Pendekar Remaja
Karya Kho Ping Hoo
JILID 03
DIA lalu menggunakan pikirannya mengingat-ingat dan mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab sindiran ini, kemudian dia berkata dengan suara nyaring, seakan-akan membaca kitab dan tidak ditujukan kepada siapa pun juga.
“Membantu yang terdesak, ini baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini baru bijaksana!”
Ini adalah ujar-ujar kuno yang hanya dikenal oleh mereka yang sudah pernah membaca kitab-kitab peninggalan para pujangga jaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini diucapkan oleh seorang anak perempuan kecil, dua orang kakek itu tercengang dan keduanya lalu mengerling ke arah Goat Lan dan untuk beberapa lama mereka melupakan pemainan caturnya dan melirik dengan penuh perhatian.
“Otak yang baik!” Si Hwesio memuji. “Sayang agak lancang!” Sambil berkata demikian, tiba-tiba tanpa menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan sekarang ia duduk membelakangi Goat Lan!
“Benar-benar pandai!” Si Tosu juga memuji. “Sayang dia perempuan!” Dan tosu ini pun tanpa menggerakkan tubuh, tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi hwesio itu.
Melihat gerakan mereka ini, Goat Lan menjadi bengong. Bagaimana orang dapat pindah duduknya tanpa menggerakkan tangan dan kaki? Seakan-akan mereka itu duduk di atas roda-roda yang dapat menggelinding dengan sendirinya.
Akan tetapi, anak yang cerdik ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang mempergunakan semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka itu dalam keadaan bersila dapat pindah tempat. Dan di samping kecerdikannya, Goat Lan memang nakal dan memiliki watak yang tak mau kalah.
Kini ia duduk di belakang hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur. Untuk bangun dan berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan kedua kakinya menempel pada lantai. Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua kaki dan mengerahkan ginkang-nya, maka tiba-tiba saja tubuhnya yang kecil itu mencelat naik dan turun di sebelah kanan hwesio itu sehingga kedudukannya menjadi seperti tadi dan dia kembali dapat melihat papan catur itu seperti tadi!
“Ahh, tidak jelek!” kata hwesio gemuk itu.
“Bagus!” Si Tosu juga memuji.
“Inilah murid yang pantas untukku!” kata pula hwesio itu.
“Tidak! Sudah lama aku ingin mendapatkan murid, dia inilah orangnya!”
Kini kedua orang kakek itu saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Apa bila tadi mereka panas karena permainan catur, kini hati mereka menjadi panas karena hendak memperebutkan Goat Lan sebagai murid. Sementara itu Goat Lan hanya diam saja seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu.
“Im-yang Giok-cu, mari kita lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, dia berhak mendapatkan murid ini.”
“Boleh, boleh! Sekarang giliranmu, hayo kau teruskan!”
Sin Kong Tianglo lantas menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan lagi, siap membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang kakek itu selalu mendapat petunjuk dari Goat Lan dan setelah biji-biji catur mereka tinggal sedikit dan pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya hanya merupakan tukang menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya adalah Goat Lan!
Memang anak ini ahli dalam main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik sehingga pertandingan itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua orang kakek itu merasa tegang karena sering kali raja mereka terkurung, akan tetapi sering kali juga mendesak lawan sehingga seakan-akan merekalah yang bertanding, bukan biji-biji catur.
Betapa pun juga, yang menjadi pengatur adalah Goat Lan yang benar-benar tidak berat sebelah. Karena itu, setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam telah tiba, keadaan pertandingan itu masih sama kuatnya!
Mereka bertiga, hwesio, tosu dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun hingga mereka tidak melihat bahwa ruang itu telah penuh dengan para hwesio yang menonton pula pertandingan catur aneh itu! Tiada seorang pun di antara mereka berani menegur, hanya Thian Tiong Hosiang yang memandang khawatir kepada keponakannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan sembarang orang, dan ia takut kalau-kalau seorang di antara mereka yang kalah akan menjadi marah.
Akan tetapi Goat Lan benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhir pertandingan, kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal hanyalah si raja merah dan si raja hitam! Hal ini berarti bahwa pertandingan itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang!
Thian Tiong Hosiang menarik napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba Si Tosu Kate itu melompat berdiri dan berkata, “Sin Kong Tianglo, kau harus mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini.”
Hwesio gemuk itu bangun berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya, lalu berkata, “Enak saja kau bicara, Im-yang Giok-cu. Bukankah kita berjanji bahwa siapa yang menang dia berhak menjadi guru anak ini?”
“Akan tetapi dalam permainan catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!” seru Si Tosu.
Hwesio itu tersenyum. “Apakah kita hanya bisa bermain catur dan tidak mempunyai ilmu kepandaian lain? Kita belum mencoba kepandaian lain untuk menentukan kemenangan.”
“Ho-ho! Kau mau mengajak main-main? Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!” kata tosu itu sambil melangkah keluar dan membawa guci araknya.
“Aku ingin merasakan kelihaianmu!” kata hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil membawa keranjang obat dan pisaunya.
Sementara itu, ketika mendengar kedua orang kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian Tiong Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang lengan Goat Lan sambil berkata,
“Goat Lan kau sudah mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh seorang Suhu!”
“Tidak, Pekhu, aku mau nonton mereka bertanding!”
“Ehh, anak nakal!” kata Thian Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar betapa dua orang kakek yang lihai ini sedang memperebutkan Goat Lan untuk diambil murid. “Kau harus pulang, biar aku sendiri mengantarmu!”
Akan tetapi tiba-tiba Goat Lan membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap!
Thian Tiong Hosiang yang merasa sangat khawatir kalau-kalau keponakannya itu akan menimbulkan keributan, dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke dalam kota pada malam hari yang gelap itu, lalu berkata kepada para hwesio yang berada di situ, “Cari dia dan antarkan pulang ke kota!” Sedangkan ia sendiri dengan langkah lebar lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh kedua orang kakek itu.
Karena malam amat gelap sedangkan pekarangan di sekeliling kelenteng itu sangat luas dengan kebun bunga dan kebun-kebun sayurnya, maka para hwesio yang mencari Goat Lan menggunakan obor. Akan tetapi dicari-cari kemana pun juga, bayangan Goat Lan tetap tidak nampak!
Ketika para pencari yang memegang obor itu tiba kembali di halaman tengah, mereka melihat betapa dua orang kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka menjadi tertarik dan berkerumun menonton pertandingan itu sehingga keadaan di tempat itu menjadi terang sekali. Mereka telah lupa untuk mencari anak nakal tadi!
Thian Tiong Hosiang sendiri ketika melihat betapa kedua orang kakek itu bertempur, telah berkali-kali berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu. Akan tetapi kedua orang kakek itu sama sekali tidak mau mendengarnya.
Thian Tiong Hosiang menjadi bingung sekali. Hendak turun tangan memisah, biar pun ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi dia juga maklum bahwa kepandaiannya itu dapat disebut amat rendah apa bila dibandingkan dengan kedua orang kakek itu. Apa lagi pada waktu dia mendengar dari para hwesio bahwa Goat Lan tidak dapat ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya makin bertambah, maka dia lalu keluar dari kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-an, mencari adiknya, Kwee An atau ayah Goat Lan!
Sementara itu, Goat Lan yang tadi melarikan diri pada saat hendak dipaksa pulang oleh pekhu-nya, sebetulnya tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan kegelapan malam untuk cepat bersembunyi di belakang batang pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar kelenteng itu, kemudian ketika banyak hwesio mencarinya, dia memanjat pohon besar dan melompat ke atas genteng. Dengan bersembunyi di atas genteng, ia mengintai ke bawah, melihat kesibukan orang-orang di bawah dan melihat pula pertempuran antara kedua orang kakek itu yang berlangsung dengan amat ramainya, jauh lebih ramai dari pada pertandingan catur tadi!
Sebetulnya, siapakah kedua orang kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut mendengar nama mereka?
Tidak heran bahwa Thian Tiong Hosiang merasa amat terkejut, oleh karena nama-nama itu adalah nama-nama tokoh besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi orang-orang yang hidup di dunia kang-ouw.
Sin Kong Tianglo, hwesio yang gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang amat terkenal dari Pegunungan Gobi-san. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan lihai, dia juga terkenal dengan kepandaiannya sebagai seorang ahli pengobatan sehingga untuk kepandaian ini ia mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat).
Biar pun tempat pertapaannya di Pegunungan Gobi-san, akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari daun-daun dan akar-akar obat yang kemudian digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita sakit. Ke mana saja dia pergi, tentu dia akan mempergunakan ilmunya untuk menolong orang sakit sehingga namanya sebagai ahli pengobatan lebih terkenal dari pada namanya sebagai seorang ahli silat.
Tosu yang pendek kecil itu, Im-yang Giok-cu, tidak kalah ternamanya. Dia seorang tokoh besar dari Pegunungan Kunlun dan ilmu kepandaiannya telah amat dikenal. Tokoh besar ini pun jarang menampakkan diri di dunia ramai dan biar pun dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan lebih suka merantau ke mana-mana, akan tetapi dia jarang sekali memperkenalkan diri.
Oleh karena itu, munculnya dua orang tokoh besar ini tentu saja amat mengejutkan hati Thian Tiong Hosiang. Sebetulnya, bukan sengaja dua orang tokoh besar ini mengadakan pertemuan di Tiang-an.
Sudah lama sekali Sin Kong Tianglo mendengar nama Pendekar Bodoh sebagai seorang pendekar terbesar di masa itu dan ketika mendengar bahwa Pendekar Bodoh adalah murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, jago tua tanpa tandingan itu, dia merasa amat gembira dan ingin sekali mencoba kepandaian Pendekar Bodoh.
Dahulu pernah dia berhadapan dengan Bu Pun Su dan sesudah mengadakan pibu (adu kepandaian) sampai seratus jurus lebih, akhirnya dia tidak tahan menghadapi Bu Pun Su dan berjanji hendak mencoba kepandaian lagi sepuluh tahun kemudian. Sayang bahwa setelah dia melatih diri dan menciptakan ilmu silat yang hebat, dia mendengar bahwa Bu Pun Su telah meninggal dunia, maka kini perhatiannya beralih kepada Pendekar Bodoh yang menjadi murid Bu Pun Su.
Akibat keinginan hati inilah, maka Sin Kong Tianglo pergi meninggalkan daerah Gobi-san yang luas itu dan turun ke dunia ramai. Ia mendengar bahwa Pendekar Bodoh berada di kota Tiang-an, maka dia lalu menuju ke kota itu.
Di tengah jalan, ketika dia melalui sebuah dusun, dia mendengar suara orang bernyanyi-nyanyi dengan suara yang keras dan parau. Dia merasa heran sekali karena di sekitar tempat itu tidak terdapat orang, dari manakah datangnya suara nyanyian yang hebat ini. Ia melihat beberapa orang berlari-lari seakan-akan ketakutan dan ketika ia menghampiri mereka dan bertanya, seorang di antara penduduk kampung itu menjawab dengan muka pucat.
“Apakah Losuhu tidak mendengar suara nyanyian yang hebat itu?”
“Pinceng mendengar. Siapakah gerangan yang bernyanyi dengan suara seburuk itu?”
“Yang bernyanyi adalah seorang iblis!”
Tentu saja Sin Kong Tianglo menjadi heran mendengar ini dan dia minta penjelasan lebih lanjut. Ternyata bahwa menurut cerita orang itu, di kampung tersebut muncul seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di atas jembatan kampung dan memenuhi jembatan kecil itu.
Kakek ini terus menerus minum arak sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara yang dapat membuat anak telinga serasa mau pecah. Karena dengan adanya dia yang merebahkan diri sambil bernyanyi-nyanyi di atas jembatan yang kecil itu, lalu lintas menjadi terhalang. Orang-orang telah membujuknya, bahkan berusaha menggusurnya dari jembatan itu!
Sin Kong Tianglo menjadi tertarik hatinya dan segera menuju ke tempat itu. Benar saja, dia melihat seorang kakek kate sedang rebah miring di atas jembatan dengan guci pada tangan kanan dan bernyanyi-nyanyi.
Akan tetapi, wajahnya berubah girang ketika dia melihat Si Kate itu karena dia mengenal orang ini sebagai seorang yang dulu telah dikenalnya baik, yaitu Im-yang Giok-cu! Maka ia lalu menegur dan kakek kate itu ketika melihat Sin Kong Tianglo, lalu melompat berdiri dan berkata, “Ha-ha-ha-ha! Sungguh untungku baik sekali! Aku sedang kesepian dan merasa jengkel, kebetulan kau datang! Ehh, Tianglo! Beranikah kau main catur denganku?”
Demikianlah, keduanya lalu bercakap-cakap sambil meninggalkan dusun itu dan Im-yang Giok-cu yang mendengar bahwa hwesio itu ingin mencari Pendekar Bodoh untuk diajak pibu, dia pun menyatakan keinginannya bertemu dengan pendekar muda yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan itu!
Akan tetapi, karena sudah merasa sangat kangen dengan permainan catur, mereka lalu menunda perjalanan dan ketika melihat Kelenteng Ban-hok-tong, mereka lalu masuk ke dalam dan minta pinjam papan catur, terus saja bertanding catur!
Goat Lan yang bersembunyi di atas genteng mengintai pertempuran di bawah dengan muka senang sekali. Memang ia pun amat suka akan ilmu silat meski pun kesukaannya akan ilmu silat tidak sebesar kesukaannya membaca kitab, melukis atau bermain catur!
Keadaan di bawah amat terang karena belasan orang hwesio dengan obor bernyala di tangan, berdiri berkelompok menonton pertandingan, sehingga kegelapan malam terusir pergi, terganti cahaya terang bagaikan siang, sungguh pun kalau orang melihat ke atas, langit hitam kelam tak berbintang sedikit pun.
Menurut pandangan Goat Lan yang menonton di atas genteng, dua kakek itu melakukan pertandingan dengan cara yang sangat aneh. Nampaknya mereka seperti bukan sedang bertempur atau bersilat, akan tetapi seperti dua orang pelawak yang sedang menari-nari dengan lucunya!
Im-yang Giok-cu menari dengan guci araknya di tangan kanan yang digerakkan perlahan dan lambat bagai orang menyerang, sementara itu Sin Kong Tianglo juga menggerakkan pisau pemotong daun di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang keranjang obat, seakan-akan ia sedang menggunakan pisaunya untuk mencari daun-daun obat!
Akan tetapi, sesungguhnya kedua orang kakek itu bukan sedang main-main, juga bukan sedang menari atau melawak! Oleh karena, biar pun mereka itu bergerak dengan amat lambat seakan-akan bukan sedang bertempur, namun obor yang dipegang tinggi-tinggi oleh para hwesio itu apinya bergerak-gerak bagaikan tertiup angin besar, padahal pada saat itu daun-daun di atas pohon tak bergerak sama sekali, tanda bahwa tidak ada angin! Kalau saja Goat Lan tidak berada di atas genteng, tentu dia akan merasakan pula apa yang dirasakan oleh para hwesio itu, yaitu angin sambaran dari kedua orang itu sampai mendatangkan hawa dingin pada muka mereka!
Lama juga dua orang itu bertempur berputar-putaran, tipu dilawan tipu, gerakan-gerakan dilawan gerakan. Sebetulnya, kedua orang itu tidak bertempur untuk saling merobohkan, hanya mengadu kepandaian saja dan oleh karena mereka maklum akan kelihaian lawan masing-masing, maka tanpa dijanjikan lebih dahulu, mereka membatasi gerakan mereka dengan tipu-tipu gerakan yang dikeluarkan untuk kemudian dipecahkan oleh yang lain. Dengan demikian, mereka hanya saling serang dengan angin pukulan saja dan siapa yang tak dapat memecahkan sesuatu serangan, berarti kalah tinggi kepandaiannya.
Telah lima puluh jurus lebih kedua orang kakek itu mengeluarkan ilmu kepandaian, akan tetapi keduanya sama pandai dan sama tangguhnya. Im-yang Giok-cu terkenal dengan ilmu silat Im-yang Kim-na-hwat yang permainannya berdasarkan pada gerak berlawanan dari Im dan Yang, maka tenaga serangannya merupakan perpaduan dari tenaga kasar dan lemas dan lweekang-nya telah mencapai puncak yang amat tinggi.
Sebaliknya, sejak dikalahkan oleh Bu Pun Su, Sin Kong Tianglo juga terus melatih diri sehingga tidak saja tenaga lweekang-nya tidak berada di sebelah bawah tingkat Im-yang Giok-cu, akan tetapi ilmu silatnya juga telah maju amat hebatnya. Ilmu silatnya berbeda dengan ilmu silat cabang persilatan Gobi-pai dan bahkan dia telah menciptakan berbagai ilmu pukulan yang belum pernah dilihat orang lain.
Ketika itu, Goat Lan yang sedang menonton dengan hati kurang tertarik karena gerakan kedua orang kakek itu sangat lambat, mendadak mendengar suara ayahnya dari sebelah belakang, “Goat Lan, kau sedang berbuat apakah?”
Ia cepat menengok ke belakang dan alangkah heran dan juga girangnya ketika ia melihat bahwa ayah dan ibunya juga sudah berdiri di atas genteng, tidak jauh di belakangnya! Agaknya ayah ibunya telah semenjak tadi berdiri di situ.
Memang benar, sebenarnya Kwee An dan Ma Hoa telah semenjak tadi berdiri di tempat itu, dan secara diam-diam memperhatikan jalannya pertempuran sambil melihat ke arah anak mereka dengan hati geli. Tadinya mereka merasa gelisah juga ketika Thian Tiong Hosiang datang memberi tahu bahwa Goat Lan sudah menimbulkan keributan di antara dua orang kakek yang ternama sekali itu dan bahwa kedua kakek itu hendak mengambil murid anak mereka, bahkan kini sedang bertempur karena memperebutkan Goat Lan.
Mereka merasa gelisah kalau-kalau mereka terlambat dan anak mereka sudah dibawa pergi oleh kedua orang tua aneh itu. Akan tetapi, ketika mereka menuju ke Ban-hok-tong dengan berlari cepat sekali hingga Thian Tiong Hosiang tertinggal jauh, mereka melihat Goat Lan sedang mengintai ke bawah dari atas genteng dengan muka terlihat jemu dan bosan!
Kedua suami isteri ini menjadi lega dan mereka lalu mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang kakek yang masih saling serang itu. Bukan main terkejut hati Kwee An dan Ma Hoa melihat gerakan-gerakan mereka itu.
“Kepandaian mereka benar-benar hebat!” kata Kwee An kepada isterinya.
Ma Hoa mengangguk dan menarik napas panjang. “Memang benar, nama kedua tokoh ini bukan nama kosong belaka.”
Goat Lan bangun berdiri dan menghampiri ayah ibunya. Mendengar ucapan ayah ibunya yang memuji kepandaian dua orang kakek itu, dia berkata mencela, “Apanya sih yang hebat? Kepandaian mereka bahkan lebih jelek dari pada permainan catur mereka!”
Kwee An dan Ma Hoa sudah mendengar dari penuturan Thian Tiong Hosiang betapa Goat Lan memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu ketika bermain catur, maka mereka tersenyum geli.
“Anak bodoh, ilmu silat yang kau lihat amat lambat itu merupakan ilmu silat yang jarang terdapat di dunia ini! Mari kita turun untuk lebih mengenal dua orang tokoh besar itu!”
Kwee An memegang lengan tangan anaknya lalu dia melompat turun ke bawah bagaikan seekor burung alap-alap sedang menyambar mangsanya, diikuti oleh Ma Hoa yang juga melompat turun dengan indah dan cepatnya.
Baik Im-yang Giok-cu mau pun Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat melihat berkelebatnya dua bayangan orang ini, maka dengan heran mereka lalu berhenti bertempur dan memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa yang telah berdiri di hadapan mereka.
Kwee An dan Ma Hoa menjura kepada mereka dan Kwee An berkata, “Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua suami isteri yang bodoh sudah mendengar bahwa anak kami telah mengganggu Ji-wi, maka sengaja datang menghaturkan maaf!”
“Aha, pantas saja anak ini demikian baik, tidak tahunya ayah ibunya lihai dan mempunyai kepandaian tinggi!” kata Sin Kong Tianglo sambil memandang kagum.
Tiba-tiba Im-yang Giok-cu teringat akan sesuatu dan bertanya, “Apakah kau yang bernama Pendekar Bodoh?” Pertanyaan ini dia tujukan kepada Kwee An sambil memandang tajam.
Kwee An tersenyum dan diam-diam ia memuji nama Cin Hai yang sudah begitu terkenal sehingga tokoh besar ini pun sampai mengenalnya pula.
“Bukan, Locianpwe. Pendekar Bodoh adalah adik iparku dan kini dia tinggal di Propinsi An-hui. Siauwte bernama Kwee An sedangkan Suhu adalah mendiang Eng Yang Cu dari Kim-san-pai.”
Tosu kate itu mengangguk-angguk, “Hemm, aku kenal baik kepada Eng Yang Cu ketika dia masih hidup. Bagus, sebagai murid Kim-san-pai, kepandaianmu tak mengecewakan!”
Diam-diam Im-yang Giok-cu terheran karena melihat gerakan melompat turun dari Kwee An tadi, agaknya tingkat kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Eng Yang Cu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa setelah menerima pelajaran silat dari Eng Yang Cu, Kwee An masih menerima gemblengan-gemblengan ilmu silat tinggi dari mendiang Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, dan juga dari mendiang Hek Moko si Iblis Hitam. Maka apa bila dibandingkan, memang ilmu kepandaiannya sudah lebih tinggi dari mendiang suhu-nya itu!
“Sayang sekali bahwa ternyata Pendekar Bodoh tidak tinggal di sini lagi,” kata pula Sin Kong Tianglo sambil menarik napas panjang. “Biarlah kususul dia ke An-hui, akan tetapi, melihat bakat anakmu yang amat baik, kuharap kau berdua suami isteri rela memberikan anakmu untuk menjadi muridku.”
“Nanti dulu, Tianglo!” Im-yang Giok-cu berkata. “Aku pun berhak menjadi guru anak ini, karena pertandingan tadi pun tak dapat dianggap bahwa kau telah menang dariku!”
“Eh, ehh, kalau begitu mari kita lanjutkan pertandingan tadi,” mengajak Sin Kong Tianglo yang tak mau kalah.
“Ji-wi Locianpwe!” mendadak terdengar seruan Ma Hoa yang merasa mendongkol sekali melihat betapa anaknya diperebutkan oleh kedua orang kakek itu. “Anakku tidak akan menjadi murid siapa pun juga, maka tidak seharusnya Ji-wi memperebutkannya!”
Kedua orang kakek itu tercengang mendengar ucapan ini dan mereka lalu memandang kepada Ma Hoa dengan heran. “Ah, kau betul-betul seorang Ibu yang tidak sayang pada anak! Anakmu akan diberi pelajaran ilmu kepandaian tinggi, kenapa kau malah ribut-ribut menolaknya? Ketahuilah, andai kata kau hendak mencarikan guru bagi anakmu itu, biar pun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan mendapatkan guru seperti aku atau Sin Kong Tianglo ini!” jawab Im-yang Giok-cu dengan penasaran. Memang adat Si Kate ini agak keras.
Kwee An merasa serba salah. Ia maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia memang hendak menggunakan jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua orang kakek yang hendak mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi, siapa tahu isterinya telah mendahuluinya! Ia segera menjura kepada mereka dan berkata halus,
“Harap Ji-wi sudi memaafkan. Sesungguhnya kami, terutama isteriku, sangat berat untuk berpisah dengan anak kami yang hanya satu-satunya ini.”
Akan tetapi Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu tidak mau mempedulikannya, bahkan hwesio itu lalu bertanya kepada Ma Hoa.
“Apa bila kau menolak maksud kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang akan menjadi guru anak ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?”
Karena merasa dirinya dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan segera menjawab, “Kami sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan menjadi gurunya!”
Tiba-tiba kedua orang kakek itu saling pandang dan tertawa bergelak.
“Im-yang Giok-cu, lihatlah! Kalau ibunya demikian bersemangat, apa lagi anaknya! Anak itu sungguh bernasib baik mempunyai seorang ibu seperti ini!” kata hwesio itu.
Kemudian Im-yang Giok-cu memandang kepada Ma Hoa, lantas berkata dengan muka sungguh-sungguh, “Nyonya muda, kau harus sadar bahwa jaman ini adalah jaman yang buruk. Kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan anakmu ini bertulang baik dan patut menjadi calon pendekar! Apakah kau ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik ini? Apakah kau kira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat yang lebih baik dari pada kami kepada anakmu ini?”
Melihat suasana yang panas itu, Kwee An hendak maju menengahi, akan tetapi kembali dia didahului oleh isterinya yang berkata marah, “Locianpwe berdua terlalu memandang rendah orang lain. Mengenai ilmu kepandaian, siapakah yang belum mendengar nama Ji-wi? Aku yang muda memang hanya memiliki sedikit kebodohan, akan tetapi kalau Ji-wi merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba dan uji!”
Ucapan ini merupakan tantangan halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan telah dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali!
Kedua orang kakek itu kembali saling pandang dan mereka tertawa gembira.
“Bagus, bagus!” kata Im-yang Giok-cu. “Tianglo, kita sudah bertemu dengan orang-orang yang bersemangat! Mari kita mencoba kepandaian orang-orang muda yang bersemangat besar ini!”
“Nanti dulu,” kata hwesio itu, “tantangan orang muda sekali-kali tidak boleh ditolak. Akan tetapi, lebih baik diatur begini saja!” Sambil berkata demikian dia memandang pada Kwee An dan Mai Hoa. “Kalian berdua main-main sebentar dengan kami orang-orang tua, bila kalian anggap bahwa kepandaian kami cukup berharga, kalian harus merelakan anakmu ini menjadi muridku!”
“Ehh, bukan! Menjadi muridku!” kata tosu itu.
Kembali mereka bercekcok dan berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.
“Kalau begini, takkan ada habis-habisnya,” kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar berkata, “Baiklah diatur begini, Im-yang Giok-cu. Jika nanti kita berdua dapat dikalahkan oleh orang-orang muda ini, berarti memang kepandaian kita masih rendah dan tak patut menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita berdua menjadi guru anak ini! Bagai mana?”
“Baik sekali!” kata Si Kate yang segera berkata kepada Ma Hoa.
“Nah, kalian boleh maju, hendak kami lihat sampai di mana kepandaianmu hingga berani menolak kami sebagai guru-guru anakmu!”
Kedua orang kakek itu segera bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An hanyalah murid Eng Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanya isteri dari jago muda itu, mana bisa memiliki kepandaian tinggi yang menyamai tingkat mereka?
Ma Hoa lalu memberi tanda kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan mata isterinya ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, kedua orang kakek ini memang memandang rendah kepada mereka, ke dua, jika anak tunggal mereka harus menjadi murid orang lain, terlebih dahulu ia harus membuktikan sampai di mana kelihaian orang itu.
Maka berbareng dengan isterinya, dia pun lantas maju menyerang Sin Kong Tianglo, ada pun Ma Hoa dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu dua batang bambu kuning yang panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar ibu jari tangannya!
Begitu sepasang suami isteri itu menyerang, kedua orang kakek itu berseru karena heran dan terkejut. Terutama Im-yang Giok-cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya muda itu dengan sangat cepatnya sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya, yang kiri menyambar arah leher sedangkan yang kanan melesat menuju ke pusar. Dua serangan yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalan-jalan darah yang berbahaya.
Juga Sin Kong Tianglo yang diserang oleh Kwee An dengan mempergunakan ilmu silat warisan Hek Moko, menjadi terkejut melihat betapa tangan kanan Kwee An melancarkan pukulan ke arah lambung, sedangkan tangan kiri pemuda itu diulur dengan jari terbuka mencengkeram pundak!
Keduanya cepat mengelak dan mengebutkan lengan baju untuk menolak dan membikin terpental tangan pasangan suami isteri itu, akan tetapi ternyata bahwa Kwee An yang ditangkis hanya miring sedikit kedudukan kuda-kudanya sedangkan Ma Hoa bahkan tak terpengaruh oleh tangkisan ujung baju Im-yang Giok-cu.
“Hebat sekali!” seru Im-yang Giok-cu yang segera menurunkan guci araknya yang tadi digantungkan di punggung, dan kini dia lantas menyerang dengan guci araknya ke arah kepala Ma Hoa!
“Lihai juga!” Sin Kong Tianglo juga berseru memuji dan kakek ini kemudian melanjutkan kata-katanya. “Orang muda, cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai di manakah kelihaianmu!”
Kwee An tidak ragu-ragu lagi dan segera mencabut pedangnya yang luar biasa, yaitu pedang Oei-kang-kiam yang bersinar kekuning-kuningan karena terbuat dari logam yang disebut baja kuning, karena itulah diberi nama Oei-kang-kiam (Pedang Baja Kuning). Pedang ini adalah pemberian puteri kepala suku bangsa Haimi yang bernama Meilani, yang pernah jatuh cinta kepadanya sebelum dia menikah dengan Ma Hoa. Kemudian dia kembali menyerang yang disambut oleh Sin Kong Tianglo dengan pisau dan keranjang obatnya.
Pertempuran berjalan berat sebelah dan sefihak, oleh karena ternyata bahwa dua orang kakek itu sama sekali tidak balas menyerang, hanya mempertahankan diri saja, karena memang mereka hanya bermaksud menguji kepandaian suami isteri itu. Namun setelah bertempur beberapa puluh jurus lamanya, makin heranlah mereka berdua.
Sin Kong Tianglo mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang milik Kwee An benar-benar luar biasa dan tingkat kepandaian orang muda ini tak kalah oleh tingkat kepandaian Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai. Juga ilmu pedang Kwee An meski sebagian menunjukkan pelajaran Kim-san-pai, akan tetapi sudah tercampur dengan ilmu pedang lain yang amat aneh dan dahsyat! Memang Kwee An telah mencampur adukkan ilmu pedangnya dengan pelajaran-pelajaran yang dia terima dari Nelayan Cengeng dan Hek Moko.
Yang lebih-lebih merasa heran adalah Im-yang Giok-cu. Begitu tadi Ma Hoa menyerang dengan sepasang bambu kuning dia langsung merasa heran dan terkejut, karena senjata macam ini setahunya hanya dimiliki oleh seorang tokoh besar dari timur, yakni Hok Peng Taisu. Akan tetapi dia masih meragukan dugaannya ini dan melayani nyonya muda itu dengan guci araknya.
Tidak disangkanya, permainan bambu kuning yang ada di kedua tangan nyonya muda ini demikian hebatnya sehingga ia harus berlaku cepat dan gesit karena tubuhnya terkurung oleh ujung-ujung bambu kuning yang sekarang agaknya sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya itu!
“Tahan dulu!” Im-yang Giok-cu berseru sambil melompat mundur, diturut oleh Sin Kong Tianglo.
Biar pun baru bertempur puluhan jurus, baik Kwee An mau pun Ma Hoa maklum bahwa ilmu kepandaian dua orang kakek ini benar-benar hebat dan masih lebih tinggi dari pada tingkat mereka. Buktinya, selama itu mereka sama sekali tidak pernah membalas, dan hanya menangkis atau mengelak saja, namun pertahanan mereka begitu kuat biar pun gerakan mereka nampak lambat sehingga pedang di tangan Kwee An dan bambu kuning di tangan Ma Hoa seakan-akan menghadapi benteng baja yang kuat! Maka mendengar seruan Im-yang Giok-cu, mereka pun menahan senjata masing-masing.
Para hwesio dan juga Thian Tiong Hosiang yang semenjak tadi menonton dan berdiri di situ, merasa kagum dan tidak ada yang mengeluarkan suara.
“Toanio, apakah kau murid Hok Peng Taisu?”
Ma Hoa menjura dan menjawab, “Benar Locianpwe, Hok Pek Taisu adalah Suhu-ku.”
Im-yang Giok-cu tiba-tiba saja tertawa bergelak dengan suaranya yang parau dan besar. “Ha-ha-ha, inilah yang disebut kalau belum bertanding belum kenal dan tahu! Ketahuilah, bahwa aku adalah Sute (Adik Seperguruan) dari Suhu-mu!”
Ma Hoa terkejut sekali, sebab memang suhu-nya tak pernah mau menuturkan riwayatnya sehingga dia belum pernah tahu bahwa suhu-nya itu mempunyai seorang sute, bahkan sebenarnya Hok Peng Taisu mempunyai pula seorang suheng (kakak seperguruan). Dia percaya penuh kepada orang tua ini karena tak mungkin orang berilmu tinggi seperti dia itu mau mendusta.
Namun, Im-yang Giok-cu tersenyum dan melanjutkan, “Tentu kau kurang percaya kalau belum dibuktikan. Memang ilmu bambu kuning yang kau mainkan itu merupakan ciptaan suheng-ku sendiri sehingga aku tak dapat memainkannya. Akan tetapi ketahuilah bahwa dasar-dasar ilmu silat bambu runcing itu adalah ilmu silat Im-yang Kun-hwat dari cabang kami. Sekarang marilah kita main-main sebentar, jika dalam sepuluh jurus aku tak dapat mengalahkan kau, jangan kau mau percaya bahwa aku adalah Susiok-mu (Paman Guru) sendiri!”
Ma Hoa sebenarnya sudah percaya, tetapi mendengar ucapan ini, dia mau mencobanya juga. Masa dalam sepuluh jurus ia akan dikalahkan? Ia lalu berkata, “Maafkan kelancangan teecu (murid)!” lalu ia maju menyerang dengan bambu kuningnya.
Im-yang Giok-cu mempergunakan gucinya menangkis ada pun tangan kirinya menyerang dengan cengkeraman ke arah pergelangan tangan Ma Hoa. Gerakannya otomatis dan cepat sekali sehingga Ma Hoa menjadi amat terkejut, akan tetapi nyonya muda ini masih terlampau gesit untuk dapat dikalahkan dalam segebrakan saja.
Ia cepat menarik kembali tangannya yang dicengkeram lantas melanjutkan serangannya dengan jurus kedua. Kini Im-yang Giok-cu membalas setiap serangan dan gerakannya yang lambat itu sebetulnya tak dapat dikata lambat. Memang aneh, jika tangan kanannya menangkis dengan lambat, tangan kirinya menyusul cepat sekali melakukan serangan, seolah-olah bahkan mendahului gerakan tangan kanan, dan demikian sebaliknya hingga Ma Hoa menjadi bingung.
Tepat pada jurus ke sepuluh, ketika Ma Hoa menyerang dengan tusukan bambu kuning di tangan kanan pada leher kakek itu sedangkan tangan kiri menotokkan bambu kuning itu pada jalan darah hong-hut-hiat di dada, tiba-tiba Im-yang Giok-cu memiringkan kepala dan secepat kilat menggigit bambu kuning yang tadinya menyerang leher itu, sedangkan ketika bambu kuning yang kedua menotok dadanya, dia cepat menggunakan ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga saat bambu itu menotok jalan darahnya, Ma Hoa merasa betapa dada itu menjadi keras bagaikan batu karang dan sebelum dia hilang kagetnya, tangan kiri kakek itu telah menangkap bambunya! Dengan bambu kuning di tangan kiri terpegang, maka berarti ia telah kalah!
Ma Hoa melepaskan kedua senjatanya lalu berlutut dan menyebut, “Susiok!”
Im-yang Giok-cu melepaskan kedua bambu kuning itu dan tertawa bergelak.
“Aduh, sungguh berbahaya! Hampir saja aku mendapat malu dan terpaksa kau tak akan mengakui aku sebagai Paman Gurumu! Sungguh tak mengecewakan kau menjadi murid Suheng-ku, sayang bahwa kau agaknya belum cukup lama belajar dari Suheng-ku itu!” Memang kata-kata ini benar karena sesungguhnya, Ma Hoa hanya belajar silat kepada Hok Peng Taisu selama tiga atau empat bulan saja.
Kwee An juga memberi hormat dengan menjura kepada susiok dari isterinya itu.
“Dengarlah, Kwee An dan kau juga, ehhh, siapa pula namamu?” tanya kakek itu kepada Ma Hoa.
“Teecu bernama Ma Hoa.”
“Hemm, bagus, dengarlah. Kalau kalian memang sayang kepada anakmu yang berbakat baik itu biarlah dia kalian serahkan kepada kami untuk dididik selama empat atau lima tahun. Kami akan membawanya ke Bukit Long-ki-san yang tak berapa jauh letaknya dari sini. Kawanku ini, Sin Kong Tianglo, adalah seorang tokoh besar dari Gobi-san dan ilmu kepandaiannya tak boleh disebut lebih rendah dari pada kepandaianku, sungguh pun tak mudah pula baginya untuk mengalahkan aku. Kalau kalian rela melepas anakmu, maka itu berarti bahwa nasib anakmu memang baik. Tapi, kalau kalian tidak membolehkannya, setelah kini aku mengetahui bahwa kau adalah murid Suheng-ku, tentu saja aku takkan memaksa.”
Sebenarnya Ma Hoa merasa berat sekali jika harus berpisah dari puterinya, akan tetapi karena dia maklum bahwa apa bila puterinya menjadi murid kedua orang tua itu kelak akan menjadi orang yang tinggi kepandaiannya, ia menjadi ragu-ragu untuk menolaknya. Ia memandang kepada suaminya dengan mata mengandung penyerahan.
“Ji-wi Locianpwe,” kata Kwee An dengan hormat, “teecu berdua tentu saja merasa amat berbahagia apa bila anak teecu menerima pelajaran dari Ji-wi. Akan tetapi oleh karena teecu hanya memiliki seorang anak, maka perkenankanlah teecu berdua sewaktu-waktu datang menengok anak kami itu.”
“Boleh, boleh...,” Im-yang Giok-cu berkata sambil tertawa, “tentu saja hal itu tidak ada halangannya.”
“Goat Lan, kau tentu suka menjadi murid kedua Locianpwe ini, bukan?” tanya Ma Hoa kepada anaknya. “Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dari pada ayah bundamu sendiri, dan ketahuilah bahwa Locianpwe ini adalah Susiok-kongmu sendiri.”
Semenjak tadi, Goat Lan telah mendengarkan percakapan orang-orang tua dengan amat teliti, maka sebagai seorang anak yang cerdik sekali dia segera maklum bahwa tidak ada guru-guru yang lebih sempurna baginya dari pada dua kakek yang aneh dan yang bodoh kepandaian caturnya itu. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Teecu merasa suka sekali menjadi murid Ji-wi Suhu (Guru Berdua).”
Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo saling pandang dan tertawa bergelak dengan hati puas, akan tetapi Goat Lan lalu berdiri dan memeluk ibunya.
“Ibu, kalau kau lama sekali tidak datang mengunjungi tempatku, aku akan minggat dari tempat tinggal Suhu dan pulang sendiri!”
Semua orang tertawa mendengar ucapan yang nakal ini.
“Jangan khawatir, Goat Lan. Kami juga tak akan merasa senang kalau terlalu lama tidak bertemu dengan kau,” kata Kwee An.
Kedua orang kakek itu lalu mengajak Goat Lan pergi dari sana, tidak mau ditahan-tahan lagi. Karena maklum bahwa mereka adalah orang-orang berwatak aneh, maka Kwee An dan Ma Hoa juga tidak berani memaksa dan menahannya. Setelah memeluk ayah ibunya dengan mesra, dan mendengar bisikan ibunya, “Goat Lan, jangan menangis dan jangan nakal!” Goat Lan lalu dituntun oleh kedua suhu-nya di kanan kiri dan sekali kedua kakek itu berkelebat, maka anak perempuan itu telah dibawa lompat dan lenyap dari situ!
Kwee An dan Ma Hoa saling pandang. Terharulah hati Kwee An melihat betapa kedua mata isterinya yang tercinta itu menjadi basah, maka dia lalu mengajak isterinya pulang dan menghiburnya.
Kita tinggalkan dahulu Goat Lan yang sedang dibawa oleh kedua orang suhu-nya untuk berlatih silat di atas puncak Bukit Liong-ki-san, sebuah bukit yang puncaknya nampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Lili atau Sie Hong Li, puteri dari Pendekar Bodoh yang ikut merantau bersama suhu-nya, yaitu Sinkai Lo Sian si Pengemis Sakti itu.
Karena Lili tidak pernah mau mengaku setiap kali ditanya tentang orang tuanya, lambat laun Lo Sian tak mau bertanya lagi dan ia pun telah merasa suka sekali kepada muridnya yang jenaka ini. Dia merasa hidupnya berubah menjadi penuh kegembiraan sesudah dia mendapatkan murid ini dan ia membawa Lili ke tempat-tempat yang indah dan kota-kota yang besar sambil memberi latihan silat kepada muridnya.
Lili juga terhibur dan merasa suka kepada suhu-nya yang ramah tamah dan tidak galak. Di dekat suhu-nya ia merasa seakan-akan dekat dengan engkongnya (kakeknya), Yousuf atau Yo Se Fu. Kadang-kadang memang amat rindu kepada ayah bundanya dan kepada kakeknya, akan tetapi anak yang memiliki kekerasan hati luar biasa ini mampu menekan perasaannya dan sama sekali tak pernah memperlihatkan kelemahan hati dan perasaan rindunya.
Lo Sian membawa muridnya merantau ke barat, dan pada suatu hari mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang belum pernah dimasuki Lo Sian. Hutan itu besar sekali, penuh dengan pohon-pohon yang ratusan tahun usianya.
“Lili, mari kita mempercepat perjalanan kita,” ajaknya kepada Lili yang sebentar-sebentar berhenti untuk memetik kembang.
Dia tertawa geli dan juga kagum melihat Lili memetik setangkai kembang mawar yang lalu ditancapkan di atas telinga kanan. Bunga itu berwarna putih sehingga pantas sekali dengan bajunya yang merah.
“Hayo kita berlari cepat, Lili. Hari sudah mulai gelap dan sebentar lagi malam akan tiba. Kalau kita kemalaman di hutan ini, tentu terpaksa kita harus tidur di atas pohon!”
“Tidak apa, Suhu,” jawab Lili sambil tertawa. “Teecu tidak akan jatuh lagi.”
Suhu-nya tertawa. Muridnya ini memang luar biasa tabahnya. Beberapa hari yang lalu ketika mereka kemalaman dalam sebuah hutan dan tidur di atas cabang pohon besar, di dalam tidurnya Lili bermimpi dan ngelindur sehingga terpelanting jatuh dari atas pohon!
Akan tetapi, anak ini benar-benar mempunyai ketenangan dan hati yang berani sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, dia telah sadar dan dapat mempergunakan ginkang-nya yang sudah baik sekali itu untuk mengatur keseimbangan tubuh dan dapat melompat turun dengan baik. Kalau ia tidak tenang dan berlaku cepat, setidaknya tentu akan menderita tulang patah! Akan tetapi, Lili tidak menjadi pucat atau ketakutan sedikit pun, bahkan tertawa-tawa ketika suhu-nya melompat ke bawah dan bertanya kepadanya.
“Suhu, aku bermimpi berkelahi dengan monyet di atas pohon dan aku tergelincir jatuh!” katanya sambil tertawa!
Kini mereka mempergunakan kepandaian berlari cepat dan dalam kepandaian ini, Lili benar-benar memiliki kecepatan yang mengagumkan. Sebelum menjadi murid Lo Sian, gadis cilik ini memang sudah memiliki ginkang luar biasa berkat latihan ayah bundanya. Oleh karena ia telah memiliki dasar-dasar untuk pelajaran ilmu silat tinggi, maka dengan mudah Lo Sian menambah pengetahuan serta kepandaian muridnya itu yang mampu menangkap dan mempelajari serta melatih dengan lancar dan mudah sekali.
Pada waktu mereka hampir keluar dari hutan, tiba-tiba saja Lo Sian menahan larinya dan memandang ke kiri. Lili juga menahan tindakannya dan turut memandang karena wajah suhu-nya memperlihatkan keheranan. Memang sungguh aneh, di tempat yang sunyi itu dan tersembunyi di balik pohon-pohon besar, kelihatan sebuah bangunan kelenteng yang mentereng dan bersih sekali. Lantainya mengkilap dan temboknya terkapur putih bersih. Benar-benar mengherankan sekali.
“Ehh, Suhu. Rumah siapakah begini indah di dalam hutan ini?”
“Sstt, aku pun sedang heran memikirnya. Mari kita menyelidiki, aku ingin sekali tahu.”
Lo Sian dengan diikuti oleh Lili lalu menyelinap di antara pohon-pohon itu dan mendekati bangunan yang besar dan indah tadi. Karena di bagian depan nampak kosong dan sunyi, mereka lalu mengitari rumah itu dan akhirnya tiba di sebelah belakang.
Lo Sian mengajak Lili mendekati kelenteng itu dan mendadak mereka mendengar suara anak kecil tertawa-tawa penuh ejekan. Lo Sian dan Lili menghampiri lantas bersembunyi di balik daun-daun pohon. Alangkah terkejut dan heran hati mereka ketika melihat dua orang anak laki-laki di ruangan belakang yang berlantai mengkilap itu.
Seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan Lili nampak tangannya terikat ke belakang dan bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang kurus dan perutnya yang gembung. Melihat wajahnya yang pucat serta perutnya yang gembung itu dapat diduga bahwa ia adalah seorang anak miskin yang sering kali menderita kelaparan dan agaknya perutnya yang gendut itu penuh dengan cacing!
Di depan anak kecil yang tangannya terikat itu, tampak berdiri seorang hwesio kecil yang berkepala gundul licin. Hwesio kecil ini memegang sebatang pisau belati dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menuding ke arah anak yang terikat itu. Suara ketawa tadi adalah suara ketawa dari si hwesio itu.
“Ha-ha-ha! Hendak kulihat kebenaran ucapan Suhu,” terdengar hwesio kecil itu berkata. “Kalau orang kurus perutnya gendut, itu berarti bahwa perutnya penuh cacing! Aku tidak percaya keterangan Suhu ini karena biasanya cacing berada di dalam tanah, mana bisa berada di dalam perutmu? Kau datang hendak mencuri makanan dan sudah sepatutnya mendapat sedikit hukuman. Aku tidak akan membinasakanmu, hanya akan membuktikan kebenaran ucapan Suhu. Kalau betul di dalam perutmu terdapat banyak cacing, betapa lucunya! Ha-ha-ha, biarlah aku menolongmu dan hanya melenyapkan cacing-cacing dari dalam perutmu. Aku adalah ahli bedah yang pandai!”
Sambil berkata demikian, hwesio kecil itu menunjuk-nunjuk perut yang gendut dari anak yang terikat kedua tangannya itu. Sungguh mengagumkan sekali bahwa anak kecil yang terikat itu tidak menjadi ketakutan mendengar ini, bahkan lalu tertawa!
“Kau hwesio gila, persis seperti gurumu! Memang kau dan gurumu orang-orang gila yang pura-pura menjadi hwesio. Aku memang hendak mencuri makanan karena perutku lapar. Sekarang kau telah menangkapku, mau bunuh mau sembelih, atau pun mau membedah perutku, terserah. Aku tidak takut!”
“Bagus, maling hina dina! Sekarang juga aku hendak mengeluarkan cacing dari perutmu yang buncit ini!”
Hwesio kecil itu melangkah maju dan dengan tangan kirinya dia meraba-raba perut anak kecil yang terikat tangannya, seakan-akan hendak memilih dulu tempat yang tepat untuk dibelek!
“Suhu…,” dengan mata terbelalak Lili menoleh kepada suhu-nya dan menunjuk ke arah kedua anak itu, “hwesio gila itu hendak membunuhnya!”
Lo Sian juga merasa terkejut bukan main melihat kelakuan hwesio itu dan diam-diam dia mengagumi anak miskin itu, maka ia mengambil keputusan hendak menolongnya. Pohon di belakang mana mereka bersembunyi mempunyai banyak buah-buah kecil dan cukup keras. Ia memetik sebutir buah yang tergantung paling rendah dan ketika hwesio kecil itu hendak mulai dengan perbuatannya yang keji, Lo Sian menggerakkan tangannya. Buah kecil itu lalu meluncur cepat sekali dan dengan cepat menghantam ke arah pergelangan hwesio kecil yang memegang pisau!
Akan tetapi, ternyata hwesio yang masih kecil dan usianya sebaya dengan anak miskin itu, amat lihai dan agaknya dapat mendengar suara sambaran buah itu. Ia cepat menarik tangannya dan buah itu kini menyambar ke arah pisau yang dipegangnya!
“Trangg...!” Pisau itu jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring dan hwesio kecil itu melompat mundur dengan cepat dan kaget.
Pada saat itu, Lo Sian dan Lili melompat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke dalam ruang itu. Hwesio kecil yang berhati kejam itu ketika melihat dua orang muncul dari balik pohon, segera membungkuk dan memungut pisaunya tadi. Dia melihat kepada Lo Sian dan dengan berani sekali, dia menyambut kedatangan Lo Sian dengan serangan pisaunya!
Si Pengemis Sakti terkejut juga melihat betapa serangan ini cukup hebat dan berbahaya, maka ia lalu miringkan tubuhnya dan mengulur tangan hendak merampas pisau itu. Akan tetapi, alangkah herannya ketika hwesio kecil itu dapat mengelak pula!
Sementara itu, Lili segera menghampiri anak yang terikat tangannya dan cepat membuka ikatan tangan. Anak itu memandang kepadanya dengah mata mengandung rasa terima kasih, akan tetapi mereka berdua lalu berpaling menonton pertempuran antara Lo Sian dan hwesio kecil tadi.
Sebetulnya tidak tepat kalau disebut pertempuran, oleh karena Lo Sian sebetulnya hanya ingin mencoba sampai di mana kelihaian anak ini dan sengaja tidak ingin membalas. Dia memperhatikan gerakan hwesio itu dan diam-diam merasa amat terkejut ketika mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh hwesio kecil itu.
Ia cepat mengulur tangan dan dengan gerakan kilat berhasil menotok pundak hwesio itu yang segera roboh dengan tubuh lemas. Ternyata bahwa Lo Sian sudah menotok jalan darahnya yang membuatnya menjadi lemas dan tidak berdaya, sungguh pun totokan itu tidak mendatangkan rasa sakit.
“Hayo kita cepat pergi dari sini!” kata Lo Sian kepada Lili dan anak itu.
Karena maklum bahwa anak miskin itu tidak dapat berlari cepat, Lo Sian lalu memegang tangannya dan sebentar kemudian anak itu merasa terheran-heran sebab kedua kakinya tidak menginjak tanah dan tubuhnya melayang-layang ditarik oleh pengemis aneh yang menolongnya.
Lili merasa heran sekali melihat betapa suhu-nya berlari seolah-olah takut pada sesuatu. Akan tetapi melihat kesungguhan wajah suhu-nya, ia tak banyak bertanya dan mengikuti suhu-nya dengan cepat.
Setelah senja berganti malam dan keadaan menjadi gelap, mereka pun tiba di luar dusun yang berdekatan dengan hutan itu, dan ketika itu barulah Lo Sian menghentikan larinya. Akan tetapi pengemis sakti itu masih nampak gelisah dan berkata,
“Kita bermalam di sini saja.” Lalu dia mengajak Lili dan anak miskin itu duduk di tempat yang jauh dari jalan kecil menuju ke kampung, bersembunyi di balik gerombolan pohon.
“Mengapa kita tidak mencari tempat penginapan di dusun, Suhu?”
Suhu-nya menggelengkan kepala. “Terlalu berbahaya.”
“Suhu, mengapa Suhu melarikan diri? Apakah yang ditakutkan? Hwesio kecil itu sudah kalah dan kenapa kita harus berlari-lari ketakutan?” tanya Lili dengan suara mengandung penuh penasaran.
“Kau tidak tahu, Lili. Melihat dari gerakan ilmu silatnya, hwesio kecil itu tentu seorang pelayan atau murid dari seorang tua yang sangat jahat dan lihai. Kalau betul dugaanku, maka berbahayalah apa bila kita bertemu dengan dia!”
“Siapakah orang jahat itu, Suhu?”
Lo Sian menghela napas. “Dia itu adalah Ban Sai Cinjin, seorang pertapa yang sangat sakti dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi juga amat jahat dan kejam. Aku sama sekali tak kuat menghadapinya. Kepandaiannya sangat tinggi dan ilmu silatnya luar biasa sekali. Pernah aku melihat ia menghajar lima orang kang-ouw yang gagah, dan karena itu ketika aku melihat gerakan hwesio kecil tadi, aku dapat menduga bahwa kepandaian hwesio kecil itu tentu datang dari Ban Sai Cinjin!”
“Akan tetapi, Suhu...”
Tiba-tiba Lo Sian menggunakan tangannya untuk menutup mulut muridnya.
“Ssshhh...” bisiknya. Lili menjadi heran, dan anak miskin itu pun diam tak berani berkutik sedikit pun.
Tak lama kemudian, di dalam gelap terlihat bayangan orang yang bergerak cepat sekali. Bayangan itu setelah dekat ternyata adalah bayangan seorang tua yang gemuk sekali, agak pendek dan gerakan dua kakinya ketika berlari di atas jalan kecil menuju ke dusun itu benar-benar hebat!
Lili melihat betapa kedua kaki orang tua gemuk pendek itu seakan-akan tidak menginjak tanah, akan tetapi jelas sekali kelihatan betapa tanah yang dilalui oleh orang itu melesak ke dalam karena injakan kakinya ketika berlari.
Ketika orang yang berlari itu berkelebat di dekat tempat mereka sedang bersembunyi, Lili mendengar suara yang parau dari orang itu berkata-kata seorang diri bagaikan sedang berdoa,
“Siauw-koai (Setan Kecil), Lo-koai (Setan Besar), semuanya harus tunduk kepadaku!” Ucapan ini terdengar berkali-kali, makin lama makin perlahan sehingga akhirnya lenyap bersama bayangan orang gemuk yang luar biasa itu! Ternyata bahwa ia lari menghilang ke dalam dusun di depan.
Barulah Lo Sian bergerak dan menghela napas ketika orang itu sudah pergi dan lenyap. “Hebat...!” bisiknya.
“Suhu, dia itukah orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin?”
Gurunya mengangguk di dalam gelap. “Sekarang dia sedang mencari kita di dusun itu dan kalau kita tadi bermalam di sana, tentu kita semua akan tewas di dalam tangannya yang kejam.”
“Akan tetapi, Suhu. Ia kelihatan bukan seperti seorang hwesio. Kepalanya biar pun botak, akan tetapi tidak gundul dan pakaiannya mewah sekali!”
“Memang aneh. Dulu ia gundul dan berpakaian seperti hwesio. Heran benar, sekarang ia agaknya telah menjadi orang biasa dan bajunya yang dari bulu itu menandakan bahwa ia benar-benar seorang kaya raya! Aneh!”
Kalau Lili dan Lo Sian dapat melihat keadaan orang yang lewat tadi dengan jelas, adalah anak miskin itu hanya melihat bayangannya yang berkelebat saja.
“Memang Ban Sai Cinjin seorang kaya!” katanya. “Kaya raya, kejam, dan gila!”
Setelah mendengar suara ini, barulah Lo Sian agaknya teringat bahwa ada orang lain di situ. Ia memandang kepada anak miskin itu dan bertanya, “Anak yang malang, siapakah kau dan coba ceritakan pula keadaan Ban Sai Cinjin yang kau ketahui.”
Anak itu lalu menceritakan bahwa ia bernama Thio Kam Seng, yatim piatu semenjak kecil karena ayah bundanya meninggal dunia akibat sakit dan kelaparan. Semenjak usia enam tahun ia hidup seorang diri sebagai seorang pengemis, merantau dari kota ke kota dan dari dusun ke dusun. Akhirnya ia sampai di dusun Tong-sim-bun di depan itu dan telah setahun lebih ia tinggal di dusun itu dan hidup sebagai seorang pengemis.
Ia mengetahui tentang Ban Sai Cinjin yang dikatakan sebagai seorang hartawan besar, memiliki banyak rumah dan toko di dusun itu, bahkan telah mendirikan sebuah kelenteng besar di dalam hutan sebagai tempat pertapaannya! Watak dari Ban Sai Cinjin yang kejam dan aneh itu memang telah terkenal, akan tetapi oleh karena orang tua ini amat kaya, dan pula tinggi kepandaiannya, tak seorang pun berani mencelanya.
“Aku mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hidup mewah di dalam kelentengnya itu, bahkan sering mendatangkan penyanyi-penyanyi dari kota dan sering pula memesan masakan-masakan mewah. Karena aku merasa amat lapar, aku mencoba untuk mencuri makanan di kelenteng itu. Sungguh celaka aku terlihat oleh hwesio kecil yang kejam itu dan hampir saja celaka kalau tidak mendapat pertolongan In-kong (Tuan Penolong).”
Lo Sian si Pengemis Sakti tidak mengira sama sekali bahwa Ban Sai Cinjin adalah guru dari orang yang menculik Lili! Memang, sesungguhnya Ban Sai Cinjin ini adalah pertapa sakti yang pernah memberi pelajaran silat kepada Bouw Hun Ti atau penclilik Lili itu.
Kepandaian Ban Sai Cinjin memang sangat hebat dan sesudah merasakan kesenangan dunia, pertapa ini sekarang menjadi seorang yang suka mengumbar nafsunya. Dia dapat mengumpulkan harta kekayaan dan menjadi seorang hartawan besar, hidup mewah dan suka mengganggu anak bini orang.
Akan tetapi, untuk menutupi mata umum, ia mendirikan sebuah kelenteng besar di mana katanya digunakan sebagai tempat ‘menebus dosa’ dan bersemedhi. Padahal sebetulnya tempat ini merupakan tempat persembunyiannya di mana ia menghibur diri dengan cara yang amat tidak mengenal malu. Di tempat inilah dia dapat berlaku leluasa, jauh dari mata orang dusun atau orang kota.
Ban Sai Cinjin sangat terkenal akan kelihaiannya dalam hal ginkang dan lweekang, juga senjatanya amat ditakuti orang. Senjata ini memang istimewa sekali, karena merupakan huncwe (pipa tembakau) yang panjang dan terbuat dari pada logam yang keras diselaput emas!
Pada waktu-waktu biasa, ia menggunakan huncwe-nya ini sebagai pipa biasa yang diisi dengan tembakau-tembakau yang paling mahal dan enak, juga kantong tembakaunya yang tergantung pada gagang huncwe ini terisi penuh dengan tembakau yang kekuning-kuningan bagaikan benang emas.
Akan tetapi pada saat dia menghadapi musuh, kantong itu akan berganti dengan sebuah kantong lain yang berisikan tembakau luar biasa sekali yang berwarna hitam. Dan apa bila ia mengambil tembakau ini lalu dinyalakan di dalam pipanya, maka akan tercium bau yang sangat tidak enak dan keras sekali. Asap tembakau ini saja sudah cukup membuat lawannya menjadi pening dan pikirannya kacau karena sebetulnya asap ini mengandung semacam racun yang berbahaya dan melemahkan semangat.
Apa lagi kalau ia sudah mainkan senjata istimewa ini yang terputar cepat dan dari mulut pipa itu menyembur bunga api karena tembakau yang masih terbakar itu tertiup angin, bukan main berbahayanya. Oleh karena ini pula, maka Ban Sai Cinjin mendapat julukan Si Huncwe Maut!
Lo Sian yang berhati budiman itu menjadi tergerak hatinya ketika mendengar penuturan anak miskin itu. Ia memandang kepada Thio Kam Seng yang kurus dan pucat, dan biar pun ia maklum bahwa anak ini tidak memiliki cukup bakat dan kecerdikan untuk menjadi seorang ahli silat, namun dia tadi telah menyaksikan sendirl bahwa anak ini cukup tabah dan berjiwa gagah. Tadi sudah disaksikannya betapa anak ini menghadapi maut di ujung pisau hwesio kecil itu dengan berani.
“Kam Seng, apakah kau suka ikut padaku dan belajar silat agar kelak jangan sampai kau terhina orang?”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba saja anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil menangis! Saking girang dan terharunya, ia sampai tak dapat mengeluarkan satu patah pun kata, hanya berkata terputus-putus, “Suhu..., Suhu...”
Setelah pada malam hari itu bersembunyi di sana, keesokan harinya pagi-pagi sekali Lo Sian mengajak kedua orang muridnya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menggandeng tangan Kam Seng agar perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.
Beberapa hari lewat tanpa terasa dan mereka telah memasuki Propinsi Sensi. Pada saat mereka lewat kota Tai-goan, Lo Sian sengaja mampir di kota yang besar dan ramai itu. Kota Tai-goan terkenal dengan araknya yang terbuat dari pada buah leci, dan karena Lo Sian adalah seorang yang suka sekali minum arak, maka sampai beberapa hari ia tidak mau tinggalkan kota itu dan memuaskan dirinya dengan minuman yang enak ini.
Pada suatu hari, ketika ia dan kedua orang muridnya keluar dari sebuah rumah makan di mana ia telah menghabiskan banyak cawan arak, ia mendengar orang berseru keras dan tiba-tiba orang itu menyerangnya dengan pukulan hebat ke arah dadanya.
Lo Sian cepat mengelak dan alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa yang menyerang dirinya ini bukan lain adalah orang brewok yang dahulu menculik Lili! Memang orang ini bukan lain adalah Bouw Hun Ti yang sedang berusaha mencari gurunya dan karena dia melakukan perjalanan berkuda dengan cepat, maka dia telah sampai di tempat itu lebih dulu dan kini ia hendak kembali ke timur setelah mendengar bahwa suhu-nya kini tinggal di dusun Tong-sim-bun.
Kebetulan sekali di kota Tai-goan ini dia bertemu dengan Lo Sian, pengemis yang sudah merampas Lili dari padanya itu! Tanpa menunggu lagi dia segera mengirim pukulan maut yang baiknya masih dapat dikelit oleh Lo Sian.
Lo Sian maklum bahwa orang ini mempunyai kepandaian yang tinggi, maka dia segera mencabut pedangnya yang selalu disembunyikan di dalam bajunya. Bouw Hun Ti tertawa bergelak melihat ini dan segera mencabut goloknya.
“Jembel hina dina! Hari ini kau pasti akan mampus di ujung golokku!” serunya keras sambil menyerang.
Lo Sian menangkis dan mereka lalu bertempur hebat di depan rumah makan itu. Semua orang yang menyaksikan pertempuran ini tidak ada satu pun yang berani turut campur, bahkan mereka lari cerai berai karena takut melihat dua orang itu mainkan senjata tajam secara demikian hebatnya.
Sementara itu, ketika melihat bahwa yang menyerang suhu-nya adalah penculik brewok yang dibencinya, seketika Lili menjadi pucat karena terkejut sekali. Akan tetapi anak ini memang hebat sekali keberaniannya. Ia tidak melarikan diri, bahkan lalu mengumpulkan batu-batu kecil dan mulai menyambit ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari Bouw Hun Ti.
Sungguh pun sambitan batu yang dilepas oleh Lili ini apa bila ditujukan kepada orang biasa akan merupakan serangan yang amat berbahaya, akan tetapi terhadap Bouw Hun Ti sama sekali tidak ada artinya. Tidak saja semua batu itu terlempar ketika terpukul oleh sinar goloknya, biar pun andai kata mengenai tubuhnya pun tak akan terasa olehnya!
Kam Seng yang melihat suhu-nya bertempur melawan seorang laki-laki brewok yang berwajah galak menyeramkan, dan juga melihat betapa Lili menyambit dengan batu, tak mau tinggal diam dan ia pun mulai menyambit pula! Akan tetapi, ia segera menghentikan bantuannya ini karena pandangan matanya telah menjadi kabur dan silau, ketika kedua orang yang bertempur itu kini telah lenyap terbungkus oleh sinar senjata. Kam Seng tidak dapat membedakan lagi mana gurunya dan mana lawan gurunya!
Akan tetapi, Lili yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi dan sepasang matanya yang bening sudah terlatih baik semenjak kecil oleh ayah ibunya, masih dapat melihat gerakan suhu-nya dan gerakan musuh itu, maka masih saja ia melanjutkan sambitannya, kini lebih hati-hati dan membidik dengan baik. Sungguh pun serangan Lili ini tidak berarti baginya, namun cukup membikin gemas hati Bouw Hun Ti.
“Setan kecil, lebih dulu kubikin mampus kau!” serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat menyambar Lili dan goloknya membacok ke arah kepala anak kecil itu!
“Membantu yang terdesak, ini baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini baru bijaksana!”
Ini adalah ujar-ujar kuno yang hanya dikenal oleh mereka yang sudah pernah membaca kitab-kitab peninggalan para pujangga jaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini diucapkan oleh seorang anak perempuan kecil, dua orang kakek itu tercengang dan keduanya lalu mengerling ke arah Goat Lan dan untuk beberapa lama mereka melupakan pemainan caturnya dan melirik dengan penuh perhatian.
“Otak yang baik!” Si Hwesio memuji. “Sayang agak lancang!” Sambil berkata demikian, tiba-tiba tanpa menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan sekarang ia duduk membelakangi Goat Lan!
“Benar-benar pandai!” Si Tosu juga memuji. “Sayang dia perempuan!” Dan tosu ini pun tanpa menggerakkan tubuh, tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi hwesio itu.
Melihat gerakan mereka ini, Goat Lan menjadi bengong. Bagaimana orang dapat pindah duduknya tanpa menggerakkan tangan dan kaki? Seakan-akan mereka itu duduk di atas roda-roda yang dapat menggelinding dengan sendirinya.
Akan tetapi, anak yang cerdik ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang mempergunakan semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka itu dalam keadaan bersila dapat pindah tempat. Dan di samping kecerdikannya, Goat Lan memang nakal dan memiliki watak yang tak mau kalah.
Kini ia duduk di belakang hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur. Untuk bangun dan berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan kedua kakinya menempel pada lantai. Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua kaki dan mengerahkan ginkang-nya, maka tiba-tiba saja tubuhnya yang kecil itu mencelat naik dan turun di sebelah kanan hwesio itu sehingga kedudukannya menjadi seperti tadi dan dia kembali dapat melihat papan catur itu seperti tadi!
“Ahh, tidak jelek!” kata hwesio gemuk itu.
“Bagus!” Si Tosu juga memuji.
“Inilah murid yang pantas untukku!” kata pula hwesio itu.
“Tidak! Sudah lama aku ingin mendapatkan murid, dia inilah orangnya!”
Kini kedua orang kakek itu saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Apa bila tadi mereka panas karena permainan catur, kini hati mereka menjadi panas karena hendak memperebutkan Goat Lan sebagai murid. Sementara itu Goat Lan hanya diam saja seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu.
“Im-yang Giok-cu, mari kita lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, dia berhak mendapatkan murid ini.”
“Boleh, boleh! Sekarang giliranmu, hayo kau teruskan!”
Sin Kong Tianglo lantas menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan lagi, siap membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang kakek itu selalu mendapat petunjuk dari Goat Lan dan setelah biji-biji catur mereka tinggal sedikit dan pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya hanya merupakan tukang menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya adalah Goat Lan!
Memang anak ini ahli dalam main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik sehingga pertandingan itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua orang kakek itu merasa tegang karena sering kali raja mereka terkurung, akan tetapi sering kali juga mendesak lawan sehingga seakan-akan merekalah yang bertanding, bukan biji-biji catur.
Betapa pun juga, yang menjadi pengatur adalah Goat Lan yang benar-benar tidak berat sebelah. Karena itu, setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam telah tiba, keadaan pertandingan itu masih sama kuatnya!
Mereka bertiga, hwesio, tosu dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun hingga mereka tidak melihat bahwa ruang itu telah penuh dengan para hwesio yang menonton pula pertandingan catur aneh itu! Tiada seorang pun di antara mereka berani menegur, hanya Thian Tiong Hosiang yang memandang khawatir kepada keponakannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan sembarang orang, dan ia takut kalau-kalau seorang di antara mereka yang kalah akan menjadi marah.
Akan tetapi Goat Lan benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhir pertandingan, kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal hanyalah si raja merah dan si raja hitam! Hal ini berarti bahwa pertandingan itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang!
Thian Tiong Hosiang menarik napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba Si Tosu Kate itu melompat berdiri dan berkata, “Sin Kong Tianglo, kau harus mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini.”
Hwesio gemuk itu bangun berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya, lalu berkata, “Enak saja kau bicara, Im-yang Giok-cu. Bukankah kita berjanji bahwa siapa yang menang dia berhak menjadi guru anak ini?”
“Akan tetapi dalam permainan catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!” seru Si Tosu.
Hwesio itu tersenyum. “Apakah kita hanya bisa bermain catur dan tidak mempunyai ilmu kepandaian lain? Kita belum mencoba kepandaian lain untuk menentukan kemenangan.”
“Ho-ho! Kau mau mengajak main-main? Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!” kata tosu itu sambil melangkah keluar dan membawa guci araknya.
“Aku ingin merasakan kelihaianmu!” kata hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil membawa keranjang obat dan pisaunya.
Sementara itu, ketika mendengar kedua orang kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian Tiong Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang lengan Goat Lan sambil berkata,
“Goat Lan kau sudah mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh seorang Suhu!”
“Tidak, Pekhu, aku mau nonton mereka bertanding!”
“Ehh, anak nakal!” kata Thian Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar betapa dua orang kakek yang lihai ini sedang memperebutkan Goat Lan untuk diambil murid. “Kau harus pulang, biar aku sendiri mengantarmu!”
Akan tetapi tiba-tiba Goat Lan membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap!
Thian Tiong Hosiang yang merasa sangat khawatir kalau-kalau keponakannya itu akan menimbulkan keributan, dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke dalam kota pada malam hari yang gelap itu, lalu berkata kepada para hwesio yang berada di situ, “Cari dia dan antarkan pulang ke kota!” Sedangkan ia sendiri dengan langkah lebar lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh kedua orang kakek itu.
Karena malam amat gelap sedangkan pekarangan di sekeliling kelenteng itu sangat luas dengan kebun bunga dan kebun-kebun sayurnya, maka para hwesio yang mencari Goat Lan menggunakan obor. Akan tetapi dicari-cari kemana pun juga, bayangan Goat Lan tetap tidak nampak!
Ketika para pencari yang memegang obor itu tiba kembali di halaman tengah, mereka melihat betapa dua orang kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka menjadi tertarik dan berkerumun menonton pertandingan itu sehingga keadaan di tempat itu menjadi terang sekali. Mereka telah lupa untuk mencari anak nakal tadi!
Thian Tiong Hosiang sendiri ketika melihat betapa kedua orang kakek itu bertempur, telah berkali-kali berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu. Akan tetapi kedua orang kakek itu sama sekali tidak mau mendengarnya.
Thian Tiong Hosiang menjadi bingung sekali. Hendak turun tangan memisah, biar pun ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi dia juga maklum bahwa kepandaiannya itu dapat disebut amat rendah apa bila dibandingkan dengan kedua orang kakek itu. Apa lagi pada waktu dia mendengar dari para hwesio bahwa Goat Lan tidak dapat ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya makin bertambah, maka dia lalu keluar dari kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-an, mencari adiknya, Kwee An atau ayah Goat Lan!
Sementara itu, Goat Lan yang tadi melarikan diri pada saat hendak dipaksa pulang oleh pekhu-nya, sebetulnya tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan kegelapan malam untuk cepat bersembunyi di belakang batang pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar kelenteng itu, kemudian ketika banyak hwesio mencarinya, dia memanjat pohon besar dan melompat ke atas genteng. Dengan bersembunyi di atas genteng, ia mengintai ke bawah, melihat kesibukan orang-orang di bawah dan melihat pula pertempuran antara kedua orang kakek itu yang berlangsung dengan amat ramainya, jauh lebih ramai dari pada pertandingan catur tadi!
Sebetulnya, siapakah kedua orang kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut mendengar nama mereka?
Tidak heran bahwa Thian Tiong Hosiang merasa amat terkejut, oleh karena nama-nama itu adalah nama-nama tokoh besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi orang-orang yang hidup di dunia kang-ouw.
Sin Kong Tianglo, hwesio yang gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang amat terkenal dari Pegunungan Gobi-san. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan lihai, dia juga terkenal dengan kepandaiannya sebagai seorang ahli pengobatan sehingga untuk kepandaian ini ia mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat).
Biar pun tempat pertapaannya di Pegunungan Gobi-san, akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari daun-daun dan akar-akar obat yang kemudian digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita sakit. Ke mana saja dia pergi, tentu dia akan mempergunakan ilmunya untuk menolong orang sakit sehingga namanya sebagai ahli pengobatan lebih terkenal dari pada namanya sebagai seorang ahli silat.
Tosu yang pendek kecil itu, Im-yang Giok-cu, tidak kalah ternamanya. Dia seorang tokoh besar dari Pegunungan Kunlun dan ilmu kepandaiannya telah amat dikenal. Tokoh besar ini pun jarang menampakkan diri di dunia ramai dan biar pun dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan lebih suka merantau ke mana-mana, akan tetapi dia jarang sekali memperkenalkan diri.
Oleh karena itu, munculnya dua orang tokoh besar ini tentu saja amat mengejutkan hati Thian Tiong Hosiang. Sebetulnya, bukan sengaja dua orang tokoh besar ini mengadakan pertemuan di Tiang-an.
Sudah lama sekali Sin Kong Tianglo mendengar nama Pendekar Bodoh sebagai seorang pendekar terbesar di masa itu dan ketika mendengar bahwa Pendekar Bodoh adalah murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, jago tua tanpa tandingan itu, dia merasa amat gembira dan ingin sekali mencoba kepandaian Pendekar Bodoh.
Dahulu pernah dia berhadapan dengan Bu Pun Su dan sesudah mengadakan pibu (adu kepandaian) sampai seratus jurus lebih, akhirnya dia tidak tahan menghadapi Bu Pun Su dan berjanji hendak mencoba kepandaian lagi sepuluh tahun kemudian. Sayang bahwa setelah dia melatih diri dan menciptakan ilmu silat yang hebat, dia mendengar bahwa Bu Pun Su telah meninggal dunia, maka kini perhatiannya beralih kepada Pendekar Bodoh yang menjadi murid Bu Pun Su.
Akibat keinginan hati inilah, maka Sin Kong Tianglo pergi meninggalkan daerah Gobi-san yang luas itu dan turun ke dunia ramai. Ia mendengar bahwa Pendekar Bodoh berada di kota Tiang-an, maka dia lalu menuju ke kota itu.
Di tengah jalan, ketika dia melalui sebuah dusun, dia mendengar suara orang bernyanyi-nyanyi dengan suara yang keras dan parau. Dia merasa heran sekali karena di sekitar tempat itu tidak terdapat orang, dari manakah datangnya suara nyanyian yang hebat ini. Ia melihat beberapa orang berlari-lari seakan-akan ketakutan dan ketika ia menghampiri mereka dan bertanya, seorang di antara penduduk kampung itu menjawab dengan muka pucat.
“Apakah Losuhu tidak mendengar suara nyanyian yang hebat itu?”
“Pinceng mendengar. Siapakah gerangan yang bernyanyi dengan suara seburuk itu?”
“Yang bernyanyi adalah seorang iblis!”
Tentu saja Sin Kong Tianglo menjadi heran mendengar ini dan dia minta penjelasan lebih lanjut. Ternyata bahwa menurut cerita orang itu, di kampung tersebut muncul seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di atas jembatan kampung dan memenuhi jembatan kecil itu.
Kakek ini terus menerus minum arak sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara yang dapat membuat anak telinga serasa mau pecah. Karena dengan adanya dia yang merebahkan diri sambil bernyanyi-nyanyi di atas jembatan yang kecil itu, lalu lintas menjadi terhalang. Orang-orang telah membujuknya, bahkan berusaha menggusurnya dari jembatan itu!
Sin Kong Tianglo menjadi tertarik hatinya dan segera menuju ke tempat itu. Benar saja, dia melihat seorang kakek kate sedang rebah miring di atas jembatan dengan guci pada tangan kanan dan bernyanyi-nyanyi.
Akan tetapi, wajahnya berubah girang ketika dia melihat Si Kate itu karena dia mengenal orang ini sebagai seorang yang dulu telah dikenalnya baik, yaitu Im-yang Giok-cu! Maka ia lalu menegur dan kakek kate itu ketika melihat Sin Kong Tianglo, lalu melompat berdiri dan berkata, “Ha-ha-ha-ha! Sungguh untungku baik sekali! Aku sedang kesepian dan merasa jengkel, kebetulan kau datang! Ehh, Tianglo! Beranikah kau main catur denganku?”
Demikianlah, keduanya lalu bercakap-cakap sambil meninggalkan dusun itu dan Im-yang Giok-cu yang mendengar bahwa hwesio itu ingin mencari Pendekar Bodoh untuk diajak pibu, dia pun menyatakan keinginannya bertemu dengan pendekar muda yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan itu!
Akan tetapi, karena sudah merasa sangat kangen dengan permainan catur, mereka lalu menunda perjalanan dan ketika melihat Kelenteng Ban-hok-tong, mereka lalu masuk ke dalam dan minta pinjam papan catur, terus saja bertanding catur!
Goat Lan yang bersembunyi di atas genteng mengintai pertempuran di bawah dengan muka senang sekali. Memang ia pun amat suka akan ilmu silat meski pun kesukaannya akan ilmu silat tidak sebesar kesukaannya membaca kitab, melukis atau bermain catur!
Keadaan di bawah amat terang karena belasan orang hwesio dengan obor bernyala di tangan, berdiri berkelompok menonton pertandingan, sehingga kegelapan malam terusir pergi, terganti cahaya terang bagaikan siang, sungguh pun kalau orang melihat ke atas, langit hitam kelam tak berbintang sedikit pun.
Menurut pandangan Goat Lan yang menonton di atas genteng, dua kakek itu melakukan pertandingan dengan cara yang sangat aneh. Nampaknya mereka seperti bukan sedang bertempur atau bersilat, akan tetapi seperti dua orang pelawak yang sedang menari-nari dengan lucunya!
Im-yang Giok-cu menari dengan guci araknya di tangan kanan yang digerakkan perlahan dan lambat bagai orang menyerang, sementara itu Sin Kong Tianglo juga menggerakkan pisau pemotong daun di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang keranjang obat, seakan-akan ia sedang menggunakan pisaunya untuk mencari daun-daun obat!
Akan tetapi, sesungguhnya kedua orang kakek itu bukan sedang main-main, juga bukan sedang menari atau melawak! Oleh karena, biar pun mereka itu bergerak dengan amat lambat seakan-akan bukan sedang bertempur, namun obor yang dipegang tinggi-tinggi oleh para hwesio itu apinya bergerak-gerak bagaikan tertiup angin besar, padahal pada saat itu daun-daun di atas pohon tak bergerak sama sekali, tanda bahwa tidak ada angin! Kalau saja Goat Lan tidak berada di atas genteng, tentu dia akan merasakan pula apa yang dirasakan oleh para hwesio itu, yaitu angin sambaran dari kedua orang itu sampai mendatangkan hawa dingin pada muka mereka!
Lama juga dua orang itu bertempur berputar-putaran, tipu dilawan tipu, gerakan-gerakan dilawan gerakan. Sebetulnya, kedua orang itu tidak bertempur untuk saling merobohkan, hanya mengadu kepandaian saja dan oleh karena mereka maklum akan kelihaian lawan masing-masing, maka tanpa dijanjikan lebih dahulu, mereka membatasi gerakan mereka dengan tipu-tipu gerakan yang dikeluarkan untuk kemudian dipecahkan oleh yang lain. Dengan demikian, mereka hanya saling serang dengan angin pukulan saja dan siapa yang tak dapat memecahkan sesuatu serangan, berarti kalah tinggi kepandaiannya.
Telah lima puluh jurus lebih kedua orang kakek itu mengeluarkan ilmu kepandaian, akan tetapi keduanya sama pandai dan sama tangguhnya. Im-yang Giok-cu terkenal dengan ilmu silat Im-yang Kim-na-hwat yang permainannya berdasarkan pada gerak berlawanan dari Im dan Yang, maka tenaga serangannya merupakan perpaduan dari tenaga kasar dan lemas dan lweekang-nya telah mencapai puncak yang amat tinggi.
Sebaliknya, sejak dikalahkan oleh Bu Pun Su, Sin Kong Tianglo juga terus melatih diri sehingga tidak saja tenaga lweekang-nya tidak berada di sebelah bawah tingkat Im-yang Giok-cu, akan tetapi ilmu silatnya juga telah maju amat hebatnya. Ilmu silatnya berbeda dengan ilmu silat cabang persilatan Gobi-pai dan bahkan dia telah menciptakan berbagai ilmu pukulan yang belum pernah dilihat orang lain.
Ketika itu, Goat Lan yang sedang menonton dengan hati kurang tertarik karena gerakan kedua orang kakek itu sangat lambat, mendadak mendengar suara ayahnya dari sebelah belakang, “Goat Lan, kau sedang berbuat apakah?”
Ia cepat menengok ke belakang dan alangkah heran dan juga girangnya ketika ia melihat bahwa ayah dan ibunya juga sudah berdiri di atas genteng, tidak jauh di belakangnya! Agaknya ayah ibunya telah semenjak tadi berdiri di situ.
Memang benar, sebenarnya Kwee An dan Ma Hoa telah semenjak tadi berdiri di tempat itu, dan secara diam-diam memperhatikan jalannya pertempuran sambil melihat ke arah anak mereka dengan hati geli. Tadinya mereka merasa gelisah juga ketika Thian Tiong Hosiang datang memberi tahu bahwa Goat Lan sudah menimbulkan keributan di antara dua orang kakek yang ternama sekali itu dan bahwa kedua kakek itu hendak mengambil murid anak mereka, bahkan kini sedang bertempur karena memperebutkan Goat Lan.
Mereka merasa gelisah kalau-kalau mereka terlambat dan anak mereka sudah dibawa pergi oleh kedua orang tua aneh itu. Akan tetapi, ketika mereka menuju ke Ban-hok-tong dengan berlari cepat sekali hingga Thian Tiong Hosiang tertinggal jauh, mereka melihat Goat Lan sedang mengintai ke bawah dari atas genteng dengan muka terlihat jemu dan bosan!
Kedua suami isteri ini menjadi lega dan mereka lalu mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang kakek yang masih saling serang itu. Bukan main terkejut hati Kwee An dan Ma Hoa melihat gerakan-gerakan mereka itu.
“Kepandaian mereka benar-benar hebat!” kata Kwee An kepada isterinya.
Ma Hoa mengangguk dan menarik napas panjang. “Memang benar, nama kedua tokoh ini bukan nama kosong belaka.”
Goat Lan bangun berdiri dan menghampiri ayah ibunya. Mendengar ucapan ayah ibunya yang memuji kepandaian dua orang kakek itu, dia berkata mencela, “Apanya sih yang hebat? Kepandaian mereka bahkan lebih jelek dari pada permainan catur mereka!”
Kwee An dan Ma Hoa sudah mendengar dari penuturan Thian Tiong Hosiang betapa Goat Lan memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu ketika bermain catur, maka mereka tersenyum geli.
“Anak bodoh, ilmu silat yang kau lihat amat lambat itu merupakan ilmu silat yang jarang terdapat di dunia ini! Mari kita turun untuk lebih mengenal dua orang tokoh besar itu!”
Kwee An memegang lengan tangan anaknya lalu dia melompat turun ke bawah bagaikan seekor burung alap-alap sedang menyambar mangsanya, diikuti oleh Ma Hoa yang juga melompat turun dengan indah dan cepatnya.
Baik Im-yang Giok-cu mau pun Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat melihat berkelebatnya dua bayangan orang ini, maka dengan heran mereka lalu berhenti bertempur dan memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa yang telah berdiri di hadapan mereka.
Kwee An dan Ma Hoa menjura kepada mereka dan Kwee An berkata, “Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua suami isteri yang bodoh sudah mendengar bahwa anak kami telah mengganggu Ji-wi, maka sengaja datang menghaturkan maaf!”
“Aha, pantas saja anak ini demikian baik, tidak tahunya ayah ibunya lihai dan mempunyai kepandaian tinggi!” kata Sin Kong Tianglo sambil memandang kagum.
Tiba-tiba Im-yang Giok-cu teringat akan sesuatu dan bertanya, “Apakah kau yang bernama Pendekar Bodoh?” Pertanyaan ini dia tujukan kepada Kwee An sambil memandang tajam.
Kwee An tersenyum dan diam-diam ia memuji nama Cin Hai yang sudah begitu terkenal sehingga tokoh besar ini pun sampai mengenalnya pula.
“Bukan, Locianpwe. Pendekar Bodoh adalah adik iparku dan kini dia tinggal di Propinsi An-hui. Siauwte bernama Kwee An sedangkan Suhu adalah mendiang Eng Yang Cu dari Kim-san-pai.”
Tosu kate itu mengangguk-angguk, “Hemm, aku kenal baik kepada Eng Yang Cu ketika dia masih hidup. Bagus, sebagai murid Kim-san-pai, kepandaianmu tak mengecewakan!”
Diam-diam Im-yang Giok-cu terheran karena melihat gerakan melompat turun dari Kwee An tadi, agaknya tingkat kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Eng Yang Cu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa setelah menerima pelajaran silat dari Eng Yang Cu, Kwee An masih menerima gemblengan-gemblengan ilmu silat tinggi dari mendiang Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, dan juga dari mendiang Hek Moko si Iblis Hitam. Maka apa bila dibandingkan, memang ilmu kepandaiannya sudah lebih tinggi dari mendiang suhu-nya itu!
“Sayang sekali bahwa ternyata Pendekar Bodoh tidak tinggal di sini lagi,” kata pula Sin Kong Tianglo sambil menarik napas panjang. “Biarlah kususul dia ke An-hui, akan tetapi, melihat bakat anakmu yang amat baik, kuharap kau berdua suami isteri rela memberikan anakmu untuk menjadi muridku.”
“Nanti dulu, Tianglo!” Im-yang Giok-cu berkata. “Aku pun berhak menjadi guru anak ini, karena pertandingan tadi pun tak dapat dianggap bahwa kau telah menang dariku!”
“Eh, ehh, kalau begitu mari kita lanjutkan pertandingan tadi,” mengajak Sin Kong Tianglo yang tak mau kalah.
“Ji-wi Locianpwe!” mendadak terdengar seruan Ma Hoa yang merasa mendongkol sekali melihat betapa anaknya diperebutkan oleh kedua orang kakek itu. “Anakku tidak akan menjadi murid siapa pun juga, maka tidak seharusnya Ji-wi memperebutkannya!”
Kedua orang kakek itu tercengang mendengar ucapan ini dan mereka lalu memandang kepada Ma Hoa dengan heran. “Ah, kau betul-betul seorang Ibu yang tidak sayang pada anak! Anakmu akan diberi pelajaran ilmu kepandaian tinggi, kenapa kau malah ribut-ribut menolaknya? Ketahuilah, andai kata kau hendak mencarikan guru bagi anakmu itu, biar pun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan mendapatkan guru seperti aku atau Sin Kong Tianglo ini!” jawab Im-yang Giok-cu dengan penasaran. Memang adat Si Kate ini agak keras.
Kwee An merasa serba salah. Ia maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia memang hendak menggunakan jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua orang kakek yang hendak mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi, siapa tahu isterinya telah mendahuluinya! Ia segera menjura kepada mereka dan berkata halus,
“Harap Ji-wi sudi memaafkan. Sesungguhnya kami, terutama isteriku, sangat berat untuk berpisah dengan anak kami yang hanya satu-satunya ini.”
Akan tetapi Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu tidak mau mempedulikannya, bahkan hwesio itu lalu bertanya kepada Ma Hoa.
“Apa bila kau menolak maksud kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang akan menjadi guru anak ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?”
Karena merasa dirinya dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan segera menjawab, “Kami sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan menjadi gurunya!”
Tiba-tiba kedua orang kakek itu saling pandang dan tertawa bergelak.
“Im-yang Giok-cu, lihatlah! Kalau ibunya demikian bersemangat, apa lagi anaknya! Anak itu sungguh bernasib baik mempunyai seorang ibu seperti ini!” kata hwesio itu.
Kemudian Im-yang Giok-cu memandang kepada Ma Hoa, lantas berkata dengan muka sungguh-sungguh, “Nyonya muda, kau harus sadar bahwa jaman ini adalah jaman yang buruk. Kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan anakmu ini bertulang baik dan patut menjadi calon pendekar! Apakah kau ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik ini? Apakah kau kira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat yang lebih baik dari pada kami kepada anakmu ini?”
Melihat suasana yang panas itu, Kwee An hendak maju menengahi, akan tetapi kembali dia didahului oleh isterinya yang berkata marah, “Locianpwe berdua terlalu memandang rendah orang lain. Mengenai ilmu kepandaian, siapakah yang belum mendengar nama Ji-wi? Aku yang muda memang hanya memiliki sedikit kebodohan, akan tetapi kalau Ji-wi merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba dan uji!”
Ucapan ini merupakan tantangan halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan telah dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali!
Kedua orang kakek itu kembali saling pandang dan mereka tertawa gembira.
“Bagus, bagus!” kata Im-yang Giok-cu. “Tianglo, kita sudah bertemu dengan orang-orang yang bersemangat! Mari kita mencoba kepandaian orang-orang muda yang bersemangat besar ini!”
“Nanti dulu,” kata hwesio itu, “tantangan orang muda sekali-kali tidak boleh ditolak. Akan tetapi, lebih baik diatur begini saja!” Sambil berkata demikian dia memandang pada Kwee An dan Mai Hoa. “Kalian berdua main-main sebentar dengan kami orang-orang tua, bila kalian anggap bahwa kepandaian kami cukup berharga, kalian harus merelakan anakmu ini menjadi muridku!”
“Ehh, bukan! Menjadi muridku!” kata tosu itu.
Kembali mereka bercekcok dan berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.
“Kalau begini, takkan ada habis-habisnya,” kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar berkata, “Baiklah diatur begini, Im-yang Giok-cu. Jika nanti kita berdua dapat dikalahkan oleh orang-orang muda ini, berarti memang kepandaian kita masih rendah dan tak patut menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita berdua menjadi guru anak ini! Bagai mana?”
“Baik sekali!” kata Si Kate yang segera berkata kepada Ma Hoa.
“Nah, kalian boleh maju, hendak kami lihat sampai di mana kepandaianmu hingga berani menolak kami sebagai guru-guru anakmu!”
Kedua orang kakek itu segera bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An hanyalah murid Eng Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanya isteri dari jago muda itu, mana bisa memiliki kepandaian tinggi yang menyamai tingkat mereka?
Ma Hoa lalu memberi tanda kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan mata isterinya ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, kedua orang kakek ini memang memandang rendah kepada mereka, ke dua, jika anak tunggal mereka harus menjadi murid orang lain, terlebih dahulu ia harus membuktikan sampai di mana kelihaian orang itu.
Maka berbareng dengan isterinya, dia pun lantas maju menyerang Sin Kong Tianglo, ada pun Ma Hoa dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu dua batang bambu kuning yang panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar ibu jari tangannya!
Begitu sepasang suami isteri itu menyerang, kedua orang kakek itu berseru karena heran dan terkejut. Terutama Im-yang Giok-cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya muda itu dengan sangat cepatnya sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya, yang kiri menyambar arah leher sedangkan yang kanan melesat menuju ke pusar. Dua serangan yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalan-jalan darah yang berbahaya.
Juga Sin Kong Tianglo yang diserang oleh Kwee An dengan mempergunakan ilmu silat warisan Hek Moko, menjadi terkejut melihat betapa tangan kanan Kwee An melancarkan pukulan ke arah lambung, sedangkan tangan kiri pemuda itu diulur dengan jari terbuka mencengkeram pundak!
Keduanya cepat mengelak dan mengebutkan lengan baju untuk menolak dan membikin terpental tangan pasangan suami isteri itu, akan tetapi ternyata bahwa Kwee An yang ditangkis hanya miring sedikit kedudukan kuda-kudanya sedangkan Ma Hoa bahkan tak terpengaruh oleh tangkisan ujung baju Im-yang Giok-cu.
“Hebat sekali!” seru Im-yang Giok-cu yang segera menurunkan guci araknya yang tadi digantungkan di punggung, dan kini dia lantas menyerang dengan guci araknya ke arah kepala Ma Hoa!
“Lihai juga!” Sin Kong Tianglo juga berseru memuji dan kakek ini kemudian melanjutkan kata-katanya. “Orang muda, cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai di manakah kelihaianmu!”
Kwee An tidak ragu-ragu lagi dan segera mencabut pedangnya yang luar biasa, yaitu pedang Oei-kang-kiam yang bersinar kekuning-kuningan karena terbuat dari logam yang disebut baja kuning, karena itulah diberi nama Oei-kang-kiam (Pedang Baja Kuning). Pedang ini adalah pemberian puteri kepala suku bangsa Haimi yang bernama Meilani, yang pernah jatuh cinta kepadanya sebelum dia menikah dengan Ma Hoa. Kemudian dia kembali menyerang yang disambut oleh Sin Kong Tianglo dengan pisau dan keranjang obatnya.
Pertempuran berjalan berat sebelah dan sefihak, oleh karena ternyata bahwa dua orang kakek itu sama sekali tidak balas menyerang, hanya mempertahankan diri saja, karena memang mereka hanya bermaksud menguji kepandaian suami isteri itu. Namun setelah bertempur beberapa puluh jurus lamanya, makin heranlah mereka berdua.
Sin Kong Tianglo mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang milik Kwee An benar-benar luar biasa dan tingkat kepandaian orang muda ini tak kalah oleh tingkat kepandaian Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai. Juga ilmu pedang Kwee An meski sebagian menunjukkan pelajaran Kim-san-pai, akan tetapi sudah tercampur dengan ilmu pedang lain yang amat aneh dan dahsyat! Memang Kwee An telah mencampur adukkan ilmu pedangnya dengan pelajaran-pelajaran yang dia terima dari Nelayan Cengeng dan Hek Moko.
Yang lebih-lebih merasa heran adalah Im-yang Giok-cu. Begitu tadi Ma Hoa menyerang dengan sepasang bambu kuning dia langsung merasa heran dan terkejut, karena senjata macam ini setahunya hanya dimiliki oleh seorang tokoh besar dari timur, yakni Hok Peng Taisu. Akan tetapi dia masih meragukan dugaannya ini dan melayani nyonya muda itu dengan guci araknya.
Tidak disangkanya, permainan bambu kuning yang ada di kedua tangan nyonya muda ini demikian hebatnya sehingga ia harus berlaku cepat dan gesit karena tubuhnya terkurung oleh ujung-ujung bambu kuning yang sekarang agaknya sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya itu!
“Tahan dulu!” Im-yang Giok-cu berseru sambil melompat mundur, diturut oleh Sin Kong Tianglo.
Biar pun baru bertempur puluhan jurus, baik Kwee An mau pun Ma Hoa maklum bahwa ilmu kepandaian dua orang kakek ini benar-benar hebat dan masih lebih tinggi dari pada tingkat mereka. Buktinya, selama itu mereka sama sekali tidak pernah membalas, dan hanya menangkis atau mengelak saja, namun pertahanan mereka begitu kuat biar pun gerakan mereka nampak lambat sehingga pedang di tangan Kwee An dan bambu kuning di tangan Ma Hoa seakan-akan menghadapi benteng baja yang kuat! Maka mendengar seruan Im-yang Giok-cu, mereka pun menahan senjata masing-masing.
Para hwesio dan juga Thian Tiong Hosiang yang semenjak tadi menonton dan berdiri di situ, merasa kagum dan tidak ada yang mengeluarkan suara.
“Toanio, apakah kau murid Hok Peng Taisu?”
Ma Hoa menjura dan menjawab, “Benar Locianpwe, Hok Pek Taisu adalah Suhu-ku.”
Im-yang Giok-cu tiba-tiba saja tertawa bergelak dengan suaranya yang parau dan besar. “Ha-ha-ha, inilah yang disebut kalau belum bertanding belum kenal dan tahu! Ketahuilah, bahwa aku adalah Sute (Adik Seperguruan) dari Suhu-mu!”
Ma Hoa terkejut sekali, sebab memang suhu-nya tak pernah mau menuturkan riwayatnya sehingga dia belum pernah tahu bahwa suhu-nya itu mempunyai seorang sute, bahkan sebenarnya Hok Peng Taisu mempunyai pula seorang suheng (kakak seperguruan). Dia percaya penuh kepada orang tua ini karena tak mungkin orang berilmu tinggi seperti dia itu mau mendusta.
Namun, Im-yang Giok-cu tersenyum dan melanjutkan, “Tentu kau kurang percaya kalau belum dibuktikan. Memang ilmu bambu kuning yang kau mainkan itu merupakan ciptaan suheng-ku sendiri sehingga aku tak dapat memainkannya. Akan tetapi ketahuilah bahwa dasar-dasar ilmu silat bambu runcing itu adalah ilmu silat Im-yang Kun-hwat dari cabang kami. Sekarang marilah kita main-main sebentar, jika dalam sepuluh jurus aku tak dapat mengalahkan kau, jangan kau mau percaya bahwa aku adalah Susiok-mu (Paman Guru) sendiri!”
Ma Hoa sebenarnya sudah percaya, tetapi mendengar ucapan ini, dia mau mencobanya juga. Masa dalam sepuluh jurus ia akan dikalahkan? Ia lalu berkata, “Maafkan kelancangan teecu (murid)!” lalu ia maju menyerang dengan bambu kuningnya.
Im-yang Giok-cu mempergunakan gucinya menangkis ada pun tangan kirinya menyerang dengan cengkeraman ke arah pergelangan tangan Ma Hoa. Gerakannya otomatis dan cepat sekali sehingga Ma Hoa menjadi amat terkejut, akan tetapi nyonya muda ini masih terlampau gesit untuk dapat dikalahkan dalam segebrakan saja.
Ia cepat menarik kembali tangannya yang dicengkeram lantas melanjutkan serangannya dengan jurus kedua. Kini Im-yang Giok-cu membalas setiap serangan dan gerakannya yang lambat itu sebetulnya tak dapat dikata lambat. Memang aneh, jika tangan kanannya menangkis dengan lambat, tangan kirinya menyusul cepat sekali melakukan serangan, seolah-olah bahkan mendahului gerakan tangan kanan, dan demikian sebaliknya hingga Ma Hoa menjadi bingung.
Tepat pada jurus ke sepuluh, ketika Ma Hoa menyerang dengan tusukan bambu kuning di tangan kanan pada leher kakek itu sedangkan tangan kiri menotokkan bambu kuning itu pada jalan darah hong-hut-hiat di dada, tiba-tiba Im-yang Giok-cu memiringkan kepala dan secepat kilat menggigit bambu kuning yang tadinya menyerang leher itu, sedangkan ketika bambu kuning yang kedua menotok dadanya, dia cepat menggunakan ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga saat bambu itu menotok jalan darahnya, Ma Hoa merasa betapa dada itu menjadi keras bagaikan batu karang dan sebelum dia hilang kagetnya, tangan kiri kakek itu telah menangkap bambunya! Dengan bambu kuning di tangan kiri terpegang, maka berarti ia telah kalah!
Ma Hoa melepaskan kedua senjatanya lalu berlutut dan menyebut, “Susiok!”
Im-yang Giok-cu melepaskan kedua bambu kuning itu dan tertawa bergelak.
“Aduh, sungguh berbahaya! Hampir saja aku mendapat malu dan terpaksa kau tak akan mengakui aku sebagai Paman Gurumu! Sungguh tak mengecewakan kau menjadi murid Suheng-ku, sayang bahwa kau agaknya belum cukup lama belajar dari Suheng-ku itu!” Memang kata-kata ini benar karena sesungguhnya, Ma Hoa hanya belajar silat kepada Hok Peng Taisu selama tiga atau empat bulan saja.
Kwee An juga memberi hormat dengan menjura kepada susiok dari isterinya itu.
“Dengarlah, Kwee An dan kau juga, ehhh, siapa pula namamu?” tanya kakek itu kepada Ma Hoa.
“Teecu bernama Ma Hoa.”
“Hemm, bagus, dengarlah. Kalau kalian memang sayang kepada anakmu yang berbakat baik itu biarlah dia kalian serahkan kepada kami untuk dididik selama empat atau lima tahun. Kami akan membawanya ke Bukit Long-ki-san yang tak berapa jauh letaknya dari sini. Kawanku ini, Sin Kong Tianglo, adalah seorang tokoh besar dari Gobi-san dan ilmu kepandaiannya tak boleh disebut lebih rendah dari pada kepandaianku, sungguh pun tak mudah pula baginya untuk mengalahkan aku. Kalau kalian rela melepas anakmu, maka itu berarti bahwa nasib anakmu memang baik. Tapi, kalau kalian tidak membolehkannya, setelah kini aku mengetahui bahwa kau adalah murid Suheng-ku, tentu saja aku takkan memaksa.”
Sebenarnya Ma Hoa merasa berat sekali jika harus berpisah dari puterinya, akan tetapi karena dia maklum bahwa apa bila puterinya menjadi murid kedua orang tua itu kelak akan menjadi orang yang tinggi kepandaiannya, ia menjadi ragu-ragu untuk menolaknya. Ia memandang kepada suaminya dengan mata mengandung penyerahan.
“Ji-wi Locianpwe,” kata Kwee An dengan hormat, “teecu berdua tentu saja merasa amat berbahagia apa bila anak teecu menerima pelajaran dari Ji-wi. Akan tetapi oleh karena teecu hanya memiliki seorang anak, maka perkenankanlah teecu berdua sewaktu-waktu datang menengok anak kami itu.”
“Boleh, boleh...,” Im-yang Giok-cu berkata sambil tertawa, “tentu saja hal itu tidak ada halangannya.”
“Goat Lan, kau tentu suka menjadi murid kedua Locianpwe ini, bukan?” tanya Ma Hoa kepada anaknya. “Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dari pada ayah bundamu sendiri, dan ketahuilah bahwa Locianpwe ini adalah Susiok-kongmu sendiri.”
Semenjak tadi, Goat Lan telah mendengarkan percakapan orang-orang tua dengan amat teliti, maka sebagai seorang anak yang cerdik sekali dia segera maklum bahwa tidak ada guru-guru yang lebih sempurna baginya dari pada dua kakek yang aneh dan yang bodoh kepandaian caturnya itu. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Teecu merasa suka sekali menjadi murid Ji-wi Suhu (Guru Berdua).”
Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo saling pandang dan tertawa bergelak dengan hati puas, akan tetapi Goat Lan lalu berdiri dan memeluk ibunya.
“Ibu, kalau kau lama sekali tidak datang mengunjungi tempatku, aku akan minggat dari tempat tinggal Suhu dan pulang sendiri!”
Semua orang tertawa mendengar ucapan yang nakal ini.
“Jangan khawatir, Goat Lan. Kami juga tak akan merasa senang kalau terlalu lama tidak bertemu dengan kau,” kata Kwee An.
Kedua orang kakek itu lalu mengajak Goat Lan pergi dari sana, tidak mau ditahan-tahan lagi. Karena maklum bahwa mereka adalah orang-orang berwatak aneh, maka Kwee An dan Ma Hoa juga tidak berani memaksa dan menahannya. Setelah memeluk ayah ibunya dengan mesra, dan mendengar bisikan ibunya, “Goat Lan, jangan menangis dan jangan nakal!” Goat Lan lalu dituntun oleh kedua suhu-nya di kanan kiri dan sekali kedua kakek itu berkelebat, maka anak perempuan itu telah dibawa lompat dan lenyap dari situ!
Kwee An dan Ma Hoa saling pandang. Terharulah hati Kwee An melihat betapa kedua mata isterinya yang tercinta itu menjadi basah, maka dia lalu mengajak isterinya pulang dan menghiburnya.
*****
Kita tinggalkan dahulu Goat Lan yang sedang dibawa oleh kedua orang suhu-nya untuk berlatih silat di atas puncak Bukit Liong-ki-san, sebuah bukit yang puncaknya nampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Lili atau Sie Hong Li, puteri dari Pendekar Bodoh yang ikut merantau bersama suhu-nya, yaitu Sinkai Lo Sian si Pengemis Sakti itu.
Karena Lili tidak pernah mau mengaku setiap kali ditanya tentang orang tuanya, lambat laun Lo Sian tak mau bertanya lagi dan ia pun telah merasa suka sekali kepada muridnya yang jenaka ini. Dia merasa hidupnya berubah menjadi penuh kegembiraan sesudah dia mendapatkan murid ini dan ia membawa Lili ke tempat-tempat yang indah dan kota-kota yang besar sambil memberi latihan silat kepada muridnya.
Lili juga terhibur dan merasa suka kepada suhu-nya yang ramah tamah dan tidak galak. Di dekat suhu-nya ia merasa seakan-akan dekat dengan engkongnya (kakeknya), Yousuf atau Yo Se Fu. Kadang-kadang memang amat rindu kepada ayah bundanya dan kepada kakeknya, akan tetapi anak yang memiliki kekerasan hati luar biasa ini mampu menekan perasaannya dan sama sekali tak pernah memperlihatkan kelemahan hati dan perasaan rindunya.
Lo Sian membawa muridnya merantau ke barat, dan pada suatu hari mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang belum pernah dimasuki Lo Sian. Hutan itu besar sekali, penuh dengan pohon-pohon yang ratusan tahun usianya.
“Lili, mari kita mempercepat perjalanan kita,” ajaknya kepada Lili yang sebentar-sebentar berhenti untuk memetik kembang.
Dia tertawa geli dan juga kagum melihat Lili memetik setangkai kembang mawar yang lalu ditancapkan di atas telinga kanan. Bunga itu berwarna putih sehingga pantas sekali dengan bajunya yang merah.
“Hayo kita berlari cepat, Lili. Hari sudah mulai gelap dan sebentar lagi malam akan tiba. Kalau kita kemalaman di hutan ini, tentu terpaksa kita harus tidur di atas pohon!”
“Tidak apa, Suhu,” jawab Lili sambil tertawa. “Teecu tidak akan jatuh lagi.”
Suhu-nya tertawa. Muridnya ini memang luar biasa tabahnya. Beberapa hari yang lalu ketika mereka kemalaman dalam sebuah hutan dan tidur di atas cabang pohon besar, di dalam tidurnya Lili bermimpi dan ngelindur sehingga terpelanting jatuh dari atas pohon!
Akan tetapi, anak ini benar-benar mempunyai ketenangan dan hati yang berani sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, dia telah sadar dan dapat mempergunakan ginkang-nya yang sudah baik sekali itu untuk mengatur keseimbangan tubuh dan dapat melompat turun dengan baik. Kalau ia tidak tenang dan berlaku cepat, setidaknya tentu akan menderita tulang patah! Akan tetapi, Lili tidak menjadi pucat atau ketakutan sedikit pun, bahkan tertawa-tawa ketika suhu-nya melompat ke bawah dan bertanya kepadanya.
“Suhu, aku bermimpi berkelahi dengan monyet di atas pohon dan aku tergelincir jatuh!” katanya sambil tertawa!
Kini mereka mempergunakan kepandaian berlari cepat dan dalam kepandaian ini, Lili benar-benar memiliki kecepatan yang mengagumkan. Sebelum menjadi murid Lo Sian, gadis cilik ini memang sudah memiliki ginkang luar biasa berkat latihan ayah bundanya. Oleh karena ia telah memiliki dasar-dasar untuk pelajaran ilmu silat tinggi, maka dengan mudah Lo Sian menambah pengetahuan serta kepandaian muridnya itu yang mampu menangkap dan mempelajari serta melatih dengan lancar dan mudah sekali.
Pada waktu mereka hampir keluar dari hutan, tiba-tiba saja Lo Sian menahan larinya dan memandang ke kiri. Lili juga menahan tindakannya dan turut memandang karena wajah suhu-nya memperlihatkan keheranan. Memang sungguh aneh, di tempat yang sunyi itu dan tersembunyi di balik pohon-pohon besar, kelihatan sebuah bangunan kelenteng yang mentereng dan bersih sekali. Lantainya mengkilap dan temboknya terkapur putih bersih. Benar-benar mengherankan sekali.
“Ehh, Suhu. Rumah siapakah begini indah di dalam hutan ini?”
“Sstt, aku pun sedang heran memikirnya. Mari kita menyelidiki, aku ingin sekali tahu.”
Lo Sian dengan diikuti oleh Lili lalu menyelinap di antara pohon-pohon itu dan mendekati bangunan yang besar dan indah tadi. Karena di bagian depan nampak kosong dan sunyi, mereka lalu mengitari rumah itu dan akhirnya tiba di sebelah belakang.
Lo Sian mengajak Lili mendekati kelenteng itu dan mendadak mereka mendengar suara anak kecil tertawa-tawa penuh ejekan. Lo Sian dan Lili menghampiri lantas bersembunyi di balik daun-daun pohon. Alangkah terkejut dan heran hati mereka ketika melihat dua orang anak laki-laki di ruangan belakang yang berlantai mengkilap itu.
Seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan Lili nampak tangannya terikat ke belakang dan bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang kurus dan perutnya yang gembung. Melihat wajahnya yang pucat serta perutnya yang gembung itu dapat diduga bahwa ia adalah seorang anak miskin yang sering kali menderita kelaparan dan agaknya perutnya yang gendut itu penuh dengan cacing!
Di depan anak kecil yang tangannya terikat itu, tampak berdiri seorang hwesio kecil yang berkepala gundul licin. Hwesio kecil ini memegang sebatang pisau belati dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menuding ke arah anak yang terikat itu. Suara ketawa tadi adalah suara ketawa dari si hwesio itu.
“Ha-ha-ha! Hendak kulihat kebenaran ucapan Suhu,” terdengar hwesio kecil itu berkata. “Kalau orang kurus perutnya gendut, itu berarti bahwa perutnya penuh cacing! Aku tidak percaya keterangan Suhu ini karena biasanya cacing berada di dalam tanah, mana bisa berada di dalam perutmu? Kau datang hendak mencuri makanan dan sudah sepatutnya mendapat sedikit hukuman. Aku tidak akan membinasakanmu, hanya akan membuktikan kebenaran ucapan Suhu. Kalau betul di dalam perutmu terdapat banyak cacing, betapa lucunya! Ha-ha-ha, biarlah aku menolongmu dan hanya melenyapkan cacing-cacing dari dalam perutmu. Aku adalah ahli bedah yang pandai!”
Sambil berkata demikian, hwesio kecil itu menunjuk-nunjuk perut yang gendut dari anak yang terikat kedua tangannya itu. Sungguh mengagumkan sekali bahwa anak kecil yang terikat itu tidak menjadi ketakutan mendengar ini, bahkan lalu tertawa!
“Kau hwesio gila, persis seperti gurumu! Memang kau dan gurumu orang-orang gila yang pura-pura menjadi hwesio. Aku memang hendak mencuri makanan karena perutku lapar. Sekarang kau telah menangkapku, mau bunuh mau sembelih, atau pun mau membedah perutku, terserah. Aku tidak takut!”
“Bagus, maling hina dina! Sekarang juga aku hendak mengeluarkan cacing dari perutmu yang buncit ini!”
Hwesio kecil itu melangkah maju dan dengan tangan kirinya dia meraba-raba perut anak kecil yang terikat tangannya, seakan-akan hendak memilih dulu tempat yang tepat untuk dibelek!
“Suhu…,” dengan mata terbelalak Lili menoleh kepada suhu-nya dan menunjuk ke arah kedua anak itu, “hwesio gila itu hendak membunuhnya!”
Lo Sian juga merasa terkejut bukan main melihat kelakuan hwesio itu dan diam-diam dia mengagumi anak miskin itu, maka ia mengambil keputusan hendak menolongnya. Pohon di belakang mana mereka bersembunyi mempunyai banyak buah-buah kecil dan cukup keras. Ia memetik sebutir buah yang tergantung paling rendah dan ketika hwesio kecil itu hendak mulai dengan perbuatannya yang keji, Lo Sian menggerakkan tangannya. Buah kecil itu lalu meluncur cepat sekali dan dengan cepat menghantam ke arah pergelangan hwesio kecil yang memegang pisau!
Akan tetapi, ternyata hwesio yang masih kecil dan usianya sebaya dengan anak miskin itu, amat lihai dan agaknya dapat mendengar suara sambaran buah itu. Ia cepat menarik tangannya dan buah itu kini menyambar ke arah pisau yang dipegangnya!
“Trangg...!” Pisau itu jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring dan hwesio kecil itu melompat mundur dengan cepat dan kaget.
Pada saat itu, Lo Sian dan Lili melompat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke dalam ruang itu. Hwesio kecil yang berhati kejam itu ketika melihat dua orang muncul dari balik pohon, segera membungkuk dan memungut pisaunya tadi. Dia melihat kepada Lo Sian dan dengan berani sekali, dia menyambut kedatangan Lo Sian dengan serangan pisaunya!
Si Pengemis Sakti terkejut juga melihat betapa serangan ini cukup hebat dan berbahaya, maka ia lalu miringkan tubuhnya dan mengulur tangan hendak merampas pisau itu. Akan tetapi, alangkah herannya ketika hwesio kecil itu dapat mengelak pula!
Sementara itu, Lili segera menghampiri anak yang terikat tangannya dan cepat membuka ikatan tangan. Anak itu memandang kepadanya dengah mata mengandung rasa terima kasih, akan tetapi mereka berdua lalu berpaling menonton pertempuran antara Lo Sian dan hwesio kecil tadi.
Sebetulnya tidak tepat kalau disebut pertempuran, oleh karena Lo Sian sebetulnya hanya ingin mencoba sampai di mana kelihaian anak ini dan sengaja tidak ingin membalas. Dia memperhatikan gerakan hwesio itu dan diam-diam merasa amat terkejut ketika mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh hwesio kecil itu.
Ia cepat mengulur tangan dan dengan gerakan kilat berhasil menotok pundak hwesio itu yang segera roboh dengan tubuh lemas. Ternyata bahwa Lo Sian sudah menotok jalan darahnya yang membuatnya menjadi lemas dan tidak berdaya, sungguh pun totokan itu tidak mendatangkan rasa sakit.
“Hayo kita cepat pergi dari sini!” kata Lo Sian kepada Lili dan anak itu.
Karena maklum bahwa anak miskin itu tidak dapat berlari cepat, Lo Sian lalu memegang tangannya dan sebentar kemudian anak itu merasa terheran-heran sebab kedua kakinya tidak menginjak tanah dan tubuhnya melayang-layang ditarik oleh pengemis aneh yang menolongnya.
Lili merasa heran sekali melihat betapa suhu-nya berlari seolah-olah takut pada sesuatu. Akan tetapi melihat kesungguhan wajah suhu-nya, ia tak banyak bertanya dan mengikuti suhu-nya dengan cepat.
Setelah senja berganti malam dan keadaan menjadi gelap, mereka pun tiba di luar dusun yang berdekatan dengan hutan itu, dan ketika itu barulah Lo Sian menghentikan larinya. Akan tetapi pengemis sakti itu masih nampak gelisah dan berkata,
“Kita bermalam di sini saja.” Lalu dia mengajak Lili dan anak miskin itu duduk di tempat yang jauh dari jalan kecil menuju ke kampung, bersembunyi di balik gerombolan pohon.
“Mengapa kita tidak mencari tempat penginapan di dusun, Suhu?”
Suhu-nya menggelengkan kepala. “Terlalu berbahaya.”
“Suhu, mengapa Suhu melarikan diri? Apakah yang ditakutkan? Hwesio kecil itu sudah kalah dan kenapa kita harus berlari-lari ketakutan?” tanya Lili dengan suara mengandung penuh penasaran.
“Kau tidak tahu, Lili. Melihat dari gerakan ilmu silatnya, hwesio kecil itu tentu seorang pelayan atau murid dari seorang tua yang sangat jahat dan lihai. Kalau betul dugaanku, maka berbahayalah apa bila kita bertemu dengan dia!”
“Siapakah orang jahat itu, Suhu?”
Lo Sian menghela napas. “Dia itu adalah Ban Sai Cinjin, seorang pertapa yang sangat sakti dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi juga amat jahat dan kejam. Aku sama sekali tak kuat menghadapinya. Kepandaiannya sangat tinggi dan ilmu silatnya luar biasa sekali. Pernah aku melihat ia menghajar lima orang kang-ouw yang gagah, dan karena itu ketika aku melihat gerakan hwesio kecil tadi, aku dapat menduga bahwa kepandaian hwesio kecil itu tentu datang dari Ban Sai Cinjin!”
“Akan tetapi, Suhu...”
Tiba-tiba Lo Sian menggunakan tangannya untuk menutup mulut muridnya.
“Ssshhh...” bisiknya. Lili menjadi heran, dan anak miskin itu pun diam tak berani berkutik sedikit pun.
Tak lama kemudian, di dalam gelap terlihat bayangan orang yang bergerak cepat sekali. Bayangan itu setelah dekat ternyata adalah bayangan seorang tua yang gemuk sekali, agak pendek dan gerakan dua kakinya ketika berlari di atas jalan kecil menuju ke dusun itu benar-benar hebat!
Lili melihat betapa kedua kaki orang tua gemuk pendek itu seakan-akan tidak menginjak tanah, akan tetapi jelas sekali kelihatan betapa tanah yang dilalui oleh orang itu melesak ke dalam karena injakan kakinya ketika berlari.
Ketika orang yang berlari itu berkelebat di dekat tempat mereka sedang bersembunyi, Lili mendengar suara yang parau dari orang itu berkata-kata seorang diri bagaikan sedang berdoa,
“Siauw-koai (Setan Kecil), Lo-koai (Setan Besar), semuanya harus tunduk kepadaku!” Ucapan ini terdengar berkali-kali, makin lama makin perlahan sehingga akhirnya lenyap bersama bayangan orang gemuk yang luar biasa itu! Ternyata bahwa ia lari menghilang ke dalam dusun di depan.
Barulah Lo Sian bergerak dan menghela napas ketika orang itu sudah pergi dan lenyap. “Hebat...!” bisiknya.
“Suhu, dia itukah orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin?”
Gurunya mengangguk di dalam gelap. “Sekarang dia sedang mencari kita di dusun itu dan kalau kita tadi bermalam di sana, tentu kita semua akan tewas di dalam tangannya yang kejam.”
“Akan tetapi, Suhu. Ia kelihatan bukan seperti seorang hwesio. Kepalanya biar pun botak, akan tetapi tidak gundul dan pakaiannya mewah sekali!”
“Memang aneh. Dulu ia gundul dan berpakaian seperti hwesio. Heran benar, sekarang ia agaknya telah menjadi orang biasa dan bajunya yang dari bulu itu menandakan bahwa ia benar-benar seorang kaya raya! Aneh!”
Kalau Lili dan Lo Sian dapat melihat keadaan orang yang lewat tadi dengan jelas, adalah anak miskin itu hanya melihat bayangannya yang berkelebat saja.
“Memang Ban Sai Cinjin seorang kaya!” katanya. “Kaya raya, kejam, dan gila!”
Setelah mendengar suara ini, barulah Lo Sian agaknya teringat bahwa ada orang lain di situ. Ia memandang kepada anak miskin itu dan bertanya, “Anak yang malang, siapakah kau dan coba ceritakan pula keadaan Ban Sai Cinjin yang kau ketahui.”
Anak itu lalu menceritakan bahwa ia bernama Thio Kam Seng, yatim piatu semenjak kecil karena ayah bundanya meninggal dunia akibat sakit dan kelaparan. Semenjak usia enam tahun ia hidup seorang diri sebagai seorang pengemis, merantau dari kota ke kota dan dari dusun ke dusun. Akhirnya ia sampai di dusun Tong-sim-bun di depan itu dan telah setahun lebih ia tinggal di dusun itu dan hidup sebagai seorang pengemis.
Ia mengetahui tentang Ban Sai Cinjin yang dikatakan sebagai seorang hartawan besar, memiliki banyak rumah dan toko di dusun itu, bahkan telah mendirikan sebuah kelenteng besar di dalam hutan sebagai tempat pertapaannya! Watak dari Ban Sai Cinjin yang kejam dan aneh itu memang telah terkenal, akan tetapi oleh karena orang tua ini amat kaya, dan pula tinggi kepandaiannya, tak seorang pun berani mencelanya.
“Aku mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hidup mewah di dalam kelentengnya itu, bahkan sering mendatangkan penyanyi-penyanyi dari kota dan sering pula memesan masakan-masakan mewah. Karena aku merasa amat lapar, aku mencoba untuk mencuri makanan di kelenteng itu. Sungguh celaka aku terlihat oleh hwesio kecil yang kejam itu dan hampir saja celaka kalau tidak mendapat pertolongan In-kong (Tuan Penolong).”
Lo Sian si Pengemis Sakti tidak mengira sama sekali bahwa Ban Sai Cinjin adalah guru dari orang yang menculik Lili! Memang, sesungguhnya Ban Sai Cinjin ini adalah pertapa sakti yang pernah memberi pelajaran silat kepada Bouw Hun Ti atau penclilik Lili itu.
Kepandaian Ban Sai Cinjin memang sangat hebat dan sesudah merasakan kesenangan dunia, pertapa ini sekarang menjadi seorang yang suka mengumbar nafsunya. Dia dapat mengumpulkan harta kekayaan dan menjadi seorang hartawan besar, hidup mewah dan suka mengganggu anak bini orang.
Akan tetapi, untuk menutupi mata umum, ia mendirikan sebuah kelenteng besar di mana katanya digunakan sebagai tempat ‘menebus dosa’ dan bersemedhi. Padahal sebetulnya tempat ini merupakan tempat persembunyiannya di mana ia menghibur diri dengan cara yang amat tidak mengenal malu. Di tempat inilah dia dapat berlaku leluasa, jauh dari mata orang dusun atau orang kota.
Ban Sai Cinjin sangat terkenal akan kelihaiannya dalam hal ginkang dan lweekang, juga senjatanya amat ditakuti orang. Senjata ini memang istimewa sekali, karena merupakan huncwe (pipa tembakau) yang panjang dan terbuat dari pada logam yang keras diselaput emas!
Pada waktu-waktu biasa, ia menggunakan huncwe-nya ini sebagai pipa biasa yang diisi dengan tembakau-tembakau yang paling mahal dan enak, juga kantong tembakaunya yang tergantung pada gagang huncwe ini terisi penuh dengan tembakau yang kekuning-kuningan bagaikan benang emas.
Akan tetapi pada saat dia menghadapi musuh, kantong itu akan berganti dengan sebuah kantong lain yang berisikan tembakau luar biasa sekali yang berwarna hitam. Dan apa bila ia mengambil tembakau ini lalu dinyalakan di dalam pipanya, maka akan tercium bau yang sangat tidak enak dan keras sekali. Asap tembakau ini saja sudah cukup membuat lawannya menjadi pening dan pikirannya kacau karena sebetulnya asap ini mengandung semacam racun yang berbahaya dan melemahkan semangat.
Apa lagi kalau ia sudah mainkan senjata istimewa ini yang terputar cepat dan dari mulut pipa itu menyembur bunga api karena tembakau yang masih terbakar itu tertiup angin, bukan main berbahayanya. Oleh karena ini pula, maka Ban Sai Cinjin mendapat julukan Si Huncwe Maut!
Lo Sian yang berhati budiman itu menjadi tergerak hatinya ketika mendengar penuturan anak miskin itu. Ia memandang kepada Thio Kam Seng yang kurus dan pucat, dan biar pun ia maklum bahwa anak ini tidak memiliki cukup bakat dan kecerdikan untuk menjadi seorang ahli silat, namun dia tadi telah menyaksikan sendirl bahwa anak ini cukup tabah dan berjiwa gagah. Tadi sudah disaksikannya betapa anak ini menghadapi maut di ujung pisau hwesio kecil itu dengan berani.
“Kam Seng, apakah kau suka ikut padaku dan belajar silat agar kelak jangan sampai kau terhina orang?”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba saja anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil menangis! Saking girang dan terharunya, ia sampai tak dapat mengeluarkan satu patah pun kata, hanya berkata terputus-putus, “Suhu..., Suhu...”
Setelah pada malam hari itu bersembunyi di sana, keesokan harinya pagi-pagi sekali Lo Sian mengajak kedua orang muridnya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menggandeng tangan Kam Seng agar perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.
Beberapa hari lewat tanpa terasa dan mereka telah memasuki Propinsi Sensi. Pada saat mereka lewat kota Tai-goan, Lo Sian sengaja mampir di kota yang besar dan ramai itu. Kota Tai-goan terkenal dengan araknya yang terbuat dari pada buah leci, dan karena Lo Sian adalah seorang yang suka sekali minum arak, maka sampai beberapa hari ia tidak mau tinggalkan kota itu dan memuaskan dirinya dengan minuman yang enak ini.
Pada suatu hari, ketika ia dan kedua orang muridnya keluar dari sebuah rumah makan di mana ia telah menghabiskan banyak cawan arak, ia mendengar orang berseru keras dan tiba-tiba orang itu menyerangnya dengan pukulan hebat ke arah dadanya.
Lo Sian cepat mengelak dan alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa yang menyerang dirinya ini bukan lain adalah orang brewok yang dahulu menculik Lili! Memang orang ini bukan lain adalah Bouw Hun Ti yang sedang berusaha mencari gurunya dan karena dia melakukan perjalanan berkuda dengan cepat, maka dia telah sampai di tempat itu lebih dulu dan kini ia hendak kembali ke timur setelah mendengar bahwa suhu-nya kini tinggal di dusun Tong-sim-bun.
Kebetulan sekali di kota Tai-goan ini dia bertemu dengan Lo Sian, pengemis yang sudah merampas Lili dari padanya itu! Tanpa menunggu lagi dia segera mengirim pukulan maut yang baiknya masih dapat dikelit oleh Lo Sian.
Lo Sian maklum bahwa orang ini mempunyai kepandaian yang tinggi, maka dia segera mencabut pedangnya yang selalu disembunyikan di dalam bajunya. Bouw Hun Ti tertawa bergelak melihat ini dan segera mencabut goloknya.
“Jembel hina dina! Hari ini kau pasti akan mampus di ujung golokku!” serunya keras sambil menyerang.
Lo Sian menangkis dan mereka lalu bertempur hebat di depan rumah makan itu. Semua orang yang menyaksikan pertempuran ini tidak ada satu pun yang berani turut campur, bahkan mereka lari cerai berai karena takut melihat dua orang itu mainkan senjata tajam secara demikian hebatnya.
Sementara itu, ketika melihat bahwa yang menyerang suhu-nya adalah penculik brewok yang dibencinya, seketika Lili menjadi pucat karena terkejut sekali. Akan tetapi anak ini memang hebat sekali keberaniannya. Ia tidak melarikan diri, bahkan lalu mengumpulkan batu-batu kecil dan mulai menyambit ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari Bouw Hun Ti.
Sungguh pun sambitan batu yang dilepas oleh Lili ini apa bila ditujukan kepada orang biasa akan merupakan serangan yang amat berbahaya, akan tetapi terhadap Bouw Hun Ti sama sekali tidak ada artinya. Tidak saja semua batu itu terlempar ketika terpukul oleh sinar goloknya, biar pun andai kata mengenai tubuhnya pun tak akan terasa olehnya!
Kam Seng yang melihat suhu-nya bertempur melawan seorang laki-laki brewok yang berwajah galak menyeramkan, dan juga melihat betapa Lili menyambit dengan batu, tak mau tinggal diam dan ia pun mulai menyambit pula! Akan tetapi, ia segera menghentikan bantuannya ini karena pandangan matanya telah menjadi kabur dan silau, ketika kedua orang yang bertempur itu kini telah lenyap terbungkus oleh sinar senjata. Kam Seng tidak dapat membedakan lagi mana gurunya dan mana lawan gurunya!
Akan tetapi, Lili yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi dan sepasang matanya yang bening sudah terlatih baik semenjak kecil oleh ayah ibunya, masih dapat melihat gerakan suhu-nya dan gerakan musuh itu, maka masih saja ia melanjutkan sambitannya, kini lebih hati-hati dan membidik dengan baik. Sungguh pun serangan Lili ini tidak berarti baginya, namun cukup membikin gemas hati Bouw Hun Ti.
“Setan kecil, lebih dulu kubikin mampus kau!” serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat menyambar Lili dan goloknya membacok ke arah kepala anak kecil itu!