PENDEKAR BODOH
Karya Kho Ping Hoo
JILID 05
PADA waktu itu, dia sudah dua tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw Sun Bi, dan usianya telah hampir empat belas tahun. Karena telah mendekati masa dewasa, ia dapat menduga bahwa di antara Louw Bin Nio dengan Ting Sun pasti ada hubungan yang tidak sebenarnya. Hal ini harus diberantas, pikirnya.
Louw Sun Bi sudah melepas budi padanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh anaknya sendiri dan oleh pembantunya. Dia harus menghalangi hal ini. Sudah menjadi kewajibannya untuk membela nama baik Louw-kauwsu!
Dengan pikiran ini Cin Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali kemudian membacanya. Ia tahu bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki, tetapi demi untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela melakukan hal yang tidak patut ini!
Dengan cepat dibacanya surat Bin Nio untuk Ting Sun itu dan benar saja sebagaimana dugaannya, gadis itu berjanji hendak menunggu kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di pekarangan tempat berlatih silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengah malam!
Cin Hai merasa gemas sekali. Sungguh manusia-manusia yang tak tahu malu. Ting Sun adalah pembantu Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan mengangkat saudara sehingga Ting Sun menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya guru silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh dibilang bahwa Bin Nio merupakan keponakan Ting Sun sendiri! Namun ternyata dua orang itu sudah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai lalu memutar otaknya, mencari jalan untuk menggagalkan pertemuan ini.
Semalaman penuh Cin Hai tidak dapat tidur. Pada keesokan harinya, dengan diam-diam setelah Ting Sun yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil memberikan surat Bin Nio kepada guru-silat itu.
Ting Sun menerima surat dan membacanya dengan wajah gembira. Berbeda dari pada biasanya, dia berlaku manis terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap anak itu kini dapat merupakan jembatan bagi hubungannya dengan Bin Nio.
Sesudah memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw Sun Bi di kamarnya. Guru silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin Hai datang-datang berlutut di depannya dan menangis!
Ia cepat memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah bangku. “Cin Hai kau kenapakah? Siapa yang sudah mengganggumu? Kau pucat sekali, apakah kau sakit?”
“Loya, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya marah dan sedih sekali!”
Louw Sun Bi memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur, rajin dan tidak banyak cerewet ini.
“Katakanlah, jangan takut-takut!”
“Sebelumnya saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan terlebih dahulu saya mohon maaf sebesar-besarnya karena sesudah hal ini saya ceritakan kepada Loya, saya hendak mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan saya.”
Kini terkejutlah Louw-kauwsu. “Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah terjadi sehingga kau hendak keluar dari sini? Ceritakanlah!”
Dengan perlahan Cin Hai lalu menceritakan mengenai surat Bin Nio dan bahwa malam nanti kedua orang itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup pembicaraannya dengan berkata sedih, “Saya sangat bersedih dengan adanya peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku begitu baik kepada saya. Sekarang melihat Loya yang baik hati tertimpa kejadian macam ini, ahhh...” Cin Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka Louw Sun Bi yang makin pucat itu.
Guru silat itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada terasa panas hampir meledak. Penasaran, marah, malu, kecewa membuat dia bisu tak dapat berkata-kata. Ia telah tahu akan hubungan puterinya dengan Ting Sun dan dulu dia bahkan telah melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena dilihatnya gejala-gejala yang kurang sehat timbul di antara mereka berdua. Tetapi sama sekali tak diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.
Melihat betapa Louw-kauwsu duduk diam tidak bergerak bagaikan patung batu, Cin Hai terharu sekali, lalu ia berkata, “Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran. Socia tergoda oleh nafsu dan hal ini tidak aneh, karena manusia manakah yang tak pernah khilaf? Saya teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih baik Loya menjaga datangnya penyakit dari pada mengobatinya sesudah datang! Karena itu, maka dari pada ribut-ribut dan marah sehingga semua orang mendengar hal yang belum terjadi ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi. Pertemuan itu belum belum berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!”
Terhiburlah hati Louw Sun Bi mendengar ini. Dia memandang wajah Cin Hai dengan hati heran, karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut anak itu!
“Cin Hai, kau adalah seorang anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama sekali tidak menyangkut dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak keluar dari sini?”
“Loya, Siocia sudah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu. Tetapi dengan lancang dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca suratnya itu. Hal ini membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi, maka lebih baik saya pergi melanjutkan perantauan.”
Louw Sun Bi menghela napas dan sekali lagi dia terheran akan sikap Cin Hai yang polos dan bersifat gagah ini.
“Kau mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok setelah peristiwa ini kubereskan.”
“Loya, kalau boleh, saya hendak pergi hari ini juga.”
Louw Sun Bi memandangnya tajam. “Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau takut akan pembalasannya, ada aku di sini!”
Mendengar ini, terbangun semangat Cin Hai. “Loya, biar pun saya hanya seorang bodoh dan lemah, tetapi saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya akan menunggu sampai besok dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan saya, saya harap Loya jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia lalu bertindak keluar.
Malam hari itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok bayangan hitam dengan gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi bukoan. Bayangan itu bukan lain Ting Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Dia langsung meloncat ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu kakinya menginjak tanah, dia langsung berdiri diam bagaikan patung!
Di sana, di bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua lengan di atas dada, Louw Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar tajam!
“Ting Sun, tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagi pula, kau datang bukan sebagai tamu tetapi sebagai seorang pencuri!”
Ting Sun kaget bukan main dan merasa seakan-akan ada petir menyambar kepalanya. Tubuhnya gemetar dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun!
“Orang she Ting, aku sudah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat ini kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada semua murid bahwa kau hendak pergi jauh dan tidak kembali lagi, sehingga kepergianmu dari kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau berani-berani memperlihatkan mukamu di sini!”
Setelah berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih berdiri bagaikan patung. Otak guru silat ini berputar. Celaka sekali! Orang tua itu telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun mengertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini, tapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan rahasianya!
Pada keesokan harinya, sesudah semua anak murid berkumpul, Louw Sun Bi sengaja mengajak Bin Nio untuk hadir di sana dan mendengarkan serta menyaksikan Ting Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran kepada anak gadisnya itu bahwa sebagai seorang gadis baik-baik dia harus tahu menjaga kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan dari luar.
Melihat betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar sudah berada di sana, semua murid yang berjumah delapan belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga bahwa tentu akan terjadi hal yang penting. Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak pernah berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan seperti biasanya, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh daun-daun kering yang malam tadi rontok dari pohon.
Akhirnya orang yang dinanti-nantikan, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan tindakan gagah serta dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu menjura kepada Louw Sun Bi. Kemudian dia melihat ke arah Cin Hai yang sedang menyapu lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya dia menghadapi semua murid dan berkata,
“Anak-anak sekalian, aku membawa berita yang penting sekali untuk kalian. Mulai hari ini kalian akan dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini juga aku akan berangkat meninggalkan Ki-bun.”
“Hendak pergi ke mana, Suhu?” tanya seorang murid.
“Pergi jauh mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali ke sini. Tetapi kalian tidak usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu, kepandaianmu pasti akan lebih maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan selamat berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan kepada kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat yang ada di punggung. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”
Cin Hai maklum bahwa saat yang dikuatirkan sudah tiba. Dia menghampiri guru silat itu dengan tenang dan pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh kemarahan dan kebencian itu.
“Nah, anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak menggunakan jembel busuk ini untuk contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan menghina. “Lihatlah baik-baik, untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”
Ia menyusun telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya ditekuk ke dalam. “Perhatikan tempat yang akan kutotok!” Sambil berkata demikian dia lalu menggerakkan jarinya itu menotok punggung Cin Hai.
Tetapi sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga totokan itu tidak mengenai sasaran.
“Jangan, Siauwya, jangan…!” Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya mencegah serangan Ting Sun. Akan tetapi guru silat itu marah sekali melihat betapa tadi totokannya dikelit.
“Bangsat rendah! Kau berani melawanku?” bentaknya.
Ia mengirim tendangan ke arah lambung Cin Hai. Tendangan ini hebat sekali dan kalau terkena, pasti nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.
Louw Sun Bi amat terkejut dan marah. Pada saat dia bangun berdiri dan hendak loncat menolong, tiba-tiba ia merasa terheran-heran dan duduk kembali dengan mata terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.
Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi kemudian berlari-lari memutari pelataran berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan!
Ting Sun yang tidak mengenal gelagat, biar pun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sangat aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang mulai menari-nari!
Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan menari-nari?
Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangannya selalu tidak mengenai sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai!
Mereka ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus dia menyerang sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun pukulannya itu selalu meleset dan tidak pernah mampu mengenai tubuh Cin Hai. Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba saja tubuh atau bagian tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali!
Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, akan tetapi yang kelihatannya betul-betul mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biar pun belum banyak mempelajari ilmu silat mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?
Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerakan tarinya. Sesudah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada guru sombong itu.
Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri. Maka, tanpa ampun lagi guru silat itu roboh terguling-guling!
Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali dia dibikin jatuh bangun oleh Cin Hai yang kini menggunakan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang ganas! Setelah memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!
Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong Mementang Sayap dia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!
“He, Siauwya, kau kenapakah?” Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting Sun yang rebah di atas tanah.
Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya tadi sehingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai sudah mendahuluinya dengan totokan lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung!
“Ehh, ehhh, Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.
Melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun, murid-murid bukoan menjadi heran sekali dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat ke dekat Cin Hai dan tertawa bergelak-gelak.
“Anak-anak semua. Lihat, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik? Contohlah anak ini, sebenarnya dia seorang berilmu tinggi, tetapi dapat bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai bertahun-tahun sehingga jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang ahli!”
Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang kemudian dapat bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai sangat lihai, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari bukoan tanpa berani menengok lagi!
Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tawa bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin Hai, karena itu dia lalu bertanya, “He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega menipu aku orang tua! Sesungguhnya engkau ini murid siapakah. Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?”
Dengan sikap hormat dan merendah Cin Hai menjura. “Bukan. Loya, saya bukan murid siapa-siapa.”
Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari Kanglam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.
Louw Sun Bi mengira bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak lagi, hanya menyatakan kagumnya. Akan tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.
Louw-kauwsu tak dapat lagi menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan perantauannya. Akan tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu.
Cin Hai menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian sesudah memberi hormat lagi, Cin Hai pergi meninggalkan tempat itu. Dia tak lupa memberi hormat sambil berkata, “Siocia, aku mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di sini dan jagalah dirimu baik-baik!”
Bin Nio hanya menundukkan muka dan air matanya mengalir turun. Dia insaf betapa dia telah salah mengenal orang.
Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Kini ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi dan tegap, matanya lebar dan mukanya bulat, muka yang membayangkan kejujuran dan ketinggian pribudi.
Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa ‘Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!’
Dulu ia sering kali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong. Akan tetapi sekarang dia mengerti betapa tepat serta mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus dipergunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang seperti terhadap saudara sendiri, sehingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran.
Janganlah kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk bisa menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya.
Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya sekedar makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih terdapat banyak sekali tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain atau ‘saudara’ kita yang hidup menderita kesusahan.
Sesudah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang dulu pada waktu masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.
Dengan kepandaiannya, walau pun dia baru mempelajari tiga perempat bagian saja dari Liong-san Kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat, namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya ‘Pendekar Bodoh’ karena wajahnya yang tampan dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh.
Pada suatu hari, ketika memasuki dusun, dia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, dia lalu mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggota Sayap Garuda sedang menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta di dalam pelukannya. Sambil memondong korbannya, orang itu meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur.
Tetapi sekali meloncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak, “Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!”
Anggota Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai. Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara dua jari tangan.
Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu segera membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi secepat kilat Cin Hai lalu menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggota Sayap Garuda itu.
Si Penculik menjerit kesakitan, namun ternyata dia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biar pun telah terluka, dia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang diculiknya itu!
Cin Hai sudah banyak mendengar mengenai kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan pengaruh serta kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa salah seorang anggota gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, dia menjadi marah sekali. Dia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.
Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggota Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang anggota mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!
Selama dalam perantauannya, Cin Hai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali sulingnya! Dengan suling bambunya itu dia sudah banyak menjatuhkan lawannya yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan.
Akan tetapi sekali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata mempunyai kepandaian tinggi, dia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama dia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.
Tiba-tiba hwesio gundul yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru, “Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang itu agaknya tidak mudah merobohkan Cin Hai.
Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai. Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, karena itu ia mendahuluinya dan langsung mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke arah leher lawan.
Tetapi sungguh aneh! Lawannya tidak berkelit mau pun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju dan hendak mencengkeram pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan meski pun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa!
Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa dia melepaskan sulingnya lantas membuang diri ke belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan menjauhinya.
“Ha-ha-ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan tindakan kaki lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!
Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras, “Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala kaki anjing?”
Sebutan kaki anjing merupakan sebutan untuk menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita tua yang berwajah buruk sekali! Mukanya hitam bagaikan pantat kuali, pipinya keriput ada pun matanya yang sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang pedang.
Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja dia berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng Hosiang, “Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?”
“Tetapi aku tidak akan tinggal diam saja kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”
Hwesio itu menghela napas. “Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan menghalang-halangi Sute-mu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!”
Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang segera meloncat pergi dan Biauw Suthai juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!
Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda lantas menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.
Mendadak nampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan begitu bayangan itu bergerak, seorang anggota Sayap Garuda roboh mandi darah!
“Niocu!” Tiba-tiba Cin Hai berseru keras.
Kedua matanya dikejap-kejapkan seolah-olah dia tak percaya pada pandangan matanya sendiri. Sesudah jelas bahwa yang menolong dirinya dan sedang mengamuk itu adalah Ang I Niocu, tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.
“Niocu... !” sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.
“Hai-ji…” Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.
Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka ia berteriak keras, “Ang I Niocu yang datang, lekas lari!”
Dan ia mendahului kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat bahwa korban mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.
“Niocu...!” Sekali lagi Cin Hai berseru girang.
Gadis itu memandangnya dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat betapa Cin Hai sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tanpa terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata, “Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?”
“Niocu... Niocu... jangan kau tinggalkan aku lagi!”
Mendengar ucapan yang masih bersifat kekanak-kanakan ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi dari situ. Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya mengenai pengalaman Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang.
Tanpa menyembunyikan sesuatu Cin Hai lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya sehingga ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu menangis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.
“Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?” Cin Hai bertanya sambil memandang wajah yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.
“Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku sedang menyelidiki sebuah goa rahasia yang disebut Goa Tengkorak Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa goa itu berada di puncak bukit yang tampak dari sini itu! Oleh karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu dapat bertemu.”
Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa dia sudah menurutkan jalan di petanya sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.
“Bukit itu disebut Bukit Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku harus dapat mencari goa itu di sana. Ketahuilah bahwa selain aku, masih terdapat banyak orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan goa itu. Karena itu marilah kau turut bersamaku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”
Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tidak berani membantah dan dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I Niocu lagi, dia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki Bukit Tengkorak Raksasa.
Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil juga mendapatkan goa itu yang tertutup oleh tumpukan batu-batu yang ratusan banyaknya. Dengan tidak mengenal lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah sebuah goa yang luar biasa besarnya dan gelap!
Mereka masuk ke dalam dan setelah berjalan dengan hati-hati serta merayap beberapa lamanya, ternyata di sebelah dalam goa itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas. Mereka terus maju ke dalam hingga akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.
Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang luas dan tinggi itu, tampaklah tengkorak-tengkorak yang tinggi besar berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan gigi besar-besar. Tengkorak itu tingginya paling sedikit tiga kali tinggi manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan dalam ruangan besar itu.
Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Mendadak Ang I Niocu yang dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan, “Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?”
Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan dia memandang ke arah depan. Dan benar saja, di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat dari pada batu yang sangat tebal dan di dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam.
Di tengah-tengah kamar itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruangan yang luar biasa luasnya ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi mati ketakutan!
“Aneh,” kata Cin Hai dengan suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?”
“Itulah yang kupikirkan,” jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api dalam hio-louw tak pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam hio-louw itu.”
Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa yang harum sekali. Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi pun goa masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk?
Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Dia berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya.
Cin Hai mengikuti di belakangnya dengan hati berdebar kencang dan mulut terasa kering. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.
Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan dia merasa seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak! Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking ngeri dan takutnya.
Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan mukanya menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi dia memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tidak pernah lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.
“Niocu...” katanya terengah-engah, “lihat...“
Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat dia menjadi terkejut dan ngeri. Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak ke kanan-kiri!
Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya kemudian siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tak membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi dia lalu memungut sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu dengan senjata istimewa itu di tangannya!
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di dalam ruangan itu dan terdengar menyeramkan sekali.
“Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!”
“Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?”
“Hushh...”
“Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang-orang lain! Lekas sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! Hei, kau gundul tolol! Kau kira aku tak mengenal mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka sudah datang dan berada di luar goa!”
Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa, Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.
Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba saja dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai heran sekali pada saat melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua sute-nya!
Akan tetapi pada saat itu tiga tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon. Giok Yang Cu yang tinggi besar itu juga telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di ruangan itu sambil memandang ke kanan kiri.
“Orang yang berada di dalam goa, keluarlah untuk bertemu dengan kami!” terdengar Giok Im Cu berteriak. Suaranya bergema di dalam goa besar itu seakan-akan menjadi jawaban bagi teriakan itu.
Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran kenapa kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya!
Akan tetapi pada saat itu dari luar goa terdengar suara orang dengan suara yang parau menyeramkan, “Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk goa ini?”
Sebelum gema suara ini lenyap, orangnya sudah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut sekali karena orang ini ternyata adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memamerkan dadanya yang berbulu. Juga hwesio ini memegang senjatanya yang lihai, yakni sebatang tongkat ular.
Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak ke atas. Suara ketawanya mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam goa itu ikut tertawa hingga keadaan menyeramkan sekali!
“Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian tak akan dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang telah menjadi nasibmu untuk binasa di dalam tanganku!”
Giok Yang Cu marah sekali. “Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tidak berhasil membunuhmu adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu. Kini kami akan menebus kekalahan itu!”
“Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!”
Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik, “Ah, kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti akan kalah!”
Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini. Memang kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu tongkatnya yang berdasarkan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Toya Seribu Ular luar biasa sekali gerakan-gerakannya dan tongkatnya sangat cepat dan hebat sehingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya. Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.
Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera mengeluarkan kepandaian mereka, yakni Liong-san Kun-hoat yang juga luar biasa dan lihai. Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat dan kini berada setingkat lebih tinggi dari pada tenaga mereka! Percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka sebab permainan tongkat Hai Kong Hosiang betul-betul hebat sekali dan mengurung mereka bertiga dengan ancaman-ancaman maut!
Hai Kong Hosiang yang melihat betapa dia dapat mendesak tiga orang lawannya, merasa gembira sekali. Hwesio gundul ini tertawa ha-ha hi-hi sambil memperhebat serangannya. “Ehh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!”
Akan tetapi, meski pun dia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san Kun-hoat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tidak mudah bagi Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.
“Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, “dapatkah kau mengalahkan si gundul itu?”
Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu, kemudian bibirnya yang manis dan merah tersenyum.
“Agaknya tak akan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”
Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya dia berada begitu dekat Ang I Niocu, maka hatinya merasa girang dan terharu sekali.
Tanpa terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi mendadak tangan gadis itu mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Pada saat pemuda itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan mukanya untuk menonton pertempuran yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.
Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa sekarang Kanglam Sam-lojin benar-benar terdesak dan keadaan mereka sudah berbahaya sekali, sementara itu Hai Kong Hosiang semakin gagah dan ganas saja.
Pada saat itu kembali terdengar suara gaduh di luar goa, tetapi kali ini dari suara tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!
“Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak punya waktu lagi untuk melayanimu terlebih jauh,” Giok Im Cu berseru.
“Ha-ha, Kanglam Sam-lojin, hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari tempat ini dan jangan mengganggu aku!”
Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan menjenguk ke dalamnya.
Asap mengepul semakin banyak ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan tutup itu. Dia lalu melongok ke sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang kuat-kuat.
Dia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk mengangkat hiolouw. Tapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang pun tidak!
Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa mempergunakan tangannya untuk menutupi mulutnya agar jangan sampai tertawa. Dia geli sekali melihat betapa hwesio itu tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia pun merasa geli bercampur heran. Tak pernah disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.
Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar goa masuk seorang hwesio lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul.
Cin Hai makin heran ketika mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Kenapa ada banyak sekali orang-orang lihai datang ke goa ini?
Sementara itu, ketika mendengar suara orang masuk ke dalam goa, Hai Kong Hosiang lalu mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar itu!
Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, dia lantas tersenyum menyindir, “Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari pusaka ke dalam goa ini?”
Biauw Leng Hosiang membalas sindiran orang dengan suara memandang rendah, “Hai Kong, bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini, nanti apa bila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!”
“Biauw Leng, kau sungguh tidak memandang orang lain! Kepandaian apakah yang kau andalkan maka kau berani berkata semacam itu kepada orang seperti aku?”
“Sudahlah jangan banyak cakap lagi dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras itu kembali berkata.
Sekarang Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan menggunakan telunjuknya menuding sambil berkata keras,
“Biauw Leng! Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang masuk ke sini terlebih dulu? Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah kepada kau? Ketahuilah, aku masih memandang muka Suci-mu, Biauw Suthai yang selain gagah perkasa juga patut dihargai sebab memegang teguh peraturan kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!”
Kini tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring seperti suara ketawa seorang wanita.
”Hai Kong! Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah dulu! Kau bilang bahwa kau datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kau kira bahwa aku tidak melihat Kanglam Sam-lojin keluar dari sini? Aku tidak melihat mereka masuk, akan tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih dulu dari padamu?”
Hai Kong Hosiang menjadi malu dan semakin marah. “Tidak perlu kita mengadu lidah! Pendeknya, kalau kau menghendaki aku keluar, kau pun harus dapat mengantarkan!” Ini adalah tantangain berkelahi!
“Hai Kong! Kau kira pinceng tidak akan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw Leng Hosiang membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk bertempur!
Yang paling merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali menonton orang bertempur mengadu kepandaian silat, maka kini tentu saja ia merasa senang sekali melihat betapa beberapa kali terjadi pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi,. Ia maklum akan kelihaian Biauw Leng Hosiang yang pernah dilawannya, akan tetapi ia pun tahu bahwa Hai Kong Hosiang memiliki kepandaian tinggi juga.
Sambil berseru keras Biauw Leng Hosiang yang memiliki darah panas itu sudah mulai menyerang secara hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan kiri dan sebuah pedang pendek pada tangan kanannya, gerakannya cepat dan berat, kedua senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah hebatnya!
Sambil mengintai Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis itu sebab dia sedang mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kau duga siapa yang akan menang?”
Sejak tadi Ang I Niocu melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia merasa sayang dan suka sekali kepada anak muda ini. Dahulu ketika Cin Hai masih kecil dan berkepala gundul, dia merasa suka dan kasihan sekali dan merasa seakan-akan anak itu menjadi adiknya sendiri. Kini Cin Hai telah hampir dewasa dan melihat perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi tegap.
Akan tetapi, semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu terus memandang pertempuran dengan mata berkilat-kilat, wajah berseri-seri, serta mulut tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa sebetulnya dia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa heran dan tidak mengerti kenapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan merasa senang dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!
“Apa katamu?” ia balas berbisik.
Sesudah Cin Hai mengulangi pertanyaannya, dia lalu memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah siapa yang akan menang, kepandaian mereka berimbang. Walau pun ilmu silat Biauw Leng Hosiang lebih tinggi dan lebih lihai geraknya, akan tetapi Hai Kong Hosiang agaknya lebih menang dalam hal mempergunakan senjatanya yang lihai, juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu curang dalam setiap gerakannya. Mungkin pertempuran ini akan berjalan lama.”
Cin Hai memperhatikan baik-baik. Baginya, setiap pertempuran merupakan penambahan pengertiannya dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka dia dapat memetik beberapa pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara jago tua itu, dia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal sekali. Dia merasa bahwa untuk dapat mempunyai kepandaian tinggi dan mampu menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, dia masih harus belajar banyak!
Karena merasa jengkel tidak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang ternyata memiliki kepandaian lebih lihai dari pada yang semula dia sangka, Biauw Leng Hosiang merasa tidak sabar dan tiba-tiba dia bersuit keras.
Dari luar goa terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba saja dari luar menerobos lima orang yang berpakaian seragam. Mereka ternyata adalah perwira-perwira Sayap Garuda yang sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok Hai Kong Hosiang!
Perlu diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat perwira yang dibagi menurut tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang.
Sudah tentu saja masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini segera membuat Hai Kong Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi semakin sibuk lagi. Akhirnya sebuah totokan yang dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat dihindarkan sudah mengenai pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak keras sekali lalu roboh!
Apa bila orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang dilakukan dengan tenaga lweekang yang kuat, maka nyawanya tentu melayang. Hai Kong Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan sehingga ia hanya menderita luka dalam yang tak membahayakan jiwanya. Akan tetapi, totokan itu cukup hebat untuk merobohkannya sehingga untuk beberapa lama dia hanya duduk bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan luka di pundaknya yang menembus hingga dadanya.
”Biauw Leng Sute, kau sungguh bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dan tahu-tahu Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka laksana pantat kuali dan matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada di ruangan itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang.
Bukan main terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat suci-nya telah berada di situ! Hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.
Sebenarnya, setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu pada saat Biauw Leng Hosiang menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai segera pergi. Akan tetapi ia masih merasa curiga pada adik seperguruannya yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran aturan perguruan mereka dan berkali-kali dia tegur karena menjalankan kejahatan itu. Maka dia lalu mengikuti adik seperguruannya itu secara diam-diam.
Alangkah marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan lagi dengan para perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira menyerbu ke Goa Tengkorak itu. Dia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan sesudah melihat betapa sute-nya mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia langsung menyerbu masuk dan telah mengambil keputusan tetap untuk menghajar sute-nya yang tersesat.
“Biauw-suci, kau lagi-lagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku. Sebenarnya ada sangkut paut apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?” kata Biauw Leng Hosiang yang mulai memberontak dan hendak melawan karena dia dapat mengandalkan bantuan kelima perwira yang kosen itu.
“Biauw Leng! Apakah kau sudah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dahulu? Percuma saja kau menjadi pendeta apa bila kau selalu melanggar pantangan kita dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentunya masih ingat bahwa di antara segala pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim dan menjadi anjing penjilat. Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku masih bersabar sebab mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan tetapi tetap saja kau selalu melanggar. Sekarang, marilah kau ikut aku untuk mengadakan sumpah di depan makam Suhu!”
“Biauw-suci kau sungguh terlalu! Mengingat bahwa kau dulu sering melatih dan memberi pelajaran kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tapi kau jangan terlalu mendesak! Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan dan akan melawan jika diinjak, apa lagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci yang baik dan janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”
Wajah Biauw Suthai yang sudah buruk itu semakin memburuk dan matanya yang tinggal satu di sebelah kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa dia marah sekali. Biauw Leng Hosiang maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut dan jeri juga, akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.
“Biauw Leng, lepaskan senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya.
Biauw Leng Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah milik mendiang suhu mereka dan yang apa bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati akan dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai sudah mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun tentu akan dihukum mati oleh suci-nya sendiri!
Akan tetapi, Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan menyerang Biauw Suthai.
Cin Hai pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika dia dirobohkan oleh Biauw Leng Hosiang, maka dia merasa bersimpati kepada tokouw ini. Apa lagi kalau dia ingat bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka dia tidak dapat lagi menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang erat-erat tulang paha manusia yang masih dipegangnya pada saat ia pergi bersembunyi, lalu ia meloncat keluar sambil berteriak,
“He, kawanan Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan keroyokan!”
Ang I Niocu terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Dia maklum bahwa kepandaian Cin Hai masih terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu tinggi itu, maka dia lupa akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula mengejar Cin Hai sambil berseru,
“Hai-ji, hati-hati!”
Biauw Leng Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada orang yang datang dan bersembunyi, akan tetapi dia tak berdaya karena Biauw Suthai mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.
Sementara itu, ketika melihat keluarnya seorang pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak kelima perwira Sayap Garuda tertegun. Kemudian sesudah Ang I Niocu keluar mereka maklum bahwa pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara mereka lalu menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.
Cin Hai melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang sudah pernah ia pelajari. Oleh karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san Kun-hoat! Dengan ilmu silat campuran ini ternyata Cin Hai dapat mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.
Ada pun perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa gebrakan saja sudah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju Merah yang bagaikan menari-nari di depannya itu!
Melihat betapa kini perwira ini terancam oleh bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang perwira maju pula mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan nampak gembira sekali dikeroyok tiga! Selain menghadapi ketiga lawannya, nona ini juga berusaha mendekati Cin Hai sehingga dapat bersiap sedia membela serta menolong pemuda itu apa bila sampai terdesak dan berada dalam bahaya.
Sementara itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosiang dan seorang perwira saja, Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan hebat sekali. Suatu saat dia mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan merah yang dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil muntah darah dan tewas seketika itu juga!
Semua perwira merasa amat terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat. Melihat betapa orang yang mereka andalkan sudah tewas, maka mereka tidak berani bertempur lagi.
Ketika melihat sute-nya rebah di atas lantai batu dan telah binasa, tiba-tiba Biauw Suthai menubruk sambil menangis tersedu-sedu!
“Sute… Sute… mengapa kau mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin berkeluh-kesah dengan suara memilukan.
Biauw Suthai lantas menghampiri Hai Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata untuk mengobati luka di dalam dadanya. Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong Hosiang yang terluka hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan lukanya menjadi berkurang sakitnya.
“Hai Kong Hosiang, kau maafkan Sute-ku yang telah menebus dosanya dengan jiwanya.”
Hai Kong Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini pergi meninggalkan tempat itu. Biauw Suthai kemudian mengangkat sute-nya dan sambil memondong tubuh yang tak bernyawa lagi itu, ia hendak meninggalkan goa.
Akan tetapi Cin Hai melangkah maju dan sambil memberi hormat dia bertanya, “Suthai yang mulia, mohon tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah dia muridmu?”
Biauw Suthai memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, “Ehh, anak muda yang berani, kau siapakah?”
“Suthai tentu sudah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin ketika kau mencu... ehhh… membawanya pergi!”
Biauw Suthai teringat akan anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu ia pergi sambil memondong jenazah sute-nya!
Kelima Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa pembantu yang pandai, mereka merasa jeri menghadapi Ang I Niocu yang kelihaiannya tadi telah mereka kenal.
Ang I Niocu juga tidak mau mengejar karena sebenarnya nona ini sedang merasa kuatir sekali akan mendapat teguran dari susiok-couw-nya karena sudah berani-berani keluar dari tempat persembunyiannya. Oleh karena ini, sebelum ia menerima teguran ia segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut di situ sambil berkata,
“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia menerima hukuman!”
Akan tetapi tidak terdengar jawaban apa-apa. Ada pun Cin Hai merasa sangat tidak puas melihat sikap nona itu yang agaknya sangat takut terhadap Bu Pun Su. Pemuda ini lalu mengangkat kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika melihat yang berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali.
Orang ini bertubuh pendek sekali, barang kali sama tingginya dengan seorang anak-anak berusia sepuluh tahun. Kedua matanya bundar besar melirik kian ke mari tiada hentinya seperti mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali laksana telinga gajah, sedangkan mulutnya berbibir tebal. Ia memakai jubah panjang yang menggantung hingga ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna jubah ini yang hitam sekali.
“Eh, siapa orang kate ini?” Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah karena ia tidak sudi berlutut di depan orang kate itu.
Ang I Niocu juga menengok dan terkejutlah dia, terkejut sebab mengingat betapa lihainya orang ini yang dapat datang ke sana tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan dia sendiri dalam berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang kate ini telah berdiri di depannya.
Ketika ia bangun dan memandang, ia memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia dapat mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang telah terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari tandingannya di dunia kang-ouw bagian barat!
Ang I Niocu kemudian mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, “Locianpwe kami yang muda memberi hormat.”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.
“Pemuda tolol! Kau siapakah? Kau ini apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya dengan kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.
Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa semakin geli dan keras. Ketika tadi melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri bukan main, apa lagi melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu berbicara kepada Hek Moko dan menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), dia merasa semakin geli karena alangkah ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya dengan sebutan locianpwe.
Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, dia melihat betapa telinga gajah itu bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar-benar digerak-gerakkan untuk mengipas tubuh. Maka pemuda ini tidak dapat lagi menahan rasa geli di hatinya dan tertawa keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memutar-mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan tertawanya makin keras pula.
”Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.
“Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!”
Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!
“Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”
Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka dia berkata, “Orang tua, orang baru tertawa kalau hatinya senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin tertawa, tentulah berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan sebuah ujar-ujar tentang tertawa?”
Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang mempermainkan dirinya, akan tetapi dia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang tertawa itu. “Coba kau ceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan dua mata tetap berputar-putar.
Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh menirukan suara dan lagak gurunya yang dulu mengajarnya sastera,
“Mati diantar tangis, lahir disambut tawa. Namun bagaimanakah sikap orang bijaksana? Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!”
“Bagus, bagus, bagus!” Hek Moko memuji dan dia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.
“Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai sedangkan Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang mengobrol!
“Kenapa aku tertawa? Ha-ha-ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?”
Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke arah salah satu tengkorak sehingga tengkorak yang dikebutnya itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!
“Hek Moko, kau jangan terlalu sheji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!” Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang bicara dari berbagai penjuru!
Ternyata dalam kata-katanya ini Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan tenaga khikang-nya yang sudah dapat mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biar pun dia tidak meninggalkan goa itu, namun dia telah tahu bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko.
Hek Moko diam-diam memuji dan dia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak telinga. Dari luar goa terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara suitan itu lenyap, dari luar goa menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di hadapan Hek Moko!
Orang yang baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan tetapi anggota mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya berupa dua garis melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!
Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka datang dari sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya. Walau pun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sute-nya.
Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama asli mereka sudah dilupakan orang.
Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan bermalas-malasan.
“Kalian Iblis Hitam dan Iblis Putih, sesudah lebih dari lima belas tahun tidak berjumpa, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?” Bu Pun Su berkata sesudah berhadapan dengan mereka.
“Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kuduga kau masih hidup. Apakah kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?” tanya Hek Moko sambil memutar-mutar matanya.
“Hek Moko, jangan berbicara seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, kenapa takut aku menjadi perintang? Berbuatlah apa yang kau suka, aku tak akan peduli.”
Girang wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. Memang, semenjak tadi dia telah dapat melihat kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jeri hingga diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan tahun yang lampau, ia dan sute-nya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam tangan orang tua lihai itu sehingga mereka masih merasa jeri dan ragu-ragu untuk memusuhi orang tua itu.
“Ha-ha-ha, bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai. “Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian tadi sudah mendengar kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!”
Setelah berkata demikian, Hek Moko segera melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang cukup besar.
Hek Moko menjenguk dan dia segera meloncat sambil memperdengarkan suara tawanya yang aneh. Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh dan memandang ke arah Bu Pun Su. Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.
“Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek Moko berseru dan suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.
“Biarlah sekali lagi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!
Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri di dekat Bu Pun Su sehingga hiolouw itu tidak hanya mengancam Si Kakek Jembel saja, tetapi juga sekaligus mengancam mereka berdua!
Hiolouw raksasa itu begitu berat sehingga sebelum datang, anginnya sudah menyambar ke arah mereka. Benda kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa sehingga dapat dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini!
Akan tetapi di hadapan Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau ngeri. Karena itu dia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya menegang dan mata terbelalak.
Biar pun telah memiliki kepandaian tinggi, namun Ang I Niocu mengerti bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka dia hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping apa bila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di situ terdapat kakek gurunya, takut kalau-kalau dianggap lancang tangan.
Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang menyambar ke arah dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.
Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran sekali, pada waktu kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su seolah-olah besi sembrani yang menarik hiolouw itu sehingga kaki hiolouw menempel pada kulit kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!
Tidak hanya Cin Hai yang tanpa terasa lagi terpaksa meleletkan lidah saking kagum dan herannya, akan tetapi Ang I Niocu juga memandang dengan mata kagum karena baru sekarang ia menyaksikan sucouw-nya mendemonstrasikan kekuatan lweekang-nya yang tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.
Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lantas berkata dengan suara lemah lembut, “Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang, maka harus dihormati. Apa lagi benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih tua dari pada kalian atau aku, maka tidak boleh kita merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau tidak, tentu aku tak akan mengampunimu, Hek Moko!”
Sesudah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini segera bergerak cepat.
Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian mereka sendiri dan biar pun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut kemenangan. Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus.
Untuk bisa menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekang-nya dan meski pun tenaga lweekang kakek itu sangat hebat, namun sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini?
Biar pun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba saja keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya bermaksud untuk main-main. Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri menotok urat kematian di iga belakang!
Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh curang!”
Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu dia sudah mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka kemudian mendahului mengirim totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!
Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun bahwa Bu Pun Su mempunyai kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau saja mereka tetap meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran, tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok.
Cepat mereka menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan serangan lainnya! Mereka berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua itu tak akan dapat menyelamatkan diri lagi, karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!
Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru, “Celaka!”
Tubuhnya merupakan bayangan merah segera berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah dilepaskan ke tanah!
Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu semakin cepat meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu sehingga anginnya telah membuat rambut kakek itu berkibar.
Louw Sun Bi sudah melepas budi padanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh anaknya sendiri dan oleh pembantunya. Dia harus menghalangi hal ini. Sudah menjadi kewajibannya untuk membela nama baik Louw-kauwsu!
Dengan pikiran ini Cin Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali kemudian membacanya. Ia tahu bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki, tetapi demi untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela melakukan hal yang tidak patut ini!
Dengan cepat dibacanya surat Bin Nio untuk Ting Sun itu dan benar saja sebagaimana dugaannya, gadis itu berjanji hendak menunggu kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di pekarangan tempat berlatih silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengah malam!
Cin Hai merasa gemas sekali. Sungguh manusia-manusia yang tak tahu malu. Ting Sun adalah pembantu Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan mengangkat saudara sehingga Ting Sun menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya guru silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh dibilang bahwa Bin Nio merupakan keponakan Ting Sun sendiri! Namun ternyata dua orang itu sudah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai lalu memutar otaknya, mencari jalan untuk menggagalkan pertemuan ini.
Semalaman penuh Cin Hai tidak dapat tidur. Pada keesokan harinya, dengan diam-diam setelah Ting Sun yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil memberikan surat Bin Nio kepada guru-silat itu.
Ting Sun menerima surat dan membacanya dengan wajah gembira. Berbeda dari pada biasanya, dia berlaku manis terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap anak itu kini dapat merupakan jembatan bagi hubungannya dengan Bin Nio.
Sesudah memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw Sun Bi di kamarnya. Guru silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin Hai datang-datang berlutut di depannya dan menangis!
Ia cepat memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah bangku. “Cin Hai kau kenapakah? Siapa yang sudah mengganggumu? Kau pucat sekali, apakah kau sakit?”
“Loya, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya marah dan sedih sekali!”
Louw Sun Bi memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur, rajin dan tidak banyak cerewet ini.
“Katakanlah, jangan takut-takut!”
“Sebelumnya saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan terlebih dahulu saya mohon maaf sebesar-besarnya karena sesudah hal ini saya ceritakan kepada Loya, saya hendak mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan saya.”
Kini terkejutlah Louw-kauwsu. “Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah terjadi sehingga kau hendak keluar dari sini? Ceritakanlah!”
Dengan perlahan Cin Hai lalu menceritakan mengenai surat Bin Nio dan bahwa malam nanti kedua orang itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup pembicaraannya dengan berkata sedih, “Saya sangat bersedih dengan adanya peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku begitu baik kepada saya. Sekarang melihat Loya yang baik hati tertimpa kejadian macam ini, ahhh...” Cin Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka Louw Sun Bi yang makin pucat itu.
Guru silat itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada terasa panas hampir meledak. Penasaran, marah, malu, kecewa membuat dia bisu tak dapat berkata-kata. Ia telah tahu akan hubungan puterinya dengan Ting Sun dan dulu dia bahkan telah melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena dilihatnya gejala-gejala yang kurang sehat timbul di antara mereka berdua. Tetapi sama sekali tak diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.
Melihat betapa Louw-kauwsu duduk diam tidak bergerak bagaikan patung batu, Cin Hai terharu sekali, lalu ia berkata, “Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran. Socia tergoda oleh nafsu dan hal ini tidak aneh, karena manusia manakah yang tak pernah khilaf? Saya teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih baik Loya menjaga datangnya penyakit dari pada mengobatinya sesudah datang! Karena itu, maka dari pada ribut-ribut dan marah sehingga semua orang mendengar hal yang belum terjadi ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi. Pertemuan itu belum belum berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!”
Terhiburlah hati Louw Sun Bi mendengar ini. Dia memandang wajah Cin Hai dengan hati heran, karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut anak itu!
“Cin Hai, kau adalah seorang anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama sekali tidak menyangkut dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak keluar dari sini?”
“Loya, Siocia sudah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu. Tetapi dengan lancang dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca suratnya itu. Hal ini membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi, maka lebih baik saya pergi melanjutkan perantauan.”
Louw Sun Bi menghela napas dan sekali lagi dia terheran akan sikap Cin Hai yang polos dan bersifat gagah ini.
“Kau mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok setelah peristiwa ini kubereskan.”
“Loya, kalau boleh, saya hendak pergi hari ini juga.”
Louw Sun Bi memandangnya tajam. “Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau takut akan pembalasannya, ada aku di sini!”
Mendengar ini, terbangun semangat Cin Hai. “Loya, biar pun saya hanya seorang bodoh dan lemah, tetapi saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya akan menunggu sampai besok dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan saya, saya harap Loya jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia lalu bertindak keluar.
Malam hari itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok bayangan hitam dengan gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi bukoan. Bayangan itu bukan lain Ting Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Dia langsung meloncat ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu kakinya menginjak tanah, dia langsung berdiri diam bagaikan patung!
Di sana, di bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua lengan di atas dada, Louw Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar tajam!
“Ting Sun, tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagi pula, kau datang bukan sebagai tamu tetapi sebagai seorang pencuri!”
Ting Sun kaget bukan main dan merasa seakan-akan ada petir menyambar kepalanya. Tubuhnya gemetar dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun!
“Orang she Ting, aku sudah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat ini kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada semua murid bahwa kau hendak pergi jauh dan tidak kembali lagi, sehingga kepergianmu dari kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau berani-berani memperlihatkan mukamu di sini!”
Setelah berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih berdiri bagaikan patung. Otak guru silat ini berputar. Celaka sekali! Orang tua itu telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun mengertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini, tapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan rahasianya!
Pada keesokan harinya, sesudah semua anak murid berkumpul, Louw Sun Bi sengaja mengajak Bin Nio untuk hadir di sana dan mendengarkan serta menyaksikan Ting Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran kepada anak gadisnya itu bahwa sebagai seorang gadis baik-baik dia harus tahu menjaga kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan dari luar.
Melihat betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar sudah berada di sana, semua murid yang berjumah delapan belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga bahwa tentu akan terjadi hal yang penting. Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak pernah berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan seperti biasanya, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh daun-daun kering yang malam tadi rontok dari pohon.
Akhirnya orang yang dinanti-nantikan, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan tindakan gagah serta dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu menjura kepada Louw Sun Bi. Kemudian dia melihat ke arah Cin Hai yang sedang menyapu lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya dia menghadapi semua murid dan berkata,
“Anak-anak sekalian, aku membawa berita yang penting sekali untuk kalian. Mulai hari ini kalian akan dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini juga aku akan berangkat meninggalkan Ki-bun.”
“Hendak pergi ke mana, Suhu?” tanya seorang murid.
“Pergi jauh mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali ke sini. Tetapi kalian tidak usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu, kepandaianmu pasti akan lebih maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan selamat berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan kepada kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat yang ada di punggung. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”
Cin Hai maklum bahwa saat yang dikuatirkan sudah tiba. Dia menghampiri guru silat itu dengan tenang dan pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh kemarahan dan kebencian itu.
“Nah, anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak menggunakan jembel busuk ini untuk contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan menghina. “Lihatlah baik-baik, untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”
Ia menyusun telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya ditekuk ke dalam. “Perhatikan tempat yang akan kutotok!” Sambil berkata demikian dia lalu menggerakkan jarinya itu menotok punggung Cin Hai.
Tetapi sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga totokan itu tidak mengenai sasaran.
“Jangan, Siauwya, jangan…!” Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya mencegah serangan Ting Sun. Akan tetapi guru silat itu marah sekali melihat betapa tadi totokannya dikelit.
“Bangsat rendah! Kau berani melawanku?” bentaknya.
Ia mengirim tendangan ke arah lambung Cin Hai. Tendangan ini hebat sekali dan kalau terkena, pasti nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.
Louw Sun Bi amat terkejut dan marah. Pada saat dia bangun berdiri dan hendak loncat menolong, tiba-tiba ia merasa terheran-heran dan duduk kembali dengan mata terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.
Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi kemudian berlari-lari memutari pelataran berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan!
Ting Sun yang tidak mengenal gelagat, biar pun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sangat aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang mulai menari-nari!
Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan menari-nari?
Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangannya selalu tidak mengenai sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai!
Mereka ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus dia menyerang sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun pukulannya itu selalu meleset dan tidak pernah mampu mengenai tubuh Cin Hai. Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba saja tubuh atau bagian tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali!
Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, akan tetapi yang kelihatannya betul-betul mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biar pun belum banyak mempelajari ilmu silat mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?
Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerakan tarinya. Sesudah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada guru sombong itu.
Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri. Maka, tanpa ampun lagi guru silat itu roboh terguling-guling!
Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali dia dibikin jatuh bangun oleh Cin Hai yang kini menggunakan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang ganas! Setelah memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!
Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong Mementang Sayap dia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!
“He, Siauwya, kau kenapakah?” Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting Sun yang rebah di atas tanah.
Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya tadi sehingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai sudah mendahuluinya dengan totokan lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung!
“Ehh, ehhh, Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.
Melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun, murid-murid bukoan menjadi heran sekali dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat ke dekat Cin Hai dan tertawa bergelak-gelak.
“Anak-anak semua. Lihat, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik? Contohlah anak ini, sebenarnya dia seorang berilmu tinggi, tetapi dapat bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai bertahun-tahun sehingga jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang ahli!”
Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang kemudian dapat bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai sangat lihai, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari bukoan tanpa berani menengok lagi!
Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tawa bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin Hai, karena itu dia lalu bertanya, “He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega menipu aku orang tua! Sesungguhnya engkau ini murid siapakah. Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?”
Dengan sikap hormat dan merendah Cin Hai menjura. “Bukan. Loya, saya bukan murid siapa-siapa.”
Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari Kanglam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.
Louw Sun Bi mengira bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak lagi, hanya menyatakan kagumnya. Akan tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.
Louw-kauwsu tak dapat lagi menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan perantauannya. Akan tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu.
Cin Hai menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian sesudah memberi hormat lagi, Cin Hai pergi meninggalkan tempat itu. Dia tak lupa memberi hormat sambil berkata, “Siocia, aku mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di sini dan jagalah dirimu baik-baik!”
Bin Nio hanya menundukkan muka dan air matanya mengalir turun. Dia insaf betapa dia telah salah mengenal orang.
*****
Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Kini ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi dan tegap, matanya lebar dan mukanya bulat, muka yang membayangkan kejujuran dan ketinggian pribudi.
Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa ‘Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!’
Dulu ia sering kali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong. Akan tetapi sekarang dia mengerti betapa tepat serta mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus dipergunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang seperti terhadap saudara sendiri, sehingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran.
Janganlah kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk bisa menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya.
Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya sekedar makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih terdapat banyak sekali tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain atau ‘saudara’ kita yang hidup menderita kesusahan.
Sesudah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang dulu pada waktu masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.
Dengan kepandaiannya, walau pun dia baru mempelajari tiga perempat bagian saja dari Liong-san Kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat, namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya ‘Pendekar Bodoh’ karena wajahnya yang tampan dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh.
Pada suatu hari, ketika memasuki dusun, dia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, dia lalu mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggota Sayap Garuda sedang menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta di dalam pelukannya. Sambil memondong korbannya, orang itu meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur.
Tetapi sekali meloncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak, “Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!”
Anggota Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai. Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara dua jari tangan.
Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu segera membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi secepat kilat Cin Hai lalu menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggota Sayap Garuda itu.
Si Penculik menjerit kesakitan, namun ternyata dia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biar pun telah terluka, dia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang diculiknya itu!
Cin Hai sudah banyak mendengar mengenai kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan pengaruh serta kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa salah seorang anggota gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, dia menjadi marah sekali. Dia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.
Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggota Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang anggota mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!
Selama dalam perantauannya, Cin Hai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali sulingnya! Dengan suling bambunya itu dia sudah banyak menjatuhkan lawannya yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan.
Akan tetapi sekali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata mempunyai kepandaian tinggi, dia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama dia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.
Tiba-tiba hwesio gundul yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru, “Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang itu agaknya tidak mudah merobohkan Cin Hai.
Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai. Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, karena itu ia mendahuluinya dan langsung mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke arah leher lawan.
Tetapi sungguh aneh! Lawannya tidak berkelit mau pun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju dan hendak mencengkeram pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan meski pun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa!
Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa dia melepaskan sulingnya lantas membuang diri ke belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan menjauhinya.
“Ha-ha-ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan tindakan kaki lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!
Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras, “Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala kaki anjing?”
Sebutan kaki anjing merupakan sebutan untuk menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita tua yang berwajah buruk sekali! Mukanya hitam bagaikan pantat kuali, pipinya keriput ada pun matanya yang sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang pedang.
Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja dia berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng Hosiang, “Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?”
“Tetapi aku tidak akan tinggal diam saja kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”
Hwesio itu menghela napas. “Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan menghalang-halangi Sute-mu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!”
Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang segera meloncat pergi dan Biauw Suthai juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!
Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda lantas menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.
Mendadak nampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan begitu bayangan itu bergerak, seorang anggota Sayap Garuda roboh mandi darah!
“Niocu!” Tiba-tiba Cin Hai berseru keras.
Kedua matanya dikejap-kejapkan seolah-olah dia tak percaya pada pandangan matanya sendiri. Sesudah jelas bahwa yang menolong dirinya dan sedang mengamuk itu adalah Ang I Niocu, tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.
“Niocu... !” sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.
“Hai-ji…” Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.
Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka ia berteriak keras, “Ang I Niocu yang datang, lekas lari!”
Dan ia mendahului kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat bahwa korban mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.
“Niocu...!” Sekali lagi Cin Hai berseru girang.
Gadis itu memandangnya dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat betapa Cin Hai sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tanpa terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata, “Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?”
“Niocu... Niocu... jangan kau tinggalkan aku lagi!”
Mendengar ucapan yang masih bersifat kekanak-kanakan ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi dari situ. Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya mengenai pengalaman Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang.
Tanpa menyembunyikan sesuatu Cin Hai lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya sehingga ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu menangis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.
“Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?” Cin Hai bertanya sambil memandang wajah yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.
“Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku sedang menyelidiki sebuah goa rahasia yang disebut Goa Tengkorak Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa goa itu berada di puncak bukit yang tampak dari sini itu! Oleh karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu dapat bertemu.”
Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa dia sudah menurutkan jalan di petanya sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.
“Bukit itu disebut Bukit Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku harus dapat mencari goa itu di sana. Ketahuilah bahwa selain aku, masih terdapat banyak orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan goa itu. Karena itu marilah kau turut bersamaku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”
Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tidak berani membantah dan dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I Niocu lagi, dia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki Bukit Tengkorak Raksasa.
Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil juga mendapatkan goa itu yang tertutup oleh tumpukan batu-batu yang ratusan banyaknya. Dengan tidak mengenal lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah sebuah goa yang luar biasa besarnya dan gelap!
Mereka masuk ke dalam dan setelah berjalan dengan hati-hati serta merayap beberapa lamanya, ternyata di sebelah dalam goa itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas. Mereka terus maju ke dalam hingga akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.
Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang luas dan tinggi itu, tampaklah tengkorak-tengkorak yang tinggi besar berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan gigi besar-besar. Tengkorak itu tingginya paling sedikit tiga kali tinggi manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan dalam ruangan besar itu.
Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Mendadak Ang I Niocu yang dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan, “Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?”
Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan dia memandang ke arah depan. Dan benar saja, di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat dari pada batu yang sangat tebal dan di dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam.
Di tengah-tengah kamar itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruangan yang luar biasa luasnya ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi mati ketakutan!
“Aneh,” kata Cin Hai dengan suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?”
“Itulah yang kupikirkan,” jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api dalam hio-louw tak pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam hio-louw itu.”
Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa yang harum sekali. Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi pun goa masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk?
Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Dia berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya.
Cin Hai mengikuti di belakangnya dengan hati berdebar kencang dan mulut terasa kering. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.
Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan dia merasa seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak! Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking ngeri dan takutnya.
Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan mukanya menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi dia memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tidak pernah lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.
“Niocu...” katanya terengah-engah, “lihat...“
Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat dia menjadi terkejut dan ngeri. Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak ke kanan-kiri!
Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya kemudian siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tak membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi dia lalu memungut sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu dengan senjata istimewa itu di tangannya!
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di dalam ruangan itu dan terdengar menyeramkan sekali.
“Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!”
“Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?”
“Hushh...”
“Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang-orang lain! Lekas sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! Hei, kau gundul tolol! Kau kira aku tak mengenal mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka sudah datang dan berada di luar goa!”
Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa, Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.
Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba saja dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai heran sekali pada saat melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua sute-nya!
Akan tetapi pada saat itu tiga tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon. Giok Yang Cu yang tinggi besar itu juga telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di ruangan itu sambil memandang ke kanan kiri.
“Orang yang berada di dalam goa, keluarlah untuk bertemu dengan kami!” terdengar Giok Im Cu berteriak. Suaranya bergema di dalam goa besar itu seakan-akan menjadi jawaban bagi teriakan itu.
Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran kenapa kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya!
Akan tetapi pada saat itu dari luar goa terdengar suara orang dengan suara yang parau menyeramkan, “Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk goa ini?”
Sebelum gema suara ini lenyap, orangnya sudah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut sekali karena orang ini ternyata adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memamerkan dadanya yang berbulu. Juga hwesio ini memegang senjatanya yang lihai, yakni sebatang tongkat ular.
Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak ke atas. Suara ketawanya mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam goa itu ikut tertawa hingga keadaan menyeramkan sekali!
“Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian tak akan dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang telah menjadi nasibmu untuk binasa di dalam tanganku!”
Giok Yang Cu marah sekali. “Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tidak berhasil membunuhmu adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu. Kini kami akan menebus kekalahan itu!”
“Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!”
Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik, “Ah, kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti akan kalah!”
Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini. Memang kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu tongkatnya yang berdasarkan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Toya Seribu Ular luar biasa sekali gerakan-gerakannya dan tongkatnya sangat cepat dan hebat sehingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya. Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.
Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera mengeluarkan kepandaian mereka, yakni Liong-san Kun-hoat yang juga luar biasa dan lihai. Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat dan kini berada setingkat lebih tinggi dari pada tenaga mereka! Percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka sebab permainan tongkat Hai Kong Hosiang betul-betul hebat sekali dan mengurung mereka bertiga dengan ancaman-ancaman maut!
Hai Kong Hosiang yang melihat betapa dia dapat mendesak tiga orang lawannya, merasa gembira sekali. Hwesio gundul ini tertawa ha-ha hi-hi sambil memperhebat serangannya. “Ehh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!”
Akan tetapi, meski pun dia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san Kun-hoat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tidak mudah bagi Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.
“Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, “dapatkah kau mengalahkan si gundul itu?”
Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu, kemudian bibirnya yang manis dan merah tersenyum.
“Agaknya tak akan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”
Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya dia berada begitu dekat Ang I Niocu, maka hatinya merasa girang dan terharu sekali.
Tanpa terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi mendadak tangan gadis itu mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Pada saat pemuda itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan mukanya untuk menonton pertempuran yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.
Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa sekarang Kanglam Sam-lojin benar-benar terdesak dan keadaan mereka sudah berbahaya sekali, sementara itu Hai Kong Hosiang semakin gagah dan ganas saja.
Pada saat itu kembali terdengar suara gaduh di luar goa, tetapi kali ini dari suara tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!
“Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak punya waktu lagi untuk melayanimu terlebih jauh,” Giok Im Cu berseru.
“Ha-ha, Kanglam Sam-lojin, hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari tempat ini dan jangan mengganggu aku!”
Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan menjenguk ke dalamnya.
Asap mengepul semakin banyak ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan tutup itu. Dia lalu melongok ke sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang kuat-kuat.
Dia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk mengangkat hiolouw. Tapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang pun tidak!
Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa mempergunakan tangannya untuk menutupi mulutnya agar jangan sampai tertawa. Dia geli sekali melihat betapa hwesio itu tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia pun merasa geli bercampur heran. Tak pernah disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.
Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar goa masuk seorang hwesio lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul.
Cin Hai makin heran ketika mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Kenapa ada banyak sekali orang-orang lihai datang ke goa ini?
Sementara itu, ketika mendengar suara orang masuk ke dalam goa, Hai Kong Hosiang lalu mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar itu!
Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, dia lantas tersenyum menyindir, “Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari pusaka ke dalam goa ini?”
Biauw Leng Hosiang membalas sindiran orang dengan suara memandang rendah, “Hai Kong, bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini, nanti apa bila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!”
“Biauw Leng, kau sungguh tidak memandang orang lain! Kepandaian apakah yang kau andalkan maka kau berani berkata semacam itu kepada orang seperti aku?”
“Sudahlah jangan banyak cakap lagi dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras itu kembali berkata.
Sekarang Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan menggunakan telunjuknya menuding sambil berkata keras,
“Biauw Leng! Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang masuk ke sini terlebih dulu? Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah kepada kau? Ketahuilah, aku masih memandang muka Suci-mu, Biauw Suthai yang selain gagah perkasa juga patut dihargai sebab memegang teguh peraturan kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!”
Kini tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring seperti suara ketawa seorang wanita.
”Hai Kong! Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah dulu! Kau bilang bahwa kau datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kau kira bahwa aku tidak melihat Kanglam Sam-lojin keluar dari sini? Aku tidak melihat mereka masuk, akan tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih dulu dari padamu?”
Hai Kong Hosiang menjadi malu dan semakin marah. “Tidak perlu kita mengadu lidah! Pendeknya, kalau kau menghendaki aku keluar, kau pun harus dapat mengantarkan!” Ini adalah tantangain berkelahi!
“Hai Kong! Kau kira pinceng tidak akan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw Leng Hosiang membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk bertempur!
Yang paling merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali menonton orang bertempur mengadu kepandaian silat, maka kini tentu saja ia merasa senang sekali melihat betapa beberapa kali terjadi pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi,. Ia maklum akan kelihaian Biauw Leng Hosiang yang pernah dilawannya, akan tetapi ia pun tahu bahwa Hai Kong Hosiang memiliki kepandaian tinggi juga.
Sambil berseru keras Biauw Leng Hosiang yang memiliki darah panas itu sudah mulai menyerang secara hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan kiri dan sebuah pedang pendek pada tangan kanannya, gerakannya cepat dan berat, kedua senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah hebatnya!
Sambil mengintai Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis itu sebab dia sedang mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kau duga siapa yang akan menang?”
Sejak tadi Ang I Niocu melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia merasa sayang dan suka sekali kepada anak muda ini. Dahulu ketika Cin Hai masih kecil dan berkepala gundul, dia merasa suka dan kasihan sekali dan merasa seakan-akan anak itu menjadi adiknya sendiri. Kini Cin Hai telah hampir dewasa dan melihat perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi tegap.
Akan tetapi, semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu terus memandang pertempuran dengan mata berkilat-kilat, wajah berseri-seri, serta mulut tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa sebetulnya dia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa heran dan tidak mengerti kenapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan merasa senang dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!
“Apa katamu?” ia balas berbisik.
Sesudah Cin Hai mengulangi pertanyaannya, dia lalu memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah siapa yang akan menang, kepandaian mereka berimbang. Walau pun ilmu silat Biauw Leng Hosiang lebih tinggi dan lebih lihai geraknya, akan tetapi Hai Kong Hosiang agaknya lebih menang dalam hal mempergunakan senjatanya yang lihai, juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu curang dalam setiap gerakannya. Mungkin pertempuran ini akan berjalan lama.”
Cin Hai memperhatikan baik-baik. Baginya, setiap pertempuran merupakan penambahan pengertiannya dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka dia dapat memetik beberapa pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara jago tua itu, dia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal sekali. Dia merasa bahwa untuk dapat mempunyai kepandaian tinggi dan mampu menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, dia masih harus belajar banyak!
Karena merasa jengkel tidak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang ternyata memiliki kepandaian lebih lihai dari pada yang semula dia sangka, Biauw Leng Hosiang merasa tidak sabar dan tiba-tiba dia bersuit keras.
Dari luar goa terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba saja dari luar menerobos lima orang yang berpakaian seragam. Mereka ternyata adalah perwira-perwira Sayap Garuda yang sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok Hai Kong Hosiang!
Perlu diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat perwira yang dibagi menurut tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang.
Sudah tentu saja masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini segera membuat Hai Kong Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi semakin sibuk lagi. Akhirnya sebuah totokan yang dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat dihindarkan sudah mengenai pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak keras sekali lalu roboh!
Apa bila orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang dilakukan dengan tenaga lweekang yang kuat, maka nyawanya tentu melayang. Hai Kong Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan sehingga ia hanya menderita luka dalam yang tak membahayakan jiwanya. Akan tetapi, totokan itu cukup hebat untuk merobohkannya sehingga untuk beberapa lama dia hanya duduk bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan luka di pundaknya yang menembus hingga dadanya.
”Biauw Leng Sute, kau sungguh bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dan tahu-tahu Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka laksana pantat kuali dan matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada di ruangan itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang.
Bukan main terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat suci-nya telah berada di situ! Hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.
Sebenarnya, setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu pada saat Biauw Leng Hosiang menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai segera pergi. Akan tetapi ia masih merasa curiga pada adik seperguruannya yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran aturan perguruan mereka dan berkali-kali dia tegur karena menjalankan kejahatan itu. Maka dia lalu mengikuti adik seperguruannya itu secara diam-diam.
Alangkah marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan lagi dengan para perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira menyerbu ke Goa Tengkorak itu. Dia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan sesudah melihat betapa sute-nya mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia langsung menyerbu masuk dan telah mengambil keputusan tetap untuk menghajar sute-nya yang tersesat.
“Biauw-suci, kau lagi-lagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku. Sebenarnya ada sangkut paut apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?” kata Biauw Leng Hosiang yang mulai memberontak dan hendak melawan karena dia dapat mengandalkan bantuan kelima perwira yang kosen itu.
“Biauw Leng! Apakah kau sudah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dahulu? Percuma saja kau menjadi pendeta apa bila kau selalu melanggar pantangan kita dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentunya masih ingat bahwa di antara segala pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim dan menjadi anjing penjilat. Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku masih bersabar sebab mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan tetapi tetap saja kau selalu melanggar. Sekarang, marilah kau ikut aku untuk mengadakan sumpah di depan makam Suhu!”
“Biauw-suci kau sungguh terlalu! Mengingat bahwa kau dulu sering melatih dan memberi pelajaran kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tapi kau jangan terlalu mendesak! Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan dan akan melawan jika diinjak, apa lagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci yang baik dan janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”
Wajah Biauw Suthai yang sudah buruk itu semakin memburuk dan matanya yang tinggal satu di sebelah kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa dia marah sekali. Biauw Leng Hosiang maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut dan jeri juga, akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.
“Biauw Leng, lepaskan senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya.
Biauw Leng Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah milik mendiang suhu mereka dan yang apa bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati akan dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai sudah mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun tentu akan dihukum mati oleh suci-nya sendiri!
Akan tetapi, Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan menyerang Biauw Suthai.
Cin Hai pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika dia dirobohkan oleh Biauw Leng Hosiang, maka dia merasa bersimpati kepada tokouw ini. Apa lagi kalau dia ingat bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka dia tidak dapat lagi menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang erat-erat tulang paha manusia yang masih dipegangnya pada saat ia pergi bersembunyi, lalu ia meloncat keluar sambil berteriak,
“He, kawanan Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan keroyokan!”
Ang I Niocu terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Dia maklum bahwa kepandaian Cin Hai masih terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu tinggi itu, maka dia lupa akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula mengejar Cin Hai sambil berseru,
“Hai-ji, hati-hati!”
Biauw Leng Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada orang yang datang dan bersembunyi, akan tetapi dia tak berdaya karena Biauw Suthai mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.
Sementara itu, ketika melihat keluarnya seorang pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak kelima perwira Sayap Garuda tertegun. Kemudian sesudah Ang I Niocu keluar mereka maklum bahwa pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara mereka lalu menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.
Cin Hai melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang sudah pernah ia pelajari. Oleh karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san Kun-hoat! Dengan ilmu silat campuran ini ternyata Cin Hai dapat mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.
Ada pun perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa gebrakan saja sudah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju Merah yang bagaikan menari-nari di depannya itu!
Melihat betapa kini perwira ini terancam oleh bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang perwira maju pula mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan nampak gembira sekali dikeroyok tiga! Selain menghadapi ketiga lawannya, nona ini juga berusaha mendekati Cin Hai sehingga dapat bersiap sedia membela serta menolong pemuda itu apa bila sampai terdesak dan berada dalam bahaya.
Sementara itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosiang dan seorang perwira saja, Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan hebat sekali. Suatu saat dia mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan merah yang dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil muntah darah dan tewas seketika itu juga!
Semua perwira merasa amat terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat. Melihat betapa orang yang mereka andalkan sudah tewas, maka mereka tidak berani bertempur lagi.
Ketika melihat sute-nya rebah di atas lantai batu dan telah binasa, tiba-tiba Biauw Suthai menubruk sambil menangis tersedu-sedu!
“Sute… Sute… mengapa kau mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin berkeluh-kesah dengan suara memilukan.
Biauw Suthai lantas menghampiri Hai Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata untuk mengobati luka di dalam dadanya. Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong Hosiang yang terluka hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan lukanya menjadi berkurang sakitnya.
“Hai Kong Hosiang, kau maafkan Sute-ku yang telah menebus dosanya dengan jiwanya.”
Hai Kong Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini pergi meninggalkan tempat itu. Biauw Suthai kemudian mengangkat sute-nya dan sambil memondong tubuh yang tak bernyawa lagi itu, ia hendak meninggalkan goa.
Akan tetapi Cin Hai melangkah maju dan sambil memberi hormat dia bertanya, “Suthai yang mulia, mohon tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah dia muridmu?”
Biauw Suthai memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, “Ehh, anak muda yang berani, kau siapakah?”
“Suthai tentu sudah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin ketika kau mencu... ehhh… membawanya pergi!”
Biauw Suthai teringat akan anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu ia pergi sambil memondong jenazah sute-nya!
Kelima Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa pembantu yang pandai, mereka merasa jeri menghadapi Ang I Niocu yang kelihaiannya tadi telah mereka kenal.
Ang I Niocu juga tidak mau mengejar karena sebenarnya nona ini sedang merasa kuatir sekali akan mendapat teguran dari susiok-couw-nya karena sudah berani-berani keluar dari tempat persembunyiannya. Oleh karena ini, sebelum ia menerima teguran ia segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut di situ sambil berkata,
“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia menerima hukuman!”
Akan tetapi tidak terdengar jawaban apa-apa. Ada pun Cin Hai merasa sangat tidak puas melihat sikap nona itu yang agaknya sangat takut terhadap Bu Pun Su. Pemuda ini lalu mengangkat kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika melihat yang berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali.
Orang ini bertubuh pendek sekali, barang kali sama tingginya dengan seorang anak-anak berusia sepuluh tahun. Kedua matanya bundar besar melirik kian ke mari tiada hentinya seperti mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali laksana telinga gajah, sedangkan mulutnya berbibir tebal. Ia memakai jubah panjang yang menggantung hingga ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna jubah ini yang hitam sekali.
“Eh, siapa orang kate ini?” Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah karena ia tidak sudi berlutut di depan orang kate itu.
Ang I Niocu juga menengok dan terkejutlah dia, terkejut sebab mengingat betapa lihainya orang ini yang dapat datang ke sana tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan dia sendiri dalam berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang kate ini telah berdiri di depannya.
Ketika ia bangun dan memandang, ia memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia dapat mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang telah terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari tandingannya di dunia kang-ouw bagian barat!
Ang I Niocu kemudian mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, “Locianpwe kami yang muda memberi hormat.”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.
“Pemuda tolol! Kau siapakah? Kau ini apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya dengan kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.
Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa semakin geli dan keras. Ketika tadi melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri bukan main, apa lagi melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu berbicara kepada Hek Moko dan menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), dia merasa semakin geli karena alangkah ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya dengan sebutan locianpwe.
Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, dia melihat betapa telinga gajah itu bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar-benar digerak-gerakkan untuk mengipas tubuh. Maka pemuda ini tidak dapat lagi menahan rasa geli di hatinya dan tertawa keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memutar-mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan tertawanya makin keras pula.
”Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.
“Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!”
Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!
“Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”
Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka dia berkata, “Orang tua, orang baru tertawa kalau hatinya senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin tertawa, tentulah berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan sebuah ujar-ujar tentang tertawa?”
Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang mempermainkan dirinya, akan tetapi dia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang tertawa itu. “Coba kau ceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan dua mata tetap berputar-putar.
Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh menirukan suara dan lagak gurunya yang dulu mengajarnya sastera,
“Mati diantar tangis, lahir disambut tawa. Namun bagaimanakah sikap orang bijaksana? Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!”
“Bagus, bagus, bagus!” Hek Moko memuji dan dia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.
“Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai sedangkan Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang mengobrol!
“Kenapa aku tertawa? Ha-ha-ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?”
Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke arah salah satu tengkorak sehingga tengkorak yang dikebutnya itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!
“Hek Moko, kau jangan terlalu sheji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!” Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang bicara dari berbagai penjuru!
Ternyata dalam kata-katanya ini Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan tenaga khikang-nya yang sudah dapat mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biar pun dia tidak meninggalkan goa itu, namun dia telah tahu bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko.
Hek Moko diam-diam memuji dan dia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak telinga. Dari luar goa terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara suitan itu lenyap, dari luar goa menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di hadapan Hek Moko!
Orang yang baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan tetapi anggota mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya berupa dua garis melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!
Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka datang dari sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya. Walau pun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sute-nya.
Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama asli mereka sudah dilupakan orang.
Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan bermalas-malasan.
“Kalian Iblis Hitam dan Iblis Putih, sesudah lebih dari lima belas tahun tidak berjumpa, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?” Bu Pun Su berkata sesudah berhadapan dengan mereka.
“Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kuduga kau masih hidup. Apakah kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?” tanya Hek Moko sambil memutar-mutar matanya.
“Hek Moko, jangan berbicara seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, kenapa takut aku menjadi perintang? Berbuatlah apa yang kau suka, aku tak akan peduli.”
Girang wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. Memang, semenjak tadi dia telah dapat melihat kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jeri hingga diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan tahun yang lampau, ia dan sute-nya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam tangan orang tua lihai itu sehingga mereka masih merasa jeri dan ragu-ragu untuk memusuhi orang tua itu.
“Ha-ha-ha, bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai. “Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian tadi sudah mendengar kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!”
Setelah berkata demikian, Hek Moko segera melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang cukup besar.
Hek Moko menjenguk dan dia segera meloncat sambil memperdengarkan suara tawanya yang aneh. Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh dan memandang ke arah Bu Pun Su. Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.
“Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek Moko berseru dan suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.
“Biarlah sekali lagi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!
Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri di dekat Bu Pun Su sehingga hiolouw itu tidak hanya mengancam Si Kakek Jembel saja, tetapi juga sekaligus mengancam mereka berdua!
Hiolouw raksasa itu begitu berat sehingga sebelum datang, anginnya sudah menyambar ke arah mereka. Benda kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa sehingga dapat dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini!
Akan tetapi di hadapan Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau ngeri. Karena itu dia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya menegang dan mata terbelalak.
Biar pun telah memiliki kepandaian tinggi, namun Ang I Niocu mengerti bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka dia hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping apa bila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di situ terdapat kakek gurunya, takut kalau-kalau dianggap lancang tangan.
Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang menyambar ke arah dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.
Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran sekali, pada waktu kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su seolah-olah besi sembrani yang menarik hiolouw itu sehingga kaki hiolouw menempel pada kulit kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!
Tidak hanya Cin Hai yang tanpa terasa lagi terpaksa meleletkan lidah saking kagum dan herannya, akan tetapi Ang I Niocu juga memandang dengan mata kagum karena baru sekarang ia menyaksikan sucouw-nya mendemonstrasikan kekuatan lweekang-nya yang tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.
Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lantas berkata dengan suara lemah lembut, “Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang, maka harus dihormati. Apa lagi benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih tua dari pada kalian atau aku, maka tidak boleh kita merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau tidak, tentu aku tak akan mengampunimu, Hek Moko!”
Sesudah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini segera bergerak cepat.
Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian mereka sendiri dan biar pun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut kemenangan. Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus.
Untuk bisa menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekang-nya dan meski pun tenaga lweekang kakek itu sangat hebat, namun sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini?
Biar pun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba saja keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya bermaksud untuk main-main. Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri menotok urat kematian di iga belakang!
Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh curang!”
Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu dia sudah mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka kemudian mendahului mengirim totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!
Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun bahwa Bu Pun Su mempunyai kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau saja mereka tetap meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran, tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok.
Cepat mereka menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan serangan lainnya! Mereka berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua itu tak akan dapat menyelamatkan diri lagi, karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!
Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru, “Celaka!”
Tubuhnya merupakan bayangan merah segera berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah dilepaskan ke tanah!
Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu semakin cepat meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu sehingga anginnya telah membuat rambut kakek itu berkibar.