Pendekar Bodoh
Karya Kho Ping Hoo
JILID 30
YOUSUF menyambut mereka dengan sikap dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran Tua itu dia merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama sekali, ada pun Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah.
Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.
“Hemm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!” pemimpin Turki ini berkata sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini mempergunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.
“Nona yang berdiri di pihakku ini adalah seorang pendekar wanita yang selalu membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kau sodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?” jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.
Yousuf segera berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu, “Sahimba, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?”
Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh, “Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk kepadamu. Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tidak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami sendiri hendak mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau beserta orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami sehingga menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?”
“Sahimba, jika usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau bahkan menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami tidak akan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?”
“Yousuf, kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata begitu? Orang yang mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kau lepaskan tanganmu dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!”
Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, “Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kau anggap kami merasa takut akan semua ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!”
“Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah, dan dia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!
“Terserah kepadamu, Sahimba!” kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap!
“Kami sudah bersiap sedia!”
Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling. Ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf, yaitu pengikut Pangeran Tua, sudah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!
“Kau hendak menggunakan orang banyak dan mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan kegelisahannya.
“Hanya orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!” jawab Yousuf. “Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!”
“Yousuf!” terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok.”
Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata, “Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, sebagai tuan rumah seharusnya kita menerima untuk membuktikan keramahan kita terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!”
Yousuf lalu menghadapi Sahimba. “Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan bila kau menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”
“Boleh…, boleh! Inilah kesempatan bagus untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang jujur,” jawab Sahimba.
Yousuf kemudian memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga langsung masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi segera disingkirkan sehingga ruangan itu kini menjadi sebuah tempat yang cukup luas di mana orang boleh bertempur sesuka hatinya.
Yousuf berkata lagi, “Karena di pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan aku lihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh mengajukan tiga orang tukang pukulmu.”
“Orang sombong, kau anggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!” berkata Giok Yang Cu, orang ke dua Kanglam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar.
Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan tatap mata mengejek, “Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?”
Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang, “Sahabatku Yo Se Pu, jangan kau borong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!”
Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!
Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa sehingga dia melompat maju dan memeluk mereka berdua seolah-olah seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan hati girang, lantas berkata kepada Sahimba,
“Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan kedatangan ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!”
Kemudian, tanpa peduli akan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu mengenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An sehingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.
“Nama kalian sudah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!” kata kakek itu.
Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapatkan pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya bahkan sibuk bercakap-cakap dengan ketiga orang pendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.
“Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?” tegurnya marah.
Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cengeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf, “Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu supaya dia tidak melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!
“Orang gila, jangan kau menghinaku!” seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedang dari sarungnya.
Akan tetapi sebelum dia maju dan menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata, “Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!”
Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan dua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.
Ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai dari pada dahulu oleh karena Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hoat telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan, ada pun pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya, pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.
Akan tetapi selain tinggi ilmu kepandaiannya, Yousuf juga telah mempunyai banyak sekali pengalaman bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Lagi pula, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin Lin dan lainnya, Yousuf sudah banyak memahami rahasia-rahasia ilmu silat daratan Tiongkok sehingga pengertiannya menjadi sangat luas dan kepandaiannya banyak maju.
Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena betapa pun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih dia menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh.
Dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah. Bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan pedangnya, ada pun tingkat ginkang-nya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kejeriannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.
Yousuf tidak menjadi gugup walau pun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari Liong-sam-hoat yang dinamakan Naga Liong-san Mengamuk itu hebat sekali. Dengan ketenangannya yang juga diperkuat oleh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil terus mainkan pedangnya dengan cepat sehingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar pedangnya.
Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh pedang Yousuf. Sungguh pun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,
“Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!”
Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, yaitu saudara tertua dari Kanglam Sam-lojin, telah melompat maju dengan gesit sekali dan tangannya memegang sebatang bambu panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sute-nya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba dia telah melompat ke tengah lapangan bersilat.
“Biar pinto menerima pengajaran dari tuan rumah!” katanya.
“Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu ini,” kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.
“Kau?” Yousuf memandang ragu-ragu.
Akan tetapi Nelayan Cengeng segera berkata, “Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!”
Yousuf selamanya tidak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng, apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan Cengeng juga tidak akan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka dia lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,
“Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!”
Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tak enak sekali. Ia merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini?
“Nona, dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?”
Ma Hoa tersenyum sambil mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya pendek itu. “Dengan ini!” jawabnya singkat.
Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga dia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang bambu runcing yang pendek. Segera dia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,
“Mari, mari, majulah!”
Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu merasa terheran-heran sehingga tanpa terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong.
Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan sangat indah dipandang. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di sekeliling kepalanya, ada pun bambu runcing itu saat digerakkan untuk menyerang, gerakannya demikian cepat sehingga seakan-akan berubah menjadi puluhan batang!
Giok Im Cu tercengang melihat ini dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan yang sangat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama dia hidup, baru sekali dia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti yang lihai.
Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli lweekang dia lalu mengerahkan lweekang-nya sehingga setiap sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Dia hendak mengandalkan tenaga lweekang-nya untuk mengalahkan gadis yang pandai memainkan bambu runcing itu.
Akan tetapi kembali dia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga. Dara ini hanya mengandalkan kelincahan untuk berkelebat di antara sambaran tongkat lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah jalan darah lawan!
Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi. Berkali-kali dia berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian.
Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba dia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati sehingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat sudah tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman.
Wai Sauw Pu pendeta bersorban itu segera melompat dan seketika dia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan bertanya, “Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”
“Ada perlu apakah kau menanyakan Suhu-ku?”
“Ohh... jadi kau murid Hok Peng Taisu? Pantas... pantas….” dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan diri.
Dia tadi merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan dari pada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya.
Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang tak akan dapat dilawannya, biar pun ia akan melatih diri sepuluh tahun lagi!
Dengan gembira sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata, “Anak nakal, kelak kau harus menceritakan kepadaku dari mana kau bisa mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!”
Melihat betapa sudah dua kali pihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggapnya paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa amat penasaran dan marah, telah mendahului dan kini pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.
“Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!”
Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam dan berpengaruh sekali. Ia memang sudah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biar pun masih muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak bertapa berdiri!
Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, “Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah bagianku!”
Dengan langkah yang sembarangan bagai orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu yang memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa ketika ia berkata,
“Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah engkau orang tua yang sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan orang lain?”
“Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau sudah lupa akan dua perkara. Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung dari pada usia tua, bila mana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua mau pun muda, akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau sudah melanggar syarat pertama dan tidak mau berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan kau membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh sinar emas yang sebenarnya tak ada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa tiap manusia dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh bila kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!”
Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina itu untuk memancing kemarahan dalam hati kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi!
“Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!” teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari gading.
Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An pernah merasakan kelihaian Wai Sauw Pu ini, maka mereka memandang dengan penuh kekuatiran. Apakah kakek rambut putih yang terlihat lemah itu dapat menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang karena dia percaya penuh akan kelihaian gurunya.
Gerakan tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu sekali ini agak berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang berpengaruh melemahkan semangat lawan dan membuat hati menjadi gentar.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun lalu menarik keluar satu ikat tasbeh kecil yang terbuat dari pada batu-batu kemala putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan balik menyambar ke arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri!
Wai Sauw Pu terkejut sekali karena dia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang kuat sehingga ilmu sihir yang dia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata sudah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian silatnya!
Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena di dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang.
Ibrahim yang sudah tua itu harus mengerahkan semua kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini.
Bila lawannya menggunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu. Akan tetapi, oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.
Biar pun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biar pun ia masih unggul dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapatkan kemenangan terakhir.
Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata,
“Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi seorang kakek tua renta. Hanya tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihatlah, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”
Bukan main marahnya Wai Sauw Pu mendengar ejekan ini, karena dia pun tadi sudah merasa penasaran dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan. Kini ditambah lagi dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali dia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai sekali, yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang).
Hui-to yang jumlahnya tiga buah itu langsung meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan sedang digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
Ibrahim tertawa bergelak dan berkata, “Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?”
Dan aneh, sesudah kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba saja membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.
Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi. Maka cepat-cepat dia mengebut dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.
“Runtuh!”
Benar saja, ketiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga kakinya pun terluka oleh ujung golok.
Tepat pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru, “Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!”
Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kanglam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.
“Manusia-manusia curang!” Nelayan Cengeng berseru sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor naga sungai mengamuk.
Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lantas menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!
Pertempuran di dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian lagi, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang sudah direncanakan untuk menyerbu masuk. Jumlah mereka sangat besar sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf langsung terdesak. Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, hendak membantu Sahimba dan kawan-kawannya!
Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kanglam Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian mereka berimbang dan pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama kalau saja pihak Sahimba tidak mempergunakan kecurangan.
Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya. Ada pun Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tidak kurang berbahayanya pula.
Tidak lama kemudian, selagi Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena pihak lawan menyebar senjata-senjata rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang ternyata telah berhasil menembus pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.
Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa, “Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba ingin mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi keselamatan semua kawan ini!” ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba dia mementangkan kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.
“Sahimba... serta enam orang kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut... berlutut... berlutut...!”
Hal yang aneh terjadi. Sahimba serta kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang segera menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.
“Ha-ha-ha... tua bangka... kau harus mampus...” Dan secepat kilat dia mengayun enam batang hui-to ke arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang laksana patung.
Enam batang hui-to itu menancap dengan jitu pada sasarannya sehingga tubuh Ibrahim terhuyung-huyung lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biar pun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu tetap masih menghantam dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap sehingga Sahimba beserta kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali senjata-senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang Sahimba sehingga tembuslah punggung Sahimba oleh pedang Yousuf.
Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang sekarang melakukan perlawanan dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba, sudah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin serta ketiga Kanglam Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali.
Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti harimau-harimau berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dengan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya secara dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jeri juga.
Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka akibat tusukan pedang Ang I Niocu pada pundaknya, sedangkan sebuah roda milik Lok Kun Tojin sudah terampas oleh bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena ini, mereka semakin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apa lagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula.
Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lantas mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan dia mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar, “Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!”
Yousuf cepat mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang, baik kawan mau pun lawan yang terluka di dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.
Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka kemudian beristirahat dalam sebuah rumah di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.
Sesudah mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi serta mengambil keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki masih mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.
“An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?” gadis ini bicara sambil tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apa lagi ketika dia melihat Kwee An memandangnya dengan tersenyum pula.
Selagi dia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata, “Tadi kita tidak ada kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat kepadanya!” Kemudian dia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengannya memberi selamat sambil berkata keras-keras,
“Ang I Niocu, kionghi... kionghi… (selamat, selamat)!”
Ucapan ini diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat.
Ang I Niocu memandang berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap, “Nanti dulu...! Memberi selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu, untuk apakah kalian memberi selamat...?”
“Ha, masih berpura-pura lagi! Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Ma Hoa menggodanya sambil memegang lengan Ang I Niocu. “Enci Im Giok, kau memang tidak ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu kau rahasiakan saja?”
“Adik Hoa, kalau kau tidak mau lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit bibirmu!” kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata dipelototkan.
“Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja, mengapa harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?”
“Pertunangan...? Jodoh... ?” Ang I Niocu memandang heran.
“Enci Im Giok, janganlah kau berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja sudah mengetahui rahasiamu!” kata Ma Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak berani menggoda Ang I Niocu.
“Nanti dulu, Adik Hoa, aku masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kau maksudkan?”
“Aduh, pandainya bermain sandiwara!” Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah muka Ang I Niocu. “Siapa lagi kalau bukan urusan pertunanganmu? Jangan kau menyangkal bahwa kau telah bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan mata!”
“Apa buktinya?”
Ma Hoa menuding ke arah pedang yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu. “Bukankah pedang yang kau pakai itu adalah Cian-hong-kiam pemberian tunanganmu?”
Mulai berdebar dada Ang I Niocu. “Dari mana kau dapat mengetahui hal ini?” tanyanya.
“Dari siapa lagi kalau bukan dari Lie-taihiap!”
Ang I Niocu bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Di... di mana dia...?”
Ma Hoa bertepuk tangan. “Nah, nah... sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia... siapakah, Enci...?”
Dengan gemas Ang I Niocu mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa. “Jangan main-main, Adik Hoa. Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?”
“Ehh... dia siapakah...? Jelaskan namanya, ahhh...” Ma Hoa menggoda lagi.
Akan tetapi Kwee An merasa kasihan pada Ang I Niocu maka ia berkata, “Kami memang telah bertemu dengan taihiap Lie Kong Sian.”
“Di mana? Dan bagaimana kalian bisa bertemu dengan dia?” tanya Ang I Niocu dengan heran.
“Sabar, Enci Im Giok. Sabar dan tenang. Kau duduklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami bertemu dengan... calon suamimu yang gagah perkasa itu!”
Dengan muka merah karena jengah dan malu, Ang I Niocu yang ‘mati kutunya’ terhadap godaan Ma Hoa itu, lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.
Sesudah berpisah dengan Ang I Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, serta Nelayan Cengeng lantas melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu dan ibu kotanya, yakni Lan-couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh karena kenyataan bahwa Ang I Niocu benar-benar masih hidup membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa yang merasa suka sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu.
Gadis ini merasa betapa beruntungnya hidup ini. Dia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat guru baru yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula. Dan dia merasa yakin bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya pula. Alangkah akan senangnya kalau dia dapat bertemu dengan Lin Lin lagi.
Kegembiraannya membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga sering kali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan. Kwee An dan Nelayan Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu.
Mereka berdua dalam hati serta dengan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang rambut gadis yang terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan Ma Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu membiarkan rambutnya terurai indah.
Ketika Ma Hoa sedang berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An bersama Nelayan Cengeng berjalan di belakang seenaknya, mendadak gadis itu mendengar teguran suara halus,
“Aduh, alangkah indah dan jelitanya bidadari berambut panjang.”
Ketika dia memandang, dia melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah mewah sedang duduk di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum kepadanya.
“Laki-laki ceriwis! Tutup mulutmu yang lancang!” kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya, karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu.
Wanita manakah yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau yang memuji itu seorang pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi dia menahan tindakan kakinya karena pemuda, itu berkata lagi sambil tertawa.
“Bidadari manis! Hatimu gembira menerima pujianku, kenapa kau tidak membentangkan sayapmu dan terbang melayang ke sini, duduk di atas cabang yang enak ini di sisiku, menikmati angin yang bersilir di pohon?”
Kini marahlah Ma Hoa. “Bangsat bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?”
“Ehh, ehhh, makin manis saja kalau lagi marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau! Tapi sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat dengan pita merah ini!” Sambil berkata demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah dan sekali dia mengayun tangannya, pita merah itu meluncur ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa!
Ma Hoa mengelak dan miringkan kepalanya. Akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah memperhitungkan hal ini, karena itu ia menyambit ke arah belakang kepala, karena ketika Ma Hoa miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini kemudian terurai di belakangnya sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit rambutnya, seakan-akan dipasang oleh tangan seorang ahli!
Ma Hoa marah sekali. Ia merenggutkan pita merah itu, membantingnya ke atas tanah dan menginjak-injaknya!
“Bangsat liar! Kau betul-betul sudah bosan hidup!” teriaknya sambil meloloskan sepasang bambu runcingnya dan dengan gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang!
Pemuda itu terkejut juga karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis yang digodanya itu pandai ilmu silat yang luar biasa ini. Maka dia lalu menggerakkan tubuh dan mengelak sambil melayang turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.
“Ahh, ahhh, tidak tahunya bidadari rambut panjang ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk main-main denganku sebentar!”
Ma Hoa tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Dia lalu menyerang dengan gesit dan sengit sehingga pemuda tampan itu terpaksa harus berlaku waspada. Akan tetapi, begitu ia bergerak, Ma Hoa merasa kaget. Sambaran angin yang keluar dari kebutan tangan pemuda itu telah berhasil membuat serangan bambu runcingnya menjadi miring! Alangkah hebatnya tenaga ini. Maka dia lalu menyerang lagi bertubi-tubi dengan ganas dan penasaran.
Pada saat itu, datanglah Kwee An dan Nelayan Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang menggunakan sepasang bambu runcing menyerang seorang laki-laki yang hebat sekali gerakannya, mereka lalu berlari cepat menghampiri.
“Tahan...!” kata Nelayan Cengeng hingga Ma Hoa meloncat mundur dengan taat.
Pemuda tampan itu memandang kepada Nelayan Cengeng dan Kwee An, kemudian dia mengernyitkan hidungnya dengan pandang menghina dan bertanya.
“Tuan besarmu sedang main-main dengan gadis cantik, mengapa kalian ini budak-budak hina berani mengganggu?”
Merahlah wajah Kwee An mendengar ini, karena itu dia segera mencabut pedang dan membentak, “Dari mana datangnya bajingan yang kurang ajar?”
Sementara itu, Nelayan Cengeng yang menerima hinaan ini balas mengejek, “Eh, ehh! Ma Hoa, Kwee An, kalian lihatlah baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki asli, juga bukan seorang wanita.”
Kwee An tidak tahu bahwa kakek ini sedang berolok-olok, karena itu dengan heran ia pun bertanya, “Kalau bukan laki-laki juga bukan wanita, habis apa?”
“Banci…! Dia seorang banci...! Ha-ha-ha!” dan Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak sehingga bercucuranlah air matanya. Juga Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa.
Akan tetapi, laki-laki tampan itu dengan masih bertolak pinggang, lalu bertanya, “Kakek gila, dengan alasan apakah kau menyebutku banci?”
“Tidak ada laki-laki yang membedaki mukanya dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti ini, akan tetapi kau tidak hanya membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu dan pemerah bibir! Ha-ha-ha!”
Memang laki-laki itu pesolek bukan main sehingga mukanya sampai dibedaki dan diberi merah-merah. Akan tetapi ketika mendengar kata-kata ini ia menjadi marah dan berkata,
“Kakek gila, kau belum lagi tahu siapa adanya orang yang kau hina ini, maka kau berani membuka mulut secara sembrono. Ketahuilah, aku Song Kun yang berjuluk Kwie-eng-cu Si Bayangan Iblis, tidak biasa memberi ampun kepada orang yang telah menghinaku!”
Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba pemuda itu lalu menggerakkan tangannya dan memukul kepada Nelayan Cengeng. Melihat pukulan ini, terkejutlah Nelayan Cengeng karena pukulan itu luar biasa sekali dan dari tangan yang melakukan pukulan mengepul uap putih! Inilah Pek-in Hoat-sut yang pernah ia mendengarnya dan yang dimiliki oleh Cin Hai!
Dia cepat melompat jauh untuk menghindarkan diri dari serangan itu dan karena maklum bahwa pemuda ini tangguh sekali, sambil melompat dia langsung mengayun dayungnya, memukul dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, pemuda itu memang pantas diberi gelar Si Bayangan Iblis, oleh karena gerakan tubuhnya luar biasa cepatnya dan hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata!
Melihat kelihaian pemuda ini, Kwee An tak mau tinggal diam dan lalu menyerang dengan pedangnya, juga Ma Hoa maju pula mengerjakan sepasang bambu runcingnya.
Pemuda itu memang benar Song Kun adanya, murid dari Han Le Sianjin yang lihai. Inilah sute dari Lie Kong Sian yang menjalani kesesatan dan yang telah bertemu dan bertempur dengan Cin Hai!
Tadinya Song Kun memandang rendah tiga lawannya, akan tetapi sesudah menyaksikan gerakan pedang Kwee An dan gerakan dayung di tangan Nelayan Cengeng, diam-diam ia terperanjat dan mengeluh bahwa ia ternyata telah ‘salah tangan’ dan mencari perkara dengan orang-orang yang berilmu tinggi!
Akan tetapi, ilmu silatnya memang hebat dan sesudah beberapa lama dia menghadapi mereka dengan tangan kosong, akhirnya dia mencabut pedang Ang-ho Sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah berapi-api dan berhawa panas itu!
Nelayan Cengeng terkejut sekali melihat pedang itu dan dia berseru kepada Ma Hoa dan Kwee An, “Hati-hati terhadap pedangnya!”
Song Kun tertawa mengejek dan ia lalu memutar-mutar pedangnya dengan gerakan luar biasa cepat dan hebatnya sehingga sibuklah ketiga orang itu mengeroyok dari kanan kiri! Biar pun tidak berani mengadu pedangnya, namun Kwee An yang mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Hek Mo-ko, cukup hebat dan berbahaya.
Sementara itu, Ma Hoa juga merupakan pengeroyok yang berbahaya oleh karena gadis ini selain memiliki Ilmu Silat Bambu Runcing yang aneh, juga tidak takut untuk mengadu senjata, oleh karena bambu lemas kecil itu tidak takut terkena pedang tajam.
Di samping kedua orang anak muda yang tangguh ini, masih ada lagi Nelayan Cengeng yang mempunyai ilmu silat tinggi dan tenaganya luar biasa sehingga Song Kun sendiri merasa ragu-ragu untuk mengadu pedangnya dengan dayung yang besar serta berat itu, takut kalau-kalau pedangnya akan menjadi rusak!
Oleh karena ini, maka pertempuran berjalan seru dan ramai. Akan tetapi mereka lebih banyak bertempur dari jarak jauh dan berlaku amat hati-hati sehingga bisa diduga bahwa pertempuran itu akan berjalan lama sekali.
Song Kun memaklumi hal ini dan karena itu dia lalu mendesak maju. Pada saat dayung Nelayan Cengeng menyambar, dia memapaki dengan pedangnya yang disabetkan dan putuslah ujung dayung itu! Nelayan Cengeng terkejut dan hampir saja dia menjadi korban sabetan pedang pada pinggangnya kalau saja Ma Hoa yang telah menjadi nekat itu tidak melakukan serangan kilat dari belakang, menotok ke arah kedua iga lawan itu!
Song Kun menarik kembali pedangnya dan kalau ia mau, ia akan dapat menjatuhkan Ma Hoa dengan serangan pedang. Akan tetapi Song Kun memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Dia tidak tega melukai Ma Hoa, maka dia hanya menahan kedua bambu runcing itu dengan pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dia ulur ke depan untuk mengusap pipi Ma Hoa!
Gerakannya ini adalah pecahan dari limu Silat Kong-ciak Sin-na, dan kecepatannya luar biasa sehingga colekan itu pun berhasil! Ma Hoa yang merasa betapa pipinya diusap oleh tangan Song Kun, menjerit marah dan menyerang lebih seru!
Namun dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, Song Kun mampu menjaga diri dan kini bahkan melancarkan serangan-serangan yang mematikan ke arah Nelayan Cengeng dan Kwee An! Dia mengambil keputusan untuk membunuh dua orang laki-laki itu untuk dapat melarikan gadis muda berambut panjang ini!
Pada saat itu, terdengarlah bentakan keras, “Song Kun...! Janganlah kau terjerumus ke jurang makin dalam saja!”
Mendengar suara ini, Song Kun terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang. “Suheng...!” katanya.
Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa lalu memandang. Ternyata yang datang adalah seorang lelaki yang berusia tiga puluh lebih, bermuka bundar dan gagah, bersikap tenang dengan kumis kecil menghias di atas bibirnya. Tubuhnya tegap dan bidang, sedangkan sepasang matanya bercahaya tajam dan berpengaruh.
“Song Kun, sesudah berpisah bertahun-tahun, setiap hari aku mengharapkan dan berdoa supaya kau dapat insyaf akan kesesatanmu. Tidak kusangka bahwa kau semakin dalam terjerumus ke dalam jurang kejahatan!” orang itu yang bukan lain adalah Lie Kong Sian adanya, berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.
Song Kun mengeluarkan suara ketawa mengandung ejekan. “Lie Kong Sian! Tadi sempat aku menyebut Suheng kepadamu oleh karena kukira kau hendak berbaik, tidak tahunya datang-datang kau memaki orang! Apakah kau masih merasa penasaran karena dahulu kalah olehku? Jangan kau kira aku takut akan kedatanganmu ini, dan segala perbuatanku adalah aku sendiri yang melakukan dan aku sendiri pula yang menanggung jawabnya! Kau peduli apakah?”
“Dasar batinmu yang amat rendah! Jika begitu, terpaksa sekali lagi aku harus memenuhi perintah mendiang Suhu dan menghajarmu dengan kekerasan.”
“Ha-ha-ha, majulah! Hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu!”
Ucapan ini bagi seorang sute terhadap suheng-nya memang amat kurang ajar, maka Lie Kong Sian lantas menerjang sambil mencabut pedangnya. Song Kun mengelak dan balas menyerang dan sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat.
Tingkat pelajaran mereka memang berimbang, dan dulu ketika mereka bertempur, Lie Kong Sian dapat dikalahkan oleh sute-nya yang memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Sekarang, sungguh pun Lie Kong Sian telah melatih diri dengan keras hingga ilmu kepandaiannya sudah meningkat tinggi, akan tetapi di lain pihak Song Kun telah memiliki pedang Ang-ho Sian-kiam yang luar biasa sehingga Lie Kong Sian tidak berani mengadu pedangnya karena takut kalau-kalau pedang pemberian Ang I Niocu itu akan putus.
Karena ini, untuk kedua kalinya dia terdesak hebat oleh serangan adik seperguruannya yang menyerang sambil tertawa mengejek, walau pun diam-diam dia mengakui kelihaian suheng-nya dan maklum bahwa biar pun suheng-nya tidak berani beradu pedang, namun agaknya tidak akan mudah baginya untuk menjatuhkan suheng itu.
Sementara itu, Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa menyaksikan pertandingan itu dengan penuh kekaguman. Tadi mereka sudah merasa terkejut, heran dan kagum sekali menyaksikan kepandaian Song Kun yang sanggup mendesak mereka, dan kini mereka melihat seorang pemuda lainnya yang seimbang kepandaiannya dengan pemuda pesolek yang lihai itu. Sesudah Cin Hai dan Bu Pun Su, belum pernah mereka menyaksikan ilmu kepandaian orang-orang muda selihai itu.
Melihat bahwa Lie Kong Sian datang dan membela mereka, maka mereka bertiga tentu saja tak mau tinggal diam dan dengan seruan keras, Nelayan Cengeng lalu mengerjakan dayungnya diikuti oleh Ma Hoa dan Kwee An. Kini Song Kun menjadi sibuk. Karena harus menghadapi keroyokan empat orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi itu, tentu saja ia merasa kewalahan sekali. Setelah bertahan sampai puluhan jurus, terpaksa ia lalu melompat jauh dan berkata,
“Lie Kong Sian! Lain kali bila mana kita bertemu berdua saja dan kau tidak mengandalkan keroyokan, tentu aku akan menebas batang lehermu!” Kemudian kepada Ma Hoa dia menyeringai dan berkata. “Sayang, bidadari rambut panjang, kita belum berjodoh!”
Keempat orang itu marah sekali, akan tetapi dengan sekali berkelebat saja Song Kun telah lari jauh dan meninggalkan tempat itu.
“Lihai sekali!” kata Nelayan Cengeng dengan kagum.
“Memang Sute-ku itu lihai sekali dan jahat,” kata Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Lo-enghiong, melihat dayungmu yang hebat itu, apa bila tidak salah dugaanku tentu kau adalah Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng. Betulkah?”
Nelayan Cengeng menjura, kemudian ia menjawab, “Benar, Taihiap. Dari mana kau tahu namaku?”
Lie Kong Sian tersenyum. “Dan kalau tidak salah, Saudara yang gagah ini tentulah Kwee An dan Nona ini Ma Hoa.”
Ketiga orang itu memandangnya dengan heran. “Lie-taihiap, dari mana kau bisa tahu?” tanya Kwee An, sedangkan Ma Hoa tiba-tiba berkata sambil menuding kepada pedang yang dipegang oleh Lie Kong Sian.
“Ehh, bukankah pedang itu pedang milik Ang I Niocu?”
Kini Lie Kong Sian tersenyum dan mengangguk, “Memang ini pedang Kiang Im Giok, dan aku adalah tunangan Ang I Niocu!”
Kemudian Lie Kong Sian yang jujur itu lalu mengaku dan menceritakan pengalamannya betapa dia menolong Ang I Niocu dan akhirnya menjadi calon jodohnya. Lie Kong Sian suka sekali melihat sikap tiga orang yang telah lama dikenal dari penuturan Ang I Niocu itu dan yang dipuji oleh kekasihnya, maka dia kemudian mengaku terus terang mengenai pertunangannya itu dan demikianlah maka mereka tahu akan pertunangan Ang I Niocu dengan Lie Kong Sian yang gagah perkasa. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan terpisah, karena Lie Kong Sian hendak mengejar dan menyusul sute-nya untuk memenuhi syarat Ang I Niocu, yaitu merobohkan sute-nya yang ternyata bukan insyaf, bahkan semakin jahat itu.
Setelah Ma Hoa menceritakan semua pengalamannya kepada Ang I Niocu, tahulah Nona Baju Merah itu bagaimana mereka dapat mengetahui hal pertunangannya hingga mereka tadi menggodanya. Terutama Ma Hoa menggodanya sehingga muka Ang I Niocu menjadi semerah bajunya. Ia tidak dapat marah karena maklum bahwa Ma Hoa menggoda karena rasa girangnya.
“Ma Hoa, sudahlah jangan kau menggodaku lebih lanjut. Kalau menggoda terus, aku tak akan menceritakan kepadamu perihal Lin Lin.”
Ma Hoa memegang lengan tangan Ang I Niocu dan bertanya, “Lin Lin? Apakah kau telah bertemu dengan dia, Cici yang baik? Bagaimana keadaannya? Selamatkah ia dan bagai mana dengan Cin Hai?” Dihujani pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan sengaja berlaku lambat-lambatan sehingga tidak saja Ma Hoa menjadi tidak sabar, bahkan Kwee An dan Nelayan Cengeng juga mendesaknya untuk segera menceritakan hal Lin Lin.
“Maka jangan suka menggoda orang,” kata Ang I Niocu. “Baikiah, aku akan menceritakan pengalamanku.”
Kemudian tiba giliran Ang I Niocu untuk menuturkan semua pengalamannya, betapa dia bertemu dengan Cin Hai dan mendapatkan sepasang pedang Liong-cu-kiam serta harta pusaka di dalam Goa Tung-huang dan pengalaman-pengalaman lainnya. Dan juga dia menceritakan betapa Lin Lin sudah dibawa oleh Bu Pun Su untuk diberi pelajaran silat sebagaimana yang ia dengar dari Cin Hai.
Mendengar penuturan ini, bertitik air mata dari kedua mata Ma Hoa karena terharu dan girangnya. Sekarang harapannya sudah terkabul semua. Seluruh kawan-kawannya telah selamat dan terlepas dari bahaya. Begitu pula Kwee An dan Nelayan Cengeng. Mereka berempat itu sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi peristiwa hebat di Goa Tengkorak yang membuat Lin Lin terluka dan terancam jiwanya!
“Sekarang tugas kita cari-mencari ini telah selesai karena orang-orang yang dicari telah ditemukan,” kata Nelayan Cengeng. “Akan tetapi kita harus melindungi Yo Se Pu dari bahaya dan juga, oleh karena menurut penuturan Ang I Niocu tadi bahwa Cin Hai akan kembali ke sini dan Ang I Niocu sendiri ditugaskan menjaga goa tempat harta pusaka, kita semua lebih baik untuk sementara waktu tinggal di sini, menanti datangnya Cin Hai untuk kemudian bersama-sama kembali ke timur.”
Semua orang menyetujui usul ini dan sesudah Yousuf selesai mengurus semua kawan dan lawan yang terluka dan tewas, dia pun lalu datang dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Nelayan Cengeng bersama yang lain-lain mencoba sedapat mereka untuk menghibur hati Yousuf yang masih berduka karena kematian gurunya dan banyak kawan-kawannya.
“Sebenarnya, tentang kematian tak perlu kusedihkan benar karena soal itu bukanlah soal yang aneh dan harus disesalkan. Yang sekarang membuat hatiku berduka ialah adanya perpecahan dan permusuhan di antara bangsa sendiri. Baiknya kalian membawa berita bahwa anakku Lin Lin telah diselamatkan dan bahkan kini memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan Bu Pun Su, kalau tidak, tentu aku akan semakin gelisah dan cemas saja.”
Demikianlah, mereka berempat lalu tinggal di kampung Yousuf dan kawan-kawannya itu sehingga pengikut Pangeran Muda tidak berani datang untuk bermain gila lagi. Hampir tiga atau empat kali dalam sehari Ang I Niocu menyelidiki keadaan goa itu, menjaga dan memeriksa kalau-kalau ada orang yang mengetahui tempat itu. Kadang-kadang ia pergi seorang diri, tapi tidak jarang ditemani oleh Ma Hoa, bahkan beberapa kali Kwee An dan Nelayan Cengeng juga ikut.
Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.
“Hemm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!” pemimpin Turki ini berkata sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini mempergunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.
“Nona yang berdiri di pihakku ini adalah seorang pendekar wanita yang selalu membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kau sodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?” jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.
Yousuf segera berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu, “Sahimba, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?”
Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh, “Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk kepadamu. Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tidak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami sendiri hendak mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau beserta orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami sehingga menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?”
“Sahimba, jika usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau bahkan menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami tidak akan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?”
“Yousuf, kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata begitu? Orang yang mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kau lepaskan tanganmu dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!”
Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, “Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kau anggap kami merasa takut akan semua ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!”
“Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah, dan dia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!
“Terserah kepadamu, Sahimba!” kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap!
“Kami sudah bersiap sedia!”
Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling. Ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf, yaitu pengikut Pangeran Tua, sudah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!
“Kau hendak menggunakan orang banyak dan mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan kegelisahannya.
“Hanya orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!” jawab Yousuf. “Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!”
“Yousuf!” terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok.”
Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata, “Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, sebagai tuan rumah seharusnya kita menerima untuk membuktikan keramahan kita terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!”
Yousuf lalu menghadapi Sahimba. “Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan bila kau menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”
“Boleh…, boleh! Inilah kesempatan bagus untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang jujur,” jawab Sahimba.
Yousuf kemudian memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga langsung masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi segera disingkirkan sehingga ruangan itu kini menjadi sebuah tempat yang cukup luas di mana orang boleh bertempur sesuka hatinya.
Yousuf berkata lagi, “Karena di pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan aku lihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh mengajukan tiga orang tukang pukulmu.”
“Orang sombong, kau anggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!” berkata Giok Yang Cu, orang ke dua Kanglam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar.
Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan tatap mata mengejek, “Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?”
Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang, “Sahabatku Yo Se Pu, jangan kau borong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!”
Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!
Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa sehingga dia melompat maju dan memeluk mereka berdua seolah-olah seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan hati girang, lantas berkata kepada Sahimba,
“Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan kedatangan ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!”
Kemudian, tanpa peduli akan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu mengenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An sehingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.
“Nama kalian sudah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!” kata kakek itu.
Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapatkan pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya bahkan sibuk bercakap-cakap dengan ketiga orang pendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.
“Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?” tegurnya marah.
Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cengeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf, “Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu supaya dia tidak melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!
“Orang gila, jangan kau menghinaku!” seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedang dari sarungnya.
Akan tetapi sebelum dia maju dan menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata, “Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!”
Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan dua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.
Ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai dari pada dahulu oleh karena Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hoat telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan, ada pun pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya, pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.
Akan tetapi selain tinggi ilmu kepandaiannya, Yousuf juga telah mempunyai banyak sekali pengalaman bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Lagi pula, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin Lin dan lainnya, Yousuf sudah banyak memahami rahasia-rahasia ilmu silat daratan Tiongkok sehingga pengertiannya menjadi sangat luas dan kepandaiannya banyak maju.
Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena betapa pun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih dia menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh.
Dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah. Bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan pedangnya, ada pun tingkat ginkang-nya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kejeriannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.
Yousuf tidak menjadi gugup walau pun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari Liong-sam-hoat yang dinamakan Naga Liong-san Mengamuk itu hebat sekali. Dengan ketenangannya yang juga diperkuat oleh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil terus mainkan pedangnya dengan cepat sehingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar pedangnya.
Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh pedang Yousuf. Sungguh pun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,
“Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!”
Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, yaitu saudara tertua dari Kanglam Sam-lojin, telah melompat maju dengan gesit sekali dan tangannya memegang sebatang bambu panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sute-nya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba dia telah melompat ke tengah lapangan bersilat.
“Biar pinto menerima pengajaran dari tuan rumah!” katanya.
“Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu ini,” kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.
“Kau?” Yousuf memandang ragu-ragu.
Akan tetapi Nelayan Cengeng segera berkata, “Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!”
Yousuf selamanya tidak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng, apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan Cengeng juga tidak akan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka dia lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,
“Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!”
Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tak enak sekali. Ia merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini?
“Nona, dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?”
Ma Hoa tersenyum sambil mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya pendek itu. “Dengan ini!” jawabnya singkat.
Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga dia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang bambu runcing yang pendek. Segera dia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,
“Mari, mari, majulah!”
Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu merasa terheran-heran sehingga tanpa terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong.
Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan sangat indah dipandang. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di sekeliling kepalanya, ada pun bambu runcing itu saat digerakkan untuk menyerang, gerakannya demikian cepat sehingga seakan-akan berubah menjadi puluhan batang!
Giok Im Cu tercengang melihat ini dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan yang sangat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama dia hidup, baru sekali dia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti yang lihai.
Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli lweekang dia lalu mengerahkan lweekang-nya sehingga setiap sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Dia hendak mengandalkan tenaga lweekang-nya untuk mengalahkan gadis yang pandai memainkan bambu runcing itu.
Akan tetapi kembali dia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga. Dara ini hanya mengandalkan kelincahan untuk berkelebat di antara sambaran tongkat lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah jalan darah lawan!
Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi. Berkali-kali dia berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian.
Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba dia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati sehingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat sudah tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman.
Wai Sauw Pu pendeta bersorban itu segera melompat dan seketika dia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan bertanya, “Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”
“Ada perlu apakah kau menanyakan Suhu-ku?”
“Ohh... jadi kau murid Hok Peng Taisu? Pantas... pantas….” dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan diri.
Dia tadi merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan dari pada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya.
Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang tak akan dapat dilawannya, biar pun ia akan melatih diri sepuluh tahun lagi!
Dengan gembira sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata, “Anak nakal, kelak kau harus menceritakan kepadaku dari mana kau bisa mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!”
Melihat betapa sudah dua kali pihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggapnya paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa amat penasaran dan marah, telah mendahului dan kini pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.
“Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!”
Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam dan berpengaruh sekali. Ia memang sudah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biar pun masih muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak bertapa berdiri!
Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, “Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah bagianku!”
Dengan langkah yang sembarangan bagai orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu yang memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa ketika ia berkata,
“Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah engkau orang tua yang sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan orang lain?”
“Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau sudah lupa akan dua perkara. Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung dari pada usia tua, bila mana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua mau pun muda, akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau sudah melanggar syarat pertama dan tidak mau berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan kau membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh sinar emas yang sebenarnya tak ada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa tiap manusia dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh bila kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!”
Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina itu untuk memancing kemarahan dalam hati kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi!
“Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!” teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari gading.
Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An pernah merasakan kelihaian Wai Sauw Pu ini, maka mereka memandang dengan penuh kekuatiran. Apakah kakek rambut putih yang terlihat lemah itu dapat menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang karena dia percaya penuh akan kelihaian gurunya.
Gerakan tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu sekali ini agak berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang berpengaruh melemahkan semangat lawan dan membuat hati menjadi gentar.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun lalu menarik keluar satu ikat tasbeh kecil yang terbuat dari pada batu-batu kemala putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan balik menyambar ke arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri!
Wai Sauw Pu terkejut sekali karena dia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang kuat sehingga ilmu sihir yang dia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata sudah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian silatnya!
Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena di dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang.
Ibrahim yang sudah tua itu harus mengerahkan semua kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini.
Bila lawannya menggunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu. Akan tetapi, oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.
Biar pun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biar pun ia masih unggul dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapatkan kemenangan terakhir.
Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata,
“Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi seorang kakek tua renta. Hanya tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihatlah, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”
Bukan main marahnya Wai Sauw Pu mendengar ejekan ini, karena dia pun tadi sudah merasa penasaran dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan. Kini ditambah lagi dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali dia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai sekali, yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang).
Hui-to yang jumlahnya tiga buah itu langsung meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan sedang digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
Ibrahim tertawa bergelak dan berkata, “Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?”
Dan aneh, sesudah kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba saja membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.
Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi. Maka cepat-cepat dia mengebut dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.
“Runtuh!”
Benar saja, ketiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga kakinya pun terluka oleh ujung golok.
Tepat pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru, “Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!”
Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kanglam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.
“Manusia-manusia curang!” Nelayan Cengeng berseru sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor naga sungai mengamuk.
Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lantas menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!
Pertempuran di dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian lagi, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang sudah direncanakan untuk menyerbu masuk. Jumlah mereka sangat besar sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf langsung terdesak. Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, hendak membantu Sahimba dan kawan-kawannya!
Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kanglam Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian mereka berimbang dan pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama kalau saja pihak Sahimba tidak mempergunakan kecurangan.
Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya. Ada pun Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tidak kurang berbahayanya pula.
Tidak lama kemudian, selagi Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena pihak lawan menyebar senjata-senjata rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang ternyata telah berhasil menembus pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.
Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa, “Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba ingin mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi keselamatan semua kawan ini!” ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba dia mementangkan kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.
“Sahimba... serta enam orang kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut... berlutut... berlutut...!”
Hal yang aneh terjadi. Sahimba serta kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang segera menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.
“Ha-ha-ha... tua bangka... kau harus mampus...” Dan secepat kilat dia mengayun enam batang hui-to ke arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang laksana patung.
Enam batang hui-to itu menancap dengan jitu pada sasarannya sehingga tubuh Ibrahim terhuyung-huyung lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biar pun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu tetap masih menghantam dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap sehingga Sahimba beserta kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali senjata-senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang Sahimba sehingga tembuslah punggung Sahimba oleh pedang Yousuf.
Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang sekarang melakukan perlawanan dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba, sudah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin serta ketiga Kanglam Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali.
Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti harimau-harimau berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dengan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya secara dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jeri juga.
Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka akibat tusukan pedang Ang I Niocu pada pundaknya, sedangkan sebuah roda milik Lok Kun Tojin sudah terampas oleh bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena ini, mereka semakin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apa lagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula.
Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lantas mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan dia mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar, “Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!”
Yousuf cepat mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang, baik kawan mau pun lawan yang terluka di dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.
Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka kemudian beristirahat dalam sebuah rumah di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.
Sesudah mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi serta mengambil keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki masih mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.
“An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?” gadis ini bicara sambil tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apa lagi ketika dia melihat Kwee An memandangnya dengan tersenyum pula.
Selagi dia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata, “Tadi kita tidak ada kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat kepadanya!” Kemudian dia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengannya memberi selamat sambil berkata keras-keras,
“Ang I Niocu, kionghi... kionghi… (selamat, selamat)!”
Ucapan ini diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat.
Ang I Niocu memandang berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap, “Nanti dulu...! Memberi selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu, untuk apakah kalian memberi selamat...?”
“Ha, masih berpura-pura lagi! Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Ma Hoa menggodanya sambil memegang lengan Ang I Niocu. “Enci Im Giok, kau memang tidak ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu kau rahasiakan saja?”
“Adik Hoa, kalau kau tidak mau lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit bibirmu!” kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata dipelototkan.
“Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja, mengapa harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?”
“Pertunangan...? Jodoh... ?” Ang I Niocu memandang heran.
“Enci Im Giok, janganlah kau berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja sudah mengetahui rahasiamu!” kata Ma Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak berani menggoda Ang I Niocu.
“Nanti dulu, Adik Hoa, aku masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kau maksudkan?”
“Aduh, pandainya bermain sandiwara!” Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah muka Ang I Niocu. “Siapa lagi kalau bukan urusan pertunanganmu? Jangan kau menyangkal bahwa kau telah bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan mata!”
“Apa buktinya?”
Ma Hoa menuding ke arah pedang yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu. “Bukankah pedang yang kau pakai itu adalah Cian-hong-kiam pemberian tunanganmu?”
Mulai berdebar dada Ang I Niocu. “Dari mana kau dapat mengetahui hal ini?” tanyanya.
“Dari siapa lagi kalau bukan dari Lie-taihiap!”
Ang I Niocu bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Di... di mana dia...?”
Ma Hoa bertepuk tangan. “Nah, nah... sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia... siapakah, Enci...?”
Dengan gemas Ang I Niocu mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa. “Jangan main-main, Adik Hoa. Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?”
“Ehh... dia siapakah...? Jelaskan namanya, ahhh...” Ma Hoa menggoda lagi.
Akan tetapi Kwee An merasa kasihan pada Ang I Niocu maka ia berkata, “Kami memang telah bertemu dengan taihiap Lie Kong Sian.”
“Di mana? Dan bagaimana kalian bisa bertemu dengan dia?” tanya Ang I Niocu dengan heran.
“Sabar, Enci Im Giok. Sabar dan tenang. Kau duduklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami bertemu dengan... calon suamimu yang gagah perkasa itu!”
Dengan muka merah karena jengah dan malu, Ang I Niocu yang ‘mati kutunya’ terhadap godaan Ma Hoa itu, lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.
Sesudah berpisah dengan Ang I Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, serta Nelayan Cengeng lantas melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu dan ibu kotanya, yakni Lan-couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh karena kenyataan bahwa Ang I Niocu benar-benar masih hidup membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa yang merasa suka sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu.
Gadis ini merasa betapa beruntungnya hidup ini. Dia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat guru baru yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula. Dan dia merasa yakin bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya pula. Alangkah akan senangnya kalau dia dapat bertemu dengan Lin Lin lagi.
Kegembiraannya membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga sering kali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan. Kwee An dan Nelayan Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu.
Mereka berdua dalam hati serta dengan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang rambut gadis yang terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan Ma Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu membiarkan rambutnya terurai indah.
Ketika Ma Hoa sedang berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An bersama Nelayan Cengeng berjalan di belakang seenaknya, mendadak gadis itu mendengar teguran suara halus,
“Aduh, alangkah indah dan jelitanya bidadari berambut panjang.”
Ketika dia memandang, dia melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah mewah sedang duduk di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum kepadanya.
“Laki-laki ceriwis! Tutup mulutmu yang lancang!” kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya, karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu.
Wanita manakah yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau yang memuji itu seorang pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi dia menahan tindakan kakinya karena pemuda, itu berkata lagi sambil tertawa.
“Bidadari manis! Hatimu gembira menerima pujianku, kenapa kau tidak membentangkan sayapmu dan terbang melayang ke sini, duduk di atas cabang yang enak ini di sisiku, menikmati angin yang bersilir di pohon?”
Kini marahlah Ma Hoa. “Bangsat bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?”
“Ehh, ehhh, makin manis saja kalau lagi marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau! Tapi sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat dengan pita merah ini!” Sambil berkata demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah dan sekali dia mengayun tangannya, pita merah itu meluncur ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa!
Ma Hoa mengelak dan miringkan kepalanya. Akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah memperhitungkan hal ini, karena itu ia menyambit ke arah belakang kepala, karena ketika Ma Hoa miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini kemudian terurai di belakangnya sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit rambutnya, seakan-akan dipasang oleh tangan seorang ahli!
Ma Hoa marah sekali. Ia merenggutkan pita merah itu, membantingnya ke atas tanah dan menginjak-injaknya!
“Bangsat liar! Kau betul-betul sudah bosan hidup!” teriaknya sambil meloloskan sepasang bambu runcingnya dan dengan gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang!
Pemuda itu terkejut juga karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis yang digodanya itu pandai ilmu silat yang luar biasa ini. Maka dia lalu menggerakkan tubuh dan mengelak sambil melayang turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.
“Ahh, ahhh, tidak tahunya bidadari rambut panjang ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk main-main denganku sebentar!”
Ma Hoa tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Dia lalu menyerang dengan gesit dan sengit sehingga pemuda tampan itu terpaksa harus berlaku waspada. Akan tetapi, begitu ia bergerak, Ma Hoa merasa kaget. Sambaran angin yang keluar dari kebutan tangan pemuda itu telah berhasil membuat serangan bambu runcingnya menjadi miring! Alangkah hebatnya tenaga ini. Maka dia lalu menyerang lagi bertubi-tubi dengan ganas dan penasaran.
Pada saat itu, datanglah Kwee An dan Nelayan Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang menggunakan sepasang bambu runcing menyerang seorang laki-laki yang hebat sekali gerakannya, mereka lalu berlari cepat menghampiri.
“Tahan...!” kata Nelayan Cengeng hingga Ma Hoa meloncat mundur dengan taat.
Pemuda tampan itu memandang kepada Nelayan Cengeng dan Kwee An, kemudian dia mengernyitkan hidungnya dengan pandang menghina dan bertanya.
“Tuan besarmu sedang main-main dengan gadis cantik, mengapa kalian ini budak-budak hina berani mengganggu?”
Merahlah wajah Kwee An mendengar ini, karena itu dia segera mencabut pedang dan membentak, “Dari mana datangnya bajingan yang kurang ajar?”
Sementara itu, Nelayan Cengeng yang menerima hinaan ini balas mengejek, “Eh, ehh! Ma Hoa, Kwee An, kalian lihatlah baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki asli, juga bukan seorang wanita.”
Kwee An tidak tahu bahwa kakek ini sedang berolok-olok, karena itu dengan heran ia pun bertanya, “Kalau bukan laki-laki juga bukan wanita, habis apa?”
“Banci…! Dia seorang banci...! Ha-ha-ha!” dan Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak sehingga bercucuranlah air matanya. Juga Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa.
Akan tetapi, laki-laki tampan itu dengan masih bertolak pinggang, lalu bertanya, “Kakek gila, dengan alasan apakah kau menyebutku banci?”
“Tidak ada laki-laki yang membedaki mukanya dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti ini, akan tetapi kau tidak hanya membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu dan pemerah bibir! Ha-ha-ha!”
Memang laki-laki itu pesolek bukan main sehingga mukanya sampai dibedaki dan diberi merah-merah. Akan tetapi ketika mendengar kata-kata ini ia menjadi marah dan berkata,
“Kakek gila, kau belum lagi tahu siapa adanya orang yang kau hina ini, maka kau berani membuka mulut secara sembrono. Ketahuilah, aku Song Kun yang berjuluk Kwie-eng-cu Si Bayangan Iblis, tidak biasa memberi ampun kepada orang yang telah menghinaku!”
Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba pemuda itu lalu menggerakkan tangannya dan memukul kepada Nelayan Cengeng. Melihat pukulan ini, terkejutlah Nelayan Cengeng karena pukulan itu luar biasa sekali dan dari tangan yang melakukan pukulan mengepul uap putih! Inilah Pek-in Hoat-sut yang pernah ia mendengarnya dan yang dimiliki oleh Cin Hai!
Dia cepat melompat jauh untuk menghindarkan diri dari serangan itu dan karena maklum bahwa pemuda ini tangguh sekali, sambil melompat dia langsung mengayun dayungnya, memukul dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, pemuda itu memang pantas diberi gelar Si Bayangan Iblis, oleh karena gerakan tubuhnya luar biasa cepatnya dan hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata!
Melihat kelihaian pemuda ini, Kwee An tak mau tinggal diam dan lalu menyerang dengan pedangnya, juga Ma Hoa maju pula mengerjakan sepasang bambu runcingnya.
Pemuda itu memang benar Song Kun adanya, murid dari Han Le Sianjin yang lihai. Inilah sute dari Lie Kong Sian yang menjalani kesesatan dan yang telah bertemu dan bertempur dengan Cin Hai!
Tadinya Song Kun memandang rendah tiga lawannya, akan tetapi sesudah menyaksikan gerakan pedang Kwee An dan gerakan dayung di tangan Nelayan Cengeng, diam-diam ia terperanjat dan mengeluh bahwa ia ternyata telah ‘salah tangan’ dan mencari perkara dengan orang-orang yang berilmu tinggi!
Akan tetapi, ilmu silatnya memang hebat dan sesudah beberapa lama dia menghadapi mereka dengan tangan kosong, akhirnya dia mencabut pedang Ang-ho Sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah berapi-api dan berhawa panas itu!
Nelayan Cengeng terkejut sekali melihat pedang itu dan dia berseru kepada Ma Hoa dan Kwee An, “Hati-hati terhadap pedangnya!”
Song Kun tertawa mengejek dan ia lalu memutar-mutar pedangnya dengan gerakan luar biasa cepat dan hebatnya sehingga sibuklah ketiga orang itu mengeroyok dari kanan kiri! Biar pun tidak berani mengadu pedangnya, namun Kwee An yang mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Hek Mo-ko, cukup hebat dan berbahaya.
Sementara itu, Ma Hoa juga merupakan pengeroyok yang berbahaya oleh karena gadis ini selain memiliki Ilmu Silat Bambu Runcing yang aneh, juga tidak takut untuk mengadu senjata, oleh karena bambu lemas kecil itu tidak takut terkena pedang tajam.
Di samping kedua orang anak muda yang tangguh ini, masih ada lagi Nelayan Cengeng yang mempunyai ilmu silat tinggi dan tenaganya luar biasa sehingga Song Kun sendiri merasa ragu-ragu untuk mengadu pedangnya dengan dayung yang besar serta berat itu, takut kalau-kalau pedangnya akan menjadi rusak!
Oleh karena ini, maka pertempuran berjalan seru dan ramai. Akan tetapi mereka lebih banyak bertempur dari jarak jauh dan berlaku amat hati-hati sehingga bisa diduga bahwa pertempuran itu akan berjalan lama sekali.
Song Kun memaklumi hal ini dan karena itu dia lalu mendesak maju. Pada saat dayung Nelayan Cengeng menyambar, dia memapaki dengan pedangnya yang disabetkan dan putuslah ujung dayung itu! Nelayan Cengeng terkejut dan hampir saja dia menjadi korban sabetan pedang pada pinggangnya kalau saja Ma Hoa yang telah menjadi nekat itu tidak melakukan serangan kilat dari belakang, menotok ke arah kedua iga lawan itu!
Song Kun menarik kembali pedangnya dan kalau ia mau, ia akan dapat menjatuhkan Ma Hoa dengan serangan pedang. Akan tetapi Song Kun memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Dia tidak tega melukai Ma Hoa, maka dia hanya menahan kedua bambu runcing itu dengan pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dia ulur ke depan untuk mengusap pipi Ma Hoa!
Gerakannya ini adalah pecahan dari limu Silat Kong-ciak Sin-na, dan kecepatannya luar biasa sehingga colekan itu pun berhasil! Ma Hoa yang merasa betapa pipinya diusap oleh tangan Song Kun, menjerit marah dan menyerang lebih seru!
Namun dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, Song Kun mampu menjaga diri dan kini bahkan melancarkan serangan-serangan yang mematikan ke arah Nelayan Cengeng dan Kwee An! Dia mengambil keputusan untuk membunuh dua orang laki-laki itu untuk dapat melarikan gadis muda berambut panjang ini!
Pada saat itu, terdengarlah bentakan keras, “Song Kun...! Janganlah kau terjerumus ke jurang makin dalam saja!”
Mendengar suara ini, Song Kun terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang. “Suheng...!” katanya.
Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa lalu memandang. Ternyata yang datang adalah seorang lelaki yang berusia tiga puluh lebih, bermuka bundar dan gagah, bersikap tenang dengan kumis kecil menghias di atas bibirnya. Tubuhnya tegap dan bidang, sedangkan sepasang matanya bercahaya tajam dan berpengaruh.
“Song Kun, sesudah berpisah bertahun-tahun, setiap hari aku mengharapkan dan berdoa supaya kau dapat insyaf akan kesesatanmu. Tidak kusangka bahwa kau semakin dalam terjerumus ke dalam jurang kejahatan!” orang itu yang bukan lain adalah Lie Kong Sian adanya, berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.
Song Kun mengeluarkan suara ketawa mengandung ejekan. “Lie Kong Sian! Tadi sempat aku menyebut Suheng kepadamu oleh karena kukira kau hendak berbaik, tidak tahunya datang-datang kau memaki orang! Apakah kau masih merasa penasaran karena dahulu kalah olehku? Jangan kau kira aku takut akan kedatanganmu ini, dan segala perbuatanku adalah aku sendiri yang melakukan dan aku sendiri pula yang menanggung jawabnya! Kau peduli apakah?”
“Dasar batinmu yang amat rendah! Jika begitu, terpaksa sekali lagi aku harus memenuhi perintah mendiang Suhu dan menghajarmu dengan kekerasan.”
“Ha-ha-ha, majulah! Hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu!”
Ucapan ini bagi seorang sute terhadap suheng-nya memang amat kurang ajar, maka Lie Kong Sian lantas menerjang sambil mencabut pedangnya. Song Kun mengelak dan balas menyerang dan sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat.
Tingkat pelajaran mereka memang berimbang, dan dulu ketika mereka bertempur, Lie Kong Sian dapat dikalahkan oleh sute-nya yang memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Sekarang, sungguh pun Lie Kong Sian telah melatih diri dengan keras hingga ilmu kepandaiannya sudah meningkat tinggi, akan tetapi di lain pihak Song Kun telah memiliki pedang Ang-ho Sian-kiam yang luar biasa sehingga Lie Kong Sian tidak berani mengadu pedangnya karena takut kalau-kalau pedang pemberian Ang I Niocu itu akan putus.
Karena ini, untuk kedua kalinya dia terdesak hebat oleh serangan adik seperguruannya yang menyerang sambil tertawa mengejek, walau pun diam-diam dia mengakui kelihaian suheng-nya dan maklum bahwa biar pun suheng-nya tidak berani beradu pedang, namun agaknya tidak akan mudah baginya untuk menjatuhkan suheng itu.
Sementara itu, Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa menyaksikan pertandingan itu dengan penuh kekaguman. Tadi mereka sudah merasa terkejut, heran dan kagum sekali menyaksikan kepandaian Song Kun yang sanggup mendesak mereka, dan kini mereka melihat seorang pemuda lainnya yang seimbang kepandaiannya dengan pemuda pesolek yang lihai itu. Sesudah Cin Hai dan Bu Pun Su, belum pernah mereka menyaksikan ilmu kepandaian orang-orang muda selihai itu.
Melihat bahwa Lie Kong Sian datang dan membela mereka, maka mereka bertiga tentu saja tak mau tinggal diam dan dengan seruan keras, Nelayan Cengeng lalu mengerjakan dayungnya diikuti oleh Ma Hoa dan Kwee An. Kini Song Kun menjadi sibuk. Karena harus menghadapi keroyokan empat orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi itu, tentu saja ia merasa kewalahan sekali. Setelah bertahan sampai puluhan jurus, terpaksa ia lalu melompat jauh dan berkata,
“Lie Kong Sian! Lain kali bila mana kita bertemu berdua saja dan kau tidak mengandalkan keroyokan, tentu aku akan menebas batang lehermu!” Kemudian kepada Ma Hoa dia menyeringai dan berkata. “Sayang, bidadari rambut panjang, kita belum berjodoh!”
Keempat orang itu marah sekali, akan tetapi dengan sekali berkelebat saja Song Kun telah lari jauh dan meninggalkan tempat itu.
“Lihai sekali!” kata Nelayan Cengeng dengan kagum.
“Memang Sute-ku itu lihai sekali dan jahat,” kata Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Lo-enghiong, melihat dayungmu yang hebat itu, apa bila tidak salah dugaanku tentu kau adalah Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng. Betulkah?”
Nelayan Cengeng menjura, kemudian ia menjawab, “Benar, Taihiap. Dari mana kau tahu namaku?”
Lie Kong Sian tersenyum. “Dan kalau tidak salah, Saudara yang gagah ini tentulah Kwee An dan Nona ini Ma Hoa.”
Ketiga orang itu memandangnya dengan heran. “Lie-taihiap, dari mana kau bisa tahu?” tanya Kwee An, sedangkan Ma Hoa tiba-tiba berkata sambil menuding kepada pedang yang dipegang oleh Lie Kong Sian.
“Ehh, bukankah pedang itu pedang milik Ang I Niocu?”
Kini Lie Kong Sian tersenyum dan mengangguk, “Memang ini pedang Kiang Im Giok, dan aku adalah tunangan Ang I Niocu!”
Kemudian Lie Kong Sian yang jujur itu lalu mengaku dan menceritakan pengalamannya betapa dia menolong Ang I Niocu dan akhirnya menjadi calon jodohnya. Lie Kong Sian suka sekali melihat sikap tiga orang yang telah lama dikenal dari penuturan Ang I Niocu itu dan yang dipuji oleh kekasihnya, maka dia kemudian mengaku terus terang mengenai pertunangannya itu dan demikianlah maka mereka tahu akan pertunangan Ang I Niocu dengan Lie Kong Sian yang gagah perkasa. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan terpisah, karena Lie Kong Sian hendak mengejar dan menyusul sute-nya untuk memenuhi syarat Ang I Niocu, yaitu merobohkan sute-nya yang ternyata bukan insyaf, bahkan semakin jahat itu.
Setelah Ma Hoa menceritakan semua pengalamannya kepada Ang I Niocu, tahulah Nona Baju Merah itu bagaimana mereka dapat mengetahui hal pertunangannya hingga mereka tadi menggodanya. Terutama Ma Hoa menggodanya sehingga muka Ang I Niocu menjadi semerah bajunya. Ia tidak dapat marah karena maklum bahwa Ma Hoa menggoda karena rasa girangnya.
“Ma Hoa, sudahlah jangan kau menggodaku lebih lanjut. Kalau menggoda terus, aku tak akan menceritakan kepadamu perihal Lin Lin.”
Ma Hoa memegang lengan tangan Ang I Niocu dan bertanya, “Lin Lin? Apakah kau telah bertemu dengan dia, Cici yang baik? Bagaimana keadaannya? Selamatkah ia dan bagai mana dengan Cin Hai?” Dihujani pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan sengaja berlaku lambat-lambatan sehingga tidak saja Ma Hoa menjadi tidak sabar, bahkan Kwee An dan Nelayan Cengeng juga mendesaknya untuk segera menceritakan hal Lin Lin.
“Maka jangan suka menggoda orang,” kata Ang I Niocu. “Baikiah, aku akan menceritakan pengalamanku.”
Kemudian tiba giliran Ang I Niocu untuk menuturkan semua pengalamannya, betapa dia bertemu dengan Cin Hai dan mendapatkan sepasang pedang Liong-cu-kiam serta harta pusaka di dalam Goa Tung-huang dan pengalaman-pengalaman lainnya. Dan juga dia menceritakan betapa Lin Lin sudah dibawa oleh Bu Pun Su untuk diberi pelajaran silat sebagaimana yang ia dengar dari Cin Hai.
Mendengar penuturan ini, bertitik air mata dari kedua mata Ma Hoa karena terharu dan girangnya. Sekarang harapannya sudah terkabul semua. Seluruh kawan-kawannya telah selamat dan terlepas dari bahaya. Begitu pula Kwee An dan Nelayan Cengeng. Mereka berempat itu sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi peristiwa hebat di Goa Tengkorak yang membuat Lin Lin terluka dan terancam jiwanya!
“Sekarang tugas kita cari-mencari ini telah selesai karena orang-orang yang dicari telah ditemukan,” kata Nelayan Cengeng. “Akan tetapi kita harus melindungi Yo Se Pu dari bahaya dan juga, oleh karena menurut penuturan Ang I Niocu tadi bahwa Cin Hai akan kembali ke sini dan Ang I Niocu sendiri ditugaskan menjaga goa tempat harta pusaka, kita semua lebih baik untuk sementara waktu tinggal di sini, menanti datangnya Cin Hai untuk kemudian bersama-sama kembali ke timur.”
Semua orang menyetujui usul ini dan sesudah Yousuf selesai mengurus semua kawan dan lawan yang terluka dan tewas, dia pun lalu datang dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Nelayan Cengeng bersama yang lain-lain mencoba sedapat mereka untuk menghibur hati Yousuf yang masih berduka karena kematian gurunya dan banyak kawan-kawannya.
“Sebenarnya, tentang kematian tak perlu kusedihkan benar karena soal itu bukanlah soal yang aneh dan harus disesalkan. Yang sekarang membuat hatiku berduka ialah adanya perpecahan dan permusuhan di antara bangsa sendiri. Baiknya kalian membawa berita bahwa anakku Lin Lin telah diselamatkan dan bahkan kini memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan Bu Pun Su, kalau tidak, tentu aku akan semakin gelisah dan cemas saja.”
Demikianlah, mereka berempat lalu tinggal di kampung Yousuf dan kawan-kawannya itu sehingga pengikut Pangeran Muda tidak berani datang untuk bermain gila lagi. Hampir tiga atau empat kali dalam sehari Ang I Niocu menyelidiki keadaan goa itu, menjaga dan memeriksa kalau-kalau ada orang yang mengetahui tempat itu. Kadang-kadang ia pergi seorang diri, tapi tidak jarang ditemani oleh Ma Hoa, bahkan beberapa kali Kwee An dan Nelayan Cengeng juga ikut.
*****