Pendekar Bodoh Jilid 36

Pendekar Bodoh Jilid 36

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 36

SETELAH selesai dan mayat itu sudah menjadi abu seluruhnya, abunya lalu disimpan di dalam hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar.

Selama beberapa hari mereka mengadakan perkabungan di tempat itu dan mengadakan sembahyangan untuk memberi penghormatan terakhir, kemudian beramai-ramai mereka lantas menutup pintu Goa Tengkorak dengan batu-batu besar dan menimbunnya dengan pohon-pohon kecil sehingga goa itu tertutup sama sekali dan tidak tampak dari luar.

Sesudah itu, atas anjuran Ma Hoa, mereka berenam lalu pergi ke Hong-lun-san untuk memberi kabar kepada Hok Peng Taisu mengenai kematian Bu Pun Su. Kakek botak itu menerima warta ini sambil tersenyum dan menarik napas panjang.

“Ahh, dia lebih beruntung dari pada aku. Sekarang dia sudah enak-enak sedangkan aku masih harus menderita.”

Oleh karena waktu untuk menerima tantangan tinggal sebulan lebih lagi, maka Hok Peng Taisu lalu melatih Cin Hai dengan berbagai kepandaian yang belum pernah dipelajari oleh anak muda itu sampai hampir sepuluh hari lamanya. Orang-orang muda yang lain merasa suka sekali tinggal di bukit yang indah itu dan mereka juga berlatih silat di bawah pengawasan Hok Peng Taisu.

Setelah menganggap bahwa ilmu kepandaian Cin Hai cukup kuat, Hok Peng Taisu lalu mengajak mereka mulai melakukan perjalanan menuju ke Puncak Hoa-san.

Untuk memperkuat rombongan mereka, Ma Hoa minta perkenan kepada Hok Peng Taisu untuk singgah di tempat kediaman Nelayan Cengeng, yaitu di Sungai Liong-ho. Ternyata kakek nelayan itu sedang enak-enakan di atas sebuah perahu kecil, bersenang-senang seorang diri mencari ikan sambil bernyanyi-nyanyi.

Melihat kedatangan mereka, Nelayan Cengeng merasa girang bukan main, dan ia segera menyatakan keinginannya untuk ikut pergi ke Hoa-san! Tentang kematian Bu Pun Su, ia menyambutnya dengan ucapan yang hampir sama dengan ucapan Hok Peng Taisu dulu, karena ia berkata, “Aku harap akan dapat segera menyusulnya!”

Hok Peng Taisu lalu menyerahkan pimpinan rombongan itu kepada Nelayan Cengeng karena dia hendak melakukan perjalanan dari lain jurusan untuk singgah di tempat tinggal beberapa orang kenalannya.

“Kalau sudah tiba di kaki Bukit Hoa-san, kalian tunggulah kedatanganku, dan kalau aku yang datang lebih dahulu, aku pun akan menanti kalian,” kata kakek botak itu yang lalu berkelebat pergi. Seperti juga Bu Pun Su, Kakek aneh ini tidak suka melakukan perjalanan dengan orang lain, dan lebih suka berjalan seorang diri saja.

*****

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

Ternyata bahwa pihak Hai Kong Hosiang telah berkumpul di Puncak Hoa-san menanti kedatangan dua orang musuh besar, yaitu Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu. Wi Wi Toanio sudah berhasil mengundang datang Pok Pok Sianjin, supek-nya yang tinggal di Puncak Go-bi-san daerah barat yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri itu.

Wi Wi Toanio tak berani menceritakan tentang hal yang sebenarnya, maka dengan cerdik nenek itu hanya menceritakan bahwa dia hendak mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan karena merasa tidak kuasa menghadapi, mereka minta bantuan supek ini.

Sebenarnya Pok Pok Sianjin tidak mau mempedulikan segala urusan dunia. Akan tetapi mendengar nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu sebagai dua orang tokoh tertinggi dari daerah selatan dan timur, maka tergeraklah hatinya hingga timbul kegembiraannya untuk mengukur kepandaian mereka. Apakah salahnya mengukur tenaga di dalam sebuah pibu yang adil dan dilakukan dalam suasana persahabatan? Oleh karena inilah maka Pok Pok Sianjin menyanggupi dan tepat pada waktunya.

Sementara itu, Swi Kiat Siansu, guru Thai Kek Losu, pada waktu dibujuk oleh Hai Kong Hosiang yang menceritakan betapa kedua orang muridnya, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, tewas dalam tangan Cin Hai, Lin Lin dan Lie Kong Sian, tergerak pula hatinya ketika mendengar betapa pembunuh-pembunuh muridnya itu, dibela pula oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu.

Kalau saja kedua tokoh besar itu tidak muncul untuk membela pembunuh-pembunuh dua muridnya, tentu ia tidak akan sudi turun gunung karena ia pun telah mendengar tentang kesesatan murid-muridnya itu. Akan tetapi dia tergerak untuk mencoba pula kepandaian Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu yang amat terkenal.

Rombongan Hai Kong Hosiang terdiri dari dua belas orang, yaitu Pok Pok Sianjin, Swi Kiat Siansu, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin, Kam Hong Sin, Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu, Giok Im Cu, Giok Keng Cu, dan Giok Yang Cu. Selain dua belas orang-orang yang lihai ini, masih terdapat ratusan perwira yang sengaja menjaga di sekitar tempat itu.

Melihat keadaan rombongan yang berjumlah banyak ini, terutama melihat para perwira, Pok Pok Sianjin merasa heran dan bertanya kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, kenapa begini banyak orang berada di sini? Apakah kalian hendak mengadakan perang besar?”

“Tidak, Supek. Mereka adalah kawan-kawan teecu, dan perwira-perwira itu hanya untuk penjagaan kalau-kalau pihak lawan membawa pula bantuan besar untuk sengaja mencari permusuhan.”

Juga Swi Kiat Siansu merasa heran melihat banyaknya orang menjaga di situ, maka dia berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Aku tidak menghendaki adanya pertempuran besar. Kalian boleh saja bertempur dan bermusuhan, akan tetapi jangan harap untuk melibatkan diriku dalam keadaan semacam itu!”

Hai Kong Hosiang segera menyatakan kesanggupannya untuk mencegah para perwira itu membuat kacau dan hanya minta agar supaya Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu menghadapi Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu di dalam pibu yang hendak diadakan.

Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu merasa girang dapat saling bertemu dan mereka segera bermain catur di bawah sebatang pohon dan tidak mempedulikan lagi keadaan di sekitarnya.

Pada saat dua orang kakek yang sudah amat tua itu asyik bermain catur, maka datanglah rombongan Hok Peng Taisu yang hanya terdiri dari delapan orang, yaitu Hok Peng Taisu sendiri, Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, Lie Kong Sian dan Nelayan Cengeng.

Dengan sikap tenang dan gagah Hok Peng Taisu berjalan memimpin semua kawannya naik bukit Hoa-san dan sama sekali tidak gentar melihat para perwira yang berderet-deret menyambut kedatangan mereka itu.

Pada saat Hai Kong Hosiang dan yang lain-lainnya menyambut, Hok Peng Taisu berlaku seakan-akan tidak melihat mereka, akan tetapi langsung menghampiri kedua orang kakek yang tengah bermain catur itu sambil tertawa dan berkata, “Kalau saja Bu Pun Su belum meninggalkan kita, kalian berdua tentu akan dipukul hancur dalam permainan catur ini. Sayang aku tidak pandai bermain catur!”

Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang sudah melihat kedatangannya, segera berdiri sambil tertawa.

“Hok Peng, kau nyata masih nampak sehat-sehat saja biar pun kepalamu sudah menjadi botak dan hampir habis semua rambutmu!” kata Pok Pok Sianjin.

Sedangkan Swi Kiat Siansu berkata dengan kecewa. “Kau bilang tadi bahwa Bu Pun Su sudah meninggalkan kita? Ah, sayang sekali...! Dari tempat jauh, aku datang karena ingin merasakan pula kelihaiannya, ternyata ia telah mendahuluiku pergi... sungguh sayang.”

Hok Peng Taisu tertawa pula. “Jangan kau kecewa, Swi Kiat Siansu! Sungguh pun Bu Pun Su telah berpulang ke asalnya, akan tetapi dia telah mengirim salamnya dan bahkan mengirim seorang wakil yang akan cukup menggembirakan hatimu.”

Swi Kiat Siansu memandang tajam. “Apa? Apakah kau mewakili dia pula?”

Hok Peng Taisu menggeleng-gelengkan kepala. “Apa kau kira aku sedemikian serakah untuk memborong semua kehormatan? Bukan, bukan aku, akan tetapi muridnya.” Kakek botak ini lalu melambaikan tangan ke arah Cin Hai yang segera menghampiri mereka.

“Inilah wakil Bu Pun Su, dia disebut Pendekar Bodoh!”

Cin Hai lalu menjura dengan penuh penghormatan kepada Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin sambil berkata, “Teecu Sie Cin Hai yang bodoh merasa mendapat kehormatan besar dapat bertemu dengan Ji-wi Locianpwe.”

Pok Pok Sianjin bertubuh tinggi kurus dan agak bongkok. Rambut serta kumisnya sudah putih semua dan terurai ke bawah tak terawat sama sekali. Tangan kanannya membawa sebatang tongkat panjang yang bengkok-bengkok dan tangan kirinya selalu mengelus-elus jenggotnya yang panjang.

Dia mengangguk-angguk senang melihat sikap Cin Hai yang sopan santun. Melihat sikap serta pandang mata pemuda itu, maklumlah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang ‘berisi’.

Swi Kiat Siansu bertubuh gemuk bulat bagai patung Jilaihud, jubahnya kuning dan hanya berupa sehelai kain yang dibelit-belitkan pada tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebatang kipas dan agaknya dia selalu merasa kepanasan karena kipas itu tiada hentinya digunakan untuk mengipasi tubuhnya.

Ketika mendengar bahwa julukan pemuda itu adalah Pendekar Bodoh, kakek yang juga sudah tua sekali ini segera menaruh hormat dan tahu bahwa orang yang menggunakan julukan serendah itu pasti memiliki kepandaian yang berarti.

“Bagus sekali,” kata Swi Kiat Siansu. ”Bu Pun Su, ternyata pandai memilih murid-murid, tidak seperti aku yang selalu salah memilih. Pendekar Bodoh, tentu kau pula yang telah membantuku memberi hajaran pada kedua muridku Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu?”

Cin Hai menjawab dengan tenang. “Locianpwe, mana teecu berani memberi hajaran kepada orang lain? Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sengaja hendak membunuh teecu dan kawan-kawan, maka terpaksa kami membela diri.”

Swi Kiat Siansu mengangguk-angguk, lalu dia berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong Bengyu, kau telah berhasil mengundang aku untuk mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan kini mereka berdua telah datang, biar pun Bu Pun Su sendiri hanya diwakili oleh muridnya. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa pibu ini adalah urusan kami sendiri dan kau bersama kawan-kawanmu yang banyak jumlahnya itu tidak boleh mencampuri urusan kami. Urusan pribadi terhadap para tamu tiada hubungannya dengan pibu ini!”

Pok Pok Sianjin juga berkata kepada Wi Wi Toanio, “Aku telah bertemu dengan jago-jago dari selatan dan timur, jangan mengganggu pibu ini.”

Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio biar pun merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak berani membantah, hanya mereka mengharap agar dalam pibu ini, Cin Hai dan Hok Peng Taisu kena dikalahkan, karena dengan begitu akan mudah bagi mereka untuk menyerang Ang I Niocu dan kawan-kawannya. Mereka memang merasa gentar terhadap Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su dan biar pun mereka tahu akan kelihaian Cin Hai yang mewakili Bu Pun Su, namun mereka tidak begitu jeri terhadap Cin Hai.

Sementara itu, Hok Peng Taisu lalu menghadapi kedua kakek sakti dari barat dan utara itu dan berkata, “Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, kita ini seperti anak-anak kecil yang bodoh hingga dapat dibujuk oleh orang-orang muda untuk datang ke sini sehingga saling berhadapan! Akan tetapi setelah kita bertemu di sini, maka kita tidak perlu merasa sungkan lagi karena aku juga dapat menduga isi hati kalian yang tentu tidak jauh bedanya dengan isi hatiku. Bukankah kalian datang ini karena ingin menguji kepandaianku dan kepandaian Bu Pun Su?”

Swi Kiat Siansu tertawa. “Ha-ha-ha-ha! Benar, benar! Orang-orang yang sudah terlalu tua seperti kita ini memang kembali menjadi bocah-bocah lagi. Sayang sekali Bu Pun Su tak dapat hadir, kalau dia ada alangkah senangnya!”

“Locianpwe,” kata Cin Hai dengan masih menghormat, “dahulu mendiang Suhu pernah menyatakan kekecewaannya karena tak dapat menerima penghormatan ini sendiri, akan tetapi Suhu telah menitahkan teecu untuk mewakilinya. Oleh karena taat kepada perintah Suhu, maka teecu melupakan kebodohan sendiri dan berani berlaku lancang menghadapi Ji-wi Locianpwe untuk melayani Locianpwe berdua bermain-main!”

Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu saling pandang, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Pendekar Bodoh,” kata Pok Pok Sianjin. “Kau terlalu merendahkan diri sendiri dan dapat menyesuaikan dirimu, bagus sekali!”

“Locianpwe,” Cin Hai berkata, “teecu teringat akan ujar-ujar Nabi Khong Cu yang pernah menyatakan bahwa jika orang bodoh suka menggunakan cara sendiri dan orang rendah berlaku agung, maka dia akan selamat. Sedangkan orang yang tak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya dan berkukuh memegang aturan kuno yang sudah tidak sesuai lagi, maka orang demikian itu tentu akan mengalami bencana yang menimpa dirinya!

“Itulah ujar-ujar dalam kitab Tiong-yong!” seru Pok Pok Sianjin dengan kagum. “Ehh, anak muda, kau benar-benar mengherankan! Ucapan-ucapanmu tidak pantas keluar dari mulut seorang semuda engkau! Tahukah engkau bahwa usiamu ini membuat kau lebih pantas menjadi cucuku? Dan kau hendak melayani kami bermain-main?”

“Locianpwe, para bijak jaman dahulu pernah menyatakan bahwa kepandaian dan pribudi orang tak diukur dari tinggi rendah usianya, seperti juga kebersihan lahir batin seseorang tidak dapat dilihat dari pakaiannya! Oleh karena itu, apakah salahnya perbedaan usia di antara kita? Apakah artinya muda dan tua? Buah yang sudah terlalu tua akan membusuk dan kemudian jatuh ke atas tanah untuk bersemi lagi menjadi pohon muda, dan akhirnya pun akan menjadi tua kembali! Lagi pula, Locianpwe hanya bermaksud untuk main-main, maka biarlah teecu menerima pengajaran dan supaya bertambah pengalaman teecu dari main-main ini!”

“Ha-ha-ha-ha! Kau memang pandai sekali, Pendekar Bodoh!” kata Pok Pok Sianjin. “Hok Peng Taisu, tak salah kau membawa anak muda ini! Sekarang biarlah aku bermain-main dengan anak muda ini lebih dulu sedangkan Swi Kiat Siansu bermain-main dengan kau, dan kemudian kita bertukar lawan!”

Hok Peng Taisu hanya mengangguk sambil tersenyum, “Baiklah Pok Pok Sianjin. Kalian berdua pada saat ini boleh kuanggap sebagai tuan rumah, sebab itu biarlah ketentuan-ketentuannya terserah kepadamu saja.”

Pok Pok Sianjin lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian ia mengambil dua biji catur dan menyerahkannya sebuah kepada Cin Hai sambil berkata, “Pendekar Bodoh, kita masing-masing memegang sebuah biji catur dan marilah kita menaruh biji catur ini di kepala. Kemudian kita saling serang dan berusaha menjatuhkan biji catur itu dari atas kepala. Siapa yang biji caturnya terjatuh, harus berani mengaku kalah!”

Cin Hai diam-diam merasa terkejut oleh karena biar pun ‘main-main’ ini nampaknya tidak berbahaya, namun karena biji catur itu ditaruh di atas kepala, maka untuk menjaga agar jangan sampai biji catur itu terpukul jatuh, sama halnya dengan menjaga kepala sendiri, sebab kepala itu tak akan terluput dari pada bahaya pukulan! Akan tetapi, dengan tenang dia mengangguk dan lalu menaruh biji catur itu di atas kepalanya sesudah menyingkap rambutnya sehingga biji catur itu menyentuh kulit kepala.

“Teecu telah siap, Locianpwe!” katanya.

“Bagus, mari kita mulai!”

Kakek tua yang tinggi kurus dan agak bongkok itu lalu melangkah maju dan mengebutkan tangannya ke arah biji catur di atas kepala Cin Hai dan pemuda ini merasakan betapa sambaran angin yang keluar dari kibasan tangan ini sungguh dahsyat dan keras hingga ia merasa betapa rambut kepalanya tertiup keras! Ia segera menggerakkan dua lengannya dan mainkan gerak Pek-in Hoat-sut kemudian menolak sambaran angin itu dengan angin pukulannya, bahkan lantas membalas dengan pukulan Mega Putih Menutup Matahari ke arah biji catur di atas kepala Pok Pok Sianjin.

Melihat betapa sampokannya tadi terpental kembali oleh uap putih yang keluar dari kedua lengan Cin Hai, Pok Pok Sianjin lalu tertawa dan berkata, “Bagus, Pek-in Hoat-sut yang kau mainkan ini mengingatkan aku kepada Bu Pun Su! Ha-ha-ha-ha, kau benar-benar merupakan Bu Pun muda!”

Kemudian dia menyerang kembali dengan kebutan tangan atau tamparan yang dilakukan dengan cepat serta mendatangkan angin pukulan yang hebat. Cin Hai berlaku waspada dan hati-hati sekali. Ia cepat mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil balas menyerang.

Demikianlah, kedua orang itu saling serang dengan hebatnya dan biar pun tubuh mereka berkelebatan ke sana ke mari, akan tetapi belum pernah kedua lengan tangan mereka beradu karena mereka mempergunakan lweekang dan ginkang untuk menyerang lawan dengan angin pukulan saja!

Nelayan Cengeng beserta kawan-kawan lainnya yang menonton pertempuran ini hatinya merasa berdebar-debar penuh ketegangan karena sungguh pun mereka berdua itu hanya ‘main-main’ belaka, namun kehebatan pertandingan itu lebih mendebarkan hati dari pada pertempuran dua ekor naga yang saling terkam! Juga Hok Peng Taisu memandang tajam dan diam-diam ia mengagumi kelincahan dan ketenangan Cin Hai.

Harus diketahui bahwa pertandingan adu kepandaian semacam ini lebih berat dari pada pertandingan dalam pertempuran biasa karena di dalam pertandingan bersyarat ini orang harus membagi dua perhatiannya, yaitu selain menjaga pukulan lawan juga harus dapat menjaga supaya biji catur di atas kepala itu jangan tergelincir jatuh di waktu tubuh mereka bergerak. Dengan tenaga khikang tentu dapat menyedot biji catur itu hingga seakan-akan menempel pada kulit kepala, akan tetapi sebentar saja perhatian mereka terlepas, maka biji catur itu ada kemungkinan terguling ke bawah yang berarti kekalahan bagi mereka!

Supaya dapat melakukan hal ini dibutuhkan kepandaian tinggi serta khikang yang sudah sempurna, maka Pok Pok Sianjin sengaja memilih cara ini karena bila mana anak muda itu tidak sanggup melakukannya berarti bahwa kepandaiannya belum cukup tinggi untuk melayaninya!

Akan tetapi, alangkah kagum hatinya ketika melihat bahwa bukan saja Cin Hai sanggup melakukan permainan ini dengan begitu baik, bahkan dapat juga melancarkan serangan balasan yang cukup mengejutkannya! Dia tidak tahu bahwa Cin Hai sudah mempelajari pokok-pokok pergerakan silat dengan sempurna sehingga dapat menduga ke mana arah serangan lawannya, sehingga sungguh pun ia harus mengakui bahwa lweekang dari Pok Pok Sianjin lebih tinggi dari pada lweekang-nya sendiri, akan tetapi oleh karena dia telah mengetahui lebih dulu arah serangan lawan, maka dia dapat menjaga diri lebih cepat dari pada lawannya.

Tipu berganti tipu dan ilmu bertukar ilmu, akan tetapi setelah bertempur lima puluh jurus, belum juga Pok Pok Sianjin berhasil mengalahkan Cin Hai. Ia makin menjadi kagum dan juga penasaran, dan ketika Cin Hai mainkan ilmu serangan yang baru-baru ini dia terima dari Bu Pun Su, yakni Ilmu Serangan Halilintar Menyambar Hujan, pukulan-pukulannya telah berhasil membuat biji catur di atas kepala Pok Pok Sianjin menjadi miring.

Bukan main kagum dan terkejutnya hati Pok Pok Sianjin saat melihat hebatnya serangan pemuda itu, hingga dia berseru keras memuji.

“Kau benar-benar murid Bu Pun Su tulen!” katanya sambil menyambar tongkatnya yang tadi ditancapkan di atas tanah. “Keluarkan senjatamu, Pendekar Bodoh, dan marilah kita bermain-main dengan senjata agar lebih menyenangkan!”

Cin Hai dengan hati gelisah terpaksa mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam. Akan tetapi oleh karena suara kakek itu diliputi dengan kegembiraan, ia menenteramkan hatinya dan menggerakkan pedang itu dengan cepat.

“Pedang bagus!” Pok Pok Sianjin memuji pula.

Tongkatnya segera berkelebat dengan hebatnya sehingga Cin Hai merasa amat kagum. Belum pernah dia menyaksikan ilmu tongkat sehebat ini. Biar pun ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali hingga tidak mudah orang melawannya, tetapi menghadapi ilmu tongkat Pok Pok Sianjin, ia benar-benar tidak berdaya.

Tentang kecepatan bergerak dan lihainya perubahan gerakan, mungkin ilmu pedangnya tidak kalah karena beberapa kali Pok Pok Sianjin mengeluarkan seruan kaget akibat tidak menduga perubahan yang tiba-tiba terjadi pada pedang Cin Hai, akan tetapi permainan tongkat kakek ini mengandung tenaga-tenaga yang mukjijat. Tongkat di tangannya itu seolah-olah hidup sehingga dapat digunakan untuk menempel, memutar, membetot, atau mendorong dengan tenaga yang cocok sekali hingga beberapa kali hampir saja pedang Cin Hai kena dirampas.

Cin Hai lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan oleh karena ilmu pedangnya Daun Bambu memang sungguh hebat dan dapat disesuaikan dengan kepandaian lawan yang bagaimana pun juga, maka dia dapat melakukan perlawanan cukup seru. Tetapi dia kalah pengalaman dan juga ilmu tongkat Pok Pok Sianjin itu memang lain dari pada yang lain hingga lagi-lagi ketika dia menusuk, pedangnya kena ditempel oleh tongkat itu.

Kakek itu memutar-mutar tongkatnya dan ternyata tenaga putaran itu luar biasa kuatnya. Pedang Cin Hai ikut terputar dan tiba-tiba saja tongkat itu meluncur ke atas kepalanya, menyabet biji catur itu dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka.

Cin Hai terkejut sekali, akan tetapi anak muda ini memang mempunyai ketenangan yang sempurna dan kecerdikan luar biasa. Melihat bahwa ia tak dapat mengelak lagi, apa lagi menangkis, ia lalu berseru keras dan mengerahkan khikang-nya hingga tiba-tiba biji catur di atas kepalanya mumbul setengah kaki lebih dan setelah tongkat kakek itu lewat di atas kepalanya, biji catur itu turun kembali di atas kepalanya seperti tadi.

Hal ini membuat semua orang yang menonton berseru kagum dan juga Pok Pok Sianjin tertawa bergelak-gelak sambil menancapkan tongkatnya di atas tanah lagi.

“Ha-ha-ha-ha! Dasar kau murid Bu Pun Su selain lihai juga cerdik dan licin sekali. Kau pantas sekali disebut Pendekar Bodoh! Hebat, hebat!” Pok Pok Sianjin berseru dengan gembira sekali sambil menepuk-nepuk pundak Cin Hai.

Pemuda ini merasa betapa tangan kakek yang menepuk pundaknya seperti orang memuji itu berat sekali, maka cepat-cepat dia lalu mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba Pok Pok Sianjin merasa betapa pundak pemuda itu lemas bagaikan kapuk! Ia memperhebat suara ketawanya dan Cin Hai menyimpan pedang sambil menjura dan berkata,

“Locianpwe kalau teecu bisa mempelajari ilmu tongkatmu, teecu akan merasa berbahagia sekali!”

Bukan main senangnya hati Pok Pok Sianjin mendengar ucapan ini karena ucapan ini saja menunjukkan betapa pemuda itu menghargainya, maka dia tertawa lagi dan berkata, “Kalau ada jodoh dan usiaku masih panjang, aku akan senang sekali mewariskan ilmu tongkat ini kepada salah seorang keturunanmu!”

Walau pun ucapan ini dikeluarkan seperti main-main belaka dan sambil lalu, akan tetapi Cin Hai mencatat di dalam hati dengan baik-baik.

Swi Kiat Siansu dan Hok Peng Taisu juga memuji kepandaian mereka yang baru saja mengadu kepandaian dan kini kedua orang itu saling pandang. “Sekarang tiba giliran kita, Hok Peng Taisu. Sudah lama aku mengagumi Ilmu Silat Bambu Runcingmu, marilah kita main-main sebentar.”

Hok Peng Taisu tersenyum dan tidak mau berlaku sungkun-sungkan lagi. Dia langsung memegang sepasang tongkat bambunya pada kedua tangan dan sesudah menjura lantas berkata, “Mana sepasang tongkat bambuku dapat dibandingkan dengan kipas mautmu?”

Memang senjata Swi Kiat Siansu ialah kipas yang selalu dipakai untuk mengebut-ngebut tubuhnya itu. Kipas ini sangat lebar dan gagangnya terbuat dari pada gading gajah yang ujungnya runcing, sedangkan permukaannya terbuat dari pada kulit harimau yang sudah direndam obat sehingga menjadi kuat dan keras. Kini dia memegang kipas itu di tangan kanan dan siap menanti datangnya serangan lawan.

“Karena pibu ini harus dilakukan dengan kepala dingin, maka lebih baik kita gunakan pula syarat seperti yang dilakukan oleh Pok Pok Sianjin tadi,” kata Swi Kiat Siansu.

“Terserah kepadamu, Sahabat, karena seperti telah kukatakan tadi, sebagai tuan rumah kau berhak mengambil penentuan,” jawab Hok Peng Taisu.

“Baiknya diatur begini saja. Kalau seorang di antara kita sampai kena diserang ujung baju atau ujung lengan bajunya hingga robek, maka dia dianggap kalah.”

Hok Peng Taisu mengangguk dan tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa pihak lawan benar-benar tidak menghendaki pertempuran mati-matian.

“Baik, baik. Mari kita mulai!”

Dua orang kakek tua itu segera bergerak dan sebentar saja mereka berdua lenyap dalam sebuah pertempuran yang memusingkan pandangan mata orang yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya. Gerakan mereka sama cepat dan gerakan senjata mereka sama lihai, hingga bayangan mereka terkurung oleh gulungan sinar senjata yang berkelebatan hebat sekali.

Semua orang yang menonton pertempuran ini merasa kagum dan juga khawatir karena agaknya di dalam pertempuran semacam ini tidak mungkin dapat menang apa bila tidak merobohkan lawan dengan serangan maut!

Akan tetapi bagi Hok Peng Taisu dan Swi Kiat Siansu yang sedang bertempur, mereka berdua maklum akan tingkat kepandaian lawan yang seimbang. Akan tetapi betapa pun juga Swi Kiat Siansu secara diam-diam mengakui bahwa Ilmu silat Bambu Runcing dari Hok Peng Taisu benar-benar lihai sekali dan masih dapat menekan permainan kipasnya sendiri! Dia terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri dan demikianlah, mereka bertempur dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya.

Tiba-tiba terdengar Swi Kiat Siansu berseru, “Aku mengaku kalah!“

Sedangkan Hok Peng Taisu juga berseru, “Kau lihai sekali!”

Dan kedua-duanya melompat ke belakang sambil menahan senjata masing-masing dan menjura sebagai penghormatan kepada lawan. Ternyata bahwa sepasang bambu runcing Hok Peng Taisu telah berhasil melobangi jubah Swi Kiat Siansu di kanan kiri sedangkan ujung lengan baju Hok Peng Taisu pada saat yang sama juga kena terobek oleh gagang kipas kakek gemuk itu! Melihat hal ini mudah diputuskan bahwa Hok Peng Taisu masih menang setingkat.

Swi Kiat Siansu berkata kepada Pok Pok Sianjin sambil tertawa, “Memang orang-orang selatan dan timur lebih rajin melatih diri dari pada kita.” Kemudian ia menghadapi Cin Hai dan berkata, “Pendekar Bodoh, marilah kita main-main sebentar, ingin aku merasakan lihainya ilmu pedangmu!”

Cin Hai lalu mencabut Liong-cu-kiam-nya dan bersiap sedia. Suhu-nya pernah berpesan agar supaya berhati-hati menghadapi kakek gemuk ini oleh karena meski pun tabiatnya jujur dan baik, akan tetapi Swi Kiat Siansu memiliki dasar watak yang enggan mengaku kalah. Lain halnya dengan Pok Pok Sianjin yang lebih berani mengaku kalah dan juga berani pula mengaku salah. Kini menghadapi kakek gemuk ini, Cin Hai berlaku hati-hati sekali.

“Locianpwe, sebelumnya terima kasih atas pengajaranmu ini. Apakah syaratnya masih sama dengan tadi, yaitu saling berusaha menyerang pakaian?”

“Ya, dan kau berhati-hatilah menjaga kipasku supaya aku jangan sampai salah tangan!” Sambil berkata demikian, Swi Kiat Siansu lalu maju menyerang kepada Cin Hai.

Kakek gemuk ini biar pun tadi mengakui keunggulan Hok Peng Taisu, namun diam-diam dia merasa jengkel dan penasaran juga, maka kini menghadapi Cin Hai, dia mengambil keputusan untuk mencari kemenangan untuk menebus kekalahannya yang tadi. Maka tak heran apa bila kipasnya bergerak dengan kecepatan yang sukar untuk dapat diikuti oleh pandangan mata, merupakan gulungan sinar kuning yang menggulung dengan dahsyat ke arah tubuh Cin Hai!

Cin Hai terkejut dan cepat mainkan pedangnya untuk melindungi dirinya dan setiap kali pedangnya bertemu dengan gagang kipas dia merasa betapa telapak tangannya tergetar! Dari bentrokan ini saja dia dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga lawannya, maka dengan penuh ketekunan dan hati-hati sekali dia segera mainkan ilmu pedangnya, Daun Bambu dengan tangan kanan, sedangkan untuk menjaga diri, tangan kirinya lantas melakukan gerakan-gerakan Pek-in Hoat-sut.

Sementara itu Pok Pok Sianjin berkata kepada Hok Peng Taisu, “Hok Peng Taisu marilah kita main-main sebentar agar aku mengenal lebih baik bambu runcingmu!”

“Mari!” Hok Peng Taisu menjawab sambil tersenyum dan bersiap sedia dengan sepasang bambu runcingnya.

Keduanya lalu menggerakkan senjata masing-masing dan bertempur seru. Sungguh pun di antara keduanya tidak menggunakan syarat apa-apa, akan tetapi sebagai tokoh-tokoh berilmu tinggi mereka bisa menjaga diri. Biar pun serangan-serangan mereka merupakan pukulan maut, akan tetapi di dalam hati sama sekali tidak memiliki niat atau nafsu untuk membunuh atau melukai lawan.

Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya merasa kecewa sekali melihat betapa empat orang itu mengadu kepandaian secara persahabatan, oleh karena kini lenyaplah harapan mereka untuk mengalahkan Hok Peng Taisu mau pun Cin Hai. Biar pun andai kata kalah terhadap Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin, tetapi kekalahan itu belum tentu membuat Hok Peng Taisu dan Cin Hai mundur untuk membela kawan-kawan lainnya yang hendak mereka basmi.

Kini melihat betapa keempat orang itu sedang bertempur dengan serunya, diam-diam dia mengeluarkan jarum-jarumnya yang mengandung racun Ular Hijau yang amat berbahaya itu lalu tiba-tiba saja dia mengayunkan tangannya menyerang dengan jarum-jarumnya ke arah Cin Hai dan Hok Peng Taisu!

Pada saat itu, pertempuran antara Cin Hai dan Swi Kiat Siansu sedang berjalan dengan ramai-ramainya. Biar pun Cin Hai sudah mengeluarkan ilmu kepandaiannya, namun pada suatu saat, kipas pada tangan Swi Kiat Siansu menyambar sedemikian hebatnya sambil mengibas dengan tenaga sepenuhnya hingga pedang Cin Hai kena disampok dan lepas dari pegangan!

Akan tetapi, dalam kagetnya, Cin Hai lalu menggunakan tangan kiri melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan yang mengandung daya pukulan luar biasa sekali. Pukulan ini ditujukan kepada kipas di tangan Swi Kiat Siansu dengan tenaga sepenuhnya dan…

“Brakk!”

Permukaan kipas yang terbuat dari pada kulit harimau itu menjadi robek dan hancur berkeping-keping sedangkan pedang Liong-cu-kiam yang terpental dari tangan Cin Hai, menancap di atas lantai!

Pada saat itulah datangnya jarum-jarum dari Hai Kong Hosiang secara tiba-tiba. Cin Hai yang masih tergetar oleh pukulan kipas tadi mendengar datangnya angin senjata rahasia yang lembut itu. Ia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja ada sebatang jarum Ular Hijau menancap pada pundaknya hingga dia terhuyung-huyung lalu roboh dengan tubuh terasa panas sekali.

Akan tetapi ia cepat dapat mengerahkan lweekang-nya untuk menolak pengaruh racun itu hingga ia masih dapat menguasai dirinya dan tidak menjadi pingsan. Sambil bersila ia lalu mengatur napas dan memelihara jalan darahnya.

Sementara itu, Swi Kiat Siansu yang merasa terkejut sekali karena senjata kipasnya kena dipukul hancur oleh Cin Hai, kini melihat betapa pemuda itu terkena serangan senjata rahasia yang dilepas oleh Hai Kong Hosiang, menjadi marah sekali.

“Bangsat gundul curang!” bentaknya marah. “Kau membikin malu saja kepadaku!” Sambil berkata demikian, dia lalu menyambit dengan gagang kipasnya yang masih terpegang di dalam tangannya.

Gagang kipas itu meluncur cepat menuju ke arah tenggorokan Hai Kong Hosiang yang cepat mengelak hingga mengenai tempat kosong. Swi Kiat Siansu masih penasaran dan cepat tubuhnya berkelebat ke arah Hai Kong Hosiang kemudian menyerangnya dengan pukulan tangan terbuka.

Hai Kong Hosiang bukanlah orang yang lemah dan ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, maka tentu saja ia dapat mengelak dan membalas dengan pukulan nekat. Ia maklum bahwa ia telah gagal mengharapkan bantuan kakek ini yang sekarang bahkan menyerangnya karena marah melihat kecurangannya tadi, maka sambil berseru keras ia melawan sekuat tenaga, berkali-kali ia berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas sambil menggerak-gerakkan dua kakinya untuk menyerang Swi Kiat Siansu secara hebat sekali.

Tentu saja Swi Kiat Siansu makin marah dan dengan seruan keras ketika kaki Hai Kong Hosiang menendang ke arah kedua pundaknya, dia lantas menangkap kaki itu dan cepat membanting tubuh Hai Kong Hosiang yang tinggi besar itu ke atas batu karang! Segera terdengar pekik keras dan kepala hwesio jahat itu pecah berantakan ketika dibenturkan kepada batu karang!

Sementara itu, Lin Lin lalu berlari menghampiri Cin Hai dan memeluk kekasihnya dengan hati bingung. Ada pun Hok Peng Taisu yang sedang bertempur mengadu kepandaian dengan Pok Pok Sianjin, cepat melompat mundur dan menghampiri Swi Kiat Siansu yang masih marah sekali itu.

Melihat kesedihan Lin Lin, Swi Kiat Siansu lalu mengeluarkan sebotol obat warna merah. Sebagai seorang pertapa di daerah Mongolia ia maklum akan berbahayanya jarum-jarum Ular Hijau dan dia tahu pula obatnya, karena dia pun adalah seorang ahli pengobatan. Untuk menjaga diri, dia selalu membawa obat-obat anti racun dan obat Semut Merah tersedia pula dalam saku bajunya.

Dengan amat berterima kasih, Lin Lin cepat meminumkan obat itu kepada Cin Hai dan seketika itu juga sembuhlah Cin Hai. Akan tetapi, seperti Lin Lin dulu, begitu dia sembuh, perang tanding antara Racun Ular Hijau dan Obat Semut Merah itu lalu mempengaruhi otaknya dan tiba-tiba dia menjadi marah sekali. Hanya karena kekuatan batinnya sudah jauh lebih kuat dari pada Lin Lin, maka dia masih dapat membedakan mana kawan mana lawan.

Pada suatu saat, Wi Wi Toanio beserta kawan-kawannya datang menyerbu, diikuti oleh perwira-perwira di bawah perintah Kam Hong Sin. Cin Hai langsung melompat ke atas, memungut pedangnya yang menancap di tanah, lalu mengamuk hebat sekali. Juga Lin Lin, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng tidak mau tinggal diam dan menyambut serbuan musuh yang besar jumlahnya itu.

Perang tanding terjadi amat hebatnya, sedangkan Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, dan Hok Peng Taisu merasa segan untuk ikut mencampuri pertempuran itu, sungguh pun mereka merasa penasaran melihat betapa Cin Hai dan kawan-kawannya dikeroyok oleh sekian banyak orang.

Dalam kemarahannya yang bukan sewajarnya, Cin Hai mendesak Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, dan Lok Kun Tojin yang mengeroyoknya. Pedang Liong-cu-kiam di tangannya menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya hingga ketiga orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi itu merasa kewalahan karena belum pernah mereka menyaksikan sepak terjang yang demikian hebatnya!

Dalam jurus ke dua puluh lebih, Wi Wi Toanio kena terbabat pinggangnya oleh pedang Liong-cu-kiam sehingga sambil menjerit wanita itu roboh mandi darah dan tewas seketika itu juga! Siok Kwat Moli dan Lok Kun Tojin terkejut dan gentar hingga gerakan mereka menjadi lambat karenanya.

Cin Hai tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dua kali ia membuat gerakan tangan kanan menusuk dan tangan kirinya melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan ke arah Lok Kun Tojin. Terdengar pekik mengerikan ketika pedang itu menembus dada Siok Kwat Mo-li dan pukulan tangan kirinya yang dahsyat memecahkan kepala Lok Kun Tojin.

Setelah membunuh tiga orang lawannya, tiba-tiba Cin Hai merasa pening dan mengantuk sekali dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling dan telah tidur mendengkur sambil memegang pedang Liong-cu-kiam yang telah menjadi merah karena darah.

Sementara itu, pertempuran masih berjalan hebat dan Ang I Niocu dan kawan-kawannya mengamuk hebat serta menjatuhkan banyak korban di pihak lawan. Akan tetapi musuh terlampau banyak hingga mereka terdesak hebat.

Tiba-tiba berkelebat tiga bayangan orang dan di mana saja tubuh mereka menyambar, senjata-senjata para perwira terpental ke atas. Mereka ini ternyata adalah tiga orang kakek sakti yang tidak tahan pula melihat pertempuran itu karena merasa ngeri melihat banyaknya darah berhamburan. Sambil bergerak mereka berseru, “Tahan pertempuran, tahan!”

Semua orang merasa jeri juga melihat mereka ikut turun tangan, karena itu semua lalu mengundurkan diri.

Dengan marah Swi Kiat Siansu lalu menghadapi Kam Hong Sin dan kawan-kawannya sambil berkata, “Kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah panglima kerajaan, sekarang juga tentu kuhancurkan kepalamu! Kau telah bersekutu dengan Hai Kong yang jahat, dan dengan tipu muslihat kalian berhasil mengundang aku bersama Pok Pok Sianjin sehingga terpaksa kami turun gunung membuat dosa-dosa baru. Tapi, tidak tahunya kalian hendak menggunakan kami agar memusuhi orang-orang baik dan membela Hai Kong yang jahat. Lihatlah bukti kekuasaan dan keadilan Tuhan Yang Agung. Mereka yang jahat menemui kematian mengerikan!” Ia menuding ke arah mayat Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Siok Kwat Mo-li. “Biarlah kali ini menjadi pelajaran bagimu agar supaya lain kali di dalam menjalankan tugas, kau akan berlaku hati-hati dan dapat mempertimbangkan orang yang baik dan yang jahat!”

Kam Hong Sin memberi hormat dan berkata dengan tegas, “Locianpwe, siauwte adalah seorang petugas yang hanya menjalankan kewajiban siauwte sebagai seorang panglima. Anak murid Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu ini telah merampas harta pusaka dan mereka membagikan harta pusaka kepada mereka yang tidak berhak. Padahal harta pusaka itu adalah hak milik kerajaan. Bagi siauwte, lebih baik mati sebagai seorang perwira yang menjalankan tugasnya dari pada mati sebagai seorang pengkhianat.”

Mendengar ucapan yang gagah dan patut dihargai ini, Hok Peng Taisu melangkah maju dan berkata, “Kam-ciangkun, aku sudah lama mendengar bahwa engkau adalah seorang perwira yang gagah, dan ternyata bahwa hal ini ada betulnya. Akan tetapi, agaknya kau masih terlampau muda untuk memegang jabatan tinggi itu hingga pertimbanganmu belum masak benar. Ketahuilah bahwa harta pusaka itu adalah hasil rampokan di jaman dahulu, dan rakyat yang dirampok. Maka aku dan kawan-kawan lain mengembalikan harta itu dan membagi-bagikan kepada para rakyat miskin, bukankah ini sudah adil namanya? Apakah artinya harta sekian banyak itu bagi Kaisar yang sudah kaya? Akan tetapi besar sekali artinya bagi rakyat yang hampir tak dapat makan karena miskinnya!”

Kam Hong Sin merasa terpukul oleh ucapan ini dan dia lalu menjura dan bertanya, “Kalau betul siauwte telah salah jalan, habis apakah yang sekarang harus kulakukan?”

“Lekaslah tarik mundur anak buahmu dan bawalah semua orang yang tewas untuk diurus sebaiknya. Kemudian, setiap langkahmu harus kau perhatikan baik-baik agar kau jangan menanam bibit permusuhan dengan orang-orang gagah, agar kau dapat memperhatikan dan membedakan antara orang-orang gagah dengan penjahat-penjahat seperti Hai Kong Hosiang itu!” kata Hok Peng Taisu.

Kam Hong Sin lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat semua korban dan dibawa turun gunung, sedangkan kawan-kawannya pun ikut turun gunung pula. Ceng To Tosu menghampiri Cin Hai yang sementara itu telah didekati oleh Lin Lin dan telah sadar kembali, sembuh seperti sedia kala. Bahkan anak muda ini sudah lupa bahwa dia telah membunuh Siok Kwat Mo-li, Wi Wi Toanio, dan Lok Kun Tojin.

Ceng To Tosu yang selalu mewek itu menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Sie-taihiap, kau maafkan pinto yang sudah lancang tangan sehingga terbawa-bawa dalam urusan ini, karena pinto hanya memenuhi tugas sebagai pembantu kerajaan Kaisar.”

Cin Hai tersenyum. “Tidak apa, Totiang, dan maaf sama-sama. Kita semua menunaikan tugas masing-masing, hanya sayangnya dalam bidang lain sehingga timbullah kesalahan paham ini.” Ceng To Tosu mengangguk-angguk dan mulutnya semakin mewek bagaikan benar-benar hendak menangis.

“Aku juga minta maaf, Taihiap,” berkata Ceng Tek Hwesio sambil tertawa-tawa gembira, seakan-akan baru saja tadi bukan terjadi perang hebat, akan tetapi pesta minum arak yang menggirangkan hatinya!

“Kau adalah orang yang paling berbahagia, Ceng Tek Hwesio, dan semoga kau masih panjang usia sehingga kelak kita dapat bertemu kembali,” jawab Cin Hai.

Keduanya lalu mengundurkan diri, berlari-lari menyusul rombongan Kam Hong Sin turun gunung.

Cin Hai dan kawan-kawannya lalu menghampiri Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin dan pemuda itu menjatuhkan diri berlutut lalu berkata, “Ji-wi Locianpwe yang mulia, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi serta kebaikan Locianpwe berdua yang telah dapat menyelesaikan persoalan ini dengan penuh kebijaksanaan. Terutama sekali kepada Swi Kiat Siansu Locianpwe, terima kasih atas pertolongan kepada teecu.” Cin Hai tadi telah mendengar dari Lin Lin akan pertolongan yang diberikan oleh kakek itu kepadanya.

Bukan main kagum dan senangnya hati kedua tokoh dari barat dan utara itu melihat sikap Cin Hai yang meski pun tingkat ilmu kepandaiannya tidak lebih rendah dari pada mereka, akan tetapi telah berani bersikap demikian sopan santun dan merendah. Swi Kiat Siansu mengangkat bangun kepadanya dan berkata,

“Sikapmu ini telah menjatuhkan hati kami, Pendekar Bodoh. Bukan kepandaian saja yang bisa menjatuhkan seseorang, akan tetapi sikap yang baik jauh lebih berpengaruh. Melihat sikapmu saja, kami dapat mengetahui bahwa permusuhan antara pihakmu dengan pihak Hai Kong, pihakmu yang berada di pihak benar. Sekarang maafkan kami. Tentang ilmu kepandaian, terus terang kunyatakan bahwa orang-orang selatan dan timur benar-benar pandai, tidak seperti kami yang menyembunyikan diri dan lupa untuk berlatih diri.”

“Kalian jangan terlalu merendah,” jawab Hok Peng Taisu. “Ilmu kipas dari Swi Kiat Siansu sungguh mengagumkan, sedangkan ilmu tongkat Pok Pok Sianjin benar-benar membuat aku merasa tunduk.” Setelah mengeluarkan ucapan-ucapan merendah, kedua kakek dari barat dan utara itu lalu berkelebat pergi.

Sedangkan Hok Peng Taisu lalu berkata, “Untung sekali bahwa persoalan ini dapat diselesaikan dengan mudah. Sekarang kalian pulanglah dan jauhkan diri dari segala persengketaan yang tak perlu. Ma Hoa kalau kelak kau melangsungkan pernikahanmu, jangan lupa mengundang aku untuk minum arak!” Setelah berkata demikian, kakek botak ini pun lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali.

Nelayan Cengeng tertawa bergelak karena girangnya dan air matanya mengalir keluar. “Ha-ha-ha! Memang yang benar selalu pasti menang! Sekarang segala hal sudah beres, dan aku pun ingin sekali segera menyaksikan kalian semua melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga yang bahagia!”

Cin Hai menyatakan bahwa dia bersama Lin Lin hendak bersembahyang dahulu di depan Goa Tengkorak sebagai penghormatan terakhir dan sebagai laporan kepada mendiang suhu-nya bahwa tugas sudah diselesaikan dengan baik. Setelah berjanji akan bertemu di Tiang-an dengan kawan-kawannya, sepasang teruna remaja ini dengan cepat lalu turun gunung.

Nelayan Cengeng tertawa girang. “Lebih cepat dilangsungkan pernikahan mereka dan pernikahan Ma Hoa, lebih baik lagi. Marilah kita langsung menuju ke Tiang-an. Dan Niocu hendak pergi ke manakah?” tanyanya kepada Ang I Niocu.

Dara Baju Merah itu tak dapat menjawab dan Ma Hoa tersenyum lalu menggoda sambil mengerling ke arah Lie Kong Sian. “Syarat-syarat telah dipenuhi semua, mau tunggu apa lagi? Lie-taihiap, kenapa kau diam saja?”

Lie Kong Sian maklum akan maksud kata-kata ini, biar pun ia merasa malu dan mukanya menjadi merah, akan tetapi karena ia berhati jujur dan polos, ia lalu berkata kepada Ang I Niocu, “Moi-moi, di depan kawan-kawan baik yang menjadi saksi, biar kuulangi lagi pinanganku yang dulu itu. Benar sebagaimana kata Nona Ma Hoa tadi, semua syarat-syaratmu telah terpenuhi. Sie-sute dan Nona Lin Lin telah bertemu kembali, Sute-ku Song Kun juga telah tewas, dan kita telah mendapat persetujuan dari mendiang Supek Bu Pun Su.”

Merahlah muka Ang I Niocu, melebihi merahnya warna bajunya! Sambil menundukkan kepalanya, ia pun berkata, “Dulu pernah kukatakan bahwa selain yang tiga itu, masih ada sebuah syarat lagi.”

“Apakah itu? Biarlah kawan-kawan menjadi saksi, aku akan memenuhi syarat ke empat ini, betapa pun beratnya!”

Ang I Niocu mengerling tajam. “Pantaskah diucapkan di sini?”

Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Niocu, di antara kawan sendiri, mengapa harus malu-malu? Atau, haruskah kami bertiga pergi dulu dari sini?”

Makin malu-lah Ang I Niocu mendengar ini. Ia menjadi serba salah, kemudian dia berkata perlahan, “Syarat yang ke empat adalah cita-citaku semenjak dulu, yaitu orang yang patut menjadi suamiku harus lebih dulu dapat menjatuhkan aku dalam sebuah pertandingan!”

Tercenganglah semua orang mendengar syarat ini, tidak terkecuali Lie Kong Sian. Akan tetapi, Lie Kong Sian dengan tenang-tenang saja lalu berkata, ”Baiklah apa bila demikian kehendakmu, terpaksa aku akan berusaha menjatuhkanmu!”

Ang I Niocu mencabut Liong-cu-kiamnya dan bersiap menghadapi tunangannya. Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng lalu mengundurkan diri dan berdiri agak jauh dari tempat yang akan dijadikan gelanggang pertempuran antara kedua orang itu.

“Cobalah kalau bisa!” kata Ang I Niocu dengan mata bersinar gembira dan bibir tersenyum manis. Sikapnya menantang sekali, karena dia merasa telah dapat mempermainkan Lie Kong Sian dan karena ia merasa bahwa nilai dirinya telah naik!

“Jagalah!” seru Lie Kong Sian sambil mencabut pedangnya pula lantas maju menyerang dengan hebat.

Sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat sekali hingga tubuh mereka seakan-akan menjadi satu gulungan warna merah dari baju Ang I Niocu dan warna biru dari baju Lie Kong Sian!

Diam-diam Lie Kong Sian menggunakan tangan kirinya melepaskan dua helai tali sutera warna hijau dan menggenggam tali itu pada tangannya. Kemudian, ketika pedang Ang I Niocu menyambar, dia sengaja memasang pundaknya untuk menerima tusukan itu!

Ang I Niocu terkejut sekali dan sambil menjerit ngeri ia miringkan pedangnya agar jangan sampai menusuk pundak Lie Kong Sian, tetapi terlambat! Pedangnya masih menggores bahu kanan Lie Kong Sian hingga bajunya robek dan mengalirlah darah dari bajunya.

Akan tetapi Lie Kong Sian yang memang sengaja melakukan hal ini, mempergunakan kesempatan selagi Ang I Niocu terkejut dan menyesal, tangan kirinya bergerak cepat dan tahu-tahu sutera hijau itu telah melayang dan melibat kedua tangan Ang I Niocu yang terus dibetotnya dan sekali dia menggerakkan tangan kiri lagi, tali sutera ke dua langsung melayang dan membelit pergelangan kaki gadis itu!

Beberapa kali dia menggerakkan tangan dan tali-tali itu sudah mengikat kedua kaki dan kedua tangan Ang I Niocu dengan kencang, sedangkan pedang Liong-cu-kiam juga telah terampas oleh Lie Kong Sian! Tubuh Ang I Niocu terguling dan kini dia rebah setengah duduk di atas tanah dengan kaki tangan terbelenggu!

Ia menjadi bingung sekali dan berkata, “Lepaskan aku, lepaskan!”

Akan tetapi Lie Kong Sian hanya berdiri bertolak pinggang sambil memandang dengan tersenyum!

“Lepaskan... lepaskan aku...!” Ang I Niocu berkata lagi dan ia hampir saja menangis.

Dia meronta-ronta dan mengerahkan tenaga lweekang-nya untuk dapat melepaskan diri dari pada belenggu itu. Akan tetapi tali sutera itu terbuat dari pada bahan yang tidak saja kuat dan ulet sekali, akan tetapi juga mempunyai sifat lunak dan dapat mulur sehingga tenaga lweekang-nya tiada berguna!

Terdengar suara tawa bergelak-gelak dari Nelayan Cengeng yang segera menghampiri Ang I Niocu. Juga Kwee An dan Ma Hoa menghampirinya sambil tertawa-tawa.

“Lo-enghiong, Kwee An, Ma Hoa! Lekas lepaskan aku...!” kata Ang I Niocu dengan suara memohon karena Dara Baju Merah ini merasa malu sekali.

“Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng tertawa geli hingga air matanya mengalir keluar di sekujur pipinya. “Mempelai wanita sudah tertawan...! Ha-ha-ha!” Kakek ini dengan gelinya tertawa gembira dan sama sekali tak mau menolong Ang I Niocu.

“Kwee An, tolonglah aku!” kata Ang I Niocu.

Sambil mengangkat jari telujuknya, Kwee An berkata, “Niocu, kini kau sudah mendapat bukti akan kelihaian calon suamimu! Tidak boleh seorang calon isteri menantang suami, inilah jadinya!” Dia menggoda sambil tersenyum.

“Ma Hoa, benar-benarkah kau tak mau menolongku membuka belenggu ini?” Ang I Niocu menengok kepada Ma Hoa.

Akan tetapi gadis itu yang kini telah menyanggul rambutnya atas permintaan Kwee An sebagai ‘pembayaran kaul’ karena musuh-musuh telah dapat ditewaskan dan dikalahkan semua, hanya tertawa saja, bahkan kemudian bertepuk tangan gembira sambil bernyanyi menggoda, “Mempelai perempuan telah tertawan! Masuk perangkap mempelai pria!”

Berkali-kali Ma Hoa bernyanyi sambil bertepuk tangan hingga Ang I Niocu menjadi makin jengah dan malu.

“Adik Hoa, awas! Bila sampai terbuka ikatan tanganku, akan kucubit bibirmu yang nakal. Hayo lepaskan aku!” kata Ang I Niocu.

Akan tetapi dengan sikap nakal dan menggoda, Ma Hoa berkata, “Enci Im Giok, yang mengikat kaki tanganmu bukanlah aku. Mengapa aku yang harus membukanya? Mintalah kepada orang yang melakukannya!”

Lie Kong Sian menghampiri Ang I Niocu dengan senyum di bibir. “Bagaimana, Moi-moi, sudah takluk kau kepadaku kini?”

Ang I Niocu tak dapat menjawab, hanya meronta-ronta sambil berkata, “Lepaskan... lepaskan!”

Lie Kong Sian menjura kepada Nelayan Cengeng, juga kepada Kwee An dan Ma Hoa sambil berkata, “Maafkan, kami hendak pergi dahulu, kembali ke pulau tempat kediaman kami. Kelak, apa bila dilangsungkan pernikahan antara Saudara Kwee An dan Nona Ma Hoa, juga antara Sie-sute dan Sumoi Lin Lin, kami tentu akan hadir!”

Setelah berkata demikian, tanpa melepaskan ikatan kaki tangan Ang I Niocu, pemuda itu lalu membungkuk dan memondong tubuh kekasihnya itu dan membawanya berlari cepat bagaikan terbang, menuju ke pulaunya yang indah yang merupakan sarang bahagia bagi dia dan calon isterinya.

Nelayan Cengeng, Kwee An, serta Ma Hoa merasa girang dan juga terharu sekali dapat menyaksikan kebahagiaan orang muda itu. Bahkan Ma Hoa sampai menitikkan air mata sambil berkata, “Syukurlah, kalau Enci Im Giok berbahagia. Dia orang berbudi mulia...”

Kemudian mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Tiang-an untuk menanti datangnya Cin Hai dan Lin Lin di Tiang-an. Tak lama kemudian, datanglah Cin Hai dan Lin Lin membawa tiga ekor burung sakti, dan sebulan kemudian dilangsungkanlah perkawinan yang meriah antara Kwee An dengan Ma Hoa, dan Cin Hai dengan Lin Lin.

Selain Ang I Niocu dan Lie Kong Sian yang sudah menjadi suami isteri, hadir pula banyak tokoh persilatan dari seluruh penjuru dunia, dan di antaranya yang hadir adalah Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu, Eng Yang Cu, Giok Gan Kui-bo, Sie Lok dan Sie Kiong kedua paman Cin Hai, dan banyak orang lagi.

Yousuf juga datang dan orang Turki ini selanjutnya tinggal bersama Cin Hai dan Lin Lin, menikmati kebahagiaan hidup sebagai ayah angkat yang dikasihi dan dihormat.

Perkawinan diberkahi oleh Kwee Tiong sebagai seorang hwesio yang mengucapkan doa sambil mengalirkan air mata oleh karena merasa bahagia melihat kedua adiknya, Kwee An dan Lin Lin, melangsungkan upacara pernikahan dengan bahagia.

Yang sangat menggembirakan hati kedua pasang mempelai itu ialah datangnya Sanoko, kepala suku Haimi itu, bersama Meilani dan suaminya Manoko, dan juga Kam Hong Sin, panglima yang dulu pernah menjadi lawan, datang menghadiri pesta pernikahan itu dan melupakan segala permusuhan yang telah lalu.

Setelah upacara pernikahan selesai, Ang I Niocu bersama suaminya kembali ke Pulau Pek-le-to dimana mereka hidup penuh kebahagiaan, jauh dari dunia ramai, dikawani oleh Rajawali Sakti yang diberikan oleh Lin Lin kepada mereka. Juga Kwee An bersama isterinya dan Cin Hai dengan Lin Lin, hidup penuh kebahagiaan, masing-masing didampingi oleh Nelayan Cengeng dan Yousuf yang merupakan ayah angkat bagi Ma Hoa dan Lin Lin.

T A M A T

BERIKUTNYA SERI KE-4 SERIAL PENDEKAR SAKTI (BU PUN SU)
  PENDEKAR REMAJA

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.