Pendekar Bodoh Jilid 32

Pendekar BodohJilid 32
Sonny Ogawa

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 32

Siok Kwat Mo-li, Lo Kun Tojin, dan Perwira Turki yang bernama Sahali itu, turut merasa terkejut sekali melihat betapa hebat sepak terjang Bu Pun Su tadi. Akan tetapi sebagai orang-orang berilmu tinggi, tentu saja mereka pun tak sudi menyerah sebelum mencoba.

Sekarang, mendengar ucapan suheng-nya yang telah menipunya, Siok Kwat Mo-li lantas mencabut keluar senjatanya yang sangat lihai, yakni sebatang tongkat hitam, diikuti oleh Lok Kun Tojin yang mengeluarkan sepasang rodanya dan Perwira Turki itu mengeluarkan sepasang golok (siang-to) yang tajam mengkilap.

“Bu Pun Su, jagalah serangan kami!” seru Siok Kwat Moli dengan keras sambil memutar-mutarkan tongkat hitamnya.

“Majulah, majulah!” jawab Bu Pun Su tenang.

Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang tadi bersembunyi dan mengintai, ketika menyaksikan pertandingan antara Bu Pun Su dan tiga orang jago tadi, saking tertariknya mereka sudah keluar dari tempat persembunyian dan memandang penuh kekaguman, akan juga dengan keheranan besar mengapa Bu Pun Su bekerja sama, bahkan membela Hai Kong Hosiang yang jahat! Hal ini sungguh-sungguh membuat Ang I Niocu heran dan juga amat penasaran. Akan tetapi ia memang sudah maklum akan adat aneh dari susiok-couwnya itu, maka ia hanya menonton dan tidak berani mengganggunya.

Sebenarnya, kalau mau dibuat pertandingan tentang ilmu kepandaian, maka tingkat ilmu kepandaian jago-jago yang berdiri di pihak Turki ini dengan jago-jago Mongol yang telah dikalahkan tadi, mungkin masih lebih tinggi kepandaian jago-jago Turki ini karena di situ terdapat Siok Kwat Mo-li yang amat lihai, apa lagi senjata Lok Kun Tojin yang merupakan sepasang roda itu sangat berbahaya sekali. Juga Sahali bukanlah seorang lemah karena dia adalah jago yang sudah sangat disegani di Turki dan merupakan tangan kanan yang mendapat kepercayaan penuh dari Pangeran Muda.

Maka mengingat akan kepandaian sendiri, ketiga orang ini tidak menjadi gentar bahkan mempunyai harapan untuk merobohkan Bu Pun Su dan mendapatkan harta pusaka yang belum pernah mereka lihat itu. Hasil penyelidikan mata-mata mereka membuat mereka tahu bahwa goa tempat di mana harta pusaka disembunyikan itu sudah didapatkan oleh orang-orang Mongol, maka mereka lalu menyerbu ke situ hingga secara kebetulan semua pihak dapat bertemu di depan goa di mana tersembunyi harta pusaka yang diperebutkan.

Bu Pun Su menghadapi ketiga orang lawannya yang baru ini dengan ketenangan yang amat mengagumkan. Dari gerakan-gerakan senjata ketiga lawannya yang mewakili pihak Turki ini, dia segera dapat memaklumi bahwa ilmu silat mereka ini tak kalah lihainya dari kepandaian ketiga lawan yang telah dikalahkan tadi, maka dia berlaku amat hati-hati.

Siok Kwat Mo-li adalah sumoi dari Hai Kong Hosiang yang jahat dan lihai, maka tongkat hitam di tangannya pun berbahaya sekali. Ketika dia membuat gerakan menyerang maka tongkat itu seolah-olah berubah menjadi banyak bagai ular-ular hidup berlenggak-lenggok menyambar ke arah tubuh Bu Pun Su. Ternyata bahwa seperti halnya Hai Kong Hosiang, ilmu tongkatnya berdasarkan ilmu tongkat Jeng-coa Tung-hoat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang mempunyai gerakan-gerakan luar biasa cepatnya.

Lok Kun Tojin memiliki sepasang senjata roda bertali yang jarang dapat dimainkan orang karena memang amat sukar untuk memainkan senjata macam itu. Akan tetapi di tangan pendeta itu sepasang roda bertali merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya, yang menyambar-nyambar bagaikan mustika-mustika naga bermain-main di udara.

Perwira Turki bernama Sahali itu adalah tangan kanan Pangeran Muda dan ilmu golok sepasang yang dimainkannya ini hebat dan berbahaya. Dia mempunyai cara bertempur yang aneh dan ilmu silatnya pasti akan membingungkan lawannya karena di Tiongkok tidak terdapat ilmu golok seperti itu. Akan tetapi kini dia menghadapi Bu Pun Su yang mengenal ilmu silat bukan berdasarkan permainannya, akan tetapi berdasarkan gerakan kaki tangan yang bagaimana pun juga mempunyai dasar-dasar yang sama.

Sebagaimana diketahui, rombongan ini tadinya dibantu oleh Wai Sauw Pu yang lihai dan juga Kanglam Sam-lojin. Akan tetapi Wai Sauw Pu sudah tewas di dalam tangan Ibrahim, sedangkan Kam-lam Sam-lojin yang merasa gentar menghadapi lawan-lawannya, sudah melarikan diri dan kembali ke timur, lenyap nafsu mereka untuk ikut mencari harta pusaka itu karena maklum bahwa mereka akan menghadapi lawan-lawannya yang tangguhnya luar biasa. Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li dan Lok Kun Tojin yang berilmu tinggi, tidak putus harapan meski pun ditinggalkan oleh kawan-kawannya ini, apa lagi ketika dari pihak Turki yang mereka bantu itu datang pula Sahali yang lihai.

Tadi ketika Bu Pun Su dikeroyok bertiga oleh Thai Kek Losu dan kawan-kawannya, Siok Kwat Mo-li sudah melihat dengan penuh perhatian. Permainan silat Pek-in Hoat-sut yang hebat itu terlihat amat kuat menghadapi lawan dari depan mau pun dari belakang, karena pergerakan kaki tangan secara otomatis berpindah-pindah dan setiap kali bahaya datang dari belakang, tubuh kakek itu dengan mudah membalik ke belakang.

Dalam permainannya, seakan-akan kakek itu mempunyai empat mata, di depan serta di belakang! Dan Thai Kek Losu serta kawan-kawannya yang mengeroyok dari depan dan belakang menjadi tidak berdaya! Siok Kwat Mo-li yang cerdik itu dapat melihat hal ini dan kini dia telah mendapat cara untuk mengeroyok kakek jembel itu maka ia berbisik kepada dua kawannya,

“Kalian menyerang dari sisi kanan dan kirinya, sedangkan aku akan menghadapinya dari depan!”

Kini Bu Pun Su dikeroyok oleh lawan yang mempergunakan bentuk segitiga, yakni dari depan, kanan dan kiri, tidak menyerang dari belakang! Serangan yang dilakukan dari tiga jurusan ini jauh lebih berbahaya dari pada serangan yang dilakukan hanya dari depan dan belakang, karena hanya datang dari dua jurusan, maka diam-diam ia merasa kagum dan memuji kecerdikan nenek bongkok itu. Memang benar, ketika dikeroyok dengan cara demikian, ia akan menderita lelah sekali karena sekarang ia harus membuat lebih banyak gerakan untuk menghadapi ketiga orang lawan itu.

Bu Pun Su adalah seorang sakti yang pada masa itu sukar dicari bandingannya, maka tentu saja tipu muslihat ini tak membuatnya menjadi bingung. Tiba-tiba dia berseru, “Siok Kwat Mo-li, kau betul-betul cerdik. Akan tetapi aku Si Tua Bangka ini tidak memiliki banyak waktu dan tenaga untuk melayani kalian bermain-main!”

Sesudah berkata demikian, Bu Pun Su mengambil sepotong gendewa yang sudah patah milik dari Sian Kek Losu tadi yang kini panjangnya hanya tinggal satu kaki lebih. Biar pun benda itu hanya merupakan sepotong baja bengkok, akan tetapi setelah berada di tangan Bu Pun Su akan merupakan sebuah senjata yang luar biasa ampuhnya. Kakek jembel ini berseru keras dan baja bengkok itu lantas menyambar hebat, merupakan gulungan sinar yang panjang dan dahsyat.

“Lepaskan senjata!” terdengar teriakan nyaring Bu Pun Su dari dalam gulungan sinar itu, sedangkan tubuh kakek itu sendiri lenyap ditelan gulungan sinar senjatanya yang diputar secara luar biasa itu.

Terdengar suara logam beradu keras sekali dan segera disusul oleh pekik kesakitan dan terkejut oleh tiga buah mulut pengeroyoknya. Sepasang golok di tangan Sahali terpental dan melayang ke atas sedangkan dua buah roda dari Lok Kun Tojin juga melayang ke kanan kiri karena talinya telah putus.

Ada pun Siok Kwat Moli yang mempunyai lweekang lebih tinggi dari pada kedua orang kawannya itu, masih sanggup mempertahankan senjatanya sehingga tidak terlepas dari tangannya walau pun kulit telapak tangannya serasa akan pecah. Namun ternyata bahwa tongkatnya itu tak sekuat tangannya sehingga pada saat ia memandang, ternyata bahwa tongkatnya itu sudah putus di tengah-tengah dan kini hanya merupakan sebatang tongkat yang amat pendek saja.

Ternyata bahwa tadi Bu Pun Su telah mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang sangat dahsyat, yang disebutnya Gerakan Halilintar Menyambar Bumi. Kehebatan gerakan ini memang luar biasa sehingga jangankan baru ada tiga orang lawan yang bersenjata, biar pun ada puluhan lawan agaknya takkan ada yang dapat mempertahankan sambarannya ini yang dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya!

Siok Kwat Mo-li dan kedua orang kawannya berdiri bengong karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana cara kakek itu membuat senjata mereka terpental dan patah-patah. Akan tetapi, nenek bongkok itu menjadi marah sekali dan ketika melihat Bu Pun Su berdiri di depannya dengan tenang, akan tetapi nyata bahwa kakek itu sedang mengatur kembali pernapasannya yang agak tersengal karena tadi telah menggunakan tenaga sepenuhnya sedangkan usianya sudah sangat tua, maka sambil memekik keras Siok Kwat Mo-li lalu mengayun tangannya dan berhamburanlah jarum-jarum hitam ke tubuh Bu Pun Su!

Ang I Niocu dan Ma Hoa terkejut sekali melihat hal ini. Sebagai orang-orang yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa pada waktu itu Bu Pun Su sedang mengatur napas dan karenanya dilarang membuat gerakan-gerakan besar karena hal ini akan membahayakan keselamatannya.

Ma Hoa dan Ang Niocu memang sangat tertarik melihat pertandingan ke dua yang lebih hebat itu, maka tak terasa pula mereka telah mendekat, dan bahkan Ma Hoa telah berdiri dekat Bu Pun Su, sedangkan Ang I Niocu yang masih merasa takut-takut kepada Bu Pun Su, berdiri agak jauh.

Melihat keadaan Bu Pun Su yang sangat berbahaya itu, Ma Hoa cepat melompat dengan sepasang bambu runcingnya di tangan. Dia melompat ke depan Bu Pun Su dan cepat sekali dia memutar-mutar dua batang bambu runcing itu menangkisi jarum-jarum hitam sehingga semua jarum dapat dipukul runtuh ke atas tanah.

“Ehh, anak lancang, lekas kau mundur! Im Giok, jangan perbolehkan kawanmu ini maju!” kata Bu Pun Su dengan suara perlahan, akan tetapi berpengaruh hingga Ma Hoa menjadi terkejut dan segera melompat kembali ke dekat Ang I Niocu.

Bu Pun Su memandang kepada Siok Kwat Mo-li sambil tersenyum. “Apa bila kau masih merasa penasaran, kau boleh menyerang lagi dengan jarum-jarummu!”

Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li yang melihat betapa Ma Hoa dan Ang I Niocu yang telah ia kenal kelihaiannya itu berdiri di situ dan agaknya akan membantu pula kepada Bu Pun Su, merasa bahwa perlawanan dari pihaknya takkan ada gunanya, maka ia memandang dengan mata mengandung penuh kebencian ke arah Ma Hoa, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh kawan-kawannya dan semua anak buah Turki.

Sekarang keadaan di situ makin sunyi dan hanya tinggal Kam Hong Sin seorang bersama anak buahnya yang masih berdiri di tempat semula. Kam Hong Sin menyaksikan semua pertandingan itu dan diam-diam dia pun sangat kagum terhadap Bu Pun Su. Dia maklum bahwa kepandaiannya sendiri belum ada sepersepuluh bagian kepandaian kakek itu.

Akan tetapi Kam Hong Sin juga terkenal sebagai seorang panglima gagah yang pantang mundur dalam melakukan tugasnya. Sebelum ia dikalahkan, betapa pun juga ia tak mau mengalah begitu saja. Maka ia segera melangkah maju dan menjura kepada Bu Pun Su.

“Locianpwe, sungguh hebat kepandaianmu dan selama hidupku baru kali ini aku melihat kesaktian yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar yang berkuasa, aku melarangmu mengambil harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan itu!”

Bu Pun Su tersenyum dan di dalam hatinya ia mengagumi dan memuji sikap yang gagah berani dari perwira ini.

“Dan bagaimana kalau aku tetap hendak mengambil harta pusaka itu?” tanyanya dengan tenang.

“Terpaksa aku harus menangkap dan menawanmu untuk dibawa ke kota raja!”

Terdengar suara tertawa riuh rendah. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, perwira serta pendeta Mongol yang menjadi kawan-kawannya. Hai Kong Hosiang berkata kepada Balaki, perwira Mongol yang kini menjadi kawannya itu.

“Balaki, kaulihat bagaimana sombongnya perwira yang masih kanak-kanak itu, ha-ha-ha!”

Tiba-tiba Bu Pun Su berpaling kepada mereka dan membentak, “Diam! Perwira ini lebih gagah dan jantan dari pada kalian semua, mengapa mentertawakannya?”

Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya tercengang mendengar bentakan ini karena mereka benar-benar tidak menyangka bahwa Bu Pun Su akan menjadi demikian marah. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya, di dalam hatinya Bu Pun Su merasa segan untuk melawan perwira yang gagah perkasa dan yang setia akan tugasnya ini.

“Kam-ciangkun,” kata kakek itu kemudian, “lebih baik Ciangkun kali ini mengalah saja dan kembali ke Kota Raja. Biarlah lain kali bila mana ada ketika, aku orang tua akan datang menyatakan maaf.”

“Tidak mungkin, Locianpwe. Tugas kewajiban harus dilaksanakan, biar pun aku terpaksa mempertaruhkan jiwaku. Apa bila Locianpwe hendak melanjutkan usaha mengambil harta pusaka itu, betapa pun juga terpaksa aku harus turun tangan dan menangkapmu.”

“Hmm, kalau begitu, silakan kau maju dan menangkapku kalau kau sanggup, Ciangkun, dan bukalah matamu baik-baik supaya kau tidak melewatkan kesempatan baik ini dengan sia-sia!”

Kam Hong Sin tak mengerti akan maksud ucapan ini, akan tetapi ia tidak merasa gentar dan ketika Bu Pun Su menantangnya untuk menangkap, ia segera mempergunakan ilmu tangkapan tangan yang dulu dia pernah pelajari dari seorang perantau dari seberang laut timur.

Perantau itu datang dari seberang timur dan dalam perantauannya ke daratan Tiongkok, dia sudah bertemu dengan Kam Hong Sin dan memberinya pelajaran silat yang sifatnya seperti Sin-na-hoat. Oleh karena itu, ia memiliki kepandaian yang luar biasa dan sekali ia dapat menangkap kedua lengan orang, maka sukarlah bagi orang itu untuk melepaskan dirinya lagi!

Ketika Kam Hong Sin melangkah maju hendak menangkapnya, Bu Pun Su hanya berdiri tersenyum dan bahkan mengulurkan kedua lengannya untuk ditangkap! Kam Hong Sin merasa heran dan segera menyambar kedua lengan itu untuk terus diputar ke belakang tubuh Bu Pun Su dalam pegangan yang kuat sekali! Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu kedua lengan tangan kakek itu telah ditekuk ke belakang punggung dan ikatan belenggu besi pun tidak akan lebih kuat dan meyakinkan dari pada pegangan ini.

“Ciangkun, perhatikan baik-baik!” kata Bu Pun Su.

Kam Hong Sin segera maklum bahwa kakek itu tentu akan menggunakan ilmunya untuk melepaskan diri, maka cepat-cepat ia lalu mempererat pegangannya dan menekuk kedua lengan kakek itu semakin tinggi di atas punggungnya!

Bu Pun Su mengangkat sebelah kakinya lalu ditendangkan ke belakang dengan perlahan sehingga Kam Hong Sin yang berdiri di belakangnya itu tentu saja harus mengelak dari tendangan yang mengarah ke bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia miringkan tubuh dan mengganti kedudukan kakinya dan saat inilah yang dipergunakan oleh Bu Pun Su untuk melepaskan diri. Saat Kam Hong Sin mengangkat kaki untuk membuat perobahan posisi kakinya, tiba-tiba Bu Pun Su membungkuk dan sekali Bu Pun Su berseru keras maka tubuh Kam Hong Sin itu terpelanting melewati kepala Bu Pun Su hingga jatuh tunggang langgang!

Sampai tiga kali Kam Hong Sin mencoba menangkap Bu Pun Su dengan mengeluarkan berbagai ilmu menangkap, akan tetapi selalu akibatnya terpelanting dan terbanting jatuh di depan kakek itu. Dan anehnya, ketika terbanting itu, Kam Hong Sin tidak merasa sakit karena tidak terbanting keras dan tiap kali melakukan gerakan untuk melepaskan diri dari tangkapan, Bu Pun Su sengaja berlaku lambat sehingga Kam Hong Sin dapat mengikuti gerakannya dan dapat memahami ilmu gerakan itu hingga seakan-akan mereka bukan sedang bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi hanya merupakan latihan saja, yaitu Kam Hong Sin mendapat latihan tiga macam ilmu gerakan yang hebat dari Bu Pun Su!

“Terima kasih atas pengajaran Locianpwe. Saya mengaku kalah dan biarlah kekalahan ini kulaporkan ke Kota Raja.”

Setelah berkata demikian, Kam Hong Sin lalu memimpin anak buahnya untuk kembali ke timur, memberi laporan tentang gagalnya tugas yang dijalankannya! Walau pun ia merasa penasaran dan kecewa, namun diam-diam dia merasa girang karena menerima pelajaran tipu gerakan yang lihai dari kakek sakti itu!

Hai Kong Hosiang tertawa dan sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan Ma Hoa, ia pun berkata keras, “Kalian apakah hendak merebut harta pusaka pula? Jika demikian halnya, boleh kalian maju melawan jago kami. Ha-ha-ha,”

Walau pun merasa gemas dan marah, akan tetapi Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani berlaku sembrono di depan Bu Pun Su. Mereka hanya berdiri bingung dan memandang ke arah kakek itu. Pada waktu Bu Pun Su berpaling kepada mereka, Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut.

Akan tetapi sambil mengerutkan keningnya, Bu Pun Su membuat gerakan dengan tangan mengusir mereka dan berkata, “Pergilah, pergilah...”

Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani membantah dan terpaksa mereka pergi dari sana tanpa berani bertanya apa-apa lagi. Mereka cepat-cepat pulang ke rumah Yousuf untuk menceritakan peristiwa mengherankan ini kepada Nelayan Cengeng dan Yousuf.

Sementara itu, setelah berhasil mengusir semua pihak yang ingin mencari harta pusaka itu, Bu Pun Su lalu membawa kawan-kawannya masuk ke dalam goa itu.

“Inilah goa penyimpanan harta-pusaka itu.” katanya.

“Bu Pun Su, kau berjanji untuk mendapatkan harta pusaka itu, bukan hanya goanya,” kata Hai Kong Hosiang dengan senyum menyeringai.

“Kita harus mencari rahasianya,” keluh kakek jembel itu yang segera mencari-cari.

Ia adalah seorang yang sudah memiliki pengalaman luas, maka meski pun tanpa bantuan peta, dia dapat menduga bahwa patung yang berdiri di dekat dinding itu tentulah bukan sengaja dipasang di sana, karena biasanya patung Buddha itu selalu dipasang di tengah dan di tempat yang khusus untuk menjadi pujaan.

Maka ia lantas menggerak-gerakkan patung itu dan benar saja, terdengar bunyi di bagian atas dan segera tampaklah lubang tempat persembunyian harta itu. Bu Pun Su kemudian menggerakkan tubuhnya dan memasuki lubang kecil itu sebagaimana dilakukan oleh Cin Hai dahulu. Tak lama kemudian, ia turun kembali dan berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio,

“Harta ada di dalam sana, kalian boleh mengambilnya dan sekarang lekas keluarkanlah obat untuk muridku itu!”

“Obat itu tidak ada padaku,” jawab Hai Kong Hosiang.

Bu Pun Su memandang dengan mata bersinar-sinar sehingga Hai Kong Hosiang menjadi takut dan mundur dua langkah.

“Aku tidak membohongimu, Bu Pun Su. Obat itu memang ada, yaitu dalam tangan dukun tua dari Mongol yang juga sudah kami ajak ke tempat ini dan kami sembunyikan di dalam sebuah tempat rahasia di dalam hutan.”

“Lebih dulu bawa aku ke sana untuk mengambil obat, setelah itu kau serahkan kepadaku, barulah kalian boleh mengambil semua harta ini!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su lalu menggerakkan kembali patung itu sehingga lubang tadi tetutup kembali.

“Benarkah harta itu berada di tempat itu?” tanya Wi Wi Toanio kepada Bu Pun Su.

“Wi Wi, aku adalah seorang lelaki sejati. Pernahkah aku membohong?” Bu Pun Su amat mendongkol dan ia kembali menggerakkan patung untuk membuka. “Kau lihatlah sendiri, perempuan curang!”

Wi Wi Toanio tertawa menjemukan lantas melompat ke atas dan memasuki lubang itu. Sampai lama dia tidak keluar hingga Hai Kong Hosiang terpaksa berseru memanggilnya. Akhirnya kepala perempuan itu muncul kembali dan sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan seorang yang merasa girang sekali.

“Aduhhh, bukan main hebatnya!” katanya sehingga ucapan yang pendek itu sudah cukup menyakinkan hati Hai Kong Hosiang, Balaki dan kawan-kawannya.

Bu Pun Su menutup kembali lubang itu dan berkata, “Hayo cepat antar aku ke dukun itu untuk mengambil obatnya!”

Mereka lalu membawa Bu Pun Su ke dalam sebuah hutan di luar kota, di mana terdapat sebuah pondok yang terjaga oleh beberapa orang Mongol kawan-kawan Balaki. Namun ketika mereka datang, para penjaga lalu menyambut mereka dengan muka pucat.

“Celaka, baru saja ada seorang muda yang mengacau di sini. Kami semua tidak berdaya terhadapnya, karena ia lihai sekali!”

Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya, juga Bu Pun Su menjadi terkejut sekali dan mereka segera memburu ke dalam pondok. Dukun tua yang kurus itu sedang duduk di atas bangku sambil menundukkan kepala seperti orang yang mengantuk.

“Muhambi, apakah yang terjadi?” teriak Hai Kong Hosiang dengan kuatir.

“Tak ada apa-apa, hanya seorang pemuda yang memaksaku menyerahkan obat penolak racun dari kembang semut merah itu.”

Hai Kong Hosiang menjadi pucat. “Celaka! Justru obat itulah yang kami butuhkan! Siapa orangnya yang berani merampasnya?”

“Entahlah,” jawab Mahambi, dukun itu. “Ia adalah seorang pemuda tampan yang mengaku bernama Song Kun!”

Mendengar ini, Bu Pun Su menjadi pucat dan ia pun segera berkata, “Wi Wi, dan kau Hai Kong! Aku telah memenuhi janjiku untuk mengusir semua lawan dan mendapatkan tempat disimpannya harta pusaka, akan tetapi ternyata kalian tidak dapat memenuhi janjimu!”

“Sabar dulu, Bu Pun Su,” kata Hai Kong Hosiang yang segera memegang pundak dukun itu sambil mengancam, “Buatkan lagi obat itu untuk kami!”

Mahambi menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah penuh uban. “Aku harus menanti berkembangnya kembang semut merah itu kira-kira setengah tahun lagi.”

“Aku pergi!” kata Bu Pun Su. “Jangan harap kalian akan dapat membawa harta pusaka itu!” Setelah berkata demikian, kakek itu melompat keluar pondok dan lenyap.

Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio sejenak tertegun. Alangkah ingin mereka mengejar dan memaksa Bu Pun Su agar mengambilkan harta pusaka itu. Akan tetapi, apakah daya mereka terhadap kakek sakti itu.

*****

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

Cin Hai dan Lin Lin yang sedang melakukan perjalanan dengan perlahan dan seenaknya, akhirnya sampai pula di luar batas kota Lan-couw dan di tempat ini mereka lalu berhenti untuk beristirahat dalam sebuah goa di luar hutan.

“Mudah-mudahan Suhu akan berhasil mendapatkan obat itu secepatnya agar hatiku tidak menjadi gelisah sekali,” kata Cin Hai.

“Hai-ko, jangan kau gelisah. Suhu pasti akan bisa mendapatkan obat itu dan andai kata Suhu gagal, aku masih tetap percaya bahwa akhirnya kau akan berhasil menolongku,” kata Lin Lin dengan mata memandang mesra dan penuh kepercayaan.

Melihat kedua orang itu berhenti di dalam goa, tiga ekor burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak, Kim-tiauw dan Ang-siang-kiam Si burung bangau, lalu melayang turun dan mengeluarkan suara seakan-akan mereka merasa kecewa, oleh karena bagi mereka tempat itu memang kurang menyenangkan. Tempat itu merupakan tanah tidak berumput, penuh gunung batu karang dan banyak pula goa-goa besar di situ, dengan batu-batu karang bergantungan dari atas merupakan pedang tajam dan di dalam goa pun lantainya dari batu karang yang menyakitkan kaki bila menginjaknya.

Akan tetapi oleh karena panas terik matahari sedang membakar tempat yang gundul tak berpohon itu, maka goa di mana mereka berteduh merupakan tempat yang sangat enak dan melindungi mereka dari serangan matahari yang panas.

“Lin-moi,” kata Cin Hai sambil membelai kepala Sin-kong-ciak yang mendekatinya, “Kalau kita telah beristirahat dan menghilangkan lelah, kita harus segera melanjutkan perjalanan memasuki kota Lan-couw. Betapa pun juga, aku merasa amat gelisah mengingat akan nasib Suhu yang berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat seperti Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya.”

“Tenangkanlah hatimu, Hai-ko. Suhu bukan sembarangan orang yang akan mudah dapat dicelakai oleh orang-orang macam Hai Kong itu. Aku yakin sepenuh hatiku bahwa Suhu pasti akan tiba dengan segera membawa obat itu.”

Tiba-tiba Sin-kong-ciak dan kedua burung yang lain itu berteriak keras dan ketiga-tiganya lalu terbang keluar goa sambil memekik-mekik marah. Cin Hai melompat keluar, diikuti oleh Lin Lin.

Mereka terkejut sekali karena melihat bahwa yang datang itu adalah Song Kun! Ketiga burung itu sudah mengenal Song Kun dan sudah mengetahui kelihaiannya, maka mereka hanya terbang rendah sambil mengeluarkan suara teriakan seakan-akan memberi tanda kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya bersiap menghadapi lawan.

“Obat sudah kudapatkan!” teriak Song Kun dengan wajah berseri. “Cin Hai, adikku yang baik. Sekarang akulah yang berhak membawa gadis ini, karena jiwanya berada di dalam tanganku. Aku telah mendapatkan obat itu dan akulah pula yang berhak mendapatkannya karena hanya aku yang dapat menyembuhkannya!”

Cin Hai menjadi pucat dan dia memandang penuh ketidak percayaan.

“Kau tidak percaya?” kata Song Kun sambil tersenyum dan melirik ke arah Lin Lin. “Inilah obat itu!” Ia mengeluarkan sebotol obat warna merah dari saku bajunya dan mengangkat tinggi-tinggi.

“Song Kun! Betulkah bicaramu itu?” tanya Cin Hai dengan hati berdebar.

“Kau anggap aku ini orang apakah maka bicaraku harus kau ragukan lagi? Dengar, Sute. Obat untuk menyembuhkan Lin Lin hanyalah sebotol ini yang berada di tangan dukun Mongol. Obat inilah yang seharusnya diberikan kepada orang yang berhasil mendapatkan harta pusaka untuk rombongan yang dikepalai oleh Hai Kong Hosiang, demikian menurut dukun Mongol itu. Akan tetapi dengan bersikeras, aku berhasil merampas botol ini, dan segera aku mencari kalian untuk mengobati Lin Lin. Akan tetapi, aku baru memberi obat ini kepada Lin Lin kalau dia mau berjanji untuk menjadi isteriku yang tercinta.” Song Kun berkata demikian sambil mempermain-mainkan botol itu di tangannya dan mengerling ke arah Lin Lin yang menjadi merah mukanya.

“Suheng!” teriak Cin Hai yang merasa girang dan juga kaget. Girang karana ada harapan bagi Lin Lin untuk sembuh kembali akan tetapi, kaget mendengar permintaan dan syarat Song Kun itu.

“Kau tolonglah Lin Lin dan berikan obat itu kepadanya. Kesembuhannya merupakan hal yang terpenting bagiku dan walau pun kau menghendaki jiwaku, akan kuberikan dengan rela asalkan kau suka menyembuhkan Lin Lin. Akan tetapi, janganlah kau memaksanya menjadi isterimu kalau dia tidak suka.”

Song Kun tertawa bergelak, “Sute, kau membolak-balik omonganmu sendiri. Kau tak ingin melihat tunanganmu itu meninggal dan juga tidak ingin melihat ia menjadi isteri orang lain! Cin Hai, apakah kau benar-benar mencinta kepadanya?”

“Tak perlu kau bertanya lagi. Aku rela mengorbankan nyawa untuknya.”

“Kalau benar cintamu itu murni, kau tentu tidak keberatan untuk mengalah padaku. Pilih saja, membiarkan ia sembuh sama sekali dan menjadi isteriku, atau akan kubuang obat ini dan membiarkan dia mati.” Sambil berkata demikian, Song Kun membuat gerakan seolah-olah dia benar-benar hendak melempar botol itu ke dalam jurang batu karang!

Cin Hai menjadi bingung karena dia maklum bahwa seorang macam Song Kun itu bukan hanya pandai menggertak saja, akan tetapi dapat melakukan segala perbuatan yang keji.

"Jangan kau buang botol itu, Suheng! Tentu saja aku lebih suka melihat Lin Lin sembuh kembali!”

“Dan menjadi isteriku?” tanya Song Kun.

“Soal itu terserah kepadanya,” jawab Cin Hai tanpa berani memandang muka kekasihnya.

Lin Lin semenjak tadi mendengarkan percakapan mereka itu dengan hati panas, akhirnya tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan mencabut pedang pendeknya.

“Song Kun manusia berbatin rendah! Aku lebih baik seribu kali mati dari pada menjadi isterimu. Buanglah botol itu! Kau kira aku takut mati?” Sambil berkata demikian, dengan kemarahan besar gadis itu lalu menerjang Song Kun dengan pedang pendeknya dalam serangan yang hebat.

Song Kun cepat menyimpan botol itu kembali ke dalam saku bajunya, kemudian segera mencabut pedangnya Ang-ho Sian-kiam untuk menghadapi serangan Lin Lin yang tidak boleh dipandang ringan itu.

Melihat betapa kekasihnya menjadi nekat, Cin Hai cepat-cepat mencabut keluar pedang Liong-cu-kiam dan ikut menerjang sambil berseru, “Song Kun, jangan kau lawan dia yang masih lemah. Akulah lawanmu!” Dengan tikaman hebat dia menyerang yang segera ditangkis oleh Song Kun.

Lin Lin tetap menyerang dan membantu kekasihnya, akan tetapi Cin Hai yang berkuatir melihat kelemahan Lin Lin segera berkata kepadanya, “Lin-moi mundurlah dan biarkan aku menghadapi iblis ini! Aku telah yakin akan perasaan hatimu dan jangan kau kuatir. Kalau perlu, kita akan mati bersama!”

Lin Lin melompat mundur dan membiarkan kekasihnya menghadapi lawan yang baginya terlampau tangguh itu, apa lagi karena dia memang merasa pening dan lemah. Ia berdiri saja memandang dan menyaksikan pertempuran yang berjalan hebat itu.

Sekali lagi dua orang muda yang amat lihai itu mengadu kepandaian di antara batu-batu karang yang menjulang tinggi, disaksikan oleh Lin Lin dan ketiga ekor burung sakti yang hanya beterbangan di atas dan kadang-kadang saja menyambar turun untuk membantu. Akan tetapi, sinar pedang Ang-ho Sian-kiam yang hebat dan mengeluarkan hawa panas itu membuat mereka tidak tahan mendekati Song Kun dan terpaksa hanya beterbangan di atas mereka yang sedang bertempur sambil mengeluarkan pekikan-pekikan nyaring.

Karena hatinya telah bulat untuk merobohkan Song Kun yang dibencinya ini, Cin Hai lalu mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia dapat mendesak Song Kun setelah mereka bertempur selama puluhan jurus dengan hebatnya.

Diam-diam Song Kun merasa terkejut sekali karena kini dia mendapat kenyataan bahwa betul-betul pengertian tentang dasar-dasar ilmu silat membuat Cin Hai menjadi lihai sekali dan dapat mengembalikan setiap serangannya yang bagaimana lihai pun. Juga pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai merupakan senjata ampuh yang sanggup mengimbangi kehebatan Ang-ho Sian-kiam yang tadinya merupakan pedang tunggal dan jarang sekali menemukan tandingannya.

Song Kun adalah seorang yang tidak saja pandai dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi dia juga cerdik dan memiliki sifat curang. Melihat kehebatan sepak terjang Cin Hai, tiba-tiba dia menarik keluar botol obat itu dan membuat gerakan seakan-akan hendak melempar obat itu ke jurang.

Gerakan ini tentu saja membuat Cin Hai menjadi pucat, karena betapa pun juga, dia tidak ingin melihat obat tunggal itu dibuang sehingga jiwa Lin Lin tak akan dapat tertolong lagi. Ia menggigil kalau memikirkan bahwa kekasihnya itu akan mati karena racun tanpa dapat ditolong lagi. Botol obat di tangan Song Kun itu nampak olehnya seakan-akan nyawa Lin Lin, maka gerakan Song Kun itu tak dapat tiada membuat ia memekik tanpa terasa lagi, “Jangan lempar botol itu!”

Tentu saja pikiran yang bingung itu membuat gerakan pedangnya menjadi kacau hingga pada saat yang tepat, pedang Ang-ho Sian-kiam di tangan Song Kun menyerang seperti kilat dan menusuk ke arah matanya! Cin Hai cepat menundukkan kepalanya, akan tetapi gerakan itu terlalu cepat sehingga ujung pedang masih menggores kulit jidatnya!

Darah mengucur dari kulit itu, terus mengalir turun di sepanjang hidung dan pipinya. Cin Hai menggunakan lengan baju tangan kiri mengusap mukanya dan pada saat itu kembali pedang Song Kun meluncur dalam suatu serangan yang dahsyat, yaitu dengan bacokan ke arah lehernya.

Serangan ini datangnya tak tersangka-sangka. Karena rasa perih pada jidatnya membuat Cin Hai kurang dapat memperhatikan pergerakan lawan, maka cepat ia lalu menjatuhkan diri ke belakang untuk berjungkir balik sambil menghindarkan diri dari serangan itu, akan tetapi kembali ujung pedang Song Kun masih berhasil melukai kulit pundak kirinya! Darah mengucur lagi dan kini lebih banyak karena sedikit daging di bahunya ikut terpapas oleh pedang yang tajam itu!

Melihat hal ini, tanpa tertahankan pula Lin Lin menjerit dan roboh pingsan karena kembali kekuatiran telah membuat jantungnya terserang racun di tubuhnya!

Melihat keadaan kekasihnya, timbullah kemarahan besar di hati Cin Hai. Ia menjadi nekat dan maklum bahwa menghadapi seorang yang tangguh dan kejam semacam Song Kun, dia tidak boleh merasa khawatir karena betapa pun juga, tentu Song Kun tidak akan mau memberikan obat itu kepadanya.

Karena itu dia lalu menggigit bibirnya dan mempererat pegangan tangan pada pedangnya lalu membentak, “Song Kun, kalau bukan kau, tentu aku yang akan menggeletak tak bernyawa di tempat ini!”

Setelah berkata demikian, Cin Hai lantas mengirim serangan-serangan balasan kilat yang luar biasa hebatnya, karena ia telah mengerahkan seluruh kepandaian dan kecepatannya dan juga menyerang dengan maksud merobohkan dan membunuh lawannya ini. Memang gerakan serangan Cin Hai ini terjadi dengan otomatis.

Dalam keadaan sabar, gerakan Cin Hai menjadi tenang dan kuat. Tetapi kini dia dalam keadaan marah dan menggelora, maka gerakan pedangnya berubah menjadi amat ganas seolah-olah seorang iblis mengamuk! Tiap gerakan pedang merupakan tusukan, tikaman, atau sabetan yang dapat membawa maut!

Song Kun terkejut sekali. Ia berseru sambil menangkis serangan Cin Hai, “Mundur, kalau tidak, benar-benar obat ini hendak kulempar ke jurang,”

Akan tetapi, Cin Hai telah menjadi gelap mata dan tidak mau memikirkan lain hal kecuali merobohkan lawan yang dibencinya ini. Ia tidak menjawab, bahkan segera memperhebat desakannya. Song Kun terpaksa melayani dengan sungguh hati, karena benar berbahaya baginya.

“Benar-benar kulemparkan botol ini!” teriaknya mencoba sekali lagi.

Akan tetapi sekarang Cin Hai tidak dapat digertak lagi. Song Kun menjadi gemas dan dia melompat ke belakang, agak jauh dari Cin Hai. Dengan napas memburu karena menahan marahnya Cin Hai mengejar, akan tetapi ia melihat Song Kun benar-benar melemparkan botol itu ke dalam jurang!

Melihat hal ini, mau tidak mau Cin Hai merasa betapa hatinya menjadi perih seakan-akan melihat Lin Lin meninggal dunia pada saat itu! Ia memekik keras dan ngeri sambil melihat arah botol itu dilemparkan.

Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam jurang itu, berkelebat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di situ dengan botol tadi diangkat tinggi-tinggi.

“Ha, akhirnya obat ini terdapat juga olehku!” katanya girang.

Bukan main girangnya hati Cin Hai melihat ini sehingga tak terasa pula air matanya lalu mengalir turun, bercampuran dengan darahnya yang tadi mengucur keluar dari luka pada jidatnya.

Sementara itu, Song Kun menjadi marah sekali. “Tua bangka!” ia memaki supek-nya. “Kau selalu memusuhi aku dan membela muridmu! Majulah dan mari kita mengadu jiwa di sini!”

Bu Pun Su hanya tersenyum dengan tenang. “Aku tidak sudi mengotorkan tanganku. Cin Hai, kau lawanlah dia!”

Cin Hai yang merasa beruntung sekali seakan-akan melihat Lin Lin bangkit kembali dari alam baka itu, segera memutar pedangnya dan berkata, “Suhu, teecu mohon ijin dan restu untuk mengakhiri hidup manusia iblis ini!”

“Memang kejahatan harus dibalas dengan keadilan, dan orang macam dia ini sudah amat pantas apa bila dibasmi. Laksanakanlah tugasmu menjadi wakil mendiang Susiok-mu dan juga wakilku!” kata Bu Pun Su yang kemudian berdiri dengan tegak dan wajahnya tampak bersungguh-sungguh.

Cin Hai lalu maju menyerang dan terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari tadi. Kini keduanya berusaha keras untuk menjatuhkan lawan, dan semua serangan dimaksudkan untuk menewaskan lawan. Pedang Ang-ho Sian-kiam berubah menjadi gulungan cahaya merah, sedangkan pedang Liong-cu-kiam ketika dimainkan, berubah menjadi sinar putih yang terang sekali.

Sinar pedang kedua pihak bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan kalau yang menyaksikan pertandingan ini hanya orang-orang biasa, pasti mereka akan merasa heran sekali melihat sinar putih dan merah bergulung-gulung tanpa melihat bayangan orang dan pedang, dan tentu mereka menyangka bahwa dongeng-dongeng tentang para kiam-hiap (pendekar pedang) yang dapat menerbangkan pedangnya yang disebut hui-kiam (pedang terbang) itu memang benar-benar ada!

Akan tetapi, mata Bu Pun Su dapat melihat dengan nyata betapa Cin Hai mulai berhasil mendesak Song Kun yang kini hanya dapat menangkis saja. Biar pun Song Kun menang gesit dan menang pengalaman serta keuletan, tetapi karena pemuda itu selalu menjalani kehidupan sebagai seorang pemogoran yang terlalu banyak pelesir, maka kesehatannya tidak sedemikian sempurna.

Sesudah terdesak oleh Cin Hai dalam sebuah pertempuran yang memakan waktu lama dan mereka telah berkelahi seratus jurus lebih, pada akhirnya dia menjadi lelah dan daya tahannya sudah banyak berkurang. Sebaliknya, Cin Hai yang telah mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, biar pun banyak darah keluar dari dua lukanya, masih tetap segar dan bahkan mendesak makin hebat!

Akhirnya Song Kun terdesak sampai ke pinggir jurang dan ketika kaki kirinya menginjak tempat kosong sehingga tubuhnya terjengkang, secepat kilat Cin Hai menusuk ke arah dadanya. Dia masih berusaha memiringkan tubuh, akan tetapi kurang cepat dan pedang Liong-cu-kiam sudah masuk ke dalam dada kanannya dan tubuhnya lalu terguling masuk ke dalam jurang!

Cin Hai memandang ke dalam jurang yang dalam itu dan melihat betapa tubuh Song Kun itu terguling-guling dan makin lama makin kecil sehingga akhirnya lenyap dari pandangan matanya!

“Bagus, Cin Hai, kepandaianmu sudah banyak maju!”

Cin Hai bagaikan baru sadar dari lamunan dan ia segera berlutut di depan gurunya tanpa dapat mengeluarkan sepatah pun kata. Mereka cepat-cepat menghampiri Lin Lin yang masih pingsan dan Bu Pun Su segera menuangkan isi botol itu ke dalam mulut Lin Lin yang dibuka oleh Cin Hai.

Pemuda itu lalu memondong tubuh Lin Lin, dibawa masuk ke dalam goa supaya jangan terserang panas matahari. Bu Pun Su mengikuti dari belakang. Setelah dengan hati-hati sekali dan penuh kasih sayang Cin Hai meletakkan tubuh kekasihnya di atas batu karang, dia bersama suhu-nya lalu duduk tanpa bergerak mau pun mengeluarkan suara. Seluruh perhatian mereka menuju kepada keadaan Lin Lin, dengan hati penuh harap dan cemas!

Makin lama, wajah Lin Lin yang tadinya nampak pucat itu, makin menjadi merah, bahkan terlalu merah bagaikan orang yang sedang marah! Kemudian Lin Lin membuka kedua matanya dan melihat Bu Pun Su, dia lalu melompat dan bangun berdiri. Kedua matanya yang indah itu memandang marah kepada Bu Pun Su dan tiba-tiba dia sudah mencabut Han-le-kiam, terus menyerang kakek itu!

Tentu saja kejadian ini membuat Bu Pun Su dan Cin Hai terkejut dan heran sekali. Bu Pun Su mengelak dan Cin Hai cepat memburu dan berseru, “Lin-moi, mengapa kau menyerang Suhu?”

“Siapa yang menjadi Suhu-ku? Dia orang jahat! Dia harus dibunuh... lekas kau bantu aku, Hai-ko kekasihku!” Sambil berkata demikian, kembali Lin Lin menyerang Bu Pun Su.

Cin Hai makin terkejut oleh karena selain gadis ini tidak mengenal pula kepada Bu Pun Su gurunya sendiri, juga di depan orang lain gadis ini menyebutnya ‘kekasihku’, satu hal yang belum pernah terjadi! Dengan hati berdebar khawatir, timbul persangkaan di dalam hatinya bahwa kekasihnya ini telah terganggu ingatannya! Maka dia cepat menubruk dari belakang, memeluk pinggang kekasihnya itu dan merampas pedangnya.

“Lin Lin... dia adalah Suhu kita...!” Lin Lin tak berdaya dalam pelukan Cin Hai yang kuat, akan tetapi dia masih memandang ke arah Bu Pun Su dengan mata melotot.

“Lin Lin, aku adalah Bu Pun Su!” kakek jembel itu berkata dengan suara mengharukan karena dia merasa bersedih melihat keadaan muridnya yang terkasih itu.

“Tidak, tidak! Kau laki-laki kurang ajar yang hendak membunuh kekasihku. Pergi... pergi... Kalau tidak, kau akan kubunuh!”

Setelah memaki-maki lagi, akhirnya tubuh Lin Lin menjadi lemas dan ia jatuh pulas dalam pelukan Cin Hai!

Bu Pun Su serta Cin Hai menjadi cemas sekali dan ketika Cin Hai membaringkan tubuh kekasihnya di atas lantai goa, ternyata bahwa jalan pernapasan gadis itu normal dan tak nampak tanda-tanda bahwa kesehatannya terganggu, bahkan ketika dia memeluk Lin Lin yang mengamuk tadi, Cin Hai merasa betapa tenaga gadis itu telah pulih kembali!

“Bagaimana baiknya, Suhu…?” tanya Cin Hai dengan bingung.

“Sabar dan tunggulah saja perkembangannya lebih jauh. Mungkin sekali mereka sengaja memberi obat yang bukan semestinya!”

Tak lama kemudian, Lin Lin terbangun dari tidurnya dan dia memandang sekeliling bagai seorang yang baru saja sadar dari mimpi buruk. Ketika melihat Bu Pun Su, dia lalu maju berlutut dan berseru, “Suhu...!”

Bu Pun Su dan Cin Hai saling pandang dengan mata terbelalak.

“Lin Lin, mengapa tadi kau mengamuk dan menyerang Suhu?” tanya Cin Hai.

Lin Lin memandangnya dengan heran dan menjawab, “Hai-ko, apakah arti pertanyaanmu itu? Aku menyerang Suhu dan mengamuk? Ahh, kau mengimpi barang kali!”

Ternyata bahwa Lin Lin tidak ingat sama sekali, bahwa tadi ia telah menyerang suhu-nya sendiri dan mengamuk bagaikan orang kemasukan setan! Ketika Bu Pun Su memeriksa nadi tangannya, kakek ini mengangguk puas dan untuk melenyapkan rasa penasaran, dia minta gadis itu mainkan ilmu silat dengan pedangnya.

Lin Lin segera mencabut keluar Han-le-kiam dan bersilat di depan guru serta kekasihnya. Mereka berdua merasa kagum karena ternyata gadis ini telah sembuh benar, tenaga dan kegesitannya kembali sedia kala. Akan tetapi kalau mereka mengingat hal tadi, mereka menjadi gelisah juga.

“Cin Hai, marilah kita datangi mereka itu untuk bertanya kepada dukun Mongol mengapa setelah minum obat itu, pikiran Lin Lin menjadi terganggu. Lin Lin, kau menantilah saja di sini, dengan kembalinya tenaga dan kepandaianmu kami tidak perlu kuatir meninggalkan engkau seorang diri di sini. Apa lagi kau dikawani oleh tiga burung sakti itu.” kata Bu Pun Su yang segera bersuit nyaring memanggil Merak Sakti dan kawan-kawannya.

Tiga ekor burung besar melayang turun dan masuk ke dalam goa itu.

“Kalian bertiga jagalah baik-baik pada Lin Lin!” kata Bu Pun Su kepada tiga burung itu.

Kemudian ia bersama Cin Hai lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari keterangan kepada dukun Mongol.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.