Pendekar Bodoh Jilid 18

Pendekar Bodoh Jilid 18
Sonny Ogawa

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 18

BEBERAPA tahun yang lalu pada saat dia merasa bahwa dirinya telah amat tua dan telah banyak darah dia alirkan melalui pedang ini, dia merasa menyesal sekali dan takut untuk menerima hukuman dari semua dosanya. Maka ia lalu bersumpah takkan menggunakan pedang ini untuk membunuh orang lagi. Akan tetapi, oleh karena sekarang dia merasa marah sekali, dia tidak ingat lagi akan sumpah itu dan mencabut keluar senjatanya yang hebat.

Cin Hai terkejut melihat gerakan ini. Dia tidak mempunyai permusuhan dengan Kiam Ki Sianjin dan tadi pun dia hanya ingin menolong Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saja serta hendak mencoba kepandaian kakek luar biasa ini. Sekarang melihat betapa kakek itu mencabut keluar pedangnya, maka tahulah bahwa kakek itu sudah marah sekali dan bermaksud mengadu jiwa.

“Kiam Ki Sianjin!” Cin Hai berkata keras-keras, “kita tak pernah saling bermusuhan hingga tak perlu mengadu jiwa!”

Kiam Ki Sianjin telah salah mengerti dan menduga bahwa pemuda itu merasa jeri melihat pedangnya. Maka, sambil tertawa cekikikan dia lalu menerjang maju dengan cepatnya.

“Baiklah, agaknya kau hendak membela muridmu yang durhaka Hai Kong Hosiang itu!” kata Cin Hai.

Secepat kilat pemuda ini pun kemudian mengelak sambil mencabut keluar pedangnya, Liong-coan-kiam. Karena maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini hebat sekali dan dia takkan dapat mengambil kemenangan apa bila ia hanya mengandalkan pengertian pokok persilatan dan hanya mengikuti gerakan serangan orang tua itu tanpa membalas dengan serangan berbahaya, maka dengan ilmu pedang yang dia ciptakan bersama Ang I Niocu dan yang telah diyakinkan sempurna itu, pedangnya lantas bergerak-gerak aneh laksana terbang ke udara dan tiada ubahnya dengan seekor naga sakti yang keluar dari surga dan menyambar-nyambar ke arah Kiam Ki Sianjin dengan garangnya.

Akan tetapi, Kiam Ki Sianjin benar-benar hebat dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Walau pun dia merasa sangat terkejut melihat ilmu pedang yang seumur hidupnya belum pernah disaksikan itu, namun pengalamannya membuat dia dapat menduga ke mana arah tujuan pedang Cin Hai dan sanggup menjaga diri dengan baiknya serta dapat pula melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Kedua orang ini bertempur mengadu ilmu sampai tiga ratus jurus lebih dan para penonton sudah merasa pening karena terpengaruh oleh gerakan pedang yang dimainkan secara hebat itu. Bahkan Kwee An sampai menjadi merah matanya karena tidak tahan melihat menyambarnya sinar pedang. Juga para perwira yang tadinya berseru-seru, kini diam tak bergerak dan hanya memandang dengan muka pucat. Banyak di antara mereka yang mengalirkan air mata karena mata mereka terasa pedas sekali sehingga terpaksa mereka mengalihkan pandangan matanya dan tidak langsung memandang ke arah pertempuran.

Hanya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng saja yang masih sanggup menonton dengan tertariknya, akan tetapi juga kedua orang ini agak pucat karena maklum bahwa sekarang sedang berlangsung pertandingan tingkat tinggi yang langka terlihat. Kini mereka makin kagum saja kepada Cin Hai yang bagaikan sebuah batu mustika, baru sekarang tergosok dan kelihatan betul-betul sinar dan nilainya. Kedua tokoh besar ini diam-diam menghela napas saking tertarik dan kagumnya.

Biar pun di luarnya tidak menyatakan perubahan, namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa lelah sekali. Rasa penasaran dan marah telah berkobar di dalam dadanya yang membuat seluruh tubuhnya terasa panas sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak berdaya. Nafsu marah dan penasaran yang sudah lama dapat ditenggelamkan pada dasar hatinya, kini tiba-tiba melonjak dan timbul pula dengan serentak, maka tentu saja tangannya menjadi semakin lemah.

Baiknya Cin Hai memang tidak bermaksud membunuh atau melukainya, karena betapa pun juga, pemuda ini merasa kasihan melihat kakek yang sangat tua hingga merupakan rangka hidup ini. Ia dapat menduga bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak makin hebat dengan maksud agar kakek ini dapat menyerah karena kelelahannya.

Benar saja, desakannya sudah membuat Kiam Ki Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya sudah penuh keringat dan napasnya mulai terengah-engah hingga membuat gerakannya menjadi lambat.

Ternyata bahwa Yousuf menggunakan poci teh itu untuk mencoba pemuda yang berani mendekati Ma Hoa atau Lin Lin dan lemparan poci ini adalah semacam kepandaian sihir yang digerakkan oleh tenaga khikang.

Melihat menyambarnya poci teh ke arah kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena dia telah merasa datangnya serangan angin sambaran benda itu. Namun Kwee An tidak saja sudah mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan sekarang setelah lama melakukan perjalanan dengan Cin Hai, ia mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari pemuda itu dan kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Di samping itu, Cin Hai juga memberi petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekang hingga dalam hal tenaga lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan pesat.

Melihat datangnya poci teh yang menyambar, Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan dia semakin terkejut ketika merasa betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi dia dapat mengerahkan lweekang-nya dan menerima poci teh dengan baik, bahkan air teh yang di dalam poci sama sekali tidak tumpah keluar!

“Bagus, bagus! Ma Hoa, siapakah pemuda yang gagah ini?” tanya Yousuf yang segera melangkah menghampiri.

“Lekas kau minum air teh dari poci. Ini adalah Yo-peh-peh,” bisik Ma Hoa.

Tanpa ragu-ragu Kwee An melakukan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu dan dia minum air teh dari mulut poci begitu saja tanpa cawan. Yousuf makin girang dan tertawa bergelak-gelak.

“Yo-peh-peh, ini adalah An-koko yang sering kali kau dengar namanya itu.”

Yousuf terkejut dan tahu bahwa dia tadi telah salah sangka. Maka cepat dia menghampiri dan membungkuk. “Maaf, Kwee-taihiap, aku tua bangka sembrono sudah berlaku kurang ajar.”

Akan tetapi, dengan hormat sekali Kwee An lalu menjura sesudah memberikan poci teh kepada kekasihnya dan berkata, “Yo-peh-peh, setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka kau bukanlah orang lain dan perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula padamu yang baik hati dan berkepandaian tinggi!”

Yousuf makin girang melihat sikap yang sopan santun dari pemuda ini, maka dia segera maju memeluknya. “Bagus, Ma-Hoa tidak keliru memilih. Memang Nelayan Cengeng itu pandai memilih jodoh muridnya!”

Ia lalu melihat kepala kampung itu dan segera memanggilnya, dan beramai-ramai mereka lalu masuk ke dalam rumah.

“Di mana Lin Lin?” tanya Kwee An dan baru sekarang ia teringat kepada adiknya.

Ma Hoa memandangnya dengan mata berseri, lalu menjawab, “Entahlah, semenjak tadi dia keluar dengan Sin-kong-ciak. Sebentar lagi tentu dia datang. Dan di manakah adanya Sie-taihiap? Mengapa ia tidak datang bersamamu?”

“Kebetulan sekali! Dia tadi mendengar suara kong-ciak dan pergi mencarinya, tentu dia telah bertemu dengan Lin Lin!”

Kemudian ketiga orang itu saling menceritakan tentang pengalaman mereka, disaksikan dan didengar oleh kepala kampung.

*****

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Ketika Cin Hai lari cepat ke arah puncak di mana dia mendengar burung merak memekik nyaring, dia mendengar lagi pekik burung merak itu yang agaknya sedang marah. Cin Hai mempercepat larinya dan ketika dia tiba di puncak, dia melihat pertempuran yang hebat antara seekor burung merak yang bulunya indah dan bertubuh besar sekali melawan seorang hwesio tinggi besar. Alangkah kaget dan girangnya ketika melihat bahwa hwesio itu bukan lain Hai Kong Hosiang!

Ternyata bahwa hwesio jahat ini dapat mengetahui tempat tinggal Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa. Maka timbullah niatnya hendak mengganggu gadis itu, terutama Lin Lin oleh karena ia tahu bahwa gadis ini adalah puteri Kwee-ciangkun yang menjadi musuh besarnya!

Demikianlah, saat ia mengintai ke bukit itu, kebetulan sekali ia melihat Lin Lin dan burung merak, maka segera ia muncul untuk menangkap Lin Lin. Tidak dinyana, burung merak itu dengan ganas sekali telah menyerangnya dan sebentar saja manusia dan burung ini bertempur sengit.

Ketika Cin Hai tiba di situ, burung merak sedang menyambar-nyambar dari atas dan Hai Kong Hosiang melawan dari bawah. Pertempuran berjalan ramai sekali, akan tetapi pada saat Cin Hai memperhatikan, dia menjadi terkejut oleh karena melihat betapa gerakan burung itu kaku sekali, seakan-akan telah mendapat luka berat!

Memang benar, sebelum Cin Hai datang, Hai Kong Hosiang yang kosen itu telah berhasil melukai Sin-kong-ciak dengan sebuah pukulan tangannya. Pukulan ini tepat mengenai dada kanan Merak Sakti itu dan kalau saja Merak Sakti tidak mempunyai kekebalan dan tenaga luar biasa, pasti ia telah tewas dan dadanya hancur pada saat itu juga! Namun, Merak Sakti telah mendapat gemblengan luar biasa dari Bu Pun Su dan sute-nya yang sakti dan sudah menjadi seekor binatang sakti yang memiliki kekuatan luar biasa maka pukulan ini biar pun telah melukainya, akan tetapi tidak dapat membunuhnya.

Betapa pun juga, kepandaian Hai Kong Hosiang terlampau tinggi baginya dan kini meski pun dia menyambar-nyambar namun dia tak berdaya menyerang Hai Kong Hosiang dan bahkan tiap kali mereka bergebrak hampir saja Merak Sakti itu terkena serangan dahsyat dari Hai Kong Hosiang!

Melihat ini Cin Hai menjadi marah dan sekali loncat saja ia telah berada di dekat tempat pertempuran. Alangkah herannya ketika melihat seekor kuda yang dikenalnya baik-baik berada pula di situ, makan rumput hijau tanpa mempedulikan.

Kuda itu adalah kuda Pek-gin-ma atau Kuda Perak Putih kepunyaan Pangeran Vayami yang dulu telah dibawa oleh Bu Pun Su untuk dikembalikan kepada yang punya. Ia dapat menduga bahwa kuda ini terjatuh ke dalam tangan Hai Kong Hosiang dan dugaannya memang betul. Hai Kong Hosiang datang ke bukit itu sambil menunggang Pek-gin-ma yang semenjak dia pergi dengan Pangeran Vayami ke Pulau Kim-san-to, memang sudah berada di tangannya dan dipelihara baik-baik di kota raja.

“Hai Kong Hosiang, mari kita menentukan perhitungan terakhir hari ini!” kata Cin Hai yang menyambung ucapannya itu dengan suara halus ke arah Merak Sakti.

“Sin-kong-ciak-ko, biarlah siauwte menghadapi hwesio gundul kurang ajar ini dan engkau beristirahatiah dulu!”

Merak Sakti ini agaknya maklum bahwa pemuda yang datang adalah seorang yang boleh dipercaya, maka ia lalu terbang ke atas dahan pohon di dekat situ dan setelah hinggap di sana dia lalu menggunakan paruh serta kepalanya untuk mengusap-usap dada kanannya yang terluka dan terasa sakit.

Ketika Hai Kong Hosiang melihat siapa yang datang, bukan kepalang marahnya.

“Bangsat besar, akhirnya aku dapat juga bertemu dengan engkau!” katanya dan sedikit pun dia tidak merasa jeri.

Memang dia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tinggi sekali sebagaimana sudah dia rasakan ketika mereka bertempur di atas perahu Pangeran Vayami, akan tetapi kini dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi supek-nya.

Setelah mengeluarkan makian marah, Hai Kong Hosiang langsung maju dengan tongkat ularnya. Cin Hai mencabut pedangnya Liong-coan-kiam dan menangkis hingga sebentar saja dua orang musuh besar ini sudah bertempur mati-matian di atas bukit itu, disaksikan oleh Sin-kong-ciak yang bertengger di atas dahan pohon.

Setelah bertempur beberapa puluh jurus, keduanya tercengang dan kaget sekali melihat kemajuan ilmu silat lawan. Akan tetapi kekagetan Hai Kong Hosiang lebih besar lagi oleh karena tenaga lweekang-nya yang telah dilatih sempurna itu tidak berdaya menghadapi Cin Hai! Ia merasa betapa pemuda ini sekarang memiliki tenaga lweekang yang berlipat ganda hebatnya dari pada dulu.

Dan ketika Cin Hai membuka serangan dengan ilmu pedangnya yang baru diciptakannya sendiri itu, maklumlah Hai Kong Hosiang bahwa pemuda ini sekarang sudah memiliki ilmu kepandaian hampir menyamai tingkat Bu Pun Su sendiri! Diam-diam dia menjadi bingung dan jeri terutama sekali ketika Cin Hai dengan senyum sindir berkata,

“Hai Kong, sekarang kau harus menghadap Supek-mu!”

Hai Kong Hosiang maklum bahwa supek-nya telah meninggal dunia dan hal ini membuat ia semakin jeri lagi. Ia tak perlu bertanya bagaimana supek-nya meninggal namun dapat menduga bahwa tentulah pemuda ini yang merobohkannya, kalau tidak, tidak nanti Cin Hai mengeluarkan kata-kata yang bermaksud melemahkan pertahanannya dan membuat kacau pikirannya itu.

Dengan nekad Hai Kong Hosiang kemudian menyerang lagi dengan Ilmu Silat Tongkat Jian-coa Tung-hoat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang menjadi kebanggaannya. Akan tetapi, serangan dengan ilmu tongkat yang telah dikenal baik-baik oleh Cin Hai ini, hanya memperlebar senyum di mulut pemuda itu saja.

Ketika Cin Hai mengeluarkan seruan keras dan menggerakkan jurus ke dua puluh satu dari ilmu pedangnya, mendadak tongkat di tangan Hai Kong Hosiang terlempar ke udara dan terdengar sayap mengibas karena saat melihat tongkat hwesio itu melayang ke atas, Merak Sakti cepat menyambarnya dan membawa terbang tongkat itu untuk dilempar jauh ke dalam sebuah jurang yang curam sekali!

Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali dan tiba-tiba ia berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki bergerak-gerak di atas! Gerakannya sangat cepat dan hebat, dan kedua kakinya mengeluarkan tenaga luar biasa karena anginnya saja menyambar-nyambar membuat daun-daun pohon yang bergantungan di situ bergoyang-goyang bagai tertiup angin keras!

Namun Hai Kong Hosiang tak dapat menakut-nakuti Cin Hai dengan ilmunya ini, bahkan pemuda ini lalu dengan tenangnya menyimpan kembali pedangnya, oleh karena dia tidak mau disebut licin akibat melawan seorang bertangan kosong dengan senjata di tangan! Ia maju menghadapi Hai Kong Hosiang yang telah berdiri dengan terbalik itu.

Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan keras dan mengerikan kemudian kedua kakinya menyambar dalam serangan-serangan kilat dan maut! Cin Hai segera menyambutnya dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang ajaib, dan benar saja. Ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh terbalik ini tidak berdaya menghadapi Pek-in Hoat-sut dan setiap kali hawa pukulan kaki itu menyambar dan terpukul balik oleh uap putih yang keluar dari sepasang lengan Cin Hai, maka kaki Hai Kong lantas terpental kembali yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang.

Cin Hai maklum bahwa dalam keadaan terbalik itu, agak sulit baginya untuk mencari jalan darah lawan dalam keadaan jungkir balik itu. Kalau saja Hai Kong Hosiang bertempur sambil berdiri di atas kedua kakinya, tak akan sukar agaknya bagi dia untuk merobohkan hwesio itu.

Cin Hai yang sejak tadi memperhatikan gerakan Hai Kong Hosiang, tiba-tiba mengambil keputusan untuk meniru gerakan lawannya ini. Segera dia berseru keras dan berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas. Maka bertempurlah mereka dalam keadaan aneh itu dengan hebatnya.

Kembali Hai Kong Hosiang menjadi terkejut setengah mati. Bagaimana pemuda ini dapat melakukan ilmu silat ini dengan sama baiknya?

“Siluman!” bentaknya dengan hati ngeri dan menyerang kembali dengan nekad.

Tubuhnya berputar-putar di atas kepala dan kedua kakinya menyambar-nyambar, akan tetapi oleh karena kini Cin Hai juga berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan ilmu silatnya ini khusus diadakan untuk menghadapi seorang yang berkelahi dengan normal, maka semua pukulan kakinya ini menjadi ngawur. Kaki yang tadinya harus menyerang ke pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki Cin Hai.

Hai Kong Hosiang benar-benar bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru keras dan berdiri lagi di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga sudah berdiri dan menyerangnya dengan hebat.

Menghadapi Pek-in Hoat-sut dengan berdiri di atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tak kuat menahan lagi dan dengan telak jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya dan tangan kiri anak muda itu menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa mengeluarkan suara lalu roboh terbanting dalam keadaan lumpuh kaki tangannya.

Sebelum Cin Hai sempat mengeluarkan kata-kata atau menurunkan tangan keras untuk menghabisi jiwa hwesio itu, tiba-tiba Merak Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini hendak membalas dendamnya oleh karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang, dan kini sambil memekik-mekik marah dia menyambar dan mematuk ke arah kedua mata Hai Kong Hosiang.

Biar pun kedua kaki tangannya telah lumpuh, namun hwesio ini masih mempunyai tenaga untuk mengguling-gulingkan tubuhnya sehingga ia dapat berhasil mengelak paruh merak yang hendak mematuk matanya.

Cin Hai melangkah mundur, kemudian berdiri di dekat Pek-gin-ma yang masih enak-enak makan rumput. Sambil bertolak pinggang Cin Hai melihat pergulatan ini dan berkata,

“Kong-ciak-ko, jangan kau habisi jiwanya. Itu bukan tugasmu.”

Setelah beberapa kali menggulingkan tubuhnya untuk menghindarkan sepasang matanya dari serangan Merak Sakti, akhirnya Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah juga. Sambil mengeluarkan jeritan ngeri, Hai Kong Hosiang masih berusaha mengelak, akan tetapi dia terlambat. Patuk yang merah dan kecil runcing dari Merak Sakti itu telah bergerak dua kali dan kedua mata Hai Kong Hosiang menjadi buta!

Pada saat itu pula terdengar seruan girang, “Hai-ko!”

Cin Hai cepat berpaling dan melihat bahwa yang berseru itu tak lain adalah Lin Lin! Gadis ini ternyata tadi sudah terjun ke dalam sebuah jurang dan bersembunyi ketika diserang hebat oleh Hai Kong Hosiang! Lin Lin maklum bahwa ia bukan lawan hwesio ini, maka ia berusaha melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan Yousuf untuk membantunya, akan tetapi ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan satu-satunya ialah terjun ke dalam jurang itu! Untung baginya bahwa jurang itu dangkal dan pada saat itu, Sin-kong-ciak sudah datang membelanya.

“Lin Lin...!” Cin Hai berseru girang sekali. Mereka lalu saling berpegangan tangan dengan hati penuh kebahagiaan. “Lihat, Hai Kong yang jahat pun harus makan buah yang sudah ditanamnya sendiri!” Mereka sambil berpegang tangan lalu menonton betapa Merak Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.

Setelah berhasil membalas sakit hatinya, Merak Sakti terbang melayang ke angkasa dan memekik-mekik girang. Dan pada saat itu, dari lereng bukit berlari-lari Kwee An, Ma Hoa, dan Yousuf menuju ke tempat itu. Mereka juga mendengar pekik Merak Sakti dan merasa kuatir, maka ketiga orang ini lalu berlari cepat menyusul Cin Hai.

Melihat Hai Kong Hosiang sudah rebah di tanah dengan mata buta dan tak berdaya lagi, Kwee An segera mencabut pedangnya dan hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu.

Akan tetapi tiba-tiba Ma Hoa menjerit, “Koko, jangan!”

Kalau orang lain yang mencegah, mungkin takkan dihiraukan oleh Kwee An yang sedang merasa marah sekali. Akan tetapi suara Ma Hoa ini memiliki pengaruh yang melemaskan tubuhnya dan memadamkan api kemarahannya.

“Jangan, An-ko, biarlah kita ampuni jiwa anjing ini supaya jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!”

Kwee An memandang kepada kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan segera berpaling kepada Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan dengan Cin Hai juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu hanya saling pandang dengan bingung.

Yousuf tertawa. “'Anak-anak! Demikianlah seharusnya orang yang memiliki pribudi tinggi. Jangan terlalu mengandalkan kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa besar pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan mengadili segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!”

Cin Hai merasa kagum sekali mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya untuk mendekati Yousuf. “Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah angkatku!”

Cin Hai memberi hormat dan dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf.

Mendadak tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak, “Bangsat-bangsat rendah, kalian kira aku tak akan dapat membalas dendam? Tunggulah pembalasanku!”

Sambil memaki-maki dan berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang amat dalam!

“Nah, begitulah hukuman seorang jahat!” kata lagi Yousuf dan dia lalu mengajak mereka semua kembali ke rumahnya. Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.

Malam yang indah. Bulan bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang, akan tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.

Di bawah pohon nampak dua orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini adalah Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling menuturkan pengalaman masing-masing diselingi pandangan mata yang menyatakan betapa besarnya cinta kasih mereka.

Ketika Lin Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan kasihan sehingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata,

“Lin Lin, kita tak boleh melupakan Ang I Niocu yang sudah mengorbankan jiwanya dalam usahanya mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biar pun dia telah pergi ke alam akhir, akan tetapi dia juga meninggalkan sesuatu untuk kita buat sebagai kenangan.”

Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang dia temukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap kain itu ke dadanya.

“Enci Im Giok....” bisiknya pelan, “kau... kau di manakah?” Kemudian, matanya terbelalak memandang kepada Cin Hai sambil berkata, “Engko Hai, aku tidak percaya bahwa Enci Im Giok telah meninggal dunia! Kalau aku tidak melihat jenazahnya dengan mata kepala sendiri aku tidak percaya jika seorang seperti dia dapat meninggal dunia!”

Cin Hai menghela napas dan menjawab lirih, “Mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan tetapi, menghadapi ledakan dan kebakaran hebat semacam itu, manusia manakah yang sanggup menyelamatkan dirinya?”

Untuk beberapa lama mereka berdiam diri saja, seakan-akan berdoa kepada Thian Yang Maha Kuasa untuk keselamatan Ang I Niocu yang mereka sayangi. Kemudian, sesudah keharuan hatinya agak mereda, Lin Lin lalu menceritakan kepada kekasihnya mengenai pertemuannya dengan Bu Pun Su dan tentang pedang pendek Han-le-kiam yang dibuat oleh kakek sakti dan diberikan kepadanya. Kemudian ia berkata,

“Hai-ko, Suhu-mu berpesan agar supaya engkau memberi pelajaran ilmu pedang padaku, karena setelah aku memiliki pedang ini aku berhak pula mempelajari ilmu pedangnya.”

Cin Hai menghela napas dan berkata, “Lin-moi, ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu, aku diharuskan bersumpah.”

“Aku pun bersedia bersumpah!” memotong Lin Lin sambil cemberut.

Cin Hai tersenyum. “Bukan begitu maksudku Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa selain harus mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan juga aku tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, siapa pun juga orang itu.”

“Apa kau tidak percaya kepadaku?” Lin Lin memotongnya lagi.

Cin Hai memegang lengan kekasihnya. “Kau harus belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya hendak menyatakan kepadamu bahwa apa bila bukan atas kehendak Suhu sendiri, walau pun di dalam hati aku ingin sekali memberi pelajaran kepadamu, namun aku tidak akan berani. Sekarang Suhu bahkan menyuruh aku memimpinmu, tentu saja aku merasa amat girang dan berbahagia! Akan tetapi, oleh karena telah menjadi keharusan, kau pun harus mengucapkan sumpah, Lin-moi. Dengan demikian, sungguh pun Suhu tidak menyaksikan sendiri, akan tetapi kita tidak melakukan pelanggaran, oleh karena syarat terutama bagi seorang murid kepada gurunya yang terpenting ialah ketaatan dan kesetiaan!”

Lin Lin mengangguk girang. Kemudian ia lalu memegang pedang pendek Han-le-kiam itu dengan dua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut. Dengan suaranya yang nyaring dan merdu, dara jelita itu bersumpah,

“Teecu Kwee Lin, dengan disaksikan oleh Pedang Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, dan disaksikan pula oleh Hai-ko, dan oleh bulan purnama, oleh langit dan bumi, teecu bersumpah bahwa kalau teecu sudah mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang dari Hai-ko sebagai wakil Suhu Bu Pun Su, kepandaian itu akan teecu gunakan semata-mata untuk menjaga diri dari serangan orang jahat, untuk menolong sesama hidup yang menderita, dan untuk membasmi penjahat-penjahat dan penindas rakyat.”

Cin Hai menyaksikan sumpah ini sambil berdiri di bawah pohon dan memandang dengan wajah sungguh-sungguh. Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil di lereng bukit itu.

Keadaan di bukit itu demikian indahnya hingga Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali. Mereka mengambil keputusan untuk berdiam di tempat indah itu beberapa bulan sebelum mengajak dua orang gadis kekasih mereka kembali ke pedalaman.

Dan mulai keesokan harinya Cin Hai mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang dia dapatkan dari Bu Pun Su. Akan tetapi, untuk dapat memiliki kepandaian mengenai dasar ilmu silat sebagaimana yang sudah dia miliki, bukanlah pelajaran yang dapat dipahamkan dalam beberapa bulan saja, maka Cin Hai lalu menurunkan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na kepada Lin Lin. Juga memberi pelajaran ilmu pedang yang dulu sudah diciptakannya sendiri itu.

“Apakah namanya kiam-hoat (ilmu pedang) ini?” tanya Lin Lin.

Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh, oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga tidak tahu. Ia telah ciptakan ilmu pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang luar biasa itu telah berjasa ketika digunakan dalam pertempuran hebat menghadapi Kiam Ki Sianjin yang tangguh, akan tetapi sampai sekarang, ia sendiri masih belum tahu apa nama ilmu pedang ini.

“Ehh, kenapa kau hanya bengong saja?” Lin Lin bertanya. “Kau bilang bahwa kau sendiri pencipta ilmu pedang ini, masa tidak tahu namanya?”

“Lin-moi, bayi yang baru terlahir tidak membawa nama pula.”

Lin Lin tertawa geli. “Jadi kau menganggap ilmu pedangmu ini seperti bayi? Kalau begitu kau terlambat memberi nama kepada bayimu! Jangan-jangan dia sudah jenggotan masih belum mempunyai nama!”

Cin Hai tertawa juga mendengar kelakar ini, kemudian dia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,

“Lin-moi, ilmu pedang ini kuciptakan atas anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak dia yang mendesak dan memberi saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku tak akan bisa menciptakan kiam-hoat sendiri. Pada waktu aku menciptakan kiam-hoat ini, selain Ang I Niocu yang memberi petunjuk-petunjuk, juga aku mendapat bantuan yang amat berharga dari daun-daun bambu.”

Lin Lin merasa heran sekali mendengar ini, sehingga Cin Hai harus menceritakan bagai mana dia mencipta ilmu pedangnya itu, dan betapa Ang I Niocu telah memberi petunjuk-petunjuk pula tentang gaya gerakan untuk memperindah kiam-hoatnya.

“Aku sudah mempelajari Tari Bidadari dari Ang I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni suara, aku pun suka akan seni tari. Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh bedanya dengan seni tari, atau boleh kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni tari yang tidak saja mempunyai gerakan indah dan manis dipandang, akan tetapi juga memerlukan bakat dan darah seni untuk dapat melakukannya dengan sempurna. Bedanya antara keduanya itu, yaitu antara tarian biasa dengan ilmu silat adalah bahwa tarian hanya menggambarkan keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus mengatur gerakan kaki tangan yang seluruhnya ditujukan untuk menjadi gerakan yang cepat, baik dalam menyerang dan menangkis atau mengelak.”

“Eh, ehh, Hai-ko, biar pun uraianmu itu amat menarik hati, akan tetapi telah melantur jauh dari pada inti percakapan kita semula,” kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum karena melihat betapa pandangan mata pemuda itu telah melayang jauh seperti orang melamun. “Kalau kau bercakap seperti ini, kau seperti seorang kakek-kakek saja.”

Cin Hai bagaikan terbetot kembali dari alam renungan dan turut tersenyum pula. “Oh ya, kita sedang mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang terbaik? Akan tetapi, apa pula artinya memberi nama yang indah?” ia lalu mencela sendiri.

Tak tertahan pula geli hati Lin Lin hingga ia tertawa. “Bagaimana sih kau ini? Berbantah-bantah seorang diri, seolah-olah dalam dirimu terdapat dua orang yang sekarang sedang bertengkar!”

“Biarlah kuberi nama Ilmu Pedang Daun Bambu saja!”

Sepasang mata Lin Lin yang indah itu bersinar gembira. “Alangkah lucu dan anehnya nama itu. Ilmu Pedang Daun Bambu! Aneh seperti... penciptanya!”

Cin Hai memandang dengan mata terbelalak. “Apa? Apakah dalam pandanganmu aku ini orang aneh?”

“Memang, aneh sekali! Karena di seluruh dunia ini tidak mungkin aku berjumpa dengan seorang pemuda seperti engkau. Engkau berbeda dengan orang-orang lain, bukankah itu aneh namanya?”

“Kalau begitu sama saja dengan kau. Aku pun belum pernah dan rasanya takkan pernah bertemu dengan gadis seperti kau, semanis kau, secantik kau, dan se... nakal engkau!”

Lin Lin mengulurkan tangannya dan jari-jari yang halus itu mencubit lengan Cin Hai yang tertawa dengan hati beruntung.

“Sudahlah, Moi-moi, kalau kita bersendau-gurau saja, sampai kapan engkau akan dapat menghafal pelajaran Kiam-hoat-mu?”

“Tapi aku tidak suka nama kiam-hoat itu. Ilmu Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku bertanding dengan seorang lawan mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan itu kalah sehingga aku menjadi bangga, tetapi apa bila lawan yang kalah itu menanyakan nama ilmu pedangku, bukankah kebanggaanku akan musnah dan terganti rasa malu bila aku menyebutkan bahwa ilmu pedang yang hebat itu, yang telah dapat mengalahkannya, namanya tak kurang tak lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu saja? Murah sekali!”

“Apa yang murah?”

“Daun bambu itu!”

Cin Hai hanya tertawa. “Kalau begitu, biarlah ilmu pedangku ini akan dirubah sedikit untuk sekalian disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu serta dengan pedangmu yang pendek ini. Kemudian, setelah kau dengan aku menciptakan ilmu pedang baru berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, kau lalu memberi nama sendiri. Bagaimana?”

Bersinar-sinar mata Lin Lin mendengar ini. “Bagus! Hai-ko! Bagus sekali, bahkan aku sudah dapat nama itu!”

Cin Hai terheran. ”Sudah ada namanya? Ini lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah diberi nama! Apakah namanya?”

“Namanya Han-le Kiam-sut, sesuai dengan nama pedang pemberian Suhu.”

Cin Hai merasa girang karena menurut pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali. Begitulah, mulai saat itu Cin Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin, berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, namun diadakan perubahan di sana-sini untuk disesuaikan dengan pedang pendek di tangan Lin Lin.

Memang gerakan-gerakan pedang pendek berbeda dengan pedang panjang, oleh karena pedang pendek yang merupakan sebilah belati atau pisau itu harus digunakan lebih cepat supaya jangan didahului oleh ujung senjata yang lebih panjang. Senjata yang pendek ini harus dipergunakan dalam pertempuran secara mendekat dan rapat baru dapat berhasil, dan ini pun ada kebaikannya, karena dalam menghadapi seorang lawan yang bersenjata toya, lebih menguntungkan apa bila menghadapinya secara rapat sehingga gerak senjata yang panjang itu menjadi kurang leluasa. Sudah tentu hal ini membutuhkan keberanian dasar dan ketenangan serta kewaspadaan, juga terutama sekali harus memiliki ginkang (ilmu meringankan badan) yang tinggi hingga gerakan bisa dilakukan dengan lincah dan cepat.

Akan tetapi, Lin Lin memang sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat yang cukup baik dan tinggi serta ginkang-nya memang sudah hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk dan latihan lweekang dan ginkang, maka dalam beberapa hari saja ilmu kepandaiannya telah maju dengan pesatnya.

Tak hanya Cin Hai dan Lin Lin yang hidup penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah itu. Kwee An dan Ma Hoa juga hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua saling mencinta dan saling mengindahkan, saling menghormati dan seperti halnya Cin Hai dan Lin Lin, kedua teruna remaja ini pun bergaul dengan mesra akan tetapi penuh kesopanan dan jangankan dalam perbuatan, bahkan di dalam pikiran pun sama sekali tidak terdapat hal-hal yang melanggar norma kesusilaan.

Keadaan ini membuat Yousuf merasa girang dan kagum sekali. Diam-diam orang tua ini, seperti halnya orang-orang tua lain, amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu. Tadinya timbul juga perasaan curiga dan tidak senang melihat pergaulan yang bebas itu, yang tidak dapat dilarangnya oleh karena memang sudah biasa bagi orang-orang gagah untuk bergaul secara bebas.

Akan tetapi, melihat betapa keempat anak muda itu bergaul dengan penuh kesopanan, ia menjadi amat kagum. Makin yakin dan pasti perasaan hatinya bahwa mereka itu memang cocok untuk menjadi jodoh masing-masing, sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan jsama-sama sopan pula!

Biar pun selalu memilih tempat terpisah dari Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan Ma Hoa berjalan-jalan di pegunungan yang luas itu, menikmati keindahan tamasya alam sambil membicarakan mengenai ilmu silat. Tidak jarang mereka berlatih bersama, saling mengisi kekurangan dan saling belajar. Pada saat itu, tingkat kepandaian Kwee An lebih tinggi setingkat dari Ma Hoa, maka dia lalu memberi pelajaran kepada kekasihnya itu.

Telah beberapa hari ini, Ma Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas pundaknya. Rambutnya yang amat indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan keharuman bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi sejak malam terang bulan pada waktu ia berjalan-jalan bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan yang sejuk.

Angin gunung bertiup perlahan dan tiba-tiba saja ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga rambutnya itu terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali dia berdiri menghadapi bulan hingga mukanya tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang sedang berdiri memandang padanya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,

“Jangan... jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja...”

“Eh, ehh, kau kenapa, An-ko?” tanya Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang telah dipegangnya.

“Kau... kau nampak cantik sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam berombak-ombak di sekitar lehermu dan melambai-lambai tertiup angin, seakan-akan setiap lembar rambut itu hidup dan bernyawa, kau seperti seorang bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan dan keindahan, jangan kau sanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua pundakmu!”

Mata Ma Hoa sampai bertitik dua butir air mata karena merasa amat terharu dan girang mendengar pujian yang keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu dia berjanji tidak akan menyanggul rambutnya lagi. Tentu saja dia tidak memberi tahu kepada orang lain tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa dia lebih suka mengurai rambutnya.

Lin Lin dan Cin Hai, begitu pula Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat telur.

Pada suatu hari, pada saat Kwee An bersama Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi pemandangan di sebuah lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati keindahan yang ditimbulkan oleh matahari yang baru muncul sehingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki bukit dengan tindakan kaki cepat sekali. Keduanya merasa terkejut oleh karena kedua orang itu berlari cepat sekali, tanda ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi.

Keduanya lalu berdiri menunggu dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa gerangan orang asing itu. Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah seorang hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki muda yang rambutnya juga panjang terurai tertiup angin.

Di samping berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali. Potongan baju itu berbeda dengan pakaian bangsa Han yang biasanya dipakai orang. Juga kakinya mengenakan sepatu yang panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di sebelah bawah hwesio gundul itu.

Agaknya kedua pendaki bukit yang aneh itu pun sudah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka segera menuju ke arah kedua anak muda itu. Setelah sampai di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang memandang heran, hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,

“Jiwi mohon tanya di mana rumah seorang Turki bernama Yousuf?”

Kwee An dan Ma Hoa saling pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu memandang Ma Hoa dengan sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.

“Suhu ini siapakah dan apakah perlunya mencari rumah Yo-sianseng?” tanya Kwee An yang berlaku hati-hati karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.

“Ehh, siapakah nama Nona yang cantik bagaikan bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan indah, alangkah bagusnya,” kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum.

Suaranya juga aneh, karena terdengar seperti suara wanita halus dan merdu. Akan tetapi tak perlu disangsikan lagi bahwa ia adalah seorang pria, sebab selain potongan tubuhnya yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di lehernya yang tak akan terdapat pada leher seorang wanita.

Ma Hoa menjadi marah sekali dan memandang dengan mata bernyala-nyala. Dia hendak menegur dan mendamprat, akan tetapi Kwee An memberi isyarat padanya agar supaya dia bersabar.

”Pinceng hendak mencari dua orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua orang nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?”

Makin curiga dan terkejutlah Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.

“Akulah yang bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku ada keperluan apakah?”

Tiba-tiba saja mata hwesio itu terbelalak dan dia tertawa terbahak-bahak dengan girang. “Ha-ha-ha! Dicari-cari sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!”

Bukan main terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tidak pernah mereka sangka bahwa kiranya hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat!

Kwee An melompat maju dengan marah. “Hwesio tua! Apa maksud kata-katamu yang jahat itu? Siapakah kau dan mengapa kau datang-datang mengandung niat yang buruk dan jahat?”

“Buka lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku. Muridku itu telah terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari dua orang pembunuh itu untuk maksud apa lagi?” Sambil berkata begini, Bo Lang Hwesio tertawa lagi bergelak. “Dan ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah adik sepupu Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam terhadap Yousuf! Karena Yousuf orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan mungkin orang Turki itu pula yang telah membunuh Pangeran Vayami!”

Bukan main marahnya Kwee An mendengar ucapan ini. “Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang jahat? Pantas muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran dangkal! Ada pun pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku wakilnya!”

“Bagus!” Bo Lang Hwesio membentak marah dan dia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim serangan kilat!

“Bo Lang Suhu, jangan kau bunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!” teriak Ke Ce sambil menyerbu dan menyerang Kwee An.

“Ha-ha-ha, dasar kau mata keranjang!” kata Bo Lang Hwesio.

Ma Hoa terkejut melihat serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap pundaknya, karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum bahwa lweekang hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka dia cepat mempergunakan ginkang-nya untuk melompat ke pinggir dan mengelak.

Sementara itu, Kwee An dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan kagum karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur karena hebatnya tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya bahwa pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga dalam yang begitu besarnya sehingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia segera membalas dengan serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini lawannya bukan orang lemah.

Pada waktu Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing gunung yang curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka. Oleh karena itu, ketika mereka berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi tebing itu hingga keadaan mereka amat berbahaya.

Hal ini pun diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak mau memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat. Dengan ilmu silatnya yang tinggi Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari serbuan Ke Ce, bahkan pada saat dia membalas dengan serangan-serangannya, Ke Ce menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk menghindarkan diri dari kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama sekali itu.

Akan tetapi Ma Hoa yang menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali sehingga gadis ini makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat hal ini, merasa kuatir sekali, maka dia pun segera mengirim serangan kilat dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki kanan sambil membarengi memukul dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan Ikan Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda rambut panjang itu melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari serangan Kwee An yang berbahaya tadi.

Kesempatan ini digunakan oleh Kwee An untuk cepat melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru, “Hoa-moi, hati-hati di belakangmu tebing!”

Sambil berseru demikian, dia lantas menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio yang lihai itu. Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang berupa dorongan dengan kedua telapak tangan dibarengi bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor harimau mengaum!

Kwee An merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang luar biasa hingga ia terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio yang tahu bahwa Kwee An mempunyai ilmu kepandaian cukup lihai, segera mengejar dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang sedang terhuyung ke belakang itu!

Ma Hoa menjerit ngeri melihat ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee An tidak akan dapat mengelak lagi. Akan tetapi, Kwee An sudah memiliki ketenangan serta kepandaian yang hampir sempurna, maka pada waktu merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, dia berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit seperti seekor burung walet. Cara menghindarkan diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga tak terasa lagi hwesio ini mengeluarkan seruan kagum.

Akan tetapi, selagi tubuh Kwee An masih berada di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi dengan pukulan atau dorongan kedua telapak tangannya dibarengi bentakan hebat tadi. Kembali Kwee An merasa betapa besar tenaga yang mendorongnya sedangkan pada saat itu tubuhnya masih terapung di udara. Tanpa dapat dicegah lagi ia terdorong mundur dan ketika tubuhnya melayang turun, ia telah berada di sebelah sana tebing.

Ma Hoa menjerit lagi dengan lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata ia pun telah menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh Kwee An yang sudah meluncur ke bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak dapat diukur dalamnya.

Pada saat Kwee An melihat betapa tubuh Ma Hoa juga jatuh menyusul dirinya, ia segera mengulur tangannya. Ma Hoa menangkap tangan itu dan keduanya lalu meluncur terus ke bawah sambil saling berpegangan tangan. Entah kenapa, setelah mereka berpegang tangan, rasa takut karena terjatuh itu lenyap sama sekali.

Inilah daya rasa cinta yang besar dan dia mengalahkan segala rasa takut. Bahkan maut sendiri tidak dapat melenyapkan perasaan sentosa dan aman yang ditimbulkan oleh rasa cinta.


*****


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.