PENDEKAR SAKTI
Karya Kho Ping Hoo
JILID 15
KETIKA mulai berusaha membuka belenggu, Kwan Cu melihat betapa bibir yang tebal itu tersenyum ramah. Agaknya orang hitam besar ini amat gembira melihat Kwan Cu sudah mengerti akan kehendaknya dan mau melepaskannya dari pada belenggu.
Akan tetapi, dalam usahanya mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang sehingga tenaga Kwan Cu menjadi buyar. Dua kakinya harus memiliki landasan yang kuat dan keras. Tanpa banyak pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke air.
Akan tetapi, segera pemuda ini gelagapan dan kena minum banyak air! Kwan Cu cepat mengerakkan tangan menangkap pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik kembali ke dalam perahu. Ia menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri.
“Bodoh! Tolol! Mengapa aku lupa bahwa raksasa ini bertubuh tinggi sekali? Dia boleh jadi tak tenggelam ke air, hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu terlalu dalam.”
Hampir saja dia tenggelam di dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar otaknya. Rantai besi yang mengikat tangan raksasa itu cukup kuat. Ia percaya akan dapat mematahkannya kalau saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari atas perahu amat sukar, sebab jika terlampau banyak dia mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi.
“Mari kita mendarat!” katanya berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke arah pantai. “Di sana akan kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?”
Akan tetapi raksasa itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil memperlihatkan sepasang lengannya yang terbelenggu, seakan-akan dia hendak berkata bahwa dengan kedua tangan terbelenggu, tak mungkin dia berjalan ke darat. Alangkah gobloknya, Kwan Cu menyumpah-nyumpah dengan gemas.
Akhirnya dia mendapat akal. Raksasa itu berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya seperti batu karang. Kenapa dia tidak menggunakan tubuh raksasa ini sebagai landasan kakinya? Setelah berpikir demikian, dia melompat dari dalam perahu, menubruk ke arah raksasa itu dan bergantung pada pundak yang lebar itu, kedua kakinya hanya sampai di perut!
Cepat-cepat Kwan Cu menginjakkan kedua kakinya pada pinggang raksasa itu tanpa mempedulikan protes dari si raksasa dan sekarang kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika dia mengerahkan tenaga beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu!
“Yoleihi, yoleihi!” raksasa itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu bahwa raksasa itu bermaksud menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah itu, raksasa hitam itu lalu berenang ke tepi pantai dengan gerakan kedua lengannya yang kuat.
“Tolol, dia begitu tinggi, mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya terbelenggu tadi, sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke darat? Tolol sekali orang itu.” Sambil bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung perahunya ke darat.
Setelah dia sampai di daratan, barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini menghentikan makiannya terhadap si raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya memaki diri sendiri sebagai orang bodoh dan tolol dengan hati geli.
Setibanya di darat, ternyata bahwa raksasa itu sibuk menggunakan sepasang tangannya yang kuat untuk melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah sebabnya mengapa tadi dia berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali. Untuk berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk berenang, sepasang lengannya pun masih terbelenggu!
Ketika Kwan Cu mendarat dan menarik perahunya ke pantai, raksasa itu masih sibuk menarik-narik belenggu yang mengikat kakinya. Melihat ini, Kwan Cu lalu mendekati dan menggunakan tangannya membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah belenggu itu.
“Yoleihi, yoleihi…! Dasa alihee teelu…,” kata raksasa itu dengan pandang mata kagum sekali. Dia menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan sekali renggut telah berhasil mematahkan belenggu dikakinya.
Akan tetapi Kwan Cu tidak memperhatikan kata-kata raksasa ini karena dia memang tidak mengerti artinya sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya di dalam cahaya bulan.
Pertama-tama dia kagum sekali melihat raksasa hitam yang sekarang sudah berdiri di hadapannya dengan kedua kaki terpentang. Biar pun dia telah dapat menduganya, tetapi dia tetap merasa terkejut melihat tubuh raksasa ini kurang lebih dua setengah atau tiga kali manusia biasa dengan lengan berbulu serta otot-otot memenuhi tubuh yang bidang dan kuat sekali.
Rambutnya hanya sedikit, diikat di tengah-tengah kepala ada pun pakaian yang menutup tubuh hanyalah sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang tebal. Selain bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi, selebihnya tidak ada yang luar biasa, melainkan sama saja dengan orang biasa.
Raksasa itu memandang ramah kepada Kwan Cu, kemudian ia mengulur tangannya dan memegang tangan pemuda ini. Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan tetapi dia tidak takut lagi. Di darat dia tak usah takuti raksasa ini dan dia lalu teringat bahwa raksasa itu terbelenggu di tengah laut tentu ada sebabnya. Atau lebih tepat, tentu ada orang lain yang melakukan hal itu.
Dengan demikian besar sekali kemungkinan bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat makhluk lain yang jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan siksaan terhadap raksasa ini dengan membelenggu kaki tangannya kemudian membiarkan dia terbenam di dalam laut. Dari pada bertemu dan dimusuhi oleh orang-orang jahat itu, lebih baik dia ikut dengan raksasa yang tersenyum ramah kepadanya ini.
Maka berjalanlah Kwan Cu sambil digandeng tangannya oleh raksasa itu. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di pulau itu. Dari pohon-pohonnya, semua tanamannya, sampai rumput dan batu, bahkan katak yang dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba besar, kurang lebih tiga kali ukuran biasa!
Yang mengherankan hatinya, walau pun tubuhnya besar, akan tetapi suara raksasa ini tidak lebih keras dari pada suara manusia biasa, sungguh pun lebih besar dan parau. Ada pun raksasa itu tidak kalah herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Dia memandang kepada ‘orang kecil’ ini dan sering tertawa bergelak dengan nada geli, membuat Kwan Cu menjadi mendongkol juga.
“Kau mentertawakan aku, sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan jika kau tiba di duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tentang kebaikan dan keburukan? Yang besar mencela terlalu kecil, yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang serba gaib.”
Biar pun Kwan Cu berfilsafat dengan seribu kata-kata, mana raksasa itu dapat mengerti? Sebaliknya, ketawanya makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa Kwan Cu amat aneh dan menggelikan, seperti suara burung hantu yang aneh sekali.
Akan tetapi, ketika melihat betapa Kwan Cu tidak tertinggal oleh langkahnya yang lebar, raksasa itu makin terheran. Langkah raksasa itu sedikitnya tiga kali lebar langkah orang biasa, akan tetapi karena Kwan Cu mempergunakan ilmu lari cepat, dia sama sekali tidak tertinggal.
Raksasa itu penasaran, melepaskan tangan Kwan Cu dan berjalan lebih cepat, namun tetap saja Kwan Cu dapat berjalan di sebelahnya tanpa sukar sedikit pun juga. Raksasa itu mulai berlari, namun sambil tertawa geli Kwan Cu tetap dapat menyusulnya, bahkan kalau dia mau dengan mudah Kwan Cu dapat meninggalkannya!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di tengah pulau. Dari jauh sudah kelihatan api penerangan dan terdengar oleh Kwan Cu suara tangis orang riuh rendah seperti sebuah dusun yang sedang dirundung kemalangan hebat.
Raksasa itu tertawa geli dan berkata-kata kepada Kwan Cu, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mengerti sama sekali. Diam-diam Kwan Cu menjadi girang sekali bahwa di tempat itu terdapat dusun dan orang-orang, juga wanita-wanita seperti yang dapat dia dengar suara tangisnya. Kalau begitu tentulah ada sekelompok suku bangsa tinggal di tempat ini dan hal ini menjadi hiburan baginya karena selain dapat bertemu dengan sesama manusia, dia tentu akan mudah mendapat makan dan siapa tahu kalau-kalau mereka akan dapat memberi petunjuk di mana adanya pulau berpohon putih yang tengah dicari-carinya.
Dusun itu mempunyai banyak pondok-pondok kayu yang besar-besar dan kokoh kuat. Modelnya sederhana saja namun pembuatannya cukup kuat dan baik, tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah model pesisir timur Tiongkok. Tetapi pada malam hari itu, agaknya sebagian besar dari rumah-rumah itu ditinggalkan oleh penghuninya dan ternyata mereka berkumpul di dalam sebuah rumah yang amat besar dan berada di tengah-tengah dusun itu.
Melihat bangunan induk ini, Kwan Cu menjadi bengong. Bukan main besar serta kokoh kuatnya bangunan ini, tiada ubahnya istana kaisar sendiri, hanya bedanya bangunan ini seluruhnya terbuat dari pada kayu yang besar-besar. Juga lampu-lampu gantung yang digunakan sebagai penerangan pada setiap rumah di dusun itu terbuat dari pada kayu.
Sebagai pengganti kaca dipergunakan semacam kulit ikan yang tipis dan dapat ditembusi oleh sinar api. Nyala api lampu tetap terang, karena ternyata bahwa orang-orang ini pun mempergunakan minyak untuk lampu-lampu ini!
Raksasa itu membawa Kwan Cu langsung ke sebuah ruangan lebar di mana berkumpul semua orang laki-laki dan perempuan yang kesemuanya adalah raksasa bertubuh tinggi besar. Mereka duduk bersimpuh, ada pula yang berlutut menghadapi sebuah meja besar di mana dipasang lilin seperti orang melakukan semacam sembahyangan.
Ketika raksasa itu muncul di bawah penerangan lampu besar, semua orang menengok dan terjadilah sesuatu yang mengherankan hati Kwan Cu. Pemuda ini melihat para orang laki-laki serentak mundur, bahkan ada yang melarikan diri, ada pula yang menjatuhkan diri berlutut kepada raksasa hitam yang baru datang. Orang-orang wanita menjadi pucat dan menjerit-jerit ketakutan bagai melihat setan! Terdengarlah pekik-pekik ketakutan dan suara orang kalang kabut.
Raksasa itu mengangkat kedua tangannya dan berkata-kata dengan suara yang sangat berpengaruh seakan-akan sedang menghibur. Sesudah dia selesai berkata-kata, semua orang lantas berlutut di hadapannya.
Dari rombongan wanita, mendadak berlari keluar seorang gadis raksasa yang bertubuh tinggi ramping dan berwajah halus. Dia boleh dibilang cantik, biar pun kulitnya kelihatan kehitaman dan tubuhnya juga tinggi besar. Namun jika dibandingkan dengan yang lain, ia termasuk kecil dan masih muda sekali. Sambil menangis, gadis raksasa ini menubruk raksasa itu dan keduanya lalu berpelukan.
Kini semua orang yang berada di situ nampak girang. Timbul senyuman di wajah mereka yang rata-rata membayangkan kejujuran.
Tiba-tiba saja seorang wanita menjerit sambil menunjukkan telunjuknya ke arah Kwan Cu. Keadaan menjadi geger setelah semua orang melihat pemuda kecil kate ini. Agaknya baru sekarang mereka melihat Kwan Cu dan terdengar suara-suara diiringi suara ketawa geli. Kaum perempuan tertawa terkekeh dan orang-orang lelaki tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Kwan Cu.
Kwan Cu menjadi mendongkol sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya dan dalam kegemasannya dia pun lupa akan perutnya yang lapar. “Sudahlah, sudahlah, aku bukan badut! Kalau kalian tidak suka melihat aku, aku pun tidak sudi berada disini terlalu lama.”
Sambil berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ. Dia tidak sudi dijadikan bahan tertawaan oleh semua orang itu hanya karena dia bertubuh normal! Akan tetapi raksasa hitam yang agaknya jadi kepala mereka itu, mengulur tangan mencegah dia keluar, lalu raksasa ini mengangkat tangannya memberi tanda kepada semua orang supaya berhenti tertawa dan bicara panjang lebar.
Agaknya dia kini menceritakan pengalamannya dan menceritakan betapa Kwan Cu telah menolongnya. Hal ini dapat diduga ketika semua orang kini memandang ke arah Kwan Cu dengan kagum sekali.
Dan tiba-tiba gadis raksasa yang tadi memeluk raksasa hitam itu, berlari mendekati Kwan Cu, mempergunakan kedua lengannya yang berkulit hitam halus dan panjang itu untuk memeluk Kwan Cu kemudian... mencium hidungnya!
Hampir saja Kwan Cu berlari keluar saking malu dan jengahnya. Ia memberontak dengan halus, melepaskan diri dari pelukan gadis raksasa itu dan berdiri dengan muka merah sampai telinganya! Ia melihat semua orang tertawa-tawa. Kini orang-orang wanita yang berpakaian cukup sopan, yakni dengan semacam kain berkembang tebal di selimutkan dari pundak menutup leher sampai ke lutut, datang mengerumuninya.
Dia sudah merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau semua wanita ini akan memeluk dan menciuminya. Tetapi dia merasa lega sekali ketika ternyata mereka hanya mendekatinya, meraba-raba tangan dan kakinya, bahkan ada yang melepaskan kalung dan gelang dari emas tulen kemudian memberikan perhiasan itu padanya sebagai tanda kagum! Sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya, Kwan Cu menolak semua hadiah itu dengan halus.
Raksasa hitam yang ternyata adalah raja suku bangsa ini lalu memberi perintah dan bubarlah semua orang. Mereka sibuk bekerja dan pada malam hari itu juga di ruangan ini diadakan pesta untuk menghormati raja dan Kwan Cu!
Pemuda ini mendapat kenyataan bahwa tidak semua raksasa berkulit hitam arang seperti kepalanya. Ada juga yang agak putih walau pun bagi bangsa Han masih termasuk hitam, bahkan wanita-wanitanya rata-rata mempunyai kulit yang hitam-hitam manis.
Meja sembahyang yang tadi dipasang di tengah ruangan, kini dibawa pergi dan sebagai gantinya dipasang meja besar yang mewah. Ketika orang sibuk menghias meja ini, Kwan Cu melompat dari tempat duduknya karena dia melihat di antara kain-kain berwarna yang digunakan untuk menghias meja makan yang panjang dan lebar itu, terdapat sajak-sajak yang tulisannya sama dengan tulisan yang dipergunakan dalam kitab sejarah Gui-siucai atau dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Ia segera membaca sajak kuno itu dan cepat berpaling kepada raksasa hitam yang juga memandangnya dengan heran. Pada waktu Kwan Cu menunjuk kepada sajak-sajak itu seakan-akan bertanya, raja para raksasa itu lalu membaca sajak-sajak tadi, akan tetapi dengan bahasa yang sama sekali asing bagi Kwan Cu.
Kwan Cu kemudian membaca sajak itu keras-keras dan kini giliran raja raksasa itu untuk memandangnya dengan bingung. Kwan Cu mendapat akal baik, lalu dia menggunakan jari tangannya untuk menggurat-gurat meja yang halus. Sambil mengerahkan lweekang-nya dia dapat menulis beberapa huruf dari tulisan kuno itu yang berbunyi.
‘Apakah kau dapat membaca tulisanku ini?’
Raja raksasa terkejut sekali nampaknya, lalu berteriak keras. Semua orang yang sedang sibuk membereskan tempat itu, pada lari mendatangi dan mereka semua, laki-laki dan perempuan dapat membaca tulisan tangan Kwan Cu di atas meja itu.
Tampak mereka bersorak-sorak girang dan raja itu lalu memberi perintah. Salah seorang di antara mereka berlari mengambil alat tulis berupa pisau runcing beserta lembaran kulit pohon yang di dalamnya putih dan halus. Dengan pisau itu, memang amat mudah dan enak untuk menuliskan huruf di sebelah dalam lebaran kulit pohon.
‘Tentu saja kami dapat membaca tulisanmu. Agaknya tulisan kita sama, hanya saja suara bacaannya yang bikin berbeda.’ Raja itu menulis dan bukan main girangnya hati Kwan Cu.
Pesta dimulai dan daging panggang yang dihidangkan membuat hati Kwan Cu berdebar girang, membuat dia mengilar akan tetapi baru melihat saja dia sudah merasa kenyang! Daging-daging yang dihidangkan di hadapannya begitu besar dan berbau sedap.
Kini dia dapat ‘bercakap-cakap’ dengan rakyat hitam itu melalui tulisan huruf kuno, dan dia mendapat penjelasan dan penuturan yang amat menarik hati seperti berikut.
Kalau dia yang membacanya, nama raja raksasa itu adalah Lakayong, dan raja ini adalah seorang duda dengan puterinya bernama Liyani, yakni gadis raksasa yang tadi menangis sambil memeluknya, atau juga gadis yang telah memeluk dan mencium Kwan Cu setelah mendengar bahwa pemuda ini telah menolong ayahnya!
Suku bangsa raksasa itu menurut mereka disebut bangsa Kuyu, keturunan dari bangsa raksasa yang sudah disangka lenyap dari daratan Tiongkok. Mereka sudah hidup sampai beberapa keturunan di atas pulau besar yang kosong itu. Lakayong diangkat sebagai raja oleh karena dia mempunyai tenaga paling besar dan menurut tradisi mereka, sesudah diadakan pertandingan dan Lakayong tak dapat dikalahkan, maka dia diangkat menjadi raja. Jago-jago lain dijadikan pembantu-pembantunya.
Di antara para pembantunya terdapat dua orang raksasa lainnya yang dalam kepandaian bertempur dan kehebatan tenaga, hanya kalah sedikit saja oleh Lakayong. Dua orang ini bernama Wisang dan Kasang dan oleh Lakayong kemudian diangkat menjadi pembantu-pembantunya yang paling berkuasa.
Akan tetapi telah lama dua orang ini merasa iri kepada Lakayong, dan diam-diam mereka mengandung maksud untuk merebut kedudukan. Apa lagi ketika dua orang itu bergantian mengajukan pinangan terhadap Liyani ditolak oleh gadis itu, mereka makin menaruh hati dendam.
Bangsa Kuyu mempunyai kebiasaan yang aneh dan yang sudah menjadi tradisi mereka. Yakni tiap kali bulan muncul, mulai bulan timbul tiga perempat sampai bulat, setiap raja selalu mandi di laut seorang diri, katanya untuk menerima berkah dari Dewa bulan demi kebahagiaan bangsanya.
Pada malam hari kemarin, seperti biasa, Raja Lakayong mandi di laut untuk memenuhi peraturan tradisi dan minta bekah bagi rakyatnya. Akan tetapi tiba-tiba dia diserang oleh kedua orang pembantunya, yaitu Wisang dan Kasang. Kalau saja mereka bertempur di darat, agaknya biar pun dikeroyok dua, Raja Lakayong tidak akan kalah.
Akan tetapi pertempuran di air amat melelahkan. Dia sudah mulai tua ada pun lawannya masih muda dan pandai berenang. Akhirnya dia kalah, dibelenggu kaki tangannya dan dilemparkan ke laut agar mati tenggelam atau dimakan ikan liar.
Kemudian Wisang dan Kasang berlari ke darat, lalu memberi tahu kepada semua orang bahwa ketika sedang mandi di laut, Raja Lakayong telah diserang ikan besar dan bahkan mereka berdua telah berusaha untuk menolong akan tetapi tak berhasil, dan sebaliknya menderita luka-luka. Padahal luka-luka mereka itu adalah karena pukulan Raja Lakayong yang melawan secara hebat sebelum dia dikalahkan!
Semua orang menjadi berduka, terutama sekali Layani dan upacara sembahyang segera dilakukan sampai sehari semalam. Ada pun kedua orang itu, Wisang dan Kasang, tidak kelihatan lagi. Hal ini karena mereka masih sangat percaya akan takhyul dan mereka beranggapan bahwa sebelum sehari semalam, arwah orang yang mati masih berkeliaran untuk menuntut balas pada musuh-musuhnya!
Karena itu, selama sehari semalam mereka tidak berani keluar dan terus bersembunyi di dalam sebuah goa yang gelap agar supaya arwah dari Raja Lakayong tak dapat mencari mereka! Ini pula sebabnya ketika raja Lakayong mendadak muncul pada malam hari itu, kedua penghianat itu tidak kelihatan di situ. Demikianlah penuturan Raja Lakayong pada Kwan Cu.
‘Baiknya Dewa Air masih melindungiku,’ Raja Lakayong menutur selanjutnya, ‘sehingga ombak membawaku ke tempat yang dangkal dan dalam keadaan yang setengah mati aku dapat berdiri di dalam air yang tiba sebatas leher. Aku berdiri kuat-kuat agar tidak terguling, karena sekali aku terguling, tentu aku akan mati. Kebetulan sekali kau datang, sahabat baik, dan aku pun lalu tertolong.’
‘Di mana adanya dua orang yang jahat itu? Aku ingin sekali memukul kepala mereka!’ tulis Kwan Cu dengan gemas.
Lakayong tertawa bergelak.
‘Kamu mengagumkan sekali, saudara kecil yang gagah,’ tulisnya. ‘Akan tetapi kau tidak tahu kalau Wisang dan Kasang amat kuat dan tangkas. Di seluruh dusun ini, hanya aku yang mampu menandingi mereka, itu pun tak mudah aku lakukan. Mereka kuat sekali, apa daya orang kecil seperti kau?’
Pada saat kedua orang itu bercakap-cakap dalam bentuk tulisan, maka semua tulisan itu dibaca semua orang ganti berganti dan yang mendapat kesempatan pertama tentu saja Liyani yang memandang kepada Kwan Cu dengan kagum sekali.
‘Kau kecil dan lemah, akan tetapi kau gagah perkasa. Aku suka kepadamu,’ tulis gadis itu dengan tulisan tangannya yang halus.
Kwan Cu merasa mendongkol juga karena raja Lakayong agaknya memandang rendah kepadanya.
‘Biar pun aku kecil, aku berani menghadapi keroyokan mereka berdua!’ tulisnya.
Sesudah semua orang membacanya, tentu saja tulisan ini menimbulkan kegemparan besar. Seorang laki-laki tinggi besar dan kelihatan kuat dan kasar sekali menudingkan telunjuknya kepada Kwan Cu dan berkata-kata dengan keras.
‘Dia bilang apa?’ Kwan Cu menulis.
Akan tetapi Raja Lakayong menggelengkan kepalanya, seolah-olah merasa segan untuk ‘menerjemahkan’ kata-kata itu. Kwan Cu merasa penasaran dan menunjukkan kata-kata pertanyaannya itu kepada Liyani. Gadis ini segera menuliskan jawabannya tanpa peduli kepada ayahnya yang tampaknya melarangnya.
‘Dia seorang kuat, dan berkata bahwa bangsa kami selalu jujur dan tidak mau membual. Seorang laki-laki yang berani mengeluarkan ucapan membual harus berani membuktikan omongannya itu pula.’
Membaca jawaban itu, Kwan Cu melompat berdiri. Semua orang itu tidak bisa mengikuti gerakannya yang cepat seperti burung terbang. Tahu-tahu semua orang melihat pemuda kecil itu sudah berdiri di depan raksasa muda yang menegurnya tadi dan sedang bertolak pinggang seperti menantang.
Raksasa muda itu tertawa sambil mendorong dada Kwan Cu, agaknya hendak menyuruh Kwan Cu agar duduk kembali. Dorongan itu sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya, menyambar ke arah dada Kwan Cu seperti gajah menyeruduk.
Tetapi dengan sedikit saja miringkan tubuh, Kwan Cu sudah dapat mengelak. Secepat kilat, dari samping dia menekan siku yang mendorong dan membarengi menggunakan kaki untuk menendang belakang lutut raksasa itu. Terdengar raksasa itu berteriak dan tak dapat bertahan lagi ia lantas jatuh tersungkur dengan hidung lebih dulu!
Orang-orang tertegun melihat hal ini, bahkan Raja Lakayong sendiri seperti orang yang tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, sebaliknya Liyani bertepuk tangan memujinya.
Raksasa itu bangun kembali dengan penasaran, dari hidungnya yang panjang mengalir darah. Setelah memandang dengan mata yang terbelalak, dia lalu maju menyerang, kini dengan kedua tangan dipentang lebar dan kemudian memukul kepala Kwan Cu dari kiri dan kanan.
Serangan itu dahsyat sekali. Akan tetapi bagi Kwan Cu gerakan orang ini amat lambat, mudah saja baginya untuk melangkah mundur sehingga kembali serangan itu mengenai angin kosong. Raksasa itu terheran-heran ketika kedua tangannya memukul angin, maka dengan bernafsu ia menubruk lagi, kini dengan tubuh membungkuk seperti seekor lembu jantan hendak menyeruduk.
Kwan Cu berpikir, bahwa kalau dia belum memperlihatkan kelihaiannya, tentu dia akan dipandang rendah oleh orang-orang ini. Karena itu dia menanti kesempatan baik. Ketika lawannya menyeruduk, menyerang dengan kedua tangan dan kepala, dia bergerak cepat sekali, melompat dengan ringan sekali melalui atas kepala lawannya!
Semua orang tertegun, akan tetapi raksasa muda itu kebingungan karena tiba-tiba saja ia kehilangan lawannya.
“Bocah cilik, jangan lari kau sembunyi!” teriaknya dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh Kwan Cu.
Akan tetapi orang yang berada di situ mengerti dan menjadi geli sekali karena Kwan Cu yang disangka bersembunyi itu sebenarnya telah berada di belakang raksasa muda itu!
Kwan Cu tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dengan gerakan yang cepat sekali dia menggunakan jari tangannya untuk menotok kaki bagian belakang lutut. Dia melihat urat besar dan seketika itu juga raksasa itu jatuh berlutut. Kwan Cu menyerang terus, kini menotok punggungnya dan aneh sekali bagi semua orang dan raja Lakayong karena dengan tiba-tiba raksasa muda itu terguling jatuh dan menangis keras!
Semua orang menjadi gempar dan raksasa itu dikerubung serta ditanyai, akan tetapi ia tidak menjawab melainkan tetap bergulingan dan menangis karena ia telah ditotok jalan darahnya yang membuat semua badan menjadi sakit dan air matanya mengucur keluar tanpa dapat dicegah lagi. Ternyata Kwan Cu telah menggunakan Ilmu Silat Sin-ci Tin-san (Satu Jari Merobohkan Gunung)!
Liyani segera menghampiri Kwan Cu. Pemuda ini takut kalau akan dicium lagi maka dia berlaku waspada, siap mengelak kalau-kalau akan dipeluk lagi. Tapi Liyani menghampiri dirinya dengan membawa tulisannya yang ketika ia baca berbunyi,
‘Kau apakan dia?’
Kwan Cu tersenyum dan membalasnya dengan tulisan.
‘Tidak apa-apa, hanya memberi pelajaran kepadanya. Kau minta agar dia menarik lagi kata-kata yang memandang rendah kepadaku dan aku akan menyembuhkannya!’
Sambil tersenyum gembira gadis itu berlari-lari ke arah raksasa yang masih menangis bergulingan bagaikan anak kecil itu, dan menyampaikan pesan Kwan Cu. Raksasa itu berkaok-kaok yang diterjemahkan oleh Liyani.
‘Dia sudah kapok dan minta ampun.’
Kwan Cu merasa kasihan. Ia segera menghampiri pemuda raksasa itu, lalu menepuk dan mengurut punggungnya! Lenyaplah rasa sakit. Raksasa itu membungkuk kepada Kwan Cu, kemudian beranjak pergi dari situ dengan malu.
Kwan Cu duduk lagi di dekat Raja Lakayong yang memandangnya sambil mengurutkan kening, lalu menulis,
‘Kau mempergunakan ilmu hoat-sut (ilmu sihir). Aku tidak suka akan ilmu curangmu itu, lebih baik mengandalkan tenaga dan berkelahi dengan jujur.’
Kwan Cu dapat memaklumi jalan pikiran raksasa sederhana dan jujur ini. Maka dia lalu menulis dengan panjang lebar.
‘Tidak ada kecurangan caraku dalam bertempur, aku lebih menggunakan otak dari pada tenaga. Kalau aku disuruh bertempur menghadapi dia yang jauh lebih besar, apakah itu jujur dan adil namanya? Sama saja dengan seekor kelinci disuruh menghadapi harimau! Tenagaku jauh lebih kecil, oleh karena itu aku harus menggunakan akal. Aku tadi juga menggunakan pukulan, akan tetapi pukulan dengan tenaga sekecilnya yang aku tujukan pada bagian yang menyakitkan.’
‘Tubuhnya kuat, tak mungkin dengan tenaga kecil dapat menimbulkan rasa sakit,’ bantah Lakayong.
‘Kau keliru,’ jawab Kwan Cu. ‘di bawah kulit tersembunyi bagian-bagian yang lemah. Bila kau tidak percaya, coba kau gunakan salah satu jari tanganmu mengetok bagian lututmu ini sendiri.’ Sambil berkata demikian Kwan Cu meraba sambungan lutut raksasa itu.
Sambil tersenyum Raja Lakayong mengetokkan jarinya pada bagian itu. Dia pun berseru kesakitan sambil secara otomatis kakinya bergerak ke depan seperti orang menendang karena uratnya yang amat perasa telah tersentuh. Dengan rasa terheran-heran raksasa itu mengetuknya berkali-kali hingga akhirnya Kwan Cu melarangnya karena hal itu dapat berbahaya sekali.
‘Jika kau menggunakan pukulan menghantam lawan, mungkin dia tak akan roboh. Akan tetapi jika kau memukul agak ke bawah hingga mengenai sambungan lututnya, pasti ia akan roboh. Apakah akal ini dapat dikatakan curang?’
Lakayong kagum sekali. Lalu ia minta penjelasan lebih lanjut.
‘Mungkin aku akan menghadapi salah satu di antara kedua orang penghianat itu. Mereka masih muda dan kuat, sedangkan aku sudah tua. Aku kalah tenaga sehingga aku perlu mengetahui rahasia tubuh ini,’ katanya.
Kwan Cu segera memberi penjelasan sambil memberi contoh, yaitu lebih tepat memukul sambungan siku dari pada mengenai lengan, lebih baik memukul sambungan pundak dari pada mengenai dada, dan memberi petunjuk bagian berbahaya yaitu leher, ulu hati, lambung dan lain-lain. Raja Lakayong menjadi girang sekali dan hampir sampai pagi ia menerima petunjuk dari Kwan Cu.
‘Di mana adanya dua orang jahat itu?’ tanyanya.
‘Mereka bersembunyi, akan tetapi tidak ada orang yang akan sembunyi terus-menerus, mereka tidak berani meninggalkan pulau dan besok pasti akan menghadap juga.’
‘Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?’
‘Kau akan melihat sendiri besok,’ Lakayong menjawab sambil tertawa. ‘Yang sudah pasti, mereka akan menghadapi keputusan yang jujur, sesuai dengan kebiasaan kami.’
Ada pun Liyani yang suka sekali kepada Kwan Cu, tiada bosannya mengajarkan bahasa mereka kepada Kwan Cu. Dengan bantuan tulisan mereka yang dimengerti oleh Kwan Cu, dibantu pula oleh otaknya yang cerdik, sebentar saja Kwan Cu sudah dapat mengerti beberapa ucapan terpenting dalam percakapan sehari-hari. Maka mulailah dia bercakap secara langsung dengan Liyani dan Lakayong sehingga mereka menjadi gembira sekali.
Melihat suling yang ada di buntalan Kwan Cu, Liyani bertanya benda apakah gerangan yang aneh itu. Kwan Cu tersenyum lalu meniup sulingnya. Berserabutan orang-orang yang tadinya sudah pulang ke pondok masing-masing untuk melihat apakah yang dapat berbunyi demikian aneh dan merdu.
Ada pun Liyani saking gembiranya lalu menari di hadapan Kwan Cu. Sebuah tarian yang menurut Kwan Cu amat melanggar kesusilaan karena gadis itu menari dengan pinggang bergerak, semacam tari perut!
Atas kehendak Raja Lakayong, pertemuan yang menggembirakan itu dibubarkan untuk memberi kesempatan pada tamunya untuk mengaso. Kwan Cu mendapat kamar yang bersih di dalam gedung besar itu, berdekatan dengan kamar Raja Lakayong dan kamar puterinya.
Sebentar saja Lakayong telah tidur mendengkur. Juga Kwan Cu yang merasa amat lelah, tidur melenyapkan keletihannya setelah makan kenyang dan merasa tubuhnya enak dan segar. Terlebih dahulu ia mengganti pakaiannya yang basah kuyup dengan pakaian yang sudah dia panggang di dekat api unggun sehingga menjadi kering.
Pada keesokan harinya dia bangun dari tidurnya karena suara ketawa terkekeh-kekeh di dalam kamarnya. Ia membuka matanya dan cepat meloncat turun dari pembaringan kayu ketika melihat yang tertawa-tawa itu adalah Liyani yang sudah memasuki kamarnya.
Gadis itu telah membuka buntalannya dan sedang melihat-lihat pakaiannya. Celana dan bajunya dipegang gadis itu sambil tertawa-tawa, bagai seorang gadis remaja memegang dan merasa geli melihat pakaian anak kecil! Memang, celana sutra dari pemuda itu ketika dipegang tergantung oleh tangan Liyani hanya kelihatan seperti celana anak kecil saja!
Ketika melihat Liyani mulai membuka bungkusan kuning yang berisi daun Liong-cu-hio, Kwan Cu melompat dan merampas bungkusan itu.
“Jangan sentuh ini!” katanya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
Mata yang bening itu terbelalak lebar. Setelah melihat gadis itu pada pagi hari, Kwan Cu harus mengakui bahwa Liyani memiliki kecantikan yang khas dari bangsanya. Kulitnya yang kehitaman itu tidak membosankan dan bibirnya yang tebal itu nampak penuh dan manis.
“Kenapa tak boleh?” tanyanya heran, kejujurannya membuat ia tak merasa tersinggung.
“Karena benda yang terbungkus kain ini sangat berbahaya, sekali tanganmu menyentuh benda itu, maka tanganmu akan menjadi hangus.”
Liyani menjadi terkejut sekali dan melangkah mundur.
“Kau orang aneh, barang-barangmu juga aneh. Akan tetapi aku... aku suka kepadamu, suka sekali padamu.” Setelah berkata begitu gadis itu keluar dari kamar, meninggalkan Kwan Cu yang berdiri dengan muka merah sekali.
Pemuda ini baru berumur enam belas tahun dan selama hidupnya belum pernah berpikir tentang cinta kasih antara laki-laki dan wanita. Tadinya mengira bahwa rasa suka yang dinyatakan berkali-kali oleh gadis raksasa itu adalah rasa suka yang terdapat dalam hati orang bersahabat, namun melihat sinar mata gadis itu yang aneh sekali, membuat dia merasa jengah dan tidak enak hati!
Wanita-wanita pelayan datang membawa air pencuci muka, air minum serta makanan, menyediakan semua itu sambil tertawa-tawa seolah-olah menghadapi sesuatu yang lucu.
Kwan Cu mendongkol sekali dan berpikir bahwa dia tidak betah bila terlalu lama tinggal di pulau raksasa ini karena dia maklum bahwa tubuhnya yang jauh lebih kecil dari pada penduduk di sana akan membuat dia kelihatan sebagai makhluk yang sangat aneh dan menggelikan. Ia tidak suka menjadi bahan ketawaan. Namun, minuman yang disediakan amat enak, menghangatkan perutnya sedangkan makanan itu lezat sekali, semacam kue yang manis.
Tak lama kemudian datanglah Raja Lakayong yang nampak sehat dan gembira sekali.
“Saudara kecil yang baik, apakah kau enak tidur?” tanyanya.
Kwan Cu mengucapkan terima kasihnya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
“Saudara Kwan Cu, mari kau ikut aku melihat bagaimana kami mengadakan pengadilan,” kata Lakayong sambil mengandeng tangan Kwan Cu.
Ketika mereka tiba di luar, ternyata Raja itu tidak datang seorang diri, melainkan bersama tujuh orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka ini adalah pembantu-pembantu dari Lakayong.
Kwan Cu berjalan bersama Lakayong menuju ke sebelah barat di mana terdapat sebuah telaga yang berbentuk bundar dan nampaknya dalam sekali. Air telaga yang kebiruan itu kelihatan tenang, akan tetapi kadang-kadang nampak berombak dan sekali-kali muncul kepala seekor binatang yang membuat Kwan Cu terheran-heran dan merasa ngeri.
Kepala binatang yang muncul di permukaan air telaga itu amat menyeramkan bentuknya seperti seekor singa, liar dan buas, akan tetapi kepala itu besar sekali dan tubuhnya agak panjang karena ekornya yang berambut merah berada jauh di belakangnya. Apakah ini yang disebut naga? Ataukah singa air?
Lakayong mengajak Kwan Cu duduk di dekat telaga, di atas batu-batu hitam yang licin dan agaknya sudah sering kali diduduki oleh Raja ini. Para pembantu yang tujuh orang itu duduk di sebelah kiri.
“Sudah siapkan mereka?” tanya Lakayong pada orang-orangnya.
“Mereka sedang menuju ke sini,” jawab pembantunya dengan hormat.
Betul saja, tidak lama kemudian nampak dua raksasa muda yang bertubuh kuat sekali. Mereka berjalan berdampingan bagai dua ekor gajah muda menuju ke tempat itu. Setiba mereka di depan Lakayong, dua orang itu lalu berbungkuk dengan hormat.
“Kalian sudah mendengar keputusanku!” kata Lakayong dengan kata dingin. “Karena di antara kalian berdua tiada yang mengaku merencanakan pengkhianatan itu, kalian harus mendapatkan kemenangan dalam pertandingan di atas batu jamur. Yang kalah menjadi mangsa singa telaga, yang menang akan berhadapan dengan aku sendiri!”
“Kami mengerti!” jawab dua orang itu dengan gagah dan mata mereka memandang ke arah Kwan Cu penuh kebencian sehingga pemuda ini menjadi kaget.
Tujuh orang pembantu segera menyediakan sebuah perahu besar, kemudian dua orang raksasa muda itu menunggang perahu menuju tengah-tengah telaga. Kwan Cu melihat bahwa di tengah telaga itu terdapat sebuah batu karang yang bentuknya aneh seperti jamur besar. Tahulah dia bahwa kedua raksasa muda itu harus bertanding di atas batu karang itu.
“Apakah mereka yang bernama Wisang dan Kasang?” tanyanya kepada Lakayong.
Raja raksasa itu mengangguk dengan tersenyum.
“Benar, merekalah para pengkhianat itu. Sayang sekali, sebenarnya mereka merupakan dua orang muda yang paling cakap yang gagah di antara suku bangsa kami.”
“Masih lebih baik mempunyai pembantu kurang cakap akan tetapi jujur dari pada memiliki pembantu cakap akan tetapi khianat,” kata Kwan Cu.
“Kau betul sekali, saudaraku, cocok sekali dengan pendirianku. Oleh karena itulah maka aku menjatuhkan hukuman itu kepada mereka.
Diam-diam Kwan Cu mengagumi kesederhanaan dan kejujuran orang-orang ini. Mana ada hukuman seperti itu, yang menjadi pesakitan sama sekali tidak di tangkap, dibiarkan bebas begitu saja. Namun tetap saja mereka datang menyerah! Dan alangkah anehnya hukuman itu. Keduanya disuruh bertanding dan yang menang akan diberi kesempatan bertanding dengan raja Lakayong!
“Bagaimana kalau dalam pertandingan kedua nanti kau kalah?” tanya Kwan Cu.
“Aku akan kalah? Tidak mungkin. Apa lagi sesudah mendapat petunjuk darimu tentang bagian-bagian tubuh yang lemah, meski pun dikeroyok dua oleh mereka, aku akan dapat merobohkan mereka,” kata Lakayong sambil ketawa gembira.
“Akan tetapi, andai kata kau tetap kalah?” Kwan Cu mendesak.
“Kalau aku kalah? Tidak bisa lain tentu pemenangnya akan menjadi Raja dan menikah dengan Liyani.”
Kwan Cu tertegun. Alangkah sederhananya peraturan itu dan menunjukkan bahwa raja raksasa ini sama sekali tidak berlaku sewenang-wenang. Jika dia mau, bukankah dengan mudah dia bisa saja menyuruh tangkap dan bunuh kedua pengkhianat itu? Akan tetapi, mendengar bahwa Liyani akan diperistri oleh seorang pemenang, hati Kwan Cu menjadi penasaran.
“Bukankah Liyani sudah menolak pinangan mereka?”
“Karena Liyani puteriku maka dia berhak menolak pinangan siapa saja yang dia tidak suka. Akan tetapi, ia tak akan boleh menolak pinangan seorang raja.”
Percakapan berhenti dan kini dua orang raksasa muda itu sudah tiba di batu karang yang disebut batu jamur. Dengan otot-otot kaki tangan menggembung mereka lalu merayap naik ke atas batu karang itu. Tidak sembarang orang dapat merayap seperti itu karena batu karang itu bentuknya seperti jamur dan terjal.
Selain sukar, juga amat berbahaya karena Kwan Cu melihat betapa singa-singa telaga sudah siap sedia menunggu dengan mulut memperlihatkan gigi-gigi tajam di sekitar batu jamur itu! Sekali saja kaki terpeleset dan jatuh ke air, tak akan ada pertolongan lagi.
Setelah kedua orang itu, Wisang dan Kasang, berhasil naik ke atas, mereka lalu berdiri berhadapan seperti dua orang jago berlagak. Siap untuk mulai pertandingan. Penduduk dusun itu semua datang untuk menyaksikan pertandingan ini, dan dari gerak dan suara mereka Kwan Cu dapat menduga bahwa para penonton itu saling bertaruh untuk jago masing-masing.
Matahari telah tinggi dan kini semua orang laki-laki perempuan telah berkumpul di pinggir telaga termasuk Liyani yang mengambil tempat duduk di samping Kwan Cu. Ada pun raja Lakayong duduk di sebelah kanan pemuda itu. Raja ini kelihatan gembira sekali.
Pertandingan di atas batu jamur jarang sekali diadakan. Semenjak dulu, sudah beberapa keturunan, batu jamur itu hanya dipergunakan untuk pertandingan bagi calon-calon raja. Akan tetapi dalam pertandingan calon raja, di sekeliling batu itu terdapat perahu-perahu besar sehingga kalau ada yang kalah dan jatuh ke bawah, dia tidak akan dimakan singa telaga karena dapat melompat ke perahu.
Berbeda dengan pertandingan sekarang ini, karena pertandingan sekarang ini bersifat hukuman, maka setelah dua orang ini naik, Lakayong memberi perintah supaya perahu besar yang membawa dua orang raksasa muda tadi ke batu jamur, disingkirkan! Dengan demikian berarti bahwa siapa yang kalah akan terkubur di dalam perut singa telaga!
Kemudian Lakayong lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangan dan mulailah kedua orang raksasa itu bertanding! Kwan Cu memandang dengan penuh perhatian. Ia tidak tahu bahwa dua orang raksasa muda yang sedang bertanding menanam kebencian hebat kepadanya.
Sebelum dua orang raksasa itu tadi menghadap raja, pada malam harinya mereka telah mendengar dari raksasa yang dikalahkan oleh Kwan Cu tentang semua kejadian. Mereka tahu bahwa yang menolong raja adalah pemuda itu, sehingga boleh dibilang bahwa yang mendatangkan mala petaka dan yang menggagalkan rencana mereka adalah Kwan Cu. Apa lagi ketika mereka mendengar bahwa biar pun kecil, pemuda asing itu mempunyai kepandaian bertempur yang mengherankan, dua orang raksasa muda itu menjadi makin benci dan iri hati.
Pertempuran yang terjadi di atas batu jamur itu ramai sekali. Keduanya sama kuat dan sama tangguh. Pukul-memukul, tendang-menendang dan dorong-mendorong, berusaha sekuat tenaga agar lawannya terlempar jatuh dari atas batu jamur.
Memang amat mengerikan dan menegangkan nampaknya. Permukaan batu yang rata itu tidak seberapa lebar dan sekali sudah terlempar atau tergelincir ke bawah berarti maut menjadi bagiannya!
Kwan Cu melihat betapa dua orang raksasa muda itu lebih banyak menggunakan tenaga dari pada otak. Mereka memiliki kekuatan, dan tubuh yang terlindung oleh otot-otot tebal itu menjadi kebal. Pukulan dan tendangan lawan seperti tidak terasa dan dorongan tak cukup kuat untuk dapat merobohkan tubuh yang kokoh kuat itu.
Diam-diam Kwan Cu menjadi geli menyaksikan cara mereka bertempur itu. Seperti dua orang anak-anak yang bergulat saja. Apa bila dia yang maju, dia percaya bahwa dalam beberapa gebrakan saja dia akan dapat mengalahkan mereka.
Para penonton bersorak-sorak, menyoraki jago masing-masing. Kadang-kadang Wisang tertindih, ada kalanya Kasang terdesak, akan tetapi keduanya sama kuatnya sehingga pertandingan makin lama makin seru dan mengerikan. Liyani tertawa-tawa gembira dan gadis ini nampaknya senang sekali menyaksikan pertandingan antara kedua raksasa itu. Raja Lakayong memandang penuh perhatian dan berkali-kali menganggukkan kepala sambil berkata perlahan kepada Kwan Cu.
“Kau betul, saudaraku. Mereka tidak mempergunakan otak dan mereka hanya memukul atau menendang bagian-bagian anggota badan yang mudah untuk dijadikan sasaran saja. Kalau mereka itu menyerang ke arah anggota tubuh lawan yang lemah seperti yang kau ajarkan kepadaku, tentu pertandingan akan selesai dengan cepat. Ahhh, aku girang sekali karena sekarang terbuka mataku bagaimana harus mengalahkan mereka tanpa menghabiskan tenaga!”
Akan tetapi pemuda itu tak segembira Lakayong, bahkan Kwan Cu memandang ke arah pertempuran dengan kening berkerut. Matanya yang tajam itu dapat melihat hal-hal yang aneh dalam pertempuran itu. Banyak sekali kesempatan-kesempatan dan lowongan baik sekali dilewatkan begitu saja oleh Wisang dan Kasang. Kesempatan yang cukup untuk mereka pergunakan dalam merobohkan lawan.
Benar-benarkah mereka begitu bodoh dan buta? Tak mungkin! Hanya ada satu jawaban untuk memecahkan pertanyaan ini, yaitu bahwa dua orang itu tidak berkelahi sesungguh hati!
“Mereka hanya main-main saja!” katanya penuh curiga. “Mereka tidak berkelahi dengan sesungguhnya!”
Lakayong tertawa dengan bergelak. ”Kau lucu sekali, sahabatku. Orang sedang berkelahi mati-matian dan maut sewaktu-waktu dapat merengut nyawanya dan kau bilang bahwa mereka itu hanya main-main saja? Ha-ha-ha!”
“Jangan kau menertawakan aku, Raja Lakayong, tapi aku berani bertaruh bahwa sampai matahari tenggelam tak seorang pun di antara mereka yang akan kalah.”
Akan tetapi Lakayong tak percaya dan demikianlah, pertempuran terus dilakukan dengan hebatnya. Orang-orang wanita sudah menjadi bosan karena benar saja, setelah senja tiba, belum juga ada yang kalah dan menang. Seorang demi seorang mereka lalu pergi, bahkan Liyani juga pergi dari situ karena mereka ini harus melakukan tugas pekerjaan mereka. Bahkan banyak pula penonton laki-laki yang turut pergi. Yang masih tinggal di sini adalah hanya Raja Lakayong, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu saja.
Tidak lama kemudian pelayan-pelayan datang membawa makanan dan minuman untuk Raja, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu itu dan mereka makan di pinggir telaga sambil menonton pertempuran yang masih saja berjalan ramai itu. Akhirnya matahari terbenam dan sebagai penggantinya, bulan bertahta di angkasa raya.
Raja Lakayong maju. Dia menepuk-nepuk pundak Kwan Cu, lalu merangkul pemuda itu dengan tangan kirinya sambil berkata,
“Dugaanmu tidak meleset, saudara kecil. Benar saja sampai bulan muncul, belum ada yang kalah. Mereka berdua sama berani dan sama kuat. Sayang sekali mereka harus dihukum.”
Kwan Cu tidak menjawab. Dia tahu bahwa percuma saja apa bila dia hendak berkukuh menyatakan bahwa dua orang itu tidak bertempur sesungguhnya. Ia tahu bahwa Raja ini terlalu jujur sehingga tidak mengerti tentang kepalsuan dan pura-pura, maka tidak dapat pula membedakan pertempuran pura-pura dan pertempuran sesungguhnya.
“Pertempuran terpaksa ditunda sampai besok pagi, dewa bulan tidak suka menyaksikan manusia berkelahi,” kata Lakayong yang memberi isyarat dengan tangannya.
Pembantu-pembantunya mendayung perahu besar dan kedua raksasa yang bertempur itu lalu diperintahkan supaya menghentikan dan menunda pertandingan itu untuk diulang kembali besok pagi.
Dua orang raksasa itu kelihatan letih sekali. Tubuh mereka yang tinggi besar itu penuh peluh sampai berkilauan dan kelihatan lemas. Mereka segera dibawa ke pinggir telaga dan Lakayong berkata,
“Besok pertandingan kalian dimulai lagi pada waktu matahari muncul. Sekarang kalian boleh beristirahat.” Raja ini lalu memberi perintah supaya kedua orang jago ini dihidangi makanan yang lezat kemudian dia mengajak Kwan Cu kembali ke dusun.
Dugaan bahwa Wisang dan Kasang bertanding dengan pura-pura adalah tepat, karena memang kedua orang raksasa muda ini sengaja bertempur dengan main-main, tidak bermaksud saling mengalahkan. Berbeda dengan kawan-kawannya, dua orang raksasa ini agak lebih cerdik.
Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka menang dan harus menghadapi Lakayong, tetap saja si pemenang itu akan kalah oleh sang Raja yang sangat kuat itu. Karena inilah mereka berunding dan mendapat akal. Mereka takkan saling mengalahkan sehingga mereka akan dapat menghadapi Lakayong berdua!
Sementara itu di dalam rumah Raja Lakayong, Kwan Cu bercakap-cakap dengan Raja itu dikawani oleh Liyani.
“Mereka benar-benar mengagumkan, kuat sekali,” kata Raja Lakayong.
Kwan Cu merasa tidak ada gunanya untuk membantah dan sejak tadi dia memutar otak untuk memecahkan masalah itu. Dia juga merasa ngeri kalau membayangkan betapa dua orang raksasa muda yang kuat itu akhirnya akan menjadi mangsa singa telaga.
“Raja Lakayong, kau bilang sayang sekali kalau sampai kedua orang itu tewas, bukan? Mengapa tidak mengampuni dan menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu yang cakap?”
“Mengampuni tidak mungkin. Sudah menjadi kebiasaan kami menghukum orang-orang bersalah.”
”Bukan mengampuni sama sekali. Maksudku jangan menyuruh mereka bertanding di batu jamur itu, agar kita dapat menyaksikan dari dekat. Mereka harus diberi keinsyafan bahwa kau jauh lebih kuat dari mereka dan kita harus mencari akal untuk menundukkan mereka.”
“Bagaimana maksudmu, saudaraku yang baik?” tanya Lakayong.
“Begini,” jawab Kwan Cu yang sudah merencanakan sebuah akal yang baik. “Besok pagi suruhlah mereka bertanding di tempat yang terbuka dan kita menyaksikan dari dekat. Yang menang biarlah kulawan sebagai gantimu. Aku akan memberi hajaran kepadanya sampai dia tunduk betul. Atau boleh juga kau turun tangan memberi hajaran. Apa bila mereka sudah yakin betul bahwa mereka tiada harapan untuk menangkan kau, kurasa mereka tidak begitu bodoh dan nekat untuk memberontak.”
Lakayong mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Memang dia sendiri adalah seorang yang berhati penuh kasih sayang terhadap rakyatnya, maka tentu saja dia akan merasa lebih girang kalau saja dapat menyelamatkan nyawa kedua orang raksasa muda itu, sungguh pun kedua raksasa itu sudah pernah berusaha untuk menbunuhnya.
Rakyatnya membutuhkan orang-orang kuat seperti Wisang dan Kasang dan dia akan lebih suka mempunyai mantu di antara kedua raksasa muda itu dari pada pemuda yang lain di antara semua penghuni pulau itu.
“Baiklah, besok akan kucoba rencanamu itu.” Kemudian mereka berpaling kepada Liyani sambil bertanya, “Liyani, dulu kau menolak pinangan kedua orang muda itu. Sebetulnya siapakah yang paling baik di antara mereka berdua? Menurut pandanganmu, siapa di antara Wisang dan Kasang? Bagaimana dengan Wisang?”
Biar pun pertanyaan seperti ini yang dilakukan oleh ayahnya di depan orang lain tentu akan membikin malu kepada seorang gadis biasa, akan tetapi Liyani tidak merasa malu, bahkan tersenyum manis, lalu menjebirkan bibirnya dan mengejek. “Wisang? Dia orang kasar, aku tidak suka kepadanya.”
“Kalau Kasang bagaimana?” mendesak ayahnya.
“Dia cukup halus dan baik, akan tetapi…” berkata demikian, Liyani mengerling kepada Kwan Cu, membuat hati pemuda cilik ini menjadi berdebar bingung.
“Akan tetapi kenapa?” Lakayong mendesak pula.
“Dia pernah kalah oleh Ayah. Aku hanya mau menjadi isteri seorang yang lebih kuat dan pandai dari pada kau, Ayah,” katanya dengan sikap manja. Kembali gadis ini tersenyum dan mengerling kepada Kwan Cu.
Celaka dua belas, pikir Kwan Cu. Benar-benar gadis berkepala batu yang pikirannya aneh. Mana bisa Kasang menangkan Lakayong? Semua pemuda di pulau itu tak dapat menangkan Lakayong dan sekarang gadis ini bersikap manis kepadanya karena biar pun dia seorang bertubuh kecil, tapi dia telah memperlihatkan kepandaian dan agaknya gadis raksasa ini mengharapkan bahwa dia akan dapat mengalahkan ayahnya!
Ada pun Lakayong sesudah mendengar jawaban puterinya itu, lalu tertawa bergelak dan berkata,
“Anak bodoh! Agaknya kau tak akan dapat menikah sebelum aku menjadi orang tua dan lemah!”
Liyani tidak menjawab, lalu tak lama kemudian dia meninggalkan ayahnya dan Kwan Cu, berjalan pergi ke kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu.
“Ia seorang anak baik, seorang gadis yang menjadi kembang di antara rakyatku semua,” berkata Lakayong memuji puterinya. “Sayang dia keras kepala. Kalau dia menjadi isteri Kasang, tentu dia akan mempunyai seorang putera yang gagah perkasa.”
“Biarlah besok kita menundukkan lebih dulu dua orang muda itu dan barulah aku mencari akal agar supaya puterimu itu suka menerima tunangan Kasang,” kata Kwan Cu.
Lakayong memandang dengan muka kagum dan bersyukur. “Agaknya dewa-dewa sudah mengirim kau datang untuk menolong kami, saudara kecil. Walau pun semua akal dan caramu belum dijalankan, aku percaya bahwa kau yang telah memperlihatkan kesaktian akan berhasil. Aku berterima kasih kepadamu.”
“Tidak apa, Raja Lakayong. Sebaliknya aku pun telah kau terima sebagai tamu dengan sikap yang ramah-tamah. Ini saja membuat aku bersyukur sekali. Kau beserta rakyatmu adalah orang-orang jujur, satu sifat yang paling kukagumi di antara sifat-sifat yang baik, maka aku bersedia untuk membantu kalian.”
“Kalau saja aku dapat melakukan sesuatu untuk membalas budimu, aku akan merasa girang sekali, saudara Kwan Cu.”
Hampir saja Kwan Cu membuka rahasianya tentang pulau kecil di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicarinya, akan tetapi pemuda ini masih sempat menahan lidahnya.
“Memang ada sesuatu yang hendak kutanyakan kepadamu dan mengharap kalau-kalau kau dapat membantuku, akan tetapi biarlah hal itu kutunda dahulu dan akan kuceritakan kalau urusanmu ini sudah beres,” jawabnya.
Kemudian mereka mengaso.
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah bangun dari tidurnya. Seperti kemarin, dia melihat Liyani sudah berada di kamarnya. Dia merasa menyesal mengapa kamar-kamar besar di rumah ini semuanya tidak ada pintunya, kalau ada akan ditutupnya rapat-rapat supaya jangan ada orang masuk begitu saja. Melihat seorang gadis berada di kamarnya, meski pun gadis itu seorang gadis raksasa membuat Kwan Cu merasa jengah dan kikuk sekali.
“Nona Liyani, kau sudah berada di sini?” tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali.
Biasanya dia menyebut tanpa nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa malu dan jengah mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut ‘Nona’. Padahal di dalam bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona, akan tetapi dalam gugupnya dia meyebut ‘siocia’ yang berarti Nona.
“Eh, saudara Kwan Cu, apakah artinya siocia?” tanya Liyani sambil memandang dengan matanya yang lebar bening.
“Ohh, ya, aku lupa. Itu bahasaku, digunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum menikah,” jawabnya.
Liyani mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Lucu sekali kedengarannya. Semua hal yang ada padamu lucu dan menyenangkan. Melihat cara kau tidur pun kelihatan lucu dan menyenangkan.”
Kwan Cu terheran. “Lucu? Bagaimana sih tidurku?” tanyanya ingin tahu.
“Kau tidur begitu anteng seperti… seperti seorang wanita.”
“Seperti wanita? Apa maksudmu?”
“Atau seperti seorang anak kecil. Kau tidur berbeda dengan laki-laki dewasa di sini. Kau sama sekali tidak mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti anak-anak.”
“Hemm...” Kwan Cu merasakan kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak dia datang di situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.
“Memang... aku masih anak-anak, anak kecil yang tak ada sifat jantan,” katanya dengan sebal.
Ia lalu melompat turun dari pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya itu. Dia berdiri dan terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena kalau mereka berdua berdiri berhadapan, tinggi tubuhnya hanya sampai pada pinggang gadis itu, bahkan lebih rendah lagi!
Liyani dapat merasakan suara kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu, maka sambil tersenyum dia membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.
“Tidak, saudara yang baik. Kau sama sekali tidak seperti anak kecil. Meski pun kau kecil sekali, akan tetapi gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa agaknya kau masih keturunan dewa.”
“Gila!” kata Kwan Cu makin gemas.
“Aku pun tidak percaya,” kata Liyani tertawa, “Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang bertubuh kecil. Akan tetapi kau memang gagah dan baik, aku suka sekali padamu. Ehh, saudaraku yang baik. Menurut perkiraanmu, siapakah yang akan menang di antara Wisang dan Kasang?”
“Kau mengharapkan siapa yang menang?” tanya Kwan Cu.
Liyani cemberut dan Kwan Cu menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu sekali melihat gadis tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti seorang anak kecil atau seorang gadis manja.
“Belum menjawab pertanyaanku, kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu.”
Kwan Cu menjawab terus terang. “Walau pun hari ini mereka bertanding seharian penuh, kurasa takkan ada yang akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya hanya bertanding pura-pura belaka. Karena kemarin mereka bertempur di tempat yang agak jauh, maka tidak kentara. Sekarang mereka akan bertanding di lapangan terbuka, tentu akan kelihatan kalau mereka masih berpura-pura.”
“Menurut pandanganmu... siapakah yang lebih baik di antara kedua orang itu?”
Diam-diam Kwan Cu merasa geli dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan kepercayaannya kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangan darinya dalam hal memilih jodoh!
“Hemm... Bagaimanakah aku mampu mengatakan hal itu? Aku belum kenal mereka dan menurut keadaan luarnya, memang mereka itu sama muda, sama tangkas serta sama kuat. Sukarlah mengatakan yang mana lebih baik.” Kwan Cu berkata terus terang, tetapi dengan hati-hati.
“Wisang orangnya kasar. Pernah dia mengejar dan hendak memaksaku supaya berlaku manis kepadanya,” kata gadis itu cemberut.
“Kalau begitu agaknya Kasang lebih menarik hatimu,” kata Kwan Cu memancing.
“Memang dia lebih baik dari pada Wisang, akan tetapi sekarang dia pun kelihatan kasar bagiku.”
“Apakah ada orang lain yang lebih baik dan halus dari padanya?” Kwan Cu memancing karena siapa tahu kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.
“Semua pemuda di dusun ini kasar-kasar belaka, bila tidur mendengkur seperti binatang, sikapnya kasar menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti engkau!” gadis itu menarik napas panjang.
Kwan Cu sangat terkejut dan merasa khawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian gadis aneh ini?
“Aku kelihatan halus karena aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu.”
Liyani menarik napas panjang, nampak kecewa sekali. “Itulah! Kalau kau memilikii tubuh sebesar kami, tak akan susah payah aku memilih calon jodohku.”
Berdebar hati Kwan Cu. Benar-benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut berada berdua saja dengan gadis ini.
“Akan tetapi walau pun kecil kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu.” Sambil berkata demikian dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu.
Pemuda ini sudah kebingungan, baiknya pada saat itu datang pelayan yang membawa air pencuci muka dan makanan pagi.
“Baginda menanti di kebun belakang dan orang-orang telah berkumpul untuk meyaksikan pertandingan,” kata pelayan itu.
Setelah pelayan itu keluar, Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi Liyani, seakan-akan terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan, kemudian dia pun pergi menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kebun yang besar sekali.
Benar saja, di sana sudah berkumpul banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika Kwan Cu datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.
Wisang dan Kasang sudah berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di dekat Liyani, mereka memandang dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini benar-benar memanaskan perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang telah menggagalkan rencana mereka membunuh Lakayong, dan sekarang agaknya pemuda itu hendak merebut hati Liyani.
Akan tetapi mereka tidak dapat terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong telah memberi aba-aba sehingga kedua pemuda itu segera mulai pertandingan dengan hebat. Otot-otot tubuh mereka bergerak-gerak dan keduanya saling serang bagaikan dua ekor harimau bertarung.
Akan tetapi, belum lama mereka bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini sedang main gila dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang menonton di situ, termasuk juga raja Lakayong dan puterinya, betul-betul memang kena diakali.
Kwan Cu menjadi gemas bukan main. Selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah gerangan maksud kedua orang raksasa muda ini dengan perkelahian secara pura-pura itu, tiba-tiba kedua orang yang bertarung berhenti.
Wisang menjura kepada Lakayong dan berkata, "Aku dan Kasang mempunyai kekuatan dan kepandaian yang sama, tidak mungkin ada yang kalah atau menang. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau kami kalah, biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!"
Kini tahulah Kwan Cu akan maksud mereka. Jadi mereka sudah bermufakat untuk tidak merobohkan lawannya supaya mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam kemarahannya Kwan Cu segera melompat ke tengah lapangan kemudian berkata dengan suara kaku,
“Kalian ini orang-orang curang dan jahat! Apa kalian aku tidak tahu bahwa kalian sengaja tak mau menjatuhkan lawan? Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja hendak mengeroyok Raja yang sudah tua!”
Wajah Wisang serta Kasang menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi Kwan Cu dengan mata mendelik.
“Saudara Kwan Cu, kalau mereka ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka berdua. Orang-orang ini memang perlu dihajar!” kata Raja Lakayong dengan gagah dan dia sudah berdiri dengan tegapnya.
Memang tubuh Raja ini luar biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang raksasa muda itu, bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali. Semua orang menyatakan pujian kepada mereka yang gagah ini.
Akan tetapi Kwan Cu tetap merasa khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka, ini menandakan bahwa mereka ini lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu sudah mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang meski pun nampak kuat namun jauh lebih tua itu.
“Tidak! Tidak patut dua orang muda mengeroyok orang yang jauh lebih tua.”
Wisang menjadi marah sekali. Ia membanting kaki tangannya dan tergetarlah tanah yang diinjaknya saking kuatnya tenaga kakinya ini.
“Jahanam kecil, cacing busuk yang mau mampus! Kau siapa maka berani mencampuri urusan bangsa kami? Kau berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami secara laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan yang hanya bisa mempergunakan mulutnya?”
Panas dada Kwan Cu mendengar hinaan ini. Ia menjura kepda Raja Lakayong sambil berkata,
“Raja Lakayong saudaraku yang baik, perkenankanlah aku untuk menghadapi mereka ini dan memberi hajaran kepada mereka sebagai wakilmu.” Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu lalu menghadapi dua orang raksasa itu sambil berkata,
“Kalian majulah dan aku akan menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak berpura-pura seperti tadi!”
Wisang tertawa bergelak. Suaranya keras dan parau hingga menggetarkan anak telinga.
“Huaa-ha-ha-ha! Kau anak kecil kupencet dengan ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang kami berdua?”
“Manusia sombong, pantas saja puteri Liyani tak suka padamu, kau kasar dan sombong. Jangankan baru kalian berdua, biar pun kau mampu mengubah dirimu menjadi sepuluh, aku tak akan mundur setapak pun!”
“Setan kecil, kau sudah bosan hidup!” teriak Wisang.
Dia segera menggerakkan kepalan tangannya yang besarnya laksana kepala Kwan Cu itu, menonjok ke arah kepala pemuda kecil ini. Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak dan sekali dia melompat sambil mengerakkan kaki, kaki kanannya lalu menyambar ke perut Wisang yang besar.
“Ngekkkk!”
Tubuh Wisang yang besar itu terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua tangannya memegangi perut.
“Aduh… aduh… bangsat kecil... Aduuuh...!” Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa mulas sekali.
Semua orang yang menonton, termasuk juga Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan memandang terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.
“Bagus, bagus! Bukankah dia hebat sekali, Ayah?” terdengar Liyani bersorak sorai sambil bertepuk tangan.
Suara ini menyembuhkan rasa sakit di perut Wisang. Raksasa muda ini segera bangkit berdiri lagi dan kedua matanya seolah-olah mengeluarkan sinar berapi. Giginya berkerot dan kemarahannya memuncak. Ia lantas memandang kepada Kwan Cu sedemikian rupa sehingga Kwan Cu merasa seakan-akan dia hendak ditelan bulat-bulat oleh raksasa itu.
“Majulah, majulah kalian berdua, dan akan kuberi pelajaran bagaimana caranya berkelahi dengan sunguh-sunguh,” kata Kwan Cu mengejek.
Sambil menggereng keras, Wisang cepat menubruk maju, diikuti oleh Kasang yang juga merasa penasaran melihat Kwan Cu mengejek mereka. Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet cepatnya, Kwan Cu mengelak dan sekali tubuhnya berkelebat, dia terlepas dari ancaman tubrukan dua orang raksasa itu.
Beberapa kali Wisang dan Kasang menubruk. Di dalam kegemasannya, mereka hendak menangkap dan meremas tubuh yang mungil itu. Akan tetapi, dengan sengaja Kwan Cu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, ia mudah saja mengelak dari semua tubrukan yang dilakukan dengan kuat sekali namun baginya amat lambat itu.
Setelah menubruk berkali-kali hanya mengenai angin saja dan mendengar betapa Liyani menyoraki dan menertawai mereka, dan juga para penonton mulai mengeluarkan seruan pujian, panaslah hati Wisang dan Kasang. Kedua jago raksasa ini maklum bahwa lawan yang kecil itu gesit sekali sukar untuk ditangkap, maka mereka merubah siasat mereka.
Kini mereka tidak lagi menubruk, melainkan menendang dan memukul. Maksud mereka, sekali saja pukulan atau tendangan mengenai tubuh yang kecil itu, tentu pemuda kecil itu akan terlempar jauh dengan tulang remuk!
Akan tetapi betapa pun besar tenaga mereka, gerakan mereka amat lamban dan mereka bertempur hanya mengunakan tenaga tanpa mempergunakan otak. Mana bisa mengenai tubuh Kwan Cu yang sudah menerima latihan ginkang dari Ang-bin Sin-kai?
Menghadapi semua serangan itu, Kwan Cu bersilat dengan ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menolak Ratusan Golok). Gerakannya amat lincah dan gesit, dilakukan sambil tertawa-tawa mengejek. Pemuda ini mengatur kedudukan dirinya sedemikian rupa sehingga dia berada di tengah-tengah dan kedua lawannya berada di kanan kirinya atau kadang-kadang di depan dan belakangnya.
Dia sengaja tidak segera merobohkan mereka. Kalau dia mau, banyak sekali lowongan untuk memukul roboh dua orang raksasa itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau melakukan hal ini. Ia memang hendak menghajar kedua orang itu agar tunduk betul-betul dan kelak tidak akan menimbulkan keributan lagi menggangu Raja Lakayong yang baik.
Dia mengelak sambil kadang-kadang mengirim pukulan ke arah perut, dagu atau dada, cukup keras sehingga membuat dua orang raksasa itu mengaduh-aduh akan tetapi tidak cukup keras untuk merobohkan mereka.
Bahkan dalam kegembiraannya timbullah kenakalan pada Kwan Cu. Beberapa kali dia melompat tingi dan menggunakan jari tangan untuk menjewer telinga yang lebar, menarik hidung yang besar atau mencubit pipi yang lebar sambil tertawa-tawa.
Dipermainkan secara begini dan mendengar suara tertawa Liyani makin geli, ditambah pula surak sorai para penonton dan suara ketawa Raja Lakayong yang merasa kagum, heran dan juga geli, dua orang raksasa muda ini seakan-akan menjadi gila dibuatnya.
“Iblis kecil, akan kuhancurkan kepalamu!” kata Wisang geram.
Bahkan Kasang yang tidak segalak Wisang, sekarang sudah menjadi marah sekali dan membentak,
“Setan cilik, aku patahkan batang lehermu!”
“Ha-ha-ha-ha! Mau pecahkan kepala dan batang leher?” kata Kwan Cu menghadapi dua orang raksasa yang berada di kanan kirinya sambil tertawa mengejek. ”Ini kepalaku, ini leherku. Pecahkanlah, patahkanlah kalau bisa. Ha-ha-haaa!”
Wisang lalu menyergap maju dengan tangan kanan memukul. Kasang menubruk dengan tangan kanan mencengkeram. Kwan Cu diam saja berdiri seenaknya, seakan-akan tidak melihat adanya bahaya yang mengancam dari kanan kiri!
Liyani menjerit ngeri dan semua menahan napas karena serangan itu sudah dekat sekali. Agaknya tiada jalan keluar bagi Kwan Cu dan alangkah ngerinya apa bila pukulan dan cekikan kedua orang muda itu betul-betul mengenai kepala dan leher pemuda yang kecil itu!
Akan tetapi, ketika dua orang raksasa itu sudah dekat sekali tangannya pada tubuhnya, tiba-tiba saja Kwan Cu tertawa geli dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Dia sudah mempergunakan gerakan yang disebut Tui-teng Kui-cauw (Melompat Mundur Pulang ke Sarang), yakni sebuah cabang dari gerakan Yan-cu Kui-cauw (Burung Walet Pulang ke Sarang).
Kegesitan tubuhnya seperti burung walet saja. Ketika tubuhnya tiba-tiba saja lenyap dari tengah-tengah, kedua orang raksasa itu tiada ampun lagi saling gebuk dengan serunya. Kepalan tangan Wisang menghantam kepala Kasang, sedangkan tangan kanan Kasang kena mencengkeram jidat Wisang.
“Blukk! Blekk!”
Terdengar suara keras, disusul oleh jeritan mereka.
“Celaka!”
“Aduhh…!”
Keduanya terhuyung-hunyung ke belakang, memegangi kepala dan jidat yang terpukul oleh tangan masing-masing.
Liyani tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut saking gelinya. Lakayong juga tertawa terbahak-bahak dan di antara para penonton lebih ramai lagi, sampai-sampai ada yang tertawa demikian gelinya sehingga dia terjungkal dari batu yang didudukinya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Wisang dan Kasang. Setelah kepala mereka yang terasa pening berputar-putar itu sembuh, mereka memandang Kwan Cu.
“Nah, begitulah caranya orang berkelahi benar-benar. Tidak seperti tadi hanya pura-pura dan main-main saja,” Kwan Cu mengejek.
Tanpa berkata apa-apa dua orang muda raksasa itu lalu menyerang kembali, kini makin ganas dan marah. Justru inilah yang dikehendaki Kwan Cu. Makin marah mereka, makin mudahlah baginya untuk mempermainkan mereka dan makin sering pula kedua orang itu saling pukul dan saling tendang.
Bahkan satu kali Kwan Cu berlaku berani luar biasa. Dia membiarkan dirinya terpegang oleh Wisang! Semuanya menahan napas dan kembali terdengar Liyani menjerit cemas, bahkan terdengar Lakayong berteriak, ”Jangan bunuh dia!”
Akan tetapi tentu saja Wisang yang menjadi marah sekali tidak mau mendegar larangan ini dan dia bergerak hendak mencekik leher Kwan Cu! Melihat kesempatan ini, Kasang juga menubruk maju dan ikut memegang Kwan Cu. Pendeknya, kalau dilihat begitu saja agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk terlepas lagi.
Akan tetapi, sebenarnya memang pemuda ini sengaja membiarkan dirinya terpegang. Begitu merasa bahwa kedua raksasa itu sudah memeganginya, dia cepat bergerak dan kedua kakinya menendang ke atas dengan tubuh terjungkir balik, kaki kirinya menendang ke arah mata wisang dan kaki kanan ke arah mata Kasang!
Dua orang raksasa itu memekik kesakitan dan mata kanan mereka sudah menjadi biru, sakitnya bukan main! Untuk sedetik pegangan mereka mengendur sebab sebelah tangan mereka otomatis meraba mata yang terluka. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwan Cu untuk memberontak dan melepaskan diri, terus melompat pergi.
Kini dengan mata terpejam, saking sakit dan marahnya, kedua orang muda raksasa itu menubruk maju dan dengan sendirinya saat dua tangan mereka mencengkeram, mereka saling cekik dan saling cengkeram, mencari lawan sambil mencengkeram dan memukul sekenanya. Maka benar-benar berkelahilah mereka satu dengan yang lain dan terdengar mereka teraduh-aduh.
Kwan Cu menganggap bahwa permainannya sudah cukup. Ia melompat ke atas, berdiri dengan kaki kiri di pundak Wisang dan kaki kanan di pundak Kasang menjambak rambut ke dua raksasa itu sambil mengerahkan tenaga, menarik rambut itu mengadukan kepala mereka satu kepada yang lain.
“Dukkkkkkkk!”
Dua buah kepala yang besar sekali itu saling tumbuk, disusul oleh jerit mereka.
“Aduuuuuuuh…!”
Ketika Kwan Cu melompat turun, tubuh kedua orang raksasa itu terputar lalu roboh tak bergerak lagi. Mereka jatuh pingsan dan di kepala mereka ini tumbuh benjol yang besar dan biru!
Ramailah sorak sorai para penonton. Liyani memandang ke arah Kwan Cu dengan sinar mata yang menakutkan hati Kwan Cu. Raja Lakayong cepat menghampiri Kwan Cu dan tiba-tiba raja ini berkata,
“Saudara Kwan Cu, cobalah kita bermain-main sebentar!” sambil berkata demikian raja ini bergerak memukul ke arah Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut luar biasa. Pukulan raja ini mendatangkan angin keras tanda bahwa tenaganya besar sekali. Ia mengelak dan melompat mundur sambil berseru,
“Eh, ehh, ehhh, raja Lakayong saudaraku, mengapa kau menyerbuku?”
“Aku amat kagum melihat kegagahanmu. Puaskanlah hatiku, saudaraku, aku ingin sekali mencoba kepandaianmu sendiri,” kata Lakayong sambil menyerang terus dengan cepat. Gerakan raja ini jauh lebih kuat dan cepat dari pada gerakan kedua orang raksasa muda itu.
Kwan Cu dapat memaklumi isi hati Raja ini. Sebagai orang yang menghargai kepandaian dan kegagahan, melihat seorang gagah lain, tentu saja Raja ini menjadi gatal tangan dan belum merasa puas jika belum menguji kepandaiannya oleh tangan sendiri. Pendeknya, kini Raja ini ingin mencoba kepandaiannya atau yang lajimnya di negerinya disebut pibu (mengadu kepandaian)! Maka Kwan Cu segera melayaninya dengan hati-hati sekali.
Ia menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa Raja ini telah mentaati pelajarannya dan sekarang semua pukulan serta tendangannya ditujukan ke arah bagian tubuh yang berbahaya. Kalau Raja ini yang tadi menghadapi Wisang dan Kasang, ada kemungkinan kedua orang raksasa muda itu akan tewas dalam pertempuran. Pukulan Raja ini keras sekali dan kepala raksasa muda itu agaknya akan pecah jika terkena pukulan dahsyat ini.
Namun, semua gerakan pukulan Lakayong tiada bedanya gerakan Wisang dan Kasang, sama sekali dilakukan secara ngawur, hanya mengandalkan tenaga saja, sama sekali tak menuruti teori ilmu berkelahi yang baik. Oleh karena itu, kalau dia mau, Kwan Cu dapat merobohkannya dengan mudah saja.
Akan tetapi dia tidak tega untuk melakukan hal ini, karena kalau mengalahkan Lakayong dengan mudah, sedikitnya akan turunlah penghargaan rakyat kepada Raja mereka ini. Ia lalu sengaja membiarkan dirinya terdesak dan sesudah pertempuran berjalan agak lama, cepat sekali dia menggunakan ilmu silat Sin-ci Tin-san, menotok jalan darah thian-hu-hiat dari lawan.
Tiba-tiba Lakayong merasa betapa tubuhnya lemas tidak berdaya sama sekali sehingga dia roboh perlahan. Kwan Cu cepat menyusuli dengan totokan lain dan pulih kembalilah kesehatan Raja itu.
Untuk sesaat, Lakayong hanya dapat duduk dengan mata terbelalak heran. Kemudian ia mengangkat kedua tangan, berdiri dan memeluk Kwan Cu sambil berkata jelas,
“Saudara Kwan Cu hebat sekali. Aku dapat dikalahkan dengan mudah!”
Para penonton terheran-heran, lalu bersorak memuji Kwan Cu.
“Hidup calon raja kita!” mereka bersorak-sorak.
Liyani berlari menghampiri Kwan Cu dan tanpa terduga-duga, gadis ini berlutut sehingga tingginya sama dengan Kwan Cu, lalu memeluk dan menciumnya seperti dulu! Kwan Cu cepat memberontak melepaskan diri dengan muka pucat. Ia tadi merasa kaget setengah mati karena orang-orang itu menyorakinya sebagai calon raja. Ia lebih kaget bukan main ketika Liyani menciuminya dan kekagetannya menjadi-jadi ketika mendadak Liyani yang memegang tangannya berkata keras,
“Dia inilah calon jodohku!”
Mau rasanya Kwan Cu melarikan diri dari tempat itu. Semua kejadian ini membuat dirinya menjadi bingung setengah mati. Ia lalu berkata kepada semua orang.
“Tidak, tidak! Aku bukanlah calon raja dan calon jodoh Liyani. Jodohnya adalah Kasang karena Kasang lebih kuat dari pada Raja !”
Semua orang terdiam dan melongo. Juga Liyani dan Lakayong. Akan tetapi Kwan Cu berkata, “Aku tidak mungkin menjadi calon raja karena aku harus pergi dari sini. Dan aku tak bisa jadi calon jodoh Liyani karena aku... aku orang kecil, tidak sesuai untuk menjadi jodohnya.”
“Itu bukan alasan!” Liyani membantah. “Hanya dengan alasan yang jujur dari bangsaku aku mau menerima penolakan ini!”
“Alasan jujur yang bagaimanakah?”
“Pertama, kalau kau mau menyatakan bahwa kau membenciku, aku tidak keberatan kau menolakku. Ke dua, hanya kalau kau sudah mempunyai calon jodoh atau bahkan sudah mempunyai jodoh perempuan lain, baru aku mau mencari lain jodoh.”
Kwan Cu menjadi makin bingung dan ia menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Ia berada dalam keadaan yang teramat sulit. Untuk menyatakan bahwa ia membenci Liyani, selain hal itu tak sesuai dengan hatinya yang sama sekali tidak membenci gadis raksasa ini, juga amat berbahaya karena tentu semua orang di sana akan memusuhinya.
Untuk mengaku bahwa dia sudah punya calon jodoh atau isteri, tidak mungkin pula. Akan tetapi, alasan kedua ini sebetulnya lebih ringan dan lebih aman. Setelah berpikir-pikir dia menjawab tanpa ragu-ragu,
“Aku tidak membencimu, Liyani. Dan aku memang belum punya jodoh. Akan tetapi aku sudah mempunyai calon jodoh, seorang gadis di negeriku.”
Tiba-tiba Liyani menangis! Kwan Cu menjadi bingung sekali.
“Jangan berduka, Liyani. Kita tidak cocok menjadi jodoh, namun aku sudah mempunyai calon jodoh yang besarnya sama denganmu. Jodohmu adalah pemuda tinggi besar yang gagah seperti Kasang.”
“Calon jodohmu itu... Apakah kau suka kepadanya?” tanya Liyani sambil menyusuti air matanya.
“Tentu saja, aku… suka sekali padanya,” jawab Kwan Cu menelan ludah.
“Dan dia… apakah dia suka padamu?”
“Tentang itu… barang kali dia suka, belum kutanyakan.”
“Cantikkah dia?”
“Cantik sekali, yaitu menurut pandangan mataku.”
“Siapa namanya?”
Tak disangkanya bahwa Liyani begitu nekat dan terus bertanya dengan teliti. Bagaimana harus dijawabnya? Ia tadi membohong dan kini dia tidak dapat menjawab.
“Siapa namanya?” Liyani mendesak.
“Namanya… apa perlunya kusebut-sebutkan namanya? Kau tak akan mengenalnya.”
“Kalau begitu kau bohong!”
Kwan Cu terkejut. Pikirannya diputar-putar dan terbayanglah wajah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis cilik itu saja yang patut menjadi jodohnya.
“Namanya Bun Sui Ceng!” akhirnya dia berkata dan mukanya berubah menjadi merah sekali ketika dia berkata demikian.
Kembali Liyani menangis makin keras. “Sekarang tak ada lagi orang yang patut menjadi jodohku, hanya kau yang bisa mengalahkan ayah!”
“Siapa bilang? Kasang bisa mengalahkan ayahmu,” kata Kwan Cu yang mendapat siasat baik sekali.
Pada waktu itu Kasang beserta Wisang sudah siuman kembali dan turut mendengarkan percakapan itu. Mendengar betapa Kasang dipuji-puji oleh Kwan Cu dan bahkan hendak dijodohkan dengan Liyani, Wisang menggereng keras dan tiba-tiba menyerang Kasang! Serangan itu hebat sekali dan dilakukan selagi Kasang tidak bersiap, maka jika pukulan yang ditujukan ke arah kepala itu mengenai sasaran, amat berbahayalah bagi Kasang.
Kwan Cu yang melihat hal ini, cepat-cepat melompat dan sebelum pukulan Wisang itu mengenai Kasang, tubuh Wisang terpental ke belakang dan dia roboh tak dapat bangun kembali. Tulang pundaknya sudah patah dan biar pun Kwan Cu merasa kasihan, namun pukulannya tadi memang dia sengaja. Dia juga tidak mau mengobati atau menyambung tulang pundak itu, karena bila Wisang tidak dibikin cacat, kelak tentu dia akan mengacau lagi. Kini Wisang biar pun akan sembuh, tenaga tangan kanannya akan lenyap dan dia tidak berbahaya lagi.
Ada pun Lakayong yang mendengar omongan Kwan Cu, menjadi heran dan bertanya, “Saudara Kwan Cu, betul-betulkah Kasang dapat mengalahkan aku?”
“Tentu saja, akan tetapi tidak sekarang, boleh dicoba besok pagi. Dia sekarang menjadi muridku dan dia akan kuberi pelajaran sehari ini.”
Sesudah Kwan Cu mendapat kesempatan bertemu dengan Lakayong seorang diri saja, ia lalu menceritakan siasatnya. Dalam pertempuran tadi, dia mendapat kenyataan bahwa sifat-sifat Kasang memang lebih baik dari pada Wisang dan rencana pembunuhan raja itu pun tentu Wisang yang mengaturnya.
“Liyani suka kepada Kasang, maka harap besok kau suka mengalah pada Kasang agar puterimu suka menerima pinangannya. Kau melakukan ini demi kebahagiaan puterimu, apakah kau tidak suka?” tanya Kwan Cu.
Mengertilah Lakayong dan dia mengangguk-angguk. Kwan Cu sebetulnya tidak memberi pelajaran apa-apa kepada Kasang, hanya nasehat-nasehat agar supaya pemuda ini tidak mengacau lagi dan agar besok menghadapi Lakayong, dia tahu bahwa raja itu sengaja mengalah. Kasang berterima kasih sekali dan mengaku bahwa dia memang telah kena bujukan Wisang yang jahat.
Demikianlah, atas rencana Kwan Cu yang sudah disetujui dan dibantu pelaksanaannya oleh raja Lakayong dan Kasang, pada keesokan harinya, bertempat di kebun itu, hanya disaksikan oleh Liyani seorang saja, dilakukan pertandingan antara Lakayong melawan Kasang. Dalam pertandingan yang kelihatan hebat ini namun yang sesungguhnya hanya main-main belaka, akhirnya Raja Lakayong kena ditubruk dan ditangkap oleh sepasang lengan Kasang yang kuat. Lakayong mencoba untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak dapat dan akhirnya mengaku kalah sambil berkata,
“Ah, setelah menjadi murid saudara Kwan Cu kau benar-benar hebat sekali, Kasang. Aku menerima kalah!”
Kasang segera menjatuhkan diri berlutut di depan rajanya dengan wajah berseri. “Mohon ampun sebanyaknya atas segala kedosaanku,” katanya. “Dalam kesempatan ini untuk kedua kalinya kuulangi pinanganku terhadap Liyani.”
Lakayong berpaling kepada puterinya.
“Liyani, kau sudah mendengar sendiri pinangan Kasang yang gagah perkasa. Nah, seperti biasa, keputusannya terserah kepadamu.”
Terdengar sedu sedan di leher gadis itu. ”Terserah pada ayah saja, aku hanya menurut.”
“Bagus! Kasang, calon menantuku, kami menerima pinanganmu!” kata Raja itu gembira sekali.
Liyani memandang ke arah Kwan Cu, lalu menangis dan berlari pergi.
Kwan Cu menghaturkan selamat kepada Kasang dan Lakayong, dan kedua orang itu sebaliknya tiada hentinya mengucapkan terima kasih mereka, karena dengan akal dan siasat Kwan Cu belaka maka gadis yang keras kepala itu dapat ditundukkan.
“Sekarang aku mohon diri hendak melanjutkan pelayaranku,” kata Kwan Cu.
Lakayong mengerutkan keningnya. “Kalau mungkin, kami tidak ingin berpisah denganmu lagi, saudaraku yang baik. Akan tetapi kalau kami memaksa, itu tidak adil namanya. Kau hendak pergi ke manakah?”
“Aku hanya ingin berkelana saja dan aku mendengar adanya sebuah pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian tentang pulau itu dan di mana letaknya?”
Lakayong dan Kasang memandang dengan mata terbelalak lebar.
“Apa?!” seru Raja raksasa itu. ”Kau hendak mencari pulau bayangan?”
Kwan Cu memandang heran. ”Pulau bayangan? Apa maksudmu? Aku hanya mendengar bahwa pulau itu kecil, berbentuk bundar dan ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian akan pulau itu?”
“Benar, yang kau maksudkan ini tentu Pulau Bayangan! Saudaraku yang baik harap kau batalkan saja niatmu itu. Kami sudah sering kali berperahu di sekitar kepulauan ini dan sering kali mendadak melihat pulau yang kau maksudkan itu. Akan tetapi apa bila kami mendekatinya, tiba-tiba dia menghilang! Pulau itu sangat aneh dan jauh sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa pulau itu tentu bukanlah berada di sekitar sini, melainkan berada di seberang laut jalan maut.”
“Di manakah laut jalan maut itu? Aku akan mencari ke sana.”
Kasang mengeluarkan seruan kaget, dan Lakayong menjadi pucat.
“Jangan, saudara Kwan Cu. Jangan sekali-kali kau melintasi batas laut itu. Sudah banyak saudara-saudara kami yang tewas di sana. Laut itu adalah batas yang tidak boleh dilalui manusia, sebab di sana banyak terdapat keajaiban yang merupakan tangan maut. Siapa pun juga tidak mungkin dapat melalui batas itu. Lebih baik kau mengunjungi pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di sekitar sini.”
“Tidak, Raja yang baik. Aku akan mencobanya, betapa pun besar bahaya yang akan aku hadapi.”
Lakayong menarik napas panjang. “Kau orang aneh, mungkin juga kau akan berhasil menjelajahi pulau itu. Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya sekali di daerah itu. Aku sendiri pernah mencobanya, namun terpaksa aku kembali setelah tiba di batas laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di sebelah timur pulau kami ini, tepat dari mana matahari muncul.”
“Terima kasih dan selamat tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang baik-baiklah kau menjaga Liyani.” Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi ke pantai mencari perahunya, diikuti oleh Lakayong dan Kasang.
Ketika penduduk mendengar tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka mengantar sampai ke pantai. Akan tetapi di antara sekian banyaknya orang, tak nampak bayangan Liyani.
Kwan Cu menurunkan perahunya di air dan dia sudah menerima dua buah dayung yang baik dari Raja Lakayong sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh taufan beberapa hari yang lalu. Orang-orang di pantai melambaikan tangan, malah Raja Lakayong menghapuskan dua butir air mata yang menitik turun ke atas pipinya. Semua orang terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah merasa betapa besar jasa pemuda kecil itu bagi mereka.
“Selamat tinggal, saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee... (selamat tinggal)...” berkata Kwan Cu sambil mendayung perahunya ke timur. Karena dia mempergunakan tenaga lweekang, maka sebentar saja dia sudah meninggalkan pulau besar yang mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu.
Tiba-tiba terdengan seruan suara nyaring.
“Saudara Kwan Cu…!”
Kwan Cu menoleh dan alangkah herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang dikendarai oleh... Liyani!
“Ehh, kau Liyani. Hendak pergi ke manakah kau?” tanyanya heran.
“Aku sengaja menantimu di sini, aku hendak pergi bersamamu!”
Baiknya Kwan Cu masih ingat bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan melompat ke belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.
“Ikut pergi bersamaku?! Kau gil... ehh, apa maksudmu?”
“Kau telah menipuku! Apa kau kira aku tak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan Kasang, ayah sengaja berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka? Kau menghendaki dan memaksa aku menerima Kasang sebagai jodohku, mengapa?”
Kwan Cu menelan ludah. Hebat benar gadis ini, pikirnya. Ia mendekatkan perahunya ke perahu besar Liyani, mengikatkan tali di kepala perahu gadis itu, lalu melompat masuk ke dalam perahu besar, berdiri menghadapi gadis raksasa itu.
“Dengarlah baik-baik, Liyani. Tuduhanmu tadi kuterima dan aku minta maaf. Memang aku sengaja melakukan hal itu. Ketahuilah, kau tak mungkin ikut dengan aku sebab kita tidak sesuai, dan di negeriku kau hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan seperti ketika aku berada di pulaumu, bahkan kau akan mengalami gangguan-gangguan yang tak mengenakkan hati. Aku memang ingin melihat kau menjadi isteri Kasang, karena dia pemuda baik dan cocok menjadi jodohmu. Apa lagi, ayahmu pun menghendaki demikian. Ada pun aku... sudah kukatakan bahwa aku mempunyai calon jodohku sendiri.”
“Bun Sui Ceng...?”
Kwan Cu tertegun. Nama gadis murid Kiu-bwe Coa-li itu malah masih teringat oleh Liyani! Apa boleh buat, ia mengangguk membenarkan.
“Kau tidak bohong?”
Kwan Cu menggelengkan kepala.
“Berani kau bersumpah?”
Kwan Cu melongo.
“Bersumpah? Bersumpah bagaimana?”
“Bersumpah bahwa kau benar-benar suka kepada gadis yang bernama Bun Sui Ceng itu, bahwa kau benar-benar menghendaki dia menjadi jodohmu.”
Kwan Cu menjadi bingung sekali. Dia mencoba untuk membayangkan wajah Sui Ceng yang manis dan tergeraklah hatinya. Mengapa tidak? Sui Ceng merupakan gadis yang memang disukanya, tidak saja gadis itu memang baik terhadapnya, bahkan ibu gadis itu, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, adalah manusia pertama yang berlaku baik kepadanya.
“Aku bersumpah bahwa aku suka kepada Bun Sui Ceng dan bahwa aku menghendaki ia menjadi jodohku,“ kata Kwan Cu dan ketika dia mengucapkan kata-kata ini, dia berlaku sungguh-sungguh.
Liyani menangis. Lalu gadis ini berdiri dengan muka menengadah ke langit serta kedua tangannya dipentang lebar.
“Dengarlah, dewa awan, dewa matahari dan dewa laut. Kalian telah menjadi saksi atas sumpah saudara Kwan Cu! Apa bila kelak dia melanggar sumpahnya, biarlah kalian yang menghukumnya dan biarlah saudara Kwan Cu selama hidupnya tidak akan mendapatkan jodoh!”
Suara gadis ini sedemikian menyeramkan sehingga Kwan Cu merasa bulu tengkuknya berdiri.
“Kau terimalah ini sebagai tanda mata dariku. Selama hidup aku tak akan melupakanmu, saudara Kwan Cu.”
Biar pun bagi Liyani tusuk konde itu kecil saja, namun bagi Kwan Cu merupakan benda sebesar pisau belati. Ia menerimanya dan berkata dengan terharu,
“Terima kasih, Liyani. Aku pun tak akan melupakanmu, takkan melupakan kau, ayahmu, dan semua orang yang berada di atas pulaumu.”
Setelah berkata demikian, Kwan Cu melompat kembali ke dalam perahunya, melepaskan ikatan dan mendayung perahunya, terus ke arah timur. Ketika dia menengok, dia melihat Liyani masih berdiri di perahunya sambil memandang ke arahnya. Dilihat dari jauh, Liyani tidak kelihatan besar lagi, melainkan nampak sebagai dara biasa yang bertumbuh tinggi semampai, berpinggang ramping dan bentuk tubuh yang indah.
Kwan Cu melambaikan tangan dan dibalas oleh Liyani. Pemuda ini lalu menghela napas panjang, kemudian mendayung cepat perahunya tanpa menoleh lagi.
Akan tetapi, dalam usahanya mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang sehingga tenaga Kwan Cu menjadi buyar. Dua kakinya harus memiliki landasan yang kuat dan keras. Tanpa banyak pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke air.
Akan tetapi, segera pemuda ini gelagapan dan kena minum banyak air! Kwan Cu cepat mengerakkan tangan menangkap pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik kembali ke dalam perahu. Ia menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri.
“Bodoh! Tolol! Mengapa aku lupa bahwa raksasa ini bertubuh tinggi sekali? Dia boleh jadi tak tenggelam ke air, hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu terlalu dalam.”
Hampir saja dia tenggelam di dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar otaknya. Rantai besi yang mengikat tangan raksasa itu cukup kuat. Ia percaya akan dapat mematahkannya kalau saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari atas perahu amat sukar, sebab jika terlampau banyak dia mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi.
“Mari kita mendarat!” katanya berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke arah pantai. “Di sana akan kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?”
Akan tetapi raksasa itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil memperlihatkan sepasang lengannya yang terbelenggu, seakan-akan dia hendak berkata bahwa dengan kedua tangan terbelenggu, tak mungkin dia berjalan ke darat. Alangkah gobloknya, Kwan Cu menyumpah-nyumpah dengan gemas.
Akhirnya dia mendapat akal. Raksasa itu berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya seperti batu karang. Kenapa dia tidak menggunakan tubuh raksasa ini sebagai landasan kakinya? Setelah berpikir demikian, dia melompat dari dalam perahu, menubruk ke arah raksasa itu dan bergantung pada pundak yang lebar itu, kedua kakinya hanya sampai di perut!
Cepat-cepat Kwan Cu menginjakkan kedua kakinya pada pinggang raksasa itu tanpa mempedulikan protes dari si raksasa dan sekarang kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika dia mengerahkan tenaga beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu!
“Yoleihi, yoleihi!” raksasa itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu bahwa raksasa itu bermaksud menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah itu, raksasa hitam itu lalu berenang ke tepi pantai dengan gerakan kedua lengannya yang kuat.
“Tolol, dia begitu tinggi, mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya terbelenggu tadi, sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke darat? Tolol sekali orang itu.” Sambil bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung perahunya ke darat.
Setelah dia sampai di daratan, barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini menghentikan makiannya terhadap si raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya memaki diri sendiri sebagai orang bodoh dan tolol dengan hati geli.
Setibanya di darat, ternyata bahwa raksasa itu sibuk menggunakan sepasang tangannya yang kuat untuk melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah sebabnya mengapa tadi dia berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali. Untuk berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk berenang, sepasang lengannya pun masih terbelenggu!
Ketika Kwan Cu mendarat dan menarik perahunya ke pantai, raksasa itu masih sibuk menarik-narik belenggu yang mengikat kakinya. Melihat ini, Kwan Cu lalu mendekati dan menggunakan tangannya membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah belenggu itu.
“Yoleihi, yoleihi…! Dasa alihee teelu…,” kata raksasa itu dengan pandang mata kagum sekali. Dia menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan sekali renggut telah berhasil mematahkan belenggu dikakinya.
Akan tetapi Kwan Cu tidak memperhatikan kata-kata raksasa ini karena dia memang tidak mengerti artinya sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya di dalam cahaya bulan.
Pertama-tama dia kagum sekali melihat raksasa hitam yang sekarang sudah berdiri di hadapannya dengan kedua kaki terpentang. Biar pun dia telah dapat menduganya, tetapi dia tetap merasa terkejut melihat tubuh raksasa ini kurang lebih dua setengah atau tiga kali manusia biasa dengan lengan berbulu serta otot-otot memenuhi tubuh yang bidang dan kuat sekali.
Rambutnya hanya sedikit, diikat di tengah-tengah kepala ada pun pakaian yang menutup tubuh hanyalah sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang tebal. Selain bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi, selebihnya tidak ada yang luar biasa, melainkan sama saja dengan orang biasa.
Raksasa itu memandang ramah kepada Kwan Cu, kemudian ia mengulur tangannya dan memegang tangan pemuda ini. Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan tetapi dia tidak takut lagi. Di darat dia tak usah takuti raksasa ini dan dia lalu teringat bahwa raksasa itu terbelenggu di tengah laut tentu ada sebabnya. Atau lebih tepat, tentu ada orang lain yang melakukan hal itu.
Dengan demikian besar sekali kemungkinan bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat makhluk lain yang jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan siksaan terhadap raksasa ini dengan membelenggu kaki tangannya kemudian membiarkan dia terbenam di dalam laut. Dari pada bertemu dan dimusuhi oleh orang-orang jahat itu, lebih baik dia ikut dengan raksasa yang tersenyum ramah kepadanya ini.
Maka berjalanlah Kwan Cu sambil digandeng tangannya oleh raksasa itu. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di pulau itu. Dari pohon-pohonnya, semua tanamannya, sampai rumput dan batu, bahkan katak yang dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba besar, kurang lebih tiga kali ukuran biasa!
Yang mengherankan hatinya, walau pun tubuhnya besar, akan tetapi suara raksasa ini tidak lebih keras dari pada suara manusia biasa, sungguh pun lebih besar dan parau. Ada pun raksasa itu tidak kalah herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Dia memandang kepada ‘orang kecil’ ini dan sering tertawa bergelak dengan nada geli, membuat Kwan Cu menjadi mendongkol juga.
“Kau mentertawakan aku, sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan jika kau tiba di duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tentang kebaikan dan keburukan? Yang besar mencela terlalu kecil, yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang serba gaib.”
Biar pun Kwan Cu berfilsafat dengan seribu kata-kata, mana raksasa itu dapat mengerti? Sebaliknya, ketawanya makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa Kwan Cu amat aneh dan menggelikan, seperti suara burung hantu yang aneh sekali.
Akan tetapi, ketika melihat betapa Kwan Cu tidak tertinggal oleh langkahnya yang lebar, raksasa itu makin terheran. Langkah raksasa itu sedikitnya tiga kali lebar langkah orang biasa, akan tetapi karena Kwan Cu mempergunakan ilmu lari cepat, dia sama sekali tidak tertinggal.
Raksasa itu penasaran, melepaskan tangan Kwan Cu dan berjalan lebih cepat, namun tetap saja Kwan Cu dapat berjalan di sebelahnya tanpa sukar sedikit pun juga. Raksasa itu mulai berlari, namun sambil tertawa geli Kwan Cu tetap dapat menyusulnya, bahkan kalau dia mau dengan mudah Kwan Cu dapat meninggalkannya!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di tengah pulau. Dari jauh sudah kelihatan api penerangan dan terdengar oleh Kwan Cu suara tangis orang riuh rendah seperti sebuah dusun yang sedang dirundung kemalangan hebat.
Raksasa itu tertawa geli dan berkata-kata kepada Kwan Cu, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mengerti sama sekali. Diam-diam Kwan Cu menjadi girang sekali bahwa di tempat itu terdapat dusun dan orang-orang, juga wanita-wanita seperti yang dapat dia dengar suara tangisnya. Kalau begitu tentulah ada sekelompok suku bangsa tinggal di tempat ini dan hal ini menjadi hiburan baginya karena selain dapat bertemu dengan sesama manusia, dia tentu akan mudah mendapat makan dan siapa tahu kalau-kalau mereka akan dapat memberi petunjuk di mana adanya pulau berpohon putih yang tengah dicari-carinya.
Dusun itu mempunyai banyak pondok-pondok kayu yang besar-besar dan kokoh kuat. Modelnya sederhana saja namun pembuatannya cukup kuat dan baik, tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah model pesisir timur Tiongkok. Tetapi pada malam hari itu, agaknya sebagian besar dari rumah-rumah itu ditinggalkan oleh penghuninya dan ternyata mereka berkumpul di dalam sebuah rumah yang amat besar dan berada di tengah-tengah dusun itu.
Melihat bangunan induk ini, Kwan Cu menjadi bengong. Bukan main besar serta kokoh kuatnya bangunan ini, tiada ubahnya istana kaisar sendiri, hanya bedanya bangunan ini seluruhnya terbuat dari pada kayu yang besar-besar. Juga lampu-lampu gantung yang digunakan sebagai penerangan pada setiap rumah di dusun itu terbuat dari pada kayu.
Sebagai pengganti kaca dipergunakan semacam kulit ikan yang tipis dan dapat ditembusi oleh sinar api. Nyala api lampu tetap terang, karena ternyata bahwa orang-orang ini pun mempergunakan minyak untuk lampu-lampu ini!
Raksasa itu membawa Kwan Cu langsung ke sebuah ruangan lebar di mana berkumpul semua orang laki-laki dan perempuan yang kesemuanya adalah raksasa bertubuh tinggi besar. Mereka duduk bersimpuh, ada pula yang berlutut menghadapi sebuah meja besar di mana dipasang lilin seperti orang melakukan semacam sembahyangan.
Ketika raksasa itu muncul di bawah penerangan lampu besar, semua orang menengok dan terjadilah sesuatu yang mengherankan hati Kwan Cu. Pemuda ini melihat para orang laki-laki serentak mundur, bahkan ada yang melarikan diri, ada pula yang menjatuhkan diri berlutut kepada raksasa hitam yang baru datang. Orang-orang wanita menjadi pucat dan menjerit-jerit ketakutan bagai melihat setan! Terdengarlah pekik-pekik ketakutan dan suara orang kalang kabut.
Raksasa itu mengangkat kedua tangannya dan berkata-kata dengan suara yang sangat berpengaruh seakan-akan sedang menghibur. Sesudah dia selesai berkata-kata, semua orang lantas berlutut di hadapannya.
Dari rombongan wanita, mendadak berlari keluar seorang gadis raksasa yang bertubuh tinggi ramping dan berwajah halus. Dia boleh dibilang cantik, biar pun kulitnya kelihatan kehitaman dan tubuhnya juga tinggi besar. Namun jika dibandingkan dengan yang lain, ia termasuk kecil dan masih muda sekali. Sambil menangis, gadis raksasa ini menubruk raksasa itu dan keduanya lalu berpelukan.
Kini semua orang yang berada di situ nampak girang. Timbul senyuman di wajah mereka yang rata-rata membayangkan kejujuran.
Tiba-tiba saja seorang wanita menjerit sambil menunjukkan telunjuknya ke arah Kwan Cu. Keadaan menjadi geger setelah semua orang melihat pemuda kecil kate ini. Agaknya baru sekarang mereka melihat Kwan Cu dan terdengar suara-suara diiringi suara ketawa geli. Kaum perempuan tertawa terkekeh dan orang-orang lelaki tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Kwan Cu.
Kwan Cu menjadi mendongkol sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya dan dalam kegemasannya dia pun lupa akan perutnya yang lapar. “Sudahlah, sudahlah, aku bukan badut! Kalau kalian tidak suka melihat aku, aku pun tidak sudi berada disini terlalu lama.”
Sambil berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ. Dia tidak sudi dijadikan bahan tertawaan oleh semua orang itu hanya karena dia bertubuh normal! Akan tetapi raksasa hitam yang agaknya jadi kepala mereka itu, mengulur tangan mencegah dia keluar, lalu raksasa ini mengangkat tangannya memberi tanda kepada semua orang supaya berhenti tertawa dan bicara panjang lebar.
Agaknya dia kini menceritakan pengalamannya dan menceritakan betapa Kwan Cu telah menolongnya. Hal ini dapat diduga ketika semua orang kini memandang ke arah Kwan Cu dengan kagum sekali.
Dan tiba-tiba gadis raksasa yang tadi memeluk raksasa hitam itu, berlari mendekati Kwan Cu, mempergunakan kedua lengannya yang berkulit hitam halus dan panjang itu untuk memeluk Kwan Cu kemudian... mencium hidungnya!
Hampir saja Kwan Cu berlari keluar saking malu dan jengahnya. Ia memberontak dengan halus, melepaskan diri dari pelukan gadis raksasa itu dan berdiri dengan muka merah sampai telinganya! Ia melihat semua orang tertawa-tawa. Kini orang-orang wanita yang berpakaian cukup sopan, yakni dengan semacam kain berkembang tebal di selimutkan dari pundak menutup leher sampai ke lutut, datang mengerumuninya.
Dia sudah merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau semua wanita ini akan memeluk dan menciuminya. Tetapi dia merasa lega sekali ketika ternyata mereka hanya mendekatinya, meraba-raba tangan dan kakinya, bahkan ada yang melepaskan kalung dan gelang dari emas tulen kemudian memberikan perhiasan itu padanya sebagai tanda kagum! Sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya, Kwan Cu menolak semua hadiah itu dengan halus.
Raksasa hitam yang ternyata adalah raja suku bangsa ini lalu memberi perintah dan bubarlah semua orang. Mereka sibuk bekerja dan pada malam hari itu juga di ruangan ini diadakan pesta untuk menghormati raja dan Kwan Cu!
Pemuda ini mendapat kenyataan bahwa tidak semua raksasa berkulit hitam arang seperti kepalanya. Ada juga yang agak putih walau pun bagi bangsa Han masih termasuk hitam, bahkan wanita-wanitanya rata-rata mempunyai kulit yang hitam-hitam manis.
Meja sembahyang yang tadi dipasang di tengah ruangan, kini dibawa pergi dan sebagai gantinya dipasang meja besar yang mewah. Ketika orang sibuk menghias meja ini, Kwan Cu melompat dari tempat duduknya karena dia melihat di antara kain-kain berwarna yang digunakan untuk menghias meja makan yang panjang dan lebar itu, terdapat sajak-sajak yang tulisannya sama dengan tulisan yang dipergunakan dalam kitab sejarah Gui-siucai atau dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Ia segera membaca sajak kuno itu dan cepat berpaling kepada raksasa hitam yang juga memandangnya dengan heran. Pada waktu Kwan Cu menunjuk kepada sajak-sajak itu seakan-akan bertanya, raja para raksasa itu lalu membaca sajak-sajak tadi, akan tetapi dengan bahasa yang sama sekali asing bagi Kwan Cu.
Kwan Cu kemudian membaca sajak itu keras-keras dan kini giliran raja raksasa itu untuk memandangnya dengan bingung. Kwan Cu mendapat akal baik, lalu dia menggunakan jari tangannya untuk menggurat-gurat meja yang halus. Sambil mengerahkan lweekang-nya dia dapat menulis beberapa huruf dari tulisan kuno itu yang berbunyi.
‘Apakah kau dapat membaca tulisanku ini?’
Raja raksasa terkejut sekali nampaknya, lalu berteriak keras. Semua orang yang sedang sibuk membereskan tempat itu, pada lari mendatangi dan mereka semua, laki-laki dan perempuan dapat membaca tulisan tangan Kwan Cu di atas meja itu.
Tampak mereka bersorak-sorak girang dan raja itu lalu memberi perintah. Salah seorang di antara mereka berlari mengambil alat tulis berupa pisau runcing beserta lembaran kulit pohon yang di dalamnya putih dan halus. Dengan pisau itu, memang amat mudah dan enak untuk menuliskan huruf di sebelah dalam lebaran kulit pohon.
‘Tentu saja kami dapat membaca tulisanmu. Agaknya tulisan kita sama, hanya saja suara bacaannya yang bikin berbeda.’ Raja itu menulis dan bukan main girangnya hati Kwan Cu.
Pesta dimulai dan daging panggang yang dihidangkan membuat hati Kwan Cu berdebar girang, membuat dia mengilar akan tetapi baru melihat saja dia sudah merasa kenyang! Daging-daging yang dihidangkan di hadapannya begitu besar dan berbau sedap.
Kini dia dapat ‘bercakap-cakap’ dengan rakyat hitam itu melalui tulisan huruf kuno, dan dia mendapat penjelasan dan penuturan yang amat menarik hati seperti berikut.
Kalau dia yang membacanya, nama raja raksasa itu adalah Lakayong, dan raja ini adalah seorang duda dengan puterinya bernama Liyani, yakni gadis raksasa yang tadi menangis sambil memeluknya, atau juga gadis yang telah memeluk dan mencium Kwan Cu setelah mendengar bahwa pemuda ini telah menolong ayahnya!
Suku bangsa raksasa itu menurut mereka disebut bangsa Kuyu, keturunan dari bangsa raksasa yang sudah disangka lenyap dari daratan Tiongkok. Mereka sudah hidup sampai beberapa keturunan di atas pulau besar yang kosong itu. Lakayong diangkat sebagai raja oleh karena dia mempunyai tenaga paling besar dan menurut tradisi mereka, sesudah diadakan pertandingan dan Lakayong tak dapat dikalahkan, maka dia diangkat menjadi raja. Jago-jago lain dijadikan pembantu-pembantunya.
Di antara para pembantunya terdapat dua orang raksasa lainnya yang dalam kepandaian bertempur dan kehebatan tenaga, hanya kalah sedikit saja oleh Lakayong. Dua orang ini bernama Wisang dan Kasang dan oleh Lakayong kemudian diangkat menjadi pembantu-pembantunya yang paling berkuasa.
Akan tetapi telah lama dua orang ini merasa iri kepada Lakayong, dan diam-diam mereka mengandung maksud untuk merebut kedudukan. Apa lagi ketika dua orang itu bergantian mengajukan pinangan terhadap Liyani ditolak oleh gadis itu, mereka makin menaruh hati dendam.
Bangsa Kuyu mempunyai kebiasaan yang aneh dan yang sudah menjadi tradisi mereka. Yakni tiap kali bulan muncul, mulai bulan timbul tiga perempat sampai bulat, setiap raja selalu mandi di laut seorang diri, katanya untuk menerima berkah dari Dewa bulan demi kebahagiaan bangsanya.
Pada malam hari kemarin, seperti biasa, Raja Lakayong mandi di laut untuk memenuhi peraturan tradisi dan minta bekah bagi rakyatnya. Akan tetapi tiba-tiba dia diserang oleh kedua orang pembantunya, yaitu Wisang dan Kasang. Kalau saja mereka bertempur di darat, agaknya biar pun dikeroyok dua, Raja Lakayong tidak akan kalah.
Akan tetapi pertempuran di air amat melelahkan. Dia sudah mulai tua ada pun lawannya masih muda dan pandai berenang. Akhirnya dia kalah, dibelenggu kaki tangannya dan dilemparkan ke laut agar mati tenggelam atau dimakan ikan liar.
Kemudian Wisang dan Kasang berlari ke darat, lalu memberi tahu kepada semua orang bahwa ketika sedang mandi di laut, Raja Lakayong telah diserang ikan besar dan bahkan mereka berdua telah berusaha untuk menolong akan tetapi tak berhasil, dan sebaliknya menderita luka-luka. Padahal luka-luka mereka itu adalah karena pukulan Raja Lakayong yang melawan secara hebat sebelum dia dikalahkan!
Semua orang menjadi berduka, terutama sekali Layani dan upacara sembahyang segera dilakukan sampai sehari semalam. Ada pun kedua orang itu, Wisang dan Kasang, tidak kelihatan lagi. Hal ini karena mereka masih sangat percaya akan takhyul dan mereka beranggapan bahwa sebelum sehari semalam, arwah orang yang mati masih berkeliaran untuk menuntut balas pada musuh-musuhnya!
Karena itu, selama sehari semalam mereka tidak berani keluar dan terus bersembunyi di dalam sebuah goa yang gelap agar supaya arwah dari Raja Lakayong tak dapat mencari mereka! Ini pula sebabnya ketika raja Lakayong mendadak muncul pada malam hari itu, kedua penghianat itu tidak kelihatan di situ. Demikianlah penuturan Raja Lakayong pada Kwan Cu.
‘Baiknya Dewa Air masih melindungiku,’ Raja Lakayong menutur selanjutnya, ‘sehingga ombak membawaku ke tempat yang dangkal dan dalam keadaan yang setengah mati aku dapat berdiri di dalam air yang tiba sebatas leher. Aku berdiri kuat-kuat agar tidak terguling, karena sekali aku terguling, tentu aku akan mati. Kebetulan sekali kau datang, sahabat baik, dan aku pun lalu tertolong.’
‘Di mana adanya dua orang yang jahat itu? Aku ingin sekali memukul kepala mereka!’ tulis Kwan Cu dengan gemas.
Lakayong tertawa bergelak.
‘Kamu mengagumkan sekali, saudara kecil yang gagah,’ tulisnya. ‘Akan tetapi kau tidak tahu kalau Wisang dan Kasang amat kuat dan tangkas. Di seluruh dusun ini, hanya aku yang mampu menandingi mereka, itu pun tak mudah aku lakukan. Mereka kuat sekali, apa daya orang kecil seperti kau?’
Pada saat kedua orang itu bercakap-cakap dalam bentuk tulisan, maka semua tulisan itu dibaca semua orang ganti berganti dan yang mendapat kesempatan pertama tentu saja Liyani yang memandang kepada Kwan Cu dengan kagum sekali.
‘Kau kecil dan lemah, akan tetapi kau gagah perkasa. Aku suka kepadamu,’ tulis gadis itu dengan tulisan tangannya yang halus.
Kwan Cu merasa mendongkol juga karena raja Lakayong agaknya memandang rendah kepadanya.
‘Biar pun aku kecil, aku berani menghadapi keroyokan mereka berdua!’ tulisnya.
Sesudah semua orang membacanya, tentu saja tulisan ini menimbulkan kegemparan besar. Seorang laki-laki tinggi besar dan kelihatan kuat dan kasar sekali menudingkan telunjuknya kepada Kwan Cu dan berkata-kata dengan keras.
‘Dia bilang apa?’ Kwan Cu menulis.
Akan tetapi Raja Lakayong menggelengkan kepalanya, seolah-olah merasa segan untuk ‘menerjemahkan’ kata-kata itu. Kwan Cu merasa penasaran dan menunjukkan kata-kata pertanyaannya itu kepada Liyani. Gadis ini segera menuliskan jawabannya tanpa peduli kepada ayahnya yang tampaknya melarangnya.
‘Dia seorang kuat, dan berkata bahwa bangsa kami selalu jujur dan tidak mau membual. Seorang laki-laki yang berani mengeluarkan ucapan membual harus berani membuktikan omongannya itu pula.’
Membaca jawaban itu, Kwan Cu melompat berdiri. Semua orang itu tidak bisa mengikuti gerakannya yang cepat seperti burung terbang. Tahu-tahu semua orang melihat pemuda kecil itu sudah berdiri di depan raksasa muda yang menegurnya tadi dan sedang bertolak pinggang seperti menantang.
Raksasa muda itu tertawa sambil mendorong dada Kwan Cu, agaknya hendak menyuruh Kwan Cu agar duduk kembali. Dorongan itu sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya, menyambar ke arah dada Kwan Cu seperti gajah menyeruduk.
Tetapi dengan sedikit saja miringkan tubuh, Kwan Cu sudah dapat mengelak. Secepat kilat, dari samping dia menekan siku yang mendorong dan membarengi menggunakan kaki untuk menendang belakang lutut raksasa itu. Terdengar raksasa itu berteriak dan tak dapat bertahan lagi ia lantas jatuh tersungkur dengan hidung lebih dulu!
Orang-orang tertegun melihat hal ini, bahkan Raja Lakayong sendiri seperti orang yang tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, sebaliknya Liyani bertepuk tangan memujinya.
Raksasa itu bangun kembali dengan penasaran, dari hidungnya yang panjang mengalir darah. Setelah memandang dengan mata yang terbelalak, dia lalu maju menyerang, kini dengan kedua tangan dipentang lebar dan kemudian memukul kepala Kwan Cu dari kiri dan kanan.
Serangan itu dahsyat sekali. Akan tetapi bagi Kwan Cu gerakan orang ini amat lambat, mudah saja baginya untuk melangkah mundur sehingga kembali serangan itu mengenai angin kosong. Raksasa itu terheran-heran ketika kedua tangannya memukul angin, maka dengan bernafsu ia menubruk lagi, kini dengan tubuh membungkuk seperti seekor lembu jantan hendak menyeruduk.
Kwan Cu berpikir, bahwa kalau dia belum memperlihatkan kelihaiannya, tentu dia akan dipandang rendah oleh orang-orang ini. Karena itu dia menanti kesempatan baik. Ketika lawannya menyeruduk, menyerang dengan kedua tangan dan kepala, dia bergerak cepat sekali, melompat dengan ringan sekali melalui atas kepala lawannya!
Semua orang tertegun, akan tetapi raksasa muda itu kebingungan karena tiba-tiba saja ia kehilangan lawannya.
“Bocah cilik, jangan lari kau sembunyi!” teriaknya dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh Kwan Cu.
Akan tetapi orang yang berada di situ mengerti dan menjadi geli sekali karena Kwan Cu yang disangka bersembunyi itu sebenarnya telah berada di belakang raksasa muda itu!
Kwan Cu tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dengan gerakan yang cepat sekali dia menggunakan jari tangannya untuk menotok kaki bagian belakang lutut. Dia melihat urat besar dan seketika itu juga raksasa itu jatuh berlutut. Kwan Cu menyerang terus, kini menotok punggungnya dan aneh sekali bagi semua orang dan raja Lakayong karena dengan tiba-tiba raksasa muda itu terguling jatuh dan menangis keras!
Semua orang menjadi gempar dan raksasa itu dikerubung serta ditanyai, akan tetapi ia tidak menjawab melainkan tetap bergulingan dan menangis karena ia telah ditotok jalan darahnya yang membuat semua badan menjadi sakit dan air matanya mengucur keluar tanpa dapat dicegah lagi. Ternyata Kwan Cu telah menggunakan Ilmu Silat Sin-ci Tin-san (Satu Jari Merobohkan Gunung)!
Liyani segera menghampiri Kwan Cu. Pemuda ini takut kalau akan dicium lagi maka dia berlaku waspada, siap mengelak kalau-kalau akan dipeluk lagi. Tapi Liyani menghampiri dirinya dengan membawa tulisannya yang ketika ia baca berbunyi,
‘Kau apakan dia?’
Kwan Cu tersenyum dan membalasnya dengan tulisan.
‘Tidak apa-apa, hanya memberi pelajaran kepadanya. Kau minta agar dia menarik lagi kata-kata yang memandang rendah kepadaku dan aku akan menyembuhkannya!’
Sambil tersenyum gembira gadis itu berlari-lari ke arah raksasa yang masih menangis bergulingan bagaikan anak kecil itu, dan menyampaikan pesan Kwan Cu. Raksasa itu berkaok-kaok yang diterjemahkan oleh Liyani.
‘Dia sudah kapok dan minta ampun.’
Kwan Cu merasa kasihan. Ia segera menghampiri pemuda raksasa itu, lalu menepuk dan mengurut punggungnya! Lenyaplah rasa sakit. Raksasa itu membungkuk kepada Kwan Cu, kemudian beranjak pergi dari situ dengan malu.
Kwan Cu duduk lagi di dekat Raja Lakayong yang memandangnya sambil mengurutkan kening, lalu menulis,
‘Kau mempergunakan ilmu hoat-sut (ilmu sihir). Aku tidak suka akan ilmu curangmu itu, lebih baik mengandalkan tenaga dan berkelahi dengan jujur.’
Kwan Cu dapat memaklumi jalan pikiran raksasa sederhana dan jujur ini. Maka dia lalu menulis dengan panjang lebar.
‘Tidak ada kecurangan caraku dalam bertempur, aku lebih menggunakan otak dari pada tenaga. Kalau aku disuruh bertempur menghadapi dia yang jauh lebih besar, apakah itu jujur dan adil namanya? Sama saja dengan seekor kelinci disuruh menghadapi harimau! Tenagaku jauh lebih kecil, oleh karena itu aku harus menggunakan akal. Aku tadi juga menggunakan pukulan, akan tetapi pukulan dengan tenaga sekecilnya yang aku tujukan pada bagian yang menyakitkan.’
‘Tubuhnya kuat, tak mungkin dengan tenaga kecil dapat menimbulkan rasa sakit,’ bantah Lakayong.
‘Kau keliru,’ jawab Kwan Cu. ‘di bawah kulit tersembunyi bagian-bagian yang lemah. Bila kau tidak percaya, coba kau gunakan salah satu jari tanganmu mengetok bagian lututmu ini sendiri.’ Sambil berkata demikian Kwan Cu meraba sambungan lutut raksasa itu.
Sambil tersenyum Raja Lakayong mengetokkan jarinya pada bagian itu. Dia pun berseru kesakitan sambil secara otomatis kakinya bergerak ke depan seperti orang menendang karena uratnya yang amat perasa telah tersentuh. Dengan rasa terheran-heran raksasa itu mengetuknya berkali-kali hingga akhirnya Kwan Cu melarangnya karena hal itu dapat berbahaya sekali.
‘Jika kau menggunakan pukulan menghantam lawan, mungkin dia tak akan roboh. Akan tetapi jika kau memukul agak ke bawah hingga mengenai sambungan lututnya, pasti ia akan roboh. Apakah akal ini dapat dikatakan curang?’
Lakayong kagum sekali. Lalu ia minta penjelasan lebih lanjut.
‘Mungkin aku akan menghadapi salah satu di antara kedua orang penghianat itu. Mereka masih muda dan kuat, sedangkan aku sudah tua. Aku kalah tenaga sehingga aku perlu mengetahui rahasia tubuh ini,’ katanya.
Kwan Cu segera memberi penjelasan sambil memberi contoh, yaitu lebih tepat memukul sambungan siku dari pada mengenai lengan, lebih baik memukul sambungan pundak dari pada mengenai dada, dan memberi petunjuk bagian berbahaya yaitu leher, ulu hati, lambung dan lain-lain. Raja Lakayong menjadi girang sekali dan hampir sampai pagi ia menerima petunjuk dari Kwan Cu.
‘Di mana adanya dua orang jahat itu?’ tanyanya.
‘Mereka bersembunyi, akan tetapi tidak ada orang yang akan sembunyi terus-menerus, mereka tidak berani meninggalkan pulau dan besok pasti akan menghadap juga.’
‘Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?’
‘Kau akan melihat sendiri besok,’ Lakayong menjawab sambil tertawa. ‘Yang sudah pasti, mereka akan menghadapi keputusan yang jujur, sesuai dengan kebiasaan kami.’
Ada pun Liyani yang suka sekali kepada Kwan Cu, tiada bosannya mengajarkan bahasa mereka kepada Kwan Cu. Dengan bantuan tulisan mereka yang dimengerti oleh Kwan Cu, dibantu pula oleh otaknya yang cerdik, sebentar saja Kwan Cu sudah dapat mengerti beberapa ucapan terpenting dalam percakapan sehari-hari. Maka mulailah dia bercakap secara langsung dengan Liyani dan Lakayong sehingga mereka menjadi gembira sekali.
Melihat suling yang ada di buntalan Kwan Cu, Liyani bertanya benda apakah gerangan yang aneh itu. Kwan Cu tersenyum lalu meniup sulingnya. Berserabutan orang-orang yang tadinya sudah pulang ke pondok masing-masing untuk melihat apakah yang dapat berbunyi demikian aneh dan merdu.
Ada pun Liyani saking gembiranya lalu menari di hadapan Kwan Cu. Sebuah tarian yang menurut Kwan Cu amat melanggar kesusilaan karena gadis itu menari dengan pinggang bergerak, semacam tari perut!
Atas kehendak Raja Lakayong, pertemuan yang menggembirakan itu dibubarkan untuk memberi kesempatan pada tamunya untuk mengaso. Kwan Cu mendapat kamar yang bersih di dalam gedung besar itu, berdekatan dengan kamar Raja Lakayong dan kamar puterinya.
Sebentar saja Lakayong telah tidur mendengkur. Juga Kwan Cu yang merasa amat lelah, tidur melenyapkan keletihannya setelah makan kenyang dan merasa tubuhnya enak dan segar. Terlebih dahulu ia mengganti pakaiannya yang basah kuyup dengan pakaian yang sudah dia panggang di dekat api unggun sehingga menjadi kering.
Pada keesokan harinya dia bangun dari tidurnya karena suara ketawa terkekeh-kekeh di dalam kamarnya. Ia membuka matanya dan cepat meloncat turun dari pembaringan kayu ketika melihat yang tertawa-tawa itu adalah Liyani yang sudah memasuki kamarnya.
Gadis itu telah membuka buntalannya dan sedang melihat-lihat pakaiannya. Celana dan bajunya dipegang gadis itu sambil tertawa-tawa, bagai seorang gadis remaja memegang dan merasa geli melihat pakaian anak kecil! Memang, celana sutra dari pemuda itu ketika dipegang tergantung oleh tangan Liyani hanya kelihatan seperti celana anak kecil saja!
Ketika melihat Liyani mulai membuka bungkusan kuning yang berisi daun Liong-cu-hio, Kwan Cu melompat dan merampas bungkusan itu.
“Jangan sentuh ini!” katanya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
Mata yang bening itu terbelalak lebar. Setelah melihat gadis itu pada pagi hari, Kwan Cu harus mengakui bahwa Liyani memiliki kecantikan yang khas dari bangsanya. Kulitnya yang kehitaman itu tidak membosankan dan bibirnya yang tebal itu nampak penuh dan manis.
“Kenapa tak boleh?” tanyanya heran, kejujurannya membuat ia tak merasa tersinggung.
“Karena benda yang terbungkus kain ini sangat berbahaya, sekali tanganmu menyentuh benda itu, maka tanganmu akan menjadi hangus.”
Liyani menjadi terkejut sekali dan melangkah mundur.
“Kau orang aneh, barang-barangmu juga aneh. Akan tetapi aku... aku suka kepadamu, suka sekali padamu.” Setelah berkata begitu gadis itu keluar dari kamar, meninggalkan Kwan Cu yang berdiri dengan muka merah sekali.
Pemuda ini baru berumur enam belas tahun dan selama hidupnya belum pernah berpikir tentang cinta kasih antara laki-laki dan wanita. Tadinya mengira bahwa rasa suka yang dinyatakan berkali-kali oleh gadis raksasa itu adalah rasa suka yang terdapat dalam hati orang bersahabat, namun melihat sinar mata gadis itu yang aneh sekali, membuat dia merasa jengah dan tidak enak hati!
Wanita-wanita pelayan datang membawa air pencuci muka, air minum serta makanan, menyediakan semua itu sambil tertawa-tawa seolah-olah menghadapi sesuatu yang lucu.
Kwan Cu mendongkol sekali dan berpikir bahwa dia tidak betah bila terlalu lama tinggal di pulau raksasa ini karena dia maklum bahwa tubuhnya yang jauh lebih kecil dari pada penduduk di sana akan membuat dia kelihatan sebagai makhluk yang sangat aneh dan menggelikan. Ia tidak suka menjadi bahan ketawaan. Namun, minuman yang disediakan amat enak, menghangatkan perutnya sedangkan makanan itu lezat sekali, semacam kue yang manis.
Tak lama kemudian datanglah Raja Lakayong yang nampak sehat dan gembira sekali.
“Saudara kecil yang baik, apakah kau enak tidur?” tanyanya.
Kwan Cu mengucapkan terima kasihnya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
“Saudara Kwan Cu, mari kau ikut aku melihat bagaimana kami mengadakan pengadilan,” kata Lakayong sambil mengandeng tangan Kwan Cu.
Ketika mereka tiba di luar, ternyata Raja itu tidak datang seorang diri, melainkan bersama tujuh orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka ini adalah pembantu-pembantu dari Lakayong.
Kwan Cu berjalan bersama Lakayong menuju ke sebelah barat di mana terdapat sebuah telaga yang berbentuk bundar dan nampaknya dalam sekali. Air telaga yang kebiruan itu kelihatan tenang, akan tetapi kadang-kadang nampak berombak dan sekali-kali muncul kepala seekor binatang yang membuat Kwan Cu terheran-heran dan merasa ngeri.
Kepala binatang yang muncul di permukaan air telaga itu amat menyeramkan bentuknya seperti seekor singa, liar dan buas, akan tetapi kepala itu besar sekali dan tubuhnya agak panjang karena ekornya yang berambut merah berada jauh di belakangnya. Apakah ini yang disebut naga? Ataukah singa air?
Lakayong mengajak Kwan Cu duduk di dekat telaga, di atas batu-batu hitam yang licin dan agaknya sudah sering kali diduduki oleh Raja ini. Para pembantu yang tujuh orang itu duduk di sebelah kiri.
“Sudah siapkan mereka?” tanya Lakayong pada orang-orangnya.
“Mereka sedang menuju ke sini,” jawab pembantunya dengan hormat.
Betul saja, tidak lama kemudian nampak dua raksasa muda yang bertubuh kuat sekali. Mereka berjalan berdampingan bagai dua ekor gajah muda menuju ke tempat itu. Setiba mereka di depan Lakayong, dua orang itu lalu berbungkuk dengan hormat.
“Kalian sudah mendengar keputusanku!” kata Lakayong dengan kata dingin. “Karena di antara kalian berdua tiada yang mengaku merencanakan pengkhianatan itu, kalian harus mendapatkan kemenangan dalam pertandingan di atas batu jamur. Yang kalah menjadi mangsa singa telaga, yang menang akan berhadapan dengan aku sendiri!”
“Kami mengerti!” jawab dua orang itu dengan gagah dan mata mereka memandang ke arah Kwan Cu penuh kebencian sehingga pemuda ini menjadi kaget.
Tujuh orang pembantu segera menyediakan sebuah perahu besar, kemudian dua orang raksasa muda itu menunggang perahu menuju tengah-tengah telaga. Kwan Cu melihat bahwa di tengah telaga itu terdapat sebuah batu karang yang bentuknya aneh seperti jamur besar. Tahulah dia bahwa kedua raksasa muda itu harus bertanding di atas batu karang itu.
“Apakah mereka yang bernama Wisang dan Kasang?” tanyanya kepada Lakayong.
Raja raksasa itu mengangguk dengan tersenyum.
“Benar, merekalah para pengkhianat itu. Sayang sekali, sebenarnya mereka merupakan dua orang muda yang paling cakap yang gagah di antara suku bangsa kami.”
“Masih lebih baik mempunyai pembantu kurang cakap akan tetapi jujur dari pada memiliki pembantu cakap akan tetapi khianat,” kata Kwan Cu.
“Kau betul sekali, saudaraku, cocok sekali dengan pendirianku. Oleh karena itulah maka aku menjatuhkan hukuman itu kepada mereka.
Diam-diam Kwan Cu mengagumi kesederhanaan dan kejujuran orang-orang ini. Mana ada hukuman seperti itu, yang menjadi pesakitan sama sekali tidak di tangkap, dibiarkan bebas begitu saja. Namun tetap saja mereka datang menyerah! Dan alangkah anehnya hukuman itu. Keduanya disuruh bertanding dan yang menang akan diberi kesempatan bertanding dengan raja Lakayong!
“Bagaimana kalau dalam pertandingan kedua nanti kau kalah?” tanya Kwan Cu.
“Aku akan kalah? Tidak mungkin. Apa lagi sesudah mendapat petunjuk darimu tentang bagian-bagian tubuh yang lemah, meski pun dikeroyok dua oleh mereka, aku akan dapat merobohkan mereka,” kata Lakayong sambil ketawa gembira.
“Akan tetapi, andai kata kau tetap kalah?” Kwan Cu mendesak.
“Kalau aku kalah? Tidak bisa lain tentu pemenangnya akan menjadi Raja dan menikah dengan Liyani.”
Kwan Cu tertegun. Alangkah sederhananya peraturan itu dan menunjukkan bahwa raja raksasa ini sama sekali tidak berlaku sewenang-wenang. Jika dia mau, bukankah dengan mudah dia bisa saja menyuruh tangkap dan bunuh kedua pengkhianat itu? Akan tetapi, mendengar bahwa Liyani akan diperistri oleh seorang pemenang, hati Kwan Cu menjadi penasaran.
“Bukankah Liyani sudah menolak pinangan mereka?”
“Karena Liyani puteriku maka dia berhak menolak pinangan siapa saja yang dia tidak suka. Akan tetapi, ia tak akan boleh menolak pinangan seorang raja.”
Percakapan berhenti dan kini dua orang raksasa muda itu sudah tiba di batu karang yang disebut batu jamur. Dengan otot-otot kaki tangan menggembung mereka lalu merayap naik ke atas batu karang itu. Tidak sembarang orang dapat merayap seperti itu karena batu karang itu bentuknya seperti jamur dan terjal.
Selain sukar, juga amat berbahaya karena Kwan Cu melihat betapa singa-singa telaga sudah siap sedia menunggu dengan mulut memperlihatkan gigi-gigi tajam di sekitar batu jamur itu! Sekali saja kaki terpeleset dan jatuh ke air, tak akan ada pertolongan lagi.
Setelah kedua orang itu, Wisang dan Kasang, berhasil naik ke atas, mereka lalu berdiri berhadapan seperti dua orang jago berlagak. Siap untuk mulai pertandingan. Penduduk dusun itu semua datang untuk menyaksikan pertandingan ini, dan dari gerak dan suara mereka Kwan Cu dapat menduga bahwa para penonton itu saling bertaruh untuk jago masing-masing.
Matahari telah tinggi dan kini semua orang laki-laki perempuan telah berkumpul di pinggir telaga termasuk Liyani yang mengambil tempat duduk di samping Kwan Cu. Ada pun raja Lakayong duduk di sebelah kanan pemuda itu. Raja ini kelihatan gembira sekali.
Pertandingan di atas batu jamur jarang sekali diadakan. Semenjak dulu, sudah beberapa keturunan, batu jamur itu hanya dipergunakan untuk pertandingan bagi calon-calon raja. Akan tetapi dalam pertandingan calon raja, di sekeliling batu itu terdapat perahu-perahu besar sehingga kalau ada yang kalah dan jatuh ke bawah, dia tidak akan dimakan singa telaga karena dapat melompat ke perahu.
Berbeda dengan pertandingan sekarang ini, karena pertandingan sekarang ini bersifat hukuman, maka setelah dua orang ini naik, Lakayong memberi perintah supaya perahu besar yang membawa dua orang raksasa muda tadi ke batu jamur, disingkirkan! Dengan demikian berarti bahwa siapa yang kalah akan terkubur di dalam perut singa telaga!
Kemudian Lakayong lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangan dan mulailah kedua orang raksasa itu bertanding! Kwan Cu memandang dengan penuh perhatian. Ia tidak tahu bahwa dua orang raksasa muda yang sedang bertanding menanam kebencian hebat kepadanya.
Sebelum dua orang raksasa itu tadi menghadap raja, pada malam harinya mereka telah mendengar dari raksasa yang dikalahkan oleh Kwan Cu tentang semua kejadian. Mereka tahu bahwa yang menolong raja adalah pemuda itu, sehingga boleh dibilang bahwa yang mendatangkan mala petaka dan yang menggagalkan rencana mereka adalah Kwan Cu. Apa lagi ketika mereka mendengar bahwa biar pun kecil, pemuda asing itu mempunyai kepandaian bertempur yang mengherankan, dua orang raksasa muda itu menjadi makin benci dan iri hati.
Pertempuran yang terjadi di atas batu jamur itu ramai sekali. Keduanya sama kuat dan sama tangguh. Pukul-memukul, tendang-menendang dan dorong-mendorong, berusaha sekuat tenaga agar lawannya terlempar jatuh dari atas batu jamur.
Memang amat mengerikan dan menegangkan nampaknya. Permukaan batu yang rata itu tidak seberapa lebar dan sekali sudah terlempar atau tergelincir ke bawah berarti maut menjadi bagiannya!
Kwan Cu melihat betapa dua orang raksasa muda itu lebih banyak menggunakan tenaga dari pada otak. Mereka memiliki kekuatan, dan tubuh yang terlindung oleh otot-otot tebal itu menjadi kebal. Pukulan dan tendangan lawan seperti tidak terasa dan dorongan tak cukup kuat untuk dapat merobohkan tubuh yang kokoh kuat itu.
Diam-diam Kwan Cu menjadi geli menyaksikan cara mereka bertempur itu. Seperti dua orang anak-anak yang bergulat saja. Apa bila dia yang maju, dia percaya bahwa dalam beberapa gebrakan saja dia akan dapat mengalahkan mereka.
Para penonton bersorak-sorak, menyoraki jago masing-masing. Kadang-kadang Wisang tertindih, ada kalanya Kasang terdesak, akan tetapi keduanya sama kuatnya sehingga pertandingan makin lama makin seru dan mengerikan. Liyani tertawa-tawa gembira dan gadis ini nampaknya senang sekali menyaksikan pertandingan antara kedua raksasa itu. Raja Lakayong memandang penuh perhatian dan berkali-kali menganggukkan kepala sambil berkata perlahan kepada Kwan Cu.
“Kau betul, saudaraku. Mereka tidak mempergunakan otak dan mereka hanya memukul atau menendang bagian-bagian anggota badan yang mudah untuk dijadikan sasaran saja. Kalau mereka itu menyerang ke arah anggota tubuh lawan yang lemah seperti yang kau ajarkan kepadaku, tentu pertandingan akan selesai dengan cepat. Ahhh, aku girang sekali karena sekarang terbuka mataku bagaimana harus mengalahkan mereka tanpa menghabiskan tenaga!”
Akan tetapi pemuda itu tak segembira Lakayong, bahkan Kwan Cu memandang ke arah pertempuran dengan kening berkerut. Matanya yang tajam itu dapat melihat hal-hal yang aneh dalam pertempuran itu. Banyak sekali kesempatan-kesempatan dan lowongan baik sekali dilewatkan begitu saja oleh Wisang dan Kasang. Kesempatan yang cukup untuk mereka pergunakan dalam merobohkan lawan.
Benar-benarkah mereka begitu bodoh dan buta? Tak mungkin! Hanya ada satu jawaban untuk memecahkan pertanyaan ini, yaitu bahwa dua orang itu tidak berkelahi sesungguh hati!
“Mereka hanya main-main saja!” katanya penuh curiga. “Mereka tidak berkelahi dengan sesungguhnya!”
Lakayong tertawa dengan bergelak. ”Kau lucu sekali, sahabatku. Orang sedang berkelahi mati-matian dan maut sewaktu-waktu dapat merengut nyawanya dan kau bilang bahwa mereka itu hanya main-main saja? Ha-ha-ha!”
“Jangan kau menertawakan aku, Raja Lakayong, tapi aku berani bertaruh bahwa sampai matahari tenggelam tak seorang pun di antara mereka yang akan kalah.”
Akan tetapi Lakayong tak percaya dan demikianlah, pertempuran terus dilakukan dengan hebatnya. Orang-orang wanita sudah menjadi bosan karena benar saja, setelah senja tiba, belum juga ada yang kalah dan menang. Seorang demi seorang mereka lalu pergi, bahkan Liyani juga pergi dari situ karena mereka ini harus melakukan tugas pekerjaan mereka. Bahkan banyak pula penonton laki-laki yang turut pergi. Yang masih tinggal di sini adalah hanya Raja Lakayong, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu saja.
Tidak lama kemudian pelayan-pelayan datang membawa makanan dan minuman untuk Raja, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu itu dan mereka makan di pinggir telaga sambil menonton pertempuran yang masih saja berjalan ramai itu. Akhirnya matahari terbenam dan sebagai penggantinya, bulan bertahta di angkasa raya.
Raja Lakayong maju. Dia menepuk-nepuk pundak Kwan Cu, lalu merangkul pemuda itu dengan tangan kirinya sambil berkata,
“Dugaanmu tidak meleset, saudara kecil. Benar saja sampai bulan muncul, belum ada yang kalah. Mereka berdua sama berani dan sama kuat. Sayang sekali mereka harus dihukum.”
Kwan Cu tidak menjawab. Dia tahu bahwa percuma saja apa bila dia hendak berkukuh menyatakan bahwa dua orang itu tidak bertempur sesungguhnya. Ia tahu bahwa Raja ini terlalu jujur sehingga tidak mengerti tentang kepalsuan dan pura-pura, maka tidak dapat pula membedakan pertempuran pura-pura dan pertempuran sesungguhnya.
“Pertempuran terpaksa ditunda sampai besok pagi, dewa bulan tidak suka menyaksikan manusia berkelahi,” kata Lakayong yang memberi isyarat dengan tangannya.
Pembantu-pembantunya mendayung perahu besar dan kedua raksasa yang bertempur itu lalu diperintahkan supaya menghentikan dan menunda pertandingan itu untuk diulang kembali besok pagi.
Dua orang raksasa itu kelihatan letih sekali. Tubuh mereka yang tinggi besar itu penuh peluh sampai berkilauan dan kelihatan lemas. Mereka segera dibawa ke pinggir telaga dan Lakayong berkata,
“Besok pertandingan kalian dimulai lagi pada waktu matahari muncul. Sekarang kalian boleh beristirahat.” Raja ini lalu memberi perintah supaya kedua orang jago ini dihidangi makanan yang lezat kemudian dia mengajak Kwan Cu kembali ke dusun.
Dugaan bahwa Wisang dan Kasang bertanding dengan pura-pura adalah tepat, karena memang kedua orang raksasa muda ini sengaja bertempur dengan main-main, tidak bermaksud saling mengalahkan. Berbeda dengan kawan-kawannya, dua orang raksasa ini agak lebih cerdik.
Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka menang dan harus menghadapi Lakayong, tetap saja si pemenang itu akan kalah oleh sang Raja yang sangat kuat itu. Karena inilah mereka berunding dan mendapat akal. Mereka takkan saling mengalahkan sehingga mereka akan dapat menghadapi Lakayong berdua!
Sementara itu di dalam rumah Raja Lakayong, Kwan Cu bercakap-cakap dengan Raja itu dikawani oleh Liyani.
“Mereka benar-benar mengagumkan, kuat sekali,” kata Raja Lakayong.
Kwan Cu merasa tidak ada gunanya untuk membantah dan sejak tadi dia memutar otak untuk memecahkan masalah itu. Dia juga merasa ngeri kalau membayangkan betapa dua orang raksasa muda yang kuat itu akhirnya akan menjadi mangsa singa telaga.
“Raja Lakayong, kau bilang sayang sekali kalau sampai kedua orang itu tewas, bukan? Mengapa tidak mengampuni dan menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu yang cakap?”
“Mengampuni tidak mungkin. Sudah menjadi kebiasaan kami menghukum orang-orang bersalah.”
”Bukan mengampuni sama sekali. Maksudku jangan menyuruh mereka bertanding di batu jamur itu, agar kita dapat menyaksikan dari dekat. Mereka harus diberi keinsyafan bahwa kau jauh lebih kuat dari mereka dan kita harus mencari akal untuk menundukkan mereka.”
“Bagaimana maksudmu, saudaraku yang baik?” tanya Lakayong.
“Begini,” jawab Kwan Cu yang sudah merencanakan sebuah akal yang baik. “Besok pagi suruhlah mereka bertanding di tempat yang terbuka dan kita menyaksikan dari dekat. Yang menang biarlah kulawan sebagai gantimu. Aku akan memberi hajaran kepadanya sampai dia tunduk betul. Atau boleh juga kau turun tangan memberi hajaran. Apa bila mereka sudah yakin betul bahwa mereka tiada harapan untuk menangkan kau, kurasa mereka tidak begitu bodoh dan nekat untuk memberontak.”
Lakayong mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Memang dia sendiri adalah seorang yang berhati penuh kasih sayang terhadap rakyatnya, maka tentu saja dia akan merasa lebih girang kalau saja dapat menyelamatkan nyawa kedua orang raksasa muda itu, sungguh pun kedua raksasa itu sudah pernah berusaha untuk menbunuhnya.
Rakyatnya membutuhkan orang-orang kuat seperti Wisang dan Kasang dan dia akan lebih suka mempunyai mantu di antara kedua raksasa muda itu dari pada pemuda yang lain di antara semua penghuni pulau itu.
“Baiklah, besok akan kucoba rencanamu itu.” Kemudian mereka berpaling kepada Liyani sambil bertanya, “Liyani, dulu kau menolak pinangan kedua orang muda itu. Sebetulnya siapakah yang paling baik di antara mereka berdua? Menurut pandanganmu, siapa di antara Wisang dan Kasang? Bagaimana dengan Wisang?”
Biar pun pertanyaan seperti ini yang dilakukan oleh ayahnya di depan orang lain tentu akan membikin malu kepada seorang gadis biasa, akan tetapi Liyani tidak merasa malu, bahkan tersenyum manis, lalu menjebirkan bibirnya dan mengejek. “Wisang? Dia orang kasar, aku tidak suka kepadanya.”
“Kalau Kasang bagaimana?” mendesak ayahnya.
“Dia cukup halus dan baik, akan tetapi…” berkata demikian, Liyani mengerling kepada Kwan Cu, membuat hati pemuda cilik ini menjadi berdebar bingung.
“Akan tetapi kenapa?” Lakayong mendesak pula.
“Dia pernah kalah oleh Ayah. Aku hanya mau menjadi isteri seorang yang lebih kuat dan pandai dari pada kau, Ayah,” katanya dengan sikap manja. Kembali gadis ini tersenyum dan mengerling kepada Kwan Cu.
Celaka dua belas, pikir Kwan Cu. Benar-benar gadis berkepala batu yang pikirannya aneh. Mana bisa Kasang menangkan Lakayong? Semua pemuda di pulau itu tak dapat menangkan Lakayong dan sekarang gadis ini bersikap manis kepadanya karena biar pun dia seorang bertubuh kecil, tapi dia telah memperlihatkan kepandaian dan agaknya gadis raksasa ini mengharapkan bahwa dia akan dapat mengalahkan ayahnya!
Ada pun Lakayong sesudah mendengar jawaban puterinya itu, lalu tertawa bergelak dan berkata,
“Anak bodoh! Agaknya kau tak akan dapat menikah sebelum aku menjadi orang tua dan lemah!”
Liyani tidak menjawab, lalu tak lama kemudian dia meninggalkan ayahnya dan Kwan Cu, berjalan pergi ke kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu.
“Ia seorang anak baik, seorang gadis yang menjadi kembang di antara rakyatku semua,” berkata Lakayong memuji puterinya. “Sayang dia keras kepala. Kalau dia menjadi isteri Kasang, tentu dia akan mempunyai seorang putera yang gagah perkasa.”
“Biarlah besok kita menundukkan lebih dulu dua orang muda itu dan barulah aku mencari akal agar supaya puterimu itu suka menerima tunangan Kasang,” kata Kwan Cu.
Lakayong memandang dengan muka kagum dan bersyukur. “Agaknya dewa-dewa sudah mengirim kau datang untuk menolong kami, saudara kecil. Walau pun semua akal dan caramu belum dijalankan, aku percaya bahwa kau yang telah memperlihatkan kesaktian akan berhasil. Aku berterima kasih kepadamu.”
“Tidak apa, Raja Lakayong. Sebaliknya aku pun telah kau terima sebagai tamu dengan sikap yang ramah-tamah. Ini saja membuat aku bersyukur sekali. Kau beserta rakyatmu adalah orang-orang jujur, satu sifat yang paling kukagumi di antara sifat-sifat yang baik, maka aku bersedia untuk membantu kalian.”
“Kalau saja aku dapat melakukan sesuatu untuk membalas budimu, aku akan merasa girang sekali, saudara Kwan Cu.”
Hampir saja Kwan Cu membuka rahasianya tentang pulau kecil di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicarinya, akan tetapi pemuda ini masih sempat menahan lidahnya.
“Memang ada sesuatu yang hendak kutanyakan kepadamu dan mengharap kalau-kalau kau dapat membantuku, akan tetapi biarlah hal itu kutunda dahulu dan akan kuceritakan kalau urusanmu ini sudah beres,” jawabnya.
Kemudian mereka mengaso.
“Nona Liyani, kau sudah berada di sini?” tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali.
Biasanya dia menyebut tanpa nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa malu dan jengah mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut ‘Nona’. Padahal di dalam bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona, akan tetapi dalam gugupnya dia meyebut ‘siocia’ yang berarti Nona.
“Eh, saudara Kwan Cu, apakah artinya siocia?” tanya Liyani sambil memandang dengan matanya yang lebar bening.
“Ohh, ya, aku lupa. Itu bahasaku, digunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum menikah,” jawabnya.
Liyani mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Lucu sekali kedengarannya. Semua hal yang ada padamu lucu dan menyenangkan. Melihat cara kau tidur pun kelihatan lucu dan menyenangkan.”
Kwan Cu terheran. “Lucu? Bagaimana sih tidurku?” tanyanya ingin tahu.
“Kau tidur begitu anteng seperti… seperti seorang wanita.”
“Seperti wanita? Apa maksudmu?”
“Atau seperti seorang anak kecil. Kau tidur berbeda dengan laki-laki dewasa di sini. Kau sama sekali tidak mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti anak-anak.”
“Hemm...” Kwan Cu merasakan kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak dia datang di situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.
“Memang... aku masih anak-anak, anak kecil yang tak ada sifat jantan,” katanya dengan sebal.
Ia lalu melompat turun dari pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya itu. Dia berdiri dan terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena kalau mereka berdua berdiri berhadapan, tinggi tubuhnya hanya sampai pada pinggang gadis itu, bahkan lebih rendah lagi!
Liyani dapat merasakan suara kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu, maka sambil tersenyum dia membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.
“Tidak, saudara yang baik. Kau sama sekali tidak seperti anak kecil. Meski pun kau kecil sekali, akan tetapi gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa agaknya kau masih keturunan dewa.”
“Gila!” kata Kwan Cu makin gemas.
“Aku pun tidak percaya,” kata Liyani tertawa, “Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang bertubuh kecil. Akan tetapi kau memang gagah dan baik, aku suka sekali padamu. Ehh, saudaraku yang baik. Menurut perkiraanmu, siapakah yang akan menang di antara Wisang dan Kasang?”
“Kau mengharapkan siapa yang menang?” tanya Kwan Cu.
Liyani cemberut dan Kwan Cu menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu sekali melihat gadis tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti seorang anak kecil atau seorang gadis manja.
“Belum menjawab pertanyaanku, kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu.”
Kwan Cu menjawab terus terang. “Walau pun hari ini mereka bertanding seharian penuh, kurasa takkan ada yang akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya hanya bertanding pura-pura belaka. Karena kemarin mereka bertempur di tempat yang agak jauh, maka tidak kentara. Sekarang mereka akan bertanding di lapangan terbuka, tentu akan kelihatan kalau mereka masih berpura-pura.”
“Menurut pandanganmu... siapakah yang lebih baik di antara kedua orang itu?”
Diam-diam Kwan Cu merasa geli dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan kepercayaannya kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangan darinya dalam hal memilih jodoh!
“Hemm... Bagaimanakah aku mampu mengatakan hal itu? Aku belum kenal mereka dan menurut keadaan luarnya, memang mereka itu sama muda, sama tangkas serta sama kuat. Sukarlah mengatakan yang mana lebih baik.” Kwan Cu berkata terus terang, tetapi dengan hati-hati.
“Wisang orangnya kasar. Pernah dia mengejar dan hendak memaksaku supaya berlaku manis kepadanya,” kata gadis itu cemberut.
“Kalau begitu agaknya Kasang lebih menarik hatimu,” kata Kwan Cu memancing.
“Memang dia lebih baik dari pada Wisang, akan tetapi sekarang dia pun kelihatan kasar bagiku.”
“Apakah ada orang lain yang lebih baik dan halus dari padanya?” Kwan Cu memancing karena siapa tahu kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.
“Semua pemuda di dusun ini kasar-kasar belaka, bila tidur mendengkur seperti binatang, sikapnya kasar menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti engkau!” gadis itu menarik napas panjang.
Kwan Cu sangat terkejut dan merasa khawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian gadis aneh ini?
“Aku kelihatan halus karena aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu.”
Liyani menarik napas panjang, nampak kecewa sekali. “Itulah! Kalau kau memilikii tubuh sebesar kami, tak akan susah payah aku memilih calon jodohku.”
Berdebar hati Kwan Cu. Benar-benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut berada berdua saja dengan gadis ini.
“Akan tetapi walau pun kecil kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu.” Sambil berkata demikian dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu.
Pemuda ini sudah kebingungan, baiknya pada saat itu datang pelayan yang membawa air pencuci muka dan makanan pagi.
“Baginda menanti di kebun belakang dan orang-orang telah berkumpul untuk meyaksikan pertandingan,” kata pelayan itu.
Setelah pelayan itu keluar, Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi Liyani, seakan-akan terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan, kemudian dia pun pergi menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kebun yang besar sekali.
Benar saja, di sana sudah berkumpul banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika Kwan Cu datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.
Wisang dan Kasang sudah berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di dekat Liyani, mereka memandang dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini benar-benar memanaskan perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang telah menggagalkan rencana mereka membunuh Lakayong, dan sekarang agaknya pemuda itu hendak merebut hati Liyani.
Akan tetapi mereka tidak dapat terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong telah memberi aba-aba sehingga kedua pemuda itu segera mulai pertandingan dengan hebat. Otot-otot tubuh mereka bergerak-gerak dan keduanya saling serang bagaikan dua ekor harimau bertarung.
Akan tetapi, belum lama mereka bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini sedang main gila dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang menonton di situ, termasuk juga raja Lakayong dan puterinya, betul-betul memang kena diakali.
Kwan Cu menjadi gemas bukan main. Selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah gerangan maksud kedua orang raksasa muda ini dengan perkelahian secara pura-pura itu, tiba-tiba kedua orang yang bertarung berhenti.
Wisang menjura kepada Lakayong dan berkata, "Aku dan Kasang mempunyai kekuatan dan kepandaian yang sama, tidak mungkin ada yang kalah atau menang. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau kami kalah, biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!"
Kini tahulah Kwan Cu akan maksud mereka. Jadi mereka sudah bermufakat untuk tidak merobohkan lawannya supaya mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam kemarahannya Kwan Cu segera melompat ke tengah lapangan kemudian berkata dengan suara kaku,
“Kalian ini orang-orang curang dan jahat! Apa kalian aku tidak tahu bahwa kalian sengaja tak mau menjatuhkan lawan? Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja hendak mengeroyok Raja yang sudah tua!”
Wajah Wisang serta Kasang menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi Kwan Cu dengan mata mendelik.
“Saudara Kwan Cu, kalau mereka ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka berdua. Orang-orang ini memang perlu dihajar!” kata Raja Lakayong dengan gagah dan dia sudah berdiri dengan tegapnya.
Memang tubuh Raja ini luar biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang raksasa muda itu, bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali. Semua orang menyatakan pujian kepada mereka yang gagah ini.
Akan tetapi Kwan Cu tetap merasa khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka, ini menandakan bahwa mereka ini lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu sudah mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang meski pun nampak kuat namun jauh lebih tua itu.
“Tidak! Tidak patut dua orang muda mengeroyok orang yang jauh lebih tua.”
Wisang menjadi marah sekali. Ia membanting kaki tangannya dan tergetarlah tanah yang diinjaknya saking kuatnya tenaga kakinya ini.
“Jahanam kecil, cacing busuk yang mau mampus! Kau siapa maka berani mencampuri urusan bangsa kami? Kau berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami secara laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan yang hanya bisa mempergunakan mulutnya?”
Panas dada Kwan Cu mendengar hinaan ini. Ia menjura kepda Raja Lakayong sambil berkata,
“Raja Lakayong saudaraku yang baik, perkenankanlah aku untuk menghadapi mereka ini dan memberi hajaran kepada mereka sebagai wakilmu.” Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu lalu menghadapi dua orang raksasa itu sambil berkata,
“Kalian majulah dan aku akan menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak berpura-pura seperti tadi!”
Wisang tertawa bergelak. Suaranya keras dan parau hingga menggetarkan anak telinga.
“Huaa-ha-ha-ha! Kau anak kecil kupencet dengan ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang kami berdua?”
“Manusia sombong, pantas saja puteri Liyani tak suka padamu, kau kasar dan sombong. Jangankan baru kalian berdua, biar pun kau mampu mengubah dirimu menjadi sepuluh, aku tak akan mundur setapak pun!”
“Setan kecil, kau sudah bosan hidup!” teriak Wisang.
Dia segera menggerakkan kepalan tangannya yang besarnya laksana kepala Kwan Cu itu, menonjok ke arah kepala pemuda kecil ini. Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak dan sekali dia melompat sambil mengerakkan kaki, kaki kanannya lalu menyambar ke perut Wisang yang besar.
“Ngekkkk!”
Tubuh Wisang yang besar itu terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua tangannya memegangi perut.
“Aduh… aduh… bangsat kecil... Aduuuh...!” Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa mulas sekali.
Semua orang yang menonton, termasuk juga Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan memandang terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.
“Bagus, bagus! Bukankah dia hebat sekali, Ayah?” terdengar Liyani bersorak sorai sambil bertepuk tangan.
Suara ini menyembuhkan rasa sakit di perut Wisang. Raksasa muda ini segera bangkit berdiri lagi dan kedua matanya seolah-olah mengeluarkan sinar berapi. Giginya berkerot dan kemarahannya memuncak. Ia lantas memandang kepada Kwan Cu sedemikian rupa sehingga Kwan Cu merasa seakan-akan dia hendak ditelan bulat-bulat oleh raksasa itu.
“Majulah, majulah kalian berdua, dan akan kuberi pelajaran bagaimana caranya berkelahi dengan sunguh-sunguh,” kata Kwan Cu mengejek.
Sambil menggereng keras, Wisang cepat menubruk maju, diikuti oleh Kasang yang juga merasa penasaran melihat Kwan Cu mengejek mereka. Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet cepatnya, Kwan Cu mengelak dan sekali tubuhnya berkelebat, dia terlepas dari ancaman tubrukan dua orang raksasa itu.
Beberapa kali Wisang dan Kasang menubruk. Di dalam kegemasannya, mereka hendak menangkap dan meremas tubuh yang mungil itu. Akan tetapi, dengan sengaja Kwan Cu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, ia mudah saja mengelak dari semua tubrukan yang dilakukan dengan kuat sekali namun baginya amat lambat itu.
Setelah menubruk berkali-kali hanya mengenai angin saja dan mendengar betapa Liyani menyoraki dan menertawai mereka, dan juga para penonton mulai mengeluarkan seruan pujian, panaslah hati Wisang dan Kasang. Kedua jago raksasa ini maklum bahwa lawan yang kecil itu gesit sekali sukar untuk ditangkap, maka mereka merubah siasat mereka.
Kini mereka tidak lagi menubruk, melainkan menendang dan memukul. Maksud mereka, sekali saja pukulan atau tendangan mengenai tubuh yang kecil itu, tentu pemuda kecil itu akan terlempar jauh dengan tulang remuk!
Akan tetapi betapa pun besar tenaga mereka, gerakan mereka amat lamban dan mereka bertempur hanya mengunakan tenaga tanpa mempergunakan otak. Mana bisa mengenai tubuh Kwan Cu yang sudah menerima latihan ginkang dari Ang-bin Sin-kai?
Menghadapi semua serangan itu, Kwan Cu bersilat dengan ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menolak Ratusan Golok). Gerakannya amat lincah dan gesit, dilakukan sambil tertawa-tawa mengejek. Pemuda ini mengatur kedudukan dirinya sedemikian rupa sehingga dia berada di tengah-tengah dan kedua lawannya berada di kanan kirinya atau kadang-kadang di depan dan belakangnya.
Dia sengaja tidak segera merobohkan mereka. Kalau dia mau, banyak sekali lowongan untuk memukul roboh dua orang raksasa itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau melakukan hal ini. Ia memang hendak menghajar kedua orang itu agar tunduk betul-betul dan kelak tidak akan menimbulkan keributan lagi menggangu Raja Lakayong yang baik.
Dia mengelak sambil kadang-kadang mengirim pukulan ke arah perut, dagu atau dada, cukup keras sehingga membuat dua orang raksasa itu mengaduh-aduh akan tetapi tidak cukup keras untuk merobohkan mereka.
Bahkan dalam kegembiraannya timbullah kenakalan pada Kwan Cu. Beberapa kali dia melompat tingi dan menggunakan jari tangan untuk menjewer telinga yang lebar, menarik hidung yang besar atau mencubit pipi yang lebar sambil tertawa-tawa.
Dipermainkan secara begini dan mendengar suara tertawa Liyani makin geli, ditambah pula surak sorai para penonton dan suara ketawa Raja Lakayong yang merasa kagum, heran dan juga geli, dua orang raksasa muda ini seakan-akan menjadi gila dibuatnya.
“Iblis kecil, akan kuhancurkan kepalamu!” kata Wisang geram.
Bahkan Kasang yang tidak segalak Wisang, sekarang sudah menjadi marah sekali dan membentak,
“Setan cilik, aku patahkan batang lehermu!”
“Ha-ha-ha-ha! Mau pecahkan kepala dan batang leher?” kata Kwan Cu menghadapi dua orang raksasa yang berada di kanan kirinya sambil tertawa mengejek. ”Ini kepalaku, ini leherku. Pecahkanlah, patahkanlah kalau bisa. Ha-ha-haaa!”
Wisang lalu menyergap maju dengan tangan kanan memukul. Kasang menubruk dengan tangan kanan mencengkeram. Kwan Cu diam saja berdiri seenaknya, seakan-akan tidak melihat adanya bahaya yang mengancam dari kanan kiri!
Liyani menjerit ngeri dan semua menahan napas karena serangan itu sudah dekat sekali. Agaknya tiada jalan keluar bagi Kwan Cu dan alangkah ngerinya apa bila pukulan dan cekikan kedua orang muda itu betul-betul mengenai kepala dan leher pemuda yang kecil itu!
Akan tetapi, ketika dua orang raksasa itu sudah dekat sekali tangannya pada tubuhnya, tiba-tiba saja Kwan Cu tertawa geli dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Dia sudah mempergunakan gerakan yang disebut Tui-teng Kui-cauw (Melompat Mundur Pulang ke Sarang), yakni sebuah cabang dari gerakan Yan-cu Kui-cauw (Burung Walet Pulang ke Sarang).
Kegesitan tubuhnya seperti burung walet saja. Ketika tubuhnya tiba-tiba saja lenyap dari tengah-tengah, kedua orang raksasa itu tiada ampun lagi saling gebuk dengan serunya. Kepalan tangan Wisang menghantam kepala Kasang, sedangkan tangan kanan Kasang kena mencengkeram jidat Wisang.
“Blukk! Blekk!”
Terdengar suara keras, disusul oleh jeritan mereka.
“Celaka!”
“Aduhh…!”
Keduanya terhuyung-hunyung ke belakang, memegangi kepala dan jidat yang terpukul oleh tangan masing-masing.
Liyani tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut saking gelinya. Lakayong juga tertawa terbahak-bahak dan di antara para penonton lebih ramai lagi, sampai-sampai ada yang tertawa demikian gelinya sehingga dia terjungkal dari batu yang didudukinya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Wisang dan Kasang. Setelah kepala mereka yang terasa pening berputar-putar itu sembuh, mereka memandang Kwan Cu.
“Nah, begitulah caranya orang berkelahi benar-benar. Tidak seperti tadi hanya pura-pura dan main-main saja,” Kwan Cu mengejek.
Tanpa berkata apa-apa dua orang muda raksasa itu lalu menyerang kembali, kini makin ganas dan marah. Justru inilah yang dikehendaki Kwan Cu. Makin marah mereka, makin mudahlah baginya untuk mempermainkan mereka dan makin sering pula kedua orang itu saling pukul dan saling tendang.
Bahkan satu kali Kwan Cu berlaku berani luar biasa. Dia membiarkan dirinya terpegang oleh Wisang! Semuanya menahan napas dan kembali terdengar Liyani menjerit cemas, bahkan terdengar Lakayong berteriak, ”Jangan bunuh dia!”
Akan tetapi tentu saja Wisang yang menjadi marah sekali tidak mau mendegar larangan ini dan dia bergerak hendak mencekik leher Kwan Cu! Melihat kesempatan ini, Kasang juga menubruk maju dan ikut memegang Kwan Cu. Pendeknya, kalau dilihat begitu saja agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk terlepas lagi.
Akan tetapi, sebenarnya memang pemuda ini sengaja membiarkan dirinya terpegang. Begitu merasa bahwa kedua raksasa itu sudah memeganginya, dia cepat bergerak dan kedua kakinya menendang ke atas dengan tubuh terjungkir balik, kaki kirinya menendang ke arah mata wisang dan kaki kanan ke arah mata Kasang!
Dua orang raksasa itu memekik kesakitan dan mata kanan mereka sudah menjadi biru, sakitnya bukan main! Untuk sedetik pegangan mereka mengendur sebab sebelah tangan mereka otomatis meraba mata yang terluka. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwan Cu untuk memberontak dan melepaskan diri, terus melompat pergi.
Kini dengan mata terpejam, saking sakit dan marahnya, kedua orang muda raksasa itu menubruk maju dan dengan sendirinya saat dua tangan mereka mencengkeram, mereka saling cekik dan saling cengkeram, mencari lawan sambil mencengkeram dan memukul sekenanya. Maka benar-benar berkelahilah mereka satu dengan yang lain dan terdengar mereka teraduh-aduh.
Kwan Cu menganggap bahwa permainannya sudah cukup. Ia melompat ke atas, berdiri dengan kaki kiri di pundak Wisang dan kaki kanan di pundak Kasang menjambak rambut ke dua raksasa itu sambil mengerahkan tenaga, menarik rambut itu mengadukan kepala mereka satu kepada yang lain.
“Dukkkkkkkk!”
Dua buah kepala yang besar sekali itu saling tumbuk, disusul oleh jerit mereka.
“Aduuuuuuuh…!”
Ketika Kwan Cu melompat turun, tubuh kedua orang raksasa itu terputar lalu roboh tak bergerak lagi. Mereka jatuh pingsan dan di kepala mereka ini tumbuh benjol yang besar dan biru!
Ramailah sorak sorai para penonton. Liyani memandang ke arah Kwan Cu dengan sinar mata yang menakutkan hati Kwan Cu. Raja Lakayong cepat menghampiri Kwan Cu dan tiba-tiba raja ini berkata,
“Saudara Kwan Cu, cobalah kita bermain-main sebentar!” sambil berkata demikian raja ini bergerak memukul ke arah Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut luar biasa. Pukulan raja ini mendatangkan angin keras tanda bahwa tenaganya besar sekali. Ia mengelak dan melompat mundur sambil berseru,
“Eh, ehh, ehhh, raja Lakayong saudaraku, mengapa kau menyerbuku?”
“Aku amat kagum melihat kegagahanmu. Puaskanlah hatiku, saudaraku, aku ingin sekali mencoba kepandaianmu sendiri,” kata Lakayong sambil menyerang terus dengan cepat. Gerakan raja ini jauh lebih kuat dan cepat dari pada gerakan kedua orang raksasa muda itu.
Kwan Cu dapat memaklumi isi hati Raja ini. Sebagai orang yang menghargai kepandaian dan kegagahan, melihat seorang gagah lain, tentu saja Raja ini menjadi gatal tangan dan belum merasa puas jika belum menguji kepandaiannya oleh tangan sendiri. Pendeknya, kini Raja ini ingin mencoba kepandaiannya atau yang lajimnya di negerinya disebut pibu (mengadu kepandaian)! Maka Kwan Cu segera melayaninya dengan hati-hati sekali.
Ia menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa Raja ini telah mentaati pelajarannya dan sekarang semua pukulan serta tendangannya ditujukan ke arah bagian tubuh yang berbahaya. Kalau Raja ini yang tadi menghadapi Wisang dan Kasang, ada kemungkinan kedua orang raksasa muda itu akan tewas dalam pertempuran. Pukulan Raja ini keras sekali dan kepala raksasa muda itu agaknya akan pecah jika terkena pukulan dahsyat ini.
Namun, semua gerakan pukulan Lakayong tiada bedanya gerakan Wisang dan Kasang, sama sekali dilakukan secara ngawur, hanya mengandalkan tenaga saja, sama sekali tak menuruti teori ilmu berkelahi yang baik. Oleh karena itu, kalau dia mau, Kwan Cu dapat merobohkannya dengan mudah saja.
Akan tetapi dia tidak tega untuk melakukan hal ini, karena kalau mengalahkan Lakayong dengan mudah, sedikitnya akan turunlah penghargaan rakyat kepada Raja mereka ini. Ia lalu sengaja membiarkan dirinya terdesak dan sesudah pertempuran berjalan agak lama, cepat sekali dia menggunakan ilmu silat Sin-ci Tin-san, menotok jalan darah thian-hu-hiat dari lawan.
Tiba-tiba Lakayong merasa betapa tubuhnya lemas tidak berdaya sama sekali sehingga dia roboh perlahan. Kwan Cu cepat menyusuli dengan totokan lain dan pulih kembalilah kesehatan Raja itu.
Untuk sesaat, Lakayong hanya dapat duduk dengan mata terbelalak heran. Kemudian ia mengangkat kedua tangan, berdiri dan memeluk Kwan Cu sambil berkata jelas,
“Saudara Kwan Cu hebat sekali. Aku dapat dikalahkan dengan mudah!”
Para penonton terheran-heran, lalu bersorak memuji Kwan Cu.
“Hidup calon raja kita!” mereka bersorak-sorak.
Liyani berlari menghampiri Kwan Cu dan tanpa terduga-duga, gadis ini berlutut sehingga tingginya sama dengan Kwan Cu, lalu memeluk dan menciumnya seperti dulu! Kwan Cu cepat memberontak melepaskan diri dengan muka pucat. Ia tadi merasa kaget setengah mati karena orang-orang itu menyorakinya sebagai calon raja. Ia lebih kaget bukan main ketika Liyani menciuminya dan kekagetannya menjadi-jadi ketika mendadak Liyani yang memegang tangannya berkata keras,
“Dia inilah calon jodohku!”
Mau rasanya Kwan Cu melarikan diri dari tempat itu. Semua kejadian ini membuat dirinya menjadi bingung setengah mati. Ia lalu berkata kepada semua orang.
“Tidak, tidak! Aku bukanlah calon raja dan calon jodoh Liyani. Jodohnya adalah Kasang karena Kasang lebih kuat dari pada Raja !”
Semua orang terdiam dan melongo. Juga Liyani dan Lakayong. Akan tetapi Kwan Cu berkata, “Aku tidak mungkin menjadi calon raja karena aku harus pergi dari sini. Dan aku tak bisa jadi calon jodoh Liyani karena aku... aku orang kecil, tidak sesuai untuk menjadi jodohnya.”
“Itu bukan alasan!” Liyani membantah. “Hanya dengan alasan yang jujur dari bangsaku aku mau menerima penolakan ini!”
“Alasan jujur yang bagaimanakah?”
“Pertama, kalau kau mau menyatakan bahwa kau membenciku, aku tidak keberatan kau menolakku. Ke dua, hanya kalau kau sudah mempunyai calon jodoh atau bahkan sudah mempunyai jodoh perempuan lain, baru aku mau mencari lain jodoh.”
Kwan Cu menjadi makin bingung dan ia menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Ia berada dalam keadaan yang teramat sulit. Untuk menyatakan bahwa ia membenci Liyani, selain hal itu tak sesuai dengan hatinya yang sama sekali tidak membenci gadis raksasa ini, juga amat berbahaya karena tentu semua orang di sana akan memusuhinya.
Untuk mengaku bahwa dia sudah punya calon jodoh atau isteri, tidak mungkin pula. Akan tetapi, alasan kedua ini sebetulnya lebih ringan dan lebih aman. Setelah berpikir-pikir dia menjawab tanpa ragu-ragu,
“Aku tidak membencimu, Liyani. Dan aku memang belum punya jodoh. Akan tetapi aku sudah mempunyai calon jodoh, seorang gadis di negeriku.”
Tiba-tiba Liyani menangis! Kwan Cu menjadi bingung sekali.
“Jangan berduka, Liyani. Kita tidak cocok menjadi jodoh, namun aku sudah mempunyai calon jodoh yang besarnya sama denganmu. Jodohmu adalah pemuda tinggi besar yang gagah seperti Kasang.”
“Calon jodohmu itu... Apakah kau suka kepadanya?” tanya Liyani sambil menyusuti air matanya.
“Tentu saja, aku… suka sekali padanya,” jawab Kwan Cu menelan ludah.
“Dan dia… apakah dia suka padamu?”
“Tentang itu… barang kali dia suka, belum kutanyakan.”
“Cantikkah dia?”
“Cantik sekali, yaitu menurut pandangan mataku.”
“Siapa namanya?”
Tak disangkanya bahwa Liyani begitu nekat dan terus bertanya dengan teliti. Bagaimana harus dijawabnya? Ia tadi membohong dan kini dia tidak dapat menjawab.
“Siapa namanya?” Liyani mendesak.
“Namanya… apa perlunya kusebut-sebutkan namanya? Kau tak akan mengenalnya.”
“Kalau begitu kau bohong!”
Kwan Cu terkejut. Pikirannya diputar-putar dan terbayanglah wajah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis cilik itu saja yang patut menjadi jodohnya.
“Namanya Bun Sui Ceng!” akhirnya dia berkata dan mukanya berubah menjadi merah sekali ketika dia berkata demikian.
Kembali Liyani menangis makin keras. “Sekarang tak ada lagi orang yang patut menjadi jodohku, hanya kau yang bisa mengalahkan ayah!”
“Siapa bilang? Kasang bisa mengalahkan ayahmu,” kata Kwan Cu yang mendapat siasat baik sekali.
Pada waktu itu Kasang beserta Wisang sudah siuman kembali dan turut mendengarkan percakapan itu. Mendengar betapa Kasang dipuji-puji oleh Kwan Cu dan bahkan hendak dijodohkan dengan Liyani, Wisang menggereng keras dan tiba-tiba menyerang Kasang! Serangan itu hebat sekali dan dilakukan selagi Kasang tidak bersiap, maka jika pukulan yang ditujukan ke arah kepala itu mengenai sasaran, amat berbahayalah bagi Kasang.
Kwan Cu yang melihat hal ini, cepat-cepat melompat dan sebelum pukulan Wisang itu mengenai Kasang, tubuh Wisang terpental ke belakang dan dia roboh tak dapat bangun kembali. Tulang pundaknya sudah patah dan biar pun Kwan Cu merasa kasihan, namun pukulannya tadi memang dia sengaja. Dia juga tidak mau mengobati atau menyambung tulang pundak itu, karena bila Wisang tidak dibikin cacat, kelak tentu dia akan mengacau lagi. Kini Wisang biar pun akan sembuh, tenaga tangan kanannya akan lenyap dan dia tidak berbahaya lagi.
Ada pun Lakayong yang mendengar omongan Kwan Cu, menjadi heran dan bertanya, “Saudara Kwan Cu, betul-betulkah Kasang dapat mengalahkan aku?”
“Tentu saja, akan tetapi tidak sekarang, boleh dicoba besok pagi. Dia sekarang menjadi muridku dan dia akan kuberi pelajaran sehari ini.”
Sesudah Kwan Cu mendapat kesempatan bertemu dengan Lakayong seorang diri saja, ia lalu menceritakan siasatnya. Dalam pertempuran tadi, dia mendapat kenyataan bahwa sifat-sifat Kasang memang lebih baik dari pada Wisang dan rencana pembunuhan raja itu pun tentu Wisang yang mengaturnya.
“Liyani suka kepada Kasang, maka harap besok kau suka mengalah pada Kasang agar puterimu suka menerima pinangannya. Kau melakukan ini demi kebahagiaan puterimu, apakah kau tidak suka?” tanya Kwan Cu.
Mengertilah Lakayong dan dia mengangguk-angguk. Kwan Cu sebetulnya tidak memberi pelajaran apa-apa kepada Kasang, hanya nasehat-nasehat agar supaya pemuda ini tidak mengacau lagi dan agar besok menghadapi Lakayong, dia tahu bahwa raja itu sengaja mengalah. Kasang berterima kasih sekali dan mengaku bahwa dia memang telah kena bujukan Wisang yang jahat.
Demikianlah, atas rencana Kwan Cu yang sudah disetujui dan dibantu pelaksanaannya oleh raja Lakayong dan Kasang, pada keesokan harinya, bertempat di kebun itu, hanya disaksikan oleh Liyani seorang saja, dilakukan pertandingan antara Lakayong melawan Kasang. Dalam pertandingan yang kelihatan hebat ini namun yang sesungguhnya hanya main-main belaka, akhirnya Raja Lakayong kena ditubruk dan ditangkap oleh sepasang lengan Kasang yang kuat. Lakayong mencoba untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak dapat dan akhirnya mengaku kalah sambil berkata,
“Ah, setelah menjadi murid saudara Kwan Cu kau benar-benar hebat sekali, Kasang. Aku menerima kalah!”
Kasang segera menjatuhkan diri berlutut di depan rajanya dengan wajah berseri. “Mohon ampun sebanyaknya atas segala kedosaanku,” katanya. “Dalam kesempatan ini untuk kedua kalinya kuulangi pinanganku terhadap Liyani.”
Lakayong berpaling kepada puterinya.
“Liyani, kau sudah mendengar sendiri pinangan Kasang yang gagah perkasa. Nah, seperti biasa, keputusannya terserah kepadamu.”
Terdengar sedu sedan di leher gadis itu. ”Terserah pada ayah saja, aku hanya menurut.”
“Bagus! Kasang, calon menantuku, kami menerima pinanganmu!” kata Raja itu gembira sekali.
Liyani memandang ke arah Kwan Cu, lalu menangis dan berlari pergi.
Kwan Cu menghaturkan selamat kepada Kasang dan Lakayong, dan kedua orang itu sebaliknya tiada hentinya mengucapkan terima kasih mereka, karena dengan akal dan siasat Kwan Cu belaka maka gadis yang keras kepala itu dapat ditundukkan.
“Sekarang aku mohon diri hendak melanjutkan pelayaranku,” kata Kwan Cu.
Lakayong mengerutkan keningnya. “Kalau mungkin, kami tidak ingin berpisah denganmu lagi, saudaraku yang baik. Akan tetapi kalau kami memaksa, itu tidak adil namanya. Kau hendak pergi ke manakah?”
“Aku hanya ingin berkelana saja dan aku mendengar adanya sebuah pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian tentang pulau itu dan di mana letaknya?”
Lakayong dan Kasang memandang dengan mata terbelalak lebar.
“Apa?!” seru Raja raksasa itu. ”Kau hendak mencari pulau bayangan?”
Kwan Cu memandang heran. ”Pulau bayangan? Apa maksudmu? Aku hanya mendengar bahwa pulau itu kecil, berbentuk bundar dan ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian akan pulau itu?”
“Benar, yang kau maksudkan ini tentu Pulau Bayangan! Saudaraku yang baik harap kau batalkan saja niatmu itu. Kami sudah sering kali berperahu di sekitar kepulauan ini dan sering kali mendadak melihat pulau yang kau maksudkan itu. Akan tetapi apa bila kami mendekatinya, tiba-tiba dia menghilang! Pulau itu sangat aneh dan jauh sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa pulau itu tentu bukanlah berada di sekitar sini, melainkan berada di seberang laut jalan maut.”
“Di manakah laut jalan maut itu? Aku akan mencari ke sana.”
Kasang mengeluarkan seruan kaget, dan Lakayong menjadi pucat.
“Jangan, saudara Kwan Cu. Jangan sekali-kali kau melintasi batas laut itu. Sudah banyak saudara-saudara kami yang tewas di sana. Laut itu adalah batas yang tidak boleh dilalui manusia, sebab di sana banyak terdapat keajaiban yang merupakan tangan maut. Siapa pun juga tidak mungkin dapat melalui batas itu. Lebih baik kau mengunjungi pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di sekitar sini.”
“Tidak, Raja yang baik. Aku akan mencobanya, betapa pun besar bahaya yang akan aku hadapi.”
Lakayong menarik napas panjang. “Kau orang aneh, mungkin juga kau akan berhasil menjelajahi pulau itu. Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya sekali di daerah itu. Aku sendiri pernah mencobanya, namun terpaksa aku kembali setelah tiba di batas laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di sebelah timur pulau kami ini, tepat dari mana matahari muncul.”
“Terima kasih dan selamat tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang baik-baiklah kau menjaga Liyani.” Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi ke pantai mencari perahunya, diikuti oleh Lakayong dan Kasang.
Ketika penduduk mendengar tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka mengantar sampai ke pantai. Akan tetapi di antara sekian banyaknya orang, tak nampak bayangan Liyani.
Kwan Cu menurunkan perahunya di air dan dia sudah menerima dua buah dayung yang baik dari Raja Lakayong sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh taufan beberapa hari yang lalu. Orang-orang di pantai melambaikan tangan, malah Raja Lakayong menghapuskan dua butir air mata yang menitik turun ke atas pipinya. Semua orang terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah merasa betapa besar jasa pemuda kecil itu bagi mereka.
“Selamat tinggal, saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee... (selamat tinggal)...” berkata Kwan Cu sambil mendayung perahunya ke timur. Karena dia mempergunakan tenaga lweekang, maka sebentar saja dia sudah meninggalkan pulau besar yang mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu.
Tiba-tiba terdengan seruan suara nyaring.
“Saudara Kwan Cu…!”
Kwan Cu menoleh dan alangkah herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang dikendarai oleh... Liyani!
“Ehh, kau Liyani. Hendak pergi ke manakah kau?” tanyanya heran.
“Aku sengaja menantimu di sini, aku hendak pergi bersamamu!”
Baiknya Kwan Cu masih ingat bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan melompat ke belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.
“Ikut pergi bersamaku?! Kau gil... ehh, apa maksudmu?”
“Kau telah menipuku! Apa kau kira aku tak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan Kasang, ayah sengaja berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka? Kau menghendaki dan memaksa aku menerima Kasang sebagai jodohku, mengapa?”
Kwan Cu menelan ludah. Hebat benar gadis ini, pikirnya. Ia mendekatkan perahunya ke perahu besar Liyani, mengikatkan tali di kepala perahu gadis itu, lalu melompat masuk ke dalam perahu besar, berdiri menghadapi gadis raksasa itu.
“Dengarlah baik-baik, Liyani. Tuduhanmu tadi kuterima dan aku minta maaf. Memang aku sengaja melakukan hal itu. Ketahuilah, kau tak mungkin ikut dengan aku sebab kita tidak sesuai, dan di negeriku kau hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan seperti ketika aku berada di pulaumu, bahkan kau akan mengalami gangguan-gangguan yang tak mengenakkan hati. Aku memang ingin melihat kau menjadi isteri Kasang, karena dia pemuda baik dan cocok menjadi jodohmu. Apa lagi, ayahmu pun menghendaki demikian. Ada pun aku... sudah kukatakan bahwa aku mempunyai calon jodohku sendiri.”
“Bun Sui Ceng...?”
Kwan Cu tertegun. Nama gadis murid Kiu-bwe Coa-li itu malah masih teringat oleh Liyani! Apa boleh buat, ia mengangguk membenarkan.
“Kau tidak bohong?”
Kwan Cu menggelengkan kepala.
“Berani kau bersumpah?”
Kwan Cu melongo.
“Bersumpah? Bersumpah bagaimana?”
“Bersumpah bahwa kau benar-benar suka kepada gadis yang bernama Bun Sui Ceng itu, bahwa kau benar-benar menghendaki dia menjadi jodohmu.”
Kwan Cu menjadi bingung sekali. Dia mencoba untuk membayangkan wajah Sui Ceng yang manis dan tergeraklah hatinya. Mengapa tidak? Sui Ceng merupakan gadis yang memang disukanya, tidak saja gadis itu memang baik terhadapnya, bahkan ibu gadis itu, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, adalah manusia pertama yang berlaku baik kepadanya.
“Aku bersumpah bahwa aku suka kepada Bun Sui Ceng dan bahwa aku menghendaki ia menjadi jodohku,“ kata Kwan Cu dan ketika dia mengucapkan kata-kata ini, dia berlaku sungguh-sungguh.
Liyani menangis. Lalu gadis ini berdiri dengan muka menengadah ke langit serta kedua tangannya dipentang lebar.
“Dengarlah, dewa awan, dewa matahari dan dewa laut. Kalian telah menjadi saksi atas sumpah saudara Kwan Cu! Apa bila kelak dia melanggar sumpahnya, biarlah kalian yang menghukumnya dan biarlah saudara Kwan Cu selama hidupnya tidak akan mendapatkan jodoh!”
Suara gadis ini sedemikian menyeramkan sehingga Kwan Cu merasa bulu tengkuknya berdiri.
“Kau terimalah ini sebagai tanda mata dariku. Selama hidup aku tak akan melupakanmu, saudara Kwan Cu.”
Biar pun bagi Liyani tusuk konde itu kecil saja, namun bagi Kwan Cu merupakan benda sebesar pisau belati. Ia menerimanya dan berkata dengan terharu,
“Terima kasih, Liyani. Aku pun tak akan melupakanmu, takkan melupakan kau, ayahmu, dan semua orang yang berada di atas pulaumu.”
Setelah berkata demikian, Kwan Cu melompat kembali ke dalam perahunya, melepaskan ikatan dan mendayung perahunya, terus ke arah timur. Ketika dia menengok, dia melihat Liyani masih berdiri di perahunya sambil memandang ke arahnya. Dilihat dari jauh, Liyani tidak kelihatan besar lagi, melainkan nampak sebagai dara biasa yang bertumbuh tinggi semampai, berpinggang ramping dan bentuk tubuh yang indah.
Kwan Cu melambaikan tangan dan dibalas oleh Liyani. Pemuda ini lalu menghela napas panjang, kemudian mendayung cepat perahunya tanpa menoleh lagi.