Pendekar Bodoh Jilid 27

Pendekar Bodoh Jilid 27
Sonny Ogawa

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 27

Cin Hai berseru keras kemudian menangkis dengan sulingnya. Tangkisannya itu berhasil membuat seekor ular terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus menyerangnya dengan mulut terbuka lebar-lebar!

Terpaksa Cin Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata bahwa ular itu pun mengejar dengan cepatnya! Cin Hai lalu melompat berdiri dan dia mulai menjadi marah. Dia melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini sudah merayap maju dengan kepala berdiri dan agaknya marah sekali kepadanya.

Ia tidak usah takut menghadapi dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya. Akan tetapi Cin Hai sudah marah karena tadi benar-benar dia dikejutkan oleh kedua binatang itu.

Dia tidak mau mengotorkan sulingnya, maka dia lalu menyimpan suling itu dan mencabut sebatang rumput alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ. Ketika ular yang pertama telah datang dekat dan menyambar kakinya, Cin Hai memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya.

Akan tetapi ular itu betul-betul gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat mengelak dari sabetan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira menghadapi dua ekor binatang yang gesit ini!

Pada waktu ia hendak menyabet kembali tiba-tiba terdengar seruan orang, “Jangan bunuh mereka!”

Cin Hai cepat melompat ke belakang dan ketika dia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam dan berambut putih karena sudah tua berlarian mendatangi dengan cepat. Melihat gerakannya yang gesit serta larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan juga.

“Menawan ular seharusnya bukan dipukul dengan senjata,” katanya pula.

Ia kemudian menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki tangannya! Ular-ular itu memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan menyambar ke arah lehernya untuk digigit!

Kakek Turki itu lalu mengangkat tangannya dengan gerakan tangan laksana seekor ular juga, dan ketika kepala ular itu sudah datang dekat, mendadak jari-jari tangan kanannya dibuka seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit lengannya sambil meronta-ronta, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap tubuh ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.

Aneh sekali, setelah tubuhnya diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas tanah tanpa berdaya lagi. Ular betina menjadi marah sekali melihat kawannya dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat.

Akan tetapi, kakek Turki yang gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dalam keadaan lumpuh. Setelah itu barulah kakek Turki itu berpaling pada Cin Hai sambil tersenyum.

“Sepasang ular sendok jantan dan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah dijumpai. Hal ini menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda yang masih berada di dalam perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu dengan kau dan dua ekor ular ini. Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi.”

Cin Hai memandang kagum. “Kau hebat sekali, Lopek,” katanya karena selain dia merasa kagum akan kelihaian kakek ini, juga dia merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali berbicara dalam bahasa Han, bahkan tak kalah fasihnya dari pada Yousuf sendiri. “Kau tentu seorang ahli penangkap ular.”

Kakek Turki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi aku hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula.”

“Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali!”

“Tidak ada sepersepuluh bagian dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau balau dan banyak kejahatan merajalela di mana-mana, apa bila kita tidak memiliki sedikit tenaga, pasti sukar untuk hidup terus.”

Cin Hai terkejut. Orang ini tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Dia teringat akan cerita kedua pendeta yang membantu kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang penting dalam rombongan orang Turki yang hendak menyerang Tiongkok? Dia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba kakek itu berkata,

“Anak muda, harap kau jangan menyangka yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar Bodoh, bukan? Aku bukan anggota orang-orang Turki yang akan menyerang negerimu!” Hampir saja Cin Hai melompat tinggi karena kaget dan herannya.

“Ehhh, Lopek, kau... bagaimana kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau dapat membaca apa yang sedang kupikirkan?”

Kakek itu tersenyum, lalu membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu seperti orang menggulung sehelai tambang. Lalu ia mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular itu dengan eratnya.

Ular ke dua pun diperlakukan demikian sehingga tak lama kemudian kedua ular itu telah merupakan dua buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih sering kali menjulur-julur keluar. Kemudian dia duduk di atas rumput yang tebal dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di sampingnya. Dengan penuh keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.

“Taihiap, aku bisa menduga bahwa kau tentu Sie Cin Hai taihiap, oleh karena di samping gerakanmu yang lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai bermain suling seperti kau itu? Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?”

Cin Hai mengangguk cepat. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?” tanyanya.

“Dia sudah diselamatkan dan sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu, karena ia telah menceritakan segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain sahabat baiknya. Berhari-hari dia mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin Lin, bagaimanakah keadaan anak itu?”

Cin Hai merasa girang dapat bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf. “Lin Lin sudah tertolong dan kini sedang bersama suhu-nya memperdalam ilmu silatnya,” katanya dan kemudian segera disambungnya, “Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada hubungan apakah dengan Yo-pekhu?”

“Yousuf adalah muridku, dan namaku Ibrahim.”

Cin Hai terkejut sekali mendengar bahwa kakek ini adalah guru Yousuf, maka dia cepat berdiri dan menjura dengan hormat sekali. “Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan kelancanganku, Locianpwe.”

Ibrahim melambai-lambaikan tangannya. “Jangan terlalu banyak sungkan, anak muda. Aku lebih menyukai kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena tertutup oleh kepalsuan segala peradatan dan kesopanan pura-pura!”

Mendengar ucapan ini, Cin Hai lantas teringat akan suhu-nya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai banyak persamaan dengan kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan dan kesopanan, serta hidup dengan sederhana sekali. Maka dia makin menaruh hormat kepada kakek ini yang dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat.

“Locianpwe, aku mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita yang kudengar itu?”

Kakek rambut putih itu menarik napas panjang. “Memang betul, dan inilah yang membuat hatiku gelisah. Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki telah terjadi perpecahan, yaitu di antara para pengikut pangeran muda yang memiliki kehendak untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut pangeran tua yang tidak menyetujui kehendak ini. Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut pangeran tua, maka kami dimusuhi oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang terdiri dari banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka sudah berhasil membeli tenaga orang-orang kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri, aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku tidak mau ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah terpaksa aku harus turun tangan!”

Kemudian Ibrahim menuturkan betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan sekarang berada dalam perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu kota Kansu. Ketika Cin Hai bertanya mengenai pergerakan orang-orang Mongol, kakek itu lalu berkata,

“Memang semenjak dulu, orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa lain. Mereka agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka dilanggar oleh barisan Turki pada waktu orang-orang Turki mengadakan ekpedisi ke Kim-san-to untuk mencari emas, sehingga kini jago-jago mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena mereka tahu bahwa di daerah ini banyak terdapat orang-orang Turki. Ahh, memang di dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin menang dan kesombongan kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di kota Lan-couw, harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan Yousuf. Kami tinggal di luar kota sebelah barat dan apa bila kau keluar dari tembok kota dan bertanya kepada orang-orang di situ, kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku.”

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura kepada Cin Hai dan sekali melompat dia sudah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari sepuluh kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi Sungai Huangho!

Cin Hai diam-diam merasa kagum sekali. Pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan hatinya, oleh karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat, juga ia kini semakin terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu di daerah Kansu.

Diam-diam hatinya berdebar tegang apa bila mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kansu terdapat empat rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan bertemu dan menimbulkan permusuhan hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke dua adalah golongan orang-orang Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut pangeran tua dan pangeran muda dari Turki!

Cin Hai duduk lagi di atas rumput sambil melihat air sungai Huangho mengalir. Ia melihat perahu-perahu nelayan pulang bersama perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala perahu sambil bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang sederhana akan tetapi karena enam buah perahu itu semua ditumpangi oleh orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali dan suara nyanyian itu terdengar merdu!

Bunyi riak air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut berdendang sehingga hati pemuda itu menjadi gembira sekali. Ia mencabut sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan oleh para nelayan itu!

Mendengar bunyi suling yang merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara nyanyian mereka terdengar makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan ketika perahu mereka lewat di depan Cin Hai. Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian mereka telah terdengar sayup sampai, tiba-tiba saja Cin Hai yang masih meniup sulingnya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang ditiup!

Ketika ia memandang, ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik semacam alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya!

Laki-laki itu ternyata hanya duduk sendirian di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang perahu. Agaknya dia adalah seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan pemandangan di situ. Sesudah lagu yang dimainkan habis, orang itu lantas tertawa dan melambai kepada Cin Hai sambil berkata,

“Anak muda, suara tiupan sulingmu bagus sekali!”

“Masih lebih bagus suara rebabmu itu!” Cin Hai berkata sambil tertawa juga. Wajah orang yang tampan itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. “Saudara yang baik, kalau kau sudi, naiklah ke sini dan mari kita main bersama,” kata Cin Hai lagi.

“Anak muda, aku hanya menyukai suara sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap melihatnya!” jawab orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan. Mengapa orang ini mendadak menyatakan tidak suka kepadanya? Dia menjadi penasaran sekali karena jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.

“Ahh, sayang, adatmu tidak sebaik suara rebabmu!” jawabnya.

Tiba-tiba orang itu pun berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat dari perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang masih berdiri di tepi sungai! Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya gerakan ini, maka ia segera mengangkat sulingnya menangkis. Tangkisan ini membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil berseru keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!

Cin Hai menghela napas. Banyak sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah ini. Ia melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan logat bicaranya, menunjukkan bahwa orang itu datang dari Tiongkok Selatan.

Yang sangat mengherankan hatinya adalah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan hatinya itu ternyata mempunyai adat yang buruk serta hati yang kejam. Kalau saja bukan dia yang diserang secara demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk kepalanya!

Dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu dia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie Ban Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang tuanya! Dan dia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti Ang I Niocu yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia.

Melihat betapa Ang I Niocu bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie Ban Leng lalu melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jeri dengan tangkisan hebat itu!

Cin Hai lalu kembali ke rumah penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I Niocu yang telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!

Ang I Niocu sendiri tidak tahu bahwa semenjak dia berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng, dia diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah ini melanjutkan perjalanan dan ketika tiba di kota Ling-sia, dia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan segera melanjutkan perjalanannya menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf, serta bila mungkin, mencari Cin Hai juga.

Dia telah mengambil jalan sebelah selatan sehingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai. Sedangkan Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara, ada pun Cin Hai yang mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tidak dapat bertemu pula dengan rombongan ini.

Jalan yang ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi mereka mendiami dua buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada dalam kamarnya!

Hanya seorang yang memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu, malah orang ini segera mengikuti dengan diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu dan mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya.

Ang I Niocu yang melakukan perjalanan dengan amat cepat, sama sekali tak tahu bahwa secara diam-diam ada orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di kanan-kirinya tampak tanah yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput yang luas, hari telah menjadi senja. Para penggembala tengah menghalau ternak mereka untuk pulang ke kandang, sehingga di tempat itu ramai suara lembu menguak dan domba mengembik.

Tiba-tiba, dari jalan simpang sebelah kiri, muncul dua orang pendeta yang ketika dekat segera menghadang di tengah jalan sambil memandang pada Ang I Niocu dengan tajam. Pendeta-pendeta itu bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor dua dari Mongol!

Ang I Niocu mengenal Sian Kek Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur melawan orang sombong di dalam hutan itu, maka diam-diam dia menjadi terkejut. Dia tidak peduli terhadap mereka dan hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu segera berkata kepada suheng-nya,

“Inilah seorang di antara mereka.” kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja menghadang jalan gadis itu, dia pun membentak,

“Mata-mata kerajaan, kau mau lari ke mana?” Sambil berkata demikian, pendeta pendek ini lalu mengeluarkan gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I Niocu di bagian leher, dada dan lambung!

Ang I Niocu telah menyaksikan kelihaian anak panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat dia lalu mengenjot tubuhnya ke atas sehingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya dengan cepat sekali! Sebatang di antara tiga buah anak panah itu terus meluncur cepat dan tepat sekali menancap di punggung seekor lembu hingga binatang itu menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini, mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang segera berlari cerai berai!

Para penggembala menjadi kaget sekali. Mereka segera mengayun cambuk mereka yang panjang hingga terdengar suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha menenangkan ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang yang kini berlari-larian itu!

Ang I Niocu menjadi marah sekali. “Pendeta pengecut! Kau kira aku takut kepadamu? Rasakan pembalasan Ang I Niocu!”

Secepat kilat Ang I Niocu lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian tunangannya dan maju menerjang pendeta pendek itu! Sian Kek Losu cepat mengangkat gendewanya dan mereka segera bertempur dengan seru!

Sebagai jago nomor dua dari Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang sudah berada pada tingkat yang tinggi sehingga Ang I Niocu harus mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ia lalu mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, dibarengi dengan gerakan-gerakan Sianli Utauw yang lihai dan indah.

“Bagus, bagus sekali!' Thai Kek Losu memuji oleh karena pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu pedang yang amat indah gerakannya itu.

Ia maklum bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang tangguh, apa lagi setelah ia mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor namanya sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Maka sambil berseru keras dia segera maju menerjang dan membantu sute-nya.

Hati Ang I Niocu terkejut melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam dia mengeluh oleh karena untuk menjatuhkan Sian Kek Losu saja dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apa lagi sekarang ada seorang pendeta tua yang luar biasa dan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada pendeta pendek itu. Dia menggigit bibirnya dan mainkan ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga.

Pedang Cian-hong-kiam berkelebat cepat merupakan segulung cahaya berkilauan hingga seluruh tubuhnya terkurung rapat. Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat sekali menekannya hingga beberapa kali pedangnya kena disampok sampai lengannya terasa kesemutan.

Pada saat itu terdengar bentakan orang, “Pendeta-pendeta jahat, jangan kalian berani mengganggu kawan baikku!”

Dan ketika seorang laki-laki melompat dan menggunakan senjatanya yang berupa rebab, tahulah Ang I Niocu bahwa orang ini bukan lain adalah Sie Ban Leng yang berjuluk Si Tubuh Baja itu. Betapa pun tidak sukanya melihat kesombongan orang ini, akan tetapi bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu merasa berterima kasih dan bernapas lega.

Dia lalu memutar pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu yang lihai. Sedangkan Sie Bang Leng lalu menyerang Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan seru.

Para penggembala yang melihat pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi sunyi karena semua ternak telah dihalau dengar buru-buru oleh para penggembala sehingga kini yang terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan gendewa Sian Kek Losu. Memang dua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang ramai.

Sementara itu, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang luar biasa, dan tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat oleh rantai.

Begitu senjata itu menyambar, Ang I Niocu sudah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang membuatnya menjadi muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang meringis dan seakan-akan muka anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya lemah dan ngeri.

Sebentar saja permainan pedangnya menjadi kalut, dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan hebat. Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal ini pun mempengaruhi Sie Ban Leng karena ketika dia melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang digerakkan secara luar biasa.

Seperti halnya Cin Hai ketika mengadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anak-anak sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani menggunakan pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu, karena hal ini seakan-akan seperti dia membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena selama hidupnya belum pernah dia menghadapi sebuah senjata sehebat ini.

Orang yang sedang mainkan senjata, apa lagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan tangguh, yang terutama harus berhati tabah, tenang dan seluruh perhatian harus dicurahkan terhadap pertempuran itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat berkelahi dengan baik dan sempurna.

Oleh sebab itu, setelah sebagian besar perhatiannya dikacaukan oleh senjata lawan yang mengerikan itu, maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan dia pun banyak membuat kesalahan-kesalahan. Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu semakin hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang sudah diperoleh dari banyak pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih dapat bertahan selama itu!

Pada saat keadaan Ang I Niocu sangat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut terancam pula, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu tanpa banyak cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan Sie Ban Leng!

Sesudah melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya mewek mau menangis bersama seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan main herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru, “Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? Dari mana Jiwi tiba-tiba datang?” Akan tetapi sambil berseru demikian Ang I Niocu tetap menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.

“Ha-ha-ha, Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat bertemu kembali di sini!” Ceng Tek Hosiang menjawab. “Tentu saja pinceng datang dari alam kosong!”

Setelah menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lantas membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian Kek Losu, ada pun Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu!

Biar pun dia dapat mendesak Ang I Niocu, akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa dia tak dapat cepat-cepat menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu hanya bisa melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja. Maka kini melihat datangnya seorang hwesio dan seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga, diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar.

Sambil tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang berkata “Ehhh, dua orang pendeta merah, bukalah matamu lebar-lebar! Kalian ini anak-anak kemarin sore tapi berani mengganggu kawan-kawan pinceng? Apakah kalian belum kenal akan kesaktianku? Lihat ini!” Sambil berkata demikian, hwesio gendut yang selalu tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya yang mengkilap.

Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu bersiap sedia melihat hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena mereka menyangka bahwa pisau itu tentunya akan dilontarkan ke arah mereka dan menduga bahwa hwesio itu tentu seorang ahli hui-to (golok terbang). Akan tetapi betapa heran mereka ketika melihat betapa pisau itu diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi segera keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa setelah pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun tidak terluka!

Berkali-kali Ceng Tek Hosiang menancapkan ‘pisau wasiatnya’ ke dalam perut sehingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri yang dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!

“Cobalah kau tiru perbuatanku tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!” kata Ceng Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu.

Dengan mudah Thai Kek Losu menjepit pisau itu dengan dua jarinya. Karena ia merasa penasaran, ia lalu memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu dengan hwesio ini. Ketika dia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen dan tidak palsu, maka buru-buru dia menjura sambil berkata,

“Kami yang bodoh telah bertemu dengan seorang sakti. Maafkan kami!”

Maka ia lalu melempar pisau itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut gagang pisau itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar. Akan tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu yang merasa gentar menghadapi hwesio gendut yang mukanya bulat bagai Jai-lai-hud dan yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan cepat sekali!

Ang I Niocu sendiri hanya berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini, akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa bergelak saja. Sebenarnya, kedua orang pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi perintah kepada mereka dan perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi sekaligus wakil Kam-ciangkun!

Diam-diam Sie Ban Leng memberi isyarat dengan kedua matanya hingga kedua orang pendeta itu segera menghampiri Ang I Niocu sambil menjura.

“Apakah Niocu selama ini baik-baik saja?” kata Ceng To Tosu sambil mewek.

“Terima kasih, dan atas pertolongan Jiwi, aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula.” Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek Hosiang dengan kagum dan heran. Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh hwesio gendut, biar pun Bu Pun Su sendiri belum tentu akan sanggup melakukannya!

Setelah menjura lagi kepada Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah memperoleh perintah untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, kemudian meninggalkan mereka tanpa banyak cakap lagi.

“Mereka itu orang-orang aneh,” kata Ang I Niocu.

“Memang, orang-orang sakti memang bersikap aneh,” Sie Ban Leng berkata sambil maju mendekati Ang I Niocu dengan senyum yang memikat.

Sebenarnya, yang mengherankan hati Ang I Niocu dan yang membuat dia menganggap mereka aneh itu adalah demonstrasi dengan pisau tadi. Dahulu dia pernah bertempur dengan Ceng Tek Hosiang dan tahu sampai di mana kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian sehebat itu? Kemudian Dara Baju Merah ini teringat bahwa dia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka cepat dia menjura sambil berkata,

“Sie-enghiong telah menolongku, banyak-banyak terima kasih!”

Sie Ban Leng membalas penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum, “Ahh, Niocu terlalu merendah dan sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan? Jika kita tak saling membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah? Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?”

“Aku hendak pergi ke Lan-couw,” jawab Ang I Niocu sejujurnya.

“Kebetulan sekali, aku pun hendak ke ibu kota itu. Apa bila tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi, marilah kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang jahat, kita dapat saling membantu. Di daerah sekitar sini memang banyak sekali terdapat orang-orang Mongol yang jahat, dan ada pula orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa kita.”

Ang I Nocu merasa serba salah. Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng telah menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan kata-kata menolak atau menyatakan keberatan?

“Aku tidak takut segala macarn penjahat, biar bangsa apa pun juga!” jawabnya sambil memandang tajam. “Akan tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama.”

Bukan main girang hati Ban Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu! Dan karena Ban Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap sombong dan kurang ajar, malah ia selalu memperlihatkan sikap sopan dan menghormat terhadap Ang I Niocu, maka gadis itu pun mulai percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang kawan baik.

Ketika Ang I Niocu secara sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di barat dan pergi ke Kansu, Ban Leng menarik napas panjang kemudian menjawab,

“Lihiap, sebetulnya hal ini merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan pada orang lain.” Semenjak Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut ‘Niocu’ maka Ban Leng lalu mengubah sebutan menjadi ‘Lihiap’.

“Ahh, kalau memang rahasia, tak perlu pula diceritakan kepadaku,” jawab Ang I Niocu.

“Kepadamu aku tidak memiliki rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberi tahukan kepadamu bahwa kini aku bekerja untuk kaisar dan kedatanganku ke daerah ini pun atas perintah kerajaan.”

Ang I Niocu tercengang. “Ah, kalau begitu kau adalah seorang perwira yang menyamar?”

“Bukan, aku bukan seorang perwira akan tetapi aku hanya diminta untuk membantu saja, mewakili pekerjaan Kam-ciangin yang sekarang telah menjadi pemimpin perwira kerajaan menggantikan kedudukan Beng Kong Hosiang yang sudah tewas. Oleh karena banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah Kansu ini, dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka. Bahkan dua orang yang dahulu menolong kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami bekerja dengan cara diam-diam dan sebelum mendapatkan bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan perintah Kam-ciangkun.”

Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Sebenarnya, apakah yang sedang dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol itu di daerah ini?”

“Inilah yang lagi kami selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat menarik hati di samping maksud-maksud serombongan orang Turki yang hendak menyerbu negeri kita. Menurut hasil penyelidikan di daerah Kansu selain menjadi sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu, juga di ibu kota terdapat harta terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya yang menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha mereka untuk mencari dan mendapatkannya.”

Ang I Niocu merasa tertarik sekali, akan tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama makin nampak jelas sikap Ban Leng yang sering kali memandang dengan mata mengandung perasaan hatinya secara terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah saja diterka bahwa laki-laki ini ‘jatuh hati’ kepadanya.

Hal ini tidak dipedulikan oleh Ang I Niocu walau pun ada juga sedikit perasaan iba dalam hatinya. Entah bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin Hai. Sama benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng menggerakkannya dengan lincah, tanda bahwa otaknya bekerja cepat dan wataknya cerdik.

*****


Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

Sementara itu, Cin Hai tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda ini melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati tamasya alam di daerah itu dan setiap kali melalui dusun atau kota, ia tentu akan berhenti sebentar, malah kadang kala bermalam untuk mengenal tempat itu lebih baik. Kehidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama melihat banyaknya macam-macam suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.

Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka.

Kelima orang itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya saat mendengar pembicaraan mereka dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi pada saat ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama Yousuf, ia lalu membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.

Tak lama kemudian, kelima orang itu yang agaknya menunggu sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan pergi menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di ujung dusun itu. Wai Sauw Pu lalu mengetuk pintunya dan sesudah pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk.

Cin Hai melihat betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka dia segera melompat naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian. Cin Hai melihat betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek itu, sebab ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan.

Kemudian, agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri dia memegang leher baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Tangan kanannya lalu menampar sehingga tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw Pu ini keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat bangun pula.

Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya. Akan tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,

“Orang-orang kejam, jangan menyiksa orang tua yang lemah!”

Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar.

Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai. Maka, dengan golok di tangan mereka maju menerjang pemuda asing ini.

Cin Hai cepat-cepat menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawan Wai Siauw Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang golok telah dapat dirampasnya dan pemilik-pemilik golok terpelanting roboh! Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping.

Sesudah mengelak dari sambitan golok, kakek bersorban ini langsung melompat melalui jendela dan lari! Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan tenaganya.

Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintih-rintih itu.

“In-kong (Tuan Penolong)... terima kasih... terima kasih...,” katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil terengah-engah.

Ketika Cin Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, dia menjadi kaget sekali oleh karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.

“Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?”

“Mereka adalah pengikut-pengikut… Pangeran muda... kejam dan ganas...” akan tetapi tiba-tiba wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, “akan tetapi jangan harap akan dapat merampas ini... biar mereka membunuhku sekali pun...” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya.” In kong... aku sudah tua, lukaku juga berat, tiada gunanya kau tolong aku... kalau kau memang seorang gagah yang berhati mulia... kau tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya...”

Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu dan bertanya, “Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan Yousuf?”

Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali. “Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku, kau... kau jagalah benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-kong, kau boleh pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!”

“Baiklah, Lopek. Kau tidak keliru memilih, karena terus terang saja, aku adalah seorang sahabat baik dari Yousuf.”

Wajah kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata, “Pergilah, lekas pergi!”

Pada saat melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, kakek itu berkata lagi, “Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat diri sendiri...!”

Terpaksa Cin Hai lantas melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!

Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apakah gerangan isi bungkusan yang demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat dari pada perak!

Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang harganya tidak beberapa banyak! Dia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan memandangnya dengan heran.

Tutup cawan itu kecil saja, terbuat dari pada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa bunga-bunga yang tidak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan?

Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapa pun juga tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku.

Ketika ia melanjutkan perjalanannya, mendadak dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.

“Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami.”

“Apa maksudmu?” Cin Hai membentak marah. “Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan kalian dan selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!”

Wai Sauw Pu tersenyum, akan tetapi matanya memandang tajam.

“Sicu, harap kau maafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Sicu takkan sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya kepadamu.”

“Memang barang itu ada padaku, akan tetapi aku pun telah berjanji kepada kakek tua itu untuk menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!”

“Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?”

“Maling tua itu, kalau benar-benar dia maling, tidak lebih jahat dari pada kau beserta kaki tanganmu!” bentak Cin Hai yang marah pada saat teringat betapa kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul kakek itu dengan kejam.

Mendengar ucapan ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat dia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masing-masing.

Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin, tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia maklum bahwa kali ini dia menghadapi lawan yang tangguh. Apa lagi sekarang dia tidak mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong saja, paling banyak dengan sulingnya!

“Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, ada pun di antara kita tak ada permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu? Apa bila kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!” kata pula Wai Sauw Pu membujuk.

“Ehh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?” tanya Cin Hai. “Aku mengukuhi benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku telah berjanji untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini yang benar-benar aneh! Mengapa untuk sebuah tutup cawan jelek dari perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?”

“Sicu, ini merupakan urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan mengembalikan barang itu,” kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun memandangnya dengan heran.

“Malaikat tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biar pun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah seorang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki. Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang telah menjadi tanah jajahan Turki? Ha-ha-ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, tetapi seorang yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?”

“Bangsat bermulut lancang!” Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan penuh amarah. “Jangan banyak cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?”

”Tidak ada persoalan menerima dan mengembalikan,” jawab Cin Hai dengan tenang, “Aku tak pernah menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih berharga dari pada jiwa, tahukah kau?”

“Keparat!” Wai Sauw Pu lalu menggerakkan tasbehnya dan menyerang ke arah Cin Hai!

Dengan sigapnya pemuda ini mengelak. Akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu sudah melompat turun lantas menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang bertangan kosong!

Cin Hai terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian banyaknya orang lihai dengan bertangan kosong adalah hal yang sangat berbahaya. Walau pun sulingnya hanya terbuat dari pada bambu tipis, akan tetapi oleh karena dia mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam jalan-jalan darah semua lawannya sehingga mereka tidak berani mengurung terlalu dekat!

Akan tetapi, tasbeh milik Wai Sauw Pu beserta senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar berbahaya dan tiap kali sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya terpaksa dia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau sulingnya pecah dan rusak!

Sebetulnya apa bila Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang hanya memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi tingkat ilmu silat mereka masih jauh di bawah dia.

Akan tetapi ia pikir bahwa sebenarnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Dia segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut hingga dua orang pengeroyok dapat dia robohkan tanpa menderita luka hebat, kemudian dia segera melompat keluar dari kurungan mereka dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!

Lawan-lawannya segera mengejar sambil menunggang kuda. Akan tetapi mereka tidak sanggup mengejar Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah meninggalkan mereka jauh-jauh!

Akan tetapi musuh-musuhnya itu tak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan sejak saat itu, Cin Hai selalu merasa bahwa dia diikuti orang! Ke mana juga dia pergi, bahkan ketika dia bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang secara diam-diam.

Dia menjadi sangat jengkel dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan. Dia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu pasti akan muncul lagi dan kembali mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Karena itu dia menjadi gelisah juga, sebab sedikitnya, walau pun dia tidak pernah merasa takut, hal ini mengganggu tidurnya dan dia tidak dapat menikmati perjalanannya lagi, karena dia selalu harus berlaku waspada serta hati-hati.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.