Pendekar Bodoh
Karya Kho Ping Hoo
JILID 35
DARA BAJU MERAH ini merasa benci bukan main terhadap Hai Kong Hosiang yang sudah mencelakakan Lin Lin, maka dia sudah mengambil keputusan untuk mencari kesempatan membunuh hwesio jahat itu agar kelak tidak menimbulkan kekacauan pula. Akan tetapi, melihat bahwa hwesio itu bersama Wi Wi Toanio yang kosen, ia merasa ragu-ragu untuk turun tangan, karena terlalu berat baginya untuk menghadapi dua orang tangguh itu.
Kedua orang itu menuju ke sebelah barat kota dan secara diam-diam Ang I Niocu terus mengikuti mereka. Sesudah tiba di ujung kota, mereka masuk ke dalam sebuah gedung yang besar. Ang I Niocu mengambil jalan dari belakang dan pada saat melihat bahwa di belakang gedung itu sunyi, ia lalu melompati pagar tembok dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya di dalam gedung itu membuat hatinya berdebar karena terkejut dan heran.
Ternyata bahwa di dalam gedung itu terdapat sebuah ruangan yang amat lebar dan yang dipasangi banyak meja dan kursi. Ruangan itu telah penuh oleh banyak orang dan justru orang-orang inilah yang membuat Ang I Niocu terkejut, karena dia melihat wajah-wajah yang telah dikenalnya baik, antara lain Kam Hong Sin perwira tinggi kerajaan, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tojin. Si Hwesio yang selalu tertawa dan tosu yang selalu mewek, Kong-lam Sam-lojin tiga orang tokoh Liong-san, Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu. Tampak juga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan dua orang yang baru masuk, yaitu Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio!
Orang-orang ini adalah sebagian dari pada orang-orang yang tadinya mewakili golongan-golongan yang bermusuhan, yaitu golongan Turki, Mongol, dan kerajaan yang semuanya telah dikalahkan oleh Bu Pun Su. Mengapa mereka sekarang mengadakan pertemuan bersama? Apakah mereka hendak mengadu kepandaian?
Ang I Niocu mengintai dengan hati-hati sekali oleh karena dia maklum bahwa orang yang berada di dalam itu bukanlah orang-orang lemah dan berbahaya sekali baginya apa bila sampai dapat terlihat oleh mereka. Kebetulan sekali di luar gedung itu terdapat setumpuk rumput kering, maka ia mendapatkan tempat persembunyian yang baik sekali di belakang rumput itu, sambil mengintai melalui celah-celah jendela yang berada dekat di situ.
Agaknya Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio merupakan orang terakhir yang dinanti-nantikan, karena setelah mereka berdua datang dan disambut oleh Kam Hong Sin lalu dipersilakan duduk, perwira itu segera berdiri dari tempat duduknya dan berkata kepada semua orang.
“Cu-wi sekalian. Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih dan selamat datang bagi Cu-wi sekalian yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk berkumpul di sini. Hal ini membuktikan bahwa bagaimana pun juga, Cu-wi sekalian masih ingat akan kebangsaan sendiri. Sebagaimana yang Cu-wi sekalian ketahui, harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan bangsa kita itu telah dicuri dan dibawa pergi orang. Kita tak perlu membongkar-bongkar urusan yang lalu dan sekarang kita merupakan sekumpulan orang yang hendak berusaha mendapatkan kembali harta pusaka itu dan membasmi para pemberontak yang telah berani berlancang tangan mencuri harta pusaka dari tangan kita.”
Hai Kong Hosiang berdiri sendiri dan mengangkat tangannya, tanda bahwa ia minta Kam Hong Sin berhenti bicara karena ia sendiri hendak bicara. Matanya yang tinggal satu itu bersinar-sinar tajam memandang kepada Kam Hong Sin ketika ia berbicara.
“Kam-ciangkun, pencuri harta pusaka itu adalah Hok Peng Taisu, seorang yang berilmu tinggi dan tangguh. Selain dia, masih ada pula Bu Pun Su yang selalu mengacaukan keadaan, karena kami tahu bahwa dia pun menghendaki harta pusaka itu! Siapa tahu kalau-kalau kedua orang tua jahat itu telah bersekutu! Hal ini tak boleh dipandang ringan, karena selain mereka berdua yang lihai, masih banyak terdapat anak muridnya yang tak boleh dipandang ringan, seperti Pendekar Bodoh, Ang I Niocu, Kwee Lin, Ma Hoa, Kwee An, dan ada pula Nelayan Cengeng!”
Kam Hong Sin mengangguk-angguk, “Aku maklum, Hai Kong Suhu, dan aku pun telah tahu akan kelihaian mereka. Akan tetapi dengan kerja sama yang baik dan mengerahkan tenaga kita dibantu dengan para Perwira Sayap Garuda yang banyak jumlahnya, apakah sukarnya untuk menangkap mereka dan merampas kembali harta pusaka itu?”
Wi Wi Toanio berdiri dan biar pun suaranya halus, akan tetapi jelas terdengar bahwa ia merasa gemas dan marah sekali ketika ia berkata,
“Apa artinya berbicara tentang merampas kembali harta pusaka? Harta itu telah mereka sebar dan bagi-bagikan kepada rakyat! Ini semua adalah salahnya Bu Pun Su dan kalau perundingan ini dimaksudkan untuk menghukum dia, aku baru mau turut serta!” Setelah berkata demikian, Wi Wi Toanio duduk kembali di dekat Hai Kong Hosiang.
Terdengar seruan-seruan marah dari sana sini mendengar bahwa harta pusaka itu sudah dibagi-bagi kepada rakyat. Ada pun Kam Hong Sin yang sudah mengetahui hal itu, hanya tersenyum dan berkata,
“Cuwi sekalian, memang benar ucapan Wi Wi Toanio tadi. Aku pun sudah mendengar tentang hal itu, dan rupanya para pemberontak itu hendak menghasut rakyat agar supaya memberontak pula dengan menyogok harta benda pada mereka. Akan tetapi, kita akan bertindak tegas dan membasmi sebelum mereka mendapat kesempatan mengumpulkan tenaga bantuan. Aku membawa surat resmi dari Kaisar sendiri yang ditujukan kepada Cuwi yang gagah perkasa.”
Sambil berkata demikian, Kam Hong Sin mengeluarkan sesampul surat yang dibungkus sutera kuning bersulamkan burung Hong. Ketika dia membacakan surat itu, semua orang terdiam dengan penuh hormat, karena bagaimana pun juga, menerima surat dari kaisar sendiri adalah satu penghormatan besar yang jarang sekali dirasakan orang!
Isi surat itu ternyata adalah satu pengharapan dari Kaisar agar orang-orang gagah suka membantu usaha Kaisar menangkap atau menghukum para pemberontak yang dipimpin oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu!
Ternyata dalam sakit hatinya untuk dapat membalas kekalahannya, Kam Hong Sin sudah berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan putusan menghukum kedua tokoh besar itu supaya dia dapat mencari bala bantuan dengan mudah. Selain mengharapkan untuk mendapat pertolongan, di dalam surat itu Kaisar menjelaskan bahwa orang-orang gagah yang suka mengulurkan tangan menolong kelak akan diberi pangkat tinggi, tempat tinggal gedung besar di dalam kota raja, dan sejumlah uang yang banyak sekali.
Tentu saja semua orang yang hadir di situ merasa mengilar mendengar janji upah yang besar itu. Bukan semata-mata upahnya yang mereka inginkan, akan tetapi nama besar dan penghormatan. Kini terbukalah kesempatan untuk membantu Kaisar dan membuat pahala yang akan mendatangkan hasil besar dan nama baik di samping menebus semua dosa mereka yang lalu!
Memang, hampir semua orang yang hadir di sana, kecuali hamba-hamba Kaisar, dahulu sering kali melakukan pelanggaran-pelanggaran yang berarti berdosa kepada Kaisar, dan dengan adanya kesempatan ini, maka dosa-dosa itu tentu akan dilupakan dan bahkan akan mengangkat diri mereka menjadi orang-orang berkedudukan tinggi!
“Kalau demikian, aku setuju!” kata Wi Wi Toanio dan untuk menutupi keinginannya akan kedudukan dan kemuliaan yang dijanjikan oleh Kaisar itu, ia berkata lagi, “Bukan, karena aku inginkan semua kemuliaan itu, akan tetapi karena aku akan mendapat kesempatan membalas dendam kepada Bu Pun Su yang sudah menghina kita dan kepada Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka itu! Tentang kelihaian mereka, jangan kuatir, aku memiliki seorang supek yang menjadi tokoh nomor satu di daerah barat, yaitu Pok Pok Sianjin. Kalau aku berhasil minta bantuannya, jangankan baru Bu Pun Su dan Hok Pek Taisu biar ditambah seratus orang lagi, dengan mudah mereka akan dapat dihancurkan!”
Semua orang memandang heran karena sepanjang pendengaran mereka, tokoh besar dari barat yang disebut Pok Pok Sianjin itu kabarnya sudah musnah dan sudah naik ke Sorga menjadi dewa! Demikianlah dongeng yang dituturkan orang.
Hai Kong Hosiang tertawa. “Memang di atas dunia ini terdapat empat orang tokoh besar yang dapat disebut menduduki tempat tertinggi di dunia persilatan. Untuk daerah selatan dan timur, nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu disebut-sebut sebagai dua tokoh besar tanpa tandingan. Akan tetapi di bagian barat terdapat Pok Pok Sianjin, ada pun di bagian utara terdapat Swi Kiat Siansu, Suhu dari Thai Kek Losu. Kudengar bahwa Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sudah tewas oleh Pendekar Bodoh, maka kalau kita pergi ke utara dan melaporkan hal ini kepada Swi Kiat Siansu, mustahil dia tidak akan turun gunung membantu kita!”
Semua orang merasa girang sekali karena kalau saja dua orang sakti itu benar-benar mau turun gunung membantu, pekerjaan yang berat dan hebat ini akan jauh lebih ringan lagi. Tiba-tiba Ceng To Tosu sambil mewek-mewek bangun berdiri dari tempat duduknya dan berkata,
“Cu-wi, sesudah diadakan persetujuan untuk bekerja sama, menurut pendapat pinto yang bodoh, ada baiknya kalau diangkat seorang ketua atau pemimpin agar segala pekerjaan yang dilakukan berada di bawah pimpinan seorang yang tepat dan yang terbaik di antara kita semua!”
Mendengar ucapan ini, semua orang saling pandang dan mulailah mereka sama-sama mempertimbangkan, siapa kiranya yang tepat untuk dijadikan pemimpin.
“Seorang ketua harus mempunyai kepandaian tertinggi, maka untuk menentukan siapa yang patut menjadi ketua, lebih baik kita mengajukan beberapa orang calon, kemudian calon-calon itu menguji kesaktian untuk membuktikan bahwa dia memang cukup pandai untuk diangkat menjadi ketua,” kata Hai Kong Hosiang.
Orang-orang lalu saling bercakap-cakap hingga keadaan menjadi riuh, sedangkan Ang I Niocu yang melihat dan mendengar semua ini, diam-diam merasa terkejut sekali. Kalau mereka semua telah bersatu dan berhasil memanggil kedua orang tokoh besar yang tadi disebutkan, maka pihaknya akan menghadapi lawan yang amat tangguh.
Ia pernah mendengar nama Pok Pok Sianjin yang bertapa di Puncak Go-bi-san dan juga sudah mendengar nama Swi Kiat Siansu yang bertapa di pegunungan daerah Mongolia, dan kabarnya kedua orang itu memiliki kesaktian yang luar biasa! Sambil menahan napas agar jangan mengeluarkan suara berisik, Ang I Niocu melanjutkan pengintaiannya.
Sesudah dipilih-pilih, pada akhirnya yang diajukan menjadi calon adalah tiga orang yang dianggap memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, yaitu Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Kam Hong Sin sendiri. Tadinya Siok Kwat Mo-li Si Nenek Bongkok juga dipilih, akan tetapi ia tidak mau menerimanya dan mengundurkan diri sambil berkata,
“Hai Kong Suheng telah dipilih, kenapa pula aku sebagai Sumoi-nya harus maju? Biarlah dia yang mewakili aku sekalian!”
Sambil tersenyum Kam Hong Sin berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio, “Oleh karena kita berada di antara kawan-kawan sendiri, maka kuharap adu kepandaian ini dilakukan dalam cara damai sebagaimana yang biasa dilakukan oleh perwira-perwira kerajaan.”
“Bagus, bagaimanakah cara itu, Kam-ciangkun?” tanya Wi Wi Toanio.
“Di waktu para perwira menguji kepandaian, mereka mempergunakan sepasang sumpit gading yang dipegang pada tangan kanan seperti orang sedang makan nasi. Kemudian dengan sumpit itu mereka saling menjepit dan berusaha membetot sumpit pada tangan lawannya dan siapa yang sumpitnya terlepas, dia dianggap kalah.”
“Baik sekali!” Hai Kong Hosiang memuji. “Memang siapa yang lebih tinggi lweekang-nya akan mendapat kemenangan. Akan tetapi, tentu saja kita tidak boleh menyerang tangan orang dengan sumpit itu, bukan?”
“Tidak boleh sama sekali! Dalam hal ini tentunya kita harus mengandalkan kejujuran dan kepandaian, sama sekali tidak boleh melukai tangan lawan!”
Setelah mendapat persetujuan, Kam Hong Sin, Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang lalu duduk mengelilingi sebuah meja dan para pelayan segera mengambil tiga pasang sumpit gading. Untuk menguji kekuatan sumpitnya itu, Kam Hong Siang lalu berseru keras dan menancapkan sepasang sumpit itu di atas meja sehingga sumpit itu menancap sampai setengahnya di dalam kayu meja yang keras itu.
Wi Wi Toanio tersenyum. Ia pun ingin menguji kekuatan sumpitnya yang akan digunakan dalam pertandingan ini, maka dia pun mengetuk-ngetuk ujung meja dengan perlahan dan hancurlah ujung meja itu berhamburan ke bawah.
Hai Kong Hosiang tidak mau kalah. Dia menggunakan sepasang sumpitnya seperti dua batang pensil dan menggurat-guratkan ujungnya pada permukaan meja. Maka tampaklah guratan-guratan yang dalam pada permukaan meja itu, bagaikan tanah lempung yang digurat-gurat dengan pisau tajam saja.
Orang-orang yang melihat demonstrasi lweekang dari tiga orang itu bersorak memuji, dan Ang I Niocu sendiri diam-diam merasa kagum melihat pengerahan tenaga lweekang yang tidak boleh dianggap ringan itu.
Menurut kebiasaan seperti dituturkan oleh Kam Hong Sin, karena pengikut pertandingan itu ada tiga orang, maka segera dilakukan undian untuk menentukan siapa yang harus bertanding lebih dulu. Pemenang pertandingan pertama ini lalu akan berhadapan dengan orang ke tiga untuk menentukan juara dan jabatan ketua.
Pada saat undian dilakukan, ternyata bahwa yang mendapat giliran pertama adalah Kam Hong Sin dan Wi Wi Toanio. Mereka tersenyum dan duduk berhadapan dengan tangan menjepit sumpit masing-masing.
“Ciangkun, silakan kau mulai lebih dulu, oleh karena kau yang lebih tahu mengenai cara pertandingan ini.”
Kam Hong Sin mengangguk dan berseru, “Toanio, jagalah sumpitmu!” Sambil berkata demikian, sepasang sumpit Kam Hong Sin digerakkan dengan terbuka seperti sepasang patuk burung, hendak menjepit sumpit di tangan Wi Wi Toanio.
Nenek tua ini tidak mengelak karena dia hendak mengukur sampai di mana kehebatan tenaga lawan. Ia membiarkan sepasang sumpitnya terjepit dan tenyata bahwa sepasang sumpitnya itu terjepit kuat bagaikan terjepit oleh catut besi saja. Kini adu tenaga dimulai.
Kam Hong Sin mengerahkan tenaga untuk memutar sumpit lawannya agar terlepas dari pegangan. Akan tetapi ia merasa betapa sumpit itu dipegang dengan kendur dan tenaga lweekang-nya tidak berdaya menghadapi tenaga halus yang meruntuhkan gerakannya dengan menyerah, akan tetapi yang mengandung kekuatan yang luar biasa besarnya hingga ketika ia mencoba untuk memutarnya, sepasang sumpit lawan itu bergerak sedikit pun tidak.
“Ciangkun, kau sudah terlalu lama menjepit!” kata Wi Wi Toanio sambil tersenyum.
Hal ini mengherankan Kam Hong Sin oleh karena di dalam pengerahan tenaga khikang, mengucapkan kata-kata merupakan pantangan. Ia membarengi pada saat Wi Wi Toanio membuka mulut, lalu membetot keras untuk menarik sumpit lawan supaya terlepas, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba sumpit lawan itu menjadi demikian licin hingga jepitannya terlepas.
Kini Wi Wi Toanio yang menggerakkan sumpitnya dan ketika sumpitnya sudah terjepit sepasang sumpit Kam Hong Sin, nenek itu tiba-tiba membuat gerakan mendorong, bukan membetot. Ini adalah gerakan yang licin dan penuh perhitungan, karena pada waktu itu Kam Hong Sin memang sedang mengerahkan tenaga untuk menahan sumpitnya, maka tentu saja ketika tiba-tiba didorong, tangannya menjadi terdorong dan sumpitnya hampir terlepas.
Pada saat dia mempertahankan diri dan mulai merobah tenaganya dari menarik menjadi mendorong untuk melawan tenaga dorongan lawan, tiba-tiba Wi Wi Toanio secara tidak terduga-duga membetot sekerasnya sambil berseru,
“Lepas!”
Hal ini betul-betul tak pernah diduganya, maka Kam Hong Sin tak dapat mempertahankan sumpitnya lagi dan sungguh pun dia masih mampu mempertahankan sebatang, yang lain telah kena dibetot terlepas! Kam Hong Sin bangun berdiri dan menjura di depan Wi Wi Toanio mengaku kalah, sedangkan para hadirin bertepuk tangan memuji.
Hai Kong Hosiang tertawa terbahak-bahak. “Permainan yang bagus sekali! Selain tenaga dan keuletan, dalam permainan ini juga diperlukan kecepatan serta kelincahan, ditambah lagi otak yang cerdik! Aku yang bodoh mana dapat melawan Toanio?” Akan tetapi sambil berkata demikian, dia lalu duduk menghadapi Wi Wi Toanio, menggantikan tempat Kam Hong Sin yang sudah kalah.
“Seranglah, Hai Kong!” kata Wi Wi Toanio menantang.
“Tidak, engkau saja yang menyerang, aku hendak mempertahankan diri saja,” jawab Hai Kong Hosiang yang cerdik.
Hwesio ini terkenal amat cerdik dan banyak tipu muslihatnya, maka Wi Wi Toanio berlaku hati-hati sekali. Nenek ini benar-benar ingin diangkat menjadi ketua, karena hal ini akan menguntungkannya. Kalau dia yang menjadi pemimpin, maka dia mendapat kesempatan lebih banyak untuk membalas dendamnya kepada Bu Pun Su. Ia maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang dan ilmu silat, mungkin tingkatnya masih lebih tinggi dari Hai Kong Hosiang, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia sering mengagumi hwesio ini.
Wi Wi Toanio segera menyergap dengan sumpitnya untuk menjepit kedua sumpit Hai Kong Hosiang, akan tetapi tiba-tiba hwesio ini membuka mulut sumpitnya dan kini sumpit-sumpit itu menjadi saling jepit! Sepasang sumpit Wi Wi Toanio menjepit sumpit Hai Kong Hosiang sebelah bawah, sedangkan sepasang sumpit Hai Kong Hosiang menjepit sumpit Wi Wi Toanio sebelah atas, bagaikan mulut dua ekor jangkerik sedang saling gigit dalam sebuah perkelahian yang sengit!
Saking tegangnya pertandingan itu, tiada terdengar sedikit pun suara di antara penonton yang memandangnya. Kini Wi Wi Toanio maklum bahwa Hai Kong Hosiang yang cerdik tidak mau mengadu kecepatan, karena itu dia sengaja menjepit sebuah sumpit lawan dan membiarkan sumpitnya yang sebatang terjepit pula sehingga dalam keadaan demikian, terpaksa mereka harus mengandalkan tenaga belaka.
Mereka masing-masing tidak mau mengalah, dan dua pasang sumpit itu sampai tergetar saking serunya pertemuan tenaga mereka yang disalurkan melalui sepasang sumpit pada tangan masing-masing! Sebentar sumpit terputar ke kanan, sebentar ke kiri, akan tetapi keduanya sama kuat hingga empat batang sumpit itu seakan-akan telah tumbuh menjadi satu!
Dari getaran-getaran yang menyerang ke jari-jari tangannya, Hai Kong Hosiang maklum akan kehebatan tenaga lweekang Wi Wi Toanio. Akan tetapi, nenek tua itu pun merasa betapa sepasang sumpit di tangan Hai Kong Hosiang demikian kokoh kuatnya bagaikan dua bukit karang yang sukar dirobohkan!
Lama sekali adu tenaga ini berlangsung dan pada jidat Hai Kong Hosiang sudah nampak keringat keluar membasahi jidatnya, sedangkan Wi Wi Toanio juga mulai nampak pucat! Kam Hong Sin berdiri dengan mata terpentang lebar karena baru kali ini dia menyaksikan pertandingan sumpit yang demikian seru dan hebatnya.
Tiba-tiba Wi Wi berseru keras sekali dan dia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Hai Kong mencoba untuk bertahan, akan tetapi tiba-tiba…
“Krekkk!”
Terdengar suara keras dan tiga batang sumpit telah patah, yaitu dua batang sumpit Hai Kong Hosiang dan sebatang sumpit Wi Wi Toanio! Hal ini menunjukkan bahwa lweekang Wi Wi Toanio masih menang setingkat!
Hai Kong Hosiang menghapus keringatnya sambil tertawa. “Sudah kukatakan bahwa aku tak akan bisa menang menghadapi Wi Wi Toanio yang tangguh! Akan tetapi, kita semua enak-enak mengadu kepandaian hingga melupakan orang yang mengintai dari luar!”
Ang I Niocu merasa terkejut bukan main dan serba salah. Terang bahwa mata Hai Kong Hosiang yang tinggal satu itu awas sekali dan sudah dapat melihatnya. Ang I Niocu tidak kenal arti takut, akan tetapi dalam keadaan seperti itu dia benar-benar menjadi bingung. Kalau ia melarikan diri dari situ, dia akan merasa malu kepada diri sendiri, sebaliknya jika dia melompat masuk, dia yakin bahwa dia tidak akan kuat menghadapi sekian banyaknya orang-orang gagah.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari sebelah atasnya yang disusul ucapan mengejek, “Ha-ha-ha, memang semenjak tadi aku berada di sini. Bagaimana aku bisa masuk sebelum diundang?”
Ang I Niocu terkejut bukan main. Bagaimana ada orang bisa berada di atasnya tanpa dia ketahui sama sekali? Dia menengok dan melihat seorang kakek botak duduk di atas tiang yang melintang di atas kepalanya. Kakek itu duduk bagaikan seorang anak-anak sedang menonton pertunjukan indah, sedangkan pada lengan kirinya terjepit sepasang tongkat bambu warna kuning.
Dia menjadi tercengang karena dapat menduga bahwa orang ini tentulah Hok Peng Taisu yang pernah diceritakan oleh Ma Hoa kepadanya. Dan, orang inilah agaknya yang sudah mencuri harta pusaka itu. Sementara itu, kakek botak yang bukan lain adalah Hok Peng Taisu itu, memandang kepadanya dan mengedipkan mata sambil menyeringai, memberi tanda agar Dara Baju Merah itu jangan mengeluarkan suara.
Sementara itu, ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya mendengar suara dari luar itu, segera berjaga-jaga dan Kam Hong Sin sebagai tuan rumah lalu berkata, “Tamu yang berada di luar dipersilakan masuk!”
Terdengar suara tertawa bergelak dan tiba-tiba ada tubuh seorang kakek botak melayang masuk dengan gerakan yang ringan sekali. Dengan sepasang matanya yang amat tajam, kakek botak itu menyapa semua orang yang berada di ruang itu dan berkata,
“Aduh, semua telah berkumpul. Bagus, bagus! Tadi telah kusaksikan pertandingan sumpit yang bagus. Aku tua bangka pun memiliki semacam permainan sumpit yang sama, akan tetapi apakah ada orang yang cukup bergembira untuk melayaniku bermain-main atau tidak, entahlah!”
“Biarlah pinceng melayanimu, Kakek Tua!” kata Hai Kong Hosiang.
“Bagus, bagus, akan tetapi sebagai tamu baru, aku belum mendapat jamuan, sedangkan perutmu yang gendut sudah diisi penuh, tentu saja aku akan kalah tenaga! Biarkan aku makan beberapa mangkok sayur dahulu!” Sambil berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu mengambil semangkok daging kambing dan sepasang sumpit bambu. Sambil berdiri dia makan daging itu sepotong demi sepotong dan kelihatannya dia menikmati makanan itu.
“Locianpwe ini siapakah?” Kam Hong Sin bertanya karena merasa penasaran melihat lagak orang yang tidak tahu akan kesopanan.
“Baru saja namaku kau sebut-sebut, sekarang hendak bertanya pula, bukankah ini aneh namanya? Akan tetapi, aku jangan kau bandingkan dengan Bu Pun Su yang lihai!”
Terkejutlah semua orang, dan ketika mereka melihat ke arah dua batang tongkat bambu yang dikempit di bawah lengan kiri, Kam Hong Sin menjadi pucat dan bertanya,
“Apakah kau Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka?”
Tiba-tiba Hok Peng Taisu tertawa bergelak-gelak. “Sudah berpuluh tahun aku orang tua menyembunyikan diri dalam goa dan akibat perbuatan orang-orang yang suka mencurilah yang menyebabkan aku keluar dari goa. Sekarang aku bahkan dituduh menjadi pencuri. Lucu, lucu!” Kemudian, dengan tangan kiri masih menyangga mangkok sedang di bawah lengan kiri itu masih terjepit tongkat-tongkat bambunya, tangan kanan memegang sumpit, ia menuding ke arah Hai Kong Hosiang dengan sumpitnya itu dan bertanya,
“Bagaimana, apakah kau masih mau melayani aku bermain sumpit?”
“Boleh, asal kau orang tua jangan bermain curang!”
Kembali Hok Peng Taisu tertawa bergelak dan dia mengulurkan tangan yang memegang sumpit sambil berkata, “Nah, kau jepitlah sumpitku ini!”
Hai Kong Hosiang yang melihat bahwa sepasang sumpit kakek itu adalah sumpit bambu biasa saja, lalu melangkah maju dan dengan sumpit gading yang kuat dia lalu menyerang maju, akan tetapi bukan menjepit sumpit kakek itu, melainkan menotok dengan sepasang sumpitnya ke arah pergelangan tangan Hok Peng Taisu!
Akan tetapi, kakek botak ini agaknya tidak tahu akan kecurangan lawan, maka dia hanya menggerakkan sumpitnya ke bawah, lalu sesudah dapat menangkis sumpit di tangan Hai Kong Hosiang, dia memutar sumpitnya sedemikian rupa hingga sumpit Hai Kong Hosiang ikut terputar-putar tanpa dapat ditahan pula!
Terpaksa Hai Kong Hosiang lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot, akan tetapi sumpitnya seolah-olah sudah timbul akar pada sumpit kakek itu sehingga tak dapat dibetot. Ia mengerahkan tenaganya lagi dan tiba-tiba kakek itu melepaskannya sehingga tubuh Hai Kong Hosiang terhuyung ke belakang.
“Ha-ha-ha! Kau lucu sekali hwesio!” katanya, lalu dengan sumpitnya ia menjepit sepotong daging yang dimasukkan ke dalam mulutnya seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu!
Wi Wi Toanio yang dapat memaklumi akan kelihaian kakek botak ini, secara diam-diam menghampirinya dari belakang dengan sepasang sumpit gading di tangannya.
“Hok Peng Taisu, aku pun ikut bermain-main dengan sumpit!”
Dan belum juga habis kata-kata ini dia ucapkan, dia telah menyerang dengan sepasang sumpitnya, menotok jalan darah Hok Peng Taisu dari belakangnya! Kakek botak itu tidak bergerak atau pun membalikkan tubuh, seakan-akan dia tidak mendengar ucapan tadi, hanya tangan kanannya yang memegang sumpit saja digerakkan ke belakang tubuhnya. Pada saat itu, Hai Kong Hosiang yang merasa penasaran, lalu menyerang lagi dari depan dengan sepasang sumpitnya digerakkan ke arah kakek botak itu.
Biar pun diserang dari belakang dan depan, agaknya Hok Peng Taisu masih saja terus enak-enakan mengunyah daging beberapa potong yang tadi dimasukkan ke dalam mulut. Ketika sumpit Wi Wi Toanio telah dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba saja sumpit di tangan kanannya bergerak dan…
“Krekkk!”
Terdengar suara, diikuti seruan Wi Wi Toanio yang melompat mundur karena merasa telapak tangannya sakit sekali, dan ternyata bahwa sepasang sumpitnya telah terpotong menjadi dua, setelah tadi terjepit oleh sumpit bambu Hok Peng Taisu!
Sedangkan dua batang sumpit Hai Kong Hosiang yang menyambar ke arah ulu hatinya, juga tidak dielakkan oleh kakek botak itu, akan tetapi tiba-tiba dia membuka mulutnya dan dua kali dia meniupkan daging-daging yang dimakan tadi dari mulut! Daging-daging itu meluncur bagaikan pelor dan tepat sekali mengenai ujung sepasang sumpit itu.
Hai Kong Hosiang hanya merasa betapa tusukan sumpitnya tertahan oleh tenaga yang kuat sekali dan tahu-tahu dia melihat betapa dua batang sumpitnya telah menancap pada dua potong daging bakso yang besar! Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini dan dia merasa dirinya dipermainkan, maka dia pun berseru.
“Jangan jual lagak di sini!” Sambil berseru demikian dia mengayunkan tangan sehingga sepasang sumpitnya yang masih ada baksonya itu meluncur cepat ke arah dua mata Hok Peng Taisu!
Akan tetapi kakek botak itu sambil terkekeh-kekeh lalu berkata. “Hwesio, mengapa kau tidak makan bakso-bakso itu?”
Lalu dia mengangkat kedua tongkat bambunya, memukul ke arah sepasang sumpit yang melayang itu. Heran sekali, ketika tongkat bambu itu beradu dengan sumpit, bakso yang berada di ujung sepasang sumpit itu melayang kembali ke arah Hai Kong Hosiang, ada pun sumpit-sumpitnya melayang ke samping, menuju kepada Wi Wi Toanio!
Hai Kong Hosiang mengelak dan sambil menyumpah-nyumpah segera mencabut keluar tongkat ularnya. Sedangkan Wi Wi Toanio juga menjadi marah dan menyampok kedua batang sumpit yang melayang ke arah dirinya itu hingga runtuh ke atas lantai! Kemudian, nenek ini pun maju menyerang dengan kedua tangan merupakan cakar burung garuda. Sebenarnya, Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Kuku Garuda) yang dimiliki oleh nenek ini bukan Eng-jiauw-kang biasa, maka gerakannya aneh serta lihai sekali.
Melihat dirinya akan dikeroyok, Hok Peng Taisu segera menggerakkan sepasang tongkat bambunya dan dua kali tubuhnya berkelebat, tahu-tahu tongkat ular di tangan Hai Kong Hosiang sudah kena dibikin terpental dan Wi Wi Toanio hampir saja terkena sabetan itu pada pipinya! Keduanya merasa terkejut sekali dan melompat mundur.
Hok Peng Taisu tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini benar-benar merupakan tuan rumah yang kurang sopan! Sekarang lebih baik aku pergi saja lagi!” Sesudah berkata demikian, kakek botak itu menggerakkan kakinya dan melayang pergi.
“Locianpwe, tunggu dulu!” tiba-tiba Kam Hong Sin berseru dan memburu ke pintu.
“Apa kehendakmu?” terdengar suara kakek botak itu dari atas genteng.
“Kami hendak menantangmu dan juga Bu Pun Su untuk mengadakan pertandingan adu kepandaian di Puncak Hoa-san pada bulan tiga. Apakah kau berani menerima tantangan kami ini?”
Kembali kakek botak itu tertawa terkekeh-kekeh. “Tak usah kau ceritakan, aku pun sudah maklum akan maksud kalian yang buruk itu. Baik, baik, memang sudah lama sekali aku ingin bertemu dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu. Mengenai Bu Pun Su, aku tidak tanggung bahwa dia akan mau melayani ajakan kalian yang gila itu!”
Hok Peng Taisu lalu melayang ke tempat mana Ang I Niocu bersembunyi dan memberi tanda dengan tangan agar supaya Dara Baju Merah itu mengikutinya. Ang I Niocu segera melompat ke atas genteng dan mengikuti kakek itu pergi dari sana. Sesudah berada di tempat jauh, kakek botak itu berkata,
“Bukankah kau yang bernama Ang I Niocu?”
Ang I Niocu menjura dengan sangat hormatnya. “Betul Locianpwe dan sudah lama aku yang bodoh mendengar tentang nama Locianpwe dari Ma Hoa. Aku merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan seorang sakti seperti Locianpwe.”
“Ahh, jangan terlalu memuji, Nona. Kau tentu sudah mendengar semua kehendak mereka itu, bukan? Nah, sekarang semua terserah padamu apakah kau hendak menyampaikan undangan mereka terhadap Bu Pun Su atau tidak. Hanya saja, boleh kau katakan pada Bu Pun Su bahwa aku tua bangka tentu akan menghadapi tantangan mereka itu pada waktunya di Puncak Hoa-san!”
Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu berkelebat pergi sedangkan Ang I Niocu kemudian melanjutkan perjalanannya. Memang dia pun ada maksud untuk pergi ke Goa Tengkorak menemui susiok-couw-nya, sekalian hendak menemui Bu Pun Su untuk minta ijin orang tua itu tentang perjodohannya dengan Lie Kong Sian.
Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa menjalankan tugas membagi-bagikan harta itu sambil melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Seperti halnya Ang I Niocu, mereka pun mengalami banyak sekali kebahagiaan dari pekerjaan yang mulia ini.
Pada waktu mereka menyeberang sebatang sungai yang menjadi anak Sungai Huangho, Nelayan Cengeng melihat ada beberapa perahu nelayan hilir mudik dengan para nelayan bernyanyi-nyanyi sambil mendayung perahu mereka. Pemandangan dan pendengaran ini membangkitkan hatinya dan menimbulkan rindunya pada kehidupan nelayan yang sudah dinikmatinya semenjak masih muda, maka dia berkata kepada Ma Hoa dan Kwee An.
“Ma Hoa dan Kwee An, sudah lama sekali aku merasa rindu untuk hidup kembali sebagai seorang nelayan, mendayung perahu menjala ikan dan hidup dengan aman dan tenteram di atas air! Terus terang saja kuakui bahwa hampir setiap malam aku bermimpi duduk di atas perahu seorang diri, dibuai ombak, minum arak sambil menikmati cahaya bulan di waktu malam. Kini kalian sudah saling berjumpa kembali dan juga kawan-kawanmu telah dapat kita ketemukan, maka hatiku kini merasa aman dan senang. Oleh karena itu, aku ingin tinggal dan hidup kembali sebagai nelayan di sungai ini. Kalian teruskan perjalanan kalian dan ini adalah sisa harta benda yang harus kubagi-bagikan, boleh kalian habiskan dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Kelak apa bila sudah tiba saatnya kalian hendak melangsungkan pernikahan, berilah kabar dan aku pasti akan datang.”
Ma Hoa maklum pula bahwa suhu-nya ini memang suka sekali hidup di atas air sebagai seorang nelayan, bahkan dulu suhu-nya pernah menyatakan bahwa ia ingin mati di dalam sebuah perahu, maka berkata,
“Suhu, sungguh berat hatiku harus berpisah dengan Suhu. Suhu tentu tahu bahwa teecu menganggap Suhu sebagai ayah sendiri, maka kelak kalau Suhu telah bosan merantau di atas sungai ini, teecu harap Suhu suka tinggal bersama teecu supaya teecu mendapat kesempatan merawat Suhu dan membalas budi.”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak sampai air matanya keluar.
“Muridku, anakku yang baik!” katanya sambil menaruhkan tangannya di atas kepala Ma Hoa. “Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagiku selain melihat kau hidup bahagia dengan Kwee An! Aku berjanji bahwa kelak apa bila aku sudah bosan di sungai ini, pasti aku akan hidup dekat dengan kau dan suamimu.”
Sesudah banyak mendapat nasehat-nasehat serta petuah-petuah dari Nelayan Cengeng yang baik hati itu, Kwee An dan Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mereka.
Ma Hoa mengajak Kwee An mengunjungi suhu-nya ke dua, yaitu Hok Peng Taisu di Bukit Hong-lun-san, di mana dulu ia diberi pelajaran silat Bambu Runcing. Bukit itu masih indah seperti dahulu, kaya akan tamasya alam yang mengagumkan hati. Ketika mereka tiba di puncak, mendadak mereka mendengar suara angin pukulan yang hebat sambil dibarengi bentakan-bentakan seperti orang sedang berkelahi.
Dengan cepat mereka lalu menghampiri tempat itu dan Ma Hoa menahan geli hatinya pada waktu melihat betapa suhu-nya bersilat seorang diri dengan sepasang tongkatnya. Gerakan kakek botak itu sedemikian kuatnya sehingga semua daun-daun di sekitarnya bergerak-gerak terkena pukulan angin yang keluar dari pukulan dan sambaran tongkat itu! Kwee An berdiri bengong dan merasa kagum bukan main melihat kehebatan kakek luar biasa itu.
“Suhu, kau orang tua benar-benar rajin sekali!” Ma Hoa memuji.
Hok Peng Taisu segera menghentikan latihannya dan berpaling kepada mereka sambil tersenyum. Ma Hoa kemudian menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Kwee An yang juga berlutut.
“Bagus, bagus, bagus sekali kalian datang ke sini. Di mana Nelayan Cengeng?”
“Dia rindu kepada perahu dan sungai, Suhu, maka dia tidak melanjutkan perjalanan dan hendak hidup beberapa lama di atas Sungai Liang-ho,” jawab Ma Hoa.
Hok Peng Taisu menarik napas panjang. “Nelayan Cengeng memang orang beruntung. Tidak seperti aku yang sudah tua masih menimbulkan perkara dan mencari permusuhan. Tahukah kau bahwa aku akan mengadakan pertandingan di Puncak Hoa-san pada bulan tiga? Oleh karena itu aku harus melatih diri dan melepaskan urat-urat yang sudah kaku!”
Di waktu mudanya kakek botak ini memang gemar sekali mengadu kepandaian dengan orang-orang pandai, maka kini agaknya kegemaran itu timbul kembali dalam menghadapi tantangan Hai Kong Hosiang. Kemudian dia segera menceritakan mengenai tantangan itu kepada Ma Hoa dan Kwee An.
“Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, maka tentu saja dia pun akan menyambut tantangan ini. Aku kenal padanya sebagai seorang yang sabar, akan tetapi menghadapi sebuah tantangan yang keluar dari mulut hwesio jahat itu, tentu dia akan turun gunung. Oleh karena itu, hendaknya kalian datang kepadanya dan ceritakanlah tentang tantangan itu kepada Bu Pun Su, sekalian sampaikan salamku kepadanya. Katakan bahwa selatan dan timur tak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!” Dengan ucapan ini, Hok Peng Taisu hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su takkan kalah menghadapi Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, tokoh-tokoh besar dari barat dan utara itu!
Ma Hoa dan Kwee An kemudian turun dari Bukit Hong-lun-san dan karena mereka telah mendengar dari Cin Hai di mana letak Goa Tengkorak itu, maka mereka langsung menuju ke sana.
Ketika mereka sampai di depan Goa Tengkorak, mereka melihat Lin Lin sedang duduk dengan bengong bagai orang melamun dengan muka nampak sedih. Melihat kedatangan mereka, gadis ini tidak merasa girang, bahkan lalu memeluk kakaknya menangis sedih.
Kwee An yang sudah lama sekali tidak bertemu dengan adiknya yang terkasih itu, cepat mengusap-usap rambut Lin Lin dan bertanya, “Adikku sayang, mengapa kau bersedih? Di manakah Cin Hai dan di mana pula Suhu-mu?”
Sesudah tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata, “Mereka berada di dalam. Suhu sedang menderita sakit keras. Hai-ko dan Enci Im Giok yang menjaganya. Aku… aku tak dapat menahan kegelisahan dan kesedihanku maka aku lalu keluar, karena di depan Suhu aku tidak berani memperlihatkan kesedihanku.”
Bukan main kagetnya hati Ma Hoa dan Kwee An mendengar penjelasan ini. Segera Ma Hoa bertanya,
“Suhu-mu adalah seorang yang sakti, mengapa ia bisa menderita sakit? Dan bilakah Ang I Niocu tiba di sini?”
Kemudian, dengan suara perlahan supaya suara mereka jangan sampai terdengar dari dalam dan mengganggu Bu Pun Su, Lin Lin lalu menceritakan bahwa setelah ia dan Cin Hai, juga bersama Lie Kong Sian, tiba di tempat itu, mereka mendapatkan Bu Pun Su sudah berbaring tak sadarkan diri di dalam goa, dijaga oleh tiga ekor burung sakti yang diam tak bergerak seperti sedang merasa bingung dan berduka pula.
Lie Kong Sian yang paham akan ilmu pengobatan, lalu memeriksa nadi kakek jembel itu dan menyatakan bahwa Bu Pun Su menderita kelemahan karena usia tua, dan agaknya kesedihan hati membuat jantungnya terserang hebat, juga penderitaan batin membuat kakek itu tidak kuat menahan dan jatuh pingsan. Pemuda itu lalu mengatakan kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya menjaga Bu Pun Su dan membantu kesempurnaan jalan darahnya dengan tenaga lweekang, sedangkan ia sendiri hendak pergi ke pulaunya untuk mencari semacam rumput darah yang mungkin akan menyembuhkan Bu Pun Su.
Semenjak masuk Goa Tengkorak, Cin Hai lalu memegang tangan kanan suhu-nya dan mengerahkan tenaganya membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu itu. Telah sepekan lamanya Cin Hai duduk bersila tak bergerak di dekat suhu-nya dan hanya makan sedikit sekali, itu pun kalau sudah dipaksa-paksa oleh Lin Lin.
Baru tiga hari yang lalu Ang I Niocu tiba di situ dan gadis ini pun menjaga susiok-couwnya siang malam bersama mereka.
“Apakah selama ini Suhu-mu tidak pernah siuman?” tanya Kwee An dengan terharu.
“Pernah satu kali, dan sesudah siuman dia hanya mengucapkan tiga kata, yaitu bahwa dia sudah tua, lalu jatuh pingsan lagi.” Kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Lin Lin.
Tiga orang muda itu lalu masuk ke dalam Goa Tengkorak dengan tindakan kaki perlahan dan hati-hati sekali. Benar saja, mereka melihat Bu Pun Su berbaring di atas lantai di dalam kamar hio-louw, berbaring diam tak bergerak seperti sudah mati.
Terlihat Cin Hai duduk di sisi kanannya dan memegang tangan kanan kakek itu sambil bersemedhi mengerahkan tenaga lweekang-nya untuk membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu-nya, ada pun Ang I Niocu duduk di sebelah kirinya, juga bersila tak bergerak bagaikan patung. Biar pun ilmu lweekang-nya belum setinggi Cin Hai, namun kadang kala dia menggantikan Cin Hai dengan memegang tangan kiri kakek itu untuk membantunya dengan tenaga lweekang-nya agar Cin Hai tidak merasa terlalu lelah.
Melihat hal ini Ma Hoa teringat akan kepandaian suhu-nya, yaitu Hok Peng Taisu, tentang ilmu pengobatan, maka ia lalu memberi tanda kepada Kwee An dan Lin Lin untuk keluar dari tempat itu. Cin Hai dan Ang I Niocu agaknya tidak melihat atau tidak mempedulikan kedatangan mereka.
Ketika Kwee An dan Ma Hoa melihat tiga ekor burung sakti berdiri di ruangan tengkorak tanpa bergerak dan dengan muka seakan-akan sedang berduka sekali, mereka merasa amat terharu. Burung-burung itu benar-benar luar biasa hingga memiliki perasaan seperti manusia biasa.
Setelah tiba di luar goa, Kwee An bertanya mengapa Ma Hoa memanggil mereka keluar.
“An-ko, harap kau suka secepatnya pergi pada Suhu di Hong-lun-san untuk mengabarkan hal ini kepada Suhu. Suhu adalah seorang ahli pengobatan dan dia tentu akan sanggup menolong Bu Pun Su Locianpwe.”
Mendengar hal ini, Lin Lin menyatakan kegirangannya, maka dia pun mendesak kepada kakaknya untuk segera minta petolongan orang berilmu itu. Kwee An lantas menyatakan persetujuannya dan ia berpesan kepada kekasihnya dan adiknya supaya mereka berdua menjaga di luar goa, agar jangan sampai ada musuh yang datang membuat kekacauan pada waktu Bu Pun Su menderita sakit keras. Kwee An kemudian mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin ke Hong-lun-san.
Dengan adanya Ma Hoa yang mengawaninya, Lin Lin menjaga di depan goa dan duduk di atas batu karang sambil bercakap-cakap dan tidak melamun seperti tadi. Mereka saling menuturkan pengalaman masing-masing dan Ma Hoa merasa girang mendengar tentang ditewaskannya Thai Kek Losu, Sian Kek Losio dan Bo Lang Hwesio. Sebaliknya, ketika mendengar tentang tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su, Lin Lin merasa berkuatir sekali. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana suhu-nya akan dapat memenuhi tantangan itu?
Pada waktu mereka sedang duduk bercakap-cakap dengan asyiknya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu seorang wanita tua sudah berdiri di hadapan mereka. Dengan hati terkejut Lin Lin dan Ma Hoa bangkit berdiri dan memandang dengan tajam kepada Wi Wi Toanio yang datang itu!
Melihat nenek ini, Lin Lin menjadi marah sekali karena teringat betapa bekas kekasih Bu Pun Su ini sudah menjalankan kecurangan untuk mencelakai suhu-nya itu. Maka sambil mencabut Han-le-kiam dari pinggangnya, ia membentak,
“Mau apa kau datang ke sini?”
Wi Wi Toanio memandang dengan mata mengejek lalu jawabnya, “Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak-anak kecil. Minggirlah, dan biarkan aku bertemu dengan Lu Kwan Cu!”
“Tidak! Tak seorang pun boleh masuk ke dalam goa ini mengganggu Suhu! Pergilah kau sebelum pedangku bicara!”
“Anak kecil kurang ajar! Kau berani menghina dan mengusirku?” Wi Wi Toanio menjadi marah sekali.
Ma Hoa juga sudah mencabut sepasang bambu runcingnya dan berkata, “Nenek jahat, kau pergilah dengan baik-baik dan jangan mencari mati.”
Makin marahlah Wi Wi Toanio mendengar ini. Dengan seruan keras dia melompat dan menerjang ke arah Lin Lin dan Ma Hoa dengan limu Silat Cakar Garuda yang lihai dan berbahaya itu. Akan tetapi Lin Lin dan Ma Hoa sudah siap dan menghadapinya dengan mengirim serangan-serangan mematikan.
Ternyata Wi Wi Toanio memang lihai sekali. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka biar pun Lin Lin dan Ma Hoa mengeroyok dua dan mainkan senjata mereka dengan cara hebat, namun nenek itu tidak menjadi gentar dan membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang dahsyat.
Sambil bertempur Wi Wi Toanio mengeluarkan pekik-pekik menyeramkan dan tubuhnya menyambar-nyambar bagai seekor burung garuda. Ginkang-nya ternyata telah mencapai tingkat tinggi sekali hingga tubuhnya itu melayang-layang seolah-olah dia dapat terbang saja. Namun Lin Lin dan Ma Hoa yang berlaku hati-hati tidak mau kalah dan bekerja sama dengan mati-matian untuk merobohkan pengacau ini.
Pada saat pertempuran terjadi, Cin Hai sedang membantu suhu-nya dengan mengalirkan hawa melalui telapak tangan, sedangkan Ang I Niocu hanya bersila sambil bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga yang sudah banyak dikerahkan membantu susiok-couw-nya itu.
Kini dia mendengar suara-suara orang berkelahi di luar, maka tahulah dia bahwa Lin Lin dan Ma Hoa sedang menghadapi lawan tangguh. Tanpa mengeluarkan suara, dia lantas mengambil sebatang pedang Liong-cu-kiam yang diletakkan di dekat Cin Hai, kemudian dia bertindak keluar.
Pada saat itu, sambil memekik keras Wi Wi Toanio melompat ke atas dengan kedua tangannya terulur ke depan dan bermaksud merampas senjata kedua lawannya. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan dua batang pedang yang bercahaya berkilauan langsung menyambutnya dengan serangan hebat!
Wi Wi Toanio sedang melayang bagaikan seekor burung garuda yang ganas, sedangkan Ang I Niocu pun melayang menyambutnya dengan pedang Liong-cu-kiam, bagai seekor burung hong yang indah dan gesit! Wi Wi Toanio terkejut melihat serangan ini, maka dia lalu berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah terputar dan berjungkir balik beberapa kali ke belakang!
Melihat Ang I Niocu datang membantu, Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gembira dan mereka lalu mainkan senjata mereka dengan seru dan hebat mendesak Wi Wi Toanio yang kini merasa sibuk juga menghadapi tiga orang gadis jelita yang mengamuk bagaikan tiga ekor naga betina itu!
Ang I Niocu memang lihai dan dengan sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam di kedua tangan, dia merupakan seekor harimau yang tumbuh sayap. Juga Lin Lin dengan Han-le Kiam-hoat-nya merupakan lawan yang amat berbahaya karena ilmu pedangnya ini boleh dianggap menduduki tingkat tinggi sekali di antara segala macam ilmu pedang, ada pun Ma Hoa dengan Ilmu Silat Bambu Runcingnya juga merupakan lawan yang tidak mudah dilawan!
Tentu saja setelah ketiga orang dara ini maju mengeroyok, biar pun ilmu kepandaian Wi Wi Toanio tinggi dan pengalamannya banyak, namun tetap saja dia merasa kewalahan sehingga sebentar saja dia terdesak mundur dan jiwanya berada dalam bahaya!
Wi Wi Toanio mengeluarkan jarum-jarum rahasianya dan kedua tangannya lantas diayun menyebar puluhan batang jarum ke arah tiga dara itu. Akan tetapi Ma Hoa memutar-mutar sepasang bambu rucingnya dan Ang I Niocu juga memutar sepasang pedangnya, hingga semua jarum kena terpukul runtuh. Sementara itu melihat kesempatan baik, Lin Lin maju mengirim serangan hebat ke arah dada lawannya dengan tusukan cepat.
Wi Wi Toanio mencoba mengelak akan tetapi ketika ia merendahkan diri, Lin Lin merobah gerakannya dan pedangnya meluncur ke bawah! Wi Wi Toanio ketika itu terancam pula oleh sabetan pedang Ang I Niocu dari kiri dan tusukan bambu runcing yang menotok ke iganya, maka dengan bingung dia membanting diri ke belakang!
Meski pun gerakannya sudah cepat sekali, akan tetapi ujung pedang pendek Han-le-kiam di tangan Lin Lin masih lebih cepat dan ujung pedang ini berhasil melukai pundak Wi Wi Toanio yang lalu berguling ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan selanjutnya.
Tiga orang gadis itu hendak mengejar dan mengirim serangan maut, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam goa, “Jangan bunuh dia!”
Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa tercengang dan mereka cepat-cepat menahan senjata masing-masing, sedangkan Wi Wi Toanio yang merasa jeri menghadapi tiga orang gadis kosen itu, lalu melarikan diri turun dari bukit itu secepatnya!
Ang I Niocu merasa girang sekali mendengar suara tadi, karena suara yang mencegah mereka tadi adalah suara Bu Pun Su. Juga Lin Lin mengenal suara suhu-nya, maka dia lalu cepat-cepat mengajak Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk masuk ke dalam goa.
Mereka melihat bahwa Bu Pun Su telah siuman kembali akan tetapi masih rebah dengan tubuh lemah, ada pun Cin Hai duduk bersila di dekatnya dengan wajah muram. Bu Pun Su memang hebat sekali, karena biar pun dia berada dalam keadaan sedemikian rupa, namun pendengarannya masih sangat tajam sehingga dia dapat mendengar pertempuran yang terjadi di luar dan seruan-seruan Wi Wi Toanio itu dikenalnya baik-baik, maka dia lalu mengerahkan khikang-nya dan mencegah ketiga orang gadis itu membunuh Wi Wi Toanio. Tanpa menyaksikan dengan mata sendiri, dari pendengaran dan dugaan saja dia maklum bahwa Wi Wi Toanio tak akan dapat menang menghadapi tiga dara yang gagah perkasa itu!
Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Bu Pun Su tersenyum dengan lemah dan bibirnya bergerak, mengeluarkan bisikan perlahan,
“Kalian lihat, betapa pun tinggi kepandaian orang, ia harus tunduk terhadap usia tua!”
Kemudian Bu Pun Su memandang kepada Ma Hoa dan berkata. “Nona Ma Hoa, kau datang ke sini tentu mempunyai maksud tertentu. Katakanlah!”
Ma Hoa tadinya segan untuk menceritakan mengenai pesanan suhu-nya, dan tadinya dia berniat untuk menahan saja pesanan itu karena Bu Pun Su sedang sakit. Tidak tahunya kakek ini bermata awas hingga tahu bahwa kedatangannya mempunyai maksud tertentu, maka sambil berlutut dia lalu berkata,
“Maafkan teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu tidak berani mengganggu Locianpwe yang sedang menderita sakit.”
Terdengar suara tertawa Bu Pun Su yang seperti biasa, gembira dan terlepas, hanya kali ini suara ketawanya tidak sekeras dahulu. “Anak yang baik, tubuhku memang sakit, akan tetapi semangatku masih seperti biasa. Ceritakanlah.”
“Sebetulnya teecu sudah diperintahkan oleh Suhu Hok Peng Taisu untuk menyampaikan tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Suhu dan Locianpwe.”
“Hemm, Hai Kong menantang aku dan Hok Peng?”
“Benar, Locianpwe. Hwesio itu menantang untuk mengadu kepandaian pada bulan tiga di Puncak Hoa-san, dan mereka hendak mengajukan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat sebagai jago untuk menghadapi Locianpwe dan Suhu. Suhu berpesan agar teecu menyampaikan kepada Locianpwe bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!”
Bu Pun Su tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya makin lemah. “Hok Peng ternyata lebih muda semangatnya dari pada aku! Alangkah senangnya kalau bersama Hok Peng aku dapat menghadapi Pok Pok dan Swi Kiat!” Akan tetapi dia lalu menarik napas panjang dan berbisik,
“Tak mungkin, bulan tiga masih lama, aku tak akan dapat bertahan selama itu...”
Mendengar ucapan ini, tak dapat dicegah lagi Lin Lin lalu menangis terisak-isak.
“Ehh, ehhh, Lin Lin muridku yang nakal! Mengapa kau menangis? Suhu-mu sebentar lagi terbebas dari pada kesengsaraan, kenapa kau malah menangis? Seharusnya kau malah bersyukur dan bergembira!”
Akan tetapi, mendengar ini, Lin Lin makin hebat tangisnya, bahkan kini Ang I Niocu dan Ma Hoa juga ikut menangis.
Bu Pun Su menarik napas panjang, “Hm-hmm... perempuan, perempuan... kalau tidak menangis, kau bukan perempuan lagi namanya...”
Setelah tangisnya reda, Lin Lin lalu berkata kepada suhu-nya, “Suhu, perkenankan pada teecu untuk mengajukan sebuah permohonan.”
“Nah, nah, sesudah menangis lalu mengajukan permohonan, cocok sekali ucapan orang jaman dahulu bahwa di balik air mata wanita itu tersembunyi maksud-maksud tertentu!”
“Teecu ingin mohon perkenan dari Suhu untuk mengijinkan Enci Im Giok melangsungkan perjodohannya dengan Lie Kong Sian Suheng!”
Mendengar ucapan Lin Lin ini, Ang I Niocu cepat-cepat menundukkan kepalanya hendak menyembunyikan mukanya yang menjadi kemerah-merahan.
Bu Pun Su menjawab dan suaranya makin melemah seperti bisikan. “Aku tahu... semenjak mereka datang aku sudah tahu... Im Giok dan Kong Sian memang cocok, aku setuju...,” tiba-tiba ia mengeluh panjang dan kembali Bu Pun Su jatuh pingsan, tak sadarkan diri seperti orang tidur pulas!
Cin Hai cepat menyambar nadi tangan suhu-nya dan berbisik, “Suhu telah terlalu banyak menggunakan tenaga untuk bercakap-cakap.”
Tiba-tiba saja masuk seorang laki-laki ke dalam Goa Tengkorak dan ketika semua orang memandang, ternyata yang datang ini adalah Lie Kong Sian. Pemuda ini dengan cepat sekali lalu menghancurkan daun darah yang dia ambil dari pulaunya, memeras daun itu dan meminumkannya ke dalam mulut Bu Pun Su. Setelah itu, pemuda ini lalu duduk di sebelah Bu Pun Su untuk menggantikan Cin Hai membantu peredaran hawa dalam tubuh supek-nya.
Tak lama kemudian, bagaikan api lilin yang hampir padam kini bernyala kembali, Bu Pun Su menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ternyata khasiat daun darah sudah bekerja dan dia merasa tubuhnya enak sekali. Kakek sakti itu lalu bangun dan duduk.
“Im Giok, kuulangi kata-kataku tadi. Kau memang berjodoh dengan Kong Sian dan aku merasa girang sekali bahwa kau mendapatkan jodoh dengan murid Han Le sendiri!”
Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menundukkan kepala dan tidak berani bergerak karena jengahnya.
Kemudian Bu Pun Su berkata sambil menuding keluar goa, “Ada orang datang!”
Semua orang memandang karena mereka tak mendengar sesuatu, kecuali Cin Hai yang dapat mendengar tindakan kaki yang halus sekali. Dan benar saja, tidak lama kemudian, masuklah Kwee An bersama Hok Peng Taisu yang datang-datang tertawa bergelak lalu menghampiri Bu Pun Su.
Bu Pun Su juga tertawa girang. “Hok Peng, apa kau datang hendak memeriksa tubuhku yang sudah bobrok ini?”
“Bu Pun Su, benar-benarkah kau hendak mendahului aku? Kau hanya lebih tua beberapa tahun saja dariku, dan menurut patut, kau harus lebih kuat menolak cengkeraman maut!”
Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu segera duduk di dekat Bu Pun Su kemudian mengulurkan tangan untuk memeriksa nadi dan detik jantung kakek jembel itu.
Sesudah memeriksa sambil memejamkan mata beberapa lama, kakek jembel itu bertanya, “Bagaimana, Hok Peng, masih berapa lama lagikah?”
Kakek botak itu memandang wajah Bu Pun Su dengan tajam. “Bu Pun Su, aku tidak ingin mengetahui urusan pribadimu, akan tetapi orang seperti kau ini tidak layak menerima luka di jantung akibat tekanan batin! Jantungmu terluka hebat sekali karena kau agaknya telah teringat akan hal-hal yang sudah lampau, yang membuat kau merasa malu, marah, dan berduka. Melihat keadaanmu, paling lama kau hanya akan dapat bertahan selama satu pekan saja!”
“Bagus, kalau begitu masih ada waktu beberapa hari lagi,” kata Bu Pun Su.
“Sungguh sayang Bu Pun Su. Benar-benar sayang, karena sebenarnya aku ingin sekali mengajak kau menikmati adu kepandaian di Puncak Hoa-san dan bermain-main sebentar dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu sebelum kau pergi! Pergi seorang diri saja ke Hoa-san kurang menggembirakan!”
Bu Pun Su tertawa, “Apa dayaku? Tadi aku pun sudah mendengar dari muridmu tentang tantangan itu, akan tetapi kepergianku tak dapat ditunda-tunda lagi!”
Mendengar bahwa usia Bu Pun Su tinggal sepekan lagi dan mendengar pula betapa dua orang kakek yang aneh itu membicarakan kematian Bu Pun Su bagai orang yang hendak pergi melancong saja, Ang I Niocu, Lin Lin dan Ma Hoa tak dapat menahan keharuan hati lagi sehingga terdengarlah isak tangis mereka. Lin Lin bahkan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhu-nya dan menangis sedih.
“Ehh, ehh, kembali kau memperlihatkan sikapmu yang nakal, Lin Lin!” kata Bu Pun Su. Kemudian, kakek jembel itu berkata kepada kakek botak,
“Hok Peng, jangan kau kecewa, karena betapa pun juga, tantangan Hai Kong Hosiang itu harus kita hadapi! Memang aku tidak dapat datang sendiri, tetapi aku hendak mewakilkan kepada Cin Hai untuk menghadapi mereka.”
“Suhu, teecu masih terlalu lemah untuk menghadapi mereka, terutama Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang sakti itu,” kata Cin Hai.
“Jangan khawatir, mereka itu sudah tua bangka dan tubuh mereka sudah bobrok seperti aku! Kita masih mempunyai waktu sepekan dan selama itu, aku akan menurunkan semua sisa-sisa kepandaianku kepadamu. Pula, sesudah aku pergi, kau boleh minta bimbingan Hok Peng untuk memperdalam kepandaianmu sehingga tidak akan mengecewakan kelak apa bila kau mewakili daerah selatan dan timur bersama Hok Peng!”
“Bagus!” kata Hok Peng. “Aku setuju sekali kalau anak muda ini mewakilimu, karena dia mempunyai bahan cukup baik. Nah, aku tidak akan mengganggu lebih jauh, Bu Pun Su. Pergunakanlah sisa waktu yang tak lama lagi itu dengan sebaiknya dan selamat berpisah sampai berjumpa kembali.”
Bu Pun Su mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Terima kasih, paling lama lima tahun lagi kita bertemu!”
Hok Peng tertawa bergelak-gelak. “Mungkin sekali sebelum lima tahun aku sudah akan menyusulmu!” Kemudian kakek ini berkelebat keluar dan lenyap dari pandangan mata.
Bu Pun Su menarik napas panjang. “Lie Kong Sian, obatmu itu benar baik sekali karena sekarang aku merasa sehat kembali. Sekarang kalian dengarkan pesanku yang terakhir. Im Giok telah kuberi persetujuan menjadi jodoh Lie Kong Sian dan semoga kalian berdua hidup berbahagia. Pedang Liong-cu-kiam kuberikan kepada Cin Hai dan Im Giok, yang panjang untuk Cin Hai sedang yang pendek untuk Im Giok karena kalian berdualah yang telah mendapatkannya.”
Cin Hai, Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menghaturkan terima kasih.
“Masih ada lagi,” Bu Pun Su berkata, “Kelak, apa bila kalian memperoleh keturunan, juga bagi Nona Ma Hoa, kuanjurkan supaya menuruti nasehat ini, kalian harus menggunduli putera-puteramu.”
Semua orang memandang heran dan menganggap bahwa kakek itu sudah mulai bicara tidak karuan seperti biasanya orang-orang tua yang sudah mendekati saat kematiannya.
“Hal ini jangan kalian pandang rendah,” kata Bu Pun Su. “Dan kau, Cin Hai, jangan kau anggap Gurumu berkelakar dan menyindir kau yang ketika kecil bergundul kepala, karena sesungguhnya bagi seorang anak laki-laki lebih baik rambutnya digunduli ketika ia masih kecil agar hawa yang sehat dan sejuk tidak tertolak oleh rambut hingga membuat kepala anak itu menjadi segar dan baik perjalanan darahnya sehingga selain memperkuat, juga menambah kecerdikan anak itu. Pesanku yang lain ialah kalau aku sudah pergi, tubuhku yang bobrok ini supaya dibakar di dalam goa ini dan abunya kalian masukkan ke dalam hio-louw besar, kemudian kalian tinggalkan goa ini dan menutupnya dengan batu besar rapat-rapat, lalu tutuplah goa ini dengan pohon-pohon agar tak sampai ditemukan orang lain. Aku ingin mengaso dengan tenteram di tempat ini.”
Semua orang mendengarkan pesan ini dengan hati terharu sekali.
“Nah, sekarang kalian keluarlah semua, kecuali Cin Hai sebab aku hendak menggunakan sisa waktuku untuk melatihnya sebagai persiapan untuk menghadapi adu kepandaian di Puncak Hoa-san kelak.”
Dengan hati sedih dan wajah muram, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Lin Lin, Ma Hoa dan Kwee An lalu mengundurkan diri dan keluar dari goa itu. Mereka menjaga di luar sambil bercakap-cakap menuturkan pengalaman masing-masing dan tidak berani mengganggu ke dalam di mana Bu Pun Su menggunakan kesempatan terakhir untuk melatih Cin Hai dengan ilmu-ilmu kepandaian yang belum dipelajarinya.
Tentu saja dalam waktu yang hanya beberapa hari itu, Cin Hai tidak mungkin mempelajari semua ilmu itu berikut prakteknya, dan hanya dapat mempelajari pokok-pokok teorinya saja, untuk kemudian dipelajari prakteknya. Akan tetapi ia telah mencatat dalam otaknya segala pelajaran itu dengan teliti sehingga Bu Pun Su menjadi puas.
Lima hari kemudian, Cin Hai keluar dari dalam goa dengan wajah muram dan ia memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk masuk ke dalam. Lin Lin berlari mendahului dan ketika melihat tubuh suhu-nya berbaring dengan wajah pucat dan napas lemah, ia segera menubruknya sambil menangis.
Bu Pun Su menggerakkan tangannya yang sudah amat lemah itu untuk membelai rambut Lin Lin.
“Jangan menangis, jangan menangis,” bisiknya, “jangan antarkan kepergianku dengan air mata... aku tidak suka...!” Lin Lin cepat menahan tangisnya dan terisak-isak dengan hati hancur.
“Anak-anak... pesanku terakhir... sesudah selesai pertandingan pibu di Hoa-san... kalian pulanglah dan langsungkan perjodohan... hiduplah dengan aman dan tenteram bahagia, jauhi segala permusuhan...!” dia terengah-engah karena sebenarnya waktu lima hari yang dia pergunakan siang malam untuk memberikan gemblengan terakhir kepada Cin Hai itu terlampau melelahkannya dan membuatnya cepat lemah.
“Sekarang... antarkan kepergianku dengan cita-cita tinggi dan luhur... selamat... tinggal!” lemaslah lehernya dan pada saat itu Bu Pun Su, tokoh persilatan yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu, terpaksa menyerah kalah terhadap maut yang merenggut nyawanya.
Lin Lin, Ang I Niocu, dan Ma Hoa berusaha menahan tangis mereka karena mereka ingin mentaati pesan terakhir dari Bu Pun Su. Mereka berenam lalu mengadakan persiapan untuk menyempurnakan jenazah kakek itu kemudian membakarnya di dalam goa dengan penuh khidmat.
Kedua orang itu menuju ke sebelah barat kota dan secara diam-diam Ang I Niocu terus mengikuti mereka. Sesudah tiba di ujung kota, mereka masuk ke dalam sebuah gedung yang besar. Ang I Niocu mengambil jalan dari belakang dan pada saat melihat bahwa di belakang gedung itu sunyi, ia lalu melompati pagar tembok dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya di dalam gedung itu membuat hatinya berdebar karena terkejut dan heran.
Ternyata bahwa di dalam gedung itu terdapat sebuah ruangan yang amat lebar dan yang dipasangi banyak meja dan kursi. Ruangan itu telah penuh oleh banyak orang dan justru orang-orang inilah yang membuat Ang I Niocu terkejut, karena dia melihat wajah-wajah yang telah dikenalnya baik, antara lain Kam Hong Sin perwira tinggi kerajaan, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tojin. Si Hwesio yang selalu tertawa dan tosu yang selalu mewek, Kong-lam Sam-lojin tiga orang tokoh Liong-san, Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu. Tampak juga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan dua orang yang baru masuk, yaitu Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio!
Orang-orang ini adalah sebagian dari pada orang-orang yang tadinya mewakili golongan-golongan yang bermusuhan, yaitu golongan Turki, Mongol, dan kerajaan yang semuanya telah dikalahkan oleh Bu Pun Su. Mengapa mereka sekarang mengadakan pertemuan bersama? Apakah mereka hendak mengadu kepandaian?
Ang I Niocu mengintai dengan hati-hati sekali oleh karena dia maklum bahwa orang yang berada di dalam itu bukanlah orang-orang lemah dan berbahaya sekali baginya apa bila sampai dapat terlihat oleh mereka. Kebetulan sekali di luar gedung itu terdapat setumpuk rumput kering, maka ia mendapatkan tempat persembunyian yang baik sekali di belakang rumput itu, sambil mengintai melalui celah-celah jendela yang berada dekat di situ.
Agaknya Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio merupakan orang terakhir yang dinanti-nantikan, karena setelah mereka berdua datang dan disambut oleh Kam Hong Sin lalu dipersilakan duduk, perwira itu segera berdiri dari tempat duduknya dan berkata kepada semua orang.
“Cu-wi sekalian. Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih dan selamat datang bagi Cu-wi sekalian yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk berkumpul di sini. Hal ini membuktikan bahwa bagaimana pun juga, Cu-wi sekalian masih ingat akan kebangsaan sendiri. Sebagaimana yang Cu-wi sekalian ketahui, harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan bangsa kita itu telah dicuri dan dibawa pergi orang. Kita tak perlu membongkar-bongkar urusan yang lalu dan sekarang kita merupakan sekumpulan orang yang hendak berusaha mendapatkan kembali harta pusaka itu dan membasmi para pemberontak yang telah berani berlancang tangan mencuri harta pusaka dari tangan kita.”
Hai Kong Hosiang berdiri sendiri dan mengangkat tangannya, tanda bahwa ia minta Kam Hong Sin berhenti bicara karena ia sendiri hendak bicara. Matanya yang tinggal satu itu bersinar-sinar tajam memandang kepada Kam Hong Sin ketika ia berbicara.
“Kam-ciangkun, pencuri harta pusaka itu adalah Hok Peng Taisu, seorang yang berilmu tinggi dan tangguh. Selain dia, masih ada pula Bu Pun Su yang selalu mengacaukan keadaan, karena kami tahu bahwa dia pun menghendaki harta pusaka itu! Siapa tahu kalau-kalau kedua orang tua jahat itu telah bersekutu! Hal ini tak boleh dipandang ringan, karena selain mereka berdua yang lihai, masih banyak terdapat anak muridnya yang tak boleh dipandang ringan, seperti Pendekar Bodoh, Ang I Niocu, Kwee Lin, Ma Hoa, Kwee An, dan ada pula Nelayan Cengeng!”
Kam Hong Sin mengangguk-angguk, “Aku maklum, Hai Kong Suhu, dan aku pun telah tahu akan kelihaian mereka. Akan tetapi dengan kerja sama yang baik dan mengerahkan tenaga kita dibantu dengan para Perwira Sayap Garuda yang banyak jumlahnya, apakah sukarnya untuk menangkap mereka dan merampas kembali harta pusaka itu?”
Wi Wi Toanio berdiri dan biar pun suaranya halus, akan tetapi jelas terdengar bahwa ia merasa gemas dan marah sekali ketika ia berkata,
“Apa artinya berbicara tentang merampas kembali harta pusaka? Harta itu telah mereka sebar dan bagi-bagikan kepada rakyat! Ini semua adalah salahnya Bu Pun Su dan kalau perundingan ini dimaksudkan untuk menghukum dia, aku baru mau turut serta!” Setelah berkata demikian, Wi Wi Toanio duduk kembali di dekat Hai Kong Hosiang.
Terdengar seruan-seruan marah dari sana sini mendengar bahwa harta pusaka itu sudah dibagi-bagi kepada rakyat. Ada pun Kam Hong Sin yang sudah mengetahui hal itu, hanya tersenyum dan berkata,
“Cuwi sekalian, memang benar ucapan Wi Wi Toanio tadi. Aku pun sudah mendengar tentang hal itu, dan rupanya para pemberontak itu hendak menghasut rakyat agar supaya memberontak pula dengan menyogok harta benda pada mereka. Akan tetapi, kita akan bertindak tegas dan membasmi sebelum mereka mendapat kesempatan mengumpulkan tenaga bantuan. Aku membawa surat resmi dari Kaisar sendiri yang ditujukan kepada Cuwi yang gagah perkasa.”
Sambil berkata demikian, Kam Hong Sin mengeluarkan sesampul surat yang dibungkus sutera kuning bersulamkan burung Hong. Ketika dia membacakan surat itu, semua orang terdiam dengan penuh hormat, karena bagaimana pun juga, menerima surat dari kaisar sendiri adalah satu penghormatan besar yang jarang sekali dirasakan orang!
Isi surat itu ternyata adalah satu pengharapan dari Kaisar agar orang-orang gagah suka membantu usaha Kaisar menangkap atau menghukum para pemberontak yang dipimpin oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu!
Ternyata dalam sakit hatinya untuk dapat membalas kekalahannya, Kam Hong Sin sudah berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan putusan menghukum kedua tokoh besar itu supaya dia dapat mencari bala bantuan dengan mudah. Selain mengharapkan untuk mendapat pertolongan, di dalam surat itu Kaisar menjelaskan bahwa orang-orang gagah yang suka mengulurkan tangan menolong kelak akan diberi pangkat tinggi, tempat tinggal gedung besar di dalam kota raja, dan sejumlah uang yang banyak sekali.
Tentu saja semua orang yang hadir di situ merasa mengilar mendengar janji upah yang besar itu. Bukan semata-mata upahnya yang mereka inginkan, akan tetapi nama besar dan penghormatan. Kini terbukalah kesempatan untuk membantu Kaisar dan membuat pahala yang akan mendatangkan hasil besar dan nama baik di samping menebus semua dosa mereka yang lalu!
Memang, hampir semua orang yang hadir di sana, kecuali hamba-hamba Kaisar, dahulu sering kali melakukan pelanggaran-pelanggaran yang berarti berdosa kepada Kaisar, dan dengan adanya kesempatan ini, maka dosa-dosa itu tentu akan dilupakan dan bahkan akan mengangkat diri mereka menjadi orang-orang berkedudukan tinggi!
“Kalau demikian, aku setuju!” kata Wi Wi Toanio dan untuk menutupi keinginannya akan kedudukan dan kemuliaan yang dijanjikan oleh Kaisar itu, ia berkata lagi, “Bukan, karena aku inginkan semua kemuliaan itu, akan tetapi karena aku akan mendapat kesempatan membalas dendam kepada Bu Pun Su yang sudah menghina kita dan kepada Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka itu! Tentang kelihaian mereka, jangan kuatir, aku memiliki seorang supek yang menjadi tokoh nomor satu di daerah barat, yaitu Pok Pok Sianjin. Kalau aku berhasil minta bantuannya, jangankan baru Bu Pun Su dan Hok Pek Taisu biar ditambah seratus orang lagi, dengan mudah mereka akan dapat dihancurkan!”
Semua orang memandang heran karena sepanjang pendengaran mereka, tokoh besar dari barat yang disebut Pok Pok Sianjin itu kabarnya sudah musnah dan sudah naik ke Sorga menjadi dewa! Demikianlah dongeng yang dituturkan orang.
Hai Kong Hosiang tertawa. “Memang di atas dunia ini terdapat empat orang tokoh besar yang dapat disebut menduduki tempat tertinggi di dunia persilatan. Untuk daerah selatan dan timur, nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu disebut-sebut sebagai dua tokoh besar tanpa tandingan. Akan tetapi di bagian barat terdapat Pok Pok Sianjin, ada pun di bagian utara terdapat Swi Kiat Siansu, Suhu dari Thai Kek Losu. Kudengar bahwa Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sudah tewas oleh Pendekar Bodoh, maka kalau kita pergi ke utara dan melaporkan hal ini kepada Swi Kiat Siansu, mustahil dia tidak akan turun gunung membantu kita!”
Semua orang merasa girang sekali karena kalau saja dua orang sakti itu benar-benar mau turun gunung membantu, pekerjaan yang berat dan hebat ini akan jauh lebih ringan lagi. Tiba-tiba Ceng To Tosu sambil mewek-mewek bangun berdiri dari tempat duduknya dan berkata,
“Cu-wi, sesudah diadakan persetujuan untuk bekerja sama, menurut pendapat pinto yang bodoh, ada baiknya kalau diangkat seorang ketua atau pemimpin agar segala pekerjaan yang dilakukan berada di bawah pimpinan seorang yang tepat dan yang terbaik di antara kita semua!”
Mendengar ucapan ini, semua orang saling pandang dan mulailah mereka sama-sama mempertimbangkan, siapa kiranya yang tepat untuk dijadikan pemimpin.
“Seorang ketua harus mempunyai kepandaian tertinggi, maka untuk menentukan siapa yang patut menjadi ketua, lebih baik kita mengajukan beberapa orang calon, kemudian calon-calon itu menguji kesaktian untuk membuktikan bahwa dia memang cukup pandai untuk diangkat menjadi ketua,” kata Hai Kong Hosiang.
Orang-orang lalu saling bercakap-cakap hingga keadaan menjadi riuh, sedangkan Ang I Niocu yang melihat dan mendengar semua ini, diam-diam merasa terkejut sekali. Kalau mereka semua telah bersatu dan berhasil memanggil kedua orang tokoh besar yang tadi disebutkan, maka pihaknya akan menghadapi lawan yang amat tangguh.
Ia pernah mendengar nama Pok Pok Sianjin yang bertapa di Puncak Go-bi-san dan juga sudah mendengar nama Swi Kiat Siansu yang bertapa di pegunungan daerah Mongolia, dan kabarnya kedua orang itu memiliki kesaktian yang luar biasa! Sambil menahan napas agar jangan mengeluarkan suara berisik, Ang I Niocu melanjutkan pengintaiannya.
Sesudah dipilih-pilih, pada akhirnya yang diajukan menjadi calon adalah tiga orang yang dianggap memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, yaitu Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Kam Hong Sin sendiri. Tadinya Siok Kwat Mo-li Si Nenek Bongkok juga dipilih, akan tetapi ia tidak mau menerimanya dan mengundurkan diri sambil berkata,
“Hai Kong Suheng telah dipilih, kenapa pula aku sebagai Sumoi-nya harus maju? Biarlah dia yang mewakili aku sekalian!”
Sambil tersenyum Kam Hong Sin berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio, “Oleh karena kita berada di antara kawan-kawan sendiri, maka kuharap adu kepandaian ini dilakukan dalam cara damai sebagaimana yang biasa dilakukan oleh perwira-perwira kerajaan.”
“Bagus, bagaimanakah cara itu, Kam-ciangkun?” tanya Wi Wi Toanio.
“Di waktu para perwira menguji kepandaian, mereka mempergunakan sepasang sumpit gading yang dipegang pada tangan kanan seperti orang sedang makan nasi. Kemudian dengan sumpit itu mereka saling menjepit dan berusaha membetot sumpit pada tangan lawannya dan siapa yang sumpitnya terlepas, dia dianggap kalah.”
“Baik sekali!” Hai Kong Hosiang memuji. “Memang siapa yang lebih tinggi lweekang-nya akan mendapat kemenangan. Akan tetapi, tentu saja kita tidak boleh menyerang tangan orang dengan sumpit itu, bukan?”
“Tidak boleh sama sekali! Dalam hal ini tentunya kita harus mengandalkan kejujuran dan kepandaian, sama sekali tidak boleh melukai tangan lawan!”
Setelah mendapat persetujuan, Kam Hong Sin, Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang lalu duduk mengelilingi sebuah meja dan para pelayan segera mengambil tiga pasang sumpit gading. Untuk menguji kekuatan sumpitnya itu, Kam Hong Siang lalu berseru keras dan menancapkan sepasang sumpit itu di atas meja sehingga sumpit itu menancap sampai setengahnya di dalam kayu meja yang keras itu.
Wi Wi Toanio tersenyum. Ia pun ingin menguji kekuatan sumpitnya yang akan digunakan dalam pertandingan ini, maka dia pun mengetuk-ngetuk ujung meja dengan perlahan dan hancurlah ujung meja itu berhamburan ke bawah.
Hai Kong Hosiang tidak mau kalah. Dia menggunakan sepasang sumpitnya seperti dua batang pensil dan menggurat-guratkan ujungnya pada permukaan meja. Maka tampaklah guratan-guratan yang dalam pada permukaan meja itu, bagaikan tanah lempung yang digurat-gurat dengan pisau tajam saja.
Orang-orang yang melihat demonstrasi lweekang dari tiga orang itu bersorak memuji, dan Ang I Niocu sendiri diam-diam merasa kagum melihat pengerahan tenaga lweekang yang tidak boleh dianggap ringan itu.
Menurut kebiasaan seperti dituturkan oleh Kam Hong Sin, karena pengikut pertandingan itu ada tiga orang, maka segera dilakukan undian untuk menentukan siapa yang harus bertanding lebih dulu. Pemenang pertandingan pertama ini lalu akan berhadapan dengan orang ke tiga untuk menentukan juara dan jabatan ketua.
Pada saat undian dilakukan, ternyata bahwa yang mendapat giliran pertama adalah Kam Hong Sin dan Wi Wi Toanio. Mereka tersenyum dan duduk berhadapan dengan tangan menjepit sumpit masing-masing.
“Ciangkun, silakan kau mulai lebih dulu, oleh karena kau yang lebih tahu mengenai cara pertandingan ini.”
Kam Hong Sin mengangguk dan berseru, “Toanio, jagalah sumpitmu!” Sambil berkata demikian, sepasang sumpit Kam Hong Sin digerakkan dengan terbuka seperti sepasang patuk burung, hendak menjepit sumpit di tangan Wi Wi Toanio.
Nenek tua ini tidak mengelak karena dia hendak mengukur sampai di mana kehebatan tenaga lawan. Ia membiarkan sepasang sumpitnya terjepit dan tenyata bahwa sepasang sumpitnya itu terjepit kuat bagaikan terjepit oleh catut besi saja. Kini adu tenaga dimulai.
Kam Hong Sin mengerahkan tenaga untuk memutar sumpit lawannya agar terlepas dari pegangan. Akan tetapi ia merasa betapa sumpit itu dipegang dengan kendur dan tenaga lweekang-nya tidak berdaya menghadapi tenaga halus yang meruntuhkan gerakannya dengan menyerah, akan tetapi yang mengandung kekuatan yang luar biasa besarnya hingga ketika ia mencoba untuk memutarnya, sepasang sumpit lawan itu bergerak sedikit pun tidak.
“Ciangkun, kau sudah terlalu lama menjepit!” kata Wi Wi Toanio sambil tersenyum.
Hal ini mengherankan Kam Hong Sin oleh karena di dalam pengerahan tenaga khikang, mengucapkan kata-kata merupakan pantangan. Ia membarengi pada saat Wi Wi Toanio membuka mulut, lalu membetot keras untuk menarik sumpit lawan supaya terlepas, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba sumpit lawan itu menjadi demikian licin hingga jepitannya terlepas.
Kini Wi Wi Toanio yang menggerakkan sumpitnya dan ketika sumpitnya sudah terjepit sepasang sumpit Kam Hong Sin, nenek itu tiba-tiba membuat gerakan mendorong, bukan membetot. Ini adalah gerakan yang licin dan penuh perhitungan, karena pada waktu itu Kam Hong Sin memang sedang mengerahkan tenaga untuk menahan sumpitnya, maka tentu saja ketika tiba-tiba didorong, tangannya menjadi terdorong dan sumpitnya hampir terlepas.
Pada saat dia mempertahankan diri dan mulai merobah tenaganya dari menarik menjadi mendorong untuk melawan tenaga dorongan lawan, tiba-tiba Wi Wi Toanio secara tidak terduga-duga membetot sekerasnya sambil berseru,
“Lepas!”
Hal ini betul-betul tak pernah diduganya, maka Kam Hong Sin tak dapat mempertahankan sumpitnya lagi dan sungguh pun dia masih mampu mempertahankan sebatang, yang lain telah kena dibetot terlepas! Kam Hong Sin bangun berdiri dan menjura di depan Wi Wi Toanio mengaku kalah, sedangkan para hadirin bertepuk tangan memuji.
Hai Kong Hosiang tertawa terbahak-bahak. “Permainan yang bagus sekali! Selain tenaga dan keuletan, dalam permainan ini juga diperlukan kecepatan serta kelincahan, ditambah lagi otak yang cerdik! Aku yang bodoh mana dapat melawan Toanio?” Akan tetapi sambil berkata demikian, dia lalu duduk menghadapi Wi Wi Toanio, menggantikan tempat Kam Hong Sin yang sudah kalah.
“Seranglah, Hai Kong!” kata Wi Wi Toanio menantang.
“Tidak, engkau saja yang menyerang, aku hendak mempertahankan diri saja,” jawab Hai Kong Hosiang yang cerdik.
Hwesio ini terkenal amat cerdik dan banyak tipu muslihatnya, maka Wi Wi Toanio berlaku hati-hati sekali. Nenek ini benar-benar ingin diangkat menjadi ketua, karena hal ini akan menguntungkannya. Kalau dia yang menjadi pemimpin, maka dia mendapat kesempatan lebih banyak untuk membalas dendamnya kepada Bu Pun Su. Ia maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang dan ilmu silat, mungkin tingkatnya masih lebih tinggi dari Hai Kong Hosiang, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia sering mengagumi hwesio ini.
Wi Wi Toanio segera menyergap dengan sumpitnya untuk menjepit kedua sumpit Hai Kong Hosiang, akan tetapi tiba-tiba hwesio ini membuka mulut sumpitnya dan kini sumpit-sumpit itu menjadi saling jepit! Sepasang sumpit Wi Wi Toanio menjepit sumpit Hai Kong Hosiang sebelah bawah, sedangkan sepasang sumpit Hai Kong Hosiang menjepit sumpit Wi Wi Toanio sebelah atas, bagaikan mulut dua ekor jangkerik sedang saling gigit dalam sebuah perkelahian yang sengit!
Saking tegangnya pertandingan itu, tiada terdengar sedikit pun suara di antara penonton yang memandangnya. Kini Wi Wi Toanio maklum bahwa Hai Kong Hosiang yang cerdik tidak mau mengadu kecepatan, karena itu dia sengaja menjepit sebuah sumpit lawan dan membiarkan sumpitnya yang sebatang terjepit pula sehingga dalam keadaan demikian, terpaksa mereka harus mengandalkan tenaga belaka.
Mereka masing-masing tidak mau mengalah, dan dua pasang sumpit itu sampai tergetar saking serunya pertemuan tenaga mereka yang disalurkan melalui sepasang sumpit pada tangan masing-masing! Sebentar sumpit terputar ke kanan, sebentar ke kiri, akan tetapi keduanya sama kuat hingga empat batang sumpit itu seakan-akan telah tumbuh menjadi satu!
Dari getaran-getaran yang menyerang ke jari-jari tangannya, Hai Kong Hosiang maklum akan kehebatan tenaga lweekang Wi Wi Toanio. Akan tetapi, nenek tua itu pun merasa betapa sepasang sumpit di tangan Hai Kong Hosiang demikian kokoh kuatnya bagaikan dua bukit karang yang sukar dirobohkan!
Lama sekali adu tenaga ini berlangsung dan pada jidat Hai Kong Hosiang sudah nampak keringat keluar membasahi jidatnya, sedangkan Wi Wi Toanio juga mulai nampak pucat! Kam Hong Sin berdiri dengan mata terpentang lebar karena baru kali ini dia menyaksikan pertandingan sumpit yang demikian seru dan hebatnya.
Tiba-tiba Wi Wi berseru keras sekali dan dia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Hai Kong mencoba untuk bertahan, akan tetapi tiba-tiba…
“Krekkk!”
Terdengar suara keras dan tiga batang sumpit telah patah, yaitu dua batang sumpit Hai Kong Hosiang dan sebatang sumpit Wi Wi Toanio! Hal ini menunjukkan bahwa lweekang Wi Wi Toanio masih menang setingkat!
Hai Kong Hosiang menghapus keringatnya sambil tertawa. “Sudah kukatakan bahwa aku tak akan bisa menang menghadapi Wi Wi Toanio yang tangguh! Akan tetapi, kita semua enak-enak mengadu kepandaian hingga melupakan orang yang mengintai dari luar!”
Ang I Niocu merasa terkejut bukan main dan serba salah. Terang bahwa mata Hai Kong Hosiang yang tinggal satu itu awas sekali dan sudah dapat melihatnya. Ang I Niocu tidak kenal arti takut, akan tetapi dalam keadaan seperti itu dia benar-benar menjadi bingung. Kalau ia melarikan diri dari situ, dia akan merasa malu kepada diri sendiri, sebaliknya jika dia melompat masuk, dia yakin bahwa dia tidak akan kuat menghadapi sekian banyaknya orang-orang gagah.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari sebelah atasnya yang disusul ucapan mengejek, “Ha-ha-ha, memang semenjak tadi aku berada di sini. Bagaimana aku bisa masuk sebelum diundang?”
Ang I Niocu terkejut bukan main. Bagaimana ada orang bisa berada di atasnya tanpa dia ketahui sama sekali? Dia menengok dan melihat seorang kakek botak duduk di atas tiang yang melintang di atas kepalanya. Kakek itu duduk bagaikan seorang anak-anak sedang menonton pertunjukan indah, sedangkan pada lengan kirinya terjepit sepasang tongkat bambu warna kuning.
Dia menjadi tercengang karena dapat menduga bahwa orang ini tentulah Hok Peng Taisu yang pernah diceritakan oleh Ma Hoa kepadanya. Dan, orang inilah agaknya yang sudah mencuri harta pusaka itu. Sementara itu, kakek botak yang bukan lain adalah Hok Peng Taisu itu, memandang kepadanya dan mengedipkan mata sambil menyeringai, memberi tanda agar Dara Baju Merah itu jangan mengeluarkan suara.
Sementara itu, ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya mendengar suara dari luar itu, segera berjaga-jaga dan Kam Hong Sin sebagai tuan rumah lalu berkata, “Tamu yang berada di luar dipersilakan masuk!”
Terdengar suara tertawa bergelak dan tiba-tiba ada tubuh seorang kakek botak melayang masuk dengan gerakan yang ringan sekali. Dengan sepasang matanya yang amat tajam, kakek botak itu menyapa semua orang yang berada di ruang itu dan berkata,
“Aduh, semua telah berkumpul. Bagus, bagus! Tadi telah kusaksikan pertandingan sumpit yang bagus. Aku tua bangka pun memiliki semacam permainan sumpit yang sama, akan tetapi apakah ada orang yang cukup bergembira untuk melayaniku bermain-main atau tidak, entahlah!”
“Biarlah pinceng melayanimu, Kakek Tua!” kata Hai Kong Hosiang.
“Bagus, bagus, akan tetapi sebagai tamu baru, aku belum mendapat jamuan, sedangkan perutmu yang gendut sudah diisi penuh, tentu saja aku akan kalah tenaga! Biarkan aku makan beberapa mangkok sayur dahulu!” Sambil berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu mengambil semangkok daging kambing dan sepasang sumpit bambu. Sambil berdiri dia makan daging itu sepotong demi sepotong dan kelihatannya dia menikmati makanan itu.
“Locianpwe ini siapakah?” Kam Hong Sin bertanya karena merasa penasaran melihat lagak orang yang tidak tahu akan kesopanan.
“Baru saja namaku kau sebut-sebut, sekarang hendak bertanya pula, bukankah ini aneh namanya? Akan tetapi, aku jangan kau bandingkan dengan Bu Pun Su yang lihai!”
Terkejutlah semua orang, dan ketika mereka melihat ke arah dua batang tongkat bambu yang dikempit di bawah lengan kiri, Kam Hong Sin menjadi pucat dan bertanya,
“Apakah kau Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka?”
Tiba-tiba Hok Peng Taisu tertawa bergelak-gelak. “Sudah berpuluh tahun aku orang tua menyembunyikan diri dalam goa dan akibat perbuatan orang-orang yang suka mencurilah yang menyebabkan aku keluar dari goa. Sekarang aku bahkan dituduh menjadi pencuri. Lucu, lucu!” Kemudian, dengan tangan kiri masih menyangga mangkok sedang di bawah lengan kiri itu masih terjepit tongkat-tongkat bambunya, tangan kanan memegang sumpit, ia menuding ke arah Hai Kong Hosiang dengan sumpitnya itu dan bertanya,
“Bagaimana, apakah kau masih mau melayani aku bermain sumpit?”
“Boleh, asal kau orang tua jangan bermain curang!”
Kembali Hok Peng Taisu tertawa bergelak dan dia mengulurkan tangan yang memegang sumpit sambil berkata, “Nah, kau jepitlah sumpitku ini!”
Hai Kong Hosiang yang melihat bahwa sepasang sumpit kakek itu adalah sumpit bambu biasa saja, lalu melangkah maju dan dengan sumpit gading yang kuat dia lalu menyerang maju, akan tetapi bukan menjepit sumpit kakek itu, melainkan menotok dengan sepasang sumpitnya ke arah pergelangan tangan Hok Peng Taisu!
Akan tetapi, kakek botak ini agaknya tidak tahu akan kecurangan lawan, maka dia hanya menggerakkan sumpitnya ke bawah, lalu sesudah dapat menangkis sumpit di tangan Hai Kong Hosiang, dia memutar sumpitnya sedemikian rupa hingga sumpit Hai Kong Hosiang ikut terputar-putar tanpa dapat ditahan pula!
Terpaksa Hai Kong Hosiang lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot, akan tetapi sumpitnya seolah-olah sudah timbul akar pada sumpit kakek itu sehingga tak dapat dibetot. Ia mengerahkan tenaganya lagi dan tiba-tiba kakek itu melepaskannya sehingga tubuh Hai Kong Hosiang terhuyung ke belakang.
“Ha-ha-ha! Kau lucu sekali hwesio!” katanya, lalu dengan sumpitnya ia menjepit sepotong daging yang dimasukkan ke dalam mulutnya seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu!
Wi Wi Toanio yang dapat memaklumi akan kelihaian kakek botak ini, secara diam-diam menghampirinya dari belakang dengan sepasang sumpit gading di tangannya.
“Hok Peng Taisu, aku pun ikut bermain-main dengan sumpit!”
Dan belum juga habis kata-kata ini dia ucapkan, dia telah menyerang dengan sepasang sumpitnya, menotok jalan darah Hok Peng Taisu dari belakangnya! Kakek botak itu tidak bergerak atau pun membalikkan tubuh, seakan-akan dia tidak mendengar ucapan tadi, hanya tangan kanannya yang memegang sumpit saja digerakkan ke belakang tubuhnya. Pada saat itu, Hai Kong Hosiang yang merasa penasaran, lalu menyerang lagi dari depan dengan sepasang sumpitnya digerakkan ke arah kakek botak itu.
Biar pun diserang dari belakang dan depan, agaknya Hok Peng Taisu masih saja terus enak-enakan mengunyah daging beberapa potong yang tadi dimasukkan ke dalam mulut. Ketika sumpit Wi Wi Toanio telah dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba saja sumpit di tangan kanannya bergerak dan…
“Krekkk!”
Terdengar suara, diikuti seruan Wi Wi Toanio yang melompat mundur karena merasa telapak tangannya sakit sekali, dan ternyata bahwa sepasang sumpitnya telah terpotong menjadi dua, setelah tadi terjepit oleh sumpit bambu Hok Peng Taisu!
Sedangkan dua batang sumpit Hai Kong Hosiang yang menyambar ke arah ulu hatinya, juga tidak dielakkan oleh kakek botak itu, akan tetapi tiba-tiba dia membuka mulutnya dan dua kali dia meniupkan daging-daging yang dimakan tadi dari mulut! Daging-daging itu meluncur bagaikan pelor dan tepat sekali mengenai ujung sepasang sumpit itu.
Hai Kong Hosiang hanya merasa betapa tusukan sumpitnya tertahan oleh tenaga yang kuat sekali dan tahu-tahu dia melihat betapa dua batang sumpitnya telah menancap pada dua potong daging bakso yang besar! Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini dan dia merasa dirinya dipermainkan, maka dia pun berseru.
“Jangan jual lagak di sini!” Sambil berseru demikian dia mengayunkan tangan sehingga sepasang sumpitnya yang masih ada baksonya itu meluncur cepat ke arah dua mata Hok Peng Taisu!
Akan tetapi kakek botak itu sambil terkekeh-kekeh lalu berkata. “Hwesio, mengapa kau tidak makan bakso-bakso itu?”
Lalu dia mengangkat kedua tongkat bambunya, memukul ke arah sepasang sumpit yang melayang itu. Heran sekali, ketika tongkat bambu itu beradu dengan sumpit, bakso yang berada di ujung sepasang sumpit itu melayang kembali ke arah Hai Kong Hosiang, ada pun sumpit-sumpitnya melayang ke samping, menuju kepada Wi Wi Toanio!
Hai Kong Hosiang mengelak dan sambil menyumpah-nyumpah segera mencabut keluar tongkat ularnya. Sedangkan Wi Wi Toanio juga menjadi marah dan menyampok kedua batang sumpit yang melayang ke arah dirinya itu hingga runtuh ke atas lantai! Kemudian, nenek ini pun maju menyerang dengan kedua tangan merupakan cakar burung garuda. Sebenarnya, Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Kuku Garuda) yang dimiliki oleh nenek ini bukan Eng-jiauw-kang biasa, maka gerakannya aneh serta lihai sekali.
Melihat dirinya akan dikeroyok, Hok Peng Taisu segera menggerakkan sepasang tongkat bambunya dan dua kali tubuhnya berkelebat, tahu-tahu tongkat ular di tangan Hai Kong Hosiang sudah kena dibikin terpental dan Wi Wi Toanio hampir saja terkena sabetan itu pada pipinya! Keduanya merasa terkejut sekali dan melompat mundur.
Hok Peng Taisu tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini benar-benar merupakan tuan rumah yang kurang sopan! Sekarang lebih baik aku pergi saja lagi!” Sesudah berkata demikian, kakek botak itu menggerakkan kakinya dan melayang pergi.
“Locianpwe, tunggu dulu!” tiba-tiba Kam Hong Sin berseru dan memburu ke pintu.
“Apa kehendakmu?” terdengar suara kakek botak itu dari atas genteng.
“Kami hendak menantangmu dan juga Bu Pun Su untuk mengadakan pertandingan adu kepandaian di Puncak Hoa-san pada bulan tiga. Apakah kau berani menerima tantangan kami ini?”
Kembali kakek botak itu tertawa terkekeh-kekeh. “Tak usah kau ceritakan, aku pun sudah maklum akan maksud kalian yang buruk itu. Baik, baik, memang sudah lama sekali aku ingin bertemu dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu. Mengenai Bu Pun Su, aku tidak tanggung bahwa dia akan mau melayani ajakan kalian yang gila itu!”
Hok Peng Taisu lalu melayang ke tempat mana Ang I Niocu bersembunyi dan memberi tanda dengan tangan agar supaya Dara Baju Merah itu mengikutinya. Ang I Niocu segera melompat ke atas genteng dan mengikuti kakek itu pergi dari sana. Sesudah berada di tempat jauh, kakek botak itu berkata,
“Bukankah kau yang bernama Ang I Niocu?”
Ang I Niocu menjura dengan sangat hormatnya. “Betul Locianpwe dan sudah lama aku yang bodoh mendengar tentang nama Locianpwe dari Ma Hoa. Aku merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan seorang sakti seperti Locianpwe.”
“Ahh, jangan terlalu memuji, Nona. Kau tentu sudah mendengar semua kehendak mereka itu, bukan? Nah, sekarang semua terserah padamu apakah kau hendak menyampaikan undangan mereka terhadap Bu Pun Su atau tidak. Hanya saja, boleh kau katakan pada Bu Pun Su bahwa aku tua bangka tentu akan menghadapi tantangan mereka itu pada waktunya di Puncak Hoa-san!”
Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu berkelebat pergi sedangkan Ang I Niocu kemudian melanjutkan perjalanannya. Memang dia pun ada maksud untuk pergi ke Goa Tengkorak menemui susiok-couw-nya, sekalian hendak menemui Bu Pun Su untuk minta ijin orang tua itu tentang perjodohannya dengan Lie Kong Sian.
*****
Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa menjalankan tugas membagi-bagikan harta itu sambil melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Seperti halnya Ang I Niocu, mereka pun mengalami banyak sekali kebahagiaan dari pekerjaan yang mulia ini.
Pada waktu mereka menyeberang sebatang sungai yang menjadi anak Sungai Huangho, Nelayan Cengeng melihat ada beberapa perahu nelayan hilir mudik dengan para nelayan bernyanyi-nyanyi sambil mendayung perahu mereka. Pemandangan dan pendengaran ini membangkitkan hatinya dan menimbulkan rindunya pada kehidupan nelayan yang sudah dinikmatinya semenjak masih muda, maka dia berkata kepada Ma Hoa dan Kwee An.
“Ma Hoa dan Kwee An, sudah lama sekali aku merasa rindu untuk hidup kembali sebagai seorang nelayan, mendayung perahu menjala ikan dan hidup dengan aman dan tenteram di atas air! Terus terang saja kuakui bahwa hampir setiap malam aku bermimpi duduk di atas perahu seorang diri, dibuai ombak, minum arak sambil menikmati cahaya bulan di waktu malam. Kini kalian sudah saling berjumpa kembali dan juga kawan-kawanmu telah dapat kita ketemukan, maka hatiku kini merasa aman dan senang. Oleh karena itu, aku ingin tinggal dan hidup kembali sebagai nelayan di sungai ini. Kalian teruskan perjalanan kalian dan ini adalah sisa harta benda yang harus kubagi-bagikan, boleh kalian habiskan dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Kelak apa bila sudah tiba saatnya kalian hendak melangsungkan pernikahan, berilah kabar dan aku pasti akan datang.”
Ma Hoa maklum pula bahwa suhu-nya ini memang suka sekali hidup di atas air sebagai seorang nelayan, bahkan dulu suhu-nya pernah menyatakan bahwa ia ingin mati di dalam sebuah perahu, maka berkata,
“Suhu, sungguh berat hatiku harus berpisah dengan Suhu. Suhu tentu tahu bahwa teecu menganggap Suhu sebagai ayah sendiri, maka kelak kalau Suhu telah bosan merantau di atas sungai ini, teecu harap Suhu suka tinggal bersama teecu supaya teecu mendapat kesempatan merawat Suhu dan membalas budi.”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak sampai air matanya keluar.
“Muridku, anakku yang baik!” katanya sambil menaruhkan tangannya di atas kepala Ma Hoa. “Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagiku selain melihat kau hidup bahagia dengan Kwee An! Aku berjanji bahwa kelak apa bila aku sudah bosan di sungai ini, pasti aku akan hidup dekat dengan kau dan suamimu.”
Sesudah banyak mendapat nasehat-nasehat serta petuah-petuah dari Nelayan Cengeng yang baik hati itu, Kwee An dan Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mereka.
Ma Hoa mengajak Kwee An mengunjungi suhu-nya ke dua, yaitu Hok Peng Taisu di Bukit Hong-lun-san, di mana dulu ia diberi pelajaran silat Bambu Runcing. Bukit itu masih indah seperti dahulu, kaya akan tamasya alam yang mengagumkan hati. Ketika mereka tiba di puncak, mendadak mereka mendengar suara angin pukulan yang hebat sambil dibarengi bentakan-bentakan seperti orang sedang berkelahi.
Dengan cepat mereka lalu menghampiri tempat itu dan Ma Hoa menahan geli hatinya pada waktu melihat betapa suhu-nya bersilat seorang diri dengan sepasang tongkatnya. Gerakan kakek botak itu sedemikian kuatnya sehingga semua daun-daun di sekitarnya bergerak-gerak terkena pukulan angin yang keluar dari pukulan dan sambaran tongkat itu! Kwee An berdiri bengong dan merasa kagum bukan main melihat kehebatan kakek luar biasa itu.
“Suhu, kau orang tua benar-benar rajin sekali!” Ma Hoa memuji.
Hok Peng Taisu segera menghentikan latihannya dan berpaling kepada mereka sambil tersenyum. Ma Hoa kemudian menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Kwee An yang juga berlutut.
“Bagus, bagus, bagus sekali kalian datang ke sini. Di mana Nelayan Cengeng?”
“Dia rindu kepada perahu dan sungai, Suhu, maka dia tidak melanjutkan perjalanan dan hendak hidup beberapa lama di atas Sungai Liang-ho,” jawab Ma Hoa.
Hok Peng Taisu menarik napas panjang. “Nelayan Cengeng memang orang beruntung. Tidak seperti aku yang sudah tua masih menimbulkan perkara dan mencari permusuhan. Tahukah kau bahwa aku akan mengadakan pertandingan di Puncak Hoa-san pada bulan tiga? Oleh karena itu aku harus melatih diri dan melepaskan urat-urat yang sudah kaku!”
Di waktu mudanya kakek botak ini memang gemar sekali mengadu kepandaian dengan orang-orang pandai, maka kini agaknya kegemaran itu timbul kembali dalam menghadapi tantangan Hai Kong Hosiang. Kemudian dia segera menceritakan mengenai tantangan itu kepada Ma Hoa dan Kwee An.
“Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, maka tentu saja dia pun akan menyambut tantangan ini. Aku kenal padanya sebagai seorang yang sabar, akan tetapi menghadapi sebuah tantangan yang keluar dari mulut hwesio jahat itu, tentu dia akan turun gunung. Oleh karena itu, hendaknya kalian datang kepadanya dan ceritakanlah tentang tantangan itu kepada Bu Pun Su, sekalian sampaikan salamku kepadanya. Katakan bahwa selatan dan timur tak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!” Dengan ucapan ini, Hok Peng Taisu hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su takkan kalah menghadapi Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, tokoh-tokoh besar dari barat dan utara itu!
Ma Hoa dan Kwee An kemudian turun dari Bukit Hong-lun-san dan karena mereka telah mendengar dari Cin Hai di mana letak Goa Tengkorak itu, maka mereka langsung menuju ke sana.
Ketika mereka sampai di depan Goa Tengkorak, mereka melihat Lin Lin sedang duduk dengan bengong bagai orang melamun dengan muka nampak sedih. Melihat kedatangan mereka, gadis ini tidak merasa girang, bahkan lalu memeluk kakaknya menangis sedih.
Kwee An yang sudah lama sekali tidak bertemu dengan adiknya yang terkasih itu, cepat mengusap-usap rambut Lin Lin dan bertanya, “Adikku sayang, mengapa kau bersedih? Di manakah Cin Hai dan di mana pula Suhu-mu?”
Sesudah tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata, “Mereka berada di dalam. Suhu sedang menderita sakit keras. Hai-ko dan Enci Im Giok yang menjaganya. Aku… aku tak dapat menahan kegelisahan dan kesedihanku maka aku lalu keluar, karena di depan Suhu aku tidak berani memperlihatkan kesedihanku.”
Bukan main kagetnya hati Ma Hoa dan Kwee An mendengar penjelasan ini. Segera Ma Hoa bertanya,
“Suhu-mu adalah seorang yang sakti, mengapa ia bisa menderita sakit? Dan bilakah Ang I Niocu tiba di sini?”
Kemudian, dengan suara perlahan supaya suara mereka jangan sampai terdengar dari dalam dan mengganggu Bu Pun Su, Lin Lin lalu menceritakan bahwa setelah ia dan Cin Hai, juga bersama Lie Kong Sian, tiba di tempat itu, mereka mendapatkan Bu Pun Su sudah berbaring tak sadarkan diri di dalam goa, dijaga oleh tiga ekor burung sakti yang diam tak bergerak seperti sedang merasa bingung dan berduka pula.
Lie Kong Sian yang paham akan ilmu pengobatan, lalu memeriksa nadi kakek jembel itu dan menyatakan bahwa Bu Pun Su menderita kelemahan karena usia tua, dan agaknya kesedihan hati membuat jantungnya terserang hebat, juga penderitaan batin membuat kakek itu tidak kuat menahan dan jatuh pingsan. Pemuda itu lalu mengatakan kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya menjaga Bu Pun Su dan membantu kesempurnaan jalan darahnya dengan tenaga lweekang, sedangkan ia sendiri hendak pergi ke pulaunya untuk mencari semacam rumput darah yang mungkin akan menyembuhkan Bu Pun Su.
Semenjak masuk Goa Tengkorak, Cin Hai lalu memegang tangan kanan suhu-nya dan mengerahkan tenaganya membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu itu. Telah sepekan lamanya Cin Hai duduk bersila tak bergerak di dekat suhu-nya dan hanya makan sedikit sekali, itu pun kalau sudah dipaksa-paksa oleh Lin Lin.
Baru tiga hari yang lalu Ang I Niocu tiba di situ dan gadis ini pun menjaga susiok-couwnya siang malam bersama mereka.
“Apakah selama ini Suhu-mu tidak pernah siuman?” tanya Kwee An dengan terharu.
“Pernah satu kali, dan sesudah siuman dia hanya mengucapkan tiga kata, yaitu bahwa dia sudah tua, lalu jatuh pingsan lagi.” Kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Lin Lin.
Tiga orang muda itu lalu masuk ke dalam Goa Tengkorak dengan tindakan kaki perlahan dan hati-hati sekali. Benar saja, mereka melihat Bu Pun Su berbaring di atas lantai di dalam kamar hio-louw, berbaring diam tak bergerak seperti sudah mati.
Terlihat Cin Hai duduk di sisi kanannya dan memegang tangan kanan kakek itu sambil bersemedhi mengerahkan tenaga lweekang-nya untuk membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu-nya, ada pun Ang I Niocu duduk di sebelah kirinya, juga bersila tak bergerak bagaikan patung. Biar pun ilmu lweekang-nya belum setinggi Cin Hai, namun kadang kala dia menggantikan Cin Hai dengan memegang tangan kiri kakek itu untuk membantunya dengan tenaga lweekang-nya agar Cin Hai tidak merasa terlalu lelah.
Melihat hal ini Ma Hoa teringat akan kepandaian suhu-nya, yaitu Hok Peng Taisu, tentang ilmu pengobatan, maka ia lalu memberi tanda kepada Kwee An dan Lin Lin untuk keluar dari tempat itu. Cin Hai dan Ang I Niocu agaknya tidak melihat atau tidak mempedulikan kedatangan mereka.
Ketika Kwee An dan Ma Hoa melihat tiga ekor burung sakti berdiri di ruangan tengkorak tanpa bergerak dan dengan muka seakan-akan sedang berduka sekali, mereka merasa amat terharu. Burung-burung itu benar-benar luar biasa hingga memiliki perasaan seperti manusia biasa.
Setelah tiba di luar goa, Kwee An bertanya mengapa Ma Hoa memanggil mereka keluar.
“An-ko, harap kau suka secepatnya pergi pada Suhu di Hong-lun-san untuk mengabarkan hal ini kepada Suhu. Suhu adalah seorang ahli pengobatan dan dia tentu akan sanggup menolong Bu Pun Su Locianpwe.”
Mendengar hal ini, Lin Lin menyatakan kegirangannya, maka dia pun mendesak kepada kakaknya untuk segera minta petolongan orang berilmu itu. Kwee An lantas menyatakan persetujuannya dan ia berpesan kepada kekasihnya dan adiknya supaya mereka berdua menjaga di luar goa, agar jangan sampai ada musuh yang datang membuat kekacauan pada waktu Bu Pun Su menderita sakit keras. Kwee An kemudian mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin ke Hong-lun-san.
Dengan adanya Ma Hoa yang mengawaninya, Lin Lin menjaga di depan goa dan duduk di atas batu karang sambil bercakap-cakap dan tidak melamun seperti tadi. Mereka saling menuturkan pengalaman masing-masing dan Ma Hoa merasa girang mendengar tentang ditewaskannya Thai Kek Losu, Sian Kek Losio dan Bo Lang Hwesio. Sebaliknya, ketika mendengar tentang tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su, Lin Lin merasa berkuatir sekali. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana suhu-nya akan dapat memenuhi tantangan itu?
Pada waktu mereka sedang duduk bercakap-cakap dengan asyiknya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu seorang wanita tua sudah berdiri di hadapan mereka. Dengan hati terkejut Lin Lin dan Ma Hoa bangkit berdiri dan memandang dengan tajam kepada Wi Wi Toanio yang datang itu!
Melihat nenek ini, Lin Lin menjadi marah sekali karena teringat betapa bekas kekasih Bu Pun Su ini sudah menjalankan kecurangan untuk mencelakai suhu-nya itu. Maka sambil mencabut Han-le-kiam dari pinggangnya, ia membentak,
“Mau apa kau datang ke sini?”
Wi Wi Toanio memandang dengan mata mengejek lalu jawabnya, “Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak-anak kecil. Minggirlah, dan biarkan aku bertemu dengan Lu Kwan Cu!”
“Tidak! Tak seorang pun boleh masuk ke dalam goa ini mengganggu Suhu! Pergilah kau sebelum pedangku bicara!”
“Anak kecil kurang ajar! Kau berani menghina dan mengusirku?” Wi Wi Toanio menjadi marah sekali.
Ma Hoa juga sudah mencabut sepasang bambu runcingnya dan berkata, “Nenek jahat, kau pergilah dengan baik-baik dan jangan mencari mati.”
Makin marahlah Wi Wi Toanio mendengar ini. Dengan seruan keras dia melompat dan menerjang ke arah Lin Lin dan Ma Hoa dengan limu Silat Cakar Garuda yang lihai dan berbahaya itu. Akan tetapi Lin Lin dan Ma Hoa sudah siap dan menghadapinya dengan mengirim serangan-serangan mematikan.
Ternyata Wi Wi Toanio memang lihai sekali. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka biar pun Lin Lin dan Ma Hoa mengeroyok dua dan mainkan senjata mereka dengan cara hebat, namun nenek itu tidak menjadi gentar dan membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang dahsyat.
Sambil bertempur Wi Wi Toanio mengeluarkan pekik-pekik menyeramkan dan tubuhnya menyambar-nyambar bagai seekor burung garuda. Ginkang-nya ternyata telah mencapai tingkat tinggi sekali hingga tubuhnya itu melayang-layang seolah-olah dia dapat terbang saja. Namun Lin Lin dan Ma Hoa yang berlaku hati-hati tidak mau kalah dan bekerja sama dengan mati-matian untuk merobohkan pengacau ini.
Pada saat pertempuran terjadi, Cin Hai sedang membantu suhu-nya dengan mengalirkan hawa melalui telapak tangan, sedangkan Ang I Niocu hanya bersila sambil bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga yang sudah banyak dikerahkan membantu susiok-couw-nya itu.
Kini dia mendengar suara-suara orang berkelahi di luar, maka tahulah dia bahwa Lin Lin dan Ma Hoa sedang menghadapi lawan tangguh. Tanpa mengeluarkan suara, dia lantas mengambil sebatang pedang Liong-cu-kiam yang diletakkan di dekat Cin Hai, kemudian dia bertindak keluar.
Pada saat itu, sambil memekik keras Wi Wi Toanio melompat ke atas dengan kedua tangannya terulur ke depan dan bermaksud merampas senjata kedua lawannya. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan dua batang pedang yang bercahaya berkilauan langsung menyambutnya dengan serangan hebat!
Wi Wi Toanio sedang melayang bagaikan seekor burung garuda yang ganas, sedangkan Ang I Niocu pun melayang menyambutnya dengan pedang Liong-cu-kiam, bagai seekor burung hong yang indah dan gesit! Wi Wi Toanio terkejut melihat serangan ini, maka dia lalu berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah terputar dan berjungkir balik beberapa kali ke belakang!
Melihat Ang I Niocu datang membantu, Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gembira dan mereka lalu mainkan senjata mereka dengan seru dan hebat mendesak Wi Wi Toanio yang kini merasa sibuk juga menghadapi tiga orang gadis jelita yang mengamuk bagaikan tiga ekor naga betina itu!
Ang I Niocu memang lihai dan dengan sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam di kedua tangan, dia merupakan seekor harimau yang tumbuh sayap. Juga Lin Lin dengan Han-le Kiam-hoat-nya merupakan lawan yang amat berbahaya karena ilmu pedangnya ini boleh dianggap menduduki tingkat tinggi sekali di antara segala macam ilmu pedang, ada pun Ma Hoa dengan Ilmu Silat Bambu Runcingnya juga merupakan lawan yang tidak mudah dilawan!
Tentu saja setelah ketiga orang dara ini maju mengeroyok, biar pun ilmu kepandaian Wi Wi Toanio tinggi dan pengalamannya banyak, namun tetap saja dia merasa kewalahan sehingga sebentar saja dia terdesak mundur dan jiwanya berada dalam bahaya!
Wi Wi Toanio mengeluarkan jarum-jarum rahasianya dan kedua tangannya lantas diayun menyebar puluhan batang jarum ke arah tiga dara itu. Akan tetapi Ma Hoa memutar-mutar sepasang bambu rucingnya dan Ang I Niocu juga memutar sepasang pedangnya, hingga semua jarum kena terpukul runtuh. Sementara itu melihat kesempatan baik, Lin Lin maju mengirim serangan hebat ke arah dada lawannya dengan tusukan cepat.
Wi Wi Toanio mencoba mengelak akan tetapi ketika ia merendahkan diri, Lin Lin merobah gerakannya dan pedangnya meluncur ke bawah! Wi Wi Toanio ketika itu terancam pula oleh sabetan pedang Ang I Niocu dari kiri dan tusukan bambu runcing yang menotok ke iganya, maka dengan bingung dia membanting diri ke belakang!
Meski pun gerakannya sudah cepat sekali, akan tetapi ujung pedang pendek Han-le-kiam di tangan Lin Lin masih lebih cepat dan ujung pedang ini berhasil melukai pundak Wi Wi Toanio yang lalu berguling ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan selanjutnya.
Tiga orang gadis itu hendak mengejar dan mengirim serangan maut, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam goa, “Jangan bunuh dia!”
Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa tercengang dan mereka cepat-cepat menahan senjata masing-masing, sedangkan Wi Wi Toanio yang merasa jeri menghadapi tiga orang gadis kosen itu, lalu melarikan diri turun dari bukit itu secepatnya!
Ang I Niocu merasa girang sekali mendengar suara tadi, karena suara yang mencegah mereka tadi adalah suara Bu Pun Su. Juga Lin Lin mengenal suara suhu-nya, maka dia lalu cepat-cepat mengajak Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk masuk ke dalam goa.
Mereka melihat bahwa Bu Pun Su telah siuman kembali akan tetapi masih rebah dengan tubuh lemah, ada pun Cin Hai duduk bersila di dekatnya dengan wajah muram. Bu Pun Su memang hebat sekali, karena biar pun dia berada dalam keadaan sedemikian rupa, namun pendengarannya masih sangat tajam sehingga dia dapat mendengar pertempuran yang terjadi di luar dan seruan-seruan Wi Wi Toanio itu dikenalnya baik-baik, maka dia lalu mengerahkan khikang-nya dan mencegah ketiga orang gadis itu membunuh Wi Wi Toanio. Tanpa menyaksikan dengan mata sendiri, dari pendengaran dan dugaan saja dia maklum bahwa Wi Wi Toanio tak akan dapat menang menghadapi tiga dara yang gagah perkasa itu!
Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Bu Pun Su tersenyum dengan lemah dan bibirnya bergerak, mengeluarkan bisikan perlahan,
“Kalian lihat, betapa pun tinggi kepandaian orang, ia harus tunduk terhadap usia tua!”
Kemudian Bu Pun Su memandang kepada Ma Hoa dan berkata. “Nona Ma Hoa, kau datang ke sini tentu mempunyai maksud tertentu. Katakanlah!”
Ma Hoa tadinya segan untuk menceritakan mengenai pesanan suhu-nya, dan tadinya dia berniat untuk menahan saja pesanan itu karena Bu Pun Su sedang sakit. Tidak tahunya kakek ini bermata awas hingga tahu bahwa kedatangannya mempunyai maksud tertentu, maka sambil berlutut dia lalu berkata,
“Maafkan teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu tidak berani mengganggu Locianpwe yang sedang menderita sakit.”
Terdengar suara tertawa Bu Pun Su yang seperti biasa, gembira dan terlepas, hanya kali ini suara ketawanya tidak sekeras dahulu. “Anak yang baik, tubuhku memang sakit, akan tetapi semangatku masih seperti biasa. Ceritakanlah.”
“Sebetulnya teecu sudah diperintahkan oleh Suhu Hok Peng Taisu untuk menyampaikan tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Suhu dan Locianpwe.”
“Hemm, Hai Kong menantang aku dan Hok Peng?”
“Benar, Locianpwe. Hwesio itu menantang untuk mengadu kepandaian pada bulan tiga di Puncak Hoa-san, dan mereka hendak mengajukan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat sebagai jago untuk menghadapi Locianpwe dan Suhu. Suhu berpesan agar teecu menyampaikan kepada Locianpwe bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!”
Bu Pun Su tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya makin lemah. “Hok Peng ternyata lebih muda semangatnya dari pada aku! Alangkah senangnya kalau bersama Hok Peng aku dapat menghadapi Pok Pok dan Swi Kiat!” Akan tetapi dia lalu menarik napas panjang dan berbisik,
“Tak mungkin, bulan tiga masih lama, aku tak akan dapat bertahan selama itu...”
Mendengar ucapan ini, tak dapat dicegah lagi Lin Lin lalu menangis terisak-isak.
“Ehh, ehhh, Lin Lin muridku yang nakal! Mengapa kau menangis? Suhu-mu sebentar lagi terbebas dari pada kesengsaraan, kenapa kau malah menangis? Seharusnya kau malah bersyukur dan bergembira!”
Akan tetapi, mendengar ini, Lin Lin makin hebat tangisnya, bahkan kini Ang I Niocu dan Ma Hoa juga ikut menangis.
Bu Pun Su menarik napas panjang, “Hm-hmm... perempuan, perempuan... kalau tidak menangis, kau bukan perempuan lagi namanya...”
Setelah tangisnya reda, Lin Lin lalu berkata kepada suhu-nya, “Suhu, perkenankan pada teecu untuk mengajukan sebuah permohonan.”
“Nah, nah, sesudah menangis lalu mengajukan permohonan, cocok sekali ucapan orang jaman dahulu bahwa di balik air mata wanita itu tersembunyi maksud-maksud tertentu!”
“Teecu ingin mohon perkenan dari Suhu untuk mengijinkan Enci Im Giok melangsungkan perjodohannya dengan Lie Kong Sian Suheng!”
Mendengar ucapan Lin Lin ini, Ang I Niocu cepat-cepat menundukkan kepalanya hendak menyembunyikan mukanya yang menjadi kemerah-merahan.
Bu Pun Su menjawab dan suaranya makin melemah seperti bisikan. “Aku tahu... semenjak mereka datang aku sudah tahu... Im Giok dan Kong Sian memang cocok, aku setuju...,” tiba-tiba ia mengeluh panjang dan kembali Bu Pun Su jatuh pingsan, tak sadarkan diri seperti orang tidur pulas!
Cin Hai cepat menyambar nadi tangan suhu-nya dan berbisik, “Suhu telah terlalu banyak menggunakan tenaga untuk bercakap-cakap.”
Tiba-tiba saja masuk seorang laki-laki ke dalam Goa Tengkorak dan ketika semua orang memandang, ternyata yang datang ini adalah Lie Kong Sian. Pemuda ini dengan cepat sekali lalu menghancurkan daun darah yang dia ambil dari pulaunya, memeras daun itu dan meminumkannya ke dalam mulut Bu Pun Su. Setelah itu, pemuda ini lalu duduk di sebelah Bu Pun Su untuk menggantikan Cin Hai membantu peredaran hawa dalam tubuh supek-nya.
Tak lama kemudian, bagaikan api lilin yang hampir padam kini bernyala kembali, Bu Pun Su menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ternyata khasiat daun darah sudah bekerja dan dia merasa tubuhnya enak sekali. Kakek sakti itu lalu bangun dan duduk.
“Im Giok, kuulangi kata-kataku tadi. Kau memang berjodoh dengan Kong Sian dan aku merasa girang sekali bahwa kau mendapatkan jodoh dengan murid Han Le sendiri!”
Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menundukkan kepala dan tidak berani bergerak karena jengahnya.
Kemudian Bu Pun Su berkata sambil menuding keluar goa, “Ada orang datang!”
Semua orang memandang karena mereka tak mendengar sesuatu, kecuali Cin Hai yang dapat mendengar tindakan kaki yang halus sekali. Dan benar saja, tidak lama kemudian, masuklah Kwee An bersama Hok Peng Taisu yang datang-datang tertawa bergelak lalu menghampiri Bu Pun Su.
Bu Pun Su juga tertawa girang. “Hok Peng, apa kau datang hendak memeriksa tubuhku yang sudah bobrok ini?”
“Bu Pun Su, benar-benarkah kau hendak mendahului aku? Kau hanya lebih tua beberapa tahun saja dariku, dan menurut patut, kau harus lebih kuat menolak cengkeraman maut!”
Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu segera duduk di dekat Bu Pun Su kemudian mengulurkan tangan untuk memeriksa nadi dan detik jantung kakek jembel itu.
Sesudah memeriksa sambil memejamkan mata beberapa lama, kakek jembel itu bertanya, “Bagaimana, Hok Peng, masih berapa lama lagikah?”
Kakek botak itu memandang wajah Bu Pun Su dengan tajam. “Bu Pun Su, aku tidak ingin mengetahui urusan pribadimu, akan tetapi orang seperti kau ini tidak layak menerima luka di jantung akibat tekanan batin! Jantungmu terluka hebat sekali karena kau agaknya telah teringat akan hal-hal yang sudah lampau, yang membuat kau merasa malu, marah, dan berduka. Melihat keadaanmu, paling lama kau hanya akan dapat bertahan selama satu pekan saja!”
“Bagus, kalau begitu masih ada waktu beberapa hari lagi,” kata Bu Pun Su.
“Sungguh sayang Bu Pun Su. Benar-benar sayang, karena sebenarnya aku ingin sekali mengajak kau menikmati adu kepandaian di Puncak Hoa-san dan bermain-main sebentar dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu sebelum kau pergi! Pergi seorang diri saja ke Hoa-san kurang menggembirakan!”
Bu Pun Su tertawa, “Apa dayaku? Tadi aku pun sudah mendengar dari muridmu tentang tantangan itu, akan tetapi kepergianku tak dapat ditunda-tunda lagi!”
Mendengar bahwa usia Bu Pun Su tinggal sepekan lagi dan mendengar pula betapa dua orang kakek yang aneh itu membicarakan kematian Bu Pun Su bagai orang yang hendak pergi melancong saja, Ang I Niocu, Lin Lin dan Ma Hoa tak dapat menahan keharuan hati lagi sehingga terdengarlah isak tangis mereka. Lin Lin bahkan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhu-nya dan menangis sedih.
“Ehh, ehh, kembali kau memperlihatkan sikapmu yang nakal, Lin Lin!” kata Bu Pun Su. Kemudian, kakek jembel itu berkata kepada kakek botak,
“Hok Peng, jangan kau kecewa, karena betapa pun juga, tantangan Hai Kong Hosiang itu harus kita hadapi! Memang aku tidak dapat datang sendiri, tetapi aku hendak mewakilkan kepada Cin Hai untuk menghadapi mereka.”
“Suhu, teecu masih terlalu lemah untuk menghadapi mereka, terutama Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang sakti itu,” kata Cin Hai.
“Jangan khawatir, mereka itu sudah tua bangka dan tubuh mereka sudah bobrok seperti aku! Kita masih mempunyai waktu sepekan dan selama itu, aku akan menurunkan semua sisa-sisa kepandaianku kepadamu. Pula, sesudah aku pergi, kau boleh minta bimbingan Hok Peng untuk memperdalam kepandaianmu sehingga tidak akan mengecewakan kelak apa bila kau mewakili daerah selatan dan timur bersama Hok Peng!”
“Bagus!” kata Hok Peng. “Aku setuju sekali kalau anak muda ini mewakilimu, karena dia mempunyai bahan cukup baik. Nah, aku tidak akan mengganggu lebih jauh, Bu Pun Su. Pergunakanlah sisa waktu yang tak lama lagi itu dengan sebaiknya dan selamat berpisah sampai berjumpa kembali.”
Bu Pun Su mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Terima kasih, paling lama lima tahun lagi kita bertemu!”
Hok Peng tertawa bergelak-gelak. “Mungkin sekali sebelum lima tahun aku sudah akan menyusulmu!” Kemudian kakek ini berkelebat keluar dan lenyap dari pandangan mata.
Bu Pun Su menarik napas panjang. “Lie Kong Sian, obatmu itu benar baik sekali karena sekarang aku merasa sehat kembali. Sekarang kalian dengarkan pesanku yang terakhir. Im Giok telah kuberi persetujuan menjadi jodoh Lie Kong Sian dan semoga kalian berdua hidup berbahagia. Pedang Liong-cu-kiam kuberikan kepada Cin Hai dan Im Giok, yang panjang untuk Cin Hai sedang yang pendek untuk Im Giok karena kalian berdualah yang telah mendapatkannya.”
Cin Hai, Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menghaturkan terima kasih.
“Masih ada lagi,” Bu Pun Su berkata, “Kelak, apa bila kalian memperoleh keturunan, juga bagi Nona Ma Hoa, kuanjurkan supaya menuruti nasehat ini, kalian harus menggunduli putera-puteramu.”
Semua orang memandang heran dan menganggap bahwa kakek itu sudah mulai bicara tidak karuan seperti biasanya orang-orang tua yang sudah mendekati saat kematiannya.
“Hal ini jangan kalian pandang rendah,” kata Bu Pun Su. “Dan kau, Cin Hai, jangan kau anggap Gurumu berkelakar dan menyindir kau yang ketika kecil bergundul kepala, karena sesungguhnya bagi seorang anak laki-laki lebih baik rambutnya digunduli ketika ia masih kecil agar hawa yang sehat dan sejuk tidak tertolak oleh rambut hingga membuat kepala anak itu menjadi segar dan baik perjalanan darahnya sehingga selain memperkuat, juga menambah kecerdikan anak itu. Pesanku yang lain ialah kalau aku sudah pergi, tubuhku yang bobrok ini supaya dibakar di dalam goa ini dan abunya kalian masukkan ke dalam hio-louw besar, kemudian kalian tinggalkan goa ini dan menutupnya dengan batu besar rapat-rapat, lalu tutuplah goa ini dengan pohon-pohon agar tak sampai ditemukan orang lain. Aku ingin mengaso dengan tenteram di tempat ini.”
Semua orang mendengarkan pesan ini dengan hati terharu sekali.
“Nah, sekarang kalian keluarlah semua, kecuali Cin Hai sebab aku hendak menggunakan sisa waktuku untuk melatihnya sebagai persiapan untuk menghadapi adu kepandaian di Puncak Hoa-san kelak.”
Dengan hati sedih dan wajah muram, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Lin Lin, Ma Hoa dan Kwee An lalu mengundurkan diri dan keluar dari goa itu. Mereka menjaga di luar sambil bercakap-cakap menuturkan pengalaman masing-masing dan tidak berani mengganggu ke dalam di mana Bu Pun Su menggunakan kesempatan terakhir untuk melatih Cin Hai dengan ilmu-ilmu kepandaian yang belum dipelajarinya.
Tentu saja dalam waktu yang hanya beberapa hari itu, Cin Hai tidak mungkin mempelajari semua ilmu itu berikut prakteknya, dan hanya dapat mempelajari pokok-pokok teorinya saja, untuk kemudian dipelajari prakteknya. Akan tetapi ia telah mencatat dalam otaknya segala pelajaran itu dengan teliti sehingga Bu Pun Su menjadi puas.
Lima hari kemudian, Cin Hai keluar dari dalam goa dengan wajah muram dan ia memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk masuk ke dalam. Lin Lin berlari mendahului dan ketika melihat tubuh suhu-nya berbaring dengan wajah pucat dan napas lemah, ia segera menubruknya sambil menangis.
Bu Pun Su menggerakkan tangannya yang sudah amat lemah itu untuk membelai rambut Lin Lin.
“Jangan menangis, jangan menangis,” bisiknya, “jangan antarkan kepergianku dengan air mata... aku tidak suka...!” Lin Lin cepat menahan tangisnya dan terisak-isak dengan hati hancur.
“Anak-anak... pesanku terakhir... sesudah selesai pertandingan pibu di Hoa-san... kalian pulanglah dan langsungkan perjodohan... hiduplah dengan aman dan tenteram bahagia, jauhi segala permusuhan...!” dia terengah-engah karena sebenarnya waktu lima hari yang dia pergunakan siang malam untuk memberikan gemblengan terakhir kepada Cin Hai itu terlampau melelahkannya dan membuatnya cepat lemah.
“Sekarang... antarkan kepergianku dengan cita-cita tinggi dan luhur... selamat... tinggal!” lemaslah lehernya dan pada saat itu Bu Pun Su, tokoh persilatan yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu, terpaksa menyerah kalah terhadap maut yang merenggut nyawanya.
Lin Lin, Ang I Niocu, dan Ma Hoa berusaha menahan tangis mereka karena mereka ingin mentaati pesan terakhir dari Bu Pun Su. Mereka berenam lalu mengadakan persiapan untuk menyempurnakan jenazah kakek itu kemudian membakarnya di dalam goa dengan penuh khidmat.