PENDEKAR SAKTI
Karya Kho Ping Hoo
JILID 20
PARA perwira bala tentara An Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju mengepung. Ratusan orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuk dan kacau balaunya.
Akan tetapi, barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa teman-teman sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagai daun-daun kering tertiup angin. Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tidak lama kemudian, anggota-anggota pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan begitu pula para perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya.
Ketika mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka melihat sepuluh orang perwira telah terikat erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa para tawanan! Ada pun pemuda luar biasa itu, entah pergi ke mana karena tidak kelihatan bayangannya lagi.
Semenjak peristiwa itu, nama Bu-pun-su menjadi terkenal di kalangan pasukan-pasukan An Lu Shan. Nama ini mendatangkan rasa gentar di dalam hati mereka, karena selama menghadapi para pejuang rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.
Setelah memperlihatkan kepandaiannya pada saat dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapa pun juga, Kwan Cu membawa sastrawan Tu Fu keluar dari Thian-cin. Dia lalu menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk pujangga itu. Dia benar-benar tunduk kepada sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu.
Apa bila pujangga itu lahir batin membenci terhadap seluruh pasukan An Lu Shan yang sudah menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci terhadap para anggota pasukan. Oleh karena ini, ketika dia dikepung dia tidak mau menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan melempar-lemparkan mereka saja!
Setelah Kwan Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai menyebut-nyebut namanya, ia menjadi amat terharu dan segera timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo, Thian Seng Hwesio, Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di dalam hatinya dan dia sudah mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang demi seorang.
Yang membuat dia merasa sangat heran dan juga mendongkol adalah pada waktu dia mendengar bahwa Jeng-kin-jiu juga ikut mengeroyok suhu-nya. Dia tahu bahwa antara suhu-nya dan Jeng-kin-jiu, terdapat hubungan yang sangat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai saling bermusuhan?
Dia sendiri masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena namanya pun adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini, maka orang pertama yang hendak adalah Jeng-kin-jiu.
Ia berpisah dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu Shan yang menindas rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada pasukan itu, mengancam perwiranya.
Semua ini dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas pasukan dengan cara mengukir tulisan di dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi singkat:
APABILA MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL NYAWA!
BU PUN SU
Banyaknya kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan terhadap rakyat, membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa anggota-anggota pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia timpakan kepada para pemimpin kaki tangan An Lu Shan. Akan tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggota pasukan pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat jelata.
Namun seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh orang, yaitu dengan cara memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding markas pasukan pemberontak.
Karena melakukan perjalanan cepat, biar pun banyak gangguan di jalan untuk menolong rakyat dari gangguan pasukan-pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian tibalah Kwan Cu di kota raja. Dia teringat ketika dulu bersama gurunya datang di kota raja dan keadaan sekarang kelihatannya tiada perubahan sama sekali.
Dia menuju ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama.
Kwan Cu berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar. Agaknya rumah makan ini pun baru karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besar itu.
Kwan Cu disambut oleh seorang pelayan yang menatapnya dengan mata penuh curiga. Maklumlah, pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan perasaan curiga karena rumah makan yang besar ini biasanya hanya dimasuki oleh para hartawan dan bangsawan-bangsawan belaka.
Kwan Cu tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan serta biaya-biaya lainnya, maka dia sudah mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar kaya raya pada waktu dia memberi ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu.
Rumah makan itu sangat banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan sehingga suara ketawa mereka memecah di ruang makan itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya ada seorang laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup menarik.
Laki-laki ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Kwan Cu diam-diam merasa geli karena dia tahu bahwa pada waktu bicara laki-laki botak itu mengerahkan tenaga khikang-nya yang lumayan juga hingga suaranya terdengar nyaring sekali.
Pelayan rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di meja depan yang terletak di sebuah pojok, agak jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa tempat yang kosong. Akan tetapi Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia memesan beberapa makanan.
Selagi menanti makanan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan. Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor anjing kurus sedang makan tulang yang hitam.
Pengemis-pengemis itu berjalan dengan kaki lemas, salah seorang di antaranya bahkan terpincang-pincang. Melihat hal ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang. Bukan saja para pengemis itu mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai yang juga selalu berpakaian pengemis, juga pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu. Pengemis-pengemis itu tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi.
Dia kemudian melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya. Pelayan itu datang dengan muka angkuh.
“Tolong bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu. Aku yang akan bayar.”
Pelayan itu mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.
“Pesanan Tuan akan kami layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan berikan sendiri.”
“Mengapa begitu?” tanya Kwan Cu dengan suara sabar.
“Oleh karena kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!”
Kwan Cu menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya. “Baiklah, biar nanti aku yang memberikan sendiri.”
“Hei, A-kiu...!” tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Kwan Cu.
Pelayan itu cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlarian menghampiri meja si botak.
“Ada apakah memanggil hamba, An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?” katanya membungkuk-bungkuk.
“Bagaimana sih kerjaanmu? Banyak lalat busuk tidak kau usir dari sini?” Sambil berkata demikian, si botak melirik ke arah Kwan Cu. “Membikin bau saja!”
Pelayan itu mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga orang pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.
Kwan Cu melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik. Pendengaran Kwan Cu amat tajam sehingga dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang sedang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah dirinya sendiri!
Akan tetapi kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali. Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau marah, bahkan merasa amat kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan waktu muda begitu saja.
“Hm, agaknya dia orang jauh yang memiliki uang juga. Tidak apa kalau begitu. Asal saja bukan bangsa jembel yang pura-pura memesan masakan kemudian tidak dibayarnya,” si botak berkata agak keras, dan sikapnya ini terang sekali menghina dan tak memandang mata kepada orang lain.
Kemudian mereka melanjutkan percakapan mereka tadi. Tadinya Kwan Cu tidak sudi ikut mendengarkan kelakar mereka, akan tetapi karena tadi dia sudah terlanjur memasang telinga mendengarkan percakapan mereka ketika mereka bicara mengenai dia, sekarang perhatiannya masih ke sana dan tanpa disengaja dia mendengarkan kata-kata si botak yang diucapkan dengan suara perlahan.
“Bunga liar cantik dan harum selalu banyak durinya. Makin sukar dipetik makin menarik,” kata si botak tertawa-tawa.
“Siauw-ongya mengapa bingung-bingung? Bunga sudah berada di tempat bunga dalam rumah sendiri. Apa sukarnya?” kata seorang pemuda dengan sikap menjilat.
Si botak tertawa bergelak, lalu dia mengangkat cawan araknya. “Hayo minum arak untuk merayakan malam gemilang hari ini. Malam terang bulan dan kini dia pasti akan menurut. Ha-ha-ha!”
Semua orang di meja itu minum arak dengan bunyi bibir dikecap-kecapkan keras. Kwan Cu mendongkol sekali karena dia dapat menduga bahwa pemuda-pemuda itu tentu kaum berandalan yang suka menggoda wanita baik-baik, atau sekelompok pemuda pemogoran yang tak kenal malu.
Akan tetapi diam-diam dia menjadi benci kepada si botak dan berpikir siapa gerangan bunga liar yang hendak diganggu itu. Aku harus menolongnya, pikir Kwan Cu.
Pada saat itu pula, tiga mangkok bihun untuk para pengemis telah dikeluarkan. Kwan Cu merasa heran sekali kenapa pesanannya yang terdahulu belum dikeluarkan, akan tetapi pesanan untuk para pengemis ini demikian cepat matangnya.
Ketika dia melihat masakan itu, dia menjadi gemas sekali karena masakan bihun ini tidak karuan macamnya. Sayur-sayurnya terang bukan sayuran segar, agaknya sayur yang seharusnya sudah dibuang. Juga kuahnya kehitam-hitaman. Akan tetapi dia masih sabar dan segera membawa tiga mangkok itu keluar, ke arah para pengemis yang masih duduk jauh dari rumah makan itu.
Para pengemis itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat seorang pemuda memberi mangkok berisi bihun kepada mereka. Segera mereka menerima dan makan bihun itu, lupa untuk menghaturkan terima kasih saking lahapnya. Kwan Cu memandang dengan terharu sekali. Ia mengeluarkan tiga potong uang emas dan memberikan uang itu kepada mereka.
“Bawalah mangkok-mangkok itu, akan kubayar,” katanya.
Melihat semua pemberian ini, tiga orang pengemis yang sudah menghabiskan makanan kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu. Akan tetapi tanpa mempedulikan mereka Kwan Cu berjalan kembali ke dalam rumah makan.
Tanpa mempedulikan pandang mata orang muda botak dan kawan-kawannya yang amat memperhatikan dirinya, Kwan Cu duduk kembali ke depan mejanya yang tadi. Ternyata bahwa masakan pesanannya sudah tersedia di atas meja, masih mengebul hangat. Akan tetapi, ketika Kwan Cu mengangkat mangkok dan mengerjakan sumpitnya, dia mencium bau tidak enak dari mangkok itu.
Ia meletakkan kembali mangkok serta sumpitnya di atas meja, mukanya menjadi merah dan segera dia menengok ke belakang. Pelayan yang tadi melayaninya memandangnya dan cepat-cepat membuang muka ketika melihat dia menengok.
Kwan Cu memanggilnya. “Sahabat pelayan, harap datang ke sini sebentar.”
Pelayan itu menengok dan menghampirinya.
“Ada apakah?” tanyanya singkat dan kurang hormat.
Kwan Cu lalu menuding ke arah mangkok-mangkok masakan itu. Suaranya masih tetap sabar ketika dia bertanya.
“Masakan ini sudah masam dan bau, harap kau ganti dengan yang masih segar. Apakah restoran ini hanya menjual barang-barang busuk belaka?”
Wajah pelayan itu memerah. Memang, melihat keadaan Kwan Cu yang pakaiannya tidak sesuai dengan tamu-tamu lain yang biasa mengunjungi restoran ini, para pelayan berlaku curang dan memberi hidangan-hidangan sisa yang seharusnya sudah dibuang!
“Kau sombong amat!” pelayan itu berteriak marah. “Agaknya kau belum pernah makan masakan mahal maka kini mengira masakan ini busuk.”
Kesabaran Kwan Cu ada batasnya. Apa bila orang sengaja berlaku keterlaluan, sudah sepatutnya kalau orang itu diberi hajaran agar lain kali tidak berani menghina orang.
“Begitukah anggapanmu, Sahabat? Bagus, kalau begitu kau makanlah sendiri masakan ini, biar aku yang membayarnya!”
Sebelum pelayan itu sempat menjawab, tangan Kwan Cu bergerak ke depan, menotok pelayan itu hingga tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya terbuka lebar-lebar tanpa dapat ditutup kembali. Dengan tenang Kwan Cu lalu mengangkat mangkok dan menggunakan sumpit untuk menjejalkan masakan itu ke dalam mulut si pelayan, terus di dorong dengan sumpit memasukkan masakan ke dalam kerongkongan!
Pelayan yang tak berdaya itu mau tidak mau menelan semua masakan yang di jejalkan dengan paksa melalui kerongkongannya!
Orang muda botak yang tadi disebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh kawan-kawannya. Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat dan ketakutan.
“Nah, aku terima kalah,” Kwan Cu berkata. “Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran ini.” Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.
“Pengemis liar dari mana berani main gila dan mengacau di kota raja?” Pangeran Muda An yang botak itu membentak sambil mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh.
Melihat senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang dapat memainkan senjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah joan-pian (ruyung lemas) yang terbuat dari pada logam hitam diuntai, ada pun tangan kirinya memegang sebuah hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh pendeta).
Kwan Cu telah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu serta kawan-kawannya hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang pengemis yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang lelaki muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini merupakan seorang yang berpangkat pula.
Pangeran An yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini, ada pun kemarahannya telah membuat mukanya menjadi amat merah. Dengan gerakan istimewa, kebutan di tangan kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya.
Ujung kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki pada dinding!
Kwan Cu terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kepandaian serta lweekang yang sudah tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,
“Sekarang terlalu banyak orang pandai sehingga di mana-mana gampang melihat orang memamerkan tenaga!” Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat kakinya. Dengan gerakan perlahan saja dia memegang meja itu, dan sekali renggut ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding.
Ketika Kwan Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun sebab ternyata bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini malah kepandaiannya lebih tinggi dari pada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan permukaan dinding.
Ketika memandang kepada orang yang baru datang ini, air muka pemuda botak menjadi berubah. Dia cepat-cepat menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.
“Ehhh, kiranya Suheng tidak menginginkan ada keributan. Biarlah siauwte meninggalkan pengemis kurang ajar ini kepada Suheng.” Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil tertawa-tawa mengejek lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti pula oleh kawan-kawannya yang kelihatan sangat takut terhadap pemuda baju mewah yang baru datang.
Kini perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi di mana dan bila mana.
Tiga orang pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang pengemis itu dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda ini pun atas pemberitahuan tiga orang pengemis itu. Makin heranlah hati Kwan Cu.
Agaknya keadaan di kota raja ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau ketiga orang pengemis itu memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda botak yang tadi disebut pangeran muda itu menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.
Sementara itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang pada Kwan Cu dengan penuh perhatian. Sepasang matanya memandang dengan mulutnya tersenyum setengah mengejek.
Melihat sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, bahkan jauh lebih sombong dari pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa. Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.
“Kiranya benar sekali laporan Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja sedang kedatangan seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya. Ahh, Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?” pemuda itu berkata sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu.
Kwan Cu hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.
“Lu Thong...!” serunya.
Lu Thong memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di tempat terbuka itu.
“Kita masih bersaudara, bukan? Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita dapat bicara dengan enak dan leluasa.”
Akan tetapi, melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin curiga dan benci.
“Aku tidak mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,” jawabnya.
Lu Thong mainkan alisnya. “Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu? Kwan Cu, kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar keterangan yang sejelasnya mengenai semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai bertahun-tahun? Nah, keterangan itu hanya bisa kau dapatkan dari aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah… kau takut?”
Keangkuhan hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, karena itu dengan gagah dia menjawab, “Siapa takut? Kau sanggup berbuat apakah terhadap aku? Baiklah, aku ikut denganmu, hendak kulihat apa yang hendak kau lakukan.”
Lu Thong tertawa gembira dan memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih berdiri di luar pintu. Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan Cu tertegun. Kiranya para pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya, bukanlah pengemis sembarangan!
Lu Thong membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota. Tadi ketika pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada yang berani mendekat. Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali, bahkan serombongan tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi hormat pula.
Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini sudah mampu mengangkat diri dalam kedudukan yang tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga, keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu Thong secara diam-diam.
Ketika memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong serta Kwan Cu dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai selir-selirnya!
“Aku belum menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok,” katanya tertawa, “karena itu, mereka inilah yang sementara ini menghiburku dan mengusir kesepian dari anak malang yang hidup sebatang kara ini.”
Kwan Cu hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar mata para wanita muda yang ditujukan padanya dengan sikap genit. Juga dia melihat tiga orang pengemis tadi kini sudah turut menyambut dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.
“Mari kita bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa.”
Kwan Cu harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka warna, apa lagi dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan emas dan bunga teratai. Juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu silat.
“Kau hidup mewah dan senang sekali, Lu Thong,” kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Dia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu mau pun taman bunganya, dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat berduri. “Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan sangat kuat seperti takut akan kedatangan musuh.”
Lu Thong tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah dipenuhi dengan hidangan-hidangan mewah dan guci arak berukir yang penuh berisi arak wangi.
“Duduklah, saudaraku. Matamu sungguh awas sekali dan kau pun dapat menduga tepat. Memang sekarang kota raja sedang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja bagi para pembesar dan penduduk, bahkan di dalam istana sendiri juga terjadi kekacauan dan persaingan hebat.”
“Seperti halnya suhu-mu Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhu-ku,” kata Kwan Cu dengan pandang mata tajam.
“Jangan kau persalahkan aku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang suhu tidak mau lagi menginjak kota raja karena merasa sangat menyesal telah ikut terseret dalam permusuhan.”
“Akan tetapi muridnya bahkan hidup mewah di sini, meski pun seluruh keluarganya telah musnah...,” Kwan Cu menyindir.
“Kau tidak tahu, Kwan Cu. Kongkong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup.”
Berubah wajah Kwan Cu. “Benarkah? Di mana beliau?”
“Itulah soalnya, Kwan Cu. Kongkong sudah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui di mana adanya kongkong Lu Pin. Oleh karena itulah, biar pun semua keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan.”
Kembali Kwan Cu tertegun. “Apa? Pemberontak itu sudah meninggal dunia?”
“Hussh, jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorang panglima gagah perkasa dan bahkan sudah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak mungkin aku diangkat menjadi pangeran malah dianggap sebagai putera angkatnya sendiri.”
“Hemm, begitukah...?” kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya.
Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa muak bukan main terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya, termasuk ayah bundanya, dan semua orang, sudah dibinasakan oleh An Lu Shan namun dia sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.
“Kau agaknya tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu.”
“Memang aku tidak tahu, bukankah kau mengajak aku ke sini untuk menceritakan semua itu?” Kwan Cu bertanya.
Lu Thong kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang membayangkan kecerdikannya dan membuat Kwan Cu untuk bersikap waspada. “Baiklah, kuceritakan semuanya dengan jelas keadaan di kota raja.”
Maka berceritalah Lu Thong…
Sebagaimana diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono sudah mengangkat An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sebenarnya sudah ditentang oleh banyak menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin.
Akan tetapi kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat berbahaya mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya benar saja, An Lu Shan lalu memberontak dengan sejumlah tentara tak kurang dari lima belas laksa orang yang sudah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu pedang, kemudian pemberontak ini memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan serta pelesiran saja seperti kaisarnya.
Memang, keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang sangat cantik, yakni Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita dan genit. Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala tentara An Lu Shan memang istimewa, lagi pula dibantu oleh banyak orang pandai, akhirnya kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan, ada pun kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.
An Lu Shan para dan kaki tangannya, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, mereka bagaikan orang-orang kelaparan yang menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan akhirnya terjadilah perebutan kekuasaan.
Dalam keributan ini, An Lu Shan sudah dibunuh oleh salah seorang puteranya sendiri. Keributan merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu akhirnya menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa dengan diam-diam saling mempengaruhi dan menanam bibit permusuhan serta persaingan yang dalam sekali.
Ada pun fihak tentara Kerajaan Tang masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Pada waktu bala tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kaisar untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak. Dengan hati sedih kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh tentara Tang sendiri!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan, sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa menteri itu membawa lari sejumlah harta negara yang amat besar.
Telah dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan akhirnya dapat bersembunyi di dalam goa yang selanjutnya disebut goa Tengkorak, karena bekas menteri ini membuat tengkorak-tengkorak raksasa dari tulang-tulang binatang purba kala yang banyak terdapat di dalam goa itu.
Hanya Lu Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang ke kota raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan sudah memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, bahkan diberi gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa.
Semua ini diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,
“Demikianlah, saudara Kwan Cu. Betapa pun juga, An Lu Shan telah bersikap amat baik terhadap aku, dan setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan hebat secara diam-diam. Mereka saling menjaga supaya persaingan itu tidak mengacaukan bala tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni di antara tiga golongan. Golongan pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan kedua yaitu tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Ada pun golongan ketiga adalah Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan.”
“Hemm, diakah? Aku pernah bertemu dengan panglima kasar itu,” kata Kwan Cu yang teringat akan pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.
“Ya, memang dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong.”
“Pemuda botak hidung belang tadi?” tanya Kwan Cu. “Dan dia itu sute-mu?”
Lu Thong menarik napas panjang. “Suhu selalu tak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia itu sudah diangkat sebagai murid ke dua.”
“Lu Thong, sebenarnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan aku. Apakah maksudmu membawaku ke sini? Aku datang ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu, di manakah gurumu itu?”
“Kwan Cu, benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena suhu-mu tewas oleh suhu-ku?” tanya Lu Thong mengerutkan kening.
“Bukan hanya oleh suhu-mu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut.”
“Kwan Cu, kau keliru. Gurumu Ang-bin Sin-kai itu memang bersikap salah sekali, hendak membalaskan sakit hati karena kakek Lu Pin sekeluarganya dihukum oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan, sedangkan suhu beserta lain orang sudah membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?”
Kwan Cu hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara membujuk.
“Kwan Cu, sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, walau pun hanya cucu angkat dari kongkong Lu Pin. Kini keturunan Lu hanya kau dan aku saja. Kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat nama keluarga kita!”
“Apa maksudmu?”
“Dengar baik-baik, Kwan Cu. Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing dengan hebat, bermaksud saling menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi mereka dan tahta kerajaan jatuh ke dalam tangan kita, bukankah hal itu baik sekali?”
“Apa?!” Kwan Cu membelalakkan matanya. “Kau bercita-cita menjadi kaisar?”
“Apa salahnya? Nenek moyangku adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali jasanya terhadap negara. Sudah sepatutnya apa bila keturunannya mendapat anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja? Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar dari suhu bahwa engkaulah orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, sekarang marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik.”
Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Apa bila kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku bisa membuat perhitungan dengan dia!”
Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong. Wajahnya yang tadinya kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.
“Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!”
“Tidak, Lu Thong, aku hanyalah seorang yang tidak ada kepandaian (Bu Pun Su),” jawab Kwan Cu tenang.
Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang dengan langkah menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir ini dengan heran dan kecewa segera mengundurkan diri.
Kemudian ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang kini telah berganti pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut pedang yang berkilauan!
“Lu Thong, apa kehendakmu?” tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.
“Kehendakku?” jawab Lu Thong menyindir. “Sudah kukatakan semenjak tadi bahwa aku menghendaki kau membantuku untuk mencapai cita-citaku.”
“Aku tidak sudi!”
“Kau tetap bocah bodoh yang keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau hutang dariku, Kwan Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhu-ku, ini sudah merupakan dosa-dosa, namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja sama. Kedua kalinya, kalau memang sudah mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau harus menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya, masih ingatkah kau betapa dahulu pada saat kita masih sama-sama kecil, kau tidak mampu mengalahkan aku dan suhu-mu berkata bahwa kelak kita harus mengadu kepandaian lagi? Nah, karena sekarang kau berkeras kepala, perkenalkanlah tiga orang sahabatku ini. Mereka adalah Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga Pengemis Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun mereka dapat melihat mulianya cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa seorang manusia semacam engkau berani menolak ajakanku yang baik?”
Bukan main panasnya hati Kwan Cu mendengar ucapan yang sangat menghina serta merendahkannya itu. "Banyak anjing-anjing penjilat yang akan melonjorkan kaki depan ketika melihat orang melemparkan tulang kepadanya, akan tetapi aku tidak termasuk golongan ini, Lu Thong. Sudahlah, aku tidak punya banyak waktu untuk melayani obrolanmu."
Sesudah berkata demikian Kwan Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu. Akan tetapi tiba-tiba tiga orang pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.
“Kalian mau apa?!” bentak Kwan Cu.
Lu Thong memberi isyarat dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab, “Hendak mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!”
Ucapan ini ditutup dengan berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat. Tidak percuma mereka memperoleh julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang mereka benar-benar amat cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan nampak hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti kilat menyambar.
Ini kalau dilihat oleh mata orang lain. Akan tetapi bagi mata Kwan Cu gerakan itu tidak seberapa hebat. Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan serta pengertian tentang pokok dasar segala pergerakan orang dalam bersilat, dia sudah lebih dulu dapat menduga ke mana tiga batang pedang itu hendak menyerangnya!
Oleh karena itu, dia melakukan gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa serangan mereka itu akan disusul dengan gerakan lain, hal ini dapat dia lihat dari pergerakan pundak dan pandangan mata mereka. Maka, sebelum tiga orang itu sempat melanjutkan serangan mereka setelah Kwan Cu mengelak cepat, pemuda ini pun sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan yang dimiringkan ke arah pangkal lengan.
“Plak! Plak! Plak!”
Tiga kali jari-jari tangannya yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan terdengarlah jeritan susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke atas dan ketiga orang Pengemis Sakti Berpedang Kilat itu lalu mengaduh-aduh sambil memegangi pangkal lengan kanan dengan tangan kirinya. Ada pun pedang yang tadi mereka pegang, tentu saja terpental jauh karena tangan mereka mendadak menjadi kaku dengan jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran listrik yang maha kuat!
Untuk sesaat Lu Thong tertegun melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain saat dia sudah melompat dengan senjata pada tangannya. Seperti main sulap saja melihat dia tiba-tiba memegang sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan kedua ujung toya itu berkilauan karena memang ujungnya terbuat dari pada emas.
Bagaimana tiba-tiba saja pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadi tidak kelihatan dia bawa? Ternyata bahwa toya itu dibuat secara istimewa, bersambung-sambung dan dapat di tekuk-tekuk sehingga dapat digulungkan di pinggang, tertutup oleh baju luar.
“Kwan Cu, ternyata selama kau tidak muncul, kau sudah mempunyai kepandaian yang lumayan. Hendak kulihat apakah kau cukup kuat pula menahan seranganku!” bentak Lu Thong sambil mengayun toyanya.
Kwan Cu dapat merasakan angin sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu, tokoh besar selatan yang terkenal sebagai ahli gwakang dan mempunyai tenaga seperti gajah. Menurut penuturan Ang-bin sin-kai dahulu, untuk masa itu, tingkat kepandaian dari Jeng-kin-jiu sudah amat tinggi dan dia merupakan satu-satunya ahli gwakang yang dapat mengatur tenaga sehingga mampu menggunakan tenaga sampai seribu kati kuatnya!
Kwan Cu juga maklum bahwa Lu Thong tentu sudah mewarisi tenaga serta kepandaian suhu-nya, maka dia berlaku sangat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, serta pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya yang dia pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa pulau pohon berdaun putih, dia tahu bagaimana caranya harus menghadapi serangan toya yang bertenaga besar ini. Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari sambaran toya yang datang bertubi-tubi.
Setelah menghadapi toya Lu Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati Kwan Cu karena dia telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya itu. Ia diam-diam merasa kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia tangkap inti sarinya!
Kalau dia mau, dia akan dapat meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia tahu pula bahwa dalam hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu Thong, sedangkan ilmu toya itu harus dilakukan dengan tenaga gwakang, barulah dapat berjalan sempurna.
Maka Kwan Cu segera mencabut sulingnya dan dia mulai melakukan serangan balasan. Dia dapat menghadapi Lu Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas cara lawan bergerak, bahkan dia telah tahu ke mana toya akan menyambar hanya dengan memperhatikan gerak pundak dan paha lawan saja!
Sebaliknya Lu Thong menjadi heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kwan Cu menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini tak akan mengherankan dirinya. Yang membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan Cu mengelak. Sebelum toyanya bergerak menyambar, lawannya itu telah melangkah ke arah yang berlawanan dengan tujuan pukulan toyanya, seolah-olah Kwan Cu sudah tahu lebih dulu bagaian mana yang hendak diserang.
Kemudian Kwan Cu mainkan sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu ini gerakannya benar-benar sama dengan serangan toyanya, hanya bedanya apa bila dia menyerang dengan gwakang untuk menghancurkan kepala atau mematahkan tulang, adalah Kwan Cu mempergunakan sulingnya untuk menotok jalan darah yang berbahaya.
Pertempuran ini benar-benar berat sebelah. Lu Thong segera terdesak hebat dan tidak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan terlebih dulu oleh lawannya yang berbalik menyerangnya, kadang-kadang dengan ilmu silatnya, akan tetapi mendadak diubah lagi dengan ilmu silat lain yang sama sekali tak dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya mulai berkurang, sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.
Lu Thong merasa seluruh tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah toyanya dari pegangan. Kwan Cu cepat-cepat menyusulkan sebuah totokan pula ke arah pundak, kini untuk membebaskan totokan pertama tadi. Dia lalu melompat ke belakang, berdiri tegak dan berkata,
“Lu Thong, melihat muka Kongkong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf dan berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat tinggal!” Sebelum Lu Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah lenyap dari situ.
Lu Thong menarik napas panjang dan membanting tubuhnya di atas bangku. Dia tidak mempedulikan ketiga orang pembantunya yang sedang berdiri dengan muka kesakitan di situ, bahkan lalu memberi isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu meninggalkannya seorang diri.
“Dia benar-benar hebat. Tentu Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya,” pikir Lu Thong penasaran.
Ia tidak menyusahkan keadaan suhu-nya yang terancam oleh Kwan Cu, juga sama sekali tak memikirkan kata-kata Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja. Sayang Kwan Cu yang sakti tak mau membantunya, pikirnya. Bagaimana seorang pemuda yang sudah lemah imannya ini dapat mendengarkan nasehat Kwan Cu?
Sampai berhari-hari Lu Thong masih bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang cantik-cantik tidak mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak, mencari jalan baik…..
Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit tampak melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal dari kompleks bangunan istana yang megah. Tiada seorang pun manusia menyangka bahwa malam hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di atas genteng bangunan itu.
Memang, biar pun penjagaan daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala jaga menyuruh anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang mampu menembus penjagaan sehingga dapat berlari-larian di atas genteng? Penjagaan seluruh pintu istana amat kuat dan daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh dinding yang tebal dan tinggi sekali, apa lagi dijaga oleh penjaga-penjaga yang berdiri pada sepanjang tembok! Seekor burung pun tidak akan dapat lewat tanpa terlihat oleh barisan penjaga.
Akan tetapi, bukan iblis atau dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan seorang manusia biasa. Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang sudah memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga membuatnya menjadi seorang sakti.
Tidak sukar baginya untuk melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang sangat cepat. Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding tembok tanpa terlihat oleh penjaga, karena gerakannya itu luar biasa cepatnya. Mungkin juga ada di antara penjaga yang melihat sosok bayangan berkelebat, akan tetapi tentu dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar oleh lampu penerangan di luar tembok.
Kwan Cu sudah melakukan penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa memang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu beserta tokoh-tokoh lain yang sudah membunuh Ang-bin Sin-kai tidak berada di kota raja. Akan tetapi dia belum mau meninggalkan kota raja.
Pertama, karena dia hendak menyelidiki di dalam istana dahulu, siapa tahu kalau-kalau di antara musuh-musuh besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Kedua, dia ingin menyelidiki karena dia sempat teringat akan ucapan Pangeran An Kong, putera An Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak melakukan perbuatan jahat terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya untuk sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong wanita tadi.
Dahulu dia pernah dibawa oleh suhu-nya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan suhu-nya, mereka langsung menuju ke dapur istana dan tak pernah menyelidiki keadaan istana dari atas genteng. Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul akan letak istana itu. Dia hanya mencari-cari dari atas genteng dan mengintai ke bawah setiap kali dia melihat ada ruangan di bawah genteng.
Di bawah genteng bangunan-bangunan istana yang tinggi itu terdapat langit-langit yang tebal, maka agak sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apa lagi banyak sekali terdapat loteng, karena rumah-rumah di situ sebagian besar bertingkat. Sering kali ia harus menggunakan kakinya untuk bergantung dengan kepala di bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng.
Akan tetapi, dia hanya mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada pula orang-orang yang berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga, agaknya mereka adalah para pengawal istana.
Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar nampak lampu dinyalakan terang. Beberapa orang laki-laki sedang duduk menghadapi meja panjang, seakan-akan orang sedang mengadakan rapat. Tertarik hati Kwan Cu dan dia segera menuju ke bangunan itu.
Ia selalu berlaku amat hati-hati. Maka, ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan gerakan ringan sekali bagai daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini melayang turun, lalu berjalan perlahan menuju ke tempat itu.
Dari balik jendela dia mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar itu dia melihat ada lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan perlahan, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting. Tiga orang di antaranya berpakaian sebagai panglima tinggi, sedangkan yang dua orang adalah hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.
Ketika Kwan Cu melayangkan pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima itu. Orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli hatinya memikirkan betapa dahulu dia pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih tepat lagi gurunya yang mempermainkannya, karena dia memukul panglima ini dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.
Panglima itu masih nampak tegap dan gagah, walau pun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya menunjukkan seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong bahwa An Lu Kui termasuk seorang di antara tiga golongan yang ingin memperebutkan kedudukan raja di tempat itu!
Dia tidak mengenal dua orang panglima yang lainnya itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa mereka pun memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio setengah tua itu dia tidak kenal. Kalau saja dia tidak melihat An Lu Kui di situ, tentu Kwan Cu sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik perhatiannya. Dia ingin mendengar percakapan mereka.
“Apakah Ji-wi Suhu (bapak pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku pada putera mahkota?” terdengar An Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu.
Kwan Cu maklum bahwa yang disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang telah membunuh ayahnya sendiri itu. Karena itu dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Seorang di antara dua hwesio itu menganguk-angguk, “Sudah, Ong-ya.”
Kwan Cu merasa geli mendengar sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan terhadap seorang pangeran muda.
“Apa pendapat beliau?” tanya An Lu Kui.
“Beliau merasa bahwa memang perlu diadakan perundingan ini, sebab harta yang dibawa oleh Menteri Lu Pin itu memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan.”
Mendengar jawaban hwesio itu, berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang kongkong-nya, Lu Pin, untung tadi dia mendengarkan ucapan ini.
“Dan beliau memberi kekuasaan penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?” tanya An Lu Kui.
Hwesio itu mengangguk. “Itulah sebabnya maka beliau sengaja mengutus pinceng (saya) berdua untuk merundingkan soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima Si).”
“Bagus,” kata An Lu Kui. “Memang dalam menghadapi para pemberontak yang semakin kuat serta dalam mengatur rencana untuk mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan mengerahkan seluruh tenaga. Herannya, kenapa sampai sekarang Panglima Si Su Beng tidak datang?”
“Pinto (aku, sebutan pendeta To) datang!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh.
Diam-diam Kwan Cu terkejut. Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan sekaligus mengirimkan jawaban, tentu saja adalah seseorang berkepandaian tinggi yang mahir menggunakan Ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka pemuda ini cepat menyelinap dan bersembunyi di tempat yang gelap.
Tidak lama kemudian, menyambar angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To) setengah tua yang berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam dan memandang di sekelilingnya, kemudian dia berkata kepada semua yang berada di dalam ruangan.
“Kalian amat sembrono, membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih dulu kalau-kalau ada orang lain ikut mendengar!” Setelah berkata demikian, tubuh tosu ini berkelebat ke atas genteng agaknya untuk menyelidiki apakah betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi.
Kwan Cu semakin terkejut dan cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di dalam gelap. Ia mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.
“Dia itulah orang baru dari Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai sekali!”
Tak lama kemudian, kembali bayangan tosu itu melayang turun dan berkata,
“Keadaan aman, tidak seekor burung pun pinto lihat di atas genteng!”
An Lu Kui tertawa bergelak. “Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang berani mati melakukan pengintaian? Mari Totiang, silakan duduk. Karena Totiang belum lama datang, agaknya belum kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini adalah Mo Beng Hosiang yang berjulukan San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) dan Mo Keng Hosiang yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu, inilah pembantu sekalian penasehat, dan juga guru dari Panglima Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara).”
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk dan membalas penghormatan kedua orang hwesio itu.
“Hmm, hemm, apakah bukan Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang tersohor? Bagus, bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut apa lagi?”
Pujian ini sekaligus merupakan ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, karena itu biar pun dia sudah mendengar nama besar Kiam Ki Sianjin, dia pura-pura bertanya,
“Pinceng (saya) sudah mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang namanya menggegerkan dunia, tak tahu masih ada hubungan apakah dengan Toyu (Sahabat)?”
Wajah Kiam Ki Sianjin merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan ketidak senangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Adat Kiam Ki Sianjin ini memang sombong. Dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang dianggapnya mengembari namanya.
Mereka berdua, kedua tokoh yang memakai julukan Dewa Utara ini, kemudian bertempur hebat. Sesudah hampir satu harian mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin terpaksa meninggalkan lawannya yang ternyata amat lihai dan yang tidak mampu dirobohkan itu. Semenjak itu dia merasa benci sekali kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Maka kini mendengar ucapan Mo Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio gundul ini sudah mendengar akan pertempuran itu.
Suara ketawa dari Kiam Ki Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar meringkik. Akan tetapi tenaga khikang yang terkandung di dalam suara itu seakan-akan menggetarkan tiang-tiang ruangan itu.
“Gunung dan bukit biar pun sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular biar pun berbentuk serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa disamakan dengan pinto?” Jawabannya ini sudah menyatakan alangkah sombongnya tosu ini yang menganggap diri sendiri seakan-akan gunung dan Pak-lo-sian hanyalah bukit, atau yang mengumpamakan diri sendiri naga sedangkan Pak-lo-sian hanya ular biasa!
Sebagaimana sudah dituturkan oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, di antara mereka ini memang terdapat persaingan. Bu-eng Siang-hiap bersama dua orang hwesio gundul itu adalah pengikut setia dari pangeran mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang paling berkuasa, ada pun Kiam Ki Sianjin adalah guru dari pemberontak Si Su Beng yang sudah lama mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan.
Tentu saja di dalam hati mereka satu terhadap yang lain sudah ada perasaan dendam dan permusuhan. Sekarang hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, mereka bersedia datang berkumpul untuk merundingkan cara untuk menghancurkan rakyat yang memberontak di sana-sini dan untuk mencari Menteri Lu Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri itu. Tak mengherankan apa bila di dalam percakapan mereka terdengar ucapan-ucapan yang menyindir dan saling memandang rendah.
Mendengar ucapan Kiam Ki Sianjin yang menyombongkan diri, Mo Beng Hosiang yang berwatak keras menjadi tak senang.
“Memang nama besar Pak-lo-sian menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat laksana naga!” katanya sambil memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang.
Terang sekali bahwa ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki Sianjin karena kedudukan tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan naga melainkan seperti bukit dan ular!
Melihat suasana sudah mulai panas di antara dua orang kepercayaan dari dua golongan itu, diam-diam An Lu Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja dia suka sekali melihat perpecahan antara dua wakil golongan saingannya itu. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dua orang itu akan bertempur.
Pada masa itu, dia justru membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk mencapai cita-citanya, yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, dan kedua untuk mencari Lu Pin dan harta pusaka kerajaan. Setelah dua hal ini tercapai dan beres, baru dia akan mencari jalan untuk menggulingkan kedudukan dua golongan saingannya itu. Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui benar-benar cerdik sekali.
Ia melompat di antara kedua orang itu dan menjura sambil berkata,
“Pada waktu rumah tangga aman dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua saudara harus bersatu padu memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik sekali kita ingat selalu. Oleh karena itu, harap Ji-wi suka bersabar dan mengingat bahwa kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan hal-hal yang amat penting demi keselamatan negara.”
An Lu Kui masih merupakan orang yang sangat berpengaruh karena dia adalah paman dari putera mahkota. Maka Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki Sianjin.
“Kiam Ki Toyu harap sudi memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang tepat.”
Kiam Ki Sianjin lalu berkata sambil tertawa. “Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum mengenal pinto dengan baik, tentu masih belum percaya.”
Suasana damai dan persahabatan dapat cepat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan kecerdikan An Lu Kui. Semua orang lalu duduk menghadapi meja panjang.
“Ang-ciangkun dipersilakan untuk menguraikan rencananya,” kata Kiam Ki Sianjin.
Dia menggunakan ujung lengan bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir hawa panas. Padahal malam hari itu udara sangat dingin. Tosu yang sombong ini masih saja ingin mendemonstrasikan kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan menunjukkan bahwa dia bukanlah ‘orang biasa’!
Melihat sikap tosu ini, diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini bersikap ketolol-tololan, akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat menduga bahwa memang tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
“Menurut hasil penyelidikan mata-mata kita,” An Lu Kui mulai bicara, “pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para petani kini makin merajalela. Semua ini adalah karena pimpinan dan dorongan dari orang-orang di dunia kang-ouw yang masih bersetia kepada pemerintah Tang yang sudah kita hancurkan. Akan tetapi, walau pun mendapat pimpinan orang-orang pandai, agaknya mereka itu tidak akan banyak berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang membiayai segala keperluan mereka. Mereka terdiri dari petani-petani miskin dan untuk mencukupi keperluan mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan. Kemudian mata-mata kita mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih setia kepada Kerajaan Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu ditutup oleh sumber uang yang sangat besar, yakni bukan lain dari bekas Menteri Lu Pin sendiri!”
“Ahh, tentu harta pusaka kerajaan itu yang dipergunakannya!” teriak Kiam Ki Sianjin.
“Memang! Anjing Lu Pin itu sudah menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk membiayai pemberontakan,” kata An Lu Kui marah.
“Keparat jahanam!” Mo Beng Hosiang turut memaki. “Kalau begitu berarti bahwa semua pemberontakan rakyat itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang keladinya.”
An Lu Kui mengangguk-angguk. “Begitulah kiranya. Memang, semenjak dulu pun sudah diketahui oleh semua orang bahwa Menteri Lu Pin merupakan menteri yang paling setia terhadap Kerajaan Tang. Seluruh keluarganya sudah binasa dalam membela Kerajaan Tang dan sampai sekarang pun ia masih ingin menegakkan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, kurasa untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang paling baik adalah mencari sampai dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan dan harta pusaka Kerajaan Tang bisa dirampas, kiraku tanpa dipukul, para pemberontak itu dengan sendirinya akan mengundurkan diri.”
“Akan tetapi, di manakah kita bisa mendapatkan anjing she Lu itu?” bertanya Mo Keng Hosiang atau Si Ruyung Pemecah Gunung.
“Benar, di mana kita bisa mencari dia? Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencari dia dengan sia-sia. Agaknya dia sudah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan pemberontak.” Kata Mo Beng Hosiang.
“Tadinya aku pun mengira bahwa anjing she Lu itu sudah mampus,” An Lu Kui berkata, “akan tetapi baru-baru ini aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia tengah bersembunyi di dalam sebuah goa dan dari sanalah dia mengatur serta merencanakan semua pemberontakan para petani.”
Mendengar ini, tidak saja kedua hwesio serta Kiam Ki Sianjin menjadi sangat tertarik, bahkan Kwan Cu yang mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini berdebar keras dan baru sekaranglah terbuka matanya betapa gagah dan mulia adanya kongkong angkatnya, Menteri Lu Pin.
Ketika dia mendengar dari sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan kongkong angkatnya itu. Akan tetapi, selama ini pikirannya dipenuhi oleh keadaan suhu-nya yang meninggal dunia dikeroyok orang, maka hal menteri setia itu hampir tidak dia pikirkan lagi.
Akan tetapi sekarang, mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa sangat kagum terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri yang sudah tua sampai terlunta-lunta, dikejar-kejar, namun menteri tua yang amat setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!
“Kongkong benar-benar luar biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya,” kata Kwan Cu di dalam hati dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu di mana tempat persembunyian kakek angkatnya itu.
“Di goa manakah dia bersembunyi?” teredengar Kiam Ki Sianjin bertanya.
Suara tosu ini tinggi dan mengandung penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam istana itu yang tidak menjadi gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu Pin telah diketemukan? Bukan dikarenakan mereka terlalu membenci menteri ini, akan tetapi semata-mata karena menteri itu membawa harta pusaka kerajaan!
Inilah yang merupakan daya penarik luar biasa. Selain harta yang dibawa Menteri Lu Pin, harta yang terdapat di dalam istana itu sudah menjadi rebutan dan sebentar saja sudah habis. Sekarang semua hati dan mata yang selalu membayangkan harta dunia, ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh Menteri Lu Pin.
“Inilah yang masih harus diselidiki,” An Lu Kui menjawab sambil mengeluarkan segulung kertas. “Menurut penyelidikan, dia bersembunyi dalam sebuah goa rahasia yang terdapat di Bukit Tengkorak Raksasa. Akan tetapi di dalam peta tak terdapat bukit yang bernama demikian dan nama ini pun baru-baru ini saja muncul menjadi sebutan orang. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan mata-mata, bukit ini adanya di antara Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak jauh dari lembah Sungai Fen-ho yang mengalir di situ.”
An Lu Kui lalu membuka gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat dengan penuh perhatian.
“Pembantuku ini, Cang-ciangkun, sudah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau jelaskan lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu,” An Lu Kui berkata kepada seorang di antara dua orang panglima yang semenjak tadi tidak ikut bicara.
Panglima perang yang di sebut Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, berwajah kereng dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih dekat ke meja, lalu menunjuk ke arah peta itu dengan telunjuknya.
“Pasukan penyelidik yang kupimpin sudah sampai di bagian ini. Di sepanjang jalan kami mencari keterangan dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa daerah ini dahulu sering didatangi oleh seorang pengemis tua yang aneh.”
“Ang-bin Sin-kai...,” kata Kiam Ki Sianjin perlahan.
An Lu Kui mengangguk membenarkan.
“Kemudian kami tiba di lembah Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa rahasia di Bukit Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani yang kami paksa, daerah ini sering kali didatangi oleh orang-orang yang kelihatannya gagah dan membawa-bawa pedang dan tombak. Biar pun tak seorang pun yang pernah mendatangi Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun agaknya yang suka datang itu adalah para pemimpin pemberontak, sebab setelah mereka pergi lagi, menurut petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan yang kelihatannya berat.”
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk. “Sangat boleh jadi...”
Akan tetapi tiba-tiba dia menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah jendela. Memang pada waktu itu, Kwan Cu sangat memperhatikan dan ingin sekali dia juga dapat melihat peta di atas meja itu. Maka saking tertariknya, dia melakukan gerakan yang menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit suara ini ternyata sudah dapat ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat tajam.
Ketika Kiam Ki Sianjin melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan Monyet Tua Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan sebelum Kiam Ki Sianjin masuk kembali, pemuda ini telah mendahului masuk dari pintu depan. Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu, disambut oleh An Lu Kui dan kawan-kawannya dengan mata terbelalak.
“Siapa... kau...…?” An Lu Kui bertanya.
Maksudnya hendak membentak marah, akan tetapi melihat cara pemuda itu yang masuk begitu saja tanpa mereka ketahui, membuat dia sangat terheran-heran dan gugup. Apa lagi ketika dia mengajukan pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah mereka!
Akan tetapi, barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa teman-teman sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagai daun-daun kering tertiup angin. Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tidak lama kemudian, anggota-anggota pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan begitu pula para perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya.
Ketika mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka melihat sepuluh orang perwira telah terikat erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa para tawanan! Ada pun pemuda luar biasa itu, entah pergi ke mana karena tidak kelihatan bayangannya lagi.
Semenjak peristiwa itu, nama Bu-pun-su menjadi terkenal di kalangan pasukan-pasukan An Lu Shan. Nama ini mendatangkan rasa gentar di dalam hati mereka, karena selama menghadapi para pejuang rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.
Setelah memperlihatkan kepandaiannya pada saat dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapa pun juga, Kwan Cu membawa sastrawan Tu Fu keluar dari Thian-cin. Dia lalu menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk pujangga itu. Dia benar-benar tunduk kepada sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu.
Apa bila pujangga itu lahir batin membenci terhadap seluruh pasukan An Lu Shan yang sudah menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci terhadap para anggota pasukan. Oleh karena ini, ketika dia dikepung dia tidak mau menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan melempar-lemparkan mereka saja!
Setelah Kwan Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai menyebut-nyebut namanya, ia menjadi amat terharu dan segera timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo, Thian Seng Hwesio, Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di dalam hatinya dan dia sudah mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang demi seorang.
Yang membuat dia merasa sangat heran dan juga mendongkol adalah pada waktu dia mendengar bahwa Jeng-kin-jiu juga ikut mengeroyok suhu-nya. Dia tahu bahwa antara suhu-nya dan Jeng-kin-jiu, terdapat hubungan yang sangat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai saling bermusuhan?
Dia sendiri masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena namanya pun adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini, maka orang pertama yang hendak adalah Jeng-kin-jiu.
Ia berpisah dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu Shan yang menindas rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada pasukan itu, mengancam perwiranya.
Semua ini dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas pasukan dengan cara mengukir tulisan di dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi singkat:
APABILA MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL NYAWA!
BU PUN SU
Banyaknya kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan terhadap rakyat, membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa anggota-anggota pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia timpakan kepada para pemimpin kaki tangan An Lu Shan. Akan tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggota pasukan pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat jelata.
Namun seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh orang, yaitu dengan cara memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding markas pasukan pemberontak.
*****
Karena melakukan perjalanan cepat, biar pun banyak gangguan di jalan untuk menolong rakyat dari gangguan pasukan-pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian tibalah Kwan Cu di kota raja. Dia teringat ketika dulu bersama gurunya datang di kota raja dan keadaan sekarang kelihatannya tiada perubahan sama sekali.
Dia menuju ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama.
Kwan Cu berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar. Agaknya rumah makan ini pun baru karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besar itu.
Kwan Cu disambut oleh seorang pelayan yang menatapnya dengan mata penuh curiga. Maklumlah, pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan perasaan curiga karena rumah makan yang besar ini biasanya hanya dimasuki oleh para hartawan dan bangsawan-bangsawan belaka.
Kwan Cu tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan serta biaya-biaya lainnya, maka dia sudah mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar kaya raya pada waktu dia memberi ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu.
Rumah makan itu sangat banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan sehingga suara ketawa mereka memecah di ruang makan itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya ada seorang laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup menarik.
Laki-laki ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Kwan Cu diam-diam merasa geli karena dia tahu bahwa pada waktu bicara laki-laki botak itu mengerahkan tenaga khikang-nya yang lumayan juga hingga suaranya terdengar nyaring sekali.
Pelayan rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di meja depan yang terletak di sebuah pojok, agak jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa tempat yang kosong. Akan tetapi Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia memesan beberapa makanan.
Selagi menanti makanan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan. Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor anjing kurus sedang makan tulang yang hitam.
Pengemis-pengemis itu berjalan dengan kaki lemas, salah seorang di antaranya bahkan terpincang-pincang. Melihat hal ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang. Bukan saja para pengemis itu mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai yang juga selalu berpakaian pengemis, juga pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu. Pengemis-pengemis itu tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi.
Dia kemudian melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya. Pelayan itu datang dengan muka angkuh.
“Tolong bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu. Aku yang akan bayar.”
Pelayan itu mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.
“Pesanan Tuan akan kami layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan berikan sendiri.”
“Mengapa begitu?” tanya Kwan Cu dengan suara sabar.
“Oleh karena kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!”
Kwan Cu menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya. “Baiklah, biar nanti aku yang memberikan sendiri.”
“Hei, A-kiu...!” tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Kwan Cu.
Pelayan itu cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlarian menghampiri meja si botak.
“Ada apakah memanggil hamba, An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?” katanya membungkuk-bungkuk.
“Bagaimana sih kerjaanmu? Banyak lalat busuk tidak kau usir dari sini?” Sambil berkata demikian, si botak melirik ke arah Kwan Cu. “Membikin bau saja!”
Pelayan itu mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga orang pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.
Kwan Cu melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik. Pendengaran Kwan Cu amat tajam sehingga dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang sedang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah dirinya sendiri!
Akan tetapi kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali. Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau marah, bahkan merasa amat kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan waktu muda begitu saja.
“Hm, agaknya dia orang jauh yang memiliki uang juga. Tidak apa kalau begitu. Asal saja bukan bangsa jembel yang pura-pura memesan masakan kemudian tidak dibayarnya,” si botak berkata agak keras, dan sikapnya ini terang sekali menghina dan tak memandang mata kepada orang lain.
Kemudian mereka melanjutkan percakapan mereka tadi. Tadinya Kwan Cu tidak sudi ikut mendengarkan kelakar mereka, akan tetapi karena tadi dia sudah terlanjur memasang telinga mendengarkan percakapan mereka ketika mereka bicara mengenai dia, sekarang perhatiannya masih ke sana dan tanpa disengaja dia mendengarkan kata-kata si botak yang diucapkan dengan suara perlahan.
“Bunga liar cantik dan harum selalu banyak durinya. Makin sukar dipetik makin menarik,” kata si botak tertawa-tawa.
“Siauw-ongya mengapa bingung-bingung? Bunga sudah berada di tempat bunga dalam rumah sendiri. Apa sukarnya?” kata seorang pemuda dengan sikap menjilat.
Si botak tertawa bergelak, lalu dia mengangkat cawan araknya. “Hayo minum arak untuk merayakan malam gemilang hari ini. Malam terang bulan dan kini dia pasti akan menurut. Ha-ha-ha!”
Semua orang di meja itu minum arak dengan bunyi bibir dikecap-kecapkan keras. Kwan Cu mendongkol sekali karena dia dapat menduga bahwa pemuda-pemuda itu tentu kaum berandalan yang suka menggoda wanita baik-baik, atau sekelompok pemuda pemogoran yang tak kenal malu.
Akan tetapi diam-diam dia menjadi benci kepada si botak dan berpikir siapa gerangan bunga liar yang hendak diganggu itu. Aku harus menolongnya, pikir Kwan Cu.
Pada saat itu pula, tiga mangkok bihun untuk para pengemis telah dikeluarkan. Kwan Cu merasa heran sekali kenapa pesanannya yang terdahulu belum dikeluarkan, akan tetapi pesanan untuk para pengemis ini demikian cepat matangnya.
Ketika dia melihat masakan itu, dia menjadi gemas sekali karena masakan bihun ini tidak karuan macamnya. Sayur-sayurnya terang bukan sayuran segar, agaknya sayur yang seharusnya sudah dibuang. Juga kuahnya kehitam-hitaman. Akan tetapi dia masih sabar dan segera membawa tiga mangkok itu keluar, ke arah para pengemis yang masih duduk jauh dari rumah makan itu.
Para pengemis itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat seorang pemuda memberi mangkok berisi bihun kepada mereka. Segera mereka menerima dan makan bihun itu, lupa untuk menghaturkan terima kasih saking lahapnya. Kwan Cu memandang dengan terharu sekali. Ia mengeluarkan tiga potong uang emas dan memberikan uang itu kepada mereka.
“Bawalah mangkok-mangkok itu, akan kubayar,” katanya.
Melihat semua pemberian ini, tiga orang pengemis yang sudah menghabiskan makanan kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu. Akan tetapi tanpa mempedulikan mereka Kwan Cu berjalan kembali ke dalam rumah makan.
Tanpa mempedulikan pandang mata orang muda botak dan kawan-kawannya yang amat memperhatikan dirinya, Kwan Cu duduk kembali ke depan mejanya yang tadi. Ternyata bahwa masakan pesanannya sudah tersedia di atas meja, masih mengebul hangat. Akan tetapi, ketika Kwan Cu mengangkat mangkok dan mengerjakan sumpitnya, dia mencium bau tidak enak dari mangkok itu.
Ia meletakkan kembali mangkok serta sumpitnya di atas meja, mukanya menjadi merah dan segera dia menengok ke belakang. Pelayan yang tadi melayaninya memandangnya dan cepat-cepat membuang muka ketika melihat dia menengok.
Kwan Cu memanggilnya. “Sahabat pelayan, harap datang ke sini sebentar.”
Pelayan itu menengok dan menghampirinya.
“Ada apakah?” tanyanya singkat dan kurang hormat.
Kwan Cu lalu menuding ke arah mangkok-mangkok masakan itu. Suaranya masih tetap sabar ketika dia bertanya.
“Masakan ini sudah masam dan bau, harap kau ganti dengan yang masih segar. Apakah restoran ini hanya menjual barang-barang busuk belaka?”
Wajah pelayan itu memerah. Memang, melihat keadaan Kwan Cu yang pakaiannya tidak sesuai dengan tamu-tamu lain yang biasa mengunjungi restoran ini, para pelayan berlaku curang dan memberi hidangan-hidangan sisa yang seharusnya sudah dibuang!
“Kau sombong amat!” pelayan itu berteriak marah. “Agaknya kau belum pernah makan masakan mahal maka kini mengira masakan ini busuk.”
Kesabaran Kwan Cu ada batasnya. Apa bila orang sengaja berlaku keterlaluan, sudah sepatutnya kalau orang itu diberi hajaran agar lain kali tidak berani menghina orang.
“Begitukah anggapanmu, Sahabat? Bagus, kalau begitu kau makanlah sendiri masakan ini, biar aku yang membayarnya!”
Sebelum pelayan itu sempat menjawab, tangan Kwan Cu bergerak ke depan, menotok pelayan itu hingga tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya terbuka lebar-lebar tanpa dapat ditutup kembali. Dengan tenang Kwan Cu lalu mengangkat mangkok dan menggunakan sumpit untuk menjejalkan masakan itu ke dalam mulut si pelayan, terus di dorong dengan sumpit memasukkan masakan ke dalam kerongkongan!
Pelayan yang tak berdaya itu mau tidak mau menelan semua masakan yang di jejalkan dengan paksa melalui kerongkongannya!
Orang muda botak yang tadi disebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh kawan-kawannya. Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat dan ketakutan.
“Nah, aku terima kalah,” Kwan Cu berkata. “Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran ini.” Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.
“Pengemis liar dari mana berani main gila dan mengacau di kota raja?” Pangeran Muda An yang botak itu membentak sambil mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh.
Melihat senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang dapat memainkan senjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah joan-pian (ruyung lemas) yang terbuat dari pada logam hitam diuntai, ada pun tangan kirinya memegang sebuah hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh pendeta).
Kwan Cu telah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu serta kawan-kawannya hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang pengemis yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang lelaki muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini merupakan seorang yang berpangkat pula.
Pangeran An yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini, ada pun kemarahannya telah membuat mukanya menjadi amat merah. Dengan gerakan istimewa, kebutan di tangan kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya.
Ujung kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki pada dinding!
Kwan Cu terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kepandaian serta lweekang yang sudah tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,
“Sekarang terlalu banyak orang pandai sehingga di mana-mana gampang melihat orang memamerkan tenaga!” Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat kakinya. Dengan gerakan perlahan saja dia memegang meja itu, dan sekali renggut ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding.
Ketika Kwan Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun sebab ternyata bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini malah kepandaiannya lebih tinggi dari pada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan permukaan dinding.
Ketika memandang kepada orang yang baru datang ini, air muka pemuda botak menjadi berubah. Dia cepat-cepat menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.
“Ehhh, kiranya Suheng tidak menginginkan ada keributan. Biarlah siauwte meninggalkan pengemis kurang ajar ini kepada Suheng.” Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil tertawa-tawa mengejek lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti pula oleh kawan-kawannya yang kelihatan sangat takut terhadap pemuda baju mewah yang baru datang.
Kini perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi di mana dan bila mana.
Tiga orang pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang pengemis itu dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda ini pun atas pemberitahuan tiga orang pengemis itu. Makin heranlah hati Kwan Cu.
Agaknya keadaan di kota raja ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau ketiga orang pengemis itu memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda botak yang tadi disebut pangeran muda itu menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.
Sementara itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang pada Kwan Cu dengan penuh perhatian. Sepasang matanya memandang dengan mulutnya tersenyum setengah mengejek.
Melihat sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, bahkan jauh lebih sombong dari pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa. Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.
“Kiranya benar sekali laporan Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja sedang kedatangan seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya. Ahh, Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?” pemuda itu berkata sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu.
Kwan Cu hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.
“Lu Thong...!” serunya.
Lu Thong memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di tempat terbuka itu.
“Kita masih bersaudara, bukan? Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita dapat bicara dengan enak dan leluasa.”
Akan tetapi, melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin curiga dan benci.
“Aku tidak mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,” jawabnya.
Lu Thong mainkan alisnya. “Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu? Kwan Cu, kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar keterangan yang sejelasnya mengenai semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai bertahun-tahun? Nah, keterangan itu hanya bisa kau dapatkan dari aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah… kau takut?”
Keangkuhan hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, karena itu dengan gagah dia menjawab, “Siapa takut? Kau sanggup berbuat apakah terhadap aku? Baiklah, aku ikut denganmu, hendak kulihat apa yang hendak kau lakukan.”
Lu Thong tertawa gembira dan memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih berdiri di luar pintu. Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan Cu tertegun. Kiranya para pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya, bukanlah pengemis sembarangan!
Lu Thong membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota. Tadi ketika pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada yang berani mendekat. Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali, bahkan serombongan tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi hormat pula.
Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini sudah mampu mengangkat diri dalam kedudukan yang tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga, keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu Thong secara diam-diam.
Ketika memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong serta Kwan Cu dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai selir-selirnya!
“Aku belum menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok,” katanya tertawa, “karena itu, mereka inilah yang sementara ini menghiburku dan mengusir kesepian dari anak malang yang hidup sebatang kara ini.”
Kwan Cu hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar mata para wanita muda yang ditujukan padanya dengan sikap genit. Juga dia melihat tiga orang pengemis tadi kini sudah turut menyambut dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.
“Mari kita bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa.”
Kwan Cu harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka warna, apa lagi dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan emas dan bunga teratai. Juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu silat.
“Kau hidup mewah dan senang sekali, Lu Thong,” kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Dia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu mau pun taman bunganya, dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat berduri. “Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan sangat kuat seperti takut akan kedatangan musuh.”
Lu Thong tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah dipenuhi dengan hidangan-hidangan mewah dan guci arak berukir yang penuh berisi arak wangi.
“Duduklah, saudaraku. Matamu sungguh awas sekali dan kau pun dapat menduga tepat. Memang sekarang kota raja sedang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja bagi para pembesar dan penduduk, bahkan di dalam istana sendiri juga terjadi kekacauan dan persaingan hebat.”
“Seperti halnya suhu-mu Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhu-ku,” kata Kwan Cu dengan pandang mata tajam.
“Jangan kau persalahkan aku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang suhu tidak mau lagi menginjak kota raja karena merasa sangat menyesal telah ikut terseret dalam permusuhan.”
“Akan tetapi muridnya bahkan hidup mewah di sini, meski pun seluruh keluarganya telah musnah...,” Kwan Cu menyindir.
“Kau tidak tahu, Kwan Cu. Kongkong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup.”
Berubah wajah Kwan Cu. “Benarkah? Di mana beliau?”
“Itulah soalnya, Kwan Cu. Kongkong sudah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui di mana adanya kongkong Lu Pin. Oleh karena itulah, biar pun semua keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan.”
Kembali Kwan Cu tertegun. “Apa? Pemberontak itu sudah meninggal dunia?”
“Hussh, jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorang panglima gagah perkasa dan bahkan sudah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak mungkin aku diangkat menjadi pangeran malah dianggap sebagai putera angkatnya sendiri.”
“Hemm, begitukah...?” kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya.
Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa muak bukan main terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya, termasuk ayah bundanya, dan semua orang, sudah dibinasakan oleh An Lu Shan namun dia sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.
“Kau agaknya tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu.”
“Memang aku tidak tahu, bukankah kau mengajak aku ke sini untuk menceritakan semua itu?” Kwan Cu bertanya.
Lu Thong kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang membayangkan kecerdikannya dan membuat Kwan Cu untuk bersikap waspada. “Baiklah, kuceritakan semuanya dengan jelas keadaan di kota raja.”
Maka berceritalah Lu Thong…
Sebagaimana diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono sudah mengangkat An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sebenarnya sudah ditentang oleh banyak menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin.
Akan tetapi kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat berbahaya mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya benar saja, An Lu Shan lalu memberontak dengan sejumlah tentara tak kurang dari lima belas laksa orang yang sudah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu pedang, kemudian pemberontak ini memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan serta pelesiran saja seperti kaisarnya.
Memang, keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang sangat cantik, yakni Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita dan genit. Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala tentara An Lu Shan memang istimewa, lagi pula dibantu oleh banyak orang pandai, akhirnya kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan, ada pun kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.
An Lu Shan para dan kaki tangannya, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, mereka bagaikan orang-orang kelaparan yang menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan akhirnya terjadilah perebutan kekuasaan.
Dalam keributan ini, An Lu Shan sudah dibunuh oleh salah seorang puteranya sendiri. Keributan merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu akhirnya menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa dengan diam-diam saling mempengaruhi dan menanam bibit permusuhan serta persaingan yang dalam sekali.
Ada pun fihak tentara Kerajaan Tang masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Pada waktu bala tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kaisar untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak. Dengan hati sedih kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh tentara Tang sendiri!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan, sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa menteri itu membawa lari sejumlah harta negara yang amat besar.
Telah dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan akhirnya dapat bersembunyi di dalam goa yang selanjutnya disebut goa Tengkorak, karena bekas menteri ini membuat tengkorak-tengkorak raksasa dari tulang-tulang binatang purba kala yang banyak terdapat di dalam goa itu.
Hanya Lu Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang ke kota raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan sudah memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, bahkan diberi gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa.
Semua ini diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,
“Demikianlah, saudara Kwan Cu. Betapa pun juga, An Lu Shan telah bersikap amat baik terhadap aku, dan setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan hebat secara diam-diam. Mereka saling menjaga supaya persaingan itu tidak mengacaukan bala tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni di antara tiga golongan. Golongan pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan kedua yaitu tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Ada pun golongan ketiga adalah Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan.”
“Hemm, diakah? Aku pernah bertemu dengan panglima kasar itu,” kata Kwan Cu yang teringat akan pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.
“Ya, memang dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong.”
“Pemuda botak hidung belang tadi?” tanya Kwan Cu. “Dan dia itu sute-mu?”
Lu Thong menarik napas panjang. “Suhu selalu tak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia itu sudah diangkat sebagai murid ke dua.”
“Lu Thong, sebenarnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan aku. Apakah maksudmu membawaku ke sini? Aku datang ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu, di manakah gurumu itu?”
“Kwan Cu, benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena suhu-mu tewas oleh suhu-ku?” tanya Lu Thong mengerutkan kening.
“Bukan hanya oleh suhu-mu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut.”
“Kwan Cu, kau keliru. Gurumu Ang-bin Sin-kai itu memang bersikap salah sekali, hendak membalaskan sakit hati karena kakek Lu Pin sekeluarganya dihukum oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan, sedangkan suhu beserta lain orang sudah membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?”
Kwan Cu hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara membujuk.
“Kwan Cu, sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, walau pun hanya cucu angkat dari kongkong Lu Pin. Kini keturunan Lu hanya kau dan aku saja. Kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat nama keluarga kita!”
“Apa maksudmu?”
“Dengar baik-baik, Kwan Cu. Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing dengan hebat, bermaksud saling menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi mereka dan tahta kerajaan jatuh ke dalam tangan kita, bukankah hal itu baik sekali?”
“Apa?!” Kwan Cu membelalakkan matanya. “Kau bercita-cita menjadi kaisar?”
“Apa salahnya? Nenek moyangku adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali jasanya terhadap negara. Sudah sepatutnya apa bila keturunannya mendapat anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja? Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar dari suhu bahwa engkaulah orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, sekarang marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik.”
Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Apa bila kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku bisa membuat perhitungan dengan dia!”
Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong. Wajahnya yang tadinya kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.
“Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!”
“Tidak, Lu Thong, aku hanyalah seorang yang tidak ada kepandaian (Bu Pun Su),” jawab Kwan Cu tenang.
Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang dengan langkah menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir ini dengan heran dan kecewa segera mengundurkan diri.
Kemudian ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang kini telah berganti pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut pedang yang berkilauan!
“Lu Thong, apa kehendakmu?” tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.
“Kehendakku?” jawab Lu Thong menyindir. “Sudah kukatakan semenjak tadi bahwa aku menghendaki kau membantuku untuk mencapai cita-citaku.”
“Aku tidak sudi!”
“Kau tetap bocah bodoh yang keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau hutang dariku, Kwan Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhu-ku, ini sudah merupakan dosa-dosa, namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja sama. Kedua kalinya, kalau memang sudah mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau harus menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya, masih ingatkah kau betapa dahulu pada saat kita masih sama-sama kecil, kau tidak mampu mengalahkan aku dan suhu-mu berkata bahwa kelak kita harus mengadu kepandaian lagi? Nah, karena sekarang kau berkeras kepala, perkenalkanlah tiga orang sahabatku ini. Mereka adalah Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga Pengemis Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun mereka dapat melihat mulianya cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa seorang manusia semacam engkau berani menolak ajakanku yang baik?”
Bukan main panasnya hati Kwan Cu mendengar ucapan yang sangat menghina serta merendahkannya itu. "Banyak anjing-anjing penjilat yang akan melonjorkan kaki depan ketika melihat orang melemparkan tulang kepadanya, akan tetapi aku tidak termasuk golongan ini, Lu Thong. Sudahlah, aku tidak punya banyak waktu untuk melayani obrolanmu."
Sesudah berkata demikian Kwan Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu. Akan tetapi tiba-tiba tiga orang pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.
“Kalian mau apa?!” bentak Kwan Cu.
Lu Thong memberi isyarat dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab, “Hendak mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!”
Ucapan ini ditutup dengan berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat. Tidak percuma mereka memperoleh julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang mereka benar-benar amat cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan nampak hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti kilat menyambar.
Ini kalau dilihat oleh mata orang lain. Akan tetapi bagi mata Kwan Cu gerakan itu tidak seberapa hebat. Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan serta pengertian tentang pokok dasar segala pergerakan orang dalam bersilat, dia sudah lebih dulu dapat menduga ke mana tiga batang pedang itu hendak menyerangnya!
Oleh karena itu, dia melakukan gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa serangan mereka itu akan disusul dengan gerakan lain, hal ini dapat dia lihat dari pergerakan pundak dan pandangan mata mereka. Maka, sebelum tiga orang itu sempat melanjutkan serangan mereka setelah Kwan Cu mengelak cepat, pemuda ini pun sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan yang dimiringkan ke arah pangkal lengan.
“Plak! Plak! Plak!”
Tiga kali jari-jari tangannya yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan terdengarlah jeritan susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke atas dan ketiga orang Pengemis Sakti Berpedang Kilat itu lalu mengaduh-aduh sambil memegangi pangkal lengan kanan dengan tangan kirinya. Ada pun pedang yang tadi mereka pegang, tentu saja terpental jauh karena tangan mereka mendadak menjadi kaku dengan jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran listrik yang maha kuat!
Untuk sesaat Lu Thong tertegun melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain saat dia sudah melompat dengan senjata pada tangannya. Seperti main sulap saja melihat dia tiba-tiba memegang sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan kedua ujung toya itu berkilauan karena memang ujungnya terbuat dari pada emas.
Bagaimana tiba-tiba saja pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadi tidak kelihatan dia bawa? Ternyata bahwa toya itu dibuat secara istimewa, bersambung-sambung dan dapat di tekuk-tekuk sehingga dapat digulungkan di pinggang, tertutup oleh baju luar.
“Kwan Cu, ternyata selama kau tidak muncul, kau sudah mempunyai kepandaian yang lumayan. Hendak kulihat apakah kau cukup kuat pula menahan seranganku!” bentak Lu Thong sambil mengayun toyanya.
Kwan Cu dapat merasakan angin sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu, tokoh besar selatan yang terkenal sebagai ahli gwakang dan mempunyai tenaga seperti gajah. Menurut penuturan Ang-bin sin-kai dahulu, untuk masa itu, tingkat kepandaian dari Jeng-kin-jiu sudah amat tinggi dan dia merupakan satu-satunya ahli gwakang yang dapat mengatur tenaga sehingga mampu menggunakan tenaga sampai seribu kati kuatnya!
Kwan Cu juga maklum bahwa Lu Thong tentu sudah mewarisi tenaga serta kepandaian suhu-nya, maka dia berlaku sangat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, serta pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya yang dia pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa pulau pohon berdaun putih, dia tahu bagaimana caranya harus menghadapi serangan toya yang bertenaga besar ini. Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari sambaran toya yang datang bertubi-tubi.
Setelah menghadapi toya Lu Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati Kwan Cu karena dia telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya itu. Ia diam-diam merasa kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia tangkap inti sarinya!
Kalau dia mau, dia akan dapat meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia tahu pula bahwa dalam hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu Thong, sedangkan ilmu toya itu harus dilakukan dengan tenaga gwakang, barulah dapat berjalan sempurna.
Maka Kwan Cu segera mencabut sulingnya dan dia mulai melakukan serangan balasan. Dia dapat menghadapi Lu Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas cara lawan bergerak, bahkan dia telah tahu ke mana toya akan menyambar hanya dengan memperhatikan gerak pundak dan paha lawan saja!
Sebaliknya Lu Thong menjadi heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kwan Cu menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini tak akan mengherankan dirinya. Yang membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan Cu mengelak. Sebelum toyanya bergerak menyambar, lawannya itu telah melangkah ke arah yang berlawanan dengan tujuan pukulan toyanya, seolah-olah Kwan Cu sudah tahu lebih dulu bagaian mana yang hendak diserang.
Kemudian Kwan Cu mainkan sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu ini gerakannya benar-benar sama dengan serangan toyanya, hanya bedanya apa bila dia menyerang dengan gwakang untuk menghancurkan kepala atau mematahkan tulang, adalah Kwan Cu mempergunakan sulingnya untuk menotok jalan darah yang berbahaya.
Pertempuran ini benar-benar berat sebelah. Lu Thong segera terdesak hebat dan tidak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan terlebih dulu oleh lawannya yang berbalik menyerangnya, kadang-kadang dengan ilmu silatnya, akan tetapi mendadak diubah lagi dengan ilmu silat lain yang sama sekali tak dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya mulai berkurang, sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.
Lu Thong merasa seluruh tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah toyanya dari pegangan. Kwan Cu cepat-cepat menyusulkan sebuah totokan pula ke arah pundak, kini untuk membebaskan totokan pertama tadi. Dia lalu melompat ke belakang, berdiri tegak dan berkata,
“Lu Thong, melihat muka Kongkong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf dan berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat tinggal!” Sebelum Lu Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah lenyap dari situ.
Lu Thong menarik napas panjang dan membanting tubuhnya di atas bangku. Dia tidak mempedulikan ketiga orang pembantunya yang sedang berdiri dengan muka kesakitan di situ, bahkan lalu memberi isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu meninggalkannya seorang diri.
“Dia benar-benar hebat. Tentu Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya,” pikir Lu Thong penasaran.
Ia tidak menyusahkan keadaan suhu-nya yang terancam oleh Kwan Cu, juga sama sekali tak memikirkan kata-kata Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja. Sayang Kwan Cu yang sakti tak mau membantunya, pikirnya. Bagaimana seorang pemuda yang sudah lemah imannya ini dapat mendengarkan nasehat Kwan Cu?
Sampai berhari-hari Lu Thong masih bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang cantik-cantik tidak mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak, mencari jalan baik…..
*****
Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit tampak melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal dari kompleks bangunan istana yang megah. Tiada seorang pun manusia menyangka bahwa malam hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di atas genteng bangunan itu.
Memang, biar pun penjagaan daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala jaga menyuruh anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang mampu menembus penjagaan sehingga dapat berlari-larian di atas genteng? Penjagaan seluruh pintu istana amat kuat dan daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh dinding yang tebal dan tinggi sekali, apa lagi dijaga oleh penjaga-penjaga yang berdiri pada sepanjang tembok! Seekor burung pun tidak akan dapat lewat tanpa terlihat oleh barisan penjaga.
Akan tetapi, bukan iblis atau dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan seorang manusia biasa. Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang sudah memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga membuatnya menjadi seorang sakti.
Tidak sukar baginya untuk melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang sangat cepat. Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding tembok tanpa terlihat oleh penjaga, karena gerakannya itu luar biasa cepatnya. Mungkin juga ada di antara penjaga yang melihat sosok bayangan berkelebat, akan tetapi tentu dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar oleh lampu penerangan di luar tembok.
Kwan Cu sudah melakukan penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa memang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu beserta tokoh-tokoh lain yang sudah membunuh Ang-bin Sin-kai tidak berada di kota raja. Akan tetapi dia belum mau meninggalkan kota raja.
Pertama, karena dia hendak menyelidiki di dalam istana dahulu, siapa tahu kalau-kalau di antara musuh-musuh besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Kedua, dia ingin menyelidiki karena dia sempat teringat akan ucapan Pangeran An Kong, putera An Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak melakukan perbuatan jahat terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya untuk sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong wanita tadi.
Dahulu dia pernah dibawa oleh suhu-nya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan suhu-nya, mereka langsung menuju ke dapur istana dan tak pernah menyelidiki keadaan istana dari atas genteng. Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul akan letak istana itu. Dia hanya mencari-cari dari atas genteng dan mengintai ke bawah setiap kali dia melihat ada ruangan di bawah genteng.
Di bawah genteng bangunan-bangunan istana yang tinggi itu terdapat langit-langit yang tebal, maka agak sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apa lagi banyak sekali terdapat loteng, karena rumah-rumah di situ sebagian besar bertingkat. Sering kali ia harus menggunakan kakinya untuk bergantung dengan kepala di bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng.
Akan tetapi, dia hanya mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada pula orang-orang yang berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga, agaknya mereka adalah para pengawal istana.
Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar nampak lampu dinyalakan terang. Beberapa orang laki-laki sedang duduk menghadapi meja panjang, seakan-akan orang sedang mengadakan rapat. Tertarik hati Kwan Cu dan dia segera menuju ke bangunan itu.
Ia selalu berlaku amat hati-hati. Maka, ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan gerakan ringan sekali bagai daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini melayang turun, lalu berjalan perlahan menuju ke tempat itu.
Dari balik jendela dia mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar itu dia melihat ada lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan perlahan, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting. Tiga orang di antaranya berpakaian sebagai panglima tinggi, sedangkan yang dua orang adalah hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.
Ketika Kwan Cu melayangkan pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima itu. Orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli hatinya memikirkan betapa dahulu dia pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih tepat lagi gurunya yang mempermainkannya, karena dia memukul panglima ini dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.
Panglima itu masih nampak tegap dan gagah, walau pun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya menunjukkan seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong bahwa An Lu Kui termasuk seorang di antara tiga golongan yang ingin memperebutkan kedudukan raja di tempat itu!
Dia tidak mengenal dua orang panglima yang lainnya itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa mereka pun memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio setengah tua itu dia tidak kenal. Kalau saja dia tidak melihat An Lu Kui di situ, tentu Kwan Cu sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik perhatiannya. Dia ingin mendengar percakapan mereka.
“Apakah Ji-wi Suhu (bapak pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku pada putera mahkota?” terdengar An Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu.
Kwan Cu maklum bahwa yang disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang telah membunuh ayahnya sendiri itu. Karena itu dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Seorang di antara dua hwesio itu menganguk-angguk, “Sudah, Ong-ya.”
Kwan Cu merasa geli mendengar sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan terhadap seorang pangeran muda.
“Apa pendapat beliau?” tanya An Lu Kui.
“Beliau merasa bahwa memang perlu diadakan perundingan ini, sebab harta yang dibawa oleh Menteri Lu Pin itu memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan.”
Mendengar jawaban hwesio itu, berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang kongkong-nya, Lu Pin, untung tadi dia mendengarkan ucapan ini.
“Dan beliau memberi kekuasaan penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?” tanya An Lu Kui.
Hwesio itu mengangguk. “Itulah sebabnya maka beliau sengaja mengutus pinceng (saya) berdua untuk merundingkan soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima Si).”
“Bagus,” kata An Lu Kui. “Memang dalam menghadapi para pemberontak yang semakin kuat serta dalam mengatur rencana untuk mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan mengerahkan seluruh tenaga. Herannya, kenapa sampai sekarang Panglima Si Su Beng tidak datang?”
“Pinto (aku, sebutan pendeta To) datang!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh.
Diam-diam Kwan Cu terkejut. Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan sekaligus mengirimkan jawaban, tentu saja adalah seseorang berkepandaian tinggi yang mahir menggunakan Ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka pemuda ini cepat menyelinap dan bersembunyi di tempat yang gelap.
Tidak lama kemudian, menyambar angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To) setengah tua yang berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam dan memandang di sekelilingnya, kemudian dia berkata kepada semua yang berada di dalam ruangan.
“Kalian amat sembrono, membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih dulu kalau-kalau ada orang lain ikut mendengar!” Setelah berkata demikian, tubuh tosu ini berkelebat ke atas genteng agaknya untuk menyelidiki apakah betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi.
Kwan Cu semakin terkejut dan cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di dalam gelap. Ia mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.
“Dia itulah orang baru dari Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai sekali!”
Tak lama kemudian, kembali bayangan tosu itu melayang turun dan berkata,
“Keadaan aman, tidak seekor burung pun pinto lihat di atas genteng!”
An Lu Kui tertawa bergelak. “Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang berani mati melakukan pengintaian? Mari Totiang, silakan duduk. Karena Totiang belum lama datang, agaknya belum kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini adalah Mo Beng Hosiang yang berjulukan San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) dan Mo Keng Hosiang yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu, inilah pembantu sekalian penasehat, dan juga guru dari Panglima Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara).”
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk dan membalas penghormatan kedua orang hwesio itu.
“Hmm, hemm, apakah bukan Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang tersohor? Bagus, bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut apa lagi?”
Pujian ini sekaligus merupakan ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, karena itu biar pun dia sudah mendengar nama besar Kiam Ki Sianjin, dia pura-pura bertanya,
“Pinceng (saya) sudah mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang namanya menggegerkan dunia, tak tahu masih ada hubungan apakah dengan Toyu (Sahabat)?”
Wajah Kiam Ki Sianjin merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan ketidak senangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Adat Kiam Ki Sianjin ini memang sombong. Dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang dianggapnya mengembari namanya.
Mereka berdua, kedua tokoh yang memakai julukan Dewa Utara ini, kemudian bertempur hebat. Sesudah hampir satu harian mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin terpaksa meninggalkan lawannya yang ternyata amat lihai dan yang tidak mampu dirobohkan itu. Semenjak itu dia merasa benci sekali kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Maka kini mendengar ucapan Mo Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio gundul ini sudah mendengar akan pertempuran itu.
Suara ketawa dari Kiam Ki Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar meringkik. Akan tetapi tenaga khikang yang terkandung di dalam suara itu seakan-akan menggetarkan tiang-tiang ruangan itu.
“Gunung dan bukit biar pun sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular biar pun berbentuk serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa disamakan dengan pinto?” Jawabannya ini sudah menyatakan alangkah sombongnya tosu ini yang menganggap diri sendiri seakan-akan gunung dan Pak-lo-sian hanyalah bukit, atau yang mengumpamakan diri sendiri naga sedangkan Pak-lo-sian hanya ular biasa!
Sebagaimana sudah dituturkan oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, di antara mereka ini memang terdapat persaingan. Bu-eng Siang-hiap bersama dua orang hwesio gundul itu adalah pengikut setia dari pangeran mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang paling berkuasa, ada pun Kiam Ki Sianjin adalah guru dari pemberontak Si Su Beng yang sudah lama mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan.
Tentu saja di dalam hati mereka satu terhadap yang lain sudah ada perasaan dendam dan permusuhan. Sekarang hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, mereka bersedia datang berkumpul untuk merundingkan cara untuk menghancurkan rakyat yang memberontak di sana-sini dan untuk mencari Menteri Lu Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri itu. Tak mengherankan apa bila di dalam percakapan mereka terdengar ucapan-ucapan yang menyindir dan saling memandang rendah.
Mendengar ucapan Kiam Ki Sianjin yang menyombongkan diri, Mo Beng Hosiang yang berwatak keras menjadi tak senang.
“Memang nama besar Pak-lo-sian menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat laksana naga!” katanya sambil memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang.
Terang sekali bahwa ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki Sianjin karena kedudukan tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan naga melainkan seperti bukit dan ular!
Melihat suasana sudah mulai panas di antara dua orang kepercayaan dari dua golongan itu, diam-diam An Lu Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja dia suka sekali melihat perpecahan antara dua wakil golongan saingannya itu. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dua orang itu akan bertempur.
Pada masa itu, dia justru membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk mencapai cita-citanya, yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, dan kedua untuk mencari Lu Pin dan harta pusaka kerajaan. Setelah dua hal ini tercapai dan beres, baru dia akan mencari jalan untuk menggulingkan kedudukan dua golongan saingannya itu. Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui benar-benar cerdik sekali.
Ia melompat di antara kedua orang itu dan menjura sambil berkata,
“Pada waktu rumah tangga aman dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua saudara harus bersatu padu memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik sekali kita ingat selalu. Oleh karena itu, harap Ji-wi suka bersabar dan mengingat bahwa kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan hal-hal yang amat penting demi keselamatan negara.”
An Lu Kui masih merupakan orang yang sangat berpengaruh karena dia adalah paman dari putera mahkota. Maka Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki Sianjin.
“Kiam Ki Toyu harap sudi memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang tepat.”
Kiam Ki Sianjin lalu berkata sambil tertawa. “Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum mengenal pinto dengan baik, tentu masih belum percaya.”
Suasana damai dan persahabatan dapat cepat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan kecerdikan An Lu Kui. Semua orang lalu duduk menghadapi meja panjang.
“Ang-ciangkun dipersilakan untuk menguraikan rencananya,” kata Kiam Ki Sianjin.
Dia menggunakan ujung lengan bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir hawa panas. Padahal malam hari itu udara sangat dingin. Tosu yang sombong ini masih saja ingin mendemonstrasikan kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan menunjukkan bahwa dia bukanlah ‘orang biasa’!
Melihat sikap tosu ini, diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini bersikap ketolol-tololan, akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat menduga bahwa memang tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
“Menurut hasil penyelidikan mata-mata kita,” An Lu Kui mulai bicara, “pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para petani kini makin merajalela. Semua ini adalah karena pimpinan dan dorongan dari orang-orang di dunia kang-ouw yang masih bersetia kepada pemerintah Tang yang sudah kita hancurkan. Akan tetapi, walau pun mendapat pimpinan orang-orang pandai, agaknya mereka itu tidak akan banyak berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang membiayai segala keperluan mereka. Mereka terdiri dari petani-petani miskin dan untuk mencukupi keperluan mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan. Kemudian mata-mata kita mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih setia kepada Kerajaan Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu ditutup oleh sumber uang yang sangat besar, yakni bukan lain dari bekas Menteri Lu Pin sendiri!”
“Ahh, tentu harta pusaka kerajaan itu yang dipergunakannya!” teriak Kiam Ki Sianjin.
“Memang! Anjing Lu Pin itu sudah menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk membiayai pemberontakan,” kata An Lu Kui marah.
“Keparat jahanam!” Mo Beng Hosiang turut memaki. “Kalau begitu berarti bahwa semua pemberontakan rakyat itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang keladinya.”
An Lu Kui mengangguk-angguk. “Begitulah kiranya. Memang, semenjak dulu pun sudah diketahui oleh semua orang bahwa Menteri Lu Pin merupakan menteri yang paling setia terhadap Kerajaan Tang. Seluruh keluarganya sudah binasa dalam membela Kerajaan Tang dan sampai sekarang pun ia masih ingin menegakkan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, kurasa untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang paling baik adalah mencari sampai dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan dan harta pusaka Kerajaan Tang bisa dirampas, kiraku tanpa dipukul, para pemberontak itu dengan sendirinya akan mengundurkan diri.”
“Akan tetapi, di manakah kita bisa mendapatkan anjing she Lu itu?” bertanya Mo Keng Hosiang atau Si Ruyung Pemecah Gunung.
“Benar, di mana kita bisa mencari dia? Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencari dia dengan sia-sia. Agaknya dia sudah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan pemberontak.” Kata Mo Beng Hosiang.
“Tadinya aku pun mengira bahwa anjing she Lu itu sudah mampus,” An Lu Kui berkata, “akan tetapi baru-baru ini aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia tengah bersembunyi di dalam sebuah goa dan dari sanalah dia mengatur serta merencanakan semua pemberontakan para petani.”
Mendengar ini, tidak saja kedua hwesio serta Kiam Ki Sianjin menjadi sangat tertarik, bahkan Kwan Cu yang mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini berdebar keras dan baru sekaranglah terbuka matanya betapa gagah dan mulia adanya kongkong angkatnya, Menteri Lu Pin.
Ketika dia mendengar dari sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan kongkong angkatnya itu. Akan tetapi, selama ini pikirannya dipenuhi oleh keadaan suhu-nya yang meninggal dunia dikeroyok orang, maka hal menteri setia itu hampir tidak dia pikirkan lagi.
Akan tetapi sekarang, mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa sangat kagum terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri yang sudah tua sampai terlunta-lunta, dikejar-kejar, namun menteri tua yang amat setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!
“Kongkong benar-benar luar biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya,” kata Kwan Cu di dalam hati dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu di mana tempat persembunyian kakek angkatnya itu.
“Di goa manakah dia bersembunyi?” teredengar Kiam Ki Sianjin bertanya.
Suara tosu ini tinggi dan mengandung penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam istana itu yang tidak menjadi gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu Pin telah diketemukan? Bukan dikarenakan mereka terlalu membenci menteri ini, akan tetapi semata-mata karena menteri itu membawa harta pusaka kerajaan!
Inilah yang merupakan daya penarik luar biasa. Selain harta yang dibawa Menteri Lu Pin, harta yang terdapat di dalam istana itu sudah menjadi rebutan dan sebentar saja sudah habis. Sekarang semua hati dan mata yang selalu membayangkan harta dunia, ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh Menteri Lu Pin.
“Inilah yang masih harus diselidiki,” An Lu Kui menjawab sambil mengeluarkan segulung kertas. “Menurut penyelidikan, dia bersembunyi dalam sebuah goa rahasia yang terdapat di Bukit Tengkorak Raksasa. Akan tetapi di dalam peta tak terdapat bukit yang bernama demikian dan nama ini pun baru-baru ini saja muncul menjadi sebutan orang. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan mata-mata, bukit ini adanya di antara Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak jauh dari lembah Sungai Fen-ho yang mengalir di situ.”
An Lu Kui lalu membuka gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat dengan penuh perhatian.
“Pembantuku ini, Cang-ciangkun, sudah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau jelaskan lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu,” An Lu Kui berkata kepada seorang di antara dua orang panglima yang semenjak tadi tidak ikut bicara.
Panglima perang yang di sebut Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, berwajah kereng dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih dekat ke meja, lalu menunjuk ke arah peta itu dengan telunjuknya.
“Pasukan penyelidik yang kupimpin sudah sampai di bagian ini. Di sepanjang jalan kami mencari keterangan dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa daerah ini dahulu sering didatangi oleh seorang pengemis tua yang aneh.”
“Ang-bin Sin-kai...,” kata Kiam Ki Sianjin perlahan.
An Lu Kui mengangguk membenarkan.
“Kemudian kami tiba di lembah Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa rahasia di Bukit Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani yang kami paksa, daerah ini sering kali didatangi oleh orang-orang yang kelihatannya gagah dan membawa-bawa pedang dan tombak. Biar pun tak seorang pun yang pernah mendatangi Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun agaknya yang suka datang itu adalah para pemimpin pemberontak, sebab setelah mereka pergi lagi, menurut petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan yang kelihatannya berat.”
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk. “Sangat boleh jadi...”
Akan tetapi tiba-tiba dia menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah jendela. Memang pada waktu itu, Kwan Cu sangat memperhatikan dan ingin sekali dia juga dapat melihat peta di atas meja itu. Maka saking tertariknya, dia melakukan gerakan yang menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit suara ini ternyata sudah dapat ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat tajam.
Ketika Kiam Ki Sianjin melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan Monyet Tua Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan sebelum Kiam Ki Sianjin masuk kembali, pemuda ini telah mendahului masuk dari pintu depan. Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu, disambut oleh An Lu Kui dan kawan-kawannya dengan mata terbelalak.
“Siapa... kau...…?” An Lu Kui bertanya.
Maksudnya hendak membentak marah, akan tetapi melihat cara pemuda itu yang masuk begitu saja tanpa mereka ketahui, membuat dia sangat terheran-heran dan gugup. Apa lagi ketika dia mengajukan pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah mereka!