Bu Pun Su berseru.

Akan tetapi Han Le seperti sudah tuli, tidak mendengar seruan ini bahkan memperhebat gerakan pedangnya.

“Bagus, Han-ko, kekasihku. Tikam dia, bunuh jahanam ini!” sebaliknya berkali-kali pula Pek Hoa membujuknya.

Setelah tiga kali Bu Pun Su memberi peringatan kepada sute-nya tanpa ada perhatian, pendekar ini menjadi marah dan membentak,

“Han Le, kalau begitu robohlah kau!”

Ia lalu mengirim serangan hebat ke arah sute-nya sendiri. Han Le terkejut menghadapi pukulan Pek-in Hoat-sut ini. Ia mencoba untuk menangkis dan miringkan tubuh sambil membalas dengan tusukan pedang. Akan tetapi akibatnya, pedangnya terpental dan ia terguling roboh, sambungan tulang pundaknya terlepas karena pukulan Pek-in Hoat-sut yang lihai.

Han Le meringis kesakitan dan tak dapat bangun lagi karena sambungan tulangnya telah terlepas. Juga ia menderita luka di sebelah dalam yang membuat ia tak mungkin bangun lagi.

“Keparat, rasakan pembalasanku!” Pek Hoa menjerit dan pedangnya menyambar ke arah bawah pusar Bu Pun Su.

“Siluman betina, kau harus mampus!” bentak Bu Pun Su yang merasa muak menghadapi serangan yang keji ini.

Tangan kirinya bergerak ke bawah menyampok pedang sehingga pedang itu terlepas dari pegangan, kemudian secepat kilat, sebelum Pek Hoa menarik kembali tangan kanannya, Bu Pun Su mendahului dengan ketokan telunjuknya ke arah sambungan tulang siku.

Pek Hoa menjerit dan tangan kanannya lumpuh pula seperti tangan kirinya! Akan tetapi wanita ini memang sudah nekat. Bagai seekor singa betina, ia menerjang maju, sekarang mempergunakan kedua kakinya, melakukan tendangan bertubi-tubi. Tetapi dengan sekali sampok dengan ujung lengan bajunya, Bu Pun Su berhasil membuat dia roboh terguling dan merintih-rintih kesakitan.

“Kalau orang macam kau tidak mati, hanya akan mengacaukan dunia saja!” kata Bu Pun Su sambil melangkah maju, agaknya hendak menewaskan Pek Hoa.

“Suheng, tahan...!”

Sambil merangkak dan setengah menggulingkan tubuh, Han Le menghampiri Bu Pun Su, lalu berlutut di depan Bu Pun Su sambil menangis, “Suheng, ampunkan dia, biar dia pergi meninggalkan pulau ini, akan tetapi jangan bunuh dia, Suheng. Kalau Suheng bernafsu hendak membunuh orang, biar siauwte saja Suheng bunuh sebagai penebus nyawanya.”

Bu Pun Su serentak kaget. Baru ia sadar bahwa hampir saja ia melakukan pembunuhan dengan mata terbuka. Musuh sudah kalah, tak perlu didesak lagi, pikirnya.

“Dan kau tetap hendak pergi bersama dia?”

Han Le menggeleng-geleng kepalanya. “Siauwte sudah mengaku salah. Siauwte terlalu menurutkan nafsu hati dan akhirnya siauwte jatuh cinta. Kini siauwte bersedia menebus dosa, biar siauwte merana di sini, biar siauwte berpisah darinya, siauwte rela. Siauwte takkan meninggalkan pulau ini selamanya.”

Kemudian Han Le berpaling kepada Pek Hoa, berkata dengan suara perlahan, “Pek Hoa, selamat berpisah. Pergilah kau meninggalkan pulau ini, meninggalkan aku. Jangan kau kembali lagi selamanya. Kita tak usah bertemu lagi selamanya.”

Sebetulnya, ketika Pek Hoa memikat hati Han Le, niat terutama di dalam hatinya adalah mencari kawan untuk membalaskan dendam kepada musuh-musuhnya. Hal ini pun telah terlaksana dengan terbunuhnya tiga orang tokoh Kun-lun dan Siauw-lim. Bahkan ia sudah berhasil lebih jauh lagi, yakni ia telah dapat mewarisi sebagian dari ilmu silat Han Le.

Yang hebat, hampir saja ia berhasil mengadu dombakan Han Le melawan Bu Pun Su. Akan tetapi setelah rencananya tidak berhasil dan akibatnya bahkan Han Le dan dia sendiri terluka, dan ternyata Bu Pun Su terlampau kuat baginya, hati Pek Hoa menjadi dingin dan putus harapan.

Ia menguatkan diri untuk bangun dan berdiri, mukanya pucat kedua lengannya lumpuh. Ia memandang kepada Bu Pun Su dengan mata penuh kebencian. “Bu Pun Su, banyak aku membenci orang, akan tetapi tidak seperti aku membencimu. Kelak akan tiba saatnya aku membalas penghinaan ini, kalau tidak oleh tanganku sendiri, tentu oleh tangan anakku atau tangan Wi Wi Toanio!” Setelah berkata demikian, dia berpaling kepada Han Le dan berkata,

“Kau jembel busuk, jembel tua, kau kira aku benar-benar mencintamu? Hah, tak tahu diri! Aku menyerahkan diri kepadamu dengan harapan agar supaya kau mau membalas budi kecintaanku, dapat membalaskan sakit hatiku terhadap musuh-musuh besarku. Namun ternyata, menghadapi orang ini saja kau menunjukkan ketidak gunaanmu. Hah, sungguh kau memualkan perutku!”

Setelah berkata demikian, dengan terhuyung Pek Hoa meninggalkan tempat itu menuju ke pantai, makin lama makin jauh merupakan sosok bayangan orang yang putus asa.

“Wanita yang berbahaya sekali. Hmm, lihai dan berbahaya melebihi setan. Pada akhirnya masih tega menghancurkan hati Han-sute,” kata Bu Pun Su perlahan.

Tiba-tiba keningnya berkerut ketika dia menoleh dan melihat Han Le pucat sekali dan air mata bercucuran keluar dari sepasang matanya.

“Ehh, Han-sute, kau sudah dihina olehnya. Apakah kepergiannya masih bisa membuat hancur hatimu? Di mana sifat jantanmu, Sute?”

Han Le menggeleng-geleng kepalanya. “Suheng, siauwte memang harus dipukul, bahkan sudah sejak dulu siauwte mengerti bahwa dia hanya... mempermainkan siauwte belaka. Namun, siauwte sudah dicengkeram oleh nafsu. Akhir-akhir ini... bagaimana siauwte bisa membencinya? Dia... dia telah mejadi calon ibu anakku...”

Bu Pun Su terkejut sekali, sampai berubah air mukanya.

“Apa katamu?! Betul-betulkah begitu?”

Han Le mengangguk. “Siauwte tidak sayang kepadanya, melainkan kepada anak yang dikandungnya. Suheng, siauwte sudah bersumpah tak akan meninggalkan pulau ini, akan menanti di sini hingga maut datang mencabut nyawa, untuk menebus dosa-dosa siauwte. Akan tetapi anak itu... ah, Suheng, kalau sudah terlahir dan berada di bawah asuhan Pek Hoa, akan menjadi apakah? Oleh karena itu, siauwte mohon bantuan Suheng, kalau anak itu terlahir, harap Suheng suka merampasnya dan memberikan kepada orang lain supaya dididik menjadi manusia baik-baik. Jangan sampai keturunan siauwte menambah dosa siauwte sehingga membuat siauwte tak dapat mati dengan mata meram.”

Bu Pun Su mengangguk-angguk. Hatinya terasa pilu. Ia sendiri belum pernah merasakan bagaimana perasaan seorang calon ayah. Akan tetapi ia dapat membayangkan betapa hancur hati Han Le pada saat itu.

“Baikiah, Han-sute. Tadinya aku datang untuk meminta bantuanmu, akan tetapi melihat keadaanmu sekarang, tak usahlah. Bahkan, sesudah terjadi peristiwa antara kau dengan tokoh-tokoh Kun-lun dan Siauw-lim, amat tidak baik kalau kau sendiri yang muncul. Biar aku yang akan membereskan hal itu dan menjernihkan keadaan. Kau rawat baik-baik tiga jenazah itu, jangan dibiarkan begitu saja. Meski pun kau tak akan meninggalkan pulau ini selamanya, percayalah, sewaktu-waktu aku akan datang menemanimu di sini.”

Han Le menghaturkan terima kasih dan tidak lama kemudian Bu Pun Su meninggalkan Pulau Pek-le-to dengan hati penuh iba kepada adik seperguruannya itu. Tidak pernah dia menyangka bahwa Han Le akan bernasib sedemikian buruk, jauh lebih buruk dari pada nasibnya sendiri.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
******

Debu mengebul tinggi ketika dua ekor kuda berlari congklang menuju ke gerbang pintu kota Tiang-hai yang letaknya hanya tinggal berjarak beberapa li lagi. Waktu itu musim panas sedang teriknya, jalan-jalan mengering dan debu mengebul tinggi setiap kali jalan itu dilalui kuda atau kendaraan yang ditarik kuda. Pohon-pohon nampak mengering dan sawah ladang kuning kosong.

Namun alam di sekitar tempat itu yang sama sekali tidak menimbulkan pemandangan indah, tak mengurangi seri muka gembira dari dua orang muda yang menunggang kuda. Mereka ini adalah Gan Tiauw Ki dan Kiang Im Giok.

Sebagaimana diketahui, Gan Tiauw Ki menuju ke kota Tiang-hai untuk menyampaikan surat dari Kaisar untuk seorang berpangkat huciang bernama keturunan Suma di kota itu, dan untuk melakukan penyelidikan. Ada pun Im Giok mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk mengawal pemuda ini.

Di sepanjang perjalanan, Tiauw Ki memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang terpelajar tinggi, hafal akan bunyi sajak-sajak gubahan para pujangga jaman dahulu yang berjiwa patriot, hafal akan sejarah, pandai pula membuat sajak-sajak bersemangat dan indah-indah. Selain ini, ia pandai bernyanyi dan meniup suling sehingga beberapa kali di waktu mereka beristitahat, pemuda ini mengeluarkan suling peraknya dan mainkan beberapa lagu.

Im Giok tertarik sekali. Hatinya tambah suka terhadap Tiauw Ki melihat sikap pemuda ini amat sopan, biar pun ramah tamah, dan kadang-kadang gembira, namun sikapnya selalu sopan dan menyenangkan, tidak pernah memperlihatkan pandang mata kurang ajar atau kata-kata yang tidak sopan. Dalam diri pemuda ini Im Giok melihat orang yang sangat bersemangat, berjiwa patriot dan gagah, jujur, setia dan sopan-santun.

Sebaliknya, selama hidupnya baru sekali ini Tiauw Ki berjumpa dan berkenalan dengan seorang gadis seperti Im Giok. Memang pemuda itu sudah banyak pengalaman kota-kota besar, sudah banyak melihat puteri-puteri istana, puteri-puteri bangsawan yang tersohor cantik jelita dan pandai, akan tetapi ia harus akui bahwa baru kali ini hatinya jatuh oleh kecantikan seorang gadis. Tidak saja ia kagum sekali melihat wajah jelita dari Im Giok, juga ia kagum sekali akan kegagahan gadis ini.

Oleh karena kedua pihak merasa saling tertarik dan suka, maka tentu saja perjalanan itu merupakan pengalaman yang amat menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang mata sayang, tidak memperlihatkan apa yang terkandung dalam hati, akan tetapi jauh di lubuk hati, mereka tahu bahwa hidup akan kurang sempurna apa bila mereka berpisah.

Makin dekat dengan kota Tiang-hai, semakin sering mereka bertemu orang dan makin banyak mereka melihat orang-orang mendatangi Tiang-hai.

“Heran, mereka itu datang ke Tiang-hai ada apakah?” kata Tiauw Ki perlahan pada saat melihat serombongan orang berkuda mendahului mereka.

Rombongan ini terdiri dari tujuh orang. Melihat pakaian dan sikap mereka, dapat diduga bahwa tujuh orang ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi.

“Mereka siapakah?” tanya Im Giok.

Gadis ini merasa lebih heran lagi sebab ia tahu bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang kang-ouw. Bagaimana seorang sastrawan seperti Gan Tiauw Ki bisa mengenal mereka?

“Mereka itu adalah panglima-panglima ternama dari Gubernur Shansi. Mereka menyamar seperti orang-orang biasa dan datang di Tiang-hai, apakah kehendak mereka?” Tiauw Ki berkata perlahan.

Ketika tidak mendapat jawaban, Tiauw Ki menengok.

“Ada apakah, Nona?” tanyanya ketika Im Giok memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan kecurigaan.

“Bagaimana kau dapat mengenal orang-orang seperti itu?” tanya Im Giok.

Tiauw Ki tersenyum merendah.

“Apa sukarnya? Badan penyelidik dari istana sudah memperlihatkan gambar tokoh-tokoh terpenting dari mereka yang dianggap sebagai orang-orang yang hendak memberontak. Gubernur Shansi dan Honan melopori pemberontakan-pemberontakan atau sikap yang anti Kaisar, maka panglima-panglima ternama dari kedua gubernur itu tentu saja sudah kukenal gambarnya. Inilah sebabnya maka aku dapat mengenali mereka tanpa mereka tahu siapa aku.”

Im Giok mengangguk-angguk kagum. “Gan-kongcu, otakmu benar-benar sangat tajam, dapat mengingat semua orang dalam gambar.”

“Bukan aku yang berotak tajam, melainkan tukang lukisnya yang benar-benar pandai. Hanya dengan beberapa coretan saja ia dapat melukis muka orang demikian tepatnya. Benar-benar aku makin kagum saja kepada pelukis Ong dari istana itu.”

Im Giok lalu bertanya tentang pelukis itu dan mereka bercakap-cakap dengan asyik. Dan kembali Ang I Niocu Kiang Im Giok mendapat kenyataan bahwa pemuda ini mempunyai kepandaian lain yang menarik, yakni melukis. Pemuda ini sendiri seorang pelukis pandai akan tetapi dia memuji-muji pelukis Ong Pouw di istana, menandakan bahwa wataknya memang sopan dan suka merendahkan diri sendiri.

Tiba-tiba terdengar seruan dari belakang, “Minggir! Minggir!”

Im Giok terkejut. Suara ini terdengar nyaring, disusul oleh suara derap kaki kuda yang berlari cepat. Orang yang dapat mengirim suara mendahului suara derap kaki kuda tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

Tiauw Ki tentu saja tidak tahu akan hal ini dan ia hanya berkata, “Datang orang kasar, baik kita minggir. Jangan sampai terjadi ribut-ribut.”

Im Giok maklum bahwa tugas yang amat penting dari Tiauw Ki memang harus dilindungi dan sebaiknya apa bila mereka tidak memancing permusuhan sebelum tugas itu selesai. Maka ia pun lalu menggebrak kudanya dan minggirkan kuda untuk memberi jalan kepada serombongan orang berkuda yang mendatangi dengan cepat.

Rombongan kali ini adalah orang-orang dengan pakaian indah serta gagah, akan tetapi yang paling menarik adalah orang pertama yang berada di depan. Orang ini masih muda, wajahnya tampan sekali, sikapnya gagah, pakaiannya indah dan mewah. Jelas nampak bahwa dia adalah seorang pesolek besar, dan kudanya pun bukan kuda biasa melainkan kuda pilihan berbulu putih. Ia membalapkan kudanya, sedikitnya seperempat li di depan rombongannya sambil tertawa-tawa.

Kuda yang ditunggangi oleh Im Giok juga kuda pilihan, demikian pula kuda Kim Lian yang ditunggangi oleh Tiauw Ki. Tidak hanya manusia yang suka memilih golongan, kuda pun agaknya mengenal kawan dan mengenal bulu.

Tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi oleh Im Giok dan Tiauw Ki mengeluarkan ringkikan keras. Mereka menjadi gembira, kedua kaki depan diangkat tinggi dan mereka melompat ke tengah jalan menghadang datangnya kuda putih yang ditunggangi pemuda tampan itu!

Terdengar Tiauw Ki memekik kaget. Ternyata tubuh pemuda ini sudah dilemparkan oleh kudanya ketika kuda itu berdiri di atas dua kaki belakang. Gerakannya demikian kuat dan cepat sehingga Tiauw Ki tidak dapat menguasai diri dan terjengkang ke belakang.

Tentu tubuhnya akan terbanting di atas batu di jalan kalau saja Im Giok tidak cepat-cepat melompat dan menyambar. Dengan gerakan cekatan dan lincah bagaikan seekor burung terbang, gadis ini hanya kelihatan sebagai bayangan merah dan tahu-tahu Tiauw Ki telah disambar lengannya. Di lain saat, pemuda ini sudah berdiri di tengah jalan dan lengannya dipegang oleh Im Giok.

“Bagus sekali!” terdengar suara orang memuji.

Ketika itu, pemuda tampan gagah yang berada di atas kuda putih sudah datang dekat, agaknya hendak menubruk Tiauw Ki dan Im Giok. Im Giok sudah bersiap sedia, sedikit pun tidak khawatir karena ia maklum bahwa jika perlu, dengan mudah ia akan mendorong tubuh kuda putih itu ke samping.

Akan tetapi Im Giok tidak perlu turun tangan karena tiba-tiba saja kuda itu berhenti sambil meringkik keras, kedua kaki depan diangkat, ada pun kaki belakangnya merendah hampir berlutut.

Im Giok kagum sekali. Penunggang itu sudah memperlihatkan kepandaiannya, tidak saja kepandaian menunggang kuda, tapi juga kepandaian ilmu lweekang yang tinggi sehingga pada saat itu ia dengan cepat dapat membikin berat tubuhnya kemudian mempergunakan kekuatannya untuk menahan larinya kuda sendiri.

Tiauw Ki yang sudah lenyap kagetnya, berkata sambil merengut,

“Mengapa melarikan kuda cepat-cepat amat? Membikin kuda orang lain kaget setengah mati?”

Pemuda itu memandang sejenak ke arah Tiauw Ki, senyumnya berubah mengejek dan menghina, sinar matanya memandapg rendah seperti seekor harimau memandang anjing buduk.

Kalau tadinya Im Giok merasa tertarik dan kagum melihat pemuda tampan dan gagah ini, sekaligus rasa kagum dan sukanya lenyap bagaikan awan tertiup angin badai. Melihat senyum mengejek serta pandang mata yang membayangkan kesombongan besar penuh penghinaan kepada Tiauw Ki, sekaligus hati Im Giok mendongkol dan timbul rasa tidak sukanya kepada pemuda tampan ini.

Memang harus diakui bahwa dalam segala hal, pemuda asing ini jauh melebihi Tiauw Ki. Dia lebih tampan, jauh lebih gagah, dan juga pakaiannya lebih indah. Akan tetapi ia tidak mempunyai apa yang dimiliki Tiauw Ki, yakni kepribadian yang menarik, gaya sewajarnya yang penuh kecerdikan, kejujuran, dan kesetiaan.

Pemuda itu tidak lama memandang ke arah Tiauw Ki, sebaliknya cepat ia mengalihkan pandang matanya kepada Im Giok. Senyumnya berubah, tidak menyeringai penuh ejekan seperti tadi, akan tetapi senyum penuh madu memikat, senyum yang membuat parasnya makin tampan, dan sepasang matanya berseri penuh kagum dan terpikat.

“Pek-in-ma (Kuda Awan Putih) yang kutunggangi ternyata bisa mengenal keindahan dan kegagahan! Di dunia ini jarang terdapat paduan yang tepat, indah dan gagah. Nona, kau tidak saja memenuhi syarat paduan ini, bahkan melebihi…, jauh melebihi sehingga tidak berlebih-lebihan kalau kukatakan bahwa aku Lie Kian Tek selama hidupku baru sekali ini melihat paduan yang demikian sempurna!”

Im Giok maklum akan pujian ini, akan tetapi ia berpura-pura tidak mengerti dan berkata,

“Apakah maksud kata-katamu ini?”

Pemuda tampan ini tertawa sambil menoleh kepada kawan-kawannya yang sudah tiba di sana pula. “Cuwi (Tuan-tuan sekalian), berhenti sebentar dan lihatlah, pernahkah kalian melihat seorang yang begini cantik dan gagah?”

Lima orang yang mengawal pemuda ini, yang semuanya orang-orang setengah tua yang berpakaian indah dan bersikap gagah, memandang dan tersenyum.

“Memang cantik sekali akan tetapi kegagahan, hmm... banyak sekali orang yang berlagak gagah akan tetapi tiada guna, seperti gentong kosong dipukul bersuara namun tak berisi,” demikian kata seorang di antara mereka.

Pemuda itu tertawa, nampak giginya yang berbaris rapi dan putih bersih. “Ha-ha-ha, kau betul sekali, Ciang-lopek. Akan tetapi kau tidak tahu betapa nona ini tadi dengan gerakan indah dan luar biasa sudah menyelamatkan nyawa seorang yang benar-benar tidak ada gunanya! Eh, Nona, maksud kata-kataku tadi kalau disalin dengan lain kalimat berarti aku kagum sekali melihatmu sebab kau betul-betul cantik jelita dan gagah perkasa. Bolehkah aku mengetahui namamu, Nona? Dan kau hendak ke manakah?”

Ujung hidung yang kecil mancung itu bergerak, perlahan sekali dan hanya dapat terlihat oleh orang yang memperhatikan. Dan yang memperhatikan ujung hidung Ang I Niocu ini hanya Tiauw Ki seorang.

Pemuda ini cepat mengulur tangan dan menyentuh lengan Im Giok, lalu katanya kepada pemuda tampan itu, “Tuan, harap jangan mengganggu kami lagi dan hendaknya menjaga tata susila antara kaum pria dan wanita, pula memberi kebebasan kepada kami sebagai orang-orang yang bertemu di tengah perjalanan. Nona ini tidak bersalah, kenapa hendak diganggu?”

Pemuda itu menengok dan memandang kepada Tiauw Ki dari atas kudanya.

“Hah! Siapa yang mengajak bicara orang macam engkau?”

Im Giok sementara itu sudah bisa menekan perasaannya, maka ia lalu membalas isyarat Tiauw Ki dengan sentuhan perlahan pada tangannya, kemudian ia menjawab,

“Cuwi sekalian hendak mengetahui namaku? Aku she Kiang, seorang yang tak ternama. Aku hendak pergi ke Tiang-hai...”

“Ke Tiang-hai?” pemuda yang mengaku bernama Lie Kian Tek itu memotong, “Kiang-siocia, kebetulan sekali! Aku, Lie Kian Tek bersama kawan-kawanku ini pun hendak pergi ke Tiang-hai. Kau hendak memberi selamat kepada Suma-huciang untuk ulang tahunnya yang ke enam puluh ini, bukan?”

“Ulang tahunnya yang ke enam puluh?” tanya Im Giok merdu. “Ya, benar, begitulah! Akan tetapi aku pergi bersama dia ini, tidak bersama engkau.”

“Ha-ha-ha, alangkah lucu dan janggalnya! Kiang-siocia, kudamu dan kudaku patut jalan berdampingan, kau dan aku pun kiranya patut menjadi sahabat seperjalanan. Tetapi dia ini? Hmm, biar pun kudanya bagus, akan tetapi ia tidak patut menunggang kudanya itu, buktinya tadi belum apa-apa sudah jatuh dari kudanya. Ha-ha-ha!”

“Tuan Lie, kau akan menjadi tamu dari pamanku, kenapa kau menghina keponakannya?”

“Kau keponakan Suma-huciang?” tanya Lie Kian Tek sambil memandang dengan tajam.

“Aku yang bodoh memang keponakan luar dari Suma-huciang,” Gan Tiauw Ki menjawab dingin.

Pemuda yang mewah itu nampak tercengang dan mukanya segera berubah. Ia bertukar pandang dengan kawan-kawannya, kemudian dia menjura kepada Tiauw Ki dan berkata, “Maaf, maaf, kami tidak tahu bahwa Tuan adalah keponakan dari Suma-huciang. Sampai bertemu di dalam pesta.”

Sesudah berkata demikian, Lie Kian Tek membalapkan kudanya, diikuti oleh lima orang kawannya. Debu mengebul di belakang mereka sehingga Tiauw Ki dan Im Giok harus menutupi mulut dan hidung dengan ujung lengan baju.

“Manusia sombong...!” kata Ang I Niocu Kiang Im Giok.

“Sombong juga sudah sepatutnya karena dia adalah putera dari Gubernur Lie di Shansi,” jawab Tiauw Ki sambil menghapus debu dari mukanya sehingga kulit mukanya menjadi merah.

“Gan-kongcu...”

“Nona, harap kau jangan menyebut kongcu kepadaku, aku hanyalah seorang pemuda miskin biasa saja. Aku malu menerima sebutan ini.”

Im Giok tersenyum manis.

“Habis, aku harus menyebut bagaimana?” tanyanya.

“Walau pun kita baru tiga hari berkenalan, akan tetapi aku merasa seperti sudah seabad mengenalmu,” kata Tiauw Ki.

“Aduh, sudah berapa abadkah usiamu?” Im Giok menggoda.

Tiauw Ki tersenyum. “Sesungguhnya, Nona. Aku merasa seakan-akan sudah lama sekali mengenalmu.”

“Aku pun demikian, Gan-kongcu,” jawab Im Giok jujur. “Agaknya memang watak kita yang cocok.”

“Kita seperti saudara saja,” kata pula Tiauw Ki.

“Memang kau baik sekali.”

“Kalau begitu, mengapa kau tidak menyebut aku twako (kakak besar) saja? Dan aku akan menyebutmu adik, bukankah ini lebih tepat dan lebih enak didengarnya?”

Im Giok memandang. Tiauw Ki memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bibir tertutup, hati terbuka mengalirkan rasa yang hanya dapat ditangkap melalui sinar mata.

“Baiklah, Gan… Twako. Ehh, ya, aku lupa. Kau tadi mengaku di depan orang she Lie tadi sebagai keponakan Suma-huciang, bukankah kau telah membohong?”

“Memang aku tadi berbohong. Nama Suma-huciang amat disegani orang, biarpun dia itu putera seorang gubernur, tetap saja saja dia tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Suma-huciang. Karena itu, ketika melihat dia hendak kurang ajar padamu, aku terpaksa membohong untuk menutup mulutnya dan mengusir dia pergi.”

Im Giok tersenyum “Bagaimana nanti kalau dia bercakap-cakap dengan Suma-huciang dan menyebut-nyebutmu?”

“Tidak apa, selain aku tidak takut, juga tadi aku tak sudi menyebut nama, bagaimana dia bisa bicara tentang orang yang tak bernama?”

“Gan-twako, lain kali kau tak perlu mencoba melindungiku dengan jalan membahayakan dirimu sendiri. Aku tidak takut akan gangguan she Lie itu. Apa bila tadi aku mau, hemm... aku dapat membuat dia jungkir balik dari atas kudanya!” kata Im Giok gagah.

“Nona...”

“Lho, kau sendiri yang merubah sebutan, Twako...”

“O, ya! Maaf, begini, Siauw-moi...”

“Kenapa kau menyebutku Siauw-moi (Adik Cilik)? Aku tidak kecil lagi, Twako...”

“Ehh ya... Kiang-moi, sebenarnya aku pun percaya dan mengerti bahwa kau tidak takut kepadanya. Akan tetapi, orang she Lie itu amat terkenal lihai ilmu silatnya, sedangkan kalau terjadi keributan, hal itu amat tidak baik bagi tugasku.”

Im Giok mengangguk-angguk. “Aku mengerti, Twako, kalau tidak demikian, dan kalau aku tidak ingat akan tugasmu yang amat penting, apakah kau kira aku masih dapat menahan sabar menghadapi ocehan manusia sombong macam Lie Kian Tek itu?”



AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.