Pendekar Bodoh Jilid 34

Pendekar Bodoh Jilid 34
Sonny Ogawa

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 34

PADA suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah hutan yang besar, mereka melihat dua orang berlari-lari cepat dengan wajah seakan-akan sedang menderita ketakutan hebat. Dua orang itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah sekali dan yang memelihara kumis tebal menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya, matanya tajam dan sikapnya agung. Sedangkan orang kedua adalah seorang gadis yang sangat cantik jelita, bermata jeli dan bermuka manis bukan main, akan tetapi pada waktu itu wajahnya kemerah-merahan dan matanya mengandung kedukaan besar,

“Mereka seperti orang ketakutan, mari kita tolong!” kata Lin Lin dan Cin Hai mengangguk. Mereka lalu menghadang di tengah jalan dan Cin Hai berseru,

“Ji-wi harap berhenti dulu!”

Kedua orang yang sedang berlari itu menahan kaki mereka dan dengan napas tersengal-sengal mereka berhenti, memandang kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan heran.

“Mengapa ji-wi berlari-lari seakan-akan ada yang mengejar ji-wi?” Lin Lin bertanya sambil memandang dengan kagum dan hati suka kepada gadis manis tadi.

“Memang kami sedang dikejar-kejar orang, akan tetapi urusan ini adalah urusan bangsa kami sendiri dan sedikit pun tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi,” kata laki-laki tadi dengan suara gagah, menandakan bahwa dia memiliki keangkuhan serta ketinggian hati, tidak suka minta tolong kepada orang lain.

Cin Hai tersenyum. “Sahabat, ketahuilah bahwa kami bukan bermaksud jahat tetapi kami hanya ingin menolong kepadamu, yaitu apa bila kau berada dalam bahaya.”

“Memang aku dan anakku ini sedang berada dalam keadaan bahaya. Akan tetapi bagi seorang kepala suku bangsa Haimi seperti aku, tak pernah aku minta tolong kepada lain orang untuk memusuhi bangsa sendiri!”

“Suku Haimi?” seru Cin Hai yang teringat akan penuturan Kwee An ketika pemuda itu dulu menceritakan pengalamannya. “Apakah kau bukan Sanoko yang gagah dan nona ini Nona Meilani?”

Kedua orang itu tercengang. “Bagaimana kau dapat mengetahui nama kami?” Sonoko bertanya dengan muka heran.

Lin Lin yang juga sudah mendengar penuturan itu dari Cin Hai, lalu berkata girang, “Nona Meilani, kau tentu masih ingat kepada Kwee An, bukan?”

Mendengar nama ini disebut-sebut, Meilani menundukkan kepala dengan muka merah. “Dia... dia adalah suamiku...”

“Benar,” kata Lin Lin yang sudah tahu pula akan ‘perkawinan’ itu. “Dan aku adalah bekas adik iparmu, karena Kwee An itu adalah kakakku!”

Mendengar ucapan ini, Meilani mengeluarkan isak tangis, lalu dia maju menubruk Lin Lin. Dua orang gadis itu berpelukan dengan mesra, dan Lin Lin mencium bau kembang yang luar biasa harumnya keluar dari tubuh gadis bangsa Haimi yang cantik itu.

Juga Sanoko menjadi girang sekali. Ia cepat menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Maaf, maaf! Tidak tahunya kami bertemu dengan sanak keluarga sendiri. Tidak tahu siapakah nama enghiong yang mulia?”

“Siauwte bernama Sie Cin Hai.”

“Apakah kau juga masih keluarga Kwee An?” tanya Sanoko.

Cin Hai merasa ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi Lin Lin mendahuluinya.

“Dia itu adalah tunanganku.”

Meilani yang sudah pandai berbahasa Han, membelalakkan matanya yang sangat indah dan sambil tersenyum manis hingga giginya yang hitam berkilauan itu nampak sedikit, ia bertanya kepada Lin Lin, “Apakah artinya tunangan?”

“Tunangan adalah... calon suami.”

“Ahh...” Meilani kemudian berlari menghampiri Cin Hai, memeluknya dan mencium kedua pipinya.

Tentu saja Cin Hai menjadi kaget sekali sehingga matanya terbelalak lebar, dan mukanya menjadi merah bagaikan udang direbus. Juga Lin Lin yang melihat hal ini menjadi heran sekali, akan tetapi sebagai seorang wanita, dia menjadi cemburu dan wajahnya berubah pucat.

Sanoko agaknya tahu akan hal ini, maka cepat-cepat ia berkata,

“Nona, kebiasaan suku bangsa kami adalah bahwa setiap orang wanita berhak, bahkan diharuskan memberi selamat kepada seorang mempelai laki-laki dengan cara seperti itu.”

Kini legalah hati Lin Lin, karena dia tadi melihat betapa wajah Cin Hai menjadi kemerah-merahan dan dengan belaian kasih sayang seperti itu dari seorang gadis yang secantik Meilani, bukanlah hal yang boleh dianggap ringan bagi pertahanan hati Cin Hai. Dan apa bila dia harus mendapat saingan dari seorang gadis seperti Meilani, akan berbahayalah! Kecuali giginya yang hitam mengkilap, Meilani adalah gadis yang jarang terdapat karena cantik jelitanya.

Meilani kembali menghampiri Lin Lin dan memeluknya. “Siapakah namamu, Adikku yang baik?” tanyanya.

“Panggil saja Lin Lin kepadaku,” jawab Lin Lin sambil tersenyum.

Diam-diam ia mengerling ke arah Cin Hai dengan pandangan tajam. Adakah Cin Hai juga mencium bau kembang yang harum dan sedap itu? Demikian pikirnya.

“Sanoko Lo-enghiong, karena sudah kau ketahui bahwa kita adalah orang sendiri, maka ceritakanlah mengapa kau bersama Nona Meilani berlari-lari dan siapa pula yang sedang mengejarmu?”

“Amat memalukan kalau diceritakan,” kata orang tua itu sambil menarik napas panjang, “Semua ini adalah gara-gara keponakanku sendiri. Lenyap sudah sifat-sifat ksatria yang setia, gagah dan jujur, setelah dia merantau dan memiliki kepandaian dari... orang-orang Han. Maafkan ucapanku ini, Sie-taihiap, aku tak bermaksud menghina orang-orang Han.”

Cin Hai tersenyum dan mengangguk. “Siauwte juga tidak akan membela bangsa sendiri kalau memang dia benar-benar jahat dan terus terang saja, di antara bangsa Han juga banyak yang jahat, sebagaimana terdapat pula pada bangsa lain. Teruskanlah ceritamu, Lo-enghiong.”

Sanoko segera bercerita secara singkat. Ternyata bahwa biar pun sudah menjadi ‘janda’ yaitu setelah ditinggal pergi oleh Kwee An saat baru saja melangsungkan ‘pernikahannya’ dengan Meilani, Meilani tetap menjadi pujaan para pemuda bangsa Haimi. Akan tetapi, agaknya gadis itu telah mengalami penyakit patah hati sehingga ia menolak tiap pinangan pemuda bangsanya. Menurut adat kebiasaan mereka, seorang janda yang telah ditinggal oleh suaminya lebih dari seratus hari, maka dia berhak untuk menerima pinangan laki-laki lain dan si suami itu apa bila telah kembali, tidak berhak lagi terhadap bekas isterinya.

Meilani tinggal menjadi janda kembang sampai berbulan-bulan, dan akhirnya ia jatuh hati juga pada seorang pemuda yang baru saja kembali pulang dari perantauan, yaitu seorang pemuda pemburu yang gagah berani bernama Manoko. Ketika Manoko mengajukan pinangan, maka pinangan itu diterima.

Akan tetapi, pada saat itu datanglah seorang pemuda keponakan Sanoko sendiri yang semenjak kecil telah merantau ke daerah selatan dan telah mempelajari silat dari seorang guru bangsa Han. Ketika pemuda yang bernama Saliban ini datang, maka semua orang mengaguminya karena dia memang benar-benar pandai dan berilmu silat tinggi. Semua jago-jago Haimi jatuh dalam tangannya.

Juga orang-orang Haimi banyak yang membencinya, karena tenyata bahwa keponakan dari Sanoko itu beradat buruk, jahat, dan sombong sekali. Dia bertingkah meniru lagak orang-orang Han, bahkan dia tidak memelihara kumis dan cambang seperti orang Han, dan berbicara pun dia selalu mempergunakan bahasa Han!

Semenjak datang dan kembali tinggal bersama bangsa sendiri, telah sering kali Saliban mengganggu anak bini orang, dan semenjak ia datang, ia menaruh hati kepada Meilani, saudara misannya itu. Dia tidak mau atau memang dia tidak suka mengikat diri dengan sebuah pernikahan dan niatnya hanya ingin menjadikan Meilani sebagai kekasihnya saja! Tentu hal ini tidak dapat diterima oleh Meilani yang memang menaruh hati benci kepada pemuda yang mempunyai lagak menjemukan itu.

Ketika pinangan Manako diterima, Saliban menjadi marah sekali. Dia lalu menggunakan kepandaian dan pengaruhnya untuk menghasut teman-temannya kemudian mengadakan pemberontakan. Hal ini terjadi pada hari perkawinan Meilani dengan Manako.

Tiba-tiba saja Saliban menyerang, sehingga terjadi pertempuran hebat di antara bangsa sendiri. Pengikut-pengikut Sanoko tak ada yang kuat melawan Saliban sehingga banyak yang menjadi korban, sedangkan Manoko sendiri terluka pada pundaknya dan melarikan diri ke dalam hutan. Sanoko dan Meilani setelah mengadakan perlawanan hebat, ternyata tak kuat menghadapi Saliban yang tangguh itu, maka mereka melarikan diri, dikejar-kejar oleh Saliban dan kawan-kawannya yang bermaksud membunuh Sanoko, mengangkat diri sendiri menjadi kepala suku dan memaksa Meilani menjadi kekasihnya!

Bukan main marahnya hati Cin Hai dan Lin Lin mendengar penuturan ini, dan pada saat Sanoko mengakhiri cerita-ceritanya, tiba-tiba terdengar sorakan ramai dari depan.

“Itulah mereka telah datang, biarlah aku dengan anakku mengadakan perlawanan sampai titik darah penghabisan!” kata Sanoko sambil bangun berdiri dan memegang pedangnya dengan sikap gagah. Juga Meilani telah mencabut pedangnya dan bersiap sedia.

“Duduklah, Lo-enghiong, dan kau juga, Meilani. Biarkan aku yang menghadapi bangsat-bangsat itu!” kata Lin Lin dengan gagahnya.

Meilani dan Sanoko ragu-ragu, akan tetapi Cin Hai berkata, “Benar, Lo-enghiong, biarkan tunanganku itu menghadapi Saliban. Kau dan Nona Meilani sudah lelah, kini mengasolah sambil menonton!” Mendengar kata-kata itu, mundurlah kedua orang ini dan membiarkan Lin Lin seorang diri menghadapi Saliban.

Benar saja, yang datang itu adalah serombongan orang Haimi terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh seorang pemuda Haimi yang berpakaian seperti orang Han dan yang lagaknya sombong sekali. Melihat betapa orang-orang Haimi yang masih muda-muda itu semuanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung dan menjungat ke atas, tak dapat ditahan lagi Lin Lin tertawa geli, sedangkan Cin Hai tak terasa lagi meraba-raba kulit bawah hidungnya yang masih halus dan belum ditumbuhi kumis itu.

Saliban melihat betapa seorang gadis Han yang cantik luar biasa dengan sikap gagah menghadang di jalan, sedangkan Sanoko bersama Meilani hanya duduk di bawah pohon seakan-akan dilindungi oleh gadis itu, menjadi terheran-heran dan melihat kecantikan Lin Lin, timbullah sikap kurang ajarnya. Ia tersenyum dibuat-buat dan berkata,

“Nona cantik, apakah kau sudah mendengar nama Saliban yang gagah perkasa sehingga sengaja kau datang menyambutku untuk berkenalan?”

“Jadi inikah tikus yang bernama Saliban? Eh, tikus, apa maksudmu mengejar Sanoko dan Meilani?” berkata Lin Lin dengan suara mengejek.

“Lin-moi, dia itu bukan tikus! Lihat saja dia tidak berkumis, mungkin kumisnya itu telah dia sembunyikan di belakang menjadi ekor! Dia ini lebih cocok disebut monyet buduk!” kata pula Cin Hai untuk mengejek orang itu.

Bukan main marahnya Saliban mendengar ejekan-ejekan ini dan lenyaplah maksudnya hendak mengganggu Lin Lin, berubah menjadi kebencian besar.

“Dari mana datangnya dua ekor anjing kurang ajar ini?” dia membalas memaki dan sekali tangan kirinya bergerak, sebatang piauw menyambar ke arah Cin Hai yang sedang duduk di bawah pohon dan sekali lagi tangannya bergerak, maka sebatang piauw lain sudah pula menyambar ke leher Lin Lin!

Dengan tenang Cin Hai memungut ranting kayu yang terletak di dekatnya dan pada saat piauw itu menyambar ke arahnya, dia menggerakkan ranting itu dan sekaligus piauw itu kena dipukul sedemikian rupa sehingga piauw itu membuat gerakan membalik dan kini meluncur kembali ke arah kaki Saliban!

Sementara itu, piauw yang meluncur ke arah leher Lin Lin, disambut dengan sikap dingin oleh gadis itu. Ketika piauw menyambar, dia lalu mengulur tangan dan berhasil menjepit piaiuw itu di antara jari-jari tangannya, lalu melihat betapa piauw yang melayang ke arah Cin Hai telah di’retour’ oleh pemuda itu, dia menanti sampai piauw itu melayang ke kaki Saliban dan saat melihat Saliban meloncat naik untuk mengelak dari sambaran piauwnya sendiri, Lin Lin tersenyum dan ia pun lalu menyambitkan piauw yang ditangkapnya tadi ke arah kaki Saliban lagi yang justru hendak turun. Terpaksa Saliban melompat lagi ke atas sehingga dia telah berlompat-lompatan dua kali untuk menghindarkan diri dari sambaran piauwnya sendiri!

“Ha-ha-ha! Lihat, benar-benar ia monyet yang pandai menari-nari!” Cin Hai tertawa sambil menuding ke arah Saliban, sedangkan Lin Lin juga tertawa mengejek.

Sanoko dan Meilani terpaksa ikut tersenyum melihat kejenakaan dua orang muda yang ternyata dapat mempermainkan Saliban. Diam-diam Meilani merasa kagum sekali melihat Lin Lin yang mempunyai cara demikian indah untuk menerima sambitan piauw dari jarak dekat dan mengembalikannya ke arah kaki lawan hanya untuk mempermainkannya.

Saliban makin marah, maka dia lalu mencabut pedangnya sambil berseru,

“Bangsat-bangsat kurang ajar! Kau mencampuri urusan suku bangsa lain?”

“Saliban, orang rendah! Jangan kau membuka mulut besar! Kami berdua memang selalu mencampuri urusan semua orang-orang biadab macam kau yang hendak mengandalkan kejahatan untuk mencelakakan orang. Kau sungguh tidak tahu malu. Meilani tidak suka menjadi permainanmu, mengapa kau hendak memaksa?”

“Meilani adalah adik misanku. Dia telah menjadi janda dan memalukan sekali kalau dia menerima pinangan orang lain! Itu berarti merendahkan nama keluarga kami! Kau berhak apakah mencampuri urusan rumah tangga kami?”

“Dengarlah!” bentak Lin Lin dengan marah. “Meilani adalah kakak iparku karena ia adalah janda dari kakakku Kwee An. Kakakku dan aku pun sudah setuju kalau dia menikah lagi dengan orang yang dipilihnya sendiri atas persetujuan Ayahnya, kau ini mempunyai hak apa maka berani menghalanginya?”

“Bagus, kalau begitu biarlah kalian kubinasakan semua!”

Sambil berkata demikian Saliban lalu maju menubruk dan menyerang dengan pedangnya ke arah Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin dengan tenang sekali menghadapinya dengan tangan kosong.

“Adik Lin Lin, kau pergunakan pedangku ini!” kata Meilani karena merasa kuatir melihat betapa gadis itu menghadapi Saliban yang lihai dengan tangan kosong saja.

Akan tetapi Lin Lin menoleh dan hanya tersenyum kepadanya sambil menjawab, “Untuk menghadapi seekor tikus… ehh, monyet macam ini perlu apakah harus mempergunakan pedang? Tanganku cukup untuk merobohkannya!”

Juga Cin Hai yang melihat gerakan Saliban walau pun cukup lihai namun masih belum cukup berbahaya bagi Lin Lin, berkata kepada Meilani, “Tenanglah, Nona. Lin-moi cukup kuat menghadapinya dengan tangan kosong.”

Sementara itu, Saliban yang merasa terhina sekali oleh ucapan Lin Lin, dengan nekat lalu menyerang sambil mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi, sambil menari-nari dan mempergunakan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang sudah dipelajarinya, Lin Lin mempermainkan Saliban hingga Meilani memandang bengong. Bagaimana mungkin menghadapi seorang tangguh seperti Saliban itu dengan menari-nari macam itu?

Kawan-kawan Saliban maju mengeroyok Lin Lin, akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu beberapa buah senjata di tangan mereka melayang dan terpental ke mana-mana. Ternyata Cin Hai yang begitu melihat gerakan mereka sudah mendahului dan dengan sekali bergerak saja ia telah membuat pedang dan golok mereka terlepas dari pegangan!

Orang-orang Haimi itu terkejut sekali dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kembali tubuh Cin Hai berkelebat dan bergerak, dan terdengar jerit kesakitan berkali-kali. Pada waktu mereka semua meraba ke arah hidung mereka yang terasa sakit dan perih, ternyata bahwa Cin Hai sudah mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mencabuti kumis-kumis mereka itu seorang demi seorang!

Sambil melemparkan rambut-rambut kumis itu ke udara sehingga beterbangan tertiup angin, Cin Hai tertawa-tawa sehingga Meilani yang melihat hal ini tak kuasa lagi menahan geli hatinya dan ikut tertawa terkekeh-kekeh. Sanoko yang melihat kehebatan gerakan itu dengan kepala pening, juga tersenyum meski di dalam hatinya dia merasa kasihan juga kepada anak buahnya yang memberontak itu karena bagi seorang laki-laki Haimi, dicabut kumisnya sama dengan dicabut kepalanya dari leher!

“Kalian yang memberontak dan mengikuti bangsat Saliban, tidak pantas berkumis lagi!” kata Cin Hai sambil memandang kepada belasan orang yang sekarang telah kehilangan kumisnya itu. Mereka menundukkan kepala sambil menutupi hidungnya yang berdarah itu, dan merasa amat malu karena tanpa kumis bagi mereka hampir sama dengan berdiri telanjang dihadapan orang lain!

“Kalau kalian sayang jiwa, hayo berlutut minta ampun kepada kepala suku yang asli, yaitu Sanoko!” teriak Cin Hai lagi.

Orang-orang itu telah merasai kelihaian Cin Hai, dan kini mereka tidak berani membantah lagi, lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Sanoko yang berdiri sambil memandang dengan kagum kepada Cin Hai. Sementara itu, Saliban telah merasa pening karena dipermainkan oleh Lin Lin, dan pada waktu gadis itu sudah merasa cukup puas mempermainkan Saliban, tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na yang lihai, ilmu silat yang diajarkan oleh Bu Pun Su!

Saliban terkejut sekali ketika tubuh gadis itu melompat tinggi dan menyambar-nyambar dari atas bagai seekor burung besar menyerang marah. Ia menyabet dengan pedangnya, namun lebih dulu sudah ditotok oleh Lin Lin dan sebelum dia tahu bagaimana hal itu bisa terjadi tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan!

Saliban merasa amat terkejut dan hendak melompat pergi. Akan tetap kaki Lin Lin telah mendahuluinya menendang pundaknya dari atas hingga tak ampun lagi ia terguling roboh sambil mengeluh kesakitan karena sambungan tulang pundaknya telah terlepas.

Melihat keponakannya yang jahat itu sudah roboh, Sanoko lalu menghampiri Cin Hai dan Lin Lin dan memintakan ampun untuk jiwa Saliban, sehingga Cin Hai dan Lin Lin merasa kagum akan kemurahan hati kepala Suku ini.

“Saliban,” kata Cin Hai kepada pemuda Haimi itu, “dengarlah betapa pamanmu mintakan ampun untuk kau yang telah memberontak dan berbuat jahat kepadanya. Tidak malukah kau? Orang seperti engkau ini seharusnya dibinasakan, karena selain berbuat jahat, kau pun telah merusak nama baik Suhu-mu yang tentu seorang Han adanya. Kau tidak lekas minta ampun?”

Melihat kelihaian Lin Lin dan Cin Hai, Saliban segera insyaf bahwa ilmu kepandaiannya sebetulnya masih amat rendah dan ia merasa malu dan menyesal, maka sambil merayap ia berlutut minta ampun kepada pamannya dan bersumpah bahwa dia takkan mengulang perbuatannya lagi.

Pada saat itu, dari jauh datang serombongan orang Haimi yang dipimpin oleh Manako. Pemuda ini walau pun sudah terluka pundaknya, namun dengan nekat ia mengumpulkan kawan-kawan dan menyusul untuk menyerbu Saliban serta menolong calon isteri dan mertuanya. Juga Manako memaafkan Saliban, sedangkan Cin Hai dan Lin Lin diam-diam memuji ketampanan serta kegagahan Manako, hanya mereka diam-diam menyayangkan bahwa anak muda ini sebenarnya belum pantas memakai cambang yang demikian tebal dan panjangnya.

Setelah mereka bercakap-cakap dan beramah tamah dengan orang-orang Haimi serta meninggalkan banyak nasehat kepada Saliban, Cin Hai dan Lin Lin kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke timur.

Pada saat mereka berdua tiba di Pegunungan Lian-ko-san yang tidak jauh lagi dari Goa Tengkorak, hanya tinggal satu hari perjalanan lagi, dan sedang berjalan melalui sebuah padang rumput, tiba-tiba muncul tiga orang yang membuat mereka terkejut dan bersiap sedia, karena tiga orang itu bukan lain ialah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.

Tiga orang ini yang sudah dikalahkan oleh Bu Pun Su, maklum bahwa anak-anak muda yang menjadi musuh mereka itu masih berada di daerah barat, maka sengaja mereka menghadang di sana untuk membalas dendam. Ketika Bu Pun Su lewat di situ, mereka bersembunyi saja tidak berani keluar, akan tetapi setelah kini melihat kedatangan Cin Hai dan Lin Lin, mereka lalu muncul dan menghadang di jalan dengan hati penuh dendam, terutama sekali Bo Lang Hwesio yang hendak membalas dendam terhadap Lin Lin atas kematian muridnya dahulu, yaitu Boan Sip yang menjadi gara gara semua permusuhan.

Cin Hai berlaku tenang-tenang saja, juga Lin Lin dengan tabah dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri berdiri di sebelah kiri kekasihnya sambil memandang tajam kepada musuh-musuh besar itu.

“Eh, kiranya Sam-wi Lo-suhu yang berada di sini. Tidak tahu mempunyai maksud apakah maka menghadang perjalanan kami?” kata Cin Hai dengan sikap hormat.

“Pendekar Bodoh! Telah berkali-kali kau dengan kawan-kawanmu memusuhi dan menjadi penghalang kami, bahkan Suhu-mu sendiri sudah menghina kepada kami. Kini kebetulan kita bertemu di sini, masih hendak bertanya tentang maksud kami? Cabutlah senjatamu dan biarlah saat ini akan menentukan siapa diantara kita yang lebih kuat!” kata Thai Kek Losu kepada Cin Hai.

Sedangkan Bo Lang Hwesio dengan mata memandang marah membentak kepada Lin Lin. “Dan kau tentu masih ingat akan dosamu membinasakan muridku, maka sekarang aku hendak membalas dendam. Hutang jiwa ya harus dibayar jiwa pula!” Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio mengeluarkan sepasang poan-koan-pit.

Lin Lin sudah mendengar mengenai pertempuran tokoh-tokoh besar ini melawan Bu Pun Su, maka melihat poan-koan-pit itu, ia menyindir, “Bo Lang Hwesio, agaknya kau telah mencuri sepasang poan-koan-pit baru, apakah yang dulu telah tak dapat digunakan lagi?”

Marahlah Bo Lang Hwesio mendengar ini, maka sambil menerjang maju dia membentak lagi, “Perempuan rendah, bersedialah untuk mampus!”

Dengan tenang Lin Lin kemudian mencabut keluar Han-le-kiam dari pinggangnya, segera menyampok poan-koan-pit lawan yang menyerangnya, kemudian secepat kilat ia pun lalu balas menyerang dengan hebat.

Sementara itu, Thai Kek Losu sudah mengeluarkan senjatanya yang sangat hebat, yaitu tengkorak kecil yang rantai pengikatnya kini telah diperbaikinya dan diganti, ada pun Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yakni sebatang gendewa. Juga gendewanya yang dulu telah dipatahkan oleh Bu Pun Su itu kini telah digantinya dengan sebatang gendewa yang baru, terbuat dari pada besi kuning.

Cin Hai maklum akan kelihaian senjata-senjata lawannya, maka ia pun tidak mau berlaku sungkan lagi, segera mencabut keluar sepasang pedangnya Liong-cu-kiam yang panjang dan pendek, dipegang pada kedua tangannya. Kedua Pendeta Sakya Buddha itu terkejut melihat sepasang pedang yang mengeluarkan sinar gemilang itu, maka mereka maklum bahwa sepasang pedang itu tentu pedang-pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Mereka lalu membentak dan mendahului menyerang dengan hebat.

Cin Hai memperlihatkan kegesitannya dan melawan dengan tenang serta waspada. Dia melihat betapa gerakan Thai Kek Losu jauh lebih gesit dari pada dulu, agaknya selama ini pendeta itu sudah melatih diri, sedangkan gerakan Sian Kek Losu juga hebat bukan main. Untung ia mempergunakan sepasang pedang Liong-cu-kiam yang tajam sehingga kedua lawannya tidak berani menahan pedangnya dengan senjata mereka sehingga serangan dua orang itu dapat dibalas dengan serangan-serangan kilat yang cukup membuat kedua lawannya berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa murid Bu Pun Su ini tidak boleh dibuat gegabah!

Sementara itu, pertempuran antara Lin Lin dan Bo Lang Hwesio juga berjalan seru sekali. Ilmu Pedang Han-le-kiam memang luar biasa dan sangat cepat, sedangkan kini Lin Lin telah memperoleh kemajuan hebat dan bahkan telah melatih diri dengan limu Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na.

Akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio yang sudah jauh lebih berpengalaman dan ulet itu, dia mendapatkan lawan yang amat kuat dan tangguh. Sepasang poan-koan-pit pada tangan Bo Lang Hwesio menyambar-nyambar ke arah jalan darah yang berbahaya dan juga setiap kali pedang Han-le-kiam kena disampok oleh poan-koan-pit, Lin Lin merasa betapa telapak tangannya menggetar sebab ternyata tenaga hwesio itu masih lebih besar sedangkan ilmu lweekang-nya pun lebih tinggi dari pada Lin Lin.

Maka gadis ini yang tahu akan keadaan itu segera mempergunakan kelincahannya dan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari desakan poan-koan-pit, sedangkan jurus-jurus berbahaya yang ia keluarkan dari ilmu pedangnya membuat Bo Lang Hwesio diam-diam merasa terkejut juga.

Alangkah beda tingkat ilmu pedang gadis ini dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu ketika dia dengan Ke Ce menyerbu ke atas bukit tempat tinggal Yousuf dan berhasil menjatuhkan Kwee An dan Ma Hoa ke dalam jurang. Ketika dahulu itu, walau pun ilmu pedang gadis ini sudah aneh dan luar biasa, akan tetapi gerakannya belum sematang ini. Maka hwesio itu cepat mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga setelah bertempur lama, Lin-Lin merasa terdesak juga!

Ada pun Cin Hai yang dikeroyok dua oleh Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, meski pun belum terdesak, tetapi sukar pula baginya untuk mendesak kedua lawannya yang berilmu tinggi. Terutama sekali tengkorak di tangan Thai Kek Losu sangat berbahaya karena Cin Hai tidak berani menangkisnya dengan pedang. Dia maklum bahwa tengkorak itu amat berbahaya dan bila ditangkis akan menyebarkan jarum-jarum beracun yang lihai sekali.

Juga gendewa di tangan Sian Kek Losu bukanlah senjata yang mudah dilawan biar pun dia dapat menduga ke arah mana gerakan gendewa itu akan dilancarkan. Maka untuk menghadapi kedua lawan yang tangguh ini, Cin Hai memainkan dua macam ilmu pedang dengan kedua tangannya.

Pedang panjang di tangan kanan ia mainkan dengan jurus-jurus dari Ilmu Pedang Daun Bambu, sedangkan pedang pendek di tangan kiri ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, sehingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa terkejut dan mengadakan perlawanan dengan mati-matian. Mereka harus mengakui bahwa selain Bu Pun Su, belum pernah mereka menemukan tandingan seorang pemuda yang sedemikian tinggi ilmu silatnya!

Pada saat pertempuran sedang berjalan dengan seru, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang gerakannya ringan sekali dan laki-laki ini langsung membentak marah,

“Pendeta-pendeta pada dewasa ini hanya menggunakan pakaian sebagai kedok belaka, akan tetapi di dalam tubuh mengandung iman yang bobrok dan batin yang amat rendah! Jangan kalian berani mengganggu murid seorang sakti dan mulia seperti Bu Pun Su!”

Kemudian laki-laki itu menarik keluar pedangnya dan menerjang Bo Lang Hwesio sambil berkata kepada Lin Lin. “Nona, kau bantulah kawanmu itu dan biarkan Si Gundul ini tewas dalam tanganku.”

Lin Lin mendengar suara ini diucapkan dengan halus dan sopan akan tetapi mengandung pengaruh besar, karena itu dia lalu meninggalkan Bo Lang Hwesio dan melompat untuk membantu Cin Hai.

Lin Lin maklum bahwa ilmu kepandaian Thai Kek Losu terlampau tinggi baginya, maka ia lalu menyerang Sian Kek Losu! Memang perhitungannya tepat karena di antara ketiga orang lawan yang paling lihai dan sangat berbahaya untuk dilawan adalah Thai Kek Losu.

Bo Lang Hwesio memiliki ilmu kepandaian yang hanya sedikit berada di bawah tingkat kepandaian pendeta Sakya Buddha ini, bahkan di dalam hal lweekang, mungkin Bo Lang Hwesio lebih tinggi tingkatnya! Ada pun Sian Kek Losu hanya memiliki tenaga besar saja dan ilmu silatnya biar pun tinggi, namun tidak selihai kedua orang kawannya itu.

Kini pertempuran terpecah menjadi tiga dan keadaan berubah dengan cepatnya. Orang yang baru datang tadi dengan ilmu pedangnya yang gerakannya luar biasa cepat dan aneh, segera berhasil mendesak Bo Lang Hwesio. Ketika Lin Lin dan Cin Hai mendapat kesempatan memandang ke arah orang itu, hampir saja mereka berseru karena heran dan kagum.

Ternyata ilmu pedang yang dimainkan oleh orang itu memiliki dasar-dasar gerakan yang sama dengan ilmu silat mereka! Lin Lin teringat akan penuturan Ma Hoa ketika bertemu dengannya di dalam goa bersama Ang I Niocu, karena itu sambil menangkis serangan gendewa di tangan Sian Kek Losu ia berseru,

“Enghiong yang gagah bukankah Lie-enghiong tunangan Ang I Niocu?”

Orang itu tersenyum dan sambil menangkis poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio, dia pun menjawab, “Betul, dan Ji-wi tentulah Nona Lin Lin dan Saudara Cin Hai!”

Mendengar percakapan ini, Cin Hai merasa heran sekali. Hal ini merupakan kejutan baginya, yaitu merupakan hal yang sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Tunangan Ang I Niocu? Dan demikian gagah perkasa?

Hatinya menjadi girang dan dia ingin sekali cepat-cepat mengakhiri pertempuran ini agar supaya dapat bercakap-cakap dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian yang sama dengan kepandaiannya sendiri.

Ia dulu mendengar bahwa Ang I Niocu ditolong oleh Lie Kong Sian, akan tetapi Dara Baju Merah itu tidak menceritakan bahwa ia telah menjadi tunangan Lie Kong Sian. Ia maklum bahwa orang ini adalah Suheng dari Song Kun, maka boleh dibilang masih suheng-nya sendiri pula.

Dengan Ilmu Pedang Han-le Kiam-hoat Lin Lin dapat mendesak Sian Kek Losu dan pada saat gendewa di tangan Sian Kek Losu menangkis dengan sekuat tenaga untuk membuat pedang pendek di tangan Lin Lin terpental, gadis itu dengan sangat cerdik dan cepatnya lantas menarik kembali pedangnya dan ketika melihat ada lowongan yang terbuka segera menggunakan gerak tipu Ang I Memetik Kembang, langsung pedangnya ditusukkan ke arah iga lawan di bawah lengan yang memegang gendewa.

Sian Kek Losu berusaha mengelak. Akan tetapi gerakan Lin Lin itu luar biasa cepatnya dan juga tidak diduganya semula, maka tiada ampun lagi pedang Han-le-kiam yang tajam itu dengan jitu menusuk dadanya dari bawah lengan! Sian Kek Losu menjerit, kemudian gendewanya terlepas, tubuhnya sempoyongan lalu roboh dan tewas pada saat itu juga!

Juga Bo Lang Hwesio yang sudah tidak tahan menghadapi Lie Kong Sian, dengan nekat lalu memutar-mutar poan-koan-pit di tangannya dan menyerang bagaikan harimau terluka yang sudah nekat hendak mengadu jiwa. Lie Kong Sian terus mengurung dengan sinar pedangnya sehingga kini Bo Lang Hwesio terpaksa mempergunakan lweekang-nya untuk mengerahkan tenaga pada kedua senjatanya, menangkis sambil terdesak mundur.

Ujung pedang Lie Kong Sian berkelebat cepat mengarah tenggorokannya dan Bo Lang Hwesio lantas membuat gerakan nekat yang hendak memberi pukulan maut tanpa peduli akan keselamatan sendiri. Pada waktu pedang itu meluncur ke arah lehernya, dia hanya sedikit miringkan kepala dan berbareng dengan itu mengirim tusukan dengan sepasang poan-koan-pit ke arah dada Lie Kong Sian.

Bila Lie Kong Sian meneruskan serangannya dengan membalikkan pedang, maka ia pun akan termakan oleh sepasang poan-koan-pit itu dan keduanya pasti akan tewas! Akan tetapi tentu saja Lie Kong Sian tidak mau diajak mati bersama, maka ia berseru keras dan menggerakkan tangan kirinya yang mengeluarkan uap putih.

Kiranya Lie Kong Sian telah menggunakan gerakan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut untuk menangkis tusukan poan-koan-pit itu! Sedangkan pedangnya tetap dia teruskan dengan bacokan ke arah leher lawan!

Bo Lang Hwesio merasa girang melihat ini karena dia telah mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya yang tinggi ke arah tangan yang memegang senjata, maka ia merasa pasti bahwa tusukannya akan menewaskan musuh. Tidak tahunya, ketika tangan kiri Lie Kong Sian menyampok, poan-koan-pitnya kena disampok terpental oleh tenaga yang luar biasa sehingga dia merasa terkejut sekali. Pada waktu itu pedang Lie Kong Sian telah datang menyambar. Bo Lang Hwesio berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Ia pun menjerit keras dan roboh mandi darah dengan leher hampir putus oleh pedang Lie Kong Sian!

Kini Lin Lin dan Lie Kong Sian melihat pertempuran yang terjadi antara Cin Hai dan Thai Kek Losu dengan serunya. Thai Kek Losu yang harus menghadapi Cin Hai seorang diri, merasa jeri sekali karena dia pernah merasai kelihaian pemuda ini. Melihat betapa Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio sudah tewas, dia menjadi nekat dan menyerang Cin Hai dengan mati-matian. Tengkorak kecil di tangannya lalu diputar-putar laksana maut sendiri terbang berkeliaran mencari korban.

Ada pun Cin Hai yang pernah menghadapi That Kek Losu, bahkan dahulu hampir saja mendapatkan celaka karena pengaruh racun jahat yang keluar dari tengkorak itu, bersilat dengan sangat hati-hati. Sebegitu jauh dia belum berani membacok tengkorak itu, kuatir kalau-kalau racun jahat dan senjata-senjata rahasia yang ada di dalam tengkorak itu akan menyambar keluar dan biar pun ia akan dapat mengelak namun hawa beracun yang luar biasa itu masih tetap merupakan bahaya besar. Dulu pun baru lewat dekat mukanya saja dan dia mencium bau racun, dia telah terkena celaka dan kalau tidak kebetulan bertemu dengan suhu-nya, tentu dia telah binasa.

Melihat keragu-raguan kekasihnya, Lin Lin hendak maju membantu, akan tetapi Cin Hai melarangnya. “Mundurlah Lin-moi, sekarang juga aku akan merobohkannya. Lihat!”

Lin Lin melompat mundur kembali dan pada saat itu tengkorak kecil menyambar ke arah Cin Hai dengan mulut di depan seakan-akan hendak mencium muka pemuda itu. Cin Hai tidak mengelak, hanya memandang dengan tajam dan kedua pedang di tangannya telah siap sedia.

Ketika tengkorak itu sudah datang dekat, tiba-tiba saja pedang pendek di tangan kirinya menyambar dari samping dengan miring, yaitu dia tidak menggunakan tajamnya pedang untuk membacok, hanya mempergunakan permukaan pedang untuk menampar dari arah samping dengan tenaga yang diatur sedemikian rupa hingga tengkorak itu kena ditampar dan terbalik, kini mukanya menghadap kepada Thai Kek Losu.

Secepat kilat pedang Cin Hai di tangan kanan lalu membacok tengkorak itu dari belakang sambil menggunakan tenaga lweekang sekerasnya dan ketika terdengar suara ledakan yang terjadi pada waktu tengkorak itu kena bacok, Cin Hai segera lompat menjauh dan kebetulan sekali Lin Lin pada saat itu berdiri dekat, maka Cin Hai segera menyambar lengan kekasihnya dan dibawanya melompat juga!

Memang Cin Hai telah berlaku sangat hati-hati dan hal ini ada baiknya bagi dia dan Lin Lin, karena kalau ia tidak bertindak cepat, mungkin mereka akan terancam bahaya. Pada waktu tengkorak itu meledak, tidak hanya dari mulut, hidung serta matanya saja keluar jarum-jarum beracun yang amat jahat dan yang kesemuanya melayang ke arah Thai Kek Losu, akan tetapi setelah semua jarum habis, tengkorak itu sendiri meledak dan pecah berhamburan menjadi potongan-potongan kecil yang lantas menyambar ke sekelilingnya. Potongan ini tidak boleh dipandang rendah, karena setiap potongan kecil ini mengandung racun jahat dan apa bila melukai kulit, akan membahayakan jiwa yang terluka!

Thai Kek Losu yang tadinya sudah merasa gembira melihat Cin Hai berani membacok tengkorak itu, menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa semua senjata rahasia yang keluar dari tengkorak yang telah terbalik itu menyambar ke arahnya! Ia hendak mengelak pergi, akan tetapi terlambat. Beberapa batang jarum telah mengenai tubuhnya dan tanpa berteriak lagi ia roboh dan tewas oleh jarum-jarumnya sendiri!

Lie Kong Sian juga melompat pergi ketika ledakan tengkorak terjadi, dan dia kemudian menghampiri Cin Hai dan Lin Lin.

“Sute dan Sumoi, kalian benar-benar gagah perkasa. Apakah Supek Bu Pun Su dalam keadaan sehat-sehat saja?” katanya sambil tersenyum tenang.

Melihat sikap orang ini, baik Lin Lin mau pun Cin Hai merasa tertarik dan suka. Sikap Lie Kong Sian polos, jujur, dan sederhana sekali, hampir sama dengan sikap Bu Pun Su.

Setelah menjura dan memberi hormat, Cin Hai segera memegang tangan Lie Kong Sian dengan girang dan berkata, “Beliau sehat, Suheng. Sudah lama aku mendengar tentang namamu yang besar. Alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau, apa lagi karena mendengar tadi bahwa kau telah bertunangan dengan Ang I Niocu!”

Kembali Lie Kong Sian tersenyum. “Aku memang sedang mencarinya, di manakah dia?”

Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan menceritakan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lainnya mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk membagi-bagikan harta pusaka kepada rakyat miskin.

“Lie-suheng, ada berita girang untukmu,” tiba-tiba saja Lin Lin yang lincah dan jenaka itu berkata kepada Lie Kong Sian sambil menatap wajah pemuda yang tenang dan tampan itu.

Lie Kong Sian sudah mendengar dari Ang I Niocu tentang kejenakaan gadis ini dan dia tahu bahwa tunangannya amat mengasihinya maka sambil tertawa dia berkata, “Sumoi, kau tentu akan menggodaku. Silakanlah, apakah berita girang yang kau maksudkan?”

“Aku sudah mendengar tentang syarat-syarat yang diajukan oleh Enci Im Giok kepadamu dan...”

“Ehh, ehhh, dari mana kau bisa mengetahui hal itu?” Lie Kong Sian memotong sambil memandang heran, akan tetapi dia tidak marah karena bibirnya tetap tersenyum.

“Dari Enci Ma Hoa.”

Lie Kong Sian mengangguk-angguk dan Lin Lin melanjutkan bicaranya, “Dan sekarang, dua dari pada tiga syarat itu telah terpenuhi. Aku dan Engko Hai sudah bertemu kembali sebagaimana yang diharapkan oleh Enci Im Giok dan syarat ke dua pun telah terlaksana.”

Lie Kong Sian menatap wajah Lin Lin dengan tajam, kini senyumnya menghilang. “Sumoi, apa maksudmu? Syarat yang mana? Lekas kau ceritakan padaku!”

“Sute-mu yang jahat itu telah tewas dalam tangan Hai-ko!”

“Apa?!” Wajah Lie Kong Sian menjadi pucat sekali dan dua butir air mata menitik turun.

Ia memandang kepada Cin Hai yang berdiri sambil menundukkan kepala karena pemuda ini pun sudah mendengar betapa besar cinta kasih Lie Kong Sian terhadap Song Kun. Sikap dan wajah Cin Hai ini membuat hati Lie Kong Sian lemah kembali.

Kalau saja yang membunuh Song Kun bukan pemuda ini, pasti ia akan menjadi marah dan membalas dendam. Akan tetapi, pemuda ini adalah sute-nya sendiri pula, murid Bu Pun Su yang tidak saja kepandaiannya lebih tinggi dari pada dirinya sendiri, akan tetapi pemuda ini adalah seorang pemuda yang sangat dicinta oleh Ang I Niocu.

“Sute, kau benar-benar lihai sekali. Tak sembarang orang dapat merobohkan Song Kun, bahkan terus terang saja, aku sendiri tidak sanggup mengalahkannya. Coba kau tuturkan bagaimana hal itu terjadi.”

“Maafkan aku banyak-banyak, Lie-suheng. Memang dia lihai sekali dan andai kata dia tak tersesat dan menjadi seorang jahat, mungkin aku pun tidak akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi, kejahatan pasti akan hancur dan kalah pada akhirnya.”

Kemudian Cin Hai lalu menceritakan mengenai pertempurannya dengan Song Kun yang disaksikan oleh Bu Pun Su. Juga menuturkan pula betapa Song Kun telah mencuri obat dan menggunakan obat itu untuk mengancam dan hendak mengganggu Lin Lin.

Mendengar ini semua, Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Sayang betapa pun gagah seseorang, apa bila ia tidak memiliki kesempurnaan budi, ia menjadi orang yang sehina-hinanya dan serendah-rendahnya dan akhirnya orang itu pasti akan mengalami bencana besar dalam hidupnya.”

“Kau benar, Suheng,” kata Cin Hai dan Lin Lin hampir berbareng.

“Dan sekarang kalian hendak pergi ke manakah?”

“Kami hendak pergi ke Goa Tengkorak, tempat tinggal Suhu Bu Pun Su,” jawab Cin Hai.

“Bagus! Aku pun ingin sekali bertemu dengan orang tua itu,” kata Lie Kong Sian.

“Untuk memenuhi syarat ke tiga, bukan Suheng?” Lin Lin menggoda dan Lie Kong Sian mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandangnya.

“Kau benar-benar nakal, Sumoi.” Ketiganya lalu tertawa.

“Sebelum kita pergi, lebih dulu marilah kita mengubur jenazah tiga orang ini.”

Mendengar ucapan Lie Kong Sian ini, Lin Lin dan Cin Hai merasa kagum dan diam-diam memuji keluhuran budi tunangan Ang I Niocu itu. Cin Hai makin merasa girang bahwa Ang I Niocu mendapat calon suami yang selain gagah perkasa, juga berbudi tinggi.

Jenazah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio lalu mereka kubur dengan baik-baik, menjadi tiga gundukan tanah berjajar dan sebagai tandanya, Lie Kong Sian memindahkan tiga batang pohon Siong yang masih kecil, dan ditanam di depan kuburan-kuburan itu.

Matahari telah menurun ke barat ketika mereka bertiga selesai melakukan pekerjaan itu dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Goa Tengkorak.

*****

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

Kini kita ikuti perjalanan Ang I Niocu yang bertugas membagi-bagikan sekantung harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Oleh karena Dara Baju Merah ini memang sudah biasa melakukan perjalanan seorang diri, dan pula untuk membagi-bagikan harta benda itu memang seharusnya berpencar, maka dia segera memisahkan diri dan berjanji akan saling bertemu dengan kawan-kawannya ini di rumah Lin Lin di Tiang-an sebagai tempat tujuan terakhir.

Mereka saling berpesan bahwa apa bila ada yang berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin, harus memberi tahu bahwa kedua teruna remaja itu pun ditunggu di Tiang-an. Dengan demikian, maka nantinya mereka tak usah saling mencari dan dapat mengarahkan tujuan perjalanan mereka ke suatu tempat tertentu.

Ang I Niocu lalu melakukan perjalanan seorang diri seperti biasa, bebas bagaikan seekor burung di udara. Dia membagi-bagi harta benda itu dengan adil dan memilih orang-orang yang benar-benar berada dalam keadaan yang amat sengsara. Pekerjaan ini dia lakukan dengan hati gembira sebab keharuan dan kegirangan wajah orang-orang yang menerima pembagian itu membuat hatinya ikut merasa terharu dan girang sekali.

Pada suatu hari, ketika ia tiba di luar kota Lang-i, tiba-tiba ia melihat bayangan dua orang dari jalan simpangan. Ang I Niocu cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon ketika melihat bahwa dua orang itu bukan lain ialah Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio. Kedua orang itu berlari cepat memasuki kota Lang-i, maka diam-diam Ang I Niocu mengikuti mereka.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.