PENDEKAR SAKTI
Karya Kho Ping Hoo
JILID 07
KWAN CU mencekik sekuatnya, ada pun ular itu melilit perut serta dada Kwan Cu sambil meronta-ronta hendak melepaskan diri dari cekikan. Jari-jari tangan Kwan Cu tidak cukup panjang untuk mencengkeram leher ular yang besarnya seperti betis kakinya sendiri itu, maka beberapa kali terpaksa dia melepaskan cekikannya dari kulit leher yang amat licin itu dan beberapa kali pula ular itu menyerang kepalanya yang dapat dihindarkan dengan elakan-elakan cepat.
Tak dapat terus-terusan begini, pikir Kwan Cu. Dadanya terasa sesak dan tenaga kedua tangannya makin lama makin lemah. Ia memutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari-cari akal.
Akhirnya dia mendapat akal. Sambil mencekik leher ular dengan kedua tangan, dia menggelundung ke kiri di mana dia melihat beberapa potong batu karang. Sesudah mengambil sepotong batu karang yang sebesar kepalanya dan yang tajam runcing pinggirnya, dia lalu melepaskan cekikannya.
Ular itu menyerang lagi dengan mulut terbuka dan Kwan Cu secepat kilat memasukkan batu itu ke dalam mulut ular! Karena dia memasukkan dengan tenaga kuat dan gigi-gigi ular itu mendoyong ke dalam, maka sesudah batu karang ini memasuki mulut sampai di belakang gigi-gigi ular, batu itu tidak dapat keluar kembali akibat terganjal oleh gigi atas dan bawah!
"Bagus, Kwan Cu!" Ang-bin Sin-kai tertawa-tawa memuji.
Mendengar pujian guru ini, besarlah hati Kwan Cu. Ia tidak takut akan gigitan ular itu lagi. Kini ular itu pun menjadi bingung sekali, terus menggerak-gerakkan kepalanya berusaha hendak melepaskan benda aneh yang mengganjal mulutnya. Saking bingungnya, lilitan pada tubuh Kwan Cu yang untuk sesaat luar biasa eratnya, makin lama semakin kendor dan akhirnya dia melepaskan tubuh yang dililitnya. Ular itu menggeliat-geliat, memukul-mukulkan kepalanya pada tanah dan Kwan Cu segera bertindak. Ia mengambil sepotong batu lagi dan sekali pukul saja pecahlah kepala ular itu!
"Hemm, bagus! Lekas bikin api dan panggang sebelum darahnya kering. Jangan terlalu lama, dibikin setengah matang saja!" Ang-bin Sin-kai berkata dengan air liur memenuhi mulutnya dan beberapa kali menelan ludah.
Setelah daging ular matang dan merasai daging itu, Kwan Cu harus mengakui kebenaran kata-kata suhu-nya. Daging itu terasa manis dan gurih sekali biar pun dipanggang tanpa diberi bumbu dan garam, hanya saja setelah memasuki tubuh, membuat perut dan dada terasa panas dan darah mengalir lebih cepat dari biasanya.
Setelah makan kenyang. Ang-bin Sin-kai berkata kepada Kwan Cu.
"Perkelahianmu dengan ular tadi merupakan pengalaman baik sekali. Kau sekarang tahu bahwa ular itu mempunyai tenaga lemas. Kelihatannya saja ia lambat dan lemah, namun lilitannya makin lama makin kuat karena ia mempergunakan tenaga dalam yang mengalir di dalam tubuhnya. Menghadapi lawan yang memiliki tenaga lweekang (tenaga dalam), memang kita harus melayani dengan kelicikan pula. Kalau kau mempergunakan tenaga kasar, kau akan kalah. Maka baik sekali kau tadi mengerahkan ambekan (pernapasan) untuk menghadapi lilitan tubuh ular. Kalau kau menggunakan kekerasan, tentu akan ada tulangmu yang patah dan uratmu tergelincir dari tempatnya. Lain kali biar kau melatih diri menghadapi binatang yang selalu mempergunakan tenaga kasar, yakni harimau.”
Terbelalak sepasang mata Kwan Cu memandang suhu-nya.
"Waaah, Suhu. Bagaimana teecu menghadapi seekor harimau? Binatang itu galak sekali dan telah terkenal sebagai raja hutan. Apakah teecu kiranya akan sanggup mengalahkan harimau?"
"Kau baru saja mempunyai kepandaian ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, tentu saja masih berat. Biar sekarang aku melatihmu dengan ilmu mempertahankan diri yang di sebut Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menghadapi Ratusan Golok). Kalau kau sudah bisa mainkan ilmu silat ini, agaknya tak akan mudah kau diserang lawan."
Dengan girang Kwan Cu kemudian mulai mempelajari Pai-bun Tui-pek-to, yang dilakukan mengandalkan ginkang yang sangat tinggi. Isinya hanya ilmu-ilmu untuk mengelak dan menangkis serangan lawan serta melindungi diri mempergunakan kecepatan tubuh dan mengatur pada saat bagaimana mempergunakan tenaga lweekang dan saat bagaimana pula mempergunakan gwakang. Terlalu panjang untuk dituturkan sejelasnya, pendeknya ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to ini sangat baik untuk seorang ahli silat tangan kosong kalau menghadapi lawan-lawan yang bersenjata.
Beberapa bulan berlalu tanpa terasa dan Kwan Cu sudah memperoleh kemajuan pesat. Belum boleh dikata bahwa dia sudah menyempurnakan ilmu Pai-bun Tui-pek-to, karena tak seperti Sam-hoan-ciang yang hanya mempunyai tiga jurus, ilmu mempertahankan diri ini meski pun hanya mempunyai delapan belas macam jurus, namun setiap jurus dapat dipecah-pecah menjadi puluhan bagian. Semua tergantung dari pada kedudukan lawan menyerang.
Kini Ang-bin Sin-kai menurut kehendak muridnya lagi, yaitu mencari Bukit Liang-san yang masih amat jauh. Pada saat mereka tiba di kota Thiat-ang-bun, kota kecil yang berpintu gerbang besi berwarna merah, mereka berhenti selama tiga hari.
Di dalam kota kecil itu banyak terdapat pemandangan indah, bahkan di sebelah selatan kota itu terdapat telaga kecil yang airnya sangat biru serta dikelilingi pohon-pohon dan kembang-kembang. Ang-bin Sin-kai senang sekali pelesir di daerah ini, maka dia sengaja bermalas-malasan untuk pergi meninggalkannya.
Pada hari ketiga, pada waktu Kwan Cu dan gurunya tengah berjalan di dekat telaga itu, tanpa sengaja mereka melihat berkelebatnya seorang Tartar yang wajahnya tampan dan berpakaian perwira.
Ang-bin Sin-kai tak mengenal orang ini, akan tetapi Kwan Cu mengenalnya dengan baik. Apa lagi, sejak mereka memasuki kota Thiat-ang-bun, Kwan Cu yang selalu mengambil perhatian pada apa yang berada di sekitarnya, melihat orang ini beberapa kali sehingga timbul pikirannya bahwa orang ini tentulah sedang menyelidiki keadaan dia dan gurunya. Dan orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari Panglima An Lu Shan.
Akan tetapi An Lu Kui seperti yang tidak mengenal lagi kepada Kwan Cu dan anak ini pun tidak mempedulikannya. Ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan perwira ini, tidak ada sangkut-pautnya lagi.
Kwan Cu tidak tahu bahwa sebetulnya, setelah bertemu dengan dia dan gurunya, An Lu Kui diam-diam melakukan penyelidikan dan selalu mengikutinya. Siapa tahu kalau-kalau anak aneh ini hendak mengambil kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tulen. Sedangkan kakek jembel yang bersama dengan bocah itu, Lu Kui tidak mengenalnya sama sekali. Bila saja dia tahu bahwa kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai, agaknya siang-siang dia telah angkat kaki dan kabur.
"Suhu, ada orang mengikuti kita," kata Kwan Cu perlahan kepada suhu-nya.
"Mana dia?"
"Entah, dia sudah pergi lagi, Suhu. Akan tetapi, telah beberapa kali teecu melihatnya dan agaknya dia memperhatikan kita."
"Siapa sih orangnya?"
"Dia adalah penculik yang dahulu membawa teecu dan Gui-siucai ke markas Panglima An Lu Shan, yaitu adik dari panglima itu sendiri yang bernama An Lu Kui."
"Hemm, dia mau apa?"
"Entahlah, Suhu. Akan tetapi, lebih baik kalau Suhu mengetahuinya, karena dia lihai juga. Dulu pernah teecu melihat dia mendorong roboh sebatang pohon besar, sungguh pun dia tidak berdaya menghadang Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya."
Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya ketika diculik oleh An Lu Kui dahulu. Gurunya tersenyum dan berkata gembira,
"Bagus, kalu begitu, biarlah dia menjadi pengujimu."
"Penguji bagaimana, Suhu?"
"Kau sudah mempelajari ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to, coba kau hadapi dia, hitung-hitung untuk berlatih. Kalau dia muncul lagi, kau pancing dia ke luar kota, ke tempat sunyi."
Kwan Cu mengangguk, dan hatinya berdebar. Ia tahu bahwa An Lu Kui murid mendiang Li Kong Hoat-ong itu tak boleh dibuat main-main. Ia adalah seorang perwira yang pandai dan gagah perkasa, lalu bagaimana dia yang baru melatih ilmu silat beberapa bulan saja sanggup menghadapinya? Akan tetapi karena dia bersama suhu-nya dan perlawanannya adalah atas perintah suhu-nya, hatinya menjadi besar.
Tidak lama kemudian, benar saja dia melihat An Lu Kui muncul lagi, berjalan di sebelah belakang. Kwan Cu menengok dan sengaja memperlihatkan muka ketakutan, kemudian menggandeng tangan suhu-nya dibawa berjalan menuju ke pegunungan kecil yang tidak jauh dari sana letaknya. Pancingannya berhasil karena melihat wajah Kwan Cu nampak ketakutan dan bergesa-gesa ke bukit kecil, An Lu Kui lalu mengejar!
Sesudah berada di tempat yang sunyi di bukit kecil itu, Kwan Cu berhenti dan bersama suhu-nya menengok ke belakang. Tampak An Lu Kui berlari cepat menghampiri mereka dan setelah berhadapan, dia menegur.
"Ehh, tidak tahunya kau Kwan Cu bocah itu! Kau hendak pergi ke manakah?"
Kwan Cu memang telah mendapat perintah dari gurunya untuk mencoba kepandaiannya dengan perwira ini, maka dia memancing keributan dengan meniru jawaban Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ketika dahulu bertemu dengan dia di pintu gerbang kota raja, maka dia menjawab, "Aku datang dari belakang dan menuju ke depan. Ada urusan apakah kau menyusulku, An-sianseng?"
Mendengar jawaban yang kurang ajar ini tentu saja An Lu Kui mendelikkan matanya.
"Bocah gundul! Ketika dahulu menjadi murid Gui-suicai, kau masih mengerti aturan dan bersikap sopan, sekarang kau telah menjadi seorang berandalan. Jawab yang betul, kau hendak pergi ke mana?"
"Ke mana pun aku pergi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!" kata Kwan Cu dengan sengaja agar perwira ini marah dan menyerangnya sehingga dia dapat mempraktekkan ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to.
"Setan cilik! Bukankah kau hendak pergi ke tempat disembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Hayo jawab yang betul, kalau tidak, akan kukemplang kepalamu yang gundul itu sampai pecah!"
Tiba-tiba saja terdengar suara meledak dari Ang-bin Sin-kai. "Ha-ha-ha! Agaknya semua orang sudah tergila-gila kepada kitab tiada guna itu! Eh, Kwan Cu, kenapa kau meladeni badut ini? Kait saja kakinya, biar dia menggelundung ke bawah!"
Bukan main marahnya An Lu Kui mendengar ejekan ini. "Bangsat tua bangka! Apakah matamu buta dan tak mengenal orang? Kau sedang berhadapan dengan An Lu Kui, adik dari panglima besar An Lu Shan! Berlutut kau!"
Kwan Cu melangkah maju. "Orang she An, jangan kau menghina guruku!"
"Kau setan gundul mau apa?" bentak An Lu Kui yang cepat menampar dengan tangan kanannya ke arah kepala Kwan Cu yang gundul.
Akan tetapi dengan sedikit menundukkan kepala saja, Kwan Cu sudah dapat mengelak dari pukulan ini. An Lu Kui menjadi penasaran dan marah sekali. Oleh karena itu, sambil menggereng bagaikan seekor harimau buas, dia menubruk maju dan mengirim pukulan bertubi-tubi, diselingi dengan tendangan kakinya!
Akan tetapi, sebentar saja dia menjadi tertegun ketika melihat betapa dengan gerakan amat lincah, Kwan Cu dapat mengelak dari semua pukulan dan tendangannya itu. Bukan main! Baru beberapa bulan berselang, bocah gundul ini masih belum memiliki gerakan demikian lincah.
Ahh, jangan-jangan gurunya yang seperti pengemis jembel itu berkepandaian tinggi pula, pikirnya. Maka dia mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan ilmu silatnya disertai pengerahan tenaga lweekang!
Kwan Cu baru saja belajar beberapa bulan. Ada pun An Lu Kui telah memiliki kepandaian tinggi, karena itu menghadapi serangan-serangan hebat ini, tentu saja Kwan Cu menjadi repot sekali. Memang betul bahwa dengan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to, dia masih dapat mengelak mau pun menangkis, akan tetapi dia tidak dapat membalas sama sekali dan seakan-akan untuk bernapas pun tiada kesempatan!
"Kau menyia-nyiakan banyak kesempatan baik!" kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya. "Campur Pai-bun Tui-pek-to dengan Sam-hoan-ciang!"
Kwan Cu maklum akan maksud suhu-nya. Namun karena kurang pengalaman tetap saja dia tidak dapat membalas serangan-serangan An Lu Kui yang mengamuk semakin hebat itu.
An Lu Kui kali ini benar-benar penasaran dan marah sekali. Sudah dua puluh jurus lebih dia menyerang, namun tetap saja belum pernah dia dapat menempiling kepala lawannya si bocah gundul ini. Kini mendengar ucapan kakek itu, mengertilah dia bahwa kakek ini memang benar-benar lihai dan terang bahwa si bocah gundul mendapat latihan dari dia.
Celaka, keluh An Lu Kui, bila aku tidak lekas-lekas mengalahkan setan cilik ini, aku bisa dipermainkan oleh setan besar itu. Maka, dia lalu mencabut sepasang siang-kek (senjata tombak bercagak) dari punggungnya dan lantas memutar dua senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.
"Kwan Cu kau melompatlah ke punggungku dan lihat baik-baik cara aku mainkan Pai-bun Tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang!" kata Ang-bin Sin-kai.
Kwan Cu tertawa gembira dan sekali dia mengenjotkan kedua kakinya, bagaikan seekor monyet dia telah melompat ke atas punggung suhu-nya. An Lu Kui merasa kepalang dan dia sudah merasa malu serta marah dijadikan permainan oleh Kwan Cu, maka kini dia menyerang kakek jembel itu dengan ilmu silatnya yang lihai dan berbahaya.
Kwan Cu melihat gerakan tubuh suhu-nya dengan penuh perhatian. Dengan digendong di punggung suhu-nya, dia merasa seakan-akan dia sendiri yang menghadapi An Lu Kui dan dia mengintai dari balik punggung gurunya itu kepada semua gerakan An Lu Kui dan gerakan suhu-nya. Benar saja, gurunya menghadapi sepasang tombak cagak An Lu Kui dengan ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to!
Melihat betapa gerakan gurunya amat sederhana, namun dapat dengan tepat dan tenang menghindarkan semua serangan sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui, Kwan Cu menjadi kagum sekali. Kini terbukalah matanya dan tahulah dia bahwa tadi pada waktu menghadapi serangan An Lu Kui ia terlalu gugup dan terlalu banyak membuang gerakan sendiri. Sebenarnya, kalau dia bisa tenang seperti suhu-nya, tidak usah terlalu banyak bergerak dan hanya bergerak seperlunya saja, Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan lawan.
"Kau lihat lowongan-lowongan itu?" kata Ang-bin Sin-kai pada muridnya. "Buka matamu baik-baik, setiap kali dia melakukan serangan, tentu terbuka sebuah pintu! Mengertikah kau? Coba sekarang kau mencari dan menemukan pintu yang terbuka dan kau gunakan tanganmu menyerang pintu terbuka itu!"
Kwan Cu mengerti. Yang dimaksud oleh gurunya mengenai pintu terbuka adalah bagian-bagian tubuh yang terbuka atau tidak terlindung dari lawan dan sekarang setelah berada di punggung suhu-nya dan tidak gugup karena dia sendiri tidak menghadapi serangan, memang matanya terbuka dan dia bisa melihat betapa setiap kali menyerang, An Lu Kui membuka sebagian tubuhnya yang tidak terlindung sama sekali.
Mendengar perintah suhu-nya ini, maka mulailah Kwan Cu menyerang dengan pukulan Sam-hoan-ciang! Tiap kali An Lu Kui menyerang, tentu terbuka sebuah pintu di dadanya, lambungnya, pundaknya, lehernya, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Kwan Cu tidak ingin menyia-nyiakan waktu baik ini dan tiap kali serangan datang, suhu-nya mengelak dan dia menghantam dengan tangannya.
“Bak! Buk! Bak! Buk!” terdengar suara ketika tubuh An Lu Kui terpukul secara tepat oleh tangan Kwan Cu yang kecil!
An Lu Kui menyumpah-nyumpah, Ang-bin Sin-kai tertawa tergelak-gelak dan Kwan Cu bersorak girang. Bocah gundul itu kini duduk di punggung gurunya dengan tangan kanan terangkat, siap untuk menempiling, menampar, dan menghantam dan menyodok ke arah ‘pintu terbuka’ dari lawannya!
Ada pun bagi An Lu Kui, Ang-bin Sin-kai seakan-akan merupakan manusia asap saja. Ke mana pun sepasang tombaknya menyerang, selalu tidak mampu mengenai tubuh kakek aneh itu. Ia mulai menjadi gentar dan tamparan-tamparan tangan Kwan Cu biar pun tidak bisa melukainya, akan tetapi terasa cukup pedas dan memanaskan kulit, terutama sekali memanaskan hatinya.
"Orang Tartar, kau masih belum cukup?" tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Entah dengan gerakan apa, karena Kwan Cu sendiri tidak mengenal gerakan gurunya ini, tahu-tahu sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui itu telah pindah tangan. Ang-bin Sin-kai menggerakkan kedua tombak itu dan…
“Krakk!” terdengar suara dan patahlah dua batang tombak itu menjadi empat batang!
Sambil tersenyum Ang-bin Sin-kai melemparkan potongan-potongan tombak itu ke dalam jurang, kemudian berkata kepada An Lu Kui yang berdiri dengan muka merah dan hati terheran-heran.
"Tidak patut sekali seorang perwira seperti engkau ini menghina seorang bocah kecil. Pergilah!"
An Lu Kui menjadi malu sekali. Ia menjura sambil berkata, "Mohon banyak maaf siauwte tidak mengenal orang pandai. Siauwte An Lu Kui hendak mohon tanya, siapakah nama Lo-enghiong yang terhormat?"
Ang-bin Sin-kai tidak mau melayaninya, bahkan lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompatlah dia turun dari bukit.
"An-sian-seng (tuan An), suhu-ku itu adalah Ang-bin Sin-kai!" berkata Kwan Cu yang lalu cepat-cepat berlari turun gunung mengikuti suhu-nya.
An Lu Kui tertinggal di bukit itu, berdiri tak bergerak bagaikan patung. Celaka tiga belas, pikirnya. Mengapa aku selalu bertemu dengan setan-setan itu? Dia lantas teringat akan pengalamannya dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan belum lagi sakit hatinya karena terhina oleh kakek itu terbalas, sekarang dia mengalami hinaan pula dari Ang-bin Sin-kai!
Ahhh, alangkah banyak orang Han yang hebat dan luar biasa sekali, keluhnya. Baiknya mereka itu tidak ambil peduli tentang kedudukan dan keadaan pemerintah. Kalau kaisar tidak demikian bodoh dan dapat menghargai orang-orang seperti itu, negara manakah di dunia ini yang dapat menandingi Tiongkok?
Dengan hati mengkal sekali, An Lu Kui lalu turun dari bukit itu untuk kembali ke markas besar kakaknya di mana dia melatih diri dalam ilmu silat dan ilmu perang dengan sangat tekunnya. Dalam hal ilmu perang, barisan yang dipimpin oleh An Lu Shan benar-benar mendapat kemajuan yang hebat sekali, berkat petunjuk dan pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng palsu yang diterjemahkan Gui Tin atau Gui-siucai itu…..
Ada pun Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya dengan Ang-bin Sin-kai, dan semenjak itu, Kwan Cu makin tekun mempelajari ilmu silat, karena kini terlihatlah olehnya kegunaan dari pada ilmu ini. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan murid-murid tokoh lain, dia tetap saja terhitung yang paling bodoh.
Terhitung beberapa bulan yang lalu, ketika menghadapi kedua orang murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dia masih dipermainkan dan beberapa hari kemudian semenjak bertemu dengan An Lu Kui, terjadilah peristiwa lain yang di samping menunjukkan bahwa ia masih kalah jauh oleh murid tokoh lain, juga membikin tubuh dan hatinya sakit sekali.
Hal itu terjadi ketika mereka sudah sampai di kaki bukit Liang-san. Ketika itu, Kwan Cu sedang hendak bertanya keterangan pada penduduk dusun tentang mendiang gurunya yang dahulu di tempat ini terkenal dengan sebutan Gui-lokai (pengemis tua she Gui). Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti gembreng dipukul dan disusul oleh suara yang keras.
"Lu Thong, lihat ini adalah saudara misanmu!"
Di depan Kwan Cu muncullah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, hwesio gundul yang bundar seperti bal tubuhnya itu, tokoh utama dari selatan! Dan di sampingnya berjalan seorang anak laki-laki yang dikenal baik oleh Kwan Cu sebagai putera bangsawan yang dahulu menghina Gui Tin dan yang memerintah anjingnya untuk mengeroyok Gui-suicai!
Memang benar, anak itu adalah putera dari Lu Seng Hok, atau cucu dari Menteri Lu Pin! Seperti biasanya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu melakukan perantauannya, kali ini diikuti oleh muridnya.
Semenjak menjadi murid Kak Thong Taisu, sikap Lu Thong benar-benar berubah sekali. Dia mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya dan menurut segala nasihat suhu-nya. Di luarnya, anak ini bersikap baik sekali, pendiam dan tidak jahat atau sombong seperti dahulu. Bahkan pakaiannya, menurut petunjuk dari suhu-nya, tidak mewah seperti dulu pula, melainkan pakaian sederhana saja.
Biar pun dia dibawa merantau dan hidup sengsara, dia tidak pernah mengeluh, bahkan tidak menolak ketika suhu-nya menyuruh dia mengemis makanan! Lu Thong mempunyai kekerasan hati dan ketekunan luar biasa sekali sehingga segala keinginan dan nafsunya dapat dia tekan sedemikian rupa hingga seolah dia merupakan seorang murid yang baik sekali. Tentu saja gurunya amat sayang kepadanya dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi sehingga sebentar saja Lu Thong memperoleh kemajuan pesat sekali.
Ketika melihat Kwan Cu dan Ang-bin Sin-kai, tentu saja Jeng-kin-jiu menjadi girang sekali dan diam-diam dia mengandung hati iri terhadap Ang-bin Sin-kai. Sesungguhnya, adalah pengharapannya untuk menurunkan kepandaiannya bersama Ang-bin Sin-kai di tepi Laut Po-hai itu.
Sebaliknya, Lu Thong mengenal Kwan Cu sebagai bocah jembel yang dahulu menolong jembel tua di halaman rumahnya, maka diam-diam dia menjadi gemas sekali. Dulu dia mudah ditakut-takuti oleh bocah gundul ini, akan tetapi sekarang, sesudah dia merasa mempunyai kepandaian ilmu silat, dia tidak takut lagi dan bahkan ingin dia membalasnya! Tetapi dia tidak kenal kepada Ang-bin Sin-kai, yang sesungguhnya masih kongkong-nya sendiri, karena ayahnya adalah keponakan dari pengemis tua ini.
"Gundul bangkotan! Kau di sini?" Ang-bin Sin-kai menegur dengan muka girang.
Di antara para tokoh persilatan, dia lebih suka hwesio gemuk ini yang selain lucu, juga mempunyai kejujuran dan berhati baik. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak.
"Lucu, lucu sekali. Ha-ha-ha! Sekeluarga bertemu di sini, ha-ha-ha! Dan alangkah hebat dan lucunya keluarga ini. Ehh, pengemis kelaparan, kau tahu siapa anak yang menjadi muridku ini?"
Ang-bin Sin-kai memandang, akan tetapi dia tidak mengenal cucunya sendiri. Tadi ketika Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memanggil Lu Thong, dia tidak memperhatikan. Maka dia lalu menggelengkan kepalanya.
"Kenalkah kau kepada pengemis kelaparan ini?" Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bertanya kepada muridnya.
Juga Lu Thong menggelengkan kepala sesudah memandang tajam. "Teecu tidak kenal, Suhu."
"Lu Thong, inilah Kongkong-mu yang tidak mau mengajarkan ilmu silat kepadamu!" kata Kak Thong Taisu.
Terbelalak mata Lu Thong.
"Ang-bin Sin-kai...?" katanya perlahan.
"Ya, ya! Dialah Ang-bin Sin-kai Lu Sin, Twa-pek (Uwa) dari ayahmu!"
Ada pun Ang-bin Sin-kai juga terkejut mendengar kata-kata ini.
"Gundul jahat! Apakah muridmu ini putera Lu Seng Hok?"
Lu Thong sekarang telah dapat mengubah sikapnya dan dia pun sangat cerdik. Dia tahu bahwa Ang-bin Sin-kai ini merupakan seorang tokoh yang pandai, maka dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan pengemis tua itu.
"Kongkong, harap maafkan cucumu yang tidak tahu adat!" katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Diam-diam Kwan Cu merasa heran sekali mengapa anak yang begitu jahat seperti ketika dilihatnya di depan gedung itu, kini dapat bersikap sopan santun dan baik.
Walau pun Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidak setuju dengan pendirian adiknya Lu Pin yang bekerja membantu kaisar yang dianggapnya lemah dan tidak baik, akan tetapi melihat cucunya ini, timbul juga rasa terharu dalam hatinya.
"Baguslah kalau kau menjadi murid Jeng-kin-jiu, belajarlah baik-baik," berkata Ang-bin Sin-kai sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang berambut hitam panjang itu.
"Kongkong, biar pun cucumu ini menjadi murid dari Suhu Kak Thong Taisu, namun masih amat mengharapkan semacam ilmu silat dari Kongkong sebagai warisan sehingga kelak jangan ada yang mengatakan bahwa sebagai cucu Ang-bin Sin-kai yang terkenal, namun cucumu ini tidak tahu sama sekali tentang kepandaian Kongkong-nya sendiri. Bukankah itu amat tidak baik bagi keluarga kita?"
Semua orang termasuk Kwan Cu, tertegun mendengar ini. Ucapan itu selain tepat, juga cerdik sekali. Jeng-kin-jiu menegur muridnya.
"Ehh, Lu Thong. Apakah kau tidak puas dengan pelajaran yang kau dapat dari pinceng?"
Buru-buru Lu Thong memberi hormat kepada suhu-nya. "Tidak sama sekali, Suhu. Teecu merasa girang dan puas menerima pelajaran yang amat berharga dari Suhu. Hanya saja, teecu minta tanda mata sebagai warisan dari Kongkong, apakah ini salah?"
Terdengar Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
"Tidak mengecewakan kau menjadi cucunya Lu Pin, karena kau mempunyai kecerdikan. Ha-ha-ha! Jangan bicara tentang kekeluargaan, sebab aku Lu Sin telah menjadi keluarga dari bumi dan langit. Tak ada manusia yang bukan keluargaku, karena bukankah semua manusia di seluruh dunia ini bersaudara belaka? Betapa pun juga, untuk kecerdikanmu itu, biarlah aku menurunkan ilmu silat keturunanku, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa)! He, hwesio gundul, kau terimalah Kong-jiu Toat-beng untuk diajarkan kepada muridmu ini, akan tetapi bersumpahlah bahwa selama hidupmu kau tak akan mempergunakan ilmu ini!" katanya kemudian kepada Kak Thong Taisu.
Kak Thong Taisu tertawa bergelak. "Pengemis kelaparan! Apa kau kira aku sudah begitu rakus untuk mengambil ilmu silatmu? Tanpa meniru aku pun tak dapat kau kalahkan. Aku bersumpah!" dia mengangkat kedua tangan di depan dada seperti menghormat kepada Buddha.
Ang-bin Sin-kai mengangguk puas, lalu kakek ini segera bersilat tangan kosong. Dalam pandangan Lu Thong dan Kwan Cu, kakek ini bergerak luar biasa cepatnya bagai orang menari-nari dengan jari-jari tangan terbuka. Tetapi sesudah Ang-bin Sin-kai mengulangi sampai dua kali ilmu silat tangan kosong yang seluruhnya terdiri dari dua puluh empat jurus itu, Jeng-kin-jiu sudah dapat menghafalnya!
"Hebat, hebat! Pinceng sudah hafal semua," kata hwesio gemuk itu.
Ang-bin Sin-kai tertawa lagi. "Eh, Thong-ji (anak Thong), sekarang coba kau menghadapi Kwan Cu, hendak kulihat hwesio bundar ini sampai seberapa jauhnya memberi pelajaran kepadamu!" Kemudian Ang-bin Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu. "Coba kau layani Lu Thong, hitung-hitung berlatih!"
Kwan Cu baru saja mempelajari dua macam ilmu silat, yakni ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to dan ilmu menyerang Sam-hoan-ciang. Mendengar ucapan suhu-nya, dengan taat dia lalu berdiri menghadapi Lu Thong sambil memasang kuda-kuda.
"Lu Thong, kau hadapi dia dengan Lam-hai Kong-jiu (Tangan kosong Dari Laut Selatan)!" kata Jeng-kin-jiu sambil tertawa-tawa gembira.
Bagi dia dan juga Ang-bin Sin-kai, tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan dari pada pertandingan silat, bagaikan dua orang kakek yang sudah ‘nyandu’ adu ayam melihat dua jago berlaga.
Berbeda dengan Kwan Cu, Lu Thong sudah banyak mempelajari ilmu silat dari gurunya. Juga dalam hal tingkat kepandaian silat, Lu Thong juga cerdik dan berbakat, terutama sekali karena Kwan Cu baru-baru ini saja mulai mempelajari ilmu pukulan dari Ang-bin Sin-kai, juga baru saja anak ini mulai suka mempelajari ilmu silat yang tadinya dianggap sebagai ilmu memukul orang yang tiada gunanya.
Akan tetapi, kalau dilihat dari isinya, dasar dalam diri Kwan Cu jauh lebih kuat. Bocah gundul ini memiliki tubuh yang kuat, di tambah pula oleh nasibnya yang baik sehingga dia tanpa sengaja telah makan coa-ko (buah ular), kemudian Ang-bin Sin-kai yang memang sengaja terus-menerus melatihnya kuda-kuda sehingga memiliki dasar kuat sekali.
Begitu Lu Thong sudah siap, cucu menteri ini serentak melancarkan serangan-serangan hebat dengan kedua kepalan tangannya. Kwan Cu cepat memainkan Pai-bun Tui-pek-to, ilmu silat mempertahankan diri yang baru saja dipelajarinya. Pada saat lengan tangannya beradu dengan lengan tangan Lu Thong, dia merasa kulit lengannya amat pedas, maka tahulah dia bahwa Lu Thong memiliki tenaga gwakang yang lihai sekali.
Memang, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu merupakan seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga hebat. Semenjak belajar kepadanya, dia telah melatih kedua tangan muridnya ini secara tekun dan menggembleng tangan Lu Thong melalui latihan-latihan memukul pasir panas. Meski pun usianya masih delapan tahun, akan tetapi Lu Thong kini sudah berani mempergunakan lengannya untuk menangkis serangan tongkat!
Kwan Cu berlaku sangat hati-hati dan dalam menghadapi serangan lawannya, dia selalu menggunakan tenaga lweekang. Dia tidak mau mengadu kekerasan, dan hanya menolak lengan lawan dengan meminjam tenaga.
Kagetlah Lu Thong ketika dia merasa betapa kedua tangan Kwan Cu seperti karet saja, amat lunak dan setiap pukulannya dapat ditangkis dengan tak banyak tenaga. Ia menjadi penasaran, kemudian mengeluarkan ilmu silatnya, menyerang dengan Ilmu Silat Lam-hai Kong-jiu yang ganasnya seperti gelombang Laut Selatan mengamuk.
Kwan Cu terdesak hebat dan payah juga. Biar pun ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to dapat digunakan untuk menghindarkan semua serangan lawan, dan meski dia melihat adanya pintu-pintu terbuka dalam kedudukan Lu Thong, akan tetapi dia tidak sempat membalas serangan lawan. Dia belum memahami benar cara mengombinasikan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang.
Namun dengan sekuat tenaga dia melakukan perlawanan. Beberapa kali kepalan tangan Lu Thong sudah mengenai tubuhnya, namun berkat tenaga lweekang, pukulan itu tidak sampai membuat dia terjungkal.
Menarik sekali kalau dilihat sikap kedua orang kakek yang menonton murid-murid mereka bertempur. Ang-bin Sin-kai duduk di atas tanah, bersandar kepada pohon dan menonton dengan mata merem melek, sedikit pun tak mengeluarkan suara dan tidak pula bergerak.
Akan tetapi sebaliknya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tak mau diam, seperti orang melihat ayamnya diadu. Dia berjingkrak-jingkrak, sebentar-sebentar berseru "ah!", "bagus!" atau mencela "salah!" sambil memperhatikan semua gerakan muridnya. Kaki tangannya juga bergerak-gerak seakan-akan dia sendiri yang bertempur.
"Untuk apa kau sudah mempelajari tendangan Liong-jiauw-twi (Tendangan Kaki Naga)?" tiba-tiba dia berkata seperti mencela muridnya.
Padahal ucapan ini merupakan petunjuk dan mendengar ini, Lu Thong lalu menambah serangannya dengan tendangan yang datangnya bertubi-tubi dan cepatnya bukan main. Menghadapi serangan ini Kwan Cu tak berdaya dan sebuah tendangan dengan kerasnya mengenai pahanya sehingga tubuhnya terlempar jauh dan jatuh berduduk ke atas tanah!
"Ha-ha-ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu kalah!"
Kwan Cu menjadi merah mukanya dan teringat akan nasihat suhu-nya, dia lalu menjura kepada Lu Thong dan berkata, "Kepandaianmu hebat. Aku mengaku kalah!"
Lu Thong lalu mengangkat dadanya dan memandang bangga. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya dengan gembira. Ang-bin Sin-kai segera bangkit berdiri dan pada wajahnya terbayang sinar kegembiraan pula. Ia merasa gembira melihat jalannya pertandingan tadi, karena dia maklum bahwa dasar dari kedua orang anak itu sudah terlihat nyata.
Kwan Cu jauh lebih kuat. Kalau saja anak gundul itu sudah mempelajari ilmu menyerang yang hebat, sekali terkena pukulannya Lu Thong tentu tak akan dapat bangun kembali tanpa menderita luka hebat. Sedangkan Kwan Cu yang berkali-kali mengalami pukulan dan sekali tendangan hebat, sama sekali tidak terluka! Pula, dia pun senang melihat cara muridnya mengaku kalah.
"Hwesio gendut. Yang baik-baik kau melatih Lu Thong agar kelak tidak mengecewakan. Sepuluh tahun dari saat ini, kita bertemu lagi dan kita akan mengadu murid-murid kita. Beranikah kau?"
"Ha-ha-ha! Pengemis kurus, tentu saja aku berani. Boleh, boleh! Sepuluh tahun dari saat ini kita bertaruh dalam pibu murid-murid kita."
"Bagus! Taruhanku begini. Kalau muridku menang kau harus memberi hadiah semacam ilmu silat, sebaliknya kalau Lu Thong menang aku akan menambah dengan semacam ilmu silat pula kepadanya. Bagaimana?"
"Ha-ha-ha! Kau memang pengemis kelaparan yang licik! Bagimu, menambah pelajaran kepada muridku tak ada ruginya karena dia adalah cucumu sendiri. Akan tetapi bolehlah, aku pun sudah berjanji ingin menjadi guru dari bocah gundul goblok ini!"
Ang-bin Sin-kai lalu mengajak muridnya pergi, akan tetapi sebelum pergi, dia menoleh kepada Lu Thong dan memandang dengan tajam sambil berkata, "Thong-ji, karena kau adalah cucu dari Lu Pin, maka aku hendak memberi nasihat. Hilangkanlah semua sifat kesombonganmu, karena apa bila kau pelihara sifat itu, kelak kau tentu akan mengalami kekecewan karena kesombonganmu."
Ketika mengangkat muka memandang, Lu Thong merasa terkejut sekali melihat sinar mata kakek itu demikian tajam dan seakan-akan menembus sampai menjenguk ke dalam lubuk hatinya! Ia buru-buru menundukkan mukanya dan belakang lehernya terasa dingin.
“Baik, Kongkong," katanya perlahan.
Ang-bin Sin-kai lalu pergi bersama Kwan Cu. Bocah gundul ini merasa penasaran dan tidak hanya tubuhnya merasa sakit sekali. Begitu bertemu, gurunya sudah menurunkan ilmu silat yang hebat kepada Lu Thong seperti yang dilihatnya tadi. Sedangkan dia hanya menerima ilmu-ilmu silat yang digunakan untuk menahan serangan Lu Thong saja masih tidak sanggup! Akan tetapi, dasar dia memang anak yang taat dan penerima, dia tak mau berkata apa-apa dan diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kelak dia akan mencari ilmu silat sendiri yang membuat dia tidak terkalahkan…..
Setelah berhasil menggondol pergi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, Hek-i Hui-mo (Iblis Tebang Baju Hitam) lantas melarikan diri secepatnya. Dia tidak percaya akan keterangan Kwan Cu bocah gundul itu, bahwa kitab itu palsu, karena kalau palsu, kenapa Panglima An Lu Shan begitu mau bersusah payah untuk menterjemahkannya?
Hek-i Hui-mo adalah seorang pendeta Tibet yang selain berkepandaian tinggi sekali, juga di Tibet dia membentuk sebuah perkumpulan agama yang memisahkan diri dari Lama atau juga dari aliran pendeta Buddha jubah kuning. Semua murid-muridnya atau anak buahnya mengenakan jubah hitam seperti dia pula.
Hwesio ini mempunyai cita-cita untuk menguasai daerah Tibet dan untuk keperluan ini, perlu sekali menterjemahkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, selain untuk mempertinggi ilmu silat, juga untuk melatih ilmu perang kepada murid-muridnya. Kalau tokoh besar lain menganggap kitab itu tidak ada gunanya lagi, selain dianggap palsu juga dianggap tidak ada orang yang mampu menterjemahkannya, Hek-i Hui-mo beranggapan lain.
Dia tahu bahwa di Tiongkok tidak hanya Gui Tin yang pandai tentang sastra kuno. Dia mengenal pula nama dua orang sastrawan yang kepandaiannya mungkin tak kalah oleh Gui Tin. Yang seorang adalah Li Po, dan orang ke dua adalah Tu Fu.
Tidak ada harapan untuk minta bantuan Li Po karena sastrawan besar ini orangnya aneh dan keras. Maka ia hendak mencoba untuk minta bantuan sastrawan besar Tu Fu karena kebetulan sekali dia tahu di mana adanya sastrawan perantau ini pada waktu itu.
Di samping Li Po, Tu Fu merupakan seorang sastrawan yang amat pandai dan terkenal. (Bahkan sampai jaman atom ini hasil-hasil karyanya masih terkenal). Dia adalah seorang dari keluarga terpelajar dan berpangkat. Ia masih keturunan dari Tu Yu, seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan terkenal sekali dari Kerajaan Cin barat.
Kakeknya juga seorang sastrawan besar yang ternama, bernama Tu Shen Yan, ada pun ayahnya pernah menjadi seorang jaksa. Namun Tu Fu berwatak jujur dan berjiwa patriot. Ia amat mencinta nusa bangsanya dan melihat keadaan pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang korup, ia tidak mau menduduki pangkat dan bahkan rela hidup sebagai perantau yang miskin, seperti halnya mendiang Gui Tin yang semasa hidupnya dia kenal baik.
Hek-i Hui-mo maklum bahwa selain Gui Tin yang sudah tewas, orang-orang yang kiranya dapat menterjemahkan kitab kuno yang telah berada di tangannya, hanya Tu Fu dan Li Po, akan tetapi yang dapat dia mintai tolong hanya Tu Fu seorang. Maka pergilah dia ke Ho-nan di mana dia tahu sastrawan muda itu berada pada waktu itu. Memang kini Tu Fu sudah menjadi seorang perantau yang menjelajah di propinsi-propinsi Kiang-su, Ce-king, Ho-nan, dan Shan-tung.
Di kota Kai-feng sebelah timur ibukota Ceng-cou, di dekat pintu gerbang sebelah timur, terdapat sebuah rumah bobrok, bentuknya laksana kelenteng. Memang rumah ini adalah bekas kelenteng yang telah rusak dan yang gentingnya sudah hampir tidak ada sehingga kalau hujan, tempat itu menjadi basah semua sedangkan di waktu panas tidak terlindung sama sekali.
Agaknya yang sanggup hidup di tempat rusak dan kotor ini hanya ayam dan babi belaka. Akan tetapi, pada waktu itu di sebelah dalam kelenteng ini ada seorang manusia yang tinggal.
Orang ini belum tua benar, usianya kurang lebih tiga puluh tiga tahun atau tidak lebih dari tiga puluh lima tahun. Melihat potongan pakaiannya, meski pun kain bajunya sudah lapuk dan penuh tambalan, jelas dapat dilihat bahwa dia seorang terpelajar. Pakaiannya seperti pakaian pendeta, panjang sampai ke kaki, dengan ikat pinggang terbuat dari tali hitam.
Kumisnya hitam serta panjang, menggantung di kanan kiri mulutnya. Jenggotnya sedikit saja, di tengah-tengah dagu dan tergantung sepanjang lehernya. Kepalanya tertutup oleh sebuah topi butut, topi sastrawan pula. Tubuhnya kecil kurus, tulang-tulang pipinya agak menonjol. Sepasang matanya lebar dan bersinar tajam, sedangkan dahinya lebar sekali.
Inilah dia Tu Fu, sastrawan yang rela hidup dalam kemiskinan karena dia tidak suka pada pemerintah sekarang yang dipimpin oleh orang-orang tidak jujur. Ia rela menderita seperti bangsanya, yakni rakyat kecil yang banyak sekali menderita seperti dia pula.
Di dalam kehidupannya yang miskin, kelaparan, dia berduka sekali dan menangis, bukan hanya karena kehilangan puteranya, terutama sekali karena penderitaan keluarganya ini mengingatkan dia akan keadaan para petani miskin, rakyat kecil yang banyak menderita kelaparan seperti keluarganya!
Sejak itu dia pergi merantau, membuat sajak-sajak yang isinya selain memuji alam indah permai sebagaimana menjadi kesukaan para sastrawan, juga dia membuat sajak-sajak keluhan dan protes terhadap pemerintah yang lalim! Betapa pun miskinnya Tu Fu, kalau orang menjenguk ke dalam kelenteng bobrok itu, dia akan melihat bahwa sastrawan ini tidak pernah berpisah dari alat tulisnya, yakni pena bulu, kertas, dan tinta!
Pada waktu itu, matahari telah condong ke barat dan keadaan di dalam kelenteng sudah mulai remang-remang. Akan tetapi, Tu Fu seperti tidak merasai ini semua dan dia masih saja duduk termenung seperti orang sedang bersemedhi, tangkai pena di tangan kanan dan sebuah kipas bobrok di tangan kiri.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang hwesio berpakaian hitam yang tubuhnya amat gendut, kulit mukanya hitam dan misainya panjang. Hwesio itu merangkapkan kedua tangan di depan dadanya dan berkata,
"Omitohud! Tu-siucai benar-benar rajin sekali. Untuk apakah kau bekerja begitu keras?" tanya hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo adanya.
Bagaikan dalam mimpi, Tu Fu menjawab, "Aku takkan berhenti bekerja sebelum berhasil menuliskan sesuatu yang berguna!"
"Tu-siucai bersusah payah menulis sajak, untuk apakah gerangan?" bertanya pula Hek-i Hui-mo.
"Untuk siapa?" Tu Fu mengerutkan kening. "Tentu saja untuk rakyat sebagai penambah semangat dan untuk negara sebagai obat pahit yang manjur!" Sambil berkata demikian, Tu Fu bangkit berdiri.
Baru sekarang dia memandang kepada pengunjungnya dengan mata terbelalak karena dia heran sekali siapa adanya pendeta yang tak dikenalnya ini. Namun, sebagai seorang terpelajar dan sopan, dia memberi hormat lalu bertanya,
"Siapakah Losuhu ini? Dan mengapa datang mengunjungi siauwte yang miskin? Harap dimaafkan, di sini siauwte tak mampu mengeluarkan air teh atau arak untuk disuguhkan."
Hek-i Hui-mo tertawa bergelak. "Mengapa Siucai memikirkan keadaan orang lain? Bagi pinceng tidak membutuhkan makan minum, tetapi sebaliknya kaulah yang memerlukan makan dan minum. Lihat, pinceng membawa sedikit daging dan arak untukmu!" Sambil berkata demikian, Hek-I Hui-mo mengeluarkan seguci arak wangi dan sebungkus daging panggang dari saku bajunya yang lebar.
To Fu menerima pemberian ini sambil menghela napas, "Apa artinya haus dan lapar? Kadang-kadang sampai sepuluh hari aku tidak makan minum dan bajuku mempunyai tambalan lebih seratus jumlahnya, akan tetapi, apakah artinya bila dibandingkan dengan penderitaan rakyat kecil? Jika mengingat penderitaan mereka itu, perutku terasa kenyang sendiri dan bajuku telah terlampau baik! Ah, Losuhu, agaknya hidupmu sebagai pendeta lebih bahagia dari pada hidupku sebagai seorang sastrawan!"
"Keliru, keliru! Tu-siucai keliru sekali!" jawab Hek-i Hui-mo sambil menggoyang-goyang dua tangannya. "Suka dan duka timbul karena hati dan pikiran diri sendiri. Kebahagiaan berada di dalam hati kita sendiri, demikian pula keadaan. Kebahagiaan dapat diusahakan secara mudah, mengapa kau masih saja duduk merenung menyusahkan keadaan orang lain? Jika kau suka menerima jabatan, apa lagi yang menyusahkanmu? Kau mempunyai kepandaian tinggi."
"Cukup!" tiba-tiba Tu Fu membentak dan suaranya keras saking marahnya. "Siapa sudi membantu orang-orang yang hidup seperti lintah menghisap darah petani miskin? Tidak! Lebih baik mati!" Kemudian, teringat bahwa dia sudah bersikap kasar terhadap seorang suci, dia lalu memberi hormat dan berkata dengan sikap halus, "Maaf, Losuhu. Kalau tadi siauwte dikuasai oleh nafsu amarah. Siapakah sebenarnya Losuhu?" ulangnya, karena pertanyaannya tadi belum terjawab.
"Nama pinceng Thian Seng Hwesio dan pinceng datang dari Tibet," jawab Hek-i Hui-mo. Memang sebenarnya dia bernama Thian Seng Hwesio, dan di kalangan kang-ouw saja dia disebut Hek-i Hui-mo.
Mendengar keterangan ini, Tu Fu memandang dengan mata lebar. "Dari barat? Ahhh, Losuhu melakukan perjalanan begitu jauh menjumpai siauwte, ada keperluan apakah?"
"Tu-siucai, pinceng tak mempedulikan perjalanan ribuan li jauhnya dengan maksud ingin memohon sedikit pertolongan darimu, maka pinceng mengharap kemurahan hatimu dan mengharap Tu-siucai takkan menolak."
Biar pun terkenal kejam dan ganas, namun Hek-i Hui-mo juga seorang cerdik dan banyak pengalaman. Menghadapi seorang sastrawan seperti Tu Fu yang meski kepandaiannya tinggi tapi tidak mau menduduki jabatan dan rela hidup menderita, maka dia tahu bahwa orang ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa, dan seperti juga Gui Tin, tiada gunanya menghadapi orang seperti ini menggunakan kekerasan.
Andai kata ia menggunakan kekerasan kemudian memaksa sastrawan ini membantunya menterjemahkan kitab, hati sastrawan ini hanya akan tersinggung saja dan kalau sampai terjadi demikian, maka agaknya walau pun dia akan memukul sampai mati, sastrawan muda ini takkan sudi membantunya! Oleh karena itulah maka Hek-i Hui-mo menjalankan siasat licin dan bersikap halus dan manis budi.
Berbeda dengan Gui Tin yang lebih tua dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw, Tu Fu tidak mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, maka dia tidak mengenal Hek-i Hui-mo dan keganasannya. Ia memang seorang yang berhati mulia dan suka menolong, apa lagi menolong seorang hwesio yang lajimnya menuntut kehidupan beribadat suci, tentu saja dia bersiap sedia untuk menolong.
"Tu-siucai tak perlu tergesa-gesa. Silakan makan terlebih dahulu, baru nanti kita bicara kembali," kata Hek-i Hui-mo.
Tu Fu tidak berlaku sungkan-sungkan dan sastrawan muda ini lalu makan habis daging dan minum arak itu sampai setengah guci.
Setelah Tu Fu selesai makan, barulah Hek-i Hui-mo mengeluarkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dari saku bajunya. Sambil memperlihatkan kitab itu kepada Tu Fu, dia berkata,
"Pertama-tama pinceng ingin sekali mengetahui pendapat Tu-siucai mengenai kitab ini. Pinceng mendapat kitab kuno ini, akan tetapi tidak dapat mengerti huruf-hurufnya yang kuno dan sukar dibaca. Dan karena kitab ini bagi pinceng penting sekali, maka harap Siucai sudi menerangkan apakah kitab ini palsu atau bukan?"
Tu Fu menerima kitab itu seperti seorang kelaparan menerima sepotong kue.
Sastrawan mana yang tidak tertarik dan penuh gairah melihat sejilid kitab? Ia menerima kitab itu dengan penuh khidmat, lalu mulai membuka lembaran-lembaran pertamanya.
"Hmm, sebuah kitab kuno yang menarik hati sekali," katanya perlahan, didengarkan oleh Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. "Usianya sudah ribuan tahun dan ditulis dengan bahasa dalam jaman Kerajaan Couw Timur!"
Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa kitab ini ditulis pada jaman Shia!"
Tu Fu menggelengkan kepalanya. "Tak mungkin! Sudah pasti sekali ditulis dalam bahasa Couw Timur, Losuhu, siauwte tahu betul akan hal ini."
"Kalau begitu, apakah kitab ini palsu?"
"Bagaimana orang dapat menyatakan palsu bila tidak melihat aslinya? Orang baru dapat mengenal kejahatan jika sudah mengenal kebaikan, maka orang pun baru bisa mengenal barang palsu apa bila sudah melihat barang tulennya. Siauwte tidak dapat mengatakan bahwa kitab ini palsu atau asli, namun kitab ini benar-benar amat menarik hati. Siauwte mengenal seorang yang benar-benar ahli dalam bahasa yang ditulis dalam kitab ini, yaitu Gui-siucai."
Kembali Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa Giu-suicai sudah meninggal dunia, akan tetapi, pinceng lebih suka mohon pertolongan kepadamu, Tu-siucai. Harap kau suka menterjemahkan kitab ini untuk pinceng."
Tu Fu tidak menjawab, melainkan membuka lembaran kitab itu dan membacanya. Baru membaca dan membalik-balikkan beberapa lembaran kitab itu, berkerutlah keningnya.
"Aneh sekali! Kitab ini bernama Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebuah kitab pelajaran yang luar biasa anehnya. Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kau, Losuhu. Kitab ini adalah pelajaran tentang ilmu silat dan ilmu perang, bagaimana seorang hwesio yang menuntut penghidupan suci seperti Losuhu ingin mempelajari isi kitab ini? Apakah gunanya untuk Losuhu?"
Hek-i Hui-mo merasa muaknya panas. Kalau saja kulit mukanya tidak begitu hitam, tentu akan terlihat betapa mukanya menjadi merah. Ia merasa mendongkol dan marah sekali. Hemm, pikirnya, kalau saja aku tidak membutuhkan pertolongan cacing buku ini, kuketok kepalanya sampai pecah! Ia menarik muka sungguh-sungguh ketika menjawab.
"Tu-siucai, harap jangan salah mengerti. Kitab ini seperti kau katakan tadi adalah kitab ilmu silat dan ilmu perang. Untuk pinceng pribadi memang tidak ada gunanya, sungguh pun harus pinceng akui bahwa semenjak kecil pinceng paling suka mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tidakkah kau lihat betapa buruknya keadaan negara? Jika pinceng bisa mempelajari ilmu silat dari dalam kitab ini yang juga belum tentu hebat, bukankah kelak pinceng dapat menurunkan ilmu kepandaian itu kepada para orang gagah sehingga bisa dipergunakan untuk membela negara?"
Pada saat Tu Fu hendak menjawab, mendadak terdengar suara ketawa nyaring dari luar kelenteng, disusul dengan suara seorang wanita berkata, "Bangsat gundul menjemukan! Kau kira dapat melarikan diri dariku? Kembalikan kitab itu!"
Hek-i Hui-mo terkejut sekali dan sekali dia melompat, dia sudah berada di luar kelenteng menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang datang bersama muridnya, Sui Ceng! Hati Tu Fu kaget bukan main pada waktu melihat betapa hwesio gendut itu seakan-akan menghilang dari depannya.
"Aduh..., setankah dia?" katanya perlahan.
Kemudian dia mendengar suara gaduh di luar kelenteng. Tu Fu segera memburu keluar dan bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat dua bayangan orang bertempur di halaman kelenteng seperti iblis sedang menari-nari!
Memang Hek-i Hui-mo tak membuang waktu lagi. Begitu dia melihat bahwa yang datang adalah Kiu-bwe Coa-li, tanpa banyak cakap lagi dia kemudian mengeluarkan tasbih dan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan cepat menyerang dengan amat hebatnya. Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek dan wanita sakti ini pun lalu menggerakkan pecutnya yang bernama Kiu-bwe Sin-pian (Ruyung Lemas Berekor Sembilan).
Pertempuran kali ini bukan main dahsyatnya. Satu lawan satu, tanpa khawatir ada tokoh lain yang mengganggu mereka. Bun Sui Ceng berdiri di pinggir menonton pertempuran antara gurunya dan Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. Mukanya yang manis serta elok itu sama sekali tidak nampak gelisah, karena anak ini selain mempunyai hati yang tabah, juga percaya penuh bahwa gurunya pasti akan menang.
"Kiu-bwe Coa-li, kau manusia usilan mengganggu saja!" seru Hek-i Hui-mo dan Tongkat Kepala Naga di tangan kanannya menyambar bagaikan halilintar ke arah kepala wanita itu.
"Pendeta busuk, kau pencuri tidak tahu malu!" balas memaki Kiu-bwe Coa-li.
Sedikit miringkan kepala saja, serangan lawan dapat digagalkan. Pecut berekor sembilan di tangannya tidak tinggal menganggur, cepat melakukan serangan balasan, merupakan sembilan ekor ular yang bergerak dari segala jurusan, menyerang sembilan jalan darah di tubuh lawannya!
Hek-i Hui-mo terkejut sekali melihat serangan hebat ini. Ia maklum akan kelihaian lawan dan telah mendengar pula tentang keganasan Kiu-bwe Coa-li, yang terkenal sekali turun tangan tentu akan menewaskan lawan. Maka tanpa ayal lagi dia segera menggerakkan tasbihnya diputar sedemikian rupa dibantu oleh Tongkat kepala Naga untuk melindungi tubuhnya.
“Tar! Tar! Tar! Tar!” beberapa kali terdengar suara dari pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li, sungguh membikin hati menjadi ngeri.
Makin lama pertempuran berjalan makin seru dan gerakan mereka menjadi makin cepat. Tiga macam senjata berubah menjadi gulungan sinar dan yang paling menarik dan indah dipandang adalah gerakan cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li. Cambuk yang berujung sembilan itu merupakan segundukan sinar yang bertangan sembilan, seperti seekor ikan gurita yang berjari sembilan. Setiap ujung cambuk ini merupakan perenggut nyawa yang lihai sekali.
Namun ilmu silat Hek-i Hui-mo juga tidak kalah hebatnya. Dia adalah seorang tokoh barat yang pernah menggemparkan Tibet, yang sudah menjatuhkan jago-jago dan tokoh-tokoh dari barat dan boleh dibilang, selama dia melakukan perantauannya di dunia kang-ouw, Hek-i Hui-mo tidak pernah terkalahkan. Entah sudah berapa ratus orang lawan terpaksa mengakui kehebatan ilmu silatnya dan sudah berapa puluh lawan binasa di tangannya!
Tasbihnya berputar menjadi segundukan sinar bundar bagaikan mustika naga sakti. Ada pun tongkatnya yang merupakan naganya sehingga sepasang senjata di tangannya itu bergerak-gerak bagaikan seekor naga mengejar mustikanya!
Sukarlah untuk dikatakan siapakah yang lebih lihai di antara dua orang tokoh besar ini. Masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan keduanya mengaku bahwa selamanya baru kali ini mereka menghadapi tandingan yang benar-benar seimbang dan amat berat. Agaknya pertempuran ini akan menjadi sebuah pertandingan mati hidup yang berjalan lama sekali sebelum seorang di antara mereka menggeletak tak bernyawa lagi di depan kaki lawannya.
Pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar, saking kerasnya, sampai terdengar angin bersiutan. Oleh karena sembilan ekor bulu pecut itu menyambarnya dari berbagai jurusan dengan kecepatan yang tidak sama, maka suara angin itu terdengar aneh sekali, bagai sembilan buah suling ditiup berbareng.
Hek-i Hui-mo menangkis dengan tongkat yang disapukan dan sehelai dari pada ujung pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar dan melibat kaki meja sembahyang yang sudah berdiri miring. Tenaga wanita sakti ini hebat luar biasa, karena meja itu melayang ke atas dan bagaikan disambitkan, meja itu menimpa tempat di mana Sui Ceng berdiri.
Melihat hal itu, Tu Fu menjerit. Akan tetapi dia membelalakkan sepasang matanya saking kagum dan heran melihat anak perempuan yang manis itu menampar dengan tangan kirinya yang kecil.
"Brakkk!" meja itu pecah berkeping-keping!
Sekarang tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan Hek-i Hui-mo menyambar pinggang Kiu-bwe Coa-li. Serangan ini dilakukan sekuat tenaga sehingga wanita sakti itu tak berani menangkis. Tubuhnya melompat ke atas dan mundur.
Akan tetapi Hek-i Hui-mo tak mau memberi hati dan terus melangkah maju lalu menyapu lagi dengan tongkatnya, dibarengi memukul kepala lawan dengan tasbihnya! Kiu-bwe Coa-li segera mengelak dan tongkat yang kuat itu menyambar tiang kelenteng di bagian depan.
"Kraaaakk... bruuuk...!" Tiang itu patah dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk!
"Aduh, tahan...! Tahan…! Apa-apaan sih semua ini? Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) tidak malu? Orang-orang tua bertingkah bagaikan anak-anak kecil berebut kembang gula. Ada urusan dapat diurus, mohon mendengar kata-kata siauwte," Tu Fu berseru berkali-kali sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa Tu Fu adalah orang yang bisa dimintai tolong menterjemahkan kitab yang tidak dapat mereka baca sendiri itu, mana dua orang tokoh lihai ini mau mendengarkan ucapan seorang sastrawan lemah seperti Tu Fu? Keduanya melompat kebelakang dan saling pandang bagaikan dua ekor harimau sedang marah.
"Tu-siucai, kau menahan kami mau apakah?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan suara dingin.
Tiba-tiba saja Tu Fu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bukan main hebatnya wanita ini, pikirnya, sudah bukan merupakan manusia lagi!
"Harap Suthai suka bersabar, dan demikian pula Losuhu. Sebetulnya, mengapa Ji-wi bertempur mati-matian seakan-akan di dunia ini tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik dari pada saling gempur dan saling mencoba untuk membunuh?"
Hek-i Hui-mo menarik napas panjang. "Tak lain karena kitab itulah. Kami berebut Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!"
Tu Fu masih membawa kitab itu. Kini dia mengangkat kitab itu tinggi-tinggi dan berkata, "Memperebutkan kitab ini? Alangkah lucunya. Dan untuk dapat membaca dan mengerti isinya saja, Ji-wi tidak bisa dan sengaja datang untuk minta siauwte menterjemahkan isi buku ini?"
Kiu-bwe Coa-li mengangguk dan berkata tegas, "Orang she Tu, tak usah direntang lebih panjang lagi. Memang kami membutuhkan isi kitab itu. Akan tetapi karena di sini kami dua orang, terpaksa kami harus melenyapkan salah seorang lebih dulu, barulah nanti kau yang bekerja, menterjemahkan kitab itu. Hayo, Hek-i Hui-mo, kita lanjutkan pertempuran kita!"
"Baik, Kiu-bwe Coa-li. Awaslah kau!"
Dua orang jago tua ini sudah bersiap-siap lagi untuk bertempur mati-matian. Akan tetapi Tu Fu segera mencegah mereka. Sastrawan ini, seperti juga Gui Tin dan Li Po atau pun sastrawan dan seniman-seniman lainnya, tidak suka akan kekerasan dan amat mencinta kedamaian, maka tentu saja Tu Fu tidak mau melihat dua orang aneh itu saling gempur mati-matian seperti tadi.
"Tahan!" katanya keras. "Kalau Ji-wi berkeras hendak saling bunuh, aku Tu Fu tak akan mau menterjemahkan kitab ini. Walau Ji-wi memaksa dan membunuhku, aku takkan mau menterjemahkannya."
Mendengar ini, kedua orang tokoh kang-ouw itu tertegun dan saling pandang. Mereka amat maklum bahwa sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman sama anehnya dengan orang-orang kang-ouw, bahkan mereka itu lebih hebat pula. Biar pun mereka itu memiliki jasmani yang lemah, namun mereka berhati keras dan tidak takut mati.
Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo percaya dan tahu bahwa ucapan yang keluar dari mulut sastrawan ini menyatakan tidak mau membantu, biar dia dibunuh atau disiksa sekali pun, tetap dia tidak akan mau menterjemahkan isi kitab itu. Dan apa artinya kitab itu tanpa ada penterjemahnya? Tiada beda dengan kertas-kertas pembungkus belaka!
"Habis, kalau di sini ada kami berdua, bagaimana Tu-siucai hendak mengaturnya?" tanya Hek-i Hui-mo dengan suara minta pertimbangan.
Tu Fu mempersilakan mereka duduk di atas lantai di depan kelenteng. Kemudian dia melambaikan tangan kepada Sui Ceng yang tanpa ragu-ragu datang menghampiri.
"Anak baik, kau benar-benar hidup dalam alam yang aneh," kata sastrawan itu sambil mengelus-elus rambut Sui Ceng yang hitam, halus, dan panjang, kemudian sastrawan ini berkata kepada kedua orang tokoh dunia kang-ouw itu. "Harap Ji-wi dengarkan baik-baik keputusanku yang tidak mungkin dapat diubah lagi. Siauwte sanggup membantu serta menterjemahkan isi kitab ini, akan tetapi hanya dengan syarat. Pertama, siauwte hanya akan menterjemahkan dengan cara membacanya saja dan Ji-wi harap mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengingatnya baik-baik. Kedua, sehabis membaca semua isi kitab, kitab ini harus dibakar di depan siauwte, supaya kelak tidak menjadi perebutan mati-matian kembali. Hanya dengan dua macam syarat ini siauwte mau menolong, kalau tidak, meski Ji-wi akan membunuh siauwte, tak nanti siauwte mau menterjemahkannya. Bagaimana?"
Kedua orang tokoh kang-ouw itu saling pandang. Celaka, pikir mereka, bagaimana dapat menghafal isi kitab dengan sekali mendengar saja? Akan tetapi kalau mereka tidak mau menerima, selain sastrawan aneh ini tidak mungkin dipaksa, juga mereka masih saling berhadapan dan untuk mendapatkan kitab itu harus bertempur mati-matian dulu.
Andai kata menang, bagaimana pula isi kitab dapat diterjemahkan? Apa lagi jika sampai terdengar oleh tiga orang tokoh besar yang lainnya dan mereka datang pula, tentu akan makin berabe saja!
"Aku setuju!" kata Kiu-bwe Coa-li. "Hanya aku minta supaya pembacaan dilakukan dua kali!"
Kiu-bwe Coa-li memang amat cerdik. Ia datang bersama muridnya dan dia percaya akan kecerdikan otak Sui Ceng. Tentu muridnya akan dapat membantu dan mengingat-ingat bunyi isi kitab itu.
Hek-i Hui-mo tidak dapat mencari jalan lain. Ia pun tahu bahwa fihak Kiu-bwe Coa-li lebih untung dengan adanya Sui Ceng, maka dia merasa ragu-ragu, lalu berkata, "Tidak adil sekali. Kau dibantu oleh muridmu sedangkan aku hanya seorang diri!"
"Kau boleh mencari seorang pembantu pula," jawab Kiu-bwe Coa-li.
Tu Fu mengerti akan maksud pembicaraan dua orang itu, akan tetapi dia pun tidak dapat memecahkan persoalan ini. Kebetulan sekali pada saat itu, terdengar tindakan kaki dan muncullah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun.
"Tu-sianseng, hakseng (murid) datang membawa makanan," kata anak lelaki itu sambil memandang kepada tamu-tamu gurunya dengan mata terheran.
"Ehh, Tu-siucai, siapakah anak ini?" tanya Hek-i Hui-mo yang memandang tajam kepada anak laki-laki yang berwajah tampan dan jujur ini. Biar pun anak ini bertubuh kurus dan tinggi, namun dia memiliki bakat yang baik juga untuk belajar silat.
"Dia adalah Li Siang Pok, seorang anak dari kota Kai-feng. Ayahnya seorang sastrawan pula dan dia datang ke sini untuk belajar kesusastraan dari siauwte."
"Hemm, jadi dia boleh dibilang muridmu?"
Tu Fu mengangguk membenarkan.
"Bagus! Pinceng hendak mengambil dia sebagai pembantuku! Dengan adanya dia yang membantu pinceng, mengingat-ingat isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka keadaan pinceng dan Kiu-bwe Coa-li menjadi berimbang. Ini baru adil namanya!"
Tu Fu ragu-ragu, kemudian bertanya kepada Siang Pok, "Siang Pok, Losuhu ini minta bantuanmu untuk mengingat-ingat bunyi isi kitab kuno yang akan kubacakan. Maukah kau?"
Siang Pok adalah seorang anak yang suka sekali akan kesusastraan. Mendengar akan dibacanya kitab kuno, tentu saja tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa bertanya lebih jelas, dia menganggukkan kepalanya.
"Hakseng bersedia, Sianseng!"
Demikianlah, mereka semua duduk bersila di atas kelenteng sebelah luar. Keadaan di situ sunyi dan ketika Tu Fu mulai membacakan isi kitab, suaranya terdengar lantang dan jelas. Empat orang yang duduk mengelilinginya, yakni Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, Sui Ceng, dan Siang Pok, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Kitab itu tidak terlalu tebal sehingga isinya pun tidak begitu banyak, karena seperti juga kitab-kitab kuno lainnya, yang ditulis hanya garis besarnya saja. Sebagaimana diketahui, kitab itu isinya dibagi menjadi dua soal, yakni tentang ilmu silat dan tentang ilmu perang. Dalam hal bahasa kuno, kepandaian Tu Fu ini tidak kalah oleh mendiang Gui Tin, maka dia dapat membacanya dengan amat lancar.
Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng, tidak mendengarkan atau lebih tepat, tidak memperhatikan sama sekali akan bunyi ilmu perang yang dibaca oleh Tu Fu. Guru dan murid ini hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada bunyi ilmu silat saja. Sebaliknya, karena tidak diberi tahu terlebih dahulu, anak laki-laki yang bernama Lai Siang Pok itu mendengarkan seluruh isi kitab, yaitu bagian ilmu silat dan bagian ilmu perangnya. Demikian pula, Hek-i Hui-mo, karena dia mempunyai cita-cita pemberontakan, dia juga memperhatikan kedua bagian ini.
Hampir satu hari lamanya Tu Fu membaca habis kitab itu untuk kedua kalinya dan semua fihak merasa puas. Karena mengerahkan seluruh ingatan untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah mereka dengarkan tadi, kini Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo melihat saja dan tidak mempedulikan lagi ketika Tu Fu menggunakan api membakar kitab itu di depan mereka!
Setelah melihat kitab itu habis terbakar, Hek-i Hui-mo tertawa bergelak dan dengan cepat sekali dia melompat lalu mengempit Lai Siang Pok, terus di bawa lari!
"He, Losuhu! Lepaskan muridku!" Tu Fu berteriak-teriak, akan tetapi hanya suara ketawa dari jauh sana menjawabnya.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li yang tidak mau terganggu pikirannya yang sedang menghafal itu lalu menggandeng tangan Sui Ceng dan pergi pula dari situ.
Tu Fu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata seorang diri. "Benar-benar aneh sekali orang-orang itu. Apa sih gunanya segala macam ilmu kekerasan yang kasar itu? Aneh... aneh...!" Sastrawan ini pun beberapa hari kemudian tidak kelihatan lagi di tempat itu, telah melanjutkan perantauannya…..
Ketika sudah berada di tempat sunyi, Kiu-bwe Coa-li segera bertanya kepada muridnya. “Sui Ceng, coba kau ulangi kata-kata di dalam kitab yang dibaca oleh Tu-siucai tadi.”
Sui Ceng kemudian mengulangi kata-kata yang masih diingatnya. Kiu-bwe Coa-li tidak mempedulikan tentang peraturan latihan lweekang dan ginkang, yang paling diperhatikan hanya gerakan-gerakan ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu.
Semua ada tiga puluh enam pokok gerakan yang perkembangannya dapat timbul sendiri tergantung dari bakat dan kecerdikan masing-masing pelajar. Karena gerakan-gerakan itu hanya ditulis dan tidak digambar, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya.
Setelah dia mendengarkan apa yang yang masih diingat oleh Sui Ceng dan dikumpulkan dengan ingatannya sendiri, Kiu-bwe Coa-li ternyata hanya mampu mengumpulkan empat belas gerakan saja! Akan tetapi, empat belas jurus pokok gerakan silat Im-yang Bu-tek Cin-keng ini baginya sudah cukup berharga. Memang dia seorang yang ahli dalam ilmu silat dan ternyata olehnya betapa hebat, lihai, dan aneh isi gerakan-gerakan ini.
Segera ia lalu mempelajari gerakan-gerakan ini dan disesuaikan dengan kepandaiannya sendiri. Selama tiga bulan Kiu-bwe Coa-li seakan-akan lupa makan dan lupa tidur, setiap hari hanya berlatih ilmu silat baru yang sesungguhnya dia ciptakan sendiri berdasarkan apa yang ia dengar dari kitab itu. Dan terciptalah ilmu silat baru yang benar-benar luar biasa sekali. Kiu-bwe Coa-li menjadi girang dan berbareng ia pun lalu melatih muridnya dengan sungguh-sungguh.
“Sui Ceng, ilmu silat yang kita dapatkan ini entah Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli atau bukan, namun kau harus tahu bahwa ini memang benar-benar ilmu silat yang aneh dan hebat sekali. Setelah kuperbaiki semua yang kita berdua ingat, kurasa ilmu silat yang kuciptakan berdasarkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng ini, takkan mudah dikalahkan oleh lain orang. Mari kita mencari seorang di antara mereka, hendak kucoba sampai di mana kegunaan ilmu silat baru ini!”
Maka berangkatlah Kiu-bwe Coa-li bersama muridnya, untuk mencari seorang di antara empat besar, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin Jiu Kak Thong Taisu, Ang-bin Sin-kai atau juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk mengadu ilmu silatnya yang baru! Perjalanan ini dilakukan lambat sekali karena sepanjang hari Kiu-bwe Coa-li terus melatih diri dengan ilmu silat baru ini, dan juga berbareng memberikan latihan-latihan ilmu silat tinggi kepada muridnya.
Pada suatu hari mereka pun tiba di kota Cin-leng yang cukup besar dan ramai. Berbeda dengan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya, Kiu-bwe Coa-li paling teliti dalam memilih makan dan tempat menginap. Ia selalu memilih rumah penginapan yang terbersih dan memilih makanan dari restoran yang besar. Oleh karena itu, pakaian yang dipakai oleh Sui Ceng pun selalu bersih dan baik dan anak perempuan ini dibelikan pakaian beberapa stel yang dibungkus dengan kain kuning dan selalu buntalan itu digendong di atas punggungnya.
Di kota Cin-leng, begitu telah memasuki sebuah rumah penginapan yang besar, Kiu-bwe Coa-li terus saja berdiam dalam kamarnya, duduk di atas pembaringan dan bersemedhi. Sebaliknya, Sui Ceng yang ketika memasuki kota tadi melihat bangunan-bangunan indah dan keadaan kota yang ramai, lalu keluar dari hotel itu dan pergi berjalan-jalan.
Ketika tiba di depan sebuah restoran, perhatian Sui Ceng tertarik pada tujuh orang yang sedang makan di ruangan depan restoran itu. Mereka ini nampaknya seperti orang-orang gagah dan dari pakaian mereka, tahulah Sui Ceng bahwa mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal kiriman barang berharga). Dari wajah mereka yang kelihatan muram dan percakapan mereka yang hangat, Sui Ceng dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.
Oleh gurunya, Sui Ceng selalu dibekali uang, karena Kiu-bwe Coa-li berwatak terlalu angkuh untuk membiarkan muridnya mencuri atau mengemis makanan. Maka Sui Ceng lalu bertindak memasuki restoran itu dan mengambil tempat duduk tidak jauh dari para piauwsu yang sedang bercakap-cakap itu.
Tentu saja ada beberapa orang yang memandang padanya dengan heran, karena jarang terjadi seorang anak perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun memasuki restoran seorang diri. Akan tetapi selanjutnya tidak ada lagi yang menaruh perhatian, karena dia disangka puteri seorang kaya raya yang suka jajan!
Tak dapat terus-terusan begini, pikir Kwan Cu. Dadanya terasa sesak dan tenaga kedua tangannya makin lama makin lemah. Ia memutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari-cari akal.
Akhirnya dia mendapat akal. Sambil mencekik leher ular dengan kedua tangan, dia menggelundung ke kiri di mana dia melihat beberapa potong batu karang. Sesudah mengambil sepotong batu karang yang sebesar kepalanya dan yang tajam runcing pinggirnya, dia lalu melepaskan cekikannya.
Ular itu menyerang lagi dengan mulut terbuka dan Kwan Cu secepat kilat memasukkan batu itu ke dalam mulut ular! Karena dia memasukkan dengan tenaga kuat dan gigi-gigi ular itu mendoyong ke dalam, maka sesudah batu karang ini memasuki mulut sampai di belakang gigi-gigi ular, batu itu tidak dapat keluar kembali akibat terganjal oleh gigi atas dan bawah!
"Bagus, Kwan Cu!" Ang-bin Sin-kai tertawa-tawa memuji.
Mendengar pujian guru ini, besarlah hati Kwan Cu. Ia tidak takut akan gigitan ular itu lagi. Kini ular itu pun menjadi bingung sekali, terus menggerak-gerakkan kepalanya berusaha hendak melepaskan benda aneh yang mengganjal mulutnya. Saking bingungnya, lilitan pada tubuh Kwan Cu yang untuk sesaat luar biasa eratnya, makin lama semakin kendor dan akhirnya dia melepaskan tubuh yang dililitnya. Ular itu menggeliat-geliat, memukul-mukulkan kepalanya pada tanah dan Kwan Cu segera bertindak. Ia mengambil sepotong batu lagi dan sekali pukul saja pecahlah kepala ular itu!
"Hemm, bagus! Lekas bikin api dan panggang sebelum darahnya kering. Jangan terlalu lama, dibikin setengah matang saja!" Ang-bin Sin-kai berkata dengan air liur memenuhi mulutnya dan beberapa kali menelan ludah.
Setelah daging ular matang dan merasai daging itu, Kwan Cu harus mengakui kebenaran kata-kata suhu-nya. Daging itu terasa manis dan gurih sekali biar pun dipanggang tanpa diberi bumbu dan garam, hanya saja setelah memasuki tubuh, membuat perut dan dada terasa panas dan darah mengalir lebih cepat dari biasanya.
Setelah makan kenyang. Ang-bin Sin-kai berkata kepada Kwan Cu.
"Perkelahianmu dengan ular tadi merupakan pengalaman baik sekali. Kau sekarang tahu bahwa ular itu mempunyai tenaga lemas. Kelihatannya saja ia lambat dan lemah, namun lilitannya makin lama makin kuat karena ia mempergunakan tenaga dalam yang mengalir di dalam tubuhnya. Menghadapi lawan yang memiliki tenaga lweekang (tenaga dalam), memang kita harus melayani dengan kelicikan pula. Kalau kau mempergunakan tenaga kasar, kau akan kalah. Maka baik sekali kau tadi mengerahkan ambekan (pernapasan) untuk menghadapi lilitan tubuh ular. Kalau kau menggunakan kekerasan, tentu akan ada tulangmu yang patah dan uratmu tergelincir dari tempatnya. Lain kali biar kau melatih diri menghadapi binatang yang selalu mempergunakan tenaga kasar, yakni harimau.”
Terbelalak sepasang mata Kwan Cu memandang suhu-nya.
"Waaah, Suhu. Bagaimana teecu menghadapi seekor harimau? Binatang itu galak sekali dan telah terkenal sebagai raja hutan. Apakah teecu kiranya akan sanggup mengalahkan harimau?"
"Kau baru saja mempunyai kepandaian ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, tentu saja masih berat. Biar sekarang aku melatihmu dengan ilmu mempertahankan diri yang di sebut Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menghadapi Ratusan Golok). Kalau kau sudah bisa mainkan ilmu silat ini, agaknya tak akan mudah kau diserang lawan."
Dengan girang Kwan Cu kemudian mulai mempelajari Pai-bun Tui-pek-to, yang dilakukan mengandalkan ginkang yang sangat tinggi. Isinya hanya ilmu-ilmu untuk mengelak dan menangkis serangan lawan serta melindungi diri mempergunakan kecepatan tubuh dan mengatur pada saat bagaimana mempergunakan tenaga lweekang dan saat bagaimana pula mempergunakan gwakang. Terlalu panjang untuk dituturkan sejelasnya, pendeknya ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to ini sangat baik untuk seorang ahli silat tangan kosong kalau menghadapi lawan-lawan yang bersenjata.
Beberapa bulan berlalu tanpa terasa dan Kwan Cu sudah memperoleh kemajuan pesat. Belum boleh dikata bahwa dia sudah menyempurnakan ilmu Pai-bun Tui-pek-to, karena tak seperti Sam-hoan-ciang yang hanya mempunyai tiga jurus, ilmu mempertahankan diri ini meski pun hanya mempunyai delapan belas macam jurus, namun setiap jurus dapat dipecah-pecah menjadi puluhan bagian. Semua tergantung dari pada kedudukan lawan menyerang.
Kini Ang-bin Sin-kai menurut kehendak muridnya lagi, yaitu mencari Bukit Liang-san yang masih amat jauh. Pada saat mereka tiba di kota Thiat-ang-bun, kota kecil yang berpintu gerbang besi berwarna merah, mereka berhenti selama tiga hari.
Di dalam kota kecil itu banyak terdapat pemandangan indah, bahkan di sebelah selatan kota itu terdapat telaga kecil yang airnya sangat biru serta dikelilingi pohon-pohon dan kembang-kembang. Ang-bin Sin-kai senang sekali pelesir di daerah ini, maka dia sengaja bermalas-malasan untuk pergi meninggalkannya.
Pada hari ketiga, pada waktu Kwan Cu dan gurunya tengah berjalan di dekat telaga itu, tanpa sengaja mereka melihat berkelebatnya seorang Tartar yang wajahnya tampan dan berpakaian perwira.
Ang-bin Sin-kai tak mengenal orang ini, akan tetapi Kwan Cu mengenalnya dengan baik. Apa lagi, sejak mereka memasuki kota Thiat-ang-bun, Kwan Cu yang selalu mengambil perhatian pada apa yang berada di sekitarnya, melihat orang ini beberapa kali sehingga timbul pikirannya bahwa orang ini tentulah sedang menyelidiki keadaan dia dan gurunya. Dan orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari Panglima An Lu Shan.
Akan tetapi An Lu Kui seperti yang tidak mengenal lagi kepada Kwan Cu dan anak ini pun tidak mempedulikannya. Ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan perwira ini, tidak ada sangkut-pautnya lagi.
Kwan Cu tidak tahu bahwa sebetulnya, setelah bertemu dengan dia dan gurunya, An Lu Kui diam-diam melakukan penyelidikan dan selalu mengikutinya. Siapa tahu kalau-kalau anak aneh ini hendak mengambil kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tulen. Sedangkan kakek jembel yang bersama dengan bocah itu, Lu Kui tidak mengenalnya sama sekali. Bila saja dia tahu bahwa kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai, agaknya siang-siang dia telah angkat kaki dan kabur.
"Suhu, ada orang mengikuti kita," kata Kwan Cu perlahan kepada suhu-nya.
"Mana dia?"
"Entah, dia sudah pergi lagi, Suhu. Akan tetapi, telah beberapa kali teecu melihatnya dan agaknya dia memperhatikan kita."
"Siapa sih orangnya?"
"Dia adalah penculik yang dahulu membawa teecu dan Gui-siucai ke markas Panglima An Lu Shan, yaitu adik dari panglima itu sendiri yang bernama An Lu Kui."
"Hemm, dia mau apa?"
"Entahlah, Suhu. Akan tetapi, lebih baik kalau Suhu mengetahuinya, karena dia lihai juga. Dulu pernah teecu melihat dia mendorong roboh sebatang pohon besar, sungguh pun dia tidak berdaya menghadang Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya."
Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya ketika diculik oleh An Lu Kui dahulu. Gurunya tersenyum dan berkata gembira,
"Bagus, kalu begitu, biarlah dia menjadi pengujimu."
"Penguji bagaimana, Suhu?"
"Kau sudah mempelajari ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to, coba kau hadapi dia, hitung-hitung untuk berlatih. Kalau dia muncul lagi, kau pancing dia ke luar kota, ke tempat sunyi."
Kwan Cu mengangguk, dan hatinya berdebar. Ia tahu bahwa An Lu Kui murid mendiang Li Kong Hoat-ong itu tak boleh dibuat main-main. Ia adalah seorang perwira yang pandai dan gagah perkasa, lalu bagaimana dia yang baru melatih ilmu silat beberapa bulan saja sanggup menghadapinya? Akan tetapi karena dia bersama suhu-nya dan perlawanannya adalah atas perintah suhu-nya, hatinya menjadi besar.
Tidak lama kemudian, benar saja dia melihat An Lu Kui muncul lagi, berjalan di sebelah belakang. Kwan Cu menengok dan sengaja memperlihatkan muka ketakutan, kemudian menggandeng tangan suhu-nya dibawa berjalan menuju ke pegunungan kecil yang tidak jauh dari sana letaknya. Pancingannya berhasil karena melihat wajah Kwan Cu nampak ketakutan dan bergesa-gesa ke bukit kecil, An Lu Kui lalu mengejar!
Sesudah berada di tempat yang sunyi di bukit kecil itu, Kwan Cu berhenti dan bersama suhu-nya menengok ke belakang. Tampak An Lu Kui berlari cepat menghampiri mereka dan setelah berhadapan, dia menegur.
"Ehh, tidak tahunya kau Kwan Cu bocah itu! Kau hendak pergi ke manakah?"
Kwan Cu memang telah mendapat perintah dari gurunya untuk mencoba kepandaiannya dengan perwira ini, maka dia memancing keributan dengan meniru jawaban Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ketika dahulu bertemu dengan dia di pintu gerbang kota raja, maka dia menjawab, "Aku datang dari belakang dan menuju ke depan. Ada urusan apakah kau menyusulku, An-sianseng?"
Mendengar jawaban yang kurang ajar ini tentu saja An Lu Kui mendelikkan matanya.
"Bocah gundul! Ketika dahulu menjadi murid Gui-suicai, kau masih mengerti aturan dan bersikap sopan, sekarang kau telah menjadi seorang berandalan. Jawab yang betul, kau hendak pergi ke mana?"
"Ke mana pun aku pergi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!" kata Kwan Cu dengan sengaja agar perwira ini marah dan menyerangnya sehingga dia dapat mempraktekkan ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to.
"Setan cilik! Bukankah kau hendak pergi ke tempat disembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Hayo jawab yang betul, kalau tidak, akan kukemplang kepalamu yang gundul itu sampai pecah!"
Tiba-tiba saja terdengar suara meledak dari Ang-bin Sin-kai. "Ha-ha-ha! Agaknya semua orang sudah tergila-gila kepada kitab tiada guna itu! Eh, Kwan Cu, kenapa kau meladeni badut ini? Kait saja kakinya, biar dia menggelundung ke bawah!"
Bukan main marahnya An Lu Kui mendengar ejekan ini. "Bangsat tua bangka! Apakah matamu buta dan tak mengenal orang? Kau sedang berhadapan dengan An Lu Kui, adik dari panglima besar An Lu Shan! Berlutut kau!"
Kwan Cu melangkah maju. "Orang she An, jangan kau menghina guruku!"
"Kau setan gundul mau apa?" bentak An Lu Kui yang cepat menampar dengan tangan kanannya ke arah kepala Kwan Cu yang gundul.
Akan tetapi dengan sedikit menundukkan kepala saja, Kwan Cu sudah dapat mengelak dari pukulan ini. An Lu Kui menjadi penasaran dan marah sekali. Oleh karena itu, sambil menggereng bagaikan seekor harimau buas, dia menubruk maju dan mengirim pukulan bertubi-tubi, diselingi dengan tendangan kakinya!
Akan tetapi, sebentar saja dia menjadi tertegun ketika melihat betapa dengan gerakan amat lincah, Kwan Cu dapat mengelak dari semua pukulan dan tendangannya itu. Bukan main! Baru beberapa bulan berselang, bocah gundul ini masih belum memiliki gerakan demikian lincah.
Ahh, jangan-jangan gurunya yang seperti pengemis jembel itu berkepandaian tinggi pula, pikirnya. Maka dia mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan ilmu silatnya disertai pengerahan tenaga lweekang!
Kwan Cu baru saja belajar beberapa bulan. Ada pun An Lu Kui telah memiliki kepandaian tinggi, karena itu menghadapi serangan-serangan hebat ini, tentu saja Kwan Cu menjadi repot sekali. Memang betul bahwa dengan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to, dia masih dapat mengelak mau pun menangkis, akan tetapi dia tidak dapat membalas sama sekali dan seakan-akan untuk bernapas pun tiada kesempatan!
"Kau menyia-nyiakan banyak kesempatan baik!" kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya. "Campur Pai-bun Tui-pek-to dengan Sam-hoan-ciang!"
Kwan Cu maklum akan maksud suhu-nya. Namun karena kurang pengalaman tetap saja dia tidak dapat membalas serangan-serangan An Lu Kui yang mengamuk semakin hebat itu.
An Lu Kui kali ini benar-benar penasaran dan marah sekali. Sudah dua puluh jurus lebih dia menyerang, namun tetap saja belum pernah dia dapat menempiling kepala lawannya si bocah gundul ini. Kini mendengar ucapan kakek itu, mengertilah dia bahwa kakek ini memang benar-benar lihai dan terang bahwa si bocah gundul mendapat latihan dari dia.
Celaka, keluh An Lu Kui, bila aku tidak lekas-lekas mengalahkan setan cilik ini, aku bisa dipermainkan oleh setan besar itu. Maka, dia lalu mencabut sepasang siang-kek (senjata tombak bercagak) dari punggungnya dan lantas memutar dua senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.
"Kwan Cu kau melompatlah ke punggungku dan lihat baik-baik cara aku mainkan Pai-bun Tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang!" kata Ang-bin Sin-kai.
Kwan Cu tertawa gembira dan sekali dia mengenjotkan kedua kakinya, bagaikan seekor monyet dia telah melompat ke atas punggung suhu-nya. An Lu Kui merasa kepalang dan dia sudah merasa malu serta marah dijadikan permainan oleh Kwan Cu, maka kini dia menyerang kakek jembel itu dengan ilmu silatnya yang lihai dan berbahaya.
Kwan Cu melihat gerakan tubuh suhu-nya dengan penuh perhatian. Dengan digendong di punggung suhu-nya, dia merasa seakan-akan dia sendiri yang menghadapi An Lu Kui dan dia mengintai dari balik punggung gurunya itu kepada semua gerakan An Lu Kui dan gerakan suhu-nya. Benar saja, gurunya menghadapi sepasang tombak cagak An Lu Kui dengan ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to!
Melihat betapa gerakan gurunya amat sederhana, namun dapat dengan tepat dan tenang menghindarkan semua serangan sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui, Kwan Cu menjadi kagum sekali. Kini terbukalah matanya dan tahulah dia bahwa tadi pada waktu menghadapi serangan An Lu Kui ia terlalu gugup dan terlalu banyak membuang gerakan sendiri. Sebenarnya, kalau dia bisa tenang seperti suhu-nya, tidak usah terlalu banyak bergerak dan hanya bergerak seperlunya saja, Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan lawan.
"Kau lihat lowongan-lowongan itu?" kata Ang-bin Sin-kai pada muridnya. "Buka matamu baik-baik, setiap kali dia melakukan serangan, tentu terbuka sebuah pintu! Mengertikah kau? Coba sekarang kau mencari dan menemukan pintu yang terbuka dan kau gunakan tanganmu menyerang pintu terbuka itu!"
Kwan Cu mengerti. Yang dimaksud oleh gurunya mengenai pintu terbuka adalah bagian-bagian tubuh yang terbuka atau tidak terlindung dari lawan dan sekarang setelah berada di punggung suhu-nya dan tidak gugup karena dia sendiri tidak menghadapi serangan, memang matanya terbuka dan dia bisa melihat betapa setiap kali menyerang, An Lu Kui membuka sebagian tubuhnya yang tidak terlindung sama sekali.
Mendengar perintah suhu-nya ini, maka mulailah Kwan Cu menyerang dengan pukulan Sam-hoan-ciang! Tiap kali An Lu Kui menyerang, tentu terbuka sebuah pintu di dadanya, lambungnya, pundaknya, lehernya, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Kwan Cu tidak ingin menyia-nyiakan waktu baik ini dan tiap kali serangan datang, suhu-nya mengelak dan dia menghantam dengan tangannya.
“Bak! Buk! Bak! Buk!” terdengar suara ketika tubuh An Lu Kui terpukul secara tepat oleh tangan Kwan Cu yang kecil!
An Lu Kui menyumpah-nyumpah, Ang-bin Sin-kai tertawa tergelak-gelak dan Kwan Cu bersorak girang. Bocah gundul itu kini duduk di punggung gurunya dengan tangan kanan terangkat, siap untuk menempiling, menampar, dan menghantam dan menyodok ke arah ‘pintu terbuka’ dari lawannya!
Ada pun bagi An Lu Kui, Ang-bin Sin-kai seakan-akan merupakan manusia asap saja. Ke mana pun sepasang tombaknya menyerang, selalu tidak mampu mengenai tubuh kakek aneh itu. Ia mulai menjadi gentar dan tamparan-tamparan tangan Kwan Cu biar pun tidak bisa melukainya, akan tetapi terasa cukup pedas dan memanaskan kulit, terutama sekali memanaskan hatinya.
"Orang Tartar, kau masih belum cukup?" tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Entah dengan gerakan apa, karena Kwan Cu sendiri tidak mengenal gerakan gurunya ini, tahu-tahu sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui itu telah pindah tangan. Ang-bin Sin-kai menggerakkan kedua tombak itu dan…
“Krakk!” terdengar suara dan patahlah dua batang tombak itu menjadi empat batang!
Sambil tersenyum Ang-bin Sin-kai melemparkan potongan-potongan tombak itu ke dalam jurang, kemudian berkata kepada An Lu Kui yang berdiri dengan muka merah dan hati terheran-heran.
"Tidak patut sekali seorang perwira seperti engkau ini menghina seorang bocah kecil. Pergilah!"
An Lu Kui menjadi malu sekali. Ia menjura sambil berkata, "Mohon banyak maaf siauwte tidak mengenal orang pandai. Siauwte An Lu Kui hendak mohon tanya, siapakah nama Lo-enghiong yang terhormat?"
Ang-bin Sin-kai tidak mau melayaninya, bahkan lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompatlah dia turun dari bukit.
"An-sian-seng (tuan An), suhu-ku itu adalah Ang-bin Sin-kai!" berkata Kwan Cu yang lalu cepat-cepat berlari turun gunung mengikuti suhu-nya.
An Lu Kui tertinggal di bukit itu, berdiri tak bergerak bagaikan patung. Celaka tiga belas, pikirnya. Mengapa aku selalu bertemu dengan setan-setan itu? Dia lantas teringat akan pengalamannya dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan belum lagi sakit hatinya karena terhina oleh kakek itu terbalas, sekarang dia mengalami hinaan pula dari Ang-bin Sin-kai!
Ahhh, alangkah banyak orang Han yang hebat dan luar biasa sekali, keluhnya. Baiknya mereka itu tidak ambil peduli tentang kedudukan dan keadaan pemerintah. Kalau kaisar tidak demikian bodoh dan dapat menghargai orang-orang seperti itu, negara manakah di dunia ini yang dapat menandingi Tiongkok?
Dengan hati mengkal sekali, An Lu Kui lalu turun dari bukit itu untuk kembali ke markas besar kakaknya di mana dia melatih diri dalam ilmu silat dan ilmu perang dengan sangat tekunnya. Dalam hal ilmu perang, barisan yang dipimpin oleh An Lu Shan benar-benar mendapat kemajuan yang hebat sekali, berkat petunjuk dan pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng palsu yang diterjemahkan Gui Tin atau Gui-siucai itu…..
*****
Ada pun Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya dengan Ang-bin Sin-kai, dan semenjak itu, Kwan Cu makin tekun mempelajari ilmu silat, karena kini terlihatlah olehnya kegunaan dari pada ilmu ini. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan murid-murid tokoh lain, dia tetap saja terhitung yang paling bodoh.
Terhitung beberapa bulan yang lalu, ketika menghadapi kedua orang murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dia masih dipermainkan dan beberapa hari kemudian semenjak bertemu dengan An Lu Kui, terjadilah peristiwa lain yang di samping menunjukkan bahwa ia masih kalah jauh oleh murid tokoh lain, juga membikin tubuh dan hatinya sakit sekali.
Hal itu terjadi ketika mereka sudah sampai di kaki bukit Liang-san. Ketika itu, Kwan Cu sedang hendak bertanya keterangan pada penduduk dusun tentang mendiang gurunya yang dahulu di tempat ini terkenal dengan sebutan Gui-lokai (pengemis tua she Gui). Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti gembreng dipukul dan disusul oleh suara yang keras.
"Lu Thong, lihat ini adalah saudara misanmu!"
Di depan Kwan Cu muncullah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, hwesio gundul yang bundar seperti bal tubuhnya itu, tokoh utama dari selatan! Dan di sampingnya berjalan seorang anak laki-laki yang dikenal baik oleh Kwan Cu sebagai putera bangsawan yang dahulu menghina Gui Tin dan yang memerintah anjingnya untuk mengeroyok Gui-suicai!
Memang benar, anak itu adalah putera dari Lu Seng Hok, atau cucu dari Menteri Lu Pin! Seperti biasanya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu melakukan perantauannya, kali ini diikuti oleh muridnya.
Semenjak menjadi murid Kak Thong Taisu, sikap Lu Thong benar-benar berubah sekali. Dia mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya dan menurut segala nasihat suhu-nya. Di luarnya, anak ini bersikap baik sekali, pendiam dan tidak jahat atau sombong seperti dahulu. Bahkan pakaiannya, menurut petunjuk dari suhu-nya, tidak mewah seperti dulu pula, melainkan pakaian sederhana saja.
Biar pun dia dibawa merantau dan hidup sengsara, dia tidak pernah mengeluh, bahkan tidak menolak ketika suhu-nya menyuruh dia mengemis makanan! Lu Thong mempunyai kekerasan hati dan ketekunan luar biasa sekali sehingga segala keinginan dan nafsunya dapat dia tekan sedemikian rupa hingga seolah dia merupakan seorang murid yang baik sekali. Tentu saja gurunya amat sayang kepadanya dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi sehingga sebentar saja Lu Thong memperoleh kemajuan pesat sekali.
Ketika melihat Kwan Cu dan Ang-bin Sin-kai, tentu saja Jeng-kin-jiu menjadi girang sekali dan diam-diam dia mengandung hati iri terhadap Ang-bin Sin-kai. Sesungguhnya, adalah pengharapannya untuk menurunkan kepandaiannya bersama Ang-bin Sin-kai di tepi Laut Po-hai itu.
Sebaliknya, Lu Thong mengenal Kwan Cu sebagai bocah jembel yang dahulu menolong jembel tua di halaman rumahnya, maka diam-diam dia menjadi gemas sekali. Dulu dia mudah ditakut-takuti oleh bocah gundul ini, akan tetapi sekarang, sesudah dia merasa mempunyai kepandaian ilmu silat, dia tidak takut lagi dan bahkan ingin dia membalasnya! Tetapi dia tidak kenal kepada Ang-bin Sin-kai, yang sesungguhnya masih kongkong-nya sendiri, karena ayahnya adalah keponakan dari pengemis tua ini.
"Gundul bangkotan! Kau di sini?" Ang-bin Sin-kai menegur dengan muka girang.
Di antara para tokoh persilatan, dia lebih suka hwesio gemuk ini yang selain lucu, juga mempunyai kejujuran dan berhati baik. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak.
"Lucu, lucu sekali. Ha-ha-ha! Sekeluarga bertemu di sini, ha-ha-ha! Dan alangkah hebat dan lucunya keluarga ini. Ehh, pengemis kelaparan, kau tahu siapa anak yang menjadi muridku ini?"
Ang-bin Sin-kai memandang, akan tetapi dia tidak mengenal cucunya sendiri. Tadi ketika Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memanggil Lu Thong, dia tidak memperhatikan. Maka dia lalu menggelengkan kepalanya.
"Kenalkah kau kepada pengemis kelaparan ini?" Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bertanya kepada muridnya.
Juga Lu Thong menggelengkan kepala sesudah memandang tajam. "Teecu tidak kenal, Suhu."
"Lu Thong, inilah Kongkong-mu yang tidak mau mengajarkan ilmu silat kepadamu!" kata Kak Thong Taisu.
Terbelalak mata Lu Thong.
"Ang-bin Sin-kai...?" katanya perlahan.
"Ya, ya! Dialah Ang-bin Sin-kai Lu Sin, Twa-pek (Uwa) dari ayahmu!"
Ada pun Ang-bin Sin-kai juga terkejut mendengar kata-kata ini.
"Gundul jahat! Apakah muridmu ini putera Lu Seng Hok?"
Lu Thong sekarang telah dapat mengubah sikapnya dan dia pun sangat cerdik. Dia tahu bahwa Ang-bin Sin-kai ini merupakan seorang tokoh yang pandai, maka dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan pengemis tua itu.
"Kongkong, harap maafkan cucumu yang tidak tahu adat!" katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Diam-diam Kwan Cu merasa heran sekali mengapa anak yang begitu jahat seperti ketika dilihatnya di depan gedung itu, kini dapat bersikap sopan santun dan baik.
Walau pun Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidak setuju dengan pendirian adiknya Lu Pin yang bekerja membantu kaisar yang dianggapnya lemah dan tidak baik, akan tetapi melihat cucunya ini, timbul juga rasa terharu dalam hatinya.
"Baguslah kalau kau menjadi murid Jeng-kin-jiu, belajarlah baik-baik," berkata Ang-bin Sin-kai sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang berambut hitam panjang itu.
"Kongkong, biar pun cucumu ini menjadi murid dari Suhu Kak Thong Taisu, namun masih amat mengharapkan semacam ilmu silat dari Kongkong sebagai warisan sehingga kelak jangan ada yang mengatakan bahwa sebagai cucu Ang-bin Sin-kai yang terkenal, namun cucumu ini tidak tahu sama sekali tentang kepandaian Kongkong-nya sendiri. Bukankah itu amat tidak baik bagi keluarga kita?"
Semua orang termasuk Kwan Cu, tertegun mendengar ini. Ucapan itu selain tepat, juga cerdik sekali. Jeng-kin-jiu menegur muridnya.
"Ehh, Lu Thong. Apakah kau tidak puas dengan pelajaran yang kau dapat dari pinceng?"
Buru-buru Lu Thong memberi hormat kepada suhu-nya. "Tidak sama sekali, Suhu. Teecu merasa girang dan puas menerima pelajaran yang amat berharga dari Suhu. Hanya saja, teecu minta tanda mata sebagai warisan dari Kongkong, apakah ini salah?"
Terdengar Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
"Tidak mengecewakan kau menjadi cucunya Lu Pin, karena kau mempunyai kecerdikan. Ha-ha-ha! Jangan bicara tentang kekeluargaan, sebab aku Lu Sin telah menjadi keluarga dari bumi dan langit. Tak ada manusia yang bukan keluargaku, karena bukankah semua manusia di seluruh dunia ini bersaudara belaka? Betapa pun juga, untuk kecerdikanmu itu, biarlah aku menurunkan ilmu silat keturunanku, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa)! He, hwesio gundul, kau terimalah Kong-jiu Toat-beng untuk diajarkan kepada muridmu ini, akan tetapi bersumpahlah bahwa selama hidupmu kau tak akan mempergunakan ilmu ini!" katanya kemudian kepada Kak Thong Taisu.
Kak Thong Taisu tertawa bergelak. "Pengemis kelaparan! Apa kau kira aku sudah begitu rakus untuk mengambil ilmu silatmu? Tanpa meniru aku pun tak dapat kau kalahkan. Aku bersumpah!" dia mengangkat kedua tangan di depan dada seperti menghormat kepada Buddha.
Ang-bin Sin-kai mengangguk puas, lalu kakek ini segera bersilat tangan kosong. Dalam pandangan Lu Thong dan Kwan Cu, kakek ini bergerak luar biasa cepatnya bagai orang menari-nari dengan jari-jari tangan terbuka. Tetapi sesudah Ang-bin Sin-kai mengulangi sampai dua kali ilmu silat tangan kosong yang seluruhnya terdiri dari dua puluh empat jurus itu, Jeng-kin-jiu sudah dapat menghafalnya!
"Hebat, hebat! Pinceng sudah hafal semua," kata hwesio gemuk itu.
Ang-bin Sin-kai tertawa lagi. "Eh, Thong-ji (anak Thong), sekarang coba kau menghadapi Kwan Cu, hendak kulihat hwesio bundar ini sampai seberapa jauhnya memberi pelajaran kepadamu!" Kemudian Ang-bin Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu. "Coba kau layani Lu Thong, hitung-hitung berlatih!"
Kwan Cu baru saja mempelajari dua macam ilmu silat, yakni ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to dan ilmu menyerang Sam-hoan-ciang. Mendengar ucapan suhu-nya, dengan taat dia lalu berdiri menghadapi Lu Thong sambil memasang kuda-kuda.
"Lu Thong, kau hadapi dia dengan Lam-hai Kong-jiu (Tangan kosong Dari Laut Selatan)!" kata Jeng-kin-jiu sambil tertawa-tawa gembira.
Bagi dia dan juga Ang-bin Sin-kai, tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan dari pada pertandingan silat, bagaikan dua orang kakek yang sudah ‘nyandu’ adu ayam melihat dua jago berlaga.
Berbeda dengan Kwan Cu, Lu Thong sudah banyak mempelajari ilmu silat dari gurunya. Juga dalam hal tingkat kepandaian silat, Lu Thong juga cerdik dan berbakat, terutama sekali karena Kwan Cu baru-baru ini saja mulai mempelajari ilmu pukulan dari Ang-bin Sin-kai, juga baru saja anak ini mulai suka mempelajari ilmu silat yang tadinya dianggap sebagai ilmu memukul orang yang tiada gunanya.
Akan tetapi, kalau dilihat dari isinya, dasar dalam diri Kwan Cu jauh lebih kuat. Bocah gundul ini memiliki tubuh yang kuat, di tambah pula oleh nasibnya yang baik sehingga dia tanpa sengaja telah makan coa-ko (buah ular), kemudian Ang-bin Sin-kai yang memang sengaja terus-menerus melatihnya kuda-kuda sehingga memiliki dasar kuat sekali.
Begitu Lu Thong sudah siap, cucu menteri ini serentak melancarkan serangan-serangan hebat dengan kedua kepalan tangannya. Kwan Cu cepat memainkan Pai-bun Tui-pek-to, ilmu silat mempertahankan diri yang baru saja dipelajarinya. Pada saat lengan tangannya beradu dengan lengan tangan Lu Thong, dia merasa kulit lengannya amat pedas, maka tahulah dia bahwa Lu Thong memiliki tenaga gwakang yang lihai sekali.
Memang, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu merupakan seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga hebat. Semenjak belajar kepadanya, dia telah melatih kedua tangan muridnya ini secara tekun dan menggembleng tangan Lu Thong melalui latihan-latihan memukul pasir panas. Meski pun usianya masih delapan tahun, akan tetapi Lu Thong kini sudah berani mempergunakan lengannya untuk menangkis serangan tongkat!
Kwan Cu berlaku sangat hati-hati dan dalam menghadapi serangan lawannya, dia selalu menggunakan tenaga lweekang. Dia tidak mau mengadu kekerasan, dan hanya menolak lengan lawan dengan meminjam tenaga.
Kagetlah Lu Thong ketika dia merasa betapa kedua tangan Kwan Cu seperti karet saja, amat lunak dan setiap pukulannya dapat ditangkis dengan tak banyak tenaga. Ia menjadi penasaran, kemudian mengeluarkan ilmu silatnya, menyerang dengan Ilmu Silat Lam-hai Kong-jiu yang ganasnya seperti gelombang Laut Selatan mengamuk.
Kwan Cu terdesak hebat dan payah juga. Biar pun ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to dapat digunakan untuk menghindarkan semua serangan lawan, dan meski dia melihat adanya pintu-pintu terbuka dalam kedudukan Lu Thong, akan tetapi dia tidak sempat membalas serangan lawan. Dia belum memahami benar cara mengombinasikan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang.
Namun dengan sekuat tenaga dia melakukan perlawanan. Beberapa kali kepalan tangan Lu Thong sudah mengenai tubuhnya, namun berkat tenaga lweekang, pukulan itu tidak sampai membuat dia terjungkal.
Menarik sekali kalau dilihat sikap kedua orang kakek yang menonton murid-murid mereka bertempur. Ang-bin Sin-kai duduk di atas tanah, bersandar kepada pohon dan menonton dengan mata merem melek, sedikit pun tak mengeluarkan suara dan tidak pula bergerak.
Akan tetapi sebaliknya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tak mau diam, seperti orang melihat ayamnya diadu. Dia berjingkrak-jingkrak, sebentar-sebentar berseru "ah!", "bagus!" atau mencela "salah!" sambil memperhatikan semua gerakan muridnya. Kaki tangannya juga bergerak-gerak seakan-akan dia sendiri yang bertempur.
"Untuk apa kau sudah mempelajari tendangan Liong-jiauw-twi (Tendangan Kaki Naga)?" tiba-tiba dia berkata seperti mencela muridnya.
Padahal ucapan ini merupakan petunjuk dan mendengar ini, Lu Thong lalu menambah serangannya dengan tendangan yang datangnya bertubi-tubi dan cepatnya bukan main. Menghadapi serangan ini Kwan Cu tak berdaya dan sebuah tendangan dengan kerasnya mengenai pahanya sehingga tubuhnya terlempar jauh dan jatuh berduduk ke atas tanah!
"Ha-ha-ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu kalah!"
Kwan Cu menjadi merah mukanya dan teringat akan nasihat suhu-nya, dia lalu menjura kepada Lu Thong dan berkata, "Kepandaianmu hebat. Aku mengaku kalah!"
Lu Thong lalu mengangkat dadanya dan memandang bangga. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya dengan gembira. Ang-bin Sin-kai segera bangkit berdiri dan pada wajahnya terbayang sinar kegembiraan pula. Ia merasa gembira melihat jalannya pertandingan tadi, karena dia maklum bahwa dasar dari kedua orang anak itu sudah terlihat nyata.
Kwan Cu jauh lebih kuat. Kalau saja anak gundul itu sudah mempelajari ilmu menyerang yang hebat, sekali terkena pukulannya Lu Thong tentu tak akan dapat bangun kembali tanpa menderita luka hebat. Sedangkan Kwan Cu yang berkali-kali mengalami pukulan dan sekali tendangan hebat, sama sekali tidak terluka! Pula, dia pun senang melihat cara muridnya mengaku kalah.
"Hwesio gendut. Yang baik-baik kau melatih Lu Thong agar kelak tidak mengecewakan. Sepuluh tahun dari saat ini, kita bertemu lagi dan kita akan mengadu murid-murid kita. Beranikah kau?"
"Ha-ha-ha! Pengemis kurus, tentu saja aku berani. Boleh, boleh! Sepuluh tahun dari saat ini kita bertaruh dalam pibu murid-murid kita."
"Bagus! Taruhanku begini. Kalau muridku menang kau harus memberi hadiah semacam ilmu silat, sebaliknya kalau Lu Thong menang aku akan menambah dengan semacam ilmu silat pula kepadanya. Bagaimana?"
"Ha-ha-ha! Kau memang pengemis kelaparan yang licik! Bagimu, menambah pelajaran kepada muridku tak ada ruginya karena dia adalah cucumu sendiri. Akan tetapi bolehlah, aku pun sudah berjanji ingin menjadi guru dari bocah gundul goblok ini!"
Ang-bin Sin-kai lalu mengajak muridnya pergi, akan tetapi sebelum pergi, dia menoleh kepada Lu Thong dan memandang dengan tajam sambil berkata, "Thong-ji, karena kau adalah cucu dari Lu Pin, maka aku hendak memberi nasihat. Hilangkanlah semua sifat kesombonganmu, karena apa bila kau pelihara sifat itu, kelak kau tentu akan mengalami kekecewan karena kesombonganmu."
Ketika mengangkat muka memandang, Lu Thong merasa terkejut sekali melihat sinar mata kakek itu demikian tajam dan seakan-akan menembus sampai menjenguk ke dalam lubuk hatinya! Ia buru-buru menundukkan mukanya dan belakang lehernya terasa dingin.
“Baik, Kongkong," katanya perlahan.
Ang-bin Sin-kai lalu pergi bersama Kwan Cu. Bocah gundul ini merasa penasaran dan tidak hanya tubuhnya merasa sakit sekali. Begitu bertemu, gurunya sudah menurunkan ilmu silat yang hebat kepada Lu Thong seperti yang dilihatnya tadi. Sedangkan dia hanya menerima ilmu-ilmu silat yang digunakan untuk menahan serangan Lu Thong saja masih tidak sanggup! Akan tetapi, dasar dia memang anak yang taat dan penerima, dia tak mau berkata apa-apa dan diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kelak dia akan mencari ilmu silat sendiri yang membuat dia tidak terkalahkan…..
*****
Setelah berhasil menggondol pergi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, Hek-i Hui-mo (Iblis Tebang Baju Hitam) lantas melarikan diri secepatnya. Dia tidak percaya akan keterangan Kwan Cu bocah gundul itu, bahwa kitab itu palsu, karena kalau palsu, kenapa Panglima An Lu Shan begitu mau bersusah payah untuk menterjemahkannya?
Hek-i Hui-mo adalah seorang pendeta Tibet yang selain berkepandaian tinggi sekali, juga di Tibet dia membentuk sebuah perkumpulan agama yang memisahkan diri dari Lama atau juga dari aliran pendeta Buddha jubah kuning. Semua murid-muridnya atau anak buahnya mengenakan jubah hitam seperti dia pula.
Hwesio ini mempunyai cita-cita untuk menguasai daerah Tibet dan untuk keperluan ini, perlu sekali menterjemahkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, selain untuk mempertinggi ilmu silat, juga untuk melatih ilmu perang kepada murid-muridnya. Kalau tokoh besar lain menganggap kitab itu tidak ada gunanya lagi, selain dianggap palsu juga dianggap tidak ada orang yang mampu menterjemahkannya, Hek-i Hui-mo beranggapan lain.
Dia tahu bahwa di Tiongkok tidak hanya Gui Tin yang pandai tentang sastra kuno. Dia mengenal pula nama dua orang sastrawan yang kepandaiannya mungkin tak kalah oleh Gui Tin. Yang seorang adalah Li Po, dan orang ke dua adalah Tu Fu.
Tidak ada harapan untuk minta bantuan Li Po karena sastrawan besar ini orangnya aneh dan keras. Maka ia hendak mencoba untuk minta bantuan sastrawan besar Tu Fu karena kebetulan sekali dia tahu di mana adanya sastrawan perantau ini pada waktu itu.
Di samping Li Po, Tu Fu merupakan seorang sastrawan yang amat pandai dan terkenal. (Bahkan sampai jaman atom ini hasil-hasil karyanya masih terkenal). Dia adalah seorang dari keluarga terpelajar dan berpangkat. Ia masih keturunan dari Tu Yu, seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan terkenal sekali dari Kerajaan Cin barat.
Kakeknya juga seorang sastrawan besar yang ternama, bernama Tu Shen Yan, ada pun ayahnya pernah menjadi seorang jaksa. Namun Tu Fu berwatak jujur dan berjiwa patriot. Ia amat mencinta nusa bangsanya dan melihat keadaan pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang korup, ia tidak mau menduduki pangkat dan bahkan rela hidup sebagai perantau yang miskin, seperti halnya mendiang Gui Tin yang semasa hidupnya dia kenal baik.
Hek-i Hui-mo maklum bahwa selain Gui Tin yang sudah tewas, orang-orang yang kiranya dapat menterjemahkan kitab kuno yang telah berada di tangannya, hanya Tu Fu dan Li Po, akan tetapi yang dapat dia mintai tolong hanya Tu Fu seorang. Maka pergilah dia ke Ho-nan di mana dia tahu sastrawan muda itu berada pada waktu itu. Memang kini Tu Fu sudah menjadi seorang perantau yang menjelajah di propinsi-propinsi Kiang-su, Ce-king, Ho-nan, dan Shan-tung.
Di kota Kai-feng sebelah timur ibukota Ceng-cou, di dekat pintu gerbang sebelah timur, terdapat sebuah rumah bobrok, bentuknya laksana kelenteng. Memang rumah ini adalah bekas kelenteng yang telah rusak dan yang gentingnya sudah hampir tidak ada sehingga kalau hujan, tempat itu menjadi basah semua sedangkan di waktu panas tidak terlindung sama sekali.
Agaknya yang sanggup hidup di tempat rusak dan kotor ini hanya ayam dan babi belaka. Akan tetapi, pada waktu itu di sebelah dalam kelenteng ini ada seorang manusia yang tinggal.
Orang ini belum tua benar, usianya kurang lebih tiga puluh tiga tahun atau tidak lebih dari tiga puluh lima tahun. Melihat potongan pakaiannya, meski pun kain bajunya sudah lapuk dan penuh tambalan, jelas dapat dilihat bahwa dia seorang terpelajar. Pakaiannya seperti pakaian pendeta, panjang sampai ke kaki, dengan ikat pinggang terbuat dari tali hitam.
Kumisnya hitam serta panjang, menggantung di kanan kiri mulutnya. Jenggotnya sedikit saja, di tengah-tengah dagu dan tergantung sepanjang lehernya. Kepalanya tertutup oleh sebuah topi butut, topi sastrawan pula. Tubuhnya kecil kurus, tulang-tulang pipinya agak menonjol. Sepasang matanya lebar dan bersinar tajam, sedangkan dahinya lebar sekali.
Inilah dia Tu Fu, sastrawan yang rela hidup dalam kemiskinan karena dia tidak suka pada pemerintah sekarang yang dipimpin oleh orang-orang tidak jujur. Ia rela menderita seperti bangsanya, yakni rakyat kecil yang banyak sekali menderita seperti dia pula.
Di dalam kehidupannya yang miskin, kelaparan, dia berduka sekali dan menangis, bukan hanya karena kehilangan puteranya, terutama sekali karena penderitaan keluarganya ini mengingatkan dia akan keadaan para petani miskin, rakyat kecil yang banyak menderita kelaparan seperti keluarganya!
Sejak itu dia pergi merantau, membuat sajak-sajak yang isinya selain memuji alam indah permai sebagaimana menjadi kesukaan para sastrawan, juga dia membuat sajak-sajak keluhan dan protes terhadap pemerintah yang lalim! Betapa pun miskinnya Tu Fu, kalau orang menjenguk ke dalam kelenteng bobrok itu, dia akan melihat bahwa sastrawan ini tidak pernah berpisah dari alat tulisnya, yakni pena bulu, kertas, dan tinta!
Pada waktu itu, matahari telah condong ke barat dan keadaan di dalam kelenteng sudah mulai remang-remang. Akan tetapi, Tu Fu seperti tidak merasai ini semua dan dia masih saja duduk termenung seperti orang sedang bersemedhi, tangkai pena di tangan kanan dan sebuah kipas bobrok di tangan kiri.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang hwesio berpakaian hitam yang tubuhnya amat gendut, kulit mukanya hitam dan misainya panjang. Hwesio itu merangkapkan kedua tangan di depan dadanya dan berkata,
"Omitohud! Tu-siucai benar-benar rajin sekali. Untuk apakah kau bekerja begitu keras?" tanya hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo adanya.
Bagaikan dalam mimpi, Tu Fu menjawab, "Aku takkan berhenti bekerja sebelum berhasil menuliskan sesuatu yang berguna!"
"Tu-siucai bersusah payah menulis sajak, untuk apakah gerangan?" bertanya pula Hek-i Hui-mo.
"Untuk siapa?" Tu Fu mengerutkan kening. "Tentu saja untuk rakyat sebagai penambah semangat dan untuk negara sebagai obat pahit yang manjur!" Sambil berkata demikian, Tu Fu bangkit berdiri.
Baru sekarang dia memandang kepada pengunjungnya dengan mata terbelalak karena dia heran sekali siapa adanya pendeta yang tak dikenalnya ini. Namun, sebagai seorang terpelajar dan sopan, dia memberi hormat lalu bertanya,
"Siapakah Losuhu ini? Dan mengapa datang mengunjungi siauwte yang miskin? Harap dimaafkan, di sini siauwte tak mampu mengeluarkan air teh atau arak untuk disuguhkan."
Hek-i Hui-mo tertawa bergelak. "Mengapa Siucai memikirkan keadaan orang lain? Bagi pinceng tidak membutuhkan makan minum, tetapi sebaliknya kaulah yang memerlukan makan dan minum. Lihat, pinceng membawa sedikit daging dan arak untukmu!" Sambil berkata demikian, Hek-I Hui-mo mengeluarkan seguci arak wangi dan sebungkus daging panggang dari saku bajunya yang lebar.
To Fu menerima pemberian ini sambil menghela napas, "Apa artinya haus dan lapar? Kadang-kadang sampai sepuluh hari aku tidak makan minum dan bajuku mempunyai tambalan lebih seratus jumlahnya, akan tetapi, apakah artinya bila dibandingkan dengan penderitaan rakyat kecil? Jika mengingat penderitaan mereka itu, perutku terasa kenyang sendiri dan bajuku telah terlampau baik! Ah, Losuhu, agaknya hidupmu sebagai pendeta lebih bahagia dari pada hidupku sebagai seorang sastrawan!"
"Keliru, keliru! Tu-siucai keliru sekali!" jawab Hek-i Hui-mo sambil menggoyang-goyang dua tangannya. "Suka dan duka timbul karena hati dan pikiran diri sendiri. Kebahagiaan berada di dalam hati kita sendiri, demikian pula keadaan. Kebahagiaan dapat diusahakan secara mudah, mengapa kau masih saja duduk merenung menyusahkan keadaan orang lain? Jika kau suka menerima jabatan, apa lagi yang menyusahkanmu? Kau mempunyai kepandaian tinggi."
"Cukup!" tiba-tiba Tu Fu membentak dan suaranya keras saking marahnya. "Siapa sudi membantu orang-orang yang hidup seperti lintah menghisap darah petani miskin? Tidak! Lebih baik mati!" Kemudian, teringat bahwa dia sudah bersikap kasar terhadap seorang suci, dia lalu memberi hormat dan berkata dengan sikap halus, "Maaf, Losuhu. Kalau tadi siauwte dikuasai oleh nafsu amarah. Siapakah sebenarnya Losuhu?" ulangnya, karena pertanyaannya tadi belum terjawab.
"Nama pinceng Thian Seng Hwesio dan pinceng datang dari Tibet," jawab Hek-i Hui-mo. Memang sebenarnya dia bernama Thian Seng Hwesio, dan di kalangan kang-ouw saja dia disebut Hek-i Hui-mo.
Mendengar keterangan ini, Tu Fu memandang dengan mata lebar. "Dari barat? Ahhh, Losuhu melakukan perjalanan begitu jauh menjumpai siauwte, ada keperluan apakah?"
"Tu-siucai, pinceng tak mempedulikan perjalanan ribuan li jauhnya dengan maksud ingin memohon sedikit pertolongan darimu, maka pinceng mengharap kemurahan hatimu dan mengharap Tu-siucai takkan menolak."
Biar pun terkenal kejam dan ganas, namun Hek-i Hui-mo juga seorang cerdik dan banyak pengalaman. Menghadapi seorang sastrawan seperti Tu Fu yang meski kepandaiannya tinggi tapi tidak mau menduduki jabatan dan rela hidup menderita, maka dia tahu bahwa orang ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa, dan seperti juga Gui Tin, tiada gunanya menghadapi orang seperti ini menggunakan kekerasan.
Andai kata ia menggunakan kekerasan kemudian memaksa sastrawan ini membantunya menterjemahkan kitab, hati sastrawan ini hanya akan tersinggung saja dan kalau sampai terjadi demikian, maka agaknya walau pun dia akan memukul sampai mati, sastrawan muda ini takkan sudi membantunya! Oleh karena itulah maka Hek-i Hui-mo menjalankan siasat licin dan bersikap halus dan manis budi.
Berbeda dengan Gui Tin yang lebih tua dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw, Tu Fu tidak mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, maka dia tidak mengenal Hek-i Hui-mo dan keganasannya. Ia memang seorang yang berhati mulia dan suka menolong, apa lagi menolong seorang hwesio yang lajimnya menuntut kehidupan beribadat suci, tentu saja dia bersiap sedia untuk menolong.
"Tu-siucai tak perlu tergesa-gesa. Silakan makan terlebih dahulu, baru nanti kita bicara kembali," kata Hek-i Hui-mo.
Tu Fu tidak berlaku sungkan-sungkan dan sastrawan muda ini lalu makan habis daging dan minum arak itu sampai setengah guci.
Setelah Tu Fu selesai makan, barulah Hek-i Hui-mo mengeluarkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dari saku bajunya. Sambil memperlihatkan kitab itu kepada Tu Fu, dia berkata,
"Pertama-tama pinceng ingin sekali mengetahui pendapat Tu-siucai mengenai kitab ini. Pinceng mendapat kitab kuno ini, akan tetapi tidak dapat mengerti huruf-hurufnya yang kuno dan sukar dibaca. Dan karena kitab ini bagi pinceng penting sekali, maka harap Siucai sudi menerangkan apakah kitab ini palsu atau bukan?"
Tu Fu menerima kitab itu seperti seorang kelaparan menerima sepotong kue.
Sastrawan mana yang tidak tertarik dan penuh gairah melihat sejilid kitab? Ia menerima kitab itu dengan penuh khidmat, lalu mulai membuka lembaran-lembaran pertamanya.
"Hmm, sebuah kitab kuno yang menarik hati sekali," katanya perlahan, didengarkan oleh Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. "Usianya sudah ribuan tahun dan ditulis dengan bahasa dalam jaman Kerajaan Couw Timur!"
Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa kitab ini ditulis pada jaman Shia!"
Tu Fu menggelengkan kepalanya. "Tak mungkin! Sudah pasti sekali ditulis dalam bahasa Couw Timur, Losuhu, siauwte tahu betul akan hal ini."
"Kalau begitu, apakah kitab ini palsu?"
"Bagaimana orang dapat menyatakan palsu bila tidak melihat aslinya? Orang baru dapat mengenal kejahatan jika sudah mengenal kebaikan, maka orang pun baru bisa mengenal barang palsu apa bila sudah melihat barang tulennya. Siauwte tidak dapat mengatakan bahwa kitab ini palsu atau asli, namun kitab ini benar-benar amat menarik hati. Siauwte mengenal seorang yang benar-benar ahli dalam bahasa yang ditulis dalam kitab ini, yaitu Gui-siucai."
Kembali Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa Giu-suicai sudah meninggal dunia, akan tetapi, pinceng lebih suka mohon pertolongan kepadamu, Tu-siucai. Harap kau suka menterjemahkan kitab ini untuk pinceng."
Tu Fu tidak menjawab, melainkan membuka lembaran kitab itu dan membacanya. Baru membaca dan membalik-balikkan beberapa lembaran kitab itu, berkerutlah keningnya.
"Aneh sekali! Kitab ini bernama Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebuah kitab pelajaran yang luar biasa anehnya. Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kau, Losuhu. Kitab ini adalah pelajaran tentang ilmu silat dan ilmu perang, bagaimana seorang hwesio yang menuntut penghidupan suci seperti Losuhu ingin mempelajari isi kitab ini? Apakah gunanya untuk Losuhu?"
Hek-i Hui-mo merasa muaknya panas. Kalau saja kulit mukanya tidak begitu hitam, tentu akan terlihat betapa mukanya menjadi merah. Ia merasa mendongkol dan marah sekali. Hemm, pikirnya, kalau saja aku tidak membutuhkan pertolongan cacing buku ini, kuketok kepalanya sampai pecah! Ia menarik muka sungguh-sungguh ketika menjawab.
"Tu-siucai, harap jangan salah mengerti. Kitab ini seperti kau katakan tadi adalah kitab ilmu silat dan ilmu perang. Untuk pinceng pribadi memang tidak ada gunanya, sungguh pun harus pinceng akui bahwa semenjak kecil pinceng paling suka mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tidakkah kau lihat betapa buruknya keadaan negara? Jika pinceng bisa mempelajari ilmu silat dari dalam kitab ini yang juga belum tentu hebat, bukankah kelak pinceng dapat menurunkan ilmu kepandaian itu kepada para orang gagah sehingga bisa dipergunakan untuk membela negara?"
Pada saat Tu Fu hendak menjawab, mendadak terdengar suara ketawa nyaring dari luar kelenteng, disusul dengan suara seorang wanita berkata, "Bangsat gundul menjemukan! Kau kira dapat melarikan diri dariku? Kembalikan kitab itu!"
Hek-i Hui-mo terkejut sekali dan sekali dia melompat, dia sudah berada di luar kelenteng menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang datang bersama muridnya, Sui Ceng! Hati Tu Fu kaget bukan main pada waktu melihat betapa hwesio gendut itu seakan-akan menghilang dari depannya.
"Aduh..., setankah dia?" katanya perlahan.
Kemudian dia mendengar suara gaduh di luar kelenteng. Tu Fu segera memburu keluar dan bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat dua bayangan orang bertempur di halaman kelenteng seperti iblis sedang menari-nari!
Memang Hek-i Hui-mo tak membuang waktu lagi. Begitu dia melihat bahwa yang datang adalah Kiu-bwe Coa-li, tanpa banyak cakap lagi dia kemudian mengeluarkan tasbih dan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan cepat menyerang dengan amat hebatnya. Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek dan wanita sakti ini pun lalu menggerakkan pecutnya yang bernama Kiu-bwe Sin-pian (Ruyung Lemas Berekor Sembilan).
Pertempuran kali ini bukan main dahsyatnya. Satu lawan satu, tanpa khawatir ada tokoh lain yang mengganggu mereka. Bun Sui Ceng berdiri di pinggir menonton pertempuran antara gurunya dan Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. Mukanya yang manis serta elok itu sama sekali tidak nampak gelisah, karena anak ini selain mempunyai hati yang tabah, juga percaya penuh bahwa gurunya pasti akan menang.
"Kiu-bwe Coa-li, kau manusia usilan mengganggu saja!" seru Hek-i Hui-mo dan Tongkat Kepala Naga di tangan kanannya menyambar bagaikan halilintar ke arah kepala wanita itu.
"Pendeta busuk, kau pencuri tidak tahu malu!" balas memaki Kiu-bwe Coa-li.
Sedikit miringkan kepala saja, serangan lawan dapat digagalkan. Pecut berekor sembilan di tangannya tidak tinggal menganggur, cepat melakukan serangan balasan, merupakan sembilan ekor ular yang bergerak dari segala jurusan, menyerang sembilan jalan darah di tubuh lawannya!
Hek-i Hui-mo terkejut sekali melihat serangan hebat ini. Ia maklum akan kelihaian lawan dan telah mendengar pula tentang keganasan Kiu-bwe Coa-li, yang terkenal sekali turun tangan tentu akan menewaskan lawan. Maka tanpa ayal lagi dia segera menggerakkan tasbihnya diputar sedemikian rupa dibantu oleh Tongkat kepala Naga untuk melindungi tubuhnya.
“Tar! Tar! Tar! Tar!” beberapa kali terdengar suara dari pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li, sungguh membikin hati menjadi ngeri.
Makin lama pertempuran berjalan makin seru dan gerakan mereka menjadi makin cepat. Tiga macam senjata berubah menjadi gulungan sinar dan yang paling menarik dan indah dipandang adalah gerakan cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li. Cambuk yang berujung sembilan itu merupakan segundukan sinar yang bertangan sembilan, seperti seekor ikan gurita yang berjari sembilan. Setiap ujung cambuk ini merupakan perenggut nyawa yang lihai sekali.
Namun ilmu silat Hek-i Hui-mo juga tidak kalah hebatnya. Dia adalah seorang tokoh barat yang pernah menggemparkan Tibet, yang sudah menjatuhkan jago-jago dan tokoh-tokoh dari barat dan boleh dibilang, selama dia melakukan perantauannya di dunia kang-ouw, Hek-i Hui-mo tidak pernah terkalahkan. Entah sudah berapa ratus orang lawan terpaksa mengakui kehebatan ilmu silatnya dan sudah berapa puluh lawan binasa di tangannya!
Tasbihnya berputar menjadi segundukan sinar bundar bagaikan mustika naga sakti. Ada pun tongkatnya yang merupakan naganya sehingga sepasang senjata di tangannya itu bergerak-gerak bagaikan seekor naga mengejar mustikanya!
Sukarlah untuk dikatakan siapakah yang lebih lihai di antara dua orang tokoh besar ini. Masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan keduanya mengaku bahwa selamanya baru kali ini mereka menghadapi tandingan yang benar-benar seimbang dan amat berat. Agaknya pertempuran ini akan menjadi sebuah pertandingan mati hidup yang berjalan lama sekali sebelum seorang di antara mereka menggeletak tak bernyawa lagi di depan kaki lawannya.
Pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar, saking kerasnya, sampai terdengar angin bersiutan. Oleh karena sembilan ekor bulu pecut itu menyambarnya dari berbagai jurusan dengan kecepatan yang tidak sama, maka suara angin itu terdengar aneh sekali, bagai sembilan buah suling ditiup berbareng.
Hek-i Hui-mo menangkis dengan tongkat yang disapukan dan sehelai dari pada ujung pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar dan melibat kaki meja sembahyang yang sudah berdiri miring. Tenaga wanita sakti ini hebat luar biasa, karena meja itu melayang ke atas dan bagaikan disambitkan, meja itu menimpa tempat di mana Sui Ceng berdiri.
Melihat hal itu, Tu Fu menjerit. Akan tetapi dia membelalakkan sepasang matanya saking kagum dan heran melihat anak perempuan yang manis itu menampar dengan tangan kirinya yang kecil.
"Brakkk!" meja itu pecah berkeping-keping!
Sekarang tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan Hek-i Hui-mo menyambar pinggang Kiu-bwe Coa-li. Serangan ini dilakukan sekuat tenaga sehingga wanita sakti itu tak berani menangkis. Tubuhnya melompat ke atas dan mundur.
Akan tetapi Hek-i Hui-mo tak mau memberi hati dan terus melangkah maju lalu menyapu lagi dengan tongkatnya, dibarengi memukul kepala lawan dengan tasbihnya! Kiu-bwe Coa-li segera mengelak dan tongkat yang kuat itu menyambar tiang kelenteng di bagian depan.
"Kraaaakk... bruuuk...!" Tiang itu patah dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk!
"Aduh, tahan...! Tahan…! Apa-apaan sih semua ini? Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) tidak malu? Orang-orang tua bertingkah bagaikan anak-anak kecil berebut kembang gula. Ada urusan dapat diurus, mohon mendengar kata-kata siauwte," Tu Fu berseru berkali-kali sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa Tu Fu adalah orang yang bisa dimintai tolong menterjemahkan kitab yang tidak dapat mereka baca sendiri itu, mana dua orang tokoh lihai ini mau mendengarkan ucapan seorang sastrawan lemah seperti Tu Fu? Keduanya melompat kebelakang dan saling pandang bagaikan dua ekor harimau sedang marah.
"Tu-siucai, kau menahan kami mau apakah?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan suara dingin.
Tiba-tiba saja Tu Fu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bukan main hebatnya wanita ini, pikirnya, sudah bukan merupakan manusia lagi!
"Harap Suthai suka bersabar, dan demikian pula Losuhu. Sebetulnya, mengapa Ji-wi bertempur mati-matian seakan-akan di dunia ini tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik dari pada saling gempur dan saling mencoba untuk membunuh?"
Hek-i Hui-mo menarik napas panjang. "Tak lain karena kitab itulah. Kami berebut Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!"
Tu Fu masih membawa kitab itu. Kini dia mengangkat kitab itu tinggi-tinggi dan berkata, "Memperebutkan kitab ini? Alangkah lucunya. Dan untuk dapat membaca dan mengerti isinya saja, Ji-wi tidak bisa dan sengaja datang untuk minta siauwte menterjemahkan isi buku ini?"
Kiu-bwe Coa-li mengangguk dan berkata tegas, "Orang she Tu, tak usah direntang lebih panjang lagi. Memang kami membutuhkan isi kitab itu. Akan tetapi karena di sini kami dua orang, terpaksa kami harus melenyapkan salah seorang lebih dulu, barulah nanti kau yang bekerja, menterjemahkan kitab itu. Hayo, Hek-i Hui-mo, kita lanjutkan pertempuran kita!"
"Baik, Kiu-bwe Coa-li. Awaslah kau!"
Dua orang jago tua ini sudah bersiap-siap lagi untuk bertempur mati-matian. Akan tetapi Tu Fu segera mencegah mereka. Sastrawan ini, seperti juga Gui Tin dan Li Po atau pun sastrawan dan seniman-seniman lainnya, tidak suka akan kekerasan dan amat mencinta kedamaian, maka tentu saja Tu Fu tidak mau melihat dua orang aneh itu saling gempur mati-matian seperti tadi.
"Tahan!" katanya keras. "Kalau Ji-wi berkeras hendak saling bunuh, aku Tu Fu tak akan mau menterjemahkan kitab ini. Walau Ji-wi memaksa dan membunuhku, aku takkan mau menterjemahkannya."
Mendengar ini, kedua orang tokoh kang-ouw itu tertegun dan saling pandang. Mereka amat maklum bahwa sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman sama anehnya dengan orang-orang kang-ouw, bahkan mereka itu lebih hebat pula. Biar pun mereka itu memiliki jasmani yang lemah, namun mereka berhati keras dan tidak takut mati.
Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo percaya dan tahu bahwa ucapan yang keluar dari mulut sastrawan ini menyatakan tidak mau membantu, biar dia dibunuh atau disiksa sekali pun, tetap dia tidak akan mau menterjemahkan isi kitab itu. Dan apa artinya kitab itu tanpa ada penterjemahnya? Tiada beda dengan kertas-kertas pembungkus belaka!
"Habis, kalau di sini ada kami berdua, bagaimana Tu-siucai hendak mengaturnya?" tanya Hek-i Hui-mo dengan suara minta pertimbangan.
Tu Fu mempersilakan mereka duduk di atas lantai di depan kelenteng. Kemudian dia melambaikan tangan kepada Sui Ceng yang tanpa ragu-ragu datang menghampiri.
"Anak baik, kau benar-benar hidup dalam alam yang aneh," kata sastrawan itu sambil mengelus-elus rambut Sui Ceng yang hitam, halus, dan panjang, kemudian sastrawan ini berkata kepada kedua orang tokoh dunia kang-ouw itu. "Harap Ji-wi dengarkan baik-baik keputusanku yang tidak mungkin dapat diubah lagi. Siauwte sanggup membantu serta menterjemahkan isi kitab ini, akan tetapi hanya dengan syarat. Pertama, siauwte hanya akan menterjemahkan dengan cara membacanya saja dan Ji-wi harap mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengingatnya baik-baik. Kedua, sehabis membaca semua isi kitab, kitab ini harus dibakar di depan siauwte, supaya kelak tidak menjadi perebutan mati-matian kembali. Hanya dengan dua macam syarat ini siauwte mau menolong, kalau tidak, meski Ji-wi akan membunuh siauwte, tak nanti siauwte mau menterjemahkannya. Bagaimana?"
Kedua orang tokoh kang-ouw itu saling pandang. Celaka, pikir mereka, bagaimana dapat menghafal isi kitab dengan sekali mendengar saja? Akan tetapi kalau mereka tidak mau menerima, selain sastrawan aneh ini tidak mungkin dipaksa, juga mereka masih saling berhadapan dan untuk mendapatkan kitab itu harus bertempur mati-matian dulu.
Andai kata menang, bagaimana pula isi kitab dapat diterjemahkan? Apa lagi jika sampai terdengar oleh tiga orang tokoh besar yang lainnya dan mereka datang pula, tentu akan makin berabe saja!
"Aku setuju!" kata Kiu-bwe Coa-li. "Hanya aku minta supaya pembacaan dilakukan dua kali!"
Kiu-bwe Coa-li memang amat cerdik. Ia datang bersama muridnya dan dia percaya akan kecerdikan otak Sui Ceng. Tentu muridnya akan dapat membantu dan mengingat-ingat bunyi isi kitab itu.
Hek-i Hui-mo tidak dapat mencari jalan lain. Ia pun tahu bahwa fihak Kiu-bwe Coa-li lebih untung dengan adanya Sui Ceng, maka dia merasa ragu-ragu, lalu berkata, "Tidak adil sekali. Kau dibantu oleh muridmu sedangkan aku hanya seorang diri!"
"Kau boleh mencari seorang pembantu pula," jawab Kiu-bwe Coa-li.
Tu Fu mengerti akan maksud pembicaraan dua orang itu, akan tetapi dia pun tidak dapat memecahkan persoalan ini. Kebetulan sekali pada saat itu, terdengar tindakan kaki dan muncullah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun.
"Tu-sianseng, hakseng (murid) datang membawa makanan," kata anak lelaki itu sambil memandang kepada tamu-tamu gurunya dengan mata terheran.
"Ehh, Tu-siucai, siapakah anak ini?" tanya Hek-i Hui-mo yang memandang tajam kepada anak laki-laki yang berwajah tampan dan jujur ini. Biar pun anak ini bertubuh kurus dan tinggi, namun dia memiliki bakat yang baik juga untuk belajar silat.
"Dia adalah Li Siang Pok, seorang anak dari kota Kai-feng. Ayahnya seorang sastrawan pula dan dia datang ke sini untuk belajar kesusastraan dari siauwte."
"Hemm, jadi dia boleh dibilang muridmu?"
Tu Fu mengangguk membenarkan.
"Bagus! Pinceng hendak mengambil dia sebagai pembantuku! Dengan adanya dia yang membantu pinceng, mengingat-ingat isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka keadaan pinceng dan Kiu-bwe Coa-li menjadi berimbang. Ini baru adil namanya!"
Tu Fu ragu-ragu, kemudian bertanya kepada Siang Pok, "Siang Pok, Losuhu ini minta bantuanmu untuk mengingat-ingat bunyi isi kitab kuno yang akan kubacakan. Maukah kau?"
Siang Pok adalah seorang anak yang suka sekali akan kesusastraan. Mendengar akan dibacanya kitab kuno, tentu saja tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa bertanya lebih jelas, dia menganggukkan kepalanya.
"Hakseng bersedia, Sianseng!"
Demikianlah, mereka semua duduk bersila di atas kelenteng sebelah luar. Keadaan di situ sunyi dan ketika Tu Fu mulai membacakan isi kitab, suaranya terdengar lantang dan jelas. Empat orang yang duduk mengelilinginya, yakni Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, Sui Ceng, dan Siang Pok, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Kitab itu tidak terlalu tebal sehingga isinya pun tidak begitu banyak, karena seperti juga kitab-kitab kuno lainnya, yang ditulis hanya garis besarnya saja. Sebagaimana diketahui, kitab itu isinya dibagi menjadi dua soal, yakni tentang ilmu silat dan tentang ilmu perang. Dalam hal bahasa kuno, kepandaian Tu Fu ini tidak kalah oleh mendiang Gui Tin, maka dia dapat membacanya dengan amat lancar.
Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng, tidak mendengarkan atau lebih tepat, tidak memperhatikan sama sekali akan bunyi ilmu perang yang dibaca oleh Tu Fu. Guru dan murid ini hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada bunyi ilmu silat saja. Sebaliknya, karena tidak diberi tahu terlebih dahulu, anak laki-laki yang bernama Lai Siang Pok itu mendengarkan seluruh isi kitab, yaitu bagian ilmu silat dan bagian ilmu perangnya. Demikian pula, Hek-i Hui-mo, karena dia mempunyai cita-cita pemberontakan, dia juga memperhatikan kedua bagian ini.
Hampir satu hari lamanya Tu Fu membaca habis kitab itu untuk kedua kalinya dan semua fihak merasa puas. Karena mengerahkan seluruh ingatan untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah mereka dengarkan tadi, kini Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo melihat saja dan tidak mempedulikan lagi ketika Tu Fu menggunakan api membakar kitab itu di depan mereka!
Setelah melihat kitab itu habis terbakar, Hek-i Hui-mo tertawa bergelak dan dengan cepat sekali dia melompat lalu mengempit Lai Siang Pok, terus di bawa lari!
"He, Losuhu! Lepaskan muridku!" Tu Fu berteriak-teriak, akan tetapi hanya suara ketawa dari jauh sana menjawabnya.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li yang tidak mau terganggu pikirannya yang sedang menghafal itu lalu menggandeng tangan Sui Ceng dan pergi pula dari situ.
Tu Fu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata seorang diri. "Benar-benar aneh sekali orang-orang itu. Apa sih gunanya segala macam ilmu kekerasan yang kasar itu? Aneh... aneh...!" Sastrawan ini pun beberapa hari kemudian tidak kelihatan lagi di tempat itu, telah melanjutkan perantauannya…..
*****
Ketika sudah berada di tempat sunyi, Kiu-bwe Coa-li segera bertanya kepada muridnya. “Sui Ceng, coba kau ulangi kata-kata di dalam kitab yang dibaca oleh Tu-siucai tadi.”
Sui Ceng kemudian mengulangi kata-kata yang masih diingatnya. Kiu-bwe Coa-li tidak mempedulikan tentang peraturan latihan lweekang dan ginkang, yang paling diperhatikan hanya gerakan-gerakan ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu.
Semua ada tiga puluh enam pokok gerakan yang perkembangannya dapat timbul sendiri tergantung dari bakat dan kecerdikan masing-masing pelajar. Karena gerakan-gerakan itu hanya ditulis dan tidak digambar, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya.
Setelah dia mendengarkan apa yang yang masih diingat oleh Sui Ceng dan dikumpulkan dengan ingatannya sendiri, Kiu-bwe Coa-li ternyata hanya mampu mengumpulkan empat belas gerakan saja! Akan tetapi, empat belas jurus pokok gerakan silat Im-yang Bu-tek Cin-keng ini baginya sudah cukup berharga. Memang dia seorang yang ahli dalam ilmu silat dan ternyata olehnya betapa hebat, lihai, dan aneh isi gerakan-gerakan ini.
Segera ia lalu mempelajari gerakan-gerakan ini dan disesuaikan dengan kepandaiannya sendiri. Selama tiga bulan Kiu-bwe Coa-li seakan-akan lupa makan dan lupa tidur, setiap hari hanya berlatih ilmu silat baru yang sesungguhnya dia ciptakan sendiri berdasarkan apa yang ia dengar dari kitab itu. Dan terciptalah ilmu silat baru yang benar-benar luar biasa sekali. Kiu-bwe Coa-li menjadi girang dan berbareng ia pun lalu melatih muridnya dengan sungguh-sungguh.
“Sui Ceng, ilmu silat yang kita dapatkan ini entah Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli atau bukan, namun kau harus tahu bahwa ini memang benar-benar ilmu silat yang aneh dan hebat sekali. Setelah kuperbaiki semua yang kita berdua ingat, kurasa ilmu silat yang kuciptakan berdasarkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng ini, takkan mudah dikalahkan oleh lain orang. Mari kita mencari seorang di antara mereka, hendak kucoba sampai di mana kegunaan ilmu silat baru ini!”
Maka berangkatlah Kiu-bwe Coa-li bersama muridnya, untuk mencari seorang di antara empat besar, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin Jiu Kak Thong Taisu, Ang-bin Sin-kai atau juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk mengadu ilmu silatnya yang baru! Perjalanan ini dilakukan lambat sekali karena sepanjang hari Kiu-bwe Coa-li terus melatih diri dengan ilmu silat baru ini, dan juga berbareng memberikan latihan-latihan ilmu silat tinggi kepada muridnya.
Pada suatu hari mereka pun tiba di kota Cin-leng yang cukup besar dan ramai. Berbeda dengan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya, Kiu-bwe Coa-li paling teliti dalam memilih makan dan tempat menginap. Ia selalu memilih rumah penginapan yang terbersih dan memilih makanan dari restoran yang besar. Oleh karena itu, pakaian yang dipakai oleh Sui Ceng pun selalu bersih dan baik dan anak perempuan ini dibelikan pakaian beberapa stel yang dibungkus dengan kain kuning dan selalu buntalan itu digendong di atas punggungnya.
Di kota Cin-leng, begitu telah memasuki sebuah rumah penginapan yang besar, Kiu-bwe Coa-li terus saja berdiam dalam kamarnya, duduk di atas pembaringan dan bersemedhi. Sebaliknya, Sui Ceng yang ketika memasuki kota tadi melihat bangunan-bangunan indah dan keadaan kota yang ramai, lalu keluar dari hotel itu dan pergi berjalan-jalan.
Ketika tiba di depan sebuah restoran, perhatian Sui Ceng tertarik pada tujuh orang yang sedang makan di ruangan depan restoran itu. Mereka ini nampaknya seperti orang-orang gagah dan dari pakaian mereka, tahulah Sui Ceng bahwa mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal kiriman barang berharga). Dari wajah mereka yang kelihatan muram dan percakapan mereka yang hangat, Sui Ceng dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.
Oleh gurunya, Sui Ceng selalu dibekali uang, karena Kiu-bwe Coa-li berwatak terlalu angkuh untuk membiarkan muridnya mencuri atau mengemis makanan. Maka Sui Ceng lalu bertindak memasuki restoran itu dan mengambil tempat duduk tidak jauh dari para piauwsu yang sedang bercakap-cakap itu.
Tentu saja ada beberapa orang yang memandang padanya dengan heran, karena jarang terjadi seorang anak perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun memasuki restoran seorang diri. Akan tetapi selanjutnya tidak ada lagi yang menaruh perhatian, karena dia disangka puteri seorang kaya raya yang suka jajan!