Pendekar Remaja
Karya Kho Ping Hoo
JILID 02
SUNGGUH amat baik nasibnya pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu turun tangan, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja dia tahu siapa adanya orang ini, tentu dia akan menjadi ketakutan sekali, dan untungnya orang itu tidak menyebut namanya.
Orang berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah terkenal di segenap penjuru, karena di samping ilmu kepandaiannya amat tinggi juga Lo Sian terkenal sebagai pendekar pembasmi kejahatan. Pendekar yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebenarnya adalah salah seorang tokoh dari Thian-san-pai, yang sedang turun gunung berbareng dengan seorang suheng-nya (kakak seperguruannya).
Kakak seperguruannya juga selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan jika pakaian Lo Sian masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen. Suheng-nya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)!
Julukan ini diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang laksana iblis mengamuk apa bila dia menghadapi orang-orang jahat. Di dalam memusuhi orang-orang jahat, Nyo Tiang Le memang bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka semua orang menjadi ngeri dan jeri melihatnya sehingga dia diberi julukan Pengemis Iblis!
Secara kebetulan sekali Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan makan di restoran itu sehingga dia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguh pun dia telah memiliki pengalaman yang luas dan mengenal hampir semua orang gagah di kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari Turki itu.
Akan tetapi ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, dia merasa heran dan memandang juga. Dia merasa heran mengapa anak itu tidak mau makan, sedangkan melihat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia pun merasa heran melihat wajah laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam dia mulai menaruh perhatian, sungguh pun dia hanya memandang dengan kerling matanya saja.
Alangkah terkejutnya hati Lo Sian ketika kemudian dia melihat betapa laki-laki brewok itu menepuk-nepuk pundak anak perempuan itu kemudian tiba-tiba dia menotok jalan darah Koan-goan-hiat anak itu! Ia merasa kaget bukan main karena totokan itu dapat membuat anak itu tewas seketika, atau setidaknya mendatangkan rasa sakit yang hebatnya luar biasa!
Gilakah Si Brewok itu? Mengapa ada orang memperlakukan anak sendiri semacam itu? Lo Sian memandang tajam dan hampir saja dia bertindak untuk memberi hajaran kepada orang kejam ini, kalau saja pada saat itu Bouw Hun Ti tidak sudah melepaskan Lili dari pengaruh totokannya kembali.
Jelas kelihatan oleh Lo Sian betapa anak perempuan itu menahan sakit dan biar pun air mata anak itu bercucuran, akan tetapi tidak sedikit pun suara isak keluar dari mulutnya. Ia berdebar deras karena kini ia menduga bahwa anak perempuan ini tentu telah ditotok urat gagunya yang membuatnya sama sekali tidak dapat mengeluarkan suara. Hatinya mulai menaruh curiga kepada orang brewok itu dan dia menduga bahwa orang ini tentu seorang penculik anak kecil. Lo Sian mulai bersiap untuk menyelidiki perkara ini dan jika perlu menolong anak itu.
Akan tetapi pada saat itu terjadilah hal lain yang cukup meributkan. Orang melihat betapa Bouw Hun Ti tiba-tiba saja melemparkan daging yang sedang dikunyahnya ke atas lantai sambil menyumpah-nyumpah.
“Bangsat dan penipu belaka pemilik rumah makan ini!” Ia menyumpah-nyumpah sambil memegang pipinya.
Sesungguhnya, tanpa disengaja, Bouw Hun Ti yang mempunyai penyakit gigi, kena gigit sepotong tulang kecil yang bersembunyi di dalam daging sehingga sakitnya bukan main dan membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut serasa mau pecah. Siapa yang pernah menderita sakit gigi tentu akan dapat membayangkan rasa sakit yang diderita oleh Bouw Hun Ti pada saat itu.
Penyakit ini memang paling jahat dan berbahaya karena membuat orang naik darah dan terutama sekali Bouw Hun Ti yang berwatak buruk itu, tiba-tiba menjadi marah sekali. Ia lantas memegang mangkok tempat masakan itu dan membantingnya ke lantai sehingga hancur berkeping-keping!
Pelayan yang tadi menghina Lo Sian adalah pelayan kepala dan dia memang terkenal beradat keras serta sombong. Tadi dia sudah ‘kecele’ oleh Lo Sian sehingga sedikitnya kesombongannya tersinggung, maka hal itu membuat dia merasa malu dan mendongkol. Kini naiklah darahnya melihat ada orang yang membuat ribut.
Dengan langkah lebar dia menghampiri lalu membentak, “Orang kasar dari manakah yang berani mengacau di rumah makan kami? Mengapa kau memaki-maki dan merusak barang kami? Kau harus mengganti harganya!”
Pelayan itu memang sedang sial dan ia benar-benar mencari penyakit sendiri. Bouw Hun Ti yang sedang menderita sakit gigi dan sedang marah-marah itu seperti api yang mulai menyala, kini seakan-akan api itu disiram pula dengan minyak hingga makin berkobar. Ia lalu bangkit berdiri dengan perlahan dan kedua matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat pelayan itu.
“Apa katamu tadi...?” katanya perlahan dengan muka merah. “Kau sudah menipu orang, menjual daging liat dan tulang, masih tidak mau mengaku salah bahkan berani memaki aku?”
“Siapa bilang kami menjual daging liat dan tulang? Barangkali gigimu yang telah ompong sehingga tak kuat mengunyah daging!” pelayan itu tidak mau kalah dan beberapa orang terdengar tertawa mendengar ucapan ini.
Diam-diam Lo Sian memandang dengan penuh perhatian dan hati tertarik. Ia tahu bahwa pelayan itu terlalu sombong dan akan mengalami celaka. Benar saja, tiba-tiba Bouw Hun Ti yang mendengar ucapan ini lalu membungkuk dan mengambil sekerat daging yang tadi dilemparnya, kemudian sekali dia mengayun tangan, daging itu melayang dan tepat menotok jalan darah di dadanya.
Pelayan itu segera menjerit keras, lantas roboh dan bergulingan sambil berteriak-teriak, “Aduh...! Mati aku...! Aduh...! Aduh...!”
Gegerlah semua tamu dan pelayan yang ada di situ. Dua orang pelayan yang bertubuh tinggi besar melangkah maju.
“Bangsat kurang ajar! Kau berani memukul orang?”
Dua orang pelayan itu juga mencari penyakit, pikir Lo Sian yang menonton keributan itu sambil tersenyum simpul. Akan tetapi dua orang pelayan yang hanya memiliki tenaga besar karena tiap hari dilatih mencacah bakso, tidak dapat melihat bahwa Bouw Hun Ti memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Karena itu, dengan kepalan tangan mereka lalu menyerang hebat untuk memberi hajaran kepada Si Brewok itu. Akan tetapi, Bouw Hun Ti sama sekali tidak pedulikan datangnya pukulan kedua orang itu, bahkan lalu maju menyambut dengan kedua tangan terulur maju merupakan cengkeraman garuda.
“Bukk! Bukk!”
Dua pukulan itu tepat mengenai dada dan pundak Bouw Hun Ti, akan tetapi aneh sekali. Si Brewok itu seakan-akan tidak merasa sama sekali, sebaliknya dua orang pelayan itu memekik kesakitan dan memandang tangan mereka yang kini menjadi bengkak dan biru setelah memukul tubuh yang mereka rasakan keras seperti besi itu!
Sementara itu, cengkeraman tangan Si Brewok sudah mencapai sasaran, yakni rambut kedua orang pelayan itu. Ketika Bouw Hun Ti mengangkat kedua lengannya maka tubuh dua orang itu terangkat ke atas dan Bouw Hun Ti lalu menggerakkan kedua tangannya, membenturkan kepala dua orang itu satu kepada yang lain.
“Dukk!”
Ketika Bouw Hun Ti melepaskan tangannya, dua orang pelayan itu roboh dengan tubuh lemas dan pingsan serta kepala mereka yang saling bertumbuk tadi pecah kulitnya dan mengeluarkan darah! Masih untung bagi mereka bahwa Bouw Hun Ti tak menggunakan seluruh tenaganya, karena kalau Si Brewok mau, dua butir kepala itu pasti akan menjadi pecah dan nyawa mereka berdua akan melayang!
Pada saat itu dari luar pintu terdengarlah bentakan keras dengan suara yang parau, “Jago dari manakah memperlihatkan kegagahan di sini?” Bentakan ini disusul masuknya seorang laki-laki berpakaian mewah dan bertubuh tinggi besar bermuka hitam.
Inilah Tiat-tauw-ciang (Si Kepala Besi) yang bernama Thio Seng, seorang yang terkenal sebagai jago di dusun itu. Thio Seng tidak saja mempunyai kepandaian silat yang tinggi, akan tetapi dia juga terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Selain mempunyai banyak tanah, juga rumah makan itu adalah miliknya. Pengaruhnya sangat besar dan agaknya pengaruhnya ini yang membuat para pelayannya berwatak sombong.
Pada waktu terjadi pertempuran di rumah makan itu, kebetulan sekali Thio Seng sedang berada di luar rumah makan, maka dia langsung mendengar dari para pelayan tentang mengamuknya seorang tamu. Dengan marah dia lalu masuk ke dalam rumah makannya dan membentak Bouw Hun Ti.
Ketika melihat seorang tinggi besar bermuka hitam memasuki pintu rumah makan, Bouw Hun Ti yang masih marah itu bertanya dengan suara kasar, “Muka Hitam, siapakah kau dan mau apa?”
Thio Seng dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu silat, maka dia menjawab sambil mengangkat dada, “Akulah yang disebut Tiat-tauw-ciang Thio Seng dan pemilik rumah makan ini!” Dengan ucapan ini Thio Seng menduga bahwa orang itu tentu sudah mendengar namanya dan akan minta maaf menyatakan tidak tahu bahwa restoran itu miliknya.
Akan tetapi, selama hidupnya Bouw Hun Ti belum pernah mendengar nama ini, maka dia menjawab, “Tidak peduli pemilik rumah ini bernama kepala besi atau pun kepala udang, orang telah melakukan penipuan di dalam rumah makan ini! Daging keras dan busuk tapi dijual!”
Marahlah Thio Seng mendengar ini. “Eh, kau sombong sekali, sobat! Siapakah kau yang tidak tahu aturan ini?”
“Siapa adanya aku bukan urusanmu! Dan jangan kau menghadang di jalan, aku hendak pergi!” Sambil berkata begini, Bouw Hun Ti memegang tangan Lili dan hendak menarik gadis cilik itu keluar dari sana.
Akan tetapi Thio Seng berdiri sambil bertolak pinggang dan berkata, “Hemm, sabar dulu, sobat! Kalau kau tidak mengganti kerusakan ini dan memberi uang obat kepada pelayan-pelayanku serta berlutut minta ampun kepada Tiat-tauw-ciang, kau jangan harap bisa keluar dari sini!” Sambil berkata demikian, Thio Seng membuka jubah dan topinya, dan kini nampaklah kepalanya yang licin tidak berambut di bagian muka dan tengah, mengkilap bagaikan digosok dengan minyak.
Inilah kepalanya yang sangat ditakuti orang, karena dengan kepala ini, Thio Seng pernah mengalahkan banyak jago silat, bahkan pernah pula berdemonstrasi membentur dinding dengan kepalanya sehingga dinding bata yang tebal itu menjadi pecah!
Mendengar ucapan orang she Thio itu, Bouw Hun Ti tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia segera melepaskan tangan Lili dan melangkah maju sambil menendang meja kursi yang berada di dekatnya untuk mencari ruang yang lebih lebar.
“Kau mau melakukan kekerasan? Baik, agaknya kau ingin pula dihajar!”
“Rasakan pukulanku!” Thio Seng berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan.
Melihat gerakan yang keras dan cepat itu, Lo Sian yang masih duduk di sudut diam-diam memuji dan maklum bahwa Si Muka Hitam yang kasar ini memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Akan tetapi, dia merasa terkejut dan kagum ketika melihat gerakan Bouw Hun Ti. Ketika pukulan Thio Seng itu telah menyambar dekat dengan dadanya, mendadak Bouw Hun Ti segera melembungkan dadanya tanpa menangkis sedikit pun. Padahal melihat kerasnya pukulan, Lo Sian maklum bahwa hal itu amat berbahaya.
“Bukkk!”
Terdengar suara keras saat pukulan itu tepat menghantam dada, akan tetapi aneh sekali. Bukan Bouw Hun Ti yang roboh, bahkan tubuh Thio Seng yang terjengkang ke belakang seakan-akan dia baru saja terdorong oleh tenaga amat besar!
Lo Sian terkejut benar-benar karena sesungguhnya tak pernah disangkanya orang yang brewok itu memiliki lweekang yang demikian tingginya! Sungguh seorang yang memiliki kepandaian tinggi, lawan yang amat tangguh, pikirnya.
Oleh karena itu, maka maksudnya hendak menolong anak perempuan itu dipikirnya lagi masak-masak. Dia harus menggunakan siasat untuk menolong anak itu, karena dengan jalan kekerasan, belum tentu dia akan dapat menangkan Si Brewok itu.
Sementara itu, Thio Seng yang barusan memukul, merasa terkejut dan marah karena dia merasa seakan-akan memukul karet. Biar pun tangannya tidak menjadi bengkak seperti tangan pelayannya ketika tadi memukul Bouw Hun Ti, akan tetapi dia sudah terpental ke belakang oleh kehebatan tenaga lawan. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka Thio Seng lalu mengambil jalan pendek dan nekat.
“Bangsat rendah, awas serangan balasanku!” serunya dan tubuhnya lantas membungkuk dengan kepala di depan dan matanya melirik tajam bagaikan laku seekor kerbau jantan yang hendak menyerang.
“Hemm, majulah, hendak kurasakan betapa empuknya kepala tahumu!” kata Bouw Hun Ti sambil memasang perutnya ke depan!
Pada saat itu Lo Sian sudah mendapatkan akal untuk bertindak. Dia tadi melihat betapa dengan menggunakan sepotong daging Si Brewok itu dapat menyerang lawannya. Maka secara diam-diam dia lalu mengambil sekerat daging yang agak keras, kemudian setelah membidik dengan hati-hati, dia lalu menyambitkan daging itu ke arah leher Lili.
Anak ini sedang asyik menonton pertempuran dan selama tiga hari itu Lili tiada hentinya merasa heran serta marah kenapa ayah dan ibunya, juga kakeknya, tidak mengejar dan memberi hajaran kepada penculiknya ini!
Tadi ketika melihat para pelayan menyerang Bouw Hun Ti, ia mengharap agar Bouw Hun Ti akan kalah dan binasa. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat bahwa para pelayan yang hanya pandai berlagak itu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Si Brewok yang amat dibencinya itu. Pengharapannya menipis dan kemudian anak ini merasa putus asa, bahkan kini dia merasa menyesal kepada ayah ibu serta kakeknya yang tidak juga muncul untuk menolongnya!
Ketika daging yang disambitkan oleh Lo Sian dengan tepat mengenai lehernya sehingga tiba-tiba dia merasa betapa kekakuan leher dan lidahnya lenyap, yang dapat dia serukan hanya jeritan, “Ayah... Ibu... tolong...!”
Pada saat itu, Bouw Hun Ti tengah menghadapi Thio Seng yang hendak menyerangnya dengan kepala. Bukan main kagetnya mendengar suara Lili karena dia tahu betul bahwa anak itu sudah ditotok jalan darahnya. Dengan heran Bouw Hun Ti menengok dan pada saat itu pula, Thio Seng sudah menyeruduk maju, menyerang perut Bouw Hun Ti dengan kepalanya yang botak licin!
Tadinya Bouw Hun Ti tidak bermaksud membunuh pemilik rumah makan ini dan hanya hendak mempermainkannya. Akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang menengok sehingga keadaannya amat berbahaya, ketika ia merasa betapa angin serudukan kepala dari Si Muka Hitam itu sedemikian kuatnya dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindarkan diri, ia lalu mengerahkan sinkang-nya dan...
“Ceppp!”
Kepala Thio Seng menancap pada perutnya laksana anak panah menancap pada batang pohon! Memang betul-betul luar biasa karena kini tubuh Thio Seng menjadi kaku, kepala menancap di perut Bouw Hun Ti dan kakinya terangkat lurus ke belakang!
Dengan sinkang-nya yang benar-benar luar biasa sekali Bouw Hun Ti sudah menyedot perutnya sehingga rongga perutnya menjadi kosong, lantas pada waktu kepala lawannya menyeruduk perutnya dia segera menggunakan tenaga lweekang untuk menggencet dan menolak tenaga serudukan itu!
Ketika Bouw Hun Ti melembungkan perutnya lagi, tubuh Thio Seng terlempar dan roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Ternyata bahwa penolakan tenaga dari perut Bouw Hun Ti sudah membuat tenaga serudukan Thio Seng balik menyerang kepalanya sendiri sehingga dia mendapat luka di dalam kepala dan tewas pada saat itu juga!
Melihat hal yang mengerikan ini, segera ributlah keadaan di situ. Dan ketika Bouw Hun Ti menengok untuk membawa pergi Lili, dia melihat anak itu sudah dipondong oleh seorang laki-laki berpakaian tambal-tambalan!
“Lepaskan anak itu!” seru Bouw Hun Ti dan tangannya diulur ke depan sedangkan kedua kakinya melompat dalam serbuan itu.
Lo Sian melihat tangan Si Brewok menyambar ke jalan darah Tai-twi-hiat, maka dia cepat mengangkat tangan kirinya menangkis. Dua tangan orang-orang yang berilmu tinggi dan ahli lweekeh bertemu dengan keras dan Lo Sian terpental ke belakang! Untung ia berlaku waspada dan hanya terhuyung-huyung saja tidak sampai roboh, sedangkan Bouw Hun Ti juga melangkah mundur dua langkah.
Bukan main marahnya Bouw Hun Ti, dan berbareng dia juga merasa terkejut karena tak pernah disangkanya di tempat itu ia akan bertemu dengan seorang yang memiliki tenaga lweekang demikian tingginya.
“Bangsat rendah kau ingin mampus!”
Dan dia lalu bergerak maju kembali untuk melakukan serangan. Akan tetapi, para pelayan bersama beberapa orang kaki tangan Thio Seng yang melihat betapa Thio Seng telah terbunuh oleh orang brewok itu menjadi marah dan kini serentak maju menyerang dengan senjata di tangan. Hal ini membuat Bouw Hun Ti terpaksa harus menunda niatnya menyerang Lo Sian, dan sebaliknya dia segera memutar tubuhnya dan menghadapi para penyerangnya.
Bukan main ributnya pertempuran itu, karena biar pun Bouw Hun Ti tidak menggunakan senjata, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak, pedang dan golok beterbangan dan tubuh para pengeroyoknya jatuh tumpang tindih dan malang melintang! Jangan kata sampai kena pukulan dan tendangan Bouw Hun Ti, baru keserempet sedikit saja sudah membuat para pengeroyok itu bergulingan jatuh tak dapat bangun pula!
Tentu saja kehebatan sepak terjang Si Brewok ini membuat pengeroyok lainnya menjadi terkejut dan gentar hingga mereka merasa ragu-ragu untuk maju menyerang. Bouw Hun Ti cepat menengok, akan tetapi dia tidak melihat lagi pengemis berbaju tambalan yang tadi memondong Lili.
“Kau hendak lari ke mana?!” dia berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang melewati kepala para pengeroyoknya yang berdiri melongo di depan pintu!
Bouw Hun Ti melompat naik ke atas genteng memandang ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya orang yang sudah merampas anak itu. Bukan main marah dan mendongkol hatinya, tapi kepada siapakah dia harus melampiaskan rasa marahnya? Dia melompat turun lagi dan ketika dia melihat salah seorang di antara para pelayan itu memegang tali kudanya, dia cepat menyambar dengan tendangannya.
Pelayan yang bermaksud menahan kudanya itu menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar jauh, jatuh di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa pula! Untuk melampiaskan rasa kedongkolan hatinya karena Lili dirampas orang, Bouw Hun Ti telah membunuh seorang lagi!
Ia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat menuju ke barat, dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menyusul orang yang membawa lari anak kecil tawanannya itu. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Lo Sian, Si Pengemis Sakti itu, tidak membawa lari Lili ke barat, melainkan ke selatan!
Lo Sian lalu membawa Lili bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng tua yang terdapat di sebelah selatan dusun itu. Ia menurunkan Lili yang semenjak tadi meronta-ronta dalam pondongannya dan ketika diturunkan, Lili langsung melompat dan menyerangnya dengan pukulan kedua tangannya!
Lo Sian berseru terheran-heran. Bukan saja dia merasa heran mengapa anak ini begitu dilepaskan lalu tiba-tiba menyerangnya dengan marah, akan tetapi ia juga merasa heran melihat bahwa gerakan serangan anak kecil ini sangat indah dan baik sekali, merupakan tipu pukulan dari ilmu silat yang bermutu tinggi!
Ia mengelak cepat dan berkata, “Eh, ehh, anak baik, mengapa kau menyerang aku?”
Akan tetapi, tanpa berkata sesuatu apa pun, Lili terus menyerangnya dengan membabi buta, menggerakkan kedua tangan, bahkan mengirim tendangan dengan kakinya! Dalam keheranannya, Lo Sian menjadi gembira dan ingin melihat sampai di mana kepandaian anak ini dan ilmu silatnya dari cabang mana, maka dia tetap mengelak ke sana ke mari dengan cepatnya.
Makin lama makin terheranlah dia pada saat mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh Lili untuk menyerangnya, benar-benar merupakan ilmu pukulan yang luar biasa sekali gerak-geriknya dan yang sama sekali belum pernah dilihatnya! Dia paham dengan ilmu silat cabang-cabang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Gobi-pai dan lain-lainnya, akan tetapi ilmu silat anak kecil ini benar-benar belum pernah dilihatnya dan yang harus diakui amat hebat! Kalau ia tidak memiliki gerakan yang cepat, tentu ia telah kena terpukul, sungguh pun pukulan anak itu tentu saja tak akan mendatangkan bahaya apa pun terhadap tubuhnya.
Dia lalu mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan Lili, lalu merangkul anak itu. “Anak yang baik, dengarlah. Aku bukan orang jahat!”
“Kau juga penculik!” tiba-tiba Lili berseru keras dan sepasang mata yang indah bening itu memandang tajam dan marah, bibirnya dikatupkan keras-keras.
Makin tertariklah hati Lo Sian melihat anak ini. Dia dapat menduga bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, dan ia kagum sekali menyaksikan keberanian dan kekerasan hati anak ini.
“Bukan, bukan, anakku! Mungkin kau masih dipengaruhi oleh Si Brewok yang kejam tadi! Dia memang orang jahat dan aku menolongmu dan merampasmu dari tangannya!”
Lili memang cerdik dan setelah kini terbuka matanya dan tahu pula bahwa orang berbaju tambalan ini selain mempunyai wajah yang sabar dan baik juga kata-katanya tak sekasar dan seganas Si Brewok tadi, maka tiba-tiba saja dia menangis tersedu-sedu!
Lo Sian menarik napas panjang dan mengelus-elus kepala anak itu. “Kasihan, anak yang baik. Kau siapakah dan anak siapa serta bagaimana pula sampai terjatuh ke dalam tangan penculik jahat itu?”
Lili masih merasa gemas kepada ayah ibunya yang sampai saat itu belum juga datang menyusul dan menolongnya. Karena ia masih kecil, maka ia tidak dapat berpikir jauh dan tidak tahu bahwa kedua orang tuanya tidak mungkin dapat menyusulnya dengan mudah karena tidak tahu ke mana ia dibawa pergi. Yang ia ketahui hanyalah ayah ibunya belum muncul dan dalam anggapannya, ayah ibunya itu seolah-olah membiarkan saja ia dibawa pergi oleh penculik jahat tadi!
Penderitaan-penderitaan yang dia alami selama tiga hari itu memang benar-benar hebat. Seorang anak kecil seperti dia, baru berusia delapan tahun, sudah dibawa lari seorang kejam seperti Bouw Hun Ti, lalu mengalami kekagetan, kelaparan, bahkan selalu berada dalam pengaruh totokan yang membuatnya gagu, dan tadi malah dia telah ditotok hingga merasakan kesakitan yang luar biasa.
Tentu saja dia merasa marah dan sakit hati mengapa ayah ibunya membiarkan saja dia menderita sehebat itu! Sekarang dia telah tertolong oleh seorang lain, tentu saja segala simpatinya tercurah kepada orang ini dan ada waktu dia melihat orang itu mengelus-elus kepalanya dan memandangnya penuh rasa terharu dan sayang, tiba-tiba dia memeluk Lo Sian dan menangis di atas dada pengemis sakti itu!
“Anakku sayang, sudahlah jangan menangis. Si jahat itu telah pergi dan kau tidak akan tersiksa lagi. Percayalah, dengan adanya aku di sini, tidak akan ada orang yang berani mengganggumu. Aku bernama Lo Sian dan kau boleh menyebutku Lo-pekhu. Siapakah namamu?” Lo Sian mengulang pertanyaannya.
Di dalam pelukan Lo Sian, Lili teringat kepada kakeknya, karena di samping ayah ibunya, orang yang mengasihinya hanyalah kakeknya itulah, karena ini ia seakan-akan mendapat pengganti kakeknya dalam diri Lo Sian ini.
“Namaku Lili,” jawabnya tanpa mengangkat muka dari dada Pengemis Sakti itu.
“Nama yang bagus!” kata Lo Sian. “Dan siapa Ayah Ibumu?”
Mendadak Lili mengerutkan alisnya dan dia memandang dengan marah kepada Lo Sian. Bibirnya yang manis itu cemberut, sedangkan matanya yang masih basah oleh air mata itu menyinarkan cahaya tajam yang membuat Lo Sian memandang makin kagum saja.
“Ayah ibuku tidak mau menolongku! Jangan kau tanyakan nama mereka!” Ia benar-benar marah dan mengepal tinjunya!
Lo Sian tersenyum. Alangkah pemarah dan galaknya anak ini, pikirnya. Akan tetapi, di dalam kemarahannya, anak ini benar-benar kelihatan gagah dan bersemangat. Tentu dia anak seorang pendekar, pikirnya.
“Baiklah, kalau kau tidak mau memberitahukan nama Ayah Ibumu, sedikitnya kau mau memberitahukan she-mu dan di mana pula kau tinggal.”
Lili tahu bahwa ayahnya bernama Sie Cin Hai dan ibunya bernama Kwee Lin, akan tetapi karena tadi dia sudah berkata tak hendak memberitahukan nama ayah ibunya, maka dia pun tidak mau memakai she (nama keturunan) mereka. Ia teringat akan nama kakeknya, maka ia menjawab,
“Aku she Yo dan di mana tempatku, aku tidak mau bilang karena aku tidak mau pulang!”
“Eh, ehh, kenapa tidak mau pulang? Ayah ibumu tentu akan mencari-carimu. Katakanlah di mana tempat tinggalmu agar aku dapat mengantar kau pulang ke rumah orang tuamu,” kata Lo Sian membujuk.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau pulang! Ayah dan Ibu tidak mau menolong dan mencariku, untuk apa aku pulang? Lopek, aku mau ikut kau saja!”
Lo Sian tersenyum. “Maukah kau menceritakan bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan penculik kejam tadi?”
“Dia datang dan mengejarku ketika aku sedang bermain-main di luar rumah, di kampung lain. Aku tidak tahu mengapa ia membenci dan menculik aku!”
Lo Sian menjadi makin bingung. Anak ini tidak mau memberitahukan siapa orang tuanya dan di mana rumahnya, bahkan tidak mau pulang. Malah pancingannya untuk mendapat keterangan secara jelas ternyata gagal, dan mengapa Si Brewok tadi menculik anak ini pun masih merupakan teka-teki baginya.
Yang dapat memberi keterangan hanyalah Si Brewok tadi. Akan tetapi ia maklum bahwa Si Brewok itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya, karena dari peraduan lengan tangan mereka tadi saja dia segera maklum bahwa tenaga lweekang orang itu masih lebih tinggi setingkat dari pada tenaganya sendiri!
“Anak yang baik, ilmu silatmu baik sekali. Dari siapakah kau belajar ilmu silat itu? Siapa yang melatihmu?”
“Yang mengajarku Ayah, Ibu, dan juga Kakekku!”
Terkejutlah Lo Sian mendengar ini. Dugaannya tidak salah. Anak ini datang dari keluarga pendekar. Tidak saja ayahnya yang dapat silat, bahkan ibu dan kakeknya agaknya juga orang-orang berkepandaian tinggi.
“Siapakah nama kakekmu, Lili?”
“Kakekku she Yo, namanya aku tidak tahu.”
Lo Sian mengangguk-angguk dan menduga bahwa kakek she Yo itu tentulah ayah dari bapak anak ini, kalau tidak demikian tentu anak ini tidak ber-she Yo pula.
“Di antara ketiga orang tua itu, siapakah yang terlihai ilmu silatnya?”
Dasar anak-anak, biar pun ia sedang marah kepada orang tuanya, akan tetapi tentu saja dia paling suka membanggakan kepandaian mereka, oleh karena itu tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab,
“Tentu saja Ayahku! Ke dua Ibu, dan ke tiga Kakek.”
“Kalau misalnya Ayahmu bisa menyusulmu, apa kau kira Ayahmu akan mampu menang melawan penculik tadi?”
Tiba-tiba saja Lili tertawa geli dan suara ketawanya demikian nyaring sehingga Lo Sian kembali melongo. Anak ini benar-benar aneh, begitu tiba-tiba dapat tertawa lagi seriang itu. Ia tidak tahu bahwa anak ini memang mempunyai sifat seperti ibunya, bahkan suara ketawanya juga merdu dan nyaring seperti suara ketawa ibunya.
“Tak usah Ayah sendiri maju, menghadapi Kakekku saja, dalam tiga jurus pasti dia akan dapat dirobohkan!”
Lo Sian tentu saja tak mau mempercayai omongan anak itu yang dianggapnya membual belaka. Akan tetapi menilik dari ilmu silat yang tadi dimainkan oleh Lili, ia percaya bahwa keluarga anak kecil ini tentu memiliki ilmu silat yang tinggi.
Maka, sambil mencari-cari orang tua serta tempat tinggal anak ini, untuk sementara dia hendak membawa anak ini bersama dia, membawanya merantau dan melatih silat, oleh karena dia memang belum mempunyai murid dan anak ini tak akan mengecewakan apa bila menjadi muridnya.
“Baiklah, Lili, kau boleh ikut padaku, dan maukah kau belajar silat padaku dan menjadi muridku?”
Dengan muka girang Lili lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata, “Tentu saja suka, Suhu (Guru)!”
Demikianlah, mulai hari itu juga, Lili menjadi murid Lo Sian dan ikut Pengemis Sakti ini merantau. Biar pun beberapa kali Lo Sian membujuknya, akan tetapi dia tetap tidak mau memberi tahukan nama orang tuanya atau tempat tinggalnya hingga Lo Sian melakukan perjalanan sambil mencari-cari secara diam-diam, karena sesungguhnya dia ingin sekali mempertemukan anak ini dengan kedua orang tuanya kembali.
Di kota Tiang-an, kota di sebelah kota raja terdapat sebuah rumah gedung kuno yang besar. Rumah ini dikenal sebagai tempat tinggal keluarga Kwee, yang dahulu ditinggali oleh Kwee-ciangkun (Perwira Kwee), seorang pembesar millter yang gagah perkasa.
Akan tetapi, kini rumah itu ditinggali oleh seorang putera dari mendiang Kwee-ciangkun yang bernama Kwee An. Bagi para pembaca yang pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu tahu bahwa Kwee An ini adalah kakak dari Kwee Lin atau Lin Lin yang menjadi nyonya Sie Cin Hai.
Kwee An memiliki ilmu silat yang tinggi, karena orang muda ini adalah murid tersayang dari jago tua Eng Yang Cu, seorang tosu tokoh dari Kim-san-pai yang termasyhur. Selain mendapat gemblengan ilmu silat dari tokoh Kim-san-pai ini, Kwee An pernah menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, bahkan pernah pula menerima gemblengan ilmu silat yang ganas dan aneh dari seorang penjahat besar yang bernama Hek Moko. Oleh karena itu, ilmu silat Kwee An amat tinggi dan namanya pun amat terkenal di kalangan kang-ouw.
Isteri dari Kwee An juga seorang puteri dari seorang pembesar kerajaan, dan isterinya ini bernama Ma Hoa, seorang wanita yang cantik manis. Dalam hal kepandaian ilmu silat, Ma Hoa ini tidak berada di sebelah bawah suaminya, karena selain mendapat pelajaran ilmu silat dari suhunya yang juga dianggap sebagai ayah angkat sendiri, yaitu Nelayan Cengeng, juga Ma Hoa pernah menerima pelajaran Ilmu Silat Bambu Runcing yang amat luar biasa dari Hok Peng Taisu, orang ajaib yang dianggap menjadi tokoh nomor satu dari daerah timur!
Saudara kandung dari Kwee An yang masih ada hanyalah Lin Lin yang kini tinggal bersama suaminya di Propinsi An-hui dan seorang kakak yang bernama Kwee Tiong dan yang kini hidup sebagai seorang hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah kelenteng kuno di luar tembok kota Tiang-an di sebelah barat.
Kwee An hanya mempunyai seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia sembilan tahun. Anak ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan. Goat berarti bulan dan Lan berarti bunga anggrek. Nama ini diberikan kepada anak itu oleh karena ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat bunga anggrek pada waktu terang bulan!
Dalam usia sembilan tahun, telah kelihatan bahwa kelak Goat Lan akan menjadi seorang gadis yang amat manis dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan dimanja sekali oleh kedua orang tuanya, maka dia menjadi nakal sekali.
Semenjak kecil dia telah mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, bahkan ia telah dapat mainkan sepasang bambu runcing seperti ibunya, sungguh pun permainannya baru merupakan ilmu silat kembangan belaka. Akan tetapi, anak ini memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun dia telah dapat melompat tinggi dan sering kali dia berlari di atas genteng atau melompat naik ke cabang pohon-pohon tinggi!
Yang mengherankan adalah kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga sering kali dua orang tuanya saling pandang dengan heran karena baik Kwee An mau pun Ma Hoa kurang suka mempelajari ilmu menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal mereka begitu tekun dan rajin mempelajari ilmu sastera?
“Agaknya ia telah mendapat warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!” pernah Kwee An berkata secara berkelakar kepada isterinya.
“Tidak mungkin!” bantah Ma Hoa. “Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita hampir tak mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari kakeknya sebab mendiang ayahku memang suka sekali akan kesusastraan.”
Memang anak itu sangat suka membaca buku-buku kesusastraan kuno serta sajak-sajak baru, dan selain itu ia pun amat suka melukis. Maka tidak heran apa bila Goat Lan suka sekali pergi ke Kelenteng Ban-hok-tong mengunjungi pekhu-nya, oleh karena Kwee Tiong memang semenjak menjadi hwesio, kesukaannya tiada lain hanya membaca kitab-kitab dan memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan.
Dari Kwee Tiong dia mendapat tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali dia datang ke kuil itu, selalu pekhu-nya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau mengajarnya sajak-sajak baru yang amat indah.
Kwee An maklum bahwa kakaknya yang telah menjadi hwesio itu amat sayang kepada Goat Lan, dan di dalam hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada kakaknya, maka untuk menghibur hati Kwee Tiong, dia membiarkan saja anaknya sering mengunjungi pekhu-nya itu, bahkan tidak jarang Goat Lan bermalam di kelenteng itu.
Dahulu Kelenteng Ban-hok-tong yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan ditinggalkan terlantar. Tapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang menjadi guru Kwee Tiong dalam pelajaran Agama Buddha, maka banyak sekali murid-muridnya yang menjadi hwesio.
Ketika Tong Kak Hosiang meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan pada Kwee Tiong, maka Ban-hok-tong telah mempunyai penghuni yang sangat banyak. Tidak kurang dari dua puluh lima orang hwesio tinggal di kelenteng itu di bawah pimpinan Kwee Tiong yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang amat setia.
Sesudah menjadi ketua kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh suhunya menjadi Tiong Yu Hwesio itu, kini kembali diubah menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan Kwee An, Thian Tiong Hosiang memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-hok-tong dan di bawah bimbingannya, perkembangan Agama Buddha di daerah Tiang-an makin meluas.
Semua hwesio yang berada di kelenteng itu, tua muda, sangat suka dan sayang kepada Goat Lan yang mungil dan cerdik, dan di antara mereka ini, banyak terdapat orang-orang yang mempunyai ilmu kesusastraan tinggi. Maka, di bawah petunjuk-petunjuk mereka itu, pengetahuan Goat Lan makin maju saja.
Selain kesusastraan dan melukis, Goat Lan ternyata mempunyai kecerdikan luar biasa dalam hal permainan catur. Seorang hwesio ahli catur di kelenteng itu yang mengajarkan dia bermain catur, sekarang bahkan merasa sangat sukar untuk menjatuhkan muridnya yang baru berusia sembilan tahun ini!
Pada suatu hari, Goat Lan seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-hok-tong. Ketika dia seorang diri memasuki halaman kelenteng, dia disambut oleh seorang hwesio pembersih halaman yang segera berkata,
“Kwee-siocia, baik sekali sekarang kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di kelenteng kita, dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!”
Goat Lan memang paling suka menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya, “Thian Seng Suhu, siapakah mereka dan dari mana datangnya?”
“Entahlah, mereka memang aneh seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama dan tempat tinggal mereka, keduanya hanya tertawa-tawa saja. Begitu memasuki kelenteng, mereka terus saja bertanya apakah di kelenteng ini ada alat bermain catur, kemudian dari siang tadi sampai senja mereka tidak pernah berhenti main. Aneh, aneh! Akan tetapi Losuhu memesan agar supaya kami jangan mengganggu mereka karena betapa pun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus dihormati.”
“Aku mau nonton mereka bertanding catur!” kata Goat Lan.
“Akan tetapi Siocia...”
“Ah, Pekhu tidak akan marah kepadaku!” Goat Lan memotong. “Lagi pula, aku pun tidak hendak mengganggu mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?”
Sambil berkata demikian, Goat Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di sebelah kiri. Baru saja tiba di luar ruangan itu, dia telah mencium bau arak yang sangat wangi dan suara parau seorang berkata, “Tianglo, kudamu sudah terjebak! Ha-ha-ha!” Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam sebuah permainan.
“Hemm, jangan bergirang-girang dulu, Im-yang Giok-cu, biar kukorbankan kuda kurus ini, mendapat ganti seorang prajuritmu pun lumayan juga!” Terdengar suara lain yang tinggi kecil.
Goat Lan tidak sabar lagi dan cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang sedang duduk bersila menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, tepat benar seperti penuturan Thian Seng Hwesio tadi.
Orang pertama adalah seorang kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di dekatnya terletak sebuah keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk keranjang yang ada gantungannya ini, Goat Lan pun maklum bahwa inilah sebuah keranjang yang biasa dipergunakan oleh para hwesio untuk mencari dan mengumpulkan daun-daun obat, dan di samping keranjang obat ini, nampak juga sebuah pisau pemotong daun dan akar yang bentuknya panjang dan tipis.
Orang ke dua juga aneh, tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang penganut Agama Tao. Seperti orang pertama, kakek ini pun usianya kurang lebih lima puluh tahun. Sambil menghadapi papan catur, tiada hentinya tosu ini minum arak dari sebuah ciu-ouw (tempat arak) yang bentuknya seperti buah labu, akan tetapi guci arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti emas. Dari sinilah bau arak wangi tadi tersiar.
Melihat bentuk tubuh orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu Si Tosu Pendek ini. Akan tetapi dia salah duga dan menjadi terheran dan juga geli ketika mendengar hwesio tinggi besar itu bicara dengan suara yang amat kecil dan tinggi.
“Im-yang Giok-cu, kalau kau tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan menderita penyakit dalam perutmu.”
Tosu itu tertawa dan menjawab dengan suaranva yang parau. “Sin-kong Tianglo, kau boleh memberi nasehat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi apa bila kau memberi nasehat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!” Kembali dia tertawa.
“Aku tahu bahwa kau berjuluk Ciu-cin-mo (Iblis Arak), akan tetapi bagaimana pun juga, kau hanyalah seorang manusia biasa dengan perut biasa pula. Memang agaknya kau tak menghendaki usia panjang.”
Mendengar percakapan serta melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu sudah mempengaruhi mereka sehingga mereka menjadi panas!
“Sin-kong Tianglo, kau tukang obat tua! Sudah kukatakan, aku tak butuh pertolongan dan nasehatmu. Lebih baik kau curahkan perhatianmu kepada rajamu. Nah, lihat, rajamu kini terancam bahaya maut, Ha-ha-ha!” Sambil berkata demikian, dia menggerakkan sebuah biji caturnya dan memang benar, kedudukan raja dari barisan catur hwesio itu terancam bahaya dan terdesak sekali.
Mereka kembali memperhatikan papan catur dengan penuh ketekunan hingga keadaan menjadi sunyi dan bunyi pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran sekali mengapa bunyi pernapasan kedua kakek itu demikian panjang dan lama!
Memang kedudukan raja hitam dari hwesio itu sangat terdesak dan terancam sehingga hwesio itu menatap papan caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak dapat menjalankan biji caturnya untuk melindungi atau menolong rajanya, sedangkan Si Tosu memandang dengan bibir tersenyum mengejek, akan tetapi dia juga tidak melepaskan pandang matanya dari papan catur. Nampaknya kedua orang itu sedang asyik sekali dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan yang kini sudah mendekat dan menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.
“Gerakkan benteng melindungi raja!” tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu terdengar.
Melihat betapa raja hitam terdesak, tanpa terasa pula anak ini membuka mulut memberi jalan. Hwesio itu yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya bergerak-gerak dan meski pun dia masih tidak tahu apakah baiknya gerakan ini karena dengan demikian bentengnya akan terancam dan dimakan oleh kuda lawan, akan tetapi oleh karena dia telah kehabisan jalan, ia kemudian menggerakkan tangannya dan menggeser kedudukan benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini tanpa menoleh sedikit pun kepada Goat Lan.
Tosu itu tercengang ketika Si Hwesio benar-benar menggerakkan bentengnya, kemudian sambil tertawa bergelak ia lalu makan benteng itu dengan kudanya.
“Benteng telah kurampas! Ha-ha-ha, kini kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha-ha-ha!” Tosu kate itu tertawa senang.
Akan tetapi suara tawanya itu diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang, “Berhasil jebakan memancing kuda keluar kandang! Lekas geser menteri menyerang kedudukan raja musuh!”
Bukan main girangnya hati hwesio itu. Tadinya dia memang sama sekali tidak mengerti apa kebaikannya memajukan benteng yang hanya diberikan secara cuma-cuma kepada kuda lawan, tidak tahunya bahwa dengan gerakan memancing itu membuat kuda lawan meninggalkan depan raja hingga kedudukan raja merah menjadi terbuka, memungkinkan menterinya untuk menyerang!
“Bagus, bagus!” katanya gembira sambil mengajukan menterinya yang kini seakan-akan menodong dada raja lawan dengan pedang. “Rajamu sekarang terjepit, Im-yang Giok-cu. Bagus!”
Wajah tosu yang tadinya tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba saja menjadi masam dan dengan mulut cemberut dia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan bingung karena kini benar-benar kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat!
Hingga beberapa lama ia diam tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang sesungguhnya kepandaian bermain catur kedua kakek ini masih sangat rendah sehingga setiap kali raja mereka terancam bahaya, mereka langsung menjadi bingung, tidak tahu harus menggerakkan biji catur yang mana!
“Ha, Im-yang Giok-cu, hayo gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi Im-yang Sin-na (nama ilmu silat) kepadaku?” hwesio gemuk itu berkata dengan wajah girang.
Tosu itu tak menjawab, hanya mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, terus memutar otak mencari jalan keluar bagi rajanya.
“Menteri setia bergerak melindungi raja, bila perlu mengadu jiwa dengan menteri musuh!” tiba-tiba Goat Lan berkata lagi sekarang membantu tosu itu!
Anak ini merasa tak sabar sekali kenapa kedua kakek ini begitu bodoh dalam permainan catur hingga serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak berdaya!
Bercahayalah wajah tosu kecil itu. “Ha-ha-ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha-ha-ha! Hayo, Tianglo, kalau berani, kita bersama korbankan menteri!” Ia lalu menggeser menterinya ke kiri dan melindungi raja merah dari pada ancaman menteri hitam.
Hwesio itu menjadi sangat penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh. Kemudian dia memandang ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya yang tinggi.
“Memang jaman sekarang ini jaman yang buruk sekali! Anak-anak saja sudah kehilangan kesetiaannya, suka mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!”
Goat Lan adalah seorang anak yang berotak cerdik dan dia telah banyak membaca-baca kitab-kitab kuno yang berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud dalam. Maka ucapan hwesio itu sungguh pun hanya menyindir, akan tetapi Goat Lan bisa menangkap maksudnya dan tahu bahwa dialah yang dianggap tak setia karena baru saja membantu hwesio itu, kini berbalik membantu Si Tosu!
Orang berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah terkenal di segenap penjuru, karena di samping ilmu kepandaiannya amat tinggi juga Lo Sian terkenal sebagai pendekar pembasmi kejahatan. Pendekar yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebenarnya adalah salah seorang tokoh dari Thian-san-pai, yang sedang turun gunung berbareng dengan seorang suheng-nya (kakak seperguruannya).
Kakak seperguruannya juga selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan jika pakaian Lo Sian masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen. Suheng-nya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)!
Julukan ini diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang laksana iblis mengamuk apa bila dia menghadapi orang-orang jahat. Di dalam memusuhi orang-orang jahat, Nyo Tiang Le memang bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka semua orang menjadi ngeri dan jeri melihatnya sehingga dia diberi julukan Pengemis Iblis!
Secara kebetulan sekali Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan makan di restoran itu sehingga dia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguh pun dia telah memiliki pengalaman yang luas dan mengenal hampir semua orang gagah di kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari Turki itu.
Akan tetapi ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, dia merasa heran dan memandang juga. Dia merasa heran mengapa anak itu tidak mau makan, sedangkan melihat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia pun merasa heran melihat wajah laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam dia mulai menaruh perhatian, sungguh pun dia hanya memandang dengan kerling matanya saja.
Alangkah terkejutnya hati Lo Sian ketika kemudian dia melihat betapa laki-laki brewok itu menepuk-nepuk pundak anak perempuan itu kemudian tiba-tiba dia menotok jalan darah Koan-goan-hiat anak itu! Ia merasa kaget bukan main karena totokan itu dapat membuat anak itu tewas seketika, atau setidaknya mendatangkan rasa sakit yang hebatnya luar biasa!
Gilakah Si Brewok itu? Mengapa ada orang memperlakukan anak sendiri semacam itu? Lo Sian memandang tajam dan hampir saja dia bertindak untuk memberi hajaran kepada orang kejam ini, kalau saja pada saat itu Bouw Hun Ti tidak sudah melepaskan Lili dari pengaruh totokannya kembali.
Jelas kelihatan oleh Lo Sian betapa anak perempuan itu menahan sakit dan biar pun air mata anak itu bercucuran, akan tetapi tidak sedikit pun suara isak keluar dari mulutnya. Ia berdebar deras karena kini ia menduga bahwa anak perempuan ini tentu telah ditotok urat gagunya yang membuatnya sama sekali tidak dapat mengeluarkan suara. Hatinya mulai menaruh curiga kepada orang brewok itu dan dia menduga bahwa orang ini tentu seorang penculik anak kecil. Lo Sian mulai bersiap untuk menyelidiki perkara ini dan jika perlu menolong anak itu.
Akan tetapi pada saat itu terjadilah hal lain yang cukup meributkan. Orang melihat betapa Bouw Hun Ti tiba-tiba saja melemparkan daging yang sedang dikunyahnya ke atas lantai sambil menyumpah-nyumpah.
“Bangsat dan penipu belaka pemilik rumah makan ini!” Ia menyumpah-nyumpah sambil memegang pipinya.
Sesungguhnya, tanpa disengaja, Bouw Hun Ti yang mempunyai penyakit gigi, kena gigit sepotong tulang kecil yang bersembunyi di dalam daging sehingga sakitnya bukan main dan membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut serasa mau pecah. Siapa yang pernah menderita sakit gigi tentu akan dapat membayangkan rasa sakit yang diderita oleh Bouw Hun Ti pada saat itu.
Penyakit ini memang paling jahat dan berbahaya karena membuat orang naik darah dan terutama sekali Bouw Hun Ti yang berwatak buruk itu, tiba-tiba menjadi marah sekali. Ia lantas memegang mangkok tempat masakan itu dan membantingnya ke lantai sehingga hancur berkeping-keping!
Pelayan yang tadi menghina Lo Sian adalah pelayan kepala dan dia memang terkenal beradat keras serta sombong. Tadi dia sudah ‘kecele’ oleh Lo Sian sehingga sedikitnya kesombongannya tersinggung, maka hal itu membuat dia merasa malu dan mendongkol. Kini naiklah darahnya melihat ada orang yang membuat ribut.
Dengan langkah lebar dia menghampiri lalu membentak, “Orang kasar dari manakah yang berani mengacau di rumah makan kami? Mengapa kau memaki-maki dan merusak barang kami? Kau harus mengganti harganya!”
Pelayan itu memang sedang sial dan ia benar-benar mencari penyakit sendiri. Bouw Hun Ti yang sedang menderita sakit gigi dan sedang marah-marah itu seperti api yang mulai menyala, kini seakan-akan api itu disiram pula dengan minyak hingga makin berkobar. Ia lalu bangkit berdiri dengan perlahan dan kedua matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat pelayan itu.
“Apa katamu tadi...?” katanya perlahan dengan muka merah. “Kau sudah menipu orang, menjual daging liat dan tulang, masih tidak mau mengaku salah bahkan berani memaki aku?”
“Siapa bilang kami menjual daging liat dan tulang? Barangkali gigimu yang telah ompong sehingga tak kuat mengunyah daging!” pelayan itu tidak mau kalah dan beberapa orang terdengar tertawa mendengar ucapan ini.
Diam-diam Lo Sian memandang dengan penuh perhatian dan hati tertarik. Ia tahu bahwa pelayan itu terlalu sombong dan akan mengalami celaka. Benar saja, tiba-tiba Bouw Hun Ti yang mendengar ucapan ini lalu membungkuk dan mengambil sekerat daging yang tadi dilemparnya, kemudian sekali dia mengayun tangan, daging itu melayang dan tepat menotok jalan darah di dadanya.
Pelayan itu segera menjerit keras, lantas roboh dan bergulingan sambil berteriak-teriak, “Aduh...! Mati aku...! Aduh...! Aduh...!”
Gegerlah semua tamu dan pelayan yang ada di situ. Dua orang pelayan yang bertubuh tinggi besar melangkah maju.
“Bangsat kurang ajar! Kau berani memukul orang?”
Dua orang pelayan itu juga mencari penyakit, pikir Lo Sian yang menonton keributan itu sambil tersenyum simpul. Akan tetapi dua orang pelayan yang hanya memiliki tenaga besar karena tiap hari dilatih mencacah bakso, tidak dapat melihat bahwa Bouw Hun Ti memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Karena itu, dengan kepalan tangan mereka lalu menyerang hebat untuk memberi hajaran kepada Si Brewok itu. Akan tetapi, Bouw Hun Ti sama sekali tidak pedulikan datangnya pukulan kedua orang itu, bahkan lalu maju menyambut dengan kedua tangan terulur maju merupakan cengkeraman garuda.
“Bukk! Bukk!”
Dua pukulan itu tepat mengenai dada dan pundak Bouw Hun Ti, akan tetapi aneh sekali. Si Brewok itu seakan-akan tidak merasa sama sekali, sebaliknya dua orang pelayan itu memekik kesakitan dan memandang tangan mereka yang kini menjadi bengkak dan biru setelah memukul tubuh yang mereka rasakan keras seperti besi itu!
Sementara itu, cengkeraman tangan Si Brewok sudah mencapai sasaran, yakni rambut kedua orang pelayan itu. Ketika Bouw Hun Ti mengangkat kedua lengannya maka tubuh dua orang itu terangkat ke atas dan Bouw Hun Ti lalu menggerakkan kedua tangannya, membenturkan kepala dua orang itu satu kepada yang lain.
“Dukk!”
Ketika Bouw Hun Ti melepaskan tangannya, dua orang pelayan itu roboh dengan tubuh lemas dan pingsan serta kepala mereka yang saling bertumbuk tadi pecah kulitnya dan mengeluarkan darah! Masih untung bagi mereka bahwa Bouw Hun Ti tak menggunakan seluruh tenaganya, karena kalau Si Brewok mau, dua butir kepala itu pasti akan menjadi pecah dan nyawa mereka berdua akan melayang!
Pada saat itu dari luar pintu terdengarlah bentakan keras dengan suara yang parau, “Jago dari manakah memperlihatkan kegagahan di sini?” Bentakan ini disusul masuknya seorang laki-laki berpakaian mewah dan bertubuh tinggi besar bermuka hitam.
Inilah Tiat-tauw-ciang (Si Kepala Besi) yang bernama Thio Seng, seorang yang terkenal sebagai jago di dusun itu. Thio Seng tidak saja mempunyai kepandaian silat yang tinggi, akan tetapi dia juga terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Selain mempunyai banyak tanah, juga rumah makan itu adalah miliknya. Pengaruhnya sangat besar dan agaknya pengaruhnya ini yang membuat para pelayannya berwatak sombong.
Pada waktu terjadi pertempuran di rumah makan itu, kebetulan sekali Thio Seng sedang berada di luar rumah makan, maka dia langsung mendengar dari para pelayan tentang mengamuknya seorang tamu. Dengan marah dia lalu masuk ke dalam rumah makannya dan membentak Bouw Hun Ti.
Ketika melihat seorang tinggi besar bermuka hitam memasuki pintu rumah makan, Bouw Hun Ti yang masih marah itu bertanya dengan suara kasar, “Muka Hitam, siapakah kau dan mau apa?”
Thio Seng dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu silat, maka dia menjawab sambil mengangkat dada, “Akulah yang disebut Tiat-tauw-ciang Thio Seng dan pemilik rumah makan ini!” Dengan ucapan ini Thio Seng menduga bahwa orang itu tentu sudah mendengar namanya dan akan minta maaf menyatakan tidak tahu bahwa restoran itu miliknya.
Akan tetapi, selama hidupnya Bouw Hun Ti belum pernah mendengar nama ini, maka dia menjawab, “Tidak peduli pemilik rumah ini bernama kepala besi atau pun kepala udang, orang telah melakukan penipuan di dalam rumah makan ini! Daging keras dan busuk tapi dijual!”
Marahlah Thio Seng mendengar ini. “Eh, kau sombong sekali, sobat! Siapakah kau yang tidak tahu aturan ini?”
“Siapa adanya aku bukan urusanmu! Dan jangan kau menghadang di jalan, aku hendak pergi!” Sambil berkata begini, Bouw Hun Ti memegang tangan Lili dan hendak menarik gadis cilik itu keluar dari sana.
Akan tetapi Thio Seng berdiri sambil bertolak pinggang dan berkata, “Hemm, sabar dulu, sobat! Kalau kau tidak mengganti kerusakan ini dan memberi uang obat kepada pelayan-pelayanku serta berlutut minta ampun kepada Tiat-tauw-ciang, kau jangan harap bisa keluar dari sini!” Sambil berkata demikian, Thio Seng membuka jubah dan topinya, dan kini nampaklah kepalanya yang licin tidak berambut di bagian muka dan tengah, mengkilap bagaikan digosok dengan minyak.
Inilah kepalanya yang sangat ditakuti orang, karena dengan kepala ini, Thio Seng pernah mengalahkan banyak jago silat, bahkan pernah pula berdemonstrasi membentur dinding dengan kepalanya sehingga dinding bata yang tebal itu menjadi pecah!
Mendengar ucapan orang she Thio itu, Bouw Hun Ti tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia segera melepaskan tangan Lili dan melangkah maju sambil menendang meja kursi yang berada di dekatnya untuk mencari ruang yang lebih lebar.
“Kau mau melakukan kekerasan? Baik, agaknya kau ingin pula dihajar!”
“Rasakan pukulanku!” Thio Seng berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan.
Melihat gerakan yang keras dan cepat itu, Lo Sian yang masih duduk di sudut diam-diam memuji dan maklum bahwa Si Muka Hitam yang kasar ini memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Akan tetapi, dia merasa terkejut dan kagum ketika melihat gerakan Bouw Hun Ti. Ketika pukulan Thio Seng itu telah menyambar dekat dengan dadanya, mendadak Bouw Hun Ti segera melembungkan dadanya tanpa menangkis sedikit pun. Padahal melihat kerasnya pukulan, Lo Sian maklum bahwa hal itu amat berbahaya.
“Bukkk!”
Terdengar suara keras saat pukulan itu tepat menghantam dada, akan tetapi aneh sekali. Bukan Bouw Hun Ti yang roboh, bahkan tubuh Thio Seng yang terjengkang ke belakang seakan-akan dia baru saja terdorong oleh tenaga amat besar!
Lo Sian terkejut benar-benar karena sesungguhnya tak pernah disangkanya orang yang brewok itu memiliki lweekang yang demikian tingginya! Sungguh seorang yang memiliki kepandaian tinggi, lawan yang amat tangguh, pikirnya.
Oleh karena itu, maka maksudnya hendak menolong anak perempuan itu dipikirnya lagi masak-masak. Dia harus menggunakan siasat untuk menolong anak itu, karena dengan jalan kekerasan, belum tentu dia akan dapat menangkan Si Brewok itu.
Sementara itu, Thio Seng yang barusan memukul, merasa terkejut dan marah karena dia merasa seakan-akan memukul karet. Biar pun tangannya tidak menjadi bengkak seperti tangan pelayannya ketika tadi memukul Bouw Hun Ti, akan tetapi dia sudah terpental ke belakang oleh kehebatan tenaga lawan. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka Thio Seng lalu mengambil jalan pendek dan nekat.
“Bangsat rendah, awas serangan balasanku!” serunya dan tubuhnya lantas membungkuk dengan kepala di depan dan matanya melirik tajam bagaikan laku seekor kerbau jantan yang hendak menyerang.
“Hemm, majulah, hendak kurasakan betapa empuknya kepala tahumu!” kata Bouw Hun Ti sambil memasang perutnya ke depan!
Pada saat itu Lo Sian sudah mendapatkan akal untuk bertindak. Dia tadi melihat betapa dengan menggunakan sepotong daging Si Brewok itu dapat menyerang lawannya. Maka secara diam-diam dia lalu mengambil sekerat daging yang agak keras, kemudian setelah membidik dengan hati-hati, dia lalu menyambitkan daging itu ke arah leher Lili.
Anak ini sedang asyik menonton pertempuran dan selama tiga hari itu Lili tiada hentinya merasa heran serta marah kenapa ayah dan ibunya, juga kakeknya, tidak mengejar dan memberi hajaran kepada penculiknya ini!
Tadi ketika melihat para pelayan menyerang Bouw Hun Ti, ia mengharap agar Bouw Hun Ti akan kalah dan binasa. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat bahwa para pelayan yang hanya pandai berlagak itu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Si Brewok yang amat dibencinya itu. Pengharapannya menipis dan kemudian anak ini merasa putus asa, bahkan kini dia merasa menyesal kepada ayah ibu serta kakeknya yang tidak juga muncul untuk menolongnya!
Ketika daging yang disambitkan oleh Lo Sian dengan tepat mengenai lehernya sehingga tiba-tiba dia merasa betapa kekakuan leher dan lidahnya lenyap, yang dapat dia serukan hanya jeritan, “Ayah... Ibu... tolong...!”
Pada saat itu, Bouw Hun Ti tengah menghadapi Thio Seng yang hendak menyerangnya dengan kepala. Bukan main kagetnya mendengar suara Lili karena dia tahu betul bahwa anak itu sudah ditotok jalan darahnya. Dengan heran Bouw Hun Ti menengok dan pada saat itu pula, Thio Seng sudah menyeruduk maju, menyerang perut Bouw Hun Ti dengan kepalanya yang botak licin!
Tadinya Bouw Hun Ti tidak bermaksud membunuh pemilik rumah makan ini dan hanya hendak mempermainkannya. Akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang menengok sehingga keadaannya amat berbahaya, ketika ia merasa betapa angin serudukan kepala dari Si Muka Hitam itu sedemikian kuatnya dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindarkan diri, ia lalu mengerahkan sinkang-nya dan...
“Ceppp!”
Kepala Thio Seng menancap pada perutnya laksana anak panah menancap pada batang pohon! Memang betul-betul luar biasa karena kini tubuh Thio Seng menjadi kaku, kepala menancap di perut Bouw Hun Ti dan kakinya terangkat lurus ke belakang!
Dengan sinkang-nya yang benar-benar luar biasa sekali Bouw Hun Ti sudah menyedot perutnya sehingga rongga perutnya menjadi kosong, lantas pada waktu kepala lawannya menyeruduk perutnya dia segera menggunakan tenaga lweekang untuk menggencet dan menolak tenaga serudukan itu!
Ketika Bouw Hun Ti melembungkan perutnya lagi, tubuh Thio Seng terlempar dan roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Ternyata bahwa penolakan tenaga dari perut Bouw Hun Ti sudah membuat tenaga serudukan Thio Seng balik menyerang kepalanya sendiri sehingga dia mendapat luka di dalam kepala dan tewas pada saat itu juga!
Melihat hal yang mengerikan ini, segera ributlah keadaan di situ. Dan ketika Bouw Hun Ti menengok untuk membawa pergi Lili, dia melihat anak itu sudah dipondong oleh seorang laki-laki berpakaian tambal-tambalan!
“Lepaskan anak itu!” seru Bouw Hun Ti dan tangannya diulur ke depan sedangkan kedua kakinya melompat dalam serbuan itu.
Lo Sian melihat tangan Si Brewok menyambar ke jalan darah Tai-twi-hiat, maka dia cepat mengangkat tangan kirinya menangkis. Dua tangan orang-orang yang berilmu tinggi dan ahli lweekeh bertemu dengan keras dan Lo Sian terpental ke belakang! Untung ia berlaku waspada dan hanya terhuyung-huyung saja tidak sampai roboh, sedangkan Bouw Hun Ti juga melangkah mundur dua langkah.
Bukan main marahnya Bouw Hun Ti, dan berbareng dia juga merasa terkejut karena tak pernah disangkanya di tempat itu ia akan bertemu dengan seorang yang memiliki tenaga lweekang demikian tingginya.
“Bangsat rendah kau ingin mampus!”
Dan dia lalu bergerak maju kembali untuk melakukan serangan. Akan tetapi, para pelayan bersama beberapa orang kaki tangan Thio Seng yang melihat betapa Thio Seng telah terbunuh oleh orang brewok itu menjadi marah dan kini serentak maju menyerang dengan senjata di tangan. Hal ini membuat Bouw Hun Ti terpaksa harus menunda niatnya menyerang Lo Sian, dan sebaliknya dia segera memutar tubuhnya dan menghadapi para penyerangnya.
Bukan main ributnya pertempuran itu, karena biar pun Bouw Hun Ti tidak menggunakan senjata, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak, pedang dan golok beterbangan dan tubuh para pengeroyoknya jatuh tumpang tindih dan malang melintang! Jangan kata sampai kena pukulan dan tendangan Bouw Hun Ti, baru keserempet sedikit saja sudah membuat para pengeroyok itu bergulingan jatuh tak dapat bangun pula!
Tentu saja kehebatan sepak terjang Si Brewok ini membuat pengeroyok lainnya menjadi terkejut dan gentar hingga mereka merasa ragu-ragu untuk maju menyerang. Bouw Hun Ti cepat menengok, akan tetapi dia tidak melihat lagi pengemis berbaju tambalan yang tadi memondong Lili.
“Kau hendak lari ke mana?!” dia berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang melewati kepala para pengeroyoknya yang berdiri melongo di depan pintu!
Bouw Hun Ti melompat naik ke atas genteng memandang ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya orang yang sudah merampas anak itu. Bukan main marah dan mendongkol hatinya, tapi kepada siapakah dia harus melampiaskan rasa marahnya? Dia melompat turun lagi dan ketika dia melihat salah seorang di antara para pelayan itu memegang tali kudanya, dia cepat menyambar dengan tendangannya.
Pelayan yang bermaksud menahan kudanya itu menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar jauh, jatuh di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa pula! Untuk melampiaskan rasa kedongkolan hatinya karena Lili dirampas orang, Bouw Hun Ti telah membunuh seorang lagi!
Ia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat menuju ke barat, dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menyusul orang yang membawa lari anak kecil tawanannya itu. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Lo Sian, Si Pengemis Sakti itu, tidak membawa lari Lili ke barat, melainkan ke selatan!
Lo Sian lalu membawa Lili bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng tua yang terdapat di sebelah selatan dusun itu. Ia menurunkan Lili yang semenjak tadi meronta-ronta dalam pondongannya dan ketika diturunkan, Lili langsung melompat dan menyerangnya dengan pukulan kedua tangannya!
Lo Sian berseru terheran-heran. Bukan saja dia merasa heran mengapa anak ini begitu dilepaskan lalu tiba-tiba menyerangnya dengan marah, akan tetapi ia juga merasa heran melihat bahwa gerakan serangan anak kecil ini sangat indah dan baik sekali, merupakan tipu pukulan dari ilmu silat yang bermutu tinggi!
Ia mengelak cepat dan berkata, “Eh, ehh, anak baik, mengapa kau menyerang aku?”
Akan tetapi, tanpa berkata sesuatu apa pun, Lili terus menyerangnya dengan membabi buta, menggerakkan kedua tangan, bahkan mengirim tendangan dengan kakinya! Dalam keheranannya, Lo Sian menjadi gembira dan ingin melihat sampai di mana kepandaian anak ini dan ilmu silatnya dari cabang mana, maka dia tetap mengelak ke sana ke mari dengan cepatnya.
Makin lama makin terheranlah dia pada saat mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh Lili untuk menyerangnya, benar-benar merupakan ilmu pukulan yang luar biasa sekali gerak-geriknya dan yang sama sekali belum pernah dilihatnya! Dia paham dengan ilmu silat cabang-cabang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Gobi-pai dan lain-lainnya, akan tetapi ilmu silat anak kecil ini benar-benar belum pernah dilihatnya dan yang harus diakui amat hebat! Kalau ia tidak memiliki gerakan yang cepat, tentu ia telah kena terpukul, sungguh pun pukulan anak itu tentu saja tak akan mendatangkan bahaya apa pun terhadap tubuhnya.
Dia lalu mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan Lili, lalu merangkul anak itu. “Anak yang baik, dengarlah. Aku bukan orang jahat!”
“Kau juga penculik!” tiba-tiba Lili berseru keras dan sepasang mata yang indah bening itu memandang tajam dan marah, bibirnya dikatupkan keras-keras.
Makin tertariklah hati Lo Sian melihat anak ini. Dia dapat menduga bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, dan ia kagum sekali menyaksikan keberanian dan kekerasan hati anak ini.
“Bukan, bukan, anakku! Mungkin kau masih dipengaruhi oleh Si Brewok yang kejam tadi! Dia memang orang jahat dan aku menolongmu dan merampasmu dari tangannya!”
Lili memang cerdik dan setelah kini terbuka matanya dan tahu pula bahwa orang berbaju tambalan ini selain mempunyai wajah yang sabar dan baik juga kata-katanya tak sekasar dan seganas Si Brewok tadi, maka tiba-tiba saja dia menangis tersedu-sedu!
Lo Sian menarik napas panjang dan mengelus-elus kepala anak itu. “Kasihan, anak yang baik. Kau siapakah dan anak siapa serta bagaimana pula sampai terjatuh ke dalam tangan penculik jahat itu?”
Lili masih merasa gemas kepada ayah ibunya yang sampai saat itu belum juga datang menyusul dan menolongnya. Karena ia masih kecil, maka ia tidak dapat berpikir jauh dan tidak tahu bahwa kedua orang tuanya tidak mungkin dapat menyusulnya dengan mudah karena tidak tahu ke mana ia dibawa pergi. Yang ia ketahui hanyalah ayah ibunya belum muncul dan dalam anggapannya, ayah ibunya itu seolah-olah membiarkan saja ia dibawa pergi oleh penculik jahat tadi!
Penderitaan-penderitaan yang dia alami selama tiga hari itu memang benar-benar hebat. Seorang anak kecil seperti dia, baru berusia delapan tahun, sudah dibawa lari seorang kejam seperti Bouw Hun Ti, lalu mengalami kekagetan, kelaparan, bahkan selalu berada dalam pengaruh totokan yang membuatnya gagu, dan tadi malah dia telah ditotok hingga merasakan kesakitan yang luar biasa.
Tentu saja dia merasa marah dan sakit hati mengapa ayah ibunya membiarkan saja dia menderita sehebat itu! Sekarang dia telah tertolong oleh seorang lain, tentu saja segala simpatinya tercurah kepada orang ini dan ada waktu dia melihat orang itu mengelus-elus kepalanya dan memandangnya penuh rasa terharu dan sayang, tiba-tiba dia memeluk Lo Sian dan menangis di atas dada pengemis sakti itu!
“Anakku sayang, sudahlah jangan menangis. Si jahat itu telah pergi dan kau tidak akan tersiksa lagi. Percayalah, dengan adanya aku di sini, tidak akan ada orang yang berani mengganggumu. Aku bernama Lo Sian dan kau boleh menyebutku Lo-pekhu. Siapakah namamu?” Lo Sian mengulang pertanyaannya.
Di dalam pelukan Lo Sian, Lili teringat kepada kakeknya, karena di samping ayah ibunya, orang yang mengasihinya hanyalah kakeknya itulah, karena ini ia seakan-akan mendapat pengganti kakeknya dalam diri Lo Sian ini.
“Namaku Lili,” jawabnya tanpa mengangkat muka dari dada Pengemis Sakti itu.
“Nama yang bagus!” kata Lo Sian. “Dan siapa Ayah Ibumu?”
Mendadak Lili mengerutkan alisnya dan dia memandang dengan marah kepada Lo Sian. Bibirnya yang manis itu cemberut, sedangkan matanya yang masih basah oleh air mata itu menyinarkan cahaya tajam yang membuat Lo Sian memandang makin kagum saja.
“Ayah ibuku tidak mau menolongku! Jangan kau tanyakan nama mereka!” Ia benar-benar marah dan mengepal tinjunya!
Lo Sian tersenyum. Alangkah pemarah dan galaknya anak ini, pikirnya. Akan tetapi, di dalam kemarahannya, anak ini benar-benar kelihatan gagah dan bersemangat. Tentu dia anak seorang pendekar, pikirnya.
“Baiklah, kalau kau tidak mau memberitahukan nama Ayah Ibumu, sedikitnya kau mau memberitahukan she-mu dan di mana pula kau tinggal.”
Lili tahu bahwa ayahnya bernama Sie Cin Hai dan ibunya bernama Kwee Lin, akan tetapi karena tadi dia sudah berkata tak hendak memberitahukan nama ayah ibunya, maka dia pun tidak mau memakai she (nama keturunan) mereka. Ia teringat akan nama kakeknya, maka ia menjawab,
“Aku she Yo dan di mana tempatku, aku tidak mau bilang karena aku tidak mau pulang!”
“Eh, ehh, kenapa tidak mau pulang? Ayah ibumu tentu akan mencari-carimu. Katakanlah di mana tempat tinggalmu agar aku dapat mengantar kau pulang ke rumah orang tuamu,” kata Lo Sian membujuk.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau pulang! Ayah dan Ibu tidak mau menolong dan mencariku, untuk apa aku pulang? Lopek, aku mau ikut kau saja!”
Lo Sian tersenyum. “Maukah kau menceritakan bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan penculik kejam tadi?”
“Dia datang dan mengejarku ketika aku sedang bermain-main di luar rumah, di kampung lain. Aku tidak tahu mengapa ia membenci dan menculik aku!”
Lo Sian menjadi makin bingung. Anak ini tidak mau memberitahukan siapa orang tuanya dan di mana rumahnya, bahkan tidak mau pulang. Malah pancingannya untuk mendapat keterangan secara jelas ternyata gagal, dan mengapa Si Brewok tadi menculik anak ini pun masih merupakan teka-teki baginya.
Yang dapat memberi keterangan hanyalah Si Brewok tadi. Akan tetapi ia maklum bahwa Si Brewok itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya, karena dari peraduan lengan tangan mereka tadi saja dia segera maklum bahwa tenaga lweekang orang itu masih lebih tinggi setingkat dari pada tenaganya sendiri!
“Anak yang baik, ilmu silatmu baik sekali. Dari siapakah kau belajar ilmu silat itu? Siapa yang melatihmu?”
“Yang mengajarku Ayah, Ibu, dan juga Kakekku!”
Terkejutlah Lo Sian mendengar ini. Dugaannya tidak salah. Anak ini datang dari keluarga pendekar. Tidak saja ayahnya yang dapat silat, bahkan ibu dan kakeknya agaknya juga orang-orang berkepandaian tinggi.
“Siapakah nama kakekmu, Lili?”
“Kakekku she Yo, namanya aku tidak tahu.”
Lo Sian mengangguk-angguk dan menduga bahwa kakek she Yo itu tentulah ayah dari bapak anak ini, kalau tidak demikian tentu anak ini tidak ber-she Yo pula.
“Di antara ketiga orang tua itu, siapakah yang terlihai ilmu silatnya?”
Dasar anak-anak, biar pun ia sedang marah kepada orang tuanya, akan tetapi tentu saja dia paling suka membanggakan kepandaian mereka, oleh karena itu tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab,
“Tentu saja Ayahku! Ke dua Ibu, dan ke tiga Kakek.”
“Kalau misalnya Ayahmu bisa menyusulmu, apa kau kira Ayahmu akan mampu menang melawan penculik tadi?”
Tiba-tiba saja Lili tertawa geli dan suara ketawanya demikian nyaring sehingga Lo Sian kembali melongo. Anak ini benar-benar aneh, begitu tiba-tiba dapat tertawa lagi seriang itu. Ia tidak tahu bahwa anak ini memang mempunyai sifat seperti ibunya, bahkan suara ketawanya juga merdu dan nyaring seperti suara ketawa ibunya.
“Tak usah Ayah sendiri maju, menghadapi Kakekku saja, dalam tiga jurus pasti dia akan dapat dirobohkan!”
Lo Sian tentu saja tak mau mempercayai omongan anak itu yang dianggapnya membual belaka. Akan tetapi menilik dari ilmu silat yang tadi dimainkan oleh Lili, ia percaya bahwa keluarga anak kecil ini tentu memiliki ilmu silat yang tinggi.
Maka, sambil mencari-cari orang tua serta tempat tinggal anak ini, untuk sementara dia hendak membawa anak ini bersama dia, membawanya merantau dan melatih silat, oleh karena dia memang belum mempunyai murid dan anak ini tak akan mengecewakan apa bila menjadi muridnya.
“Baiklah, Lili, kau boleh ikut padaku, dan maukah kau belajar silat padaku dan menjadi muridku?”
Dengan muka girang Lili lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata, “Tentu saja suka, Suhu (Guru)!”
Demikianlah, mulai hari itu juga, Lili menjadi murid Lo Sian dan ikut Pengemis Sakti ini merantau. Biar pun beberapa kali Lo Sian membujuknya, akan tetapi dia tetap tidak mau memberi tahukan nama orang tuanya atau tempat tinggalnya hingga Lo Sian melakukan perjalanan sambil mencari-cari secara diam-diam, karena sesungguhnya dia ingin sekali mempertemukan anak ini dengan kedua orang tuanya kembali.
*****
Di kota Tiang-an, kota di sebelah kota raja terdapat sebuah rumah gedung kuno yang besar. Rumah ini dikenal sebagai tempat tinggal keluarga Kwee, yang dahulu ditinggali oleh Kwee-ciangkun (Perwira Kwee), seorang pembesar millter yang gagah perkasa.
Akan tetapi, kini rumah itu ditinggali oleh seorang putera dari mendiang Kwee-ciangkun yang bernama Kwee An. Bagi para pembaca yang pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu tahu bahwa Kwee An ini adalah kakak dari Kwee Lin atau Lin Lin yang menjadi nyonya Sie Cin Hai.
Kwee An memiliki ilmu silat yang tinggi, karena orang muda ini adalah murid tersayang dari jago tua Eng Yang Cu, seorang tosu tokoh dari Kim-san-pai yang termasyhur. Selain mendapat gemblengan ilmu silat dari tokoh Kim-san-pai ini, Kwee An pernah menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, bahkan pernah pula menerima gemblengan ilmu silat yang ganas dan aneh dari seorang penjahat besar yang bernama Hek Moko. Oleh karena itu, ilmu silat Kwee An amat tinggi dan namanya pun amat terkenal di kalangan kang-ouw.
Isteri dari Kwee An juga seorang puteri dari seorang pembesar kerajaan, dan isterinya ini bernama Ma Hoa, seorang wanita yang cantik manis. Dalam hal kepandaian ilmu silat, Ma Hoa ini tidak berada di sebelah bawah suaminya, karena selain mendapat pelajaran ilmu silat dari suhunya yang juga dianggap sebagai ayah angkat sendiri, yaitu Nelayan Cengeng, juga Ma Hoa pernah menerima pelajaran Ilmu Silat Bambu Runcing yang amat luar biasa dari Hok Peng Taisu, orang ajaib yang dianggap menjadi tokoh nomor satu dari daerah timur!
Saudara kandung dari Kwee An yang masih ada hanyalah Lin Lin yang kini tinggal bersama suaminya di Propinsi An-hui dan seorang kakak yang bernama Kwee Tiong dan yang kini hidup sebagai seorang hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah kelenteng kuno di luar tembok kota Tiang-an di sebelah barat.
Kwee An hanya mempunyai seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia sembilan tahun. Anak ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan. Goat berarti bulan dan Lan berarti bunga anggrek. Nama ini diberikan kepada anak itu oleh karena ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat bunga anggrek pada waktu terang bulan!
Dalam usia sembilan tahun, telah kelihatan bahwa kelak Goat Lan akan menjadi seorang gadis yang amat manis dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan dimanja sekali oleh kedua orang tuanya, maka dia menjadi nakal sekali.
Semenjak kecil dia telah mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, bahkan ia telah dapat mainkan sepasang bambu runcing seperti ibunya, sungguh pun permainannya baru merupakan ilmu silat kembangan belaka. Akan tetapi, anak ini memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun dia telah dapat melompat tinggi dan sering kali dia berlari di atas genteng atau melompat naik ke cabang pohon-pohon tinggi!
Yang mengherankan adalah kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga sering kali dua orang tuanya saling pandang dengan heran karena baik Kwee An mau pun Ma Hoa kurang suka mempelajari ilmu menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal mereka begitu tekun dan rajin mempelajari ilmu sastera?
“Agaknya ia telah mendapat warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!” pernah Kwee An berkata secara berkelakar kepada isterinya.
“Tidak mungkin!” bantah Ma Hoa. “Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita hampir tak mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari kakeknya sebab mendiang ayahku memang suka sekali akan kesusastraan.”
Memang anak itu sangat suka membaca buku-buku kesusastraan kuno serta sajak-sajak baru, dan selain itu ia pun amat suka melukis. Maka tidak heran apa bila Goat Lan suka sekali pergi ke Kelenteng Ban-hok-tong mengunjungi pekhu-nya, oleh karena Kwee Tiong memang semenjak menjadi hwesio, kesukaannya tiada lain hanya membaca kitab-kitab dan memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan.
Dari Kwee Tiong dia mendapat tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali dia datang ke kuil itu, selalu pekhu-nya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau mengajarnya sajak-sajak baru yang amat indah.
Kwee An maklum bahwa kakaknya yang telah menjadi hwesio itu amat sayang kepada Goat Lan, dan di dalam hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada kakaknya, maka untuk menghibur hati Kwee Tiong, dia membiarkan saja anaknya sering mengunjungi pekhu-nya itu, bahkan tidak jarang Goat Lan bermalam di kelenteng itu.
Dahulu Kelenteng Ban-hok-tong yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan ditinggalkan terlantar. Tapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang menjadi guru Kwee Tiong dalam pelajaran Agama Buddha, maka banyak sekali murid-muridnya yang menjadi hwesio.
Ketika Tong Kak Hosiang meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan pada Kwee Tiong, maka Ban-hok-tong telah mempunyai penghuni yang sangat banyak. Tidak kurang dari dua puluh lima orang hwesio tinggal di kelenteng itu di bawah pimpinan Kwee Tiong yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang amat setia.
Sesudah menjadi ketua kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh suhunya menjadi Tiong Yu Hwesio itu, kini kembali diubah menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan Kwee An, Thian Tiong Hosiang memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-hok-tong dan di bawah bimbingannya, perkembangan Agama Buddha di daerah Tiang-an makin meluas.
Semua hwesio yang berada di kelenteng itu, tua muda, sangat suka dan sayang kepada Goat Lan yang mungil dan cerdik, dan di antara mereka ini, banyak terdapat orang-orang yang mempunyai ilmu kesusastraan tinggi. Maka, di bawah petunjuk-petunjuk mereka itu, pengetahuan Goat Lan makin maju saja.
Selain kesusastraan dan melukis, Goat Lan ternyata mempunyai kecerdikan luar biasa dalam hal permainan catur. Seorang hwesio ahli catur di kelenteng itu yang mengajarkan dia bermain catur, sekarang bahkan merasa sangat sukar untuk menjatuhkan muridnya yang baru berusia sembilan tahun ini!
Pada suatu hari, Goat Lan seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-hok-tong. Ketika dia seorang diri memasuki halaman kelenteng, dia disambut oleh seorang hwesio pembersih halaman yang segera berkata,
“Kwee-siocia, baik sekali sekarang kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di kelenteng kita, dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!”
Goat Lan memang paling suka menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya, “Thian Seng Suhu, siapakah mereka dan dari mana datangnya?”
“Entahlah, mereka memang aneh seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama dan tempat tinggal mereka, keduanya hanya tertawa-tawa saja. Begitu memasuki kelenteng, mereka terus saja bertanya apakah di kelenteng ini ada alat bermain catur, kemudian dari siang tadi sampai senja mereka tidak pernah berhenti main. Aneh, aneh! Akan tetapi Losuhu memesan agar supaya kami jangan mengganggu mereka karena betapa pun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus dihormati.”
“Aku mau nonton mereka bertanding catur!” kata Goat Lan.
“Akan tetapi Siocia...”
“Ah, Pekhu tidak akan marah kepadaku!” Goat Lan memotong. “Lagi pula, aku pun tidak hendak mengganggu mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?”
Sambil berkata demikian, Goat Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di sebelah kiri. Baru saja tiba di luar ruangan itu, dia telah mencium bau arak yang sangat wangi dan suara parau seorang berkata, “Tianglo, kudamu sudah terjebak! Ha-ha-ha!” Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam sebuah permainan.
“Hemm, jangan bergirang-girang dulu, Im-yang Giok-cu, biar kukorbankan kuda kurus ini, mendapat ganti seorang prajuritmu pun lumayan juga!” Terdengar suara lain yang tinggi kecil.
Goat Lan tidak sabar lagi dan cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang sedang duduk bersila menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, tepat benar seperti penuturan Thian Seng Hwesio tadi.
Orang pertama adalah seorang kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di dekatnya terletak sebuah keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk keranjang yang ada gantungannya ini, Goat Lan pun maklum bahwa inilah sebuah keranjang yang biasa dipergunakan oleh para hwesio untuk mencari dan mengumpulkan daun-daun obat, dan di samping keranjang obat ini, nampak juga sebuah pisau pemotong daun dan akar yang bentuknya panjang dan tipis.
Orang ke dua juga aneh, tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang penganut Agama Tao. Seperti orang pertama, kakek ini pun usianya kurang lebih lima puluh tahun. Sambil menghadapi papan catur, tiada hentinya tosu ini minum arak dari sebuah ciu-ouw (tempat arak) yang bentuknya seperti buah labu, akan tetapi guci arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti emas. Dari sinilah bau arak wangi tadi tersiar.
Melihat bentuk tubuh orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu Si Tosu Pendek ini. Akan tetapi dia salah duga dan menjadi terheran dan juga geli ketika mendengar hwesio tinggi besar itu bicara dengan suara yang amat kecil dan tinggi.
“Im-yang Giok-cu, kalau kau tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan menderita penyakit dalam perutmu.”
Tosu itu tertawa dan menjawab dengan suaranva yang parau. “Sin-kong Tianglo, kau boleh memberi nasehat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi apa bila kau memberi nasehat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!” Kembali dia tertawa.
“Aku tahu bahwa kau berjuluk Ciu-cin-mo (Iblis Arak), akan tetapi bagaimana pun juga, kau hanyalah seorang manusia biasa dengan perut biasa pula. Memang agaknya kau tak menghendaki usia panjang.”
Mendengar percakapan serta melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu sudah mempengaruhi mereka sehingga mereka menjadi panas!
“Sin-kong Tianglo, kau tukang obat tua! Sudah kukatakan, aku tak butuh pertolongan dan nasehatmu. Lebih baik kau curahkan perhatianmu kepada rajamu. Nah, lihat, rajamu kini terancam bahaya maut, Ha-ha-ha!” Sambil berkata demikian, dia menggerakkan sebuah biji caturnya dan memang benar, kedudukan raja dari barisan catur hwesio itu terancam bahaya dan terdesak sekali.
Mereka kembali memperhatikan papan catur dengan penuh ketekunan hingga keadaan menjadi sunyi dan bunyi pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran sekali mengapa bunyi pernapasan kedua kakek itu demikian panjang dan lama!
Memang kedudukan raja hitam dari hwesio itu sangat terdesak dan terancam sehingga hwesio itu menatap papan caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak dapat menjalankan biji caturnya untuk melindungi atau menolong rajanya, sedangkan Si Tosu memandang dengan bibir tersenyum mengejek, akan tetapi dia juga tidak melepaskan pandang matanya dari papan catur. Nampaknya kedua orang itu sedang asyik sekali dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan yang kini sudah mendekat dan menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.
“Gerakkan benteng melindungi raja!” tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu terdengar.
Melihat betapa raja hitam terdesak, tanpa terasa pula anak ini membuka mulut memberi jalan. Hwesio itu yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya bergerak-gerak dan meski pun dia masih tidak tahu apakah baiknya gerakan ini karena dengan demikian bentengnya akan terancam dan dimakan oleh kuda lawan, akan tetapi oleh karena dia telah kehabisan jalan, ia kemudian menggerakkan tangannya dan menggeser kedudukan benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini tanpa menoleh sedikit pun kepada Goat Lan.
Tosu itu tercengang ketika Si Hwesio benar-benar menggerakkan bentengnya, kemudian sambil tertawa bergelak ia lalu makan benteng itu dengan kudanya.
“Benteng telah kurampas! Ha-ha-ha, kini kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha-ha-ha!” Tosu kate itu tertawa senang.
Akan tetapi suara tawanya itu diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang, “Berhasil jebakan memancing kuda keluar kandang! Lekas geser menteri menyerang kedudukan raja musuh!”
Bukan main girangnya hati hwesio itu. Tadinya dia memang sama sekali tidak mengerti apa kebaikannya memajukan benteng yang hanya diberikan secara cuma-cuma kepada kuda lawan, tidak tahunya bahwa dengan gerakan memancing itu membuat kuda lawan meninggalkan depan raja hingga kedudukan raja merah menjadi terbuka, memungkinkan menterinya untuk menyerang!
“Bagus, bagus!” katanya gembira sambil mengajukan menterinya yang kini seakan-akan menodong dada raja lawan dengan pedang. “Rajamu sekarang terjepit, Im-yang Giok-cu. Bagus!”
Wajah tosu yang tadinya tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba saja menjadi masam dan dengan mulut cemberut dia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan bingung karena kini benar-benar kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat!
Hingga beberapa lama ia diam tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang sesungguhnya kepandaian bermain catur kedua kakek ini masih sangat rendah sehingga setiap kali raja mereka terancam bahaya, mereka langsung menjadi bingung, tidak tahu harus menggerakkan biji catur yang mana!
“Ha, Im-yang Giok-cu, hayo gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi Im-yang Sin-na (nama ilmu silat) kepadaku?” hwesio gemuk itu berkata dengan wajah girang.
Tosu itu tak menjawab, hanya mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, terus memutar otak mencari jalan keluar bagi rajanya.
“Menteri setia bergerak melindungi raja, bila perlu mengadu jiwa dengan menteri musuh!” tiba-tiba Goat Lan berkata lagi sekarang membantu tosu itu!
Anak ini merasa tak sabar sekali kenapa kedua kakek ini begitu bodoh dalam permainan catur hingga serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak berdaya!
Bercahayalah wajah tosu kecil itu. “Ha-ha-ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha-ha-ha! Hayo, Tianglo, kalau berani, kita bersama korbankan menteri!” Ia lalu menggeser menterinya ke kiri dan melindungi raja merah dari pada ancaman menteri hitam.
Hwesio itu menjadi sangat penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh. Kemudian dia memandang ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya yang tinggi.
“Memang jaman sekarang ini jaman yang buruk sekali! Anak-anak saja sudah kehilangan kesetiaannya, suka mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!”
Goat Lan adalah seorang anak yang berotak cerdik dan dia telah banyak membaca-baca kitab-kitab kuno yang berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud dalam. Maka ucapan hwesio itu sungguh pun hanya menyindir, akan tetapi Goat Lan bisa menangkap maksudnya dan tahu bahwa dialah yang dianggap tak setia karena baru saja membantu hwesio itu, kini berbalik membantu Si Tosu!