Pendekar Sakti Jilid 11

Pendekar Sakti Jilid 11
Sonny Ogawa

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 11

SUI CENG menjadi gelisah sekali dan bingung melihat bocah gundul itu menangis begitu sedihnya. Ia khawatir kalau-kalau pukulan tangan gurunya tadi telah membuat otak Kwan Cu menjadi rusak dan atau miring! Ia cukup maklum akan keganasan dan kehebatan tangan gurunya kalau memukul.

Sui Ceng maju mendekat dan mengulurkan tangan untuk meraba kepala Kwan Cu yang gundul, untuk melihat apakah kepala itu terasa panas. Ternyata tidak terasa panas dan tidak apa-apa.

"Sui Ceng, apa kau mengira bocah ini gila?" Kiu-bwe Coa-li berkata dan hampir tak dapat menahan senyumnya saking geli melihat perbuatan Sui Ceng.

Akan tetapi Sui Ceng seperti tidak mendengar ucapan gurunya, bahkan dia lalu bertanya kepada Kwan Cu dengan suara halus,

“Kwan Cu, apamukah yang sakit? Kenapa kau menangis begitu sedih? Sudahlah, Kwan Cu, untuk apa menangis terus? Sebenarnya dipikir-pikir hidup tidak begitu menyedihkan!” dalam usahanya menghibur Kwan Cu, anak gadis yang masih kecil ini mengeluarkan kata-kata yang lucu.

Mendengar ini, Kwan Cu mengangkat mukanya. Dengan kekerasan hatinya dia sudah dapat menahan air matanya dan kini dia berkata perlahan,

“Sui Ceng, aku tidak menyedihkan sesuatu, hanya hatiku merasa sakit apa bila teringat akan kematian ibumu. Aku harus membalaskan dendamnya, walau aku akan berkorban nyawaku yang tak berharga!”

Sesudah mendengar ucapan Kwan Cu ini, tiba-tiba saja Sui Ceng mengeluh dan anak perempuan inilah yang sekarang menangis sedih, tersedu-sedu menutupi muka dengan dua tangannya! Sekarang Kwan Cu yang memegang pundaknya dan menghibur, seperti seorang kakak kepada adiknya.

“Siauw-pangcu, jangan menangis. Tak pantas seorang ketua perkumpulan besar seperti engkau meruntuhkan air mata!” kata Kwan Cu.

Seketika keringlah air mata di mata Sui Ceng yang bening. Ia memandang Kwan Cu dan kini wajahnya berseri.

“Kau benar! Aku harus seperti mendiang ayahku. Aku akan menahan derita ini dengan tabah dan sebagai seorang Siauw-pangcu (ketua cilik), aku tidak boleh menangis. Akan tetapi, bukan kau yang berhak membalaskan sakit hati ibuku, Kwan Cu. Kedua tanganku sendiri yang akan menghancurkan kepala Toat-beng Hui-houw!” Setelah berkata begitu, Sui Ceng bangkit berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya yang kecil.

“Cukup semua itu, Sui Ceng! Apa sih sukarnya untuk mencari dan membunuh Toat-beng Hui-houw? Jangan bersikap lemah seperti bukan muridku saja! Hayo lekas kau ceritakan, Kwan Cu. Di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Awas, jangan kau membohong, karena sekali kau membohong, kepalamu akan hancur oleh cambukku dan pinni tak mau mengampunimu lagi, biar pun Sui Ceng sayang kepadamu.”

Mendengar disebutnya tentang Sui Ceng sayang kepadanya, Kwan Cu segera menoleh kepada anak perempuan itu. Dia berkata mesra dengan wajah berseri, lalu mengangguk-anggukkan kepala yang gundul.

“Sui Ceng memang manis dan baik sekali, seperti ibunya...”

“Bocah gundul, jangan nyeleweng. Jawab pertanyaanku!” Kiu-bwe Coa-li membentak tak sabar.

Kwan Cu memandang kepada wanita sakti itu, sama sekali tidak nampak takut.

Sambil menahan kegemasannya, Kiu-bwe Coa-li berkata, “Di manakah adanya kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

“Jika begitu pertanyaan Suthai, teecu tidak bisa menjawab karena memang teecu sendiri tidak tahu di mana adanya kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng.” Suara anak ini terdengar tegas, sepasang matanya memandang jujur dan tabah.

Maka kecillah hati Kiu-bwe Coa-li. Tadinya dia mengharapkan akan mendengar petunjuk anak gundul itu agar bisa memperoleh kitab pelajaran ilmu silat yang diidam-idamkannya semenjak lama sekali. Akan tetapi mendengar jawaban Kwan Cu, ia tahu bahwa anak ini tidak membohong dan kecewalah hatinya.

Sesudah menentang pandang mata anak gundul itu sekian lamanya, Kiu-bwe Coa-li lalu berkata,

“Aku mau percaya omonganmu. Akan tetapi, kau dan gurumu mencari apakah di Bukit Liang-san?”

Tertegunlah Kwan Cu mendengar pertanyaan ini.

“Eh, eh, ehh, bagaimana Suthai dapat saja mengerti dan tahu akan segala gerakan teecu dan suhu? Apakah Suthai selama ini mengikuti kami dan diam-diam menyelidiki segala kelakuan kami?”

Sepasang mata Kiu-bwe Coa-li bernyala lagi. Tangannya sudah merasa gatal-gatal untuk menampar kepala gundul yang bicaranya selalu menusuk dan mengganggu hatinya itu.

“Kwan Cu, jawablah sebenarnya saja kepada Suthai,” Sui Ceng memberi nasehat karena gadis cilik ini merasa khawatir kalau-kalau gurunya akan marah dan menyiksa Kwan Cu lagi.

Senang hati Kwan Cu mendengar kata-kata Sui Ceng ini. Betapa pun juga di dunia ini masih ada orang-orang yang menaruh hati kasihan kepadanya. Sepasang matanya yang lebar lalu memandang kepada Kiu-bwe Coa-li dan berkata,

“Suthai, agaknya tidak perlu pula kusembunyikan lebih lama lagi. Pertama-tama karena Suthai sangat bernafsu untuk mendapatkan tempat di mana disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kedua karena agaknya teecu memang tidak bernasib bagus untuk mendapatkan kitab itu. Ketahuilah bahwa teecu mengajak suhu ke Liang-san disebabkan teecu hendak mencari kitab sejarah peninggalan guru teecu mendiang Gui-siucai. Kitab sejarah itu ternyata telah dicuri orang!”

“Hemm, jangan bicara kacau balau! Apa perlunya kau bercerita mengenai kitab sejarah? Apa hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

“Sebetulnya, jika orang hendak mencari di mana adanya kitab rahasia yang diperebutkan itu, orang harus membaca kitab sejarah peninggalan Gui-siucai, karena di situ terdapat petunjuk-petunjuk tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Kiu-bwe Coa-li nampak bernafsu kembali. “Begitukah? Siapa yang sudah mencuri kitab sejarah itu? Hayo katakan cepat!”

“Teecu bersama suhu sedang menyelidiki hal ini pula. Menurut penuturan orang dusun di lereng Liang-san, yang datang adalah hwesio gundul gemuk sekali bersama muridnya, dan teecu sendiri ketika berada di lereng, juga melihat bayangan mereka. Agaknya, tidak salah lagi, yang mencuri itu tentunya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bersama muridnya. Kalau bukan mereka, siapa lagi?”

Kiu-bwe Coa-li menyumpah-nyumpah. “Keparat gundul!”

“Ehh, mengapa Suthai memaki teecu? Apa salahku?”

“Tolol! Bukan kau yang kumaki. Melainkan Jeng-kin-jiu!”

Sui Ceng tertawa. “Kwan Cu, apa kau kira di dunia ini hanya kau sendiri yang gundul?”

Memang Sui Ceng mempunyai watak jenaka, di mana saja ada kesempatan, dia selalu memperlihatkan wataknya ini. Kwan Cu juga tersenyum mendengar godaan ini.

“Kwan Cu, coba jelaskan sekali lagi, benar-benarkah di dalam kitab sejarah itu adanya petunjuk-petunjuk mengenai tempat tersimpannya Im-yang Bu-tek Cin-keng? Kau tidak bohong?” tanya Kiu-bwe Coa-li, sekarang suaranya tidak begitu galak lagi.

“Teecu bersumpah bahwa demikianlah yang teecu dengar dari mendiang Gui-sianseng. Betul tidaknya, bagaimana teecu bisa memastikannya kalau teecu sendiri belum pernah melihat kitab sejarah itu? Sebelum meninggal dunia, Gui-sianseng pernah meninggalkan pesan kepada teecu untuk mencari kitab itu dan kemudian menurut petunjuk ini mencari tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi, sekarang teecu tidak bernafsu lagi untuk mendapatkan kitab aneh itu.”

“Mengapa?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.

“Karena menurut mendiang Gui-sianseng, Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong yang sukar sekali didatangi orang. Sekarang orang-orang gagah di seluruh dunia yang berkepandaian tinggi seperti Suthai sendiri dan yang lain-lain, sudah turun tangan memperebutkan kitab itu. Bagaimana seorang bodoh seperti teecu ada harapan? Tidak, teecu tak begitu bodoh untuk membuang waktu memperebutkan kitab yang belum tentu berguna bagi teecu sendiri.”

“Bagus, memang sebaiknya kau jangan membuang nyawamu untuk mencarinya. Lebih baik kau membantu aku mencarinya. Hayo kita menyusul si gundul Jeng-kin-jiu ke kota raja!”

Demikianlah Kiu-bwe Coa-li membawa Kwan Cu dan Sui Ceng menuju ke kota raja. Akan tetapi karena wanita sakti ini maklum bahwa Ang-bin Sin-kai tentunya tidak akan tinggal diam dan pasti berusaha mencari muridnya, maka dia mengambil jalan memutar melalui hutan-hutan besar agar jangan sampai bertemu dengan Ang-bin Sin-kai.

Bukan sekali-kali Kiu-bwe Coa-li takut menghadapi pengemis sakti itu, melainkan dia tak ingin usahanya untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng terganggu. Kalau dia sudah mendapatkan kitab itu, dia tidak akan peduli siapa pun juga akan mengganggunya. Dia sedang mencari kitab sejarah yang menurut Kwan Cu dicuri oleh Jeng-kin-jiu. Sedangkan menghadapi Jeng-kin-jiu seorang pun sudah merupakan hal yang tidak boleh dipandang ringan, apa lagi kalau harus ditambah gangguan dari Ang-bin Sin-kai!

Karena itulah maka biar pun Ang-bin Sin-kai melakukan perjalanan cepat, pengemis sakti ini tidak bertemu dengan muridnya yang diculik oleh Kiu-bwe Coa-li.

Pada suatu hari, Kiu-bwe Coa-li mengajak dua orang anak itu berhenti di sebuah hutan yang luas. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang wanita sakti yang memiliki kesenangan aneh sekali, yakni memancing ikan! Dan di dalam hutan itu terdapat sebuah telaga, terdengar suara air bercipakan dan kelihatan perut-perut ikan yang mengkilap ketika ikan-ikan itu bercanda dan timbul di permukaan air. Melihat semua ini, keinginan Kiu-bwe Coa-li untuk memancing tak dapat ditahan lagi!

Kesenangan ini bukan karena Kiu-bwe Coa-li terlampau doyan makan daging ikan, sama sekali bukan. Dia senang memancing karena kesenangan atau kenikmatan yang hanya dapat dirasa oleh para pemancing ikan, yakni kesenangan yang dirasakan pada waktu pancing atau kail digondol ikan. Ketegangan, harapan dan kepuasan terasa di dalam hati apa bila ujung kail disambar ikan.

Kiu-bwe Coa-li membuat gagang pancing dari ranting bambu dan tak lama kemudian kaki wanita sakti ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, memegang gagang pancing, diam tak bergerak dan sama sekali lupa akan keadaan sekelilingnya, juga tidak mempedulikan lagi kepada Sui Ceng dan Kwan Cu.

Dua orang anak itu menjadi bosan juga menunggui wanita itu memancing ikan, maka keduanya lalu pergi berjalan-jalan di dalam hutan. Sui Ceng paling suka akan kembang-kembang indah, maka ia mengajak Kwan Cu mencari bunga-bunga yang banyak tumbuh di dalam hutan. Mereka berjalan-jalan sambil bercakap-cakap.

“Lihat, Sui Ceng... Di sana ada kembang cilan!” tiba-tiba Kwan Cu berseru girang sambil menudingkan telunjuknya ke arah serumpun pohon bunga cilan.

Akan tetapi kegembiraan hati Kwan Cu segera lenyap dan mukanya menjadi menyesal sekali ketika dia melihat wajah Sui Ceng. Gadis cilik ini menjadi pucat sekali dan berdiri seperti patung, sedangkan sekelompok bunga yang tadi dipetik dan dipegangnya, tanpa terasa pula jatuh ke atas tanah.

“Aduh, maaf... Sui Ceng... maafkan aku. Aku tidak sengaja mengingatkan kau...,” berkata Kwan Cu sambil memegang tangan Sui Ceng. Seperti seorang kakak yang menghibur adiknya, Kwan Cu menggunakan tangan untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Sui Ceng!

“Sudahlah, Sui Ceng, kematian ibumu tak perlu selalu disedihkan. Aku bersumpah akan mencari kemudian memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw manusia jahanam itu untuk membalas sakit hati ibumu!”

Kwan Cu tahu bahwa tentu Sui Ceng teringat kepada ibunya ketika melihat bunga cilan, karena ibunya sangat suka akan bunga ini, bahkan ibunya mendapat julukan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih) karena sering memakai bunga cilan sebagai penghias rambutnya.

“Apa yang kau katakan?” Sui Ceng membelalakkan kedua matanya memandang kepada Kwan Cu seperti orang marah. “Keparat jahanam Toat-beng Hui-houw tidak boleh dibikin mampus oleh orang lain. Aku sendiri yang akan membelek dadanya dan mengeluarkan jantungnya, lalu memenggal kepalanya untuk kupergunakan sembahyang kepada ibu!”

“Ha-ha-ha! Dua ekor anak domba berdaging empuk lagi bersombong hendak membunuh seekor harimau jantan. Ha-ha-ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa.

Suara ini begitu menyeramkan, besar dan serak sehingga Kwan Cu dan Sui Ceng kaget bukan main. Kedua orang anak ini cepat menengok dan alangkah terkejut hati mereka ketika di hadapan mereka telah berdiri seorang kakek yang bentuk tubuh dan wajahnya aneh sekali. Apa lagi Sui Ceng yang mengenal kakek ini, wajahnya lantas menjadi pucat seketika.

Kakek ini tubuhnya agak bongkok, kepala penuh cambang bauk berwarna putih dan yang mengerikan adalah kedua tangannya, karena sepuluh jari di tangannya berkuku panjang melengkung seperti cakar harimau. Ada pun kedua kakinya telanjang sama sekali.

“Toat-beng Hui-houw...!” seru Sui Ceng yang pernah bertemu dengan siluman ini.

Mendengar disebutnya nama ini, serentak Kwan Cu mengepal tinjunya dan memandang dengan mata marah. Sama sekali dia tidak menjadi takut lagi melihat wajah yang sangat menyeramkan itu. Jadi inikah pembunuh dari Pek-cilan Thio Loan Eng?

Kembali Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak.

“Bocah gundul jelek! Kau tadi bilang hendak memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw? Ha-ha-ha! Akulah yang akan memecahkan kepalamu dan kumakan otakmu yang kental membeku! Dan kau... kuncup bunga yang cantik, jantungmu tentu empuk dan darahmu hangat manis, lebih hangat dan lebih manis dari pada darah ibumu. Ha-ha-ha!”

Sui Ceng dan Kwan Cu yang sudah tak dapat menahan kemarahannya pula, telah maju berbareng dan menyerang dengan pukulan mereka yang biar pun dilakukan oleh lengan tangan kecil, namun mendatangkan angin pukulan yang hebat juga. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hui-houw menjadi gembira sekali.

“Anak-anak baik... bertulang bersih... ha-ha-ha!”

Dia lalu mainkan ilmu silatnya dengan cepat, mempergunakan sepasang tangannya yang berkuku panjang untuk menangkap tangan kedua anak itu yang menyerang.

Akan tetapi, baik Sui Ceng mau pun Kwan Cu adalah murid-murid orang pandai, maka mereka tidak main seruduk saja dan di dalam ilmu silat mereka sudah mendapat latihan dasar yang tinggi. Melihat bentuk kuku dan gerakan tangan manusia yang seperti iblis itu, mereka tidak membiarkan tangan mereka terpegang. Keduanya menggunakan ginkang untuk bergerak ke sana ke mari menjauhi jangkauan tangan lawan sambil menyerang ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan lemah.

Namun kedua orang anak ini masih terlalu muda dan tenaga mereka kurang kuat. Biar pun sudah dua kali Kwan Cu berhasil menggunakan ilmu pukulan dari Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to dan menghantam lambung Toat-beng Hui-houw, akan tetapi pukulannya yang keras dan mengandung tenaga lweekang itu seolah-olah mengenai benda dari karet saja dan terpental kembali membuat tubuhnya sendiri terhuyung-huyung!

Juga Toat-beng Hui-houw terkejut sekali karena pukulan anak ini antep sekali. Baiknya dia telah menduga bahwa mereka ini adalah murid-murid orang pandai, maka semenjak siang-siang dia sudah mengerahkan lweekang pada tubuhnya ketika menerima pukulan-pukulan yang cepat itu sehingga dia dapat menolak pukulan itu dan tidak menderita luka.

Juga Sui Ceng memperlihatkan kecepatannya. Pernah dua jarinya menotok jalan darah di punggung kakek ini, namun ternyata bahwa jarinya mengenai kulit lemas dan daging yang tak berurat. Ia kaget dan maklum bahwa kakek seperti iblis ini telah menggunakan Ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindung Jalan Darah) sehingga totokannya itu gagal sama sekali.

Tapi Sui Ceng benar-benar memiliki gerakan seperti burung walet cepatnya. Tangannya yang kecil itu meluncur laksana seekor ular dan tahu-tahu dua jarinya dipentang lantas menusuk sepasang mata Toat-beng Hui-houw!

Harimau Terbang Pencabut Nyawa ini mengeluakan seruan tertahan. Hebat bukan main serangan anak perempuan ini, karena kalau matanya terkena tusukan jari tangan, tentu dia akan menjadi buta. Maka dia cepat melompat ke atas untuk menghindarkan tusukan ke arah matanya.

Tidak tahunya Sui Ceng benar-benar cerdik sekali. Pada saat tangannya tidak berhasil menusuk mata lawan yang melompat tinggi, cepat ia menjambret jenggot dan membetot dengan gentakan keras.

“Aduuuuuuhhh...!”

Toat-beng Hui-houw menjerit lalu menggereng bagai seekor harimau dicabut jenggotnya. Sebagian dari bulu jenggotnya telah tercabut oleh tangan Sui Ceng! Bukan main sakitnya sehingga matanya sampai mengeluarkan air mata. Pedas dan perih.

Hal ini mendatangkan marah yang luar biasa. Begitu dia menubruk sambil mengeluarkan suara mengerikan, Kwan Cu dan Sui Ceng tidak dapat mengelak lagi dan kedua orang anak ini telah tertangkap!

Kwan Cu dan Sui Ceng tak mau mengalah begitu saja dan cepat menggerakkan tangan memukul, namun segera mereka menjadi lemas dan habislah seluruh tenaga pada waktu Toat-beng Hui-houw menekan pundak mereka dengan tangan yang berkuku panjang.

Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan beberapa kali dia mempergunakan tangannya mengelus-elus kulit leher Sui Ceng yang halus, seakan-akan seorang anak kecil melihat kulit buah leeci yang halus dan menggairahkan!

Sui Ceng yang tidak berdaya menutup matanya dengan ngeri karena dia teringat betapa leher ibunya juga sudah digigit dan dihisap darahnya oleh manusia siluman ini! Ada pun Kwan Cu yang dielus-elus kepalanya, merasa bergidik pula karena kepalanya tentu akan dipecahkan dan otaknya dilalap oleh setan ini seperti ancamannya tadi.

“Ha-ha-ha! Sukar untuk memilih, makan otak dulu atau minum darah dulu. Sama-sama enaknya, sama-sama manisnya!” kakek ini bicara seorang diri seperti seorang kelaparan menghadapi arak wangi dan daging muda, bingung untuk mengambil keputusan, makan dulu atau minum dulu!

“Toat-beng Hui-houw, kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau mengganggu Sui Ceng. Tidak kasihankah kau melihat dia? Tidak malukah kau membunuh seorang anak perempuan kecil seperti dia?” kata Kwan Cu.

Meski dia dan Sui Ceng berada di bawah pengaruh totokan yang lihai sehingga menjadi lumpuh, akan tetapi kedua orang anak ini tadi mengumpulkan tenaga lweekang sehingga mereka dapat melindungi penapasan dan tidak kehilangan suara mereka sehingga masih dapat bicara.

Kwan Cu hendak menolong Sui Ceng, dia sendiri rela mati. Akan tetapi tak disangkanya, anak perempuan itu mempunyai keberanian yang tidak kalah olehnya. Sui Ceng bahkan menjadi marah dan membentak,

“Kwan Cu, kau kira aku takut mati? Biarkan iblis ini membunuhku, nyawaku akan selalu mengejarnya. Sebelum menghancurkan kepalanya, nyawaku akan terus menjadi setan penasaran!”

Toat-beng Hui-houw tertawa ha-ha-he-he sambil memandang bergantian kepada kedua anak itu.

“Hemm, aku tidak suka melihat matamu melotot terus memandangku. Kau akan kumakan dulu otakmu!” katanya kepada Kwan Cu sambil mendekati anak itu.

“Bagus, Toat-beng Hui-houw, mau bunuh lekaslah bunuh, aku tidak takut! Akan tetapi kalau kau berani mengganggu Sui Ceng, hemm... kurasa kau tidak akan lama sanggup mempertahankan kepalamu yang botak itu, karena gurunya, Kiu-bwe Coa-li, tentu selalu akan mengejar-ngejarmu!”

Benar saja, mendengar nama ini, berubahlah wajah Toat-beng Hui-houw. Dia memang tahu bahwa Sui Ceng adalah murid Kiu-bwe Coa-li, nenek sakti yang ditakutinya, dan tadi dia lupa sama sekali akan nenek ini. Matanya segera jelalatan ke kanan kiri, mencari-cari kalau-kalau nenek itu berada di dekat situ.

“Aku harus cepat-cepat membereskan kalian!” katanya dan tangannya sudah diangkat tinggi untuk memukul pecah kepala gundul itu.

Akan tetapi, kata-kata Kwan Cu tadi mengingatkan Sui Ceng akan gurunya, maka ia lalu mengumpulkan tenaga dan menjerit keras sekali.

“Suthai...! Tolong teecu!”

Mendengar jeritan itu, Toat-beng Hui-houw terkejut sekali. Ia tidak jadi memukul kepala Kwan Cu, bahkan sebaliknya dengan sekali meloncat dia telah berada di dekat Sui Ceng dan kedua tangannya mencekik leher anak itu.

“Jangan membuka mulut, kau...!”

Akan tetapi, jeritan Sui Ceng tadi sudah membangunkan Kiu-bwe Coa-li dari keadaannya yang seperti sedang mimpi di pinggir telaga. Pada saat itu, pancingnya sedang digondol ikan dan ia tengah menikmati perjuangan ikan itu yang hendak melepaskan pancing yang mengait mulutnya. Mendadak dia mendengar jerit muridnya dan bagaikan seekor burung garuda yang dikagetkan oleh sesuatu, tubuhnya berkelebat ke arah suara muridnya.

“Toat-beng Hui-houw, lepaskan muridku kalau kau tak ingin mampus!” bentaknya marah dan disusul oleh bunyi bergeletar keras sekali.

Dalam kemarahannya, Kiu-bwe Coa-li telah mengeluarkan cambuknya dan kini sembilan helai bulu cambuk menyambar-nyambar mengancam di atas kepala Toat-beng Hui-houw.

Kakek berkuku panjang itu melepaskan cekikannya, akan tetapi dia memegangi tangan Sui Ceng dan berkata menyeringai.

“Kiu-bwe Coa-li, siapa mau mengganggu muridmu? Aku hanya main-main saja.”

“Bangsat tua bangka! Siapa tidak mengenal watakmu yang curang? Hayo kau lepaskan muridku. Berlaku lamban berarti kepalamu akan hancur oleh cambukku!” Kiu-bwe Coa-li mengancam dengan sikap garang sekali.

“Ha-ha-ha! Bila aku curang, apakah kau juga boleh dipercaya? Muridmu berada di dalam tanganku dan cobalah kau bergerak kalau berani. Sebelum aku terkena cambukmu, pasti nyawa muridmu akan melayang lebih dulu!”

“Apa yang kau kehendaki manusia jahat?” Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu untuk menyerang, karena maklum bahwa Toat-beng Hui-houw bisa membuktikan ancamannya itu.

“Aku mau melepaskan muridmu ini, akan tetapi bocah gundul ini akan kubawa. Otaknya bagus sekali untuk punggungku yang suka sakit pada musim dingin karena sudah kurang isinya! Dan pula, sebelum aku melepaskan muridmu, lebih dulu kau harus berjanji tidak akan menyerangku!”

Kiu-bwe Coa-li memutar otaknya. Dia lebih menyayangkan nyawa muridnya dan tentang Kwan Cu, ia tidak peduli akan anak itu. Maka ia lalu berkata dengan suara dingin,

“Kau mau bawa anak gundul itu, bukan urusanku. Kalau kau melepaskan muridku, aku pun tak sudi berurusan dengan orang macam kau lagi!”

Tadinya memang Kiu-bwe Coa-li sangat membutuhkan bantuan Kwan Cu. Akan tetapi sekarang anak itu sudah memberi tahu tentang kitab sejarah yang menjadi petunjuk di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kitab itu sudah dicuri oleh Jeng-kin-jiu, maka untuk apa lagi membawa anak itu? Membikin repot saja!

Setelah mendengar kata-kata gurunya ini, Sui Ceng terkejut sekali.

“Suthai, jangan berikan Kwan Cu kepadanya! Siluman itu hendak memecahkan kepala Kwan Cu dan hendak makan otaknya!”

“Peduli amat! Aku tidak perlu lagi dengan anak itu!” jawab subo-nya.

Ada pun Toat-beng Hui-houw, sesudah mendengar janji yang dikeluarkan oleh Kiu-bwe Coa-li, menjadi girang dan segera melepaskan Sui Ceng. Kemudian dia melompat dan mengempit tubuh Kwan Cu, pergi dari situ sambil berkata,

“Selamat tinggal, Kiu-bwe Coa-li!”

“Siluman jahat, lepaskan Kwan Cu!” Sui Ceng membentak dan hendak mengejar.

“Sui Ceng, jangan kejar dia!” Gurunya mencegah.

“Suthai, dia hendak membunuh Kwan Cu! Dan dialah pembunuh ibuku! Bagaimana teecu harus diam saja?” Kembali Sui Ceng menggerakkan kedua kakinya hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba gurunya memegang pundaknya sehingga dia tidak dapat bergerak lagi.

“Tidak, Sui Ceng. Aku telah memberi janjiku tak akan mengganggunya. Soal pembalasan dendam, mudah saja. Lain kali kalau kita bertemu dengan dia, pasti dia tidak akan kuberi ampun lagi. Kali ini aku terpaksa melepaskannya, karena kalau tidak, kau tadi tentu akan dibunuhnya.”

Sui Ceng memandang ke arah bayangan Toat-beng Hui-houw yang membawa Kwan Cu dan air matanya membanjir keluar.

“Kwan Cu...! Kwan Cu...!” Ia menjerit-jerit dengan hati perih.

Kwan Cu yang dikempit oleh Toat-beng Hui-houw dan dibawa lari cepat, merasa sangat mendongkol kepada Kiu-bwe Coa-li.

“Kiu-bwe Coa-li benar-benar orang bong-im-pwe-gi (orang tak kenal budi). Walau pun dia mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, mana dapat dia membacanya? Dan orang macam Toat-beng Hui-houw ini dengan kepandaiannya yang rendah dan sifatnya yang pengecut, mana bisa dia menjagoi di dunia kang-ouw?”

Mendengar kata-kata ini, Toat-beng Hui-houw cepat-cepat melepaskan kempitannya dan menurunkan Kwan Cu di atas tanah.

“Kau bicara apa tadi?” tanyanya.

“Aku bicara sendiri, apa hubungannya dengan kau?”

“Aku hendak makan otakmu, akan tetapi jika otakmu miring, jangan-jangan aku akan ikut menjadi gila. Kau bicara seorang diri, bila tidak miring otakmu, apa lagi? Kau sebut-sebut Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau tahu apakah tentang kitab itu?”

“Toat-beng Hui-houw, kau bermimpi! Kiu-bwe Coa-li membawaku, ada perlu apakah jika tidak menghendaki kitab itu? Hanya aku seorang yang akan bisa mendapatakan kitab itu. Sayang kitab itu akan terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak pandai membacanya, karena mendiang Gui-siucai hanya mengajarkan tulisan itu kepadaku seorang,” Kwan Cu dengan cerdik menggunakan akal untuk menarik perhatian orang menyeramkan ini.

“Apa maksudmu? Apakah di dunia ini sungguh-sungguh terdapat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

“Tentu saja ada! Lima tokoh besar dunia sedang memperebutkan kitab itu dan siapa saja yang mendapatkannya dan bisa membacanya, tentu akan mempunyai kepandaian yang tak terlawan oleh siapa pun juga di dunia ini. Akan tetapi kau, yang mempunyai kesukaan makan otak dan darah, perlu apa bertanya-tanya? Mau bunuh padaku, lekas bunuh, agar aku tidak dipaksa-paksa oleh para tokoh kang-ouw untuk mencarikan kitab itu dan untuk menterjemahkannya!”

“Benarkah kau bisa mencarikan kitab itu, bocah gundul? Di mana adanya kitab itu?”

“Mau apa kau bertanya-tanya?”

“Setan cilik! Bila kau sanggup mendapatkan kitab itu untukku, aku mau menukar dengan kepalamu!”

“Sukar, sukar...! Untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya ada sebuah petunjuk yang terdapat di dalam kitab sejarah peninggalan Gui Tin siucai.”

“Di mana adanya kitab sejarah itu?“ Toat-beng Hui-houw mendesak dan Kwan Cu girang sekali melihat umpannya mulai berhasil.

“Kitab itu telah dicuri oleh Ang-bin Sin-kai!”

Terbelalak mata Toat-beng Hui-houw mendengar ini.

“Sukar kalau begitu!” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak, lalu memandang ke arah Kwan Cu yang gundul kelimis, agaknya mulai tertarik lagi dengan otak di dalam kepala gundul itu.

Kwan Cu cepat berkata, “Apa sukarnya! Memang, kepandaian Kiu-bwe Coa-li amat tinggi dan seandainya kitab itu berada di tangannya, akan sukarlah bagimu merampasnya. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai...? Kakek yang berpenyakitan itu? Ahh, menghadapi Kiu-bwe Coa-li saja dia kalah jauh dan tidak dapat menahan serangan nenek itu lebih dari sepuluh jurus!”

“Apa katamu? Ang-bin Sin-kai terkenal dengan kepandaiannya yang amat tinggi!”

“Toat-beng Hui-houw, kalau tidak percaya, sudahlah. Aku tidak mau banyak bicara lagi.”

Toat-beng Hui-houw mulai tertarik lagi melihat sikap Kwan Cu.

“Bocah gundul, betul-betulkah kata-katamu itu?”

“Siapa membohong? Ang-bin Sin-kai mendapatkan kitab itu atas bantuanku. Kemudian dia dan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa dia melarikan diri setelah dihajar oleh cambuk Kiu-bwe Coa-li. Kini dia lari dan dikejar-kejar oleh Kiu-bwe Coa-li, dan hanya aku yang tahu di mana Ang-bin Sin-kai dengan kitab sejarah yang dibawanya itu?”

“Di mana?”

“Di kota raja!”

Toat-beng Hui-houw berpikir-pikir sejenak. Apa salahnya kalau dia pun mencoba-coba mendapat kitab sejarah itu untuk kemudian mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Sudah lama dia mendengar tentang kitab pelajaran yang tiada bandingannya di dunia ini dan apa bila benar-benar dia dapat mendapatkan kitab itu atas bantuan anak gundul ini, bukankah dia akan menjagoi di seluruh permukaan bumi? Ia tidak akan perlu takut lagi menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan tokoh-tokoh lain.

Sedangkan anak ini... andai kata dia membohong, masih belum terlambat baginya untuk memecahkan batok kepalanya dan makan otaknya. Dan lagi, apa salahnya kalau kelak setelah dia bisa mendapatkan Im-yang Bu-tek Cin-keng atas bantuan anak ini, dia makan juga otaknya?

“Kalau begitu, mari kita menyusul ke kota raja,” katanya kemudian.

“Apa kau tidak mau makan otakku lagi?” tanya Kwan Cu berani.

“Tidak, otakmu perlu kupergunakan untuk mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi awas, apa bila tidak berhasil mendapatkan kitab itu, tidak hanya otakmu yang kumakan, juga darahmu kuminum habis-habis!”

Kwan Cu mengangkat pundak, acuh tak acuh. “Apa bedanya? Kalau aku mati, otakku akan dimakan cacing dan darahku diminum semut! Masih jauh lebih baik kalau dimakan dan diminum oleh seorang manusia seperti kau sekali pun!”

Akan tetapi Toat-beng Hui-houw tidak mau banyak cakap lagi dan setelah membebaskan Kwan Cu dari totokannya, dia segera menggandeng tangan anak ini dan diajaknya berlari cepat sekali menuju ke kota raja.

“Kita harus mendahului Kiu-bwe Coa-li ke kota raja, kemudian merampas kitab sejarah itu dari tangan Ang-bin Sin-kai!” Kwan Cu berkata

Ucapan ini lalu membuat Toat-beng Hui-houw membawanya berlari seperti di kejar setan cepatnya. Menuju ke kota raja.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****

Ang-bin Sin-kai sudah mulai tidak sabar dan gelisah sekali memikirkan keadaan Kwan Cu, karena selama dia berada di kota raja, belum juga kelihatan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu datang. Juga belum kelihatan bayangan Kiu-bwe Coa-li.

Sudah beberapa hari dia berada di kota raja, tiga kali dia masuk ke dalam dapur istana menikmati masakan-masakan yang langka terdapat di luar istana. Bahkan dia pernah mendatangi gedung Lu Pin adiknya secara diam-diam untuk melihat apakah Jeng-kin-jiu sudah kembali ke kota raja. Dari gedung adiknya dia pergi ke rumah Lu Seng Hok ayah Lu Thong, akan tetapi juga di situ sunyi tidak kelihatan Jeng-kin-jiu atau Lu Thong.

Ia sudah mulai bosan menanti dan pada malam ke empat, kembali dia memasuki dapur istana lalu mabuk-mabukan seorang diri di dalam dapur itu. Tiba-tiba saja dia mendengar suara genteng dibuka orang dan tahu-tahu berkelebat bayangan seorang kakek yang melayang turun dengan seorang anak laki-laki gundul. Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu dan kakek itu adalah Toat-beng Hui-houw.

“Ang-bin Sin-kai, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai itu kepadaku!” Toat-beng Hui-houw membentak.

Kakek berkuku panjang ini masih belum percaya betul kepada Kwan Cu dan ketika dia merhadapan dengan Ang-bin Sin-kai, dia masih memegangi pergelangan tangan Kwan Cu. Kalau anak ini ternyata membohong, dia akan membunuhnya terlebih dulu.

Kwan Cu juga maklum akan hal ini. Karena itu dia memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan muka khawatir sambil memutar otaknya.

“Kitab sejarah yang mana?” Ang-bin Sin-kai menjawab sambil mengerutkan keningnya. “Toat-beng Hui-houw, apakah kau sudah menjadi gila? Kau membunuh anak-anak murid Kim-san-pai dan Thian-san-pai sehingga menyusahkan kepadaku, sekarang kau datang menuduh yang bukan-bukan lagi! Benar-benar kau sudah miring otakmu!”

Mendengar jawaban ini, Toat-beng Hui-houw sudah menekan lebih keras di pergelangan tangan Kwan Cu, membuat anak itu kesakitan sekali dan hampir memekik. Akan tetapi Kwan Cu menahan rasa sakit, lalu menudingkan jari telunjuknya kepada Ang-bin Sin-kai.

“Ang-bin Sin-kai, kau orang tua benar-benar licik sekali! Bukankah kitab itu dahulu selalu kau bawa-bawa? Kenapa sekarang tidak mengaku?”

Selagi Ang-bin Sin-kai memandang terheran-heran, Kwan Cu berkata kepada Toat-beng Hui-houw,

“Locianpwe, mengapa kau begitu bodoh dan mau percaya pada omongannya? Dia telah membohongimu! Lihat saja, mukanya sudah berubah merah sekali, itulah tandanya dia membohong. Aku percaya bahwa kitab itu tentu berada di dalam saku bajunya. Lekas serang dia dan rampas kitab itu!”

Toat-beng Hui-houw ragu-ragu dan memang otaknya agak bodoh maka dia mau percaya omongan anak ini. Dia melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Kwan Cu dan memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata terbelalak.

Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai adalah seorang yang cerdik dan sekelebatan saja dia dapat melihat betapa pergelangan tangan Kwan Cu yang dipegang oleh Toat-beng Hui-houw tadi menjadi matang biru, maka dia lalu tertawa bergelak sambil berkata,

“Toat-beng Hui-houw, kalau kau goblok, adalah anak gundul itu pintar sekali tidak kena ditipu. Misalnya benar kitab itu berada di tanganku, habis kau mau apa?”

“Berikan kepadaku!” Toat-beng Hui-houw membentak kemudian serentak menubruk maju sambil mengulur sepasang tangannya yang berkuku panjang seperti cakar harimau.

Ang-bin Sin-kai mengelak cepat sambil tertawa-tawa.

Sekarang Kwan Cu cepat melompat ke pinggir dan berubahlah air mukanya, kini gembira sekali.

“Suhu, pukul batang hidungnya! Kemplang kepala botaknya! Siluman ini tadinya hendak makan otak teecu, sehingga terpaksa teecu membawanya ke sini kepada Suhu!”

Dengan keterangan ini, semakin jelaslah bagi Ang-bin Sin-kai bahwa entah bagaimana, muridnya itu terjatuh ke tangan Toat-beng Hui-houw dan dengan mempergunakan akal, Kwan Cu berhasil memancing siluman ini untuk mencari dirinya dengan alasan hendak merampas kitab sejarah yang dapat menunjukkan tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Mengingat akan hal ini, makin besarlah suara ketawa Ang-bin Sin-kai.

Ada pun Toat-beng Hui-houw saat mendengar Kwan Cu menyebut Suhu kepada Ang-bin Sin-kai, sadar bahwa dia telah ditipu oleh bocah gundul itu, akan tetapi sekarang dia tak memiliki kesempatan lagi untuk menyerang Kwan Cu, karena Ang-bin Sin-kai juga sudah membalas serangan-serangannya dan mendesaknya dengan hebat.

Segera Toat-beng Hui-houw mengeluh dalam hatinya ketika beberapa kali ia menyerang tetapi selalu dapat dielakkan oleh Ang-bin Sin-kai dengan amat cepatnya, bahkan kakek pengemis itu melayaninya sambil tertawa-tawa dan bahkan berani menangkis tangannya yang berkuku panjang dan yang mengandung racun!

“Ang-bin Sin-kai, kau tua bangka busuk bersama muridmu anjing kecil gundul itu hari ini harus mampus dalam tanganku!” bentaknya.

Toat-beng Hui-houw lantas menerkam sambil menggunakan ilmu silatnya yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu Silat Hui-houw Lo-lim (Macan Terbang Mengacau Hutan). Sepuluh kuku jari tangannya tiba-tiba mulur panjang dan runcing, dan gerakkannya tiada bedanya dengan seekor harimau yang ganas sekali.

Tidak hanya kedua tangannya yang bergerak mencakar-cakar seperti harimau, juga dua kakinya yang telanjang itu menendang-nendang bagai kaki harimau yang mencakar! Dari tenggorokannya keluar suara gerengan-gerengan yang menggetarkan tiang-tiang dapur istana itu, bahkan Kwan Cu yang berdiri di pinggir berdebar jantungnya mendengar suara yang mirip suara harimau besar ini.

“Toat-beng Hui-houw, seekor harimau pun tidak sebodoh dan seganas kau tua bangka tak tahu malu!” Ang-bin Sin-kai balas memaki.

Tetapi dia segera menghadapi serangan-serangan yang bukan main ganasnya. Ang-bin Sin-kai memang belum pernah bertempur melawan kakek berkuku panjang ini. Sungguh pun kedua orang kakek ini sudah pernah bertemu, namun baru kali ini mereka mendapat kesempatan mengadu kepandaian dan mengukur tenaga masing-masing!

Kwan Cu menonton pertempuran itu dengan hati gembira. Ia berdiri bertolak pinggang dan berkata, “Suhu, pukul kepalanya yang botak itu! Dia sudah membunuh Thio-toanio secara keji! Dia benar-benar siluman jahat yang menjelma manusia!”

Mendengar suara Kwan Cu tadi, bukan main mendongkol dan marahnya hati Toat-beng Hui-houw. Dia telah dipermainkan, ditipu dan diejek oleh bocah gundul ini. Kalau saja dia bisa merobohkan Ang-bin Sin-kai, dia tentu akan menangkap bocah gundul itu dan akan mencari jalan yang paling mengerikan untuk membikin mampus setan gundul!

Maka dia kemudian mengeluarkan serangan yang luar biasa cepat dan hebatnya. Kedua tangannya yang berkuku panjang itu menyerang bergantian secara bertubi-tubi laksana ilmu tendangan Lian-hoan-twi. Dari sepuluh kuku jarinya itu tersebar bau yang amat amis memuakkan, menyambar ke arah muka Ang-bin Sin-kai.

Tetapi Ang-bin Sin-kai yang kini telah dapat mengukur inti kepandaiannya dari lawannya, hanya tersenyum-senyum saja dan seperti seorang anak kecil, dia menjatuhkan diri ke belakang lantas berpoksai (membuat salto berjungkir-balik), menggelundung ke belakang seperti bal ditendang.

Inilah gerakan yang di sebut Trenggiling Turun Gunung, yang gerakannya begitu cepat dan wajar sehingga Kwan Cu merasa amat kagum. Dengan gerakan seperti ini, serangan yang bagaimana hebat pun dapat dielakkan dengan mudahnya.

Beberapa jurus lamanya Toat-beng Hui-houw terus menerus mengejar dan menyerang, akan tetapi tiba-tiba Ang-bin Sin-kai tidak merasa lagi adanya sambaran angin serangan lawan. Pada waktu kakek ini melompat berdiri, dia terkejut sekali melihat kini Toat-beng Hui-houw melakukan pukulan maut!

“Manusia curang!” Kwan Cu membentak.

Ang-bin Sin-kai mainkan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to untuk mengelak, akan tetapi tetap saja dia terdesak hebat bukan main, meski pun dalam beberapa jurus dia masih berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan yang ganas itu.

“Tua bangka tak tahu diri!” Ang-bin Sin-kai memaki.

Dia menggerakkan dua tangan memukul. Sambaran angin pukulannya hebat sekali dan sambaran ini mampu mematahkan dan menumbangkan batang-batang pohon dari jarak jauh.

Toat-beng Hui-houw terkejut bukan main ketika merasa pinggangnya sakit, maka cepat dia membalikan tubuhnya dan mengerahkan lweekang untuk melawan pukulan Ang-bin Sin-kai yang lihai. Kemudian dia menerkam dan kuku-kukunya mencengkeram hendak mencekik leher kakek pengemis itu.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai sekarang telah menjadi marah sekali. Ia mengibaskan kedua tangannya ke arah kuku lawan dan…

“Kraakk!” terdengar suara, maka patah-patahlah semua kuku di ujung tangan Toat-beng Hui-houw dan tubuh kakek ini sendiri terpental, membentur tembok dan roboh pingsan!

Ang-bin Sin-kai memandang kepada Kwan Cu. “Kau mau membalas dendam keamtian Pek-cilan? Nah, sekarang mudah bagimu untuk melakukan hal itu.”

Kwan Cu menengok dan memandang pada Toat-beng Hui-houw yang masih tergeletak pingsan di atas lantai. Memang mudah sekali baginya, hanya dengan sekali pukul atau sekali tendang saja dia dapat membunuh Toat-beng Hui-houw, membalaskan sakit hati Pek-cilan Thio Loan Eng.

Dengan hati gemas Kwan Cu melangkah maju mendekati tubuh Toat-beng Hui-houw yang menggeletak di situ. Dia memegang leher baju kakek itu dan menyeretnya ke arah meja, kemudian dia menarik tubuh Toat-beng Hui-houw dan didudukkan di atas bangku menyandar tembok menghadapi meja. Toat-beng Hui-houw yang masih pingsan itu tidak berdaya dan kini dia terduduk bersandar tembok seperti orang tidur.

Kwan Cu mengambil semangkok besar masakan. Dengan gemas sekali dia memasang mangkok itu di atas kepala botak Toat-beng Hui-houw bagai topi! Masakan yang kuahnya kuning itu mengalir turun ke atas muka kakek ini sehingga kelihatan lucu sekali.

“Tidak, Suhu. Teecu tidak dapat membunuh orang yang sudah tidak berdaya seperti ini,” kata Kwan Cu sambil meninggalkan musuh besar itu.

Diam-diam Ang-bin Sin-kai menjadi girang sekali mendengar ucapan muridnya ini, sebab tadi dia memang hanya mencoba saja untuk menguji sifat kegagahan muridnya.

“Jika begitu, hayo kita lekas pergi dari sini. Mungkin Jeng-kin-jiu sekarang sudah pulang.” Setelah berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar melalui genteng yang tadi di buka oleh Toat-beng Hui-houw diikuti oleh Kwan Cu yang merasa girang bisa berkumpul kembali dengan suhu-nya.

Pukulan dari Ang-bin Sin-kai tadi betul-betul hebat sekali dan Toat-beng Hui-houw selain menderita patah semua kukunya yang diandalkan, juga menjadi pingsan sampai selama satu malam! Hawa pukulan itu demikian kerasnya sehingga melumpuhkan semua urat di dalam tubuhnya.

Ketika keesokan harinya seorang pegawai dapur istana membuka pintu, dia menjerit dan segera berlari keluar kembali ketika melihat seorang kakek yang aneh sekali duduk di atas bangku menghadapi pintu!

“Tolong... toloooong... ada siluman!” teriaknya sambil berlari-lari.

Seorang penjaga yang mendengar ini ikut berteriak-teriak hingga sebentar saja keadaan menjadi geger. Di antara para penjaga yang kini berkumpul, ada juga yang berhati tabah. Sesudah mendengar penuturan pegawai dapur bahwa di dalam dapur terdapat seorang siluman sedang duduk menghadapi meja dan makan minum, dia cepat membuka pintu dapur dan sambil memegang goloknya dia melangkah masuk.

Kawan-kawannya menjenguk dari pintu dan tidak berani ikut masuk. Ketika penjaga yang tabah ini melihat ke dalam dapur, dia terkejut sekali dan meremanglah bulu tengkuknya. Memang menyeramkan sekali makhluk yang kelihatan duduk menghadapi meja itu.

Seorang kakek botak yang wajahnya menyeramkan dan bersikap aneh sekali, bertopi mangkok dan mukanya penuh benda cair berwarna kuning, membuat muka itu nampak makin mengerikan.

“Siluman dari manakah yang berani mengacau di dapur istana?” Penjaga ini membentak sambil melangkah maju, siap dengan goloknya di depan dada.

Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw baru saja siuman kembali dari pingsannya dan kepalanya masih terasa pening. Dia membuka matanya, akan tetapi merasa malas untuk bergerak. Dia terus mengejap-ngejapkan matanya karena masih mengingat-ingat akan peristiwa semalam.

Munculnya penjaga di depan pintu dan diikuti teguran penjaga yang memegang golok di depannya itu mengingatkan Toat-beng Hui-houw akan semua pengalamannya dan ingat kembalilah dia bahwa dia masih berada di dalam dapur istana. Dia merasa heran sekali kenapa Ang-bin Sin-kai atau bocah gundul itu tidak membinasakannya, padahal dia telah pingsan tidak berdaya!

Sementara itu, ketika penjaga yang memegang golok tadi telah datang dekat dan melihat bahwa ‘siluman’ itu sesungguhnya seorang kakek botak dan bahwa keseraman mukanya diakibatkan oleh kuah masakan yang mengalir turun dari mangkok yang dijadikan topi, agak lenyap rasa takutnya. Ia menyangka bahwa kakek ini tentulah seorang yang miring otaknya, kalau tidak bagaimana dia memakai mangkok yang penuh masakan sebagai topi?

“Bangsat tua, dari mana kau berani sekali mengacau di sini? Hayo lekas berlutut dan menyerah, kalau tidak golokku akan makan kepalamu!” bentak penjaga itu.

Tetapi Toat-beng Hui-houw masih termenung saja, seakan-akan tidak mendengar seruan penjaga ini. Ada pun para penjaga lainnya ketika mendengar kawannya memaki-maki ‘siluman’ itu, menjadi besar hati dan mulailah mereka memasuki dapur.

Melihat kawan-kawannya sudah ikut masuk, penjaga tadi makin tabah hatinya dan kini membentak keras, “Lihat kupenggal kepala siluman ini!”

Sambil berkata demikian, benar-benar dia mengayunkan goloknya yang tajam itu dan membacok kepala Toat-beng Hui-houw! Akan tetapi, alangkah terkejutnya dia, juga para penjaga yang sudah memasuki dapur saat melihat keajaiban yang mengejutkan.

Ketika golok itu menyambar kepala botak yang kelimis, terdengar suara berdetak seperti golok menyambar batu dan dan bukan kepala botak itu yang terbelah, melainkan gagang golok itu terpental dan terlepas dari pegangan penjaga yang tadi membacoknya karena penjaga itu merasa tangannya sakit!

Kejadian aneh ini disusul oleh suara kakek itu tertawa bergelak menyeramkan sekali, lalu ketika kakek itu berdiri, meja yang berada di depannya mendadak terbang melayang ke arah para penjaga yang berkerumun di depan pintu!

Tentu para penjaga menjadi kaget dan ketakutan. Mereka cepat bergerak mengelak atau menangkis meja yang tiba-tiba hidup dan menyambar kepala mereka itu. Ketika akhirnya meja itu dapat dilemparkan ke pinggir dan mereka memandang, ternyata bahwa kakek botak itu telah lenyap dari dapur itu!

“Celaka, benar-benar siluman...!” kata mereka.

Sayang sekali pada hari sepagi itu kepala penjaga Song Cin masih belum hadir sehingga tak dapat menyaksikan peristiwa ini. Sebenarnya, hanya Song Cin seorang yang kiranya akan dapat menghadapi siluman itu.

Ketika Song Cin diberi tahu, perwira ini mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia juga merasa bingung karena dia tahu bahwa tidak mungkin kakek yang dikira siluman oleh anak buahnya itu Ang-bin Sin-kai adanya. Siapakah kakek yang aneh ini? Pertanyaan ini selamanya hanya akan tetap tinggal sebagai teka-teki yang tidak pernah terjawab olehnya.

*****


Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu baru saja datang dari perantauannya bersama muridnya, Lu Thong. Ayah Lu Thong, yakni Lu Seng Hok dan isterinya, girang sekali melihat putera mereka kembali dengan selamat. Sesungguhnya, Lu Seng Hok dan isterinya tidak suka melihat putera mereka diajak merantau oleh hwesio itu, karena tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau putera tunggal mereka itu tak akan pulang kembali.

Dengan sikap hormat dan tidak memperlihatkan ketidak senangan hatinya, Lu Seng Hok berkata kepada Jeng-kin-jiu yang tengah makan minum dengan gembira.

“Twa-suhu, kami harap sukalah kiranya Twa-suhu melatih ilmu silat kepada Thong-ji di sini saja dan tidak membawanya ke luar kota, karena kami selalu merasa gelisah dan khawatir. Segala keperluan untuk latihan itu, tinggal Twa-suhu katakan saja maka kami akan sediakan semua.”

Mendengar ini, Kak Thong Taisu tertawa bergelak, lalu minum araknya dari cawan besar sebelum dia menjawab. “Lu-taijin tidak tahu bahwa ilmu silat baru dapat sempurna kalau latihan-latihan itu disertai pula dengan pengalaman pertempuran. Apa gunanya memiliki ilmu silat bila tanpa ada pengalaman-pengalaman pertempuran menghadapi orang-orang pandai? Ilmu silat itu akan mentah, tidak berisi.”

“Betapa pun juga, Twa-suhu, kami berdua lebih-lebih ibu anak itu merasa amat gelisah dan rindu kalau terlalu lama Twa-suhu dan Thong-ji tidak pulang.”

Lu Thong yang hadir pula di situ, lalu berdiri dari bangkunya dan mengerutkan keningnya sambil berkata manja, “Ayah... kenapa ayah melarangku pergi dengan Suhu? Bila mana Suhu pergi merantau, aku harus ikut serta! Ayah tidak tahu betapa senangnya merantau di luar, di dunia bebas, tidak seperti di sini, terkurung dan sempit sekali!”

“Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu tertawa bergelak, “Memang lebih enak menjadi seperti burung di udara dari pada terkurung dalam sangkar emas!”

“Thong-ji!” Lu Seng Hok membentak anaknya. “Apakah kau sudah tidak mau menuruti omongan ayahmu lagi? Untuk mencapai kedudukan tinggi tidak hanya belajar silat, akan tetapi kau pun harus belajar ilmu surat dengan baik!” Dengan uring-uringan ayah ini lalu meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang hanya tertawa saja.

Setelah Lu Seng Hok pergi, Jeng-kin-jiu berkata dengan suara bersunguh-sungguh pada muridnya, “Lu Thong, kata-kata ayahmu tadi ada benarnya. Lihatlah aku ini, selamanya menjadi seorang perantau yang tidak memiliki rumah tangga yang baik. Bahkan menjadi hwesio pun tidak mempunyai kelenteng untuk tempat tinggal. Kau keturunan orang besar dan apa bila kelak tidak menduduki pangkat tinggi, tentu akan mengecewakan hati para leluhurmu.”

“Akan tetapi teecu lebih senang belajar ilmu silat dari pada ilmu surat, Suhu. Teecu ingin mempunyai kepandaian silat yang paling tinggi!” bantah Lu Thong.

Jeng-kin-jiu tertawa. “Enak saja kau bicara. Apa kau kira belajar ilmu silat itu ada batas tingginya sampai mencapai tingkat tertinggi? Tak mungkin. Gunung Thai-san yang begitu tinggi pun masih ada langit di atasnya, apa lagi kepandaian orang. Kecuali kalau kau bisa mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng...”

Lu Thong tertarik sekali. Akan tetapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, tiba-tiba saja terdengar bentakan halus.

“Tua bangka gundul, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai padaku!”

Bentakan ini lantas disusul melayangnya tubuh Kiu-bwe Coa-li bersama Sui Ceng yang memasuki ruangan itu. Sikap Kiu-bwe Coa-li mengancam sekali, di tangannya telah siap cambuknya yang lihai sehingga Jeng-kin-jiu menjadi amat terkejut dan tak berani berlaku sembrono. Dia melompat bangun sambil menyambar toyanya yang tadi disandarkan di tembok dekat tempat duduknya.

“Kiu-bwe Coa-li, kau setan betina dari selatan! Kau datang-datang bicara mengacau tidak karuan, apakah aku terlihat seperti seekor cacing buku maka kau bilang aku menyimpan kitab sejarah? Lebih baik simpan cambukmu yang menjijikkan itu dan mari kita minum arak wangi!”

“Gundul busuk! Siapa sudi minum arakmu yang masam? Tak usah berpura-pura suci dan pinni tidak mempunyai banyak waktu untuk mengobrol. Kau sudah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin di dalam goanya di lereng Liang-san. Sekarang lebih baik lekas kau serahkan kitab itu kepada pinni kalau kau tak ingin kepalamu yang gundul itu retak-retak oleh cambukku!”

Mendengar ucapan ini, darah Jeng-kin-jiu langsung naik ke ubun-ubun saking marahnya. Sepasang matanya yang bundar itu melotot hampir keluar dari ruangnya. Hidung serta bibirnya bergerak-gerak seperti bibir kuda mencium asap.

“Kau... kau... benar-benar kurang ajar sekali, Kiu-bwe Coa-li! Kau tidak ingat bahwa kita sama-sama dari selatan? Apa kau mau merendahkan jago-jago selatan?”

“Tutup mulutmu dan serahkan kitab itu!” kata Kiu-bwe Coa-li yang memang wataknya keras luar biasa.

“Ayaaa...!” Jeng-kin-jiu menggelengkan kepalanya yang bundar, “kau benar-benar sudah kemasukan iblis-iblis dari laut selatan! Pinceng tidak membawa kitab itu, juga andai kata ada, tak mungkin kuserahkan kepadamu!”

Pada saat itu, Lu Thong yang semenjak tadi memandang kepada Kiu-bwe Coa-li dengan mata terbelalak dan perasaan mendongkol berkata, “Suhu, inikah Kiu-bwe Coa-li yang sering kali Suhu sohorkan? Apa bila hanya seperti ini, mengapa banyak tanya-tanya lagi, Suhu? Orang sombong biasanya rendah kepandaiannya!”

Sui Ceng marah sekali dan melompat ke depan Lu Thong, lalu menampar pipi Lu Thong. Oleh karena pakaian Lu Thong seperti anak bangsawan dan terpelajar, maka Sui Ceng mengira bahwa anak ini tidak pandai ilmu silat. Akan tetapi siapa sangka bahwa sekali menggerakkan kepalanya saja, Lu Thong telah dapat mengelak dari serangannya!

“Bangsat mewah, kau memang patut diberi hajaran!” Setelah berkata demikian, Sui Ceng melompat dan menerjang Lu Thong yang segera menyambutnya gembira.

Memang Lu Thong amat suka menghadapi lawan tangguh. Kini bertempur melawan anak murid Kiu-bwe Coa-li, sungguh merupakan ujian yang bagus sekali baginya. Jeng-kin-jiu memandang kepada dua orang anak yang sudah bertanding itu, lalu tertawa bergelak-gelak.

“Kiu-bwe Coa-li, kau tunggu apa lagi? Lekaslah turun tangan atau lekas minggat saja dari sini!” sambil berkata demikian, toyanya digerakkan sehingga meja bangku yang membuat ruangan itu menjadi sempit, beterbangan ke kanan kiri. Baru sambaran angin toyanya saja sudah dapat membuat meja bangku terlempar jauh, dapat diduga betapa besarnya tenaga gwakang hwesio gendut ini.

“Jeng-kin-jiu, mampuslah kau hari ini!”

Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu memenuhi ruangan karena menyambar ke arah Jeng-kin-jiu dari segala jurusan! Kakek gundul ini melompat menjauhi lawannya karena dia anggap tidak baik bertempur di dekat tempat dua orang anak itu bertanding.

Maka pertempuran terpecah pada dua tempat dan begitu Jeng-kin-jiu memutar toyanya, angin dingin menyambar-nyambar dan selalu mampu menahan datangnya ujung cambuk yang ekornya ada sembilan itu. Namun sebaliknya, toyanya juga tidak diberi kesempatan menyerang, oleh karena gerakan sembilan ekor cambuk itu benar-benar cepat sekali dan datang secara bertubi-tubi.

Ada pun Lu Thong yang bertanding dengan Sui Ceng, merasa kagum bukan main. Dari pembawaannya, Sui Ceng memang anak yang mempunyai kelincahan serta kecepatan gerakan tubuh. Kemudian, sesudah dilatih oleh Kiu-bwe Coa-li, maka ginkang dari anak perempuan ini menjadi luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan menyambar-nyambar laksana seekor tawon yang licah sekali.

Akan tetapi, Lu Thong juga mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Biar pun matanya agak kabur karena kecepatan gerakan Sui Ceng, namun dia selalu dapat mengelak atau menangkis serangan gadis cilik itu.

Tadi begitu melihat Sui Ceng serta mendengar gadis cilik ini berbicara, diam-diam Lu Thong merasa kagum dan sayang. Hatinya yang sudah mulai dewasa itu tertarik oleh Sui Ceng bagaikan sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani. Dia menganggap Sui Ceng demikian lincah, lucu dan sangat manis, apa lagi sesudah kini dia menyaksikan kelihaian Sui Ceng, benar-benar Lu Thong suka sekali pada gadis ini.

Oleh karena itu, dia tidak mau membalas serangan Sui Ceng dengan hebat dan hanya menangkis atau membalas sekedarnya untuk menjaga jangan sampai dia terdesak hebat saja. Karena sesungguhnya, biar pun kepandaian mereka seimbang atau bahkan boleh dibilang Sui Ceng menang cepat, namun tenaga Lu Thong besar dan kini pemuda cilik ini sudah pandai sekali memainkan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), yaitu ilmu silat yang diwarisinya dari Ang-bin Sin-kai melalui gurunya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini.

Oleh karena itu, pertempuran antara Sui Ceng dengan Lu Thong juga ramai sekali dan seimbang. Seperti juga pertempuran antara Kiu-bwe Coa-li dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sukar dikatakan siapa yang akan menang di antara dua orang murid ini.



AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.