DI TENGAH hutan kledung yang liar, agak sebelah barat dusun Bekti, Jaka Galing dan Indra sedang melatih kawan-kawan mereka bermain pedang. Kedua teruna itu sambil duduk di bawah sebatang pohon beringin yang besar, melepaskan lelah dan memandang ke arah kawan-kawan mereka yang bermain pedang mencontoh mereka tadi. Mereka merasa puas karena kawan-kawan mereka memperoleh kemajuan pesat dan mereka tampak tangkas gesit.
"Galing... kata Indra memecah kesunyian, "Bagaimana pendapatmu tentang tamu kita?"
Jaka Galing memandang dengan mulut tersenyum. Ia tidak heran mendengar pertanyaan ini, karena memang Indra berwatak gembira dan segala macam hal mungkin ditanyakan pemuda nakal ini.
"Isteri Gendrosakti itu memang harus dikasiahni", jawabnya.
"Eh,eh, siapa yang menanyakan tentang dia?Yang kumaksud anaknya, Puspasari itu. Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?" tanya Indra pula.
"Dia.....? Ah, mengapa? Dia juga harus dihasihani. Sungguh malang nasibnya.
"Aah, kawan, jangan berpura-pura lagi. Maksudku tentang kecantikannya.
"Memang dia cantik dan menarik, kata Jaka Galing sejujurnya.
"Nah, begitulah namanya orang jujur! Dengar, Galing, entah mengapa, tapi hatiku tertarik sekali padanya Entah apanya yang menarik hatiku, agaknya... sepasang matanya yang bening dan indah, dihias bulu matanya yang lentik dan alis matanya yang tajam dan panjang itulah agaknya. Sungguh mati, belum pernah aku melihat mata sehebat itu!"
Jaka Galing tersenyum. Memang sejak kecil antara dia dan Indra tak pernah ada rahasia dan mereka selalu bercakap-cakap dengan sejujurnya. Hanya satu saja rahasianya yang disimpan, ialah bahwa dia adalah keturunan Prabu Brawijaya!
"Menurut pendapatku, agaknya... mulutnya-lah yang menarik hati sekali," katanya setelah berpikir dan membayangkan gadis malang itu.
"Mulutnya?" Indra memandang heran.
"Ya, mulutnya. Bibirnya manis benar, coba kau perhatikan. Seperti potongan gendawa Sang Arjuna ,lengkung lekuknya demikian sempurna, tipis-tipis penuh dan halus kemerah-merahan, dan giginya bagaikan mutiara berderet. Dan... kau pernah melihat lesung pipitnya di sebelah kiri mulutnya? Aduh, memang manis benar mulut itu!"
Indra memandang kawannya yang berbicara sambil menggigit bibir dan memandang ke langit itu, dan matanya terbelalak. Tiba-tiba ia menepuk pundak Galing hingga pemuda itu terkejut.
“Ha ha, kalau begitu, kaupun terkena!” kata Indar sambil tertawa pahit.
“Ha, terkena? Apa maksudmu?”
“Kaupun terkena panah asmara, kau jatuh cinta padanya, kawan, seperti.... seperti hal ku pula...!”
“Indra, kau gila!”
“Memang, memang aku gila, gila kepada Puspasari, seperti kau pula. Ha, ha,”
Dan Indra menepuk-nepuk bahu Galing yang bidang. “Indra, jangan kau bicara sembarangan!”
“Aku tidak berolok-olok, kawan. ketahuilah, kalau seorang pemuda mulai membayangkan bagian tertentu dari tubuh seorang dara, itu tandanya ia telah tergila-gila dan jatuh cinta! Yang terbayang dimuka mataku hanya sepasang mata dara itu dan kau selalu membayangkan mulutnya, nah, itu berarti kau dan aku sama-sama mencintai Puspasari!”
“Indra, jangan berolok-olok. Dia adalah puteri adipati dan ayahnya adalah musuh besarku!”
“Apa salahnya? Ayahnya bukan anaknya dan anaknya berbeda daripada ayahnya. Hal itu tak menjadi soal, Galing. Soalnya ialah, siapa diantara kita yang akan dipilih olehnya. Nah inilah yang penting!”
“Sudahlah, jangan kau berkelakar soal itu, Indra.”
“Biarpun kelakar, tapi tepat mengenai hatimu, bukan?”
Pada saat itu, seorang pemuda datang berlari-lari dengan napas terengah-engah, ia menuturkan bahwa sepasukan besar dari Kadipaten Tandes sedang mendatangi ke arah hutan Kledung. Jaka Galing dan Indra meloncat dengan sigap dan mereka memberi aba-aba hingga semua kawan yang sedang berlatih pedang itu berlari menghampiri dan segera kembali ke dalam dusun Bekti. Persidangan kilat dibuka dan mereka mengatur siasat untuk menghadapi musuh.
“Menurut laporan para penyidik, jumlah barisan musuh berjumlah seratus orang lebih. Kita hanya berjumlah tiga puluh orang. Senja nanti baru mereka akan tiba dihutan dan tentu mereka takkan menyerang malam-malam, kita harus memperhatikan dengan diam-diam dan menanti sampai mereka membuat kemah untuk bermalam. Kemudian kita harus mengurung mereka dan menyalakan api di sekeliling mereka sambil melepas anak panah. Sekarang marilah semua mengumpulkan kayu dan daun kering untuk bahan bakar.”
Semua orang lalu berpencar dan mengumpulkan ranting-ranting dan daun kering. Laki perempuan, tua muda bekerja dengan sibuk dan bersatu hati, karena mereka tahu bahwa pekerjaan ini untuk kepentingan mereka semua. Bahkan Puspasari yang tahu akan maksud mengumpulkan bahan bakar itu tidak mau ketinggalan, dia ikut pula mengumpulkan daun kering bersam-sama gadis-gadis lain!
Pada saat puspasari dan dua orang gadis lain mengumpulkan daun kering tiba-tiba ia melihat Indra berjalan menghampiri dengan senyumnya yang menawan hati! Dengan pejaman mata kanan, pemuda itu mengusir pergi dua gadis yang lain hingga ia berdiri berhadapan dengan Puspasari yang masih memondong daun-daun kering yang dibungkus dengan ujung bajunya hingga kembennya yang berwarna hijau muda itu tampak. Karena melihat yang datang adalah Indra, seorang daripada dua orang pahlawan penolongnya, ia lalu tersenyum sambil menundukkan mukanya.
“Nona, mengapa kau bersusah payah membantu kami mencari daun kering? Tidak tahukah kau bahwa bahan bakar ini digunakan untuk menjebak dan melawan pasukan-pasukan ayahmu?” Indra memang biasa berkata secara langsung dan berterus terang.
Puspasari memandang dengan dua mata bintangnya yang menimbulkan kagum bagi Indra, lalu berkata dengan suara tetap, “Aku telah berada disini dan menjadi orang sini. Aku tidak tahu pasukan siapa yang hendak kita musuhi, pokoknya aku tahu pasti bahwa pasukan yang datang itu adalah musuh kita dan kedatangan mereka tidak bermaksud baik. Mengapa aku harus tidak membantu?”
Indra terbelalak memandang dan kekagumannya meningkat. “Adinda yang manis, kau sungguh hebat, makin percayalah aku kepada suara hatiku yang setiap saat berbisik-bisk padaku!”
Puspasari memandang heran. Kata-kata pemuda ini merupakan teka-teki baginya. ”Apa maksudmu, raden?”
“Maksudku, pertama-tama jangan kau sebut aku raden, karena aku hanyalah seorang putera lurah biasa saja dan sebutan kangmas cukup baik bagiku. Kedua, yang kumaksudkan suara hatiku itu ialah bisikan-bisikan yang terdengar dari sebelah dalam dadaku dan berkata bahwa aku... mencintaimu!”
Puspasari memandang dengan mulut ternganga. Belum pernah selama hidupnya ia berhadapan dengan seorang pemuda yang begitu sopan-santun sikapnya, tapi yang bicaranya begitu terus terang tanpa tendeng aling-aling hingga kalau tidak melihat pandang mata dan gerak gayanya yang penuh kesopanan, tentu akan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah seorang pemuda yang tidak tahu adat dan kurang ajar!
“Nah, kau sudah tahu sekarang apa yang terkandung dalam hatiku, maka jangan kau menjadi heran kalau melihat cahaya mesra keluar dari mataku pada saat memandangmu.”
Puspasari menjadi gagu dan tak dapat mengucapkan sepatah katapun, hanya beberapa kali menelan ludah dengan wajah kemerah-merahan dan mata lebar terbelalak. Kemudian gadis ini tertawa kecil dan membalikkan tubuh dan lari. Tapi Indra masih mendengar gadis itu berkata perlahan.
”Hi, hi, kau... lucu... kangmas Indra!”
Sepeninggal puspasari, Indra menepuk-nepuk kepalanya yang berambut keriting itu sambil berkata perlahan, ”Celaka dua belas! Aku menyatakan cintaku dan dia... hanya menganggap aku lucu! Ah, betapapun juga, aku lebih cepat daripada Jaka Galing!”
Sambil tersenyum-senyum Indra lalu menghampiri kawan-kawannya dan memberi petunjuk untuk mengikat ranting-ranting dan daun-daun itu menjadi satu hingga lebih mudah dibawa.
Sementara itu, puspasari termenung memikirkan kata-kata Indra tadi. Ia menganggap Indra seorang pemuda yang sangat jujur dan menarik, akan tetapi... hati gadis itu diam-lebih condong kepada Jaka Galing yang berwatak pendiam dan sungguh-sungguh. Ia telah jatuh hati kepada Jaka Galing pada saat mereka bertemu untuk pertamakali di dalam hutan beberapa hari yang lalu.
Setelah hari menjadi senja, para penyelidik memberi laporan bahwa pasukan dari Tandes telah tiba di luar hutan, dan bahwa pasukan itu terdiri dari seratus dua puluh perajurit pilihan dan dipimpin sendiri oleh Senopati Suranata yang terkenal gagah perkasa. Dan malang bagi mereka, karena senopati yang telah berpengalaman dan berlaku hati-hati itu tidak membawa tentaranya memasuki hutan, akan tetapi membuat perkemahan di pinggir hutan!
Jaka Galing dan Indra mengatur siasat baru. Setelah hari menjadi gelap benar barulah kedua pemuda itu membawa ke dua puluh delapan kawannya menuju ke tempat di mana pasukan Suranata berkumpul. Pada saat itu Suranata sedang mengadakan perundingan dengan para pembantunya, mengatur siasat yang akan dilakukan besok pagi-pagi untuk menyergap dan menolong Dewi Cahyaningsih dan puterinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dalam hutan, diikuti suara Jaka Galing yang keras.
“Suranata! Kau hendak menangkap aku? Ha, ha! Kau dan anak buahmu yang sepengecut ini, hendak menangkap aku ? Lucu benar!”
Suranata dan kawan-kawan cepat memandang dan mereka melihat Jaka Galing dengan obor di tangan sedang berdiri di bawah sebatang pohon johar.
“Itu dia Jaka Galing!” berkata Dwipa dan di dalam hatinya ia merasa heran sekali karena sebenarnya ia tidak menduga akan bertemu dengan Jaka Galing di situ. Ia tidak kenal dengan dua orang pemuda bertopeng yang menyergapnya dan membunuh kawan-kawannya, dan hanyalah siasat Adipati Gendrosakti belaka yang mengharuskan ia bercerita di luar bahwa perampok itu adalah Jaka Galing.
Sementara itu, Suranata yang merasa marah karena ejekan Jaka Galing, diam-diam memberi tanda dan seorang ahli panah yang ulung meluncurkan beberapa batang anak panah ke arah tubuh Jaka Galing. Tapi tiba-tiba obor di tangan Jaka Galing dipadamkan dan keadaan di bawah pohon johar menjadi gelap. Surata dan anak buahnya tidak tahu apakah anak panah itu berhasil mengenai sasarannya atau tidak. Akan tetapi, sekali lagi terdengar suara ketawa Jaka Galing yang berkata.
“Suranata, kalau kau memang benar laki-laki perwira, majulah ke sini! Atau kau takut kepadaku?”
Suranata adalah seorang yang telah kenyang mengalami pertempuran, maka hatinya sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi Jaka Galing.
“Maju! Serbu dan tangkap dia hidup-hidup!”
Ia memberi perintah dan beberapa orang perjurit yang bertugas sebagai pelapor dan petunjuk jalan segera memasang obor yang telah disediakan. Dan majulah mereka memasuki hutan lebat itu, didahului oleh regu obor. Hutan yang tadinya gelap dan penuh pohon-pohon raksasa itu kini menjadi terang dan di mana-mana terdapat bayang-bayang pohon yang menyeramkan.
Setelah maju dan mencari-cari sampai beberapa lama tapi tak menemukan Jaka Galing atau kawan-kawannya, Suranata menjadi curiga, maka ia lalu memerintahkan kepada tentaranya untuk mundur dan keluar lagi dari hutan gelap itu.Tapi terlambat!
Di sekeliling mereka, terdengar sorak-sorai yang riuh dan tiba-tiba tampak api bernyala-nyala di sekeliling tempat itu.Tidak ada jalan keluar. Dan pada saat semua perajurit merasa bingung dan panik, tiba-tiba datang anak panah bagai hujan menyerang mereka dari segala penjuru. Beberapa orang perajurit memekik ngeri dan roboh terkena anak panah.
“Berlindung di belakang pohon!”
Suranata memberi perintah, karena serangan anak panah itu datang dari segala jurusan hingga tak mungkin menggunakan tameng untuk melindungi diri. Suranata sendiri yang berkepandaian tinggi, dapat mendengar suara anak panah yang mengarah kepadanya hingga dapat menangkis dengan tepat.
Mendengar aba-aba ini, para perajurit lari tunggang langgang di sekitar tempat ini untuk berlindung di balik pohon, tapi karena jumlah mereka banyak dan keadaan gelap setelah banyak pemegang obor menjadi korban anak panah musuh, maka mereka saling tabrak dan berdesak-desakan. Serangan anak panah dari pihak Jaka Galing dan kawan-kawannya makin menghebat, bahkan kini di ujung anak panah dipasang api.
Sungguh kasihan perajurit Suranata yang diserang habis-habisan tanpa dapat membalas sama sekali itu. Suranata menyesal sekali mengapa ia tadi menuruti nafsu amarahnya dan mengejar ke dalam hutan. Kalau ia berada di luar hutan, tak mungkin mereka menjebak seperti ini.
“Mundur!!” teriaknya.
Tapi para anak buahnya bingung, harus mundur ke mana? Di belakang mereka api juga telah berkobar!
"Hayo mundur, serbu bagian belakang. Cari jalan keluar!"
Kembali Suranata memberi komando dan sisa-sisa perejurit-perajuritnya lalu berlaku nekat dan lari menyerbu ke arah dari mana mereka tadi datang. Ketika mereka telah tiba di dekat api yang berkobar, ternyata api yang menyala itu hanyalah daun-daun kering yang diikat menjadi satu, bukan pohon-pohon hutan terbakar seperti yang mereka duga semula.
Dengan menggunakan tombak, mereka berhasil mengobrak-abrik api dan memadamkannya, lalu menerobos ke luar di antara hujan anak panah yang kini ditujukan ke arah jalan ke luar itu. Kembali banyak korban jatuh,tapi sisa tentara Suranata berhasi ke luar dari kepungan dan kembali keluar dari hutan. Ketika Suranata memeriksa keadaan barisannya, ternyata tinggal lima puluh tujuh orang lagi!
Ternyata bahwa selain terbinasa di dalam hutan, banyak pula yang melarikan diri dan tidak kembali lagi! Suranata marah sekali. Ia lau memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke Tandes dan minta bantuan seratus orang perajurit lagi! Malam hari itu juga, tiga orang pesuruh itu naik kuda menuju ke kadipaten untuk menyampaikan permintaan bantuan dari Suranata.
Akan tetapi, di tengah jalan ketiga orang pesuruh ini tiba-tiba diterkam oleh Jaka Galing dan kawan-kawannya dan sebentar kemudian Indra sendiri dan dua orang kawannya menggantikan tiga orang pesuruh itu menuju ke Tandes!
Jaka Galing yang sudah menyelidiki keadaan dan kekuatan barisan Tandes, tahu bahwa para perejurit yang berkumpul di kadipaten dan menjadi orang-orang kepercayaan Gendrosakti berjumlah 300 orang, maka ia mengatur siasat untuk memancing semua perajurit pengawal itu ke dalam hutan!
Pada keesokan harinya, barulah Indra dan dua orang kawannya tiba di Tandes, dan sedikitpun tak mengira bahwa di kadipaten sendiri telah terjadi peristiwa hebat pada malam tadi!
Pangeran Bagus Kuswara dengan mendapat bantuan Ki Lenjer tukang gambang, pada malam hari menjelang fajar setelah Gendrosakti tidur pulas, berhasil mengadakan pertemuan dengan Sariti. Kedua orang muda yang hanya indah rupa dan kulit tapi sebenarnya kotor dan buruk isi ini, semenjak bertemu pada pertama kali ia telah jatuh hati dan atas petunjuk Ki Lenjer, mereka mengadakan pertemuan yang mesra di dalam taman kadipaten.
Memang benar sebagaimana dikatakan orang bahwa perbuatan sesat adalah awal segala malapetaka. Pertemuan ini dapat terlihat oleh seorang juru taman yang menaruh dendam kepada Sariti karena orang tua ini pernah mendapat marah dari si jelita ini. Kini melihat betapa Sariti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Bagus Kuswara yang menjadi tamu agung, juru taman ini cepat menyelinap di antara tetumbuhan bunga di taman dan langsung menuju ke dalam gedung.
Ia tahu benar di mana letak kamar Adipati Gendrosakti dan benar saja, pintu kamar adipati itu tidak terkunci karena ketika Sariti meninggalkan kamar itu untuk pergi ke taman, ia hanya merapatkan saja daun pintunya. Adipati Gendrosakti terkejut sekali ketika membuka mata dan melihat juru taman menggoyang-goyang ibu jari kakinya dan memanggil-manggil namanya.
“Eh, mengapa kau berani mengganggu aku, juru taman?” bentaknya marah.
“Ampun, gusti adipati. Hamba melihat hal yang ganjil dan luar biasa sekali dilakukan oleh gusti ayu!”
Adipati Gendrosakti cepat memandang ke arah sisi kirinya dan melihat tempat itu kosong. “Gustimu Sariti berada di mana? Tanyanya cepat.
“Gusti adipati, marilah ikut hamba dan menyaksikan sendiri!” juru taman menjawab perlahan.
Pucatlah muka Gendrosakti. Ia menyambar sebilah keris yang tergantung di dinding, lalu mengikuti juru taman itu. Dan setelah tiba ditempat itu, ia melihat pemandangan yang membuat giginya berbunyi berkeretak-keretak dan kedua matanya berputar-putar karena marahnya. Cambang bauknya seakan-akan berdiri. Dengan sekali lompat ia telah berada di depan sepasang merpati yang sedang berkasih-kasihan itu.
Pangeran Bagus Kuswara terkejut sekali dan memandang ketakutan, tapi ia tidak banyak diberi kesempatan. Tangan Gendrosakti yang besar dan kuat itu diayun dan keris itu beberapa kali masuk dan keluar dari dada Pangeran Bagus Kuswara hingga darah merah menyembur keluar dari dadanya dan tubuhnya lemas lalu roboh tanpa dapat bersuara lagi.
Sariti menjatuhkan diri berlutut di depan Gendrosakti sambil menangis memohon ampun.
“Perempuan rendah! Kaupun harus dibunuh!” Gendrosakti menendang tubuh Sariti hingga bergulingan, lalu ia mengangkat kerisnya untuk ditusukkan. Tapi melihat wajah kekasihnya itu memandangnya dengan penuh kesedihan dan ketakutan, tiba-tiba tangannya menjadi lemas dan amarahnya lenyap seketika.
“Ampun, kanda adipati... hamba... hamba tidak berdaya... pangeran telah memaksa hamba dan... hamba takut untuk menolaknya. Hamba sedang berada di taman ini dan... dan gusti pangeran datang. Apakah daya hamba? Apakah hamba dapat mengusirnya...? Ampun, kangmas....”
Pada saat itu terdengar orang berkata, ”Bohong! Ananda adipati, selirmu ini memang berbahaya sekali, hingga ia berani memfitnah gusti pangeran hingga kau sampai berani membunuhnya!”
Yang berkata ini adalah Ki Ageng Bandar. Orang tua ini merasa terkejut sekali melihat betapa Pangeran Bagus Kuswara terbunuh mati. Tadinya ia merasa heran mengapa pangeran itu belum juga memasuki kamarnya, maka ia lalu keluar mencarinya dan kebetulan sekali pada saat ia tiba di situ, Pangeran Bagus Kuswara tak bernapas lagi.
Biarpun Adipati Gendrosakti sedang marah kepada selirnya terkasih, akan tetapi mendengar kata-kata Sariti kemarahannya berkurang. Kini mendengar ucapan Ki Ageng Bandar dan melihat orang tua itu muncul, ia teringat akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai sang prabu mendengar bahwa ia telah membunuh seorang puteranya, tentu maha raja itu akan marah dan menghukumnya!
Tiba-tiba ia mendapat akal, dan setelah melihat ke kanan kiri tak melihat siapapun juga di dalam taman itu, secepatnya ia melompat menerkam dan menyerang Ki Ageng Bandar dengan kerisnya! Apakah daya seorang tua menghadapi serangan Adipati Gendrosakti yang digdaya itu? Beberapa kali keris adipati itu menancap di ulu hatinya dan Ki Ageng Bandar roboh binasa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun keluhan!
“Kangmas adipati... kau telah membunuh tamu-tamu agung itu, bagaimana ini?” Sariti akhirnya mengeluarkan keluhan dengan tubuh menggigil.
Adipati Gendrosakti menjatuhkan dirinya diatas bangku yang berada di taman. Biarpun hawa malam itu dingin sekali, tapi ia merasa panas dan jidatnya berpeluh. Ia menghela napas panjang lebar dan pikirannya ruwet dan bingung.
“Kangmas adipati... kalau kau dapat mengampuni saya dan masih percaya kepada saya, maka masih ada jalan baik untuk menghindarkan diri dari kemurkaan sang prabu. Tidak ada orang lain yang mengetahui kejadian malam ini, maka lebih baik kita kabarkan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh musuh kita, yaitu Jaka Galing! Katakan saja bahwa Jaka Galing dan beberapa orang kawannya memasuki taman dan hendak membunuhmu, dan bahwa Pangeran Kuswara dan Ki Ageng Bandar hendak membantumu, tapi mati terbunuh.... Bagaimana pikiranmu kangmas?”
Bersinarlah cahaya terang dalam pikiran Adipati Gendrosakti yang sedang gelap dan bingung. Ia berdiri dan memeluk selirnya sambil berbisik,
”Sari, aku maafkan kau. Tapi janganlah kau berbuat bodoh lagi lain kali. Akalmu tadi bagus sekali dan agaknya itulah satu-satunya jalan bagi kita menyelamatkan diri.”
Setelah bermufakat dan mencari akal, Adipati Gendrosakti lalu menggunakan keris untuk menusuk lengan kirinya sendiri hingga mengalirkan darah. Ia lalu merobohkan diri diatas tanah dan Sariti lalu berteriak-teriak minta tolong dengan suara nyaring sambil menangis dan berlutut di depan tubuh Adipati Gendrosakti!
Para pengawal dan penjaga malam yang mendengar jerit tangis dalam taman, berlari-lari menghampiri dan alangkah terkejutnya mereka melihat Adipati Gendrosakti rebah dengan dengan lengan berdarah serta melihat kedua tamu agung itu telah binasa! Segera Adipati Gendrosakti diangkut kedalam dan kedua jenazah itupun dibawa ke dalam rumah.
Maka berceritalah Adipati Gendrosakti dan Sariti betapa pada malam itu ketika mereka berdua sedang menghibur para tamu agungnya di dalam taman, tiba-tiba datang Jaka Galing dan lima orang kawannya dan menyerang mereka. Karena serbuan itu tak terduga datangnya, maka kedua orang tamu agung kena terbunuh dan Adipati Gendrosakti sendiri mendapat luka sebelum mereka sempat minta tolong!
Cerita ini memang meragukan, tapi siapakah yang berani menyangkal cerita yang keluar dari bibir Sariti dan Adipati Gendrosakti? Ki juru taman yang mengetahui peristiwa itu saja tidak berani membuka mulut! Juga Ki Lenjer, tukang gambang yang menjadi penghubung antara Pangeran Bagus Kuswara dan Sariti, tak berani menceritakan pengalamannya, karena itu berarti mencekik leher sendiri.
Namun, pada keesokan harinya, kedua orang tua itu telah lenyap dan tak seorangpun mengetahui ke mana mereka pergi. Yang mengetahui hal ini tentu saja hanya Adipati Gendrosakti dan Sariti serta orang-orang kepercayaannya yang diperintahkan membawa pergi dan membunuh kedua orang tua bernasib malang itu!
Demikianlah, ketika pagi-pagi hari Indra beserta kedua kawannya tiba di Tandes, ia mendengar peristiwa yang hebat itu dan kembali ia mengutuk akan kekejaman Adipati Gendrosakti karena ia tahu betul bahwa kabar itu bohong dan menyangka bahwa yang membunuh Pangeran Bagus Kaswara dan Ki Ageng Bandar tentu adipati itu sendiri, walaupun ia masih merasa heran dan tidak tahu akan sebab-sebabnya. Ketika ia minta menghadap Adipati Gendrosakti, ia diterima dan adipati itu merasa terkejut sekali mendengar kata-kata Indra.
“Aduh, gusti adipati, celakalah hamba sekalian kali ini! Pasukan yang menyerang Jaka Galing telah dihancurkan dan anyak yang tewas. Maka mohon dikirim bala bantuan yang besar jumlahnya!”
Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang berada di situ merasa heran karena tidak mengenal Indra dan dua kawannya, maka seorang diantara mereka membentak.
“He, anak muda, siapa kau dan siapa yang menyuruhmu membuat laporan ini?”
Ia menyembah dan berkata. “Hamba bertiga adalah perajurit-perajurit dari dusun Pedukuan yang secara suka rela membantu pasukan gusti Suranata karena kamipun merasa benci kepada Jaka Galing dan kawan-kawannya yang menjadi perampok. Akan tetapi, malam tadi kami sekalian telah disergap dan diserang oleh pasukan perampok yang besar jumlahnya dan mengalami kekalahan hebat!”
Mendengar laporan ini, ributlah semua orang dan Adipati Gendrosakti lalu memukul-mukul meja di depannya. ”Celaka! Si keparat Jaka Galing ia harus dibasmi dan dimusnahkan dari muka bumi! He, para perwira jangan menyia-nyiakan waktu lagi. Bawa semua perajurit ke hutan Kledug gempur perampok-perampok yang kurang ajar itu, dan kau, Raden Candra, bawa seregu perajurit untuk cepat-cepat memberi kabar kepada gusti prabu di Majapahit tentang tewasnya Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar. Beritahukan bahwa di daerah Tandes timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Galing dan berpusat di tengah hutan Kledung!”
Maka berengkatlah perwira yang bernama Raden Candra itu membawa dua belas perajurit berkuda dan mereka menuju ke Majapahit untuk menyampaikan berita itu. Sementara itu, perwira-perwira lainnya mengerahkan seluruh perajurit dan dengan membawa Indra serta dua orang kawannya sebagai petunjuk jalan, mereka lalu berangkat ke hutan Kledung.
Biarpun mereka lelah sekali, Indra diam-diam tertawa geli dan kegembiraannya tak kenal batas melihat hasil pancingannya ini. Ia maklum bahwa Jaka Galing telah siap dengan rencananya. Diam-diam ia mengatur sedemikian rupa hingga perjalan itu makan waktu sehari penuh hingga ketika mereka tiba di hutan Kledung dari lain jurusan, hari telah menjadi gelap. Senopati Suranata dengan gelisah menanti bala bantuan yang tak kunjung datang. Ia melarang perajurit-perajuritnya pergi menjauhi perkemahan, takut kalau-kalau datang serbuan lagi!
Jaka Galing telah menjalankan siasat yang cerdik dan hendak mencari kemenangan tanpa mengorbankan kawan-kawannya. Ketika melihat bahwa Indra telah dapat memancing pasukan bala bantuan dari Tandes di luar hutan, ia lalu mengajak beberapa orang kawannya mengintai dari dalam hutan. Kemudian, setelah memberi petunjuk-petunjuk, ia lalu memberi aba-aba dan dengan riuh rendah mereka bersorak-sorak sambil melepaskan anak panah dari dalam hutan! Indra segera memberi tahu kepada para perwira sambil berteriak.
“Nah, itulah mereka, di dalam hutan. Hayo serbu mereka!”
Pasukan-pasukan baru ini berjumlah hampir dua ratus orang. Mereka lalu menyerbu ke dalam hutan yang gelap. Belum beberapa lama terjadi pertempuran beberapa orang diantara mereka roboh terkena anak panah yang dilepas oleh Galing dan anak buahnya. Tapi karena para perajurit itu menggunakan tameng untuk melindungi diri, maka yang dapat dirobohkan hanya beberapa orang saja.
Jaka Galing lalu mengajak kawan-kawannya mundur dan tiap kali ia telah berada jauh, ia sengaja menyuruh kawan-kawannya berteriak-teriak untuk memberi tahu tempat mereka kepada pasukan yang mengejar itu. Sementara itu, beberapa orang kawan lain juga menggunakan anak panah menyerang pasukan Suranata yang berkemah di luar hutan. Mereka ini hanya mengganggu belaka dan tidak datang dekat, sekedar memberi tanda bahwa para 'perampok' berada di dalam hutan dan membuat Suranata dan para anak buahnya berjaga-jaga sambil membalas dengan melepaskan anak panah.
Setelah para pasukan bala bantuan itu menegejar sampai dekat pinggir hutan di mana pasukan Suranata berada, Galing lalu mengajak kawan-kawannya bersembunyi dan bersatu dengan kawan-kawan yang mengganggu Suranata. Sementara itu, Indra lalu berseru kepada para perwira.
“Nah, mereka telah lari sampai di luar hutan. Bagus sekali! Mereka takkan dapat bersembunyi lagi. Lihat itu di luar hutan mereka berkumpul, lekas serbu!
Para perwira tak dapat melihat nyata dalam gelap itu, mereka hanya melihat remang-remang bahwa di luar hutan memang berkumpul banyak sekali orang dan bahkan dari jurusan itu datang anak-anak panah yang banyak sekali. Maka mereka lalu memberi aba-aba dan semua perejurit mereka menyerbu keluar hutan dengan golok dan tombak di tangan.
Sebaliknya, pasukan Suranata ketika tiba-tiba melihat banyak sekali orang keluar dari hutan dan lari menyerbu, menyangka bahwa itu adalah barisan Jaka Galing. Mereka cepat-cepat mempersiapkan diri! Dan terjadilah perang tanding di dalam gelap, dibarengi pekik-pekik kesakitan dari mereka yang roboh terluka dan pekik-pekik kemenangan dari mereka yang berhasil dirobohkan seorang lawan untuk kemudian dirobohkan oleh kawan lain! Keadaan menjadi hiruk-pikuk dan ramai!
Pada saat itu, Jaka Galing memeluk Indra dan memuji-mujinya dan semua kawan mereka bersuka ria sambil menonton pertempuran hebat yang terjadi di luar hutan. Akhirnya Suranata dapat juga mengenali pasukan yang menyerbu mereka, demikianpun di fihak pasukan bala bantuan. Tapi hal ini telah terlambat karena dikedua fihak telah banyak jatuh korban. Mereka lalu berkumpul dan menyesali kecerobohan masing-masing dan menuturkan pengalaman masing-masing yang menyedihkan.
“Siapakah tiga orang yang memberi laporan ke Tandes itu?”seorang perwira bertanya kepada Suranata.
“Memang kami telah mengutus tiga orang utusan untuk memberi laporan dan minta bantuan, tapi mengapa mereka itu menyesatkan kalian dan bahkan menjebak hingga kita bertempur sendiri?”
“Mungkin pesuruh-pesuruhmu itu berubah pikiran dan menjadi penghianat!”
Di dalam gelap mereka mencari Indra dan dua orang kawannya, tapi sia-sia belaka. Suranata merasa gemas sekali dan membanting-banting kaki, apalagi setelah mendengar dari para perwira itu bahwa ketiga orang utusan itu sama sekali berbeda wajah dan potongan tubuhnya dengan tiga utusannya.
“Mereka itu utusan palsu! Keparat benar Jaka Galing! Tentu mereka telah menangkap para pesuruh kita menggantikannya dengan kawan perampok yang sengaja memasang perangkap! Sungguh memalukan!”
“Biarlah malam ini kita beristirahat di sini dan besok pagi kita kumpulkan semua tenaga untuk mencari dan menyerbu ke dalam hutan!” kata seorang perwira dengan marah.
Usul ini diterima baik dan semua orang beristirahat, menyesali nasib dan kelalaian mereka.
Prabu Brawijaya tengah duduk bersiniwaka, dihadap oleh para senopati dan pembesar lain, sang prabu yang telah lanjut usianya itu masih kelihatan gagah dan tampan, dengan pakaian keprabon yang indah dan duduk diatas singgasana berukir dan terhias emas permata. Para senopati yang menghadap tampak gagah perkasa dan para selir dan pelayan yang duduk di belakang sang prabu semua cantik-cantik dan berpakaian indah.
Keadaan Prabu Brawijaya dan segala yang berada disekelilingnya menunjukkan kejayaan Negara Majapahit dan sesuai pula dengan nama besar maha raja itu yang terkenal adil bijaksana dan sidik permana. Di antara senopati yang menghadap, tampak Patih Gajah Mada yang terkenal sebagai banteng majapahit, seorang yang cakap dan sakti dan yang telah berjasa besar dalam usahanya memuliakan nama Negara Majapahit.
Tampak pula para bupati dan nayaka yang gagah dan di depan di sebelah Patih Gajah Mada tampak pula Pangeran Lembungpangarsa, yakni putera Prabu Brawijaya yang terkenal sakti mandraguna dan banyak mendapat pelajaran ilmu dari Patih Gajah Mada sendiri!
Berbeda dengan Pangeran Bagus Kuswara, Raden Lembungpangarsa ini suka akan keperwiraan dan kegagahan. Prabu Brawijaya tengah membicarakan hal Adipati Gendrosakti yang telah lama tidak menghadap dan tentang kepergian Ki Ageng Bandar yang diutus meninjau kadipaten itu. Patih Gajah Mada berakata.
“Menurut warta yang telah hamba dengar dari para penyelidik, keadaan di Tandes tidak sangat menggembirakan. Ada berita bahwa dimas Adipati Gendrosakti kurang memperhatikan keadaan rakyat di Tandes dan sudah beberapa bulan tak pernah keluar meninjau keadaan daerahnya. Agaknya ada sesuatu terjadi di kadipaten itu, gusti.”
Sang prabu membenarkan sangkaan patihnya. “Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu karena dulu Gendrosakti adalah seorang hamba yang baik dan perwira.”
Belum lama mereka bercakap-cakap, datanglah penjaga yang memberitahukan bahwa ada utusan datang dari Tandes dan tampaknya tergesa-gesa sekali. Sang prabu lalu meberi perkenan agar mereka langsung menghadap. Raden Candra, utusan dari Tandes itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di hadapan Sang Prabu Brawijaya lalu menangis!
“Eh, eh, punggawa. Tak patut bagi seorang perajurit untuk menjatuhkan air mata. Ke mana perginya keteguhan hatimu?” bentak Patih Gajah Mada kepada Raden Candra.
“Hemm, perajurit Tandes bersifat wanita, mudah sekali menangis.”Pangeran Lembupangarsa juga mencela.
Mendengar celaan-celaan ini, Raden Candra cepat menggunakan tangannya menyeka air matanya dan menyembah lagi sambil berkata. “Ampun beribu ampun gusti sinuhun, hamba tak dapat menahan keluarnya waspa karena dorongan hati hamba sedih. Mohon ampun bahwa kedatangan hamba membawa berita duka, gusti.”
“Punggawa, katakanlah apa yang menjadi tugasmu sebagai seorang utusan,” kata Prabu Brawijaya dengan suara halus.
“Telah terjadi peristiwa maut di Kadipaten Tandes, gusti yang mulia. Kadipaten Tandes telah telah diserbu oleh seorang pemberontak bernama Jaka Galing dan pemberontak itu menyerang Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang sedang dijamu oleh Adipati Gendrosakti dan garwanya di dalam taman. Dan... dan gusti pangeran berdua dengan Ki Ageng telah tewas terbunuh oleh Jaka Galing, sedangkan gusti adipati telah terluka, gusti....”
“Ya Jagat Dewa Batara....” sang prabu berseru sambil menggunakan tangan kanannya menyentuh dada kirinya untuk menenteramkan hatinya yang terpukul. “Coba kau tuturkan yang jelas, punggawa.”
Maka Raden Candra lalu menceritakan betapa di waktu malam hari, ketika Adipati Gendrosakti sedang menjamu kedua tamu agung itu di dalam taman, datanglah Jaka Galing beserta beberapa orang perempok yang langsung menyerang Adipati Gendrosakti. Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar maju membantu, tetapi keduanya tewas di ujung keris Jaka Galing, sedangkan sang adipati sendiri mendapat luka.
“Keparat betul Jaka Galing! Ramanda prabu, perkenankan hamba pergi menangkap si keparat itu!" Pangeran Lembupangarsa memajukan diri dengan muka merah mendengar betapa adiknya terbunuh oleh jaka Galing.
Tapi Patih Gajah Mada berkata,” Gusti pujaan hamba, sungguhpun perbuatan Jaka Galing itu sangat kurang ajar dan harus dihukum, akan tetapi perbuatannya itu masih belum diketahui sebab-sebabnya. Sebaliknya, menurut pertimbangan hamba. Adipati Gendrosakti ternyata telah menyia-nyiakan kepercayaan paduka sebagai seorang adipati yang mengatur Kadipaten Tandes. Buktinya, telah ada seorang pemberontak merajalela dan bahkan ia sebagai seorang yang berkuasa penuh di desa Tandes, tak mampu menjaga keselamatan dua orang utusan paduka. Pantaskah ini bagi seorang pembesar yang telah dipercaya?”
"Puteraku Lembupangarsa, kau siapkan barisan secukupnya untuk mengiringkan aku ke Tandes. Aku sendiri akan menyelidiki perkara ini dan akan memberi hukuman kepada pemberontak itu! Kakang patih, harap kau wakili aku menjaga praja!"
Maka berangkatlah Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiring dan perajurit terutama di bawah pimpinan Pangeran Lembupangarsa yang gagah perkasa! Di sepanjang jalan, rakyat dari dusun-dusun yang yang dilalui oleh rombongan Sang Prabu Brawijaya, bahkan rakyat dari dusun-dusun yang telah mendengar akan lewatnya rombongan agung ini, datang berduyun-duyun menyambut dan berlutut di kanan kiri jalan sambil menaburkan bunga-bunga.
Sedangkan Sang Prabu yang terkenal bijaksana dan pemurah, beberapa kali sengaja turun dari kuda dan mengajak paman-paman tani bercakap-cakap, menanyakan tentang kemajuan sawah dan tentang keadaan penghidupan di dusun, bahkan tidak lupa memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Tentu saja kebijaksanaan ini disambut oleh rakyat dengan penuh kegembiraan, dan rasa cinta dan bakti mereka terhadap Sang Prabu Majapahit makin menebal.
Pangeran lembupangarsa yang tampan dan gagah duduk di atas kuda putihnya bagaikan seorang ksatria gagah perkasa dari Negara Pendawa, hingga orang-orang yang memandang menjadi kagum dan para gadis dusun memandang dengan mata merayu dan terpesona hingga wajah dan kegagahan Raden Lembupangarsa itu terukir dalam hati mereka dan tak mudah dilupakan!
Ketika rombongan Sang Prabu Brawijaya tiba di dekat hutan Kledung, mereka melihat pasukan-pasukan yang dipimpin Suranata berada di pinggir hutan itu. Suaranata dan para perwira lainnya terkejut sekali melihat bahwa datang itu adalah rombongan dari Majapahit yang dikepalai oleh sang prabu sendiri. Maka dari jauh-jauh mereka telah mengatur persiapan menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan segala kehormatan!
Telah dua hari bertrut-turut pasukan Suranata ini menyerbu ke dalam hutan, tapi serbuan mereka gagal selalu karena Jaka Glaing yang cerdik dan mempunyai pembantu-pembantu yang cepat dan tangkas itu selalu dapat mengetahui lebih dulu akan maksudnya dan dapat menjauhkan diri tepat pada waktunya.
Berkali-kali Suranata menyerbu tempat kosong hingga ia makin marah saja. Ia menyuruh anak buahnya mengobrak-abrik dan membakar rumah-rumah dusun Bekti yang telah dikosongkan dan ditinggalkan oleh Jaka Galing. Di waktu malam Suranata tidak berani berdiam di dalam hutan, tapi mengajak anak buahnya bermalam di luar hutan. Karena kegagalan-kegagalan ini, maka hatinya menjadi lemah dan nafsu bertempurnya menjadi berkurang.
Maka pada hari ke tiga, ia masih berada di luar hanya mengutus beberapa orang menyelidik masuk ke dalam hutan dan mencari tahu tentang gerakan-gerakan musuh. Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa pasukan itu datang dari Tandes dan sedang melakukan pengejaran atas Jaka Galing dan kawan-kawannya, ia lalu memanggil menghadap Suranata untuk ditanyai tentang segala peristiwa yang terjadi di Tandes.
Ketika sang prabu mendengar bahwa puterinya Chyaningsih juga diculik oleh Jaka Galing, sang prabu tak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Ia lalu memimpin sendiri para perajurit Majapahit dan bersama Pangeran Lembupangarsa lalu menyerbu ke dalam hutan!
Pada saat itu, Jaka Galing sedang duduk melamun seorang diri di pinggir sebuah anak sungai yang berair jernih. Ia duduk didekat air, di atas sebuah batu dan dan memandangi daun-daun kering dihanyutkan air. Pikirannya melayang jauh. Tadinya ia termenung memikirkan keadaan Suranata yang dipermainkan itu dengan hati geli dan senang.
Kemudian ia teringat kepada Gendrosakti dan air mukanya segera berubah menjadi keruh dan muram tanda hati tak sedap dan marah. Ia merasa gemas sekali mengingat akan kejahatan Gendrosakti. Sakit hati mengingat pembunuhan atas kakeknya yang terkasih belum juga terbalas, kini tanmbah lagi dengan fitnah adipati jahanam itu bahwa ia telah membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar! Sungguh kurang ajar sekali!
Ia sedang memikir-mikirkan dan mencari jalan keluar untuk dapat bertemu muka dan membalas dendamnya kepada musuh besarnya itu. Tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki perlahan-lahan di belakangnya dan berkat kewaspadaannya, ia cepat meloncat dan menghadapi orang yang baru datang dengan perlahan-lahan itu. Tapi ketika melihat bahwa yang datang diam-diam itu tak lain adalah Puspasari, wajah Jaka Galing berubah kemerah-merahan.
“Aah... kusangka siapa...”
"Kangmas Galing, terkejut kau melihat aku datang?" tanya Puspasari dengan senyum yang manis.
Telah beberapa kali gadis ini bercakap-cakap dengan Galing dan keramahan mereka membuat mereka cepat dapat melenyapkan rasa segan dan malu-malu hingga perhubungan mereka dalam beberapa hari saja telah menjadi erat seperti kakak beredik. Hanya terhadap Indra, Puspasari masih malu, karena jejaka itu tanpa tendeng aling-aling lagi tiap kali bertemu dengannya selalu memperlihatkan perasaan hatinya yang mencinta!
“Tidak, Puspasari, aku tidak terkejut. Aku tadi baru melamun dan tak menyangka bahwa kau yang datang. Maklumlah penghidupan di dalam hutan ini membutuhkan kecepatan dan kewaspadaan, kalau terlena maka akan celakalah badan!”
“Kau memang sigap dan cepat, kakangmas. Tapi... agaknya ada seorang bidadari yang sedang kau lamunkan, betulkah?”
Jaka Galing tersenyum. “Kau pandai sekali menerka pikiran orang yayi. Dari siapa kau tahu bahwa kau sedang melamunkan seorang bidadari?”
Puspasari menggunakan telunjuknya yang kecil runcing menuding ke arah air yang mengalir perlahan. ”Tadi aku berada di hilir sungai dan riak air yang datang ke sana dari sini mengatakan kepadaku bahwa di udik terdapat seorang teruna sedang melamunkan bidadari kekasih hatinya. Aku lalu menuju ke sini karena ingin tahu teruna manakah yang sedang menderita rindu asmara itu. Eh, tidak tahunya kangmas sendiri!”
Jaka Galing memandang wajah gadis yang ayu itu dan merasa kagum sekali karena gadis itu selain cantik jelita dan manis budi bahasanya, juga pandai sekali mempergunakan kata-kata dengan mengarang kiasan-kiasan dan perumpamaan-perumpamaan yang indah.
“Kau sungguh-sungguh cerdik dan waspada bagaikan seorang dewi kahyangan. Wahai dewi yang bijaksana dan bermata tajam, sudilah kiranya kau melihat dengan matamu yang tajam bagaikan bintang pagi itu, bagimanakah gerangan keadaan bidadari yang kurindukan itu? Dapatkah bidadariku menerima kasih asmara yang kupersembahkan kepadanya?”
Mendengar kelakar pemuda yang biasanya pendiam itu, sepasang mata Puspasari berseri dan kulit wajahnya berubah merah. Ia nampak gembira sekali dan senyum ramah menghias mukanya.
“Coba ku periksa dulu, wahai teruna yang malang,” katanya, lalu ia duduk di dekat Galing, juga menghadapi air yang mengalir perlahan dan bermain denga batu-batu kali yang hitam licin hingga mengeluarkan suara gemericik menyedapkan pendengaran. Sambil menatap air sungai dengan kedua matanya yang bagus, dara jelita itu berkata lirih.
“Aku lihat... bidadari itupun merindukan engkau kangmas...”
Jaka Galing cepat menengok dan memandang muka itu dari samping. Gadis itu nampaknya sungguh-sungguh dan tidak sedang berkelakar, maka hatinya menjadi berdebar keras. Tanpa ia sadari ia manggunakan tangan kananya memegang pundak Puspasari dan berkata.
“Dinda... benar-benarkah itu...?”
“Tentu saja benar !” Lalu gadis itu memandangnya sambil berkata manis, “Eh, apa pula ini? Mengapa teruna yang gandrung merindukan bidadari itu memegang-megang pundakku?”
“Yayi Puspasari, jangan kau menggodaku, yayi. Coba kau katakan sekali lagi, benar-benarkah bidadari yang kurindukan itu membalas cintaku?”
Puspasari tetap tersenyum dan kedua matanya menggoda. "Untuk apa aku membohongimu? Bidadari itu betul-betul mencintaimu!"
Sekali lagi Jaka Galing memegang pundak Puspasari hingga untuk kedua kalinya dara itu menegurnya. ”Mengapa kau memegang-megang pundakku”
“Yayi puspasari... jangan kau berolok-olok... ketahuilah, yayi, bidadari yang kurindukan, yang selalu melayang-layang dan menari-nari dalam lamunanku, dalam mimpiku, tidak lain adalah... engkau sendiri, yayi!”
Tetapi alangkah heran dan girangnya hati Jaka Galing ketika ia tidak melihat perubahan pada wajah yang ayu itu, bahkan kini terlihat makin merah dan bercahaya, sedangkan sepasang matanya yang indah memandang sayu bagaikan mata orang mengantuk, tetapi bibirnya tetap tersenyum ketika menjawab.
“Kalau demikain halnya, mengapa?”
Saking haru dan girangnya, hampir saja Jaka Galing memeluknya, tetapi pada saat itu terdengar suara Indra berteriak dari jauh, Jaka Galing menarik kembali kedua tangannya dan menjauhi Puspasari sambil berkata perlahan.
“Yayi, ingatlah, bahwa betapapun juga aku adalah musuh besar ayahmu!”
Puspasari menjawab dengan suara yang tak kalah tepatnya, “Kangmas, kata-kata ini pun berlaku bagimu juga, kaupun tahu bahwa betapapun juga, aku adalah anak perempuan dari musuh besarmu!”
Pada saat itu Indra muncul dari dalam hutan. “Ah, payah aku mencarimu, Galing. Kiranya kau sedang bercakap-cakap dengan srikandiku!”
Memang karena kejenakaannya, Indra selalu menyebut Puspasari sebagai pahlawan wanita dan isteri Arjuna, yaitu Dewi wara Srikandi!
Melihat betapa wajah Indra tetap tegang walaupun mulutnya masih sempat berkelakar itu, Jaka Galing maklum bahwa tentu telah terjadi peristiwa penting. Maka ia segera menyambut kedatangan kawan itu sambil bertanya.
“Indra, ada terjadi apa?”
“Celaka betul, Galing. Sang prabu sendiri telah membawa pasukan menuju ke sini untuk menangkap kita!” Wajah Jaka Galing menjadi pucat.
“Apa? Sang Prabu Brawijaya?”
“Siapa lagi kalau bukan Sang Prabu Brawijaya dari Majapahit? Dan didekat beliau masih ada lagi Pangeran Lembupangarsa yang tampan dan gagah perwira itu. Kawan-kawan kita lari bersembunyi ketakutan melihat cahaya yang memancar keluar dari kedua orang agung itu! Apa yang harus kita lakukan, Galing?”
Betapapun juga, suara Indra terdengar agak gemetar, tanda bahwa iapun merasa gentar menghadapi Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa yang sakti mandraguna itu.
“Apalagi yang harus kita lakukan? Kita harus menyerah, karena memang bukan maksud kita memusuhi sinuhun.”
"Tetapi kau tentu akan dihukum mati. Tidak tahukah kau bahwa kau telah dikabarkan membunuh Gusti Pangeran Bagus Kuswara?"
Jaka Galing tersenyum. “Itu hanya fitnah belaka dan aku percaya penuh akan kewaspadaan dan kebijaksanaan gusti sinuhun.”
Sementara itu, mendengar hal kedatangan Sang Prabu Brawijaya, diam-diam Puspasari telah lari pergi untuk memberi tahu ibunya. Pada saat itu, suara kaki kuda yang mendatangi telah terdengar makin mendekat dan Jaka Galing lalu mengajak Indra dan sekalian kawan yang masih berada dalam hutan untuk menghadap Sang Prabu Brawijaya. Ia memerintahkan kawan-kawannya untuk menyimpan senjata masing-masing di dalam sarung, tak boleh dipegang seperti hendak menghadapi musuh.
Ternyata yang masih tinggal di hutan tinggal dua puluh orang saja berikut orang-orang wanita, orang-orang tua dan anak-anak. Sedang yang lain sudah pada lari entah ke mana karena takut mendengar kedatangan Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa ! Biarpun Sang Prabu Brawijaya telah berusia lanjut, namun perasaan marah membuat beliau menjadi muda kembali dan semangatnya berkobar-kobar untuk menghadapi pemberontak yang telah menculik puterinya dan membunuh seorang puteranya itu.
Juga Pangeran Lembupangarsa gatal-gatal tanganya untuk segera menghajar Jaka Galing yang dianggapnya berlaku kurang ajar. Maka mereka lalu menjalankan kuda dengan cepat mengejar maju! Tiba-tiba rombongan Prabu Brawijaya berhenti, karena dari dalam rimba yang liar itu keluar serombongan orang-orang muda berpakaian sederhana sepertai biasanya orang-orang dusun, sedangkan di belakang rombongan pemuda itu tampak beberapa orang wanita, kakek-kakek dan kanak-kanak.
Ketika mendengar suara dari barisan Suranata yang ikut menyerbu dari belakang bahwa yang memimpin rombongan pemuda itu adalah si pemberontak Jaka Galing, Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa tercengang dan keheranan. Jaka Galing memelopori kawan-kawannya dan berlutut menyembah denagn sikap hormat sekali.
“Kanjeng sinuhun, hamba Jaka Galing dengan kawan-kawan dari dusun Bekti menghaturkan sembah sujud di hadapan paduka.” kata Jaka Galing dengan penuh hormat sambil bersila dan menyembah.
Sang Prabu Brawijaya turun dari kudanya, demikian juga para pengikutnya, lalu mendekati Jaka Galing. “Eh, anak muda! Kaukah yang bernama Jaka Galing dan yang telah menculik Dewi Cahyaningsih dan membunuh Pangeran Bagus Kuswara?” tanya Sang Prabu Brawijaya.
Jaka Galing menyembah lagi sebelum menjawab. “Benar sebagaimana sabda paduka, gusti. Hamba bernama Jaka Galing, akan tetapi tentang penculikan dan pembunuhan itu hanyalah fitnah belaka, gusti!”
“Bangsat pengecut! Laki-laki apa kau ini yang berani berbuat tidak berani bertanggung jawab?”
Tiba-tiba Pangeran Lembupangarsa melompat ke depan dan mengayun tangannya menempeleng kepala Jaka Galing! Tamparan pangeran yang gagah ini bukanlahlah sembarangan tamparan dan kalau mengenai kepala Jaka Galing tentu akan hebat sekali akibatnya, karena ditangan Pangeran Raden Lembupangarsa terkandung tenaga mujijat dari aji kesaktian yang dimilikinya.
Akan tetapi JakaGaling telah maklum akan hal ini karena sebelum tangan itu tiba di kepalanya, ia telah merasakan berkesiutnya angin dingin meniup rambutnya, maka dengan cepat sekali anak muda ini menundukkan kepalanya hingga tamparan itu hanya menyerempet rambutnya saja!
Pangeran Raden Lembupangarsa marah sekali melihat betapa tamparannya dielakkan sedemikian mudahnya, maka ia lalu berseru. “Keparat, kau berani melawan?”dan kepalan tangannya menjotos ke arah dada! Kini Galing tidak berani melawan pula dan ia mengangkat dadanya sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menahan serangan ini.
“Buk!” dan tubuh Jaka Galing bergulingan bebrapa kali karena kerasnya pukulan itu, sedangkan Pangeran Raden Lembupangarsa menyeringai karena merasa betapa kulit lengannya perih seakan-akan habis memukul sebuah batu! Sementara itu. Galing sudah duduk bersila kembali dengan kepala tunduk dan kedua tangannya menyembah seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu!
Ketika Pangeran Lembupangarsa hendak maju menyerang pula, Prabu Brawijaya membentak kepada puteranya,
“Lembupangarsa, tahan! Jangan kau lancang memukul orang tanpa memeriksa dulu. Memalukan benar sikapmu itu!”
Mendengar bentakan ini, Pangeran Raden Lembupangarsa mundur dengan muka merah. Prabu Brawijaya memandang Jaka Galing dengan mata heran dan ragu-ragu. Anak muda yang duduk bersila itu tak pantas menjadi anak dusun yang bodoh dan kasar. Dari tubuhnya nampak sinar bercahaya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan cahaya berpengaruh, kulitnya putih kekuningan dan bersih sedangkan sikapnya sopan-santun dan beradap. Inikah pengkhianat dan pemberontak, kepala perampok itu?
“Eh, Jaka Galing, di manakah anak buahmu?” bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
“Kalau paduka maksudkan kawan-kawan hamba, maka hanya inilah kawan-kawan hamba, sedagkan beberapa yang lain telah melarikan diri, takut akan murka paduka.”
Prabu Brawijaya makin heran, lalu ia memanggil Suranata menghadap.”Suranata, hanya beberapa, belas anak-anak muda inikah yang telah memukul hancur pasukanmu? Perwira macam apakah kau ini?”
Suranata dengan malu dan tubuh gemetar menuturkan pengalamannya, betapa ia diserbu oleh kawan-kawan Jaka Galing dengan menggunakan api, kemudian ia diadu dombakan dengan barisan bala bantuan dari Tandes. Kemudian atas pertanyaan Prabu Brawijaya, Jaka Galing minta Indra menceritakan siasat-siasatnya melawan pasukan Suranata. Hal ini dilakukan oleh Indra dengan gaya dan gerakan-gerakan lucu hingga banyak pengiring Prabu Brawijaya diam-diam tertawa dengan hati geli.
“Jaka Galing, kalau begitu kau benar-benar telah memberontak?”
"Mohon beribu ampun, gusti. Hamba sekali-kali tidak berani memberontak kepada paduka yang adil dan bijaksana. Akan tetapi Adipati Gendrosakti tidak adil, dan dia telah mengirim pasukan-pasukan ke dalam hutan untuk membasmi hamba dan kawan-kawan hamba tanpa dosa. Oleh karena itulah maka hamba membela diri dan melawan."
“Tapi kau telah menculik Dewi Cahyaningsih!” bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
“Dia membohong, kanjeng sinuhun. Memang dia yang menculik dan telah membunuh para pengawal, di sini ada saksinya, yaitu seorang pengawal yang dapat menyelamatkan diri."
Dwipa lalu dipanggil oleh Suranata dan disuruh maju. Ketika ditanya oleh sri baginda raja, Dwipa lalu menceritakan bahwa benar-benar ketika ia dan kawan-kawannya mengawal Dewi Cahyaningsih, telah dicegat oleh Jaka Galing dan Indra, dan sebelas kawannya terbunuh semua.
“Jaka Galing, benarkah kau dan Indra kawanmu ini telah membunuh sebelas pengawal itu?” tanya Sang Prabu Brawijaya.
“Benar, gusti. Akan tetapi bukan karena hamba ingin menculik, hanya karena pengawal-pengawal itu hendak membunuh kanjeng bibi dan puterinya.”
Prabu Brawijaya tidak percaya akan keterangan Jaka Galing yang terdengar ganjil ini. Mana ada pengawal-pengawal yang membunuh puteri yang dikawalnya? Maka ia lalu memanggil seorang senopati dan berkata.
“Kalau kau tidak mengaku terus terang, kau akan dirangket, Jaka Galing!”
“Terserah kepada kebijaksanaan paduka, karena sesungguhnya hamba tidak menjalankan perbuatan jahat!” jawab Jaka Galing dengan suara tetap.
Maka sang prabu lalu memberi perintah dan senopati itu mengayun cambuknya keras-keras. Terdengar suara keras meledak dari ujung cambuk memukul punggung Jaka Galing. Darah mengalir keluar dari kulit yang terpecah oleh ujung cambuk itu, tapi Jaka Galing tetap bersila dan sedikitpun tidak bergerak maupun mengeluh. Indra menggigit bibirnya dan menahan gelora hatinya yang ingin memberontak dan mengamuk untuk membela kawannya itu, sedangkan semua kawan Jaka Galing memandang dengan terharu dan sedih.
Cambuk terayun terus dan ketika ujung cambuk telah lima kali menyobek kulit punggung Jaka Galing, tiba-tiba terdengar suara wanita menjerit, dan dari dalam hutan itu datang berlari-larian dua orang wanita. Puspasari lari dan menubruk Jaka Galing sambil menangis, sedangkan Dewi Cahyaningsih langsung menghampiri Sang Prabu Brawijaya dan menyembah di depan kakinya.
Sang Prabu Brawijaya melihat bahwa puterinya selamat tidak kurang suatu apa, mengangkat tangan menahan senopati yang bertugas mencambuki Jaka Galing.
“Rama prabu... anak muda ini tidak berdosa, mohon ampun, rama prabu...” kata Dewi Cahyaningsih sambil menangis. Lalu dengan suara pilu ia menceritakan betapa sesungguhnya kedua belas pengawal istana itulah yang hendak membunuh dia dan puterinya, dan kalau tidak ada Jaka Galing dan Indra yang menolong, tentu mereka berdua telah tewas!
Bukan main marahnya Pangeran Lembupangarsa mendengar ini. Dengan sekali tendang saja ia membuat tubuh Dwipa terguling-guling dan penjahat itu lalu dibelenggu dan menerima beberapa kali pukulan lagi!
"Galing... kata Indra memecah kesunyian, "Bagaimana pendapatmu tentang tamu kita?"
Jaka Galing memandang dengan mulut tersenyum. Ia tidak heran mendengar pertanyaan ini, karena memang Indra berwatak gembira dan segala macam hal mungkin ditanyakan pemuda nakal ini.
"Isteri Gendrosakti itu memang harus dikasiahni", jawabnya.
"Eh,eh, siapa yang menanyakan tentang dia?Yang kumaksud anaknya, Puspasari itu. Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?" tanya Indra pula.
"Dia.....? Ah, mengapa? Dia juga harus dihasihani. Sungguh malang nasibnya.
"Aah, kawan, jangan berpura-pura lagi. Maksudku tentang kecantikannya.
"Memang dia cantik dan menarik, kata Jaka Galing sejujurnya.
"Nah, begitulah namanya orang jujur! Dengar, Galing, entah mengapa, tapi hatiku tertarik sekali padanya Entah apanya yang menarik hatiku, agaknya... sepasang matanya yang bening dan indah, dihias bulu matanya yang lentik dan alis matanya yang tajam dan panjang itulah agaknya. Sungguh mati, belum pernah aku melihat mata sehebat itu!"
Jaka Galing tersenyum. Memang sejak kecil antara dia dan Indra tak pernah ada rahasia dan mereka selalu bercakap-cakap dengan sejujurnya. Hanya satu saja rahasianya yang disimpan, ialah bahwa dia adalah keturunan Prabu Brawijaya!
"Menurut pendapatku, agaknya... mulutnya-lah yang menarik hati sekali," katanya setelah berpikir dan membayangkan gadis malang itu.
"Mulutnya?" Indra memandang heran.
"Ya, mulutnya. Bibirnya manis benar, coba kau perhatikan. Seperti potongan gendawa Sang Arjuna ,lengkung lekuknya demikian sempurna, tipis-tipis penuh dan halus kemerah-merahan, dan giginya bagaikan mutiara berderet. Dan... kau pernah melihat lesung pipitnya di sebelah kiri mulutnya? Aduh, memang manis benar mulut itu!"
Indra memandang kawannya yang berbicara sambil menggigit bibir dan memandang ke langit itu, dan matanya terbelalak. Tiba-tiba ia menepuk pundak Galing hingga pemuda itu terkejut.
“Ha ha, kalau begitu, kaupun terkena!” kata Indar sambil tertawa pahit.
“Ha, terkena? Apa maksudmu?”
“Kaupun terkena panah asmara, kau jatuh cinta padanya, kawan, seperti.... seperti hal ku pula...!”
“Indra, kau gila!”
“Memang, memang aku gila, gila kepada Puspasari, seperti kau pula. Ha, ha,”
Dan Indra menepuk-nepuk bahu Galing yang bidang. “Indra, jangan kau bicara sembarangan!”
“Aku tidak berolok-olok, kawan. ketahuilah, kalau seorang pemuda mulai membayangkan bagian tertentu dari tubuh seorang dara, itu tandanya ia telah tergila-gila dan jatuh cinta! Yang terbayang dimuka mataku hanya sepasang mata dara itu dan kau selalu membayangkan mulutnya, nah, itu berarti kau dan aku sama-sama mencintai Puspasari!”
“Indra, jangan berolok-olok. Dia adalah puteri adipati dan ayahnya adalah musuh besarku!”
“Apa salahnya? Ayahnya bukan anaknya dan anaknya berbeda daripada ayahnya. Hal itu tak menjadi soal, Galing. Soalnya ialah, siapa diantara kita yang akan dipilih olehnya. Nah inilah yang penting!”
“Sudahlah, jangan kau berkelakar soal itu, Indra.”
“Biarpun kelakar, tapi tepat mengenai hatimu, bukan?”
Pada saat itu, seorang pemuda datang berlari-lari dengan napas terengah-engah, ia menuturkan bahwa sepasukan besar dari Kadipaten Tandes sedang mendatangi ke arah hutan Kledung. Jaka Galing dan Indra meloncat dengan sigap dan mereka memberi aba-aba hingga semua kawan yang sedang berlatih pedang itu berlari menghampiri dan segera kembali ke dalam dusun Bekti. Persidangan kilat dibuka dan mereka mengatur siasat untuk menghadapi musuh.
“Menurut laporan para penyidik, jumlah barisan musuh berjumlah seratus orang lebih. Kita hanya berjumlah tiga puluh orang. Senja nanti baru mereka akan tiba dihutan dan tentu mereka takkan menyerang malam-malam, kita harus memperhatikan dengan diam-diam dan menanti sampai mereka membuat kemah untuk bermalam. Kemudian kita harus mengurung mereka dan menyalakan api di sekeliling mereka sambil melepas anak panah. Sekarang marilah semua mengumpulkan kayu dan daun kering untuk bahan bakar.”
Semua orang lalu berpencar dan mengumpulkan ranting-ranting dan daun kering. Laki perempuan, tua muda bekerja dengan sibuk dan bersatu hati, karena mereka tahu bahwa pekerjaan ini untuk kepentingan mereka semua. Bahkan Puspasari yang tahu akan maksud mengumpulkan bahan bakar itu tidak mau ketinggalan, dia ikut pula mengumpulkan daun kering bersam-sama gadis-gadis lain!
Pada saat puspasari dan dua orang gadis lain mengumpulkan daun kering tiba-tiba ia melihat Indra berjalan menghampiri dengan senyumnya yang menawan hati! Dengan pejaman mata kanan, pemuda itu mengusir pergi dua gadis yang lain hingga ia berdiri berhadapan dengan Puspasari yang masih memondong daun-daun kering yang dibungkus dengan ujung bajunya hingga kembennya yang berwarna hijau muda itu tampak. Karena melihat yang datang adalah Indra, seorang daripada dua orang pahlawan penolongnya, ia lalu tersenyum sambil menundukkan mukanya.
“Nona, mengapa kau bersusah payah membantu kami mencari daun kering? Tidak tahukah kau bahwa bahan bakar ini digunakan untuk menjebak dan melawan pasukan-pasukan ayahmu?” Indra memang biasa berkata secara langsung dan berterus terang.
Puspasari memandang dengan dua mata bintangnya yang menimbulkan kagum bagi Indra, lalu berkata dengan suara tetap, “Aku telah berada disini dan menjadi orang sini. Aku tidak tahu pasukan siapa yang hendak kita musuhi, pokoknya aku tahu pasti bahwa pasukan yang datang itu adalah musuh kita dan kedatangan mereka tidak bermaksud baik. Mengapa aku harus tidak membantu?”
Indra terbelalak memandang dan kekagumannya meningkat. “Adinda yang manis, kau sungguh hebat, makin percayalah aku kepada suara hatiku yang setiap saat berbisik-bisk padaku!”
Puspasari memandang heran. Kata-kata pemuda ini merupakan teka-teki baginya. ”Apa maksudmu, raden?”
“Maksudku, pertama-tama jangan kau sebut aku raden, karena aku hanyalah seorang putera lurah biasa saja dan sebutan kangmas cukup baik bagiku. Kedua, yang kumaksudkan suara hatiku itu ialah bisikan-bisikan yang terdengar dari sebelah dalam dadaku dan berkata bahwa aku... mencintaimu!”
Puspasari memandang dengan mulut ternganga. Belum pernah selama hidupnya ia berhadapan dengan seorang pemuda yang begitu sopan-santun sikapnya, tapi yang bicaranya begitu terus terang tanpa tendeng aling-aling hingga kalau tidak melihat pandang mata dan gerak gayanya yang penuh kesopanan, tentu akan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah seorang pemuda yang tidak tahu adat dan kurang ajar!
“Nah, kau sudah tahu sekarang apa yang terkandung dalam hatiku, maka jangan kau menjadi heran kalau melihat cahaya mesra keluar dari mataku pada saat memandangmu.”
Puspasari menjadi gagu dan tak dapat mengucapkan sepatah katapun, hanya beberapa kali menelan ludah dengan wajah kemerah-merahan dan mata lebar terbelalak. Kemudian gadis ini tertawa kecil dan membalikkan tubuh dan lari. Tapi Indra masih mendengar gadis itu berkata perlahan.
”Hi, hi, kau... lucu... kangmas Indra!”
Sepeninggal puspasari, Indra menepuk-nepuk kepalanya yang berambut keriting itu sambil berkata perlahan, ”Celaka dua belas! Aku menyatakan cintaku dan dia... hanya menganggap aku lucu! Ah, betapapun juga, aku lebih cepat daripada Jaka Galing!”
Sambil tersenyum-senyum Indra lalu menghampiri kawan-kawannya dan memberi petunjuk untuk mengikat ranting-ranting dan daun-daun itu menjadi satu hingga lebih mudah dibawa.
Sementara itu, puspasari termenung memikirkan kata-kata Indra tadi. Ia menganggap Indra seorang pemuda yang sangat jujur dan menarik, akan tetapi... hati gadis itu diam-lebih condong kepada Jaka Galing yang berwatak pendiam dan sungguh-sungguh. Ia telah jatuh hati kepada Jaka Galing pada saat mereka bertemu untuk pertamakali di dalam hutan beberapa hari yang lalu.
Setelah hari menjadi senja, para penyelidik memberi laporan bahwa pasukan dari Tandes telah tiba di luar hutan, dan bahwa pasukan itu terdiri dari seratus dua puluh perajurit pilihan dan dipimpin sendiri oleh Senopati Suranata yang terkenal gagah perkasa. Dan malang bagi mereka, karena senopati yang telah berpengalaman dan berlaku hati-hati itu tidak membawa tentaranya memasuki hutan, akan tetapi membuat perkemahan di pinggir hutan!
Jaka Galing dan Indra mengatur siasat baru. Setelah hari menjadi gelap benar barulah kedua pemuda itu membawa ke dua puluh delapan kawannya menuju ke tempat di mana pasukan Suranata berkumpul. Pada saat itu Suranata sedang mengadakan perundingan dengan para pembantunya, mengatur siasat yang akan dilakukan besok pagi-pagi untuk menyergap dan menolong Dewi Cahyaningsih dan puterinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dalam hutan, diikuti suara Jaka Galing yang keras.
“Suranata! Kau hendak menangkap aku? Ha, ha! Kau dan anak buahmu yang sepengecut ini, hendak menangkap aku ? Lucu benar!”
Suranata dan kawan-kawan cepat memandang dan mereka melihat Jaka Galing dengan obor di tangan sedang berdiri di bawah sebatang pohon johar.
“Itu dia Jaka Galing!” berkata Dwipa dan di dalam hatinya ia merasa heran sekali karena sebenarnya ia tidak menduga akan bertemu dengan Jaka Galing di situ. Ia tidak kenal dengan dua orang pemuda bertopeng yang menyergapnya dan membunuh kawan-kawannya, dan hanyalah siasat Adipati Gendrosakti belaka yang mengharuskan ia bercerita di luar bahwa perampok itu adalah Jaka Galing.
Sementara itu, Suranata yang merasa marah karena ejekan Jaka Galing, diam-diam memberi tanda dan seorang ahli panah yang ulung meluncurkan beberapa batang anak panah ke arah tubuh Jaka Galing. Tapi tiba-tiba obor di tangan Jaka Galing dipadamkan dan keadaan di bawah pohon johar menjadi gelap. Surata dan anak buahnya tidak tahu apakah anak panah itu berhasil mengenai sasarannya atau tidak. Akan tetapi, sekali lagi terdengar suara ketawa Jaka Galing yang berkata.
“Suranata, kalau kau memang benar laki-laki perwira, majulah ke sini! Atau kau takut kepadaku?”
Suranata adalah seorang yang telah kenyang mengalami pertempuran, maka hatinya sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi Jaka Galing.
“Maju! Serbu dan tangkap dia hidup-hidup!”
Ia memberi perintah dan beberapa orang perjurit yang bertugas sebagai pelapor dan petunjuk jalan segera memasang obor yang telah disediakan. Dan majulah mereka memasuki hutan lebat itu, didahului oleh regu obor. Hutan yang tadinya gelap dan penuh pohon-pohon raksasa itu kini menjadi terang dan di mana-mana terdapat bayang-bayang pohon yang menyeramkan.
Setelah maju dan mencari-cari sampai beberapa lama tapi tak menemukan Jaka Galing atau kawan-kawannya, Suranata menjadi curiga, maka ia lalu memerintahkan kepada tentaranya untuk mundur dan keluar lagi dari hutan gelap itu.Tapi terlambat!
Di sekeliling mereka, terdengar sorak-sorai yang riuh dan tiba-tiba tampak api bernyala-nyala di sekeliling tempat itu.Tidak ada jalan keluar. Dan pada saat semua perajurit merasa bingung dan panik, tiba-tiba datang anak panah bagai hujan menyerang mereka dari segala penjuru. Beberapa orang perajurit memekik ngeri dan roboh terkena anak panah.
“Berlindung di belakang pohon!”
Suranata memberi perintah, karena serangan anak panah itu datang dari segala jurusan hingga tak mungkin menggunakan tameng untuk melindungi diri. Suranata sendiri yang berkepandaian tinggi, dapat mendengar suara anak panah yang mengarah kepadanya hingga dapat menangkis dengan tepat.
Mendengar aba-aba ini, para perajurit lari tunggang langgang di sekitar tempat ini untuk berlindung di balik pohon, tapi karena jumlah mereka banyak dan keadaan gelap setelah banyak pemegang obor menjadi korban anak panah musuh, maka mereka saling tabrak dan berdesak-desakan. Serangan anak panah dari pihak Jaka Galing dan kawan-kawannya makin menghebat, bahkan kini di ujung anak panah dipasang api.
Sungguh kasihan perajurit Suranata yang diserang habis-habisan tanpa dapat membalas sama sekali itu. Suranata menyesal sekali mengapa ia tadi menuruti nafsu amarahnya dan mengejar ke dalam hutan. Kalau ia berada di luar hutan, tak mungkin mereka menjebak seperti ini.
“Mundur!!” teriaknya.
Tapi para anak buahnya bingung, harus mundur ke mana? Di belakang mereka api juga telah berkobar!
"Hayo mundur, serbu bagian belakang. Cari jalan keluar!"
Kembali Suranata memberi komando dan sisa-sisa perejurit-perajuritnya lalu berlaku nekat dan lari menyerbu ke arah dari mana mereka tadi datang. Ketika mereka telah tiba di dekat api yang berkobar, ternyata api yang menyala itu hanyalah daun-daun kering yang diikat menjadi satu, bukan pohon-pohon hutan terbakar seperti yang mereka duga semula.
Dengan menggunakan tombak, mereka berhasil mengobrak-abrik api dan memadamkannya, lalu menerobos ke luar di antara hujan anak panah yang kini ditujukan ke arah jalan ke luar itu. Kembali banyak korban jatuh,tapi sisa tentara Suranata berhasi ke luar dari kepungan dan kembali keluar dari hutan. Ketika Suranata memeriksa keadaan barisannya, ternyata tinggal lima puluh tujuh orang lagi!
Ternyata bahwa selain terbinasa di dalam hutan, banyak pula yang melarikan diri dan tidak kembali lagi! Suranata marah sekali. Ia lau memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke Tandes dan minta bantuan seratus orang perajurit lagi! Malam hari itu juga, tiga orang pesuruh itu naik kuda menuju ke kadipaten untuk menyampaikan permintaan bantuan dari Suranata.
Akan tetapi, di tengah jalan ketiga orang pesuruh ini tiba-tiba diterkam oleh Jaka Galing dan kawan-kawannya dan sebentar kemudian Indra sendiri dan dua orang kawannya menggantikan tiga orang pesuruh itu menuju ke Tandes!
Jaka Galing yang sudah menyelidiki keadaan dan kekuatan barisan Tandes, tahu bahwa para perejurit yang berkumpul di kadipaten dan menjadi orang-orang kepercayaan Gendrosakti berjumlah 300 orang, maka ia mengatur siasat untuk memancing semua perajurit pengawal itu ke dalam hutan!
Pada keesokan harinya, barulah Indra dan dua orang kawannya tiba di Tandes, dan sedikitpun tak mengira bahwa di kadipaten sendiri telah terjadi peristiwa hebat pada malam tadi!
********************
Pangeran Bagus Kuswara dengan mendapat bantuan Ki Lenjer tukang gambang, pada malam hari menjelang fajar setelah Gendrosakti tidur pulas, berhasil mengadakan pertemuan dengan Sariti. Kedua orang muda yang hanya indah rupa dan kulit tapi sebenarnya kotor dan buruk isi ini, semenjak bertemu pada pertama kali ia telah jatuh hati dan atas petunjuk Ki Lenjer, mereka mengadakan pertemuan yang mesra di dalam taman kadipaten.
Memang benar sebagaimana dikatakan orang bahwa perbuatan sesat adalah awal segala malapetaka. Pertemuan ini dapat terlihat oleh seorang juru taman yang menaruh dendam kepada Sariti karena orang tua ini pernah mendapat marah dari si jelita ini. Kini melihat betapa Sariti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Bagus Kuswara yang menjadi tamu agung, juru taman ini cepat menyelinap di antara tetumbuhan bunga di taman dan langsung menuju ke dalam gedung.
Ia tahu benar di mana letak kamar Adipati Gendrosakti dan benar saja, pintu kamar adipati itu tidak terkunci karena ketika Sariti meninggalkan kamar itu untuk pergi ke taman, ia hanya merapatkan saja daun pintunya. Adipati Gendrosakti terkejut sekali ketika membuka mata dan melihat juru taman menggoyang-goyang ibu jari kakinya dan memanggil-manggil namanya.
“Eh, mengapa kau berani mengganggu aku, juru taman?” bentaknya marah.
“Ampun, gusti adipati. Hamba melihat hal yang ganjil dan luar biasa sekali dilakukan oleh gusti ayu!”
Adipati Gendrosakti cepat memandang ke arah sisi kirinya dan melihat tempat itu kosong. “Gustimu Sariti berada di mana? Tanyanya cepat.
“Gusti adipati, marilah ikut hamba dan menyaksikan sendiri!” juru taman menjawab perlahan.
Pucatlah muka Gendrosakti. Ia menyambar sebilah keris yang tergantung di dinding, lalu mengikuti juru taman itu. Dan setelah tiba ditempat itu, ia melihat pemandangan yang membuat giginya berbunyi berkeretak-keretak dan kedua matanya berputar-putar karena marahnya. Cambang bauknya seakan-akan berdiri. Dengan sekali lompat ia telah berada di depan sepasang merpati yang sedang berkasih-kasihan itu.
Pangeran Bagus Kuswara terkejut sekali dan memandang ketakutan, tapi ia tidak banyak diberi kesempatan. Tangan Gendrosakti yang besar dan kuat itu diayun dan keris itu beberapa kali masuk dan keluar dari dada Pangeran Bagus Kuswara hingga darah merah menyembur keluar dari dadanya dan tubuhnya lemas lalu roboh tanpa dapat bersuara lagi.
Sariti menjatuhkan diri berlutut di depan Gendrosakti sambil menangis memohon ampun.
“Perempuan rendah! Kaupun harus dibunuh!” Gendrosakti menendang tubuh Sariti hingga bergulingan, lalu ia mengangkat kerisnya untuk ditusukkan. Tapi melihat wajah kekasihnya itu memandangnya dengan penuh kesedihan dan ketakutan, tiba-tiba tangannya menjadi lemas dan amarahnya lenyap seketika.
“Ampun, kanda adipati... hamba... hamba tidak berdaya... pangeran telah memaksa hamba dan... hamba takut untuk menolaknya. Hamba sedang berada di taman ini dan... dan gusti pangeran datang. Apakah daya hamba? Apakah hamba dapat mengusirnya...? Ampun, kangmas....”
Pada saat itu terdengar orang berkata, ”Bohong! Ananda adipati, selirmu ini memang berbahaya sekali, hingga ia berani memfitnah gusti pangeran hingga kau sampai berani membunuhnya!”
Yang berkata ini adalah Ki Ageng Bandar. Orang tua ini merasa terkejut sekali melihat betapa Pangeran Bagus Kuswara terbunuh mati. Tadinya ia merasa heran mengapa pangeran itu belum juga memasuki kamarnya, maka ia lalu keluar mencarinya dan kebetulan sekali pada saat ia tiba di situ, Pangeran Bagus Kuswara tak bernapas lagi.
Biarpun Adipati Gendrosakti sedang marah kepada selirnya terkasih, akan tetapi mendengar kata-kata Sariti kemarahannya berkurang. Kini mendengar ucapan Ki Ageng Bandar dan melihat orang tua itu muncul, ia teringat akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai sang prabu mendengar bahwa ia telah membunuh seorang puteranya, tentu maha raja itu akan marah dan menghukumnya!
Tiba-tiba ia mendapat akal, dan setelah melihat ke kanan kiri tak melihat siapapun juga di dalam taman itu, secepatnya ia melompat menerkam dan menyerang Ki Ageng Bandar dengan kerisnya! Apakah daya seorang tua menghadapi serangan Adipati Gendrosakti yang digdaya itu? Beberapa kali keris adipati itu menancap di ulu hatinya dan Ki Ageng Bandar roboh binasa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun keluhan!
“Kangmas adipati... kau telah membunuh tamu-tamu agung itu, bagaimana ini?” Sariti akhirnya mengeluarkan keluhan dengan tubuh menggigil.
Adipati Gendrosakti menjatuhkan dirinya diatas bangku yang berada di taman. Biarpun hawa malam itu dingin sekali, tapi ia merasa panas dan jidatnya berpeluh. Ia menghela napas panjang lebar dan pikirannya ruwet dan bingung.
“Kangmas adipati... kalau kau dapat mengampuni saya dan masih percaya kepada saya, maka masih ada jalan baik untuk menghindarkan diri dari kemurkaan sang prabu. Tidak ada orang lain yang mengetahui kejadian malam ini, maka lebih baik kita kabarkan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh musuh kita, yaitu Jaka Galing! Katakan saja bahwa Jaka Galing dan beberapa orang kawannya memasuki taman dan hendak membunuhmu, dan bahwa Pangeran Kuswara dan Ki Ageng Bandar hendak membantumu, tapi mati terbunuh.... Bagaimana pikiranmu kangmas?”
Bersinarlah cahaya terang dalam pikiran Adipati Gendrosakti yang sedang gelap dan bingung. Ia berdiri dan memeluk selirnya sambil berbisik,
”Sari, aku maafkan kau. Tapi janganlah kau berbuat bodoh lagi lain kali. Akalmu tadi bagus sekali dan agaknya itulah satu-satunya jalan bagi kita menyelamatkan diri.”
Setelah bermufakat dan mencari akal, Adipati Gendrosakti lalu menggunakan keris untuk menusuk lengan kirinya sendiri hingga mengalirkan darah. Ia lalu merobohkan diri diatas tanah dan Sariti lalu berteriak-teriak minta tolong dengan suara nyaring sambil menangis dan berlutut di depan tubuh Adipati Gendrosakti!
Para pengawal dan penjaga malam yang mendengar jerit tangis dalam taman, berlari-lari menghampiri dan alangkah terkejutnya mereka melihat Adipati Gendrosakti rebah dengan dengan lengan berdarah serta melihat kedua tamu agung itu telah binasa! Segera Adipati Gendrosakti diangkut kedalam dan kedua jenazah itupun dibawa ke dalam rumah.
Maka berceritalah Adipati Gendrosakti dan Sariti betapa pada malam itu ketika mereka berdua sedang menghibur para tamu agungnya di dalam taman, tiba-tiba datang Jaka Galing dan lima orang kawannya dan menyerang mereka. Karena serbuan itu tak terduga datangnya, maka kedua orang tamu agung kena terbunuh dan Adipati Gendrosakti sendiri mendapat luka sebelum mereka sempat minta tolong!
Cerita ini memang meragukan, tapi siapakah yang berani menyangkal cerita yang keluar dari bibir Sariti dan Adipati Gendrosakti? Ki juru taman yang mengetahui peristiwa itu saja tidak berani membuka mulut! Juga Ki Lenjer, tukang gambang yang menjadi penghubung antara Pangeran Bagus Kuswara dan Sariti, tak berani menceritakan pengalamannya, karena itu berarti mencekik leher sendiri.
Namun, pada keesokan harinya, kedua orang tua itu telah lenyap dan tak seorangpun mengetahui ke mana mereka pergi. Yang mengetahui hal ini tentu saja hanya Adipati Gendrosakti dan Sariti serta orang-orang kepercayaannya yang diperintahkan membawa pergi dan membunuh kedua orang tua bernasib malang itu!
Demikianlah, ketika pagi-pagi hari Indra beserta kedua kawannya tiba di Tandes, ia mendengar peristiwa yang hebat itu dan kembali ia mengutuk akan kekejaman Adipati Gendrosakti karena ia tahu betul bahwa kabar itu bohong dan menyangka bahwa yang membunuh Pangeran Bagus Kaswara dan Ki Ageng Bandar tentu adipati itu sendiri, walaupun ia masih merasa heran dan tidak tahu akan sebab-sebabnya. Ketika ia minta menghadap Adipati Gendrosakti, ia diterima dan adipati itu merasa terkejut sekali mendengar kata-kata Indra.
“Aduh, gusti adipati, celakalah hamba sekalian kali ini! Pasukan yang menyerang Jaka Galing telah dihancurkan dan anyak yang tewas. Maka mohon dikirim bala bantuan yang besar jumlahnya!”
Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang berada di situ merasa heran karena tidak mengenal Indra dan dua kawannya, maka seorang diantara mereka membentak.
“He, anak muda, siapa kau dan siapa yang menyuruhmu membuat laporan ini?”
Ia menyembah dan berkata. “Hamba bertiga adalah perajurit-perajurit dari dusun Pedukuan yang secara suka rela membantu pasukan gusti Suranata karena kamipun merasa benci kepada Jaka Galing dan kawan-kawannya yang menjadi perampok. Akan tetapi, malam tadi kami sekalian telah disergap dan diserang oleh pasukan perampok yang besar jumlahnya dan mengalami kekalahan hebat!”
Mendengar laporan ini, ributlah semua orang dan Adipati Gendrosakti lalu memukul-mukul meja di depannya. ”Celaka! Si keparat Jaka Galing ia harus dibasmi dan dimusnahkan dari muka bumi! He, para perwira jangan menyia-nyiakan waktu lagi. Bawa semua perajurit ke hutan Kledug gempur perampok-perampok yang kurang ajar itu, dan kau, Raden Candra, bawa seregu perajurit untuk cepat-cepat memberi kabar kepada gusti prabu di Majapahit tentang tewasnya Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar. Beritahukan bahwa di daerah Tandes timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Galing dan berpusat di tengah hutan Kledung!”
Maka berengkatlah perwira yang bernama Raden Candra itu membawa dua belas perajurit berkuda dan mereka menuju ke Majapahit untuk menyampaikan berita itu. Sementara itu, perwira-perwira lainnya mengerahkan seluruh perajurit dan dengan membawa Indra serta dua orang kawannya sebagai petunjuk jalan, mereka lalu berangkat ke hutan Kledung.
Biarpun mereka lelah sekali, Indra diam-diam tertawa geli dan kegembiraannya tak kenal batas melihat hasil pancingannya ini. Ia maklum bahwa Jaka Galing telah siap dengan rencananya. Diam-diam ia mengatur sedemikian rupa hingga perjalan itu makan waktu sehari penuh hingga ketika mereka tiba di hutan Kledung dari lain jurusan, hari telah menjadi gelap. Senopati Suranata dengan gelisah menanti bala bantuan yang tak kunjung datang. Ia melarang perajurit-perajuritnya pergi menjauhi perkemahan, takut kalau-kalau datang serbuan lagi!
Jaka Galing telah menjalankan siasat yang cerdik dan hendak mencari kemenangan tanpa mengorbankan kawan-kawannya. Ketika melihat bahwa Indra telah dapat memancing pasukan bala bantuan dari Tandes di luar hutan, ia lalu mengajak beberapa orang kawannya mengintai dari dalam hutan. Kemudian, setelah memberi petunjuk-petunjuk, ia lalu memberi aba-aba dan dengan riuh rendah mereka bersorak-sorak sambil melepaskan anak panah dari dalam hutan! Indra segera memberi tahu kepada para perwira sambil berteriak.
“Nah, itulah mereka, di dalam hutan. Hayo serbu mereka!”
Pasukan-pasukan baru ini berjumlah hampir dua ratus orang. Mereka lalu menyerbu ke dalam hutan yang gelap. Belum beberapa lama terjadi pertempuran beberapa orang diantara mereka roboh terkena anak panah yang dilepas oleh Galing dan anak buahnya. Tapi karena para perajurit itu menggunakan tameng untuk melindungi diri, maka yang dapat dirobohkan hanya beberapa orang saja.
Jaka Galing lalu mengajak kawan-kawannya mundur dan tiap kali ia telah berada jauh, ia sengaja menyuruh kawan-kawannya berteriak-teriak untuk memberi tahu tempat mereka kepada pasukan yang mengejar itu. Sementara itu, beberapa orang kawan lain juga menggunakan anak panah menyerang pasukan Suranata yang berkemah di luar hutan. Mereka ini hanya mengganggu belaka dan tidak datang dekat, sekedar memberi tanda bahwa para 'perampok' berada di dalam hutan dan membuat Suranata dan para anak buahnya berjaga-jaga sambil membalas dengan melepaskan anak panah.
Setelah para pasukan bala bantuan itu menegejar sampai dekat pinggir hutan di mana pasukan Suranata berada, Galing lalu mengajak kawan-kawannya bersembunyi dan bersatu dengan kawan-kawan yang mengganggu Suranata. Sementara itu, Indra lalu berseru kepada para perwira.
“Nah, mereka telah lari sampai di luar hutan. Bagus sekali! Mereka takkan dapat bersembunyi lagi. Lihat itu di luar hutan mereka berkumpul, lekas serbu!
Para perwira tak dapat melihat nyata dalam gelap itu, mereka hanya melihat remang-remang bahwa di luar hutan memang berkumpul banyak sekali orang dan bahkan dari jurusan itu datang anak-anak panah yang banyak sekali. Maka mereka lalu memberi aba-aba dan semua perejurit mereka menyerbu keluar hutan dengan golok dan tombak di tangan.
Sebaliknya, pasukan Suranata ketika tiba-tiba melihat banyak sekali orang keluar dari hutan dan lari menyerbu, menyangka bahwa itu adalah barisan Jaka Galing. Mereka cepat-cepat mempersiapkan diri! Dan terjadilah perang tanding di dalam gelap, dibarengi pekik-pekik kesakitan dari mereka yang roboh terluka dan pekik-pekik kemenangan dari mereka yang berhasil dirobohkan seorang lawan untuk kemudian dirobohkan oleh kawan lain! Keadaan menjadi hiruk-pikuk dan ramai!
Pada saat itu, Jaka Galing memeluk Indra dan memuji-mujinya dan semua kawan mereka bersuka ria sambil menonton pertempuran hebat yang terjadi di luar hutan. Akhirnya Suranata dapat juga mengenali pasukan yang menyerbu mereka, demikianpun di fihak pasukan bala bantuan. Tapi hal ini telah terlambat karena dikedua fihak telah banyak jatuh korban. Mereka lalu berkumpul dan menyesali kecerobohan masing-masing dan menuturkan pengalaman masing-masing yang menyedihkan.
“Siapakah tiga orang yang memberi laporan ke Tandes itu?”seorang perwira bertanya kepada Suranata.
“Memang kami telah mengutus tiga orang utusan untuk memberi laporan dan minta bantuan, tapi mengapa mereka itu menyesatkan kalian dan bahkan menjebak hingga kita bertempur sendiri?”
“Mungkin pesuruh-pesuruhmu itu berubah pikiran dan menjadi penghianat!”
Di dalam gelap mereka mencari Indra dan dua orang kawannya, tapi sia-sia belaka. Suranata merasa gemas sekali dan membanting-banting kaki, apalagi setelah mendengar dari para perwira itu bahwa ketiga orang utusan itu sama sekali berbeda wajah dan potongan tubuhnya dengan tiga utusannya.
“Mereka itu utusan palsu! Keparat benar Jaka Galing! Tentu mereka telah menangkap para pesuruh kita menggantikannya dengan kawan perampok yang sengaja memasang perangkap! Sungguh memalukan!”
“Biarlah malam ini kita beristirahat di sini dan besok pagi kita kumpulkan semua tenaga untuk mencari dan menyerbu ke dalam hutan!” kata seorang perwira dengan marah.
Usul ini diterima baik dan semua orang beristirahat, menyesali nasib dan kelalaian mereka.
********************
Prabu Brawijaya tengah duduk bersiniwaka, dihadap oleh para senopati dan pembesar lain, sang prabu yang telah lanjut usianya itu masih kelihatan gagah dan tampan, dengan pakaian keprabon yang indah dan duduk diatas singgasana berukir dan terhias emas permata. Para senopati yang menghadap tampak gagah perkasa dan para selir dan pelayan yang duduk di belakang sang prabu semua cantik-cantik dan berpakaian indah.
Keadaan Prabu Brawijaya dan segala yang berada disekelilingnya menunjukkan kejayaan Negara Majapahit dan sesuai pula dengan nama besar maha raja itu yang terkenal adil bijaksana dan sidik permana. Di antara senopati yang menghadap, tampak Patih Gajah Mada yang terkenal sebagai banteng majapahit, seorang yang cakap dan sakti dan yang telah berjasa besar dalam usahanya memuliakan nama Negara Majapahit.
Tampak pula para bupati dan nayaka yang gagah dan di depan di sebelah Patih Gajah Mada tampak pula Pangeran Lembungpangarsa, yakni putera Prabu Brawijaya yang terkenal sakti mandraguna dan banyak mendapat pelajaran ilmu dari Patih Gajah Mada sendiri!
Berbeda dengan Pangeran Bagus Kuswara, Raden Lembungpangarsa ini suka akan keperwiraan dan kegagahan. Prabu Brawijaya tengah membicarakan hal Adipati Gendrosakti yang telah lama tidak menghadap dan tentang kepergian Ki Ageng Bandar yang diutus meninjau kadipaten itu. Patih Gajah Mada berakata.
“Menurut warta yang telah hamba dengar dari para penyelidik, keadaan di Tandes tidak sangat menggembirakan. Ada berita bahwa dimas Adipati Gendrosakti kurang memperhatikan keadaan rakyat di Tandes dan sudah beberapa bulan tak pernah keluar meninjau keadaan daerahnya. Agaknya ada sesuatu terjadi di kadipaten itu, gusti.”
Sang prabu membenarkan sangkaan patihnya. “Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu karena dulu Gendrosakti adalah seorang hamba yang baik dan perwira.”
Belum lama mereka bercakap-cakap, datanglah penjaga yang memberitahukan bahwa ada utusan datang dari Tandes dan tampaknya tergesa-gesa sekali. Sang prabu lalu meberi perkenan agar mereka langsung menghadap. Raden Candra, utusan dari Tandes itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di hadapan Sang Prabu Brawijaya lalu menangis!
“Eh, eh, punggawa. Tak patut bagi seorang perajurit untuk menjatuhkan air mata. Ke mana perginya keteguhan hatimu?” bentak Patih Gajah Mada kepada Raden Candra.
“Hemm, perajurit Tandes bersifat wanita, mudah sekali menangis.”Pangeran Lembupangarsa juga mencela.
Mendengar celaan-celaan ini, Raden Candra cepat menggunakan tangannya menyeka air matanya dan menyembah lagi sambil berkata. “Ampun beribu ampun gusti sinuhun, hamba tak dapat menahan keluarnya waspa karena dorongan hati hamba sedih. Mohon ampun bahwa kedatangan hamba membawa berita duka, gusti.”
“Punggawa, katakanlah apa yang menjadi tugasmu sebagai seorang utusan,” kata Prabu Brawijaya dengan suara halus.
“Telah terjadi peristiwa maut di Kadipaten Tandes, gusti yang mulia. Kadipaten Tandes telah telah diserbu oleh seorang pemberontak bernama Jaka Galing dan pemberontak itu menyerang Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang sedang dijamu oleh Adipati Gendrosakti dan garwanya di dalam taman. Dan... dan gusti pangeran berdua dengan Ki Ageng telah tewas terbunuh oleh Jaka Galing, sedangkan gusti adipati telah terluka, gusti....”
“Ya Jagat Dewa Batara....” sang prabu berseru sambil menggunakan tangan kanannya menyentuh dada kirinya untuk menenteramkan hatinya yang terpukul. “Coba kau tuturkan yang jelas, punggawa.”
Maka Raden Candra lalu menceritakan betapa di waktu malam hari, ketika Adipati Gendrosakti sedang menjamu kedua tamu agung itu di dalam taman, datanglah Jaka Galing beserta beberapa orang perempok yang langsung menyerang Adipati Gendrosakti. Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar maju membantu, tetapi keduanya tewas di ujung keris Jaka Galing, sedangkan sang adipati sendiri mendapat luka.
“Keparat betul Jaka Galing! Ramanda prabu, perkenankan hamba pergi menangkap si keparat itu!" Pangeran Lembupangarsa memajukan diri dengan muka merah mendengar betapa adiknya terbunuh oleh jaka Galing.
Tapi Patih Gajah Mada berkata,” Gusti pujaan hamba, sungguhpun perbuatan Jaka Galing itu sangat kurang ajar dan harus dihukum, akan tetapi perbuatannya itu masih belum diketahui sebab-sebabnya. Sebaliknya, menurut pertimbangan hamba. Adipati Gendrosakti ternyata telah menyia-nyiakan kepercayaan paduka sebagai seorang adipati yang mengatur Kadipaten Tandes. Buktinya, telah ada seorang pemberontak merajalela dan bahkan ia sebagai seorang yang berkuasa penuh di desa Tandes, tak mampu menjaga keselamatan dua orang utusan paduka. Pantaskah ini bagi seorang pembesar yang telah dipercaya?”
"Puteraku Lembupangarsa, kau siapkan barisan secukupnya untuk mengiringkan aku ke Tandes. Aku sendiri akan menyelidiki perkara ini dan akan memberi hukuman kepada pemberontak itu! Kakang patih, harap kau wakili aku menjaga praja!"
Maka berangkatlah Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiring dan perajurit terutama di bawah pimpinan Pangeran Lembupangarsa yang gagah perkasa! Di sepanjang jalan, rakyat dari dusun-dusun yang yang dilalui oleh rombongan Sang Prabu Brawijaya, bahkan rakyat dari dusun-dusun yang telah mendengar akan lewatnya rombongan agung ini, datang berduyun-duyun menyambut dan berlutut di kanan kiri jalan sambil menaburkan bunga-bunga.
Sedangkan Sang Prabu yang terkenal bijaksana dan pemurah, beberapa kali sengaja turun dari kuda dan mengajak paman-paman tani bercakap-cakap, menanyakan tentang kemajuan sawah dan tentang keadaan penghidupan di dusun, bahkan tidak lupa memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Tentu saja kebijaksanaan ini disambut oleh rakyat dengan penuh kegembiraan, dan rasa cinta dan bakti mereka terhadap Sang Prabu Majapahit makin menebal.
Pangeran lembupangarsa yang tampan dan gagah duduk di atas kuda putihnya bagaikan seorang ksatria gagah perkasa dari Negara Pendawa, hingga orang-orang yang memandang menjadi kagum dan para gadis dusun memandang dengan mata merayu dan terpesona hingga wajah dan kegagahan Raden Lembupangarsa itu terukir dalam hati mereka dan tak mudah dilupakan!
Ketika rombongan Sang Prabu Brawijaya tiba di dekat hutan Kledung, mereka melihat pasukan-pasukan yang dipimpin Suranata berada di pinggir hutan itu. Suaranata dan para perwira lainnya terkejut sekali melihat bahwa datang itu adalah rombongan dari Majapahit yang dikepalai oleh sang prabu sendiri. Maka dari jauh-jauh mereka telah mengatur persiapan menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan segala kehormatan!
Telah dua hari bertrut-turut pasukan Suranata ini menyerbu ke dalam hutan, tapi serbuan mereka gagal selalu karena Jaka Glaing yang cerdik dan mempunyai pembantu-pembantu yang cepat dan tangkas itu selalu dapat mengetahui lebih dulu akan maksudnya dan dapat menjauhkan diri tepat pada waktunya.
Berkali-kali Suranata menyerbu tempat kosong hingga ia makin marah saja. Ia menyuruh anak buahnya mengobrak-abrik dan membakar rumah-rumah dusun Bekti yang telah dikosongkan dan ditinggalkan oleh Jaka Galing. Di waktu malam Suranata tidak berani berdiam di dalam hutan, tapi mengajak anak buahnya bermalam di luar hutan. Karena kegagalan-kegagalan ini, maka hatinya menjadi lemah dan nafsu bertempurnya menjadi berkurang.
Maka pada hari ke tiga, ia masih berada di luar hanya mengutus beberapa orang menyelidik masuk ke dalam hutan dan mencari tahu tentang gerakan-gerakan musuh. Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa pasukan itu datang dari Tandes dan sedang melakukan pengejaran atas Jaka Galing dan kawan-kawannya, ia lalu memanggil menghadap Suranata untuk ditanyai tentang segala peristiwa yang terjadi di Tandes.
Ketika sang prabu mendengar bahwa puterinya Chyaningsih juga diculik oleh Jaka Galing, sang prabu tak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Ia lalu memimpin sendiri para perajurit Majapahit dan bersama Pangeran Lembupangarsa lalu menyerbu ke dalam hutan!
Pada saat itu, Jaka Galing sedang duduk melamun seorang diri di pinggir sebuah anak sungai yang berair jernih. Ia duduk didekat air, di atas sebuah batu dan dan memandangi daun-daun kering dihanyutkan air. Pikirannya melayang jauh. Tadinya ia termenung memikirkan keadaan Suranata yang dipermainkan itu dengan hati geli dan senang.
Kemudian ia teringat kepada Gendrosakti dan air mukanya segera berubah menjadi keruh dan muram tanda hati tak sedap dan marah. Ia merasa gemas sekali mengingat akan kejahatan Gendrosakti. Sakit hati mengingat pembunuhan atas kakeknya yang terkasih belum juga terbalas, kini tanmbah lagi dengan fitnah adipati jahanam itu bahwa ia telah membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar! Sungguh kurang ajar sekali!
Ia sedang memikir-mikirkan dan mencari jalan keluar untuk dapat bertemu muka dan membalas dendamnya kepada musuh besarnya itu. Tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki perlahan-lahan di belakangnya dan berkat kewaspadaannya, ia cepat meloncat dan menghadapi orang yang baru datang dengan perlahan-lahan itu. Tapi ketika melihat bahwa yang datang diam-diam itu tak lain adalah Puspasari, wajah Jaka Galing berubah kemerah-merahan.
“Aah... kusangka siapa...”
"Kangmas Galing, terkejut kau melihat aku datang?" tanya Puspasari dengan senyum yang manis.
Telah beberapa kali gadis ini bercakap-cakap dengan Galing dan keramahan mereka membuat mereka cepat dapat melenyapkan rasa segan dan malu-malu hingga perhubungan mereka dalam beberapa hari saja telah menjadi erat seperti kakak beredik. Hanya terhadap Indra, Puspasari masih malu, karena jejaka itu tanpa tendeng aling-aling lagi tiap kali bertemu dengannya selalu memperlihatkan perasaan hatinya yang mencinta!
“Tidak, Puspasari, aku tidak terkejut. Aku tadi baru melamun dan tak menyangka bahwa kau yang datang. Maklumlah penghidupan di dalam hutan ini membutuhkan kecepatan dan kewaspadaan, kalau terlena maka akan celakalah badan!”
“Kau memang sigap dan cepat, kakangmas. Tapi... agaknya ada seorang bidadari yang sedang kau lamunkan, betulkah?”
Jaka Galing tersenyum. “Kau pandai sekali menerka pikiran orang yayi. Dari siapa kau tahu bahwa kau sedang melamunkan seorang bidadari?”
Puspasari menggunakan telunjuknya yang kecil runcing menuding ke arah air yang mengalir perlahan. ”Tadi aku berada di hilir sungai dan riak air yang datang ke sana dari sini mengatakan kepadaku bahwa di udik terdapat seorang teruna sedang melamunkan bidadari kekasih hatinya. Aku lalu menuju ke sini karena ingin tahu teruna manakah yang sedang menderita rindu asmara itu. Eh, tidak tahunya kangmas sendiri!”
Jaka Galing memandang wajah gadis yang ayu itu dan merasa kagum sekali karena gadis itu selain cantik jelita dan manis budi bahasanya, juga pandai sekali mempergunakan kata-kata dengan mengarang kiasan-kiasan dan perumpamaan-perumpamaan yang indah.
“Kau sungguh-sungguh cerdik dan waspada bagaikan seorang dewi kahyangan. Wahai dewi yang bijaksana dan bermata tajam, sudilah kiranya kau melihat dengan matamu yang tajam bagaikan bintang pagi itu, bagimanakah gerangan keadaan bidadari yang kurindukan itu? Dapatkah bidadariku menerima kasih asmara yang kupersembahkan kepadanya?”
Mendengar kelakar pemuda yang biasanya pendiam itu, sepasang mata Puspasari berseri dan kulit wajahnya berubah merah. Ia nampak gembira sekali dan senyum ramah menghias mukanya.
“Coba ku periksa dulu, wahai teruna yang malang,” katanya, lalu ia duduk di dekat Galing, juga menghadapi air yang mengalir perlahan dan bermain denga batu-batu kali yang hitam licin hingga mengeluarkan suara gemericik menyedapkan pendengaran. Sambil menatap air sungai dengan kedua matanya yang bagus, dara jelita itu berkata lirih.
“Aku lihat... bidadari itupun merindukan engkau kangmas...”
Jaka Galing cepat menengok dan memandang muka itu dari samping. Gadis itu nampaknya sungguh-sungguh dan tidak sedang berkelakar, maka hatinya menjadi berdebar keras. Tanpa ia sadari ia manggunakan tangan kananya memegang pundak Puspasari dan berkata.
“Dinda... benar-benarkah itu...?”
“Tentu saja benar !” Lalu gadis itu memandangnya sambil berkata manis, “Eh, apa pula ini? Mengapa teruna yang gandrung merindukan bidadari itu memegang-megang pundakku?”
“Yayi Puspasari, jangan kau menggodaku, yayi. Coba kau katakan sekali lagi, benar-benarkah bidadari yang kurindukan itu membalas cintaku?”
Puspasari tetap tersenyum dan kedua matanya menggoda. "Untuk apa aku membohongimu? Bidadari itu betul-betul mencintaimu!"
Sekali lagi Jaka Galing memegang pundak Puspasari hingga untuk kedua kalinya dara itu menegurnya. ”Mengapa kau memegang-megang pundakku”
“Yayi puspasari... jangan kau berolok-olok... ketahuilah, yayi, bidadari yang kurindukan, yang selalu melayang-layang dan menari-nari dalam lamunanku, dalam mimpiku, tidak lain adalah... engkau sendiri, yayi!”
Tetapi alangkah heran dan girangnya hati Jaka Galing ketika ia tidak melihat perubahan pada wajah yang ayu itu, bahkan kini terlihat makin merah dan bercahaya, sedangkan sepasang matanya yang indah memandang sayu bagaikan mata orang mengantuk, tetapi bibirnya tetap tersenyum ketika menjawab.
“Kalau demikain halnya, mengapa?”
Saking haru dan girangnya, hampir saja Jaka Galing memeluknya, tetapi pada saat itu terdengar suara Indra berteriak dari jauh, Jaka Galing menarik kembali kedua tangannya dan menjauhi Puspasari sambil berkata perlahan.
“Yayi, ingatlah, bahwa betapapun juga aku adalah musuh besar ayahmu!”
Puspasari menjawab dengan suara yang tak kalah tepatnya, “Kangmas, kata-kata ini pun berlaku bagimu juga, kaupun tahu bahwa betapapun juga, aku adalah anak perempuan dari musuh besarmu!”
Pada saat itu Indra muncul dari dalam hutan. “Ah, payah aku mencarimu, Galing. Kiranya kau sedang bercakap-cakap dengan srikandiku!”
Memang karena kejenakaannya, Indra selalu menyebut Puspasari sebagai pahlawan wanita dan isteri Arjuna, yaitu Dewi wara Srikandi!
Melihat betapa wajah Indra tetap tegang walaupun mulutnya masih sempat berkelakar itu, Jaka Galing maklum bahwa tentu telah terjadi peristiwa penting. Maka ia segera menyambut kedatangan kawan itu sambil bertanya.
“Indra, ada terjadi apa?”
“Celaka betul, Galing. Sang prabu sendiri telah membawa pasukan menuju ke sini untuk menangkap kita!” Wajah Jaka Galing menjadi pucat.
“Apa? Sang Prabu Brawijaya?”
“Siapa lagi kalau bukan Sang Prabu Brawijaya dari Majapahit? Dan didekat beliau masih ada lagi Pangeran Lembupangarsa yang tampan dan gagah perwira itu. Kawan-kawan kita lari bersembunyi ketakutan melihat cahaya yang memancar keluar dari kedua orang agung itu! Apa yang harus kita lakukan, Galing?”
Betapapun juga, suara Indra terdengar agak gemetar, tanda bahwa iapun merasa gentar menghadapi Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa yang sakti mandraguna itu.
“Apalagi yang harus kita lakukan? Kita harus menyerah, karena memang bukan maksud kita memusuhi sinuhun.”
"Tetapi kau tentu akan dihukum mati. Tidak tahukah kau bahwa kau telah dikabarkan membunuh Gusti Pangeran Bagus Kuswara?"
Jaka Galing tersenyum. “Itu hanya fitnah belaka dan aku percaya penuh akan kewaspadaan dan kebijaksanaan gusti sinuhun.”
Sementara itu, mendengar hal kedatangan Sang Prabu Brawijaya, diam-diam Puspasari telah lari pergi untuk memberi tahu ibunya. Pada saat itu, suara kaki kuda yang mendatangi telah terdengar makin mendekat dan Jaka Galing lalu mengajak Indra dan sekalian kawan yang masih berada dalam hutan untuk menghadap Sang Prabu Brawijaya. Ia memerintahkan kawan-kawannya untuk menyimpan senjata masing-masing di dalam sarung, tak boleh dipegang seperti hendak menghadapi musuh.
Ternyata yang masih tinggal di hutan tinggal dua puluh orang saja berikut orang-orang wanita, orang-orang tua dan anak-anak. Sedang yang lain sudah pada lari entah ke mana karena takut mendengar kedatangan Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa ! Biarpun Sang Prabu Brawijaya telah berusia lanjut, namun perasaan marah membuat beliau menjadi muda kembali dan semangatnya berkobar-kobar untuk menghadapi pemberontak yang telah menculik puterinya dan membunuh seorang puteranya itu.
Juga Pangeran Lembupangarsa gatal-gatal tanganya untuk segera menghajar Jaka Galing yang dianggapnya berlaku kurang ajar. Maka mereka lalu menjalankan kuda dengan cepat mengejar maju! Tiba-tiba rombongan Prabu Brawijaya berhenti, karena dari dalam rimba yang liar itu keluar serombongan orang-orang muda berpakaian sederhana sepertai biasanya orang-orang dusun, sedangkan di belakang rombongan pemuda itu tampak beberapa orang wanita, kakek-kakek dan kanak-kanak.
Ketika mendengar suara dari barisan Suranata yang ikut menyerbu dari belakang bahwa yang memimpin rombongan pemuda itu adalah si pemberontak Jaka Galing, Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa tercengang dan keheranan. Jaka Galing memelopori kawan-kawannya dan berlutut menyembah denagn sikap hormat sekali.
“Kanjeng sinuhun, hamba Jaka Galing dengan kawan-kawan dari dusun Bekti menghaturkan sembah sujud di hadapan paduka.” kata Jaka Galing dengan penuh hormat sambil bersila dan menyembah.
Sang Prabu Brawijaya turun dari kudanya, demikian juga para pengikutnya, lalu mendekati Jaka Galing. “Eh, anak muda! Kaukah yang bernama Jaka Galing dan yang telah menculik Dewi Cahyaningsih dan membunuh Pangeran Bagus Kuswara?” tanya Sang Prabu Brawijaya.
Jaka Galing menyembah lagi sebelum menjawab. “Benar sebagaimana sabda paduka, gusti. Hamba bernama Jaka Galing, akan tetapi tentang penculikan dan pembunuhan itu hanyalah fitnah belaka, gusti!”
“Bangsat pengecut! Laki-laki apa kau ini yang berani berbuat tidak berani bertanggung jawab?”
Tiba-tiba Pangeran Lembupangarsa melompat ke depan dan mengayun tangannya menempeleng kepala Jaka Galing! Tamparan pangeran yang gagah ini bukanlahlah sembarangan tamparan dan kalau mengenai kepala Jaka Galing tentu akan hebat sekali akibatnya, karena ditangan Pangeran Raden Lembupangarsa terkandung tenaga mujijat dari aji kesaktian yang dimilikinya.
Akan tetapi JakaGaling telah maklum akan hal ini karena sebelum tangan itu tiba di kepalanya, ia telah merasakan berkesiutnya angin dingin meniup rambutnya, maka dengan cepat sekali anak muda ini menundukkan kepalanya hingga tamparan itu hanya menyerempet rambutnya saja!
Pangeran Raden Lembupangarsa marah sekali melihat betapa tamparannya dielakkan sedemikian mudahnya, maka ia lalu berseru. “Keparat, kau berani melawan?”dan kepalan tangannya menjotos ke arah dada! Kini Galing tidak berani melawan pula dan ia mengangkat dadanya sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menahan serangan ini.
“Buk!” dan tubuh Jaka Galing bergulingan bebrapa kali karena kerasnya pukulan itu, sedangkan Pangeran Raden Lembupangarsa menyeringai karena merasa betapa kulit lengannya perih seakan-akan habis memukul sebuah batu! Sementara itu. Galing sudah duduk bersila kembali dengan kepala tunduk dan kedua tangannya menyembah seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu!
Ketika Pangeran Lembupangarsa hendak maju menyerang pula, Prabu Brawijaya membentak kepada puteranya,
“Lembupangarsa, tahan! Jangan kau lancang memukul orang tanpa memeriksa dulu. Memalukan benar sikapmu itu!”
Mendengar bentakan ini, Pangeran Raden Lembupangarsa mundur dengan muka merah. Prabu Brawijaya memandang Jaka Galing dengan mata heran dan ragu-ragu. Anak muda yang duduk bersila itu tak pantas menjadi anak dusun yang bodoh dan kasar. Dari tubuhnya nampak sinar bercahaya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan cahaya berpengaruh, kulitnya putih kekuningan dan bersih sedangkan sikapnya sopan-santun dan beradap. Inikah pengkhianat dan pemberontak, kepala perampok itu?
“Eh, Jaka Galing, di manakah anak buahmu?” bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
“Kalau paduka maksudkan kawan-kawan hamba, maka hanya inilah kawan-kawan hamba, sedagkan beberapa yang lain telah melarikan diri, takut akan murka paduka.”
Prabu Brawijaya makin heran, lalu ia memanggil Suranata menghadap.”Suranata, hanya beberapa, belas anak-anak muda inikah yang telah memukul hancur pasukanmu? Perwira macam apakah kau ini?”
Suranata dengan malu dan tubuh gemetar menuturkan pengalamannya, betapa ia diserbu oleh kawan-kawan Jaka Galing dengan menggunakan api, kemudian ia diadu dombakan dengan barisan bala bantuan dari Tandes. Kemudian atas pertanyaan Prabu Brawijaya, Jaka Galing minta Indra menceritakan siasat-siasatnya melawan pasukan Suranata. Hal ini dilakukan oleh Indra dengan gaya dan gerakan-gerakan lucu hingga banyak pengiring Prabu Brawijaya diam-diam tertawa dengan hati geli.
“Jaka Galing, kalau begitu kau benar-benar telah memberontak?”
"Mohon beribu ampun, gusti. Hamba sekali-kali tidak berani memberontak kepada paduka yang adil dan bijaksana. Akan tetapi Adipati Gendrosakti tidak adil, dan dia telah mengirim pasukan-pasukan ke dalam hutan untuk membasmi hamba dan kawan-kawan hamba tanpa dosa. Oleh karena itulah maka hamba membela diri dan melawan."
“Tapi kau telah menculik Dewi Cahyaningsih!” bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
“Dia membohong, kanjeng sinuhun. Memang dia yang menculik dan telah membunuh para pengawal, di sini ada saksinya, yaitu seorang pengawal yang dapat menyelamatkan diri."
Dwipa lalu dipanggil oleh Suranata dan disuruh maju. Ketika ditanya oleh sri baginda raja, Dwipa lalu menceritakan bahwa benar-benar ketika ia dan kawan-kawannya mengawal Dewi Cahyaningsih, telah dicegat oleh Jaka Galing dan Indra, dan sebelas kawannya terbunuh semua.
“Jaka Galing, benarkah kau dan Indra kawanmu ini telah membunuh sebelas pengawal itu?” tanya Sang Prabu Brawijaya.
“Benar, gusti. Akan tetapi bukan karena hamba ingin menculik, hanya karena pengawal-pengawal itu hendak membunuh kanjeng bibi dan puterinya.”
Prabu Brawijaya tidak percaya akan keterangan Jaka Galing yang terdengar ganjil ini. Mana ada pengawal-pengawal yang membunuh puteri yang dikawalnya? Maka ia lalu memanggil seorang senopati dan berkata.
“Kalau kau tidak mengaku terus terang, kau akan dirangket, Jaka Galing!”
“Terserah kepada kebijaksanaan paduka, karena sesungguhnya hamba tidak menjalankan perbuatan jahat!” jawab Jaka Galing dengan suara tetap.
Maka sang prabu lalu memberi perintah dan senopati itu mengayun cambuknya keras-keras. Terdengar suara keras meledak dari ujung cambuk memukul punggung Jaka Galing. Darah mengalir keluar dari kulit yang terpecah oleh ujung cambuk itu, tapi Jaka Galing tetap bersila dan sedikitpun tidak bergerak maupun mengeluh. Indra menggigit bibirnya dan menahan gelora hatinya yang ingin memberontak dan mengamuk untuk membela kawannya itu, sedangkan semua kawan Jaka Galing memandang dengan terharu dan sedih.
Cambuk terayun terus dan ketika ujung cambuk telah lima kali menyobek kulit punggung Jaka Galing, tiba-tiba terdengar suara wanita menjerit, dan dari dalam hutan itu datang berlari-larian dua orang wanita. Puspasari lari dan menubruk Jaka Galing sambil menangis, sedangkan Dewi Cahyaningsih langsung menghampiri Sang Prabu Brawijaya dan menyembah di depan kakinya.
Sang Prabu Brawijaya melihat bahwa puterinya selamat tidak kurang suatu apa, mengangkat tangan menahan senopati yang bertugas mencambuki Jaka Galing.
“Rama prabu... anak muda ini tidak berdosa, mohon ampun, rama prabu...” kata Dewi Cahyaningsih sambil menangis. Lalu dengan suara pilu ia menceritakan betapa sesungguhnya kedua belas pengawal istana itulah yang hendak membunuh dia dan puterinya, dan kalau tidak ada Jaka Galing dan Indra yang menolong, tentu mereka berdua telah tewas!
Bukan main marahnya Pangeran Lembupangarsa mendengar ini. Dengan sekali tendang saja ia membuat tubuh Dwipa terguling-guling dan penjahat itu lalu dibelenggu dan menerima beberapa kali pukulan lagi!