Pendekar Bodoh
Karya Kho Ping Hoo
JILID 20
CIN HAI terus maju dengan hati-hati sekali, pedang Liong-coan-kiam siap di tangan sebab dia tidak tahu apa yang akan muncul di tempat yang belum pernah terinjak oleh kaki manusia itu. Akhirnya dia tiba juga di suatu tempat yang merupakan lereng yang curam dan yang tegak ke atas. Ketika dia memandang ke atas ternyata di atas penuh dengan halimun dan mengira-ngira di mana kiranya Kwee An dan Ma Hoa terjatuh.
Ketika ia maju sedikit ia melihat banyak goa di lereng itu, besar-besar dan gelap. Hatinya berdebar amat keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim surat itu tinggal di salah sebuah di antara goa-goa ini!
Ia lalu meneliti setiap goa dan memeriksa tanah lembek di depan goa. Kalau goa itu ada orangnya, pasti ia akan melihat tapak kaki di depan goa itu, karena betapa pun tinggi ilmu ginkang seseorang, kalau menginjak tanah lembek itu pasti meninggalkan bekas. Setelah meneliti dan memeriksa beberapa buah goa, akhirnya ia berseru perlahan.
Di depan goa yang besar dan gelap, ia melihat kaki manusia! Ketika ia memeriksa lebih teliti, hatinya tergoncang karena tapak kaki itu demikian tipisnya, seakan-akan tanah itu hanya disentuh saja oleh orang yang berjalan di atasnya.
Ia kemudian mengerahkan ginkang-nya dan berjalan di dekat tapak-tapak kaki itu dengan ringan sekali. Akan tetapi ia melihat, ternyata bahwa tapak kakinya lebih dalam dari pada tapak kaki yang dilihatnya itu. Dari sini dapat dia menduga bahwa ilmu ginkang orang itu ternyata lebih tinggi dari pada ginkang-nya sendiri!
Cin Hai berlaku makin berhati-hati karena dia tahu bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya dan ia belum tahu pula apakah orang itu kawan atau lawan. Ia segera membuat api dari kayu kering, dan dengan sebatang obor menyala yang dibuatnya dari pada alang-alang yang sudah kering, ia lalu memasuki goa itu, obor di tangan kiri dan Liong-coan-kiam di tangan kanan.
Goa itu ternyata lebar dan dalam sekali. la melihat beberapa buah batu hitam licin yang halus permukaannya hingga dapat dibuat duduk orang, maka semakin keras dugaannya bahwa di situ tentu pernah tinggal seorang manusia atau pertapa. Akan tetapi, selain batu-batu itu, tidak terdapat benda lain, juga tidak nampak seorang pun di dalam goa.
la menjadi kecewa dan tiba-tiba saja kepalanya tertumbuk pada sebuah batu kecil yang ternyata tergantung di atas langit-langit goa. Ia mengangkat obornya ke atas dan betapa girangnya ketika melihat bahwa batu kecil yang tertumbuk oleh kepalanya itu ternyata adalah sepotong batu karang yang diikat dengan tali, persis seperti yang dahulu dipakai untuk membelit kaki Sin-kong-ciak!
Dia tidak ragu-ragu lagi. Di sinilah tempat orang aneh yang berahasia itu. Dia memeriksa semakin teliti dan ketika ia mengangkat obornya ke sebelah kiri, ia melihat corat-coret di atas dinding tanah batu itu. Dia segera menghampiri dan ternyata bahwa corat-coret itu merupakan lukisan orang dalam berbagai posisi yang jelas menggambarkan orang yang sedang bermain silat!
Di sana-sini terdapat tulisan-tulisan dan ketika ia membaca tulisan itu, ia menjadi tertarik sekali karena tulisan-tulisan itu merupakan ujar-ujar dari Khongcu yang diambil dari kitab Tiong-yong! Di antara sekian banyaknya ujar-ujar yang ditulis di atas dinding itu, dengan gaya tulisan yang persis sama seperti yang dituliskan di atas kertas yang terbawa oleh kaki Sin-kong-ciak, ia tertarik akan sebuah ujar-ujar yang dulu pernah dia pelajari dari Kui Sianseng, gurunya yang suka memukul kepalanya itu. Ujar-ujar ini demikian bunyinya,
Kou Kuncu Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-kho-i Ti-jin. Su Ti-jin, Put Kho-i Put Ti Thian!
Ia teringat kepada Kui Sianseng yang memecahkan arti ujar-ujar tersebut sebagai berikut,
‘seorang Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi. Untuk dapat menyempurnakan diri pribadi, tak dapat tidak harus mencinta dan berbakti kepada ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan berbakti pada ayah bunda, tak dapat tidak harus mengetahui tentang peri kemanusiaan. Dan untuk dapat mengetahui tentang peri kemanusiaan, tak dapat tiada ia harus mengetahui tentang Ketuhanan.”
Setelah membaca ujar-ujar yang dulu sering dihafalkan itu, tiba-tiba saja Cin Hai berdiri bengong karena ia teringat kepada ayah bundanya dan ingat pula bahwa ia belum juga mencari kuburan mereka! Sampai lama juga ia berdiri diam tak bergerak hingga setelah api obornya padam, barulah ia sadar dan segera keluar dari goa itu oleh karena merasa malu dan tidak enak hati untuk berdiam lebih lama dalam tempat kediaman orang lain tanpa seijin tuan rumah!
Ia terus mencari hingga sehari penuh ia keluar masuk goa untuk mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Akan tetapi jangankan orangnya, bayangannya pun tidak dilihatnya!
Cin Hai merasa kecewa, akan tetapi ia juga merasa lega karena tidak melihat bukti-bukti bahwa dua orang yang dikasihinya itu telah tewas! Karena, andai kata keduanya terjatuh dan terbanting mati di situ, tentu ia akan melihat tanda-tanda atau bekas-bekasnya.
Karena hari telah mulai gelap, maka Cin Hai lalu memasuki goa yang penuh tulisan dan lukisan itu lagi untuk bermalam. Dia anggap bahwa goa itu paling bersih dan paling baik, tidak mengandung hawa dan bau yang tidak enak seperti goa lainnya, dan lagi pula, ada kemungkinan penghuni goa itu datang sehingga dia dapat bertemu dengannya! Dia ingin sekali bertemu dengan ahli ujar-ujar Khongcu ini yang sudah mengirim berita ketika dia berada di atas dengan Lin Lin dan dia merasa yakin bahwa penulis surat itu tentu tahu akan nasib Kwee An dan Ma Hoa!
Karena merasa asing di dalam goa seorang diri, maka Cin Hai lalu menyalakan api lagi dan memeriksa lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan di dinding itu. Ternyata lukisan-lukisan itu mengandung pelajaran ilmu silat yang aneh dan tinggi. Akan tetapi sebagai seorang berjiwa gagah, Cin Hai tidak mau mencuri dan mempelajari ilmu silat orang lain, maka ia lalu mengalihkan perhatian pada tulisan-tulisan dan ujar-ujar yang selalu menarik hatinya.
Mendadak dia melihat lukisan-lukisan yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak, sebuah tubuh manusia dengan segala macam kekotorannya, dan sebuah muka yang amat jahat, sejahat-jahatnya bagaikan setan sendiri memperlihatkan muka!
Dan di bawah tiga buah lukisan aneh itu, terdapat syair yang sangat menarik hatinya. Dia lalu membaca dengan penuh perhatian,
Alangkah buruk nasibku! Aku dipaksa untuk tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam segala kerendahan jasmani! Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu!
Hanya satu hiburan bagiku. Akan tiba saatnya aku pergi meninggalkan semua keburukan ini. Dan kembali ke tempat asal, kembali ke tempat suci!
Sekali lagi Cin Hai dibikin bengong dan termenung membaca syair yang penuh arti ini. Ia maklum dan dapat merasakan bahwa syair ini merupakan rintihan jiwa atau roh manusia, bukan penulis syair itu saja akan tetapi setiap manusia, termasuk dia sendiri!
Ia lantas bergidik memandang tengkorak itu yang tiba-tiba nampak menjadi tengkoraknya sendiri, ngeri melihat tubuh dengan segala kekotoran itu, dan meremang bulu tengkuknya melihat wajah mengerikan itu, wajah yang penuh diliputi nafsu-nafsu jahat yang tiap saat menyerang batin manusia! Siapakah pelukis dan penyair ini? Makin tertarik hatinya sebab ia merasa bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.
Tiba-tiba terdengar suara, “Ah… ah... uh... uh...!” yang keras di belakangnya dan secepat kilat Cin Hai membalikkan tubuhnya.
Dia melihat seorang tua kurus tinggi tahu-tahu sudah berdiri di pintu goa tanpa terdengar olehnya. Orang itu kelihatan marah sekali dan tiba-tiba dia mengangkat tangan kanannya lalu digerakkan ke arah Cin Hai.
Bukan main terkejutnya Cin Hai sebab tiba-tiba dari tangan itu menyambar angin pukulan yang keras sekali. Cin Hai cepat mengelak ke samping, akan tetapi angin pukulan yang keras itu telah menyambar dan membikin padam api obor yang dipegangnya!
Di dalam goa menjadi gelap sekali. Jangankan untuk melihat orang lain, memandang jari tangan sendiri di depan mata pun tak kelihatan! Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi kepandaian seorang dan betapa pun tajam pandangan mata seseorang, namun, tanpa ada sinar yang menerangi sama sekali, mata tidak akan ada gunanya lagi. Maka dia lalu meraba-raba dan berdiri mepet dinding goa.
Ia mendengar angin pukulan orang itu masih menyerang secara membabi buta. Ia pun maklum bahwa meski angin pukulan itu akan dapat ditahannya dan takkan mencelakakan dirinya karena ia pun memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, namun apa bila ia membuat gerakan, akan terdengar oleh orang itu dan jika orang itu menyerang dengan nekad di dalam gelap, tentu mau tidak mau dia harus membalas dan pertempuran di dalam gelap hanya dapat diakhiri dengan maut! Dan hal ini tidak ia kehendaki, karena ia tidak punya permusuhan sesuatu dengan orang itu.
Ia pun tidak berani membuka mulut, karena ia tidak tahu akan watak orang aneh itu. Ia hanya menanti sampai orang itu membuka mulut, akan tetapi ternyata orang itu pun tidak bicara sesuatu, hanya ah-ah-uh-uh seperti suara monyet!
Semalam itu Cin Hai hanya duduk saja menyandar dinding dengan mengatur napas dan bersemedhi karena hanya dengan jalan duduk diam begini dia dapat beristirahat sambil mencurahkan perasaannya sehingga tak mudah diserang lawan secara diam-diam.
Pada esok harinya, ketika sinar matahari mulai menerangi tempat itu, Cin Hai mendapat kenyataan bahwa kakek itu tidak ada pula di tempat itu! Ia lalu berdiri dan keluar dari goa dan ternyata bahwa kakek itu telah berdiri di depan goa sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah!
“Locianpwe, mohon kau orang tua suka memberi maaf kepadaku kalau tanpa disengaja aku telah mengganggu,” kata Cin Hai sambil menjura penuh hormat.
Akan tetapi, orang tua itu dengan muka merengut, menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah-olah mengusir supaya Cin Hai lekas pergi dari situ sambil mulutnya mengeluarkan suara, “Ah-ah uh-uh!” dan terkejutlah Cin Hai karena dia mendapat kenyataan bahwa empek-empek itu ternyata adalah orang gagu!
“Locianpwe, aku datang bukan dengan maksud jahat. Apakah kau orang tua yang sudah mengirim surat yang diikatkan di kaki Sin-kong-ciak dulu itu?”
Kakek itu menggeleng-gelengkan kepala dengan keras sehingga kembali Cin Hai tertegun karena kalau bukan kakek ini, siapa lagi yang tinggal di tempat itu?
“Locianpwe, kalau begitu, tolonglah kau memberi tahukan tentang dua orang muda yang terjun di tempat ini dari atas!” kata lagi Cin Hai sambil menggerak-gerakkan kedua tangan membantu kata-katanya agar lebih jelas bagi kakek gagu itu.
Akan tetapi kembali kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bersuara “ah-ah uh-uh” tidak karuan dan tangannya semakin cepat bergerak mengusir Cin Hai karena dia beberapa kali menuding ke arah bawah bukit.
“Locianpwe, aku tidak akan turun sebelum mendapat keterangan kedua orang muda yang menjadi kawan-kawanku itu,” kata Cin Hai sambil menggelengkan kepala.
Tiba-tiba saja kakek itu menjadi marah dan sambil mengeluarkan seruan laksana seekor binatang buas, dia menerkam Cin Hai dengan ilmu pukulan yang aneh dan cepat. Cin Hai biar pun belum pernah melihat ilmu pukulan macam ini, namun pandangannya yang awas dan pengertiannya yang mendalam dalam hal gerakan pundak, tahu bahwa inilah ilmu silat seperti yang dilukiskan di dalam goa itu. Ia cepat mengelak dan tidak mau membalas karena ingin tahu sampai di mana kelihaian orang aneh ini.
Lima jurus kakek itu menyerang dan semakin lama makin heranlah kakek itu dan jelas nampak pada mukanya bahwa dia benar-benar merasa heran sekali karena serangannya itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Cin Hai. Cin Hai mendapat kenyataan bahwa biar pun ilmu pukulan kakek itu hebat dan dalam hal keganasan tidak kalah dengan ilmu silat Hek Pek Moko, namun tingkat kepandaian kakek ini masih belum sangat tinggi dan juga ginkang kakek ini masih jauh dari pada sempurna.
Maka dia segera maklum bahwa selain kakek gagu ini, tentu masih ada seorang lain yang betul-betul tinggi dan sakti kepandaiannya. Mungkin kakek ini hanyalah kawan atau murid saja dari orang pandai yang sebenarnya dan yang belum juga mau memperlihatkan diri.
Sesudah menyerang lagi lima jurus tanpa hasil, tiba-tiba kakek itu lalu berseru keras dan melarikan diri ke atas bukit. Walau pun dalam hal ilmu silat Cin Hai masih jauh lebih lihai dari padanya, namun ketika menyaksikan betapa kakek itu mendaki bukit dengan cepat sekali bagaikan orang berlari di tanah datar saja, diam-diam Cin Hai menjadi kagum sekali. Akan tetapi ia merasa menyesal dan kecewa sekali karena pertemuannya dengan kakek gagu yang aneh ini pun tidak menghasilkan sesuatu dan tentang Kwee An dan Ma Hoa masih tetap merupakan teka-teki gelap baginya.
Dia mengejar dan melompat ke atas sebuah batu besar, akan tetapi dia urungkan niatnya untuk mengejar terus. Apa gunanya? Kalau pun dia dapat menyusul kakek itu, takkan ada gunanya karena ia tak dapat mengajak kakek itu bercakap-cakap.
Ia berdiri termenung di atas tempat yang tinggi itu dan tiba-tiba ia mendengar suara riuh dari jauh. Ia segera memandang dan melihat betapa dari jurusan utara datang sepasukan tentara yang panjang dan besar jumlahnya. Debu mengepul ke atas ketika tanah yang kering terinjak oleh banyak kaki orang itu.
Tiba-tiba dari jurusan selatan, nampak pasukan lain lagi. Pasukan ini tidak begitu panjang akan tetapi pada bagian depan terdapat beberapa orang penunggang kuda yang agaknya menjadi pemimpin pasukan itu. Juga debu mengepul hebat di bawah kaki pasukan ini. Kedua pasukan itu agaknya hendak berperang, sebab masing-masing membawa bendera yang berkibar dan keduanya bergerak maju untuk saling bertemu.
Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia segera melompat turun dari batu karang, terus lari pergi dari tempat itu. Dia mempergunakan jembatan bambu yang dibuatnya kemarin dan setelah meninggalkan rawa itu, ia berlari cepat menuju ke tempat di mana kedua pasukan bertemu.
Dan setelah dia sampai di sana, terdengarlah sorak sorai yang hebat dan dibarengi suara senjata beradu dan pekik manusia berperang. Cin Hai mendekati dan ketika dia melihat bahwa yang sedang bertempur itu adalah pasukan kerajaan melawan pasukan bangsa Mongol, dia segera menyerbu dan ikut membantu pasukan kerajaan. Melihat orang-orang Mongol ini, dia teringat kepada Pangeran Vayami dan Ke Ce yang menimbulkan benci di dalam hatinya.
Sebelum Cin Hai datang, tentara kerajaan sedang terdesak oleh amukan tentara Mongol yang dikepalai seorang panglima perang bangsa Mongol yang kosen sekali. Juga jumlah mereka yang lebih besar membuat tentara kerajaan melawan dengan sia-sia dan banyak korban jatuh di pihak mereka.
Akan tetapi ketika Cin Hai menyerbu, di mana saja ia datang tentu pihak Mongol menjadi kocar-kacir, karena baik dengan kedua tangan atau pun kakinya, setiap gerakan pemuda ini membuat seorang bangsa Mongol terguling!
Melihat datangnya seorang pemuda Han yang amat lihai membantu pihak mereka, timbul kembali semangat pasukan kerajaan sehingga mereka lalu menyerbu lagi dengan nekad dan penuh semangat sehingga ketika Cin Hai membantu ke sana ke mari, pihak tentara kerajaan kini mendapat kemajuan dan musuh dapat dibikin kacau.
Akan tetapi, pada waktu Cin Hai menyerbu sampai di tengah-tengah, dia melihat seorang panglima bangsa Mongol yang amat kosen dan yang sedang dikeroyok oleh empat orang panglima kerajaan, yaitu Perwira-perwira Sayap Garuda yang bersenjata pedang. Akan tetapi, panglima Mongol yang berkulit hitam serta bertubuh tinggi besar itu mengamuk dengan hebatnya hingga empat orang Perwira Sayap Garuda itu terdesak hebat. Bahkan di atas tanah menggeletak tiga orang Perwira Sayap Garuda dalam keadaan mandi darah dan mati!
Bukan main marahnya Cin Hai karena ia maklum bahwa Panglima Mongol yang tangguh ini takkan menemukan tandingan. Melihat betapa empat orang perwira kerajaan terdesak hebat dan bahkan telah ada tiga orang yang tewas, dia lalu berseru keras dan menyerbu menghadapi perwira Mongol itu sambil berseru,
“Cuwi Ciangkun, mundurlah dan biarkan aku menghadapi raksasa Mongol ini!”
Keempat Perwira Sayap Garuda menjadi girang mendapat bantuan ini dan oleh karena mereka tadi memang sudah kewalahan menghadapi lawan tangguh itu, maka mereka lalu meloncat ke belakang membiarkan anak muda itu menggantikan mereka.
Panglima Mongol tinggi besar itu tertawa lebar pada saat melihat bahwa kini yang maju menghadapinya hanyalah seorang muda berpakaian seperti seorang pelajar.
“Ha-ha-ha! Agaknya kalian telah kehabisan panglima hingga harus mengajukan seorang kanak-kanak yang masih harus berada dalam pelukan ibunya!” ia menyindir.
Cin Hai menghadapi sindiran dan hinaan ini dengan tersenyum saja, lalu ia pun bertanya, “Panglima yang sombong, siapakah kau dan apakah kau masih mempunyai hubungan dengan Pangeran Vayami?”
Panglima tinggi besar muka hitam itu tercengang mendengar disebutnya nama ini. “Hmm, dari mana kau tahu nama pengkhianat kami itu? Vayami adalah seorang pengkhianat, jangan dihubungkan dengan aku, Balaki, seorang pahlawan sejati dari Mongol!”
Balaki ini sebenarnya adalah seorang panglima tinggi di daerah Mongol, tangan kanan Yagali Khan, raja muda yang memimpin dan memerintah Mongolia pada masa itu. Dan ilmu kepandaian Balaki amat tinggi.
Ketika mendengar tentang gagalnya expedisi Mongolia mencari Pulau Kim-san-to, maka ketika Yagali Khan mengadakan serbuan ke pedalaman Tiongkok, dia lalu menawarkan diri untuk mengepalai sendiri barisan Mongol. Tiap pasukan Han yang bertemu dengan pasukan pimpinan Balaki ini, pasti dihancurkan dan dikalahkan dengan mudah. Pasukan yang kini sedang bertempur, tentu akan hancur binasa pula kalau tidak kebetulan Cin Hai muncul sebagai bintang penolong.
“Anak muda,” kata pula Balaki, “kau siapakah dan mengapa pula kau yang berpakaian pelajar ini berani maju menyambutku?”
“Aku adalah seorang rakyat biasa yang tentu saja takkan tinggal diam melihat kau bangsa Mongol bermain gila di tanah airku!” jawab Cin Hai dengan tenang.
Balaki tertawa terbahak-bahak. “Ha, kau ingin bermain menjadi patriot? Ha-ha-ha, bagus, aku akan membuat kau tewas sebagai seorang pahlawan negara!”
Sambil berkata begitu, Balaki lalu menerjang maju dengan golok besarnya. Gerakannya antep dan cepat sehingga Cin Hai tidak berani memandang ringan, lalu cepat mencabut pedangnya dan melayaninya dengan hati-hati.
Pada saat melihat pertempuran hebat ini, para anak buah tentara kedua pihak menjadi gembira dan mereka yang berada dekat pertempuran ini segera menghentikan serbuan masing-masing dan kini menonton sambil bersorak menambah semangat jago masing-masing! Juga keempat Perwira Sayap Garuda melihat kelihaian Cin Hai, menjadi kagum dan berbesar hati oleh karena selama ini belum pernah ada yang kuat menghadapi Balaki yang terkenal kosen itu.
Seperti biasanya, Cin Hai hanya mempertahankan diri dulu untuk mengukur kepandaian lawan dan ternyata bahwa ilmu kepandaian Balaki dengan ilmu golok tunggalnya, walau pun benar-benar lihai namun masih tidak dapat mengimbangi kegesitan Cin Hai sehingga pemuda ini dengan mudah dapat mengelak atau pun menangkis semua serangan yang datang bertubi-tubi itu.
Hal ini tentu saja membuat Balaki merasa penasaran sekali oleh karena belum pernah ia melihat seorang lawan yang mampu menahan serangannya tanpa membalas sedemikian lamanya. Ia lalu berseru keras dan tiba-tiba tangan kirinya mengeluarkan sebuah benda yang bulat.
Cin Hai mengira bahwa itu tentu semacam senjata rahasia, maka ia berlaku waspada dan cepat bersiap sedia menghadapi serangan senjata gelap musuh. Akan tetapi Balaki tidak menggunakan senjata aneh itu, hanya menggenggamnya di tangan kiri, ada pun golok di tangan kanannya masih menyerang ganas.
Tiba-tiba ketika Cin Hai mengelak dari serangan golok lawannya, Balaki membuka tangan kirinya dan tahu-tahu selarik sinar keemasan yang bercahaya terang menyambar ke arah muka Cin Hai. Sinar ini demikian cepat datangnya sehingga tidak mungkin lagi dikelit oleh kegesitan seorang manusia, maka Cin Hai merasa terkejut sekali dan tak terasa pula ia berseru.
Akan tetapi, ternyata bahwa sinar atau cahaya itu tidak menyakitinya, hanya membuat matanya terasa pedas sekali karena ternyata bahwa benda di tangan kiri Balaki itu adalah sebuah cermin yang digunakannya untuk memantulkan cahaya matahari yang bersinar terang. Pantulan cahaya matahari itu dipergunakan untuk menyerang mata lawan, dan mengagetkannya sehingga tentu saja orang itu akan menjadi silau dan kaget.
Benar saja, Cin Hai yang lihai itu sama sekali tak menduga akan kelihaian lawan hingga ketika matanya bertemu dengan pantulan cahaya matahari yang disinarkan dari cermin itu, dia pun tidak kuat menahan dan terpaksa menutup kedua matanya. Saat inilah yang dimaksudkan oleh senjata cermin itu dan pada saat Cin Hai tersilau dan meramkan mata, golok di tangan Balaki menyambar cepat dan hebat ke arah leher Cin Hai.
Sudah banyak sekali lawan yang tewas dalam tangan Balaki terkena tipu ini, dan kali ini pun dia sudah merasa pasti bahwa pemuda ini tentu akan roboh dengan kepala terpisah dari tubuh. Akan tetapi, kalau ia berpendapat demikian, ia belum kenal dan belum tahu betul siapa adanya Cin Hai!
Pemuda ini selain sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan luar biasa, juga sudah menerima gemblengan hebat dari Bu Pun Su, ditambah lagi pengalaman bertempur yang banyak menghadapi lawan-lawan tangguh, hingga dalam keadaan bagaimana berbahaya pun, hatinya tetap tenang dan kewaspadaannya tidak tergoncang.
Memang, ketika matanya tersorot sinar matahari, ia merasa terkejut dan tidak tahan untuk tidak memejamkan mata. Akan tetapi hanya matanya saja yang tertutup dan untuk saat itu tidak dapat dipergunakan, akan tetapi, telinga dan perasaannya masih tajam dan tidak terpengaruh sama sekali.
Dia dapat merasa dan mendengar suara angin serangan golok yang mengarah lehernya. Maka, ketika semua orang sudah merasa ngeri, terutama keempat orang Perwira Sayap Garuda, dan menyangka bahwa pemuda itu pasti akan binasa di tangan Balaki seperti orang-orang lain yang pernah menghadapinya, tiba-tiba saja tubuh Cin Hai melompat ke belakang dengan cepat sekali sehingga mata golok itu lewat menyerempet di dekat kulit lehernya.
Tidak hanya Balaki yang amat terkejut, akan tetapi semua orang yang melihat lompatan ke belakang secara aneh itu merasa kagum sekali. Belum pernah mereka dapat melihat seorang melompat ke belakang sedemikian cepatnya dan tepat pada saat bahaya maut sedang mengancam leher.
Kini Cin Hai merasa marah juga karena hampir saja ia tadi menjadi korban senjata golok pahlawan Mongol ini. Sebaliknya, Balaki menyangka bahwa pemuda itu menjadi gentar, maka dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu dan cepat mengejar untuk mengirim serangan dengan ilmu golok yang paling ia andalkan. Goloknya terputar-putar garang bagai seekor naga mengamuk hingga tubuhnya sendiri lenyap di dalam gulungan golok.
“Rasakan pembalasanku!” kata Cin Hai dan pemuda ini mulai memainkan jurus-jurus limu Pedang Daun Bambu ciptaan sendiri.
Ketika ia mencipta ilmu pedang ini, ia menusukkan pedangnya dan menyerang batang-batang bambu yang runcing bagaikan golok dan dapat mengenai sasaran dengan tepat tanpa menyentuh daun-daun itu. Kini menghadapi putaran golok Balaki, meski pun dalam pandangan mata orang lain tubuh Balaki sudah lenyap tergulung sinar golok, namun bagi mata Cin Hai, ia masih dapat melihat berkelebatnya ujung golok hingga dengan cepat ia dapat ‘memasukkan’ pedangnya di antara sinar golok.
Terdengar Balaki memekik. Pekik ini ia keluarkan bukan karena kesakitan, akan tetapi juga karena terkejut dan takjub. Ia tidak tahu bagaimana lawannya dapat menyerangnya dan tahu-tahu dia merasa lengan tangannya sakit sekali sehingga goloknya terlepas dari pegangan dan ternyata bahwa lengannya telah tertusuk ujung pedang Cin Hai.
Bukan main girangnya hati keempat Perwira Sayap Garuda melihat ini, akan tetapi Balaki segera memberi aba-aba keras dan menyerbulah semua anak buahnya, sedangkan dia sendiri cepat meloloskan diri dari keributan itu hingga Cin Hai tidak dapat mengejar dan merobohkannya. Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi kini tentara Mongol telah lemah semangat bertempurnya dan tidak lama kemudian mereka melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan yang telah tewas atau terluka sehingga tempat itu penuh orang-orang mati dan luka.
Ini merupakan kekalahan besar pertama kali yang diderita oleh Balaki semenjak dia mulai menginjakkan kakinya di pedalaman Tiongkok. Keempat orang Perwira Sayap Garuda itu merasa girang dan berterima kasih sekali kepada Cin Hai.
Melihat sikap mereka yang baik, Cin Hai menjadi heran sekali karena mereka ini berbeda sekali dengan perwira-perwira Sayap Garuda yang pernah dilihatnya ketika dia dan Kwee An mengamuk di dalam Eng-hiong-koan di kota raja dulu pada waktu ia membasmi para perwira yang menjadi musuh besar Kwee-ciangkun.
“Hohan (orang baik atau orang gagah) yang muda sudah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, sungguh membuat kami berempat menaruh hormat dan merasa kagum serta amat berterima kasih sekali!” kata salah seorang di antara empat Perwira Sayap Garuda itu. “Bolehkah kami mengetahui nama Hohan yang gagah perkasa?”
Dengan suara merendah, Cin Hai berkata terus terang untuk mencoba dan melihat sikap mereka, “Siauwte yang muda dan bodoh bernama Sie Cin Hai. Mungkin Cuwi-ciangkun akan teringat dengan nama hamba apa bila teringat akan peristiwa pembasmian keluarga Kwee-ciangkun!” sambil berkata demikian, Cin Hai memandang tajam.
Jelas sekali nampak betapa empat orang perwira itu terkejut sekali dan saling pandang. Segera mereka lalu mengangkat tangan memberi hormat, sedangkan pemimpin mereka yang tertua berkata,
“Ah, tak tahunya Sie-taihiap yang menolong kami! Pantas saja demikian lihai! Sie-taihiap, kami semua Perwira Sayap Garuda, sudah tentu saja pernah mendengar nama Taihiap yang gagah perkasa, bahkan kaisar sendiri telah lama sekali mencari-cari Taihiap!”
Cin Hai benar-benar merasa tertegun dan heran melihat sikap mereka ini.
“Apa? Apakah kaisar mencari untuk menghukum aku yang dulu telah pernah membunuh beberapa orang perwira jahat?”
“Ahh, agaknya sudah lama Sie-taihiap tidak ke kota raja hingga tidak tahu akan keadaan dan perubahan di sana,” berkata salah seorang di antara mereka dan kemudian mereka menceritakan hal yang amat menggembirakan hati Cin Hai.
Ternyata bahwa semenjak Beng Kong Hosiang yang menjadi pemimpin para perwira itu tewas di tangan Balutin, kemudian para perwira tinggi yang jahat telah tewas pula, yang menggantikan dan memegang pucuk pimpinan ialah seorang panglima baru yang masih muda dan gagah perkasa bernama Kam Hong Sin.
Panglima Kam ini selaih gagah perkasa, juga berjiwa gagah dan tidak palsu seperti Beng Kong Hosiang dan perwira lain yang dulu memegang kekuasaan. Bahkan Panglima Kam ini mengindahkan kaum kang-ouw dan memiliki pergaulan yang luas dengan orang-orang gagah sehingga dia sangat dihormati dan disegani. Panglima ini pula yang menyadarkan pikiran kaisar hingga kaisar tidak lagi mempunyai pandangan buruk terhadap orang-orang kang-ouw.
Dengan tangan besi Kam Hong Sin lalu memilih ulang perwira-perwira Sayap Garuda dan mengadakan peraturan-peraturan keras dengan ancaman hukuman berat. Kalau seorang perwira sedikit saja melanggar, dia akan dihukum dan dipecat dari kedudukannya. Oleh karena tindakan ini, maka banyak muncul perwira-perwira baru pilihan Kam-ciangkun dan bahkan tidak sedikit orang-orang kang-ouw yang masuk menjadi Perwira Sayap Garuda!
“Karena inilah, Sie-taihiap, maka selain Kam-ciangkun sendiri, juga kaisar ingin bertemu dengan Taihiap. Telah lama Kam-ciangkun mengagumi Taihiap dan lain-lain orang gagah dan mengharapkan untuk dapat bertemu serta berkenalan,” kata Perwira Sayap Garuda itu.
Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali mendengar mengenai perubahan baik ini. Tanpa diminta lagi dia lalu menyediakan tenaga untuk membantu mengusir para penyerbu dari Mongol.
Ketika ia bertanya tentang penyerbuan orang-orang Mongol ini, perwira itu menceritakan, “Sudah sebulan lebih tentara Mongol yang dipimpin oleh Yagali Khan menyerbu daerah Tiongkok dan raja muda ini mempunyai banyak sekali pembantu-pembantu yang pandai. Balaki tadi adalah seorang di antara para jagonya itu, maka kedudukannya kuat sekali. Kam-ciangkun lalu menggerakkan banyak tentara yang dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan mengadakan pengepungan terhadap barisan induk dari tentara Mongol yang berkedudukan di sebelah dalam tembok besar, di daerah Tiang-lo-sia. Pasukan kami ini merupakan bagian dari barisan yang harus mengadakan pengepungan dari selatan, akan tetapi tak terduga-duga kami bertemu dengan barisan Balaki tadi sehingga jika saja tidak mendapat bantuan dari taihiap, tentu kami mendapat bencana besar.”
Kemudian Cin Hai mendengar betapa tentara kerajaan sering kali menderita kekalahan sehingga ia pun menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk ikut ke Tiang-lo-sia membantu usaha para pasukan kerajaan mengusir musuh. Tentu saja para perwira itu merasa girang sekali oleh karena dengan adanya pembantu yang sangat lihai ini, banyak harapan usaha mereka akan berhasil dan sekarang mereka tidak usah kuatir menderita kekalahan apa bila di jalan bertemu dengan pasukan musuh.
Pada saat pasukan di mana Cin Hai berada tiba di Tiang-lo-sia, di sebelah luar daerah kekuasaan Yagali Khan, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan lain yang mengurung dari lain jurusan. Pengepungan dilakukan, dan tak lama kemudian berturut-turut pasukan-pasukan kerajaan datang dari segenap penjuru hingga daerah Tiang-lo-sia akhirnya telah dikurung.
Pimpinan serbuan ini adalah seorang perwira tinggi she Liang. Dia lalu mencari seorang untuk dijadikan utusan, oleh karena ia membawa surat dari kaisar yang ditujukan kepada Yagali Khan. Surat ini berisi bujukan halus yang juga mengandung ancaman agar supaya Yagali Khan suka untuk menarik kembali pasukannya dan jangan melanggar tapal batas negara.
Ketika mendengar bahwa komandan pasukan-pasukan kerajaan mencari seorang utusan untuk mengantar surat kaisar, Cin Hai segera mengajukan diri untuk melakukan tugas ini. Keempat perwira yang pernah ditolongnya dari serbuan Balaki lalu menceritakan kepada Liang-ciangkun akan kegagahan dan jasa Cin Hai dan betapa pemuda ini dengan mudah sudah mengalahkan Balaki. Liang-ciangkun menjadi kagum dan tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memberikan tugas membawa surat itu kepada Cin Hai.
Yagali Khan beserta para pembantunya sudah mendengar bahwa pihak tentara Han akan mengirim utusan yang membawa surat dari kaisar, dan bahwa utusan ini adalah seorang pemuda yang pernah mengalahkan Balaki. Oleh karena ini, kedatangan Cin Hai yang tak mau dikawal dan hanya datang seorang diri itu disambut oleh Panglima-panglima Mongol dan kemudian Cin Hai dibawa menghadap kepada Yagali Khan.
Cin Hai kagum sekali melihat keangkeran tempat itu, karena selain pengawal dan prajurit berbaris rapi dengan golok besar di tangan sambil berdiri tegak, juga para perwira yang menyambutnya rata-rata bertubuh tinggi besar dan kelihatan gagah sekali. Dan ketika ia tiba di ruang di mana Yagali Khan duduk di atas sebuah kursi indah, ia melihat bahwa di dekat raja muda ini duduk pula tiga orang panglima besar, seorang di antaranya bukan lain adalah Balaki sendiri!
Orang ke dua adalah seorang tua berambut putih panjang yang terurai di pundak, ada pun pakaiannya mengingatkan dia kepada Pangeran Vayami, jubah merah yang indah. Orang ke tiga pendek gemuk setengah tua, juga berpakaian merah hingga dapat diduga bahwa kedua orang ini tentulah pendeta-pendeta Sakya Buddha atau pendeta Agama Buddha Merah seperti halnya Pangeran Vayami.
Sikap ketiga orang yang duduk di dekat Yagali Khan ini nampak angker dan mereka tidak bergerak bagaikan patung. Akan tetapi dari mata mereka memancarkan sinar berapi-api yang ditujukan kepada Cin Hai yang masuk dengan tindakan kaki gagah dan tenang.
Melihat bahwa orang yang pernah mengalahkan Balaki hanyalah seorang pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun saja, Yagali Khan merasa heran bukan main. Ia menyambut kedatangan Cin Hai dengan dingin dan tidak berdiri dari tempat duduknya, hanya berkata dengan suara nyaring dan dalam bahasa Han yang cukup fasih.
“Tuankah utusan kaisar?”
“Betul, Yagali Khan, akulah yang mendapatkan kehormatan untuk menjadi utusan kaisar,” jawab Cin Hai dengan tenang dan dia sama sekali tidak mau memberikan hormat karena melihat sikap mereka demikian dingin.
Dari saku bajunya ia mengeluarkan surat kaisar yang ditujukan kepada Raja Muda Yagali Khan dan memberikannya kepada raja muda Mongol itu. Baik Yagali Khan sendiri mau pun ketiga panglima besar yang duduk di sampingnya, merasa penasaran dan heran atas sikap dingin dan keberanian Cin Hai.
“Anak muda, kau berani dan tinggi hati. Apakah ini terdorong oleh sifatmu yang sombong dan karena kau mengandalkan ilmu kepandaianmu?” bertanya pula Yagali Khan sambil menerima surat itu.
“Tidak demikian, Yagali Khan. Aku adalah seorang utusan, dan pada saat ini aku boleh dibilang sebagai wakil kaisar yang memerintahkan datang untuk memberikan surat serta untuk mengadakan perundingan dengan kau. Maka sesuai pula dengan kebesaran kaisar negaraku, aku pun tidak boleh merendahkan diri di depan seorang raja muda asing, apa lagi karena aku berada di atas tanah sendiri sedangkan kau dan barisanmu merupakan tamu-tamu belaka.”
Jawaban ini diucapkan dengan tenang dan tabah sehingga Yagali Khan merasa makin heran dan kagum.
“Anak muda, kalau aku menggerakkan seluruh perwira dan pasukanku, apa kau kira kau yang hanya seorang diri ini, betapa pun tinggi kepandaianmu, akan dapat membela diri dan pulang dengan selamat?”
“Aku tidak takut karena hal seperti itu tak mungkin terjadi,” jawab Cin Hai.
“Kenapa kau bisa berkata demikian? Dengan hanya mengangkat tangan kananku, ribuan prajurit akan menyerbu dan menghancurkan tubuhmu dengan golok dan pedang.”
“Sekali lagi aku yakin bahwa hal ini tak akan mungkin terjadi. Pertama karena aku adalah seorang utusan, dan negara mana pun di dunia ini tak akan mengganggu seorang utusan kaisar! Ke dua kalinya, kalau kau melanggar aturan ini dan mengerahkan prajurit untuk mongeroyokku, aku akan melawan mati-matian dan sebelum aku mati, tentu aku akan berhasil merobohkan ratusan orang-orangmu hingga mati pun tak akan rugi. Dan ke tiga kalinya, bila kau melakukan pelanggaran ini, nama Yagali Khan akan tenggelam ke dalam lumpur kehinaan hingga andai kata kelak kau bisa menjadi seorang raja yang bagaimana pun besarnya, namamu akan tetap dipandang rendah sebagai seorang raja yang curang dan tidak tahu akan kesopanan negara.”
Semua yang hadir di sana tertegun mendengar jawaban yang berani sekali akan tetapi tepat ini. Wajah Yagali Khan berubah merah dan kalau saja yang mengucapkan kata-kata ini bukan seorang utusan kaisar, tentu dia akan mencabut pedangnya lantas memenggal kepala orang itu dengan tangannya sendiri.
Ia hanya mengeluarkan suara, “hmm, hmm…”
Kemudian setelah menatap wajah Cin Hai yang membalas pandangannya dengan tenang dan mulut tersenyum, lalu dia membuka surat kaisar itu.
Sebagai seorang utusan, Cin Hai sudah diberi tahu oleh komandan pasukan kerajaan mengenai isi surat agar ia dapat mengetahui baik-baik akan tugasnya. Isi surat itu adalah bujukan halus yang mengandung ancaman supaya Yagali Khan suka insyaf serta tidak menanam bibit permusuhan dan mengacau daerah Tiongkok, karena hal ini hanya akan mengakibatkan kehancurannya dan kerusakan kedua belah pihak.
Setelah membaca surat itu, Yagali Khan memandang kepada Cin Hai dan berkata, “Hm, kaisarmu ini sama saja dengan kau, sombong dan mengagulkan diri! Apakah yang kalian andalkan? Kami memiliki pasukan yang jumlahnya besar dan kuat, senjata kami lengkap dan perwira-perwira kami berkepandaian tinggi! Jangan kau menjadi sombong sesudah berhasil mengalahkan salah seorang di antara perwira-perwira kami. Apakah kaisarmu itu menjadi sombong karena mengandalkan kau?”
Cin Hai tersenyum. “Yagali Khan, jangan kau memandang rendah pada negara Tiongkok! Betapa pun besar jumlah barisanmu, dibandingkan dengan barisan dan rakyat Tiongkok, belum ada seper seratusnya! Tentang senjata dan kekuatan, kami pun tidak akan kalah. Ada pun tentang orang pandai, kami tidak kekurangan. Ketahuilah, bahwa baru aku saja yang hanya menjadi utusan biasa dan bukan seorang panglima, namun aku tidak gentar untuk menghadapi perwiramu yang mana pun juga! Apa lagi panglima kami yang gagah perkasa dan ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada kepandaianku! Dan jumlah panglima yang gagah perkasa di pihak kami bukan hanya ratusan atau ribuan jumlahnya, bahkan ada laksaan! Sia-sia saja kalau kau hendak menyerbu ke negara kami. Lagi pula, apakah perlunya? Kau dan kami adalah tetangga yang harus mengadakan perhubungan baik. Apakah kau belum mendengar betapa para Lama di Tibet juga telah mengadakan hubungan baik dan damai dengan kami? Padahal mereka itu kuat sekali, lebih kuat dari pada barisanmu. Oleh karena inilah, dan demi menjaga keamanan rakyat, kaisar kami minta kepadamu untuk menggunakan kebijaksanaan dan kembali pulang dengan damai.”
Ucapan Cin Hai ini sebenarnya bukan omong kosong, oleh karena negeri mana di dunia ini yang memiliki rakyat lebih banyak dari pada Tiongkok? Ada pun tentang kepandaian, Cin Hai maklum bahwa banyak sekali orang-orang pandai di negaranya, maka meski pun agak berlebihan ketika ia mengatakan bahwa masih banyak sekali orang-orang yang jauh lebih pandai darinya, akan tetapi ada benarnya juga.
Para perwira yang mendengar ucapan ini diam-diam merasa gentar juga, bahkan Yagali Khan sendiri juga merasa ngeri. Akan tetapi dia tidak mau menyatakan ini, bahkan lalu berkata,
“Anak muda, jangan kau kira aku merasa takut mendengar ocehanmu itu! Dan mengenai kesombonganmu yang sanggup dan berani menghadapi setiap perwira kami, baiklah kau buktikan! Kami bukan hendak mencelakakan seorang utusan sebab kami bukanlah orang rendah seperti yang orang kira, akan tetapi kami mengajak kau secara terang-terangan untuk mengadu kepandaian. Apa bila kau dapat merobohkan seorang jago yang kutunjuk, biarlah kami anggap bicaramu tadi tidak bohong belaka dan kami akan menarik mundur pasukan-pasukan kami!”
Cin Hai maklum bahwa sekarang semua terletak penuh di atas kedua pundaknya untuk menentukan apakah bujukan kaisar ini berhasil atau tidak. Kalau ia bisa merobohkan jago yang ditunjuk oleh Yagali Khan, mereka tentu akan merasa jeri juga menghadapi perwira-perwira yang ia sombongkan memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi kalau dia sampai kalah, maka tidak saja jiwanya terancam, akan tetapi juga kata-katanya tadi akan dianggap bohong dan raja muda itu tentu akan melanjutkan serbuannya!
Dia menganggap bahwa perlu sekali raja muda ini diberi bukti akan kelihaiannya supaya dapat tunduk. Maka ia menjawab sambil tersenyum tenang,
”Boleh, boleh, Yagali Khan. Apakah kau akan mengajukan Balaki?”
Merah wajah Balaki mendengar ini dan dia segera memandang kepada Cin Hai dengan mata melotot. “Biarkan hamba mengadu jiwa dengan orang ini!” katanya kepada Yagali Khan.
Akan tetapi raja muda itu sambil tersenyum lalu berkata, “Bukan kau lawannya, Balaki.”
Lalu ia menyuruh pendeta Jubah Merah yang rambutnya putih itu dalam bahasa Mongol. Pendeta itu tersenyum, lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di depan junjungannya, kemudian barulah dia menghampiri Cin Hai yang sudah siap.
“Anak muda,” katanya dengan suara yang halus dan dalam bahasa Han yang amat kaku, “siapakah namamu? Aku tidak biasa menewaskan seorang tanpa mengenal namanya.”
Walau pun kata-kata ini diucapkan dengan suara halus, namun mengandung pandangan yang merendahkan sekali. Cin Hai tertawa dan menjawab,
“Agaknya kau telah yakin benar bahwa aku pasti akan tewas dalam tanganmu! Namaku adalah Sie Cin Hai atau kau boleh saja sebut aku sebagai Pendekar Bodoh karena nama inilah yang dikenal oleh orang-orang yang menjadi lawanku. Pakaianmu mengingatkan aku akan Pangeran Vayami. Agaknya kau sepaham dengan dia.”
“Jangan kau ngaco, Vayami bukanlah apa-apaku! Aku adalah pendeta tinggi dari Sakya Buddha dan disebut Thai Kek Losu. Anak muda, apakah kau betul-betul berani menerima tantangan ini? Ketahuilah, bahwa sekali Thai Kek Losu turun tangan, biasanya pasti akan ada orang melepaskan nyawanya!”
“Thai Kek Losu, seorang laki-laki kalau sudah mengeluarkan kata-kata, biar sampai mati pun tak akan menelan kembali kata-kata itu. Aku telah menerima tantangan ini dan tentu saja akan kuhadapi sampai akhir. Ada pun mengenai kematian, siapakah orangnya yang akhirnya tidak akan mati? Hanya bedanya, ada orang mati seperti harimau dan ada pula yang mati seperti babi. Dan aku memilih yang pertama itu! Kau majulah!”
Oleh karena maklum bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang ringan, maka Cin Hai lalu mencabut Liong-coan-kiam dari pinggangnya, dan melintangkan pedang itu di dadanya. Thai Kek Losu tertawa bergelak mendengar kata-kata Cin Hai itu.
“Pendekar Bodoh, tidak tahunya kau mempunyai semangat dan kegagahan juga! Bagus, bagus, kau hadapi senjataku ini yang akan membebaskan jiwamu dari pada penderitaan hidup!”
Sambil berkata demikian, pendeta rambut putih ini lalu mengeluarkan sebuah tengkorak dari dalam bajunya yang lebar. Tengkorak ini mungkin tengkorak anak-anak, karena kecil saja dan pada leher tengkorak itu dipasangi rantai warna kuning yang panjangnya kurang lebih lima kaki. Dengan memegang ujung rantai itu, maka tengkorak yang mengerikan ini menjadi senjata yang luar biasa sekali, senjata rantai yang berujung tengkorak!
Cin Hai merasa terkejut juga melihat senjata ini karena selama hidupnya belum pernah ia melihat senjata semacam ini, maka dia berlaku waspada dan tidak mau menyerang lebih dulu. Melihat keraguan Cin Hai, Thai Kek Losu lalu melangkah maju sambil mengayunkan rantainya. Tengkorak kecil itu langsung melayang dan menyambar ke arah muka Cin Hai, seakan-akan hendak menciumnya!
Ketika ia maju sedikit ia melihat banyak goa di lereng itu, besar-besar dan gelap. Hatinya berdebar amat keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim surat itu tinggal di salah sebuah di antara goa-goa ini!
Ia lalu meneliti setiap goa dan memeriksa tanah lembek di depan goa. Kalau goa itu ada orangnya, pasti ia akan melihat tapak kaki di depan goa itu, karena betapa pun tinggi ilmu ginkang seseorang, kalau menginjak tanah lembek itu pasti meninggalkan bekas. Setelah meneliti dan memeriksa beberapa buah goa, akhirnya ia berseru perlahan.
Di depan goa yang besar dan gelap, ia melihat kaki manusia! Ketika ia memeriksa lebih teliti, hatinya tergoncang karena tapak kaki itu demikian tipisnya, seakan-akan tanah itu hanya disentuh saja oleh orang yang berjalan di atasnya.
Ia kemudian mengerahkan ginkang-nya dan berjalan di dekat tapak-tapak kaki itu dengan ringan sekali. Akan tetapi ia melihat, ternyata bahwa tapak kakinya lebih dalam dari pada tapak kaki yang dilihatnya itu. Dari sini dapat dia menduga bahwa ilmu ginkang orang itu ternyata lebih tinggi dari pada ginkang-nya sendiri!
Cin Hai berlaku makin berhati-hati karena dia tahu bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya dan ia belum tahu pula apakah orang itu kawan atau lawan. Ia segera membuat api dari kayu kering, dan dengan sebatang obor menyala yang dibuatnya dari pada alang-alang yang sudah kering, ia lalu memasuki goa itu, obor di tangan kiri dan Liong-coan-kiam di tangan kanan.
Goa itu ternyata lebar dan dalam sekali. la melihat beberapa buah batu hitam licin yang halus permukaannya hingga dapat dibuat duduk orang, maka semakin keras dugaannya bahwa di situ tentu pernah tinggal seorang manusia atau pertapa. Akan tetapi, selain batu-batu itu, tidak terdapat benda lain, juga tidak nampak seorang pun di dalam goa.
la menjadi kecewa dan tiba-tiba saja kepalanya tertumbuk pada sebuah batu kecil yang ternyata tergantung di atas langit-langit goa. Ia mengangkat obornya ke atas dan betapa girangnya ketika melihat bahwa batu kecil yang tertumbuk oleh kepalanya itu ternyata adalah sepotong batu karang yang diikat dengan tali, persis seperti yang dahulu dipakai untuk membelit kaki Sin-kong-ciak!
Dia tidak ragu-ragu lagi. Di sinilah tempat orang aneh yang berahasia itu. Dia memeriksa semakin teliti dan ketika ia mengangkat obornya ke sebelah kiri, ia melihat corat-coret di atas dinding tanah batu itu. Dia segera menghampiri dan ternyata bahwa corat-coret itu merupakan lukisan orang dalam berbagai posisi yang jelas menggambarkan orang yang sedang bermain silat!
Di sana-sini terdapat tulisan-tulisan dan ketika ia membaca tulisan itu, ia menjadi tertarik sekali karena tulisan-tulisan itu merupakan ujar-ujar dari Khongcu yang diambil dari kitab Tiong-yong! Di antara sekian banyaknya ujar-ujar yang ditulis di atas dinding itu, dengan gaya tulisan yang persis sama seperti yang dituliskan di atas kertas yang terbawa oleh kaki Sin-kong-ciak, ia tertarik akan sebuah ujar-ujar yang dulu pernah dia pelajari dari Kui Sianseng, gurunya yang suka memukul kepalanya itu. Ujar-ujar ini demikian bunyinya,
Kou Kuncu Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-kho-i Ti-jin. Su Ti-jin, Put Kho-i Put Ti Thian!
Ia teringat kepada Kui Sianseng yang memecahkan arti ujar-ujar tersebut sebagai berikut,
‘seorang Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi. Untuk dapat menyempurnakan diri pribadi, tak dapat tidak harus mencinta dan berbakti kepada ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan berbakti pada ayah bunda, tak dapat tidak harus mengetahui tentang peri kemanusiaan. Dan untuk dapat mengetahui tentang peri kemanusiaan, tak dapat tiada ia harus mengetahui tentang Ketuhanan.”
Setelah membaca ujar-ujar yang dulu sering dihafalkan itu, tiba-tiba saja Cin Hai berdiri bengong karena ia teringat kepada ayah bundanya dan ingat pula bahwa ia belum juga mencari kuburan mereka! Sampai lama juga ia berdiri diam tak bergerak hingga setelah api obornya padam, barulah ia sadar dan segera keluar dari goa itu oleh karena merasa malu dan tidak enak hati untuk berdiam lebih lama dalam tempat kediaman orang lain tanpa seijin tuan rumah!
Ia terus mencari hingga sehari penuh ia keluar masuk goa untuk mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Akan tetapi jangankan orangnya, bayangannya pun tidak dilihatnya!
Cin Hai merasa kecewa, akan tetapi ia juga merasa lega karena tidak melihat bukti-bukti bahwa dua orang yang dikasihinya itu telah tewas! Karena, andai kata keduanya terjatuh dan terbanting mati di situ, tentu ia akan melihat tanda-tanda atau bekas-bekasnya.
Karena hari telah mulai gelap, maka Cin Hai lalu memasuki goa yang penuh tulisan dan lukisan itu lagi untuk bermalam. Dia anggap bahwa goa itu paling bersih dan paling baik, tidak mengandung hawa dan bau yang tidak enak seperti goa lainnya, dan lagi pula, ada kemungkinan penghuni goa itu datang sehingga dia dapat bertemu dengannya! Dia ingin sekali bertemu dengan ahli ujar-ujar Khongcu ini yang sudah mengirim berita ketika dia berada di atas dengan Lin Lin dan dia merasa yakin bahwa penulis surat itu tentu tahu akan nasib Kwee An dan Ma Hoa!
Karena merasa asing di dalam goa seorang diri, maka Cin Hai lalu menyalakan api lagi dan memeriksa lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan di dinding itu. Ternyata lukisan-lukisan itu mengandung pelajaran ilmu silat yang aneh dan tinggi. Akan tetapi sebagai seorang berjiwa gagah, Cin Hai tidak mau mencuri dan mempelajari ilmu silat orang lain, maka ia lalu mengalihkan perhatian pada tulisan-tulisan dan ujar-ujar yang selalu menarik hatinya.
Mendadak dia melihat lukisan-lukisan yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak, sebuah tubuh manusia dengan segala macam kekotorannya, dan sebuah muka yang amat jahat, sejahat-jahatnya bagaikan setan sendiri memperlihatkan muka!
Dan di bawah tiga buah lukisan aneh itu, terdapat syair yang sangat menarik hatinya. Dia lalu membaca dengan penuh perhatian,
Alangkah buruk nasibku! Aku dipaksa untuk tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam segala kerendahan jasmani! Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu!
Hanya satu hiburan bagiku. Akan tiba saatnya aku pergi meninggalkan semua keburukan ini. Dan kembali ke tempat asal, kembali ke tempat suci!
Sekali lagi Cin Hai dibikin bengong dan termenung membaca syair yang penuh arti ini. Ia maklum dan dapat merasakan bahwa syair ini merupakan rintihan jiwa atau roh manusia, bukan penulis syair itu saja akan tetapi setiap manusia, termasuk dia sendiri!
Ia lantas bergidik memandang tengkorak itu yang tiba-tiba nampak menjadi tengkoraknya sendiri, ngeri melihat tubuh dengan segala kekotoran itu, dan meremang bulu tengkuknya melihat wajah mengerikan itu, wajah yang penuh diliputi nafsu-nafsu jahat yang tiap saat menyerang batin manusia! Siapakah pelukis dan penyair ini? Makin tertarik hatinya sebab ia merasa bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.
Tiba-tiba terdengar suara, “Ah… ah... uh... uh...!” yang keras di belakangnya dan secepat kilat Cin Hai membalikkan tubuhnya.
Dia melihat seorang tua kurus tinggi tahu-tahu sudah berdiri di pintu goa tanpa terdengar olehnya. Orang itu kelihatan marah sekali dan tiba-tiba dia mengangkat tangan kanannya lalu digerakkan ke arah Cin Hai.
Bukan main terkejutnya Cin Hai sebab tiba-tiba dari tangan itu menyambar angin pukulan yang keras sekali. Cin Hai cepat mengelak ke samping, akan tetapi angin pukulan yang keras itu telah menyambar dan membikin padam api obor yang dipegangnya!
Di dalam goa menjadi gelap sekali. Jangankan untuk melihat orang lain, memandang jari tangan sendiri di depan mata pun tak kelihatan! Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi kepandaian seorang dan betapa pun tajam pandangan mata seseorang, namun, tanpa ada sinar yang menerangi sama sekali, mata tidak akan ada gunanya lagi. Maka dia lalu meraba-raba dan berdiri mepet dinding goa.
Ia mendengar angin pukulan orang itu masih menyerang secara membabi buta. Ia pun maklum bahwa meski angin pukulan itu akan dapat ditahannya dan takkan mencelakakan dirinya karena ia pun memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, namun apa bila ia membuat gerakan, akan terdengar oleh orang itu dan jika orang itu menyerang dengan nekad di dalam gelap, tentu mau tidak mau dia harus membalas dan pertempuran di dalam gelap hanya dapat diakhiri dengan maut! Dan hal ini tidak ia kehendaki, karena ia tidak punya permusuhan sesuatu dengan orang itu.
Ia pun tidak berani membuka mulut, karena ia tidak tahu akan watak orang aneh itu. Ia hanya menanti sampai orang itu membuka mulut, akan tetapi ternyata orang itu pun tidak bicara sesuatu, hanya ah-ah-uh-uh seperti suara monyet!
Semalam itu Cin Hai hanya duduk saja menyandar dinding dengan mengatur napas dan bersemedhi karena hanya dengan jalan duduk diam begini dia dapat beristirahat sambil mencurahkan perasaannya sehingga tak mudah diserang lawan secara diam-diam.
Pada esok harinya, ketika sinar matahari mulai menerangi tempat itu, Cin Hai mendapat kenyataan bahwa kakek itu tidak ada pula di tempat itu! Ia lalu berdiri dan keluar dari goa dan ternyata bahwa kakek itu telah berdiri di depan goa sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah!
“Locianpwe, mohon kau orang tua suka memberi maaf kepadaku kalau tanpa disengaja aku telah mengganggu,” kata Cin Hai sambil menjura penuh hormat.
Akan tetapi, orang tua itu dengan muka merengut, menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah-olah mengusir supaya Cin Hai lekas pergi dari situ sambil mulutnya mengeluarkan suara, “Ah-ah uh-uh!” dan terkejutlah Cin Hai karena dia mendapat kenyataan bahwa empek-empek itu ternyata adalah orang gagu!
“Locianpwe, aku datang bukan dengan maksud jahat. Apakah kau orang tua yang sudah mengirim surat yang diikatkan di kaki Sin-kong-ciak dulu itu?”
Kakek itu menggeleng-gelengkan kepala dengan keras sehingga kembali Cin Hai tertegun karena kalau bukan kakek ini, siapa lagi yang tinggal di tempat itu?
“Locianpwe, kalau begitu, tolonglah kau memberi tahukan tentang dua orang muda yang terjun di tempat ini dari atas!” kata lagi Cin Hai sambil menggerak-gerakkan kedua tangan membantu kata-katanya agar lebih jelas bagi kakek gagu itu.
Akan tetapi kembali kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bersuara “ah-ah uh-uh” tidak karuan dan tangannya semakin cepat bergerak mengusir Cin Hai karena dia beberapa kali menuding ke arah bawah bukit.
“Locianpwe, aku tidak akan turun sebelum mendapat keterangan kedua orang muda yang menjadi kawan-kawanku itu,” kata Cin Hai sambil menggelengkan kepala.
Tiba-tiba saja kakek itu menjadi marah dan sambil mengeluarkan seruan laksana seekor binatang buas, dia menerkam Cin Hai dengan ilmu pukulan yang aneh dan cepat. Cin Hai biar pun belum pernah melihat ilmu pukulan macam ini, namun pandangannya yang awas dan pengertiannya yang mendalam dalam hal gerakan pundak, tahu bahwa inilah ilmu silat seperti yang dilukiskan di dalam goa itu. Ia cepat mengelak dan tidak mau membalas karena ingin tahu sampai di mana kelihaian orang aneh ini.
Lima jurus kakek itu menyerang dan semakin lama makin heranlah kakek itu dan jelas nampak pada mukanya bahwa dia benar-benar merasa heran sekali karena serangannya itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Cin Hai. Cin Hai mendapat kenyataan bahwa biar pun ilmu pukulan kakek itu hebat dan dalam hal keganasan tidak kalah dengan ilmu silat Hek Pek Moko, namun tingkat kepandaian kakek ini masih belum sangat tinggi dan juga ginkang kakek ini masih jauh dari pada sempurna.
Maka dia segera maklum bahwa selain kakek gagu ini, tentu masih ada seorang lain yang betul-betul tinggi dan sakti kepandaiannya. Mungkin kakek ini hanyalah kawan atau murid saja dari orang pandai yang sebenarnya dan yang belum juga mau memperlihatkan diri.
Sesudah menyerang lagi lima jurus tanpa hasil, tiba-tiba kakek itu lalu berseru keras dan melarikan diri ke atas bukit. Walau pun dalam hal ilmu silat Cin Hai masih jauh lebih lihai dari padanya, namun ketika menyaksikan betapa kakek itu mendaki bukit dengan cepat sekali bagaikan orang berlari di tanah datar saja, diam-diam Cin Hai menjadi kagum sekali. Akan tetapi ia merasa menyesal dan kecewa sekali karena pertemuannya dengan kakek gagu yang aneh ini pun tidak menghasilkan sesuatu dan tentang Kwee An dan Ma Hoa masih tetap merupakan teka-teki gelap baginya.
Dia mengejar dan melompat ke atas sebuah batu besar, akan tetapi dia urungkan niatnya untuk mengejar terus. Apa gunanya? Kalau pun dia dapat menyusul kakek itu, takkan ada gunanya karena ia tak dapat mengajak kakek itu bercakap-cakap.
Ia berdiri termenung di atas tempat yang tinggi itu dan tiba-tiba ia mendengar suara riuh dari jauh. Ia segera memandang dan melihat betapa dari jurusan utara datang sepasukan tentara yang panjang dan besar jumlahnya. Debu mengepul ke atas ketika tanah yang kering terinjak oleh banyak kaki orang itu.
Tiba-tiba dari jurusan selatan, nampak pasukan lain lagi. Pasukan ini tidak begitu panjang akan tetapi pada bagian depan terdapat beberapa orang penunggang kuda yang agaknya menjadi pemimpin pasukan itu. Juga debu mengepul hebat di bawah kaki pasukan ini. Kedua pasukan itu agaknya hendak berperang, sebab masing-masing membawa bendera yang berkibar dan keduanya bergerak maju untuk saling bertemu.
Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia segera melompat turun dari batu karang, terus lari pergi dari tempat itu. Dia mempergunakan jembatan bambu yang dibuatnya kemarin dan setelah meninggalkan rawa itu, ia berlari cepat menuju ke tempat di mana kedua pasukan bertemu.
Dan setelah dia sampai di sana, terdengarlah sorak sorai yang hebat dan dibarengi suara senjata beradu dan pekik manusia berperang. Cin Hai mendekati dan ketika dia melihat bahwa yang sedang bertempur itu adalah pasukan kerajaan melawan pasukan bangsa Mongol, dia segera menyerbu dan ikut membantu pasukan kerajaan. Melihat orang-orang Mongol ini, dia teringat kepada Pangeran Vayami dan Ke Ce yang menimbulkan benci di dalam hatinya.
Sebelum Cin Hai datang, tentara kerajaan sedang terdesak oleh amukan tentara Mongol yang dikepalai seorang panglima perang bangsa Mongol yang kosen sekali. Juga jumlah mereka yang lebih besar membuat tentara kerajaan melawan dengan sia-sia dan banyak korban jatuh di pihak mereka.
Akan tetapi ketika Cin Hai menyerbu, di mana saja ia datang tentu pihak Mongol menjadi kocar-kacir, karena baik dengan kedua tangan atau pun kakinya, setiap gerakan pemuda ini membuat seorang bangsa Mongol terguling!
Melihat datangnya seorang pemuda Han yang amat lihai membantu pihak mereka, timbul kembali semangat pasukan kerajaan sehingga mereka lalu menyerbu lagi dengan nekad dan penuh semangat sehingga ketika Cin Hai membantu ke sana ke mari, pihak tentara kerajaan kini mendapat kemajuan dan musuh dapat dibikin kacau.
Akan tetapi, pada waktu Cin Hai menyerbu sampai di tengah-tengah, dia melihat seorang panglima bangsa Mongol yang amat kosen dan yang sedang dikeroyok oleh empat orang panglima kerajaan, yaitu Perwira-perwira Sayap Garuda yang bersenjata pedang. Akan tetapi, panglima Mongol yang berkulit hitam serta bertubuh tinggi besar itu mengamuk dengan hebatnya hingga empat orang Perwira Sayap Garuda itu terdesak hebat. Bahkan di atas tanah menggeletak tiga orang Perwira Sayap Garuda dalam keadaan mandi darah dan mati!
Bukan main marahnya Cin Hai karena ia maklum bahwa Panglima Mongol yang tangguh ini takkan menemukan tandingan. Melihat betapa empat orang perwira kerajaan terdesak hebat dan bahkan telah ada tiga orang yang tewas, dia lalu berseru keras dan menyerbu menghadapi perwira Mongol itu sambil berseru,
“Cuwi Ciangkun, mundurlah dan biarkan aku menghadapi raksasa Mongol ini!”
Keempat Perwira Sayap Garuda menjadi girang mendapat bantuan ini dan oleh karena mereka tadi memang sudah kewalahan menghadapi lawan tangguh itu, maka mereka lalu meloncat ke belakang membiarkan anak muda itu menggantikan mereka.
Panglima Mongol tinggi besar itu tertawa lebar pada saat melihat bahwa kini yang maju menghadapinya hanyalah seorang muda berpakaian seperti seorang pelajar.
“Ha-ha-ha! Agaknya kalian telah kehabisan panglima hingga harus mengajukan seorang kanak-kanak yang masih harus berada dalam pelukan ibunya!” ia menyindir.
Cin Hai menghadapi sindiran dan hinaan ini dengan tersenyum saja, lalu ia pun bertanya, “Panglima yang sombong, siapakah kau dan apakah kau masih mempunyai hubungan dengan Pangeran Vayami?”
Panglima tinggi besar muka hitam itu tercengang mendengar disebutnya nama ini. “Hmm, dari mana kau tahu nama pengkhianat kami itu? Vayami adalah seorang pengkhianat, jangan dihubungkan dengan aku, Balaki, seorang pahlawan sejati dari Mongol!”
Balaki ini sebenarnya adalah seorang panglima tinggi di daerah Mongol, tangan kanan Yagali Khan, raja muda yang memimpin dan memerintah Mongolia pada masa itu. Dan ilmu kepandaian Balaki amat tinggi.
Ketika mendengar tentang gagalnya expedisi Mongolia mencari Pulau Kim-san-to, maka ketika Yagali Khan mengadakan serbuan ke pedalaman Tiongkok, dia lalu menawarkan diri untuk mengepalai sendiri barisan Mongol. Tiap pasukan Han yang bertemu dengan pasukan pimpinan Balaki ini, pasti dihancurkan dan dikalahkan dengan mudah. Pasukan yang kini sedang bertempur, tentu akan hancur binasa pula kalau tidak kebetulan Cin Hai muncul sebagai bintang penolong.
“Anak muda,” kata pula Balaki, “kau siapakah dan mengapa pula kau yang berpakaian pelajar ini berani maju menyambutku?”
“Aku adalah seorang rakyat biasa yang tentu saja takkan tinggal diam melihat kau bangsa Mongol bermain gila di tanah airku!” jawab Cin Hai dengan tenang.
Balaki tertawa terbahak-bahak. “Ha, kau ingin bermain menjadi patriot? Ha-ha-ha, bagus, aku akan membuat kau tewas sebagai seorang pahlawan negara!”
Sambil berkata begitu, Balaki lalu menerjang maju dengan golok besarnya. Gerakannya antep dan cepat sehingga Cin Hai tidak berani memandang ringan, lalu cepat mencabut pedangnya dan melayaninya dengan hati-hati.
Pada saat melihat pertempuran hebat ini, para anak buah tentara kedua pihak menjadi gembira dan mereka yang berada dekat pertempuran ini segera menghentikan serbuan masing-masing dan kini menonton sambil bersorak menambah semangat jago masing-masing! Juga keempat Perwira Sayap Garuda melihat kelihaian Cin Hai, menjadi kagum dan berbesar hati oleh karena selama ini belum pernah ada yang kuat menghadapi Balaki yang terkenal kosen itu.
Seperti biasanya, Cin Hai hanya mempertahankan diri dulu untuk mengukur kepandaian lawan dan ternyata bahwa ilmu kepandaian Balaki dengan ilmu golok tunggalnya, walau pun benar-benar lihai namun masih tidak dapat mengimbangi kegesitan Cin Hai sehingga pemuda ini dengan mudah dapat mengelak atau pun menangkis semua serangan yang datang bertubi-tubi itu.
Hal ini tentu saja membuat Balaki merasa penasaran sekali oleh karena belum pernah ia melihat seorang lawan yang mampu menahan serangannya tanpa membalas sedemikian lamanya. Ia lalu berseru keras dan tiba-tiba tangan kirinya mengeluarkan sebuah benda yang bulat.
Cin Hai mengira bahwa itu tentu semacam senjata rahasia, maka ia berlaku waspada dan cepat bersiap sedia menghadapi serangan senjata gelap musuh. Akan tetapi Balaki tidak menggunakan senjata aneh itu, hanya menggenggamnya di tangan kiri, ada pun golok di tangan kanannya masih menyerang ganas.
Tiba-tiba ketika Cin Hai mengelak dari serangan golok lawannya, Balaki membuka tangan kirinya dan tahu-tahu selarik sinar keemasan yang bercahaya terang menyambar ke arah muka Cin Hai. Sinar ini demikian cepat datangnya sehingga tidak mungkin lagi dikelit oleh kegesitan seorang manusia, maka Cin Hai merasa terkejut sekali dan tak terasa pula ia berseru.
Akan tetapi, ternyata bahwa sinar atau cahaya itu tidak menyakitinya, hanya membuat matanya terasa pedas sekali karena ternyata bahwa benda di tangan kiri Balaki itu adalah sebuah cermin yang digunakannya untuk memantulkan cahaya matahari yang bersinar terang. Pantulan cahaya matahari itu dipergunakan untuk menyerang mata lawan, dan mengagetkannya sehingga tentu saja orang itu akan menjadi silau dan kaget.
Benar saja, Cin Hai yang lihai itu sama sekali tak menduga akan kelihaian lawan hingga ketika matanya bertemu dengan pantulan cahaya matahari yang disinarkan dari cermin itu, dia pun tidak kuat menahan dan terpaksa menutup kedua matanya. Saat inilah yang dimaksudkan oleh senjata cermin itu dan pada saat Cin Hai tersilau dan meramkan mata, golok di tangan Balaki menyambar cepat dan hebat ke arah leher Cin Hai.
Sudah banyak sekali lawan yang tewas dalam tangan Balaki terkena tipu ini, dan kali ini pun dia sudah merasa pasti bahwa pemuda ini tentu akan roboh dengan kepala terpisah dari tubuh. Akan tetapi, kalau ia berpendapat demikian, ia belum kenal dan belum tahu betul siapa adanya Cin Hai!
Pemuda ini selain sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan luar biasa, juga sudah menerima gemblengan hebat dari Bu Pun Su, ditambah lagi pengalaman bertempur yang banyak menghadapi lawan-lawan tangguh, hingga dalam keadaan bagaimana berbahaya pun, hatinya tetap tenang dan kewaspadaannya tidak tergoncang.
Memang, ketika matanya tersorot sinar matahari, ia merasa terkejut dan tidak tahan untuk tidak memejamkan mata. Akan tetapi hanya matanya saja yang tertutup dan untuk saat itu tidak dapat dipergunakan, akan tetapi, telinga dan perasaannya masih tajam dan tidak terpengaruh sama sekali.
Dia dapat merasa dan mendengar suara angin serangan golok yang mengarah lehernya. Maka, ketika semua orang sudah merasa ngeri, terutama keempat orang Perwira Sayap Garuda, dan menyangka bahwa pemuda itu pasti akan binasa di tangan Balaki seperti orang-orang lain yang pernah menghadapinya, tiba-tiba saja tubuh Cin Hai melompat ke belakang dengan cepat sekali sehingga mata golok itu lewat menyerempet di dekat kulit lehernya.
Tidak hanya Balaki yang amat terkejut, akan tetapi semua orang yang melihat lompatan ke belakang secara aneh itu merasa kagum sekali. Belum pernah mereka dapat melihat seorang melompat ke belakang sedemikian cepatnya dan tepat pada saat bahaya maut sedang mengancam leher.
Kini Cin Hai merasa marah juga karena hampir saja ia tadi menjadi korban senjata golok pahlawan Mongol ini. Sebaliknya, Balaki menyangka bahwa pemuda itu menjadi gentar, maka dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu dan cepat mengejar untuk mengirim serangan dengan ilmu golok yang paling ia andalkan. Goloknya terputar-putar garang bagai seekor naga mengamuk hingga tubuhnya sendiri lenyap di dalam gulungan golok.
“Rasakan pembalasanku!” kata Cin Hai dan pemuda ini mulai memainkan jurus-jurus limu Pedang Daun Bambu ciptaan sendiri.
Ketika ia mencipta ilmu pedang ini, ia menusukkan pedangnya dan menyerang batang-batang bambu yang runcing bagaikan golok dan dapat mengenai sasaran dengan tepat tanpa menyentuh daun-daun itu. Kini menghadapi putaran golok Balaki, meski pun dalam pandangan mata orang lain tubuh Balaki sudah lenyap tergulung sinar golok, namun bagi mata Cin Hai, ia masih dapat melihat berkelebatnya ujung golok hingga dengan cepat ia dapat ‘memasukkan’ pedangnya di antara sinar golok.
Terdengar Balaki memekik. Pekik ini ia keluarkan bukan karena kesakitan, akan tetapi juga karena terkejut dan takjub. Ia tidak tahu bagaimana lawannya dapat menyerangnya dan tahu-tahu dia merasa lengan tangannya sakit sekali sehingga goloknya terlepas dari pegangan dan ternyata bahwa lengannya telah tertusuk ujung pedang Cin Hai.
Bukan main girangnya hati keempat Perwira Sayap Garuda melihat ini, akan tetapi Balaki segera memberi aba-aba keras dan menyerbulah semua anak buahnya, sedangkan dia sendiri cepat meloloskan diri dari keributan itu hingga Cin Hai tidak dapat mengejar dan merobohkannya. Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi kini tentara Mongol telah lemah semangat bertempurnya dan tidak lama kemudian mereka melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan yang telah tewas atau terluka sehingga tempat itu penuh orang-orang mati dan luka.
Ini merupakan kekalahan besar pertama kali yang diderita oleh Balaki semenjak dia mulai menginjakkan kakinya di pedalaman Tiongkok. Keempat orang Perwira Sayap Garuda itu merasa girang dan berterima kasih sekali kepada Cin Hai.
Melihat sikap mereka yang baik, Cin Hai menjadi heran sekali karena mereka ini berbeda sekali dengan perwira-perwira Sayap Garuda yang pernah dilihatnya ketika dia dan Kwee An mengamuk di dalam Eng-hiong-koan di kota raja dulu pada waktu ia membasmi para perwira yang menjadi musuh besar Kwee-ciangkun.
“Hohan (orang baik atau orang gagah) yang muda sudah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, sungguh membuat kami berempat menaruh hormat dan merasa kagum serta amat berterima kasih sekali!” kata salah seorang di antara empat Perwira Sayap Garuda itu. “Bolehkah kami mengetahui nama Hohan yang gagah perkasa?”
Dengan suara merendah, Cin Hai berkata terus terang untuk mencoba dan melihat sikap mereka, “Siauwte yang muda dan bodoh bernama Sie Cin Hai. Mungkin Cuwi-ciangkun akan teringat dengan nama hamba apa bila teringat akan peristiwa pembasmian keluarga Kwee-ciangkun!” sambil berkata demikian, Cin Hai memandang tajam.
Jelas sekali nampak betapa empat orang perwira itu terkejut sekali dan saling pandang. Segera mereka lalu mengangkat tangan memberi hormat, sedangkan pemimpin mereka yang tertua berkata,
“Ah, tak tahunya Sie-taihiap yang menolong kami! Pantas saja demikian lihai! Sie-taihiap, kami semua Perwira Sayap Garuda, sudah tentu saja pernah mendengar nama Taihiap yang gagah perkasa, bahkan kaisar sendiri telah lama sekali mencari-cari Taihiap!”
Cin Hai benar-benar merasa tertegun dan heran melihat sikap mereka ini.
“Apa? Apakah kaisar mencari untuk menghukum aku yang dulu telah pernah membunuh beberapa orang perwira jahat?”
“Ahh, agaknya sudah lama Sie-taihiap tidak ke kota raja hingga tidak tahu akan keadaan dan perubahan di sana,” berkata salah seorang di antara mereka dan kemudian mereka menceritakan hal yang amat menggembirakan hati Cin Hai.
Ternyata bahwa semenjak Beng Kong Hosiang yang menjadi pemimpin para perwira itu tewas di tangan Balutin, kemudian para perwira tinggi yang jahat telah tewas pula, yang menggantikan dan memegang pucuk pimpinan ialah seorang panglima baru yang masih muda dan gagah perkasa bernama Kam Hong Sin.
Panglima Kam ini selaih gagah perkasa, juga berjiwa gagah dan tidak palsu seperti Beng Kong Hosiang dan perwira lain yang dulu memegang kekuasaan. Bahkan Panglima Kam ini mengindahkan kaum kang-ouw dan memiliki pergaulan yang luas dengan orang-orang gagah sehingga dia sangat dihormati dan disegani. Panglima ini pula yang menyadarkan pikiran kaisar hingga kaisar tidak lagi mempunyai pandangan buruk terhadap orang-orang kang-ouw.
Dengan tangan besi Kam Hong Sin lalu memilih ulang perwira-perwira Sayap Garuda dan mengadakan peraturan-peraturan keras dengan ancaman hukuman berat. Kalau seorang perwira sedikit saja melanggar, dia akan dihukum dan dipecat dari kedudukannya. Oleh karena tindakan ini, maka banyak muncul perwira-perwira baru pilihan Kam-ciangkun dan bahkan tidak sedikit orang-orang kang-ouw yang masuk menjadi Perwira Sayap Garuda!
“Karena inilah, Sie-taihiap, maka selain Kam-ciangkun sendiri, juga kaisar ingin bertemu dengan Taihiap. Telah lama Kam-ciangkun mengagumi Taihiap dan lain-lain orang gagah dan mengharapkan untuk dapat bertemu serta berkenalan,” kata Perwira Sayap Garuda itu.
Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali mendengar mengenai perubahan baik ini. Tanpa diminta lagi dia lalu menyediakan tenaga untuk membantu mengusir para penyerbu dari Mongol.
Ketika ia bertanya tentang penyerbuan orang-orang Mongol ini, perwira itu menceritakan, “Sudah sebulan lebih tentara Mongol yang dipimpin oleh Yagali Khan menyerbu daerah Tiongkok dan raja muda ini mempunyai banyak sekali pembantu-pembantu yang pandai. Balaki tadi adalah seorang di antara para jagonya itu, maka kedudukannya kuat sekali. Kam-ciangkun lalu menggerakkan banyak tentara yang dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan mengadakan pengepungan terhadap barisan induk dari tentara Mongol yang berkedudukan di sebelah dalam tembok besar, di daerah Tiang-lo-sia. Pasukan kami ini merupakan bagian dari barisan yang harus mengadakan pengepungan dari selatan, akan tetapi tak terduga-duga kami bertemu dengan barisan Balaki tadi sehingga jika saja tidak mendapat bantuan dari taihiap, tentu kami mendapat bencana besar.”
Kemudian Cin Hai mendengar betapa tentara kerajaan sering kali menderita kekalahan sehingga ia pun menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk ikut ke Tiang-lo-sia membantu usaha para pasukan kerajaan mengusir musuh. Tentu saja para perwira itu merasa girang sekali oleh karena dengan adanya pembantu yang sangat lihai ini, banyak harapan usaha mereka akan berhasil dan sekarang mereka tidak usah kuatir menderita kekalahan apa bila di jalan bertemu dengan pasukan musuh.
Pada saat pasukan di mana Cin Hai berada tiba di Tiang-lo-sia, di sebelah luar daerah kekuasaan Yagali Khan, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan lain yang mengurung dari lain jurusan. Pengepungan dilakukan, dan tak lama kemudian berturut-turut pasukan-pasukan kerajaan datang dari segenap penjuru hingga daerah Tiang-lo-sia akhirnya telah dikurung.
Pimpinan serbuan ini adalah seorang perwira tinggi she Liang. Dia lalu mencari seorang untuk dijadikan utusan, oleh karena ia membawa surat dari kaisar yang ditujukan kepada Yagali Khan. Surat ini berisi bujukan halus yang juga mengandung ancaman agar supaya Yagali Khan suka untuk menarik kembali pasukannya dan jangan melanggar tapal batas negara.
Ketika mendengar bahwa komandan pasukan-pasukan kerajaan mencari seorang utusan untuk mengantar surat kaisar, Cin Hai segera mengajukan diri untuk melakukan tugas ini. Keempat perwira yang pernah ditolongnya dari serbuan Balaki lalu menceritakan kepada Liang-ciangkun akan kegagahan dan jasa Cin Hai dan betapa pemuda ini dengan mudah sudah mengalahkan Balaki. Liang-ciangkun menjadi kagum dan tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memberikan tugas membawa surat itu kepada Cin Hai.
Yagali Khan beserta para pembantunya sudah mendengar bahwa pihak tentara Han akan mengirim utusan yang membawa surat dari kaisar, dan bahwa utusan ini adalah seorang pemuda yang pernah mengalahkan Balaki. Oleh karena ini, kedatangan Cin Hai yang tak mau dikawal dan hanya datang seorang diri itu disambut oleh Panglima-panglima Mongol dan kemudian Cin Hai dibawa menghadap kepada Yagali Khan.
Cin Hai kagum sekali melihat keangkeran tempat itu, karena selain pengawal dan prajurit berbaris rapi dengan golok besar di tangan sambil berdiri tegak, juga para perwira yang menyambutnya rata-rata bertubuh tinggi besar dan kelihatan gagah sekali. Dan ketika ia tiba di ruang di mana Yagali Khan duduk di atas sebuah kursi indah, ia melihat bahwa di dekat raja muda ini duduk pula tiga orang panglima besar, seorang di antaranya bukan lain adalah Balaki sendiri!
Orang ke dua adalah seorang tua berambut putih panjang yang terurai di pundak, ada pun pakaiannya mengingatkan dia kepada Pangeran Vayami, jubah merah yang indah. Orang ke tiga pendek gemuk setengah tua, juga berpakaian merah hingga dapat diduga bahwa kedua orang ini tentulah pendeta-pendeta Sakya Buddha atau pendeta Agama Buddha Merah seperti halnya Pangeran Vayami.
Sikap ketiga orang yang duduk di dekat Yagali Khan ini nampak angker dan mereka tidak bergerak bagaikan patung. Akan tetapi dari mata mereka memancarkan sinar berapi-api yang ditujukan kepada Cin Hai yang masuk dengan tindakan kaki gagah dan tenang.
Melihat bahwa orang yang pernah mengalahkan Balaki hanyalah seorang pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun saja, Yagali Khan merasa heran bukan main. Ia menyambut kedatangan Cin Hai dengan dingin dan tidak berdiri dari tempat duduknya, hanya berkata dengan suara nyaring dan dalam bahasa Han yang cukup fasih.
“Tuankah utusan kaisar?”
“Betul, Yagali Khan, akulah yang mendapatkan kehormatan untuk menjadi utusan kaisar,” jawab Cin Hai dengan tenang dan dia sama sekali tidak mau memberikan hormat karena melihat sikap mereka demikian dingin.
Dari saku bajunya ia mengeluarkan surat kaisar yang ditujukan kepada Raja Muda Yagali Khan dan memberikannya kepada raja muda Mongol itu. Baik Yagali Khan sendiri mau pun ketiga panglima besar yang duduk di sampingnya, merasa penasaran dan heran atas sikap dingin dan keberanian Cin Hai.
“Anak muda, kau berani dan tinggi hati. Apakah ini terdorong oleh sifatmu yang sombong dan karena kau mengandalkan ilmu kepandaianmu?” bertanya pula Yagali Khan sambil menerima surat itu.
“Tidak demikian, Yagali Khan. Aku adalah seorang utusan, dan pada saat ini aku boleh dibilang sebagai wakil kaisar yang memerintahkan datang untuk memberikan surat serta untuk mengadakan perundingan dengan kau. Maka sesuai pula dengan kebesaran kaisar negaraku, aku pun tidak boleh merendahkan diri di depan seorang raja muda asing, apa lagi karena aku berada di atas tanah sendiri sedangkan kau dan barisanmu merupakan tamu-tamu belaka.”
Jawaban ini diucapkan dengan tenang dan tabah sehingga Yagali Khan merasa makin heran dan kagum.
“Anak muda, kalau aku menggerakkan seluruh perwira dan pasukanku, apa kau kira kau yang hanya seorang diri ini, betapa pun tinggi kepandaianmu, akan dapat membela diri dan pulang dengan selamat?”
“Aku tidak takut karena hal seperti itu tak mungkin terjadi,” jawab Cin Hai.
“Kenapa kau bisa berkata demikian? Dengan hanya mengangkat tangan kananku, ribuan prajurit akan menyerbu dan menghancurkan tubuhmu dengan golok dan pedang.”
“Sekali lagi aku yakin bahwa hal ini tak akan mungkin terjadi. Pertama karena aku adalah seorang utusan, dan negara mana pun di dunia ini tak akan mengganggu seorang utusan kaisar! Ke dua kalinya, kalau kau melanggar aturan ini dan mengerahkan prajurit untuk mongeroyokku, aku akan melawan mati-matian dan sebelum aku mati, tentu aku akan berhasil merobohkan ratusan orang-orangmu hingga mati pun tak akan rugi. Dan ke tiga kalinya, bila kau melakukan pelanggaran ini, nama Yagali Khan akan tenggelam ke dalam lumpur kehinaan hingga andai kata kelak kau bisa menjadi seorang raja yang bagaimana pun besarnya, namamu akan tetap dipandang rendah sebagai seorang raja yang curang dan tidak tahu akan kesopanan negara.”
Semua yang hadir di sana tertegun mendengar jawaban yang berani sekali akan tetapi tepat ini. Wajah Yagali Khan berubah merah dan kalau saja yang mengucapkan kata-kata ini bukan seorang utusan kaisar, tentu dia akan mencabut pedangnya lantas memenggal kepala orang itu dengan tangannya sendiri.
Ia hanya mengeluarkan suara, “hmm, hmm…”
Kemudian setelah menatap wajah Cin Hai yang membalas pandangannya dengan tenang dan mulut tersenyum, lalu dia membuka surat kaisar itu.
Sebagai seorang utusan, Cin Hai sudah diberi tahu oleh komandan pasukan kerajaan mengenai isi surat agar ia dapat mengetahui baik-baik akan tugasnya. Isi surat itu adalah bujukan halus yang mengandung ancaman supaya Yagali Khan suka insyaf serta tidak menanam bibit permusuhan dan mengacau daerah Tiongkok, karena hal ini hanya akan mengakibatkan kehancurannya dan kerusakan kedua belah pihak.
Setelah membaca surat itu, Yagali Khan memandang kepada Cin Hai dan berkata, “Hm, kaisarmu ini sama saja dengan kau, sombong dan mengagulkan diri! Apakah yang kalian andalkan? Kami memiliki pasukan yang jumlahnya besar dan kuat, senjata kami lengkap dan perwira-perwira kami berkepandaian tinggi! Jangan kau menjadi sombong sesudah berhasil mengalahkan salah seorang di antara perwira-perwira kami. Apakah kaisarmu itu menjadi sombong karena mengandalkan kau?”
Cin Hai tersenyum. “Yagali Khan, jangan kau memandang rendah pada negara Tiongkok! Betapa pun besar jumlah barisanmu, dibandingkan dengan barisan dan rakyat Tiongkok, belum ada seper seratusnya! Tentang senjata dan kekuatan, kami pun tidak akan kalah. Ada pun tentang orang pandai, kami tidak kekurangan. Ketahuilah, bahwa baru aku saja yang hanya menjadi utusan biasa dan bukan seorang panglima, namun aku tidak gentar untuk menghadapi perwiramu yang mana pun juga! Apa lagi panglima kami yang gagah perkasa dan ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada kepandaianku! Dan jumlah panglima yang gagah perkasa di pihak kami bukan hanya ratusan atau ribuan jumlahnya, bahkan ada laksaan! Sia-sia saja kalau kau hendak menyerbu ke negara kami. Lagi pula, apakah perlunya? Kau dan kami adalah tetangga yang harus mengadakan perhubungan baik. Apakah kau belum mendengar betapa para Lama di Tibet juga telah mengadakan hubungan baik dan damai dengan kami? Padahal mereka itu kuat sekali, lebih kuat dari pada barisanmu. Oleh karena inilah, dan demi menjaga keamanan rakyat, kaisar kami minta kepadamu untuk menggunakan kebijaksanaan dan kembali pulang dengan damai.”
Ucapan Cin Hai ini sebenarnya bukan omong kosong, oleh karena negeri mana di dunia ini yang memiliki rakyat lebih banyak dari pada Tiongkok? Ada pun tentang kepandaian, Cin Hai maklum bahwa banyak sekali orang-orang pandai di negaranya, maka meski pun agak berlebihan ketika ia mengatakan bahwa masih banyak sekali orang-orang yang jauh lebih pandai darinya, akan tetapi ada benarnya juga.
Para perwira yang mendengar ucapan ini diam-diam merasa gentar juga, bahkan Yagali Khan sendiri juga merasa ngeri. Akan tetapi dia tidak mau menyatakan ini, bahkan lalu berkata,
“Anak muda, jangan kau kira aku merasa takut mendengar ocehanmu itu! Dan mengenai kesombonganmu yang sanggup dan berani menghadapi setiap perwira kami, baiklah kau buktikan! Kami bukan hendak mencelakakan seorang utusan sebab kami bukanlah orang rendah seperti yang orang kira, akan tetapi kami mengajak kau secara terang-terangan untuk mengadu kepandaian. Apa bila kau dapat merobohkan seorang jago yang kutunjuk, biarlah kami anggap bicaramu tadi tidak bohong belaka dan kami akan menarik mundur pasukan-pasukan kami!”
Cin Hai maklum bahwa sekarang semua terletak penuh di atas kedua pundaknya untuk menentukan apakah bujukan kaisar ini berhasil atau tidak. Kalau ia bisa merobohkan jago yang ditunjuk oleh Yagali Khan, mereka tentu akan merasa jeri juga menghadapi perwira-perwira yang ia sombongkan memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi kalau dia sampai kalah, maka tidak saja jiwanya terancam, akan tetapi juga kata-katanya tadi akan dianggap bohong dan raja muda itu tentu akan melanjutkan serbuannya!
Dia menganggap bahwa perlu sekali raja muda ini diberi bukti akan kelihaiannya supaya dapat tunduk. Maka ia menjawab sambil tersenyum tenang,
”Boleh, boleh, Yagali Khan. Apakah kau akan mengajukan Balaki?”
Merah wajah Balaki mendengar ini dan dia segera memandang kepada Cin Hai dengan mata melotot. “Biarkan hamba mengadu jiwa dengan orang ini!” katanya kepada Yagali Khan.
Akan tetapi raja muda itu sambil tersenyum lalu berkata, “Bukan kau lawannya, Balaki.”
Lalu ia menyuruh pendeta Jubah Merah yang rambutnya putih itu dalam bahasa Mongol. Pendeta itu tersenyum, lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di depan junjungannya, kemudian barulah dia menghampiri Cin Hai yang sudah siap.
“Anak muda,” katanya dengan suara yang halus dan dalam bahasa Han yang amat kaku, “siapakah namamu? Aku tidak biasa menewaskan seorang tanpa mengenal namanya.”
Walau pun kata-kata ini diucapkan dengan suara halus, namun mengandung pandangan yang merendahkan sekali. Cin Hai tertawa dan menjawab,
“Agaknya kau telah yakin benar bahwa aku pasti akan tewas dalam tanganmu! Namaku adalah Sie Cin Hai atau kau boleh saja sebut aku sebagai Pendekar Bodoh karena nama inilah yang dikenal oleh orang-orang yang menjadi lawanku. Pakaianmu mengingatkan aku akan Pangeran Vayami. Agaknya kau sepaham dengan dia.”
“Jangan kau ngaco, Vayami bukanlah apa-apaku! Aku adalah pendeta tinggi dari Sakya Buddha dan disebut Thai Kek Losu. Anak muda, apakah kau betul-betul berani menerima tantangan ini? Ketahuilah, bahwa sekali Thai Kek Losu turun tangan, biasanya pasti akan ada orang melepaskan nyawanya!”
“Thai Kek Losu, seorang laki-laki kalau sudah mengeluarkan kata-kata, biar sampai mati pun tak akan menelan kembali kata-kata itu. Aku telah menerima tantangan ini dan tentu saja akan kuhadapi sampai akhir. Ada pun mengenai kematian, siapakah orangnya yang akhirnya tidak akan mati? Hanya bedanya, ada orang mati seperti harimau dan ada pula yang mati seperti babi. Dan aku memilih yang pertama itu! Kau majulah!”
Oleh karena maklum bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang ringan, maka Cin Hai lalu mencabut Liong-coan-kiam dari pinggangnya, dan melintangkan pedang itu di dadanya. Thai Kek Losu tertawa bergelak mendengar kata-kata Cin Hai itu.
“Pendekar Bodoh, tidak tahunya kau mempunyai semangat dan kegagahan juga! Bagus, bagus, kau hadapi senjataku ini yang akan membebaskan jiwamu dari pada penderitaan hidup!”
Sambil berkata demikian, pendeta rambut putih ini lalu mengeluarkan sebuah tengkorak dari dalam bajunya yang lebar. Tengkorak ini mungkin tengkorak anak-anak, karena kecil saja dan pada leher tengkorak itu dipasangi rantai warna kuning yang panjangnya kurang lebih lima kaki. Dengan memegang ujung rantai itu, maka tengkorak yang mengerikan ini menjadi senjata yang luar biasa sekali, senjata rantai yang berujung tengkorak!
Cin Hai merasa terkejut juga melihat senjata ini karena selama hidupnya belum pernah ia melihat senjata semacam ini, maka dia berlaku waspada dan tidak mau menyerang lebih dulu. Melihat keraguan Cin Hai, Thai Kek Losu lalu melangkah maju sambil mengayunkan rantainya. Tengkorak kecil itu langsung melayang dan menyambar ke arah muka Cin Hai, seakan-akan hendak menciumnya!