Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
TUNTUTAN GAGAK IRENG
SATU
“Aaa...!” Satu jeritan panjang melengking terdengar menyayat, memecah kesunyian pagi buta ini. Jeritan itu datang dari balik sebuah batu yang begitu besar di tengah-tengah hutan lebat ini. Belum lama suara jeritan itu menghilang, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat melesat keluar dari balik batu itu.Tapi, mendadak saja puluhan anak panah berhamburan keluar dari balik pepohonan ke arah bayangan putih itu. Sosok berbaju serba putih itu berjumpalitan di udara, menghindari panah-panah yang berhamburan di sekitar tubuhnya.
Cring!
Panah-panah langsung berguguran saat orang berpakaian serba putih itu mengibaskan pedangnya yang telah tercabut dari warangkanya. Pedang itu seakan-akan melindungi tubuhnya dari hujan anak panah. Tak ada satu batang anak panah pun yang berhasil menyentuh tubuhnya. Kakinya kemudian mendarat lunak sekali di tanah, begitu puluhan anak panah berhenti berhamburan mengancamnya. Dia berdiri tegak dengan sinar mata tajam memandangi sekitarnya.
“Keluar kalian, Tikus-tikus Busuk...!” Lantang sekali suaranya. Begitu keras dan menggelegar, membuat pepohonan di sekitarnya bergetar, sehingga daun-daunnya berguguran.
Pada saat itu, dari atas sebatang pohon yang cukup besar dan tinggi meluruk turun seorang laki-laki berperawakan tinggi besar. Bajunya berwarna hijau, dipadu manik-manik dari batu merah. Sebilah golok bergagang gading terselip dipinggangnya. Dia berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Tatapan matanya begitu tajam, menyorot lurus ke bola mata pemuda berbaju serba putih di depannya. Beberapa saat mereka terdiam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Keadaan begitu sunyi, hanya desir angin saja yang terdengar.
Sementara di ufuk timur, semburat merah sang surya terlihat sudah membias. Di pagi yang seharusnya cerah dan ramai oleh kicauan burung ini jadi terasa begitu sunyi. Seakan-akan, burung-burung pun ikut merasakan ketegangan yang saat ini terjadi. Begitu sunyinya, hingga detak jantung dua orang yang saling berhadapan itu terdengar jelas.
Perlahan mereka sama-sama menggeser kaki lebih mendekat, dan baru berhenti setelah di antara mereka berjarak beberapa langkah lagi. Saat itu dari balik pohon dan bebatuan bermunculan orang-orang bersenjata. Sebentar saja, hutan yang semula sunyi sepi, sudah banyak dipenuhi orang yang menghunus senjata berbagai bentuk. Dan mereka semua mengepung pemuda berbaju putih itu. Tak ada celah sedikit pun bagi pemuda itu untuk meloloskan diri. Jumlah mereka begitu banyak. Herannya, pemuda berbaju putih itu kelihatan tenang, walaupun tatapan matanya semakin menyorot tajam.
“Kau sudah terlalu banyak membuat kekacauan, Birawa. Sudah saatnya pertumpahan darah ini kau hentikan,” dingin sekali nada suara orang berbaju hijau itu.
“Aku juga sudah muak oleh tingkah kalian yang memaksaku mengotori tangan dengan darah!” balas pemuda berbaju putih yang dipanggil Birawa, tidak kalah dinginnya.
“Apa pun alasannya, kau harus ikut mempertanggungjawabkan perbuatanmu!”
“Apa yang harus kupertanggungjawabkan...? Justru kau yang harus bertanggung jawab atas nyawa-nyawa mereka, Gagak Ireng!” keras sekali suara Birawa. Ujung jari pemuda itu agak bergetar menuding laki-laki tegap berbaju hijau di depannya.
Mendapat tudingan begitu, wajah laki-laki berbaju hijau yang bernama Gagak Ireng jadi memerah. Gerahamnya bergemeretak, menahan kemarahan yang amat sangat dada. “Kau memang keras kepala, Birawa. Jangan menyesal kalau aku terpaksa harus menggunakan kekerasan!”
Gagak Ireng segera menjentikkan jari tangannya. Saat itu juga, orang-orang yang sudah mengepung tempat itu segera bergerak semakin rapat. Golok dan pedang mereka berkilatan tertimpa cahaya matahari yang baru saja muncul di ufuk timur.
“Tunggu! Kalian tidak perlu mengorbankan nyawa untuk orang gila ini!” sentak Birawa, lantang menggelegar.
“Jangan takut! Serang saja bocah edan itu...!” seru Gagak Ireng tampak berang.
Orang-orang yang sudah mengepung rapat tempat itu segera berlarian, meluruk ke arah pemuda berbaju putih ini Pekik dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertempur, terdengar dahsyat bagai hendak meruntuhkan hutan yang tidak begitu lebat ini. Mereka bergerak cepat bagai serombongan semut yang melihat gula.
“Edan...! Kalian semua sudah buta!” geram Birawa melihat lebih dari lima puluh orang meluruk hendak mengeroyoknya.
Memang tak ada pilihan lain lagi bagi Birawa. Melihat begitu banyak orang berlarian dari segala penjuru dengan senjata terhunus di tangan, maka dia harus bertindak. Birawa langsung merapatkan kedua tangannya di depan dada. Lalu cepat sekali tangannya dihentakkan hingga merentang lebar ke samping.
“Yeaaah...!”
Begitu tubuhnya memutar dan kembali merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, seketika itu juga bertiup angin kencang. Badai topan yang sangat dahsyat seketika itu juga terjadi. Akibatnya, orang-orang yang tadi berlarian hendak mengeroyok pemuda itu jadi berpelantingan bagai daun-daun kering terhempas angin.
Jeritan-jeritan panjang dan keluhan kesakitan terdengar saling susul di antara deru angin topan yang semakin dahsyat. Tubuh-tubuh berpentalan dan beterbangan bersama batu-batu serta pepohonan yang tercabut dari akarnya. Tidak sedikit pula yang sudah menggeletak tertindih batu atau pepohonan. Saat itu juga, hutan yang semula tenang berubah bagai neraka.
“Hep!”
Birawa kembali merentangkan kedua tangan ke samping. Kemudian dia melakukan beberapa gerakan di depan dada. Dan begitu kedua telapak tangannya kembali merapat di depan dada, badai dahsyat itu seketika berhenti. Perlahan Birawa melepaskan kedua telapak tangannya yang menyatu rapat di depan dada tadi.
“Kalian memaksaku bertindak demikian,” desah Birawa seakan menyesal. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Hutan yang semula kelihatan tenang dan damai, kini jadi hancur berantakan dalam beberapa saat saja. Pepohonan bertumbangan saling tum-pang tindih. Tak sedikit tubuh bergelimpangan terhimpit pohon dan bebatuan. Pandangan Birawa kemudian terpaku pada Gagak Ireng yang masih tetap tegak, meskipun berdirinya sudah bergeser sekitar sepuluh langkah dari tempat semula.
“Sungguh dahsyat aji ‘Badai Membelah Bumi’ yang kau miliki, Birawa. Tapi belum cukup untuk mengurungkan niatku,” desis Gagak Ireng dingin menggeletar.
“Hm...,” Birawa hanya menggumam saja. Kembali pandangan pemuda itu beredar ke sekeliling.
Tak ada seorang pun yang bangkit berdiri lagi. Lebih dari lima puluh orang sudah bergeletakan tak bernyawa lagi. Mereka tewas karena tidak kuat menahan gempuran angin topan yang diciptakan Birawa tadi. Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Birawa menghembuskan napas panjang, lalu kembali mengarahkan perhatiannya pada Gagak Ireng yang kini sudah melangkah mendekatinya. Dan jarak mereka sekarang tinggal beberapa langkah lagi.
“Sudah cukup banyak korban yang kau timbulkan, Birawa. Dan akulah yang akan menghentikanmu,” desis Gagak Ireng lagi. Masih tetap dingin nada suaranya.
“Kau yang harus bertanggung jawab atas kematian mereka,” desah Birawa.
“Kita tentukan sekarang, Birawa. Kau, atau aku yang akan menyusul mereka.” Setelah berkata demikian, Gagak Ireng segera membuka jurus kembangan penyerangan.
Sedangkan Birawa masih tetap berdiri tegak. Sedikit pun matanya tidak berkedip memperhatikan laki-laki separuh baya bertubuh tegap itu.
“Tahan seranganku, Birawa! Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!” Begitu Gagak Ireng melompat menerjang, Birawa langsung melesat cepat sekali ke depan. Kedua tangannya menjulur lurus, mengancam ke arah lawan. Mereka sama-sama melayang di udara dengan kedua telapak tangan terbuka menjulur lurus ke depan. Dan pada satu titik tengah.... “Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!” Glarrr!
Satu ledakan keras menggelegar dahsyat terjadi begitu dua pasang telapak tangan beradu keras di udara. Bunga-bunga api memercik ke segala arah akibat benturan itu. Tampak keduanya terpental balik ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Hampir bersamaan, mereka mendarat kembali.
Kemudian, dua orang yang bertarung itu kembali berlompatan berputar saling mendekat. Hampir bersamaan pula mereka berhenti berlompatan memutar, lalu sama-sama menghentakkan kedua tangan ke depan. Kembali terdengar ledakan keras menggelegar saat dua pasang telapak tangan bertemu pada titik tengah.
“Hih!” Gagak Ireng cepat menarik pulang tangannya, lalu cepat melontarkan satu pukulan keras menggeledek ke arah dada Birawa.
Tapi manis sekali pemuda itu mengegoskan tubuhnya, sehingga pukulan yang dilepaskan Gagak Ireng tidak menemui sasaran. Dua langkah Birawa mundur ke belakang. Dan pada saat itu, langsung dilepaskannya serangan balasan berupa tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Uts!” Gagak Ireng segera memiringkan tubuh ke kanan, menghindari tendangan kaki kiri Birawa. Bergegas kakinya digeser ke kanan sebelum Birawa sempat menarik kembali tendangannya. Dan dengan kecepatan bagai kilat, tangannya dihentakkan ke arah kaki yang berada di samping tubuhnya.
“Hih!” Bet!
Birawa yang menyangka bakal menerima serangan, cepat-cepat menarik kakinya sedikit. Lalu tanpa diduga sama sekali, kakinya berputar ke depan. Langsung kakinya dihentakkan kembali ke arah dada tanpa menyentuh tanah lebih dulu. Tentu saja gerakan yang begitu cepat dan sulit itu membuat Gagak Ireng jadi terperangah tidak percaya.
Desss! “Akh...!” Gagak Ireng terpekik keras agak tertahan.
Deras sekali tubuh Gagak Ireng terpental ke belakang, dan menghantam sebatang pohon yang sudah doyong hampir roboh. Pohon itu seketika ambruk menimbulkan gemuruh menggetarkan. Gagak Ireng kembali bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang mendadak jadi terasa sesak.
“Setan...! Huh!” dengus Gagak Ireng. Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam, dan dihembuskan kuat-kuat. Lalu dilakukannya beberapa gerakan tangan di depan dada, untuk mengusir rasa sesak yang memenuhi seluruh rongga dadanya.
Sementara Birawa berdiri tegak, seperti memberi kesempatan pada lawan untuk kembali siap melakukan pertarungan kembali.
Sret! Gagak Ireng mencabut senjatanya yang sejak tadi terselip di pinggang. Senjatanya berupa pedang berwarna hitam, tapi ujungnya bercabang dua seperti lidah ular. Mata pedang itu juga berkeluk seperti keris, dan pada satu sisinya tampak bergerigi. Segumpal asap tipis kehitaman tampak mengepul dari seluruh mata pedang itu.
“Hm...,” Birawa menggumam perlahan. Pemuda itu menggeser kakinya beberapa langkah ke samping. Matanya tidak berkedip memandangi pedang hitam yang ujungnya bercabang dua itu. Dia tahu, pedang berkeluk seperti keris itu sangat dahsyat dan tidak bisa dianggap enteng. Terlebih lagi, asap yang mengepul dari mata pedang itu. Jelas, mengandung racun yang bisa membuat pernapasannya jadi tersumbat.
Dengan pedang anehnya yang mengepulkan asap beracun, Gagak Ireng jadi dikenal berjuluk Raja Pedang Racun. Dan tidak sedikit lawannya yang tewas di ujung pedangnya ini. Kebanyakan dari lawannya tidak sanggup menghadapi lebih dari sepuluh jurus. Bila asap hitam itu sudah sampai merasuk ke dalam paru-paru, tak ada yang sanggup lagi bertahan. Pertahanannya jadi goyah, karena napas terganggu. Maka dengan mudah Gagak Ireng akan menghentikan perlawanan lawan-lawannya.
Dan semua itu sangat disadari Birawa. Pemuda itu tidak sudi mati konyol di ujung pedang Gagak Ireng yang sudah terkenal kedahsyatannya. Tapi, dia juga tidak ingin Gagak Ireng terus mengejarnya seperti hewan buruan. Birawa sudah jemu menjadi buronan, dan senantiasa selalu menghadapi orang-orang yang ingin membunuhnya. Padahal, dia tidak ingin lagi tangannya berlumuran darah.
Sret! Cring!
Birawa juga segera mencabut pedangnya. Sebatang pedang yang memancarkan sinar putih keperakan. Pedangnya langsung disilangkan di depan dada. Sementara itu, Gagak Ireng sudah melangkah mendekati. Sesaat mereka saling menatap dalam jarak yang tidak begitu jauh. Kemudian....
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”
Secara bersamaan mereka saling berlompatan menerjang. Masing-masing mengebutkan pedang ke depan, sehingga dua senjata yang memiliki pamor dahsyat saling beradu keras di udara. Denting senjata terdengar memekakkan telinga, disertai ledakan keras menggelegar. Bunga api memercik dari benturan kedua pedang itu, dan menyebar ke segala arah.
Kembali mereka bertarung dalam jarak rapat. Pedang mereka berkelebat cepat, saling sambar dan menangkis. Masing-masing mengerahkan seluruh kemampuan untuk menjatuhkan secepatnya. Jurus-jurus dahsyat dan andalan dikeluarkan. Begitu cepatnya gerakan-gerakan yang dilakukan, sehingga tubuh mereka seperti lenyap. Yang ada kini tinggal dua bayangan berkelebat saling sambar.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa, mereka sama-sama telah menghabiskan sepuluh jurus. Dan tampaknya, Birawa mulai terpengaruh asap kehitaman yang keluar semakin banyak dari pedang Gagak Ireng. Birawa juga merasakan pernapasannya mulai terganggu. Sehingga pemuda itu jadi tidak bisa lagi mengendalikan jurus-jurusnya.
“Mampus kau! Yeaaah...!” Sambil berteriak nyaring, Gagak Ireng mengebutkan pedangnya ke dada Birawa. Dengan cepat sekali pedang pemuda berbaju putih itu ditarik dan dilintangkan di depan dada.
Trang! “Akh...!” Birawa tak dapat lagi menguasai pedangnya. Seketika itu juga pedangnya terpental jauh ke udara. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, Gagak Ireng sudah mengebutkan pedangnya kembali ke arah perut. Begitu cepat serangannya, sehingga Birawa tak sempat lagi menghindar.
Cras! “Akh...!” untuk kedua kalinya Birawa terpekik. Darah langsung mengucur keluar dari perutnya yang sobek terbabat pedang Gagak Ireng. Birawa terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya yang sobek berlumuran darah. Kepalanya digeleng-gelengkan karena rasa pening mulai menghinggapi. Entah sudah berapa banyak asap hitam beracun itu dihirupnya. Dan pandangannya juga jadi nanar.
“Hiyaaat...!” Pada saat itu Gagak Ireng sudah melompat cepat sambil mengebutkan pedangnya. Sementara tak ada lagi waktu bagi Birawa untuk menghindar. Dan....
Crak!
“Aaa...!” Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar memecah kesunyian hutan ini, begitu ujung pedang Gagak Ireng kembali membelah dada Birawa. Maka darah pun kembali muncrat deras sekali. Tubuh pemuda itu semakin terhuyung limbung tak terkendali lagi. Sementara asap hitam beracun semakin banyak masuk ke dalam dada, sehingga membuatnya semakin sulit bernapas.
“Hih!” Meskipun lawannya sudah tidak berdaya lagi, tapi Gagak Ireng tidak puas sampai di situ saja. Pedangnya langsung dihunjamkan ke dada pemuda berbaju putih itu.
Tak ada lagi suara yang keluar dari mulut Birawa. Pedang berwarna hitam yang berkeluk bagai keris itu menghunjam dalam di dadanya, hingga tembus ke punggung. Birawa masih bisa berdiri beberapa saat. Dan begitu satu tendangan mendarat di dada, seketika tubuhnya jatuh tersungkur. Darah semakin banyak membanjiri tubuhnya. Sebentar tubuhnya menggelepar di tanah, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Gagak Ireng berdiri tegak memandangi lawan yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Pedangnya kemudian disarungkan kembali. Asap hitam pun langsung menghilang begitu pedang itu kembali tersimpan di dalam warangkanya.
“Hup!” Bagaikan kilat, Gagak Ireng melompat ke atas batu yang menjulang bagaikan bukit. Sebentar kakinya hinggap di atas batu itu, lalu cepat meluruk turun. Gerahamnya bergemeletuk melihat dua sosok tubuh tergeletak di tanah, di balik batu besar bagai bukit ini.
“Tenanglah kalian di sana. Si keparat itu sudah kubereskan,” ujar Gagak Ireng perlahan.
Sebentar Gagak Ireng berdiri tegak di samping kedua tubuh tak bernyawa lagi itu, kemudian melangkah pergi dengan ayunan kaki cepat. Gagak Ireng terus berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan tempat pertarungan itu.
********************
DUA
Waktu terus bergulir seiring peredaran matahari mengelilingi bumi. Satu purnama sudah berlalu. Tak seorang pun yang membicarakan Birawa yang telah tewas di tangan Gagak Ireng. Keberhasilan Gagak Ireng menghentikan kehidupan Birawa, disambut gembira seluruh rakyat Kadipaten Wadas Lintang yang terletak tidak seberapa jauh dari hutan tempat Birawa tewas di tangan Gagak Ireng.
Selama ini, Birawa memang dianggap sebagai biang keonaran oleh semua orang di seluruh wilayah Kadipaten Wadas Lintang. Bukan hanya menggasak harta, tapi juga nyawa orang yang dirampok ikut melayang. Dan sudah tentu hal itu membuat keresahan. Sehingga, Adipati Bayaga terpaksa meminta bantuan Gagak Ireng untuk melenyapkan Birawa. Tapi, apa kematian Birawa sudah menghentikan semua keresahan itu...?
Memang, selama satu purnama ini tidak ada lagi peristiwa perampokan atau pembunuhan di kota kadipaten ini. Hingga, Adipati Bayaga mengangkat Gagak Ireng menjadi kepala pasukan khusus kadipaten. Maka, sudah tentu semua anggotanya adalah pengikut Gagak Ireng. Semua orang di Kadipaten Wadas Lintang ini memang sudah menganggap tak ada lagi persoalan yang akan timbul. Tapi, tidak demikian halnya dengan Gagak Ireng.
“Beberapa hari ini kuperhatikan kau selalu murung dan menyendiri. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Kakang...?”
Gagak Ireng menghembuskan napas panjang. Wajahnya berpaling menatap seorang pemuda bertubuh tegap, dan berkulit kuning langsat Pakaiannya terbuat dari bahan sutra halus yang indah, berwarna merah muda. Wajahnya juga cukup tampan. Senyumnya cukup menawan menyungging di bibirnya yang agak kemerahan. Dia adalah Rapasak, adik angkat Gagak Ireng.
“Tidak,” sahut Gagak Ireng seraya menggeser duduknya. Rapasak menempatkan diri di samping kakak angkatnya ini.
Saat itu, senja sudah merayap turun. Burung-burung sudah kembali ke sarang masing-masing. Tak ada lagi orang lain di taman belakang ini. Sebuah taman indah, terletak di belakang bangunan besar dan megah yang dikelilingi pagar tinggi dari batu yang tebal dan kokoh seperti benteng. Tempat ini memang hadiah dari Adipati Bayaga atas keberhasilan Gagak Ireng menumpas Birawa, yang selama satu bulan lalu dianggap perusuh di Kadipaten Wadas Lintang ini.
“Kakang sudah berhasil meraih keinginan pertama, menjadi orang nomor dua di Kadipaten Wadas Lintang ini di samping Gusti Adipati Bayaga. Apa masih ada hambatan untuk kelanjutannya, Kakang...?” terasa begitu lembut suara Rapasak, seperti suara seorang wanita saja.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Rapasak. Semua akibat yang bakal terjadi nanti sudah kupikirkan. Dan sampai saat ini tak ada yang mengganggu pikiranku,” kata Gagak Ireng diiringi senyuman di bibir.
Tapi, senyuman Gagak Ireng terasa hambar sekali. Dan ini dapat dirasakan Rapasak. Hanya saja, dia tidak mau mendesak lagi. Pemuda itu tahu, jika Gagak Ireng sudah mengatakan tidak, selamanya akan tetap tidak. Dan biasanya, Gagak Ireng baru bersedia mengatakannya kalau sudah merasa tidak bisa lagi menghadapinya sendiri. Selama dirinya masih merasa mampu, tak akan ada yang mengetahui persoalan terpendam di dalam hatinya.
“Aku akan ke rumah Nyi Walang, Kakang,” pinta Rapasak seraya bangkit berdiri.
“Ada apa kau ke sana?” tanya Gagak Ireng.
“Bosan terkurung terus di sini, Kakang. Aku akan mencari hiburan sedikit,” sahut Rapasak.
“Pergilah. Tapi jangan terlalu lama di sana.”
“Mungkin besok aku baru pulang, Kakang. Katanya di sana ada yang baru. Nyi Walang tidak akan memberikannya pada orang lain, kecuali aku.”
“Ya, sudah.... Asal jangan seperti dulu lagi,” pesan Gagak Ireng.
“Aku pergi, Kakang,” pamit Rapasak.
Gagak Ireng hanya mengangguk saja. Dia masih duduk di bangku taman ini, memandangi adik angkatnya yang berjalan agak cepat meninggalkannya. Kepalanya menggeleng perlahan, tapi sebentar kemudian raut wajahnya kembali berubah terselimut kabut. Tak lama kemudian, Gagak Ireng bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang.
“Aku harus mempersiapkan diri. Aku yakin, cepat atau lambat pasti ada yang datang menuntut balas atas kematian Birawa. Hhh...!” desah Gagak Ireng seraya mengayunkan kakinya melangkah meninggalkan taman belakang ini. “Hhh..., siapa pun orangnya, aku tidak bisa dianggap remeh.”
Rapasak terus memacu kudanya menuju ke bagian selatan Kadipaten Wadas Lintang ini. Pemuda itu tidak bisa memacu cepat kudanya, karena sepanjang jalan yang dilalui masih cukup ramai orang. Kadipaten Wadas Lintang memang tidak pernah sepi. Seakan-akan, kadipaten ini tidak pernah tidur meskipun di malam hari. Suasananya selalu meriah.
Padahal, baru-baru ini mereka semua habis dicekam rasa takut oleh sepak tenang Birawa yang menggasak harta dan membunuh pemiliknya yang mencoba melawan. Mereka benar-benar sudah melupakan peristiwa itu, dan kembali hidup seperti hari-hari yang lalu.
Rapasak baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar. Rumah itu bertingkat dua sehingga tampak tinggi. Beberapa orang keluar masuk rumah itu. Dan mereka yang datang atau pergi, semuanya laki-laki. Seorang anak berumur sekitar dua belas tahun menghampiri Rapasak. Pemuda itu kemudian tersenyum, dan menyerahkan kudanya pada anak laki-laki itu.
“Rawat kudaku dengan baik, ya...?” pinta Rapasak seraya memberi sekeping uang perak.
“Baik, Den,” sahut anak itu seraya membungkuk hormat.
Rapasak mengayunkan kakinya, memasuki rumah itu. Suara tawa terkikik dan canda beberapa orang langsung menyergap telinganya, begitu melewati pintu. Rapasak langsung menghampiri seorang perempuan separuh baya yang bertubuh gemuk, sehingga lehernya terlipat bagai menyatu dengan dagu.
Wanita itu tersenyum ramah begitu melihat Rapasak datang. “Kukira kau tidak datang, Rapasak,” sambut wanita bertubuh tambun itu dengan keramahan dibuat-buat.
“Aku tidak pernah ingkar janji, Nyi Walang,” ujar Rapasak
“Aku percaya. Mari....”
Rapasak lalu mengikuti langkah wanita gemuk itu. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan lain yang tidak kalah besarnya dari ruangan depan tadi. Beberapa wanita yang berkumpul di sana segera melemparkan senyuman dan kerdipan mata genit pada Rapasak. Tapi pemuda itu hanya membalasnya dengan senyuman tipis saja.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong, setelah melewati ruangan yang terang-benderang itu. Di samping kiri dan kanan lorong ini terdapat beberapa pintu yang tertutup. Tak ada satu pintu pun yang terbuka. Sampai di ujung lorong, mereka berhenti. Nyi Walang membuka sebuah pintu yang berada di ujung lorong ini, lalu melangkah melewati pintu diikuti Rapasak dari belakang.
Ternyata pintu ini merupakan sebuah penghubung ke bagian belakang bangunan besar dan bertingkat ini. Mereka terus berjalan melintasi taman, menuju beberapa bangunan kecil bagai pendopo yang berjajar rapi mengelilingi taman kecil ini. Nyi Walang membawa Rapasak ke sebuah bangunan yang berada paling tengah. Tanpa mengetuk pintunya lagi, wanita bertubuh gemuk bagai tong air ini langsung saja membuka pintu itu. Kemudian, Rapasak dipersilakan masuk terlebih dahulu.
“Silakan...,” ucap perempuan tambun itu, ramah.
Rapasak melangkah masuk, baru Nyi Walang mengikuti dari belakang. Ternyata, bangunan ini hanya terdiri dari dua ruangan yang hanya dibatasi selembar dinding dari bilik bambu. Sebuah pelita tergantung di tengah-tengah ruangan ini. Hanya ada sebuah kursi panjang dan sebuah lemari berukuran kecil dan panjang di sini. Rapasak meng-hempaskan tubuhnya di kursi panjang dari rotan itu.
Sementara, Nyi Walang terus melangkah masuk ke dalam ruangan satunya lagi. “Kau tunggu sebentar, Rapasak,” ujar Nyi Walang sebelum menghilang di balik pintu bilik bambu pemisah ruangan ini.
Rapasak hanya mengangguk saja. Tak lama, Nyi Walang telah kembali lagi diikuti seorang wanita berusia muda yang mengenakan baju warna hijau muda. Rapasak cepat bangkit berdiri. Mulutnya sampai ternganga melihat wanita cantik di samping Nyi Walang yang begitu cantik bagai bidadari baru turun dari kahyangan. Kulitnya putih bersih, sangat pas dengan warna dan potongan baju yang dikenakannya.
“Baru dua hari Minati datang, dan belum ada seorang pun yang mengunjunginya. Dia khusus untukmu, Rapasak,” jelas Nyi Walang ramah, disertai senyumnya yang dibuat-buat.
“Minati.... Nama yang cantik, secantik orangnya,” desah Rapasak memuji.
“Layanilah dia dengan baik, Minati,” pesan Nyi Walang.
“Baik, Nyi,” sahut Minati lembut.
“Silakan. Kalian pasti ingin mengenal lebih dekat lagi,” kata Nyi Walang lagi. Tanpa menunggu jawaban apa pun juga, wanita bertubuh gemuk itu segera melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
Masih belum ada yang membuka suara, meskipun Nyi Walang sudah tidak ada lagi di ruangan ini.
“Silakan duduk,” ucap Minati lembut dan sopan.
“Terima kasih.” Rapasak kembali duduk di kursi yang tadi didudukinya.
Sedangkan Minati hanya berdiri saja. Jari-jari tangannya mempermainkan sehelai sapu-tangan hijau muda dari bahan sutera halus. Sedangkan Rapasak tidak lepas-lepasnya memperhatikan wajah dan tubuh wanita di depannya ini. Begitu cantiknya, seakan-akan Rapasak tidak ingin mengalihkan perhatiannya barang sedikit pun.
“Duduklah di sini,” pinta Rapasak seraya menepuk tempat disampingnya.
Sambil tersenyum dikulum, wanita cantik berbaju hijau itu melangkah mendekat. Kemudian dia duduk di samping Rapasak. Bau harum yang semerbak langsung menyeruak, menusuk cuping hidung Rapasak. Sehingga membuatnya tak dapat lagi menahan gejolak hati untuk merasakan halusnya kulit tubuh wanita ini.
Rapasak mengambil tangan wanita itu, dan menggenggamnya hangat-hangat. Sedikit pun Minati tak menolak. Dibiarkannya saja jari-jari tangannya diremas penuh kehangatan dan gairah yang menggelora dalam dada Rapasak.
“Nyi Walang selalu cerita tentang Raden...,” kata Minati perlahan.
“Jangan panggil raden. Panggil saja Kakang Rapasak,” potong Rapasak cepat.
“Nanti Nyi Walang marah.”
“Dia tidak akan berani memarahimu.”
Minati hanya tersenyum saja seraya menundukkan kepala. Rapasak cepat menggamit dagu wanita itu, lalu membawanya ke atas. Sehingga, wajah mereka begitu dekat. Mau tak mau desah napas mereka terasa hangat menerpa kulit wajah satu sama lain.
“Kau pasti putra bangsawan yang berpengaruh di Kadipaten Wadas Lintang ini, Kakang,” tebak Minati lagi.
“Bukan,” sahut Rapasak.
“Ah, mana mungkin? Buktinya, Nyi Walang melayani Kakang begitu istimewa. Kalau bukan seorang pembesar, atau putra pembesar di kadipaten ini, mana mungkin Nyi Walang memberi pelayanan yang begitu istimewa...?” Minati tidak percaya.
“Aku adik kandung Gagak Ireng, Kepala Pasukan Khusus Kadipaten Wadas Lintang ini,” jelas Rapasak terus terang.
“Kepala Pasukan Khusus? Bukankah itu berarti orang kedua di kadipaten?”
“Benar. Tapi itu baru satu bulan ini. Setelah...,” Rapasak tidak melanjutkan.
“Setelah apa, Kakang?” desah Minati ingin tahu.
“Ah, sudahlah...,” Rapasak mengelak tidak ingin membicarakan lagi.
“Ayolah, Kakang.... Aku ingin tahu tentang dirimu. Bukankah tadi Nyi Walang mengatakan kalau kita harus saling mengenal lebih dekat...? Aku juga nanti akan mengatakan tentang diriku padamu, Kakang,” rengek Minati memaksa.
“Kau pintar sekali merayuku, Minati.”
“Ah, Kakang....” Minati jadi tersipu.
Rapasak begitu gemas melihat wajah yang bersemu merah dadu. Dicubitnya hidung yang berbentuk indah dan bangir ini. Minati semakin tersipu seperti seorang gadis yang baru saja disentuh pemuda yang dicintainya. Gadis itu hanya diam saja saat tangan Rapasak melingkar di pinggangnya. Dan dia juga diam ketika Rapasak memberinya satu kecupan lembut di pipi.
“Ke dalam, yuk...?” ajak Rapasak.
“Nanti saja, Kakang. Kau belum mengatakan apa-apa tentang dirimu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi sebelum...,” Minati tidak meneruskan ucapannya.
“Nanti juga kau tahu.”
“Ah, tidak.... Aku ingin sekarang.”
Rapasak mengangkat bahunya sedikit. “Baiklah. Tapi, kau harus janji. Setelah kukatakan, kau harus bersedia ke dalam. Bagaimana...?”
Minati mengangguk dan tersenyum manis. “Kakang Gagak Ireng diangkat menjadi Kepala Pasukan Khusus karena jasanya. Dia berhasil menewaskan seorang pengacau yang telah merugikan banyak orang di kadipaten ini. Orang itu berkepandaian tinggi, sehingga jago-jago kadipaten tak ada yang sanggup menandinginya,” Rapasak mulai bercerita.
“Sebelum ini, apa kakakmu juga seorang pembesar kadipaten?” tanya Minati.
“Bukan..."
“Lalu?”
“Aku dan Kakang Gagak Ireng semula hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ada lima puluh orang anak buah Kakang Gagak Ireng. Sekarang, mereka semua menjadi anggota pasukan khusus itu. Dan kami harus tinggal di Kadipaten Wadas Lintang ini untuk menjaga keamanan seluruh wilayah kadipaten.”
“Tugas yang berat...,” desah Minati.
“Memang. Tapi Kakang Gagak Ireng menyukainya. Dan ini memang sudah menjadi keinginannya sejak dulu, untuk menjadi orang kedua di sebuah kadipaten. Yaaah..., ternyata Kadipaten Wadas Lintang ini menjadi pilihannya. Dan semua keinginannya selama ini sudah terwujud. Bahkan Gusti Adipati Bayaga sendiri selalu meminta nasihat Kakang Gagak Ireng. Segala keputusan yang akan diambil, selalu dibicarakan pada Kakang Gagak Ireng.”
“Hm..., tentu kakakmu sangat tangguh,” kembali Minati menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
“Memang. Tak ada seorang pun yang dapat menandingi kepandaiannya,” sambut Rapasak bangga.
“Apa kau juga setangguh dia, Kakang?” tanya Minati lagi.
“Masih satu tingkat di bawahnya.”
Minati bangkit berdiri, lalu melangkah mendekati jendela. Perlahan tangannya yang halus dan lembut membuka daun jendela itu, sehingga angin malam yang dingin menerobos masuk menerpa tubuhnya. Sedangkan Rapasak masih tetap duduk di kursi panjang dari rotan itu. Perlahan Minati memutar tubuhnya, berbalik membelakangi jendela.
“Boleh kutahu, siapa perusuh yang mengacau kadipaten ini, Kakang?” tanya Minati lagi.
“Namanya Birawa. Tapi, semua orang di kadipaten ini selalu menyebutnya si Setan Jagal,” sahut Rapasak.
“Birawa...,” gumam Minati, agak mendesah suaranya.
“Ada apa, Minati? Kau kenal?” tanya Rapasak.
“Kedatanganku ke sini sebenarnya juga ada satu urusan yang berhubungan dengan orang yang kau sebutkan namanya tadi, Kakang,” kata Minati. Kali ini suaranya terdengar lain.
“Kau ada persoalan dengan Birawa...?”
Minati tidak menjawab. Bibirnya mengulas senyum yang begitu manis. Kakinya melangkah perlahan mendekati Rapasak yang masih duduk di kursi rotan panjang ini. Tangannya terulur, dan langsung disambut pemuda ini dengan hangat disertai senyum terkembang di bibir.
Perlahan Rapasak bangkit berdiri, langsung melingkarkan tangannya di pinggang yang ramping dan padat berisi. Tubuh mereka begitu rapat, sehingga tak ada lagi jarak yang tersisa.
“Kau tidak menanyakan tentang diriku, Kakang?” suara Minati kembali terdengar lembut.
“Aku tidak peduli siapa dirimu, Minati. Yang penting, malam ini kau bersamaku,” sahut Rapasak.
“Ahhh....” Minati menggeliat begitu Rapasak melumat bibirnya. Wajahnya langsung disembunyikan begitu Rapasak melepaskan pagutannya. Dengan halus sekali, Minati melepaskan rangkulan pemuda ini. Kemudian kakinya melangkah mundur beberapa tindak.
Tapi Rapasak menahan dengan menggenggam tangannya. Tiba-tiba saja, Rapasak menyentaknya kuat-kuat, sehingga Minati terjatuh ke dalam pelukan pemuda ini.
“Auw...!”
Rapasak tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan ini. Cepat-cepat dipondongnya tubuh ramping itu, dan dibawanya masuk ke dalam ruangan lain yang berukuran sama dengan yang tadi. Di ruangan ini hanya ada sebuah pembaringan, sebuah meja, dan kursi di depannya. Rapasak langsung membawa ke pembaringan, dan merebahkan wanita itu dengan hati-hati sekali. Sepertinya wanita itu sebuah porselen yang tak boleh tergores kemulusannya.
“Ah, Kakang...,” desah Minati begitu Rapasak menghujani wajah dan lehernya dengan ciuman-ciuman hangat penuh gairah menggejolak. Minati hanya dapat menggeliat dan mendesah lirih di bawah himpitan tubuh kekar dan tegap berotot ini.
Sedangkan jari-jari tangan Rapasak sudah begitu liar, menjelajahi seluruh tubuh di bawah himpitannya. Minati kembali menggelinjang saat merasakan tangan Rapasak menggusur pakaiannya. Rapasak mengulurkan tangannya, lalu mematikan pelita yang berada di meja, di samping pembaringan ini.
Seketika itu juga ruangan jadi meremang. Hanya cahaya bulan saja yang coba-coba mengintip dari celah-celah atas jendela. Tak ada lagi yang bicara. Tak terdengar suara apa pun juga, selain desah napas dan erangan lirih diiringi derit pembaringan yang tak kuat menahan berat beban di atasnya.
“Ohhh....”
********************
TIGA
“Hendak ke mana lagi, Rapasak...?” tegur Gagak Ireng melihat adik angkatnya sudah rapi hen-dak pergi.
“Aku ada janji,” sahut Rapasak seraya berbalik memutar tubuhnya.
“Sudah satu pekan ini kau selalu saja keluar rumah malam-malam, dan selalu saja pulang pagi. Ke mana saja selama ini, Rapasak?”
“Kakang pernah jatuh cinta...?” Rapasak malah balik bertanya.
“Ha ha ha...!” Gagak Ireng malah tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan adik angkatnya.
Dihampirinya Rapasak dan dicengkeramnya kedua bahu pemuda itu dengan kuat, sehingga, pemuda itu jadi meringis. Tapi hatinya sudah cukup senang karena Gagak Ireng tidak lagi memasang wajah tegang seperti tadi. Malah sekarang senyumnya terkembang menghiasi bibirnya yang hampir tertutup kumis.
“Gadis mana yang kau pilih, Rapasak?” tanya Gagak Ireng.
“Bukan gadis, tapi janda,” jelas Rapasak.
“Gadis atau janda itu bukan masalah. Asal bukan istri orang saja yang kau sambar,” gurau Gagak Ireng. Rapasak hanya tersenyum saja. “Kau ingin cepat-cepat, Rapasak?” tanya Gagak Ireng lagi.
“Nanti saja, Kakang. Aku lebih senang kalau kau dulu yang mendapat pendamping.”
“Aku sudah terlalu tua untuk punya istri, Rapasak. Jangan terlalu memikirkan diriku. Aku sudah cukup senang kalau kau punya istri dan hidup bahagia.”
“Terima kasih, Kakang,” ucap Rapasak perlahan. Pemuda itu menundukkan kepala.
Gagak Ireng jadi berkerut keningnya melihat raut wajah adik angkatnya tiba-tiba saja jadi berubah mendung. Diangkatnya wajah pemuda ini, sehingga mereka saling bertatapan.
“Ada persoalan, Rapasak...?” tanya Gagak Ireng lembut.
“Kakang pasti tidak setuju kalau tahu tentang dia,” duga Rapasak perlahan.
“Kenapa kau punya pikiran seperti itu?”
“Karena dia....”
“Katakan, Rapasak. Aku tidak akan menghalangi kalau itu membuatmu bahagia."
“Namanya Minati, Kakang. Tinggalnya dirumah Nyi Walang,” pelan sekali suara Rapasak, hampir tak terdengar di telinga Gagak Ireng.
Agak terkejut juga Gagak Ireng mendengar pengakuan adik angkatnya ini. Sungguh tidak disangka kalau wanita pilihan adik angkatnya ini berasal dari rumah pelacuran terkenal di kota Kadipaten Wadas Lintang ini. Gagak Ireng menghembuskan napas panjang sambil berbalik memutar tubuhnya. Kakinya melangkah perlahan mendekati jendela.
Sementara Rapasak hanya memandangi saja. Beberapa saat kesunyian menyelimuti mereka berdua. Cukup lama juga Gagak Ireng berdiri di depan jendela, memandang bulan yang menggantung penuh di langit hitam kelam, bertaburkan cahaya bintang. Perlahan tubuhnya diputar, langsung menatap Rapasak yang masih berdiri saja memandang dengan sinar mata sukar diartikan.
“Kau tahu dimana keluarganya?” tanya Gagak Ireng, agak mendesah suaranya.
“Dia tidak punya keluarga lagi. Dia berasal dari daerah selatan,” sahut Rapasak memberitahu.
“Tepatnya?”
“Bukit Gantang.”
Gagak Ireng menatap Rapasak tajam-tajam begitu mendengar tempat wanita yang menjadi pilihan adik angkatnya ini berasal. Sedangkan Rapasak hanya tertunduk saja, tak sanggup membalas tatapan mata yang tajam itu. Kembali mereka terdiam beberapa saat lamanya. Perlahan Gagak Ireng melangkah mendekati, lalu berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan Rapasak yang masih terduduk diam.
“Tatap aku, Rapasak,” pinta Gagak Ireng, begitu dalam suaranya.
Perlahan Rapasak mengangkat kepalanya. Mereka langsung bertatapan tanpa berbicara sedikit pun juga. Entah apa yang ada di dalam dada Rapasak saat ini. Dia tahu, Gagak Ireng tidak menyetujui hubungannya dengan wanita yang berasal dari Bukit Gantang.
“Rapasak! Kau tahu, dari mana Birawa berasal, bukan...?” dalam sekali suara Gagak Ireng.
“Ya! Aku tahu, Kakang,” sahut Rapasak perlahan seraya menganggukkan kepala.
“Dari mana?”
Cukup lama juga Rapasak tidak menjawab pertanyaan Gagak Ireng. Kepalanya kembali tertunduk dengan bibir masih terkunci rapat. Sedangkan Gagak Ireng memandanginya begitu tajam menusuk. Terdengar hembusan napas berat, bagai hendak melepaskan ganjalan yang ada di rongga dada.
“Kau harus hati-hati dengan setiap orang yang datang dari Bukit Gantang, Rapasak. Kau kan tahu, Birawa berasal dari sana. Dan bukannya tidak mustahil kalau kematiannya sudah tersebar sampai ke sana. Sadarilah hal itu, Rapasak,” Gagak Ireng menasihati penuh perhatian.
“Tapi, dia sendiri punya persoalan dengan Birawa, Kakang. Dia juga baru tahu, kalau Birawa sudah tewas. Bahkan merasa bersyukur mendengar kematian si perusuh itu. Dan kudengar, dia ingin mengucapkan terima kasih padamu yang telah melenyapkan Birawa, Kakang,” kata Rapasak memberitahu.
“Rapasak..., Rapasak...” Gagak Ireng menggeleng-gelengkan kepala.
Rapasak jadi tidak mengerti atas sikap kakak angkatnya ini. Dipandanginya Gagak Ireng dengan sinar mata minta penjelasan. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Gagak Ireng jadi begitu berhati-hati dan selalu mencurigai setiap orang Bukit Gantang yang datang ke kadipaten ini.
“Segala macam alasan bisa saja dikemukakan untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Kau harus bisa membedakan antara bunga dan ular berbisa. Perhatikanlah hal itu, Rapasak. Aku tidak ingin kita semua patah sebelum waktunya. Ingatlah tujuan utama kita ke kadipaten ini,” kata Gagak Ireng lagi.
“Kenapa Kakang selalu menaruh curiga pada setiap orang yang datang dari Bukit Gantang? Apakah karena Birawa berasal dari sana?” tanya Rapasak jadi ingin tahu.
“Kau adikku satu-satunya, Rapasak. Orang satu-satunya yang kupercaya dan kucintai. Aku tidak ingin kau terjebak. Meskipun Birawa sudah terkubur, tapi persoalannya belum tuntas begitu saja...,” Gagak Ireng mencoba memberi pengertian.
“Maksud Kakang...?” Rapasak masih belum mengerti juga.
“Kau tahu di mana Birawa selama ini hidup? Juga, dari mana dia mendapat ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian begitu tinggi...?” Gagak Ireng malah memberikan pertanyaan.
Rapasak terdiam tidak menyahut. Sebelum mengejar Birawa sampai ke hutan, mereka memang sudah menyelidiki asal-usul Birawa. Hingga, mereka tahu betul kelemahan ilmu yang dimiliki Birawa. Inikah yang selama beberapa hari ini membuat Gagak Ireng sering merenung dan menyendiri? Rapasak jadi bertanya-tanya dalam hati. Sungguh tidak pernah terlihat kalau Gagak Ireng tengah memikirkan lawan-lawan yang berhasil dilenyapkan. Tapi...
Rapasak cepat membantah semua yang ada di kepalanya. Dia tidak percaya kalau Gagak Ireng memiliki rasa gentar terhadap asal-usul Birawa. Pemuda itu tidak yakin kalau asal-usul Birawa membuat Gagak Ireng menjadi gentar. Terutama setelah mengalahkan, dan mengirimnya ke lubang kubur.
“Aku akan menyelidikinya, Kakang. Kalau memang dia punya maksud tertentu, aku akan melenyapkannya,” tegas Rapasak.
“Sekarang aku akan ke sana. Sudah ada janji dengannya.”
“Aku tidak memaksamu, Rapasak. Hanya kuminta, kau berhati-hati pada semua orang yang berasal dari Bukit Gantang,” ujar Gagak Ireng.
Rapasak hanya tersenyum saja. Ditepuknya bahu kakak angkatnya ini. Kemudian tubuhnya berputar dan berjalan meninggalkan Gagak Ireng sendirian di dalam ruangan ini.
Gagak Ireng masih berada di dalam ruangan itu meskipun Rapasak sudah tidak terlihat lagi. Kakinya lalu melangkah mendekati jendela dan berdiri di sana. Sekilas Rapasak masih terlihat tengah memacu kudanya meninggalkan rumah besar dan megah yang dikelilingi pagar batu setinggi dua batang tombak. Beberapa orang tampak berada di sudut-sudut yang rawan untuk berjaga-jaga.
“Hm... Aku harus menyelidikinya sendiri. Pengalamannya belum banyak dalam hal seperti ini,” gumam Gagak Ireng setelah berpikir beberapa saat.
Bergegas Gagak Ireng melangkah meninggalkan ruangan itu. Tak berapa lama kemudian, kudanya sudah terlihat dipacu cepat meninggalkan rumahnya yang besar, hadiah dari Adipati Bayaga. Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan seperti malam-malam sebelumnya, suasana di Kadipaten Wadas Lintang ini selalu saja ramai.
“Hiya! Hiya...!” Gagak Ireng memacu cepat kudanya menuju bagian selatan Kadipaten Wadas Lintang. Tapi dia tidak memilih jalan utama yang setiap saat dilalui orang. Yang dipilihnya adalah jalan memutar, melalui rumah-rumah penduduk dan perkebunan. Tidak dipedulikan lagi kalau malam telah begitu pekat, meskipun bulan bersinar penuh saat itu. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan penuh.
“Hieeek...!”
“Heh...?! Hup...!”
Gagak Ireng terkejut setengah mati begitu tiba-tiba kuda yang ditungganginya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Cepat-cepat tubuhnya melenting, melompat dari punggung kuda hitam itu. Dan bersamaan kakinya menjejak tanah, kuda hitam itu langsung ambruk menggelepar. Gagak Ireng jadi terbeliak melihat kudanya seketika tewas. Tampak di leher binatang itu tertancap sebuah benda berbentuk mata tombak berwarna hitam pekat.
“Kurang ajar...!” desis Gagak Ireng menggeram.
Suasana sekitarnya begitu sepi. Hanya desir angin saja yang terdengar, menebarkan udara dingin menusuk tulang. Gagak Ireng mengedarkan pandangan tajam-tajam. Telinganya juga dipasang begitu tajam, mendengarkan setiap suara sekecil apa pun yang ada di sekitarnya. Tapi setelah begitu lama, tak juga terdengar sesuatu yang mencurigakan. Sekitarnya begitu sunyi. Hanya pepohonan saja yang terlihat menghitam pekat di sekitarnya.
“Hm.... Siapa yang mau main-main denganku...?” gumam Gagak Ireng bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Perlahan Gagak Ireng mengayunkan kakinya sambil tetap memasang mata dan telinganya tajam-tajam. Sikapnya begitu hati-hati dan waspada. Gagak Ireng baru berhenti melangkah setelah dekat disamping bangkai kudanya. Tubuhnya membungkuk sedikit, lalu mencabut mata tombak hitam yang menancap di leher kudanya.
“Hm..., beracun,” desis Gagak Ireng menggumam perlahan. Sebentar diamatinya benda berbentuk mata tombak hitam itu. Sebuah benda terbuat dari bahan hitam yang keras, dan mengandung racun jahat mematikan. Tidak heran kalau kuda itu mati seketika.
“Hih...!” Tiba-tiba saja Gagak Ireng mengebutkan tangan kanannya ke samping begitu sekilas terdengar suara mencurigakan dari arah samping kanannya. Benda berbentuk mata tombak hitam yang berada di tangannya, seketika itu juga melesat cepat bagaikan kilat.
Srak!
“Hiyaaa...!” Gagak Ireng cepat melesat begitu dari semak yang tertembus mata tombak hitam melesat sebuah bayangan hitam keatas pohon.
Hampir bersamaan, mereka menjejakkan kakinya di atas dahan pohon yang cukup tinggi. Dan secara bersamaan pula, masing-masing menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar menggelegar ketika dua pasang telapak tangan beradu. Tampak dua orang itu saling melentingkan tubuh ke belakang. Mereka sama-sama mendarat ringan sekali. Kini satu sama lain berdiri saling berhadapan berjarak sekitar dua batang tombak.
“Hm...,” Gagak Ireng menggumam perlahan. Kelopak matanya sedikit menyipit memperhatikan sosok tubuh hitam yang berdiri sejauh dua batang tombak di depannya.
Sosok tubuh ramping, terbungkus baju hitam pekat yang sangat ketat. Dari bentuk tubuhnya sudah dapat dipastikan kalau sosok itu adalah wanita. Juga dari rambutnya yang panjang teriap hingga hampir menutupi wajahnya.
“Siapa kau...?!” tanya Gagak Ireng, agak membentak suaranya.
“Aku Pendekar Bukit Gantang yang hendak menuntut balas padamu!” sahut orang berbaju serba hitam itu, tegas dan dingin suaranya.
Hampir tak ada tekanan dalam nada suaranya. Tapi Gagak Ireng sudah bisa memastikan kalau orang berbaju serba hitam itu adalah wanita. Dan dari segebrakan tadi, juga sudah bisa diukur tingkat kepandaian wanita itu. Yang jelas, dia tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan Gagak Ireng tahu, apa yang diinginkan wanita berjuluk Pendekar Bukit Gantang itu.
“Apa yang hendak kau tuntut dariku, Nisanak? Di antara kita tidak ada persoalan apa pun,” tanya Gagak Ireng.
Sungguh dia baru kali ini bertemu orang yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang. Tapi Gagak Ireng sudah bisa menebak maksud kemunculan wanita berbaju serba hitam ini. Terlebih lagi, setelah mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang yang pasti berasal dari Bukit Gantang, tempat tanah kelahiran Birawa.
“Kau sudah berhutang nyawa, Gagak Ireng. Dan ini harus dibayar dengan nyawamu juga! Malam ini, aku menagih hutang padamu!” tegas Pendekar Bukit Gantang.
“Hutang nyawa...? Ha ha ha...! Mengenalmu saja aku belum. Lalu, bagaimana bisa berhutang nyawa padamu?” Gagak Ireng jadi tergelitik tenggorokannya mendengar tuntutan wanita serba hitam itu.
“Kau pasti tidak lupa peristiwa di Hutan Cagar Mayit, Gagak Ireng...”
“Hm...?!” gumam Gagak Ireng tidak kaget lagi mendengarnya, karena memang sudah menduga demikian. Mana mungkin Gagak Ireng bisa melupakan peristiwa yang baru saja terjadi sebulan lalu itu? Maka, matanya semakin tajam memperhatikan wanita berbaju serba hitam di depannya. Berbagai pertanyaan langsung memenuhi kepalanya. Siapa wanita ini sebenarnya...?
“Apa hubunganmu dengan Birawa, Nisanak?” tanya Gagak Ireng, agak ditekan suaranya.
“Dia saudaraku. Dan kematiannya harus kau balas dengan nyawamu!” sahut Pendekar Bukit Gantang tegas.
“Hm...,” Gagak Ireng jadi menggumam perlahan.
“Bersiaplah, Gagak Ireng...!” desis Pendekar Bukit Gantang dingin. “Hiyaaat...!”
Bagaikan kilat, wanita berbaju hitam yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang itu melompat cepat menerjang. Satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan lurus mengarah ke dada.
“Hup!” Gagak Ireng cepat-cepat mengegoskan tubuhnya menghindari serangan itu. Tapi sebelum sempat menarik tubuhnya tegak kembali, Pendekar Bukit Gantang sudah kembali melepaskan pukulan tangan kirinya. Begitu cepat serangan susulannya, membuat Gagak Ireng jadi terperangah.
“Hih!” Tak ada lagi kesempatan bagi Gagak Ireng untuk mengelak. Cepat-cepat tangan kanannya menghentak untuk menangkis pukulan itu.
Satu benturan kekuatan tenaga dalam terjadi, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Gagak Ireng cepat-cepat melompat ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Pendekar Bukit Gantang juga segera melentingkan tubuh beberapa kali ke belakang. Dan kini kembali mereka berdiri saling berhadapan.
“Edan...!” dengus Gagak Ireng merasakan nyeri pada pergelangan tangannya, akibat benturan keras dengan wanita berbaju serba hitam tadi. Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga dalam wanita ini begitu dahsyat. Bahkan hampir saja Gagak Ireng tidak kuat menahannya. Tapi dari benturan itu sudah membuatnya merasa yakin kalau kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya masih lebih tinggi.
Lain halnya yang dirasakan Pendekar Bukit Gantang. Dari benturan tadi, seluruh tangan kirinya jadi bergetar hebat. Bahkan terasa begitu panas! Terlebih lagi, detak jantungnya seakan-akan berhenti seketika.
Sret!
“Hm...!”
Gagak Ireng menggeser kakinya sedikit ke kanan begitu lawan mencabut pedangnya. Agak terkejut juga hatinya melihat pedang yang berwarna kehijauan. Pedang itu sama persis dengan milik Birawa. Bahkan bentuk dan ukurannya begitu sama. Gagangnya pun tak ada perbedaan sama sekali. Seakan-akan wanita itu memegang pedang milik Birawa. Padahal, Gagak Ireng begitu yakin kalau pedang Birawa sudah terkubur bersama jasadnya di Hutan Cagar Mayit.
“Hiyaaat...!” Bet! Cring!
Gagak Ireng langsung mencabut pedang kebanggaannya begitu wanita yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang melakukan serangan cepat menggunakan pedang berwarna kehijauan. Secepat kilat Gagak Ireng mengebutkan pedangnya, menangkis serangan yang mengarah ke dada.
Tring!
Bunga api memercik begitu dua senjata berpamor dahsyat beradu keras di depan dada Gagak Ireng. Tapi Pendekar Bukit Gantang tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dilakukannya serangan-serangan gencar yang cepat dan dahsyat. Setiap kebutan pedangnya mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Pendekar Bukit Gantang sama sekali tidak peduli kalau setiap kali pedangnya beradu dengan pedang Gagak Ireng, tangannya selalu bergetar hebat. Sampai sejauh ini, pedangnya masih bisa dipertahankan hingga tidak terlepas dari genggaman. Bahkan serangan-serangan yang dilakukan semakin bertambah dahsyat saja. Jurus demi jurus berlalu cepat.
“Ugkh!” Pendekar Bukit Gantang mulai mengeluh. Napasnya kini terasa jadi sesak bagai tersumbat sebongkah batu yang begitu besar dalam dadanya. Sama sekali tidak disadari kalau asap kehitaman yang keluar dari pedang Gagak Ireng mengandung racun yang membuat dadanya terasa begitu sesak.
“Lepas...!” seru Gagak Ireng tiba-tiba. Saat itu juga, Gagak Ireng mengebutkan pedangnya ke arah pedang di tangan Pendekar Bukit Gantang. Begitu cepat serangannya, sehingga wanita berbaju serba hitam itu tak sempat lagi menarik pedangnya yang sudah terulur ke depan.
Trang! “Akh...!”
Pendekar Bukit Gantang tidak dapat lagi menahan pedangnya yang mencelat ke udara, begitu terbabat pedang Gagak Ireng yang begitu keras.
“Hup! Hiyaaa...!” Pendekar Bukit Gantang cepat-cepat melenting ke udara mengejar pedangnya yang mencelat tinggi ke angkasa.
“Yeaaah...!”
Pada saat yang hampir bersamaan, Gagak Ireng juga melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat kilat, pedangnya dibabatkan ke tangan kanan Pendekar Bukit Gantang yang terulur hendak menangkap pedangnya.
Bet! Cras!
“Akh...!” satu pekikan keras keluar dari bibir wanita berbaju serba hitam itu.
Tebasan pedang Gagak Ireng tak dapat lagi terbendung. Tangan kanan wanita itu seketika buntung terbabat pedang berwarna hitam pekat berbentuk aneh itu. Darah kontan mengucur dari tangan yang buntung sebatas pergelangan. Dan sebelum wanita berbaju serba hitam itu bisa melakukan sesuatu, Gagak Ireng sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!” Des! “Aaakh...!”
Tak pelak lagi, Pendekar Bukit Gantang terbanting keras ke tanah akibat terhajar tendangan keras di dada. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah. Dan begitu bisa bangkit berdiri, Gagak Ireng sudah mendarat di depannya. Tanpa dapat dicegah lagi, Gagak Ireng cepat mengebutkan pedangnya ke dada wanita berbaju serba hitam itu.
Bet! Crab!
“Aaa...!” Satu jeritan panjang melengking tinggi mengakhiri pertarungan ini.
Hanya sebentar saja Pendekar Bukit Gantang mampu bertahan berdiri, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Dari dadanya mengucur darah akibat sabetan pedang yang ujungnya bercabang seperti lidah ular itu. Pendekar Bukit Gantang mengejang beberapa saat, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
Gagak Ireng memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang. Kemudian kakinya melangkah menghampiri lawannya. Sedikit tubuhnya membungkuk, menyibakkan rambut yang menutupi wajah wanita ini. Tampak seraut wajah cantik yang telah memucat, terlihat di balik rambut panjang hitam yang meriap.
“Hm...?” gumam Gagak Ireng jadi berkerut keningnya begitu melihat wajah cantik hampir tertutup rambut panjang. Sebentar dipandangi, kemudian diseretnya tubuh kaku itu ke dalam semak. Gagak Ireng masih berdiri beberapa saat setelah keluar dari dalam semak untuk menyembunyikan tubuh wanita itu. Keningnya masih berkerut dalam, seolah-olah tengah berpikir keras tentang wanita berbaju serba hitam yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang.
“Apakah dia Minati...? Hm... Aku harus segera menemui Rapasak.”
Gagak Ireng bergegas berlari cepat meninggalkan tempat itu. Digunakannya ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
********************
EMPAT
Sementara itu Rapasak sudah tiba di rumah bordil milik Nyi Walang. Yang dituju langsung pondok tempat tinggal Minati yang berada di bagian belakang rumah utama. Tapi Rapasak tidak menemukan wanita itu di dalam pondoknya. Lalu dia kembali ke rumah utama yang berukuran besar dan megah. Pemuda itu menyeret Nyi Walang ke dalam sebuah ruangan. Wanita gemuk itu tampak ketakutan melihat ketegangan di wajah Rapasak.
“Katakan, di mana Minati...?” desak Rapasak.
“Tadi dia ada di kamarnya! Dia tidak pernah menerima tamu lain. Sungguh...!” sahut Nyi Walang, bergetar suaranya.
“Tapi kenyataannya tidak ada.”
“Mungkin sedang keluar.”
“Kau jangan coba-coba mempermainkan aku, Nyi Walang” gertak Rapasak mengancam.
“Tidak! Aku tidak pernah mempermainkan orang. Dia memang sering keluar.”
“Ke mana?”
“Aku tidak tahu. Dia tidak pernah mengatakannya. Aku selalu membebaskan gadis-gadis di sini untuk keluar jalan-jalan.”
“Hhh!” Rapasak mendengus berat. Pemuda itu melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Jendela ini memang menghadap langsung ke bagian belakang, sehingga keadaan di belakang rumah bordil ini tampak terlihat jelas. Dari jendela ini dia dapat melihat pondok yang ditempati Minati.
Pondok itu masih tampak sepi, dan pintunya terbuka lebar. Seorang laki-laki berperut gendut tampak keluar dari sebuah pondok lain, diantar seorang wanita cantik yang tubuhnya hanya dililit kain. Wanita itu hanya mengantarkan sampai di ambang pintu.
Rapasak memutar tubuhnya berbalik. Ditatapnya Nyi Walang dalam-dalam. Sedangkan wanita gemuk itu hanya diam dengan tubuh masih gemetar ketakutan. Belum pernah Rapasak dilihatnya marah seperti ini. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Rapasak tiba-tiba saja jadi marah. Padahal sebelumnya kalau wanita yang diinginkan tidak ada, Rapasak selalu mencari gantinya. Tapi kali ini Rapasak begitu marah mendapati Minati tak ada lagi di pondoknya.
“Mungkin sebentar lagi dia datang, Rapasak,” hibur Nyi Walang mencoba menenangkan langganannya ini. “Sebaiknya kau cari saja yang lain. Masih banyak gadis yang lebih cantik darinya.”
Rapasak tidak berkata sedikit pun. Kakinya kemudian terayun meninggalkan kamar ini. Sedangkan Nyi Walang masih tetap duduk dengan tubuh gemetar.
Brak!
Keras sekali Rapasak membanting pintu, hingga Nyi Walang terlonjak terkejut. Rapasak terus mengayunkan kakinya keluar dari rumah pelacuran itu. Seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun menghampiri sambil menuntun kuda, begitu melihat Rapasak keluar dari rumah itu.
“Hup!” Rapasak langsung melompat naik ke punggung kuda putihnya dan cepat menggebahnya. Bagaikan anak panah lepas dari busur, kuda putih itu berpacu cepat meninggalkan anak laki-laki yang terbengong tidak mengerti. Dia hanya mengangkat bahunya saja, dan kembali bertugas menjaga kuda-kuda tamu yang datang ke rumah ini.
Sementara Rapasak terus memacu cepat ku-danya. Tidak dipedulikan lagi keadaan jalan yang masih dipadati orang. Kudanya terus digebah semakin cepat, membuat orang-orang yang memadati jalan itu menyumpah serapah karena merasa terganggu. Rapasak sama sekali tak mempedulikan. Kudanya malah semakin cepat dipacu melintasi jalan tanah berdebu yang membelah Kota Kadipaten Wadas Lintang ini.
“Rapasak...!”
“Hooop...!”
Rapasak langsung menarik tali kekang kudanya begitu mendengar panggilan keras. Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Rapasak cepat berpaling ke arah panggilan tadi. Bergegas dia melompat turun begitu melihat Gagak Ireng setengah berlari menghampiri.
“Kakang Gagak Ireng, kenapa ada di sini...?” tanya Rapasak begitu kakak angkatnya sudah dekat.
“Aku sengaja mencarimu,” sahut Gagak Ireng.
“Ada apa?” tanya Rapasak lagi.
“Ayo, ikuti aku.” Gagak Ireng segera berbalik dan melangkah cepat.
Rapasak jadi berkerut keningnya, lalu bergegas mengikuti sambil menuntun kudanya. Mereka berjalan cepat di antara kerumunan orang yang memadati jalan ini. Mereka berbelok ke jalan kecil, dan masuk ke dalam sebuah perkebunan yang lebat oleh pepohonan.
“Ada apa, Kakang? Kenapa membawaku kesini...?” tanya Rapasak jadi penasaran ingin tahu.
Gagak Ireng tidak menjawab, tapi malah terus saja melangkah cepat menerobos kebun yang gelap ini. Rapasak terus mengikuti di sampingnya sambil menuntun kuda yang mengikuti dari belakang.
“Kau tidak menemui gadismu di sana, bukan...?” Gagak Ireng malah balik bertanya.
“Dari mana Kakang tahu...?” Rapasak terkejut mendengar pertanyaan kakak angkatnya.
“Aku dari sana tadi. Nyi Walang mengatakan, kau marah-marah padanya.” Rapasak hanya diam saja. “Kau tidak akan bertemu dengannya lagi. Dia tidak akan bisa datang lagi ke sana,” lanjut Gagak Ireng.
“Kakang...”
Gagak Ireng menghentikan langkahnya. Ditatapnya Rapasak agak dalam, dengan sinar mata sulit diartikan. Sedangkan Rapasak hanya diam saja. Sulit diterjemahkan maksud kata-kata Gagak Ireng barusan. Rapasak hanya dapat menduga-duga dalam hati.
“Aku hanya ingin kau memastikan saja. Mungkin dugaanku meleset,” kilah Gagak Ireng seraya melanjutkan ayunan langkahnya lagi.
Rapasak hanya diam saja, lalu ikut melangkah di samping kakak angkatnya. Berbagai macam dugaan kembali timbul di kepalanya. Tapi semua dugaan itu tak satu pun yang terlontar menjadi pertanyaan, dan tetap tersimpan di kepalanya sampai mereka tiba di suatu tempat yang rapat oleh pepohonan.
Rapasak semakin tidak mengerti, kenapa kakak angkatnya ini membawanya ke tempat seperti ini. Rapasak hanya memperhatikan saja kakak angkatnya menyibakkan semak belukar. Dan dari dalam semak itu, diseretnya sesosok tubuh berbaju hitam yang berlumuran darah. Keadaan begitu gelap, sehingga Rapasak tidak bisa melihat jelas wajah sosok tubuh berbaju hitam itu. Terlebih lagi, rambut hitam yang meriap panjang hampir menutupi seluruh wajahnya.
“Siapa dia, Kakang?” tanya Rapasak.
“Lihat saja baik-baik.”
“Oh...?!” Rapasak mendesah terkejut begitu Gagak Ireng menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajah sosok tubuh berbaju hitam itu. Hampir tidak dipercayai penglihatannya kali ini. Bergantian, dipandangi wajah mayat itu, lalu berpindah pada Gagak Ireng beberapa kali. Seakan-akan masih belum dipercayai, apa yang disaksikannya kali ini.
“Kau mengenalnya, Rapasak?” tanya Gagak Ireng dengan suara agak ditekan.
“Bagaimana dia bisa berada di sini?” Rapasak malah balik bertanya. Tentu saja Rapasak kenal. Memang, wanita berbaju serba hitam yang sudah menjadi mayat itu adalah Minati! Wanita yang selama beberapa hari ini selalu menjadi teman penghangat tidurnya di atas ranjang.
“Sudah kuduga, dia adalah teman wanitamu, setelah nama Birawa disebutnya,” kata Gagak Ireng.
“Kau yang membunuhnya, Kakang...?” nada suara Rapasak terdengar seperti tidak percaya.
“Hanya ada satu pilihan. Dia atau aku yang terbunuh,” sahut Gagak Ireng, agak dalam suaranya.
Rapasak hanya diam saja.
“Hhh.... Sudah kuperingatkan agar kau berhati-hati, Rapasak. Kedatangannya ke sini sengaja untuk membalas kematian Birawa,” kata Gagak Ireng lagi.
Rapasak masih tetap diam.
“Maaf. Bukan maksudku untuk....”
“Tidak, Kakang. Aku yang minta maaf padamu,” selak Rapasak cepat.
“Aku kurang hati-hati dan terlalu cepat mempercayai kata-katanya.”
Gagak Ireng tersenyum dan menepuk pundak adik angkatnya ini. Sedangkan Rapasak hanya diam saja. Sungguh tidak disangka kalau Minati punya maksud untuk membalas kematian Birawa pada kakak angkatnya. Gagak Ireng memang sudah memperingatkan, tapi tidak disangkanya kalau akan begitu cepat bisa terbongkar.
“Ayo, kita pulang,” ajak Gagak Ireng.
“Bagaimana dengan mayat ini?” tanya Rapasak.
“Biarkan saja. Besok pagi juga ditemukan orang.”
Rapasak tidak berkata-kata lagi ketika melangkah pergi mengikuti kakak angkatnya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Tapi suasana di Kadipaten Wadas Lintang masih kelihatan ramai, meskipun sudah agak berkurang. Gagak Ireng dan Rapasak terus berjalan semakin jauh meninggalkan tempat itu.
Tanpa disadari, ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasi. Dan begitu kedua orang itu sudah tidak terlihat lagi, muncul seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dari balik sebatang pohon yang cukup besar. Dia lalu melangkah cepat menghampiri jasad Minati yang tergeletak bersimbah darah. Laki-laki yang mengenakan baju putih keperakan itu berdiri mematung di samping mayat wanita berbaju serba hitam itu.
“Sudah kuperingatkan..., dia bukan lawanmu. Hhh.... Malang sekali nasibmu, Minati,” ujarnya pelan. Begitu pelannya, sehingga hampir tidak terdengar.
Perlahan dia berlutut dan mengambil pedang yang tergeletak tidak jauh dari mayat ini. Kemudian dilepaskannya warangka pedang yang ada di pinggang Minati. Laki-laki berwajah cukup tampan itu memasukkan pedang berwarna kehijauan ke dalam warangkanya. Dia masih berlutut memandangi tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Darah yang melumuri mayat itu sudah terlihat agak mengering.
“Maaf. Aku harus meninggalkanmu di sini. Aku harus segera memberi tahu Kakang Gandapara mengenai keadaanmu,” katanya lagi masih dengan suara perlahan.
Laki-laki itu bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya tubuh yang terbaring tak bernyawa lagi itu. Kemudian, dia cepat melesat pergi tanpa berpaling lagi. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Tak ada lagi orang yang terlihat di tempat yang lebat oleh pepohonan ini, kecuali mayat wanita berbaju serba hitam itu saja. Dia hanya ditemani hembusan angin dingin yang membekukan darah di tubuhnya.
********************
Jauh di sebelah utara Kadipaten Wadas Lintang, tepatnya di sebuah bukit yang berbatu, berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi pagar dari balok-balok kayu yang besar dan tinggi. Di dalam sebuah ruangan berukuran cukup besar, tampak tiga orang laki-laki tengah duduk bersila bera-laskan permadani tebal berwarna biru langit. Di ruangan ini hanya ada seorang gadis. Gadis cantik itu mengenakan baju warna biru ketat. Tampak sebilah pedang bertengger di punggungnya. Di balik sabuk yang melilit pinggangnya, juga terselip sebuah kipas berwarna putih keperakan.
Di sampingnya duduk seorang pemuda tampan mengenakan baju putih tanpa lengan. Dadanya yang bidang dibiarkan terbuka lebar. Di depan mereka adalah dua orang laki-laki berusia antara tiga puluh dan enam puluh tahun. Salah seorang dari mereka mengenakan baju warna putih keperakan.
Dialah yang malam itu melihat Gagak Ireng dan Rapasak di dekat mayat Minati. Sedangkan yang seorang lagi, meskipun umurnya sudah berkepala enam, tapi masih kelihatan gagah dan tampan. Bajunya belang-belang seperti dari kulit binatang. Ikat kepalanya juga berwarna sama dengan baju yang dikenakannya.
“Bagaimana menurutmu, Pendekar Rajawali Sakti? Sudah dua orang saudara kami yang tewas tanpa kesalahan yang pasti,” terdengar pelan suara laki-laki berbaju kulit binatang itu.
Pandangannya begitu lurus ke bola mata pemuda berbaju rompi putih yang duduk di depannya. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu memang Pendekar Rajawali Sakti. Nama sebenarnya Rangga. Dia tidak segera menjawab, tapi malah melirik gadis berbaju biru di sampingnya. Gadis itu tak lain adalah Pandan Wangi, yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.
“Apa benar Birawa merampok dan membunuh penduduk Kadipaten Wadas Lintang...?” tanya Rangga, seakan-akan ingin memastikan. Pendekar Rajawali Sakti sudah mendengar semua cerita yang terjadi di Kadipaten Wadas Lintang. Dan semua itu diketahui dari cerita laki-laki berbaju kulit binatang yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Ki Gandapara.
“Tuduhan itu tidak benar, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada bukti kalau Birawa melakukan perbuatan sekeji itu,” bantah Ki Gandapara tegas.
“Aku yakin, semua ini sudah diatur Gagak Ireng. Dia sengaja membuat kekacauan, lalu menuduhkan semuanya pada Birawa,” sambung pemuda yang duduk di samping Ki Gandapara. Pemuda itu sudah dikenal Rangga. Namanya Balung Samodra.
“Yang jelas, bukan hanya Birawa sasarannya. Tapi semua pendekar di Bukit Gantang ini.”
“Di antara kami dan Gagak Ireng memang tidak ada kecocokan, dan sudah lama berselisih. Dan sebenarnya, kami tidak ingin meneruskan perselisihan yang tidak ada gunanya ini. Tapi Gagak Ireng selalu saja mencari gara-gara,” sambung Ki Gandapara.
“Hm.... Dia sudah mengenalmu?” tanya Rangga
“Sudah. Walaupun aku baru saja berada di sini setelah mendengar kematian Birawa di tangannya. Dia juga tidak tahu kalau akulah saudara tertua di antara pendekar-pendekar Bukit Gantang ini,” sambung Ki Gandapara.
“Aku selalu pergi mengembara, dan kembali ke Bukit Gantang hanya sesekali saja. Semua tanggung jawab di sini dipegang Balung Samodra.”
Rangga tersenyum kecut. Kata-kata Ki Gandapara seakan-akan menyentuh hatinya. Pendekar Rajawali Sakti sadar kalau selalu pergi mengembara, meskipun punya tanggung jawab lain selain raja di Karang Setra. Dan hanya sesekali saja pulang ke tanah kelahirannya. Semua tanggung jawab di Karang Setra juga dipercayakan pada adik-adik tirinya.
“Kalau boleh aku tahu, berapa jumlah kekuatan di sini?” selak Pandan Wangi bertanya.
“Hanya enam. Dan dua sudah tewas di tangan Gagak Ireng. Jadi, tinggal empat orang lagi yang tersisa. Dan kepandaian yang mereka miliki, tak ada yang setingkat dengan Gagak Ireng. Itu sebabnya mereka kuminta untuk tidak terpancing. Kami ingin tahu, apa tujuan Gagak Ireng sebenarnya di Kadipaten Wadas Lintang ini,” kembali Ki Gandapara menjelaskan dengan gamblang.
“Aku sendiri masih ragu, apakah bisa menandinginya atau tidak. Itu sebabnya aku cepat-cepat menghubungi kalian, karena wilayah Kadipaten Wadas Lintang ini masih wilayah Kerajaan Karang Setra juga. Dan tentunya, kau juga tidak ingin wilayahmu terusik, Pendekar Rajawali Sakti,” sambung Ki Gandapara.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Meskipun Ki Gandapara sudah tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah Raja Karang Setra, tapi tidak pernah memanggil dengan sebutan gusti seperti pada umumnya. Ki Gandapara selalu menganggap Rangga adalah seorang pendekar, sama seperti dirinya. Karena itu, dia tidak lagi merasa sungkan hanya menyebut nama saja.
“Siapa sebenarnya Gagak Ireng itu, Balung Samodra?” tanya Pandan Wangi.
Jelas sekali kalau nada pertanyaan si Kipas Maut itu mengandung rasa penasaran. Dan ini cepat diketahui Rangga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Matanya hanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang kelihatan tidak peduli. Pandan Wangi malah menatap Balung Samodra dalam-dalam.
“Tadinya dia hanya kepala rombongan perampok kecil di Kadipaten Wadas Lintang ini. Kemudian mendiang Eyang Guru kami berhasil mengusirnya keluar dari Kadipaten Wadas Lintang. Namun dia masih juga meneruskan pekerjaan terkutuknya. Bahkan sampai malang-melintang dari satu daerah ke daerah lain karena memang tidak punya tempat tinggal tetap. Dia dikenal berjuluk Penyamun Bukit Tengkorak. Sarangnya memang di sekitar Bukit Tengkorak, tidak jauh letaknya dari Bukit Gantang ini, dia menjadi orang kedua di Kadipaten Wadas Lintang. Itu juga berkat akal liciknya yang mengelabui pembesar kadipaten. Gagak Ireng menimbulkan kekacauan di seluruh Wilayah Kadipaten Wadas Lintang, lalu menuduh Birawa sebagai pelakunya. Gusti Adipati Bayaga sendirilah yang mengangkatnya menjadi Kepala Pasukan Khusus Kadipaten. Dan itu merupakan jabatan penting yang membuatnya menjadi orang kuat kedua di kadipaten ini,” jelas Balung Samodra, gamblang.
“Licik...!” desis Pandan Wangi.
“Itu memang sudah wataknya, Pandan Wangi. Dia selalu menggunakan segala cara untuk mewujudkan keinginannya,” kata Balung Samodra lagi. “Aku yakin, bukan jabatan itu yang menjadi tujuan utamanya. Pasti ada suatu tujuan tertentu yang belum terlaksana.”
“Dan dia terus saja akan mencari persoalan dengan mengkambinghitamkan kami untuk tujuan busuknya,” sambung Ki Gandapara.
“Apakah Adipati Bayaga sendiri tidak tahu siapa sebenarnya Gagak Ireng?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Aku tidak tahu tentang itu, Pandan Wangi,” sahut Ki Gandapara seraya melirik Balung Samodra. “Masalahnya, selama ini Gagak Ireng tidak pernah menjarah ke Kadipaten Wadas Lintang. Aku sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja dia datang ke sini. Bahkan sekarang bisa menjadi orang kedua di Kadipaten Wadas Lintang ini”
“Yang jelas, Adipati Bayaga sudah bersumpah untuk memberi jabatan Kepala Pasukan Khusus Kadipaten pada siapa saja yang berhasil menghentikan kerusuhan di Kadipaten Wadas Lintang,” sambung Balung Samodra.
“Apa kerusuhan itu langsung berhenti setelah Birawa tewas?” Rangga jadi ikut bertanya.
“Ya,” sahut Balung Samodra.
“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.
“Ini mencurigakan sekali, Kakang,” ujar Pandan Wangi seraya menatap Rangga yang duduk di sampingnya. Sedangkan Rangga hanya diam saja.
“Kadipaten Wadas Lintang sangat luas. Rasanya memang tidak mungkin kalau hanya Birawa sendiri yang menjarah seluruh kadipaten itu dalam waktu kurang dari satu bulan. Lagi pula, kalau memang Birawa yang melakukan, di mana harta hasil rampokannya disimpan...?” Pandan Wangi seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Itulah yang menjadi beban pikiran kami, Pandan Wangi,” sambut Balung Samodra.
********************
Sementara itu pada waktu yang sama, Gagak Ireng juga tengah berbincang-bincang dengan Rapasak di kediamannya. Kemunculan Minati yang hendak menuntut balas dengan cara mendekati Rapasak membuat Gagak Ireng menjadi gundah, meskipun sebelumnya sudah diduga.
“Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa dia memakai nama Pendekar Bukit Gantang, Kakang...?” ujar Rapasak seperti bertanya pada diri sendiri.
Gagak Ireng memang sudah menceritakan semua tentang kejadian malam itu kepada Rapasak, sehingga mengakibatkan tewasnya Minati. Juga tentang maksud kedatangan Minati ke Kota Kadipaten Wadas Lintang ini. Bahkan untuk menyembunyikan diri yang sebenarnya, Minati sengaja menggunakan nama Pendekar Bukit Gantang. Tapi, rupanya kepandaian yang dimiliki wanita itu memang jauh di bawah Gagak Ireng. Sehingga gadis itu dapat dikalahkan dengan mudah.
“Nama apa pun yang dipakai, semua akibat ini sudah kupikirkan. Dan kita harus berhati-hati mulai sekarang ini. Aku yakin, bukan hanya Minati saja yang hendak membalas kematian Birawa. Tapi masih banyak yang lainnya,” tegas Gagak Ireng.
“Terutama sekali kau, Rapasak. Aku tidak ingin kejadian ini terulang lagi. Kau hampir saja mencelakakan kita semua.”
“Maafkan aku, Kakang,” ucap Rapasak menyesal.
“Sudahlah. Semua yang sudah terjadi tidak perlu disesali lagi. Yang penting sekarang lebih berhati-hatilah. Jangan mudah percaya begitu saja pada orang-orang yang datang dari Bukit Gantang. Kau mengerti, Rapasak...?” Rapasak menganggukkan kepala.
Memang ada penyesalan di hatinya atas kematian Minati. Padahal dia sudah menaruh suatu harapan besar. Tapi kenyataannya sungguh pahit. Dan Rapasak harus menerima kenyataan ini meskipun sakit hati rasanya. Baru kali ini pemuda itu menaruh harapan besar pada seorang wanita. Tapi sebelum harapannya berkembang, wanita yang mulai dicintainya sudah keburu tewas. Bahkan tewas di tangan kakak angkatnya sendiri.
“Kakang tahu siapa sebenarnya yang dijuluki Pendekar Bukit Gantang?” tanya Rapasak.
“Aku pernah mendengar namanya, tapi belum pernah bertemu langsung. Dia dianggap pelindung jago-jago Bukit Gantang,” jelas Gagak Ireng.
“Apakah kepandaiannya tinggi, Kakang?”
“Aku tidak tahu pasti. Tapi dia punya sahabat kental yang sangat tangguh dan digdaya.”
“Siapa?” “Pendekar Rajawali Sakti.”
“Pendekar Rajawali Sakti...?!” Rapasak terkejut setengah mati mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut. Sebuah nama yang tidak asing lagi dan sangat disegani di kalangan persilatan. Sampai saat ini, tak ada seorang pun yang sanggup menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi bukan itu yang membuat Rapasak jadi gundah. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti adalah seorang raja di Karang Setra. Sedangkan Kadipaten Wadas Lintang ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Rapasak jadi terdiam. Disadari kalau kedudukan kakak angkatnya jadi terancam. Dan itu bisa membahayakan bila para pendekar Bukit Gantang meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti. Rapasak memandang Gagak Ireng dengan berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dadanya.
“Kakang, apa tidak sebaiknya kita mulai sekarang?” ujar Rapasak bernada memberi saran.
“Tidak sekarang, Rapasak. Waktunya belum tepat. Tunggulah barang satu atau dua hari lagi,” sahut Gagak Ireng.
“Aku hanya khawatir, Adipati Bayaga sudah mengetahui rencana kita, Kakang.”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau tenang saja, Rapasak. Sudah kukirim beberapa orang untuk menyelidiki keadaan di Bukit Gantang. Kita pasti akan mengetahuinya besok.”
“Aku percaya pada rencanamu, Kakang.”
“Sudah malam. Sebaiknya tidur saja.”
“Baik, Kakang.” Rapasak bergegas meninggalkan kakak angkatnya ini, setelah menjura memberi hormat. Sedangkan Gagak Ireng masih tetap berada di sana, walaupun Rapasak sudah tenggelam di balik pintu. Laki-laki itu masih berdiri mematung di depan jendela, memandangi rembulan yang malam itu bersinar penuh. Cahayanya tampak redup terselimut awan tebal dan menghitam.
“Hm.... Sebaiknya aku memang harus bertindak cepat sebelum para pendekar Bukit Gantang mendahului. Aku yakin, Adipati Bayaga lebih percaya pada pendekar-pendekar Bukit Gantang daripada aku. Terlebih lagi, kalau Pendekar Rajawali Sakti sampai turun tangan. Hm.... Ini tidak boleh terjadi...!” gumam Gagak Ireng berbicara sendiri.
“Akan kubuat kadipaten ini jadi neraka. Hhh...!”
********************
LIMA
Tak ada seorang pun yang menyangka, kalau peristiwa sebulan lalu bakal terulang kembali. Keresahan kembali melanda Kadipaten Wadas Litang. Sudah tiga hari ini seseorang yang mengaku berjuluk Jago Bukit Gantang telah muncul, dan membuat keresahan. Bukan hanya harta yang digasak, tapi juga nyawa pemilik harta itu ikut melayang. Sudah lebih dari sepuluh rumah yang dimasuki, dan sudah dua belas orang yang tewas.
Keramaian yang biasanya terjadi diKadipaten Wadas Lintang, mendadak saja tenggelam oleh munculnya Jago Bukit Gantang yang menjarah rumah-rumah penduduk kadipaten itu. Bukan hanya malam. Bahkan di tengah hari bolong pun orang itu berani muncul. Kemunculan orang yang menjuluki dirinya sebagai Jago Bukit Gantang itu sampai juga ke telinga Adipati Bayaga. Sudah tentu Adipati Wadas Lintang itu memanggil Gagak Ireng yang menjadi tangan kanannya di kadipaten ini.
“Kau harus bisa menghentikan kerusuhan ini secepatnya, Gagak Ireng,” tegas Adipati Bayaga.
“Maaf, Gusti Adipati. Rasanya sulit menghentikan kalau tidak langsung ke akarnya,” sahut Gagak Ireng seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
“Maksudmu...?” tanya Adipati Bayaga.
“Kejadian ini sudah jelas ada hubungannya dengan Birawa. Mereka sama-sama dari Bukit Gantang. Aku rasa ini bukan hanya sekadar perampokan dan pembunuhan penduduk saja. Tapi ada maksud tersembunyi di balik semua kejadian ini, Gusti Adipati,” Gagak Ireng menjabarkan pemikirannya.
“Maksudmu, mereka merencanakan pemberontakan?”
“Bisa dikatakan begitu, Gusti Adipati,” sahut Gagak Ireng tegas.
“Hm...,” gumam Adipati Bayaga perlahan. Sedikit pun tidak ada pikiran sampai ke sana di kepala adipati itu. Dan sama sekali tidak disangka kalau orang-orang dari Bukit Gantang punya maksud memberontak.
Padahal selama ini, orang-orang Bukit Gantang memiliki hubungan baik dengan Kadipaten Wadas Lintang. Bahkan tidak sedikit mereka mencurahkan sumbangan tenaga dan pikiran untuk kemajuan kadipaten ini. Belum lagi, mereka dikenal banyak melahirkan jago tangguh. Dan tidak sedikit yang menjadi punggawa kerajaan.
Rasanya sulit diterima kalau mereka punya rencana memberontak. Tapi kelihatannya, kenyataan yang ada tak dapat dipungkiri lagi. Pertama Birawa melakukan kerusuhan. Dia merampok dan membunuh siapa saja yang mencoba menentangnya. Tidak sedikit nyawa terbuang hanya untuk meringkus pemuda itu. Dan semua itu baru bisa dihentikan berkat tindakan Gagak Ireng. Namun sekarang muncul lagi orang yang seperti Birawa. Bahkan sama-sama berasal dari Bukit Gantang. Baru tiga hari saja, sudah dua belas orang yang tewas.
“Aku akan mengirim utusan ke sana. Kalau perlu, Ki Gandapara akan kupanggil. Kalau memang orang-orang Bukit Gantang yang melakukan semua ini, dia harus bertanggung jawab,” tegas Adipati Bayaga.
“Aku tidak yakin Ki Gandapara ada di Bukit Gantang, Gusti Adipati. Kabar terakhir yang kudengar, dia sedang mengembara,” sergah Gagak Ireng.
“Mengembara...? Untuk apa mengembara?” tanya Adipati Bayaga seperti untuk diri sendiri.
“Tidak ada yang tahu pasti, Gusti Adipati. Dan kabarnya pula, dia mengembara sudah beberapa tahun ini. Bahkan sudah menjalin hubungan persahabatan dengan para pembesar Karang Setra,” lagi-lagi Gagak Ireng memberitahu.
“Heh...?! Kenapa sampai meluas ke sana...?” Adipati Bayaga terkejut bukan main mendengar laporan yang tidak pernah disangka-sangka itu.
“Kalau sampai para pembesar Kerajaan Karang Setra turun tangan, aku yakin kedudukan Gusti Adipati akan terancam. Mereka pasti lebih percaya orang-orang Bukit Gantang. Memang tidak sedikit orang kelahiran sana yang menjadi punggawa. Bahkan ada pula yang sudah berpangkat panglima atau pembesar tinggi istana,” lanjut Gagak Ireng.
“Kenapa bisa jadi begini...? Apa ada suatu kesalahan yang kuperbuat...?” Adipati Bayaga jadi kelabakan sendiri. Benar-benar tidak disangka kalau peristiwa yang semula dianggap kerusuhan biasa saja, ternyata sudah meluas sampai ke kerajaan. Adipati Bayaga benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. Sungguh tidak disangka kalau orang-orang Bukit Gantang punya maksud buruk padanya. “Apa yang harus kuperbuat, Gagak Ireng?” tanya Adipati Bayaga.
“Sebaiknya Gusti Adipati sudah mulai memperkuat diri. Cepat atau lambat, mereka pasti akan menggulingkan Gusti Adipati. Kelihatannya mereka sudah mulai bergerak dengan mengacau keadaan dan membuat kerusuhan di mana-mana. Jelas maksudnya adalah untuk melemahkan pertahanan kadipaten ini,” jelas Gagak Ireng.
“Apakah itu nanti tidak dianggap sebagai persiapan pemberontakan pada Karang Setra?”
“Aku yakin tidak, Gusti. Asalkan Gusti Adipati sendiri bisa mengambil hati para pembesar kerajaan. Terutama pada Raja Karang Setra sendiri. Gusti Adipati pasti bisa memberi penjelasan, sehingga mereka tidak akan menyangka demikian. Bahkan mungkin akan membantu menumpas orang-orang Bukit Gantang yang sudah jelas-jelas hendak memberontak.”
Adipati Bayaga terdiam. Rasanya memang tidak mudah melaksanakan semua yang dikatakan Gagak Ireng barusan. Terlebih lagi dia tahu kalau Raja Karang Setra adalah seorang pendekar digdaya yang gemar mengembara. Sekarang ini pun tak ada yang tahu, di mana Raja Karang Setra itu berada. Hanya kedua adik tirinya saja yang mungkin mengetahuinya. Tapi, apakah dia bisa mendekati adik tiri Raja Karang Setra itu...?
Kebimbangan jelas sekali terpancar di wajah Adipati Bayaga. Sudah bisa dibayangkan kalau kejadian ini bisa berakibat buruk bagi dirinya. Bahkan bagi semua orang di Kadipaten Wadas Lintang ini. Kehancuran Kadipaten Wadas Lintang sudah membayang di matanya. Dan adipati itu tidak ingin kadipaten yang dibangunnya dengan susah payah, bakal hancur-lebur digempur para prajurit Karang Setra dan jago-jago Bukit Gantang.
********************
Malam itu Adipati Bayaga benar-benar tidak bisa memicingkan matanya sekejap pun. Semua yang dikatakan Gagak Ireng beberapa hari lalu terus terngiang di telinganya. Adipati itu benar-benar tidak ingin semuanya berakhir seperti yang dikatakan Gagak Ireng. Sedangkan kerusuhan yang terjadi di wilayah Kadipaten Wadas Lintang semakin menjadi-jadi saja. Bahkan sudah empat orang pembesar kadipaten beserta keluarganya telah terbunuh di rumah masing-masing.
Berbagai macam desakan datang padanya. Sedangkan Gagak Ireng yang diharapkan bisa menumpas perusuh-perusuh itu dengan cepat, sampai sekarang ini belum juga menampakkan hasilnya. Dan Adipati Bayaga masih belum bisa memutuskan untuk menyerang Bukit Gantang yang dikatakan sebagai biang pembuat keonaran ini. Entah kenapa, dia masih belum yakin kalau para perusuh itu dari Bukit Gantang.
Di saat Adipati Bayaga tengah mondar-mandir dalam kamarnya, tiba-tiba saja terasa ada hembusan angin dingin yang begitu kencang menerpa tubuhnya. Laki-laki setengah baya itu cepat melompat ke pintu. Tapi sebelum sampai pintu, tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda berbaju putih tanpa lengan membelakangi pintu kamar itu.
“Heh...?!” Adipati Bayaga terkejut setengah mati. Kedua matanya terbeliak lebar. Bahkan mulutnya ternganga, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya saat ini. “Gus..., Gusti Prabu...,” desis Adipati Bayaga tergagap, seakan-akan tercekik tenggorokannya.
Cepat adipati itu menjatuhkan diri berlutut dan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Kini baru disadari kalau pemuda berbaju rompi putih yang tahu-tahu muncul di depannya adalah Rangga, Raja Karang Setra. Dia juga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Seluruh tubuh Adipati Bayaga bergetar. Keringat sebesar-besar butir jagung mengucur keluar dari seluruh tubuhnya. Kepalanya tak sanggup lagi diangkat, begitu Rangga melangkah mendekati. Seluruh tubuh Adipati Bayaga semakin bergetar saat pundaknya terasa disentuh dengan lembut.
“Bangunlah, Paman Adipati,” ujar Rangga lembut dan berwibawa.
“Ampunkan hamba, Gusti Prabu,” ucap Adipati Bayaga masih tetap berlutut di lantai.
Rangga sedikit menekuk lututnya, lalu membangunkan Adipati Bayaga. Perlahan Adipati Bayaga bangkit berdiri, tapi kepalanya tetap tertunduk. Seakan-akan, dia tidak sanggup membalas pandangan mata Rangga.
“Maaf. Mungkin kedatanganku membuatmu terkejut,” kata Rangga lagi. Suaranya masih tetap terdengar lembut dan berwibawa.
Adipati Bayaga hanya diam saja. Entah kenapa lidahnya terasa begitu kelu, sukar diajak berkata-kata lagi. Sedangkan Rangga sudah duduk di kursi dekat jendela. Dan Adipati Bayaga masih tetap berdiri dengan kepala tertunduk menekuri lantai di ujung jari kakinya.
“Kedatanganku sengaja seperti ini. Aku hanya ingin meminta keterangan darimu, Paman Adipati,” kata Rangga lagi.
“Keterangan apa yang Gusti Prabu perlukan?” tanya Adipati Bayaga penuh hormat.
“Keadaan di kadipaten ini. Kudengar di sini sedang terjadi kerusuhan. Benar begitu...?” tegas sekali pertanyaan Rangga.
“Benar, Gusti,” sahut Adipati Bayaga.
“Kau bisa menanggulanginya?”
“Sudah, Gusti. Hamba sudah berusaha. Tapi beberapa hari ini, muncul lagi kerusuhan yang sama. Hamba sudah kerahkan para prajurit kadipaten, tapi para perusuh itu lebih kuat daripada para prajurit.”
“Bukankah kau memiliki pasukan khusus?”
“Oh...?!” Adipati Bayaga terkejut mendengar pertanyaan itu. Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Rajawali Sakti ini sudah mengetahui tentang pasukan khususnya yang baru dibentuk kurang dari dua bulan ini.
“Sebuah kadipaten mempunyai pasukan khusus. Suatu kemajuan yang sangat besar, Paman. Dan tentunya, pasukan khusus itu terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi. Hm.... Bagaimana kau bisa membentuknya, Paman? Dan untuk apa memiliki pasukan khusus segala? Bukankah kau tahu, kalau membentuk suatu pasukan khusus harus ada izin panglima tertinggi kerajaan...?”
Adipati Bayaga benar-benar tidak bisa lagi menjawab. Dia tahu, tindakannya membentuk pasukan khusus tanpa meminta izin terlebih dahulu merupakan suatu pelanggaran besar. Dan bukannya tidak mungkin pihak kerajaan akan menuduhnya mempunyai maksud memberontak.
“Paman Adipati....”
“Ham.... Hamba, Gusti Prabu,” sahut Adipati Bayaga seraya memberi hormat.
“Kau sadari, apa yang telah kau lakukan selama ini, Paman?” tanya Rangga, tetap lembut suaranya. Tapi begitu terasa kalau nada suara Pendekar Rajawali Sakti agak ditekan.
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Adipati Bayaga pelan.
“Berapa orang kekuatan pasukan khususmu?” tanya Rangga lagi.
“Lima puluh orang, Gusti Prabu.”
“Cukup besar...,” gumam Rangga. Adipati Bayaga diam saja.
“Lalu, siapa yang menjadi panglimanya?”
“Gagak Ireng.”
“Salah seorang punggawa kadipaten ini?”
“Bukan.”
“Lalu...?”
“Dia seorang pengembara yang berhasil menumpas perusuh pertama sebulan yang lalu. Lalu, hamba mengangkatnya menjadi panglima pasukan khusus. Dan semua anggotanya adalah orang pilihannya sendiri. Tidak ada seorang prajurit atau punggawa yang masuk ke dalam pasukan itu. Gagak Ireng menginginkan pasukannya terpisah dari prajurit kadipaten,” jelas Adipati Bayaga gamblang.
“Jadi, dia seorang yang berjasa...?”
“Benar, Gusti Prabu.”
“Lalu, kenapa sekarang tidak bisa menumpas perusuh yang muncul?”
“Gagak Ireng sudah berusaha, Gusti Prabu. Tapi perusuh itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Sehingga sulit untuk diringkus. Sudah sepuluh prajurit yang tewas,” jawab Adipati Bayaga.
“Kau tidak meminta bantuan panglima kerajaan?"
“Gagak Ireng sudah menyanggupi untuk menumpas perusuh itu, Gusti Prabu. Dan katanya lagi, belum waktunya melibatkan pihak kerajaan dalam persoalan ini,” sahut Adipati Bayaga lagi.
“Hebat... Pasti dia seorang yang berkepandaian tinggi,” puji Rangga.
Adipati Bayaga kembali terdiam membisu. Sementara Rangga sudah bangkit dari duduknya. Kemudian dia melangkah menghampiri laki-laki yang masih berdiri dengan kepala tertunduk itu. Rangga berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Beberapa saat mereka masih terdiam.
“Paman...”
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Adipati Bayaga seraya memberi hormat.
“Kau tahu siapa Gagak Ireng? Dan dari mana asalnya?” tanya Rangga. Kali ini suaranya terdengar begitu dalam.
“Hamba tidak tahu pasti, Gusti. Yang hamba tahu, dia hanya seorang pengembara yang datang ke sini bersama adiknya,” sahut Adipati Bayaga.
“Hebat sekali.... Mengangkat orang yang tidak dikenal untuk menduduki jabatan penting,” terasa agak sinis nada suara Rangga kali ini. Adipati Bayaga semakin dalam tertunduk.
“Hamba mengaku salah, Gusti Prabu. Hamba siap menerima hukuman,” kata Adipati Bayaga perlahan.
“Masalah hukuman itu mudah, Paman. Yang penting sekarang, harus kau sadari kalau tindakanmu selama ini sudah keliru. Aku ingin kau bisa mengetahui tentang Gagak Ireng itu sebenarnya. Dari mana dia berasal. Dan apa tujuannya datang ke kadipaten ini. Hal kecil seperti itu sudah kau abaikan, Paman. Dan kalau kau tetap mengabaikannya, hal kecil seperti itu bisa menjadi senjata makan tuan bagi dirimu sendiri,” ujar Rangga.
“Hamba, Gusti Prabu.”
“Sekarang, aku pergi dulu. Dan besok malam, kau harus sudah bisa mengetahui tentang panglima khususmu itu. Aku akan datang lagi besok.”
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melesat keluar dari kamar ini melalui jendela yang terbuka. Sehingga Adipati Bayaga hanya bisa terlongong bengong seperti mimpi. Begitu sempurnanya lesatan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam.
********************
“Dari mana malam-malam begini, Kakang?”
“Oh...?!” Rangga agak terkejut juga ketika mendengar teguran, begitu kakinya baru saja melangkah masuk ke dalam kamar penginapannya. Sungguh tidak disangka kalau di kamar penginapan ini Pandan Wangi sudah menunggu.
Gadis itu berdiri bersandar di samping jendela yang setengah terbuka. Rangga melangkah masuk dan menutup pintu kamar itu kembali. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah dan berdiri di depan jendela. Tangannya bergerak membuka jendela itu lebih lebar, sehingga angin malam yang dingin langsung menerpa kulit dadanya yang bidang terbuka. Sementara itu, Pandan Wangi hanya memperhatikan saja, tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya.
“Aku menemui Adipati Bayaga,” jelas Rangga.
“Malam-malam begini...?”
“Aku tidak ingin ada orang lain tahu tentang keberadaanku di Kadipaten Wadas Lintang ini,” Rangga beralasan.
“Lalu, apa yang kau peroleh?”
“Dia tidak tahu asal-usul Gagak Ireng.”
“Aneh.... Tidak tahu asal-usulnya, tapi bisa diangkat menduduki jabatan penting,” gumam Pandan Wangi seperti bicara pada diri sendiri.
“Adipati Bayaga menganggap Gagak Ireng telah berjasa menumpas perusuh.”
“Goblok! Apa dia tidak tahu kalau itu hanya siasat licik Gagak Ireng...!” Pandan Wangi jadi sengit.
“Kurasa tidak sepenuhnya dia bersalah, Pandan. Gagak Ireng memang tidak dikenal di Kadipaten Wadas Lintang ini, meskipun di kalangan persilatan dikenal dengan sebutan Penyamun Bukit Tengkorak.”
“Tapi paling tidak, diselidiki dulu asal-usulnya. Aku rasa dia juga tidak meminta izin dulu untuk membentuk pasukan khusus.”
“Memang.”
“Nah! Bukankah itu suatu kesalahan besar? Bisa diancam hukuman gantung kalau pihak kerajaan sampai tahu.”
“Itu yang tidak kuinginkan, Pandan.”
“Heh...?! Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang? Kenapa sepertinya kau malah membela adipati itu?”
“Aku tidak membelanya. Aku hanya ingat jasa-jasanya yang begitu besar pada kadipaten ini. Juga pada Karang Setra. Aku akan menentukan nanti, kalau memang kekeliruannya selama ini disadari.”
Saat itu terlihat serombongan orang berkuda melintasi jalan di depan rumah penginapan ini. Ada sekitar sepuluh orang memacu cepat kuda masing-masing. Rangga dan Pandan Wangi memperhatikan penunggang-penunggang kuda itu. Mereka jadi terdiam tidak bicara lagi.
“Kakang! Perhatikanlah orang yang berkuda paling depan,” ujar Pandan Wangi.
“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.
“Ciri-cirinya sama persis seperti yang dikatakan Balung Samodra. Dia pasti Rapasak, adik angkat Gagak Ireng,” tunjuk Pandan Wangi lagi.
Sementara para penunggang kuda itu sudah jauh. Mereka bergerak cepat menuju ke arah utara. Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan tanpa berkedip. Kening mereka jadi berkerut begitu melihat para penunggang kuda itu berbelok ke kanan.
“Mereka menuju Bukit Gantang, Kakang,” ujar Pandan Wangi agak mendesis.
“Hup...!” Tanpa berkata apa pun lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar dengan kecepatan bagaikan kilat.
Pandan Wangi tidak mau ketinggalan. Secepat pedangnya yang berada di atas meja disambar, secepat itu pula dia melompat keluar mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja mereka sudah begitu jauh meninggalkan rumah penginapan itu, dan menghilang ditelan kegelapan malam.
********************
ENAM
Sementara itu sepuluh orang yang telah dilihat Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi terus memacu cepat kudanya. Mereka memang anak buah Gagak Ireng yang dikenal berjuluk Penyamun Bukit Tengkorak. Seperti yang diduga Pandan Wangi, di antara mereka memang terdapat Rapasak, adik angkat Gagak Ireng. Dan dari arah yang dituju, jelas kalau mereka hendak ke Bukit Gantang.
Tapi tiba-tiba saja Rapasak menarik tali kekang kudanya, sehingga kuda putih yang ditungganginya berhenti seketika seraya meringkik keras. Sembilan orang yang berkuda di belakangnya, kontan menghentikan lari kudanya. Tampak tidak jauh di depan mereka berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih, didampingi seorang gadis cantik mengenakan baju warna biru ketat.
“Pendekar Rajawali Sakti...,” desis Rapasak langsung mengenali penghadangnya.
Meskipun Rapasak belum pernah bertemu, tapi dari ciri-cirinya, dia sudah bisa mengetahui kalau penghadangnya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Rapasak segera memerintahkan orang-orangnya turun dari punggung kuda. Tanpa diperintah dua kali, sembilan orang yang berada di belakang pemuda itu segera berlompatan turun, dan langsung berdiri berjajar di depan Rapasak yang masih duduk di punggung kudanya. Sembilan orang itu menyandang golok yang terselip di pinggang.
“Kuharap kau tidak membuat kesulitan, Kisanak,” kata Rapasak, agak dingin nada suaranya.
“Aku rasa kalian sendiri yang sudah membuat kesulitan,” balas Rangga tidak kalah dingin.
“Hm...,” Rapasak berkerut keningnya.
“Apakah kalian akan ke Bukit Gantang?” tebak Rangga, langsung.
“Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti!” bentak Rapasak lantang.
“Adanya kalian di Kadipaten Wadas Lintang ini, sudah merupakan urusanku,” tetap dingin suara Rangga.
“Setan...!” desis Rapasak langsung geram.
Tapi pemuda itu belum juga memerintahkan anak buahnya bergerak. Dia jadi teringat kata-kata Gagak Ireng. Ternyata kekhawatiran Gagak Ireng beralasan sekali, dan sekarang menjadi kenyataan. Pendekar Rajawali Sakti sudah muncul begitu cepat. Dan tampaknya, pemuda berbaju rompi putih itu sudah mengetahui semua yang terjadi di Kadipaten Wadas Lintang ini.
“Kuperingatkan pada kalian semua, tinggalkan kadipaten ini! Dan jangan coba-coba bermimpi untuk menguasainya,” tegas Rangga, bernada mengancam.
“Keparat...! Kau tidak bisa menggertak kami begitu saja!” geram Rapasak jadi gusar.
“Aku hanya memperingatkan kalian saja. Tapi jika tetap membandel, kalian harus berhadapan dengan jago-jago dari Karang Setra!” gertak Rangga lagi. “Terutama untuk si Penyamun Bukit Tengkorak...! Katakan padanya! Kalau tetap berada di kadipaten ini sampai besok, dia akan berhadapan denganku!”
“Setan...! Serang dia...!” seru Rapasak menggeram marah mendengar gertakan Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!” Sembilan orang itu langsung berlompatan sambil mencabut golok. Mereka meluruk menyerang Rangga dan Pandan Wangi.
Tak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk mencegah. Sembilan orang itu sudah cepat menyerangnya. Lima orang menyerang Pendekar Rajawali Sakti, dan empat orang mengeroyok Pandan Wangi. Begitu gencarnya serangan-serangan yang dilancarkan, sehingga membuat kedua pendekar muda dari Karang Setra itu harus berjumpalitan menghindari golok-golok yang berkelebatan di sekitar tubuh.
“Hiyaaat...!” Bet! Tring!
Cepat sekali Pandan Wangi mencabut kipasnya, dan langsung dikebutkan untuk menangkis golok yang hampir saja membelah dadanya. Golok itu seketika jadi patah menjadi dua bagian tersabet kipas baja putih yang terkenal maut itu. Dan sebelum pemilik golok itu sempat menyadari, Pandan Wangi sudah mengirimkan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang hampir mencapai kesempurnaan.
“Yeaaah...!”
Des!
“Aaakh...!” Jeritan keras melengking tinggi terdengar, disusul terpentalnya satu orang yang mengeroyok si Kipas Maut itu.
Sementara itu Rangga juga sudah menjatuhkan dua orang lawannya. Sedangkan, Pandan Wangi kembali melancarkan serangan dengan kipas baja putihnya. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pandan Wangi dan Rangga begitu cepat sekali. Sehingga, orang yang mengeroyoknya tidak bisa lagi membendung. Mereka berpentalan terkena pukulan dan tendangan keras dua pendekar muda itu.
Mereka memang bukanlah tandingan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tidak ada lagi yang sanggup berdiri. Sembilan orang itu bergelimpangan di tanah sambil merintih dan menggeliat kesakitan.
Sementara Pandan Wangi sudah menghampiri Rangga yang berdiri tegak dengan tenangnya. Pandan Wangi membuka kipas mautnya di depan dada. Mereka sama-sama memandang tajam pada Rapasak yang masih berada di atas punggung kudanya. Adik angkat Penyamun Bukit Tengkorak itu tampak terlongong melihat sembilan pengikutnya roboh dalam waktu singkat saja.
“Pergilah, sebelum pikiranku berubah!” dengus Rangga dingin menggetarkan.
Rapasak hanya menatap geram. Sementara sembilan orang anak buahnya sudah bisa berdiri. Tapi mereka tidak memiliki senjata lagi. Semua golok mereka berpatahan, berserakan di tanah. Sembilan orang itu bergegas naik ke punggung kuda, begitu Rapasak memutar kudanya berbalik.
“Katakan pada Gagak Ireng, jika tidak segera angkat kaki dari sini, harus berhadapan denganku!” ujar Rangga lantang.
“Setan...! Hiyaaa...!” Rapasak hanya bisa merutuk saja, lalu cepat menggebah kudanya. Sembilan orang pengikutnya juga memacu kudanya dengan cepat, kembali ke Kota Kadipaten Wadas Lintang.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya memandang sampai mereka jauh, dan hilang di tikungan jalan.
“Apa maksud mereka ke Bukit Gantang, Kakang?” tanya Pandan Wangi seperti untuk diri sendiri.
“Mudah-mudahan saja mereka tidak berniat membumihanguskan Desa Gantang,” desah Rangga perlahan.
“Apa tidak sebaiknya kita mendahului mereka, Kakang?” usul Pandan Wangi.
“Tunggu saja dulu perkembangannya, Pandan. Aku ingin tahu sikap Gagak Ireng dulu,” sahut Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya saja. Mereka kemudian melangkah ringan meninggalkan tempat itu. Sementara, malam terus merayap semakin larut. Kedua pendekar muda itu terus melangkah ringan tanpa berbicara lagi.
********************
Gagak Ireng terdiam begitu menerima laporan Rapasak, kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah ada di Kadipaten Wadas Lintang ini bersama si Kipas Maut. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah tahu tentang dirinya yang sebenarnya. Apa yang selama ini dikhawatirkan, menjadi kenyataan juga.
“Apa tindakan kita selanjutnya, Kakang?” tanya Rapasak memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.
Gagak Ireng tidak langsung menjawab, tapi malah bangkit berdiri dan melangkah perlahan-lahan keluar beranda rumahnya yang besar dan megah ini. Sedangkan Rapasak masih tetap duduk di kursinya. Dipandanginya kakak angkatnya itu dengan berbagai macam perasaan. Kehadiran Pendekar Rajawali Sakti memang bisa menimbulkan kesulitan besar bagi mereka.
“Laksanakan saja tugasmu, Rapasak. Biar Pendekar Rajawali Sakti aku yang tangani,” tegas Gagak Ireng.
“Baik, Kakang,” sahut Rapasak.
“Ada utusan Adipati Bayaga datang. Temuilah dulu, Rapasak,” kata Gagak Ireng lagi.
“Utusan...? Mau apa...?” Rapasak seperti bertanya pada diri sendiri.
“Sebaiknya temui saja, dan tanyakan keperluannya,” perintah Gagak Ireng.
“Baik, Kakang.” Rapasak bergegas bangkit dan melangkah menghampiri utusan kadipaten yang mengenakan seragam berpangkat punggawa. Ada dua orang utusan.
Sedangkan Gagak Ireng hanya memperhatikan saja. Rapasak berbicara sebentar dengan kedua utusan berpangkat punggawa itu, kemudian bergegas kembali menemui Gagak Ireng setelah kedua utusan itu pergi.
“Berita apa yang dibawa kedua punggawa itu?” tanya Gagak Ireng langsung, begitu Rapasak ada di depannya.
“Adipati Bayaga meminta Kakang segera menghadap,” jawab Rapasak.
“Hm.... Ada apa dia memanggilku...?” gumam Gagak Ireng bertanya sendiri.
“Mereka tidak mengatakannya. Kakang hanya diminta segera menghadap,” jelas Rapasak lagi.
“Aku sendiri?”
“Iya.”
“Baiklah. Siapkan kudaku, Rapasak.”
“Baik, Kakang.” Rapasak bergegas meninggalkan kakak angkatnya.
Sementara Gagak Ireng masih tetap berdiri di beranda depan rumahnya. Keningnya jadi berkerut. Dia menduga-duga, apa yang akan dibicarakan Adipati Bayaga, sehingga memanggilnya secara mendadak begini.
Sementara itu Rapasak sudah datang lagi sambil menuntun seekor kuda yang tinggi dan tegap berwarna coklat tua. Gagak Ireng segera menghampiri, lalu melompat naik ke punggung kuda. Gerakannya indah dan ringan sekali. Sebentar dia tercenung, kemudian menatap Rapasak yang masih berdiri di sampingnya.
“Sebaiknya kau jangan ke mana-mana dulu. Tunggu sampai aku kembali,” pesan Gagak Ireng.
“Baik, Kakang,” sahut Rapasak seraya mengangguk.
“Hiya...!” Gagak Ireng menggebah kudanya meninggalkan rumah kediamannya ini.
Sementara Rapasak hanya memperhatikan saja sampai kakak angkatnya lenyap dari pandangan. Gagak Ireng berbelok ke kanan begitu melewati pintu gerbang rumahnya. Tapi mendadak saja laju kudanya dihentikan begitu dilihatnya dua orang punggawa utusan Adipati Bayaga berada di tengah jalan seperti menghadang. Perlahan Gagak Ireng mendepak kudanya hingga berjalan perlahan menghampiri kedua punggawa itu.
“Kenapa kalian masih di sini?” tegur Gagak Ireng.
“Kami diperintahkan untuk bersama-sama denganmu, Gusti Gagak Ireng,” sahut salah seorang punggawa itu dengan sikap hormat.
“Kalian berangkatlah lebih dahulu!” perintah Gagak Ireng.
“Maaf, Gusti. Kami hanya menjalankan perintah Gusti Adipati.”
Gagak Ireng memandangi dua orang punggawa itu, sehingga kelopak matanya agak menyipit. Dia merasa ada suatu keanehan dari sikap kedua punggawa itu. Lagi pula, tidak biasanya Adipati Bayaga memanggil dengan mengutus dua orang punggawa. Biasanya bila Adipati Bayaga memerlukannya, paling hanya mengutus prajurit rendahan. Bahkan tidak pernah ditunggui seperti ini.
“Mari, Gusti Gagak Ireng. Gusti Adipati Bayaga sudah menunggu di kadipaten,” ajak punggawa itu lagi, masih bersikap hormat.
“Kalian tahu, kenapa Adipati Bayaga memintaku segera menghadap?” tanya Gagak Ireng.
“Kami tidak tahu, Gusti. Kami hanya diperintahkan menjemputmu. Hanya itu saja perintah dari Gusti Adipati. Dan kami harus datang bersama-sama,” jelas punggawa itu.
“Kalau begitu, kuperintahkan kalian untuk kembali lebih dahulu. Katakan pada Adipati Bayaga. Aku ada urusan dulu, dan segera menemuinya,” perintah Gagak Ireng tegas.
“Maafkan kami, Gusti. Kami...”
“Laksanakan perintahku!” bentak Gagak Ireng memutus cepat.
“Tapi, Gusti...."
“Kalian ingin membangkang perintahku, ya...?!”
Kedua punggawa itu saling berpandangan, dan tampak serba salah. Sulit menentukan, perintah siapa yang harus dituruti. Sedangkan Gagak Ireng memandangi dengan mata memerah menyorot tajam.
“Tunggu apa lagi...? Cepat pergi!” bentak Gagak Ireng.
“Gusti, kami...”
“Setan...! Kalian ingin mampus, ya...?!” Gagak Ireng jadi geram melihat kebandelan kedua punggawa yang tidak sudi menuruti perintahnya. Kedua punggawa itu kembali saling melemparkan pandang.
“Pembangkang...! Mampus kau! Yeaaah...!”
Gagak Ireng tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Bagaikan kilat dia melompat cepat. Langsung diberikannya pukulan keras bertenaga dalam tinggi kepada dua orang punggawa itu. Begitu cepat serangannya, sehingga kedua punggawa itu tidak sempat lagi menghindar.
Kedua punggawa itu menjerit keras melengking, begitu kepala mereka terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Gagak Ireng. Seketika itu juga mereka terpental jatuh dari punggung kudanya. Sedangkan Gagak Ireng kembali melenting, lalu duduk lagi di punggung kudanya. Dia mendengus melihat kedua punggawa itu sudah tergeletak, tewas seketika. Kepala mereka pecah berlumuran darah.
Jeritan kedua punggawa itu rupanya terdengar sampai ke dalam rumah kediaman Gagak Ireng. Tampak Rapasak dan enam orang pengikutnya berlari-lari menghampiri. Rapasak terkejut melihat dua orang punggawa utusan adipati sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan kepala hancur berlumuran darah. Sedangkan Gagak Ireng duduk angkuh di punggung kudanya.
“Kenapa mereka, Kakang?” tanya Rapasak.
“Singkirkan mayat mereka!” perintah Gagak Ireng tanpa menjawab pertanyaan adik angkatnya.
Enam orang yang berada di belakang Rapasak bergegas menggotong kedua punggawa itu, dan membawa masuk ke dalam lingkungan rumah kediaman Gagak Ireng. Sedangkan Rapasak masih berdiri di depan Gagak Ireng yang tetap duduk di punggung kudanya.
“Kenapa Kakang membunuh mereka?” tanya Rapasak.
“Dengar.... Aku paling tidak suka ada orang yang membangkang perintahku. Sekarang, kau minggirlah. Dan jangan ke mana-mana sampai aku kembali!” tegas Gagak Ireng.
Rapasak tahu kalau darah Gagak Ireng sedang mendidih. Maka, pemuda itu tidak sudi bernasib seperti punggawa itu. Bergegas tubuhnya menyingkir ke tepi. Gagak Ireng menatap adik angkatnya sebentar, kemudian cepat menggebah kudanya.
“Kejadian ini pasti akan berbuntut panjang. Hhh... sebaiknya harus kusiagakan semua orang,” gumam Rapasak langsung bisa membaca keadaan yang akan dihadapi atas kejadian ini.
Bergegas pemuda itu kembali ke rumah besar dikelilingi tembok batu bagai benteng itu. Dua orang yang menjaga pintu gerbang segera menutup pintu begitu diperintahkan Rapasak.
********************
Sementara itu di Balai Pendopo Agung Istana Kadipaten, Adipati Bayaga tampak gelisah. Laki-laki setengah baya itu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan yang berukuran sangat luas ini. Beberapa orang prajurit terlihat berjaga-jaga di sekitar Pendopo Agung Istana Kadipaten.
Sedangkan tidak jauh dari Adipati Bayaga, terlihat seorang gadis berbaju biru muda yang tengah berdiri memperhatikan. Gadis berwajah cantik yang menyandang pedang bergagang kepala naga di punggung itu adalah Pandan Wangi.
“Sebaiknya Gusti jangan kelihatan gelisah begitu. Dia akan curiga kalau Gusti Adipati tidak bisa tenang,” Pandan Wangi memperingatkan.
“Bagaimana mungkin aku bisa tenang, Nini Pandan Wangi. Ini menyangkut mati hidupku. Masa depanku...,” sergah Adipati Bayaga.
Pandan Wangi jadi terdiam.
“Aku sudah melakukan kesalahan besar dengan memberi jabatan tinggi pada seorang penjahat besar seperti si Penyamun Bukit Tengkorak itu,” lanjut Adipati Bayaga.
Pandan Wangi masih terdiam. Memang benar apa yang baru saja dikatakan Adipati Bayaga. Laki-laki setengah baya itu telah melakukan kesalahan besar, sehingga bisa mengancam kelangsungan hidupnya. Bahkan bisa membuat kehancuran bagi Kadipaten Wadas Lintang ini. Pandan Wangi memang sudah memberi tahu, siapa sebenarnya Gagak Ireng itu. Dalam kalangan kaum persilatan, dia dikenal berjuluk Penyamun Bukit Tengkorak!
“Nini Pandan.... Apa rencana ini akan berhasil baik?” tanya Adipati Bayaga.
“Mudah-mudahan saja, Gusti Adipati. Kita berharap agar Gusti Prabu bisa membungkam pengikut-pengikut si Penyamun Bukit Tengkorak,” sahut Pandan Wangi.
“Aku benar-benar tidak ada gunanya. Tidak pantas menjadi adipati,” keluh Adipati Bayaga.
“Jangan berkata seperti itu, Gusti. Tidak selamanya kita selalu benar. Adakalanya kita juga melakukan kesalahan. Apakah itu besar, atau kecil. Tidak ada manusia yang sempurna, Gusti,” Pandan Wangi menasihati, membesarkan hati Adipati Wadas Lintang ini.
“Sulit rasanya menjadi orang yang baik dan sempurna,” desah Adipati Bayaga mengeluh lagi.
“Kau sudah melakukan yang terbaik. Gusti Prabu pasti bisa memakluminya. Aku yakin...,” lagi-lagi Pandan Wangi membesarkan hati Adipati Bayaga.
“Kau beruntung, Nini Pandan. Kau bisa berada terus di sampingnya, dan pasti sudah mengenal betul watak-wataknya,” kata Adipati Bayaga lagi.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Memang tidak mudah bisa selalu bersama-sama seorang pendekar digdaya yang sangat disegani di kalangan persilatan. Pandan Wangi memang merasa bersyukur bisa selalu bersama-sama Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan selama berada di samping pendekar muda itu, sudah banyak pelajaran yang dipetiknya.
Dan gadis itu tidak malu-malu lagi mengungkapkan perasaan hatinya yang mengagumi Rangga. Apa saja yang dilakukan Rangga, seperti tak terlihat ada kesalahan sedikit pun. Baginya, Pendekar Rajawali Sakti adalah seorang pendekar muda yang sangat sempurna. Tak ada lagi yang bisa menandinginya dalam segala hal.
“Hm.... Kenapa dia belum muncul juga, Nini Pandan...?” gumam Adipati Bayaga seperti bertanya pada diri sendiri.
“Kita tunggu saja. Barangkali sebentar lagi,” sahut Pandan Wangi.
Mereka kembali terdiam. Adipati Bayaga melangkah mendekati jendela. Tapi belum juga sampai ke jendela, mendadak saja sebuah benda melesat cepat ke arahnya, masuk dari jendela yang terbuka lebar itu.
“Awas...!” seru Pandan Wangi memperingatkan.
“Yeaaah...!” Bagaikan kilat, Pandan Wangi melompat cepat ke arah Adipati Bayaga yang terlongong terkejut. Dan sebelum benda hitam itu bisa menghantam tubuh Adipati Bayaga, Pandan Wangi sudah mendorong tubuhnya. Sehingga, adipati itu jatuh terguling ke lantai. Pandan Wangi sendiri segera melentingkan tubuhnya, menghindari terjangan benda hitam itu.
“Hup!” Manis sekali si Kipat Maut menjejakkan kakinya di lantai yang licin dan berkilat ini. Sekilas benda hitam itu masih sempat terlihat menghantam dinding, tepat di bawah sebuah lukisan besar yang menempel di dinding ruangan Balai Pendopo Agung ini. Dengan dua kali lompatan saja, Pandan Wangi bisa mencapai dinding itu.
Sementara, Adipati Bayaga bergegas bangkit dan menghampiri. Pandan Wangi mencabut benda hitam yang ternyata adalah sebatang anak panah berukuran kecil.
“Gagak Ireng...,” desis Pandan Wangi.
“Jadi.... Dia ada di sini, Nini Pandan...?” tanya Adipati Bayaga, langsung memucat wajahnya.
“Benar. Ini adalah senjata rahasia Gagak Ireng,” sahut Pandan Wangi.
Gadis itu memang sudah banyak diberi tahu tentang si Penyamun Bukit Tengkorak oleh para pendekar Bukit Gantang. Meskipun belum pernah bertemu orangnya, tapi dari cerita mengenai Gagak Ireng yang didengar, sudah bisa diketahui kalau senjata rahasia ini milik si penyamun itu.
“Kau di sini saja, Gusti Adipati. Hup...!”
Pandan Wangi cepat melesat keluar dari ruangan ini melalui jendela, sebelum Adipati Bayaga bisa membuka suara. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan saja sudah lenyap di luar jendela. Adipati Bayaga bergegas berlari mendekati jendela itu. Dia masih sempat melihat Pandan Wangi melenting tinggi ke atas atap.
Tap!
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pandan Wangi hinggap di atas atap. Gadis itu langsung mengedarkan pandangan berkeliling. Tak ada yang dapat dilihat dan dicurigai. Keadaan di sekitar istana kadipaten ini begitu tenang. Bahkan para prajurit yang berjaga-jaga di sekitar tempat itu masih tetap di tempatnya. Tak ada yang berubah sama sekali. Tapi begitu dia berpaling ke arah kiri, mendadak saja...
“Heh...?!”
Slap!
********************
TUJUH
Pandan Wangi cepat-cepat melenting keudara begitu melihat sebuah benda hitam berbentuk anak panah kecil meluruk deras ke arahnya. Anak panah hitam kecil itu lewat sedikit di bawah kaki Pandan Wangi. Dengan gerakan indah sekali, si Kipas Maut kembali mendarat di atap. Dan pada saat itu, sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat menyambarnya.
“Hiyaaa...!”
Pandan Wangi kembali melenting ke udara, menghindari sambaran bayangan yang berkelebat cepat. Beberapa kali dia berputar di udara, dan terus meluruk turun ke bawah. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis itu menjejakkan kaki di atas tanah berumput tebal. Dan sebelum bisa menarik napas, kembali terlihat sebuah bayangan putih meluruk deras ke arahnya dari atas atap.
“Hup! Yeaaah...!” Pandan Wangi cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan menyambut terjangan lawan. Tapi bayangan putih itu cepat bisa menghindar. Tubuhnya diputar beberapa kali dan mendarat ringan di belakang Pandan Wangi. Tanpa diduga sama sekali, satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi cepat dilepaskan.
“Yeaaah...!”
“Uts!”
Pandan Wangi masih bisa menghindari pukulan dari belakang dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan. Cepat tubuhnya diputar dan langsung diberikannya satu tendangan secara berputar ke belakang. Orang berbaju serba putih itu melompat berputar ke belakang, menghindari tendangan Pandan Wangi. Dua kali tubuhnya berputar ke belakang, lalu manis kakinya mendarat di tanah berumput.
“Hm...,” gumam Pandan Wangi perlahan.
Kini di depan si Kipas Maut itu telah berdiri seorang laki-laki setengah baya. Bajunya ketat berwarna putih dan bersih. Sebilah pedang berbentuk aneh tampak tergantung di pinggangnya. Pandan Wangi memperhatikan dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Sementara itu, Adipati Bayaga yang berada di dekat jendela segera melompat ke luar. Langsung dihampirinya Pandan Wangi. Dia berdiri di samping kanan si Kipas Maut itu.
“Gagak Ireng! Kenapa kau datang dengan cara seperti ini...?” tegur Adipati Bayaga tidak senang.
“Kau yang menginginkannya demikian, Adipati Bayaga,” sahut laki-laki separuh baya yang ternyata memang Gagak Ireng. Nada suaranya terdengar begitu sinis.
“Apa maksudmu...?”
“Seharusnya kau bisa menjawab sendiri, Adipati Bayaga,” tetap sinis nada suara Gagak Ireng.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Adipati Bayaga tegas.
“Aku rasa, kau sudah tahu tentang diriku, Adipati Bayaga,” sahut Gagak Ireng semakin sinis. Sedikit matanya melirik Pandan Wangi yang berada di samping Adipati Bayaga. Bibirnya kemudian menyunggingkan senyuman sinis.
Sedangkan Pandan Wangi hanya menatap saja dengan sinar mata tajam, menusuk langsung ke bola mata si Penyamun Bukit Tengkorak itu.
“Kau pasti si Kipas Maut,” desis Gagak Ireng pada Pandan Wangi.
“Tidak salah,” sahut Pandan Wangi disertai senyum tipis tersungging di bibirnya.
Gagak Ireng mendengus kecil. Sikapnya begitu meremehkan si Kipas Maut itu. Sama sekali dia tidak memandang gadis cantik berbaju biru yang bergelar si Kipas Maut ini. Gagak Ireng sudah banyak mendengar tentang Pandan Wangi. Sudah bisa diukur, sampai di mana tingkat kepandaian gadis itu, walaupun baru kali ini bertemu muka. Dan dari pertarungan sekejap tadi, Gagak Ireng sudah bisa membaca tingkat kepandaian Pandan Wangi.
“Gagak Ireng! Apa tujuanmu sebenarnya di Kadipaten Wadas Lintang ini?!” tanya Adipati Bayaga, memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.
“Aku hanya ingin menuntut sedikit hakku di sini,” sahut Gagak Ireng dingin dan datar suaranya. “Jasaku di kadipaten ini telah banyak, Adipati Bayaga.”
“Hak apa...?” tanya Adipati Bayaga lagi.
“Sebagian wilayah kadipaten ini seharusnya menjadi daerah kekuasaanku. Terutama wilayah Gantang!”
“Tidak ada hakmu di sini, atau di mana saja, Gagak Ireng.” Tiba-tiba saja terdengar suara berat menggema.
Semua yang ada di tempat itu langsung berpaling ke arah suara yang datang tiba-tiba itu. Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan kuning agak kehitaman dari atas atap. Tahu-tahu di antara mereka sudah berdiri seorang laki-laki berusia lebih dari enam puluh tahun. Dia mengenakan baju dari kulit binatang. Mereka tentu saja sudah mengenalnya. Tapi Gagak Ireng sempat terkejut juga. Sehingga, mulutnya mendesis tatkala menyebut nama orang yang tiba-tiba muncul itu.
“Ki Gandapara...,” desis Gagak Ireng terkejut.
“Seharusnya kau tidak perlu lagi datang ke sini, Gagak Ireng. Tidak ada lagi tempat untukmu di Kadipaten Wadas Lintang ini!” terasa begitu dingin nada suara laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang mengenakan baju dari kulit binatang itu. Dia memang Ki Gandapara, tokoh tertua dari Bukit Gantang. Orang inilah yang dianggap menjadi pelindung para pendekar muda di Bukit Gantang.
“Mampukah kau mengusirku, Gandapara...?! Bertahun-tahun aku merencanakan semua ini. Aku berhak untuk tinggal di sini, karena Kadipaten Wadas Lintang ini tempat kelahiranku. Kau tahu itu, Gandapara...?!” lantang sekali suara Gagak Ireng.
“Semua orang memang berhak tinggal di sini. Tapi, tentu saja orang yang baik-baik. Tidak seperti kau, Gagak Ireng...! Di mana kau berada, selalu saja menimbulkan kekacauan. Kau pikir, aku tak tahu apa rencanamu?! Semua perbuatanmu kau tuduhkan pada pendekar-pendekar Bukit Gantang. Sementara, kau enak-enakan dengan kedudukan tinggi di samping Adipati!” lantang sekali suara Ki Gandapara.
“Tutup mulutmu, Gandapara! Tidak semudah itu kau memutarbalikkan kenyataan...!” bentak Gagak Ireng. Seketika, wajahnya jadi memerah mendengar kata-kata Ki Gandapara.
“Tidak ada yang memutarbalikkan kenyataan, Gagak Ireng. Semua ini kau rencanakan hanya untuk memenuhi nafsu angkara murkamu saja!”
“Keparat...! Kubunuh kau, Gandapara!” Gagak Ireng jadi geram setengah mati. Gagak Ireng sudah memegang gagang pedang yang masih tergantung di pinggangnya.
Sedangkan Ki Gandapara sudah bisa membaca gelagat tidak baik ini. Wajahnya lalu berpaling pada Pandan Wangi dan Adipati Bayaga. “Menjauhlah kalian,” pinta Ki Gandapara.
Pandan Wangi segera melangkah mundur diikuti Adipati Bayaga. Sementara Ki Gandapara menggeser kakinya beberapa tindak. Sinar matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata Gagak Ireng.
“Kau memang selalu menjadi penghalangku, Gandapara. Tidak ubahnya seperti gurumu. Maka sudah saatnya kau masuk ke liang kubur!” desis Gagak Ireng, dingin menggeletar.
“Hm...,” Ki Gandapara hanya menggumam pelan.
“Bersiaplah, Gandapara! Hiyaaat...!”
Bagaikan kilat, Gagak Ireng melompat menerjang sambil mengirimkan satu pukulan menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hait...!” Ki Gandapara cepat-cepat mengegoskan tubuh, menghindari pukulan yang mengarah lurus ke dadanya. Dan begitu pukulan Gagak Ireng lewat di samping tubuhnya, cepat sekali Ki Gandapara mengebutkan tangan kiri, menyodok ke arah lambung.
Tapi Gagak Ireng lebih cepat lagi berkelit. Tubuhnya segera ditarik ke belakang, lalu melenting berputar ke belakang sambil menghentakkan satu tendangan keras dengan kedua kakinya.
“Uts!” Hampir saja telapak kaki Gagak Ireng mampir di muka Ki Gandapara. Untung saja laki-laki itu segera menarik kepalanya ke belakang. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, Gagak Ireng sudah melepaskan satu pukulan keras ke arah dada.
“Yeaaah...!” Begitu cepat pukulannya sehingga Ki Gandapara tidak sempat lagi menghindar. Pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu mendarat telak di dada Ki Gandapara yang terbuka lebar.
Desss! “Akh...!” Ki Gandapara terpekik agak tertahan.
Tubuh laki-laki tua itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang seketika itu juga jadi terasa amat sesak. Setelah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, cepat-cepat dilakukannya beberapa gerakan. Dengan gerakan ini, rasa sesak yang timbul di dadanya akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi tadi dapat terusir.
“He he he.... Itu baru permulaan, Gandapara,” ujar Gagak Ireng seraya terkekeh mengejek.
Sementara itu Pandan Wangi yang melihat Ki Gandapara terkena pukulan dalam beberapa jurus saja, sudah akan melompat membantu. Tapi sebelum bertindak, Adipati Bayaga sudah lebih dahulu mencegah. Sementara, Ki Gandapara tampaknya sudah bisa menguasai diri kembali, dan sudah siap melakukan pertarungan. Kedua tangannya berada agak melintang di depan dada. Perlahan kakinya bergerak menggeser, menyusur tanah ke arah kanan. Sedangkan tatapan matanya begitu tajam tak berkedip sedikit pun.
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”
Secara bersamaan, kedua laki-laki itu melompat sambil mengebutkan kedua tangannya ke depan. Dan pada satu titik tengah di udara, dua pasang telapak tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu beradu keras di udara. Begitu kerasnya, sehingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Tampak mereka sama-sama terpental ke belakang tapi juga mereka menguasai keseimbangan tubuhnya, kemudian kembali saling menerjang.
Masing-masing menggunakan jurus yang cepat dan dahsyat luar biasa. Pertarungan langsung terjadi begitu cepat, membuat tubuh-tubuh mereka seperti lenyap. Suara ledakan keras dan pekik pertarungan berbaur menjadi satu. Suara pertarungan itu membuat prajurit-prajurit kadipaten jadi memadati sekitar pertarungan. Dan kehadiran para prajurit itu rupanya tidak mempengaruhi jalannya pertarungan yang semakin kelihatan dahsyat.
Entah sudah berapa jurus berlangsung. Tapi tampaknya pertarungan itu masih akan terus berlangsung. Mereka memang tokoh tua yang berkepandaian tinggi. Sehingga, gerakan-gerakannya sulit diikuti pandangan mata biasa. Sementara itu, para prajurit kadipaten semakin banyak yang datang memenuhi tempat itu. Mereka semua sudah menghunus senjata masing-masing, meskipun belum ada perintah dari Adipati Bayaga yang masih terpana menyaksikan indahnya perta-rungan dua tokoh tua digdaya itu.
“Awas kepala...!” seru Gagak Ireng tiba-tiba. Teriakan Gagak Ireng yang begitu keras meng-gelegar membuat Ki Gandapara jadi terkejut setengah mati. Terlebih lagi, teriakan itu disusul satu kebutan tangan ke arah kepala yang begitu cepat.
“Uts!” Untung saja Ki Gandapara cepat-cepat menarik kepala sehingga kebutan tangan Gagak Ireng tidak sampai mendarat. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, tiba-tiba saja Gagak Ireng menghentakkan kakinya dengan tubuh sedikit berputar ke kiri.
“Heh...?!” Ki Gandapara terkejut setengah mati. Tapi belum sempat dia berbuat sesuatu, tendangan Gagak Ireng sudah mampir di dadanya.
“Hegkh!” Ki Gandapara terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Tendangan Gagak Ireng begitu telak, sehingga membuat Ki Gandapara jadi sulit bernapas. Seakan-akan ada sebongkah batu yang begitu besar menghimpit dadanya.
“Mampus kau sekarang, Gandapara! Hiyaaat...!”
Sret! Bet!
Ki Gandapara cepat-cepat melenting berputar ke belakang, begitu Gagak Ireng mencabut pedang yang langsung dikebutkan ke arah perut. Gagal dengan serangan pertama, Gagak Ireng tidak berhenti sampai di situ saja. Kebutan pedangnya terus mencecar cepat dan beruntun. Akibatnya Ki Gandapara terpaksa harus berjumpalitan menghindari tebasan-tebasan pedang hitam berbentuk aneh yang mengeluarkan asap kehitaman mengandung racun.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Gagak Ireng melompat ke udara hingga melewati kepala Ki Gandapara. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di belakang pendekar dari Bukit Gantang itu. Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan sambil memutar tubuhnya ke arah punggung Ki Gandapara.
“Yeaaah...!”
Wuk! Cras!
“Akh....!” Satu pekikan keras agak tertahan terdengar begitu ujung pedang Gagak Ireng merobek kulit punggung Ki Gandapara. Seketika itu juga darah segar muncrat dari punggung yang sobek terbabat pedang. Ki Gandapara terhuyung-huyung ke depan. Dia berusaha cepat berbalik. Tapi pada saat tubuhnya berputar, mendadak saja Gagak Ireng sudah cepat sekali membabatkan pedangnya kembali .
“Yeaaah...!” Bret!
“Aaa...!” Ki Gandapara semakin terhuyung-huyung begitu ujung pedang Gagak Ireng membabat dadanya. Kembali darah muncrat dari dadanya yang terbelah cukup lebar. Sementara itu, Gagak Ireng mengedarkan pandangan berkeliling. Dia tahu, sekitarnya sudah terkepung rapat. Rasanya tak mungkin bisa menghadapi begitu banyak orang, meskipun mereka hanya para prajurit yang kepandaiannya tidak seberapa.
“Setan!” dengus Gagak Ireng. “Hup! Yeaaah...!” Bagaikan kilat, Gagak Ireng melesat cepat ke atas atap sebelum ada seorang pun yang menyadari. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah berada di atas atap bangunan istana kadipaten itu. Dan dia langsung me-ompat pergi melalui bagian belakang.
“Keparat...! Hiyaaat...!” Pandan Wangi yang cepat menyadari lebih dahulu, segera saja melompat ke atas atap hendak mengejar. Tapi begitu menjejakkan kakinya di atap, bayangan tubuh Gagak Ireng sudah tidak terlihat lagi.
“Sial...!” rutuk Pandan Wangi. Kembali si Kipas Maut meluruk turun dan menghampiri Adipati Bayaga yang sudah berada di samping tubuh Ki Gandapara. Pendekar utama Bukit Gantang itu tergeletak di tanah dengan darah mengucur dari luka di punggung dan dadanya. Walaupun terluka cukup parah, dia masih bisa memberi senyum pada Adipati Bayaga dan Pandan Wangi.
“Maaf. Aku akan menghentikan darahmu,” ujar Pandan Wangi. Cepat gadis itu memberi beberapa totokan di sekitar luka di punggung dan dada Ki Gandapara. Sebentar saja darah berhenti mengucur dari luka yang menganga cukup lebar itu. Adipati Bayaga segera memerintahkan beberapa prajurit untuk memindahkan Ki Gandapara ke dalam.
“Aku akan menyusul si Penyamun Bukit Tengkorak itu, Gusti Adipati,” kata Pandan Wangi.
“Tidak menunggu Gusti Prabu dulu, Nini Pandan?”
“Tidak ada waktu lagi, Gusti.”
Adipati Bayaga tidak bisa lagi mencegah. Pandan Wangi sudah melesat cepat meninggalkan halaman samping istana kadipaten itu. Gerakannya cepat luar biasa. Begitu ringannya dia melompati benteng batu yang mengelilingi bangunan ini, lalu langsung lenyap di balik dinding benteng dari batu itu. Sementara Adipati Bayaga bergegas melangkah masuk ke dalam istananya, begitu Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi.
********************
DELAPAN
Sementara itu Gagak Ireng sudah tiba di rumahnya yang dikelilingi pagar batu yang tinggi dan tebal bagai benteng. Keningnya jadi berkerut begitu melihat pintu gerbang rumahnya terbuka lebar. Namun, tidak ada seorang pun yang terlihat menjaga di sana. Si Penyamun Bukit Tengkorak itu melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan indah dan ringan bagai kapas. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak di depan pintu gerbang tempat kediamannya.
Perlahan Gagak Ireng melangkah melewati pintu gerbang yang terbuka lebar. Kelopak matanya jadi terbeliak lebar begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman depan. Bergegas kakinya diayun menuju ke beranda, begitu melihat Rapasak duduk lesu di tepian beranda depan. Pedang yang tergenggam di tangannya penuh berlumuran darah. Rapasak mengangkat kepalanya sedikit begitu mendengar suara langkah kaki menghampiri.
“Rapasak, apa yang terjadi di sini...?” Gagak Ireng langsung bertanya begitu dekat di depan adik angkatnya ini.
“Tidak ada lagi yang tersisa, Kakang...,” pelan sekali suara Rapasak seraya mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
Gagak Ireng juga mengedarkan pandangannya berkeliling. Entah berapa jumlah tubuh yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Di antara mayat-mayat itu terdapat mayat-mayat berseragam prajurit kadipaten. Bahkan ada juga yang berpangkat punggawa. Mereka bercampur saling tumpang-tindih dengan orang-orang berpakaian seperti layaknya kaum persilatan. Bau anyir darah begitu keras menusuk hidung, terbawa angin yang ber-hembus perlahan.
“Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini, Kakang,” usul Rapasak, masih pelan suaranya.
Gagak Ireng masih terdiam membisu.
“Kita tidak punya kekuatan lagi. Semua sudah habis. Tak ada lagi yang tersisa,” sambung Rapasak seraya bangkit berdiri. “Mereka sudah mengetahui siapa kita sebenarnya. Bahkan sudah tahu tujuan kita yang sesungguhnya di sini.”
Gagak Ireng masih tetap diam membisu. Sung-guh tidak disangka kalau akhirnya akan seperti ini. Suatu kehancuran siasat yang tidak pernah dibayangkan. Kini tak ada lagi pengikutnya yang tersisa. Dulu ketika gerombolannya digulung para pendekar Bukit Gantang, dia masih memiliki anak buah sedikitnya dua puluh orang. Tapi sekarang.... Tak satu pun yang tersisa lagi. Mereka semua tewas. Hanya Rapasak saja yang masih tetap bertahan hidup.
“Apa yang terjadi di sini, Rapasak? Bagaimana mereka bisa terbunuh semua?” tanya Gagak Ireng meminta penjelasan.
“Pendekar Rajawali Sakti dan pendekar-pendekar Bukit Gantang menyerbu ke sini, tidak lama setelah Kakang pergi. Panggilan itu hanya jebakan saja, Kakang. Tempat ini sudah terkepung prajurit. Kami mencoba bertahan, tapi mereka memang lebih kuat. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sendiri tidak sanggup membendung gempurannya,” jelas Rapasak.
“Kenapa kau sendiri masih bisa hidup...?”
“Aku menyerah setelah tak ada lagi yang tersi-sa. Mereka akan menjemputku setelah Kakang tertangkap di istana,” sahut Rapasak.
“Menjemput...? Apa maksudmu, Rapasak?"
“Kakang...,” agak tersekat suara Rapasak. “Di belakang....”
Gagak Ireng memalingkan kepala begitu melihat pandangan Rapasak tertuju lurus ke belakang punggung melalui bahunya. Gagak Ireng jadi terbeliak begitu di belakangnya tahu-tahu sudah berkumpul puluhan prajurit. Tampak berdiri paling depan, Adipati Bayaga, Pendekar Rajawali Sakti, si Kipas Maut, Balung Samodra, dan beberapa orang pendekar Bukit Gantang.
Perlahan Gagak Ireng memutar tubuhnya. Saat itu, Adipati Bayaga sudah melangkah maju didampingi Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka berhenti saat berjarak beberapa langkah lagi di depan Gagak Ireng dan Rapasak. Sedangkan para prajurit kadipaten dan jago-jago Bukit Gantang sudah menyebar, mengepung halaman depan yang cukup luas ini.
“Hanya ada satu pilihan, Gagak Ireng. Tak ada gunanya lagi melawan,” tegas Adipati Bayaga.
“Phuih! Penyamun Bukit Tengkorak pantang menyerah!” dengus Gagak Ireng seraya menyemburkan ludahnya.
“Aku paling tidak suka melihat perusuh keras kepala berkeliaran di wilayahku,” desis Rangga seperti bicara pada diri sendiri.
“Hhh! Orang lain boleh terkencing-kencing mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi jangan harap aku gentar mendengar gertakanmu!” dengus Gagak Ireng dingin.
“Gagak Ireng! Kuharap kau tidak membuat kesulitan pada dirimu sendiri. Kau tidak punya pilihan lain lagi. Menyerahlah, dan terima hukuman yang akan dijatuhkan pengadilan nanti,” ujar Rangga, dingin dan tegas sekali.
“Jangan banyak omong! Majulah kalau ingin menangkapku!” bentak Gagak Ireng nekat. Sret! Gagak Ireng langsung mencabut pedang kebanggaannya. Sebilah pedang berbentuk aneh yang bagian ujungnya bercabang dua, dan memiliki tujuh kelukan. Dari mata pedang itu mengepulkan asap tipis agak kehitaman. Rangga sedikit berkerut keningnya melihat pamor pedang si Penyamun Bukit Tengkorak yang begitu dahsyat.
“Mundurlah kalian. Pedang itu mengeluarkan asap beracun,” ujar Rangga pelan seraya melirik Pandan Wangi dan Adipati Bayaga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi menarik kakinya ke belakang diikuti Adipati Bayaga. Mereka memang sudah melihat kedahsyatan pedang itu ketika Gagak Ireng bertarung melawan Ki Gandapara. Dan memang, asap hitam yang keluar dari pedang itu membuat pernapasan jadi agak ter-ganggu. Adipati Bayaga memberi isyarat pada prajuritnya untuk menyingkir menjauh. Prajurit-prajurit yang tadinya mengepung rapat, perlahan bergerak menjauhi tempat itu.
Sementara, Rangga masih berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun. Sedangkan Gagak Ireng sudah melintangkan pedang di depan dada. Tampak bibirnya bergerak-gerak mendengungkan suara perlahan seperti lebah.
“Sudah lama aku ingin mencoba kepandaianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Majulah, biar batang lehermu cepat bisa kupenggal,” desis Gagak Ireng dingin.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau tidak ada gunanya lagi membujuk Gagak Ireng agar menyerah. Si Penyamun Bukit Tengkorak itu sudah benar-benar nekat, dan tak ada lagi pilihan baginya. Bagi Gagak Ireng, lebih baik mati di dalam pertarungan daripada menyerah menjadi pesakitan yang tak berdaya apa-apa. Dan itu suatu tekad wajar di kalangan rimba persilatan.
Rangga juga bisa menyadari, sehingga tidak lagi mencoba membujuk. Di kalangan persilatan, mati dalam pertarungan lebih terhormat daripada mati di tangan algojo tanpa dapat berbuat sesuatu. Dan rupanya, Gagak Ireng memang memilih bertarung. Sehingga Rangga terpaksa harus melayaninya agar Gagak Ireng lebih terhormat sebagai seorang pesilat sejati.
“Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!”
“Hup!”
Bagaikan kilat Gagak Ireng melompat menyerang. Pedangnya dikebutkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi hanya sedikit menarik tubuhnya ke belakang, tebasan pedang berujung cabang dua itu berhasil dielakkan Rangga. Ujung pedang itu hanya lewat sedikit saja di depan dadanya. Tapi rupanya Gagak Ireng tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dilakukannya serangan-serangan cepat dan dahsyat.
Pedangnya berkelebatan cepat dan kuat, sehingga seperti lenyap dari pandangan. Hanya kelebatan bayangan hitam saja yang terlihat mengurung hampir seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun Gagak Ireng sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya, tapi tak satu pun yang berhasil mengenai sasaran.
Pendekar Rajawali Sakti terlalu gesit untuk didekati. Gerakan-gerakannya begitu lincah dan ringan, seakan-akan kedua ka-kinya tidak menyentuh tanah sama sekali. Belum lagi gerakan tubuhnya yang meliuk-liuk indah bagaikan belut. Begitu sulit dan licin, membuat Gagak Ireng jadi kelabakan sendiri. Apalagi setelah menyadari kalau setiap serangan yang dilakukan tidak membawa hasil sedikit pun.
“Gila...! Dia tidak terpengaruh pada asap racun pedangku!” dengus Gagak Ireng dalam hati.
Entah sudah berapa puluh jurus berlalu. Tapi pertarungan masih juga berlangsung sengit. Sementara Rangga seperti sengaja hendak menguras habis seluruh tenaga dan kemampuan lawannya. Hanya sekali-sekali saja Pendekar Rajawali Sakti melakukan serangan balasan. Itupun sudah membuat Gagak Ireng jadi kelabakan menghindarinya. Bahkan entah sudah berapa kali harus menerima pukulan maupun tendangan yang begitu keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Sehingga Gagak Ireng masih dapat melanjutkan pertarungannya.
“Hup...!” Tiba-tiba saja Gagak Ireng melentingkan tubuh berputar ke belakang. Lalu, manis sekali kakinya mendarat sekitar dua batang tombak dari Rangga.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak mengejar, dan hanya berdiri saja memperhatikan. Kini, Gagak Ireng sudah kembali bersiap dengan suatu ajian andalannya. Beberapa kali pedangnya dikebutkan di depan dada. Maka asap hitam yang keluar dari pedang Gagak Ireng semakin banyak menggumpal. Kemudian pedangnya dihentakkan lurus ke depan. Se-hingga asap hitam yang keluar dari pedang berbentuk aneh itu menggumpal membentuk bulatan di ujungnya. Perlahan pedangnya diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu...
“Hiyaaa...!” Wukkk! Cepat sekali Gagak Ireng mengebutkan pedangnya kembali ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga, bulatan asap hitam di ujung pedangnya terlontar cepat bagaikan kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun sedikit pun pemuda berbaju rompi putih itu tidak bergeming. Bahkan tetap berdiri tegak menerima serangan itu. Tak pelak lagi, asap hitam itu menghantam tubuh Rangga. Bahkan kini menyelubunginya, sehingga seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terselimut asap hitam yang pekat dan menggumpal. Tapi beberapa saat kemudian....
“Aji ‘Cakra Buana Sukma’. Yeaaah....!” Begitu kedua tangan Rangga merentang lebar ke samping, seketika itu juga membersit kilatan cahaya biru terang menyilaukan. Bersamaan den-gan itu, terdengar ledakan keras menggelegar. Asap hitam yang menggumpal menyelimuti tubuh Rangga, langsung berpendar habis bagai tertiup angin. Dan kini seluruh tubuh Rangga berselimut sinar biru menyilaukan.
“Edan....!” desis Gagak Ireng terkejut melihat hasil serangannya dapat mudah dimusnahkan begitu saja. Belum lagi Gagak Ireng bisa menghilangkan keterkejutannya, cepat sekali Rangga menghentakkan kedua tangan ke depan. Maka sinar biru yang menyelubungi tubuhnya langsung berpindah ke telapak tangan. Dan kini malah melesat cepat menghantam tubuh Gagak Ireng yang masih berdiri terpaku, bagai tak percaya dengan pengliha-tannya sendiri.
Aaakh...!” Gagak Ireng menjerit keras begitu cahaya biru menyelubunginya. Tubuhnya menggeliat, berteriak-teriak berusaha keluar dari selubung sinar biru itu. Tapi Rangga terus mengeluarkan aji Cakra Buana Sukma nya. Sinar biru yang terus keluar dari kedua telapak tangannya semakin banyak menyelimuti seluruh tubuh Gagak Ireng.
Perlahan-lahan tubuh Gagak Ireng tertarik mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan namun pasti, Gagak Ireng terus bergerak mendekat sambil menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri. Tapi semakin keras berusaha, semakin kuat pula tenaganya tersedot. Dan Gagak Ireng sama sekali tidak menyadari akibat pengaruh aji ‘Cakra Buana Sukma’ yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Hingga, tubuhnya semakin dekat dengan pemuda berbaju rompi putih itu, masih juga belum disadarinya.
“Aaakh...!” lagi-lagi Gagak Ireng menjerit kencang melengking tinggi. Kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti kini sudah menempel di dada Gagak Ireng. Dan sinar biru yang keluar dari tangan Pendekar Rajawali Sakti semakin banyak saja menyelimuti tubuh Gagak Ireng.
“Yeaaah...!” Tiba-tiba saja Rangga menghentakkan tangannya dengan keras. Akibatnya, tubuh Gagak Ireng terlontar jauh ke belakang, lalu keras sekali ambruk ke tanah. Laki-laki separuh baya itu berusaha bangkit berdiri, tapi seluruh tenaganya sudah terkuras habis. Dan dia sama sekali tidak bisa bangkit berdiri. Bahkan untuk menggerakkan tangannya saja begitu sulit.
Sementara, sinar biru kini sudah lenyap begitu Rangga menarik aji ‘Cakra Buana Sukma’. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri dan berdiri tegak di samping tubuh Gagak Ireng yang tergeletak tak berdaya lagi.
“Bunuhlah aku, Keparat...!” geram Gagak Ireng.
“Kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu dulu, Gagak Ireng. Pengadilan nanti yang akan menentukan hukumanmu,” kata Rangga kalem.
Sementara itu, Adipati Bayaga dan Pandan Wangi sudah menghampiri diikuti beberapa orang berseragam prajurit. Kini Rangga menatap Rapasak yang masih saja berdiri tidak mampu berbuat sesuatu lagi. Hatinya begitu gentar melihat kedahsyatan ilmu kesaktian Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya, Gagak Ireng jadi lumpuh. Dia tak mampu lagi menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
“Ringkus dia. Masukkan ke dalam penjara!” perintah Adipati Bayaga.
“Baik, Gusti Adipati.” Dua orang prajurit mengangkat tubuh Gagak Ireng yang sudah lumpuh tak berdaya lagi.
Sementara, dua orang prajurit lagi segera menggiring Rapasak yang memang sudah menyerah. Mereka melucuti semua senjata yang dibawa Rapasak dan Gagak Ireng.
“Ah! Kalau saja tidak ada Gusti Prabu disini...,” desah Adipati Bayaga merasa lega.
“Sudahlah, Paman Adipati. Dan sebaiknya jangan menyebutku Gusti,” selak Rangga cepat.
“Maafkan Hamba, Gusti.”
Rangga hanya tersenyum saja. Digamitnya lengan Pandan Wangi, dan diajaknya pergi dari tempat ini. Tapi sebelum kakinya terayun melangkah, Adipati Bayaga dan Balung Samodra sudah mencegah. Terpaksa Rangga mengurungkan ayunan kakinya.
Rangga jadi tertegun saat Adipati Bayaga meminta untuk tinggal beberapa hari di Kadipaten Wadas Lintang ini. Matanya melirik Pandan Wangi untuk meminta pendapat gadis itu. Tapi Pandan Wangi hanya mengangkat bahu saja.
“Baiklah. Tapi dengan satu syarat,” Rangga menyerah.
“Apa itu, Gusti Prabu?” tanya Adipati Bayaga sudah gembira mendengar kesediaan Pendekar Rajawali Sakti menerima permintaannya untuk tinggal beberapa hari di kadipaten ini.
“Jangan sekali-sekali memanggilku Gusti Prabu. Aku sekarang ini bukan raja, tapi seorang pendekar kelana yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain,” kata Rangga mengajukan syarat.
“Hanya itu, Gusti...?”
“Iya! Hanya itu saja. Dan aku juga tidak bisa berlama-lama di sini. Hanya beberapa hari saja. Bagaimana...?”
“Tentu, Gusti. Tapi..., hamba harus memanggil apa?”
“Panggil saja Rangga.”
“Ah! Bagaimana mungkin, Gusti. Tidak patut hamba memanggil dengan nama saja.”
“Kalau tidak mau, ya sudah. Aku akan melanjutkan perjalanan sekarang juga,” Rangga tidak memberi pilihan.
“Oh! Jangan..., jangan, Gusti. Baik! Hamba akan memanggil seperti yang Gusti Prabu inginkan,” buru-buru Adipati Bayaga mencegah.
Rangga mengangkat bahunya sedikit. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti memang bermaksud tinggal di Kadipaten Wadas Lintang ini untuk beberapa hari sambil melihat-lihat perkembangan kadipaten di wilayah Kerajaan Karang Setra ini. Tapi, tentu saja kehadirannya tidak sebagai raja, yang akan membuatnya repot. Melainkan sebagai orang biasa dan sebagai pendekar kelana yang hanya singgah saja untuk beberapa hari.
“Mari, Rangga. Sebaiknya kita segera kembali ke istana,” ajak Adipati Bayaga sudah mulai membiasakan diri memanggil nama saja.
Mereka kemudian melangkah meninggalkan halaman depan rumah kediaman Gagak Ireng. Sementara, para prajurit yang tadi memadati tempat itu sudah lebih dahulu pergi membawa Gagak Ireng dan Rapasak yang berhasil ditawan hidup-hidup.
“Hukuman apa yang pantas untuk Gagak Ireng, Rangga?” tanya Adipati Bayaga sambil terus mengayunkan kakinya keluar dari gerbang rumah ini.
“Mau tidak mau, dia akan menerima hukuman yang dijatuhkan pengadilan nanti. Toh dia sudah tidak lagi memiliki daya. Semua ilmu kepandaian dan kesaktiannya sudah musnah. Bahkan akan tetap lumpuh begitu,” Pandan Wangi yang menyahuti.
“Oh! Benarkah begitu...?” tanya Adipati Bayaga.
“Benar. Itu akibat dari aji ‘Cakra Buana Sukma’. Untung saja Kakang Rangga tidak mengerahkannya dalam tingkatan terakhir, sehingga dia masih bisa hidup. Walaupun harus menderita kelumpuhan seumur hidup,” jelas Pandan Wangi lagi.
“Kalau memang begitu, dia sudah mendapatkan hukuman setimpal. Tidak mungkin lagi perbuatan buruknya bisa diulangi lagi,” kata Adipati Bayaga.
“Tapi tidak demikian halnya Rapasak, Gusti Adipati,” selak Balung Samodra yang berjalan di samping Pandan Wangi.
“Hm.... Rapasak akan menerima hukuman yang setimpal juga. Entah apa hukuman yang pantas untuknya nanti. Bagaimana menurutmu, Rangga...?” Adipati Bayaga berpaling menatap Rangga yang berjalan di sebelah kanannya.
“Sebaiknya, ikuti saja keputusan pengadilan nanti. Dan kita tidak usah membicarakannya sekarang. Biar pengadilan tinggi kadipaten yang menentukan hukuman untuk mereka,” kata Rangga penuh bijaksana.
Mereka tak ada lagi yang bicara. Sementara matahari sudah hampir condong ke arah barat. Sebentar lagi senja akan turun. Kini, tak ada lagi kerusuhan yang terjadi di Kadipaten Wadas Lintang ini.
SELESAI