Pendekar Bodoh
Karya Kho Ping Hoo
JILID 13
KINI melihat Lin Lin, ia merasa sangat tertarik dan suka. Ia merasa yakin bahwa di dalam kehidupannya yang dulu tentu ada hubungan sesuatu antara dia dan Lin Lin, oleh karena entah mengapa, ia merasa suka sekali dan rela membela gadis itu, biar dengan jiwanya sekali pun. Perasaan inilah yang merupakan cita-cita ke dua baginya, dan timbul setelah ia bertemu dengan Lin Lin.
Ia juga ingin mendapatkan harta di Pulau Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja dan membujuk Lin Lin supaya suka menjadi permaisurinya. Inilah cita-citanya dan inilah pikiran yang pada saat itu mengaduk hati dan otaknya.
Ia telah melihat kegagahan Nelayan Cengeng dan muridnya yang ternyata seorang gadis pula, telah menyaksikan pula kegagahan Lin Lin yang tidak lemah. Bila ditambah dengan dia sendiri menjadi empat orang, dan bukankah empat orang gagah yang tangguh, kuat, akan sanggup mengusir musuh yang mana pun juga?
Untuk menjawab pertanyaan Lin Lin ia mengangguk, “Memang benar, Nona Lin Lin, aku hendak pergi menuju ke sebuah Pulau Emas. Sayang sekali perahuku telah rusak dan tenggelam.”
Mendengar disebutnya Pulau Emas, Nelayan Cengeng tertarik sekali dan ia lalu berkata, “Saudara Yo Se Fei! Benar-benar adakah pulau dongeng itu? Semenjak aku masih kecil, sering kali aku mendengar dongeng tentang Pulau Emas ini, dan dalam beberapa hari ini telah dua kali aku mendengar pula tentang Pulau Emas ini.”
Yousuf memandangnya tajam sekali. “Sudah dua kali? Lo-enghiong, dari siapa pulakah kau mendengar tentang Pulau Emas ini?”
Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam perantauannya bersama dengan Ma Hoa, beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan seorang bangsa Mongol tua yang juga menyebut akan adanya Pulau Emas itu, bahkan orang Mongol itu dalam mengobrol telah membuka rahasia bahwa Pangeran Vayami, pemimpin Agama Buddha Merah itu, hendak mencari pulau ini pula.
Yousuf kaget sekali mendengar ini. “Ah, sudah kusangka bahwa Pangeran Vayami tentu mempunyai maksud tertentu dalam kunjungannya ke pedalaman dan hendak menghadap Kaisar Tiongkok! Tidak tahunya, ia juga menghendaki pulau itu. Ah, kita harus cepat ke sana, jangan sampai didahului orang!”
Melihat bahwa orang Turki ini pucat dan bingung, Nelayan Cengeng lalu bertanya lagi, “Saudara yang baik, sebetulnya pulau itu dimanakah letaknya dan apa namanya?”
Yousuf sudah habis sabar, akan tetapi oleh karena maklum bahwa kakek nelayan yang gagah ini merupakan tenaga bantuan yang amat berguna, ia bersabar dan menerangkan dengan singkat, “Pulau itu bernama Kim-san-to (Pulau Gunung Emas) dan berada di sebelah timur pantai Tiongkok. Kalau belum tahu jalannya, memang sukar sekali rnencari pulau yang berada di antara puluhan pulau-pulau kecil lain itu.”
Nelayan Cengeng menjadi sangat tertarik hatinya dan demikianlah, kedua orang ini lalu bercakap-cakap dan Yousuf dengan amat sabarnya menjawab tiap pertanyaan Nelayan Cengeng sehingga kakek nelayan ini akhirnya terbangkit pula keinginan tahunya dan dia ingin sekali melihat serta menyaksikan dengan mata sendiri keadaan pulau yang sudah dikenalnya di dalam dongeng itu.
Sementara itu, Lin Lin lalu menceritakan kepada Ma Hoa tentang semua pengalamannya dan ketika Ma Hoa bertanya di mana adanya Ang I Niocu, dia menjawab, “Siapa yang dapat mengetahui di mana adanya dia sekarang.” Lin Lin lalu menghela napas khawatir. “Sungguh sial sekali, belum juga kami berjumpa dengan Hai-ko, sekarang Cici Im Giok sudah harus berpisah lagi denganku! Ahh, sekarang menjadi makin ruwet, karena selain harus mencari Hai-ko dan Ang-ko, aku pun harus mencari Cici Im Giok! Ehh, Enci Hoa, semenjak tadi aku saja yang banyak berbicara sedangkan kau hanya menjadi pendengar saja. Kau ceritakanlah, bagaimana kau bisa sampai di sini dan menolong aku?”
Memang Ma Hoa orangnya agak pendiam dan tak banyak bicara. Sekarang mendengar pertanyaan Lin Lin, tiba-tiba sepasang matanya menjadi merah dan ia mengeraskan hati untuk menahan keluarnya air matanya.
Lin Lin terkejut dan memegang lengannya. “Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi? Kau nampak pucat sekali!”
Dengan mengeraskan hati, Ma Hoa kemudian menceritakan mala petaka yang menimpa keluarganya, akan tetapi pada saat melihat betapa sepasang mata Lin Lin yang lebar itu memandangnya dengan terbelalak dan dari kedua matanya itu mengalir butiran-butiran air mata karena terharu dan kasihan, Ma Hoa tidak dapat lagi menahan kesedihannya. Ia mengakhiri penuturannya dengan kata-kata yang sukar keluarnya,
“Adik Lin, habislah seluruh keluargaku, mereka telah binasa semua, tinggal aku seorang diri... sebatang kara...!”
Lin Lin memeluk gadis itu dan keduanya segera bertangis-tangisan oleh karena memang terdapat banyak persamaan di antara mereka berdua, oleh karena seperti juga Ma Hoa, keluarga Lin Lin juga habis binasa.
“Enci Hoa, jangan kau khawatir, bukankah kau masih memiliki kawan-kawan baik seperti Suhu-mu itu dan aku dan Engko An? Juga Hai-ko dan Enci Im Giok adalah kawan-kawan yang baik dan yang senantiasa bersiap sedia membantu dan menolongmu!”
Mendengar hiburan ini, agak redalah kesedihan yang menekan hati Ma Hoa dan mereka berdua lalu memandang ke arah Yousuf yang ketika itu masih bercakap-cakap dengan Nelayan Cengeng. Sebuah permufakatan telah dicapai oleh dua orang ini, yaitu Nelayan Cengeng telah mengambil keputusan untuk ikut Yousuf mencari Pulau Emas!
“Hai, Ma Hoa dan Lin Lin, ke marilah! Jangan hanya bertangis-tangisan saja, ada kabar baik yang harus dibicarakan bersama!” Si Nelayan Cengeng berkata dan dua orang gadis itu lalu menghampiri mereka sambil menyusut air mata dengan sapu tangan.
Nelayan Cengeng lalu memberitahukan bahwa mereka bertiga akan ikut Yousuf mencari Pulau Emas itu.
“Akan tetapi, Locianpwe, bagaimana dengan usahaku untuk mencari saudara dan kawan-kawanku?”
Nelayan Cengeng tersenyum. “Dengarlah, Lin Lin. Kita belum lagi tahu ke mana perginya mereka itu dan tanpa petunjuk yang tepat, ke manakah kita harus mencari mereka! Pula, dari Saudara Yo Se Fei ini aku mendengar bahwa besar sekali kemungkinan Pangeran Vayami juga akan pergi mencari Pulau Emas ini sehingga bukan tak mungkin bahwa Hai Kong Hosiang akan menemani rombongan Pangeran Vayami itu. Sudah terang bahwa Cin Hai, Kwee An, mau pun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio itu dan apa bila hwesio itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu mereka akan menuju ke pulau itu pula! Nah, bukankah ini lebih baik dari pada kita berkeliaran tidak karuan tanpa tujuan tertentu?”
Lin Lin menganggap alasan ini cukup kuat, oleh karena ia tahu bahwa Ang I Niocu juga sedang mencari Cin Hai dan Kwee An, sedang kedua pemuda itu mengejar Hai Kong Hosiang, maka kalau benar hwesio itu pergi juga mencari pulau emas, memang bukan tak mungkin mereka semua menuju ke tempat yang sama! Maka akhirnya ia berkata,
“Terserah pada Locianpwe saja, aku yang muda dan bodoh hanya menurut dan percaya penuh kepadamu, orang tua!”
Mendengar persetujuan yang keluar dari mulut gadis ini, Yousuf menjadi gembira sekali, akan tetapi dia menyembunyikan perasaannya ini dan berkata,
“Nah, kita berempat bisa berangkat sekarang juga, akan tetapi, perahumu begitu kecil. Sayang sekali perahuku telah tenggelam!”
Walau pun Nelayan Cengeng sudah tua, akan tetapi pandangan matanya tajam. Melihat wajah orang Turki itu berseri-seri saat mendengar kata-kata persetujuan yang diucapkan oleh Lin Lin, di dalam hatinya timbul kecurigaan yang membuatnya menjadi hati-hati.
Akan tetapi, sambil tertawa dia menjawab pertanyaan Yousuf, “Apakah susahnya untuk mendapatkan perahu yang tenggelam?” Setelah berkata demikian, kakek nelayan ini lalu memperlihatkan kepandaiannya di dalam air yang benar-benar hebat.
Ia menanggalkan jubah luarnya dan dengan pakaian ringkas lalu meloncat ke dalam air. Tubuhnya yang kurus itu terjun ke dalam air tanpa bersuara seakan-akan sebatang anak panah dilepas ke dalam air saja. Agak lama semua orang menanti dengan hati berdebar, kecuali Ma Hoa yang sudah maklum akan kepandaian gurunya.
Kemudian air itu bergelombang hebat dan dari bawah muncullah tubuh perahu Yousuf yang tadi tenggelam! Ternyata Si Nelayan Cengeng telah mendapatkan tubuh perahu itu dan menariknya ke atas permukaan air dalam keadaan miring hingga tidak ada air yang memasuki tubuh perahu itu. Kemudian Si Nelayan Cengeng berenang cepat ke pinggir dan sekali ia menggerakkan tangan, perahu besar itu dapat didorongnya ke tepi hingga meluncur cepat dan mendarat di pinggiran sungai! Yousuf segera menarik perahu itu ke atas dan tiada hentinya memuji.
“Ah, kau betul-betul gagah luar biasa. Di darat kau telah membuat aku kagum, akan tetapi kepandaianmu di air ini betul-betul membuat aku tunduk!” Sambil berkata begini Yousuf lalu menjura di depan Kong Hwat Lojin yang telah melompat ke darat.
Akan tetapi kakek nelayan itu hanya tertawa saja sambil mengeringkan tubuhnya dengan jubah luarnya yang tadi ditanggalkan, lalu berkata,
“Sudahlah, di antara kawan sendiri mana ada aturan puji-memuji? Lebih baik kalau kita sekarang memperbaiki perahumu ini agar dapat segera berangkat!”
Dua orang itu lalu memperbaiki badan perahu yang tadi pecah berlubang karena pukulan dayung Si Nelayan Cengeng dan sebentar saja perahu itu telah baik kembali. Yousuf lalu memerintahkan kedua orang pembantunya untuk pergi dari situ oleh karena dia sudah tak memerlukan tenaga mereka lagi. Dia merogoh kantongnya dan memberi empat potong uang emas kepada dua orang itu yang menerimanya dengan girang.
Setelah itu, maka berangkatlah Yousuf bersama Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Lin Lin. Perahu mereka meluncur cepat oleh karena selain terbawa hanyut oleh aliran sungai yang deras, juga dibantu oleh tenaga dayung Si Nelayan Cengeng yang kuat bukan main. Sebelum senja hari, perahu mereka telah tiba di mulut sungai dan mulai memasuki laut yang luas!
Baik kita tinggalkan lebih dulu Lin Lin bersama kawan-kawannya yang menuju ke Pulau Kim-san-to itu, dan kita mengikuti pengalaman Kwee An.
Ketika terjadi perkelahian bebas di atas perahu Pangeran Vayami, kemudian menerima tendangan di betisnya yang dilakukan oleh Pangeran Mongol itu sehingga dia terjatuh ke dalam sungai, Kwee An sudah mencoba tenaga dan kepandaiannya yang dipelajari dari Nelayan Cengeng untuk berenang ke pinggir. Akan tetapi, aliran air sungai itu amat deras dan kuatnya sehingga usahanya gagal, bahkan tubuhnya hanyut dengan cepatnya!
Baiknya Kwee An telah mendapat latihan dari Nelayan Cengeng, kalau tidak pasti ia akan tenggelam atau tubuhnya akan hancur terbentur pada batu-batu dan karang yang banyak menonjol di permukaan air. Dia lalu mengeluarkan kepandaiannya dan mempergunakan gerakan Ular Air Menyeberang Laut untuk berenang sambil mengikuti aliran air dengan cara berlenggang-lenggok bagaikan seekor ular hingga dia dapat menghindarkan diri dari pada tubrukan dengan batu-batu karang.
Dia masih dapat melihat betapa perahu di mana Cin Hai masih bertempur seru melawan Hai Kong Hosiang itu terbakar hebat, hingga diam-diam ia menjadi gelisah, menguatirkan keselamatan kawannya itu. Akan tetapi, sungai itu mengalir dalam sebuah tikungan yang tajam sekali sehingga ia harus segera mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri.
Setelah hanyut jauh sekali, sedikitnya terpisah lima li dari tempat di mana ia tadi terjatuh, aliran air mulai lemah dan dengan hati girang Kwee An lalu berenang ke pinggir dengan maksud setelah dapat mendarat akan segera lari kembali ke tempat tadi dan membantu Cin Hai. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat beberapa ekor binatang aneh yang berenang cepat menuju ke arah dirinya.
Kwee An cepat berenang ke tepi. Akan tetapi, kembali dia terkejut oleh karena binatang-binatang seperti yang sedang berenang di tengah sungai itu, terdapat pula di darat dan memenuhi tepian sungai. Agaknya mereka sedang berjemur diri di pantai itu dan jumlah yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.
Binatang-binatang yang terlihat oleh Kwee An ini adalah binatang sebangsa buaya, akan tetapi lebih menyerupai cecak besar dan ada yang panjangnya sampai sepuluh kaki dan mulutnya terbuka lebar. Ketika Kwee An tiba di tepi, maka binatang-binatang yang berada di pantai itu pun lalu maju merangkak dan menyerbu.
Kwee An menjadi bingung. Untuk naik ke darat, puluhan ekor binatang buas ini telah siap menanti sedangkan untuk tinggal di dalam air, dari tengah telah berenang beberapa belas ekor yang menuju kepadanya. Ia pikir, lebih baik menghadapi puluhan ekor di darat dari pada belasan ekor di air oleh karena binatang itu dapat berenang cepat sekali sedangkan kepandaiannya di dalam air masih rendah.
Ia lalu terus berenang ke pinggir dan ketika air telah menjadi dangkal hingga sampai ke paha, dari tepi telah turun lima ekor yang terbesar dan cepat menyerbunya dengan mulut ternganga lebar. Kwee An lantas menggenjot tubuhnya melompat hingga kedua kakinya melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya itu menyambar dengan mulut mereka yang runcing, ia cepat-cepat menendangkan kaki kanan ke arah kepala binatang itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu lonpatan ke darat.
Akan tetapi jumlah binatang-binatang itu terlalu banyak sehingga ke arah mana saja dia melompat, dia langsung disambut oleh beberapa ekor buaya yang menyerbunya dengan dahsyat dan liar. Kwee An lalu mempergunakan kecepatan dan seluruh tenaganya untuk melawan. Ia menendang, memukul, menangkap ekor dan membanting, hingga sebentar saja puluhan ekor binatang kena dibinasakan.
Akan tetapi yang datang semakin banyak saja sehingga Kwee An kehabisan tenaga dan mulai menjadi ngeri dan jijik. Binatang-binatang yang masih hidup segera menerkam dan menyerang kawan-kawannya sendiri yang terluka dan makan daging mereka, sedangkan yang lain-lain masih saja menyerbu dengan hebat.
Oleh karena merasa ngeri melihat banyaknya binatang yang mengeroyoknya, dan oleh karena tenaganya tadi memang telah banyak dihabiskan untuk melawan air sehingga dia menjadi lelah sekali, maka Kwee An berlaku kurang cepat sehingga tiba-tiba dia merasa kaki kirinya sakit sekali. Dia menengok dan melihat bahwa seekor buaya sudah berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat Kwee An berjongkok dan sekali tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya berhasil memasuki rongga mata buaya yang menggigit itu!
Binatang itu merasa kesakitan dan tak terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor hingga dengan cepat Kwee An dapat melepaskan kakinya! Darah mengucur membasahi kaus kaki dan celananya. Dengan muka meringis kesakitan, pemuda itu menjadi begitu marah hingga ia lalu mengamuk hebat! Ia mencabut pedangnya dan dengan senjata ini ia menghajar semua buaya yang berani datang mendekat hingga mayat binatang itu sampai bertumpuk-tumpuk dan malang melintang di sekitarnya.
Mendadak terdengar suara suitan keras dan aneh! Buaya-buaya yang masih hidup dan belum terluka, lalu nampak terkejut dan buru-buru mereka lari ke sungai! Kwee An sudah terlalu lemah, maka kepalanya menjadi pening dan pemandangan matanya berkunang-kunang.
Kwee An melihat seorang gemuk tetapi pendek sekali berdiri di depannya dengan sebuah cambuk panjang pada tangannya, dan suara orang itu terdengar keras dan besar ketika menegur,
“Pemuda kurang ajar dari manakah yang berani mengganggu serta membunuh binatang ternakku?”
Kwee An yang sudah lelah dan pusing itu merasa bagaikan bertemu dengan iblis sungai, oleh karena kecuali iblis sungai, siapakah orangnya yang menganggap buaya-buaya itu sebagai binatang ternaknya? Pemuda itu tidak dapat menguasai dirinya lagi oleh karena lapar, lelah, dan lemas kehilangan banyak darah.
“Aku... aku... lelah...,” katanya dan ia lalu roboh terguling dan pingsan. Tubuhnya roboh di atas mayat-mayat binatang yang tadi diamuknya!
Ketika ia sadar kembali, Kwee An mendapatkan dirinya telah berbaring di atas balai-balai bambu dalam sebuah kamar yang terbuat dari pada bambu pula. Ia segera bangun dan mengeluh oleh karena kaki kirinya terasa sakit dan perih. Ketika ia teringat akan luka di kakinya oleh gigitan buaya itu, ia segera menengok ke arah betisnya dan ternyata bahwa kakinya telah dibalut erat-erat. Ia dapat menduga bahwa orang pendek yang disangkanya iblis sungai itu tentu yang telah menolongnya, maka ia merasa berterima kasih sekali.
Walau pun keluhan suaranya perlahan sekali, akan tetapi ternyata sudah didengar orang, oleh karena dari luar pintu kamar segera terdengar suara orang, “Ehh, anak muda, kau sudah bangun?”
Ketika Kwee An memandang, ternyata penolongnya yang pendek itu muncul dari pintu dengan sepiring masakan yang masih mengepul berada pada tangan kirinya. Si Kate itu memasuki bilik, lalu berkata sambil tertawa, “Nah, kau makanlah dulu. Kesehatanmu pasti akan pulih lagi seperti sedia kala!”
Ketika Kwee An hendak bangkit untuk menghaturkan terima kasih, mendadak dia merasa lehernya seolah-olah tercekik dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu akan terlihat menjadi pucat sekali kalau saja kulit mukanya tidak memang sudah pucat sekali sehingga perubahan itu tidak terlalu nampak.
Pada saat itu dia telah mengenal orang pendek ini yang bukan lain adalah Hek Moko, Si Iblis Hitam yang sangat lihai dan yang dulu pernah bertempur dengan Cin Hai di depan rumahnya! Kwee An berpikir cepat dan ia segera memaksa mulutnya bersenyum. Sambil menerima piring itu ia berkata dengan pura-pura masih lemas tak bertenaga,
“Terima kasih, Lopek. Sungguh kau baik sekali dan atas pertolonganmu ini aku ucapkan banyak-banyak terima kasih.”
Kwee An sengaja berbuat seakan-akan ia tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum bahwa iblis ini pun tidak tahu siapa adanya dia dan apa bila iblis ini tahu bahwa Cin Hai berada di dekat situ, tentu ia akan pergi mengejarnya!
“Kau makanlah yang enak. Aku hendak mengurus hewan ternakku lebih dulu! Kau gagah sekali dan telah berhasil membunuh dua puluh empat ekor hewanku hingga bukan sedikit aku menderita kerugian!” katanya lalu keluar dari pintu dengan langkah-langkahnya yang pendek tetapi cepat.
Kwee An menarik napas lega. Ternyata iblis itu tidak mengenal dan tidak mencurigainya sehingga untuk sementara waktu ia akan selamat. Dia maklum bahwa Iblis Hitam ini lihai sekali, apa lagi kalau di situ ada pula Iblis Putih yang tinggi besar oleh karena menurut penuturan Cin Hai, kedua Iblis Hitam Putih atau Hek Pek Moko ini jarang sekali berpisah.
Sambil memikirkan jalan untuk melarikan diri dari tempat berbahaya ini, Kwee An yang telah merasa lapar sekali lalu makan daging yang masih panas mengepul di atas piring itu. Dia tidak tahu masakan daging apakah ini, akan tetapi karena perutnya terasa lapar sekali, ia tidak peduli dan segera makan daging itu. Di luar dugaannya semula, daging ini rasanya manis dan harum serta gurih sekali hingga sebentar saja sepiring besar daging itu telah habis memasuki perutnya!
Kemudian ia turun dari pembaringan dan mencoba berjalan. Ia dapat berjalan, akan tetapi dengan pincang sehingga tidak mungkin untuk melarikan diri, oleh karena ia belum dapat mempergunakan ilmu lari cepat. Kwee An menjadi bingung dan dia sangat menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur di atas perahu melawan Hai Kong Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah dibakar oleh Pangeran Vayami!
Tak lama kemudian, Hek Moko masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa-tawa. Jubahnya yang hitam itu melambai-lambai di belakangnya.
“Ha, kau sudah makan! Bagaimana, enakkah hidanganku itu?”
Kwee An tersenyum. “Enak sekali, entah daging apakah yang Lopek suguhkan tadi?”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa bergelak-gelak dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Kwee An berdiri oleh karena memang suara ini amat menyeramkan. “Ha-ha, anak muda. Memang kau pantas merasakan masakan daging luar biasa itu. Ketahuilah, daging yang kau makan itu adalah daging hewan ternakku!”
Kwee An tercengang dan sama sekali tidak pernah menduga bahwa daging buaya yang liar itu demikian enaknya. Kini dia mengerti mengapa Iblis Hitam ini memelihara hewan ternak yang luar biasa ini.
“Apakah memang pekerjaan Lopek memelihara hewan ternak yang luar biasa ini?”
Hek Moko mengangguk-angguk. “Memang inilah pekerjaanku sejak dulu! Tadinya buaya ini hanya ada beberapa belas pasang saja, akan tetapi kini telah menjadi beratus-ratus pasang banyaknya! Dan hanya orang-orang gagah dan orang besar saja yang mendapat kesempatan merasakan kenikmatan daging hewan ternakku ini. Tahukah engkau bahwa untuk daging seekor saja kaisar berani membayar dengan tiga puluh potong uang emas? Ha-ha-ha!”
“Lopek, kau benar-benar orang luar biasa yang baik hati. Aku sudah berlancang tangan membunuh banyak hewan ternakmu, akan tetapi kau tidak marah kepadaku, sebaliknya kau telah menolong dan merawatku. Sungguh aku berhutang budi kepadamu!”
“Hush! Jangan kau berkata begitu. Di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi!”
Kwee An merasa terkejut dan heran sekali, oleh karena dia benar-benar tidak mengerti akan maksud kata-kata Iblis Hitam ini. Di antara ayah dan anak? Apa maksudnya?
Kembali Si Iblis Hitam tertawa bergelak-gelak, “Ya, di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi dan kau akan menjadi anakku yang baik!”
Bukan main terkejutnya Kwee An. Dia pikir bahwa Iblis Hitam ini telah menjadi gila dan mengaku dia sebagai anaknya. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian iblis ini, maka dia pikir untuk sementara waktu baik dia tidak membantahnya dan tinggal diam saja.
“Eh, anak muda yang gagah. Kau bernama siapa dan mengapa kau bisa hanyut di sungai ini?” Sambil bertanya demikian, Iblis Hitam itu memandang Kwee An dengan mata tajam dan pandang mata menyelidiki.
“Namaku Kwee An,” jawab pemuda itu dan tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik.
Dia maklum bahwa iblis ini lihai sekali dan kepandaiannya mungkin sekali lebih tinggi dari pada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka dia lalu melanjutkan, “Dan aku hanyut karena perbuatan seorang hwesio bernama Hai Kong Hosiang.”
Benar saja, disebutnya nama hwesio ini membuat Hek Moko memandang heran. “Hai Kong? Bagaimana kau bertemu dengan hwesio itu?”
“Aku adalah seorang perantau dan pada waktu aku hendak menyeberang sungai ini, aku bertemu dengan Hai Kong Hosiang. Kami berebut perahu dan kami berkelahi. Akan tetapi aku kalah dan dia melemparku ke dalam sungai.”
“Ha-ha-ha! Kau benar-benar patut menjadi puteraku! Kau sudah bertempur melawan Hai Kong tetapi kau tidak mendapat luka! Bagus, bagus! Aku tidak suka akan namamu dan mulai sekarang kau bernama Siauw Moko (Iblis Kecil).”
Kwee An merasa dongkol sekali, akan tetapi ia tidak begitu bodoh untuk memperlihatkan perasaan ini. Ia hanya berkata, “Lopek, aku telah berhutang budi kepadamu maka tentu saja aku tidak berani membantah kehendakmu. Akan tetapi, nama yang kau berikan kepadaku itu kurang sedap didengar!”
Hek Moko memandang Kwee An dengan mata melotot. “Apa?! Kurang sedap didengar? Hai, anak muda, sampai di manakah kepandaianmu sehingga kau merasa kurang patut bernama Siauw Moko? Ketahuilah, aku yang bernama Hek Moko mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu. Engkau harus menurut segala kata-kataku oleh karena kau adalah anakku Siauw Moko yang dulu telah meninggal, akan tetapi sekarang kau hidup kembali. Anakku yang baik, jangan kau kuatir, aku akan melatihmu dan dalam beberapa bulan saja jangan kata baru seorang Hai Kong Hosiang, meski ada tiga orang Hai Kong, engkau tak usah merasa takut lagi!”
Sesudah berkata demikian, Hek Moko lalu maju memeluk dan menciumi muka Kwee An sebagai seorang ayah menciumi anaknya dengan penuh kasih sayang!
Kwee An merasa terkejut, takut, dan juga terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa dulu tentu Iblis Hitam ini memiliki seorang putera dan putera itu meninggal dunia. Dan ketika melihatnya, iblis ini teringat kepada puteranya hingga tiba-tiba saja mengakui dia sebagai anaknya! Akan tetapi diam-diam Kwee An merasa girang juga karena ia akan menerima pelajaran silat dari kakek iblis yang berbahaya dan lihai ini!
Memang dugaan Kwee An itu tepat. Dulu, Hek Moko mempunyai seorang putera yang wajahnya hampir sama dengan wajah Kwee An. Dan puteranya ini telah meninggal dunia karena terserang sejenis penyakit berbahaya. Padahal ia telah menunangkan puteranya itu dengan puteri Pek Moko, yaitu Pek Bin Moli yang cantik jelita dan berotak miring.
Tentu saja kematian puteranya ini membuat Hek Moko menjadi sedih dan membuat dia menjadi semakin jahat, liar dan gila! Bersama Pek Moko yang menjadi sute-nya, dia lalu menjadi sepasang hantu yang menjagoi seluruh daerah Tibet dan mendengar namanya saja, semua orang telah ketakutan setengah mati.
Tempat tinggal Hek Pek Moko memang tidak tentu dan mereka ini merantau dari satu ke lain jurusan. Akan tetapi, kebanyakan mereka selalu berdua dan jarang nampak mereka berpisah. Kali ini Pek Moko tidak nampak bersama suheng-nya oleh karena Iblis Putih ini sedang pergi mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli yang sudah lama minggat untuk mencari suaminya, yaitu Ong Hu Lin yang menjadi piauwsu dan telah mengadakan perhubungan dengan Giok-gan Kui-bo kakak seperguruan Ang I Niocu sehingga timbul perkelahian antara Giok-gan Kui-bo dan Pek Bin Moli dan akhirnya Pek Bin Moli dapat menemukan kembali suaminya itu yang dibawanya pergi!
Sejahat-jahatnya manusia, dia masih mempunyai perasaan kasih sayang yang bersifat suci murni terhadap anaknya. Demikian pula Hek Moko. Meski manusia ini telah terkenal sebagai iblis yang jahat serta kejam, akan tetapi kini sesudah bertemu kembali dengan puteranya, dia memperlakukan Kwee An dengan baik sekali sehingga diam-diam Kwee An menjadi terharu dan timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap iblis tua ini.
Kwee An memang telah kehilangan ayahnya, dan dulu ia pernah meninggalkan ayahnya untuk waktu yang cukup lama, yaitu ketika merantau mempelajari ilmu. Maka kini biar pun maklum akan kejahatan dan kekejaman Hek Moko, akan tetapi mendapat perlakuan yang demikian penuh perhatian dan baik, serta menerima latihan-latihan silat dengan penuh keikhlasan, timbul juga rasa sayang dalam hatinya terhadap Iblis Hitam ini!
Atas paksaan Hek Moko, Kwee An menyebut ayah kepada iblis pendek yang luar biasa ini, sedangkan Hek Moko memanggilnya Siauw-mo atau Setan Kecil. Kwee An belajar dengan tekun dan rajin dan biar pun dia merasa girang menerima latihan ilmu silat yang amat tinggi dan lihai dari ayah angkatnya ini, namun diam-diam ia bergidik menyaksikan betapa ilmu silat yang dipelajarinya ini benar-benar keji dan ganas!
Akan tetapi baru satu bulan saja dia sudah mendapat kemajuan pesat sekali, oleh karena memang ia telah mempunyai dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan pelajaran ini mudah saja diterima olehnya dan tentu saja Moko menjadi girang sekali. Ketika merasa bahwa ilmu silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko lalu berkata,
“Siauw-mo anakku, sekarang kau tak akan kalah bila menghadapi Hai Kong!”
Kwee An menghaturkan rasa terima kasih dengan sepenuh hatinya. “Ayah, sekarang juga anakmu akan pergi mencari Hai Kong untuk membalas dendam karena kekalahan yang lalu!”
“Bagus, bagus! Di dunia ini tidak ada orang yang boleh menghina anakku! Aku akan pergi bersamamu dan menghajar hwesio gundul itu!”
Kwee An terkejut, karena dia ingin mencari Cin Hai, bagaimana dia bisa membawa serta ayah angkatnya ini? Dia lalu mencari akal dan berkata,
“Ayah, apakah Ayah mau membikin aku menjadi malu? Kalau Ayah ikut, Hai Kong akan menganggap bahwa aku takut kepadanya dan sengaja mengajak kau orang tua! Untuk menghadapi Hai Kong saja, aku yang telah menerima kepandaian darimu, sudah cukup. Untuk apa Ayah harus mencapaikan diri dan mengotorkan tangan untuk menghukum dia. Dan pula, bagaimana dengan hewan ternak di sini kalau Ayah ikut pergi?”
Hek Moko terdiam dan tak dapat menjawab. Dia berpikir bahwa anaknya ini benar juga dan alasan-alasannya pun pantas, maka dia lalu mengurungkan maksudnya hendak ikut. “Baiklah, kau pergi dan hajarlah hwesio itu. Aku menunggumu di sini! Tetapi kau harus lekas kembali dan jangan meninggalkan Ayahmu lama-lama, Siauw-mo. Ingat, aku sudah tua sekali dan mungkin hidupku di dunia ini takkan lama lagi!”
Ucapan ini menusuk perasaan Kwee An dan menyentuh hati sanubarinya. Dia kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Hitam itu dan berkata, “Ayah, aku takkan melupakan kau selama hidupku!” Setelah berkata demikian, Kwee An lalu meninggalkan tempat itu.
Ia segera menuju ke tempat di mana dulu dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran Vayami, akan tetapi di situ telah sunyi dan tidak terlihat sedikit pun bekas-bekas adanya Cin Hai. Kwee An berdiri termenung di tepi sungai dengan hati bingung dan sedih.
Tiba-tiba terdengar gerakan perlahan di belakangnya dan dia tahu bahwa itu adalah Hek Moko yang datang! Benar saja, sebab segera terdengar suara Hek Moko dan Iblis Hitam itu telah berada di belakangnya.
Kwee An segera menengok dan melihat bahwa ayah angkatnya itu telah datang beserta Pek Moko yang kelihatan menyeramkan sekali oleh karena wajahnya yang buruk itu kini nampak muram dan marah, sedangkan rambutnya telah putih semua yang membuat dia nampak tua sekali! Iblis putih ini memandang kepada Kwee An dengan tajam dan ia pun mengangguk-angguk sambil berkata,
“Anak pungutmu ini terlalu cakap, Suheng, tapi dia cukup baik menjadi anakmu!”
Hek Moko tertawa senang dan berkata kepada Kwee An, “Anakku, ini adalah Susiok-mu yang bernama Pek Moko. Kau cukup menyebutnya Pek-susiok saja!”
Kwee An berpura-pura belum pernah melihat Pek Moko dan dia lalu berlutut memberi hormat, “Pek-susiok, terimalah hormat teecu.”
Pek Moko mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. “Jangan terlalu menghormat, Siauw-mo, aku tidak biasa dihormati orang seperti ini!”
Kwee An terkejut, akan tetapi Hek Moko hanya tertawa senang.
“Siauw-mo, kau tidak akan dapat mencari Hai Kong oleh karena hwesio itu sedang pergi mencari Pulau Emas! Malah aku dan Susiok-mu ini pun hendak pergi ke sana pula. Hayo kau ikut kami dan tentu di sana kau akan dapat bertemu dengan Hai Kong Hosiang!”
Kwee An menjadi girang, akan tetapi sebenarnya dia tidak senang harus pergi bersama sepasang iblis ini. “Bagaimana Ayah bisa tahu bahwa dia pergi ke Pulau Emas dan di manakah letak pulau itu?” tanyanya.
Hek Moko lalu menceritakan pengalaman Pek Moko. Ternyata bahwa pada saat mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli, Pek Moko sebetulnya telah berhasil menemukan anak perempuannya itu, tetapi dalam keadaan mati!
Ong Hu Lin, menantunya yang menjadi suami Pek Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah dibawa pergi oleh isterinya yang gila, di tengah jalan kemudian mencari akal dan akhirnya pada suatu malam, ketika isterinya yang berotak miring itu sedang tidur pulas, ia dengan kejam telah membunuh isterinya ini!
Pada saat Pek Moko mendengar tentang hal ini, ia lalu mencari Ong Hu Lin dan setelah bertemu, ia lalu menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh kemarahan hingga tubuh Ong Hu Lin dihancurkan sampai tak karuan macamnya lagi! Peristiwa ini membuat Pek Moko sangat berduka sehingga seluruh rambutnya memutih dan wajahnya menjadi kejam dan muram selalu.
Kemudian secara kebetulan Iblis Putih ini mendengar tentang adanya Pulau Emas yang kini sedang dicari-cari dan agaknya hendak dijadikan rebutan antara orang-orang Turki, suku bangsa Mongol, serta oleh Pemerintah Kaisar sendiri! Dia segera mencari kakak seperguruannya, yaitu Hek Moko dan setelah dia menceritakan semua ini, Hek Moko lalu mengajak menyusul Kwee An yang baru saja pergi dari situ untuk diajak bersama-sama pergi mencari Pulau Emas.
Kwee An yang mendengar semua cerita ini, lalu berpikir pula bahwa besar kemungkinan Hai Kong Hosiang juga pergi mencari pulau itu dan apa bila Hai Kong pergi ke sana, maka jika Cin Hai masih hidup, tentu pemuda itu mengejar juga ke sana! Oleh karena ini, tanpa ragu-ragu pula dia lalu menyatakan kesediaannya untuk ikut dengan Hek Moko ini. Berbeda dengan rombongan Nelayan Cengeng, Hek Pek Moko menuju ke laut melalui jalan darat dan mengikuti sepanjang tepi sungai.
Cin Hai yang tertolong oleh Bu Pun Su dan sudah sembuh dari pengaruh madu merah yang mukjijat, dan sesudah pikirannya pulih kembali seperti biasa dan dapat mengingat semua kejadian yang telah lalu, merasa berduka sekali oleh karena tidak tahu bagaimana keadaan Kwee An dan Lin Lin.
Terutama sekali dia merasa gelisah dan bingung kalau teringat akan nasib Lin Lin yang tertawan oleh perwira Boan Sip! Ingin sekali dia segera bertemu dengan Boan Sip untuk membuat perhitungan dan menumpahkan rasa dendam serta amarahnya, akan tetapi ke mana harus mencari orang she Boan itu?
Ang I Niocu maklum akan kesedihan Cin Hai ini, akan tetapi ia sendiri pun tidak berdaya dan hanya mengucapkan kata-kata hiburan di sepanjang perjalanan. Untuk menghibur hati pemuda yang gelisah ini, Ang I Niocu lalu bertanya dan minta agar dia mengutarakan tentang pertempuran dengan Hai Kong Hosiang.
“Hwesio itu benar-benar telah mendapat kemajuan dalam ilmu silatnya,” berkata Cin Hai. “Sukar sekali bagiku untuk merobohkannya, walau pun aku mampu mengimbangi semua serangannya. Agaknya dia telah mengenal baik serangan-seranganku yang berdasarkan Liong-san Kun-hoat dan Ngo-lian-hoat sehingga sanggup berjaga diri dengan baik. Juga dalam ilmu kepandaian lweekang, hwesio itu kini amat kuat dan jauh lebih kuat dari pada dulu.”
Ang I Niocu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Cin Hai menuturkan jalannya pertempuran. Kemudian Gadis Baju Merah yang sudah banyak mengalami pertempuran-pertempuran ini, lalu berkata,
“Hai-ji, cabutlah pedangmu dan mari coba kuuji sampai di mana kepandaianmu!”
Cin Hai terkejut, akan tetapi ketika ia melihat sinar mata Ang I Niocu, ia maklum bahwa Dara Baju Merah ini hendak memberi petunjuk-petunjuk padanya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, sedangkan Ang I Niocu juga sudah mencabut keluar pedangnya.
“Awas serangan!” kata Ang I Niocu yang lalu menyerang dengan pedangnya.
Sebagaimana biasa, sekali pandang saja secara otomatis Cin Hai dapat mengenal dasar gerakan serangan ini, maka dengan mudah ia pun lalu mengelak dan balas menyerang. Ang I Niocu terus menyerang dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sian-li Kiam-sut yang mempunyai gerakan indah dan daya serang luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi dengan amat mudahnya Cin Hai mengelak dan menangkis semua serangan ini secara tepat dan sempurna.
“Kau balaslah menyerang, jangan menahan diri saja,” teriak Ang I Niocu sambil mengirim tusukan.
Cin Hai lalu balas menyerang dan oleh karena dia tidak mengenal ilmu pedang lain maka dia pun lalu menyerang dengan Sian-li Kiam-sut yang ditirunya dari Ang I Niocu.
Tentu saja perubahan atau perkembangan semua serangan ini amat mudah dikenal dan diketahui oleh Ang I Niocu sehingga gadis ini mudah saja mengelak atau menangkis.
“Jangan menyerang dengan Sian-li Kiam-sut, itu tak ada gunanya! Pakailah ilmu pedang lain!” Ang I Niocu berseru lagi sambil terus menyerang lagi.
Cin Hai tahu kekeliruannya, oleh karena dalam menghadapi gadis yang menjadi ahli Silat Bidadari itu, sungguh bodoh kalau mempergunakan ilmu pedangnya. Kini dia memainkan Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hoat yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin.
Sekarang dia sudah memiliki ilmu ginkang dan lweekang yang sangat tinggi oleh karena menerima latihan dari Bu Pun Su secara istimewa, yakni mempelajari dasar-dasarnya hingga boleh dibilang Cin Hai telah memiliki kepandaian pokok yang mutlak. Akan tetapi oleh karena pengetahuannya tentang ilmu silat hanya dangkal saja, yaitu terbatas pada ilmu silat dari Liong-san-pai dan ilmu silat yang dia pelajari dari An I Niocu, maka daya tempurnya amat lemah.
Memang apa bila menghadapi orang yang belum matang betul dalam hal ilmu silat tinggi, dengan mudah saja Cin Hai akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi bila menghadapi tokoh persilatan yang tinggi dan sudah matang ilmu pedangnya, pemuda ini hanya dapat bertahan saja dengan luar biasa uletnya, tetapi juga sukar untuk melancarkan serangan-serangan lain kecuali dua macam ilmu silat yang dulu pernah dipelajarinya itu.
Maka, ketika menghadapi tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek Moko atau pun Hai Kong Hosiang, juga menghadapi Ang I Niocu, pemuda ini menjadi pihak yang selalu didesak dan diserang, sungguh pun harus diakui bahwa semua serangan itu dapat ditangkis atau dielakkannya dengan sangat mudah oleh karena dia telah tahu betul akan perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!
Ang I Niocu menghabiskan seluruh kepandaiannya untuk dipergunakan menyerang anak muda itu, akan tetapi tak sedikit pun ia dapat mempengaruhi atau mengacaukan Cin Hai yang istimewa. Diam-diam gadis ini merasa kagum sekali, oleh karena boleh dibilang bila dicari di dunia ini tidak ada keduanya orang yang dapat mempertahankan diri sedemikian baiknya terhadap semua serangan-serangan yang dia lakukan sampai seluruh jurus Sianli Kiam-sut habis dimainkan tanpa nampak terdesak sedikit pun!
Akan tetapi biar pun serangan-serangan Cin Hai luar biasa dahsyatnya, namun baginya serangan-serangan itu kurang berbahaya, dan kelihaiannya hanya terdorong oleh tenaga lweekang dan gerakan yang hebat dari anak muda itu dan sama sekali bukan karena ilmu pedangnya yang hebat.
“Benar seperti yang kuduga!” Ang I Niocu berseru sambil melompat mundur.
Cin Hai juga segera menahan pedangnya.
“Memang benar, Susiok-couw hanya memberikan pokok-pokok dasar ilmu silat padamu, tanpa memberi pelajaran penting untuk melakukan penyerangan. Mengapa engkau dulu tidak mau minta supaya orang tua yang aneh itu menurunkan satu atau dua macam ilmu silat agar dapat kau gunakan untuk menyerang lawan?”
Sambil tersenyum Cin Hai pun berkata, “Niocu, apakah kau masih belum kenal adat Suhu yang kukoai (aneh)? Kalau dia sendiri tak menghendaki, meski diminta sampai menangis pun tak akan dia berikan!”
Ang I Niocu memang sungguh-sungguh merasa sayang kepada Cin Hai, maka pada saat itu gadis ini memutar-mutar otaknya demi kebaikan anak muda itu. Ia tahu bahwa dengan kepandaiannya yang sekarang ini, Cin Hai tak usah merasa takut kepada seorang lawan yang mana pun juga. Akan tetapi, tanpa memiliki daya serang yang lihai, bagaimana ia akan dapat menjatuhkan musuh-musuhnya?
Apa lagi sekarang masih ada seorang musuh yang tangguh bukan main, yaitu Hai Kong Hosiang yang agaknya dibantu oleh pendeta tua renta yang gagu dan lihai sekali itu. Bila pemuda ini tidak mempunyai ilmu serangan yang dahsyat, banyak kemungkinan dia akan mendapat celaka dari tangan Hai Kong Hosiang.
Cin Hai yang melihat betapa Ang I Niocu termenung, lalu meninggalkan gadis itu untuk mengumpulkan kayu kering. Mereka telah tiba dalam sebuah hutan dan hari sudah mulai gelap, sedangkan di tempat itu banyak nyamuk dan hawanya terasa dingin.
Tiba-tiba Ang I Niocu melompat ke atas dan berkata dengan girang. “Benar, benar! Kau harus melakukan itu,” katanya kepada Cin Hai sehingga tentu saja pemuda ini menjadi terheran-heran oleh karena tidak mengerti apakah yang dimaksudkan oleh gadis itu yang nampak demikian gembira.
“Hai-ji, kau harus menciptakan ilmu pedang sendiri!” katanya kepada Cin Hai.
Cin Hai terkejut dan mukanya menjadi merah. “Ah, Niocu, kau ini ada-ada saja! Aku yang bodoh dan tolol ini mana mampu menciptakan ilmu pedang? Jangan mentertawakan aku, Niocu!”
“Anak tolol! Merendahkan diri di depan orang lain memang baik, akan tetapi memandang rendah kesanggupan sendiri hanya dilakukan oleh orang malas dan kurang bersemangat. Kau dapat melihat dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau memang mau, mengapa kau tidak bisa menggabungkan semua ilmu silat itu menjadi satu dan menciptakan sendiri gerakan-gerakan serangan yang kau anggap tepat dan lihai?”
Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh oleh karena dia memang belum mengerti. “Niocu, tolong kau beri tahu kepadaku, bagaimana caranya?”
Ang I Niocu lalu memberi penjelasan dengan sabar dan telaten. “Hai-ji, terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa Sianli Utauw atau Tarian Bidadari itu pun aku sendiri yang menciptakan. Maka jika kau memang tekun, kau pun pasti akan dapat menciptakan ilmu pedang yang tidak ada keduanya di dunia ini. Caranya begini. Kau perhatikan dan ingat semua ilmu silat yang telah kau lihat dan lalu kau pilih gerakan-gerakan serangan musuh yang dilancarkan kepadamu. Mana yang kau anggap lihai dan baik, boleh kau pilih. Lalu gerakan-gerakan ini kau rangkai menjadi semacam ilmu pedang yang sangat lihai. Tentu saja kau harus merubahnya sedikit supaya tidak sama dengan aslinya lagi, dan bahkan harus diperbaiki mana yang kurang tepat. Hanya kau dan Susiok-couw yang mempunyai kemampuan seperti ini.”
Mendengar ucapan Ang I Niocu, diam-diam Cin Hai lalu tertarik hatinya. Mengapa tidak ia coba? Memang tak enak kalau selalu mempertahankan diri dari serangan orang, dan pula memang memalukan kalau menghadapi seorang lawan lalu menyerang lawan itu dengan ilmu silat yang ditirunya dari lawan itu sendiri. Alangkah senangnya kalau ia memiliki ilmu pedang sendiri yang dapat dibanggakan.
Cin Hai lalu duduk termenung dan dia lalu bersemedhi mengumpulkan seluruh perhatian dan perasaannya. Ia bayangkan semua ilmu-ilmu silat yang telah dilihatnya. Oleh karena ia telah mempunyai dasar batin yang kuat dan pikirannya telah jernih oleh latihan-latihan napas dan semedhi, maka sebentar saja di dalam otaknya terlintas semua gerakan ilmu silat yang pernah dilihatnya.
Di antara semua ilmu silat, gerakan-gerakan Hek Pek Moko adalah yang paling dahsyat dan kejam, sedangkan ilmu silat dan gerakan-gerakan Ang I Niocu yang ia anggap paling indah dan baik. Dia lalu mengumpulkan ingatannya dan mencatat di dalam hati gerakan-gerakan yang dianggapnya paling lihai, kemudian dengan mata masih meram dan sambil membayangkan gerakan-gerakan itu, tubuhnya lalu berdiri dan bergerak-gerak menurut gambaran gerakan yang masih tampak di dalam matanya yang meram itu.
Ang I Niocu mengikuti gerakan pemuda ini dengan heran dan kagum. Dia melihat betapa Cin Hai memainkan ilmu-ilmu silat yang aneh-aneh dan bermacam-macam, malah di situ dia melihat pula Cin Hai memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-san Kun-hoat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang memilih-milih, maka ia tidak mau mengganggu, hanya mencari tambahan kayu kering dan menjaga agar api unggun itu tidak padam.
Setengah malam lebih Cin Hai tanpa henti bergerak ke sana ke mari sambil memejamkan mata. Dia tidak merasa bahwa ia telah bersilat selama itu, sedangkan Ang I Niocu masih tetap duduk di dekat api dengan setia. Ia sedikit pun tidak mau mengganggu Cin Hai dan hanya memandang pemuda yang disayanginya itu dengan penuh harapan.
Setelah lewat tengah malam, mendadak Cin Hai menghentikan gerakan-gerakannya dan mukanya menjadi agak pucat. Dia memandang kepada Ang I Niocu dan berkata, “Niocu, terima kasih atas petunjuk dan nasehatmu tadi. Agaknya aku telah mendapatkan semacam ilmu silat ciptaanku sendiri.”
Ang I Niocu girang sekali dan berkata, “Coba kau sempurnakan ilmu itu dengan pedang, Hai-ji!”
Cin Hai lalu mencabut pedangnya dan berkata lagi, “Ketika aku bersilat dan mengumpulkan tipu-tipu gerakan semua cabang persilatan yang pernah kulihat, tiba-tiba aku melihat bahwa memang selama ini aku terlalu lemah dan tak pernah mempunyai pikiran untuk membalas menyerang lawan. Aku tidak ingat bahwa aku tak perlu mengerahkan seluruh perhatian untuk pertahanan, karena sebetulnya aku telah memiliki daya tahan yang otomatis hingga tak perlu menggunakan seluruh perhatian lagi. Karena kesalahan itu, maka dulu aku tidak melihat lowongan-lowongan dan kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat kumasuki untuk merobohkan lawan.”
Setelah berkata demikian, dia menghampiri serumpun bambu dan tetumbuhan lain yang tumbuh dengan suburnya di dekat situ. Tetumbuhan itu penuh dengan daun-daun hingga batang-batangnya yang kecil hampir tidak tampak dari luar dan oleh karena angin malam pada saat itu bertiup kencang, maka semua daun-daun yang berbentuk runcing itu bagai ratusan senjata menyerang ke depan dan melindungi batang-batang mereka yang kecil.
Cin Hai lalu membayangkan bahwa ratusan daun itu adalah senjata-senjata musuh yang melindungi tubuh musuh, dan bahwa ia harus berusaha menyerang tubuh-tubuh musuh yang kini dilindungi oleh ratusan pisau yang bergerak-gerak itu.
Dia lantas menggerakkan Liong-coan-kiam di tangan kanannya dan mulai bersilat dengan gerakan aneh. Gerakannya mula-mula lambat seakan mengintai rumpun itu, akan tetapi makin lama semakin cepat. Ia berusaha untuk melukai tubuh-tubuh yang bersembunyi di balik ratusan senjata itu tanpa mengadu pedangnya dengan senjata itu!
Hal ini tentu saja sukar bukan main oleh karena ratusan daun itu bergerak-gerak cepat dan tidak menentu karena tertiup angin hingga tubuh-tubuh atau batang-batang itu hanya nampak sekelebat dan sekilat saja! Akan tetapi, Cin Hai berlaku cepat dan hati-hati dan setiap kali daun-daun itu bergerak hingga sebatang pohon kecil nampak, biar pun hanya sekilas, namun dengan pedangnya sudah memasuki lowongan itu dan ujung pedangnya tepat menusuk batang itu tanpa mematahkannya!
Gerakan-gerakan pedangnya ini luar biasa sekali hingga Ang I Niocu yang masih duduk di dekat api, ketika melihat ini menjadi kagum sekali. Ia merasa begitu gembira sehingga diam-diam dia pun menggerakkan kedua tangannya, kemudian bersilat meniru-niru dan mengimbangi gerakan pedang Cin Hai!
Ia melihat betapa gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak kaku, karena itu sambil menggerakkan kedua tangannya, dia berkali-kali menyerukan bahwa tangan kiri pemuda itu harus begini dan sikap tubuhnya harus begitu! Pendek kata, pada waktu itu Cin Hai bersama dengan Ang I Niocu sedang menciptakan semacam ilmu pedang. Cin Hai yang mencipta ilmu pedangnya, sedangkan Gadis Baju Merah itu memperbaiki gerak gayanya!
Setelah Cin Hai selesai bersilat, Ang I Niocu lalu menghampiri rumpun bambu dan ketika dia menyibakkan daun-daun yang menutupnya, ternyata batang-batang yang jumlahnya puluhan itu semua sudah berlubang bekas tusukan ujung pedang Ci Hai! Ang I Niocu bersorak girang dan menari-nari bagaikan anak kecil!
Cin Hai juga merasa girang sekali dan ia tidak menolak ketika Ang I Niocu mengajak dia sekali lagi bertanding dan dia diharuskan menggunakan ilmu pedangnya yang baru saja diciptakannya itu! Dan hasilnya benar-benar hebat!
Setiap jurus bila mana Cin Hai menyerang, selalu serangannya ini membingungkan Ang I Niocu. Dan kalau saja pemuda itu menyerang dengan sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus saja Pendekar Wanita Baju Merah ini pasti akan roboh!
Ternyata bahwa Cin Hai sudah menciptakan sebuah ilmu pedang yang benar-benar luar biasa, sebab ilmu pedangnya ini didasarkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan ilmu silat lain yang telah dilihatnya. Ia pergunakan kesempatan untuk mengisi lowongan-lowongan serta menyerbu bagian-bagian yang lemah dengan gerakan-gerakan aneh, bahkan kadang-kadang kedudukan kaki atau tangannya berbalik dan merupakan kebalikan dari pada gerakan ilmu silat biasa!
Ang I Niocu merasa gembira sekali dan minta Cin Hai bersilat pedang lagi seorang diri. Pada gerakan yang kaku, gadis yang memang ahli tari dan memiliki gerak gaya indah ini lalu memperbaiki tanpa merusak gerakan asli.
Sampai fajar menyingsing, kedua orang ini tiada hentinya berlatih, atau lebih tepat lagi Cin Hai melatih diri dan Ang I Niocu membantunya dengan nasehat-nasehat mengenai keindahan gerakannya. Semalam suntuk mereka tidak beristirahat.
Pada keesokan harinya mereka hanya beristirahat sebentar, kemudian Cin Hai kembali melatih diri dengan ilmu silat pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu melihat dari samping memberi petunjuk di bagian yang masih kaku gerakannya.
Walau pun ilmu pedang ini dapat dilihat dan ditirukan oleh Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena untuk menggunakan ilmu pedang ini sebelumnya harus memiliki kepandaian dan pengertian pokok tentang segala gerakan ilmu silat sebagaimana yang sudah dimiliki Cin Hai, maka ilmu pedang ini tidak akan ada gunanya bagi Ang I Niocu. Pendeknya, tanpa pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Bu Pun Su, orang lain tidak mungkin menggunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan!
Demikianlah, setelah berlatih terus-menerus selama tiga hari tiga malam, akhirnya ilmu pedang ini mampu dimainkan secara baik sekali oleh Cin Hai hingga Ang I Niocu menjadi puas dan girang. Pada waktu dia mencoba untuk melawan ilmu pedang ini dengan ilmu pedangnya, maka dalam tiga jurus saja pedangnya telah dapat dirampas oleh Cin Hai.
“Aduh Hai-ji! Ilmu pedangmu ini benar-benar luar biasa dan jangankan Hai Kong Hosiang, biar Hek Pek Moko sendiri tentu akan roboh di tanganmu! Kionghi, kionghi! (Selamat).”
Tiba-tiba saja terdengar suara orang berkata dengan suara nyaring, “Ya, kionghi, kionghi! Akan tetapi berhati-hatilah kau, Cin Hai, agar ilmu jahat ini tidak merusak hatimu menjadi jahat dan kejam pula!”
Cin Hai dan Ang I Niocu terkejut sekali dan tahu-tahu Bu Pun Su sudah berdiri di dekat mereka!
“Cin Hai, ilmu pedang tadi memang baik sekali dan tak kusangka bahwa kau yang bodoh ini mampu mencipta ilmu pedang seperti itu! Akan tetapi oleh karena kau melatih dengan melukai batang-batang bambu dengan ujung pedangmu, maka ketika menghadapi lawan, kau baru akan dapat merobohkan dia dengan tusukan yang melukainya pula! Ini jahat sekali, muridku!”
Cin Hai merasa bingung dan terkejut sekali oleh karena kata-kata gurunya tadi memang betul semua. Tadi dia berhasil merampas pedang Ang Niocu oleh karena gadis pendekar itu terlalu terdesak oleh ilmu pedangnya sehingga memungkinkan dia menyambar lantas merampas pedang gadis itu. Sedangkan apa bila bertempur dengan lawan yang melawan dengan mati-matian, maka untuk merobohkannya dia harus mempergunakan pedangnya yang mengirim serangan-serangan maut itu!
“Mohon ampun, Suhu, dan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepada teecu,” katanya.
Bu Pun Su tersenyum dan tiba-tiba dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, “Coba cabutlah pedangmu itu dan seranglah aku!”
Cin Hai tidak ragu-ragu untuk melakukan hal ini oleh karena ia mempunyai kepercayaan penuh akan kesaktian suhu-nya. Karena itu, sesudah memberi hormat sekali lagi, dia lalu mencabut Liong-coan-kiam dan lantas menyerang dengan hebat. Pedangnya berkelebat merupakan sinar yang melenggang-lenggok dan dia sudah mempergunakan jurus ke lima yang dianggapnya cukup berbahaya.
Ia maklum bahwa suhu-nya memiliki mata tajam sekali dan telah hafal sekali akan segala gerakan pundak yang mendahului semua gerakan pukulan tangan dan juga sudah tahu akan pergerakan lutut yang mendahului semua gerakan kaki, maka ia lalu mengeluarkan serangan jurus ke lima ini.
Memang dalam menciptakan ilmu pedangnya, Cin Hai juga memikirkan kemungkinan apa bila menghadapi orang yang telah mempunyai kepandaian melihat gerakan orang seperti yang sudah dipelajarinya dari Bu Pun Su. Karena itu dalam beberapa gerakan ia sengaja membuat ilmu serangan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan terbalik!
Menurut gerakan ilmu silat biasa, jika pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda bahwa pedang di tangan kanannya akan ditusukkan ke depan, akan tetapi sebelum pedangnya menusuk, secepat kilat gerakan itu sudah dibalik dan menjadi sabetan pada kedua kaki lawan dan sebelum sabetan ini diteruskan, kembali telah dibalikkan pula menjadi sebuah serangan memutar ke arah leher!
“Ganas sekali!” Bu Pun Su berseru sambil meloncat ke belakang oleh karena guru yang lihai ini benar-benar tercengang dan terkejut melihat kehebatan serangan muridnya. “Ayo kau serang terus dan keluarkan semua ilmu pedangmu yang liar ini!” katanya.
Cin Hai tak berani membantah dan segera maju menyerang terus. Akan tetapi, ilmu meringankan tubuh dari Bu Pun Su sudah sampai pada tingkat tertinggi sehingga boleh dibilang tubuhnya seperti sehelai bulu yang dapat bergerak pergi tiap kali angin pedang menyambar hingga biar pun pedang Cin Hai hampir menyerempet pakaian kakek itu, namun tetap pedang itu tak dapat melukainya!
Akan tetapi kali ini Bu Pun Su benar-benar menghadapi semacam ilmu pedang yang luar biasa dan hanya dengan mengerahkan seluruh ginkang-nya saja maka ia bisa mengelak bagaikan seekor burung beterbangan di antara sambaran pedang!
Ang I Niocu memandang demonstrasi yang dilakukan oleh guru dan murid ini dengan mata terbelalak saking kagum dan herannya. Selama hidupnya belum pernah dia melihat kelihaian seperti ini dan hatinya diam-diam girang sekali memikirkan bahwa Cin Hai kini telah menjadi seorang jago pedang tingkat tinggi!
Ilmu pedang Cin Hai seluruhnya ada tiga puluh sembilan jurus dan sesudah semuanya dia mainkan, akhirnya pemuda ini meloncat ke belakang sambil berkata dengan napas terengah-engah, “Sudahlah, Suhu, teecu tidak kuat lagi!”
Dia lalu berlutut dengan muka merah karena hatinya kecewa betapa dengan mudahnya kakek itu dapat mengelak dari serangannya. Ia anggap ilmu pedangnya ini tiada gunanya sama sekali dan bahwa ia telah menyia-nyiakan waktu tiga hari tiga malam!
“Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh karena kakek ini maklum dan dapat membaca isi hati Cin Hai dari muka pemuda itu, “Jangan kecewa, Cin Hai. Ketahuilah, bahwa ilmu pedang yang baru saja kau mainkan ini kelihaiannya jauh melebihi dugaanku semula!”
“Mohon Suhu jangan mentertawakan kebodohan teecu,” kata Cin Hai.
“Siapa yang mentertawakan kau? Anak bodoh, dengan ilmu pedangmu tadi, kau boleh menjelajah ke seluruh negeri dan mengharapkan kemenangan dari setiap pertempuran! Akan tetapi, jangan kira bahwa aku merasa senang atau bangga melihat ilmu pedangmu ini! Mungkin kau kira aku tidak percaya atau tidak suka kepadamu maka aku tidak pernah menurunkan ilmu kepandaian menyerang kepadamu? Ketahuilah, dan kau juga Im Giok, aku memang sengaja tidak mengajarkan ilmu serangan kepadamu, oleh karena apakah baiknya menyerang orang? Akan tetapi, memang segala apa sudah ditentukan oleh takdir sehingga kau yang tidak mempelajari ilmu menyerang, ternyata kini menghadapi banyak musuh yang lihai. Namun jangan kau anggap bahwa ilmu pedangmu ini saja akan cukup kuat untuk menghadapi Si Rangka Hidup Kam Ki Sianjin, supek dari Hai Kong Hosiang itu! Ahh, kau terlalu mengunggulkan diri kalau kau mempunyai pikiran demikian! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai dan mungkin kelak sewaktu-waktu engkau akan menemui musuh yang lebih lihai lagi! Sekarang engkau telah berhasil menciptakan semacam ilmu menyerang, maka biarlah supaya jangan kepalang tanggung, kau pelajari juga Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na beserta Ilmu Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih).”
Bukan main girang rasa hati Cin Hai dan segera mengangguk-anggukkan kepala untuk menghaturkan terima kasih.
“Juga kau yang telah banyak membuat jasa boleh mempelajari ilmu ini, Im Giok.” Ang I Niocu lalu berlutut dan mengucapkan terima kasih pula.
Demikianlah, selama dua pekan, Bu Pun Su memberi pelajaran dua macam ilmu silat itu kepada Cin Hai dan Ang I Niocu yang dipelajari dengan penuh perhatian oleh dua orang pendekar muda itu.
Pek-in Hoat-sut adalah ilmu sihir yang sebetulnya hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena ilmu ini merupakan gerakan ilmu silat yang sepenuhnya digerakkan oleh tenaga khikang sehingga dari kedua kepalan tangan yang memainkannya keluar uap putih bagai awan yang dapat menolak setiap hawa serangan dari lawan yang bagaimana jahat pun!
Uap putih ini terjadi dari keringat yang berubah menjadi uap sebagai akibat dari dorongan tenaga khikang yang panas dan disalurkan ke arah kedua lengan dalam setiap serangan. Meski lawan menggunakan ilmu hitam atau pukulan keji seperti Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) dan lain-lain, apa bila bertemu dengan orang yang mempergunakan Pek-in Hoat-sut ini akan mati kutu, tenaga serangan mereka yang buyar dengan sendirinya. Oleh karena tenaga hebat inilah maka ilmu ini disebut ilmu sihir!
Ilmu ke dua adalah Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na atau Ilmu Silat Tangan Kosong Burung Merak. Gerakan-gerakan ilmu silat ini selain memukul juga menggunakan jari-jari tangan untuk mencengkeram dan merampas senjata musuh sehingga tepat sekali digunakan dengan tangan kosong apa bila menghadapi lawan yang bersenjata.
Setelah kedua orang itu mempelajari dua macam ilmu silat itu dengan sempurna, Bu Pun Su lalu berkata, “Cin Hai dan Im Giok! Walau pun kalian tidak bertanya, akan tetapi aku maklum bahwa kalian ingin sekali mendengarkan tentang nasib Lin Lin.”
Cin Hai mendengarkan dengan wajah tiba-tiba berubah pucat, sedang Ang I Niocu juga mendengarkan dengan hati berdebar khawatir.
“Kalian jangan khawatir, menurut dugaanku Lin Lin telah selamat dan kalau tidak keliru ia sedang melakukan perjalanan bersama kawan-kawan baik. Sekarang ada hal yang lebih penting lagi. Orang-orang Turki dan orang-orang Mongol sedang berlomba untuk merebut sebuah pulau di laut timur dan apa bila pulau ini sampai jatuh ke dalam tangan mereka, maka bahaya besar mengancam seluruh negeri! Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa ratusan orang-orang Turki dan Mongol dengan diam-diam dipimpin oleh orang-orang berilmu dari kedua bangsa itu dan secara bersembunyi mereka menyerbu ke daerah timur untuk berlomba menemukan pulau itu. Oleh karena ini, kalian berdua segera berangkatlah ke laut timur melalui sungai yang mengalir di sebelah utara ini, oleh karena hanya di sana saja, maka kalian akan dapat bertemu dengan Lin Lin, bahkan mungkin dapat bertemu pula dengan musuh besarmu yang bernama Hai Kong Hosiang itu. Nah, sekarang aku hendak pergi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu maklum akan sikap aneh dari orang tua ini yang bicaranya selalu mengandung rahasia. Mereka maklum pula bahwa secara membuta mereka juga harus menurut petunjuk ini, oleh karena petunjuk ini pasti betul dan biar pun tidak jelas, namun kalau tidak nyata tentu tak akan dikeluarkan dari mulut kakek luar biasa itu.
Tanpa menunda lagi, Cin Hai serta Ang I Niocu berlari cepat ke utara dan tidak lama kemudian mereka bertemu dengan sungai yang melintang dan mengalir ke arah timur itu. Di tempat itu tidak terlihat perahu dan keadaannya sunyi sekali, maka keduanya segera mempergunakan ilmu lari cepat dan mengikuti aliran sungai menuju ke timur. Akan tetapi, jalan di tepi sungai itu sukar sekali, penuh rawa dan hutan-hutan berbahaya, juga amat sukar dilalui.
Setelah mereka berlari selama dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan mereka menjadi girang sekali saat melihat beberapa buah perahu diikat di pinggir sungai. Segera Cin Hai mencari pemilik perahu untuk disewa atau dibelinya.
Dua orang menghampiri mereka dan bertanya, “Jiwi membutuhkan perahu?”
“Betul,” kata Cin Hai dengan girang. “Kami berdua ingin menyewa atau membeli sebuah perahu.”
“Membeli?” kedua orang itu saling pandang “Ahh, Kongcu. Di sini tidak ada yang mau menjual perahunya. Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?”
“Apa katamu?” Cin Hai bertanya heran dan tak senang, oleh karena menyangka bahwa nelayan itu hendak mempermainkannya.
“Kongcu ingin membeli perahu, sedangkan bagi seorang nelayan sebuah perahu adalah sama dengan seorang isteri. Siapakah yang mau menjual perahu atau isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian berdua hendak menyewa, boleh kalian pakai perahuku ini. Biar pun kecil, tetapi kuat dan laju!”
Cin Hai tersenyum geli. “Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini.”
“Jiwi hendak ke manakah?” tanya nelayan yang seorang lagi.
Ang i Niocu tidak senang melihat ada orang lain turut bicara, bahkan bertanya tentang maksud kepergian mereka.
“Apa perlunya kau ikut campur dan bertanya ke mana kami hendak pergi?” tanyanya tak senang.
Orang itu berkata sambil mengangkat dadanya, “Aku berhak penuh untuk turut campur, oleh karena perahu ini adalah milik kami berdua!”
Cin Hai tertawa. “Aha, kalau begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?”
Kedua orang nelayan itu tertawa. “Kongcu, kami adalah orang-orang miskin sehingga dua orang memiliki sebuah perahu saja.”
“Kami berdua hendak menuju ke laut dan hendak mencari sebuah pulau.”
Kedua orang itu nampak terkejut sekali. “Apa? Hendak mencari pulau? Apakah itu Pulau Emas?”
Cin Hai dan Ang I Niocu tercengang, akan tetapi mereka memang hendak menyelidiki pulau yang belum pernah meraka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga tidak memberi penjelasan, maka Cin Hai lalu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, kami mencari Pulau Emas!”
Tiba-tiba salah seorang di antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata kepada kawannya, “Twako, marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini. Agaknya mereka ini pun sudah kegilaan emas dan mungkin akan timbul malapetaka kembali apa bila kita membawa mereka seperti hal kita tempo hari itu!”
Cin Hai menjadi tertarik, dan Ang I Niocu segera membentak, “Apakah yang terjadi? Apa ada orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?”
Kedua nelayan itu saling pandang dan keduanya kemudian berdiri hendak meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu cepat meloncat dan sekali tangannya bergerak, maka pedang yang tajam telah dicabutnya dan pedang itu sekarang menempel di leher seorang nelayan.
“Ke mana engkau hendak pergi? Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan hal itu kepada kami, jangan harap akan dapat pergi dengan kepala menempel di lehermu!”
Nelayan itu menghela napas. “Apa kataku, Twako? Pulau Emas itu benar-benar pulau berhantu dan hanya setan-setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio, harap kau berlaku murah dan jangan begini galak. Kami hanya nelayan-nelayan biasa saja dan kalau Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan pengalaman kami. Beberapa hari yang lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati dan royal dengan hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang besar, oleh karena ia berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi ke laut dan mencari Pulau Emas seperti kalian pula. Tetapi pada suatu malam perahu orang asing bangsa Turki ini kedatangan seorang perwira yang galak dan gagah, sedangkan perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan menakutkan, yaitu ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!”
Berdebarlah hati Cin Hai dan Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan ini Lin Lin adanya? Akan tetapi Cin Hai lalu mendesak, “Teruskan, teruskan ceritamu!”
“Setelah perwira galak ini naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu mendapat perintah untuk mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, perwira itu tadinya hendak membunuh gadis yang ditawannya, akan tetapi maksudnya dihalangi oleh orang asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan tunduk kepadanya. Gadis itu lalu ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan tetapi, memang setan berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami dayung itu bertumbuk dengan sebuah perahu lain yang biar pun kecil, akan tetapi maju dengan kuat hingga perahu kami terhalang. Dan yang lebih hebat lagi, ketika kami menegur nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan sekali memukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah dan bocor hingga tenggelam!”
“Nelayan Cengeng!” tak terasa lagi Cin Hai berseru.
Nelayan yang bercerita itu menjadi terkejut karena menyangka bahwa dialah yang dimaki cengeng. Akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah kembali mendesaknya. “Teruskanlah, teruskanlah!”
“Penumpang-penumpang kami orang Turki yang aneh dan perwira yang galak itu menjadi marah kemudian melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun tak tersangka-sangka lihai juga dan dapat pula melompat ke darat! Kami berdua tak dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke dalam air dan berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki bertempur melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang sudah memecahkan perahu kami, sedangkan Si Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang pemuda tampan kawan nelayan tua itu.”
“Ma Hoa!” kata Ang I Niocu dan kembali nelayan itu memandang heran karena tidak tahu maksud Dara Baju Merah yang berseru karena amat tertarik mendengar penuturan ini.
“Dan bagaimana hasil pertempuran itu?” Cin Hai mendesak dengan tak sabar, karena ia telah merasa pasti bahwa yang mengeroyok perwira itu tentu Lin Lin dan Ma Hoa dan yang bertempur melawan orang Turki tentu Si Nelayan Cengeng.
“Kesudahannya mengerikan sekali...” nelayan yang pandai bercerita itu sengaja berhenti sebentar untuk membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu dan ceritanya makin menarik, “perwira yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya remuk dipukul oleh dayung yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya bolong-bolong tertembus pedang Si Pemuda tampan!”
Baik Cin Hai mau pun Ang I Niocu menghela napas lega. “Mampuslah si keparat!” seru Cin Hai dengan gembira, kemudian ia menegaskan, “Bukankah perwira itu masih muda, kira-kira tiga puluh tahun, dan bibirnya tebal?”
Nelayan itu memandangnya heran, “Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?”
Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi, “Dan bagaimana hasil pertempuran orang Turki melawan nelayan tua itu?”
“Mereka bertempur secara luar biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat melihat siapa menang siapa kalah. Mendadak mereka berhenti bertempur dan agaknya lalu mengikat persahabatan. Si Nelayan Tua itu benar-benar setan air! Ia menyelam ke dalam air dan berhasil mencari dan mengambil perahu yang sudah tenggelam itu. Bukan main! Selama hidupku belum pernah aku melihat orang dapat melakukan hal semacam itu. Tentu ia iblis air sungai itu!”
“Hush! Jangan membuka mulut sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia, kutampar mulutmu!” kata Cin Hai sambil mendelikkan matanya sehingga nelayan itu terkejut dan merasa ketakutan. “Teruskan ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka itu?”
“Selanjutnya? Tak ada apa-apa lagi. Setelah memperbaiki perahu, mereka berempat lalu berangkat pergi dan kami ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan hadiah uang!”
“Jadi perahu kecil ini adalah perahu kepunyaan nelayan tua itu?” tanya Cin Hai dengan girang. Kedua nelayan itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan omong.
“Kalau begitu kami hendak memakai perahu ini,” kata Ang I Niocu yang merogoh keluar dua potong uang perak dari sakunya. “Nih, kalian ambillah seorang satu! Perahu ini kami ambil!”
Melihat bahwa perahu itu hanya diganti dengan dua potong uang perak, kedua nelayan itu menjadi bingung, “Ehh, Siocia, ehhh... Toanio, nanti dulu, perahu... perahu kami ini harganya lebih dari lima potong uang perak!”
Ang I Niocu mengangkat tangan mengancam. “Perahu ini bukan perahu kalian! Memberi dua potong perak sudah terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk membeli perahu ini, akan tetapi sebagai upah kalian bercerita tadi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai. Kedua nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya melihat perahu itu pergi makin jauh dengan hati memaki-maki kalang kabut, akan tetapi mulut tidak berani bersuara!
Dua hari kemudian, saat perahu melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat pohon-pohon buah lenci di dekat pantai. Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu, timbul seleranya dan dia mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat sebentar sambil mencari dan makan buah. Cin Hai setuju, oleh karena dia pun merasa ingin makan buah yang segar nampaknya itu.
Mereka kemudian mendayung perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil itu ke darat. Kemudian, oleh karena melihat tempat itu sunyi dan indah sekali, timbullah kegembiraan mereka dan keduanya lalu melompat ke atas cabang pohon dan memilih buah sesuka hati mereka.
Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai berseru kaget dan cepat melompat turun dan ketika Ang I Niocu memandang ke arah perahu mereka, ia pun terkejut sekali. Seorang tosu (pendeta penganut Agama Tao) sedang menarik perahu mereka ke arah air, dan agaknya tosu ini ingin menggunakan kesempatan itu untuk mencuri perahu mereka! Ang I Niocu menjadi marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari atas pohon.
Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba dari balik batang pohon besar melompat keluar seorang hwesio (pendeta penganut Agama Buddha) yang bertubuh pendek namun gemuk sekali. Hwesio ini kelihatan lucu sekali, mukanya seperti muka anak kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia persis seperti boneka besar atau Jilaihud yang berwajah baik dan peramah.
Mukanya yang bulat itu selalu tersenyum ramah. Tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan gemuk dililit kain yang hanya menutupi kedua pundak dan lengannya saja, ada pun tubuh atas bagian depan terbuka sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya yang besar kelihatan menambah kelucuannya.
Ia menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata, “Ai, aih, kalian sepasang burung dara yang bahagia! Kenapa melayang turun dari pohon dan berlari-lari. Bukankah lebih senang bermain-main di atas pohon?”
Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini, ada pun Ang I Niocu dengan muka merah lalu membentak, “Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!”
Akan tetapi hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi, “Ehh, ehh, mengapa kalian malah marah-marah? Apakah aku mengganggu kalian?”
“Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!” kata Cin Hai yang lebih sabar, “Kami akan mengejar pencuri perahu itu!”
Si Hwesio tertawa terus dan berkata, “Pencuri perahu? Kau maksudkan tosu itu? Ahh, dia adalah saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!”
“Bagus, hwesio maling!” kata Ang I Niocu yang segera melompat maju sambil mengayun kepalan tangannya menghantam dada hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.
“Waduh, ganas... ganas...!” seru hwesio gendut itu yang masih saja tertawa-tawa meski pun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot sekali.
Sementara itu, tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa saudaranya diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak sekali, cepat-cepat menarik kembali perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.
“Jangan kau memukul Adikku!” teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu.
Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan keduanya lalu bertempur ramai! Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang sedang mewek dan menangis. Matanya yang sangat sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih sehingga membikin sedih pula kepada orang yang melihatnya.
Walau pun Ang I Niocu sedang marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu biar pun terdesak sekali masih saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu Silat Kong-ciak Sin-na sehingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang sengaja menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan ia merasa girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya dari Bu Pun Su ini memang betul-betul luar biasa.
Sebaliknya, dengan mudahnya Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya berhasil menggaet kaki tosu itu yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh kesakitan.
“Nah, biar kau kapok mendapat hajaran sedikit!” kata Cin Hai. “Dan supaya lain kali tidak berani mencoba untuk mencuri perahu lain orang.”
Dengan muka seperti orang menangis, Si Tosu itu menoleh ke arah hwesio yang masih diserang kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru, “Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!”
Mendengar kata-kata ini, hwesio gemuk itu cepat melompat mundur dan berkata sambil tertawa, “Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!”
Ang I Niocu menjadi geli hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus. “Siapakah kalian dua orang tua ini, dan mengapa kalian hendak mencuri perahu kami?” tanyanya.
Kedua pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata, “Kami dua kakak beradik adalah pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek Hwesio ada pun pinto sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami mengira bahwa kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat pakaian serta kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apa bila kau mengaku wanita yang berjuluk Ang I Niocu!”
Ang I Niocu tersenyum. “Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Memang aku adalah Ang I Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!”
Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar. “Apa? Dengan kepandaiannya seperti itu, ia masih disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya setinggi ini, apa lagi yang pintar?”
Biar pun tosu ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka sesenang-senangnya!
Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu bertanya. “Harap kau dua orang suci suka berkata terus terang saja. Sebenarnya mau meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?”
Kini hwesio gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran. “Kami hendak pergi ke laut dan mencari sebuah pulau.”
“Pulau Emas?” Cin Hai cepat menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.
“Kau... sudah tahu?”
“Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!”
“Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana letaknya Kim-san-to (Pulau Gunung Emas)?”
Secara terus terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu saling pandang dan akhirnya Si Tosu berkata, “Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk ditumpangi oleh empat orang. Kami berdua membonceng kalian dan sekaligus menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi tidak mengenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling menolong?”
Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan berkata, “Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita bersama-sama mencari pulau itu dan kalian berdua menjadi penunjuk jalan!”
“Akan tetapi perahu kita kecil dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak banyak bergerak hingga jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!” kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga mereka berempat sama-sama tertawa gembira.
Cin Hai dan Ang I Niocu merasa suka pada dua orang aneh itu. Mereka dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.
Beberapa hari kemudian, empat orang dalam perahu kecil itu sudah sampai di samudera dan mulai dengan usaha mereka untuk mencari Pulau Kim-san-tho. Atas petunjuk kedua pendeta itu, perahu lalu didayung ke kiri melalui pantai yang curam dan batu-batu karang yang tinggi.
Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan hitam, dari atas tiba-tiba saja menyambar turun bayangan yang gerakannya cepat sekali! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang telanjang.
Empat orang di dalam perahu itu terkejut sekali ketika melihat bahwa yang menyambar adalah seekor burung rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik oleh kegemukan dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu, hingga ia menyambar turun dan hendak mencengkeram daging gemuk itu!
Ceng Tek Hwesio merasa kaget dan hendak berkelit, namun berat badannya membuat perahu itu berguncang!
“Hai, jangan bergerak!” Ang I Niocu mencegah.
Gadis ini dengan cepat lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya ketika burung itu dengan cepat mampu mengelak dari tendangannya dan melayang ke atas lagi!
Ia juga ingin mendapatkan harta di Pulau Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja dan membujuk Lin Lin supaya suka menjadi permaisurinya. Inilah cita-citanya dan inilah pikiran yang pada saat itu mengaduk hati dan otaknya.
Ia telah melihat kegagahan Nelayan Cengeng dan muridnya yang ternyata seorang gadis pula, telah menyaksikan pula kegagahan Lin Lin yang tidak lemah. Bila ditambah dengan dia sendiri menjadi empat orang, dan bukankah empat orang gagah yang tangguh, kuat, akan sanggup mengusir musuh yang mana pun juga?
Untuk menjawab pertanyaan Lin Lin ia mengangguk, “Memang benar, Nona Lin Lin, aku hendak pergi menuju ke sebuah Pulau Emas. Sayang sekali perahuku telah rusak dan tenggelam.”
Mendengar disebutnya Pulau Emas, Nelayan Cengeng tertarik sekali dan ia lalu berkata, “Saudara Yo Se Fei! Benar-benar adakah pulau dongeng itu? Semenjak aku masih kecil, sering kali aku mendengar dongeng tentang Pulau Emas ini, dan dalam beberapa hari ini telah dua kali aku mendengar pula tentang Pulau Emas ini.”
Yousuf memandangnya tajam sekali. “Sudah dua kali? Lo-enghiong, dari siapa pulakah kau mendengar tentang Pulau Emas ini?”
Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam perantauannya bersama dengan Ma Hoa, beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan seorang bangsa Mongol tua yang juga menyebut akan adanya Pulau Emas itu, bahkan orang Mongol itu dalam mengobrol telah membuka rahasia bahwa Pangeran Vayami, pemimpin Agama Buddha Merah itu, hendak mencari pulau ini pula.
Yousuf kaget sekali mendengar ini. “Ah, sudah kusangka bahwa Pangeran Vayami tentu mempunyai maksud tertentu dalam kunjungannya ke pedalaman dan hendak menghadap Kaisar Tiongkok! Tidak tahunya, ia juga menghendaki pulau itu. Ah, kita harus cepat ke sana, jangan sampai didahului orang!”
Melihat bahwa orang Turki ini pucat dan bingung, Nelayan Cengeng lalu bertanya lagi, “Saudara yang baik, sebetulnya pulau itu dimanakah letaknya dan apa namanya?”
Yousuf sudah habis sabar, akan tetapi oleh karena maklum bahwa kakek nelayan yang gagah ini merupakan tenaga bantuan yang amat berguna, ia bersabar dan menerangkan dengan singkat, “Pulau itu bernama Kim-san-to (Pulau Gunung Emas) dan berada di sebelah timur pantai Tiongkok. Kalau belum tahu jalannya, memang sukar sekali rnencari pulau yang berada di antara puluhan pulau-pulau kecil lain itu.”
Nelayan Cengeng menjadi sangat tertarik hatinya dan demikianlah, kedua orang ini lalu bercakap-cakap dan Yousuf dengan amat sabarnya menjawab tiap pertanyaan Nelayan Cengeng sehingga kakek nelayan ini akhirnya terbangkit pula keinginan tahunya dan dia ingin sekali melihat serta menyaksikan dengan mata sendiri keadaan pulau yang sudah dikenalnya di dalam dongeng itu.
Sementara itu, Lin Lin lalu menceritakan kepada Ma Hoa tentang semua pengalamannya dan ketika Ma Hoa bertanya di mana adanya Ang I Niocu, dia menjawab, “Siapa yang dapat mengetahui di mana adanya dia sekarang.” Lin Lin lalu menghela napas khawatir. “Sungguh sial sekali, belum juga kami berjumpa dengan Hai-ko, sekarang Cici Im Giok sudah harus berpisah lagi denganku! Ahh, sekarang menjadi makin ruwet, karena selain harus mencari Hai-ko dan Ang-ko, aku pun harus mencari Cici Im Giok! Ehh, Enci Hoa, semenjak tadi aku saja yang banyak berbicara sedangkan kau hanya menjadi pendengar saja. Kau ceritakanlah, bagaimana kau bisa sampai di sini dan menolong aku?”
Memang Ma Hoa orangnya agak pendiam dan tak banyak bicara. Sekarang mendengar pertanyaan Lin Lin, tiba-tiba sepasang matanya menjadi merah dan ia mengeraskan hati untuk menahan keluarnya air matanya.
Lin Lin terkejut dan memegang lengannya. “Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi? Kau nampak pucat sekali!”
Dengan mengeraskan hati, Ma Hoa kemudian menceritakan mala petaka yang menimpa keluarganya, akan tetapi pada saat melihat betapa sepasang mata Lin Lin yang lebar itu memandangnya dengan terbelalak dan dari kedua matanya itu mengalir butiran-butiran air mata karena terharu dan kasihan, Ma Hoa tidak dapat lagi menahan kesedihannya. Ia mengakhiri penuturannya dengan kata-kata yang sukar keluarnya,
“Adik Lin, habislah seluruh keluargaku, mereka telah binasa semua, tinggal aku seorang diri... sebatang kara...!”
Lin Lin memeluk gadis itu dan keduanya segera bertangis-tangisan oleh karena memang terdapat banyak persamaan di antara mereka berdua, oleh karena seperti juga Ma Hoa, keluarga Lin Lin juga habis binasa.
“Enci Hoa, jangan kau khawatir, bukankah kau masih memiliki kawan-kawan baik seperti Suhu-mu itu dan aku dan Engko An? Juga Hai-ko dan Enci Im Giok adalah kawan-kawan yang baik dan yang senantiasa bersiap sedia membantu dan menolongmu!”
Mendengar hiburan ini, agak redalah kesedihan yang menekan hati Ma Hoa dan mereka berdua lalu memandang ke arah Yousuf yang ketika itu masih bercakap-cakap dengan Nelayan Cengeng. Sebuah permufakatan telah dicapai oleh dua orang ini, yaitu Nelayan Cengeng telah mengambil keputusan untuk ikut Yousuf mencari Pulau Emas!
“Hai, Ma Hoa dan Lin Lin, ke marilah! Jangan hanya bertangis-tangisan saja, ada kabar baik yang harus dibicarakan bersama!” Si Nelayan Cengeng berkata dan dua orang gadis itu lalu menghampiri mereka sambil menyusut air mata dengan sapu tangan.
Nelayan Cengeng lalu memberitahukan bahwa mereka bertiga akan ikut Yousuf mencari Pulau Emas itu.
“Akan tetapi, Locianpwe, bagaimana dengan usahaku untuk mencari saudara dan kawan-kawanku?”
Nelayan Cengeng tersenyum. “Dengarlah, Lin Lin. Kita belum lagi tahu ke mana perginya mereka itu dan tanpa petunjuk yang tepat, ke manakah kita harus mencari mereka! Pula, dari Saudara Yo Se Fei ini aku mendengar bahwa besar sekali kemungkinan Pangeran Vayami juga akan pergi mencari Pulau Emas ini sehingga bukan tak mungkin bahwa Hai Kong Hosiang akan menemani rombongan Pangeran Vayami itu. Sudah terang bahwa Cin Hai, Kwee An, mau pun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio itu dan apa bila hwesio itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu mereka akan menuju ke pulau itu pula! Nah, bukankah ini lebih baik dari pada kita berkeliaran tidak karuan tanpa tujuan tertentu?”
Lin Lin menganggap alasan ini cukup kuat, oleh karena ia tahu bahwa Ang I Niocu juga sedang mencari Cin Hai dan Kwee An, sedang kedua pemuda itu mengejar Hai Kong Hosiang, maka kalau benar hwesio itu pergi juga mencari pulau emas, memang bukan tak mungkin mereka semua menuju ke tempat yang sama! Maka akhirnya ia berkata,
“Terserah pada Locianpwe saja, aku yang muda dan bodoh hanya menurut dan percaya penuh kepadamu, orang tua!”
Mendengar persetujuan yang keluar dari mulut gadis ini, Yousuf menjadi gembira sekali, akan tetapi dia menyembunyikan perasaannya ini dan berkata,
“Nah, kita berempat bisa berangkat sekarang juga, akan tetapi, perahumu begitu kecil. Sayang sekali perahuku telah tenggelam!”
Walau pun Nelayan Cengeng sudah tua, akan tetapi pandangan matanya tajam. Melihat wajah orang Turki itu berseri-seri saat mendengar kata-kata persetujuan yang diucapkan oleh Lin Lin, di dalam hatinya timbul kecurigaan yang membuatnya menjadi hati-hati.
Akan tetapi, sambil tertawa dia menjawab pertanyaan Yousuf, “Apakah susahnya untuk mendapatkan perahu yang tenggelam?” Setelah berkata demikian, kakek nelayan ini lalu memperlihatkan kepandaiannya di dalam air yang benar-benar hebat.
Ia menanggalkan jubah luarnya dan dengan pakaian ringkas lalu meloncat ke dalam air. Tubuhnya yang kurus itu terjun ke dalam air tanpa bersuara seakan-akan sebatang anak panah dilepas ke dalam air saja. Agak lama semua orang menanti dengan hati berdebar, kecuali Ma Hoa yang sudah maklum akan kepandaian gurunya.
Kemudian air itu bergelombang hebat dan dari bawah muncullah tubuh perahu Yousuf yang tadi tenggelam! Ternyata Si Nelayan Cengeng telah mendapatkan tubuh perahu itu dan menariknya ke atas permukaan air dalam keadaan miring hingga tidak ada air yang memasuki tubuh perahu itu. Kemudian Si Nelayan Cengeng berenang cepat ke pinggir dan sekali ia menggerakkan tangan, perahu besar itu dapat didorongnya ke tepi hingga meluncur cepat dan mendarat di pinggiran sungai! Yousuf segera menarik perahu itu ke atas dan tiada hentinya memuji.
“Ah, kau betul-betul gagah luar biasa. Di darat kau telah membuat aku kagum, akan tetapi kepandaianmu di air ini betul-betul membuat aku tunduk!” Sambil berkata begini Yousuf lalu menjura di depan Kong Hwat Lojin yang telah melompat ke darat.
Akan tetapi kakek nelayan itu hanya tertawa saja sambil mengeringkan tubuhnya dengan jubah luarnya yang tadi ditanggalkan, lalu berkata,
“Sudahlah, di antara kawan sendiri mana ada aturan puji-memuji? Lebih baik kalau kita sekarang memperbaiki perahumu ini agar dapat segera berangkat!”
Dua orang itu lalu memperbaiki badan perahu yang tadi pecah berlubang karena pukulan dayung Si Nelayan Cengeng dan sebentar saja perahu itu telah baik kembali. Yousuf lalu memerintahkan kedua orang pembantunya untuk pergi dari situ oleh karena dia sudah tak memerlukan tenaga mereka lagi. Dia merogoh kantongnya dan memberi empat potong uang emas kepada dua orang itu yang menerimanya dengan girang.
Setelah itu, maka berangkatlah Yousuf bersama Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Lin Lin. Perahu mereka meluncur cepat oleh karena selain terbawa hanyut oleh aliran sungai yang deras, juga dibantu oleh tenaga dayung Si Nelayan Cengeng yang kuat bukan main. Sebelum senja hari, perahu mereka telah tiba di mulut sungai dan mulai memasuki laut yang luas!
Baik kita tinggalkan lebih dulu Lin Lin bersama kawan-kawannya yang menuju ke Pulau Kim-san-to itu, dan kita mengikuti pengalaman Kwee An.
*****
Ketika terjadi perkelahian bebas di atas perahu Pangeran Vayami, kemudian menerima tendangan di betisnya yang dilakukan oleh Pangeran Mongol itu sehingga dia terjatuh ke dalam sungai, Kwee An sudah mencoba tenaga dan kepandaiannya yang dipelajari dari Nelayan Cengeng untuk berenang ke pinggir. Akan tetapi, aliran air sungai itu amat deras dan kuatnya sehingga usahanya gagal, bahkan tubuhnya hanyut dengan cepatnya!
Baiknya Kwee An telah mendapat latihan dari Nelayan Cengeng, kalau tidak pasti ia akan tenggelam atau tubuhnya akan hancur terbentur pada batu-batu dan karang yang banyak menonjol di permukaan air. Dia lalu mengeluarkan kepandaiannya dan mempergunakan gerakan Ular Air Menyeberang Laut untuk berenang sambil mengikuti aliran air dengan cara berlenggang-lenggok bagaikan seekor ular hingga dia dapat menghindarkan diri dari pada tubrukan dengan batu-batu karang.
Dia masih dapat melihat betapa perahu di mana Cin Hai masih bertempur seru melawan Hai Kong Hosiang itu terbakar hebat, hingga diam-diam ia menjadi gelisah, menguatirkan keselamatan kawannya itu. Akan tetapi, sungai itu mengalir dalam sebuah tikungan yang tajam sekali sehingga ia harus segera mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri.
Setelah hanyut jauh sekali, sedikitnya terpisah lima li dari tempat di mana ia tadi terjatuh, aliran air mulai lemah dan dengan hati girang Kwee An lalu berenang ke pinggir dengan maksud setelah dapat mendarat akan segera lari kembali ke tempat tadi dan membantu Cin Hai. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat beberapa ekor binatang aneh yang berenang cepat menuju ke arah dirinya.
Kwee An cepat berenang ke tepi. Akan tetapi, kembali dia terkejut oleh karena binatang-binatang seperti yang sedang berenang di tengah sungai itu, terdapat pula di darat dan memenuhi tepian sungai. Agaknya mereka sedang berjemur diri di pantai itu dan jumlah yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.
Binatang-binatang yang terlihat oleh Kwee An ini adalah binatang sebangsa buaya, akan tetapi lebih menyerupai cecak besar dan ada yang panjangnya sampai sepuluh kaki dan mulutnya terbuka lebar. Ketika Kwee An tiba di tepi, maka binatang-binatang yang berada di pantai itu pun lalu maju merangkak dan menyerbu.
Kwee An menjadi bingung. Untuk naik ke darat, puluhan ekor binatang buas ini telah siap menanti sedangkan untuk tinggal di dalam air, dari tengah telah berenang beberapa belas ekor yang menuju kepadanya. Ia pikir, lebih baik menghadapi puluhan ekor di darat dari pada belasan ekor di air oleh karena binatang itu dapat berenang cepat sekali sedangkan kepandaiannya di dalam air masih rendah.
Ia lalu terus berenang ke pinggir dan ketika air telah menjadi dangkal hingga sampai ke paha, dari tepi telah turun lima ekor yang terbesar dan cepat menyerbunya dengan mulut ternganga lebar. Kwee An lantas menggenjot tubuhnya melompat hingga kedua kakinya melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya itu menyambar dengan mulut mereka yang runcing, ia cepat-cepat menendangkan kaki kanan ke arah kepala binatang itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu lonpatan ke darat.
Akan tetapi jumlah binatang-binatang itu terlalu banyak sehingga ke arah mana saja dia melompat, dia langsung disambut oleh beberapa ekor buaya yang menyerbunya dengan dahsyat dan liar. Kwee An lalu mempergunakan kecepatan dan seluruh tenaganya untuk melawan. Ia menendang, memukul, menangkap ekor dan membanting, hingga sebentar saja puluhan ekor binatang kena dibinasakan.
Akan tetapi yang datang semakin banyak saja sehingga Kwee An kehabisan tenaga dan mulai menjadi ngeri dan jijik. Binatang-binatang yang masih hidup segera menerkam dan menyerang kawan-kawannya sendiri yang terluka dan makan daging mereka, sedangkan yang lain-lain masih saja menyerbu dengan hebat.
Oleh karena merasa ngeri melihat banyaknya binatang yang mengeroyoknya, dan oleh karena tenaganya tadi memang telah banyak dihabiskan untuk melawan air sehingga dia menjadi lelah sekali, maka Kwee An berlaku kurang cepat sehingga tiba-tiba dia merasa kaki kirinya sakit sekali. Dia menengok dan melihat bahwa seekor buaya sudah berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat Kwee An berjongkok dan sekali tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya berhasil memasuki rongga mata buaya yang menggigit itu!
Binatang itu merasa kesakitan dan tak terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor hingga dengan cepat Kwee An dapat melepaskan kakinya! Darah mengucur membasahi kaus kaki dan celananya. Dengan muka meringis kesakitan, pemuda itu menjadi begitu marah hingga ia lalu mengamuk hebat! Ia mencabut pedangnya dan dengan senjata ini ia menghajar semua buaya yang berani datang mendekat hingga mayat binatang itu sampai bertumpuk-tumpuk dan malang melintang di sekitarnya.
Mendadak terdengar suara suitan keras dan aneh! Buaya-buaya yang masih hidup dan belum terluka, lalu nampak terkejut dan buru-buru mereka lari ke sungai! Kwee An sudah terlalu lemah, maka kepalanya menjadi pening dan pemandangan matanya berkunang-kunang.
Kwee An melihat seorang gemuk tetapi pendek sekali berdiri di depannya dengan sebuah cambuk panjang pada tangannya, dan suara orang itu terdengar keras dan besar ketika menegur,
“Pemuda kurang ajar dari manakah yang berani mengganggu serta membunuh binatang ternakku?”
Kwee An yang sudah lelah dan pusing itu merasa bagaikan bertemu dengan iblis sungai, oleh karena kecuali iblis sungai, siapakah orangnya yang menganggap buaya-buaya itu sebagai binatang ternaknya? Pemuda itu tidak dapat menguasai dirinya lagi oleh karena lapar, lelah, dan lemas kehilangan banyak darah.
“Aku... aku... lelah...,” katanya dan ia lalu roboh terguling dan pingsan. Tubuhnya roboh di atas mayat-mayat binatang yang tadi diamuknya!
Ketika ia sadar kembali, Kwee An mendapatkan dirinya telah berbaring di atas balai-balai bambu dalam sebuah kamar yang terbuat dari pada bambu pula. Ia segera bangun dan mengeluh oleh karena kaki kirinya terasa sakit dan perih. Ketika ia teringat akan luka di kakinya oleh gigitan buaya itu, ia segera menengok ke arah betisnya dan ternyata bahwa kakinya telah dibalut erat-erat. Ia dapat menduga bahwa orang pendek yang disangkanya iblis sungai itu tentu yang telah menolongnya, maka ia merasa berterima kasih sekali.
Walau pun keluhan suaranya perlahan sekali, akan tetapi ternyata sudah didengar orang, oleh karena dari luar pintu kamar segera terdengar suara orang, “Ehh, anak muda, kau sudah bangun?”
Ketika Kwee An memandang, ternyata penolongnya yang pendek itu muncul dari pintu dengan sepiring masakan yang masih mengepul berada pada tangan kirinya. Si Kate itu memasuki bilik, lalu berkata sambil tertawa, “Nah, kau makanlah dulu. Kesehatanmu pasti akan pulih lagi seperti sedia kala!”
Ketika Kwee An hendak bangkit untuk menghaturkan terima kasih, mendadak dia merasa lehernya seolah-olah tercekik dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu akan terlihat menjadi pucat sekali kalau saja kulit mukanya tidak memang sudah pucat sekali sehingga perubahan itu tidak terlalu nampak.
Pada saat itu dia telah mengenal orang pendek ini yang bukan lain adalah Hek Moko, Si Iblis Hitam yang sangat lihai dan yang dulu pernah bertempur dengan Cin Hai di depan rumahnya! Kwee An berpikir cepat dan ia segera memaksa mulutnya bersenyum. Sambil menerima piring itu ia berkata dengan pura-pura masih lemas tak bertenaga,
“Terima kasih, Lopek. Sungguh kau baik sekali dan atas pertolonganmu ini aku ucapkan banyak-banyak terima kasih.”
Kwee An sengaja berbuat seakan-akan ia tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum bahwa iblis ini pun tidak tahu siapa adanya dia dan apa bila iblis ini tahu bahwa Cin Hai berada di dekat situ, tentu ia akan pergi mengejarnya!
“Kau makanlah yang enak. Aku hendak mengurus hewan ternakku lebih dulu! Kau gagah sekali dan telah berhasil membunuh dua puluh empat ekor hewanku hingga bukan sedikit aku menderita kerugian!” katanya lalu keluar dari pintu dengan langkah-langkahnya yang pendek tetapi cepat.
Kwee An menarik napas lega. Ternyata iblis itu tidak mengenal dan tidak mencurigainya sehingga untuk sementara waktu ia akan selamat. Dia maklum bahwa Iblis Hitam ini lihai sekali, apa lagi kalau di situ ada pula Iblis Putih yang tinggi besar oleh karena menurut penuturan Cin Hai, kedua Iblis Hitam Putih atau Hek Pek Moko ini jarang sekali berpisah.
Sambil memikirkan jalan untuk melarikan diri dari tempat berbahaya ini, Kwee An yang telah merasa lapar sekali lalu makan daging yang masih panas mengepul di atas piring itu. Dia tidak tahu masakan daging apakah ini, akan tetapi karena perutnya terasa lapar sekali, ia tidak peduli dan segera makan daging itu. Di luar dugaannya semula, daging ini rasanya manis dan harum serta gurih sekali hingga sebentar saja sepiring besar daging itu telah habis memasuki perutnya!
Kemudian ia turun dari pembaringan dan mencoba berjalan. Ia dapat berjalan, akan tetapi dengan pincang sehingga tidak mungkin untuk melarikan diri, oleh karena ia belum dapat mempergunakan ilmu lari cepat. Kwee An menjadi bingung dan dia sangat menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur di atas perahu melawan Hai Kong Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah dibakar oleh Pangeran Vayami!
Tak lama kemudian, Hek Moko masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa-tawa. Jubahnya yang hitam itu melambai-lambai di belakangnya.
“Ha, kau sudah makan! Bagaimana, enakkah hidanganku itu?”
Kwee An tersenyum. “Enak sekali, entah daging apakah yang Lopek suguhkan tadi?”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa bergelak-gelak dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Kwee An berdiri oleh karena memang suara ini amat menyeramkan. “Ha-ha, anak muda. Memang kau pantas merasakan masakan daging luar biasa itu. Ketahuilah, daging yang kau makan itu adalah daging hewan ternakku!”
Kwee An tercengang dan sama sekali tidak pernah menduga bahwa daging buaya yang liar itu demikian enaknya. Kini dia mengerti mengapa Iblis Hitam ini memelihara hewan ternak yang luar biasa ini.
“Apakah memang pekerjaan Lopek memelihara hewan ternak yang luar biasa ini?”
Hek Moko mengangguk-angguk. “Memang inilah pekerjaanku sejak dulu! Tadinya buaya ini hanya ada beberapa belas pasang saja, akan tetapi kini telah menjadi beratus-ratus pasang banyaknya! Dan hanya orang-orang gagah dan orang besar saja yang mendapat kesempatan merasakan kenikmatan daging hewan ternakku ini. Tahukah engkau bahwa untuk daging seekor saja kaisar berani membayar dengan tiga puluh potong uang emas? Ha-ha-ha!”
“Lopek, kau benar-benar orang luar biasa yang baik hati. Aku sudah berlancang tangan membunuh banyak hewan ternakmu, akan tetapi kau tidak marah kepadaku, sebaliknya kau telah menolong dan merawatku. Sungguh aku berhutang budi kepadamu!”
“Hush! Jangan kau berkata begitu. Di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi!”
Kwee An merasa terkejut dan heran sekali, oleh karena dia benar-benar tidak mengerti akan maksud kata-kata Iblis Hitam ini. Di antara ayah dan anak? Apa maksudnya?
Kembali Si Iblis Hitam tertawa bergelak-gelak, “Ya, di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi dan kau akan menjadi anakku yang baik!”
Bukan main terkejutnya Kwee An. Dia pikir bahwa Iblis Hitam ini telah menjadi gila dan mengaku dia sebagai anaknya. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian iblis ini, maka dia pikir untuk sementara waktu baik dia tidak membantahnya dan tinggal diam saja.
“Eh, anak muda yang gagah. Kau bernama siapa dan mengapa kau bisa hanyut di sungai ini?” Sambil bertanya demikian, Iblis Hitam itu memandang Kwee An dengan mata tajam dan pandang mata menyelidiki.
“Namaku Kwee An,” jawab pemuda itu dan tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik.
Dia maklum bahwa iblis ini lihai sekali dan kepandaiannya mungkin sekali lebih tinggi dari pada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka dia lalu melanjutkan, “Dan aku hanyut karena perbuatan seorang hwesio bernama Hai Kong Hosiang.”
Benar saja, disebutnya nama hwesio ini membuat Hek Moko memandang heran. “Hai Kong? Bagaimana kau bertemu dengan hwesio itu?”
“Aku adalah seorang perantau dan pada waktu aku hendak menyeberang sungai ini, aku bertemu dengan Hai Kong Hosiang. Kami berebut perahu dan kami berkelahi. Akan tetapi aku kalah dan dia melemparku ke dalam sungai.”
“Ha-ha-ha! Kau benar-benar patut menjadi puteraku! Kau sudah bertempur melawan Hai Kong tetapi kau tidak mendapat luka! Bagus, bagus! Aku tidak suka akan namamu dan mulai sekarang kau bernama Siauw Moko (Iblis Kecil).”
Kwee An merasa dongkol sekali, akan tetapi ia tidak begitu bodoh untuk memperlihatkan perasaan ini. Ia hanya berkata, “Lopek, aku telah berhutang budi kepadamu maka tentu saja aku tidak berani membantah kehendakmu. Akan tetapi, nama yang kau berikan kepadaku itu kurang sedap didengar!”
Hek Moko memandang Kwee An dengan mata melotot. “Apa?! Kurang sedap didengar? Hai, anak muda, sampai di manakah kepandaianmu sehingga kau merasa kurang patut bernama Siauw Moko? Ketahuilah, aku yang bernama Hek Moko mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu. Engkau harus menurut segala kata-kataku oleh karena kau adalah anakku Siauw Moko yang dulu telah meninggal, akan tetapi sekarang kau hidup kembali. Anakku yang baik, jangan kau kuatir, aku akan melatihmu dan dalam beberapa bulan saja jangan kata baru seorang Hai Kong Hosiang, meski ada tiga orang Hai Kong, engkau tak usah merasa takut lagi!”
Sesudah berkata demikian, Hek Moko lalu maju memeluk dan menciumi muka Kwee An sebagai seorang ayah menciumi anaknya dengan penuh kasih sayang!
Kwee An merasa terkejut, takut, dan juga terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa dulu tentu Iblis Hitam ini memiliki seorang putera dan putera itu meninggal dunia. Dan ketika melihatnya, iblis ini teringat kepada puteranya hingga tiba-tiba saja mengakui dia sebagai anaknya! Akan tetapi diam-diam Kwee An merasa girang juga karena ia akan menerima pelajaran silat dari kakek iblis yang berbahaya dan lihai ini!
Memang dugaan Kwee An itu tepat. Dulu, Hek Moko mempunyai seorang putera yang wajahnya hampir sama dengan wajah Kwee An. Dan puteranya ini telah meninggal dunia karena terserang sejenis penyakit berbahaya. Padahal ia telah menunangkan puteranya itu dengan puteri Pek Moko, yaitu Pek Bin Moli yang cantik jelita dan berotak miring.
Tentu saja kematian puteranya ini membuat Hek Moko menjadi sedih dan membuat dia menjadi semakin jahat, liar dan gila! Bersama Pek Moko yang menjadi sute-nya, dia lalu menjadi sepasang hantu yang menjagoi seluruh daerah Tibet dan mendengar namanya saja, semua orang telah ketakutan setengah mati.
Tempat tinggal Hek Pek Moko memang tidak tentu dan mereka ini merantau dari satu ke lain jurusan. Akan tetapi, kebanyakan mereka selalu berdua dan jarang nampak mereka berpisah. Kali ini Pek Moko tidak nampak bersama suheng-nya oleh karena Iblis Putih ini sedang pergi mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli yang sudah lama minggat untuk mencari suaminya, yaitu Ong Hu Lin yang menjadi piauwsu dan telah mengadakan perhubungan dengan Giok-gan Kui-bo kakak seperguruan Ang I Niocu sehingga timbul perkelahian antara Giok-gan Kui-bo dan Pek Bin Moli dan akhirnya Pek Bin Moli dapat menemukan kembali suaminya itu yang dibawanya pergi!
Sejahat-jahatnya manusia, dia masih mempunyai perasaan kasih sayang yang bersifat suci murni terhadap anaknya. Demikian pula Hek Moko. Meski manusia ini telah terkenal sebagai iblis yang jahat serta kejam, akan tetapi kini sesudah bertemu kembali dengan puteranya, dia memperlakukan Kwee An dengan baik sekali sehingga diam-diam Kwee An menjadi terharu dan timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap iblis tua ini.
Kwee An memang telah kehilangan ayahnya, dan dulu ia pernah meninggalkan ayahnya untuk waktu yang cukup lama, yaitu ketika merantau mempelajari ilmu. Maka kini biar pun maklum akan kejahatan dan kekejaman Hek Moko, akan tetapi mendapat perlakuan yang demikian penuh perhatian dan baik, serta menerima latihan-latihan silat dengan penuh keikhlasan, timbul juga rasa sayang dalam hatinya terhadap Iblis Hitam ini!
Atas paksaan Hek Moko, Kwee An menyebut ayah kepada iblis pendek yang luar biasa ini, sedangkan Hek Moko memanggilnya Siauw-mo atau Setan Kecil. Kwee An belajar dengan tekun dan rajin dan biar pun dia merasa girang menerima latihan ilmu silat yang amat tinggi dan lihai dari ayah angkatnya ini, namun diam-diam ia bergidik menyaksikan betapa ilmu silat yang dipelajarinya ini benar-benar keji dan ganas!
Akan tetapi baru satu bulan saja dia sudah mendapat kemajuan pesat sekali, oleh karena memang ia telah mempunyai dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan pelajaran ini mudah saja diterima olehnya dan tentu saja Moko menjadi girang sekali. Ketika merasa bahwa ilmu silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko lalu berkata,
“Siauw-mo anakku, sekarang kau tak akan kalah bila menghadapi Hai Kong!”
Kwee An menghaturkan rasa terima kasih dengan sepenuh hatinya. “Ayah, sekarang juga anakmu akan pergi mencari Hai Kong untuk membalas dendam karena kekalahan yang lalu!”
“Bagus, bagus! Di dunia ini tidak ada orang yang boleh menghina anakku! Aku akan pergi bersamamu dan menghajar hwesio gundul itu!”
Kwee An terkejut, karena dia ingin mencari Cin Hai, bagaimana dia bisa membawa serta ayah angkatnya ini? Dia lalu mencari akal dan berkata,
“Ayah, apakah Ayah mau membikin aku menjadi malu? Kalau Ayah ikut, Hai Kong akan menganggap bahwa aku takut kepadanya dan sengaja mengajak kau orang tua! Untuk menghadapi Hai Kong saja, aku yang telah menerima kepandaian darimu, sudah cukup. Untuk apa Ayah harus mencapaikan diri dan mengotorkan tangan untuk menghukum dia. Dan pula, bagaimana dengan hewan ternak di sini kalau Ayah ikut pergi?”
Hek Moko terdiam dan tak dapat menjawab. Dia berpikir bahwa anaknya ini benar juga dan alasan-alasannya pun pantas, maka dia lalu mengurungkan maksudnya hendak ikut. “Baiklah, kau pergi dan hajarlah hwesio itu. Aku menunggumu di sini! Tetapi kau harus lekas kembali dan jangan meninggalkan Ayahmu lama-lama, Siauw-mo. Ingat, aku sudah tua sekali dan mungkin hidupku di dunia ini takkan lama lagi!”
Ucapan ini menusuk perasaan Kwee An dan menyentuh hati sanubarinya. Dia kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Hitam itu dan berkata, “Ayah, aku takkan melupakan kau selama hidupku!” Setelah berkata demikian, Kwee An lalu meninggalkan tempat itu.
Ia segera menuju ke tempat di mana dulu dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran Vayami, akan tetapi di situ telah sunyi dan tidak terlihat sedikit pun bekas-bekas adanya Cin Hai. Kwee An berdiri termenung di tepi sungai dengan hati bingung dan sedih.
Tiba-tiba terdengar gerakan perlahan di belakangnya dan dia tahu bahwa itu adalah Hek Moko yang datang! Benar saja, sebab segera terdengar suara Hek Moko dan Iblis Hitam itu telah berada di belakangnya.
Kwee An segera menengok dan melihat bahwa ayah angkatnya itu telah datang beserta Pek Moko yang kelihatan menyeramkan sekali oleh karena wajahnya yang buruk itu kini nampak muram dan marah, sedangkan rambutnya telah putih semua yang membuat dia nampak tua sekali! Iblis putih ini memandang kepada Kwee An dengan tajam dan ia pun mengangguk-angguk sambil berkata,
“Anak pungutmu ini terlalu cakap, Suheng, tapi dia cukup baik menjadi anakmu!”
Hek Moko tertawa senang dan berkata kepada Kwee An, “Anakku, ini adalah Susiok-mu yang bernama Pek Moko. Kau cukup menyebutnya Pek-susiok saja!”
Kwee An berpura-pura belum pernah melihat Pek Moko dan dia lalu berlutut memberi hormat, “Pek-susiok, terimalah hormat teecu.”
Pek Moko mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. “Jangan terlalu menghormat, Siauw-mo, aku tidak biasa dihormati orang seperti ini!”
Kwee An terkejut, akan tetapi Hek Moko hanya tertawa senang.
“Siauw-mo, kau tidak akan dapat mencari Hai Kong oleh karena hwesio itu sedang pergi mencari Pulau Emas! Malah aku dan Susiok-mu ini pun hendak pergi ke sana pula. Hayo kau ikut kami dan tentu di sana kau akan dapat bertemu dengan Hai Kong Hosiang!”
Kwee An menjadi girang, akan tetapi sebenarnya dia tidak senang harus pergi bersama sepasang iblis ini. “Bagaimana Ayah bisa tahu bahwa dia pergi ke Pulau Emas dan di manakah letak pulau itu?” tanyanya.
Hek Moko lalu menceritakan pengalaman Pek Moko. Ternyata bahwa pada saat mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli, Pek Moko sebetulnya telah berhasil menemukan anak perempuannya itu, tetapi dalam keadaan mati!
Ong Hu Lin, menantunya yang menjadi suami Pek Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah dibawa pergi oleh isterinya yang gila, di tengah jalan kemudian mencari akal dan akhirnya pada suatu malam, ketika isterinya yang berotak miring itu sedang tidur pulas, ia dengan kejam telah membunuh isterinya ini!
Pada saat Pek Moko mendengar tentang hal ini, ia lalu mencari Ong Hu Lin dan setelah bertemu, ia lalu menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh kemarahan hingga tubuh Ong Hu Lin dihancurkan sampai tak karuan macamnya lagi! Peristiwa ini membuat Pek Moko sangat berduka sehingga seluruh rambutnya memutih dan wajahnya menjadi kejam dan muram selalu.
Kemudian secara kebetulan Iblis Putih ini mendengar tentang adanya Pulau Emas yang kini sedang dicari-cari dan agaknya hendak dijadikan rebutan antara orang-orang Turki, suku bangsa Mongol, serta oleh Pemerintah Kaisar sendiri! Dia segera mencari kakak seperguruannya, yaitu Hek Moko dan setelah dia menceritakan semua ini, Hek Moko lalu mengajak menyusul Kwee An yang baru saja pergi dari situ untuk diajak bersama-sama pergi mencari Pulau Emas.
Kwee An yang mendengar semua cerita ini, lalu berpikir pula bahwa besar kemungkinan Hai Kong Hosiang juga pergi mencari pulau itu dan apa bila Hai Kong pergi ke sana, maka jika Cin Hai masih hidup, tentu pemuda itu mengejar juga ke sana! Oleh karena ini, tanpa ragu-ragu pula dia lalu menyatakan kesediaannya untuk ikut dengan Hek Moko ini. Berbeda dengan rombongan Nelayan Cengeng, Hek Pek Moko menuju ke laut melalui jalan darat dan mengikuti sepanjang tepi sungai.
******
Cin Hai yang tertolong oleh Bu Pun Su dan sudah sembuh dari pengaruh madu merah yang mukjijat, dan sesudah pikirannya pulih kembali seperti biasa dan dapat mengingat semua kejadian yang telah lalu, merasa berduka sekali oleh karena tidak tahu bagaimana keadaan Kwee An dan Lin Lin.
Terutama sekali dia merasa gelisah dan bingung kalau teringat akan nasib Lin Lin yang tertawan oleh perwira Boan Sip! Ingin sekali dia segera bertemu dengan Boan Sip untuk membuat perhitungan dan menumpahkan rasa dendam serta amarahnya, akan tetapi ke mana harus mencari orang she Boan itu?
Ang I Niocu maklum akan kesedihan Cin Hai ini, akan tetapi ia sendiri pun tidak berdaya dan hanya mengucapkan kata-kata hiburan di sepanjang perjalanan. Untuk menghibur hati pemuda yang gelisah ini, Ang I Niocu lalu bertanya dan minta agar dia mengutarakan tentang pertempuran dengan Hai Kong Hosiang.
“Hwesio itu benar-benar telah mendapat kemajuan dalam ilmu silatnya,” berkata Cin Hai. “Sukar sekali bagiku untuk merobohkannya, walau pun aku mampu mengimbangi semua serangannya. Agaknya dia telah mengenal baik serangan-seranganku yang berdasarkan Liong-san Kun-hoat dan Ngo-lian-hoat sehingga sanggup berjaga diri dengan baik. Juga dalam ilmu kepandaian lweekang, hwesio itu kini amat kuat dan jauh lebih kuat dari pada dulu.”
Ang I Niocu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Cin Hai menuturkan jalannya pertempuran. Kemudian Gadis Baju Merah yang sudah banyak mengalami pertempuran-pertempuran ini, lalu berkata,
“Hai-ji, cabutlah pedangmu dan mari coba kuuji sampai di mana kepandaianmu!”
Cin Hai terkejut, akan tetapi ketika ia melihat sinar mata Ang I Niocu, ia maklum bahwa Dara Baju Merah ini hendak memberi petunjuk-petunjuk padanya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, sedangkan Ang I Niocu juga sudah mencabut keluar pedangnya.
“Awas serangan!” kata Ang I Niocu yang lalu menyerang dengan pedangnya.
Sebagaimana biasa, sekali pandang saja secara otomatis Cin Hai dapat mengenal dasar gerakan serangan ini, maka dengan mudah ia pun lalu mengelak dan balas menyerang. Ang I Niocu terus menyerang dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sian-li Kiam-sut yang mempunyai gerakan indah dan daya serang luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi dengan amat mudahnya Cin Hai mengelak dan menangkis semua serangan ini secara tepat dan sempurna.
“Kau balaslah menyerang, jangan menahan diri saja,” teriak Ang I Niocu sambil mengirim tusukan.
Cin Hai lalu balas menyerang dan oleh karena dia tidak mengenal ilmu pedang lain maka dia pun lalu menyerang dengan Sian-li Kiam-sut yang ditirunya dari Ang I Niocu.
Tentu saja perubahan atau perkembangan semua serangan ini amat mudah dikenal dan diketahui oleh Ang I Niocu sehingga gadis ini mudah saja mengelak atau menangkis.
“Jangan menyerang dengan Sian-li Kiam-sut, itu tak ada gunanya! Pakailah ilmu pedang lain!” Ang I Niocu berseru lagi sambil terus menyerang lagi.
Cin Hai tahu kekeliruannya, oleh karena dalam menghadapi gadis yang menjadi ahli Silat Bidadari itu, sungguh bodoh kalau mempergunakan ilmu pedangnya. Kini dia memainkan Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hoat yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin.
Sekarang dia sudah memiliki ilmu ginkang dan lweekang yang sangat tinggi oleh karena menerima latihan dari Bu Pun Su secara istimewa, yakni mempelajari dasar-dasarnya hingga boleh dibilang Cin Hai telah memiliki kepandaian pokok yang mutlak. Akan tetapi oleh karena pengetahuannya tentang ilmu silat hanya dangkal saja, yaitu terbatas pada ilmu silat dari Liong-san-pai dan ilmu silat yang dia pelajari dari An I Niocu, maka daya tempurnya amat lemah.
Memang apa bila menghadapi orang yang belum matang betul dalam hal ilmu silat tinggi, dengan mudah saja Cin Hai akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi bila menghadapi tokoh persilatan yang tinggi dan sudah matang ilmu pedangnya, pemuda ini hanya dapat bertahan saja dengan luar biasa uletnya, tetapi juga sukar untuk melancarkan serangan-serangan lain kecuali dua macam ilmu silat yang dulu pernah dipelajarinya itu.
Maka, ketika menghadapi tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek Moko atau pun Hai Kong Hosiang, juga menghadapi Ang I Niocu, pemuda ini menjadi pihak yang selalu didesak dan diserang, sungguh pun harus diakui bahwa semua serangan itu dapat ditangkis atau dielakkannya dengan sangat mudah oleh karena dia telah tahu betul akan perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!
Ang I Niocu menghabiskan seluruh kepandaiannya untuk dipergunakan menyerang anak muda itu, akan tetapi tak sedikit pun ia dapat mempengaruhi atau mengacaukan Cin Hai yang istimewa. Diam-diam gadis ini merasa kagum sekali, oleh karena boleh dibilang bila dicari di dunia ini tidak ada keduanya orang yang dapat mempertahankan diri sedemikian baiknya terhadap semua serangan-serangan yang dia lakukan sampai seluruh jurus Sianli Kiam-sut habis dimainkan tanpa nampak terdesak sedikit pun!
Akan tetapi biar pun serangan-serangan Cin Hai luar biasa dahsyatnya, namun baginya serangan-serangan itu kurang berbahaya, dan kelihaiannya hanya terdorong oleh tenaga lweekang dan gerakan yang hebat dari anak muda itu dan sama sekali bukan karena ilmu pedangnya yang hebat.
“Benar seperti yang kuduga!” Ang I Niocu berseru sambil melompat mundur.
Cin Hai juga segera menahan pedangnya.
“Memang benar, Susiok-couw hanya memberikan pokok-pokok dasar ilmu silat padamu, tanpa memberi pelajaran penting untuk melakukan penyerangan. Mengapa engkau dulu tidak mau minta supaya orang tua yang aneh itu menurunkan satu atau dua macam ilmu silat agar dapat kau gunakan untuk menyerang lawan?”
Sambil tersenyum Cin Hai pun berkata, “Niocu, apakah kau masih belum kenal adat Suhu yang kukoai (aneh)? Kalau dia sendiri tak menghendaki, meski diminta sampai menangis pun tak akan dia berikan!”
Ang I Niocu memang sungguh-sungguh merasa sayang kepada Cin Hai, maka pada saat itu gadis ini memutar-mutar otaknya demi kebaikan anak muda itu. Ia tahu bahwa dengan kepandaiannya yang sekarang ini, Cin Hai tak usah merasa takut kepada seorang lawan yang mana pun juga. Akan tetapi, tanpa memiliki daya serang yang lihai, bagaimana ia akan dapat menjatuhkan musuh-musuhnya?
Apa lagi sekarang masih ada seorang musuh yang tangguh bukan main, yaitu Hai Kong Hosiang yang agaknya dibantu oleh pendeta tua renta yang gagu dan lihai sekali itu. Bila pemuda ini tidak mempunyai ilmu serangan yang dahsyat, banyak kemungkinan dia akan mendapat celaka dari tangan Hai Kong Hosiang.
Cin Hai yang melihat betapa Ang I Niocu termenung, lalu meninggalkan gadis itu untuk mengumpulkan kayu kering. Mereka telah tiba dalam sebuah hutan dan hari sudah mulai gelap, sedangkan di tempat itu banyak nyamuk dan hawanya terasa dingin.
Tiba-tiba Ang I Niocu melompat ke atas dan berkata dengan girang. “Benar, benar! Kau harus melakukan itu,” katanya kepada Cin Hai sehingga tentu saja pemuda ini menjadi terheran-heran oleh karena tidak mengerti apakah yang dimaksudkan oleh gadis itu yang nampak demikian gembira.
“Hai-ji, kau harus menciptakan ilmu pedang sendiri!” katanya kepada Cin Hai.
Cin Hai terkejut dan mukanya menjadi merah. “Ah, Niocu, kau ini ada-ada saja! Aku yang bodoh dan tolol ini mana mampu menciptakan ilmu pedang? Jangan mentertawakan aku, Niocu!”
“Anak tolol! Merendahkan diri di depan orang lain memang baik, akan tetapi memandang rendah kesanggupan sendiri hanya dilakukan oleh orang malas dan kurang bersemangat. Kau dapat melihat dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau memang mau, mengapa kau tidak bisa menggabungkan semua ilmu silat itu menjadi satu dan menciptakan sendiri gerakan-gerakan serangan yang kau anggap tepat dan lihai?”
Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh oleh karena dia memang belum mengerti. “Niocu, tolong kau beri tahu kepadaku, bagaimana caranya?”
Ang I Niocu lalu memberi penjelasan dengan sabar dan telaten. “Hai-ji, terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa Sianli Utauw atau Tarian Bidadari itu pun aku sendiri yang menciptakan. Maka jika kau memang tekun, kau pun pasti akan dapat menciptakan ilmu pedang yang tidak ada keduanya di dunia ini. Caranya begini. Kau perhatikan dan ingat semua ilmu silat yang telah kau lihat dan lalu kau pilih gerakan-gerakan serangan musuh yang dilancarkan kepadamu. Mana yang kau anggap lihai dan baik, boleh kau pilih. Lalu gerakan-gerakan ini kau rangkai menjadi semacam ilmu pedang yang sangat lihai. Tentu saja kau harus merubahnya sedikit supaya tidak sama dengan aslinya lagi, dan bahkan harus diperbaiki mana yang kurang tepat. Hanya kau dan Susiok-couw yang mempunyai kemampuan seperti ini.”
Mendengar ucapan Ang I Niocu, diam-diam Cin Hai lalu tertarik hatinya. Mengapa tidak ia coba? Memang tak enak kalau selalu mempertahankan diri dari serangan orang, dan pula memang memalukan kalau menghadapi seorang lawan lalu menyerang lawan itu dengan ilmu silat yang ditirunya dari lawan itu sendiri. Alangkah senangnya kalau ia memiliki ilmu pedang sendiri yang dapat dibanggakan.
Cin Hai lalu duduk termenung dan dia lalu bersemedhi mengumpulkan seluruh perhatian dan perasaannya. Ia bayangkan semua ilmu-ilmu silat yang telah dilihatnya. Oleh karena ia telah mempunyai dasar batin yang kuat dan pikirannya telah jernih oleh latihan-latihan napas dan semedhi, maka sebentar saja di dalam otaknya terlintas semua gerakan ilmu silat yang pernah dilihatnya.
Di antara semua ilmu silat, gerakan-gerakan Hek Pek Moko adalah yang paling dahsyat dan kejam, sedangkan ilmu silat dan gerakan-gerakan Ang I Niocu yang ia anggap paling indah dan baik. Dia lalu mengumpulkan ingatannya dan mencatat di dalam hati gerakan-gerakan yang dianggapnya paling lihai, kemudian dengan mata masih meram dan sambil membayangkan gerakan-gerakan itu, tubuhnya lalu berdiri dan bergerak-gerak menurut gambaran gerakan yang masih tampak di dalam matanya yang meram itu.
Ang I Niocu mengikuti gerakan pemuda ini dengan heran dan kagum. Dia melihat betapa Cin Hai memainkan ilmu-ilmu silat yang aneh-aneh dan bermacam-macam, malah di situ dia melihat pula Cin Hai memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-san Kun-hoat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang memilih-milih, maka ia tidak mau mengganggu, hanya mencari tambahan kayu kering dan menjaga agar api unggun itu tidak padam.
Setengah malam lebih Cin Hai tanpa henti bergerak ke sana ke mari sambil memejamkan mata. Dia tidak merasa bahwa ia telah bersilat selama itu, sedangkan Ang I Niocu masih tetap duduk di dekat api dengan setia. Ia sedikit pun tidak mau mengganggu Cin Hai dan hanya memandang pemuda yang disayanginya itu dengan penuh harapan.
Setelah lewat tengah malam, mendadak Cin Hai menghentikan gerakan-gerakannya dan mukanya menjadi agak pucat. Dia memandang kepada Ang I Niocu dan berkata, “Niocu, terima kasih atas petunjuk dan nasehatmu tadi. Agaknya aku telah mendapatkan semacam ilmu silat ciptaanku sendiri.”
Ang I Niocu girang sekali dan berkata, “Coba kau sempurnakan ilmu itu dengan pedang, Hai-ji!”
Cin Hai lalu mencabut pedangnya dan berkata lagi, “Ketika aku bersilat dan mengumpulkan tipu-tipu gerakan semua cabang persilatan yang pernah kulihat, tiba-tiba aku melihat bahwa memang selama ini aku terlalu lemah dan tak pernah mempunyai pikiran untuk membalas menyerang lawan. Aku tidak ingat bahwa aku tak perlu mengerahkan seluruh perhatian untuk pertahanan, karena sebetulnya aku telah memiliki daya tahan yang otomatis hingga tak perlu menggunakan seluruh perhatian lagi. Karena kesalahan itu, maka dulu aku tidak melihat lowongan-lowongan dan kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat kumasuki untuk merobohkan lawan.”
Setelah berkata demikian, dia menghampiri serumpun bambu dan tetumbuhan lain yang tumbuh dengan suburnya di dekat situ. Tetumbuhan itu penuh dengan daun-daun hingga batang-batangnya yang kecil hampir tidak tampak dari luar dan oleh karena angin malam pada saat itu bertiup kencang, maka semua daun-daun yang berbentuk runcing itu bagai ratusan senjata menyerang ke depan dan melindungi batang-batang mereka yang kecil.
Cin Hai lalu membayangkan bahwa ratusan daun itu adalah senjata-senjata musuh yang melindungi tubuh musuh, dan bahwa ia harus berusaha menyerang tubuh-tubuh musuh yang kini dilindungi oleh ratusan pisau yang bergerak-gerak itu.
Dia lantas menggerakkan Liong-coan-kiam di tangan kanannya dan mulai bersilat dengan gerakan aneh. Gerakannya mula-mula lambat seakan mengintai rumpun itu, akan tetapi makin lama semakin cepat. Ia berusaha untuk melukai tubuh-tubuh yang bersembunyi di balik ratusan senjata itu tanpa mengadu pedangnya dengan senjata itu!
Hal ini tentu saja sukar bukan main oleh karena ratusan daun itu bergerak-gerak cepat dan tidak menentu karena tertiup angin hingga tubuh-tubuh atau batang-batang itu hanya nampak sekelebat dan sekilat saja! Akan tetapi, Cin Hai berlaku cepat dan hati-hati dan setiap kali daun-daun itu bergerak hingga sebatang pohon kecil nampak, biar pun hanya sekilas, namun dengan pedangnya sudah memasuki lowongan itu dan ujung pedangnya tepat menusuk batang itu tanpa mematahkannya!
Gerakan-gerakan pedangnya ini luar biasa sekali hingga Ang I Niocu yang masih duduk di dekat api, ketika melihat ini menjadi kagum sekali. Ia merasa begitu gembira sehingga diam-diam dia pun menggerakkan kedua tangannya, kemudian bersilat meniru-niru dan mengimbangi gerakan pedang Cin Hai!
Ia melihat betapa gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak kaku, karena itu sambil menggerakkan kedua tangannya, dia berkali-kali menyerukan bahwa tangan kiri pemuda itu harus begini dan sikap tubuhnya harus begitu! Pendek kata, pada waktu itu Cin Hai bersama dengan Ang I Niocu sedang menciptakan semacam ilmu pedang. Cin Hai yang mencipta ilmu pedangnya, sedangkan Gadis Baju Merah itu memperbaiki gerak gayanya!
Setelah Cin Hai selesai bersilat, Ang I Niocu lalu menghampiri rumpun bambu dan ketika dia menyibakkan daun-daun yang menutupnya, ternyata batang-batang yang jumlahnya puluhan itu semua sudah berlubang bekas tusukan ujung pedang Ci Hai! Ang I Niocu bersorak girang dan menari-nari bagaikan anak kecil!
Cin Hai juga merasa girang sekali dan ia tidak menolak ketika Ang I Niocu mengajak dia sekali lagi bertanding dan dia diharuskan menggunakan ilmu pedangnya yang baru saja diciptakannya itu! Dan hasilnya benar-benar hebat!
Setiap jurus bila mana Cin Hai menyerang, selalu serangannya ini membingungkan Ang I Niocu. Dan kalau saja pemuda itu menyerang dengan sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus saja Pendekar Wanita Baju Merah ini pasti akan roboh!
Ternyata bahwa Cin Hai sudah menciptakan sebuah ilmu pedang yang benar-benar luar biasa, sebab ilmu pedangnya ini didasarkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan ilmu silat lain yang telah dilihatnya. Ia pergunakan kesempatan untuk mengisi lowongan-lowongan serta menyerbu bagian-bagian yang lemah dengan gerakan-gerakan aneh, bahkan kadang-kadang kedudukan kaki atau tangannya berbalik dan merupakan kebalikan dari pada gerakan ilmu silat biasa!
Ang I Niocu merasa gembira sekali dan minta Cin Hai bersilat pedang lagi seorang diri. Pada gerakan yang kaku, gadis yang memang ahli tari dan memiliki gerak gaya indah ini lalu memperbaiki tanpa merusak gerakan asli.
Sampai fajar menyingsing, kedua orang ini tiada hentinya berlatih, atau lebih tepat lagi Cin Hai melatih diri dan Ang I Niocu membantunya dengan nasehat-nasehat mengenai keindahan gerakannya. Semalam suntuk mereka tidak beristirahat.
Pada keesokan harinya mereka hanya beristirahat sebentar, kemudian Cin Hai kembali melatih diri dengan ilmu silat pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu melihat dari samping memberi petunjuk di bagian yang masih kaku gerakannya.
Walau pun ilmu pedang ini dapat dilihat dan ditirukan oleh Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena untuk menggunakan ilmu pedang ini sebelumnya harus memiliki kepandaian dan pengertian pokok tentang segala gerakan ilmu silat sebagaimana yang sudah dimiliki Cin Hai, maka ilmu pedang ini tidak akan ada gunanya bagi Ang I Niocu. Pendeknya, tanpa pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Bu Pun Su, orang lain tidak mungkin menggunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan!
Demikianlah, setelah berlatih terus-menerus selama tiga hari tiga malam, akhirnya ilmu pedang ini mampu dimainkan secara baik sekali oleh Cin Hai hingga Ang I Niocu menjadi puas dan girang. Pada waktu dia mencoba untuk melawan ilmu pedang ini dengan ilmu pedangnya, maka dalam tiga jurus saja pedangnya telah dapat dirampas oleh Cin Hai.
“Aduh Hai-ji! Ilmu pedangmu ini benar-benar luar biasa dan jangankan Hai Kong Hosiang, biar Hek Pek Moko sendiri tentu akan roboh di tanganmu! Kionghi, kionghi! (Selamat).”
Tiba-tiba saja terdengar suara orang berkata dengan suara nyaring, “Ya, kionghi, kionghi! Akan tetapi berhati-hatilah kau, Cin Hai, agar ilmu jahat ini tidak merusak hatimu menjadi jahat dan kejam pula!”
Cin Hai dan Ang I Niocu terkejut sekali dan tahu-tahu Bu Pun Su sudah berdiri di dekat mereka!
“Cin Hai, ilmu pedang tadi memang baik sekali dan tak kusangka bahwa kau yang bodoh ini mampu mencipta ilmu pedang seperti itu! Akan tetapi oleh karena kau melatih dengan melukai batang-batang bambu dengan ujung pedangmu, maka ketika menghadapi lawan, kau baru akan dapat merobohkan dia dengan tusukan yang melukainya pula! Ini jahat sekali, muridku!”
Cin Hai merasa bingung dan terkejut sekali oleh karena kata-kata gurunya tadi memang betul semua. Tadi dia berhasil merampas pedang Ang Niocu oleh karena gadis pendekar itu terlalu terdesak oleh ilmu pedangnya sehingga memungkinkan dia menyambar lantas merampas pedang gadis itu. Sedangkan apa bila bertempur dengan lawan yang melawan dengan mati-matian, maka untuk merobohkannya dia harus mempergunakan pedangnya yang mengirim serangan-serangan maut itu!
“Mohon ampun, Suhu, dan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepada teecu,” katanya.
Bu Pun Su tersenyum dan tiba-tiba dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, “Coba cabutlah pedangmu itu dan seranglah aku!”
Cin Hai tidak ragu-ragu untuk melakukan hal ini oleh karena ia mempunyai kepercayaan penuh akan kesaktian suhu-nya. Karena itu, sesudah memberi hormat sekali lagi, dia lalu mencabut Liong-coan-kiam dan lantas menyerang dengan hebat. Pedangnya berkelebat merupakan sinar yang melenggang-lenggok dan dia sudah mempergunakan jurus ke lima yang dianggapnya cukup berbahaya.
Ia maklum bahwa suhu-nya memiliki mata tajam sekali dan telah hafal sekali akan segala gerakan pundak yang mendahului semua gerakan pukulan tangan dan juga sudah tahu akan pergerakan lutut yang mendahului semua gerakan kaki, maka ia lalu mengeluarkan serangan jurus ke lima ini.
Memang dalam menciptakan ilmu pedangnya, Cin Hai juga memikirkan kemungkinan apa bila menghadapi orang yang telah mempunyai kepandaian melihat gerakan orang seperti yang sudah dipelajarinya dari Bu Pun Su. Karena itu dalam beberapa gerakan ia sengaja membuat ilmu serangan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan terbalik!
Menurut gerakan ilmu silat biasa, jika pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda bahwa pedang di tangan kanannya akan ditusukkan ke depan, akan tetapi sebelum pedangnya menusuk, secepat kilat gerakan itu sudah dibalik dan menjadi sabetan pada kedua kaki lawan dan sebelum sabetan ini diteruskan, kembali telah dibalikkan pula menjadi sebuah serangan memutar ke arah leher!
“Ganas sekali!” Bu Pun Su berseru sambil meloncat ke belakang oleh karena guru yang lihai ini benar-benar tercengang dan terkejut melihat kehebatan serangan muridnya. “Ayo kau serang terus dan keluarkan semua ilmu pedangmu yang liar ini!” katanya.
Cin Hai tak berani membantah dan segera maju menyerang terus. Akan tetapi, ilmu meringankan tubuh dari Bu Pun Su sudah sampai pada tingkat tertinggi sehingga boleh dibilang tubuhnya seperti sehelai bulu yang dapat bergerak pergi tiap kali angin pedang menyambar hingga biar pun pedang Cin Hai hampir menyerempet pakaian kakek itu, namun tetap pedang itu tak dapat melukainya!
Akan tetapi kali ini Bu Pun Su benar-benar menghadapi semacam ilmu pedang yang luar biasa dan hanya dengan mengerahkan seluruh ginkang-nya saja maka ia bisa mengelak bagaikan seekor burung beterbangan di antara sambaran pedang!
Ang I Niocu memandang demonstrasi yang dilakukan oleh guru dan murid ini dengan mata terbelalak saking kagum dan herannya. Selama hidupnya belum pernah dia melihat kelihaian seperti ini dan hatinya diam-diam girang sekali memikirkan bahwa Cin Hai kini telah menjadi seorang jago pedang tingkat tinggi!
Ilmu pedang Cin Hai seluruhnya ada tiga puluh sembilan jurus dan sesudah semuanya dia mainkan, akhirnya pemuda ini meloncat ke belakang sambil berkata dengan napas terengah-engah, “Sudahlah, Suhu, teecu tidak kuat lagi!”
Dia lalu berlutut dengan muka merah karena hatinya kecewa betapa dengan mudahnya kakek itu dapat mengelak dari serangannya. Ia anggap ilmu pedangnya ini tiada gunanya sama sekali dan bahwa ia telah menyia-nyiakan waktu tiga hari tiga malam!
“Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh karena kakek ini maklum dan dapat membaca isi hati Cin Hai dari muka pemuda itu, “Jangan kecewa, Cin Hai. Ketahuilah, bahwa ilmu pedang yang baru saja kau mainkan ini kelihaiannya jauh melebihi dugaanku semula!”
“Mohon Suhu jangan mentertawakan kebodohan teecu,” kata Cin Hai.
“Siapa yang mentertawakan kau? Anak bodoh, dengan ilmu pedangmu tadi, kau boleh menjelajah ke seluruh negeri dan mengharapkan kemenangan dari setiap pertempuran! Akan tetapi, jangan kira bahwa aku merasa senang atau bangga melihat ilmu pedangmu ini! Mungkin kau kira aku tidak percaya atau tidak suka kepadamu maka aku tidak pernah menurunkan ilmu kepandaian menyerang kepadamu? Ketahuilah, dan kau juga Im Giok, aku memang sengaja tidak mengajarkan ilmu serangan kepadamu, oleh karena apakah baiknya menyerang orang? Akan tetapi, memang segala apa sudah ditentukan oleh takdir sehingga kau yang tidak mempelajari ilmu menyerang, ternyata kini menghadapi banyak musuh yang lihai. Namun jangan kau anggap bahwa ilmu pedangmu ini saja akan cukup kuat untuk menghadapi Si Rangka Hidup Kam Ki Sianjin, supek dari Hai Kong Hosiang itu! Ahh, kau terlalu mengunggulkan diri kalau kau mempunyai pikiran demikian! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai dan mungkin kelak sewaktu-waktu engkau akan menemui musuh yang lebih lihai lagi! Sekarang engkau telah berhasil menciptakan semacam ilmu menyerang, maka biarlah supaya jangan kepalang tanggung, kau pelajari juga Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na beserta Ilmu Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih).”
Bukan main girang rasa hati Cin Hai dan segera mengangguk-anggukkan kepala untuk menghaturkan terima kasih.
“Juga kau yang telah banyak membuat jasa boleh mempelajari ilmu ini, Im Giok.” Ang I Niocu lalu berlutut dan mengucapkan terima kasih pula.
Demikianlah, selama dua pekan, Bu Pun Su memberi pelajaran dua macam ilmu silat itu kepada Cin Hai dan Ang I Niocu yang dipelajari dengan penuh perhatian oleh dua orang pendekar muda itu.
Pek-in Hoat-sut adalah ilmu sihir yang sebetulnya hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena ilmu ini merupakan gerakan ilmu silat yang sepenuhnya digerakkan oleh tenaga khikang sehingga dari kedua kepalan tangan yang memainkannya keluar uap putih bagai awan yang dapat menolak setiap hawa serangan dari lawan yang bagaimana jahat pun!
Uap putih ini terjadi dari keringat yang berubah menjadi uap sebagai akibat dari dorongan tenaga khikang yang panas dan disalurkan ke arah kedua lengan dalam setiap serangan. Meski lawan menggunakan ilmu hitam atau pukulan keji seperti Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) dan lain-lain, apa bila bertemu dengan orang yang mempergunakan Pek-in Hoat-sut ini akan mati kutu, tenaga serangan mereka yang buyar dengan sendirinya. Oleh karena tenaga hebat inilah maka ilmu ini disebut ilmu sihir!
Ilmu ke dua adalah Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na atau Ilmu Silat Tangan Kosong Burung Merak. Gerakan-gerakan ilmu silat ini selain memukul juga menggunakan jari-jari tangan untuk mencengkeram dan merampas senjata musuh sehingga tepat sekali digunakan dengan tangan kosong apa bila menghadapi lawan yang bersenjata.
Setelah kedua orang itu mempelajari dua macam ilmu silat itu dengan sempurna, Bu Pun Su lalu berkata, “Cin Hai dan Im Giok! Walau pun kalian tidak bertanya, akan tetapi aku maklum bahwa kalian ingin sekali mendengarkan tentang nasib Lin Lin.”
Cin Hai mendengarkan dengan wajah tiba-tiba berubah pucat, sedang Ang I Niocu juga mendengarkan dengan hati berdebar khawatir.
“Kalian jangan khawatir, menurut dugaanku Lin Lin telah selamat dan kalau tidak keliru ia sedang melakukan perjalanan bersama kawan-kawan baik. Sekarang ada hal yang lebih penting lagi. Orang-orang Turki dan orang-orang Mongol sedang berlomba untuk merebut sebuah pulau di laut timur dan apa bila pulau ini sampai jatuh ke dalam tangan mereka, maka bahaya besar mengancam seluruh negeri! Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa ratusan orang-orang Turki dan Mongol dengan diam-diam dipimpin oleh orang-orang berilmu dari kedua bangsa itu dan secara bersembunyi mereka menyerbu ke daerah timur untuk berlomba menemukan pulau itu. Oleh karena ini, kalian berdua segera berangkatlah ke laut timur melalui sungai yang mengalir di sebelah utara ini, oleh karena hanya di sana saja, maka kalian akan dapat bertemu dengan Lin Lin, bahkan mungkin dapat bertemu pula dengan musuh besarmu yang bernama Hai Kong Hosiang itu. Nah, sekarang aku hendak pergi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu maklum akan sikap aneh dari orang tua ini yang bicaranya selalu mengandung rahasia. Mereka maklum pula bahwa secara membuta mereka juga harus menurut petunjuk ini, oleh karena petunjuk ini pasti betul dan biar pun tidak jelas, namun kalau tidak nyata tentu tak akan dikeluarkan dari mulut kakek luar biasa itu.
Tanpa menunda lagi, Cin Hai serta Ang I Niocu berlari cepat ke utara dan tidak lama kemudian mereka bertemu dengan sungai yang melintang dan mengalir ke arah timur itu. Di tempat itu tidak terlihat perahu dan keadaannya sunyi sekali, maka keduanya segera mempergunakan ilmu lari cepat dan mengikuti aliran sungai menuju ke timur. Akan tetapi, jalan di tepi sungai itu sukar sekali, penuh rawa dan hutan-hutan berbahaya, juga amat sukar dilalui.
Setelah mereka berlari selama dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan mereka menjadi girang sekali saat melihat beberapa buah perahu diikat di pinggir sungai. Segera Cin Hai mencari pemilik perahu untuk disewa atau dibelinya.
Dua orang menghampiri mereka dan bertanya, “Jiwi membutuhkan perahu?”
“Betul,” kata Cin Hai dengan girang. “Kami berdua ingin menyewa atau membeli sebuah perahu.”
“Membeli?” kedua orang itu saling pandang “Ahh, Kongcu. Di sini tidak ada yang mau menjual perahunya. Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?”
“Apa katamu?” Cin Hai bertanya heran dan tak senang, oleh karena menyangka bahwa nelayan itu hendak mempermainkannya.
“Kongcu ingin membeli perahu, sedangkan bagi seorang nelayan sebuah perahu adalah sama dengan seorang isteri. Siapakah yang mau menjual perahu atau isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian berdua hendak menyewa, boleh kalian pakai perahuku ini. Biar pun kecil, tetapi kuat dan laju!”
Cin Hai tersenyum geli. “Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini.”
“Jiwi hendak ke manakah?” tanya nelayan yang seorang lagi.
Ang i Niocu tidak senang melihat ada orang lain turut bicara, bahkan bertanya tentang maksud kepergian mereka.
“Apa perlunya kau ikut campur dan bertanya ke mana kami hendak pergi?” tanyanya tak senang.
Orang itu berkata sambil mengangkat dadanya, “Aku berhak penuh untuk turut campur, oleh karena perahu ini adalah milik kami berdua!”
Cin Hai tertawa. “Aha, kalau begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?”
Kedua orang nelayan itu tertawa. “Kongcu, kami adalah orang-orang miskin sehingga dua orang memiliki sebuah perahu saja.”
“Kami berdua hendak menuju ke laut dan hendak mencari sebuah pulau.”
Kedua orang itu nampak terkejut sekali. “Apa? Hendak mencari pulau? Apakah itu Pulau Emas?”
Cin Hai dan Ang I Niocu tercengang, akan tetapi mereka memang hendak menyelidiki pulau yang belum pernah meraka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga tidak memberi penjelasan, maka Cin Hai lalu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, kami mencari Pulau Emas!”
Tiba-tiba salah seorang di antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata kepada kawannya, “Twako, marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini. Agaknya mereka ini pun sudah kegilaan emas dan mungkin akan timbul malapetaka kembali apa bila kita membawa mereka seperti hal kita tempo hari itu!”
Cin Hai menjadi tertarik, dan Ang I Niocu segera membentak, “Apakah yang terjadi? Apa ada orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?”
Kedua nelayan itu saling pandang dan keduanya kemudian berdiri hendak meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu cepat meloncat dan sekali tangannya bergerak, maka pedang yang tajam telah dicabutnya dan pedang itu sekarang menempel di leher seorang nelayan.
“Ke mana engkau hendak pergi? Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan hal itu kepada kami, jangan harap akan dapat pergi dengan kepala menempel di lehermu!”
Nelayan itu menghela napas. “Apa kataku, Twako? Pulau Emas itu benar-benar pulau berhantu dan hanya setan-setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio, harap kau berlaku murah dan jangan begini galak. Kami hanya nelayan-nelayan biasa saja dan kalau Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan pengalaman kami. Beberapa hari yang lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati dan royal dengan hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang besar, oleh karena ia berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi ke laut dan mencari Pulau Emas seperti kalian pula. Tetapi pada suatu malam perahu orang asing bangsa Turki ini kedatangan seorang perwira yang galak dan gagah, sedangkan perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan menakutkan, yaitu ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!”
Berdebarlah hati Cin Hai dan Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan ini Lin Lin adanya? Akan tetapi Cin Hai lalu mendesak, “Teruskan, teruskan ceritamu!”
“Setelah perwira galak ini naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu mendapat perintah untuk mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, perwira itu tadinya hendak membunuh gadis yang ditawannya, akan tetapi maksudnya dihalangi oleh orang asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan tunduk kepadanya. Gadis itu lalu ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan tetapi, memang setan berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami dayung itu bertumbuk dengan sebuah perahu lain yang biar pun kecil, akan tetapi maju dengan kuat hingga perahu kami terhalang. Dan yang lebih hebat lagi, ketika kami menegur nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan sekali memukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah dan bocor hingga tenggelam!”
“Nelayan Cengeng!” tak terasa lagi Cin Hai berseru.
Nelayan yang bercerita itu menjadi terkejut karena menyangka bahwa dialah yang dimaki cengeng. Akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah kembali mendesaknya. “Teruskanlah, teruskanlah!”
“Penumpang-penumpang kami orang Turki yang aneh dan perwira yang galak itu menjadi marah kemudian melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun tak tersangka-sangka lihai juga dan dapat pula melompat ke darat! Kami berdua tak dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke dalam air dan berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki bertempur melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang sudah memecahkan perahu kami, sedangkan Si Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang pemuda tampan kawan nelayan tua itu.”
“Ma Hoa!” kata Ang I Niocu dan kembali nelayan itu memandang heran karena tidak tahu maksud Dara Baju Merah yang berseru karena amat tertarik mendengar penuturan ini.
“Dan bagaimana hasil pertempuran itu?” Cin Hai mendesak dengan tak sabar, karena ia telah merasa pasti bahwa yang mengeroyok perwira itu tentu Lin Lin dan Ma Hoa dan yang bertempur melawan orang Turki tentu Si Nelayan Cengeng.
“Kesudahannya mengerikan sekali...” nelayan yang pandai bercerita itu sengaja berhenti sebentar untuk membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu dan ceritanya makin menarik, “perwira yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya remuk dipukul oleh dayung yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya bolong-bolong tertembus pedang Si Pemuda tampan!”
Baik Cin Hai mau pun Ang I Niocu menghela napas lega. “Mampuslah si keparat!” seru Cin Hai dengan gembira, kemudian ia menegaskan, “Bukankah perwira itu masih muda, kira-kira tiga puluh tahun, dan bibirnya tebal?”
Nelayan itu memandangnya heran, “Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?”
Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi, “Dan bagaimana hasil pertempuran orang Turki melawan nelayan tua itu?”
“Mereka bertempur secara luar biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat melihat siapa menang siapa kalah. Mendadak mereka berhenti bertempur dan agaknya lalu mengikat persahabatan. Si Nelayan Tua itu benar-benar setan air! Ia menyelam ke dalam air dan berhasil mencari dan mengambil perahu yang sudah tenggelam itu. Bukan main! Selama hidupku belum pernah aku melihat orang dapat melakukan hal semacam itu. Tentu ia iblis air sungai itu!”
“Hush! Jangan membuka mulut sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia, kutampar mulutmu!” kata Cin Hai sambil mendelikkan matanya sehingga nelayan itu terkejut dan merasa ketakutan. “Teruskan ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka itu?”
“Selanjutnya? Tak ada apa-apa lagi. Setelah memperbaiki perahu, mereka berempat lalu berangkat pergi dan kami ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan hadiah uang!”
“Jadi perahu kecil ini adalah perahu kepunyaan nelayan tua itu?” tanya Cin Hai dengan girang. Kedua nelayan itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan omong.
“Kalau begitu kami hendak memakai perahu ini,” kata Ang I Niocu yang merogoh keluar dua potong uang perak dari sakunya. “Nih, kalian ambillah seorang satu! Perahu ini kami ambil!”
Melihat bahwa perahu itu hanya diganti dengan dua potong uang perak, kedua nelayan itu menjadi bingung, “Ehh, Siocia, ehhh... Toanio, nanti dulu, perahu... perahu kami ini harganya lebih dari lima potong uang perak!”
Ang I Niocu mengangkat tangan mengancam. “Perahu ini bukan perahu kalian! Memberi dua potong perak sudah terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk membeli perahu ini, akan tetapi sebagai upah kalian bercerita tadi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai. Kedua nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya melihat perahu itu pergi makin jauh dengan hati memaki-maki kalang kabut, akan tetapi mulut tidak berani bersuara!
Dua hari kemudian, saat perahu melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat pohon-pohon buah lenci di dekat pantai. Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu, timbul seleranya dan dia mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat sebentar sambil mencari dan makan buah. Cin Hai setuju, oleh karena dia pun merasa ingin makan buah yang segar nampaknya itu.
Mereka kemudian mendayung perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil itu ke darat. Kemudian, oleh karena melihat tempat itu sunyi dan indah sekali, timbullah kegembiraan mereka dan keduanya lalu melompat ke atas cabang pohon dan memilih buah sesuka hati mereka.
Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai berseru kaget dan cepat melompat turun dan ketika Ang I Niocu memandang ke arah perahu mereka, ia pun terkejut sekali. Seorang tosu (pendeta penganut Agama Tao) sedang menarik perahu mereka ke arah air, dan agaknya tosu ini ingin menggunakan kesempatan itu untuk mencuri perahu mereka! Ang I Niocu menjadi marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari atas pohon.
Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba dari balik batang pohon besar melompat keluar seorang hwesio (pendeta penganut Agama Buddha) yang bertubuh pendek namun gemuk sekali. Hwesio ini kelihatan lucu sekali, mukanya seperti muka anak kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia persis seperti boneka besar atau Jilaihud yang berwajah baik dan peramah.
Mukanya yang bulat itu selalu tersenyum ramah. Tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan gemuk dililit kain yang hanya menutupi kedua pundak dan lengannya saja, ada pun tubuh atas bagian depan terbuka sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya yang besar kelihatan menambah kelucuannya.
Ia menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata, “Ai, aih, kalian sepasang burung dara yang bahagia! Kenapa melayang turun dari pohon dan berlari-lari. Bukankah lebih senang bermain-main di atas pohon?”
Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini, ada pun Ang I Niocu dengan muka merah lalu membentak, “Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!”
Akan tetapi hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi, “Ehh, ehh, mengapa kalian malah marah-marah? Apakah aku mengganggu kalian?”
“Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!” kata Cin Hai yang lebih sabar, “Kami akan mengejar pencuri perahu itu!”
Si Hwesio tertawa terus dan berkata, “Pencuri perahu? Kau maksudkan tosu itu? Ahh, dia adalah saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!”
“Bagus, hwesio maling!” kata Ang I Niocu yang segera melompat maju sambil mengayun kepalan tangannya menghantam dada hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.
“Waduh, ganas... ganas...!” seru hwesio gendut itu yang masih saja tertawa-tawa meski pun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot sekali.
Sementara itu, tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa saudaranya diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak sekali, cepat-cepat menarik kembali perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.
“Jangan kau memukul Adikku!” teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu.
Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan keduanya lalu bertempur ramai! Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang sedang mewek dan menangis. Matanya yang sangat sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih sehingga membikin sedih pula kepada orang yang melihatnya.
Walau pun Ang I Niocu sedang marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu biar pun terdesak sekali masih saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu Silat Kong-ciak Sin-na sehingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang sengaja menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan ia merasa girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya dari Bu Pun Su ini memang betul-betul luar biasa.
Sebaliknya, dengan mudahnya Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya berhasil menggaet kaki tosu itu yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh kesakitan.
“Nah, biar kau kapok mendapat hajaran sedikit!” kata Cin Hai. “Dan supaya lain kali tidak berani mencoba untuk mencuri perahu lain orang.”
Dengan muka seperti orang menangis, Si Tosu itu menoleh ke arah hwesio yang masih diserang kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru, “Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!”
Mendengar kata-kata ini, hwesio gemuk itu cepat melompat mundur dan berkata sambil tertawa, “Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!”
Ang I Niocu menjadi geli hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus. “Siapakah kalian dua orang tua ini, dan mengapa kalian hendak mencuri perahu kami?” tanyanya.
Kedua pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata, “Kami dua kakak beradik adalah pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek Hwesio ada pun pinto sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami mengira bahwa kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat pakaian serta kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apa bila kau mengaku wanita yang berjuluk Ang I Niocu!”
Ang I Niocu tersenyum. “Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Memang aku adalah Ang I Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!”
Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar. “Apa? Dengan kepandaiannya seperti itu, ia masih disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya setinggi ini, apa lagi yang pintar?”
Biar pun tosu ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka sesenang-senangnya!
Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu bertanya. “Harap kau dua orang suci suka berkata terus terang saja. Sebenarnya mau meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?”
Kini hwesio gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran. “Kami hendak pergi ke laut dan mencari sebuah pulau.”
“Pulau Emas?” Cin Hai cepat menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.
“Kau... sudah tahu?”
“Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!”
“Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana letaknya Kim-san-to (Pulau Gunung Emas)?”
Secara terus terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu saling pandang dan akhirnya Si Tosu berkata, “Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk ditumpangi oleh empat orang. Kami berdua membonceng kalian dan sekaligus menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi tidak mengenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling menolong?”
Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan berkata, “Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita bersama-sama mencari pulau itu dan kalian berdua menjadi penunjuk jalan!”
“Akan tetapi perahu kita kecil dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak banyak bergerak hingga jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!” kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga mereka berempat sama-sama tertawa gembira.
Cin Hai dan Ang I Niocu merasa suka pada dua orang aneh itu. Mereka dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.
Beberapa hari kemudian, empat orang dalam perahu kecil itu sudah sampai di samudera dan mulai dengan usaha mereka untuk mencari Pulau Kim-san-tho. Atas petunjuk kedua pendeta itu, perahu lalu didayung ke kiri melalui pantai yang curam dan batu-batu karang yang tinggi.
Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan hitam, dari atas tiba-tiba saja menyambar turun bayangan yang gerakannya cepat sekali! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang telanjang.
Empat orang di dalam perahu itu terkejut sekali ketika melihat bahwa yang menyambar adalah seekor burung rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik oleh kegemukan dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu, hingga ia menyambar turun dan hendak mencengkeram daging gemuk itu!
Ceng Tek Hwesio merasa kaget dan hendak berkelit, namun berat badannya membuat perahu itu berguncang!
“Hai, jangan bergerak!” Ang I Niocu mencegah.
Gadis ini dengan cepat lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya ketika burung itu dengan cepat mampu mengelak dari tendangannya dan melayang ke atas lagi!