PENDEKAR SAKTI
Karya Kho Ping Hoo
JILID 09
BAIKLAH kita tinggalkan dahulu Siang Pok yang sedang digembleng oleh suhu-nya, yakni Hek-i Hui-mo di Pegunungan Tibet, juga kita biarkan dulu Sui Ceng yang tekun menerima latihan-latihan dari gurunya, Kiu-bwe Coa-li di Pegunungan Wu-yi-san di daerah selatan. Sekarang lebih dahulu kita menengok keadaan Lu Kwan Cu yang melakukan perantauan bersama gurunya, Ang-bin Sin-kai.
Kekalahannya yang berturut-turut menghadapi The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, kedua murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, kemudian kekalahannya pula dari Lu Thong murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tidak mengecewakan hati Kwan Cu, bahkan seakan-akan menjadi dorongan kepadanya untuk berlatih makin giat dan tekun. Juga dia melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Liang-san untuk mencari goa tempat mendiang Gui Tin dulu menyimpan buku-bukunya. Ang-bin Sin-kai menuruti saja kehendak muridnya yang ingin mencari gunung itu.
“Kitab-kitab macam apa yang dapat ditinggalkan oleh seorang sastrawan kepadamu?” hanya demikian kata-katanya mencemoohkan. “Paling hebat hanyalah kitab-kitab Su-si Ngo-keng dan kitab-kitab kuno penuh oleh tulisan kosong tentang adat-istiadat, tentang peri kebajikan dan peri kemanusiaan yang kosong melompong!”
Mendengar omongan gurunya ini, Kwan Cu menyatakan tidak setujunya.
“Suhu, mengapa soal-soal mengenai peri kebajikan dan peri kemanusiaan Suhu anggap pelajaran yang kosong melompong? Bukankah manusia di dunia ini perlu sekali akan pelajaran serupa itu agar hidupnya tidak terlalu tersesat dan jahat?”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak mendengar ucapan muridnya ini.
“Kwan Cu, pelajaran mengenai peri kebajikan memang kosong melompong dan hanya merupakan pekerjaan orang-orang malas yang mengaku diri suci dan berjasa terhadap manusia. Siapakah orangnya yang tak tahu bahwa mencuri dianggap jahat? Akan tetapi tetap saja mereka mengambil barang lain orang. Siapa yang tak tahu bahwa membunuh dianggap jahat? Namun tetap saja mereka membunuh sesama hidup dengan hati enak saja. Apakah dengan munculnya pelajaran-pelajaran mengenai peri kebajikan itu dunia menjadi makin bersih? Lihat saja, makin kotorlah batin manusia. Jika kitab-kitab itu tidak memberi pelajaran tentang jahatnya mencuri, manusia juga tak akan mengenal kata-kata mencuri dan tidak akan ada pencuri di muka bumi ini. Kalau orang tidak membaca dan mendengar tentang pelajaran peri kebajikan yang menyatakan bahwa membunuh itu tak baik, orang tidak akan mengenal kata-kata membunuh dan tidak akan ada pembunuh. Kalau saja orang tidak mendengar sebutan kejahatan dari dalam kitab, orang tidak akan mengenal pula kata-kata kejahatan dan tidak akan ada kejahatan di dalam dunia ini!”
Kepala Kwan Cu yang gundul itu menjadi semakin kelimis karena dia mempergunakan otaknya untuk membuka arti ucapan gurunya yang sukar dimengerti itu. “Kalau begitu dunia akan kacau, Suhu. Tanpa ada pengertian tentang kejahatan, orang tak akan takut berbuat sekehendak hatinya!”
“Bodoh, berbuat sekehendak hati bukan perbuatan yang jahat! Kau kira dengan pelajaran yang memenuhi otak-otak tentang kejahatan dan segala macam omong kosong itu, akan membuat dunia menjadi baik dan aman? Tengok saja, di manakah terjadinya kejahatan-kejahatan besar? Bukan di dusun-dusun yang ditempati oleh orang-orang yang pikiran dan hatinya masih amat sederhana, yang belum banyak mengenal tentang pelajaran peri kebajikan yang di dalam pandangan orang-orang kota masih dianggap bodoh! Di dalam ketidak mengertian mereka tentang kejahatan itu, mereka bersih!”
“Suhu terpengaruh oleh filsafat Lo Cu!” tiba-tiba saja Kwan Cu berseru karena anak yang cerdik ini memang sudah hafal akan semua isi kitab kuno dan pelajaran tentang filsafat dan kebatinan.
“Bukan terpengaruh, hanya aku setuju dengan pendirian Lo Cu tentang itu. Orang-orang besar yang membuat kitab-kitab itu sudah berlaku terlalu sombong, hendak mendahului kehendak alam, hendak menggantikan kedudukan alam mengadakan perubahan besar dalam watak manusia. Padahal watak manusia itu memang baik seperti watak seluruh isi alam yang suci. Watak manusia seperti air telaga yang tenang, bila sekali dikacau, akan bergelombanglah air itu dan menjadi kacau dan tidak aman lagi. Pengertian tentang apa yang disebut baik dan jahat, menimbulkan nafsu dalam diri manusia dan pada sekarang ini, dunia kemanusiaan dirajai oleh maha raja nafsu, manusianya sendiri hanya menjadi hamba sahaya dan hulubalang yang taat dan setia kepadanya! Nafsulah yang menjadi penggerak manusia mencuri, membunuh, menipu, serta melakukan kejahatan-kejahatan lain, dan nafsu ini dipupuk dan diperkuat oleh pengertian tentang baik dan buruknya yang diajarkan oleh kitab-kitabmu itu! Anggaplah emas seperti batu karang, siapa yang sudi mencuri emas? Dengan pengertian tentang baik buruk, tentang dosa dan suci, manusia telah dibentuk menjadi makhluk yang paling kotor dan jahat di dunia ini.”
Kwan Cu mengerutkan keningnya. “Akan tetapi, Suhu, bukankah itu sebaliknya? Manusia merupakan makhluk yang paling pandai dan baik. Bukan hanya di antara manusia terjadi saling bunuh, bukankah binatang juga sering kali membunuh sesamanya?”
Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak lebar. “Anak tolol, kau tahu apa? Binatang-binatang membunuh tidak seperti manusia membunuh! Manusia membunuh sesama manusia hanya terdorong oleh iblis, terdorong oleh dendam, benci, marah, dan sakit hati karena dirugikan, baik nama mau pun hartanya. Pernahkah kau mendengar binatang membunuh karena perasaan-perasaan jahat ini? Harimau boleh jadi setiap hari membunuh binatang lain, akan tetapi itu adalah kehendak alam yang telah memastikan bahwa harimau tidak bisa makan rumput, melainkan harus makan daging atau darah.”
“Akan tetapi, Suhu. Kalau semua manusia menurutkan ajaran Lo Cu semenjak dahulu, teecu kira dunia akan menjadi sunyi, dan tidak akan terdapat kemajuan seperti sekarang ini. Manusia mungkin masih menjadi makhluk-makhluk telanjang yang hidup di goa-goa, tiada lain kerjanya hanya makan dan tidur!”
“Kau sombong!” Ang-bin Sin-kai berteriak dan muka yang merah itu menjadi semakin merah. “Berani kau mendahului pertumbuhan alam? Memang mungkin sekali tidak akan ada kemajuan duniawi seperti sekarang, akan tetapi juga tak akan ada kejahatan seperti sekarang! Tentang kemajuan, orang mengenalnya hanya setelah kata-kata itu diciptakan. Coba kau tengok pohon siong itu. Ribuan tahun yang lalu keadaannya masih sama saja seperti sekarang, akan tetapi, katakan, hai bocah gundul sombong, siapakah yang dapat menyatakan bahwa pohon itu tidak mempunyai kemajuan? Lihat burung yang terbang itu. Seribu tahun yang lalu bangsanya pun berbuat seperti itu. Apakah sekarang dia kelihatan sudah terlalu kuno dan tidak menarik lagi? Kwan Cu, kau hanya memandang kulit saja, tetapi tidak melihat isi. Kemajuan lahir saja tiada artinya tanpa dibarengi kemajuan batin, karena lahir itu tidak kekal adanya.”
Sekarang Kwan Cu benar-benar kelihatan pusing dan teringatlah Ang-bin Sin-kai bahwa Kwan Cu hanyalah seorang kanak-kanak yang tentu saja masih belum dapat menerima semua filsafat hidup ini. Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang dan dia seolah-olah baru kembali ke atas bumi dari perantauannya di awang-awang yang membuatnya lupa akan segala itu.
“Sudahlah, Kwan Cu. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau dipikir-pikir, aku sendiri pun ingin sekali tahu buku-buku apa saja yang disimpan oleh mendiang Gui Tin di atas Bukit Liang-san itu.”
“Buku-buku yang lainnya, teecu pun tidak menghendakinya, Suhu. Hanya sebuah buku yang perlu sekali bagi teecu karena sudah dipesankan oleh Gui-sianseng kepada teecu. Yakni buku sejarah kuno di mana teecu akan membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli! Dari buku itulah teecu akan mendapat petunjuk di mana teecu dapat mencari kitab rahasia itu.”
Ang-bin Sin-kai tertegun dan mukanya berubah.
“Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?” Ia mengulang setengah tidak percaya.
Kwan Cu mengangguk. “Memang kitab yang dahulu itu adalah kitab tiruan yang sengaja dipalsukan, Suhu. Aslinya masih disimpan baik-baik, kata Gui-sianseng, kitab itu berada di atas suatu pulau kosong yang sulit dicari. Hanya bisa didapatkan dengan pertolongan kitab sejarah yang disimpan oleh Gui-sianseng.”
“Kwan Cu, jika begitu kau benar-benar berjodoh dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Hayo kita percepat jalan agar segera dapat menemukan kitab itu, muridku!”
Ketika Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dan bertemu pandang, mukanya yang merah berubah pucat karena dia marah sekali.
“Kwan Cu! Kau kira aku mempunyai pikiran buruk? Aku sudah bersumpah tidak akan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan aku Lu Sin selamanya akan memegang teguh sumpahku!”
Kwan Cu kaget sekali dan buru-buru dia berlutut minta maaf. Pandangan mata suhu-nya benar-benar tajam sekali, karena memang tadi dia memandang dengan curiga kepada suhu-nya yang disangkanya menginginkan kitab itu.
“Sudahlah, tak ada salahnya kau mencurigaiku, karena kalau tidak ingat akan sumpahku, memang aku ingin sekali melihat kemudian mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Siapa orangnya yang tidak ingin? Sudah berpuluh tahun aku merindukan kitab itu, seperti juga tokoh-tokoh persilatan yang lain. Akan tetapi, aku sudah tua dan tidak ada gunanya aku mempelajari ilmu silat lain lagi. Kaulah yang perlu mempelajarinya, maka kerinduanku sekarang bukan untuk aku sendiri, melainkan melihat kau dapat mempelajari kitab aneh itu.”
“Terima kasih atas budi kebaikanmu, Suhu.”
“Phuah, budi kebaikan macam manakah? Hayo kita lekas pergi. Aku tahu di mana kau akan dapat melatih gwakang dan memperdalam Sam-hoan-ciang dan Pai-bun Tui-pek-to yang sedang kau pelajari.”
Guru dan murid ini kemudian berangkat dan berlari cepat menuju ke Liang-san. Tiga hari kemudian tibalah mereka di sebuah hutan besar. Ang-bin Sin-kai segera menghentikan larinya dan berkata,
“Nah, di sini kita dapat beristirahat sambil mencari lawan untuk melatih ilmu silatmu.”
Hutan itu besar dan sunyi sekali. Di mana ada lawan untuk melatih ilmu silat? Kwan Cu memandang ke sana ke mari, akan tetapi keadaan sunyi saja, hanya bergeraknya daun pohon tertiup angin menimbulkan suara gemerisik. Pohon-pohon raksasa menimbulkan bayangan yang amat teduh dan silir angin membuat mata mengantuk.
Lapat-lapat terdengar suara binatang hutan. Kwan Cu merasa amat heran kenapa suara binatang hutan, kecuali burung dan ayam, yang kedengaran hanyalah geraman harimau belaka.
“Heran sekali, ke manakah perginya keluarga raja hutan?” kata Ang-bin Sin-kai perlahan. “Biasanya setiap kali aku datang, mereka itu sudah beramai-ramai menyambut dengan gigi dan kuku yang runcing!”
Tiba-tiba, seolah-olah menjadi jawaban dari kata-katanya, terdengarlah bunyi lengkingan suling bambu yang aneh sekali suaranya. Lengking ini amat tinggi dan panjang, tiba-tiba kemudian berubah menjadi irama rendah dengan irama terputus-putus seperti geraman harimau marah.
Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
“Ahh, kiranya dia berada di sini. Pantas saja harimau-harimau itu tidak nampak di sini.”
“Suhu, siapakah peniup suling yang aneh bunyinya itu?”
“Orang aneh... orang aneh, dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kita. Dia itulah Hang-houw-siauw Yok-ong (Raja Obat dengan Suling Penakluk Harimau)!”
Akan tetapi Kwan Cu belum pernah mendengar julukan orang yang terdengar aneh ini. Julukan Yok-ong (Raja Obat) saja sudah hebat, apa lagi ditambah dengan julukan kedua ini. Bagaimana bisa orang menaklukan harimau dengan suling? Atau, bagaimana suling bisa dipergunakan menjadi penakluk harimau?
Jawabannya segera terlihat olehnya. Dari jurusan barat, kelihatan seorang laki-laki tua berpakaian jubah panjang menutupi kedua kakinya hingga sebagian jubah itu terseret di belakangnya, sedang berjalan dengan tindakan perlahan. Ia memegang sebatang suling bambu yang ditiupnya sambil berjalan. Kedua matanya memandang lurus ke depan tidak mempedulikan kanan kiri. Juga sama sekali tidak dia mempedulikan apa yang terjadi di belakangnya, kejadian yang membuat Kwan Cu membuka mata selebar-lebarnya!
Ternyata olehnya bahwa di belakang kakek itu, berbaris belasan ekor harimau besar dan buas. Mereka berjalan merupakan barisan di belakang kakek ini dan sebentar-sebentar mengeluarkan geraman. Melihat keadaan ini, tahulah Kwan Cu bahwa binatang-binatang buas itu ternyata telah tertarik dan berada di bawah pengaruh suara suling yang aneh itu. Pantas saja di sebut Hang-houw-siauw (Suling Penakluk Harimau).
Kwan Cu benar-benar merasa aneh sekali. Dia sudah sering kali mendengar mengenai suling yang suaranya dapat mempengaruhi ular, akan tetapi harimau?
“Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw Yok-ong betul-betul tabah sekali!” Ang-bin Sin-kai memuji. “Hanya dengan suara suling mampu menundukkan belasan raja hutan, benar-benar aku Ang-bin Sin-kai tidak mampu melakukannya!”
Melihat munculnya seorang anak laki-laki gundul bersama Ang-bin Sin-kai, untuk sesaat kakek berjubah panjang itu lupa meniup sulingnya dan dia memandang kepada kakek pengemis itu.
“Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai si manusia sadar!” Memang Yok-ong ini amat mengagumi Ang-bin Sin-kai dan selalu menyebutnya manusia sadar. “Selagi jalan halus sempat dan dapat dipergunakan, mengapa memakai jalan kasar?”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw Yok-ong! Enak saja kau bicara begitu! Dengan sulingmu, tentu saja kau sanggup menundukkan harimau dengan jalan halus, akan tetapi aku yang tak mengerti caranya, bagaimana harus menundukkan harimau? Aku takkan dapat membujuk mereka dengan kata-kata halus. Lihat, bagaimana aku harus menghadapi mereka ini?”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke arah belakang Hang-houw-siauw Yok-ong. Kakek ini menengok dan melihat betapa belasan ekor harimau buas itu mulai gelisah dan kini mereka memperlihatkan gigi runcing dan muka buas, siap siaga untuk menyerang! Harimau-harimau itu kini sudah tidak berada di bawah pengaruh suara suling lagi dan mereka mengeluarkan geraman hebat lalu menubruk maju, menyerang Ang-bin Sin-kai, Yok-ong dan Kwan Cu!
Lu Kwan Cu terkejut sekali, akan tetapi dia sudah memiliki ketabahan dan ketenangan, maka ketika seekor harimau menubruk kepadanya, dia cepat melompat ke pinggir. Lain harimau segera menerkamnya, akan tetapi kembali dengan menggeser kaki menurutkan gerakan Pai-bun Tui-pek-to, dia dapat menyelamatkan diri.
Ada pun Hang-houw-siauw Yok-ong, juga berbuat seperti Kwan Cu. Kakek ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi hatinya amat lemah dan tidak tega melukai siapa pun juga. Ia adalah seorang ahli pengobatan dan hatinya sudah tercurah pada watak menyayang dan memelihara sesuatu yang sakit, mana sanggup dia melukai harimau-harimau itu? Ia bergerak ke sana ke mari dan sungguh mengagumkan, walau pun gerakannya nampak lambat saja, namun tak pernah ada kuku harimau yang dapat menyentuh jubahnya yang panjang itu.
Hebat adalah sepak terjang Ang-bin Sin-kai. Berbeda dengan Kwan Cu yang mengelak terus karena tidak mampu membalas serangan harimau dan Yok-ong yang sengaja tidak mau mengganggu bintang-binatang itu, Ang-bin Sin-kai tidak mau mandah saja dirinya diserang. Tiap kali kaki dan tangannya bergerak, terdengar harimau yang terpukul atau tertendang mengeluarkan gerengan kesakitan, dan tubuh harimau bergulingan di atas tanah saking kerasnya serangan Ang-bin Sin-kai.
Melihat ini, Hang-houw-siauw Yok-ong berteriak-teriak,
“Ang-bin Sin-kai, jangan berlaku kejam! Ampunkan nyawa harimau-harimau ini!”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Aku memandang mukamu dan tak akan mengganggu mereka lagi,” katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas sebatang ranting pohon yang tinggi!
Ada pun Kwan Cu yang melihat perbuatan suhu-nya, segera melompat pula, akan tetapi dia tidak melompat ke atas pohon, melainkan melompat ke belakang Hang-houw-siauw Yok-ong mencari perlindungan!
Raja obat itu lalu meniup sulingnya dan benar mengherankan sekali, tiba-tiba binatang-binatang yang buas dan sedang marah itu menghentikan serangan mereka, kemudian berdiri berkumpul di depan Yok-ong dengan kepala tunduk dan telinga digerak-gerakkan seakan-akan senang sekali medengar suara suling yang bagi telinga Kwan Cu terdengar menyakitkan anak telinga!
Suara suling yang ditiup oleh Yok-ong makin lama semakin meninggi, dan makin sakitlah telinga Kwan Cu sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi lalu menggunakan ibu jari untuk menyumpal lubang telinganya. Dan benar-benar hebat!
Harimau-harimau itu seolah-olah mendengar bunyi perintah yang tak dapat dibantah lagi. Serentak mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu! Masih agak lama Yok-ong meniup sulingnya, kemudian setelah tidak terdengar lagi geraman harimau, dia menghentikan tiupannya dan menoleh kepada Ang-bin Sin-kai yang masih duduk di atas pohon.
“Ang-bin Sin-kai, terima kasih atas kemurahan hatimu terhadap harimau-harimau itu. Jika tadi diteruskan, tentu aku menjadi sibuk memelihara serta mengobati luka-luka mereka. Untuk kebaikan hatimu itu, kau patut diberi hadiah. Aku adalah orang miskin yang hanya mempunyai sebatang suling. Nah, terimalah barang pusakaku ini.” Dia melempar suling yang tadi ditiupnya ke arah Ang-bin Sin-kai yang cepat mengulur tangan menerimanya.
Hang-houw-siauw Yok-ong lalu berpaling kepada Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia memandang anak itu dengan tajam.
“Hebat!” tiba-tiba saja dia berkata. “Dari mana kau memperoleh anak seperti ini?” Ia lalu mendekati Kwan Cu. “Coba ulur tangamu, anak yang baik.”
Kwan Cu segera mengulur tangan kanannya dan Yok-ong cepat memegang pergelangan tangan Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia mengangguk-angguk dan berkatalah dia dengan suara keras.
“Benar-benar hebat! Darah yang luar biasa kuatnya, yang ditambah oleh semacam darah liar yang mempunyai kekuatan tekanan tiga kali lipat dari pada tekanan darah manusia, membuat seluruh urat di tubuhmu dipenuhi oleh aliran darah yang kuat dan cepat sekali. Berkat tulang dan dagingmu yang kuat dan bersih, hal itu akan menguntungkan dalam usahamu mempelajari bu (ilmu silat). Akan tetapi, urat halus dalam otak dapat terganggu karenanya. Anak baik, aku kasihan kepadamu, maka biarlah aku memberimu Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga) yang jarang kupergunakan.”
Ia lalu merogoh saku jubahnya yang lebar sekali dan mengeluarkan bungkusan dari kain kuning yang bersih. Ketika bungkusan itu dibuka, di dalamnya terdapat beberapa butir pil merah yang berbau amis.
“Untuk ketabahan dan kemurahan hatimu ketika menghadapi harimau-harimau tadi, kau kuberi hadiah tiga butir Liong-kak Hian-tan. Telanlah sehari sebutir, dan dalam tiga hari kau akan merasakan khasiatnya.”
Kwan Cu merasa ragu-ragu untuk menerima, tetapi tiba-tiba terdengar suara dari atas pohon,
“Murid goblok! Tidak lekas diterima dan menghaturkan terima kasih, mau tunggu kapan lagi?”
Sebenarnya bukan karena Kwan Cu merasa kurang percaya terhadap kakek Raja Obat itu, melainkan karena dia menjadi murid Ang-bin Sin-kai, maka dia merasa tidak patut tanpa ijin gurunya jika dia menerima pemberian orang lain. Sekarang mendengar ucapan suhu-nya, dia menjadi girang sekali, dan sesudah menerima tiga butir pil itu, dia cepat berlutut di depan Hang-houw-siauw Yok-ong dan menghaturkan terima kasihnya.
Yok-ong tertawa bergelak dan menengok ke atas pohon. “Ang-bin Sin-kai, muridmu ini benar-benar tahu menghargai guru dan orang-orang tua. Itu bagus sekali! Nah, sampai bertemu kembali!”
Sesudah berkata demikian, Hang-houw-siauw Yok-ong kemudian menyimpan bungkusan obatnya. Seperti main sulap saja, ketika dia merogoh saku di tangannya telah memegang sebatang suling lagi! Ia lalu berjalan pergi sambil meniup sulingnya!
Kwan Cu dan gurunya mendengarkan suara suling itu yang makin melenyap, kemudian terdengar suara suling lain. Pada waktu Kwan Cu menengok, ternyata suhu-nya sedang meniup suling pemberian Yok-ong tadi! Kwan Cu tercengang ketika mendengar tiupan suling suhu-nya amat merdu. Ternyata gurunya itu juga pandai sekali meniup suling melagukan sebuah lagu kuno!
“Bagus, Suhu pandai sekali bersuling!” Kwan Cu memuji.
Gurunya menghentikan tiupannya dan tertawa girang.
“Masih tak sepandai Hang-houw-siauw Yok-ong. Kau telanlah sebutir Liong-kak Hian-tan itu seperti yang dipesan oleh Yok-ong. Aku mau mencoba memanggil harimau dengan suling ini!”
Kwan Cu cepat-cepat menelan sebutir pil yang terasa masam dan amis sekali, kemudian menyimpan yang dua butir lagi di dalam saku bajunya. Pada saat itu, gurunya sedang mencoba untuk meniru tiupan suling Yok-ong ketika menundukkan harimau tadi. Akan tetapi tiupan sulingnya tidak karuan bunyinya sehingga mengusir burung-burung di atas pohon yang menjadi kaget ketakutan mendengar suara melengking yang aneh luar biasa itu!
Sampai capek bibir meniup suling, tapi harimau-harimau itu tidak juga datang! Kwan Cu tertawa geli melihat usaha suhu-nya tidak mendatangkan hasil itu.
“Jangan tertawa, lihat belakangmu!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Kwan Cu terkejut dan cepat menengok. Benar saja di belakangnya telah berdiri seekor harimau muda yang nampaknya juga terpesona dan bingung mendengar suara suling yang lucu dan aneh tadi. Kini, menghadapi Kwan Cu, dia mulai merendahkan tubuhnya dan menggaruk-garukkan kakinya, siap untuk menerkam.
“Kwan Cu, hadapi dia dengan Pai-bun Tui-pek-to! Jangan hanya mengelak saja, lawan dia dan kalahkan dia. Sekarang waktunya untuk menguji kepandaian. Dia ahli gwakang (tenaga luar), awaslah!” kata Ang-bin Sin-kai dengan gembira sekali.
Harimau itu mengaum lalu menubruk dengan kuat sekali. Kwan Cu sudah bersiap sedia. Dengan lincahnya dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh harimau itu menyambar lewat, kemudian memberi pukulan keras ke arah lambung harimau itu. Harimau terjatuh tunggang-langgang sambil menggereng.
Akan tetapi tubuh harimau muda itu terlampau kuat sehingga baginya pukulan Kwan Cu tadi hanya merupakan dorongan kuat belaka, sama sekali tidak melukainya. Ia menubruk lagi dan seperti juga tadi, Kwan Cu menghadapi dengan mengelak sambil memukul atau menendang.
Pertempuran seperti ini berjalan lama. Ang-bin Sin-kai hanya meniup suling seakan-akan mengiringi pertempuran itu dengan lagu perang, akan tetapi matanya memandang penuh perhatian. Akhirnya, sesudah berpuluh kali menubruk tanpa hasil bahkan beberapa kali menerima tendangan atau pukulan, harimau itu menjadi lelah. Demikian pula Kwan Cu. Ia telah mengerahkan benar tenaga untuk memukul dan menendang, akan tetapi sedikit pun tak dapat merobohkan lawannya.
“Kau harus dapat mengalahkan dia!” seru Ang-bin Sin-kai berkali-kali dengan suara tidak puas. Masa muridnya, murid Ang-bin Sin-kai tidak mampu mengalahkan seekor harimau yang masih muda?
Kwan Cu mengerti bahwa apa bila dia melanjutkan perkelahian secara ini, tidak mungkin dapat mengalahkan harimau itu. Maka dia mencari akal dan ketika harimau itu untuk ke sekian kalinya menubruknya, dia lalu mengelak dan menyambar ekor harimau.
Sekuat tenaga dia lantas mengayun tubuh harimau itu dan membantingnya. Akan tetapi karena tubuh harimau itu berat sekali dan dia telah merasa lelah, maka dia terbawa oleh bantingan ini sehingga terpelanting di atas tanah!
Harimau itu nanar seketika, akan tetapi segera berdiri kembali dan melihat tubuh Kwan Cu di dekatnya, dia segera menubruk! Kwan Cu sudah siap dan cepat menggulingkan tubuhnya mengelak, kemudian dia mendahului menerkam dan mencekik leher harimau itu dalam kempitan lengannya yang kecil akan tetapi kuat!
Harimau itu lalu meronta-ronta, akan tetapi Kwan Cu memutar lehernya sehingga kaki harimau tidak dapat mencakarnya. Makin lama harimau itu mejadi semakin lemah dan sebentar lagi dia tentu takkan berdaya.
Tiba-tiba terdengar auman keras sekali dan seekor harimau yang besar sekali keluar dari semak-semak, merunduk dan siap menerkam Kwan Cu yang mencekik anaknya! Ang-bin Sin-kai yang sedang enak-enakan meniup sulingnya saking gembira melihat kecerdikan Kwan Cu mengalahkan lawannya, melihat harimau besar itu, langsung berseru keras dan tubuhnya melayang turun.
Pada saat itu, harimau besar telah melompat menubruk Kwan Cu. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya terjengkang kembali ke belakang akibat dorongan tangan Ang-bin Sin-kai yang memapakinya di tengah udara! Sekarang pertempuran terpecah menjadi dua. Kwan Cu dengan cepat dapat membuat harimau muda itu pingsan karena tidak dapat bernapas, kemudian anak ini menonton pertempuran antara suhu-nya dan harimau besar.
Bukan main kagum hati Kwan Cu ketika melihat betapa suhu-nya menghadapi harimau itu dengan senjata suling. Ternyata suling yang ditiupnya dengan merdu tadi kini disulap menjadi sebatang senjata yang lihai sekali. Ke mana juga harimau itu menubruk, selalu dia tertotok oleh suling di bentulan lehernya.
Sesudah empat lima kali tertotok suling, harimau itu merasa kesakitan luar biasa dan segera membalikkan tubuh lalu berlari cepat sambil menggereng kesakitan! Sementara itu, harimau muda yang tadi pingsan, juga telah siuman kembali dan kini berlari menyusul harimau besar!
“Suhu, indah sekali permainan suling tadi. Teecu ingin belajar bersilat dengan suling.”
Ang-bin Sin-kai tertawa. “Memang indah dan mudah saja dilihat, akan tetapi jangan kira mudah dipelajarinya. Ketahuilah bahwa semakin sederhana bentuk senjata, makin sukar dipelajarinya dan semakin lihai permainannya. Kelak akan tiba saatnya kau belajar ilmu silat dengan suling.”
Guru dan murid ini lalu melanjutkan perjalanan ke Liang-san. Semenjak mengalahkan harimau muda itu, semangat Kwan Cu menjadi makin besar saja. Dan tiga hari kemudian setelah dia menghabiskan tiga butir pil merah pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong, dia merasa kepalanya dingin dan dadanya tenang. Pikirannya makin kuat saja dan kini dia tidak terganggu oleh rasa pening yang sering kali datang di kala dia melatih diri dengan pengendalian napas dalam semedhinya. Dia merasa girang dan Ang-bin Sin-kai berkata sambil menarik napas panjang.
“Karena itulah ketika dulu aku melihat dia memberi pil ini kepadamu, aku cepat menyuruh kau menerimanya. Hang-houw-siauw Yok-ong dulunya adalah seorang tabib istana yang amat terkenal, bukan saja karena ilmu pengobatannya, akan tetapi terutama karena ilmu silatnya yang tinggi dan pribadinya yang luhur. Mungkin sekali tingkat kepandaiannya tak akan menang dari tokoh-tokoh persilatan dari empat penjuru, akan tetapi mengenai ilmu pengobatan dan pribadi mulia, kiraku di dunia ini sukar mencari keduanya!”
“Yang diberikan kepada teecu itu, disebut olehnya Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga), apakah benar-benar terbuat dari pada darah yang berada di tanduk naga, Suhu?”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Orang-orang pembuat obat dan masakan sama saja, keduanya seperti orang gila! Untuk memudahkan mereka mengingat namanya dan untuk membuat obat atau masakannya terkenal, mereka itu suka sekali memberi nama yang aneh-aneh! Nama liong (naga) atau burung hong (burung dewata) selalu dibawa-bawa dalam pemberian nama pada obat. Siapa percaya tentang liong kalau belum melihatnya sendiri?”
“Apakah liong itu tidak ada, Suhu?”
“Aku sendiri percaya bahwa naga itu memang ada, hanya terus terang saja aku belum pernah melihat dengan mata sendiri. Memang telah kulihat banyak ular-ular besar sekali, bahkan ada pernah kulihat ular bertanduk lunak di kepalanya, akan tetapi, ular itu tidak berkaki seperti naga yang sering kali disebut-sebut! Betapa pun juga, aku percaya bahwa naga itu memang ada. Kalau tidak ada, kenapa rakyat di empat penjuru bisa melukiskan rupa dan bentuk tubuhnya? Pasti ada, seperti adanya pula burung hong!”
“Kalau begitu, obat Liong-kak Hian-tan itu benar-benar terbuat dari pada darah tanduk naga, Suhu?” kata Kwan Cu dengan suara tetap.
Ang-bin Sin-kai kembali tertawa. “Hal inilah yang meragukan, sebab biar pun kepandaian yang dimiliki oleh Hang-houw-siauw Yok-ong itu cukup lihai, mana dapat dia pergunakan untuk menangkap seekor liong dan mengambil darah dari tanduknya? Sudahlah, hal ini tidak penting, muridku. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa obat itu memang kupercaya amat baik bagimu.”
Sesudah sampai di lereng bukit Liang-san di sebelah barat, mereka mulai bertanya-tanya kepada orang kampung mengenai Gui Tin yang di tempat itu dahulu mengaku bernama Gui-lokai.
Beberapa orang sudah ditanya oleh Kwan Cu, akan tetapi tak ada seorang pun mengaku pernah kenal dengan Gui-lokai (pengemis tua Gui).
“Anak bodoh, mengapa kau tanya hanya orang-orang muda saja? Tanyalah kau kepada orang tua, dan wanita pula, karena yang biasa memberi derma kepada para pengemis kebanyakan hanya orang-orang wanita,” kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya.
Kwan Cu menganggap kata-kata suhu-nya benar, maka dia lalu bertanya pada seorang wanita dusun yang sudah agak tua akan tetapi masih rajin sekali bekerja. Wanita ini tengah memikul air bersama beberapa wanita lain.
Kwan Cu merasa tidak enak kalau langsung menghentikan orang yang sedang bekerja, apa lagi nampaknya wanita-wanita itu tergesa-gesa. Maka dia lalu ulurkan tangannya ke arah pundak wanita yang berada di depan dan dalam sekejap mata saja pikulan itu telah berpindah ke atas pundaknya sendiri! Tentu saja wanita itu terkejut dan amat heran, akan tetapi bocah gundul itu tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Bibi, aku kasihan melihat kau bersusah payah memikul air yang berat ini. Biar aku yang membawakan ke rumahmu.”
Tentu saja wanita itu girang sekali dan tertawalah dia, memperlihatkan deretan gigi yang jarang dan kecil-kecil.
“Anak baik, terima kasih,” katanya sambil melanjutkan perjalanan di sebelah Kwan Cu.
Dua orang wanita di belakangnya juga memandang heran pada Kwan Cu, bocah gundul yang baik hati itu. Setelah menurunkan pikulan di depan rumah wanita itu, barulah Kwan Cu mengajukan pertanyaan,
“Bibi, pernahkah engkau mengenal seorang pengemis tua di daerah ini yang dipanggil Gui-lokai?”
“Gui-lokai...?” Wanita itu mengerutkan keningnya yang sudah mulai keriputan, “Ah, kakek yang gila itu? Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah seorang tua yang malas dan gila, tidak mau bekerja, hanya menulis dan membaca saja kerjanya. Baiknya dia masih suka memberi pelajaran kepada beberapa orang anak, akan tetapi pelajaran membaca dan menulis, untuk apakah di dusun ini? Lebih baik belajar mencangkul tanah dari pada menggerakkan pit menulis!”
Bukan main girangnya hati Kwan Cu.
“Tahukah kau di mana adanya dia? Dan di mana tempat tinggalnya ketika dia berada di daerah ini?”
“Tempat tinggalnya? Di mana saja orang mau menerimanya. Kadang-kadang dia bahkan tidur di pinggir sawah, di tempat terbuka. Benar-benar orang aneh. Ehh, anak baik, kau pernah apakah dengan Gui-lokai maka kau mencarinya?”
Pada saat itu, seorang kakek tua yang mendatangi tempat itu mendengar kata-kata ini lalu menyambung,
“Aneh sekali! Baru kemarin sore ada juga dua orang lainnya yang menanyakan tentang Gui-lokai!”
Mendengar ini Kwan Cu merasa terheran.
“Lopek, siapakah mereka yang bertanya tentang Gui-lokai?”
“Seorang hwesio gemuk sekali dan seorang muridnya. Mereka pergi ke batu karang yang berbentuk menara dan berada di lereng barat untuk mencari goa yang dulu ditinggali oleh Gui-lokai,” jawab kakek itu.
“Di manakah batu karang itu, Lopek? Aku pun ingin sekali pergi ke goa tempat tinggal Gui-lokai!” Kwan Cu bertanya cepat-cepat.
Kakek itu ragu-ragu, akan tetapi wanita yang ditolongnya membawa air tadi cepat-cepat menudingkan jari telunjuknya ke arah puncak bukit yang tidak jauh dari situ. “Di sanalah tempatnya. Di sana terdapat sebuah batu karang yang menjulang tinggi, bentuknya mirip seperti menara. Di sekitar tempat itulah adanya goa tempat tinggal Gui-lokai ketika dia masih berada di daerah ini.”
“Terima kasih!” jawab Kwan Cu dan dua orang dusun itu menjadi bengong dan saling pandang ketika tiba-tiba Kwan Cu melompat dan lenyap dari depan mereka.
“Suhu, cepat, Suhu! Ada orang mendahului kita!” kata Kwan Cu ketika dia kembali ke tempat di mana Ang-bin Sin-kai menantinya.
“Siapa orangnya yang mendahului kita?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan muka terheran.
“Entahlah, kata orang dusun itu, ada seorang hwesio gemuk dan muridnya juga mencari goa tempat tinggal Gui-siucai!”
Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
“Hemm, jangan-jangan Jeng-kin-jiu dan Lu Thong yang mendahului kita.”
“Mari cepat, Suhu. Goanya berada di puncak itu,” berkata Kwan Cu dan bocah gundul ini mendahului suhu-nya berlari ke arah puncak itu. Ang-bin Sin-kai menyusul dan guru ini pun merasa gelisah kalau-kalau kitab yang dikehendaki oleh muridnya itu sudah dicuri orang lain.
Sebentar saja mereka telah tiba di puncak bukit di mana terdapat batu karang berbentuk menara. Mudah saja mendapatkan goa bekas tempat tinggal Gui Tin, karena goa ini besar dan panjang. Kwan Cu segera membuat obor dan bersama gurunya dia memasuki goa itu.
Tak salah lagi, inilah bekas tempat tinggal Gui-lokai, karena dindingnya banyak terdapat pahatan dan ukiran, tentu Gui Tin mempergunakan waktunya untuk membuat sajak-sajak ini. Kwan Cu mencari terus hingga akhirnya dia mendapatkan lubang di mana tersimpan sebuah peti.
Dengan hati berdebar girang, Kwan Cu mengeluarkan peti itu dan segera membawanya keluar. Setelah tiba di luar, dia membuka peti tadi, akan tetapi tiba-tiba pundaknya di tarik orang dan ternyata suhu-nya yang menarik tadi.
“Hati-hati, Kwan Cu. Keliru sekali kalau berlaku tergesa-gesa seperti itu menghilangkan kewaspadaan. Aku masih bersangsi kenapa Gui-siucai semudah ini menyimpan petinya yang berisikan kitab-kitab yang lebih disayangnya dari pada harta benda lain. Aku sangsi kalau-kalau ada orang yang sudah mendahului kita dan sengaja memasang perangkap. Biarkan aku yang membuka peti ini!”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggunakan sulingnya untuk mencokel tutup peti dan benar saja dugaannya, begitu tutup peti terbuka, dari dalam menyambar keluar kepala seekor ular kehijauan yang mendesis dan menjulurkan lidahnya.
Kwan Cu tertawa. “Ahh, ular kecil seperti itu saja, apa sih bahayanya?”
Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya dan memandang tajam kepada Kwan Cu.
“Salah, salah! Sama sekali salah kalau kau memandang rendah soal-soal kecil. Kau mau tahu tentang ular ini? Inilah yang di sebut Jeng-tok-coa (Ular Racun Hijau) yang bisanya jauh lebih berbahaya dari pada seekor ular sendok. Sekali pagut saja, tidak ada obat di dunia ini yang akan menyembuhkan dan menolong orang yang dipagutnya! Biar pun kau sendiri yang sudah mempunyai darah penolak racun di tubuhmu, agaknya akan bergulat dengan maut apa bila tadi kau membuka peti dan kena digigit oleh ular ini!”
Mendengar ini, Kwan Cu meleletkan lidahnya saking kaget dan ngerinya. Sekarang ular itu bergerak-gerak dan gerakannya betul-betul cepat sekali sehingga dapat dibayangkan kalau ular ini menyerang orang.
Ang-bin Sin-kai menggerakkan sulingnya. Sekali terbentur suling, pecahlah kepala ular itu, mengeluarkan lendir berwarna hijau yang berbau amis keharum-haruman dan yang membuat kepala menjadi pening ketika hidung mencium bau itu.
Ang-bin Sin-kai segera mengangkat peti itu menjauhi bangkai ular, kemudian barulah dia memperkenankan Kwan Cu memeriksa isi peti. Peti itu ternyata terisi banyak buku-buku tebal dan kuno.
Dengan jari-jari tangan gemetar saking menahan gelora hatinya, Kwan Cu memeriksa buku-buku itu satu demi satu. Buku-buku sajak, buku-buku tentang bintang-bintang dan kitab-kitab kebatinan yang amat kuno. Tetapi tidak ada sebuah pun kitab sejarah tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng!
“Heran sekali..., kitab yang dimaksudkan Gui-sianseng itu tidak ada... !” kata Kwan Cu setelah untuk kelima kalinya dia membuka dan memeriksa lagi buku-buku itu satu demi satu.
“Hemm, benar ada orang yang mendahului kita,” kata Ang-bin Sin-kai, “kau lihat di sana itu!”
Kwan Cu segera memandang dan dapat melihat bayangan dua orang berlari cepat sekali menuruni gunung itu. Bayangan seorang berkepala gundul yang gemuk bundar bersama seorang anak laki-laki yang sebaya dengan dia!
“Keparat!” Kwan Cu memaki dan hendak mengejar. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menahan dan memegang pundaknya.
Tiba-tiba Kwan Cu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada suhu-nya dengan mata basah dan muka pucat.
“Suhu, kau benar-benar tidak adil dan berat sebelah!” katanya dengan tangan terkepal.
“Ketika Suhu memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa) kepada Lu Thong, teecu sudah tahu bahwa betapa pun juga, Suhu lebih memberatkan keluarga sendiri! Sekarang terbuktilah dugaan teecu. Sudah terang yang mencuri kitab dari Gui-siucai adalah Lu Thong dan gurunya, akan tetapi Suhu tidak mengejar mereka, bahkan melarang teecu mengejar. Suhu, sesungguhnya Suhu hendak berlaku bagaimanakah terhadap murid?”
Mendengar ucapan Kwan Cu yang sifatnya menegur dan menuntut ini, sepasang mata Ang-bin Sin-kai mengeluarkan cahaya berkilat.
“Tutup mulutmu! Bila sekali lagi kau berkata demikian terhadapku, betapa pun besar rasa sayangku kepadamu dan betapa pun baiknya bakatmu untuk menjadi muridku, kau akan kutinggalkan! Tuduhanmu hanya karena terdorong oleh rasa iri hati dan putus asa. Iri hati melihat aku menurunkan Kong-jiu Toat-beng kepada Lu Thong, perasaan iri hati yang tak berdasar. Dia adalah cucu luarku, kenapa aku tidak boleh memberi sesuatu kepadanya? Dan kau putus asa melihat kitab peninggalan Gui-siucai dicuri orang. Juga perasaan putus asa ini bodoh sekali. Kau tadi melihat sendiri betapa ilmu lari cepat hwesio gundul itu hebat sekali, tidak kalah olehku? Dikejar pun tidak akan ada gunanya, karena mereka sudah meninggalkan kita. Aku masih ragu-ragu... apakah betul Jeng-kin-jiu yang mencuri kitab itu, Si Gundul dari selatan itu tidak demikian hebat lari cepatnya. Aku lebih condong menduga kepada Hek-i Hui-mo!”
Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya. “Ampunkan kelancangan mulut teecu, Suhu. Sesungguhnya, teecu bingung sekali melihat kitab itu sudah tidak ada lagi. Bagaimana kita harus berbuat sekarang, Suhu?”
“Tenanglah dan kita perlahan-lahan menyelidiki siapakah orangnya yang sudah mencuri kitab itu. Bukankah kau dulu bilang bahwa kitab itu ditulis dalam bahasa kuno yang sukar dimengerti dan yang hanya diajarkan mendiang Gui-siucai kepadamu?”
“Memang benar, Suhu. Akan tetapi siapa tahu kalau orang lain yang dapat membacanya. Menurut mendiang Gui-sianseng, pujangga-pujangga besar seperti Tu Fu dan Li Po pasti bisa membacanya. Hwesio gundul tadi terlalu jauh dari kita hingga sukar untuk mengenal mukanya, akan tetapi teecu yakin bahwa dia tentulah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.”
“Bagaimana kau bisa memastikannya?”
“Karena hanya Jeng-kin-jiu yang memiliki seorang murid laki-laki sebesar teecu. Setahu kita, Hek-i Hui-mo tidak mempunyai murid.”
Ang-bin Sin-kai mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku pun berpikir demikian. Namun, masih terlalu pagi untuk menuduh tanpa bukti. Sebaiknya kita menyusul ke kota raja dan bertanya terang-terangan kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”
Kwan Cu girang sekali karena ternyata bahwa suhu-nya benar-benar mau membantunya merampas kembali kitab itu. Mereka lalu berangkat dengan cepat, turun dari Liang-san menuju ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu yang mereka sangka telah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin.
Di dalam perjalanan menuju ke kota raja, mereka melalui kota Po-keng yang ramai dan terkenal sebagai tempat berkumpulnya para sastrawan dan orang-orang gagah.
“Kita mampir dulu ke rumah Kwa-pangcu (Ketua she Kwa), dia seorang sahabatku yang baik,” kata Ang-bin Sin-kai kepada Kwan Cu.
Yang disebut Kwa-pangcu oleh Ang-bin Sin-kai adalah Kwa Ok Sin, yakni seorang ahli silat Bu-tong-pai yang di samping memiliki ilmu pedang yang lihai, juga terkenal sebagai seorang ahli sastra terkemuka. Kwa Ok Sin atau Kwa-pangcu merupakan ketua dari perkumpulan Bun-bu-pang (Perkumpulan Ahli Silat dan Sastrawan) yang didirikan oleh para ahli sastra dan ahli-ahli silat di seluruh daerah Po-keng. Kwa Ok Sin dipilih karena memang dia memenuhi syarat, tidak saja ahli dalam bun (sastra), akan tetapi juga tinggi ilmu kepandaiannya dalam bu (silat).
Kwa Ok Sin yang memang keturunan kaya raya, amat besar rumahnya dan gedung ini selain dijadikan tempat tinggalnya, juga menjadi rumah perkumpulan Bun-bu-pai. Papan nama yang tergantung di depan rumahnya benar-benar amat indah.
Papan itu berukir dan berukuran besar sekali, ditulis dengan huruf-huruf yang amat indah dan gagah ‘RUMAH PERKUMPULAN BUN BU PAI’. Hal ini tidak mengherankan, karena sebagai perkumpulan ahli sastra, tentu saja tulisannya juga hebat!
Tak seorang pun di kota Po-keng yang tidak mengenal rumah ini, karena perkumpulan Bun-bu-pai memang dihormati oleh setiap orang. Bahkan dengan adanya perkumpulan ini, di daerah Po-keng bersih dari pada semua penjahat. Penjahat manakah berani main gila di kedung naga dan goa harimau?
Karena itu, tidak mengherankan apa bila nama Bun-bu-pai di Po-keng ini amat terkenal dan namanya dipuji-puji hingga jauh di luar daerah Po-keng. Bahkan, pujangga-pujangga besar dan ternama semacam Li Po dan Tu Fu sendiri tidak jarang datang berkunjung ke Bun-bu-pai untuk bercakap-cakap dengan Kwa Ok Sin dan para anggota lain. Juga para locianpwe, ahli-ahli silat tingkat tinggi dari seluruh Tiongkok apa bila lewat Po-keng selalu memerlukan untuk mampir.
Sungguh sangat kebetulan sekali, ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu tiba di Po-keng, Bun-bu-pai tengah penuh dengan para anggotanya. Hari itu dari berbagai tempat mereka sengaja datang berkumpul sebab ada beberapa hal yang amat penting dan mesti mereka rundingkan. Bahkan banyak tokoh-tokoh dari jauh datang mengunjungi pertemuan itu.
Kwan Cu dan gurunya berdiri di depan gedung Bun-bu-pai, dan Kwan Cu amat kagum melihat papan nama yang ditulis amat indah itu.
“Alangkah indahnya tulisan itu, Suhu,” kata bocah gundul itu dengan kagum.
Ang-bin Sin-kai tersenyum. “Apa sih indahnya tulisan macam itu? Marilah kita masuk dan kau akan melihat tulisan yang jauh lebih indah dari pada ini.”
Mereka masuk melalui pintu gerbang dan ketika tiba di ruang depan, benar saja. Di sana tergantung tulisan-tulisan dan lian-lian (tulisan berpasangan dan merupakan sajak indah) yang ditulis dengan indah sekali dalam berbagai-bagai bentuk.
Selama hidup belum pernah Kwan Cu menyaksikan sekumpulan tulisan demikian indah, baik gaya mau pun isinya, maka tiada bosannya dia membaca dan menikmati tulisan itu satu demi satu. Hal ini memang tidak mengherankan oleh karena yang tergantung di situ adalah hasil karya pujangga-pujangga terkemuka. Bahkan Tu Fu dan Li Po sendiri pun menyumbang ruangan ini dengan tulisan-tulisan dan sajak-sajak mereka!
Tidak seperti rumah perkumpulan lainnya, di situ tidak ada penjaga. Memang, siapakah orangnya yang akan berani mencuri atau membikin ribut di tempat ini? Karena itu tidak perlulah diadakan penjagaan.
Ketika Kwan Cu sedang enak-enak dan asyiknya membaca tulisan-tulisan itu, tiba-tiba terdengar suara halus, “Anak baik, sekecil ini sudah dapat menghargai tulisan baik!”
Pada saat Kwan Cu menengok, dia melihat seorang laki-laki tinggi tegap berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sungguh pun pakaiannya seperti seorang ahli silat, namun gerak-geriknya sangat halus dan sopan. Orang itu kini menghadapi Ang-bin Sin-kai, lalu menjura dan berkata,
“Sungguh kebetulan sekali Ang-bin Sin-kai locianpwe datang berkunjung. Memang kami sedang berkumpul dan ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada Locianpwe.”
Ang-bin Sin-kai tertegun. Orang yang menyambutnya ini adalah Kwa Ok Sin sendiri, sang ketua dari Bun-bu-pai. Biasanya, tidak beginilah sambutan Kwa-pangcu yang sudah lama menjadi sahabat baiknya. Sambutan kali ini mengapa begini dingin dan pada wajah ketua ini seakan-akan terbayang kekurang senangan dan juga kegelisahan?
“Selamat bertemu, Kwa-pangcu! Apakah gerangan yang telah terjadi?”
“Silakan masuk saja dan kau orang tua akan mendengarnya sendiri nanti,” Kwa-pangcu menjawab dengan muka masih tetap dingin dan beberapa kali dia melirik ke arah Kwan Cu seakan-akan dia pernah mendengar sesuatu mengenai bocah gundul yang pandai membaca sajak itu.
Ang-bin Sin-kai lalu memberi tanda kepada muridnya untuk masuk ke dalam. Di ruang ke dua, Kwan Cu kembali kagum sekali melihat lukisan-lukisan indah tergantung di dinding, ada pun di bawah terdapat tempat senjata penuh dengan senjata-senjata persilatan yang delapan belas macam banyaknya. Senjata-senjata yang ada di situ semuanya terdiri dari senjata-senjata pilihan belaka, sehingga bukan hanya Kwan Cu, bahkan Ang-bin Sin-kai sendiri memandang sambil mengeluarkan suara pujian.
Akhirnya tibalah mereka di dalam ruang tengah. Ruang ini luas sekali, dan di sana telah berkumpul lebih dari dua puluh orang. Melihat orang-orang ini Kwan Cu tertegun.
Sesungguhnya memang aneh karena tempat itu dipenuhi orang-orang yang berpakaian beraneka macam. Ada yang mirip seorang sastrawan dan bersikap lemah lembut sekali, ada yang berpakaian seperti ahli silat atau guru silat, bahkan ada pula pendeta-pendeta dan hwesio kepala gundul atau tosu-tsou yang rambutnya digelung di atas kepala.
Pendeknya, di tempat ini berkumpul ahli-ahli sastra dan ahli-ahli silat yang agaknya tidak memiliki kepandaian kepalang tanggung. Sikap mereka saja sudah menjelaskan bahwa baik ahli sastra mau pun ahli silat yang berkumpul di sana rata-rata memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya di bidangnya masing-masing.
Baik nama mau pun orangnya, Ang-bin Sin-kai sudah amat terkenal di antara para tokoh persilatan dan sastrawan itu. Akan tetapi, jika biasanya mereka menyambut kedatangan Ang-bin Sin-kai dengan muka girang dan kata-kata ramah, adalah pada saat itu tidak ada seorang pun yang berdiri dari tempat duduknya dan hanya memandang dengan sinar mata dingin.
Tentu saja Ang-bin Sin-kai menjadi heran dan tidak enak hati sekali, akan tetapi dia tetap bersikap tenang dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku, lalu memandang ke kanan kiri menentang pandang mata semua orang yang duduk di situ. Pandang mata Ang-bin Sin-kai sangat tajam dan berpengaruh, karena itu siapa pun juga yang bertemu pandang dengan dia, lalu menundukkan muka atau mengalihkan pandang matanya.
Kwa-pangcu duduk kembali ke bangkunya yang berada di kepala meja. Di kanan kirinya duduk dua orang tokoh besar yang sudah amat terkenal, yakni sebelah kiri adalah Pouw Hong Taisu, ketua dari Thian-san-pai yang berilmu tinggi. Ada pun di sebelah kanannya duduk Bin Kong Siansu, seorang tokoh besar ketua Kim-pan-sai.
Diam-diam Ang-bin Sin-kai sudah merasa amat heran melihat dua orang tokoh besar ini, karena tidak biasanya ketua-ketua dari Thian-pan-sai dan Kim-pan-sai duduk di tempat ini. Tidak mungkin kehadiran mereka itu hanya hal yang kebetulan saja, sebab apa bila memang begitu, tentu dua orang kakek itu telah menyambutnya dengan ramah sebagai orang-orang segolongan yang bertemu jauh dari tempat kediaman masing-masing.
“Cu-wi sekalian, karena ada saudara yang baru datang, maka kuharap soal-soal penting yang tadi telah dibicarakan, diulangi lagi laporannya,” Kwa Ok Sin berkata dengan suara kereng.
Semua orang kemudian menyatakan setuju. Dari ujung kiri berdirilah seorang muda yang nampaknya gagah. Dia adalah Lie Seng, anak murid Go-bi-pai yang memiliki kepandaian cukup tinggi dan sudah terkenal sebagai seorang pendekar muda yang banyak menolong rakyat.
Karena semua orang telah mendengar penuturannya, kini Lie Sieng memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata,
“Tadi sudah siauwte ceritakan bahwa kemarin hari ketika siauwte bersama pujangga Tu Fu, tiba-tiba ada seorang tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang dan menculik Tu-siucai. Gerakan orang itu cepat sekali dan ketika siauwte berusaha untuk menolong Tu-siucai, dengan sekali dorong saja siauwte roboh tak sadarkan diri. Karena cepatnya gerakan orang itu, siauwte tak sempat mengenal mukanya, hanya tahu bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakain pendeta. Tubuhnya gemuk sekali.”
“Apakah bajunya hitam semua?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.
Lie Seng menggelengkan kepalanya. “Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu melambaikan tangan ke arah lampu yang menjadi padam seketika.”
Kwa Ok Sin berdiri kemudian berkata, “Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi. Ternyata bahwa Tu-siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan maksud apa. Karena kita semua sudah mengenal Tu-siucai sebagai seorang sastrawan yang berjiwa gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menggunakan kepandaian dan mencoba menolong Tu-siucai dari tangan orang jahat.”
Warta ini menggirangkan hati Kwan Cu. Tanpa dapat ditahan lagi dia berkata dengan suaranya yang kecil nyaring.
“Penculiknya pasti Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”
Semua orang terkejut.
“Ehh, anak gundul, bagaimana kau berani menuduh Kak Thong Taisu?” terdengar suara keras dan yang membentak ini adalah Pouw Hong Taisu ketua dari Thian-san-pai yang semenjak tadi memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata membenci.
Tak senang hati Kwan Cu mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara kasar juga. “Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik seorang sastrawan besar!”
“Diam kau, Kwan Cu!” Ang-bin Sin-kai menegur.
Ketika guru dan murid ini saling bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya sendiri. Ia maklum bahwa urusan Im-yang Bu-tek Cin-keng ini tidak perlu diketahui oleh orang lain, maka dia lalu menundukkan muka dan menutup mulut.
“Muridku ini memang panjang lidah,” kata Ang-bin Sin-kai kepada semua orang.
“Tuduhannya tadi hanya kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapa pun juga, aku akan pergi ke kota raja untuk menyelidiki apakah benar-benar Jeng-kin-jiu yang menculik Tu-siucai.”
“Syukurlah, memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan coba menolong Tu-siucai,” kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai sambil berkata,
“Karena masalah pertama telah dibicarakan, maka lebih baik sekarang Taisu menuturkan lagi persoalan kedua yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-san!” Sambil berkata begini, Kwa Ok Sin lalu duduk kembali dan kini semua mata memandang kepada Pouw Hong Taisu yang sudah bangkit berdiri dengan muka merah.
Pouw Hong Taisu bertubuh jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas kepala itu masih hitam sekali sungguh pun usianya tak kurang dari lima puluh tahun. Di punggungnya kelihatan gagang sepasang golok, karena memang tokoh Thian-san-pai in terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu silat siang-to (sepasang golok).
“Cu-wi sekalian, sesungguhnya bukan hanya pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan ini seperti yang telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari sahabatku Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai. Kami mempunyai persoalan yang sama, karena muridnya dan murid pinto sudah terbunuh mati oleh seorang saja.” Sampai di sini Pouw Hong Taisu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata bernyala. Agaknya orang tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Pouw Hong Taisu lantas menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang-bin Sin-kai dan berada di hadapan Pengemis Sakti ini, tiba-tiba mencelat ke atas tinggi sekali. Benar-benar hebat demonstrasi tenaga lweekang dari tokoh Thian-san-pai ini, karena begitu banyak cawan arak di atas meja, namun begitu dia menggebrak meja yang mencelat hanyalah cawan arak milik Ang-bin Sin-kai saja, tepat seperti dikehendakinya!
Melihat ini, terkejutlah Ang-bin Sin-kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah kepadanya. Akan tetapi dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima kembali cawannya dan meletakkannya lagi di hadapannya.
“Tenang, Pouw Hong Taisu, ceritakanlah dengan jelas persoalannya lebih dahulu, jangan marah-marah seperti anak kecil!” kata Ang-bin Sin-kai untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di dekat Pouw Hong Taisu. Tokoh Kim-san-pai ini lalu berkata mengejek.
“Pinto merasa heran sekali melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih dapat memberi nasihat kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Sungguh berani mati dan tak tahu malu sekali!”
Sambil melontarkan kata-kata ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah cawan arak di depan Ang-bin Sin-kai dan...
“Praaaakk!”
Cawan itu pecah berkeping-keping seperti telah dipukul dengan palu besi! Padahal yang menyerang cawan arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu. Dari sini saja sudah dapat diukur sampai bagaimana hebatnya kepandaian tokoh Kim-san-pai ini.
Kwan Cu tertawa geli mendengar ucapan suhu-nya. Dia tadi sudah menyaksikan sikap kedua orang tosu itu, dan sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama ini dia selalu berada dengan suhu-nya dan merasa yakin bahwa suhu-nya tidak pernah melakukan hal yang tidak patut, dia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah fahaman dari fihak mereka.
Oleh karena ini, anak ini pun merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan di dalam hatinya. Dia bahkan mengharapkan agar suhu-nya dapat bertanding melawan dua orang jago tua dari Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu agar di dalam pertempuran yang hebat, dia mendapat pemandangan yang bagus dan penambahan pengalaman!
“Bin Kong dan Pouw Hong dua tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya untuk main-main seperti ini? Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah maka kalian seperti kemasukan setan dan marah-marah padaku?” kata Ang-bin Sin-kai sambil memandang kepada dua orang tosu itu.
“Pengemis busuk, kau masih berpura-pura tidak tahu? Kau sudah membunuh mati Ong Kiat, murid yang pinto tahu betul belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu bersikap sebagai seorang pendekar yang patut menjadi kebanggan Thian-san-pai. Akan tetapi, mengapa kau seorang tua yang sudah mendapat nama baik malah menurunkan tangan kejam dan membunuhnya? Tak perlu banyak cakap lagi, sekarang kebetulan kau datang sehingga memudahkan pinto untuk membalas dendam dan menagih hutang. Kini bersiaplah! Mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan hanya berani mengganggu orang-orang muda!” Sambil berkata begitu, tokoh Thian-san-pai ini mencabut sepasang goloknya yang ternyata berwarna kebiruan menyilaukan mata.
Inilah sebuah tantangan terbuka dan kini semuanya memandang ke arah Ang-bin Sin-kai untuk melihat bagaimana tokoh besar dari timur itu bersikap. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai masih bersikap tenang dan kini kakek pengemis ini memandang kepada Bin Kong Siansu sambil berkata,
“Bin Kong Siansu, baru saja Pouw Hong Taisu dari Thian-san-pai sudah melontarkan tuduhannya. Agar dapat sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau menuturkan pula tentang muridmu yang katanya kubunuh itu.”
Melihat sikap Ang-bin Sin-kai, Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga.
“Benar-benarkah kau tidak tahu atau hanya berpura-pura, Ang-bin Sin-kai? Seperti juga murid Pouw Hong Taisu, muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-cilan Thio Loan Eng yang menjadi isteri dari Ong Kiat anak murid Thian-san-pai, juga terbunuh olehmu secara sewenang-wenang? Karena itu, sekarang engkau pun harus menghadapi sebatang pedangku untuk menentukan siapa yang harus membayar nyawa muridku!” Bin Kong Siansu lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya.
Tiba-tiba terdengar orang menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong Siansu.
“Siapa bilang Thio-toanio mati? Bohong! Bohong semua! Thio-toanio tidak mati...!”
“Hmm, anak gundul, otakmu sudah agak miring rupanya. Kami sendiri telah menyaksikan kuburan dari Thio Loan Eng. Dia dibunuh oleh gurumu, kau masih mau main sandiwara untuk menutupi kedosaan gurumu?!” Bin Kong Siansu membentak diikuti tangan kirinya menyambar menempiling kepala Kwan Cu yang gundul.
Gerakan itu cepat sekali sehingga meski pun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena kemplangan tangan kiri tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan menabrak meja kursi, akan tetapi anak ini tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri lagi.
“Thio-toanio mati...? Terbunuh...? Ahhh, Suhu, kita harus membalaskan sakit hatinya...” katanya setengah menangis sambil menghampiri suhu-nya.
“Bocah lancang, kau diamlah saja, jangan turut campur,” kata Ang-bin Sin-kai menghibur.
Kakek ini maklum bahwa mendengar tentang kematian Pek-cilan, kesedihan muridnya mungkin masih lebih besar dari pada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh Kim-pan-sai itu.
“Bin Kong dan Pouw Hong, apa kalian berdua menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa aku membunuh murid-murid kalian?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Apa bila kami melihat dengan mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup sampai sekarang?!” bentak Pouw Hong Taisu marah.
Ketua Thian-san-pai ini memang wataknya sedikit sombong. Berbeda dengan Bin Kong Siansu yang agak jeri menghadapi Ang-bin Sin-kai, ketua Thian-san-pai ini menganggap kepandaian sendiri akan dapat mengatasi kepandaian Pengemis Sakti Muka Merah.
“Kalau begitu, siapakah yang memberi tahu kepada kalian bahwa aku sudah membunuh murid kalian?”
Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang menjawab,
“Ang-bin Sin-kai, kami mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami sudah bersumpah tidak akan memberitahukan namanya kepada siapa pun juga.”
”Hm, hem, hemm, jadi kalian percaya penuh kepadanya?”
“Tentu saja kami percaya! Dia orang terhormat, tidak seperti engkau!” Pouw Hong Taisu membentak sambil melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang.
Bersinar sepasang mata Ang-bin Sin-kai. “Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh murid-muridmu, apakah kalian tidak percaya padaku?”
Bin Kong Siansu ragu-ragu, akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,
“Siapa bisa percaya kepada seorang yang telah membunuh mati muridku?”
Akan tetapi Bin Kong Siansu lalu cepat-cepat berkata, “Ang-bin Sin-kai! Orang yang telah memberi tahukan mengenai pembunuhan itu adalah seorang yang ternama dan dia telah bersumpah. Maka apa bila kau juga mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh anak muridku, aku Bin Kong Siansu berjanji hendak menyelidiki lebih lanjut urusan ini.”
Ang-bin Sin-kai makin marah. Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu melesak ke dalam sampai setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada di atas meja tidak ada satu pun yang terguling!
“Kalian percaya omonganku atau tidak, habis perkara! Kalian kira aku ini orang macam apakah? Kalian percaya, bagus. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing? Hayo Kwan Cu, kita pergi!”
Ang-bin Sin-kai menggandeng tangan muridnya, bangkit meninggalkan bangkunya. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua orang dan tahu-tahu Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu telah berdiri menghadang di depannya.
“Jembel pembunuh! Enak saja kau mau minggat dari hukuman mati!” bentak Pouw Hong Taisu yang langsung menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.
“Kwan Cu, menyingkir ke sana!” kata Ang-bin Sin-kai.
Secepat kilat kaki kanan Ang-bin Sin-kai menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan Cu mencelat seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja yang agaknya memang kelebihan dan ditumpuk di situ supaya tidak memenuhi ruangan. Sambil berpoksai dan berjumpalitan dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin (Naga Siluman Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton dengan enaknya!
Ada pun Ang-bin Sin-kai yang menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan dan kiri, berlaku tenang akan tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok dari ketua Thian-san-pai ini, maka melihat dua sinar kebiruan menyambar dari kanan kiri mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya mencelat mundur menghindarkan diri.
“Ang-bin Sin-kai, makanlah golokku!” Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan serangan bertubi-tubi yang kesemuanya amat berbahaya.
Permainan golok kakek Thian-san-pai ini memang sangat hebat. Tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan sepasang tangan maut. Nampak dua gulungan sinar biru yang terang sekali bergulung-gulung mengepung tubuh Ang-bin Sin-kai!
Melihat permainan golok ini, Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat duduknya yang tinggi.
“Bagus, bagus! Sinar golok yang bagus sekali!”
Anak ini terlalu percaya terhadap suhu-nya sehingga seruannya tadi sama sekali tidak tercampur rasa kekhawatiran terhadap keselamatan gurunya. Dalam hal ini dia memang benar, karena betapa pun hebat ilmu golok dari tokoh Thian-san-pai itu, namun gerakan Ang-bin Sin-kai lebih hebat dan cepat lagi.
Kakek ini nampaknya seperti tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang membuat Kwan Cu menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan bahwa dalam menghadapi sepasang golok tokoh dari Thian-san-pai itu, suhu-nya hanya mempergunakan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Atur Pintu Tahan Ratusan Golok) yang telah dia pelajari!
Ahhh, betapa tadinya dia memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya yang menganggap gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong. Dan sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-bun Tui-pek-to, ternyata oleh gurunya telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu dengan sepasang goloknya!
Pada saat dia memperhatikan permainan kedua tangan dan kaki suhu-nya, dia menjadi makin heran. Pai-bun Tui-pek-to yang dimainkan oleh suhu-nya itu sama sekali tidak ada bedanya dengan permainannya sendiri, bahkan gerakan suhu-nya itu nampaknya terlalu lambat. Bagaimana dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan yang begitu tangguh?
Ketika dia mencurahkan perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong Taisu menyambar, kalau suhu-nya tidak sempat lagi untuk mengelak, suhu-nya lalu menggunakan tangan untuk dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras sehingga menjadi mencong dan menyeleweng arahnya!
Ia maklum bahwa dalam mainkan Pai-bun Tui-pek-to, perbedaan antara dia dan gurunya adalah bahwa gurunya hanya bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menunggu perkembangan serangan lawan. Tiap gerakan suhu-nya bukan hanya gerakan percuma, melainkan gerakan yang penuh isi, tak mau bergerak dengan sia-sia atau untuk selingan belaka. Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan tahulah dia kini akan arti kata-kata suhu-nya yang sering menyatakan bahwa semua ilmu silat itu lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau memainkannya!
Setelah ‘mengukur’ tingkat ilmu golok dari Thian-san-pai itu, Ang-bin Sin-kai sudah dapat menguras semua gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini mencatat di dalam hatinya beberapa gerakan golok yang dianggapnya luar biasa serta sangat baik untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya.
Beginilah sikap seorang jagoan besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan tangguh dia selalu membuka matanya untuk memetik beberapa gerakan yang baik dari lawannya. Dengan sikap seperti ini maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan selalu makin tinggi saja kepandaiannya dan semakin tenar namanya.
Kalau Ang-bin Sin-kai mau, sebetulnya dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan Pouw Hong Taisu. Akan tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari timur ini dahulunya adalah seorang sastrawan. Maka masih ada sifat-sifat sopan dan halus di dalam dirinya dan dia merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh pertama dari Thian-san-pai di hadapan orang banyak.
Selain hal ini akan menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan akibat dendam dan bibit permusuhan dengan partai Thian-san-pai yang besar. Lagi pula, ketua Thian-san-pai ini menyerang dirinya karena menduga bahwa dia membunuh anak murid Thian-san, karena itu tidak seharusnya ketua ini dirobohkan. Ia hanya mau merobohkan seorang yang memang jahat dan ketua Thian-san-pai ini biar pun agak keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!
“Pouw Hong Taisu, biarlah pinto menggantikanmu menghadapi Ang-bin Sin-kai!” tiba-tiba Bin Kong Siansu berkata keras.
Pedangnya berubah menjadi sinar yang panjang dan gemerlapan, mengalahkan cahaya sepasang golok ketua Thian-san-pai itu. Ternyata bahwa tokoh dari Kim-san-pai itu telah turun tangan menyerang Ang-bin Sin-kai dengan hebatnya.
Tadi dia telah menyaksikan kehebatan Ang-bin Sin-kai dan tahu bahwa kawannya itu tak akan dapat menangkan Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia sendiri pun masih sangsi apakah dia akan sanggup mengalahkan Ang-bin Sin-kai, akan tetapi karena dia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya, dia sengaja maju sebelum Pouw Hong Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini.
Akan tetapi Pouw Hong Taisu benar-benar berhati keras. Walau pun dia maklum bahwa lawannya ini lihai sekali dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur, berati dia mengalah atau kalah.
“Tidak, Bin Kong Siansu. Aku harus menjatuhkan pengemis ini!” jawabnya dan sepasang goloknya langsung diputar semakin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari ilmu golok Thian-san-pai.
“Ha-ha-ha, tua bangka pikun. Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main sebentar!” Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
Tiba-tiba tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya menyambar-nyambar di antara sinar golok dan pedang! Baru kini kakek ini menunjukkan kelihaiannya.
Tidak saja dua orang pengeroyoknya yang sangat terkejut karena seakan-akan mereka berdua mengeroyok sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan bengong karena matanya yang terlatih masih tidak mampu mengikuti gerakan suhu-nya yang demikian cepatnya! Sekarang dia betul-betul melihat suhu-nya dengan kepandaian yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga dan kagum.
Tiba-tiba Kwan Cu merasa tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia sempat memberontak, tubuhnya sudah terlempar naik ke atas melalui genteng yang sudah dilobangi dan nyeplos terus ke atas genteng! Ketika dia membuka matanya yang terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di depan Kiu-bwe Coa-li dan Bun Sui Ceng!
“Ehh..., apa artinya ini...?” tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng yang manis dan kini bersinar seperti sepasang bintang pagi.
“Artinya, jika aku tak memerlukanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah menghancurkan batok kepalamu yang gundul ini sebab ternyata kau adalah seorang penipu cilik, seorang pembohong pandai yang kurang ajar sekali!”
Kwan Cu memandang kepada nenek sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar. “Eh, ehh, ehhh…! Suthai, mengapakah datang-datang marah besar kepada teecu? Apa kesalahanku?”
“Kau tahu tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, mengapa dahulu tidak mau memberi tahu kepadaku?”
“Itulah rahasiaku sendiri, Suthai. Kenapa harus dibuka kepada orang lain? Dan aku yang menutup rahasiaku sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu? Dalam hal apakah teecu membohong dan perbuatan mana pula yang merupakan penipuan?”
Dilawan dengan amat tabah oleh bocah gundul ini, Kiu-bwe Coa-li tertegun dan tak dapat menjawab!
“Sudahlah tak perlu banyak cakap. Sekarang kau harus ikut pinni dan membawa pinni ke tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau kau masih ingin hidup lebih lama lagi di dunia ini. Kalau kau menolak, sekarang juga kuhancurkan batok kepalamu.”
“Teecu masih mau hidup karena di dalam hidup teecu masih ada dua hal yang harus teecu penuhi, yakni pertama mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kedua kalinya, membalaskan sakit Thio-toanio yang telah terbunuh orang!” Sambil berkata demikian, dia memandang kepada Sui Ceng.
Anak perempuan ini tiba-tiba mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu dengan penuh arti. “Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak akan menghancurkan kepala si keparat Toat-beng Hui-Houw!” kata Sui Ceng.
“Apa...?! Pembunuh ibumu Toat-beng Hui-houw?” muka Kwan Cu menjadi girang sekali. “Dan suhu di bawah dikeroyok orang karena disangka suhu yang membunuh ibumu!”
Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li langsung menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas tak berdaya lagi!
“Sui Ceng, cepat bawa bocah gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan sebelah utara. Biar aku lebih dahulu membereskan Ang-bin Sin-kai si manusia pelanggar sumpah!”
Sui Ceng mengangguk dan dia segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biar pun seluruh tubuhnya lumpuh, namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka kagumlah dia melihat kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang walau pun menggendongnya, masih dapat berlari dengan ringan dan cepat sekali.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li setelah melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu menyambar turun ke dalam ruangan di mana Ang-bin Sin-kai masih dikeroyok dengan hebat oleh dua orang kakek tua Kim-san-pai dan Thian-san-pai.
Menghadapi ilmu pedang Kim-san-pai yang betul-betul ganas dan gerakannya amat kuat, Ang-bin Sin-kai menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk main-main seperti tadi ketika menghadapi Pouw Hong Taisu seorang, karena kini keroyokan kedua orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan begitu saja.
Oleh karena itu, begitu tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, ia pun mulai membalas dengan pukulan-pukulannya yang sangat lihai. Beberapa kali dia hampir saja berhasil memukul runtuh senjata lawan, akan tetapi kedua orang kakek yang cukup mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hati-hati dan saling membantu.
“Tar! Tar! Tar!”
Pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar menyambar ke arah medan pertempuran! Inilah pecut ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li yang telah turun tangan. Bagai sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu cambuk itu melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut yang luar biasa lihainya.
Pada saat itu, karena kini Ang-bin Sin-kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatian pada serangan Ang-bin Sin-kai dan tidak bisa menjaga datangnya ‘ular-ular hidup’ ini. Maka tanpa dapat dicegah pula, sepasang golok di tangan Pouw Hong Taisu serta pedang di tangan Bin Kong Siansu, gagangnya telah terkena libatan bulu-bulu cambuk dan ditarik oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga senjata-senjata itu terlepas dari pegangan!
Ada pun Ang-bin Sin-kai, biar pun dia menghadapi keroyokan dua orang yang lihai, tetapi memang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-bwe Coa-li ini dia ketahui baik-baik. Apa lagi saat terdengar bunyi bergeletar tadi, tahulah dia bahwa senjata istimewa dari Kiu-bwe Coa-li telah beraksi. Ia tidak berani lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia segera menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh Kiu-bwe Coa-li!
Kekalahannya yang berturut-turut menghadapi The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, kedua murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, kemudian kekalahannya pula dari Lu Thong murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tidak mengecewakan hati Kwan Cu, bahkan seakan-akan menjadi dorongan kepadanya untuk berlatih makin giat dan tekun. Juga dia melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Liang-san untuk mencari goa tempat mendiang Gui Tin dulu menyimpan buku-bukunya. Ang-bin Sin-kai menuruti saja kehendak muridnya yang ingin mencari gunung itu.
“Kitab-kitab macam apa yang dapat ditinggalkan oleh seorang sastrawan kepadamu?” hanya demikian kata-katanya mencemoohkan. “Paling hebat hanyalah kitab-kitab Su-si Ngo-keng dan kitab-kitab kuno penuh oleh tulisan kosong tentang adat-istiadat, tentang peri kebajikan dan peri kemanusiaan yang kosong melompong!”
Mendengar omongan gurunya ini, Kwan Cu menyatakan tidak setujunya.
“Suhu, mengapa soal-soal mengenai peri kebajikan dan peri kemanusiaan Suhu anggap pelajaran yang kosong melompong? Bukankah manusia di dunia ini perlu sekali akan pelajaran serupa itu agar hidupnya tidak terlalu tersesat dan jahat?”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak mendengar ucapan muridnya ini.
“Kwan Cu, pelajaran mengenai peri kebajikan memang kosong melompong dan hanya merupakan pekerjaan orang-orang malas yang mengaku diri suci dan berjasa terhadap manusia. Siapakah orangnya yang tak tahu bahwa mencuri dianggap jahat? Akan tetapi tetap saja mereka mengambil barang lain orang. Siapa yang tak tahu bahwa membunuh dianggap jahat? Namun tetap saja mereka membunuh sesama hidup dengan hati enak saja. Apakah dengan munculnya pelajaran-pelajaran mengenai peri kebajikan itu dunia menjadi makin bersih? Lihat saja, makin kotorlah batin manusia. Jika kitab-kitab itu tidak memberi pelajaran tentang jahatnya mencuri, manusia juga tak akan mengenal kata-kata mencuri dan tidak akan ada pencuri di muka bumi ini. Kalau orang tidak membaca dan mendengar tentang pelajaran peri kebajikan yang menyatakan bahwa membunuh itu tak baik, orang tidak akan mengenal kata-kata membunuh dan tidak akan ada pembunuh. Kalau saja orang tidak mendengar sebutan kejahatan dari dalam kitab, orang tidak akan mengenal pula kata-kata kejahatan dan tidak akan ada kejahatan di dalam dunia ini!”
Kepala Kwan Cu yang gundul itu menjadi semakin kelimis karena dia mempergunakan otaknya untuk membuka arti ucapan gurunya yang sukar dimengerti itu. “Kalau begitu dunia akan kacau, Suhu. Tanpa ada pengertian tentang kejahatan, orang tak akan takut berbuat sekehendak hatinya!”
“Bodoh, berbuat sekehendak hati bukan perbuatan yang jahat! Kau kira dengan pelajaran yang memenuhi otak-otak tentang kejahatan dan segala macam omong kosong itu, akan membuat dunia menjadi baik dan aman? Tengok saja, di manakah terjadinya kejahatan-kejahatan besar? Bukan di dusun-dusun yang ditempati oleh orang-orang yang pikiran dan hatinya masih amat sederhana, yang belum banyak mengenal tentang pelajaran peri kebajikan yang di dalam pandangan orang-orang kota masih dianggap bodoh! Di dalam ketidak mengertian mereka tentang kejahatan itu, mereka bersih!”
“Suhu terpengaruh oleh filsafat Lo Cu!” tiba-tiba saja Kwan Cu berseru karena anak yang cerdik ini memang sudah hafal akan semua isi kitab kuno dan pelajaran tentang filsafat dan kebatinan.
“Bukan terpengaruh, hanya aku setuju dengan pendirian Lo Cu tentang itu. Orang-orang besar yang membuat kitab-kitab itu sudah berlaku terlalu sombong, hendak mendahului kehendak alam, hendak menggantikan kedudukan alam mengadakan perubahan besar dalam watak manusia. Padahal watak manusia itu memang baik seperti watak seluruh isi alam yang suci. Watak manusia seperti air telaga yang tenang, bila sekali dikacau, akan bergelombanglah air itu dan menjadi kacau dan tidak aman lagi. Pengertian tentang apa yang disebut baik dan jahat, menimbulkan nafsu dalam diri manusia dan pada sekarang ini, dunia kemanusiaan dirajai oleh maha raja nafsu, manusianya sendiri hanya menjadi hamba sahaya dan hulubalang yang taat dan setia kepadanya! Nafsulah yang menjadi penggerak manusia mencuri, membunuh, menipu, serta melakukan kejahatan-kejahatan lain, dan nafsu ini dipupuk dan diperkuat oleh pengertian tentang baik dan buruknya yang diajarkan oleh kitab-kitabmu itu! Anggaplah emas seperti batu karang, siapa yang sudi mencuri emas? Dengan pengertian tentang baik buruk, tentang dosa dan suci, manusia telah dibentuk menjadi makhluk yang paling kotor dan jahat di dunia ini.”
Kwan Cu mengerutkan keningnya. “Akan tetapi, Suhu, bukankah itu sebaliknya? Manusia merupakan makhluk yang paling pandai dan baik. Bukan hanya di antara manusia terjadi saling bunuh, bukankah binatang juga sering kali membunuh sesamanya?”
Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak lebar. “Anak tolol, kau tahu apa? Binatang-binatang membunuh tidak seperti manusia membunuh! Manusia membunuh sesama manusia hanya terdorong oleh iblis, terdorong oleh dendam, benci, marah, dan sakit hati karena dirugikan, baik nama mau pun hartanya. Pernahkah kau mendengar binatang membunuh karena perasaan-perasaan jahat ini? Harimau boleh jadi setiap hari membunuh binatang lain, akan tetapi itu adalah kehendak alam yang telah memastikan bahwa harimau tidak bisa makan rumput, melainkan harus makan daging atau darah.”
“Akan tetapi, Suhu. Kalau semua manusia menurutkan ajaran Lo Cu semenjak dahulu, teecu kira dunia akan menjadi sunyi, dan tidak akan terdapat kemajuan seperti sekarang ini. Manusia mungkin masih menjadi makhluk-makhluk telanjang yang hidup di goa-goa, tiada lain kerjanya hanya makan dan tidur!”
“Kau sombong!” Ang-bin Sin-kai berteriak dan muka yang merah itu menjadi semakin merah. “Berani kau mendahului pertumbuhan alam? Memang mungkin sekali tidak akan ada kemajuan duniawi seperti sekarang, akan tetapi juga tak akan ada kejahatan seperti sekarang! Tentang kemajuan, orang mengenalnya hanya setelah kata-kata itu diciptakan. Coba kau tengok pohon siong itu. Ribuan tahun yang lalu keadaannya masih sama saja seperti sekarang, akan tetapi, katakan, hai bocah gundul sombong, siapakah yang dapat menyatakan bahwa pohon itu tidak mempunyai kemajuan? Lihat burung yang terbang itu. Seribu tahun yang lalu bangsanya pun berbuat seperti itu. Apakah sekarang dia kelihatan sudah terlalu kuno dan tidak menarik lagi? Kwan Cu, kau hanya memandang kulit saja, tetapi tidak melihat isi. Kemajuan lahir saja tiada artinya tanpa dibarengi kemajuan batin, karena lahir itu tidak kekal adanya.”
Sekarang Kwan Cu benar-benar kelihatan pusing dan teringatlah Ang-bin Sin-kai bahwa Kwan Cu hanyalah seorang kanak-kanak yang tentu saja masih belum dapat menerima semua filsafat hidup ini. Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang dan dia seolah-olah baru kembali ke atas bumi dari perantauannya di awang-awang yang membuatnya lupa akan segala itu.
“Sudahlah, Kwan Cu. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau dipikir-pikir, aku sendiri pun ingin sekali tahu buku-buku apa saja yang disimpan oleh mendiang Gui Tin di atas Bukit Liang-san itu.”
“Buku-buku yang lainnya, teecu pun tidak menghendakinya, Suhu. Hanya sebuah buku yang perlu sekali bagi teecu karena sudah dipesankan oleh Gui-sianseng kepada teecu. Yakni buku sejarah kuno di mana teecu akan membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli! Dari buku itulah teecu akan mendapat petunjuk di mana teecu dapat mencari kitab rahasia itu.”
Ang-bin Sin-kai tertegun dan mukanya berubah.
“Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?” Ia mengulang setengah tidak percaya.
Kwan Cu mengangguk. “Memang kitab yang dahulu itu adalah kitab tiruan yang sengaja dipalsukan, Suhu. Aslinya masih disimpan baik-baik, kata Gui-sianseng, kitab itu berada di atas suatu pulau kosong yang sulit dicari. Hanya bisa didapatkan dengan pertolongan kitab sejarah yang disimpan oleh Gui-sianseng.”
“Kwan Cu, jika begitu kau benar-benar berjodoh dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Hayo kita percepat jalan agar segera dapat menemukan kitab itu, muridku!”
Ketika Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dan bertemu pandang, mukanya yang merah berubah pucat karena dia marah sekali.
“Kwan Cu! Kau kira aku mempunyai pikiran buruk? Aku sudah bersumpah tidak akan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan aku Lu Sin selamanya akan memegang teguh sumpahku!”
Kwan Cu kaget sekali dan buru-buru dia berlutut minta maaf. Pandangan mata suhu-nya benar-benar tajam sekali, karena memang tadi dia memandang dengan curiga kepada suhu-nya yang disangkanya menginginkan kitab itu.
“Sudahlah, tak ada salahnya kau mencurigaiku, karena kalau tidak ingat akan sumpahku, memang aku ingin sekali melihat kemudian mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Siapa orangnya yang tidak ingin? Sudah berpuluh tahun aku merindukan kitab itu, seperti juga tokoh-tokoh persilatan yang lain. Akan tetapi, aku sudah tua dan tidak ada gunanya aku mempelajari ilmu silat lain lagi. Kaulah yang perlu mempelajarinya, maka kerinduanku sekarang bukan untuk aku sendiri, melainkan melihat kau dapat mempelajari kitab aneh itu.”
“Terima kasih atas budi kebaikanmu, Suhu.”
“Phuah, budi kebaikan macam manakah? Hayo kita lekas pergi. Aku tahu di mana kau akan dapat melatih gwakang dan memperdalam Sam-hoan-ciang dan Pai-bun Tui-pek-to yang sedang kau pelajari.”
Guru dan murid ini kemudian berangkat dan berlari cepat menuju ke Liang-san. Tiga hari kemudian tibalah mereka di sebuah hutan besar. Ang-bin Sin-kai segera menghentikan larinya dan berkata,
“Nah, di sini kita dapat beristirahat sambil mencari lawan untuk melatih ilmu silatmu.”
Hutan itu besar dan sunyi sekali. Di mana ada lawan untuk melatih ilmu silat? Kwan Cu memandang ke sana ke mari, akan tetapi keadaan sunyi saja, hanya bergeraknya daun pohon tertiup angin menimbulkan suara gemerisik. Pohon-pohon raksasa menimbulkan bayangan yang amat teduh dan silir angin membuat mata mengantuk.
Lapat-lapat terdengar suara binatang hutan. Kwan Cu merasa amat heran kenapa suara binatang hutan, kecuali burung dan ayam, yang kedengaran hanyalah geraman harimau belaka.
“Heran sekali, ke manakah perginya keluarga raja hutan?” kata Ang-bin Sin-kai perlahan. “Biasanya setiap kali aku datang, mereka itu sudah beramai-ramai menyambut dengan gigi dan kuku yang runcing!”
Tiba-tiba, seolah-olah menjadi jawaban dari kata-katanya, terdengarlah bunyi lengkingan suling bambu yang aneh sekali suaranya. Lengking ini amat tinggi dan panjang, tiba-tiba kemudian berubah menjadi irama rendah dengan irama terputus-putus seperti geraman harimau marah.
Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
“Ahh, kiranya dia berada di sini. Pantas saja harimau-harimau itu tidak nampak di sini.”
“Suhu, siapakah peniup suling yang aneh bunyinya itu?”
“Orang aneh... orang aneh, dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kita. Dia itulah Hang-houw-siauw Yok-ong (Raja Obat dengan Suling Penakluk Harimau)!”
Akan tetapi Kwan Cu belum pernah mendengar julukan orang yang terdengar aneh ini. Julukan Yok-ong (Raja Obat) saja sudah hebat, apa lagi ditambah dengan julukan kedua ini. Bagaimana bisa orang menaklukan harimau dengan suling? Atau, bagaimana suling bisa dipergunakan menjadi penakluk harimau?
Jawabannya segera terlihat olehnya. Dari jurusan barat, kelihatan seorang laki-laki tua berpakaian jubah panjang menutupi kedua kakinya hingga sebagian jubah itu terseret di belakangnya, sedang berjalan dengan tindakan perlahan. Ia memegang sebatang suling bambu yang ditiupnya sambil berjalan. Kedua matanya memandang lurus ke depan tidak mempedulikan kanan kiri. Juga sama sekali tidak dia mempedulikan apa yang terjadi di belakangnya, kejadian yang membuat Kwan Cu membuka mata selebar-lebarnya!
Ternyata olehnya bahwa di belakang kakek itu, berbaris belasan ekor harimau besar dan buas. Mereka berjalan merupakan barisan di belakang kakek ini dan sebentar-sebentar mengeluarkan geraman. Melihat keadaan ini, tahulah Kwan Cu bahwa binatang-binatang buas itu ternyata telah tertarik dan berada di bawah pengaruh suara suling yang aneh itu. Pantas saja di sebut Hang-houw-siauw (Suling Penakluk Harimau).
Kwan Cu benar-benar merasa aneh sekali. Dia sudah sering kali mendengar mengenai suling yang suaranya dapat mempengaruhi ular, akan tetapi harimau?
“Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw Yok-ong betul-betul tabah sekali!” Ang-bin Sin-kai memuji. “Hanya dengan suara suling mampu menundukkan belasan raja hutan, benar-benar aku Ang-bin Sin-kai tidak mampu melakukannya!”
Melihat munculnya seorang anak laki-laki gundul bersama Ang-bin Sin-kai, untuk sesaat kakek berjubah panjang itu lupa meniup sulingnya dan dia memandang kepada kakek pengemis itu.
“Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai si manusia sadar!” Memang Yok-ong ini amat mengagumi Ang-bin Sin-kai dan selalu menyebutnya manusia sadar. “Selagi jalan halus sempat dan dapat dipergunakan, mengapa memakai jalan kasar?”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw Yok-ong! Enak saja kau bicara begitu! Dengan sulingmu, tentu saja kau sanggup menundukkan harimau dengan jalan halus, akan tetapi aku yang tak mengerti caranya, bagaimana harus menundukkan harimau? Aku takkan dapat membujuk mereka dengan kata-kata halus. Lihat, bagaimana aku harus menghadapi mereka ini?”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke arah belakang Hang-houw-siauw Yok-ong. Kakek ini menengok dan melihat betapa belasan ekor harimau buas itu mulai gelisah dan kini mereka memperlihatkan gigi runcing dan muka buas, siap siaga untuk menyerang! Harimau-harimau itu kini sudah tidak berada di bawah pengaruh suara suling lagi dan mereka mengeluarkan geraman hebat lalu menubruk maju, menyerang Ang-bin Sin-kai, Yok-ong dan Kwan Cu!
Lu Kwan Cu terkejut sekali, akan tetapi dia sudah memiliki ketabahan dan ketenangan, maka ketika seekor harimau menubruk kepadanya, dia cepat melompat ke pinggir. Lain harimau segera menerkamnya, akan tetapi kembali dengan menggeser kaki menurutkan gerakan Pai-bun Tui-pek-to, dia dapat menyelamatkan diri.
Ada pun Hang-houw-siauw Yok-ong, juga berbuat seperti Kwan Cu. Kakek ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi hatinya amat lemah dan tidak tega melukai siapa pun juga. Ia adalah seorang ahli pengobatan dan hatinya sudah tercurah pada watak menyayang dan memelihara sesuatu yang sakit, mana sanggup dia melukai harimau-harimau itu? Ia bergerak ke sana ke mari dan sungguh mengagumkan, walau pun gerakannya nampak lambat saja, namun tak pernah ada kuku harimau yang dapat menyentuh jubahnya yang panjang itu.
Hebat adalah sepak terjang Ang-bin Sin-kai. Berbeda dengan Kwan Cu yang mengelak terus karena tidak mampu membalas serangan harimau dan Yok-ong yang sengaja tidak mau mengganggu bintang-binatang itu, Ang-bin Sin-kai tidak mau mandah saja dirinya diserang. Tiap kali kaki dan tangannya bergerak, terdengar harimau yang terpukul atau tertendang mengeluarkan gerengan kesakitan, dan tubuh harimau bergulingan di atas tanah saking kerasnya serangan Ang-bin Sin-kai.
Melihat ini, Hang-houw-siauw Yok-ong berteriak-teriak,
“Ang-bin Sin-kai, jangan berlaku kejam! Ampunkan nyawa harimau-harimau ini!”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Aku memandang mukamu dan tak akan mengganggu mereka lagi,” katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas sebatang ranting pohon yang tinggi!
Ada pun Kwan Cu yang melihat perbuatan suhu-nya, segera melompat pula, akan tetapi dia tidak melompat ke atas pohon, melainkan melompat ke belakang Hang-houw-siauw Yok-ong mencari perlindungan!
Raja obat itu lalu meniup sulingnya dan benar mengherankan sekali, tiba-tiba binatang-binatang yang buas dan sedang marah itu menghentikan serangan mereka, kemudian berdiri berkumpul di depan Yok-ong dengan kepala tunduk dan telinga digerak-gerakkan seakan-akan senang sekali medengar suara suling yang bagi telinga Kwan Cu terdengar menyakitkan anak telinga!
Suara suling yang ditiup oleh Yok-ong makin lama semakin meninggi, dan makin sakitlah telinga Kwan Cu sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi lalu menggunakan ibu jari untuk menyumpal lubang telinganya. Dan benar-benar hebat!
Harimau-harimau itu seolah-olah mendengar bunyi perintah yang tak dapat dibantah lagi. Serentak mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu! Masih agak lama Yok-ong meniup sulingnya, kemudian setelah tidak terdengar lagi geraman harimau, dia menghentikan tiupannya dan menoleh kepada Ang-bin Sin-kai yang masih duduk di atas pohon.
“Ang-bin Sin-kai, terima kasih atas kemurahan hatimu terhadap harimau-harimau itu. Jika tadi diteruskan, tentu aku menjadi sibuk memelihara serta mengobati luka-luka mereka. Untuk kebaikan hatimu itu, kau patut diberi hadiah. Aku adalah orang miskin yang hanya mempunyai sebatang suling. Nah, terimalah barang pusakaku ini.” Dia melempar suling yang tadi ditiupnya ke arah Ang-bin Sin-kai yang cepat mengulur tangan menerimanya.
Hang-houw-siauw Yok-ong lalu berpaling kepada Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia memandang anak itu dengan tajam.
“Hebat!” tiba-tiba saja dia berkata. “Dari mana kau memperoleh anak seperti ini?” Ia lalu mendekati Kwan Cu. “Coba ulur tangamu, anak yang baik.”
Kwan Cu segera mengulur tangan kanannya dan Yok-ong cepat memegang pergelangan tangan Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia mengangguk-angguk dan berkatalah dia dengan suara keras.
“Benar-benar hebat! Darah yang luar biasa kuatnya, yang ditambah oleh semacam darah liar yang mempunyai kekuatan tekanan tiga kali lipat dari pada tekanan darah manusia, membuat seluruh urat di tubuhmu dipenuhi oleh aliran darah yang kuat dan cepat sekali. Berkat tulang dan dagingmu yang kuat dan bersih, hal itu akan menguntungkan dalam usahamu mempelajari bu (ilmu silat). Akan tetapi, urat halus dalam otak dapat terganggu karenanya. Anak baik, aku kasihan kepadamu, maka biarlah aku memberimu Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga) yang jarang kupergunakan.”
Ia lalu merogoh saku jubahnya yang lebar sekali dan mengeluarkan bungkusan dari kain kuning yang bersih. Ketika bungkusan itu dibuka, di dalamnya terdapat beberapa butir pil merah yang berbau amis.
“Untuk ketabahan dan kemurahan hatimu ketika menghadapi harimau-harimau tadi, kau kuberi hadiah tiga butir Liong-kak Hian-tan. Telanlah sehari sebutir, dan dalam tiga hari kau akan merasakan khasiatnya.”
Kwan Cu merasa ragu-ragu untuk menerima, tetapi tiba-tiba terdengar suara dari atas pohon,
“Murid goblok! Tidak lekas diterima dan menghaturkan terima kasih, mau tunggu kapan lagi?”
Sebenarnya bukan karena Kwan Cu merasa kurang percaya terhadap kakek Raja Obat itu, melainkan karena dia menjadi murid Ang-bin Sin-kai, maka dia merasa tidak patut tanpa ijin gurunya jika dia menerima pemberian orang lain. Sekarang mendengar ucapan suhu-nya, dia menjadi girang sekali, dan sesudah menerima tiga butir pil itu, dia cepat berlutut di depan Hang-houw-siauw Yok-ong dan menghaturkan terima kasihnya.
Yok-ong tertawa bergelak dan menengok ke atas pohon. “Ang-bin Sin-kai, muridmu ini benar-benar tahu menghargai guru dan orang-orang tua. Itu bagus sekali! Nah, sampai bertemu kembali!”
Sesudah berkata demikian, Hang-houw-siauw Yok-ong kemudian menyimpan bungkusan obatnya. Seperti main sulap saja, ketika dia merogoh saku di tangannya telah memegang sebatang suling lagi! Ia lalu berjalan pergi sambil meniup sulingnya!
Kwan Cu dan gurunya mendengarkan suara suling itu yang makin melenyap, kemudian terdengar suara suling lain. Pada waktu Kwan Cu menengok, ternyata suhu-nya sedang meniup suling pemberian Yok-ong tadi! Kwan Cu tercengang ketika mendengar tiupan suling suhu-nya amat merdu. Ternyata gurunya itu juga pandai sekali meniup suling melagukan sebuah lagu kuno!
“Bagus, Suhu pandai sekali bersuling!” Kwan Cu memuji.
Gurunya menghentikan tiupannya dan tertawa girang.
“Masih tak sepandai Hang-houw-siauw Yok-ong. Kau telanlah sebutir Liong-kak Hian-tan itu seperti yang dipesan oleh Yok-ong. Aku mau mencoba memanggil harimau dengan suling ini!”
Kwan Cu cepat-cepat menelan sebutir pil yang terasa masam dan amis sekali, kemudian menyimpan yang dua butir lagi di dalam saku bajunya. Pada saat itu, gurunya sedang mencoba untuk meniru tiupan suling Yok-ong ketika menundukkan harimau tadi. Akan tetapi tiupan sulingnya tidak karuan bunyinya sehingga mengusir burung-burung di atas pohon yang menjadi kaget ketakutan mendengar suara melengking yang aneh luar biasa itu!
Sampai capek bibir meniup suling, tapi harimau-harimau itu tidak juga datang! Kwan Cu tertawa geli melihat usaha suhu-nya tidak mendatangkan hasil itu.
“Jangan tertawa, lihat belakangmu!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Kwan Cu terkejut dan cepat menengok. Benar saja di belakangnya telah berdiri seekor harimau muda yang nampaknya juga terpesona dan bingung mendengar suara suling yang lucu dan aneh tadi. Kini, menghadapi Kwan Cu, dia mulai merendahkan tubuhnya dan menggaruk-garukkan kakinya, siap untuk menerkam.
“Kwan Cu, hadapi dia dengan Pai-bun Tui-pek-to! Jangan hanya mengelak saja, lawan dia dan kalahkan dia. Sekarang waktunya untuk menguji kepandaian. Dia ahli gwakang (tenaga luar), awaslah!” kata Ang-bin Sin-kai dengan gembira sekali.
Harimau itu mengaum lalu menubruk dengan kuat sekali. Kwan Cu sudah bersiap sedia. Dengan lincahnya dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh harimau itu menyambar lewat, kemudian memberi pukulan keras ke arah lambung harimau itu. Harimau terjatuh tunggang-langgang sambil menggereng.
Akan tetapi tubuh harimau muda itu terlampau kuat sehingga baginya pukulan Kwan Cu tadi hanya merupakan dorongan kuat belaka, sama sekali tidak melukainya. Ia menubruk lagi dan seperti juga tadi, Kwan Cu menghadapi dengan mengelak sambil memukul atau menendang.
Pertempuran seperti ini berjalan lama. Ang-bin Sin-kai hanya meniup suling seakan-akan mengiringi pertempuran itu dengan lagu perang, akan tetapi matanya memandang penuh perhatian. Akhirnya, sesudah berpuluh kali menubruk tanpa hasil bahkan beberapa kali menerima tendangan atau pukulan, harimau itu menjadi lelah. Demikian pula Kwan Cu. Ia telah mengerahkan benar tenaga untuk memukul dan menendang, akan tetapi sedikit pun tak dapat merobohkan lawannya.
“Kau harus dapat mengalahkan dia!” seru Ang-bin Sin-kai berkali-kali dengan suara tidak puas. Masa muridnya, murid Ang-bin Sin-kai tidak mampu mengalahkan seekor harimau yang masih muda?
Kwan Cu mengerti bahwa apa bila dia melanjutkan perkelahian secara ini, tidak mungkin dapat mengalahkan harimau itu. Maka dia mencari akal dan ketika harimau itu untuk ke sekian kalinya menubruknya, dia lalu mengelak dan menyambar ekor harimau.
Sekuat tenaga dia lantas mengayun tubuh harimau itu dan membantingnya. Akan tetapi karena tubuh harimau itu berat sekali dan dia telah merasa lelah, maka dia terbawa oleh bantingan ini sehingga terpelanting di atas tanah!
Harimau itu nanar seketika, akan tetapi segera berdiri kembali dan melihat tubuh Kwan Cu di dekatnya, dia segera menubruk! Kwan Cu sudah siap dan cepat menggulingkan tubuhnya mengelak, kemudian dia mendahului menerkam dan mencekik leher harimau itu dalam kempitan lengannya yang kecil akan tetapi kuat!
Harimau itu lalu meronta-ronta, akan tetapi Kwan Cu memutar lehernya sehingga kaki harimau tidak dapat mencakarnya. Makin lama harimau itu mejadi semakin lemah dan sebentar lagi dia tentu takkan berdaya.
Tiba-tiba terdengar auman keras sekali dan seekor harimau yang besar sekali keluar dari semak-semak, merunduk dan siap menerkam Kwan Cu yang mencekik anaknya! Ang-bin Sin-kai yang sedang enak-enakan meniup sulingnya saking gembira melihat kecerdikan Kwan Cu mengalahkan lawannya, melihat harimau besar itu, langsung berseru keras dan tubuhnya melayang turun.
Pada saat itu, harimau besar telah melompat menubruk Kwan Cu. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya terjengkang kembali ke belakang akibat dorongan tangan Ang-bin Sin-kai yang memapakinya di tengah udara! Sekarang pertempuran terpecah menjadi dua. Kwan Cu dengan cepat dapat membuat harimau muda itu pingsan karena tidak dapat bernapas, kemudian anak ini menonton pertempuran antara suhu-nya dan harimau besar.
Bukan main kagum hati Kwan Cu ketika melihat betapa suhu-nya menghadapi harimau itu dengan senjata suling. Ternyata suling yang ditiupnya dengan merdu tadi kini disulap menjadi sebatang senjata yang lihai sekali. Ke mana juga harimau itu menubruk, selalu dia tertotok oleh suling di bentulan lehernya.
Sesudah empat lima kali tertotok suling, harimau itu merasa kesakitan luar biasa dan segera membalikkan tubuh lalu berlari cepat sambil menggereng kesakitan! Sementara itu, harimau muda yang tadi pingsan, juga telah siuman kembali dan kini berlari menyusul harimau besar!
“Suhu, indah sekali permainan suling tadi. Teecu ingin belajar bersilat dengan suling.”
Ang-bin Sin-kai tertawa. “Memang indah dan mudah saja dilihat, akan tetapi jangan kira mudah dipelajarinya. Ketahuilah bahwa semakin sederhana bentuk senjata, makin sukar dipelajarinya dan semakin lihai permainannya. Kelak akan tiba saatnya kau belajar ilmu silat dengan suling.”
Guru dan murid ini lalu melanjutkan perjalanan ke Liang-san. Semenjak mengalahkan harimau muda itu, semangat Kwan Cu menjadi makin besar saja. Dan tiga hari kemudian setelah dia menghabiskan tiga butir pil merah pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong, dia merasa kepalanya dingin dan dadanya tenang. Pikirannya makin kuat saja dan kini dia tidak terganggu oleh rasa pening yang sering kali datang di kala dia melatih diri dengan pengendalian napas dalam semedhinya. Dia merasa girang dan Ang-bin Sin-kai berkata sambil menarik napas panjang.
“Karena itulah ketika dulu aku melihat dia memberi pil ini kepadamu, aku cepat menyuruh kau menerimanya. Hang-houw-siauw Yok-ong dulunya adalah seorang tabib istana yang amat terkenal, bukan saja karena ilmu pengobatannya, akan tetapi terutama karena ilmu silatnya yang tinggi dan pribadinya yang luhur. Mungkin sekali tingkat kepandaiannya tak akan menang dari tokoh-tokoh persilatan dari empat penjuru, akan tetapi mengenai ilmu pengobatan dan pribadi mulia, kiraku di dunia ini sukar mencari keduanya!”
“Yang diberikan kepada teecu itu, disebut olehnya Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga), apakah benar-benar terbuat dari pada darah yang berada di tanduk naga, Suhu?”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Orang-orang pembuat obat dan masakan sama saja, keduanya seperti orang gila! Untuk memudahkan mereka mengingat namanya dan untuk membuat obat atau masakannya terkenal, mereka itu suka sekali memberi nama yang aneh-aneh! Nama liong (naga) atau burung hong (burung dewata) selalu dibawa-bawa dalam pemberian nama pada obat. Siapa percaya tentang liong kalau belum melihatnya sendiri?”
“Apakah liong itu tidak ada, Suhu?”
“Aku sendiri percaya bahwa naga itu memang ada, hanya terus terang saja aku belum pernah melihat dengan mata sendiri. Memang telah kulihat banyak ular-ular besar sekali, bahkan ada pernah kulihat ular bertanduk lunak di kepalanya, akan tetapi, ular itu tidak berkaki seperti naga yang sering kali disebut-sebut! Betapa pun juga, aku percaya bahwa naga itu memang ada. Kalau tidak ada, kenapa rakyat di empat penjuru bisa melukiskan rupa dan bentuk tubuhnya? Pasti ada, seperti adanya pula burung hong!”
“Kalau begitu, obat Liong-kak Hian-tan itu benar-benar terbuat dari pada darah tanduk naga, Suhu?” kata Kwan Cu dengan suara tetap.
Ang-bin Sin-kai kembali tertawa. “Hal inilah yang meragukan, sebab biar pun kepandaian yang dimiliki oleh Hang-houw-siauw Yok-ong itu cukup lihai, mana dapat dia pergunakan untuk menangkap seekor liong dan mengambil darah dari tanduknya? Sudahlah, hal ini tidak penting, muridku. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa obat itu memang kupercaya amat baik bagimu.”
Sesudah sampai di lereng bukit Liang-san di sebelah barat, mereka mulai bertanya-tanya kepada orang kampung mengenai Gui Tin yang di tempat itu dahulu mengaku bernama Gui-lokai.
Beberapa orang sudah ditanya oleh Kwan Cu, akan tetapi tak ada seorang pun mengaku pernah kenal dengan Gui-lokai (pengemis tua Gui).
“Anak bodoh, mengapa kau tanya hanya orang-orang muda saja? Tanyalah kau kepada orang tua, dan wanita pula, karena yang biasa memberi derma kepada para pengemis kebanyakan hanya orang-orang wanita,” kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya.
Kwan Cu menganggap kata-kata suhu-nya benar, maka dia lalu bertanya pada seorang wanita dusun yang sudah agak tua akan tetapi masih rajin sekali bekerja. Wanita ini tengah memikul air bersama beberapa wanita lain.
Kwan Cu merasa tidak enak kalau langsung menghentikan orang yang sedang bekerja, apa lagi nampaknya wanita-wanita itu tergesa-gesa. Maka dia lalu ulurkan tangannya ke arah pundak wanita yang berada di depan dan dalam sekejap mata saja pikulan itu telah berpindah ke atas pundaknya sendiri! Tentu saja wanita itu terkejut dan amat heran, akan tetapi bocah gundul itu tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Bibi, aku kasihan melihat kau bersusah payah memikul air yang berat ini. Biar aku yang membawakan ke rumahmu.”
Tentu saja wanita itu girang sekali dan tertawalah dia, memperlihatkan deretan gigi yang jarang dan kecil-kecil.
“Anak baik, terima kasih,” katanya sambil melanjutkan perjalanan di sebelah Kwan Cu.
Dua orang wanita di belakangnya juga memandang heran pada Kwan Cu, bocah gundul yang baik hati itu. Setelah menurunkan pikulan di depan rumah wanita itu, barulah Kwan Cu mengajukan pertanyaan,
“Bibi, pernahkah engkau mengenal seorang pengemis tua di daerah ini yang dipanggil Gui-lokai?”
“Gui-lokai...?” Wanita itu mengerutkan keningnya yang sudah mulai keriputan, “Ah, kakek yang gila itu? Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah seorang tua yang malas dan gila, tidak mau bekerja, hanya menulis dan membaca saja kerjanya. Baiknya dia masih suka memberi pelajaran kepada beberapa orang anak, akan tetapi pelajaran membaca dan menulis, untuk apakah di dusun ini? Lebih baik belajar mencangkul tanah dari pada menggerakkan pit menulis!”
Bukan main girangnya hati Kwan Cu.
“Tahukah kau di mana adanya dia? Dan di mana tempat tinggalnya ketika dia berada di daerah ini?”
“Tempat tinggalnya? Di mana saja orang mau menerimanya. Kadang-kadang dia bahkan tidur di pinggir sawah, di tempat terbuka. Benar-benar orang aneh. Ehh, anak baik, kau pernah apakah dengan Gui-lokai maka kau mencarinya?”
Pada saat itu, seorang kakek tua yang mendatangi tempat itu mendengar kata-kata ini lalu menyambung,
“Aneh sekali! Baru kemarin sore ada juga dua orang lainnya yang menanyakan tentang Gui-lokai!”
Mendengar ini Kwan Cu merasa terheran.
“Lopek, siapakah mereka yang bertanya tentang Gui-lokai?”
“Seorang hwesio gemuk sekali dan seorang muridnya. Mereka pergi ke batu karang yang berbentuk menara dan berada di lereng barat untuk mencari goa yang dulu ditinggali oleh Gui-lokai,” jawab kakek itu.
“Di manakah batu karang itu, Lopek? Aku pun ingin sekali pergi ke goa tempat tinggal Gui-lokai!” Kwan Cu bertanya cepat-cepat.
Kakek itu ragu-ragu, akan tetapi wanita yang ditolongnya membawa air tadi cepat-cepat menudingkan jari telunjuknya ke arah puncak bukit yang tidak jauh dari situ. “Di sanalah tempatnya. Di sana terdapat sebuah batu karang yang menjulang tinggi, bentuknya mirip seperti menara. Di sekitar tempat itulah adanya goa tempat tinggal Gui-lokai ketika dia masih berada di daerah ini.”
“Terima kasih!” jawab Kwan Cu dan dua orang dusun itu menjadi bengong dan saling pandang ketika tiba-tiba Kwan Cu melompat dan lenyap dari depan mereka.
“Suhu, cepat, Suhu! Ada orang mendahului kita!” kata Kwan Cu ketika dia kembali ke tempat di mana Ang-bin Sin-kai menantinya.
“Siapa orangnya yang mendahului kita?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan muka terheran.
“Entahlah, kata orang dusun itu, ada seorang hwesio gemuk dan muridnya juga mencari goa tempat tinggal Gui-siucai!”
Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
“Hemm, jangan-jangan Jeng-kin-jiu dan Lu Thong yang mendahului kita.”
“Mari cepat, Suhu. Goanya berada di puncak itu,” berkata Kwan Cu dan bocah gundul ini mendahului suhu-nya berlari ke arah puncak itu. Ang-bin Sin-kai menyusul dan guru ini pun merasa gelisah kalau-kalau kitab yang dikehendaki oleh muridnya itu sudah dicuri orang lain.
Sebentar saja mereka telah tiba di puncak bukit di mana terdapat batu karang berbentuk menara. Mudah saja mendapatkan goa bekas tempat tinggal Gui Tin, karena goa ini besar dan panjang. Kwan Cu segera membuat obor dan bersama gurunya dia memasuki goa itu.
Tak salah lagi, inilah bekas tempat tinggal Gui-lokai, karena dindingnya banyak terdapat pahatan dan ukiran, tentu Gui Tin mempergunakan waktunya untuk membuat sajak-sajak ini. Kwan Cu mencari terus hingga akhirnya dia mendapatkan lubang di mana tersimpan sebuah peti.
Dengan hati berdebar girang, Kwan Cu mengeluarkan peti itu dan segera membawanya keluar. Setelah tiba di luar, dia membuka peti tadi, akan tetapi tiba-tiba pundaknya di tarik orang dan ternyata suhu-nya yang menarik tadi.
“Hati-hati, Kwan Cu. Keliru sekali kalau berlaku tergesa-gesa seperti itu menghilangkan kewaspadaan. Aku masih bersangsi kenapa Gui-siucai semudah ini menyimpan petinya yang berisikan kitab-kitab yang lebih disayangnya dari pada harta benda lain. Aku sangsi kalau-kalau ada orang yang sudah mendahului kita dan sengaja memasang perangkap. Biarkan aku yang membuka peti ini!”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggunakan sulingnya untuk mencokel tutup peti dan benar saja dugaannya, begitu tutup peti terbuka, dari dalam menyambar keluar kepala seekor ular kehijauan yang mendesis dan menjulurkan lidahnya.
Kwan Cu tertawa. “Ahh, ular kecil seperti itu saja, apa sih bahayanya?”
Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya dan memandang tajam kepada Kwan Cu.
“Salah, salah! Sama sekali salah kalau kau memandang rendah soal-soal kecil. Kau mau tahu tentang ular ini? Inilah yang di sebut Jeng-tok-coa (Ular Racun Hijau) yang bisanya jauh lebih berbahaya dari pada seekor ular sendok. Sekali pagut saja, tidak ada obat di dunia ini yang akan menyembuhkan dan menolong orang yang dipagutnya! Biar pun kau sendiri yang sudah mempunyai darah penolak racun di tubuhmu, agaknya akan bergulat dengan maut apa bila tadi kau membuka peti dan kena digigit oleh ular ini!”
Mendengar ini, Kwan Cu meleletkan lidahnya saking kaget dan ngerinya. Sekarang ular itu bergerak-gerak dan gerakannya betul-betul cepat sekali sehingga dapat dibayangkan kalau ular ini menyerang orang.
Ang-bin Sin-kai menggerakkan sulingnya. Sekali terbentur suling, pecahlah kepala ular itu, mengeluarkan lendir berwarna hijau yang berbau amis keharum-haruman dan yang membuat kepala menjadi pening ketika hidung mencium bau itu.
Ang-bin Sin-kai segera mengangkat peti itu menjauhi bangkai ular, kemudian barulah dia memperkenankan Kwan Cu memeriksa isi peti. Peti itu ternyata terisi banyak buku-buku tebal dan kuno.
Dengan jari-jari tangan gemetar saking menahan gelora hatinya, Kwan Cu memeriksa buku-buku itu satu demi satu. Buku-buku sajak, buku-buku tentang bintang-bintang dan kitab-kitab kebatinan yang amat kuno. Tetapi tidak ada sebuah pun kitab sejarah tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng!
“Heran sekali..., kitab yang dimaksudkan Gui-sianseng itu tidak ada... !” kata Kwan Cu setelah untuk kelima kalinya dia membuka dan memeriksa lagi buku-buku itu satu demi satu.
“Hemm, benar ada orang yang mendahului kita,” kata Ang-bin Sin-kai, “kau lihat di sana itu!”
Kwan Cu segera memandang dan dapat melihat bayangan dua orang berlari cepat sekali menuruni gunung itu. Bayangan seorang berkepala gundul yang gemuk bundar bersama seorang anak laki-laki yang sebaya dengan dia!
“Keparat!” Kwan Cu memaki dan hendak mengejar. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menahan dan memegang pundaknya.
Tiba-tiba Kwan Cu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada suhu-nya dengan mata basah dan muka pucat.
“Suhu, kau benar-benar tidak adil dan berat sebelah!” katanya dengan tangan terkepal.
“Ketika Suhu memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa) kepada Lu Thong, teecu sudah tahu bahwa betapa pun juga, Suhu lebih memberatkan keluarga sendiri! Sekarang terbuktilah dugaan teecu. Sudah terang yang mencuri kitab dari Gui-siucai adalah Lu Thong dan gurunya, akan tetapi Suhu tidak mengejar mereka, bahkan melarang teecu mengejar. Suhu, sesungguhnya Suhu hendak berlaku bagaimanakah terhadap murid?”
Mendengar ucapan Kwan Cu yang sifatnya menegur dan menuntut ini, sepasang mata Ang-bin Sin-kai mengeluarkan cahaya berkilat.
“Tutup mulutmu! Bila sekali lagi kau berkata demikian terhadapku, betapa pun besar rasa sayangku kepadamu dan betapa pun baiknya bakatmu untuk menjadi muridku, kau akan kutinggalkan! Tuduhanmu hanya karena terdorong oleh rasa iri hati dan putus asa. Iri hati melihat aku menurunkan Kong-jiu Toat-beng kepada Lu Thong, perasaan iri hati yang tak berdasar. Dia adalah cucu luarku, kenapa aku tidak boleh memberi sesuatu kepadanya? Dan kau putus asa melihat kitab peninggalan Gui-siucai dicuri orang. Juga perasaan putus asa ini bodoh sekali. Kau tadi melihat sendiri betapa ilmu lari cepat hwesio gundul itu hebat sekali, tidak kalah olehku? Dikejar pun tidak akan ada gunanya, karena mereka sudah meninggalkan kita. Aku masih ragu-ragu... apakah betul Jeng-kin-jiu yang mencuri kitab itu, Si Gundul dari selatan itu tidak demikian hebat lari cepatnya. Aku lebih condong menduga kepada Hek-i Hui-mo!”
Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya. “Ampunkan kelancangan mulut teecu, Suhu. Sesungguhnya, teecu bingung sekali melihat kitab itu sudah tidak ada lagi. Bagaimana kita harus berbuat sekarang, Suhu?”
“Tenanglah dan kita perlahan-lahan menyelidiki siapakah orangnya yang sudah mencuri kitab itu. Bukankah kau dulu bilang bahwa kitab itu ditulis dalam bahasa kuno yang sukar dimengerti dan yang hanya diajarkan mendiang Gui-siucai kepadamu?”
“Memang benar, Suhu. Akan tetapi siapa tahu kalau orang lain yang dapat membacanya. Menurut mendiang Gui-sianseng, pujangga-pujangga besar seperti Tu Fu dan Li Po pasti bisa membacanya. Hwesio gundul tadi terlalu jauh dari kita hingga sukar untuk mengenal mukanya, akan tetapi teecu yakin bahwa dia tentulah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.”
“Bagaimana kau bisa memastikannya?”
“Karena hanya Jeng-kin-jiu yang memiliki seorang murid laki-laki sebesar teecu. Setahu kita, Hek-i Hui-mo tidak mempunyai murid.”
Ang-bin Sin-kai mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku pun berpikir demikian. Namun, masih terlalu pagi untuk menuduh tanpa bukti. Sebaiknya kita menyusul ke kota raja dan bertanya terang-terangan kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”
Kwan Cu girang sekali karena ternyata bahwa suhu-nya benar-benar mau membantunya merampas kembali kitab itu. Mereka lalu berangkat dengan cepat, turun dari Liang-san menuju ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu yang mereka sangka telah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin.
Di dalam perjalanan menuju ke kota raja, mereka melalui kota Po-keng yang ramai dan terkenal sebagai tempat berkumpulnya para sastrawan dan orang-orang gagah.
“Kita mampir dulu ke rumah Kwa-pangcu (Ketua she Kwa), dia seorang sahabatku yang baik,” kata Ang-bin Sin-kai kepada Kwan Cu.
Yang disebut Kwa-pangcu oleh Ang-bin Sin-kai adalah Kwa Ok Sin, yakni seorang ahli silat Bu-tong-pai yang di samping memiliki ilmu pedang yang lihai, juga terkenal sebagai seorang ahli sastra terkemuka. Kwa Ok Sin atau Kwa-pangcu merupakan ketua dari perkumpulan Bun-bu-pang (Perkumpulan Ahli Silat dan Sastrawan) yang didirikan oleh para ahli sastra dan ahli-ahli silat di seluruh daerah Po-keng. Kwa Ok Sin dipilih karena memang dia memenuhi syarat, tidak saja ahli dalam bun (sastra), akan tetapi juga tinggi ilmu kepandaiannya dalam bu (silat).
Kwa Ok Sin yang memang keturunan kaya raya, amat besar rumahnya dan gedung ini selain dijadikan tempat tinggalnya, juga menjadi rumah perkumpulan Bun-bu-pai. Papan nama yang tergantung di depan rumahnya benar-benar amat indah.
Papan itu berukir dan berukuran besar sekali, ditulis dengan huruf-huruf yang amat indah dan gagah ‘RUMAH PERKUMPULAN BUN BU PAI’. Hal ini tidak mengherankan, karena sebagai perkumpulan ahli sastra, tentu saja tulisannya juga hebat!
Tak seorang pun di kota Po-keng yang tidak mengenal rumah ini, karena perkumpulan Bun-bu-pai memang dihormati oleh setiap orang. Bahkan dengan adanya perkumpulan ini, di daerah Po-keng bersih dari pada semua penjahat. Penjahat manakah berani main gila di kedung naga dan goa harimau?
Karena itu, tidak mengherankan apa bila nama Bun-bu-pai di Po-keng ini amat terkenal dan namanya dipuji-puji hingga jauh di luar daerah Po-keng. Bahkan, pujangga-pujangga besar dan ternama semacam Li Po dan Tu Fu sendiri tidak jarang datang berkunjung ke Bun-bu-pai untuk bercakap-cakap dengan Kwa Ok Sin dan para anggota lain. Juga para locianpwe, ahli-ahli silat tingkat tinggi dari seluruh Tiongkok apa bila lewat Po-keng selalu memerlukan untuk mampir.
Sungguh sangat kebetulan sekali, ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu tiba di Po-keng, Bun-bu-pai tengah penuh dengan para anggotanya. Hari itu dari berbagai tempat mereka sengaja datang berkumpul sebab ada beberapa hal yang amat penting dan mesti mereka rundingkan. Bahkan banyak tokoh-tokoh dari jauh datang mengunjungi pertemuan itu.
Kwan Cu dan gurunya berdiri di depan gedung Bun-bu-pai, dan Kwan Cu amat kagum melihat papan nama yang ditulis amat indah itu.
“Alangkah indahnya tulisan itu, Suhu,” kata bocah gundul itu dengan kagum.
Ang-bin Sin-kai tersenyum. “Apa sih indahnya tulisan macam itu? Marilah kita masuk dan kau akan melihat tulisan yang jauh lebih indah dari pada ini.”
Mereka masuk melalui pintu gerbang dan ketika tiba di ruang depan, benar saja. Di sana tergantung tulisan-tulisan dan lian-lian (tulisan berpasangan dan merupakan sajak indah) yang ditulis dengan indah sekali dalam berbagai-bagai bentuk.
Selama hidup belum pernah Kwan Cu menyaksikan sekumpulan tulisan demikian indah, baik gaya mau pun isinya, maka tiada bosannya dia membaca dan menikmati tulisan itu satu demi satu. Hal ini memang tidak mengherankan oleh karena yang tergantung di situ adalah hasil karya pujangga-pujangga terkemuka. Bahkan Tu Fu dan Li Po sendiri pun menyumbang ruangan ini dengan tulisan-tulisan dan sajak-sajak mereka!
Tidak seperti rumah perkumpulan lainnya, di situ tidak ada penjaga. Memang, siapakah orangnya yang akan berani mencuri atau membikin ribut di tempat ini? Karena itu tidak perlulah diadakan penjagaan.
Ketika Kwan Cu sedang enak-enak dan asyiknya membaca tulisan-tulisan itu, tiba-tiba terdengar suara halus, “Anak baik, sekecil ini sudah dapat menghargai tulisan baik!”
Pada saat Kwan Cu menengok, dia melihat seorang laki-laki tinggi tegap berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sungguh pun pakaiannya seperti seorang ahli silat, namun gerak-geriknya sangat halus dan sopan. Orang itu kini menghadapi Ang-bin Sin-kai, lalu menjura dan berkata,
“Sungguh kebetulan sekali Ang-bin Sin-kai locianpwe datang berkunjung. Memang kami sedang berkumpul dan ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada Locianpwe.”
Ang-bin Sin-kai tertegun. Orang yang menyambutnya ini adalah Kwa Ok Sin sendiri, sang ketua dari Bun-bu-pai. Biasanya, tidak beginilah sambutan Kwa-pangcu yang sudah lama menjadi sahabat baiknya. Sambutan kali ini mengapa begini dingin dan pada wajah ketua ini seakan-akan terbayang kekurang senangan dan juga kegelisahan?
“Selamat bertemu, Kwa-pangcu! Apakah gerangan yang telah terjadi?”
“Silakan masuk saja dan kau orang tua akan mendengarnya sendiri nanti,” Kwa-pangcu menjawab dengan muka masih tetap dingin dan beberapa kali dia melirik ke arah Kwan Cu seakan-akan dia pernah mendengar sesuatu mengenai bocah gundul yang pandai membaca sajak itu.
Ang-bin Sin-kai lalu memberi tanda kepada muridnya untuk masuk ke dalam. Di ruang ke dua, Kwan Cu kembali kagum sekali melihat lukisan-lukisan indah tergantung di dinding, ada pun di bawah terdapat tempat senjata penuh dengan senjata-senjata persilatan yang delapan belas macam banyaknya. Senjata-senjata yang ada di situ semuanya terdiri dari senjata-senjata pilihan belaka, sehingga bukan hanya Kwan Cu, bahkan Ang-bin Sin-kai sendiri memandang sambil mengeluarkan suara pujian.
Akhirnya tibalah mereka di dalam ruang tengah. Ruang ini luas sekali, dan di sana telah berkumpul lebih dari dua puluh orang. Melihat orang-orang ini Kwan Cu tertegun.
Sesungguhnya memang aneh karena tempat itu dipenuhi orang-orang yang berpakaian beraneka macam. Ada yang mirip seorang sastrawan dan bersikap lemah lembut sekali, ada yang berpakaian seperti ahli silat atau guru silat, bahkan ada pula pendeta-pendeta dan hwesio kepala gundul atau tosu-tsou yang rambutnya digelung di atas kepala.
Pendeknya, di tempat ini berkumpul ahli-ahli sastra dan ahli-ahli silat yang agaknya tidak memiliki kepandaian kepalang tanggung. Sikap mereka saja sudah menjelaskan bahwa baik ahli sastra mau pun ahli silat yang berkumpul di sana rata-rata memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya di bidangnya masing-masing.
Baik nama mau pun orangnya, Ang-bin Sin-kai sudah amat terkenal di antara para tokoh persilatan dan sastrawan itu. Akan tetapi, jika biasanya mereka menyambut kedatangan Ang-bin Sin-kai dengan muka girang dan kata-kata ramah, adalah pada saat itu tidak ada seorang pun yang berdiri dari tempat duduknya dan hanya memandang dengan sinar mata dingin.
Tentu saja Ang-bin Sin-kai menjadi heran dan tidak enak hati sekali, akan tetapi dia tetap bersikap tenang dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku, lalu memandang ke kanan kiri menentang pandang mata semua orang yang duduk di situ. Pandang mata Ang-bin Sin-kai sangat tajam dan berpengaruh, karena itu siapa pun juga yang bertemu pandang dengan dia, lalu menundukkan muka atau mengalihkan pandang matanya.
Kwa-pangcu duduk kembali ke bangkunya yang berada di kepala meja. Di kanan kirinya duduk dua orang tokoh besar yang sudah amat terkenal, yakni sebelah kiri adalah Pouw Hong Taisu, ketua dari Thian-san-pai yang berilmu tinggi. Ada pun di sebelah kanannya duduk Bin Kong Siansu, seorang tokoh besar ketua Kim-pan-sai.
Diam-diam Ang-bin Sin-kai sudah merasa amat heran melihat dua orang tokoh besar ini, karena tidak biasanya ketua-ketua dari Thian-pan-sai dan Kim-pan-sai duduk di tempat ini. Tidak mungkin kehadiran mereka itu hanya hal yang kebetulan saja, sebab apa bila memang begitu, tentu dua orang kakek itu telah menyambutnya dengan ramah sebagai orang-orang segolongan yang bertemu jauh dari tempat kediaman masing-masing.
“Cu-wi sekalian, karena ada saudara yang baru datang, maka kuharap soal-soal penting yang tadi telah dibicarakan, diulangi lagi laporannya,” Kwa Ok Sin berkata dengan suara kereng.
Semua orang kemudian menyatakan setuju. Dari ujung kiri berdirilah seorang muda yang nampaknya gagah. Dia adalah Lie Seng, anak murid Go-bi-pai yang memiliki kepandaian cukup tinggi dan sudah terkenal sebagai seorang pendekar muda yang banyak menolong rakyat.
Karena semua orang telah mendengar penuturannya, kini Lie Sieng memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata,
“Tadi sudah siauwte ceritakan bahwa kemarin hari ketika siauwte bersama pujangga Tu Fu, tiba-tiba ada seorang tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang dan menculik Tu-siucai. Gerakan orang itu cepat sekali dan ketika siauwte berusaha untuk menolong Tu-siucai, dengan sekali dorong saja siauwte roboh tak sadarkan diri. Karena cepatnya gerakan orang itu, siauwte tak sempat mengenal mukanya, hanya tahu bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakain pendeta. Tubuhnya gemuk sekali.”
“Apakah bajunya hitam semua?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.
Lie Seng menggelengkan kepalanya. “Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu melambaikan tangan ke arah lampu yang menjadi padam seketika.”
Kwa Ok Sin berdiri kemudian berkata, “Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi. Ternyata bahwa Tu-siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan maksud apa. Karena kita semua sudah mengenal Tu-siucai sebagai seorang sastrawan yang berjiwa gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menggunakan kepandaian dan mencoba menolong Tu-siucai dari tangan orang jahat.”
Warta ini menggirangkan hati Kwan Cu. Tanpa dapat ditahan lagi dia berkata dengan suaranya yang kecil nyaring.
“Penculiknya pasti Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”
Semua orang terkejut.
“Ehh, anak gundul, bagaimana kau berani menuduh Kak Thong Taisu?” terdengar suara keras dan yang membentak ini adalah Pouw Hong Taisu ketua dari Thian-san-pai yang semenjak tadi memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata membenci.
Tak senang hati Kwan Cu mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara kasar juga. “Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik seorang sastrawan besar!”
“Diam kau, Kwan Cu!” Ang-bin Sin-kai menegur.
Ketika guru dan murid ini saling bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya sendiri. Ia maklum bahwa urusan Im-yang Bu-tek Cin-keng ini tidak perlu diketahui oleh orang lain, maka dia lalu menundukkan muka dan menutup mulut.
“Muridku ini memang panjang lidah,” kata Ang-bin Sin-kai kepada semua orang.
“Tuduhannya tadi hanya kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapa pun juga, aku akan pergi ke kota raja untuk menyelidiki apakah benar-benar Jeng-kin-jiu yang menculik Tu-siucai.”
“Syukurlah, memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan coba menolong Tu-siucai,” kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai sambil berkata,
“Karena masalah pertama telah dibicarakan, maka lebih baik sekarang Taisu menuturkan lagi persoalan kedua yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-san!” Sambil berkata begini, Kwa Ok Sin lalu duduk kembali dan kini semua mata memandang kepada Pouw Hong Taisu yang sudah bangkit berdiri dengan muka merah.
Pouw Hong Taisu bertubuh jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas kepala itu masih hitam sekali sungguh pun usianya tak kurang dari lima puluh tahun. Di punggungnya kelihatan gagang sepasang golok, karena memang tokoh Thian-san-pai in terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu silat siang-to (sepasang golok).
“Cu-wi sekalian, sesungguhnya bukan hanya pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan ini seperti yang telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari sahabatku Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai. Kami mempunyai persoalan yang sama, karena muridnya dan murid pinto sudah terbunuh mati oleh seorang saja.” Sampai di sini Pouw Hong Taisu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata bernyala. Agaknya orang tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Pouw Hong Taisu lantas menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang-bin Sin-kai dan berada di hadapan Pengemis Sakti ini, tiba-tiba mencelat ke atas tinggi sekali. Benar-benar hebat demonstrasi tenaga lweekang dari tokoh Thian-san-pai ini, karena begitu banyak cawan arak di atas meja, namun begitu dia menggebrak meja yang mencelat hanyalah cawan arak milik Ang-bin Sin-kai saja, tepat seperti dikehendakinya!
Melihat ini, terkejutlah Ang-bin Sin-kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah kepadanya. Akan tetapi dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima kembali cawannya dan meletakkannya lagi di hadapannya.
“Tenang, Pouw Hong Taisu, ceritakanlah dengan jelas persoalannya lebih dahulu, jangan marah-marah seperti anak kecil!” kata Ang-bin Sin-kai untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di dekat Pouw Hong Taisu. Tokoh Kim-san-pai ini lalu berkata mengejek.
“Pinto merasa heran sekali melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih dapat memberi nasihat kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Sungguh berani mati dan tak tahu malu sekali!”
Sambil melontarkan kata-kata ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah cawan arak di depan Ang-bin Sin-kai dan...
“Praaaakk!”
Cawan itu pecah berkeping-keping seperti telah dipukul dengan palu besi! Padahal yang menyerang cawan arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu. Dari sini saja sudah dapat diukur sampai bagaimana hebatnya kepandaian tokoh Kim-san-pai ini.
Kwan Cu tertawa geli mendengar ucapan suhu-nya. Dia tadi sudah menyaksikan sikap kedua orang tosu itu, dan sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama ini dia selalu berada dengan suhu-nya dan merasa yakin bahwa suhu-nya tidak pernah melakukan hal yang tidak patut, dia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah fahaman dari fihak mereka.
Oleh karena ini, anak ini pun merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan di dalam hatinya. Dia bahkan mengharapkan agar suhu-nya dapat bertanding melawan dua orang jago tua dari Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu agar di dalam pertempuran yang hebat, dia mendapat pemandangan yang bagus dan penambahan pengalaman!
“Bin Kong dan Pouw Hong dua tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya untuk main-main seperti ini? Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah maka kalian seperti kemasukan setan dan marah-marah padaku?” kata Ang-bin Sin-kai sambil memandang kepada dua orang tosu itu.
“Pengemis busuk, kau masih berpura-pura tidak tahu? Kau sudah membunuh mati Ong Kiat, murid yang pinto tahu betul belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu bersikap sebagai seorang pendekar yang patut menjadi kebanggan Thian-san-pai. Akan tetapi, mengapa kau seorang tua yang sudah mendapat nama baik malah menurunkan tangan kejam dan membunuhnya? Tak perlu banyak cakap lagi, sekarang kebetulan kau datang sehingga memudahkan pinto untuk membalas dendam dan menagih hutang. Kini bersiaplah! Mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan hanya berani mengganggu orang-orang muda!” Sambil berkata begitu, tokoh Thian-san-pai ini mencabut sepasang goloknya yang ternyata berwarna kebiruan menyilaukan mata.
Inilah sebuah tantangan terbuka dan kini semuanya memandang ke arah Ang-bin Sin-kai untuk melihat bagaimana tokoh besar dari timur itu bersikap. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai masih bersikap tenang dan kini kakek pengemis ini memandang kepada Bin Kong Siansu sambil berkata,
“Bin Kong Siansu, baru saja Pouw Hong Taisu dari Thian-san-pai sudah melontarkan tuduhannya. Agar dapat sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau menuturkan pula tentang muridmu yang katanya kubunuh itu.”
Melihat sikap Ang-bin Sin-kai, Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga.
“Benar-benarkah kau tidak tahu atau hanya berpura-pura, Ang-bin Sin-kai? Seperti juga murid Pouw Hong Taisu, muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-cilan Thio Loan Eng yang menjadi isteri dari Ong Kiat anak murid Thian-san-pai, juga terbunuh olehmu secara sewenang-wenang? Karena itu, sekarang engkau pun harus menghadapi sebatang pedangku untuk menentukan siapa yang harus membayar nyawa muridku!” Bin Kong Siansu lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya.
Tiba-tiba terdengar orang menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong Siansu.
“Siapa bilang Thio-toanio mati? Bohong! Bohong semua! Thio-toanio tidak mati...!”
“Hmm, anak gundul, otakmu sudah agak miring rupanya. Kami sendiri telah menyaksikan kuburan dari Thio Loan Eng. Dia dibunuh oleh gurumu, kau masih mau main sandiwara untuk menutupi kedosaan gurumu?!” Bin Kong Siansu membentak diikuti tangan kirinya menyambar menempiling kepala Kwan Cu yang gundul.
Gerakan itu cepat sekali sehingga meski pun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena kemplangan tangan kiri tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan menabrak meja kursi, akan tetapi anak ini tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri lagi.
“Thio-toanio mati...? Terbunuh...? Ahhh, Suhu, kita harus membalaskan sakit hatinya...” katanya setengah menangis sambil menghampiri suhu-nya.
“Bocah lancang, kau diamlah saja, jangan turut campur,” kata Ang-bin Sin-kai menghibur.
Kakek ini maklum bahwa mendengar tentang kematian Pek-cilan, kesedihan muridnya mungkin masih lebih besar dari pada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh Kim-pan-sai itu.
“Bin Kong dan Pouw Hong, apa kalian berdua menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa aku membunuh murid-murid kalian?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Apa bila kami melihat dengan mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup sampai sekarang?!” bentak Pouw Hong Taisu marah.
Ketua Thian-san-pai ini memang wataknya sedikit sombong. Berbeda dengan Bin Kong Siansu yang agak jeri menghadapi Ang-bin Sin-kai, ketua Thian-san-pai ini menganggap kepandaian sendiri akan dapat mengatasi kepandaian Pengemis Sakti Muka Merah.
“Kalau begitu, siapakah yang memberi tahu kepada kalian bahwa aku sudah membunuh murid kalian?”
Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang menjawab,
“Ang-bin Sin-kai, kami mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami sudah bersumpah tidak akan memberitahukan namanya kepada siapa pun juga.”
”Hm, hem, hemm, jadi kalian percaya penuh kepadanya?”
“Tentu saja kami percaya! Dia orang terhormat, tidak seperti engkau!” Pouw Hong Taisu membentak sambil melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang.
Bersinar sepasang mata Ang-bin Sin-kai. “Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh murid-muridmu, apakah kalian tidak percaya padaku?”
Bin Kong Siansu ragu-ragu, akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,
“Siapa bisa percaya kepada seorang yang telah membunuh mati muridku?”
Akan tetapi Bin Kong Siansu lalu cepat-cepat berkata, “Ang-bin Sin-kai! Orang yang telah memberi tahukan mengenai pembunuhan itu adalah seorang yang ternama dan dia telah bersumpah. Maka apa bila kau juga mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh anak muridku, aku Bin Kong Siansu berjanji hendak menyelidiki lebih lanjut urusan ini.”
Ang-bin Sin-kai makin marah. Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu melesak ke dalam sampai setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada di atas meja tidak ada satu pun yang terguling!
“Kalian percaya omonganku atau tidak, habis perkara! Kalian kira aku ini orang macam apakah? Kalian percaya, bagus. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing? Hayo Kwan Cu, kita pergi!”
Ang-bin Sin-kai menggandeng tangan muridnya, bangkit meninggalkan bangkunya. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua orang dan tahu-tahu Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu telah berdiri menghadang di depannya.
“Jembel pembunuh! Enak saja kau mau minggat dari hukuman mati!” bentak Pouw Hong Taisu yang langsung menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.
“Kwan Cu, menyingkir ke sana!” kata Ang-bin Sin-kai.
Secepat kilat kaki kanan Ang-bin Sin-kai menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan Cu mencelat seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja yang agaknya memang kelebihan dan ditumpuk di situ supaya tidak memenuhi ruangan. Sambil berpoksai dan berjumpalitan dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin (Naga Siluman Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton dengan enaknya!
Ada pun Ang-bin Sin-kai yang menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan dan kiri, berlaku tenang akan tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok dari ketua Thian-san-pai ini, maka melihat dua sinar kebiruan menyambar dari kanan kiri mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya mencelat mundur menghindarkan diri.
“Ang-bin Sin-kai, makanlah golokku!” Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan serangan bertubi-tubi yang kesemuanya amat berbahaya.
Permainan golok kakek Thian-san-pai ini memang sangat hebat. Tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan sepasang tangan maut. Nampak dua gulungan sinar biru yang terang sekali bergulung-gulung mengepung tubuh Ang-bin Sin-kai!
Melihat permainan golok ini, Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat duduknya yang tinggi.
“Bagus, bagus! Sinar golok yang bagus sekali!”
Anak ini terlalu percaya terhadap suhu-nya sehingga seruannya tadi sama sekali tidak tercampur rasa kekhawatiran terhadap keselamatan gurunya. Dalam hal ini dia memang benar, karena betapa pun hebat ilmu golok dari tokoh Thian-san-pai itu, namun gerakan Ang-bin Sin-kai lebih hebat dan cepat lagi.
Kakek ini nampaknya seperti tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang membuat Kwan Cu menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan bahwa dalam menghadapi sepasang golok tokoh dari Thian-san-pai itu, suhu-nya hanya mempergunakan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Atur Pintu Tahan Ratusan Golok) yang telah dia pelajari!
Ahhh, betapa tadinya dia memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya yang menganggap gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong. Dan sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-bun Tui-pek-to, ternyata oleh gurunya telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu dengan sepasang goloknya!
Pada saat dia memperhatikan permainan kedua tangan dan kaki suhu-nya, dia menjadi makin heran. Pai-bun Tui-pek-to yang dimainkan oleh suhu-nya itu sama sekali tidak ada bedanya dengan permainannya sendiri, bahkan gerakan suhu-nya itu nampaknya terlalu lambat. Bagaimana dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan yang begitu tangguh?
Ketika dia mencurahkan perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong Taisu menyambar, kalau suhu-nya tidak sempat lagi untuk mengelak, suhu-nya lalu menggunakan tangan untuk dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras sehingga menjadi mencong dan menyeleweng arahnya!
Ia maklum bahwa dalam mainkan Pai-bun Tui-pek-to, perbedaan antara dia dan gurunya adalah bahwa gurunya hanya bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menunggu perkembangan serangan lawan. Tiap gerakan suhu-nya bukan hanya gerakan percuma, melainkan gerakan yang penuh isi, tak mau bergerak dengan sia-sia atau untuk selingan belaka. Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan tahulah dia kini akan arti kata-kata suhu-nya yang sering menyatakan bahwa semua ilmu silat itu lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau memainkannya!
Setelah ‘mengukur’ tingkat ilmu golok dari Thian-san-pai itu, Ang-bin Sin-kai sudah dapat menguras semua gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini mencatat di dalam hatinya beberapa gerakan golok yang dianggapnya luar biasa serta sangat baik untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya.
Beginilah sikap seorang jagoan besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan tangguh dia selalu membuka matanya untuk memetik beberapa gerakan yang baik dari lawannya. Dengan sikap seperti ini maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan selalu makin tinggi saja kepandaiannya dan semakin tenar namanya.
Kalau Ang-bin Sin-kai mau, sebetulnya dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan Pouw Hong Taisu. Akan tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari timur ini dahulunya adalah seorang sastrawan. Maka masih ada sifat-sifat sopan dan halus di dalam dirinya dan dia merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh pertama dari Thian-san-pai di hadapan orang banyak.
Selain hal ini akan menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan akibat dendam dan bibit permusuhan dengan partai Thian-san-pai yang besar. Lagi pula, ketua Thian-san-pai ini menyerang dirinya karena menduga bahwa dia membunuh anak murid Thian-san, karena itu tidak seharusnya ketua ini dirobohkan. Ia hanya mau merobohkan seorang yang memang jahat dan ketua Thian-san-pai ini biar pun agak keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!
“Pouw Hong Taisu, biarlah pinto menggantikanmu menghadapi Ang-bin Sin-kai!” tiba-tiba Bin Kong Siansu berkata keras.
Pedangnya berubah menjadi sinar yang panjang dan gemerlapan, mengalahkan cahaya sepasang golok ketua Thian-san-pai itu. Ternyata bahwa tokoh dari Kim-san-pai itu telah turun tangan menyerang Ang-bin Sin-kai dengan hebatnya.
Tadi dia telah menyaksikan kehebatan Ang-bin Sin-kai dan tahu bahwa kawannya itu tak akan dapat menangkan Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia sendiri pun masih sangsi apakah dia akan sanggup mengalahkan Ang-bin Sin-kai, akan tetapi karena dia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya, dia sengaja maju sebelum Pouw Hong Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini.
Akan tetapi Pouw Hong Taisu benar-benar berhati keras. Walau pun dia maklum bahwa lawannya ini lihai sekali dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur, berati dia mengalah atau kalah.
“Tidak, Bin Kong Siansu. Aku harus menjatuhkan pengemis ini!” jawabnya dan sepasang goloknya langsung diputar semakin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari ilmu golok Thian-san-pai.
“Ha-ha-ha, tua bangka pikun. Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main sebentar!” Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
Tiba-tiba tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya menyambar-nyambar di antara sinar golok dan pedang! Baru kini kakek ini menunjukkan kelihaiannya.
Tidak saja dua orang pengeroyoknya yang sangat terkejut karena seakan-akan mereka berdua mengeroyok sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan bengong karena matanya yang terlatih masih tidak mampu mengikuti gerakan suhu-nya yang demikian cepatnya! Sekarang dia betul-betul melihat suhu-nya dengan kepandaian yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga dan kagum.
Tiba-tiba Kwan Cu merasa tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia sempat memberontak, tubuhnya sudah terlempar naik ke atas melalui genteng yang sudah dilobangi dan nyeplos terus ke atas genteng! Ketika dia membuka matanya yang terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di depan Kiu-bwe Coa-li dan Bun Sui Ceng!
“Ehh..., apa artinya ini...?” tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng yang manis dan kini bersinar seperti sepasang bintang pagi.
“Artinya, jika aku tak memerlukanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah menghancurkan batok kepalamu yang gundul ini sebab ternyata kau adalah seorang penipu cilik, seorang pembohong pandai yang kurang ajar sekali!”
Kwan Cu memandang kepada nenek sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar. “Eh, ehh, ehhh…! Suthai, mengapakah datang-datang marah besar kepada teecu? Apa kesalahanku?”
“Kau tahu tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, mengapa dahulu tidak mau memberi tahu kepadaku?”
“Itulah rahasiaku sendiri, Suthai. Kenapa harus dibuka kepada orang lain? Dan aku yang menutup rahasiaku sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu? Dalam hal apakah teecu membohong dan perbuatan mana pula yang merupakan penipuan?”
Dilawan dengan amat tabah oleh bocah gundul ini, Kiu-bwe Coa-li tertegun dan tak dapat menjawab!
“Sudahlah tak perlu banyak cakap. Sekarang kau harus ikut pinni dan membawa pinni ke tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau kau masih ingin hidup lebih lama lagi di dunia ini. Kalau kau menolak, sekarang juga kuhancurkan batok kepalamu.”
“Teecu masih mau hidup karena di dalam hidup teecu masih ada dua hal yang harus teecu penuhi, yakni pertama mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kedua kalinya, membalaskan sakit Thio-toanio yang telah terbunuh orang!” Sambil berkata demikian, dia memandang kepada Sui Ceng.
Anak perempuan ini tiba-tiba mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu dengan penuh arti. “Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak akan menghancurkan kepala si keparat Toat-beng Hui-Houw!” kata Sui Ceng.
“Apa...?! Pembunuh ibumu Toat-beng Hui-houw?” muka Kwan Cu menjadi girang sekali. “Dan suhu di bawah dikeroyok orang karena disangka suhu yang membunuh ibumu!”
Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li langsung menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas tak berdaya lagi!
“Sui Ceng, cepat bawa bocah gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan sebelah utara. Biar aku lebih dahulu membereskan Ang-bin Sin-kai si manusia pelanggar sumpah!”
Sui Ceng mengangguk dan dia segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biar pun seluruh tubuhnya lumpuh, namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka kagumlah dia melihat kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang walau pun menggendongnya, masih dapat berlari dengan ringan dan cepat sekali.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li setelah melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu menyambar turun ke dalam ruangan di mana Ang-bin Sin-kai masih dikeroyok dengan hebat oleh dua orang kakek tua Kim-san-pai dan Thian-san-pai.
Menghadapi ilmu pedang Kim-san-pai yang betul-betul ganas dan gerakannya amat kuat, Ang-bin Sin-kai menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk main-main seperti tadi ketika menghadapi Pouw Hong Taisu seorang, karena kini keroyokan kedua orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan begitu saja.
Oleh karena itu, begitu tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, ia pun mulai membalas dengan pukulan-pukulannya yang sangat lihai. Beberapa kali dia hampir saja berhasil memukul runtuh senjata lawan, akan tetapi kedua orang kakek yang cukup mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hati-hati dan saling membantu.
“Tar! Tar! Tar!”
Pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar menyambar ke arah medan pertempuran! Inilah pecut ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li yang telah turun tangan. Bagai sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu cambuk itu melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut yang luar biasa lihainya.
Pada saat itu, karena kini Ang-bin Sin-kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatian pada serangan Ang-bin Sin-kai dan tidak bisa menjaga datangnya ‘ular-ular hidup’ ini. Maka tanpa dapat dicegah pula, sepasang golok di tangan Pouw Hong Taisu serta pedang di tangan Bin Kong Siansu, gagangnya telah terkena libatan bulu-bulu cambuk dan ditarik oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga senjata-senjata itu terlepas dari pegangan!
Ada pun Ang-bin Sin-kai, biar pun dia menghadapi keroyokan dua orang yang lihai, tetapi memang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-bwe Coa-li ini dia ketahui baik-baik. Apa lagi saat terdengar bunyi bergeletar tadi, tahulah dia bahwa senjata istimewa dari Kiu-bwe Coa-li telah beraksi. Ia tidak berani lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia segera menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh Kiu-bwe Coa-li!