Pendekar Bodoh adalah seri ke tiga dari Serial Pendekar Sakti (Bu Pun Su). Pendekar Bodoh merupakan lanjutan langsung dari kisah Ang I Niocu (Dara Baju Merah)
Di sebelah barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat sebuah kuil tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu tidak karuan lagi.
Tapi huruf-huruf yang ditulis pada dinding dan bermaksud sebagai puja-puji kepada dewata berbunyi ‘Lam Bu O Mi To Hud’ masih dapat terbaca, demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang pada depan pintu luar dan berbunyi ‘Ban Hok Tong’ atau ‘Kuil Selaksa Rejeki’.
Pada siang hari yang sunyi itu terdengar suara orang mengajar ilmu membaca dari dalam bio dan kadang-kadang terdengar suara pendeta membaca liamkeng (doa). Karena suara liamkeng pendeta bukan merupakan hal aneh lagi.
Maka yang menarik perhatian adalah suara guru sastera yang tinggi parau itu, dan kadang-kadang dijawab oleh suara seorang kanak-kanak yang nyaring dan bening.
“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!” terdengar penuh kegemasan dan tidak sabar.
“Tahu, tahu...,” suara anak kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di empat penjuru samudera, semua adalah saudara!”
“Bagus! Tapi, tahukah kau siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”
“Siapa, Sianseng (Pak Guru)? Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara,” terdengar jawab ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.
“Bodoh! Yang dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang berdasar kekeluargaan, tapi adalah rasa persaudaraan berdasarkan peri kemanusiaan, tahu?”
Suara anak itu menandakan bahwa ia masih amat kecil, mana mungkin ia bisa menikmati ‘makanan rohani’ yang berat ini. Maka terdengar jawabannya yang takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak mengerti, Sianseng.”
“Memang kau tolol, bodoh, dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa dengan mulut saja, harus dengan tangan. Nah, kau rasakan ini supaya mengerti!”
Lalu terdengarlah suara tamparan, akan tetapi sedikit pun tidak terdengar pekik kesakitan walau pun kalau orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun telah ditampar sampai merah pipinya. Anak itu hanya menggigit bibirnya...