PENDEKAR SAKTI
Karya Kho Ping Hoo
JILID 35
PEMUDA ini sekarang sudah memandangnya kembali dan sambil tersenyum, Kwan Cu lagi-lagi tidak mengelak, hanya mengeluarkan seruan kaget. "Ayaaa...! Kau galak sekali!"
Dan kembali terjadi keanehan. Mata golok yang sudah menyambar dekat dengan leher, tiba-tiba menyeleweng dan bahkan membalik hendak menyerang pundaknya sendiri!
"Ilmu siluman...!" beberapa orang berbisik.
Akan tetapi hanya Yok-ong, Pak-lo-sian, Kiu-bwe Coa-li, Kiam Ki Sianjin beserta Hek-i Hui-mo saja yang setengah dapat menduga akan tetapi mereka masih sangsi mengenai semacam ilmu sinkang (tenaga dalam yang sakti) yang pernah mereka dengar namun belum pernah mereka saksikan, yakni tentang lweekang yang dapat disalurkan melalui suara sehingga dengan bentakan-bentakan saja orang yang mempunyai kepandaian ini dapat merobohkan lawan atau menangkis pukulan!
Benar-benarkah pemuda ini dapat memiliki kepandaian seperti itu? Hanya seorang yang sudah yakin, yakni Yok-ong. Dia menduga bahwa pemuda yang dia kenal sebagai Kwan Cu adanya itu, tentu telah mewarisi kepandaian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kalau hal ini betul, maka tidak heran kalau Kwan Cu memiliki sinkang sehebat itu.
Siok Tek Tojin masih penasaran dan hendak menerjang lagi akan tetapi tiba-tiba saja Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai melompat maju dan menahannya.
"Siok Tek Toyu biarkan pemuda itu melanjutkan dongengannya agar supaya kita dapat mendengar baik-baik." Ketua Kim-san-pai ini menahan sambil memegang lengannya.
Siok Tek Tojin langsung merasa lengannya lumpuh dan menggigil ketika terpegang oleh ketua Kim-san-pai ini, maka tahulah dia bahwa pencegahan itu bukan main-main. Ia lalu menjura dan mengundurkan diri.
Kwan Cu tertawa. "Tentu Cu-wi Locianpwe ingin sekali mendengar siapa orangnya yang berjubah hitam dan yang sebenarnya merupakan pembunuh tulen dari Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu. Sebelum boanpwe menyebutkan namanya, baiklah boanpwe lebih dahulu melanjutkan dongeng ini. Siok Tek Tojin yang sudah bersekongkol, lalu pura-pura menolong dua orang pendeta yang sudah hampir tewas itu, menceritakan bahwa dia pun diserang oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Karena dua orang pendeta itu memang mendengar percakapan antara Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian di luar jendela yang tentu sudah diatur pula oleh si jubah hitam dan Siok Tek Tojin, maka mereka percaya penuh dan tidak ragu-ragu membuat sehelai surat yang ditujukan kepada fihak Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tentu saja mereka menulis bahwa mereka terbunuh oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian!"
Kiam Ki Sianjin membentak, "Orang muda, jangan kau sembarangan bicara! Bagaimana kau berani mengacaukan urusan ini? Sudah ada bukti surat dan saksinya Siok Tek Tosu bahwa Kiu-bwe Coa-li berdua Pak-lo-sian membunuh Ji-wi Beng-yu dari Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Bagaimana kau dapat mengarang cerita busuk tanpa bukti-bukti?"
"Bukti? Locianpwe menghendaki bukti? Belum selesai ceritaku! Setelah si jubah hitam itu lari di malam gelap, dia bertemu dengan seorang yang berhasil mencuri sedikit kain dari jubahnya. Inilah sobekan kain itu!"
Kwan Cu mengeluarkan kain yang dahulu dia ambil dari jubah Coa-tok Lo-ong, kemudian kembali berkata lagi sambil tersenyum sindir, "Orang berjubah hitam itu sekarang hadir di sini! Tanyakan padanya apakah ini bukan kain dari jubahnya! Dan bukti ke dua, ketika dia mengeluarkan asap obat bius di kelenteng itu sama benar dengan obat bius yang tadi merobohkan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, kedua Locianpwe yang mulia. Nah, dialah orangnya yang telah membunuh dua orang tokoh Kim-san-pai dan Bu-tong-pai kemudian menggunakan nama kedua orang Locianpwe itu dengan maksud mengadu domba!"
Baru saja ucapan ini habis dikatakan, Coa-tok Lo-ong mengeluarkan seruan keras, "Jadi kaukah orang muda yang kurang ajar itu?" Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan asap hitam mengebul di dekat Kwan Cu.
"Para Locianpwe, awas!"
Dengan cepat sekali Kwan Cu mendorong tubuh Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu. Dua orang ketua itu segera terpental dan bergulingan sampai lima tombak lebih. Mereka mengalami kekagetan hebat, akan tetapi mereka selamat, terbebas dari pengaruh asap hitam yang jahat. Ada pun Yok-ong yang melihat ini, cepat membagi-bagi pil penawar racun di antara Pak-lo-sian sekawanannya sehingga mereka tak usah takut menghadapi serangan asap itu.
Kwan Cu sendiri segera menahan napas, kemudian meniupkan hawa murni dari tenaga sinkangnya sehingga dia tidak sampai mengisap asap, dan di samping itu, dia pun lalu menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut sehingga seluruh bagian tubuhnya mengebulkan uap putih yang menolak asap hitam ini.
Cepat Kwan Cu melompat dan tahu-tahu sudah berada di depan Coa-tok Lo-ong. "Kau sudah mengaku sendiri? Bagus!" bentak pemuda ini.
Coa-tok Lo-ong marah luar biasa, cepat dia lalu memukul dengan tangannya. Ia merasa menyesal sekali kenapa ular hidupnya sudah mati diremas oleh Jeng-kin-jiu tadi. Dengan mati-matian dia lalu menyerang Kwan Cu dengan tangan kosong.
Akan tetapi tentu saja Kwan Cu tak mau memberi kesempatan lagi. Ia mainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang lihai itu dan dalam beberapa jurus saja, sebuah pukulan tangan kiri Kwan Cu tanpa mengenai kulit dadanya telah membikin Coa-tok Lo-ong terlempar dalam keadaan pingsan! Kwan Cu melompat dan menangkap lehernya, lalu melontarkan tubuh penjahat itu ke arah Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu.
"Ji-wi Locianpwe, inilah pembunuh dari orang-orangmu!"
Bin Kong Siansu dan Bian Kim Hosiang kini tidak ragu-ragu lagi. Cepat sekali keduanya bergerak, dan dalam sekejap mata saja tubuh Coa-tok Lo-ong menjadi sasaran senjata mereka hingga tewas pada saat itu juga!
Hek-i Hui-mo menggereng keras melihat sute-nya tewas dan ia lantas menyerang kedua ciangbunjin ini. Karena marahnya, Hek-i Hui-mo segera menggerakkan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan kebutannya, yang satu menyerang Bian Kim Hosiang, yang ke dua menyerang Bin Kong Siansu.
Kedua orang ciangbunjin ini adalah tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi, maka tentu saja mereka cepat menangkis. Akan tetapi tangkisan mereka membuat keduanya terjengkang. Demikian hebat dan luar biasa tenaga dari Hek-i Hui-mo!
Hek-i Hui-mo membentak, "Kalian membunuh sute-ku, harus membayar kembali dengan nyawa!"
Akan tetapi mendadak ada angin besar yang datang dari pukulan luar biasa, menahan sepasang senjata yang hendak membunuh kedua ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai ini. Pukulan ini datangnya dari Kwan Cu yang sudah menghadang di depannya.
"Hek-i Hui-mo, kau masih ada perhitungan denganku!" kata Kwan Cu.
Hek-i Hui-mo marah sekali. Ingin dia sekali serang menghancurkan kepala pemuda yang sudah membuka rahasia sute-nya, bahkan yang sudah merobohkan sute-nya sehingga sute-nya itu tewas di dalam tangan kedua ciangbunjin dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Akan tetapi dia pun ingin sekali tahu siapa adanya pemuda muka merah yang aneh ini.
"Kau siapakah? Mengapa memusuhi kami?"
"Dengarlah dulu aku mendongeng!" kata Kwan Cu dengan suara keras hingga terdengar oleh banyak orang. "Hek-i Hui-mo ini semenjak dahulu terkenal sebagai seorang pendeta Tibet yang selalu menimbulkan kekacauan. Di Tibet sendiri dia telah mengacau agama di sana, bahkan mendirikan golongan yang disebut Golongan Jubah Hitam, dibantu oleh sute-nya Coa-tok Lo-ong yang jahat. Dahulu pernah dia mengancam jiwa seorang anak kecil untuk memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kemudian dia pernah pula menawan pujangga besar Tu Fu untuk dipaksanya membaca kitab kuno Im-yang Bu-tek Cin-keng. Baiknya kitab itu palsu, sama palsunya dengan hatinya sendiri. Kemudian, sebagai anjing penjilat pemberontak she An, bersama-sama Jeng-kin-jiu dan Toat-beng Hui-houw, dia membunuh pendekar besar Ang-bin Sin-kai secara curang."
"Dia itu murid Ang-bin Sin-kai! Dia Lu Kwan Cu !" tiba-tiba Kiam Ki Sianjin berseru keras dan kaget.
Memang pada saat tadi Kwan Cu memainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan tubuhnya mengebulkan uap putih, Kiam Ki Sianjin sudah curiga. Kini mendengar omongan Kwan Cu, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini tentulah Kwan Cu adanya!
Mendengar ini, Kwan Cu tersenyum. Dia merogoh saku dan mengeluarkan seguci kecil arak yang tadi memang telah dia terima dari Yok-ong. Dituangnya arak ini di tangan, lalu dibuat mencuci mukanya yang sebentar saja berubah, tak lagi kemerahan seperti udang direbus, melainkan menjadi muka seorang pemuda yang tampan dan gagah.
"Memang aku Lu Kwan Cu, datang untuk membalas dendam!" katanya.
"Kwan Cu...!" terdengar teriakan kaget dan ini adalah suara Sui Ceng.
Gadis ini menjadi bengong dan tanpa terasa lagi matanya basah oleh air mata. Hatinya tidak karuan rasanya. Tidak disangka-sangkanya bahwa Kwan Cu-lah pemuda itu, tidak dinyana-nyana bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Dan dia pernah memandang rendah kepada Kwan Cu, dan... dan Kwan Cu pernah menyatakan cinta kasih hatinya secara terang-terangan!
Teringatlah Sui Ceng akan pengalaman yang sudah-sudah dan tahulah dia bahwa ketika mereka ditawan oleh bajak sungai, Kwan Cu sengaja berlaku ketolol-tololan. Tak terasa lagi merahlah mukanya dan hatinya berdebar tidak karuan.
Hek-i Hui-mo menjadi pucat, akan tetapi dia tidak dapat menyembunyikan keheranannya. Jadi bocah gundul yang dulu menjadi permainan para tokoh besar itu, sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya? Dia mengeluarkan seruan keras dan kedua senjatanya cepat menyerang Kwan Cu.
Kali ini Kwan Cu tidak mau main-main lagi. Sekali tangannya bergerak cepat, tercabutlah Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin. Dengan pedang ini dia bersumpah hendak membalas dendam.
Jeng-kin-jiu sudah tewas oleh bekas kawan-kawannya sendiri dan hal ini menggirangkan hatinya, karena Kwan Cu memang menaruh hati sayang terhadap hwesio itu. Dia girang karena pada akhir hidupnya, Jeng-kin-jiu membuktikan bahwa sesungguhnya ia memiliki dasar watak yang gagah perkasa dan baik.
Toat-beng Hui-houw sudah tewas di tangan Sui Ceng, hal ini pun menyenangkan hatinya karena memang gadis itu lebih berhak membalaskan sakit hati ibunya. Sekarang musuh besar gurunya tinggal Hek-i Hui-mo. Maka, sesudah mencabut pedangnya dia lalu mainkan ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat sambil mulutnya berbisik,
"Suhu, dengan ilmu pedang Suhu, teecu akan membalaskan sakit hati suhu! Saksikanlah dari tempat istirahatmu, Suhu!"
Tentu saja Hek-i Hui-mo sudah tahu dan kenal akan ilmu pedang peninggalan Ang-bin Sin-kai ini, maka dia memandang rendah. Betul bahwa tingkat kepandaiannya dahulu setingkat dengan Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah pemuda itu mainkan pedangnya, dia kaget setengah mati. Baru beberapa gebrakan saja, sinar pedang Liong-coan-kiam sudah berhasil membabat putus sebagian dari rambut kebutannya.
Bukan main! Meski pun ilmu pedang ini tidak ada bedanya dengan yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai, akan tetapi gerakannya jauh berlainan. Gerakan ilmu pedang di tangan pemuda ini jauh lebih cepat dan kuat, berlipat ganda kuatnya sehingga biar pun Hek-i Hui-mo sudah mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tangannya tergetar setiap kali tongkatnya terbentur oleh pedang itu yang cepatnya bukan main sehingga beberapa kali hampir saja Hek-i Hui-mo terlambat mengelak atau menangkis!
"Eh, eh, ehh, kiranya kau benar-benar Hang-houw-siauw Yok-ong!" terdengar Pak-lo-sian berseru dan tertawa bergelak.
Mendengar ini, Kiam Ki Sianjin cepat menengok dan ternyata bahwa kakek muka hitam yang amat lihai dan yang tadi mengalahkan Kiam Ki Sianjin dalam mengadu lweekang, sekarang seperti Kwan Cu telah mencuci bersih mukanya dan dia itu bukan lain adalah Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Tabib!
Gentarlah hati Kiam Ki Sianjin melihat ini. Pemuda itu saja sudah amat lihai dan sukar dikalahkan, sekarang di fihak musuh ada pula Yok-ong, maka kalau pertempuran tetap dilakukan seorang melawan seorang, fihaknya tentu akan kalah.
Apa lagi pada saat itu dia melihat Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu tengah berlari menghampiri Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Kiu-bwe Coa-li. Dua orang ciangbunjin ini lalu berkata dengan muka merah,
"Kami berdua yang bermata buta dan bertelinga tuli telah salah sangka, mendakwa Ji-wi yang putih bersih sehingga kami patut dihukum mampus."
"Ah, tidak apa, Ji-wi Bengyu. Kalian menjadi korban tipu muslihat dari para penjilat," kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Akan tetap Kiu-bwe Coa-Li mengejek, "Sungguh memualkan perut, dua ciangbunjin yang bernama besar ternyata masih mudah saja diberi makan tai oleh anjing-anjing itu!"
Mendengar ini, dua orang tua ini menjadi pucat dan kemudian, makin merah wajahnya. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Semua anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai melihat ini, beramai-ramai lalu datang dan ikut berlutut pula!
"Kami orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, bersedia menerima binasa untuk dapat menebus dosa!" kata kedua orang ketua ini.
Melihat ini, Kiu-bwe Coa-li merasa terharu. "Ji-wi jangan seperti anak kecil. Orang-orang yang berdosa adalah penjilat-penjilat penjajah, mereka berada di depan kita dan secara terang-terangan mereka memusuhi kita. Mengapa tidak lekas-lekas memukul mereka?"
Serentak orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai bangkit berdiri dan memandang pada Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya dengan mata penuh kemarahan. Melihat ini, Kiam Ki Sianjin lalu mengeluarkan sebuah terompet dari tanduk dan meniupnya keras sekali. Itulah tanda bagi semua tentara yang memasang baihok (barisan sembunyi) untuk mulai bergerak!
Maka keluarlah barisan yang mengepung bukit itu dari segenap jurusan. Dengan senjata di tangan mereka berbaris rapi dan mulai menyerbu ke atas. Kiam Ki Sianjin dibantu oleh kawan-kawannya juga segera mencabut senjata dan turut menyerbu!
Kwan Cu masih bertempur ramai dengan Hek-i Hui-mo. Melihat hal ini dia lalu berseru,
"Yok-ong Locianpwe, harap jangan melawan dan segera menyelamatkan kawan-kawan berlari lebih dulu. Biar teecu yang menahan mereka!"
Begitu ucapan ini habis dikeluarkan, dia lalu menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali dan tangan kirinya juga mainkan Pek-in Hoat-sut dengan jurus-jurus yang paling berbahaya.
Mana Hek-i Hui-mo kuat menahan serangan dari seorang yang sudah mengisap semua pelajaran tinggi dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Tenaga yang digunakan oleh Kwan Cu pada saat itu adalah tenaga sepenuhnya, maka terdengarlah suara keras. Tongkat Kepala Naga putus oleh pedang Liong-coan-kiam yang terus menyabet hingga pinggang Hek-i Hui-mo terbabat putus menjadi dua!
Kemudian Kwan Cu mengamuk hebat. Pertama-tama yang diserbunya adalah Kiam Ki Sianjin karena di antara semua lawan, yang terberat adalah kakek ini. Kiam Ki Sianjin dibantu oleh banyak kawannya lalu mengurung Kwan Cu dan sebagian pula menyerbu kepada Yok-ong dan kawan-kawannya.
Akan tetapi, Yok-ong cepat memberi tanda kepada Pak-lo-sian dan yang lain-lain untuk mengikuti dia mundur. Sambil mundur, mereka ini tidak tinggal diam saja.
Yok-ong menggunakan kaki dan tangannya merobohkan setiap orang yang berani dekat. Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil tertawa terbahak-bahak menggunakan kedua kakinya. Biar pun kedua tangannya tak dapat digerakkan, namun sepasang kakinya berpesta-pora dan menendang para pengeroyok. Siapa pun juga yang kena tendangannya pasti lantas terpental jauh untuk bangun di depan Giam-lo-ong (Raja Maut)! Demikian pula Kiu-bwe Coa-li yang mengamuk dengan sepasang kakinya.
Seng Thian Siansu yang sudah tua dan remuk tangan kanannya, hanya menggunakan tangan kirinya menangkap-nangkapi para pengeroyok dan melempar-lemparkan mereka. Sedangkan Sui Ceng, Kun Beng dan Swi Kiat juga mengamuk hebat membabati para tentara yang tentu saja bukan menjadi lawan mereka yang seimbang. Dua orang murid Kun-lun-pai juga mengamuk, demikian pula Bian Kim Hosiang, Bin Kong Siansu, beserta para murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
Akan tetapi jumlah tentara yang naik banyak sekali sehingga apa bila pertempuran itu diteruskan, tenaga mereka pasti akan kalah juga.
"Lari, ikut padaku!" kata Yok-ong.
Raja Tabib ini lalu membawa semua kawannya menuju ke jalan rahasia yang tadi pernah dia perlihatkan kepada Kwan Cu. Karena mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan ilmu lari cepat, apa lagi para tentara juga gentar menghadapi mereka, sebentar saja Yok-ong sudah dapat membawa mereka memasuki goa dan melarikan diri melalui jalan terowongan di bawah tanah.
Kwan Cu masih mengamuk hebat. Tidak terbilang banyaknya orang yang roboh di bawah amukan pedangnya. Lama-lama dia merasa tidak tega melihat banyaknya orang tewas. Entah sudah berapa puluh musuh yang binasa, mayat mereka bertumpuk-tumpuk dan bergelimpangan. Darah membanjir membuat hatinya ngeri. Akan tetapi dia tidak sempat merobohkan Kiam Ki Sianjin yang amat kosen.
"Untuk apa membunuhi orang-orang yang hanya menjadi alat?" pikirnya, maka dia mulai mundur. Akan tetapi, di mana-mana dia terkurung oleh tentara yang banyaknya seperti semut itu.
Di bawah hujan senjata yang luar biasa banyaknya itu, mendadak meluncur anak-anak panah yang cepat sekali datangnya. Kwan Cu salah hitung.
Dia mengira bahwa semua panah itu datang dari tentara biasa yang memang semenjak tadi kalau ada kesempatan lalu menghujankan anak panah mereka. Akan tetapi semua anak panah itu dengan hanya sekali sampok saja dengan tangan kirinya, sudah runtuh berhamburan.
Kali ini, dia pun menggunakan tangan kirinya menyampok. Namun alangkah terkejutnya ketika dia merasa kulit lengan kirinya sakit dan berdarah, tanda bahwa yang melepaskan adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar.
Lebih kaget lagi ketika anak-anak panah seperti itu makin gencar datangnya. Pada saat Kwan Cu melihat ke arah pelepas anak-anak panah itu, dia melihat bahwa pelepas anak panah itu adalah Kiam Ki Sianjin dan Kam Cun Hong, perwira tinggi kepercayaan Si Su Beng. Memang dalam hal ilmu silat, kepandaian panglima she Kam ini tidak terlalu hebat, akan tetapi dalam ilmu memanah, dia ahli dan lihai sekali.
Kwan Cu sibuk menangkis, akan tetapi tetap saja ada sebatang anak panah meleset dari lengannya dan menancap di dadanya sebelah kiri dekat pundaknya! Baiknya tubuhnya telah terisi oleh sinkang yang luar biasa, maka dia masih keburu menolak anak panah itu sehingga menancap tidak sampai menembusi dagingnya dan tak melukai anggota tubuh sebelah dalam.
Namun, ini sudah cukup mengejutkan Kwan Cu yang cepat melompat dan menggunakan ilmu ginkang-nya. Dia melompati kepala para pengeroyoknya dan sebentar saja dia telah lenyap!
Kiam Ki Sianjin memimpin teman-teman dan anak-anak buahnya melakukan pengejaran, namun pemuda itu tidak kelihatan lagi karena dia telah masuk ke dalam jalan terowongan di bawah tanah, mengejar rombongan Yok-ong yang sudah lari terlebih dulu.
Dengan amat berang dan kecewa, Kiam Ki Sianjin mengobrak-abrik hutan, membakari alang-alang, dan akhirnya menjelang senja dia menarik mundur pasukannya dan kembali ke kota raja dengan hati penasaran, kecewa, dan juga gentar.
Yok-ong berhasil membawa rombongannya keluar dari kurungan tentara kerajaan dan mereka muncul di dalam sebuah hutan yang besar di sebelah kiri Bukit Tai-hang-san, sebelah selatan kota Tai-goan. Setelah menghaturkan terima kasih, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu memimpin anak murid masing-masing untuk pulang ke Bu-tong-san dan Kim-san.
Ada pun Yok-ong, Pak-lo-sian, Kiu-bwe Coa-li, Bun Sui Ceng, The Kun Beng, dan Gouw Swi Kiat masih menanti di situ dengan hati gelisah karena Kwan Cu belum juga muncul. Setelah menanti beberapa lama, Seng Thian Siansu bersama dua orang muridnya juga berangkat, dan menerima obat dari Yok-ong.
Seng Thian Siansu merasa amat terharu dan berterima kasih sekali, lalu pulanglah dia ke Kun-lun-san. Tiga orang ketua partai besar ini berjanji akan mendidik anak-anak murid mereka, karena negara membutuhkan orang-orang gagah untuk menghadapi keganasan penjajah.
Di antara mereka yang menunggu munculnya Kwan Cu, yang kelihatan gelisah sekali adalah Yok-ong karena kakek ini merasa suka sekali terhadap Kwan Cu. Akan tetapi sebenarnya, hati Sui Ceng lebih gelisah dari pada Yok-ong, cuma saja gadis ini tentu saja menyembunyikan perasaannya.
Mereka menanti munculnya Kwan Cu sambil tiada hentinya memuji dan membicarakan murid Ang-bin Sin-kai itu. Tahulah mereka semua bahwa pemuda itu tentu telah mewarisi ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Tak lama kemudian, muncullah Kwan Cu dari goa itu.
"Kwan Cu... kau terluka...?" Sui Ceng berseru lebih dulu tanpa dapat menahan mulutnya ketika melihat baju pemuda itu penuh darah dan sebatang anak panah menancap pada dada kirinya. Juga Yok-ong menghampiri dan hendak memeriksa lukanya.
Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepalanya.
"Tidak apa... tidak apa, hanya luka sedikit. Biarlah sementara waktu anak panah ini tidak dicabut dulu."
Ucapan ini cukup memberi tahukan bahwa anak panah itu mengandung racun. Memang, jika dicabut maka racun yang berada di ujung anak panah akan lebih lekas menjalarnya dan berbahaya sekali, akan tetapi kalau dibiarkan dulu dan dengan pengerahan tenaga lweekang, racun itu tidak mudah menjalar.
Yok-ong merasa heran mengapa pemuda itu belum mau diobati. Akan tetapi Kwan Cu tidak mengacuhkan lukanya, bahkan lalu berkata,
"Aku telah khawatir sekali jika Cu-wi telah pergi dari sini. Aku ingin sekali menyampaikan sesuatu mengenai diri Sui Ceng."
Semua orang melongo. Sui Ceng menjadi merah mukanya dan Kun Beng memandang dengan rasa cemburu.
"Apa kehendakmu mengenai diri muridku?" Kiu-bwe Coa-li bertanya dengan marah.
"Suthai, aku pernah ditinggali pesan oleh ibu dari Sui Ceng, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, bahwa aku harus melindungi Sui Ceng. Sekaranglah waktunya aku harus mentaati pesan itu. Terang-terangan kukatakan bahwa perjodohan antara Sui Ceng dan Kun Beng harus dibatalkan!"
Sui Ceng menjadi pucat, juga Kun Beng menjadi pucat, sedangkan Swi Kiat memandang dengan mata bersinar-sinar sambil menduga-duga mengapa Kwan Cu mengemukakan hal yang memang menjadi isi hatinya.
"Kwan Cu, sepak terjangmu tadi sungguh mengagumkan hatiku, akan tetapi omonganmu sekarang ini benar-benar membikin aku marah sekali," kata Kiu-bwe Coa-li. "Katakanlah alasan-alasannya mengapa kau bicara begitu."
Melihat Kwan Cu ragu-ragu, Pak-lo-sian yang juga merasa tersinggung karena Kun Beng adalah anak muridnya, mendesak, "Kwan Cu, lekas ceritakan kenapa kau menghendaki demikian."
Kwan Cu memandang kepada Kun Beng, lalu kepada Swi Kiat, kemudian dia berbicara dengan suara lantang, "Bukan hak dan kewajiban teecu untuk menceritakan alasan itu. Lebih baik Kun Beng dan Swi Kiat yang bercerita tentang diri Kun Beng dan Gouw Kui Lan."
Pucatlah wajah Kun Beng dan tubuhnya gemetar. Melihat hal ini, hati Sui Ceng menjadi berdebar. Ia sudah jatuh cinta pada tunangannya ini dan sekarang hal apakah yang akan didengarnya?
Swi Kiat menggigit bibirnya, karena hal ini menodakan nama baik adiknya, nama baik keluarganya. Sakit hatinya mendengar Kwan Cu membongkar rahasia ini. Tadinya dia hendak mengurus hal ini dengan Kun Beng secara diam-diam, jangan sampai terdengar oleh orang lain.
Pak-lo-sian membanting kakinya di atas tanah. "Kalian muridku berdua! Mengapa diam saja? Hendak menyembunyikan rahasia dari gurumu?"
Kun Beng hanya menundukkan kepalanya, tidak berani bergerak. Swi Kiat lalu menelan ludah beberapa kali, kemudian terpaksa dia menuturkan dengan suara gemetar tentang perbuatan Kun Beng terhadap Kui Lan, adiknya.
Mendengar ini, semua orang merasa kaget bukan main. Sui Ceng menjadi pucat sekali dan air matanya mengalir turun membasahi pipinya.
Kiu-bwe Coa-li lalu bangkit dan berkata, "Sui Ceng, tidak ada apa-apa lagi yang perlu dibicarakan. Perjodohanmu putus sampai di sini! Hayolah kita pergi!" Kiu-bwe Coa-li lalu melompat dan berlari pergi dari situ.
Sui Ceng ragu-ragu, lalu menghampiri Kwan Cu. Sambil menggigit bibir dia berkata, "Kau iri hati, kau... kau...!" Tangannya menampar dan..., "Plakk!" pipi Kwan Cu sudah ditamparnya.
Pemuda itu hanya memandangnya dengan tenang. Dengan terisak Sui Ceng lalu berlari mengejar gurunya.
Pak-lo-sian marah bukan main. "Kun Beng, murid semacam engkau ini harus binasa, sungguh memalukan nama baik gurumu!"
Kakinya menendang, akan tetapi bukan Kun Beng yang terjungkal, melainkan Swi Kiat! Pemuda ini sudah menubruk sambil memasang dirinya sehingga dia mewakili sute-nya. Tubuhnya terlempar bergulingan. Pak-lo-sian terkejut sekali, akan tetapi Swi Kiat yang patah tulang pundaknya terkena tendangan, telah maju berlutut,
"Suhu, mohon mengampuni nyawa sute. Dia… dia adalah suami adik teecu, dia harus mengawini Kui Lan!"
Melihat ini semua, Kun Beng tiba-tiba berdiri dan sambil tertawa bergelak, dia melompat dan sebentar kemudian lenyap dari situ. Mendengar suara ketawa ini, semua orang jadi bergidik, dan Yok-ong berkata seorang diri, "Kasihan... suara ketawa itu menunjukkan bahwa batinnya terpukul hebat dan mungkin otaknya terkena getaran."
Ini hanya berarti bahwa ada kemungkinan Kun Beng menjadi gila!
Pak-lo-sian marah dan mengejar Kun Beng, diikuti oleh Swi Kiat. Akan tetapi mereka tak dapat menemukan jejak Kun Beng lagi.
Yok-ong lalu menghampiri Kwan Cu dan alangkah kagetnya ketika dia melihat pemuda itu menangis terisak-isak. Ternyata bahwa Kwan Cu merasa menyesal setengah mati melihat akibat dari pada pembongkaran rahasia itu. Ia dapat merasa betapa Sui Ceng terluka hatinya, Kiu-bwe Coa-li kecewa, Pak-lo-sian Siangkoan Hai malu dan marah, Swi Kiat berduka dan Kun Beng mungkin... gila!
"Locianpwe... aku... aku berdosa besar..."
"Sudahlah, hati yang menanggung cinta kasih memang membikin orang menjadi buta dan sembrono. Biar kuobati lukamu."
Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepalanya dan pergi sambil menundukkan mukanya. Yok-ong tahu akan kekerasan hati pemuda ini, maka dia lalu memasukkan sebungkus obat di kantong pemuda itu sambil berkata,
"Pakai obat ini pada lukamu, pasti akan sembuh."
Akan tetapi Kwan Cu tidak menjawab dan terus berjalan dengan kepala tunduk. Mukanya pucat dan kakinya limbung. Yok-ong menggeleng-gelengkan kepalanya dan segera pergi karena tahu bahwa dia tidak dapat menghibur pemuda yang luka hatinya itu.
Kwan Cu berjalan terus tanpa tujuan, memasuki hutan yang besar itu. Dadanya yang terluka sakit sekali rasanya, akan tetapi dia tidak ambil peduli. Kematian bukan apa-apa baginya pada saat itu. Rasa panas di pipinya lebih menyakitkan hati dari pada rasa panas pada luka di dadanya. Anak panah itu masih menancap pada dadanya, tapi tidak dipedulikannya pula.
"Kwan Cu...!"
Ia menengok dan melihat Sui Ceng berdiri di depannya. "Kau... kau kenapa?"
Kwan Cu melihat air mata mengalir di pipi gadis itu. la menarik napas panjang, "Kau tentu tak mau mengampuni aku...," katanya lemah.
"Lukamu itu...! Mengapa belum diobati?"
Kwan Cu menundukkan mukanya dan tiba-tiba saja timbul pikiran yang sangat aneh di kepalanya. Dengan tangan dia menekan anak panah itu yang tentu saja masuk semakin dalam ke dadanya! Ia merasa sakit sekali, akan tetapi dengan senyum aneh dia berkata, "Lebih baik aku mati saja."
Rasa sakit tak tertahankan lagi dan Kwan Cu roboh terguling dalam keadaan pingsan! Tubuhnya sebetulnya kuat sekali dan biar pun anak panah itu menancap makin dalam, dia takkan apa-apa kalau batinnya tidak menerima pukulan hebat akibat peristiwa tadi.
Ketika siuman kembali, dia melihat dirinya duduk dan bersandar pada pohon. Bajunya yang atas sudah tidak ada, entah ke mana. Ia bertelanjang sebatas pinggang ke atas. Akan tetapi dia tidak memperhatikan semua ini, karena dia melihat Sui Ceng telah duduk di depannya dan sedang merawat luka di dadanya. Anak panah itu telah dicabut dari dadanya dan kini dengan sapu tangannya, Sui Ceng tengah membersihkan lukanya.
Darah muda Kwan Cu memanaskan seluruh tubuhnya. Alangkah cantiknya wajah yang berada dekat di depannya. Alangkah indahnya rambut yang terurai itu, bibir yang merah dan penuh, mata yang masih membayangkan tangis.
"Sui Ceng... kau baik sekali..."
Gadis itu tidak menjawab, hanya menggigit bibir sambil menahan isak. Akan tetapi kedua tangannya masih tetap bekerja membersihkan darah dari luka yang membiru itu.
"Sui Ceng... alangkah... alangkah cantiknya engkau..."
Dua tetes air mata mengalir di pipi gadis ini, matanya dikejap-kejapkan sebab pandangan matanya terganggu dan bibirnya gemetar.
"Sui Ceng, sekali lagi... aku... aku cinta kepadamu...," suara Kwan Cu menjadi bisik-bisik akibat kepalanya sudah berdenyut-denyut pula, pandangan matanya berkunang-kunang. "Kau... kau ampunkan aku, Sui Ceng, aku... aku berdosa besar..."
Air mata dari mata gadis itu turun semakin banyak dan kini bukan hanya bibirnya yang gemetar, bahkan sepuluh jari tangannya yang merawat luka ikut menggigil. Akan tetapi ia tetap membungkam dan matanya tak pernah melirik wajah Kwan Cu.
"Sui Ceng...," suara Kwan Cu lemah dan lirih sekali, "biarkan... aku mati... aku lebih suka mati dari pada menyakiti hatimu..." Dan tiba-tiba kepala Kwan Cu terkulai, dia pingsan lagi untuk kedua kalinya!
Melihat ini, Sui Ceng menjadi kaget setengah mati. Dia memeluk tubuh pemuda itu dan menggoyang-goyangnya. "Kwan Cu... dengarlah... aku! Jangan mati, Kwan Cu...!"
Namun Kwan Cu tetap tidak bergerak. Tanpa dia ketahui sendiri, tubuh Kwan Cu sudah memiliki kekuatan yang aneh berkat latihan-latihan lweekang menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Racun yang dipasang pada ujung anak panah yang dilepaskan oleh Kiam Ki Sianjin, adalah racun pemberian dari Coa-tok Lo-ong dan sangat ganas. Kalau saja di dalam tubuh Kwan Cu tidak mengalir hawa murni dari sinkang yang sudah dilatihnya, pasti racun itu akan cepat menjalar dan menewaskannya.
Berkat kekuatan ini Kwan Cu siuman kembali. Dia mendengar suara orang memanggil-manggil namanya dari jauh. Suara itu makin lama makin dekat dan ketika dia membuka matanya, dia melihat Sui Ceng menangis sambil memanggil-manggil namanya.
Ia tidak tahu bahwa tadi wajahnya sudah pucat seperti mayat dan detak nadinya sudah berhenti, maka gadis itu mengira bahwa dia sudah mati! Padahal, hentian detak nadi ini adalah akibat dari pengerahan lweekang yang sudah tak dapat diukur tingginya lagi. Tadi sebelum pingsan Kwan Cu menahan sakit dan mengerahkan lweekang-nya sehingga dia berhasil menghentikan jalan darahnya, maka pada saat Sui Ceng meraba urat nadi, tidak merasa ada detaknya lagi.
"Sui Ceng, terima kasih... kau...kau menangis untukku...," katanya.
Sui Ceng memandang muka yang tadinya berada di atas pangkuannya itu. Melihat Kwan Cu ‘hidup kembali’ dia pun cepat-cepat menurunkan kepala pemuda itu di atas tanah dan berkata, "Kwan Cu, jangan kau mati..."
Kwan Cu tersenyum. "Tidak, Sui Ceng. Kalau kau menghendaki aku hidup, katakanlah bahwa kau memaafkan aku."
"Aku... aku maafkan kau, Kwan Cu."
Sinar gembira membayang pada wajah Kwan Cu. Dia mengerahkan tenaga dan berhasil bangkit duduk. Dirogohnya saku bajunya dan dikeluarkannya bungkusan obat pemberian dari Yok-ong.
"Yok-ong locianpwe memberikan obat ini untukku. Campurlah dengan air dan masukkan ke dalam luka di dadaku."
Sui Ceng cepat menerima bungkusan itu dan pergi mencari air yang mudah didapat di dalam hutan itu, lalu tanpa banyak cakap ia mengobati luka di dada Kwan Cu.
Luar biasa manjurnya obat dari Yok-ong ini, karena begitu obat itu dijejalkan ke dalam luka, rasa panas lenyap dan obat yang tadinya berwarna putih bersih setelah terkena air itu, kini perlahan-lahan berubah hitam.
Tidak lama kemudian, darah kehitaman keluar dari luka itu. Kwan Cu bersila, meramkan mata sambil mengempos semangatnya, mempergunakan hawa murni dalam tubuh untuk mendorong keluar semua racun yang mengotori darahnya sehingga darah hitam yang keluar dari lukanya makin deras. Akhirnya keluarlah darah merah. Setelah ini baru Kwan Cu menghentikan penggunaan tenaga dalamnya, lalu membuka matanya dan memakai pakaiannya lagi.
Sejak tadi Sui Ceng memandang kepada pemuda itu dengan air muka sebentar kagum sebentar duka.
"Sui Ceng, kau benar-benar berhati mulia seperti ibumu. Tadi kau sudah pergi dengan gurumu, mengapa bisa datang di tempat ini?"
Sui Ceng menjawab dengan kepala tunduk. " Aku... aku merasa menyesal sekali sudah berlaku kasar padamu, telah... telah menampar mukamu. Kau maafkan aku, Kwan Cu."
Kwan Cu tertawa bergelak. "Sepatutnya kau membunuhku, Sui Ceng, tak hanya sekedar menamparku. Kalau ada orang yang minta maaf, akulah orangnya, bukan kau."
Hening sesaat. Keduanya duduk di bawah pohon dan setelah kini sembuh dari sakitnya, Kwan Cu merasa sungkan dan kikuk. Merah mukanya kalau dia teringat betapa tadi dia kembali mengeluarkan kata-kata menyatakan cinta kasih kepada gadis ini. Keheningan suasana itu membuat Kwan Cu lebih kikuk, maka agar jangan sampai Sui Ceng merasa kikuk pula, dia mulai membuka percakapan,
"Sui Ceng, bagaimana kau bisa memisahkan diri dari gurumu?"
"Aku sengaja meninggalkan suthai dan sudah mendapat perkenannya. Suthai kembali ke gunung dan kelak aku akan menyusulnya."
"Jadi kau sengaja pergi dari Kiu-bwe Coa-li suthai untuk menyusulku?"
Sui Ceng mengangguk. Hening lagi sesaat. Beberapa kali Kwan Cu menggerakkan bibir, akan tetapi sukarlah kata-kata keluar dari mulutnya. Akhirnya dia memberanikan diri dan bertanya,
"Sui Ceng, setelah kini kau menyusulku, apakah yang hendak kau katakan? Kita terlibat dalam urusan yang amat tidak enak, dan aku... aku..."
"Kwan Cu, bagaimana kau bisa tahu tentang... Kun Beng dan adik Swi Kiat?" tiba-tiba Sui Ceng bertanya sambil memandang tajam.
“Untuk inikah kau menyusulku, Sui Ceng?"
"Ya, untuk mengajukan pertanyaan ini. Aku penasaran sekali dan ingin mendengar kisah itu sejelasnya."
Untuk beberapa lama Kwan Cu menatap wajah gadis yang kemerah-merahan dan mata yang berkaca-kaca itu, maka tertusuklah hatinya. Dengan suara perlahan dia bertanya,
"Sui Ceng, kau... kau amat mencinta Kun Beng...?"
Merah sekali wajah Sui Ceng. Gadis ini tahu bahwa Kwan Cu sangat mencintanya dan tentu saja akan hancur hati pemuda ini kalau ia mengaku bahwa ia mencinta Kun Beng. Akan tetapi tidak ada lain jalan bagi Sui Ceng untuk menyangkal dan pula ia tidak suka menyangkal, karena gadis ini berwatak jujur.
Dengan air mata berlinang dan suara terputus-putus Sui Ceng menjawab,
"Bagaimana aku tidak... tidak akan mencintanya? Dia adalah tunanganku, dan dia adalah jodohku yang dipilih sendiri oleh mendiang ibu, akan tetapi dia... dia..." Sampai di sini Sui Ceng tak dapat melanjutkan kata-katanya, tubuhnya lemas dan tiba-tiba ia sudah berada dalam pelukan Kwan Cu.
Karena amat berduka dan patah hati, Sui Ceng merasa mendapatkan hiburan dan dia menyandarkan kepalanya di dada Kwan Cu sambil menangis. Usapan tangan Kwan Cu pada kepalanya mendatangkan hiburan besar baginya seakan-akan ia sedang berada di pangkuan ibunya sendiri.
Kwan Cu merasa sangat terharu dan kasihan sekali, "Sui Ceng, jangan berduka, adikku, tenangkanlah hatimu... kau sekarang bukan tunangan Kun Beng lagi, tak perlu lagi kau memikirkan dia. Dia tidak berharga bagimu dan aku... aku mencintamu dengan segenap jiwaku, Sui Ceng. Jangan engkau khawatir, marilah kita membangun hidup baru, rumah tangga bahagia, dan menjauhkan diri dari segala hal yang menjengkelkan hati. Aku akan selalu melindungimu Sui Ceng..."
Tubuh gadis itu tersentak, akan tetapi dia tidak mengangkat kepalanya dari dada Kwan Cu. Untuk sesaat pikirannya bekerja keras. Harus dia akui bahwa kalau sekiranya tidak ada Kun Beng di dunia ini, dia akan menerima pernyataan cinta kasih Kwan Cu dengan hati terbuka.
Dia sudah mengetahui bahwa pemuda ini amat gagah perkasa dan mulia, bahkan jauh lebih baik dari pada Kun Beng. Akan tetapi, hati Sui Ceng sudah tertambat kepada The Kun Beng tunangannya itu. Dia amat mencinta Kun Beng dan pula, bukankah pemuda itu pilihan ibunya sendiri?
"Sui Ceng, jangan kau takut." Kwan Cu menghibur karena dia mengira bahwa gadis itu berdiam diri dengan hati takut menghadapi kemurkaan gurunya. "Jangan kau takut pada siapa pun juga. Biar pun Kiu-bwe Coa-li suthai akan marah kepadamu, akulah yang akan bertanggung jawab. Akulah orangnya yang sanggup membelamu dengan taruhan nyawa. Tak seorang pun di dunia ini akan dapat mengganggumu selama aku masih hidup!"
Akan tetapi tiba-tiba Sui Ceng melepaskan diri dari pelukan Kwan Cu dan memandang kepada pemuda itu dengan muka pucat. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras.
"Tidak! Tidak...! Jangan begitu, Kwan Cu. Janganlah kau menyeretku ke dalam lembah kehinaan!"
Kwan Cu terkejut sekali. Ia mengulur tangan hendak memegang lengan Sui Ceng, akan tetapi gadis itu menarik tangannya.
"Jangan sentuh aku lagi. Tidak patut kita bersentuhan, kau tidak berhak dan aku... aku harus menjaga kesusilaan. Memang aku tidak takut pada suthai, akan tetapi, aku harus mentaati kehendak ibuku. Apakah kau ingin melihat aku mengingkari pesan ibu? Tidak, Kwan Cu. Bagiku, aku adalah jodoh dan tunangan Kun Beng, pilihan ibu. Kalau sampai terjadi perpecahan sehingga ikatan itu putus, aku bersumpah selamanya tidak akan mau menikah. Kecuali... kecuali kalau Kun Beng sudah menikah dengan orang lain." Kembali Sui Ceng menangis dengan sedih.
Kwan Cu menarik napas panjang. "Betapa pun juga, aku kagum kepadamu, Sui Ceng. Cinta kasihmu terhadap Kun Beng benar-benar tulus dan murni, hanya pemuda itu yang tidak tahu diri. Kau amat setia dan mulia, maka aku kembali telah merusak kesucianmu. Dengarlah, Sui Ceng, sekali-kali aku tidak membuka rahasia Kun Beng karena iri hati kepadanya. Memang aku ingin melihat kau berbahagia. Kalau Kun Beng tidak melakukan perbuatan terkutuk itu, akulah orangnya yang akan membantu perjodohan kalian. Akan tetapi, ternyata Kun Beng memperlihatkan bahwa dia tidak patut menjadi suamimu, maka aku kasihan kepadamu dan berusaha menggagalkan perjodohan itu."
Sui Ceng mengangguk-angguk terharu. "Aku tahu, Kwan Cu, dan karena itu aku datang mencarimu. Sekarang ceritakanlah bagaimana kau bisa mengetahui akan hal itu?"
Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya saat dia menolong Kui Lan dari cengkeraman An Kong dan menceritakan pula bahwa kini Kui Lan berada di kelenteng Kwan-im-bio di dusun Kau-ling di sebelah utara Tang-shan, yakni kelenteng yang diketuai oleh Ngo Lian Suthai.
Sebagaimana sudah dituturkan pada bagian depan, Ngo Lian Suthai kenal baik dengan Kwan Cu dan ketua nikouw itu terluka oleh bajak sungai yang mencuri patung. Semua ini diceritakan dengan sejujurnya oleh Kwan Cu hingga akhirnya dia berkata dengan suara penuh kedukaan dan kehancuran hati,
"Sui Ceng, sebelum aku tahu bahwa kau telah dijodohkan dengan Kun Beng, aku sudah menaruh hati suka kepadamu. Kau sudah mendengar semua ceritaku, maka tentu kau juga menaruh hati kasihan kepada Kui Lan gadis yang malang itu."
"Kasihan? Dia adalah seorang gadis lemah iman yang bodoh! Gadis seperti itu tidak ada harganya!"
Apa bila lain orang yang mendengar omongan ini, tentu hanya akan menuduh bahwa Sui Ceng merasa sakit hati kepada Kui Lan karena tunangannya direbut. Akan tetapi Kwan Cu lain lagi dan dia dapat melihat kebenaran kata-kata ini.
"Memang, Kui Lan terlampau lemah, mudah sekali menuruti ajakan iblis yang menggoda. Betapa pun juga, keadaannya harus dan patut dikasihani."
Tiba-tiba Sui Ceng bangkit berdiri. "Selamat tinggal, Kwan Cu. Mungkin selamanya kita tak akan bertemu lagi."
"Ehh, kau hendak ke mana?"
"Aku akan menemui Kui Lan dan akan kuusahakan supaya Kun Beng mengambilnya sebagai isteri yang sah!"
Kwan Cu semakin kagum. "Kau hebat sekali, Sui Ceng. Benar-benar kau berbudi luhur seperti ibumu."
Tiba-tiba saja pemuda ini teringat akan kata-kata Sui Ceng tadi yang menyatakan bahwa gadis ini dapat mengambil keputusan lain mengenai perjodohannya kalau saja Kun Beng menikah dengan orang lain. Dengan demikian berarti bahwa kalau sampai terjadi Kun Beng menikah dengan Kui Lan, maka dia memiliki banyak harapan terhadap Sui Ceng! Karena itu cepat-cepat dia berkata,
"Tunggu dulu, aku pun akan pergi ke sana! Aku yang mula-mula menolong Kui Lan dan aku pula yang berkewajiban untuk menolongnya mendapatkan Kun Beng kembali. Awas kepala Kun Beng kalau dia tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak mau mengawini Kui Lan."
Kedua orang muda itu lalu berangkat dengan cepat, menuju ke kuil Kwan-im-bio di dusun Kau-ling. Karena kedua orang muda yang perkasa ini mempergunakan ilmu lari cepat, tidak sampai lama mereka tiba di dusun itu. Akan tetapi mereka kecewa karena ternyata bahwa Ngo Lian Suthai telah pergi merantau membawa Kui Lan yang diakuinya sebagai muridnya.
"Ehh, bagaimana mungkin?" tanya Kwan Cu kepada nikouw yang menyambut mereka. "Aku tahu benar bahwa Ngo Lian Suthai terluka hebat, bagaimana dia bisa pergi?"
Nikouw itu tersenyum. "Taihiap, manusia yang baik selalu mendapat perlindungan Thian. Ngo Lian Suthai telah mendapat penyembuhan, berkat pertolongan Yok-ong locianpwe."
Kwan Cu melengak. Jadi sebelum bertemu dengan dia di Tai-hang-san, Yok-ong malah sudah menyembuhkan Ngo Lian Suthai? Aneh sekali kakek Raja Tabib itu, di mana saja dan pada waktu tenaganya diperlukan selalu muncul akan tetapi tidak banyak bicara.
"Ke mana perginya Ngo Lian Suthai?"
"Sukar untuk menentukan tempatnya. Akan tetapi kalau tidak salah, dulu Ngo Lian Suthai pernah menyatakan bahwa sahabat-sahabatnya membantu perjuangan rakyat di wilayah Pao-ting. Dan suthai selalu merasa sejiwa dengan mereka itu, maka tidak akan meleset jauh kalau kiranya Taihiap menyusul ke sana."
Kwan Cu menghaturkan terima kasih, lalu bersama Sui Ceng menuju ke Pao-ting yang pada waktu itu memang menjadi sebuah di antara pusat-pusat pasukan pejuang rakyat yang berusaha menggulingkan pemerintah Tartar. Pao-ting letaknya di sebelah selatan kota raja, maka kedua orang muda itu melakukan perjalanan yang cukup lama, sampai makan waktu sebulan lebih. Hal ini adalah karena di tengah perjalanan, mereka sering kali berhenti untuk membantu perjuangan rakyat.
Makin kagumlah hati Sui Ceng melihat sepak terjang Kwan Cu. Sekarang gadis ini tahu betul bahwa kepandaian Kwan Cu benar-benar luar biasa hebatnya, malah jauh melebihi kepandaian tokoh-tokoh besar, di antaranya gurunya sendiri, Kiu-bwe Coa-li! Diam-diam dia mengharapkan supaya Kun Beng suka menikah dengan Kui Lan, karena hal ini akan memungkinkan hatinya menyetujui pinangan Kwan Cu terhadapnya.
Dia memang mencinta Kun Beng. Akan tetapi kalau tunangannya itu memang sudah menikah dengan Kui Lan, tentu dia akan dapat melupakannya dan kiranya tak akan sulit baginya untuk membalas cinta kasih seorang pemuda seperti Kwan Cu.
Pada suatu hari, ketika Kwan Cu dan Sui Ceng baru saja keluar dari sebuah hutan di selatan kota raja, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun tujuh batang anak panah. Kwan Cu dan Sui Ceng telah bersiap sedia untuk menangkis atau mengelak, akan tetapi ternyata tidak ada sebatang pun anak panah yang mengenai mereka dan ketika mereka memandang, ternyata bahwa tujuh batang anak panah itu hanya menancap pada tanah di sekeliling mereka.
Sui Ceng terkejut dan diam-diam ia mengagumi orang yang melepaskan anak panah itu, karena dapat menancap rata pada jarak yang sama di sekeliling mereka. Akan tetapi bagi Kwan Cu, kepandaian seperti itu bukan apa-apa dan dia berdongak ke atas sambil berkata tenang,
"Sahabat dari manakah bermain-main seperti ini dengan kami?"
Sebetulnya, sejak tadi pun Kwan Cu sudah tahu bahwa di atas pohon itu bersembunyi empat orang, akan tetapi dia sengaja diam saja agar tidak mengagetkan hati Sui Ceng yang sesungguhnya masih belum sembuh benar dari pada lukanya yang diderita dalam pertempuran di puncak Tai-hang-san.
Baru saja kata-kata ini selesai dikeluarkan oleh Kwan Cu, dari atas pohon menyambar turun empat orang yang gerakannya amat ringan dan gesit sehingga kembali Sui Ceng terkejut. Akan tetapi baik dia mau pun Kwan Cu tidak mengenal orang-orang ini.
Sesudah mereka berdiri berhadapan dengan Kwan Cu dan Sui Ceng, gadis ini segera memandang penuh perhatian dan orang yang ke empat dari rombongan ini mempunyai wajah yang seperti pernah dilihatnya, akan tetapi ia sudah lupa lagi entah di mana.
Orang itu adalah seorang pemuda yang ganteng serta bersikap sopan santun. Pakaian dan gerak-geriknya yang halus menunjukkan bahwa ia adalah seorang sastrawan muda. Sepasang matanya tajam dan tubuhnya jangkung. Usianya sebaya dengan Kwan Cu.
Ada pun orang ke dua adalah seorang kakek yang kecil bongkok, orang ke tiga seorang kakek bermuka hitam bertubuh tinggi besar. Adapun orang ke empat yang berdiri paling depan adalah seorang nikouw (pendeta wanita) yang berjubah kuning.
Melihat bahwa sebagian besar yang datang merupakan orang-orang tua, Kwan Cu cepat menjura dan bertanya,
"Entah apakah yang menjadi kehendak Cu-wi sekalian maka menghadang perjalanan kami?"
"Apakah kau yang bernama Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai?" tanya nikouw itu sambil memandang tajam.
Juga tiga orang kawannya memandang tajam kepada Kwan Cu tanpa melirik ke arah Sui Ceng sehingga pemuda ini maklum bahwa mereka tentu pernah mendengar namanya di puncak Tai-hang-san.
"Siauwte memang benar bernama Lu Kwan Cu, tidak tahu Suthai dan yang lain-lain ini siapakah? Dengan maksud apa menghentikan perjalanan siauwte?"
Mendengar bahwa pemuda di depan mereka itu benar-benar Lu Kwan Cu yang namanya ramai disebut-sebut oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw, sebab anak-anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai sudah menceritakan peristiwa menggemparkan yang terjadi di atas puncak Tai-hang-san itu, empat orang ini memandang dengan mata menyatakan kekaguman, akan tetapi juga kurang percaya. Mungkinkan seorang pemuda sederhana yang terlihat tidak memiliki kepandaian ini sudah dapat mengalahkan semua tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw?
"Pinni adalah Lui Kong Nikouw dari Thian-san-pai."
"Aku bernama Bu Kek Sian dari Go-bi-pai," jawab kakek kecil bongkok.
"Aku yang bodoh dan kasar adalah Kong Seng Kak Hwesio dari Siauw-lim-pai," jawab kakek tinggi besar bermuka hitam.
Mendengar ini, Kwan Cu merasa heran sehingga dia memandang lebih tajam. Ternyata bahwa kakek yang memakai topi ini memang benar kepalanya gundul, sehingga biar pun pakaiannya seperti petani, namun dia adalah seorang hwesio.
Kong Seng Kak tertawa bergelak melihat sinar mata heran dari Kwan Cu.
"Pinceng memang sengaja menyamar sebagai petani biasa. Bila pinceng memakai jubah pendeta dan berada di antara para pejuang rakyat, bukankah nama Siauw-lim-si akan dicap hitam oleh kerajaan dan kuil kami akan mengalami serangan hebat?"
Kwan Cu kagum sekali mendengar bahwa hwesio kasar ini ternyata membantu rakyat, maka dia cepat menjura dan berkata,
"Kong Seng Kak Twa-suhu benar-benar seorang patriot sejati, siauwte merasa kagum sekali."
Tiba-tiba terdengar suara halus berkata memperkenalkan diri. "Aku yang rendah adalah Lai Siang Pok."
Mendengar nama ini, Sui Ceng tiba-tiba teringat dan dia melangkah maju setindak, lalu berkata, "Ehh, bukankah kau murid pujangga Tu Fu yang dahulu dibawa lari oleh Hek-i Hui-mo?"
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya semakin menarik. "Bun-lihiap benar-benar bermata tajam dan mempunyai ingatan kuat sekali. Siauwte memang benar Lai Siang Pok dan Hek-i Hui-mo adalah guruku." Setelah berkata demikian Lai Siang Pok lalu menundukkan muka dan menutup mulut.
Diam-diam Sui Ceng berpikir, sampai di mana tingkat kepandaian pemuda murid Hek-i Hui-mo ini. Teringat dia akan semua pengalamannya pada waktu dia masih kecil, ketika gurunya, Kiu-bwe Coa-li memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang ternyata palsu itu dengan Hek-i Hui-mo.
Seperti pernah dituturkan di bagian depan, dahulu Tu Fu dipaksa membaca kitab itu dan pendengar-pendengarnya adalah Hek-i Hui-mo yang dibantu oleh pemuda Lai Siang Pok itu, sedangkan Kiu-bwe Coa-li dibantu oleh Sui Ceng. Setelah membaca, kitab itu lalu dibakar, demikian menurut perjanjian dan syarat yang diajukan oleh pujangga Tu Fu.
Kemudian, sesudah mendengarkan bersama Lai Siang Pok, Hek-i Hui-mo lalu menculik Siang Pok dan dipaksa untuk menjadi muridnya. Sekarang Hek-i Hui-mo telah tewas oleh Kwan Cu, apakah maksud kedatangan pemuda ini?
Kwan Cu tentu saja dapat menduga akan maksud ini, maka dia lalu tersenyum sambil bertanya,
"Setelah memperkenalkan nama Cu-wi, perlu kiranya siauwte memperkenalkan sahabat ini pula, ialah Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li suthai."
Akan tetapi mereka tidak mempedulikan Sui Ceng, bahkan sebaliknya Lui Kong Nikouw lalu berkata,
"Lu-taihiap, tentu kau ingin mengetahui maksud kami menghadangmu di sini, bukan?"
Muka Kwan Cu menjadi merah disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya panggilan ini memang dengan hati tulus, sebab siapakah kini yang tidak menganggapnya sebagai seorang pendekar besar setelah apa yang dia lakukan di puncak Tai-hang-san?
"Siauwte tidak sabar lagi mendengar keterangan Suthai," jawab Kwan Cu.
"Pinni sengaja datang untuk bertanya, kenapa Taihiap yang gagah perkasa telah berani mempermainkan dan mengganggu muridku, Wi Wi Toanio?"
Sui Ceng mengerutkan kening dan Kwan Cu terkejut bukan main. "Mempermainkan dan mengganggu bagaimana, Suthai?" tanyanya penasaran.
Lui Kong Nikouw tersenyum dan tampaklah bahwa dulu pada waktu mudanya nikouw ini tentu berwajah cantik, ada pun senyumnya masih membayangkan kegenitan mirip yang dipunyai oleh Wi Wi Toanio.
"Taihiap, muridku itu adalah seorang wanita muda yang paling cantik di seluruh wilayah timur, sudah sepatutnya dan dapat dimengerti kalau hati laki-laki tergila-gila kepadanya. Akan tetapi Taihiap harus dapat menahan nafsu dan paham bahwa dia adalah seorang yang telah menjadi isteri orang lain. Perbuatan Taihiap sungguh tidak patut."
Bukan main marahnya Kwan Cu, sedangkan wajah Sui Ceng menjadi merah sekali.
"Suthai, kau mengeluarkan omongan yang membikin orang penasaran! Aku Lu Kwan Cu tidak pernah mempermainkan wanita!"
Akan tetapi ketika dia membayangkan wajah dan tubuh dari Wi Wi Toanio, hatinya jadi berdebar. Di dalam hati kecilnya, dia tidak dapat menyangkal bahwa isteri dari An Kai Seng itu benar-benar menarik hatinya. Akan tetapi Kwan Cu tahu bahwa kata-kata dari Lui Kong Nikouw tadi merupakan racun yang akan merusak hubungan baiknya dengan Bun Sui Ceng, maka cepat-cepat dia melanjutkan.
"Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng musuh besarku yang harus kubunuh karena An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, yaitu musuh besar kongkong-ku dan guruku. Bagaimana aku bisa mempermainkannya? Pada waktu itu memang benar dia membela suaminya dan kalah dalam pertempuran olehku, apakah hal ini dianggap mengganggu?" setelah berkata demikian, Kwan Cu tanpa disengaja melirik ke arah Sui Ceng.
Dan kembali terjadi keanehan. Mata golok yang sudah menyambar dekat dengan leher, tiba-tiba menyeleweng dan bahkan membalik hendak menyerang pundaknya sendiri!
"Ilmu siluman...!" beberapa orang berbisik.
Akan tetapi hanya Yok-ong, Pak-lo-sian, Kiu-bwe Coa-li, Kiam Ki Sianjin beserta Hek-i Hui-mo saja yang setengah dapat menduga akan tetapi mereka masih sangsi mengenai semacam ilmu sinkang (tenaga dalam yang sakti) yang pernah mereka dengar namun belum pernah mereka saksikan, yakni tentang lweekang yang dapat disalurkan melalui suara sehingga dengan bentakan-bentakan saja orang yang mempunyai kepandaian ini dapat merobohkan lawan atau menangkis pukulan!
Benar-benarkah pemuda ini dapat memiliki kepandaian seperti itu? Hanya seorang yang sudah yakin, yakni Yok-ong. Dia menduga bahwa pemuda yang dia kenal sebagai Kwan Cu adanya itu, tentu telah mewarisi kepandaian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kalau hal ini betul, maka tidak heran kalau Kwan Cu memiliki sinkang sehebat itu.
Siok Tek Tojin masih penasaran dan hendak menerjang lagi akan tetapi tiba-tiba saja Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai melompat maju dan menahannya.
"Siok Tek Toyu biarkan pemuda itu melanjutkan dongengannya agar supaya kita dapat mendengar baik-baik." Ketua Kim-san-pai ini menahan sambil memegang lengannya.
Siok Tek Tojin langsung merasa lengannya lumpuh dan menggigil ketika terpegang oleh ketua Kim-san-pai ini, maka tahulah dia bahwa pencegahan itu bukan main-main. Ia lalu menjura dan mengundurkan diri.
Kwan Cu tertawa. "Tentu Cu-wi Locianpwe ingin sekali mendengar siapa orangnya yang berjubah hitam dan yang sebenarnya merupakan pembunuh tulen dari Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu. Sebelum boanpwe menyebutkan namanya, baiklah boanpwe lebih dahulu melanjutkan dongeng ini. Siok Tek Tojin yang sudah bersekongkol, lalu pura-pura menolong dua orang pendeta yang sudah hampir tewas itu, menceritakan bahwa dia pun diserang oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Karena dua orang pendeta itu memang mendengar percakapan antara Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian di luar jendela yang tentu sudah diatur pula oleh si jubah hitam dan Siok Tek Tojin, maka mereka percaya penuh dan tidak ragu-ragu membuat sehelai surat yang ditujukan kepada fihak Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tentu saja mereka menulis bahwa mereka terbunuh oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian!"
Kiam Ki Sianjin membentak, "Orang muda, jangan kau sembarangan bicara! Bagaimana kau berani mengacaukan urusan ini? Sudah ada bukti surat dan saksinya Siok Tek Tosu bahwa Kiu-bwe Coa-li berdua Pak-lo-sian membunuh Ji-wi Beng-yu dari Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Bagaimana kau dapat mengarang cerita busuk tanpa bukti-bukti?"
"Bukti? Locianpwe menghendaki bukti? Belum selesai ceritaku! Setelah si jubah hitam itu lari di malam gelap, dia bertemu dengan seorang yang berhasil mencuri sedikit kain dari jubahnya. Inilah sobekan kain itu!"
Kwan Cu mengeluarkan kain yang dahulu dia ambil dari jubah Coa-tok Lo-ong, kemudian kembali berkata lagi sambil tersenyum sindir, "Orang berjubah hitam itu sekarang hadir di sini! Tanyakan padanya apakah ini bukan kain dari jubahnya! Dan bukti ke dua, ketika dia mengeluarkan asap obat bius di kelenteng itu sama benar dengan obat bius yang tadi merobohkan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, kedua Locianpwe yang mulia. Nah, dialah orangnya yang telah membunuh dua orang tokoh Kim-san-pai dan Bu-tong-pai kemudian menggunakan nama kedua orang Locianpwe itu dengan maksud mengadu domba!"
Baru saja ucapan ini habis dikatakan, Coa-tok Lo-ong mengeluarkan seruan keras, "Jadi kaukah orang muda yang kurang ajar itu?" Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan asap hitam mengebul di dekat Kwan Cu.
"Para Locianpwe, awas!"
Dengan cepat sekali Kwan Cu mendorong tubuh Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu. Dua orang ketua itu segera terpental dan bergulingan sampai lima tombak lebih. Mereka mengalami kekagetan hebat, akan tetapi mereka selamat, terbebas dari pengaruh asap hitam yang jahat. Ada pun Yok-ong yang melihat ini, cepat membagi-bagi pil penawar racun di antara Pak-lo-sian sekawanannya sehingga mereka tak usah takut menghadapi serangan asap itu.
Kwan Cu sendiri segera menahan napas, kemudian meniupkan hawa murni dari tenaga sinkangnya sehingga dia tidak sampai mengisap asap, dan di samping itu, dia pun lalu menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut sehingga seluruh bagian tubuhnya mengebulkan uap putih yang menolak asap hitam ini.
Cepat Kwan Cu melompat dan tahu-tahu sudah berada di depan Coa-tok Lo-ong. "Kau sudah mengaku sendiri? Bagus!" bentak pemuda ini.
Coa-tok Lo-ong marah luar biasa, cepat dia lalu memukul dengan tangannya. Ia merasa menyesal sekali kenapa ular hidupnya sudah mati diremas oleh Jeng-kin-jiu tadi. Dengan mati-matian dia lalu menyerang Kwan Cu dengan tangan kosong.
Akan tetapi tentu saja Kwan Cu tak mau memberi kesempatan lagi. Ia mainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang lihai itu dan dalam beberapa jurus saja, sebuah pukulan tangan kiri Kwan Cu tanpa mengenai kulit dadanya telah membikin Coa-tok Lo-ong terlempar dalam keadaan pingsan! Kwan Cu melompat dan menangkap lehernya, lalu melontarkan tubuh penjahat itu ke arah Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu.
"Ji-wi Locianpwe, inilah pembunuh dari orang-orangmu!"
Bin Kong Siansu dan Bian Kim Hosiang kini tidak ragu-ragu lagi. Cepat sekali keduanya bergerak, dan dalam sekejap mata saja tubuh Coa-tok Lo-ong menjadi sasaran senjata mereka hingga tewas pada saat itu juga!
Hek-i Hui-mo menggereng keras melihat sute-nya tewas dan ia lantas menyerang kedua ciangbunjin ini. Karena marahnya, Hek-i Hui-mo segera menggerakkan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan kebutannya, yang satu menyerang Bian Kim Hosiang, yang ke dua menyerang Bin Kong Siansu.
Kedua orang ciangbunjin ini adalah tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi, maka tentu saja mereka cepat menangkis. Akan tetapi tangkisan mereka membuat keduanya terjengkang. Demikian hebat dan luar biasa tenaga dari Hek-i Hui-mo!
Hek-i Hui-mo membentak, "Kalian membunuh sute-ku, harus membayar kembali dengan nyawa!"
Akan tetapi mendadak ada angin besar yang datang dari pukulan luar biasa, menahan sepasang senjata yang hendak membunuh kedua ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai ini. Pukulan ini datangnya dari Kwan Cu yang sudah menghadang di depannya.
"Hek-i Hui-mo, kau masih ada perhitungan denganku!" kata Kwan Cu.
Hek-i Hui-mo marah sekali. Ingin dia sekali serang menghancurkan kepala pemuda yang sudah membuka rahasia sute-nya, bahkan yang sudah merobohkan sute-nya sehingga sute-nya itu tewas di dalam tangan kedua ciangbunjin dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Akan tetapi dia pun ingin sekali tahu siapa adanya pemuda muka merah yang aneh ini.
"Kau siapakah? Mengapa memusuhi kami?"
"Dengarlah dulu aku mendongeng!" kata Kwan Cu dengan suara keras hingga terdengar oleh banyak orang. "Hek-i Hui-mo ini semenjak dahulu terkenal sebagai seorang pendeta Tibet yang selalu menimbulkan kekacauan. Di Tibet sendiri dia telah mengacau agama di sana, bahkan mendirikan golongan yang disebut Golongan Jubah Hitam, dibantu oleh sute-nya Coa-tok Lo-ong yang jahat. Dahulu pernah dia mengancam jiwa seorang anak kecil untuk memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kemudian dia pernah pula menawan pujangga besar Tu Fu untuk dipaksanya membaca kitab kuno Im-yang Bu-tek Cin-keng. Baiknya kitab itu palsu, sama palsunya dengan hatinya sendiri. Kemudian, sebagai anjing penjilat pemberontak she An, bersama-sama Jeng-kin-jiu dan Toat-beng Hui-houw, dia membunuh pendekar besar Ang-bin Sin-kai secara curang."
"Dia itu murid Ang-bin Sin-kai! Dia Lu Kwan Cu !" tiba-tiba Kiam Ki Sianjin berseru keras dan kaget.
Memang pada saat tadi Kwan Cu memainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan tubuhnya mengebulkan uap putih, Kiam Ki Sianjin sudah curiga. Kini mendengar omongan Kwan Cu, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini tentulah Kwan Cu adanya!
Mendengar ini, Kwan Cu tersenyum. Dia merogoh saku dan mengeluarkan seguci kecil arak yang tadi memang telah dia terima dari Yok-ong. Dituangnya arak ini di tangan, lalu dibuat mencuci mukanya yang sebentar saja berubah, tak lagi kemerahan seperti udang direbus, melainkan menjadi muka seorang pemuda yang tampan dan gagah.
"Memang aku Lu Kwan Cu, datang untuk membalas dendam!" katanya.
"Kwan Cu...!" terdengar teriakan kaget dan ini adalah suara Sui Ceng.
Gadis ini menjadi bengong dan tanpa terasa lagi matanya basah oleh air mata. Hatinya tidak karuan rasanya. Tidak disangka-sangkanya bahwa Kwan Cu-lah pemuda itu, tidak dinyana-nyana bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Dan dia pernah memandang rendah kepada Kwan Cu, dan... dan Kwan Cu pernah menyatakan cinta kasih hatinya secara terang-terangan!
Teringatlah Sui Ceng akan pengalaman yang sudah-sudah dan tahulah dia bahwa ketika mereka ditawan oleh bajak sungai, Kwan Cu sengaja berlaku ketolol-tololan. Tak terasa lagi merahlah mukanya dan hatinya berdebar tidak karuan.
Hek-i Hui-mo menjadi pucat, akan tetapi dia tidak dapat menyembunyikan keheranannya. Jadi bocah gundul yang dulu menjadi permainan para tokoh besar itu, sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya? Dia mengeluarkan seruan keras dan kedua senjatanya cepat menyerang Kwan Cu.
Kali ini Kwan Cu tidak mau main-main lagi. Sekali tangannya bergerak cepat, tercabutlah Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin. Dengan pedang ini dia bersumpah hendak membalas dendam.
Jeng-kin-jiu sudah tewas oleh bekas kawan-kawannya sendiri dan hal ini menggirangkan hatinya, karena Kwan Cu memang menaruh hati sayang terhadap hwesio itu. Dia girang karena pada akhir hidupnya, Jeng-kin-jiu membuktikan bahwa sesungguhnya ia memiliki dasar watak yang gagah perkasa dan baik.
Toat-beng Hui-houw sudah tewas di tangan Sui Ceng, hal ini pun menyenangkan hatinya karena memang gadis itu lebih berhak membalaskan sakit hati ibunya. Sekarang musuh besar gurunya tinggal Hek-i Hui-mo. Maka, sesudah mencabut pedangnya dia lalu mainkan ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat sambil mulutnya berbisik,
"Suhu, dengan ilmu pedang Suhu, teecu akan membalaskan sakit hati suhu! Saksikanlah dari tempat istirahatmu, Suhu!"
Tentu saja Hek-i Hui-mo sudah tahu dan kenal akan ilmu pedang peninggalan Ang-bin Sin-kai ini, maka dia memandang rendah. Betul bahwa tingkat kepandaiannya dahulu setingkat dengan Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah pemuda itu mainkan pedangnya, dia kaget setengah mati. Baru beberapa gebrakan saja, sinar pedang Liong-coan-kiam sudah berhasil membabat putus sebagian dari rambut kebutannya.
Bukan main! Meski pun ilmu pedang ini tidak ada bedanya dengan yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai, akan tetapi gerakannya jauh berlainan. Gerakan ilmu pedang di tangan pemuda ini jauh lebih cepat dan kuat, berlipat ganda kuatnya sehingga biar pun Hek-i Hui-mo sudah mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tangannya tergetar setiap kali tongkatnya terbentur oleh pedang itu yang cepatnya bukan main sehingga beberapa kali hampir saja Hek-i Hui-mo terlambat mengelak atau menangkis!
"Eh, eh, ehh, kiranya kau benar-benar Hang-houw-siauw Yok-ong!" terdengar Pak-lo-sian berseru dan tertawa bergelak.
Mendengar ini, Kiam Ki Sianjin cepat menengok dan ternyata bahwa kakek muka hitam yang amat lihai dan yang tadi mengalahkan Kiam Ki Sianjin dalam mengadu lweekang, sekarang seperti Kwan Cu telah mencuci bersih mukanya dan dia itu bukan lain adalah Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Tabib!
Gentarlah hati Kiam Ki Sianjin melihat ini. Pemuda itu saja sudah amat lihai dan sukar dikalahkan, sekarang di fihak musuh ada pula Yok-ong, maka kalau pertempuran tetap dilakukan seorang melawan seorang, fihaknya tentu akan kalah.
Apa lagi pada saat itu dia melihat Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu tengah berlari menghampiri Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Kiu-bwe Coa-li. Dua orang ciangbunjin ini lalu berkata dengan muka merah,
"Kami berdua yang bermata buta dan bertelinga tuli telah salah sangka, mendakwa Ji-wi yang putih bersih sehingga kami patut dihukum mampus."
"Ah, tidak apa, Ji-wi Bengyu. Kalian menjadi korban tipu muslihat dari para penjilat," kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Akan tetap Kiu-bwe Coa-Li mengejek, "Sungguh memualkan perut, dua ciangbunjin yang bernama besar ternyata masih mudah saja diberi makan tai oleh anjing-anjing itu!"
Mendengar ini, dua orang tua ini menjadi pucat dan kemudian, makin merah wajahnya. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Semua anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai melihat ini, beramai-ramai lalu datang dan ikut berlutut pula!
"Kami orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, bersedia menerima binasa untuk dapat menebus dosa!" kata kedua orang ketua ini.
Melihat ini, Kiu-bwe Coa-li merasa terharu. "Ji-wi jangan seperti anak kecil. Orang-orang yang berdosa adalah penjilat-penjilat penjajah, mereka berada di depan kita dan secara terang-terangan mereka memusuhi kita. Mengapa tidak lekas-lekas memukul mereka?"
Serentak orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai bangkit berdiri dan memandang pada Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya dengan mata penuh kemarahan. Melihat ini, Kiam Ki Sianjin lalu mengeluarkan sebuah terompet dari tanduk dan meniupnya keras sekali. Itulah tanda bagi semua tentara yang memasang baihok (barisan sembunyi) untuk mulai bergerak!
Maka keluarlah barisan yang mengepung bukit itu dari segenap jurusan. Dengan senjata di tangan mereka berbaris rapi dan mulai menyerbu ke atas. Kiam Ki Sianjin dibantu oleh kawan-kawannya juga segera mencabut senjata dan turut menyerbu!
Kwan Cu masih bertempur ramai dengan Hek-i Hui-mo. Melihat hal ini dia lalu berseru,
"Yok-ong Locianpwe, harap jangan melawan dan segera menyelamatkan kawan-kawan berlari lebih dulu. Biar teecu yang menahan mereka!"
Begitu ucapan ini habis dikeluarkan, dia lalu menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali dan tangan kirinya juga mainkan Pek-in Hoat-sut dengan jurus-jurus yang paling berbahaya.
Mana Hek-i Hui-mo kuat menahan serangan dari seorang yang sudah mengisap semua pelajaran tinggi dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Tenaga yang digunakan oleh Kwan Cu pada saat itu adalah tenaga sepenuhnya, maka terdengarlah suara keras. Tongkat Kepala Naga putus oleh pedang Liong-coan-kiam yang terus menyabet hingga pinggang Hek-i Hui-mo terbabat putus menjadi dua!
Kemudian Kwan Cu mengamuk hebat. Pertama-tama yang diserbunya adalah Kiam Ki Sianjin karena di antara semua lawan, yang terberat adalah kakek ini. Kiam Ki Sianjin dibantu oleh banyak kawannya lalu mengurung Kwan Cu dan sebagian pula menyerbu kepada Yok-ong dan kawan-kawannya.
Akan tetapi, Yok-ong cepat memberi tanda kepada Pak-lo-sian dan yang lain-lain untuk mengikuti dia mundur. Sambil mundur, mereka ini tidak tinggal diam saja.
Yok-ong menggunakan kaki dan tangannya merobohkan setiap orang yang berani dekat. Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil tertawa terbahak-bahak menggunakan kedua kakinya. Biar pun kedua tangannya tak dapat digerakkan, namun sepasang kakinya berpesta-pora dan menendang para pengeroyok. Siapa pun juga yang kena tendangannya pasti lantas terpental jauh untuk bangun di depan Giam-lo-ong (Raja Maut)! Demikian pula Kiu-bwe Coa-li yang mengamuk dengan sepasang kakinya.
Seng Thian Siansu yang sudah tua dan remuk tangan kanannya, hanya menggunakan tangan kirinya menangkap-nangkapi para pengeroyok dan melempar-lemparkan mereka. Sedangkan Sui Ceng, Kun Beng dan Swi Kiat juga mengamuk hebat membabati para tentara yang tentu saja bukan menjadi lawan mereka yang seimbang. Dua orang murid Kun-lun-pai juga mengamuk, demikian pula Bian Kim Hosiang, Bin Kong Siansu, beserta para murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
Akan tetapi jumlah tentara yang naik banyak sekali sehingga apa bila pertempuran itu diteruskan, tenaga mereka pasti akan kalah juga.
"Lari, ikut padaku!" kata Yok-ong.
Raja Tabib ini lalu membawa semua kawannya menuju ke jalan rahasia yang tadi pernah dia perlihatkan kepada Kwan Cu. Karena mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan ilmu lari cepat, apa lagi para tentara juga gentar menghadapi mereka, sebentar saja Yok-ong sudah dapat membawa mereka memasuki goa dan melarikan diri melalui jalan terowongan di bawah tanah.
Kwan Cu masih mengamuk hebat. Tidak terbilang banyaknya orang yang roboh di bawah amukan pedangnya. Lama-lama dia merasa tidak tega melihat banyaknya orang tewas. Entah sudah berapa puluh musuh yang binasa, mayat mereka bertumpuk-tumpuk dan bergelimpangan. Darah membanjir membuat hatinya ngeri. Akan tetapi dia tidak sempat merobohkan Kiam Ki Sianjin yang amat kosen.
"Untuk apa membunuhi orang-orang yang hanya menjadi alat?" pikirnya, maka dia mulai mundur. Akan tetapi, di mana-mana dia terkurung oleh tentara yang banyaknya seperti semut itu.
Di bawah hujan senjata yang luar biasa banyaknya itu, mendadak meluncur anak-anak panah yang cepat sekali datangnya. Kwan Cu salah hitung.
Dia mengira bahwa semua panah itu datang dari tentara biasa yang memang semenjak tadi kalau ada kesempatan lalu menghujankan anak panah mereka. Akan tetapi semua anak panah itu dengan hanya sekali sampok saja dengan tangan kirinya, sudah runtuh berhamburan.
Kali ini, dia pun menggunakan tangan kirinya menyampok. Namun alangkah terkejutnya ketika dia merasa kulit lengan kirinya sakit dan berdarah, tanda bahwa yang melepaskan adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar.
Lebih kaget lagi ketika anak-anak panah seperti itu makin gencar datangnya. Pada saat Kwan Cu melihat ke arah pelepas anak-anak panah itu, dia melihat bahwa pelepas anak panah itu adalah Kiam Ki Sianjin dan Kam Cun Hong, perwira tinggi kepercayaan Si Su Beng. Memang dalam hal ilmu silat, kepandaian panglima she Kam ini tidak terlalu hebat, akan tetapi dalam ilmu memanah, dia ahli dan lihai sekali.
Kwan Cu sibuk menangkis, akan tetapi tetap saja ada sebatang anak panah meleset dari lengannya dan menancap di dadanya sebelah kiri dekat pundaknya! Baiknya tubuhnya telah terisi oleh sinkang yang luar biasa, maka dia masih keburu menolak anak panah itu sehingga menancap tidak sampai menembusi dagingnya dan tak melukai anggota tubuh sebelah dalam.
Namun, ini sudah cukup mengejutkan Kwan Cu yang cepat melompat dan menggunakan ilmu ginkang-nya. Dia melompati kepala para pengeroyoknya dan sebentar saja dia telah lenyap!
Kiam Ki Sianjin memimpin teman-teman dan anak-anak buahnya melakukan pengejaran, namun pemuda itu tidak kelihatan lagi karena dia telah masuk ke dalam jalan terowongan di bawah tanah, mengejar rombongan Yok-ong yang sudah lari terlebih dulu.
Dengan amat berang dan kecewa, Kiam Ki Sianjin mengobrak-abrik hutan, membakari alang-alang, dan akhirnya menjelang senja dia menarik mundur pasukannya dan kembali ke kota raja dengan hati penasaran, kecewa, dan juga gentar.
*****
Yok-ong berhasil membawa rombongannya keluar dari kurungan tentara kerajaan dan mereka muncul di dalam sebuah hutan yang besar di sebelah kiri Bukit Tai-hang-san, sebelah selatan kota Tai-goan. Setelah menghaturkan terima kasih, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu memimpin anak murid masing-masing untuk pulang ke Bu-tong-san dan Kim-san.
Ada pun Yok-ong, Pak-lo-sian, Kiu-bwe Coa-li, Bun Sui Ceng, The Kun Beng, dan Gouw Swi Kiat masih menanti di situ dengan hati gelisah karena Kwan Cu belum juga muncul. Setelah menanti beberapa lama, Seng Thian Siansu bersama dua orang muridnya juga berangkat, dan menerima obat dari Yok-ong.
Seng Thian Siansu merasa amat terharu dan berterima kasih sekali, lalu pulanglah dia ke Kun-lun-san. Tiga orang ketua partai besar ini berjanji akan mendidik anak-anak murid mereka, karena negara membutuhkan orang-orang gagah untuk menghadapi keganasan penjajah.
Di antara mereka yang menunggu munculnya Kwan Cu, yang kelihatan gelisah sekali adalah Yok-ong karena kakek ini merasa suka sekali terhadap Kwan Cu. Akan tetapi sebenarnya, hati Sui Ceng lebih gelisah dari pada Yok-ong, cuma saja gadis ini tentu saja menyembunyikan perasaannya.
Mereka menanti munculnya Kwan Cu sambil tiada hentinya memuji dan membicarakan murid Ang-bin Sin-kai itu. Tahulah mereka semua bahwa pemuda itu tentu telah mewarisi ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Tak lama kemudian, muncullah Kwan Cu dari goa itu.
"Kwan Cu... kau terluka...?" Sui Ceng berseru lebih dulu tanpa dapat menahan mulutnya ketika melihat baju pemuda itu penuh darah dan sebatang anak panah menancap pada dada kirinya. Juga Yok-ong menghampiri dan hendak memeriksa lukanya.
Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepalanya.
"Tidak apa... tidak apa, hanya luka sedikit. Biarlah sementara waktu anak panah ini tidak dicabut dulu."
Ucapan ini cukup memberi tahukan bahwa anak panah itu mengandung racun. Memang, jika dicabut maka racun yang berada di ujung anak panah akan lebih lekas menjalarnya dan berbahaya sekali, akan tetapi kalau dibiarkan dulu dan dengan pengerahan tenaga lweekang, racun itu tidak mudah menjalar.
Yok-ong merasa heran mengapa pemuda itu belum mau diobati. Akan tetapi Kwan Cu tidak mengacuhkan lukanya, bahkan lalu berkata,
"Aku telah khawatir sekali jika Cu-wi telah pergi dari sini. Aku ingin sekali menyampaikan sesuatu mengenai diri Sui Ceng."
Semua orang melongo. Sui Ceng menjadi merah mukanya dan Kun Beng memandang dengan rasa cemburu.
"Apa kehendakmu mengenai diri muridku?" Kiu-bwe Coa-li bertanya dengan marah.
"Suthai, aku pernah ditinggali pesan oleh ibu dari Sui Ceng, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, bahwa aku harus melindungi Sui Ceng. Sekaranglah waktunya aku harus mentaati pesan itu. Terang-terangan kukatakan bahwa perjodohan antara Sui Ceng dan Kun Beng harus dibatalkan!"
Sui Ceng menjadi pucat, juga Kun Beng menjadi pucat, sedangkan Swi Kiat memandang dengan mata bersinar-sinar sambil menduga-duga mengapa Kwan Cu mengemukakan hal yang memang menjadi isi hatinya.
"Kwan Cu, sepak terjangmu tadi sungguh mengagumkan hatiku, akan tetapi omonganmu sekarang ini benar-benar membikin aku marah sekali," kata Kiu-bwe Coa-li. "Katakanlah alasan-alasannya mengapa kau bicara begitu."
Melihat Kwan Cu ragu-ragu, Pak-lo-sian yang juga merasa tersinggung karena Kun Beng adalah anak muridnya, mendesak, "Kwan Cu, lekas ceritakan kenapa kau menghendaki demikian."
Kwan Cu memandang kepada Kun Beng, lalu kepada Swi Kiat, kemudian dia berbicara dengan suara lantang, "Bukan hak dan kewajiban teecu untuk menceritakan alasan itu. Lebih baik Kun Beng dan Swi Kiat yang bercerita tentang diri Kun Beng dan Gouw Kui Lan."
Pucatlah wajah Kun Beng dan tubuhnya gemetar. Melihat hal ini, hati Sui Ceng menjadi berdebar. Ia sudah jatuh cinta pada tunangannya ini dan sekarang hal apakah yang akan didengarnya?
Swi Kiat menggigit bibirnya, karena hal ini menodakan nama baik adiknya, nama baik keluarganya. Sakit hatinya mendengar Kwan Cu membongkar rahasia ini. Tadinya dia hendak mengurus hal ini dengan Kun Beng secara diam-diam, jangan sampai terdengar oleh orang lain.
Pak-lo-sian membanting kakinya di atas tanah. "Kalian muridku berdua! Mengapa diam saja? Hendak menyembunyikan rahasia dari gurumu?"
Kun Beng hanya menundukkan kepalanya, tidak berani bergerak. Swi Kiat lalu menelan ludah beberapa kali, kemudian terpaksa dia menuturkan dengan suara gemetar tentang perbuatan Kun Beng terhadap Kui Lan, adiknya.
Mendengar ini, semua orang merasa kaget bukan main. Sui Ceng menjadi pucat sekali dan air matanya mengalir turun membasahi pipinya.
Kiu-bwe Coa-li lalu bangkit dan berkata, "Sui Ceng, tidak ada apa-apa lagi yang perlu dibicarakan. Perjodohanmu putus sampai di sini! Hayolah kita pergi!" Kiu-bwe Coa-li lalu melompat dan berlari pergi dari situ.
Sui Ceng ragu-ragu, lalu menghampiri Kwan Cu. Sambil menggigit bibir dia berkata, "Kau iri hati, kau... kau...!" Tangannya menampar dan..., "Plakk!" pipi Kwan Cu sudah ditamparnya.
Pemuda itu hanya memandangnya dengan tenang. Dengan terisak Sui Ceng lalu berlari mengejar gurunya.
Pak-lo-sian marah bukan main. "Kun Beng, murid semacam engkau ini harus binasa, sungguh memalukan nama baik gurumu!"
Kakinya menendang, akan tetapi bukan Kun Beng yang terjungkal, melainkan Swi Kiat! Pemuda ini sudah menubruk sambil memasang dirinya sehingga dia mewakili sute-nya. Tubuhnya terlempar bergulingan. Pak-lo-sian terkejut sekali, akan tetapi Swi Kiat yang patah tulang pundaknya terkena tendangan, telah maju berlutut,
"Suhu, mohon mengampuni nyawa sute. Dia… dia adalah suami adik teecu, dia harus mengawini Kui Lan!"
Melihat ini semua, Kun Beng tiba-tiba berdiri dan sambil tertawa bergelak, dia melompat dan sebentar kemudian lenyap dari situ. Mendengar suara ketawa ini, semua orang jadi bergidik, dan Yok-ong berkata seorang diri, "Kasihan... suara ketawa itu menunjukkan bahwa batinnya terpukul hebat dan mungkin otaknya terkena getaran."
Ini hanya berarti bahwa ada kemungkinan Kun Beng menjadi gila!
Pak-lo-sian marah dan mengejar Kun Beng, diikuti oleh Swi Kiat. Akan tetapi mereka tak dapat menemukan jejak Kun Beng lagi.
Yok-ong lalu menghampiri Kwan Cu dan alangkah kagetnya ketika dia melihat pemuda itu menangis terisak-isak. Ternyata bahwa Kwan Cu merasa menyesal setengah mati melihat akibat dari pada pembongkaran rahasia itu. Ia dapat merasa betapa Sui Ceng terluka hatinya, Kiu-bwe Coa-li kecewa, Pak-lo-sian Siangkoan Hai malu dan marah, Swi Kiat berduka dan Kun Beng mungkin... gila!
"Locianpwe... aku... aku berdosa besar..."
"Sudahlah, hati yang menanggung cinta kasih memang membikin orang menjadi buta dan sembrono. Biar kuobati lukamu."
Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepalanya dan pergi sambil menundukkan mukanya. Yok-ong tahu akan kekerasan hati pemuda ini, maka dia lalu memasukkan sebungkus obat di kantong pemuda itu sambil berkata,
"Pakai obat ini pada lukamu, pasti akan sembuh."
Akan tetapi Kwan Cu tidak menjawab dan terus berjalan dengan kepala tunduk. Mukanya pucat dan kakinya limbung. Yok-ong menggeleng-gelengkan kepalanya dan segera pergi karena tahu bahwa dia tidak dapat menghibur pemuda yang luka hatinya itu.
Kwan Cu berjalan terus tanpa tujuan, memasuki hutan yang besar itu. Dadanya yang terluka sakit sekali rasanya, akan tetapi dia tidak ambil peduli. Kematian bukan apa-apa baginya pada saat itu. Rasa panas di pipinya lebih menyakitkan hati dari pada rasa panas pada luka di dadanya. Anak panah itu masih menancap pada dadanya, tapi tidak dipedulikannya pula.
"Kwan Cu...!"
Ia menengok dan melihat Sui Ceng berdiri di depannya. "Kau... kau kenapa?"
Kwan Cu melihat air mata mengalir di pipi gadis itu. la menarik napas panjang, "Kau tentu tak mau mengampuni aku...," katanya lemah.
"Lukamu itu...! Mengapa belum diobati?"
Kwan Cu menundukkan mukanya dan tiba-tiba saja timbul pikiran yang sangat aneh di kepalanya. Dengan tangan dia menekan anak panah itu yang tentu saja masuk semakin dalam ke dadanya! Ia merasa sakit sekali, akan tetapi dengan senyum aneh dia berkata, "Lebih baik aku mati saja."
Rasa sakit tak tertahankan lagi dan Kwan Cu roboh terguling dalam keadaan pingsan! Tubuhnya sebetulnya kuat sekali dan biar pun anak panah itu menancap makin dalam, dia takkan apa-apa kalau batinnya tidak menerima pukulan hebat akibat peristiwa tadi.
Ketika siuman kembali, dia melihat dirinya duduk dan bersandar pada pohon. Bajunya yang atas sudah tidak ada, entah ke mana. Ia bertelanjang sebatas pinggang ke atas. Akan tetapi dia tidak memperhatikan semua ini, karena dia melihat Sui Ceng telah duduk di depannya dan sedang merawat luka di dadanya. Anak panah itu telah dicabut dari dadanya dan kini dengan sapu tangannya, Sui Ceng tengah membersihkan lukanya.
Darah muda Kwan Cu memanaskan seluruh tubuhnya. Alangkah cantiknya wajah yang berada dekat di depannya. Alangkah indahnya rambut yang terurai itu, bibir yang merah dan penuh, mata yang masih membayangkan tangis.
"Sui Ceng... kau baik sekali..."
Gadis itu tidak menjawab, hanya menggigit bibir sambil menahan isak. Akan tetapi kedua tangannya masih tetap bekerja membersihkan darah dari luka yang membiru itu.
"Sui Ceng... alangkah... alangkah cantiknya engkau..."
Dua tetes air mata mengalir di pipi gadis ini, matanya dikejap-kejapkan sebab pandangan matanya terganggu dan bibirnya gemetar.
"Sui Ceng, sekali lagi... aku... aku cinta kepadamu...," suara Kwan Cu menjadi bisik-bisik akibat kepalanya sudah berdenyut-denyut pula, pandangan matanya berkunang-kunang. "Kau... kau ampunkan aku, Sui Ceng, aku... aku berdosa besar..."
Air mata dari mata gadis itu turun semakin banyak dan kini bukan hanya bibirnya yang gemetar, bahkan sepuluh jari tangannya yang merawat luka ikut menggigil. Akan tetapi ia tetap membungkam dan matanya tak pernah melirik wajah Kwan Cu.
"Sui Ceng...," suara Kwan Cu lemah dan lirih sekali, "biarkan... aku mati... aku lebih suka mati dari pada menyakiti hatimu..." Dan tiba-tiba kepala Kwan Cu terkulai, dia pingsan lagi untuk kedua kalinya!
Melihat ini, Sui Ceng menjadi kaget setengah mati. Dia memeluk tubuh pemuda itu dan menggoyang-goyangnya. "Kwan Cu... dengarlah... aku! Jangan mati, Kwan Cu...!"
Namun Kwan Cu tetap tidak bergerak. Tanpa dia ketahui sendiri, tubuh Kwan Cu sudah memiliki kekuatan yang aneh berkat latihan-latihan lweekang menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Racun yang dipasang pada ujung anak panah yang dilepaskan oleh Kiam Ki Sianjin, adalah racun pemberian dari Coa-tok Lo-ong dan sangat ganas. Kalau saja di dalam tubuh Kwan Cu tidak mengalir hawa murni dari sinkang yang sudah dilatihnya, pasti racun itu akan cepat menjalar dan menewaskannya.
Berkat kekuatan ini Kwan Cu siuman kembali. Dia mendengar suara orang memanggil-manggil namanya dari jauh. Suara itu makin lama makin dekat dan ketika dia membuka matanya, dia melihat Sui Ceng menangis sambil memanggil-manggil namanya.
Ia tidak tahu bahwa tadi wajahnya sudah pucat seperti mayat dan detak nadinya sudah berhenti, maka gadis itu mengira bahwa dia sudah mati! Padahal, hentian detak nadi ini adalah akibat dari pengerahan lweekang yang sudah tak dapat diukur tingginya lagi. Tadi sebelum pingsan Kwan Cu menahan sakit dan mengerahkan lweekang-nya sehingga dia berhasil menghentikan jalan darahnya, maka pada saat Sui Ceng meraba urat nadi, tidak merasa ada detaknya lagi.
"Sui Ceng, terima kasih... kau...kau menangis untukku...," katanya.
Sui Ceng memandang muka yang tadinya berada di atas pangkuannya itu. Melihat Kwan Cu ‘hidup kembali’ dia pun cepat-cepat menurunkan kepala pemuda itu di atas tanah dan berkata, "Kwan Cu, jangan kau mati..."
Kwan Cu tersenyum. "Tidak, Sui Ceng. Kalau kau menghendaki aku hidup, katakanlah bahwa kau memaafkan aku."
"Aku... aku maafkan kau, Kwan Cu."
Sinar gembira membayang pada wajah Kwan Cu. Dia mengerahkan tenaga dan berhasil bangkit duduk. Dirogohnya saku bajunya dan dikeluarkannya bungkusan obat pemberian dari Yok-ong.
"Yok-ong locianpwe memberikan obat ini untukku. Campurlah dengan air dan masukkan ke dalam luka di dadaku."
Sui Ceng cepat menerima bungkusan itu dan pergi mencari air yang mudah didapat di dalam hutan itu, lalu tanpa banyak cakap ia mengobati luka di dada Kwan Cu.
Luar biasa manjurnya obat dari Yok-ong ini, karena begitu obat itu dijejalkan ke dalam luka, rasa panas lenyap dan obat yang tadinya berwarna putih bersih setelah terkena air itu, kini perlahan-lahan berubah hitam.
Tidak lama kemudian, darah kehitaman keluar dari luka itu. Kwan Cu bersila, meramkan mata sambil mengempos semangatnya, mempergunakan hawa murni dalam tubuh untuk mendorong keluar semua racun yang mengotori darahnya sehingga darah hitam yang keluar dari lukanya makin deras. Akhirnya keluarlah darah merah. Setelah ini baru Kwan Cu menghentikan penggunaan tenaga dalamnya, lalu membuka matanya dan memakai pakaiannya lagi.
Sejak tadi Sui Ceng memandang kepada pemuda itu dengan air muka sebentar kagum sebentar duka.
"Sui Ceng, kau benar-benar berhati mulia seperti ibumu. Tadi kau sudah pergi dengan gurumu, mengapa bisa datang di tempat ini?"
Sui Ceng menjawab dengan kepala tunduk. " Aku... aku merasa menyesal sekali sudah berlaku kasar padamu, telah... telah menampar mukamu. Kau maafkan aku, Kwan Cu."
Kwan Cu tertawa bergelak. "Sepatutnya kau membunuhku, Sui Ceng, tak hanya sekedar menamparku. Kalau ada orang yang minta maaf, akulah orangnya, bukan kau."
Hening sesaat. Keduanya duduk di bawah pohon dan setelah kini sembuh dari sakitnya, Kwan Cu merasa sungkan dan kikuk. Merah mukanya kalau dia teringat betapa tadi dia kembali mengeluarkan kata-kata menyatakan cinta kasih kepada gadis ini. Keheningan suasana itu membuat Kwan Cu lebih kikuk, maka agar jangan sampai Sui Ceng merasa kikuk pula, dia mulai membuka percakapan,
"Sui Ceng, bagaimana kau bisa memisahkan diri dari gurumu?"
"Aku sengaja meninggalkan suthai dan sudah mendapat perkenannya. Suthai kembali ke gunung dan kelak aku akan menyusulnya."
"Jadi kau sengaja pergi dari Kiu-bwe Coa-li suthai untuk menyusulku?"
Sui Ceng mengangguk. Hening lagi sesaat. Beberapa kali Kwan Cu menggerakkan bibir, akan tetapi sukarlah kata-kata keluar dari mulutnya. Akhirnya dia memberanikan diri dan bertanya,
"Sui Ceng, setelah kini kau menyusulku, apakah yang hendak kau katakan? Kita terlibat dalam urusan yang amat tidak enak, dan aku... aku..."
"Kwan Cu, bagaimana kau bisa tahu tentang... Kun Beng dan adik Swi Kiat?" tiba-tiba Sui Ceng bertanya sambil memandang tajam.
“Untuk inikah kau menyusulku, Sui Ceng?"
"Ya, untuk mengajukan pertanyaan ini. Aku penasaran sekali dan ingin mendengar kisah itu sejelasnya."
Untuk beberapa lama Kwan Cu menatap wajah gadis yang kemerah-merahan dan mata yang berkaca-kaca itu, maka tertusuklah hatinya. Dengan suara perlahan dia bertanya,
"Sui Ceng, kau... kau amat mencinta Kun Beng...?"
Merah sekali wajah Sui Ceng. Gadis ini tahu bahwa Kwan Cu sangat mencintanya dan tentu saja akan hancur hati pemuda ini kalau ia mengaku bahwa ia mencinta Kun Beng. Akan tetapi tidak ada lain jalan bagi Sui Ceng untuk menyangkal dan pula ia tidak suka menyangkal, karena gadis ini berwatak jujur.
Dengan air mata berlinang dan suara terputus-putus Sui Ceng menjawab,
"Bagaimana aku tidak... tidak akan mencintanya? Dia adalah tunanganku, dan dia adalah jodohku yang dipilih sendiri oleh mendiang ibu, akan tetapi dia... dia..." Sampai di sini Sui Ceng tak dapat melanjutkan kata-katanya, tubuhnya lemas dan tiba-tiba ia sudah berada dalam pelukan Kwan Cu.
Karena amat berduka dan patah hati, Sui Ceng merasa mendapatkan hiburan dan dia menyandarkan kepalanya di dada Kwan Cu sambil menangis. Usapan tangan Kwan Cu pada kepalanya mendatangkan hiburan besar baginya seakan-akan ia sedang berada di pangkuan ibunya sendiri.
Kwan Cu merasa sangat terharu dan kasihan sekali, "Sui Ceng, jangan berduka, adikku, tenangkanlah hatimu... kau sekarang bukan tunangan Kun Beng lagi, tak perlu lagi kau memikirkan dia. Dia tidak berharga bagimu dan aku... aku mencintamu dengan segenap jiwaku, Sui Ceng. Jangan engkau khawatir, marilah kita membangun hidup baru, rumah tangga bahagia, dan menjauhkan diri dari segala hal yang menjengkelkan hati. Aku akan selalu melindungimu Sui Ceng..."
Tubuh gadis itu tersentak, akan tetapi dia tidak mengangkat kepalanya dari dada Kwan Cu. Untuk sesaat pikirannya bekerja keras. Harus dia akui bahwa kalau sekiranya tidak ada Kun Beng di dunia ini, dia akan menerima pernyataan cinta kasih Kwan Cu dengan hati terbuka.
Dia sudah mengetahui bahwa pemuda ini amat gagah perkasa dan mulia, bahkan jauh lebih baik dari pada Kun Beng. Akan tetapi, hati Sui Ceng sudah tertambat kepada The Kun Beng tunangannya itu. Dia amat mencinta Kun Beng dan pula, bukankah pemuda itu pilihan ibunya sendiri?
"Sui Ceng, jangan kau takut." Kwan Cu menghibur karena dia mengira bahwa gadis itu berdiam diri dengan hati takut menghadapi kemurkaan gurunya. "Jangan kau takut pada siapa pun juga. Biar pun Kiu-bwe Coa-li suthai akan marah kepadamu, akulah yang akan bertanggung jawab. Akulah orangnya yang sanggup membelamu dengan taruhan nyawa. Tak seorang pun di dunia ini akan dapat mengganggumu selama aku masih hidup!"
Akan tetapi tiba-tiba Sui Ceng melepaskan diri dari pelukan Kwan Cu dan memandang kepada pemuda itu dengan muka pucat. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras.
"Tidak! Tidak...! Jangan begitu, Kwan Cu. Janganlah kau menyeretku ke dalam lembah kehinaan!"
Kwan Cu terkejut sekali. Ia mengulur tangan hendak memegang lengan Sui Ceng, akan tetapi gadis itu menarik tangannya.
"Jangan sentuh aku lagi. Tidak patut kita bersentuhan, kau tidak berhak dan aku... aku harus menjaga kesusilaan. Memang aku tidak takut pada suthai, akan tetapi, aku harus mentaati kehendak ibuku. Apakah kau ingin melihat aku mengingkari pesan ibu? Tidak, Kwan Cu. Bagiku, aku adalah jodoh dan tunangan Kun Beng, pilihan ibu. Kalau sampai terjadi perpecahan sehingga ikatan itu putus, aku bersumpah selamanya tidak akan mau menikah. Kecuali... kecuali kalau Kun Beng sudah menikah dengan orang lain." Kembali Sui Ceng menangis dengan sedih.
Kwan Cu menarik napas panjang. "Betapa pun juga, aku kagum kepadamu, Sui Ceng. Cinta kasihmu terhadap Kun Beng benar-benar tulus dan murni, hanya pemuda itu yang tidak tahu diri. Kau amat setia dan mulia, maka aku kembali telah merusak kesucianmu. Dengarlah, Sui Ceng, sekali-kali aku tidak membuka rahasia Kun Beng karena iri hati kepadanya. Memang aku ingin melihat kau berbahagia. Kalau Kun Beng tidak melakukan perbuatan terkutuk itu, akulah orangnya yang akan membantu perjodohan kalian. Akan tetapi, ternyata Kun Beng memperlihatkan bahwa dia tidak patut menjadi suamimu, maka aku kasihan kepadamu dan berusaha menggagalkan perjodohan itu."
Sui Ceng mengangguk-angguk terharu. "Aku tahu, Kwan Cu, dan karena itu aku datang mencarimu. Sekarang ceritakanlah bagaimana kau bisa mengetahui akan hal itu?"
Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya saat dia menolong Kui Lan dari cengkeraman An Kong dan menceritakan pula bahwa kini Kui Lan berada di kelenteng Kwan-im-bio di dusun Kau-ling di sebelah utara Tang-shan, yakni kelenteng yang diketuai oleh Ngo Lian Suthai.
Sebagaimana sudah dituturkan pada bagian depan, Ngo Lian Suthai kenal baik dengan Kwan Cu dan ketua nikouw itu terluka oleh bajak sungai yang mencuri patung. Semua ini diceritakan dengan sejujurnya oleh Kwan Cu hingga akhirnya dia berkata dengan suara penuh kedukaan dan kehancuran hati,
"Sui Ceng, sebelum aku tahu bahwa kau telah dijodohkan dengan Kun Beng, aku sudah menaruh hati suka kepadamu. Kau sudah mendengar semua ceritaku, maka tentu kau juga menaruh hati kasihan kepada Kui Lan gadis yang malang itu."
"Kasihan? Dia adalah seorang gadis lemah iman yang bodoh! Gadis seperti itu tidak ada harganya!"
Apa bila lain orang yang mendengar omongan ini, tentu hanya akan menuduh bahwa Sui Ceng merasa sakit hati kepada Kui Lan karena tunangannya direbut. Akan tetapi Kwan Cu lain lagi dan dia dapat melihat kebenaran kata-kata ini.
"Memang, Kui Lan terlampau lemah, mudah sekali menuruti ajakan iblis yang menggoda. Betapa pun juga, keadaannya harus dan patut dikasihani."
Tiba-tiba Sui Ceng bangkit berdiri. "Selamat tinggal, Kwan Cu. Mungkin selamanya kita tak akan bertemu lagi."
"Ehh, kau hendak ke mana?"
"Aku akan menemui Kui Lan dan akan kuusahakan supaya Kun Beng mengambilnya sebagai isteri yang sah!"
Kwan Cu semakin kagum. "Kau hebat sekali, Sui Ceng. Benar-benar kau berbudi luhur seperti ibumu."
Tiba-tiba saja pemuda ini teringat akan kata-kata Sui Ceng tadi yang menyatakan bahwa gadis ini dapat mengambil keputusan lain mengenai perjodohannya kalau saja Kun Beng menikah dengan orang lain. Dengan demikian berarti bahwa kalau sampai terjadi Kun Beng menikah dengan Kui Lan, maka dia memiliki banyak harapan terhadap Sui Ceng! Karena itu cepat-cepat dia berkata,
"Tunggu dulu, aku pun akan pergi ke sana! Aku yang mula-mula menolong Kui Lan dan aku pula yang berkewajiban untuk menolongnya mendapatkan Kun Beng kembali. Awas kepala Kun Beng kalau dia tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak mau mengawini Kui Lan."
Kedua orang muda itu lalu berangkat dengan cepat, menuju ke kuil Kwan-im-bio di dusun Kau-ling. Karena kedua orang muda yang perkasa ini mempergunakan ilmu lari cepat, tidak sampai lama mereka tiba di dusun itu. Akan tetapi mereka kecewa karena ternyata bahwa Ngo Lian Suthai telah pergi merantau membawa Kui Lan yang diakuinya sebagai muridnya.
"Ehh, bagaimana mungkin?" tanya Kwan Cu kepada nikouw yang menyambut mereka. "Aku tahu benar bahwa Ngo Lian Suthai terluka hebat, bagaimana dia bisa pergi?"
Nikouw itu tersenyum. "Taihiap, manusia yang baik selalu mendapat perlindungan Thian. Ngo Lian Suthai telah mendapat penyembuhan, berkat pertolongan Yok-ong locianpwe."
Kwan Cu melengak. Jadi sebelum bertemu dengan dia di Tai-hang-san, Yok-ong malah sudah menyembuhkan Ngo Lian Suthai? Aneh sekali kakek Raja Tabib itu, di mana saja dan pada waktu tenaganya diperlukan selalu muncul akan tetapi tidak banyak bicara.
"Ke mana perginya Ngo Lian Suthai?"
"Sukar untuk menentukan tempatnya. Akan tetapi kalau tidak salah, dulu Ngo Lian Suthai pernah menyatakan bahwa sahabat-sahabatnya membantu perjuangan rakyat di wilayah Pao-ting. Dan suthai selalu merasa sejiwa dengan mereka itu, maka tidak akan meleset jauh kalau kiranya Taihiap menyusul ke sana."
Kwan Cu menghaturkan terima kasih, lalu bersama Sui Ceng menuju ke Pao-ting yang pada waktu itu memang menjadi sebuah di antara pusat-pusat pasukan pejuang rakyat yang berusaha menggulingkan pemerintah Tartar. Pao-ting letaknya di sebelah selatan kota raja, maka kedua orang muda itu melakukan perjalanan yang cukup lama, sampai makan waktu sebulan lebih. Hal ini adalah karena di tengah perjalanan, mereka sering kali berhenti untuk membantu perjuangan rakyat.
Makin kagumlah hati Sui Ceng melihat sepak terjang Kwan Cu. Sekarang gadis ini tahu betul bahwa kepandaian Kwan Cu benar-benar luar biasa hebatnya, malah jauh melebihi kepandaian tokoh-tokoh besar, di antaranya gurunya sendiri, Kiu-bwe Coa-li! Diam-diam dia mengharapkan supaya Kun Beng suka menikah dengan Kui Lan, karena hal ini akan memungkinkan hatinya menyetujui pinangan Kwan Cu terhadapnya.
Dia memang mencinta Kun Beng. Akan tetapi kalau tunangannya itu memang sudah menikah dengan Kui Lan, tentu dia akan dapat melupakannya dan kiranya tak akan sulit baginya untuk membalas cinta kasih seorang pemuda seperti Kwan Cu.
*****
Pada suatu hari, ketika Kwan Cu dan Sui Ceng baru saja keluar dari sebuah hutan di selatan kota raja, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun tujuh batang anak panah. Kwan Cu dan Sui Ceng telah bersiap sedia untuk menangkis atau mengelak, akan tetapi ternyata tidak ada sebatang pun anak panah yang mengenai mereka dan ketika mereka memandang, ternyata bahwa tujuh batang anak panah itu hanya menancap pada tanah di sekeliling mereka.
Sui Ceng terkejut dan diam-diam ia mengagumi orang yang melepaskan anak panah itu, karena dapat menancap rata pada jarak yang sama di sekeliling mereka. Akan tetapi bagi Kwan Cu, kepandaian seperti itu bukan apa-apa dan dia berdongak ke atas sambil berkata tenang,
"Sahabat dari manakah bermain-main seperti ini dengan kami?"
Sebetulnya, sejak tadi pun Kwan Cu sudah tahu bahwa di atas pohon itu bersembunyi empat orang, akan tetapi dia sengaja diam saja agar tidak mengagetkan hati Sui Ceng yang sesungguhnya masih belum sembuh benar dari pada lukanya yang diderita dalam pertempuran di puncak Tai-hang-san.
Baru saja kata-kata ini selesai dikeluarkan oleh Kwan Cu, dari atas pohon menyambar turun empat orang yang gerakannya amat ringan dan gesit sehingga kembali Sui Ceng terkejut. Akan tetapi baik dia mau pun Kwan Cu tidak mengenal orang-orang ini.
Sesudah mereka berdiri berhadapan dengan Kwan Cu dan Sui Ceng, gadis ini segera memandang penuh perhatian dan orang yang ke empat dari rombongan ini mempunyai wajah yang seperti pernah dilihatnya, akan tetapi ia sudah lupa lagi entah di mana.
Orang itu adalah seorang pemuda yang ganteng serta bersikap sopan santun. Pakaian dan gerak-geriknya yang halus menunjukkan bahwa ia adalah seorang sastrawan muda. Sepasang matanya tajam dan tubuhnya jangkung. Usianya sebaya dengan Kwan Cu.
Ada pun orang ke dua adalah seorang kakek yang kecil bongkok, orang ke tiga seorang kakek bermuka hitam bertubuh tinggi besar. Adapun orang ke empat yang berdiri paling depan adalah seorang nikouw (pendeta wanita) yang berjubah kuning.
Melihat bahwa sebagian besar yang datang merupakan orang-orang tua, Kwan Cu cepat menjura dan bertanya,
"Entah apakah yang menjadi kehendak Cu-wi sekalian maka menghadang perjalanan kami?"
"Apakah kau yang bernama Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai?" tanya nikouw itu sambil memandang tajam.
Juga tiga orang kawannya memandang tajam kepada Kwan Cu tanpa melirik ke arah Sui Ceng sehingga pemuda ini maklum bahwa mereka tentu pernah mendengar namanya di puncak Tai-hang-san.
"Siauwte memang benar bernama Lu Kwan Cu, tidak tahu Suthai dan yang lain-lain ini siapakah? Dengan maksud apa menghentikan perjalanan siauwte?"
Mendengar bahwa pemuda di depan mereka itu benar-benar Lu Kwan Cu yang namanya ramai disebut-sebut oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw, sebab anak-anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai sudah menceritakan peristiwa menggemparkan yang terjadi di atas puncak Tai-hang-san itu, empat orang ini memandang dengan mata menyatakan kekaguman, akan tetapi juga kurang percaya. Mungkinkan seorang pemuda sederhana yang terlihat tidak memiliki kepandaian ini sudah dapat mengalahkan semua tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw?
"Pinni adalah Lui Kong Nikouw dari Thian-san-pai."
"Aku bernama Bu Kek Sian dari Go-bi-pai," jawab kakek kecil bongkok.
"Aku yang bodoh dan kasar adalah Kong Seng Kak Hwesio dari Siauw-lim-pai," jawab kakek tinggi besar bermuka hitam.
Mendengar ini, Kwan Cu merasa heran sehingga dia memandang lebih tajam. Ternyata bahwa kakek yang memakai topi ini memang benar kepalanya gundul, sehingga biar pun pakaiannya seperti petani, namun dia adalah seorang hwesio.
Kong Seng Kak tertawa bergelak melihat sinar mata heran dari Kwan Cu.
"Pinceng memang sengaja menyamar sebagai petani biasa. Bila pinceng memakai jubah pendeta dan berada di antara para pejuang rakyat, bukankah nama Siauw-lim-si akan dicap hitam oleh kerajaan dan kuil kami akan mengalami serangan hebat?"
Kwan Cu kagum sekali mendengar bahwa hwesio kasar ini ternyata membantu rakyat, maka dia cepat menjura dan berkata,
"Kong Seng Kak Twa-suhu benar-benar seorang patriot sejati, siauwte merasa kagum sekali."
Tiba-tiba terdengar suara halus berkata memperkenalkan diri. "Aku yang rendah adalah Lai Siang Pok."
Mendengar nama ini, Sui Ceng tiba-tiba teringat dan dia melangkah maju setindak, lalu berkata, "Ehh, bukankah kau murid pujangga Tu Fu yang dahulu dibawa lari oleh Hek-i Hui-mo?"
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya semakin menarik. "Bun-lihiap benar-benar bermata tajam dan mempunyai ingatan kuat sekali. Siauwte memang benar Lai Siang Pok dan Hek-i Hui-mo adalah guruku." Setelah berkata demikian Lai Siang Pok lalu menundukkan muka dan menutup mulut.
Diam-diam Sui Ceng berpikir, sampai di mana tingkat kepandaian pemuda murid Hek-i Hui-mo ini. Teringat dia akan semua pengalamannya pada waktu dia masih kecil, ketika gurunya, Kiu-bwe Coa-li memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang ternyata palsu itu dengan Hek-i Hui-mo.
Seperti pernah dituturkan di bagian depan, dahulu Tu Fu dipaksa membaca kitab itu dan pendengar-pendengarnya adalah Hek-i Hui-mo yang dibantu oleh pemuda Lai Siang Pok itu, sedangkan Kiu-bwe Coa-li dibantu oleh Sui Ceng. Setelah membaca, kitab itu lalu dibakar, demikian menurut perjanjian dan syarat yang diajukan oleh pujangga Tu Fu.
Kemudian, sesudah mendengarkan bersama Lai Siang Pok, Hek-i Hui-mo lalu menculik Siang Pok dan dipaksa untuk menjadi muridnya. Sekarang Hek-i Hui-mo telah tewas oleh Kwan Cu, apakah maksud kedatangan pemuda ini?
Kwan Cu tentu saja dapat menduga akan maksud ini, maka dia lalu tersenyum sambil bertanya,
"Setelah memperkenalkan nama Cu-wi, perlu kiranya siauwte memperkenalkan sahabat ini pula, ialah Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li suthai."
Akan tetapi mereka tidak mempedulikan Sui Ceng, bahkan sebaliknya Lui Kong Nikouw lalu berkata,
"Lu-taihiap, tentu kau ingin mengetahui maksud kami menghadangmu di sini, bukan?"
Muka Kwan Cu menjadi merah disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya panggilan ini memang dengan hati tulus, sebab siapakah kini yang tidak menganggapnya sebagai seorang pendekar besar setelah apa yang dia lakukan di puncak Tai-hang-san?
"Siauwte tidak sabar lagi mendengar keterangan Suthai," jawab Kwan Cu.
"Pinni sengaja datang untuk bertanya, kenapa Taihiap yang gagah perkasa telah berani mempermainkan dan mengganggu muridku, Wi Wi Toanio?"
Sui Ceng mengerutkan kening dan Kwan Cu terkejut bukan main. "Mempermainkan dan mengganggu bagaimana, Suthai?" tanyanya penasaran.
Lui Kong Nikouw tersenyum dan tampaklah bahwa dulu pada waktu mudanya nikouw ini tentu berwajah cantik, ada pun senyumnya masih membayangkan kegenitan mirip yang dipunyai oleh Wi Wi Toanio.
"Taihiap, muridku itu adalah seorang wanita muda yang paling cantik di seluruh wilayah timur, sudah sepatutnya dan dapat dimengerti kalau hati laki-laki tergila-gila kepadanya. Akan tetapi Taihiap harus dapat menahan nafsu dan paham bahwa dia adalah seorang yang telah menjadi isteri orang lain. Perbuatan Taihiap sungguh tidak patut."
Bukan main marahnya Kwan Cu, sedangkan wajah Sui Ceng menjadi merah sekali.
"Suthai, kau mengeluarkan omongan yang membikin orang penasaran! Aku Lu Kwan Cu tidak pernah mempermainkan wanita!"
Akan tetapi ketika dia membayangkan wajah dan tubuh dari Wi Wi Toanio, hatinya jadi berdebar. Di dalam hati kecilnya, dia tidak dapat menyangkal bahwa isteri dari An Kai Seng itu benar-benar menarik hatinya. Akan tetapi Kwan Cu tahu bahwa kata-kata dari Lui Kong Nikouw tadi merupakan racun yang akan merusak hubungan baiknya dengan Bun Sui Ceng, maka cepat-cepat dia melanjutkan.
"Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng musuh besarku yang harus kubunuh karena An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, yaitu musuh besar kongkong-ku dan guruku. Bagaimana aku bisa mempermainkannya? Pada waktu itu memang benar dia membela suaminya dan kalah dalam pertempuran olehku, apakah hal ini dianggap mengganggu?" setelah berkata demikian, Kwan Cu tanpa disengaja melirik ke arah Sui Ceng.